Pencarian

Dukun Dari Tibet 2

Pendekar Rajawali Sakti 118 Dukun Dari Tibet Bagian 2


"He, bukankah dia Pendekar Rajawali Sakti"!" tunjuk salah seorang kawannya yang lain meyakinkan pendapat kawannya itu.
Mengetahui bahwa pemuda itu adalah Pendekar Rajawali Sakti, sikap mereka berubah dan tak segarang tadi. Hal itu amat menguntungkan bagi Rangga. Maka dengan suara yang lebih lunak, kembali dia bertanya kepada mereka.
"Ki sanak, apakah yang sedang terjadi di sini?"
"Pendekar Rajawali Sakti, namaku Bergawa, dan ini adalah kawan-kawanku. Adapun orang asing ini telah lama kami cari-cari karena dia telah membunuh guru kami," jelas salah seorang diantara mereka yang agaknya bertindak selaku pimpinan.
"Dusta! Itu tidak benar! Bertemu dengan mereka pun baru sekali ini. Bagaimana mungkin aku bisa membunuh guru mereka"!" sahut orang asing itu cepat untuk membela diri.
"Keparat! Tutup mulutmu! Kali ini kau tak akan bisa mungkir lagi. Kelakuanmu sudah ke-lewat batas di negri ini!" sentak Bergawa membentak keras.
"Sebentar, Ki Bergawa. Kita harus melihat persoalan lebih jelas. Baru setelah itu mengambil keputusan."
"Ki sanak, apakah kau tak mengetahui peris-tiwa yang terjadi belakangan ini" Seorang pendekar asing datang ke negri ini dan membuat banyak kekacauan. Dia telah menewaskan lebih dari dua belas tokoh-tokoh persilatan tingkat tinggi hanya sekedar membuktikan bahwa dia lebih hebat dari kita. Kalau dibiarkan lebih lama, orang seperti itu akan besar kepala dan lama-kelamaan akan mendikte semua tokoh persilatan di negri ini. Dan kalau hal itu telah terjadi, maka dia dengan leluasa melakukan perbuatan-per-buatan jahatnya. Nah, orang itu kini telah berada di hadapan kita! Apakah hal ini perlu dijelaskan lagi"!"
"Ya, akupun pernah mendengar berita itu dan sangat disayangkan. Tapi benarkah orang itu dia?" tunjuk Rangga pada orang asing di depan-nya.
"Ki sanak, namaku Cen Hui Ming. Kedatanganku ke sini ingin mencari musuh besarku yang bernama U Than Kyung. Aku baru saja mengin-jakkan kaki di negri ini. Bagaimana mungkin aku melakukan kejahatan seperti yang dituduhkan orang-orang ini," Orang asing itu lebih dulu me-nyahut untuk membela diri.
Rangga mengangguk-angguk pelan sambil memandang sekilas pada orang asing itu, seperti ingin meneliti kejujurannya. Kemudian dia kembali berpaling pada ketujuh orang yang berada di dekatnya itu.
"Ki sanak semua, biarlah orang ini menjadi urusanku dan kalian boleh kembali ke tempat masing-masing!"
"Pendekar Rajawali Sakti, apakah kau akan menghajar orang asing itu?" tanya Ki Bergawa.
"Aku akan mengurusnya sebaik mungkin dan menyerahkannya pada pihak kerajaan untuk di-adili. Nah, pulanglah kalian!"
Nama Pendekar Rajawali Sakti dikenal se-bagai orang yang tegas dan selalu berbuat ke-benaran. Kalau dia sudah berkata begitu maka sudah jelas hal itu akan dilaksanakannya. Paling tidak dia bertanggung jawab terhadap orang asing itu. Maka dengan perasaan lega mereka berlalu dari tempat itu.
"Ki sanak, sekarang kita tinggal bertiga. Ada-kah sesuatu yang kau sembunyikan dariku?" tanya Rangga kembali ketika orang-orang yang lain telah lenyap dari tempat itu.
"Rasanya tak ada, Ki sanak. Aku telah berkata yang sebenarnya. Kalaupun ada barangkali hanya tambahan ceritaku saja."
"Kalau tak keberatan, cobalah ceritakan padaku...."
"Baiklah. U Than Kyung merampok semua harta benda yang berharga dan membunuh semua keluargaku pada saat aku masih berada di Hoa San. Itu saja sudah cukup alasan bagiku untuk membunuhnya. Disamping itu dia adalah seorang pemberontak yang menentang kekaisaran. Orang itu dicari-cari di seluruh daratan Tiongkok," jelas Cen Hui Ming menambahkan.
Kembali Rangga mengangguk-angguk mendengar penuturan orang asing itu.
"Hm, baiklah. Untuk sementara waktu aku percaya kepadamu. Tapi kalau ternyata orang yang sering membuat kekacauan di negri ini ternyata adalah kau, maka kau akan menjadi bu-ronan yang akan dikejar-kejar untuk mendapat-kan hukuman!" kata Rangga dengan tegas.
"Aku telah berkata yang sebenarnya, Ki-sanak!"
"Ya, aku mempercayai keteranganmu untuk sementara ini. Coba terangkan padaku bagaimana ciri-ciri orang yang bernama U Than Kyung itu?"
Cen Hui Ming pun menceritakan segalanya yang dia ketahui sebelumnya.
"Baiklah, terima kasih atas keteranganmu.
Mungkin suatu saat aku akan bertemu dengannya untuk menyelesaikan beberapa persoalan," sahut Rangga.
"Ki sanak, kalau tak ada lagi persoalan dian-tara kita, maka biarlah aku berlalu. Dan... eh, bolehkah kutahu nama Ki sanak?"
"Silahkan. Namaku Rangga, dan ini kawanku, Pandan Wangi...."
Setelah menjura hormat, Cen Hui Ming berlalu dari tempat itu. Rangga memandangnya lama sampai orang itu lenyap di tikungan jalan.
"He!" Pandan Wangi mengejutkan dengan menepuk pundaknya.
"Ada apa?"
"Aku tahu apa yang sedang Kakang pikirkan!" kata Pandan Wangi.
"Coba katakan!"
"Kakang pasti mau mencari orang utan itu, eh siapa namanya" U Than Kyung, ya?"
"Nah, sekarang makin pintar saja kau! Ayo kita lanjutkan perjalanan kita," sahut Rangga sambil mengusap-usap kepala Pandan Wangi dan terus kabur sambil memacu Dewa Bayu seken-cang-kencangnya.
"Kakang, akan kuhajar kau!" teriak Pandan Wangi kesal dan sudah menghentak tali kekang kudanya kuat-kuat.
? * *? * Kedua laki-laki itu berjalan dengan gagah sambil memandang ke kiri dan kanan. Sebuah pedang masing-masing tersandang di punggung-nya. Rambut mereka panjang dan diikat sehelai kain berwarna hitam dan putih, persis sama dengan warna bajunya yang belang-belang. Wajah keduanya klimis dengan kumis tipis dan terlihat masih berusia muda. Kelihatannya mereka mirip satu sama lain. Merekalah yang dalam dunia persilatan dikenal sebagai Kembar Maut Gunung Sindur. Yang seorang bernama Sentika dan seorang lagi bernama Sentanu.
"Sentika, apakah kau yakin bahwa tempatnya di sekitar sini?" tanya Sentanu curiga.
"Betul, di sekitar sini. Tapi lebih di sebelah sana ke dekat jurang itu!" tunjuk Sentika ke satu arah.
"Huh, biar sekalian kuceburkan dia ke dalam jurang itu!" dengus Sentanu geram.
"Menurut cerita banyak orang dia memiliki, kepandaian yang hebat dan luar biasa...."
"Huh, siapa yang peduli!"
Kedua orang itu terus berjalan ke tempat yang ditunjukkan oleh Sentika sehingga mereka tiba persis di dekat sebuah jurang yang menganga lebar. Keduanya tegak berdiri sambil mengerahkan pendengarannya setajam mungkin.
"Kenapa lama sekali dia datang" Aku sudah tak sabar ingin mematahkan lehernya!" geram Sentanu mulai kesal.
"Jangan suka menganggap enteng, Sentanu. Sudah banyak tokoh-tokoh rimba persilatan berilmu tinggi yang binasa ditangannya. Kita harus hati-hati dan waspada."
"Huh, orang lain boleh takut dan binasa ditangannya, tapi dengan kita jangan harap dia bisa berbuat seperti itu. Dia tidak akan dapat mem-peroleh apa-apa selain kematiannya!" dengus Sentanu dengan penuh keyakinan.
Mendadak begitu selesai kata-katanya, me-layang sesosok tubuh dengan ringannya dari atas sebuah cabang pohon yang tak begitu jauh dari keduanya. Seorang bertubuh sedang memakai baju kuning serta mengenakan topi lebar yang terbuat dari anyaman bambu. Kedua orang itu tak mampu melihat wajah orang yang baru datang itu.
"Selamat datang Kembar Maut Gunung Sin-dur. Ternyata kalian berjiwa ksatria dan mau me-menuhi undanganku!"
"Siapa kau" Kaukah yang bernama U Than Kyung"!" tanya Sentanu dengan suara keras.
"Tak salah. Akulah U Than Kyung."
"Hm, bagus! Mari kita mulai saja permainan ini!"
Trek! Sentanu agaknya sudah tak sabaran dan buru-buru ingin menghajar lawan. Dengan reflek dia membuka sedikit pedangnya dari warangka-nya.
"Ha ha ha ha...! Agaknya kau tak sabar betul ingin ke neraka, sobat!" ejek U Than Kyung sambil tertawa.
"Pfuiih! Siapa yang akan ke neraka, kita ten-tukan hari ini. Ayo, majulah kau!" bentak Sentanu Kalap.
"Hm, kalau memang kau sudah tak sabar lagi, silahkan maju. Dan ajak juga saudaramu itu ber-sama-sama...."
"Maaf, Ki sanak. Sesuai dengan nama julukan kami, maka kami harus selalu maju bersama menghadapi lawan. Kuharap kau tak keberatan akan hal itu," sahut Sentika menjelaskan.
"Tak menjadi soal. Silahkan saja. Bukankah sudah kukatakan bahwa kalian boleh maju bersama. Dengan begitu akan lebih mudah bagiku untuk menyelesaikan pertarungan ini dengan waktu singkat," sahut U Than Kyung tenang.
Bukan main panasnya hati Sentika mendengar kesombongan lawannya itu. Jelas sekali bahwa dia sangat meremehkan mereka dan sama sekali tak memandang sebelah mata. Maka tanpa berbasa-basi lagi dia mencabut pedangnya.
"Ki sanak, keluarkanlah senjatamu!" dengus-nya geram.
"Untuk menghadapi kalian, apa gunanya aku menggunakan senjata" Kedua belah tanganku ini lebih dari cukup."
"Huh, baiklah kalau itu kemauanmu. Jangan salahkan kalau kau tewas di ujung pedangku!" sahut Sentika dingin.
"Yeaaa...!" Sentanu langsung melompat sambil membentak nyaring. Ujung pedangnya me-nyambar-nyambar di setiap sudut dari titik kelemahan di tubuh lawan. Begitu pula halnya dengan Sentika. Paduan ilmu pedang yang mereka mainkan sungguh indah dan sangat dahsyat. Ra-sanya untuk mereka yang memiliki kepandaian tanggung sebentar saja pasti akan kena dilukai.
Tapi bagi U Than Kyung, dia kelihatan santai sekali meladeni lawan-lawannya itu. Tubuhnya bergerak gesit sekali menghindari sambaran sen-jata-senjata lawan yang setiap saat mengancam dirinya. Dan hal itu tentu saja membuat si Kem-bar Maut Gunung Sindur semakin geram dan pe-nasaran saja.
"U Than Kyung, bertarunglah yang benar. Apakah kebisaanmu hanya melompat-lompat seperti monyet"!" bentak Sentanu mengejek.
"Ha ha ha ha...! Apakah kalian beranggapan cara bertarung ku tak sungguh-sungguh" Nah, dengan begini saja kalian sudah tak mampu ber-buat apa-apa, bagaimana mungkin bila aku ber-sungguh-sungguh menghadapi kalian?" sahut U Than Kyung menyindir.
"Kurang ajar!"
"Yeaaa...!"
Sebenarnya dugaan Sentika dan Sentanu salah bila mereka mengira bahwa lawan tak bertarung sungguh-sungguh. Hal itu dilakukan oleh U Than Kyung untuk melihat sampai sejauh mana kemampuan kedua lawannya. Dan sekali-gus untuk mengetahui di mana saja titik kelemahan mereka. Sebab ketika dia telah me-ngetahuinya, gerakannya tiba-tiba berubah cepat dengan sambaran-sambaran maut yang membuat kedua lawannya terkejut.
"Bress!"
"Huh!"
"Uhh...!"
Kedua ujung senjata lawan menyerang jan-tungnya dengan cepat. U Than Kyung mencopot topi lebarnya dan menangkis dengan benda itu kemudian dengan sekali sentak, ditariknya kedua senjata lawan. Kembar Maut Gunung Sindur terkejut. Mereka sebenarnya masih mampu mem-pertahankan pedangnya kalau saja kaki lawan tak menyodok dari bawah.
"Lepass...!"
Wreet! Begkh! "Aaaa...!"
Kedua senjata di tangan lawan terlepas ketika U Than Kyung membentak nyaring. Dari lehernya menjulur rambutnya yang panjang dikepang dengan ujungnya yang diikat sebuah pisau kecil, menyambar leher Sentika bagai belitan seekor ular. Ketika tubuhnya berputar untuk me-nyentak leher lawan terdengar tulang berderak patah, saat itu pula kaki kanannya menghajar dada kiri Sentanu. Kedua orang itu berteriak ber-barengan dengan tubuh menggelepar-gelepar di tanah. Beberapa saat kemudian keduanya diam tak bergerak lagi. U Than Kyung meludah dengan tatapan sinis.
"Huh, cuma segini saja kemampuan kalian! Cuiih!"
Kemudian dia berlalu meninggalkan tempat itu setelah menendang kedua mayat itu ke dalam jurang.
* *?? * ? Juragan Sumantri sedikit terkejut ketika melihat siapa yang datang. Tapi dia segera menyam-butnya dengan ramah dan mempersilahkan tamunya masuk.
"Ah, bagaimana khabarmu Saudaraku" Apakah kau suka tinggal di tempat itu" Kudengar belakangan ini kau sibuk sekali mengurusi orang yang datang berobat ke tempatmu," tanya Juragan Sumantri.
"Yah, begitulah, Sobat. Bagaimana khabarnya dengan Purwasih?"
"Syukurlah. Bulan depan kalau tak ada halangan dia akan melangsungkan perkawinannya dengan pemuda dari desa sebelah. Kau harus datang Ki Dukun!" ujar Juragan Sumantri memastikan.
Orang itu memang tak lain dari orang asing yang tempo hari mengobati penyakit yang diderita putri Juragan Sumantri. Dia sudah merelakan rumah yang ditempati orang itu menjadi mi-liknya sebagai ucapan rasa terima kasih. Dan agaknya setelah ditempati oleh orang asing itu, cerita-cerita mengenai adanya hantu hilang begitu saja seperti ditelan bumi. Makin percayalah penduduk di sekitar tempat itu bahwa orang asing tersebut memiliki kesaktian hebat yang membuat hantu penunggu rumah itu kabur ketakutan. Dan orang asing itu makin disegani di kampung itu. Juragan Sumantri sendiri sudah menganggapnya sebagai saudara sendiri, meskipun sampai saat ini dia tak bisa menyebutkan nama asli orang asing itu dan selalu menyebutnya dengan Ki Dukun.
Mereka bercerita panjang lebar tentang hal-hal yang sifatnya umum. Tapi ketika Juragan Sumantri menanyakan sesuatu, Ki Dukun tampaknya enggan untuk menjawab.
"Kenapa, Ki" Kenapa pada waktu-waktu ter-tentu Ki sanak tak berada di rumah" Padahal banyak orang yang ingin berobat. Kalau memang ada keperluan, Ki sanak bisa katakan pada saya, dan anak buah saya akan siap membantu...."
"Itu, eh... saya memang ada keperluan pribadi yang harus diselesaikan. Dan..., kadang-kadang ada permintaan berobat ke rumahnya. Tentu saja saya tak bisa menolak. Juragan... eh, tampaknya di kotaraja kini ramai sekali dikunjungi tokoh-tokoh persilatan. Apakah yang sedang terjadi?" tanya Ki Dukun mengalihkan perhatian.
"Hm, Ki Dukun rupanya pernah juga ke kotaraja?"
"Yaaah, hanya sekedar lewat...."
"Entahlah. Aku juga tak tahu apa yang sedang terjadi. Namun tampaknya belakangan ini keadaan menjadi sangat rawan. Banyak terjadi pencurian dan pembunuhan pada saudagar-saudagar kaya. Juga bersamaan dengan datangnya seorang pendekar dari negri asing yang menantang dan banyak membinasakan tokoh-tokoh persilatan di negri ini. Maka itu Ki Dukun, Ki sanak harus berhati-hati sebagai orang asing disini. Salah-salah Ki sanak malah dituduh sebagai orang asing itu, maka akan celakalah jadinya!"
"Ya, ya... saya mengerti. Eh, ng.... Juragan, tahukah siapa Pendekar Rajawali Sakti itu dan di mana kita bisa menemuinya?" tanya Ki Dukun tiba-tiba.
"Hm, apakah Ki Dukun ingin menemuinya?"
"Tidak. Saya hanya mendengar tentang ke-hebatan serta keperkasaannya yang luar biasa...."
"Ya, menurut apa yang pernah kudengar, pemuda itu memang luar biasa dan memiliki kepandaian bagai Dewa. Dia banyak membantu mereka yang lemah dan turun tangan tanpa diminta sekalipun."
"Hm, pemuda" Berarti dia masih muda?"
"Betul, kata orang-orang yang pernah me-lihatnya dia berwajah tampan dan berambut pan-jang serta mengenakan baju rompi putih. Senjatanya sebuah pedang berhulu kepala burung. Dia memiliki peliharaan seekor burung rajawali raksasa...."
"Rajawali raksasa...?" tanya Ki Dukun sambil menaikkan alis.
"Begitulah menurut orang-orang yang pernah menyaksikan sepak terjangnya. Aku sendiri belum pernah melihatnya. Kalau Ki Dukun suatu saat berkenalan dengannya itu baik sekali. Dia seorang tokoh persilatan yang sangat disegani di bumi jawa ini...."
"Ya, suatu saat aku pun ingin berkenalan dengannya...," sahut Ki Dukun singkat.
"Juragan, ada seseorang yang ingin bertemu dengan Juragan," kata salah seorang centengnya melapor.
"Siapa?"
"Wiku Dharma."
"Ah, dia ternyata cepat hadir. Katakan pada-nya, eh tidak usah. Biar aku sendiri yang menyambutnya," sahut Juragan Sumantri cepat, dan mengajak Ki Dukun keluar menyambut tamunya.
Di depan terlihat seorang laki-laki tua ber-kepala botak dengan pakaian kuning dan tasbih yang memiliki biji bulat dan besar-besar. Caranya berpakaian mirip seorang pendeta agama. Orang itu memiliki wajah yang klimis tanpa jenggot dan kumis. Sepasang alis matanya yang tebal dan telah memutih, menaungi bola matanya yang bulat. Usianya paling tidak sekitar lima puluh tahun.
Juragan Sumantri terlihat gembira sekali me-nyambut tamunya itu. Dia langsung memperkenalkannya dengan Ki Dukun. Kedua orang itu saling bertatapan dengan ramah. Namun Ki Dukun sempat tercekat ketika merasakan bahwa pandangan mata pendeta itu amat tajam menusuk seperti memiliki daya sihir yang kuat. Sadarlah dia bahwa pendeta ini memiliki tenaga batin yang amat kuat.
"Nah, kalau pendeta Wiku Dharma ini tadinya seorang brandal dan tukang berkelahi. Paling suka pamer kejagoan dan banyak kejahatan yang telah dilakukannya. Tapi setelah mendalami agama, dia malah berubah kebalikannya. Dia menjadi orang yang paling taat mengikuti ajaran agama," Jelas Juragan Sumantri ketika mereka telah berbincang-bincang di dalam, dan dia masing-masing menceritakan sedikit latar belakang kedua tamunya itu satu sama lain yang pernah diketahuinya.
"Pastilah tadinya seorang pendekar yang amat tangguh pula...," sahut Ki Dukun sambil tersenyum kecil.
"Begitulah. Tapi kini Wiku Dharma telah me-lupakan semua masa lalunya itu. Hidupnya betul-betul diabdikan untuk kepentingan agama," kata Juragan Sumantri menjelaskan.
? * *?? * ? 6 ? Kedatangan pendeta Wiku Dharma ke rumah Juragan Sumantri adalah atas undangan tuan rumah sendiri. Selain merupakan sahabat lama yang pernah dikenalnya baik, Juragan Sumantri juga berharap bahwa Wiku Dharma bisa menjadi pemimpin upacara perkawinan putrinya nanti. Hal yang terakhir yang memang merupakan tujuan pembicaraan mereka. Dan Ki Dukun agaknya bisa menangkap gejala itu, maka tak berapa lama dia pun mohon diri.
"Kenapa terburu-buru Ki Dukun" Ki sanak sudah seperti keluarga sendiri, dan untuk urusan ini tak ada yang kurahasiakan...," kata Juragan Sumantri.
"Ah, tak apa, Juragan. Kedatangan saya cuma sekedar berkunjung. Masih ada yang harus saya kerjakan di rumah untuk membuat ramuan obat. Kebetulan telah banyak yang habis...."
"O, begitu. Yah, kalau memang demikian kami tak bisa menahan lebih lama lagi," sahut Juragan Sumantri.
Dia mengantar Ki Dukun sampai beranda de-pan dan menyelipkan beberapa keping uang emas ke tangannya. Pada mulanya Ki Dukun agak sungkan menerimanya, namun Juragan Sumantri memaksa. Maka mau tak mau pemberian itu pun diterimanya. Memang sudah menjadi kebiasaan Juragan Sumantri selalu memberi hadiah setiap kali Ki Dukun berkunjung ke sini. Entah karena Ki Dukun yang sungkan atas sikap Juragan Sumantri, atau karena dia memang setiap hari selalu sibuk, boleh dihitung bahwa kedatangannya ke tempat Juragan Sumantri amat jarang. Padahal jarak di antara mereka tak terpaut jauh. Selama hampir sebulan penuh, dia baru dua kali berkunjung dengan hari ini. Tapi Juragan Sumantri selalu bisa memahami alasan Ki Dukun.
Pendeta Wiku Dharma pun tak lama berkunjung ke tempat Juragan Sumantri. Setelah pem-bicaraan mereka selesai, dia segera mohon diri. Juragan Sumantri bermaksud menahannya dan menyuruhnya menginap mengingat jarak kelen-teng dimana Wiku Dharma selama ini tinggal dengan rumahnya cukup jauh. Namun Wiku Dharma dengan alasan yang tepat terpaksa tak bisa menerima tawaran Juragan Sumantri yang simpatik itu.
Wiku Dharma melangkah pelan dengan tong-kat besar di tangannya. Juragan Sumantri telah menyiapkan seekor kuda yang gagah dan kuat berjalan lama, namun dengan halus Wiku Dharma menolaknya. Dia lebih suka berjalan kaki saja. Padahal udara hari ini sangat panas. Mata-hari masih bersinar dengan garang agak condong ke Barat.
Melewati mulut desa, Wiku Dharma berhenti ketika sesosok tubuh menghadangnya sambil me-munggunginya. Orang itu mengenakan baju kuning dan mengenakan topi lebar yang terbuat dari anyaman bambu. Dengan caranya yang berdiri tegak di tengah jalan, jelas bahwa orang itu bermaksud menghadang perjalanannya. Wiku Dharma merangkapkan sebelah tangannya ke dada.
"Ki sanak, sudilah menepi dan memberi jalan kepadaku...," katanya dengan suara ramah.
"Silahkan lewat. Kau bisa lewat kiri atau kanan!"
"Baiklah kalau demikian...."
Wiku Dharma melangkahkan kaki ke kanan dan melewati orang itu. Namun baru berjalan beberapa langkah, sesosok tubuh itu kembali me-layang melewati kepalanya dan kembali berdiri tegak menghadang perjalanannya. Sadarlah dia bahwa orang bertopi lebar itu betul-betul berniat menghalangi perjalanannya. Wiku Dharma berhenti dan kembali bertanya dengan suara ramah.
"Ki sanak, apa yang kau inginkan dariku. Kalau kau menginginkan harta, aku orang miskin yang tak memiliki benda berharga..:."
"Aku tak butuh hartamu!"
"Jadi apa yang kau inginkan?"
"Kau harus bertarung denganku!" sahut orang bertopi lebar itu dingin.
"Ki sanak, aku tak pandai berkelahi. Bagaimana mungkin kau ingin mengajakku bertarung denganmu?"
"Jangan berpura-pura, Wiku Dharma!"
"Hm, kaupun tahu namaku. Siapa kau sebenarnya?"
"Kau tak perlu mengetahuinya. Tapi jelas aku pun mengetahui bahwa kau memiliki kepandaian ilmu silat yang hebat. Nah, Wiku Dharma. Tak usah lagi berpura-pura. Aku bukan sedang ber-main-main denganmu. Keluarkanlah segenap ke-mampuanmu karena aku tak akan segan-segan untuk menghajarmu!"
Setelah berkata begitu tubuh si topi lebar itu melesat cepat ke belakang sambil mengayunkan tangan ke arah leher Wiku Dharma.
"Yeaaat...!"
"Uts!"
"Bagus, Wiku! Mengelaklah selagi kau bisa. Kali ini kau tak bisa lagi menyembunyikan kepan-daianmudi hadapanku. Keluarkanlah seluruh ke-pandaianmu!"
"Ki sanak, kau terlalu memaksaku. Apa boleh buat. Aku terpaksa mempertahankan diri!" sahut Wiku Dharma mulai kesal melihat lawan terus-menerus mendesaknya dengan serangan gencar. Dia bisa merasakan bahwa tenaga dalam lawan sungguh hebat, itu terasa dari angin serangannya yang kuat dan mampu membuat jantungnya ber-detak lebih kencang. Kecepatan bergerak orang bertopi lebar ini pun sangat mengagumkan sekali. Kalau saja Wiku Dharma tak memiliki ilmu peringan tubuh yang sempurna, niscaya sudah sejak tadi dia kena hajar lawan.
"Yeaa...!"
Plak! Plak! "Hebat! Sungguh hebat kau punya pukulan, Sobat. Ternyata dugaanku tak salah. Kau memiliki tenaga dalam yang kuat!" puji si topi lebar ketika pukulan mereka tadi bertemu.
Apa yang di katakan si topi lebar itu memang beralasan karena baginya agak sedikit sulit untuk mengalahkan lawannya kali ini dengan mudah. Tenaga dalam yang dimiliki Wiku Dharma tidak berada di bawahnya, meski gerakannya masih bisa di atasi oleh lawan. Tapi meskipun begitu, tetap saja terlihat bahwa si topi lebar agak berhati-hati menghadapinya.
? * *? * ? Sementara itu pertarungan antara keduanya masih berjalan dengan seru. Si topi lebar ke-lihatannya mulai keteter ketika dengan geramnya Wiku Dharma mulai balas menyerang dengan pu-kulan-pukulan gencarnya. Kalau saja orang itu mengetahui siapa sebenarnya Wiku Dharma dan bagaimana sepak terjangnya di masa lalu, tentu dia akan berpikir dua kali untuk menyerangnya dan menganggapnya enteng. Pada masa mudanya dulu Wiku Dharma mendapat julukan si Tangan Gajah, karena kepalan-kepalan tangannya memang amat kuat sekali dan mampu menghancur-kan sebatang pohon yang cukup besar dengan sekali pukul. Dan kini dengan kedua tangannya yang hebat itu, ditambah dengan permainan tong-katnya yang mampu mendesak lawan dengan he-bat, dia betul-betul berada di atas angin.
"Yeaa...!"
"Hup!"
Praak! Dalam satu kesempatan ujung tongkat di tangan Wiku Dharma menghajar telak batok kepala lawan ketika kepalan tangan kirinya tadi dapat dihindari lawan. Tapi si topi lebar masih cukup gesit sehingga hanya topinya saja yang hancur berantakan.
"Hm, sudah kuduga. Ternyata memang kau orangnya, Ki Dukun!" kata Wiku Dharma dingin ketika melihat siapa orang itu sebenarnya.
"Ha ha ha...! Bagus, kini kau telah tahu siapa aku. Tapi jangan harap kau akan selamat. Ber-siaplah menerima kematianmu!"
Setelah berkata demikian, terlihat Ki Dukun membuka suatu jurus aneh sambil merapal suatu mantera.
"Apa maksudmu dengan semua ini, Ki Dukun" Diantara kita tak ada saling permusuhan," kata Wiku Dharma berusaha tenang.
Namun orang itu tak menjawab. Dia malah membentak keras sambil melompat ke arah Wiku Dharma.
"Yeaa...!"
"Heh"!"
Wiku Dharma tersentak kaget seperti tak percaya pada pandangan matanya. Dilihatnya tubuh Ki Dukun pecah berturut-turut menjadi kembarannya sendiri. Buru-buru diputarnya tongkat untuk menghalau serangan lawan. Namun satu persatu terasa bahwa dia hanya menghantam angin belaka. Tapi....
Des! "Aakh!"
Tubuh Wiku Dharma terjungkal keras ketika satu hantaman menghajar punggungnya. Namun buru-buru dia bangkit sambil menahan nyeri pada wajahnya yang berkerut. Kepalanya terasa berkunang-kunang melihat pemandangan yang ada didepan mata. Ki Dukun yang kini berjumlah lima, seperti bergerak mengepungnya dari semua jurusan dan mengelilinginya dalam langkah-lang-kah pasti sambil menyeringai lebar.
"Ha ha ha...! Kalau memang kau hebat, kau tentu bisa mengalahkan ilmu Go Te Kong (Lima Dewa Bumi) yang kumiliki ini. Ayo, Wiku tahan seranganku ini!"
"Hup! Yeaaa...!"
Dengan mengerahkan seluruh kekuatan yang dimilikinya, Wiku Dharma berusaha bergerak se-cepat mungkin untuk menghajar kelima lawannya secara bersamaan.
"Hiyaaat...!"
"Heh"!"
Praaak! Begkh! "Aaakh...!"
Untuk kedua kalinya tubuh Wiku Dharma terjungkal sambil menjerit keras. Serangan yang dilakukan lawan sama sekali tak diduganya. Tiba-tiba menyambar sebuah sinar berwarna biru ke-putih-putihan ke arahnya. Dia berusaha menangkis dengan putaran tongkatnya. Tapi senjatanya itu hancur berantakan. Buku-buku jari tangan yang memegang tongkat itupun hancur tak berbentuk. Belum lagi Wiku Dharma menyadari keadaan, satu tendangan keras menghajar dadanya.
"Ha ha ha ha...! Perlu kau ketahui, Wiku Dharma. Itulah satu pukulanku yang paling han-dal yang bernama Shiu Lo Sat Kang (Pukulan Beracun Hawa Dingin). Kau telah terkena ra-cunku yang amat ganas. Kalau saja pukulan itu kukerahkan setengah tenagaku saja, niscaya kau tak akan berbentuk lagi! Ha ha ha ha...! Sekarang nikmatilah kematianmu secara perlahan-lahan!"
"Ke..., keparat kau...!"
Apa yang dikatakan orang itu memang tak salah. Akibat pukulan itu saja seluruh isi dadanya terasa remuk. Tubuhnya diserang hawa dingin luar biasa yang membuat gerahamnya beradu dan bergetar. Dari sudut bibirnya meleleh darah kental berwarna kehitaman. Tubuh Wiku Dharma tersungkur di tanah. Dia berusaha bangkit, namun kedua kakinya terasa lumpuh dan sulit untuk digerakkan. Sementara itu Ki Dukun tertawa terbahak-bahak seperti menikmati betul saat-saat kematian lawannya.
"U Than Kyung, huh perbuatanmu sungguh keji! Kemana lagi kau akan bersembunyi saat ini, he"!"
"He"! Hoa San Tay Hiap (Pendekar Gunung Hoa San), Cen Hui Ming!" seru Ki Dukun ketika melihat siapa orang yang datang secara tiba-tiba di tempat itu.
Seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh lima tahun mengenakan baju putih. Cara ber-pakaiannya berbeda betul dengan kebanyakan penduduk di sini. Rambutnya yang panjang di-gelung ke belakang, dan wajahnya klimis dengan sepasang kelopak mata yang menyipit. Orang ini-lah yang bernama Cen Hui Ming. Melihat bahwa dipunggungnya tersandang sebilah pedang, dapat diduga bahwa dia bukanlah orang sembarangan. Apaiagi Ki Dukun memanggilnya dengan sebutan Hoa San Tay Hiap.
"U Than Kyung, kau tak akan bisa bersembunyi lagi saat ini. Ke mana pun kau pergi aku akan selalu membuntutimu dan membunuhmu agar arwah keluargaku tenang di alam sana!" ujar laki-laki bernama Cen Hui Ming itu sambil memandang tajam kepada lawan.
Ki Dukun yang dipanggil U Than Kyung itu memang terkejut melihat kehadiran laki-laki itu. Tapi hal itu hanya sesaat, sebab beberapa saat kemudian, dia yang telah kembali seperti keadaan semula, tidak lagi menerapkan ilmu Go Te Kongnya, tertawa terbahak-bahak seperti menganggap remeh.
"Cen Hui Ming, kau pikir aku melarikan diri darimu dan pergi jauh-jauh ke sini hanya untuk itu" Ha ha ha ha...! Kau salah besar. Di sini aku bisa mendapatkan segalanya untuk menunjang perjuanganku nanti. Aku mengumpulkan harta yang banyak. Baik dari cara yang baik, maupun dengan cara yang tak baik. Tapi siapa yang pe-duli, he" Dan siapa pula yang takut padamu" Banyak jago-jago di negri ini yang tewas di ta-nganku. Mereka tak ada apa-apanya!"
"U Than Kyung, kau sangat takabur. Hari ini riwayatmu akan berakhir di tanganku!" geram Cen Hui Ming sambil mencabut pedangnya.
Dia memang pernah berhadapan dengan orang ini sebelumnya, itulah sebabnya dia tak mau berbasa-basi lagi dengan menggunakan serangan tangan kosong, sebab U Than Kyung memang ahlinya dibidang itu. Tapi melalui permainan pedangnya, orang itu pernah kena didesaknya sebelum akhirnya kabur.
"Yeaaa...!"
"Uts! kau terlalu bernafsu, Sobat. Hati-hati-lah, sebab hal itu bisa membahayakan dirimu sendiri," sahut U Than Kyung sambil menghindar dari sambaran ujung pedang lawan yang bukan main gencarnya.
Kedua orang itu terlibat dalam pertarungan yang seru sehingga tak lagi memperhatikan Wiku Dharma. Pukulan beracun yang dilancarkan U Than Kyung tadi memang hebat dan sangat me-matikan. Kalau saja Wiku Dharma tak memiliki tenaga dalam kuat, dia tentu tak bisa bertahan selama ini. Melihat kedua orang itu tak memper-hatikan dirinya, dia berusaha sekuat tenaga untuk menyeret dirinya agar menjauhi tempat itu, dan sejauh ini terlihat mulai ada hasilnya. Dengan bersusah payah dia terus bergerak perlahan-lahan melewati jalanan yang berbatu dan menurun. Tiba di sebuah persimpangan jalan, Wiku Dharma tersentak kaget. Di depannya telah menghadang kaki-kaki kuda. Dia mulai putus asa. Nafasnya semakin tersengal dan tenaga banyak terkuras habis. Di cobanya untuk mene-ngadah ke atas. Namun sebelum hal itu dilakukannya, salah seorang penunggang kuda itu turun dan memapah kepalanya.
"Ki sanak, apa yang telah terjadi padamu?"
Wiku Dharma melihat seraut wajah pemuda berwajah tampan dengan rambut panjang dan mengenakan baju rompi putih. Di sebelahnya terdapat seorang gadis cantik berbaju biru muda. Melihat dari raut wajah mereka, dia bisa men-duga bahwa kedua orang ini bisa dipercaya.
"Ki Dukun..., U Than Kyung... pen... pencuri.... Juragan Sumantri di De... desa Madang. Aku.... Wi.... Wiku Dharma...."
Setelah berkata begitu tampaknya Wiku Dharma tak mampu lagi melanjutkan kata-kata-nya. Nyawanya putus dan kepalanya terkulai di pangkuan si pemuda yang tak lain dari Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti.
"Nyawanya sudah tak ada, Kakang...," tanya si gadis sambil memeriksa denyut nadi Wiku Dharma.
Rangga mengangguk. "Dia terkena racun ga-nas. Sebaiknya kita temui dulu orang yang dimaksudnya itu. Tapi..., he, dia menyebut-nyebut nama U Than Kyung! Bukankah orang itu yang belakangan ini telah menewaskan banyak tokoh persilatan di negri ini" Apa hubungannya dengan Ki Dukun" Lalu siapa itu Juragan Sumantri?" tanyanya seperti pada dirinya sendiri.
"Kakang, Desa Madang berada di depan mata kita. Apakah tidak sebaiknya kita cari lebih dahulu Juragan Sumantri itu?" tanya si gadis yang tak lain dari Pandan Wangi alias si Kipas Maut.
"Ya, itu usul yang baik. Biar kuangkat dia ke punggung Dewa Bayu," sahut Rangga sambil mengangkat tubuh Wiku Dharma yang telah tak bernyawa itu ke punggung kudanya.
Tak berapa lama kemudian mereka telah kembali memacu kudanya pelan memasuki sebuah desa yang tak begitu ramai. Tempat ini memang agak terbelakang. Jarak antara satu rumah dengan rumah yang lainnya masih jarang-jarang, dan masih banyak terdapat kebun-kebun luas serta sawah-sawah yang membentang. Sehingga siapapun di desa ini pasti saling mengenal satu sama lain. Apalagi terhadap Juragan Sumantri, orang yang paling kaya di desa itu.
Juragan Sumantri sendiri terkejut ketika melihat kedatangan muda-mudi yang belum pernah dikenalnya itu. Dan dia lebih terkejut lagi ketika melihat mayat Wiku Dharma yang dibawa Rangga.
"Wiku Dharma, Oh! Ki sanak, apakah yang telah terjadi padanya" Dia adalah sahabatku yang paling terbaik!" seru Juragan Sumantri dengan wajah berduka.
Rangga pun menceritakan kejadian yang mereka lihat tadi, dan mencari tahu pula, siapa orang yang dimaksud Wiku Dharma tadi.
"Apa" Ki Dukun"!"
"Benar, Juragan. Dia menyebut-nyebut nama itu dan diikuti dengan nama U Than Kyung. Nama terakhir itulah yang belakangan ini sering dibicarakan banyak orang karena sepak terjang-nya yang banyak menewaskan tokoh-tokoh persilatan. Wiku Dharma sempat berkata tentang seorang pencuri, tapi sayang kami tak tahu apa maksudnya," kata Rangga menjelaskan.
"Hm, apakah ini ada hubungannya dengan Ki Dukun?" gumam Juragan Sumantri seperti pada dirinya sendiri.
Orang itu tampak berpikir cepat. Dia segera memanggil lima orang anak buahnya.
"Ada apa, Juragan?" tanya salah seorang di-antara mereka.
"Cepat kalian pergi ke rumah Ki Dukun dan panggil dia kesini. Kalau dia tak ada, geledah rumahnya! Kalau terdapat benda-benda yang mencurigakan, cepat bawa ke sini!"
Kelima orang itu cepat berlalu mengerjakan perintah Juragan Sumantri. Laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun lebih itu menghela nafas berat.
"Juragan, siapakah sebenarnya orang yang Ki sanak panggil Ki Dukun itu?" tanya Rangga per-lahan.
Juragan Sumantri pun tak keberatan menceritakan orang yang selama ini dianggapnya telah menjadi saudaranya sendiri itu. Dimulai dari sembuhnya penyakit putrinya itu, dan kemudian banyak orang yang datang berobat kepadanya.
Hingga dia lebih dikenal dengan panggilan Ki Dukun.
"Dukun Dari Tibet" Hm, baru kudengar nama itu. Berarti dia berasal dari suatu negri yang berdekatan dengan negri asal Cen Hui Ming," kata Rangga bergumam seperti pada dirinya sendiri.
"Siapa Cen Hui Ming itu?" tanya Juragan Sumantri."
"Pendekar dari negri Tiongkok yang datang ke negri ini untuk mencari U Than Kyung untuk membalaskan dendamnya. Kuat dugaanku bahwa Ki Dukun adalah U Than Kyung itu, dan barang-kali dia pula yang melakukan pencurian akhir-akhir ini terhadap orang-orang yang berharta banyak."
"Dari mana Ki sanak bisa menduga begitu?"
"Bukankah Juragan mengatakan bahwa Wiku Dharma orang yang bisa dipercaya" Mustahil dia mau berkata dusta tentang orang yang dilihatnya dengan mata kepala sendiri. Dan bisa jadi pula bahwa orang yang mencelakakan Wiku Dharma sendiri adalah Ki Dukun itu," sambung Rangga.
? * *? * ? Selanjutnya Bagian 7-8 (selesai)
? Dukun Dari Tibet
Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 . 118. Dukun Dari Tibet ~ Bag. 7-8 (selesai)
9. August 2015 um 09:06
7 ? Juragan Sumantri bukan tak percaya apa yang diduga pemuda itu. Apalagi dia mengetahui bahwa orang yang berada di hadapannya itu adalah seorang pendekar terkenal. Tapi Ki Dukun selama ini telah dianggapnya sebagai saudara, sangat baik dan belum pernah sekali pun menun-jukkan perbuatan yang tak terpuji. Dia hanya bimbang dan berharap bahwa dugaan pemuda itu salah. Tapi....
Kelima orang centengnya telah kembali sambil membawa tiga buah karung dipunggung mereka. Bersamaan dengan itu terdengar kentongan yang dibunyikan bertalu-talu.
"Juragan, kami menemukan ini dirumah Ki Dukun!" kata salah seorang centengnya itu.
"Apa isinya" Coba buka!"
Dan ketika isi ketiga karung dibuka, ter-belalaklah mata Juragan Sumantri. Di dalamnya berisi perhiasan-perhiasan terbuat dari emas serta intan permata yang harganya amat mahal dan tiada terkira. Dia sendiri tak memiliki harta kekayaan sebanyak itu. Dan rasanya mustahil di dapatkan Ki Dukun dari hasil mengobati orang-orang yang sakit. Harta kekayaan sebanyak itu paling tidak dimiliki oleh seorang raja atau lima belas orang saudagar-saudagar terkaya. Tapi Ki Dukun..." Ah!
"Mana Ki Dukun?"
"Dia tak ada di rumahnya, Juragan."


Pendekar Rajawali Sakti 118 Dukun Dari Tibet di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hmm..., apa yang telah terjadi hingga ken-tongan itu berbunyi?" tanya Juragan Sumantri sambil menaikkan sepasang alis.
Terlihat dari nada suara dan sikapnya, agaknya kemarahan Juragan Sumantri mulai terasa.
"Ada pertarungan di luar desa kita ini, Juragan. Menurut beberapa orang yang berpapasan dengan kami, disana ada Ki Dukun. Dia yang sedang bertarung. Tapi kami belum memastikan-nya karena harus membawakan berita ini dulu kepada Juragan," sahut centengnya itu.
"Apa" Ki Dukun?" Rangga ingin meyakinkan pendengarannya. Dan ketika centeng itu meng-anggukkan kepala, dia memandang ke arah Juragan Sumantri.
"Kalau Ki sanak tak keberatan, saya bermaksud mengajak Ki sanak untuk melihat keributan itu. Barangkali apa yang Kisanak dengar tentang Ki Dukun benar adanya," kata Juragan Sumantri.
"Terima kasih. Kami pun bermaksud demikian," sahut Rangga.
Juragan Sumantri menyuruh anak buahnya untuk menyiapkan seekor kuda baginya. Dia sendiri mengajak beberapa orang centengnya untuk menyertai perjalanannya.
Apa yang dikatakan centengnya itu memang tak salah. Di batas desa itu, disebuah bukit kecil terlihat ramai orang berkumpul. Kebanyakan dari mereka adalah tokoh-tokoh persilatan. Itu bisa diketahui dari cara mereka berpakaian dan senjata-senjata tajam yang mereka bawa. Bahkan para penduduk desapun banyak yang sekedar melihat-lihat meski pada jarak jauh.
"Hah"!" Juragan Sumantri terkejut melihat arena pertarungan di depan matanya.
Di tempat itu terlihat beberapa pohon tum-bang dan tanah-tanah berbatu terlihat rata oleh hantaman dan tendangan orang-orang yang sedang berkelahi itu. Dan tempat itu sendiri terlihat agak lapang dengan beberapa sosok mayat bergelimpangan di tanah.
"Cen Hui Ming!" Rangga berseru kaget ketika mengenali sesosok tubuh yang tergeletak tidak bernyawa. Tubuhnya membiru dan dari sudut bibirnya mengering darah kental berwarna kehitam-hitaman.
"Orang itu terkena racun yang sama seperti yang dialami Wiku tadi, Kakang," jelas Pandan Wangi.
"Ya...," sahut Rangga mengangguk kecil.
"Aaaakh...!!"
Terdengar jeritan keras dari arena pertarungan ketika sesosok tubuh terlempar dan tersungkur dalam keadaan tak bernyawa. Tubuhnya membiru dan darah kental berwarna kehitaman meleleh pelan dari sela bibirnya. Seorang berbaju kuning dengan rambut panjang dikepang dan di-lingkarkan ke lehernya. Ujungnya terikat sebuah pisau pendek yang amat tajam dan masih terlihat berdarah. Sepasang matanya sipit, dan alis miring dan tajam. Kalau tadi saat dia bertarung, Juragan Sumantri tak begitu mengenalinya karena orang itu bergerak amat cepat. Tapi kali ini dia dengan jelas dapat memastikan siapa orang itu sebenarnya.
"Ki Dukun" He, sejak kapan dia pandai ber-silat sehebat itu"!" tanya Juragan Sumantri bi-ngung.
"Apakah Ki sanak yakin bahwa orang itu yang biasa dipanggil Ki Dukun?" tanya Rangga.
"Yakin sekali. Bagaimana mungkin aku bisa melupakannya."
"Hm...," Rangga menggumam pelan. Orang asing itu dilihatnya berkacak pinggang sambil berkoar dengan angkuhnya.
"Siapa lagi yang merasa hebat dan ingin men-jajal kemampuanku" Ayolah, maju ke sini!"
Begitu selesai berkata demikian, sesosok tubuh melompat dan berdiri tegak di hadapannya. Seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh ta-hun dengan rambut sebahu telah memutih semua, dibiarkan begitu saja sehingga menimbulkan kesan angker. Apalagi wajahnya yang penuh kerut-merut itu dan sama sekali tak pernah tersenyum, menambah keangkeran orang tua itu.
"He, orang asing. Aku Ki Rimang yang me-rontokkan kesombonganmu. Ki Jaka Lola dari Perguruan Gunung Slamet boleh mampus di ta-nganmu. Begitu juga dengan Ki Liman Laga dari Perguruan Gajah Mungkur. Tapi berhadapan de-nganku, kau akan kojor!" dengus orang tua itu dengan suara serak penuh ancaman.
"Ha ha ha ha...! He, orang tua bau tanah" Kau pikir U Than Kyung bocah ingusan yang bisa kau gertak begitu macam" Majulah kalau ingin mampus!" sahut lawannya.
"Keparat! Kau rasakan pukulanku! Yeaaa...!"
Ki Rimang langsung melompat menyerang lawan dengan geram. Dia mengetahui betul bahwa lawannya kali ini memiliki ilmu yang tinggi, untuk itulah dia tak mau menganggap enteng dan telah menggunakan ilmu silatnya yang tertinggi untuk menjatuhkan lawannya secepatnya.
? * *?? * ? "Yeaa...!"
"Uts!"
Tubuh U Than Kyung atau si Dukun Dari Tibet bergerak cepat dengan lincah menghindari serangan-serangan gencar yang dilancarkan lawan. Ki Rimang memang menggunakan ilmu silat tangan kosong untuk menyerang lawan, tapi ju-rus-jurus yang dimainkannya bukanlah jurus sembarangan. Dalam dunia persilatan orang tua yang merupakan ketua Perguruan Camar Emas ini dikenal sebagai Cakar Maut Camar Emas. Ke-sepuluh jari-jari tangannya yang memiliki kuku-kuku yang tajam dan kuat. Kalau saja lawan tak cepat menghindar dari serangannya, bisa jadi ca-kar-cakar Ki Rimang dapat membunuhnya dengan mengoyak-ngoyak tubuhnya.
"Hiyaaat...!" U Than Kyung berteriak keras sambil menjulurkan rambutnya yang bagai ular menyambar ke arah lawan.
Wes! Wes! Tap! ?Rrrt! "Heh!"
U Than Kyung agaknya ingin mencoba ke-kuatan tangan lawan yang hebat itu dengan me-lilitkan ujung rambutnya seperti ular melilit ke-tangan kiri lawan. Namun ketika dia berusaha menyentakkannya, Ki Rimang bertahan ketat. Bahkan kalau saja dia tak buru-buru melepaskan lilitannya, bukan tak mungkin kulit kepalanya akan terkelupas karena Ki Rimang bermaksud menyentakkannya.
"Syukur kau tahu diri!" dengus Ki Rimang sambil ketawa dingin mengejek lawan.
"Ha ha ha... ha...! Ternyata kau cukup hebat juga, Ki Rimang. Tapi aku tak yakin apakah kau mampu menahan pukulan Shiu Lo Im Skit Kang (Pukulan Beracun Hawa Dingin)"
Setelah berkata begitu, U Than Kyung me-rapal suatu mantera dari mulutnya yang ber-komat-kamit. Dan kedua tangan dan kakinya membuka suatu jurus yang aneh. Ki Rimang sendiri bersiaga menghadapi segala kemungkinan dan telah menyiapkan suatu pukulan andalannya yang diberi nama Pukulan Camar Emas. Pukulan ini akan mengeluarkan cahaya keemasan dan ber-hawa panas.
"Yeaaa...!"
U Than Kyung memulai penyerangan. Sambil melompat dia membentak keras. Ki Rimang se-gera bersiaga. Tapi orang tua itu terkejut ketika menyaksikan bahwa tubuh lawan mendadak ber-tambah menjadi lima bagian yang sama persis dengannya. Agaknya U Than Kyung telah menggunakan ilmu Go Te Kongnya untuk mengecoh lawan.
"Utas...!"
Des! "Aaakh...!"
Orang tua itu menjerit kesakitan ketika satu pukulan keras menghantam dadanya. Tubuhnya terjungkal dan darah kental menetes dari sudut bibirnya. Dia berusaha bangkit untuk menghindari serangan lawan berikutnya. Tubuhnya hanya mampu bergulingan sebanyak lima kali. Padahal pada saat itulah lawan tengah melancarkan se-rangan pamungkas terhadapnya. Ki Rimang tak punya pilihan lain. Keadaannya betul-betul pa-rah. Isi dadanya seperti remuk akibat pukulan lawan tadi. Dan hawa dingin yang menyerang tubuhnya membuat segala aliran darahnya mem-beku dan membuat daya hidupnya semakin me-lemah. Padahal dia telah mengerahkan segenap tenaga dalamnya untuk mengusir racun yang ber-sarang di tubuhnya akibat pukulan lawan. Tapi hal itu malah berakibat parah. Darah kental ber-kali-kali menggelogok dari mulutnya.
"Mampuslah kau orang tua busuk!" Tubuh U Than Kyung yang telah menarik kembali ilmu Go Te Kongnya meluncur deras ke arah Ki Rimang dengan mengirim satu pukulan maut. ?
"Tahan!" ?
"He, siapa kalian"!"
U Than Kyung menghentikan serangannya ketika melihat tiga orang laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun membentak keras, dan meng-halangi niatnya untuk menghabisi jiwa Ki Rimang. Ketiga orang mengenakan baju serba putih dan menggenggam sebuah golok masing-masing di tangannya. Tatapan mereka tajam menusuk.
"Kami Tiga Malaikat Muka Pucat akan me-nantangmu! Kau tak perlu berlaku kejam kepada Ki Rimang!" sahut salah seorang yang berdiri di tengah dengan suara dingin.
U Than Kyung memandang mereka sesaat, dan melihat bahwa ketiga wajah orang itu putih pucat bagai tak berdarah. Persis seperti mayat hidup. Apalagi dengan postur tubuh mereka yang kurus. Terkekehlah dia melihat hal itu.
"Kenapa kau tertawa"!" bentak orang tadi dengan nada tak senang.
? * *?? * ? "Kenapa tidak" Julukan kalian sangat sesuai sekali dengan rupa kalian. Tapi akan lebih cocok lagi kalau kalian memakai gelar Tiga Setan Busuk!" sahut U Than Kyung atau selama ini banyak dikenal oleh orang-orang di sekitar desa ini dan desa-desa lainnya sebagai Dukun Dari Tibet.
"Kurang ajar! He, orang asing. Kau boleh pamer kejagoan di sini, tapi sebentar lagi kesom-bonganmu itu akan musnah bersama dengan putusnya lehermu!"
"Hm, kenapa mesti banyak ribut segala" Bukankah kau ingin menggantikan tua bangka busuk itu" Nah, majulah kalian semua. Satu persatu atau sekaligus tiada bedanya bagiku."
"Sombong! Kau merasakan akibatnya nanti!" dengus salah seorang Tiga Malaikat Muka Pucat sambil memberi aba-aba pada kedua kawannya.
Sesaat kemudian mereka telah melompat bersamaan dengan ringannya dan menyerang U Than Kyung dengan gencar, ilmu golok ketiga orang itu sangat hebat. Dua orang menggenggam senjatanya dengan tangan kanan, sementara yang seorang lagi terlihat kidal. Dan perpaduan dua serangan yang saling mendukung itu sedikit banyak membuat lawan agak kerepotan.
"Kakang, bagaimana pendapatmu" Apakah ketiga orang itu dapat mengungkuli lawannya?" tanya Pandan Wangi melihat pertarungan itu.
"Hm, sulit dikatakan siapa yang lebih unggul. Ilmu silat orang asing itu biasa saja, tapi ilmu malih rupa dan pukulannya sangat berbahaya!" sahut Rangga pelan.
"Tapi kurasa ketiga orang itu akan dapat di-kalahkannya," lanjut Pandan Wangi.
Rangga tersenyum kecil. "Dari mana kau mengetahuinya?"
"Ketiga orang itu memang memiliki gerakan yang sangat gesit. Apalagi bila maju berbarengan. Serangan mereka pun sangat kompak. Tapi dari pukulan-pukulan dan sabetan golok mereka, akan terasa bahwa tenaga dalam mereka kalah jauh dibandingkan lawan. Meskipun tenaga mereka digabungkan menjadi satu, agaknya tetap saja tak mampu mengungguli lawannya. Sebalik-nya dengan mengerahkan ilmu malih rupanya tadi, si Dukun itu akan lebih muda mengecoh lawannya, dan tak bisa dipungkiri bahwa pukulan beracunnya itulah yang amat berbahaya. Rasanya Tiga Malaikat Bermuka Pucat itu tak akan mampu menang darinya," kata Pandan Wangi menjelaskan.
"He, agaknya kau semakin pintar saja menilai seseorang ya?"
"Tapi tentu saja tak sepintarmu, Kakang...."
"Ah, siapa yang mengatakan aku pintar" Buk-tinya dari dulu tetap saja bodoh dan tak bisa apa-apa."
"Hm, aku tak begitu tolol untuk memilih orang bodoh menjadi kekasihku. Dan selama ini aku tak pernah salah!"
Rangga tertawa kecil.
"Kakang...."
"Hm...?"
"Katanya kau mau mengajariku beberapa jurus ilmu silat yang kau miliki...."
"Aku belum punya waktu luang yang tepat...."
"Bukankah selama ini kita punya banyak waktu luang selama melakukan perjalanan?"
"Ya, tapi kita selalu dibebani oleh berbagai macam peristiwa yang silih berganti datang. Dalam keadaan begitu mana mungkin aku bisa memusatkan perhatian dengan baik. Nantilah ka-pan-kapan akan kucari waktu yang tepat untuk itu."
"Betul"!"
"Hm, kapan aku pernah berbohong padamu?"
"Kau memang tak pernah berbohong padaku hanya sering mempermainkanku saja!" sahut Pandan Wangi menyindir.
Rangga cuma tertawa kecil, dan kembali me-musatkan perhatiannya pada pertarungan itu. Di-liriknya Juragan Sumantri sekilas. Laki-laki itu tampak masih terkesima dengan wajah tak percaya bahwa dukun yang selama ini dilihatnya le-mah ternyata mampu mengalahkan tokoh-tokoh persilatan berilmu tinggi. Rasanya sulit dipercaya bahwa sekian lama dia telah tertipu. Makin kuat-lah dugaannya ketika para centengnya menemu-kan benda-benda berharga itu di tempat ke-diaman Dukun Dari Tibet itu, bahwa orang asing itu memang berkelakuan buruk.
"Baru sekarang aku percaya setelah melihat kenyataan ini..." katanya setengah bergumam sambil memandang Pendekar Rajawali Sakti.
"Orang itu licik dan sangat berbahaya...," sahut Rangga.
"Lalu apa yang bisa kita lakukan saat ini" Telah banyak tokoh-tokoh persilatan yang tewas ditangannya. Apakah ketiga orang itu mampu mengatasinya?" tanya Juragan Sumantri berharap.
"Entahlah... akupun tak bisa menduga apakah ketiga orang itu mampu mengatasinya...."
Juragan Sumantri memandang pemuda itu dengan sorot mata sayu penuh permohonan.
"Ki sanak adalah seorang pendekar besar yang memiliki kepandaian tinggi. Tidakkah berniat meringkusnya...?" tanya Juragan Sumantri dengan suara lirih.
"Tentu saja. Kenapa tidak" Tapi harus me-nunggu kesempatan yang bagus. Kalau pada saat mereka bertarung dan tiba-tiba aku ikut turun tangan mengeroyoknya, hanya akan memper-malukan diriku saja di depan tokoh-tokoh persilatan lainnya," sahut Rangga tenang dan me-yakinkan laki-laki itu.
Sementara itu pertarungan antara U Than Kyung atau Dukun Dari Tibet dengan Tiga Malaikat Muka Pucat telah mencapai tingkat yang menentukan. Apa yang diperkirakan Pandan Wangi memang tak salah. Setelah mengetahui kelemahan lawannya masing-masing, Pendekar dari negri asing itu mulai menggebrak mereka satu persatu dengan menggunakan ilmu Go Te Kong. Tiga Malaikat Muka Pucat tak begitu kaget melihat ilmu lawannya, sebab mereka telah melihatnya tadi. Tapi hal itu memang sangat membingungkan. Keempat kembarannya itu seperti nyata dan benar-benar terjadi kala mengadakan serangan. Namun manakala dihantam, mereka cuma memukul angin belaka. Justru pada saat itulah lawan yang asli melakukan serangan kilat. Seperti yang dilakukan saat ini.
"Yeaaa...!" Kelima sosok tubuh U Than Kyung melompat bersamaan ke arah ketiga lawannya.
Ketiga orang lawannya menghantam pelan karena menduga bahwa lawan yang menyerang mereka adalah bayanganhya saja. Tapi ternyata tipuan U Than Kyung berhasil. Salah seorang yang menyerang mereka ternyata benar-benar la-wan yang asli. Seorang anggota Tiga Malaikat Muka Pucat tersentak kaget. Namun dia tak ke-buru menghindar sebab lawan telah memukulnya dengan pukulan beracun yang dinamakan Shiu Lo Im Sat Kang (Pukulan Beracun Hawa Dingin).
Des! "Aaakh"!"
Crab! Orang itu memekik kesakitan dan tubuhnya terjungkal keras. Kedua kawannya tersentak kaget. Tapi U Than Kyung tak bertindak ke-palang tanggung. Waktu yang sesingkat itu di-gunakannya untuk mencuri kelengahan lawan. Ujung rambutnya meliuk cepat menyambar dada kiri lawan yang lain, dan tendangan kaki kanan-nya meremukkan tulang rusuk lawan yang tinggal seorang lagi. Kedua orang itu menjerit kesakitan. Yang seorang tubuhnya terjungkal, dan seorang lagi terhuyung-huyung sambit memegangi dada kirinya yang bolong dihantam pisau kecil yang ada di ujung rambut panjang lawan.
"Yeaaa...!"
Des! Des! "Aaaa...!"
Sekali tubuh U Than Kyung melompat, kedua kakinya menyambar lawannya yang masih se-karat itu. Keduanya ambruk ke tanah dengan ke-luhan pendek dan tak bergerak-gerak lagi. Dia menepuk-nepuk kedua telapak tangannya, ke-mudian tegak berdiri sambil berkacak pinggang dan memandang orang-orang yang berada di situ dengan sikap pongah.
"Siapa lagi yang mau menjajal kemampuan-ku?"
Tak seorang pun yang berani maju. Semua-nya diam membisu.
"Hm, ternyata di negri ini cuma dihuni oleh tikus-tikus pengecut yang tak memiliki nyali dan kepandaian berarti! Cuiih!" U Than Kyung me-ludah sambil mendengus meremehkan.
"Siapa bilang tikus takut dengan kecoak se-pertimu?"
"Hei, siapa kau"!" U Than Kyung cepat ber-paling ketika seorang pemuda tampan berambut panjang terurai dan mengenakan baju rompi pu-tih melangkah pelan mendekatinya. Di balik punggungnya terlihat sebatang pedang berhulu kepala burung. Dia mulai menduga-duga pemuda itu.
"Bukankah kau ingin sekali bertemu dengan-ku" Demikianlah yang dikatakan Juragan Su-mantri."
"Pendekar Rajawali Sakti..."!" desis Dukun Dari Tibet itu tajam dengan pandangan liar.
? * *? * ? ? 8 ? "Ki Dukun, perbuatan apakah yang kau laku-kan selama ini di belakangku" Aku memang bodoh mempercayai orang licik sepertimu. Seharusnya cukup kubayar saja pengobatan yang kau lakukan pada putriku dan hubungan kita ber-akhir. Tapi aku mempercayaimu sebagai orang baik dan jujur, dan sudah menganggapmu sebagai saudara. Tak kusangka bahwa kau ternyata adalah orang yang paling hina di muka bumi ini!"
"Juragan Sumantri! He, Ki sanak pun ada di sini!" seru Dukun Dari Tibet itu sambil tertawa kecil.
"Ki Dukun, kenapa kau lakukan kejahatan itu?"
"Ha ha ha ha...! Kejahatan apakah yang telah kulakukan" Mereka datang menantangku, mana mungkin aku bisa membiarkannya. Dan kalau mereka berniat membunuhku, apakah aku akan diam saja dan merelakan nyawaku mereka cabut" Ki sanak, tentu saja aku tak bodoh. Lebih baik mereka yang lebih dulu mati dari pada aku."
"Itu hanya satu dari kejahatanmu. Kaulah yang menantang tokoh-tokoh persilatan di negri ini sekedar membuktikan kehebatan ilmu yang kau miliki. Kau berdusta padaku, Ki Dukun. Lebih dari itu kau adalah seorang maling busuk!"
"Apa maksudmu"!"
"Kami menemukan tumpukan emas dan per-mata yang kau sembunyikan di rumahmu!"
"Apa"!!" Paras wajah Dukun Dari Tibet itu tampak tersentak kaget mendengar kata-kata Juragan Sumantri.
"Dan tiga karung hartamu telah kuambil untuk kuserahkan pada pihak kerajaan. Anak buah-ku pun telah kuperintahkan untuk menghubungi pihak kerajaan. Sebentar lagi mereka tentu akan datang ke sini untuk menangkapmu!" lanjut Juragan Sumantri.
"Menangkapku" Ha ha ha ha...! Kau bermim-pi, Juragan. Siapa di negri ini yang mampu menangkapku, he" Akan kubuat mereka menjadi daging-daging beku. Dan untukmu, Juragan... he, kau terlalu lancang melangkahi hartaku. Maka bagianmu adalah mampus!" geram orang asing itu hendak mencengkram Juragan Sumantri.
Namun pada saat itu juga beberapa orang centeng Juragan Sumantri melompat ke muka uhtuk melindungi majikannya. Rangga melihat hal itu percuma saja. Dengan sekali kibas orang-orang itu akan terjungkal terkena hajaran lawan. Maka tak ada jalan lain dia harus menyelamatkan Juragan Sumantri.
"Minggir...!" bentaknya sambil melompat danmemapaki serangan lawan"
"Yeaaa...!"
Dukun Dari Tibet itu menggeram sambil me-lipatgandakan tenaganya begitu melihat siapa yang berani memapaki serangannya. Sementara itu Juragan Sumantri sendiri tubuhnya seperti terdorong ketika Pendekar Rajawali Sakti me-ngibaskan sebelah tangan kearahnya. Begitu juga beberapa centengnya. Dan dengan begitu mereka selamat dari serangan lawan. Dan dia sendiri dengan bersalto menghindari pukulan yang dilan-carkan U Than Kyung. Sehingga pukulan pendekar dari negri asing itu hanya mengenai angin belaka.
"Bedebah! Hm, Pendekar Rajawali Sakti tak percuma kau disegani sebagai pendekar nomor satu di negri ini. Gerakanmu boleh juga, dan kau-pun cukup cerdik untuk tidak memapaki serang-anku. He he he he..., seandainya itu kau lakukan, maka kebinasaanlah bagimu!" ucap Dukun Dari Tibet itu dengan sombong.
Apa yang dirasakan Rangga dari angin serangan yang tadi dilancarkan lawan, memang sangat dahsyat dan membahayakan. Tapi bukan berarti dia akan binasa jika terkena pukulan itu. Bagaimana pun dia yakin bahwa nyawanya bukan berada di tangan lawannya.
"Siapa yang mengatakan aku akan binasa bila terkena pukulanmu itu" Hm, kalau aku tak mau memapakinya itu karena semata-mata aku masih merasa jijik," sahutnya santai.
"Kurang ajar! Huh, kau pikir dirimu terlalu hebat di kolong langit ini, he" Hari ini adalah kebinasaanmu!" geram U Than Kyung semakin memuncak.
"He, siapa yang menyombongkan diri seperti itu" Bukankah kau sendiri yang mengatakannya" Lagipula siapa yang bisa memastikan kebinasaan-ku" Kau bukan dewa, melainkan seorang maling busuk yang hina!"
"Tutup mulutmu! Kalau telah kurobek baru kau tahu rasa!" bentak orang asing itu sambil melompat menerkam Pendekar Rajawali Sakti.
"Merobek perutmu lebih mudah ketimbang merobek mulutku, Sobat. Nah, hati-hatilah akan hal itu!" sahut Rangga santai membuat lawan semakin kalap saja. Dia sendiri dengan lincah masih terus melompat ke sana ke mari menghindari serangan lawan.
"Ayo, cabut pedangmu cepat! Biar kau mati tanpa penasaran lagi!"
"Apakah kau ingin buru-buru mampus di ujung pedangku?"
"Puiih! Kesombonganmu membuatku ingin muntah!"
"Begitulah yang dirasakan banyak orang mendengar bicaramu selama ini.
"Keparat!"
"Hm, kau marah karena perkataanku memang benar adanya, bukan?"
"Yeaaa...!"
Wut! Wut! "Uts!"
Kali ini terlihat bahwa Dukun Dari Tibet itu mulai gencar serangannya. Ujung rambutnya ba-gai ular yang meliuk-liuk menyambar Pendekar Rajawali Sakti. Rangga sudah melihat sejak tadi pisau kecil yang terikat di ujung rambut lawan sehingga dia bisa lebih waspada menghadapinya, dan tak mau terkecoh dengan permainan lawan. U Than Kyung sendiri, agaknya memakai siasat untuk mengadakan pertarungan jarak dekat, sehingga dengan begitu rambutnya yang dikepang panjang dan dijadikan sebagai senjata itu mampu menjangkau lawan. Kalaupun gagal, dia sudah menyiapkan sebuah pukulan telak yang pada jarak dekat mampu membuat tiga ekor gajah mati seketika.
? * *?? * ? Namun sejauh ini belum terlihat sedikitpun tanda-tanda bahwa serangan pendekar dari negri asing itu membawa hasil. Hal itulah yang membuatnya semakin geram dan penasaran. Sambil mengkertak rahang dia melancarkan jurus-jurus mautnya untuk menekan pemuda itu, lebih jauh.
"Hm, hebat! Jurus-jurus yang kau keluarkan indah dan berhawa maut," puji Pendekar Rajawali Sakti.
"Itu belum seberapa. Sebentar lagi kau akan melihat yang lebih indah untuk mengiringi ke-matianmu!"
"Aku orang biasa, dan itu berarti aku tak pantas mati di tanganmu."
"Huh!"
Rangga tertawa kecil melihat lawannya terus menggeram dengan penuh kemarahan.
"Hiyaaat...!"
"Hup!"
"Mampus!!"
"Belum lagi, sobat!" ejek Rangga ketika lawan mengibaskan tangan ke arah batok kepalanya dengan sekuat tenaga. Namun dengan lincahnya dia menundukkan kepala dan melenting sambil bergulung-gulung ke kiri.
Dukun Dari Tibet tak mau menyia-nyiakan kesempatan itu. Tubuhnya ikut melenting sambil menghantam pukulan mautnya yang dahsyat itu.
"Yeaaa...!"
"Uts!"
Tubuh Pendekar Rajawali Sakti bergulingan di tanah dan cepat kembali melenting sambil membuat salto beberapa kali ketika lawan terus menghujaninya dengan pukulan maut berhawa dingin yang mengandung racun ganas.
"Hm, aku tak bisa terus menerus begini. Ke-adaanku akan semakin gawat," pikir pemuda itu dalam hatinya.
Maka sambil membentak keras tubuh Pendekar Rajawali Sakti melompat ke atas sambil mengelak dari sambaran pukulan maut lawan. Setelah itu dia balas menyerang dengan cepat sambil mendorongkan telapak tangannya ke arah lawan. Dari telapak tangannya menderu cahaya ke arah lawan. Itulah salah satu pukulan mautnya yang bernama Pukulan Maut Paruh Rajawali.
"Hup!"
U Than Kyung agak terkejut merasakan hawa panas dari serangan lawan itu. Diam-diam dia mengeluh dalam hati. Pukulan itu sebenarnya biasa saja, namun terasa sekali dikerahkan oleh seorang tokoh yang memiliki tenaga dalam kuat. Maka jadinya dahsyat sekali. Bukan tak mungkin bahwa pukulannya yang bernama Shiu Lo Im Sat Kang dapat dipunahkan oleh pukulan lawan. Tapi dalam hati dia yakin betul akan keampuhan pukulannya. Mengingat itu rasa percaya dirinya kembali tumbuh menggebu.
Kali ini terlihat dia memandang lawan dengan tatapan tajam menusuk. Mulutnya berkomat-kamit membaca mantera sambil kedua tangan dan kakinya membuka sebuah jurus yang aneh. Rangga cepat bersiaga menghadapi gejala ini.
"Kuperingatkan, sobat. Jangan kau gunakan ilmu malih rupamu itu padaku. Kau akan celaka sendiri!" ujar Rangga pelan.
"Ha ha ha ha...! Kenapa" Kau takut?"
"Tidak. Tapi hal itu percuma saja...."
"Huh, siapa yang peduli dengan gertakan-mu"!"
Setelah berkata demikian, tubuhnya langsung melompat menyerang lawan. Dan bersamaan dengan itu tubuhnya langsung terbentuk men-jadi lima kembaran yang bersama-sama langsung menyerang lawan.
"Yeaaa...!"
Pendekar Rajawali Sakti tersenyum kecil. Dia menutup kelopak matanya dan mengerahkan ilmu Pembeda Gerak dan Suara, serta memusat-kan perhatian kepada serangan lawan melalui de-siran angin dan helaan nafasnya. Hal itu tak ter-lalu sulit dilakukan, sebab sebelumnya dia pernah menghadapi lawan yang hampir serupa dengan lawannya kali ini (baca episode: Topeng Setari).
Wut! Wut! "Heh?"
U Than Kyung tersentak kaget ketika melihat bahwa pemuda itu diam saja ketika beberapa kembarannya menyerang. Namun ketika dirinya yang asli mulai menyerang, maka pemuda itu buru-buru menghindar seperti mampu mem-bedakan mana yang asli dan mana yang palsu. Melihat keadaan itu semakin geram saja hatinya. Apalagi dilihatnya lawan menghadapinya dengan cara demikian. Hal itu semakin membuat dirinya diremehkan. Dia tak memperdulikan keadaan lawan, dengan amarah yang meluap langsung menyerang Pendekar Rajawali Sakti dengan pukulan mautnya secara bertubi-tubi. Ujung rambutnya pun sekali-sekali menyerang lawan dan membuat Rangga menjadi kerepotan.
"Sial! Agaknya dia mengerti bahwa pemusatan pikiranku dapat diganggu dengan suara berisik rambutnya yang mendesing-desing itu!" gerutu Rangga.
Sebenarnya hal itu dilakukan U Than Kyung secara tak sengaja. Dalam kemarahannya yang meluap bercampur rasa penasaran, dia menyerang lawan dengan menggunakan segenap ke-mampuan yang dimilikinya. Sehingga segala yang mampu dijadikan senjata digunakan untuk menjatuhkan lawan secepatnya.
Hal itu memang amat membahayakan bagi Pendekar Rajawali Sakti. Meskipun dia terus-menerus mengelak, tapi sedikit banyak hal itu pasti akan mengenai dirinya. Dan kalau dia sekali kena hajar lawan, pasti lawan tak akan menyia-nyiakan kesempatan dan terus memburunya sebelum dia sempat menguasai keadaan. Hal itulah yang terpikir dalam benaknya.
Maka tanpa membuang waktu lagi dia segera mencabut pedang pusakanya sambil merapal aji Cakra Buana Sukma. Seberkas sinar biru dari batang pedang di tangannya terpancar me-nerangi tempat pertempuran itu untuk beberapa saat lamanya. Mereka yang menyaksikan itu terkagum sambil menggelengkan kepala penuh takjub. Namun hal itu segera dipecahkan oleh teriakan U Than'Kyung.
"Yeaaa...!"
"Aji Cakra Buana Sukma...!" Pendekar Rajawali Sakti membentak keras setelah mengusap sebelah tangannya pada batang pedang pusakanya.
Glaaar...! Cras! "Aaakh!"
Kejadian itu begitu cepat berlalu setelah le-dakan keras terjadi. Asap hitam mengepul di udara, namun sinar biru yang keluar dari telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti terus menderu dan menggilas pukulan yang dilancarkan lawan hingga menerpa tubuh U Than Kyung. Pada saat yang bersamaan, tubuh Pendekar Rajawali Sakti melesat cepat dan menyambar dada lawan lewat ujung pedangnya. U Than Kyung cuma sempat mengeluh tertahan. Tubuhnya ambruk dise-lubungi sinar biru. Ketika Pendekar Rajawali Sakti tegak berdiri, lawannya telah hangus menjadi arang dan terpecah-pecah bagai sebuah batu yang retak-retak.
"Minggir! Tentara kerajaan mau lewat!"
? * *?? * ? Pendekar Rajawali Sakti cepat menyarungkan kembali pedangnya ketika melihat para prajurit kerajaan telah berada di tempat itu, Salah seorang mendekatinya dengan wajah keheranan.
"Apakah yang telah terjadi di sini, dan mana maling itu?"
Dengan tenang ditunjuknya mayat U Than Kyung yang telah tak berbentuk lagi, kemudian membalikkan tubuh untuk kembali menaiki kudanya. Prajurit kerajaan itu agaknya masih me-rasa bingung tak mengerti. Apa yang dilihatnya sungguh mengerikan dan sekaligus mendirikan bulu roma.?
"Ki sanak, itukah maling yang sedang kalian cari...," lanjut Rangga dari atas punggung kudanya menunjuk ke arah mayat U Than Kyung yang sudah tak berbentuk lagi.
"Siapa kau ini?"
"Aku cuma seorang pengembara biasa yang tak memiliki nama...."
"Kaukah yang telah membunuhnya?"
"Begitulah kira-kira...," sahut Rangga sambil memberi salam penghormatan dan bermaksud meninggalkan tempat itu.
"Tunggu!"
"Ada apa lagi, Ki sanak?"
"Baginda Gusti Prabu inenyediakan hadiah bagi siapa saja yang mampu menangkap maling itu hidup atau mati. Apakah kau tak ingin hadiah itu?"
"Sampaikan saja salam hormatku untuk Gusti Prabu. Saat ini aku belum membutuhkan hadiah yang beliau janjikan itu," sahut Pendekar Rajawali Sakti tenang.
Setelah berkata begitu, dia segera berpaling kepada Juragan Sumantri.
"Juragan, Ki sanak pasti akan menyerahkan harta yang dicuri oleh Ki dukun itu, bukan?"
"Oh, tentu saja!"
"Terima kasih. Kalau demikian Ki sanak boleh berurusan dengan prajurit-prajurit kerajaan itu. Kami permisi dulu!"
"Tunggu dulu, Ki sanak! Tidakkah Ki sanak sudi mampir kembali ke rumah saya" Kami bermaksud menjamu Ki sanak berdua," kata Juragan Sumantri penuh harap.
Rangga tersenyum kecil, "Terima kasih, Ki sanak. Tapi kami harus buru-buru. Ada urusan yang harus kami kerjakan lagi," sahutnya me-nolak halus. Juragan Sumantri tak bisa berkata apa-apa lagi mendengar jawaban pemuda itu. Dia hanya bisa menatap kepergian mereka yang semakin jauh, dengan membawa kesan tersendiri dalam hatinya. Begitu juga dengan mereka yang berada di tempat itu.
"Kakang, sebenarnya kau tadi mampu me-ngalahkan orang utan itu dengan cepat dan mu-dah. Kenapa hal itu tak kau lakukan?" tanya Pan-dan Wangi ketika mereka telah berada jauh dari tempat kejadian itu.
"Dari mana kau tahu?"
"Hm, kepandaiannya tak seberapa dibanding-kan denganmu. Aku tahu pasti itu. Apalagi ketika kau telah mampu melumpuhkan ilmu mulih rupanya, dia sama sekali tak kelihatan hebat. Dari mana kau belajar menghadapi lawan dengan cara seperti orang buta itu?"
"Aku pernah menghadapi lawan yang hampir mirip dengan itu dan pernah dikalahkannya...," sahut Rangga getir.
"Kau pernah dikalahkan seseorang"!" tanya Pandan Wangi seperti tak percaya akan pende-ngarannya sendiri.
"Kenapa" Apakah hal itu sangat mengheran-kan" Kalah dan menang dalam suatu pertarungan adalah hal yang biasa."
"Siapakah orang itu" Maksudku, siapa tokoh yang pernah mengalahkanmu itu?"
"Dia berjuluk si Topeng Setan. Namun pada akhirnya dia pun tewas ditanganku...."
"He, dia tewas ditanganmu" Aku semakin bi-ngung saja?"
"Pada awalnya aku dapat dikalahkannya, namun kemudian aku mendapat petunjuk bahwa orang itu dapat dikalahkan kalau aku meng-hadapinya dengan cara orang buta itu, yaitu dengan mengandalkan pendengarannya saja. Aku hanya tinggal membiasakan diri untuk menghadapi serangan dalam keadaan mata tertutup. Setelah merasa yakin, barulah aku kembali menghadapinya. Dan ternyata membawa hasil yang luar biasa," jelas Rangga.
"Hm, kau harus menceritakan peristiwa itu selengkapnya padaku, Kakang!"
"Oh, itu tak bisa!"
"Kenapa?"
"Karena... karena...."
"Aku tahu! Pasti ada sesuatu yang meng-haruskan aku tak boleh tahu, bukan"!"
Rangga cengar-cengir sambil menggarukkan kepala. "Begitulah kira-kira...."
"Huh, sebal aku jadinya! Heaaa...!" Pandan Wangi mendengus kesal sambil pasang wajah cemberut. Dia menggebrak pantat kudanya hing-ga hewan itu berlari lebih kencang.
"Pandan, tunggu! Ah, itu wanita kok mudah sekali cemburu...."
Rangga menggeleng-gelengkan kepala sambil menyusul derap kaki kuda gadis itu. Keduanya seperti berbalap dalam pacuan kuda meninggalkan debu yang mengepul di udara.
Di atas cakrawala awan kelabu berarak ter-bang pelan. Dan sesekali terlihat kilatan petir menggaris langit! Sebentar lagi tentu akan turun hujan lebat. Menyuburkan bumi, dan membawa kebahagiaan bagi penghuninya.
? TAMAT ? ? Dukun Dari Tibet
? Daftar Isi ? Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017

Pendekar Rajawali Sakti 118 Dukun Dari Tibet di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kitab Pusaka 18 Pendekar Bayangan Sukma 25 Datuk Sesat Bukit Kubur Raksasa Rimba Neraka 1
^