Pencarian

Misteri Hantu Berkabung 2

Pendekar Rajawali Sakti 123 Misteri Hantu Berkabung Bagian 2


"Marilah kita pulang!" ajak Nilam sambil merangkul pundak kedua kawannya.
Mereka tertawa-tawa cekikikan. Kemudian bagai sehelai kapas, ketiganya melayang ke atas, lalu lenyap dari tempat itu secepat kilat!
? *** Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 . 123. Misteri Hantu Berkabung Bag. 5
14. September 2014 um 09:17
5 ? ? Seorang pemuda berbadan tegap dan agak tinggi tampak cengar-cengir sendiri. Dia tengah melangkah tergesa-gesa menuju ke suatu tempat yang agak jauh di atas Bukit Gandul. Dari bawah sini, terlihat sebuah rumah sederhana berdiri di atas puncak bukit itu. Agaknya, tempat itulah yang akan ditujunya.
"Hm.... Pasti Mayang telah lama menungguku di sana...," gumam pemuda itu. Hidungnya terlihat kembang-kempis, dan bibirnya menyeringai lebar.
Pemuda itu makin mempercepat langkahnya. Namun kira-kira sepuluh tombak lagi akan mencapai pondok itu, mendadak melintas sekelebatan ba?yangan di hadapannya.
Plas! "Hei, apa itu"!" pemuda itu tersentak. Seketika pandangannya beredar ke sekeliling.
Slap! Kembali terlihat sekelebatan bayangan yang menimbulkan desir angin kencang, sehingga mengibarkan rambutnya di bagian belakang. Pemuda itu cepat berbalik ke belakang. Namun tak ada apa-apa. Suasana di tempat itu tetap sepi, kecuali kicau burung pagi yang menyemaraki.
Tuk! "Hei!"
Kembali pemuda itu terkejut, ketika sebuah kerikil menghantam pundaknya. Kali ini, dia yakin dengan apa yang dilihatnya tadi. Pasti ada seseorang... Atau, ada sesuatu yang aneh di tempat ini. Dan batu itu" Pasti bukan tak sengaja, melainkan...
Tuk! "Heh"!"
Kerikil kedua menghantam punggungnya. Kali ini, pemuda itu terlihat marah. Mukanya garang dan kedua tangannya sudah terkepal erat-erat.
"Siapa yang hendak bermain-main dengan Pardi, ayo keluar! Tunjukkan batang hidungmu cepat!" bentak pemuda yang ternyata bernama Pardi, geram.
Tak ada sahutan, selain angin pagi yang bertiup sepoi-sepoi menyapu alam. Namun tampak daun-daun bergoyang-goyang. Lalu...
"Hei?"
Hidung Pardi tiba-tiba mencium bau busuk yang dibawa hembusan angin tadi. Seperti bau bangkai yang menyengat, namun tak tahu dari ma?na datangnya. Sudah lama Pardi sering berada di tempat ini, namun belum pernah sekalipun menga?lami kejadian aneh seperti sekarang. Pemuda itu celingukan sendiri sambil mencari, apa penyebab semua ini.
"Hi hi hi...!"
"Heh"!"
Bukan main terkejutnya pemuda itu, ketika melihat sesosok tubuh berbaju merah dan rambut panjang terurai tengah melayang-layang di atas satu pohon ke pohon lain sambil ketawa cekikikan. Dia ingin menegaskan, namun wajah sosok itu terhalang rambut panjangnya. Tanpa sadar, Pardi berdecah kagum. Namun, sekaligus bulu kuduknya merinding. Manusia atau..., hantu"
"Siapa kau"!" bentak Pardi, berusaha me nguatkan hati.
"Apakah kau tak mengenalku, Pardi?" tanya perempuan itu dingin sambil terus melayang-layang memutari pemuda itu.
"Kau..., kau tahu namaku"! Siapa kau sebenarnya?"
"Aku adalah mautmu!" sahut perempuan itu dingin.
Pardi kontan menggigil. Bukan karena ancaman itu, melainkan karena merasa geram dipermainkan begitu. Amarahnya mulai menyala.
"Huh! Kau pikir aku takut dengan ancamanmu itu"! Biar seribu hantu sepertimu ada di depan mataku, jangan harap aku lari!" dengus Pardi geram.
"Hi hi hi...! Itulah yang kuharapkan. Seandainya pun kau akan lari, tak akan ada jalan bagimu selain ke neraka," sahut perempuan berbaju merah itu enteng.
"Ayo, apa lagi yang kau tunggu"! Kau akan mencabut nyawaku sekarang" Lakukanlah!" tandas Pardi dengan sikap garang.
"Hm, kenapa tidak?"
"Huh!"
Secepat kilat bayangan putih itu melesat bagai kelebatan sinar ke arah pemuda itu.
Pardi terkesiap kaget. Namun sebagai pemuda yang memiliki ilmu olah kanuragan lumayan, bahkan di desanya juga termasuk jawara, dia tak mera?sa takut mendengar ancaman itu. Tapi ketika melihat serangan perempuan berbaju merah itu, nyalinya seketika menciut. Gerakan seperti itu belum pernah dilihatnya. Bahkan tubuhnya seperti terpaku, sehingga tak mampu untuk bergerak menghindar! Akibatnya....
Des! "Aaakh...!"
Pardi kontan terpekik ketika kepalan tangan perempuan berbaju merah itu menghantam telak dadanya. Tubuhnya langsung terjungkal beberapa langkah. Namun belum lagi menyentuh tanah, satu tendangan kembali menyodok perutnya.
Begkh! "Aaakh...!"
Pemuda itu kembali menjerit kesakitan. Tubuh?nya langsung tersungkur dan menjerit-jerit menahan sakit.
"Pardi! Kau lihat diriku! Lihat! Lima bulan lalu, kau telah memperdayaiku di pondok itu. Kau rayu aku, lalu kau nodai. Dan setelah itu, kau tinggalkan begitu saja. Maka hari ini, pembalasanku telah tiba!" dengus perempuan itu dingin. Kini dia sudah berdiri tegak, di hadapan pemuda yang telah tak berdaya ini.
? *** ? Pardi terkejut setengah mari ketika melihat rambut perempuan itu tersibak. Wajahnya memang manis. Namun yang membuatnya seram adalah bola mata yang putih semua dan dua buah taring panjang di tiap sudut mulutnya.Tapi, rasanya Pardi memang pernah mengenal raut wajah itu, walau dalam bentuk yang berbeda. Lebih cantik dan tak menakutkan begini.
"Kau..., kaukah Sukesih...?"
"Hi hi hi...! Akhirnya kau mengenaliku juga. Tapi, terlambat. Sebentar lagi, kau akan mampus!"
"Eh, da..., dari mana kau memperoleh kepan?daian hebat seperti itu?" tanya Pardi, tergagap.
"Hi hi hi...! Kau pikir, apakah manusia mampu berbuat seperti ini?" sahut perempuan yang ternya?ta Sukesih terkikik, sambil melayang-layang di de?pan Pardi.
"Jadi kau..., kau..?" tunjuk Pardi dengan bola mata melotot lebar.
Dalam bayangan Pardi, pasti perempuan di hadapannya ini adalah arwah penasaran. Kalau ti?dak, mana mungkin akan mampu berbuat seperti itu. Tapi, pemuda itu tak sempat berpikir lama. Karena tubuh Sukesih telah melesat ke arahnya de?ngan tangan kanan terjulur ke depan.
"Yeaaa...!"
Dengan sebisanya, Pardi berusaha menepis ta?ngan yang terjulur itu. Namun tanpa diduga, perem?puan berbaju merah itu malah menghantamkan ta?ngannya ke tangan Pardi.
Plak! "Uh! Pardi mengeluh tertahan ketika tangannya patah dihantam Sukesih. Dan belum juga Pardi sem?pat menyadari, perempuan itu telah cepat menyambar lehernya. Dan seketika itu pula kedua taring Sukesih menghujam di leher Pardi.
Crab! "Aaa...!"
Perempuan itu menyedot darah Pardi yang menggelepar-gelepar tak mampu berontak. Karena, sebelah tangan Sukesih memang mendekap tubuh?nya erat-erat. Pardi hanya mampu melolong ketika perempuan itu terus menyedot darahnya. Dan be?lum lagi tubuh Pardi menggeloso di tanah, tiba-tiba...
"Pardi! Kau..., kau...!"
Terdengar sebuah suara tertahan.
"Hhhng..!"
Sukesih mendelik garang sambil melepaskan tubuh Pardi yang telah terkulai lesu. Bola matanya menatap tajam ke arah sumber suara. Ternyata, tak jauh dari situ seorang perempuan setengah baya tengah berdiri mematung. Wajahnya terlihat pucat dan ketakutan. Tubuhnya menggigil. Sementara di sebelahnya tergolek sesosok tubuh gadis berparas manis yang sudah tak sadarkan diri. Rupanya, gadis inilah yang berseru, tak tahan melihat kejadian di depan matanya.
Kedua wanita yang berasal dari pondok itu mendengar teriakan Pardi tadi, sehingga mereka langsung mendatangi sumber suara.
"Hm... Kaukah wanita penghuni pondok ini...?" tanya Sukesih dingin.
Perempuan setengah baya itu mengangguk cepat dengan tubuh semakin gemetar. Wajahnya membayangkan ketakutan yang amat sangat. Betapa tidak" Selain rambut panjangnya yang awut-awutan seperti kuntilanak, bola mata perempuan itu tidak mempunyai titik hitam sedikit pun. Bahkan mulutnya yang memiliki dua buah taring panjang dan runcing, penuh belepotan darah segar.
"Kau akan mampus!" dengus Sukesih.
"Oooh!"
Hampir saja perempuan setengah baya itu terlonjak kaget dan jatuh pingsan mendengar kata-kata Sukesih. Namun sebisa mungkin dia berusaha menguatkan hatinya.
"Eh! Oh..., ap..., apa salahku padamu...?" tanya perempuan setengah baya itu dengan suara tergagap.
"Huh! Kau tak menyadari salahmu! Hi hi hi...! Dasar perempuan keparat! Kau memberikan kele?luasaan terhadap pemuda bejat itu untuk melakukan perbuatan terkutuk di rumahmu! Dan itu hanya karena kau mengharapkan imbalan beberapa keping uang perak! Cuih! Perempuan sepertimu memang layak mampus!"
"Eh! Mana mungkin! A.., aku tak pernah berbuat seperti itu...."
"Hi hi hi...! Kau pikir aku tertarik dengan segala dustamu" Kau akan mampus, Keparat! Kau akan mampus!"
Tiba-tiba Sukesih meluruk cepat ke arah pe?rempuan setengah baya itu.
"Aaah..!"
Perempuan setengah baya itu hanya mampu melenguh. Sukesih menerkamnya.
"Aaa...!"
Kembali terdengar teriak kesakitan ketika leher perempuan setengah baya itu dihunjam dua buah taring Sukesih. Kemudian dengan cepat darahnya diisap melalui leher.
Dalam beberapa saat saja, perempuan sete?ngah baya itu terkulai lemas dengan tubuh pucat bagai mayat. Darahnya disedot habis oleh Sukesih. Seketika Sukesih menghempaskan tubuh korbannya begitu saja.
"Hi hi hi...! Mampuslah kalian yang telah menghancurkan hidupku. Mampuslah kalian se?mua! Hi hi hi...!"
Setelah puas, perempuan itu melesat dari tem?pat itu seperti terbang. Tubuhnya melayang ringan. Dalam sekejap saja telah hilang dari pandangan. Entah kenapa, dia tak mengusik gadis yang tadi tak sadarkan diri di sebelah perempuan setengah baya itu.
? *** ? Semalaman Rangga tak dapat memicingkan mata sama sekali. Sementara Pandan Wangi kelihatan terlelap. Namun ketika menjelang pagi, gadis itu terbangun. Dia lebih banyak termenung sambil memandangi nyala api. Sedangkan Rangga sendiri pura-pura tertidur sambil mengawasi keadaan di sekelilingnya.
"Kita akan berangkat sekarang, Kakang?" ta?nya gadis itu tanpa menoleh ketika mendengar Rangga menggeliat.
"Hm.... Belum lagi pagi. Untuk apa buru-buru...?"
"Ayam jantan telah berkokok, Kakang. Apakah kau akan menunggu matahari memanggang tubuhmu?"
"Justru sinar matahari pagi membuat tubuh bersemangat," sahut Rangga enteng.
Pandan Wangi tak menyahut. Kakinya melang?kah pelan dan membasuh mukanya di tepi telaga.
Rangga pun melangkah pelan ke tepi telaga untuk membasuh muka dan kedua tangannya. Segar rasanya setelah wajah-wajah sayu mereka tersiram air telaga.
Setelah merasakan segar, kedua pemuda itu bergegas menyiapkan segala sesuatunya untuk melanjutkan perjalanan. Sementara Dewa Bayu dan si Putih tampak sudah merapat di pinggir te?laga, sambil sesekali menyodorkan moncongnya pada air telaga untuk minum.
Rangga lalu mengambil tali kekang kedua kuda itu. Tali kekang yang satu diberikan pada Pandan Wangi. Dia sendiri melompat ke atas Dewa Bayu.
"Kakang bermaksud akan kembali ke desa itu lagi?" tanya gadis itu ketika telah berada di pung?gung kuda putihnya.
"Ya. Aku merasa kalau peristiwa semalam ada hubungannya dengan sikap penduduk desa itu," sahut Rangga.
"Kecurigaan itu tak beralasan, Kakang."
"Kenapa tidak" Tempat ini tak begitu jauh dari desa itu. Dan lagi, apa alasan perempuan itu menyerang kita?"
"Yaaah. Terserahlah. Aku menurut saja... "
Sepasang Pendekar dari Karang Setra segera memacu kudanya, kembali menuju desa yang dilewati semalam. Jarak antara kedua tempat itu memang tak begitu jauh. Memang dari telaga itu sendiri, Desa Besakih sudah terlihat. Apa lagi ditempuh dengan berkuda. Maka dalam sesaat saja, mereka telah tiba di mulut Desa Besakih.
Beberapa orang desa yang hidup dari bertani telah mulai keluar dari rumah masing-masing. Kebetulan Rangga dan Pandan Wangi bertemu beberapa orang yang kebetulan hendak berangkat ke sawah.
"Kisanak, maaf mengganggumu sebentar. Apakah di desa ini telah terjadi sesuatu?" sapa Rangga pada salah seorang.
Orang itu tak langsung menjawab. Ditatapnya kedua anak muda itu dalam-dalam. Beberapa orang penduduk yang melihat kehadiran kedua penunggang kuda itu segera mendekati. Dan mereka memandang dengan sinar mata curiga.
"Kisanak! Kami berdua tak bermaksud buruk. Terus terang kamilah yang semalam bermaksud menumpang menginap pada beberapa rumah di desa ini. Namun, tak satu pun dari kalian yang sudi membukakan pintu. Kami segera berlalu dan bermalam di dekat telaga sana, karena mengira kalian merasa takut atas kehadiran kami," jelas Rangga.
"Ka..., kalian bermalam di dekat telaga sana?" tunjuk orang yang ditanya. Suaranya terdengar tergagap, dan wajahnya ketakutan.
"Betul. Memang ada apa, Kisanak" Apakah ada sesuatu yang aneh?" tanya Rangga bingung.
"Siapa kalian ini sebenarnya...?" tanya orang itu lagi
"Kami hanya dua orang pengembara biasa..."
Jawaban Rangga tentu saja tak mudah dipercaya. Bahkan yang lainnya pun sependapat. Cara mereka berpakaian saja sudah seperti orang persilatan. Apalagi, pedang di punggung. Sementara gadis berbaju biru muda itu juga membawa pedang dan kipas yang terbuat dari baja putih. Paling tidak, mereka memiliki kepandaian ilmu silat yang cukup hebat. Dan kalau sekadar mengaku sebagai pe?ngembara biasa, pastilah hanya ingin merendah saja. Dan melihat paras Rangga dan Pandan Wangi, orang ini merasa yakin kalau kedua orang berkuda itu bukanlah orang jahat.
"Apakah yang ingin kalian ketahui...?"
"Apakah benar ada sesuatu yang terjadi di desa ini?" tanya Rangga kembali.
Orang itu terdiam beberapa saat. Kemudian diceritakannya apa yang terjadi kemarin di desa ini. Dari mulai kematian Sembada di dekat telaga itu, sampai kematian dua pemuda penduduk desa di pinggir hutan.
"Hm.... Jadi kalian menduga kalau pelakunya adalah perempuan berbaju hijau...?" tanya Rangga meyakinkan.
"Saat itu, Lestari bersama Sembada. Dan dialah yang menegaskan kalau perempuan berbaju hi?jau itulah yang melakukannya. Dia pasti hantu penghuni telaga yang meminta korban kepada pen?duduk desa ini," jelas orang itu.
Rangga dan Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepala mendengar penjelasan itu.
"Tahukah kalian, siapa sebenarnya perempuan itu?" tanya Rangga kembali.
Tak ada satu pun yang tahu, siapa perempuan berbaju hijau itu. Bahkan mereka sepakat mengatakan kalau perempuan itu adalah hantu yang se?dang mencari korban.
"Baiklah. Kalau demikian, kami permisi. Terima kasih atas keterangan Kisanak semua," ucap Rangga.
"Sama-sama," balas para penduduk Desa Be?sakih, hampir berbarengan.
Sepasang Pendekar dari Karang Setra itu sege?ra menggebah kudanya. Sementara, para pendu?duk desa itu mengikuti dengan pandangan mereka.
"Kakang! Apakah kau mempercayai ucapan mereka?" tanya Pandan Wangi ketika telah cukup jauh.
'Tentang apa?"
"Apa betul perempuan itu bukan manusia?"
"Kenapa mesti percaya" Kita telah merasakan sendiri, bukan" Perempuan itu bisa menjerit kesakitan. Dengan begitu, dia pasti bisa mati. Sementara tak ada hantu yang bisa mati di tangan manusia. Karena, umumnya mereka tak bisa disentuh kita. Dan aku berhasil menghajar perempuan itu. Nah, apa menurutmu itu?"
Pandan Wangi diam membisu Gadis itu bukan tak percaya pada keterangan Rangga. Namun, dia hanya ingin meyakinkan hatinya saja.
? *** Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 " To help personalize content, tailor and measure ads, and provide a safer experience, we use cookies. By clicking or navigating the site, you agree to allow our collection of information on and off through cookies. Learn more, including about available controls: Policy.
123. Misteri Hantu Berkabung Bag. 6
September 14, 2014 at 9:18am
6 ? ? Dua orang laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun tampak memacu cepat kudanya ke arah tenggara. Laki-laki berambut panjang dengan ikat kepala warna kuning dan membawa pedang di punggung itu tampak begitu bernafsu untuk tiba di tempat tujuan. Sementara kawannya yang bertubuh gemuk dengan bola mata lebar dan hidung bulat itu berusaha menjajarkan lari kudanya. Wajah mereka tampak garang dan terbayang kecemasan. Berkali-kali mereka berteriak keras, agar kudanya berlari lebih kencang.
"Kakang Sudira, apakah kau yakin iblis betina itu berada di sana?" tanya laki-laki gemuk pendek itu kepada kawannya yang dipanggil Sudira. Suaranya sengaja dikeraskan, untuk melawan angkin yang menderu di telinga.
"Apakah kau tak mendengar apa yang dikatakan orang tadi, Kampanu" Dia mengatakan kalau ketiga iblis perempuan itu tengah membantai murid-murid Perguruan Bambu Kuning. Kita harus cepat ke sana untuk membalas kematian adik Jaya Permana!" geram orang yang dipanggil Sudira itu de?ngan wajah garang.
"Huh! Kalau ketemu, akan kupatahkan batang leher mereka!" dengus laki-laki gemuk pendek yang dipanggil Kampanu.
"Jangan gegabah, Kampanu. Mereka kabarnya memiliki kepandaian tinggi...," ingat Sudira.
"Meski memiliki kepandaian seperti setan sekalipun, aku tak takut!" tandas Kampanu.
"Bagus! Kalau demikian, tak sia-sia aku mengajakmu."
"Aku sendiri heran. Apa salah Jaya Permana sampai dibunuh" Setahuku, dia anak baik dan tak pernah membuat kesalahan. Kawannya banyak. Bahkan kudengar dia tak pernah memiliki musuh. Anak itu penyabar dan suka mengalah. Dia cepat meminta maaf kalau memiliki kesalahan yang tak disengaja. Hm.... Tega betul orang yang membunuhnya!" gerutu Kampanu bercampur geram.
"Kita tak bisa menduga hati manusia. Tapi yang jelas, ketiga hantu betina itu pasti tersangkut paut di dalamnya."
"Kenapa Kakang begitu yakin?" tanya Kam?panu.
"Apakah kau tak mendengar berita belakangan ini?" Sudira malah balik bertanya.
Kampanu memang jarang mengikurj perkembangan dunia persilatan karena lebih banyak bera?da di dalam perguruan untuk melatih murid-murid tingkat pertama.
"Berita apa, Kang?"
"Banyak terjadi pembunuhan mengerikan. Dan umumnya, korbannya adalah pemuda-pemuda yang masih belia. Kabar itu cepat menyebar, karena korban yang dipilih tak memandang bulu. Sebap desa atau tempat yang dilalui, maka jika para pembunuh itu bertemu seorang pemuda, bisa dipastikan akan menjadi korban," jelas Sudira.
"Kenapa Kakang bisa memasbkan kalau pela-kunya adalah bga iblis bebna yang banyak disangka hantu oleh sebap orang?" tukas Kampanu.
"Ada beberapa orang yang pernah melihatnya. Jika orang awam, akan mengatakan mereka itu hantu. Karena, mampu bergerak cepat sekali. Na?mun bagi orang persilatan, apalagi yang pernah bentrok, mana mungkin mempercayai kalau mere?ka hantu. Mereka adalah manusia biasa seperti kita. Hanya saja memiliki ilmu iblis," jelas Sudira.
Kampanu menganggukkan kepala mendengar penjelasan itu. Dan mereka terus menjalankan ku?danya cepat. Namun tiba-tiba....
"Coba, dengar. Ada suara pertarungan di de?pan sana!" tunjuk Sudira sambil menajamkan pendengaran.
Kampanu memandang ke arah yang ditunjuk Sudira. Di depan, memang terlihat sebuah bangunan besar yang dikelilingi pagar tinggi yang berjejer rapi dari kayu jati.
"Itukah Perguruan Bambu Kuning, Kang?" ta?nya Kampanu.
Sudira mengangguk sambil terus memacu lari kudanya lebih cepat lagi. Kampanu pun mengikuti. Keduanya seperti berpacu menuju ke tempat itu. Begitu tiba di depan, mereka langsung menerobos pintu gerbang yang sudah terbuka.
Di dalam perguruan itu memang sedang terjadi pertarungan yang tak seimbang. Tiga sosok tubuh yang bergerak amat cepat tengah dikeroyok puluhan orang yang bersenjata lengkap. Namun ketiga sosok bayangan itu mudah sekali menghadapi lawan-lawannya. Malah jelas terlihat kalau dalam sekejap saja, para pengeroyoknya mampu dibuat kocar-kacir. Terlihat mayat-mayat bergelimpangan da?lam keadaan mengerikan.
"Kang! Tunggu apa lagi" Mari kita bantu mere?ka. Aku sudah tak sabar lagi ingin menghajar kun?tilanak sial itu!" geram Kampanu sambil mengepalkan tangan.
"Aku merasa tak enak hati, Kampanu. Takut mereka merasa tersinggung, karena dikecilkan ka?lau mendapat bantuan dari kita...."
"Aaah! Peduli amat dengan peraturan itu. Kita punya urusan sendiri dengan kuntilanak keparat itu. Siapa yang mau bantu mereka!" dengus Kampanu.
Sudira masih ragu untuk turun membantu murid-murid Perguruan Bambu Kuning. Namun, Kam?panu terus mengajaknya. Maka mau tidak mau, dia tergugah juga.
"Baiklah. Mari kita gempur hantu jahanam itu!" dengus Sudira geram.
Sring! "Hantu-hantu keparat! Terimalah ini pembalasan kami...!"
"Yeaaa...!"
Kedua laki-laki itu sudah langsung melompat sambil menghunuskan senjata masing-masing. Su?dira langsung memainkan ilmu pedangnya yang hebat. Sementara Kampanu sudah mengeluarkan pisau terbangnya yang banyak tersimpan di balik jubahnya yang besar.
"Uts...!"
"Hup!"
"Kurang ajar! Kalian berani mampus datang ke sini!"
Salah seorang dari tiga sosok tubuh yang sedang dikeroyok itu menggeram marah ketika tenggorokannya hampir saja tersambar pisau Kampanu.
Sementara beberapa pisau lain berhasil dihindari dengan gerakan gesit oleh kedua kawannya yang lain.
? *** ? Dengan kedatangan Sudira dan Kampanu, ketiga sosok wanita itu bukannya kerepotan, tapi malah mengamuk kian hebat. Dalam beberapa gebrakan lagi korban sudah bertambah dua kali lipat.
"Hi hi hi...! Kalian akan mampus semua di tanganku! Kalian akan mampus...!"
"Yeaaa...!"
"Hiiih!"
Crab! Cres! "Aaa...!"
Pekik kematian terdengar saling sambung seiring ambruknya sosok-sosok tubuh terkena hajaran ketiga perempuan iblis itu. Tentu saja Sudira dan Kampanu semakin geram saja. Mereka langsung melesat cepat memapak serangan ketiga wanita iblis itu.
"Hiyaaat..!"
"Uts...!"
"Huh! Rupanya ada juga tikus yang berlagak seperti macan. Kalau demikian terimalah ini bagian untukmu!" dengus salah seorang perempuan yang berbaju merah sambil meluncur deras ke arah Su?dira.
Sementara pada saat yang bersamaan, sosok wanita yang berbaju putih melesat cepat ke arah Kampanu sambil melakukan serangan dengan tu?buh berputaran bagai gasing. Sedangkan yang ber?baju biru menghadapi sisa-sisa murid Perguruan Bambu Kuning yang bagai anak ayam kehilangan induk. Memang ketua mereka telah tewas sejak tadi.
Sudira terkejut bukan main melihat serangan wanita berbaju merah. Belum pernah dia melihat orang mampu bergerak secepat itu. Namun rasa gugupnya berusaha ditutupi dengan ayunan pedangnya.
Wut! Wut! Namun entah bagaimana caranya, tiba-tiba saja wanita berbaju hijau yang bernama Indrawati itu telah lenyap dari pandangan. Namun tahu-tahu Su?dira merasa punggungnya dihajar palu godam yang amat keras.
Begkh! "Aaakh!"
Sudira kontan menjerit kesakitan dengan tubuh tersungkur ke depan. Masih untung dalam keadaan demikian, dia jatuh dengan kedua kaki berpijak di tanah. Namun, sebenarnya lawan tak langsung mengejar. Indrawati tampak sudah berdiri tegak memandanginya sambil tersenyum sinis.
Baru kali ini Sudira bisa melihat jelas, siapa lawannya sebenarnya. Seorang perempuan berbaju hijau dengan rambut panjang dibiarkan lepas menutupi wajahnya.
"Setan! Apa maumu sebenarnya mengacau di sini" Kau harus tunggu giliran kalau ingin mampus!" dengus perempuan itu sinis.
"Huh! Kaulah yang akan mampus di tanganku! Dosa kalian kelewat batas. Dan untuk itu, kalian berhak mendapatkan hukuman yang setimpal!" sa?hut Sudira garang.
"Hi hi hi...! Bicaramu seperti malaikat maut. Padahal, kau tak ebih seekor tikus got yang kotor. Kau pilar, siapa dirimu berani berkata begitu di hadapanku!" dengus Indrawati.
"Kenapa tidak" Kalian telah membunuh adik kami Jaya Permana!"
"Hm.... Banyak sudah pemuda tak berguna yang harus mampus di tanganku. Dan lagi, siapa yang sudi mengingat nama adikmu. Aku tak peduli dia siapa, dan adik siapa. Yang penting, bocah itu sudah mampus. Dan sekarang, kau akan menuntut balas" Ayo, majulah! Biar sekalian menyusul adikmu di akherat sana!" tantang gadis berbaju hijau itu.
"Keparat!" maki Sudira geram mendengar kata-kata perempuan itu sama sekali tak memandang sebelah mata padanya.
Dalam Perguruan Cakar Elang yang diketuai Ki Danu Umbara, Sudira adalah salah seorang murid yang tertua. Sekaligus, putra sulung orang tua itu. Bahkan dia pun menjadi murid terpandai. Paling tidak, kepandaiannya di bawah Ki Danu Umbara satu tingkat. Sedangkan Ki Danu Umbara sendiri memiliki kepandaian yang amat disegani kalangan persilatan. Maka mendengar dirinya diremehkan begitu saja, tentu saja harga dirinya tak terima.
Sambil mendengus geram, Sudira mengeluarkan jurus ampuhnya yang bernama 'Elang Mencakar Bukit' disertai permainan pedang yang hebat luar biasa. Namun perempuan berbaju hijau itu tampak tenang-tenang saja. Bahkan sama sekali tak terkejut, melihat sambaran ujung pedang Sudira yang mengancam leher hingga pinggang
"Hm.... Hanya sebeginikah kemampuanmu untuk membalas kematian adikmu" Kau tak akan sempat menyesal sesaat lagi!" ejek Indrawati.
Apa yang dikatakan Indrawati agaknya ingin cepat dibuktikannya, maka begitu selesai berkata, dia langsung melompat menyerang dengan kecepatan bagai kilat. Namun, Sudira yang sejak tadi telah siap segera menyambut serangan dengan te?nang.
"Hiyaaa...!"
Pedang di tangan Sudira menyambar pinggang Indrawati, dan langsung kemudian meliuk cepat ke arah leher. Perempuan berbaju hijau itu memutar tubuhnya bagai gasing, kemudian meompat ke atas kepala Sudira. Namun, laki-laki itu cepat mengayunkan ujung pedangnya ke atas. Maksudnya hendak membelah tubuh perempuan berbaju hijau itu dari kepala hingga kaki.
"Hiiih!"
"Uts...!"
Tapi, kecepatan bergerak perempuan berbaju hijau itu sungguh hebat. Padahal, Sudira telah mengerahkan tenaga dalamnya sekuat mungkin agar mampu bergerak cepat. Tapi ternyata buruannya mampu meloloskan diri. Bahkan malah balas menyerang pelipis Sudira dengan satu tendangan kilat.
"Hup!"
Terpaksa Sudira membuang tubuhnya ke samping. Namun kepalan tangan perempuan itu telah menyusuli dengan kecepatan mengagumkan. Murid Ki Danu Umbara itu terkejut. Tak ada waktu lagi untuk menghindar selain mengayunkan pedangnya. Tapi tanpa persiapan matang, ayunan pedangnya sama sekali tak berarti. Tak heran kalau Indrawati berhasil menghindar ke samping sambil mengayunkan kaki pada pergelangan tangan laki-laki itu.
Tak! "Uuuh...!"
Sudira kontan mengeluh kesakitan. Pergelang?an tangannya patah, dan pedang yang tadi digenggamnya terpental jauh. Dia berusaha menyelamatkan diri dari tendangan Indrawati yang meluncur deras ke arah dada dan perut, dengan berguling-gulingan. Namun saat itu juga, terdengar Kampanu menjerit setinggi langit. Sudira terkejut sekali, dan sempat menoleh ke arah adiknya yang terlempar dalam keadaan bermandikan darah.
"Kampanu...!"
Sudira menjerit dengan suara keras melihat keadaan adiknya itu. Tapi kelengahannya itu harus dibayar mahal.
"Yeaaa...!"
Tiba-tiba saja Indrawati mengayunkan ujung kakinya dan persis menghantam tulang dada ba?gian kiri Sudira hingga melesak ke dalam.
Begkh! "Aaa...!"
Jantung Sudira pecah seketika. Laki-laki itu meraung setinggi langit, lalu ambruk di tanah. Tu?buhnya menggelepar barang sesaat.
Tapi, lawan agaknya tak sudi memberi sedikit pun kesempatan padanya. Sebelah kaki perempuan baju hijau itu meluncur deras. Langsung diinjaknya tulang leher lawannya. Tanpa dapat bersuara lagi, laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun itu langsung diam tak berkutik!
? ***

Pendekar Rajawali Sakti 123 Misteri Hantu Berkabung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

? "Huh!"
Indrawati mendengus sambil menggeram pe?lan. Kemudian kepalanya berpaling pada kedua ka?wannya. Tempat itu memang telah sepi, karena sisa-sisa murid Perguruan Bambu Kuning telah habis semua. Mayat-mayat bergelimpangan di sana-sini, menebarkan bau amis darah.
"Mereka patut menerima ini semua!" dengus salah seorang yang berbaju merah.
"Hi hi hi...! Kenapa dipersoalkan segala" Ayo, mari kita tinggalkan tempat ini!" ajak wanita yang berbaju putih bersiap-siap meninggalkan tempat itu.
Belum juga bergerak, mendadak melesat sesosok tubuh tinggi kurus yang langsung mendarat dan menghadang mereka. Kepala orang tua itu licin de?ngan kumis dan jenggot panjang telah memutih. Bajunya lebar seperti jubah dengan celana berwarna putih. Kedua tangannya terlipat di dada, dengan sebuah tongkat pendek yang terselip di ketiak. Bola mata orang tua itu amat tajam menusuk, ketika memandang ketiga perempuan berambut panjang di depannya.
"Hi hi hi...! Orang tua bau tanah! Apakah kau pun ingin turut mampus seperti mereka" Ke sinilah kau, agar kami lebih cepat mengantarkanmu ke akherat!" kata perempuan berbaju hijau dengan suara melengkmg tinggi.
"Sebenarnya aku segan memakan jantung si tua bangka ini. Tapi sikapnya itu, membuatku menjadi geram. Dikiranya dia mampu menghentikan kita!" sahut wanita yang berbaju merah.
"Sudah, jangan cerewet! Biar kupecahkan saja kepalanya!" lanjut wanita yang berbaju putih sambil melompat dengan gerakan lincah ke arah orang tua itu. Namun serangan itu berhasil dihindari dengan melenting ke belakang.
"Hup!"
"Hei! Pantas kau berani berlagak. Agaknya kau memiliki sedikit kepandaian, Tua Bangka! Baik! Terimalah hajaranku!" geram wanita berbaju putih ketika orang tua mampu menghindari serangannya.
Tubuh perempuan itu berputaran dengan ke?dua kaki terayun deras ke arah orang tua itu.
"Hiiih!"
"Uts...!"
Namun dengan gesit orang tua itu bersalto ke depan. Sedangkan wanita berbaju putih itu terus mengejar dengan penasaran. Alangkah terkejutnya perempuan berbaju putih itu, ketika tiba-tiba orang tua lawannya melakukan serangan balik. Tongkat pendek di tangannya menghajar ke arah muka dan pinggang dengan kecepatan sulit diikuti mata. Akibatnya....
"Yeaaa...!"
Desss! "Uuuh...!"
"Rasakan! Berani menganggapku rendah, he"!" desis orang tua itu garang setelah berhasil menyarangkan pukulan telak ke perut gadis berbaju putih.
Perempuan berbaju putih yang tak lain Nilam itu menjerit kesakitan. Tubuhnya segera meompat ke belakang, sambil bersalto indah. Mukanya tam?pak berang merasakan akibat pukulan lawan. Sama sekali tak diduga kalau permainan tongkat orang tua itu demikian cepat, mengandung tenaga dalam kuat. Bahkan Nilam sampai jungkir balik menghindarinya.
"Orang tua, siapa kau sebenarnya"!" bentak Nilam garang, begitu punya kesempatan.
"Untuk apa tanya-tanya segala" Kuntilanak seperti kalian sudah sepatutnya mampus. Aku akan menuntut balas atas kematian dua cucuku di tangan kalian!"
"Keparat! Kau pikir sudah hebat mampu berbuat seperti itu padaku" Huh! Rasakan seranganku!"
Pada saat itu juga Nilam langsung melompat menyerang si orang tua itu dengan gerakan gesit. Namun pada saat yang sama, dua kawannya pun ikut melompat membantunya.
"Nilam! Tanganku jadi gatal melihat kesombongan tua bangka ini! Biarlah aku pun ikut ambil bagian!" kata Sukesih yang berbaju merah.
"Hi hi hi...! Hitung-hitung, aku ikut mencicipi. Apakah biji mata si tua bangka itu masih terasa gurih!" sahut Indrawati yang berbaju hijau sambil ketawa nyaring.
"Bagus! Kenapa tak sejak tadi kalian maju berbarengan! Lebih cepat kalian maju bersama, lebih cepat mampus!" dengus orang tua itu sambil memuter tongkat dan bersiap menyambut serangan lawan.
"Shiiih...!"
"Uts!"
Bersamaan dengan tongkat di tangan orang tua itu menghajar ketiga lawannya berbarengan, tiga wanita iblis itu langsung melompat ke atas, mereka segera membuat susunan serangan yang rapi. Sukesih berada di atas, Nilam di bawah, sedangkan Indrawati menyerang bagian tengah.
Mendapat tekanan demikian berat, orang tua itu terlihat mulai kerepotan. Dalam sekejap saja, serangan-serangannya selalu kandas. Dia hanya mampu bertahan kurang dari lima jurus. Dan selanjutnya, orang tua itu menjadi bulan-bulanan se?rangan tiga wanita iblis yang tak memberi kesempatan sedikit pun padanya. Kedudukan orang tua itu semakin terjepit dan ruang geraknya semakin sulit. Permainan tongkatnya, kini tak terkembang sedikit pun. Sekali dia menyerang salah seorang, maka dua lawan yang lain secara bersamaan me?nyerang. Terpaksa perhatiannya dialihkan untuk menghalau mereka. Namun dengan begitu, dia sama saja memberi kesempatan pada seorang yang didesaknya tadi untuk menyerang.
Sukesih membentak, ketika tubuhnya melom?pat ke atas untuk menghindari ujung tongkat lawan.
Langsung dilepaskannya pukulan yang mengeluarkan sinar putih dan berbau busuk.
"Lepas!"
Orang tua itu terkejut sambil menutup pemapasannya. Tubuhnya melompat ke samping kiri, na?mun Nilam telah menantinya dengan kepalan ta?ngan yang meluncur deras. Tak ada pilihan lain, selain menangkis. Namun sebelum sempat menang?kis, terjadi satu tendangan yang dilakukan perem?puan berbaju merah menghantam telak tulang pinggangnya.
Begkh! "Aaakh...!"
Orang tua itu kontan mengeluh kesakitan. Tu?buhnya terjungkal, namun berusaha mengendalikan diri. Pada saat itulah satu hantaman telak dari Nilam yang telah menunggunya, sehingga tak bisa dielakkan.
Bresss! Tangan kanan perempuan berbaju putih itu cepat menyambar tulang dada di bagian kiri. Se?mentara orang tua itu hanya menjerit sesaat. Tubuhnya ambruk dalam keadaan bermandikan darah, mati. Sedangkan perempuan berbaju putih itu dengan rakus melahap jantung orang tua itu yang sudah tercekal.
"Sudah! Mari kita tinggalkan tempat ini!" ajak Sukesih yang berbaju merah sambil melompat. Seketika tubuh mereka melayang meninggalkan tempat itu.
? *** Pendekar Rajawali Sakti
Notes by Pendekar Rajawali Sakti
s ? 2017 " . 123. Misteri Hantu Berkabung Bag. 7
14. September 2014 um 09:19
7 ? ? Di Desa Sukaharja, siang ini penduduk tengah melakukan kegiatan seperti biasa. Desa yang letaknya tak jauh dari ibukota kerajaan itu memang ramai. Sebagian besar penduduknya hidup berdagang. Hanya sebagian kecil saja yang hidup sebagai petani. Dan mereka tinggal di pinggiran, jauh dari keramaian. Tempat ini sendiri sebenarnya tak layak disebut desa. Sebab, keramaiannya hampir menyamai ibukota kerajaan. Dan di tempat ini pula Adipati Dungkur dipercaya untuk mengendalikan pemerintahan.
Kini kegembiraan tengah melingkupi di kediaman Adipab Dungkur. Adipati yang selalu ramah itu telah mempersunting Putri Kemuning Sari dari Kerajaan Blambangan.
Suasana belum lagi larut malam. Beberapa orang masih lalu-lalang di luar kediaman adipati itu. Bahkan beberapa rumah penginapan masih terus buka bersama beberapa kedai makan. Namun, di tempat kediaman Adipati Dungkur yang baru saja ada keramaian, kini tampak sepi. Tampak beberapa penjaga berdiri di depan pintu serta pekarangan rumahnya. Beberapa hari beakangan ini, memang tak ada kegiatan berarti yang mereka lakukan. Seperti ada kata sepakat kalau junjungan mereka tengah berbulan madu, meski tak pergi ke mana-mana.
"Gusti Adipati sungguh beruntung dapat mempersunting Kanjeng Putri Kemuning. Padahal, ba?nyak raja dan pangeran yang telah melamar. Na?mun, semuanya ditolak," kata seorang pengawal yang berdiri di depan pintu gerbang.
"Ya! Putri Kemuning Sari memang cantik seka?li. Tetapi, beliaulah yang justru merasa beruntung karena mendapatkan Kanjeng Adipati," sahut ka?wannya.
"Lho" Mana bisa begitu" Coba kalau Putri Ke?muning Sari yang mendapatkan dirimu, mana bisa dikatakan beruntung!" bantah kawannya.
"Heh! Yang kita bicarakan ini Kanjeng Gusti Adipati. Beliau gagah dan tampan. Kepandaiannya hebat, dan semua orang segan kepadanya. Bahkan Kanjeng Gust Prabu sendiri sungkan dengan be?liau. Nah! Apa itu bukan keberuntungan bagi Kan?jeng Putri Kemuning dapat dipersunting beliau" Padahal, selama ini banyak gadis yang suka, tapi ditolak secara halus oleh Kanjeng Adipati...."
"Huh! Kau ini bicara tak mau kalah. Ya, Kan?jeng Adipati yang beruntung. Wong sudah jelas, kok!"
Kawannya yang memang tak mau kalah malah cekikikan.
"Ya! Kalau begitu supaya adil, dua-duanya saja yang beruntung. Wong mereka pasangan yang cocok dan pantas!"
"Semprul. Dasar mau menang sendiri!"
Kawannya itu terkekeh. Tapi mendadak...
Bruakkkk! Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara keras dari balik jendela yang berada persis di luar kamar Kanjeng Adipati. Dan sebentar kemudian....
"Aaakh...!"
Terdengar suara jerit kesakitan dari dalam ka?mar itu.
"Wah! Apa itu" Ayo, cepat kita periksa!" kata salah seorang sambil berlari kencang mendekat. Sementara kawannya menyusul dari belakang de?ngan celana kedodoran.
'Tunggu, Min!"
"Cepaaat..!"
"Apa itu"!"
"Apa yang terjadi"!"
"Celaka! Ada pengacau! Panggil yang lain!" seru kawannya lagi.
Dalam sekejap saja, rumah adipati itu kacau-balau diselingi teriakan-teriakan para pengawal yang berhamburan ke kamar Adipati Dungkur. Na?mun, alangkah kagetnya ketika mereka melihat apa yang telah terjadi di tempat itu. Kamar Adipati Dungkur hancur berantakan dan dindingnya jebol. Sementara Putri Kemuning Sari tergeletak di atas tempat tidur dalam keadaan berlumuran darah. Sedangkan sang Adipati sendiri terlihat tengah bertarung melawan tiga orang yang mendesaknya de?ngan hebat.
"Kurang ajar! Tangkap ketiga pengacau itu!"
"Bunuh mereka!"
"Yeaaa...!"
Melihat apa yang terjadi, kemarahan para pengawal kadipaten tak dapat dibendung lagi. Tanpa diperintah dua kali, mereka langsung menyerbu ke?tiga pengeroyok Adipati Dungkur dengan amarah meluap-luap.
"Kecoa-kecoa busuk, tak ada gunanya kalian hidup! Mampuslah kalian semua. Hiiih!"
Begkh! Des! "Aaa...!"
Terdengar teriakan menyayat ketika tiga orang yang mengeroyok adipati itu membantai para pe?ngawal.
"Hi hi hi..! Majulah kalian semua! Ayo maju kemari. Biar lebih mudah aku memecahkan batok kepala kalian!"
? *** ? Ketiga sosok yang malam-malam menyatroni kediaman Adipati Dungkur tak lain adalah tiga pe?rempuan berambut panjang yang selama ini selalu menghantui setiap orang di berbagai tempat. Dan kini mereka menyatroni kadipaten. Padahal, selama ini daerah itu tabu diinjak penjahat mana pun. Bisa dimengerti, karena tempat itu selalu dipenuhi prajurit pilihan yang banyak jumlahnya.
Maka dengan kejadian ini adalah suatu perbuatan gegabah yang dilakukan ketiga perempuan iblis itu. Bahkan mereka berani membunuh istri sang Adipati. Tak pelak lagi, begitu mendengar keributan yang terjadi di kadipaten, kentongan berbunyi bertalu-talu. Semua penduduk keluar dari ru?mah masing-masing, dan bergegas menuju ke?diaman Adipati Dungkur.
Sementara itu, para pengawal kadipaten beramai-ramai menyerang ketiga wanita iblis itu. Maka pertarungan pun jadi berubah seru sekaligus tak seimbang. Namun ketiga perempuan itu memang ti?dak bisa dianggap sembarangan. ilmu silat mereka sangat sulit dicari bandingannya. Bahkan dalam sekejap saja, beberapa orang pengawal kadipaten tewas dalam keadaan mengerikan. Namun, hal itu tak membuat surut yang lain. Mereka malah mengamuk kian menjadi-jadi. Beberapa orang pen?duduk yang menonton kejadian, dan memiliki sedikit keberanian serta ilmu silat lumayan, sudah langsung menceburkan diri dalam kancah pertarungan. Mereka langsung menghajar ketiga pengacau itu.
Adipati Dungkur sendiri menyadari kalau ketiga lawannya bukanlah orang sembarangan. Hatinya memang menyimpan dendam dan amarah meluap-luap. Apalagi, mereka telah membinasakan istrinya. Tapi, dia bisa berpikir tenang dan menyadari ketika semakin banyak korban yang berjatuhan.
"Hei, kalian! Pergilah ke kerajaan. Kirimkan prajurit-prajurit tangguh ke sini, beserta panglima! Ketiga pengacau ini agaknya tak bisa dianggap enteng!" teriak Adipati Dungkur.
'Tapi, Kanjeng Gusti..." Salah seorang tak tega melihat adipati itu menghadapi ketiga wanita iblis ini.
"Jangan pikirkan aku! Ayo, cepat kalian pergi!"
"Baiklah...."
"Hi hi hi...! Mau coba-coba pergi dari hadapanku. Jangan harap! Kau akan mampus lebih dulu!" ancam salah seorang perempuan berbaju merah. Dia langsung melompat ringan ke arah tiga orang pengawal yang akan berlari ke arah tempat penyimpan kuda
"Iblis keparat! Jangan harap kau bisa berbuat sesuka hatimu di tempatku ini!" bentak sang Adipati melindungi para pengawalnya. Perempuan berbaju merah itu langsung diserang dengan tombaknya.
"Hiiih!"
Adipati Dungkur memang sangat ahli memainkan tombak. Dan itu terlihat saat mulai mendesak lawan. Tombak di tangannya bisa menjadi benteng yang sulit ditembus, kalau sudah diputar sedemikian rupa. Namun dalam sekejap mata, tombak itu akan menjadi senjata pembunuh yang menakutkan.
Namun sebenarnya itu tidak berarti banyak bagi perempuan yang berbaju merah itu. Wanita iblis ini mampu bergerak lebih cepat daripada putaran tombak adipati itu. Kalau saja para penga?walnya tak ikut mengeroyok perempuan bernama Sukesih ini, niscaya sejak tadi sang Adipati sendiri akan mudah dijatuhkan.
Apalagi, pertarungan itu dibantu penduduk yang berani mengorbankan nyawa demi keselamatan sang Adipatinya. Jelas hal itu semakin mempersulit gerakan Sukesih untuk secepatnya menghabisi lawannya. Sementara, kedudukan kedua kawannya yang bernama Indrawati dan Nilam juga tak kalah seru. Mereka pun harus menghadapi keroyokan yang luar biasa banyaknya.
Kenyataan seperti itulah yang membuat Adipati Dungkur terharu melihat pengorbanan mereka. Para penduduk dan prajurit bukanlah tandingan iblis iblis itu. Meski jumlah mereka terus bertambah, namun yang menjadi korban pun semakin bertam?bah banyak pula. Ketiga perempuan itu betul-betul berhati iblis, karena tak segan-segan lagi menggunakan pukulan mautnya. Sehingga, kebanyakan dari korbannya, tewas dalam keadaan mengerikan. Bau busuk dan anyir darah mulai mewarnai tempat itu.
"Hi hi hi...! Hari ini adalah hari pembalasan dari apa yang pernah mereka lakukan terhadap kita!" teriak Nilam sambil ketawa cekikikan.
"Mereka akan menanggung akibatnya sekarang! Hi hi hi...! Ayo, ke sinilah kalian cepat agar aku segera mengirimmu ke neraka!" sahut Indra?wati tak kalah nyaring.
"Hi hi hi...! Puaskanlah hati kalian. Hari ini ada?lah kemenangan bagi kita. Biar mereka rasakan, bagaimana sakit dan terhinanya menjadi orang terbuang. Mereka akan merasakannya! Mereka akan merasakannya! Ha ha ha...!" sambung Suke?sih sambil bergerak cepat, membuat beberapa lompatan. Kemudian diterjangnya Adipati Dungkur.
"Hup!"
Adipati itu terkejut, dan buru-buru mengayun?kan tongkatnya. Namun ringan bagai sehelai daun kering, tubuh Sukesih melompat ke atas sambil mengayunkan kepalan tangan kanan ke batok ke?pala. Buru-buru Adipati Dungkur mengibaskan tongkatnya ke atas. Namun, ternyata itu hanya tipuan belaka. Sebab, perempuan itu cepat menarik tangannya. Dan bersamaan dengan itu, satu ten?dangan kuat diayunkan ke dada adipati. Bukan main terkejutnya Adipati Dungkur, dan buru-buru menjatuhkan diri sambil melompat ke belakang. Namun....
Plak! Begkh! Tak urung tendangan Sukesih masih mengenai dada adipati itu dengan telak. Tubuh Adipati Dung?kur kontan terjungkal ke belakang sambil menjerit keras. Dan sebelum tubuhnya menyentuh tanah, Sukesih telah melompat menyerang. Sementara para pengawal terkejut setengah mati. Gerakan perempuan itu cepat sekali. Dan rasanya, tak ada waktu untuk menyelamatkan sang Adipati.
Namun pada saat-saat yang gawat itu, mendadak...
"Hiyaaa...!"
Tiba-tiba melesat sebuah bayangan putih yang hendak memapak serangan Sukesih pada adipati itu.
"Heh"!"
? *** ? Perempuan berbaju merah itu terkejut setengah mati. Buru-buru dia melompat ke atas sambil mem?buat gerakan bersalto. Maka, selamatlah adipati itu dari kematian. Sementara serangan bayangan putih itu juga tidak menemui sasaran. Meskipun tanpa menoleh, namun agaknya Sukesih bisa merasakan lewat angin serangah kalau bayangan yang baru datang ini bukanlah orang sembarangan.
Dan baru saja Sukesih mendarat di tanah. Mendadak bayangan putih yang baru datang itu terus mengejarnya. Gerakannya cepat bukan main, se?hingga membuatnya terkejut setengah mati.
"Uuuh...!"
"Hiiih!"
Sosok yang baru datang itu terus mendesak, seolah tak memberi sedikit pun kesempatan pada perempuan iblis berbaju merah itu untuk memperbaiki keadaan. Bukan main terkejutnya Sukesih. Selama malang melintang, belum pernah dia menemukan lawan yang mampu menandingi kecepatan gerakannya. Tetapi, lawannya yang satu ini pun bukan saja mampu menandinginya. Bahkan mam?pu mengatasinya. Lagi pula, tenaga dalamnya sangat kuat. Dan itu terasa betul dari angin serangannya yang mendesir kencang terasa menghantam kulit tubuhnya.
"Yeaaa...!"
Sukesih yang dikenal sebagai wanita iblis itu agaknya geram betul melihat keadaan ini. Dalam satu kesempatan baik, dilepaskannya pukulan maut yang memancarkan selarik sinar putih menerpa sosok bayangan putih tadi. Seketika itu juga, tercium bau busuk yang memusingkan kepala akibat pukulan yang dilepaskannya.
"Mampus!" desis Sukesih geram.
"Hups!"
Namun dengan gerakan yang tak kalah gesit, sosok bayangan putih itu berhasil menghindari diri dari pukulan maut Sukesih. Tubuhnya langsung melompat ke samping. Sementara perempuan iblis berbaju merah itu tegak berdiri untuk melihat siapa penyerang gelapnya tadi.
Di depannya pada jarak dua tombak, berdiri seorang pemuda berwajah tampan dengan rambut panjang terurai. Di balik punggungnya bertengger sebatang pedang bergagang kepala burung. Badannya yang tegap, hanya mengenakan baju rompi putih. Sementara tak jauh di dekatnya, terlihat seorang gadis berwajah cantik. Dia tampak masih tenang di atas punggung kudanya yang berbulu putih. Di sebelah gadis itu, terlihat seekor kuda hitam tanpa penunggang. Sepintas saja Sukesih bisa menduga kalau pemuda yang memakai rompi putih ini datang bersama gadis itu.
"Hm, bagus! Siapa namanu, Bocah Bagus" Hebat juga kepandaianmu. Tapi sayang, kau akan mampus sesaat lagi. Kau telah berani mencampuri urusanku!" dengus Sukesih.
Pemuda itu tersenyum dingin.
"He"! Bukankah pemuda itu Pendekar Rajawali Sakti?" tiba-tiba sebuah suara mengenali sosok pemuda tampan berbaju rompi putih itu.
"Betul! Aku pernah mengenalinya. Dia me?mang Pendekar Rajawali Sakti!" sahut yang lain. Kebetulan, mereka yang membicarakan Pendekar Rajawai Sakti telah lelah, sehabis ikut mengeroyok tiga wanita iblis itu.
"Huh! Kali ini hantu betina itu akan ketemu batunya!" dengus beberapa orang dengan suara geram.
Mendengar suara-suara itu, tahulah Sukesih siapa orang yang berdiri di hadapannya. Dia mendengus sinis dengan sikap memandang enteng.
"Hm. Jadi kau yang berjuluk Pendekar Raja?wali Sakti" Bagus, tak susah payah lagi aku mencarimu!"
"Nisanak! Menyerahlah. Perbuatan kalian telah kelewat batas. Tak ada jalan keluar lagi bagi kalian dari tempat ini!" kata Pendekar Rajawah Sakti, dingin.
"Kurang ajar! Kau pikir siapa dirimu berani berkata begitu" Setan sekalipun tak akan berani bicara begitu padaku."
"Aku memang bukan setan. Tapi, malaikat maut!" dengus Rangga mulai geram.
"Keparat! Kau pikir dirimu sudah hebat tak terkalahkan, sehingga berani bicara begitu di depanku" Rasakan ini hajaranku!"
Selesai berkata demikian, tubuh Sukesih melesat ke arah Pendekar Rajawali Sakti dengan satu serangan bertenaga dalam tinggi.
"Pandan Wangi! Kau bantu yang lain! Biar iblis betina ini menjadi bagianku!" teriak Rangga sambil melompat cepat, menghindari serangan lawan.
"Jangan khawatir, Kakang! Akan kuhajar mere?ka!"
"Hi hi hi...! Kekasihmu itu boleh saja berkata sembarangan. Tapi, dia akan mampus di tangan kawan-kawanku!" ejek Sukesih.
"Siapa bilang begitu" Kalian telah terkepung, dan tak bisa ke mana-mana. Keadaan kalian telah terpojok. Maka tak ada jalan lagi selain menyerah atau mampus!" sahut Rangga balik mengejek.
"Huh, banyak mulut! Mampuslah kau!"
"Uts! ? *** Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 " . 123. Misteri Hantu Berkabung Bag. 8 (Selesai)
14. September 2014 um 09:20
8 ? ? Pertarungan antara Pendekar Rajawali Sakti dengan satu dari tiga iblis betina itu kembali berlangsung cepat dan seru. Perempuan berbaju me?rah itu agaknya bernafsu sekali untuk menjatuhkan Pendekar Rajawali Sakti secepatnya. Namun, agak?nya itu tak mudah dilakukan, karena yang tengah dihadapi kali ini bukanlah tokoh sembarangan.
Sukesih sendiri baru mengenal Pendekar Raja?wali Sakti. Dia merasa tergelitik untuk menjajal ke?pandaian pemuda ini. Dan, baru sekarang inilah niatnya bisa terwujud. Dalam benaknya, pastilah ucapan setiap tokoh persilatan tentang Pendekar Rajawali Sakti hanyalah ucapan kosong belaka. Tapi setelah berhadapan langsung dengan orangnya, perempuan iblis berbaju merah itu terpaksa gigit jari. Bahkan diam-diam mengeluh di hati.
Pemuda ini memang bukan orang sembarang?an dan tak bisa dianggap enteng. Padahal, selama ini dia menganggap kalau ilmu meringankan tubuh?nya sudah sangat sempurna. Bahkan kecepatan bergeraknya pun sudah jauh melebihi rata-rata tokoh persilatan. Tapi, siapa sangka kalau pemuda ini mampu mengimbanginya tanpa mengalami kesulitan"
"Hiyaaa...!"
Plas! "Uuuh...!"
Beberapa kali Pendekar Rajawali Sakti terpaksa memindahkan pernapasannya ke perut ketika Su?kesih melepaskan pukulan maut yang berupa sinar putih berbau busuk. Bahkan beberapa orang pe?ngawal dan penduduk setempat yang tadi menyaksikan pertarungan, mulai menyingkir agak jauh.
Pukulan wanita iblis berambut putih itu bukan saja mampu membuat seseorang yang berada di dekatnya tak sadarkan diri. Namun kalau sampai terkena, pasti akan mati. Hal itu terbukti dari be?berapa buah pohon serta tembok bangunan yang hancur berkeping-keping, tersambar pukulan maut itu. Dan ini semakin membuat yang lain menjadi was-was saja.
"Nisanak, pukulanmu sangat keji! Memang pantas kalau kau mendapat julukan iblis!"
"Hi hi hi...! Sekarang baru kau rasakan, bukan" Nah! Serahkan saja kepalamu, dan jangan coba-coba melawan!"
Pendekar Rajawali Sakti sedikit menarik sudut bibirnya, memberi senyum sinis.
"Kau terlalu sombong! Aku belum selesai bica?ra. Maksudku, kau pantas mendapat julukan iblis. Tapi sayang, aku dilahirkan untuk memberantas iblis!" ejek Pendekar Rajawali Sakti.
"Huh, kurang ajar!"
Pendekar Rajawali Sakti tertawa sambil melom?pat ke atas ketika kepalan tangan Sukesih menderu ke arah dadanya. Tapi wanita iblis itu ternyata tak berhenti sampai di situ. Ketika sebelah kakinya menyentuh tanah, saat itu pula tubuhnya melenting ke atas. Dan dia segera mendarat di belakang Pen?dekar Rajawali Sakti. Namun Rangga telah lebih dulu berbalik seraya mengayunkan kepalan tangan kanan ke arah wajah.
"Hiiih!"
"Uuuh...!"
"Yeaaa...!"
Perempuan iblis berbaju merah itu melenting ke belakang untuk menghindari serangan Pendekar Rajawali Sakti. Namun, Rangga memang telah menduga, maka secara hampir bersamaan dengan serangan pertamanya, tubuhnya pun langsung mencelat mengikuti gerakan Sukesih. Langsung di-serangnya wanita itu.
Perempuan iblis berbaju merah itu terkejut kaget. Serangan Pendekar Rajawali Sakti yang dikerahkan lewat tenaga dalam kuat, bisa saja ditangkisnya. Tapi dalam keadaan tak siap begitu, jelas akan mencelakakan dirinya. Tentu saja hal ini semakin merepotkan. Maka seketika Sukesih men celat mundur. Namun dia jadi terdesak di sudut tembok luar bangunan kadipaten. Padahal saat itu Pendekar Rajawali Sakti kembali melancarkan se?rangan susulan, dan telah menutup semua jalan ke luar untuk menghindar. Maka mau tak mau di?tangkisnya serangan itu.
Plak! "Aaakh...!"
Wanita iblis berbaju merah itu menjerit kesakit?an, ketika sebelah tangannya beradu dengan ta?ngan Pendekar Rajawali Sakti. Dan Rangga tak ber?henti sampai di situ. Kepalan tangan kanannya telah dipersiapkan melakukan serangan susulan yang tak terduga sama sekali. Begitu cepat gerakan Pen?dekar Rajawali Sakti, sehingga....
Begkh! "Aaakh...!"
Sukesih kembali memekik kesakitan, ketika da?danya terhantam tangan kanan Pendekar Rajawali Sakti.
Tubuh perempuan itu terlempar beberapa langkah. Cepat di bangkit dan mempersiapkan diri.
Sementara Pendekar Rajawali Sakti telah melesat cepat dengan serangan berikut. Bukan main terkejutnya perempuan itu. Tak ada waktu lagi baginya untuk menangkis, selain menghindari dengan berguling-gulingan di tanah.
"Yeaaa...!"
Pendekar Rajawali Sakti membentak. Dia membuat beberapa lompatan salto dengan kaki dan tangan bergantian menyentuh tanah untuk menge?jar lawan. Meskipun perempuan iblis berbaju merah itu sesekali mengayunkan tendangan menyapu ba?gian bawah pertahanannya, namun tubuh Pendekar Rajawali Sakti cepat melenting dengan ringan.
Dan itu memang digunakan Sukesih untuk mempersiapkan diri. Begitu Pendekar Rajawali Sak?ti melompat menghindari serangan-serangannya, saat itu pula dilepaskannya pukulan mautnya, tepat ketika tubuh pemuda itu tengah melayang ke arahnya. Seketika melesat sinar putih dari tangan pe?rempuan iblis itu.
Namun, ternyata perhitungannya meleset. Ka?rena saat itu pula, Pendekar Rajawali Sakti telah menyiapkan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali Sakti'. Langsung dipapaknya sinar putih itu.
"Hiyaaa...!"
Seketika dari tangan Pendekar Rajawah Sakti meluncur sinar merah, ke arah sinar putih yang datang ke arahnya. Dan...
Glarrr! "Aaakh...!"
? *** ? Perempuan berbaju merah itu menjerit pelan ketika tubuhnya terlempar ke belakang dalam ke adaan hangus. Nyawa telah melayang sebelum tu?buhnya menyentuh tanah. Memang sama sekali dia lupa kalau tenaga dalam Pendekar Rajawali Sakri lebih kuat dibanding dirinya sendiri. Dan itu berarti pukulan lawan lebih kuat dan mampu menekan pukulannya. Tak heran ketika sinar merah dari Pen?dekar Rajawali Sakti menderu menghantam sinar putih lawan, pukulan jarak jauh itu terus menderu menghantam Sukesih yang tak bisa mengelak lagi.
Semua yang melihat pertarungan mendecak kagum dengan mata terbelalak dan gelengan kepa?la. Pendekar Rajawali Sakti sendiri masih tegak berdiri sambil memandang lawannya yang telah menghitam gosong. Kemudian pandangannya dialihkan pada pertarungan lain. Pandan Wangi sendiri tampaknya tengah mendesak lawan yang berbaju hijau.
Sementara itu Pendekar Rajawali Sakti juga melihat, seorang berbaju putih tengah mengamuk sejadi-jadinya pada pengeroyok. Kematian yang dialami kawannya yang berbaju merah, ternyata tak mengendurkan semangatnya. Sehingga, banyak korban yang kembali berjatuhan di tangannya. Tentu saja hal ini tak bisa dibiarkan begitu saja. Ma?ka Rangga segera melesat untuk mencegahnya.
"Hentikan, Iblis Betina! Mereka bukan lawanmu!" bentak Pendekar Rajawali Sakti keras.
"Huh! Kalau begitu, kaulah lawanku. Nah, mampuslah kau!"
"Uts!"
Pendekar Rajawali Sakti cepat menghindar ketika tiba-tiba perempuan berbaju putih yang bernama Nilam itu menyerang gencar ke arahnya. Tubuhnya meliuk-liuk mempergunakan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib' menghindari serangan. Se?hingga, semakin membuat penasaran lawannya.
'Tak ada jalan lagi untuk meloloskan diri. Menyerahlah. Dan, bertobatlah selagi nyawa melekat di tubuh."
"Phuih! Tutup mulutmu! Aku lebih suka mati ketimbang menuruti ucapanmu itu."
"Hm... Kalau memang yang menjadi pilihanmu, baiklah...," Pendekar Rajawali Sake menggeram.
Dalam sekejap saja Pendekar Rajawali Sakti bisa merasakan kalau ilmu silat perempuan iblis berbaju putih ini tak berada di atas kawannya yang berbaju merah tadi. Bahkan kalau diamat-amati le?bih lanjut, gerakannya tak secepat kawannya. Na?mun ada hal yang patut diwaspadai, yaitu tenaga dalamnya yang lebih kuat. Dan, Pendekar Rajawali Sakti sendiri masih bisa merasakan kalau kekuatan tenaga dalam wanita ini masih di bawahnya.
Sementara itu, pertarungan antara Pandan Wangi dan wanita berbaju hijau yang bernama Indrawati berlangsung a lot. Beberapa para pengeroyok perempuan berambut panjang itu sudah sejak tadi menyingkir. Mereka membuat pagar betis pada jarak tiga tombak dari pertarungan kedua tokoh itu. Bahkan kadang-kadang lebih lebar lagi, jika pertarungan memerlukan ruang gerak yang lebih luas.
Pandan Wangi sedikit kaget ketika melihat wa?nita berbaju hijau itu telah mulai menggunakan pu?kulan mautnya. Terpaksa lubang hidungnya ditutup rapat-rapat untuk menghindari bau busuk yang menyengat, ketika sinar merah itu nyaris menyambar tubuhnya.
Itu memang tak diperhitungkan. Dalam ke?adaan yang terdesak oleh serangan Kipas Maut?nya, wanita berbaju hijau itu tiba-tiba saja melepaskan pukulan maut dari jarak dekat. Masih untung Pandan Wangi mampu menghindar cepat dengan melenting ke udara.
"Sial! Kau akan merasakan hajaranku kini!" de?ngus Pandan Wangi begitu mendarat, seraya mencabut Pedang Naga Geni.
Sring! "Yeaaa...!"
"Hi hi hi...." Kenapa tak kau keluarkan seluruh senjatamu untuk menghadapiku" Ayo, keluarkanlah. Jangan sampai kau mampus di tanganku!" ejek Indrawati sambil tertawa cekikikan.
"Huh! Rasakanlah ini!" dengus Pandan Wangi semakin geram.
Wut! Wut! "Heh"!"
Bukan main terkejutnya perempuan berbaju hijau itu ketika pedang di tangan Pandan Wangi menyambar-nyambar ke arahnya. Bukan sekadar serangan gencar yang dilakukan si Kipas Maut itu, melainkan pedang bergagang kepala naga itu mengeluarkan lidah api yang mampu menyambar pada jarak cukup jauh. Tentu saja hal itu membuat Indrawati sedikit kalut. Sementara Pandan Wangi seperti tak ingin memberi kesempatan sedikit pun. Lawannya terus diserang seperti tak henti-hentinya.
"Hiyaaat...!"
"Uuuh...!"
Dalam keadaan terdesak begitu, perempuan berbaju hijau ini mendadak terkejut oleh ...
"Aaa...!"
Cepat Indrawati berpaling ketika mendengar jeritan kawannya.
"Nilaaam! Keparat! Kubunuh kau! Kubunuh kau...! Yeaaa...!"
*** Perempuan berbaju putih yang tadi berhadapan dengan Pendekar Rajawali Sakti terlempar sam?bil mengeluarkan pekik panjang sesaat. Tubuhnya hangus seperti terbakar, lalu jatuh ke tanah sudah tak bernyawa lagi.
Itulah yang membuat wanita iblis berbaju hijau itu terkejut dan panik. Dengan kemarahan yang meluap-luap, dia melompat hendak menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Namun kelengahan itu ternyata membawa akibat buruk. Sepertinya dia tak sadar kalau saat itu Pandan Wangi tengah melancarkan serangan. Sehingga"
Brettt! "Aaakh...!"
Tak pelak lagi! Ujung pedang Pandan Wangi menghajar telak dada dan perut perempuan itu. Indrawati kontan memekik kesakitan, dengan tu?buhnya terjungkal ke tanah.
Indrawati berusaha bangkit dengan tertatih-tatih. Namun baru saja kepalanya mendongak ke atas, ujung pedang Pandan Wangi telah mengancam tenggorokannya.
"Jangan coba-coba atau kau akan mampus saat ini juga!" ancam Pandan Wangi.
Indrawati menghela napas pendek dan tersengal. Matanya melirik sekilas ke arah Pendekar Rajawali Sakti yang berdiri di sebelah Pandan Wangi. Sorot matanya tampak menyiratkan penuh kebencian. Dan ketika dia berusaha meludahi pe?muda itu, Pandan Wangi mendekatkan ujung pedangnya ke leher perempuan berbaju hijau itu.
"Aaakh...!"
Indrawati kontan menjerit kesakitan ketika merasakan panas yang luar biasa begitu lehernya tersentuh pedang si Kipas Maut.


Pendekar Rajawali Sakti 123 Misteri Hantu Berkabung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jangan berbuat macam-macam, karena aku tak akan main-main dengan ancamanku ini!" desis Pandan Wangi mengulangi ancamannya.
"Phuih! Lakukanlah Apa kau pikir aku takut mati"!"
"Kenapa kau lakukan semua ini. Padahal, kau bisa bertobat sambil menjalani hukumanmu?"
"Huh, apa urusanmu"!"
"Anggap saja aku sahabatmu. Korbanmu selalu laki-laki. Apa yang membuat kalian merasa dendam pada laki-laki?"
"Huh! Mereka makhluk keparat yang harus dimusnahkan!"
"Hm.... Kau tentu tak bisa berkata begitu. Kau bukanlah dewata yang mampu melaksanakan ke hendaknya."
"Kenapa tidak" Peduli apa dengan segala de?wata. Itu hanya omong kosong. Ke mana mereka pada saat kami membutuhkannya" Ke mana mere?ka pada saat laki-laki itu menghancurkan hati kami" Ke mana mereka pada saat harga diri kami hancur"l"
Pandan Wangi terdiam. Dia memang tak bisa membayangkan, apa yang telah mereka alami. Namun naluri kewanitaannya bisa merasakan kepedihan yang amat sangat di hati perempuan berbaju hijau itu.
"Berbulan-bulan kami mencari seorang guru yang hebat, sampai akhirnya menemukan sebuah goa di dasar jurang yang di dalamnya berisi pelajaran ilmu silat. Akhirnya, kami mempelajari ilmu itu selama ini. Ilmu silat itu cocok sekali, dan se?makin menambah semangat kami untuk menghancurkan kaum laki-laki. Tapi..., lesu terdengar suara perempuan itu ketika menghentikan ceritanya.
"Ada hal yang tak kalian pikirkan, karena diatas langit masih ada langit..."
Perempuan berbaju hijau itu tak menyahut. Ke?palanya ditundukkan dalam-dalam.
"Dan kini hidupku semakin tak berguna...."
Pandan Wangi baru saja akan membujuk pe?rempuan itu, ketika kepalanya terdongak ke atas. Namun mendadak...
Crab! "Aaa...!"
"Heh"!"
Semua orang yang menyaksikan terkejut kaget. Tak disangka-sangka Indrawati mengakhiri hidupnya dengan membenamkan tenggorokannya ke da?lam ujung pedang Pandan Wangi yang masih mengancam. Pandan Wangi sendiri ikut terkejut. Sungguh tak disangka kalau bekas lawannya ini mampu melakukannya. Buru-buru pedangnya dicabut. Namun, nyawa perempuan itu tak tertolong lagi. Dia masih sempat memandang Pandan Wangi sambil tersenyum kecil, kemudian diam tak berge?rak! Darah kontan membasahi tanah
? *** ? Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan Wangi masih diam membisu di atas punggung kuda. Semua orang yang ada di situ terpaku. Entah mereka harus bicara apa. Yang jelas, apa yang dialami ketiga wanita iblis itu memang patut diambil hikmahnya.
? SELESAI ? ? ? ? Scan by Clickers
Edit by Lovely Peace
? www.duniaabukeisel.blogspot.com
Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 Dayang Tiga Purnama 3 Penelitian Rahasia 8 Jurus Lingkaran Dewa 1 Karya Pahlawan Iblis Angkara Murka 2
^