Pencarian

Kucing Siluman 1

Pendekar Rajawali Sakti 92 Kucing Siluman Bagian 1


Ebook by syauqy_arr
Edit by Zinc Ziko
KUCING SILUMAN oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Rajawali Sakti
dalam episode 092:
Kucing Siluman 128 hal ; 12 x 18 cm
1 Dua orang terlihat berdiri saling memunggungi, menghadapi lebih dari lima belas
orang laki-laki yang mengepungnya. Dan tampaknya, para penge-pung sudah siap
menyerang. "Karmani! Sekali lagi kuperingatkan, lebih baik kau dan putramu menyerah. Kalau
tidak, kami akan meringkusmu hidup atau mati!" bentak salah seorang pengepung.
Tubuhnya besar dan berkepala botak.
Sebuah senjata berupa bandul besi berduri tampak tergenggam di tangan kanannya.
"Rancasena! Jangan harap aku akan menyerah begitu saja! Dan perlu kau ketahui,
aku tidak pernah melakukan kejahatan, seperti yang kalian tuduhkan.
Itu sama sekali tidak beralasan!" sanggah laki-laki berusia empat puluh tahun.
Tubuhnya kurus, dan rambutnya panjang.
"Phuih! Percuma saja dia diajak bicara baik-baik.
Lebih baik langsung hajar saja, dan jangan diberi ampun!" selak seorang bertubuh
pendek dan berambut putih. Tangannya tampak memegang sebatang tongkat panjang.
"Betul kata Ki Wempang! Lebih baik kita hajar saja. Rasanya tak ada gunanya
berlama-lama mendengarkan segala omong kosongnya!" sambut seorang perempuan
berusia sekitar tiga puluh lima tahun. Namanya, Nyai Selasih.
"Kalau terus mengundur-undur waktu, dia akan berpikir kalau kita takut padanya.
Hari ini matanya harus dibuka agar tidak besar kepala dan merasa
paling jago di kolong langit!" sambung laki-laki setengah baya. Kumisnya
melintang dengan cambang bauk, membuat angker tampangnya. Dia sering dipanggil
dengan nama Ki Sartowo.
"Huh! Kalian mengaku tokoh terhormat di dunia persilatan, tapi ternyata hanya
orang-orang picik yang menuduh secara sembarangan, tanpa memberi bukti nyata!"
dengus laki-laki yang dikepung, dan ternyata bernama Ki Karmani.
"Keparat! Bukti apa lagi yang perlu kami jelaskan"!
Semua orang telah mengatakan kalau kau adalah pembunuh, pemerkosa dan perampok
yang merajalela!" sentak laki-laki berkepala botak, yang dipanggil Ki Rancasena.
"Mana buktinya"! Apa kau melihat sendiri kalau aku telah melakukan semua
perbuatan itu?" tanya Ki Karmani gusar.
"Sudahlah, Ki Rancasena. Untuk apa lagi
mempersoalkan hal itu" Mana mungkin semua itu diakuinya!" selak laki-laki
bertubuh pendek dan berambut putih. Dia tadi dipanggil Ki Wempang.
Agaknya, tangan Ki Wempang sudah gatal untuk menghajar lawannya.
Kata-kata Ki Wempang itu disambut yang lainnya dengan penuh amarah dan nafsu
meluap-luap, untuk segera meringkus Ki Karmani dan putranya.
"Katakili! Kalau kau ada kesempatan, pergilah jauh-jauh dari sini untuk
menyelamatkan diri," bisik Ki Karmani kepada putranya yang baru berusia tiga
belas tahun, dan bernama Katakili.
"Tapi, Ayah. Mana mungkin aku meninggalkanmu sendirian, padahal kau sedang
menghadapi mereka...."
"Jangan membantah! Kau tahu, hanya kaulah
satu-satunya putraku. Kalau kau mati, siapa nanti yang akan membersihkan nama
keluarga kita dari tuduhan kotor ini" Dan Ayah sama sekali tak pernah melakukan
apa yang dituduhkan. Kau harus
mempercayainya, Katakili!" ujar Ki Karmani.
Katakili diam tak menjawab. Sedangkan tangannya sudah menggenggam gagang pedang
erat-erat Dia tidak tahu pasti, apakah akan mampu menahan satu atau dua jurus
melawan para tokoh berilmu tinggi yang saat ini tengah mengepungnya. Pemuda
tanggung itu mencoba membesarkan hati sambil mengingat-ingat bahwa selama ini
ayahnya adalah pendekar kondang yang disegani kalangan rimba persilatan. Karena
fitnah keji, nama baik Ki Karmani tercemar. Dan kini, para tokoh persilatan
berbondong-bondong ingin menangkapnya untuk diadili dengan paksa. Kalau berani,
tentu tidak begini banyak tokoh persilatan yang hendak menangkapnya. Justru
karena mereka merasa gentar, sehingga main keroyokan seperti ini.
"Yeaaah...!"
Disertai teriakan keras, para tokoh persilatan itu sudah melompat dengan senjata
masing-masing menyerang Ki Karmani dan anaknya. Sedangkan Ki Karmani langsung
mengayunkan pedang peraknya untuk menangkis sekaligus bertahan. Dan sebenarnya,
Katakili sendiri sudah siap untuk melindungi dirinya. Walaupun disadari, orang-
orang yang di-hadapinya ini sudah tentu bukan tandingannya.
Ki Karmani yang di kalangan persilatan berjuluk Pedang Angin Selatan,
kepandaiannya memang tak diragukan lagi. Senjatanya bergerak cepat menyambar
lawan-lawannya dengan pengerahan tenaga dalam tinggi. Dalam jurus-jurus pertama,
tampaknya dia masih mampu melindungi diri. Bahkan mampu balas menyerang dengan
gencar. Hal itu tentu saja membuat para pengeroyoknya semakin penasaran dan geram.
Mereka mencoba menerobos pertahanan Ki Karmani dengan mencecar Katakili. Tapi
pemuda tanggung itu pun agaknya tidak muda dikecoh. Gerakan-gerakan kaki dan
tubuhnya begitu gesit, berusaha mengelak dari setiap serangan. Pedangnya
berkelebat cepat, membalas setiap serangan lawan.
Sementara itu, Ki Karmani selalu tidak lepas mengawasi anaknya. Bila Katakili
terlihat mulai terdesak, dengan cepat perhatian lawan-lawannya dialihkan.
Langsung digempurnya orang-orang yang menyerang putranya itu.
Tapi meski bagaimanapun, tenaga manusia ada batasnya. Apalagi dikeroyok sekian
banyak orang yang memiliki kepandaian tidak rendah. Dan inilah yang dialami Ki
Karmani dan putranya. Mereka bukannya tak menyadari. Berkali-kali Ki Karmani
mencari peluang, agar putranya mampu meloloskan diri. Namun niatnya selalu
gagal, karena ketatnya kepungan lawan-lawannya.
"Mau coba-coba kabur, heh...! Jangan harap bisa melakukannya, Keparat!" dengus
Ki Rancasena sambil memutar-mutar bandulnya, dan langsung dihantamkan ke tubuh
Katakili. "Hup! Yeaaah...!"
Namun dengan gerakan yang sangat cepat,
Katakili mengecutkan pedangnya. Cepat ditangkisnya serangan Ki Rancasena.
Dan.... Bet! Trang! "Aaakh...!"
Pada saat itu pula, Ki Karmani mencelat sambil mengayunkan pedang untuk
melindungi putranya yang tengah menahan sakit. Tapi pada saat yang bersamaan,
tiga orang tokoh persilatan yang kepandaiannya setingkat Ki Rancasena bergerak
cepat menyerang. Laki-laki bertubuh kurus dan berambut panjang itu mulai sibuk.
Seluruh kecepatan geraknya sudah dikerahkan untuk menangkis semua serangan yang
dilancarkan lawan.
Tapi kali ini nasib sial menimpa Ki Karmani. Dua buah senjata berlainan jenis
beradu keras di udara.
Katakili kontan terjajar mundur dua tombak dengan mulut meringis menahan sakit.
Memang, tenaga dalamnya masih di bawah Ki Rancasena.
Maka tak heran kalau laki-laki berkepala botak itu tidak mengalami apa-apa
begitu terjadi benturan.
Ujung trisula Ki Sartowo tak urung berhasil menggores punggungnya. Untung saja,
goresan itu tidak begitu dalam, sehingga darah yang keluar tidak begitu banyak.
Dan kini, Ki Karmani terpaksa harus membuang dirinya, dan berguling beberapa
kali. Dan begitu bangkit berdiri, dia kembali menyerang ganas, memporak-
porandakan para pengeroyoknya.
"Katakili, cepat kau pergi dari sini!" teriak Ki Karmani.
"Tapi, Ayah...," Katakili mencoba membantah.
"Cepat pergi kataku! Selamatkan dirimu!" bentak Ki Karmani.
Katakili tidak bisa lagi membantah, walaupun melihat ayahnya terluka. Namun
perintah ayahnya memang tidak bisa dibantah lagi. Dengan hati berat, Katakili
berusaha meninggalkan arena pertarungan.
Namun baru juga hendak melesat pergi, tiba-tiba saja....
"Hei! Jangan coba-coba kabur kau...!" dengus Ki Rancasene. "Yeaaah...!"
"Hup! Hiyaaa...!"
Begitu melihat Ki Rancasena dan Ki Wempang bermaksud menghalangi putranya, tanpa
mempedulikan lukanya lagi, Ki Karmani cepat melesat Pedang di tangannya diputar-
putar cepat, mendesak kedua orang itu. Namun serangan-serangan gencar Ki Karmani
tidak berlangsung lama, ketika lawan-lawannya yang lain telah menyerbu. Bahkan
salah seorang berhasil melukai bahunya. Namun lukanya yang terus mengucurkan
darah sama sekali tak dipedulikan. Dia terus bergerak cepat menyerang orang-
orang yang menghalangi putranya melarikan diri dari kepungan lawan-lawannya.
"Cepat, Katakili...!" seru Ki Karmani.
"Hup! Hiyaaat...!"
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Katakili segera melesat begitu mendapat
kesempatan yang hanya sedikit ini. Tak ada lawannya yang mengejar kali ini.
Memang, lawannya lebih memusatkan perhatian untuk melumpuhkan Ki Karmani. Namun
pada saat itu juga...
"Hiyaaat..!"
Cras! "Aaakh!"
Ki Karmani menjerit keras agak tertahan, begitu salah seorang lawan berhasil
membabatkan pedang ke tubuhnya. Kembali darah muncrat dari dadanya yang terbelah
pedang. Keseimbangan tubuhnya pun jadi goyah. Tubuhnya terhuyung-huyung sambil
mendekap luka di dada yang terus-menerus
mengucurkan darah.
Sementara, Katakili yang sudah berhasil lepas dari
kepungan orang-orang itu sempat juga mendengar teriakan ayahnya. Dia berhenti
berlari, dan cepat memutar tubuhnya. Kedua bola matanya jadi terbeliak, melihat
ayahnya terhuyung-huyung sambil mendekap dadanya yang terluka.
"Ayah...," agak tersedak suara Katakili. "Hiyaaat...!"
Pada saat itu juga, terlihat Ki Rancasena melompat cepat bagai kilat ke arah Ki
Karmani. Senjatanya diayunkan disertai pengerahan tenaga dalam tinggi sekali. Sementara,
Ki Karmani hanya bisa terpaku dengan kedua bola mata terbeliak lebar.
Luka-luka yang diderita memang sudah tidak lagi memungkinkannya untuk bergerak
cepat menghindar. Dan...
Prak! "Aaa...!"
Kembali terdengar jeritan panjang melengking tinggi, saat bandul berduri Ki
Rancasena mengancam batok kepala Ki Karmani. Seketika itu juga, batok kepala
laki-laki berusia sekitar empat puluh lima tahun itu hancur berantakan. Darah
kontan muncrat ke segala arah.
Hanya sebentar saja Ki Karmani masih mampu berdiri, sesaat kemudian tubuhnya
ambruk menggelepar, tidak bernyawa lagi di tanah berumput ini. Sementara di tempat yang
cukup jauh, hati Katakili benar-benar menangis menyaksikan kematian ayahnya yang
menggiriskan. Dia hanya mampu memandang dan menggigit-gigit bibirnya sendiri.
Namun, seluruh tubuhnya menggeletar. Dan napasnya juga terdengar memburu.
"Ayah...."
Katakili tidak dapat lagi meratapi kematian ayahnya, karena Ki Rancasena sudah
cepat memutar tubuhnya berbalik ke arahnya berdiri.
"Bunuh bocah itu...!" teriak Ki Rancasena, memberi perintah.
Mendengar teriakan Ki Rancasena, langsung saja orang-orang yang tadi mengeroyok
Ki Karmani berlarian mengejar. Sementara, Katakili sudah lebih dulu berlari
cepat sekuat tenaga.
*** Sementara itu Katakili terus berlari seperti dikejar setan. Di pelupuk matanya
terbayang kematian ayahnya yang begitu menyedihkan. Dan hal itu membuat
semangatnya untuk hidup menjadi berlipat ganda. Dia tidak sudi tertangkap oleh
para pengejarnya. Yang penting, dia harus bisa selamat, untuk membalaskan
perlakuan mereka suatu hari nanti. Itu tekadnya.
Katakili sedikit berpaling ke belakang, ketika mendengar suara-suara para
pengejarnya dari belakang. Jelas sekali terdengar seakan-akan sudah begitu
dekat. Maka seketika jantungnya seperti berhenti berdetak.
"Tangkap bocah itu!"
"Jangan biarkan lolos!"
"Tangkap...!"
"Bunuh...!"
Meski masih muda dan belum banyak pengalaman dalam dunia persilatan, tapi sejak
bocah Katakili telah dididik ayahnya dengan keras dalam menuntut ilmu olah
kanuragan dan kesaktian.
Hingga, tidak heran kalau kemampuannya
melebihi anak-anak seusianya. Begitu pula halnya dalam ilmu meringankan tubuhnya
yang sudah cukup
tinggi dan bisa diandalkan. Tidak percuma Ki Karmani dijuluki Pedang Angin
Selatan. Salah satu keahliannya selain memainkan jurus-jurus ilmu pedang, juga
sangat hebat dalam soal ilmu meringankan tubuh.
Dan itu pun diturunkan kepada anaknya.
Tapi meskipun begitu, kemampuan Katakili ada batasnya juga. Setelah sekian lama
berlari, kelelahan mulai menyergapnya. Tubuhnya terasa penat bukan main, dan
otot-ototnya mulai mengejang. Tiba di sebuah pinggiran hutan dekat kaki gunung,
jarak mereka semakin dekat saja. Dan kini Katakili mulai putus asa. Keputusasaan
Katakili memang harus dibayar mahal. Para pengejarnya kini benar-benar hampir
dekat dengan anak muda tanggung itu. Maka, sebentar saja Katakili sudah kembali
terkepung, ketika larinya berhenti di depan sebuah lubang dalam yang ditutup
semak dan ranting-ranting kecil.
"Ha ha ha...! Mau lari ke mana lagi kau, Bocah"
Hari ini kau harus mampus seperti ayahmu!" kata salah seorang yang berwajah
berangasan. "Huh! Ayahnya penjahat, anaknya pasti lebih jahat lagi kelak. Orang-orang
seperti kalian mestinya cepat-cepat mampus!" dengus yang lain.
"Bunuh saja dia...!" seru seorang lagi dengan suara keras menggelegar.
"Yeaaah...!"
Salah seorang pengejar yang berada paling depan, tiba-tiba saja melompat sambil
berteriak keras. Di tangannya tergenggam sebilah clurit yang siap menyambar
kepala Katakili.
Meski tubuhnya terasa letih dan tenaganya terkuras habis, tapi pemuda tanggung
ini masih mempunyai semangat untuk tidak tewas di tangan lawan. Dengan untung-
untungan kepalanya ditunduk-
kan. Tapi saat itu juga, sebelah kakinya terkait akar pohon. Dan seketika
tubuhnya langsung tersungkur ke depan. Dan...
"Aaa...!"
Orang-orang itu buru-buru melompat ke depan ketika tubuh Katakili terjerumus ke
dalam lubang di depannya. Tak seorang pun mengetahui, tempat apa itu
sesungguhnya. Memang, lubang itu sendiri sama sekali tak terlihat. Mereka hanya
bisa terlongong bengong, sambil mendengar jeritan Katakili yang menggema
panjang. "Sial! Dia lolos lagi!" dengus salah seorang.
"Kenapa tidak turun saja ke dalam" Siapa tahu lubang ini tidak terlalu dalam?"
usul yang lain.
"Tidak semudah apa yang kau kira," sahut laki-laki brewok dan bercambang bauk,
yang bernama Gumarang. Ki Gumarang kemudian menjatuhkan sebuah batu yang cukup besar ke dalam lubang.
Lalu disuruhnya yang lain untuk menajamkan pendengaran.
"Kalian dengar" Suara batu itu sama sekali tak terdengar. Itu membuktikan kalau
lubang ini sangat dalam. Siapa di antara kalian yang mengetahui kalau dasarnya


Pendekar Rajawali Sakti 92 Kucing Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cukup aman" Siapa tahu batu-batu runcing akan menanti kita. Dan bocah itu, mana
mungkin bisa selamat" Tubuhnya lemah dan tenaganya terkuras habis. Jatuh pada
kedalaman yang tak terukur, tentu tak akan selamat"
"Jadi apa yang harus kita lakukan?" tanya yang lain.
Semua mata kini saling memandang dengan wajah bingung bercampur geram.
'Tidak ada yang bisa dilakukan di sini. Sebaiknya, kita kembali saja. Katakan
pada yang lainnya, bocah
itu sudah mampus di dasar lubang ini!"
Kini tidak ada seorang pun yang membuka suara.
Mereka semua mengira kalau Katakili sudah mati di dalam lubang yang sangat dalam
itu. Dan kini mereka meninggalkan tempat itu disertai gumaman-gumaman tak puas.
*** Benarkah Katakili tewas di dasar lubang itu"
Agaknya bila ajal belum datang, tak seorang pun yang bisa memastikan kematian
seseorang. Meski, bahaya sebesar gunung berada di depan mata.
Begitu juga halnya Katakili. Pemuda tanggung itu merasa kematiannya sudah di
ambang pintu ketika tubuhnya terperosok ke dalam lubang itu.
Semangatnya runtun dan hatinya kecewa bukan main. Dalam kepasrahannya, dia masih
berharap untuk bisa selamat Entah karena harapannya, atau karena memang ajalnya
belum lagi tiba, tubuhnya terhempas di atas tanah yang berlumpur empuk dan
sedikit berair.
Katakili terkejut bercampur gembira. Ternyata tubuhnya hanya tenggelam sebatas
dada. Diam-diam semangat hidupnya bangkit kembali. Dengan semangat baru, matanya
beredar ke sekeliling. Lalu, ditemukannya sebuah batu runcing yang terpasak
dalam ke tanah. Dengan sekuat tenaga tubuhnya digerakkan, untuk menggapai batu
itu agar keluar dari dalam lumpur ini. Masih untung, tempat itu hanya sekadar
lumpur biasa seperti sebuah telaga kecil yang aimya kering dan berkumpul di
tengah-tengahnya. Sehingga tanpa banyak mengalami kesulitan, Katakili berhasil
mencapai tanah yang lebih
keras. "Hhh.... Tempat apa ini" Gelap dan terasa sepi?"
Katakili bertanya pada diri sendiri sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling.
Di dinding ruangan banyak terdapat batu runcing yang mencuat. Di atas permukaan
tanah pun terdapat batu-batu runcing yang menjulang ke atas. Persis di tengah-
tengahnya, ada bekas sebuah telaga yang airnya telah banyak berkurang. Katakili
kemudian menyusuri dinding-dinding ruangan itu. Ketika telah melangkah beberapa
tindak, dia terkejut melihat banyak lukisan dan guratan di dinding ruangan itu.
"He, lukisan-lukisan apa ini?"
Katakili mengamatinya sesaat. Dan pada
dasarnya, pemuda tanggung itu memang cerdas. Dia cepat mengerti pada sesuatu
yang baru dikenalnya.
Dan wajahnya pun langsung berubah gembira ketika mengetahui kalau gambar-gambar
yang tertera di dinding ruangan itu amat dikenalnya.
"Hm.... Ini adalah suatu pelajaran ilmu silat yang hebat bukan main. Tulisan
yang tertera menyebutkan sebuah nama. Waranswami. Lalu, ada tulisan Raja Kucing
Sakti. Sedangkan tulisan-tulisan lain adalah penjelasan dari gambar yang ada,"
gumam Katakili pelan.
Katakili dengan penuh semangat mencoba
mengartikan maksud dari seluruh gambar dan tulisan yang tertera di dinding.
Keningnya terlihat berkerut, dan kelopak matanya jadi menyipit. Dia berusaha
keras untuk bisa memahaminya.
"Si pembuat gambar ini bernama Waranswami, atau lebih dikenal sebagai Raja
Kucing Sakti. Dan..., he! Jurus-jurus yang terdapat dalam gambar-gambar ini
mirip gerakan-gerakan seekor kucing yang sedang
berkelahi," kembali Katakili menggumam pelan, kemudian mengangguk-angguk.
Setelah diperhatikan dengan seksama, ternyata gambar-gambar itu terbagi dalam
dua bebas kelompok. Katakili yang berotak cerdas segera mengerti bahwa tiap
kelompok gambar mewakili satu jurus. Jadi kalau dua belas kelompok, berarti dua
belas jurus dengan tingkatan yang makin tinggi. Dan kesemuanya, memiliki dasar
yang sama. Jurus yang meniru gerakan-gerakan kucing!
Ketika pemuda tanggung itu mengamati jurus kedua belas yang berada di ujung
ruangan, matanya menangkap sebuah batu datar yang menyembul dari permukaan tanah
setinggi kira-kira satu jengkal, dan batu itu juga tak begitu luas. Ketika
didekatinya, tampak di atas batu itu terdapat guratan tulisan.
Tanpa ragu lagi, Katakili mulai membacanya dengan suara menggumam pelan.
"Beruntunglah mereka yang tiba di sini dan menemukan warisanku. Hendaknya,
warisanku dipelajari dengan seksama dan diamalkan dengan cara yang baik. Kucing
adalah binatang buas. Sifatnya pendiam dan cerdik. Dia lembut, tapi juga keras.
Seperti lumpur yang
menghanyutkan, seperti patung batu yang memecahkan...."
Katakili berhenti sebentar, mengamati tulisan yang sangat dalam artinya.
"Hm.... Apa maksud kata-kata ini?" tanya Katakili mencoba mencerna.
Kemudian dia melanjutkan sisa tulisan yang tergurat di atas batu itu.
"Sekerasnya batu ini, tapi lebih keras lagi intinya yang mampu memecahkan
kumpulan batu yang paling keras. Dan berada di dekatnya menjadikan kata raja yang gagah
perkasa dan memerintah dengan leluasa."
Katakili merenung-renung sesaat sambil
mengamati permukaan batu itu dengan seksama.
Apa yang dimaksud dengan inti" Kalau pada baris pertama, tentu sekadar
peringatan dan pem-beritahuan. Tapi pada baris kedua ini, seperti ada rahasia
akan sesuatu" Lalu, bagaimana membuktikannya" Apakah diartikan secara langsung
kalau di dalam batu ini terdapat sesuatu yang akan menjadikan seorang raja"
Berbagai macam pertanyaan bergayut di benak Katakili, namun tak semua bisa
dipecahkannya. Lalu diraba-rabanya pinggiran batu datar itu. Dan, dicobanya
untuk mengangkat. Pada mulanya, hal itu sangat sulit dan tak mampu dilakukannya.
Namun secara tak sengaja, Katakili mengangkat sedikit di bagian atasnya. Maka,
terbukalah bagian atas batu datar yang berbentuk segi empat itu.
Batu itu ternyata seperti kotak. Bagian atasnya ditutup alas yang di beberapa
bagian berbentuk gerigi. Sehingga membuatnya seperti menyatu pada bagian bawah.
Di dalamnya, tampak terdapat sebuah patung kucing dari emas murni berukuran dua
kali kepalan tangan orang dewasa. Dan tanpa ragu lagi Katakili mengambilnya.
Diamat-amatinya sesaat.
Alangkah terkejutnya pemuda tanggung itu ketika seluruh tubuhnya tiba-tiba
terasa bergetar hebat
"Hei"! Apa yang terjadi pada diriku?"
Katakili hanya mendiamkan saja, dan malah menggenggam patung kucing itu lebih
erat lagi. Dan memang, apa yang dirasakannya saat ini sama sekali tak menyakiti
tubuhnya. Malah, membuat tubuhnya
terasa segar. Tenaganya seperti pulih kembali dan peredaran darahnya mengalir
lancar. "Hm.... Patung inikah yang akan membuatku menjadi raja" Tapi bagaimana caranya?"
Lama pemuda tanggung itu berpikir tentang kata-kata yang tertera di permukaan
batu, namun tak juga menemukan maksudnya. Dan dia hanya bisa
menduga. "Mungkin hal itu akan terjadi nanti. Tapi barangkali juga, aku harus membawanya
ke mana saja pergi.
Baiklah. Setelah kupelajari seluruh ilmu silat yang tertera pada gambar-gambar
itu, aku akan membawanya ke mana saja. Mudah-mudahan
dengan cara ini, aku bisa mengetahui maksudnya."
*** Sejak itu, Katakili berada di dalam ruangan ini berbulan-bulan. Dan dengan
tekun, dipelajarinya semua jurus ilmu silat yang terdapat dalam gambar-gambar di
dinding ruangan itu dengan penuh semangat, seperti tak mengenal lelah.
Baginya, tidak ada kesulitan untuk mempelajarinya karena telah memiliki dasar-
dasar ilmu silat sebelumnya. Di tempat itu pun, dia tidak mendapat kesulitan
dalam hal makanan. Selain masih terdapat cukup air, di beberapa pojok ruangan
banyak ditumbuhi jamur yang berukuran besar dan tidak beracun. Di samping itu,
masih terdapat tikus-tikus putih berukuran besar yang dapat ditangkap untuk
disantap. Semangat Katakili memang menggebu-gebu dan pantang menyerah. Padahal, pelajaran
ilmu silat itu besat dan cukup sulit. Namun dendam di hatinya
yang terus bergejolak seperti tak pernah padam, membuatnya terus memacu
keinginannya untuk menguasai secepatnya. Meski begitu, tak terlalu mudah
baginya. Selain harus memiliki tenaga dalam kuat, maka kecepatan bergeraknya
harus dilatih, agar apa yang dimaksud dalam tulisan-tulisan yang mengiringi
gambar-gambar itu bisa tercapai dengan sempurna. Hingga tak terasa, telah lima
tahun Katakili berada di tempat itu sendiri.
*** 2 Hari belum lagi terlalu sore ketika seorang pemuda berwajah cukup tampan tengah
melangkahkan kakinya di sebuah desa. Suasana desa ini terlihat sepi. Malah,
beberapa rumah sudah tampak menutup rapat-rapat pintunya. Pemuda itu
menghentikan langkahnya seraya memandang ke sekeliling, seperti ingin meyakinkan
kalau sesuatu yang dicarinya berada di tempat ini.
"Meong...!"
Tiba-tiba seekor kucing berbulu hitam keluar dari belakang sebuah rumah, dan
menghampiri pemuda itu. Hewan itu memandang sekilas, kemudian mengerjapkan
matanya yang biru beberapa kali dan duduk tenang di situ. Sementara pemuda itu
diam memperhatikan dari balik tudungnya yang besar, hingga hampir menutupi
sebagian wajahnya yang tampan.
Beberapa saat dia masih diam memandangi
kucing hitam di depannya. Dan ketika kembali melangkah, kucing hitam itu pun
bangkit. Lalu diikutinya pemuda itu dari belakang dengan tenang.
"Meong...! Meong...!"
Belum jauh pemuda itu berjalan, tiga ekor kucing lagi keluar dari beberapa
rumah. Binatang itu bergerak perlahan namun pasti, menatapi pemuda itu dan terus
mengekor di belakangnya. Sementara pemuda itu terus berjalan perlahan-lahan,
seperti tidak mempedulikan kucing-kucing yang mengikutinya
dari belakang. Sudut ekor matanya sedikit melirik pada seorang laki-laki tua
yang tengah duduk menjulurkan kakinya di balai-balai bambu depan rumahnya. Tapi
mendadak saja....
"Heh!"
"Graungrrr...!"
"Bangsat!"
Laki-laki tua itu tersentak kaget ketika tiba-tiba seekor kucing peliharaannya
melompat melewati atas kedua kakinya yang sedang menelonjor di balai-balai
sambil mengeluarkan suara menggeram. Nyaris rokok kawung yang sedang dihisapnya
terlempar. Sambil memaki-maki tak karuan, dia buru-buru bangkit. Lalu diambilnya
sebatang batu dan dikejarnya kucing itu.
Tapi langkah orang tua itu mendadak berhenti, ketika di depannya berdiri tegak
sesosok tubuh mengenakan topi lebar.
"Siapa kau, Kisanak"! Dan apa yang kau lakukan hingga kucing-kucing itu
mengikutimu?" tanya orang tua itu tergagap ketika melihat belasan ekor kucing
mengekor di belakang pemuda itu.
"Aku hanya seorang pengembara kesasar.
Namaku Katakili...," sahut pemuda itu datar.
"Dan kucing-kucing itu" Setahuku, mereka milik beberapa orang penduduk desa ini.
Dan sebagian, sering berkeliaran tanpa pemilik. Bagaimana kau bisa
mengumpulkannya?"
Pemuda itu tersenyum sinis.
"Mereka mengikutiku, karena aku tak
menyakitinya. Begitu mereka disakiti, maka akan lari dari kita, seperti apa yang
hendak kau lakukan pada kucingmu tadi," sahut pemuda yang tadi mengaku bernama
Katakili. Laki-laki tua itu terheran-heran melihat kejadian
yang dilihatnya. Bukan itu saja. Selama berdiri di sini, beberapa ekor kucing
lagi menghampiri pemuda itu dan berdiri di dekatnya dengan sikap patuh. Bahkan
beberapa orang pemilik yang amat sayang dengan kucing peliharaannya, telah
keluar. Mereka bermaksud mengejar hewan peliharaannya yang tiba-tiba melompat
dan mendekati Katakili.
"Ki Karta! Siapa orang ini, dan mengapa kucing-kucing di desa ini berlari
menghampirinya?" tanya seseorang pada lelaki tua itu.
"Entahlah. Aku pun tidak tahu...."
Beberapa orang penduduk lain keluar dari
rumahnya ketika mendengar ribut-ribut kecil itu. Dan mereka keheranan ketika
melihat banyak sekali kucing yang berada di dekat Katakili.
"Siapa dia sebenarnya" Apakah dia pawang
kucing?" "Orang ini mengherankan sekali. Bagaimana caranya kucing-kucing ini
dikumpulkan?"
"Kucing-kucing itu tampak patuh padanya!"
Berbagai kata-kata heran para penduduk desa sedikit mengganggu pemuda itu. Dia
menjadi risih, sehingga bermaksud meninggalkan desa ini
secepatnya. Dipandanginya laki-laki tua yang pertama kali ditemuinya tadi.
"Kisanak. Dapatkah kau tunjukkan, di mana tempat kediaman orang yang bernama
Gumarang?"
tanya Katakili, seperti tidak mempedulikan omongan orang-orang desa itu.
"Hm.... Untuk apa kau menanyakan kediaman Juragan Gumarang?" laki-laki tua yang
ternyata bernama Ki Karta malah balik bertanya.
"Dia punya hutang yang belum dibayar padaku,"
sahut Katakili kalem.
Ki Karta mengernyitkan dahi. Setahunya, Juragan Gumarang adalah orang terkaya di
desa ini. Jadi, mana mungkin mempunyai hutang dengan pemuda gembel yang mirip
pengemis ini"
"Kudengar dia berdiam di desa ini. Ayahku, dulu adalah teman lamanya. Dan dia
telah menitipkan sesuatu pada Gumarang. Hari ini, aku bermaksud untuk mengambil
barang itu kembali," jelas Katakili lagi.
Setelah mendengar kata-kata itu, Ki Karta baru mengerti. Maka ditunjukkannya
sebuah rumah yang berada di tengah desa. Sebuah rumah yang paling besar dan
mewah. Halamannya luas berpagar tinggi dengan beberapa orang centeng yang
berjaga di depan pintu gerbang.
Setelah mengucapkan terima kasih, Katakili langsung saja berjalan. Sedangkan
kucing-kucing yang kini berjumlah sekitar dua puluh ekor di belakangnya, terus
mengikuti. Tentu saja hal ini membuat heran dan kagum orang-orang desa. Tanpa
sadar beberapa orang dari mereka mengikuti. Mereka ingin tahu, apa yang akan
dikerjakan pemuda itu di tempat kediaman Juragan Gumarang.
*** "Berhenti! Mau apa kau ke sini"!" cegat seorang centeng yang bertubuh besar dan
berkumis melintang, ketika pemuda itu akan memasuki pintu gerbang.
"Katakan pada majikanmu, hari ini ada orang yang akan menagih hutang lama
kepadanya," sahut pemuda itu tenang.
'Tidak bisa! Hari ini Juragan Gumarang tidak bisa
diganggu. Lebih baik kau datang lain hari saja!"
"Hm...!"
Pemuda itu bergumam dengan wajah tak acuh.
Dipandangnya bangunan besar di depan matanya, kemudian berpaling ke arah tiga
orang centeng yang tengah berdiri tegak di depannya.
'Tak seorang pun yang boleh menunda
kewajibanku untuk menagih hutang kepada siapa saja yang kukehendaki!" kata
Katakili pelan namun mengandung ketegasan.
"Kurang ajar! Agaknya telingamu sudah tuli sehingga tak mendengar kata-kataku,
heh"!" bentak laki-laki berkumis melintang sambil mencabut golok dengan sikap
mengancam. Kedua kawan laki-laki itu malah telah siap sejak tadi, seraya mencabut golok
masing-masing. "Buat apa kau banyak omong segala, Sempur"
Lebih baik, hajar saja gembel tak tahu diri ini!
Tingkahnya membuatku muak saja!" sahut salah seorang yang berbaju merah, garang.
"He, Gembel! Kau dengar itu" Nah, pergilah cepat selagi aku masih berbaik hati
tak menghajarmu!"
bentak orang yang dipanggil Sempur.
"Menepilah! Kalian tak mempunyai urusan
denganku. Jangan membuat persoalan, sehingga akan menimbulkan celaka!" ujar
Katakili, dingin.
"Keparaat! Kau pikir, siapa dirimu sehingga berani berkata begitu padaku"! Dasar
gembel tak tahu diri!


Pendekar Rajawali Sakti 92 Kucing Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lebih baik kau mampus saja!" dengus Sempur jadi berang. "Hih!"
Sret! Sempur langsung saja mencabut goloknya. Dan dengan cepat pula goloknya
dibabatkan ke perut Katakili.
"Haiiit...!"
Namun hanya dengan sedikit saja mengegoskan tubuhnya, sambaran golok itu hanya
lewat di depan perutnya. Dan pada saat itu juga, dengan satu gerakan yang sangat
cepatnya tangan kanan Katakili bergerak cepat. Lalu....
Plak! Begkh! "Aaakh...!"
Sempur memekik kesakitan ketika pukulan tangan kanan Katakili menghantam
dadanya. "Gembel busuk! Pantas saja kau berani
bertingkah! Rupanya, kau memiliki sedikit kepandaian juga. Huh! Di hadapanku kau
tak akan bisa sombong!" bentak salah seorang yang memakai baju hijau, langsung
menyerang pemuda itu dengan golok.
Bersamaan dengan itu seorang kawannya yang berbaju merah sudah ikut-ikutan
mengeroyok. Kini dengan penuh nafsu mereka berusaha mendesak Katakili. Tapi,
pemuda itu tenang sekali
menghindarinya. Gerakannya amat gesit,
menandakan kalau ilmu meringankan tubuhnya telah cukup tinggi. Kemudian tanpa
membuang waktu, diserangnya lawan-lawannya. Sangat sulit mengikuti gerakan-
gerakannya dengan pandangan mata biasa, karena dilakukan begitu cepat.
Mendapat serangan yang begitu cepat dan dahsyat dari Katakili, dua orang
pengeroyok itu jadi kalang kabut Serangan pemuda itu benar-benar sulit diduga
datangnya. Dan ketika lawan yang berbaju hijau terlepas dari desakan, Katakili kembali
menekannya dengan sebuah tendangan berputar setengah lingkaran. Tapi
pada saat yang sama, lawan yang berbaju merah berusaha menebas kakinya.
Cepat-cepat Katakili menarik serangannya.
Namun, sambil menghindari tebasan golok yang mengarah ke kakinya, Katakili
langsung membuat lompatan seperti kucing menyergap tikus. Tangannya menjulur ke
depan dengan jari-jari mirip cakar kucing.
Langsung serangannya yang tak terduga itu diarahkan ke lawannya yang berbaju
hijau, yang belum bisa bertindak apa-apa. Dan... Bret!
"Aaakh...!"
Laki-laki berbaju hijau itu kontan tersungkur dengan dada robek ketika cakar
Katakili mendarat di tubuhnya. Darah tampak merembes di bajunya.
Melihat temannya bisa dirobohkan, laki-laki yang berbaju merah langsung
melancarkan serangannya yang gagal tadi. Tubuhnya langsung melunak, hendak
membokong Katakili yang membelakanginya.
Namun, Katakili cepat menangkap adanya desir angin yang berasal dari serangan
gelap lawannya.
Maka cepat-cepat tubuhnya merendah, dan langsung melepaskan sabetan tangan ke
belakang. Ulu....
Brettt! "Aaakh!"
Laki-laki berbaju merah itu kontan roboh disertai jerit kesakitan, ketika cakar
kucing Katakili merobek perutnya. Darah tampak merembes di bajunya. Sama seperti
nasib laki-laki yang berbaju hijau, laki-laki berbaju merah itu pun tewas,
setelah menggelepar sesaat.
"Siapa lagi yang ingin mampus lebih cepat"!
Majulah sekaligus!" terdengar dingin suara pemuda itu penuh ancaman.
Namun belum lagi hilang suara Katakili dari
pendengaran, tiba-tiba saja terdengar suara yang cukup keras menggema.
"Hm, hebat! Sungguh hebat! Seorang pendekar tangguh berilmu tinggi telah memberi
pelajaran berharga kepada para pengawalku!"
Katakili cepat menoleh ke samping kanan. Tampak seorang laki-laki bertubuh
tinggi dan berusia sekitar lima puluh tahun lebih, telah berdiri di tengah-
tengah arena pertarungan. Tampangnya tampak seram, karena adanya cambang bauk
dan brewok yang sebagian telah memutih. Di tangan kanannya tergenggam sebuah
clurit besar yang tajam berkilat Pemuda itu segera menyipitkan mata dan membuka
tudung kepalanya.
"Gumarang! Bagus, akhirnya kau keluar juga. Hari ini, aku datang untuk menagih
hutang padamu...,"
terdengar dingin sekali nada suara Katakili.
"Siapa kau"! Dan, apa maksud kata-katamu itu"!"
dengus orang tua itu. Dia ternyata memang Gumarang, orang terkaya di desa ini.
"Lima tahun lalu, kau punya hutang kepadaku.
Tidakkah kau ingat?"
"Hutang" Hutang apa?"
"Hutang nyawa Pedang Angin Selatan!"
"Heh" Jadi kau..., kau..., putra Ki Karmani yang terperosok dalam lubang itu"!
Mustahil! Kau pasti bohong!" sentak Gumarang, kaget tak percaya.
"Kau boleh berkata apa saja hari ini. Tapi, jangan harap ampunan dariku.
Perbuatanmu sungguh biadab dan tak mudah kulupakan. Kau binatang liar yang
dengan seenaknya mengadili orang tak bersalah. Hari ini, hari pengadilan bagimu,
Gumarang!"
Wajah orang tua itu yang tadinya pias, perlahan-
lahan berubah menjadi merah. Dia benar-benar geram mendengar kata-kata Katakili
yang dingin dan penuh ancaman. Seperti hendak mengembalikan wibawanya yang jatuh
akibat keterkejutan tadi, wajahnya segera diangkat Dan dengan sikap sinis,
ditunjukkannya keangkuhan dirinya.
"Bocah! Apa kau pikir aku takut melihat
kedatanganmu ini" Kau dan orangtuamu justru sama biadabnya. Maka, sudah
sepatutnya orang seperti kalian mampus!"
"Kau boleh bicara apa saja yang kau suka, Bajingan Busuk! Bersiaplah kau!"
sentak Katakili sengit "Hih! Yeaaah...!"
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Katakili langsung melompat sambil mengirimkan
serangan kilat ke arah Gumarang. Orang tua berwajah penuh brewok itu terkejut.
Sungguh tak disangka kalau lawannya mampu bergerak secepat itu. Maka senjata
clurit yang ada di tangannya langsung diayunkan.
"Yeaaah...!" Wuuut!
"Juragan, kami akan membantumu!" teriak
Sempur dan kawan-kawannya yang masih hidup.
Juragan Gumarang tak menyahut. Sehingga,
Sempur dan kawan-kawannya merasa kalau cara keroyokan sangat diinginkan
juragannya. Dan Katakili sudah begitu kesal. Tubuhnya lalu berbalik cepat sambil
memapak serangan ketiga lawan yang berusaha membokongnya. Tiba-tiba....
"Graungrrr...!"
Dari mulut pemuda itu keluar suara melengking seperti kucing yang sedang marah.
Maka, mendadak saja kucing-kucing yang sejak tadi mengikutinya, berubah liar dan
garang. Bahkan binatang-binatang itu langsung menyerang anak buah
Gumarang dengan buas.
"Heh"!"
"Akh...!"
"Binatang keparat...! Mampuslah kau! Yeaaah...!"
bentak Sempur ketika punggungnya tercakar oleh beberapa ekor kucing.
Dua orang kawannya pun tak luput dari serangan hewan-hewan yang seperti
kerasukan setan itu. Dan justru, yang paling hebat adalah tingkah laku pemuda
bernama Katakili itu. Wajahnya beringas dengan sepasang mata seperti bersinar
garang. Sementara, kedua belah tangannya sudah membentuk cakar.
Dari mulutnya terus memperdengarkan raungan-raungan panjang.
Tentu saja hal ini membuat Gumarang terkejut.
Bulu kuduknya kontan merinding membayangkan kematiannya yang sangat mengerikan.
Belum juga laki-laki tua itu bisa berbuat lebih banyak lagi, tiba-tiba saja
Katakili sudah berkelebat begitu cepat bagai kilat dengan kebutan tangannya.
Juragan Gumarang yang sebenarnya memiliki ilmu olah kanuragan cukup tinggi,
hanya terpaku saja memandangi gerakan Katakili yang dahsyat Entah kenapa, dia
seperti tak mampu bergerak. Hanya matanya saja yang melotot menanti datangnya
ancaman lawan. Maka....
"Graungrrr...!"
Gumarang yang sebenarnya memiliki ilmu olah kanuragan cukup tinggi, hanya
terpaku saja memandangi gerakan Katakili yang sangat dahsyat.
Entah kenapa dia seperti tak mampu bergerak! Hanya mematung saja yang melotot
menanti datangnya ancaman lawan. Maka...
Plak! Breeet! "Aaakh...!"
*** Gumarang menjerit kesakitan saat kulit dadanya robek lebar terkena cakaran
lawan. Tubuhnya tampak terjajar beberapa langkah sambil mendekap dadanya yang
dirobek cakar Katakili. Darah langsung merembes dari sela-sela jarinya. Wajahnya
juga semakin pucat saat melihat kegarangan lawan.
Rasanya, tak mungkin lagi saat ini bisa
menyelamatkan diri. Kecepatan gerak pemuda itu sungguh dahsyat dan sama sekali
tak mampu dibendungnya. Bahkan tenaganya pun sungguh kuat!
Gumarang kini berusaha bergulingan untuk
menyelamatkan diri, ketika terkaman lawan kembali datang. Sesekali senjatanya
diayunkan untuk menghalangi serangan lawan. Namun tetap saja kedudukannya kian
terjepit. Bahkan ketika dia baru saja bangkit berdiri, pergelangan tangannya
terkena cakar lawan.
Breeet! "Ukh!"
Gumarang hanya bisa mengeluh kecil. Tubuhnya yang kian melemah akibat banyaknya
darah yang keluar, membuat tenaga Gumarang melemah. Tak heran ketika Katakili
mengecutkan tangan kanannya cepat bagai kilat, dia sudah tidak mampu berbuat
apa-apa lagi. Akibatnya....
Bresss! "Aaa...!"
"Graungrrr...!"
Pekik kematian Gumarang kontan pecah diiringi
raungan melengking pemuda itu.
Sementara itu, para penduduk desa yang
menyaksikan pertarungan dari jarak jauh, melihat Katakili tengah mencabik-cabik
seluruh tubuh lawan hingga hancur tak berbentuk lagi. Dia berdiri tegak dengan
kedua belah tangan berlumuran darah.
Sekilas, ditatapnya tubuh lawan yang terkoyak-koyak bermandikan darah. Kemudian,
wajahnya menengadah ke langit.
"Ayah! Satu orang di antara keparat-keparat biadab itu telah membayar hutangnya.
Tenangkan-lah arwahmu di akhirat sana...," tiba-tiba terdengar suara keras dari
mulut pemuda itu.
Dan baru saja Katakili merapatkan bibirnya, mendadak....
"Aaa...!"
Pemuda itu tersentak ketika mendengar jeritan panjang. Sinar matanya yang tajam
dan penuh kebencian melihat salah seorang dari ketiga orang centeng Juragan
Gumarang tengah menggelepar dengan tubuh penuh luka-luka cakar. Sementara, dua
orang lagi tengah sibuk melindungi diri dari serbuan kucing-kucing yang kini
berubah semakin liar.
'Terimalah akibat perbuatan kalian yang
menghalang-halangi tugasku. Mampus kau!
Yeaaah...!"
Sambil menggeram hebat, Katakili melompat menyerang kedua centeng itu dengan
kedua tangan terpentang membentuk cakar seperti kucing. Dan dengan kecepatan
bagai kilat, kedua tangannya saling susul-menyusul mencakar-cakar dan sesekali
mengibas. Kedua centeng yang masih sibuk menghindari terjangan kucing-kucing liar itu,
mana mampu menyadari adanya serangan lain. Maka....
Bret! Bret! "Aaa...!"
"Aaakh...!"
Tidak ampun lagi, kedua centeng itu melolong kesakitan ketika tubuh mereka
dicabik-cabik cakar Katakili yang tajam dan kuat bagai baja runcing.
Keduanya kontan roboh dan menggelepar sesaat Dan akhirnya, tubuh mereka diam tak
bergerak bermandikan darah. Mati!
"Graungrrr...!"
"Ngeong...!"
Katakili menggeram, sesaat masih menunjukkan bias wajahnya yang menyeramkan.
Kucing-kucing yang berada di dekatnya langsung mengerubungi sambil memandangnya
sekilas, kemudian
menundukkan kepala dengan sikap hormat Dan perlahan-lahan, terlihat keadaan
pemuda itu kembali seperti semula. Tenang dan tak banyak bicara.
Diperhatikannya kucing-kucing itu dengan seksama sambil mengingat-ingat sesuatu.
"Hm.... Aku tak sadar mengeluarkan aji 'Kucing Siluman'. Dan ternyata,
pengaruhnya hebat sekali pada kucing-kucing ini. Inikah yang dimaksudkan tulisan
yang berada di atas batu datar itu" Berarti aku menjadi raja, dan bisa
memerintah mereka?"
Sekali lagi, Katakili memandangi kucing-kucing yang kini menjadi sangat patuh
padanya. Sementara, dari tempat yang agak jauh, orang-orang desa terus
memperhatikan. 'Berbarislah kalian di depanku sini!" ujar Katakili pelan sambil menuding ke
depan. Dan sungguh ajaib...! Seperti mengerti apa yang dimaksudkan pemuda ini, kucing-
kucing yang berjumlah puluhan itu berbaris rapi di depannya. Bibir Katakili tersenyum sambil
mengangguk-anggukkan kepala. Wajahnya kembali menengadah ke langit, kemudian
menoleh sekilas kepada para penduduk desa yang sejak tadi memperhatikannya
dengan wajah takjub.
Dan tak berapa lama kemudian, Katakili
meninggalkan tempat itu tanpa mempedulikan keadaan. Sementara kucing-kucing itu
patuh mengikutinya dari belakang.
"Gila! Barangkali dia bukan manusia biasa!" desis salah seorang penduduk sambil
menggeleng-gelengkan kepala.
"Menggiriskan dan tak kenal ampun! Siapa dia sebenarnya?"
"Kepandaiannya hebat bagai siluman!"
"Siluman Kucing!" sahut seseorang dengan mata melotot.
"Ya! Siluman Kucing! Barangkali nama itu lebih tepat baginya!" timpal seorang
lagi. "Aneh! Kenapa dia tak mengganggu kita"
Barangkali memang hanya Juragan Gumarang punya hutang darah kepadanya. Atau, di
antara mereka punya dendam lama. Kau dengar tadi teriakannya"
Bulu kudukku sampai meremang mendengarnya,"
kata laki-laki muda berwajah bulat sambil menunjukkan wajah takut.
"Ya! Aku pun mendengarnya...," sahut yang lain.
Dan gunjingan itu seperti tak pernah sirna dari mulut mereka. Selama beberapa
hari, pembicaraan tentang pemuda itu mewarnai isi desa ini. Bahkan terus
menyebar ke desa-desa lain dari mulut ke mulut.
3 Pagi baru saja melingkupi Desa Kebumi yang berada di bawah kaki Gunung Kiambang.
Udara di sekitar situ cukup sejuk. Belum lagi pemandangannya yang indah, dengan
pohon-pohon beraneka ragam tumbuh di situ.
Di ujung desa itu, terletak sebuah padepokan yang bernama Padepokan Tritunggal.
Padepokannya cukup sederhana, dihuni oleh murid yang berjumlah lebih dari tiga
puluh orang. Sebenarnya Padepokan Tritunggal belum lama berdiri. Namun, kenyataannya telah
cukup banyak menelurkan manusia-manusia digdaya. Kebanyakan dari mereka ada yang
menjabat sebagai pengawal di kadipaten. Dan ada juga yang berkelana untuk
menegakkan keadilan seperti yang sering dianjurkan Ki Suminta, ketua perguruan
ini. Laki-laki berumur sekitar empat puluh lima tahun itu sangat rajin membimbing
murid-muridnya. Dan dia dibantu oleh tiga orang murid tertuanya.
Seperti pagi hari ini, para murid Padepokan Tritunggal berbaris rapi, terbagi
dalam empat kelompok. Kali ini, Ki Suminta akan memberi pelajaran jurus-jurus
tingkat lanjutan. Dan kini mulai diperagakannya jurus demi jurus. Sementara,
murid-muridnya tampak memperhatikan dengan seksama, agar bisa sempurna
menirunya.

Pendekar Rajawali Sakti 92 Kucing Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Perhatikan baik-baik. Jurus ini dinamakan
'Menadah Hujan dari Langit' yang berisi pertahanan diri dari serangan lawan, dan
sekaligus menyerang.
Jurus ini banyak digunakan untuk menghadapi serangan yang dilakukan orang
banyak!" kata Ki Suminta yang memiliki mata juling itu.
Orang tua itu kemudian kembali memperagakan jurus itu. Gerakannya tampak lincah,
namun perlahan-lahan agar murid-muridnya mampu
menirunya. "Sekarang, coba kalian lakukan dengan perlahan-lahan. Mulai....!"
"Yeaaah...!"
"Hup!"
"Gerakan tanganmu kurang keras, Suraji!" kata Ki Suminta sambil mengawasi salah
seorang muridnya.
"Hup! Hiyaaat..!"
"Ya! Bagus!"
Kesembilan orang yang berada di kelompoknya itu bergerak bersamaan, meniru
gerakan-gerakan guru mereka. Kadang-kadang Ki Suminta terpaksa mengulang-ulang
gerakan yang dilakukannya, agar murid-muridnya hafal betul.
"Kuda-kudamu kurang kokoh, Bamawi!" teriak Ki Suminta lagi.
"Begini, Eyang! Hup!"
Baru saja Bamawi memperagakan gerakan yang benar, tiba-tiba saja....
"Graungrrr...!"
"Heh"!"
Semua orang yang berada di halaman depan itu tersentak kaget, ketika tiba-tiba
melihat seekor kucing berada di atas atap padepokan tengah menggerung seperti
macan. Dan belum lagi hilang rasa terkejut mereka, tiba-tiba saja seekor kucing
belang melompat dari dalam rumah sambil
menggeram buas dan terus melompat ke atas atap.
Kedua kucing itu menggerung-gerung, lalu berkejaran menuju halaman depan dan
terus keluar melompati pagar.
"Ayo, perhatian kalian jangan terganggu! Lakukan latihan lagi!" teriak Ki
Suminta mengingatkan.
"Tidak biasanya si Belang berkelakuan begitu. Dia kucing yang baik dan penurut,"
desis salah seorang, agak menggumam.
"Biasa. Barangkali lagi musim kawin...," sambung yang lain.
"Si Reksa pun kalau ingin kawin pasti meraung seperti tadi!"
Beberapa orang murid tertawa kecil mendengar ocehan-ocehan itu. Tapi mereka
cepat menutup mulut, ketika melihat tatapan mata Ki Suminta yang tajam. Sambil
menundukkan kepala, mereka kembali menirukan gerakan-gerakan yang dilakukan
kawan-kawannya yang lain.
Tapi baru saja melakukan beberapa gerakan, perhatian mereka kembali pecah ketika
mendengar suara-suara halus yang dikeluarkan puluhan ekor kucing.
"Heh" Suara apa itu..."!"
"Coba lihat! Astaga! Pantas saja kucing itu bertingkah aneh. Rupanya ada
pawangnya yang datang!" tunjuk salah seorang murid perguruan itu ke satu arah.
Mendengar penuturan itu, yang lainnya pun memalingkan wajah ke arah yang sama.
Dan, tampaklah seseorang mengenakan topi tudung lebar tengah berdiri diam.
sambil memperhatikan seksama dengan tubuh bersandar pada sebatang pohon. Pada
mulanya, hal itu terlihat biasa saja. Tapi ada yang tak lazim pada pemuda itu.
Bukan pakaiannya yang
gembel seperti pengemis, melainkan puluhan ekor kucing yang mengelilinginya
dengan sikap patuh.
Ki Suminta menatap sesaat, kemudian
mengalihkan perhatian kepada murid-muridnya kembali, ketika melihat kalau pemuda
itu sama sekali tidak melakukan perbuatan yang mencurigakan. Dia langsung
menduga kalau orang itu adalah gembel penyayang kucing yang tertarik pada
perguruannya. Dan bisa jadi, ingin bergabung menjadi muridnya.
Sampai mereka beristirahat, pemuda itu masih tetap berdiri tegak dan sama sekali
tidak berbuat apa-apa. Ketabahannya sungguh luar biasa. Dan hal itu membuat Ki
Suminta tertarik. Dia lalu berjalan mendekati pemuda itu.
"Orang muda! Siapakah kau, dan apa yang kau lakukan di sini?" tanya Ki Suminta
halus. Pemuda itu membuka tudung lebar yang
dikenakannya, kemudian ditatapnya Ki Suminta dengan seksama.
"Kaukah yang bernama Ki Suminta?"
Sikap pemuda itu sama sekali tidak sopan.
Seharusnya, pertanyaan Ki Suminta yang lebih dulu dijawabnya. Tapi yang
dilakukan malah sebaliknya.
Lagi pula, nada suaranya seperti menyelidik. Namun Ki Suminta adalah orang tua
yang kenyang makan asam garam kehidupan. Maka bisa dimakluminya sikap pemuda
itu. "Benar! Aku adalah orang yang kau maksud."
"Bagus. Kedatanganku ke sini untuk menagih hutang kepadamu," jelas pemuda itu
dingin, dengan sorot mata tajam.
Ki Suminta sedikit terkejut melihat tatapan pemuda itu. Sudah bisa diduga kalau
pemuda itu bukanlah orang sembarangan seperti yang diduga
semula. Meski wajahnya tampan, namun seketika berubah menakutkan. Terlebih-
lebih, sorot matanya yang tajam seperti hendak menusuk jantung. Dan apa yang
dikatakannya tadi sungguh membuat Ki Suminta tak habis pikir. Kenal dengan
pemuda itu pun tidak.
Jadi, dari mana pemuda itu begitu yakin kalau harus menagih hutang kepadanya.
"Kisanak, aku tidak mengerti maksudmu?"
"Maksudku sudah jelas. Lima tahun lalu, kau punya hutang nyawa pada Pedang Angin
Selatan. Hari ini Katakili, putra Pedang Angin Selatan yang akan menagihnya kepadamu!"
kata pemuda itu, dingin.
"Heh" Kau..., kau..."!"
*** "Kau kaget melihatku, Ki Suminta?" dingin sekali nada suara pemuda itu. "Aku
memang Katakili.
Kedatanganku ke sini untuk menagih hutang nyawa padamu!"
Ki Suminta benar-benar terkejut mendengar kata-kata pemuda berpakaian seperti
gembel yang memang Katakili. Lima tahun lalu, Ki Suminta memang ikut mengeroyok
Pedang Angin Selatan bersama empat belas tokoh persilatan lainnya.
Walaupun namanya tak terkenal seperti Ki Sartowo, Nyi Selasih, Ki Wempang, dan
Ki Rancasena, tapi dia patut pula diperhitungkan. Sehingga, Katakili merasa
kalau laki-laki tua ini patut pula dibunuh.
Dan yang membuat heran Ki Suminta, Katakili waktu itu sudah dinyatakan mati
ketika tercebur ke dalam lubang seperti sumur. Putra Ki Karmani yang dikenal
berjuluk Pedang Angin Selatan itu telah tewas
di dalam lubang yang dalam tidak terukur. Lalu kenapa tiba-tiba akan menuntut
balas padanya"
"Kau kelihatan takut, Ki Suminta...," ejek Katakili sinis.
Ki Suminta tersentak. Harga dirinya tiba-tiba saja menolak tuduhan pemuda itu.
Dan dengan cepat, sikapnya berusaha ditenangkan.
"Hm, Kisanak. Kau datang tiba-tiba, dan
mengatakan kalau seolah-olah aku takut kepadamu.
Kalau benar kau putra si Pedang Angin Selatan, maka sudah sepatutnya menjalani
hukuman akibat perbuatan ayahmu," dengus Ki Suminta mulai tegas.
"Ha ha ha...!" Katakili tertawa keras, sehingga mengundang perhatian seluruh
murid Ki Suminta yang sejak tadi menyangka kalau antara keduanya hanya terjadi
percakapan biasa.
"Kenapa kau tertawa?"
"Mengapa aku jadi tertawa" Hari ini, nyawamu ada dalam genggamanku. Dan tiba-
tiba, kau merasa biasa mengancamku. He, Orang Tua! Aku tidak punya banyak waktu
untuk meladeni segala omongan kosongmu. Masih banyak tugasku untuk menagih
hutang nyawa ayahku! Maka, bersiaplah menghadapi kematianmu!"
Wajah Katakili yang tadi sedikit tersenyum, kini berubah menyeramkan bagai
seekor harimau liar yang siap menerkam mangsa. Ki Suminta sedikit terkejut.
Sorot mata pemuda itu tajam berkilat seperti hendak mengiris-iris jantungnya.
Dan tiba-tiba saja...
"Hiyaaa...!"
"Hup! Hih...!"
Ki Suminta jadi terkejut juga, begitu tiba-tiba Katakili melompat sambil
mengebutkan tangannya ke arah dada. Untung dia cepat berkelit, sambil
menangkis dengan tangan kiri.
Plak! Sebuah benturan keras terjadi. Akibatnya, Ki Suminta terjajar ke samping
beberapa langkah.
Sementara lawan tidak bergeming sedikit pun. Jelas, tenaga dalam Katakili
sedikit di atasnya. Dan belum lagi Ki Suminta memperbaiki kedudukannya....
"Graungrrr...!"
Wusss! "Heh"!"
Bukan main terkejutnya orang tua itu menyaksikan kecepatan gerak lawannya.
Karena tiba-tiba saja, topi lebar pemuda itu berkelebat ke arahnya. Maka buru-
buru Ki Suminta menangkis dengan tangannya, sehingga topi itu hancur berantakan.
Namun dengan satu raungan hebat, sebelah tangan Katakili mengibas, hendak
mencakar dada. Maka cepat-cepat Ki Suminta membuang tubuhnya ke samping sambil
jungkir balik. Namun..., terlambat! Karena....
Breeet! "Huh...!"
"Eyang...!"
Ki Suminta mengeluh kesakitan begitu lehernya terkena cakaran lawan yang begitu
cepat saat tubuhnya sudah setengah bergerak tadi. Seketika darah mengalir dari
luka yang cukup dalam. Ki Suminta terhuyung-huyung sesaat. Sementara itu, murid-
muridnya yang melihat, jadi terkejut dan cepat-cepat mengurung halaman padepokan
ini. "Eyang! Kenapa kau tidak mundur" Biar kami saja yang menghadapinya!" teriak
Mongkola, salah seorang murid tertuanya.
"Betul, Eyang. Gembel busuk ini tidak punya derajat untuk menghadapimu!" sambung
Gupala. "Eyang! Aku tidak peduli kau mengizinkan atau tidak. Yang jelas, gembel keparat
ini telah melukaimu, dan pantas menerima hukuman!" dengus Sampurno yang sudah
langsung melompat untuk menolong gurunya.
Di antara para murid, Sampurno yang berusia sekitar tiga puluh tahun itu memang
paling setia dan selalu menjaga gurunya. Tak heran karena selain murid paling
pintar, dia juga murid pertama Ki Suminta.
"Mampuslah kau, Gembel Busuk! Hiyaaat..!"
"Graungrrr...!"
Namun begitu Sampurno melompat, Katakili
meraung keras. Maka seketika beberapa ekor kucing yang mengikutinya sejak tadi
melompat dan menerkam Sampurno dengan garang. Binatang-binatang itu tampak liar
dan penuh nafsu membunuh.
Tentu saja hal ini membuat yang lainnya merasa terkejut. Beberapa orang langsung
bergerak untuk menghajar kucing-kucing ini. Namun sebelum niat mereka
tersampaikan, kucing-kucing lain telah lebih dulu menerkam. Bahkan kini semakin
liar saja. Dan kini pertarungan di tempat itu menjadi tidak beraturan. Beberapa orang
mengamuk sambil menggunakan senjata trisula untuk menghajar kucing-kucing yang
semakin ganas. Namun meskipun melihat beberapa ekor kawan-kawan mereka mati, kucing-kucing lain
bukannya menjadi takut, tapi malah semakin ganas saja menerkam lawan. Dan hal
ini membuat murid-murid Padepokan Tritunggal perlahan-lahan ciut nyalinya.
Apalagi, ketika korban mulai jatuh di pihak mereka.
Sementara itu, pertarungan antara Katakili dan Ki Suminta telah kembali
berlangsung. Agaknya pemuda
itu tidak suka mengulur-ulur waktu. Lawannya yang telah terluka dan semakin
kepayahan, nampaknya tinggal menunggu waktu saja untuk dituntaskan. Dan meskipun
menggunakan sepasang trisula untuk menahan dan sekaligus membalas serangan
lawan, namun Ki Suminta harus mengakui kalau hal itu tidak banyak menolong.
'Terimalah kematianmu sekarang, Ki Suminta!
Graungrrr...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, Katakili melompat cepat bagai kilat. Dan
secepat itu pula, tangannya bergerak mengibas.
"Haiiit..!"
Plak! Ki Suminta berhasil menangkis kibasan jari-jari tangan yang berkuku runcing
seperti baja dengan tangan kiri. Tapi ketika Katakili kembali mengecutkan
tangannya dengan gerakan berputar, kali ini Ki Suminta tidak dapat lagi
menghindar. Dan....
Breeet! Breeet!
"Aaa...!"
Ki Suminta memekik nyaring ketika kedua belah tangan lawan yang membentuk cakar
merobek-robek dada dan perutnya, sampai isi perutnya terburai keluar. Namun
demikian, laki-laki tua itu masih menyabetkan sepasang trisula di tangannya ke
arah kepala Katakili. Namun dengan sekali papakan kedua senjata itu terlepas. Ki
Suminta semakin kepayahan, karena perhatiannya terbagi dua. Dia harus memegangi
dadanya yang mengalirkan darah, sementara lawan terus mendesaknya dengan
sabetan-sabetan cakarnya.
Dan tampaknya, Ki Suminta kini telah pasrah menanti ajal. Maka dengan leluasa
Katakili menerkam lawan dan mencabik-cabiknya sampai tidak berbentuk. Tubuh Ki Suminta
telah ambruk di tanah, bersimbah darah. Mati!
"Graungrrr...!"
Katakili langsung meraung keras. Dan tak lama kemudian, tubuhnya melesat cepat
meninggalkan tempat itu. Bersamaan dengan itu, kucing-kucing yang sedang
menghajar lawan-lawannya
menghentikan serangan. Dan binatang-binatang itu cepat bergerak gesit, mengikuti
Katakili meninggalkan lawan-lawannya yang menderita luka cakar cukup hebat.
*** 4 Seorang pemuda tampan berbaju rompi putih tengah melangkah tenang melalui jalan
yang mulai menyempit. Di kanan dan kirinya adalah tanah yang menjulang tinggi,
banyak ditumbuhi pepohonan kecil maupun besar. Tapi ini adalah satu-satunya
jalan yang menuju desa terdekat. Lagi pula, pemuda yang rambutnya panjang
terurai itu seperti tidak mempedulikan keadaaan di sekelilingnya. Sesekali
kepalanya menekuri tanah berbatu sambil menghela napas panjang. Kemudian matanya
menatap ke depan, pada pepohonan yang lebat. Namun tiba-tiba saja....
"Berhenti...!"
"Heh!"
Pemuda itu terkejut seketika, langkahnya
dihentikan begitu sesosok bayangan kuning tiba-tiba melesat dan berdiri tegak di
depannya. Kini, tampaklah sosok tubuh ramping terselubung kain kuning dengan
penutup muka berwarna kuning juga.
Yang terlihat hanya sepasang mata yang bulat dengan alis tebal dan bulu mata
lentik. Tubuhnya tidak terlalu besar, bahkan terkesan kurus. Bukan hanya sekadar
dari sorot mata dan suara, tapi dari bagian dadanya yang sedikit menonjol dan
pinggulnya yang besar, bisa diduga kalau sosok berselubung kain kuning itu
seorang gadis belia.
"Kulihat kau membawa-bawa pedang. Hm.... Pasti kau sedikit mengenal ilmu silat
juga. Coba tahan beberapa jurus dariku. Kalau sampai mampu
menahan tujuh jurus, kau boleh melanjutkan perjalananmu dengan aman!" tantang
orang bertopeng itu sambil mengembangkan sebuah selendang pada kedua tangannya.
"Nisanak...."
"Kurang ajar! Kau pikir aku perempuan, heh"!"
sentak orang bertopeng itu, berang.
Pemuda berbaju rompi putih itu melongo heran.
Dari suaranya yang nyaring dan bentuk tubuhnya yang ramping, jelas orang akan
segera tahu kalau dia seorang wanita. Tapi kenapa hal itu malah disangkal"
Tanpa sadar, pemuda yang tak lain Rangga dan lebih dikenal sebagai Pendekar
Rajawali Sakti itu tersenyum kecil sambil menggelengkan kepala.
"Sial! Kenapa kau malah nyengir seperti kuda, heh..."!" dengus orang bertopeng
itu sengit. "He" Apakah ada yang yang melarang orang
tersenyum?"
"Kurang ajar! Kau menganggap remeh aku, ya?"


Pendekar Rajawali Sakti 92 Kucing Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Selesai membentak keras, tiba-tiba saja orang berselubung kain kuning yang
diyakini Rangga adalah wanita itu mengecutkan selendang kuningnya ke udara. Dan
seketika itu juga....
Ctar...! Ledakan keras seperti lecutan cambuk terdengar memekakkan telinga.
"Wah, hebat sekali!" puji Rangga kagum.
"Nah, kau baru tahu sekarang kalau aku tidak main-main. Cabut pedangmu sekarang
juga. Tahan tujuh jurus seranganku, kalau tidak mau mampus!"
dengus orang bertopeng itu, angkuh.
"Eee, tunggu dulu. Boleh aku mengajukan usul?"
"Sial! Kau semakin membuatku kesal saja!"
"Maaf! Kalau sampai aku kalah, mana ada
kebanggaan bagimu. Aku sama sekali tidak mengerti apa-apa soal silat. Kalau kau
melihat pedang ini dan menuduhku sedikit banyak mengerti ilmu silat,
sesungguhnya kau salah besar. Pedang ini milik pamanku dan sedikit pun aku tidak
mengerti ilmu silat," kata Rangga berbohong, mencoba menghindari pertarungan.
"Hm, kau pikir bisa menipuku semudah itu"! Kau harus membuktikan dulu kata-
katamu itu. Setelah kulihat kau tidak mampu sedikit pun menangkis seranganku dan
telah babak belur, barulah aku mempercayai omonganmu. Tapi kalau tidak, kau akan
mampus!" Rangga pura-pura menunjukkan wajah terkejut dan takut mendengar ancaman itu.
"Kisanak, tolonglah aku. Aku sama sekali tidak tahu apa-apa. Kalau dipaksa,
tentu aku akan babak belur. Lagi pula apa yang kau cari dengan menghajar orang
seperaku?" kata Rangga dengan wajah tertunduk dalam.
"Setan...! Terima ini! Hih...!"
Wuttt! "Uts...!"
Hampir saja kebutan selendang kuning itu
menghajar kepala, kalau saja Rangga tidak cepat-cepat merunduk menghindar. Tapi
gerakan yang dilakukan Pendekar Rajawali Sakti justru membuat orang berselubung
kain kuning itu jadi kelihatan senang.
"Bagus! Sudah kuduga, kau pasti memiliki
kepandaian. Nah, sekarang tahan seranganku!
Yeaaa...!"
Ctar! "Uts...!"
Kembali Rangga menghindari serangan dengan liukan tubuh yang indah sekali.
Namun, ujung selendang gadis itu kembali berkelebat cepat melesat ke dadanya.
Dan tentu saja Rangga tahu kalau serangan itu disertai pengerahan tenaga dalam
tinggi. Kalau tidak berusaha mengelak, paling tidak dadanya akan terasa seperti dihantam
godam kuat. Dan sudah pasti ini sangat berbahaya. Maka dengan sedikit
memiringkan tubuh, ujung selendang lawan hanya menyambar sisi tubuhnya pada
jarak dua jengkal.
"Hm.... Jangan berpura-pura di depanku, heh" Hari ini terbukalah kedokmu. Kalau
kau tidak mampu menahan tujuh jurus seranganku, kau harus mampus!" dengus orang
bertopeng itu. "Kalau berhasil?"
"Kau boleh berlalu dengan aman!"
"Hm.... Itu tidak cukup. Kau telah mengganggu perjalananku, maka sudah
sepatutnya aku meminta sedikit imbalan."
"Setan! Kalau aku sudah mengampunimu, itu sudah yang terbaik bagimu."
"He! Siapa yang sudi menerima kebaikanmu" Kau bukan memberi kebaikan, tapi malah
memberi kesulitan. Maka sudah sepatutnya perbuatanmu kubalas dengan kesulitan
juga. Dan kau akan mengetahuinya nanti!"
Mendengar kata-kata Pendekar Rajawali Sakti, bukan main kalapnya orang bertopeng
itu. "Jurus kesatu! Tahan serangan! Hiyaaat..!" bentak orang itu, kalap.
"Hup!"
"Yeaaah...!"
Dengan menggunakan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib', Rangga menyambut serangan
lawan. Kedua kakinya bergerak lincah mengikuti gerakan tubuhnya yang meliuk-liuk bagai
penari. Kadang-kadang tubuhnya terlihat akan terkena serangan ujung senjata
lawan yang cepat. Kadang pula, bisa berubah kaku. Tapi sejengkal lagi ujung
selendang akan menyentuh tubuhnya, maka saat itu Pendekar Rajawali Sakti
bergerak cepat menghindar. Begitu seterusnya. Sampai jurus ketiga selesai, tak
satu pun yang bisa menyentuh tubuh Rangga. Tentu saja hal ini membuat orang
bertopeng itu semakin kesal saja.
Bahkan sampai saat ini, pemuda itu sama sekali belum balas menyerang.
"Huh! Lumayan juga kepandaianmu. Tapi dengan jurus-jurusku ini, agaknya kau
mesti hati-hati. Karena nyawamulah yang akan jadi taruhannya!" dengus orang
bertopeng yang sudah tegak berdiri pada jarak dua tombak di depan Rangga.
"Ah! Semua jurusmu hebat dan lihai. Dan hanya kebetulan saja aku bisa
menghindarinya. Barangkali, nasib baik memang sedang menyertaiku. Dan biasanya,
itu akan terus berlangsung sepanjang hari,"
sahut Rangga seraya tersenyum-senyum kecil.
Orang bertopeng itu tidak menanggapi ucapan Rangga. Bahkan telah bersiap membuka
jurus barunya. "Yeaaah...!"
"Hup!"
Tubuh pemuda itu bergerak ke kiri, kemudian melompat ke atas ketika ujung
selendang lawan menghantam bagai sebatang besi. Rangga Jadi mendesah kagum. Dia
tahu kalau tidak sembarang orang yang bisa melakukan serangan semacam itu bila
tak memiliki tenaga dalam tinggi. Dan kelebihan jurus yang dilancarkan orang
bertopeng itu rasanya
tidak beda dengan jurus-jurus sebelumnya. Kalaupun ada peningkatan, itu hanya
sebatas dalam pengerahan tenaga dalam, serta gerakannya yang sedikit gesit dengan jurus-jurus
tipuan yang bagus.
Hanya saja, Rangga sudah merasakan kalau jurus-jurus yang dimainkan orang
bertopeng ini belum begitu sempurna. Bahkan masih banyak
kekurangannya. Sehingga walaupun lawannya terlihat menyerang dengan seluruh daya
kemampuan, semuanya masih bisa dihindarinya.
"Hiyaaat..!"
Orang bertopeng itu semakin geram melihat lawannya hanya menghindar saja. Maka,
seketika serangannya semakin ditingkatkan. Dan baru saja Pendekar Rajawali Sakti
menghindar ke kiri, lawannya kembali menyusuli dengan kebutan selendangnya.
Tak ada waktu lagi bagi Rangga untuk menghindar.
Maka langsung dipapaknya serangan itu. Namun...
Pret! "Mampus kau!" bentak orang bertopeng itu
kegirangan, ketika ujung selendangnya menyambar lengan kanan Rangga dan
melibatnya kuat-kuat Kemudian dengan sentakan keras, orang
bertopeng itu mencoba menarik tubuh Pendekar Rajawali Sakti, sambil mengerahkan
seluruh kekuatan tenaga dalamnya. Namun Rangga cepat mencengkeram erat ujung
selendang itu dan menahan sentakan lawan beberapa saat. Lalu tiba-tiba saja
tubuhnya melayang mengikuti sentakan lawan.
"Rasakan ini! Hiyaaat..!"
Tangan kiri orang bertopeng itu cepat sekali terayun ke wajah Pendekar Rajawali
Sakti. Namun alangkah terkejutnya orang bertopeng itu, ketika
cepat sekali tangan Rangga menangkis pukulannya.
Sementara tangan sebelah lagi bergerak bagai kilat menyambar selubung wajah
orang bertopeng itu.
Bret! "Auh...!"
*** "Apa kataku! Ternyata tebakanku betul. Kau
seorang gadis. Nah, Nisanak. Cukuplah sudah permainan kita kali ini. Aku tidak
banyak waktu untuk meladenimu," ujar Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti kini berdiri tegak dekat lawannya. Sedangkan orang
bertopeng itu memalingkan mukanya, ketika Rangga berhasil menyingkap wajahnya tadi.
Rangga melemparkan sehelai kain berwarna
kuning yang tadi digunakan sebagai penutup wajah lawannya. Dan kemudian tubuhnya
berbalik perlahan, lalu melangkah tenang. Namun baru dua langkah berjalan, tiba-
tiba.... 'Tahan langkahmu...!"
"Heh..."!"
Wuuut! Rangga buru-buru menundukkan kepalanya, ketika pendengarannya yang tajam
mendengar angin mendesir ke arah kepalanya. Ketika mencoba menoleh, terlihat
ujung selendang lawan terus bergerak menyerangnya.
"Nisanak! Jangan terlalu memaksaku!" bentak Rangga mulai kesal.
"Huh! Kau telah berlaku kurang ajar padaku.
Maka sudah sepatutnya kuhajar!"
Rangga mendesah sambil menggelengkan kepala.
Namun ketika telah dekat, ternyata orang bertopeng itu amat cantik, meskipun
berkesan galak.
Rambutnya panjang dan tebal sampai ke pinggang.
Wajahnya sedikit lonjong dengan dagu ber-bentuk runcing. Hidungnya kecil dan
mancung dengan bibir merah merekah. Tubuh padat berisi, tumbuh menjadi dewasa.
Kalaupun Rangga boleh menaksir, rasanya usia gadis itu belum lagi mencapai lima
belas tahun. Namun, kepandaian yang dimilikinya sungguh luar biasa.
"Adik kecil, siapa yang berlaku kurang ajar" Kau atau aku...?"
"Kurang ajar...! Kau bilang apa padaku" Adik kecil..." Huh! Memangnya kau siapa"
Berani betul berkata seperti itu!" sentak gadis itu terlihat kalap mendengar
kata-kata Rangga tadi.
"Lalu, aku harus panggil apa" Apakah kau mesti kupanggil nenek cerewet" Atau
barangkali kau lebih suka dipanggil gadis binal saja," ledek Rangga.
"Sial! Kuhajar kau! Kuhajar kau...!" teriak gadis itu semakin kalap. Bahkan
langsung menyerang ganas.
Rangga hanya tersenyum sambil bergerak
menghindari setiap serangan gadis tanggung ini. Dan setiap kali serangannya
selalu tidak berhasil, gadis itu semakin murka saja. Agaknya dia penasaran
betul, karena tidak mampu melukai lawan sedikit pun. Dan sepertinya, melihat
Rangga yang terus-menerus menghindar dan tidak berusaha membalas serangan, gadis
itu merasa diremehkan dan dipermainkan.
"Ayo! Balaslah seranganku kalau memang kau mampu!" sentak gadis itu, seraya
menghentikan serangannya sebentar.
"Untuk apa" Bukankah kau yang bermaksud
menyerangku" Nah, pergunakanlah kesempatan ini
sebaik-baiknya dan puaskanlah hatimu. Nanti setelah kau lelah, baru berhenti.
Dengan demikian aku bisa pergi dengan tenang," sahut Rangga kalem.
"Sombong! Kau pikir dengan kepandalanmu yang seujung kuku itu bisa bertingkah di
hadapanku" Huh!
Kau rasakan, sebentar lagi tubuhmu akan kubuat liancur berkeping-keping."
Kembali gadis itu mengebutkan selendangnya, menyerang Rangga.
Ctar! Ctar! "Huh! Yeaaah...!
Rangga mulai kesal juga melihat kelakuan gadis tanggung itu. Sambil mengkertak
rahang, dicobanya memapak ujung selendang lawan yang menyambar-nyambar,
menimbulkan ledakan keras. Dan begitu memiliki kesempatan, cepat sekali tangan
kanannya bergerak mengibas. Tapi belum juga bisa menyambar tubuh gadis itu,
tiba-tiba saja....
"Lestari! Sungguh gegabah dan lancang sekali perbuatanmu!"
"Eyang...! Ibu...!"
*** Gadis tanggung itu kontan terkejut ketika tiba-tiba melesat dua sosok tubuh yang
langsung memperingatkannya.
Rangga memperhatikan dengan seksama kedua orang yang baru datang, dan kini
berdiri di samping kanan dan kiri gadis itu. Yang berdiri di sebelah kanan
adalah wanita muda berusia sekitar dua puluh sembilan tahun. Wajahnya masih
terlihat cantik dan ayu, nyaris mirip dengan gadis tanggung yang dipanggil
Lestari. Sedang di sebelah kiri, seorang
wanita berusia agak lanjut dengan rambut yang sebagian telah memutih. Masing-
masing, memakai selendang sebagai ikat pinggang.
"Kau tahu, dengan siapa kau berhadapan, heh...?"
agak mendengus nada suara orang tua bermuka masam itu.
Gadis bernama Lestari itu menggeleng, dengan kepala menunduk.
"Dialah Pendekar Rajawali Sakti. Meskipun seratus orang berkepandaian sepertimu,
mana bisa mengalahkannya!"
Lestari jadi terkejut, begitu mendengar penjelasan orang tua itu. Nama yang
disebutkan itu memang pernah didengarnya dari mulut nenek atau kedua
orangtuanya, sebagai pendekar yang amat
menggemparkan rimba persilatan. Tapi tidak disangka kalau hari ini kebentur
dengan pendekar besar itu.
"Kisanak! Maafkan kesalahan cucuku. Dia
memang nakal dan suka sekali mengganggu orang!"
ucap perempuan tua itu sambil berpaling kepada Rangga dengan sikap hormat.
"Ah! Tidak apa-apa. Aku juga salah, karena terus-menerus meladeninya," sahut
Rangga seraya menjura hormat.
"Aku Selasih. Dan ini, putriku Rupani. Sedangkan cucuku yang bengal itu bernama
Lestari. Adalah suatu kehormatan besar bila kau bersedia mampir ke gubuk kami,"
jelas perempuan tua itu
memperkenalkan diri.
"Ah! Kiranya hari ini aku sedang berhadapan dengan Nyi Selasih yang terkenal
sebagai Selendang Maut. Pantas saja kepandaian cucumu sungguh mengagumkan.
Terima kasih atas tawaranmu itu, Nyi
Selasih. Sayang, aku masih punya urusan yang tidak bisa ditunda. Jadi sangat
menyesal aku tidak bisa memenuhi undanganmu itu. Maaf, bukannya
menolak. Terima kasih," sahut Rangga dengan sikap hormat.
Perempuan tua itu berusaha menawarkan kembali dengan setengah memaksa, namun
Rangga tetap menolaknya. Sehingga, mereka tidak bisa lagi berbuat apa-apa.
"Baiklah kalau memang hal itu sudah tidak bisa ditawar-tawar lagi...," desah Nyi
Selasih, halus.
Perempuan tua itu kemudian memandang
cucunya. "Lestari! Kau memang nakal sekali dan susah diatur. Lekas minta maaf padanya,
atau kau akan mendapat hukuman dariku nanti!"
Gadis tanggung itu tampak ragu tanpa berusaha bangkit dari sikapnya. Wajahnya
menunjukkan ketidaksenangannya atas perintah neneknya tadi.
Tapi.... "Cepat lakukan! Atau kau akan kuhukum sekarang juga!" bentak Nyi Selasih.
"Sudahlah, Nyi Selasih. Tanpa dia meminta maaf, aku pun telah memaafkan...,"
selak Rangga cepat-cepat tidak tega juga melihat gadis tanggung ini.
Perempuan tua itu menunjukkan wajah berang kepada Lestari. Lalu, bibirnya
tersenyum kecut ketika pemuda itu pergi setelah berbasa-basi sebentar.
Dengan sudut ekor mata, dia memandang sekilas.
Lalu ketika pemuda itu telah lenyap dari pandangan, dihampirinya Lestari. Dan
dengan kesal, dijewernya telinga cucunya itu.
"Dasar anak bengal! Kau telah mempermalukan aku di depan seorang pendekar besar!
Huh!" Lestari sama sekali tidak mengeluh kesakitan, meski wajahnya meringis. Dia
memandang ke arah ibunya, berharap bisa membelanya. Tapi Rupani hanya
menggelengkan kepala sambil menunjukkan wajah masam. Gadis tanggung itu merasa
kesal bukan main. Dengan sekali tepis, tangan neneknya lepas dari telinga.
Kemudian dengan muka berapi-api penuh kekesalan, telunjuknya ditudingkan ke arah
keduanya. "Aku tidak sudi meminta maaf pada orang yang telah berbuat kurang ajar padaku!
Kenapa Eyang memaksa juga dan ingin mempermalukan aku di depannya"! Ibu, kenapa
bukannya membelaku dan seperti membenarkan sikap Eyang" Kalau memang kalian
sudah tidak sayang lagi padaku, lebih baik katakan saja terus terang. Kalau
memang tidak suka akan kehadiranku, aku akan pergi sekarang juga!"
Setelah berkata demikian, Lestari berbalik dan berlari cepat meninggalkan tempat
itu.

Pendekar Rajawali Sakti 92 Kucing Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Lestari! Mau ke mana kau"! Kembali! Ayo, kembali!"
Rupani sudah langsung bergerak, ingin mencegah perbuatan putri satu-satunya itu.
Tapi baru saja bergerak Nyi Selasih keburu mencegahnya.
"Biarkan saja dia bersikap begitu. Kalau kau membujuknya, dia tidak akan pernah
tahu kesalahannya. Anak gadis memang biasa berbuat begitu, seperti juga kau dulu.
Kalau hatinya telah reda, dia tentu akan kembali ke rumah...."
"Tapi, Bu..."
"Biarlah kataku! Dia harus bisa menyadari kekeliruannya. Dan kau tidak perlu
khawatir akan keselamatannya. Dengan kepandaian yang
dimilikinya saat ini, tidak sembarang orang bisa
mengalahkannya!"
Mendengar kata-kata ibunya, Rupani tidak bisa berkata apa-apa lagi. Meski
hatinya cemas, tapi sedikit banyak kata-kata orangtuanya ada benarnya.
Lestari memang salah, dan harus kembali ke rumah dengan pikiran jernih untuk
menyadari kekeliruannya.
Dalam keadaan kesal seperti sekarang, rasanya sulit memberi nasihat pada anak
bengal dan keras kepala itu. Dengan langkah lesu diikutinya langkah ibunya,
kembali ke pondok mereka yang tidak begitu jauh dari tempat itu.
*** 5 Nyi Selasih dan Rupani terkejut setengah mati ketika tiba di dalam pondok. Di
situ banyak sekali terdapat kucing yang tengah berkumpul. Dan di tengah
binatang-binatang itu, berdiri pula sesosok tubuh berpakaian gembel seperti
seorang pengemis.
Pemuda itu cukup tampan dengan rambut panjang dan kusut masai. Kulitnya terlihat
amat dekil dan kusam. Sorot matanya pun terlihat tajam serta berkilat,
memancarkan sinar aneh menusuk tajam pada perempuan tua itu.
"Kisanak! Siapa kau sebenarnya, dan apa yang kau lakukan di tempat ini?" tanya
Nyi Selasih heran.
"Benarkah namamu Nyi Selasih alias si Selendang Maut?" pemuda itu malah balik
bertanya dengan nada terdengar dingin sekali.
Nyi Selasih pun menyadari kalau sikap pemuda itu sesungguhnya tidak menunjukkan
rasa persahabatan. Dia pun mulai waspada, lalu memberi isyarat kepada putrinya
agar selalu bersiaga penuh.
"Hm.... Kalau memang kau hendak berurusan dengan Nyi Selasih, akulah orangnya,"
agak menggumam suara Nyi Selasih.
"Bagus. Kau mempunyai hutang padaku, Nyi. Dan kau harus membayarnya hari ini
juga." "Hutang" Hutang apa..." Kenal denganmu pun, baru hari ini. Bagaimana mungkin kau
bisa mengatakan kalau aku punya hutang padamu?" Nyi Selasih jadi keheranan.
"Tidak ingatkah kau pada peristiwa lima tahun
lalu?" Nyi Selasih mencoba mengingat-ingatnya, tapi ternyata tidak menemukan maksud
dari kata-kata pemuda itu. Lagi pula, bukankah masa lima tahun itu adalah waktu
yang panjang" Dan selama itu pula, dia banyak mengalami peristiwa yang terjadi.
Dan itu tidak mungkin lagi dapat diingatnya satu persatu.
"Kisanak! Aku benar-benar tidak mengerti
maksudmu. Katakan, hutang apa yang harus kubayar padamu...?" Nyi Selasih minta
penjelasan. "Hm.... Kalau memang kau lupa, baiklah
kuingatkan kembali agar matamu melek. Aku adalah Katakili, putra Pedang Angin
Selatan yang kau bunuh dengan keji bersama teman-temanmu lima tahun yang lalu.
Nah! Sekarang sudah jelas, Nyi Selasih...."
"Hah..."! Kau..."
Nyi Selasih jadi terperangah setelah mendengar kata-kata pemuda yang mengaku
bernama Katakili.
"Kenapa" Kau tampak terkejut! Apakah kau kira aku telah tewas ketika itu" Ha ha
ha...! Barangkali memang tidak pernah terpikirkan kalau aku datang dan menagih
hutang nyawa kepadamu, bukan" Kau salah, Perempuan Busuk! Bertahun-tahun aku
Tragedi Gunung Langkeng 1 Gento Guyon 24 Perisai Maut Dewi Sungai Kuning 1
^