Pencarian

1000 Kutu Di Kepala 3

1000 Kutu Di Kepala Anakku Karya Isbedy Istiawan Bagian 3


Dan memang dua tahun kemudian, setamat SMA aku dijodohkan dengan lelaki yang tak jauh dari rumahku. Bahkan, jika diurut masih ada pertalian saudara.
Keluargaku dengan keluarganya boleh dikata masih bersaudara, meski sudah amat jauh. Kala itu aku berpikir, kini atau kelak aku akan tetap berumah tangga. Lelaki ini atau lelaki lain, tetaplah aku akan menjadi istri. Tak mungkin berubah aku jadi suami, jika perjodohan ini kutunda&
*** PARANG sepanjang 30 sentimeter kini menari di depan mataku. Bagai tangan seorang penari, ia meliuk sekaligus mengancam. Aku benar-benar dicekam ketakuan yang sangat. Ini bukan yang pertama kali mungkin sudah berpuluh kali. Barangkali hanya karena takdir, aku belum mati di ujung parang itu. Dan, karena takdir pula, kiranya aku tak mampu keluar dari jeratan setan ini.
Pernah aku lari ke rumah orang tuaku. Beberapa minggu lamanya. Tetapi, lelakiku menjemput, dan orang tuaku tak sanggup mencegah. Ibu berkata padaku, bagaimana pun kini kau sudah menjadi milik suamimu. Ibu dan juga ayahmu, hanya dapat berdoa kalian bisa rukun, saling menyayangi dan mencintai&
Ah! Ibu tak mengerti bagaimana pedihnya hatiku sebagai perempuan. Ibu tak pernah merasakan menjadi istri yang setiap waktu terancam jiwanya. Ibu biasa terlindung oleh kelembutan dan kasih sayang ayah. Tidak seperti aku, anakmu yang malang ini. Ayah juga tak mampu menyelami lautan hatiku yang dalam. Hanya dapat berenang di permukaan. Sebab ayah tak pernah memperlakukan ibu sekasar yang kualami kini. Ayah yang periang mengisi hari-harinya selalu dengan riang. Ayah dan ibu, sekali lagi kuakui, adalah pasangan ideal. Impian setiap orang. Meski, kata ibu dulu sekali, Setiap orang tak sama nasibnya.
Mungkin nasibku harus seperti ini, ibu" Begitu ibu, kutafsir ucapanmu dulu kala aku remaja. Entahlah. Aku memang bukan juru tafsir suatu kata menjadi peristiwa nyata. Aku bukan ahli dalam hal menujum nasib orang, apalagi untuk diriku sendiri.
Entah mengapa, yang pasti, aku dapatkan suami yang dingin dan keras. Hanya karena Rio seorang anak lelakiku, membuat rumah tanggaku masih dapat kupertahankan. Tetapi kelak, bila Rio sudah agak besar dan kedua orang tua kami sudah tiada, tentu akan kutinggalkan perahu ini. Aku akan melompat ke bahtera dan merenanginya bersama Rio. Di pulau mana pun aku bisa singgah, walau lelah. Di kanal mana pun aku bisa sejenak istirahat, meski hatiku penat.
Bahwa sampai kini Isman masih jadi suamiku, semata demi keutuhan hubungan kedua orang tua kami. Padahal sudah beberapa tahun ini kami tak lagi tidur seranjang. Bahkan Isman acap tidak tidur rumah ini. Suatu kesempatan aku pernah meminta cerai, tetapi Isman berkeras tak ingin melepas.
Kita berpisah, kalau di antara kita ada yang mati, tandasnya. Kalau belum ada yang mati, sampai kapan pun kau tetap istriku. Jadi kau jangan macam-macam!
Aku istrimu" Apa buktinya kau adalah suamiku, secara badani dan batiniah kita sudah tak menyatu lagi" bantahku.
Ia berang. Mendorongku ke ranjang, melempar asbak yang hampir mengenai wajahku. Aku terisak karena tak ingin terdengar oleh tetangga. Rio mendekat dan memeluk erat tubuhku. Isman menarik lengan Rio, menyuruhnya keluar kamar. Setelah itu kembali ia menghampiriku dengan parang. Parang yang mengkilat dan tajam itu yang selalu dipakainya untuk mengancamku. Tubuhku gemetar. Aku benar-benar ketakutan.
Jangankan parang, diancam dengan pisau silet saja aku tak berani. Aku tak sanggup membayangkan parang itu mengenai tubuhku, menyayat kulitku lalu darah mengucur dari badanku. Jangankan darah manusia, ayam yang terpotong pun aku tak berani melihat darahnya. Sekarang, akankah aku harus melihat kucuran darah, darahku sendiri"
O tidak! Cuma saat tengah malam ini, bagaimana aku dapat keluar dari rumah ini" Rumahku sendiri, rumah yang kubangun dari seluruh gajiku sebagai pegawai negeri. Meski belakangan ini tak lagi kurasakan kenyamanan, selain seperti berada di kawah neraka paling bawah.
Isman masih mengancam. Parang sepanjang 30 sentimeter tergenggam erat di tanganya. Aku tak berkutik. Tetapi aku juga tetap bergeming. Pikiranku, kalau memang harus mati kapan pun bisa: sekarang atau kelak sama saja. Sama persis kala aku harus memutuskan bahwa sekarang atau nanti, aku akan kawin. Pilih Isman ataukah lelaki lain, tetaplah aku sebagai istri. Tak akan pernah berubah, misalnya aku menjadi suami. Jadi, bahwa aku siap dan pasrah pada kematian, semata karena aku tak lagi berpikir soal waktu.
Kalau pun harus menimbang, tiada lain hanyalah soal Rio. Kalau kumati, siapa perempuan yang berkenan menjadi ibu bagi Rio" Ia akan kehilangan perhatian dan kasih sayang, sebagaimana anak ayam kehilangan induk. Kutepis segera bayangan kematian dari benakku. Segera kubangkit dari ranjang. Aku harus melawan, harus bisa keluar dari kamar yang seakan dipenuhi oleh maut.
Parang sepanjang 30 sentimeter itu masih di depan mataku. Hanya tak lagi mengayun-ayun selayaknya jemari seorang penari. Mata Isman kini tertuju ke selengkanganku yang terbuka. Segera ingin kututup pakaianku yang tadi melindungi kedua pahaku. Namun, Isman segera mendekat. Kembali kuberingsut ke tengah ranjang. Kau masih cantik, Niken&
Aku membuang wajah. Kenapa kau selalu menjauh dariku. Bukankah aku belum menceraimu, jadi kau masih tetap istriku" Isman mendekat.
Jangan, Isman. Aku kasihan dengan Rio, kalau kau membunuhku& Aku benar-benar ketakutan. Khawatir sekali, jika ia mengayunkan parangnya ke tubuhku. Aku mengiba, terus beraharap agar suamiku tidak berlaku bodoh. Membunuhku. Bagaimana Rio kelak" Kusebut-sebut nama Rio. Anakku memanggil-manggilku. Kami terpisah oleh pintu kamar yang terkunci.
Perilakumu menyakitkan, kembali kudengar suara Isman, di antara suara gemeretak giginya. Untuk apa kau berhubungan dengan lelaki itu, kau selalu mengirim pesan dari ponselmu. Aku tahu, sudah kubaca semuanya&
Mendengar itu jantungku berpacu kencang. Bukan tak mungkin, kemarahannya makin memuncak. Aku lupa menghapus semua pesan singkat di telepon genggamku, aku benar-benar abai tidak segera menyembunyikan ponselku. Kini sudah tak ada lagi alasan, mengapa aku mengirim pesan singkat tentang rumah tanggaku. Aku teringat pesan pertama yang kukirm pada Hary: Dia ada di sini, dekat denganku. Tapi, menurutku, terasa amat jauh. Meski dia selalu bilang hanya soal jarak.
Pesan singkat itu kukirim pada sepotong malam. Setelah itu, beberapa pesan lain antara kami saling bersahut. Hanya dengan pesan-pesan singkat itu, aku merasa terhibur. Hanya dengan mengobrol lewat pesan singkat di ponsel, kesepianku terobati. Dan, Hary lelaki pengusaha yang kukenal ketika ia menjadi rekanan dalam proyek di kantorku, membalas setiap pesan singkat yang kulayangkan padanya.
Hary sering menasihatiku supaya aku tetap tabah. Kadang pesan singkatnya penuh dengan semangat hidup. Katanya dalam pesan singkat, Kuharap suatu kelak, jarak itu dapat kembali merapat&
Tetapi, aku tak yakin kami bisa kembali menyatu. Cintaku sudah layu. Kasihsayangku sudah menguning oleh musim garing. Hidup saja ada mendaki dan ada lurah, begitu pula cinta" Hary memberiku semangat. Dan, sejak itu aku semakin akrab dengan Hary. Pada hari-hari tertentu, kami janji bertemu. Mengelilingi kota dengan mobil yang dibawa sendiri oleh Hary. Kami mampir di swalayan dan makan siang. Sebatas itu. Kemudian aku diturunkan di tempat kami biasa bertemu. Hubunganku dengan Hary, membuat hariku terasa hidup. Aku bisa melupakan kekalutan dan kekusutan rumah tanggaku. Aku bisa lupa sejenak pada kesepianku&
Untuk apa kaukirim pesan seperti itu" Itu sama saja kautelanjangi rumah tangga kita ini& Isman kembali berucap. Suaranya menggelegar, hatiku berdebardebar.
Ingin kucoba jelaskan bahwa dengan mengirim pesan singkat itu kepada Hary, setidaknya aku telah melepas sumbat di dadaku. Sumbat itulah, entah apa namanya, yang selama ini membuatku sesak. Lalu, salahkah aku mencabut barang sedikit sumbat yang ada itu sehingga dengan begitu aku bisa bernafas"
Tidak untuk apa-apa, jawabku memberanikan diri. Sebab kalau aku bisa mengadu padamu, tak mungkin aku kirim pada lain orang"
Suamiku, entah mengapa, kini menatapku dengan mata setengah layu. Ia mendekatiku pelan-pelan. Kedua bola matanya terus tertuju ke pahaku yang setengah terbuka. Tangannya menempel di pahaku. Meraba. Membelai. Aku terpejam&
*** SUNGGUH! Sudah dua tahun ini aku tak mencium aroma keringat dan mulut suamiku. Wajar kalau kini aku sangat merindukan. Kubiarkan ia makin mendekat, meraba, dan membelai kulitku. Kupejamkan mataku. Kunikmati setiap inci jemarinya bermain di tubuhku. Sampai dia terlelap di atas perutku, dengan parang yang tergenggam di tangan kirinya tampak terkulai di sisi ranjang. Parang itu tak lagi menari&
Lampung, 21 Desember 2004; 13.22
Lelana di Tepi Pantai dan Risalah Silam
Post : 08/15/2005 Disimak: 178 kali Cerpen : Isbedy Stiawan ZS
Sumber : Riau Pos, Edisi 08/14/2005
BAIKLAH, akan kukisahkan seorang lelaki yang saban malam termangu di tepi pantai ini. Tentu kau mengira lelaki itu tak waras. Gila. Sebab, mungkin kau beranggapan bahwa orang waras tak akan membiarkan dirinya dilumuri embun dan angin laut. Saban malam lagi. Tetapi, sebelum kulanjutkan cerita ini, aku tegaskan dulu bahwa ia waras. Tidak gila. Itu kutahu ketika suatu malam kulihat ia sedang bercakapcakap dengan seseorang barangkali petugas kemanan di sana atau mungkin pengunjung biasa entah apa yang dibicarakan, sebab tak bisa menyimak. Lagi pula malam demikian dingin waktu itu...
Ia, lelaki itu, belumlah tua. Bisa kutaksir sekitar 47 tahun. Badannya berotot, kulitnya pekat dan seperti selalu dilumuri minyak. Rumahnya tak jauh dari pantai. Sebenarnya cukup berjalan kaki bisa ia lakukan. Ia lebih banyak diam daripada bercakap atau bersama orang lain. Cuma sekali itu aku melihatnya bercakap, lalu selebihnya menyendiri: duduk tertunduk, termangu, dan sambil membiarkan seluruh tubuhnya berlumur embun dan angin laut. Tetapi, tak jarang pula mulutnya berkomatkamit.
Pernah ingin kutanya kenapa setiap malam ia selalu menuju tepi laut. Adakah seseorang atau atau apalah itu yang tengah dinanti" Mungkinkah ia menunggu orang yang amat dikenalnya pulang dari melaut" Atau angin, atau debur ombak, atau (Ah! Aku tak memiliki banyak perbendaharaan pengetahuan tentang laut, pantai, bakau, ataupun yang berurusan dengan tepi laut!) ia tidak sedang menunggu apa-apa" Sebab, setiap aku ingin mendekatinya setelah menyapa atau tersenyum ketika berpapasan, ia kemudian menjauh. Ia langkahkan kakinya menyusuri gundukan tanah yang menjorok ke air. Di ujung sana, ya di paling tepi pantai itu, ia akan duduk: tertunduk, termangu sambil membiarkan tubuhnya disantap embun dan angin laut. Seperti tak berasa. Seakan kebal tubuhnya. Kau dapat rasakan betapa dinginnya berada di tepi pantai pada malam hari"
Demikian. Lelaki itu kukuh. Ia seperti tak merasakan gigil, meski kulitnya tak dibaluti kain atau baju penghangat. Mungkin anak pelaut. Hanya anak pantai yang sudah terbiasa dengan suasana dingin seperti itu.
Aku dapat mengetahui ihwal lelaki itu dari seseorang. Dialah yang bercerita padaku. Dan, kini aku mengisahkan kepadamu...
*** JAM 01.00 dia tiba di pantai itu. Sendiri. Lalu meletakkan sembarang sepedannya hingga terdengar gaduh. Setelah itu ia menuju paling tepi pantai itu.
Setiap malam ia selalu ke tempat itu. Dengan sepeda yang boleh dibilang sudah tua usianya, tetapi masih tampak kukuh. Buktinya tak ada lecet ataupun rusak, padahal setiap sampai di tempat itu ia lepaskan sepedanya begitu saja. Di tepi pantai itu ia akan termangu berjam-jam, bahkan hingga siang menjelang.
Sudah lebih sepuluh tahun ini kebiasaannya menepi pantai: duduk, tertunduk, dan termangu sambil membiarkan tubuhnya dilumuri embun dan angin laut. Setiap malam. Pada waktu yang sama, seakan ia tahu sekali dengan waktu (padahal ia tak memakai arloji tangan) lelaki itu akan menuju tepi pantai itu. Setelah melepaskan sepedanya dengan sembarang, ia melangkah ke paling tepi. Ketika siang mengembang ia akan kembali mendapati sepedanya. Lalu mengayuh. Mungkin ke rumahnya atau menuju mana.
Lelaki itu, menurut sahibul kisah, bernama Lelana. Anak pantai yang dilahirkan oleh bapak seorang pelaut dari ibu penjual ikan di Pusat Pelelangan Ikan sekitar 3 kilometer dari pantai ini. Meski anak pantai dari keluarga pelaut, toh ia tak bisa menembus biru lautan. Ia hanya menanti bapaknya di tepi pantai, menarik temali perahu untuk menyeret perahu ke pantai. Lalu mengikat di akar bakau. Jika laut pasang, ia tak pernah abai menurunkan bandul dari besi sebagai jangkar ke dasar air.
Tak perlu lagi disuruh. Tak mesti diperintah dulu. Sebab pekerjaan sepereti itu sudah seperti menjadi sebuah prosesi: ritual baginya. Bahkan, begitu melihat perahu Bapak dari kejauhan (kadang masih samar karena tersaput kabut pagi), Lelana sudah berteriak dari pinggir pantai: "Oooiiiii...."
Dan, bapak (sesama pelaut memanggilnya: Kelana) akan menyambut pula sahutan anaknya itu dengan ucapan yang sama. Keduanya saling bersahutan, untuk saling memberi tahu hasil tangkapan ikan hari itu dan keadaan Ibu dan dirinya selama Bapak di lautan...
"Banyakkkkk...."
"Ada di rumahhhh. Lagi masak buat makan bapakkk..."
Lelana lalu turun ke air. Memburu perahu bapak. Ia akan menanti ketika air sampai di dadanya, dan perahu yang dikayuh bapak mendekat. Ia lepaskan temali. Ia seret perahu tersebut ke pantai. Seperti orang yang tengah menarik seekor sapi. Bapak turun ke air kemudian meninggalkan Lelana yang memberesi hasil melaut. Lelana akan memanggul ikan-ikan itu di pundaknya. Mengikuti jejak bapak yang pulang lebih dulu. Selalu dan selalu, begitu ia sampai di rumah bapak sedang makan di balai-balai.
Kehidupan seperti itu berjalan seperti biasa. Artinya, bapak akan pulang selepas subuh. Ibu memasak menjelang subuh, dan Lelana akan datang ke pantai itu seusai subuh ketika matahari belum lagi muncul. Lalu ia akan berteriak begitu melihat perahu Kelana seakan menyambut kehadiran bapaknya. Dan Kelana akan menjawab teriakan Lelana. Setelah itu, Lelana menceburkan dirinya ke laut menyongsong perahu bapak untuk selanjutnya menyeret ke pantai. Bapak akan turun dan melangkah lebih dulu ke rumah, selagi Lelana memberesi ikan-ikan di perahu. Sesampai di rumah, bapak sedang menyantap. Setelah itu, ibu akan membawa ikan-ikan itu ke pelelangan. Lelana akan menemani bapak makan pagi.
Bertahun-tahun seperti itu. Bertahun-tahun pula rutinitas itu berlangsung. Sebagaimana roda yang berputar pada porosnya. Sebuah siklus yang akan berhenti begitu bumi ini mati: tiada.
Laut dan pantai. Ah, sudah demikian akrab bagi Kelana dan Lelana. Bagi seluruh nelayan yang hidup di sekitar pantai itu. Meski mereka tahu kapan musim badai, musim ikan atau tiada ikan. Tetapi, melaut adalah wajib dilakukan setiap hari. Tiada hari tanpa mendedah laut. Apalah arti badai, demikian para pelaut itu selalu berujar, jika ikan-ikan di lautan menggiurkan untuk ditangkapi. Maka, meski hujan deras atau pun rinai, mereka akan melepas perahu ke laut. Bahkan, sedingin apa pun angin, tiada kamus untuk tak menembus pekat di lautan luas. Lelana tahu itu. Dia juga akan tetap ke tepi pantai menyambut bapak, meski subuh berhujan atau angin laut sedang tak bersahabat.
Kau mungkin tak percaya, Lelana pernah bahkan terlalu sering ke tepi pantai itu bertelanjang dada. Hanya celana kolor amat pendek. Ia menunggu Bapak di tepi pantai. Lalu turun ke air dan menyongsong perahu bapak. Jika saja kau yang melakukan itu, tentu akan segera masuk angin. Tidak bagi Lelana. Tidak pula buat Bapak.
Sepertinya, tubuh Lelana itu tak bisa lagi dimasuki angin. Mungkin pori-pori kulitnya sudah terlalu rapat, sehingga angin tak mampu menyusup. Dengan kata lain, boleh jadi, angin enggan bersarang di tubuh kokoh itu" Dapat juga, angin dan Lelana adalah sebagaimana dua orang yang bersahabat: yang satu tidak akan menista yang lain. Karena sudah bersepakat, tak boleh saling menyakiti. Seperti laut terhadap nelayan. Sebagaimana ombak dengan gubuk-gubuk yang berdiri di tepi pantai.
Lelana sudah bertahun-tahun menggantung hidup dari laut. Karena itu, ia tak abai untuk datang ke tepi pantai. Bahkan, sejak bocah ia sudah menjadi anak pantai. Dengan rambut gimbal kemerah-merahan, Lelana bersama bocah-bocah lain seusianya, akan bermain di tepi pantai menjelang subuh sambil menanti para orang tua kembali dari laut. Jika dilihat serombongan perahu mulai mendekat, para bocah itu akan berteriak-teriak, "Horreee. Horeeee....!"
"Itu bapakku paling depan!" "Bukan! Bapakku yang lebih dulu!" "Itu perahu bapakku di kiri. Yang melambai!" "Bapakku mana ya?" tanya bocah yang lain. "Ditelan hantu laut!" sergah bocah yang satu. "Gundulmu!"
Lalu bocah-bocah itu terbahak. Tangannya melambai-lambai. Ingatkah kau bagaimana tangan-tangan para bocah itu, seperti pemain burung merpati agar si jantan turun dari terbangnya" Para bocah itu melambaikan tangannya, terkadang dengan baju atau kain sarungnya. Sementara para bapak yang masih di laut laksana merpati jantan.
Lelana senang sekali setiap mengenang masa bocah seperti itu. Kesenangan dan keriangan yang tidak mungkin akan terulang dan tak akan terlupakan sepanjang usianya. Kenangan-kenangan seperti itu, barangkali sudah tidak dijumpai lagi dalam diri bocah yang hidup kini. Anak-anak pantai seperti hilang, bersama rusaknya alam pantai untuk bermain para bocah.
Maka kadang ia protes pada musim, mengapa alam dirusak" Kadang ia alihkan kutukan itu pada orang-orang berduit yang senang menimbun pantai untuk membangun gedung-gedung bertingkat: hotel, bar, kafe, panti pijat, dan pusat perjudian. Sebab, karena itu, anak-anak pantai tersingkir. Sejak itu para nelayan pulang tanpa disongsong oleh anak-anaknya anak-anak pantai berambut bajang ataupun gimbal kemerehmerahan.
Protes dan kutuk Lelana itu kemudian menyebar. Bapak dan Ibu amat khawatir pada nasib anaknya. Ia disingkirkan ke rumah keluarganya di kampung seberang. Lelana dipekerjakan sebagai petani. Ke sawah saat matahari pertama menyembul di Timur, dan ia akan pulang saat sunset. Sungguh, dari anak pantai menjadi anak sawah, membuatnya tak nyaman. Lelana jemu. Akhirnya kabur dari rumah keluarganya itu. Ke pelabuhan kapal-kapal besar. Berkawan dengan para siping*) dan hidup menjarah barang-barang dari kapal-kapal yang bersandar entah itu di pelabuhan atau di luar pelabuhan. Sebagai anak laut, berenang dan menaiki kapal sandar di dekat pelabuhan bukan sulit bagi Lelana dan para siping lain. Pernah ketahuan anak buah kapal, tapi para siping itu sigap melompat ke laut. Tak bisa diburu.
Tetapi dan tetapi, sepandai-pandai tupai melompat suatu saat akan terpeleset. Pepatah itu berlaku bagi Lelana. Selihai-lihai ia lompat ke laut dari kapal dan lalu berenang, ia pun tertangkap polisi laut. Lelana kemudian dijebloskan ke dalam bui, ia dikurung 3 tahun. Kedua kakinya sempat lumpuh terserang beri-beri kering selama setahun. Setelah sembuh ia pulang ke orang tuanya. Dan, bapak masih tetap melaut. Menjadi nelayan yang pergi melaut menjelang magrib dan pulang ke pantai sesudah subuh. Ia kembali mendapati kegembiraan yang sewaktu bocah ia kecap setiap hari. Lelana menjadi penyambut bapak saban pulang dari laut...
*** HANYA kegembiraan itu tak lama. Suatu pagi gelombang besar yang dimuntahkan laut menerjang kampungnya. Dan, bapak yang saat itu tak pulang dari lautan (tidak seperti biasanya Kelana tidak pulang seusai subuh. Sebab, sebelum berangkat ke laut Bapak berpesan agar Lelana tak menyambutnya esok pagi, karena keberangkatannya kali ini akan beberapa hari. Kata Bapak menjelang pergi pada magrib itu, "Sekarang sedang tidak musim ikan. Bapak mesti beberapa hari di laut biar pulang membawa banyak ikan. Jadi, kau tak usah menjemput Bapak besok subuh. Tiga hari lagi barulah kau ke pantai..." Karena itu pula, Lelana ke kota sekadar bertemu temantemannya dulu) tak lagi mendapatkan Bapak kembali dengan perahunya.
Ia pulang setelah mendapat kabar kalau kampungnya luluh. Ribuan orang mati terempas dan terseret gelombang dan gempa. Ia hanya dapati bekas rumahnya yang luluh. Tiada ibu, jasadnya pun tak ditemui...
Lelana menangis sejadinya. Mengutuki alam, mengutui manusia, juga mengumbar protes pada Tuhan. "Kau ganas. Mangsa kami...."**)
Ia lari ke pantai. Berdiri di paling tepi. Menghadap lautan luas. Tiada perahu milik Bapak. Tak ada ditemukan jasad Bapak. Mungkin Bapak terlempar ke lain pulau tak bernama. Barangkali juga tenggelam ke dasar lautan. Mati dan dagingnya menjadi santapan ikan-ikan besar.
"Bapak kalah... Kini bapak tak mampu menaklukan gelombang yang dulu dibanggakan sebagai sahabatnya," Lelana merintih.
Pantai itu kini menjadi hitam. Sampah di mana-mana. Bakau tumbang. Perahuperahu yang semula tertambat, kini dilihatnya terdampar di sembarang: menyangkut di pohon, di jembatan, di payau, atau di tengah jalan. Tetapi, dari perahu-perahu yang ada itu, tak ada perahu bapaknya.
Lelana menjerit. Sekuatnya. Kedua tangannya mengembang ke udara, sementara kedua lututnya bertumpu di pasir pantai itu. Entah apa pula yang ia katakan dan siapa pula yang dia cerca. Ia terus meracau...
*** KISAH ini masih berkembang di perkampungan nelayan itu. Tak seorang pun dapat membayangkan, kelak menjadi legenda: dan lebih kesohor dari legenda Si Malin Kundang ataupun Siti Nurbaya...
Saban malam, sejak pukul 01.00 sampai matahari mengembang, di tepi pantai itu kau akan menemui seorang lelaki yang berdiri di paling tepi pantai. Duduk tertunduk atau termangu. Mulutnya komat-kamit seperti melafalkan jejampi. Kadang pula kedua lututnya bertumpu di pasir sementara kedua tangannya mengembang ke udara. Kedua tangannya bergerak-gerak. Seperti layangan. Tetapi, ia tak pernah terbang. Lelaki itu, diakui banyak orang, tidak gila.
Dan, di bawah bakau, sepeda tuanya tergeletak...
Suatu ketika, jika ada juru cerita paling mahir, tentu akan menjadikan risalah Lelana itu akan lebih menarik. Kau dan aku adalah orang-orang yang (akan) setia mendengarnya. Jadi pendengar!***
Lampung, 01-02 Maret 2005
*) sebutan para penjarah (pencuri) di kapal-kapal muat barang di pelabuhan. **) Salah satu larik puisi Amir Hamzah.
Domino di Bawah Meja Post : 07/05/2005 Disimak: 195 kali Cerpen : Isbedy Stiawan ZS
Sumber : Suara Pembaruan, Edisi 07/03/2005
Hanya satu jalan ke rumahku. Selalu jalan itu yang kulalui setiap aku pulang dari kerja pada larut malam. Di warung rokok depan gang aku menghentikan motor, tirin untuk membeli sebungkus rokok dan sekotak obat anti-nyamuk jika di rumah sudah habis.
Warung itu satu-satunya di perumahan ini yang masih buka sampai dini hari. Penunggunya lelaki muda, kami biasa memanggilnya Ali. Karena itu pula, boleh jadi alasan mengapa warung itu bernai buka hingga larut. Sejak ada warung Ali, aku tak lagi khawatir kehabisan rokok pada malam hari-kebiasaanku menjelang tidur. Juga tidak cemas lagi tak ada obat anti-nyamuk di rumah.
"Biasa bang Is," ucap Ali begitu aku menyerahkan uang Rp20 ribu. Aku mengangguk. "Belum ngantuk, Li," kataku selanjutnya. Basa-basi. Aku melirik ke beberapa orang yang asyik bermain kartu. Sejak adanya warung Ali, warga di perumahan ini biasa main domino. Mulanya, konon, hanya iseng mengisi waktu panjang pada malam minggu. Tetapi, perekmbangan kemudian kulihat mereka sudah berani main dengan taruhan uang-dari lima ratus kini sudah seribuan-dan bahkan setiap malam. Akhirnya, tempat itu jadi arena judi. Selama ini aman-aman saja, artinya tak pernah digerebek oleh aparat keamanan.
"Mau ikut main bang Is, mumpung ada satu kaki yang patah," tawar pak Sap, tetanggaku bersebelahan jalan.
Sapto dulunya bekerja sebagai tukang ojek, tapi setelah motornya dijual untuk membayar sewa rumah kini pengangguran. Lalu mata pencariannya bertumpu dari permainan domino itu. Sebab itu, setiap malam kulihat Sapto-juga Ujang, Deri, Edo, Bambang, dan lainnya-ada di tempat itu.
Aku tersenyum. Menggeleng. "Maaf, saya tidak bisa main kartu, tak biasa..." "Kami juga tak ahli kok. Main-main saja daripada bengong," kata Sapto lagi. "Maaf, saya benar-benar tak bisa," jawabku. Kemudian mengambil rokok, obat anti-nyamuk, dan uang kembalian dari Ali.
Aku hendak pamit ketika Ujang meminta rokok, membuatku menghentikan mesti motor. Kurobek bungkus rokokku, dan menyilakan dia mengambil sebatang. Tetapi, Ujang malah mencomot dua batang, diikuti Sapto, Deri, Edo, dan Bambang yang masing-masing mengambil sebatang. Berarti enam batang rokokku hilang di tempat itu. Insiden seperti ini sudah sering kualami. Cuma aku tak berani untuk tidak memberi. Sedapat mungkin aku menghindari keributan dengan mereka. Apalagi hanya beberapa batang rokok, walau hatiku kesal. Sebab selama ini aku sudah jadi langganan dipajak.
Belum lagi aku beranjak, Manto meminta uangku dari kembalian Ali. "Untuk modal lagi bang, saya barusan kalah."
Aku menatapnya. Memamerkan wajah tak suka. "Utang deh bang, besok saya bayar. Besok kan abang lewat sini lagi," katanya berharap. Tak urung, kuserahkan juga lima ribu pada Manto, lalu segera ia kembali ke tempat duduk. Tersenyum. Riang.
Aku seperti selalu kalah di hadapan para penjudi kampungan itu. Bukan aku tak berani jika harus berkelahi, tapi aku tak ingin bermasalah. Akhirnya aku menghidupkan kembali motorku. Pulang.
Esok malam, dua malam berikutnya jika obat anti-nyamuk di rumahku habis, aku akan kembali mampir ke warung Ali. Dan, aku menyaksikan pemandangan yang menyebalkan. Mereka, lagi-lagi, selalu mengajakku bermain domino. Alhamdulillah, sampai detik ini aku tidak pula terpengaruh. Aku selalu menolak secara halus, "aku tak bisa, tak biasa main kartu..."
SUDAH dua pekan aku tak pulang malam sehabis bekerja. Tepatnya sejak aku mendapat giliran shif bekerja siang hari, di bagian gundang. Sehingga aku masuk bekerja pada pukul 07.15 dan pulang pada pukul 17.30. Karena itu, aku tak lagi menyaksikan para penjudi itu. Apalagi aku tak pernah membeli obat anti-nyamuk atau rokok di warung Ali. Cukup ke warung Kiki yang dekat dengan rumahku sehabis maghrib.
Aku memang bukan seperti warga lain di perumahan ini, apalagi sebagaimana dilakukan Sapto dan kawan-kawannya di warung Ali. Aku tak terbiasa mengobrol dengan tetangga di depan rumah sampai begadang. Kecuali ada pertemuan perkumpulan suka duka atau ada warga yang meninggal, barulah aku ke luar rumah. Sekaligus menganggap acara itu sebagai silaturahmi. Selebihnya aku bersama keluarga di rumah. Kalau tidak membaca buku-buku agama, aku menemani anakku menonton televisi.
Karena itu, sejak aku bekerja siang aku tak lagi mampir ke warung Ali dan melihat mereka berjudi. Selain itu, aku bebas dari pajak sebatang atau tiga batang rokok. Aku pun telah melupakan Manto yang pernah meminjam uangku.
Anakku yang tertua, masih sekolah di SMU kelas 3, jika kebetulan disuruh ibunya membeli mie goreng dekat warung Ali, selalu bercerita tentang mereka yang biasa kusebut sebagai "orang-orang malam" itu. Dari Rio aku tahu kalau kini sudah menambah satu lapak*) lagi, sebelumnya dua meja. Berarti kalau satu lapak yang bermain 4 orang, maka tiga lapak berarti 12 orang. Belum lagi mereka yang datang sebagai penonton atau yang cuma meramaikan.
Ali, suatu kesempatan berjumpa denganku di Pasar Tradisional, mengaku sejak tempatnya sebagai arena domino, masukkan agak lumayan. Ia bisa menjual sebungkus rokok lebih mahal lima ratus rupiah dibanding warung lain. Meski begitu, ia juga mengeluh, banyak dagangannya yang diutang oleh penjudi itu dan seret membayarnya.
"Ayah, kok polisi tidak menggerebek penjudi itu ya" Kan lama-mama bisa meresahkan?" tanya Rio, suatu malam.
"Belum sial aja. Suatu saat juga polisi akan tahu..."
"Tapi, pak polisi yang rumahnya di ujung jalan itu seering di sana. Bukannya melarang, tapi malah asyik bergurau..."
"Mungkin dia tak enak karena tetangga. Yang menggerebek nanti, tentunya kawan-kawannya..."
Lalu Rio diam. Ia menyerahkan mie goreng kepada istriku. Sekembali dari menyerahkan mie goreng, ia berujar lagi, "Apa mereka tak sadar ya pak, kan di sebelahnya masjid?"
"Hati mereka sudah tertutup," jawabku pendek. "Jadi suara muadzin dan orang salat pun tidak masuk ke telainganya. Apalagi sampai mengusik..."
"Coba digerebek ya, Yah" Diangkut ke mobil, kan keluarganya malu. Apalagi masuk teve..."
"Husst.. tak boleh begitu, Rio. Meski kita tidak suka..." "Habis kesal, Yah." Lalu ia kembali ke ruang tengah. Belajar.
Aku kembali menemani Obi yang sedang menonton salah satu sinetron di teve yang disukai anak-anak. Tentu sambil membaca buku agama yang ada di tanganku.
RIO datang dari membeli nasi goreng dekat warung Ali, membawa kabar terkini. Manto bersimbah darah dari sekujur tubuhnya, dan segera dibawa lari ke rumah sakit. Menurut Rio, Manto berkelahi dengan Edo. Keduanya bersenjata tajam. Hanya Edo luka di lengan kanan, dan kini sudah menyerahkan diri ke kantor polisi.
Warung Ali segera ditutup aparat kepolisian. Pemilik warung itu juga digelandang ke kantor polisi sebagai saksi, di samping beberapa orang lainnya. Aku keluar rumah, ingin tahu penyebab apa hingga terjadi pekerlahian berdarah itu.
Beberapa orang yang kutanyai, memastikan Manto tak dapat tertolong nyawanya. Perut, dada kiri, dan lehernya tersabet celurit. Tetapi, dalam hati, aku berdoa semoga ia selamat. Kalau pun tidak tertolong lagi nyawanya, aku sudah mengikhlaskan pinjaman uang Rp5 ribu kepadaku. Sejak ia meminjam dulu, aku menganggap tak mungkin uangku itu bakal kembali. Karena itu sudah kuihlaskan.
Tak lama kami menerima kabar dari orang-orang yang mengantar Manto ke rumah sakit. "Manto mengembuskan nyawa begitu diturunkan dari mobil," kata Arif, pak RT.
"Manto tak bisa tertolong lagi..." ucap yang lain.
Istrinya meraung-raung. Menimpuki warung Ali. Dia menganggap karena warung itulah, suaminya kerap keluar rumah dan berjudi. Ternyata tak saja istri Manto yang menumpahkan emosinya kepada warung Ali, tapi istri Deri dan Sapto. Setelah puas menimpuki warung Ali, istri Manto dibawa Ketua RT ke rumah sakit untuk membawa pulang jenazah suaminya. Pak Zainail, orang terkaya di jalan Ester segera mengeluarkan mobilnya dan menyilakan kami naik.
Ujang yang malam itu kebetulan tidak ikut main, tak dibawa ke kantor polisi sebagai saksi. Dari dia kutahu kenapa perkelahian berdarah itu bisa terjadi. "Manto curang. Sementara Edo lagi kesal karena kalah..."
"Maksudmu, Jang?" kataku ingin tahu. Kupikir dalam berjudi-di meja judibermain curang adalah hal biasa. Seperti dalam dunia politik, tak ada pliitisi yang fair. Para politisi tahu benar istilah "tak ada kawan abadi, tak ada lawan abadi. yang ada adalah kepentingan." Kukira demikian pula di arena judi, bermain curang pun halal. "Kenapa harus sampai berkelahi, kan dalam berjudi melakukan kecurangan biasa?" "Itulah penyebabnya. Edo tak terima dicurangi Manto," jawab Ujang lagi. "Curangnya bagaimana?"
"Manto menyembunyikan satu domino di bawah meja. Dikiranya Edo tak melihat ketika ia mengambil kartu di bawah meja dan membuang ke tanah domoni di tangannya. Lalu, Edo menegur Manto. Rupanya Manto tak terima ditegur begitu, langsung meninju Edo. Lalu keduanya berkelahi. Bambang melerai. Kami kira sudah selesai, eh diam-diam Edo pulang membawa celurit. Manto tak mau kalah ia mengambil pisau dari warung Ali, keduanya pun berkelahi lagi dengan senjata tajam," cerita Ujang. "Kenapa tidak segera dipisah?"
"Siapa berani bang memisah orang yang berkelahi dengan senjata, apalagi keduanya sedang mabuk. Bisa-bisa kena sabetan pisau..."
Aku terdiam. Dalam hatui, sungguh, aku tertawa. Tak perlu arena perjudian itu diberhentikan oleh aparat kepolisian. Perkelahian itu-walau harus ada korban nyawatelah menghentikan seluruh aktivitas perjudian di depan gang komplek perumahan kami. Bahkan Ali, sejak itu, tak diperkenankan oleh warga membuka kembali warungnya. Warung Ali dirobohkan para istri penjudi, dan isinya dibakar.
Tak lama kemudian, sepasukan aparat kepolisian datang ke tempat kejadian. Mencari informasi sebanyak mungkin dari sejumlah orang. Aparat kepolisian juga berjaga-jaga di depan warung Ali, jangan sampai warung itu jadi amukan massa: dibakar. Kalau itu terjadi, bukan tak mungkin, bangunan lain akan termakan si jago merah.
Ketika aku kembali bekerja malam, aku tak lagi melihat sekelompok "orangorang malam" yang bermain domino di tempat itu. Tak lagi kudengar suara kartu yang dibanting di atas meja. Tempat itu sepi dan gelap.
Lampung, 25 Agustus-3 September 2004
*) istilah lain dari meja judi, biasanya dipakai untuk istilah koprok dadu.
Batu itu tak Terbang ke Langit
Post : 06/27/2005 Disimak: 242 kali Cerpen : Isbedy Stiawan ZS
Sumber : Media Indonesia, Edisi 06/27/2005
SELEPAS zuhur jenazah selesai dimakamkan. Para pelayat pulang setelah doa ditutup dan taburan kembang menghiasi gundukan tanah merah yang masih basah. Kudekati anak almarhum. Kugamit tangan kanannya kemudian kubisikkan kalimat nasihat, "Ikhlaskan yang telah pergi. Semoga kau tetap tabah."
Ia mengangguk. Tersenyum. Aku berharap ia tak mendendam pada orang-orang kampung yang telah menghabisi nyawa bapaknya. Kami menuruni perbukitan sebagian ladang miliknya di belakang rumah (katanya akan dijadikan perkuburan keluarga). Menyeberangi balong pelihara ikan, meniti jalan setapak dan kemudian menanjak.
Anak almarhum adalah temanku di kota. Kami sama-sama bekerja di sebuah pabrik sepatu. Kalau aku di bagian mesin, sedang ia pada pengepakan barang. Meski lain bagian, tapi kami bersahabat. Sebab kami tinggal sekamar di bedeng milik pabrik.
Ia pernah bercerita tentang bapaknya. Katanya, sampai usia 50 tahun bapaknya tak juga meninggalkan kebiasaan buruknya. "Siapa pun di kampungku tahu kalau bapakku suka berjudi. Bapak juga sering meminta jatah keamanan di pasar," ia menjelaskan. Sudah tak terhitung lagi ia meminta agar bapaknya meninggalkan perbuatan buruk itu. Orang yang sudah tua seharusnya tobat dan ingat pada kematian. Tetapi, bapaknya malah tersinggung. Ia didamprat dan diusir oleh bapaknya, bahkan diharamkan menginjak rumahnya. Sejak itu sahabatku itu tak pulang, apalagi ia tak lagi punya Ibu. Dan, kebiasaan buruk bapaknya makin menjadi-jadi. Sudah tak ada lagi yang mengontrol bapaknya. Tak ada yang mengingatkannya. Kelakuan buruk bapak kian berkibar. Tak cuma berjudi, mabuk, dan memalak pedagang di pasar. Bahkan, ia kerap mengganggu janda dan istri orang!
Sebagai anak, ia mengaku, sudah cukup mengingatkan bapaknya. Ia kirim surat yang isinya menasihati agar bapaknya bertobat, kalau tidak menitip pesan kepada saudara ataupun pamannya. Cuma sejauh itu bapaknya tak terpengaruh. Begitulah, sampai ia mendapat kabar kalau bapaknya tewas di tempat karena dikeroyok. Rumahnya dihancurkan. Konon orang kampung sudah habis kesabaran. Bapak ketahuan mengganggu istri orang. Dan, para pedagang di pasar ikut menghakimi, lantaran sudah bosan diperas. Semula sahabatku enggan pulang lantaran malu mendapati bapaknya mati karena dihakimi massa. Cuma aku terus memaksanya agar ia mau menjenguk dan menguburkan bapak. Aku bilang padanya, Anjing saja kalau mati wajib kita kuburkan. Apalagi yang mati itu bapakmu&
Ia pun menyerah. Ia mengajakku untuk menemaninya.
Kami berboncengan dengan sepeda motor. Kampung sahabatku itu di balik Bukit Barisan. Tepatnya di Desa Waiheni. Untuk mencapai desa itu dengan waktu yang tak begitu lama, harus menembus taman nasional. Udara pagi berselimut kabut kutembus. Tubuhku dingin. Sepanjang jalan yang menanjak, menurun, dan berliku yang terhampar hanya belantara: hutan penghijauan, hewan yang dilindungi.
Aku tak hendak membayangkan jika motor kami ngadat di tengah belantara ini. Aku juga tak ingin sering bertanya kapan kami sampai di kampung sahabatku. Meski perjalanan kami sudah dua jam, dihitung pertama kami menaiki Bukit Barisan. Kami tiba di rumah, jenazah masih di pembaringan. Pekuburan sedang digali. Air untuk mandi jenazah sudah disiapkan. Kain kafan pun sudah disediakan.
"Tentulah adik bapak yang menyiapkan semua ini," bisik temanku. Ia tahu kalau aku hendak bertanya tentang semua itu. "Bapakku hanya punya adik satu, perempuan. Rumahnya setikungan dari sini...."
*** SELEPAS asar temanku mengajak mandi di Way Bambang. Tiga kilometer dari rumahnya. Aku setuju. Dengan riang kuterima ajakannya. Kalau mandi dengan air sumur sudah biasa, pikirku. Sudah lama aku tak mencecapi air sungai. Di kota, sungai penuh oleh sampah dan limbah pabrik ataupun rumah tangga.
Aku bawa handuk dan sabun. Temanku juga. Namun aku heran ketika melihat ia membawa dua lembar karung bekas beras. Dan aku makin terheran-heran, sesampai di sungai ia memunguti batu-batu di pinggir sungai lalu dimasukkan ke dalam karung. Ketika kutanya untuk apa batu-batu itu, ia jawab dengan enteng, bahwa batu-batu itu -- mereka menyebutnya sebagai "batu amal"--digunakan untuk menghitung berapa banyak amal para takziah malam nanti selama tujuh malam. "Satu batu berarti sembilan kulhu. Jadi kalau sebelas batu, berarti 99," katanya. Ia pun mencontohkan, aku menyimaknya.
Setiap malam seusai takziah, batu-batu yang terpakai akan dikumpulkan dan dimasukkan ke dalam karung khusus. Anak-anak muda akan telaten menghitung dan mencatat di buku. Semakin banyak batu yang terpakai, makin menggembirakan keluarga yang ditinggalkan. Seperti juga ketika jenazah disalatkan, banyak orang yang menyembahyangkan menunjukkan kalau yang mati itu disenangi masyarakat semasa hidupnya. Setelah nujuh hari, batu-batu amal itu akan diletakkan di atas gundukan tanah. Batu-batu di atas makam itulah sebagai simbol berapa banyak amal orang yang berada di dalam kubur.
Aku benar-benar heran. Tapi, ia seperti tahu apa yang ada dalam benakku. Ia segera menjelaskan, kalau itu sudah menjadi tradisi di kampungnya. Sudah bertahuntahun dan turun-temurun diyakini dari generasi ke generasi. Orang kampung percaya betul dengan tradisi itu. Mereka yakin sebagai batu amal, batu-batu itu akan terbang ke langit. Lalu meringankan dosa yang mati. Batu-batu amal itu juga akan menjaga si mayat di dalam kubur. Jika makamnya disemen, maka batu-batu itu akan ditabur di tengah-tengahnya.
"Kau bantu aku malam nanti...." "Maksudmu?" aku tak mengerti.
"Kau ikut membaca alfatihah, kulhu, yaasin, dan zikir. Berapa banyak amal yang kau baca, terlihat dari batu yang kau kumpulkan. Semoga dengan amalmu, dosa bapakku bisa berkurang," katanya kemudian.
Terdiam. Aku ingin membantah. Bahwa amal seseorang bukan ditentukan oleh batu-batu itu, bukan oleh amal dan kebaikan orang lain. Melainkan oleh perbuatan baiknya sendiri. Tak akan batu-batu itu terbang ke langit. Meminta Tuhan mengurangi barang secuil pun dosa orang yang telah mati. Amal seseorang terputus begitu ia mati, kecuali sedekah ilmu dan doa dari anak-anak yang saleh. Batu-batu itu tetap sebagai bilangan jumlah, berat dalam timbangan. Tetapi, bukan hitungan amal. Bukan pula sakti karena ayat-ayat yang dibacakan untuk menjaga kuburan. Tak.
Tak kurang 75 petakziah duduk bersila di tikar pandan, di pekarangan rumah di bawah langit hitam. Sekitar sepuluh lampu stromking menerangi halaman rumah. Orang kampung yang bertakziah berebut mengambil batu-batu dari karung. Mungkin ada yang 50 kerikil, 25, dan tentu ada yang melebihi 100 batu. Lalu sunyi. Amat hening. Masingmasing bibir petakziah berkomat-kamit, kemudian memisahkan satu batu, dan seterusnya.
Untuk menjaga perasaan temanku, aku pun ikut memisahkan batu-batu yang diberikan di depanku. Aku seakan ikut larut mendoakan almarhum. Aku tersenyum ketika sahabatku menunjukkan tatapan senang yang dikiranya mengikuti tradisi itu. Tetapi, aku amat percaya, orang yang membaca Alquran walau hanya seayat akan mendapat pahala. Dicatat Tuhan sebagai kebaikan.
Malam pertama takziah terkumpul batu amal dua ember. Malam berikutnya hanya satu setengah bakul kerendon. Pada malam ketiga hanya satu berunang, dan malam berikutnya terkumpul hampir dua ember. Malam ketujuh terhimpun dua setengah ember. Total selama nujuh hari takziah, batu-batu amal terkumpul sepuluh ember. Batu-batu amal itu pada hari ke delapan diletakkan di atas makam almarhum.
*** SELEPAS zuhur kami pamit dengan orang kampung untuk kembali ke kota. "Terima kasih, kau telah banyak membantuku. Entah dengan apa aku bisa balas kebaikanmu," kata temanku, ketika kami menuruni Bukit Barisan. Meninggalkan rumahnya.
Beberapa kali ia pandangi rumahnya yang nyaris punah karena dirusak massa. Ada genangan air yang masih tersisa di pipinya. Ia memendam kesedihan.
"Sudahlah," kataku. "Tak baik lama-lama bersedih. Kita dilarang meratapi kematian," lanjutku di atas motor. Sebentar lagi kami akan masuki hutan lindung.
"Aku tidak bersedih karena bapakku mati," jawabnya dengan suara tersendat. "Aku hanya kecewa, kematian bapakku tak bisa mengundang lebih banyak lagi orang yang bertakziah. Apakah karena bapakku penjahat" Apa karena kami bukan keluarga terhormat ataupun kaya?"
"Apa maksudmu?"
"Di kampungku, keluarga terhormat dan kaya akan dihormati. Bahkan sampai mati pun, orang akan berduyun-duyun melayat dan bertakziah. Sehingga makin banyak batu amal yang bisa terkumpul. Tetapi, bapakku" Kau sudah melihat sendiri bukan" Hanya sepuluh ember selama nujuh hari! Keterlaluan. Aku benar-benar kecewa," dia melanjutkan. "Sekiranya aku punya duit akan kubayar orang kampung untuk datang bertakziah...."
"Untuk apa?" "Untuk mengumpulkan batu-batu amal," jawabnya singkat. "Aku malu kalau ada yang melihat makam bapakku, dan mendapati batu-batu amal hanya sedikit. Aib bagi keluargaku jika ia bercerita kepada orang lain..."
"Jadi..." "Makanya aku menambah dengan batu-batu yang tak terpakai, tetapi kukira masih sedikit," katanya. Sepertinya ia khawatir terdengar orang lain atau karena ia sedih dan kecewa sehingga suaranya sangat pelan.
Temanku tak akan pernah tahu, kalau aku di depannya kini tersenyum-senyum. Sebab setiap malam aku mencomot tiga sampai empat tumpukan batu, kemudian kuakui sebagai jumlah amalku. Ditambah lagi sebelum ke makam bapaknya pagi tadi, aku telah mencuri setengah karung batu tak terpakai para takziah, lalu kucampur dengan batu amal lain. Dan sepuluh ember batu itulah yang kemudian ditabur di atas gundukan kuburan almarhum. Batu-batu yang tak akan terbang ke langit....
Wayheni Lambar 13 Juni--Bandar Lampung 21 Juni 2005
Catatan: Way Bambang (Sungai Bambang) ada di Dewa Wayheni, Bengkunat Krui, Lampung Barat. Dinamakan sungai Bambang karena ada cerita di zaman dulu bahwa sungai itu kerap membambangi atau menghanyutkan orang dan benda lainnya. Ingat sebambang yang berarti melarikan.
Nujuh hari, tradisi ini masih berkembang di sebagian muslim. Namun dalam konteks cerita ini, tradisi menggunakan batu kecil yang diambil dari pinggir kali (batu kali) saat membaca ayat dan doa pada malam takziah untuk menghitung jumlah amal maka disebut "batu amal", sudah berlangsung turun-temurun--terutama di Desa Wayheni, Bengkunat, Lampung Barat.***
Perempuan yang Berenang Saat Bah
Post : 04/13/2005 Disimak: 398 kali Cerpen : Isbedy Stiawan ZS
Sumber : Republika, Edisi 04/10/2005
Entah dari mana ia tahu kalau aku berada di kota ini. Pagi-pagi sekali, ia menelepon dan mengharap aku menemuinya. Aku sempat kaget ketika penelepon itu menyebut namanya: Shinta Larasati. Kemudian kudengar ucapan syukur bahwa ia selamat saat gempa dan tsunami beberapa hari lalu. "Nta selamat. Juga anak kembarku," lanjutnya dengan tetap menyebut dirinya Nta sebagai sapaan dari namanya. "Meski si kembar masih harus dirawat. Ia banyak meminum air."
"Suamimu?" segera kutanya nasib suaminya, Teuku Nurgani, orang Aceh. Dan karena Nurgani, dia dibawa ke kota ini setelah menikah tiga tahun lalu. Shinta tak langsung menjawab. Beberapa kejap terdiam. Aku yakin, gagang teleponnya masih menempel di telinganya. Aku menanti cemas apa yang akan dikatakannya. "Abang tak bisa diselematkan. Ia digulung gelombang besar, dan sampai kini Nta belum menemukannya. Tapi Nta yakin, abang sudah meninggal," jelasnya beberapa kejap kemudian. Terdengar isaknya.
"Lalu, kau di mana sekarang?" secepatnya kutanyakan posisinya. Aku tak lagi berpikir apalagi bertanya dari mana ia dapat informasi kalau aku ada di Banda Aceh. Bahkan aku juga tak menceritakan mengapa dan untuk urusan apa aku datang ke kota yang nyaris punah dari peta bumi ini. Kukira, dan ini selalu kukatakan kepada temantemanku, ini tidaklah begitu penting. Aku datang bukan mengataskan namakan relawan yang acap ditulis secara resmi, juga tak menggunakan suatu lembaga apa pun.
Ia menyebut suatu tempat di sekitaran Bandara Blang Bintang. Tak kutanya apakah ia di penampungan para pengungsi ataukah di suatu rumah. Sebab kemudian ia menceritakan detik-detik ia melawan maut. Katanya, ketika semburan gelombang berkekuatan dahsyat, ia berlari kencang menghindar kejaran air. Si kembar didekapnya erat-erat. "Nta tak mau melepaskan salah satu si kembar. Dalam pikiran Nta lebih baik mati bersama, atau kami selamat bertiga," katanya.
Shinta bercerita bahwa saat itu yang terpikir hanyalah tempat berlindung. Tetapi, sampai lebih 50 meter ia berlari tak satu pun tempat yang dianggapnya dapat menyelematkannya. Ia terus lari. Sekencangnya. Kedua anaknya-Ranti dan Santiterguncang-guncang dalam dekapan tangannya. Ia kalah dengan kekuatan lari air. Shinta, demikian ceritanya, sempat tergulung dan berenang dalam air bah sampai ia tertolong tembok yang ternyata adalah dinding sebuah Masjid.
Shinta berkata, "Nta naiki tembok masjid itu. Tak berpikir apa-apa, selain ingin selamat. Ingin selamat. Nta memohon diselamatkan Tuhan. Ketika air mulai surut, Nta langsung sujud syukur..."
"Suamimu di mana saat itu?"
"Abang sedang jalan pagi...," lalu suaranya tersekat. Isaknya kembali kudengar. "Nta tak punya siapa-siapa lagi di sini. Nta takut," ujarnya lagi.
Ah! Shinta Larasati. Nama itu kembali akrab di benakku. Padahal sejak Teuku Nurgani menikahinya tiga tahun silam, aku sudah melupakannya. Namanya sudah kuhapus dari memoriku, bahkan seluruh nomor telepon dan alamatnya sudah kubuang dari notesku. Aku tak ingin mengganggu kebahagiaannya. Tak hendak mengusik kehangatan rumah tangganya. Betapa pun ia pernah singgah-bahkan sulit terpisahkan, dari hatiku. Tuhan telah menentukan lain. Cuma tiga bulan perkenalannya dengan Teuku Nurgani, ia pun dilamar. Setelah menikah dibawa ke kampung kelahiran sang suami: menetap hingga bencana itu datang pada Ahad, 26 Desember 2004.
Aku sempat putus asa ketika ia mengutarakan hendak menikah. Tetapi, aku tak dapat berbuat apa-apa. Tersebab waktu itu aku memang belum mau berumah tangga. Padahal ia sangat menunggu aku melamarnya. "Nta tak mau persahabatan kita dinodai. Segeralah melamarku, Sat!" "Dengan apa aku melamarmu, Shinta" Modalku belum ada untuk membawamu..." kataku. Meski aku berjanji tetap akan menikahinya. "Aku juga ingin kau menjadi ibu dari anak-anakku." 1)
Aku serbasalah. Ia memang terbawa emosi. Gamang ketika banyak temannya sudah berkeluarga. Selain itu, sebagai anak sulung kedua orang tuanya seakan menumpukan harapan padanya. Itu sebabnya, aku relakan ketika Nurgani melamarnya. Aku juga tak datang sewaktu resepsi pernikahannya. Tak sedap membiarkan hatiku yang luka semakin koyak. Undangan dari Shinta kubiarkan tergantung di dinding kamarku, bahkan hingga kini masih ada di sana. Foto Shinta Larasati dan Teuku Nurgani terpajang di halaman muka undangannya.
Dan, kalau sampai hari ini aku belum berkeluarga bukan lantaran frustrasi. Hanya aku tak punya semangat berteman khusus dengan lain perempuan. Meski di kantorku banyak yang menggoda. Aku tetap dingin dan hatiku sekeras batu sehingga tak seorang pun dapat memecahkannya. Daniel kerap mencoba untuk mencairkan kebekuan hatiku dengan menewarkan beberapa nama perempuan, namun selalu gagal.
"Kau harus realistis, Sat! Usiamu terus bertambah. Apa kau menginginkan perempuan seperti Shinta, mana mungkin kaudapatkan dua orang yang sama persis!" tandas Daniel. "Kalau aku mau, Shinta sudah jadi istriku. Hanya waktu itu aku belum mau berumah tangga," jelasku. Aku tersinggung ketika ia mengira kalau aku memilih hidup seperti ini karena Shinta tidak menikah denganku. Padahal Shinta menikah dengan Teuku Nurgani lantaran aku belum siap melamarnya. "Sekarang modalmu sudah cukup, bukan" Kenapa tidak mencari perempuan lain" Di kantor ini saja kukira banyak yang bisa kaujadikan istrimu, kalau saja kau benar-benar tidak frustrasi pada perempuan," timpal Daniel.
Aku tak tergoda oleh ocehannya. Teman-teman perempuan di kantorku hanya kujadikan mitra kerjaku. Pada waktu yang lain kutempatkan mereka sebagai kawan diskusi, ataupun lawan saing demi menyemangati pekerjaan. Awalnya Daniel mengira hatiku mulai mencair, dan suatu saat nanti akan memilih salah satu dari mereka. Perkiraannya meleset. Sampai aku dipromosikan jabatan yang bagus dan pindah ke kota Jk, aku tak juga jatuh hati dengan salah satu dari teman sekantorku.
Aku mengemasi barang-barang yang ada di ruang kerjaku, lalu memasukkan ke dalam kotak-kotak kardus yang telah disiapkan. Setelah itu kunaiki ke mobil. Tak banyak cakap. Aku juga jarang menyambut godaan Daniel, terutama soal perempuan. Bahkan ketika ia memberiku setangkup roti yang katanya dari Endah, tanpa kusahut langsung kumasukkan ke dalam mulut. "Ternyata kau hanya lapar makanan, bukan perempuan," Daniel berbisik. Setelah itu aku pamit. Pada Daniel, sahabatku yang sangat dekat di kantorku, juga seluruh karyawan lainnya. Tak ada tangis. Tak perlu mengumbar kesedihan.
Aku pikir tak perlu bersedih dalam hidup ini. Meski aku tetap punya rasa haru, begitu menyaksikan orang bersedih. Maka itu, ketika kusaksikan berita gempa dan stunami menewaskan puluhan ribu orang dan menghancurkan Aceh, segera kuputuskan ke kota ini. Aku harus menolong sebisa apa yang ada pada diriku. Setidaknya, dengan keahlian sebagai dokter, aku akan menolong banyak korban yang cedera.
Itulah mengapa sore tadi aku sudah tiba di kota ini. Kota yang telah penuh oleh sampah puing dan lumpur hitam, sebuah kota yang nyaris lenyap dari peta. Kota yang kini berserakan mayat di setiap sudut tanahnya. Mayat yang mulai meruap amis. Dan, sejak sore tadi begitu kakiku menjejak Tanah Rencong ini, berkali-kali aku bersitatap dengan orang-orang yang pandangannya kosong. Atau seorang inong2) yang duduk bengong di tengah runtuhan bekas rumahnya. Mungkin ia juga kehilangan keluarganya atau suaminya"
Pagi ini seharusnya aku bergabung dengan para relawan yang lain, kalau saja Shinta Larasati tidak meneleponku subuh tadi. Ia berharap sekali aku menemuinya di sekitaran Blang Bintang. Tetapi, aku lupa menanyakan di mana ia menetap. Di penampungan pengungsi ataukah menetap di rumah warga"
Aku berjanji menemuinya agak siang. Sebab pagi ini aku harus ke tenda pengungsian dekatku menginap untuk menolong anak-anak yang terserang diare. Shinta merajuk. Ia berharap menemuinya lebih dulu. Akhirnya aku ke Blang Bintang menumpang mobil Palang Merah Indonesia. Kudapati Shinta yang sedang menunggui anak kembarnya. Katanya, "Terima kasih Sat, terima kasih mau melihat Nta."
Aku tersenyum. Menatap wajah masai itu. Kedua matanya sembab. Barangkali karena kebanyakan menangis. Aku berkata kemudian, "Sudahlah, sedihnya jangan berlarut-larut. Ikhlaskan yang telah pergi. Suamimu mati syahid, pasti dia telah menantimu di surga."
Shinta kembali terisak. Lalu ucapku lagi, "Aku sudah datang kan" Jadi, kau jangan bersedih lagi. Aku segera menolong anakmu."
Lalu kubuka tasku. Kuambil obat dan kuserahkan padanya. Kuperiksa tubuh Ranti dan Santi. "Kau tak apa-apa kan" Tak perlu kuperiksa kan?"
Ia menggeleng. "Nta sehat. Hanya...."
"Jangan berpikir macam-macam, malah nanti kesehatanmu terganggu. Tenanglah. Yang perlu kauperhatikan kesehatan kedua anakmu," aku menasihatinya. Ketika ingin pamit, Shinta seperti keberatan kutinggalkan.
"Aku harus menolong yang lain. Kedatanganku ke sini untuk memberi pertolongan, bukan."
"Ya Nta maklum. Nta memang tak perlu ditolong. Terima kasih, Sat." "Bukan itu maksudku, Shinta. Sebagai dokter aku harus menolong orang lain juga. Masih banyak korban yang menderita, yang membutuhkan perawatanku. Maafkan aku. Dan sore nanti, setelah tugasku selesai, aku pasti ke sini lagi. Menemuimu. Menemani Ranti dan Santi," janjiku. Segera kutinggalkan Shinta yang memandangku tak berkedip.
"Nta mengerti. Kalau banyak tugas, kau tak kemari pun tak apa-apa. Nta bisa mengurus sendiri."
"Aduh Shinta... kau marah ya?" kataku. Dan, aku tak mengharapkan reaksinya. Sore ini kutepati janji. Mengunjungi Shinta. Memeriksa keadaan si kembar dan memberinya obat. Ia menerimaku riang. Wajahnya benderang. Seperti ada bintang di paras yang manis itu. Keadaan Ranti dan Santi mulai membaik. Sejak itu aku sering menemuinya setiap sore atau malam.
"Nta mau pergi dari sini. Di sini Nta sudah tak punya famili lagi," katanya setelah tiga hari pertemuan kami. "Nta tidak sanggup menetap lama di sini, traumatik. Setiap mendengar suara, seperti suara gemuruh air."
"Ke mana?" "Ke rumah Tante Alin di Jakarta. Semalam Nta nelepon, dan tante akan menjemput Nta."
"Bagaimana kalau ke rumahku?"
Entah kekuatan apa yang membuat kata-kata itu meluncur dari bibirku. Entah mengapa aku begitu lancang (atau malah itu wajar") mengajaknya ke rumahku, padahal ia belumlah menjadi istriku" Mungkin itu sebagai tanda, cinta kami yang tertunda akan berpaut kembali" Entahlah.
Aku cemas. Tertunduk. Aku seperti tengah menanti ia mendampratku karena ucapanku barusan. Menyesal. Aku sudah berbuat kurang ajar pada Shinta, perempuan yang sejak dulu sangat kuhormati. Segera ingin kuralat, meminta maaf kalau aku lancang dan bukan karena sengaja. Namun belum lagi ucapanku keluar, Shinta mendahului dengan ujaran: "Kalau Abang menikahi Nta, bolehlah."
Lampung, 17 Januari-4 Februari 2004
1) ucapan Rendra dalam satu puisinya. 2) perempuan (bahasa Aceh).
Hanya untuk Satu Nama Post : 04/05/2005 Disimak: 253 kali Cerpen : Isbedy Stiawan ZS
Sumber : Kompas, Edisi 04/03/2005
HANYA untuk satu nama: Demi.
Kalimat itu terukir rapi di atas foto Mas Zen berlatar belakang bunga tulip yang tengah mekar. Tentunya foto itu diabadikan saat musim bunga sedang berlangsung di Belanda. Aku menerima kiriman itu dari Mas Zen tiga tahun lalu. Saat Zen kuliah di negeri Kincir Angin itu.
Di bawah kalimat itu tertulis dengan tipografi puisi: "Rademi Pratiwi,/bila musim salju tiba seperti sekarang ini,/aku makin rindu padamu./Ingin mendekapmu/sepanjang tidurku/di balik selimut tebal.//Atau dalam mantel tebal menembus salju/sepanjang jalan di Amsterdam ini/kita saling melingkarkan tangan/di pinggang.//Kau tahu,/aku selalu bayangkan/kau ada di dekatku,/dalam dekapanku& "
Dan hingga kini kenang-kenangan dari Zen masih dipajang di tembok rumahku. Kalimat indah itu, "Hanya untuk satu nama: Demi", seperti ingin mengekalkan waktu. Tetap tidak luntur karena usia. Dan, saban hari aku selalu menatap kenangan itu. Membaca kalimat-kalimat puitik yang diukir rapi itu.
Aku menerimanya dengan bahagia sekali saat itu. Rasanya aku ingin segera terbang. Segera mendekapnya. Berlari-lari menembus salju. Dan jika gigil menyergap akan kupeluk Mas Zen. Maklum waktu itu kami baru enam bulan menikah. Kata orang, perkawinan kami masih masa bulan madu. Karena itu, masih dipenuhi oleh fantasia dan imajinasi yang indah-indah.
Sesungguhnya aku berat membiarkan Zen meninggalkanku sendiri. Kalau saja bukan karena tugas dari tempatnya bekerja dan kesempatan disekolahkan oleh perusahaan amatlah langka-tidak akan terulang oleh orang yang sama, akan kukatakan padanya: "Jangan tinggalkan aku, Mas Zen. Aku tak berani didera rindu& "
Waktu itu Zen membujukku, "Tiga tahun tidak lama, sayang. Hanya sekedip mata jika hati kita sama-sama terpaut. Kau bisa meneleponku setiap malam jika rindu.
Aku pasti akan menghubungimu bila aku kangen. Kesempatan baik seperti ini tidak akan datang dua kali& "
Lalu kujawab, dengan perasaan cemburu, "Gadis-gadis Nederland pasti cantikcantik ya, Mas" Aku khawatir kau akan jatuh cinta di sana."
"Kau lebih cantik dari mereka, kau adalah segala-galanya bagiku. Lagi pula aku ke sana ingin sekolah, tak ada soal lain," tegas Zen. "Marilah kita menjaga cinta kita dengan saling percaya dan jujur."
Itulah percakapan saat-saat jelang keberangkatan Zen ke Belanda. Sehari sebelum Zen meninggalkan Indonesia, kami habiskan waktu berdua di sebuah kafe termewah di Kota BL ini. Aku memandangi wajah Zen. Ia pun seakan menembus ke dalam kedua mataku. Kupegang erat kedua tangannya. Ia meremas jari-jemariku. Menyusuri telapak tanganku, hingga mendekati siku tangan kananku. Kubiarkan jemarinya menari-nari di tanganku. Seperti kunikmati gerakan penari di panggung.
Tiga tahun bagi orang lain memang hanya sekejap. Tetapi tidak untukku yang kala itu tengah menikmati indahnya awal berumah tangga. Aku ingin menemani Zen, cuma perusahaan tempatnya bekerja tidak membolehkan. Alasannya, karyawan yang disekolahkan tidak boleh diganggu sehingga ia bisa kembali dengan sukses. Selain itu, perusahaan tidak menanggung di luar yang mendapat beasiswa. Artinya, jika aku menyertai Zen aku harus menanggung seluruh biaya transportasi dan segala keperluan selama di Belanda. Bagaimana mungkin bisa" Biaya hidup di sana sangat tinggi dibanding di Indonesia. Selain itu, kalau Zen gagal maka kami harus mengganti seluruh biaya yang telah dikeluarkan. Ini jelas sangatlah berat.
MAKA aku menanti Zen dengan rindu yang mendalam. Deru kangen karena kesepian bagai ribuan lebah yang mendengung. Meski Zen tak pernah alpa meneleponku setiap malam, jelang aku ke peraduan. Hanya telepon dan suara penuh kerinduan dari Zen itu, seakan dapat menenteramkan hatiku. Aku pun bisa terlelap hingga esok pagi terbangun. Tiga bulan di Belanda, kiriman foto Zen dengan latar belakang bunga tulip yang lagi mekar kuterima. Di foto yang terbingkai rapi itu terukir tulisan Zen: "Hanya untuk satu nama: Demi".
Ya. Aku tahu dan sekaligus aku percaya. Hanya satu nama-namaku, yang terukir di hatinya. Nama perempuan yang sejak lama mencintainya. Perempuan-dan aku tentunya-yang setia menanti, dan kini telah resmi menjadi istrinya dengan setia pula akan menanti ia kembali.
Bila rindu memendam, kupandangi foto kiriman Zen itu. Kubayangkan seindah apakah bunga-bunga tulip sesungguhnya" Kuangankan Zen menyusuri taman bunga itu. Atau melintas di bawah kincir angin. Sendiri. Gigil. Sebab salju turun tak kenal waktu. Seandainya, ya seandainya, aku ada di sisinya tak kubiarkan salju menyentuh kulitnya. Aku akan segera menepis agar dia tak merasa kedinginan.
"Ah, kau terlalu obsesif. Dingin memang jika salju sedang turun, namun tidak seperti kita bayangkan. Buktinya tak ada orang yang mati di sini tertimbun salju kan" Aku sudah siapkan mantel tebal, dan selalu kubawa jika musim salju& " kata Zen ketika meneleponku suatu malam.
"Bener Mas, enggak kedinginan. Demi mengkhawatirkan Mas Zen," kataku
manja. "Benar, sayang. Kalau aku kedinginan, akan kubayangkan kau ada di dalam mantelku. Atau mendekapmu di balik selimut tebalku. Agar gigil hilang, kehangatan datang."
"Aih Mas, bercanda terus!" aku merajuk. "Jangan-jangan sudah ada yang menggantikan aku ya di situ?"
"Tu kan cemburu?"
Aku malu. Lalu, kujawab, "Tidak kok. Aku tidak cemburu& " "Lalu, apa?"
"Kangen& " "Sama."
Kemudian kami tertawa. Aku membayangkan Zen memelukku. Erat sekali. Lalu menggiringku ke kamar. Ah, sedang apa Zen di sana malam ini" Tiba-tiba aku disadarkan oleh dering telepon lagi. Mungkinkah Zen yang meneleponku" Ia memang baru saja lupa mengucapkan selamat tidur, seperti malam-malam sebelumnya. Segera kuraih gagang telepon.
"Belum tidur, Tiwi?"
Ah! Ternyata Mama yang meneleponku. Keluargaku memang biasa memanggilku Tiwi. Sedangkan teman-temanku acap menyapaku dengan Demi, bahkan kadang ditambah dengan Moore di belakang namaku. Mengingatkan aku pada selebriti dunia.
"Belum, Ma. Ada perlu penting Ma?" jawabku segera. Tidak seperti biasa Mama menelepon pada malam hari seperti sekarang: pukul 23.57.
"Enggak. Hanya ingin tahu keadaanmu."
"Tiwi sehat-sehat saja, baik-baik saja kok. Mama juga baik-baik saja kan" Papa juga" Rio sudah pulang, Ma?"
"Syukurlah," ujar Mama kemudian. "Zen sudah meneleponmu" Beberapa menit lalu dia menelepon Mama, menanyakan kabar keluarga kita. Katanya, dia sehat-sehat saja di Belanda. Hanya sebentar menelepon Mama, katanya mau meneleponmu& ."
"Kok, Mas Zen tak bilang kalau habis menelepon Mama" Ya Ma, dia baru meneleponku. Hampir dua jam dia ngobrol dengan Tiwi. Cerita macam-macam deh& ."
"Mungkin, menurut dia, tak begitu penting," jawab Mama pendek. Lalu lanjutnya, "Mama sehat, Papa juga baik-baik. Tapi sudah empat hari ini belum pulang. Kau tahu sendirilah kelakuan Papamu. Rio menginap di rumah kawannya& ." "Jadi, Mama sendirian sekarang?"
"Kan ada Bik Sumi?"
"Ya. Tapi, Mama tetap sendirian!" kataku menegaskan. Dalam hati aku membenci Papa yang selalu meninggalkan Mama sendirian di rumah. Menelantarkan Mama di rumah. Sementara dia asyik berjudi sambil ditemani perempuan-perempuan anjing. Jangan-jangan papaku yang sesungguhnya anjing"
"Jangan mengkhawatirkan Mama, Tiwi. Mama baik-baik saja kok.& " Mama membuyarkan lamunanku.
"Kalau begitu, besok pagi Tiwi pulang. Tiwi mau tidur dengan Mama, menemani Mama.& "
"Tak usah Tiwi. Jangan tinggalkan rumah selagi suamimu tidak ada. Apalagi kau belum izin dengan Zen, tidak baik."
"Aku akan menelepon Zen, minta izinnya. Sekarang. Besok pagi aku ke rumah.
& " Setelah kumatikan hubungan telepon ke Mama, segera kutelepon Zen. Berkalikali kuhubungi nomor tempat Zen menginap tak diangkat-angkat. Aku berpikir, mungkinkah Zen tidur lagi setelah meneleponku karena hari libur" Atau, pikiran lainku menyergap, jangan-jangan ia sedang keluar bersama perempuan bule" Aku cemas. Membuatku sulit sekali memejamkan mataku.
Pada pukul 02.01 kembali kutelepon. Seorang lelaki, tentulah teman Zen di tempat kosnya itu, yang menyambut. Ia katakan kalau Zen sedang keluar. "Katanya mau cari buku," jelasnya. Lalu aku menitip pesan: jika Zen pulang segera telepon aku.
SUDAH lama aku tidak mengunjungi Mama. Kini kurasakan tubuh Mama makin menyusut. Pandangannya tidak seperti dulu lagi, bercahaya. Tersadar bahwa aku sudah lama meninggalkan Mama. Tepatnya sejak aku menikah, Zen memboyongku ke lain kota. Sejak aku jarang menjenguk Mama, selain meneleponnya untuk tahu kabar keluargaku.
Aku akan menetap di rumah Mama untuk beberapa hari. Mungkin juga sepekan atau lebih. Zen sudah mengizinkan. "Itu bagus, Demi. Daripada kau kesepian di rumah, lebih baik temani Mama. Kasihan Mama juga sendirian& ," kata Zen.
Dan, memang Mama selalu sendirian. Papa tak pernah pulang. Kalaupun pulang hanya mengganti pakaian atau seperti menumpang tidur, lalu pergi lagi untuk beberapa hari kemudian. Tanpa percakapan. Tiada lagi sapa dan menyapa antara Mama dan Papa. Keduanya pun tampak tak bersitatap. Bila Papa mau makan segera ia ke meja makan, dan Bik Sumi sudah menyiapkan hidangan.
Aku tahu Mama amat kecewa pada Papa. Mama telah dikhianati. Diam-diam Papa main perempuan saat di luar rumah. Bahkan, ini menurut Mama, Papa sudah menikah. Selain itu, Papa penjudi berat. Hampir ludes harta di rumahku dibawa Papa ke meja judi. Padahal, kekayaan itu ditabung Mama bertahun-tahun dari hasil kerja Papa. Untunglah perusahaan Papa tidak ambruk. Untung pula Mama segera mengambil alih kemudi perusahaan tersebut, kemudian dijalani oleh Om Firman-adik bungsu Mama hingga kini. Om Firman S2 ekonomi lulusan Amerika. Kalau tidak, entah apa jadinya dengan nasib perusahaan Papa. Kini Papa tak lagi diperkenankan menjalani roda perusahaan. Hanya mendapat bagi keuntungan setiap tahunnya.
Papa juga tak punya hak atas saham perusahaan tersebut. Kata Mama, sejak ketahuan Papa beristri lagi, Mama langsung menggugat. Tidak tanggung-tanggung, Mama menggugat cerai dan sekaligus menyoal gono-gini. Papa keberatan digugat cerai. Lalu Mama kasih solusi. "Baik kalau kau tak mau menceraikan aku. Cuma aku minta syarat, serahkan saham dan perusahaan itu padaku."
"Untuk apa" Apakah kau sudah tak percaya lagi dengan kemampuanku menjalani perusahaan?"
"Dulu aku percaya," jawab Mama ketus. "Kalau kau masih pegang perusahaan, bisa-bisa kekayaan kita kauhabisi di meja judi dan untuk perempuanmu itu. Aku akan menggaji Firman untuk memajukan kembali perusahaan itu. Sementara soal saham, itu ganti dari pengkhianatanmu padaku."
Papa tak berkutik. Akhirnya Papa keluar dari perusahaan miliknya itu. Meski begitu, Mama tetap menaruh kasihan pada Papa. Mama selalu membuka pintu bagi Papa untuk pulang. Menyilakan Bik Sumi menghidangkan makanan buat Papa. Membelikan pakaian beberapa bulan sekali untuk Papa. Mama juga menyediakan satu kamar tidur buat Papa jika pulang. Dan seterusnya dan seterusnya. Kecuali satu: Mama tak lagi memberikan cintanya. Mama juga tak hendak dicumbui& .
Mama senang sekali ditemani aku. Waktu-waktu senggang, kami isi dengan berdialog. Bahkan jelang tidur (kebetulan aku meminta tidur bersama Mama di kamarnya), kami masih mengobrol. Sampai mata kami mengatup sendiri. Begitu pula di meja makan saat sarapan pagi, kami pun mengobrol. Intensitas percakapan kami melebihi ketika aku belum berkeluarga. Entah mengapa tiba-tiba aku merasakan keakraban yang berlebihan justru ketika kami sudah sering tak berjumpa. Mungkin benar, kata orang, sebuah pertemuan akan menjadi indah dan bermakna apabila intensitas pertemuan sebelumnya amat kurang. Kini kurasakan itu. Baik aku atau Mama seperti tak ingin melewatkan waktu tanpa berdua-dua dan berdialog. Suasana itu juga dibarengi dengan tertawa atau tersenyum.


1000 Kutu Di Kepala Anakku Karya Isbedy Istiawan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Akhirnya aku lupa pada Mas Zen. Lupa kalau sesungguhnya aku sedang kehilangan suasana bulan maduku. Bila di rumah aku selalu menunggu Zen menelepon, namun bersama Mama aku tak begitu lagi berharap-harap. Mungkinkah aku sudah kehilangan rindu" Adakah Zen juga sudah kehabisan kangen, disebabkan kesibukannya" Ah! Aku tak yakin lantaran kesibukan, ia bisa abai meneleponku. Jangan-jangan sudah ada perempuan lain yang merebut kerinduannya padaku" Janganjangan karena aku mendapatkan kebahagiaan dan keriangan bersama Mama, membuatku tak berharap lagi perhatian Zen"
Teringat ucapan Zen bahwa saling percaya dan jujur akan menjaga cinta, belakangan ini sudah tidak begitu kuyakini. Mama adalah contoh paling dekat bagiku. Betapa tingginya kepercayaan Mama, betapa jujur dan setianya Mama pada Papa. Tetapi, sekali lagi tetapi, Mama terlempar ke tepi paling sepi oleh ketidakjujuran Papa. Terbukti akhirnya Papa mencampakkan kepercayaan Mama dengan bermain perempuan lagi. "Papamu buktinya tidak jujur, diam-diam dia mengkhianati kesetiaan Mama& ," kata Mama yang tampak benci sekali.
Kata Mama lagi, "Semua lelaki sama. Bajingan! Pengkhianat. Tidak jujur. Merobek-robek kepercayaan yang diberikan perempuan!" Entah mengapa, Mama berulang mengutuk Papa di depanku. Mungkinkah di balik itu semua, ia ingin mengingatkan aku bahwa jangan terlalu percaya pada bahasa dan janji lelaki. Berkalikali kubela Zen bahwa suamiku bukan tipe lelaki seperti Papa, tetapi berkali pula Mama membongkar kebejatan Papa. Supaya tak terjadi perdebatan yang berakibat retaknya kebahagiaan kami, aku tak lagi mengimbangi dialog Mama. Aku diam. Mendengarkan keluh kesah Mama.
ZEN menelepon pada malam kedelapan aku menginap di rumah Mama. Aku santai saja mengambil gagang telepon ketika Mama memanggilku bahwa Zen ingin bicara padaku. Tidak seperti ketika aku di rumahku: mendengar dering telepon sekali saja aku segera menyambar dengan hati berbunga-bunga.
"Halo& " "Kau sehat Demi?"
"Ya. Mas Zen sendiri, juga sehat kan" Bagaimana dengan pelajaranmu, tak ada masalah kan?"
"Aku sehat. Tentang studiku juga sampai hari ini amanaman saja. Tak ada masalah," jawab Zen. Entah mengapa aku mendengar suaranya tidak berapi-api seperti dulu, tidak hangat karena penuh oleh kerinduan. Kini dingin. Datar. Bahkan terdengar sumbang dan sember.
"Syukurlah. Kalau kau bahagia di sana, aku di sini tentu bahagia juga." "Ya."
"Kau sudah makan?"
"Baru saja. Kebetulan ada teman yang mengajakku makan di luar. Aku ditraktirnya, karena dia berulang tahun," ujar Zen kemudian. Ketika Zen menyebut "dia", tiba-tiba kedengarannya terasa asing. Aku ingin sekali tahu siapa "dia" yang disebut Zen.
"Siapa temanmu, Mas" Lelakikah?"
"Oh, maaf Demi. Aku belum mengenalkan temanku yang mentraktir makan. Dia perempuan, asli dari Leiden. Namanya Juliana Derks. Satu kampus denganku di sini." "O ya" Aku yakin dia pasti cantik& ."
"Ya sejujurnya, Juliana memang cantik," jawab Zen pendek. "Dia menyenangkan, bukan?"
"Ya. Orangnya ramah. Mungkin karena ia pernah tinggal beberapa lama di Indonesia. Aku akan kenalkan Juliana padamu, nanti kalau dia ke Indonesia."
"Tak usah Mas. Terima kasih& ," jawabku. Aku seperti enggan melanjutkan dialog soal perempuan Leiden itu. Entah mengapa.
"Orangnya familiar, Demi. Kau pasti suka kalau sudah mengobrol dengannya." "Mudah-mudahan.& "
Setelah itu, Zen mengutarakan rencananya ingin berlibur ke beberapa kota: Berlin, Napoli, dan entah kota apa lagi di Eropa. Aku sudah malas mendengarnya. Zen juga mengatakan semua transportasi ditanggung Juliana.
"Ini kesempatan yang tak akan datang dua kali. Sayang kan Demi, kalau tak kuambil" Tanpa mengeluarkan uang berapa pun, kita bisa mengelilingi kota-kota besar di Eropa. Daripada di rumah saja waktu liburan bisa-bisa aku bosan, kan lebih baik kuisi dengan jalan-jalan?"
Aku sudah kehabisan kalimat lagi, karena selalu kata-kata "langka dan kesempatan yang tak akan datang dua kali" akan meluncur dari mulut Zen. Akhirnya aku hanya berpesan, "Hati-hati di jalan. Ingat orang Eropa berbeda dengan bangsa Timur."
Zen tersenyum. Ia juga mengakui sejujurnya kalau sebenarnya Juliana Derks menyukainya. Tetapi, ia tak mungkin terjebak untuk jatuh cinta. "Cintaku hanya untuk satu nama: kau, Demi& ."
Cuma aku tak lagi merasa tersanjung dengan pujian seperti itu. Aku bahkan ingin segera menyudahi percakapan ini. Dengan alasan mau tidur karena sudah larut dan aku juga sudah mengantuk, aku meminta Zen menutup gagang telepon.
AKU sangat kaget, nyaris tak sadarkan diri ketika teman kos Zen mengabarkan kalau suamiku mengalami kecelakaan di Jerman. Pesawat mereka tak bisa landas dengan baik karena pacuan bandara licin. Akhirnya pesawat itu menabrak pagar pembatas bandara dan terganjal di pemakaman. Sekitar 50 penumpang, termasuk Zen dan Juliana Derks, tewas di tempat kecelakaan.
Dibiayai oleh perusahaan tempat Zen bekerja, aku menjemput mayat Zen di Jerman. Lalu membawanya ke Amsterdam terlebih dulu untuk sekalian membawa barang-barang Zen, kemudian terbang ke Tanah Air. Di sepanjang jalan, baik sewaktu di rumah sakit di Jerman, ataupun saat di tempat kos Zen di Amsterdam, tak hentihentinya aku menangis. Rasanya sudah habis persediaan air mataku.
Aku sungguh-sungguh sedih. Entah karena kematian Zen, nasibku yang kini harus menjadi janda tak beranak, atau karena kejujuran dan kepercayaanku pada Zen yang dikhianati. Sebab, seperti kata Ronald Rijkad, perempuan Leiden itu sering mengajak jalan Zen. Bahkan beberapa hari tidak pulang ke kos. "Juliana amat menyukai Zen," kata Ronald, orang Belanda itu. Dan aku yakin, Zen pasti menyambut. Kalau tidak, bagaimana mungkin terjadi suara jika bertepuk sebelah tangan" Aku kasihan pada Zen, sekaligus membencinya!
HANYA untuk satu nama: Demi.
Kalimat itu terukir rapi di atas foto Mas Zen berlatar belakang bunga tulip yang tengah mekar. Foto itu masih tetap terpajang di dinding rumahku. Di ruang tamu. Aku akan memandangnya, setiap aku merasa benar-benar rindu pada Zen. Aku belum ingin menurunkannya dari tembok itu untuk kusimpan di lemari atau gudang. "Phuihh!"
Aku seperti hendak muntah setiap membaca baris-baris kalimat yang ditulis rapi dengan tangan Zen itu. Cuma sampai kini belum menghasutku untuk menurunkan atau membakarnya& .*
Lampung, Februari 2005 Kupu-kupu di Jendela Post: 03/14/2005 Disimak: 334 kali Cerpen: Isbedy Stiawan ZS
Sumber: Suara Pembaruan, Edisi 03/13/2005
--empatiku untuk cerpenis azhari--
KUPU-KUPU itu, dulu, selalu singgah di jendela kamarku. Setiap pagi. Kala embun belum pula kering. Matahari lamban bersijingkat. Jendela barulah mengembang. Menanti siang menjemput. Bunga-bunga membuka kelopaknya.
Dan, pada saat itu aku akan memandang ke taman. Alangkah indah: penuh warna hijau dan merah. Kupu-kupu bersayap warna-warni. Binar. Cahaya. Pandanglah selalu ke taman. Angin tenang. Belai. Aku melihatmu di kejauhan. Seperti tertelan semak.
Kutarik tubuhku ke paling tepi jendela. Matahari masih seperti pagi kemarin. Tiada berubah. Aku mendesah. Kau makin lari ke dalam semak. Ingin menghindar dari terik matahari.
Tapi, aku tahu pagi ini ada yang sangat lain. Kau menjelma kupu-kupu. Bukan singgah di jendela itu. Sebab tiada lagi jendela di rumahku. Aku, maksudku kami di rumah ini, tak perlu lagi membuka terlebih dulu jendela jika ingin memandang ke taman. Rumahku sudah terbuka. Dari mana pun kami dapat, jika ingin melihat ke luar (ke taman). Karena itu, setiap waktu kami bisa melihat ke luar, menikmati sesuatu yang lain dari biasanya. Di luar sana.
Kini taman telah berwarna cokelat. Daun-daun kehilangan hijaunya. Pohon tumbang di sembarang tempat. Awan menyemburat merah. Bau amis ribuan jasad menyengat. Aku memandang, memandangnya dengan penuh kecemasan.
Di sini tak kulihat lagi kupu-kupu itu. Tiada taman hijau tempat biasa kupu-kupu itu hinggap, juga jendela telah tenggelam oleh gelombang besar itu. Sesungguhnya, hari ini dunia seperti mati. Ditinggal penghuninya--ratusan ribu, bahkan yang kini masih berserak di setiap sudut kota tertimbun lumpur. Hilang tanda.
Ladang-ladang larangan telah tumbang, bahkan tertimbun lumpur kini. Lumpur dari laut. Hitam. Dan, ah, orang-orang menjadi kaku. Di balik bangunan. Di dalam kubangan air menghitam. Atau hanyut entah di mana.
"Di kota yang telah porakporanda ini, tak akan lagi kaulihat kupu-kupu. Apalagi hinggap di jendela. Rumahmu telah roboh oleh bah itu," katamu malam kemarin.
Sayang, kuingin sekali melihat kupu-kupu bersayap warna-warni itu. Cuma di kota yang telah hancur ini, seperti katamu, bagaimana mungkin dikunjungi kupu-kupu. Tak mungkin, sayang. Kupu-kupu hanya ingin hinggap di pucuk bunga, di taman indah. Seperti mereka merindukan firdaus. Bukan di atas kubangan lumpur seperti ini. Tidak di atas tubuh manusia yang telah membeku itu. Juga bukan melepas lelah di puing-puing bekas tiang rumah yang hancur. Bukan, sayang.
Lalu berhari-hari, bahkan berganti tahun, aku tak lagi melihat kupu-kupu yang terbang. Sebab tak ada taman untuknya hinggap. Begitu pula jendela biasa ia hinggap, sejak hancur bersama ratusan ribu rumah oleh bah, membuat kupu-kupu terbang entah ke mana.
HANYA awan memutih. Bagai wajahmu yang pasi. Bertumpuk antara serakan tubuh. Aku masih mencari kupu-kupu itu. Kini. Kupu-kupu yang pernah hinggap di bibir jendela kamarku. Dulu sekali.
Di sini, seperti tak lagi kutemukan kupu-kupu yang entah sudah terbang ke mana. Tak akan mungkin. Juga wajah cantikmu, sayangku, melembar di dalam serakan awan itu. Antara yang masih kukenal atau asing. Inginku menyudahi pencarian ini. Aku sudah jenuh. Tetapi, mayat-mayat itu wajiblah dimakam-kan, meski tak perlu kain kafan dan disembahyangkan.
Ah, aku tak berani mengenangmu kembali. Di angkasa ini aku hanya menyaksikan serakan awan; diam. Atau berjalan pelan. Bagai timbunan tanah yang mengubur tubuhku, juga tubuhmu sayang.
Sebuah kecemasan datang. Sebuah kesedihan yang harus dikatup.
Enyahlah segala lara, tangis berkepanjangan, kesedihan yang melebar, putus asa yang hendak berpinak. Aku tak akan lagi memburu kupu-kupu itu. Biarlah ia tak akan pernah hinggap di jendela kamarku. Warnanya telah berganti putih, sebagaimana awan yang kulirik dari jendela pesawat ini. Tanpa terlihat kota-kota itu. Seakan mengajakku ingin bermain dalam kelembutannya.
Kau memang lembut, sayangku. Cuma jangan sekarang mengajakku bermain. Beri aku sekejap saja melupakan kematian dari ketinggian ini. Juga mengingat tubuhtubuh kaku tertimbun lumpur atau sampah itu.
Lalu kau merajuk. Seperti seorang kekasih yang tidak mendapatkan ciuman. Diam. Ingin berlari dan memasuki awan putih itu. Dan, itu malah akan membuatku kesepian. Dari jendela pesawat yang amat kecil ini, aku cuma menunggu bakal datang kesepian yang lain. Kesepian tanpa ayah dan bunda, juga adik-adikku yang mati ditelan bah maha besar itu. Bahkan, seluruh album keluarga lenyap. Seakan ingin mengubur kenangan dan silsilah.
Aku tak punya lagi kenangan di kota kelahiranku ini. Silsilahku sudah habis, hanya oleh bencana maha dahsyat yang tak pernah kami impikan. Rumah hancur. Kursi, meja, lemari, dan bahkan pakaianku hanyut. Komputer, perabot, ranjang, dan sepatu hilang. Pergi bersama ayah, ibu, dan adik-adikku. Hanya selembar kain ibu yang telah koyak, kutemukan di antara puing-puing rumahku.
Ya! Kalau kutahu akan begini nasib keluargaku, tiada mungkin kutinggalkan mereka berlama-lama di tempat lain. Aku akan memilih mati bersama mereka. Biar segala silsilah tak lagi koyak seperti ini. Kini aku menjadi sebatangkara. Sendiri di kampung kelahiran. Ataukah aku harus melunta di lain kota, hanya untuk mengubur luka dan kenangan pahit" Tetapi, apakah aku mampu merajut kenangan lain" Melupakan peristiwa tragik dan telah menjadi sejarah kelabu di kota ini"
Biar pun beratus ribu kilogram senyuman yang kaukirim ke mari, tetap akan sulit menghapus lukaku. Biar pun aku bangun kembali rumah di tanah bekas rumahku yang kini telah menjadi puing, tak akan dapat mengganti kenangan lama yang telah hancur. Tersebab tak selembar album pun bersisa.
"Bukankah kau telah temukan kain Ibu, meski cabik" Maka jadikan cabikan itu sebagai kenanganmu?" bisikmu pelan. Memandang puing-puing rumahku, lumpur hitam, amis mayat, bangkai binatang penuh lalat...
"Seperti cabikan masa laluku," sergahku. Masa lalu kami, di kota ini, yang menghitam dan luka oleh aniaya berkepanjangan. "Seperti cabikan masa depan. Hitam..."
"Jangan putus asa seperti itu. Masih ada masa depan bagimu. Bagi kalian..." Tak menyahut. Kupungut cabikan kain ibu. Kurapatkan muka telapak tanganku ke lantai bekas rumahku. Kuusap seluruh wajahku. Barangkali hanya inilah yang dapat kulakukan. Membasuh mukaku dari lumpur di bekas lantai rumahku. Lumpur yang telah menghanyutkan dan menenggelam ibu, ayah, dan adik-adikku. Mungkin juga keluarga yang lain, yang sampai waktu ini belum kutemukan.
Gelombang pasang yang diempas laut ke kampung kelahiranku, akhirnya menyisakan keperihan. Pedih yang mungkin tak pernah terhapuskan. Bah yang datang di pagi ahad itu, telah meluluhkan harapanku. Ya! Aku pulang tanpa melihat lagi ibu, ayah, dan adik-adikku. Tiada lagi rumah yang dulu telah setia menerima tumpahan darah dan tuba bunda sewaktu melahirkanku. Rumah yang pertam kali mendengar tangisku yang awal.
"Jangan larut bersedih. Ambillah cabikan kain Bunda, dan simpanlah dalam benakmu. Jadikan kenangan, jika itu sebagai kenangan dan ingin kau jadikan kenangan. Setelah itu kau boleh tinggalkan bekas rumahmu..."
Ya! Aku akan pergi. Tetapi, ke mana aku bawa kepedihan ini" Aku ingin melunta, sebatang kara di kota lain. Kota ini, kampung kelahiranku ini, tak akan mampu menampung kepedihan hatiku. Luka jiwaku. Kenangan pahitku bertahun-tahun. Orangorang yang amat kukasihi telah meninggalkanku. Selamanya. Bah yang dahsyat itu telah menghanyutkan mereka. Menenggelamkan mereka di lumpur hitam. Tak bersisa. Selain yang kuyrasa kini amisnya. Bau yang menyergap. Bahkan, lalat pun tak lagi kulihat...
AH! Aku pun tak lagi menyaksikan indahnya warna kupu-kupu. Kupu-kupu yang dulu kerap hinggap di jendela kamarku. Setiap pagi atau pun senja. Meski jinak namun tak pernah tertangkap. Kukejar kupu-kupu itu yang terbang ke taman, ladang, kebun, dan menghilang di hutan. Tersaput pekat.
Aku merajuk. Menemui Bunda. Kataku, "Tangkap kupu-kupu itu, Bunda. Aku suka warnanya. Indah sekali. Aku ingin memasukkannya ke dalam toples kaca ini. Akan kupelihara hingga besar..."
"Bagaimana Ibu menangkapnya" Kupu-kupu itu telah terbang ke dalam hutan..." "Kejar ke sana. Aku akan menemani Bunda."
Hustst! Bunda mendelikkan mata beloknya. Aku mengerti ia marah sekali. Ujar Bunda, "Itu hutan larangan. Selain rimbunan pohon ganja, hutan itu adalah tempat pelarian orang-orang yang diburu tentara. Kita bisa mati ditembak. Disangka pengacau..."
"Bukankah mati bisa di mana saja, Bunda?"
"Jangan omong begitu. Kata-katamu adalah doa," Bunda merem ucapanku. Kataku tersekat. Kupandangi wajahnya. Lalu menunduk. Ketika Bunda tersenyum, barulah aku mengangkat tatapanku.
"Tapi, Bunda, aku ingin kupu-kupu itu..."
"Ia telah pergi jauh. Mungkin tak akan kembali," ujar Bunda kemudian. Lalu ia kembali ke dapur, meninggalkan aku seorang di depan pintu rumah.
"Jangan omong begitu. Itu doa Bunda. Apakah ibu tak menginginkan kupu-kupu itu datang lagi dan hinggap di jendela kamarku?"
"Oh, maaf, anak lelakiku..." Bunda meralat. "Suatu hari kelak, kupu-kupu itu akan kembali. Ia akan hinggap lagi di jendela kamarmu. Saat itulah Bunda akan menangkapnya dan memberikan kepadamu," ucap Bunda kemudian.
Kata Bunda lagi, "Sekarang kau mandilah. Hari sudah petang. Sebentar lagi ayahmu akan melaut..."
Aku pun ke kamar mandi. Ayah pamit hendak ke laut. Seperti hari-hari sebelumnya, ia akan menangkap ikan. Dari hasil melaut itulah kami hidup. Dan kepergian ayah itu yang terakhir. Seperti kupu-kupu yang pergi. Tak kembali. Tak akan ada lagi jendela yang terbuka menghadap laut. Tiada lagi kupu-kupu yang hinggap di sana. Seperti aku sekarang yang telah melupakan rumah, kampung kelahiran, dan kota penuh kenangan masa kanak-kanak. Aku kehilangan bunda, ayah, dan adik-adikku. Juga kekasihku yang terkasih.
Mungkin kau tak percaya, siapa pun tak akan percaya, air pasang yang datang tiba-tiba dan hanya sekejap itu telah menghapus segala kenangan. Kini menyisakan duka...
*** Lampung 26/11, 30/12-2004
Seandainya Kau Jadi Ikan Post : 01/28/2005 Disimak: 279 kali Cerpen : Isbedy Stiawan ZS
Sumber : Suara Karya, Edisi 01/27/2005
"SUNGGUH, aku ingin jadi ikan. Begitu kota-kota jadi laut, aku akan berenangrenang di atasnya," suatu kesempatan kau mengatakan keinginanmu itu. Aku cuma tersenyum, setelahnya menggeleng.
Keinginanmu yang gila itu, waktu itu kuanggap begitu, berkali-kali kaukatakan. Di setiap pertemuan, di setiap percakapan. Tak mengenal tempat: kamar kosku, rumah kontrakanmu, kantin pabrik tempat kita bekerja, KFC, mall, bahkan saat kita menonton film.
"Keinginanmu itu benar-benar gila!" sergahku. Betapa tidak" Ketika banyak orang menghendaki jadi sebenar-benar manusia, justru kauingin jadi ikan-hewan air. Padahal, Putri Duyung dalam sinetron yang dimainkan Ayu Azhari selalu merindukan dirinya berubah jadi manusia. "Tidak masuk akalku. Absurd!" tekanku kemudian.
Tetapi, ya tetapi, justru kudengar kau tertawa. Berderai. Membuat tubuhmu berguncang. Aku emosi. Marah. Tadinya, kuingin mencengkeram lehermu lalu mencekik hingga mampus. Tetapi urung. Aku tak ingin menodai tanganku dengan kematian orang, apalagi kau adalah temanku. Apa yang akan kujawab jika polisi menginterogasiku" Jawaban apa jika Tuhan menghisabku kelak di lain tempat"
Maka itu, kubatalkan keinginanku mencekik lehermu. Tapi tak urung, kutinju dadamu-tentu tidak dengan tenaga maksimal. Sedikit merintih, lalu kau tertawa lagi. Makin berderai. "Kaupikir keinginanku menjadi ikan, gila" Tak masuk akal" Absurd?" ujarmu.
Aku mengangguk. Makin kesal.
"Seperti Nuh sewaktu membikin perahu, waktu itu tidak musim penghujan dan jauh dari tepi laut. Kaum Nuh mengolok dan meneriaki Nuh sebagai orang gila. Bahkan putra kandungnya menganggap ayahnya itu sudah gila. Tetapi, apa yang terjadi kemudian?" lanjutmu. "Perahu yang tak begitu besar itu telah menyelamatkan orangorang beriman, yang percaya pada risalah yang dibawa Nuh. Dan putra Nuh terseret bah, tenggelam, dan mati entah di mana."
Aku ingin membantah: sesungguhnya kau bukan Nuh. Karena itu, mukjizat apa yang akan kauterima jika keinginanmu menjadi ikan tercapai" Adakah setelah kaujadi ikan, bah akan datang, kota ini kemudian menjadi lautan mahaluas dan mahadalam" "Tidak kan" Tidak akan kota ini menjadi lautan. Tak akan airlaut tumpahnya sampai ke kota ini. Lantas, untuk apa kau memimpikan jadi ikan?" kataku. Memberondongnya dengan pertanyaan.
Kau menjawab, bahwa sebenarnya kau sudah bosan hidup sebagai manusia. Terlalu banyak manusia yang sejatinya bukan manusia. Mereka punya otak tapi tak pernah digunakan untuk berpikir tentang kebesaran Tuhan. Mereka punya hati tapi tak pernah untuk berzikir. Manusia punya mata, tapi apa yang selalu dilihatnya" Mereka punya tangan hanya digunakan untuk mengambil bukan miliknya. Zakar mereka ditancapkan ke sembarang orang. Vagina mereka dibiarkan terbuka untuk semua orang. Kedua kaki yang diberikan Tuhan, dilangkahkan ke tempat-tempat asing dan gelap.
"Aku merasakan bahwa dosaku sebagai manusia, sudah begitu menggunung. Tak dapat dihapus saking banyaknya. Oleh karenanya, untuk apa kupertahankan diri sebagai manusia. Bukankah hanya hewan dan benda-benda di bumi ini yang bebas dari pertanyaan Tuhan pada hari akbar nanti" Aku tak mampu membayangkan ketika kakiku melangkahi titian rambut yang dibelah tujuh itu, dan di bawahnya kobaran api yang amat panas. Aku tak akan sanggup, apalagi membayangkan!" katamu.
Aku sudah malas berbantahan. Kau terlalu ngotot mempertahankan keinginanmu. Daripada aku makin kesal lalu berang dan keinginan mencekik lehermu jadi kenyataan, persoalan akan rumit. Apa alasanku membunuh sahabat, ketika polisi bertanya" Tetapi ya tetapi, toh kau tak akan pernah menjadi ikan. Tuhan tak juga mengubahmu dari manusia ke ikan. Ini bukan zaman sihir nenek jahat"
Hanya saja sejak berbantahan yang nyaris berkelahi itu, kau tak lagi mengunjungi kamar kosku. Aku tahu kau pasti marah. Tapi, aku tahu juga kau sengaja tak menemuiku karena hendak menghindar agar tidak beradu fisik denganku.
* * * KAU tetap tak jadi ikan. Itu kutahu, suatu malam, kau meneleponku. Entah dari kota mana. Sejak kau keluar dari pekerjaan empat tahun lalu, praktis komunikasi kita pun terputus. Tahu-tahu kau menelepon malam ini. Membuat aku terkejut. Suaramu parau, bahkan lebih tepatnya kukatakan lirih sekali. Ada apa sebenarnya, kawan"
"Aku kecewa. Amat kecewa" tekanmu. "Sampai kini tak juga berubah jadi ikan. Masih manusia."
"Syukurlah. Tuhan mendengar permintaanku." "Maksudmu?" kau menyela. Penasaran. Suaramu meninggi.
"Aku meminta, tepatnya berharap atau berdoa, agar Tuhan tak mengabulkan keinginanmu. Kubayangkan apa jadinya kalau doamu itu dikabulkan, dan kau menjadi seekor ikan?"
"Bagus itu. Aku bisa berenang, bahkan sampai lautan maha besar. Sekiranya terjadi banjir atau bah, aku berenang dan bisa menyelematkan diri."
"Ngaco kau!" teriakku dari telepon ini. "Kau pikir semudah itu mahluk bisa menyelamatkan diri pada saat banjir" Baru dikirim gemuruh gelombang saja, mahlukmahluk yang ada di bumi ini sudah panik. Lari pontan-panting mencari perlindungan. Berteriak ketakutan. Ikan pun tak akan bisa menyelematkan diri, kalau banjir itu berbentuk bah amat dahsyat!" kataku lagi.
"Tapi, setidaknya kepanikan seekor ikan tidak sama dibanding kepanikan yang dialami manusia. Ikan panik karena aneh saja melihat air tiba-tiba menjadi bah. Sedang manusia karena ingin menyelamatkan diri, tak mau segera mati, mungkin karena banyaknya dosa!" katamu membuka perdebatan lagi.
"Sudahlah, aku malas berdebat. Aku tak ingin berbantahan denganmu, nanti darah tinggiku naik lagi," kataku bergurau. "Sekarang kau mau apa meneleponku malam-malam ini" Kau di mana kini" Sudah dapat pekerjaan lagi?"
"Ah, dari dulu kau memang malas diajak dialog, aku sudah dapat pekerjaan lagi, jadi satpam. Itu sebabnya aku teleponmu, mau mengabarkan bahwa aku sudah bekerja lagi"
"Sudah punya istri?"
"Dari dulu aku sudah janji kan" Tak mau berumah tangga. Perempuan dilahirkan untuk merepotkan lelaki, dan aku tak mau repot-repot mengurus istri. Lebih santai sebagai lajang," jawabmu tertawa. Berderai.
"Husstt! Kalau bicara tu pakai otak ya?" selaku. "Kau pikir perempuan hanya merepotkan kita" Justru karena dia, sebenarnya lelaki terbantu."
"Siapa bilang" Apa dalilnya?" potongmu segera.
"Aku malas gunakan dalil. Aku yang bilang!" aku menegaskan. "Tapi, ngomongngomong, kau di mana sekarang?"
"Di Aceh!" jawabmu cepat. Lalu, kudengar tawamu. Keras sekali. Aku yakin tubuhmu pasti berguncang, seperti kebiasaanmu saat tertawa seperti itu. Meski aku ikut tertawa (tapi tidak sekeras temanku itu), entah mengapa kepalaku menggeleng. Aku seperti tak bisa memercayai kalau temanku itu, kini sudah berada di provinsi paling ujung Pulau Sumatera. Sejak kapan ia pindah ke sana, dengan apa dia bisa sampai di sana, siapa yang mengajak" Bukankah di Kota J ini ia mampu cari pekerjaan lain, asalkan sungguh-sungguh" Untuk apa sampai ke Aceh kalau cuma jadi satpam" Aku membatin.
"Kenapa kau?" kau membuyarkan lamunanku. "Aneh ya, aku sudah di Aceh" Para tenaga kerja kita sampai ke luar negeri, kau merasa tak aneh. Kau tak acuh. Aceh kan masih Indonesia kawan?"
"Aku tahu. Aceh memang masih Indonesia! Tapi, di sana itu belum aman. Kau bisa tewas, entah oleh tentara RI atau diberondong gerilyawan GAM. Jangan-jangan kau nyambi pengirim ganja ke J ya?" ucapku beberapa kejap terdiam.
"Aku malah tak pernah melihat ganja di sini. Aku tak tahu mana yang ganja itu. Kalau soal GAM, aku memang pernah jumpa. Tapi, GAM yang pernah mengobrol denganku sangat baik dan santun. Bukan pembunuh seperti yang kita baca selalu di media massa. Sungguh, aku bukan berpihak pada GAM lo"
Lalu hubungan telepon putus. Seperti sengaja ada yang memutuskan. Aku tak tahu apakah ia menggunakan pesawat telepon kantornya lalu ketahuan pimpinannya, maka ia segera memutuskan hubungan. Atau barangkali ia menggunakan warung telepon, dan merasa tagihan sudah besar maka ia putuskan percakapan segera. Janganjangan di sebelahnya ada intel dari tentara atau GAM" Segala kemungkinan bisa terjadi.
* * * SUDAH sepekan aku menunggunya menelepon. Setiap aku tiba di kantor, selalu kutanyakan ke bagian penerima telepon apakah temanku dari Aceh telah meneleponku. Petugas telepon selalu menggeleng.
Aku mulai dimabuk perasaan rindu padanya. Kalau saja aku memiliki nomor telepon atau handphone-nya, sudah sejak sepekan lalu kutelepon. Sayangnya, aku lupa menanyakan nomor telepon atau handphone dia sewaktu menelepon dulu. Inilah kebodohanku yang pertama dan nyata!
Tak pernah kubayangkan kalau kemudian aku benar-benar kehilangan informasi tentangnya. Komunikasi dengan temanku yang dulu amat ingin menjadi ikan, benarbenar terputus. Padahal saat sekarang ini, aku benar-benar ingin tahu nasibnya, sesudah gempa tektonik dan tsunami menghajar Aceh yang menewaskan lebih dari 100 ribu jiwa dan puluhan ribua lainnya dinyatakan hilang. Aku tak tahu apakah temanku itu termasuk yang tewas ataukah yang dinyatakan hilang (sebenarnya keduanya nasibnya sama)"
Dari layar televisi, kusaksikan puluhan ribu mayat bergelimpangan. Dilempar dan diseret air hitam yang sangat deras setinggi 8 meter. Lalu membusuk. Tumpukan barang, puing bangunan, rongsokan kenderaan, timbunan sampah. Lalat. Ulat. Bangkai ikan, anjing, ayam. Bau busuk menyengat. Tangisan. Wajah duka dan pilu karena ditinggal sanak keluarga. Wajah-wajah yang muram dan putus asa yang mengais ingin menemukan mayat sanak keluarganya.
Seandainya kau jadi ikan-artinya keinginanmu terwujud, tentu tak akan berdebar-debar perasaanku setiap menyaksikan penayanagan berita di televisi atau saat membaca koran. Dan, sungguh! Aku tak mau mengira-ngira. Sekarang aku hanya menanti kabar bahwa ia selamat. Karena semua orang tak akan mau mati seperti itu: digulung oleh air bah yang sangat dahsyat. Kalau Anda mengetahui keadaan temanku itu, aku mohon kabarilah aku. ***
(persembahan bagi maskirbi dan teman-teman seniman Aceh yang tewas ataupun dinyatakan hilang)
* Lampung, 31 Desember 2004-02 Januari 2005
Terompet Post 01/17/2005 Disimak: 258 kali Cerpen Isbedy Stiawan ZS
Sumber Kompas, Edisi 01/16/2005
TIDAK seperti biasa, Sisi yang meneleponku. Ia memintaku-tentu amat mengharap-agar menemaninya jalan di malam Tahun Baru. Bukan semata karena ia kalau segera kusanggupi, tapi disebabkan Nina. Aku ingin menghiburnya, aku sudah amat rindu berjalan dengannya.
"NINA menyuruhku meneleponmu. Ia mengharap sekali kau mau menemani kami. Yang terpenting ia ingin kau ada di sisinya saat ia merayakan ulang tahun& ," ujar Sisi. Nina lahir pada 31 Desember pukul 19.00 dan kini di usia ke-13 ia minta dirayakan bersamaku. "Katanya, ia telah mengundang teman-teman sekolah."
Aku pikir apa salahnya membahagiakan putriku yang tengah masuki usia remaja" Selama ini, sejak aku berpisah dengan Sisi, aku cuma mengucapkan ulang tahun melalui telepon. Atau menyuruh office boy mengantarkan kue ulang tahun buat Nina. Dan, sesekali membawanya ke pantai atau tempat bermain di mal.
Tetapi, apakah mungkin Rosa mengizinkan aku menemani Nina dan Sisi" Di malam Tahun Baru lagi" Bukankah ia tahu, karena aku selalu terbuka dan bercerita, kalau malam Tahun Baru punya kenangan tersendiri bagi aku, Sisi, dan Nina" Meski sekarang Sisi bukan lagi istriku. Kami bercerai sewaktu Nina berusia 7 tahun.
Nina memang butuh figur seorang ayah. Dan itu tentu hanya ada pada diriku. Sayangnya, aku begitu sibuk dengan tugas di kantor. Ditambah lagi kini aku sudah berkeluarga. Rosa yang dulu anak buahku di kantor kini menjadi istriku. Dari Rosa, aku memang belum memperoleh anak, padahal usia perkawinan kami sudah 3 tahun. Meskipun tanpa anak, rumah tanggaku tetap bahagia. Aku sangat mencintai Rosa, begitu sebaliknya. Bagi Rosa, demikian selalu ia utarakan, perkawinan tak harus membuahkan anak. "Rumah tangga adalah soal cinta dan kasih sayang," katanya suatu kesempatan.
Aku mengangguk. Memeluknya dan berbisik, "Rumah ini sudah terasa indah dan nyaman karena setiap hari cinta dan kasih sayang selalu bertunas." Apalagi Rosa tetap bekerja, menjadi wanita karier di lain perusahaan. Kesibukan itulah yang kemudian seperti mengubur impian kami untuk memiliki anak.
Lalu, apakah itu cukup bagi Rosa mengizinkan aku jalan bersama Sisi" Meski di antara kami ada Nina sebagai pembatas" Perempuan mana yang bakal mengikhlaskan suaminya pergi dengan mantan istri atau kekasihnya" Aku harus ekstra hati-hati, mesti menjaga perasaan Rosa sehingga ia tidak tersinggung. Cemburu. Betapa pun aku tak akan mungkin kembali kepada Sisi. Tetapi, jalan bersama orang yang pernah hidup di hati tentu amat rentan.
"Apa" Kau mau jalan bersama Sisi?" Rosa mendelikkan kedua matanya. Aku amat paham, itu pertanda ia amat tidak suka. Padahal, aku sudah sangat hati-hati mengutarakan maksudku. Aku juga sengaja mengajaknya makan malam di sebuah restoran kesukaannya. Itu pun didahului dengan mengajaknya mengelilingi kota. Bahkan, semula aku hendak masuk ke Bioskop 21, tetapi Rosa mengaku malas menonton film Indonesia yang dirasa rendah kualitasnya.
"Jujur saja kalau mau bernostalgia!" suaranya meninggi. "Sudah pergilah, aku bisa pulang sendiri!"
"Jangan cepat marah begitu, Rosa. Dengar aku dulu, aku belum selesai bicara," kataku menenangkan istriku. "Kalau bukan karena permintaan Nina, sumpah aku tak akan mau. Untuk apa aku jujur dan minta padamu kalau aku sengaja ingin jalan dengan dia," lanjutku. Sengaja aku menyebut Sisi dengan "dia" supaya Rosa memaklumi kalau aku dengan mantan istriku sekarang sudah tak ada lagi yang harus dicurigai.
"Ya, sekalian nostalgia kan?" potong Rosa. "Siapa pun tahu kalian berkenalan di malam Tahun Baru. Lalu sewaktu belum bercerai, kau sering mengajaknya jalan-jalan pada malam Tahun Baru. Alasannya, mengenang malam pertama perkenalan. Iya kan?"
"Ya. Apa yang kau katakan benar. Tapi, itu dulu sebelum kau menjadi istriku& ."
"Kau sendiri tak pernah mengajakku, aku ini kan istrimu?" Rosa makin protes. "Kalau begitu kau ikut bersama kami," ujarku segera. Aku mulai digayuti perasaan emosi. Kenapa tiba-tiba Rosa demikian sentimentil" Kutahu ia perempuan tegar selama ini. Lalu, ada apa sekarang ia cemburu, justru pada Sisi yang semua orang tahu kalau sudah kuceraikan. "Kau terlalu cemburu, Rosa!" imbuhku tanpa dapat kutahan kata itu meluncur.
"Jelas aku cemburu! Karena aku tahu ia bekas istrimu. Karena kau sengaja ingin mendekatinya kembali lewat Nina. Aku tahu malam Tahun Baru amat spesial bagi kalian dulu. Ditambah Sisi masih belum menikah lagi& ," suara Rosa memberondong.
"Terus apa lagi. Apa lagi yang akan kaukatakan" Ayo keluarkan, ucapkan. Sampai kau puas," kata-kataku meninggi. "Tapi, perlu kau ketahui, aku paling tak suka mengenang-ngenang masa silam. Dan, sejak kau jadi istriku, aku sangat mencintaimu, aku menyayangimu. Itu sebabnya aku selalu terbuka, sekecil apa pun, walau harus berisiko& ."
"Pokoknya, aku tak mengizinkan kau jalan bersama dia! Aku juga tak sudi menemani kalian!" kata Rosa setelah beberapa jenak terdiam.
"Aku tak jalan dengan dia. Tapi karena Nina, ia amat mengharapkan aku menemaninya merayakan ulang tahunnya. Bagaimanapun Nina tak bisa dipisahkan dariku. Ia anakku& ."
"Aku tahu. Aku juga tidak lupa kalau kau sudah punya anak sewaktu menikahiku," ia memotong.
"Apa maksudmu, Rosa?" aku tersinggung. "Kenapa kau begitu kasar?" Ia diam. Aku segera mengajaknya meninggalkan restoran kesukaannya ini. Membayar apa yang kami makan pada kasir. Suasana makan malam kami kali ini koyak moyak. Sepanjang jalan pulang benar-benar hening. Wajah Rosa selalu berpaling ke kiri. Berkali-kali aku ingin memulai percakapan, tapi selalu saja gagal. Rosa sengaja tak memberi ruang untuk sebuah percakapan.
Kota BL terasa lengang. Mobil kupacu kencang. Rosa menentang, "Aku belum ingin mati. Tapi, kalaupun mati tak ada yang menangisi kematianku. Lain kau, ada yang menangis dan menyesali& ."
"Siapa yang mau mati?"
"Kalau begitu, pelankan sedikit mobil ini& ."
Kembali ia memandang ke samping. Tiang listrik yang bercat hitam bagai tubuh lelaki legam yang tengah berpacu ke belakang. Aku menatap ke depan. Habis sudah harapanku agar Rosa mengizinkan aku menemani Nina merayakan ulang tahun di malam Tahun Baru.
SISI kembali meneleponku. Ia ingin mendapat kepastian apakah aku bisa menemani Nina pada malam Tahun Baru dua hari mendatang" "Nina selalu bertanya kepadaku. Kalau kau ingin berbicara padanya, Nina di sebelahku," kata Sisi siang ini ke telepon kantorku.
"Ya, biar aku bicara pada Nina," ujarku cepat. "Hallo sayang& kamu sehat kan" Bagaimana ulangan, pasti nilaimu bagus-bagus kan. Anak papa& ."
"Papa mau kan nemenin Nina, sekali-sekali Pa," ia merajuk. "Nina kangen jalan ama papa dan mama di malam Tahun Baru. Nina pengin sekali ulang tahun Nina dirayain bersama papa dan mama. Papa bisa kan" Papa mau kan?" Nina memberondong, yang intinya mendesakku agar menemaninya di malam Tahun Baru. "Ya, ya! Tentu, sayang! Papa akan usahakan& ."
"Yang pasti dong, Pa?" desak putriku.
"Ya! Papa janji, pasti!" jawabku. Tetapi, setelah ucapanku itu meluncur, aku kembali teringat Rosa yang sudah jelas-jelas tak memberi izinku. Aku mendesah. Mengenyakkan punggungku ke kursi setelah meletakkan gagang telepon. Kuputar kursiku& .
Dulu aku biasa mengajak jalan Nina berkeliling kota di malam Tahan Baru. Sejak ia berusia setahun. Tentu bersama mamanya, Sisi, yang kala itu masih menjadi istriku. Aku sendiri yang menyetir mobil, Sisi duduk di sebelah kiriku sambil menggendong Nina yang kadang terlelap.
Sebenarnya bukan kami ingin menghibur Nina, tapi setiap malam Tahun Baru kami punya kerinduan bernostalgia. "Bukankah kita berkenalan di malam Tahun Baru?" kenangan itu selalu diungkapkan Sisi setiap menjelang pergantian tahun setelah kami berkeluarga. "Waktu itu kau bersama teman-temanmu dengan mengendarai mobil, sedang aku dengan teman-temanku juga dengan kendaraan. Kita bertemu di tepi pantai. Kau menggangguku dengan terompetmu yang diteriakkan dekat di telingaku& ."
"Tapi, waktu itu kau bukannya marah. Malah tersenyum. Amat menggodaku," selaku. "Padahal aku sudah siap dimarahimu, waktu itu."
"Soalnya kau gan& "
"Kau juga cantik, itu sebabnya aku menggodamu."
Lalu kami tertawa. Bahagia sekali. Mengelilingi Kota BL ini, kota yang pernah mendapatkan Adipura. Kami ulang mengelilingi kota di malam Tahun Baru setelah berumah tangga. Aku melamar Sisi setelah tiga tahun kami berpacaran. Dua tahun berumah tangga kami dikaruniai anak yang kami beri nama Nina Sekarningrum. Saat Nina berusia setahun, aku dan Sisi nekat membawanya keluar pada malam Tahun Baru.
Bahagianya kala itu. Nina yang belum mengerti apa-apa tetap kubelikan terompet. Tentu saja tak lama kuberikan ke Nina, terompet itu sudah lecek dan kucel. Sisi hanya tersenyum-senyum dengan terompetnya. "Ada-ada saja kau, anak sekecil ini ngerti apa?" Lalu meneriakkan terompetnya dekat telingaku, seperti hendak balas dendam. Melihatku kaget, segera berderai tawanya.
"Ya ngerti. Buktinya terompet itu dirusaknya," jawabku sekenanya. Ah, entah mengapa kenangan-kenangan itu tiba-tiba datang. Padahal, aku tidak mengundangnya. Seperti selalu sering kukatakan, aku selalu melupakan masa lalu-juga di dalamnya kenangan-kenangan. Aku tak punya masa lalu dan aku selalu optimis pada masa depan. Begitu rumah tanggaku dengan Sisi hancur, aku tak pernah mengingatnya. Kalaupun harus menganggapnya, tak lebih ia hanyalah ibu dari anakku. Tiada kenangan yang mesti kutiti lagi, tiada angan yang dapat kuurai& .
"Sisi sudah meneleponmu tadi siang?" Rosa membuyarkan lamunanku. Aku tak segera menyahut. Kutatap wajahnya. Kini ingin sekali kumasuki seluruh tubuhnya. Mencari apa yang tersembunyi dari ucapannya. Tetapi gagal. Ternyata aku belum tahu banyak tentangnya, aku seperti masih berjarak justru dengan istriku sendiri. Beginikah hidup rumah tangga: sebuah rumah yang dihuni oleh dua manusia dari sejarah yang berbeda, tetapi hidup di bawah satu atap" Terkadang, ada banyak yang tak terselami. "Sebelumnya ia meneleponku. Minta izinku& ."
Serigala Siluman 3 Pendekar Rajawali Sakti 212 Setan Alam Kubur Anak Pendekar 23
^