Pencarian

Metropolis 4

Metropolis Karya Windry Ramadhina Bagian 4


siapa pun yang berada dalam situasi seperti ini akan berpikir seribu
kali sebelum membuka kartu di hadapan lawan.
215 Metropolis.indd 215 Miaa melihat reaksi Bram sama dengannya, membuat senyum
di bibir Johan mengembang, tetapi itu tidak berlangsung lama.
Segera setelah Bram sanggup mengembalikan raut datarnya, polisi
itu tertawa kecil. "Kau membuat ini menjadi mudah," ujar polisi itu.
Johan membalas, "Mudah" Tidak, Inspektur. Aku membuat
ini menjadi lebih mudah, barangkali itu benar. Tapi, mudah" Tidak.
Aku yakin ini tidak akan pernah mudah bagimu. Kau harus tahu,
permainan ini bukan kelasmu. Kau tertinggal terlalu jauh."
"Jadi, menurutmu aku kalah langkah?"
"Tentu saja. Kalau tidak, aku pasti sudah masuk penjara."
"Percayalah. Kau dipenjara cuma masalah waktu saja. Begitu
aku punya bukti, kau tamat."
Johan tersenyum geli mendengar ancaman Bram. Miaa tahu,
pastilah lelaki itu merasa sangat yakin bahwa tidak ada bukti yang
sanggup menjegal langkahnya. Dia sendiri juga merasakan hal yang
sama. Bahkan, Miaa pesimis bukti yang dibicarakan oleh Bram
akan muncul dan dia tidak heran jika selamanya Johan tidak akan
bisa disentuh. Maka, sah-sah saja kalau Johan berlagak di hadapan
lawan seperti saat ini. "Hanya tinggal dua kepala sekarang. Permainan hampir selesai," ucap Johan. "Aku mau lihat, kau bisa apa."
Kalimat itu menyudahi pembicaraan. Sebuah sedan berhenti
di dekat mereka pada waktu bersamaan, kemudian sopir yang
mengendarai mobil itu keluar untuk membukakan pintu. Johan
pamit kepada lawan bicaranya, begitu juga dengan Miaa. Mereka
memasuki kendaraan penjemput dan beranjak pergi dengan itu.
216 Metropolis.indd 216 Di sepanjang jalan kembali ke apartemen, Miaa membisu. Johan
juga tidak bicara. Lelaki itu menyumbat telinganya dengan earphone
dan matanya tidak berhenti menatap ke luar jendela mobil, seakanakan kendaraan-kendaraan yang merambat di sisi kiri mereka terlalu
sayang untuk dilewatkan. Atau, barangkali lelaki itu menganggap
barisan kendaraan tersebut masih lebih sedap dipandang mata
ketimbang sekutu Saada-nya.
Setelah lewat satu jam, lelaki itu tidak juga menunjukkan
tanda-tanda akan membuka pembicaraan. Dia memeriksa iPod-nya
beberapa kali, untuk memilih lagu atau mengatur volume, tetapi
tetap tidak menoleh ke arah Miaa. Sementara itu, Miaa justru ber"
ulang kali menghela napas dengan gusar. Sesungguhnya dia merasa
gelisah sejak tahu ibunya tidak berada di Cibubur dan dia berharap
lelaki di sebelahnya bisa memberi penjelasan.
"Johan," Miaa mencoba memanggil Johan, tetapi lelaki itu
tidak bereaksi. Setelah beberapa kali dia ulangi dan Johan tidak juga menjawab, Miaa menggeser duduknya, lalu mencabut earphone dari
telinga lelaki itu. Kontan, Johan menoleh dengan kesal. Namun,
sebelum lelaki itu sempat menggerutukan sesuatu, Miaa sudah
melontarkan pertanyaan. "Kau sembunyikan di mana ibuku?"
Johan mengernyit mendengar itu. "Kau ini bicara apa?"
"Jangan pura-pura! Aku tahu kau memindahkan ibuku dari
Cibubur," Miaa membalas dengan geram. "Katakan saja! Di mana
ibuku sekarang?" Johan tidak menjawab. Lelaki itu menatap Miaa sejenak,
dengan ekspresi tenang dan emosi yang tidak terbaca, lalu buru217
Metropolis.indd 217 buru membuang muka dan kembali memasang earphone-nya.
Melihat itu, Miaa menjadi frustrasi. Dia menarik bahu Johan dan
memaksa lelaki itu agar menghadap kepadanya, tetapi yang dia
dapatkan justru percikan cairan merah yang keluar dari mulut
lelaki itu. Dia terbelalak melihat lawan bicaranya mendadak muntah
darah. Kini Johan tampak luar biasa kesakitan. Tangan lelaki itu
menggapai dan mencengkeram lengannya kuat-kuat, sehingga
Miaa ikut meringis kala merasakan kuku-kuku tumpul lelaki itu
menggores kulitnya. Sopir yang membawa mereka buru-buru menepikan ken"
daraan. "Ada obat di bawah jok," sopir itu berkata dengan sigap,
tampak terbiasa dengan situasi seperti ini.
Miaa mencari obat yang dimaksud dan menemukan sejumlah
alat suntik dalam sebuah kotak memanjang di bawah tempat duduk.
Diambilnya satu, lalu dibukanya kemasan plastik yang membungkus
alat itu. Dia menatap cairan bening dalam tabung kecil di tangannya
seraya menimbang-nimbang keputusan, apakah dia akan memberikan obat itu kepada Johan atau tidak. Jika dia biarkan saja lelaki itu,
maka bisa dipastikan apa yang terjadi kemudian.
Johan mengerang di samping Miaa. Lelaki itu mengatupkan
giginya rapat-rapat untuk menahan sakit. Pandangan mereka bertemu dan emosi yang terpancar dari sorot mata lelaki itu membuat
Miaa pilu. Johan tahu apa yang sedang Miaa pikirkan. Karenanya,
lelaki itu tersenyum pahit. "Apa yang akan kau lakukan... kali ini...
Miaa?" tanya lelaki itu dengan suara lemah.
218 Metropolis.indd 218 18. Lelaki Tanpa Nama Senin." Bartender di hadapannya menggumam di sela-sela alunan
musik Amerika Latin. Nada suara orang itu penuh penyesalan.
"Ke mana orang-orang pergi pada awal minggu?"
Dune memperhatikan ruangan di sekeliling mereka. Sebagian
besar kursi pub bernuansa Mediterania itu kosong, sehingga
pelayan-pelayan dengan dandanan se"orita tidak punya banyak
kesibukan. Pelayan-pelayan itu bisa duduk-duduk santai sambil
menonton televisi bersama para pengunjung. Dia sendiri memilih
tempat di depan meja bar seperti biasa, menikmati segelas mi"
numan yang selalu dia pesan.
"Hampir pagi. Kau menunggu Aretha?"
Dia tidak punya janji bertemu dengan Aretha malam ini. Dia
berada di pub itu untuk mengenang masa lalu yang dengan bertambahnya waktu terasa semakin usang.
219 Metropolis.indd 219 Sejak lama, dia adalah lelaki tanpa nama. Orang-orang memanggilnya dengan sebutan "Dune", tetapi dia bukan Dune. Dia
terbangun pada suatu hari tanpa memori yang membentuk jati
dirinya. Usianya saat itu masih sangat muda. Seorang Frans Al
menyelamatkannya dari sudut Metropolis dan memberinya dunia
baru. Dua tahun dia berada dalam perlindungan Frans. Selama itu
juga dia menjadi teman bermain bagi sepasang kakak beradik Al,
keturunan bos mafia itu. Johan adalah salah satunya. Umur mereka
terpaut lima tahun. Dia lebih tua. Ke mana Johan dan adiknya pergi,
dia menemani. Dia disekolahkan sekaligus diajarkan banyak hal oleh Frans:
bubuk kristal, uang, dan senjata. Frans kerap mengajaknya ke
sejumlah tempat yang bahkan tidak pernah didatangi oleh anakanaknya sendiri. Tempat-tempat itu sekilas tampak wajar; restoran
kecil yang menjual masakan Cina, toko bahan bangunan, atau salon
serba ada; namun semua tempat itu memiliki pintu yang hanya bisa
dimasuki oleh orang-orang tertentu.
Di balik pintu tersebut, orang-orang bermain kartu, minumminum, dan mengisap bong.
Dune berada di rumah Frans saat sekelompok orang menerobos masuk dan membakar pemimpin geng itu beserta keluarganya
hidup-hidup. Dia berhasil melarikan diri pada malam nahas itu lewat
lubang sampah yang ada di halaman belakang. Selama berbulanbulan, dia bersembunyi di Metropolis, bekerja sebagai tukang sapu,
dan hanya keluar saat pemilik pub menyuruhnya membeli minyak
rambut. 220 Metropolis.indd 220 Pada satu kesempatan, dia bertemu dengan Aretha di persimpangan jalan dekat pub tersebut, saat dia keluar untuk membelikan
majikannya minyak rambut. Perempuan itu mengenalinya lewat
tato yang dia miliki. Dari perempuan itulah dia tahu Johan Al berhasil
diselamatkan dan kala itu sudah dilarikan ke Vancouver. Aretha
memberinya tempat tinggal dan menjamin hidupnya. Tahun demi
tahun berjalan dengan cepat setelah itu. Dia berubah menjadi orang
suruhan yang sanggup melakukan apa saja, termasuk menghapus
keberadaan orang lain. "Aretha tidak datang malam ini," dia menjawab pertanyaan
bartender. "Urusanmu dengannya sudah selesai?"
"Belum, tapi tidak lama lagi."
Bartender tersenyum mendengar jawaban Dune. "Kudoakan
kau berhasil, Dune."
"Terima kasih," ucap Dune. Dia mengeluarkan uang untuk
membayar minumannya, namun sang bartender menolak.
"Kali ini kau kutraktir," kata orang itu.
Dune berterima kasih sekali lagi, kemudian dia meninggalkan
tempat duduknya dan pergi dari Metropolis lewat pintu belakang.
Ada pekerjaan yang menantinya. Blur adalah yang berikut, seorang
lelaki tanpa nama seperti dirinya.
"Ah!" Erik terlonjak dari kursi. Dia menghampiri alat pemutar
VHS di hadapannya. Ditekannya tombol rewind dan pause secara
221 Metropolis.indd 221 bergantian, berulang kali, sementara matanya memelototi layar
televisi yang terhubung dengan perangkat tersebut.
"Ketemu!" Dia mengambil kaset VHS yang baru saja diputar olehnya, lalu
buru-buru meninggalkan ruang multimedia untuk mencari Bram di
ruang kesatuan mereka. Bram sedang sibuk mencorat-coret sesuatu
di papan tulis saat ditemui.
"Jam keenam belas, menit ketujuh belas," Erik berujar sambil
menyodorkan kaset VHS di tangannya kepada Bram. Napasnya
terengah-engah. Bram menoleh kepada Erik dengan raut wajah bingung.
"Lelaki Tionghoa 30-an tahun. Dia masuk ke fasilitas kolam
renang bersama segerombolan lelaki tua. Dia berenang lima menit.
Bung Kelinci datang. Lalu, dia pindah jalur supaya bisa berenang
bersebelahan dengan Bung Kelinci. Setelah satu putaran, dia pergi
sendiri, sementara teman-temannya masih asyik duduk-duduk di
tepi kolam, dan Bung Kelinci mati tujuh menit kemudian," Erik
menjelaskan panjang lebar. "Kau periksa sendiri. Apakah dia lelaki
yang sama dengan orang di Rawasari atau bukan."
Bram hanya mengangguk-angguk. Setelah itu, dia kembali
sibuk dengan urusannya semula. "Taruh saja di meja. Nanti kulihat,"
kata lelaki itu. Erik melakukan apa yang diminta oleh Bram. Diletakkannya
kaset VHS tersebut di meja Bram, lalu dia ikut memperhatikan
papan tulis di hadapan mereka dengan penuh minat. "Apa yang
sedang kau lakukan?" tanyanya.
Bram menjawab sambil lalu, "Membuat bagan."
222 Metropolis.indd 222 Dan, seperti inilah bagan yang dibuat oleh Bram itu:
"Siapa ini?" Erik bertanya sambil menunjuk anonim di sebelah
kanan nama Johan Al. "Entahlah," kata Bram, "tapi kupikir ada seseorang di belakang
Johan. Johan tidak mungkin melakukan semua ini sendiri, Erik.
Dia punya pembunuh bayaran, curut di Rawasari itu, tapi itu tidak
cukup. Pasti dia punya orang kepercayaan yang mengurus segala
hal. Barangkali orang lama, yang dekat dengan Frans Al dan tidak
tersentuh oleh Sindikat 12."
"Lalu, Indira" Dia terlibat?" Erik bertanya lagi.
Bram kelihatan gusar. Lelaki itu mendesah, kemudian berkata
dengan nada penuh penyesalan, "Dia berada begitu dekat dengan
Johan Al. Dia juga menolak bicara."
Erik ikut mendesah. Dia mengerti apa yang terjadi. Sepertinya,
kali ini atasannya melibatkan diri secara personal dengan salah seorang saksi mereka, sesuatu yang tidak dia sangka akan dilakukan
223 Metropolis.indd 223 oleh reserse sekaliber Bram. Dia menepuk bahu lelaki itu. "Bukan
berarti dia terlibat," ucapnya.
Bram tersenyum pahit. "Apa kau sedang menghiburku,
Erik?" "Kau membutuhkan itu, Bram," balasnya.
Pembicaraan mereka terputus segera setelah itu. Seorang
bintara menghampiri mereka dan memberi tahu bahwa Burhan
meminta mereka menghadap. Bram dan Erik saling bertukar pandangan, tetapi tidak satu pun dari mereka tahu apa yang kira-kira
ingin dibicarakan oleh Burhan.
Ajun komisaris besar polisi itu tengah berkacak pinggang
menghadapi komputer di pojokan ketika Erik dan Bram memasuki
ruang kerja kepala kesatuan. Burhan menoleh, mengalihkan perhatiannya dari situs penuh gambar pintu yang terpampang lewat
monitor. Dengan suaranya yang berat, lelaki berumur itu menyapa
Bram dan Erik, kemudian meminta mereka untuk duduk. Mereka
menuruti permintaan Burhan. Bram terlihat tidak nyaman berada
di ruangan itu, atau lebih tepatnya berada di hadapan Burhan, sehingga polisi itu berkali-kali mengusap tengkuknya sendiri.
"Ada apa?" tanya Bram yang merasa tidak sabar.
Burhan terkekeh menanggapi sikap Bram itu. "Apakah aku
memanggil kalian pada waktu yang tidak tepat" Kalian sedang
mengejar buronan atau semacamnya?" ejek Burhan.
Bram membalas Burhan dengan sinis, "Jangan membuang
waktuku lebih banyak lagi. Katakan saja, ada apa?"
Sebuah berkas disodorkan kepada mereka. Burhan berkata,
"Kau dilaporkan karena mengganggu ketenangan masyarakat,
224 Metropolis.indd 224 menguntit seorang warga, dan mencuri data sebuah yayasan
kanker." Erik membuka berkas itu dan cepat-cepat membaca isinya. "Indira," dia menyebutkan nama orang yang melaporkan hal tersebut
dengan lemas. Dia sudah menduga hal semacam ini akan terjadi.
Sejak malam itu, dia curiga Bram mendapatkan daftar nama para
pemakai STI571 dengan cara ilegal.
"Aku mencari informasi yang kubutuhkan," Bram berdalih.
"Ya, aku mengerti, tapi kita punya prosedur," balas Burhan.
"Prosedur apa yang kau maksud" Agak aneh mendengar kau
bicara prosedur." "Jangan mengalihkan pembicaraan, Bram. Berkas di hadapan
kalian itu bikin aku sakit kepala."
"Kalau begitu, masukkan saja ke laci."
Erik menatap Bram dengan terkejut. "Kita tidak bisa meng"
hapus berkas begitu saja," bisiknya kepada polisi itu.
Burhan mencibir. "Asistenmu lebih tahu aturan ketimbang
dirimu," ledek Burhan.
"Jangan khawatir, Erik. Atasan kita ini tahu betul apa yang harus
dia lakukan," Bram membalas seraya bangkit berdiri.
Melihat Bram bermaksud meninggalkan ruangan, Burhan
menghardik, "Jangan beranjak dulu dari tempatmu, Inspektur!
Pembicaraan kita belum selesai."
"Apa lagi?" "Bereskan urusanmu dengan Ferry Saada. Aku tahu kau punya


Metropolis Karya Windry Ramadhina di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bukti penyelundupan yang dia lakukan. Masukkan dia ke sel atau
225 Metropolis.indd 225 tembak mati di tempat, terserah kau saja. Setelah itu, rapikan
semua laporan yang menyangkut Sindikat 12. Kasus kalian akan
kualihkan." Erik menahan napas. Ucapan Burhan barusan membuatnya
berkeringat dingin. Dia melirik ke arah Bram, menunggu jawaban
dari lelaki itu. Dia tahu Bram tidak senang mendengar perintah
Burhan. Bukti penyelundupan yang disebut-sebut itu sudah dilepas
oleh Bram untuk mendapatkan informasi mengenai Frans Al, se"
hingga mereka tidak akan bisa menangkap Ferry Saada. Sementara
itu, kasus yang tengah mereka tangani mulai menemukan titik
terang. Jika kasus itu dialihkan, maka pekerjaan mereka menjadi
sia-sia. "Bukti itu tidak valid," Bram menjawab kemudian, "Ferry tidak
bersalah." "Bukti itu valid, tapi kau menjualnya kepada Ferry," Burhan
menukas. "Terserah kau mau bilang apa, tapi jangan sentuh kasusku.
Berapa kali harus kukatakan baru kau mengerti" Aku sendiri yang
akan menyelesaikannya," kata Bram untuk terakhir kalinya. Lalu,
lelaki itu pergi dari ruangan tersebut.
Erik tertegun mendengar keputusan Bram. Setelah berdiam
diri selama beberapa saat, dia bangkit dari kursinya dengan gugup.
"Per... permisi, Pak," ucapnya kepada Burhan. Diambilnya berkas
yang membuat keributan itu dari atas meja di hadapannya. Setelah
itu, dia buru-buru mengejar Bram.
226 Metropolis.indd 226 Bajingan-bajingan yang membunuh ayahnya tidak menda"patkan
ide itu begitu saja. Ada dalang di antara mereka dan orang itu
adalah nomor enam dari dua belas, atau yang biasa dikenal oleh
rekan-rekannya dengan nama Blur"pengecut yang bisanya cuma
sembunyi di balik bayang-bayang.
Blur hampir tidak pernah menampakkan diri, bahkan dalam
sejumlah transaksi penting antargeng di sindikatnya sendiri. Selama
belasan tahun ini, keberadaan orang itu antara ada dan tidak ada,
sehingga informasi seputarnya benar-benar sulit didapat. Banyak
orang bertanya-tanya, tetapi pada akhirnya mereka menyerah
terhadap keingintahuan mereka dan mulai menganggap bahwa
sesungguhnya Blur hanya sosok imajiner yang diciptakan oleh
Sindikat 12 untuk mengecoh lawan.
Menggelikan. Tentu saja Johan dan Aretha tidak termakan oleh gurauan itu.
Blur nyata, senyata peristiwa nahas yang terjadi lima belas tahun
lalu. "Jadi, malam ini Dune bergerak?"
Johan bangkit dari tempat tidurnya. Tubuhnya yang letih
menghampiri jendela di salah satu sisi kamar, lalu dia menyibakkan
tirai yang menghalangi cahaya pagi. Dia lihat langit tidak terlalu
cerah di luar sana, awan-awan gelap berkumpul membungkus matahari, menciptakan muram yang senada dengan suasana cengeng
yang tengah menguasai benaknya. Dia tersenyum masam, mulai
merasa bosan sendiri karena harus terus-menerus memulai harinya
dengan Nouvelle Vague. 227 Metropolis.indd 227 "Apakah Dune akan baik-baik saja?" dia bertanya seraya
mengambil segelas air dari meja di sudut ruangan.
Aretha memberi Johan sejumlah tablet obat. "Sejak kapan kau
meragukan Dune?" perempuan itu bertanya balik.
Johan menelan tablet-tablet itu. Rasa pahitnya membuat dia
meringis. "Wajar. Kali ini kita melawan Blur."
"Blur tidak berbeda dengan yang lain, Johan, kecuali dia senang
bersembunyi. Banyak orang bilang dia yang terkuat dari dua belas,
tapi itu bukan masalah. Dia sudah tua. Jaringannya juga tidak sekuat
dulu lagi. Menjatuhkannya tidak akan sesulit yang kau bayangkan.
Percaya kepadaku." "Aku percaya kepadamu."
Mendengar Johan berkata begitu, Aretha justru melepaskan
desahan bernada frustrasi.
"Dengar," kata perempuan itu lagi, "aku tidak akan membiarkan Dune keluar jika aku sendiri tidak yakin akan hal itu. Aku sudah
memeriksa semuanya; basis-basis yang dimiliki oleh Blur, pola gerak
orang itu, transaksi-transaksinya, orang-orang di sekelilingnya, dan
banyak hal lainnya yang tidak akan kusebutkan satu-satu kepadamu
karena menurutku kau terlalu sering memutar musik Nouvelle
Vague. Saat ini kau sedang terbawa suasana cengeng mereka."
Johan tertawa, namun dia tidak menanggapi lebih lanjut. Jika
Aretha berkata bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan, maka
dia hanya perlu menunggu berita baik dari Dune. Dia sudahi saja
pembicaraan mereka. "Bisa kau panggilkan Miaa?" pintanya kepada
Aretha sebelum perempuan itu meninggalkan ruangan.
228 Metropolis.indd 228 Aretha menatap Johan sambil menaikkan alis. Bibir perempuan
itu tersenyum meledek lawan bicaranya. "Miaa?"
"Ya. Aku punya urusan dengannya," ucap Johan.
Dia berutang nyawa kepada Miaa.
Menyedihkan memang, namun itulah yang terjadi kemarin
malam. Joe Black tersenyum kepadanya dan Miaa memberinya
penyambung hidup. Kalau bukan karena perempuan itu mengambil
keputusan bodoh, maka pastilah dia sudah berkumpul bersama
kedua orang tuanya saat ini.
Padahal, kala itu dia merasa yakin bahwa akhir hidupnya telah
tiba. Dia ingat betul bagaimana Miaa menatapnya dan dia tahu apa
yang perempuan itu pikirkan. Perempuan itu berniat membiarkannya mati. Sebelum obat disuntikkan ke dalam pembuluh darahnya,
dia sudah kehilangan kesadaran. Dia bermimpi tentang masa-masa
kecilnya di Vancouver dan dalam mimpi itu dia berbincang-bincang
dengan orang yang dia tembak pertama kali. Bahkan, orang itu
mengatakan sesuatu untuk menyambutnya, "So you come afterall,
Pretty Boy." Dia pikir, tamat sudah riwayatnya.
Karena itu, saat dia membuka mata pada akhirnya dan mendapati dirinya terbaring tanpa tenaga dalam kamarnya yang serba
putih, dia terkejut. Miaa. "Apa yang perempuan itu lakukan?" Itu yang dia ucapkan pertama kali ketika dirinya terjaga.
"Kau terlihat jauh lebih baik," Miaa menyapa tiba-tiba.
Johan menoleh. Perempuan yang tengah memenuhi benaknya
berdiri di ambang pintu kamarnya. Kedua tangan perempuan itu
dilipat di depan dada dan dia kelihatan resah.
229 Metropolis.indd 229 Johan menyambut perempuan itu dengan senyum mengejek.
"Ya," ucapnya. Dia tahu apa yang membuat perempuan itu tidak
tenang. "Berkat pertolonganmu."
Miaa membalas dengan dingin, "Kau tidak perlu berterima
kasih." "Kenapa" Menyesal membiarkanku hidup?"
"Lebih menyesal lagi karena aku tidak berani membiarkanmu
mati." "Ah. Aku mati, maka ibumu mati. Begitu?"
Sorot mata Miaa berubah menusuk karena ucapan Johan
barusan. Miaa menukas dengan sinis, "Kau benar-benar suka mempermainkan orang ya."
"Mempermainkan orang?"
"Ya. Sebenarnya kau bisa menghabisi dua belas pembunuh
ayahmu sekaligus, tapi itu tidak kau lakukan. Kau malah membuat
pola dan mengejar orang-orang itu satu per satu. Kau membuat
mereka merasa seperti hewan buruan dan memaksa mereka
sembunyi ketakutan. Dan kau menikmati itu, sama halnya saat
kau melihatku tidak berdaya dan tahu Agusta Bram tidak bisa
menyentuhmu." Johan tidak menampik tudingan Miaa. Dia melangkah
mendekati lawan bicaranya. Pandangannya tidak lepas dari perempuan itu. Ditutupnya pintu di belakang Miaa. Dibuatnya lawannya
terdesak hingga tidak bisa menghindar dari kepungannya. "Kau
benar. Aku suka memegang kendali," ucapnya, "seperti saat ini."
Tidak sesuai dengan harapan Johan, Miaa kelihatan tetap
tenang. Perempuan itu malah membalas dengan tatapan
230 Metropolis.indd 230 menantang sembari mengangkat dagu dan itu berbalik membuat
Johan gusar. "Sayang sekali, Johan. Kau tidak membuatku takut,"
kata perempuan itu. Johan mencemooh, "Apa untungnya membuat sekutu sendiri
ketakutan?" Dia tidak menyukai situasi ini, maka diraihnya wajah
Miaa dengan kedua tangannya, lalu dia membungkam mulut
perempuan itu dengan ciuman, cara paling mudah"sekaligus
menyenangkan"untuk menghancurkan pertahanan lawan jenis.
Miaa terkesiap dan buru-buru melepaskan diri. Dia membanting Johan ke lantai dengan satu gerakan, kemudian mengunci
kedua tangan dan kaki lelaki itu sedemikian rupa, sehingga posisi
mereka seperti dua orang yang sedang bercinta. Dirinya, tentu saja,
berada di atas lelaki itu.
"Kau cari mati!" Miaa memaki.
Johan tertawa. Sayang sekali, tubuhnya masih terlalu payah
untuk menaklukkan perempuan. "Aku bisa mati sendiri. Kau tidak
perlu repot-repot," guraunya.
"Kau boleh mati setelah mengatakan di mana ibuku."
Tawa Johan bertambah keras. Miaa boleh berada di atas, tetapi
ketakutan yang baru saja terpancar dari mata perempuan itu telah
membuat Johan memenangkan permainan ini. Dan, itu luar biasa
melegakan bagi Johan"setelah tadi dia harus gigit jari karena sikap
sok tenang yang diperlihatkan oleh Miaa.
"Kau kalah lagi, Miaa," bisik Johan. "Sekarang, tolong me"
nyingkir dari atasku, Sayang."
231 Metropolis.indd 231 Rasanya seperti melawan diri sendiri kala Dune harus berhadapan
dengan Blur. Dia dan lelaki itu punya kesamaan, namun bukan kesamaan biasa. Tanpa nama yang mereka sandang saat ini, mereka
adalah nihil, dunia tidak menyimpan jejak mereka dan waktu tidak
dapat berputar kembali untuk mengambil apa yang tertinggal di
belakang. Karena itulah, Dune berpikir bahwa urusannya kali ini tidak
akan mudah. Blur"lelaki tanpa nama itu"duduk menghadap pintu di ujung
ruangan yang bentuknya memanjang, di sebuah rumah tua di
daerah Jakarta Pusat yang dia tinggali sendiri dan dia jadikan tempat
persembunyiannya selama ini, dalam kegelapan.
Rumah di daerah Jakarta Pusat itu dijaga oleh sejumlah orang
bersenjata, yang berhasil dilewati oleh Dune tanpa kesulitan.
Ruangan berbentuk memanjang itu tidak menerima cahaya, selain
bias-bias lemah yang masuk lewat jendela tinggi di belakang
Blur sehingga yang tertangkap oleh mata Dune hanya langit di
luar rumah, sementara lelaki yang dia cari bersembunyi dalam
bayangan. Kursi bersandaran tinggi yang diduduki oleh Blur adalah satusatunya perabotan yang terlihat. Ruangan yang dia masuki kosong
dan polos. Dinding-dindingnya tidak bercorak, begitu juga langitlangitnya. Hanya alas pijakannya saja yang mencolok. Lantai batu
tersebut dipoles sampai licin, sehingga permukaannya mampu
memantulkan kembali cahaya seperti permukaan kolam.
Dune mengeluarkan senjata api yang dia selipkan di ikat pinggangnya. Sepasang matanya memperhatikan Blur, lekat dan tajam.
232 Metropolis.indd 232 Langkah-langkah kakinya menghampiri lelaki itu dengan perlahanlahan, berhati-hati sekali, tanpa menimbulkan suara. Kemudian,
dia berhenti setelah jarak mereka hanya tersisa sekitar lima kaki.
Diarahkannya senjata di tangannya kepada Blur.
Dia tembakkan peluru sebanyak tiga kali. Cepat dan tanpa
perlawanan. Sasarannya tidak bergerak setelah serangan itu. Dune
mendekat untuk memeriksa tubuh di hadapannya, untuk memastikan pekerjaannya telah selesai. Wajah lonjong dan berkacamata
milik Blur merunduk. Sepasang tangan lelaki itu tersangga lengan
kursi. Dune menjamah leher lelaki itu, kemudian ia tersentak ketika
merasakan suhu badan Blur.
Blur sudah lama mati. Detik berikutnya, dia mendengar langkah-langkah kaki
mendekat seperti segerombolan kuda berlari. Sekelompok orang
memasuki ruangan tempat dia berada. Mereka membawa senjata.
Jebakan! Dan, dia terlambat menyadari itu.
233 Metropolis.indd 233 19. Orang yang Menarik Pelatuk (I) etugas forensik menyingkap kain putih yang menutupi mayat
di ambulans. Seraut wajah lonjong milik seorang lelaki separuh
baya menampakkan diri secara mengibakan segera setelahnya.
Kulit lelaki itu pucat agak kebiruan. Kedua kelopak matanya terbuka setengah, memperlihatkan sebagian pupilnya yang mem"
besar maksimal. Mulutnya menyeringai. Kerut-kerut di kening dan
sekitar hidungnya kentara betul, sehingga lelaki itu kelihatan luar
biasa usang. "Bagaimana?" tanya petugas forensik itu.
Bram mengiyakan dengan anggukan. "Ya. Lelaki ini adalah
Blur." Blur tampak berbeda tanpa kacamata, tetapi Bram masih bisa
mengenali wajah penguasa wilayah 6 itu dengan baik. Dia membuka
sisa kain yang membungkus Blur. Didapatinya tiga buah lubang
peluru di tubuh lelaki itu. Lubang itu menembus dada berikut ke234
Metropolis.indd 234 meja warna terang yang dia kenakan dan menyisakan bekas mesiu,
pertanda ketiga tembakan itu dilakukan dari jarak dekat.
"Luka tembak?" Petugas forensik menjamah kepala Blur dan menunjukkan bekas suntikan di leher lelaki itu. "Kematian disebabkan oleh suntikan
di titik ini," dia menjawab dengan tenang.
"Obat?" "Bukan. Tidak ada tanda-tanda overdosis. Bukan racun juga
karena warna kulitnya normal. Mungkin air. Sekitar 50 atau 100 cc."
Bram mengerutkan kedua alisnya. "Air bisa membunuh?"
tanyanya. "Ya, kalau dimasukkan ke dalam pembuluh darah. Mudah,
tanpa bekas. Kau cuma perlu menunggu setengah jam. Korban
pingsan, lalu mati tidak lama kemudian karena air mengikat oksigen
yang dibutuhkan otak."
"Lalu, bagaimana dengan luka tembak itu?"
"Sejujurnya, luka tembak itu tidak berpengaruh apa-apa. Kau
bisa lihat sendiri, tidak ada darah keluar dari badan korban. Lelaki
ini ditembak beberapa jam setelah dia mati."
"Kenapa?" "Kurasa itu pertanyaan untukmu, Inspektur. Forensik cuma
bisa menjawab bagaimana."
Bram tersenyum menanggapi sindiran si petugas forensik.
Dia merapatkan kembali kain yang semula menutupi Blur, lantas
meninggalkan ambulans tersebut sambil membawa beberapa
berkas laporan.

Metropolis Karya Windry Ramadhina di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dua jenis luka yang diderita oleh Blur, luka suntikan dan luka
tembakan, dilakukan oleh dua orang yang berbeda. Itu satu-satu235
Metropolis.indd 235 nya penjelasan yang masuk akal bagi Bram. Ada dua orang yang
menghabisi penguasa wilayah 6 itu dalam dua waktu yang tidak
bersamaan. Dia tahu bahwa salah satu di antara mereka adalah
lelaki Tionghoa yang juga membunuh Soko Galih dan Bung Kelinci,
itu hampir dapat dipastikan. Tetapi siapakah pelaku yang satu lagi"
Siapa"selain geng Frans Al"yang ingin melenyapkan Blur"
"Bram!" Erik keluar dari bangunan di hadapan Bram, rumah tua di
mana mayat Blur ditemukan satu setengah jam yang lalu. Seperti
sebelumnya, Erik tiba lebih dahulu di TKP.
"Penuh wartawan ya?"
Bram berkomentar kepada Erik sambil memperhatikan
keadaan di sekeliling mereka. Puluhan orang dengan alat pe"
rekam berkerumun di luar pita kuning polisi. Orang-orang itu sibuk
mengambil gambar, tidak ada habis-habisnya dan ribut bukan main
seperti bel pintu rumahnya yang kerap mengganggu tidurnya pada
pagi hari. Erik mengedikkan bahu. "Wartawan Koran Tempo yang me"
nemukan mayat Blur," kata polwan itu.
"Kok bisa?" "Dia mendapat telepon dari anonim."
Bram mendengus. Justru anonim itulah si pelaku dan itu berarti
dia ingin ini jadi sorotan media, tetapi untuk apa"
"Kau mau masuk?" Erik mengalihkan pembicaraan.
"Sudah kau periksa semua" Bagaimana keadaan di dalam?"
Bram bertanya balik, tetapi tidak beranjak sama sekali dari tempatnya berdiri. Dia mengeluarkan rokok dari saku jaketnya.
236 Metropolis.indd 236 "Bersih. Ada empat ruangan di rumah ini, tapi semua kosong.
Cuma ada satu kursi dan tiga selongsong peluru di dalam kamar di
mana kami menemukan Blur. Tidak ada bekas makanan, botol air,
atau pakaian kotor. Pompa tidak menyala, begitu juga listrik serta
saluran telepon." Bram mengisap rokok seraya mengerutkan keningnya. "Jadi,
rumah ini tidak biasa ditinggali dan bukan tempat persembunyian
juga," ucapnya. "Kau benar." "Lalu, apa yang dilakukan oleh Blur di sini?"
Erik tidak menjawab. Polwan itu kembali mengedikkan
bahu. Bram bertanya lagi, "Bagaimana kondisi pintu?"
"Semua pintu dan jendela terkunci, kecuali satu jendela di
sebelah barat. Wartawan kita masuk lewat jendela itu," Erik berkata sambil menunjuk jendela yang dia maksud"sebuah lubang
cahaya tanpa teralis yang memiliki lebar sekitar 60 cm dan tinggi
dua kali itu dibingkai kayu bercat putih, "sementara tim forensik
mendobrak pintu depan."
"Lalu?" "Aku juga periksa plafon, kalau-kalau saja si pelaku mengulangi
modus di Rawasari. Tapi tidak ada manhole yang terbuka."
"Saksi" Tetangga-tetangga lihat sesuatu?"
"Banyak rumah kosong dalam radius seratus meter dari sini,
Bram. Aku tidak yakin ada yang lihat sesuatu semalam. Ini tempat
mati yang sempurna."
Bram diam sejenak untuk berpikir. Matanya memandangi ba"
ngunan tua di hadapan mereka dan benaknya mencoba merangkai
237 Metropolis.indd 237 potongan-potongan informasi yang tidak pas satu sama lain. Entah
apa yang sebenarnya terjadi semalam di rumah tersebut, tetapi dia
sepakat dengan Erik. Blur, atau barangkali seseorang, telah memilih
tempat mati yang sempurna.
"Cari tahu siapa pemilik rumah ini," perintahnya kemudian.
Dune dikembalikan oleh Sindikat 12 dalam keadaan tidak bernyawa.
Tubuh lelaki malang itu dipotong menjadi dua belas bagian, dibungkus menggunakan plastik sampah, dimasukkan ke dalam sebuah tas
olahraga, dan diletakkan di depan pintu masuk Metropolis.
Aretha berjongkok di hadapan tas tersebut, memandangi
kepala Dune yang bersimbah darah. Dia membalas tatapan kosong
lelaki itu dan hatinya seperti disayat-sayat.
"Aku turut berduka, Aretha," bartender Metropolis berkata
sambil menepuk bahu Aretha. Bartender itulah yang menemukan
Dune menjelang malam dan memberinya kabar buruk lewat telepon.
"Terima kasih," Aretha membalas dengan suara parau.
Dia menutup kembali tas olahraga di hadapannya rapat-rapat.
Dia memanggil sopirnya, lalu memberi perintah, "Kuburkan dia
baik-baik. Berikan tempat di dekat Frans."
Sopirnya mengangguk dengan patuh, kemudian bergegas
pergi membawa tas olahraga berisi potongan-potongan tubuh
tersebut. Bartender yang berdiri di sebelahnya berkata setelah itu,
"Masuklah ke dalam. Kau butuh minuman."
238 Metropolis.indd 238 Aretha tidak menolak. Diikutinya bartender itu ke dalam pub
dengan langkah gontai, kemudian Aretha duduk di tempat biasa
dan menunggu minumannya datang. Bartender itu benar. Malam ini
terlalu menyakitkan untuk dilalui dalam keadaan sadar walau terkadang minuman juga membuat orang menjadi terlalu sentimentil.
Dia masih ingat, dahulu sekali, Frans menyelamatkan Dune dari
sebuah tempat dalam kegelapan Jakarta yang tidak layak ditinggali.
Pada satu malam, lelaki itu meneleponnya dan berkata, "Aku punya
anak lelaki baru, Aretha. Datanglah kemari untuk menengoknya.
Kuberi dia nama Dune."
Frans mendidik Dune, menyekolahkannya, dan mengajarinya
banyak hal, serta membiarkan anak pungut itu bermain dengan
anak-anaknya sendiri. Aretha melihat bagaimana ketiga malaikat
kecil itu, Dune dan kedua anak Frans, tumbuh bersama sebagai ge"
nerasi kedua Al. Bahkan, Frans pernah berkata kepada Aretha bahwa
Dune akan mendapatkan apa yang juga didapatkan oleh Johan.
Karena itu, mencelakai Dune sama artinya dengan me"nyakiti
keluarga Frans Al dan Sindikat 12 akan membayar perbuatan
mereka dengan harga tinggi. Dia sendiri yang akan memastikan
hal tersebut. "Kudengar kau memotong seseorang."
Malam ini, Ferry dan sekelompok teman hedonisnya bersenang-senang di Metropolis. Pub yang keberadaannya baru saja
dia ketahui dari Ju itu ternyata lumayan juga. Dia suka melihat
pelayan-pelayan yang mondar-mandir dengan dandanan se"orita
239 Metropolis.indd 239 di pub tersebut. Mereka eksotis dan membuat minuman yang dia
tenggak terasa lebih nikmat. Dia juga menyukai suasana hangat di
dalam pub itu. Tampaknya orang-orang yang mendatangi tempat
tersebut adalah pengunjung tetap. Mereka saling mengenal dan
terlihat akrab satu sama lain. Namun, dia agak terganggu dengan
musik ranchera"entah apa itu sebutannya. Untuk teman minum,
dia lebih memilih alunan piano yang mendayu-dayu dan menyebabkan orang mengantuk ketimbang suara aneh yang berasal dari
banyo milik lelaki pendek bertopi lebar.
Lelaki yang dia ajak bicara lewat telepon menanggapi dengan
bingung, "Bagaimana kau bisa tahu, Ferry?"
"Aku di sebuah pub. Kata se"orita favoritku, tadi sore bartender
mereka menemukan tas olahraga berisi mayat di depan pintu pub
ini," kata Ferry yang sudah setengah mabuk. "Mayat itu dipotong
dua belas." Shox, lelaki yang sedang mengobrol dengan Ferry, tertawa.
"Mayat di dalam tas itu adalah orang yang bikin koit ayahmu," kata
Shox. Kedua mata Ferry terbuka lebar mendengar itu. Seketika, pikirannya kembali jernih. Buru-buru dia menegakkan posisi
duduknya. "Pembunuh ayahku?"
"Cuma orang suruhan. Aku juga baru tahu. Bukan aku yang
melakukannya." "Lalu, siapa" Blur?"
"Blur yang kau temui di Penjaringan beberapa waktu lalu itu
sudah koit juga." "Kau bercanda, Shox. Orang tua berengsek itu tidak bisa
mati." 240 Metropolis.indd 240 "Aku sungguh-sungguh. Sekarang hanya tinggal kita berdua.
Bertiga, kalau Gilli masih punya nyali."
Ferry mendengus begitu mendengar nama Gilli disebut. Dia
berani bertaruh Gilli tidak akan berani ikut campur masalah ini lagi
walau disogok dengan transaksi sebesar apa pun. "Lupakan saja
pengecut yang satu itu," ucapnya.
"Jadi, sekarang kau ada di Metropolis?" Shox bertanya lagi.
"Ya," jawabnya. "Aku melihat Aretha."
"Aretha?" Ferry mengenal Aretha kendati mereka belum pernah bertemu
muka secara langsung satu sama lain. Saat ini, perempuan berumur
yang tidak juga kehilangan kecantikannya itu duduk di hadapan
meja bar dan sedang berusaha menghabiskan isi botol minumannya. Ayahnya, Leo, kerap berutang budi kepada perempuan itu
sehubungan dengan masalah cuci uang. Perempuan itu merupakan
bantuan besar terhadap bisnis mereka. Ferry tidak tahu bagaimana
cara kerja Aretha, tetapi perempuan itu sanggup menyulap uanguang tunai kepunyaan Geng Saada yang menumpuk tidak berguna
di gudang masuk ke sistem perbankan.
Menurut se"orita favorit Ferry, Aretha termasuk salah satu pe"
ngunjung tetap Metropolis. Perempuan itu sudah minum di tempat
tersebut sejak Ferry masih ingusan di sekolah. Ferry menarik sedikit
ujung bibirnya. Sesungguhnya dia berada di Metropolis untuk
mencari Miaa yang tengah bersembunyi entah di mana. Kini, dia
bertanya-tanya apakah Aretha ada sangkut pautnya dengan anak
haram ayahnya itu. "Menurutmu, apa perempuan itu terlibat?" dia bertanya kepada Shox.
241 Metropolis.indd 241 "Aretha" Tidak. Dia tidak pernah ikut campur urusan Sindikat
12." Ferry mengangguk-angguk. Sepasang matanya masih tertuju
kepada perempuan yang sedang menjadi topik pembicaraan.
"Tapi, kata se"orita favoritku, Aretha membawa pulang mayat
dalam tas olahraga itu."
Dokter tidak memperbolehkannya menyentuh minuman keras
dan Johan memang tidak terlalu suka alkohol. Tetapi malam ini
dia menghabiskan setengah botol anggur Bordeaux yang selama
bertahun-tahun hanya menjadi pajangan di apartemennya, demi
merayakan kematian Blur sekaligus menangisi kepergian Dune.
Dia duduk berjam-jam di hadapan jendela, memperhatikan
titik-titik cahaya yang terserak tidak beraturan dalam metropolis
miliknya, yang terlihat semakin acak seiring dengan kesadarannya yang menipis. Dia biarkan ruangan di mana dia berada agak
temaram, namun dia tidak memutar Nouvelle Vague walau situasi
hatinya sedang sangat buruk. Ada kalanya dia terlalu payah untuk
mendengarkan musik itu. Ada kalanya sunyi lebih tepat dijadikan
teman menyendiri, kendati saat ini dia tidak benar-benar sendiri
karena Miaa bak lalat di meja makan saja, tidak juga enyah dari
pandangannya. "Jadi, Blur sudah mati," perempuan itu berkata sambil meletakkan kembali koran yang baru saja dia baca ke meja.
Johan menanggapi Miaa dengan senyum sinis. "Memangnya
kau kira untuk apa aku minum?" balasnya.
242 Metropolis.indd 242 "Walau begitu, kau tidak terlihat senang," Miaa berkomentar.
Kali ini, Johan tidak menjawab. Suasana di antara mereka
kembali hening, mempersilakan benak Johan bersafari malam
tanpa kendali. Dia tidak dekat dengan Dune. Tidak seperti Aretha, dia tidak
menyimpan perasaan sentimentil berlebih untuk anak pungut
ayahnya itu. Kendati demikian, kematian lelaki itu merupakan
kekalahan besar baginya dan dia bukanlah orang yang sanggup
menerima hal semacam itu dengan mudah karena selama ini dia
hanya mengenal kata menang. Belum pernah dia jatuh seperti yang
tengah dialaminya saat ini. Untuk pertama kalinya setelah sekian
lama, dia merasa kehilangan kendali.
"Apa-apaan ini?"
Mendadak Aretha muncul di hadapan Johan, merebut gelas
dan botol minuman yang digenggam oleh lelaki itu sambil menggerutu cemas. Perempuan itu baru saja kembali dari Metropolis,
masih mengenakan jaket dan belum melepas sepatunya. Entah
kapan dia memasuki apartemen.
"Kau tidak boleh minum! Kau tahu itu!" hardik Aretha.
"Kau sendiri bau alkohol," dalih Johan.
Aretha tidak membalas, hanya menghela napas. Setelah membuang Bordeaux puluhan juta ke tempat sampah, perempuan itu
menjatuhkan dirinya ke sofa dan duduk di sebelah Miaa.
Johan bertanya kepada perempuan itu, "Bagaimana pema"
kaman Dune?" "Kusuruh sopir menguburnya di sebelah ayahmu," kata Aretha.
243 Metropolis.indd 243 "Di sebelah ayahku" Padahal dia bukan seorang Al."
"Jangan khawatir, Johan. Masih ada sisi satunya untukmu."
Johan tertawa, tetapi suaranya justru terdengar menyedihkan.
Sejujurnya, dia tidak peduli di mana Dune dikuburkan. Bukan itu
yang menyesaki pikirannya saat ini. Lagi pula, orang mati tidak
punya banyak pilihan. Dan, bicara tentang orang mati, dia terpaksa
harus menyusun ulang rencananya setelah Dune terbunuh. Syukurlah itu tidak akan menjadi masalah besar karena Shox adalah
satu-satunya yang tersisa dari dua belas.
Untuk yang terakhir, dia berani menanggung risiko sebesar
apa pun. "Apa rencanamu setelah ini?" dia bertanya lagi kepada Aretha
seraya beranjak dari tempat duduknya untuk mengambil air dingin
di dapur. "Entahlah," perempuan itu menjawab tanpa minat.
Johan kembali ke ruang tengah dengan membawa botol be"
ning. Ditenggaknya air dalam botol itu sampai habis. Setelah itu,
dia berkata, "Biar aku sendiri yang menjatuhkan Shox."
Aretha nyaris terlonjak dari tempat duduknya karena men"
dengar itu. "Jangan bercanda, Johan!"
"Aku tidak bercanda," Johan menjawab dengan tenang. "Kau
tahu sejak dulu aku ingin melakukannya. Lagi pula, kau sendiri yang
bilang tidak punya rencana."
"Aku tidak bilang...," Aretha berhenti sejenak untuk mendesah.
Setelah satu napas, perempuan itu melanjutkan ucapannya, "Saat
ini aku memang belum punya rencana, tapi aku akan cari jalan keluar. Kau tunggu saja. Buka transaksi GBP, putar musik cengengmu,
atau apalah, Johan, dan lupakan niatmu barusan."
244 Metropolis.indd 244 "Aku sedang menawarimu jalan keluar. Apa sulitnya menjatuhkan Shox?"
"Tubuhmu lemah dan Shox punya postur tinggi-besar. Kau
cuma cari mati saja."
"Ayolah. Aku tidak selemah itu untuk menarik pelatuk."
Aretha mencibir. "Kau akan mati sebelum sempat menarik
pelatuk," sindir perempuan itu.


Metropolis Karya Windry Ramadhina di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Johan membalas dengan tawa bernada sama. "Lalu, siapa yang
akan membunuh bajingan itu" Kau?"
"Ya, jika itu bisa mencegahmu berbuat gila!" Nada bicara Aretha
berubah tinggi, berang. Perempuan itu sudah bangkit dari tempat
duduknya sekarang. Sorot matanya berubah tajam seakan-akan
dengan itu dia bisa memenangkan perdebatan mereka. "Dengar!
Kau putra Frans satu-satunya. Kalau kau mati, maka keluarga Al
juga berakhir. Aku tidak bisa membiarkan itu terjadi. Bukan untuk
itu aku menyelamatkanmu," kata Aretha.
"Aku mengerti, Nyonya. Tapi saat kau menemukan pengganti
Dune, itu sudah terlambat."
Aretha menatapnya dengan bingung. "Kenapa kau tergesagesa sekali?"
"Karena...." Ucapan Johan terputus. Mendadak kaki lelaki itu lemas, kemudian dia jatuh berlutut ke lantai. Darah bercucuran dari hidungnya,
membasahi tubuh dan pakaiannya serta membuat genangan merah
di permukaan ubin. Dia mendengar Aretha menyerukan nama Tuhan
dengan panik. Perempuan itu menyambar handuk bersih entah dari
mana, lalu menghampiri Johan untuk memberi pertolongan.
245 Metropolis.indd 245 "Pasti ini gara-gara anggur tadi. Demi Tuhan, Johan! Kau benarbenar tidak sayang nyawa."
Johan tidak menjawab gerutuan Aretha itu. Mulutnya sedang
sibuk berburu udara karena hidungnya penuh darah dan dibekap
handuk yang perlahan-lahan berubah warna. Dia telan saja omelan
Aretha. Dia biarkan perempuan itu membantunya bersandar ke kaki
sofa. Dengan begitu, tubuhnya dapat beristirahat sejenak dan dia
bisa menengadahkan kepala untuk menghentikan pendarahannya.
Aretha tidak beranjak dari sisinya. Perempuan itu meman"
danginya dengan dahi berkerut sambil kembali marah-marah.
"Lihat dirimu. Bagaimana kau bisa menjatuhkan Shox dengan tubuh
seperti itu?" kata perempuan itu.
Johan tertawa tipis. Mudah saja jika ingin menyingkirkan Shox,
dia hanya perlu menggunakan sedikit isi kepalanya. Namun, bukan
itu yang sesungguhnya menjadi masalah mereka. Dia tidak tahu
berapa lama lagi tubuhnya yang payah sanggup bertahan, tetapi dia
sadar bahwa waktunya menipis. Aretha juga menyadari hal tersebut. Hanya saja, perempuan itu lebih memilih menipu diri sendiri
dan menaruh harapan naif pada obat-obat pemberian Indira.
Untuk beberapa menit berikutnya Johan dan Aretha membisu,
sibuk dengan pikiran masing-masing, atau barangkali mereka
berdua sedang sama-sama mencari cara untuk menundukkan
lawan bicara"karena itulah yang tengah Johan pikirkan saat ini,
bagaimana dia bisa meyakinkan Aretha untuk membiarkannya
turun tangan melawan Shox. Kemudian, ketika hening sudah terlalu
lama menguasai situasi, Miaa angkat bicara.
246 Metropolis.indd 246 "Jika kalian mencari orang untuk menarik pelatuk, aku bisa
melakukannya." Johan mengalihkan perhatiannya kepada Miaa. Keberadaan
Miaa di antara mereka sempat terlupakan olehnya. Pasti anggur
Bordeaux tadi yang menjadi penyebab. Minuman itu membuat isi
kepalanya tidak berfungsi dengan semestinya, dan kini dia merasa
luar biasa tolol karena baru saja membiarkan Miaa mendengarkan
pembicaraannya dengan Aretha.
Miaa berdalih, setengah meledek, "Aku bekas polisi. Aku terlatih dan tidak mimisan setiap dua hari."
"Kau cuma cari cara untuk melarikan diri," Johan buru-buru
menukas, tidak peduli apakah darah masih keluar dari hidungnya
atau tidak. "Kau tidak percaya kepadaku?" tanya Miaa.
Jelas saja, tidak. "Apa itu pertanyaan retorik?" balas Johan, sinis. Dua botol
anggur Bordeaux pun tidak akan bisa memaksa dirinya memercayai seorang Saada. Pada saatnya nanti, perempuan itu akan
menikamnya dari belakang, persis seperti Saada sebelumnya,
bajingan bernama Leo. Miaa tertawa, atau lebih tepat jika dibilang menertawakan
Johan. "Ibuku ada di tanganmu. Apa yang kau takutkan, Johan?"
Johan tidak menjawab. Dipalingkannya wajahnya dari lawan
bicaranya. Tatapan Miaa dan senyum perempuan itu membuatnya
kesal. "Kau benar, Miaa."
247 Metropolis.indd 247 Mendadak Aretha menimpali pembicaraan tersebut. Aretha
bangkit berdiri untuk menghadapi Miaa, kemudian berkata, "Tidak
ada yang perlu kukhawatirkan."
Johan kontan menampik, "Bicara apa kau" Kau percaya kepada
perempuan ini?" Aretha menjawab, "Tidak, tapi ini lebih baik daripada menuruti
permintaanmu." Lalu, Johan melepaskan desahan bernada gusar. Kini, dia mulai
frustrasi menghadapi Aretha. "Kau tidak mengerti rupanya," dia
berucap kepada perempuan itu. Dia paksa dirinya untuk bangkit.
Sepasang kakinya menahan tubuhnya dengan gontai, sementara
darah belum juga berhenti menetes.
"Aku menginginkan Shox," dia berkata seraya menatap Aretha,
"dengan tanganku sendiri."
"Johan...." "Aku tidak mau berdebat lagi, Nyonya. Niatku sudah bulat.
Dengan atau tanpa bantuanmu, aku akan menghadapi bajingan
itu." Aretha membalas tatapan Johan dan terdiam. Penyesalan
tergambar jelas dari sepasang mata serta wajah Aretha, meng"
ekspresikan ketidakberdayaan perempuan itu. Pada akhirnya
Aretha menyerah kalah. Dia menggeleng-geleng pelan, kemudian
beranjak dari tempatnya berdiri.
"Terserah kau saja," Aretha berucap sambil berlalu.
248 Metropolis.indd 248 20. Orang yang Menarik Pelatuk (II) Aretha menghubungiku baru saja."
Tengah malam, Ferry dibangunkan oleh telepon Shox. Pon-
selnya berbunyi tidak tahu diri selama beberapa menit, berusaha
keras menyadarkannya dengan lagu lokal yang akan segera masuk
daftar hitamnya. Dia mencari benda berengsek itu di antara tubuhtubuh perempuan yang menemaninya pesta seks beberapa waktu
lalu. Tadinya dia berniat membanting benda itu setelah berhasil
ditemukan, namun nama Shox yang muncul di layar ponsel membuatnya mengurungkan niat tersebut.
"Aku tidak tahu kenapa itu harus membangunkan tidurku,"
begitu dia menanggapi lawan bicaranya, setengah menggerutu.
Shox berkata, "Perempuan itu memintaku datang ke kantornya
besok malam. Dia bilang untuk bicara duit, tapi aku punya firasat
buruk." 249 Metropolis.indd 249 Ferry tertawa. "Hati-hati, Shox. Giliranmu sekarang,"
ujarnya. Malam ini, keberadaan aliansi antargeng pengedar narkotika terbesar di Jakarta akan berakhir, atau begitulah yang direncanakan oleh
Johan dan Aretha. Mereka bermaksud memancing Shox, satu-satunya orang yang tersisa dalam Sindikat 12, dan menghabisi bos mafia
itu di sebuah gedung di Jalan Sudirman yang dimiliki oleh Aretha.
Johan yang akan turun tangan sendiri, dengan frontal dan menggunakan senjata api. Lelaki itu mendapatkan apa yang dia inginkan
setelah memenangkan perdebatan panjang melawan Aretha tempo
hari dan kini dia memutar musik barat yang terdengar cengeng serta
mendayu-dayu pada pukul 04.00, saat matahari belum lagi muncul
dan orang-orang masih enggan melanjutkan hidup.
Johan sedang duduk bersandar di sofa panjang di ruang tengah
kala Miaa keluar dari kamar tidurnya. Lelaki itu tidak melakukan
apa-apa selain menggenggam sebotol air mineral yang setengah
kosong dan menikmati kesendiriannya dengan mata terpejam.
Semula Miaa mengira Johan tidur tanpa sengaja di sana, namun dia
lihat kedua mata lelaki itu terbuka segera setelah dirinya menutup
pintu. "Kau sudah bangun rupanya," dia menyapa Johan.
Johan membalas, "Aku tidak bisa tidur."
Miaa tersenyum mendengar ucapan lelaki itu. "Ya, aku
mengerti perasaanmu. Aku pernah mengalaminya, saat menunggu
hasil ujian kenaikan pangkat," ledeknya.
250 Metropolis.indd 250 Dia melintasi ruangan tersebut dan memasuki dapur.
Diambilnya sebotol air dingin dari kulkas seperti yang Johan minum,
kemudian kembali untuk duduk di hadapan lelaki itu.
"Apakah karena ini yang terakhir?" tanyanya.
Lawan bicaranya menjawab, "Begitu kira-kira."
"Tapi bukan hanya itu, "kan" Pasti ada alasan lain."
"Maksudmu?" "Kau susah payah membuat pola dan meletakkan Shox di
urutan terakhir. Selain itu, kau berkata ingin menjatuhkannya
dengan tanganmu sendiri. Kenapa?"
Johan menatap Miaa, tampak terganggu. "Masih pagi, tapi
kenapa kau sudah tanya macam-macam?" protes lelaki itu.
Miaa bersikeras ingin tahu, "Kenapa Shox?"
Tetapi Johan tetap tidak mau bicara. Lelaki itu hanya ter"
senyum sinis. Lalu, dengan sikap masa bodoh, dia menenggak
sisa air dalam botol di tangannya sampai habis dan mengambil
alih pembicaraan mereka. Ujar lelaki itu, "Aretha bilang, kalian
membuat kesepakatan lagi."
Miaa membiarkan itu terjadi. Dia mulai hafal tabiat Johan.
Johan tidak suka dipaksa. Semakin ditekan, lelaki itu malah akan
bertambah keras. Miaa tahu, jika dirinya ingin menang melawan
orang semacam itu, dia harus mengikuti arah permainan dengan
sabar. Cepat atau lambat, celah akan muncul dengan sendirinya
dan dia bisa tertawa paling akhir.
"Benar," jawabnya.
"Apa yang sedang kau rencanakan, Miaa?" Johan bertanya.
Nada bicara lelaki itu tidak berubah, tetap tenang.
251 Metropolis.indd 251 "Kau masih tidak percaya kepadaku?"
"Apa itu pertanyaan retorik juga?"
Miaa melepaskan tawa kecil. "Aretha menjamin keselamatan
ibuku," katanya kemudian. "Dia juga berjanji akan membiarkan
kami bertemu dalam waktu dekat. Sebagai gantinya, aku harus
melindungimu nanti malam."
Sekarang Johan yang tergelak, dengan suara getir, seakanakan lelaki itu tengah menangisi nasibnya sendiri. "Aretha pasti
sudah gila," gerutu lelaki itu.
Miaa tidak menanggapi. Mereka berdua terdiam untuk beberapa waktu. Dia menghabiskan airnya sedikit demi sedikit, sementara Johan kembali memejamkan mata untuk mendengarkan
lagu cengeng dari pemutar musik yang masih mengalun. Setelah
lagu itu"yang merupakan lagu terakhir"usai, suasana di antara
mereka berdua menjadi hening nyaris sepenuhnya. Yang terdengar
kemudian hanyalah ketukan-ketukan jari Miaa di permukaan botol
serta desahan-desahan napas tipis milik perempuan itu dan milik
lelaki di hadapannya. Johan masih menutup mata.
Dalam kesunyian, Miaa memperhatikan lelaki itu baik-baik.
Sungguh, lelaki itu tidak punya tampang seorang pembunuh.
Wajahnya cuma pantas dibawa ke studio-studio film, masuk televisi, lalu digandrungi oleh banyak perempuan. Agaknya, Miaa bisa
mengerti kenapa Aretha frustrasi mendengar Johan berkata ingin
turun tangan melawan Shox. Dia tidak meragukan kemampuan
Johan menggunakan senjata api. Dari yang sering dia dengar,
Vancouver adalah kota yang keras, sehingga seharusnya lelaki
252 Metropolis.indd 252 itu sudah terbiasa menembak orang selama tinggal di sana. Akan
tetapi, dia melihat sendiri seperti apa kesehatan lelaki itu selama
beberapa minggu ini dan tidak seorang pun bisa menjamin lelaki itu
tidak akan muntah darah secara tiba-tiba pada waktunya nanti.
"Shox adalah orang yang menarik pelatuk," Johan bersuara
tiba-tiba. Lelaki itu membuka mata dan kembali menatap Miaa,
memperlihatkan emosi tertentu yang membuat Miaa tertegun
serta menelan ludah, yakni rasa benci yang bercampur dengan
kemarahan, yang menyeruak begitu hebatnya sampai-sampai Miaa
bisa merasakan apa yang lelaki itu tengah rasakan.
"Dia memasukkan ujung pistol ke mulut ayahku, lalu menembak dua kali," tambah Johan. Suara lelaki itu terdengar geram.
Miaa membuka mulut dan mencoba memberi tanggapan,
namun dia tidak sanggup berucap apa-apa"atau barangkali dia
memang tidak tahu apa yang sebaiknya dikatakan dalam situasi
seperti ini"dan Johan menertawakan sikapnya tersebut.
"Tidak perlu repot-repot menghiburku, Miaa," kata Johan,
"pastikan saja kau biarkan aku menembak kepala Shox nanti
malam." Lelaki itu bangkit berdiri, kemudian beranjak pergi meninggalkan ruang tengah.
Shox tersanjung sekaligus mengutuki nasib buruknya menjadi
orang yang diburu paling akhir. Sejak kematian Bung Kelinci, dia
tidak berhenti mencari jawaban atas pertanyaan yang mengusik
253 Metropolis.indd 253 malam-malamnya tanpa belas kasihan: kenapa" Adalah Blur yang
mendalangi pembunuhan atas Frans Al enam belas tahun yang
lalu, maka seharusnya lelaki licik itulah yang mendapat sanjungan,
bukan dirinya. Bukan berarti dia ingin mati atau mendapat giliran
lebih cepat. Hanya saja, dia benci dikejar-kejar rasa jeri. Dia muak
harus terus-menerus bersembunyi seperti penakut di bagian ter"
gelap dalam rumahnya, kendati sebetulnya dia memang ketakutan
setiap hari. Dia ingin hidupnya kembali normal; fitness setiap tiga
hari, bermain golf setiap Sabtu, dan pergi minum-minum kapan pun
dia suka"ke mana pun dia mau. Syukurlah, tidak lama lagi hal itu
akan dia dapatkan. Caranya mudah, cukup dengan menyingkirkan
Aretha, perempuan penyihir di balik kematian rekan-rekannya, dan
itulah yang akan dia lakukan malam ini.
Hanya selang sehari setelah dia dan Ferry membicarakan
Aretha dan tas olahraga di depan Metropolis, seolah-olah ini
memang diaturkan oleh dewi keberuntungan untuknya, Aretha
menghubunginya dan mengajaknya bertemu di kantor MOSS untuk
urusan bisnis. Itu sebuah jebakan, dia tahu persis, tetapi tidak ada
yang perlu dikhawatirkan sekarang setelah dia mengetahui semuanya. Terpujilah Ferry dan sifat hedonis yang dimiliki oleh bocah
itu. Kalau bukan karena Ferry berburu perempuan ke Metropolis,
Shox tidak akan pernah menyadari belang Aretha.
"Menurutku, kau terlalu gegabah, Reymon."
Shox terkekeh mendengar lawan bicaranya di telepon. Saat
ini, dia sedang berada di mobilnya, ambil bagian dalam lalu lintas
Jakarta yang tidak baik untuk kesehatan. Dia membalas orang itu
dengan santai. Ujarnya, "Tidak. Perempuan itulah yang terlalu
254 Metropolis.indd 254 gegabah. Aku tahu apa yang dia rencanakan. Akulah yang punya
as." "Itu bukan jaminan. Kau memang tahu niat Aretha, tapi kau tidak
tahu apa yang dia siapkan untuk itu," lawan bicaranya bersikeras.


Metropolis Karya Windry Ramadhina di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Shox tidak mau kalah. "Racun, sudah pasti. Perempuan cuma
tahu cara itu." "Ya. Barangkali."
"Sudah pasti, kataku. Kau tenang saja. Besok pagi perempuan
itu sudah ada di depan pintu rumahmu."
Lawan bicaranya diam sejenak. "Tapi kau bawa orang, "kan?"
tanya orang itu kemudian.
"Tentu saja," jawab Shox. "Memangnya aku ke sana mau
buang nyawa?" "Berapa?" "Aku bawa lebih dari cukup." Seorang sopir yang melajukan
mobilnya dan dua jago tembak yang ada dalam kendaraaan lain
di belakangnya. "Tidak perlu banyak tangan untuk membereskan seorang
perempuan," kata Shox lagi.
"Kau yakin dia bekerja sendiri?"
"Begitulah kata Ferry. Paling-paling perempuan itu punya dua
atau tiga orang penjaga, tapi itu bukan masalah. Lagi pula, Ferry
janji akan ikut turun tangan malam ini."
Lawan bicaranya mendengus. "Ferry, hem" Mendadak saja kau
jadi sangat tergantung kepada bocah payah itu, Reymon."
Shox kembali terkekeh. "Memangnya aku punya pilihan
lain?" 255 Metropolis.indd 255 "Baiklah. Semoga kau beruntung malam ini."
Mereka menyudahi pembicaraan itu. Shox menyimpan kembali
ponsel miliknya, kemudian memandang ke luar lewat jendela. Kendaraan yang ditumpanginya telah memasuki Jalan Sudirman. Tidak
lama lagi, dia akan tiba di tempat tujuan. Dia melirik jam tangannya.
Saat ini pukul 21.00 lebih sedikit, belum terlalu malam. Jalanan yang
dia lalui pun masih padat, kendaraan-kendaraan merambat dalam
barisan panjang tanpa ujung, menciptakan parade lampu kuning
dan merah yang bikin tekanan darah meningkat. Setelah itu, dia
mengeluarkan senjata api dari saku bagian dalam jasnya, revolver
tua laras panjang buatan Jerman yang masih berfungsi dengan baik,
yang dahulu dia gunakan untuk meledakkan kepala Frans Al.
Dia mendesah penuh penyesalan saat menatap senjata tersebut. Sebetulnya dia sangat menyayangkan posisi Aretha. Barang
sebagus Aretha tidak seharusnya dilukai, apalagi dipotong menjadi
dua belas bagian, tetapi apa boleh buat. Perempuan itu duri dalam
daging sindikat mereka, tidak boleh diberi ampun. Kalau rekannya
rela berbagi nanti, dia akan minta salah satu telapak tangan perempuan itu untuk diawetkan dan disimpan dalam stoples kaca karena
tidak ada yang lebih indah dari jari-jari tangan seorang Aretha.
Tidak berapa lama kemudian, mobilnya berhenti di depan lobi
sebuah gedung perkantoran. Shox menyimpan kembali revolver
tuanya. Dia keluar dari kendaraannya dan memasuki bangunan yang
telah sepi di hadapannya. Ruang kerja Aretha berada di lantai pa"
ling atas, hanya bisa dicapai menggunakan sebuah lift khusus yang
letaknya tidak diketahui oleh sembarang orang. Dua kroco yang
mengikutinya tertahan di lobi, disetop oleh beberapa penjaga, ka"
256 Metropolis.indd 256 rena Aretha tidak pernah membiarkan orang-orang yang tidak berkepentingan ikut naik ke lantai atas. Tetapi itu tidak menjadi masalah.
Dua kroco itu tahu harus berbuat apa pada saatnya nanti.
"Reymon, apa kabar?" Aretha menyambut Shox dengan ha"
ngat di ruangan tersebut. Perempuan itu memberi tamunya senyum
menawan dan pelukan bersahabat.
Shox membalas basa-basi perempuan itu dengan ucapan
memelas, "Tidak terlalu baik, Aretha. Kau tahu aku sedang berkabung."
"Ah, ya. Aku turut berduka atas apa yang menimpa Blur,"
Aretha menimpali seraya ikut memasang ekspresi pilu.
"Oh, ya" Kau berduka?"
"Tentu saja, Reymon. Sepuluh tahun aku mengenalnya."
Mereka duduk berdua di tengah ruangan, saling berhadapan,
di satu set sofa besar berlapis kulit yang menyerap suhu dingin
di sekeliling mereka. Aretha menyuguhinya satu stoples kacang
bumbu serta secangkir kopi panas yang luar biasa wangi, dua hal
yang selalu diberikan oleh perempuan itu kepada tamu-tamunya.
Shox tidak menyentuh kopi tersebut karena barangkali saja minuman itu telah dibubuhi racun, namun dia meraup suguhan satunya
lagi sebanyak satu genggaman karena dia lihat Aretha juga memakan kudapan itu.
"Kau kurusan, Aretha," komentarnya.
Apa yang dia katakan itu benar kendati Aretha menanggapi"
nya dengan tawa geli dan pandangan tidak percaya. Perempuan
itu menjadi lebih kurus sejak terakhir kali mereka bertemu. Kini
wajahnya agak tirus dan tulang pipinya sedikit menonjol walau itu
257 Metropolis.indd 257 tidak kentara betul"kecuali jika diperhatikan baik-baik"dan tidak
sampai mengurangi pesonanya. Aretha tetaplah Aretha, menerbitkan air liur lelaki.
"Sungguh," dia meyakinkan perempuan itu. "Kau lagi banyak
urusan?" Aretha tersenyum. "Ya, begitulah. Belakangan ini aku sulit
tidur." "Kau sulit tidur" Kenapa" Leo menghantuimu?"
Pertanyaan Shox itu tidak hanya membekukan suasana, tetapi
juga perempuan di hadapannya. Aretha memandang Shox penuh
selidik, mencoba membaca situasi. Tidak butuh waktu lama, perempuan itu segera memahami apa yang tengah terjadi.
"Benarkah apa yang kupikirkan?" tanya perempuan itu kemudian.
Shox tersenyum tipis. "Benar. Aku tahu apa yang sudah kau
lakukan. Ferry melihatmu di Metropolis. Kau membawa pulang
mayat orang suruhanmu."
Aretha balas tersenyum. Pahit. Dan, itu sudah sepatutnya.
"Jadi, kau datang untuk memasukkanku ke dalam tas olahraga?"
"Kau tidak memberiku pilihan," Shox berdalih. "Lihat apa yang
sudah kau perbuat selama dua tahun ini. Kau hampir menghabisi
kami, Aretha. Kami bisa kehilangan muka kalau tidak bikin perhitungan denganmu."
Kendati dia berkata begitu, lawan bicaranya kelihatan tenangtenang saja. Perempuan itu mengambil salah satu cangkir di atas
meja dengan santai, lalu meminum kopi dalam porselen itu pelanpelan. "Apa kau tidak khawatir bisnismu menjadi berantakan karena
ini" Aku yang memutar uangmu, Reymon," kata perempuan itu.
258 Metropolis.indd 258 Shox menghela napas. Perihal itu akan bikin repot memang,
tetapi bisa dia atasi. Belakangan ini, dia menemukan perusahaan
dari Singapura. Fee mereka lebih tinggi jika dibandingkan dengan
MOSS dan prosedur yang mereka terapkan agak rumit. Tetapi yang
jelas, pemilik perusahaan itu tidak menembaki klien mereka satu
per satu"atau begitulah yang dia harapkan.
"Kita akhiri sekarang saja, oke?" ucap Shox.
Shox bangkit berdiri sambil mengeluarkan revolver miliknya,
lalu mengarahkan senjata tersebut kepada Aretha. Dia dan perempuan itu saling menatap. Aretha bergeming. Sementara itu, justru
tangan Shox yang gemetar. Ditariknya napas panjang. Ini tidak
mudah, dia akui, dan perempuan di hadapannya tersenyum kala
menyadari kegusarannya. "Sebelum kau menarik pelatuk, Reymon, kuberi tahu sesuatu,"
kata perempuan itu. "Bukan aku yang menginginkan kepala
kalian." Detik berikutnya, Shox melihat gerakan melalui ekor matanya.
Sebelum dia sempat bereaksi, sebutir peluru melubangi tangannya, sehingga revolver yang dia genggam terlepas. Peluru kedua
menyusul segera dan bersarang dalam kakinya, memaksa dirinya
berlutut di lantai granit yang dingin.
Shox mengerang kesakitan sambil memaki tidak jelas. Seorang
lelaki muda muncul di hadapannya membawa pistol, menatap
dingin kepadanya, tanpa ekspresi. Wajah lelaki itu mengingatkannya
kepada seseorang. "Frans...." 259 Metropolis.indd 259 "Ya. Itu nama ayahku," lelaki itu menimpali, lalu mengacungkan pistol ke arah Shox.
Keparat, maki Shox sambil terengah-engah. Ke mana gerangan
dua anak buahnya dan Ferry Saada saat dibutuhkan" Sebelum pertanyaan itu terjawab, lawannya menarik pelatuk sekali lagi.
Menjelang pukul 22.00, kantor kesatuannya berubah sepi. Tersisa
dirinya di sana bersama dua orang bintara yang mendapat giliran
jaga malam dan sebuah radio lokal yang menyiarkan lagu-lagu
pop remaja. Bram duduk bersandar di kursinya. Kedua tangannya
menjadi bantalan bagi kepalanya dan kedua kakinya menyilang
di atas meja kerja di hadapannya. Matanya menatap langit-langit
ruangan, tepatnya ke titik di mana sejumlah noda cokelat bekas
rembesan air hujan mengotori plafon putih itu. Kendati demikian,
benaknya sama sekali tidak berkutat pada bercak-bercak tersebut.
Sejak tadi, dia sedang pusing dengan kasusnya, mencoba mencari
penjelasan atas sejumlah pertanyaan yang barangkali tidak akan
pernah terjawab. Dia membuat daftar dalam kepalanya, berisi pertanyaanpertanyaan yang barangkali tidak akan pernah terjawab itu.
Pertama, siapa yang sesungguhnya membunuh Blur" Dia sempat menduga bahwa Blur dihabisi oleh sindikatnya sendiri, sematamata untuk menjebak lelaki Tionghoa yang terlihat di Rawasari,
tetapi itu ide yang absurd jika mengingat Blur adalah sosok yang
paling berpengaruh dalam Sindikat 12.
Namun, andai kata itu benar maka pertanyaan selanjutnya
adalah apakah lelaki Tionghoa itu benar terjebak" Jika ya, berarti
260 Metropolis.indd 260 lelaki itu sudah mati karena Sindikat 12 tidak akan memberi ampun
kepada lawan mereka. Itu menjelaskan kenapa seseorang memberi
tahu kematian Blur kepada wartawan, yakni supaya Johan Al tahu,
karena orang mati tidak bisa berjalan pulang untuk melaporkan
apa yang terjadi. Pertanyaan lagi, apa untungnya bagi Sindikat 12 jika Johan Al
tahu bahwa Blur sudah mati"
Pertanyaan lainnya, ke mana lelaki Tionghoa itu dibuang"
Sampai saat ini polisi tidak menemukan mayat yang cocok dengan
identifikasi lelaki tersebut. Bisa jadi lelaki itu dikembalikan kepada
majikannya, dalam dua belas bagian, seperti yang biasa dilakukan
oleh Sindikat 12 untuk menggertak lawan-lawan mereka selama ini.
Sekali lagi, andai kata itu benar, berarti bukan hanya dirinya yang
mengetahui keberadaan Johan Al. Jika Sindikat 12 telah mengetahui keberadaan lelaki itu, maka yang akan terjadi kemudian dalam
waktu dekat ini sudah bisa dia tebak: perang terbuka antargeng, dan
polisi tidak bisa berbuat apa-apa untuk mencegah itu.
Bram mengumpat dalam hati. Dia benci mengakui ini, tetapi
Johan Al memang benar. Dia kalah langkah.
Jauh. "Inspektur, telepon untuk Anda di saluran 3."
Lamunannya buyar berkat salah seorang bintara di ujung
ruangan. Bram menurunkan kakinya, lalu meraih gagang telepon
di atas meja kerjanya. "Ya," dia menyambut lawan bicaranya se"
tengah hati. "Aku menunggu, tapi tidak ada kabar darimu. Apa kau sudah
terima data imigrasi yang kukirim?"
261 Metropolis.indd 261 Bram menegakkan posisi duduknya begitu tahu siapa lawan
bicaranya. "Data imigrasi?"
"Ya. Daftar penumpang Cathay Pacific dari Hong Kong. Kukirim
ke kantormu." Curut! Rupanya Burhan berbohong kepadanya. Buru-buru
Bram menjawab pertanyaan lawan bicaranya, "Aku belum dapat
itu. Kau punya salinannya?"
"Tidak, tapi aku sedang di depan komputer. Ada nama yang
kau cari?" "Johan," Bram kontan memberi tahu, "lelaki. Usia 27-30 tahun."
"Sebentar." Hening beberapa menit. "Ada beberapa Johan di
sini dengan usia yang kau sebutkan."
"Barangkali dia Warga Negara Kanada."
"Ah, ya. Johan tanpa nama belakang. Usia 27 tahun. Warga
Negara Kanada." Bram menyahut dengan antusias, "Ya. Itu dia!"
"Dia memasuki CGK pada 5 April 2006."
Persis! "Apakah dia keluar Jakarta di antara Agustus 2006 dan
Mei 2007?" tanya Bram.
Hening lagi beberapa menit, kemudian lawan bicaranya memberi tahu lagi, "Johan yang sama terbang ke NRT, Tokyo, pada 27
November 2006 dan baru kembali pada 30 Maret 2007. Keterangan
yang disertakan di sini, dia pergi untuk pengobatan. Apa itu membantumu?"
"Ya! Terima kasih. Aku berutang kepadamu."
"Utang yang dulu saja belum kau bayar, Bram, tapi tidak apaapa. Biar kutabung saja. Barangkali suatu saat nanti aku membunuh
pacar istriku dan butuh dibebaskan dari penjara."
262 Metropolis.indd 262 Bram tertawa senang mendengar itu. "Ya, ya, ya. Kau catat
saja berapa yang harus kubayar."
"Pasti. Ah, ya. Aku tidak tahu apa informasi ini juga kau butuhkan. Johan tanpa nama belakang itu tidak ke Tokyo sendirian. Dia
ditemani seseorang."
"Siapa?" "Perempuan bernama Indira. Usia 25 tahun. Kau kenal?"
Johan tidak menduga semua akan berakhir secepat itu. Dia kira
dirinya akan bermain-main sebentar dengan Shox, menakut-nakuti
dan membuat bajingan itu mengemis minta ampun, lalu membiarkannya mati secara perlahan-lahan serta menderita. Tetapi bukan
itu yang terjadi tadi. Dia menembak kepala Shox tanpa banyak
bicara. Bahkan, dia tidak memberi bajingan itu kesempatan berdoa
sebelum mati. Kendati demikian, dia meneteskan air mata ketika melihat
lawannya jatuh. Bersamaan dengan itu, dadanya merasa sesak.
Entah kenapa. Barangkali karena dia terlalu bahagia.
Setelah menyelesaikan urusannya dengan Shox, dia segera
pergi dari ruang kerja Aretha. Aretha yang akan membereskan
semua kekacauan yang dia timbulkan, membuang mayat bajingan
itu dan lain-lain. Dia sendiri turun ke basement menggunakan lift,
menuju area parkir di mana mobil dan sopirnya menanti.
Sunyi serta gelap menyambutnya begitu pintu lift terbuka.
Basement di hadapannya nyaris kosong, malam yang larut hanya
263 Metropolis.indd 263 menyisakan sedikit mobil yang diparkir terpencar, dan sebagian
lampu neon yang menempel di langit-langit ruangan itu tidak
menyala"membatasi penglihatannya.
Mobilnya masih ada di tempat yang sama seperti saat dia
tinggalkan dua jam yang lalu, posisi kendaraan itu hanya berjarak
beberapa tiang dari pintu lift, dan begitu juga sopirnya. Hanya saja,
kini sopir tersebut tergolek bersimbah darah di jok kendaraan.
Kepalanya terkulai ke arah jendela mobil yang terbuka dan tubuhnya berlubang karena peluru. Johan mendapati kondisi nahas itu
sewaktu dirinya berniat membuka pintu mobil.
Suara langkah-langkah mendekat yang terdengar di belakang
Johan segera menjawab pertanyaan yang bahkan belum sempat
terpikir dalam benaknya. Johan menoleh dan melihat tiga orang
lelaki muncul membawa pistol. Salah satu dari mereka berpenampilan flamboyan dan masih muda, barangkali seusia dengannya. Dia
menduga, lelaki flamboyan itulah yang memimpin dua yang lain.
Lelaki itu berhenti di hadapannya, menyisakan jarak sekitar tiga
meter di antara mereka, sementara dua orang anak buah yang
dibawa oleh lelaki itu menghampirinya dan merebut pistolnya.
"Jadi, seperti ini tampang orang yang membunuh ayahku," kata
lelaki itu. Lelaki itu menodongkan senjata dengan satu tangan.
Ferry Saada. Johan langsung mengenali lawannya.
"Siapa kau sebenarnya?" Ferry bertanya.


Metropolis Karya Windry Ramadhina di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Johan menjawab dengan santai, "Johan Al."
"Al?" Dia lihat kedua mata Ferry Saada terbelalak. "Puki! Bram
benar rupanya. Kaulah orang Frans yang berasal dari Vancouver."
Ucapan lelaki itu dibarengi senyum lebar.
264 Metropolis.indd 264 "Kau tahu?" Ferry tidak langsung menjawab. Terlebih dahulu, lelaki itu
menyuruh kedua anak buahnya pergi dengan dalih berjaga-jaga di
pintu masuk basement. Setelah mereka hanya tinggal berdua, Ferry
berkata kepadanya dengan suara yang lebih pelan, "Ya, tapi tidak
kubiarkan Shox juga tahu. Kukatakan kepadanya tentang keterlibatan Aretha, tapi tidak tentang keberadaanmu." Ada rasa bangga
yang tersirat dari nada bicara lelaki itu. "Apa orang tua berengsek
itu sudah mati" Kau membunuhnya?"
Johan bergeming. Sepasang matanya menyorot tajam kepada Ferry dan bibirnya terkatup rapat-rapat. Dia geram. Saada
memang luar biasa bajingan. Lelaki di hadapannya itu bukan hanya
mengumpankan sekutu sendiri kepada musuh, tetapi juga telah
berani memanfaatkan dirinya untuk menyingkirkan Shox. Sekali
lagi, dasar bajingan! Dan bajingan itu kini tertawa puas, merasa telah memenangkan permainan besar. Dia sesumbar, "Lumayan, "kan" Sekali pukul,
aku menyingkirkan dua musuh."
Akan tetapi, asal dia tahu saja, permainan belum berakhir dan
Johan bisa merasakan angin berbalik arah ketika dia mendengar
suara tembakan sebanyak dua kali dari kejauhan"dari tempat dua
orang anak buah Ferry berjaga-jaga. Ferry terkejut, namun Johan
tidak. Mereka sama-sama menoleh ke arah sumber keributan dan
melihat seseorang menampakkan diri dari ujung ruangan yang tidak
terkena cahaya di sebelah kiri Johan.
Miaa. 265 Metropolis.indd 265 Sekutu tersayangnya itu mendekat ke arah mereka, bersenjata, dan syukurlah tidak salah mengarahkan pistol.
"Buang senjatamu, Ferry!" seru Miaa.
Ferry mendengus. "Apa yang kau lakukan, Miaa?"
"Buang senjatamu, kubilang!" Miaa mengulangi. "Kedua anak
buahmu sudah jatuh. Kau tinggal sendiri."
Sikap Ferry langsung berubah, gelisah. Wajah lelaki itu memerah dan napasnya memburu. Ferry kembali menatap kepada
Johan sambil menggeram. Senjata yang dia pegang masih terarah
ke wajah Johan. "Orang ini yang membunuh ayah kita, kau tahu?" dia bertanya
dengan nada gusar kepada Miaa.
"Aku tahu." "Lalu, kenapa kau ada di pihaknya?"
Miaa tidak menjawab. Sekilas Johan melihat ekspresi di wajah perempuan itu, menunjukkan penyesalan sekaligus ketidakberdayaan. Perempuan itu menatap saudara tirinya lekat-lekat,
kemudian berkata dengan sungguh-sungguh, "Aku tidak ingin
melukaimu. Kumohon, Ferry. Buang senjatamu."
Ferry, tentu saja, tidak menurut.
Lelaki itu menarik pelatuk, begitu pula dengan Miaa. Empat
tembakan dilepaskan di ruangan itu. Johan mendapat jatah satu
peluru. Timah panas tersebut berasal dari senjata di hadapannya,
mengenai bahu kirinya, dan membuat sebelah tangannya mati
rasa. Sementara itu, Miaa memberi Ferry tiga butir peluru di dada,
ketiga-tiganya mengenai jantung.
266 Metropolis.indd 266 Johan ambruk karena dorongan tembakan yang dia terima,
tetapi dia berusaha bangkit kembali walaupun sambil merintih
nyeri. Dia merangkak menghampiri Ferry yang tergeletak bersama
kubangan darah di permukaan lantai semen. Ferry tidak bernyawa
lagi. Johan sendiri yang memeriksa nadi lelaki itu.
"Tembakan jitu," Johan mengomentari Miaa kala berlutut di
samping tubuh Ferry. Miaa tidak memberi tanggapan. Pistol di tangan perempuan itu
terlepas dari genggaman dan jatuh. Agak-agaknya perempuan itu
terkejut atas apa yang baru saja dia perbuat. Perempuan itu membelalakkan mata dan menatap saudara tirinya dengan sorot jeri,
seakan-akan ini adalah kali pertamanya menembak mati orang.
Johan menghela napas, jengkel. Ini bukanlah waktu untuk
merasa sentimentil. Mereka harus pergi dari tempat itu secepatnya,
sebelum anak buah Ferry yang lain"yang barangkali saja ada di
sekitar lokasi"atau mungkin anak buah Shox datang untuk membalas kematian bos mereka.
Kala dia berpikir seperti itu, sebuah sedan memasuki area
parkir dan mendekat ke arah mereka. Aretha keluar dari dalam
kendaraan tersebut bersama dua orang anak buahnya. Perempuan
itu menghampirinya dan bergegas memeriksa lukanya seraya menanyakan keadaannya dengan khawatir.
"Aku tidak apa-apa. Pelurunya tembus," dia menenangkan
perempuan itu. Diliriknya mayat Ferry Saada. Payah betul lelaki
itu. Mereka hanya berjarak tiga meter lebih sedikit dan tembakan
lelaki itu meleset. 267 Metropolis.indd 267 "Maaf. Aku tidak memperkirakan gerakan Ferry sama sekali.
Tampaknya dia juga membohongi Shox," kata Aretha.
Johan menimpali, "Ya. Bajingan Saada."
Lalu, Aretha bertanya, "Mana senjatamu?"
"Ada di salah satu anak buah Ferry, di luar basement," jawabnya.
Aretha memerintahkan salah satu anak buahnya untuk
mencari senjata yang mereka bicarakan, kemudian perempuan
itu mengambil pistol yang tadi dijatuhkan oleh Miaa dengan saputangan. Setelah itu, dia berkata, "Kau dan Miaa pergi duluan. Aku
akan mengurus masalah di sini."
Indira. Nama perempuan itu mencengkeram benak Bram sejak
tadi; menyusupkan kekecewaan yang sangat mendalam seperti
yang kerap memenuhi pikiran orang patah hati karena baru saja
memergoki kekasihnya tidur dengan lelaki lain. Bram menyesali
apa yang baru saja dia ketahui tentang Indira, bahwa perempuan
itu pergi menemani Johan berobat ke Jepang dan bisa jadi terlibat
dalam masalah ini karena itu, sekaligus mengasihani dirinya sendiri
karena membiarkan emosinya turut terbawa-bawa.
Segera setelah memutus sambungan telepon dari informannya
di Angkasa Pura, dia bertolak dari markas Polda Metro Jaya ke Jalan
Pakubuwono di mana Indira tinggal. Perempuan yang ingin dia temui terlihat di depan tempat tinggalnya di jalan tersebut. Mereka
bertemu ketika perempuan itu hendak membuka pintu pagar. Dari
apa yang Indira kenakan, pakaian rapi yang jauh dari kesan santai,
Bram tahu perempuan itu baru kembali dari bekerja.
268 Metropolis.indd 268 "Bram?" Indira berseru terkejut.
Bram tidak repot-repot membuka pembicaraan mereka
dengan basa-basi. Dia menatap lurus ke arah lawan bicaranya,
mengawasi gerak-gerik perempuan itu, dan berkata, "November
2006, kau pergi ke Tokyo. Apa yang kau lakukan di sana?"
Indira memasang sikap awas. "Kau sendiri, apa yang kau lakukan di depan rumahku semalam ini?" balas perempuan itu, ketus.
"Tolong jawab saja pertanyaanku, Indira."
"Waktu itu aku mengurus keperluan yayasan."
"Selama empat bulan?"
Indira tertegun. Perempuan itu menatap Bram dengan bi"
ngung. Dia bertanya, "Bagaimana kau bisa tahu?"
"Aku tahu," ucap Bram. Dia tersenyum kecut. "Kau pergi meng"
antar Johan berobat."
"Apa itu suatu kejahatan?"
"Johan terbang dari Vancouver ke Jakarta, transit di Hong Kong
pada awal April 2006. Sejak itu, delapan orang pengedar narkotika
di Jakarta, sembilan sekarang, mati satu per satu dan penyebabnya
bukan diabetes atau gagal ginjal. Mereka dibunuh, seperti yang
pernah kukatakan kepadamu."
"Lalu" Itu hanya kebetulan, Bram. Bukan berarti Johan terlibat."
Bram tidak menanggapi dalih Indira. Dia meneruskan perkataannya, "Selama kau dan lelaki itu pergi ke Tokyo, sejak November
2006 sampai Maret 2007, pembunuhan berantai itu sempat berhenti. Apa ini kebetulan juga?"
269 Metropolis.indd 269 Kali ini, dia berhasil membungkam lawan bicaranya. Sikap
percaya diri Indira mulai goyah. Kini sepasang mata perempuan itu
menunjukkan keragu-raguan dan rona wajahnya berubah pucat.
Bram memanfaatkan itu untuk menguasai situasi. Dia melangkah
mendekati Indira. Diulurkannya kedua tangannya untuk menggapai sepasang bahu kecil di hadapannya. Ditatapnya mata lawan
bicaranya lekat-lekat, lalu dia berkata sejelas-jelasnya kepada
perempuan itu. "Indira, lelaki yang sedang kau coba lindungi adalah seorang
pembunuh." Indira nyaris pingsan gara-gara ucapan Bram tersebut. Mendadak tubuh perempuan itu limbung dan Bram harus memegangi
kedua lengan perempuan itu untuk mencegahnya jatuh ke tanah.
"Kau... pasti salah," ucap perempuan itu, lirih.
Bram menghela napas, berat hati melihat Indira membohongi
diri sendiri. "Dengar." Dia menatap mata Indira sekali lagi. Kali ini dia
memberikan sorot yang lembut, berharap dengan begitu Indira akan
melunak. "Kau tidak tahu siapa lelaki itu sebenarnya. Dia berbahaya
dan aku tidak ingin kau terlibat lebih jauh lagi," ucapnya.
Tetapi Indira tidak juga mau mendengar. Perempuan itu malah
menepis pegangan Bram dan mundur beberapa langkah untuk
menjauh. "Tidak! Kau pasti salah!" dia bersikeras sambil berlari
masuk ke rumah. Sebelum Bram sempat mengejar perempuan itu, ponsel dalam
saku jaketnya berbunyi. Curut! Selalu saja ada yang mengganggu
pada saat-saat seperti ini. Sambil bersungut-sungut dalam hati,
270 Metropolis.indd 270 Bram menerima panggilan masuk tersebut, kemudian dia men"
dengar Erik melapor kepadanya dengan suara memburu.
"Ada baku tembak di Jalan Sudirman."
Di dalam mobil yang melarikan mereka, Miaa duduk di sebelah
Johan, di jok belakang. Sejak tadi kepalanya merunduk, sehingga
dia tidak tahu sudah sejauh apa perjalanan mereka. Dia sibuk memandangi kedua tangannya sendiri yang gemetar di pangkuannya.
Baru saja tangan itu menarik pelatuk untuk menghabisi Ferry Saada.
Tiga butir peluru dia lepaskan dan ketiga-tiganya melubangi dada
lelaki itu. Dia tidak menembak kaki lelaki itu, atau bahunya, atau
tangannya. Itu tidak terpikirkan sama sekali olehnya, sehingga
tampak jelas baginya bahwa dia tidak berniat membiarkan lelaki
itu hidup. Berulang kali ia menghela napas karena itu, pedih dan merasa
sesak. "Berhenti bersikap cengeng, Miaa. Aku muak melihatmu."
Johan menghardik tiba-tiba. Suara Johan terdengar lemah.
Miaa melihat lelaki itu nyaris kehilangan kesadaran karena me"
ngeluarkan banyak darah. Johan duduk sambil menyandarkan
kepala ke sandaran jok mobil. Mata lelaki itu terpejam dan wajahnya
tampak kesakitan. Miaa menanggapi ucapan Johan dengan tawa getir, lalu menjawab, "Aku baru saja membunuh saudaraku."
"Ya. Kau melakukannya dengan dingin. Selamat. Sekarang
kau pemimpin Saada yang baru," Johan menimpali, bersikap tak
acuh. 271 Metropolis.indd 271 Miaa kembali merasa sesak. Ditatapnya lelaki di sebelahnya.
Dia berkata lirih kepada lelaki itu, "Kau tahu apa yang paling menyakitkan" Aku menarik pelatuk itu untuk melindungimu."
Sunyi kembali menguasai situasi.
Johan menghela napas setelah beberapa saat. Lelaki itu
membuka mata dan membalas tatapan Miaa, lalu mendekat ke
arah perempuan itu. Dengan sisa-sisa tenaga, tangan Johan meraih
wajah Miaa dan menghapus butir-butir air mata yang bergulir di
pipi. Saat itulah baru Miaa tersadar, dia menangis.
"Salah," bisik Johan. "Kau menarik pelatuk demi ibumu, dan
itu tidak patut kau tangisi."
Lalu, lelaki itu memberi Miaa ciuman lembut di bibir dan kali
ini Miaa tidak sanggup menolak.
272 Metropolis.indd 272 21. Herring Merah ejumlah mobil polisi dan tiga buah ambulans memenuhi ha"
laman depan gedung bertingkat yang disebutkan alamatnya
oleh Erik, meramaikan satu titik di Jalan Sudirman yang semula
senyap bersamaan dengan larutnya malam. Belasan reserse dan
petugas forensik mondar-mandir di sana, sibuk dengan tugas me"
reka masing-masing; mengisolasi TKP, memindahkan mayat, serta
mencari barang bukti. Bram setengah berlari memasuki tempat
tersebut seraya memasang lencananya di dada. Dia menyapa beberapa petugas yang dia kenal dan menanyakan keberadaan Erik.
Polwan yang dia cari-cari muncul dari pintu basement yang terletak
di sebelah kanan lobi bangunan.
"Apa yang terjadi?" buru-buru dia bertanya kepada Erik.
Asistennya menjawab, "Shox lawan Saada. Tujuh orang mati.
Satu di antara mereka cuma sopir biasa yang sedang jaga mobil di
parkiran." 273 Metropolis.indd 273 Sejurus kemudian, dua orang petugas forensik melintas di
depan Bram. Mereka membawa jasad seseorang yang ditutupi
kain putih dengan tandu. Bram menyetop petugas-petugas itu.
Dia menyingkap kain penutup mayat dan segera mendapati sosok
lelaki muda yang dikenalnya dengan baik.
"Curut! Ferry," umpat Bram penuh penyesalan.
Anak Leo itu menatap kosong kepadanya. Dada lelaki flamboyan itu bersimbah darah.
"Shox juga jatuh," kata Erik.
Bram merapatkannya kembali kain yang semula menutupi
Ferry. Dia biarkan petugas forensik membawa lelaki itu ke ambulans, sementara dirinya memasuki basement bersama asistennya.
Basement tersebut, yang kini menjadi TKP, adalah ruangan
seluas"barangkali"40x 50 meter persegi yang terdapat di bawah
tanah, yang sehari-hari digunakan sebagai tempat parkir mobil.
Dinding-dinding yang menjadi pembatas ruangan dilapisi dengan
cat tipis warna putih, sementara langit-langit serta lantai ruangan
dibiarkan polos hingga terlihat bahan bakunya: semen. Puluhan
lampu neon, yang antara menyala dan tidak, menempel pada
langit-langit yang sama; tiang-tiang besar berpenampang kotak
tersebar di seluruh bagian ruangan, sedemikian rupa, sehingga
membentuk grid; dan sejumlah kecil mobil terparkir secara acak di
antara tiang-tiang itu. TKP itu sudah bersih. Mayat-mayat sudah dipindahkan dan
lokasi di mana korban-korban itu ditemukan telah ditandai dengan
kapur putih. Kendati demikian, beberapa petugas forensik masih
berkeliaran di sana untuk memotret setiap sudut dan mengambil
sampel darah yang berkubang di beberapa titik.
274 Metropolis.indd 274 Sambil mengajak Bram berkeliling, Erik menjelaskan apa yang
dia dapatkan melalui pengamatannya. Selain sopir yang disebutkan
tadi, enam orang yang mati adalah Shox, Ferry, dan empat kroco
mereka. Erik menduga dua di antara empat kroco itu adalah anak
buah Shox dan dua sisanya merupakan bawahan Ferry. Erik memastikan hal itu berdasarkan pakaian yang dikenakan oleh empat orang
tersebut walau dia tidak tahu persis mana dua orang yang menjadi
anggota Geng Saada dan mana pula lawan mereka.
Ferry dan Shox ditemukan di tengah basement, tidak jauh dari


Metropolis Karya Windry Ramadhina di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebuah mobil yang di dalamnya terdapat mayat seorang sopir yang
diduga tidak terlibat. Tubuh dua bos mafia itu tergeletak berdekatan
dengan jarak tiga meter dan saling berhadapan. Ferry mendapat
tiga tembakan di dada, sementara lokasi luka tembak di tubuh
Shox lebih bervariasi: satu di kepala, satu di pergelangan tangan
kanan, dan satu di lutut kanan. Sementara itu, empat orang anak
buah mereka berserakan di sekitar pintu masuk basement, juga
berdekatan dan saling berhadapan. Masing-masing mendapat satu
tembakan di bagian vital yang agaknya menyebabkan kroco-kroco
itu mati seketika. "Lalu, menurutmu apa yang terjadi di sini?" Bram bertanya
sambil menghampiri sebuah mobil, sedan Eropa keluaran lama,
yang kebetulan serupa dengan kendaraan milik seseorang yang barubaru ini dia temui di RSCM: Johan Al. Posisi kendaraan tersebut,
berdasarkan penandaan lokasi jasad Ferry dan Shox yang dibuat
oleh petugas forensik, adalah di belakang Shox.
Erik menjawab dengan ragu-ragu, "Aku belum bisa memastikan. Beberapa hal membuatku bingung. Barangkali baku tembak
275 Metropolis.indd 275 pertama terjadi di sekitar pintu basement. Empat anak buah Ferry
dan Shox jatuh lebih dahulu, lalu Shox lari masuk ke basement. Ferry
mengejar dan baku tembak kedua terjadi di sini."
Bram tidak langsung menanggapi hipotesis Erik. Dia me"
ngeluarkan saputangan dari sakunya, lalu membuka pintu mobil
di hadapannya menggunakan kain itu dengan hati-hati sekali agar
tidak meninggalkan sidik jari. Jok depan kendaraan tersebut, yakni
kursi bagian sopir, kotor oleh noda darah. Peluru yang ditembakkan
kepada orang di jok itu melubangi sandaran kursi dan terpendam
di dalam sana. "Apa yang kau cari?" asistennya bertanya.
Dia tidak menjawab. Diperiksanya jendela di samping jok
sopir. Benda itu dalam keadaan terbuka. Diperiksanya juga jendelajendela yang lain. Semua masih utuh.
"Apa yang membuatmu bingung, Erik?" dia malah balik bertanya.
Erik menjawab, "Aku lihat sendiri tubuh Shox sebelum dibawa
pergi ambulans, Bram. Ada jejak laras di sekitar luka di kepalanya
dan itu berarti dia ditembak dari jarak dekat."
Informasi itu membuat Bram mengernyit. Sejak tadi, dia memang merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan TKP yang tengah
mereka hadapi. Pertama, untuk perang antargeng yang melibatkan
banyak orang, jumlah peluru yang dilepaskan di lokasi itu terlalu
sedikit. Kedua, apa yang diderita oleh Ferry adalah jenis luka yang
disebabkan karena serangan cepat. Bram yakin tiga tembakan di
dada lelaki itu dilakukan secara hampir bersamaan. Sementara itu,
luka-luka di tubuh Shox menandakan kebalikannya, seakan-akan
276 Metropolis.indd 276 kaki dan tangan lelaki itu dilumpuhkan terlebih dahulu, baru kemudian dibunuh setelah tidak dapat melarikan diri lagi.
Dia menduga bukan Shox yang membunuh Ferry, atau sebaliknya: bukan Ferry yang membunuh Shox, atau barangkali dua bos
mafia itu tidak pernah berhadapan sama sekali.
Kendati demikian, ruangan di mana tubuh keduanya ditemukan berbicara lain. Untuk masalah yang satu itu, Bram cuma punya
satu penjelasan dalam benaknya: ada seseorang yang mengatur
TKP. "Siapa?" Erik bertanya.
"Pihak ketiga," jawabnya singkat.
Bram menunjuk sedan Eropa yang baru selesai dia periksa.
"Siapa pemilik mobil ini?" tanyanya. Di antara semua ketidakberesan
yang dia temui malam ini, keberadaan kendaraan itu serta sopir
yang mati di dalamnya adalah hal yang paling janggal.
Mobil itu kepunyaan pemilik gedung di mana perang antargeng
tersebut terjadi, yakni perempuan berumur 40-an tahun bernama
Aretha. Terhitung sejak dia dibawa ke kantor Polda, perempuan
itu telah berada dalam ruang interogasi selama lebih dari enam
jam. Dia dibuat menunggu lama oleh aparat, dimintai keterangan
berkali-kali dengan puluhan pertanyaan yang sama oleh tiga polisi
yang berbeda, dan tidak juga dibiarkan pergi kendati hari sudah
berganti. Kini giliran Bram yang melontarkan pertanyaan-pertanyaan
tersebut dan dia tidak memercayai perempuan di hadapannya, tidak
277 Metropolis.indd 277 sedikit pun. Barangkali karena perempuan itu kelewat tenang saat
berbicara dengan polisi, dan jawaban-jawaban yang dia berikan
selama proses interogasi terlontar begitu lancar seolah-olah dia
sudah menyiapkan itu semua dan menghafalnya di luar kepala. Memang tidak ada yang salah dengan berlagak hebat di depan aparat
keamanan. Punya keahlian berbicara juga bukan suatu kejahatan
dan kenyataannya dia belum pernah memasukkan seseorang ke
penjara semata-mata karena orang itu pintar menjawab pertanyaan
yang dia ajukan. Akan tetapi, perempuan yang berbicara tentang kematian
sopirnya tanpa perasaan, yang santai-santai saja saat diminta
mengidentifikasi mayat, dan kebetulan memiliki mobil yang serupa
dengan kendaraan yang dipakai oleh Johan Al, tidak boleh dibebaskan dari prasangka begitu saja.
"Semua yang kau tanyakan sudah kujawab kepada rekanrekanmu, Inspektur," Aretha menyela di tengah-tengah interogasi
dengan nada bicara yang menunjukkan rasa bosannya.
Bram menjawab, santai saja, "Ya. Aku tahu. Daftar pertanyaan
di tanganku ini kupinjam dari mereka."
Mendengar itu, Aretha tertawa hambar, lalu mengajukan
protes, "Maaf, tapi ini menggelikan. Jujur. Kenapa tidak kita akhiri
saja semua ini" Sudah pagi. Aku yakin kau juga butuh tidur."
"Barangkali akan kuakhiri semua ini kalau kau memberiku
jawaban yang berbeda."
"Maksudmu, aku berbohong?"
Bram tersenyum kepada saksinya. Ya. Itulah yang dia pikirkan,
tetapi tentu saja dia tidak akan bilang begitu. Dia katakan saja, "Bukan. Barangkali kau lupa," kemudian dia melanjutkan tanya-jawab
278 Metropolis.indd 278 mereka. "Kuulangi pertanyaanku. Bagaimana kondisi basement
saat kau tiba di sana?"
"Mengerikan. Mayat berserakan di mana-mana."
"Berapa yang kau lihat?"
Saksinya mengingat-ingat sejenak, baru kemudian dia menjawab, "Aku tidak ingat ada berapa di pintu basement. Yang bisa
kupastikan cuma tiga. Dua di dekat lift. Satu di mobilku."
"Apa kau memperhatikan dua mayat di dekat lift itu?"
"Ya, tapi cuma sekilas. Aku harus melewati mereka saat ingin
memeriksa mobilku." "Kau ingat posisi mereka?"
"Barangkali. Aku tidak yakin."
"Di antara dua mayat itu, siapa yang lebih dekat dengan mobilmu" Shox atau Ferry Saada?"
"Sh...." Mendadak Aretha batal memberikan jawaban. Perempuan
itu tertegun seraya menatap kepada polisi yang menginterogasi
dirinya. Bram membalas. Ekspresi di mata Aretha berubah gusar. Kini
perempuan itu tampak tidak nyaman berhadapan dengannya dan
Bram tersenyum penuh arti karena itu.
Dia sengaja menyebutkan nama Shox dan Ferry Saada dalam
pertanyaannya barusan, semata-mata untuk menjebak saksinya.
Tentu saja seharusnya Aretha tidak pernah mengetahui kedua
nama itu jika memang dia bersih. Ketiga polisi yang masuk ke ruang
interogasi sebelum dirinya tidak akan menyinggung-nyinggung hal
tersebut. Setidaknya begitulah yang terlihat dari daftar pertanyaan
mereka. Namun, Aretha nyaris memberi jawaban kepadanya dan
279 Metropolis.indd 279 itu lebih dari cukup bagi Bram untuk mengetahui belang perempuan itu.
"Ada apa?" tanyanya. "Perlu kuulangi pertanyaanku?"
Saksinya tersenyum kecut. "Tidak. Lagi pula, aku tidak tahu
yang mana Shox dan yang mana satunya lagi," kata perempuan itu.
"Tentu saja," Bram menimpali setengah meledek. "Kau bisa
masuk penjara kalau tahu."
Aretha tertawa kecil. Suara perempuan itu terdengar agak
gugup. "Ada pertanyaan lain?"
Bram tersenyum lebar kepada perempuan itu. "Tidak. Kurasa
cukup. Sisanya akan kusalin saja dari laporan rekan-rekanku,"
ucapnya. "Ah! Tapi tunggu dulu." Dia mengulurkan tangan secara
tiba-tiba untuk menggapai lawan bicaranya. Diambilnya sesuatu
dari rambut perempuan itu.
"Ada bekas darah di rambutmu," ujarnya kemudian. Bram
memperlihatkan gumpalan merah yang sudah mengering di ta"
ngannya kepada Aretha. Untuk kedua kalinya, Aretha tertegun. Dia buru-buru berdalih,
"Pasti itu menempel saat aku memeriksa sopirku."
"Ya. Barangkali ini darah sopirmu."
Bram mengiyakan sambil mengangguk-angguk. Dikeluarkannya secarik kertas kecil dari saku celananya, lalu dipeperkannya
darah kering di jarinya ke kertas tersebut. Dia menatap Aretha
sekali lagi. Senyumnya masih terulas lebar. "Akan kuperiksa ini di
lab untuk memastikan itu," katanya.
"Sementara itu, aku minta kau tidak meninggalkan kantor
Polda." 280 Metropolis.indd 280 22. frank_sinatra13 rik menemukan secarik kertas notes begitu dirinya terjaga.
Lembaran itu ditempelkan di punggung salah satu tangannya
menggunakan lakban hitam. Di permukaannya tertulis pesan: Aku
ke lab. Kau pulang saja. Kita ketemu nanti sore di kantor.
Bram. Erik menggumamkan nama atasannya itu sambil mencabut lakban dari kulitnya.
Dia mengalihkan perhatiannya kepada situasi di sekelilingnya.
Ruang kesatuannya, tempat dirinya berada saat ini, mulai ramai.
Reserse-reserse berdatangan. Sebagian malah sudah sibuk di balik
meja kerja mereka masing-masing; menghadapi berkas-berkas
yang menumpuk, membaca koran sembari mendengarkan radio,
atau menunggui kopi di genggaman mereka berhenti mengepul.
Saat ini sudah pagi, pastinya, dan itu berarti dia tertidur di hadapan
meja kerjanya semalaman. "Lembur?" salah seorang reserse bertanya kepadanya.
281 Metropolis.indd 281 Erik menegakkan posisi duduknya. Dipijatnya leher serta kedua
pundaknya untuk menghilangkan rasa pegal hadiah dari kursinya.
Dia menjawab pertanyaan rekannya dengan suara serak, "Ya. Shox
dan Saada ribut semalam."
"Oh, ya. Aku dengar beritanya. Kabarnya enam orang meninggal."
"Tujuh," Erik meralat ucapan reserse itu, lalu bertanya balik,
"Tadi Bram ke sini?"
Reserse itu menggelengkan kepala. "Bram" Aku belum lihat,
tapi barusan ada reserse Cyber Crime mencarimu."
Do be do be do. "Itu password untuk ID Yahoo! Messengger frank_
sinatra13," kata maniak komputer dari Sat Reserse Cyber Crime,
seorang lelaki kurus yang terpaksa harus memakai kacamata tebal
lantaran terlalu sering menghadapi monitor.
Erik duduk di sebelah lelaki itu, di ruang kesatuan baru milik
Polda Metro Jaya yang dipenuhi perangkat-perangkat canggih,
sembari menghadapi laptop kepunyaan Miaa yang selama be"
berapa minggu ini diutak-atik oleh Sat Reserse Cyber Crime. "Berarti
kau berhasil mengakses ID orang itu" Bagus!" ujarnya bernada
senang. Lelaki di sebelahnya tersenyum geli. "Jangan senang dulu.
Aku cuma menemukan password, Erik. Bukan berarti aku berhasil
mengakses ID Mister Frank Sinatra-mu ini."
"Aku tidak mengerti," Erik bertanya sambil mengerutkan
dahi. "Bukankah kalau kita sudah punya password maka kita bisa
mengakses ID itu?" 282 Metropolis.indd 282 "Seharusnya begitu."
"Tapi?" Senyuman di wajah sang maniak komputer mengembang. Lelaki itu memberi isyarat kepada Erik untuk memperhatikan monitor
di depan mereka. Dia membuka halamanYahoo! Mail, memasukkan
ID user berikut password yang mereka temukan, menekan tombol
login di halaman tersebut, dan....
"Curut!" Erik mengumpat sambil memandangi laptop Miaa dengan
mata terbelalak. Halaman yang muncul kemudian, setelah mereka
mencoba mengakses ID tersebut, bukanlah inbox Yahoo! Mail, melainkan sebuah situs lain bertajuk Dunia Pintu yang menampilkan
sekitar tiga lusin gambar pintu rumah dengan berbagai macam
jenis. "Apa yang terjadi?" tanyanya.
Lawan bicaranya menjawab, "Dummy. Mister Sinatra-mu
membuat kita tersesat."
Erik diam sejenak. Dia memperhatikan situs yang baru saja
terbuka. "Situs apa ini?"
"Situs ini menjual pintu secara online. Istriku pernah beli lewat
situs ini juga. Harganya lumayan bagus."
"Jadi, ini situs yang banyak diakses orang?"
"Ratusan setiap harinya. Siapa saja bisa jadi frank_sinatra13
kalau memang dua hal ini berkaitan."
Erik kembali terdiam. Dia menggaruk-garuk kepalanya yang
tidak gatal sambil tetap memandangi monitor. Entah kenapa dia
merasa tidak terlalu asing dengan situs yang sedang mereka bica283
Metropolis.indd 283 rakan itu. Padahal, sudah barang tentu dia tidak pernah mengakses
halaman elektronik tersebut karena dia tidak terlalu sering bersentuhan dengan komputer, dan yang kerap dia kunjungi dalam
kesempatan yang terbatas itu hanyalah Yahoo! Mail serta Google.
Barangkali dia melihat Dunia Pintu ketika seseorang sedang meng"
aksesnya, tetapi di mana" dan siapa"
"Bisa kau telusuri pemilik situs ini?" tanyanya selang beberapa
waktu. Yang ditanya menganggukkan kepala dengan ragu. "Bisa, tapi
aku tidak yakin itu akan membantu."
"Lakukan saja," kata Erik.
Dia bangkit dari tempat duduknya. Ditepuknya bahu lelaki
berkacamata yang telah membantunya sebagai ungkapan terima
kasih. Lalu, seraya memenuhi benaknya sendiri dengan Dunia Pintu,
dia keluar dari ruang Sat Reserse Cyber Crime dengan langkahlangkah lambat yang tercipta tanpa sadar, yang sejurus kemudian
berhenti begitu dirinya teringat siapa yang pernah mengakes situs
tersebut. Burhan. Ya, batin Erik. Dunia Pintu pernah dilihatnya lewat komputer
Burhan, saat Bram dan dirinya terakhir kali menghadap ajun komisaris besar polisi tersebut. Kala itu, dia tidak memperhatikan apa
judul situs yang tengah diakses oleh atasannya, tetapi dia melihat
banyak gambar pintu. Kini, dia setengah berlari menuju ruang kesatuannya sendiri,
tidak sabar untuk memastikan kebenaran atas dugaan yang baru
saja tercetus dalam pikirannya. Ketika dia tiba di sana, ruangan itu
284 Metropolis.indd 284 sudah semakin ramai, disesaki oleh reserse-reserse yang belum juga
turun ke lapangan kendati pagi nyaris berlalu. Sebaliknya, ruang
kerja Burhan justru kosong. Menurut sekretaris kesatuan mereka,
polisi itu sedang keluar menemui Kapolda.


Metropolis Karya Windry Ramadhina di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ini kesempatan, tentu saja. Dengan dalih meletakkan laporan,
sebuah map berisi beberapa lembar kertas kosong, Erik mendapat
izin memasuki ruang kerja Burhan.
Di dalam ruangan itu, dia tidak membuang-buang waktu,
atau orang lain akan curiga, karena cuma mata-mata yang butuh
waktu lebih dari dua menit untuk menaruh sebuah map di atas
meja. Dia segera memeriksa komputer Burhan, sambil berkeringat
dingin karena ini adalah kali pertamanya menyusup ke ruang kerja
seseorang (dan seseorang itu adalah Kasat Reserse, demi Tuhan!).
Untunglah kerja ekstra jantungnya tidak sia-sia. Tidak butuh waktu
lama, dia mendapati bahwa ingatannya tidak berbohong.
Memang benar, Burhan mengakses Dunia Pintu.
Tentu saja itu tidak lantas menjadikan Burhan frank_sinatra13.
Seperti kata maniak komputer di Sat Reserse Cyber Crime, semua
orang bisa menjadi imposter penyanyi jazz tersebut. Akan tetapi,
tidak semua orang memiliki keterkaitan dengan Miaa, sementara
Burhan dan Miaa pernah bekerja dalam kesatuan reserse yang
sama, Reskrimsus. Kenyataan itu menjadi satu alasan kuat yang menyebabkan Erik bersikeras hipotesisnya patut dipertimbangkan.
Darah kering yang Bram temukan di rambut Aretha bukan milik
sopir malang yang menjadi korban dalam baku tembak semalam.
Hasil tes laboratorium telah memastikan hal itu. Menurut laporan
285 Metropolis.indd 285 yang dia terima, sopir tersebut bergolongan darah B, sementara
darah yang dia temukan diidentifikasi sebagai golongan O. Bahkan,
di antara enam jasad lainnya yang mereka bawa dari TKP yang sama,
tidak satu pun mendapat identifikasi serupa. Itu menjelaskan satu
hal: ada orang lain, yang juga terluka, yang terlibat dalam insiden
kemarin malam dan Aretha berpihak kepada orang itu.
Bram tidak terkejut. Sejak kemarin dia memang pusing memikirkan kenapa sopir Aretha dibunuh. Ya. Sopir itu tidak mati tanpa
sengaja, asistennya yang lugu juga tahu itu (atau barangkali tidak).
Jika memang sopir itu terkena peluru nyasar seperti perkiraan para
petugas forensik, maka seharusnya ada lubang peluru di badan
atau jendela mobil. Memang benar, salah satu jendela terbuka
dan bisa saja peluru masuk lewat celah itu, tetapi sudut tembakan
yang mengenai korban terlalu tajam, sehingga tembakan itu hanya
mungkin dilepaskan dari jarak dan arah tertentu yang sama sekali
tidak sesuai dengan kondisi TKP.
Keberadaan pihak ketiga juga diperkuat oleh hasil forensik
lainnya. Jenis senjata yang dipakai oleh Ferry Saada adalah salah
satunya. Laporan forensik mengatakan bahwa jasad Ferry meng"
genggam pistol kaliber 9mm berbahan polimer, senjata kecil yang
luar biasa ringan dan banyak beredar di pasar-pasar lokal. Bram tahu
persis itu bukan senjata yang biasa digunakan oleh Ferry. Ferry lelaki
flamboyan, dia tidak akan sudi memakai senjata kebanyakan yang
tampak murahan. Anak Leo itu memesan senjatanya dari Amerika,
pistol modifikasi yang permukaannya dilapisi emas putih serta diukir
dengan corak khusus, dan senjata itu masih dibawa-bawa ketika
terakhir kali mereka bertemu di restoran keluarga Saada.
286 Metropolis.indd 286 Salah duanya, peluru-peluru yang telah melukai Shox berasal
dari senjata di tangan Ferry, begitu pula sebaliknya. Itu menghasilkan kronologis yang luar biasa menarik, yakni seperti berikut.
Pertama, Ferry menembak kaki Shox terlebih dahulu. Nyaris
bersamaan, Shox membalas dan langsung mengenai dada Ferry.
Kedua, Ferry masih sempat melepaskan peluru keduanya untuk
melubangi tangan Shox, sehingga senjata yang dipegang oleh Shox
terjatuh. Ketiga, dengan jantung yang seharusnya sudah hancur,
Ferry menghampiri Shox yang tidak berdaya. Dia menempelkan
senjatanya ke kening lawan, lalu menembak untuk ketiga kalinya.
Pendekar Remaja 8 Wiro Sableng 185 Jabang Bayi Dalam Guci Pendekar Latah 10
^