Pencarian

Pusaka Goa Naga 1

Pendekar Rajawali Sakti 87 Pusaka Goa Naga Bagian 1


1 Mentari pagi bersinar cerah ketika burung-burung di ranting dan cabang pohon
mulai riuh bernyanyi. Embun di padang rumput menguap ke angkasa. Dan angin
bertiup sepoi-sepoi. Lengkap sudah keindahan alam semesta, yang dirasakan pemuda
tampan berambut panjang terurai dan berbaju rompi putih itu. Dihirupnya udara
pagi, hingga dadanya yang bidang semakin mengembang. Sambil
melemaskan tubuh, pemuda yang tak lain Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti,
bergerak ke sana kemari seperti orang menari.
"Hup!"
Kaki kanan Pendekar Rajawali Sakti ditekuk sebatas perut, dan kedua tangannya
membentuk jurus.
"Yeaaa...!"
Kakinya menendang ke depan dengan tubuh berputar,
disusul tendangan kaki yang lain. Ketika tumitnya menjejak tanah, saat itu juga
tubuhnya mengapung di udara membentuk lompatan-lompatan kecil. Bergulung-gulung
bagai ombak samudera.
"Hiyaaa...!"
Kedua kakinya bergerak lincah silih berganti, diikuti kibasan dan sodokan kedua
tangan secara beraturan. Dan tak lama kemudian, gerakannya dihentikan, setelah
peluh bercucuran di tubuhnya.
Plok, plok, plok...!
"Hebat, Kisanak! Hebat sekali pertunjukanmu...!"
"Heh"!"
Di sana telah berdiri seorang pemuda berambut
panjang, berbaju merah dengan pedang tersandang di punggung. Dari wajahnya,
terlihat usia mereka tidak terpaut jauh. Tapi Rangga menaruh curiga. Sebab,
wajah pemuda itu terlihat sadis, dengan sorot mata tajam menandakan kekerasan
hati dan wataknya.
"Siapa kau, Kisanak?"
"Namaku Ayodea. Apakah kau yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti?"
"Hm!... Benar."
"Kata orang, kau pendekar tangguh yang tidak terkalahkan?"
"Aku tidak merasa sehebat itu."
"Ternyata kau pandai mengelak."
Rangga mulai tak menyukai pemuda itu. Sikapnya
sangat angkuh, dan kata-katanya terdengar sinis.
"Kisanak, kita tidak saling mengenal dan tidak mempunyai urusan. Kalau tidak ada
lagi yang ingin diketahui, aku akan melanjutkan perjalanan," ujar Rangga sambil
membalikkan tubuh.
"Tunggu!"
"Ada apa lagi?" tanya Rangga, berbalik menghadap Ayodea.
"Susah payah aku mencarimu, dan tidak akan kubiar-kan kau berlalu begitu saja
setelah berhasil kutemui!"
Rangga mengerutkan dahi.
"Kisanak, bicaramu semakin aneh saja. Ada urusan apa sampai kau bersusah payah
mencariku?"
"Menantangmu berduel!" jawab Ayodea tegas.
Rangga menggeleng lemah.
"Kau salah memilih orang, kalau keinginanmu mengajakku berkelahi. Aku tidak
memiliki kepandaian apa-apa untuk dipamerkan. Selamat tinggal, Sobat."
"Sombong! Yeaaat..!"
"Heh!"
Plak! Wuttt! "Jangan memaksaku, Kisanak!"
"Tak peduli apa katamu! Kau harus melayaniku, sampai salah seorang di antara
kita ada yang kalah!" sentak Ayodea.
Rangga terpaksa menangkis dan meladeni serangan
pemuda itu. Tiba-tiba, Ayodea melompat dan menyerangnya dengan pukulan dan
tendangan maut.
"Bersungguh-sungguhlah, Pendekar Rajawali Sakti! Aku tidak main-main dengan
seranganku!"
"Kisanak. Sekali lagi kuminta, jangan memaksaku."
"Hiyaaat..!"
Ayodea menjawab dengan ayunan kaki ke dada lawan.
Rangga memiringkan tubuh. Tapi, kaki lawan yang lain sudah menyapu bagian bawah
tubuhnya. "Uts!"
Plak! "Yeaaa...!"
Pendekar Rajawali Sakti merasakan serangan pemuda
itu semakin lama semakin berat saja. Melihat caranya bergerak, Ayodea pantas
mendapat acungan jempol. Ilmu silatnya termasuk tinggi, serta tubuhnya mampu
bergerak gesit dan cekatan. Pukulannya pun berat, menimbulkan desiran angin
kencang. Suatu pertanda, Ayodea memiliki tenaga dalam yang kuat dan hebat.
"Tidak mengapa kau memandangku remeh. Aku tidak peduli bila kau sampai jatuh di
tanganku!" bentak Ayodea semakin garang, melihat Rangga masih menangkis dan
menghindar terus.
"Kisanak, kepandaianmu cukup tinggi dan hebat Lebih baik kau amalkan untuk
membela kebenaran."
"Tutup mulutmu! Aku tidak perlu nasihatmu!"
"Apa alasanmu mengajakku bertanding?"
"Namamu terlalu terkenal, dan harus ada yang menghentikan!"
"Hm.... Kau ingin mencari ketenaran dengan mengalahkanku" "
"Begitulah...."
"Sayang, kau menempuh jalan yang salah...."
"Sekali lagi, aku tidak perlu nasihatmu! Ayo, seranglah aku! Apakah kebiasaanmu
hanya menghindar seperti
perempuan?"
"Menghindar demi kebaikan jauh lebih bagus, daripada menyerang untuk tujuan yang
tidak berguna!"
"Setan!"
"Uts!"
"Terimalah jurus andalanku, 'Langit Kelam Membelah Awan'!" bentak Ayodea semakin
kalap. Gerakan Ayodea berubah cepat. Jurus andalannya
menyerang Rangga dari segala arah. Dengan mengerahkan tenaga dalam yang kuat
serta kelincahan bergerak,
Pendekar Rajawali Sakti dapat didesaknya.
"Hup!"
Rangga berjumpalitan ke belakang, membuat beberapa putaran.
"Yeaaa...!"
Plak! Desss! "Akh...!"
Rangga mengeluh pelan. Dengan tak terduga, pemuda
berbaju merah itu berkelebat cepat. Dan, melancarkan serangan dengan mengayunkan
kepalan tangan menyodok pinggang. Rangga menangkis dengan kibasan tangan kiri.
Tapi, tubuh lawan berputar cepat dan kakinya diayunkan ke arah perut. Meski
berusaha menghindar, tak urung satu tendangan keras menghantam sisi perutnya.
"Hiyaaa...!"
Rangga berteriak keras, dan tubuhnya berputaran
membuat beberapa lompatan kecil. Menghindari serangan susulan Ayodea.
Merasa satu pukulannya mengenai sasaran, Ayodea
semakin bernafsu menghajar lawan. Dan, Rangga semakin kesal dibuatnya. Sambil
menggeram hebat, pemuda
berbaju rompi putih itu memainkan jurus 'Sembilan
Langkah Ajaib', ketika kakinya baru saja menjejak tanah.
"Hiyaaat..!"
Plak! "Uts!"
"Yeaaa...!"
Ayodea menyerang kedua kaki lawan dengan
tendangan kaki kiri dan kanan. Tujuannya, mematahkan lutut bagian belakang.
Rangga menyodok dengan sisi telapak tangan, dan menghantam tulang kering lawan.
Lalu, tubuhnya bergerak ke kiri. Sementara, Ayodea menekuk lutut kanan dan
berputar ke samping mengejar lawan.
"Hiyaaat...!"
Plak! "Uts...!"
Plak! Desss! "Akh...!"
Pertarungan jarak dekat antara mereka berlangsung
cepat, saling pukul dan tangkis. Dan ketika Rangga melompat ke atas melewati
kepala lawan, tubuh Ayodea yang sejajar tanah mampu mengayunkan kedua kakinya.
Namun dengan indahnya, Pendekar Rajawali Sakti
memapaki serangan itu dengan kedua telapak kakinya.
Tubuhnya langsung melejit ke atas, membuat beberapa putaran. Ayodea melenting
sambil menyodokkan satu
pukulan keras bertenaga kuat. Tapi, Pendekar Rajawali Sakti telah berputar dan
menyodokkan pukulan ke dada lawan.
Ayodea menjerit kesakitan. Tubuhnya terlempar dua
tombak. Rangga sendiri jatuh ke tanah dengan kedua telapak tangan menjejak bumi.
Dan, kembali melenting dengan satu kaki menghajar telak perut lawan. Kembali
tubuh Ayodea terpental, dan memuntahkan darah segar dari mulut.
"Cukup sudah permainan kita kali ini, Kisanak!" ucap Rangga tegas sambil
memandang tajam pemuda berbaju merah itu.
Sriiing! Ayodea mencabut pedang dan bangkit dengan sorot
mata tajam. "Huh! Jangan merasa menang dulu. Layani permainan pedangku!"
"Kisanak, jangan keterlaluan...."
"Yeaaa...!"
Pedang Ayodea itu berkelebat cepat, menimbulkan
desingan yang bercuitan. Rangga sangat terkejut melihatnya. Permainan pedang
lawan sangat dahsyat. Tubuhnya seperti terkurung oleh kelebatan pedang lawan,
yang mem-bungkus ketat ke mana saja tubuhnya bergerak meng-
hindar. Wuttt! "Uts... He"!"
Crasss! "Akh!"
Rangga mengeluh. Ujung pedang Ayodea menggores
bahu kirinya. Memang tidak menimbulkan luka yang
berarti, tapi cukup untuk membuktikan ketangguhan ilmu pedang lawan.
"Cabut pedangmu! Aku sungguh-sungguh ingin membunuhmu!" sentak Ayodea kesal.
Rangga menggeram hebat. Paras wajahnya berubah
garang, dan hawa kemarahan mulai merasuk hatinya.
Pemuda berjubah merah ini agaknya tak bisa diberi hati.
Kalau terus seperti ini, dirinya akan celaka sendiri.
Padahal, di antara mereka tidak ada rasa dendam atau sakit hati.
"Baiklah kalau kau memaksa, Kisanak...."
Sring! "Heh"!"
Wajah Ayodea yang tadi tampak girang karena lawan
menyambut tantangannya berubah kaget, ketika melihat cahaya biru menerangi
tempat itu. Cahaya itu berasal dari pedang lawan. Rangga berteriak nyaring.
Ayodea tersentak dan bersiap dengan pedangnya.
"Hiyaaa...!"
Trasss! "Heh"!"
Begkh! Ayodea memapak ayunan pedang lawan dengan
senjatanya. Tapi hatinya jadi kecewa melihat pedangnya putus seperti kayu lapuk.
Pemuda itu terdiam beberapa saat, dan kesempatan ini tidak disia-siakan Pendekar
Rajawali Sakti. Kepalan tangan kirinya meluncur menyodok dada Ayodea. Pemuda
berbaju merah itu menjerit.
Pendekar Rajawali Sakti kembali melancarkan satu
tendangan ke dada.
Tubuh Ayodea yang terpental ke belakang, kini
terlempar lebih jauh lagi. Dari mulut dan hidungnya mengucur deras cairan merah.
Pemuda itu berusaha
bangkit, tapi tubuhnya terasa lemah dan tulang sumsum-nya serasa patah. Napasnya
tersengal-sengal tidak
beraturan. Rangga menyarungkan pedangnya, seraya
memandang tajam Ayodea.
"Kisanak, mudah-mudahan peristiwa ini akan membuatmu jera. Mencari ketenaran,
dengan jalan men-
celakakan orang lain adalah perbuatan tercela. Kau merugikan dirimu sendiri,"
ucap Rangga sambil berlalu dari situ.
Ayodea tertunduk, tak mampu berkata apa-apa.
Matanya sayu, memandangi langkah-langkah kaki
Pendekar Rajawali Sakti.
*** Lama Ayodea terdiam, setelah mengatur pernapasan.
Rasa nyeri masih terasa, tapi dia sudah mampu berdiri.
Pemuda itu tidak segera pergi. Pikirannya menerawang jauh seraya menghela napas
panjang. Hatinya yang
dirasuki dendam dan niat untuk mengalahkan Pendekar Rajawali Sakti, semakin
membara di dada. Tapi, dengan kepandaian seperti sekarang, tidak mungkin
pendekar sakti itu dilawan untuk membalas dendamnya yang
sedalam lautan.
"Hhh...!"
Ayodea mendengus. Tarikan wajahnya keras dan urat di pelipisnya menggembung.
"Aku harus menambah kepandaian untuk bisa
mengalahkannya!" gumam Ayodea pelan.
Tapi, kemudian kembali kata-katanya direnungkan.
"Siapa kira-kira yang bisa menunjukkan pada ku tempat orang sakti berada"
Tapi..., Pendekar Rajawali Sakti seperti tak terkalahkan. Puluhan tokoh-tokoh
silat kelas satu jatuh di tangannya. Percuma saja jika aku berguru pada mereka.
Seharusnya, ada warisan atau peninggalan dari tokoh-tokoh terdahulu yang tidak
pernah terkalahkan!"
Saat itu, muncul tujuh orang laki-laki berbaju serba merah dan langsung menuju
ke arahnya. "Ki Ayodea...! Kenapa jadi begini, Ki?" tanya seseorang dengan wajah cemas.
Ayodea bangkit dan berusaha bersikap gagah, sambil mendengus sinis.
"Aku tidak apa-apa!"
"Engkau sudah berjumpa Pendekar Rajawali Sakti?"
tanya seorang berambut panjang dengan wajah penuh
brewok. "Itu bukan urusanmu, Sampurno!"
Orang yang dipanggil Sampurno terdiam seketika.
Wajahnya tampak kesal, kemudian berjalan bersama
seorang kawannya di barisan belakang. Diikutinya langkah Ayodea yang
meninggalkan tempat itu.
"Kali ini, dia pasti kena batunya!" bisik Sampurno, sambil mendekatkan kepala di
telinga kawannya.
"Kenapa kau menduga begitu?"
"Banyak darah tercecer, dan napasnya masih terdengar sesak, serta wajahnya yang
pucat sesekali menahan rasa sakit. Dia pasti sedang terluka dalam," jelas
Sampurno. "Maksudmu, dia dikalahkan?"
Sampurno mengangguk.
"Oleh siapa?"
"Siapa lagi kalau bukan Pendekar Rajawali Sakti! Dia begitu bernafsu untuk
mengalahkan pendekar tersohor itu." "Tapi, tetap saja kita tidak mampu berbuat
apa-apa...,"
sahut kawannya sambil menghela napas panjang.
"Paling tidak, arwah Ki Tambak agak lega. Karena, keangkuhan pemuda itu sedikit


Pendekar Rajawali Sakti 87 Pusaka Goa Naga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berkurang dengan
peristiwa ini. Dia yang merasa dirinya paling hebat, kali ini ketemu batunya
setelah berhadapan dengan Pendekar
Rajawali Sakti."
"Tapi orang sepertinya mana mau insyaf. Melihat raut wajahnya, dendamnya semakin
berkarat. Segala cara akan dicarinya untuk mengalahkan Pendekar Rajawali Sakti,
yang kini dianggap sebagai penghalang utama untuk
menjagoi dunia persilatan."
"Tidak mungkin dia mampu mengalahkan Pendekar Rajawali Sakti, meski belajar pada
puluhan guru sekalipun!"
"He! Apa yang kalian bicarakan"!"
Kedua orang itu langsung terdiam, ketika mendengar Ayodea berbalik dan membentak
garang. Matanya mengawasi mereka dengan tajam, kemudian mendengus sinis.
"Kalian kira, aku tidak mampu mengalahkan Pendekar Rajawali Sakti" Huh! Kelak,
dia akan mampus di
tanganku!"
Sampurno dan kawannya semakin dalam menundukkan
kepala. Ayodea kembali mendengus sinis, dan melanjutkan perjalanan. Selanjutnya,
kedua orang itu tidak berani bicara sepatah kata pun, meski hanya berbisik.
Tiba di tempat kediamannya, terlihat beberapa orang berseragam merah memberi
hormat. Tapi Ayodea hanya mendengus, dan terus melangkah lebar ke ruangan dalam.
Beberapa orang di antara mereka, saling pandang dengan wajah bingung.
"Apa yang terjadi pada Ketua?" tanya salah seorang dari mereka, pada rombongan
yang menyertai Ayodea.
Orang itu diam, tidak berani bicara.
"Sudah bertemu Pendekar Rajawali Sakti?"
"Katanya sudah..."
"Bagaimana" Apakah dia berhasil mengalahkan
pendekar tersohor itu?" tanya orang itu dengan wajah serius.
"Kalian tentu bisa menduganya sendiri."
"Dia pasti keok!" sahut salah seorang dengan suara nyaris berbisik.
"Melihat tampangnya yang kusut, itu sudah pasti!"
timpal kawannya yang lain sambil tertawa kecil.
"Keparat! Apa yang sedang kalian bicarakan, heh"!"
Serentak, mereka terdiam sambil menundukkan kepala.
Ayodea yang baru saja akan menaiki anak tangga menuju lantai rumah, tiba-tiba
saja berbalik sambil membentak.
Dan dengan langkah lebar, dihampirinya orang-orang yang berdiri di halaman depan
itu. Dan, memandang mereka satu persatu.
"Kenapa diam" Ayo, katakan apa yang kalian bicarakan tadi"!"
"Ti..., tidak ada apa-apa, Ketua...," sahut salah seorang, tergagap.
Begkh! Desss...! "Aaakh...!"
Empat orang yang berada di dekat Ayodea terpekik
kesakitan. Tanpa disadari, Ayodea berkelebat cepat dan menghajar mereka dengan
geram. Keempat orang itu
terjungkal, dari mulut mereka menetes darah segar.
Ayodea berdiri tegak dengan sorot mata garang
memandangi keempat anak buahnya, yang berusaha
bangkit dengan tertatih-tatih.
"Jika sekali lagi berani merendahkanku, akan kupecah-kan kepala kalian!
Mengerti"!"
Empat orang itu mengangguk cepat Sementara, Ayodea meninggalkan mereka sambil
berkali-kali mendengus
garang. Kali ini tidak berpaling lagi, langsung masuk ke dalam rumah.
Beberapa orang yang berada di situ, langsung menolong keempat orang tadi. Tapi,
sebagian dari mereka hanya berdiam diri saja. Dan yang lain, malah tak peduli
sama sekali. Ayodea adalah Ketua Perguruan Ular Merah. Perguruan itu dulu dipimpin oleh Ki
Tambak, guru Ayodea ketika belajar ilmu silat pertama kali. Ayodea murid yang
pintar dan berbakat, tapi juga memiliki sifat jahat. Itulah sebabnya, mengapa Ki
Tambak tidak menurunkan seluruh kepandaiannya kepada pemuda itu. Ayodea
mengetahui sikap gurunya. Pemuda itu pun kabur dan mengembara ke mana-mana,
belajar pada banyak orang. Beberapa tahun kemudian, dia kembali ke Perguruan
Ular Merah dan menantang Ki Tambak.
Dalam pertarungan itu, Ki Tambak menemui ajalnya.
Dan, Ayodea mengambil alih kepemimpinan. Banyak di antara murid-murid perguruan
yang tidak menyukainya.
Tapi, Ayodea tak segan-segan menghajar, bahkan membunuh mereka yang berani
menantang. Di antara murid-murid itu, ada juga yang memihak padanya. Sehingga,
antara sesama murid Perguruan Ular Merah sering terjadi perselisihan.
*** 2 Ayodea semakin resah. Sudah beberapa hari ini, marah-marah terus. Dan kalau
sudah begitu, murid-muridnya yang menjadi sasaran. Tentu saja hal ini membuat
mereka cemas. Kemarahan Ayodea membuatnya ringan tangan dengan memukul murid-
muridnya. Beberapa orang murid yang ketakutan, mengundurkan diri atau keluar
dari perguruan secara diam-diam. Tapi, bila Ayodea
mengetahui, mereka pasti tak akan selamat
"Apa yang membuatnya belakangan ini sering marah-marah?" tanya seorang murid,
berbisik-bisik pada kawannya.
"Mungkin kekalahannya dari Pendekar Rajawali Sakti."
"Dia tidak terima?"
Kawannya mengangguk.
"Orang sepertinya, seharusnya cepat mampus!"
"Hush! Hati-hati kau bicara."
"Aku sudah muak, dan bosan di sini! Sebagai ketua, kerjanya hanya marah-marah
dan goyang-goyang kaki saja.
Sama sekali, dia tidak menurunkan kepandaian yang
dimilikinya. Kita hanya disuruh terus belajar dengan apa yang sudah kita
pelajari dari Ki Tambak dahulu."
"Mana mungkin dia mau menurunkan kepandaiannya.
Sifatnya serakah dan tinggi hati, serta menganggap diririya paling hebat Dan,
tak mau disaingi siapa pun."
"Kebetulan, dia sedang tidak ada di tempat. Lebih baik, kita kabur saja dari
sini!" "Kau mau celaka" Sekarang, banyak murid-murid yang menjadi penjilat. Hingga kita
tak tahu lagi, mana kawan dan mana lawan...."
Ucapan itu terhenti ketika di pintu gerbang terlihat Ayodea menunggang kuda.
Wajahnya tampak kesal. Dan kalau sudah begitu, tak ada seorang pun yang berani
macam-macam. Salah seorang murid mendekat, dan
menggiring kudanya ke kandang. Ayodea memperhatikan murid-muridnya dengan
tatapan tajam. Kemudian memberi isyarat, agar beberapa orang mendekat.
Tujuh orang mendekat melangkah dengan takut-takut.
"Ke sini, cepat..!"
"I... iya, Ketua..."
"Yeaaa...!"
Plak! Desss! "Aaakh...!"
Tubuh Ayodea seperti terbang, berputar ke belakang.
Kedua kakinya menyambar ketiga muridnya. Lalu dengan cepat melenting ke depan,
menghajar empat orang murid dengan kepalan dan tendangannya. Ketujuh orang
muridnya terhuyung-huyung sambil mengeluh kesakitan.
"Ayo! Kerahkan semua kemampuan yang kalian miliki!
Lawan aku, seperti kalian menghadapi musuh besar!"
"Tapi, Ketua...," salah seorang murid ragu-ragu.
"Hiyaaat..!"
Ayodea tak mempedulikannya. Tubuhnya langsung ber-
gerak, menyerang mereka. Terpaksa ketujuh muridnya itu melakukan perlawanan.
Plak! "Uts!"
"Yeaaa...!"
Bugkh! Desss! "Aaakh...!"
Kali ini, ketujuh muridnya menjerit keras. Tubuh Ayodea bergerak cepat sekali,
sulit diikuti mata mereka. Walau telah berusaha menahan dan berkelit, tapi tetap
saja serangan Ketua Perguruan Ular Merah itu sulit ditahan.
"Huh! Apakah kalian kira aku tak mampu menghadapi Pendekar Rajawali Sakti"!"
tanyanya gusar.
"Eh! Tentu saja Ketua mampu menghadapinya...," jawab salah seorang di antara
mereka, ditimpali kawan-kawannya. "Di mulut kalian berkata begitu, tapi di
belakangku mengejek!"
"Ti... tidak, Ketua. Mana berani kami mengejekmu...,"
sahut orang yang pertama bicara tadi.
Ayodea hanya mendengus sinis. Kemudian, melangkah
lebar ke dalam rumah. Dua orang muridnya mengikuti ke dalam, dan duduk di
depannya saling bersila.
"Sudah kalian dapatkan orang-orang yang kumaksud?"
"Kami menemui Ki Gempar Persada...."
"Si Dedemit Langlang Buana?" Ayodea memotong pembicaraan seorang muridnya.
"Betul, Ketua."
Ayodea mengangguk sambil tersenyum. Ki Gempar
Persada selama ini memang dikenal sebagai tokoh kosen.
Nama orang tua itu amat disegani tokoh-tokoh rimba persilatan.
"Kapan dia akan datang?"
"Beliau mengatakan akan ke sini, begitu kami tiba,"
jawab muridnya.
"Hm.... Bagus! Sudah kalian sebutkan syarat-syaratnya?"
"Sudah, Ki. Beliau begitu yakin bisa mengalahkanmu."
"Ha ha ha...! Sungguh gegabah orang itu, berani merendahkanku!"
"Ha ha ha...! Ki Ayodea, apakah kau merasa kecil hati kurendahkan"!"
"Heh"!"
*** Ayodea langsung melompat keluar, begitu mendengar
tawa nyaring di luar. Dan sesampainya di luar, tampak berdiri seorang laki-laki
tua berpakaian lusuh. Rambutnya putih dan panjang terurai. Bibirnya lebar,
lebih-lebih saat tertawa. Tangannya menggenggam sebatang pedang,
dengan warangka terbuat dari kayu yang kelihatan sudah lapuk.
"Selamat datang, Kisanak. Engkaukah Ki Gempar Persada?"
"Ha ha ha...! Tak salah. Kukira, Ki Ayodea yang bergelar Setan Ular Merah adalah
orang tua keropos yang bau tanah. Tapi siapa sangka, ternyata masih semuda ini.
Padahal, namamu sungguh menggelitik hasratku untuk membuktikannya."
"Kisanak, aku tak mau banyak berbasa-basi. Muridku telah memberitahukan hal ini
padamu. Jadi, bersiap-siaplah!"
"Ha ha ha...! Anak muda memang selalu tak sabaran.
Tapi, tak apalah. Kalau memang kau telah siap, silakan dimulai."
Ayodea membuka jurus dengan menggeser sebelah
kakinya ke belakang. Ki Gempar Persada memperhatikan sorot mata pemuda itu, yang
amat tajam menusuk seperti elang hendak menerkam mangsa. Sekilas terlihat,
seluruh murid-murid Perguruan Ular Merah berdiri rapi di setiap sudut halaman,
memperhatikan dengan seksama.
"Yeaaa...!"
Dengan satu bentakan nyaring, tubuh pemuda itu
melompat dengan gerakan cepat. Hal itu tentu saja
membuat Ki Gempar Persada tercekat.
"Hup!"
Plak! Wuttt! "Uts!"
Sungguh tidak disangka kalau Ayodea mampu bergerak cepat seperti bayangan
melesat. Pukulannya kuat,
menimbulkan desingan angin kencang yang menggetarkan dada. Menurut pengamatan Ki
Gempar Persada, pemuda ini memiliki tenaga dalam yang kuat. Bahkan bisa jadi
tenaga dalam lawan setingkat di atasnya.
Ketika salah seorang murid Perguruan Ular Merah
datang ke tempat kediamannya, untuk menyampaikan
maksud kalau Ayodea ingin berguru kepadanya, orang tua itu terkekeh. Dianggapnya
Ketua Perguruan Ular Merah ingin bersaing dengan ketua-ketua perguruan silat
lainnya. Menurut dugaan Ki Gempar Persada, murid itu pasti
orang yang sangat dipercaya. Sebab, menyampaikan berita demikian adalah sangat
memalukan. Seorang ketua
perguruan silat ingin berguru, adalah hal yang aneh. Tapi, ketika mereka
menyampaikan amanat berikutnya, bahwa calon guru tersebut harus diuji langsung
oleh Ayodea, orang tua itu mulai berubah pikiran. Dalam hatinya timbul
pertanyaan, apa maksud Ketua Perguruan Ular Merah itu sebenarnya"
Sampai di sini, pertanyaan itu tidak terjawab juga. Yang diketahuinya sekarang,
Ayodea yang tadi sempat diremeh-kannya temyata bukanlah orang sembarangan.
Bahkan terlihat dari serangannya yang mematikan, seperti sedang berhadapan dengan musuh
besar. "Ki Gempar Persada, bersungguh-sungguhlah! Aku akan berguru dan mematuhi
perkataanmu, bila kau bisa
mengalahkanku. Tapi jika sebaliknya, nyawamulah yang akan menjadi taruhannya!"
"Ki Ayodea, apa-apaan ini"!"
"Yeaaa...!"
Ayodea tak mempedulikannya, dan segera mengeluar-
kan jurus andalannya untuk mendesak lawan.
Ki Gempar Persada mulai kewalahan, hanya dalam
beberapa jurus. Bahkan, dalam satu kesempatan, Ayodea berhasil menghajarnya.
"Akh...!"
Orang tua itu mengeluh perlahan, sambil mendekap
dadanya yang terkena pukulan lawan. Matanya terlihat garang, karena kemarahannya
mulai bangkit. Sesaat
kemudian, disiapkan jurus-jurus serangan andalannya.
"Baik! Kalau itu kemauanmu, akan kuladeni. Coba kau tahan jurus 'Angin Puyuh
Menggempur Gunung' ini!"
"Keluarkan segala kepandaian yang kau miliki. Aku tak akan setengah-setengah
dalam pertarungan ini!"
"Yeaaa...!"
"Hup!"
Ayodea bersiap, begitu melihat lawan akan mengeluarkan jurus andalan. Pemuda itu
pun sudah mempersiapkan jurus andalannya, yaitu 'Badai Pasir Mengguyur
Gelombang'. Jurus ini diperoleh dari salah seorang gurunya.
Serangan Ki Gempar Persada kini terasa berat dan
cepat. Dan ketika kepalan kiri lawan menyodok ke ulu hati, Ayodea memiringkan
tubuh untuk menghindar. Tapi, saat itu juga kepalan tangan kanan lawan
menghantam kepala, diikuti gerak menendang ke dada.
"Hiyaaa...!"
Tubuh Ayodea melompat-lompat menghindar sambil
berputar. Sementara, orang tua itu terus mengejar dengan gencar. Tapi dalam satu
kesempatan, ketika kepalan lawan menghajar muka, Ayodea menundukkan kepala
sambil menjatuhkan tubuh dan menghajar lutut belakang lawan.
Ki Gempar Persada merasa kalau ini adalah peluang
terbaik baginya untuk menghajar lawan dengan mengerahkan satu pukulan maut ke
bawah. "Yeaaa...!"
Plak! Dukkk! "Akh!"
"Hiyaaat..!"
Desss! "Aaakh...!"
Dua kali orang tua itu mengeluh kesakitan. Dan yang kedua, adalah hajaran di


Pendekar Rajawali Sakti 87 Pusaka Goa Naga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

punggungnya. Ayodea menangkis serangan lawan dengan kedua tangan. Entah
bagaimana caranya, tiba-tiba saja kedua kakinya melewati bagian bawah, langsung
menghajar pinggang belakang. Ki Gempar Persada terdorong ke depan, dan tubuh
pemuda itu langsung bangkit dengan sebelah kaki menghajar
punggungnya. "Cabut pedangmu!" kata Ayodea sambil memandang sinis.
Sring! Ki Gempar Persada mencabut pedangnya sambil men-
dengus geram. Dua kali dia terkena hajaran pemuda itu tanpa bisa membalas.
"Dengan tangan kosong, kau mungkin bisa berbangga diri. Tapi, hati-hati
menghadapi ilmu pedangku!"
Sebagai jawabannya, Ayodea malah berkelebat cepat
menghantam lawan. Pedangnya digerakkan laksana kitiran yang membabat ke segala
arah. "Hiyaaat..!"
Trang! Kedua senjata mereka beradu, menimbulkan percikan
bunga api. Ujung pedang Ki Gempar Persada menyambar ke perut lawan, sedang tubuh
Ayodea melejit ke atas.
Orang tua itu terus mengejar dan menyabet kedua kaki lawan. Ayodea menangkis
dengan senjatanya. Tapi, kali ini tak sekadar mengadu senjata. Pedang Ayodea
bergulung-gulung bagaikan pusaran air ketika tubuhnya melesat ke bawah. Ki
Gempar Persada kelabakan, terus melompat ke belakang menghindari kejaran lawan.
Trang! Breeet! "Aaa...!"
Ki Gempar Persada menjerit kesakitan, ketika ujung pedang lawan merobek
perutnya. Tapi pada kesempatan terakhir, pukulan jarak jauhnya masih mampu
dilepaskan ke arah Ayodea. Sayang, pemuda itu dengan mudah
menghindarinya. Dan balas menghantam dengan pukulan jarak jauh yang menimbulkan
desir angin kencang, hingga membuat tubuh Ki Gempar Persada terjungkal.
Ki Gempar Persada berusaha bangkit dengan bertumpu pada senjatanya. Tapi niatnya
tak tersampai, karena pada saat itu ujung kaki Ayodea menghantam telak mukanya.
Kembali orang tua itu terpental. Kali ini, dibarengi keluhan terakhir yang
nengakhiri kematiannya.
Ayodea memandang sinis sambil mendengus, menatap
tubuh Ki Gempar Persada. Setelah menyarungkan pedang, pemuda itu melangkah pelan
ke dalam. Tinggal murid-muridnya yang langsung bergerak mengurus mayat Ki
Gempar Persada.
*** "Orang seperti itu yang kalian pilih menjadi calon guruku" Huh, memalukan!"
Dengan wajah gusar, Ayodea memaki kedua orang
murid kepercayaannya. Ditatapnya satu persatu wajah mereka dengan mata mendelik.
"Kami, tak tahu lagi harus mencari siapa, Ketua.
Sepertinya, orang-orang yang selama ini terdengar hebat dan handal, ternyata tak
berdaya melawan Ketua...," jawab salah seorang muridnya.
"Kalian jangan putus asa. Carilah orang sakti lain, yang betul-betul pantas
sebagai guruku!"
"Tapi, ke mana lagi kami mencari, Ketua...?"
"Goblok! Aku tak peduli kalian mencari ke mana. Ke ujung dunia pun, harus kalian
dapatkan!"
"Baik, Ketua!"
Kemudian, kedua murid itu pun berlalu. Ayodea berdiri dan melangkah ke jendela.
Dari situ, diperhatikan
sekeliling halaman depan. Tapi sebenarnya pikirannya menerawang jauh. Kini,
sudah beberapa orang tewas di tangannya. Mereka itu adalah calon-calon gurunya.
"Heh"!"
"Eh! Maaf, Ketua. Di luar ada seorang pengemis yang ingin bertemu...," ujar
seorang muridnya yang baru masuk.
"Pengemis" Mau apa dia ke sini" Suruh keluar!"
"Tapi, Ketua. Dia membawa berita yang Ketua butuhkan..."
"Berita" Berita apa?"
"Dia tak mengatakannya. Katanya, hanya berita itu yang dibutuhkan Ketua. Dan
bila berkenan, dia meminta
imbalan..."
"Hm.... Suruh dia masuk. Tapi ingat! Bila aku tidak berkenan dengan berita yang
dibawanya, maka kepalanya akan tinggal di sini! Katakan hal itu padanya!"
"Baik, Ketua....!"
Ayodea menunggu beberapa saat setelah muridnya
keluar ruangan. Dan tak berapa lama kemudian, muridnya itu telah kembali bersama
seorang pengemis kumal
berusia sekitar tiga puluh tahun. Kulitnya hitam, tubuhnya penuh dengan koreng
yang telah sembuh dan yang masih berdarah.
"Silakan masuk, dan berdiri saja di situ! Langsung katakan, berita apa yang kau
bawa"!" tanya Ayodea setelah menyuruh muridnya keluar dari ruangan itu.
"Namaku Kempeng...."
"Langsung katakan, berita apa yang kau bawa!" bentak Ayodea kesal.
"Baiklah. Kudengar dari beberapa orang murid, Anda mencari seorang tokoh sakti
untuk dijadikan sebagai guru.
Yang akan kusampaikan, bukan tentang seorang tokoh, melainkan warisannya yang
pasti akan kau suka...."
"Warisan apa?"
"Pernahkah Kisanak mendengar tentang Goa Naga?"
"Hei!"
Mata Ayodea berbinar-binar mendengar kata-kata
terakhir pengemis itu. Menurut kabar yang pernah
didengarnya, Goa Naga adalah suatu tempat yang dahulu dihuni oleh seorang tokoh
sakti yang tak terkalahkan.
Banyak orang yang mencari goa itu. Namun, sampai saat ini tak ada seorang pun
yang tahu tempatnya.
"Tahukah kau, di mana goa itu berada?"
Pengemis itu menggeleng.
"Aku tidak tahu di mana letaknya. Tapi, tahu bagaimana caranya agar Kisanak bisa
ke sana. Tokoh yang dulu tinggal di goa itu memiliki keturunan seorang gadis.
Tapi gadis itu pun tidak tahu, di mana tempat itu berada. Yang
diketahuinya, ada sebuah peta yang menunjukkan letak goa itu. Caranya, dengan
melihat tato yang tergambar di seluruh tubuhnya. Tapi tidak sembarangan orang
bisa melihatnya, kalau tidak mempunyai hubungan dekat
dengannya. Gadis itu agaknya tak mampu menterjemahkannya. Akibatnya, letak goa
itu belum ditemukan hingga sekarang. Jadi, kalau Kisanak bisa mendekatinya dan
mampu menafsirkan peta di tubuhnya, Kisanak akan
menjumpai gua itu, dan mendapatkan Pusaka Goa Naga yang dikejar banyak tokoh
persilatan," jelas pengemis itu panjang lebar.
Bukan main girangnya hati Ayodea mendengar kata-
kata si pengemis. Setelah pengemis itu memberitahukan di mana gadis itu berada,
Ayodea memberikannya beberapa keping uang emas. Dan, sampai pengemis itu
berlalu, bibirnya masih terus tersenyum.
*** 3 Pegunungan Kendeng berbaris rapi, bagai gelombang laut yang berkejar-kejaran.
Dimulai dari puncak tertinggi, kemudian puncak kedua yang berada di bawahnya,
lalu puncak ketiga yang lebih rendah, dan seterusnya yang lebih rendah lagi.
Kembali pada puncak yang agak tinggi, kemudian lebih tinggi lagi. Di bagian
lereng hingga terus ke kaki pegunungan, terdapat sebuah perkampungan yang agak
sepi. Jarak rumah satu ke rumah yang lain cukup jauh.
Pagi ini cuaca terlihat cerah. Sang Surya bersinar lembut, menghangatkan
suasana. Di sebuah telaga yang mendapat curahan air terjun di atasnya, terlihat
seorang gadis tengah melakukan gerakan-gerakan silat yang teratur dan indah,
seperti sedang menari. Rambutnya panjang terurai hingga ke pinggang. Wajahnya
yang cantik dan berkulit putih, tampak kemerah-merahan diterpa sinar matahari.
Dan peluh bercucuran dari kening hingga ke pipinya. Sementara pedang di
tangannya, terus berkelebat ke sana kemari.
Setelah beberapa saat kemudian, gadis itu meng-
hentikan latihannya. Dan, mulai mengatur pernapasan sambil beristirahat Setelah
itu, menyegarkan diri dengan mandi di air telaga. Melihat wajahnya yang cantik,
orang tak akan percaya kalau di seluruh tubuhnya dipenuhi gambar-gambar tato.
Mulai dari bagian depan tubuh hingga ke bagian belakang.
Sesaat kemudian, gadis itu telah rapi berpakaian dan melangkah pelan
meninggalkan tempat itu. Tapi telinganya yang terlatih, tiba-tiba mendengar
teriakan-teriakan pertempuran yang tak jauh dari situ. Cepat, didatanginya asal
suara itu. Sesampainya di sana, dilihatnya, seorang pemuda
tengah dikeroyok beberapa orang laki-laki bersenjata tajam, dan berwajah seram.
Pemuda itu tampak lemah sekali. Beberapa kali tubuhnya kena hajar, dan terdengar
jerit kesakitan dari mulutnya.
"Berhenti...!" gadis itu membentak nyaring sambil melompat ke arah mereka.
Serentak orang-orang itu menghentikan pertempuran.
"Eh, coba lihat! Siapa gerangan yang akan menjadi pahlawan hari ini!" tunjuk
salah seorang dari kawanan itu.
"Gadis cantik yang bahenol! Bukan pahlawan, tapi makanan empuk untuk kita!"
timpal kawannya, diikuti gelak tawa lainnya.
Mendengar olok-olok mereka, gadis itu tetap diam
sambil menatap tajam. Diliriknya sejenak pemuda yang menjadi korban mereka.
Tubuhnya tampak babak-belur, dan wajahnya meringis menahan sakit. Dia berusaha
bangkit dengan tertatih-tatih.
"Siapa kalian, dan apa yang dikerjakan di sini?"
"Coba dengar! Gadis itu malah menanyakan kita. Apa tidak sebaliknya kita yang
harus bertanya padanya"!"
seorang yang wajahnya penuh ditumbuhi bulu-bulu lebat, menyahut dengan sikap
merendahkan sambil berpaling pada kawan-kawannya.
"Sudahlah. Tinggalkan saja bocah itu di sini. Sekarang, kita sudah mendapat
makanan baru yang lebih segar!"
sahut kawannya yang bertubuh kurus.
"Ah, tidak bisa! Susah payah kita mengejar anak keparat ini, agar kelak di
kemudian hari tak jadi biang penyakit. Mana mungkin kulepas begitu saja!" jawab
si brewok cepat
"Kalau begitu, kita bunuh saja sekarang!" salah seorang kawannya yang bertubuh
besar, langsung mendekati si pemuda sambil mengayunkan golok.
Tapi, sejengkal lagi mata golok akan memenggal kepala si pemuda, saat itu juga
si gadis bertindak. Tubuhnya berkelebat cepat, menghantam pergelangan tangan
orang bertubuh besar, hingga goloknya terpental jauh. Dan pemiliknya, meringis
kesakitan. "Huh! Kurang ajar! Kita harus meringkus perempuan liar ini dulu, baru
membinasakan bocah itu!" sentak si brewok sambil mencabut golok dan bersiap
menyerang gadis itu.
"Manusia-manusia bengis tak berguna! Ayo, majulah kalian semua. Ingin kulihat,
sampai di mana kegarangan kalian. Jangan hanya berlagak di depan orang yang tak
mampu melawan!"
"Heh, semakin sombong saja kau rupanya! Baik, jangan menyesal kalau kau
kuringkus dan kutelanjangi!"
Si brewok berteriak nyaring, menyerang gadis itu
dengan gerakan cepat. Dia berharap dalam waktu singkat akan dapat meringkus
gadis itu. Tapi ternyata dugaannya keliru. Gadis itu memiliki gerakan yang
lincah untuk menghindari serangan-serangannya. Tubuhnya bagai
seekor walet yang terbang melayang ke sana kemari.
Hingga, membuat si brewok semakin penasaran saja.
"Dolok, apa kau tak mampu meringkus gadis itu"
Sehingga kami harus ikut turun tangan"!" teriak seorang kawannya.
"Tidak perlu! Sebentar lagi dia akan kutundukkan!"
"Yeaaa...!"
Plak! Begkh! "Aaakh...!"
Saat itu, si gadis telah melayangkan kepalan tangannya dengan cepat, menyambar
rahang lawan. Si brewok yang dipanggil Dolok, mencoba mengelak sambil
memiringkan tubuh. Tapi gadis itu telah berbalik, dan menghantamkan kepalan
tangannya yang lain, menggedor dada Dolok.
Lelaki itu menjerit kesakitan dan tubuhnya terjungkal mencium tanah.
"Kurang ajar! Agaknya perempuan liar ini betul-betul tak bisa diberi hati. Ayo
serang beramai-ramai!" teriak Dolok kalap.
"Yeaaa...!"
"Hiyaaa...!"
Plak! "Uts...!"
Tanpa diperintah dua kali, mereka langsung
mengeroyok gadis itu. Tapi si gadis dengan tenang
melayani mereka. Meski bertangan kosong, namun ujung golok lawan sedikit pun tak
mampu menyentuh kulitnya.
Tentu saja hal ini membuat mereka semakin kalap. Gadis itu agaknya mulai kesal
melihat kelakuan mereka. Maka sambil berteriak nyaring, tubuhnya berkelebat
cepat menghajar ke sana kemari tanpa bisa dihindari.
"Yeaaa...!"
Dukkk! Desss! Begkh!
"Aaakh...!"
"Aaa...!"
*** Para pengeroyok itu jungkir balik satu persatu secara beruntun. Agaknya si gadis
tak mau bertindak kepalang tanggung.
Cring! "Aku hanya berkata sekali. Selanjutnya, kalian kupastikan mampus di tanganku.
Pergilah dari sini!" sentak gadis itu sambil menudingkan pedang ke arah lawan-
lawannya. Dengan wajah takut, mereka berlalu dari situ. Si gadis kembali menyarungkan
pedang, lalu menghampiri pemuda yang tadi dikeroyok.
"Kisanak, kini kau telah terlepas dari mereka. Nah, pergilah sesuka hatimu,"
katanya sambil membalikkan tubuh, hendak berlalu dari situ.
"Nisanak, tunggu!"
"Ada apa lagi?" gadis itu berbalik dan menatap tajam.
"Eh! Aku..., aku belum mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu."
"Tak usah. Nah, pergilah!"
"Tapi, Nisanak. Mereka pasti akan mencegatku begitu kau pergi. Dan.... Ah!
Nasibku memang malang, telah ditakdirkan harus mati sia-sia...," keluh pemuda
itu, sambil duduk pada sebatang pohon yang telah tumbang dan
keropos. Gadis itu memperhatikannya dengan seksama sambil
berpikir. Apa sebenarnya yang terjadi dengan pemuda ini, dan mengapa sampai
dikejar-kejar untuk dibunuh" Semula gadis itu tak peduli, tapi entah mengapa
kemudian dia menghampiri dan berdiri di depan si pemuda.
"Siapa namamu?"
"Eh. Aku..., namaku Wakalu...."
"Hm, Wakalu.... Mengapa kau sampai berurusan dengan orang-orang itu?"
"Mereka membunuh kedua orangtuaku...."
"Mengapa mereka membunuh keluargamu?"
"Entahlah! Aku pun tidak tahu persoalannya. Subuh tadi, mereka datang dan
langsung menyerang kami. Sebenarnya aku tak ingin melarikan diri, tapi kalau aku
mati, siapa yang akan membalas sakit hati orangtuaku" Sayang, aku tak memiliki
kepandaian untuk melawan mereka...."
Gadis itu terdiam.
"Nisanak, siapakah kau sebenamya" Kulihat, kau memiliki kepandaian silat yang
hebat. Sudikah kau
mengajariku" Aku akan menuruti segala perintahmu," pinta si pemuda dengan suara
memelas. "Hm.... Namaku Sekartaji, dan biasa dipanggil Sekar saja. Ilmu silatku tak
seberapa, tapi sekadar menghajar keroco-keroco seperti mereka, mungkin bisa
diandalkan. Tapi, itu tidak akan cukup untukmu. Lagi pula, aku tak berkenan mengambil
murid." "Tolonglah aku, Sekar. Asalkan bisa membalas
kematian kedua orangtuaku, aku sudah merasa ber-


Pendekar Rajawali Sakti 87 Pusaka Goa Naga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

syukur." "Hm...," gadis itu bergumam sesaat.
"Ah, nasibku memang buruk. Lebih baik aku mati saja, daripada menjadi anak yang
tak berguna," keluh pemuda yang mengaku bernama Wakalu itu. Kemudian, diambilnya
sebuah batu yang cukup besar, siap dihantamkan ke
kepalanya. Plak! "Hentikan!" bentak Sekartaji sambil menghantam pergelangan tangan Wakalu,
sehingga membuat batu di tangannya terpental.
"Kenapa kau menghalangi niatku" Sudah jelas aku anak yang tak berguna. Biarkan
aku mati!"
"Baiklah. Aku akan mengajarkanmu satu dua jurus ilmu silat"
"Oh, benarkah?"
Sekartaji mengangguk.
"Eh, jangan begitu! Ayo, berdiri!" lanjutnya ketika melihat Wakalu hendak
bersujud di kakinya.
"Aku mesti memberi penghormatan pada guruku."
"Tidak usah. Sekarang mari ikut ke pondokku."
"Baiklah."
Keduanya segera berlalu dari tempat itu.
Dari kejauhan, terlihat orang-orang yang tadi
mengeroyok Wakalu, memperhatikan dengan seksama.
"Agaknya, gadis itu berkenan pada Ki Ayodea," gumam si brewok yang bernama
Dolok. "Berhasil juga siasat Ki Ayodea," sahut kawannya.
"Sudahlah. Untuk apa kita berlama-lama di sini. Tugas kita telah selesai.
Sebaiknya, kita kembali ke perguruan,"
kata kawannya yang lain.
Setelah melihat kedua orang itu berlalu, mereka pun meninggalkan tempat itu.
*** Pemuda itu memang Ayodea. Untuk menjalankan
siasatnya, namanya sengaja dirubah. Bisa jadi, belakangan ini nama Ayodea sangat
dikenal. Setelah peristiwa
pembunuhan gurunya oleh tangannya sendiri, Ayodea
sempat menantang beberapa tokoh persilatan, dan semuanya tewas di tangannya.
Begitu juga setelah dikalahkan Pendekar Rajawali Sakti.
Ayodea mencari tokoh-tokoh berilmu tinggi untuk diangkat-nya menjadi guru,
dengan syarat harus mengalahkannya dalam duel. Tapi, kebanyakan di antara mereka
tewas di tangannya, dan yang lain tidak mau memenuhi
undangannya. Ayodea menganggap tokoh-tokoh yang tidak bersedia
memenuhi undangannya, tidak memiliki kepandaian yang dikaguminya. Oleh sebab
itu, namanya pasti dikenal sebagai tokoh muda berilmu tinggi yang sadis dan
telengas. Untuk mencari simpati gadis itu, tindakannya sengaja dibuat bodoh
dengan tidak menunjukkan
kepandaiannya. Bahkan, merubah namanya.
Sekartaji ternyata memenuhi janjinya. Gadis itu memberi pelajaran ilmu silat dan
ilmu olah kanuragan kepada Ayodea yang kini bernama Wakalu. Walaupun bukan itu
yang ditujunya, tapi Ayodea belajar sungguh-sungguh.
Pemuda itu sangat rajin dan selalu bersikap polos serta jujur pada Sekartaji.
Hingga tak heran bila Sekartaji mulai menaruh simpati padanya.
Tak terasa, telah seminggu lebih Ayodea bersama gadis itu. Pagi ini, pemuda itu
berlatih ilmu silat yang diajarkan Sekartaji. Setelah menaruh kayu bakar di
dapur, perlahan-lahan kaki Sekartaji melangkah ke balai-balai bambu yang
terletak di depan rumah. Diperhatikannya secara seksama gerakan-gerakan yang
dilakukan Ayodea.
"Wakalu. Kuda-kudamu kurang kokoh!"
"Eh! Guru...!"
Ayodea berpaling dan memberi hormat melihat gadis itu tersenyum padanya.
"Sudah berapa kali kuperingatkan. Jangan memanggilku guru. Cukup namaku saja!"
"Tapi...."
"Jangan membantah!"
"Baiklah."
"Nah, sekarang coba kau tangkis seranganku!"
Setelah berkata demikian, Sekartaji langsung melompat sambil mengayunkan satu
pukulan ke arah Ayodea.
"Yeaaa...!"
Plak! "Hup!"
Wuuut! Ayodea bergerak tak kalah gesit. Ketika Sekartaji
menendang, tubuhnya segera dimiringkan sambil
menundukkan kepala. Kemudian, berguling ke belakang.
Tapi serangan gadis itu tak hanya sampai di situ saja.
Tanpa menunggu lawannya bangkit, tubuh Ayoda dikejar dengan serangan yang lebih
gencar. "Hiyaaat..!"
Plak! Desss! "Akh!"
"Hati-hati...!"
Sekartaji memperingatkan ketika kakinya berbalik cepat menghantam punggung
pemuda itu. Ayodea mengeluh
kesakitan, dan tubuhnya terhuyung-huyung ke depan.
Namun, kedudukannya cepat diperbaiki saat gadis itu kembali melesat
menyerangnya. Plak! "Hiyaaat!"
Plak! Plak! Tappp! Ayodea mengelak gesit. Dan dengan cara yang tak terduga, pemuda itu menjatuhkan
diri ke tanah dengan
sebelah kaki menghajar lutut belakang Sekartaji. Gadis itu terkejut, dan kuda-
kudanya langsung lemah sehingga tubuhnya jatuh terguling menimpa Ayodea. Dan
dengan sigap, Ayodea menangkapnya, dan tubuh mereka bergulingan. Kemudian
berhenti, ketika tubuh mereka
membentur dinding pondok.
Keduanya terdiam beberapa saat. Mendadak, gadis itu melepaskan diri dari pelukan
Ayodea, dan melangkah ke dalam pondok dengan wajah jengah.
"Guru. Eh, Sekar...! Maaf, aku...!"
Tapi ucapan pemuda itu terputus karena Sekartaji telah mengunci pintu kamar.
Ayodea berusaha mengetuk dan berkali-kali menyata-
kan penyesalannya. Namun, tak terdengar sahutan dari dalam. Wajah pemuda itu
tampak gelisah, dan berjalan mondar-mandir. Namun, gadis itu nampaknya tak akan
keluar kamar. Ayodea merenung di balai-balai depan, memandang
bulan yang telah muncul. Sejak tadi sampai malam begini, Sekartaji belum juga
keluar dari kamarnya. Pikirannya jauh menerawang, tidak menentu. Saat itulah
dari arah belakang terdengar sapaan lembut
"Wakalu. Kau belum tidur...?"
"Sekar..., kau?"
Gadis itu tersenyum dan duduk di sebelahnya. Ayodea jadi salah tingkah. Berkali-
kali pemuda itu meminta maaf atas kejadian tadi pagi.
"Sudahlah... Aku sudah melupakannya."
"Tapi..."
"Kau tidak suka?"
"Eh. Aku..., aku..."
"Wakalu, ada yang ingin kubicarakan. Aku hanya terkejut dengan kejadian tadi
pagi. Selama ini, aku hidup sendiri dan jarang bertemu dengan orang lain.
Termasuk laki-laki. Peristiwa tadi pagi sungguh membuatku terkejut, tapi...."
"Tapi, kenapa?"
Gadis itu tersenyum, tidak langsung menjawab.
Ditatapnya pemuda itu lekat-lekat. Ayodea membalasnya sejenak, dan cepat-cepat
menundukkan wajah.
"Kenapa..." Kau tak mau memandangku" Apakah aku terlalu buruk sebagai seorang
perempuan?"
"Bukan itu. Tapi, kau adalah...."
"Wakalu, aku tak pernah menyebut diriku guru di hadapanmu, bukan" Jadi, jangan
lagi diingat-ingat hal itu.
Kita hanya dua orang anak manusia yang berlainan jenis.
Apa kau tak merasakan hal itu?"
"Eh, ya..."
"Menurutku, apakah wajahku amat buruk?" tanya Sekartaji dengan suara lirih.
"Aku harus katakan apa" Yang kulihat, kau seorang gadis yang cantik."
"Betulkah itu?"
Ayodea mengangguk.
"Tapi, mengapa tak ada laki-laki yang suka padaku?"
"Eh! Ng...."
"Betul, bukan?"
"Siapa bilang" Setiap laki-laki yang melihatmu, pasti akan terpesona."
"Termasuk, kau?"
Ayodea diam, tak menjawab. Diliriknya gadis itu berkali-kali.
"Jawablah dengan jujur, Wakalu."
"Tak pantas rasanya kalau aku mengatakan bahwa aku..., aku suka padamu."
"Kau sungguh-sungguh suka padaku?"
Ayodea mengangguk.
"Maaf, mungkin kau marah. Tapi, aku ingin berkata jujur...."
Kata-kata Ayodea terhenti ketika jari gadis itu
menempel di bibirnya. Keduanya saling pandang. Dan seperti magnit yang tak
sejenis, perlahan-lahan keduanya melekat dalam pelukan erat. Entah siapa yang
memulai, bulan yang mengintip di balik awan pun tidak tahu.
Lama mereka saling bercumbu. Dan, ketika suara gadis itu semakin lirih, Ayodea
mengangkat tubuhnya dan
menutup pintu depan. Mereka masuk ke dalam kamar.
Malam yang dingin terasa hangat, ketika keduanya
berpacu mengarungi samudera cinta.
*** 4 Hubungan antara Wakalu atau Ayodea dengan Sekartaji semakin intim saja sejak
malam itu. Bahkan, bukan lagi sekadar antara guru dan murid, tapi lebih mirip
hubungan suami istri. Sekartaji semakin hari semakin percaya pada pemuda itu.
Hingga ketika melihat segala kepandaiannya telah diturunkan pada pemuda itu,
Sekartaji mulai membicarakan soal penting yang selama ini selalu dirahasiakan.
"Kakang Wakalu...," katanya pada suatu malam.
"Hm...."
"Kau mungkin heran melihat sekujur tubuh penuh tato, bukan?"
"Ya.... Tapi aku tak peduli, meski tubuhmu bagai-manapun keadaannya."
"Gambar tato ini bukan sembarangan, Kakang...," lanjut Sekartaji.
"Bukan sembarangan" Lalu apa...?" tanya Ayodea dengan wajah heran.
"Ini adalah peta yang menunjukkan suatu tempat..."
"Suatu tempat" Aku semakin tak mengerti."
"Hm.... Kau memang tak mengerti, karena kau tadinya bukan orang persilatan.
Kakang Wakalu, peta ini
menunjukkan suatu tempat yang bernama Goa Naga.
Leluhurku adalah pemilik tempat itu. Pada zamannya, ia merupakan salah seorang
tokoh persilatan yang tiada tandingan. Tapi karena sulit melihat tato yang
berada ditubuhku ini, sampai sekarang aku belum menemukan tempat itu...."
"Ada perlu apa kau ke sana?"
Sekartaji tersenyum sambil menggelengkan kepala.
"Apa kau belum mengerti juga, ke mana arah pem-bicaraanku?"
Ayodea menggeleng.
"Tidak inginkah kau menambah kepandaian ilmu olah kanuraganmu, Kakang?"
"Tentu saja mau."
"Nah, bisakah kau membantuku untuk menafsirkan peta yang berada di tubuhku ini?"
"Kalau itu membuatmu senang, tentu aku suka sekali membantunya. Nah, bukalah
bajumu." Sekartaji membuka seluruh bajunya, hingga terlihat jelas gambar tato di bagian
depan dan belakang. Ayodea mengamatinya agak lama sambil berpikir keras. Bola
mata pemuda itu berbinar-binar dan hatinya bersorak girang.
Berkali-kali dia menghubung-hubungkan beberapa buah garis dan titik, serta
gambar-gambar Iain yang merupakan lambang. Sesaat kemudian, pemuda itu tersenyum
gembira. "Bagaimana, Kakang" Tahukah kau, di mana kira-kira letak goa itu?"
"Sepertinya tak terlalu susah. Tapi aku masih heran, mengapa kau harus ke sana."
"Bukan aku yang akan ke sana, tapi kita."
"Kita?"
Sekartaji mengangguk.
"Kakang, ketahuilah. Leluhurku meninggalkan warisan berupa pelajaran ilmu silat
tinggi di sana. Kalau kita bisa mempelajarinya, tentu akan hebat sekali. Nah,
tak inginkah kau menjadi orang yang disegani?"
"Oh. Tentu saja aku suka sekali."
"Nah. Kalau begitu, besok pagi-pagi sekali berangkat mencari tempat itu.
"Kau bersungguh-sungguh"!"
'Tentu saja! Kenapa tidak?"
"Aku tidak tahu, bagaimana caranya mengucapkan terima kasih. Kau telah banyak
sekali membantuku."
"Kakang, perlukah seorang kekasih mengucapkan terima kasih, kalau itu
dilakukannya karena perasaan sayang dan kasih yang tulus" Kau hanya perlu
menyayangi dan selalu berada di sisiku setiap saat."
"Tentu saja, Sekar. Mana mungkin aku meninggalkan kekasih yang amat kucintai?"
"Oh, Kakang. Aku bahagia sekali mendengar kata-katamu!" Sekartaji memeluk erat
tubuh pemuda itu.
"Aku pun bahagia dicintai gadis secantikmu...."
"Betulkah kata-katamu itu, Kakang?"
"Apa?"
"Kau mencintaiku sepenuh hati?"
"Kenapa tidak"!"
"Tidakkah kau merasa malu melihat tubuhku vang penuh tato?"
"Sekar, harus berapa kali kukatakan" Aku mencintaimu dan tak peduli dengan
keadaan tubuhmu yang penuh tato.
Bahkan, itu menambah keindahan tubuhmu."
"Kau hanya menghiburku, Kakang..."
"Aku bicara apa adanya, bukan sekadar menghibur."
"Sudahlah, Kakang. Lebih baik kita tidur agar besok pagi bisa bangun dengan
tubuh segar. Mungkin perjalanan kita akan jauh dan makan waktu lama..."
Ayodea mengangguk. Setelah mencumbu gadis itu,
mereka tidur saling berpelukan. Masing-masing dengan mimpinya. Sekartaji merasa
bahagia dan aman menemukan pemuda yang mencintainya. Angannya melayang jauh,
membayangkan kebahagiaan mereka kelak. Berumah
tangga, mempunyai anak, bercanda ria, dan sebagainya.
Tapi yang dipikirkan Ayodea lain lagi. Selangkah lagi impiannya akan tercapai,
menjadi orang yang akan
menjagoi rimba persilatan. Tidak ada seorang pun yang akan menandinginya.
*** Perjalanan ke tempat tujuan memakan waktu dua hari
dua malam. Tapi, rasa lelah mereka terobati ketika melihat tanda-tanda yang ada
di tempat itu sama dengan yang tergambar di tubuh Sekartaji.
"Tapi lembah ini luas sekali, Kakang. Bagaimana kita dapat menemukan letak goa
itu?" "Ingat, Sekar! Goa itu tidak akan ditemukan begitu saja.
Ada tanda khusus yang akan membuat goa itu terbuka.
Jadi, selama tak ada yang menemukan pembuka goa,
maka goa itu akan terlihat seperti dinding saja," jelas Ayodea.
"Jadi, kita harus menemukan batu tebing yang menonjol seperti tanduk kerbau?"
"Betul!"
Keduanya terus menyusuri tebing terjal di lembah itu.
"Kakang, lihat!" seru Sekartaji.
Wakalu alias Ayodea menoleh ke arah yang ditunjuk
Sekartaji. Di sana dilihatnya dua bongkah batu sepanjang setengah jengkal,
saling bertolak belakang. Bentuk batu itu seperti ulekan sambal, disamarkan oleh


Pendekar Rajawali Sakti 87 Pusaka Goa Naga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tonjolan-tonjolan batu sebesar kepalan tangan.
"Mari kita lihat dan coba!" ajak Ayodea.
Kemudian, mereka melangkah mendekati batu yang
berbentuk aneh itu. Setelah mengamat-amati secara
seksama, Ayodea memutar kedua batu itu secara ber-
samaan ke arah kiri dan kanan. Sehingga ujung-ujung bagian atasnya hampir
bersentuhan. "Kakang, lihat! Tebing ini bergeser perlahan-lahan!" seru Sekartaji sambil
menunjuk dinding tebing yang bergeser membentuk sebuah pintu.
Melihat itu Ayodea semakin bersemangat memutar
kedua batu ke kiri dan kanan. Lubang itu semakin
membesar, hingga berhenti ketika cukup untuk dimasuki dua orang.
"Inikah Goa Naga itu?" tanya Ayodea dengan wajah girang, sambil melangkah hati-
hati. "Kakang, awas!"
"Uts!"
Cras! Cras...! Ayodea cepat melompat ketika empat ekor ular dengan ganas menyerangnya. Dengan
segera pedangnya dicabut, dan membabat keempat ular itu hingga menjadi beberapa
potong. "Di dalam sangat gelap, Sekar. Aku tak tahu, berapa banyak ular lagi yang akan
ditemui. Sebaiknya kita membuat api agar ular tidak berani menganggu," usul
Ayodea. Kemudian, matanya beredar ke sekeliling tempat itu. Tampaknya ia tengah
mencari-cari sesuatu.
"Di sebelah sana ada pohon damar. Getahnya bisa kita buat obor!" seru Sekartaji
sambil menunjuk ke satu arah.
Keduanya langsung melompat dan mematahkan
beberapa ranting kayu untuk dijadikan obor. Setelah mengolesi dengan getah damar
secukupnya, Ayodea
langsung membuat api dengan bantuan dua buah batu
pemantik. Dengan dua buah obor yang menyala-nyala, mereka masuk ke dalam goa
sambil bersiaga dengan
pedang masing-masing.
Di mulut goa, banyak sekali ular-ular yang berserakan dan bergelantungan di
dinding-dinding ruangan. Namun dengan bantuan obor, ular-ular tersebut dapat
mereka halau ke tepi, hingga keduanya dapat masuk lebih ke dalam dengan aman.
Ruangan di dalam goa tidak kalah gelapnya. Ada
beberapa lorong yang harus dipilih, ketika tiba di tengah-tengah goa. Mereka
tidak melanjutkan ke lorong-lorong yang ada di situ, karena yang dicari temyata
ada di ruangan ini. "Kakang, lihat! Inilah kitab-kitab pusaka peninggalan
leluhurku!" seru Sekartaji sambil memperlihatkan se-tumpuk kitab yang tersusun
rapi dalam rak batu.
Ayodea melihat beberapa tumpukan kitab, dan
membukanya satu persatu. Wajahnya semakin ber-binar-binar, membaca pelajaran
ilmu silat tingkat tinggi serta ilmu olah kanuragan lainnya.
"Zzzsss...!"
"Kakang, awas!"
Ayodea cepat melompat dan bersiap dengan pedang di tangan. Terlihat seekor ular
sebesar paha, dengan panjang lebih dua tombak, mendekat ke arah mereka.
Tapi sikap ular itu tidak menunjukkan akan menyerang.
Ular itu terdiam, ketika jarak mereka tinggal empat langkah lagi. Matanya tajam
menatap Sekartaji dengan lidah sesekali terjulur ke luar.
Terlihat berkali-kali kepalanya direndahkan sedikit ke bawah, seperti memberi
hormat pada gadis itu.
"Agaknya binatang ini mengenalimu sebagai pewaris pusaka-pusaka yang berada di
goa ini," gumam Ayodea.
Sekartaji terdiam. Wajahnya masih terlihat pucat karena keterkejutannya tadi.
Tapi hatinya mulai sedikit lega melihat sikap ular itu.
Ular tersebut memalingkan kepala dan menjauhi
mereka, sambil sesekali berpaling seolah ingin menunjukkan sesuatu kepada
mereka. Keduanya mengikuti dengan langkah hati-hati. Di sudut ruangan yang agak
remang-remang, terdapat sebuah altar batu setinggi lima jengkal.
Di atasnya terdapat sebuah guci yang permukaannya agak lebar. Ular itu melingkar
mengelilingi altar. Dengan hati-hati, sambil sesekali melirik ke arah ular,
mereka melihat isi guci itu.
"Cairan apa itu?" tanya Sekartaji heran.
Ayodea memperhatikan dengan seksama. Ketika ber-
maksud menciumnya, bau yang menyengat menerpa
hidungnya. Dengan terkejut, kakinya melangkah ke
belakang. "Astaga! Cairan itu adalah bisa-bisa ular yang paling mematikan...!"
"Apa" Bisa ular yang mematikan" Apa maksud ular itu menunjukkan cairan ini pada
kita" Apakah dia bermaksud menyuruh kita bunuh diri?"
"Jangan berburuk sangka dulu...."
Ayodea tidak meneruskan kata-katanya, karena ular
besar yang melingkari altar bergerak kembali dan mendekati rak berisi kitab-
kitab pelajaran ilmu silat. Dan, diam di situ beberapa saat lamanya, sambil
memandang mereka bergantian.
"Apa lagi maksudnya?"
Ayodea berpikir. Kemudian, kakinya melangkah men-
dekati ular itu, dan memeriksa beberapa buah kitab yang ada di rak batu.
"Hm.... Aku mengerti...," katanya sambil tersenyum kecil.
"Apa maksudnya?"
"Cairan bisa ini merupakan unsur yang membentuk jurus 'Cakar Naga'. Kita harus
menyerap cairan itu pada saat pemantapan ilmu telah mencapai puncaknya," jelas
Ayodea, mengutip kalimat dari kitab yang sedang
dibacanya. "Oh! Apa tidak berbahaya?"
"Tentu saja tidak, kalau kita mengerti caranya."
"Kakang. Untuk apa lagi kita lama-lama di sini" Ayo kita buka kitab-kitab itu
dan mempelajarinya."
"Ya, ya.... Kau benar."
Sementara mereka membaca dan mempelajari kitab-
kitab yang berada dalam rak batu, ular besar tadi kembali bergerak ke dekat
altar dan melingkarinya. Sepasang matanya yang merah, seperti mengawasi setiap
gerak-gerik Sekartaji dan Ayodea.
*** Tak terasa, hari berganti minggu dan bulan berganti
tahun. Kedua muda-mudi itu terus berlatih di dalam Goa Naga. Lebih dari setahun
mereka berada di tempat itu, tanpa diketahui seorang manusia pun. Letak Goa Naga
memang tersembunyi dan jarang dilalui manusia. Pintu goa pun dapat ditutup dari
dalam, sehingga dari luar terlihat seperti tebing curam saja.
Menjelang subuh, Ayodea tampak mengendap-endap
menuju pintu goa. Matanya sesekali melirik ke arah Sekartaji, yang masih
tertidur pulas. Semalam mereka baru saja selesai menguasai jurus 'Cakar Naga'.
Ternyata, tidak semudah dibayangkan. Untuk menyedot bisa ular dari dalam guci
berbentuk ceper, diperlukan pengerahan
tenaga dalam dan hawa murni penuh.
Akhirnya, mereka berhasil melalui semua ujian. Ayodea gembira karena mereka
telah mengakhiri semua pelajaran yang ada dalam kitab-kitab di dalam goa ini.
Dan sebentar lagi dia tentu akan menguasai rimba persilatan.
Sekartaji pun gembira karena mereka akan kembali
hidup normal dan menikah. Ayodea memang telah berjanji padanya. Kini terlihat
gadis itu sedang tertidur lelap setelah seharian penuh berlatih.
"Ohhh...!"
Gadis itu menggeliat, berusaha memeluk Ayodea yang tadi tidur di sampingnya.
"Kakang...?"
Kelopak mata Sekartaji terbuka perlahan-lahan. Dan ketika tidak melihat Ayodea
di sisinya, bergegas dia bangkit. Sekartaji melayangkan pandangannya ke
sekeliling goa yang diterangi beberapa obor.
"Kakang Wakalu...!"
"Hup!"
Trak! "Kakang Wakalu!"
Sekartaji melompat ketika melihat sebuah bayangan
mencelat keluar. Dan mematahkan palang pintu goa.
"Yeaaa...!"
"Akh!"
Sekartaji tidak salah lihat! Bayangan itu adalah Ayodea, kekasih yang akan
menjadi calon suaminya. Tapi, apa yang terjadi" Dan kenapa tiba-tiba saja
melancarkan pukulan jarak jauh bertenaga kuat ke arahnya" Tubuh Sekartaji
terbanting ke dalam goa, dengan luka dalam yang cukup parah. Dari mulutnya, tak
henti-hentinya meleleh darah segar. Sambil menahan sakit yang luar biasa, gadis
itu berusaha berdiri. Kemudian, melangkah tertatih-tatih menuju pintu goa, yang
perlahan-lahan menutup kembali.
"Kakang Wakalu.... Apa yang kau lakukan padaku...?"
"Ha ha ha...! Mampuslah kau di dalam, Gadis Tolol! Kini, aku tidak membutuhkanmu
lagi!" teriak Wakalu sambil tertawa lebar dari luar pintu goa yang telah
tertutup. "Kakang Wakalu...!"
"Kakang Wakalu telah mampus. Yang ada hanya Ayodea alias Setan Ular Merah.
Akulah yang akan menjagoi dunia persilatan. Ha ha ha...!"
"Ayodea...?" Sekartaji bergumam lemah.
Nama itu memang tidak terlalu mengejutkannya, tapi Sekartaji tahu betul, siapa
orang itu. Berita mengenai dirinya telah tersebar luas. Sekartaji hanya dapat
menyesali diri sendiri yang bodoh dan tidak mengenali orang.
"Jadi.... Jadi, kau yang bernama Ayodea, pembunuh guru sendiri dan menduduki
jabatannya sebagai ketua
perguruan?"
"Ha ha ha...! Kau benar. Tapi, sudah terlambat!"
"Ayodea. Jadi, tujuanmu ingin menguasai pusaka yang berada di Goa Naga ini,
hanya untuk menambah
kepandaian. Dan menjadi orang yang tidak terkalahkan?"
"Ha ha ha...! Setelah terkurung beberapa saat, ternyata otakmu mulai terpakai
lagi." "Jadi, kau tidak sungguh-sungguh mencintaiku...?" tanya gadis itu, terdengar
lemah dan putus asa.
"Mencintaimu" Ha ha ha...! Jangan mimpi, Gadis Tolol.
Untuk apa aku harus mencintaimu, apa lagi mengawini gadis sepertimu" Masih
banyak gadis-gadis cantik lainnya yang memiliki tubuh bagus. Kenapa aku harus
mencintai gadis tolol, dan memiliki cacat di tubuhnya?"
"Keparat kau, Ayodea! Ternyata kau memperalatku selama ini. Aku bersumpah akan
membunuhmu nanti!"
"Bawalah sumpahmu ke akhirat sana. Kau tak akan mampu keluar dari goa ini. Saat
ini, kau terluka parah.
Mana mungkin, kau mampu menjebol dinding pintu yang tebalnya lima jengkal. Ha ha
ha...! Kau boleh mampus bersama angan-anganmu!"
"Keparat kau, Ayodea!"
"Ha ha ha...! Kini tak seorang pun yang mampu menandingiku. Aku akan menjagoi
dunia persilatan.
Selamat tinggal, Gadis Tolol! Bersenang-senanglah
menerima kematianmu! Ha ha ha...!" Ayodea tertawa keras, dan berkelebat cepat
meninggalkan tempat itu.
"Kau tak akan lepas dariku, Keparat! Ke mana pun kau pergi, akan kukejar! Aku
Pendekar Lembah Naga 25 Pendekar Mabuk 013 Prahara Pulau Mayat Muslihat Sang Ratu 3
^