Pencarian

Siluman Bukit Tengger 2

Pendekar Rajawali Sakti 170 Siluman Bukit Tengger Bagian 2


"Ki Sepuh dipercaya orang memiliki mata batin yang kuat. Dia tahu hal-hal yang tidak diketahui orang lain," sahut Ki Sudira, setengah ragu.
"Kalau begitu mengapa dia tidak tahu tentang kehadiranku di ruangan khususnya?"
Sampai di situ Ki Sudira tak bisa menjawab, diam seribu bahasa!
*** Pendekar Rajawali Sakti
?"?"?"" Pendekar Rajawali Sakti
? 2017 " . 170. Siluman Bukit Tengger Bag. 5 - 8 (Selesai)
11. Februar 2015 um 21:56
5 ? Penduduk Desa Legowo seketika heboh membicarakan kejadian ditemukannya dua mayat di depan rumah Ki Sepuh. Kalau saja kedua mayat itu berada di luar pagar rumah pimpinan adat itu, mungkin tidak akan ribut seperti ini. Tapi kedua mayat itu berada di depan rumahnya. Sehingga, beberapa dugaan pun muncul. Ada yang menyangka Ki Sepuh membunuh mereka karena untuk membela diri. Tapi membela diri untuk apa" Merampok harta bendanya" Tidak mungkin! Sebab, Ki Sepuh bukanlah orang kaya yang memiliki banyak harta. Orang-orang desa mengenalnya sebagai orang yang selalu hidup sederhana. Kalau pun ada seseorang yang bekerja dengannya, itu hanya hendak mengabdi tanpa imbalan apa pun.
"Siapa kedua mayat itu, Ki" Apa yang mereka lakukan di sini?" tanya seorang penduduk yang berkumpul di depan rumah Ki Sepuh.
"Aku tidak bisa menjelaskannya. Kedua mayat ini tiba-tiba saja telah ada, ketika aku bangun," sahut Ki Sepuh. "Tapi yang jelas aku tidak membunuh mereka!"
"Bagaimana mungkin bisa terjadi, Ki"!" tanya yang lain.
Laki-laki tua berpakaian pendeta itu terdiam. Dan belum sempat dia menjawab, muncul seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh tujuh tahun dengan pakaian serba putih yang langsung menyibak kerumunan. Penduduk desa ini tahu kalau laki-laki itu bernama Ki Tanureja, Kepala Desa Legowo.
Setelah memperhatikan kedua mayat itu, Ki Tanureja menatapi satu persatu warganya. Seketika, semua yang dipandang menundukkan kepala, tak mampu menentang pandangan laki-laki tua itu.
"Lebih baik kita kebumikan dulu mereka. Lalu, kita cari siapa pembunuh kedua mayat ini!" teriak Ki Tanureja, lantang..
Seketika beberapa penduduk bergerak, mengurus mayat yang tergolek. Beberapa penduduk segera pergi meninggalkan tempat ini, mengiringi orang-orang yang menggotong kedua mayat itu. Namun masih ada beberapa penduduk yang sepertinya enggan meninggalkan tempat ini. Agaknya, mereka masih belum puas dengan jawaban Ki Sepuh tadi.
"Kalian yang masih ada di sini, cepat bubar! Nanti bisa kita buktikan apakah Ki Sepuh bersalah atau tidak!" ujar Kepala Desa itu lantang. Diberinya isyarat pada anak buahnya untuk mengamankan beberapa penduduk desa yang tidak puas atas keputusannya.
Sebentar beberapa penduduk yang tak puas ini menatap Ki Sepuh, lalu pergi meninggalkan tempat ini. Sementara, Ki Sepuh sendiri sudah tak mempedulikan mereka. Segera dihampirinya Ki Tanureja.
"Aku tidak membunuh mereka," tandas Ki Sepuh.
"Lalu, bagaimana kedua mayat itu berada di sini?" tanya Ki Tanureja.
"Aku tidak tahu," sahut ketua adat ini, singkat.
"Siapa yang kau curigai?" kejar Ki Tanureja.
"Pemuda itu!" dengus Ki Sepuh.
"Tamu Ki Sudira?"
"Lantas, siapa lagi"!"
"Bagaimana kau bisa membuktikannya?"
"Entahlah. Tadi malam aku terlelap dan tidak tahu apa yang telah terjadi. Tapi kuat dugaanku bahwa pemuda itu yang telah membunuh mereka!" jelas Ki Sepuh.
"Kita harus bereskan hal ini secepatnya!" desis Ki Tanureja.
"Pemuda itu tidak bisa dipandang enteng. Kepandaiannya tinggi. Dia telah membuat si Angkoro tak berdaya sebelumnya!"
Ki Tanureja tersenyum sinis.
"Jangan mengagungkan orang. Kau tidak tahu, berapa dalamnya laut dan berapa tingginya langit. Kita memiliki puluhan orang yang memiliki kepandaian setingkat si Angkoro. Apa susahnya meringkus pemuda itu"!" dengus Kepala Desa Legowo ini.
Ki Sepuh terdiam.
"Lalu, apa yang mesti kita lakukan sekarang" Si Angkoro telah mati. Padahal, kita butuh seseorang untuk menjaga gua itu," tanya Ki Sepuh.
"Jangan khawatir. Serahkan saja padaku!" sahut Ki Tanureja, enteng.
"Tapi..., bagaimana dengan tamu Ki Sudira itu" Dia tentu akan mengacau lagi."
"Memang. Aku telah memikirkannya."
"Apa tidak sebaiknya kita hentikan dulu?"
"Tidak! Dia akan besar kepala. Dan dengan begitu, nanti penduduk akan mengelu-elukannya. Kita harus mencegahnya. Telah kuperintahkan pada mereka untuk meringkus pemuda itu!" dengus Ki Tanureja.
"Mereka" Siapa?"
"Para pengikut Siluman Bukit Tengger. Dan aku juga telah memperketat penjagaan di gua. Kini lebih dari lima orang telah berjaga-jaga. Pemuda itu tak akan selamat kalau coba-coba usil!" papar Ki Tanureja.
"Tapi pemuda keparat itu mesti cepat-cepat dibereskan!" tukas Ki Sepuh.
"Aku akan mengurusnya. Dan kau siapkan korban-korban berikutnya. Beliau menginginkan yang terbaik. Ingat! Jangan sampai mengecewakan beliau!" tegas Ki Tanureja.
"Akan kuusahakan sebaik mungkin! Eh! Tapi, tapi ada satu hal yang kuinginkan."
"Apa?"
"Aku ingin seseorang ditempatkan di rumahku untuk berjaga-jaga. Aku tidak ingin ada sesuatu yang buruk menimpaku lagi."
"Baiklah."
"Terima kasih, Ki!"
"Hm, ya. Nah, jangan khawatirkan soal kedua mayat itu. Biar kuurus secepatnya!"
"Sekali lagi, kuucapkan terima kasih, Ki!" ucap Ki Sepuh menghormat dalam-dalam.
Sedang Ki Tanureja segera meninggalkan tempat ini.
*** ? Sepulang dari acara penguburan kedua mayat yang tidak dikenal. Kepala Desa Legowo dan Ki Sepuh menyempatkan diri datang ke rumah Ki Sudira. Nyaris laki-laki gemuk tua itu gugup menerima kedatangan tamu-tamunya, kalau saja Rangga tidak mendampinginya.
"Silakan duduk!" sambut Ki Sudira.
"Terima kasih," sahut Ki Tanureja.
"Kalau boleh kutahu, apa gerangan yang membuat Ki Tanureja mampir di gubukku ini?" tanya Ki Sudira, memberanikan diri.
"Kau mendengar berita tadi pagi, Ki Sudira?" tanya kepala desa ini.
"Dengar, Ki," sahut Ki Sudira, pendek.
"Dua orang mati secara aneh. Dan mereka bukan penduduk desa ini. Mayatnya dilemparkan ke depan pintu rumah Ki Sepuh, seolah-olah si pembunuh hendak menuduh bahwa Ki Sepuh-lah yang melakukan pembunuhan. Itu fitnah yang keji!" dengus Ki Tanureja, seraya melirik ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
Rangga dilihat tenang-tenang saja. Bahkan sama sekali tidak merasa terkejut.
"Benar, Ki. Tapi aku tak mengerti, kenapa ada orang yang melakukan hal itu" Apa mungkin seseorang melemparkan mayat ke depan pintu rumah seseorang tanpa maksud tertentu?" kata Ki Sudira, hati-hati.
"Itulah yang sedang kuusut. Kita akan mengadakan pemeriksaan. Aku tidak ingin Kanjeng Adipati sampai tahu bahwa desa kita tak aman. Kalau beliau mendengar berita ini, bisa jadi kunjungannya akan dibatalkan," jelas Kepala Desa Legowo ini.
"Kanjeng Adipati akan berkunjung ke desa, Ki?" tanya Ki Sudira dengan mata melotot lebar.
"Ya."
"Kapan?"
"Dua hari lagi. Oleh sebab itu, kita harus menyambutnya dengan baik. Jangan sampai beliau kecewa. Bahkan hal-hal seperti kejadian tadi pagi," ujar Ki Tanureja lagi.
"Baik, Ki."
"Dan ada hal yang juga amat perlu, Ki!" lanjut Ki Tanureja. "Kita harus mencurigai setiap orang asing yang berada di desa ini!"
Pendekar Rajawali Sakti tahu kalau dirinya tengah disindir. Namun sikapnya tenang-tenang saja. Bahkan raut wajahnya tidak menunjukkan perubahan apa-apa.
Sementara Ki Sudira jadi salah tingkah sendiri. Dan dia tak mampu berkata apa-apa.
"Kalau hanya mencurigai orang asing saja, rasanya tidak adil, Kisanak. Kepala desa yang bijaksana haruslah mengusut segalanya dengan baik, tanpa membedakan kecurigaan kepada penduduk asli atau orang asing," sahut Rangga, enteng.
"Kau tidak perlu mengajariku soal itu, Anak Muda. Aku tahu, apa yang mesti kulakukan!" tandas Ki Tanureja.
"Syukurlah kalau memang demikian."
"Sebenarnya apa yang kau cari di desa kami ini" Kalau memang keperluanmu sudah selesai, kau boleh melanjutkan perjalananmu!" lanjut Ki Tanureja, bernada mengusir.
Rangga tersenyum mendengar pengusiran secara halus itu. Namun bagaimana pun, dia tetap berusaha bersikap tenang.
"Kudengar di desa ini terdapat siluman hebat. Beritanya sampai ke telingaku. Dan kehebatannyalah yang mengundangku ke desa ini. Aku ingin berkenalan dengannya. Namun sayang, sampai saat ini belum juga kutemui. Nah! Karena keinginanku belum terpenuhi, maka sayang sekali kalau aku mesti melanjutkan perjalanan dengan tangan hampa," sahut Rangga tanpa mempedulikan tatapan mata Ki Sudira yang mendelik was-was.
"Jangan bermain-main dengan siluman itu, sebab kau akan celaka nantinya!" desis Ki Tanureja, mengancam.
"Astaga! Celaka kenapa" Jahatkah siluman itu"!" seru pemuda berbaju rompi putih ini dengan wajah kaget.
Ki Tanureja mendengus sinis, melihat sikap Rangga yang seperti mengejek dan memandang rendah. Tanpa berkata apa-apa lagi kepala desa itu segera meninggalkan rumah Ki Sudira, diikuti yang lainnya.
*** ? "Sepertinya kepala desa itu sudah tahu persoalan ini," desah Ki Sudira, ketika tamu-tamunya telah pergi.
"Ya! Ini akan semakin ramai!" sahut Rangga, seenaknya.
"Apa maksudnya?" tanya Ki Sudira.
"Siluman-siluman itu! Seperti yang kukatakan, tidak bekerja sendiri. Banyak pihak yang diikutkan. Kita akan mendapat tantangan berat," jelas Rangga, kali ini tampak sungguh-sungguh.
"Lalu, bagaimana langkah kita selanjutnya?"
"Berapa orang yang berdiri di pihak kita?"
"Tidak banyak. Sekitar lima kepala keluarga."
"Jumlah itu masih kurang."
"Ya. Tapi, mereka susah dibujuk karena diliputi perasaan takut."
"Ya, aku bisa mengerti hal itu. Coba bujuk lagi yang lain," ujar Rangga, penuh tekanan.
"Aku telah berusaha. Rangga...."
Rangga memandang laki-laki gemuk ini kemudian tersenyum.
"Berapa jumlah mereka yang putrinya menjadi korban siluman itu?" tanya Rangga lagi.
"Sekitar lima belas orang," sahut Ki Sudira pendek.
"Bujuklah mereka. Dan jangan lupa, mereka mempunyai pelindung. Tidak perlu takut. Siluman itu tidak akan bergentayangan menakut-nakuti mereka!" ujar Pendekar Rajawali Sakti, tegas.
"Baiklah," desah Ki Sudira lirih, setelah terdiam sejurus lamanya memikirkan kata-kata pemuda ini. "Lalu, apa yang akan kau lakukan sekarang?"
"Aku akan menyelidiki kepala desa itu," jawab Rangga.
"Hm, ya. Itu memang alasan tepat. Beliau memang akrab dengan Ki Sepuh. Dan selain itu, tidak begitu akrab dengan penduduk. Kalau pun penduduk patuh padanya, itu karena tukang pukulnya banyak sekali," jelas Ki Sudira.
"Sangat aneh, bukan" Seorang kepala desa memiliki tukang pukul dalam jumlah banyak" Padahal, di desa ini tidak ada kejadian hebat sehingga mesti menyewa tukang pukul."
Ki Sudira mengangguk.
*** ? Senja baru saja berlalu. Dan di depan rumah Kepala Desa Legowo keramaian seperti tidak terusik. Beberapa anak buahnya bermain judi di beranda depan. Sementara beberapa orang lainnya berkumpul tidak jauh dari kawan-kawannya sambil bercerita, serta sesekali diselingi tawa keras. Beberapa bumbung tuak tampak kosong, namun orang-orang itu seperti tidak mau berhenti menenggaknya. Seseorang bergegas ke dalam untuk mengambil bumbung tuak yang lain. Sementara dua orang bergegas keluar.
"Sial! Perutku mulas...!" umpat seorang laki-laki pendek yang baru saja keluar dengan tergopoh-gopoh. Di sampingnya, tampak seorang laki-laki kurus yang juga mengalami hal yang sama.
Mereka berdua seperti hendak saling mendahului ketika menuju ke sebuah batang pohon yang tumbuh di halaman rumah kepala desa itu.
"Jangan jauh-jauh. Calung. Bisa-bisa kau disambar siluman itu nantinya!" ledek laki-laki kurus itu.
"Brengsek!" umpat laki-laki pendek yang dipanggil Calung. Dia tampak kebingungan untuk melepaskan hajat.
Tapi sebentar kemudian. Calung menemukan tempat yang cocok, di depan kolam kecil tidak jauh dari rumah Ki Tanureja.
Sesaat terdengar sesuatu berkecipak di air kolam. Wajah Calung kelihatan lega. Buru-buru pantatnya dibersihkan. Setelah memakai celana, laki-laki gemuk itu merapikan golok. Namun baru saja kakinya akan melangkah....
Tuk! "Uhhh...."
Calung melenguh pendek ketika tahu-tahu ada sesuatu yang menghantam tengkuknya. Tubuhnya mendadak kaku tak bisa digerakkan. Bahkan suaranya seperti tercekat di kerongkongan.
"Si..., siapa?" keluh Calung tertahan.
"Aku siluman penunggu tempat ini," sahut sebuah suara yang tak terlihat bentuk jasadnya.
"Apa"!" seru Calung, tersentak kaget.
Darah laki-laki pendek ini seperti tersirap. Bulu kuduknya seketika berdiri. Mukanya pucat ketakutan.
"Oh, ampun! Ampuuun! Aku tidak sengaja buang hajat di sini!" ratap Calung dengan suara memelas.
"Kau akan kuampuni, tapi dengan satu syarat!" kata suara itu.
"Apa syaratnya?"
"Kalian telah menipu banyak orang dengan mengatakan bahwa gua di Bukit Tengger itu dihuni siluman. Raja kami sangat marah, sehingga mengutusku untuk menghajar kalian. Sekarang, katakan! Siapa yang mengaku sebagai siluman di sana"!"
"Eh! Itu aku..., aku tak tahu!"
"Jangan bohong! Atau, kucekik kau sampai mampus"!"
"Ja..., jangan! Ampun...!"
"Ayo, katakan! Siapa yang menjadi siluman gadungan itu"!"
"Aku..., aku tidak tahu."
"Kalau begitu, kau memilih mampus! Baiklah. Lebih baik kau kucekik saja sekarang!"
"Aaakh...!"
Merasakan lehernya mulai tercekat cekikan, seketika Calung menjerit ketakutan.
"Kurang ajar!" dengus sosok yang tak jelas itu, karena tubuhnya berada dalam kegelapan. Seketika ditotoknya urat suara Calung sehingga jeritannya berhenti.
Tapi jeritan tadi cukup membuat kawan-kawan Calung tersentak kaget. Beberapa orang cepat menghampiri dan terkejut ketika melihat Calung berdiri mematung.
"Itu si Calung! Apa yang terjadi dengannya"!" seru salah seorang tukang pukul Ki Tanureja.
Tapi belum lagi mereka mendekat, mendadak berkelebat bayangan putih dari samping.
"Awaaas!"
Terdengar teriakan seseorang bernada memperingatkan, tapi percuma saja. Peringatan itu terlambat, karena mereka tak mampu berbuat apa-apa ketika bayangan putih itu menghajar sekaligus.
Plak! Begkh! Des! "Aaakh...!"
Orang-orang itu kontan ambruk berjatuhan disertai jerit kesakitan. Dan ini membuat para tukang pukul Ki Tanureja yang masih berada di beranda depan menjadi penasaran. Seketika mereka berlompatan menghampiri tempat keributan.
"Ada apa" Kurang ajar! Apa yang terjadi"!" teriak seseorang lantang, sambil bertolak pinggang ketika melihat beberapa kawannya meringis kesakitan.
"Se..., setan! Ada setan!" sahut salah seorang dari mereka.
"Omong kosong! Tidak ada setan di sini!" sahut laki-laki bertubuh tegap yang berkacak pinggang.
Tapi baru saja orang ini berkata begitu, mendadak berkelebat kembali bayangan putih tadi ke arahnya.
"Hup!"
Seketika laki-laki tegap itu menggeser tubuhnya ke samping sambil menangkis.
Plak! Laki-laki itu terjajar beberapa langkah ke belakang, sehabis menangkis. Dan belum lagi dia menyiapkan serangan, sudah terasa angin sambaran tajam ke dadanya. Seketika dia menjatuhkan diri, sehingga serangan itu luput.
"Itu dia setannya, Kang Kelana!" teriak seorang tukang pukul lainnya.
"Hhh...!"
Laki-laki tegap yang dipanggil Kelana cepat bangkit memperlihatkan kegeramannya. Sepasang matanya liar memandang sesosok tubuh berpakaian putih, dan memakai penutup kepala hitam di depannya pada jarak lima langkah. Kelana memang memiliki kepandaian yang paling tinggi di antara yang lainnya. Sehingga tak heran kalau dia bertindak sebagai pemimpin.
Sret! "Heaaa...!"
Disertai kegeraman memuncak. Kelana mencabut goloknya. Dan saat itu juga tubuhnya langsung meluruk menyambar sosok bertopeng kain hitam itu.
Wut! Bet! Dua tebasan ke leher dan pinggang dapat dihindari sosok yang tak jelas wajahnya dengan liukan tubuhnya yang indah. Sebaliknya satu sodokan kaki sosok itu membuat Kelana terkejut. Saat itu juga tubuhnya diputar mencoba menghindar. Namun kaki sosok itu yang satu lagi segera menyusul. Begitu cepat gerakannya, sehingga....
Des! "Aaakh...!"
Kelana langsung terjungkal ke belakang disertai jerit kesakitan ketika tendangan sosok itu mendarat di pipinya. Kepalanya terasa sakit. Dan pandangannya berkunang-kunang. Dan sebelum disadari apa yang terjadi, sesuatu telah menghantam pergelangan tangannya.
Plak! Saat itu juga golok Kelana terlepas, jatuh ke tanah. Bukan itu saja. Bahkan tubuh Kelana mendadak lemas dan kaku. Tenaganya seperti terkuras. Dia betul-betul tak berdaya. Tubuhnya seperti melayang-layang, meski masih terdengar ribut-ribut anak buahnya.
"Kurang ajar! Dia membawa Kang Kelana!"
"Kejar! Jangan sampai kita kehilangan jejaknya!" teriak yang lain.
Namun percuma saja mereka mengejar. Bayangan itu lenyap dari pandangan dalam waktu singkat. Dan mereka hanya bisa terpaku dan menatap kosong ke depan.
"Sebaiknya kita laporkan kejadian ini pada Ki Tanureja!" usul salah seorang.
"Ya," sahut yang lain, ragu.
"Bagaimana kalau beliau marah" Kita yang seharusnya menjaga, kok malah beliau yang direpotkan?" tanya salah seorang lagi.
Yang lain terdiam untuk beberapa saat.
"Entah apa jawabannya, tapi kita mesti laporkan hal ini," ujar yang lainnya lagi.
Tidak ada yang menjawab lagi. Semuanya sepakat untuk melaporkan kejadian barusan pada Ki Tanureja.
*** 6 ? Bruak! Meja di depan Ki Tanureja langsung hancur berantakan, ketika kepalan tangannya menghantam. Wajahnya yang geram agaknya tidak bisa disembunyikan lagi.
"Kurang ajar! Siapa yang berani menghinaku seperti itu"!" dengus Kepala Desa Legowo dengan amarah meluap.
"Orang itu memiliki kepandaian hebat, Ki," tambah salah seorang anak buahnya.
"Di..., dia siluman, Ki...!" timpal Calung.
Wajah laki-laki pendek itu kelihatan tegang. Ketakutan masih tampak menyelimuti hatinya.
"Dia marah, karena ada orang yang jadi siluman gadungan di gua Bukit Tengger itu, Ki!" lanjut Calung bersungguh-sungguh.
"Diam kau. Calung!" hardik Ki Tanureja.
Calung terkejut kaget dan merasa bingung. Apa perkataannya yang salah"
"Hm..., kau..., kau tidak mengenalinya. Calung?" tanya Ki Tanureja, agak turun nada suaranya.
"Tidak, Ki. Wajah orang itu ditutupi kain hitam," sahut Calung.
"Dasar tolol!"
"Tapi, dia tanya-tanya soal siluman yang ada di dalam gua Bukit Tengger itu, Ki," lanjut Calung dengan takut-takut.
"Apa katanya"!"
"Dia tanya, siapa yang jadi siluman gadungan di dalam gua itu" Karena aku tak tahu apa-apa jadi tidak kujawab. Dan tiba-tiba, dia mencekik. Langsung saja aku berteriak. Untung saja yang lainnya muncul membantu," jelas Calung.
"Huh!" dengus Ki Tanureja sinis. "Apa lagi yang kau katakan padanya"!"
"Tidak ada, Ki. Aku hanya minta agar dia tidak mencekikku."
"Hm, baiklah. Sekarang pergilah kalian! Jaga tempat ini baik-baik. Dan, jangan biarkan seorang pun menyelinap ke sini!" perintah Ki Tanureja, lantang.
"Baik, Ki!"
Para tukang pukul itu bergegas meninggalkan orang tua ini kembali ke tempatnya semula.
Sementara itu wajah Ki Tanureja masih ditekuk. Dan sesekali dihelanya napas panjang. Dia bangkit berdiri dan berjalan mondar-mandir. Lalu tak lama kembali duduk. Pikirannya benar-benar kusut!
"Keparat!" umpat Ki Tanureja berkali-kali.
Dan belum habis rasa kesal laki-laki tua ini, mendadak....
Bros! Pada saat itu juga sesuatu menerobos ke dalam rumahnya lewat atap. Dengan gerakan cepat, Ki Tanureja melompat menghindari. Dan dia terkejut kaget ketika melihat apa yang terjatuh.
"Kelana...!"
"Uhh...!"
Laki-laki bertubuh tegap bernama Kelana itu mengeluh kesakitan. Sementara, Ki Tanureja segera melepaskan tali yang membelenggu kedua tangan dan kaki tukang pukulnya ini.
"Apa yang terjadi denganmu"!" tanya Ki Tanureja penasaran ketika Kelana bangkit perlahan-lahan sambil meringis kesakitan.
"Aku..., aku ditangkap seseorang, Ki...," lapor Kelana.
"Siapa orang itu"!"
"Entahlah. Aku tidak bisa jelas melihatnya."
"Bodoh!" umpat kepala desa ini geram. "Apa yang diinginkannya"!"
"Siluman itu, Ki...."
"Kurang ajar! Orang itu benar-benar mempermainkan kita!" desis Ki Tanureja dengan wajah semakin geram. Kedua tangannya terkepal. Pelipisnya menggembung. Agaknya amarahnya benar-benar telah sampai puncaknya.
"Apakah kau tahu, siapa sebenarnya orang itu, Ki?" tanya Kelana.
"Ya! Aku bisa menduganya!" sahut laki-laki tua itu mantap.
"Siapa orangnya, Ki?"
"Besok akan kita ketahui! Sekarang, pergilah ke Desa Temar. Panggil Sapta dan Anggada. Suruh mereka menghadapku sekarang juga!" perintah Ki Tanureja, lantang.
"Baik, Ki!"
"Awas, hati-hati kau! Jangan sampai dipecundangi lagi. Bawa kawan-kawanmu secepatnya!"
"Beres, Ki!"
*** ? Wajah Ki Sudira tampak ketakutan ketika dua orang bertubuh besar memasuki halaman rumahnya. Yang seorang berkepala botak dan bertelanjang dada. Seorang lagi berbaju serba hitam. Rambutnya panjang tidak terurus. Sebelah matanya kelihatan picak. Di belakang mereka tampak Ki Tanureja beserta anak buahnya.
"Mana bocah itu"!" bentak laki-laki botak dengan suara menggeledek.
Lutut Ki Sudira seketika menggigil. Dan semangatnya terbang ketika laki-laki botak ini menyeringai buas kepadanya.
"Tidak usah menakut-nakuti orang tua. Apakah kalian mencariku?"
Mendadak terdengar suara dari ambang pintu. Dan semua mata langsung beralih ke sana. Tampak seorang pemuda berbaju rompi putih bergerak menghampiri Ki Tanureja dan berdiri di sampingnya.
"Hhh, jadi kau orangnya yang mau bertingkah di sini"!" dengus laki-laki botak ini, dengan mata mencorong tajam.
"Apa urusanmu di sini?" tanya pemuda yang tak lain Rangga.
"Bocah pentil! Kupecahkan batok kepalamu!" dengus laki-laki botak menyeringai geram.
Orang itu agaknya tidak bisa lagi menahan diri. Langsung dia maju beberapa tindak, dan langsung melepaskan bogem mentah ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
Wuut! Namun Rangga cepat bergeser sedikit. Lalu ditangkisnya ayunan tangan laki-laki botak.
Plak! Sehabis menangkis, Rangga cepat memutar tubuhnya sedikit, kemudian sebelah kakinya menghantam pantat laki-laki botak ini.
Dess! "Aaakh...!"
Kaman saja, orang itu langsung menyeruduk ke depan.
"Keparat...!" dengus laki-laki botak geram, seraya bangkit berdiri.
Dia bermaksud menyerang lagi namun....
"Tahan dulu, Sapta!" cegah Ki Tanureja.
Dengan tubuh menggigil menahan geram, laki-laki botak bernama Sapta itu terpaksa menghentikan serangan. Matanya mendelik garang ke arah Pendekar Rajawali Sakti seperti hendak menelan hidup-hidup!
Sementara itu Ki Tanureja mendekati Rangga. Sepasang matanya memandang seperti tidak berkedip, penuh kebencian dan amarah Persis empat langkah di depan pemuda itu, dia berhenti.
"Apa maksudmu menggangguku?" tanya kepala desa ini dengan nada dingin.


Pendekar Rajawali Sakti 170 Siluman Bukit Tengger di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apa maksudmu?" Rangga malah balik bertanya.
"Jangan berpura-pura! Tadi malam kau telah mengacau di tempatku!" dengus Ki Tanureja.
"Mengacau" Tanyakan pada Ki Sudira. Dan dia akan mengatakan bahwa sepanjang malam aku tertidur lelap!" sahut Rangga tersenyum.
"Betul, Ki! Aku melihat sendiri. Dia tidak ke mana-mana tadi malam!" timpal Ki Sudira, mendukung Rangga.
"Kau memang telah berkomplot dengannya!" dengus kepala desa itu. "Aku tidak bisa membiarkan ini berlarut-larut. Dia harus kami tangkap!"
"Buktikan kalau aku bersalah, baru kau boleh menangkapku!" sahut Pendekar Rajawali Sakti.
"Akulah hukum di sini! Aku yang menentukan kau bersalah atau tidak!" tegas Ki Tanureja.
Rangga tersenyum mendengarnya. Sebentar matanya beredar lepas ke halaman. Tampak penduduk desa ini mulai berkerumun menyaksikan.
"Jadi, inikah kepala desa yang dihormati penduduknya" Menentukan seseorang bersalah dengan sesuka hatinya"!" teriak Rangga lantang.
"Tidak usah banyak mulut kau! Menyerahlah! Atau, aku terpaksa memaksamu!" bentak Ki Tanureja, dengan suara membahana.
"Kisanak! Kuperingatkan kepadamu! Jangan coba-coba memaksaku! Kalau tidak, kau akan merasa malu sendiri!" ujar Pendekar Rajawali Sakti, mengingatkan.
"Persetan! Kau adalah pengacau. Dan hukumanmu berlipat ganda!" dengus Kepala Desa Legowo ini. "Sapta, dan kau Anggada! Ringkus pemuda keparat ini!"
Laki-laki botak bernama Sapta dan laki-laki berbaju serba hitam yang bernama Anggada, segera melompat menyerang Pendekar Rajawali Sakti.
"Yeaaa...!"
Anggada langsung melayangkan tendangan, sedang Sapta melompat ke atas dengan sambaran tangannya. Namun Pendekar Rajawali Sakti berkelit sedikit ke samping, membuat tendangan itu luput dari sasaran. Pada saat yang sama, sebelah tangannya menangkis hantaman Sapta.
Plak! Begitu serangannya gagal, Sapta langsung melanjutkan serangan lewat tendangan kakinya ke leher. Namun Pendekar Rajawali Sakti telah cepat merunduk sambil memutar tubuhnya. Dan seketika sebelah kakinya menghantam ke arah perut laki-laki botak itu.
"Uts!"
Masih untung, Sapta cepat menjatuhkan diri ke samping sehingga tendangan Rangga hanya menyambar angin. Pada saat yang bersamaan, Anggada pun melakukan sodokan maut dari arah samping. Sehingga mau tak mau Pendekar Rajawali Sakti terpaksa mencelat ke atas. Dan ini membuat serangan Anggada luput dari sasaran.
Begitu berada di udara, tiba-tiba Pendekar Rajawali Sakti meluruk cepat bagai kilat dengan jurus "Sayap Rajawali Membelah Mega" pada tingkat pertama. Dan dengan cepat pula, kedua tangannya bergerak mengibas. Sehingga....
Begkh! Des! "Aakh...!"
Sapta dan Anggada kontan menjerit kesakitan ketika dua kepalan Pendekar Rajawali Sakti mendarat di tubuh masing-masing. Sapta mendapat hantaman di muka, sedang Anggada di dada. Keduanya terjungkal ke belakang. Dari hidung si botak meleleh darah segar. Mukanya seketika meringis. Demikian pula halnya Anggada. Untung saja Pendekar Rajawali Sakti tidak mengeluarkan seluruh kekuatannya. Ditambah lagi, kedua orang itu juga memiliki tingkat kepandaian cukup. Maka tak heran kalau mereka bisa bangkit kembali.
"Keparat! Kuputus lehermu, Bocah!" dengus Sapta.
Srang! Laki-laki botak ini langsung mengeluarkan rantai besi yang ujungnya terdapat bandul berduri. Sementara Anggada mencabut golok panjangnya.
"Yeaaa...!"
Disertai teriakan keras menggeledek, mereka menyerang Pendekar Rajawali Sakti dari arah yang berlawanan.
*** ? "Hm.... Ternyata kalian terlalu memaksaku. Apa boleh buat?" gumam Pendekar Rajawali Sakti.
Menyadari kalau kedua lawannya benar-benar hendak membunuh, Rangga merasa harus meningkatkan kekuatannya pada setiap jurus-jurus yang akan dimainkannya.
Tepat ketika sambaran kedua lawannya meluncur datang, Rangga telah mencelat ke atas menggunakan jurus "Sayap Rajawali Membelah Mega". Begitu cepat gerakannya, sehingga tak satu serangan pun mendarat di tubuhnya.
"Kunyuk!" umpat Sapta, melihat serangannya gagal.
Rantai besi laki-laki botak ini kembali menyambar laksana pusaran angin kencang. Dan di antara serangan itu, Anggada coba menyelinap untuk mencuri kesempatan.
Dua jurus telah berlalu, namun tak satu serangan pun yang membuahkan hasil. Mereka baru sadar kalau lawan yang dihadapi berkepandaian sangat tinggi. Dari sini mereka merasa kalau harus meningkatkan serangan.
"Hiaaa...!"
Disertai teriakan membahana, Sapta menyabetkan rantai dengan bandul berdurinya ke arah dada.
Namun dengan menggeser tubuhnya sedikit. Rangga berhasil membuat serangan itu lewat menyambar angin kosong. Bahkan seketika sebelah tangannya bergerak menangkap rantai besi.
Tap! Pada saat yang bersamaan, Anggada melompat menyerang.
"Hiiih!"
Tepat ketika tubuh Anggada meluruk, Pendekar Rajawali Sakti menyentak rantai besi. Akibatnya tubuh besar Sapta melayang. Dan dengan rantai yang mengendur di tangan, Rangga menangkis bacokan golok Anggada sambil melayangkan tendangan ke perut disertai pengerahan tenaga dalam cukup tinggi.
Crak! Des! "Aaakh...!"
Anggada menjerit kesakitan, ketika tubuhnya terjungkal ke belakang. Isi perutnya seperti mau meledak menerima hantaman menggeledek tadi.
Sementara itu, Sapta yang tengah melayang cepat memasukkan tangannya ke balik baju. Begitu tangannya keluar, cepat dikibaskan ke arah Rangga.
Set! Set! Saat itu juga meluncur dua senjata rahasia berbentuk segi lima yang runcing berkilatan, mengancam keselamatan Pendekar Rajawali Sakti. Namun, Rangga tidak kalah sigap. Dengan rantai besi itu, ditangkisnya kedua senjata rahasia tadi.
Crak! Crak! Kemudian tubuh Pendekar Rajawali Sakti mendadak melesat ke atas, mengejar Sapta yang masih meluncur. Langsung dilepaskannya satu tendangan menggeledek.
. Duk! "Aaakh...!"
Dalam keadaan tubuh melayang begitu, Sapta memang tak bisa menghindar lagi. Dan telak sekali tendangan Pendekar Rajawali Sakti mampir di dadanya. Laki-laki botak bertubuh sebesar kerbau itu terjungkal roboh disertai pekik kesakitan.
"Ayo, bangun! Mana kegarangan kalian tadi"!" dengus Pendekar Rajawali Sakti, dingin menggetarkan.
"Ohh...! Aduuuh...!"
Sapta dan Anggada berusaha bangkit sambil mengerang kesakitan. Tapi mereka tak bermaksud menyerang kembali.
Sementara, Rangga sudah menebar pandangan dingin ke arah Ki Tanureja.
"Kisanak, pergilah. Dan jangan menggangguku! Kalau kau tetap memaksakan kehendakmu, maka aku tidak akan memandang kedudukanmu lagi," desis Rangga, dengan perbawa kuat.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Ki Tanureja berlalu dari tempat itu, membawa rasa geram dan dendam.
*** ? "Hebat, Rangga! Kau bahkan telah membuat nyali mereka rontok!" puji Ki Sudira, ketika Ki Tanureja dan kaki tangannya telah tak kelihatan lagi.
Beberapa penduduk mendekat, dan berkumpul di dekat mereka. Satu dua orang berbisik-bisik memuji Rangga. Sekaligus, mencari tahu jati dirinya.
"Persoalan ini belum selesai, Ki...," desah Rangga pendek seraya melangkah ke beranda depan.
"Ya. Apa yang akan kita lakukan?" tanya laki-laki gemuk itu seraya mengikutinya.
Rangga diam tak menyahut. Beberapa orang tetangga Ki Sudira agaknya belum beranjak. Dan mereka masih berkumpul di pekarangan rumahnya. Hal itu membuat Rangga enggan bicara lebih lanjut.
Ki Sudira menyadari hal itu. Seketika pembicaraan dialihkan pada hal-hal lain. Baru ketika kerumunan itu menghilang satu persatu, mereka mengalihkan pembicaraan lagi.
"Kita tidak bisa terus begini. Aku akan bergerak cepat!" tandas Pendekar Rajawali Sakti.
"Apa maksudmu, Rangga" Apa yang akan kau lakukan?" tanya Ki Sudira.
"Aku harus menemukan gadis-gadis itu, hidup atau mati! Dengan begitu bukti akan cukup kuat," sahut Rangga, mantap.
"Tapi, dari mana kau bisa mencarinya?"
"Ki Sepuh dan Ki Tanureja adalah antek-antek siluman itu. Atau..., barangkali mereka sendiri otak di balik semua ini. Aku akan memaksa mereka atau siapa pun orangnya yang ikut campur dalam persoalan ini!" jelas Rangga.
Melihat wajah Rangga penuh perbawa, diam-diam orang tua itu bergidik ngeri. Dia tidak tahu, siapa pemuda ini sebenarnya. Dan apa urusannya membantu mereka. Namun jelas kelihatannya dia tidak butuh pamrih. Dan dengan kepandaiannya yang hebat, pemuda ini mungkin saja bisa mengobrak-abrik siluman yang ditakuti penduduk di kawasan empat desa.
"Besok Adipati akan ke sini. Apakah itu hal biasa?" tanya Rangga.
"Tidak. Jarang sekali ada pembesar yang berkunjung ke desa ini," jelas Ki Sudira.
"Lalu dalam rangka apa?"
"Entahlah. Mungkin beliau prihatin atas kejadian yang menimpa empat desa di kawasan Bukit Tengger ini."
"Adipati itu murah hati?"
"Aku pernah dengar itu. Beliau memang orang yang murah hati dan suka membantu rakyat yang kesulitan."
"Hmm...!"
"Kenapa, Rangga?"
"Tidak ada apa-apa."
"Kau mencurigai Kanjeng Adipati?" tanya Ki Sudira dengan wajah berkerut.
Rangga tak menyahut. Baik dengan kata-kata maupun isyarat.
"Aduh, Rangga! Jangan! Jangan keterlaluan! Itu sama artinya membahayakan diri sendiri. Kita akan celaka! Lagi pula, aku tidak yakin. Sebab berita yang kudengar selama ini, beliau adalah orang yang arif lagi bijaksana!" lanjut Ki Sudira khawatir.
"Aku tidak mengatakan kalau aku mencurigainya, Ki. Tapi, siapa pun orangnya yang berbuat kesalahan, meski raja sekalipun, dia tidak akan luput dari dosa. Dan itu akan ditanggungnya, di dunia serta akhirat. Dia akan mendapat ganjaran yang setimpal!" kilah Pendekar Rajawali Sakti.
Ki Sudira terdiam. Pikirannya melayang jauh, membayangkan apa saja yang telah dilakukan pemuda ini. Pertama, dia mencurigai Ki Sepuh. Lalu, kepala desa. Dan, kalau sampai Kanjeng Adipati pun dicurigai, maka itu sudah kelewatan!
*** ? 7 ? Ki Tanureja benar-benar tidak bisa tidur memikirkan persoalan yang dihadapi. Wajahnya sejak tadi keruh menahan geram dan kesal yang berkobar. Entah berapa kali dia mondar-mandir di ruangan ini. Sebentar-sebentar matanya menatap liar keluar lewat jeruji jendela. Tampak para tukang pukulnya berjaga-jaga di depan. Juga, di kanan-kiri serta belakang rumahnya. Kepala desa ini memang sengaja menambah jumlah tukang pukul untuk melindunginya.
Kejadian pagi tadi di rumah Ki Sudira, benar-benar membuat Ki Tanureja tak bisa tidur. Dan pemuda berbaju rompi putih itu telah menghantui pikirannya sejak tadi.
"Kelana!" teriak Ki Tanureja.
Yang dipanggil bergegas menghampiri.
"Ada apa, Ki?" tanya Kelana.
"Apa mereka sudah datang?"
"Belum, Ki."
Ki Tanureja terdiam, seperti tengah berpikir. Lalu dia duduk sebentar, untuk kemudian bangkit kembali.
"Aku ingin pemuda itu ditangkap dan dijatuhi hukuman mati!" dengus orang tua itu.
"Sabar saja, Ki. Aku yakin, Kanjeng Adipati akan membawa pasukan dalam jumlah banyak!"
"Bagaimana dengan si Gonggola?" tanya Ki Tanureja lagi.
"Sudah. Dia sudah pergi menghubungi orang itu, Ki."
"Siapa namanya?"
"Ki Gering Wesi."
"Apa bisa diandalkan?"
"Dia tokoh hebat, Ki. Siapa yang tidak mengenalnya" Dunia persilatan mengenalnya sebagai Ular Mata Maut. Orang itu berilmu tinggi. Pemuda itu pasti tak berkutik dibuatnya!" jelas Kelana penuh semangat.
"Apa bisa kau pastikan dia akan datang sekarang?" tanya laki-laki tua itu lagi.
"Tentu saja, Ki! Siapa yang tidak suka melihat tumpukan uang emas"!" sambut Kelana dengan wajah berseri-seri. "Dia pasti akan datang. Jangan khawatir. Pemuda itu secepatnya akan binasa!"
Wajah Ki Tanureja tersenyum membayangkan sesuatu yang akan terjadi pada pemuda yang amat dibencinya.
"Bagus! Aku ingin secepatnya melihat kepala pemuda itu untuk kujadikan pajangan di ruang tamu ini!"
"Sabar saja, Ki. Tak akan lama lagi keinginanmu itu akan terpenuhi."
Ki Tanureja kembali tertawa, terkekeh. Namun ketawanya seketika terhenti. Dan matanya kontan terbelalak ketika....
"Kau"! Apa yang kau lakukan di sini"! Hei, tangkap dia"!" teriak Ki Tanureja belingsatan.
Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di depan pintu ruangan tampak seorang pemuda berbaju rompi putih tegak berdiri sambil tersenyum dingin. Rambutnya yang panjang berkibar tertiup angin malam. Dari sini bisa dilihat betapa tingginya kepandaian pemuda itu, sehingga kehadirannya tak diketahui para penjaga rumah Ki Tanureja.
Untuk sesaat, kedua orang itu terpaku. Namun tak lama kemudian Kelana sadar akan tugasnya.
"Tenang, Ki. Akan kubereskan bocah ini!" ujar Kelana mantap, seraya mencabut golok. Langsung diserangnya pemuda itu.
Wut! "Uts!"
Pemuda yang tak lain Pendekar Rajawali Sakti ini cepat bergerak ke samping, membuat tebasan golok hanya menyambar angin kosong. Dan dengan sekali bergerak, ditangkapnya pergelangan tangan Kelana, lalu dipelintirnya ke belakang.
Krek! Belum juga Kelana bisa berbuat apa-apa, jari-jari tangan Pendekar Rajawali Sakti telah bergerak ke punggungnya. Dan....
Tuk! Golok di tangan Kelana langsung jatuh. Dan tubuhnya kontan melorot tak berdaya dalam keadaan tertotok.
Sementara Ki Tanureja mundur ke belakang ketika melihat pemuda itu menghampirinya perlahan-lahan dengan sorot mata tajam.
"Penjaga...! Tangkap dia! Kenapa kalian diam saja"! Tangkap dia!" teriak Ki Tanureja.
Tapi, sia-sia saja orang tua itu berteriak-teriak, karena tidak seorang pun anak buahnya yang muncul untuk menolongnya. Dan itu semakin membuat Ki Tanureja kecut bercampur geram.
"Percuma saja kau berteriak-teriak memanggil mereka. Aku telah membuat mereka istirahat barang sejenak," kata Rangga sambil tersenyum dingin.
"Kurang ajar! Pergi kau dari tempatku!" bentak Ki Tanureja.
"Aku ingin minta tanggung jawabmu dulu," sahut Pendekar Rajawali Sakti, enteng.
Darah orang tua itu mendesir dicekam ketakutan. Wajahnya pucat dan jantungnya berdetak lebih kencang.
"Kenapa" Kau mulai takut mati dalam kesendirian karena tidak ada yang menemanimu?" ejek Rangga.
"Apa maumu sebenarnya"!" sentak Ki Tanureja.
"Di mana gadis-gadis itu kau sembunyikan?" tanya Rangga, langsung.
"Apa maksudmu"!"
"Jangan pura-pura! Gadis-gadis yang dipersembahkan untuk siluman gadungan itu, kau sembunyikan di mana"!" bentak Pendekar Rajawali Sakti, mulai berang melihat sikap orang tua itu.
"Aku tidak mengerti maksudmu" Kau boleh saja tidak percaya pada siluman itu. Tapi, kau tidak berhak menuduhku macam-macam!"
Baru saja habis kata-kata Ki Tanureja, Pendekar Rajawali Sakti telah melayangkan kakinya ke depan.
Duk! "Aaakh...!"
Ki Tanureja menjerit kesakitan, mendapat tendangan pemuda itu yang menghantam perutnya.
Tubuhnya langsung terjerembab menghantam kursi. Dan baru saja hendak bangkit, pemuda itu telah tegak berdiri di depannya sambil mendengus geram.
"Di mana kau sembunyikan gadis-gadis itu"!"
Laki-laki itu belum sempat menjawab ketika....
Wesss...! Sss...! "Heh..."!"
*** ? Rangga terkejut setengah mati, ketika terdengar desir halus dari belakang. Secepat kilat dia menoleh ke belakang. Benar saja, dari arah pintu, mendadak meluncur dua buah benda berwarna kehitaman.
Dengan gerakan cepat luar biasa Pendekar Rajawali Sakti melenting ke atas, sehingga terjangan dua benda kehitaman yang ternyata dua ekor ular hijau sebesar kelingking itu hanya menemui tempat kosong.
Begitu berada di atas, Pendekar Rajawali Sakti memutar tubuhnya dan mendarat manis di depan seorang laki-laki kurus berambut panjang awut-awutan. Di tangan orang itu tergenggam tongkat hijau yang ujung atasnya berbentuk kepala ular. Sepasang matanya kecil namun tatapannya amat tajam. Kuat dugaan, orang inilah yang telah melemparkan kedua ular hitam tadi.
Di samping laki-laki kurus itu, tampak seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun. Tubuhnya agak pendek. Goloknya terselip di pinggang.
Melihat kedatangan kedua orang itu, seketika wajah Ki Tanureja berseri-seri.
"Gonggola! Bagus, kau cepat datang...!" sambut Ki Tanureja.
"Kau tidak apa-apa, Ki?" tanya laki-laki agak pendek yang dipanggil Gonggola.
"Hanya sedikit sakit. Tapi, tak apa. Aku senang kau datang. Itukah orangnya?" kata Kepala Desa Legowo, seraya melihat laki-laki kurus dengan tongkat kepala ular.
Gonggola mengangguk.
Sementara itu, laki-laki bertongkat yang tengah dibicarakan sudah saling tatap dengan Pendekar Rajawali Sakti.
"Selamat datang, Ki Gering Wesi...! Kau datang tepat pada waktunya!" seru Ki Tanureja girang.
"Kau tidak apa-apa, Ki Tanureja?" tanya laki-laki tua kurus dengan tongkat kepala ular yang dipanggil Ki Gering Wesi alias Ular Mata Maut. Sambil berkata demikian, matanya tak lepas dari wajah Rangga.
"Tidak," sahut Ki Tanureja.
"Hm.... Jadi, inikah orang yang kau maksud?" dengus Ular Mata Maut.
"Betul, Ki! Bereskan dia secepatnya. Kalau berhasil, akan kutambah upahmu!" sahut Ki Tanureja bersemangat.
"Jangan khawatir. Akan kupersembahkan kepalanya untukmu!" desis Ki Gering Wesi, sarat ancaman.
Laki-laki tua berjuluk Ular Mata Maut lantas melangkah tiga tindak mendekati Pendekar Rajawali Sakti sambil tersenyum sinis.
"Boleh juga kepandaianmu, Bocah. Tapi sayang, kau terlalu usil dan mau tahu urusan orang. Untuk itu, kau patut mampus!" bentak Ular Mata Maut.
"Usil demi kebaikan, lebih mulia ketimbang orang upahan sepertimu. Harga dirimu hanya sebesar beberapa keping uang, Kisanak. Selagi ada kesempatan, cobalah bertindak bijaksana," balas Rangga tanpa rasa gentar sedikit pun.
"Tutup mulutmu! Kau boleh berkhotbah setelah di neraka sana!"
Setelah berkata begitu, Ki Gering Wesi langsung mengirim serangan kilat. Namun di luar dugaan, Pendekar Rajawali Sakti melesat ke atas dan langsung menerjang atap rumah Ki Tanureja.
Broll! "Hei, jangan lari kau!" teriak Ular Mata Maut, ketika melihat buruannya menembus atap.
Dengan gerakan tak kalah hebat, Ki Gering Wesi mencelat ke atas, langsung mengejar Pendekar Rajawali Sakti. Sementara, Ki Tanureja dan Gonggola bergegas mengejar lewat pintu depan.
Baru saja Ki Gering Wesi mendarat di tanah, ternyata Pendekar Rajawali Sakti telah menunggu di halaman depan rumah Ki Tanureja.
"Aku tak bakal lari, Kisanak. Kupikir, di dalam sana terlalu sempit buat kita bermain-main," kata Rangga kalem.
"Bagus! Berarti ucapanmu tadi bukan sekadar gertak sambal!" sambut Ular Mata Maut. "Sekarang, terimalah seranganku yang sesungguhnya! Heaaa...!"
Ular Mata Maut langsung menyambarkan tongkatnya yang berujung runcing ke leher Rangga.
Dari gerakan Ular Mata Maut, Rangga sadar kalau lawannya memang tak bisa dipandang sebelah mata. Bukan saja kepandaiannya, tapi juga kebutan tongkatnya yang mengandung tenaga dalam tinggi serta asap tipis beracun.
Rangga yang terus berkelit dengan jurus "Sembilan Langkah Ajaib" cepat memindahkan pernapasannya ke perut. Walaupun sebenarnya Pendekar Rajawali Sakti kebal racun, namun asap itu cukup mengganggunya. Dan yang jelas, tak satu serangan pun yang berhasil menyentuh tubuhnya.
"Hm.... Agaknya dia benar-benar memaksaku. Tapi, biarlah akan kucoba dulu dengan jurus dari lima rangkaian jurus "Rajawali Sakti"!" gumam Rangga, dalam hati.
"Hai, Bocah! Ayo keluarkan seluruh kemampuanmu! Jangan bisanya hanya menghindar!" bentak Ki Gering Wesi.
"Jangan terlalu memaksaku, Kisanak. Kau akan celaka nantinya," sahut Rangga ketika berhasil menghindari serangan.
"Banyak mulut! Buktikan ocehanmu itu di akhirat sana!" tukas Ki Gering Wesi.
Baru saja Ular Mata Maut berkata demikian, tongkatnya telah kembali berkelebat mengancam leher Pendekar Rajawali Sakti.
"Uts!"
Dengan gerakan cepat, Rangga menarik kepalanya ke belakang. Namun belum juga pemuda berbaju rompi putih ini bersiap kembali, Ular Mata Maut telah menyentakkannya ke depan.
Wesss! Saat itu juga meluncur sinar hijau ke arah Rangga. Dengan sebisa-bisanya, Pendekar Rajawali Sakti menjatuhkan diri ke samping dan bergulingan menjauh. Akibatnya, sinar warna hijau itu terus meluncur. Dan....
Jdeer! Beberapa tempat di sekitar pertarungan kontan hangus terbakar oleh sinar hijau dari telapak tangan Ki Gering Wesi. Bahkan dua anak buah Ki Tanureja yang tengah tertotok langsung tewas tersambar. Sudah barang tentu kepala desa yang semula girang karena jagonya dapat diandalkan, mendadak mulai ciut nyalinya. Jangan-jangan Ki Gering Wesi malah mencelakakan mereka, meskipun tidak sengaja.
"Aku tidak mengerti, bagaimana cara menyadarkan mereka. Tapi bawalah mereka ke tempat yang aman, Gonggola!" perintah Ki Tanureja.
"I... iya, Ki!" sahut Gonggola takut-takut terkena pukulan nyasar.
Sementara itu pertarungan telah mencapai puncaknya. Rangga telah berhasil menyelamatkan diri dan telah bangkit berdiri. Sementara Ki Gering Wesi kehabisan akal, bagaimana caranya menaklukkan pemuda itu secepatnya. Sejak pertama tidak satu pun serangannya yang membuahkan hasil. Pendekar Rajawali Sakti yang menyadari kalau lawannya sangat berbahaya, segera menggerakkan tangan kanannya ke punggung. Lalu....
Sring! "Heh?"
Cahaya biru menyilaukan langsung menerangi malam yang gelap, dari batang pedang Pendekar Rajawali Sakti. Saat itu juga, Ular Mata Maut tersentak kaget melihat perbawa pedang Rajawali Sakti. Bahkan Ki Tanureja sampai bergidik ngeri.
"Astaga! Siapa sebenarnya pemuda itu" Apakah dia betul-betul siluman"!" desis Kepala Desa Legowo itu.
"Yeaaa...!"
Belum juga Ki Gering Wesi mampu menghilangkan keterkejutannya. Pendekar Rajawali Sakti sudah membentak nyaring. Tubuhnya seketika mencelat ke arah Ular Mata Maut dengan kibasan pedangnya.
*** ? "Ohh...!"
Ki Gering Wesi terkesiap. Sebelum sambaran Pedang Pusaka Rajawali Sakti datang, dia malah merasakan hawa panas menyengat. Sebisanya dicobanya untuk menangkis dengan tongkatnya. Cras!
"Hei"!"
Betapa kagetnya Ular Mata Maut ketika melihat tongkatnya putus tersisa dua jengkal tersambar senjata Pendekar Rajawali Sakti. Namun belum sempat dia memaki geram, pedang pemuda itu kembali menyambar.
"Keparat!" umpat Ular Mata Maut, seraya mencelat ke belakang. Seketika tangannya bergerak ke saku dan mengibas.
Wess...! Sss! Sss! Suara mendesir terdengar ketika dua buah ular hitam kecil meluruk ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
Namun dengan gerakan dahsyat Pendekar Rajawali Sakti cepat bergerak memapak.
Tes! Tes! Saat itu juga potongan-potongan ular hitam kecil berjatuhan di atas tanah, terbabat pedang Pendekar Rajawali Sakti.
"Hiyaaa!"
Rupanya Pendekar Rajawali Sakti tak ingin lagi memberi kesempatan pada Ular Mata Maut. Baru saja Ki Gering Wesi mendarat di tanah, tubuh Rangga telah meluruk deras dengan satu tendangan geledek yang cepat bagai kilat. Begitu cepat gerakan Pendekar Rajawali Sakti dalam pengerahan jurus "Rajawali Menukik Menyambar Mangsa" yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Sehingga....
Begkh! "Uhh...!"
Ki Gering Wesi mengeluh tertahan dengan tubuh terhuyung-huyung ke belakang, begitu tendangan Rangga mendarat telak di dadanya.
"Hiyaaa...!"
Rangga tidak menyia-nyiakan kesempatan yang amat tipis. Begitu mendarat, tubuhnya kembali meluruk dengan jurus "Sayap Rajawali Membelah Mega" disertai permainan pedangnya, yang cepat dan dahsyat ke arah leher. Dan....
Crass...! "Aaa...!"
Terdengar jeritan menyayat, ketika sambaran pedang Pendekar Rajawali Sakti tepat melewati leher Ular Mata Maut. Orang tua itu hanya mendelik dengan tubuh mematung. Tampak sayatan tipis melingkari lehernya.
Trek! Tepat ketika Rangga memasukkan pedangnya kembali ke warangka, tubuh Ki Gering Wesi mulai ambruk.
Bruk! Begitu tubuh orang tua ini ambruk darah langsung mengucur deras dari lehernya. Sementara kepalanya menggelinding, tiga tombak dari badannya. Tak ada gerakan lagi pada tubuhnya. Mati.
*** ? 8 ? Ki Tanureja dan anak buahnya yang berada di tempat ini langsung bergidik ngeri melihat kejadian yang terjadi di depan mata. Betapa tidak" Kepala Ki Gering Wesi menggelinding ditebas pedang pemuda itu!
Dan kini, semangat Kepala Desa Legowo itu seperti melayang terbang entah ke mana ketika Pendekar Rajawali Sakti mendekatinya perlahan-lahan dengan sorot mata penuh perbawa.
"Oh, tidak! Jangan...! Jangan bunuh aku...!" ratap kepala desa itu, langsung bersimpuh dengan lututnya.
"Katakan, di mana gadis-gadis itu berada. Maka, nyawamu akan selamat!" gertak Pendekar Rajawali Sakti.
"Oh! Aku..., aku tak berani," sahut Ki Tanureja, tergagap.
"Katakan!" hardik Rangga.
"Eh! Itu..., ng...."
"Cepat! Atau kepalamu akan menyusul"!"
"Oh, jangan! Ampun...! Baiklah, akan kuberitahu."
"Di mana"!"
"Di... kediaman Kanjeng Adipati Wiradirga, penguasa Kadipaten Banyu Mubal."
"Jangan main-main denganku! Katakan yang sebenarnya, di mana mereka"!" ujar Rangga, penuh tekanan.
"Aku berkata yang sebenarnya!" tegas Ki Tanureja.
"Jelaskan padaku!" pinta Rangga, setengah memaksa.
"Sudah lama Kanjeng Adipati mempunyai kebiasaan aneh, yaitu harus bersetubuh dengan wanita setiap tiga hari sekali. Makanya secara diam-diam beliau memerintahkan bawahannya untuk mencari wanita-wanita muda untuk melayaninya. Hal itu dikerjakan secara sembunyi atau tersamar, agar citra beliau tidak buruk di mata rakyat," jelas kepala desa itu.
"Terkutuk!" umpat pemuda itu geram. "Dan, apa yang kau dapat dari hasil perbuatanmu ini" Berapa keping emas kau dibayar untuk melakukan perbuatan biadab ini"!"
Tangan Pendekar Rajawali Sakti bergerak ke bawah, langsung dicengkeramnya leher Ki Tanureja.
"Oh! Aduh! Lepaskan cengkeramanmu, Anak Muda. Kau menyakitiku. Tolong lepaskan," ratap Ki Tanureja mengiba.


Pendekar Rajawali Sakti 170 Siluman Bukit Tengger di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sebaiknya kau memang mampus saja, Jahanam!" dengus Rangga geram.
"Oh, ampun! Ampuuun...!" ratap Ki Tanureja lagi, kembali menjatuhkan diri dan bersujud beberapa kali di depan Rangga. "Aku bersedia melakukan apa saja, asal kau mengampuniku!"
Pendekar Rajawali Sakti terdiam sebentar untuk meredakan amarahnya.
"Sungguh?"
"Aku bersumpah!"
"Baiklah. Kupercaya sumpahmu. Ada dua tugas yang harus kau kerjakan," kata Rangga pada akhirnya.
"Katakanlah, apa itu?" tanya Ki Tanureja.
"Pertama, kau harus membuat pengakuan kepada seluruh penduduk desa ini bahwa Siluman Bukit Tengger sebenarnya tidak pernah ada. Dan itu hanya akal-akalan kalian saja."
"Tapi...."
Kata-kata Ki Tanureja terputus.
"Kenapa" Kau tidak mau?" tanya Rangga, dingin.
"Penduduk desa ini akan mengutuk dan berusaha membunuhku!"
"Mereka tidak akan berbuat sekejam itu."
"Apakah kau bisa menjamin?"
"Tidak! Tapi paling tidak, aku berusaha menenangkan mereka. Untuk sementara, kau tidak perlu menerangkan kepada semuanya. Cukup kepada orang-orang tertentu saja."
Laki-laki tua ini berpikir sebentar, sebelum mengangguk lemah.
"Yang kedua! Kau harus membantuku menangkap adipati keparat itu!" desis Rangga.
"Apa"!"
Ki Tanureja terkesiap kaget mendengarnya.
"Kenapa" Kau tak mau?" tanya Rangga lagi dengan sorot mata tajam sarat ancaman.
"Itu sama artinya dengan bunuh diri! Besok beliau akan ke sini dengan pasukan besar untuk...."
Laki-laki tua itu ragu-ragu meneruskan kalimatnya.
"Untuk menangkapku, bukan?" tukas Pendekar Rajawali Sakti sambil tersenyum dingin. "Dia tak datang dengan pasukan besarnya, sebab anak buahmu yang kau suruh mengabarkan persoalan di sini telah kutangkap dan tidak akan sempat melapor."
Ki Tanureja tertunduk lesu mendengar cerita pemuda di depannya.
"Apa alasanmu lagi" Apakah kau tetap akan membela adipati berhati bejat itu"! Kalau demikian, nasibmu akan sama dengannya. Maka lebih baik kau kubunuh saja!" ancam Rangga.
"Eh, tidak! Baiklah, aku akan membantumu menangkapnya!" sahut orang tua itu, buru-buru.
"Bagus. Berarti kau masih sayang nyawamu! Dan sekarang juga, kau ikut aku! Ingat! Kalau kau macam-macam, aku tidak akan banyak bicara lagi. Kutebas lehermu!" desis Pendekar Rajawali Sakti.
"Mau di bawa ke mana aku?" tanya Ki Tanureja.
"Menjelaskan persoalan kepada sebagian penduduk, lalu mengatur rencana untuk menangkap adipati jahanam itu!" tukas Rangga cepat.
? *** Kedatangan Adipati Wiradirga di Desa Legowo disambut dingin. Tidak ada derai tawa, sorak sorai, atau teriakan yang mengelu-elukannya. Penguasa Kadipaten Banyu Mubal itu sendiri sedikit mengernyitkan dahi karena heran. Tidak biasanya dia mendapat sambutan seperti ini.
Namun laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun dengan tubuh sedikit agak kurus itu tidak berkecil hati. Dicobanya tersenyum kepada siapa saja yang ditemui sambil menghela kuda pelan-pelan.
Sementara, satu persatu penduduk desa ini mengikuti dari belakang sampai rombongan yang berjumlah sepuluh orang itu tiba di depan rumah kepala desa.
"Ah! Selamat datang, Kanjeng Gusti Adipati! Selamat datang ke tempatku yang buruk ini!" sambut Ki Tanureja seraya tergopoh-gopoh menghampiri.
Adipati ini kemudian turun dari kudanya. Seorang pembantu kepala desa itu menerima kuda Adipati Wiradirga. Begitu juga pembantu yang lain menerima kuda-kuda para pengawal adipati ini.
"Hm.... Sungguh meriah sambutan orang-orang yang ada di sini. Mereka beramai-ramai datang ke tempatmu ini," gumam Adipati Wiradirga seraya memandang ke sekeliling. Dan dia melihat hampir semua penduduk desa keluar dan berkumpul di sekitar rumah Ki Tanureja.
"Itu pertanda mereka mencintai pemimpinnya!" sahut kepala desa ini sambil tersenyum-senyum. "Eh! Ada hal yang penting. Kanjeng Adipati!"
"Apa itu?"
"Mereka agaknya berkumpul di sini mempunyai maksud. Yaitu, ingin mengadukan nasibnya kepada Kanjeng Adipati. Apakah Kanjeng Adipati berkenan mengabulkannya?" jelas Ki Tanureja.
"Oh, silakan! Aku senang sekali mendengar keluhan rakyatku," sahut Adipati Wiradirga, ramah.
Maka seketika itu juga Ki Tanureja berpidato di depan kerumunan penduduk desanya, untuk memberitahukan bahwa adipati berkenan menampung keluhan mereka.
"Kanjeng Adipati, hamba hendak bertanya. Apa hukuman bagi seseorang yang berbuat kejahatan"!" teriak seorang penduduk.
"Setiap kejahatan tentu mendapat hukuman. Berat atau ringannya, tergantung kejahatan yang diperbuatnya. Kejahatan apa yang kau maksudkan?" kata adipati ini sambil melempar pertanyaan kembali.
"Kejahatan yang hamba maksudkan adalah menipu serta mengelabui orang banyak. Berbuat baik, padahal di belakangnya berbuat keji dan busuk!"
Adipati Wiradirga tersenyum.
"Orang itu sungguh licik. Maka dia patut mendapat hukuman berat," jelas adipati ini, singkat.
"Seperti apa?" tanya yang lain.
"Penjara seumur hidup. Atau, ikut dalam kerja paksa. Atau boleh juga..., dihukum mati."
"Terima kasih. Kanjeng Adipati. Kami telah mendapatkan jawaban yang adil darimu. Oleh sebab itu, kami akan menghukum orang itu!" teriak seorang pemuda berbaju rompi putih, seraya melangkah ke depan menghampiri Adipati Wiradirga.
Pemuda yang tidak lain Pendekar Rajawali Sakti ini melangkah dengan sikap mengancam. Dan bersamaan dengan itu, para penduduk desa mengikuti dari belakang.
Sudah barang tentu hal ini membuat Adipati Wiradirga kaget. Para pengawalnya segera bertindak menghunus senjata, untuk menghalau kerumunan orang-orang itu.
"Minggir kalian! Minggir! Jangan coba-coba berbuat macam-macam kepada Kanjeng Adipati. Atau, kalian akan celaka!" ancam para pengawal.
"Kaulah yang minggir!" desis Pendekar Rajawali Sakti seraya melepaskan kibasan tangan.
Dregh! Seorang pengawal yang berada di dekat Rangga kontan terpental, terkena kibasan tangan.
"Aakh...!"
Sementara melihat keberanian Rangga, maka kerumunan penduduk yang semula takut-takut kini semakin berani. Dan mereka beramai-ramai melawan para pengawal Adipati Wiradirga.
Adipati itu sendiri melihat keadaan ini menjadi belingsatan. Buru-buru dihampirinya Ki Tanureja untuk mencari perlindungan. Tapi saat itu juga, anak buah kepala desa ini meringkusnya.
"Tanureja! Apa-apaan ini"! Apa yang kau lakukan padaku"!" sentak Adipati Wiradirga dengan suara geram.
"Semua sudah berakhir, Kanjeng Adipati...," ucap Ki Tanureja, lirih.
"Apa maksudmu"!" tanya adipati ini, dengan keringat dingin sudah membasahi seluruh wajahnya.
"Mereka sudah mengetahui sandiwara ini, Kanjeng Adipati. Kita tidak bisa mempertahankannya terus...," sahut kepala desa itu, lemah.
"Kurang ajar! Kau telah mengkhianatiku! Keparat kau, Tanureja!" teriak adipati itu kalap.
Percuma saja Adipati Wiradirga berontak, karena anak buah Ki Tanureja buru-buru mengamankannya.
Begitu juga para prajurit kadipaten. Dalam waktu singkat mereka dapat diringkus hingga tidak berkutik oleh para penduduk. Maka sorak sorai penduduk desa ini seketika membahana, mengutuk adipati itu beserta antek-anteknya. Kalau saja Rangga tidak mencegahnya, niscaya mereka akan merajam orang-orang itu dengan kejam.
"Tenanglah, Kisanak semua! Tenang! Kita harus menyelesaikan persoalan ini dengan adil!" teriak Pendekar Rajawali Sakti menenangkan. "Kalau main hakim sendiri, maka kita tidak beda dengan mereka. Orang-orang ini memang telah kelewat batas. Tapi, mereka akan mendapat hukuman yang setimpal. Salah seorang dari kita, telah pergi menghadap Kanjeng Gusti Prabu. Dan tidak lama lagi, akan tiba para prajurit kerajaan untuk membawa mereka!"
"Bagaimana dengan gadis-gadis yang menjadi korban kebiadabannya"!" tanya seorang penduduk.
"Mereka aman. Dan, sampai sekarang masih selamat. Setelah para prajurit Kerajaan Medangwangi tiba, kita akan minta untuk menggeledah kediaman adipati. Tidak lama lagi, mereka akan kembali!" sahut Rangga.
Maka sebelum para prajurit kerajaan yang dijanjikan Pendekar Rajawali Sakti tiba, penduduk desa seperti enggan beranjak dari tempatnya. Mereka seperti tidak ingin orang-orang itu melarikan diri, mengingat perbuatan-perbuatan busuk yang telah dilakukan.
? *** Apa yang dikatakan Pendekar Rajawali Sakti memang benar. Tidak berapa lama, muncul pasukan Kerajaan Medangwangi ke desa ini, dipimpin seorang panglima muda. Jumlah mereka tidak kurang dari dua puluh lima orang. Tampak Rangga bicara kepada kepala pasukan itu beberapa saat, untuk menjelaskan duduk persoalannya. Kemudian, para prajurit Kerajaan Medangwangi yang membawahi Kadipaten Banyu Mubal itu segera meringkus tawanan untuk diadili di istana kerajaan.
Beberapa penduduk Desa Legowo yang berjumlah sekitar dua puluh orang bergegas mengikuti pasukan kerajaan itu. Sebab, mereka akan singgah ke kadipaten untuk mengabarkan persoalan Adipati Wiradirga kepada keluarga serta para pengawalnya, agar tidak mencari-cari. Dan yang terpenting, melepaskan gadis-gadis yang selama ini disekap adipati itu.
? *** Sementara Ki Sudira sampai saat ini tidak tahu harus berbuat apa-apa. Dipandanginya Rangga yang tengah menenggak minuman yang dihidangkan untuknya.
"Jadi kau akan berangkat sekarang juga, Rangga?" tanya laki-laki gemuk itu dengan suara tercekat di tenggorokan.
"Ya! Persoalan di sini sudah selesai, bukan?" sahut Pendekar Rajawali Sakti.
"Eh! Apa tidak-sebaiknya menginap di sini barang satu atau dua hari lagi?" tanya Nyi Sudira bernada penuh harap.
Pendekar Rajawali Sakti tersenyum.
"Aku ingin sekali. Tapi, tak bisa. Masih banyak yang mesti kukerjakan," tolak Rangga, halus.
"Aku..., merasa bersalah...," desah Nyi Sudira.
"Kenapa, Nyi?"
"Semula aku mencurigaimu. Bahkan tidak menyukai kehadiranmu yang kuanggap membawa bencana," lanjut wanita itu dengan suara lirih dan kepala tertunduk malu.
"Itu persoalan biasa. Tidak kenal, maka tak sayang. Tapi kalau kelamaan di sini, malah mungkin saja bukan sayang yang kudapatkan, tapi membuat repot keluarga di sini," kata Rangga sedikit berkelakar.
"Tidak! Kami sama sekali tidak merasa direpotkan. Iya kan. Kang?" sergah Nyi Sudira, seraya melirik suaminya.
"Tentu saja! Kami tidak merasa kerepotan dengan kehadiranmu!" sahut Ki Sudira cepat.
Rangga tersenyum.
"Ya, aku percaya," desah Pendekar Rajawali Sakti pendek. "Tapi seperti yang tadi kukatakan, masih banyak yang akan kukerjakan."
Suami istri itu tertunduk mendengarnya, kemudian mengangguk pelan.
"Ya. Aku mengerti, Rangga. Kau membela orang tanpa pamrih. Tentu saja masih banyak lagi orang-orang yang membutuhkan pertolongan," desah Ki Sudira.
"Syukurlah kalau kau mengerti, Ki...."
"Jadi kau akan berangkat sekarang?"
Rangga mengangguk.
"Aku telah menyiapkan perbekalan untukmu," lanjut laki-laki gemuk seraya menyerahkan beberapa keping uang emas. "Terimalah meski jumlahnya tak banyak."
"Jangan membuatku malu, Ki. Apa pun namanya pemberian ini, aku tidak bisa menerimanya. Kalian lebih membutuhkannya. Sedang aku belum kekurangan. Simpanlah. Dan, pergunakan untuk hal-hal lain yang lebih perlu!" tolak Rangga, sangat halus.
"Kami tidak tahu, bagaimana caranya berterima kasih atas semua pertolongan yang kau berikan," desah laki-laki gemuk itu dengan suara lirih.
"Berterima kasihlah kepada Sang Hyang Widhi. Dia-lah yang menentukan segalanya. Bukan aku."
Ki Sudira mengangguk.
"Aku pergi dulu, Ki Sudira," pamit Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti bangkit berdiri.
"Terima kasih atas hidangannya. Enak sekali!" lanjut Rangga memuji.
"Apakah kita akan bertemu lagi...?" tanya Ki Sudira, pelan.
"Kalau ada umur panjang mudah-mudahan kita akan bertemu lagi!" sahut pemuda itu seraya melangkah tenang.
Di depan rumah Ki Sudira telah berkumpul banyak orang yang mengiringi kepergian Rangga dengan perasaan haru. Mereka berteriak-teriak memuji sambil melambaikan tangan.
Dan pemuda itu membalas lambaian tangan mereka, lalu berkelebat cepat bagai kilat. Sehingga sebentar saja Rangga sudah jauh dari pandangan.
Sementara para penduduk hanya saling pandang dengan sinar mata menyiratkan rasa bingung. Cepat sekali pemuda itu lenyap, bagaikan makhluk halus saja. Apakah pemuda tampan itu malaikat" Tak ada seorang pun yang mampu menjawabnya.
SELESAI ? Serial Pendekar Rajawali Sakti selanjutnya:
SAYEMBARA MAUT ? ? Scanned by Clickers
Edited by Lovely Peace
Pdf by Abu Keisel
? www.duniaabukeisel.blogspot.com
www.jagatsatria.com
Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 Cambuk Getar Bumi 3 Pendekar Cambuk Naga 13 Utusan Lembah Kubur Bergelut Dalam Kemelut Takhta Dan Angkara 5
^