Pencarian

Kucing Siluman 2

Pendekar Rajawali Sakti 92 Kucing Siluman Bagian 2


hidup sengsara, penuh dengan derita. Dan aku berusaha untuk bertahan agar tetap
dapat hidup, agar nantinya akan dapat membalaskan rasa sakit hati ini! Dan kali
ini, jangan harap untuk dapat bisa meloloskan diri dariku!"
Mendengar kata-kata itu, jelas kalau pemuda ini begitu amat mendendam pada masa
lalunya. Dan dia berusaha membalas rasa sakit hati dengan ingin menewaskan Nyi
Selasih. Tentu saja hal ini membuat harga diri perempuan tua itu jadi
tersinggung. "Bocah! Apa kau pikir aku takut dengan segala
macam ancamanmu" Huh! Ayahmu saja orang jahat!
Dia sudah sepatutnya menerima hukuman. Dan, kau sebagai anaknya harus
membersihkan nama baik keluarga dengan berbuat baik di mana-mana," agak lantang
suara Nyi Selasih.
"Ha ha ha...! Kau pikir apa yang sedang kulakukan ini sekarang" Bukankah ini
demi nama baik keluarga juga"! Kalian telah membunuh orang yang tidak bersalah!"
"Bu! Percuma saja kita bergulat omongan
dengannya. Lebih baik jangan dipedulikan. Kelihatan sekali kalau dia memang
tidak waras," bisik Rupani kepada ibunya.
"He, Perempuan Sundal! Jangan sembarangan bicara. Cepatlah menyingkir, atau
barangkali kau memang ingin mampus untuk menanggung dosa ibumu..."!" bentak
Katakili geram.
"Keparat! Kau pikir, siapa dirimu itu sebenarnya"
Berani sekali kau bicara begitu padaku"!" geram Rupani dengan wajah berang.
Rupani kontan naik darahnya mendengar kata-kata yang dilontarkan Katakili.
Dengan cepat, selendangnya diloloskan dan langsung saja dikebutkan ke arah
kepala pemuda itu. Kecepatannya sangat tinggi, disertai pengerahan tenaga dalam
yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan.
"Yeaaah...!"
Wuk! Namun dengan hanya sedikit saja mengegoskan kepala, Katakili berhasil
menghindari. Dan pada saat itu juga, dia menggerung bagaikan seekor harimau
kelaparan melihat domba gemuk.
"Graungrrr...!"
"Heh"!"
Raungan Katakili membuat kedua wanita itu jadi terkejut setengah mati. Bahkan
Rupani cepat-cepat menarik selendangnya kembali dan segera melompat ke belakang
beberapa langkah. Didekatinya Nyi Selasih yang tadi berdiri agak ke belakang
darinya. Dan lebih terkejut lagi, ketika mereka melihat ratusan kucing yang mengelilingi
pemuda itu tiba-tiba saja jadi kucing buas. Binatang-binatang itu menggeram
sambil menunjukkan sorot mata yang tajam, setelah melihat tindakan Rupani yang
hendak menyerang Katakili.
Sedangkan Nyi Selasih yang melihat keadaan ini sudah bisa menduga kalau kucing-
kucing yang sejak tadi berada di dekat pemuda itu memang bukan hewan
sembarangan. Dan agaknya, antara pemuda itu dengan kucing-kucing yang
dimilikinya mempunyai tali ikatan batin yang kuat sekali.
Tanpa terasa, ketakutan mulai merasuki jiwanya.
Suatu peristiwa mengerikan pasti akan terjadi bila kucing-kucing itu menyerang
dengan kuku-kukunya yang tajam. Tapi Nyi Selasih yang memang sudah kenyang makan
asam garam dalam kehidupan, bisa menyembunyikan perasaannya. Dan kini dipandang-
nya pemuda itu dengan sorot mata tajam.
"Kenapa berhenti" Bukankah kau semula ingin menghajarku?" ejek pemuda itu pada
Nyi Rupani. "Sungguh kurang ajarnya mulutmu! Phuihhh...! Apa dikira aku takut dengan hewan-
hewan peli-haraanmu itu"!" dengus Nyi Rupani, berusaha menghilangkan perasaan
gentar yang tadi sempat menyelinap ke dalam hatinya.
"Lalu, kenapa niatmu itu tidak dilanjutkan"! Ayo!
Segeralah kau ke sini, kalau memang ingin menanggung dosa ibumu," ejek Katakili
lagi, memancing kemarahan Nyi Rupani.
"Keparat!"
Diejek demikian, rupanya perempuan itu sudah tidak bisa lagi menahan amarahnya.
Selendangnya digenggam erat-erat dengan kedua tangannya, lalu perlahan-lahan
direntangkan hingga melintang di depan dada.
Melihat Nyi Rupani sudah siap hendak menyerang lagi, Katakili kelihatan
tersenyum. Dia seperti senang melihat pancingannya mengena dengan baik. Sengaja
dia berdiri tegak, bersikap seperti tidak peduli. Dan sikapnya itu membuat Nyi
Rupani semakin geram.
Selendangnya langsung diregangkan hingga jadi kaku seperti sebatang tombak.
Rrrt..! "Bagus! Seranglah aku," dingin sekali nada suara Katakili.
"Phuih! Hiyaaat..!"
"Rupani, jangaaan...!"
Nyi Selasih berusaha mencegah perbuatan
anaknya. Namun sudah terlambat Anaknya sudah mencelat sambil mengayunkan
selendangnya ke arah dada pemuda itu. Namun belum lagi serangannya mengenai
sasaran, saat itu juga kucing-kucing yang sejak tadi memang telah bersiaga
membela majikannya, sudah berlompatan dengan buas ke arah wanita ini. Suaranya begitu
keras dan ribut membuat Nyi Rupani jadi kelihatan bingung.
"Meeeong...!"
"Graungrrr...!"
"Ikh...! Yeaaah..!"
Wuk! *** "Mampuslah kau, Keparat!"
Ctarrr...! Sambil berteriak keras menggelegar, Nyi Rupani cepat mengebutkan selendangnya
sambil berputaran bagai kilat. Dia berusaha melindungi diri dari terkaman
kucing-kucing liar itu.
"Hiyaaat..! Yeaaah...!"
Namun serangan kucing yang jumlahnya ratusan itu bagaikan air bah saja.
Akibatnya, Nyi Rupani jadi kelabakan juga menghadapinya. Dan tiba-tiba saja,
salah seekor kucing yang menyerangnya melesat tinggi ke atas. Lalu dengan
gerakan sangat cepat luar biasa, binatang itu menukik hendak menyambar bagian
atas kepala Nyi Rupani. Tapi pada saat itu pula....
"Rupani, awas...!"
Nyi Selasih cepat sekali mencelat ke udara, begitu melihat pemuda yang bernama
Katakili tiba-tiba menerjang ke arah Nyi Rupani. Padahal saat itu Nyi Rupani
tengah sibuk menghindari seekor kucing yang menyerangnya dari atas kepala.
"Uts...!"
Buru-buru Nyi Rupani menundukkan kepala
sehingga kucing hitam itu hanya menyambar angin kosong.
Sementara itu ujung selendang Nyi Selasih cepat menyambar tubuh Katakili. Tapi
sayang, pemuda itu dapat menghindar dengan berjungkir balik. Dan begitu tegak
kembali, sasarannya langsung diarahkan ke pinggang Nyi Rupani.
"Akh...!"
Nyi Rupani terpekik ketika cakar lawannya berhasil merobek pinggang, ketika dia
masih sibuk dengan
kucing-kucing yang terus menyerangnya.
Katakili kini seperti harus membagi serangan begitu Nyi Selasih turut campur
dalam pertarungan.
Dan sebenarnya, perempuan tua itu pun mulai sedikit terkejut, namun lekas
menunjukkan tingkatannya sebagai tokoh kawakan dunia persilatan.
"Nyi Selasih! Kaulah bagianku sekarang!
Hiyaaat..!" bentak Katakili sambil menerkam perempuan tua itu dengan kedua
tangan menjulur ke depan.
"Huh! Bocah masih ingusan sudah bertingkah!
Cepat ke sini kalau memang ingin segera menyusul bapak moyangmu! Yeaaah...!"
"Graungrrr...!"
"Hiyaaa...!"
"Mampuslah kau, Bocah Dungu!" dengus Nyi
Selasih sambil mengayunkan selendangnya.
Langsung dikejarnya ke mana saja tubuh pemuda yang bergerak lincah untuk
menghindari serangannya.
Tapi pemuda itu bergerak cepat sekali. Bagaikan seekor kucing, dia mampu
menjejakkan kedua kaki dan tangannya ke tanah, untuk kemudian melenting ringan
sambil membuat suatu lompatan-lompatan ringan. Tubuhnya lalu berguling-guling
beberapa kali, kemudian dengan buasnya menerkam lawan.
Diam-diam Nyi Selasih pun mengagumi ilmu
meringankan tubuh yang dimiliki pemuda itu.
Rasanya, dia pun tidak akan mampu berbuat serupa.
Tubuh pemuda itu melayang laksana terbang, lalu mendarat dan melompat kian
kemari begitu ringannya. Dan itu hanya dapat dilakukan oleh tokoh-tokoh persilatan kelas atas
saja. "Graungrrr...!"
"Aaakh...!"
Tiba-tiba Nyi Selasih terkejut dan langsung menghentikan serangan begitu
mendengar jeritan Nyi Rupani. Wanita itu tampak penuh luka cakaran kucing yang
mengerubutinya. Dan ternyata, waktu yang hanya sesaat betul-betul dipergunakan
Katakili dengan sebaik-baiknya. Tubuhnya cepat melesat bagai anak panah, dan
langsung menyambar bagian dada dan perut Nyi Selasih.
Perempuan tua itu kontan terpekik, dan tubuhnya seketika bermandikan darah.
Kedua kakinya melangkah limbung. Selendangnya lalu digunakannya untuk melilit
perut yang terbuka lebar. Tapi saat itu juga, kucing-kucing menyerangnya. Bahkan
langsung menjadikannya mangsa empuk!
"Graungrrr...!"
Bret! Bret! "Aaa...!"
Nyi Selasih meraung-raung kesakitan sambil berlarian ke sana kemari dengan tubuh
bermandikan darah. Tapi kucing-kucing yang bagai dirasuki setan itu, sepertinya
tidak mau meninggalkan korbannya begitu saja. Mereka terus menyerang dan
menggayuti tubuh perempuan tua itu sampai roboh tidak berdaya.
Di antara kerumunan kucing itu. Nyi Selasih tampak menggelepar-gelepar sesaat
sebelum akhirnya diam tidak berkutik. Mati!
Begitu tubuh Nyi Selasih tidak bergerak-gerak lagi, kucing-kucing itu
menghentikan serangannya. Namun setelah itu mereka tidak tinggal diam, karena
terus berloncatan membantu Katakili menyerang Nyi Rupani.
Nyi Rupani yang memang sudah kepayahan, tidak bisa berbuat banyak lagi. Dan
ketika cakar-cakar
Katakili yang tajam dan kuat mengancam dada dan perutnya, dia sudah tak mampu
menghindar. Maka....
Bret! Bret! "Graungrrr...!"
"Aaa...!"
Katakili meraung hebat yang diiringi lengkingan menyayat dari mulut Nyi Rupani.
Dan ketika tubuh wanita malang itu limbung, kucing-kucing itu terus menerkam
seperti apa yang dilakukan terhadap Nyi Selasih. Nyi Selasih yang sudah berlumur
darah pada dada dan perutnya, makin dibanjiri darah lagi ketika kucing-kucing
itu mencabik-cabik tubuhnya yang sudah tak bernyawa lagi.
Katakili melompat ke belakang sambil mendengus sinis. Dan kucing-kucingnya
dibiarkan berpesta merajang tubuh lawan-lawannya itu. Sebentar kemudian wajahnya
menengadah ke langit.
"Ayah! Telah kubalaskan sakit hatimu pada mereka...."
"Ngeong...!"
Kucing-kucing yang tadinya liar dan buas, kini sudah berubah seperti semula
seperti layaknya, setelah puas mengakhiri mangsa-mangsanya. Mereka juga sudah
mengerumuni, dan menggesek-gesekkan tubuhnya di kaki Katakili. Beberapa ekor
malah menjilatnya dengan perasaan kasih sayang. Pemuda itu lalu meraih beberapa
ekor, dan memeluk serta menciuminya. Kemudian, perlahan-lahan ditinggal-kannya
tempat itu, diikuti seratus lebih pengikutnya.
Saat itu tanpa ada yang mengetahui, pada salah satu pojok rumah tampak seorang
laki-laki kecil berkulit hitam terhenyak di tanah, di antara semak-semak.
Tubuhnya tampak gemetar dan mukanya pucat Sedangkan matanya melotot, seperti
baru saja melihat hantu. "Nyi Selasih..., Nyi Rupani.... Malang betul nasib kalian. Oh! Apa yang akan
kukatakan nanti pada Den Ayu Lestari dan Den Permana" Ya, Jagat Dewa Batara! Aku
sama sekali tidak berdaya menolong mereka. Ah! Aku memang tidak berguna....
Tidak berguna...!"
Berkali-kali anak itu mengeluh sendiri sambil menundukkan kepala, kemudian
menggeleng-geleng lemah. Lama kepalanya menekur seperti terus menyesali diri
tanpa hendak bangkit sedikit pun. Dan dia tidak bisa berbuat apa-apa untuk
menolong kedua wanita malang yang menggeletak hancur, tidak berbentuk lagi.
*** Sementara itu, Rangga sudah berada di sebuah kedai di pinggir jalan utama Desa
Kranggan. Sengaja diambilnya tempat yang agak pojok ruangan, sehingga dari situ
bisa leluasa mengamati setiap pengunjung kedai yang hari ini terlihat cukup
ramai. Selain beberapa orang pedagang, juga terlihat orang-orang persilatan yang
ditandai cara mereka berpakaian serta senjata yang tersandang.
Berbeda dengan kedai-kedai yang pernah
dikunjunginya, kedai ini terasa nyaman. Bahkan pelayanannya pun cukup baik meski
berkesan seronok dan berlebihan. Pemilik kedai adalah seorang laki-laki berperut
buncit berusia sekitar empat puluh tahun. Dia memiliki beberapa orang pelayan
wanita yang masih belia dan berpakaian sedikit terbuka. Tingkah laku mereka
genit dan sering memancing perhatian para pengunjung. Rangga
sempat melirik ke arah ujung ruangan yang terdapat sebuah pintu. Sesekali, pintu
itu dimasuki seorang laki-laki yang menggandeng wanita-wanita yang menjadi
pelayan. Entah apa yang mereka lakukan.
Tapi bisa diduga kalau selain sebagai kedai makan, agaknya tempat ini merangkap
menjadi tempat pelacuran juga.
Pendekar Rajawali Sakti lalu mengalihkan
perhatian ketika beberapa orang laki-laki yang duduk dekat mejanya menceritakan
suatu peristiwa.
Sementara kawan-kawan laki-laki itu mendengar penuh perhatian.
"Orang itu kejam dan tidak kenal ampun. Lawan-lawannya binasa dengan keadaan
tubuh mengerikan!" tutur seorang yang bertubuh kurus.
Bagian matanya agak cekung, seperti kurang tidur.
"Kau yakin kalau dia itu siluman, Bardi?" Tanya temannya yang bertubuh gemuk
pendek. "Banyak penduduk yang percaya. Soalnya, kucing-kucing yang selalu mengikutinya
tiba-tiba menjadi ganas dan buas kalau dia sedang menghadapi lawan-lawannya!"
jelas laki-laki kurus yang ternyata bernama Bardi.
"Hm.... Lebih enam orang tokoh persilatan berilmu tinggi tewas di tangannya. Dan
kebanyakan dari mereka, adalah yang lima tahun lalu ikut dalam pembunuhan
terhadap Pedang Angin Selatan. Tapi, apa benar anggapan orang yang mengatakan
kalau pemuda itu putra si Pedang Angin Selatan?" tanya orang yang wajahnya seram
dan berkumis melintang.
'Bisa jadi," sahut Bardi.
"Kudengar, saat ini dia tengah menuju tempat kediaman Nyi Selasih. Bisa jadi
orang tua itu akan menjadi korban berikutnya," selak seseorang yang
lebih muda berbaju biru.
"Dari mana kau tahu, Sapar?" tanya laki-laki bertubuh gemuk pendek dan sering
dipanggil Gembul.
"Ada orang yang melihatnya bersama balatentara kucing menuju tempat kediaman
orang tua itu," jelas laki-laki berbaju biru yang bernama Sapar.
"Wah! Ini pasti akan seru! Hei!" Menurut kalian, apakah perempuan tua berjuluk
Selendang Maut itu mampu mengatasinya?" tanya Bardi.
"Nyi Selasih bukan orang sembarangan, Bardi.
Ilmunya hebat Dan lebih dari itu, putri, cucu, dan menantunya pun bukan orang
sembarangan. Tentu tidak mudah bagi pemuda itu untuk mengalahkannya," kata laki-
laki berkumis melintang, dan dikenal sebagai Jalu.
"He, tunggu dulu. Kalian tahu Ki Suminta" Dia memiliki banyak murid dan rata-
rata berkepandaian tinggi. Tapi menghadapi pemuda itu, mereka sama sekali tidak
berkutik. Kalau saja pemuda itu tidak pergi, pasti tidak seorang pun murid-
muridnya yang tersisa," jelas Gembul.
"Aku yakin, Nyi Selasih dengan mudah akan dikalahkan pemuda itu. Dan nasibnya...,"


Pendekar Rajawali Sakti 92 Kucing Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sapar tidak melanjutkan kata-katanya.
Air muka Sapar menunjukkan kengerian hatinya.
Terbayang dalam benaknya, cerita-cerita yang pernah didengar tentang korban-
korban pemuda yang sedang diceritakan itu. Tidak satu pun dari tokoh yang
didatanginya bisa selamat dari ancaman. Pemuda itu bagai momok yang menakutkan
dan Malaikat Maut yang tidak pernah gagal dalam tugasnya.
"Sudahlah! Untuk apa kita membicarakan orang itu. Lebih baik mengurusi diri kita
sendiri. Siapa tahu,
nanti atau besok pemuda itu malah datang dan menjadikan kita sebagai korban
berikutnya," kata Gembul membuyarkan suasana.
"Tapi aku masih tidak tega, Gembul. Kebanyakan dari para tokoh yang dibunuh
adalah pendekar dari golongan lurus. Mereka banyak menolong orang-orang lemah
dan membenci kejahatan. Dan sebagai sesama tokoh persilatan, rasanya kita punya
kewajiban untuk saling tolong-menolong," sahut Bardi.
"Hei!" Bicaramu seperti dewa saja, Bardi. Apa kau kira di antara kita ada yang
mampu menahan amukan Siluman Kucing itu..." Huh! Untuk menolong diri sendiri
saja, kita belum tentu mampu. Apalagi mencoba menolong orang lain!" dengus Jalu
dengan suara sedikit keras.
Kata-kata Jalu membuat beberapa tokoh
persilatan yang berada dalam kedai berpaling kepada mereka untuk beberapa saat.
"He, Kisanak. Bicara apa kalian?" tanya salah seorang yang bertubuh besar dengan
muka masam. "Alaaah..., sudahlah. Kenapa diambil hati. Mereka hanya orang-orang rendah, yang
sok jadi pahlawan.
Orang-orang seperti Nyi Selasih itu sudah sepatutnya mampus. Bisa apa dia"
Kepandaiannya hanya seujung kuku, tapi lagaknya selangit Huh! Kalau dia sampai
mampus, itu sudah sepatutnya!" sahut laki-laki berbaju hitam yang mukanya pucat
bagai mayat. Dia duduk di depan laki-laki tinggi besar itu.
Keempat orang yang disindir dan dihina begitu, rupanya langsung naik darah.
Bahkan langsung bangkit untuk menghajar kedua orang itu. Tapi sebelum niat
mereka terjadi, dari pintu depan muncul seorang gadis belia berbaju kuning. Dia
mengenakan selendang sebagai ikat pinggangnya. Wajahnya cantik, namun berkesan galak.
Sementara itu, Rangga melirik dan tersenyum kecil, karena kenal betul dengan
gadis tanggung yang tidak lain dari Lestari, cucu Nyi Selasih.
"Siapa yang bicara sembarangan dan berani menghina nenekku"!"
Gadis itu membentak nyaring sambil menatap garang kepada dua orang laki-laki
yang tadi mengeluarkan hinaan terhadap Nyi Selasih.
*** 6 Seluruh pengunjung kedai menoleh ke arah gadis itu sambil menggelengkan kepala.
Dia masih terlihat muda sekali. Tapi apa yang dilakukannya, sungguh keterlaluan.
Bahkan sama sekali tidak sopan. Bukan hanya itu. Akibatnya, kebanyakan dari
pengunjung kedai yang memang rata-rata tokoh rimba persilatan, jadi merasa
diremehkan melihat sikap gadis itu yang terlihat angkuh. Lebih-lebih kedua orang
yang dituju gadis itu. Bahkan laki-laki yang bertubuh tinggi besar sudah
langsung berdiri. Dan dengan langkah gusar mereka mendekati gadis itu.
"Hm.... Jadi kau cucu Nyi Selasih, he"! Akulah yang menginginkan agar nenekmu
itu mampus. Lalu, kau mau apa..."!" dengus laki-laki itu dengan muka geram.
Namun, tiba-tiba saja Lestari menanggapi ucapan itu dengan satu kebutan
selendangnya yang begitu cepat Dan gerakannya sangat sulit diikuti pandangan
mata biasa. Maka tahu-tahu....
Wuuut...! Des! "Ugkh!"
Tubuh laki-laki tinggi besar itu kontan terhuyung-huyung ke belakang sambil
mengeluh kesakitan, begitu selendang di tangan gadis itu menghantam dagunya. Hal
ini sama sekali tidak terduga. Betapa tidak" Usia gadis itu masih begitu muda.
Namun, kepandaian yang dimilikinya sudah begitu tinggi.
Padahal, laki-laki tinggi besar ini sudah menganggap
enteng dan mengira kalau gadis ini baru belajar satu atau dua jurus dari
neneknya. Tapi, siapa sangka kalau akibatnya sungguh hebat begini" Lebih-lebih
lagi, dia tengah tidak bersiaga untuk melindungi diri dengan tenaga dalam.
Akibatnya, memang sungguh dahsyat. Beberapa tulang rahangnya kontan patah.
Bahkan dari mulutnya menyembur darah segar. Orang itu menggelinjang-gelinjang
menahan rasa sakit yang tiada tara.
"Itulah pelajaran bagi orang yang berani menghina keluargaku! Kalau ada yang
ingin coba-coba, silakan maju!" dengus Lestari sambil memandang seluruh
pengunjung kedai.
Dan sejak kehadiran gadis itu, Rangga sengaja berlindung di balik tubuh
seseorang hingga tak terlihat.
"Gadis keparat! Kau kira bisa seenaknya saja bertingkah di sini"! Huh! Bocah
sepertimu memang patut diberi pelajaran!" bentak seorang lagi yang berbaju
hitam, sambil melompat dan melakukan serangan. Dan dia memang lawan laki-laki
tinggi besar tadi.
"Kalau memang tidak suka dengan pelajaran yang kuberikan pada kawanmu, kau boleh
mengambil giliran di luar!" sahut Lestari enteng sambil melompat keluar, dan
sekaligus menghindari serangan lawan.
Bukan main gusarnya laki-laki berbaju hitam itu melihat serangannya hanya
mengenai tempat kosong.
Dan tubuh gadis itu sudah lincah berkelebat sambil mengerahkan ilmu meringankan
tubuh. Tapi, laki-laki berbaju hitam itu sudah langsung melompat mengejar. Dan begitu
mendarat, langsung dikirimkannya serangan selanjutnya. Dan kali ini membuat
gadis itu sedikit terkejut. Karena belum lagi
kedua kakinya menyentuh tanah, sebelah tangan lawan siap menghajar pinggangnya.
Terpaksa serangan itu ditangkisnya.
Plak! plak! Lestari tersentak kaget. Tangannya kontan bergetar dan terasa kesemutan begitu
menangkis serangan lawan. Belum lagi disadari apa yang terjadi, serangan lawan
kembali menyambar kepala. Masih untung sambaran lawan mampu dielakkan.
Kepalanya cepat ditundukkan, dan langsung bersalto ke belakang. Tapi lawannya
yang berwajah dingin itu sepertinya tidak memberi kesempatan sedikit pun
kepadanya. Lestari merasa kalau tidak mungkin bisa
menandingi dengan hanya mengandalkan jurus-jurus tangan kosong saja. Dengan
cepat sekali, selendang kuningnya yang menjadi senjata andalan diloloskan, dan
secepat itu pula dikebutkan.
Ctar! "Heh"!"
Laki-laki berbaju hitam itu jadi tersentak setengah mati. Cepat-cepat dia
melompat mundur, begitu merasakan angin kebutan selendang kuning yang terasa
cukup dahsyat juga, dengan suaranya yang bagaikan lecutan cambuk. Dari itu saja
sudah dapat diketahui kalau tingkat kepandaian gadis ini tidak bisa dipandang
rendah. "Rasakan selendang mautku ini!"
"He he he...! Inikah senjata yang kau bangga-banggakan itu" Aku justru akan
menggunakannya untuk melibatkan tubuhmu. Sayang, nenekmu tidak sempat bertemu
muka denganku. Kalau sempat, dialah yang lebih dulu mendapat bagian," ejek laki-
laki berbaju hitam dan bermuka pucat itu sinis.
"Huh, Orang Sombong! Kau terlalu banyak bicara.
Lihat serangan ini!" dengus Lestari.
Dengan geram Lestari memainkan sebuah jurus andalan yang diberi nama 'Bidadari
Mengejar Pelangi'. Jurus ini bila dimainkan dengan selendang di tangan, akan
hebat sekali. Lawan akan melihat selendang itu menjadi lebih dari satu, dan
kadang-kadang akan bergerak secara beraturan atau mengepung.
"Hebat.., hebat..! Tidak percuma perempuan tua bangka itu mengajarimu jurus
indah ini. Tapi itu tidak cukup untuk menjatuhkanku, Bocah Badung. Lihat
serangan!"
Setelah berkata demikian, terlihat laki-laki bermuka pucat itu tiba-tiba merubah
jurusnya. Gerakannya tampak aneh. Terkadang tubuhnya berguling-guling menghindari ujung
selendang lawan, tapi terkadang juga diam beberapa saat. Kemudian tubuhnya
melesat cepat ketika senjata lawan sedikit lagi menemui sasaran. Tentu saja hal
ini membuat Lestari semakin geram saja. Maka serangannya makin diperhebat Hanya
sayangnya, sedikit pun tidak ada yang mencapai sasaran.
"Ha ha ha...! Kerahkanlah semua kepandaianmu untuk menghadapi jurus 'Gagak Hitam
Mengubur Mangsa'ku ini. Ingin kulihat sampai di mana nenek tua busuk itu
mengajarimu. Sayang sungguh sayang, bukan dia sendiri yang berhadapan denganku.
Kalau dia, tentu pertarungan ini akan lebih seru. Tapi..., he"!
Bisa jadi hari ini dia telah mampus dihabisi musuh lamanya! Ha ha ha...!"
"Tutup mulutmu, Keparat! Kau tidak ada derajat untuk berhadapan dengan nenekku.
Kalau kau mampu mengalahkanku, itu pun sudah termasuk
hebat!" "He"! Siapa yang ingin mengalahkanmu"! Aku justru ingin membunuhmu!"
Setelah berkata demikian, laki-laki berbaju hitam itu bergerak amat cepat
menghindari sambaran ujung selendang Lestari yang sudah kembali berkelebat
dengan kecepatan sangat tinggi. Yang diincar adalah bagian-bagian tubuh yang
mematikan. Kemudian dalam satu kesempatan, Lestari
mengetatkan selendangnya ke arah kepala lawan.
Namun aneh. Lawan sedikit pun tak bergeming dari tempatnya. Dia seperti pasrah
menyerahkan kepalanya, untuk menjadi sasaran selendang kuning itu.
Dan tanpa diduga sama sekali, laki-laki bermuka pucat itu mengulurkan tangan
kanannya ke atas.
Dan... Tap! Laki-laki bermuka pucat itu berhasil menangkap selendang kuning milik Lestari,
dan sekuat tenaga menariknya. Akibatnya, tubuh Lestari mencelat ke arahnya tanpa
bisa ditahan. "Okh...!"
Sambil terkekeh, telapak tangan kiri laki-laki itu siap terayun untuk menghajar
Lestari bila mendekat.
Sehingga, semua orang yang melihat pertarungan hanya bisa menduga kalau nyawa
gadis itu sebentar lagi akan lepas dari raga dalam keadaan mengerikan.
"Yeaaah...!"
Namun pada saat yang sangat gawat, tiba-tiba saja sebuah bayangan berkelebat
begitu cepat ke arah pertarungan. Dan....
Plak! Plak! Bet! "Heh..."!''
*** Tiba-tiba saja bayangan yang berkelebat itu memotong selendang kuning sambil
memapak serangan laki-laki bermuka pucat. Kemudian tubuhnya melesat cepat menyambar
tubuh Lestari, seraya memberi satu pukulan keras ke arah dada si muka pucat ini.
Untung saja laki-laki itu cepat melompat ke belakang, sehingga pukulan sosok
bayangan tadi tak sampai mengenai tubuhnya. Tapi, mana sudi si muka pucat
diperlakukan sedemikian rupa. Maka langsung dikejarnya bayangan tadi.
"Bajingan pengecut! Kau pikir bisa lari dariku, heh"!" teriak si muka pucat.
"Kalau kau pikir mampu mengejarku, kenapa banyak omong...?"
Mendengar jawaban seperti itu, bukan main kesalnya si muka pucat. Langsung
dikerahkannya ilmu meringankan tubuh untuk menyusul orang yang telah melarikan
Lestari. Namun bersamaan dengan itu, sesosok tubuh lain mengikuti mereka tanpa
diketahui oleh siapa pun.
Kejar-kejaran di antara mereka tidak berlangsung lama. Rupanya si muka pucat
memperlihatkan keunggulan ilmu lari cepatnya ketika tiba-tiba melesat tinggi,
untuk kemudian berputaran beberapa kali di udara. Lalu, manis sekali kakinya
menjejak tanah, tepat di depan orang yang tengah dikejarnya.
"Ups!"
"Hhh! Kiranya kau, Ki Wempang! Bagus! Berani benar kau mencampuri urusanku"
Hm.... Kalau demikian, kau harus berani pula menanggung akibatnya!" dengus si
muka pucat sambil menyipitkan mata, begitu melihat orang yang pernah dikenalnya
tengah membopong gadis yang tadi menjadi
lawannya. Di depan si muka pucat berdiri tegak sesosok laki-laki berusia sekitar empat
puluh lima tahun lebih.
Tubuhnya kecil dan rambutnya telah memutih.
Tangan kanannya memegang sebatang tongka dari baja hitam sepanjang tujuh
jengkal. Orang tua yang dipanggil Ki Wempang itu kemudian menurunkan Lestari,
dan meletakkannya di atas tanah berumput
"Jangan takut Cah Ayu. Aku adalah sahabat nenekmu...," kata orang tua itu
menenangkan Lestari sebelum beralih menatap tawannya.
"Gondotikur! Kelakuanmu sungguh keterlaluan!
Pada bocah kecil kau tega hendak berbuat telengas!"
"Huh...! Tahu apa kau, Ki Wempang" Meskipun masih bocah, tapi dia telah melukai
kawanku. Dan mana bisa dibilang tega kalau ternyata dia pun mampu
mencelakakanku!" tangkis si muka pucat yang ternyata bernama Gondotikur.
Itu karena kalian yang memulainya!"
"Huh! Selamanya memang kau selalu merasa
benar! Dan itu selalu membuatku muak. Sudah lama sekali aku ingin memberi
pelajaran pada orang-orang sepertimu. Nah! Mumpung kau berada di tempat ini dan
mengusik urusanku, terimalah pelajaran dariku, Tua Bangka Busuk!"
Setelah berkata demikian, Gondotikur langsung menyerang Ki Wempang dengan
gencar. Kedua orang itu agaknya tahu betul, sampai di mana kehebatan lawan
masing-masing. Itulah sebabnya Gondotikur tidak mau sembarangan dan lengah.
Tidak kepalang tanggung, Ki Wempang langsung diserangnya dengan jurus 'Gagak
Hitam Mengubur Mangsa' yang benar-benar ampuh. Kalau pada tingkat permulaan saja
jurus itu mampu membuat Lestari tidak berkutik, maka kali ini jurus itu
dimainkan pada tingkat yang tertinggi disertai pengerahan tenaga dalam kuat.
"Yeaaah...!"
Ki Wempang pun tidak kalah sigap. Dia tahu betul, kalau lawannya sangat ahli
dalam ilmu silat tangan kosong. Sedangkan jurus-jurus silatnya, pada tingkat
tertinggi harus memainkan tongkat. Kalaupun berusaha menggunakan jurus-jurus
tangan kosong, itu sama artinya bunuh diri. Maka tanpa malu-malu lagi,
dilayaninya serangan lawan dengan gempuran tongkat yang berputar-putar menderu
menimbulkan desis angin kencang.
"Ha ha ha...! Selama lima tahun ini, kemajuan ilmu tongkatmu boleh diandalkan
juga, Ki Wempang. Tapi jangan dikira aku tidak mampu mematahkan
seranganmu!" ejek Gondotikur seraya tersenyum sinis.
"Jangan banyak bicara kau, Gondotikur. Kalau memang mampu, buktikanlah!"
"Kenapa tidak" Saat itu juga aku akan
membuktikannya kepadamu. Lihat serangan!" bentak Gondotikur keras.
Gondotikur kemudian bergerak cepat sambil menghindari serangan tongkat lawan.
Tapi, Ki Wempang tidak semudah itu dapat terkecoh. Maka tongkatnya cepat diputar
bagai kitiran, lalu langsung dikejarnya lawan ke mana saja bergerak.
Ki Wempang sebenarnya menyadari kalau
Gondotikur adalah tokoh golongan hitam yang memiliki kepandaian tinggi. Jurus-
jurusnya begitu hebat. Dan lebih dari itu, tenaga dalamnya cukup mengagumkan.
Meski mereka belum pernah bentrok sebelumnya, tapi banyak tokoh seangkatannya
yang pernah dijatuhkan laki-laki bermuka pucat yang bergelar Gagak Hitam Bermuka
Pucat ini. Dia memang jarang membuat keonaran. Tapi, terkenal paling membenci
pada tokoh-tokoh persilatan yang dianggapnya bertingkah. Dan hal itu sudah
membuat kebenciannya memuncak, tatkala orang tua ini mencampuri urusannya. Maka
tidak heran kalau pada akhirnya, seluruh kepandaian yang dimilikinya dikerahkan
untuk menghajar lawan.
"Yeaaah...!"
Ki Wempang terkejut ketika lawan membentak keras. Tubuh Gondotikur tampak lurus
menukik, sambil mengarahkan kepalan tangannya yang berubah hitam tepat di
tengah-tengah pusaran tongkat laki-laki tua itu.
Ki Wempang memang tidak bisa berbuat banyak, kecuali membiarkan senjatanya
beradu dengan tangan Gondotikur. Dan....
Prakkk! "Akh...!"
Ki Wempang menjerit kesakitan dan tongkatnya patah menjadi dua bagian, begitu
berbenturan dengan tangan Gondotikur. Tubuhnya tak urung terjajar beberapa
langkah ke belakang.
Belum lagi Ki Wempang memperbaiki
keseimbangannya, kepalan lawan telah kembali mengarah ke dadanya. Maka....


Pendekar Rajawali Sakti 92 Kucing Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Begk! Orang tua itu kontan terjungkal kembali disertai semburan darah segar dari
mulutnya. "Mampuslah kau, Orang Tua Busuk! Yeaaah...!"
Gondotikur tak sudi lagi memberi kesempatan pada Ki Wempang. Begitu orang tua
itu terhuyung-huyung, langsung dilepaskannya satu pukulan telak
ke dada. Desss! "Aaakh...!"
Lestari yang melihat keadaan Ki Wempang yang mengkhawatirkan, merasa harus
menolongnya. Maka.... "Yeaaah...!"
Tubuh gadis itu langsung meloncat sambil
mengirim serangan maut ke arah Gondotikur. Tapi, laki-laki bermuka pucat itu
hanya mendengus sinis.
Dan tanpa menoleh, sebelah kakinya berputar, langsung menghajar perut gadis
tanggung itu. Desss! "Aaakh!"
Lestari kontan memekik kesakitan. Tubuhnya terlempar beberapa tombak sambil
menyemburkan darah segar. Dan dalam keadaan setengah sadar, Gondotikur telah
mencelat, bermaksud menghabisi nyawa gadis itu. Namun....
Tiba-tiba sebuah bayangan putih berkelebat cepat menyambar gadis yang dipastikan
akan tewas bila terkena hantaman tangan Gondotikur.
"Keparat! Siapa kau, heh"!" sentak Gondotikur, begitu menyadari kalau ada
seseorang telah menyelamatkan lawannya.
*** Tahu-tahu di depan Gondotikur telah berdiri tegak seorang pemuda tampan dengan
rambut panjang terurai. Bajunya rompi putih dengan sebilah pedang berhulu kepala
burung tersembul di balik
punggungnya. Siapa lagi pemuda itu kalau bukan Rangga yang dikenal berjuluk
Pendekar Rajawali
Sakti. Memang, diam-diam Pendekar Rajawali Sakti mengikuti sejak dari kedai tadi,
ketika Ki Wempang menyelamatkan Lestari. Dan gadis itu kini telah tidak sadarkan
diri akibat pukulan Gondotikur tadi. Rangga kemudian meletakkannya perlahan-
lahan di bawah sebatang pohon, kemudian menatap ke arah laki-laki bermuka pucat
itu. "Pendekar Rajawali Sakti! Oh, kau pasti Pendekar Rajawali Sakti. Aku yakin,
mataku belum lamur.
Kaulah orangnya yang telah mengalahkan si Topeng Setan!" tiba-tiba sebuah seruan
terdengar. Rupanya seruan itu berasal dari Ki Wempang yang masih terduduk lemas,
tidak jauh dari situ.
Gondotikur menyipitkan mata mendengar kata-kata itu. Sedangkan Rangga sendiri
masih diam mematung, mengawasi laki-laki itu tanpa mem-berikan tanggapan atas
kata-kata Ki Wempang.
"Hm.... Jadi, kaukah orangnya yang bergelar Pendekar Rajawali Sakti" Telah lama
kuimpikan pertemuan ini agar bisa memberi pelajaran atas kesombonganmu selama
ini!" dengus Gondotikur.
"Kisanak! Aku sama sekali tidak bermaksud mencampuri urusanmu. Tapi, aku juga
tidak bisa melihat kesewenang-wenangan yang kau lakukan.
Maka, harap dimaklumi bila dengan terpaksa aku harus menyelamatkan gadis yang
belum tentu bersalah padamu," sahut Rangga tenang.
"Huh! Apa yang kudengar tentangmu memang
tidak salah. Kau memang manusia paling usil, yang suka mencampuri urusan orang
lain. Apa yang kau tahu tentangnya"! Dan bagaimana mungkin kau bisa mengatakan
kalau dia tidak bersalah"!"
"Kenapa tidak" Aku berada di kedai itu, sebelum
kau dan kawan-kawanmu datang. Dan tentu aku tahu betul apa yang terjadi di
antara kalian. Kaulah yang lebih dulu mencari gara-gara dengan memburuk-burukkan
nama neneknya. Siapa yang tidak marah kalau salah seorang keluarganya
direndahkan?"
"Keparat! Huh! Jangan banyak bicara kau. Apa maumu sekarang"!"
"Keinginanku tidak banyak. Sudahi saja urusan ini, dan kau boleh pergi sekarang
juga," sahut Rangga singkat.
"Huh! Seenaknya saja bicara. Tidak seorang pun yang boleh menghinaku. Tidak juga
kau!" "Kisanak! Aku tidak ingin memperpanjang urusan, dan kuharap kau mengerti maksud
baikku." "Siapa sudi mendengar omongan busukmu"!
Kaulah yang sebaiknya pergi dari sini, dan jangan mencampuri urusanku!"
Rangga menggeleng lemah sambil mendesah
kecil. "Maaf. Aku tidak bisa berpangku tangan melihat apa yang kau lakukan..."
"Kalau begitu, persoalan sudah jelas. Dan kau memang bermaksud ikut campur dalam
urusanku. Orang sepertimu tidak akan pernah kubiarkan begitu saja, dan perlu mendapat
pelajaran agar keu-silanmu selama ini tidak membuatmu menjadi semakin besar
kepala saja."
Setelah berkata demikian, tubuh Gondotikur langsung melompat ke arah Pendekar
Rajawali Sakti untuk melepaskan serangan ganas. Dia tahu betul-lawannya kali ini
bukanlah orang sembarangan. Maka tidak heran kalau kemudian seluruh kemampuannya
dikerahkan pada jurus-jurus awal, dengan harapan lawan akan terdesak. Dan kalau
sudah demikian, dia
bermaksud mencuri kesempatan untuk menghajar lawan.
Rangga sendiri tidak punya pilihan, selain melayani keinginan lawan. Dia sedikit
terkejut ketika melihat Gondotikur ternyata tidak main-main dengan ucapannya.
Laki-laki berwajah pucat itu betul-betul menginginkan jiwanya. Dan sudah tentu
Pendekar Rajawali Sakti tidak bisa hanya sekadar menghindar saja. Karena bisa
jadi, lawan akan semakin penasaran untuk mencelakakannya. Maka sambil membentak
nyaring, Rangga memainkan jurus
'Rajawali Sakti' untuk membalas serangan lawan.
"Hiyaaat..!"
"Huh!" Gondotikur mendengus. Kemudian sambil mengkertakkan rahang, dia bersiap
menyambut serangan lawan dengan aji 'Tapak Dewa'.
Ajian itu mampu membuat kedua tangan
Gondotikur sebatas siku berubah kehitaman. Dan kemudian, dari telapak tangannya
melesat seberkas sinar kelabu yang langsung menyambar tubuh Pendekar Rajawali
Sakti. "Heh"! Uts...!"
Rangga tersentak kaget dan cepat-cepat
mengegos ke kiri. Seketika kulit tubuhnya terasa seperti diterpa jilatan api
yang panasnya bukan main.
Padahal, serangan lawan hanya beberapa jengkal dari tubuhnya. Dan desir angin
panas itu langsung menghantam sebatang pohon besar yang langsung ambruk bagai
dilanda petir. Glarrr! *** 7 Melihat serangannya gagal, Gondotikur semakin penasaran saja. Dengan
kegeramannya yang
memuncak, tubuhnya langsung melesat sambil melepaskan aji Tapak Dewa' yang
mengeluarkan sinar kelabu. Dari sini bisa diperkirakan kalau Gondotikur berniat
mengadu nyawa. Sementara itu, Rangga memang tak punya pilihan lagi. Dia harus meladeninya
sekaligus melindungi diri dari hajaran lawan. Maka saat itu pula, dipapaknya
serangan Gondotikur dengan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'. Dari telapak
tangannya juga melesat sinar merah yang langsung menghantam sinar kelabu dari
aji 'Tapak Dewa'.
Dari beberapa jurus yang dimainkan sebelumnya, Rangga sudah dapat memperkirakan
kekuatan tenaga dalam lawan. Maka tak heran kalau Pendekar Rajawali Sakti begitu
yakin kalau pukulan lawan akan mampu dihalaunya. Maka....
Glarrr! Ledakan dahsyat terjadi akibat dua pukulan yang beradu. Dan sesaat kemudian,
terlihat lesatan sinar merah yang terus menerobos menghantam lawan tanpa bisa
ditahan lagi. "Aaakh...!"
Gondotikur menjerit keras. Tubuhnya pun kontan terpental beberapa tombak
disertai semburan darah segar. Dan begitu ambruk di tanah, dia menggelepar-
gelepar beberapa saat, lalu diam tak bergerak lagi.
Entah mati atau tak sadarkan diri. Sementara tak
jauh di dekatnya, Rangga berdiri tegak memperhatikan sambil mengatur jalan
napasnya. "Kisanak, te...terima kasih atas pertolonganmu...."
Rangga menoleh ke arah Ki Wempang yang telah berada di dekatnya. Wajah orang tua
itu tampak pucat dan sesekali meringis menahan rasa nyeri.
Sementara di sudut bibirnya masih terlihat bekas noda darah yang telah
diusapnya. Pemuda itu lalu melempar senyum getir. Kemudian wajahnya
berpaling ke arah Lestari dan menghampirinya, diikuti Ki Wempang dari belakang.
"Kasihan anak itu. Dia masih kecil, tapi harus menerima perlakuan sebagaimana
layaknya seorang penjahat..."
Sementara itu, Rangga langsung memeriksa luka Lestari sambil menggeleng lemah.
Dan gadis itu telah didudukkan, menghadap ke arahnya.
"Dia terluka parah. Beberapa tulang rusuknya patah...," desah Rangga pelan.
'To..., tolonglah dia. Neneknya adalah sahabat baikku. Dan tujuanku ke tempat
ini pun ingin bertemu mereka. Ada sesuatu yang harus kusampaikan...,"
ucap Ki Wempang lemah.
Rangga kembali terdiam. Dibalikkannya tubuh gadis itu dan dihadapkan ke batang
pohon. Kedua telapak tangannya segera ditempel ke punggung Lestari. Kl Wempang
mengerti apa yang akan dilakukan pemuda itu. Wajahnya penuh harap disertai rasa
duka cita. Dia kemudian duduk perlahan di dekat mereka.
"Hoeeekh...!"
Setelah beberapa saat Rangga menyalurkan hawa murni, tiba-tiba Lestari
memuntahkan darah kental berkali-kali. Wajah gadis itu kontan pucat Lalu, sesaat
dia menoleh lemah ke arah Rangga.
"Kau...?"
Rangga hanya tersenyum kecil. Sedangkan gadis itu memalingkan wajahnya kembali.
Dia tak mem-berikan banyak tanggapan atas apa yang dilakukan pemuda itu
terhadapnya. Yang terasa pada tubuhnya hanyalah hawa panas yang membuatnya
terasa segar, hingga membuat keringat mengucur deras dari pori-porinya.
Rangga kini menghentikan pengobatannya, lalu duduk tenang di dekat Ki Wempang
sambil mengatur pernapasan. Pendekar Rajawali Sakti berusaha mengembalikan
tenaganya yang banyak terkuras akibat pertarungannya tadi, ditambah harus
menolong Lestari barusan.
"Kisanak, sekali lagi aku mengucapkan terima kasih atas pertolongan yang kau
berikan...."
"Sudahlah. Aku hanya kebetulan lewat dan melihat sesuatu yang tak adil di depan
mataku. Kini akan ke mana tujuanmu, Kisanak?" kata Rangga disertai senyum kecil.
"Aku bermaksud menjumpai Nyi Selasih. Ada sesuatu yang harus kusampaikan
padanya...," sahut Ki Wempang.
"Apakah itu tentang pemuda yang selalu diikuti ratusan ekor kucing?"
"Hei" Apakah kau mengetahuinya juga"!" Ki Wempang tampak terkejut, sehingga
kedua alisnya terangkat.
'Tidak. Aku hanya sempat mencuri dengar
pembicaraan beberapa orang di kedai tadi...," sahut Rangga pelan.
'Paman! Ada persoalan apa antara nenekku
dengan orang yang kalian bicarakan tadi?" tanya
Lestari cemas. Ki Wempang memandang gadis itu sekilas,
kemudian menundukkan kepala barang beberapa saat.
"Peristiwanya terjadi lima tahun lalu...," desak orang tua itu.
"Peristiwa apa?" kejar Lestari, mulai cemas.
Ki Wempang pun akhirnya menceritakan peristiwa lima tahun lalu atas kejadian
yang menimpa Pedang Angin Selatan dan putranya. Juga, diceritakannya tentang
tindakan para tokoh persilatan golongan putih terhadap ayah dan anak itu.
"Lalu apa hubungannya dengan pemuda yang
mempunyai banyak kucing itu?" tanya Lestari, begitu Ki Wempang mengakhiri
ceritanya. "Dia pasti Katakili, putra Ki Karmani yang ingin membalas dendam pada kami.
Kebanyakan dari mereka yang tewas belakangan ini, adalah yang lima tahun lalu
ikut dalam pengeroyokan itu. Itu memang telah berlalu. Tapi sesudahnya, membuat
dada kami terasa sesak. Sebab, ternyata Ki Karmani memang tak bersalah. Ada
orang lain yang memfitnahnya. Dan orang itu adalah musuh besarnya yang secara
licik menggunakan tangan orang lain untuk menyingkirkan si Pedang Angin
Selatan...," lanjut Ki Wempang, semakin lirih.
"Lalu apa yang Kisanak ketahui tentang pemuda itu?" tanya Rangga.
"Sejauh yang kudengar, dia telah membunuh semua orang yang terlibat dalam
pembunuhan ayahnya. Dan kini tinggal aku, Nyi Selasih, dan Ki Rancasena. Hanya
ada dua pilihan. Kalau tidak ke tempat Ki Rancasena, maka pemuda itu pasti ke
tempat Nyi Selasih. Dia amat berbahaya. Tak seorang
pun di antara orang-orang itu mampu menahannya...."
"Oh! Eyang dalam bahaya"! Aku harus
memberitahukan mereka!" sentak Lestari, seraya bangkit dan berlari cepat dari
tempat itu. Namun baru saja beberapa tombak berlari, tubuh gadis itu tersungkur. Rangga dan
Ki Wempang cepat melompat menghampiri dan menolongnya bangkit.
"Kau lupa, Lestari. Lukamu cukup parah. Dan kau tak boleh terburu nafsu, kalau
tidak ingin dirimu sendiri yang celaka...," ujar Rangga pelan.
"Tapi eyangku dalam bahaya"! Aku harus buru-buru memberitahukannya dan menolong
mereka...!"
dengus Lestari.
"Kita akan ke sana bersama-sama. Bukan begitu, Kisanak?" kata Ki Wempang sambil
melirik Rangga.
Pemuda itu mengangguk cepat.
*** "Eyaaang...! Ibuuu...!" Lestari berteriak dan menghambur ke halaman depan,
begitu mereka baru saja tiba di pondok itu.
Gadis itu mencari-cari di segala pelosok ruangan, namun yang dipanggilnya tak
kunjung terlihat Wajahnya semakin cemas dan pucat. Dia kembali berteriak-teriak
memanggil, sambil berlari ke depan.
Di situ terlihat Ki Wempang dan Rangga menekuri dua timbunan tanah yang masih
baru. Dan salah satu ujungnya, masing-masing terdapat nisan dari kayu jati.
"Eyaaang..! Ibuuu...! Oh, tidak! Tidaaak...!" teriak Lestari.
Gadis itu berteriak-teriak sambil memalingkan
muka, tak sanggup melihat makam ibu dan
neneknya. Sedangkan Ki Wempang lantas mendekati dan berusaha menenangkannya.
Tapi, tangis gadis itu semakin meledak-ledak. Bahkan suaranya semakin terasa
pilu. Perlahan-lahan Ki Wempang mem-bimbingnya ke dalam pondok.
"Eyang...! Ibu...! Maafkan aku. Aku belum sempat balas jasa kalian. Dan selama
ini, aku selalu membuat susah...," keluh Lestari berkali-kali, begitu telah
berada dalam pondok.
"Sudahlah, Lestari. Barangkali kematian mereka memang sudah ditakdirkan...,"
hibur Ki Wempang.
"Tapi, siapa yang telah melakukannya?"
Ki Wempang terdiam. Banyak hal yang
dipikirkannya saat ini. Dan terutama sekali, apakah betul Nyi Selasih dan Rupani
telah tewas oleh Katakili" Dan orang tua itu tak berani menuduh sebelum meyakini
betul pelakunya. Pengalaman lima tahun lalu, telah cukup membuatnya harus
berhati-hati dalam menuduh orang, meski kemungkinannya cukup besar.
"Paman! Kau tahu bukan, kalau ini perbuatan pemuda bernama Katakili?" desak
Lestari. "Kita tak punya bukti, Nduk...."
"Kenapa tidak" Paman mengatakan kalau semua orang yang lima tahun lalu
mengeroyok orang-tuanya, telah tewas. Dan kini, hanya tinggal tiga orang lagi.
Siapa lagi yang telah melakukan ini kalau bukan dia"!"
"Banyak hal yang tak terduga, Nduk. Seperti apa yang kau alami tadi. Gondotikur
tak mempunyai permusuhan dengan nenekmu. Tapi kalau ada kesempatan bertemu, dia
tentu akan mencari gara-gara. Bahkan berusaha membunuh nenekmu...,"
lanjut Ki Wempang.


Pendekar Rajawali Sakti 92 Kucing Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Paman! Apakah kau hanya ingin mencari-cari alasan agar aku tak menuntut balas
atas kematian eyang dan ibuku" Aku tak peduli, kau akan membelaku atau tidak.
Yang jelas, pemuda itu harus menerima pembalasan dariku!" dengus Lestari geram.
"Dendam dibalas dendam, tak akan pernah ada habisnya, Nduk. Hendaknya, kau bisa
sedikit meredam hawa nafsumu. Kalau tidak, itu akan mencelakakan dirimu sendiri
pada suatu saat kelak...."
"Simpanlah kata-katamu itu, Paman Untuk saat ini, aku belum membutuhkannya!"
sahut Lestari sambil bangkit dan memalingkan wajahnya.
"Kurasa Ki Wempang benar. Kita harus jelas melihat kepada persoalannya, dan
tidak langsung main tuduh...," kata Rangga yang telah menyusul mereka di dalam
pondok. "Kalian memang bisa mengatakan demikian,
sebab tak mengalami sendiri peristiwa ini. Tapi bagiku, hal ini teramat
menyakitkan!" dengus Lestari sambil menatap bergantian pada Ki Wempang dan
Pendekar Rajawali Sakti.
"Semua orang pernah mengalami hal yang
menyakitkan. Bahkan berkali-kali. Hanya mereka yang dewasa dan mampu berpikir
baiklah yang bisa menguasai diri. Hawa nafsu dan amarah tak akan pernah
menyelesaikan suatu persoalan. Bahkan lebih banyak menyesatkan ke dalam
persoalan yang lebih dalam...," kata Rangga, lirih.
"Benar apa yang dikatakan Rangga tadi, Nduk.
Cobalah untuk tabah dan berpikir setenang mungkin Tanpa rasa amarah yang meluap-
luap dan hawa nafsu yang menguasai diri, niscaya kau akan menjadi dewasa dan mengerti arti
hidup ini."
Lestari diam mendengar kata-kata itu. Tangisnya mulai reda, lalu merenung
beberapa saat. Entah memikirkan kata-kata yang dikeluarkan kedua laki-laki itu,
atau meratapi nasibnya yang malang.
Pada saat itulah muncul seseorang bertubuh kecil dan berkulit hitam. Tubuhnya
kurus dan wajahnya agak buruk. Dia memandang takut-takut ke arah Lestari.
"Jaka Dolok! Kaukah yang menguburkan mereka?"
Laki-laki kecil berparas buruk itu mengangguk lemah. Seketika, wajahnya terlihat
sedih dan air matanya menetes dari kelopak matanya. Lestari bangkit dan
mencengkeram kedua bahu bocah itu.
"Katakan! Siapa yang membunuh mereka! Ayo, katakan...!"
"Seorang pemuda.... Bajunya kotor..., dan banyak membawa kucing. Dia..., dia
membunuh Nyi Selasih dan Nyi Rupani dengan kejam...," tutur bocah yang dipanggil
Jaka Dolok. "Keparat'"
Lestari mengepalkan tinjunya, kemudian
memandang kepada Rangga dan Ki Wempang
bergantian. Sepertinya, dia ingin mengatakan bahwa dugaannya benar.
"Lestari, aku yakin Katakililah yang melakukannya.
Dan kurasa, biarlah aku yang mewakili orangtua dan nenekmu. Kau masih terlalu
muda...," desah Ki Wempang.
"Tidak! Aku yang harus membunuhnya!" sentak Lestari.
"Jangan, Lestari. Biar aku dan Ki Wempang saja yang menanganinya," timpal
Rangga. Meskipun Ki Wempang berusaha menahan, tapi Lestari bersikeras untuk turut serta.
Dan akhirnya orangtua itu mengalah. Sedangkan Rangga juga tidak bisa berbuat
banyak. "Ke mana tujuan kita?" tanya Rangga.
"Ke mana lagi kalau bukan ke tempat kediaman Ki Rancasena" Tinggal kami berdua
yang menjadi sasarannya. Pemuda itu pasti menuju ke sana, setelah mengetahui
kalau aku tak berada di tempat,"
sahut Ki Wempang.
Kini mereka bergegas pergi dari tempat itu.
*** Di suatu tempat yang agak terpencil dan jauh dari keramaian manusia, atau
tepatnya di lereng Gunung Tidar, Ki Rancasena berdiam di situ. Udara di sekitar
sini terasa dingin. Banyak pepohonan tumbuh di sekitarnya. Dan pada suatu tempat
yang agak datar, berdiri sebuah pondok kecil, yang merupakan tempat tinggal Ki
Rancasena selama lebih kurang empat tahun.
Sejak peristiwa lima tahun lalu, laki-laki tua itu menyadari kalau telah salah
tangan dan membunuh orang yang tak bersalah, yakni si Pedang Angin Selatan. Ki
Rancasena merasa terpukul dan amat bersalah. Bukan saja karena ikut andil besar
bagi kematian Ki Karmani alias si Pedang Angin Selatan. Tapi lebih dari itu,
dialah yang bertanggung jawab dalam menggerakkan tokoh-tokoh persilatan lainnya
untuk menyatroni kediaman si Pedang Angin Selatan.
Ki Rancasena pada dasarnya bukanlah tokoh sesat, namun juga tak bisa dikatakan
tokoh golongan lurus. Pembawaannya kasar dan berangasan, serta
suka membawa perasaan hatinya sendiri. Karena kelakuan itulah, sehingga
membuatnya sering bentrok dengan tokoh-tokoh persilatan lain. Namun di samping
sifat buruknya, masih juga terdapat sifat baik pada dirinya. Laki-laki bertubuh
besar dan berkepala botak itu terkenal akan kejujurannya. Dan dia tak segan-
segan meminta maaf kalau ternyata memang bersalah.
Dan apa yang menimpa Ki Karmani adalah
kesalahannya yang selama ini dirasa paling berat Hal ini membuatnya sering
menyepi di tempat ini, untuk menjauhi keramaian. Ki Rancasena tekun beribadah,
bahkan telah menjadi salah seorang pendeta. Tak heran selama beberapa tahun ini,
sepak terjangnya tak pernah terdengar lagi. Dia betul-betul ingin meninggalkan
dunia ramai dan hidup hanya untuk beribadah.
Matahari baru saja tergelincir ke ufuk barat ketika Ki Rancasena selesai
melakukan sembahyang. Di luar, udara masih terasa panas. Sementara, asap dupa
tampak menyapu tempat itu.
"Graungrrr...!"
"Heh!"
Hampir saja Ki Rancasena terlonjak, ketika tiba-tiba dua ekor kucing
peliharaannya melompat melewati sesajiannya, dan terus berlari ke satu arah.
Hal ini tentu saja menarik perhatiannya. Dan dengan segera, kepalanya menoleh.
Jauh di sana, di bawah sebatang pohon, banyak sekali kucing yang bergerak maju
mendekati pondoknya. Orang tua itu terheran-heran, lalu berdiri tegak untuk
memastikan apa yang tengah terjadi.
Semakin lama, kucing-kucing itu semakin jelas terlihat. Bahkan jumlahnya
mencapai ratusan ekor.
Dan berjalan paling depan adalah sesosok tubuh berpakaian gembel. Rambutnya
kusut masai, dibiarkan terurai tanpa diurus. Ketika jarak mereka telah mencapai
sepuluh tombak, orang itu berhenti memandang tajam ke arahnya.
Dan hal yang membuat Ki Rancasena semakin takjub, ketika ratusan ekor kucing
yang mengekor di belakangnya juga berhenti dan mengikuti perbuatan orang itu.
Binatang-binatang itu memandang tajam ke arahnya dengan sikap buas.
"Jagat Dewa Batara! Keajaiban apakah yang akan kau tunjukkan padaku hari
ini..."!" seru Ki Rancasena dengan wajah berseri.
Laki-laki tua itu melangkah mendekati dan melihat sesosok tubuh yang ternyata
seorang pemuda berwajah kumal. Kuku tangan dan kakinya tampak tajam meruncing,
serta kotor tak terurus.
Langkah Ki Rancasena terhenti. Dan wajahnya yang semula berseri girang hendak
menyambut kedatangan pemuda itu, mendadak sirna. Ketika diperhatikannya, sikap
pemuda itu sama sekali tak menunjukkan persahabatan. Bahkan dari sorot matanya
yang tajam berkilat, terlihat api dendam yang bergejolak.
"Kaukah yang bernama Rancasena...?"
Terdengar suaranya yang serak, berat, dan dingin penuh ancaman.
Ki Rancasena tak langsung menjawab. Ditelitinya penampilan pemuda itu lebih
seksama. "Siapakah kau sebenarnya. Dan, apa maksud kedatanganmu ke tempatku ini" Kalau
benar mencari Rancasena, maka kau tengah berhadapan dengan orangnya," sahut
orang tua itu, ramah.
"Bagus! Berdoalah untuk kematianmu!"
Kembali alis orang tua itu terangkat. Kalau saja pemuda itu mengeluarkan kata-
kata itu beberapa tahun lalu, sudah tentu Ki Rancasena akan langsung melabrak
dan menghajarnya. Tapi tahun-tahun belakangan ini, sedikit banyak hawa nafsu dan
amarah mampu diredamnya. Hingga terlihat orang tua itu menarik napas panjang
mendengar kata-kata si pemuda, kemudian sikapnya berusaha seramah mungkin.
"Orang muda! Kematian bukanlah urusan
manusia. Dan semua itu telah diatur. Kulihat kau datang ke sini membawa seribu
kemarahan yang bergejolak dalam dadamu. Bolehkah kutahu, apa sebabnya?"
"Kematian seseorang memang telah diatur. Tapi kematianmu akulah yang
mengaturnya, seperti kalian mengatur kematian seseorang lima tahun lalu!" sahut
si pemuda yang tak lain Katakili, mendengus geram.
Ki Rancasena bukanlah orang bodoh. Langsung diingatnya kejadian lima tahun lalu,
yang membuatnya menjadi seorang pendeta. Dan melihat kemiripan wajah pemuda ini
dengan seseorang yang takan akan pernah dilupakannya, hal itu sudah bisa
langsung diduga.
"Kau..., kau putra si Pedang Angin Selatan?"
"Bagus! Akhirnya kau cepat mengenali orang, sehingga aku tak perlu lagi
mengenali diri. Nah, Rancasena. Bersiaplah kau! Aku tak suka membuang-buang
waktu. Kalau kau ingin mengambil senjatamu, kuberi waktu sesaat!"
"Aku tak perlu senjata, Anak Muda. Kalau memang kau menghendaki kematianku,
silakan. Aku tak akan melawan sedikit pun. Hanya, berilah kesempatan aku
menjelaskan duduk persoalan dan penyesalanku
selama ini...."
Katakili diam tak menjawab, namun tetap
memandang tajam kepada orang tua itu. Sementara, Ki Rancasena menganggap bahwa
hal itu sebagai jawaban setuju. Maka, diceritakannya penyesalan atas keteledoran
dan kesalahan para tokoh golongan putih yang telah membunuh ayahnya yang tak
bersalah. "Untuk itulah aku hidup menyepi di sini. Tapi, kau jangan salah sangka. Ceritaku
bukan bertujuan untuk mendapatkan belas kasihanmu. Justru, selama bertahun-tahun
aku selalu berharap kau datang dan mencabut nyawaku agar segala kesalahanku
terhapus...," lanjut Ki Rancasena.
*** 8 Katakili masih tetap memandang tajam Ki
Rancasena. Kemudian, terdengar geramannya.
"Huh! Apa pun yang kau katakan, aku tak peduli!
Kau harus mampus hari ini juga!"
"Lakukanlah, Nak. Lakukanlah...."
Pemuda itu membuka jurus sambil mengelilingi lawan dengan sikap siaga. Banyak
hal yang dipelajarinya dalam hidup. Dan salah satunya, adalah tidak percaya pada
omongan manusia. Biarpun orang itu pendeta, siapa tahu hanya tipu muslihat
belaka. Maka tidak heran kalau sikapnya tetap waspada.
"Yeaaah...!"
Katakili menjerit keras, dan tiba-tiba tubuhnya melompat Langsung dihajarnya
orang tua yang tidak bergeming sedikit pun. Ki Rancasena terpental dua tombak
dan jatuh tersungkur di tanah, namun sedikit pun tidak terdengar keluh kesakitan
dari mulutnya. Padahal, tendangannya cukup keras menghantam dada Ki Rancasena. Terlihat ujung
bibir orang tua itu menetes darah dan wajahnya berkerut menahan rasa sakit.
Katakili menggeram buas seperti harimau meraung. Bola matanya tajam ber-kilatan,
dan kedua tangannya sudah membentuk cakar.
"Hiyaaa...! Graungrrr...!"
Ucapan Katakili memang tidak main-main.
Tubuhnya kembali melompat dan menerkam orang tua yang sudah tak berdaya itu
habis-habisan, seperti seekor harimau lapar menyantap mangsanya. Ki Rancasena
hanya bertahan sesaat saja. Tubuhnya
pun terkoyak-koyak tidak berbentuk, dan cairan warna merah membanjir di
sekitarnya. Orang tua itu betul-betul memenuhi janjinya dan tidak melawan sedikit juga.
Bahkan meskipun rasa sakitnya tidak tertahankan, namun sedikit pun tidak
terdengar suara mengiba dari mulutnya. Dia memang terlihat pasrah sekali. Dan
disadari betul kalau dengan cara inilah kesalahannya dapat terhapus.
Sehingga tanpa kenal rasa takut, Ki Rancasena menjemput maut.
Katakili meraung keras sambil menengadahkan wajah ke langit. Dilampiaskannya
dorongan hati yang selama ini menghimpit. Kucing-kucing yang mengerubunginya
seperti merasakan apa yang tengah dirasakan pemuda itu. Bulu-bulu mereka
bangkit. Dan semuanya berdiri tegak dengan mata nyalang.
"Astaga, kita terlambat!"
"Itukah Ki Rancasena" Biadab!"
"Heh!" Katakili memalingkan muka ketika
terdengar langkah tiga orang yang mendekati tempat itu.
Mata pemuda itu menatap tajam ke arah seorang laki-laki tua bertubuh pendek yang
selama ini selalu ada di dalam benaknya. Tanpa mempedulikan pemuda berbaju rompi
putih dan gadis tanggung di sebelah orang tua itu, Katakili melangkah mendekati.
"Ki Wempang, kaukah itu?"
Orang tua itu tersentak kaget. Sorot mata pemuda itu amat tajam, seperti menusuk
jantungnya. Untuk sesaat Ki Wempang tidak mampu menjawab, sampai gadis tanggung
yang tidak lain Lestari melompat langsung berdiri tegak di hadapan pemuda itu
dengan wajah garang.
"Manusia biadab! Kaukah yang membunuh eyang dan ibuku?"
Katakili memandang gadis itu dengan wajah sinis.
"Siapa kau"! Apakah kau salah satu keluarganya yang ingin balas dendam atas
dendam kematian mereka" Silakan. Memang aku yang membuat
mereka mampus!" sahut Katakili dingin.
"Keparat! Kau harus mampus...!"
"Lestari, jangan!"
"Lepaskan aku! Lepaskaaan...!"
Gadis tanggung itu berusaha berontak ketika pemuda berbaju rompi putih yang
tidak lain Rangga berkelebat cepat dan menyambar tubuhnya.
Sebagai orang yang berpengalaman dalam dunia persilatan. Rangga sudah tahu
sekecil apa pun gerakan lawan. Dan hal itu telah ditunjukkan Katakili.
Kedua tangannya tadi sudah bergerak pelan ketika Lestari hendak menyerangnya.
Itu sudah membuktikan kalau pemuda itu tidak bisa dibuat main-main.
"Lestari! Kau sedang terluka. Dan kau juga tidak boleh terlalu banyak
mengeluarkan tenaga!" Rangga mencoba menenangkan gadis itu.
"Aku tidak peduli! Apa urusanmu dalam soal ini"
Huh! Kau tidak merasakan apa-apa! Tidak merasakan orang-orang yang kau cintai
tiba-tiba saja dibunuh dengan keji"! Lepaskan aku! Lepaskaaan...! Biar kuhajar
manusia keparat itu!" Lestari berusaha berontak dengan seluruh kekuatannya.
Rangga tahu, hal ini akan mencelakakan Lestari sendiri. Maka cepat ditotoknya
gadis itu. "Maaf...!"
Tuk! Tuk! "Kau kepa...."
Tubuh Lestari ambruk bagai tidak bertenaga, dengan suara terkunci di
tenggorokan. Dari sorot matanya, Rangga bisa melihat kebencian dan amarah yang
memuncak. Namun hal itu tidak dipedulikannya.
Kepalanya lalu berpaling ke arah Ki Wempang dan Katakili yang tengah berhadapan.
Sementara, Katakili sama sekali tidak terpengaruh oleh kejadian barusan.
Perhatiannya tengah dipusatkan kepada orangtua itu, dan siap melakukan serangan.
"Kisanak! Tidak bisakah kita bicara baik-baik...?"
Katakili memandang kepada pemuda berbaju
rompi putih itu dengan tatapan tidak senang.
"Siapa kau"! Apakah kau pun akan ikut campur dalam urusanku"!"
"Aku hanya seorang kawan yang berusaha
mengingatkanmu. Telah banyak yang menjadi korban.
Apakah kau tidak berniat mengakhirinya saja dengan perdamaian" Tidak terbukakah
hatimu bahwa dendam bukanlah satu-satunya penyelesaian yang baik" Dendam akan
dibalas dengan dendam juga.
Dan itu tidak akan pernah ada habis-habisnya...."
*** "Tutup mulutmu! Aku tidak butuh ocehanmu. Kau tahu apa pada peristiwa yang
terjadi padaku" Aku tidak peduli, mereka mau dendam atau tidak. Dan aku juga tak
peduli, mereka mau pasrah atau melawan. Seperti apa yang mereka lakukan pada
kami lima tahun lalu. Tanyakan pada orangtua busuk ini! Bagaimana mereka
mengejar-ngejar kami seperti binatang buruan, dan membunuh ayahku seperti
hewan!" sentak Katakili garang.
"Kalau tindakanmu seperti mereka, itu artinya kau
tidak lebih baik ketimbang mereka. Lalu, apa yang kau cari dengan membunuh
mereka semua?" tanya Rangga, tenang.


Pendekar Rajawali Sakti 92 Kucing Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku tidak pernah mengatakan kalau diriku lebih baik dari mereka. Juga, aku
tidak berharap pengakuan dari siapa pun. Tapi, kematian mereka adalah tujuan
utamaku!" "Kisanak! Itu suatu niat buruk yang tidak dimiliki manusia. Padahal, manusia itu
pada dasarnya hidup berkasih sayang dan saling memaafkan. Apakah kau hendak
memungkiri bahwa kau masih seorang manusia dengan naluri kebaikanmu?"
"Setan busuk! Aku tak punya banyak waktu untuk meladeni bicaramu. Menyingkirlah!
Atau, kau ingin dapat bagian menjadi korbanku pula"!" bentak Katakili garang
sambil menuding ke arah Rangga dengan wajah penuh kebencian.
"Rangga..., menepilah. Biarkan dia menyelesaikan dendamnya kepadaku...," sahut
Ki Wempang lirih.
"Ki Wempang! Apakah dengan kepasrahanmu itu akan mengubah perangai pemuda ini?"
"Paling tidak, dengan kematianku dia akan sedikit tenang dan bisa melupakan
segala dendamnya...."
"Aaah! Manusia-manusia keparat! Kalian membuatku semakin tidak sabar saja."
"Ki Wempang, awas...!" Rangga berteriak keras sambil mendorong orang tua itu
hingga terjerembab.
Dan dengan demikian, Ki Wempang justru luput dari serangan Katakili yang tiba-
tiba saja melompat bagi seekor kucing menyambar. Melihat serangannya gagal,
tubuhnya langsung berbalik dan kembali menerkam Ki Wempang dengan buas.
"Graungrrr...!"
"Grrr...!"
Terdengar raungan Katakili yang menggelegar.
Maka, kucing-kucing yang selalu mengikutinya serentak saling bersahutan. Ki
Wempang pada mulanya ingin pasrah untuk dihajar pemuda itu.
Namun mendengar suara itu, dia kontan bergidik.
Dan entah kenapa, tiba-tiba tubuhnya bergulingan menghindari serangan lawan.
Rangga menyadari kalau Ki Wempang masih
terluka dalam, sehingga tentu saja tidak akan sanggup menghadapi serangan lawan
lewat dua jurus. Maka dengan cepat Pendekar Rajawali Sakti melompat bermaksud
melindungi orang tua itu.
Tapi.... "Graungrrr...!"
"Heh!"
Bukan main terkejutnya Pendekar Rajawali Sakti ketika dengan tiba-tiba ratusan
ekor kucing melompat buas untuk menyerangnya. Tubuhnya yang telah bergerak,
langsung membuat beberapa lompatan untuk menjauhkan diri dari sambaran kuku dan
gigitan hewan-hewan liar itu. Namun....
Bret! "Sial!"
Rangga mengeluh kecil sambil memaki ketika bahunya sempat tercakar oleh seekor
kucing yang berubah buas bagai hewan kelaparan.
Kedudukan Pendekar Rajawali Sakti saat ini betul-betul sulit. Ke mana pun
bergerak, kucing-kucing itu selalu mengikuti dan ganas menerkamnya. Dirinya tak
ubahnya bagai seekor tikus yang dikepung ratusan ekor kucing yang siap menerkam
dan melahapnya. Tidak terpikir sebelumnya kalau hewan-hewan itu bakal menyerang
sedemikian teratur, sehingga keterkejutannya tidak lenyap untuk
beberapa saat Sampai akhirnya, Rangga terkejut oleh....
"Aaa...!"
"Ki Wempang" Astaga...!"
"Graungrrr...!"
"Yeaaah...!"
Rangga melompat sekuat tenaga bermaksud
menolong Ki Wempang yang sudah tak berdaya di tangan Katakili. Namun sayang,
gerakannya selalu dihambat kucing-kucing itu. Maka dengan rasa geram,
dihantamnya beberapa ekor hingga pecah kepalanya. Tapi kucing-kucing itu seperti
tidak kenal takut. Bahkan malah semakin ganas menyerangnya.
"Grrr...! Graungrrr...!"
"Heh!"
Rangga tersentak ketika sesosok bayangan
menerkam ke arahnya. Tubuhnya cepat diputar, dan berusaha berkelit. Namun
delapan ekor kucing lainnya sudah langsung melompat dan menerkamnya dari arah
belakang. Maka cepat-cepat tangannya dikibaskan ke belakang. Dan....
Prak! Bret! "Setan!" maki Rangga.
Dada Pendekar Rajawali Sakti sempat juga
tercakar salah seekor kucing. Padahal kepalan tangannya sempat menyapu lebih
dari empat ekor kucing yang langsung terpental dengan tubuh remuk.
"Graungrrr...!"
Sesosok bayangan tadi yang tak lain dari Katakili, sudah melepaskan gaetan kaki.
Maka Rangga cepat melenting ke belakang sambil menyampok sambaran kaki lawan
yang mengarah ke lehernya. Dan begitu kaki Pendekar Rajawali Sakti mendarat,
tiba-tiba cakar lawan sudah menyambar ke arahnya. Dengan pengalamannya yang sering
menghadapi ilmu-ilmu sulit, Pendekar Rajawali Sakti cepat berputar bagai gasing
sekaligus menghindari terkaman beberapa ekor kucing yang sangat dekat dengannya.
Maka, lima ekor kembali terpental dengan tubuh remuk.
Tapi.... Breeet! "Akh...!"
Tak urung, bahu Pendekar Rajawali Sakti sempat tercakar oleh Katakili yang terus
mendesaknya. Rasa perih dan sakit mulai menjalar pada lukanya.
Darahnya pun mengucur membasahi rompinya.
"Keparat! Kalian memang binatang liar yang tidak bisa diberi ampun!" geram
Rangga memaki. Didahului oleh bentakan nyaring, Pendekar Rajawali Sakti bersalto beberapa kali
ke tempat yang tanahnya lebih tinggi. Tapi, Katakili dan balatentara kucingnya
terus mengejar dengan cepat.
"Suiiit..!"
Rangga tiba-tiba mengeluarkan siulan panjang yang terdengar aneh bunyinya.
"Graungrrr...!"
Sementara, Katakili menggeram dahsyat Namun....
Cring! Katakili dan kucing-kucingnya seperti tersentak kaget. Untuk sesaat mereka
terpaku ketika melihat perubahan wajah Pendekar Rajawali Sakti yang penuh
perbawa. Sorot matanya tajam berkilau seperti menantang tatapan Katakili. Dan
lebih dari itu, adalah sebatang pedang yang memancar sinar biru berkilau yang
telah dicabut Pendekar Rajawali Sakti dari warangkanya di punggung.
Pedang dalam genggaman Pendekar Rajawali
Sakti memang sedikit membuat hati Katakili bergetar hebat. Tapi kemudian dia
sudah meraung keras. Dan secara serentak, kucing-kucing yang berada di dekatnya
kembali menyerbu ke arah Rangga.
"Graungrrr...!"
*** Ratusan ekor kucing yang dipimpin Katakili siap merobek-robek tubuh Pendekar
Rajawali Sakti.
Meskipun merasa yakin akan mampu menghadapi mereka, tapi Pendekar Rajawali Sakti
ragu apakah bisa lolos" Ratusan ekor kucing bagai gelombang lautan kala
bergerak, bukanlah ancaman main-main.
Secepat apa pun Pendekar Rajawali Sakti bergerak, hewan-hewan itu telah
membuktikan kalau masih mampu melakukan serangan dan merobek bagian tubuhnya.
Dan kalau hal itu berlangsung terus sampai tubuhnya penuh luka dan kehabisan
tenaga, saat itulah barangkali Katakili akan mengambil kesempatan. Tapi Rangga
telah memper-hitungkannya. Itulah sebabnya Pendekar Rajawali Sakti memancing
pertarungan ke tempat yang agak tinggi, dan langsung mengeluarkan siulan
nyaring. Di samping untuk mengalihkan perhatian kucing-kucing dari Lestari, dia
juga bermaksud minta bantuan kepada....
"Khraaagkh...!"
"Bagus, kau cepat datang, Sobat!"
Rangga menunjukkan wajah girang ketika seekor rajawali raksasa terbang rendah
menuju ke tempat mereka. Rupanya, Rajawali Putih tunggangannya telah mendengar
panggilan lewat siulan nyaring tadi.
Katakili dan kucing-kucingnya tersentak melihat
kehadiran burung raksasa itu. Dan saat itu juga dia meraung keras. Maka seketika
ratusan ekor kucing bersiap hendak melompat dan menerkam Rajawali Putih.
"Graungrrr...!"
"Khragkh...!"
Rangga segera memasang mantap kuda-kudanya ketika Rajawali Putih mengepakkan
sayap-sayapnya, sehingga menimbulkan angin menderu hebat di seputar tempat itu.
beberapa batang pohon kecil terlihat tumbang. Sedangkan ranting-ranting serta
cabang-cabang pohon yang batangnya besar, terlihat patah. Batu-batu beterbangan
disertai debu yang membubung tinggi menyelimuti tempat itu. Bahkan kucing-kucing
pengikut Katakili terlempar bagai sehelai daun kering tertiup angin. Tapi,
Katakili sendiri tetap berdiri tegak sambil menahan tekanan angin yang dahsyat
itu. Melihat keadaan seperti ini terus-menerus, membuat Katakili jadi kalap. Maka
tanpa banyak perhitungan lagi, seluruh kekuatannya dikerahkan Dan sambil meraung
keras, dia melompat hendak langsung menghabisi Pendekar Rajawali Sakti.
Dan pada kenyataannya, tindakan Katakili sudah diduga Rangga. Pendekar Rajawali
Sakti hanya berdiri tegak, bersiap menyambut serangan lawan. Dan begitu serangan
hampir dekat, Pendekar Raja wali Sakti melesat cepat seraya berputaran beberapa
kali di udara. Dan pada saat yang bersamaan, pedangnya dikelebatkan dua kali ke
sasarannya yang masih di udara, ketika tubuhnya bergerak.
Cras! Cras! "Aaa...!"
Terdengar pekikan keras begitu pedang Pendekar
Rajawali Sakti menyambar tubuh Katakili. Dan begitu mendarat, Katakili langsung
roboh dengan guratan luka menyilang di dada, setelah terbabat pedang Pendekar
Rajawali Sakti yang dikeluarkan lewat pengerahan ilmu 'Pedang Pemecah Sukma'
tingkat terakhir. Tubuh Katakili kini diam tidak bergerak-gerak lagi. Mati!
Rangga yang sudah mendarat kembali di tanah, menghela napas pendek. Sementara
itu, Rajawali Putih telah menghentikan kepakan sayapnya. Tempat itu kini
terlihat porak-poranda bagai dilanda angin puyuh. Kucing-kucing yang tadi
berkumpul telah tersapu bersih. Banyak di antaranya yang mati terbentur batu
atau batang-batang pohon.
Sementara, sekitar lima puluh ekor tampak berusaha bangkit sambil berjalan
dengan wajah bingung.
"Lestari...!" Rangga tersentak kaget ketika teringat pada gadis itu.
Buru-buru Pendekar Rajawali Sakti mencarinya ke tempat tadi. Tapi, Lestari telah
lenyap. Dan di tempat tubuh gadis itu tadi bersandar, terdapat guratan tulisan
yang tertera di batang pohon.
Terima kasih, kau telah menyelamatkan anakku.
Biarlah kini Lestari menjadi urusanku. Aku tidak sempat mengucapkan terima kasih
langsung, karena kau sedang bertarung. Tapi aku yakin, kau mampu mengatasi
pemuda itu. Lain waktu, akan kusempatkan untuk mencarimu dan mengucapkan terima
kasih secara langsung.
Salam hormatku, Permana.
"Hm.... Agaknya ayahnya datang menolong...,"
gumam Rangga sambil mengangguk tenang.
Pendekar Rajawali Sakti kembali berjalan
menemui Rajawali Putih yang telah mendekam di
tempat yang agak lapang. Ditepuk-tepuknya leher burung raksasa itu beberapa
kali. Rangga lalu memandang ke sekeliling tempat itu, dan melompat ke punggung
Rajawali Putih.
"Ayo, Rajawali. Kita tinggalkan tempat ini!" ujar Rangga, lalu melesat dan
mendarat di punggung tunggangannya. Manis sekali gerakannya, pertanda ilmu
meringankan tubuhnya telah begitu tinggi.
"Khragkh!"
Rajawali Putih mengeluarkan suara halus, namun terdengar keras sekali di
telinga. Kemudian sayapnya langsung dikepakkan, dan segera melesat ke udara.
Sementara, angin kembali bertiup kencang
menambah porak-porandanya tempat itu. Sesaat kemudian, mereka telah berada di
angkasa. Dan kini yang terlihat hanya sebuah titik hitam yang berbaur dalam kelabunya
senja. Sementara di ujung barat sana, matahari memancarkan sinar kuning
kemerahan. Burung-burung kembali terbang ke sarang, dan hewan-hewan malam mulai
berkeliaran menyambut malam.
SELESAI Serial Pendekar Rajawali Sakti
dalam episode-episodenya yang menarik:
1. IBLIS LEMBAH TENGKORAK
2. BIDADARI SUNGAI ULAR
3. SEPASANG WALET MERAH
4. KITAB TAPAK GENI
5. NAGA MERAH 6. PRAHARA GADIS TUMBAL
7. PERTARUNGAN DI B. SETAN
8. IBLIS WAJAH SERIBU
9. MANUSIA BERTOPENG H
10. PENGANTIN BERDARAH
11. JAGO-JAGO BAYARAN
12. RAHASIA PURI MERAH
13. ASMARA MAUT
14. API DI KARANG SETRA
15. DURJANA PEMETIK BUNGA
16. RAHASIA KALUNG KERAMAT
17. PERAWAN R. TENGKORAK
18. DARAH PENDEKAR
19. PUTRI KERUDUNG HIJAU
20. PENYAIR MAUT
21. SEPASANG RAJAWALI
22. SABUK PENAWAR RACUN
23. JAGO DARI MONGOL
24. KEMELUT PUSAKA LELUHUR
25. BANGKITNYA P. WANGI
26. HANTU KARANG BOLONG
27. DENDAM ANAK PENGEMIS
28. MACAN GUNUNG SUMBING
29. MUTIARA DARI SELATAN
30. WARISAN BERDARAH
31. KAUM PEMUJA SETAN
32. PERMAINAN DI UJUNG M.
33. MANUSIA BERACUN
34. JARI MALAIKAT
35. SERULING PERAK
36. PENARI BERDARAH DINGIN
37. SANG PENAKLUK
38. DEWA IBLIS 39. DENDAM RARA ANTING
40. PEMBURU KEPALA
41. DARAH DAN ASMARA
42. KEMBANG KARANG HAWU
43. HURU-HARA DI W. KAM BANG
44. SETAN PEDANG PERAK
45. SATRIA BAJA HITAM
46. MISTERI PERAMAL TUA
47. BURONAN SINGO WULUNG
48. GENTA KEMATIAN
49. GELANG NAGA SOKA
50. GERHANA K. KEDATON
51. TUMBAL P. SAMUDERA
52. MUSTIKA KUBURAN TUA
53. JARINGAN HITAM
54. PEMBALASAN MINTARSIH
55. SILUMAN ULAR MERAH
56. PEMBUNUH MISTERIUS
Created ebook by
Scan & Convert to pdf (syauqy_arr)
Edit Teks (Zinc Ziko)
Weblog, http://hanaoki.wordpress.com


Pendekar Rajawali Sakti 92 Kucing Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Thread Kaskus: http://www.kaskus.us/showthread.php"t=1397228
Pedang Ular Mas 14 Pendekar Kembar 4 Setan Cabul Pendekar Naga Mas 1
^