Pencarian

Metropolis 3

Metropolis Karya Windry Ramadhina Bagian 3


selain informasi. Orang biasa mungkin akan lari menghubungi polisi dalam
situasi seperti ini, tetapi Miaa justru mendekati rumah kosnya. Miaa
bukan pengecut dan lagi dia merasa perlu tahu siapa yang masuk
tanpa diundang ke tempat tinggalnya.
Dia berjingkat sambil merunduk, melangkah dengan sangat
hati-hati agar kehadirannya tidak diketahui. Dia berjongkok di
bawah jendela begitu dirinya berhasil mendekati rumahnya, lalu
mengintip ke dalam. Miaa menghitung berdasarkan intuisi karena
tidak banyak yang bisa terlihat dalam kegelapan ruangan itu. Ada
dua orang lelaki tidak dikenal di ruang tamunya. Orang pertama
berdiri di dekat pintu keluar dan berjaga-jaga. Orang kedua berdiri
di depan pintu kamar, sedang mencoba membuka papan kayu itu
secara paksa. 145 Metropolis.indd 145 Pada saat Miaa sibuk mempertanyakan identitas kedua
penyusup, seseorang menyergapnya dari belakang. Tangan orang
itu mencengkeram tengkuknya seperti cakar elang yang sedang
menangkap mangsa, sehingga Miaa mengerang kesakitan. Dia
diseret ke dalam rumah, lalu didorong ke pojok ruangan hingga
tersungkur. Tiga orang lelaki berdiri di hadapannya. Salah seorang
dari mereka menyoroti wajahnya dengan senter. Didengarnya orang
itu berkata kepada yang lain, "Kasih tahu bos!"
Bos yang dimaksud ternyata adalah Ferry Saada. Miaa tidak
terlalu kaget. Dia sadar, cepat atau lambat, keberadaannya sebagai
bagian dari keluarga Saada akan diketahui. Ferry muncul tidak lama
setelah dihubungi, sekitar lima menit kemudian. Lelaki flamboyan
itu menyuruh salah seorang anak buahnya menyalakan lampu
ruangan, sehingga mereka bisa bertatap muka. Ekspresi yang
diperlihatkan oleh Ferry jauh dari kesan ramah. Jelas, lelaki itu
datang bukan untuk memberinya pelukan hangat.
"Miaa," Ferry membuka pembicaraan, "anak haram Saada."
Miaa bangkit berdiri dan menatap Ferry. Dia berpura-pura
tenang menghadapi lelaki itu. Dia tahu Ferry sangat emosional,
maka ketenangan merupakan senjata terbaik untuk melawan
saudara tirinya itu. "Aku tidak menginginkan posisi apa pun di keluarga kita. Lebih
baik kau melepaskanku," ucapnya.
"Kau tidak menginginkan bisnis Saada?" tanya Ferry.
Miaa menggeleng. Dia lihat Ferry tersenyum mendapat
jawaban itu, lalu lelaki itu mengulurkan tangan ke arahnya dan
membelai wajahnya dengan lembut. Miaa terkesiap. Dia melangkah
146 Metropolis.indd 146 mundur untuk menghindari kontak fisik mereka, tetapi Ferry
bergerak lebih cepat darinya. Lelaki itu mencengkeram lehernya,
lalu memaksanya mendekat dengan kasar.
"Aku akan membunuhmu, Miaa," bisik Ferry di telinganya,
"setelah itu aku bisa kembali tidur dengan tenang."
Miaa menelan ludah. Ferry sudah gila, pikirnya. Tidak ada
gunanya dia mencoba berdamai dengan bos Saada itu, maka
dia memutuskan untuk bertindak. Diserangnya Ferry dengan
gerakan-gerakan cepat. Tidak tanggung-tanggung, dia menendang
kemaluan Ferry keras-keras. Ketika Ferry membungkukkan tubuh
karena kesakitan dan cengkeraman lelaki itu telah terlepas, Miaa
menggapai kepala lelaki itu, lalu diadunya melawan lututnya.
Setelah itu dia mengeluarkan pisau lipat yang selalu dia bawa-bawa
dalam saku celananya, kemudian menikam bahu Ferry seolah-olah
dua serangan sebelumnya tidak cukup untuk melumpuhkan lelaki
itu. Lelaki itu mengerang sambil mengutukinya. Ketiga anak buah
lelaki itu mencoba menerkamnya, tetapi Miaa tetap sigap. Dia mendorong tubuh Ferry yang limbung ke arah tiga kroco itu sehingga
mereka menangkap bos sendiri, dan inilah kesempatannya untuk
melepaskan diri. Dia lari ke bagian belakang bangunan. Kendati
kecil, rumah kosnya memiliki pintu kedua yang menghubungkan
ruang tengah dengan dapur terbuka di teras belakang. Pintu itu
dikunci hanya dengan sebuah gerendel kecil, sehingga tidak sulit
untuk dibuka. Dalam hitungan detik, Miaa sudah berada di luar,
di gang sempit yang ada di antara barisan rumah yang saling memunggungi.
147 Metropolis.indd 147 "Kejar!" Miaa mendengar Ferry berteriak. "Kejar dia! Bunuh
saja!" Miaa berlari menyusuri gang yang gelap gulita itu secepat yang
bisa dia lakukan. Tubuhnya ramping, sehingga langkahnya lebih
tangkas dibandingkan dengan para pengejarnya. Selang enam atau
tujuh rumah dari tempat tinggalnya, tanpa diduga-duga karena dia
mengira sudah meninggalkan lawan-lawannya di belakang, dia
ditarik oleh seseorang. Sejurus kemudian, dirinya sudah berada di
dalam rumah ibu kosnya. Perempuan cerewet itu memberinya isyarat untuk diam.
Mereka berjongkok di balik pintu dalam suasana tegang. Dari arah
luar terdengar langkah-langkah kaki melewati halaman belakang
rumah itu. "Lewat depan," ibu kosnya berkata sambil menuntunnya ke
pintu utama. Perempuan itu melongok lewat celah pintu yang terbuka, kemudian celingak-celinguk untuk memeriksa situasi.
"Aman," bisik ibu kosnya.
"Bu, aku...." "Sudah, pergi sana! Kalau kamu kelamaan di sini, nanti Ibu
ikut kena sial." Gerutuan itu membuat Miaa tersenyum. Tanpa membuangbuang waktu lagi, dia menyelinap keluar dari rumah tersebut dan
berlari berlawanan arah dengan para pengejarnya.
Erik melangkah begitu terburu-buru sampai kakinya tersandung
kusen pintu. Dia nyaris terjerembap, tetapi untunglah dia berhasil
148 Metropolis.indd 148 mengembalikan keseimbangannya. Saat mendapat panggilan dari
kantor kesatuannya tadi, dia sudah setengah bermimpi. Seorang
polisi yang kena giliran jaga malam berkata kepadanya bahwa
perempuan bernama Miaa datang ke Polda mencari Bram. Atasannya itu tidak bisa dihubungi, maka terpaksa dirinya yang harus rela
kehilangan jam tidur. Pada saat Erik tiba di Polda, Miaa berada di ruang interogasi
bersama seorang polisi jaga. Perempuan itu tampak sangat gelisah,
dia sibuk menggigit-gigit bibir serta meremas-remas tangan. Wajahnya pucat. Tubuhnya berkeringat. Selain itu, penampilannya berantakan, baju warna cerah yang dia kenakan kotor oleh noda darah.
Milik siapa darah itu, Erik belum tahu, tetapi sekilas dia perhatikan
Miaa tampak baik-baik saja"tidak terluka sama sekali.
Polisi yang menemani Miaa"yang juga telah menghubunginya
tadi"memberi laporan singkat kepadanya, kemudian dia dan Miaa
dibiarkan berdua saja di ruangan tersebut. Erik menarik sebuah
kursi, lalu duduk di hadapan perempuan itu. Dia membuka pembicaraan dengan grogi, "Apa telah terjadi sesuatu?"
"Aku mencari Agusta Bram."
"Kami belum berhasil mengontak Bram. Tapi aku asistennya,
kau bisa memercayaiku."
Miaa menatapnya lekat-lekat, mungkin tengah menimbangnimbang apakah dirinya memang bisa dipercaya. Pada akhirnya
perempuan itu mengaku juga kendati nada bicaranya masih terdengar ragu, "Aku diserang Ferry Saada."
Erik terperanjat begitu mendengar nama salah satu bos mafia
itu disebut. Tanpa sadar dia membuka mata dan mulutnya lebar149
Metropolis.indd 149 lebar. Dia baru saja akan melontarkan pertanyaan selanjutnya,
tetapi polisi jaga yang tadi masuk kembali ke ruang interogasi.
"Inspektur Bram menelepon," polisi itu memberi tahu sambil
menunjuk ke arah ruang kesatuan mereka dengan ibu jarinya.
Erik buru-buru bangkit dari tempat duduk. Setengah berlari,
dia keluar dari ruang interogasi bersama polisi jaga itu. Dihampirinya
ruang kesatuannya. "Bram?" dia menyapa atasannya dengan antusias.
"Miaa di sana?"
"Ya. Tidak terluka, tapi bajunya penuh darah."
"Apa yang terjadi?"
"Dia bilang, dia diserang Ferry Saada."
Bram terdiam sejenak. Erik juga membisu, menunggu atasannya mengucapkan sesuatu atau memberi instruksi seperti biasa.
Bram berkata selang lima detik, "Oke. Kau di sana saja. Jangan
biarkan dia pergi." "Baik, tapi cepatlah ke sini. Dia mencarimu."
Bram menjawab, "Aku segera ke sana setelah selesai dengan
Ferry," kemudian telepon itu diputus.
Sampai pagi Ferry tidak berhenti memaki Miaa. Tusukan perempuan
itu ternyata cukup dalam. Dia mengeluarkan banyak darah dan pada
akhirnya harus dilarikan ke rumah sakit untuk menjalani operasi
kecil. Menjelang pagi, baru dia diperbolehkan pulang, kemudian"
seakan malam itu belum cukup sial untuknya"dia mendapati Bram
sudah menunggu di depan rumah sakit.
150 Metropolis.indd 150 "Terluka, Ferry?" polisi itu menyindirnya sambil membuang
puntung rokok. Ferry menghela napas untuk menunjukkan ketidaksukaannya.
Balasnya, "Apa yang kau lakukan di sini, Bram?"
Bram tidak menjawab. Polisi itu menghampirinya dengan
cepat, mencengkeram kerah bajunya tanpa basa-basi, lalu mendorongnya mundur sampai punggungnya menabrak dinding muka
bangunan. "Kau berutang banyak penjelasan kepadaku," kata Bram.
"Hei! Hei! Apa-apaan ini, Bram?" tanya Ferry dengan sewot.
Dua anak buah Ferry buru-buru turun tangan begitu melihat bos
mereka diserang. Mereka menjauhkan Bram dari Ferry. Sambil
merapikan kembali pakaiannya yang sempat kusut karena ulah
Bram, Ferry mengumpat, "Apa kau gila?"
"Tanya kepada dirimu sendiri! Apa yang kau lakukan di Rawamangun tadi?" balas Bram.
Ferry mendengus. "Kau seperti anjing saja," dia mencemooh.
"Aku ada urusan dengan buronanmu. Urusan keluarga."
Rona wajah Bram berubah karena ucapan Ferry barusan. Dia
bertanya kepada Ferry seraya mengernyit, "Apa maksudmu?"
"Oh ayolah, Bram. Kau mengerti apa maksudku. Perempuan
itu anak haram ayahku dengan pelacur dariYogya. Karena itulah, dia
dikeluarkan dari kepolisian. Dia punya hubungan darah dengan bos
mafia. Puki! Berani-beraninya dia muncul! Apa dia tahu keberadaannya bisa membuat posisiku terancam" Tentu saja tidak. Dia tidak
mengerti urusan mafia. Daripada jadi masalah pada kemudian hari,
lebih baik kubereskan saja sekarang," Ferry menjelaskan panjang
lebar. 151 Metropolis.indd 151 Dia perhatikan Bram tidak senang mendengar apa yang dia
ucapkan barusan, terlihat dari ekspresi polisi itu. Ferry berani bertaruh, lawan bicaranya itu pasti ingin sekali memukulnya sekarang,
namun Ferry tidak peduli karena saat ini suasana hatinya sedang
sangat buruk. Kalau saja dia tidak sedang terluka dan bisa berkelahi"
dan sudah dipastikan akan menang"maka dia tidak keberatan baju
mahalnya rusak. "Jangan sampai hal semacam ini terjadi lagi! Kuperingatkan
kau, Ferry!" ancam Bram.
Ferry membalas cepat, "Tidak ada yang bisa memerintahku,
Bram! Apalagi kau! Aku muak dengan permainanmu, jadi mari kita
akhiri saja! Berikan aku bukti penyelundupan itu dan akan kuberikan
kepadamu apa yang kuketahui tentang Frans!"
Bram tidak menjawab tawaran Ferry. Dia menatap Ferry dalam
diam, entah apa yang dipikirkannya sekarang. Sesungguhnya, Ferry
jeri juga jika harus berlawanan dengan polisi itu, tetapi apa boleh
buat. Ucapannya barusan sudah telanjur keluar. Dia adalah seorang
Saada dan seorang Saada tidak menarik kembali ucapannya.
"STI571. Sejak 2001, geng Frans Al di Vancouver membeli obat
itu dalam jumlah kecil secara rutin. Pembelian itu berhenti dua tahun
yang lalu. Aku memasok barang dari lapau yang sama dengan geng
itu, jadi aku tahu," ucap Ferry.
Dia menepuk bahu Bram. "Senang berbisnis denganmu,
Bram," katanya lagi. Lalu, dia beranjak pergi dari tempat itu.
Bram tidak bisa melindunginya dari Ferry Saada. Miaa baru menyadari itu saat polwan yang mengaku sebagai asisten Bram
152 Metropolis.indd 152 berkata bahwa atasannya pergi menemui Ferry. Ferry dan Bram
saling menepuk bahu pada pemakaman Leo. Dua orang itu adalah
sekutu dan seharusnya Miaa ingat akan hal itu sebelum mengadu
ke polisi. Apa yang dia pikirkan belum tentu benar, tetapi dia telah
membahayakan dirinya sendiri dengan mencoba menemui Bram.
Bagaimana jika polisi itu buka mulut" Miaa tidak ingin keberadaannya diketahui oleh Ferry, maka dia segera meninggalkan kantor
Polda begitu ada kesempatan.
Posisinya kali ini betul-betul buruk. Dia menjadi buronan
organisasi kejahatan yang memiliki jaringan terluas di Jakarta.
Selain itu, Ferry punya koneksi di mana-mana akibat petualangan
malamnya selama ini dengan sekelompok hedonis. Lelaki itu cuma
perlu berbisik kepada salah seorang anak buahnya, maka semua
jalanan dan bangunan di Jakarta berubah menjadi tempat yang
tidak aman bagi Miaa. Miaa tidak tahu sampai kapan kondisi ini
akan berlangsung, mungkin selamanya atau sampai Ferry berhasil
menemukannya. Dia hanya tahu, dirinya harus bersembunyi sampai
keadaan berbalik. Kini, dia berada di Metropolis, satu-satunya tempat yang dia
yakini tidak tersentuh oleh Geng Saada. Dia duduk sendiri di antara
kursi-kursi dan meja-meja kosong. Pub malam itu sudah tutup sejak
sebelum matahari terbit, tetapi dia berhasil membujuk penjaga untuk membiarkannya tinggal di sana lebih lama, setidaknya beberapa
jam, sampai dia bisa memutuskan ke mana dia akan pergi.
Kopi dalam gelas keempatnya sudah dingin dan hampir tandas ketika pintu pub itu terbuka perlahan dan menimbulkan derit
yang memilukan. Cahaya pagi masuk memperlihatkan titik-titik
153 Metropolis.indd 153 debu yang beterbangan mengisi udara. Miaa menoleh. Dia melihat
seorang perempuan berumur yang belum kehilangan pesonanya
memasuki ruangan bersama penjaga pub yang mengizinkannya
tinggal lebih lama. "Dia di pojok sana, Nyonya," kata penjaga itu.
Perempuan yang diajak bicara, atau yang dia kenal sebagai
Aretha, menyapu ruangan dan menemukan dirinya tanpa kesulitan di area yang nyaris tidak terkena cahaya. Aretha meminta
secangkir teh panas kepada penjaga pub, lalu perempuan itu
meng"hampirinya. "Miaa?" sapa Aretha. "Kalau kau tidak keberatan, aku ingin
membicarakan sesuatu."
Miaa membiarkan Aretha duduk di hadapannya. "Silakan saja.
Aku punya banyak waktu," jawabnya.
Aretha tersenyum masam dan menatapnya dengan mimik
kasihan seolah-olah dirinya adalah hewan malang yang telantar di
jalanan. "Aku tahu situasimu," kata perempuan itu, "dan aku bisa
memberimu perlindungan."
154 Metropolis.indd 154 13. Sekutu ada saat transaksi malam GBP yang dia lakukan mengalami
kerugian, Johan akan mempertaruhkan segalanya berdasarkan
intuisi. Malam yang berawan hanya akan membawa nasib buruk,
maka lebih baik dia menghentikan transaksi itu sebelum kerugian


Metropolis Karya Windry Ramadhina di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang dia alami bertambah besar. Akan tetapi, malam yang cerah
membawa keberuntungan, maka dia akan membiarkan transaksi itu
mengambang sampai keesokan harinya dan sering kali pergerakan
nilai GBP sudah berbalik.
Johan tidak membuka transaksi GBP kemarin malam, sehingga
dia tidak tahu apakah langit cerah ataukah berawan. Tetapi pasti
langit membawa nasib buruk saat dia tidur karena pagi ini, begitu
dia bangun dan keluar dari kamar, dirinya menemukan Miaa Saada
di ruang tengah apartemennya.
Perempuan itu berdiri membelakanginya, menghadapi jendela
yang ada di salah satu sisi ruangan, sambil melipat tangan di depan
155 Metropolis.indd 155 dada. Wajah perempuan itu kusut, Johan bisa melihat itu saat Miaa
menoleh, dan pakaiannya diperindah bercak darah.
"Baru bunuh orang?" pertanyaan Johan itu disertai senyum
sinis. Miaa tidak menjawab. Johan tidak ambil pusing sama sekali.
Dia melangkah menuju dapur dan menemukan Aretha di sana.
Begitu melihat dirinya, Aretha langsung menyodorkan satu gelas
air. Dihabiskannya air itu dengan cepat, lalu dia meminta penjelasan kepada Aretha, "Apa-apaan ini" Kau menyiapkan pesta kejutan
untukku?" Nada bicaranya ketus dan volume suaranya cukup keras
untuk menjangkau ruang tengah.
Aretha menanggapi Johan dengan tenang, "Dia akan tinggal
bersama kita untuk sementara. Ferry Saada sudah mengetahui
keberadaannya dan sekarang dia diburu."
Johan tambah senewen mendengar itu. Peduli amat! "Sejak
kapan kita mengurusi masalah keluarga orang?" sindirnya.
"Suatu saat ini akan memberimu keuntungan, Johan. Dia
seorang Saada. Kau tahu sebesar apa jaringan yang mereka miliki.
Kalau kau ingin mengambil alih bisnis Sindikat 12 setelah semua
ini selesai, kau akan memerlukannya. Dia bisa menjadi sekutu
yang kuat." Johan memang pernah membahas hal ini dengan Aretha.
Mereka berdua sepakat bahwa Ferry Saada tidak berguna dan sulit diajak kompromi. Johan juga setuju jika anak Leo yang satu itu
disingkirkan, tetapi dia tidak cukup gila untuk membiarkan Miaa
memimpin Geng Saada setelah itu.
156 Metropolis.indd 156 "Dia ingin membunuhku, kau lupa?"
"Tidak dalam kondisi seperti saat ini. Dia tidak punya pilihan
selain bekerja sama dengan kita." Aretha menatapnya. Perempuan
cerewet itu menepuk kedua pipi Johan seperti seorang ibu membujuk anak kecil. "Percaya kepadaku, Johan," kata Aretha sekali lagi,
lalu perempuan itu keluar dari dapur membawa dua cangkir teh.
Johan mencibir. Dia tidak percaya Miaa semudah itu dikendalikan. Miaa memang sedang terjepit. Apa yang dikatakan oleh
Aretha bisa jadi benar, Miaa tidak punya pilihan, tetapi tetap saja
perempuan itu adalah seorang Saada. Yang dia ketahui selama ini,
Saada telah berkhianat dan membunuh ayahnya.
Diikutinya Aretha ke ruang tengah. "Kita lihat saja nanti.
Apakah perempuan ini bisa dipercaya atau tidak," dia mengatakan itu sambil menatap tajam ke arah Miaa. Bibirnya membentuk
senyum sekali lagi untuk mengejek sekutu barunya.
Bram berpikir ada untungnya juga Ferry membuat keributan di rumah kos Miaa. Kalau bukan karena tindakan bodoh anak Leo itu, rumah tipe 36 tersebut tidak akan dicap sebagai TKP dan pastilah polisi
juga tidak akan bisa melakukan penggeledahan. Kini, tiga orang
petugas forensik sibuk membungkusi setiap barang di ruang tengah.
Erik mencatat kesaksian ibu kos Miaa sembari mondar-mandir dari
ujung ruangan ke ujung yang satu, sementara Bram di kamar tidur
bak pembajak laut menemukan peti-peti harta karun.
"Empat orang?" Lamat-lamat Bram mendengar Erik bertanya
kepada saksi mereka. 157 Metropolis.indd 157 Ibu kos Miaa menjawab dengan antusias, "Awalnya cuma ada
tiga. Yang dua masuk ke rumah kayak maling. Satunya lagi jagajaga di ujung jalan. Miaa datang, disergap, lalu bos tiga orang itu
turun tangan." "Bos?" "Iya. Macam di film-film gitu lho, Dek. Orang yang jabatannya paling tinggi muncul belakangan, petantang-petenteng sok
jagoan." Bram tidak mengikuti sisa percakapan mereka. Apa yang dia
temukan di kamar Miaa lebih dari cukup untuk membuat dia sendiri
sibuk. Ruangan itu gelap dan lembap. Jendela-jendela tertutup rapat, tidak menyisakan celah untuk cahaya dan udara masuk. Hanya
ada satu perabot di dalam ruangan itu, sebuah kasur tanpa dipan
yang digelar begitu saja di lantai, bersama seperangkat laptop, modem, printer, dan mesin faks. Puluhan berkas dan surat menumpuk
di sudut-sudut ruangan. Sementara itu, kertas catatan, foto, dan
potongan koran yang tidak terhitung jumlahnya memenuhi salah
satu dinding. Di dinding yang sama, bersandar selembar papan tulis
berisi coretan-coretan tangan.
Dia berjongkok di hadapan papan tulis tersebut. Ada nama
pemimpin-pemimpin Sindikat 12 di sana, lengkap dengan tanggal
kematian mereka, dan dua rangkai angka yang sekilas terkesan
acak. 158 Metropolis.indd 158 "Apa itu?" Bram menoleh dan mendapati Erik sudah ada di ruangan itu
juga. Polwan itu ikut berjongkok di sampingnya, lalu mengamati
apa yang sedang dirinya perhatikan. Bram menjawab pelan, "Nama.
Tanggal. Angka. Sama seperti yang kita lakukan."
"Ya. Kamar ini seperti kantor polisi saja," komentar Erik.
Asisten Bram itu menunjuk angka-angka di papan tulis. "Apakah
itu pola?" "Sepertinya." "Kenapa angka 3 dan 8 dilingkari?" tanya Erik lagi.
Angka-angka yang dimaksud oleh Erik adalah barisan 1-12-211-3-10-4-9-5-8-6-7 dengan 3 dan 8 yang dilingkari. Tetapi bukan
hanya itu, Miaa juga membuat garis panah menyertai 3 dan 8,
seolah-olah dia bermaksud memindahkan letak dua angka tersebut.
Angka 3 menjadi pemimpin barisan dan angka 8 pindah posisi ke
159 Metropolis.indd 159 antara angka 2 dan 11. Dengan begitu, urutan angka-angka tersebut
berubah menjadi 3-1-12-2-8-11-10-dst, menyerupai urutan kematian pemimpin-pemimpin Sindikat 12. Angka 3 mewakili Maria,
sementara 8 adalah BW. Dari berkas-berkas yang menumpuk di pojok kamar, Bram
menemukan jawaban dari teka-teki angka itu. "BW mati karena
overdosis. Dia sedang pesta sabu di apartemennya saat itu terjadi,"
katanya. Dia menyodorkan beberapa lembar kertas kepada Erik,
kemudian menunjukkan satu lembar kertas lainnya. "Lalu, surat ini
didapat dari dokter yang merawat Maria di Singapura. Penguasa
wilayah 3 itu mati karena serangan jantung."
"Itu berarti Maria dan BW tidak dibunuh," Erik menanggapi
dengan antusias, seperti anak kecil yang berhasil memecahkan
teka-teki silang. Bram mengangguk. "Ya. Itu yang mengubah pola."
Dia tidak kalah semangat dengan Erik. Dadanya berdebar
menatap angka-angka yang tertera di papan tulis. Harus diakuinya
bahwa Miaa memang cerdas. Seperti yang dia yakini, selalu ada pola
dalam setiap pembunuhan berantai dan 1-12-2-11-10-dst adalah
pola yang digunakan oleh curut yang ingin menghabisi Sindikat
12. Itu berarti setelah Bung Kelinci, sasaran berikutnya adalah Blur,
baru kemudian Shox. Bram mengeluarkan secarik kertas yang akhir-akhir ini selalu
dia bawa-bawa, catatan waktu kematian para pemimpin sindikat 12
yang pernah dia buat, dan sebuah pulpen. Dia mencoret nama Maria
dan BW maka catatan tersebut berubah menjadi seperti ini:
160 Metropolis.indd 160 -/2/2006 Maria wilayah 3 penyebab kematian tidak diketahui
18/6/2006 Muslih wilayah 1 overdosis 12/7/2006 Red wilayah 12 luka karena benda tumpul
-/8/2006 A. Zuhdi wilayah 2 luka karena benda tajam
-/1/2007 wilayah 8 overdosis 3/5/2007 Maulana Gilli wilayah 11 luka tembak jarak jauh
6/6/2007 Leo Saada wilayah 10 kecelakaan mobil
21/6/2007 Ambon Hepi wilayah 4 luka karena benda tajam
1/7/2007 Soko Galih wilayah 9 patah tulang leher
16/7/2007 Bung Kelinci wilayah 5 overdosis "Apa yang kau lakukan?" tanya Erik.
"Menghitung. Kalau Maria mati secara wajar, berarti pem"
bunuhan berantai ini baru dimulai pada pertengahan 2006 dan
bukan pada awal tahun. Selain itu, ada rentang waktu yang cukup
besar antara kematian Zuhdi dan Maulana Gilli."
"Ke mana ini akan mengarahkan kita, Bram?" tanya Erik lagi.
Bram menjawab, "Sembilan bulan bukan waktu yang sebentar,
Erik. Apa yang dilakukan oleh si pembunuh selama itu" Berlibur?"
Erik mengangguk-angguk, kendati terlihat betul dari tampangnya bahwa dia tidak memahami maksud dari perkataan
Bram barusan. Bram tidak mau ambil pusing. Dia cuma tersenyum
seraya membiarkan Erik berkutat sendiri dengan kebingungannya.
Kemudian, dia alihkan perhatiannya sendiri kepada benda-benda
lain yang ada di kamar Miaa.
"Pastikan kau membaca semua berkas yang ada di sini, lalu
bawa laptop Miaa ke Sat Cyber Crime dan minta mereka memeriksanya. Di dalamnya pasti ada lebih banyak lagi informasi,"
perintahnya. 161 Metropolis.indd 161 "Oke. Ada lagi?"
"Cari tahu tentang obat yang bernama STI571. Geng Frans
Al di Vancouver memasok obat itu secara rutin sejak 2001 hingga
2005 dalam jumlah kecil dan bukan untuk dijual. Dugaanku, obat itu
dikonsumsi sendiri oleh orang mereka. Jika pembelian di Vancouver
berhenti karena terjadi pergerakan seperti yang pernah kita bahas,
berarti akan ada pembelian obat yang sama di Jakarta dalam dua
tahun terakhir ini."
Erik kembali mengangguk-angguk, kali ini sambil mencatat
baik-baik semua yang diperintahkan Bram kepadanya. "Itu saja?"
tanya polwan itu lagi. "Hasil forensik BK sudah keluar?"
"Siang ini aku ke lab."
"Kita bahas itu nanti malam di kantor," Bram berkata sambil
melangkah keluar kamar. Dia meninggalkan TKP tanpa Erik. Biarlah
asistennya sendri dan tim forensik yang mengumpulkan barang
bukti. Sementara itu, dirinya akan bertolak ke Cibubur, ke pusat
rehabilitasi jiwa yang dia kunjungi kemarin. Kemungkinannya tidak
besar, tetapi siapa tahu Miaa bersembunyi di sana.
"Kami tahu apa yang kau lakukan di Rawamangun."
Suara Blur terdengar santai dan ramah di telinga Ferry, seperti suara orang tua yang sedang mengobrol dengan anak atau
cucu kesayangan. Kendati demikian, Ferry merasakan kupingnya
panas dan tarikan napasnya menjadi berat karena sindiran Blur.
Dia mengatupkan rahangnya rapat-rapat, menahan diri sebisa
162 Metropolis.indd 162 mungkin agar mulutnya tidak melontarkan makian. Dalam posisi
seperti ini, mencari gara-gara dengan penguasa wilayah 6 bukan
tindakan yang pintar. Dia bertanya, "Kau tahu keberadaan perempuan itu, Blur?"
"Tentu saja, Nak," Blur menjawab sambil tertawa. "Kunasihati
kau, Ferry. Mulai sekarang, urus bisnismu dengan baik. Kau harus
ingat, kau punya saudara yang perlu diperhatikan."
Ferry membanting gagang telepon di tangannya begitu pembicaraannya dengan Blur berakhir. Keberadaan Miaa benar-benar
membuatnya gusar. Lucu, pikirnya. Bagaimana mungkin Blur dan
Shox lebih memihak perempuan yang tidak jelas asal usulnya"
Perempuan itu baru muncul satu tahun belakangan ini. Tidak hanya
itu. Miaa cuma anak haram dari istri simpanan ayahnya, sementara
dirinya adalah keturunan sah keluarga Saada. Tentu saja dia tidak
terima diperlakukan seperti ini. Ini penghinaan namanya. Karena
itu, dia bersumpah akan menyingkirkan Miaa secepat mungkin.
Kemudian, akan dia tunjukkan kepada Sindikat 12 siapa Ferry
Saada. Masalahnya, di mana Miaa sekarang"
Miaa tidak ada di Cibubur dan kamar yang semula ditempati oleh ibu
kandung perempuan itu kini kosong. Bram menanyai para dokter
dan perawat yang bekerja di fasilitas itu, tetapi mereka tidak tahu
apa-apa. Mereka malah berkata hal-hal menggelikan semacam,
"Perempuan itu pergi begitu saja," atau, "Tidak seorang pun melihat dia keluar. Pagi ini kami menemukan kamarnya kosong," dan
lelucon-lelucon lain yang sama tidak lucunya.
163 Metropolis.indd 163 Curut! Seorang perempuan tua yang pekerjaannya sehari-hari
menggulung benang jahit tidak bisa melenggang keluar dari tempat
itu begitu saja. Seseorang pasti membawa pergi perempuan malang
itu, seseorang yang memang punya kekuasaan untuk melakukannya; barangkali Miaa atau entah siapa; dan orang itu minta hal
tersebut dirahasiakan. Kini, Bram berdiri gusar memandangi kamar kosong tersebut.
Dia sudah memeriksa ke dalam. Tidak ada jejak tertinggal di sana.
Kamar itu bersih, seakan-akan segala sesuatu yang ada di dalamnya
ingin menghapus bekas keberadaan seseorang dan tampaknya
memang demikian. Dia mengeluarkan sebungkus rokok dan sebuah geretan dari
balik jaketnya. Diambilnya sebatang, diselipkannya ke mulutnya.
Baru saja dia akan menyulut rokoknya, seseorang mencomot lin"
tingan tembakau itu. Benda itu dilempar ke lantai, lalu diinjak-injak
oleh sepasang kaki yang memakai sandal karet. Bram memandangi
penyerangnya barusan, kakek kurus dan bungkuk yang mengenakan piama.
"Dilarang merokok! Baca papan itu! Baca! Bisa baca, nggak?"
orang itu menghardiknya sambil mendelik dan menunjuk ke sembarang arah.
Bram tersenyum geli begitu menyadari dirinya sedang di"
marahi pasien rumah sakit jiwa. Dia menurut. Disimpannya kembali
rokok dan geretan miliknya. "Aku tidak jadi merokok," dia berujar
seraya menunjukkan kedua telapak tangannya yang kosong.
Si kakek mengangguk-angguk puas melihat hal itu. "Jangan
terulang. Terulang, aku akan melaporkanmu ke polisi," ancam si
kakek. 164 Metropolis.indd 164 Bram terkekeh. "Aku polisi."
Lawan bicaranya memicingkan mata. "Bohong! Jangan bohong! Bohong!"
"Sungguh," ujar Bram. Dia mulai menikmati situasi ini. Dikeluarkannya lencana polisi dari balik jaket. Dia perlihatkan pelat
itu kepada si kakek. Si kakek terkesiap. "Polisi! Polisi! Polisi!" Lelaki malang itu
melihat-lihat lencana Bram dengan antusias.
Senyum di bibir Bram berubah masam. "Bapak tinggal di sini?"
tanyanya. Si kakek mengangguk.

Metropolis Karya Windry Ramadhina di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Di mana kamar Bapak?"
Si kakek menunjuk sebuah kamar, letaknya bersebelahan
dengan kamar ibu Miaa. "Bapak tahu ibu yang senang main benang jahit?"
"Tahu." "Tahu siapa yang membawa dia pergi semalam?"
"Tahu." "Siapa?" Si kakek melirik Bram sekilas, kemudian menjawab dengan
santai, "Kau sendiri, "kan?"
Sekutu bukanlah kata yang tepat untuk menggambarkan posisi
Miaa di kubu Johan. Dia tinggal bersama dengan Johan dan Aretha
di sebuah apartemen di daerah Kebayoran yang dijaga secara ketat.
Johan dan Aretha pindah dari apartemen lama mereka di Cilandak,
165 Metropolis.indd 165 tidak lama setelah Miaa dan Johan bertemu pertama kali. Akses
keluar dari unit yang dia dan dua orang itu tinggali kini tertutup
bagi Miaa. Selama 24 jam, sejumlah orang berjaga di luar unit dan
di sekitar gedung, sehingga dia tidak bisa bergerak bebas.
Miaa sudah menduga situasi akan berubah menjadi seperti ini
karena Johan tidak jauh berbeda dengan Ferry. Lelaki itu meng"
anggap keberadaannya sebagai sesuatu yang berbahaya: seorang
Saada yang ingin menuntut balas atas kematian Leo. Dia tidak
mengeluh. Dia sendiri juga tidak memercayai sekutunya, baik Johan
maupun Aretha. Aretha menjamin keselamatannya karena dirinya dianggap
lebih mudah diajak kerja sama ketimbang Ferry, atau lebih tepat
jika dikatakan berada dalam situasi yang menyebabkan hal itu. Namun, tidak seorang pun tahu bagaimana konflik antargeng ini akan
berkembang. Kawan bisa dengan mudah berbalik menjadi lawan
dan perempuan seperti Aretha pasti akan menyingkirkan siapa saja
yang dianggap tidak menguntungkan. Miaa sudah menyadari risiko
itu sejak awal. Kendati demikian, dia terima juga tawaran Aretha
karena dengan begitu dia bisa berada di dekat Johan"sosok yang
selama ini dia cari dengan segenap kemampuannya.
Kini, dia hanya perlu mencari cara untuk menghubungi sese"
orang, mengamankan ibunya, dan menyelesaikan misinya.
Dia menyelinap keluar dari kamar tidurnya pada malam hari,
saat dia yakin Aretha dan Johan sudah terlelap, untuk menghampiri
seperangkat laptop di ruang tengah. Johan meninggalkan laptop
itu di sana, di atas sebuah meja berkaki pendek, sebelum berangkat
tidur sambil meracau tentang kerugian GBP dan cuaca cerah.
166 Metropolis.indd 166 Laptop itu masih menyala saat Miaa temui, tetapi dia butuh
kata kunci. "Juli 1991. Dengan spasi dan tanpa kapital."
Suara Johan terdengar tiba-tiba di belakangnya, membuat
Miaa tersentak. Miaa terlonjak dari tempat duduknya. Dia melihat
Johan sudah berada di ruangan yang sama, berdiri santai di ambang
pintu membawa gelas kosong. Lelaki itu mengejeknya dengan
senyuman. "Sudah kuduga kau tidak bisa dipercaya," kata Johan. Lelaki
itu mendekat ke arahnya. Miaa melangkah menjauhi meja, sekaligus menjaga jarak
dengan Johan. Matanya memperhatikan lelaki itu dengan awas.
Johan menertawakannya. "Tenang, Miaa. Aku tidak menggigit," ejek lelaki itu. Dia membungkuk di hadapan meja untuk
memeriksa laptopnya. Tidak berapa lama kemudian, dia tertawa
lagi. "Kau tahu keuntungan bertransaksi di tengah malam yang
cerah" Itu membuatmu menang besar," racau lelaki itu.
"Aku kira kau sudah tidur," tanya Miaa.
"Aku sering terbangun tengah malam," Johan menjawab seraya meninggalkan laptopnya dan pergi ke dapur untuk mengambil
air. "Teh, Miaa?"
"Tidak. Aku akan kembali ke kamar."
"Aku belum selesai bicara denganmu. Duduklah. Temani aku
sebentar." Sudah dia duga Johan tidak membiarkannya melarikan diri.
Miaa pun terpaksa menuruti apa yang diinginkan oleh lelaki itu.
Dia duduk di salah satu sofa yang ada di ruang tengah, lalu menarik
167 Metropolis.indd 167 napas panjang untuk menenangkan diri. Johan kembali dari dapur
selang beberapa menit. Lelaki itu membawa segelas air dingin dan
secangkir teh panas yang kemudian disodorkan kepadanya.
Mereka duduk berhadapan. Mata mereka saling menatap.
Johan menyilangkan kaki dan menyandarkan tubuh dengan santai
pada punggung sofa, kemudian lelaki itu meneguk air dalam gelas
di genggamannya perlahan-lahan. Wajah cantik lelaki itu dihiasi
senyum yang membuat Miaa berkeringat dingin. Sementara itu,
hening yang tercipta tidak lama di antara mereka menyebabkan
jantungnya berpacu. "Karena kita akan bekerja sama, Miaa, aku merasa perlu menjelaskan ini kepadamu," Johan membuka pembicaraan kembali.
"Kau harus mengerti, kalau kau berani berbuat macam-macam,
bukan kau yang akan terluka. Aku tidak suka menyakiti perempuan
tua. Jadi, bersikaplah yang manis selama kau berada di sini."
"Kau tidak akan berani menyentuh ibuku," Miaa menantang
dengan geram. Johan tertawa kecil mendengar gertakan Miaa. "Kita lihat
saja nanti," balas lelaki itu. Dia meletakkan gelasnya di atas meja.
Tangannya meraih laptop, kemudian dia kembali sibuk dengan
grafik-grafik GBP-nya. Tatapan Miaa masih tertuju kepada lelaki di hadapannya.
"Benarkah kau putra Frans Al?" tanya Miaa.
Johan tidak menjawab. Lelaki itu itu cuma tersenyum tipis.
"Jadi, kau melakukan semua ini untuk ayahmu?" tanya Miaa
lagi. "Aku hanya menyelesaikan urusan utang piutang dengan
beberapa orang." 168 Metropolis.indd 168 "Walau begitu, kau tidak melakukannya dengan tanganmu
sendiri." Ekspresi Johan berubah karena ucapan Miaa barusan. Lelaki
itu mengalihkan perhatian kepada Miaa dan menatap sang sekutu
dengan tajam. "Sebenarnya apa yang ingin kau katakan?" tanya
lelaki itu dengan gusar. "Bukan hal penting," jawab Miaa. Dia memberi lawannya
senyum sinis. "Aku hanya sedang menemanimu."
Johan mencibir mendengar itu.
Lalu, Miaa melontarkan pertanyaan lagi, kali ini dengan nada
bicara yang lebih tajam, "Seperti apa rasanya, Johan" Duduk di
balik layar dan menyaksikan bidakmu melakukan apa yang tidak
bisa kau lakukan sendiri."
Alih-alih mendapat jawaban, Miaa justru diseret bangkit dari
tempat duduknya dengan kasar. Mata Johan memandangnya
dengan geram dan sepasang tangan lelaki itu mencengkeram
bahunya sampai Miaa meringis kesakitan.
"Kau perempuan yang menarik, Miaa, tapi aku bisa membunuhmu karena ucapanmu barusan," ucap Johan.
Miaa meronta, mencoba melepaskan diri dengan sekuat te"
naga. Namun, mendadak cengkeraman Johan melonggar dan lelaki
itu menjauh darinya dengan terhuyung. Miaa melihat tatapan Johan
kepadanya berubah kosong, sementara darah mengalir deras dari
kedua lubang hidung lelaki itu. Sebelum dia tahu apa yang sedang
terjadi, lelaki itu ambruk di hadapannya.
169 Metropolis.indd 169 14. Celah ang Johan dapati begitu dia membuka mata adalah sosok seorang bidadari. Bidadari itu bernama Indira, perempuan yang
mampu menyerap cahaya dengan sekujur permukaan tubuhnya,
sehingga ruangan di sekeliling mereka menjadi gelap dan semua
orang yang memandangnya harus memicingkan mata karena dia
memancarkan kembali cahaya itu seperti bulan. Akan tetapi, Indira
jauh lebih menyilaukan ketimbang satelit bumi, setidaknya bagi
Johan yang kesadarannya belum pulih benar. Segala sesuatu yang
perempuan itu miliki menciptakan kehangatan di dadanya dan dia
tidak kuasa menolak kehadiran perempuan itu.
"Hei," sapa Johan, nyaris tidak terdengar.
Indira tersenyum kepada Johan. Perlahan-lahan, cahaya yang
menyelimuti perempuan itu meredup, lalu ruangan di sekeli"ling
mereka kembali terang dan Johan mendapati dirinya sendiri ter"
baring di kamar tidurnya yang serba putih. Tubuhnya tidak bertenaga
170 Metropolis.indd 170 dan napasnya lemah. Langit di luar jendela kamarnya lembayung,
matahari malu-malu kucing di balik kumpulan bangunan bertingkat.
Perempuan yang tadi lebih terang dari benda langit duduk di sisi
ranjang. Tangan perempuan itu terulur ke arahnya, lalu Johan
merasakan jari-jari hangat membelai wajahnya.
"Hei," Indira membalas.
Johan mencoba tersenyum. Entah apakah dia berhasil melakukan itu. Dia bertanya, "Apa aku baik-baik saja?"
"Tidak. Kau tidak baik-baik saja," jawab Indira. Perempuan itu
menggeleng pelan. "Apa yang terjadi?"
"Hidungmu berdarah, lalu kau pingsan."
Indira mengambil segelas air. Dengan berhati-hati sekali,
perempuan itu mendekatkan bibir gelas ke mulut Johan. Johan
menyeruput air itu seperti orang yang tidak minum selama berharihari.
"Kukira kondisiku sudah membaik," dia berkata kemudian
dengan nada kecewa. "Tidak perlu buru-buru. Sudah kukatakan, ini memang butuh
waktu." Johan menghela napas, putus asa. Sesungguhnya, dia sudah
lelah menghadapi penyakitnya yang tidak kunjung membaik. Bukannya dia tidak punya harapan. Hanya saja, dia sudah berulang kali
tumbang. Setiap kali itu terjadi, dia membutuhkan begitu banyak
tenaga untuk bangkit kembali. Setelah sekian lama, tidak hanya
energinya yang terkuras, tetapi jiwanya juga ikut terkikis. Kalau
bukan karena ayahnya dan Indira, dia pasti sudah lama menyerah
171 Metropolis.indd 171 dan mengajak Joe Black minum teh bersama sambil menikmati
musik Nouvelle Vague. "Kau harus periksa lagi secepatnya, Johan. Jangan khawatir.
Ini cuma check-up biasa. Datanglah ke rumah sakit besok."
"Lihat besok saja," kata Johan, "aku sedang malas keluar."
Indira tersenyum kepadanya, tetapi tidak berkata apa-apa
untuk menanggapi ucapannya.
Pada saat Johan mengeluarkan darah lalu jatuh tidak sadarkan diri
di hadapannya, Miaa hanya bisa mematung dan memelototi tubuh
lelaki itu dengan tatapan ngeri. Dia tidak melakukan apa-apa. Dia
tidak melihat Aretha memasuki ruangan. Dia juga tidak mendengar
langkah tergopoh-gopoh milik perempuan itu. Dia baru tersadar
kala perempuan itu menegurnya dengan suara tegas dan meminta
bantuannya memindahkan tubuh Johan ke kamar.
Mereka menggotong lelaki itu, atau lebih tepat jika disebut
menyeret, kemudian menempatkannya di ranjang dalam posisi
duduk, menghentikan pendarahannya, menggantikannya pakaian,
dan membersihkan bercak-bercak merah yang mengotori wajah
serta badannya dengan handuk basah. Setelah itu, Aretha me"
nelepon seseorang, lalu perempuan muda yang dipanggil dengan
nama Indira datang selang dua puluh menit.
Indira bukan dokter, atau setidaknya begitulah anggapan
Miaa, dan penampilan perempuan itu sama sekali tidak mirip
dengan perawat, tetapi agak-agaknya dia tahu betul apa yang
harus dilakukan. Perempuan itu memeriksa Johan segera setelah
172 Metropolis.indd 172 dia tiba, menyuntikkan sesuatu ke tubuh lelaki itu, dan memastikan
pendarahan berhenti. Setelah darah tidak lagi keluar, Indira
membaringkan Johan, membersihkan rongga mulut dan hidung
lelaki itu, lalu berjaga di sisi lelaki itu sepanjang malam.
Miaa menunggu di ruang tengah bersama Aretha. Aretha
terlihat tenang menghadapi situasi ini seolah-olah dia sudah
terbiasa. Perempuan itu membuatkan kopi panas untuk mereka,
mem"bersihkan noda darah di lantai, lalu duduk bersama Miaa di
sofa sambil membaca majalah.
"Kau bisa istirahat di kamarmu kalau capai," kata Aretha.
Miaa lelah, tetapi tidak ada yang bisa tidur setelah melihat
kejadian tadi malam. "Apa yang terjadi?" dia bertanya. Sejak tadi,
dia ingin tahu. Aretha menjawab tanpa mengalihkan perhatian dari majalah
di pangkuannya, "Johan pingsan. Kau lihat sendiri."
"Dia sakit?" "Kondisi badannya sedang buruk. Itu saja."
Mereka tidak bicara lagi setelah itu. Tampaknya Aretha tidak
ingin membahas masalah ini. Johan sakit, Miaa menyimpulkan hal
itu sendiri walaupun dia belum tahu penyakit apa yang diderita oleh
lelaki itu. Dia masih ingat bagaimana tadi darah segar mengucur begitu deras dari hidung Johan. Itu bukan mimisan biasa dan mimisan
tidak menyebabkan penderitanya jatuh pingsan seketika.
Pintu kamar Johan baru terbuka setelah pagi. Indira keluar dari
baliknya membawa raut letih. Perempuan itu memanggil Aretha,
kemudian keduanya berbicara dengan suara pelan yang tidak sampai ke telinga Miaa. Mimik mereka serius.
173 Metropolis.indd 173 Miaa memperhatikan tamu mereka baik-baik.
Indira seperti bunga putih, sosoknya lembut dan memikat,
jauh dari tipe perempuan yang akan terlibat dalam konflik antargeng pengedar narkotika. Miaa sulit membayangkan perempuan
itu menyimpan senjata api di balik blus atau rok lipitnya. Bahkan,
dia ragu jari-jari halus Indira pernah menyentuh senjata apa pun.
Barangkali Indira memang bersih. Perempuan itu tidak tahumenahu mengenai jati diri Johan dan apa yang lelaki itu lakukan
selama ini. Kalaupun perempuan itu tahu Johan seorang sakit jiwa
yang punya banyak piutang nyawa, mungkin perempuan itu tidak
terlibat. Ya. Bisa jadi Indira adalah orang yang salah di tempat yang
salah, kendati tidak ada yang bisa menjamin itu karena penampilan
sering kali menipu. "Tolong kabari aku kalau kondisinya memburuk," perempuan
itu berpesan sebelum pergi.
Aretha menawarkan diri untuk mengantar tamu mereka ke lobi
dan Indira tidak menolak. Kedua perempuan itu keluar bersama,
meninggalkan dirinya berdua saja dengan Johan di apartemen.
Sebagai gantinya, kesunyian hadir mengisi ruangan-ruangan.
Sekujur tubuh Miaa menjadi tegang kala kesunyian itu merubung dirinya. Miaa bisa mendengar tarikan napasnya sendiri
berubah berat dan dia merasakan jantungnya berdebar kencang.
Kesunyian yang sama juga menyadarkannya akan kesempatan yang
muncul tidak terduga. Sebuah ide gila tebersit dalam benaknya:
membunuh Johan serta mengakhiri semua ini, dan dengan cepat dia
memutuskan untuk tidak membiarkan ide tersebut hanya sebatas
pemikiran belaka. 174 Metropolis.indd 174

Metropolis Karya Windry Ramadhina di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dia mengambil napas panjang seakan-akan itu bisa memberinya kekuatan, lalu melangkah perlahan mendekati kamar Johan.
Dia memasuki ruangan itu tanpa menghilangkan kesunyian. Dia
lihat Johan sudah siuman, tetapi lelaki itu masih terbaring lemah
di tempat tidur. Johan tidak memperlihatkan emosi apa pun, bahkan ketika
mendapati Miaa muncul dari balik pintu. Lelaki itu bertanya kepada
Miaa, "Mana Aretha?"
"Dia mengantar Indira ke bawah."
"Berarti kita hanya berdua?"
Miaa tidak menjawab. Dia diam sambil menatap lawan bicara"
nya dan Johan membalas tatapan itu. Miaa merasakan debaran
di dadanya semakin keras dan keringat dingin mulai membasahi
kedua telapak tangannya. Belum pernah dia menghadapi orang
yang bisa menggerogoti nyalinya seperti saat ini. Padahal, lelaki di
hadapannya jelas-jelas tidak berdaya. Namun, entah bagaimana,
keberadaan lelaki itu mampu menyusupkan jeri ke benak Miaa.
Johan tertawa. "Dengan apa kau akan membunuhku, Miaa?"
"Aku bisa membunuhmu dengan apa saja saat ini."
"Ada pistol di lemari," kata Johan.
Lemari tersebut terletak di sudut ruangan dan pistol yang
dimaksud oleh Johan ada di antara tumpukan baju. Miaa menelan
ludah kala senjata api itu sudah berada dalam genggamannya.
Dia mempertimbangkan rencananya baik-baik karena apa
yang akan dia lakukan tidak hanya membahayakan dirinya, tetapi
juga ibunya. Dia akan menembak mati Johan, melarikan diri, lalu
segera mengamankan ibunya yang masih berada di Cibubur. Saat
175 Metropolis.indd 175 dia menembakkan peluru pertama, dua penjaga yang ada di luar
pintu apartemen akan masuk, maka ia tidak boleh membuangbuang waktu. Dia harus membunuh Johan dengan sekali tembakan.
Ia harus melumpuhkan dua penjaga itu juga, kemudian lari lewat
tangga darurat. Dia tidak tahu berapa jumlah orang yang berjaga
di sekitar gedung. Saat masih menjadi polisi, dia bisa menjatuhkan
empat orang sendiri dalam sebuah baku tembak. Mungkin dia bisa
menangani lima sampai enam orang kali ini, tetapi bagaimana kalau
ternyata jumlah mereka lebih dari itu" Dan, berapa peluru yang ada
di pistol ini" Pistol di tangannya adalah Colt Defender yang sangat
ringan dan berukuran kecil. Paling banyak hanya ada delapan peluru
dalam senjata ini. Bagaimana kalau dirinya kehabisan peluru"
"Ketemu?" tanya Johan.
Miaa menjauh dari lemari dan menghampiri tempat tidur. Dia
membuka pengaman pistol di tangannya, kemudian menempelkan
mulut senjata itu ke kening lawannya.
"Apa yang terjadi kalau aku menarik pelatuk?" tanyanya.
Johan tersenyum. "Aku mati," lelaki itu menjawab dengan
enteng. "Lalu?" "Mungkin kau juga mati, tapi itu terserah Aretha."
"Kalau hanya itu, aku tidak takut."
"Ibumu mati lebih dulu darimu."
Ucapan terakhir Johan membuat Miaa menahan napas. Segera
Miaa tersadar dari kebodohannya. Dia melepaskan tawa pilu. Tidak.
Rencananya yang sembrono tidak akan berhasil. Tidak sedikit pun
Miaa meragukan kemampuan Johan. Tubuh lelaki itu lemah, tetapi
176 Metropolis.indd 176 cengkeramannya jauh lebih kuat dari binatang yang paling ber"
bahaya sekalipun. Secepat apa pun dirinya bergerak, Miaa tidak
akan bisa menyelamatkan ibunya. Dia memahami itu dengan sangat
jelas, maka dibiarkannya pistol di tangannya jatuh ke lantai.
"Kenapa?" Johan bertanya. Lelaki itu tersenyum untuk me"
ngejek Miaa. "Tidak sampai hati membunuhku?"
Miaa membalas lelaki itu dengan geram, "Aku pasti akan melakukannya. Kau tunggu saja."
Johan kembali tertawa. "Kau baru saja menyia-nyiakan kesempatanmu satu-satunya," kata lelaki itu. "Sekarang, keluar dari
kamarku. Aku ingin tidur."
"Orang itu tidak sehat, Bram. Kau tidak bisa menganggap serius
apa yang dia katakan."
Bram menyesap kopinya, atau apalah nama cairan hitammanis-asam yang Erik buatkan untuknya itu. Dia mencibir, tetapi
tidak berkata apa-apa untuk mengomentari kadar gula berlebih
dalam minumannya. Setidaknya manisan itu telah membuatnya
terjaga meski dia tidak tidur semalam suntuk.
"Orang yang tidak sehat justru sering berkata benar," dia
menanggapi Erik sambil menguap.
Dia dan asistennya itu berada di ruang kesatuan mereka yang
sepi kendati sudah pagi, menghadapi setumpuk berkas seperti
biasa, dan kali ini ditambah selusin kaset VHS yang merekam kematian Bung Kelinci tempo hari di kolam renang hotel berbintang.
Di sela-sela aktivitas monoton mereka di depan layar televisi, dia
menceritakan kejadian di Cibubur kepada Erik.
177 Metropolis.indd 177 Erik membalas, "Lalu, apa yang orang itu maksud" Dia bilang
kau yang membawa pergi ibu Miaa."
Kali ini, Bram hanya bisa menggeleng sembari menghabiskan
kopinya yang manis. Dia tidak punya jawaban atas pertanyaan Erik
itu dan kepalanya sedang tidak sanggup berpikir lantaran beberapa
hari ini dia kurang istirahat. "Oke. Kita lupakan itu dulu." Dia menyerah pada akhirnya, kemudian mengganti topik pembahasan
mereka. "Apa kau menemukan sesuatu dari bingkisan yang kubawa
dari Cibubur?" tanyanya.
"Sejauh ini bersih," jawab Erik. "Menurutmu, siapa yang me"
ngirim buah-buah itu" Ferry?"
"Bukan," gumam Bram, "bukan Ferry."
Ferry tidak suka basa-basi, main gertak sambal, atau adu saraf
semacam itu. Itu bukan gaya seorang Saada. Lagi pula, Bram tidak
yakin Ferry mengetahui keberadaan ibu Miaa. Pasti orang lain yang
telah mengancam perempuan itu. Tetapi siapa" Dan, memangnya
ada berapa banyak petinju yang adu jotos di atas ringnya"
Bram menghela napas frustrasi. Dia memijit keningnya
dan mencoba merangkai ulang petunjuk demi petunjuk dengan
saksama. Bersama dirinya, Miaa mengejar lelaki Tionghoa yang
membunuh Soko Galih di Rawasari. Perempuan itu berlari di depannya dan melihat wajah buronan mereka lebih baik darinya.
Jika Miaa melakukan apa yang dia lakukan, yakni mencari identitas
lelaki Tionghoa itu, maka mereka pasti pergi ke tempat yang sama:
penjual informasi. Curut! Dia mengerti sekarang. 178 Metropolis.indd 178 Itulah sebabnya kenapa dahulu Ju berkata kepadanya bahwa
wajah Miaa tidak asing. Tentu saja! Kenapa tidak terpikirkan olehnya sebelum ini" Pasti Miaa menemui Ju lebih dahulu darinya dan
membeli informasi yang dia inginkan. Kini perempuan itu tahu siapa
orang di balik pembunuhan berantai ini dan orang itulah yang telah
mengirim bingkisan untuk ibu Miaa.
"Kita kalah cepat dengan Miaa," ucapnya bernada pahit.
Erik tersenyum masam, lalu berkata dengan nada penuh
penyesalan, "Aku tidak ingin membuatmu lebih kesal lagi, tapi
sepertinya Burhan ingin kau ke ruangannya." Polwan itu memberi
isyarat mata kepada Bram.
Bram mengikuti arah pandang Erik. Dia melihat atasannya
yang tambun berdiri di kejauhan, di ambang pintu ruang Kasat
Reserse, dan melambaikan tangan kepadanya. Dia meringis kala
menyadari masalah baru sudah menanti, tetapi dia beranjak juga
dari tempat duduknya untuk menghadapi Burhan.
"Lembur semalam?" tanya Burhan. Bram dan ajun komisaris
besar polisi itu duduk berhadapan di dalam ruang kerja Kasat Reserse.
"Ya, kerjaanku numpuk," jawab Bram sekenanya. "Kau tidak
memanggilku untuk sekadar basa-basi, "kan?"
Burhan terkekeh. "Tidak, Bram. Aku tidak suka basa-basi."
"Lalu, apa?" "Aku dapat laporan dari Angkasa Pura kemarin. Mereka bilang
ada anak buahku yang minta data imigrasi."
"Dan, menurutmu itu aku?"
179 Metropolis.indd 179 "Siapa lagi" Cuma kau yang berani gerak tanpa surat Pengadilan Negeri."
Bram tidak mengelak. Burhan telah menangkap basah dirinya
dan tidak ada gunanya dia berdalih. Dia mengaku terus terang, "Aku
butuh data imigrasi itu untuk kasusku."
"Ya, aku tahu itu."
Atasannya tersenyum lebar, bersikap mencurigakan. Polisi
tambun itu membuka laci meja di hadapannya, mencari-cari sesuatu, lalu mengeluarkan sebuah map. "Isi berkas ini. Serahkan ke
Pengadilan Negeri, baru kau dapatkan datamu," kata Burhan.
Map itu dilempar kepadanya, tetapi Bram bergeming. Dia
membiarkan suasana di antara mereka hening untuk beberapa saat,
sementara matanya menatap tajam mata lawan bicaranya. Dia
tahu ini bukan tentang prosedur. Dia lihat Burhan asyik mengusap
bibirnya sendiri dengan ibu jari.
"Kau sedang menghambatku," desisnya.
Dugaannya pasti benar, tetapi Burhan tidak terpancing. Polisi
tambun itu tetap tenang memasang senyum penuh kemenangan.
Dia hanya berkata, "Keluar dari ruanganku, Bram. Lanjutkan
pekerjaanmu." Bram memaki atasannya dalam hati. Tidak dia bawa serta
map tersebut kala dirinya keluar dari ruang kerja Burhan. Persetan
dengan izin Pengadilan Negeri. Dia tidak akan mendapatkan data
yang diinginkannya kendati dirinya mengisi sepuluh berkas yang
sama. "Tampangmu tidak lebih baik setelah keluar dari sana," gurau
Erik. 180 Metropolis.indd 180 Bram cuma tersenyum. Dia terlalu kesal untuk menjelaskan
apa yang terjadi barusan kepada Erik dan sepertinya polwan itu
mengerti situasi hatinya. Erik tidak bertanya apa-apa kepadanya.
Sebagai gantinya, asistennya itu menyodorkan beberapa lembar
kertas hasil cetak komputer yang masih hangat.
"Apa ini?" tanya Bram.
Erik menjawab, "Sesuatu yang bisa membuat sakit kepalamu
hilang." Orang-orang yang harus mengonsumsi STI571 memiliki kondisi
tubuh yang sedikit berbeda dengan kebanyakan manusia normal.
Jumlah mereka tidak banyak. Mereka memiliki sel-sel darah putih
yang hidup jauh lebih lama ketimbang sel darah merah mereka,
sehingga komposisi cairan amis itu berubah dan setelah beberapa
lama, tiga sampai lima tahun, kondisi itu akan menyebabkan kematian.
"Chronic Myelogenous Leukimia," Erik berkata kepadanya tadi
dengan pengucapan yang tidak tepat.
Obat yang dibutuhkan oleh penderita kanker darah kronik
tidak bisa didapatkan begitu saja di Indonesia, sehingga sebagian
besar penderita yang memiliki uang pada akhirnya memilih peng"
obatan dilematik. Pengobatan ini akan mematikan sel-sel kanker itu,
sekaligus mematikan juga sel-sel normal lainnya karena kemoterapi
tidak bisa membedakan sel rusak dengan sel sehat. Kecil kemungkinannya pengobatan itu berhasil menyembuhkan, bahkan setelah
seluruh rambut di permukaan tubuh penderita sudah rontok. Tetapi
itulah sebabnya kenapa penyakit ini menjadi momok bagi dunia.
181 Metropolis.indd 181 Dua tahun lalu, Gubernur Jakarta mendapat ide dari sekelompok pekerja kesehatan yang tergabung dalam sebuah yayasan untuk
memasok STI571 ke Indonesia. Mereka memancing uang dalam
jumlah yang sangat besar dari beberapa investor untuk membeli
obat tersebut. Dana terkumpul dengan cepat, tetapi tidak banyak
yang bisa mereka pasok setiap tahunnya karena STI571 bukan
obat generik yang banyak dibagi-bagikan di puskesmas, sehingga
pemakai obat itu sangat dibatasi dan dicatat secara cermat oleh
RSCM. Bram melajukan mobilnya menuju Salemba seperti begundalbegundal jalanan, sibuk mengklakson dan melanggar di sanasini. Kantuk dan letihnya hilang seketika, detak dalam dadanya
berpacu bersama adrenalin, begitu dia tahu rumah sakit nomor
satu di Jakarta mungkin memiliki nama curut yang dia cari-cari.
Dia memarkir mobilnya begitu saja di pelataran parkir RSCM, kemudian melangkah memasuki bangunan seolah mengejar waktu,
dan bergegas mencari ruang sekretariat yayasan yang mengurus
distribusi STI571. Di ruangan itu, Bram diterima oleh resepsionis yang juga baru
tiba. Dia memperkenalkan diri sambil memperlihatkan lencana
polisi miliknya. Dia katakan bahwa dirinya ingin bertemu dengan
kepala yayasan, sekretaris, atau siapa saja yang memiliki wewenang
untuk memberinya informasi. Petugas yang tengah sibuk membuka
ruang yayasan itu menjatuhkan kunci di tangannya, membelalakkan
mata, dan membisu selama beberapa saat, lalu setelah setengah
menit yang hening dia menyebut nama sekretaris yayasan mereka
dengan terbata-bata. Indira. 182 Metropolis.indd 182 15. Indira umah Indira merupakan satu dari sedikit hunian peninggalan
Belanda di sepanjang Jalan Pakubuwono yang masih berdiri
apa adanya. Bangunan mungil yang serba putih itu terawat dengan
baik, kusen-kusennya tidak lapuk dan atap serta dinding-dindingnya
masih sanggup melawan badai, sehingga tidak satu bagian pun
diganti. Indira membiarkan tegel merah muda tetap melapisi lantai
rumahnya, kendati warna keping-keping teraso itu sudah memudar. Dia juga tidak mengganti teralis jendela yang coraknya sudah
kuno, perabot-perabot tua yang masih terbuat dari kayu berat, dan
lampu-lampu antik yang bergantungan di langit-langit ruangan. Dia
hanya menambahkan pagar besi untuk membatasi tanah miliknya
dan mengecat ulang bangunan, itu pun tanpa mengubah warna.
Di halaman depan, Indira menanam mawar-mawar lokal yang
tumbuh berlomba-lomba mencapai matahari. Mawar-mawar itu
merambati pagar dan meredam ramai kendaraan yang lalu-lalang
183 Metropolis.indd 183 di depan rumahnya. Dia juga meletakkan satu set bangku dan meja
besi yang kerap menjadi temannya bersantai di teras. Pada sore atau
pagi hari, dia akan duduk-duduk di sana, membaca koran, minum
teh, dan makan camilan, atau sekadar menikmati kebun bunganya
sambil memangku kucing. Rumahnya kosong pada siang hari. Dia hidup sendiri dan
tersisa peliharaannya saja yang mendengkur di tepi jendela kala
dia pergi. Dia bekerja di sebuah yayasan yang selama dua tahun
terakhir ini berusaha menyelamatkan hidup para penderita kanker
darah kronik. Dia bukan lulusan sekolah kedokteran dan bukan
pula seorang perawat. Pendidikan terakhirnya dia kenyam di salah
satu sekolah bisnis di Virginia. Tugasnya di yayasan tersebut adalah bertemu dengan sejumlah orang di restoran-restoran mewah,
mengobrol panjang-lebar sembari minum mocktail, dan membuat
lawan bicaranya mengeluarkan cek bernilai ratusan juta atau bahkan
miliaran rupiah. Hari ini pun seharusnya Indira melakukan aktivitas serupa,
brunch bersama seorang calon donatur di sebuah hotel, tetapi baru
saja dia membatalkan janji temu mereka. Apa boleh buat. Mendadak semalam kondisi kesehatan Johan berubah buruk, sehingga
dia harus mendatangi tempat tinggal lelaki itu dan berjaga di sana


Metropolis Karya Windry Ramadhina di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sampai lelaki itu siuman. Johan baru membuka mata menjelang
pukul 06.00. Setelah itu, Indira tinggal lebih lama sedikit untuk
memastikan keadaan lelaki itu memang telah membaik dan saat
dia tiba di rumah, matahari sudah tinggi.
"Kau baru pulang, Indira?" seorang tetangganya, nyonya tua
yang mengingat kesibukan setiap kepala di kompleks perumahan
184 Metropolis.indd 184 mereka dengan baik, bertanya kepadanya ketika mereka ber"
papasan. "Ada keperluan semalam," jawabnya.
Sang nyonya menanggapi balik penuh canda, "Dengan anak
muda yang beberapa kali datang kemari, barangkali?"
Indira memberi nyonya tua itu senyum rikuh, namun tidak
menjawab. Anak muda yang dimaksud oleh tetangganya adalah
Johan. Johan datang ke kehidupannya pada satu sore yang berhujan,
sekitar empat belas bulan yang lalu. Lelaki itu berdiri di depan pintu
rumahnya, membunyikan bel, dan menatap dirinya lama sekali kala
mereka bertemu muka. Ketika itu, suasana terasa sangat canggung.
Suara titik-titik air yang berjatuhan dari udara terdengar begitu jelas
olehnya, mengisi keheningan yang tercipta karena diam mereka.
Dia ingat tubuh lelaki itu agak basah. Butir-butir air menetes dari
rambutnya yang kecokelatan dan membasahi wajahnya serta sebagian kemeja putihnya. Bibir lelaki itu gemetar, barangkali karena
hawa dingin, dan melepaskan napas-napas pendek yang tidak
beraturan. Adalah sorot mata lelaki itu yang menjadikan Indira tidak
sanggup berkata-kata. Johan membuatnya merasa seolah-olah
mereka adalah kekasih yang bertemu lagi setelah terpisah sekian
lama. Tatapan lelaki itu tidak hanya membungkam diri Indira, tetapi
juga menimbulkan luapan perasaan lembut di dadanya, sehingga
dia terlena dan tanpa sadar menahan napas.
"Indira?" 185 Metropolis.indd 185 Pada akhirnya, Johan mengakhiri diam mereka dengan suara
lirih. Saat itu, Indira mengangguk dengan gugup sebagai jawaban
atas pertanyaan tersebut, kemudian sikapnya dan juga sikap lelaki
di hadapannya berubah kikuk begitu mereka menyadari berapa
lama mereka saling memandang barusan. Sambil memperlihatkan ekspresi geli, Johan mengulurkan tangan kepada Indira dan
memperkenalkan diri. Lelaki itu berkata, "Aku mencarimu ke mana-mana."
Indira tersipu mengingat itu. Pertemuan pertamanya dengan
Johan masih saja menimbulkan rasa hangat di hatinya setiap dia
kenang. Dia memungut koran pagi yang tergeletak basi di depan
pintu rumahnya. Lonceng milik kucingnya terdengar lamat-lamat
dari balik pintu, berdecing-decing. Sasha, demikian Indira memanggil hewan kesayangannya, berlari menghampirinya begitu melihat
dia memasuki ruangan. Kucing itu berputar-putar di kakinya sambil
mendengkur, tidak hanya demi sebuah tepukan di kepala, tetapi
juga untuk semangkuk keripik ikan yang belum dia berikan pagi
ini. "Sebentar, Sasha," gumamnya kepada kucingnya. Terlebih
dahulu, dia harus menghubungi kantor yayasannya untuk mengatur
ulang janji temunya yang batal pagi ini.
"Bagaimana kalau besok malam, Bu?" tanya resepsionis yang
menerima telepon Indira. Indira berkata, "Bisa kau atur lusa pagi" Karena besok aku
menemani klien check-up."
"Baik. Kalau begitu, saya jadwalkan lusa. Jam dan tempat sama
dengan rencana semula." Resepsionis itu diam sejenak, mungkin un186
Metropolis.indd 186 tuk mencatat pembicaraan mereka, lalu bertanya selang beberapa
detik, "Ibu ke kantor hari ini?"
"Kenapa" Apa kalian membutuhkanku?"
Lawan bicara Indira di telepon berdeham sebelum menjawab.
"Ada polisi yang mencari Ibu di kantor."
"Untuk apa?" "Dia tidak bilang. Dia masih menunggu di kantor. Ibu ingin
menemuinya atau saya minta dia datang lain kali saja?"
Indira terdiam beberapa saat seraya berpikir. Tangannya
memijit keningnya dan mulutnya melepaskan napas dengan berat.
"Katakan kepada polisi itu, aku segera ke sana," jawabnya kemudian. Lalu, dia menyudahi pembicaraan mereka.
Keberadaan seorang polisi di kantor mereka tentu saja tidak
bisa dianggap angin lalu, entah apa perkara yang dibawa oleh
polisi itu. Karenanya, Indira bergegas mandi dan berganti pakaian,
memberi makan kucing kesayangannya setelah itu, kemudian
melajukan mobilnya menuju Salemba"kendati dia sangat lelah
dan butuh tidur. Saking mengantuknya dia, Indira nyaris tertidur saat menunggu lampu merah di perempatan dekat tujuannya. Bahkan, matanya
sempat terpejam dan kepalanya berantuk dengan kemudi. Dia
disadarkan oleh ketukan beruntun pada jendela mobilnya. Ketika
membuka mata, dia mendapati seorang anak tersenyum lebar ke
arahnya dari balik kaca. Anak itu berpenampilan lusuh dan menyandang sebuah okulele. Dia menunjuk sekilas ke arah lampu lalu lintas
yang berubah hijau, kemudian berlari mengejar sebuah bus yang
mulai bergerak dan meloncat ke dalam kendaraan tersebut.
187 Metropolis.indd 187 Senyum simpul hadir menghias bibir Indira.
Anak lusuh itu sama seperti pertanyaan nyonya tua tetangga"
nya tentang Johan, membangkitkan kenangan lama.
Selama tujuh tahun, sejak usianya belum genap 10, Indira berulang
kali keluar-masuk rumah pemeliharaan anak. Dia tidak memiliki
kerabat, itu alasan satu-satunya kenapa dia harus menghuni panti
asuhan. Akan tetapi, dia tidak pernah tahu kenapa dirinya begitu
sering berpindah tempat, atau lebih tepat jika dikatakan dipindahkan. Dia menghitung dengan saksama, dirinya pernah tinggal di
delapan panti asuhan pada enam kota yang berbeda. Panti pertama
yang dia tempati, sebuah rumah sederhana yang dihuni lima orang
anak berusia di bawah 12 tahun dan dua orang pengasuh, berada di
Bekasi. Di sana, dia hanya bertahan seminggu sebelum dipindahkan
ke panti lain di Karawang, kemudian dipindahkan lagi ke Cirebon
selang beberapa bulan, lalu ke Pemalang, dan terus menjauhi Jakarta ke arah timur sampai akhirnya dia menetap selama empat
tahun di Ungaran. Kendati demikian, kehidupannya selama itu jauh dari kehidupan ekstra sederhana khas anak yatim piatu. Dia tidak pernah
kekurangan. Bahkan, apa yang dia miliki dan dapatkan di pantipanti tersebut cenderung berlebih. Itu tidak aneh kalau saja anakanak lain yang tinggal bersamanya menikmati gaya hidup yang
sama, namun tampaknya hanya dirinya yang mendapat perlakuan
istimewa. Saat anak-anak lain belajar di sekolah negeri yang kecil
dan kotor, dia duduk di bangku sekolah swasta berbiaya luar biasa
mahal. Ketika mereka memakai seragam dan buku pelajaran bekas,
188 Metropolis.indd 188 dia selalu memperoleh barang baru dengan kualitas terbaik. Hanya
dia sendiri yang mendapat kursus musik dan bahasa asing, dokter
pribadi, serta rutin melakukan pemeriksaan gigi setiap tiga bulan.
Anak-anak lain tidur berimpit-impitan dalam satu kamar, dia justru
memiliki kamar tidur serta kamar mandi sendiri.
Para pengasuhnya berkata, itu semua dikarenakan dia memiliki wali khusus, seseorang yang tidak pernah Indira ketahui siapa.
Orang itu pula yang rupanya mengatur kepindahan-kepindahannya.
Indira tahu hal itu berkat pucuk-pucuk surat yang kerap diberikan
kepadanya, kertas-kertas berisi satu-dua baris kata dengan tulisan
tangan yang sama, yang berhenti dia dapatkan begitu dirinya tinggal di panti terakhir.
Panti terakhir itu, yang dia tempati di Ungaran, sebenarnya
tidak bisa disebut sebagai panti asuhan. Itu hanya rumah biasa, yang
luar biasa luas serta terawat dan ditinggali oleh seorang lelaki tua
pemilik banyak perusahaan bersama empat orang anak asuhnya.
Lelaki tua itu berusia 60-an tahun, gemar mendengarkan
musik lawas, suka mengobrol tentang apa saja, dan mengumpulkan
barang-barang tidak biasa seperti guci berukuran sangat besar,
berbagai jenis senjata tua, serta foto lama yang sudah menguning.
Dia tidak punya istri, anak, maupun saudara, sama seperti bocahbocah yang dia tampung di rumahnya. Tetapi dia punya banyak
sekali relasi yang kerap mendatanginya untuk mengobrol santai
seputar bisnis sambil bermain catur. Indira tidak pernah tahu apa
saja bisnis yang dijalankan oleh walinya. Namun yang pasti, lelaki
tua itu tidak akan pernah kehabisan uang kendati hidup ratusan
tahun dengan gaya hidup mewah.
189 Metropolis.indd 189 Setelah empat tahun tinggal di Ungaran, Indira disekolahkan ke
luar negeri. Walinya sudah tidak ada ketika dia kembali ke Indonesia
lima tahun kemudian. Lelaki tua itu mewarisinya sebuah rumah di
Jakarta, yang kini dia tinggali, serta sejumlah aset bernilai besar
berupa saham perusahaan-perusahaan asing yang dia gunakan
belakangan untuk membentuk yayasan bersama beberapa rekannya, yang kini dia jalankan.
Polisi yang menunggunya di kantor yayasan mengaku bernama
Agusta Bram, Inspektur Polda Metro Jaya. Dia lelaki muda yang penampilannya sama sekali tidak mirip dengan polisi dalam bayangan
Indira: petugas berseragam cokelat dan bersepatu bot hitam yang
sehari-hari dia temui di jalanan, yang kerap memamerkan senjata
api dan borgol mengilat di pinggangnya. Agusta Bram justru lebih
menyerupai pekerja kantoran yang mondar-mandir di sepanjang
Jalan Sudirman. Lelaki itu memakai kemeja putih bergaris yang
lengannya digulung sampai siku, celana kain warna gelap, dan sepatu pantofel. Kepalanya tidak plontos, warna kulitnya juga tidak
terlalu gelap. Sekilas, hanya tubuh tegapnya yang mencerminkan
profesi lelaki itu. "Saya sudah katakan untuk datang lagi besok, tapi dia bilang
ini mendesak." Indira melirik tamunya di ruang tunggu. Agusta Bram duduk di
salah satu kursi. Tubuh lelaki itu condong ke depan, kepalanya me"
runduk, dan kedua matanya terpejam. Sebuah majalah tergeletak di
dekat kaki lelaki itu bersama beberapa lembar kertas. Resepsionisnya berkata, lelaki itu tertidur sejak setengah jam yang lalu.
190 Metropolis.indd 190 "Tolong buatkan kopi panas. Dua. Jangan pakai gula," pinta
Indira kepada resepsionisnya.
Dia menghampiri Agusta Bram, lalu duduk di hadapan polisi itu.
Diambilnya majalah dan kertas-kertas yang terserak di lantai. Diperhatikannya polisi itu sejenak, untuk memastikan apakah tamunya
itu memang sedang tidur, kemudian ditepuknya bahu polisi itu.
"Inspektur," panggilnya dengan hati-hati sekali.
Agusta Bram membuka mata perlahan, lalu menengadah.
Tatapan nanar lelaki itu segera tertuju kepada Indira yang segera
membalas seraya memberikan senyum ramah. Indira membiarkan
suasana di antara mereka hening untuk beberapa saat, sampai
kesadaran lelaki itu kembali, kemudian disodorkannya lembaranlembaran yang dia ambil tadi kepada lelaki itu.
"Kertas-kertasmu jatuh," ucapnya.
191 Metropolis.indd 191 16. Satu Langkah Lebih Dekat Terima kasih. Aku memang butuh kopi."
Bram menggapai cangkir yang dianjurkan kepadanya.
Dibawanya porselen itu mendekat ke mulutnya, dihirupnya aroma
biji-bijian yang terbit bersama uap panas, kemudian diisapnya
minumannya. Begitu lidahnya mengecap rasa pahit, dia menarik
senyum puas. Sempurna, pikirnya.
Indira bak malaikat saja; cantik, mengetahui sesuatu, dan
memberinya kopi sungguhan.
Beberapa menit yang lalu, perempuan itu membangunkannya dari tidur singkat yang membuat kepalanya pening. Mereka
berdua menciptakan situasi janggal setelah itu, saling menatap
dan memberi senyuman dalam diam"seperti dua orang yang
baru saja melewatkan malam bersama di sebuah kamar hotel dan
sedang mengucapkan selamat pagi. Indira menawarinya kopi panas, sesuatu yang tidak akan dia tolak setelah tertidur di tempat
192 Metropolis.indd 192 umum. Kemudian, mereka pindah tempat ke sebuah ruang rapat
kecil untuk bicara empat mata. Kini, dia dan perempuan itu sibuk
berbasa-basi selayaknya dua orang yang baru berkenalan, kendati
Bram datang bukan untuk menambah daftar teman.
"Melihatmu barusan, aku jadi berpikir barangkali gaji polisi
terlalu kecil," gurau Indira.
Bram tertawa. "Karena itulah kami sering marah-marah di
jalanan," dia menimpali, membuat lawan bicaranya ikut tergelak.
"Tapi aku tidak bermaksud tertidur di kantormu. Hanya saja, aku
baru lembur semalam suntuk dan...."
"Ya, ya, aku mengerti," Indira menyela ucapan Bram, "aku juga
belum istirahat sejak kemarin sore dan tadi aku hampir tertidur
saat menunggu lampu merah."
"Tapi pasti gajimu lebih besar."
Indira kembali tertawa. Suara lembut perempuan itu terdengar
menyenangkan di telinga Bram, tidak merdu tetapi membius, membuatnya kecanduan. Dia juga menikmati sosok indah perempuan itu
selama mereka berbicara, yang dirasanya sanggup memikat lelaki
mana pun, termasuk dirinya, tetapi tentu saja dia tidak membiarkan akal sehatnya lengah. Bukan berarti Indira harus dia waspadai.
Hanya saja, tidak seorang pun"bahkan perempuan malaikat seperti
Indira"dapat lolos dari prasangka buruk Bram.
"Jadi, Bram, apa yang bisa aku bantu?" tanya Indira.
Bram berkata, "Kudengar yayasan kalian mendatangkan
STI571 dari luar." "Benar. Itu proyek yang kami mulai dua tahun lalu bersama
gubernur. Penderita leukemia kronik sangat membutuhkan obat
itu, sayangnya obat itu tidak murah."
193 Metropolis.indd 193 "Ya. Seperti itu juga yang kudengar. Berarti, jumlah obat itu
di Indonesia terbatas?"
"Sangat. Pemakai obat itu bisa dihitung dengan jari."
"Dan, tentunya kalian mencatat data para pemakai yang bisa
dihitung dengan jari itu."
"Ya. Tentu saja."
"Bisa kulihat catatan itu?"
"Sayangnya, tidak."
Jawaban Indira membuat Bram tertegun. Setelah basa-basi
panjang yang mereka lalui bersama dan setelah dia membuat perempuan itu mau memanggilnya dengan nama, dia sempat mengira
ini akan mudah. Disangkanya Indira akan memberi daftar nama
yang dia inginkan dengan senang hati, sambil tertawa-tawa atau
bahkan memberinya cangkir kopi kedua. Akan tetapi, perempuan
itu justru menghadiahinya segaris senyum bernada penyesalan.
"Maaf, Bram," ucap perempuan itu, "itu data rahasia ya"
yasan." Bram balas tersenyum, tetapi kecut. Dia menatap mata lawan
bicaranya lekat-lekat dan berkata, "Biar kujelaskan situasiku, Indira. Aku sedang menangani kasus pembunuhan berantai, sejauh
ini sudah delapan orang mati, dan daftar nama yang kalian punya
mungkin bisa membantu penyelidikanku."
Indira tampak terkejut setelah mendengar penjelasannya.
"Maksudmu, salah satu klien kami mungkin terlibat?" tanya perempuan itu.
Bram menimpali, "Salah satu klien kalian mungkin seorang
pembunuh." Lalu, dia bertanya sekali lagi, kali ini dengan suara yang
sengaja dipelankan, "Karena itu, bisa kulihat catatan kalian?"
194 Metropolis.indd 194 Lawan bicaranya terdiam cukup lama sebelum memberi
jawaban. Perempuan itu tampak ragu dan beberapa kali menatap
bingung kepadanya. Pada akhirnya, perempuan itu malah bertanya,


Metropolis Karya Windry Ramadhina di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apa kau bawa surat perintah?"
"Surat perintah?"
"Ya. Kecuali kau punya surat perintah dari atasanmu atau"
entahlah"siapa pun yang berwenang, aku tidak bisa memberimu
daftar klien kami." "Kuharap kau tidak sedang mempersulitku."
"Aku tidak sedang mempersulitmu. Kau berkata salah satu
klien kami terlibat dalam pembunuhan. Itu bukan perkara kecil.
Bagaimana kalau dugaanmu salah?"
"Percayalah. Aku tidak akan salah," desak Bram. Akan tetapi,
itu tidak cukup untuk membuat lawan bicaranya berubah pikiran.
Indira menghela napas sambil menggelengkan kepala. Perempuan itu bertanya lagi, "Apa kau punya surat perintah, Bram?"
Bram kembali tersenyum kecut. Tentu saja dia tidak memiliki
surat perintah yang dimaksud. "Tidak. Pengadilan Negeri tidak
mengeluarkan surat perintah lagi," guraunya. Dia bangkit berdiri.
Tidak ada gunanya dia berada di tempat itu lebih lama lagi karena
saat ini Indira tidak akan bicara. Lagi pula, kendati dirinya sangat
membutuhkan daftar nama para pemakai STI571, Indira bukan
satu-satunya jalan untuk mendapatkan itu.
Dia polisi. Dia punya banyak cara.
Polisi itu pergi dengan tangan kosong, namun ucapannya terus
berputar dalam benak Indira. Indira tidak berhenti bertanya-tanya,
195 Metropolis.indd 195 bagaimana jika Agusta Bram benar" Bagaimana kalau ternyata
salah seorang kliennya memang terlibat dalam tindak kejahatan"
Dia mencoba menyingkirkan kegelisahannya dan berpegang kepada
pendapatnya yang rapuh, berusaha tetap berakal sehat karena
penderita kanker darah kronik tidak akan sanggup membunuh
delapan orang atau begitulah biasanya. Namun, pertanyaanpertanyaan itu terus saja kembali dan kini dia mulai bersikap picik
seperti polisi, mencurigai klien-kliennya satu per satu.
Beberapa dari mereka memang tidak tampak seperti pen"
derita leukemia, mereka bugar dan bergairah tetapi itu tidak akan
berlangsung lama. Dalam waktu kurang dari setahun, jika peng"
obatan mereka tidak seperti yang diharapkan, tubuh mereka akan
melemah dan jiwa mereka perlahan-lahan terkikis. Sementara itu,
klien-kliennya yang lain, yang tampak betul sakitnya, barangkali
saja tidak selemah yang dia kira. Mereka bisa mencari perpanjangan
tangan dan itu bukan sesuatu yang mustahil.
Tuhan! Indira buru-buru menampik pikiran-pikiran keji yang
memenuhi kepalanya. Dia bukan polisi dan tidak akan berpikiran
seperti polisi, demikian dia berkata kepada dirinya sendiri. Dia
menghabiskan sisa kopi dalam cangkirnya untuk mengembalikan
nalarnya. Pada waktu bersamaan, resepsionisnya memasuki
ruangan tempat dia berada.
"Bu, ada telepon," dia diberi tahu.
"Siapa?" tanyanya.
Resepsionisnya memberi senyum penuh arti sebagai ganti
jawaban, lalu menarik diri tanpa berkata apa-apa lagi. Indira tahu
siapa yang dimaksud. Karena itulah, dia juga dia juga tersenyum.
196 Metropolis.indd 196 Suasana hatinya berubah saat itu juga. Kegelisahannya barusan
tentang kedatangan Agusta Bram dan isu yang dibawa oleh polisi
itu terlupakan begitu saja.
"Apa aku mengganggu?" suara Johan terdengar begitu Indira
menerima telepon. "Hei," sapanya lirih, "kukira kau masih istirahat."
Johan membalas, "Kukira aku membuatmu capai semalam. Apa
yang kau lakukan di kantor?"
"Ada sedikit urusan," jawabnya. "Bagaimana keadaanmu?"
"Baik." Tetapi kemudian Johan terdiam sejenak, menghela
napas dengan berat, lalu meralat perkataannya sendiri, "Sebenarnya, tidak."
Indira sudah menduga. Dia bisa mendengar Johan memutar
Nouvelle Vague di seberang sana. "Ada yang mengganggu pikiranmu?" tanyanya. Dia sengaja memelankan suaranya.
"Aku tidak suka bicara di telepon. Kemarilah. Temani aku," kata
Johan. Pembicaraan mereka berakhir setelah itu. Indira menyambar
tas dan jas miliknya yang tersampir di kursi, kemudian bergegas
pergi meninggalkan kantor yayasannya untuk bertolak ke apartemen Johan.
Baginya, Johan bukan sekadar klien.
Dahulu memang Johan muncul di depan pintu rumahnya
untuk STI571, tetapi banyak hal yang terjadi kemudian, sehingga
dia dan lelaki itu menjadi sangat dekat dan kini hubungan mereka
lebih dari ikatan bisnis. Tidak hanya satu atau dua kali saja dia menemani lelaki itu di luar jam kerjanya dan sering kali hal itu terjadi
197 Metropolis.indd 197 bukan untuk urusan STI571. Mereka biasa menghabiskan malam
bersama di apartemen lelaki itu, beberapa kali di rumahnya. Tidak
ada hal khusus yang mereka lakukan saat mereka sedang berdua.
Mereka hanya mengobrol tentang hal-hal sepele; tentang nyonya
tua tetangganya, restoran Eropa baru di daerah Senopati, buku
yang tengah dia baca, atau topik-topik ringan semacam itu. Bahkan,
tidak jarang mereka bertemu hanya untuk mendengarkan musik
tanpa banyak bicara. Kali ini pun tidak banyak berbeda.
Ketika dia tiba, Johan tengah berkutat dengan grafik-grafik
GBP-nya di ruang tengah. Johan menyambutnya dengan ekspresi
sendu yang kerap diperlihatkan oleh lelaki itu jika suasana hatinya
sedang tidak baik. Johan memang seperti itu, kelewat perasa dan
suka mendramatisasi situasi. Indira tidak pernah tahu apa yang
mengganggu pikiran Johan karena lelaki itu tidak pernah menjelaskan apa-apa. Dia hanya tahu Johan butuh ditemani untuk melalui
masa sulit, maka dia duduk di sebelah lelaki itu selama beberapa jam
ke depan, mendengarkan musik tanpa banyak bicara, sementara
lelaki itu melakukan sejumlah transaksi currency.
Lewat tengah malam, dia meninggalkan apartemen Johan.
Lewat tengah malam, Bram terjaga, bukan oleh gedoran tanpa
henti yang menyerang pintu depan rumahnya, melainkan karena
dia teringat akan apa yang datang bersama kegaduhan tersebut.
Dia bergegas bangkit dari tempat tidur, lalu keluar dari kamarnya
sambil berpakaian. Dinyalakannya lampu ruangan selagi dia melintasi ruang tengah, kemudian cahaya hadir tiba-tiba, memaksanya
198 Metropolis.indd 198 memicingkan mata. Ketukan keras yang menghidupkan malamnya
masih berlanjut kala dia mencapai pintu, tetapi langsung berhenti
segera setelah papan kayu itu dibuka.
"Bel rumahmu mati," sembur Erik sambil menyelonong
masuk. Bram masa bodoh mendengar itu. Dia malah berharap bel
curut yang dimaksud oleh Erik mati untuk selamanya. Ditutupnya
kembali pintu depan rumahnya, kemudian dia melangkah ke dapur
seraya membiarkan Erik mengoceh sendirian di ruang tengah.
Asistennya itu berkata panjang lebar, "Tadi aku seharian di Sat
Cyber Crime. Kami berhasil mengakses laptop Miaa dan menemukan ratusan data seputar Sindikat 12. Tepatnya, 234 dokumen. Teks,
tabel, foto, video, suara, entah apa lagi. Aku tidak tahu dari mana
Miaa mendapatkan itu semua, tetapi data-data itu sangat detail."
"Sedetail apa?" tanyanya.
Dari ruangan sebelah, Erik menjawab, "Kau bisa tahu di mana
Leo Saada berada pada setiap Rabu sore, atau apa saja yang dilakukan oleh Soko Galih selama tiga bulan belakangan, atau bahkan
nama salon langganan Bung Kelinci."
Kalimat terakhir Erik membuat Bram mengernyit. Pasalnya,
dia tidak bisa membayangkan Bung Kelinci punya salon langganan
karena bos mafia yang satu itu seharusnya tidak punya cukup
rambut untuk dicukur setiap bulannya. "Buat apa BK punya salon
langganan?" tanyanya lagi. Dia keluar dari dapur membawa dua
cangkir kopi panas. Salah satunya dia berikan kepada Erik.
Erik menimpali dengan santai, "Siapa yang peduli buat apa
dia punya salon langganan" Lagi pula, orang ke salon bukan cuma
199 Metropolis.indd 199 untuk potong rambut." Polwan itu menyeruput kopinya, lalu menggerenyotkan mulut tanda tidak suka. Sebelum Erik mengucapkan
sesuatu, Bram sudah menyodorkan stoples kecil berisi gula.
"Apa dia punya data Blur?"
"Dia tidak punya data apa pun tentang Blur. Satu lagi, Bram.
Kami memeriksa arsip Yahoo! Messenger milik Miaa. Ada beberapa
percakapan mencurigakan yang dilakukan oleh Miaa dengan se"
seorang ber-ID frank_sinatra13."
"Penyanyi jazz?"
"Mungkin informan. Percakapan-percakapan mereka singkat
dan tidak terlalu jelas. Tidak banyak yang bisa kudapatkan, tapi
akan kutelusuri terus ID itu. Siapa tahu kita bisa menemukan Miaa
lewat dia," kata Erik.
Bram mengangguk-angguk tanda setuju. Dia duduk di salah
satu sofa tuanya. Disesapnya minuman berkafein miliknya untuk
mengusir kantuk yang teramat, yang membuatnya tidak bisa
berpikir fokus sejak tadi. Dia percayakan saja masalah penyanyi
jazz itu kepada Erik karena kepalanya sendiri sudah penuh dengan
berbagai macam persoalan. Lagi pula, beberapa minggu terakhir
ini Erik semakin bisa diandalkan. Polwan itu mulai menjadi seperti
dirinya, mengendus apa saja yang berbau tengik.
"Omong-omong, Erik, kau bawa pesananku?" dia mengganti
topik pembicaraan mereka.
Yang ditanya berseru, "Oh, ya! Titipanmu." Polwan itu merogoh
tas ransel yang dia bawa, mencari-cari sebentar, kemudian me"
ngeluarkan amplop cokelat seukuran buku tulis. "Orang yang kau
maksud mengantarkan ini pukul sebelas," kata Erik.
200 Metropolis.indd 200 Bram menggapai amplop tersebut. Didengarnya Erik bertanya,
"Apa itu?" "Daftar nama pemakai STI571," dia menjawab seraya memperlihatkan secarik kertas yang dia dapatkan. "Tadi pagi aku menemui Indira di RSCM untuk meminta daftar ini darinya, tapi dia
menolak." Erik menanggapi dengan bingung, "Siapa itu Indira?"
"Perempuan cantik," ucap Bram, "yang mengerti bahwa kopi
harus diminum tanpa gula."
Gurauan itu tidak digubris oleh asistennya. Erik malah memberinya tatapan curiga. "Kalau tadi dia menolak, lalu bagaimana
kau dapatkan daftar itu, Bram?" tanya polwan itu.
Bram tidak menjawab. Erik tidak perlu tahu bagaimana dia
mendapatkan daftar nama tersebut. Kalau Erik sampai tahu,
polwan itu pasti akan protes dan berkata bahwa apa yang baru
saja dilakukannya merupakan tindakan ilegal. Karenanya, lebih
baik dia bungkam. Tetapi inilah rahasia Bram.
Dia memiliki kenalan lama yang bekerja di laboratorium RSCM.
Dan, yang dia maksud dengan "kenalan" adalah seseorang yang
dahulu pernah kepergok melanggar hukum, tetapi lalu lolos dari
jeruji berkat bantuannya. Maka, setelah dibuat kecewa oleh Indira,
dia mendatangi kenalannya itu. Dia berterus terang bahwa dirinya
membutuhkan daftar nama peserta tes laboratorium yang datang
dengan surat rujukan dari yayasan tempat Indira bekerja (pastilah
penderita leukemia melakukan pemeriksaan darah secara berkala).
Dia juga menyinggung sedikit perihal bantuan yang dahulu diberikannya kepada orang itu. Dan, begitu saja.
Sudah dia katakan. Dia polisi. Dia punya banyak cara.
201 Metropolis.indd 201 Bram beranjak dari tempat duduknya untuk menghampiri
pesawat telepon di salah satu sisi ruangan. Dinyalakannya pengeras
suara mesin itu, lalu ditekannya serangkaian nomor. Selama satu
menit berikutnya, dia dan Erik hanya mendengar nada sambung,
namun tidak lama kemudian suara serak Moris menggantikan bunyi
monoton itu. "Astaga, Bram! Kau kira jam berapa ini?" gerutu Moris.
"Ya, aku tahu ini sudah larut, Moris, tapi aku butuh ban"
tuanmu," ucap Bram. Mantan atasannya memaki sepenuh hati, "Curut! Kau boleh
saja lembur sampai mati, Anak Muda, tapi jangan bawa-bawa orang
lain." Bram tertawa, sama sekali tidak merasa bersalah. "Tunggu
sebentar. Akan kukirimkan faks," katanya. Dia mengirim faksimile
kepada Moris, berisi daftar nama yang baru saja dia dapatkan.
"Apa ini?" tanya Moris kemudian.
"Yang sedang kau lihat itu daftar pemakai STI571, obat
leukemia kronik," jawab Bram. "Ada nama yang kau kenal" Yang
berhubungan dengan Frans Al."
Moris terdiam cukup panjang setelah itu. Selama beberapa
menit, lelaki tua itu hanya berdeham atau menghela napas berat,
menciptakan suasana hening yang menggerogoti kesabaran. Bram
dan Erik juga ikut membisu, menunggu mantan atasan mereka
dengan tegang, sambil mengisap kopi masing-masing perlahanlahan. Saat ampas hitam dalam cangkir mereka mulai tampak,
barulah Moris mengakhiri kebekuan itu.
202 Metropolis.indd 202 "Hanya ada satu nama yang kukenal," kata Moris, "tapi seharusnya dia sudah mati bersama Frans enam belas tahun yang
lalu." "Siapa?" Indira memulai harinya dengan segelas jus dingin dan beberapa
kolom koran. Saat udara di luar rumahnya masih membuat banyak
orang menggigil, dia mengajak Sasha bermain di halaman. Dia
duduk di teras, di bangku panjang antik miliknya yang putih,
menikmati berita seputar bisnis dan sari jeruk tanpa pemanis,
sementara kucing putih kesayangannya berlarian di atas tanah
berumput yang masih basah.
Selang beberapa menit mereka di sana, dia mendapati hewan
peliharaannya mendadak berhenti berburu serangga. Kucing itu
menegakkan tubuh dan kepalanya. Telinganya bergerak-gerak,
matanya melirik tajam ke arah pintu pagar.
"Ada apa, Sasha?" Indira bertanya kepada kucingnya. Diikutinya arah pandang hewan itu. Dia lihat, di balik pintu pagar, Agusta
Bram berdiri sambil mengisap sebatang rokok.
"Selamat pagi," sapa polisi itu.
Indira terlonjak dari duduknya. Koran di pangkuannya terjatuh
ke lantai, lututnya melanggar bibir meja, dan jusnya tumpah. Agusta
Bram masuk ke halaman dan bergegas menghampirinya. Lelaki itu
mengeluarkan saputangan, lalu membantunya membersihkan sari
jeruk yang berleleran di meja dan di lantai.
"Kemarin kau tidak menumpahkan kopimu," gurau lelaki itu.
203 Metropolis.indd 203 Indira membalas, "Kemarin kau tidak muncul tiba-tiba di depan
rumahku, Bram." Lawan bicaranya tertawa. "Jangan khawatir, Indira. Aku tidak
bawa borgol," kata Bram. "Aku cuma ingin bertanya beberapa hal.
Bisa kita bicara?" "Ya, tentu saja," jawab Indira. Dia gugup. "Kau mau masuk"
Sekalian kucucikan saputanganmu."
Bram mengikutinya ke dalam rumah. Polisi itu menunggu di
ruang tengah, sementara Indira mencuci saputangan yang kotor
di dapur. Kedua ruangan tersebut hanya dipisahkan oleh selapis
dinding kayu yang tidak kedap suara, sehingga dia masih bisa mendengar Bram bertanya samar-samar, "Kau tinggal sendiri?"
"Tidak," ujarnya, "aku tinggal bersama kucingku."
Dia mendengar lagi tamunya tertawa, kemudian suasana


Metropolis Karya Windry Ramadhina di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berubah sunyi untuk beberapa saat, menyisakan gemercik air yang
keluar dari lubang keran.
Indira membilas kain di tangannya seraya membisu. Diamdiam dia merasa gelisah karena kedatangan Agusta Bram. Pasti
polisi itu akan mengungkit pembicaraan mereka kemarin, mengenai
pembunuhan berantai yang melibatkan salah seorang kliennya.
Barangkali Bram ingin membujuknya sekali lagi untuk memberikan daftar nama yang dia inginkan, atau mungkin kali ini polisi itu
membawa surat perintah yang bisa memaksanya bicara, dan jika
benar begitu maka rasanya Indira ingin bersembunyi di dapur saja
selamanya. "Apa kau sedang membuatkanku kopi?" tanya Bram lagi,
tiba-tiba. 204 Metropolis.indd 204 Mendengar itu, mau tidak mau Indira tertawa. Dia mematikan
keran di hadapannya. "Tanpa gula?" timpalnya.
"Tentu saja," jawab Bram.
Polisi itu sedang memperhatikan piano upright berwarna hitam
yang ada di sudut ruang tengah saat Indira keluar dari dapur dengan
dua cangkir kopi. Indira meletakkan cangkir-cangkir yang dia bawa
di meja, menimbulkan dentingan saat kaca bertemu porselen.
Bram menoleh ke arah Indira. "Kau bermain piano?" tanya
lelaki itu. "Ya. Aku belajar musik sejak kecil."
Bram terkagum-kagum. "Jadi, kau pintar memikat donatur,
membuat kopi, dan bermain piano," puji lelaki itu. "Ada yang kau
tidak bisa?" Indira tersenyum, namun tidak menjawab. Dia meluruskan
kembali arah pembicaraan mereka. "Kau bilang, ada yang ingin
kau tanyakan." "Ah, ya." Bram mengambil tempat duduk di hadapan Indira.
Dia tidak buru-buru membalas dan malah menyesap minumannya
perlahan-lahan, berkomentar tidak penting tentang kopi nikmat
tanpa gula, baru kemudian bertanya dengan santai, "Kau kenal
seseorang bernama Johan?"
Pertanyaan itu membuat Indira tertegun.
Dia melihat sepasang mata Bram menyorot tajam ke arahnya.
Bibir polisi itu membentuk senyum tipis. Nada bicaranya berubah
mengintimidasi. "Kenapa, Indira" Salah seorang klienmu bernama
Johan?" 205 Metropolis.indd 205 Indira membalas tatapan polisi itu. Jantungnya berdegup
kencang seiring dirinya bertambah gelisah. "Dari mana kau men"
dapatkan nama itu?" dia bertanya dengan bingung.
Bram menjawab, "Aku polisi. Aku punya banyak sumber."
"Tidak, Bram. Daftar nama itu tidak pernah keluar dari kantorku," sanggah Indira.
"Indira, jawab saja pertanyaanku. Apa kau mengenal Johan"
Apa dia punya riwayat pengobatan di Vancouver?"
Indira mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Matanya masih
tertuju kepada lawan bicaranya. Dia tahu apa yang terjadi. Agusta
Bram telah mencuri data milik yayasannya, entah bagaimana dia
melakukan itu. Karenanya, polisi itu bisa tahu siapa-siapa saja
yang mengonsumsi STI571 di Jakarta dan kini"mungkin setelah
dia melakukan hipotesis yang belum tentu tepat"dia menjatuhkan
kecurigaannya kepada salah satu nama. Dan, nama yang polisi itu
sebut adalah Johan. Demi Tuhan! Apa polisi itu sudah gila"
"Indira," Bram kembali mendesaknya, "aku butuh informasi
apa saja tentang orang ini dan berharap kau bisa membantuku."
"Maaf, aku tidak bisa," Indira menolak tanpa pikir panjang.
Rupanya, dia salah menilai lelaki di hadapannya dan sekarang
dia sama sekali tidak punya minat untuk membantu polisi itu. Dia
menyadari Agusta Bram tidak menyukai keputusannya barusan.
Polisi itu mengernyit dan mencoba mengatakan sesuatu lagi,
namun Indira cepat-cepat mendahului lawan bicaranya dengan
ancaman. "Aku akan melaporkan ini kepada atasanmu," ucapnya.
206 Metropolis.indd 206 Bram tetap bersikap tenang kendati demikian. Lelaki itu hanya
tersenyum kecut, kemudian bergegas bangkit dari tempat duduk.
"Terima kasih atas kopimu," ucap lelaki itu sebelum pergi.
Ketika pesawat telepon di apartemennya berdering, Johan tengah
menikmati french toast dan telur orak-arik buatan Aretha bersama
sekutu tersayangnya, Miaa. Aretha sendiri hanya makan apel dan
minum segelas jus. Perempuan cerewet itu tidak makan banyak
pada pagi hari, sesuai menu diet dalam secarik kertas yang dia
tempel di pintu kulkas di dapur mereka.
Adalah Indira yang menelepon Johan. Dengan suara gugup
yang dia coba tutup-tutupi, perempuan itu berkata, "Kita batalkan
saja check-up hari ini, Johan."
"Kenapa" Dokterku pergi ke Korea lagi?" Johan menanggapi
sambil lalu. Indira menjawab tidak keruan, "Ya, doktermu ada keperluan.
Ah, bukan. Aku hanya berpikir hari ini tidak tepat. Kita ubah minggu
depan saja, oke?" Dalih yang diungkapkan Indira itu justru membuat Johan
curiga. "Ada apa sebenarnya?" dia bertanya.
Dia dengar lawan bicaranya menghela napas dengan gelisah.
Perempuan itu sempat mengeluarkan gumaman yang mewakili
rasa ragu, tetapi pada akhirnya dia mengaku juga, "Dua hari ini
aku didatangi polisi."
"Polisi?" "Ya. Dia datang ke yayasan kemarin dan bicara seputar kematian delapan orang. Dia bilang, salah seorang klienku terlibat. Dia
207 Metropolis.indd 207 minta daftar nama kami, tapi tidak kuberikan, dan kukira setelah
itu semua selesai." "Apa dia menyakitimu?" Johan menyela.
"Tidak. Tidak. Bukan begitu kejadiannya," jawab Indira. Perempuan itu berhenti sejenak untuk menarik napas. "Dia datang lagi
pagi ini, Johan," sambung perempuan itu, "dan dia mencarimu."
Johan terdiam, matanya melirik ke arah Aretha. Mendadak,
dia teringat akan pembicaraan mereka seputar keterlibatan polisi
dalam masalah ini. Nama Frans yang dilepaskan oleh Soko Galih
tempo hari pastilah akan berarti banyak jika sampai ke tangan yang
tepat, kendati dia tidak pernah menyangka ada polisi yang cukup
pintar untuk menelusuri petunjuk tersebut.
"Siapa nama polisi ini?" tanyanya kepada Indira.
"Agusta Bram. Dia bekerja untuk...."
Dia tidak membiarkan Indira menyelesaikan kalimat itu. "Oke.
Nanti kuhubungi kau lagi," ucapnya. Lalu, dia mengakhiri pembicaraan mereka.
"Ada masalah?" Aretha bertanya.
"Kau tahu polisi bernama Agusta Bram?"
"Ya. Namanya sering kudengar. Dia reserse Narkotika. Kabarnya, dia cukup bagus."
"Cukup bagus ya?" Johan mendengus. "Polisi itu tahu namaku,
Nyonya. Dia bukan lawan sembarangan," balasnya dengan gusar.
Dia kembali ke meja makan dan menyambar gelas berisi air
dingin miliknya. Diteguknya habis minuman itu, berharap dengan
demikian dia bisa meredakan ombak besar dalam dadanya. Dia
tidak takut berhadapan dengan polisi. Polisi tidak akan bisa me208
Metropolis.indd 208 nyentuhnya, dia berani menjamin itu. Akan tetapi, dia khawatir
reserse bernama Agusta Bram turut membawa-bawa Indira dalam
masalah mereka. Tidak. Tidak akan dia biarkan Indira terlibat.
"Kau bisa juga berwajah seperti itu."
Suara Miaa membuyarkan lamunan Johan. Johan melihat
perempuan itu telah menyelesaikan sarapan dan saat ini tengah
menatap kepadanya dari ambang pintu dapur seraya menghadiahinya senyum sinis.
"Kau benar. Agusta Bram bukan lawan sembarangan," kata
perempuan itu lagi. "Jadi, kau mengenal polisi ini?" Johan bertanya penuh selidik.
"Kami bertemu beberapa kali," jawab Miaa.
"Ah." Giliran Johan yang memberi lawan bicaranya sedikit senyum. Dunia memang sempit, tetapi itu tidak apa-apa asal dirinya
diuntungkan. "Aku lupa kau mantan polisi," ucapnya, "dan syukurlah
kita bersekutu." Dia meminta Aretha agar menelepon balik Indira. Tidak ada
alasan untuk membatalkan jadwal check-up-nya sore ini kendati
Indira berkata bahwa Agusta Bram membuntutinya setiap saat,
ke mana saja. Dia tetap akan pergi ke rumah sakit, tetapi dia tidak
akan datang sendiri. Dia akan membawa serta Miaa.
Dengan begitu, dia bisa menyapa lawannya baik-baik.
209 Metropolis.indd 209 17. Menyapa Lawan emula Bram tidak menaruh perhatian sedikit pun terhadap lelaki cantik berkulit pucat yang baru saja memasuki lobi RSCM.
Namun, begitu melihat Miaa berjalan di belakang lelaki itu, dia
tertegun. Bukan hanya karena dia menemukan Miaa, tetapi juga
karena dia menyadari siapa lelaki itu.
Ketika Indira menolak memberi informasi untuk kedua kalinya
tadi pagi, Bram tidak menyerah. Dia langsung memutuskan untuk
menyertai ke mana pun Indira pergi secara diam-diam, atau katakan
saja dia menguntit perempuan itu, dengan harapan memergoki
saksinya bertemu dengan lelaki bernama Johan"baik di RSCM
maupun di tempat lain. Untuk itu, dia tidak beranjak dari daerah
Pakubuwono, kendati dia pura-pura pergi dan memarkir mobilnya
dua puluh meter dari rumah Indira.
Sekitar satu setengah jam Bram menunggu di dalam mobil, lalu
dia melihat Indira keluar dari tempat tinggal pada pukul 09.00 dan
210 Metropolis.indd 210 melaju ke arah Salemba dengan kendaraan pribadi. Tempat yang
dikunjungi oleh Indira tidak lain adalah RSCM, di mana perempuan
itu bekerja. Perempuan itu berdiam diri di kantor yayasannya sepanjang hari. Dia tidak menerima tamu pada mulanya, tetapi kemudian
lelaki berkulit pucat itu muncul.
Lelaki berkulit pucat itu keluar dari sedan Eropa buatan lama
bersama Miaa. Bram berpapasan dengan mereka di teras depan lobi.
Kala itu, matahari dalam perjalanan pulang dan rumah sakit mulai
ramai karena orang-orang yang ingin besuk sudah berdatangan. Dia
dan Miaa saling melihat, tetapi mereka sama-sama berlagak tidak
kenal. Lelaki yang ditemani oleh Miaa juga melirik sekilas ke arah
Bram, lalu memasang senyum dingin sembari berlalu.
Bram tersenyum kecut. Curut! Ternyata bukan hanya dirinya
yang berhasil menyadari keberadaan lawan.
"Kau tunggu di sini." Dia mendengar lelaki itu berkata kepada
Miaa sebelum menghilang di balik pintu lift.
Miaa melangkah keluar gedung dan duduk di undakan beton
yang mengelilingi halaman parkir. Bram menghampiri perempuan
itu seraya mengeluarkan rokok, kemudian mereka berbagi tempat
duduk di sana. "Yang barusan bersamamu itu Johan?" tanyanya.
"Dia sengaja muncul untuk menemuimu," kata Miaa.
Bram tertawa mendengar itu. "Bagus juga nyalinya," ujarnya.
Dia menyulut rokoknya seperti biasa, lalu mengisap racun paru-paru
itu dalam-dalam untuk mengusir hawa dingin. Dia bertanya lagi
setelah membuang asap beraroma tembakau ke udara. "Jadi, kau
berada di pihaknya sekarang?"
211 Metropolis.indd 211 "Apa yang membuatmu berpikir aku tidak berada di pihaknya
sejak dulu?" "Aku tahu kau anak Leo. Kau tidak akan berada di sisi pembunuh ayahmu kalau bukan karena terdesak."
"Aku tidak punya pilihan."
"Kau bisa datang kepadaku."
Miaa membalas dengan sinis, "Dan, membiarkanmu me"
nyerahkanku kepada Ferry" Maaf, aku tidak gila."
Bram mengisap rokoknya lagi. Dia membiarkan suasana di
antara mereka sunyi untuk beberapa saat. Suara mobil yang ber"
gerak perlahan dan langkah-langkah kaki di sekeliling mereka
mengisi kekosongan. Sementara itu, angin menggoyangkan ran"
ting-ranting pepohonan dan menjatuhkan ulat bulu di hadapannya.
Dalam diam, sambil menghabiskan lintingan di sela-sela jemarinya,
dia memperhatikan ulat itu merangkak menyedihkan untuk kembali
ke pohon. Setelah puas dengan nikotin gadungan itu, dia mengganti
topik pembicaraannya dengan Miaa.
"Kami berhasil mengakses komputermu," ucapnya.
Miaa tetap tenang. "Oh ya" Kalian mendapatkan sesuatu?"
tanya perempuan itu. "Siapa frank_sinatra13?"
"Informan." Bram tersenyum sinis. "Hebat juga informan itu bisa membantumu bayar Ju," sindirnya. "Aku tahu siapa yang kau temui setelah
kejadian di Rawasari. Aku melakukan hal yang sama, tapi kalah
cepat denganmu." 212 Metropolis.indd 212 "Aku percaya itu bukan masalah bagimu," balas Miaa cuek.
"Buktinya, kau ada di sini sekarang."
"Jadi, dia informan?"
"Seperti yang kukatakan."
"Apa penyanyi jazz itu juga yang mengamankan ibumu" Tempo
hari aku ke Cibubur, dan ibumu sudah tidak ada di sana."
Miaa terperanjat, sesuatu yang tidak diduga sama sekali oleh
Bram. Perempuan itu menatap Bram dengan mata terbelalak. Dia
tampak cemas, rona mukanya berubah pucat seketika.
Dia mengawasi polisi itu melalui jendela yang berbaris di sepanjang
koridor rumah sakit. Di luar dugaan, persinggungan singkatnya
dengan Agusta Bram barusan telah memancing adrenalin dalam
tubuhnya. Dia merasakan sendiri bagaimana tadi irama jantungnya
menghebat saat mereka bertemu di lobi, seakan-akan dirinya
tengah berada dalam sebuah mobil balap yang sedang menderuderu di garis start dan polisi itu menjadi lawan tandingnya. Dia sadari
juga bibirnya tidak usai memperlihatkan senyum lebar sejak itu, bak
tidak sabar untuk meneriakkan kesenangan yang meluap tanpa
kendali. Kedua telapak tangannya mengepal kuat-kuat seperti
tangan begundal jalanan yang siap adu jotos.
Sejak diberi tahu oleh Aretha, Johan memang tertarik kepada
Agusta Bram. Kabarnya, polisi itu punya pengaruh cukup besar terhadap sejumlah pemimpin geng dalam Sindikat 12. Bahkan, Ferry
Saada dan Gilli tidak berani cari gara-gara dengan polisi itu, lantaran
dia menyimpan bukti-bukti yang sanggup membuat sebuah geng
213 Metropolis.indd 213 pengedar narkotika rugi miliaran rupiah. Namun, di sisi lain, polisi itu
bisa diajak kompromi demi hal-hal tertentu yang bernilai setimpal
seperti informasi penting atau semacamnya, dan itu menunjukkan
dia tidak bodoh"apalagi naif.
Sayangnya, polisi itu muncul terlambat. Padahal, Agusta Bram
bisa menjadi lawan yang menyenangkan karena dia dan polisi itu
tidak punya urusan utang piutang. Mereka tidak harus saling membunuh demi masa lalu atau berebut wilayah bisnis. Jika memang
mereka harus berhadapan, maka hal itu akan menjadi permainan


Metropolis Karya Windry Ramadhina di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

semata, adu cepat, adu culas, dan tidak ada yang lebih disukainya
daripada sebuah permainan.
Tetapi tidak. Dia tidak punya waktu lagi untuk bermain-main.
Tidak saat ini. Tidak dengan polisi itu. Tidak dengan Indira di antara
mereka. "Johan," Indira memanggilnya.
Johan tidak menoleh, juga tidak menjawab. Matanya belum
sanggup melepaskan diri dari sosok lawan di kejauhan. Saat ini,
polisi itu sedang berbicara dengan Miaa di halaman parkir sambil
merusak paru-parunya sendiri dengan selinting rokok. Johan tidak
tahu dan tidak mau tahu apa yang dua orang itu bicarakan. Dia
hanya berharap Miaa bisa menahan polisi itu cukup lama.
"Apa yang terjadi?" tanya Indira.
Kali ini, Johan memberikan perhatiannya kepada Indira.
Ekspresi cemas tergambar jelas di wajah perempuan itu.
"Tidak terjadi apa-apa," jawab Johan singkat.
Indira tampak tidak puas dengan jawaban itu. "Johan, kau tidak
melakukan sesuatu yang berbahaya, "kan?"
214 Metropolis.indd 214 Johan membalas dengan senyum tipis. Diulurkannya tangan
untuk meraih wajah Indira. Jari-jarinya membelai wajah itu dengan
lembut, kemudian bibirnya memberi Indira kecupan di pipi. Dia berbisik kepada bidadarinya, "Mulai sekarang, jangan menghubungiku
dulu. Aku tidak ingin kau terlibat."
Johan keluar selang sekitar empat puluh menit, saat langit mulai
gelap serta lampu-lampu di setiap kamar rumah sakit dan sudut
halaman parkir sudah menyala. Miaa dan Bram berdiri begitu melihat lelaki yang mereka tunggu muncul dari balik pintu lobi. Lelaki
itu menemukan mereka tanpa kesulitan, lalu dia datang mendekat
dengan langkah-langkah tanpa beban.
Bram membuang puntung rokoknya seraya menyambut Johan
dengan tampang bersahabat. Polisi itu mengeluarkan lencana,
bermaksud memperkenalkan dirinya. "Agusta Bram...."
"Kau Inspektur Sat Reserse Narkotika," Johan menyela, "ya,
aku tahu. Pihak yayasan sudah mengatakan semuanya."
"Jadi, kau yang bernama Johan?" tanya Bram.
Johan tersenyum. Lelaki itu menatap lawan bicaranya lekatlekat, kemudian berkata dengan santai, "Aku Johan Al. Kau pasti
kenal nama keluargaku."
Hening beberapa saat setelah lelaki itu memberi tahu jati diri"
nya. Miaa mengernyit dan membelalakkan mata, antara bingung
dan terkejut. Johan pasti sudah gila, demikian dia membatin, karena
Legenda Bunga Persik 3 Dewi Ular 46 Misteri Bocah Jelmaan Tiga Mutiara Mustika 1
^