Pencarian

Istana Ratu Sihir 2

Pendekar Rajawali Sakti 142 Istana Ratu Sihir Bagian 2


Begitu ringan burung rajawali raksasa ini mendarat di tempat yang agak lapang. Dan Rangga segera melompat turun. Beberapa saat mereka saling berpandangan, seakan-akan mereka tahu isi hari masing-masing saat ini.
"Pergilah, Rajawali. Tinggalkan aku di sini," kata Rangga pelan.
"Khrrr...!"
"Aku akan hati-hati, Rajawali," ujar Rangga seraya memberikan senyum.
Entah apa arti senyum Pendekar Rajawali Sakti. Dan burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan ini segera mengepakkan sayapnya, sambil mengeluarkan suara nyaring melengking tinggi. Rangga tahu, Rajawali Putih sangat mencemaskan dirinya yang harus seorang diri menghadapi penghuni istana tua di puncak Bukit Ular. Beberapa saat Rangga menatap ke atas. Dan kakinya baru melangkah setelah bayangan Rajawali Putih tidak terlihat lagi, lenyap tertelan gumpalan awan hitam yang masih menggantung menyelimuti langit.
Rangga terus melangkah dengan ayunan cepat, mempergunakan ilmu meringankari tubuh yang sudah sempurna. Sehingga gerakannya begitu sulit dilihat, seakan-akan berjalan di atas tanah. Begitu cepatnya, hingga yang terlihat hanya bayangan putih saja yang berkelebat di antara tebaran batu-batu di bukit ini. Bukit yang sangat gersang, tanpa ada satu tumbuhan pun terlihat. Dan Rangga terus berlari cepat mendaki bukit berbatu ini.
? *** Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 " . 142. Istana Ratu Sihir Bag. 5
22. November 2014 um 21:54
5 ? "Hup..."
Ringan sekali gerakan Pendekar Rajawali Sakti saat melompati tembok bangunan istana tua ini. Tanpa menimbulkan suara sedikit pun juga, Rangga hinggap di atas tembok yang berlumut dan sudah banyak yang gompal. Sebentar pandanganhya beredar ke sekeliling, namun tidak ada seorang pun terlihat di sekitarnya. Sambil berjingkat dan mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang sudah sempurna, Pendekar Rajawali Sakti melangkah ke bagian belakang bangunan istana ini.
Tapi baru saja berjalan beberapa langkah, tiba-tiba saja kening Pendekar Rajawali Sakti jadi berkerut. Dan langkahnya seketika terhenti, begitu terlihat secercah cahaya memendar dari bagian atas atap yang berbentuk bulat seperti kulit telur yang terbelah dua. Sejenak Rangga memperhatikan, kemudian menghampiri cahaya terang yang memancar dari bagian dalam bangunan istana ini. Dari atap bulat itu, Pendekar Rajawali Sakti pernah diserang oleh cahaya yang kemudian berubah-ubah benruk menjadi binatang-binatang buas berukuran raksasa.
Rangga jadi tertarik ingin tahu, kemudian mendekat dan merebahkan dirinya menelungkup di atas atap ini. Perlahan Pendekar Rajawali Sakti menjulurkan kepalanya dengan tubuh merapat tengkurap di atas atap istana yang terbuat dari batu tanah merah ini.
"Heh..."!"
Saat itu juga, kedua bola mata Rangga jadi terbeliak lebar, ketika melihat Ki Warungkul bersama anak gadisnya dan semua pengikutnya. Mereka kini tengah berkumpul dalam ruangan berukuran besar seperti sebuah balairung, tepat di bawah atap yang terbuka bagian atasnya. Semua tampak duduk bersila, melingkari ruangan yang sangat luas. Tampak sebuah altar batu terdapat di tengah-tengah ruangan itu. Dan sesuatu di atas altar batu itulah yang membuat kedua bola mata Rangga jadi terbeliak lebar. Di sana, terbaring sesosok tubuh anak laki-laki berusia tiga tahun yang sudah dikenalnya. Anak kecil itulah putra Adipati Wiyatala, yang akan dikorbankan oleh Ki Warungkul.
Tidak jauh dari altar batu itu, terdapat sebuah peti kayu jati berwarna hitam yang tutupnya terbuka. Di dalamnya terbaring seorang perempuan tua, seperti sedang tidur saja layaknya. Tapi tidak ada gerakan sedikit pun di tubuhnya, yang menandakan kalau perempuan tua itu masih hidup. Rangga tahu, perempuan tua itulah yang bernama Nyai Wisantika, seorang perempuan tukang sihir yang sangat ditakuti pada masa kehidupannya seratus tahun silam. Bahkan Pendekar Rajawali Sakti, guru Rangga, juga tidak mampu menghadapinya. Apakah Rangga sekarang yang mengenakan gelar Pendekar Rajawali Sakti bisa menghadapi penyihir perempuan itu" Malah, dalam keadan seperti itu, Nyai Wisantika masih mampu menggelar ilmu-ilmu sihir-nya. Padahal, tubuhnya dalam keadaan seperti mati. Lantas, bagaimana kalau dia sudah benar-benar hidup, setelah dilumuri darah dari putra Adipati Wiyatala.
Tapi Rangga memang harus bisa menggagal-kan usaha persembahan korban manusia itu, agar Nyai Wisantika tidak ada kesempatan hidup kembali. Dan itu sudah menjadi tugasnya yang diberi gurunya langsung di Lembah Bangkai. Tapi apakah Rangga mampu menyelamatkan Raden Pinangsang di tengah-tengah pengikut Ki Warungkul yang berjumlah sangat banyak..."
Rangga sendiri tidak tahu, bagaimana caranya menyelamatkan bocah berumur tiga tahun itu dari dalam istana tua ini. Rasanya memang tidak mungkin menerobos masuk ke dalam sana. Sementara di sana, terlihat lebih dari seratus orang dengan senjata terhunus mengelilingi bocah itu di atas altar batu persembahan.
Kini terlihat Ki Warungkul yang selalu didam-pingi Worodini sudah melangkah ke depan-mendekati altar batu itu. Tampak sebuah keris berwarna kuning keemasan berlekuk tujuh, tergenggam di tangan kanannya. Dan dia berhenti tepat di depan altar batu persembahan. Tampak jelas sekali kalau Raden Pinangsang tidak sadarkan diri, seperti terlelap tidur di atas batu persembahan.
"Apa pun yang terjadi, aku harus bisa mengga-galkan perbuatan iblis mereka. Hhh...!" desis Rangga dalam hati.
Sebentar Rangga berdiri tegak di tepi lubang atap bangunan istana ini. Tatapan matanya begitu tajam, memperhatikan ruangan besar, di bawahnya. Tidak ada seorang pun yang menyadari kalau di atas atap, ada seseorang berdiri tegak di sana. Dan ketika Ki Warungkul mengangkat keris emas berkeluk tujuh dengan kedua tangan ke atas kepala, saat itu juga Rangga melompat masuk dari atas atap ruangan yang terbuka sambil mengembangkan kedua tangannya lebar-lebar, mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'.
"Hiyaaa...!"
Teriakan Rangga yang begitu keras menggelegar memenuhi ruangan, membuat mereka semua yang ada di dalam ruangan jadi tersentak kaget setengah mati. Bahkan Ki Warungkul yang sudah siap menghujamkan keris emas di tangannya ke dada Raden Pinangsang, jadi terlonjak dan mendongak ke atas. Namun belum juga disadari apa yang terjadi, Rangga sudah berkelebat begitu cepat mengibaskan tangannya, tepat ke tangan Ki Warungkul yang menggenggam keris emas berkeluk tujuh itu.
Plak! "Akh...!"
Ki Warungkul jadi terpekik kaget setengah mati, dan tidak dapat lagi mempertahankan keris emas dari genggamannya. Sehingga keris itu langsung terpental jauh ke atas. Dan pada saat belum ada seorang pun yang menyadari, Rangga sudah melesat cepat sekali ke atas altar batu persembahan. Dengan kecepatan bagai kilat, Pendekar Rajawali Sakti langsung menyambar tubuh Raden Pinangsang, langsung dipanggulnya di pundak kiri.
"Hup! Yeaaah..!"
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Rangga langsung melenting tinggi-tinggi ke atas, berusaha mencapai bagian atas atap istana yang terbuka dengan pengerahan ilmu meringankan tubuh yang sudah sangat sempurna. Tapi belum juga sampai di sana, tiba-tiba saja secercah cahaya merah bagai api melesat begitu cepat ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
Slart! "Haiiit..!"
Cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti meliuk, dan melenting ke samping kanan, menghindari serangan cahaya merah bagai api. Lalu, manis sekali ujung jari kakinya menjejak batu dinding bangunan istana ini, dan langsung melenting cepat. Dan kini Rangga hinggap di atas sebuah palang batu yang berada di bagian kiri ruangan besar ini. Dan pada saat itu juga....
Clrasss...! "Heh..."!"
Hampir saja Rangga tidak percaya melihatnya. Kedua bola matanya jadi terbeliak lebar, saat melihat dari kedua bola mata perempuan tua yang terbaring di dalam peti itu memancar cahaya merah bagai api. Kecepatannya bagai kilat langsung menyerang Pendekar Rajawali Sakti.
"Hup! Hiyaaa...!"
Secepat kilat Rangga melenting ke atas, sambil berputaran beberapa kali di udara. Sehingga cahaya merah yang memancar dari kedua bola mata perempuan tua dalam peti mati itu menghantarn palang batu yang menjadi pijakan Rangga tadi. Maka seketika terdengar ledakan dahsyat menggelegar, saat palang batu itu hancur terhantam cahaya merah ini,
Glarrr...! "Awaaas...!"
"Menyingkir semuaaa...!"
Ki Warungkul dan Worodini langsung berteriak memerintahkan orang-orangnya untuk segera menyingkir, menghindari reruntuhan palang batu yang hancur terkena sambaran cahaya merah tadi. Tapi mereka yang masih diliputi keterkejutan, tidak sempat lagi menghindar. Dan seketika itu juga, batu-batu yang berguguran dari atas menghantam. Maka seketika jeritan-jeritan panjang melengking tinggi langsung terdengar saling sambut.
Sementara itu, Rangga kini sudah kembali hinggap di atas palang batu lainnya. Dan tubuhnya segera melesat, begitu terlihat kilatan cahaya merah kembali meluruk ke arahnya. Dan. cahaya merah itu kembali menghantarn palang batu yang sangat besar ini hingga hancur berkeping-keping. Suara ledakan pun kembali terdengar dahsyat memenuhi ruangan yang besar ini.
Kekacauan seketika terjadi dalam ruangan besar itu. Semua pengikut Ki Warungkul jadi berlarian sambil berteriak-teriak, berusaha menyelamatkan diri dari reruntuhan batu yang menghujaninya tanpa ampun. Sedangkan Rangga terus berlompatan dengan gerakan sangat lincah, menghindari setiap serangan kilatan cahaya merah yang memburu, ke mana saja tubuhnya bergerak membawa Raden Pinangsang di atas bahu kirinya.
Rangga seperti sengaja berlompatan dari satu tempat ke tempat lain, hingga membuat kilatan-kilatan cahaya merah itu menghancur leburkan dinding dan pilar-pilar batu di dalam ruangan ini. Akibatnya, keadaan semakin bertambah kacau balau. Orang-orang berbaju serba merah yang menjadi pengikut Ki Warungkul, berusaha menyelamatkan diri dengan keluar dari ruangan ini melalui tiga buah pintu yang ada. Mereka saling berlomba untuk bisa keluar lebih dahulu. Sementara, sudah beberapa orang yang tergeletak mati terhimpit batu.
Dan kilatan-kilatan cahaya merah itu terus memancar, mengejar Rangga yang bergerak ke mana saja menghindarinya. Hingga kehancuran ruangan istana ini tidak bisa lagi dihindari. Saat itu juga Ki Warungkul jadi cemas melihat keadaan yang sangat tidak menguntungkan. Bergegas dihampirinya peti mati yang terbuat dari kayu jati berwarna hitam itu. Lalu dengan cepat ditutup peti itu. Dan seketika itu juga, kilatan-kilatan cahaya merah tidak terlihat lagi.
Dan kesempatan ini tidak disia-siakan Rangga. Dengan cepat tubuhnya melenting tinggi-tinggi ke atas, mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang sudah sempurna. Begitu cepat lesatannya, hingga sekejapan mata saja Pendekar Rajawali Sakti sudah lenyap, keluar dari dalam ruangan ini melalui bagian atap yang terbuka cukup lebar. Dan tiba-tiba saja, atap yang semula terbuka itu bergerak menutup, tepat di saat Rangga sudah menerobos keluar dari sana.
"Setan keparat! Cari pengacau itu...! Kejar...! Jangan biarkan dia lolos...!" teriak Ki Warungkul kalang kabut.
? *** ? Ilmu meringankan tubuh Pendekar Rajawali Sakti memang sudah sangat sempurna tingkatan-nya. Hingga tanpa kesulitan lagi, Rangga bisa melompat turun dari atas atap istana tua di puncak Bukit Ular ini. Tapi begitu kakinya menjejak tanah, tiba-tiba saja dari arah sebelah kiri sudah bermunculan orang-orang berpakaian serba merah yang berlarian menghampirinya sambil berteriak-teriak keras menyerukan kematian.
"Seraaang...!"
"Bunuh dia...!"
"Hiyaaat..!"
Gerakan mereka memang cepat, hingga Rangga tidak punya kesempatan menghindarinya. Apa lagi, dua orang yang begitu dekat sudah langsung melompat menyerang dengan pedang yang dikibas-kan begitu cepat.
"Haiiit..!"
Cepat sekali Rangga meliukkan tubuhnya, menghindari sabetan dua bilah pedang yang bersamaan waktunya. Kemudian tubuhnya cepat melenting ke atas. Seketika kedua kakinya langsung bergerak berputar, menghentak disertai pengerahan tenaga dalam sempurna.
Jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa' yang dikerahkan Pendekar Rajawali Sakti tidak dapat lagi dihindari. Akibatnya, kedua orang yang menyerang ini langsung memekik keras, begitu kedua kaki Rangga menghantam kepala mereka, sampai terdengar suara berderak dari tulang-tulang tengkorak kepala yang pecah. Dan kedua orang berbaju merah menyala itu seketika ambruk, dengan kepala pecah berlumur darah. Sementara, Rangga sudah kembali menjejakkan kakinya di tanah.
Dan pada saat itu juga, orang-orang berpakaian serba merah sudah berlompatan cepat langsung menyerang Pendekar Rajawali Sakti dari arah depan. Dan Rangga tidak punya lagi kesempatan menghindarinya. Cepat Pendekar Rajawali Sakti melompat, menyambut serangan-serangan itu menggunakan jurus-jurus 'Rajawali Sakti' yang dipadukan menjadi satu.
Namun orang-orang berpakaian serba merah itu seperti tidak mengenal gentar sedikit pun juga. Mereka terus merangsek dan menyerang tanpa henti dari segala arah. Dan ini membuat Rangga jadi kerepotan juga melayaninya.
"Terpaksa, aku harus gunakan Pedang Pusaka Rajawali Sakti," desis Rangga dalam hati.
Sret! Cring...! Seketika itu juga malam yang gelap gulita ini jadi terang benderang, begitu Pedang Pusaka Rajawali Sakti tercabut dari warangka. Dan seketika itu juga, Rangga melompat menyambut serangan orang berpakaian serba merah ini dengan pedang pusaka berkelebat begitu cepat bagai kilat. Begitu cepat serangannya, hingga lima orang yang berada paling depan tidak dapat lagi menghindarinya. Dan mereka menjerit melengking tinggi, begitu tubuhnya tersambar pedang yang memancarkan cahaya biru terang ini.
"Hiyaaat...!"
Rangga yang menyadari kalau jumlah lawan-nya sangat banyak, tidak mau kehilangan kesem-patan. Dia cepat mendahului sebelum orang-orang berpakaian serba merah itu bisa berbuat lebih banyak lagi. Dengan kebutan pedang pusaka di tangan, Pendekar Rajawali Sakti berlompatan cepat sekali.
Kecepatan dari sabetan pedang itu memang sungguh luar biasa. Sulit diikuti pandangan mata biasa, hingga tak ada seorang pun yang bisa menghadangnya. Maka jeritan-jeritan panjang melengking tinggi mengiringi kematian pun semakin sering terdengar saling sambut. Kilatan-kilatan cahaya pedang di tangan Pendekar Rajawali Sakti terus berkelebat di antara orang-orang berpakaian serba merah yang semakin kalang kabut tidak menentu. Terasa sulit bagi mereka untuk membendung serangan Pendekar Rajawali Sakti.
"Hiya! Hiyaaa...!"
Sementara Rangga sendiri sengaja bergerak, mendekati lereng bukit ini. Dan begitu mendapat kesempatan, tanpa menunggu waktu lagi tubuhnya langsung melesat melewati beberapa kepala musuhnya.
"Hiyaaat...!"
? *** Begitu cepat gerakan Pendekar Rajawali Sakti, hingga sebelum ada yang sempat menyadari sudah lenyap tertelan batu-batu yang banyak berserakan di sekitar lereng bukit ini. Sekilas masih terlihat kilatan cahaya biru berkelebat menuruni lereng bukit kemudian lenyap dari pandangan mata, tepat di kaki Bukit Ular ini. Dan pada saat itu Ki Warungkul keluar dari dalam bangunan istana tua ini bersama anak gadisnya. Dia masih sempat melihat sebagian orang-orangnya berlarian menuruni lereng bukit.
"Ke mana dia..."!" tanya Ki Warungkul langsung, dengan suara keras.
"Dia lari ke arah sana, Ki!" sahut salah seorang sambil menunjuk ke arah kaki bukit
"Setan! Kejar...! Jangan biarkan lolos. Bawa kembali bocah itu padaku!" perintah Ki Warungkul kalap.
Tanpa menunggu diperintah dua kali, semua pengikut orang tua itu segera berlarian menuruni Bukit Ular, menyusul yang lainnya. Sementara itu, Ki Warungkul menggerutu dan mengumpat Pendekar Rajawali Sakti yang berhasil membawa lari Raden Pinangsang. Padahal, bocah itu akan dikorbankan untuk kebangkitan kembali Nyai Wisantika. Tanpa darah itu, tidak mungkin Nyai Wisantika bisa dibangkitkan kembali. Dan dia sendiri tidak akan mungkin bisa menyempumakan ilmunya, tanpa darah anak itu.
"Ayo, Worodini. Kita temui Nyai Wisantika," ajak Ki Warungkul.
''Untuk apa, Ayah?" tanya Worodini yang sebenarnya merasa ngeri melihat perempuan tua dalam peti matinya.
"Aku akan laporkan semua kejadian ini," sahut Ki Warungkul.
'Tapi dia tidak usah tahu, Ayah."
"Paling tidak, aku akan meminta petunjuk da-rinya untuk mendapatkan bocah itu kembali."
Worodini tidak bisa mengeluarkan kata-kata lagi. Dan dengan hati terpaksa, diikutinya ayunan langkah kaki ayahnya, masuk kembali ke dalam bangunan istana tua ini.
Sementara itu di tempat lain, Rangga sudah cukup jauh meninggalkan Bukit Ular. Dan Pendekar Rajawali Sakti kini sudah sampai di tengah-tengah hutan yang merupakan sebuah padang rumput cukup luas. Malam teramat pekat, dengan rintik-rintik air hujan masih turun. Walaupun tidak besar, namun mampu membuat suasana di dalam hutan itu cukup menyeramkan. Tapi, Rangga yang malah berhenti di sana, seakan tidak peduli dengan keadaan yang sunyi dan menyeramkan. Dipandanginya bocah kecil di pundak kirinya yang masih belum juga sadarkan diri. Rangga memindahkan bocah itu ke dalam pondongannya. Kembali dipandanginya wajah bocah yang tidak berdosa ini.
"Kau akan aman bersamaku, Raden. Jangan takut, aku tidak akan membiarkan kau jatuh ke tangan mereka lagi," kata Rangga berbisik pelan.
Sejenak Pendekar Rajawali Sakti terdiam, kemudian mendongakkan kepala ke atas. Dan tidak lama kemudian, terdengar suara siulannya yang nyaring melengking tinggi dengan nada suara aneh terdengar di telinga.
"Suiiit...!"
Belum juga siulannya lenyap dari pendengarannya, sudah terlihat seekor burung rajawali meluruk deras dari angkasa. Rupanya Rajawali Putih tidak meninggalkan Rangga jauh-jauh. Sehingga burung itu bisa langsung mendengar panggilan tadi, dan cepat menghampirinya. Langit yang gelap tertutup awan hitam, memang membuat keberadaan burung rajawali raksasa itu sulit bisa diketahui.
"Cepat ke sini, Rajawali. Mereka mengejar-ku...!" seru Rangga memanggil burung rajawali tunggangannya itu.
"Khraaagkh...!"
Ringan sekali Rajawali Putih'mendarat tepat di depan Rangga. Dan tanpa membuang-buang waktu lagi, pemuda berbaju rompi putih itu langsung melompat naik ke punggung burung rajawali raksasa ini.
"Cepat bawa aku ke tempat yang aman, Rajawali. Kita harus sembunyikan anak ini dari jangkauan mereka," pinta Rangga.
"Khraaagkh...!"
Tanpa membuang-buang waktu lagi, burung rajawali raksasa itu segera mengepakkan sayapnya yang lebar. Hanya sekali kepakan saja, sudah melambung tinggi ke angkasa membawa Rangga di punggungnya yang memondong Raden Pinangsang.
Rajawali Putih terus melesat cepat bagai kilat, menembus awan hitam yang begitu pekat meng-gantung di langit Angin di atas yang begitu dingin, membuat Rangga terpaksa harus mendekap tubuh bocah kecil itu agar tidak kedinginan.
"Khraaagkh...!"
"Ada apa, Rajawali?" tanya Rangga, saat mendengar teriakan Rajawali Putih yang begitu keras menggelegar, bagai hendak memecah angkasa yang gelap tanpa cahaya bintang maupun rembulan.
"Khraaagkh...!"
Rangga menjulurkan kepala ke bawah. Saat itu juga, keningnya jadi berkerut melihat serombongan orang berkuda tengah bergerak cepat mendekati Bukit Ular. Dari jalan yang dilalui, jelas sekali bisa diketahui kalau mereka datang dari arah kota Kadipaten Parunggungan. Dan kedua bola mata Pendekar Rajawali Sakti jadi bertambah lebar terbeliak, saat mengenali pakaian seragam yang dikenakan orang berkuda yang berjumlah sekitar tiga puluh orang itu. Dan di depan mereka, terlihat Adipati Wiyatala yang menunggang seekor kuda hitam.
"Hm.... Mau apa mereka ke Bukit Ular...?" gumam Rangga jadi bertanya sendiri dalam hati.
Belum juga Rangga bisa berpikir lebih jauh lagi, tiba-tiba saja kedua bola matanya jadi terbeliak semakin lebar, ketika melihat serombongan orang berkuda lain, yang berbaju warna merah menyala. Rombongan itu bergerak dari arah yang berlawanan dengan rombongan Adipati Wiyatala. Dan Rangga tahu, siapa orang-orang berpakaian serba merah yang datang dari arah Bukit Ular itu.
"Rajawali! Turunkan aku di sana. Dan, bawa anak ini ke tempat yang kau anggap aman," pinta Rangga langsung.
"Khraaagkh...!"
"Jangan khawatir, Rajawali. Aku hanya ingin mencegah iblis-iblis itu membantai Adipati Wiyatala dan prajuritnya," kata Rangga, seakan bisa mengerti perasaan cemas burung rajawali raksasa sahabatnya.
"Khraaagkh...!"
"Bagus. Cepat turunkan aku, Rajawali."
? *** Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 " . 142. Istana Ratu Sihir Bag. 6
22. November 2014 um 21:55
6 ? "Hup!"
Manis sekali Rangga melompat turun, sebelum Rajawali Putih bisa menjejakkan kakinya di tanah. Segera tubuh Raden Pinangsang di tanah diletakkan. Dan tanpa diminta dua kali, Rajawali Putih segera menyambar tubuh bocah kecil itu, dan langsung dibawa melesat tinggi ke angkasa. Sementara, Rangga memandangi kepergian burung rajawali raksasa itu beberapa saat. Dan saat itu juga, telinganya mendengar hentakan-hentakan puluhan ekor kaki kuda yang dipacu cepat menuju ke arahnya.
"Sebaiknya aku temui dulu Adipati Wiyatala. Aku harus memberitahu kalau ada orang-orang Ki Warungkul yang menuju ke sini," gumam Rangga bicara pada diri sendiri.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Rangga langsung melesat, berlari cepat mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan. Begitu cepat larinya, sehingga seakan-akan kedua kakinya tidak lagi menapak tanah. Dan hanya kelebatan bayangan putih dari pakaiannya saja yang terlihat, di antara kegelapan malam dan lebatnya pepohonan.
Sementara itu Adipati Wiyatala bersama sekitar lima puluh orang prajurit terus bergerak cepat, menuju Bukit Ular. Tidak lama lagi, adipati itu akan tiba di kaki Bukit Ular. Dan jalan yang dilalui sekarang, juga sudah mulai dipenuhi batu berserakan. Dan pada saat itu, tiba-tiba saja terlihat sebuah bayangan putih berkelebat begitu cepat memotong arah gerakan rombongan prajurit Kadipaten Parunggungan ini.
"Hooop..,!"
Adipati Wiyatala langsung menarik tali kekang kudanya, sambil mengangkat tangan kirinya tinggi-tinggi ke atas kepala. Dan tepat di saat rombongan prajurit Kadipaten Parunggungan itu menghentikan lari kudanya, bayangan putih tadi kembali terlihat berkelebat tepat di depan Adipati Wiyatala. Namun belum juga adipati berusia muda ini bisa bersuara, tahu-tahu di depannya sudah berdiri Pendekar Rajawali Sakti.
"Rangga...," desis Adipati Wiyatala terkejut.
"Maaf, aku membuatmu terkejut," ucap Rangga hormat.
Adipati Wiyatala segera melompat turun dari punggung kudanya, langsung menghampiri Pen-dekar Rajawali Sakti yang masih tetap berdiri tegak di depannya dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Sementara semua prajurit yang dibawa Adipati Wiyatala berhenti melangkah setelah jaraknya dengan Rangga tinggal sekitar tiga tindak lagi.
"Apa yang kau lakukan di sini, Rangga?" tanya Adipati Wiyatala.
"Menyelamatkan Raden Pinangsang," sahut Rangga datar.
"Putraku...?"
Rangga hanya mengangguk saja sedikit.
"Lalu..." Apa kau sudah mengeluarkannya dari sana" Di mana Pinangsang sekarang, Rangga...?"
Sulit bagi Rangga untuk menjawab pertanyaan yang beruntun itu, hingga hanya diam saja memandangi Adipati Wiyatala yang tampaknya cepat menyadari kesalahannya.
"Maaf. Aku..., aku terlalu...."
"Sudahlah, Gusti Adipati. Aku bisa memahami perasaanmu," ujar Rangga lembut seraya me-ngembangkan senyum.
"Di mana Pinangsang sekarang berada, Rangga?" tanya Adipati Wiyatala masih ingin tahu juga nasib anaknya.
"Dia sekarang berada di tempat yang aman. Kau tidak perlu mencemaskannya. Mereka tidak akan mungkin bisa mendapatkannya lagi," kata Rangga memberi tahu.
"Oh...," Adipati Wiyatala menghembuskan napas lega.
Terasa lega seluruh rongga dadanya, mendengar anaknya sudah selamat, dan sekarang berada di tempat yang aman. Adipati Wiyatala begitu per-caya pada kejujuran Pendekar Rajawali Sakti ini, yang pasti akan berkata apa adanya.
"Gusti, aku datang menemui di sini, karena ada sesuatu yang hendak kuberitahu padamu," kata Rangga langsung menjurus pada pokok persoalan.
"Apa itu, Rangga?"
"Sekarang ini, gerombolan orang-orang berbaju serba merah sedang menuju ke tempat ini. Aku rasa tidak lama lagi mereka akan sampai. Perintahkan prajuritmu untuk bersiaga. Aku khawatir, mereka akan kembali menyerang Kadipaten Parunggungan," Rangga langsung memberitahu, apa yang dilihatnya dari angkasa bersama Rajawali Putih tadi.
"Benarkah itu, Rangga...?"
Rangga mengangguk mantap. Dan tanpa menunggu waktu lagi, Adipati Wiyatala langsung memerintahkan prajuritnya untuk bersembunyi, dan bersiaga mengadakan penyergapan. Sementara, Rangga jadi tersenyum. Dikaguminya kesigapan Adipati Wiyatala yang langsung bisa memahami laporannya tadi, dan langsung memerintahkan prajuritnya untuk mengambil tempat. Sementara kuda-kuda mereka segera disembunyikan di balik semak dan pepohonan yang cukup lebat di dalam hutan ini.
"Sebaiknya kita juga bersembunyi, Rangga," kata Adipati Wiyatala. .
"Aku rasa tidak ada waktu lagi, Gusti Adipati...."
Belum juga menghilang kata-kata Rangga dari pendengaran, sudah terdengar hentakan-hentakan puluhan kaki kuda dipacu menuju tempat ini. Dan tidak lama kemudian, muncul puluhan orang berpakaian serba merah yang semuanya menunggang kuda dari ujung jalan setapak, di dalam hutan yang berkabut tebal ini.
Dan tampaknya, orang-orang berpakaian serba merah itu sangat terkejut, saat melihat dua orang yang sudah dikenali berdiri menghadang di tengah jalan. Mereka langsung menghentikan lari kudanya, dan berlompatan turun. Tanpa diperintah lagi, senjata pedang masing-masing segera dicabut, dan langsung bergerak berlompatan mengepung Adipati Wiyatala dan Pendekar Rajawali Sakti.
"Seraaang...!"
"Bunuh mereka...!"
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Teriakan keras menggelegar memberi perintah, seketika terdengar memecah kesunyian malam yang teramat pekat. Dan seketika itu juga, orang-orang berpakaian serba merah berlompatan menyerang Adipati Wiyatala dan Pendekar Rajawali Sakti. Namun belum juga serangan sampai, Adipati Wiyatala sudah berteriak lantang menggelegar, mengalahkan teriakan-teriakan orang-orang berpakaian serba merah itu.
"Serang mereka...!"
"Hiyaaa...!"
'Yeaaah...!"
Dan pada saat itu juga, dari balik semak belukar dan pepohonan berlompatan para prajurit Kadipaten Parunggungan yang sudah mengepung tempat ini. Kemunculan prajurit yang berjumlah puluhan, membuat orang-orang berpakaian serba merah ini jadi kaget setengah mati. Tapi, mereka tak sempat lagi menyadari kedudukan yang tidak menguntungkan ini. Malah prajurit-prajurit itu sudah melancarkan serangan cepat dari segala arah.
Bahkan Adipati Wiyatala sendiri sudah menca-but pedangnya, dan langsung melesat begitu cepat Pedangnya segera dibabatkan dengan kecepatan bagai kilat.
"Hiyaaat..!"
Bet! Cras! "Aaakh"!"
? *** ? Jeritan-jeritan panjang melengking tinggi seketika terdengar saling sambut, mengiringi kematian disertai teriakan-teriakan keras pembangkit pertempuran. Denting senjata beradu pun terdengar, menyemaraki suasana pertempuran. Sementara itu, Rangga yang melihat keadaan sangat menguntungkan pihak prajurit Kadipaten Parunggungan, segera melompat mundur keluar dari kancah pertarungan ini. Dan dia merasa tidak perlu mengotori tangan dengan darah.
Dan pertarungan dua kelompok itu terus berlangsung sengit. Tubuh-tubuh bersimbah darah semakin sering berjatuhan dari kedua belah pihak. Jeritan-jeritan panjang melengking tinggi pun semakin sering terdengar menyayat, bagai hendak memecah kesunyian dan kedamaian hutan ini. Tampak jelas kalau para prajurit Kadipaten Parunggungan yang langsung di bawah pimpinan Adipati Wiyatala benar-benar menguasai jalannya pertarungan. Mereka bertarung bagai benteng terluka.
Dalam waktu tidak begitu lama, sudah puluhan orang ambruk berlumuran darah. Namun pertarungan terus saja berlangsung sengit. Dan pada saat itu, tiga orang dari pihak lawan berhasil meloloskan diri dari kancah pertarungan. Dan mereka segera melompat naik ke punggung kuda, langsung menggebahnya cepat meninggalkan pertarungan ini.
"Hhh! Mereka tentu akan meminta bantuan...," dengus Rangga yang melihat ketiga orang itu melarikan diri. "Mereka harus dicegah. Hup...!"
Tanpa berpikir panjang lagi, Pendekar Rajawali Sakti segera melesat cepat bagai kilat, mengejar tiga orang yang bisa meloloskan diri itu. Sungguh sempurna ilmu meringankan tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Sehingga dalam beberapa kali lesatan saja, ketiga orang yang melarikan diri itu sudah bisa terkejar. Dan Rangga langsung menghadangnya di depan.
Kemunculan Pendekar Rajawali Sakti yang sangat tiba-tiba dan tidak diduga itu, tentu saja membuat ketiga orang berbaju serba merah itu jadi tersentak kaget setengah mati. Cepat mereka menghentikan lari kudanya, dan segera berlompatan turun bersamaan. Dan tanpa banyak bicara lagi, mereka langsung saja berlompatan menyerang.
"Hup! Hiyaaa...!"
Namun Pendekar Rajawali Sakti yang memang sudah siap sejak tadi, segera melompat ke atas menghindari sabetan pedang lawan yang datang dari sebelah kiri dan kanan. Dan saat pedang itu lewat di bawah tubuhnya, manis sekali Rangga berputaran di udara. Lalu bagaikan kilat, dilepas-kannya satu pukulan dahsyat, dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' yang disertai pengerahan tenaga dalam sempurna.
'Yeaaah...!"
Begitu cepat serangan balik Pendekar Rajawali Sakti, hingga orang yang menyerangnya tidak dapat lagi berkelit menghindar. Maka pukulan yang dahsyat itu tepat menghantarn dadanya.
Begkh! "Akh...!"
Orang berpakaian serba merah itu seketika menjerit keras, dengan tubuh terpental jauh ke belakang. Dan keras sekali punggungnya menghantam pohon. Bahkan sampai terpental kembali, jatuh menghantam tanah dengan keras. Hanya sedikit saja gerakan terlihat, kemudian tubuh berbaju merah menyala itu diam tidak bergerak-gerak lagi dengan darah menggumpal mengalir dari mulut.
"Hiyaaat...!"
Rangga yang sudah begitu muak dengan orang-orang ini, tidak membuang-buang waktu dan tenaga percuma. Sebelum dua orang yang tersisa itu bisa berbuat sesuatu, tubuhnya sudah bergerak cepat mendahului. Dan dengan kecepatan bagai kilat, kedua tangannya yang tiba-tiba terentang lebar ke samping dikibaskan. Cepat sekali gerakan Pendekar Rajawali Sakti yang mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega', membuat kedua orang lawannya ini tidak sempat lagi berkelit menghindarinya. Dan....
Begkh! Des! "Akh!"
"Aaa...!"
Jeritan panjang melengking tinggi menyambut kematian dua orang berpakaian serba merah itu seketika terdengar menyayat, bersamaan terpentalnya dua tubuh berbaju serba merah ke belakang dengan deras sekali. Sementara, Rangga sudah kembali berdiri tegak memandangi dua orang lawannya yang kini sudah tergeletak tidak bergerak-gerak lagi. Tampak kepala mereka remuk, terkena kibasan tangan yang mengandung pengerahan tenaga dalam sempurna tadi.
"Hhh! Aku harus kembali ke tempat pertarungan," gumam Rangga dalam hati.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Rangga segera berlari cepat sekali bagai angin mening-galkan tempat itu. Dan yang dituju langsung ke arah pertarungan yang tentu saja masih berlangsung.
Dan memang benar, pertarungan belum juga selesai. Tapi Rangga langsung bisa menarik napas lega, melihat para prajurit Kadipaten Parunggungan yang langsung dipimpin adipatinya sudah dapat menguasai jalannya pertarungan. Sedangkan lawan mereka semakin kewalahan saja, seakan sudah tidak sanggup lagi meneruskan pertarungan. Dan Rangga pun memutuskan untuk tidak ikut terjun bertarung.
Sementara jeritan panjang melengking tinggi disertai denting senjata beradu terus terdengar, memecah kesunyian malam yang gelap dan berse-limut kabut tebal. Tubuh-tubuh berlumuran darah pun semakin sering berjatuhan.
Hingga akhirnya, orang-orang berpakaian serba merah menyala itu tinggal sekitar delapan orang lagi. Dan mereka segera melempar senjata tanda menyerah. Dan saat itu juga, Adipati Wiyatala berteriak lantang menggelegar, memberi perintah pada prajurit-prajuritnya untuk tidak menyerang lawan yang sudah menyerah. Dan seketika itu juga, pertarungan berhenti. Rangga segera menghampiri Adipati Wiyatala yang sedang memerintah prajuritnya untuk menangkap sisa-sisa lawan yang masih hidup.
? *** ? "Banyak juga prajuritmu yang gugur, Gusti Adipati," ujar Rangga agak menggumam suaranya, seperti bicara pada diri sendiri.
"Ya, lebih dari setengahnya," desah Adipati Wiyatala.
Rangga terdiam, memandangi mayat-mayat yang bergelimpangan sating tumpang tindih di se-kitarnya. Darah berhamburan menyebarkan bau anyir memualkan perut. Sementara para prajurit kadipaten terus bekerja mengumpulkan teman-teman yang gugur dan terluka. Tanpa diberi perintah lagi, beberapa orang mulai menggali tanah membuat kuburan. Sebagian lagi merawat mereka yang masih hidup dan terluka cukup parah.
"Bagaimana, Gusti Adipati..." Apa kau tetap akan ke Bukit Ular?" kembali Rangga membuka suara setelah terdiam beberapa saat.
"Hhh...!"
Adipati Wiyatala tidak langsung menjawab pertanyaan Pendekar Rajawali Sakti. Ditariknya napas panjang, dan dihembuskannya kuat-kuat. Memang tidak mungkin tujuannya ke Bukit Ular diteruskan dengan hanya mengandalkan prajurit yang tinggal beberapa orang saja. Mereka juga kelihatan begitu lelah setelah bertarung tadi. Kembali Adipati Wiyatala menghembuskan napas panjang, dan berpaling menatap wajah Rangga yang berada di sebelah kiri.
"Kau bilang anakku sudah kau selamatkan. Benar itu, Rangga...?" ujar Adipati Wiyatala ingin meyakinkan diri.
"Benar," sahut Rangga mantap.
"Lalu, di mana sekarang?"
"Ada di tempat yang aman, dan tidak mungkin mereka bisa mengambilnya lagi," sahut Rangga menjelaskan.
"Kau tahu sahabatku, kan...?"
Adipati Wiyatala terdiam sejenak. Kemudian kepalanya terangguk perlahan. Dia tahu, apa yang dimaksudkan Rangga. Sudah tentu sahabat yang dimaksudkan adalah seekor burung rajawali raksasa, tunggangan pemuda ini.
Adipati itu menarik napas panjang dan meng-hembuskannya kuat-kuat. Ada kelonggaran di da-lam dadanya, setelah mengetahui putranya kini berada dalam lindungan burung rajawali raksasa.
Dia percaya, Rangga tentu bisa mudah mene-robos istana di puncak Bukit Ular, karena masih menganggap kalau pemuda itu adalah dewa yang turun dari kahyangan untuk membantunya. Sampai saat ini, Adipati Wiyatala memang belum tahu siapa Rangga sebenarnya. Dan Rangga sendiri masih terus merahasiakan dirinya.
"Untuk sementara, biarlah Raden Pinangsang bersama sahabatku, Gusti Adipati. Terlalu berba-haya baginya kalau kembali ke istana. Mereka bisa mudah menembus benteng istana, dan bisa mengambilnya kembali. Aku tidak inginkan kejadian itu terulang kembali. Kalau sampai mereka mendapatkannya lagi, mungkin tidak akan bisa tertolong. Mereka akan mengorbankannya untuk iblis yang mereka sembah," jelas Rangga.
"Mereka memang manusia-manusia iblis yang harus ditumpas, Rangga. Aku sudah bertekad akan menumpas mereka sampai ke akar-akarnya," desis ?Adipati Wiyatala, dingin menggetarkan.
Rangga diam membisu. Sementara sisa prajurit Adipati Wiyatala sudah menyelesaikan pekerjaannya. Bahkan mereka sudah membuat usungan yang diikatkan ke belakang kuda, untuk mengangkut teman-teman yang terluka parah. Sedangkan yang hanya mendapat luka ringan, sudah naik ke punggung kuda masing-masing. Prajurit yang lain juga sudah berlompatan naik ke punggung kuda masing-masing. Hanya seorang saja yang masih memegangi tali kekang dua ekor kuda di belakang Adipati Wiyatala.
"Gusti...," ujar prajurit berusia muda itu seakan mengingatkan.
Adipati Wiyatala berpaling sedikit, dan meng-ambil tali kekang kudanya yang dipegangi prajurit itu. Dan tanpa bicara lagi, adipati itu segera melompat naik ke punggung kudanya ini. Sedangkan Rangga masih tetap berdiri di tempatnya.
"Banyak kuda di sini, Rangga. Kau bisa pilih salah satu yang kau sukai," ujar Adipati Wiyatala, seraya memandang Pendekar Rajawali Sakti itu.
Tapi Rangga hanya tersenyum saja, disertai gelengan kepala. Pendekar Rajawali Sakti memang tidak pernah lagi menunggang kuda lain, setelah memiliki Dewa Bayu. Penolakan Rangga yang tanpa berpikir lebih dulu itu, membuat kening Adipati Wiyatala jadi berkerut.
"Biarkan aku tetap di sini, Gusti Adipati. Se-baiknya kau segera kembali ke istanamu. Perkuat saja pertahanan di sana," kata Rangga, seperti bisa membaca jalan pikiran adipati itu.
"Lalu, kau sendiri akan ke mana?" tanya Adipati Wiyatala.
Rangga tidak bisa langsung menjawab, dan hanya mengangkat bahunya saja. Dan sebenarnya, dia sudah punya satu rencana dalam benaknya, tapi tidak ingin diketahui oleh Adipati Wiyatala. Dia tahu, adipati itu pasti akan ikut kalau tahu rencana yang ada dalam kepalanya.
"Hm.... Sebaiknya aku pergi saja cepat-cepat sebelum banyak lagi pertanyaan yang sulit," gu-mam Rangga dalam hati.
Dan tanpa berpikir lebih panjang lagi, Pendekar Rajawali Sakti langsung melesat cepat, mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah sempurna. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya, hingga dalam sekejapan mata saja bayangan tubuhnya sudah lenyap dari pandangan mata. Dan ini membuat Adipati Wiyatala dan para prajuritnya jadi terlongong bengong. Mereka seperti melihat dewa yang menghilang begitu saja, tanpa meninggalkan bekas sedikit pun juga.
"Oh...! Dia benar-benar dewa yang berada di pihakku...," desah Adipati Wiyatala dalam hati.
Beberapa saat Adipati Wiyatala masih terdiam di atas punggung kudanya, memandang ke tempat tadi Rangga berdiri. Memang tidak ada sedikit pun yang ditinggalkan Pendekar Rajawali Sakti. Dan, entah ke arah mana perginya tadi. Adipati Wiyatala sendiri yang kepandaiannya sudah tinggi, masih sulit untuk bisa menerima tingkat kepandaian yang lebih tinggi darinya. Hingga dalam hatinya, dia semakin yakin kalau Rangga benar-benar dewa yang ingin menolongnya dari rongrongan manusia-manusia penghuni istana tua di puncak Bukit Ular itu.
"Kalian kembalilah ke istana. Aku akan me-nyusul nanti...!" seru Adipati Wiyatala memberi perintah.
Semua prajuritnya jadi terlongong bengong tidak mengerti. Tapi, tidak ada seorang pun yang berani membantah. Maka walau dengan hati berat diliputi berbagai macam pertanyaan atas keputusan junjungannya, mereka tidak bisa membantah lagi. Segera dilaksanakannya perintah itu, meninggalkan hutan ini. Sementara Adipati Wiyatala sendiri masih tetap duduk mematung di atas punggung kudanya. Entah, apa yang ada dalam benak Adipati Parunggungan itu.
"Hm.... Aku yakin, Rangga pergi ke puncak Bukit Ular. Sebaiknya aku juga pergi ke sana. Pasti kehadiranku di sana ada gunanya," gumam Adipati Wiyatala dalam hati.
Tanpa mempertimbangkan lebih dulu, Adipati Wiyatala langsung menggebah cepat kudanya, menuju Bukit Ular setelah prajuritnya tidak lagi terlihat ada di tempat ini. Namun tanpa diketahui, seorang prajurit yang merasa cemas melihat junjungannya, tidak mengikuti yang lain kembali ke istana. Dia bersembunyi di balik pohon, dan terus memperhatikan Adipati Wiyatala yang menuju Bukit Ular, sampai tidak terlihat lagi bayangannya sedikit pun juga.
"Sebaiknya kulaporkan kepergian Gusti Adipati di Bukit Ular pada Paman Rondowungu," gumam prajurit itu, langsung mengambil keputusan.
Dan tanpa menunggu waktu lagi, prajurit itu segera melompat naik ke punggung kudanya, langsung menggebahnya dengan kencang. Sehingga, membuat kuda itu meringkik keras, melesat cepat meninggalkan hutan itu.
"Hiya! Hiyaaa...!"


Pendekar Rajawali Sakti 142 Istana Ratu Sihir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

? *** Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 . 142. Istana Ratu Sihir Bag. 7
22. November 2014 um 21:56
7 ? Dugaan Adipati Wiyatala memang benar. Rangga kini sudah berada di puncak Bukit Ular, tidak jauh dari bangunan istana tua yang berdiri angker di puncak bukit berbatu itu. Entah sudah berapa lama Pendekar Rajawali Sakti berada di sana memandangi bangunan istana tua yang sebagian atapnya telah hancur oleh si pemilik bangunan itu sendiri. Sedikit pun Rangga tidak berkedip saat memandang. Begitu sunyi keadaannya. Tidak terlihat seorang pun ada di sekitar bangunan istana tua yang gelap, tanpa terlihat cahaya. Sehingga keadaannya semakin angker dan menyeramkan.
Cukup lama juga Adipati Wiyatala memperhatikan Rangga yang terus memandangi bangunan istana tua di puncak Bukit Ular ini. Sedikit pun Pendekar Rajawali Sakti tidak bergerak dengan pandangan tertuju lurus ke arah pintu yang tertutup rapat. Adipati Wiyatala tidak tahu, apa yang sedang dilakukan pemuda berbaju rompi putih itu. Dia hanya bisa memperhatikan dari jarak yang cukup jauh, dan terlindung bayang-bayang pepohonan.
"Heh..."! Dia mulai menggerakkan tangannya. Apa yang akan dilakukan...?" desis Adipati Wiyatala agak terkejut.
Saat itu, Pendekar Rajawali Sakti memang kelihatan membuat beberapa gerakan kedua tangan di depan dada, bersamaan dengan terentangnya kedua kaki ke samping. Dan saat lututnya menekuk ke depan, kedua tangannya yang terkepal ditarik, hingga sejajar pinggang. Beberapa saat Pendekar Rajawali Sakti terdiam, dengan tatapan mata begitu tajam menyorot langsung ke pintu istana yang tertutup rapat sekitar dua batang tombak di depannya.
"Aji 'Bayu Bajra'! Yeaaah...!"
Tiba-tiba saja Rangga berteriak lantang menggelegar, bagai guntur hendak membelah angkasa yang kelam tanpa bintang ini. Dan bersamaan dengan itu, kedua tangannya yang tadi terkepal sejajar pinggang, langsung dihentakkan bersamaan ke depan. Maka seketika itu juga....
Wusss...! Bruakkk! Kedua bola mata Adipati Wiyatala jadi terbeliak lebar, melihat pintu dari kayu jati yang sangat besar dan tebal, seketika hancur berkeping-keping, begitu kedua tangan Rangga terhentak ke depan. Tidak ada cahaya atau benda apa pun yang melesat menghantarn pintu itu. Pukulan jarak jauh yang disertai aji 'Bayu Bajra' memang sangat dahsyat. Bukan hanya pintu istana tua itu saja yang hancur berkeping-keping. Bahkan seluruh bangunan istana tua itu jadi bergetar hebat bagai diguncang gempa dahsyat. Malah tanah di sekitar puncak bukit itu juga jadi bergetar.
Sementara Rangga masih tetap berdiri tegak, dengan kedua tangan sudah kembali terkepal di samping pinggang. Tatapan matanya masih tertuju lurus ke pintu yang sudah hancur. Tidak terlihat apa pun juga dalam bangunan istana tua itu, kecuali kegelapan saja. Namun, begitu debu yang mengepul di depan pintu istana tua itu lenyap, tiba-tiba saja terlihat puluhan orang berpakaian serba merah berlarian cepat sekali, sambil berteriak-teriak menyerang Pendekar Rajawali Sakti.
"Hup! Hiyaaa...!"
Sret! Cring! Tanpa membuang-buang waktu lebih banyak lagi, Rangga langsung saja melompat menyambut serangan orang-orang berbaju serba merah sambil mencabut Pedang Pusaka Rajawali Sakti dari warangka di punggung. Dan seketika itu juga, malam yang semula teramat pekat jadi terang benderang terjilat cahaya biru yang memancar dari mata Pedang Pusaka Rajawali Sakti.
Bet! Cras! "Aaakh...!"
Hanya satu kali saja Rangga mengebutkan pedangnya yang sangat dahsyat, lima orang penyerangnya langsung terjungkal mandi darah, disertai jeritan panjang melengking tinggi sating sambut.
"Hiya! Hiyaaat...!"
Rangga tidak berhenti sampai di situ saja. Dia memang sudah bertekad untuk menghancurkan pengabdi-pengabdi setan itu, sampai ke akar-akarnya. Dengan pedang pusaka yang dahsyat, Pendekar Rajawali Sakti berlompatan sambil mengebutkan pedangnya dengan kecepatan tinggi. Bahkan gerakannya sukar dibendung lagi. Jeritan-jeritan panjang melengking terus terdengar saling sambut mengiringi kematian. Tubuh-tubuh bersimbah darah terus berjatuhan, tanpa dapat dicegah lagi.
Dan dalam waktu tidak begitu lama, puluhan orang berpakaian serba merah itu sudah tidak ada lagi yang bisa bangkit berdiri. Mereka semua sudah bergelimpangan mandi darah, tak bernyawa lagi. Rangga berdiri tegak, memandangi lawan-lawannya yang bergelimpangan berlumuran darah di sekitarnya. Kemudian matanya menatap pintu istana tua yang sudah tidak berpintu lagi. Begitu gelap keadaannya, hingga bagian dalamnya sulit dilihat dengan jelas.
"Hm...."
Sambil menggumam pelan, Pendekar Rajawali Sakti mulai melangkah perlahan-lahan mendekati pintu istana tua di puncak Bukit Ular ini. Disimpannya kembali Pedang Pusaka Rajawali Sakti ke dalam warangka di punggung. Maka cahaya biru terang yang menyilaukan mata langsung lenyap, membuat keadaan di sekitar istana tua itu jadi kembali gelap, Namun baru saja Rangga kembali mengayunkan langkah dua tindak, mendadak saja ayunan kakinya dihentikan. Dan langsung kepalanya berpaling ke belakang.
"Hup...!"
Bagaikan kilat, Pendekar Rajawali Sakti melesat, bagai hendak menembus gumpalan kabut yang cukup tebal menyelimuti seluruh puncak Bukit Ular ini. Begitu cepat lesatannya, hingga sulit diikuti pandangan mata biasa. Bahkan Adipati Wiyatala sendiri yang sejak tadi memperhatikan, jadi kelabakan. Karena, Rangga tiba-tiba lenyap begitu saja bagai melesat masuk ke dalam tanah. Namun belum juga lenyap dari rasa keterkejutan adipati berusia muda itu, tiba-tiba saja....
? *** ? "Heh..."!"
Begitu terkejutnya, sampai Adipati Wiyatala terlompat ke belakang tiga langkah. Karena tiba-tiba saja Rangga sudah berdiri di depannya, tanpa diketahui lagi dari mana datangnya. Bahkan kelebatan bayangan bajunya saja tidak terlihat. Dan ini membuat jantung Adipati Wiyatala seakan-akan berhenti berdetak seketika.
"Rangga.... Kau mengejutkan aku saja...," desis Adipati Wiyatala sambil menghembuskan napas panjang.
"Kenapa kau mengikutiku, Gusti Adipati. Bu-kankah aku sudah memintamu kembali ke kadi-paten?" terdengar datar suara Rangga.
"Aku..., aku ingin melihat kau menghancurkan mereka, Rangga. Aku ingin melihat dewa seperti-mu, menghancurkan kejahatan," sahut Adipati Wiyatala dengan suara tergagap.
"Aku bukan dewa, Gusti Adipati. Aku manusia biasa, sama sepertimu. Aku hanya seorang pe-ngembara yang tidak bisa menyembunyikan tangan saat melihat kejahatan berlangsung di depan mata," Rangga mencoba menjelaskan.
"Siapa pun kau, aku tetap ingin melihat kehancuran mereka," tegas Adipati Wiyatala.
"Tidak ada yang dapat kau lakukan di sini, Gusti Adipati. Kembalilah ke kadipaten. Kau sangat dibutuhkan di sana," desak Rangga.
Perlahan Adipati Wiyatala menggeleng. Sedangkan Rangga langsung bisa mengetahui kalau tidak mungkin bisa mendesak Adipati Wiyatala untuk meninggalkan puncak Bukit Ular. Perlahan Rangga berbalik, dan langsung menatap bangunan istana tua yang masih tetap berdiri tegak, sekitar lima batang tombak jaraknya.
Dan Adipati Wiyatala kini menjajarkan dirinya di sebelah kanan Pendekar Rajawali Sakti itu. Ma-tanya juga menatap ke arah bangunan istana tua itu tanpa berkedip sedikit pun juga.
"Dulu tempat ini sangat angker. Tidak ada seorang pun yang berani datang ke sini. Bukan hanya angker, tapi banyak ular berbisa yang hidup di sini. Tapi entah kenapa, sekarang aku tidak menjumpai satu ekor ular pun di sini," kata Adipati Wiyatala, menjelaskan tentang Bukit Ular ini tanpa diminta.
"Hm...," Rangga hanya sedikit menggumamsaja.
"Aneh..., ke mana ular yang dulu memenuhi tempat ini...?" gumam Adipati Wiyatala, seperti bertanya pada diri sendiri.
"Kau tidak akan bisa menjumpai seekor ular pun di sini, Gusti Adipati;" kata Rangga pelan.
"Kenapa?" tanya Adipati Wiyatala.
"Ular-ular itu kini sudah menjelma menjadi manusia, karena sebenarnya memang manusia yang dikutuk dewata," kata Rangga menjelaskan.
"Maksudmu...?" Adipati Wiyatala meminta penjelasan.
"Mereka bisa kembali menjadi manusia, karena pemimpin mereka yang menguasai istana itu, sudah merasakan darah seorang anak perempuan yang lahir pada hari ketiga, tepat bulan ketiga dan berusia tiga tahun. Tapi, dia belum bisa bangkit dengan sempurna, sebelum merasakan darah pasangannya," jelas Rangga. "Hanya pengikutnya saja yang bisa kembali menjadi manusia."
"Aku tidak mengerti maksudmu, Rangga...," kembali Adipati Wiyatala meminta penjelasan.
"Pasangannya adalah putramu, Gusti Adipati. Kalau sampai bisa menikmati darah putramu yang berusia tiga tahun, dan lahir pada hari ke tiga, bulan ketiga juga, dia akan bangkit dengan sempurna untuk membuat bumi ini menjadi neraka. Dan semua itu bisa terjadi, karena ulah Ki Warungkul bersama anak-anaknya."
"Oh.... Apakah kau bisa mencegahnya, Rangga?" tanya Adipati Wiyatala langsung bergetar jantungnya.
"Untuk sementara, aku bisa mencegahnya. Yang jelas, dengan mengamankan putramu, Gusti Adipati. Dan sekarang, aku harus menghancurkan mereka. Juga istana itu," sahut Rangga.
"Caranya?""
Rangga tidak langsung menjawab. Dia memang merasa mendapat kesulitan untuk menghancurkan mereka beserta istana tua itu. Entah bagaimana, pengikut penghuni istana tua itu seperti tidak ada habisnya. Berulang kali muncul dengan jumlah banyak. Walaupun sudah puluhan yang bisa dibinasakan, tapi masih saja muncul yang lain dalam jumlah besar. Hal ini yang membuat Rangga merasa tertantang, dan ingin cepat menghancurkan istana tua bersama semua penghuninya.
"Aku akan mengerahkan seluruh prajurit kadipaten yang ada untuk menghancurkan mereka, Rangga," kata Adipati Wiyatala.
"Tidak ada gunanya, Gusti Adipati. Mereka bukan lagi manusia biasa. Bukannya tidak mungkin, prajuritmulah yang akan musnah," kata Rangga, tegas menolak.
Adipati Wiyatala langsung terdiam membisu. Setelah tahu siapa yang sedang dihadapinya, jan-tungnya langsung berdebar kencang. Bahkan da-rahnya berdesir cepat, seperti tidak beraturan lagi. Sedangkan Rangga juga terdiam membisu, dengan kening berkerut cukup dalam. Entah apa yang ada dalam benak Pendekar Rajawali Sakti itu. Cukup lama juga mereka berdua terdiam membisu, memandangi bangunan istana tua yang berdiri di tengah-tengah puncak Bukit Ular ini.
Sementara, keadaan begitu sunyi. Dan malam pun terus merambat semakin bertambah larut. Seolah-olah, malam ini tidak akan pernah berakhir. Kabut pun semakin tebal menyelimuti seluruh puncak bukit yang berbatu ini. Namun, Rangga dan Adipati Wiyatala masih diam membisu, tak bergerak sedikit pun juga. Mereka terus memandangi bangunan istana tua yang angker dan tidak terawat itu.
? *** ? "Kau tetap di sini, Gusti Adipati. Jangan mengikutiku lagi," kata Rangga dengan nada suara agak ditekan.
"Kau akan ke mana?" tanya Adipati Wiyatala.
Tapi belum juga pertanyaan Adipati Wiyatala menghilang dari pendengaran, Rangga sudah me-lesat bagai kilat, membuat Adipati Wiyatala jadi terbeliak. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuh Pendekar Rajawali Sakti, hingga bayangannya pun sulit dilihat lagi. Dan entah ke mana arahnya, Rangga sudah lenyap tanpa dapat lagi diikuti pandangan mata. Dan Adipati Wiyatala jadi kelabakan sendiri, mengedarkan pandangan berkeliling. Matanya mencari, kalau-kalau bayangan Pendekar Rajawali Sakti kembali terlihat. Tapi harapannya tidak bisa terpenuhi.
"Ah! Mungkinkah dia manusia biasa seperti-ku..." Rasanya sulit bisa diterima, kalau manusia biasa bisa menghilang seperti asap. Atau, dia sudah memiliki kepandaian tingkat tinggi yang sempurna...?"
Adipati Wiyatala jadi bertanya-tanya sendiri mengenai Rangga yang sangat membingungkan.
Masih terlalu sulit baginya untuk bisa memahami ilmu tingkat tinggi yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti. Baginya, ilmu seperti itu hanya dimiliki para pertapa tua yang sudah mensucikan dirinya dari kehidupan kotor dunia nyata. Tapi, Rangga bukanlah seorang pertapa. Bahkan usianya masih terlalu muda untuk disebut pertapa yang sudah dapat dikatakan setengah dewa. Baru kali ini Adipati Wiyatala melihat seorang pemuda yang sebaya dengannya, memiliki kepandaian begitu tinggi sekali!
"Ah! Sebaiknya aku turuti saja kata-katanya. Toh, aku hanya ingin melihat istana itu hancur," gumam Adipati Wiyatala, bicara pada diri sendiri di dalam hati.
Adipati Wiyatala melangkah menghampiri sebongkah batu yang sebesar kerbau, kemudian duduk bersila di atas batu itu. Dipandanginya bangunan istana tua yang berdiri angker di tengah-tengah puncak Bukit Ular ini. Entah kenapa, dia tidak ingin lagi melanggar larangan Rangga. Mungkin karena kehadirannya di tempat ini bisa diketahui Pendekar Rajawali Sakti, tanpa disadarinya.
Sementara itu, di bagian belakang istana tua yang belum hancur, tampak Rangga sudah berada di atas atap. Dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya, Pendekar Rajawali Sakti berjingkat-jingkat mendekati lubang cukup besar yang menganga tepat di bagian tengah atap bangunan berbentuk seperti tempurung kelapa terbalik ini.
"Hup!"
Setelah mengamati beberapa saat bagian dalam istana tua ini, Rangga melompat masuk dengan gerakan begitu indah dan ringan. Beberapa kali tubuhnya berputaran di udara, sebelum menjejakkan kakinya dengan ringan di lantai dari batu yang dingin dan kotor ini. Sejenak tubuhnya merendah, sambil mengedarkan pandangan ke sekelilng ruangan luas yang pengap dan kotor penuh debu ini. Tidak ada seorang pun terlihat. Bahkan altar yang ada di dalam ruangan ini juga kosong. Peti mati yang semula berada dekat altar batu itu juga kini tidak terlihat lagi. Perlahan Rangga menegakkan tubuhnya kembali. Namun pada saat itu juga....
"Hiyaaat...!"
"Heh.."! Hup!"
Cepat-cepat Rangga melenting ke atas, ketika berpaling dan melihat sesosok tubuh ramping melesat begitu cepat menyerangnya, disertai kilatan cahaya putih keperakan.
Tring! "Hap!"
Manis sekali Rangga menjejakkan kakinya di lantai, bersama terdengarnya sebuah dentingan dari sebuah senjata yang menghantam batu. Cepat Rangga berbalik, dan di depannya kini terlihat seorang gadis cantik, berbaju merah yang sangat ketat. Sebilah pedang tampak tergenggam di tangan kanan. Gadis cantik yang tidak lain Worodini tampak sudah siap, melancarkan serangan kembali. Pedangnya kini sudah melintang di depan dada. Sedangkan Rangga tetap berdiri tegak, menatap gadis itu dengan sinar mata sangat tajam menusuk.
"Hiyaaat...!"
Sambil berteriak nyaring, Worodini kembali melompat dengan kecepatan tinggi sekali. Dan pe-dangnya seketika itu juga dikebutkan, tepat mengarah ke leher pemuda berbaju rompi putih ini.
Bet! "Haiiit...!"
Hanya sedikit saja Rangga menarik kepalanya ke belakang, maka tebasan pedang gadis itu tidak sampai memenggal batang lehemya. Dan ujung pedang yang runcing itu hanya lewat sedikit saja di depan batang tenggorokan Pendekar Rajawali Sakti. Saat itu juga, Rangga cepat menarik kakinya ke belakang satu langkah. Dan secepat kilat tubuhnya berputar sambil melepaskan satu tendangan menggeledek yang disertai pengerahan tenaga dalam sempurna, begitu tubuhnya membungkuk.
"Hup!"
Namun, Worodini rupanya bukan gadis sem-barangan. Dengan gerakan cepat dan indah sekali, tubuhnya melenting ke atas. Sehingga, membuat tendangan kaki kiri Rangga tidak sampai menghantam tubuhnya. Pada saat berada di atas, pedangnya dikebutkan ke bawah, tepat mengancam batok kepala Pendekar Rajawali Sakti. Begitu cepat serangan baliknya, hingga tidak ada lagi kesempatan bagi Rangga untuk berkelit menghindarinya. Namun...
"Hap!"
Tap! "Hei..."!"
Worodini jadi terbeliak lebar, ketika tiba-tiba saja Rangga mengatupkan kedua telapak tangan-nya di atas kepala, hingga menjepit ujung pedang yang hampir membelah kepalanya. Belum lagi Worodini bisa menghilang rasa keterkejutannya, Rangga sudah menghentakkan kedua tangannya yang menjepit pedang ke bawah, disertai penge-rahan tenaga dalam sempurna.
"Hiyaaa...!"
"Oh..."!"
Worodini jadi tersentak kaget setengah mati. Keseimbangan tubuhnya tidak dapat lagi dikuasai, hingga sentakan tangan Rangga membuat dirinya jadi terpental dan terbanting keras sekali di lantai yang kotor terbuat dari batu hitam ini. Worodini terpekik keras, begitu tubuhnya menghantam lantai dengan keras sekali. Namun pedangnya yang terjepit sempat ditarik disertai pengerahan tenaga dalam tinggi, sambil menggulingkan tubuhnya menjauhi Pendekar Rajawali Sakti.
"Hih!"
Tapi, Rangga bukannya menahan sentakan gadis itu. Malah kedua tangannya dihentakkan ke depan, sambil melepaskan jepitannya pada ujung pedang itu. Sehingga, Worodini tidak dapat lagi menguasai dirinya yang terus bergulingan di lantai, sampai menabrak altar batu yang ada di tengah-tengah ruangan ini.
"Akh...!"
Kembali Worodini terpekik, begitu punggung-nya menghantam batu besar yang menjadi tempat persembahan bagi penghuni istana tua ini. Namun, gadis itu bisa cepat bangkit kembali, dan langsung menyilangkan pedangnya di depan dada. Sedangkan Rangga sendiri sudah kembali berdiri tegak, siap menyambut serangan gadis itu kembali.
"Mampus kau! Hiyaaat...!"
Sambil berteriak lantang menggelegar, Worodini kembali melompat menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Pedangnya dijulurkan ke depan, tepat mengarah ke bagian dada pemuda berbaju rompi putih ini. Namun, begitu tubuh gadis itu dekat, tanpa diduga sama sekali Rangga menarik pedang pusakanya. Langsung pedang itu dikibaskan ke depan, disertai pengerahan tenaga dalam sempurna.
"Hiyaaa...!"
Trang! Cras! "Aaakh...!"
Worodini jadi menjerit melengking tinggi, begitu Pedang Pusaka Rajawali Sakti menghantam buntung pedangnya. Bahkan langsung membelah kepalanya, hingga menjadi dua. Begitu dahsyat pedang di tangan Pendekar Rajawali Sakti, hingga tidak ada satu senjata pun yang sanggup meghadangnya.
Seketika itu juga Worodini ambruk ke lantai, dengan darah berhamburan deras dari kepalanya yang terbelah. Tubuhnya bergelinjang, menggelegar meregang nyawa tidak jauh di depan Rangga yang berdiri, sambil menggenggam Pedang Pusaka Rajawali Sakti di tangan kanan.
Pedang yang memancarkan cahaya biru terang itu, membuat keadaan di seluruh ruangan ini jadi terang benderang, bagai bermandikan cahaya pelita. Sementara, Worodini hanya sebentar saja menggelegar. Kemudian, tubuhnya mengejang kaku, dan diam tidak bergerak-gerak lagi.
"Woro...!"
"Hm...!"
? *** Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 " 142. Istana Ratu Sihir Bag. 8 (Selesai)
November 22, 2014 at 9:58pm
8 ? Rangga langsung berpaling, ketika mendengar jeritan dari arah kiri. Saat itu, terlihat seorang laki-laki tua berjubah merah menyala, berlari menghambur ke arah Worodini yang sudah tergeletak kaku tidak bernyawa lagi dengan kepala terbelah menjadi dua. Sementara tidak jauh di depannya, Pendekar Rajawali Sakti berdiri tegak memandangi. Pedang Pusaka Rajawali Sakti sudah kembali tersimpan dalam warangka, membuat keadaan ruangan ini kembali gelap. Sementara laki-laki tua berjubah merah yang tidak lain Ki Warungkul, langsung menghambur dan memeluk tubuh anak gadisnya yang sudah tidak bernyawa lagi.
Namun hanya sebentar saja laki-laki tua itu meratapi kematian anak gadisnya, kemudian sudah bangkit berdiri setelah meletakkan tubuh Worodini kembali ke lantai. Tatapan matanya yang tajam langsung menyorot, menembus ke dalam bola mata Rangga yang berdiri tegak sekitar satu batang tombak di depannya. Terdengar suara geraham bergemeletuk, menahan kemarahan yang memuncak di dalam dada. Dan perlahan Ki Warungkul melangkah menghampiri Pendekar Rajawali Sakti ini.
"Kau harus membayar nyawa kedua anakku, Bocah Setan...!" desis Ki Warungkul dengan suara menggeletar menahan marah.
Rangga hanya diam saja, menanti serangan orang tua yang dulunya seorang pertapa ini. Se-mentara, jarak mereka sudah semakin bertambah dekat saja. Perlahan-lahan Ki Warungkul mencabut pedang yang selalu tersembunyi di balik jubahnya yang panjang. Kemudian...
"Mampus kau, Setan Keparat! Hiyaaat...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, Ki Warungkul langsung melesat dengan kecepatan tinggi. Pedangnya langsung dikibaskan begitu cepat, tepat mengarah ke batang leher Pendekar Rajawali Sakti ini.
Bet! "Haiiit..!"
Namun hanya sedikit mengegos kepala, tebas-an pedang orang tua itu tidak sampai mengenai batang leher Pendekar Rajawali Sakti. Tapi tanpa diduga sama sekali, tongkat kayu yang berada di dalam genggaman tangan kiri orang tua itu berkelebat begitu cepat ke arah kaki Pendekar Rajawali Sakti ini. Dan memang, Rangga bukan lawan sembarangan. Maka dengan gerakan begitu indah, Pendekar Rajawali Sakti melenting ke belakang sambil memutar tubuhnya, menghindari serangan beruntun yang dilancarkan orang tua berjubah merah itu.
"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"
Tapi, Ki Warungkul rupanya tidak mau lagi memberi kesempatan pada lawannya untuk balas menyerang. Sebelum kedua kaki Rangga bisa menjejak lantai, orang tua itu sudah kembali melompat dengan kecepatan kilat. Langsung diserangnya Pendekar Rajawali Sakti dengan kedua senjata secara beruntun dan cepat. Sehingga, Rangga terpaksa harus berjumpalitan menghindarinya.
Dengan mengerahkan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib', serangan-serangan yang dilancarkan Ki Warungkul tidak ada yang bisa menyentuh tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Walaupun jarak di antara mereka berdua begitu dekat tapi sangat sulit bagi Ki Warungkul untuk bisa menyarangkan serangan-serangannya. Gerakan-gerakan yang dilakukan Rangga begitu sulit diterka arahnya. Bahkan sering terlihat, seakan-akan Rangga tidak menggunakan jurus-jurus silat. Gerakan-gerakannya lebih mirip orang yang kebanyakan minum arak. Sama sekali tidak beraturan. Dan ini membuat Ki Warungkul semakin sulit menyarangkan serangan-serangannya.
"Kau mempermainkan aku, Bocah Setan! Mampus kau! Hiyaaat...!"
Ki Warungkul semakin geram saja. Dan seketika serangannya ditingkatkan dengan jurus-jurus tingkat tinggi yang sangat cepat dan dahsyat Dan Rangga pun jadi kelabakan juga menghadapinya.
Tapi dengan ketenangan luar biasa, dia masih bisa menghindari setiap serangan orang tua ini. Bahkan beberapa kali, Rangga bisa melancarkan serangan balasan, walau dengan mudah bisa dipatahkan Ki Warungkul.
"Huh! Bisa habis napasku kalau terus begini.. .!" dengus Rangga dalam hati.
Serangan-serangan Ki Warungkul memang sa-ngat cepat dan dahsyat luar biasa. Sehingga, membuat Rangga harus jungkir balik menghindarinya. Sedangkan beberapa kali serangan balasan yang dilancarkannya, sama sekali tidak berarti. Dan memang, Rangga belum mempunyai kesempatan sedikit pun untuk memberikan serangan balasan yang berarti.
"Mampus kau! Hiyaaa...!"
"Tiba-tiba saja Ki Warungkul membentak keras menggelegar. Dan saat itu juga, pedangnya dikebutkan tepat mengarah ke kaki Pendekar Rajawali Sakti ini.
Dan kesempatan yang sangat sedikit ini, tidak disia-siakan Rangga. Dengan cepat tubuhnya me-lenting ke atas, dan langsung mencabut Pedang Pusaka Rajawali Sakti dari dalam warangka di punggung. Seketika itu juga, ruangan yang gelap gulita jadi terang benderang oleh cahaya yang memancar dari mata pedangnya.
"Oh..."!"
Ki Warungkul jadi terkesiap kaget, melihat cahaya yang memancar menyilaukan mata dari pe-dang lawan. Cepat kakinya ditarik ke belakang beberapa langkah. Sementara, Rangga sudah berdiri tegak dengan kedua kaki kokoh di atas lantai batu hitam yang kotor berlumut ini. Pedang pusakanya tersilang di depan dada, membuat dirinya bagai sosok dewa yang akan mencabut nyawa laki-laki tua di depannya.
Cahaya biru terang yang memancar dari pedang Pendekar Rajawali Sakti, menerobos sampai keluar melalui pintu istana tua yang sudah hancur. Dan cahaya itu membuat Adipati Wiyatala jadi bergetar. Hatinya jadi tertarik ingin mengetahui peristiwa yang terjadi di dalam istana itu. Dan tanpa berpikir panjang lebar, adipati ini segera melompat dan berlari kencang menghampiri bangunan istana tua itu.
"Hah..."!"
Kedua bola mata Adipati Wiyatala jadi terbeliak lebar, melihat Rangga dengan pedang pusakanya yang lurus ke depan, berdiri tegak sekitar tujuh langkah di depan Ki Warungkul. Tampak dari ujung pedang itu memancar cahaya biru terang, yang menggulung seluruh tubuh Ki Warungkul. Sementara, orang tua itu terlihat menggeliat-geliat di dalam selubung cahaya biru yang memancar dari ujung pedang Pendekar Rajawali Sakti.
Kini seluruh bangunan istana ini mulai bergetar bagai diguncang gempa. Sedangkan batu-batu atap istana mulai berjatuhan. Sementara, Adipati Wiyatala tetap berdiri di ambang pintu, menyaksikan sebuah pertarungan tingkat tinggi yang belum pernah disaksikan selama ini. Sedangkan saat itu, Rangga mulai melangkah mendekati Ki Warungkul yang semakin lemah gerakannya di dalam selubung cahaya biru yang memancar dari ujung Pedang Pusaka Rajawali Sakti.
"Hiyaaat...!"
Dan tiba-tiba saja, Rangga berteriak keras menggelegar. Lalu bagaikan kilat Pendekar Rajawali Sakti melompat sambil menghentakkan pedang ke atas kepala. Dan secepat kilat pula pedangnya dibabatkan tepat ke batang leher Ki Warungkul. Begitu cepatnya serangan akhir Pendekar Rajawali Sakti, membuat Ki Warungkul tidak dapat lagi berkelit menghindarinya. Dan....
Cras! "Aaakh...!"
Jeritan panjang melengking tinggi seketika ter-dengar sangat menyayat, ketika Pedang Pusaka Rajawali Sakti membabat batang leher Ki Warungkul. Sementara Rangga sudah kembali melompat ke belakang sejauh lima langkah, sambil berputaran dua kali di udara. Dan begitu kedua kakinya menjejak lantai, kepala Ki Warungkul jatuh menggelinding, terpisah dari leher. Seketika itu juga, darah muncrat keluar dengan deras sekali dari batang leher yang buntung.
Tubuh Ki Warungkul yang sudah tidak berke-pala lagi jadi limbung, kemudian ambruk ke lantai istana tua ini. Sebentar tubuh orang tua itu meregang nyawa, kemudian diam tidak bergerak-gerak lagi. Darah terus mengucur keluar dari leher yang buntung tidak berkepala lagi.
"Hhh...!"
Rangga menarik napas panjang, sambil me-nyimpan kembali Pedang Pusaka Rajawali Sakti ke dalam warangka di punggung. Sebentar dipan-danginya tubuh Ki Warungkul yang sudah ter-geletak tidak bernyawa di depannya. Kemudian pandangannya beralih pada Adipati Wiyatala yang berdiri mematung di ambang pintu. Sedangkan istana tua ini semakin keras bergetar, membuat batu-batu berjaruhan semakin banyak.
"Hup!"
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Rangga segera melompat ke luar. Dan dengan cepat sekali disambarnya Adipati Wiyatala yang masih tetap mematung seperti tidak percaya dengan semua yang tengah disaksikannya. Manis sekali Rangga menjejakkan kakinya kembali di tanah bersama Adipati Wiyatala. Sementara, getaran pada istana tua itu semakin bertambah kencang saja. Sehingga, tanah berbatu di puncak Bukit Ular ini jadi berguncang seperti terjadi gempa.
"Mundurlah, Gusti Adipati," kata Rangga meminta dengan nada suara dalam.
"Apa yang akan kau lakukan, Rangga?" tanya Adipati Wiyatala.
"Mundurlah...."
Adipati Wiyatala segera menarik kakinya ke belakang beberapa langkah. Sementara, Rangga sudah berdiri tegak dengan kedua telapak tangan merapat di depan dada. Dan perlahan-lahan, tubuhnya bergerak hingga doyong ke kanan, lalu ditarik perlahan-lahan ke kiri. Dan begitu tubuhnya tegak kembali, terlihat semburat cahaya biru terang berkilau di antara kedua telapak tangan yang merapat di depan dada. Cahaya biru terang yang sama dengan cahaya pada Pedang Pusaka Rajawali Sakti di punggung pemuda itu. Sementara, Adipati Wiyatala terus memandangi tidak mengerti dengan semua yang diperbuat pemuda berbaju rompi putih ini.
"Aji 'Cakra Buana Sukma'! Yeaaah...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, Rangga menghentakkan kedua tangannya ke depan. Dan seketika itu juga, dari kedua telapak tangannya melesat cahaya biru terang, langsung menghantam bangunan istana tua itu. Maka seketika....
Glarrr...! Satu ledakan dahsyat seketika terjadi, bersamaan dengan hantaman cahaya biru dari kedua telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti pada bangunan istana tua ini. Akibatnya, istana tua di puncak Bukit Ular ini jadi semakin hancur berkeping keping, menciptakan kepulan debu yang membumbung tinggi ke angkasa bagai sebuah jamur raksasa. Sementara batu-batu dari bangunan istana tua itu berhamburan di sekitarnya, berpentalan ke angkasa bagai letusan gunung berapi. Puncak Bukit Ular ini pun berguncang hebat. Di antara suara gemuruh dan ledakan dahsyat itu, terdengar jeritan melengking tinggi seorang wanita.
Rangga tahu, itu adalah jeritan perempuan tua yang menjadi penghuni istana tua ini. Perempuan iblis yang ingin menguasai dunia dengan kejahatannya. Sementara, Rangga menarik kakinya perlahan-lahan ke belakang. Dan kakinya baai berhenti setelah berada di samping kanan Adipati Wiyatala. Tampak istana tua itu kini sudah hancur berkeping-keping tidak berbentuk lagi.
"Ayo kita tinggalkan bukit ini," ajak Rangga seraya berbalik.
"Mereka semua sudah musnah, Rangga?" tanya Adipati Wiyatala, sambil mengikuti langkah Pendekar Rajawali Sakti. Segera langkah kakinya disejajarkan di samping Rangga.
Rangga hanya mengangguk saja.
"Lalu, bagaimana dengan putraku?" tanya Adipati Wiyatala.
"Aku akan mengembalikan padamu, Gusti Adipati" sahut Rangga seraya tersenyum.
"Terima kasih...."
? ? SELESAI ? www.duniaabukeisel.blogspot.com
Pendekar Rajawali Sakti
Notes by Pendekar Rajawali Sakti
s ? 2017 Kelana Buana 8 Pendekar Mabuk 047 Rencong Pemburu Tabib Riwayat Lie Bouw Pek 13
^