Cakar Maut 1
Pendekar Rajawali Sakti 163 Cakar Maut Bagian 1
" . 163. Cakar Maut Bag. 1 - 3
18. Januar 2015 um 07:07
? Pendekar Rajawali Sakti
episode: Cakar Maut Oleh Teguh S. Penerbit Cintamedia, Jakarta
? 1 ? Di pagi yang masih berselimut embun, berjalan tiga orang laki-laki berpakaian serba kuning dengan langkah terburu-buru melewati pematang sawah. Salah seorang menjulurkan kepala ke sana kemari, mengawasi keadaan sekelilingnya. Tidak ada orang lain di tempat ini, kecuali dua orang petani yang mungkin terlambat menanami sawahnya. Padahal, padi di sawah-sawah lainnya telah tumbuh hampir dua jengkal.
Langkah ketiga laki-laki ini terhenti, ketika di depan pematang sawah berdiri lima lelaki lain yang masing-masing membawa pedang pendek. Tidak ada jalan lain, kecuali harus melewati mereka. Atau, kembali mundur! Tapi, pilihan terakhir rasanya tidak mungkin dilakukan ketiga lelaki berpakaian serba kuning memakai ikat kepala warna kuning pula. Di dada masing-masing terlihat lambang perguruan bergambar rebung berwarna kuning. Dari sini bisa diduga kalau ketiganya berasal dari Perguruan Rebung Koneng.
"Bagaimana, Kang Banu?" tanya lelaki yang berada di tengah pada kedua kawannya yang berada di depan.
"Apa boleh buat, Dipa" Kita terpaksa melewati mereka...!" tandas laki-laki bernama Banu atau Banuwirya, mantap.
"Tapi mereka berlima!" laki-laki yang paling belakang mengingatkan.
"Lalu, apa kita harus turun ke sawah" Atau, mundur dan mengambil jalan memutar" Mereka pasti mengejek. Dan Guru tidak akan senang mendengarnya!"
"Huh! Apa mau mereka sebenarnya" Mencari gara-gara saja!" umpat lelaki yang dipanggil Dipa. Nama sebenarnya adalah Dipayana.
"Jatmika! Dipayana! Bersiaplah! Kita harus melewati mereka!" ujar Banuwirya tegar.
Setelah membulatkan tekad, mereka segera melangkah dengan sikap waspada. Dada ketiga murid Perguruan Rebung Koneng berdetak kencang, seperti menanti sesuatu dengan tegang.
Sementara kelima laki-laki berpakaian serba hitam yang berdiri menghadang di ujung pematang pura-pura tidak peduli. Padahal, mereka jelas menghalangi jalan ketiga murid Perguruan Rebung Koneng itu.
"Kisanak, tolonglah menepi. Kami hendak lewat," ucap Banuwirya berusaha sopan ketika telah berada dua setengah tombak di depan kelima laki-laki bertampang seram itu.
"Lewat! Siapa yang melarang?" sahut salah satu penghadang yang berkepala botak.
"Bagaimana kami bisa lewat, bila kalian berdiri di situ?" kata Banuwirya mencoba tenang.
"Kau boleh lewat sesuka hatimu. Atau kalau perlu, turun ke sawah!"
Banuwirya menarik napas, dan berusaha menahan sabar. Kata-kata itu sama artinya penghinaan. Sebab ketiga murid Perguruan Rebung Koneng bukan tidak kenal dengan lima orang berpakaian serba hitam dengan lambang bergambar pedang dan kilat di dada masing-masing. Mereka adalah murid-murid Perguruan Pedang Kilat.
"Kisanak. Kami tengah ada urusan. Harap kalian tidak mengganggu." Kali ini Dipayana mencoba berbicara.
"Siapa yang peduli urusan kalian?" lecehnya.
"Kakang, kenapa mesti mengalah segala" Jelas mereka memang ingin cari gara-gara!" dengus laki-laki yang bernama Jatmika.
"Hei, hati-hati bicaramu!" sentak salah seorang murid Perguruan Pedang Kilat bertubuh gemuk, namanya Surokatil.
"Hai, Babi Busuk! Apa kau kira kami takut dengan kalian" Puih! Jangan berlagak di depan kami!" dengus Jatmika disertai semburan ludahnya.
"Bangsat!" maki Surokatil.
Wajah laki-laki bertubuh gemuk itu terlihat merah. Gerahamnya berkerotokan menahan geram. Demikian pula keempat kawannya. Seperti diberi aba-aba mereka langsung melompat menerjang tiga murid Perguruan Rebung Koneng.
Sring! "Heaaat...!"
Melihat kelima murid Perguruan Pedang Kilat mencabut pedang, maka Banuwirya, Dipayana, dan Jatmika pun tidak kalah sigap. Segera serangan itu disambut dengan mencabut senjata masing-masing yang berupa pedang.
Wuuut! Trang! Pertarungan seketika berlangsung sengit, namun terlihat tidak seimbang. Lima lawan tiga. Namun begitu murid-murid Perguruan Rebung Koneng sama sekali tidak merasa gentar. Mereka menghadapi kelima lawannya dengan semangat menyala-nyala.
Sayang, kepandaian ketiga murid Perguruan Rebung Koneng tidak lebih tinggi dibanding lawan-lawannya. Sehingga, pelan-pelan mereka terdesak hebat.
Seperti sekarang ini. Banuwirya tampak kewalahan menghadapi salah seorang yang membabatkan pedang pendeknya ke dada. Cepat dia berusaha menggeser tubuhnya ke samping, lalu menangkis senjata laki-laki botak lawannya.
Trang! Pada saat yang sama, laki-laki botak itu sudah memutar tubuh ke kiri. Bahkan langsung mengayunkan tendangan keras ke arah perut.
Duk! "Aaakh...!"
Dipayana yang dikeroyok tampak juga kewalahan. Setelah berhasil menghindari satu serangan, maka lawan yang seorang lagi menyabetkan pedang ke lehernya dari belakang. Karuan saja, terpaksa dia menjatuhkan diri. Padahal saat itu lawan yang berada di depan tengah melayangkan satu tendangan menggeledek. Sehingga....
Begkh! "Aaakh...!"
Tepat sekali tendangan itu menghajar dada Dipayana, membuatnya terpental ke belakang. Selang beberapa saat kemudian, nasib Jatmika tidak berbeda jauh. Ketika salah seorang membabatkan pedang ke dada, dengan cepat pedangnya dikebutkan.
Trang! Dan baru saja Jatmika menguasai diri, seorang lawan yang lain mengayunkan tendangan ke pinggang belakang. Untung, Jatmika cepat bergeser ke kiri. Namun pada saat itu juga, pedang lawan yang berada di dekatnya menyambar tanpa ampun.
Brettt! "Aaakh...!"
Murid Perguruan Rebung Koneng itu menjerit kesakitan ketika bagian perutnya tersayat pedang pendek, menimbulkan luka lebar.
"Bunuh sekalian...!" sentak Surokatil, memberi semangat.
Maka kelima murid Perguruan Pedang Kilat yang tengah dibakar amarah, agaknya tidak bisa menahan diri. Mereka bermaksud menghabisi lawan-lawannya secepat mungkin. Namun....
"Berhenti! Atau, kalian ingin mampus!"
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring melengking, membuat pertarungan berhenti sejenak.
? *** Belum juga kelima murid Perguruan Pedang Kilat hilang keterkejutannya, tahu-tahu sesosok tubuh bergerak cepat mendekati dengan gerakan jungkir balik.
"Tahan dia!" perintah Surokatil, begitu tersadar dari keterpukauannya.
Trang! Trang! "Akh...!"
Keempat murid Perguruan Pedang Kilat coba memapaki.
"Aaah...!"
Dua orang kontan menjerit kesakitan dan terjungkal ke sawah begitu terjadi benturan senjata. Sementara dua lainnya tersentak kaget. Bahkan tahu-tahu, pedang di tangan mereka terpental entah ke mana.
"Imas Pandini! Agaknya kau mau ikut campur dalam urusan ini!" dengus Surokatil ketika melihat siapa sosok yang baru saja menjejakkan kakinya di tanah.
Dia adalah seorang gadis cantik berikat kepala kuning. Pedangnya yang terhunus diarahkan ke murid-murid Perguruan Pedang Kilat itu. Raut wajah gadis yang dipanggil Imas Pandini kelihatan sinis penuh amarah.
"Kalianlah yang lebih dulu memulai persoalan!" balas gadis itu dengan suara lantang.
"Huh! Orang-orangmu yang lebih dulu mencari gara-gara! Coba tanyakan pada mereka!" kilah Surokatil.
Imas Pandini menoleh pada ketiga murid Perguruan Rebung Koneng yang berusaha bangkit. Dan mereka segera mendekati gadis itu.
"Banuwirya! Apa benar yang dikatakan mereka?" tanya Imas Pandini.
"Tidak, Nyai. Merekalah yang menghadang kami di ujung tegalan itu!" sahut Banuwirya, disertai ringisan kesakitan.
"He, Monyet! Jangan berdusta. Kawanmu yang lebih dulu memaki. Padahal, kami tidak berbuat apa-apa!" sentak Surokatil.
"Itu karena kalian yang lebih dulu mencari gara-gara! Apa namanya jika menghadang di ujung pematang, kalau bukan mencari urusan" Padahal kalian tahu, kami akan lewat!" sahut Jatmika, tidak kalah garang.
"Sudah! Aku ingin persoalan ini tidak dilanjutkan! Pergilah kalian!" sentak Imas Pandini.
"Imas! Kau telah mencari urusan. Dan ini tidak bisa kami diamkan begitu saja!" sahut salah seorang murid Perguruan Pedang Kilat.
"Tutup mulutmu! Sudah jelas kalian mencari gara-gara. Dan kini malah mau memperpanjang urusan. Apakah kalian tidak melihat bahwa aku berusaha menyelesaikan persoalan?" bentak gadis itu.
"Huh! Itu karena kalian memang pengecut!"
"Kurang ajar!" Imas Pandini menggeram.
Namun gadis itu segera menghela napas panjang. Bukannya dia takut menghadapi mereka. Bahkan kalau menuruti amarah, ingin rasanya kepala kelima murid Perguruan Pedang Kilat itu ditebasnya. Namun sekuat mungkin amarahnya ditahan karena dikhawatirkan bisa menyulut perang besar di antara dua perguruan.
Selama ini permusuhan antara kedua perguruan itu telah berlangsung lama. Bahkan perang kecil-kecilan sering terjadi. Tidak ada yang tahu pasti, apa penyebabnya.
"Kenapa" Apa dikira kami takut"!" ejek Surokatil, sinis.
"Pergilah kalian. Dan, tidak usah memancing amarahku!" bentak Imas Pandini.
Surokatil terkekeh.
"Dasar orang-orang pengecut! Di mana saja tetap pengecut. Setelah menyerang dari belakang, kini berlagak hendak menyudahi urusan seperti orang tidak bersalah."
"Keparat!" dengus gadis itu menggigil menahan geram. Sepasang matanya melotot geram. Raut mukanya berkerut penuh amarah.
"Tidak perlu menakut-nakuti kami, Imas! Kami sama sekali tidak takut padamu!" tantang Surokatil.
"Baiklah kalau itu yang kalian inginkan. Biar kutunjukkan, bagaimana pengecut sepertiku mengurus kalian!" sahut gadis itu dengan suara ditekan sedemikian rupa.
Bet! Imas Pandini melintangkan pedangnya di depan dada, siap menyerang. Sementara kelima orang itu pun tidak kalah sigap menyambut serangan.
"Nyai Imas! Lima lawan satu tidak seimbang! Biar kami bantu!" sahut Banuwirya seraya melompat ke samping gadis itu.
Tindakan laki-laki itu cepat diikuti Dipayana. Sementara Jatmika yang tengah terluka, mundur beberapa langkah ke belakang untuk memberi ruang gerak.
"Tidak perlu! Kalian bantu merawat luka Jatmika. Aku masih mampu menghadapi mereka!"
"Baiklah...," sahut Banuwirya.
Tanpa banyak kata lagi Dipayana dan Banuwirya melangkah mundur. Mereka yakin akan kemampuan gadis itu, meski menghadapi lima orang sekaligus.
Memang, keyakinan itu bukan tanpa alasan. Dengan sekali bergerak menyerang, buktinya gadis itu kini berhasil menghajar Surokatil sampai kelabakan. Pedang di tangan murid Perguruan Pedang Kilat itu terpental. Bahkan dengan jungkir balik, dia harus menghindari tebasan-tebasan senjata Imas Pandini. Padahal pada saat yang sama, keempat kawannya berusaha mendesak. Tapi ketika gadis itu berbalik tiba-tiba, maka yang terjadi malah sebaliknya.
Trang! Cras! "Uhhh...!"
Dua kawan Surokatil mengeluh tertahan. Pedang mereka terpental dihantam senjata Imas Pandini. Bahkan ujung pedang itu terus meluncur deras, melukai dada tanpa bisa dielakkan. Masih untung gadis itu tidak bertindak kejam. Kalau mau, rasanya dada mereka akan robek hingga membuat tulang rusuk patah. Meski begitu dua murid Perguruan Pedang Kilat yang lainnya kelihatan tidak gentar. Mereka malah menyerang semakin kalap.
"Kurang ajar! Kau harus membalasnya. Perempuan Busuk!" bentak seorang murid Perguruan Pedang Kilat.
"Huh!"
Imas Pandini hanya mendengus pendek, dan bersiap menyambut serangan dengan menyilangkan pedang.
? *** Sementara Surokatil tidak tinggal diam. Dia langsung ikut membantu kedua kawannya dalam menyerang Imas Pandini.
"Heaaat...!"
Tring! Trang! Namun meski telah mengerahkan seluruh kemampuan yang dimiliki, tetap saja kelima murid Perguruan Pedang Kilat tidak mampu mendesak. Apalagi, menjatuhkan gadis itu. Bahkan dengan cepat keadaan berubah.
Pedang di tangan Imas Pandini bergerak cepat secara tidak terduga. Gerakan ini membuat dua murid Perguruan Pedang Kilat terkejut. Mereka berusaha menghindar, namun dengan cepat senjata gadis itu menghantam pedang-pedang mereka.
Trang! Trang! Pedang-pedang itu terlepas dari genggaman. Gerakan Imas Pandini tidak cukup sampai di situ. Karena secepat itu pula, ujung pedangnya sudah menyambar ke tenggorokan.
"Hiiih!"
Melihat kedua kawannya terdesak, Surokatil coba membantu dengan menyerang dari belakang. Tapi mudah sekali Imas Pandini mengelak dengan membungkuk sambil bergeser ke kiri. Saat itu juga pedangnya berkelebat menyambar Surokatil.
Cras! "Aaakh...!"
Surokatil menjerit kesakitan begitu ujung pedang Imas Pandini merobek kulit perutnya. Pada saat yang sama, gadis itu telah melepaskan satu tendangan berputar.
Duk! "Aaah...!"
Kembali terdengar jeritan tertahan dari satu murid Perguruan Pedang Kilat ketika satu tendangan keras Imas Pandini tepat menghantam mukanya.
"Ayo, ke sini kau!" bentak Imas Pandini pada lawan berikutnya yang belum terkena hajarannya.
Orang yang dibentak memandang ke arah gadis itu dan kawannya bergantian. Nyalinya agak ciut. Tapi, dia malu menunjukkannya di depan keempat kawannya. Tapi kalau menyerang gadis ini, maka nasibnya tidak jauh berbeda dengan kawan-kawannya itu. Dia hanya maju mundur sambil menimang-nimang pedang.
Dan sebelum ada yang memulai, mendadak berkelebat satu sosok berpakaian serba hitam. Begitu cepat gerakannya, sehingga tahu-tahu sudah berada di depan Imas Pandini.
"Den Santang Praja...!"
Begitu melihat siapa yang datang, Surokatil dan kawan-kawannya berseru girang.
Sementara, pemuda yang memiliki dahi lebar dan memakai ikat kepala merah itu memandang sinis pada Imas Pandini setelah melirik sekilas pada Surokatil dan keempat kawannya.
"Mereka telah menganiaya kami. Den...!" lapor Surokatil.
"Dasar bangsat! Kalianlah yang lebih dulu buat gara-gara, lalu memancing-mancing kemarahanku. Dan kini kalian hendak mengadu yang bukan-bukan! Apa kau kira aku takut dengan majikanmu itu, he"!" dengus Imas Pandini garang.
"Tidak usah membela diri, Imas. Bukti yang kulihat sudah jelas!" sahut pemuda bernama Santang Praja, dingin.
"Lalu, apakah kau tidak melihat bukti yang menimpa murid ayahku" Kalian memang pandai mencari gara-gara!"
"Jaga mulutmu!" sentak Santang Praja.
Sepasang mata pemuda itu melotot lebar. Gerahamnya berkerotokan, menahan amarah.
"Hei, Santang Praja! Pertarungan antara perguruan kita tinggal beberapa hari lagi saja. Tapi kalau kau ingin mempercepatnya sekarang, jangan kira kami akan mundur!"
"Perempuan busuk! Kau kira aku tidak berani membunuhmu sekarang juga"!" dengus Santang Praja.
"Laki-laki bajingan! Tidak usah banyak bicara. Cabut pedangmu. Dan kita tentukan sekarang juga!" balas gadis itu dengan suara tidak kalah sengit.
Sraaang! Santang Praja agaknya benar-benar tidak bisa menguasai amarah. Maka seketika pedangnya dicabut dan siap menyerang Imas Pandini. Tapi saat itu juga niatnya diurungkan ketika tahu-tahu ada satu sosok berlari ke arah murid-murid Perguruan Rebung Koneng.
Begitu tiba, jelaslah siapa yang datang. Ternyata seorang laki-laki berusia sekitar enampuluh tahun lebih. Kumisnya tipis, namun sudah berwarna putih. Kepalanya berikat kuning. Tubuhnya sedang dan tidak terlalu besar. Tangan kirinya terlihat menggenggam sebatang pedang bergagang kuning emas.
"Huh...!"
Melihat kedatangan laki-laki itu dengan mendengus sinis Santang Praja mengajak Surokatil dan yang lainnya berlalu dari tempat itu.
Sementara orang yang baru datang itu tidak berkata apa-apa. Dan matanya hanya memandang sekilas seraya menarik napas panjang. Kemudian didekatinya Imas Pandini.
"Apa yang telah terjadi" Kenapa kalian terlibat bentrokan dengan mereka?" tanya laki-laki tua itu.
"Mereka yang buat gara-gara lebih dulu, Ayah! Tanyakan saja pada Banuwirya," sahut Imas Pandini masih memendam perasaan jengkel terhadap pemuda tadi.
"Benar begitu, Banuwirya?"
"Benar, Guru! Mereka yang memulai lebih dulu," sahut Banuwirya.
Kemudian pemuda itu menceritakan persoalan yang sebenarnya terjadi dari awal.
Orang tua itu mengangguk, lalu kembali menarik napas panjang.
"Mugeni tentu tidak akan menerima begitu saja.... Tapi, sudahlah! Ayo kita pulang...!"
"Tidak usah khawatir. Ayah! Kalau memang mencari gara-gara, sambut saja tantangan mereka!" dengus Imas Pandini.
"Pertarungan itu kian dekat. Dan kalau bisa, Ayah ingin agar itu tidak terjadi. Namun dengan adanya kejadian tadi, tentu semakin membuat mereka bertambah marah."
"Huh! Apa hebatnya mereka"! Ayah tidak usah terlalu lemah, sebab mereka akan menganggap kita penakut!"
"Bukan itu yang Ayah pikirkan. Tapi, permusuhan ini tidak ada gunanya sama sekali...."
"Kita sudah cukup menawarkan persahabatan. Tapi, mereka malah menganggap kita kalah dan penakut! Kalau sudah begitu, sekalian saja hadapi. Apa mau mereka sebenarnya!"
Orang tua yang sebenarnya Ketua Perguruan Rebung Koneng itu terdiam. Agaknya, dia tahu kalau jiwa putrinya tengah diamuk amarah. Sehingga, tidak ada gunanya membicarakan permusuhan di antara dua perguruan itu.
*** ? 2 ? "Kurang ajar...!"
Bruak! Sebuah meja bundar hancur dengan sekali gebrak, dihantam tangan kekar milik seorang laki-laki yang berusia sekitar enampuluh lima tahun. Dia lantas berjalan mondar-mandir menelusuri ruangan besar ini dengan kedua tangan masih terkepal. Sepasang matanya lebar, mukanya berkerut menahan amarah.
Sementara enam orang lain yang juga ada di ruangan ini hanya bisa menundukkan kepala tanpa ada yang berani mengangkatnya.
"Santang Praja! Benar apa yang dikatakan Surokatil"! Hm... kalau benar agaknya mereka sengaja mencari permusuhan dengan kita!" desis laki-laki tua berjubah hitam, dengan rambut putih yang panjangnya sebahu.
"Benar, Ayah! Mereka memang cari gara-gara!" sahut pemuda yang dipanggil Santang Praja.
Memang, orang tua berambut panjang sebahu adalah Ketua Perguruan Pedang Kilat yang dikenal dengan nama Ki Mugeni. Sedang pemuda yang dipanggil Santang Praja adalah putranya. Rupanya, Santang Praja bersama lima muridnya segera melapor kepada Ki Mugeni, tentang kejadian pagi tadi.
"Apa maunya tua keparat itu?"
"Kenapa Ayah masih bertanya-tanya lagi" Sudah jelas mereka hendak menunjukkan pada kita, bahwa perguruan merekalah yang lebih hebat!" sahut Santang Praja memanasi.
"Keparat!" maki Ki Mugeni kembali.
"Ayah tidak bermaksud menuntut balas terhadap kekurangajaran mereka" Coba lihat! Surokatil dan kawan-kawannya terluka. Ini akibat perbuatan anak perempuannya yang tidak tahu adat itu!" jelas Santang Praja, berusaha meyakinkan.
"Akan kuhabiskan mereka di arena pertarungan nanti!"
"Hm, terlalu lama. Perbuatan mereka hari ini tidak mendapat balasan apa-apa dari kita. Jangan-jangan mereka akan besar kepala. Bahkan menganggap kita sekumpulan orang penakut!" lanjut pemuda itu terus memanas-manasi orangtuanya.
"Tua bangka itu tidak akan berani berkata demikian, Santang!"
"Kenapa tidak" Bahkan tadi kata-katanya menjurus ke arah itu...."
"Apa katamu, Santang" Benar dia berkata seperti itu?"
"Kenapa aku mesti berdusta...?" sahut Santang Praja enteng.
"Keparat! Tua bangka itu memang tidak bisa diberi hati!" geram Ki Mugeni dengan sepasang mata semakin melotot.
"Nah! Sekarang, Ayah baru bisa merasakan apa yang kurasa saat ini. Mereka memang tidak bisa diberi hati."
"Huh! Sekarang juga siapkan murid-murid lainnya! Kita hajar mereka!" dengus Ki Mugeni, kalap.
"Sebentar, Ayah! Aku ada rencana yang lebih matang."
"Apa" Lekas katakan!" desak Ki Mugeni.
"Bukankah hari ini Kakang Brajadenta akan kembali bersama gurunya?"
"Hm, ya! Lalu?"
"Kami akan menjemputnya beramai-ramai."
"Apa hubungannya dengan rencanamu itu?"
"Aku dengar, si Baladewa hari ini pulang dari bepergian. Kami akan menyergapnya. Dan pasti Ketua Perguruan Rebung Koneng akan melihat anaknya pulang dengan tubuh babak belur! Kemudian, setelah itu kami pergi menjemput Kakang Brajadenta. Sehingga mereka tidak bisa menyalahkan kita. Sebab, Ayah bisa memberi alasan bahwa kami pergi ke tempat lain," jelas Santang Praja.
"Memalukan! Kau hendak mengeroyok anak itu"!"
"Aku pun sanggup menghajarnya seorang diri, bila Ayah menginginkan begitu!"
Ki Mugeni terdiam, seperti tengah berpikir.
"Kami akan mengenakan topeng, sehingga dia tidak mengenali. Sehingga pekerjaan menjadi cepat tanpa diketahui orang lain. Bisa saja aku menghadapinya seorang diri. Tapi kalau tiba-tiba ada yang melihat dan membantunya atau memisahkan kami, maka rencana untuk mempermalukan orangtuanya tidak tercapai. Lagi pula, belum tentu dia pulang seorang diri...," jelas pemuda itu, membujuk ayahnya.
"Anak itu tidak bodoh. Dia pasti akan mengenali jurus-jurus yang kalian mainkan...," sahut Ki Mugeni.
Suara orang tua berjubah hitam itu terdengar sumbang. Satu sisi rencana Santang Praja disetujuinya. Namun di sisi lain, Ki Mugeni bukanlah tokoh sesat. Dan dia tahu betul kalau pengeroyokan bukanlah tindakan seorang ksatria. Tapi, lebih tepat disebut sebagai perbuatan pengecut.
"Tidak! Ayah terlalu memandang tinggi pada mereka. Kalau jurus-jurus kita bisa dikenali sudah tentu sejak dulu tua bangka itu akan mengajarkan murid-muridnya untuk mengatasi jurus-jurus kita. Tapi nyatanya, toh mereka tetap saja bisa kita kalahkan!" kilah Santang Praja.
Ki Mugeni kembali terdiam. Meski putranya berusaha membujuk, tapi hatinya lebih berat untuk menyatakan tidak setuju.
"Ayah rasa tidak perlu! Pergilah kau menjemput Brajadenta. Dan, bawa beberapa orang murid. Tidak perlu kalian mencegat Baladewa. Ayah akan datang sendiri menemui Sanjaya untuk menanyakan persoalan ini!" ujar orang tua itu menegaskan.
"Tapi, Ayah...."
"Tidak perlu membantah, Santang! Kerjakan saja tugasmu!" sentak Ki Mugeni.
"Baiklah," desah pemuda itu.
Santang Praja kesal bukan main, karena orang-tuanya tidak mendukung rencananya. Meski begitu di hadapan Ketua Perguruan Pedang Kilat ini dia sama sekali tidak bisa membantah!
? *** Siang ini udara terasa panas dan kering. Matahari bersinar garang, membuat padang rumput mulai meranggas. Namun, itu semua tidak menghalangi langkah seekor kuda coklat dengan seorang pemuda di atas punggungnya. Jalan yang dilalui lebih singkat dan cepat. Namun pemuda berbadan tegap dengan ikat kepala warna kuning itu sengaja berbelok dan mengambil jalan lain. Yaitu, lewat pinggiran hutan kecil. Di situ lebih teduh dan nyaman. Sepanjang perjalanan pepohonan yang berdaun lebat akan memayunginya.
Wajah pemuda berpakaian kuning itu tampak keruh. Beberapa kali keringat yang bercucuran diseka dengan punggung tangannya. Agaknya, dia telah melakukan perjalanan cukup jauh yang amat melelahkan. Demikian pula kuda tunggangannya. Sesekali hewan itu mendengus-dengus kelelahan. Baru saja pemuda berbaju kuning menelusuri jalan tepian hutan, mendadak....
"Hup!"
"Heh"!"
Pemuda itu kontan terkejut ketika di depannya meloncat beberapa sosok tubuh dari cabang-cabang pohon, langsung menghadang perjalanannya. Kemudian menyusul beberapa orang lagi dari belakang. Rata-rata mereka bersenjata pedang dan memakai penutup muka warna hitam, seperti baju yang dikenakan.
"Berhenti kau...!" bentak salah seorang berpakaian hitam yang berada paling depan.
"Siapa kalian" Dan, apa yang kalian kehendaki dariku?" sahut pemuda itu berusaha menenangkan diri.
"Kau tidak perlu tahu, siapa kami! Yang kami inginkan adalah kepalamu!"
"Hm.... Bila kalian rampok, aku tidak punya sesuatu yang berharga selain nyawaku. Dan kalau itu yang kalian inginkan, maka tak semudah itu kalian merampasnya," dengus pemuda berbaju kuning itu lantang.
"Bocah sombong! Kau akan mampus sekarang juga!"
Sring! Orang yang bertopeng yang berada paling depan membentak nyaring. Dan setelah pedangnya dicabut, dia melompat menyerang pemuda berbaju kuning ini.
"Heaaat...!"
"Huh!"
Tapi pemuda berbaju kuning itu tidak kalah sigap. Dengan gerakan indah dan cepat, dia melompat dari punggung kudanya sambil mencabut pedang. Begitu kakinya mendarat di tanah, langsung dipapaknya serangan itu.
Trang! Begitu habis berbenturan pedang, orang-orang bertopeng lainnya segera ikut melompat menyerang.
Namun begitu pemuda berbaju kuning itu sama sekali tidak gentar. Sambil mengerutkan rahang, pedangnya diayunkan disertai segenap kelincahan yang dimiliki.
Lewat beberapa jurus, agaknya pemuda berbaju kuning itu masih mampu menahan serangan-serangan. Namun melewati jurus kesembilan, dia tampak terdesak hebat.
Ternyata orang-orang bertopeng kain hitam itu bukan semacam kawanan rampok berilmu rendah. Kepandaian mereka rata-rata hebat dan tidak berada di bawahnya. Sehingga meski telah mengerahkan segenap kemampuan, tetap saja pemuda itu terus terdesak. Bahkan....
Cras! "Akh...!"
Pemuda berbaju kuning itu mengeluh tertahan ketika salah satu senjata orang bertopeng berhasil melukai lengan kirinya. Namun begitu, dia masih mampu membungkuk. Sehingga serangan selanjutnya yang datang dari belakang, dapat dihindarkan. Demikian pula tebasan pedang yang datang dari kanan pun mampu dielakkan dengan melompat ke kiri sambil menangkis tusukan dari seorang yang berada di depan!
Tring! Namun baru saja menangkis, orang bertopeng yang berada di sebelah kiri mengayunkan tendangan keras ke perut. Begitu cepat gerakannya, sehingga....
Begkh! "Aaakh...!"
Tendangan itu tidak mampu dielakkan pemuda berbaju kuning ini. Dia kontan menjerit keras dan terhuyung-huyung ke belakang.
Pada saat pemuda itu terhuyung-huyung dua orang bertopeng telah menyerang kembali. Dengan cepat dia menangkis salah satu serangan berupa kibasan tangan.
Plak! Namun satu sodokan berupa tendangan bertenaga dalam kuat tak mampu dielakkan lagi.
Pemuda berbaju kuning kontan terpekik. Tulang pinggangnya terasa patah akibat tendangan tadi.
"Kau rasakan hajaran kami, Bocah!" teriak salah seorang bertopeng hitam seraya melompat. Langsung dihajarnya pemuda berbaju kuning yang tengah terhuyung-huyung ke depan.
Des! "Hugkh...!"
Pemuda berbaju kuning itu mengeluh kesakitan. Tubuhnya terjungkal ke depan ketika satu tendangan menghantam tengkuknya. Belum lagi dia menguasai diri, maka satu tendangan lagi menghajar dadanya.
Dugh! Dan berikutnya pemuda itu menjadi bulan-bulanan. Tanpa mempedulikan jerit kesakitan yang berkali-kali keluar, orang-orang bertopeng itu terus menghajarnya tanpa belas kasihan sedikit pun. Namun....
"Aaah...!"
"Heh"!"
Mendadak mereka menghentikan siksaan itu ketika terdengar jerit kesakitan lain. Dan tahu-tahu salah satu orang bertopeng terpelanting, terjungkal mencium tanah.
? *** Tidak jauh di depan pemuda berbaju kuning, berdiri seorang pemuda tampan berbaju rompi putih. Di punggungnya tersandang sebilah pedang berhulu kepala burung rajawali.
"Siapa kau, Keparat!" bentak salah satu orang bertopeng garang.
"Kau tidak perlu tahu siapa aku. Yang jelas, aku paling tidak suka melihat pengecut-pengecut seperti kalian melakukan perbuatan rendah di depanku...," sahut pemuda berbaju rompi putih itu.
Pendekar Rajawali Sakti 163 Cakar Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kurang ajar! Rupanya kau belum tahu siapa kami, he"!"
"Aku tahu, kalian hanyalah pengecut hina," jawab pemuda berbaju rompi putih itu, enteng.
"Setan!"
Orang-orang bertopeng itu menjadi geram. Amarah mereka kian menggelegak dalam dada.
"Tidak usah banyak bicara! Bereskan dia!" teriak orang bertopeng lainnya.
Serentak, orang-orang bertopeng itu langsung mengepung pemuda berbaju rompi putih seraya menghunus senjata masing-masing.
"Dasar pengecut, tetap saja pengecut! Majulah. Tidak usah ragu-ragu!" dengus pemuda berbaju rompi putih yang tak lain Rangga alis Pendekar Rajawali Sakti.
"Yeaaa...!"
Serentak orang-orang bertopeng kain hitam itu menyerang Pendekar Rajawali Sakti dengan gencar. Namun dengan hanya meliuk-liukkan tubuhnya, Rangga mampu menghindari serangan. Tubuhnya berkelit di antara kelebatan senjata lawan-lawannya. Bahkan dengan sekali gebrak, orang-orang bertopeng itu dibuat kalang-kabut!
"Heaaat!"
Wuuut! Dua batang senjata orang-orang bertopeng menyambar leher dan pinggang. Namun dengan gesit Pendekar Rajawali Sakti melompat ke atas menghindarinya. Dan setelah berjumpalitan, tubuhnya menukik tajam sambil mengayunkan tendangan.
Duk! Des! "Akh...!"
Dua orang kontan terjungkal dengan beberapa buah gigi rontok saat tendangan itu menghantam rahang bawah.
Pendekar Rajawali Sakti tidak berhenti sampai di situ. Tubuhnya langsung berkelebat menghampiri orang bertopeng yang berada di depan. Seketika tubuhnya berputar, lalu menghantamkan kepalan tangannya. Pada saat yang bersamaan, kaki kanannya berputar dan menghajar dua orang yang berada di sebelah kanan.
Pak! Tak! "Akh...!"
Tiga orang bertopeng kembali terjungkal disertai jerit kesakitan.
"Bajingan...!" maki salah satu orang bertopeng yang bertubuh tegap.
Kepandaian orang ini kelihatan di atas orang-orang bertopeng lainnya. Permainan pedangnya pun terhitung hebat. Namun begitu, tetap saja dia tidak mampu mendesak Pendekar Rajawali Sakti.
Wuuut! Plak! Pedang orang bertopeng yang bertubuh tegap menyambar tempat kosong, begitu Pendekar Rajawali Sakti membungkuk. Bahkan Rangga kemudian bergerak cepat mendekatinya. Namun, orang bertopeng itu menyodokkan kepalan tangan kanannya. Seketika, Rangga menangkapnya dan menarik ke belakang dengan keras.
"Hih!"
Saat itu juga, Rangga menghantamkan sikut kanannya ke leher orang itu.
Des! "Akh...!"
Baru saja orang itu menjerit, dengan cepat Rangga menyambar topeng yang dikenakan.
Brettt! Seketika, wajah orang itu terlihat jelas. Dan sebelum sempat berbuat apa-apa, Rangga telah menelikung sebelah tangannya ke belakang.
"Berontaklah yang kuat kalau ingin lenganmu patah!" ancam Pendekar Rajawali Sakti ketika merasakan orang itu berusaha melepaskan diri.
"Aaakh!"
Orang itu memekik kesakitan ketika Rangga bermaksud membuktikan kata-katanya.
Melihat seorang berhasil diringkus Pendekar Rajawali Sakti, yang lainnya tidak berani bertindak. Dari sorot mata dan sikapnya, terlihat mereka ragu-ragu bertindak.
"Hm.... Rupanya aku tidak salah pilih. Kau kepala komplotan ini, bukan?" tanya Rangga tersenyum dingin.
"Huh! Apa pedulimu?"
"Orang sepertimu, baiknya memang cepat-cepat mampus!" dengus Pendekar Rajawali Sakti.
Mendengar kata-kata Pendekar Rajawali Sakti sebenarnya nyali orang itu kecut dan ciut. Namun hal itu tidak ditunjukkannya. Dia malah mendengus sinis.
"Huh! Kau kira aku takut mati?"
"Berarti kau tidak takut mati" He, bagus sekali! Kalau begitu, biar kawanmu yang akan menggorok lehermu!"
Orang ini terdiam. Namun, tetap menunjukkan muka sinis.
"Kemari kau!" tunjuk Rangga pada salah seorang kawanan bertopeng.
"Kenapa kalian diam" Ayo, bunuh dia!" sentak pemuda bertubuh tegap yang tengah diringkus Pendekar Rajawali Sakti.
"Tapi..."
"Jangan pedulikan aku! Serang dia! Bunuh...!"
Meski ragu-ragu, namun akhirnya mereka bergerak juga hendak menyerang.
"Heaaa...!"
"Hm.... Apakah kalian juga ingin mengiringi kematiannya"!" kata Pendekar Rajawali Sakti seraya memungut pedang lawannya.
Wuuut! Trang! Trak! Tanpa bergeser dari tempatnya, pemuda itu menangkis serangan lawan-lawannya. Bahkan mampu mematahkan beberapa batang pedang. Dan....
Bret! "Aaakh...!"
Dua orang bertopeng kembali menjerit kesakitan. Ujung pedang di tangan Rangga berhasil melukai dada mereka. Bukan hanya itu. Senjata di tangan pemuda berbaju rompi putih itu pun berhasil merobek topeng yang dikenakan.
"Inikah wajah-wajah pengecut itu" Kenapa kalian bersembunyi di balik topeng ini" Atau karena malu pada diri sendiri, karena bertindak pengecut"!" ejek pemuda yang selalu mengenakan baju rompi putih itu.
Sebagai jawabannya, justru orang-orang bertopeng lainnya menyerang dengan ganas. Kalau tadi mereka sedikit ragu-ragu, karena takut bila kawannya yang diringkus digunakan sebagai tameng. Tapi ternyata hal itu tidak dilakukan Pendekar Rajawali Sakti. Sehingga, mereka tidak merasa khawatir akan keselamatan kawannya.
"Heaaat...!"
Melihat itu, Pendekar Rajawali Sakti kelihatan gusar. Ditotoknya orang yang ditelikungnya tadi, hingga tak berdaya. Lalu dengan gerakan dahsyat Rangga melompat menghadapi lawan-lawannya.
Trang! Trak! "Uh...!"
Pedang di tangan Pendekar Rajawali Sakti, menyambar senjata-senjata lawan hingga patah atau terpental. Kemudian secepat kilat, pedang itu menyambar ke arah mereka.
Orang-orang bertopeng itu kontan pontang-panting menghindarkan diri. Tiga orang berhasil dilukai Pendekar Rajawali Sakti. Meski tidak parah, namun cukup membuat ciut nyali yang lainnya. Apalagi pada waktu singkat, kembali dua kawannya yang lain mendapat giliran.
Trak! Bret! "Aaakh...!"
Setelah mematahkan pedang mereka, maka senjata di tangan Pendekar Rajawali Sakti menyambar ke dada lawan-lawannya. Keduanya memekik kaget dan kesakitan.
Melihat hal ini yang lain tidak lagi menyerang. Mereka diam terpaku dengan sikap ragu-ragu.
"Pergilah. Dan, bawa kawan kalian itu! Hari ini masih kuampuni jiwa busuk kalian!" hardik Pendekar Rajawali Sakti, mengancam.
Tanpa menunggu lama-lama lagi, mereka segera angkat kaki seraya membawa kawannya yang tertotok.
*** ? 3 ? Setelah memanggil kudanya dengan satu siulan, Pendekar Rajawali Sakti menghampiri pemuda berpakaian kuning yang tadi dikeroyok kawanan bertopeng itu. Tepat ketika kuda hitam bernama Dewa Bayu muncul, Rangga menyandarkan pemuda yang ditolongnya di bawah sebatang pohon. Kuda Dewa Bayu tampak mendengus-dengus sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Pendekar Rajawali Sakti, sambil berjongkok di depan pemuda itu.
"Eh, tidak. Aku masih kuat bertahan...," sahut pemuda berbaju kuning itu sambil meringis, menahan sakit.
"Siapa namamu?" tanya Rangga lagi.
"Baladewa...."
"Aku Rangga."
"Terima kasih atas pertolonganmu. Kau hebat sekali. Aku yakin, kau bukan tokoh sembarangan," ucap pemuda yang ternyata bernama Baladewa.
"Aku hanya pengembara biasa," sahut Rangga, sambil tersenyum.
"Dari pakaian dan penampilanmu, rasanya kau bukan pengembara biasa. Kau pasti salah seorang pendekar hebat. Kalau boleh tahu, siapa kau ini sebenarnya" Dan, apa julukanmu dalam dunia persilatan."
Rangga sebenarnya enggan menyombongkan diri dengan menyebut julukannya. Tapi Baladewa terus memaksa. Sehingga, dia terpaksa menyebutkannya.
"Pendekar Rajawali Sakti"! Oh! Apakah aku tidak salah dengar"!" seru Baladewa kaget dengan bola mata terbelalak.
"Kenapa, Baladewa" Tidak ada yang ajaib dari julukan itu, bukan?"
"Ah! Kau terlalu merendah, Pendekar Rajawali Sakti! Benar dugaanku. Kau memang bukan tokoh sembarangan. Julukanmu menjulang setinggi Gunung Mahameru. Dan aku hanya seperti seekor semut di depanmu!"
"Jangan berkata begitu, Baladewa. Aku sama sepertimu. Dan, panggillah aku Rangga," pinta Pendekar Rajawali Sakti penuh harap.
"Tidak, Pendekar Rajawali Sakti! Kepandaianmu lebih tinggi dibandingkan denganku. Terimalah rasa hormatku!" ucap Baladewa seraya menjura hormat.
Tapi Rangga buru-buru mencekal kedua bahu Baladewa.
"Apa-apaan ini" Jangan keterlaluan, Baladewa. Jangan berlebihan menghormatiku...."
"Aku sering mendengar cerita tentangmu dari orang-orang. Juga dari ayahku sendiri. Sejak itu rasanya aku ingin bertemu denganmu, Pendekar Rajawali Sakti. Tapi, kata orang-orang kau sulit ditemui."
"Tapi nyatanya hari ini kau bertemu denganku."
"Ya. Dan aku senang sekali!"
"Tapi, aku tidak bisa berlama-lama, Baladewa."
"Sayang sekali. Padahal aku ingin minta pertolonganmu."
"Pertolongan apa?"
"Maukah kau membantu kami memerangi mereka?"
"Mereka siapa yang kau maksud?"
"Orang-orang tadi."
"Kau mengenal mereka?"
Baladewa mengangguk.
"Semula aku tidak tahu, sebab mereka yang menyerangku bertopeng. Tapi setelah kau mencopot topeng salah seorang, aku jadi tahu siapa mereka...."
"Siapa mereka sebenarnya" Dan ada masalah apa kau dengan mereka hingga timbul kejadian tadi"!" desak Rangga.
"Mereka murid-murid Perguruan Pedang Kilat yang dipimpin Ki Mugeni. Yang tadi kau ringkus dan kau totok adalah putra bungsunya. Namanya, Santang Praja. Antara perguruan mereka dengan perguruan yang dipimpin ayahku, telah lama terjadi permusuhan. Adapun maksud kejadian tadi, aku sama sekali tidak tahu-menahu. Aku baru pulang dari mengunjungi salah seorang kenalan ayahku. Dan tiba-tiba, mereka mencegat begitu saja," jelas Baladewa.
Rangga mengangguk mendengar penjelasan itu.
"Ini persoalan antar perguruan kalian dengan mereka. Aku tidak bisa memihak salah satu perguruan sebelum tahu benar persoalannya. Dan untuk itu, aku tidak bisa menolongmu, Baladewa."
"Selama ini ayahku sudah sering mencoba berdamai. Tapi, mereka menolak dan menganggap kami penakut. Sudah barang tentu penghinaan itu membuat murid-murid ayah berang. Lalu secara diam-diam, mereka menantang murid-murid Perguruan Pedang Kilat. Tapi, sesungguhnya mereka mengharapkan hal itu. Orang-orang Perguruan Pedang Kilat sengaja memanas-manasi dan mencari-cari persoalan untuk membuat kami marah. Tolonglah, Pendekar Rajawali Sakti! Dengan adanya kau, tentu mereka tidak berani macam-macam lagi," lanjut Baladewa.
"Maaf, Baladewa. Persoalan tidak sesederhana itu. Bukan aku tidak mempercayaimu. Tetapi rasanya aku perlu bicara dengan mereka," sergah Rangga halus disertai senyum manis.
"Mereka pandai sekali bersilat lidah! Bahkan banyak di antara kawan-kawan ayahku yang telah dipengaruhi, dan tidak mau berpihak pada ayahku lagi. Mereka semua memberi dukungan pada Perguruan Pedang Kilat!" tambah Baladewa berapi-api.
"Apakah Demikian pintarnya orang-orang Pedang Kilat itu, sehingga hampir semua kawan ayahmu berpihak pada mereka?" tanya Rangga, sedikit tidak percaya.
Baladewa mendesah kesal.
"Agaknya kau tak percaya dan menganggap ceritaku bohong," keluh pemuda berbaju kuning ini.
"Tidak begitu, Baladewa. Tapi sepertinya, ini soal antara kalian berdua. Mungkin juga soalnya pribadi. Sehingga mana bisa aku ikut campur...."
Baladewa tersenyum getir. Hatinya masygul mendengar jawaban sahabat barunya.
"Agaknya mungkin telah ditakdirkan, bahwa kami akan menerima semua kekalahan dan rasa malu ini...," desah Baladewa, lirih.
? *** Rangga tersenyum sambil menepuk-nepuk bahu Baladewa.
"Mungkin masih ada jalan bagimu, Baladewa."
"Tidak. Besok adalah pertarungan di antara kami akan berlangsung. Hal ini telah disepakati kedua belah pihak, untuk menyelesaikan pertikaian yang selama ini terjadi. Ayah menyuruhku menemui beberapa kawan-kawannya untuk mencari dukungan. Tapi, mereka pura-pura tidak mau ikut campur. Padahal, sesungguhnya mereka telah memberi dukungan kepada Ki Mugeni...," jelas Baladewa, dengan suara penuh tekanan.
"Hm. Jadi di antara kalian akan terjadi pertarungan?"
Baladewa mengangguk.
"Apakah kalian tidak yakin bisa mengalahkan mereka?"
"Entahlah. Mungkin, sesuai yang telah direncanakan ayahku dan Ki Mugeni, pertarungan akan dilakukan secara jujur. Beberapa murid utama akan saling berhadapan. Dan aku sendiri mungkin akan berhadapan dengan Santang Praja. Tapi, ada hal yang membuat ayahku gelisah belakangan ini."
"Tentang apa?" tanya Rangga dengan kening berkerut.
"Ki Mugeni bukan saja mendapat dukungan dari beberapa tokoh persilatan. Tapi, juga mendapat bantuan khusus dari salah seorang tokoh sesat bernama Ki Rampengan," jelas Baladewa lagi. Terdengar serak suaranya.
"Ki Rampengan yang bergelar si Cakar Maut?" tanya Rangga, meyakinkan pendengarannya.
"Agaknya kau pun mengenal namanya...."
"Siapa yang tidak kenal tokoh itu. Dia amat terkenal dengan kehebatan jurus-jurus "Cakar Maut"nya."
"Ya! Itulah yang membuat ayahku masygul. Sebab, salah seorang putra Ki Mugeni yang bernama Brajadenta, adalah salah seorang muridnya."
"Apakah dia akan ikut bertarung juga?" tanya Rangga makin penasaran.
"Ya. Kabarnya, dia akan pulang hari ini bersama gurunya. Nanti, Brajadenta akan menghadapi kakakku Imas Pandini. Aku khawatir, kakakku akan celaka di tangannya," keluh Baladewa, lirih.
Untuk beberapa saat pemuda berbaju kuning itu menghentikan ceritanya. Dan dia lantas tertunduk.
Rangga bukannya tidak terhanyut oleh cerita kawan barunya ini. Bahkan kecemasan yang dibayangkan Baladewa bisa dimengertinya.
Namun ikut campur tangan kemudian membantu mereka seperti yang diinginkan Baladewa, rasanya tidak mungkin. Belum jelas benar persoalan di antara mereka. Dan, pihak siapa sebenarnya yang benar atau yang salah" Mungkin dua-duanya benar. Atau, sebaliknya. Kalau dia coba cari keterangan, bisa jadi bukan memperjernih persoalan. Bahkan memperkeruh keadaan.
"Ayo, ikut aku!" ajak Pendekar Rajawali Sakti seraya berdiri.
"Ke mana?" tanya Baladewa, ikut berdiri dengan sikap tak mengerti.
"Ikut saja!" desak Rangga, lantas berdiri. Segera diambilnya tali kekang Dewa Bayu, lalu menuntunnya.
Baladewa meski tidak mengerti apa yang diinginkan Pendekar Rajawali Sakti, menurut saja. Setelah menghampiri kudanya, segera diikutinya langkah Rangga.
Ternyata Rangga membawa Baladewa ke tempat yang agak terlindung, tak jauh dari tempat tadi. Kemudian di bawah sebatang pohon yang cukup rindang, mereka duduk. Disuruhnya Baladewa berbalik hingga memunggunginya.
"Lepaskan semua pikiran yang ada di benakmu. Dan, tahan agar kau tidak mengadakan perlawanan," lanjut Pendekar Rajawali Sakti seraya menempelkan telapak tangan kiri ke punggung Baladewa.
"Apa yang akan kau lakukan" Kau ingin menambah tenaga dalamku?" tanya Baladewa, seperti mengerti apa yang akan dilakukan Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti mengangguk, seraya menempelkan kedua telapak tangannya ke punggung Baladewa.
Wajah Baladewa berseri-seri. Pikirannya segera dipusatkan pada satu titik. Semua beban pikiran yang selama ini berkecamuk dalam benaknya dihilangkan. Maka perlahan-lahan tapi pasti, terasa mengalir hawa hangat yang berputar-putar cepat menuju bagian bawah pusarnya. Terasa bergolak seperti air yang tertuang dari sebuah wadah. Kemudian dari situ, memancar ke segala penjuru bagian tubuhnya dengan cepat.
Baladewa semula merasakan isi tubuhnya seperti disengat kalajengking. Kalau saja dia tidak ingat pesan Pendekar Rajawali Sakti, ingin rasanya menghalau rasa sakit yang terasa dalam tubuhnya. Tapi dia tahu akibatnya, yaitu tenaga dalam Pendekar Rajawali Sakti yang lebih kuat akan mendorong tenaga dalamnya. Dan itu akan berakibat sangat berbahaya bagi dirinya.
Beberapa saat kemudian, penderitaan Baladewa berakhir. Rangga menarik napas panjang, lalu mengatur pernapasannya untuk sesaat. Sedang Baladewa merasa tubuhnya segar dan enteng. Luka dan rasa sakit yang dideritanya tadi, seperti tidak terasakan lagi.
"Sekarang perlihatkan padaku jurus-jurus yang kau miliki. Akan kulihat kekurangan-kekurangannya. Kemudian akan kutunjukkan padamu, bagaimana cara memperbaikinya," ujar Pendekar Rajawali Sakti.
"Kau bersungguh-sungguh, Pendekar Rajawali Sakti"!" seru Baladewa seperti tidak percaya dengan pendengarannya.
"Jika kau memanggilku Rangga, aku akan bersungguh-sungguh," kata Pendekar Rajawali Sakti, mengajukan syarat, karena jengah dipanggil dengan sebutan Pendekar Rajawali Sakti.
"Baiklah, Pend... eh! Rangga!"
Tak lama, Baladewa mulai memperlihatkan jurus-jurus yang dimilikinya dari awal hingga akhir. Kemudian, setelah itu Rangga memberikan saran-saran perbaikan, setelah mengamatinya. Pendekar Rajawali Sakti pun memberikan beberapa gerakan yang mampu mengecoh tanpa disadari lawan.
? *** Santang Praja diam membisu. Tidak ada lagi alasan baginya untuk membela diri dari amarah Ki Mugeni, ayahnya. Masih untung saat itu, Ketua Perguruan Pedang Kilat ini kedatangan beberapa orang tamu. Kalau tidak, tentu putra bungsunya itu akan panas mendengar amarah dan makiannya.
"Sudahlah, Ki. Tidak perlu rasanya bersikap keras begitu pada anak. Lagi pula dia tidak terlalu salah," ujar salah seorang tamu yang bertubuh kurus dengan sorot mata tajam. Kulitnya yang hitam, semakin menambah keangkerannya.
"Bagaimana aku tidak kesal, Ki Rampengan" Padahal aku telah datang menemui Ki Sanjaya dan menyalahkan murid-muridnya. Tapi, kini malah putraku sendiri yang membuat ulah!" jelas Ketua Perguruan Pedang Kilat itu bersungut-sungut di ruang pribadinya.
Di tempat itu telah ada dua tokoh lainnya. Yang seorang bertubuh kurus berjanggut panjang telah memutih. Orang ini bernama Ki Sadang, bergelar Musang Berjanggut. Sementara seorang lagi memakai ikat kepala hitam. Tubuhnya sedang, namun berotot kuat. Namanya Ki Pintur, bergelar Serigala Jinak.
Di antara mereka, kelihatannya Ki Rampengan memang paling berpengaruh. Laki-laki ini adalah guru, bagi putra tertua Ki Mugeni yang bernama Brajadenta. Dia juga turut hadir di ruangan ini, bersama beberapa orang murid utama Perguruan Pedang Kilat.
Ki Mugeni menarik napas dalam-dalam, berusaha menahan amarahnya dalam menghadapi ketiga tamunya. Yang jelas dia tidak ingin kemarahannya pada Santang Praja sampai terbawa-bawa dalam pembicaraan nanti.
"Bagaimana rencana pertandingan esok hari, Ki Mugeni?" tanya laki-laki kurus berkulit hitam yang bernama Ki Rampengan.
"Telah kami sepakati bersama. Dan, tidak akan berubah."
"Siapa yang menjadi penengahnya?"
"Ki Selopati."
"Hm, Dewa Tangan Delapan...?" gumam Ki Rampengan.
"Benar, Ki."
"Bukankah menurutmu dia pernah hendak mendamaikan kalian berdua?"
"Ya! Aku menolaknya dengan mengemukakan alasan. Dan dia mengerti, hingga akhirnya bersedia menjadi penengah. Dia juga berjanji akan menjadi wasit yang adil dalam pertandingan besok," jelas Ki Mugeni.
"Mereka tidak pernah menghubunginya?"
"Pernah...."
"Menurutmu, dia condong berpihak ke mana?"
"Aku tidak melihat tanda-tandanya. Kelihatannya, Ki Selopati berusaha menjadi penengah yang baik."
Ki Rampengan terdiam beberapa saat. Sementara, semua pun terdiam, sehingga suasana jadi hening.
"Apakah Ki Rampengan bermaksud turun tangan dalam pertandingan besok?" tanya Ki Mugeni, memecahkan keheningan.
"Kalau tua bangka itu menyinggung-nyinggung kehadiranku, biar kujajal ilmunya!" sahut Ki Rampengan, mantap.
"Tidak usah, Ki. Biar dia menjadi bagianku," sela Ki Mugeni.
"Persoalan kalian, harus selesai esok hari. Bila tidak, maka bisa berkepanjangan!" tegas Ki Rampengan.
"Tentu saja, Ki. Telah lama hal ini kunanti-nantikan."
"Biar dia tahu diri, dan tidak jadi besar kepala!" timpal Ki Rampengan yang terkenal berjuluk si Cakar Maut.
"Siapa saja yang mendukung mereka?" tanya Ki Sadang.
"Sejauh ini belum ada," sahut Ki Mugeni.
"Menurut murid-murid ayah, mereka mencoba menghubungi beberapa kenalannya. Kebanyakan, mereka agaknya tidak bersedia ikut campur sebab menyadari bahwa ini persoalan pribadi," sahut Brajadenta yang sejak tadi diam saja.
"Rupanya mereka tahu diri, bahwa tidak ada gunanya membantu si Sanjaya itu!" sambung Ki Rampengan.
"Dengan begitu jalanmu akan mulus untuk memenangkan pertandingan besok, Ki Mugeni!" tambah Ki Sadang, memberi semangat.
"Terima kasih...."
"Dan kau, Brajadenta! Apakah yakin mampu mengalahkan putri si Sanjaya itu?" tanya Ki Rampengan.
"Akan kukalahkan dia dengan mudah!" sahut pemuda itu, mantap.
"Ha-ha-ha...! Tidak percuma kau menjadi murid si Cakar Maut!" seru Ki Mugeni disertai tawa bangga.
Mendengar pujian itu, Ki Rampengan tersenyum bangga.
"Dan Santang Praja?" tanya Ki Sadang.
Mendengar nama putranya yang seorang lagi disebut, senyum Ki Mugeni seketika hilang. Kekesalannya tadi, agaknya masih tersisa.
Santang Praja yang juga hadir di ruangan itu bukannya tidak menyadari kekesalan ayahnya. Sejak tadi kepalanya hanya menunduk saja.
"Aku tidak akan mengecewakan ayahku," desah Santang Praja, akhirnya.
"Kau harus mengalahkan lawanmu!" tandas Ki Rampengan.
"Ya!" sahut pemuda itu mengangguk.
"Kalau kau kalah darinya, lebih baik tidak usah menjadi anakku!" ancam Ki Mugeni.
Pemuda itu menunduk.
"Jangan terlalu keras, Ki. Santang Praja tidak mutlak salah...."
Mendengar pembelaan Ki Rampengan itu, Ki Mugeni agaknya tidak berusaha untuk terus memuntahkan kekesalannya. Terlebih lagi, ketika Brajadenta mencairkan suasana.
"Menurut Santang Praja, mereka bertemu seorang tokoh muda yang membela Baladewa. Apakah Ayah mengenalnya?"
"Tidak."
"Rasa-rasanya aku ingat tokoh yang diceritakan Santang Praja," sahut Ki Rampengan, sambil mengingat-ingat sesuatu.
"Siapa, Ki?" tanya Ki Sadang.
"Pendekar Rajawali Sakti! Ya! Dialah orangnya!" seru si Cakar Maut menegaskan.
"Pendekar Rajawali Sakti" Hm.... Pantas Santang Praja dan yang lain dibuat bulan-bulanan," gumam Brajadenta.
"Dia pendekar besar dan berkepandaian hebat. Kalau Baladewa meminta bantuannya, maka keadaan kita tidak akan menguntungkan," sambung Ki Sadang, masygul.
"Ki Sadang! Bicara apa, Kisanak"! Meski seribu Pendekar Rajawali Sakti yang membantu mereka, kita punya si Cakar Maut di sini. Apakah Kisanak hendak merendahkan beliau"!" seru Ki Mugeni kesal.
"Maaf, Ki Mugeni. Bukan maksudku merendahkan Ki Rampengan. Aku hanya sekadar menyampaikan, apa yang sering dibicarakan orang-orang."
"Berita terkadang terlalu dilebih-lebihkan. Dan kita tidak usah khawatir. Pendekar Rajawali Sakti hanya anak kemarin sore. Buat apa ditakutkan"!" sambung Ki Rampengan.
Nada bicara orang tua itu tampak sinis, dengan mata memandang tajam pada Ki Sadang. Sepertinya, dia tidak senang karena merasa dikecilkan.
Ki Sadang sendiri jadi salah tingkah, dan tidak enak hati. Namun dalam suasana seperti itu, lagi-lagi Brajadenta buka suara dan mencairkan suasana.
Meski bergurau pada si Cakar Maut yang penaik darah dan sering mau menang sendiri, ternyata tidak membuat pikiran Brajadenta sempit. Pemuda itu kelihatan pintar, dan pandai menciptakan suasana yang akrab. Sehingga pelan-pelan suasana yang tadi tegang, kembali seperti semula. Penuh persahabatan.
*** Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
English (UK) info ? 2017 " 163. Cakar Maut Bag. 4 - 6
January 18, 2015 at 7:10am
4 ? Bukan main cemas dan khawatirnya Imas Pandini, ketika menyongsong Baladewa di gerbang depan. Tampak wajah Baladewa masih terlihat memar, bekas luka.
"Siapa yang melakukan ini padamu?" tanya gadis itu.
"Sudahlah.... Aku tidak apa-apa," sahut Baladewa, berusaha menyembunyikannya.
Pemuda itu segera turun dari punggung kudanya. Kemudian salah seorang murid mengambil kudanya untuk dibawa ke dalam istal.
Sementara Imas Pandini agaknya masih penasaran. Segera diikutinya langkah adiknya yang langsung memasuki bangunan utama Perguruan Rebung Koneng.
"Mereka, bukan" Orang-orang Perguruan Pedang Kilat itu"!" tuding Imas Pandini yakin, sambil menjajari langkah Baladewa.
"Sudahlah.... Aku tidak merasakan apa-apa. Eh! Ada cerita menarik yang akan kuceritakan!" sahut Baladewa, kalem.
"Baladewa! Jangan mengalihkan perhatian! Ceritakan pada kami, siapa yang telah menganiayamu?"
Pemuda itu menarik napas panjang begitu tiba di ruangan besar tempat ayahnya menunggu. Diliriknya gadis itu beberapa saat. Kemudian kepalanya berpaling pada ayahnya yang duduk di kursi mengawasi mereka. Dan pemuda itu segera menjura memberi hormat pada Ki Sanjaya, Ketua Perguruan Rebung Koneng yang sekaligus ayahnya.
Kemudian Baladewa menceritakan semua yang terjadi terhadap dirinya, termasuk pertemuannya dengan Pendekar Rajawali Sakti. Semula semua yang mendengarkan tampak diliputi kegeraman. Namun ketika nama Pendekar Rajawali Sakti disebut-sebut, Ki Sanjaya langsung melengak kaget.
? *** "Pendekar Rajawali Sakti?" sebut Ki Sanjaya sedikit berseri wajahnya, begitu Baladewa selesai dengan ceritanya.
Sementara Imas Pandini serta murid-murid Perguruan Rebung Koneng lainnya yang hadir di ruangan ini, seperti hampir tak percaya mendengar cerita Baladewa.
"Iya. Memang dia! Hanya sayang. Pendekar Rajawali Sakti tidak bersedia membantu kita," sahut Baladewa cepat.
Seketika air muka pemuda itu muram ketika melanjutkan kata-katanya.
"Sudahlah. Kita akan menghadapi mereka dengan segala kemampuan yang dimiliki," desah Ki Sanjaya, berusaha menanamkan rasa percaya diri pada anak-anaknya dan murid-muridnya.
"Tapi dia memberiku pelajaran-pelajaran yang berharga, Ayah."
Kembali Baladewa menceritakan pengalamannya bersama Pendekar Rajawali Sakti.
"Wah! Kau sungguh beruntung, Baladewa!" seru salah seorang murid utama, setelah Baladewa menyelesaikan ceritanya.
Orang ini bernama Wiriaraja, salah seorang murid utama Ki Sanjaya.
"Ya! Kau sungguh beruntung!" sahut yang lain, bernada gembira.
Ki Sanjaya pun bukan tidak merasakannya. Sehingga wajahnya kian berseri-seri saja.
Pendekar Rajawali Sakti 163 Cakar Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dengan begitu, agaknya kau telah menjadi murid Pendekar Rajawali Sakti. Apakah kau tidak lupa tata krama menghormati guru?" tanya Imas Pandini.
"Tentu saja tidak! Aku menganggapnya sebagai guruku. Dan aku memberi hormat sebagaimana mestinya. Tapi dia menolak. Bahkan menganggapku sebagai kawan biasa saja," jelas Baladewa.
"Hm.... Dia adalah pendekar yang rendah hati," sambung Ki Sanjaya lirih.
Murid-murid Perguruan Rebung Koneng mengangguk membenarkan. Demikian pula Baladewa dan Imas Pandini.
? *** Malam telah semakin larut. Hampir semua penghuni Perguruan Rebung Koneng terlelap dibuai mimpi. Pekarangan kelihatan sepi. Dua orang murid tampak tengah berjaga di dekat pintu gerbang. Entah apa yang tengah dikerjakan dalam gubuk kecil yang digunakan sebagai pos kecil itu.
Di beranda depan bagian atas bangunan perguruan ini Ki Sanjaya menarik napas dalam-dalam dengan kedua tangan terlipat di dada. Tangan kanannya menggenggam sebilah pedang yang warangkanya terbuat dari bambu kuning. Lama dia termenung. Sesekali kepalanya mendongak ke langit, memandangi bintang-bintang yang berkelip-kelip. Kemudian kembali memandang kosong ke depan seraya menghela napas.
"Kenapa Ayah tidak tidur?"
Tiba-tiba sebuah suara mengagetkan orang tua berusia enampuluh empat tahun itu.
Orang tua itu berbalik. Dan dia tersenyum lebar melihat Imas Pandini berdiri. Kemudian, gadis itu mendekat.
"Tidak apa-apa. Ayah hanya belum mengantuk. Kau sendiri, kenapa belum tidur"!" tanya Ki Sanjaya, balik bertanya.
"Sama seperti Ayah. Aku pun belum mengantuk," sahut Imas Pandini, pelan.
Ki Sanjaya menarik napas panjang. Dipandanginya putrinya ini sesaat. Kemudian perhatiannya dialihkan pada bintang-bintang di langit.
"Ayah kelihatan gelisah," usik gadis itu.
"Kau melihatku begitu?" kata orang tua itu tersenyum, seraya memandang kembali pada putrinya.
"Ayah memikirkan pertarungan esok hari?" duga putrinya itu.
Ki Sanjaya kembali menarik napas panjang, kemudian mengangguk perlahan.
"Soal apa" Apakah Ayah tidak pasrah dengan apa yang akan terjadi esok hari?"
"Justru itu yang kupikirkan. Termasuk, kalian...."
"Kami baik-baik saja. Ayah tidak usah khawatir!"
"Entahlah, mereka cukup kuat. Aku khawatir, kalian tidak akan kuat menanggung malu menelan kekalahan," desah Ki Sanjaya, seperti hilang semangatnya.
"Kami telah pikirkan soal itu. Lagi pula Ayah tidak perlu berkecil hati. Bukankah kemajuan Baladewa amat pesat" Dia pasti mampu mengalahkan lawannya," tandas Imas Pandini.
"Mungkin saja. Tapi, kau sendiri...?"
"Aku tidak apa-apa. Aku siap menghadapi siapa pun!"
"Brajadenta bukan lawan ringan, Anakku. Dia murid si Cakar Maut. Sudah menjadi cerita sejak ratusan tahun lalu, jurus-jurus "Cakar Maut" tak tertandingi. Cepat dan kejam. Aku khawatir terjadi hal-hal buruk terhadapmu."
"Sebaiknya Ayah singkirkan jauh-jauh prasangka itu. Aku mampu menghadapinya, meski dia memiliki jurus-jurus pemberian dewa sekalipun!"
Ki Sanjaya tersenyum seraya memegang kedua . bahu putrinya.
"Kau masih hijau, Nak. Kau belum banyak tahu, bagaimana hebatnya jurus-jurus "Cakar Maut" yang telah menjadi cerita sejak dahulu, siapa pun yang menguasai jurus-jurus itu, selama ini belum terkalahkan. Kalau Brajadenta bisa menjadi murid Ki Rampengan, itu tidak lain karena di antara keluarga mereka ada hubungan saudara," jelas Ki Sanjaya.
"Demikian hebatnyakah jurus-jurus itu, sehingga tak ada yang mampu menandinginya?" tanya Imas Pandini.
"Bila dia telah mampu menguasai jurus-jurus puncak, maka orang itu akan berubah liar laksana iblis. Itulah sebabnya, maka jurus itu dikatakan jurus "Cakar Maut"."
"Menurut Ayah, apakah Pendekar Rajawali Sakti tidak mampu mengimbanginya?"
"Entahlah. Pendekar Rajawali Sakti memang hebat dan terkenal. Tapi selama ini antara keduanya belum pernah bentrok. Tapi kenapa kau tanyakan hal itu" Kita sudah tahu pendiriannya. Dan dia tidak ingin ikut campur dalam soal ini," ujar Ki Sanjaya.
"Ya! Aku tahu, Ayah," sahut Imas Pandini, lesu.
"Aku hanya merasa tidak enak, entah kenapa...," desah orang tua itu.
"Tentang apa, Ayah?"
"Mimpi yang mungkin hanya sekadar firasat."
"Mimpi apa, Ayah?"
Ki Sanjaya tidak langsung menjawab, melainkan kembali memalingkan wajahnya disertai tarikan napas panjang.
"Kulihat di sekeliling perguruan ini kabut hitam menyelimuti. Mayat-mayat berserakan di mana-mana. Kemudian kudengar tangismu yang amat memilukan. Mimpi ini terjadi tiga malam berturut-turut. Dan tadi, aku kembali bermimpi seperti itu," kata Ki Sanjaya.
Sesaat detak jantung gadis itu terasa berhenti mendengar penuturan ayahnya. Mimpi Ki Sanjaya seperti menjalar dari telinga langsung ke hati serta pikiran. Namun begitu dihirupnya udara dalam-dalam, seperti hendak memompakan kepercayaan diri dan menghibur ayahnya.
"Itu hanya mimpi, Ayah. Tak ada gunanya kita mempercayai kembang tidur. Sebab hanya merusak diri saja. Sudahlah, lebih baik ayah kembali tidur dan lupakan semua itu!"
"Itu bukan mimpi biasa, Anakku. Tiga kali berturut-turut aku bermimpi. Lebih mirip sebagai suatu isyarat atau pertanda. Lagi pula, setelah itu aku tidak bisa memejamkan mata. Mimpi itu terus terbayang."
Imas Pandini tidak tahu lagi harus bicara apa, mendengar kata-kata ayahnya.
"Lebih baik kau tidur. Jaga kesehatanmu. Sebab, esok kau harus bertanding," ujar Ki Sanjaya.
"Seharusnya Ayah yang mesti menjaga kesehatan. Ayah adalah penentu utama. Bila Ayah kalah, maka semangat yang lain akan turun."
"Ayah terbiasa tidak tidur malam. Dan itu sama sekali tidak mengganggu keadaan tubuhku."
"Apakah Ayah akan berdiam diri di sini sampai pagi?"
Sebelum orang tua itu menjawab, mendadak....
"Aaa...!"
"Heh"!"
Tiba-tiba terdengar jerit tertahan dari arah bawah sana. Tampak dua murid Ki Sanjaya yang berjaga di dalam pos dekat pintu gerbang, terjungkal roboh.
"Hup!"
? *** Ki Sanjaya cepat melompat ke bawah dengan gerakan ringan begitu matanya yang tajam melihat sesosok bayangan hitam hendak melompat keluar.
"Jahanam keparat! Kau kira bisa kabur seenaknya saja! Hih!" bentak Ki Sanjaya, langsung menarik keluar pedangnya.
Sring! Wuuut! Pedang di tangan Ki Sanjaya cepat sekali berkelebat, menyambar ke arah sosok bayangan itu.
Namun bayangan itu ternyata mampu menghindari sambaran pedang Ki Sanjaya dengan gerakan melenting ke belakang yang mengagumkan. Bahkan begitu kakinya mendarat dia mampu balas menyerang dengan tangan kosong.
"Heaaa!"
Ki Sanjaya terkesiap. Sosok berpakaian hitam dengan wajah terselubung kain hitam itu bergerak ke bagian bawah. Dan tahu-tahu telah menyodok perutnya sebelum sempat mengibaskan pedang.
"Uts!"
Masih untung orang tua itu sempat berjumpalitan ke belakang. Namun angin serangan itu kuat bukan main, sehingga sempat membuat perutnya mual. Ketua Perguruan Rebung Koneng itu sadar kalau lawan yang dihadapi bukanlah tokoh sembarangan. Makanya, dia tidak melanjutkan serangan.
"Siapa kau"! Apa maksudmu malam-malam begini menyatroni tempatku"!" hardik Ki Sanjaya seraya mengawasi sosok berbaju hitam.
"Ha-ha-ha...! Tua bangka busuk! Ternyata kau lincah juga, ya" Tapi dengan kepandaian seperti itu, kau tidak ada artinya sedikit pun bagiku," ejek sosok itu merendahkan.
Ki Sanjaya memperhatikan dengan seksama. Sosok berbaju hitam itu bertubuh sedang, dengan penutup wajah dari kain hitam, yang terlihat hanya sepasang matanya saja.
Sementara itu, melihat kehadiran tamu yang tidak diundang dan telah membuat kekacauan dengan membunuh dua orang murid perguruan, membuat murid-murid yang lain tersentak. Mereka yang tadi terlelap, seketika terjaga kemudian cepat melompat keluar dan berkumpul di halaman depan. Demikian pula Imas Pandini, serta Baladewa yang telah tiba di sana lebih dulu.
"Ha-ha-ha...! Sungguh hebat, sungguh hebat...! Dalam waktu singkat, murid-muridmu telah berkumpul mendengar sedikit keributan!" sambung orang bertopeng itu.
"Tidak usah banyak bicara, Pengacau Busuk! Kau telah membunuh dua orang muridku! Maka kau harus bertanggung jawab!" desis Ki Sanjaya geram.
"Kau bisa berbuat apa terhadapku, Sanjaya. Apa kau kira dengan seluruh muridmu ini mampu menghalangi kepergianku" Aku bisa datang dan pergi sesuka hatiku, tanpa seorang pun boleh menghalangi!" sahut orang bertopeng itu, meremehkan.
"Hm.... Kau mengenalku. Berarti kau bukan orang jauh! Tapi siapa pun adanya kau, jangan harap akan kulepaskan begitu saja. Tidak perlu kukerahkan murid-muridku untuk meringkusmu. Aku sendiri masih sanggup!" sahut Ki Sanjaya, tak kalah garang.
Setelah berkata begitu, Ki Sanjaya langsung melompat menyerang.
"Heaaat!"
Wuuut! Pedang orang tua itu kembali menyerang orang bertopeng. Kali ini Ki Sanjaya tidak mau bertindak kepalang tanggung. Langsung dikerahkan jurus "Hujan Buluh Mengurung Rimba", sebuah jurus terhebat yang dimiliki. Kelebatan pedangnya laksana hujan lebat yang menyapu apa saja tanpa berhenti. Sehingga orang awam pun akan menyangka kalau orang bertopeng itu tidak akan lolos.
Tapi yang terjadi sungguh membuat murid-murid perguruan ini tidak percaya. Dengan mudah orang bertopeng itu menghindar di antara kelebatan pedang Ki Sanjaya. Bahkan tahu-tahu orang bertopeng itu merunduk ke bawah seraya menyentil senjata Ki Sanjaya.
Tak! "Heh"!"
Ki Sanjaya kaget bukan kepalang, melihat senjatanya seperti menghantam benda keras bukan main. Bagaimana mungkin orang bertopeng itu mampu berbuat sedemikian" Menahan ayunan pedangnya yang bertenaga dalam kuat, hanya dengan sentilan kuku" Malah Ki Sanjaya merasakan tangannya bergetar. Itu menandakan kalau orang bertopeng ini memang memiliki tenaga dalam di atasnya.
Dan keterkejutan Ki Sanjaya harus dibayar mahal. Begitu dia lengah, orang bertopeng itu mengibaskan tangannya. Begitu cepat gerakannya, sehingga....
Breeet! "Hugkhkkk...!"
Ki Sanjaya kontan memekik, begitu cakaran orang bertopeng menyayat tenggorokannya. Darah kontan mengucur deras dari luka di lehernya yang robek. Dan belum sempat dia berbuat apa-apa, satu hantaman keras mendarat di dadanya.
Begh! "Aaakh...!"
Orang tua itu terjungkal ke belakang bagai selembar daun kering. Setelah menggelepar sesaat, dia tewas.
"Ayaaah...!"
"Guru...!"
Bukan main kagetnya Imas Pandini dan Baladewa serta murid-murid Perguruan Rebung Koneng. Mereka serentak menghampiri jenazah Ki Sanjaya yang terbujur kaku.
Namun sebagian murid-murid lainnya langsung kalap melihat keadaan itu. Maka seketika, mereka mengurung dan menyerang orang bertopeng itu.
"Yeaaat!"
Namun yang dihadapi murid-murid perguruan itu ternyata berkepandaian tinggi. Sehingga meski pedang-pedang berseliweran ke arahnya, dengan mudah orang bertopeng itu menghindar. Bahkan balas menyerang dengan ganas.
Wut! Bret! "Aaa...!"
Dalam waktu singkat saja, lebih dari lima murid Perguruan Rebung Koneng tewas. Dan itu terus bertambah cepat, seiring amukan hebat orang bertopeng itu.
"Keparat terkutuk! Akulah lawanmu! Akan kubunuh kaaau...!" teriak Baladewa, dengan suara menggelegar.
Pemuda itu agaknya tidak kuat lagi menahan amarah. Maka secepat kilat pedangnya dicabut. Langsung dia melompat menyerang.
Wut! Bet! "Uts! Ha-ha-ha...! Boleh juga permainan pedangmu, Bocah. Tapi kau masih mentah. Dan ini sama sekali tidak berguna bagiku!" dengus orang bertopeng itu, seraya tertawa mengejek.
Ucapan itu terdengar sombong. Tapi, agaknya orang bertopeng itu tidak main-main. Tiba-tiba saja tubuhnya bergerak cepat. Dan ...
Wuuut! "Hih!"
Tubuh orang bertopeng itu lenyap dari sambaran pedang Baladewa. Dan tahu-tahu, suatu hantaman keras menyambar dada putra bungsu Ki Sanjaya.
Des! "Aaa...!"
Baladewa terpekik. Tubuhnya terbanting keras ke belakang sambil menyemburkan darah segar.
"Baladewa...!" jerit Imas Pandini, kaget.
Gadis itu bergegas memburu adiknya yang tengah sekarat. Namun hanya sempat memeluknya sekejap, karena kemudian Baladewa menghembuskan napasnya yang terakhir. Gadis itu menjerit dan menangis seraya mendekap jenazah adiknya erat-erat.
Sementara, orang bertopeng itu sudah berkelebat meninggalkan tempat ini, setelah membinasakan beberapa murid Perguruan Rebung Koneng yang coba menghalanginya. Dalam sekejap, tubuhnya menghilang dengan suara tawanya yang bergema nyaring.
*** ? 5 ? Berita kematian Ki Sanjaya memang mengejutkan. Bukan hanya penduduk yang berada di sekitar perguruan itu. Tapi, juga sampai ke telinga Ki Mugeni. Meski bermusuhan, tapi bukan kematian Ki Sanjaya yang diinginkannya. Dia ingin mengalahkan Ketua Perguruan Rebung Koneng dalam pertandingan yang jujur. Padahal, itu akan terjadi hari ini. Tapi dengan adanya kejadian itu, membuat segalanya berantakan.
Pendekar Sakti Dari Lembah Liar 7 Dewa Arak 79 Iblis Buta Pendekar Guntur 23
" . 163. Cakar Maut Bag. 1 - 3
18. Januar 2015 um 07:07
? Pendekar Rajawali Sakti
episode: Cakar Maut Oleh Teguh S. Penerbit Cintamedia, Jakarta
? 1 ? Di pagi yang masih berselimut embun, berjalan tiga orang laki-laki berpakaian serba kuning dengan langkah terburu-buru melewati pematang sawah. Salah seorang menjulurkan kepala ke sana kemari, mengawasi keadaan sekelilingnya. Tidak ada orang lain di tempat ini, kecuali dua orang petani yang mungkin terlambat menanami sawahnya. Padahal, padi di sawah-sawah lainnya telah tumbuh hampir dua jengkal.
Langkah ketiga laki-laki ini terhenti, ketika di depan pematang sawah berdiri lima lelaki lain yang masing-masing membawa pedang pendek. Tidak ada jalan lain, kecuali harus melewati mereka. Atau, kembali mundur! Tapi, pilihan terakhir rasanya tidak mungkin dilakukan ketiga lelaki berpakaian serba kuning memakai ikat kepala warna kuning pula. Di dada masing-masing terlihat lambang perguruan bergambar rebung berwarna kuning. Dari sini bisa diduga kalau ketiganya berasal dari Perguruan Rebung Koneng.
"Bagaimana, Kang Banu?" tanya lelaki yang berada di tengah pada kedua kawannya yang berada di depan.
"Apa boleh buat, Dipa" Kita terpaksa melewati mereka...!" tandas laki-laki bernama Banu atau Banuwirya, mantap.
"Tapi mereka berlima!" laki-laki yang paling belakang mengingatkan.
"Lalu, apa kita harus turun ke sawah" Atau, mundur dan mengambil jalan memutar" Mereka pasti mengejek. Dan Guru tidak akan senang mendengarnya!"
"Huh! Apa mau mereka sebenarnya" Mencari gara-gara saja!" umpat lelaki yang dipanggil Dipa. Nama sebenarnya adalah Dipayana.
"Jatmika! Dipayana! Bersiaplah! Kita harus melewati mereka!" ujar Banuwirya tegar.
Setelah membulatkan tekad, mereka segera melangkah dengan sikap waspada. Dada ketiga murid Perguruan Rebung Koneng berdetak kencang, seperti menanti sesuatu dengan tegang.
Sementara kelima laki-laki berpakaian serba hitam yang berdiri menghadang di ujung pematang pura-pura tidak peduli. Padahal, mereka jelas menghalangi jalan ketiga murid Perguruan Rebung Koneng itu.
"Kisanak, tolonglah menepi. Kami hendak lewat," ucap Banuwirya berusaha sopan ketika telah berada dua setengah tombak di depan kelima laki-laki bertampang seram itu.
"Lewat! Siapa yang melarang?" sahut salah satu penghadang yang berkepala botak.
"Bagaimana kami bisa lewat, bila kalian berdiri di situ?" kata Banuwirya mencoba tenang.
"Kau boleh lewat sesuka hatimu. Atau kalau perlu, turun ke sawah!"
Banuwirya menarik napas, dan berusaha menahan sabar. Kata-kata itu sama artinya penghinaan. Sebab ketiga murid Perguruan Rebung Koneng bukan tidak kenal dengan lima orang berpakaian serba hitam dengan lambang bergambar pedang dan kilat di dada masing-masing. Mereka adalah murid-murid Perguruan Pedang Kilat.
"Kisanak. Kami tengah ada urusan. Harap kalian tidak mengganggu." Kali ini Dipayana mencoba berbicara.
"Siapa yang peduli urusan kalian?" lecehnya.
"Kakang, kenapa mesti mengalah segala" Jelas mereka memang ingin cari gara-gara!" dengus laki-laki yang bernama Jatmika.
"Hei, hati-hati bicaramu!" sentak salah seorang murid Perguruan Pedang Kilat bertubuh gemuk, namanya Surokatil.
"Hai, Babi Busuk! Apa kau kira kami takut dengan kalian" Puih! Jangan berlagak di depan kami!" dengus Jatmika disertai semburan ludahnya.
"Bangsat!" maki Surokatil.
Wajah laki-laki bertubuh gemuk itu terlihat merah. Gerahamnya berkerotokan menahan geram. Demikian pula keempat kawannya. Seperti diberi aba-aba mereka langsung melompat menerjang tiga murid Perguruan Rebung Koneng.
Sring! "Heaaat...!"
Melihat kelima murid Perguruan Pedang Kilat mencabut pedang, maka Banuwirya, Dipayana, dan Jatmika pun tidak kalah sigap. Segera serangan itu disambut dengan mencabut senjata masing-masing yang berupa pedang.
Wuuut! Trang! Pertarungan seketika berlangsung sengit, namun terlihat tidak seimbang. Lima lawan tiga. Namun begitu murid-murid Perguruan Rebung Koneng sama sekali tidak merasa gentar. Mereka menghadapi kelima lawannya dengan semangat menyala-nyala.
Sayang, kepandaian ketiga murid Perguruan Rebung Koneng tidak lebih tinggi dibanding lawan-lawannya. Sehingga, pelan-pelan mereka terdesak hebat.
Seperti sekarang ini. Banuwirya tampak kewalahan menghadapi salah seorang yang membabatkan pedang pendeknya ke dada. Cepat dia berusaha menggeser tubuhnya ke samping, lalu menangkis senjata laki-laki botak lawannya.
Trang! Pada saat yang sama, laki-laki botak itu sudah memutar tubuh ke kiri. Bahkan langsung mengayunkan tendangan keras ke arah perut.
Duk! "Aaakh...!"
Dipayana yang dikeroyok tampak juga kewalahan. Setelah berhasil menghindari satu serangan, maka lawan yang seorang lagi menyabetkan pedang ke lehernya dari belakang. Karuan saja, terpaksa dia menjatuhkan diri. Padahal saat itu lawan yang berada di depan tengah melayangkan satu tendangan menggeledek. Sehingga....
Begkh! "Aaakh...!"
Tepat sekali tendangan itu menghajar dada Dipayana, membuatnya terpental ke belakang. Selang beberapa saat kemudian, nasib Jatmika tidak berbeda jauh. Ketika salah seorang membabatkan pedang ke dada, dengan cepat pedangnya dikebutkan.
Trang! Dan baru saja Jatmika menguasai diri, seorang lawan yang lain mengayunkan tendangan ke pinggang belakang. Untung, Jatmika cepat bergeser ke kiri. Namun pada saat itu juga, pedang lawan yang berada di dekatnya menyambar tanpa ampun.
Brettt! "Aaakh...!"
Murid Perguruan Rebung Koneng itu menjerit kesakitan ketika bagian perutnya tersayat pedang pendek, menimbulkan luka lebar.
"Bunuh sekalian...!" sentak Surokatil, memberi semangat.
Maka kelima murid Perguruan Pedang Kilat yang tengah dibakar amarah, agaknya tidak bisa menahan diri. Mereka bermaksud menghabisi lawan-lawannya secepat mungkin. Namun....
"Berhenti! Atau, kalian ingin mampus!"
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring melengking, membuat pertarungan berhenti sejenak.
? *** Belum juga kelima murid Perguruan Pedang Kilat hilang keterkejutannya, tahu-tahu sesosok tubuh bergerak cepat mendekati dengan gerakan jungkir balik.
"Tahan dia!" perintah Surokatil, begitu tersadar dari keterpukauannya.
Trang! Trang! "Akh...!"
Keempat murid Perguruan Pedang Kilat coba memapaki.
"Aaah...!"
Dua orang kontan menjerit kesakitan dan terjungkal ke sawah begitu terjadi benturan senjata. Sementara dua lainnya tersentak kaget. Bahkan tahu-tahu, pedang di tangan mereka terpental entah ke mana.
"Imas Pandini! Agaknya kau mau ikut campur dalam urusan ini!" dengus Surokatil ketika melihat siapa sosok yang baru saja menjejakkan kakinya di tanah.
Dia adalah seorang gadis cantik berikat kepala kuning. Pedangnya yang terhunus diarahkan ke murid-murid Perguruan Pedang Kilat itu. Raut wajah gadis yang dipanggil Imas Pandini kelihatan sinis penuh amarah.
"Kalianlah yang lebih dulu memulai persoalan!" balas gadis itu dengan suara lantang.
"Huh! Orang-orangmu yang lebih dulu mencari gara-gara! Coba tanyakan pada mereka!" kilah Surokatil.
Imas Pandini menoleh pada ketiga murid Perguruan Rebung Koneng yang berusaha bangkit. Dan mereka segera mendekati gadis itu.
"Banuwirya! Apa benar yang dikatakan mereka?" tanya Imas Pandini.
"Tidak, Nyai. Merekalah yang menghadang kami di ujung tegalan itu!" sahut Banuwirya, disertai ringisan kesakitan.
"He, Monyet! Jangan berdusta. Kawanmu yang lebih dulu memaki. Padahal, kami tidak berbuat apa-apa!" sentak Surokatil.
"Itu karena kalian yang lebih dulu mencari gara-gara! Apa namanya jika menghadang di ujung pematang, kalau bukan mencari urusan" Padahal kalian tahu, kami akan lewat!" sahut Jatmika, tidak kalah garang.
"Sudah! Aku ingin persoalan ini tidak dilanjutkan! Pergilah kalian!" sentak Imas Pandini.
"Imas! Kau telah mencari urusan. Dan ini tidak bisa kami diamkan begitu saja!" sahut salah seorang murid Perguruan Pedang Kilat.
"Tutup mulutmu! Sudah jelas kalian mencari gara-gara. Dan kini malah mau memperpanjang urusan. Apakah kalian tidak melihat bahwa aku berusaha menyelesaikan persoalan?" bentak gadis itu.
"Huh! Itu karena kalian memang pengecut!"
"Kurang ajar!" Imas Pandini menggeram.
Namun gadis itu segera menghela napas panjang. Bukannya dia takut menghadapi mereka. Bahkan kalau menuruti amarah, ingin rasanya kepala kelima murid Perguruan Pedang Kilat itu ditebasnya. Namun sekuat mungkin amarahnya ditahan karena dikhawatirkan bisa menyulut perang besar di antara dua perguruan.
Selama ini permusuhan antara kedua perguruan itu telah berlangsung lama. Bahkan perang kecil-kecilan sering terjadi. Tidak ada yang tahu pasti, apa penyebabnya.
"Kenapa" Apa dikira kami takut"!" ejek Surokatil, sinis.
"Pergilah kalian. Dan, tidak usah memancing amarahku!" bentak Imas Pandini.
Surokatil terkekeh.
"Dasar orang-orang pengecut! Di mana saja tetap pengecut. Setelah menyerang dari belakang, kini berlagak hendak menyudahi urusan seperti orang tidak bersalah."
"Keparat!" dengus gadis itu menggigil menahan geram. Sepasang matanya melotot geram. Raut mukanya berkerut penuh amarah.
"Tidak perlu menakut-nakuti kami, Imas! Kami sama sekali tidak takut padamu!" tantang Surokatil.
"Baiklah kalau itu yang kalian inginkan. Biar kutunjukkan, bagaimana pengecut sepertiku mengurus kalian!" sahut gadis itu dengan suara ditekan sedemikian rupa.
Bet! Imas Pandini melintangkan pedangnya di depan dada, siap menyerang. Sementara kelima orang itu pun tidak kalah sigap menyambut serangan.
"Nyai Imas! Lima lawan satu tidak seimbang! Biar kami bantu!" sahut Banuwirya seraya melompat ke samping gadis itu.
Tindakan laki-laki itu cepat diikuti Dipayana. Sementara Jatmika yang tengah terluka, mundur beberapa langkah ke belakang untuk memberi ruang gerak.
"Tidak perlu! Kalian bantu merawat luka Jatmika. Aku masih mampu menghadapi mereka!"
"Baiklah...," sahut Banuwirya.
Tanpa banyak kata lagi Dipayana dan Banuwirya melangkah mundur. Mereka yakin akan kemampuan gadis itu, meski menghadapi lima orang sekaligus.
Memang, keyakinan itu bukan tanpa alasan. Dengan sekali bergerak menyerang, buktinya gadis itu kini berhasil menghajar Surokatil sampai kelabakan. Pedang di tangan murid Perguruan Pedang Kilat itu terpental. Bahkan dengan jungkir balik, dia harus menghindari tebasan-tebasan senjata Imas Pandini. Padahal pada saat yang sama, keempat kawannya berusaha mendesak. Tapi ketika gadis itu berbalik tiba-tiba, maka yang terjadi malah sebaliknya.
Trang! Cras! "Uhhh...!"
Dua kawan Surokatil mengeluh tertahan. Pedang mereka terpental dihantam senjata Imas Pandini. Bahkan ujung pedang itu terus meluncur deras, melukai dada tanpa bisa dielakkan. Masih untung gadis itu tidak bertindak kejam. Kalau mau, rasanya dada mereka akan robek hingga membuat tulang rusuk patah. Meski begitu dua murid Perguruan Pedang Kilat yang lainnya kelihatan tidak gentar. Mereka malah menyerang semakin kalap.
"Kurang ajar! Kau harus membalasnya. Perempuan Busuk!" bentak seorang murid Perguruan Pedang Kilat.
"Huh!"
Imas Pandini hanya mendengus pendek, dan bersiap menyambut serangan dengan menyilangkan pedang.
? *** Sementara Surokatil tidak tinggal diam. Dia langsung ikut membantu kedua kawannya dalam menyerang Imas Pandini.
"Heaaat...!"
Tring! Trang! Namun meski telah mengerahkan seluruh kemampuan yang dimiliki, tetap saja kelima murid Perguruan Pedang Kilat tidak mampu mendesak. Apalagi, menjatuhkan gadis itu. Bahkan dengan cepat keadaan berubah.
Pedang di tangan Imas Pandini bergerak cepat secara tidak terduga. Gerakan ini membuat dua murid Perguruan Pedang Kilat terkejut. Mereka berusaha menghindar, namun dengan cepat senjata gadis itu menghantam pedang-pedang mereka.
Trang! Trang! Pedang-pedang itu terlepas dari genggaman. Gerakan Imas Pandini tidak cukup sampai di situ. Karena secepat itu pula, ujung pedangnya sudah menyambar ke tenggorokan.
"Hiiih!"
Melihat kedua kawannya terdesak, Surokatil coba membantu dengan menyerang dari belakang. Tapi mudah sekali Imas Pandini mengelak dengan membungkuk sambil bergeser ke kiri. Saat itu juga pedangnya berkelebat menyambar Surokatil.
Cras! "Aaakh...!"
Surokatil menjerit kesakitan begitu ujung pedang Imas Pandini merobek kulit perutnya. Pada saat yang sama, gadis itu telah melepaskan satu tendangan berputar.
Duk! "Aaah...!"
Kembali terdengar jeritan tertahan dari satu murid Perguruan Pedang Kilat ketika satu tendangan keras Imas Pandini tepat menghantam mukanya.
"Ayo, ke sini kau!" bentak Imas Pandini pada lawan berikutnya yang belum terkena hajarannya.
Orang yang dibentak memandang ke arah gadis itu dan kawannya bergantian. Nyalinya agak ciut. Tapi, dia malu menunjukkannya di depan keempat kawannya. Tapi kalau menyerang gadis ini, maka nasibnya tidak jauh berbeda dengan kawan-kawannya itu. Dia hanya maju mundur sambil menimang-nimang pedang.
Dan sebelum ada yang memulai, mendadak berkelebat satu sosok berpakaian serba hitam. Begitu cepat gerakannya, sehingga tahu-tahu sudah berada di depan Imas Pandini.
"Den Santang Praja...!"
Begitu melihat siapa yang datang, Surokatil dan kawan-kawannya berseru girang.
Sementara, pemuda yang memiliki dahi lebar dan memakai ikat kepala merah itu memandang sinis pada Imas Pandini setelah melirik sekilas pada Surokatil dan keempat kawannya.
"Mereka telah menganiaya kami. Den...!" lapor Surokatil.
"Dasar bangsat! Kalianlah yang lebih dulu buat gara-gara, lalu memancing-mancing kemarahanku. Dan kini kalian hendak mengadu yang bukan-bukan! Apa kau kira aku takut dengan majikanmu itu, he"!" dengus Imas Pandini garang.
"Tidak usah membela diri, Imas. Bukti yang kulihat sudah jelas!" sahut pemuda bernama Santang Praja, dingin.
"Lalu, apakah kau tidak melihat bukti yang menimpa murid ayahku" Kalian memang pandai mencari gara-gara!"
"Jaga mulutmu!" sentak Santang Praja.
Sepasang mata pemuda itu melotot lebar. Gerahamnya berkerotokan, menahan amarah.
"Hei, Santang Praja! Pertarungan antara perguruan kita tinggal beberapa hari lagi saja. Tapi kalau kau ingin mempercepatnya sekarang, jangan kira kami akan mundur!"
"Perempuan busuk! Kau kira aku tidak berani membunuhmu sekarang juga"!" dengus Santang Praja.
"Laki-laki bajingan! Tidak usah banyak bicara. Cabut pedangmu. Dan kita tentukan sekarang juga!" balas gadis itu dengan suara tidak kalah sengit.
Sraaang! Santang Praja agaknya benar-benar tidak bisa menguasai amarah. Maka seketika pedangnya dicabut dan siap menyerang Imas Pandini. Tapi saat itu juga niatnya diurungkan ketika tahu-tahu ada satu sosok berlari ke arah murid-murid Perguruan Rebung Koneng.
Begitu tiba, jelaslah siapa yang datang. Ternyata seorang laki-laki berusia sekitar enampuluh tahun lebih. Kumisnya tipis, namun sudah berwarna putih. Kepalanya berikat kuning. Tubuhnya sedang dan tidak terlalu besar. Tangan kirinya terlihat menggenggam sebatang pedang bergagang kuning emas.
"Huh...!"
Melihat kedatangan laki-laki itu dengan mendengus sinis Santang Praja mengajak Surokatil dan yang lainnya berlalu dari tempat itu.
Sementara orang yang baru datang itu tidak berkata apa-apa. Dan matanya hanya memandang sekilas seraya menarik napas panjang. Kemudian didekatinya Imas Pandini.
"Apa yang telah terjadi" Kenapa kalian terlibat bentrokan dengan mereka?" tanya laki-laki tua itu.
"Mereka yang buat gara-gara lebih dulu, Ayah! Tanyakan saja pada Banuwirya," sahut Imas Pandini masih memendam perasaan jengkel terhadap pemuda tadi.
"Benar begitu, Banuwirya?"
"Benar, Guru! Mereka yang memulai lebih dulu," sahut Banuwirya.
Kemudian pemuda itu menceritakan persoalan yang sebenarnya terjadi dari awal.
Orang tua itu mengangguk, lalu kembali menarik napas panjang.
"Mugeni tentu tidak akan menerima begitu saja.... Tapi, sudahlah! Ayo kita pulang...!"
"Tidak usah khawatir. Ayah! Kalau memang mencari gara-gara, sambut saja tantangan mereka!" dengus Imas Pandini.
"Pertarungan itu kian dekat. Dan kalau bisa, Ayah ingin agar itu tidak terjadi. Namun dengan adanya kejadian tadi, tentu semakin membuat mereka bertambah marah."
"Huh! Apa hebatnya mereka"! Ayah tidak usah terlalu lemah, sebab mereka akan menganggap kita penakut!"
"Bukan itu yang Ayah pikirkan. Tapi, permusuhan ini tidak ada gunanya sama sekali...."
"Kita sudah cukup menawarkan persahabatan. Tapi, mereka malah menganggap kita kalah dan penakut! Kalau sudah begitu, sekalian saja hadapi. Apa mau mereka sebenarnya!"
Orang tua yang sebenarnya Ketua Perguruan Rebung Koneng itu terdiam. Agaknya, dia tahu kalau jiwa putrinya tengah diamuk amarah. Sehingga, tidak ada gunanya membicarakan permusuhan di antara dua perguruan itu.
*** ? 2 ? "Kurang ajar...!"
Bruak! Sebuah meja bundar hancur dengan sekali gebrak, dihantam tangan kekar milik seorang laki-laki yang berusia sekitar enampuluh lima tahun. Dia lantas berjalan mondar-mandir menelusuri ruangan besar ini dengan kedua tangan masih terkepal. Sepasang matanya lebar, mukanya berkerut menahan amarah.
Sementara enam orang lain yang juga ada di ruangan ini hanya bisa menundukkan kepala tanpa ada yang berani mengangkatnya.
"Santang Praja! Benar apa yang dikatakan Surokatil"! Hm... kalau benar agaknya mereka sengaja mencari permusuhan dengan kita!" desis laki-laki tua berjubah hitam, dengan rambut putih yang panjangnya sebahu.
"Benar, Ayah! Mereka memang cari gara-gara!" sahut pemuda yang dipanggil Santang Praja.
Memang, orang tua berambut panjang sebahu adalah Ketua Perguruan Pedang Kilat yang dikenal dengan nama Ki Mugeni. Sedang pemuda yang dipanggil Santang Praja adalah putranya. Rupanya, Santang Praja bersama lima muridnya segera melapor kepada Ki Mugeni, tentang kejadian pagi tadi.
"Apa maunya tua keparat itu?"
"Kenapa Ayah masih bertanya-tanya lagi" Sudah jelas mereka hendak menunjukkan pada kita, bahwa perguruan merekalah yang lebih hebat!" sahut Santang Praja memanasi.
"Keparat!" maki Ki Mugeni kembali.
"Ayah tidak bermaksud menuntut balas terhadap kekurangajaran mereka" Coba lihat! Surokatil dan kawan-kawannya terluka. Ini akibat perbuatan anak perempuannya yang tidak tahu adat itu!" jelas Santang Praja, berusaha meyakinkan.
"Akan kuhabiskan mereka di arena pertarungan nanti!"
"Hm, terlalu lama. Perbuatan mereka hari ini tidak mendapat balasan apa-apa dari kita. Jangan-jangan mereka akan besar kepala. Bahkan menganggap kita sekumpulan orang penakut!" lanjut pemuda itu terus memanas-manasi orangtuanya.
"Tua bangka itu tidak akan berani berkata demikian, Santang!"
"Kenapa tidak" Bahkan tadi kata-katanya menjurus ke arah itu...."
"Apa katamu, Santang" Benar dia berkata seperti itu?"
"Kenapa aku mesti berdusta...?" sahut Santang Praja enteng.
"Keparat! Tua bangka itu memang tidak bisa diberi hati!" geram Ki Mugeni dengan sepasang mata semakin melotot.
"Nah! Sekarang, Ayah baru bisa merasakan apa yang kurasa saat ini. Mereka memang tidak bisa diberi hati."
"Huh! Sekarang juga siapkan murid-murid lainnya! Kita hajar mereka!" dengus Ki Mugeni, kalap.
"Sebentar, Ayah! Aku ada rencana yang lebih matang."
"Apa" Lekas katakan!" desak Ki Mugeni.
"Bukankah hari ini Kakang Brajadenta akan kembali bersama gurunya?"
"Hm, ya! Lalu?"
"Kami akan menjemputnya beramai-ramai."
"Apa hubungannya dengan rencanamu itu?"
"Aku dengar, si Baladewa hari ini pulang dari bepergian. Kami akan menyergapnya. Dan pasti Ketua Perguruan Rebung Koneng akan melihat anaknya pulang dengan tubuh babak belur! Kemudian, setelah itu kami pergi menjemput Kakang Brajadenta. Sehingga mereka tidak bisa menyalahkan kita. Sebab, Ayah bisa memberi alasan bahwa kami pergi ke tempat lain," jelas Santang Praja.
"Memalukan! Kau hendak mengeroyok anak itu"!"
"Aku pun sanggup menghajarnya seorang diri, bila Ayah menginginkan begitu!"
Ki Mugeni terdiam, seperti tengah berpikir.
"Kami akan mengenakan topeng, sehingga dia tidak mengenali. Sehingga pekerjaan menjadi cepat tanpa diketahui orang lain. Bisa saja aku menghadapinya seorang diri. Tapi kalau tiba-tiba ada yang melihat dan membantunya atau memisahkan kami, maka rencana untuk mempermalukan orangtuanya tidak tercapai. Lagi pula, belum tentu dia pulang seorang diri...," jelas pemuda itu, membujuk ayahnya.
"Anak itu tidak bodoh. Dia pasti akan mengenali jurus-jurus yang kalian mainkan...," sahut Ki Mugeni.
Suara orang tua berjubah hitam itu terdengar sumbang. Satu sisi rencana Santang Praja disetujuinya. Namun di sisi lain, Ki Mugeni bukanlah tokoh sesat. Dan dia tahu betul kalau pengeroyokan bukanlah tindakan seorang ksatria. Tapi, lebih tepat disebut sebagai perbuatan pengecut.
"Tidak! Ayah terlalu memandang tinggi pada mereka. Kalau jurus-jurus kita bisa dikenali sudah tentu sejak dulu tua bangka itu akan mengajarkan murid-muridnya untuk mengatasi jurus-jurus kita. Tapi nyatanya, toh mereka tetap saja bisa kita kalahkan!" kilah Santang Praja.
Ki Mugeni kembali terdiam. Meski putranya berusaha membujuk, tapi hatinya lebih berat untuk menyatakan tidak setuju.
"Ayah rasa tidak perlu! Pergilah kau menjemput Brajadenta. Dan, bawa beberapa orang murid. Tidak perlu kalian mencegat Baladewa. Ayah akan datang sendiri menemui Sanjaya untuk menanyakan persoalan ini!" ujar orang tua itu menegaskan.
"Tapi, Ayah...."
"Tidak perlu membantah, Santang! Kerjakan saja tugasmu!" sentak Ki Mugeni.
"Baiklah," desah pemuda itu.
Santang Praja kesal bukan main, karena orang-tuanya tidak mendukung rencananya. Meski begitu di hadapan Ketua Perguruan Pedang Kilat ini dia sama sekali tidak bisa membantah!
? *** Siang ini udara terasa panas dan kering. Matahari bersinar garang, membuat padang rumput mulai meranggas. Namun, itu semua tidak menghalangi langkah seekor kuda coklat dengan seorang pemuda di atas punggungnya. Jalan yang dilalui lebih singkat dan cepat. Namun pemuda berbadan tegap dengan ikat kepala warna kuning itu sengaja berbelok dan mengambil jalan lain. Yaitu, lewat pinggiran hutan kecil. Di situ lebih teduh dan nyaman. Sepanjang perjalanan pepohonan yang berdaun lebat akan memayunginya.
Wajah pemuda berpakaian kuning itu tampak keruh. Beberapa kali keringat yang bercucuran diseka dengan punggung tangannya. Agaknya, dia telah melakukan perjalanan cukup jauh yang amat melelahkan. Demikian pula kuda tunggangannya. Sesekali hewan itu mendengus-dengus kelelahan. Baru saja pemuda berbaju kuning menelusuri jalan tepian hutan, mendadak....
"Hup!"
"Heh"!"
Pemuda itu kontan terkejut ketika di depannya meloncat beberapa sosok tubuh dari cabang-cabang pohon, langsung menghadang perjalanannya. Kemudian menyusul beberapa orang lagi dari belakang. Rata-rata mereka bersenjata pedang dan memakai penutup muka warna hitam, seperti baju yang dikenakan.
"Berhenti kau...!" bentak salah seorang berpakaian hitam yang berada paling depan.
"Siapa kalian" Dan, apa yang kalian kehendaki dariku?" sahut pemuda itu berusaha menenangkan diri.
"Kau tidak perlu tahu, siapa kami! Yang kami inginkan adalah kepalamu!"
"Hm.... Bila kalian rampok, aku tidak punya sesuatu yang berharga selain nyawaku. Dan kalau itu yang kalian inginkan, maka tak semudah itu kalian merampasnya," dengus pemuda berbaju kuning itu lantang.
"Bocah sombong! Kau akan mampus sekarang juga!"
Sring! Orang yang bertopeng yang berada paling depan membentak nyaring. Dan setelah pedangnya dicabut, dia melompat menyerang pemuda berbaju kuning ini.
"Heaaat...!"
"Huh!"
Tapi pemuda berbaju kuning itu tidak kalah sigap. Dengan gerakan indah dan cepat, dia melompat dari punggung kudanya sambil mencabut pedang. Begitu kakinya mendarat di tanah, langsung dipapaknya serangan itu.
Trang! Begitu habis berbenturan pedang, orang-orang bertopeng lainnya segera ikut melompat menyerang.
Namun begitu pemuda berbaju kuning itu sama sekali tidak gentar. Sambil mengerutkan rahang, pedangnya diayunkan disertai segenap kelincahan yang dimiliki.
Lewat beberapa jurus, agaknya pemuda berbaju kuning itu masih mampu menahan serangan-serangan. Namun melewati jurus kesembilan, dia tampak terdesak hebat.
Ternyata orang-orang bertopeng kain hitam itu bukan semacam kawanan rampok berilmu rendah. Kepandaian mereka rata-rata hebat dan tidak berada di bawahnya. Sehingga meski telah mengerahkan segenap kemampuan, tetap saja pemuda itu terus terdesak. Bahkan....
Cras! "Akh...!"
Pemuda berbaju kuning itu mengeluh tertahan ketika salah satu senjata orang bertopeng berhasil melukai lengan kirinya. Namun begitu, dia masih mampu membungkuk. Sehingga serangan selanjutnya yang datang dari belakang, dapat dihindarkan. Demikian pula tebasan pedang yang datang dari kanan pun mampu dielakkan dengan melompat ke kiri sambil menangkis tusukan dari seorang yang berada di depan!
Tring! Namun baru saja menangkis, orang bertopeng yang berada di sebelah kiri mengayunkan tendangan keras ke perut. Begitu cepat gerakannya, sehingga....
Begkh! "Aaakh...!"
Tendangan itu tidak mampu dielakkan pemuda berbaju kuning ini. Dia kontan menjerit keras dan terhuyung-huyung ke belakang.
Pada saat pemuda itu terhuyung-huyung dua orang bertopeng telah menyerang kembali. Dengan cepat dia menangkis salah satu serangan berupa kibasan tangan.
Plak! Namun satu sodokan berupa tendangan bertenaga dalam kuat tak mampu dielakkan lagi.
Pemuda berbaju kuning kontan terpekik. Tulang pinggangnya terasa patah akibat tendangan tadi.
"Kau rasakan hajaran kami, Bocah!" teriak salah seorang bertopeng hitam seraya melompat. Langsung dihajarnya pemuda berbaju kuning yang tengah terhuyung-huyung ke depan.
Des! "Hugkh...!"
Pemuda berbaju kuning itu mengeluh kesakitan. Tubuhnya terjungkal ke depan ketika satu tendangan menghantam tengkuknya. Belum lagi dia menguasai diri, maka satu tendangan lagi menghajar dadanya.
Dugh! Dan berikutnya pemuda itu menjadi bulan-bulanan. Tanpa mempedulikan jerit kesakitan yang berkali-kali keluar, orang-orang bertopeng itu terus menghajarnya tanpa belas kasihan sedikit pun. Namun....
"Aaah...!"
"Heh"!"
Mendadak mereka menghentikan siksaan itu ketika terdengar jerit kesakitan lain. Dan tahu-tahu salah satu orang bertopeng terpelanting, terjungkal mencium tanah.
? *** Tidak jauh di depan pemuda berbaju kuning, berdiri seorang pemuda tampan berbaju rompi putih. Di punggungnya tersandang sebilah pedang berhulu kepala burung rajawali.
"Siapa kau, Keparat!" bentak salah satu orang bertopeng garang.
"Kau tidak perlu tahu siapa aku. Yang jelas, aku paling tidak suka melihat pengecut-pengecut seperti kalian melakukan perbuatan rendah di depanku...," sahut pemuda berbaju rompi putih itu.
Pendekar Rajawali Sakti 163 Cakar Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kurang ajar! Rupanya kau belum tahu siapa kami, he"!"
"Aku tahu, kalian hanyalah pengecut hina," jawab pemuda berbaju rompi putih itu, enteng.
"Setan!"
Orang-orang bertopeng itu menjadi geram. Amarah mereka kian menggelegak dalam dada.
"Tidak usah banyak bicara! Bereskan dia!" teriak orang bertopeng lainnya.
Serentak, orang-orang bertopeng itu langsung mengepung pemuda berbaju rompi putih seraya menghunus senjata masing-masing.
"Dasar pengecut, tetap saja pengecut! Majulah. Tidak usah ragu-ragu!" dengus pemuda berbaju rompi putih yang tak lain Rangga alis Pendekar Rajawali Sakti.
"Yeaaa...!"
Serentak orang-orang bertopeng kain hitam itu menyerang Pendekar Rajawali Sakti dengan gencar. Namun dengan hanya meliuk-liukkan tubuhnya, Rangga mampu menghindari serangan. Tubuhnya berkelit di antara kelebatan senjata lawan-lawannya. Bahkan dengan sekali gebrak, orang-orang bertopeng itu dibuat kalang-kabut!
"Heaaat!"
Wuuut! Dua batang senjata orang-orang bertopeng menyambar leher dan pinggang. Namun dengan gesit Pendekar Rajawali Sakti melompat ke atas menghindarinya. Dan setelah berjumpalitan, tubuhnya menukik tajam sambil mengayunkan tendangan.
Duk! Des! "Akh...!"
Dua orang kontan terjungkal dengan beberapa buah gigi rontok saat tendangan itu menghantam rahang bawah.
Pendekar Rajawali Sakti tidak berhenti sampai di situ. Tubuhnya langsung berkelebat menghampiri orang bertopeng yang berada di depan. Seketika tubuhnya berputar, lalu menghantamkan kepalan tangannya. Pada saat yang bersamaan, kaki kanannya berputar dan menghajar dua orang yang berada di sebelah kanan.
Pak! Tak! "Akh...!"
Tiga orang bertopeng kembali terjungkal disertai jerit kesakitan.
"Bajingan...!" maki salah satu orang bertopeng yang bertubuh tegap.
Kepandaian orang ini kelihatan di atas orang-orang bertopeng lainnya. Permainan pedangnya pun terhitung hebat. Namun begitu, tetap saja dia tidak mampu mendesak Pendekar Rajawali Sakti.
Wuuut! Plak! Pedang orang bertopeng yang bertubuh tegap menyambar tempat kosong, begitu Pendekar Rajawali Sakti membungkuk. Bahkan Rangga kemudian bergerak cepat mendekatinya. Namun, orang bertopeng itu menyodokkan kepalan tangan kanannya. Seketika, Rangga menangkapnya dan menarik ke belakang dengan keras.
"Hih!"
Saat itu juga, Rangga menghantamkan sikut kanannya ke leher orang itu.
Des! "Akh...!"
Baru saja orang itu menjerit, dengan cepat Rangga menyambar topeng yang dikenakan.
Brettt! Seketika, wajah orang itu terlihat jelas. Dan sebelum sempat berbuat apa-apa, Rangga telah menelikung sebelah tangannya ke belakang.
"Berontaklah yang kuat kalau ingin lenganmu patah!" ancam Pendekar Rajawali Sakti ketika merasakan orang itu berusaha melepaskan diri.
"Aaakh!"
Orang itu memekik kesakitan ketika Rangga bermaksud membuktikan kata-katanya.
Melihat seorang berhasil diringkus Pendekar Rajawali Sakti, yang lainnya tidak berani bertindak. Dari sorot mata dan sikapnya, terlihat mereka ragu-ragu bertindak.
"Hm.... Rupanya aku tidak salah pilih. Kau kepala komplotan ini, bukan?" tanya Rangga tersenyum dingin.
"Huh! Apa pedulimu?"
"Orang sepertimu, baiknya memang cepat-cepat mampus!" dengus Pendekar Rajawali Sakti.
Mendengar kata-kata Pendekar Rajawali Sakti sebenarnya nyali orang itu kecut dan ciut. Namun hal itu tidak ditunjukkannya. Dia malah mendengus sinis.
"Huh! Kau kira aku takut mati?"
"Berarti kau tidak takut mati" He, bagus sekali! Kalau begitu, biar kawanmu yang akan menggorok lehermu!"
Orang ini terdiam. Namun, tetap menunjukkan muka sinis.
"Kemari kau!" tunjuk Rangga pada salah seorang kawanan bertopeng.
"Kenapa kalian diam" Ayo, bunuh dia!" sentak pemuda bertubuh tegap yang tengah diringkus Pendekar Rajawali Sakti.
"Tapi..."
"Jangan pedulikan aku! Serang dia! Bunuh...!"
Meski ragu-ragu, namun akhirnya mereka bergerak juga hendak menyerang.
"Heaaa...!"
"Hm.... Apakah kalian juga ingin mengiringi kematiannya"!" kata Pendekar Rajawali Sakti seraya memungut pedang lawannya.
Wuuut! Trang! Trak! Tanpa bergeser dari tempatnya, pemuda itu menangkis serangan lawan-lawannya. Bahkan mampu mematahkan beberapa batang pedang. Dan....
Bret! "Aaakh...!"
Dua orang bertopeng kembali menjerit kesakitan. Ujung pedang di tangan Rangga berhasil melukai dada mereka. Bukan hanya itu. Senjata di tangan pemuda berbaju rompi putih itu pun berhasil merobek topeng yang dikenakan.
"Inikah wajah-wajah pengecut itu" Kenapa kalian bersembunyi di balik topeng ini" Atau karena malu pada diri sendiri, karena bertindak pengecut"!" ejek pemuda yang selalu mengenakan baju rompi putih itu.
Sebagai jawabannya, justru orang-orang bertopeng lainnya menyerang dengan ganas. Kalau tadi mereka sedikit ragu-ragu, karena takut bila kawannya yang diringkus digunakan sebagai tameng. Tapi ternyata hal itu tidak dilakukan Pendekar Rajawali Sakti. Sehingga, mereka tidak merasa khawatir akan keselamatan kawannya.
"Heaaat...!"
Melihat itu, Pendekar Rajawali Sakti kelihatan gusar. Ditotoknya orang yang ditelikungnya tadi, hingga tak berdaya. Lalu dengan gerakan dahsyat Rangga melompat menghadapi lawan-lawannya.
Trang! Trak! "Uh...!"
Pedang di tangan Pendekar Rajawali Sakti, menyambar senjata-senjata lawan hingga patah atau terpental. Kemudian secepat kilat, pedang itu menyambar ke arah mereka.
Orang-orang bertopeng itu kontan pontang-panting menghindarkan diri. Tiga orang berhasil dilukai Pendekar Rajawali Sakti. Meski tidak parah, namun cukup membuat ciut nyali yang lainnya. Apalagi pada waktu singkat, kembali dua kawannya yang lain mendapat giliran.
Trak! Bret! "Aaakh...!"
Setelah mematahkan pedang mereka, maka senjata di tangan Pendekar Rajawali Sakti menyambar ke dada lawan-lawannya. Keduanya memekik kaget dan kesakitan.
Melihat hal ini yang lain tidak lagi menyerang. Mereka diam terpaku dengan sikap ragu-ragu.
"Pergilah. Dan, bawa kawan kalian itu! Hari ini masih kuampuni jiwa busuk kalian!" hardik Pendekar Rajawali Sakti, mengancam.
Tanpa menunggu lama-lama lagi, mereka segera angkat kaki seraya membawa kawannya yang tertotok.
*** ? 3 ? Setelah memanggil kudanya dengan satu siulan, Pendekar Rajawali Sakti menghampiri pemuda berpakaian kuning yang tadi dikeroyok kawanan bertopeng itu. Tepat ketika kuda hitam bernama Dewa Bayu muncul, Rangga menyandarkan pemuda yang ditolongnya di bawah sebatang pohon. Kuda Dewa Bayu tampak mendengus-dengus sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Pendekar Rajawali Sakti, sambil berjongkok di depan pemuda itu.
"Eh, tidak. Aku masih kuat bertahan...," sahut pemuda berbaju kuning itu sambil meringis, menahan sakit.
"Siapa namamu?" tanya Rangga lagi.
"Baladewa...."
"Aku Rangga."
"Terima kasih atas pertolonganmu. Kau hebat sekali. Aku yakin, kau bukan tokoh sembarangan," ucap pemuda yang ternyata bernama Baladewa.
"Aku hanya pengembara biasa," sahut Rangga, sambil tersenyum.
"Dari pakaian dan penampilanmu, rasanya kau bukan pengembara biasa. Kau pasti salah seorang pendekar hebat. Kalau boleh tahu, siapa kau ini sebenarnya" Dan, apa julukanmu dalam dunia persilatan."
Rangga sebenarnya enggan menyombongkan diri dengan menyebut julukannya. Tapi Baladewa terus memaksa. Sehingga, dia terpaksa menyebutkannya.
"Pendekar Rajawali Sakti"! Oh! Apakah aku tidak salah dengar"!" seru Baladewa kaget dengan bola mata terbelalak.
"Kenapa, Baladewa" Tidak ada yang ajaib dari julukan itu, bukan?"
"Ah! Kau terlalu merendah, Pendekar Rajawali Sakti! Benar dugaanku. Kau memang bukan tokoh sembarangan. Julukanmu menjulang setinggi Gunung Mahameru. Dan aku hanya seperti seekor semut di depanmu!"
"Jangan berkata begitu, Baladewa. Aku sama sepertimu. Dan, panggillah aku Rangga," pinta Pendekar Rajawali Sakti penuh harap.
"Tidak, Pendekar Rajawali Sakti! Kepandaianmu lebih tinggi dibandingkan denganku. Terimalah rasa hormatku!" ucap Baladewa seraya menjura hormat.
Tapi Rangga buru-buru mencekal kedua bahu Baladewa.
"Apa-apaan ini" Jangan keterlaluan, Baladewa. Jangan berlebihan menghormatiku...."
"Aku sering mendengar cerita tentangmu dari orang-orang. Juga dari ayahku sendiri. Sejak itu rasanya aku ingin bertemu denganmu, Pendekar Rajawali Sakti. Tapi, kata orang-orang kau sulit ditemui."
"Tapi nyatanya hari ini kau bertemu denganku."
"Ya. Dan aku senang sekali!"
"Tapi, aku tidak bisa berlama-lama, Baladewa."
"Sayang sekali. Padahal aku ingin minta pertolonganmu."
"Pertolongan apa?"
"Maukah kau membantu kami memerangi mereka?"
"Mereka siapa yang kau maksud?"
"Orang-orang tadi."
"Kau mengenal mereka?"
Baladewa mengangguk.
"Semula aku tidak tahu, sebab mereka yang menyerangku bertopeng. Tapi setelah kau mencopot topeng salah seorang, aku jadi tahu siapa mereka...."
"Siapa mereka sebenarnya" Dan ada masalah apa kau dengan mereka hingga timbul kejadian tadi"!" desak Rangga.
"Mereka murid-murid Perguruan Pedang Kilat yang dipimpin Ki Mugeni. Yang tadi kau ringkus dan kau totok adalah putra bungsunya. Namanya, Santang Praja. Antara perguruan mereka dengan perguruan yang dipimpin ayahku, telah lama terjadi permusuhan. Adapun maksud kejadian tadi, aku sama sekali tidak tahu-menahu. Aku baru pulang dari mengunjungi salah seorang kenalan ayahku. Dan tiba-tiba, mereka mencegat begitu saja," jelas Baladewa.
Rangga mengangguk mendengar penjelasan itu.
"Ini persoalan antar perguruan kalian dengan mereka. Aku tidak bisa memihak salah satu perguruan sebelum tahu benar persoalannya. Dan untuk itu, aku tidak bisa menolongmu, Baladewa."
"Selama ini ayahku sudah sering mencoba berdamai. Tapi, mereka menolak dan menganggap kami penakut. Sudah barang tentu penghinaan itu membuat murid-murid ayah berang. Lalu secara diam-diam, mereka menantang murid-murid Perguruan Pedang Kilat. Tapi, sesungguhnya mereka mengharapkan hal itu. Orang-orang Perguruan Pedang Kilat sengaja memanas-manasi dan mencari-cari persoalan untuk membuat kami marah. Tolonglah, Pendekar Rajawali Sakti! Dengan adanya kau, tentu mereka tidak berani macam-macam lagi," lanjut Baladewa.
"Maaf, Baladewa. Persoalan tidak sesederhana itu. Bukan aku tidak mempercayaimu. Tetapi rasanya aku perlu bicara dengan mereka," sergah Rangga halus disertai senyum manis.
"Mereka pandai sekali bersilat lidah! Bahkan banyak di antara kawan-kawan ayahku yang telah dipengaruhi, dan tidak mau berpihak pada ayahku lagi. Mereka semua memberi dukungan pada Perguruan Pedang Kilat!" tambah Baladewa berapi-api.
"Apakah Demikian pintarnya orang-orang Pedang Kilat itu, sehingga hampir semua kawan ayahmu berpihak pada mereka?" tanya Rangga, sedikit tidak percaya.
Baladewa mendesah kesal.
"Agaknya kau tak percaya dan menganggap ceritaku bohong," keluh pemuda berbaju kuning ini.
"Tidak begitu, Baladewa. Tapi sepertinya, ini soal antara kalian berdua. Mungkin juga soalnya pribadi. Sehingga mana bisa aku ikut campur...."
Baladewa tersenyum getir. Hatinya masygul mendengar jawaban sahabat barunya.
"Agaknya mungkin telah ditakdirkan, bahwa kami akan menerima semua kekalahan dan rasa malu ini...," desah Baladewa, lirih.
? *** Rangga tersenyum sambil menepuk-nepuk bahu Baladewa.
"Mungkin masih ada jalan bagimu, Baladewa."
"Tidak. Besok adalah pertarungan di antara kami akan berlangsung. Hal ini telah disepakati kedua belah pihak, untuk menyelesaikan pertikaian yang selama ini terjadi. Ayah menyuruhku menemui beberapa kawan-kawannya untuk mencari dukungan. Tapi, mereka pura-pura tidak mau ikut campur. Padahal, sesungguhnya mereka telah memberi dukungan kepada Ki Mugeni...," jelas Baladewa, dengan suara penuh tekanan.
"Hm. Jadi di antara kalian akan terjadi pertarungan?"
Baladewa mengangguk.
"Apakah kalian tidak yakin bisa mengalahkan mereka?"
"Entahlah. Mungkin, sesuai yang telah direncanakan ayahku dan Ki Mugeni, pertarungan akan dilakukan secara jujur. Beberapa murid utama akan saling berhadapan. Dan aku sendiri mungkin akan berhadapan dengan Santang Praja. Tapi, ada hal yang membuat ayahku gelisah belakangan ini."
"Tentang apa?" tanya Rangga dengan kening berkerut.
"Ki Mugeni bukan saja mendapat dukungan dari beberapa tokoh persilatan. Tapi, juga mendapat bantuan khusus dari salah seorang tokoh sesat bernama Ki Rampengan," jelas Baladewa lagi. Terdengar serak suaranya.
"Ki Rampengan yang bergelar si Cakar Maut?" tanya Rangga, meyakinkan pendengarannya.
"Agaknya kau pun mengenal namanya...."
"Siapa yang tidak kenal tokoh itu. Dia amat terkenal dengan kehebatan jurus-jurus "Cakar Maut"nya."
"Ya! Itulah yang membuat ayahku masygul. Sebab, salah seorang putra Ki Mugeni yang bernama Brajadenta, adalah salah seorang muridnya."
"Apakah dia akan ikut bertarung juga?" tanya Rangga makin penasaran.
"Ya. Kabarnya, dia akan pulang hari ini bersama gurunya. Nanti, Brajadenta akan menghadapi kakakku Imas Pandini. Aku khawatir, kakakku akan celaka di tangannya," keluh Baladewa, lirih.
Untuk beberapa saat pemuda berbaju kuning itu menghentikan ceritanya. Dan dia lantas tertunduk.
Rangga bukannya tidak terhanyut oleh cerita kawan barunya ini. Bahkan kecemasan yang dibayangkan Baladewa bisa dimengertinya.
Namun ikut campur tangan kemudian membantu mereka seperti yang diinginkan Baladewa, rasanya tidak mungkin. Belum jelas benar persoalan di antara mereka. Dan, pihak siapa sebenarnya yang benar atau yang salah" Mungkin dua-duanya benar. Atau, sebaliknya. Kalau dia coba cari keterangan, bisa jadi bukan memperjernih persoalan. Bahkan memperkeruh keadaan.
"Ayo, ikut aku!" ajak Pendekar Rajawali Sakti seraya berdiri.
"Ke mana?" tanya Baladewa, ikut berdiri dengan sikap tak mengerti.
"Ikut saja!" desak Rangga, lantas berdiri. Segera diambilnya tali kekang Dewa Bayu, lalu menuntunnya.
Baladewa meski tidak mengerti apa yang diinginkan Pendekar Rajawali Sakti, menurut saja. Setelah menghampiri kudanya, segera diikutinya langkah Rangga.
Ternyata Rangga membawa Baladewa ke tempat yang agak terlindung, tak jauh dari tempat tadi. Kemudian di bawah sebatang pohon yang cukup rindang, mereka duduk. Disuruhnya Baladewa berbalik hingga memunggunginya.
"Lepaskan semua pikiran yang ada di benakmu. Dan, tahan agar kau tidak mengadakan perlawanan," lanjut Pendekar Rajawali Sakti seraya menempelkan telapak tangan kiri ke punggung Baladewa.
"Apa yang akan kau lakukan" Kau ingin menambah tenaga dalamku?" tanya Baladewa, seperti mengerti apa yang akan dilakukan Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti mengangguk, seraya menempelkan kedua telapak tangannya ke punggung Baladewa.
Wajah Baladewa berseri-seri. Pikirannya segera dipusatkan pada satu titik. Semua beban pikiran yang selama ini berkecamuk dalam benaknya dihilangkan. Maka perlahan-lahan tapi pasti, terasa mengalir hawa hangat yang berputar-putar cepat menuju bagian bawah pusarnya. Terasa bergolak seperti air yang tertuang dari sebuah wadah. Kemudian dari situ, memancar ke segala penjuru bagian tubuhnya dengan cepat.
Baladewa semula merasakan isi tubuhnya seperti disengat kalajengking. Kalau saja dia tidak ingat pesan Pendekar Rajawali Sakti, ingin rasanya menghalau rasa sakit yang terasa dalam tubuhnya. Tapi dia tahu akibatnya, yaitu tenaga dalam Pendekar Rajawali Sakti yang lebih kuat akan mendorong tenaga dalamnya. Dan itu akan berakibat sangat berbahaya bagi dirinya.
Beberapa saat kemudian, penderitaan Baladewa berakhir. Rangga menarik napas panjang, lalu mengatur pernapasannya untuk sesaat. Sedang Baladewa merasa tubuhnya segar dan enteng. Luka dan rasa sakit yang dideritanya tadi, seperti tidak terasakan lagi.
"Sekarang perlihatkan padaku jurus-jurus yang kau miliki. Akan kulihat kekurangan-kekurangannya. Kemudian akan kutunjukkan padamu, bagaimana cara memperbaikinya," ujar Pendekar Rajawali Sakti.
"Kau bersungguh-sungguh, Pendekar Rajawali Sakti"!" seru Baladewa seperti tidak percaya dengan pendengarannya.
"Jika kau memanggilku Rangga, aku akan bersungguh-sungguh," kata Pendekar Rajawali Sakti, mengajukan syarat, karena jengah dipanggil dengan sebutan Pendekar Rajawali Sakti.
"Baiklah, Pend... eh! Rangga!"
Tak lama, Baladewa mulai memperlihatkan jurus-jurus yang dimilikinya dari awal hingga akhir. Kemudian, setelah itu Rangga memberikan saran-saran perbaikan, setelah mengamatinya. Pendekar Rajawali Sakti pun memberikan beberapa gerakan yang mampu mengecoh tanpa disadari lawan.
? *** Santang Praja diam membisu. Tidak ada lagi alasan baginya untuk membela diri dari amarah Ki Mugeni, ayahnya. Masih untung saat itu, Ketua Perguruan Pedang Kilat ini kedatangan beberapa orang tamu. Kalau tidak, tentu putra bungsunya itu akan panas mendengar amarah dan makiannya.
"Sudahlah, Ki. Tidak perlu rasanya bersikap keras begitu pada anak. Lagi pula dia tidak terlalu salah," ujar salah seorang tamu yang bertubuh kurus dengan sorot mata tajam. Kulitnya yang hitam, semakin menambah keangkerannya.
"Bagaimana aku tidak kesal, Ki Rampengan" Padahal aku telah datang menemui Ki Sanjaya dan menyalahkan murid-muridnya. Tapi, kini malah putraku sendiri yang membuat ulah!" jelas Ketua Perguruan Pedang Kilat itu bersungut-sungut di ruang pribadinya.
Di tempat itu telah ada dua tokoh lainnya. Yang seorang bertubuh kurus berjanggut panjang telah memutih. Orang ini bernama Ki Sadang, bergelar Musang Berjanggut. Sementara seorang lagi memakai ikat kepala hitam. Tubuhnya sedang, namun berotot kuat. Namanya Ki Pintur, bergelar Serigala Jinak.
Di antara mereka, kelihatannya Ki Rampengan memang paling berpengaruh. Laki-laki ini adalah guru, bagi putra tertua Ki Mugeni yang bernama Brajadenta. Dia juga turut hadir di ruangan ini, bersama beberapa orang murid utama Perguruan Pedang Kilat.
Ki Mugeni menarik napas dalam-dalam, berusaha menahan amarahnya dalam menghadapi ketiga tamunya. Yang jelas dia tidak ingin kemarahannya pada Santang Praja sampai terbawa-bawa dalam pembicaraan nanti.
"Bagaimana rencana pertandingan esok hari, Ki Mugeni?" tanya laki-laki kurus berkulit hitam yang bernama Ki Rampengan.
"Telah kami sepakati bersama. Dan, tidak akan berubah."
"Siapa yang menjadi penengahnya?"
"Ki Selopati."
"Hm, Dewa Tangan Delapan...?" gumam Ki Rampengan.
"Benar, Ki."
"Bukankah menurutmu dia pernah hendak mendamaikan kalian berdua?"
"Ya! Aku menolaknya dengan mengemukakan alasan. Dan dia mengerti, hingga akhirnya bersedia menjadi penengah. Dia juga berjanji akan menjadi wasit yang adil dalam pertandingan besok," jelas Ki Mugeni.
"Mereka tidak pernah menghubunginya?"
"Pernah...."
"Menurutmu, dia condong berpihak ke mana?"
"Aku tidak melihat tanda-tandanya. Kelihatannya, Ki Selopati berusaha menjadi penengah yang baik."
Ki Rampengan terdiam beberapa saat. Sementara, semua pun terdiam, sehingga suasana jadi hening.
"Apakah Ki Rampengan bermaksud turun tangan dalam pertandingan besok?" tanya Ki Mugeni, memecahkan keheningan.
"Kalau tua bangka itu menyinggung-nyinggung kehadiranku, biar kujajal ilmunya!" sahut Ki Rampengan, mantap.
"Tidak usah, Ki. Biar dia menjadi bagianku," sela Ki Mugeni.
"Persoalan kalian, harus selesai esok hari. Bila tidak, maka bisa berkepanjangan!" tegas Ki Rampengan.
"Tentu saja, Ki. Telah lama hal ini kunanti-nantikan."
"Biar dia tahu diri, dan tidak jadi besar kepala!" timpal Ki Rampengan yang terkenal berjuluk si Cakar Maut.
"Siapa saja yang mendukung mereka?" tanya Ki Sadang.
"Sejauh ini belum ada," sahut Ki Mugeni.
"Menurut murid-murid ayah, mereka mencoba menghubungi beberapa kenalannya. Kebanyakan, mereka agaknya tidak bersedia ikut campur sebab menyadari bahwa ini persoalan pribadi," sahut Brajadenta yang sejak tadi diam saja.
"Rupanya mereka tahu diri, bahwa tidak ada gunanya membantu si Sanjaya itu!" sambung Ki Rampengan.
"Dengan begitu jalanmu akan mulus untuk memenangkan pertandingan besok, Ki Mugeni!" tambah Ki Sadang, memberi semangat.
"Terima kasih...."
"Dan kau, Brajadenta! Apakah yakin mampu mengalahkan putri si Sanjaya itu?" tanya Ki Rampengan.
"Akan kukalahkan dia dengan mudah!" sahut pemuda itu, mantap.
"Ha-ha-ha...! Tidak percuma kau menjadi murid si Cakar Maut!" seru Ki Mugeni disertai tawa bangga.
Mendengar pujian itu, Ki Rampengan tersenyum bangga.
"Dan Santang Praja?" tanya Ki Sadang.
Mendengar nama putranya yang seorang lagi disebut, senyum Ki Mugeni seketika hilang. Kekesalannya tadi, agaknya masih tersisa.
Santang Praja yang juga hadir di ruangan itu bukannya tidak menyadari kekesalan ayahnya. Sejak tadi kepalanya hanya menunduk saja.
"Aku tidak akan mengecewakan ayahku," desah Santang Praja, akhirnya.
"Kau harus mengalahkan lawanmu!" tandas Ki Rampengan.
"Ya!" sahut pemuda itu mengangguk.
"Kalau kau kalah darinya, lebih baik tidak usah menjadi anakku!" ancam Ki Mugeni.
Pemuda itu menunduk.
"Jangan terlalu keras, Ki. Santang Praja tidak mutlak salah...."
Mendengar pembelaan Ki Rampengan itu, Ki Mugeni agaknya tidak berusaha untuk terus memuntahkan kekesalannya. Terlebih lagi, ketika Brajadenta mencairkan suasana.
"Menurut Santang Praja, mereka bertemu seorang tokoh muda yang membela Baladewa. Apakah Ayah mengenalnya?"
"Tidak."
"Rasa-rasanya aku ingat tokoh yang diceritakan Santang Praja," sahut Ki Rampengan, sambil mengingat-ingat sesuatu.
"Siapa, Ki?" tanya Ki Sadang.
"Pendekar Rajawali Sakti! Ya! Dialah orangnya!" seru si Cakar Maut menegaskan.
"Pendekar Rajawali Sakti" Hm.... Pantas Santang Praja dan yang lain dibuat bulan-bulanan," gumam Brajadenta.
"Dia pendekar besar dan berkepandaian hebat. Kalau Baladewa meminta bantuannya, maka keadaan kita tidak akan menguntungkan," sambung Ki Sadang, masygul.
"Ki Sadang! Bicara apa, Kisanak"! Meski seribu Pendekar Rajawali Sakti yang membantu mereka, kita punya si Cakar Maut di sini. Apakah Kisanak hendak merendahkan beliau"!" seru Ki Mugeni kesal.
"Maaf, Ki Mugeni. Bukan maksudku merendahkan Ki Rampengan. Aku hanya sekadar menyampaikan, apa yang sering dibicarakan orang-orang."
"Berita terkadang terlalu dilebih-lebihkan. Dan kita tidak usah khawatir. Pendekar Rajawali Sakti hanya anak kemarin sore. Buat apa ditakutkan"!" sambung Ki Rampengan.
Nada bicara orang tua itu tampak sinis, dengan mata memandang tajam pada Ki Sadang. Sepertinya, dia tidak senang karena merasa dikecilkan.
Ki Sadang sendiri jadi salah tingkah, dan tidak enak hati. Namun dalam suasana seperti itu, lagi-lagi Brajadenta buka suara dan mencairkan suasana.
Meski bergurau pada si Cakar Maut yang penaik darah dan sering mau menang sendiri, ternyata tidak membuat pikiran Brajadenta sempit. Pemuda itu kelihatan pintar, dan pandai menciptakan suasana yang akrab. Sehingga pelan-pelan suasana yang tadi tegang, kembali seperti semula. Penuh persahabatan.
*** Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
English (UK) info ? 2017 " 163. Cakar Maut Bag. 4 - 6
January 18, 2015 at 7:10am
4 ? Bukan main cemas dan khawatirnya Imas Pandini, ketika menyongsong Baladewa di gerbang depan. Tampak wajah Baladewa masih terlihat memar, bekas luka.
"Siapa yang melakukan ini padamu?" tanya gadis itu.
"Sudahlah.... Aku tidak apa-apa," sahut Baladewa, berusaha menyembunyikannya.
Pemuda itu segera turun dari punggung kudanya. Kemudian salah seorang murid mengambil kudanya untuk dibawa ke dalam istal.
Sementara Imas Pandini agaknya masih penasaran. Segera diikutinya langkah adiknya yang langsung memasuki bangunan utama Perguruan Rebung Koneng.
"Mereka, bukan" Orang-orang Perguruan Pedang Kilat itu"!" tuding Imas Pandini yakin, sambil menjajari langkah Baladewa.
"Sudahlah.... Aku tidak merasakan apa-apa. Eh! Ada cerita menarik yang akan kuceritakan!" sahut Baladewa, kalem.
"Baladewa! Jangan mengalihkan perhatian! Ceritakan pada kami, siapa yang telah menganiayamu?"
Pemuda itu menarik napas panjang begitu tiba di ruangan besar tempat ayahnya menunggu. Diliriknya gadis itu beberapa saat. Kemudian kepalanya berpaling pada ayahnya yang duduk di kursi mengawasi mereka. Dan pemuda itu segera menjura memberi hormat pada Ki Sanjaya, Ketua Perguruan Rebung Koneng yang sekaligus ayahnya.
Kemudian Baladewa menceritakan semua yang terjadi terhadap dirinya, termasuk pertemuannya dengan Pendekar Rajawali Sakti. Semula semua yang mendengarkan tampak diliputi kegeraman. Namun ketika nama Pendekar Rajawali Sakti disebut-sebut, Ki Sanjaya langsung melengak kaget.
? *** "Pendekar Rajawali Sakti?" sebut Ki Sanjaya sedikit berseri wajahnya, begitu Baladewa selesai dengan ceritanya.
Sementara Imas Pandini serta murid-murid Perguruan Rebung Koneng lainnya yang hadir di ruangan ini, seperti hampir tak percaya mendengar cerita Baladewa.
"Iya. Memang dia! Hanya sayang. Pendekar Rajawali Sakti tidak bersedia membantu kita," sahut Baladewa cepat.
Seketika air muka pemuda itu muram ketika melanjutkan kata-katanya.
"Sudahlah. Kita akan menghadapi mereka dengan segala kemampuan yang dimiliki," desah Ki Sanjaya, berusaha menanamkan rasa percaya diri pada anak-anaknya dan murid-muridnya.
"Tapi dia memberiku pelajaran-pelajaran yang berharga, Ayah."
Kembali Baladewa menceritakan pengalamannya bersama Pendekar Rajawali Sakti.
"Wah! Kau sungguh beruntung, Baladewa!" seru salah seorang murid utama, setelah Baladewa menyelesaikan ceritanya.
Orang ini bernama Wiriaraja, salah seorang murid utama Ki Sanjaya.
"Ya! Kau sungguh beruntung!" sahut yang lain, bernada gembira.
Ki Sanjaya pun bukan tidak merasakannya. Sehingga wajahnya kian berseri-seri saja.
Pendekar Rajawali Sakti 163 Cakar Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dengan begitu, agaknya kau telah menjadi murid Pendekar Rajawali Sakti. Apakah kau tidak lupa tata krama menghormati guru?" tanya Imas Pandini.
"Tentu saja tidak! Aku menganggapnya sebagai guruku. Dan aku memberi hormat sebagaimana mestinya. Tapi dia menolak. Bahkan menganggapku sebagai kawan biasa saja," jelas Baladewa.
"Hm.... Dia adalah pendekar yang rendah hati," sambung Ki Sanjaya lirih.
Murid-murid Perguruan Rebung Koneng mengangguk membenarkan. Demikian pula Baladewa dan Imas Pandini.
? *** Malam telah semakin larut. Hampir semua penghuni Perguruan Rebung Koneng terlelap dibuai mimpi. Pekarangan kelihatan sepi. Dua orang murid tampak tengah berjaga di dekat pintu gerbang. Entah apa yang tengah dikerjakan dalam gubuk kecil yang digunakan sebagai pos kecil itu.
Di beranda depan bagian atas bangunan perguruan ini Ki Sanjaya menarik napas dalam-dalam dengan kedua tangan terlipat di dada. Tangan kanannya menggenggam sebilah pedang yang warangkanya terbuat dari bambu kuning. Lama dia termenung. Sesekali kepalanya mendongak ke langit, memandangi bintang-bintang yang berkelip-kelip. Kemudian kembali memandang kosong ke depan seraya menghela napas.
"Kenapa Ayah tidak tidur?"
Tiba-tiba sebuah suara mengagetkan orang tua berusia enampuluh empat tahun itu.
Orang tua itu berbalik. Dan dia tersenyum lebar melihat Imas Pandini berdiri. Kemudian, gadis itu mendekat.
"Tidak apa-apa. Ayah hanya belum mengantuk. Kau sendiri, kenapa belum tidur"!" tanya Ki Sanjaya, balik bertanya.
"Sama seperti Ayah. Aku pun belum mengantuk," sahut Imas Pandini, pelan.
Ki Sanjaya menarik napas panjang. Dipandanginya putrinya ini sesaat. Kemudian perhatiannya dialihkan pada bintang-bintang di langit.
"Ayah kelihatan gelisah," usik gadis itu.
"Kau melihatku begitu?" kata orang tua itu tersenyum, seraya memandang kembali pada putrinya.
"Ayah memikirkan pertarungan esok hari?" duga putrinya itu.
Ki Sanjaya kembali menarik napas panjang, kemudian mengangguk perlahan.
"Soal apa" Apakah Ayah tidak pasrah dengan apa yang akan terjadi esok hari?"
"Justru itu yang kupikirkan. Termasuk, kalian...."
"Kami baik-baik saja. Ayah tidak usah khawatir!"
"Entahlah, mereka cukup kuat. Aku khawatir, kalian tidak akan kuat menanggung malu menelan kekalahan," desah Ki Sanjaya, seperti hilang semangatnya.
"Kami telah pikirkan soal itu. Lagi pula Ayah tidak perlu berkecil hati. Bukankah kemajuan Baladewa amat pesat" Dia pasti mampu mengalahkan lawannya," tandas Imas Pandini.
"Mungkin saja. Tapi, kau sendiri...?"
"Aku tidak apa-apa. Aku siap menghadapi siapa pun!"
"Brajadenta bukan lawan ringan, Anakku. Dia murid si Cakar Maut. Sudah menjadi cerita sejak ratusan tahun lalu, jurus-jurus "Cakar Maut" tak tertandingi. Cepat dan kejam. Aku khawatir terjadi hal-hal buruk terhadapmu."
"Sebaiknya Ayah singkirkan jauh-jauh prasangka itu. Aku mampu menghadapinya, meski dia memiliki jurus-jurus pemberian dewa sekalipun!"
Ki Sanjaya tersenyum seraya memegang kedua . bahu putrinya.
"Kau masih hijau, Nak. Kau belum banyak tahu, bagaimana hebatnya jurus-jurus "Cakar Maut" yang telah menjadi cerita sejak dahulu, siapa pun yang menguasai jurus-jurus itu, selama ini belum terkalahkan. Kalau Brajadenta bisa menjadi murid Ki Rampengan, itu tidak lain karena di antara keluarga mereka ada hubungan saudara," jelas Ki Sanjaya.
"Demikian hebatnyakah jurus-jurus itu, sehingga tak ada yang mampu menandinginya?" tanya Imas Pandini.
"Bila dia telah mampu menguasai jurus-jurus puncak, maka orang itu akan berubah liar laksana iblis. Itulah sebabnya, maka jurus itu dikatakan jurus "Cakar Maut"."
"Menurut Ayah, apakah Pendekar Rajawali Sakti tidak mampu mengimbanginya?"
"Entahlah. Pendekar Rajawali Sakti memang hebat dan terkenal. Tapi selama ini antara keduanya belum pernah bentrok. Tapi kenapa kau tanyakan hal itu" Kita sudah tahu pendiriannya. Dan dia tidak ingin ikut campur dalam soal ini," ujar Ki Sanjaya.
"Ya! Aku tahu, Ayah," sahut Imas Pandini, lesu.
"Aku hanya merasa tidak enak, entah kenapa...," desah orang tua itu.
"Tentang apa, Ayah?"
"Mimpi yang mungkin hanya sekadar firasat."
"Mimpi apa, Ayah?"
Ki Sanjaya tidak langsung menjawab, melainkan kembali memalingkan wajahnya disertai tarikan napas panjang.
"Kulihat di sekeliling perguruan ini kabut hitam menyelimuti. Mayat-mayat berserakan di mana-mana. Kemudian kudengar tangismu yang amat memilukan. Mimpi ini terjadi tiga malam berturut-turut. Dan tadi, aku kembali bermimpi seperti itu," kata Ki Sanjaya.
Sesaat detak jantung gadis itu terasa berhenti mendengar penuturan ayahnya. Mimpi Ki Sanjaya seperti menjalar dari telinga langsung ke hati serta pikiran. Namun begitu dihirupnya udara dalam-dalam, seperti hendak memompakan kepercayaan diri dan menghibur ayahnya.
"Itu hanya mimpi, Ayah. Tak ada gunanya kita mempercayai kembang tidur. Sebab hanya merusak diri saja. Sudahlah, lebih baik ayah kembali tidur dan lupakan semua itu!"
"Itu bukan mimpi biasa, Anakku. Tiga kali berturut-turut aku bermimpi. Lebih mirip sebagai suatu isyarat atau pertanda. Lagi pula, setelah itu aku tidak bisa memejamkan mata. Mimpi itu terus terbayang."
Imas Pandini tidak tahu lagi harus bicara apa, mendengar kata-kata ayahnya.
"Lebih baik kau tidur. Jaga kesehatanmu. Sebab, esok kau harus bertanding," ujar Ki Sanjaya.
"Seharusnya Ayah yang mesti menjaga kesehatan. Ayah adalah penentu utama. Bila Ayah kalah, maka semangat yang lain akan turun."
"Ayah terbiasa tidak tidur malam. Dan itu sama sekali tidak mengganggu keadaan tubuhku."
"Apakah Ayah akan berdiam diri di sini sampai pagi?"
Sebelum orang tua itu menjawab, mendadak....
"Aaa...!"
"Heh"!"
Tiba-tiba terdengar jerit tertahan dari arah bawah sana. Tampak dua murid Ki Sanjaya yang berjaga di dalam pos dekat pintu gerbang, terjungkal roboh.
"Hup!"
? *** Ki Sanjaya cepat melompat ke bawah dengan gerakan ringan begitu matanya yang tajam melihat sesosok bayangan hitam hendak melompat keluar.
"Jahanam keparat! Kau kira bisa kabur seenaknya saja! Hih!" bentak Ki Sanjaya, langsung menarik keluar pedangnya.
Sring! Wuuut! Pedang di tangan Ki Sanjaya cepat sekali berkelebat, menyambar ke arah sosok bayangan itu.
Namun bayangan itu ternyata mampu menghindari sambaran pedang Ki Sanjaya dengan gerakan melenting ke belakang yang mengagumkan. Bahkan begitu kakinya mendarat dia mampu balas menyerang dengan tangan kosong.
"Heaaa!"
Ki Sanjaya terkesiap. Sosok berpakaian hitam dengan wajah terselubung kain hitam itu bergerak ke bagian bawah. Dan tahu-tahu telah menyodok perutnya sebelum sempat mengibaskan pedang.
"Uts!"
Masih untung orang tua itu sempat berjumpalitan ke belakang. Namun angin serangan itu kuat bukan main, sehingga sempat membuat perutnya mual. Ketua Perguruan Rebung Koneng itu sadar kalau lawan yang dihadapi bukanlah tokoh sembarangan. Makanya, dia tidak melanjutkan serangan.
"Siapa kau"! Apa maksudmu malam-malam begini menyatroni tempatku"!" hardik Ki Sanjaya seraya mengawasi sosok berbaju hitam.
"Ha-ha-ha...! Tua bangka busuk! Ternyata kau lincah juga, ya" Tapi dengan kepandaian seperti itu, kau tidak ada artinya sedikit pun bagiku," ejek sosok itu merendahkan.
Ki Sanjaya memperhatikan dengan seksama. Sosok berbaju hitam itu bertubuh sedang, dengan penutup wajah dari kain hitam, yang terlihat hanya sepasang matanya saja.
Sementara itu, melihat kehadiran tamu yang tidak diundang dan telah membuat kekacauan dengan membunuh dua orang murid perguruan, membuat murid-murid yang lain tersentak. Mereka yang tadi terlelap, seketika terjaga kemudian cepat melompat keluar dan berkumpul di halaman depan. Demikian pula Imas Pandini, serta Baladewa yang telah tiba di sana lebih dulu.
"Ha-ha-ha...! Sungguh hebat, sungguh hebat...! Dalam waktu singkat, murid-muridmu telah berkumpul mendengar sedikit keributan!" sambung orang bertopeng itu.
"Tidak usah banyak bicara, Pengacau Busuk! Kau telah membunuh dua orang muridku! Maka kau harus bertanggung jawab!" desis Ki Sanjaya geram.
"Kau bisa berbuat apa terhadapku, Sanjaya. Apa kau kira dengan seluruh muridmu ini mampu menghalangi kepergianku" Aku bisa datang dan pergi sesuka hatiku, tanpa seorang pun boleh menghalangi!" sahut orang bertopeng itu, meremehkan.
"Hm.... Kau mengenalku. Berarti kau bukan orang jauh! Tapi siapa pun adanya kau, jangan harap akan kulepaskan begitu saja. Tidak perlu kukerahkan murid-muridku untuk meringkusmu. Aku sendiri masih sanggup!" sahut Ki Sanjaya, tak kalah garang.
Setelah berkata begitu, Ki Sanjaya langsung melompat menyerang.
"Heaaat!"
Wuuut! Pedang orang tua itu kembali menyerang orang bertopeng. Kali ini Ki Sanjaya tidak mau bertindak kepalang tanggung. Langsung dikerahkan jurus "Hujan Buluh Mengurung Rimba", sebuah jurus terhebat yang dimiliki. Kelebatan pedangnya laksana hujan lebat yang menyapu apa saja tanpa berhenti. Sehingga orang awam pun akan menyangka kalau orang bertopeng itu tidak akan lolos.
Tapi yang terjadi sungguh membuat murid-murid perguruan ini tidak percaya. Dengan mudah orang bertopeng itu menghindar di antara kelebatan pedang Ki Sanjaya. Bahkan tahu-tahu orang bertopeng itu merunduk ke bawah seraya menyentil senjata Ki Sanjaya.
Tak! "Heh"!"
Ki Sanjaya kaget bukan kepalang, melihat senjatanya seperti menghantam benda keras bukan main. Bagaimana mungkin orang bertopeng itu mampu berbuat sedemikian" Menahan ayunan pedangnya yang bertenaga dalam kuat, hanya dengan sentilan kuku" Malah Ki Sanjaya merasakan tangannya bergetar. Itu menandakan kalau orang bertopeng ini memang memiliki tenaga dalam di atasnya.
Dan keterkejutan Ki Sanjaya harus dibayar mahal. Begitu dia lengah, orang bertopeng itu mengibaskan tangannya. Begitu cepat gerakannya, sehingga....
Breeet! "Hugkhkkk...!"
Ki Sanjaya kontan memekik, begitu cakaran orang bertopeng menyayat tenggorokannya. Darah kontan mengucur deras dari luka di lehernya yang robek. Dan belum sempat dia berbuat apa-apa, satu hantaman keras mendarat di dadanya.
Begh! "Aaakh...!"
Orang tua itu terjungkal ke belakang bagai selembar daun kering. Setelah menggelepar sesaat, dia tewas.
"Ayaaah...!"
"Guru...!"
Bukan main kagetnya Imas Pandini dan Baladewa serta murid-murid Perguruan Rebung Koneng. Mereka serentak menghampiri jenazah Ki Sanjaya yang terbujur kaku.
Namun sebagian murid-murid lainnya langsung kalap melihat keadaan itu. Maka seketika, mereka mengurung dan menyerang orang bertopeng itu.
"Yeaaat!"
Namun yang dihadapi murid-murid perguruan itu ternyata berkepandaian tinggi. Sehingga meski pedang-pedang berseliweran ke arahnya, dengan mudah orang bertopeng itu menghindar. Bahkan balas menyerang dengan ganas.
Wut! Bret! "Aaa...!"
Dalam waktu singkat saja, lebih dari lima murid Perguruan Rebung Koneng tewas. Dan itu terus bertambah cepat, seiring amukan hebat orang bertopeng itu.
"Keparat terkutuk! Akulah lawanmu! Akan kubunuh kaaau...!" teriak Baladewa, dengan suara menggelegar.
Pemuda itu agaknya tidak kuat lagi menahan amarah. Maka secepat kilat pedangnya dicabut. Langsung dia melompat menyerang.
Wut! Bet! "Uts! Ha-ha-ha...! Boleh juga permainan pedangmu, Bocah. Tapi kau masih mentah. Dan ini sama sekali tidak berguna bagiku!" dengus orang bertopeng itu, seraya tertawa mengejek.
Ucapan itu terdengar sombong. Tapi, agaknya orang bertopeng itu tidak main-main. Tiba-tiba saja tubuhnya bergerak cepat. Dan ...
Wuuut! "Hih!"
Tubuh orang bertopeng itu lenyap dari sambaran pedang Baladewa. Dan tahu-tahu, suatu hantaman keras menyambar dada putra bungsu Ki Sanjaya.
Des! "Aaa...!"
Baladewa terpekik. Tubuhnya terbanting keras ke belakang sambil menyemburkan darah segar.
"Baladewa...!" jerit Imas Pandini, kaget.
Gadis itu bergegas memburu adiknya yang tengah sekarat. Namun hanya sempat memeluknya sekejap, karena kemudian Baladewa menghembuskan napasnya yang terakhir. Gadis itu menjerit dan menangis seraya mendekap jenazah adiknya erat-erat.
Sementara, orang bertopeng itu sudah berkelebat meninggalkan tempat ini, setelah membinasakan beberapa murid Perguruan Rebung Koneng yang coba menghalanginya. Dalam sekejap, tubuhnya menghilang dengan suara tawanya yang bergema nyaring.
*** ? 5 ? Berita kematian Ki Sanjaya memang mengejutkan. Bukan hanya penduduk yang berada di sekitar perguruan itu. Tapi, juga sampai ke telinga Ki Mugeni. Meski bermusuhan, tapi bukan kematian Ki Sanjaya yang diinginkannya. Dia ingin mengalahkan Ketua Perguruan Rebung Koneng dalam pertandingan yang jujur. Padahal, itu akan terjadi hari ini. Tapi dengan adanya kejadian itu, membuat segalanya berantakan.
Pendekar Sakti Dari Lembah Liar 7 Dewa Arak 79 Iblis Buta Pendekar Guntur 23