Pencarian

1000 Kutu Di Kepala 1

1000 Kutu Di Kepala Anakku Karya Isbedy Istiawan Bagian 1


SOAL gizi buruk ataupun polio bagiku sudah tidak lagi menarik sebagai berita. Karena itu, tak perlu diceritakan maupun dikabarkan. Bahkan flu burung yang sempat merebak di seluruh kota di negeri ini, kini tak lagi membuat bulu tengkukku berdiri. Aku tak takut lagi terkena flu burung. Apalagi sudah ada jaminan pemerintah kalau hewan-hewan sejenis itu sudah bebas dari rabies flu burung. Jadi, tak ada keraguan aku mengonsumsi daging ayam.
Kalau kini aku cemas, sebabnya kutu yang menyerbu rambut di kepala anakku. Tidak tanggung-tanggung. Kalau mampu kuhitung, mungkin ada 1.000 (seribu) kutuatau, boleh jadi lebih. Jujur kukatakan, aku belum sempat memastikannya. Setidaknya, apakah aku mampu menghitung seribuan kutu yang bersemayam di kepala anakku" Ditambah lagi anakku tak bisa diam kalau aku sedang memunguti kutu di kepalanya. Sebab itu, aku hanya sanggup mengumpulkan 30 ekor-terkadang bisa lebih-kutu setiap harinya. Itu pun diselingi dengan ogah-ogahan dan merajuknya.
Entah mengapa ia sangat enggan kalau aku mau menangkapi kutu di kepalanya. Padahal kerap kulihat ia menggaruk-garuk rambutnya saat tidur. Mungkin karena kutukutu yang menghisap darah di kepalanya saat ia tidur, sering membuatnya terjaga. Jemari kedua tangannya bergerak kian ke mari, bagai penari yang selangkah majumundur dan bergerak ke kiri-kanan. Kubayangkan seorang penari cantik yang lincah bergerak, begitulah jari-jari kedua tangan anakku di kepalanya. Rambutnya pun kemudian acak-acakan. Pelan-pelan sekali agar ia tak terbangtun kurapikan kembali rambutnya.
Pernah rambutnya kubasuh minyak tanah. Konon, kata para orang tua dulu, minyak tanah dapat membuat kutu mabuk lalu mati. Sebelumnya, aku juga pernah membilasnya dengan shampo anti-ketombe dan kutu. Cuma tidak lama berselang, telurtelur kutu yang berwarna putih muncul lagi. Telur-telur kutu itu sulit dibuang karena sangat lengket di helai-helai rambut. Kecuali dicukur gundul. Dan, itu juga pernah kulakukan meski anakku yang masih duduk di kelas satu SD itu awalnya menolak dicukur gundul.
"Gak mau botak. Obi malu, Pa" rajuknya. Aku tetap membujuknya kalau tak lama rambutnya akan tumbuh kembali. Jika rambutnya digunduli, maka kutu-kutu itu tak akan datang lagi.
Tetapi, itu hanya sementara. Sebab, tatkala rambutnya kembali tumbuh justru makin banyak kutu bersemayam. Sungguh, aku dibuat pusing. Tak habis pikir, bagaimana bisa dan dari mana telur kutu itu menghiasi rambut anakku, lalu menetas kutu yang amat banyak. Mungkin sekitar seribu, atau jangan-jangan lebih"
Karena kutu-kutu itu, aku dapat pekerjaan tambahan. Setiap hari aku mendekati anakku dengan sebuah sisir penjaring kutu (orang menyebutnya sisir serit). Sehabis pulang dari kantor aku mengambil sisir serit kemudian mendekati anakku yang tengah menonton teve. Sambil menikmati tayangan televisi, aku menyerit rambut anakku. Terjaringlah kutu-kutu itu di diselipan serit. Satu, dua, hingga 10 atau kadang-kadang mencapai 48 kutu terjaring. Kemudian kumatikan dengan ujung kuku jempolku. Tentu saja dengan gemas.
Mematikan kutu lama-lama menjadi pekerjaan menyenangkan. Jadi keriangan. Setiap ada waktu kosong dan anakku mau, maka kutangkapi kutu-kutu di kepalanya untuk kutindas di ujung kuku jempolku. Karena kebanyakan acap kuku jempolku penuh cairan berwarna merah. Darah. Darah dari kepala anakku.
"Kalau tak mau, lama-lama darah Obi habis dihisap kutu," kataku. Maksudku ingin menakut-nakuti anakku. Biasanya setelah itu ia akan menurut, mendekati kepalanya. Aku pun dengan leluasa menyerpihi kutu-kutu itu.
Meski sering kutakut-takuti, tidak selalu ampuh. Misalnya kalau sedang asyik bermain, ia akan menolak. Obi akan lari keluar rumah bersama teman-temannya, dan akan pulang tiga jam atau lebih. Kalau sudah begitu aku tak bisa marah. Aku akan mencari waktu atau hari yang lain.
* * * SERIBU kutu di kepala anakku seperti tak mau pergi. Meskipun sudah setiap hari kutuai, telurnya tak henti menetas. Sepertinya percaya benar dengan pribahasa yang bermakna satu dimatikan maka seribu lagi akan lahir. Sehingga kerjaku mematikan kutu-kutu itu layaknya sang Syshipus yang memangul batu ke puncak bukit lalu setelah sampai digelindingkan lagi oleh Dewa. Barangkali demikianlah pekerjaanku: kumatikan satu, esok lahir seribu kutu lagi.
Aku bingung. Entah dengan cara apa lagi aku membasmi kutu di kepala anakku. Entah dengan siasat yang mana lagi agar kutu-kutu itu tak lagi mau datang. Sudah banyak jurus dan taktik kulakukan, tetap saja kutu itu ada di kepala anakku. Kalaupun kurasa habis karena kumatikan ternyata tak lama: anakku kembali menggaruk-garuk kepalanya. Dan, ketika kuserit, aku dapatkan lebih dari 20 kutu! Cukuplah itu sebagai bukti bahwa di rambut kepala anakku banyak dihuni kutu.
Dari mana kutu itu datang" Mungkinkah terbang dari kepala anak tetangga" Atau karena tertular dari teman sekolahnya" Soalnya, baik istriku dan anak-anakku yang lain tidak berkutuan. Karena itu, beda sekali dengan anak bungsuku ini. Rambutnya seperti sebuah ladang yang ditumbuhi ilalang: ditebang dan tumbuh lagi. Kutu-kutu itu seperti pergi lalu datang lagi. Walaupun habis, namun beberapa hari kemudian kutu-kutu itu muncul lagi. Kutu itu benar-benar hilang kalau rambut anakku gundul, tapi begitu rambutnya tumbuh bersamaan itu pula kutu datang. Seperti sebelumnya, banyak sekali. Mungkin sekitar 1.000 kutu di sana.
Sungguh aku dibuat pusing oleh kutu di kepala anakku. Pekerjaan kini bertambah lagi setiba di rumah: menyerit rambut anakku. Menilik baris-baris serit, mencongkel jika kuyakini ada kutu yang terjaring. Setelah itu, di atas kertas putih atau di lantai marmer rumahku yang berwarna putih itu, kutu itu pun kutindas dengan ujung kuku jempolku. Aku puas kalau dari kutu itu muncrat darah. Aku tersenyum.
Dan, sialnya aku menjadi ketagihan. Seperti orang yang ketagihan pada narkoba. Jika aku sedang sakau-istilah para pemadat itu-aku akan marah sekiranya anakku enggan mendekatkan kepalanya padaku. Pernah sisir serit kulempar ke kakinya, ia terkaing-kaing. Lari makin menjauhiku. Terdampar di pangkuan ibunya.
Kalau sudah begitu aku tak bisa berbuat apa-apa. Diam. Tentu saja dengan menahan gemas tak alang. Anak bungsuku itu memang keterlaluan. Tidak tahu diuntung. Padahal, hanya sedikit seorang ayah-dan aku di antara yang sedikit itu-yang mau mengurusi hal-hal yang temeh seperti itu: menangkapi kutu untuk selanjutnya dimatikan. Tak banyak seorang ayah yang masih mau peduli pada urusan kutu di kepala anaknya. Biasanya itu pekerjaan para ibu, para perempuan, urusan istri. Aku pernah melihat sebuah karya foto entah di media massa mana, tentang para perempuan Jawa berbaris duduk di depan rumah sedang mencari kutu. Kalau tak salah ada tujuh perempuan saling mencari kutu, sementara seekor kera mencari kutu di kepala perempuan paling belakang. Pikirku, foto itu tak hanya artistik, melainkan juga memiliki sense of social.
Seribu kutu di kepala anakku sungguh membuatku pusing. Menjadi pekerjaan tambahan seusai aku pulang kantor. Akhirnya aku sudah terbiasa tidur siang. Aku memandangi kutu-kutu yang ada di rambut anakku. Kutu-kutu itu merayap dan berkeliaran di antara helai-helai rambut anakku. "Lihat Obi, kutu di kepalamu itu banyak sekali. Dekatkan kepalamu, papa mau ambil," teriakku.
Obi menggeleng. Menutup kepalanya dengan bantal. Tetapi, matanya tetap ke layar televisi. Aku jadi gemas. Lalu, hanya kupandangi bagaimana kutu-kutu itu merayap dengan sangat lincah di helai-helai rambutnya. Ataupun terdiam di kulit kepalanya. Aku membayangkan kutu-kutu layaknya percikan api, dan helai-helai rambut anakku bagaikan belantara di Kalimantan, Riau, Sumatera, dan entah mana lagi. Percikan api yang kemudian membakar hutan-hutan di Indonesia. Tak ada yang dapat memastikan muasal api, penyebab apa, dan sesiapa yang melempar percikan api tersebut. Kiranya yang kami ketahui cumalah hutan-hutan terbakar. Asapnya membumbung hingga menyelimuti daerah sekitar. Jalan-jalan tak bebas pandang. Udara pengap. Dan, orang-orang pun diwajibkan mengenakan masker. Di mana-mana dijajakan penutup hidung dan mulut itu, banyak yang membelinya. Demi menjaga kesehatan, kata pejabat dari Dinas Kesehatan.
Anakku menggeliat. Ke sepuluh jari tangannya layaknya penari yang melenggak-lenggok di lantai nan lincih. Rambutnya pun acak-acakan. Aku memelas melihatnya. Namun, ia tak jugaberkenan menyerahkan kepalanya padaku.
"Obi, lama-lama darahmu habis dihisap kutu. Tahu"!" aku berang. Hendak menjambak rambutnya. Istriku melerai. Ia bilang, jangan kasar menghadapi anak-anak. Tak baik pada perkembangan jiwanya. Bagaimana kalau ia sudah besar nanti kalau perkembangan jiwanya terganggu.
Aku urung. Cuma, sayangnya, Obi tak mau mengerti. Ia tetap menjauh. Rambutnya tak mau kuserit. Padahal, kulihat barusan, kutu-kutu yang hidup di rambutnya merayap ke sana ke mari. Seperti pesakitan yang baru saja bebas dari penjara. Bayangkanlah suatu saat kita melihat seorang penjahat yang baru saja menghirup uadara bebas, memandang semesta tak terbatas. Ia akan menengadahkan kedua tangannya ke langit, dengan kepala yang mendongak ke atas pula. Lalu, terdengarlah teriakan yang sangat keras: "Aku beeebbbaaassss,"
Demikian, kutu-kutu di kepala anakku itu bagai pesakitan-sang penjahat-yang melihat kebebasan sesuatu yang amat mahal. Seribu kutu yang merayap itu selayaknya percikan api yang membakar berhektar-hektar hutan di Indonesia. Ah, tidak. Aku teringat puluhan kuda berlari kencang di padang Sumba, sebagaimana dikatakan Taufiq Ismail dalam sebuah puisinya. Seribuan kutu itu berlari dan melompat dari satu helai rambut ke helai rambut lainnya. Ia amat lincah. Aku kesulitan menangkapnya dengan jemariku. Itu sebabnya, di rumahku selalu siap sisir serit. Kini sudah ada tiga sisir yang kubeli di Pasar Rajawali, kiriman dari saudaraku di Jawa, dan oleh-oleh kakakku sewaktu ke Malaysia .
Kalau saja anakku tak selalu menolak kucarikan kutu di kepalanya, aku sudah lama ikhlas menyerit walaupun harus berlama-lama. Sebab, aku sangat suka membunuh binatang kecil penghuni kepala itu. Aku semakin gemas tatkala memandangi muncratan darah dari tubuhnya; darah yang dihisap dari kepala anakku.
Darah. Warnanya seperti mengingatkan aku pada warna api. Membara. Menghanguskan hutan-hutan di Tanah Air. Tetapi, tak satu pun orang yang dapat memastikan siapa yang membakarnya atau penyebabnya apa. Hutan-hutan Indonesia yang tak hanya kekayannya diringkus dan dijarah. Juga dibakar. Belantara pun menjadi gundul mengelam. Tanah mengoreng. Pohon-pohon roboh sebagai arang. Hitam. "Obi, sini dong, papa tak mau, darahmu habis bagai hutan. Papa mau ambil kutu-kutu di kepalamu. Sini dong," bujukku. Hatiku kesal.
Obi tetap saja menjauh. Kutu-kutu itu-seribuan barangkali-yang merayap berjatuhan. Terbang ke mana-mana. Ada yang hinggap di rambutku. Lalu berbiak di kepalaku. Rambutku penuh oleh kutu. Dari kepala anakku. Aku makin gemas. Kecewa. Ingin kusambit kaki anakku dengan sisir serit yang paling keras di antara sisir yang lain. Tersebeb tak mau kutu di kepalanya kutangkapi, kini malah kutu-kutu itu pindah ke rambutku. Segera kupanggil istriku, dengan sekali teriakan: "Anti, sini kau, bawa gunting dan gunduli kepalaku!"
Istriku ternganga. Ia belum mengerti maksudku.
"Cepat kepalaku gunduli saja!" perintahku lagi. "Kutu-kutu itu kini sudah berpindah ke rambutku. Kepalaku gatal."
"Ah, itu perasaanmu saja, Pa. Rambutmu kan sudah lama tidak disampo!" "Tidak! Ini pasti ulah kutu yang pindah dari rambut Obi!" kataku memastikan. "Gunduli kepalaku. Nanti kau bisa lihat kutu-kutu yang menempel di rambutku." "Tapi."
"Nggak usah pakai tapi. Cepat gunting rambutku. Kau akan lihat kutu-kutu itu berjatuhan. Aku sudah kesal."
Dengan amat terpaksa sekaligus kecewa, lalu gunting di tangan istriku membabat rambutku hingga habis. Seperti penebang pohon di belantara terlarang. Rambutku pun berjatuhan, layaknya hutan yang tumbang setelah digergaji mesin. Kusakisikan tumpukan rambutku berserakan di lantai. Kulihat pula ratusan ekor kutu dari kepalaku, kini merayap-rayap di lantai. Secepatnya kutindas dengan kedua ujung kuku jempolku. Aku tak ingin seekor kutu pun dapat selamat.
Kini kepalaku benar-benar gundul. Tak sehelai rambutmu masih tersisa. Habis hingga ke kulit rambutku. Seperti lahan kosong tanpa pepohonan. Bagaimana jadinya, beberapa jenak nanti, ketika memandangi kepalaku di cermin. Pastilah amat buruk. Soalnya, seumur hidup aku tak pernah berkepala plontos. Bentuk kepalaku memang tak indah tanpa rambut. Karena itulah, aku selalu berpenampilan gondrong walau usiaku tak lagi muda.
Entahlah, apa jawabanku esok saat teman-teman di kantorku bertanya soal kepalaku yang botak ini. Soal tak bersisa lagi rambuku. Tentang kepalaku yang sangat sangat licin, tetapi makin tak indah dinikmati. Sungguh aku pusing. Seperti aku mengingat nasib hutan-hutan di Indonesia. Gundul.***
Lampung, 13-21 Maret 2006
Kadal Post : 01/16/2007 Disimak: 84 kali Cerpen : Isbedy Stiawan ZS
Sumber : Radar Lampung, Edisi 01/14/2007 ADALAH malam kesekian dari sekian malam sejak pertama pertemuan"ia memberi nama malam pertama kali bertemu. Ia duduk bersandar di dinding kursi beton, di sudut taman satu-satunya di kota itu. Tak ada pengunjung lain, barangkali karena malam sudah larut. Secangkir kopi di gelas plastik yang dipesannya di warung malam (maksudnya warung kopi itu hanya berjualan pada malam hari) baru sedikit ia seruput, namun dua batang rokok filter sebagai teman di waktu dingin telah tuntas.
Ia kesepian. Ia merasa benar-benar sunyi. Tiada manusia lain yang menemaninya, kecuali serangga malam dan hewan melata di rumput. Tak seperti malam-malam sebelumnya. Saat ia berjumpa Nesa"perempuan yang tanpa sengaja apatah lagi diundang"berkunjung ke taman itu. Dengan membawa perasaan yang sama dengannya: sunyi dan caci. Lalu keduanya saling tukar cakap, memberi dan menerima segala yang terkandung dalam hatinya.
"Persis! Kita memang senasib! Karena nasib pula kita dipertemukan di sini malam ini"." kata dia seperti bersorak, seakan hendak menertawakan nasib. "Ini malam apa?" ia tambahkan.
Perempuan itu menyeringai, "Pentingkah soal malam" Apa peduli malam pada makhluk seperti kita" Gelandangan yang tak pernah mengenal pulang" Rumah yang tak akan membuka pintunya bagi seseorang yang keletihan?"
"Tentu penting, karena ia menyimpan makna yang amat dalam bagi perjalanan hidup kita. Kalau tak ada malam apakah taman seperti ini dapat bermakna karena sangat pentingnya bagi pengembara," ia mengajukan alasan. Lantas katanya lagi ingin melupakan, "tapi tak apa kalau kau menganggap tak penting. Penting tak penting, toh nasib, malam, dan taman ini tetap mempertemukan kita?"
"Persis. Yang bermakna sejatinya adalah pertemuan, bukan lain-lainnya. Bukan pula nasib ataupun malam."
Keduanya lalu mengatupkan kelopak matanya. Mendekat. Menyeruput embun yang jatuh di bibir, sisa dari perjalanan malam. Ah, sebuah kecupan yang indah dan berkesan. Betapa pun rasa asin dan lebih tepatnya hambar tetap menguar. Malam remang. Waktu gamang. Di langit tiada sebiji pun bintang. Juga senyum bulan.
Taman menggeremang. Embun berlomba luruh. Kursi terbuat dari beton anyep, seakan ikut merasakan senyap. Pasangan lain di taman itu rapat dan mendekap. "Mengapa kita tak meniru mereka?" ia memecah kesunyian. Rindu ingin mendekap kini memuncak.
"Kau mau?" perempuan itu menyeringai. "Tak usah ragu. Sebab gamang akan membuat kita salah bertindak?"
Tetapi, ia kini justru ragu. Apakah ia hanya untuk bertemu lalu berpisah" Apa artinya pertemuan kalau esok sudah melupa" Terlalu banyak orang yang semangat bercinta lalu diakhiri dengan saling membenci. Perkawinan lalu perceraian. Bertemu untuk kemudian membatu.
"Kenapa" Kau masih ragu?" pasangannya menggoda. Tak ada ular sebagai jelmaan di taman ini yang akan melontarkan keduanya ke luar sana. Betapa pun hati mereka perih.
Malam sepi. Satu-satu tamu taman di kota itu meninggalkan tempat duduknya. Melangkah gontai. Menuju gerbang dan menghilang di tikungan. Ada yang menyetop taksi untuk melanjutkan pengembaraannya entah di mana. Atau masuk ke kenderannya dan ikut pula ditelan malam. Atau, seperti menghitung detak jantung, setiap kaki mereka mengayun di trotoar jalan.
"Tinggal kita lagi di sini," ia berujar. "Fajar sejenak lagi datang?" "Kau ingin mandi matahari di sini" Aku akan menemanimu," kata perempuan
itu. Perempuan itu sering menyaksikan turis bule berjemur di tepi pantai, ataupun berjogging di taman tengah kota pada pagi hari. Mereka suka bermandi matahari. Keringat mengucur dari setiap pori-porinya bagai minyak zaitun yang membuat tubuhnya mengilap dan licin. Ia kerap menyukai warna tubuh para bule itu. Ketika berlumur keringat seperti bercahaya. Ia ingin sekali memasuki cahaya itu, bermandi, dan kembali dengan perasaan segar. Cuma selalu tak kesampaian"
Perempuan itu hanya memandang dari kejauhan. Bahkan tak jarang cuma dari ketinggian tebing, dari balik pohon palem.
Ia tak habis mengerti kenapa para turis suka berjemur-jemur. Apakah di tempatnya tiada matahari" Benarkah matahari hanya terbit dan terbenam di daerah tropis. Bukankah Tuhan dengan kekuasaannya bisa saja membagi arah jalan matahari ke seluruh wilayah, sehingga musim bisa dirasakan oleh setiap makhluk di bumi ini. Tetapi, kalau itu terjadi, tak mungkin ada warna kulit dan ras bukan"
Karena ada musim maka waktu bisa berganti. Karena matahari memiliki jalannya sendiri, maka orang menciptakan pengembaraan. Itulah sebabnya, setiap senja perempuan itu senantiasa menyaksikan para turis bule yang berjemur dan mandi matahari di tepi pantai. Cuma dilapisi celana dalam, mereka berjemur sambil tiduran di pasir. Tak sedikit pula sambil meniikmati jemari yang menari di seluruh tubuhnya. Para perempuan setempat tiba-tiba menjadi ahli memijat begitu pantai itu banyak dikunjungi turis.
Perempuan itu sering terbetik keinginan menjadi pemijat juga. Cumja ia tak pandai"apatah lagi ahli. Padahal, seperti ia sering dengar pengakuan para pemijat itu, memijat tak perlu punya keahlian khusus. Kebiasaan dan kehendak ekonimilah yang membuat para perempuan itu memilih profesi memijat. "Daripada menjaja kemaluan?" kata salah satu pemijat, meski ia tetap menambahkan: "kalau ada yang mau membeli, ya kenapa ditolak?"
Perempuan itu tersenyum. Ia tak mau mengkhianati cintanya. Cukuplah menjadi perempuan rumahan: mengabdi pada suami, berbakti pada anak. "Anak adalah panah yang akan menancap di masa datang. Anak adalah harapan keluarga dan bangsa!" ia meyakini nasihat para orang tua, meski peribahasa tersebut sudah tak lagi menyihir banyak orang.
Sebab, kata orang lain yang baru datang dari kota bekerja, keuletan dan tak mengenal sungkan adalah modal mendapatkan uang. Bekerja keras tanpa letih adalah gerbang mencapai kesejahteraan. Tapi benarkah itu" Ia menyangsikan. Suaminya yang merantau ke kota lalu menjadi tekana kerja di luar negeri, nyatanya tak membawa kemakmuran. Begitu pulang ke desa kembali menggarap sawah atau bekerja serabutan. Akhirnya miskin, akhirnya ia dijual kepada lelaki lain.
"Kalau kau menolak, anak semata wayang kita yang kita kasihi akan tak lagi bersama kita selamanya. Ia perlu dioperasi, dan itu membutuhkan uang tak sedikit. Apa kau tega membiarkan Nina sekarat lalu mati tanpa disentuh dokter?" bujuk lelakinya. "Kau sendiri, apa usahamu?"
"Usahaku mencarikan lelaki yang mau membayarmu."
"Cukup!" ia berontak. Protes. Ia hendak menolak pekerjaan tak masuk akal yang ditawarkan lelakinya.
"Tak cukup dengan berteriak atau protes," suara suaminya tenang. Pelan. "Yang dibutuhkan sekarang adalah kerja dan hasil" dan itu hanya sekali."
Malam benar-benar berubah jadi pekat. Amat kelam. Angin mati. Jalan seperti sepadat batu, sedingin es. Serupa belantara yang diliputi butiran salju. Salju" Ah, di mana pula ia pernah merasakan" Membayangkan pun tak mampu.
Sekali. Kiranya berkali-kali. Berulang terus berulang, dan semacam ketagihan. Sebab nasibnya seperti menghendaki itu. Oleh sebab itu, jangan salahkan ia kalau kemudian ia menjelma jadi kadal. Setiap malam ia melata di rumputan, di taman, dan sesekali merasakan nikmat terlelap di kasur empuk sebuah hotel melati dan bintang.
Kadal itu"bukan ular seperti terkisah dalam kitab yang mendatangi sepasang manusia sewaktu di firdaus"selalu datang di taman satu-satunya di kota itu. Ia muncul dari semak atau pekat taman. Melata untuk menemui"ah, tepatnya mendatangi"setiap lelaki pengunjung taman. Ia datang terlebih dulu menjelma sebagai perempuan yang berbedak medok dan bergincu norak dengan tubuh dilapisi pakaian minimalis dan tipis. Atau berdandan ala perenang jika ia muncul di pantai dan kolam renang. Tak sedikit pula ia tetap sebagai kadal: menjilati jempol dan tumit para lelaki.
Di taman ini aku menjelma jadi kadal. Ia selalu mendesis begitu. Tak tahulah ihwalnya mengapa perempuan itu menjadi kadal. Atau kadal sebagai perempuan. Di kota itu tak ada penyihir yang ahli sebagaimana yang hidup di zaman Musa dan Muhammad. Penyihir di era kini adalah para penyair, hanya itu yang dia ketahui, yang mengumbar dusta dan lamunan. Betapa pun ia pernah menolaknya. Sebab, bagi kadal itu, penyair adalah pekerja moral karena itu sangatlah mulia di mata manusia. Mereka mengabarkan kebenaran lain; suara yang lain, demikian Oktavio Pazz pernah berujar.
Dan, kadal itu tetaplah kadal di taman tengah kota itu. Akan selalu melata dan menggoda"
DI TAMAN ini aku jadi kadal. Ia mendesis. Lidahnya menjulur ke luar. Ludahnya menyembur dan menyihir. Tak ada lelaki yang sanggup bertahan tanpa pingsan di hadapannya. Tiada rerumputan yang tak tertidur malu setiap kali dilaluinya. Ia laksana Ratu Balqis. Ia serupa Yusuf yang tampan membuat tangan istri raja teriris.
Maka setiap kali ia berkunjung, para lelaki akan memendam kerinduan yang dalam seusai ia berlalu. Setiap selesai bercengkerama akan berujung pada tangis berkepanjangan. Orang-orang akan menunggu dan menunggu kedatangannya. Tetapi ia akan makin menjauh, sebab kadal itu tak suka pada sesuatu yang telah dinikmatinya. Ia akan mencari yang lain. Akan menjilati tubuh yang lain. Mendesis dan menyihir makhluk lainnya.
Dan, kadal itu adalah perempuan yang datang beberapa malam lalu dan bertemu dengan lelaki yang singgah sendiri ke taman itu. Lelaki itu amatlah kesepian, setelah bininya lari dari rumah. Ia sudah mencari ke mana-mana, tetap tak ada kabar keberadaan bininya. Ia coba kunjungi lokalisasi pelacuran kalau-kalau bininya terdampar di sana, namun justru ia tertidur di salah satu kamar pelacur sampai matahari persis di atas ubun-ubun genting. Sia-sialah ia mendatangi lokalisasi itu, kendati ia telah mendapati kenikmatan tubuh lain.
Sepuluh bulan berlalu, sejak ia menganggap telah bercerai dengan bininya, ia peroleh berita kalau istrinya telah menjadi kadal. Seorang temannya sewaktu SMA yang pernah punya hasart mengawini "bunga SMA" itu, mengabarkan kalau ia pernah berjumpa dan bahkan mengajaknya ke sebuah hotel murah di pinggir kali. "Aku mau melakukan itu karena ia katakan kalian sudah bercerai, dan ia tak mau mati karena miskin akhirnya memilih jadi pelacur!
Pukimak! Darah dalam tubuh lelaki itu bergolak. Bagai air yang mendidih di atas kompor. Kedua tangannya mengepal. Ingin ia lontarkan ke wajah sahabatnya itu. Ia bayangkan sbeuah sasak yang tergantung. Tetapi urung. Ia sadar, bukan kesalahan seharusnya dilimpahkan kepada sahabatnya. Lelaki, seperti petani, yang menunggu buah jatuh. Kalau saja posisinya seperti sahabatnya, ia pun akan melakukan yang sama. Apatah lagi sahabatnya pernah mencintai perempuan itu meski bertepuk sebelah tangan.
"Setelah kau bertemu dengannya, maksudku berkencan, ke mana istriku pergi" Apa kau sempat tanya di mana ia tinggal?"
"Seperti katanya, ia bukan lagi binimu," sahabatnya kembali menegaskan apa yang pernah ia dengar dari perempuan itu.
"Kali belum bercerai, ia hanya pergi dari rumah. Dan aku menceraikannya, jadi ia masih istriku," lelaki itu juga mempertegas. "Di mana alamat rumahnya?"
"Aku tak sempat bertanya karena aku kadung tersihir olehnya. Ia juga tak memberi kartu nama," jawab sahabatnya santai. Ia lalu tertawa, batinnya berujar: "Apakah pelacur sangat penting memiliki kartu nama?"
Kedua tangan yang kadung mengepal, lalu ia tumpahkan ke tembok. Lelaki itu mengaduh, tangannya memar dan membiru.
SEJAK itu ia lupakan bininya yang minggat. Ia bahkan berharap suatu hari kelak istrinya ditemukan dalam keadaan bugil tersayat-sayat. Ia juga sudah melupakan sahabatnya yang ternyata sudah merasakan tubuh istrinya. Sungguh petaka! Ia merutuk.
Kalau kini ia memilih taman kota, karena ia masih berharap bertemu perempuan yantg dijumpai beberapa malam terlewati. Setelah ia mengencani dan perempuan itu berjanji akan menemuinya lagi di tempat itu pula, semenjak itu setiap malam ia setia berkunjung ke taman itu. Dengan secangkir plastik berisi kopi dan sebungkus rokok filter, tak lupa pula sebungkus ubu atau pisang goreng. Sampai fajar, hingga matahari mengguyur seluruh badannya.
Bermalam-malam lelaki itu menunggu. Kadal itu tak juga berkunjung. Ia benarbenar dendam, amatlah membenci. Berulang ia mencaci-maki. Pukimak! Tokek! Dasar kadal!
"Kalau kau datang akan aku kuluti tubuhmu," ia membatin.
Tetapi, suara gaduh datang dari sudut taman di pinggir kali. Orang-orang berkelimun, suaranya mendengung bagai lebah.
"Ada mayat perempuan!"
"Terpotong-potong."
"Sudah tak jelas lagi bentuknya."
"Siapa pula yang begitu tega mengutilnya?""
Lelaki itu tak bernafsu ikut dalam kelimunan itu. Ia berpikir hanya sensasi murahan dari orang-orang yang tak punya pekerjaan. Ia tetap menanti datangnya fajar, lalu matahari mengguyur badannya. Tetapi fajar tak datang ke taman itu apatah lagi ia akan bermandi matahari, sebab lelaki itu diseret petugas keamanan dan dijebloskan ke dalam tahanan.
Untuk sementara ia disangka sebagai pengutil perempuan yang ditemukan warga di semak dalam kali, di sudut taman tengah kota yang setiap malam ia datangi. Walaupun ia tak pernah tahu siapa sebenarnya perempuan itu: apakah kadal yang pernah ia jumpai ataukah bininya"
*** Lampung, 19 September 2006
Mudik Post : 11/01/2006 Disimak: 402 kali Cerpen : Isbedy Stiawan ZS
Sumber : Sumatera Ekspres, Edisi 10/22/2006
TERMINAL Rajakering, salah satu terminal terbesar, terasa lengang dini hari. Para penumpang, tepatnya pemudik, masih dapat dihitung dengan jari tangan dan kaki. Salah seorang penumpang yang terdampar di terminal bus antarprovinsi itu seorang perempuan muda usia.
Perempuan itu tak henti-henti menahan kantuk. Beberapa kali ia coba membentangkan koran pagi tadi yang kini nyaris basi yang dipegangnya. Namun, hurufhurufnya makin tak terbaca. Ia tak mampu lagi membacanya karena kantuk dan lelah setelah selama hampir 18 jam diombang-ambing dalam perjalanan tadi. Perempuan itu memutuskan mudik setelah tiga tahun tak pulang kampung. Ia mengambil cuti lebih cepat sebagai pembantu rumah tangga di kawasan Menteng Jakarta. Sang majikan setuju karena ia bekerja baik selama empat tahun terakhir. Bahkan selain gaji bulanan, ia mendapat tambahan saku sebagai tunjangan hari raya (THR).
Ia sudah merinci uang yang dibawanya untuk beli baju dan kain buat emak; sarung, koko, dan peci untuk abah; serta pakaian untuk kedua adiknya. Tak lupa pula untuk beli kue, daging, ketupat, dan sedikit oleh-oleh nenek dan keponakan. Ia tersenyum. Wajahnya sumringah. Ia bayangkan betapa bahagia keluarga menyambut kedatangannya. Emak pasti akan menyambutnya dengan air mata haru lantaran rindu yang terpendam.
Emak merasa berat tatkala ia pamit mencari pekerjaan di Jakarta. Sedangkan abah, walau dengan cemas, mengantar kepergiannya hingga ke halaman depan. Sambil mengusap rambut dan mengelus wajah putri sulungnya yang masih berusia 15 tahun kala itu, abah berpesan, Bekerjalah di tempat orang dengan baik dan jujur. Jangan lalai beribadah...,
Perempuan itu mengangguk, mengambil lengan abah dan mencium. Setetes air mata jatuh basahi lengan abah. Pergilah dengan meninggalkan air mata dan pulang nanti dengan senyum keberhasilan, ucap abah lagi. Semacam doa, sebagai harapan.
Setelah itu, perempuan itu, namanya Lastri, menaiki kendaraan untuk meninggalkan kampung kelahirannya di pelosok Desa Sumberringin. Desa yang bila musim kemarau panjang seperti tahun ini, sawah dan ladang akan mati. Tanah retak di mana-mana. Belantara menguning sehingga mudah sekali terbakar. Penduduk yang cuma berharap hidup dari bertani itu benar-benar nelangsa menghadapi kemarau semacam ini. Tak ada lagi harapan selain menunggu keluarganya yang merantau bekerja di kota. Atau berharap-harap ada tetangga yang memberi bantuan untuk sekadar mencicipi hari kemenangan: Idul Fitri, sekiranya keluarganya tak ada yang bekerja di kota.
Lastri kerap memirip-miripkan nasib tetangganya dengan penduduk yang kini dilanda lumpur Lapindo. Tak ada bayangan kegembiraan menjelang Lebaran yang tinggal hitungan hari. Bahkan, nasib penduduk yang dikepung lumpur panas itu lebih menyedihkan. Rumah mereka sudah terendam. Mereka pun dikepung oleh lumpur panas yang terus membukit sehingga sulit sekali bergerak. Sementara itu, harapan memperoleh ganti rugi dari pihak perusahaan yang telah menyengsarakan hidup mereka belum juga kunjung terwujud.
Kalau saja aku di sana, sulit sekali menjawab apakah aku bisa pasrah" ia mendesis. Foto besar di halaman pertama koran yang dipegangnya menunjukkan lumpur panas yang telah mencapai atap rumah penduduk. Ia letakkan koran yang tak sempat dibacanya itu, yang beli siang tadi dibeli sekadar untuk membunuh kantuk dan bisa digunakan pula sebagai kipas, di sebelahnya. Ia mulai tak tahan membiarkan kedua matanya terbuka.
Tapi, apakah ia bisa terlelap di terminal yang setiap saat akan mengancam ketenteramannya" Konon, dari cerita dan berita di media massa, terminal yang kini tengah disinggahinya itu terkenal paling seram. Orang lebih baik memilih bermalam di pelabuhan Bakauheni ketimbang istirahat di terminal ini. Penumpang lebih baik turun di luar terminal dan menyetop bis di perempatan jika ingin melanjutkan perjalanan, daripada turun di terminal ini.
Ia sempat membaca berita di media masa yang mengiris-iris nuraninya. Seorang penumpang, cacat pula kedua kakinya, diseret-seret calo terminal lalu diperas setelah naik taksi. Tak sampai di situ, di atas taksi seluruh miliknya dipereteli oleh supir yang merangkap sebagai penjahat. Ia lalu diturunkan di jalan setelah ludes miliknya, kecuali pakaian yang dikenakannya. Sang korban kemudian mengadukan kepada petuas keamanan. Meski ia diberi transpor sekadarnya, akan tetapi harta dan penjahatnya tak bisa lagi ditemui.
Membayangkan peristiwa itu, Lastri kerap bergeremang bulu kuduknya. Tetapi kengerian itu mengalahkan semangatnya untuk cepat tiba di rumah dan memeluk emak. Itu sebabnya, meski acap tegang dan bulu kuduknya bergeremang setiap bus mulai masuk terminal, ia berupaya hidupkan semangat agar tetap tegar. Supaya terlihat bahwa ia memang pemberani. Dengan begitu ia berharap para preman di sana enggan mengganggunya. Setidaknya beberapa kali ia singgah di terminal tersebut.
Bus yang dinaikinya dari Bakauheni tiba beberapa jam lalu. Tak ada bus menuju desanya pada jam segini. Ia harus istirahat hingga pukul 06.50 kelak. Dan bus pertama yang keluar dari terminal itulah yang akan membawanya ke kampung halaman. Jam pertama dilaluinya dengan aman. Apalagi, tiada gerakan mencurigakan yang membuatnya takut. Sesekali ia raba saku celananya, ia masih rasakan sesuatu yang tersembunyi rapi di sana. Itulah uang yang didapatnya dari perantauan.
Berkali-kali ia bersyukur setiap merasakan bahwa uangnya masih utuh di saku. Ia bertekad untuk terus menjaganya, berupaya untuk tidak terlelap sekejap pun. Ia tak hendak penjahat terminal merogoh sakunya. Sebab ia tak ingin pulang bertangan hampa.
Ya! Lastri kerap mendengar kabar banyak para tenaga kerja wanita yang pulang hampa karena ditipu, dicopet, atau diperas oleh penjahat di perjalanan. Bahkan ia pernah baca berita di koran tahun lalu, seorang TKW di luar negeri yang baru menginjakkan kaki di bandara Soekarno Hatta lalu habis bawaannya dipereteli penjahat. Tidak saja barang dan uang yang dibawanya dikuras, bahkan ditambah dengan pemerkosaan.
Kejam! rutuk Lastri saat itu. Ia menampik anggapan bahwa di negeri yang ramah seperti Indonesia, kekejaman tidak akan ada. Sepertinya, setiap musim mudik seperti saat ini justru kejahatan semakin meningkat. Tidak bisa bulan Ramadan menjadi ukuran membuat orang sabar dan penolong. Jelang Lebaran malah dijadikan peluang menguntungkan bagi para penjahat. Sasarannya jelas, para pemudik.
Lastri mulai cemas setiap mengingat peristiwa-peristiwa seperti itu. Ketakutan mengaliri tubuhnya, seakan mengikuti aliran darahnya. Ia coba membaca ayat kursi, ia berupaya mengingat dan membacakan setiap doa yang dihafalnya demi keselamatan dirinya.
Ah, sekiranya pagi-pagi aku sudah di terminal dan kapal laut tak terlambat merapat, sejak sore tadi aku tiba di terminal laknat ini. Mungkin aku sekarang sudah sampai di rumah, sudah bersahur bersama emak, abah, dan adikku, ia bergumam. Tetapi ia tepis berandai-andai itu. Tak baik berandai-andai, pesan abah. Jangan menyesali apa yang sudah terjadi, karena manusia tak akan mungkin terbebas dari takdir.
Perempuan itu mengembangkan senyum. Ia mulai mengira-ngira bagaimanakah wajah emak dan abah, apakah mereka sudah berubah setelah tiga tahun tak bertemu" Bagaimana kedua adiknya, tetap seperti dulu sebelum berpisah dengannya" Kemudian tak terasa ia pun lelap: Lastri memang sangat lelah.
PARMAN, supir Tuan Hendra majikan Lastri, sebenarnya sangat ingin mengantar. Parman mencemaskan keselamatan kekasihnya itu. Namun, dengan halus Lastri menolak. Katanya, Aku berani kok pulang. Di jalan juga aku tak sendiri. Pasti ketemu teman& , Kenyataannya ia tak mendapat teman perjalanan, bahkan untuk sekadar mengobrol.
Bukan soal berani atau tak berani. Biasanya, musim mudik ini banyak penjahat di perjalanan. Nanti kamu& , ucap Parman berharap sekali ia mendapatkan kesempatan mengantar kekasihnya itu pulang, sekalian berkenalan dengan keluarga Lastri. Setiba kamu di kampungmu, aku langsung pulang.
Tak usah, Mas. Bukan aku menolak kebaikanmu. Kau pasti capai. Kampungku jauh di pelosok, tukas Lastri. Lagipula, menghabiskan ongkos saja. Nanti Mas tak bisa Lebaran di kampung. Nanti saja kalau uang kita sudah banyak, aku akan ajak Mas ke kampungku sekalian menikah.
Mendengar kata menikah seperti memperoleh harapan yang membuat wajah lelaki Kudus itu berbinar. Rasanya, jika Tuhan menjatuhkan rezeki uang sekarung pada saat itu tak akan ia tolak, dan uang itulah yang akan membawanya ke kampung halaman Lastri. Segera khayalan itu ia tepis, tak mungkin ada keajaiban yang menimpa dirinya. Jangan marah ya, Mas Parman..., Lastri menyadarkan kekasihnya. Kamu juga enggak marah kan, aku tak bisa ngantar" Parman balik bertanya. Kemudian keduanya menguar senyum. Tentu cuma keduanya yang bisa memaknai.
Kini bayangan wajah Parman bermain-main. Seperti sedang membelai rambutnya, lalu turun ke leher jenjangnya, dan turun lagi, makin menurun lagi. Lastri membiarkan jemari kekar namun penuh perasaan milik kekasihnya itu menari-nari di tubuhnya. Getaran-getaran cinta yang menggerakkan dan membangkitkan sukma kehangatan di pagi buta itu.
Lelaki itu makin rapat, tangan kekarnya kian mencengkeram tubuh Lastri. Lalu sebuah benda terasa dingin saat menyentuh kulit lehernya. Itulah yang menyadarkan Lastri bahwa ia sedang terancam. Bencana tengah mengancamnya. Ia bergidik. Sangat cemas.
Jangan berteriak! Bisa kubunuh kamu! ancam lelaki bertangan kekar dan penuh tato. Rambutnya pendek, berkumis tipis, beralis tebal. Berbaju dan celana merek Levi s berwarna biru laut. Suaranya berat, terkesan serak. Pastilah lelaki itu bukan Parman, kekasih perempuan tersebut.
Kamu ikut saya sekarang. Jangan macam-macam kalau kamu mau selamat! lelaki itu kembali mengancam sambil menyeret Lastri ke mobil angkot yang terparkir di kegelapan. Hanya sekejap, angkutan kota itu berubah gaduh. Namun suara minta tolong Lastri tak keluar, atau tidak ada yang mendengar"
Terminal Rajakering subuh itu memang benar-benar lengang. Arus mudik belum lagi mencapai puncak.
PEREMPUAN itu merapikan pakaiannya yang kusut dan semrawut. Rambutnya yang paling disukai Parman karena lurus dan selalu rapi, kini acak-acakan. Kedua pelupuk matanya memerah, ada sedikit kebiruan di sekitar pelipis: tentulah itu karena benturan benda (bekas tinju"). Ia tak ingat apa-apa lagi, ia mengira Parman yang telah mencumbuinya.
Ah, tidak. Taklah mungkin Parman akan berlaku kasar. Lelaki asal Kudus itu, ia tahu, romantis dan penyayang. Parman juga tak suka minum alkohol, kecuali bau rokok dari mulutnya. Tetapi, lelaki yang mengancamnya subuh tadi adalah lelaki kekar dan kasar, mulutnya berbau alkohol, dan suaranya keras menggetarkan. Lastri hafal betul dengan logat suara lelaki yang mencampakkan dirinya, cuma ia tak mau gegabah menuduh suatu etnis. Bukan soal suku, tapi ini kelakuan individu.
Maka ketika ia melaporkan peristiwa nahasnya subuh tadi pada pihak kemanan, ia tak menyebut suku. Hanya memberikan keterangan kronologis dan sedikit ciri-ciri yang dapat ia kenali dalam remang-remang. Meski ia meragukan, dari keterangannya itu petugas dapat meringkus pelaku!
Lastri tertunduk. Matanya benar-benar bengkak kini. Pipinya memerah. Rasa perih yang berasal dari selangkangannya seperti tak bisa ia tahan. Pedih, dan sangat sakit!
Perempuan itu ngelangut di kursi belakang bus yang tengah melaju ke kampung halamannya. Ia tak lagi bercerita pada siapa pun, setelah kepada petugas keamanan di terminal tadi. Biarlah semua itu jadi cerita amat laknat dalam batinnya.
Ia akan serahkan seluruh uang yang tak ikut digasak. Ia bersyukur. Untunglah Parman menyarankan agar celana panjangnya dibuat kantung khusus di dalam untuk menyimpan uang, sehingga tak terjamah penjahat. Namun tas berisi pakaian dan alat perhiasan raib di kursi terminal ketika ia diseret ke mobil.
Lastri tak membuka mulut ketika seorang tetangga membawa koran yang dibelinya di Pasar Kecamatan. Di koran lokal itu ada berita pemerkosaan di Terminal Rajakering, dan korbannya disebut bernama Bunga berasal dari Desa Sumberringin.
Bukan, mungkin salah tulis& , Lastri mengelak. Meski, tak urung, batinnya kembali remuk! ***
Lampung, 9-10 Oktober 2006
Penghargaan Gubernur Post : 07/31/2006 Disimak: 219 kali Cerpen : Isbedy Stiawan ZS
Sumber : Suara Karya, Edisi 07/30/2006
JANGAN pula bertemu lurah maupun camat, apalagi akan bersalaman dengan Gubernur. Tidak pernah terbayangkan. Itu sebabnya ketika ia menerima undangan untuk mendapatkan penghargaan dari Gubernur, hatinya berbunga tak alang-kepalang. Ia segera bersujud syukur. Diikuti istrinya, Asih, yang ia nikahi puluhan tahun dan telah dikaruniai tiga anak lelaki.
Undangan yang dibubuhi tanda tangan Gubernur itu ia pamerkan ke tetangga. Ia tunjukkan pula kepada seluruh keluarga. Asih tak henti-henti sumringah. Di wajahnya bagai tumbuh bunga. Mereka hendak sedikit membuat masakan enak sebagai rasa syukur. Disuruhnya Asih ke warung langganan mengutang untuk mengambil beras sepuluh kilo, seperempat kilo teri kering, lima potong tempe, kacang tanah setengah kilo, sepuluh butir telur, cabai, rampai, serta bumbu masak lainnya.
"Kita buat nasi uduk, Asih. Suruh Yus, Adi, dan Yuda untuk membagikan ke tetangga," kata Bargo, kemarin sore. Asih tersenyum. "Kita wajib membagi-bagi kebahagiaan kita ini pada tetangga."
Asih kembali mengangguk. "Kalau Bapak Gubernur yang kasih penghargaan, pasti ada uangnya ya, Pakne?" Asih bertanya. Antara keyakinan bercampur cemas.
"O, tentu Asih. Tentu!" jawab Bargo bersemangat. "Tak mungkin penghargaan tanpa uang. Apalagi, yang memberi penghargaan ini adalah Pak Gubernur. Malah kita akan dijamu makan dulu sebelum acara pemberian penghargaan."
"Kok, Pakne tahu?"
"Biasanya kan begitu. Kalau pejabat mengundang orang pasti makan-makan dulu. Aku pernah di televisi."
Lalu Bargo membayangkan saat menerima penghargaan. Ia akan membawa serta Asih dan anak bungsunya, Yuda, yang masih berusia 7 tahun. Rambutnya yang sedikit panjang akan ia sisir rapih. Sebuah topi pet yang dipakainya pada waktu-waktu tertentu akan dikeluarkan dari lemari, dan akan ia kenakan saat menerima penghargaan nanti. Baju batik, celana jin dilapisi jaket butut. Ah, ia tak bisa membayangkan bagaimana para wartawan foto dan fotografer anak buah gubernur menjepretkan kamera ke wajahnya. Kilatan cahaya berkali-kali menampar wajahnya. Wartawan tulis tak lupa mewawancarinya. Esok lusa wajahnya terpampang di sejumlah koran lokal. Nama, kisah seninya, dan nama keluarganya terhias di koran-koran itu. Ia juga berharap satu di antaranya ada fotonya berdampingan dengan Pak Gubernur.
Semalaman ia tak tidur. Bargo menguras iamjinasinya untuk melahirkan suatu ide bagi sebuah lukisan yang akan dipersembahkan kepada Pak Gubernur. Cukuplah dua hari ia rampungkan karya lukisnya, dimulai esok subuh. Hanya saja sampai menjelang subuh, sekelebat imajinasi pun tak tertangkap.
Ia bepikir, jangan-jangan imajinasi yang selama ini mudah ditangkapnya kini enggan datang, penyebabnya karena ia sedang berbahagia. Ia percaya sekali, ide akan datang pada saat orang amat membutuhkan dan perlu dibantu. Selama ini memang begitu, meski karya-karya lukisnya kemudian dibeli amat murah. Hanya cukup membeli beras beberapa kilo. Tetapi, terlalu sering tidak terjual akhirnya menumpuk dan dipenuhi sarang laba-laba. Ia memaklumi karena di kota ini tak ada kolektor. Juga masih sedikit pengusaha yang punya kesenangan menikmati karya lukis. Mungkin rumah-rumah pengusaha dan pejabat hanya berhiasan louhan ataupun arwana. Barangkali pula, kalaupun lukisan, dibeli dari pelukis ternama atau didapat dari luar negeri.
Sedang aku" Ia membatin. Bargo adalah pelukis yang namanya lumayan terkenal di kota ini. Ia sering memamerkan karya-karyanya di pusat kesenian, tetapi belum pernah berpameran tunggal lantaran biaya yang tidak sedikit. Di kota lain ia juga pernah diundang pameran. Sejak berusia 12 tahun bakat melukis yang didapat dari orang tuanya terus dipupuknya. Dari lukisannya itulah, semasa lajang, ia bisa menghidupi dirinya. Ia juga mampu membiayai pernikahannya dengan Asih.
Hanya sekali dalam hidupnya, ia mendapat keberuntungan yang tak bisa dilupakan. Pada saat ia sangat memerlukan uang untuk melamar dan biaya resepsi pernikahan, sebuah lukisannya saat dipamerkan dibeli Rp 15 juta oleh pengusaha dari Jakarta. Dari uang itulah ia melamar Asih, ia ramaikan respsi perkawinan, dan sisanya ia belikan rumah lebih tepatnya gubuk di perkampungan. Setahun kemudian lahirlah Yusman, kemudian berturut-turut adiknya hadir. Kini, tiga anak lelaki meramaikan rumah kecilnya itu.
Bargo hidup sangat sederhana. Penghasilan dari melukis kerap tidak memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun ia tak pernah mau menanggalkan kesenimanannya yang sudah mengakar-berdaging di aliran darahnya. Betapa pun ia menyambi berkebun singkong di lahan kosong di belakang rumahnya. Ia selalu berdoa agar tanah kosong itu tidak diambil empunya atau dijual kepada orang lain. Kalau terjadi, itu pertanda ia harus mencari pekerjaan lain. Cuma apa"
"Aku tak ahli berdagang, Asih. Aku juga tak bisa bekerja yang lain," ujar Bargo ketika Asih memintanya mencoba pekerjaan lain yang dapat menghasilkan uang yang lumayan.
"Ya, mesti dicoba, Pakne. Apa saja. Jadi kuli bangunan pun tak apa, yang penting dapat uang. Anak-anak butuh uang sekolah, makanan yang agak bergizi," ucap Asih hati-hati.
Bargo diam. Menghela nafasnya. Ia merapatkan punggungnya di kursi bambu, sementara kakinya berselonjor ke kursi kayu di depannya. Rokok daun nipah dihisapnya, dan asap pun mengepul setelah keluar dari mulutnya.
Ketika ia tak lagi mampu membeli kain untuk melukis, ia punya ide memanfaatkan kulit kayu yang diperolehnya di sekitar kampungnya. Ia mencoretkan di permukaan kulit kayu itu dengan ujung paku maupun pisau. Hasilnya tak kalah dengan seorang pelukis yang menggambar di kanvas. Sejak itulah ia banyak bereksperimen dengan kulit-kulit kayu itu. Ia percaya sekali seniman harus tak kehabisan kreasi. Seniman yang banyak kreasi akan melahirkan karya yang kreatif pula. Produktivitasnya tak terbendung. Kreativitasnya tak tanggung.
Kalau Bargo belum menikmati hasilnya dengan baik hingga kini, itu soal keberuntungan saja. Sekali lagi, ya sekali lagi, keberuntungan hanya diperolehnya hanya sekali dalam hidupnya. Ketika ia hendak melamar Asih. Setelah itu sampai hari ini, karyanya belum terbeli seharga Rp 15 juta atau lebih. Bahkan ia tak pernah lagi menggenggam uang Rp 10 juta dari hasil penjualan sebuah lukisan. Karena itu, untuk menutupi kebutuhan sehari-hari, ia tak sungkan menjual karyanya dengan puluhan ribu rupiah.
Jika saja bukan karena setiap aliran darahnya berwarna nilai-nilai seni, tentulah sudah lama ia bunuh keinginan untuk berkesenian. Seperti selalu Asih katakan, kesenian di negeri ini belum dapat memakmurkan senimannya. "Hanya berapa seniman di negeri ini yang makmur hidupnya dari kesenian. Bisa dihitung dengan jari sepuluh ini kan?" kata Asih sembari menunjukkan kedua tangannya.
Bargo pikir Asih berlebihan. Lebih dari seratus seniman di negeri ini hidup berkecukupan. Ia contohkan beberapa seniman, seperti Taufik Ikram, Hamsad, Cak Kandar, Putu, Taufiq, Goenawan, dan lain-lain. Kalau Bargo tak masuk dalam deretan itu, karena Tuhan belum berkenan memberi.
"Tetapi, tetap saja tak akan sampai seratus, Pakne." Asih tetap bersikukuh pada pendapatnya. Bargo mengalah. Ia segera ke belakang rumahnya. Berkesenian.
* * * SAAT berada di belakang rumahnya itulah, ia menerima undangan dari Gubernur yang dibawa oleh pegawai kelurahan. Saat matahari tepat di puncak kepalanya. Ketika peluh melumuri kulit pekatnya sehingga seperti berminyak. Sewaktu ia sedang asyik berkesenian di situ, pegawai kelurahan menyerahkan undangan pada Bargo, dan berujar: "Pak Bargo, undangan dari Bapak Gubernur. Bapak akan mendapat penghargaan."
"Penghargaan apa, Pak" Pak Gubernur mau kasih saya penghargaan?" Bargo heran. Ia tak mengerti. Tatapannya tajam meski terasa kosong.
Pembawa undangan itu berulang mengangguk. Kemudian ia menjelaskan kalau Bargo diundang Gubernur untuk menerima penghargaan bersama para seniman dan tokoh lain yang berprestasi. Pegawai kelurahan itu juga mengingatkan Bargo supaya jangan tidak hadir, sebab pemberian penghargaan itu sangat penting.
Katanya, "Bapak Gubernur berharap sekali para penerima penghargaan hadir semua. Karena beliau ingin mengucapkan sesuatu, memberi kenangan, dan bertatap muka dengan tokoh-tokoh berprestasi."
"Saya berprestasi?" Bargo bertanya.
"Ya! Kalau tidak, mana mungkin Bapak Gubernur memberi undangan ini pada Pak Bargo!"
"Dari mana Bapak Gubernur tahu?"
"Sudahlah Pak Bargo jangan banyak tanya. Dari mana Bapak Gubernur tahu itu urusan beliau, dan kita tak perlu mencari tahu. Yang penting, seperti pesan Bapak Lurah, jangan sampai Pak Bargo tidak hadir di Kantor Gubernur saat penerimaan penghargaan. Ingat ya Pak?" tekan pembawa undangan itu. Tampaknya ia kesal mendengar celoteh Bargo.
Ia mengangguk. Meski benaknya berhitung. Untuk datang saat menerima penghargaan tersebut, ia harus punya uang untuk ongkos mobil dari rumah ke Kantor Gubernur. Kalau mau cepat ia bisa naik ojek dengan ongkos Rp 10 ribu untuk dua motor.
"Ini uang sekedarnya dari Bapak Lurah," kata pegawai kelurahan itu setelah beberapa jenak terdiam, sebelum ia pamit. Bargo membuka amplop pemberian Bapak Lurah. Di dalam amplop itu ada dua lembar Rp 10 ribu dan selembar Rp 5 ribu.
Ia berpikir. Bapak Lurah tak hendak didamprat atasannya kalau ia tak bisa datang saat menerima penghargaan dari Gubernur lantaran tidak ada ongkos. Karena itulah, dengan uang Rp 50 ribu, Bargo merasa terikat janji: ia harus datang. "Meski Pak Lurah tak ngasih, aku harus hadir biarpun mengutang dulu!" Ia membatin.
Ia amat yakin, penghargaan Gubernur pastilah dibarengi uang. Istilah yang suka dipakai pemerintah, uang pembinaan atau pengikat tali-kasih. Dan, setiap kali ia bayangkan isi amplop yang akan diterima dari Gubernur, wajahnya sumringah. "Pastilah tak kurang dari Ro 10 juta!" batinnya.
Karena itu, ia tulis dalam buku catatannya: "Ini saat keberuntungan kedua dalam hidupku. Aku (akan) mendapatkan penghargaan dan uang Rp 10 juta (minimal) atau lebih. Pada hari ini, 18 Maret 2006 pukul 19.00 di Aula Kantor Gubernur Anuland." Kemudian Bargo menutup kembali bukunya, dan meletakkan di tempat semula. Senja mulai mengelam.
* * * BARGO sudah berpakaian rapih. Baju batik lengan pendek, celana blue jins belel, topi pet hitam, dan berlapis jaket. Sedangkan istrinya tak kalah rapih, begitu pula anak bungsunya. Tukang ojek sudah menanti di halaman rumah.
Sengaja mereka mengosongkan perutnya lantaran yakin akan mendapat jamuan makan malam dari Bapak Gubernur. Bahkan Asih menjanjikan kedua anaknya di rumah, akan membawa sepotong atau dua potong ayam goreng, rendang, dan kue.
"Lihat ini Bukne sudah siapin serbet untuk membungkus makanan," kata Asih pada kedua anaknya yang tinggal. Tersenyum. Memasukkan kembali sapu tangan itu ke dalam tasnya.
Bargo tersenyum. Pikirnya, kapan lagi istrinya bisa berbakti pada anaknya. Inilah saatnya. Aji mumpung pun mesti dimanfaatkan. Bargo juga mengingatkan Yuda supaya jangan sungkan mengambil makanan di meja. "Nggak ada yang peduli di sana. Jangan malu-malu ya." Yuda mengangguk.
Asih tampak gemetar ketika memasuki Aula Gubernur. Bargo segera berbisik, memberi semangat Asih supaya jangan grogi. Katanya, "Bukne santai aja. Jangan tegang. Mereka juga sama dengan kita: manusia."
Asih mengangguk. Lalu ia melangkah tegar. Menerima selamat dan jabat tangan dari beberapa orang, ketika melihat Bargo. Suaminya tak kalah semangat menerima ucapan selamat dan jabat tangan. Menerima sambutan hangat dari beberapa tamu - terutama beberapa pejabat Bargo menjadi yakin kalau penghargaan yang diterima dari Gubernur pastilah uang. Dan, tidak sedikit. Minimal Rp 10 juta.
Bayangkan. Sepuluh juta rupiah. Berarti 10 kebet jika lembaran Rp 100 ribu. Dan, ia makin tak terbayang betapa besar tumpukan uang itu, jika sepuluh juta itu berisi lembaran Rp 50 ribu. "Dengan apa ya Pakne dibungkus uangnya" Bagaimana kita bawanya?" Asih membuyarkan lamunannya.
"Ya, tentu amplop besar, Bukne," jawab Bargo berbisik. "Makanya aku bawa jaket ini, uangnya kuamasukkan ke dalam jaket ini."
Asih mengangguk. Lambungnya mulai berbunyi. "Kapan ya Pakne makannya, saya sudah lapar."
Bargo menggeleng. "Sama Bukne." Berbisik. Ia tak melihat hidangan makanan di meja, kecuali air mineral dan kue di dalam kota yang kini masih di tangannya. Ia berpikir kue di dalam kotak itu akan dibawa pulang untuk dimakan bersama di rumah, karena akan dijamu makan malam. Tetapi, tak juga ada tanda. Acara baru dimulai. Ketua panitia tengah memberi sambutan, sesudah itu laporan tim penyeleksi pemberian penghargaan. Ada 15 orang yang bakal menerima penghargaan, dan Bargo seorang dari seniman yang akan menerima penghargaan.
Pada pukul 21.40 Bapak Gubernur dipersilakan naik ke panggung. Hampir satu jam Gubernur memberikan sambutan dan pesan-pesan kepada warganya yang direlay oleh RRI lokal. Lambung Bargo semakin keras bersuara. Ia pun bekerja keras menahan agar angin tidak keluar dari duburnya. Bagaimana pun sopan santun di tempat umum apalagi saat berada di antara para pejabat seperti itu haruslah diutamakan.
Setelah Bapak Gubernur memberi sambutan yang amat melelahkan, satu per satu penerima penghargaan maju ke depan. Bargo pada urutan kedua setelah seorang anggota dewan yang dipilih sebagai wakil rakyat teladan. Bargo mendapat salam dari wakil rakyat tersebut, Bargo menyambutnya dengan mengembangkan senyum.
Sungguh senang hati Bargo tatkala menerima selembar piagam dari Gubernur lalu mendapat ucapan selamat dan jabat tangan. Rasanya ia tak ingin melepas jabatan tangan Bapak Gubernur. Ia ingin mengabadikan jabatan tangan Bapak Gubernur itu. Namun jelas itu tidak mungkin. Sebab, Bapak Gubernur hanya sekejap menjabat tangan Bargo, kemudian pindah ke yang lain.
Ia menunggu amplop berisi uang yang sangat diharapkannya sejak di rumah. Mungkin Bapak Gubernur akan kembali mendatanginya dan memberikan uang sebagai tali-kasih, setelah orang ke-15 menerima penghargaan. Mungkin piagam yang diberikan Gubernur lebih dulu. Ia membatin. Tetapi, setelah penerima ke-15 mendapatkan penghargaan, Gubernur berdiri di hadapan mereka. Bapak Gubernur berujar, "Saya atas nama pribadi dan Kepala Daerah menyampaikan selamat kepada Saudara-saudara yang kali ini menerima penghargaan. Saudara-saudara adalah teladan bagi warga lain di provinsi ini. Prestasi memang bukan didapat begitu saja, bukan turun dari langit. Melainkan harus diperjuangkan, ada proses untuk mencapai prestasi tersebut. Dan, proses itulah yang berharga dan harus dihargai. Selamat buat Saudara-saudara. Pemerintah tak bisa memberi lebih dari yang Anda terima, tetapi bukan berarti pemerintah tak mempunyai apresiasi. Selamat, selamat."
Bargo tertunduk. Ia melangkah lunglai. Asih segera memegang suaminya. Khawatir terjatuh. Ia pegang erat tangan Bargo. Meninggalkan aula yang megah dan besar itu. Pulang.
"Coba Pakne, saya mau lihat penghargaan apa yang dikasih Bapak Gubernur?" Bargo membuka map yang dilipat dua di tangan kirinya.
"O, cuma selembar piagam." Seorang tamu yang berjalan di sisi Bargo berkomentar.
"Jadi?" Bargo tak menyahut. Tepat di depan pintu keluar, sesuatu yang sejak tadi ia tahan demi kesopanan tak bisa lagi diajak kompromi. Persis ketika piagam dari Gubernur tersebut berada di pantatnya, terdengar suara amat besar dari lubang duburnya.
Orang-orang pun tertawa. Bargo meringis.
*** Mata Ibu Post : 06/19/2006 Disimak: 390 kali Cerpen : Isbedy Stiawan ZS
Sumber : Kompas, Edisi 06/18/2006
Sungguh, aku tak dapat menolak bahkan secara halus ketika Linda memintaku agar mengantarnya ke rumah ibuku. Tetapi, aku tetap mengulur-ulur waktu& .
Aku hanya mau silaturahmi," ujarnya kemudian. Ringan.
Aku bimbang. Sulit sekali untuk menyatakan tidak atau ya. Justru yang terbayang adalah wajah ibuku. Meskipun ibuku sudah tak lagi dapat melihat sejak lima tahun karena diabetes, ibu pasti tahu kalau yang kubawa bukan Mirna, istriku. Kemudian ia akan bertanya macam-macam tentang Linda. Perasaan seorang ibu yang sudah 60 tahun lebih hidup pastilah akan berkata lain. Setidaknya, dia akan berkata dalam hatinya bahwa aku sudah berani bermain api. Atau kebiasaan ibu yang selalu berterus terang akan bertanya: "Kamu sudah beristri lagi, ya" Jangan lukai hati perempuan. Jangan sekali-kali menipu istri, Rud."
Kata Linda hanya mau silaturahmi. Benarkah tanpa maksud lain di baliknya" Aku ragu. Soalnya, Linda belum kenal dengan ibuku. Ibu juga tak mengenal perempuan lain bahkan sebagai temanku sekalipun, kecuali Mirna yang sudah menjadi istriku selama 23 tahun. Ibu juga amat tahu dengan pribadiku selama ini yang tak suka bermain-main api, tak pernah berkhianat. Bahkan sewaktu aku berpacaran dengan Mirna, aku tak pernah membawa perempuan lain ke rumah. Selalu Mirna yang kuajak. Senantiasa Mirna yang datang dan menemui ibu.
Kalau kini aku membawa Linda" Apa kata ibu" Kepercayaan ibu selama ini padaku pastilah segera tercoreng. Ia tak akan mempercayaiku lagi untuk selamalamanya. Ibu akau menudingku sudah berkhianat pada Mirna, pada kaum perempuan. Dan, aku yakin, ibu pun akan terluka hatinya. Sebagai sesama perempuan, hati ibu akan sama seperti yang dirasakan Mirna. Apalagi, aku tahu benar, ayah selama hidup perkawinannya dengan ibu tidak kudengar berselingkuh. Secuil pun tak melukai hati ibu. Tidak juga bermain mata dengan perempuan lain. Maka bukan mustahil ibu akan berang kalau tahu yang kubawa ke hadapannya adalah perempuan lain, meski hanya teman biasa.
Kalau tidak berbisik, ia akan terang-terangan berujar: "Jangan bawa perempuan lain ke sini, apa jadinya kalau Mirna tahu" Ibu tak enak, dikiranya ibu menyetujui hubungan kalian!" Atau dengan cara lain: ibu menunjukkan sikap tak sukanya.
Ada hubungan" Benarkah aku memiliki hubungan khusus dengan Linda" Sungguh, sulit aku menjawabnya. Linda adalah perempuan yang kukenal enam bulan lalu pada malam pembacaan puisi di Gedung Kesenian. Ia menemuiku sesudah acara, dan seperti dia katakan bahwa ia kerap membaca tulisanku di berbagai media massa nasional. Terutama cerpen-cerpenku yang dimuat tabloid wanita dan di sebuah harian terbesar di Jakarta . "Tapi, saya juga menyukai puisi-puisi Mas Rudi. Bahkan saya amat menyukai puisi Mas yang untuk ibu, saya hafal di luar kepala. Puisi itu sungguhsungguh menggugah saya, membuat saya teringat pada ibu saya yang sudah meninggal. Kapan-kapan boleh saya bertemu dengan ibu Mas Rudi?"
Waktu itu aku hanya mengangguk. Mungkin basa-basi. Karena pikirku, tak mungkin Linda akan datang ke kotaku. Lagi pula pertemuan di suatu tempat seperti di Gedung Kesenian, seperti sebuah perjumpaan yang terjadi di halte, terminal, pelabuhan, ataupun di dalam perjalanan. Hanya saling "hello" untuk kemudian berjalan masingmasing atau dilupakan.
Tapi, meleset. Ternyata tidak setiap pertemuan yang tak sengaja dan sekejap lalu tak berkesan. Sebab, bagi Linda, perjumpaan yang sekejap itu amat berkesan. Ia datang ke kotaku. Sepertinya hendak menagih janjiku untuk mempertemukannya dengan ibuku yang terabadi dalam puisiku: "Kembali Ziarah". Ia bahkan memujiku. Aku dinilainya sebagai anak yang berbakti pada ibu, yang memiliki kesejarahan yang sangat dekat dan kuat pada ibu.
"Dari puisi Mas Rudi itu, saya bisa merasakan bahwa pengarangnya memiliki kedekatan amat khusus dengan ibu. Padahal banyak pengarang yang menulis tentang ibu, tapi tak sedalam makna yang ada dalam puisi Mas Rudi. Itulah sebabnya, aku ingin sekali bertemu dengan ibu. Bagaimana sih sesungguhnya perempuan yang ada dalam puisi mas Rudi itu?" katanya memberi alasan saat kutanya mengapa ia ingin sekali bertemu dengan ibuku, sehingga jauh-jauh datang ke kotaku.
Linda kujemput di Bandara Radin Intan dengan pesawat pertama. Ia sempat kaget ketika ia kugiring ke motorku begitu keluar dari pintu bandara. Mungkin dalam benaknya, aku akan menjemputnya dengan mobil pribadi. Namun kekagetan itu hanya sesaat, wajahnya segera berganti ceria. "Wah, asyik sekali berkendaraan motor. Saya bisa leluasa melihat keindahan kotamu," ucapnya segera melompat ke jok motor. "Kamu benar-benar heroik!" pujiku.
"Aneh?" "Tidak sih. Cuma aku benar-benar tak memperkirakan kalau kau akan datang. Kukira malam itu, kau hanya basa-basi& ."
"Saya tak pernah main-main dengan ucapanku. Aku tak suka kepura-puraan," katanya tegas. "Apa kau melihat wajahku seperti yang orang yang selalu pura-pura?" "Tidak juga!"
"Nah, buang jauh-jauh kalau begitu pikiran negatifmu sejak sekarang tentang diriku& ."
"Oke. Maafkan aku," kataku kemudian. "Sekarang kita mampir dulu ke rumah makan. Aku yakin kau pasti sudah lapar. Iya kan?"
"Wah, tawaran yang bagus itu."
Ini sudah hari ketiga Linda berada di kotaku. Ia sudah bertekad akan menetap agak lama, itu sebabnya, siang tadi ia memintaku mencarikan sewaan rumah. Ia tertarik dengan rumah itu, tinggal lagi kesepakatan harga. Sebenarnya aku sudah berulang menasihatinya agar segera pulang ke suaminya, tetap ia bersikukuh. Keputusannya sudah bulat: meninggalkan suaminya. Ia sudah mengajukan mutasi kerja ke bank cabang di kotaku.
"Tak ada yang bisa memengaruhi untuk kembali padanya. Aku sudah bosan dengan janji-janji palsunya!" tegasnya. Yang jelas, menurut Linda, akhirnya ini sejak suaminya pengangguran memang kerap ringan tangan. Padahal yang menutupi kebutuhan rumah tangganya dari gajinya.
Lalu ia meminta masukan perihal tata cara perceraian. Sekadarnya kujelaskan sejauh yang kutahu, tanpa ingin aku masuk ke persoalan rumah tangganya. Aku selalu berada di antara keduanya. Aku katakan padanya, biasanya yang menggugat perceraian bukan dari pihak istri. Oleh sebab itu, sulit jika pihak laki tak mau menceraikan.
"Kalau begitu masalahnya, ya sudah aku tak mau mengurus perceraian kami. Tapi juga aku tak ingin kembali menemuinya! Titik. Beres kan?"
"Jelas tak semudah itu," kataku. "Kalau, misalnya, nasib menentukan kau mencintai seseorang dan lelaki itu juga ingin menikahimu. Bagaimana kalau suamimu tahu dan karena merasa kalian belum bercerai, ia pun menuntut?"
"Ah, itu urusan nanti. Sebuah masalah yang belum terbayang dalam benakku!" Linda menepis kemungkinan itu. Dan, ia memang tipe orang yang selalu realistis. Ia lakoni apa yang ada pada hari ini dan yang di hadapannya.
Setelah itu diam. Beberapa lama. Motorku melaju menembus kilapan cahaya lampu sepanjang Jalan Diponegoro menuju Kota Telukbetung. Ketika melintasi perempatan Jalan Dr Susilo, Linda menunjuk sepasang patung Muli dan Menganai yang masih berselimut kain putih.
"Mengapa patung itu diselimuti. Patung apa itu?" ia bertanya. Deru motor membuat suaranya sayup-sayup sampai ke telingaku.
"Itu patung Muli-Menganai. Bahasa Lampung artinya gadis dan bujang . Karena belum sesuai adat dan kalau tak salah banyak yang protes, akhirnya patung yang baru dibuat oleh Wali Kota yang baru dilantik terpaksa ditunda peresmiannya," aku menjelaskan.
Linda tak lagi bertanya. Aku memacu motorku menuruni Jalan Diponegoro. Berhenti di sebuah warung khusus penjual pempek. Aku yakin Linda pasti ingin mencicipi pempek Palembang yang banyak disediakan di kawasan ini. Benar, ia bersemangat. Apalagi, setelah tahu harganya pun jauh lebih murah jika dibanding di Jakarta. Entah berapa puluh pempek disantapnya. Aku khawatir akan mengganggu perutnya.
"Kau keberatan mengantarku ke rumah ibu?" Linda kembali mengajukan pertanyaan, seusai pempek ke 15 dimakannya. Aku menghidupkan sebatang rokok. "Ya sudah kalau kau tak ingin, aku maklum. Berarti kau menganggapku hanya sebatas teman, tidak lebih dari itu," lanjutnya.
"Maksudmu, Linda?" Aku tak mengerti. "Bukan karena aku keberatan, cuma belum saatnya."
Linda tak menyahut. Ia kesampingkan pandangannya.
"Maafkan aku, Linda. Bukan aku tak ingin mengenalkanmu dengan ibu. Hanya tidak sekarang," kataku membuka percakapan sambil memasukkan makanan ke mulut.
Hening. Kutatap wajah Linda dalam-dalam. Aku menginginkan pengertiannya, sekali lagi, agar ia membatalkan untuk bertemu ibu. Aku hendak menjaga perasaan ibu yang selama hidupnya mendampingi ayah tanpa dikhianati. Aku juga mau menenggang rasa Mirna. Tetapi, bukankah Linda juga perempuan" Ia juga punya perasaan, setidaknya memiliki kerinduan pada figur ibu sejak orangtuanya meninggalkan empat tahun lalu.
"Katamu kemarin, mau mengantarku sekarang?" "Tapi, sudah malam, Linda?"
"Sudahlah, tak usah beralasan. Kau memang tak ingin menemukan aku dengan ibumu. Aku jadi meragukan tentang puisimu itu& "
"Oke, oke. Ayo, malam ini aku antar kau menemui ibuku," kataku sudah kehabisan cara untuk menolak keinginannya.
"Tapi, sepertinya kau terpaksa" Aku tak mau kau merasa dipaksa olehku, lalu mengantarku pun karena terpaksa. Aku tak suka itu& "
"Tidak, tidak. Aku mau mengantarmu sekarang, ayo& "
Ibu ternyata belum tidur. Kulihat mukena belum dilipatnya. Pastilah ibu baru selesai shalat sunah usai Isa menjelang tidur. Aku mengambil tangan ibu dan mencium sedalam-dalamnya.
"Ada apa Rud, malam-malam datang?"
Adikku yang sudah berkeluarga dan menemani ibu mendekati telinga ibu dan berbisik: "Rudi datang membawa teman perempuan. Katanya ingin bertemu ibu& "
"Siapa?" ibu bertanya. Entah lantaran tak mendengar atau pertanyaan yang menyimpan kecurigaan. Adikku mengulang. Ia menuntun ibu ke luar kamar.
Linda segera menghampiri dan mengambil tangan ibuku untuk kemudian menciumnya. "Saya Linda Bu dari Jakarta. Saya tertarik dengan puisi Mas Rudi yang sangat menyanjung dan memuji Ibu. Karena itu, saya ingin sekali bertemu Ibu, hendak bersilaturahmi."
Ibu hanya diam. Rona wajah ibu tak sedikit pun berubah. Ia mencari kursi di tempat biasa ibu duduk. Linda mendekat. Menyerahkan kue ke tangan ibu. Setelah itu merogoh isi tas dan mengeluarkan sesuatu.
"Siang tadi saya membeli kacamata, saya pikir Ibu tak bisa melihat hanya karena tak punya kacamata. Tapi& " ujar Linda sambil menyerahkan kacamata yang aku yakin harganya amat mahal.
"Maaf, Nak. Mata Ibu sudah tak butuh kacamata lagi. Sudah tak berfungsi lagi& ."
"Bagaimana kalau dioperasi saja, Bu" Biar saya yang menanggung semua biayanya."
"Ah, tak perlu repot-repot, Nak. Biarlah, toh Ibu juga sudah tua. Umur Ibu sudah tak lama lagi."
"Jangan berkata begitu, Bu& ," aku mencegah ucapan ibu yang menjurus pesimistis dan pasrah.
"Ya, Bu. Soal usia manusia, hanya Tuhan yang lebih tahu. Bagaimana, Bu, kalau mau dioperasi segera besok dibawa ke rumah sakit," lanjut Linda.
"Tak usah, Nak, tak usah repot-repot," kata ibu lembut. "Mata Ibu juga sudah tak mungkin bisa kembali, sudah lima tahun. Lagi pula, Ibu juga sudah diberi kesempatan oleh Allah melihat dunia cukup lama. Ibu juga tak jalan ke mana-mana lagi, hanya di rumah& "
"Tapi, Bu& ," sosor Linda.
"Jangan sampai Ibu merepotkan Anak." "Tidak, Bu& "
"Jangan. Ibu berterima kasih dengan niat Nak Linda. Ibu juga berterima kasih Anak mau menjenguk Ibu, hanya karena membaca puisi Rudi. Ah, Ibu sendiri tak tahu apa puisinya itu, Rudi tak pernah membacakannya di depan Ibu& "
"Bacakan& ." Linda berbisik.
Aku segera membacakan puisi "Kembali Ziarah", tentu tidak seperti ketika aku membacakannya di panggung kesenian. Namun dengan interpretasi yang dalam, suaraku pelan dan bergetar. Kulihat tetesan yang menjelma anak sungai yang keluar dari sumber mata ibu membasahi kedua pipinya.
"Walau Ibu tak mengerti, puisimu menyentuh& ," komentar ibu, usai kubacakan seluruh larik puisiku itu. "Sebagaimana meskipun mata Ibu sudah tak berfungsi, tapi Ibu tetap merasakan melihat dunia. Ibu bisa merasakan getar yang ada di dalam dirimu Rudi, juga yang ada padamu Nak Linda& "


1000 Kutu Di Kepala Anakku Karya Isbedy Istiawan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kuperhatikan Linda serba salah mendengar ucapan ibu. Mata ibu lebih tajam. Perasaan ibu sangatlah dalam. Betapa dalam sehingga mampu menembus segala rahasia.
"Jangan khianati istri dan anakmu. Menantu Ibu masih tetap Mirna& " bisik ibu sesampai di tempat tidur. Suaranya terbata dan pelan, tapi terdengar amat bergetar.
Lampung, April-Mei 2006 Lelaki itu Suamiku Post : 06/19/2006 Disimak: 320 kali Cerpen : Isbedy Stiawan ZS
Sumber : Media Indonesia, Edisi 06/18/2006
MALAM kelam selebat hutan. Udara dingin selapis kain tipis. Jalan yang cuma setapak bersisa basah. Lumpur. Rumputan lembab.
Tiada pilihan. Harus melangkah mengikuti kemauan kaki. Dan, gerbang kompleks perumahan sudah tertinggal. Mungkin akan kulupakan selamanya. Tak sudi kuingat lagi waktu terkutuk ini. Perempuan tertutup sehelai kain. Telentang di ranjangku. Juga lelaki di sebelahnya, terlelap bagai bonggol jagung. Lelaki itu suamiku.
Keduanya masih bermandi keringat. Meski dengkurnya keras sekali pertanda ia benar-benar lelap. Aku tidak berkeinginan membangunkan Mas Tarman, atau menyeret perempuan itu yang sudah berani tidur di ranjangku. Biarlah keduanya lelap, bahkan kalau mungkin mati di tempat tidur.
*** Sebelum kuniatkan pergi dari rumahku, memang sudah kukemas pakaianku. Segera kumasukkan ke dalam tas besar, sebelum kedua hewan itu terjaga. Biarlah waktu dan kamar yang menjadi saksi. Biarlah iblis-iblis yang menyaksikannya sembari tertawa-kekeh. Bukan lantaran mereka menjebakku tengah menonton sambil menggigit lidahku lantaran terluka hati ini.
Diam-diam kutinggalkan rumah. Aku hanya pamit pada pintu, jendela, dan seluruh isi rumahku yang telah membuatku kerasan menetap hampir 10 tahun bersama Mas Tarman. Di rumah tersebut aku menyulam cinta sambil berharap-harap dari cinta kami akan berbuah momongan. Betapa pun harapan itu sampai saat ini belum terpenuhi. Barangkali belum saatnya. Mungkin....
Tetapi, tanpa membuahkan anak dapat menyebabkan perkawinan menuju ambang rawan. Walau hingga memasuki tahun ke tujuh perkawinan kami belum tanda. Meski Mas Tarman masih sering menciumku dengan perasaan sayang dan cinta. Ia kerap mengajakku bercumbu hingga jelang subuh. Aku suka. Kusambut dengan keriangan pula. Berkali-kali.
Hanya saja, benarkah Mas Tarman sungguh-sungguh mencintaiku" Masihkan ia menyayangiku sepenuh tulus" Tidak tergiur oleh aroma keringat lain perempuan" Setiap kali batinku merintih seperti itu, Mas Tarman selalu menghiburku: "Kalau harus kulintasi benua demi benua, maka aku akan selalu berpulang ke pelukanmu. Percayalah, Asih."
Hati siapa yang tak akan berbunga mendengar ucapan itu" Apalagi kata itu keluar dari bibir lelaki yang sangat dicintai. Aku memang sangat mengagumi Mas Tarman. Sejak lajang. Itu sebabnya, membuatku menerima ketika dia dilamar.
Lelaki itu kemudian jadi suamiku. Tarman namanya. Posturnya kekar. Selalu tegap jika berjalan. Dadanya melebar. Pandangnya tak pernah ke bawah. Suaranya berat. Sedikit bicara, padat katanya. Bila kami sedang berdekatan, sangatlah menggairahkan. Begitulah lelaki itu, namanya Tarman, sudah tidur bersamaku 10 tahun lamanya. Akan tetapi, tak juga berbuah janin di rahimku. Sebagai calon anak kami. Seorang saja.
Meski belum dikaruniai anak, tidak mengurangi percintaan kami. Mas Tarman tetap bergairah bila di ranjang. Aku tak kurang pula menerima dan melawan cumbuannya. Sepuluh tahun bukti cinta kami. Sepuluh tahun cukuplah untuk kukatakan bahwa perjalanan rumah tanggaku tiada aral-rintang. Tiada percikan api yang bakal membakar rumah tanggaku.
*** AKU telanjur menggantungkan kepercayaanku pada cinta. Hawa yang selalu keluar dari mulut Mas Tarman setiap mendekapku, telah menyihir perasaanku hanya untuk mengingatnya. Betapa aroma peluhnya itulah yang membuatku tersengsem untuk selalu ingin didekapnya. Di mataku ia adalah Arjuna: begitu sulit kulikis ketampanannya. Sedang di hatiku, ia layaknya sang Romeo: lelaki yang memiliki cinta tiada banding di jagat ini.
Karena itu, biarpun ibu pernah memintaku berpikir dulu sebelum menjatuhkan keputusan menerima lamaran Mas Tarman, aku menepis dengan satu helaan saja: "Aku lebih tahu tentang Mas Tarman!"
Ibu tersungut. Tak berani lagi melontarkan nasihat apa pun mengenai hubunganku dengan Tarman. Aku yakin ibu kecewa, tapi lebih kecewa lagi aku kalau ibu menolak lelaki yang kukagumi itu menjadi suamiku.
Pernikahan sederhana. Kukira paling sederhana dibanding saat ibu mengawinkan kakak-adikku. Ibu menyelenggarakannya dengan sangat meriah, disambut sukacita. Walaupun sederhana, itu semua terhapus juga tatkala Mas Tarman mengucap: "Kuterima nikah Asih binti Sugardo dengan emas kawin...."
Lalu, selayaknya seorang ratu kunaiki pelaminan. Aku seperti terbang dengan sayap yang terbuat dari cinta yang dianyam oleh tangan Mas Tarman. Sayap itu sangat putih. Tangan yang menyulam pun amatlah penuh oleh kasih sayang.
Sayap yang kemudian melindungi rumah tanggaku bersama Tarman. Sayap itu pula selalu kujaga agar tidak menguncup atau rusak termakan waktu. Sayap yang dapat berfungsi ganda. Sebagai selimut kami.
*** MAKA aku benar-benar tidak percaya menyaksikan sepasang tubuh yang hanya ditutup sehelai kain di ranjangku. Terlelap. Dengkurnya bagai harimau bersuara. Karena lelah mungkin, membuat keduanya bagai bonggol jagung. Telentang.
Aku gemas. Amarahku membara. Darahku meluap-luap. Seperti buncahan laut pada saat terempas badai. Gelombangnya tinggi, melebih tepi pantai. Memasuki kota.
Ah! Kini aku sudah melewati gerbang perumahan. Malam makin pekat selebat hutan. Udara dingin selapis kain tipis menusuk poriku. Ingin aku bergegas, tapi langkahku terasa lambat sekali kuseret. Tidak seperti ketika aku melepas kenangan selama bersama Mas Tarman. Semisal kubalikan telapak tanganku, sekali hup! Rontoklah seluruhnya bagai daun-daun kering luruh dari ranting.
Aku tak percaya kata orang, kenangan-terutama yang manis dan indah-dalam bercinta, sungguh sulit dilupakan. Ternyata aku dapat dengan cepat melupakannya. Buktinya, dengan sekali tebas gugurlah segala kenangan dan masa lalu itu.
Bahkan aku pun mampu untuk tidak mengingat lagi perempuan yang lelap di ranjangku. Perempuan terkutuk. Dalam keadaan bugil. Di sebelahnya, yang sedang mendengkur--juga dalam keadaan tanpa penutup badan--seorang lelaki yang selama 10 tahun dekat di hatiku, sudah pula kulupakan kini. Lelaki itu, ya lelaki yang tidur bersama perempuan lain, pernah menjadi suamiku. Namun semenjak satu jam yang lalu dan seterusnya sudah kuanggap orang lain. Tak mungkin akan kukenal lagi.
Biarlah segalanya lesap dari ingatanku. Biarkan lelaki itu bukan lagi menjadi bagian dari kenanganku. Bukan pula sebagai masa lalu. Sekarang ini aku tengah menuju masa datang. Sebuah waktu yang membuka, yang membentang. Aku, walau tak diizinkan, pastilah kumasiku. Tentulah akan kulampaui.
Aku susuri setiap lekuk waktu dan segala kemungkinan. Sebagai perempuan yang sendiri. Selayaknya Mariam yang mencari-cari tempat persinggahan saat mengandung putra Isa. Perempuan Mariam nan suci. Aku ingin sekali seperti dia.
Cuma nasibku lain. Persinggahanku berubah-ubah. Aku berganti-ganti di dalam dekapan lelaki. Untuk semua itu--untuk sekali atau dua kali persinggahan--aku dibayar. Dekapan yang hambar dan ringan, tentu saja. Lelaki-lelaki itu, bolehlah kuakui suamiku. Suami dalam waktu yang sejenak. Tiada ikatan di dalam buku catatan perkawinan.
Ah! Aku sudah tak percaya lagi pada pengikat kesetiaan. Tiada lagi di benakku perlembagaan tersebut. Kiranya aku kini merasa bahagia terbang tanpa perlu membikin sayap lebih dulu. Aku dapat hinggap di mana pun yang kusuka, setelah itu boleh terbang lagi tanpa harus mengucap "salam".
Begitulah aku. Perempuan burung yang tak mesti lebih dulu menganyam sayap untuk terbang, tak harus membangun sarang jika lelah dan butuh rebahan. Sebab, aku dapat berbaring di ranjang mana saja. Bahkan, di selembar tikar. Boleh pula di kamar pengap. Jika itu mengharuskan.
Aku terbang. Dari satu ranting ke lain ranting. Hinggap sekejap atau beberapa kejap, lalu kembali terbang. Bagai buruh sungguhan, aku tiada pernah lelah meski kukapakkan sayap melintasi berbagai pulau. Walau berpuluh atau beratus lelaki sebagai ranting, kusinggahi sudah.
Sekarang aku benar-benar menjelma jadi burung. Perkasa. Kedua sayapku kukuh. Mengepak, mengepak. Terbang menggaris cakrawala. Singgah dari satu ranting ke lain ranting. Dari lelaki satu ke lelaki kedua, ketiga, dan seterusnya.
Semua lelaki itu, para lelaki, setiap sedang berkencan denganku mengaku dirinya suamiku. Dan, aku tak pernah lupa menyapa mereka, "Papa...."
**** ENTAH pada ke berapa persinggahan, seorang lelaki meneleponku untuk bertemu. Pukul sembilan malam, ia menungguku di sebuah kamar hotel bintang lima. Sebagai burung yang bebas, aku segera terbang menghampirinya. Setelah izin pada resepsionis, aku menuju kamar yang tampaknya sengaja tak dikunci.
Aku terperangah. Dan, tampak ia lebih kaget lagi. Seorang lelaki duduk di ranjang bersandar dinding. Kami beradu pandang. Seakan saling menguliti. Mata kami adu cepat menyilet. Seperti hendak mencari tanda. Hanya saja, sulit sekali menandai. Aku seperti belum pernah berjumpa sebelumnya. Lelaki itu juga merasa tak mengenalku.
Kusebut namaku. Ia jawab, terlalu banyak nama Asih di kota ini. Ia mengenalkan diri bernama Tarman. Kukatakan, "Kau adalah kenalan baruku. Karena itu, kucatat lebih dulu dalam barisan nama-nama lelaki."
Ia bercerita tentang rumah tangganya. Juga seorang perempuan yang telah meninggalkannya ketika ia sedang terlelap. Lelaki itu, yang kini di hadapanku, adalah seorang pejabat di Kota Anu. Ia sedang mengikuti seminar tentang kota bersih di Kota Ini.
Tetapi sayangnya, aku tak memiliki gairah menemaninya bermalam. Entah mengapa, walau sebenarnya aku dapat saja menerima bayaran mahal. Aku merasa saat ini lebih suci darinya. Sebab tak mungkin lelaki masa lalu yang sudah kuhapus kenangannya, akan kembali"
Lampung, 17-23 Maret 2006; 23.30
Kuda Post : 05/29/2006 Disimak: 147 kali Cerpen : Isbedy Stiawan ZS
Sumber : Lampung post, Edisi 05/21/2006
ENTAH karena bagaimana dan tersebab apa, kuda tanpa majikan itu menyeruak dari belantara dan nyaris saja menyerudukku. Segera aku menghindar, menggerakkan badanku empat langkah ke kiri. Aku percaya tak selamanya kiri adalah buruk. Buktinya aku selamat dari serudukan kuda itu yang, mungkin, sedang mabuk&
Kuda tanpa majikan kami, orang kampung, biasa menyebutnya kuda liar memang tidak banyak dan tak terlalu sering memasuki kampung seperti ini. Berbeda dengan sekawanan gajah, misalnya yang terjadi di pedusunan Lampung yang kerap merusak kebun dan rumah penduduk, bahkan sampai menewaskan warga. Sedangkan kuda yang menyeruak dari hutan dan nyaris menyerudukku tidak begitu menakutkan, meski tetap membuat kami was-was. Kami tak dapat membayangkan, misalnya suatu saat kuda itu menjadi kalap dan bukan tidak mungkin akan menelan korban.
Kaum perempuan paling besar tingkat kekhawatirannya. Istriku sudah berkalikali mengajak mencari tempat hunian baru. "Kalau bisa kita cari rumah di desa yang lebih ramai. Tidak seperti di sini. Aku takut, Mas& " katanya. Ia mengkhawatirkan, bukan tak mungkin suatu kelak akan datang kuda yang lebih liar dan buas lalu merusak ladang, rumah, dan membunuh warga. "Coba bagaimana kalau keluarga kita yang& ."
"Di mana pun dan karena apa pun orang bisa saja mati. Jadi, bukan hanya karena kuda. Jangan cemas berlebihan seperti itu, Ati& " ujarku sekadar memberi semangat.
Malam pekat. Bintang hanya sedikit tampak di langit. Aku duduk di beranda menikmati segelas kopi dan sepiring singkong goreng. Ditemani istriku yang belum luntur perasaan cemasnya. Ia memgaku masih sulit melupakan kejadian senja tadi, saat aku nyaris diseruduk kuda. Peristiwa sore tadi adalah yang kesebelas kali menimpa warga. Setahun lalu seorang warga harus dilarikan ke rumah sakit kota karena dadanya diinjak-injak kuda. Ia harus di opname lima hari di rumah sakit provinsi, walaupun akhirnya ia meninggal. Dan, kuda yang membuat warga mati itu lalu dibantai beramairamai. Setelah meregang nyawa, kuda itu dibakar.
Aku menolak cara warga melampiaskan dendamnya pada seekor kuda. Aku katakan pada orang kampung, perlakukanlah secara manusiawi meskipun hanya dengan seekor cacing. Tetapi, orang-orang kampung bergeming. Bagai singa lapar, kuda yang sudah terkepung dibantai lalu dimandikan dengan bensin dan dibakar. Bau sangit daging yang terbakar itu menyebar terbawa angin. Banyak di antara kami yang kemudian tak mampu menelan makanan.
Mungkin karena itu pula, sepekan kemudian tiga ekor kuda liar bertamu ke kampung kami. Setiap warga keluar rumah, ketiga ekor kuda itu mengejar tapi tak sampai mencelakakan. Meski begitu, kami dibuatnya cemas. Tak satu pun warga yang berani ke ladang. Lebih dari sepekan kami mengurung diri di rumah. Konon, ketiga ekor kuda itu kembali ke hutan&
ENTAH dari mana kuda itu datang. Sebab apa pula ia bertamu ke kampung kami layaknya membawa dendam amat besar. Ia selalu datang seperti pemabuk: matanya merah, sorotannya menyala, larinya kesetanan, menyeruduk apa yang dilihatnya. Berbeda dengan kuda lain yang biasa kami jumpai: santun dan selalu berkarib dengan manusia.
Senja tadi membuat seluruh warga kembali tersentak. Entah karena bagaimana dan tersebab apa, kuda tanpa majikan itu menyeruak dari belantara dan nyaris saja menyerudukku. Segera aku menghindar, menggerakkan badanku empat langkah ke kiri. Aku percaya tak selamanya kiri adalah buruk. Aku selamat dari amukan kuda.
Namun tak urung Ati cemas juga. Ia yang berdiri di bibir tangga rumah panggungku berteriak histeri, kemudian tak sadar. Mungkin ia mengira kuda itu sudah menginjak-injak tubuhku, dijadikan bulan-bulanan sebagaimana dialami Rohmat ataupun Mujid. Kecuali kaki kiriku terkilir, tak ada cedera lain yang membahayakan hidupku. Aku dipapah Totok, anak sulungku, menaiki tangga. Didudukkan di kursi kayu. Ia mengambil segelas air putih dan menyodorkan ke bibirku. Aku tersenyum menyaksikan perlakuan anakku itu, sebab aku tak pingsan. Tetapi kuminum juga air yang disorong ke mulutku, setidaknya untuk melancarkan nafasku yang masih tak beraturan.
Ketika siuman Ati langsung mendekapku. Menciumi wajahku, membelai-belai rambutku. Tentu maish dengan isaknya. Ia tampak sekali mencemaskan diriku. "Kau tak apa-apa kan, Mas" Kau tak apa-apa?"
Aku tertawa. Mengelus pundaknya.
"Aku tak apa-apa, hanya kaget karena tak mengira sama sekali kuda liar akan datang lagi ke kampung kita& ."
Ati mengangguk. "Padahal sudah lama kampung kita aman dari serbuan, kuda kuda itu lama menghilang. Tapi& "
"Artinya kita harus selalu waspada& ."
"Makanya kita pindah saja dari sini, Mas. Aku khawatir kita jadi korban sisa-sia kalau datang kuda yang lebih buas lagi," ucap Ati.
"Sudah bertahun-tahun menetap di sini, Ati. Kita lebih lama menetap di kampung ini dibanding hewan itu, mengapa kita harus pindah" Dengan binatang yang lebih buas lagi saja kita tak pernah takut, kenapa takut hanya dengan kuda?"
"Tapi kuda yang masuk kampung kita ini lain, bukan sembarang kuda. Mereka tak jinak melainkan amat liar& ." jawab Ati dengan amat cemas.
Seekor kuda bukan lagi sebagai kuda, kalau sifatnya serupa hewan buas yang lain: harimau, badak, ataupun gajah. Ati mengingatkan. Ia menduga, kuda yang mendatangi kampung kami dan kadang nyaris mencelakakan itu bukan kuda sembarang kuda. Tetapi, kuda yang seakan telah dirasuki setan atau ruh dari seorang pemabuk. Bagaimana tidak, pernah seekor kuda memasuki rumah tetanggaku yang bangunannya tidak panggung. Kuda itu menyeruak ke dalam rumah dan menyerujuk pintu kamar tidur hingga terbelah, lalu menaiki ranjang. Di sana, ia kencing pula. Istri Darmono yang kebetulan sendirian di rumah lari ketakutan, sebab kuda itu seperti ingin memperkosanya!
"Kalau bukan sembarang kuda, tak mungkin ia berprilaku seperti itu," kata Ati
lagi. "Tapi, bisa saja tingkahnya berubah. Manusia saja bisa berubah& ." tukasku seakan ahli mengenai sifat kuda. Padahal, seperti yang pernah kudapati dalam pelajaran di sekolah bahwa hewan hanya diberi insting sedangkan perubahan dalam makhluk selain hewan dan jin adalah akalnya.
"Aku tak percaya itu, Mas. Pastilah kuda yang masuk kampung kita dan mengganggu, kerasukan roh jahat. Kita harus minta bantuan dukun yang dapat mengusir roh jahat yang mengusai kuda kuda itu. "Siapa tahu dengan begitu, kuda kuda itu bisa jinak dan bisa dijadikan hewan peliharaan?"
"Ah, pikiranmu malah melebar& ." "Siapa tahu kan, Mas" Apa aku salah?"
Aku menggeleng. Aku tak hendak berbalas-bantah, tapi tak juga membenarkan pendapatnya. Apalagi ia sudah menyinggung-nyinggung roh jahat dan dukun. Itu sama artinya setipis lagi ia akan masuk ke jurang syirik. Kami sedang membincangkan soal kuda yang tiba-tiba memasuki kampung seperti manusia kalap. Meski baru satu korban mati, namun siapa bisa memastikan korban itu hanya yang terakhir"
Hal ini juga banyak dipercayai warga lain. Kami mulai dirundung waswas. Cemas. Kami seperti sedang menanti bencana yang datang tak kenal waktu. Entah aku, istriku, anakku, atau tetanggaku yang bakal terancam. Kepala dusun pernah mengajak kami untuk mencari tahu sarang kuda untuk diusir dari kawasan kampung kami. Cuma tak pernah kami dapati. Kami juga tak tahu berapa persisnya jumlah kuda yang sering memasuki kampung ini. Habitat kuda itu pun sulit kami ketahui.
"Kalau kita tahu di mana habitatnya dan berapa jumlahnya, kita bisa memikirkan bagaimana cara menjebaknya," kata Darmo, kepala dusun. Ia mulai psimis dengan nasib warga kampung ini.
Salah seorang warga mengusulkan agar kami melapor ke BKSDA (Badan Konservasi Sumber Daya Alam) provinsi, mungkin di asana ada ahli yang dapat mengetahui sarang kuda lalu menjinakkannya. Kami berjanji tak akan mengambil keuntungan sekiranya ada yang bisa menjinakkan, misalnya mengambil seekor atau dua ekor kuda untuk kami pelihara atau dijual. Tetapi, setelah tiga bulan lebih kami melapor tak ada yang datang ke kampung kami.
"Kalau begitu kita harus tingkatkan kewaspadaan," kata Darmo. "Setiap kita yang melihat kuda masuk ke kampung ini harus segera melaporkan kepada warga lainnya. Kita kepung kuda itu untuk ditangkap atau dibunuh!" kepala dusun seakan bersabda.
Sejak perintah itu disabdakan sampai kini kuda kuda itu tak juga muncul. Entah karena memang mereka mendengar ancaman warga, atau tersebab lain. Sebab sudah setahun ini, kampung kami tak didatangi kuda kuda liar itu.
PAGI cemerlang. Warga tumpah di tanah lapang. Hari ini kami benar-benar riang. Pejabat dari provinsi bersama rombongan dari DPRD dan kabupaten mengunjungi kampung kami. Kata kepala dusun, para pejabat itu datang ingin melihat langsung seberapa besar pembangunan yang telah dilakukan di kampung ini. Selain itu, mau mendata keluarga miskin. Kenapa tidak dari dulu para pejabat itu datang, di kampung kami yang miskin masih sangat banyak" Aku protes pada Darmo. Kepala dusun hanya tersenyum, "Bapak Gubernur sekarang ini lagi digoyang oleh lawan-lawan politiknya."
Aku benar-benar tak tahu maksud Darmo, maka kupilih diam.
Salah seorang pejabat dari provinsi naik panggung. Ia pegang mikrofon dengan tangan kirinya, menguar senyum. Tentulah untuk menarik simpati. Kami bertepuk menyambut. Pejabat itu hendak berpidato, ia ucapkan salam. Kami kembali menyambut tepukan ketika kalimat pertama pidatonya, ia memuji kampung kami yang aman, sejuk, ramah, dan indah. "Kampung ini dapat dijadikan contoh sebagai kampung yang tenteram dan aman. Inilah kampung yang baru saya lihat di provinsi ini!"
Aku berbisik pada Ati, "Apa pejabat itu tak dapat laporan dari pak Darmo, kalau kita ingin meminta bantuan agar kapung ini aman?"
"Dengar dulu mas, pak pejabat itu kan baru mulai pidato," Ati berbisik. Belum lagi kukomentari ucapan Ati, tiba-tiba dua ekor kuda yang berlari bagai kesetanan masuk ke tanah lapang. Kami yang memang tengah diliputi kecemasan, makin ketakutan. Para Hansip kampung yang mengelilingi panggung kehormatan berlarian tunggang-langgang. Pihak keamanan mengacung-acung pistol dan memuntahkan peluru ke udara. Ke dua ekor kuda itu tak terusik. Mereka tetap merangsek, menyeruduk, dan menandang. Kursi-kursi yang diduduki para pejabat sudah tak karuan letaknya. Salah seorang pejabat bukan gubernur yang baru hendak memulai pidato, segera diselamatkan aparat keamanan. Ia dilarikan dengan mobil ke tempat aman.
Ke dua ekor kuda itu pastilah itu sepasang, setelah puas beraksi, kemudian naik panggung kehormatan. Di sana mereka meringkik. Kencang sekali. Dekat mikrofon. Bayangkan, suara kedua ekor kuda itu menyebar ke mana-mana sebab alat pengeras suara itu.
Kami tak tahu siapa yang mengendalikan, sepasang kuda itu berbaring di panggung. Layaknya manusia yang berleha-leha di ranjang. Berpelukan. Saling berangkulan. Bercanda. Saling berpagut. Bercinta& .
Kali ini kami sudah tak lagi takut, sebaliknya melihat aksi kedua kuda jantan dan betina itu kami jadikan tontonan. Sebagai hiburan. Karena sudah lama kami, sebagai warga di republik ini, ingin mendapatkan hiburan seperti yang didapat oleh orang-orang kota, seperti para pejabat itu. Betapa pun hiburan kami, tetap mencemaskan.
Sesungguhnya kami sudah benar-benar haus hiburan. Senyum kami pun sudah kemarau. Ke lima kuda itu yang layaknya berbaring di ranjang, cukupkah sebagai hiburan" Apalagi sepasang kuda itu lalu menunjukkan kelaminnya.
"Binatang!" terdengar teriakan. Menggelegar. Membungkam keriuhan. Setelah itu, suara letusan berkali-kali.
Lampung, 08 Februari 2006
Hujan Akhir November Post : 05/08/2006 Disimak: 352 kali Cerpen : Isbedy Stiawan ZS
Sumber : Jawa Pos, Edisi 05/07/2006
HUJAN baru tumpah. Deras. Sungai Siak berwarna pekat kecoklatan membuncah. Di bawah jembatan, di seberang sana, anak-anak bergantungan dengan seutas tali lalu terjun ke arus sungai. Ini hari tepat akhir November&
Dengan kamera mungil, kau seperti tak ingin kehilangan momen. Pandangmu berulang pindah dari sekelompok anak yang bertelanjang atau terfokus ke kameramu. Kau lupa (mungkin sengaja melupakan") kalau aku berdiri di sisi kirimu. Mencuri pandang ke pipimu yang ranum, bibirmu yang merah delima.
Salah! Katamu protes, tentu saja membatin. Sebenarnya aku juga sedang mencuri pandang padaku. Aku tak sungguh-sungguh mengabadikan anak-anak yang terguyur hujan sambil bergelantung di seutas tali sebelum terjun ke sungai. Demikianlah, sebenarnya sejak tadi aku selalu memandangimu. Bahkan sejak di dalam ruangan diskusi tadi, aku...
Ah, aku mendesah. Menatap sebiji tahilalat di pipi kirimu. Seperti memberi tanda bahwa aku pernah hinggap di sana. Tapi, kapan" Aku sudah lupa, alih-alih dengan hari yang telah membawaku ke kota ini kemudian mempertemukan lagi aku denganmu.
Karena itu, ini bukan kota pertama. Di kota yang lain kita pernah bertemu, bersapa, dan berkenalan sambil menyebut nama masing-masing. Setelah kusebut namaku, aku pun bertanya tentang namamu.
"Rina," sambutmu, dan nama itu yang sulit kulupakan lagi. Entah kenapa. Apakah karena namamu yang singkat atau terdengar aneh di telingaku"
Tetapi, apa anehnya dengan namamu yang cuma empat kata: r-i-n-a. Karena simpel sehingga gampang diucap dan tertancap di ingatan. Ingatan apa yang lalu dapat dengan mudah hilang. Aku bukan seorang pelupa. Ingatanku sangat tajam.
Ah, apalah arti sebuah nama. Shakespeare pernah mengingatkan betapa tak begitu pentingnya nama. Sebab, menurut sastrawan Inggris itu, mungkin nama hanya tempelan dalam diri manusia. Karena itu, nama tak abadi.
Boleh jadi. Meski ia lupa bahwa nama sangat penting ketika situasi kota sedang genting ataupun chaos. Orang akan memanggil-manggil nama, bukan tubuh atau ruh. Ya! Sebab itu, untuk sementara lupakan saja Shakespeare yang boleh jadi memang keliru.
Sejak itu yang kucatat dalam ingatanku adalah namamu. Bukan wajahmu. Tidak juga tanda di pipimu: tahilalat yang membuatmu makin tampak manis. Bukan rambutmu yang sebahu.
Aku tak hendak mencatat tahilalat, sebab terlalu banyak orang bertahilalat di tempat yang sama. Begitu pula rambut karena akan berubah dan memiliki kemiripan. Rambut akan memanjang bila dipelihara dan malah pendek seperi potongan rambut Putri Diana jika dipangkas. Rambut juga bisa berubah-ubah potongan atau gaya, bisa diwarnai sesuka hati.
Maka yang kucatat adalah namamu. Nama yang mengingatkan aku pada kekasih lamaku, hanya pada huruf "R" yang membedakan. Jika kekasihku dulu bernama Lina, sedang kau Rina. Ketika kuberikan alasan ini untuk sekadar agar aku tak lupa pada namamu, kau protes. Katamu, "Jangan bandingkan namaku dengan kekasih lamamu. Aku adalah Rina, tak bisa disamakan atau dibanding-banding dengan Lina. Ingat itu, jangan kau ulangi!"
Aku tak merespons. Aku memang salah. Mengapa nama orang lain --bekas kekasih lagiyang kujadikan sebagai pembanding pada dirimu. Meski kau bukan kekasihku atau bakal menjadi kekasihku, tetap akan tersinggung. Entahlah, mungkin saja ia cemburu"
"Penting apa aku mencemburui dia" Kau bukan kekasihku, dan aku bukan pacarmu. Kita hanya sahabat yang baru dua kali berjumpa, dan aku hanya menyukai berteman denganmu," katamu selepas makan siang.
Kemudian kau membisikkan sesuatu dekat di telingaku. Aku mengangguk. Maklum. Aku sudah sejak pertemuan pertama tahu kalau kau sudah bersuami dan memiliki dua anak. Aku juga sudah merasakan sesungguhnya kau adalah perempuan yang selalu merasa sepi. Entah disebabkan persoalan rumah tangga, misalnya suamimu yang dingin, atau sebab lain.
Ah, aku tak sangup menerka lebih jauh. Aku tak mampu memasuki lorong lebih dalam hatimu. Kubiarkan kau tetap hadir dengan selaksa misteri. Apalagi aku tak pernah tahu tentang rumah tanggamu, suamimu, anak-anakmu.
Kau kujumpai sewaktu di Jakarta. Di sebuah ruang diskusi kita saling beradu pandang. Tatapan kita penuh makna saat saling bertemu. Kau tersenyum dengan bibirmu berhias lipstik merah. Kacamata yang menutupi bola matamu yang cahaya makin terasa harmoni. Aku balas senyum, dan... kedipan mata.
Kau menujahku dengan tanda. Rahasia yang sulit teraba, tapi getarnya terasa. Hanya saja, waktu di Jakarta dulu kita tak sempat bercakap-cakap. Mungkin disebabkan tiada kesempatan saja, atau karena seorang lelaki muda yang selalu berada di sisimu membuatku enggan mengganggu"
"Lelaki muda itu memang menginginkan aku jadi kekasihnya. Ia menampik ketika kukatakan dengan jujur bahwa aku sudah bersuami dan punya anak. Ia tetap bersikeras hendak merebutku dari suami dan anakku. Kukakatan saja pada dia, kau gila apa, mau di kemanakan suami dan anakku" Kau mau mengajakku memulai rumah tangga dari nol dengan menghancurkan keluargaku yang sudah berjalan lebih dari angka dua..." Tapi, ia malah mengancam akan datang ke kotaku lalu ingin bertamu ke rumahku, dan berterus terang pada suamiku kalau ia mencintaiku."
Aku sempat merasakan pula kalau lelaki muda itu bukan saudaramu. Aku seperti tahu kalau ia teman amat dekatmu. Lihat saja matanya yang selalu curiga dan cemburu setiap lelaki yang kau sapa atau mendekatimu. Sungguh, sangat anak-anak ia. Belum belajar bagaimana bergaul.
Tetapi, sudahlah, lupakan lelaki muda itu. Ia bukan bagian dari ceritaku saat ini. Apalagi kini kau sudah berada (bahkan selalu) di sampingku. Ke mana pergi, di atas bus ini, di tepi sungai tadi, sambil menikmati sekawan anak bermain di bawah guyuran hujan.
Hujan masih menderu di luar bus. Kau mengetatkan jaketmu. Aku melirik, "Dingin?" aku tanya. Tersenyum.
Katamu berbisik, "Tentu. Kecuali kau makin merapat..." Ah! Kugeser badanku.
"Sssstt... banyak yang lihat."
Aku kembali merenggang. Seandainya di bus ini hanya aku dan kau, entah apakah aku akan lebih berani mendekatimu" Jangan-jangan aku malah ketakutan. Sebab, aku tak berpengalaman mengkhianati cinta. Aku...
"Kau pikir aku juga bakal nekad, kalau hanya berdua" Aku malah ragu, tak akan berani. Aku masih...."
"Kita memang ditakdirkan bukan untuk jadi pengkhianat. Aku hormati kesucianmu."
"Aku juga menghormati kejujuranmu."
Lalu diam. Suara kaki hujan yang melangkah di atap bus terdengar makin gaduh. Air mulai menggenangi separuh jalan. Bus merambat. Kota Pekanbaru terasa lembab dan berkabut.
Nanti malam, hari terakhir. Esok siang aku menuju Batam kemudian melanjutkan ke Tanjungpinang. Sedang kau ke Jakarta dengan pesawat pukul 10.00. Seperti katamu kemarin, kau akan meneruskan perjalanan ke Yogya dan dua hari di sana. Setelah itu, kau pulang ke Makassar. "Ya, kalau rencanaku tak berubah. Kalau suamiku tak menelepon lantaran kangen," ujarmu. Tertawa.
Aku menggoda, "Bukan sebaliknya, kau yang rindu..." "Sama."
*** RUANG karaoke temaram. Kau memilih lagu-lagu dengan remote mendekat di layar teve berukuran besar itu. "Maaf, aku tak bisa baca kalau dari tempat duduk," katamu sambil merapikan letak kacamata minus dua di wajahmu.
Setelah 10 lagu dipilih, kau kembali ke tempat duduk. Menggamit lenganku, sementara kepalamu rebah di dada kananku. Ah, betapa malam ini di ruang karaoke yang layaknya di dalam akuarium, kita bagai sepasang ikan yang siap bercumbu. Sepasang pengantin baru"
Dan, kau kian merapat manja. Kau lupa, kita sudah berada di ambang petang. Sebentar lagi malam bergelayut. Anak-anak, anakmu dan anakku di rumah, yang tengah lelap kini mungkin lagi bermimpi menjemput kita pulang membawa oleh-oleh.
"Akan kubawakan sisa lipstikku ini," jawabmu saat kutanya kau akan bawa oleholeh apa untuk kedua anakmu. "Kau sendiri untuk si bungsu?"
"Segelas bibir," kataku pendek.
"Dasar, para orang tua edan!"
Aku diam. Karena aku menyadari bahwa sejak beberapa jam lalu aku memang sudah menjadi gila. Aku lupa pada asal aku datang. Kau juga sudah tak ingat dari mana kau berangkat. Kita lupa pada rumah.
Di sini aku jadi gelandangan yang tak punya kembali. Kau adalah pelunta yang lupa rumah asal. Sebagaimana mungkin ketika Adam diturunkan di bumi dengan padang pasir sebatas pandang, tiada sesiapa. Lalu Hawa pun dilontarkan di padang pasir yang lain. Keduanya melunta-lunta sampai akhirnya bertemu di suatu tempat. Bernama padang pasir pula.
"Seperti itulah kita sekarang. Bertemu di kota ini, setelah dulu kita pernah jumpa dan berkenalan di lain kota," kataku sewaktu jeda lagu kelima.
Tetapi kemudian, yang keluar dari bibirmu bukan lagi kata-kata, bukan ratusan puisi dan prosa. Bukan pula kenangan-kenangan ataupun selampir lukisan. Sungguh aku kaget dan dibuat sangat ketakutan. Tiba-tiba yang meluncur laksana muntahan tsunami, buncahan gelombang laut yang sangat dahsyat: jadi banjir besar setinggi 3 meter menggulung apa saja yang disangka penghalang.
Aku tergulung. Kau bergulingan. Tanganmu melambai. Sementara jemarijemariku menggapai. Hendak menangkap tanganmu dan menarik tubuhmu agar merapat padaku. Aku coba jadi penyelamat, sebagai pahlawan di saat-saat genting. Tak ingin aku melihatmu terseret banjir besar itu, seperti perempuan Nuh yang kemudian tak tahu di mana dia terdampar. Cuma, Nuh saja tak mampu menyelamatkan istrinya, apatah aku yang berlumur-lumpur"
*** HUJAN masih turun. Bagai kaki tajam melangkah di luar ruangan. Suaranya gaduh terdengar sayup-sayup. Aku mengetatkan pelukan, kau makin merapat ke dalam dekapanku. Segelas tequila dicampur es batu terasa semakin mendinginkan tubuh.
Tetapi berahi kita terus bergolak. Memanas. Seperti buncahan larva. Bibirmu bibirku menganga. Sejenak kemudian mengatup dan memagut.
Kau lihat di sana ada maut"
Tak ada. Sehalaman rumput. Terbentang. Layaknya selembar karpet, dan kita berpacu di atasnya. Ah, tidak. Kenapa tak jadikan perahu saja, dan kita berlayar samasama. Menembus hujan, menyisir banjir.
Jangan! Aku tak mau kau mati tenggelam, dengan siapa aku tidur nanti" Hust! Kita tak bisa kembali ke hotel. Di luar hujan sangat deras. Banjir sudah mengepung kota ini. Tak mungkin mobil dapat melewati genangan air itu. Aku ragu mobil pun tak dapat jalan, bahkan akan hanyut. Ketinggian air sudah mencapai tiga meter lebih.
"Fah, maafkan kalau mobilmu yang kupinjam tak akan bisa pulang. Maafkan aku, kau akan kehilangan mobil dan aku tak mungkin dapat mengganti," kataku membatin. "Sory Fah, Sory... aku sudah menyulitkanmu..."
Sory, sory... Maaf ya Fah, mobilmu raib. Hanyut.
"Bahkan, kami pun tak bisa lari ke mana-mana. Terkurung di dalam ruangan
ini." Air mulai naik. Tadi sudah mencapai satu meter, kini bertambah 25 centimeter. "Bukan. Tetapi air sudah mencapai satu setengah meter."
"Apa?" Fah melalui telepon genggam dari rumahnya seperti tak percaya. "Mobilku... mobilku...?""
"Banjir sudah setinggi 150 centi, dan air terus naik mungkin akan mencapai tiga meter sebagaimana di seberang dari bangunan kami. Sedang mobilmu, maaf, sudah tak terlihat. Mungkin hanyut, mungkin tenggelam di dalam air," jawabku. "Apa?" Fah masih tak percaya. "Mobiku...."
"Sory Fah, sory..."
*** AH. Jangankan kami bisa menyelamatkan mobil Fah, nasib kami saja tak jelas. Apakah kami --berdua dengan Yantiakan tenggelam bersama-sama: mati di dalam ruang karaoke ini. Atau mungkin pula terseret air dan juga mati tersangkut entah di mana. Tetapi, kami berharap, bisa selamat dari banjir sangat dahsyat ini. Tetapi, mungkinkah"
"Jangan psimistis. Kita mesti mencoba. Sedapat mungkin," katamu. "Yanti akan berdoa, dan kamu cari pertolongan."
"Pertolongan" Ke mana kita cari pertolongan" Kau tahu Yanti, sudah tak ada lagi manusia di dalam bangunan ini. Mereka sudah menyelamatkan diri, mati karena tak bisa berenang, tak bisa lagi bernafas, atau hanyut."
"Sungguhkah kau?" tanyamu dengan wajah pasi. Kau menampakkan wajah ketakutan. Baru saat ini aku melihatmu amat ketakutan. Ternyata kau juga takut mati, takut menghadapi maut.
"Kau takut mati?"
"Kau pikir aku ini malaikat ha"!" suaramu tinggi. "Kalau aku mati, dengan siapa kau tidur malam ini" Kalau malam ini aku mati, kapan lagi aku punya waktu bertobat" Dosaku sudah banyak sekali."
"Seperti dosaku. Kita sama berdosa. Si pendosa yang karena kebanyakan, sulit hilang hanya sekali bertobat..."
Lalu" Air terus naik. Senti demi sesenti. Hanya lambaian tanganmu yang tampak di permukaan air. Yanti sudah tak tampak, hilang di dalam air. Kucari-cari kau. Di dekat layar kaca teve besar. Tak juga kutemu. Kubuka pintu kamar kecil, di sana pun kau tak ada. Aku berenang-renang di dalam ruangan ini. Dari sudut ruang ke sudut ruang lainnya.
"Di mana kau" Yanti, di mana kamu?" setengah menjerit dengan harapan kau mendengar suaraku.
Tiada jawaban. Aku seperti berhadapan dengan maut. Bermain dengan arus air. Dihanyutkan.
*** KITA tersangkut di tiang listrik. Tanpa lagi pakaian. Seperti lampu, dari tubuh kita bercahaya kemerahan....
*** Lampung, 2005-2006 Perahu yang Hampir Karam, Kini Mengayuh Kembali
Post : 04/19/2006 Disimak: 352 kali Cerpen : Isbedy Stiawan ZS
Sumber : Nova, Tabloid, Edisi 04/17/2006
Kartini, nama yang selalu mengingatkan aku pada seorang perempuan anak Bupati Rembang
BUKAN karena aku sangat mengagumi pejuang emansipasi perempuan dari Jepara itu, kemudian aku memilih istri bernama Kartini. Tetapi, selain memang lantaran aku menyukai pribadi kekasihku ini juga disebabkan campur tangan Tuhan: Kartini yang kupacari selama 4 tahun sewaktu kuliah akhirnya mau menerimaku menjadi suaminya. Akhirnya rumah tangga tak terelakkan. Bahtera lalu kami kayuh bersama.
Ketika kuungkapkan bahwa aku mencintainya, Kartini hanya tersenyum. Setelah itu, ia berujar: "Kita lihat saja nanti. Mengungkapkan cinta sama mudahnya menulis diary, bukan" Tetapi, menjaga cinta lebih sulit daripada menulis diary."
Aku hanya mengangguk kala itu. Meski sebenarnya aku tidak begitu tergoda untuk memahami makna di balik ucapannya. Dan Kartini, tetap menyambut ajakanku misalnya, makan di kantin kampus, ke mal, atau jalan-jalan ke KFC juga menerimaku dengan riang apabila aku bertandang di malam minggu.
Geisha 1 Atheis Karya Achdiat Karta Mihardja Tujuh Pedang Tiga Ruyung 5
^