Pencarian

Pelangi Lembah Kambang 1

Pendekar Rajawali Sakti 99 Pelangi Lembah Kambang Bagian 1


PELANGI LEMBAH KAMBANG Oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Rajawali Sakti
dalam episode: Pelangi Lembah Kambang
128 hal. ; 12 x 18 cm
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
1 "Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Seorang pemuda tampan berbaju rompi putih tam-
pak tengah memacu kudanya dengan kecepatan tinggi.
Akibatnya kuda hitam tunggangannya berlari bagaikan
angin saja. Debu membubung tinggi ke angkasa,
membuat seorang gadis yang juga menunggang kuda
di belakangnya jadi tertinggal semakin jauh.
Pemuda tampan itu terus memacu kudanya. Se-
hingga, tubuhnya seperti terguncang-guncang turun-
naik. Tampak pedang bergagang kepala burung yang
tersampir di batik punggungnya seperti hendak mence-
lat, untuk kemudian tenggelam lagi. Melihat ciri-
cirinya, tampaknya pemuda itu adalah Pendekar Raja-
wali Sakti. Sementara itu, gadis di belakang Rangga atau Pen-
dekar Rajawali Sakti sudah begitu cepat menggebah
kudanya. Tapi, tetap saja kuda putih tunggangannya
tidak bisa menyamai kecepatan lari kuda hitam yang
bernama Dewa Bayu. Maka, gadis yang memang Pan-
dan Wangi semakin jauh saja tertinggal di belakang.
"Kakang, tunggu...!" seru Pandan Wangi sekuat-kuatnya, disertai pengerahan
tenaga dalam tinggi.
Teriakan Pandan Wangi terdengar keras, mengge-
ma ke seluruh daerah kaki Gunung Bram-bang ini.
Sementara, jauh di depannya terlihat Rangga meng-
hentikan lari kudanya. Namun, debu masih cukup
tebal mengepul tinggi di angkasa.
Pandan Wangi segera menggebah kudanya, agar
berpacu lebih cepat lagi. Kuda putih itu me-ringkik
dan mendengus-dengus, memaksakan diri agar lebih
cepat sampai pada Pendekar Rajawali Sakti.
"Hooop...!"
Pandan Wangi langsung menarik tali kekang ku-
danya, begitu dekat dengan Rangga yang masih duduk
di atas punggung kudanya. Kuda putih itu meringkik
keras sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggi-
tinggi, membuat Pandan Wangi jadi sedikit kerepotan
dibuatnya. "Hup!"
Gadis berjuluk si Kipas Maut itu cepat melompat
turun, setelah kuda putih tunggangannya bisa tenang.
Sementara, Rangga masih tetap duduk memandangi di
atas punggung kuda hitamnya. Sorot mata Pendekar
Rajawali Sakti dibalas Pandan Wangi dengan sorot ma-
ta yang sangat tajam.
"Kenapa, Pandan...?" tanya Rangga melihat Pandan Wangi memberengut.
"Kau jalan saja sendiri...!" dengus Pandan Wangi, tetap memberengut.
Rangga jadi tersenyum. Dia tahu, gadis ini kesal
karena tadi sempat tertinggal jauh. Saat ini, mereka memang sedang memburu
waktu. Sungguh tadi tidak
disadari Rangga kalau kecepatan lari kuda hitamnya
tidak ada tandingannya di jagat raya ini. Dewa Bayu
memang bukan kuda sembarangan. Kecepatan larinya
seperti kilat, sehingga sulit sekali terkejar. Walaupun orang yang mengejarnya
memiliki ilmu meringankan
tubuh yang sudah sempurna, tapi tidak akan mampu
menyamai kecepatan lari Dewa Bayu tunggangan Pen-
dekar Rajawali Sakti.
Rangga turun dari kudanya. Dihampirinya si Kipas
Maut yang masih saja memberengut sambil memegangi
tali kekang kudanya. Rangga tahu, hari Pandan Wangi
tengah kesal. "Maaf, Pandan. Tadi aku lupa," ucap Rangga lembut, seraya memberi senyuman manis
sekali. "Huh! Sekarang minta maaf. Nanti juga sudah lupa lagi!" dengus Pandan Wangi,
masih tetap memberengut. Namun Rangga jadi tersenyum geli. Walaupun wa-
jahnya memberengut begitu, tapi Pandan Wangi sem-
pat juga melirik padanya. Dia tahu gadis itu hanya
menunjukkan kemanjaannya saja. Tapi patut diakui
kalau sedang memberengut begini, Pandan Wangi jadi
kelihatan cantik. Rangga jadi ingat kata orang-orang.
Kalau ingin melihat kecantikan wanita yang sesung-
guhnya, buatlah wanita itu jadi marah lebih dulu. Biasanya, kecantikan seorang
wanita akan timbul di saat sedang marah.
Dan memang benar, Pandan Wangi terlihat lebih
cantik kalau sedang marah begini. Apa lagi, kemara-
han yang disertai, kemanjaannya. Perlahan Rangga
mengulurkan tangannya. Disentuhnya lembut dagu
gadis itu dengan ujung jarinya. Dengan sikap lembut
dan perlahan, diangkatnya wajah Pandan Wangi. Dan
kini, pandangan mereka jadi bertemu.
"Kau cantik sekali kalau lagi marah, Pandan...,"
ucap Rangga. "Edan..!" dengus Pandan Wangi.
Wajah gadis itu seketika jadi memerah. Dan saat
itu juga, Rangga malah tertawa terbahak-bahak, se-
hingga membuat wajah Pandan Wangi semakin berse-
mu merah dadu. Tanpa sadar, gadis itu mengayunkan
pukulannya ke dada Pendekar Rajawali Sakti.
Duk! "Ugkh...!"
Rangga jadi melenguh dan tawanya seketika le-
nyap. Tanpa disadari tadi, Pandan Wangi memukul
cukup keras. Akibatnya tubuh Pendekar Rajawali Sakti jadi terdorong dua langkah,
lalu limbung terhuyung-huyung. Dan seketika itu juga, pemuda yang selalu
berbaju rompi putih itu ambruk ke tanah.
"Kakang..."!"
Pandan Wangi jadi menjerit kaget. Terlebih lagi, be-
gitu melihat Rangga menggeletak dengan mata terpe-
jam. Sedikit pun tidak terlihat gerakan pada dadanya, sehingga membuat Pandan
Wangi jadi bingung seketika. "Kakang...."
Pandan Wangi cepat menubruk tubuh Pendekar
Rajawali Sakti. Tapi pada saat itu juga, tangan Rangga bergerak. Langsung
dipeluknya pinggang ramping si
Kipas Maut ini.
"Eh..."!"
Pandan Wangi kembali tersentak kaget.
"Ha ha ha...!"
"Kunyuk...!" maki Pandan Wangi langsung memberengut.
Tapi, Rangga terus saja tertawa terbahak-bahak,
membuat wajah gadis itu semakin berlipat.
"Tidak lucu...!"
Pandan Wangi memberontak, mencoba mele-
paskan diri dari pelukan Pendekar Rajawali Sakti. Sekali sentak saja, pelukan
tangan Rangga di pinggang-
nya sudah terlepas. Cepat cepat Pandan Wangi me-
lompat bangkit berdiri. Sementara, Rangga hanya du-
duk saja dengan tangan kiri menopang lututnya yang
tertekuk. Senyum di bibir Pendekar Rajawali Sakti ter- kem-
bang lebar. Sementara, Pandan Wangi semakin mem-
berengut sambil bersungut-sungut. Wajahnya keliha-
tan kesal, tapi di dalam hatinya juga tetap geli. Gadis
itu kemudian mengambil tempat, duduk di atas seba-
tang akar yang menyembul dan dalam tanah. Semen-
tara, Rangga masih tetap duduk setengah tiduran di
rerumputan. *** Pandan Wangi masih saja memasang wajah ma-
sam. Sedangkan suara tawa Rangga sudah tidak ter-
dengar lagi. Dan untuk beberapa saat, mereka berdua
terdiam. Hanya saja sesekali mereka saling melempar-
kan pandang. Dan kalau pandangan mata satu sama
lain bertemu, Pandan Wangi cepat-cepat mengalihkan
ke arah lain. Entah kenapa, walaupun sudah sangat
lama mereka selalu bersama-sama, tapi Pandan Wangi
tidak pernah bisa membalas tatapan mata Pendekar
Rajawali Sakti. Dadanya langsung berdebar seketika,
kalau pandangannya bertemu pandangan mata pemu-
da tampan itu. "Sudah hampir sore, Pandan. Kita harus sampai di Padepokan Dara Wulung sebelum
malam," kata Rangga mengingatkan.
"Tidak jauh lagi, Kakang. Aku masih lelah...," terdengar agak malas suara Pandan
Wangi. "Pandan...."
Pandan Wangi hanya diam saja.
"Kenapa kau sepertinya tidak mau pergi ke sana"
Apa ada sesuatu yang membuatmu enggan?" tanya
Rangga, seakan-akan menaruh kecurigaan.
Namun Pandan Wangi hanya diam saja. Sesekali
matanya melirik wajah tampan Pendekar Rajawali Sak-
ti. Entah kenapa, dia sendiri tidak tahu kalau pera-
saannya jadi begitu malas pergi ke Padepokan Dara
Wulung. Padahal, kedatangan mereka ke sana pasti
sudah ditunggu-tunggu. Dan mereka memang berjanji
akan sampai ke sana hari ini, sebelum hari gelap.
Pandan Wangi sendiri tidak tahu perasaannya sen-
diri. Semakin dekat ke Padepokan Dara Wu-lung, pera-
saannya semakin tidak enak saja. Malah sepertinya
malas sekali pergi ke sana. Atau mungkin juga.... Pandan Wangi cepat-cepat
menghilangkan sebuah pikiran
yang tiba-tiba saja muncul di kepalanya. Keper-
cayaanya begitu bulat pada Rangga. Rasanya tidak
mungkin Pendekar Rajawali Sakti mau berpaling dari
dirinya. Dia kenal betul, siapa kekasihnya ini. Mana mungkin Rangga akan mudah
begitu saja mengalihkan
perhatian dan rasa cinta padanya.
"Ayo, Pandan. Sudah cukup kita beristirahat," ajak Rangga seraya bangkit
berdiri. "Sebentar lagi, Kakang...," tawar Pandan Wangi.
Rangga memandangi gadis itu dalam-dalam. Dira-
sakannya kalau ada sesuatu yang disembunyikan
Pandan Wangi, hingga merasa begitu malas pergi ke
Padepokan Dara Wulung. Perlahan Pendekar Rajawali
Sakti melangkah menghampiri, kemudian duduk di
samping si Kipas Maut. Tangannya langsung bergerak,
dan mengambil tangan gadis itu. Lalu, digenggamnya
tangan halus itu erat-erat dan hangat. Pandan Wangi
membiarkan saja tangannya digenggam.
"Aku tahu, kau menyembunyikan sesuatu, Pandan.
Katakan, kenapa kau seperti tidak ingin ke sana...?"
Rangga sedikit mendesak ingin tahu.
"Entahlah...," sahut Pandan Wangi mendesah, sambil menghembuskan napas panjang-
panjang. "Kau menyimpan persoalan di sana, Pandan?"
tanya Rangga menduga.
"Tidak," tegas Pandan Wangi mantap.
"Lalu..., kenapa tidak mau ke sana?"
Pandan Wangi terdiam, tidak langsung menjawab
pertanyaan Pendekar Rajawali Sakti. Beberapa kali di-tariknya napas dalam-dalam,
dan dihembuskannya
kuat-kuat. Seakan, begitu berat menjawab pertanyaan
Pendekar Rajawali Sakti tadi. Dan begitu berpaling,
pandangan Pandan Wangi langsung bertemu sorot ma-
ta yang cukup tajam milik Rangga.
"Entahlah, Kakang.... Aku sendiri tidak tahu, kenapa begitu enggan datang ke
sana," kata Pandan Wangi mencoba mengemukakan perasaan hatinya
yang sejak dalam perjalanan menuju Padepokan Dara
Wulung ini terus terpendam.
"Hanya itu...?" Rangga seperti tidak percaya.
"Apa aku harus bersumpah..." Aku tidak ada per-
soalan apa-apa dengan mereka di Padepokan Dara Wu-
lung, Kakang. Aku hanya merasa enggan saja," tegas Pandan Wangi.
'Iya, tapi kenapa...?" Rangga terus mendesak.
"Aku tidak tahu. Mungkin hanya malas...!" sahut Pandan Wangi tegas.
Rangga menghembuskan napas panjang. Di pan-
danginya sekali lagi wajah Pandan Wangi dalam-
dalam. Dari sorot mata, Rangga tahu kalau gadis yang berjuluk si Kipas Maut itu
tidak main-main. Bicaranya terdengar sungguh-sungguh. Dan gadis itu sendiri
memang tidak tahu alasannya, kenapa jadi begitu eng-
gan pergi ke Padepokan Dara Wulung.
"Maafkan aku, Kakang...," ucap Pandan Wangi terdengar lirih.
"Ah, sudahlah...," sambut Rangga lembut. Entah kenapa, mereka sama-sama melempar
senyum. "Pandan, aku tidak ingin memaksa. Kalau kau
memang tidak ingin ke sana, aku juga tidak akan ke
sana. Undangan mereka bisa dibatalkan," kata Rangga
terdengar lembut sekali nada suaranya.
"Eh, jangan...!" sentak Pandan Wangi agak terkejut.
Kening Rangga jadi berkerut, melihat sikap Pandan
Wangi yang terasa aneh ini. Sedangkan tingkah gadis
itu sendiri jadi kelihatan serba salah. Sikapnya jadi ki-kuk dipandangi Rangga
begitu rupa. Sebentar wajah-
nya memerah, lalu cepat-cepat dibuang, memandang
ke arah lain. Dan beberapa saat, mereka jadi terdiam membisu.
"Ayo kita pergi, Kakang...," ajak Pandan Wangi seraya bangkit berdiri.
Tanpa menghiraukan Rangga yang masih kehera-
nan, gadis itu segera saja berlalu menghampiri ku-
danya yang tengah merumput. Dengan satu lompatan


Pendekar Rajawali Sakti 99 Pelangi Lembah Kambang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

indah dan ringan sekali, gadis yang berjuluk si Kipas Maut itu melompat naik ke
atas punggung kudanya.
Kuda putih itu mendengus kecil, sambil menghentak-
hentakkan kaki depannya ke tanah.
Sementara, Rangga masih tetap saja duduk di atas
akar pohon itu. Terus dipandanginya Pandan Wangi
yang sudah berada di atas punggung kudanya.
"Ayo, Kakang. Katanya kau ingin cepat sampai ke Padepokan Dara Wulung," ajak
Pandan Wangi. Rangga mengangkat bahunya sedikit, kemudian berdi-
ri. Kini kakinya melangkah menghampiri kudanya.
Pendekar Rajawali Sakti lalu melompat naik ke pung-
gung kuda hitamnya, tapi belum juga menghentakkan
tali kekangnya. Sedikit matanya melirik Pandan Wangi yang tengah mengarahkan
pandang ke tempat lain.
Gadis itu seakan tidak ingin terus-menerus dipandangi dengan sinar mata yang
memancarkan ketidakmenger-tian atas sikapnya.
"Hsss...!"
Pandan Wangi langsung saja menghentakkan tali
kekang kudanya sedikit. Maka kuda putih tunggan-
gannya segera melangkah perlahan-lahan. Sementara,
Rangga masih saja tetap diam. Tali kekang kudanya
baru dihentakkan, setelah Pandan Wangi cukup jauh
darinya. Namun sebentar saja, Pendekar Rajawali Sakti sudah mensejajarkan
langkah kaki kudanya di samping kuda kekasihnya.
*** Tepat seperti apa yang diperkirakan Rangga, saat
matahari hampir tenggelam di ufuk barat, mereka baru tiba di Padepokan Dara
Wulung. Sebuah padepokan
yang cukup besar, terdiri dari sebuah bangunan beru-
kuran besar. Sedangkan beberapa bangunan kecil be-
rada di bagian belakang padepokan itu dikelilingi pagar gelondongan kayu yang
sangat besar dan tinggi. Pada bagian atasnya berbentuk runcing, seperti sebuah
benteng pertahanan.
Rangga menghentikan langkah kaki kudanya, tepat
sekitar satu batang tombak lagi di depan pintu gerbang masuk ke dalam padepokan
ini. Dan Pandan Wangi ju-ga ikut menghentikan langkah kaki kudanya.
"Kenapa sepi...?" gumam Pandan Wangi seperti bertanya pada diri sendiri.
Suasana padepokan itu memang sangat sunyi, ti-
dak terlihat seorang penjaga pun di depan pintu yang tertutup rapat ini. Bahkan
sepertinya tidak ada tanda-tanda seorang pun di dalam lingkungan padepokan
yang berpagar seperti benteng ini. Bukan hanya Pan-
dan Wangi yang merasa keheranan. Rangga pun juga
jadi heran mendapati suasana yang begitu sunyi.
"Kau tunggu di sini dulu, Pandan," ujar Rangga, langsung melompat turun dari
punggung kudanya.
"Hup!"
"Kau ingin ke mana...?" tanya Pandan Wangi.
"Aku akan lihat dulu keadaan di dalam," sahut Rangga.
Belum juga Pandan Wangi bisa membuka suaranya
lagi, Rangga sudah melesat begitu cepat bagai kilat ke atas. Dan tahu-tahu,
Pendekar Rajawali Sakti sudah
berada di atas pagar gelondongan kayu tinggi yang me-lingkari bangunan padepokan
ini. Sementara, Pandan
Wangi terpaksa menunggu di atas punggung kudanya.
Ketika kepalanya mendongak ke atas, tampak Rangga
tengah berdiri tegak di ujung gelondongan kayu yang berbentuk runcing itu.
"Hap!"
Dengan gerakan indah dan ringan sekali, Rangga
kembali melompat turun. Tapi kali ini tidak kembali ke kudanya, melainkan masuk
ke dalam lingkungan benteng padepokan. Begitu sempurnanya ilmu meringan-
kan tubuhnya. Sehingga, sedikit pun tidak menimbul-
kan suara saat kakinya menjejak tanah di dalam ling-
kungan pagar benteng Padepokan Dara Wulung.
"Hmmm...."
Rangga mengedarkan pandangan ke sekeliling. Dia
jadi heran, karena tidak ada seorang pun yang dijum-
painya. Padepokan ini begitu sunyi, seperti sudah ditinggalkan penghuninya.
Setelah mengamati keadaan
sekitarnya beberapa saat, Pendekar Rajawali Sakti mulai mengayunkan kakinya
untuk menghampiri bangu-
nan utama padepokan ini.
Pandangan mata Pendekar Rajawali Sakti lurus ke
depan, tertuju pada pintu yang tertutup rapat. Meskipun sikapnya sangat hati-
hati, tapi ayunan kakinya
kelihatan sangat mantap. Dan langkahnya baru ber-
henti setelah tiba di depan beranda bangunan utama
padepokan yang cukup besar dan megah ini
"Ada orang di dalam...?" seru Rangga keras-keras.
Suara Pendekar Rajawali Sakti menggema, terpan-
tul batu-batu dan pepohonan. Tidak terdengar adanya
sahutan sedikit pun juga. Rangga segera mengerahkan
aji 'Pembeda Gerak dan Suara'. Kepalanya lalu berge-
rak perlahan ke kiri dan kanan, mencoba mencari sua-
ra sekecil apa pun yang ada dalam lingkungan Pade-
pokan Dara Wulung ini.
Tapi setelah cukup lama mencoba mencari, tidak
satu suara pun yang tertangkap telinga. Hanya desir
angin dan gesekan dedaunan saja yang tertangkap
pendengarannya. Rangga mencabut kembali aji
'Pembeda Gerak dan Suara', kemudian kakinya kem-
bali bergerak. Namun baru saja kakinya menjejak lan-
tai beranda yang terbuat dan belahan papan ini, tiba-tiba saja telinganya
mendengar suara bergerit sebuah daun pintu yang bergerak. Dan suara itu datang
dari arah belakang. Cepat Rangga berbalik, namun langsung meng-
hembuskan napas panjang. Ternyata Pandan Wangi
yang membuka pintu gerbang masuk ke dalam pade-
pokan ini. Tampak kuda-kuda mereka mengikuti dari
belakang gadis itu.
Sementara, Pandan Wangi terus melangkah meng-
hampiri Pendekar Rajawali Sakti yang masih berdiri tegak di beranda depan
bangunan utama padepokan ini.
Langkah Pandan Wangi baru berhenti setelah berada
dekat di depan pemuda berbaju rompi putih ini.
"Kenapa kau ke sini, Pandan...?" tegur Rangga langsung.
"Aku mencoba mendorong pintu tadi, ternyata ti-
dak terkunci. Ya, aku masuk..," sahut Pandan Wangi seenaknya.
"Hhh...!" Rangga hanya menghembuskan napas panjang saja.
Pendekar Rajawali Sakti benar-benar tidak tahu
kalau pintu gerbang masuk ke padepokan ini tidak
terkunci. Kalau saja dia tahu sejak tadi, tentu tidak perlu susah-susah harus
melompati pagar yang sangat
tinggi dan kokoh itu.
"Ada orangnya, Kakang?" tanya Pandan Wangi sebelum Rangga sempat membuka mulut
lagi. "Tidak," sahut Rangga singkat.
"Tidak..."! Lalu, ke mana mereka semua?" tanya Pandan Wangi jadi heran.
Rangga hanya mengangkat bahu saja. Dia sendiri
tidak tahu, ke mana perginya para penghuni padepo-
kan ini. Kembali Pendekar Rajawali Sakti mengedarkan pandangannya ke sekeliling.
Memang benar-benar
sunyi. Bahkan seekor binatang pun tidak terlihat.
"Kau sudah periksa ke dalam, Kakang?" tanya Pandan Wangi seperti mengusulkan.
"Belum," sahut Rangga seraya menggeleng pelan.
"Ada tanda-tanda kehidupan?" tanya Pandan Wangi lagi.
Pandan Wangi langsung bertanya begitu, karena
tahu kalau Rangga memiliki satu aji kesaktian yang bi-sa menajamkan telinga.
Bahkan suara sekecil apa pun
dapat jelas didengar. Namun, tidak sembarang orang
bisa menguasai ilmu kesaktian itu. Pandan Wangi sen-
diri, yang sudah pernah diajarkan Rangga, sampai se-
karang belum bisa menggunakannya.
"Kau tunggu saja di sini, Pandan. Jangan ke mana-mana," pesan Rangga.
Pandan Wangi hanya menganggukkan kepala saja.
Sementara Rangga sudah kembali melangkah, melin-
tasi beranda depan bangunan utama padepokan itu.
Dan dia berhenti, setelah tiba di depan pintu. Perlahan didorongnya pintu yang
terbuat dari kayu jati berukuran tebal itu.
"Hhh...!"
*** 2 Rangga agak terkejut juga, mendapatkan pintu
bangunan utama Padepokan Dara Wulung ini tidak
terkunci. Sehingga mudah sekali dapat didorong sam-
pai terbuka lebar. Sebentar diamatinya keadaan di dalam. Sungguh berantakan,
seperti bekas pertarungan.
Dan Pandan Wangi hanya diam saja memperhatikan,
tidak beranjak sedikit pun dari tempatnya. Saat itu, Rangga sudah mulai
melangkah melewati pintu.
Pendekar Rajawali Sakti terus berjalan perlahan-
lahan, menyeberangi ruangan depan ini. Ayunan lang-
kah kakinya kembali terhenti begitu tiba di ambang
pintu pembatas ruangan yang tidak memiliki daun pe-
nutup. Saat itu juga....
"Heh..."!"
Kedua bola mata Rangga jadi terbeliak lebar dan
mulutnya jadi ternganga, begitu melihat tubuh-tubuh
bergelimpangan bersimbah darah, hampir memenuhi
ruangan tengah yang berukuran sangat luas ini. Bau
anyir darah seketika langsung merasuk ke dalam lu-
bang hidungnya. Dan tanpa sadar, Rangga melangkah
mundur dua tindak
Sementara, Pandan Wangi yang sejak tadi mem-
perhatikan, jadi berkerut juga keningnya melihat ke-
terkejutan Rangga. Bergegas dihampirinya Pendekar
Rajawali Sakti. Gadis yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu jadi terpekik
kecil begitu tiba di samping kiri Pendekar Rajawali Sakti.
"Oh, apa yang terjadi..."!" desis Pandan Wangi, seperti bertanya pada diri
sendiri. Entah, berapa puluh orang yang bergelimpangan
saling tumpang tindih di dalam ruangan ini. Dan me-
reka semua adalah wanita berusia muda. Berbaju kun-
ing muda. Tampak pada dada kiri masing-masing ter-
dapat sulaman bergambar bunga mawar warna merah
darah. Tidak ada seorang pun yang kelihatan masih
hidup, dengan luka-luka menganga di tubuh. Darah
yang keluar sudah kelihatan mengering, pertanda ka-
lau sudah cukup lama tewas.
"Coba periksa, Kakang. Barang kali saja masih ada yang hidup," kata Pandan
Wangi. Tanpa diminta dua kali, Rangga bergegas melang-
kah memasuki ruangan itu. Diperiksanya satu persatu
tubuh wanita muda yang dikenali dari pakaiannya
adalah murid-murid Padepokan Dara Wulung ini. Tapi
setelah semua diperiksa, tidak satu pun yang masih
hidup. Rangga kemudian kembali menghampiri Pandan
Wangi yang masih tetap berdiri di ambang pintu. Per-
lahan kepala Pendekar Rajawali Sakti bergerak meng-
geleng. Beberapa saat lamanya mereka membisu, meman-
dangi mayat-mayat gadis yang bergelimpangan saling
tumbang tindih. Jelas sekali kalau mereka dikumpul-
kan menjadi satu dalam ruangan ini.
"Tidak kau temukan sesuatu, Kakang?" tanya Pandan Wangi memecah kebisuan.
"Mereka seperti bertarung biasa, Pandan. Tidak ada yang aneh dari luka-luka
mereka," sahut Rangga pe-
lan. Pandan Wangi melirik sedikit pada Pendekar Rajawali Sakti itu. Dirasakan
seperti ada sesuatu yang tengah bergolak dalam dada pemuda ini. Sesuatu yang ti-
dak dapat ditebak begitu saja. Tapi jelas sekali dari raut wajah dan sorot mata,
kalau saat ini Rangga me-mendam sesuatu. Terbukti wajahnya kelihatan jadi
memerah. Dua kali Rangga menarik napas dalam-dalam, dan
menghembuskannya kuat-kuat. Kemudian tubuhnya
berbalik, lalu melangkah keluar dari ruangan itu tanpa bicara sedikit pun.
Sementara Pandan Wangi hanya
memandangi saja, sampai punggung Pendekar Rajawa-
li Sakti lenyap di balik pintu. Sebentar Pandan Wangi masih tetap terpaku di
sana, kemudian bergegas me-nyusul Rangga yang sudah berada di luar bangunan
utama Padepokan Dara Wulung ini.
Pandan Wangi mendapatkan Rangga tengah duduk
mencangkung di tepian beranda depan bangunan ini.
Kemudian diambilnya tempat di sebelah kanannya.
Sementara itu, matahari sudah tenggelam di balik kaki Gunung Brambang. Angin
yang bertiup terasa begitu
dingin. Dan kabut pun sudah mulai terlihat turun me-
nyelimuti seluruh bangunan Padepokan Dara Wulung
ini. Cukup lama juga kedua pendekar muda itu ter-
diam, membisu. Entah, apa yang ada dalam pikiran
masing-masing. "Kita akan bermalam di sini, Kakang...?" tegur Pandan Wangi bertanya.
"Hhh...!" Rangga hanya menghembuskan napas panjang saja.
Perlahan kepala pemuda itu berpaling, dan lang-
sung menatap bola mata si Kipas Maut. Tapi tidak la-
ma kemudian, sudah kembali menatap lurus ke depan.
Entah, apa yang dipandanginya. Hanya kegelapan saja
yang terlihat di sekitar padepokan yang sudah sepi
tanpa penghuni lagi.
"Kau tambatkan di mana kuda-kuda kita, Pandan?"
tanya Rangga setelah cukup lama berdiam diri.
"Masih di luar," sahut Pandan Wangi.
"Bawa masuk," pinta Rangga.
Tanpa diminta dua kali, Pandan Wangi langsung
bangkit berdiri. Lalu, kakinya melangkah meninggal-
kan Pendekar Rajawali Sakti seorang diri, Dia terus
berjalan menuju keluar pagar padepokan. Sementara,
Rangga tetap duduk mencangkung di pinggiran lantai
berada dari belahan papan kayu hitam ini.
Tak berapa lama kemudian, Pandan Wangi sudah
terlihat lagi. Gadis itu masuk ke dalam padepokan ini sambil menuntun dua ekor
kuda tunggangan mereka.
Ditambatkannya kuda itu di bawah pohon beringin
yang cukup besar, tidak jauh dari bangunan beruku-
ran cukup besar ini. Kemudian kembali dihampirinya
Rangga yang masih duduk di beranda. Dan kini, Pan-
dan Wangi duduk lagi di samping Pendekar Rajawali
Sakti. "Aku cari pelita dulu, Kakang. Barangkali saja ada di dalam," kata Pandan Wangi


Pendekar Rajawali Sakti 99 Pelangi Lembah Kambang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seraya bangkit berdiri lagi. Rangga hanya diam saja. Bahkan melirik pun tidak.
Sedangkan Pandan Wangi sudah tenggelam dalam
rumah besar ini. Tapi belum juga gadis yang berjuluk si Kipas Maut itu berada di
dalam, mendadak saja....
"Kakang...!"
"Heh..."!"
Rangga jadi tersentak kaget begitu tiba-tiba terden-
gar teriakan Pandan Wangi dari dalam rumah ini. Ma-
ka cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti melompat
bangkit berdiri dan melesat masuk ke dalam. Bahkan
langsung dipergunakannya ilmu meringankan tubuh
yang sudah begitu sempurnanya. Sehingga hanya se-
kali lesat saja, bayangan tubuhnya sudah lenyap di balik pintu.
Rangga terus menerobos masuk ke dalam ruangan
tengah yang masih dipenuhi mayat gadis muda murid
Padepokan Dara Wulung ini. Tapi Pandan Wangi tidak
terlihat di sana. Maka Pendekar Rajawali Sakti terus saja melompat, menggunakan
ilmu meringankan tubuh yang sudah sempurna tingkatannya. Sekali lesat
saja, Pendekar Rajawali Sakti sudah mencapai pintu
yang langsung berhubungan dengan bagian belakang.
Tanpa berpikir panjang lagi, Rangga langsung melesat menerobos ke dalam.
"Heh..."!"
*** Kedua bola mata Rangga jadi terbeliak lebar, begitu
tiba di bagian belakang rumah besar yang menjadi
bangunan utama Padepokan Dara Wulung ini. Hampir
tidak dipercayai penglihatannya sendiri, seperti tengah bermimpi saja. Dan ini
membuatnya jadi terpaku diam
seperti patung.
"Kenapa bengong di situ..."! Turunkan aku, ce-
pat..!" "Oh..."!"
Rangga baru tersentak sadar, begitu mendengar
bentakan Pandan Wangi. Cepat kakinya me-langkah
menghampiri sambil memandangi Pandan Wangi yang
tampak sudah tergantung. Kedua kakinya terikat tam-
bang ke atas, sedangkan kepalanya terjungkir ke ba-
wah. 'Turunkan aku cepat, Kakang...!" jerit Pandan
Wangi jadi agak kesal, melihat Rangga terasa begitu
lambat bergerak.
"Hup!"
Rangga cepat melesat ke atas. Langsung tangan ki-
rinya dikibaskan dengan kecepatan luar biasa sekali.
Tes! "Hap!"
Begitu cepat gerakan Pendekar Rajawali Sakti.
Sambil memutuskan tambang, disambarnya tubuh
Pandan Wangi. Dan tahu-tahu kakinya sudah kembali
menjejak tanah dengan tubuh si Kipas Maut berada
dalam pelukannya. Pandan Wangi buru-buru mele-
paskan diri dari pelukan Pendekar Rajawali Sakti. Dilepaskan tambang yang
mengikat kakinya, lalu dibua-
ngnya sambil mendengus kesal.
"Huh!"
Sementara, Rangga memandangi tambang yang
tergantung di batang pohon, di halaman belakang ru-
mah besar Padepokan Dara Wulung ini. Tampak ke-
ningnya sedikit berkerut, dan kelopak matanya juga
terlihat menyipit. Sedangkan, Pandan Wangi terus
menggerutu kesal. Tapi gerutuannya mendadak saja
lenyap, begitu melihat Rangga berdiri mematung me-
mandangi tambang yang telah menjeratnya tadi.
"Ada apa, Kakang?" tanya Pandan Wangi se-raya mendekati Pendekar Rajawali Sakti.
"Kau lihat tambang itu, Pandan...?" Rangga malah balik bertanya sambil menunjuk
ke tambang yang tadi
menggantung Pandan Wangi.
"Memangnya kenapa tambang itu?" tanya Pandan Wangi lagi.
"Aku seperti mengenali asal buatanya," sahut Rangga pelan, seperti ragu-ragu
mengucapkannya.
Pandan Wangi jadi terdiam, tapi sebentar kemu-
dian melangkah. Dipungutnya tambang yang tadi men-
jerat kakinya, lalu kembali menghampiri Pendekar Ra-
jawali Sakti yang masih tetap berdiri mematung di
tempat Pandan Wangi tergantung tadi.
Rangga mengambil tambang dari tangan Pandan
Wangi, lalu mengamatinya sampai kelopak matanya
sedikit menyipit. Sementara Pandan Wangi hanya diam
saja memperhatikan. Tapi dalam kepala, otaknya juga
tengah berpikir dan berusaha mengingat-ingat asal
buatan tambang yang telah menjeratnya.
"Rasanya tidak ada orang lain yang bisa membuat tambang sebagus dan sekuat ini,
Pandan Wangi," kata Rangga lagi, masih terdengar ragu-ragu. "Kau tahu, siapa
pembuat tambang yang terbaik, Pandan...?"
"Maksudmu...?" Pandan Wangi malah balik bertanya tidak mengerti.
"Di wilayah kulon ini, hanya ada satu orang yang bisa membuat tambang seperti
ini. Dan aku yakin, di-alah yang membuatnya," kata Rangga, agak menggumam
suaranya. "Ki Rambat...," desis Pandan Wangi langsung bisa menebak arah pikiran Pendekar
Rajawali Sakti.
"Benar..! Hanya Ki Rambat yang ahli dalam mem-
buat tambang."
'Tapi, Kakang... Apa mungkin Ki Rambat yang me-
lakukan ini semua?"
Rangga hanya diam saja, tidak langsung men-
jawab pertanyaan si Kipas Maut. Masalahnya, justru
dia sendiri sejak tadi berpikir ke sana. Dan rasanya tidak mungkin kalau Ki
Rambat membantai habis se-
mua murid Padepokan Dara Wulung ini. Bahkan sam-
pai membuat jebakan, sehingga membuat Pandan
Wangi tadi terjerat dengan kepala tergantung ke ba-
wah. Pendekar Rajawali Sakti tahu betul, siapa Ki Ram-
bat itu. Dia adalah seorang pembuat tambang yang
paling ternama di wilayah kulon ini. Tambang-tambang buatannya memang sangat
bagus dan kuat, sehingga
tidak ada yang bisa menandinginya.
Sedangkan tempat tinggal Ki Rambat sendiri cukup
jauh dari Padepokan Dara Wulung ini. Paling tidak,
membutuhkan dua hari perjalanan dengan menung-
gang kuda. Lebih-lebih, Ki Rambat memang tidak bisa
menunggang kuda. Rangga jadi tidak yakin pada diri
sendiri. Tambang buatan Ki Rambat memang sangat
terkenal. Jadi, bisa siapa saja yang menggunakannya.
Pendekar Rajawali Sakti lalu membuang tambang be-
kas pengikat kaki Pandan Wangi tadi, kemudian me-
langkah setelah menarik napas dalam-dalam dan
menghembuskannya kuat-kuat.
"Sudah kau dapatkan pelitanya, Pandan?" tanya Rangga tidak ingin meneruskan
pikirannya mengenai
tambang buatan Ki Rambat.
Pandan Wangi hanya menggeleng saja.
"Ayo, kita cari sama-sama," ajak Rangga.
Mereka kemudian melangkah meninggalkan hala-
man belakang Padepokan Dara Wulung ini. Tidak ada
lagi yang bersuara, hingga mereka menemukan sebuah
pelita yang cukup besar. Dengan batu api, Pandan
Wangi menyalakan pelita itu. Dan kini, kedua pende-
kar muda dari Karang Setra itu kembali ke beranda
depan bangunan padepokan ini. Mereka lalu duduk di
sana sambil membicarakan keadaan di padepokan
yang sudah tidak dihuni lagi ini.
Sampai jauh malam, mereka terus berbicara. Dan
Pandan Wangi baru merebahkan diri, setelah Rangga
menyuruhnya tidur. Besok, pagi-pagi sekali, mereka
harus meneruskan perjalanan kembali. Dan ketika
Pandan Wangi tidur, Rangga memeriksa seluruh ban-
gunan padepokan ini. Namun tidak juga ditemukan
adanya petunjuk sedikit pun. Pendekar Rajawali Sakti kembali duduk mencangkung
di beranda depan, tidak
jauh dari tempat Pandan Wangi tidur.
*** Pagi-pagi sekali, sebelum matahari menampakkan
diri kedua pendekar muda dari Karang Setra itu me-
ninggalkan Padepokan Dara Wulung. Mereka menung-
gang kuda perlahan-lahan, keluar dari halaman pade-
pokan yang sudah sunyi tidak berpenghuni ini. Kuda
mereka baru dipacu cepat, setelah melewati tikungan
jalan yang hampir tertutup rerumputan.
Kedua pendekar itu terus memacu cepat kudanya
menuruni lereng Gunung Brambang ini. Namun begitu
baru saja sampai di pertengahan lereng gunung ini, ti-ba-tiba saja...
"Aaa...!"
"Heh..."!"
"Hooop...!"
Hampir bersamaan mereka menghentikan lari ku-
danya, ketika tiba-tiba saja terdengar teriakan yang begitu keras dan melengking
tinggi. Suara itu jelas sekali terdengar dari arah sebelah kanan. Sesaat kedua
pendekar itu saling berpandangan, kemudian....
"Hup!"
"Hap! Yeaaah...!"
Tanpa bicara sedikit pun, Rangga dan Pandan
Wangi melenting cepat dari punggung kudanya. Dan
mereka langsung berlari secepat kilat, mempergunakan ilmu meringankan tubuh ke
arah datangnya jeritan ta-
di. Kedua pendekar itu terus berlari cepat meninggalkan kudanya, menerobos hutan
lereng Gunung Bram-
bang yang cukup tebal ini.
"Hey...!"
Tiba-tiba saja Rangga berteriak begitu keras, ketika melihat empat orang laki-
laki tengah mengerubuti seorang wanita yang tampak jelas sudah terdesak. Dan
pada saat itu juga, terlihat salah seorang laki-laki yang mengenakan baju hitam
pekat mendaratkan satu pukulan keras ke dadanya.
Diekh! "Akh...!"
Wanita itu terpekik, dan langsung terpental ke be-
lakang sejauh beberapa langkah. Dan pada saat yang
bersamaan, orang yang berbaju biru tua sudah me-
lompat hendak menerkamnya. Tapi pada saat itu juga,
Rangga melesat begitu cepat sambil mengerahkan ilmu
meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat
sempurna. "Hiyaaa...!"
Bet! Secepat kilat pula Pendekar Rajawali Sakti meng-
hentakkan tangan kirinya, tepat mengarah ke dada la-
ki-laki berbaju biru tua yang hendak menerkam wanita ini. Begitu cepat
gerakannya, sehingga orang ini tidak bisa lagi berkelit menghindar.
Des! "Akh...!"
Seketika orang itu terpental jauh ke belakang. Dan
pada saat yang bersamaan, Rangga melesat cepat
sambil menyambar pinggang wanita yang berbaju kun-
ing muda itu, dan langsung menuju tempat Pandan
Wangi yang sudah menunggu agak jauh.
Begitu terlepas dari tangan Rangga, wanita itu
langsung tergeletak jatuh tidak sadarkan diri. Sementara, empat orang laki-laki
berusia setengah baya yang mengeroyok wanita itu jadi terkejut setengah mati
oleh kemunculan Pendekar Rajawali Sakti.
Tapi rasa keterkejutannya mereka cepat sekali hi-
lang, dan berganti kemarahan. Dan secara bersamaan,
goloknya yang sejak tadi terselip di pinggang masing-masing dicabut. Kemudian,
mereka melangkah dengan
hentakan kaki berat, menghampiri Rangga yang sudah
berdiri tegak menghadang. Sementara, Pandan Wangi
membawa wanita itu menjauh. Dibaringkannya wanita
itu di tempat yang cukup teduh.
"Bocah keparat..! Siapa kau"! Berani benar kau mencampuri urusan kami...!"
bentak salah seorang yang berbaju merah menyala.
"Maaf! Tidak sepatutnya Paman berempat me-
ngeroyok seorang wanita," ujar Rangga agak lembut, seraya menjura sedikit
memberi hormat.
"Phuih! Apa pedulimu, Bocah Setan!" bentak orang yang berbaju hitam, agak
mendengus. "Hm...," Rangga jadi sedikit jengkel juga melihat kecongkakan empat laki-laki
bertampang kasar ini.
"Menyingkir kau, Bocah!" bentak orang berbaju hijau. "Maaf. Aku tidak bisa
melihat cara keroyokan kalian pada orang yang lemah," tolak Rangga halus.
"Setan keparat..! Kau ingin mampus, heh...!"
Empat orang laki-laki setengah baya yang berwajah
kasar penuh brewok itu langsung saja menyebar, men-
gurung Pendekar Rajawali Sakti. Golok-golok mereka
yang bergerak-gerak perlahan di depan dada, berkila-
tan tertimpa cahaya matahari pagi yang baru saja
muncul dari batik gunung.
"Phuih!"
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
"Hap!"
Rangga cepat-cepat menarik tubuh ke kanan, begi-
tu dua orang berlompatan menyerangnya sambil mem-
babatkan golok ke arah dada dan kepala.
Maka, dua tebasan yang secara bersamaan itu
hanya lewat sedikit saja didepan dada dan atas kepala Pendekar Rajawali Sakti.
Namun belum juga Rangga bisa menegakkan tu-
buhnya kembali, orang yang berbaju biru tua sudah
cepat menyerang dari arah depan. Terpaksa Rangga
menarik kaki ke belakang dua tindak. Dan pada saat
golok orang itu lewat di depan dadanya, cepat sekali kaki kanannya dihentakkan
sambil memiring ke kiri
dan agak berputar sedikit.
"Yeaaah...!"
Begitu cepat hentakan kaki Pendekar Rajawali Sak-
ti, sehingga orang yang menyerangnya ini tidak sempat lagi berkelit menghindar.
Dan seketika itu juga, terdengar jeritan saat dadanya terkena tendangan yang
cukup keras ini. Walaupun tidak disertai pengerahan
tenaga dalam, namun orang itu sampai terpental se-
jauh dua batang tombak.
"Hiyaaa...!"
Tepat pada saat yang bersamaan, yang berbaju me-


Pendekar Rajawali Sakti 99 Pelangi Lembah Kambang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rah menyala sudah melompat bagai kilat sambil mem-
babatkan golok ke arah kepala. Cepat-cepat Rangga
merunduk, hingga golok itu hanya lewat sedikit saja di atas ujung kepalanya. Dan
pada saat itu juga....
"Hih! Yeaaah...!"
Cepat sekali tangan kiri Pendekar Rajawali Sakti
bergerak menghentak ke arah perut. Begitu cepatnya, sehingga orang itu tidak
dapat lagi menghindar. Dan....
Diegkh! "Ugkh...!"
Dia hanya bisa mengeluh pendek, begitu perutnya
mendapat pukulan keras dari Pendekar Rajawali Sakti.
Tubuhnya langsung terbungkuk, dan terhuyung-
huyung ke belakang beberapa langkah.
"Hup! Hiyaaa...!"
Saat itu juga, Rangga cepat melenting. Lalu, tu-
buhnya berkelebatan cepat, hingga bentuknya lenyap
tak terlihat sama sekali. Dan tiba-tiba disambarnya
empat orang laki-laki bertampang kasar penuh brewok
ini. "Hap!"
Rangga baru berhenti setelah empat orang yang
mengeroyoknya berpelantingan sambil memekik keras
agak tertahan. Kini Pendekar Rajawali Sakti berdiri tegak, memperhatikan empat
orang lawannya yang ma-
sih menggelepar di tanah berumput sambil merintih
kesakitan. Tampak di tangan Pendekar Rajawali Sakti
sudah tergenggam empat bilah golok lawannya.
*** 3 Empat orang laki-laki bertampang kasar itu bang-
kit berdiri sambil meringis menahan sakit, akibat
mendapat pukulan-pukulan keras Pendekar Rajawali
Sakti tadi. Sementara, Rangga sendiri tetap berdiri tegak memandangi dengan
bibir terus menyunggingkan
senyum tipis. Mata mereka jadi terbeliak lebar, begitu melihat golok-goloknya
berada di tangan pemuda berbaju rompi putih itu. Sungguh tidak disadari, kapan
dan bagaimana pemuda itu bisa merampas golok.
Bahkan sambil menghantamkan pukulan yang begitu
keras. Untung saja pukulan itu dilepaskan tidak disertai pengerahan tenaga
dalam. Dan mereka hanya me-
rasakan sakit saja, namun tidak mendapatkan luka
parah. "Pergilah! Jangan sampai pikiranku berubah, lalu menghirup darah kalian semua!"
desis Rangga dibuat dingin sekali nada suaranya.
Seketika wajah keempat laki-laki itu jadi berubah
pucat-pasi seperti mayat. Mereka langsung menyadari
kalau pemuda yang dihadapi ini berkepandaian sangat
tinggi. Maka tanpa bicara apa-apa, mereka langsung
berbalik dan hendak berlari. Tapi sebelum mereka
sempat berlari, Rangga sudah membentaknya.
Tunggu...!"
Mereka tidak jadi berlari, dan kembali memutar tu-
buhnya. "Nih, senjata kalian...!" Rangga melemparkan golok-golok rampasannya, sehingga
langsung menancap te-
pat di ujung jari kaki mereka berempat. Serentak
keempat orang itu saling berpandangan beberapa saat, kemudian mengambil golok
masing-masing. Kini mereka cepat-cepat meninggalkan tempat itu, sebelum
Rangga bisa membuka suara lagi. Dan Pendekar Raja-
wali Sakti hanya tersenyum saja sambil menggeleng-
gelengkan kepala.
Pendekar Rajawali Sakti berbalik, setelah empat
orang laki-laki bertampang kasar itu tidak terlihat lagi dari pandangan. Kakinya
melangkah menghampiri
Pandan Wangi yang duduk di depan seorang gadis
yang masih tergeletak belum sadar-kan diri. Dan begi-tu Rangga berada di
belakang Pandan Wangi, gadis
berwajah cukup cantik, dan bertubuh ramping meng-
giurkan indah itu mulai membuka matanya.
"Oh..."!"
Gadis itu tampak terkejut begitu melihat Rangga
dan Pandan Wangi. Cepat-cepat dia bangkit, lalu du-
duk di depan kedua pendekar muda itu. Matanya lang-
sung beredar ke sekeliling, seakan-akan ada yang tengah dicarinya. Tapi sebentar
kemudian pandangannya
kembali tertuju pada kedua pendekar muda yang su-
dah duduk berdampingan di depannya.
"Di mana mereka...?" tanyanya seperti pada diri sendiri.
"Mereka sudah pergi," sahut Rangga.
"Siapa kalian?" tanya gadis itu sambil menatap dua orang yang duduk didepannya.
"Aku Rangga. Dan ini adikku. Namanya, Pandan
Wangi," sahut Rangga memperkenalkan diri.
Rangga memang selalu mengenalkan Pandan Wan-
gi pada siapa pun sebagai adiknya. Dan gadis itu sendiri memang tidak keberatan
dianggap adik, walaupun
dalam hati mereka sebenarnya terpaut suatu perasaan
cinta yang dilandasi benih-benih asmara.
"Namamu siapa...?" Pandan Wangi balik bertanya, setelah Rangga memperkenalkan
diri. "Aku Rahmita," sahut gadis itu.
"Nama yang bagus," puji Rangga.
Tapi, pujian Pendekar Rajawali Sakti tampaknya ti-
dak mendapat sambutan sama sekali. Malah, sikap
gadis itu tetap biasa saja. Raut wajahnya datar, tanpa perubahan sedikit pun.
Rahmita tidak seperti gadis-gadis lain, yang kalau mendapatkan pujian dari seo-
rang pemuda tampan, wajahnya langsung berubah
merah dadu. Tapi, raut wajah Rahmita tetap saja da-
tar. Bahkan malah menatap Pandan Wangi.
"Kalian yang mengusir mereka?" tanya Rahmita,
terdengar begitu datar nada suaranya.
"Kakang Rangga yang mengusir mereka," sahut Pandan Wangi sambil melirik Rangga
yang duduk di sebelahnya. "Mengapa mereka tidak kau bunuh?" tanya Rahmita lagi, kini beralih menatap
Rangga. "Untuk apa..." Tidak ada alasan bagiku untuk
membunuh mereka," sahut Rangga kalem.
"Huh! Seharusnya binatang-binatang itu kau bu-
nuh!" dengus Rahmita terdengar geram nada sua-
ranya. Dengusan gadis itu membuat kening Rangga jadi
berkerut, dan kelopak matanya jadi menyipit. Dia tampak terkejut sekali. Seakan,
gadis ini tidak puas oleh apa yang dilakukan Pendekar Rajawali Sakti tadi.
"Kenapa kau bertarung dengan mereka?" tanya Pandan Wangi, mencoba menghilangkan
kekakuan yang terjadi. "Aku memang ingin membunuh mereka semua.
Aku ingin membunuh binatang-binatang itu. Mereka
tidak pantas hidup!" sahut Rahmita masih bernada berang.
"Kau punya dendam pada mereka?" tanya Rangga jadi ingin tahu, setelah melihat
sikap gadis ini.
"Huh!"
Tapi Rahmita hanya mendengus saja. Wajahnya
kelihatan memerah, dan bola matanya berputar liar.
Rangga jadi heran juga melihat sikap dan raut wajah
gadis itu. Tanpa sadar, matanya melirik Pandan Wangi.
Dan saat itu juga, Pandan Wangi melirik Pendekar Ra-
jawali Sakti. Lalu secara bersamaan, mereka men-
gangkat pundak. Sementara Rahmita sudah bangkit
berdiri. Sebentar tubuhnya menggebat beberapa kali,
seperti hendak menghilangkan rasa pegal yang meng-
hantam sekujur tubuhnya yang ramping dan padat be-
risi. Seperti tidak sadar, Rangga terus memandangi gadis ini. Sedangkan Pandan
Wangi seperti pura-pura tidak tahu, karena memang sudah tahu betul watak
Pendekar Rajawali Sakti. Malah pandangannya dialih-
kan ke arah lain, seperti tidak ingin ikut campur.
Di dalam hatinya, Rangga mengakui kalau bentuk
tubuh gadis yang mengenalkan diri sebagai Rahmita
itu memang sangat indah. Dan taksirannya usia gadis
itu paling belum genap sembilan belas tahun. Buk-
tinya, bagian dadanya masih terlihat baru mengem-
bang. Namun, memang sudah kelihatan begitu indah.
Rangga mendengus kecil, berusaha menghilangkan
bayangan tubuh indah yang menggeliat geliat di be-
naknya. Matanya melirik Pandan Wangi yang sudah
memutar tubuhnya, memandang ke arah lain.
"Kau sudah terbebas dari mereka. Sebaiknya, kami melanjutkan perjalanan," kata
Rangga sambil bangkit berdiri.
"Eh...! Mau ke mana kalian...?" sentak Rahmita kelihatan terkejut.
"Kami ada urusan yang harus diselesaikan. Maaf, kami harus pergi," cepat-cepat
Pandan Wangi membuka suara, sebelum Rangga bisa membuka mulut.
Tanpa menunggu lagi, Pandan Wangi cepat-cepat
menarik tangan Rangga dan mengajaknya pergi. Dan
ini membuat Rangga jadi agak tersentak, tapi bergegas melangkah mengikuti ayunan
langkah kaki Pandan
Wangi yang begitu cepat. Rangga secara halus mele-
paskan cekalan tangan. Sementara, Rahmita jadi ter-
longong memandangi.
Rangga yang berjalan mengikuti Pandan Wangi, ta-
hu kalau gadis yang dikenal sebagai si Kipas Maut itu
berjalan disertai pengerahan ilmu meringankan tubuh.
Terpaksa Pendekar Rajawali Sakti harus mengimbangi.
Hingga dalam waktu sebentar saja, mereka sudah me-
ninggalkan Rahmita jauh di belakang. Sedikit Rangga
berpaling ke belakang, melihat Rahmita masih berdiri tegak memandangi. Dan
sebentar kemudian, gadis itu
sudah tak terlihat lagi, saat mereka berbelok dan masuk ke dalam hutan yang
cukup lebat ini. Dan kini
mereka kembali menuju tempat kuda-kuda ditinggal-
kan tadi. "Pelan sedikit jalannya, Pandan," pinta Rangga.
"Ini juga sudah pelan," sahut Pandan Wangi agak mendengus nada suaranya.
Rangga langsung diam. Diperhatikannya wajah
Pandan Wangi yang kelihatan memberengut. Dia lang-
sung tahu, gadis ini pasti sedang dibakar cemburu, karena tadi memandangi
Rahmita begitu rupa. Dan me-
mang diakui, Rahmita memiliki daya pesona yang sulit dihilangkan begitu saja.
Entah kenapa, tadi lekuk-lekuk tubuh gadis itu sempat di-bayangkan.
Dan Rangga tidak mau mempersoalkan itu lagi.
Dan pemuda itu tidak ingin api cemburu dalam dada
Pandan Wangi semakin besar membara. Bisa celaka
jadinya, kalau Pandan Wangi sampai marah dan me-
ninggalkannya begitu saja. Rangga kini lebih memilih diam, daripada harus
membuat persoalan baru yang
tidak diinginkannya sama sekali.
Sebentar saja mereka sudah tiba di tempat kuda-
kuda yang diringgalkan tadi. Dua ekor kuda masih te-
tap menunggu sambil merumput tenang. Pandan Wan-
gi langsung melompat naik ke atas punggung kudanya,
tanpa bicara sedikit pun. Sementara Rangga mengiku-
ti, melompat naik ke punggung kudanya sendiri. Tidak berapa lama kemudian,
mereka sudah menjalankan
kuda perlahan-lahan menuruni lereng Gunung Bram-
bang ini. *** Saat matahari baru saja tenggelam di balik puncak
gunung sebelah barat, Rangga dan Pandan Wangi tiba
di kaki Gunung Brambang. Lalu mereka sampai di tepi
sebuah desa yang dibatasi sebuah sungai kecil dengan hutan di gunung ini. Sebuah
desa yang tidak begitu
besar, tapi kelihatan cukup ramai.
Cukup banyak juga orang yang tengah membersih-
kan diri di sungai kecil ini. Airnya jernih, sungguh mengundang siapa saja yang
melihatnya untuk beren-dam. Pandan Wangi menghentikan langkah kaki ku-
danya, setelah sampai di tepi sungai seberang desa di sana. Rangga juga
menghentikan langkah kaki Dewa
Bayu di samping kuda putih gadis itu. Dan mereka
sama-sama berlompatan turun dengan gerakan indah
dan ringan sekali.
Seorang anak laki-laki berusia sekitar tiga belas
tahun, menghampiri sambil mengayuh sebuah rakit
dari bambu. Rakitnya ditepikan tepat di depan kedua
pendekar muda dari Karang Setra ini.
"Mau menyeberang, Den...?" sapa bocah itu dengan sikap ramah, dan senyuman lebar
terkembang di bibir.
"Desa apa itu namanya?" Pandan Wangi malah balik bertanya.
"Desa Caringin," sahut bocah itu.
"Kelihatannya rampai sekali. Apa akan ada pe-
rayaan di sana?" tanya Pandan Wangi lagi.
"Nanti malam, Ki Jungut memanggil rombongan
penari yang terkenal di seluruh Kadipaten Kalimus,"
sahut bocah itu lagi.
"O.... Siapa itu Ki Jungut?" tanya Pandan Wangi la-gi. "Kepala Desa Caringin."
Pandan Wangi mengangguk-angguk.
"Mau menyeberang, Ni?" bocah itu menawarkan la-gi. "Oh, iya..., Antarkan kami ke
sana," sahut Pandan Wangi. "Rakitmu kuat membawa dua kuda?"
Pandan Wangi jadi sangsi kalau rakit bambu itu ti-
dak kuat membawa mereka berdua, ditambah dua
ekor kuda. Tapi bocah yang tidak berbaju dan berkulit agak hitam itu hanya
tersenyum saja. Begitu manis
senyumnya. "Aku sering menyeberangkan sepuluh ekor kuda
sekaligus. Bahkan setiap hari," kata bocah itu me-nyombongkan kekuatan rakitnya.
Pandan Wangi jadi tersenyum, kemudian menarik
kuda putihnya dan menaikkannya ke atas rakit bambu
ini. Bocah kecil itu menahan rakitnya agar tidak ha-
nyut terbawa arus sungai. Sementara, Rangga hanya
memandangi saja sambil tersenyum-senyum. Rakitnya
baru ditarik setelah Pandan Wangi dan kudanya bera-
da di atas rakit.
Bocah berkulit hitam dan tidak berbaju itu mulai
mengayuhkan rakitnya, setelah Pendekar Rajawali
Sakti dan Pandan Wangi berada di atas rakit. Lengan-
nya yang kecil, menyembulkan urat-urat yang menon-
jol dan tampak begitu kuat.
Tanpa disadari, Rangga terus memperhatikan bo-
cah ini saat mengayuh rakitnya, setelah kedua pe-
numpangnya naik. Lengannya yang kecil, kelihatan
menyembulkan urat-urat saat mengayuh rakitnya. Ke-
lihatan begitu kuat, walaupun tubuhnya kelihatan ke-


Pendekar Rajawali Sakti 99 Pelangi Lembah Kambang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cil dan kurus. Dan tanpa disadari, Rangga terus memperhatikan
bocah ini saat mengayuh rakitnya, hingga sampai me-
nepi di seberang.
Pandan Wangi langsung menarik kudanya turun
dari rakit bambu ini. Dan Rangga juga mengikuti. Me-
reka memang tak ingin terlalu lama berada di atas rakit, karena merasa kasihan
melihat bocah itu terus
menahan rakitnya agar tidak hanyut terbawa arus
sungai. Setelah memberi beberapa keping uang perak,
kedua pendekar muda itu melanjutkan perjalanan me-
nuju Desa Caringin. Sementara, bocah pengayuh rakit
itu jadi terlongong-longong melihat pembayaran yang
begitu banyak. "Oh...! Bisa dua puluh hari aku tidak perlu mengayuh rakit lagi dengan bayaran
begini banyak..," desah bocah itu dengan bola mata berbinar.
Bocah itu mengangkat kepalanya, menatap Rangga
dan Pandan Wangi yang sudah cukup jauh menung-
gang kuda meninggalkannya.
"Terima kasih, Den. Nini...!" seru bocah itu keras-keras.
Rupanya seruan bocah itu terdengar Rangga. Maka
Pendekar Rajawali Sakti segera berpaling ke belakang, lalu melambaikan tangannya
sedikit ke atas. Bocah
kecil itu membalasnya, kemudian menambatkan rakit-
nya ke tepi sungai. Lalu dia berlari-lari meninggalkan sungai itu dengan wajah
gembira dan bola mata berbinar. Sesekali terdengar suara tawanya yang lepas ber-
derai gembira. *** Malam sudah jatuh menyelimuti sebagian permu-
kaan bumi ini. Sementara, Rangga dan Pandan Wangi
juga sudah mendapatkan penginapan yang cukup
layak di Desa Caringin. Malam ini memang kelihatan
begitu ramai. Namun banyak orang berada di luar ru-
mahnya, karena mereka berbondong-bondong menuju
rumah Ki Jungut yang malam ini mengadakan pe-
rayaan. Kepala desa itu memanggil rombongan penari
yang terkenal di seluruh wilayah Kadipaten Kalimus.
"Aku sudah pernah mendengar kehebatan dan ke-
cantikan para penari dari Kadipaten Kalimus. Kau ti-
dak tertarik untuk melihatnya, Kakang...?" ujar Pandan Wangi, saat melihat ke
dalam kamar yang ditem-
pati Rangga. Dan Pendekar Rajawali Sakti hanya berdiri saja di
depan jendela kamar penginapannya yang dibiarkan
terbuka lebar. Rangga hanya melirik sedikit saja pada Pandan Wangi yang masih
berdiri di ambang pintu. Di
mana pun berada, mereka memang selalu menyewa
dua kamar dalam satu penginapan. Sehingga mereka
tidak pernah berada dalam satu kamar. Bahkan kalau
berada di alam terbuka, mereka selalu tidur terpisah.
Walaupun mereka pasangan kekasih, tapi selalu saling menjaga. Mereka tidak ingin
larut dalam lautan gelom-bang asmara yang bisa memabukkan, sehingga mem-
buat lupa diri.
"Kalau mau lihat, pergi saja, Kakang. Aku ingin istirahat saja di sini," kata
Pandan Wangi lagi.
"Kau sendiri...?" Rangga malah balik bertanya.
"Aku lelah. Seharian di punggung kuda terus
membuat ototku tegang," sahut Pandan Wangi, seraya melangkah masuk. Lalu
tubuhnya dihempaskan di
kursi dekat pembaringan.
Rangga hanya diam saja, dan tetap memandang ke-
luar. Matanya memperhatikan orang-orang yang ber-
bondong-bondong seperti tidak ada habisnya menuju
rumah Kepala Desa Caringin ini. Entah dari mana saja mereka datang. Dan
sepertinya, mereka bukan hanya
penduduk desa ini. Rangga juga melihat, di antara mereka terdapat orang-orang
dari kalangan persilatan. Ini bisa dibedakan dari cara berpakaian, dan senjata
yang tersandang.
Rangga jadi penasaran. Ingin diketahuinya pe-
rayaan apa yang sedang diadakan Ki Jungut, hingga
begitu banyak mengundang orang ingin menghadiri.
Tapi begitu matanya melirik Pandan Wangi, keinginan-
nya jadi terkikis. Entah kenapa, gadis itu seperti tidak memiliki gairah sama
sekali. Dia duduk dengan kaki
menjulur ke depan, dan jari-jari tangannya memper-
mainkan kipas baja putih yang menjadi kebanggaan-
nya. "Kau seperti sedang memikirkan sesuatu, Pandan,"
tegur Rangga seraya berbalik membelakangi jendela.
"Hhh...!" Pandan Wangi hanya menghembuskan napas saja.
Terasa begitu berat hembusan napas Pandan Wan-
gi. Gadis itu bangkit dari kursi rotan yang di-
dudukinya, dan melangkah menghampiri Pendekar Ra-
jawali Sakti. Lalu, dia berdiri di samping Rangga yang masih memandang keluar.
Sementara Rangga hanya
melirik saja. Dia mendengar kalau hembusan napas
gadis itu terasa sangat berat sekali.
"Ada yang kau risaukan, Pandan?" tanya Rangga lagi. "Entahlah.... Aku sendiri
tidak tahu, Kakang. Pera-saanku tidak enak saja sejak siang tadi," sahut Pandan
Wangi agak mendesah.
Rangga jadi terdiam. Entah, apa yang akan di-
ucapkannya lagi. Sedangkan Pandan Wangi juga hanya
membisu saja. Dan pandangan matanya terus tertuju
ke depan, ke arah orang-orang yang masih bergerom-
bol memadati jalan, menuju rumah Kepala Desa Ca-
ringin. Sementara, Rangga sudah kembali memutar
tubuhnya. Matanya juga memandang ke depan dari
jendela kamar penginapan yang cukup besar ini. Dan
di saat mereka terdiam, tiba-tiba saja....
"Ssst..!"
Rangga menempelkan jari telunjuk ke bibir, begitu
telinganya yang sangat peka mendengar suara yang
sangat halus, tepat di atas atap kamar penginapannya.
Tak lama, suara itu langsung menghilang. Namun be-
lum juga kedua pendekar muda itu bisa memastikan,
mendadak terlihat sebuah bayangan berkelebat begitu
cepat, turun dari atas atap. Dan dia mendarat tepat
melewati jendela ini. Lalu pada saat itu juga....
Wusss! "Awas, Pandan...!"
Sambil berseru memperingati. Rangga cepat men-
dorong tubuh Pandan Wangi ke samping. Sementara,
dia sendiri cepat melesat ke arah yang berlawanan, tepat di saat terlihat
secercah cahaya keperakan meluncur deras ke arah mereka, dan langsung menerobos
masuk melalui jendela kamar ini.
Jleb! "Hap!"
Rangga cepat-cepat melompat, begitu melihat ben-
da berwarna keperakan itu menancap di dinding ka-
mar ini. Keningnya jadi berkerut begitu melihat sebuah benda berbentuk sekuntum
bunga mawar berwarna
putih keperakan, tertancap tidak begitu dalam di dinding belahan papan kayu ini,
Cepat-cepat dia melompat ke jendela sambil mencabut bunga mawar putih keperakan
dari baja itu. Tidak ada yang bisa didapatkan, kecuali orang-
orang yang masih terlihat banyak memadati jalan di
depan rumah penginapan ini. Sementara, Pandan
Wangi juga sudah berada di samping Pendekar Raja-
wali Sakti. Matanya tampak melirik sedikit pada bunga mawar putih keperakan dari
baja yang berada di tangan kanan Pendekar Rajawali Sakti.
"Apa itu, Kakang?" tanya Pandan Wangi.
Rangga langsung menyerahkan benda itu. Lalu
Pandan Wangi mengambilnya, diamatinya beberapa
saat benda itu, kemudian ditatapnya wajah Rangga
yang terus memandang keluar dengan sorot mata ta-
jam, seakan ingin menembus gelapnya malam yang
bermandikan cahaya api obor di sepanjang jalan desa.
Pendekar Rajawali Sakti kemudian melirik gadis di sebelahnya.
"Apakah ini dari perasaan hatimu yang tidak enak, Pandan...?" terdengar agak
menggumam suara Rangga.
Pandan Wangi hanya diam saja, terus mengamati
bunga mawar putih keperakan di tangannya.
"Kau mengenalinya, Pandan?" tanya Rangga lagi.
"Hanya ada satu orang yang menggunakan benda
ini sebagai senjata, Kakang," sahut Pandan Wangi pelan "Siapa?"
"Ratu Lembah Kambang. Tapi, biasanya juga dis-
ebut Ratu Dewi Pelangi," sahut Pandan Wangi.
"Lembah Kambang...," gumam Rangga pelan, seperti bicara pada diri sendiri.
"Bukankah Lembah Kambang ada di sebelah barat Gunung Brambang, Pan-
dan...?" "Ya! Tidak jauh dari Padepokan Dara Wulung," sahut Pandan Wangi.
Rangga jadi terdiam. Sedangkan Pandan Wangi ju-
ga tidak bicara lagi. Entah, apa yang ada di dalam ke-
pala masing-masing. Mereka tidak dapat menduga, apa
yang akan terjadi nanti. Dan kesunyian semakin me-
nyelimuti mereka berdua. Sampai saat ini tidak ada
yang bisa memastikan, apa maksud orang itu melem-
parkan mawar putih keperakan ini. Dan itu menjadi
pertanyaan yang sulit dijawab. Sementara dari kejau-
han, sayup-sayup sudah terdengar alunan gamelan di-
tabuh. Sedangkan orang-orang yang masih memadati
jalan di depan rumah penginapan ini terlihat bergerak lebih cepat lagi, menuju
rumah Ki Jungut
*** 4 Semalam penuh Rangga dan Pandan Wangi tidak
bisa memejamkan matanya sedikit pun. Benak mereka
terus dipenuhi berbagai macam pikiran, tentang bebe-
rapa kejadian yang dialami dalam dua hari ini. Dan
semalam, mereka sampai tidak mengerti oleh adanya
sebuah serangan gelap dari seseorang yang menggu-
nakan senjata rahasia dari bunga berbentuk bunga
mawar putih keperakan.
Dan begitu matahari terbit di ufuk timur, se-
pasang pendekar muda itu meninggalkan Desa Carin-
gin. Jelas sekali, langkah kaki kuda mereka diarahkan ke Gunung Brambang. Namun,
jalan yang diambil, melalui bagian barat kaki gunung ini. Jadi, mereka tidak
harus melewati sungai untuk mencapai Gunung
Brambang dari Desa Caringin.
Sepanjang perjalanan, tidak ada seorang pun yang
bicara. Mereka semua membisu. Entah, apa yang ada
dalam kepala masing-masing saat ini. Beberapa kali
kedua pendekar muda itu menghela napas dalam-
dalam, dan beberapa kali pula saling melemparkan
pandang lewat sudut ekor mata.
"Masih jauh tempatnya, Pandan?" tanya Rangga membuka suara, memecah kebisuan.
"Tidak seberapa jauh lagi," sahut Pandan Wangi.
"Kau seperti memikirkan sesuatu, Pandan. Boleh
aku tahu...?" tebak Rangga memperhatikan si Kipas Maut itu.
"Hhh...!" Pandan Wangi hanya menghembuskan napas panjang saja.
Rangga melihat, tangan kanan Pandan Wangi ma-
sih menggenggam erat-erat bunga mawar putih kepe-
rakan dari baja yang semalam dilemparkan seseorang
ke arah mereka sewaktu di dalam kamar penginapan.
Dan lagi, wajah Pandan Wangi juga kelihatan mene-
gang. Entah, sudah berapa kali gadis itu menarik na-
pas dalam-dalam, lalu menghembuskannya kuat-kuat.
Baru saja Rangga membuka mulutnya hendak bi-
cara lagi, tiba-tiba saja mereka berdua dikejutkan oleh teriakan keras yang
kemudian disusul terdengarnya
denting senjata beradu.
"Apa itu...?" seru Rangga seperti bertanya pada diri sendiri.
"Seperti suara pertarungan," sahut Pandan Wangi.
Sekilas mereka saling berpandangan, kemudian
langsung menggebah cepat kudanya, ke arah sumber
suara yang mengejutkan itu. Debu seketika membu-
bung tinggi ke angkasa bercampur daun-da-un kering,
begitu kuda-kuda kedua pendekar muda itu dipacu
cepat. "Hiya!"
"Yeaaah...!"
Dalam berpacu seperti ini, sudah barang tentu ke-
cepatan lari kuda Pandan Wangi tidak bisa menyamai
Dewa Bayu yang ditunggangi Rangga. Ma-ka sebentar
saja gadis itu sudah tertinggal jauh di belakang. Dan sepertinya Rangga tidak
menyadari kecepatan lari kudanya yang seperti angin itu.
Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"
Rangga malah semakin keras menggebah kudanya,
hingga Dewa Bayu berlari bagaikan kesetanan saja.
Bahkan semakin jauh meninggalkan Pandan Wangi.
Dan begitu Pendekar Rajawali Sakti itu sampai di se-
buah padang rumput yang tidak begitu luas....
"Hooop!"
Pemuda berbaju rompi putih itu langsung meng-
hentikan lari kudanya, lalu melompat turun. Begitu
indah dan ringan gerakannya, sehingga sedikit pun tidak menimbulkan suara saat
kedua kakinya menjejak
tanah berumput ini. Dan sekitar tiga batang tombak di depannya, terlihat seorang
gadis muda tengah dike-royok dua orang laki-laki tua berbaju jubah panjang
warna merah menyala.
Rangga langsung mengenali. Memang, gadis berba-
ju kuning muda itu adalah Rahmita, wanita yang per-
nah ditolongnya dari keroyokan empat orang laki-laki bertampang kasar. Melihat
Rahmita kini bertarung la-gi, Rangga jadi termangu sendiri. Sulit dimengerti,
mengapa gadis semuda itu banyak sekali musuhnya.
"Hm.... Kelihatannya dia mulai terdesak," gumam Rangga dalam hati.
Dan memang, Rahmita sudah mulai kelihatan ke-
walahan. Bahkan tidak lagi mempunyai kesempatan
menyerang. Tubuhnya hanya bisa berjumpalitan,
menghindari serangan-serangan dua orang laki-laki
tua berjubah merah yang mengeroyoknya.
Dan pada satu kesempatan, tiba-tiba saja salah
seorang laki-laki tua berjubah merah yang rambut-nya sudah putih semua,
melenting ke udara. Lalu tubuhnya menukik deras sekali sambil melepaskan satu
pu- kulan keras yang begitu cepat ke arah kepala gadis ini.
Namun dengan satu gerakan manis, Rahmita ma-
sih bisa berkelit. Tapi ketika laki-laki tua berjubah merah yang satunya lagi
melepaskan satu tendang-an
menggeledek ke arah dada, gadis itu sudah tidak bisa lagi berbuat apa-apa.
Dan....

Pendekar Rajawali Sakti 99 Pelangi Lembah Kambang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Des! "Akh...!"
Sambil memekik keras, tubuh gadis berbaju kun-
ing muda itu terpental cukup jauh ke belakang. Lalu, keras sekali tubuh yang
ramping Itu terjajar ke tanah.
Pada saat itu juga, laki-laki berjubah merah berambut putih sudah melesat cepat
bagai kilat ke arah gadis ini.
Kemudian kembali dilepaskannya satu pukulan tangan
kanan yang pasti disertai pengerahan tenaga dalam.
"Hiyaaat...!"
"Celaka...! Dia bisa mati kalau kena." desis Rangga agak terperanjat. Dan....
"Hih...!"
Rangga cepat memungut selembar daun kering.
Dan dengan kecepatan dahsyat dilemparkannya ke
arah orang tua berjubah merah itu. Daun kering itu
melesat begitu cepat bagai anak panah lepas dari bu-
sur. Dan begitu pukulan tangan kanan orang tua ber-
jubah merah itu hampir mendarat di dada Rahmita,
daun kering yang dilemparkan Rangga melesat ke arah
tangannya. "Ikh...!"
Orang tua berjubah merah itu jadi tersentak kaget
setengah mati. Buru-buru tubuhnya melenting ke be-
lakang, sambil menarik kembali pukulannya. Dua kali
tubuhnya berputaran di udara, sebelum kedua ka-
kinya menjejak tanah berumput ini.
"Setan...! Siapa berani kurang ajar, heh..."!" geram orang tua itu marah.
Pada saat itu juga, Rangga sudah melesat cepat,
dan tahu-tahu sudah berdiri tegak sekitar tiga langkah lagi di depan Rahmita.
Gadis itu juga kelihatan terkejut oleh munculnya pemuda tampan berbaju rompi pu-
tih yang pernah menolongnya dari keroyokan empat
orang laki-laki kemarin. Kini, dia muncul lagi dan me-nyelamatkan nyawanya
kembali. "Rangga...," desis Rahmita tanpa sadar.
Bergegas gadis itu bangkit berdiri, walaupun da-
danya terasa begitu sesak, membuat nafasnya jadi ter-sengal tidak beraturan.
Sementara itu, dua orang laki-laki tua berjubah merah menyala kelihatan berang
oleh munculnya Pendekar Rajawali Sakti. Mereka berdiri
berdampingan. Sorot mata mereka begitu tajam meme-
rah, menerobos langsung ke bola mata pemuda di de-
pannya. Rangga sendiri agak terkesiap juga, begitu melihat
dua orang laki-laki tua ini ternyata berwajah kembar.
Dan yang membedakan antara mereka berdua hanya
rambutnya saja. Yang seorang berambut putih. Se-
dangkan yang seorang lagi berambut hitam. Tapi, ben-
tuk tubuh maupun pakaian tidak ada bedanya sama
sekali. Demikian pula pedang yang tergantung di pinggang yang bentuk dan
ukurannya sama pula.
*** "Anak muda, siapa kau"! Berani benar men-
campuri urusan Setan Kembar Jubah Merah!" bentak salah seorang yang berambut
putih. Suaranya terdengar kecil, tapi sangat nyaring. So-
rot matanya juga begitu tajam, menatap langsung ke
bola mata Rangga yang berada sekitar dua batang
tombak di depannya.
"Maaf, Kisanak. Aku hanya tidak ingin kalian berdua mencelakai temanku ini,"
sahut Rangga kalem, seraya membungkuk untuk memberi hormat.
"Phuih! Kalau kau temannya, berarti juga harus
mampus, Bocah!" dengus orang tua yang berambut hitam.
'Tunggu dulu...!" sentak Rangga hendak men-
cegah. Tapi.... "Tidak ada waktu untuk berdebat, Bocah. Tahan
seranganku. Hiyaaat...!"
Tanpa menghiraukan cegahan Pendekar Rajawali
Sakti, dua orang laki-laki tua yang menjuluki diri Setan Kembar Jubah Merah
langsung saja melompat ce-
pat, sambil melepaskan pukulan-pukulan keras berun-
tun. "Hup! Yeaaah...!"
Rangga terpaksa harus melompat mundur. Dan
tubuhnya langsung meliuk menghindari serangan-
serangan cepat dari dua orang tua berjubah merah
menyala ini. Dengan menggunakan jurus 'Sembilan
Langkah Ajaib', serangan-serangan kedua orang tua
itu mudah sekali dapat dimentahkan.
Tapi, pertahanan Pendekar Rajawali Sakti ke-
lihatannya tidak berlangsung lama, begitu kelemahan
jurus 'Sembilan Langkah Ajaib', cepat diketahui Setan Kembar Jubah Merah. Maka
salah seorang dari mereka langsung saja menyerang bagian kaki Pendekar Ra-
jawali Sakti, sedangkan yang seorang lagi menyerang
bagian atas. Serangan-serangan cepat yang mengarah pada dua
bagian tubuh ini, tentu saja membuat Rangga jadi ke-
labakan juga. Cepat-cepat tubuhnya melenting ke uda-
ra, dan berputaran beberapa kali. Lalu tubuhnya cepat melesat turun, dan manis
sekali kakinya menjejak sekitar dua batang tombak di depan kedua orang tua
berjubah merah ini.
"Hap!"
Namun baru saja Pendekar Rajawali Sakti bisa me-
narik napas lega, dua orang tua itu sudah menyerang
lagi "Hup! Hiyaaa...!"
Tepat di saat laki-laki tua berjubah merah yang be-
rambut putih menghantamkan pukulannya ke arah
perut, Rangga cepat mengegoskan tubuhnya ke kanan.
Dan saat itu juga, kaki kirinya dihentakkan ke depan, sambil memiringkan
tubuhnya ke kanan.
"Hiyaaa...!"
"Ikh...!"
Orang tua berjubah merah yang berambut putih
itu jadi terkejut setengah mati. Sungguh tidak disang-ka kalau Rangga akan
melakukan serangan, justru di
saat tengah menghindari serangannya. Tak ada waktu
lagi untuk berkelit. Maka cepat-cepat tangan kirinya dikebutkan untuk menangkis
hentakan kaki kiri Pendekar Rajawali Sakti.
Plak! "Akh...!"
Orang tua berjubah merah yang berambut putih
itu jadi terpekik, begitu tangannya beradu keras dengan kaki kiri Pendekar
Rajawali Sakti. Maka cepat-
cepat dia melompat ke belakang sejauh lima langkah.
Tapi baru saja menjejakkan kakinya di tanah, Rangga
sudah menggeser kakinya cepat sekali menyusur ta-
nah. Dan pada saat itu juga, tangannya cepat diki-
baskan ke arah dada orang tua ini.
"Hiyaaa...!"
*** "Haiiit..!"
"Yeaaah...!"
Cring! Wuk! "Upts...!"
Kali ini Rangga yang tersentak kaget Begitu seran-
gannya dilancarkan, tiba-tiba saja orang tua berjubah merah yang berambut hitam
sudah melompat sambil
mencabut pedangnya. Dan pedang itu langsung diba-
batkan ke arah tangan Pendekar Rajawali Sakti. Un-
tung Rangga cepat-cepat menarik tangannya, sehingga
tebasan pedang itu tidak sampai menyambar tangan-
nya. "Hup!"
Cepat-cepat Rangga melompat ke belakang bebera-
pa langkah. Sementara, orang tua berjubah merah
yang berambut putih sudah meloloskan pedangnya ju-
ga. Dan kini mereka berdiri berdampingan dengan pe-
dang tersilang di depan dada. Sedangkan Rangga ber-
diri tegak memandangi dengan sorot mata tajam, tidak berkedip sedikit pun.
"Cabut pedangmu, Bocah!" bentak Setan Kembar Jubah Merah yang berambut putih.
"Maaf. Aku belum merasa perlu menggunakan pe-
dang," sahut Rangga, menolak halus.
"Sombong...!" dengus Setan Kembar Jubah Merah yang berambut hitam.
"Jangan salahkan kami kalau kau mampus tanpa
sempat mencabut senjata, Bocah!" sambung Setan
Kembar Jubah Merah yang berambut putih.
Rangga hanya tersenyum kecil saja. Sementara,
dua orang laki-laki tua yang berjubah Setan Kembar
Jubah Merah itu sudah menggeser kaki ke samping,
hingga jarak satu sama Iain merenggang. Begitu ringan gerakan kaki mereka,
sehingga tidak terdengar suara
sedikit pun juga. Dan saat itu juga, Rangga menyadari kalau dua orang tua kembar
itu memiliki kepandaian
yang tidak bisa dianggap enteng.
"Hiyaaat...!"
"Yeaaa...!"
"Hap!"
Rangga cepat-cepat meliukkan, begitu Setan Kem-
bar Jubah Merah yang berambut putih mengebutkan
pedangnya. Dan hampir bersamaan, orang tua yang
berambut hitam juga sudah menyerang. Pedangnya di-
babatkan ke arah kaki Pendekar Rajawali Sakti.
Dengan pedang di tangan, serangan dua orang laki-
laki berjuluk Setan Kembar Merah itu semakin dahsyat saja. Sedikit saja lengah,
akan sangat parah akibatnya.
Dan Rangga terpaksa harus berjumpalitan menghinda-
rinya. "Hiyaaat..!"
Begitu mendapat kesempatan, cepat sekali Pende-
kar Rajawali Sakti melenting ke udara. Lalu bagaikan kilat tubuhnya meluruk
deras dengan kedua kaki berputaran cepat mengarah ke kepala Setan Kembar Ju-
bah Merah yang berambut putih.
"Ikh...!"
Laki-laki tua berjubah merah yang berambut putih
itu jadi terkejut setengah mati. Cepat-cepat pedangnya diputar ke atas kepala,
lalu melompat ke belakang dua
langkah. Tapi pada saat yang bersamaan, Rangga su-
dah cepat memutar tubuhnya hingga kepalanya terba-
lik ke bawah. Dan saat itu juga....
"Yeaaah...!"
Bagaikan kilat Pendekar Rajawali Sakti melepaskan
satu pukulan keras, menggunakan jurus 'Pukulan
Maut Paruh Rajawali'. Begitu cepat hentakan tangan
kanannya, sehingga Setan Kembar Jubah Merah be-
rambut putih itu tidak sempat lagi menghindar. Ma-
ka.... Diegkh! "Akh...!"
Pukulan Pendekar Rajawali Sakti tepat menghan-
tam dadanya. Dan sambil memekik tertahan, laki-laki
tua berjubah merah yang berambut putih itu terpental ke belakang, sejauh dua
batang tombak. Sementara
orang tua kembarannya yang berambut hitam jadi ter-
sentak kaget, melihat saudaranya terpental, terkenal pukulan telak di dadanya.
"Setan alas...! Kubunuh kau! Hiyaaat...!"
Wuk! "Hap! Yeaaah...!"
Tepat di saat orang tua berambut hitam itu menge-
butkan pedangnya ke arah kepala, Rangga langsung
merunduk. Tubuhnya lalu berputar cepat bagai kilat
sambil melepas satu tendangan berputar yang begitu
cepat disertai pengerahan tenaga dalam sempurna.
Begitu cepatnya serangan balik yang dilakukan
Pendekar Rajawali Sakti, sehingga....
Des! "Akh...!"
Laki-laki tua berjubah merah yang berambut hitam
itu kontan terpental ke belakang sejauh dua batang
tombak, begitu dadanya terkena tendangan telak Pen-
dekar Rajawali Sakti. Tubuhnya langsung terjengkang
di tanah, diiringi pekik kesakitan. Sementara, Rangga berdiri tegak dengan kedua
kaki kokoh. Sorot matanya begitu tajam, menatap dua orang laki-laki tua yang
tergeletak bersisian sambil mengerang, merintih kesakitan.
Perlahan Pendekar Rajawali Sakti melangkah
menghampiri. Lalu, dipungutnya dua pedang Setan
Kembar Jubah Merah yang tadi terpental lepas dari
tangannya, begitu terkena pukulan dan tendangannya.
Sementara, dua orang tua berjubah merah itu sudah
bangkit berdiri. Tapi, bibir mereka masih terlihat meringis menahan sakit di
dada. Dan Rangga sudah ber-
diri tegak sekitar tujuh langkah di depan mereka. Tangan kanannya tampak
menggenggam dua pedang
orang tua itu. "Anak muda, siapa kau sebenarnya..."! Kepan-
daianmu sungguh tinggi! Dan kami mengaku ka-
lah...," kata Setan Kembar Jubah Merah yang berambut putih. Suaranya terdengar
tersendat-sendat, kare-na jalan pernafasannya belum teratur benar.
Namun belum juga Rangga bisa menjawab, tiba-
tiba saja terdengar suara tawa terkikik yang begitu keras menyakitkan telinga.
Akibatnya, mereka semua
Bonek Candi Sewu 1 Si Pedang Tumpul Karya Kho Ping Hoo Wanita Gagah Perkasa 9
^