Pencarian

Negeri Para Bedebah 3

Negeri Para Bedebah Karya Tere Liye Bagian 3


Bukan itu maksudku, Thom. Bahkan bisa saja aku sendiri yang melakukan permintaanmu, daftarnya ada di hadapanku sekarang, lengkap dengan kontak mereka. Tapi bagaimana mungkin kau menyuruh pemilik rekening itu berkumpul pukul banking, yang ada kita yang datang ke rumah mereka selama ini, beramah-tamah.
Itu mudah, Ram. Aku mengusap pelipis, langit-langit ruang tunggu bandara terasa gerah, pendingin udaranya tidak kuasa mengusir hawa panas. Bilang ke mereka, sistem penjaminan simpanan perbankan kita hanya melindungi rekening di bawah dua miliar. Jika Bank Semesta hari Senin dinyatakan pailit, ditutup bank sentral, semua rekening dengan nilai di atas itu akan musnah seperti abu kertas dilempar di udara. Nah, sekarang, terserah mereka, bersedia datang segera pukul sebelas di ruang pertemuan kita, atau mereka akan membiarkan abu kertas itu berserakan di kaki mereka.
Suara Ram hilang sejenak di seberang sana bahkan helaan napas tidak terdengar.
Apa yang sebenarnya sedang kaurencanakan, Thom" Ram akhirnya berkomentar.
Jangan banyak tanya dulu, Ram. Segera lakukan. Aku berani bertaruh, mereka akan terbirit-birit datang. Kau segera kirimkan SMS padaku hotel yang kaupilih. Nah, itu sudah terdengar pengumuman boarding, aku harus segera masuk pesawat. Ram terdengar mengeluhkan sesuatu.
Aku berdiri, memutus percakapan.
Puluhan penumpang lain juga berdiri, bergegas mengisi antrean di depan petugas.
*** Satu jam lagi di langit. pesawat sudah mendarat beberapa menit lalu. Masih satu setengah jam dari jadwal pertemuan yang kuminta dari Ram, tapi bergegas tiba lebih dulu di tempat pertemuan lebih baik. Aku menyalakan telepon genggam. Ram seharusnya sudah mengirimkan SMS lokasi pertemuan.
Baru saja loading telepon genggam selesai, satu panggilan masuk berbunyi.
Nomor telepon satelit milik Kadek.
Pak Thom! Kadek berseru, suaranya setengah panik, setengah lega. Saya telepon Pak Thom sejak satu jam lalu, tidak masuk juga. Berkali-kali saya coba. Akhirnya...
Aku sedang di pesawat, Kadek, telepon kumatikan. Ada apa" Aku mendahului beberapa penumpang yang asyik bicara sambil mendorong koper bagasi.
Opa, Pak Thom. Opa semaput. Langkah kakiku tertahan.
Kau bilang apa, Kadek" Aku menelan ludah, ini berita buruk.
Opa semaput, Pak Thom. Saya, saya pikir tadi saat Pak Thom dan yang lain tiba, Pak Thom sudah membawa keperluan obat Opa. Di kapal sudah sejak sebulan lalu stok insulin habis. Kadar gula Opa naik tajam, Opa hampir pingsan. Saya sungguh minta maaf, lupa memberitahu Pak Thom.
Posisimu di mana, Kadek" Aku memotong kalimat cemas Kadek, sekaligus mengusir selintas pikiran betapa bodohnya urusan ini. Seharusnya aku juga menyadari sejak berangkat dari rumah peristirahatan, tas obat-obatan Opa harus dibawa. Semua karena Rudi si bokser sialan. Gara-gara pasukan kecil dia, aku Posisimu di mana sekarang, Kadek" Aku mengulang pertanyaan, Kadek tidak segera menjawab.
Eh, 106 derajat, 23 menit bujur timur, 05 derajat, 59 menit lintang selatan...
Bukan itu, Kadek! aku berseru kencang, membuat penumpang lain yang memadati lorong menuju lobi kedatangan bandara menoleh. Aku mengutuk Kadek dalam hati. Dia pastilah sedang tegang mengemudi kapal. Dia refleks menyebutkan posisi GPS kapal yang terlihat dari display kemudi. Kau berapa kilometer lagi dari Sunda Kelapa"
Maaf, Pak Thom, sembilan belas kilometer lagi. Saya sudah berusaha secepat mungkin kembali ke dermaga sejak Opa semaput. Saya menelepon, maksud saya, kalau Pak Thom bisa menghubungi dokter Opa, atau siapa saja, menyuruh mereka bergegas ke dermaga, biar Opa segera mendapat suntikan insulin begitu kapal merapat.
Ya, akan aku lakukan, aku menjawab cepat.
Syukurlah, Pak Thom. Saya akan mengebut sebisa mungkin ke dermaga.
Kau jangan panik, Kadek. Tetap terkendali, selalu berpikir jernih. Paham" aku meneriakinya sebelum menutup telepon. Suara Kadek segera hilang, dia telah kembali konsentrasi penuh pada kemudi kapal.
Aku mendengus, bergegas membuka daftar kontak di telepon genggam. Kakiku juga melangkah cepat menuju lobi kedatangan. Masih satu jam lebih sebelum pukul sebelas malam. Jika jalanan kota tidak macet, aku bisa ke dermaga sebelum menuju lokasi pertemuan, memastikan sebentar Opa baik-baik saja. Di mana Tidak kutemukan. Jangan-jangan aku tidak menyimpan nomor teleponnya.
Aku bergegas hendak menghubungi Maggie, dia bisa mencari tahu segera.
Kakiku sudah tiba di lobi kedatangan yang gaduh. Orangorang berteriak, karton bertuliskan nama, tawaran taksi, semua berkeliaran.
Jangan bergerak! Suara tegas dan dingin itu membekukan lobi kedatangan.
Enam, sepuluh, tidak, lebih dari belasan polisi dengan pakaian serbu lengkap sudah mengepungku. Mereka bermunculan dari balik keramaian. Senjata mereka teracung sempurna padaku. Aku berdiri termangu, menelan ludah.
Sebelum aku sempat bereaksi, bahkan berpikir harus melakukan apa, salah satu dari mereka telah tangkas menyergap tanganku. Telepon genggamku terjatuh. Aku terbanting duduk. Lututku terasa sakit menghantam keramik lobi. Dalam hitungan detik saja, tanganku sudah terborgol.
Berdiri! Moncong senjata laras panjang menyodok punggungku.
Aku mengaduh pelan, patah-patah berusaha berdiri. Bergegas! Dua petugas lain sudah kasar membantuku berdiri, tidak sabaran.
Aku menelan ludah. Jalan, Bedebah! Wajah dibungkus kedok itu terlihat dingin, tanpa kompromi.
Aku mengangguk, melangkah menuju arah senjata teracung. Situasi kali ini jauh lebih serius dibanding di rumah peristipula karena ratusan mata penumpang yang baru turun, sanak keluarga atau teman penjemput, sopir taksi, calo, bahkan tukang sapu pelataran bandara sibuk menonton, berbisik satu sama lain. Tetapi karena ditilik dari pasukan ini, setelah dua kali tertipu olehku, mereka bertindak lebih hati-hati dan penuh perhitungan.
Belasan senjata masih terarah padaku, seolah takut aku bisa melepas borgol seperti jagoan dalam film, lantas menggebuki mereka satu per satu.
Bergegas, atau kutembak kakimu! salah satu dari polisi membentak.
Aku mengembuskan napas, melangkah lebih cepat. Mereka menggiringku menuju salah satu mobil taktis yang terparkir persis di depan lobi kedatangan, membuat kemacetan. Pintu mobil taktis terbuka lebar-lebar.
Naik! Popor senjata kembali menyodok perutku. Aku mengeluh. Tidak bisakah mereka berhitung dengan situasi" Dengan belasan polisi, aku pasti menuruti semua perintah, tidak perlu dipaksa dengan kekerasan.
Tapi sebaliknya, petugas polisi malah mendorongku kasar. Untuk kedua kalinya aku tersungkur.
Duduk! mereka membentak. Aku bergumam sesuatu, patuh duduk. Pintu mobil taktis ditutup segera, berdebam.
Empat polisi mengawalku di dalam, tetap dengan senjata teracung, sisanya berlarian menaiki kendaraan lain. Suara sirene meraung, dengan cepat rombongan mobil meninggalkan bandara, meninggalkan wajah-wajah ingin tahu yang diterpa semburat Lengang sejenak. Saling pandang.
Kesibukan bandara kembali gaduh dengan lenyapnya suara sirene di kejauhan.
*** Selamat malam, Thomas, suara berat itu menyapa.
Aku menoleh, ternyata ada orang lain yang duduk di pojok mobil taktis polisi. Dua orang. Remang cahaya lampu jalanan yang menelisik kisi-kisi kaca membuatnya tidak terlihat jelas. Tetapi aku sungguh mengenal mereka.
Jika saja aku tidak terlatih, tidak ingat situasinya, aku sudah loncat, memukul, menendang, apa saja yang bisa kulakukan pada dua orang di hadapanku. Tidak. Dalam mimpiku, beribu kali aku membayangkan situasi ini. Beribu kali aku menulis jalan cerita"nya. Aku selalu membayangkannya dengan penuh kebencian. Tidak, aku akan menunggu saatnya tiba.
Aku menghela napas pelan, berusaha terkendali. Kau cukup hebat, Thomas. Orang itu tertawa pelan. Cukup hebat kaubilang" Bajingan kecil ini sangat hebat, Kawan. Siapa nama pemimpin pasukan paling tangguh milikmu itu" Rudi" Mudah saja bajingan ini menghajarnya. Jangan lupa, kemarin malam dia kabur dari penjagaan puluhan petugasmu, permisi menumpang lewat. Rekan di sebelahnya ikut tertawa.
Jangan sebut nama pecundang itu di depanku. Mulai besok, pecundang itu bertugas di perempatan lampu merah, menjadi polisi pengatur lalu lintas. Temannya melambaikan tangan.
Aku menggerung dalam hati, berusaha mati-matian tetap terkendali.
Siapa kau sebenarnya, Thomas" Mereka bertanya amat ramah, dengan intonasi seperti sedang menyapa teman karib lama.
Aku tetap bungkam. Namamu tidak ditemukan dalam daftar orang-orang kepercayaan Liem, karyawan, staf. Juga dalam daftar keluarganya. Tidak ada. Bahkan namamu tidak ada di penerima beasiswa, penerima bantuan, pihak terkait, apa saja. Siapa kau sebenarnya, Thomas"
Aku masih bungkam. Jangan-jangan kau bekas agen rahasia luar negeri yang baru saja direkrut Liem untuk membantunya" Hebat sekali kau mengelabui kami.
Rekannya tertawa. Hentikan bualanmu, Kawan. Itu berlebihan. Nah, Thomas, siapa kau sebenarnya"
Aku terus diam, menelan ludah. Setidaknya aku diuntungkan satu hal: mereka tidak tahu hubunganku dengan Om Liem. Sebaliknya, aku tahu sekali siapa dua orang di hadapanku sekarang. Suara sirene terus meraung. Konvoi mobil polisi terus menyibak jalanan tol yang cukup padat.
Siapa kau, Thomas" Ayolah, jawab saja pertanyaan sederhana ini. Suara mereka berubah serius setelah dua menit hanya lengang dan aku tidak kunjung menjawab.
Aku masih berpikir cepat, memikirkan berbagai kemungkinan.
Cess! Terdengar suara pelan dan percik api terlihat di tengah Kau tahu alat apa ini, Thomas" Ini efektif sekali dalam setiap interogasi. Kalau kau mau menjawab, aku singkirkan alat ini. Kalau kau berbelit-belit, mungkin dua-tiga kali kuhunjamkan alat ini di dada, leher, atau kepalamu agar bisa membuat mulutmu terbuka lebar-lebar.
Aku menatap jeri alat setrum di tangan salah satu dari mereka.
Aku konsultan keuangan profesional, akhirnya aku bersuara.
Sia-sia. Belum habis kalimatku, alat setrum itu telak menghunjam perutku. Rasanya seperti dicabik, seperti disengat, tidak bisa dijelaskan. Aku berteriak, satu persen karena kaget, sisanya karena sakit yang teramat sangat. Membuat ruangan pengap mobil taktis sejenak terasa beku.
Jawaban yang salah, Thomas. Mereka menatapku dingin. Kami tahu lebih banyak tentang dirimu. Kau konsultan keuangan. Spesialis merger dan akuisisi. Lulus dari dua sekolah bisnis ternama luar negeri. Kami tahu itu, bahkan aku punya nama gurumu di sekolah berasrama. Tapi siapa kau sesungguhnya, Thomas"
Suara itu tidak membentak, tapi itu lebih dari cukup. Aku tersengal, masih dengan sisa sakit setrum di perut. Tetapi ada yang lebih sakit, yang membuatku tersengal sesak bernapas. Lihatlah, bayangan kejadian puluhan tahun silam telah sempurna kembali di kepalaku. Botol susu yang tumpah di jalanan. Aku ingat sekali suara dan tatapan mereka. Semua tetap sama.
IAPA kau sebenarnya, Thomas" Aku... aku konsultan keuangan profesional. Jawaban yang keliru lagi, Thomas.
Alat setrum itu kembali menghunjam perutku. Aku menggelinjang, tubuhku gemetar menahan sakit.
Ayolah, Thomas. Kenapa kau tidak membuat percakapan kita jadi lebih mudah" Orang yang duduk di hadapanku itu menatap dingin, intonasinya datar terkendali.
Sementara di luar, rombongan mobil polisi berjalan tersendat, keluar pintu tol bandara jalanan macet sirene galak mereka tidak membantu banyak.
Aku menggerung, kepalaku tertunduk, napas menderu. Siapa kau sebenarnya, Thomas" dia bertanya lagi. Aku, aku konsultan profesional.
Jawaban yang keliru, Thomas.
Untuk ketiga kalinya alat setrum itu menusuk perutku tanpa bisa kucegah. Bagaimana aku bisa melawan" Dua tanganku terborgol di belakang punggung. Percikan nyala apinya seperti petir kecil yang menyambar tubuh. Rahangku mengeras, gigiku bergemeletuk menahan sakit. Aku bertahan mati-matian tidak berteriak. Satu, karena teriakan hanya akan mengundang rasa jemawa dan kesenangan pada mereka; dua, sia-sia juga ber"teriak di tengah suara sirene yang memekakkan telinga. Kalau"pun ada yang mendengar di luar sana, siapa pula yang akan peduli. Jangan main-main padaku, Thomas. Siapa kau sebenarnya" Aku mendongak, menggigit bibir, masih dengan sisa sakit sengatan barusan, menggeleng pelan. Aku konsultan keuangan profesional.
Tangan orang itu kembali hendak menghunjamkan alat setrum?"nya.
Mataku terpejam. Cukup, Wusdi. Kau akan membuatnya terkapar pingsan dan kita kehilangan kesempatan untuk segera mengetahui posisi Liem, rekan di sebelahnya menahan. Lagi pula, sepertinya dia berkata jujur.
Aku antara mendengar dan tidak kalimat itu masih menggerung menahan sakit. Tetapi aku belum pingsan, aku masih lebih dari sadar untuk paham situasinya.
Percuma, aku berkata pelan, dengan suara bergetar. Dua orang yang duduk di pojok mobil taktis polisi menatapku.
Percuma kalian memainkan peran polisi baik, polisi buruk, good cop, bad cop. Aku gemetar, berusaha menegakkan badan dan kepala, berbicara dengan posisi lebih baik. Percuma... Jawabanku tetap sama, aku konsultan, konsultan keuangan. Tidak Aku berusaha mengendalikan napas, berusaha bicara lebih lancar, balas menatap mereka di tengah remang. Om Liem, Om Liem membayarku mahal sekali untuk pekerjaan ini beberapa hari lalu. Menyelamatkan Bank Semesta dan grup bisnisnya.
Dibayar mahal" Apa maksudmu" salah satu dari mereka bertanya.
Dia, dia berjanji akan memberikan sepuluh persen dari jumlah yang bisa kuselamatkan. Tidak hanya dari Bank Semesta dan grup bisnis lokal, tapi juga dari aset Om Liem di luar negeri. Aku tertawa kecil, diam sejenak. Meski hanya sepuluh persen, nilainya triliunan, lebih besar dari yang kalian bayangkan. Harga yang mahal sekali. Sebanding dengan risikonya. Dua orang itu saling toleh.
Kalian tidak tahu itu, bukan" Aku kembali tertawa kecil. Taipan tua itu jauh lebih pintar dibanding siapa pun. Ambil semua kekayaannya, dia masih tetap lebih kaya dibanding yang hilang. Dia menyimpan banyak aset di luar negeri, dan itu di luar daftar pendek yang kalian miliki. Daftar aset yang belum tentu juga puluhan tahun berhasil kalian kuasai.
Apa maksudmu" Rekannya yang tidak memegang alat setrum agak maju ke depan.
Aku menggeram, berusaha mengendalikan diri. Untuk pertama kalinya aku melihat wajah petinggi jaksa ini dari jarak dekat setelah puluhan tahun. Seringai liciknya terlihat jelas.
Apa maksudku" Aku profesional sejati. Sama dengan kalian. Berapa tahun kalian mengejar Om Liem" Berusaha meng"ambil alih kekayaannya" Kalian pikir akan berhasil mengambil semuanya setelah Bank Semesta ditutup, asetnya dijual murah" Aku Bebaskan aku, maka aku akan memihak siapa saja yang memberikan bayaran paling tinggi. Om Liem percaya padaku, dia tidak akan curiga sedikit pun jika aku mengkhianatinya.
Kau hanya membual. Orang yang menilik wajahku menyeringai.
Terserah. Tapi aku punya daftar paling lengkap seluruh aset Om Liem di luar negeri. Daftar yang tidak pernah kalian ketahui, meski mengerahkan polisi atau petugas kejaksaan terbaik sekalipun.
Mobil taktis polisi lengang sejenak, hanya menyisakan suara sirene yang memekakkan telinga.
Dua orang di hadapanku menimbang sesuatu.
Aku punya daftarnya. Aku tidak membual, aku memecah senyap.
Mereka berdua saling toleh lagi.
Bebaskan aku, maka aku bisa menjadi orang paling berguna buat kalian.
Lantas apa untungnya buatmu" Orang yang memegang setrum menyelidik.
Kalian bisa memberikan dua puluh persen dari aset Om Liem yang kudapatkan. Aku akan bekerja dan setia pada orang yang membayarku lebih mahal.
Salah satu dari mereka terkekeh. Kau naif, Thomas. Buat apa kami memberimu dua puluh persen jika kami bisa men"dapatkannya gratis"
Aku menggeleng, berkata dengan suara bergetar, Tidak, urusan ini tidak sesederhana seperti kalian mengambil akta tanah, surat-menyurat pabrik, gedung dari seseorang, lantas membiarsekarang terdaftar lintas negara, kalian butuh seseorang yang tahu persis caranya.
Tawa itu tersumpal, menatapku tajam, menyelidik. Aku pura-pura tidak peduli dengan tatapannya, menganggap kalimatku tadi kosong, bukan menyindir masa lalu. Percayalah. Aset luar negeri Om Liem itu nyata. Jika kita bisa sepakat, aku bisa memberikan daftarnya pada kalian saat ini juga.
Mana daftarnya" Orang yang memegang setrum mengangkat alatnya.
Aku menggeleng. Kita harus bersepakat lebih dulu. Aku bisa memaksa kau memberikannya. Percik nyala api hanya lima senti dari wajahku.
Tidak. Aku tidak akan memberitahu sebelum kalian berjanji. Silakan. Percuma saja kalian siksa aku sampai pingsan atau mati sekalipun. Daftar aset itu akan hilang bersama dengan hilangnya informasi di mana Om Liem saat ini.
Omong kosong. Kau akan memberitahu kami. Tangan orang itu bergerak. Kilat kecil bergemeletuk dari alat di tangannya. Aku menatapnya jeri, bersiap menerima setrum berikutnya. Cukup, Wusdi. Dia benar. Kita tidak sedang berhadapan dengan penjahat kacangan yang bisa kautakuti dengan cara interogasi kuno. Rekannya menahan tangan itu.
Rekannya bergumam keberatan, tapi tidak protes. Baik. Kami berikan dua puluh persen dari nilai aset luar negeri yang bisa kaudapatkan ditambah bonus kebebasan segera. Orang itu ramah memegang lenganku. Nah, di mana daftar aset dan Liem saat ini, Thomas"
Bebaskan aku dulu. Baik. Lepaskan borgolnya! dia meneriaki salah satu polisi. Salah satu petugas meletakkan senjata, meraih kunci borgol, membebaskan tanganku.
Aku menarik napas panjang. Tiga petugas lain masih mengarahkan senjata mereka ke tubuhku. Secepat apa pun aku bereaksi, tidak akan bisa mengalahkan kecepatan peluru. Aku hanya bisa mengurut pergelangan tangan yang sakit, kembali menghela napas.
Nah, mana daftar asetnya, Thomas" Dan di mana Liem sekarang berada"
Aku menggeleng. Soal Om Liem, lebih baik dia sementara dibiarkan bebas. Jika kalian menahannya sekarang, kalian tidak akan leluasa mengambil seluruh aset miliknya. Ada banyak petugas lain yang ikut tertarik, belum lagi puluhan wartawan yang ingin tahu. Terlalu banyak yang curiga. Dia bisa ditangkap kapan saja setelah urusan selesai, mudah saja melakukannya.
Aku diam sebentar, menatap wajah dua orang di hadapanku.
Soal daftar aset, ada di telepon genggamku. Salah satu anak buah kalian mengambil telepon itu tadi.
Orang di hadapanku segera menoleh ke arah empat polisi dengan moncong senapan terarah padaku. Sebelum diperintah, salah satu dari polisi merogoh saku, memberikan telepon genggam itu.
Aku menyeringai, urusan ini benar-benar berubah kapiran sejak setengah jam lalu. Aku ibarat bidak catur yang dikepung ben"teng dan kuda lawan, tidak ada tempat berkelit selain mengorban"kan menteri, senjata terakhir. Aku mengembuskan napas, Dua orang di hadapanku menunggu tidak sabaran, segera merampas telepon genggam itu persis setelah file itu terbuka, mem"bacanya cepat.
Isi file ini sungguhan" Mata mereka berdua membesar. Aku mengangguk bahkan daftar awalnya saja pasti membuat siapa pun terbelalak.
Kau memang bisa menjadi orang paling berguna buat kami. Salah satu dari mereka terkekeh, senang dengan daftar di tangannya.
Aku tidak berkomentar, menyeka keringat di pelipis. Borgol dia kembali, dia menyuruh salah satu petugas. Aku terlonjak. Apa maksudnya"
Bawa dia segera ke penjara, orang itu berkata tegas. Hei, hei. Aku berusaha melawan, tapi gerakan dua polisi lebih cepat. Tanganku segera ditelikung ke belakang, borgol terpasang.
Kau sudah berjanji akan membebaskanku! aku berseru. Anggap saja aku suka melanggar janji, Thomas. Selalu menyenang"kan melakukannya. Dia tertawa lagi. Nah, terima kasih untuk dua hal. Pertama, untuk saranmu soal Liem. Kau me"mang konsultan yang hebat. Aku setuju, mungkin lebih baik membiarkan Liem berkeliaran di luar sana sementara waktu. Setelah semua urusan kami selesai, siapa pun bisa dengan mudah menangkap orang tua bangkrut itu. Kedua, untuk daftar aset ini, Thomas. Kau baik sekali pada kami.
Kau harus membebaskanku! aku berteriak marah. Kau mem"butuhkanku!
Buat apa lagi" Tidak ada lagi yang bisa kautawarkan. luar negeri. Kalian memerlukan dokumen-dokumen aset itu, surat-menyurat. Aku tahu tempatnya! aku berseru panik, menyebutkan apa saja yang terpikirkan.
Kami bisa mencari orang lain, Thomas. Yang tidak selihai dirimu dalam urusan kabur atau menipu. Soal dokumen, itu bisa kami cari di setiap jengkal rumah, kantor, properti milik Liem. Mudah saja.
Tidak, aku bergegas menggeleng, dokumen-dokumen itu tidak ada di mana-mana. Dokumen itu disembunyikan di tempat yang tidak pernah kalian pikirkan.
Oh ya" Dan kau tahu tempatnya" Tertawa, dia menoleh pada rekannya. Sudah pukul sebelas malam, Wusdi, aku ada urusan lain. Kau mau ikut"
Rekannya mengangguk, melemparkan alat setrum ke salah satu polisi. Kalian kawal dia sampai dijebloskan dalam sel. Setrum saja sampai pingsan kalau dia terus berusaha kabur.
Mereka berdua bangkit, memukul dinding mobil, memberi kode ke sopir agar menepi.
Aku menggerung, berteriak, Kalian membutuhkanku! Mobil taktis berhenti, pintu belakang terpentang lebar-lebar. Dua orang itu melangkah turun.
Aku tahu tempatnya! Aku tahu di mana dokumen-dokumen itu!
Mereka tidak mendengarkan, hanya santai melambaikan tangan.
Dokumen-dokumen itu ada di kapal!
Pintu belakang mobil taktis sudah berdebam ditutup kembali. Gelap.
Bintang tiga polisi dan jaksa senior itu sudah berpindah ke mobil lain, melesat pergi.
Aku tertunduk dalam-dalam.
Urusan ini kacau-balau sudah. Mereka mengambil daftar aset itu. Opa pingsan, entah apa kabarnya sekarang, dan jadwal pertemuan jam sebelas malam dengan nasabah besar Bank Semesta gagal total. Dan di atas segalanya, lihatlah, tanganku terborgol, terenyak duduk tanpa daya di dalam mobil yang melaju kencang menuju sel tahanan polisi.
Aku sungguh butuh skenario ajaib untuk memulihkan semua situasi.
INGGU, pukul dua dini hari. Waktuku tinggal 30 jam lagi sebelum pukul 08.00 hari Senin besok, ketika hari pertama Bank Semesta buka di tengah berbagai kemungkinan yang terjadi: bank itu ditutup, rush besar-besaran terjadi, antrean panjang di setiap cabang, nasabah yang panik, dan boleh jadi ditambah dengan kepanikan nasabah bank lain. Atau kemungkinan kedua, bank itu diselamatkan, pemerintah memberikan dana talangan, memberikan jaminan bahwa seluruh uang nasabah aman.
Borgolku dilepas. Salah satu polisi bersenjata mendorongku dengan telapak sepatunya, membuatku hampir terjerembap ke dalam sel. Mereka menyeringai puas melihatku, tertawa pelan. Sipir mengunci pintu sel. Lima belas detik kemudian dia balik kanan bersama rombongan itu, meninggalkanku sendirian yang masih kebas dengan banyak hal.
Aku bergumam kosong, mengusap rambut yang berantakan, menatap sekitar ruangan. Sel penjara ini tidak dingin dan lembap seharfiah dalam cerita-cerita atau film. Lampu terang terasa pengap, gerah. Aku sudah melepas jas, menggulung lengan kemeja sembarangan, melempar sepatu. Satu jam lalu mobil taktis merapat ke salah satu markas polisi. Mereka menyuruhku turun, lantas mendorongku kasar memasuki gerbang tahanan. Sipir bertanya, petugas bersenjata menyuruhnya jangan banyak tanya, siapkan sel yang kosong. Sipir mengangguk, bergegas melihat daftar selnya yang kosong, mengambil kunci, lantas memimpin rombongan melewati lorong. Sudah lewat tengah malam, penghuni sel lain kebanyakan sudah tidur. Lengang, hanya menyisakan derap sepatu yang memantul di lorong penjara. Aku menghela napas untuk kesekian kali.
Kabar baiknya, tidak banyak nyamuk di penjara ini. Mereka juga punya toilet di dalam sel, bersih, tidak bau. Tempat tidur hotel prodeo ini lumayan. Jangan bandingkan dengan kasur busa king size hotel sungguhan, tapi tetap lebih baik dibanding kamar ranjang berasramaku dulu yang dua tingkat, selalu kriut-kriut batang besinya jika penghuni atasnya gelisah dan mengigau. Aku menghela napas lagi.
Entah apa yang dilakukan Kadek tiga jam lalu saat tiba di dermaga, dan aku tidak ada di sana, juga tidak ada dokter dengan suntikan insulin. Dia seharusnya bisa bertindak cepat dan tenang. Ada banyak cara menyelamatkan Opa. Entah pula apa yang terjadi di pertemuan nasabah besar Bank Semesta pukul sebelas tadi. Seharusnya Ram bisa mengatasinya setelah aku tidak kunjung datang. Maggie, aku mengusap wajah lagi, semoga dia tidak menghubungi telepon genggamku empat jam terakhir. Celaka benar urusan kalau dua bedebah yang menyita telepon Dan Julia, apakah dia berhasil meminta jadwal audiensi dengan menteri" Aku sungguh melibatkan banyak orang dalam pelarian ini.
Aku mengembuskan napas kencang. Cukup. Cukup sudah mengenang banyak hal. Memikirkan banyak kemungkinan. Percuma, jangankan mengurus bidak yang paling penting, satu bidak menteri yang ini saja tidak bisa. Andaikata Julia berhasil, aku tetap tidak bisa bernegosiasi dengan ketua komite stabilitas sistem keuangan. Jeruji sel sialan ini tidak bisa kuremukkan dengan mudah.
Aku berdiri, menyeka telapak tangan dengan ujung kemeja, menyisir rambut dengan jemari, melemaskan seluruh tubuh. Tidak akan ada yang bisa menolongku. Saatnya membuat keajaiban sendiri untuk lolos dari penjara sialan ini. Dua jam berlalu, pasukan yang menangkapku pasti sudah pergi jauh, mereka tidak akan ikut berjaga di gedung penjara. Dua bedebah itu boleh jadi sudah tidur lelap di ranjang empuk masing-masing, dengan mimpi indah tentang menguasai aset Om Liem.
Urusanku hanya dengan petugas penjara yang berjaga malam ini.
Hei! Aku memukul-mukul jeruji besi.
Hei! Aku pukul lebih kencang lagi, membuat dentingannya terdengar hingga meja sipir di depan sana.
Satu-dua tetangga selku yang terganggu mengomel, balas berteriak, menyuruh diam.
HEI! Aku tidak peduli. Suara derap sepatu terdengar, dua petugas jaga melangkah cepat menuju selku.
Apa yang kauinginkan" Salah satu dari sipir menyergah galak, ujung pentungannya mengarah padaku.
Aku ingin keluar dari sel ini, aku menjawab santai. Dua sipir itu melangkah lebih dekat, mata mereka melotot mengancam.
Aku akan membayarnya mahal sekali, Bos. Aku balas menatap, menyeringai
Dua sipir itu saling toleh, gerakan mereka yang hendak memukul jeruji sel tertahan. Salah satu dari mereka bahkan memasukkan pentungan ke pinggang.
Kami tidak bisa disuap. Intonasi kalimatnya justru sebaliknya.
Oh ya" Bagaimana kalau dua" Cukup" Aku tidak peduli, ter"senyum.
Dua puluh" Rekannya menggeleng, tertawa sinis. Bahkan dua ratus tetap tidak.
Aku balas tertawa. Dua M, Bos. Kau terlalu menganggapku rendah. Jangan bandingkan aku dengan pegawai pajak yang kalian tahan dan cukup ratusan juta saja untuk membiarkan dia pergi pelesir, atau orang-orang tua pesakitan yang post power syndrom setelah tidak berkuasa lagi, dikejar-kejar penyidik komisi pemberantasan korupsi, hanya puluhan juta sudah kalian biarkan berobat ke manalah. Dua M, Bos. Tertarik"
Inilah yang akan kulakukan. Ajaib" Tentu saja. Hanya di tempat-tempat ajaiblah hal ini bisa terjadi.
Sepuluh menit negosiasi. Ini tidak mudah. Komandan jaga ikut bernegosiasi di pos jaga. Aku sudah digelandang ke sana, biar lebih nyaman Mudah saja, Bos, aku berkomentar santai, bersandar nyaman di sofa. Namaku bahkan tidak ada dalam daftar kalian, bukan" Hanya tahanan yang dititipkan mendadak. Kalian bisa mengarang, aku kabur, lihai sekali memukuli petugas. Bos besar kalian paling juga hanya marah, dan kalian paling hanya dipindah?"tugaskan menjadi juru masak, tidak akan dipecat, apalagi dipenjara. Tapi demi dua M, itu risiko yang berharga, bukan" Mereka berlima berbisik-bisik.
Bagaimana kau akan membayarnya" Komandan menyelidik.
Baik. Ada yang punya telepon genggam" Aku transfer satu M sekarang, sisanya aku transfer setelah aku berada di luar gedung penjara kalian. Setuju" Aku bersedekap.
Lima menit, dengan telepon genggam pinjaman dari komandan sipir, aku menelepon call center 24 jam, melakukan transfer ke rekening milik komandan.
Selesai. Nah, kalau kau tidak percaya, kau telepon istrimu se"karang, suruh dia pergi ke ATM. Dia boleh jadi pingsan melihat saldo rekening yang ada di layar ATM.
Dasar bodoh, mereka sungguhan melakukan saranku. Aku ter"paksa menunggu setengah jam, sementara istrinya, yang pastilah masih memakai daster, mata belekan, terbirit-birit menghidupkan motor yang masih kredit belum lunas, pergi ke ATM terdekat.
Komandan jaga menelan ludah, mendengar laporan istrinya di seberang sana, lalu mematikan telepon genggam, mengangguk padaku. Bagaimana dengan sisanya"
Tentu saja, satu M lagi aku transfer setelah aku bebas, Bos. Tidak. Kalian tidak boleh bermain-main denganku. Aku menatap mereka tajam. Jika aku tidak menelepon lagi petugas bank lima belas menit ke depan, dana yang barusan kutransfer akan batal dengan sendirinya, itu transfer bersyarat, kembali ke rekening semula tanpa otorisasi lanjutan. Sekarang terserah kalian saja. Hilang semuanya, atau kutambahkan satu M lagi setelah aku di luar gedung.
Komandan sipir diam sejenak, berbisik-bisik. Aku menunggu, menyeringai.
Komandan sipir mengangguk.
Bukan main! Aku sudah setengah bebas. Aku tersenyum tipis, lalu berdiri.
Boleh kuminta telepon genggammu, Bos" Aku menunjuk, sebelum beranjak keluar.
Komandan menatapku, hendak menggeleng.
Ayolah, untuk orang yang sudah mengantongi satu M, kau bisa membeli ratusan telepon genggam seperti ini, bukan" Aku tertawa. Sebenarnya aku butuh telepon untuk segera menghubungi Kadek, Maggie, dan yang lain.
Komandan mengangguk. Antar dia hingga keluar gedung. Pastikan dia mentransfer sisanya.
Terima kasih, Bos. Kapan-kapan aku akan berkunjung lagi, menyapa.
Dua sipir mengantarku hingga halaman gedung penjara. Salah satu dari mereka bahkan berbaik hati memberikan motornya setelah aku memberinya jam tangan milikku. Kau jual, kau bisa membeli dua motor baru. Dia mengangguk senang. Aku kembali menelepon call center 24 jam. Memberikan perintah pada dalam saku, menaiki motor, mengangguk pada dua sipir yang mengantar untuk terakhir kalinya, lantas melesat meninggalkan bangunan penjara.
Hanya itu. Itulah keajaibannya.
Motor yang kukemudikan membelah jalanan lengang, secepat mungkin meninggalkan markas polisi. Dasar bodoh, jika kalian pemilik rekening eksklusif di bank besar, kalian selalu punya cara untuk membatalkan transaksi. Ini lelucon yang baik. Apakah aku orang yang suka mengkhianati janji" Seumur hidupku tidak pernah. Aku adalah petarung, janji seorang petarung. Tetapi kali ini, akan aku batalkan sebagian besar transfer tadi, hanya menyisakan dua R saja, 2 RIBU perak.
Petinggi kejaksaan tadi benar, ternyata menyenangkan melakukannya.
IMA menit kemudian, jarakku sudah cukup jauh dari markas polisi dan bangunan penjara sialan itu.
Motor yang kukemudikan menepi, aku bergegas menghubungi telepon satelit Kadek, tidak sabaran menunggu nada sambung. Lima kali, tujuh kali, sampai habis, tetap tidak diangkat. Aku menelan ludah. Sekali lagi mengulanginya. Tetap tidak diangkat. Astaga. Gumam cemasku mengambang di langit gelap.
Baiklah, aku loncat ke atas motor, rahangku mengeras, memacu motor secepat yang aku bisa, melesat menuju dermaga modern dekat Sunda Kelapa. Pukul tiga dini hari, jalanan lengang, menyisakan orang-orang yang pulang dari kafe, diskotek, dan tempat hiburan lainnya, selang-seling dengan mobil pickup dan gerobak sayur-mayur yang memenuhi pasar-pasar tradisional, luber hingga ke jalan.
Aku tidak memedulikan kontras yang kulewati. Konsentrasiku ada di tangan, mata, dan kaki.
gerbang dermaga. Dua petugasnya yang selalu disiplin berjaga, bergegas berdiri, hendak memeriksa, urung setelah melihat wajahku. Mereka melambaikan tangan, membiarkanku lewat.
Aku tidak menghentikan kecepatan melintasi pelataran dermaga yang licin. Belasan kapal pesiar kecil tertambat, bergoyang anggun. Lampu di sepanjang dermaga menerangi dinding luar dan tiang-tiang kapal. Sisanya lengang, hanya debur ombak memukul dermaga. Angin bertiup pelan, bulan sabit menghias langit. Pasifik tertambat paling ujung. Mataku segera membesar melihat kapal itu. Aku berhenti persis di buritan, loncat dari motor, dengan cepat naik ke atas kapal.
Pak Thom. Kadek yang lebih dulu menyapaku. Aku sedikit tersengal, menatap ruang tengah kapal tempat biasa berkumpul. Ada Om Liem, tidur di salah satu sofa, selimut"nya berantakan.
Di mana Opa" aku menyergah.
Easy, Pak Thom, Opa di kamar. Opa baik-baik saja, sedang beristirahat. Mungkin dia sedang bermimpi indah naik kapal, mengungsi dari negeri Cina puluhan tahun silam. Kadek menyengir.
Aku mengembuskan napas lega, mengabaikan gurauan Kadek. Astaga, ini kabar terbaik yang kudengar seminggu terakhir, mengalahkan apa pun. Aku menunduk, masih berusaha mengendalikan napas.
Selepas menelepon Pak Thom, saya memutuskan untuk segera mencari bantuan. Kadek berbaik hati menjelaskan dan mengambilkan teko air dari kulkas. Daripada harus ke dermaga yang masih sembilan kilometer, butuh waktu lima belas menit, melintas di perairan Kepulauan Seribu, menekan sirene kapal, menyalakan lampu darurat, meminta perhatian mereka. Setiap kapal besar pastilah membawa obat-obatan.
Kadek menuangkan air ke dalam gelas. Tebakan saya benar, Pak Thom. Bukan hanya insulin, bahkan di atas kapal itu juga ada dokter yang bertugas. Opa segera mendapat pertolongan.
Aku menerima gelas air segar dari Kadek, menghabiskannya sekaligus, ikut menyengir lega. Kau memang selalu bisa di"andalkan, Kadek.
Kadek tertawa kecil. Bukankah Pak Thom sendiri yang berpesan, saya jangan panik, saya tetap terkendali, saya selalu berpikir jernih. Nah, saya mendapat pencerahan dari pesan itu. Pak Thom-lah yang secara tidak langsung menyelamatkan Opa.
Aku menepuk-nepuk bahu Kadek, menatapnya penuh respek.
Setelah memberikan pertolongan, dokter kapal itu menyarankan agar kami kembali ke darat segera, Opa butuh istirahat. Setelah saya timbang-timbang, benar juga, itu jauh lebih penting dibanding terus mengambang di laut, menghindar dari kejaran orang seperti perintah Pak Thom sebelumnya. Semoga Pak Thom tidak marah melihat kapal ini merapat di dermaga. Dari tadi saya menelepon nomor Pak Thom untuk memberitahukan, sekaligus khawatir Pak Thom menunggu terlalu lama di dermaga dengan alat suntik insulin, tapi tidak ada nada sambung. Telepon genggam Pak Thom mati" Kehabisan baterai"
Telepon genggamku diambil orang, Kadek. Diambil maling besar, aku menjawab sekenanya. Tentu saja aku tidak keberatan kau kembali merapat, kau selalu mengambil keputusan yang Kadek menatapku riang.
Omong-omong, kapal besar apa yang memberikan pertolongan" Kapal pesiar Star Cruises" Aku mengambil teko air di atas mini bar.
Kadek menggeleng, menyeringai. Bukan, Pak Thom. Kapal kontainer" Atau tanker minyak raksasa" Aku menebak lagi, sambil mengisi gelas kosong. Itu pastilah kapal besar yang penting hingga punya dokter sendiri.
Bukan, Pak Thom. Kapal armada tempur angkatan laut. Mereka sedang persiapan latihan perang dua-tiga hari ke depan di Laut Cina Selatan. Dokter militer yang membantu Opa. Astaga, aku hampir tersedak.
Kadek menyengir. Easy, Pak Thom, mereka tidak tahu siapa Opa. Saya karang-karang saja bahwa Opa warga negara Singapura yang sedang melaut dan tiba-tiba jatuh sakit. Om Liem mem"bantu dengan menceracau berbahasa Cina. Mereka tidak banyak tanya lagi. Tidak ada yang bisa berbahasa Cina. Hanya dokternya yang pandai berbahasa Inggris.
Aku meletakkan gelas, menggeleng perlahan. Entahlah, hendak tertawa atau menepuk dahi. Kadek ternyata jauh lebih lihai di"banding yang kuduga atau boleh jadi dia sama seperti Maggie, bertahun-tahun bekerja denganku, jadi ketularan akal bulusku.
Ruangan tengah kapal lengang sejenak.
Kau sudah kembali, Tommi" Om Liem menyapa. Dia menggeliat di sofa. Selimutnya terjatuh. Dia sepertinya terbangun karena percakapan kami.
Aku menoleh. Kau sudah bangun" Kenapa kau tidak tidur di kamar, hah" Bukankah Kadek sudah menyiapkan kamar"
Om Liem tidak mau, Pak Thom. Sejak tadi dia dudukduduk saja di ruang tengah, hingga ketiduran, Kadek yang menjawab lebih dulu.
Sama saja, Tommi. Di kamar aku tidak bisa tidur nyenyak, ada banyak yang melintas di kepala orang tua ini. Lebih baik duduk di sini, di ruangan yang luas, Om Liem menjawab pelan. Dari mana saja kau" Terlihat kusut sekali" Seperti habis dipukuli banyak orang"
Jangan tanya. Setengah jam lalu aku baru kabur dari penjara. Masih beruntung aku tidak memakai seragam tahanan, aku menjawab sekenanya.
Om Liem menatapku sejenak, lantas tertawa pelan. Orang tua ini sepertinya lebih menyukaimu waktu kecil, Tommi. Dulu kau selalu pandai melucu dan menyenangkan orang tua.
Aku tidak menjawab, sudah melangkah menuju kamar, hendak melihat Opa.
Oh iya, tadi ada kabar dari Ram, dia bilang Tante baik-baik saja, sudah boleh pulang ke rumah. Mungkin berita ini bisa mengurangi sedikit dari banyak urusan yang melintas di kepalamu. Aku sempat menoleh pada Om Liem, sebelum mendorong pintu kamar.
Om Liem diam sejenak, mencerna kalimatku, lantas mengangguk. Terima kasih untuk kabarnya, Tommi. Sungguh terima kasih. Ini bahkan bisa mengurangi separuh kecemasanku sepanjang hari.
Aku tertegun sejenak. Seperti bisa menatap wajah Papa dari Tante. Wajah seorang ayah yang selalu menyayangi anak-anaknya terlepas dari seberapa jahat dia pada dunia. Wajah orang yang selalu kurindukan sejak usia enam tahun.
Om Liem menyeka ujung matanya. Aku bergegas menutup pintu kamar.
*** Aku tetap berada di kapal hingga pukul lima pagi.
Aku menelepon Maggie, memastikan dia baik-baik saja. Aku sedang dalam perjalanan menuju kantor, Thom. Jangan tanya aku pulang jam berapa tadi malam. Hei, kau pakai nomor telepon baru" Hampir saja tidak kuangkat, curiga ada polisi atau malah agen FBI mencariku, dia mengomel.
Aku mengangguk, tidak berkomentar apalagi bertanya. Yang paling penting Maggie tidak telanjur menghubungi telepon genggamku yang dikuasai dua orang itu. Maggie baik-baik saja.
Kau bisa mencari kontak ke beberapa orang, Mag" Juga beberapa dokumen tambahan yang kuperlukan. Aku mulai merinci apa yang harus dia kerjakan.
Astaga, Thom, aku sedang mengemudi. Tidak bisakah kau me"ngirimkan e-mail" Dan asal kau tahu, aku terpaksa memutar jalan, lewat belakang gedung. Jalan protokol ditutup, car free day. Alangkah banyak sepeda melintas di hadapanku, dengan wajahwajah riang, berlibur, berolahraga, berkeringat, Maggie me"nyahut sebal.
Aku lagi-lagi mengangguk, tidak berkomentar.
Baik. Akan segera kukirim e-mail, Mag. Terima kasih ba-Semburat merah muncul di kaki langit timur. Matahari terbit. Aku duduk sendirian di geladak depan kapal. Kadek berbaik hati menyediakan segelas kopi panas beserta peralatan kerja yang selalu tersimpan di kapal. Lima menit aku menulis e-mail untuk Maggie, mengklik tombol send.
Masih terlalu pagi. Tetapi beberapa kapal beranjak keluar dari dermaga, penumpangnya melambai. Hari Minggu, ada banyak pemilik kapal yang memutuskan berlayar, meski jarak pendek. Mereka membawa peralatan mancing atau sekadar bekal makan siang, lantas menuju salah satu pulau. Itu sudah lebih dari menyenangkan. Maggie benar, wajah-wajah riang, berlibur, berolahraga, dan berkeringat.
Aku meraih telepon genggam, teringat sesuatu, menelepon Julia.
Suara Julia terdengar serak, dia sepertinya terbangun oleh teleponku.
Kau tidur jam berapa semalam" aku basa-basi bertanya. Julia tertawa kecil, menguap. Kau tahu, Thom, terakhir kali pertanyaan ini kudengar, itu berasal dari pacarku dua tahun lalu. Sebulan setelah itu, kami berpisah.
Aku ikut tertawa, menatap permukaan laut yang beriak pelan, mengilat oleh cahaya matahari pagi, melanjutkan basa-basi percakapan. Apa yang terjadi" Dia selingkuh"
Tidak, dia tipikal lelaki yang setia. Aku yang bosan, karena setelah itu dia seperti mendapat inspirasi gila, memutuskan setiap pagi meneleponku, bertanya, Kau tidur jam berapa semalam, honey" Apakah tidurmu nyenyak, honey" Mimpi indah" Merusak hidupku dengan menjadi jam beker.
Kau sudah mendapatkan jadwal audiensi dengan menteri, Julia" Aku memotong tawa.
Julia terdengar menggeliat, menggerutu. Tentu saja. Jam berapa"
Astaga, Thom, maksudku, tentu saja kau tidak seperti pacarku itu. Aku tahu kau meneleponku hanya untuk memastikan jadwal yang kauminta, tidak lebih, tidak kurang. Sejak dari London aku sudah tahu, kau jelas bukan lelaki yang romantis. Kalaupun ada jejak romantisme dalam potongan yang amat kecil di kepalamu, segera kau membuangnya jauh-jauh. Fokus, Julia. Jam berapa" aku memotong kalimatnya. Pukul sebelas nanti siang, Sir. Di kantornya. Puas" Julia berseru.
Aku tertawa. Terima kasih, Julia. Dan satu lagi sebelum telepon ini kututup, kau jelas keliru. Bukankah kubilang di atas pesawat penerbangan dari London, jika kau tertarik tentangku, kita bisa diskusikan hal itu di lain kesempatan. Mungkin sambil makan malam yang nyaman.
Julia mengeluarkan suara puh pelan.
Aku masih tertawa sambil mengucap salam, memutus percakapan.
Aku melirik jam di layar laptop. Sekarang hampir pukul enam pagi, masih lima jam lagi sebelum pertemuan penting itu. Aku kembali menulis e-mail untuk Maggie, teringat bahwa semua data paling mutakhir tentang Bank Semesta tertinggal di rumah peristirahatan Opa, meminta Maggie menyiapkan beberapa salinan di kantor. Aku membutuhkannya. Waktuku semakin sempit, hanya 26 jam lagi sebelum Senin stabilitas sistem keuangan, ada satu bidak superpenting yang harus kuamankan.
Aku menyisir rambut dengan jemari. Sebelum sore berganti malam, sebelum rapat komite memutuskan, aku harus sudah memastikan bidak superpenting ini bisa meng"inter"vensi di detik terakhir.
Kau mau bergabung sarapan dengan kami, Tommi" Aku menoleh. Opa dengan tongkat di ketiak berdiri di pintu menuju geladak, tersenyum.
Kadek membuat nasi goreng spesial, Tommi. Kau pasti suka. Semakin lama, kupikir masakan Kadek sama lezatnya dengan masakan mamamu dulu.
Aku balas tersenyum, mengangguk, menutup laptop, bangkit dari kursi.
Apa salahnya sarapan sebentar bersama Opa" Setelah kejadian tadi malam, rasa cemas Opa tidak tertolong. Apa salahnya aku menghabiskan waktu setengah jam untuknya" Besok lusa kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi. Entah apakah Bank Semesta dan grup bisnis Om Liem hancur lebur, entah apakah pemerintah memutuskan memberikan dana talangan dan Om Liem terpaksa menyerahkan sebagian besar bahkan seluruh sahamnya, setidaknya pagi ini aku punya waktu berharga bersama orang-orang yang juga amat berharga. Sejak Papa dan Mama hangus terbakar bersama rumah kami puluhan tahun silam, hanya Opa dan Tante yang kumiliki.
Kecil sekali keluarga kami. Itu pun tetap kecil meski sudah menghitung Om Liem.
Aku membantu Opa melangkah menuju dapur, dan segera UARA sendok terdengar di antara lenguh kapal yang meninggal"kan dermaga.
Mereka berdua sudah merencanakan ini sejak lama, Opa. Aku menatap Opa lurus. Situasinya sama dengan puluhan tahun lalu. Bahkan nyaris serupa, ada sesuatu yang rasa-rasanya ganjil. Ada potongan yang hilang, tidak pernah terjelaskan.
Opa balas menatapku, meletakkan sendok. Nasi goreng spesial buatan Kadek masih tersisa separuh di atas piring. Ganjil seperti apa, Tommi"
Aku belum tahu, Opa. Yang aku tahu, mereka tidak sepintar itu. Walaupun amat berkuasa, mereka juga tidak sekuat yang me"reka bayangkan. Pasti ada orang lain di belakang mereka.
Opa menggeleng perlahan. Aku sudah terlalu tua untuk berimajinasi sepertimu, Tommi. Maksudku, imajinasi dalam artian positif, mengerti kaitan masalah, sambung-menyambung sebuah penjelasan. Aku hanyalah pemain musik amatir. Sejak dulu aku sudah bilang pada Liem dan papamu, Edward. Cukup. Keluarga kita sudah lebih dari diberkahi dewa-dewa. Bahkan kapal yang indah ini, tidak terbayangkan waktu aku masih berdesak-desakan di kapal kayu bocor, mengungsi, mencari dunia yang lebih baik. Boleh jadi kau benar, mereka sekali lagi memang hendak berniat jahat pada keluarga kita. Boleh jadi kau juga benar soal ada orang lain di belakang mereka, yang lebih jahat, lebih kuat, menginginkan semua perusahaan keluarga. Maka semua ini seperti tidak ada ujungnya, bukan" Bukankah Liem, Edward, dan aku sendiri juga tamak" Seharusnya kita berhenti sejak arisan berantai itu, seharusnya aku bilang tidak pada Liem sejak lama, maka boleh jadi keluarga kita tetap utuh. Papamu, mamamu, boleh jadi bisa duduk di salah satu kursi, ikut sarapan bersama.
Meja makan lengang, ombak membuat kapal bergerak pelan. Udara laut di pagi hari terasa kering. Sudah lama sekali Opa tidak ikut berkomentar dalam urusan keluarga. Kalimat panjangnya barusan bahkan membuatku menelan ludah, urung bertanya beberapa hal tentang kejadian masa lalu yang mungkin bisa jadi petunjuk masa sekarang.
Ternyata kau tidak bergurau, Tommi. Setelah satu menit melanjutkan sarapan, Om Liem yang pertama kali memecah debur ombak. Kau sungguhan baru saja keluar dari penjara. Apa kabar mereka berdua" Letnan Satu Wusdi dan Jaksa Muda Tunga itu"
Aku tertawa hambar. Mereka sehat. Bahkan lebih sehat dibanding kau. Tidak ada yang berubah dengan mereka. Tapi ibarat foto, warnanya semakin cemerlang, piguranya semakin gagah. Aku amat mengenali suara mereka saat menghunjamkan Om Liem terdiam, menelan ludah. Opa menghela napas. Kami sudah hampir lima belas menit sarapan. Setelah semua duduk di kursi, Kadek membagikan piring nasi goreng yang mengepul, menguarkan aroma lezat, lantas dia cekatan mengisi gelas dengan teh hangat. Sarapan dimulai. Opa bertanya dari mana saja aku sepanjang malam. Aku menceritakan berbagai kejadian, termasuk reuni dengan bintang tiga polisi dan jaksa senior itu.
Satu-dua burung camar memekik nyaring.
Cepat atau lambat, mereka akan menemukan kita. Di masa lalu, mereka berdua tidak akan pernah berhenti sebelum tujuan mereka berhasil, bahkan dengan cara-cara paling licik sekalipun. Om Liem bersandar pelan, setelah tawaku reda.
Ya, kali ini aku sepakat denganmu. Mereka tidak akan pernah berhenti. Aku mengangguk. Selain pertanyaan siapa orang kuat di belakang mereka berdua, masih ada hal lain yang perlu dicemaskan.
Om Liem dan Opa menatapku.
Ada pengkhianat di antara kita, aku berseru datar. Astaga! Kau tidak sedang bergurau, Tommi" Om Liem hampir ter"sedak.
Aku menggeleng, menatap tajam Om Liem. Bukankah itu jelas sekali. Kau seharusnya bisa menyimpulkan sendiri. Ada yang memberitahukan banyak hal kepada dua orang itu, menjadi mata-mata. Pengkhianat itu boleh jadi orang-orang yang kaupercayai selama ini, letnan bisnis yang kaumiliki. Om Liem menepuk pelipisnya, tidak percaya. Opa menggeleng. Kau berlebihan, Tommi. Kau keliru. lebihan. Ada pengkhianat di antara kita. Jadi, sebelum waktu membuka wujud aslinya, lebih baik semua orang yang ada di kapal ini berhati-hati.
Astaga, Tommi, kau membuat situasi semakin rumit dengan berprasangka buruk ke orang-orang yang selama ini dekat dengan keluarga atau perusahaan. Opa mengetukkan tongkatnya ke lantai kapal. Kau tidak mungkin menuduh Kadek misalnya, atau Ram, atau siapa saja orang kepercayaan Om Liem.


Negeri Para Bedebah Karya Tere Liye di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku menggeleng. Aku tidak menuduh Kadek, Opa, tentu saja, karena aku tahu persis siapa dia. Tetapi orang lain, orangorangnya dia, mana aku tahu.
Apa alasannya, Tommi" Buat apa mereka berkhianat" Aku tidak tahu, Opa. Mereka tidak perlu alasan besar untuk melakukannya. Sedikit janji manis, iming-iming, itu sudah lebih dari cukup bagi seorang pengkhianat bahkan untuk menusuk balik induk semang, orang yang selama ini membantu, memberikan kesempatan, membesarkannya, aku menjawab kalimat Opa dengan intonasi datar.
Opa menatapku lamat-lamat, menghela napas.
Dapur kembali lengang, menyisakan suara televisi yang samarsamar. Kadek masih dengan celemek di dada sedang menyiapkan menu penutup sarapan, roti kecil yang lezat.
Aku menatap televisi mungil yang terpasang di atas tiang. Mereka sedang menyiarkan berita pagi, liputan menteri yang dikerumuni banyak wartawan.
Aku meraih remote, tertarik, membesarkan volume televisi. Ibu Menteri, kapan komite akan memutuskannya" Salah satu wartawan menyeruak, mikrofon terjulur ke depan, lampu Besok pagi. Keputusan diselamatkan atau tidak, semua ada di tangan komite. Kami sedang mengumpulkan ba"nyak data dan informasi, besok pagi baru akan diputuskan apa"kah akan ada rapat komite stabilitas sistem keuangan... Apa" Ya" Dengan wajah khasnya yang berpendidikan tinggi, Ibu menteri berusaha men"jawab santai pertanyaan yang mengepung. Salah satu wartawan sudah memotong, mendesak.
Belum tahu. Jika situasinya terus memburuk, kecemasan me"ninggi, rapat komite bisa dilakukan kapan saja. Kami sudah punya beberapa data, bank sentral bilang setidaknya membutuh?"kan dana 1,3 triliun untuk menalangi Bank Semesta. Ya" Tidak sekaranglah, ini pukul sebelas malam. Menteri tersenyum, terus melangkah, ajudannya berusaha membuka jalan menuju mobil.
Aku bergumam pelan, 1,3 triliun, sepertinya Erik dan sobat dekatnya di bank sentral melakukan tugas dengan baik. Itu angka pembuka yang baik, lebih rendah dari yang kuminta, 2 triliun. Angka ini kecil saja dibandingkan risiko dampak sistemis, siapa pun akan tutup mata jika angkanya hanya sebesar itu. Nanti malam, atau kapan saja rapat dilaksanakan, Ibu Menteri pasti pening ketika melihat angka yang ada berkali-kali direvisi oleh otoritas bank sentral dan situasinya mendesak, kadung harus diputuskan.
Tidak ada. Tidak ada laporan seperti itu. Ibu menteri menggeleng, menanggapi pertanyaan berikutnya, tetap tersenyum meski sepertinya dia bekerja keras sepanjang hari ini. Bank sentral hanya melaporkan rasio kecukupan modal terus turun be"berapa minggu terakhir, melebihi ambang batas yang dipertapi kami belum menerima laporan bahwa Bank Semesta bobrok, pemilik"nya jahat, atau melakukan kecurangan.
Aku bergumam lagi, sepertinya Erik dan temannya bahkan sekarang terlalu serius mempermanis laporan paling mutakhir Bank Semesta. Layar televisi sejenak masih memperlihatkan belasan wartawan yang terus mendesak dan ajudan menteri yang berhasil menyibak kerumunan. Ibu Menteri bergegas melangkah masuk ke mobil. Pintu ditutup segera. Dia melambai me"ninggalkan halaman depan kantornya. Layar televisi kembali ke pembawa acara.
Aku mengusap rambut dengan telapak tangan. Itu pernyataan menteri tadi malam, setelah konferensi pers yang juga dihadiri Julia. Pembawa acara yang selalu cantik dan tidak beperasaan itu bahkan dalam berita paling buruk sekalipun dia tetap semangat siaran sudah asyik berbicara dengan pengamat eko"nomi terkemuka, membahas berbagai kemungkinan. Aku sudah memindahkan saluran ke televisi lain, loncat satu per satu, me"meriksa headline berita pagi mereka. Aku menyeringai tipis. Pertemuan kecil dengan belasan wartawan senior dan kepala editor di salah satu restoran kemarin berhasil. Pagi ini semua orang sibuk membicarakan kemungkinan dampak sistemis.
Koran pagi yang dilemparkan loper ke kapal juga dipenuhi berita sama. Padahal pertanyaan yang paling penting, yang justru seolah lupa mereka bahas adalah: di mana pemilik Bank Semesta sekarang" Di mana Om Liem" Tidak ada yang si"buk memuat"nya, walau sepotong paragraf. Mereka lebih sibuk membahas tentang kalimat sakti: bahaya dampak sistemis.
bernanah, barulah orang-orang sibuk memuat pernyataan salah satu pejabat negara yang bilang seharusnya Om Liem segera dijebloskan ke dalam penjara. Dua orang bedebah itu sepertinya berhasil melokalisir isu pelari"an Om Liem dan kami selama ini menjadi agenda pribadinya saja, belum ada wartawan yang tahu. Mereka leluasa sekali memanfaatkan institusinya demi kepentingan pribadi.
Aku menghabiskan teh di dalam gelas, berdiri, sudah setengah jam, waktuku habis.
Kau hendak pergi lagi, Tommi" Opa bertanya. Aku mengangguk. Ada banyak hal yang harus kukerjakan. Selalu hati-hati, Tommi, Opa berpesan.
Aku mengangguk, mendekati Kadek.
Terima kasih atas sarapan lezatnya, Kadek. Aku menitipkan lagi mereka berdua padamu, hidup atau mati. Aku menepuk bahu Kadek, hendak melangkah menuju buritan kapal.
Telepon satelit Kadek lebih dulu berdering kencang sebelum Kadek menjawab kalimatku. Dia bergegas meraih telepon yang tergantung di dinding. Berbicara sejenak.
Pak Thom! Kadek berseru.
Aku yang sudah di ruang tengah kapal terhenti, menoleh. Ada satu mobil penuh dengan polisi berseragam tempur merapat di pos jaga dermaga! Kadek berseru, suaranya bergetar. Mereka mencari Om Liem, Opa, dan Pak Thom.
Astaga! Aku menatap Kadek, memastikan dia tidak sedang mabuk laut.
Petugas pos jaga bilang mereka sedang berusaha menahan mo"bil polisi memasuki dermaga, tapi mereka tidak akan ber"tahan Aku meremas jemari, cepat sekali mereka menemukan posisi kami, sepertinya petinggi polisi itu sudah bangun, dan menyadari tahanannya kabur. Bergegas, Kadek! Lepaskan ikatan kapal. Aku akan segera menghidupkan mesin, memegang kemudi, kita ber"layar! Kabur!
Tanpa perlu menunggu diteriaki dua kali, Kadek langsung melempar"kan telepon satelitnya, berlari tangkas menuju buritan kapal.
SIAKU masih sepuluh tahun saat mengantar botol susu untuk terakhir kalinya.
Sepedaku menikung masuk ke jalan menuju rumah, bersenandung riang karena seluruh botol susu yang kubawa habis, ditukar dengan botol kosong oleh tetangga yang membeli. Suara botol beradu di kotak belakang sepeda terdengar bergemerencing, membuatku menyeringai. Biasanya Mama akan memberiku uang jajan tambahan. Aku perlu banyak uang untuk membeli bukubuku yang kusuka.
Sayangnya tidak ada lagi uang jajan dari Mama. Persis habis tikungan, mendongak ke depan, bersiap mengayuh pedal sepeda secepat mungkin seperti yang aku biasakan, ngebut, aku menatap bingung kerumunan. Masih enam ratus meter, tapi asap hitam terlihat mengepul tinggi. Sirene mobil pemadam kebakaran dan teriakan orang terdengar nyaring bersahut-sahutan. Dan sebelum sempat aku bergumam ingin tahu, sepedaku sudah disambar Aku berseru kaget, hampir terbalik. Jangan ke sana, Thomas. Jangan ke sana.
Dua, tiga, empat orang sudah menarikku masuk ke gang sempit. Wajah-wajah cemas, wajah-wajah takut.
Aku balas menatap mereka, bingung, apa yang telah terjadi" Kenapa aku tidak boleh pulang" Salah satu dari mereka justru menangis, memelukku erat-erat, berbisik, Bersabar, Nak. Tuhan sungguh sayang pada orang yang sabar.
Sejak hari itu, bagai kapal berputar haluan, kehidupanku berubah seratus delapan puluh derajat.
Terlepas dari ambisi besar Om Liem dan Papa Edward, caracara mereka berbisnis yang sering kali tegas dan keras, seluruh tetangga menyayangi keluarga besar kami, terutama Mama. Bagi kebanyakan keluarga yang tinggal di dekat rumah sekaligus gudang tepung terigu kami, Mama adalah segalanya. Mama memberi mereka pekerjaan, membantu anak-anak sekolah, me"ngirimkan dokter jika ada yang sakit, memberikan bingkisan setiap hari besar, dan tidak terhitung botol susu serta makanan yang kubagikan.
Merekalah yang mati-matian menahanku sampai malam. Ketika halaman rumah kami benar-benar sepi dari orang. Karena aku terus berteriak, mendesak, bertanya apa yang telah terjadi, dini hari, beberapa tetangga dengan membawa senjata, berjagajaga, mengantarku ke sana. Aku hanya bisa jatuh terduduk, menatap gentar puing hitam yang ditimpa cahaya sepotong bulan. Satu-dua bara masih menyala, terlihat merah, terdengar bergemeletuk pelan. Aku membeku.
Aku sungguh tidak menangis, tidak berteriak, hanya menatap Kejam sekali kehidupan. Kejam sekali orang-orang itu. Persis saat matahari pagi menerpa kota, setelah tetangga berembuk satu sama lain memastikan Papa dan Mama seratus persen telah meninggal, ikut terbakar, kabar Opa dan Tante yang berhasil lari tetapi tidak diketahui ke mana, berusaha menghubungi Om Liem yang juga tidak jelas di mana, apakah masih di pelabuhan, atau entahlah mereka akhirnya memutuskan mengirimku pergi ke kota lain. Ada kenalan yang menjadi pengajar di sekolah untuk anak-anak yatim-piatu. Itu pilihan yang paling aman, karena banyak petugas, dan orang-orang tidak dikenal masih berusaha mencari anggota keluarga kami yang tersisa. Wajah-wajah sangar dan penasaran.
Aku diberikan bekal sekotak roti, tas ransel berisi pakaian, hasil patungan tetangga.
Satu-dua ibu-ibu tetangga memelukku, menangis, berbisik tentang esok lusa semua akan kembali baik, esok lusa semua akan pulih, janji-janji masa depan. Aku mengangguk datar, bilang, Saya akan baik-baik saja, Ibu. Dan mereka tambah keras menangis. Aku diantar ke stasiun kereta, membawa se"lembar tiket, duduk rapi, menatap rumah-rumah, bangunan, dan pohonpohon berbaris seiring roda baja kereta berderak be"rangkat.
Satu hari sejak kejadian, aku resmi tinggal di sekolah berasrama.
Meninggalkan jasad Papa dan Mama yang menjadi abu. Pengajar sekolah berasrama menghapus riwayat hidupku. Tidak ada lagi nama keluarga di namaku. Hanya satu kata Thomas, isian berikutnya hanya: anak yang ditemukan di jalanan, tidak di"ketahui bapak-ibunya.
tingkat, berbagi kamar dengan belasan anak lain. Kabar baiknya, sekolah berasrama itu hebat, aku pu"nya teman senasib.
Enam bulan kemudian aku membaca kabar bahwa Om Liem di"penjarakan. Beritanya ada di koran, nyempil di halaman dalam, tidak mencolok. Satu tahun berlalu, aku tetap tidak tahu kabar Opa dan Tante.
Usiaku dua belas, barulah aku tahu kabar mereka. Waktu itu aku baru saja selesai ujian akhir. Guru pengawas bilang ada seseorang yang ingin bertemu, mendesak, mengizinkanku meninggalkan kelas sebentar. Aku berjalan ragu-ragu menuju ruangan kepala sekolah. Dua tahun terakhir, aku selalu cemas bertemu dengan orang asing. Jangan-jangan mereka orang jahat yang dulu membakar rumah kami.
Pintu ruangan kepala sekolah dibuka, Tante berdiri dengan mata berkaca-kaca. Aku tertegun. Tante sudah loncat, memeluk"ku erat-erat, menangis. Tante bilang, dia, Opa, bibi, semua yang berhasil lari pindah ke Jakarta. Dengan uang tabungan milik Opa, dibantu karyawan gudang yang masih setia, mereka me"ngontrak rumah dan memulai bisnis baru. Tante menceritakan banyak hal, membuatku terdiam lima belas menit kemudian.
Tetapi aku menggeleng saat Tante mengajakku pulang. Inilah keluarga baruku sekarang. Sekolah berasrama. Aku akan menamatkan sekolah di sini. Melupakan banyak hal. Lebih dari tiga kali seminggu kemudian, Tante bolak-balik ke sekolah, membujukku. Di kunjungan ketiga, dia datang bersama Opa, bibi, semua orang-orang yang kukenal, berusaha membujuk. Jawabanku tetap tidak.
Opa tersenyum, mengacak rambutku yang tidak pernah kudua kali ber"kunjung?"lah melihat kami, Tommi. Opa akan senang sekali jika kau melakukannya.
Aku mengangguk mantap. Hanya Tante yang terus keberatan. Dia masih terus mengunjungi setiap bulan, membawa pakaian, makan"an, apa saja yang membuatku nyaman tinggal di asrama. Bagiku, dia menjadi pengganti Mama yang baik.
Di penghujung tahun ketiga, libur panjang, dengan membawa ransel aku pergi ke rumah Opa. Itu kunjungan pertama. Bukan rumah yang di Jakarta, tapi yang di Waduk Jatiluhur.
Kau benar-benar berubah, Tommi. Opa memelukku, amat riang dengan kedatanganku. Maksud Opa, lihatlah, kau ternyata telah memotong rambut. Opa pikir kau akan terus membiarkan rambutmu tumbuh berantakan sejak kejadian itu. Aku tersenyum, menatap wajah Opa yang semakin tua. Sepanjang hari dia mengajakku melakukan apa saja. Belajar menyetir mobil aku membuat mobilnya menggelinding masuk ke dalam waduk belajar mengemudi speedboat, duduk mencangkung di atas kapal nelayan, memancing, atau duduk meluruskan kaki di belakang rumah sambil memainkan klarinet. Ter"tawa, bergurau, dan tentu saja kebiasaan buruk Opa, me cerita?"kan masa mudanya, persis seperti kaset rusak. Mem"bahas bisnis baru Opa yang maju pesat sebenarnya dia jauh lebih pandai berbisnis dibanding memainkan alat musik.
Saat ulang tahunku yang kedelapan belas, Opa menghadiahkan mobil balap itu. Aku tidak datang, bilang sedang ujian akhir. Alasan sebenarnya adalah: Om Liem sudah keluar dari penjara, bergabung kembali dengan keluarga. Aku tidak mau bertemu dengannya. Aku hanya berkunjung ke rumah peristirahatan Opa Usia dua puluh dua, satu minggu sebelum keberangkatanku kuliah di sekolah bisnis, Opa memintaku menemaninya pergi ke Pelabuhan Sunda Kelapa.
Ini kapalmu, Tommi. Opa terkekeh saat melihatku bi"ngung. Aku menoleh, bolak-balik, ke wajah Opa dan ke kapal besar yang me"rapat anggun di dermaga.
Kau boleh memberinya nama apa saja, Tommi. Aku menelan ludah. Opa tidak sedang bergurau, bukan" Opa tertawa lagi.
Opa selalu baik padaku. Meski Papa dulu berkali-kali memaksakan pemahaman bahwa tidak ada hadiah untuk Tommi kalau dia tidak bekerja keras di rumah, Opa selalu mem"beriku hadiah spesial, amat dermawan.
Berapa usiamu sekarang" Dua puluh dua, bukan" Waktu Opa seusiamu sekarang, Tommi, Opa persis berada di perahu kayu yang sempit, terombang-ambing melintasi lautan bersama belas"an pengungsi, berusaha mencari negeri yang lebih baik.
Aku mengangguk. Opa sepertinya kembali bercerita tentang masa lalunya.
Lihatlah, kau jauh bernasib baik, anakku. Kau tumbuh menjadi anak muda yang pintar, gagah, penuh kesempatan. Apa nama sekolah bisnismu itu" Astaga, Opa dengar, hanya orangorang paling pintar di dunia yang bisa sekolah di sana.
Aku tertawa pelan, tidak menanggapi gurauan Opa, konsentrasi mengemudi kapal.
Waktu itu, suara Opa terdengar pelan, sedikit bergetar, Opa tidak takut mati, Tommi.
Aku menoleh, sepertinya ada yang berbeda dengan cerita Opa Apa pula yang harus ditakutkan anak muda yatim-piatu, miskin, mengungsi dari perang saudara dan kemiskinan di daratan Cina seperti Opa" Mati boleh jadi pilihan terbaik. Semua orang di dalam perahu nelayan itu juga tidak takut mati. Kami senasib sepenanggungan. Berjudi dengan masa depan.
Opa diam sejenak, menatap bintang-gemintang. Kapal yang kukemudikan maju perlahan, membelah ombak, terus menuju perairan Kepulauan Seribu.
Badai, perahu kayu bocor, melintasi kapal perang Belanda, ditembaki, kehabisan bekal dan air minum, semua biasa saja. Itu makan"an sehari-hari. Rasa-rasanya tidak ada cerita seram tentang lautan yang membuat kami gentar. Hingga suatu hari, salah satu nelayan yang membantu kami mengungsi bercerita. Itu sungguh sebuah cerita yang membuat bulu kuduk merinding.
Aku menoleh pada Opa, membiarkan kemudi terlupakan bebe"rapa detik.
Opa bahkan masih merinding saat mengingatnya, Tommi. Opa mengusap wajahnya.
Di luar kelaziman, aku kali ini benar-benar menunggu kalimat berikut Opa, persis seperti pencinta cerita bersambung di korankoran yang tidak sabaran.
Sial! Opa ternyata hanya terkekeh, melambaikan tangan, kembali dengan takzimnya menatap gelap yang menyelimuti lautan.
SIAKU dua puluh empat, kembali dari sekolah bisnis, Opa sudah menunggu di bandara.
Kita harus merayakan ini, Tommi. Tubuh kurus tinggi Opa memelukku.
Aku balas memeluknya, bertanya ragu-ragu, Merayakan" Opa mengangguk, menyikut pinggangku. Tenang saja. Om Liem tidak ikut serta, dia tahu diri. Hanya berdua kita berlayar menapaktilasi perjalanan Opa puluhan tahun lalu. Dengan kecepatan 30 knot per jam, setidaknya butuh satu-dua minggu. Menyenangkan, bukan"
Aku ikut tertawa untuk kalimat Om Liem tidak ikut. Sejak dulu Opa selalu ingin menghabiskan waktu bersamaku, berusaha menebus hari-hari di sekolah berasrama. Aku mengangguk, tidak ada salahnya. Sudah lebih dari belasan tahun aku tidak pernah libur panjang sungguhan, biasanya segera kembali ke buku-buku, membaca banyak hal, belajar banyak hal bahkan di hari libur.
Opa yang ikut, dua-duanya kelasi, bukan nakhoda kapal sebaik Kadek, tapi mereka jago masak dan berguna menyelesaikan pernak-pernik pekerjaan di kapal.
Belum ada namanya" Aku memukul lambung kapal yang bergerak cepat meninggalkan siluet gedung tinggi kota Jakarta yang terbungkus kabut pagi.
Opa tertawa. Ini kapalmu, Tommi. Kau yang harus memberinya nama.
Aku memperbaiki anak rambut. Angin laut menerpa wajah. Berarti sudah dua tahun kapal ini belum mengalami prosesi melempar botol sejak dikirimkan dari galangan kapal di Eropa. Aku tidak punya ide, aku menjawab pelan.
Astaga" Untuk seorang yang berpendidikan tinggi, memberi nama kapal saja kau tidak punya ide" Opa jail menyipitkan mata. Kenapa tidak kau beri nama Thomas , atau nama papamu, Edward "
Aku menggeleng perlahan. Ruang kemudi kapal lengang sejenak.
Opa ikut menggeleng pelan. Seharusnya kita tidak menyebut nama papamu dalam perjalanan ini. Maafkan Opa yang terlalu riang.
Tidak masalah, Opa. Aku menepuk bahu Opa. Nanti akan kupikirkan nama yang baik. Sesuatu yang istimewa. Oh iya, aku belum bilang terima kasih sejak dua tahun lalu, bukan" Terima kasih atas hadiah kapal yang hebat ini. Opa selalu nomor satu.
Wajah Opa kembali riang. Menjelang siang, aku membantu dua kelasi memasang layar.
kapal melaju cepat membelah ombak hingga 34 knot, terus ke utara, kecepatan penuh menuju perairan Laut Cina Selatan. Logistik penuh, peralatan navigasi canggih, dan tentu saja kapal yang tangguh. Ini perjalanan yang menyenangkan.
Jika laut sedang tenang, kami makan malam di geladak, beratapkan bintang-gemintang. Jika laut sedikit menggila, perkiraan cuaca yang kami terima di layar kapal memberikan peringatan, aku langsung memutar kemudi menuju kota terdekat, mampir di Krabi Island, Thailand, misalnya.
Hebat sekali. Opa mengusap dahi, menatap ke luar kaca jendela yang basah. Hujan deras, angin kencang, tapi kapal kami sudah tertambat kokoh di salah satu resor di perairan Krabi. Aku menoleh, duduk malas menatap lautan yang gelap. Kami dulu bahkan tidak tahu apakah akan ada badai atau tidak. Hanya mengandalkan naluri nelayan tua di kapal. Sekarang kita bahkan bisa tahu enam jam sebelumnya.
Aku mengangguk, ternyata hebat itu maksudnya. Sambil bersiap memperbaiki posisi duduk, Opa rasa-rasanya akan kembali mengulang cerita lamanya. Aku tidak pernah keberatan memasang wajah takzim mendengarkan.
Tiga hari kemudian, meskipun terhambat badai kecil di Krabi Island, kami tiba di pelabuhan kota kecil daratan Cina tepat waktu. Opa turun dari kapal dengan menumpang sekoci kecil, dan dia dengan wajah terharu menunjukkan semua potongan masa lalu yang dia ingat.
Kita bisa terus melalui jalan setapak itu, Tommi. Dulu kami sembunyi-sembunyi melintasinya, pagi buta. Opa menunjuk jalan yang ramai oleh orang-orang setempat berdagang. Kau menumpang kereta. Dua hari satu malam, kau akan tiba di Beijing, melewati kampung halaman leluhur kita. Kau mau terus hingga ke sana"
Aku tertawa, menggeleng. Itu berlebihan, Opa. Opa ikut tertawa, mengangguk.
Setelah berjam-jam puas menghabiskan waktu mengunjungi setiap jengkal kenangan masa lalu, kami berlayar pulang ke arah selatan, melewati rute yang dulu dilakukan Opa.
Setelah semua sekolah itu, kau akan ke mana, Tommi" Opa meng"ajakku bicara, di malam kesekian. Purnama menghiasi angkasa, terlihat khidmat dari atas kapal yang terus melaju.
Bekerja seperti orang kebanyakan. Aku belum menangkap arah pembicaraan, asyik menatap layar navigasi.
Maksud Opa, kau akan bekerja di mana" Kau tidak tertarik bekerja di perusahaan keluarga"
Aku menggeleng. Opa sudah tahu jawabannya, buat apa dia ber"tanya"
Kau tidak harus bekerja di perusahaan yang diurus Om Liem, Tommi. Kalian bisa mengurus perusahaan yang berbeda.
Aku tetap menggeleng. Kalian sudah lama sekali tidak bertemu, bahkan saling tegur sapa pun tidak. Opa menghela napas, menyerah. Kalau kau bekerja di perusahaan orang lain, untuk anak muda secerdas dirimu, boleh jadi kau malah membesarkan perusahaan pesaing keluarga.
Aku akan membuka kantor sendiri.
Oh, itu lebih baik. Opa senang mendengarnya.
kantor konsultan profesional. Nah, boleh jadi aku memberikan nasihat keuangan kepada perusahaan pesaing keluarga.
Opa menatapku sebentar, lantas ikut tertawa. Kalau itu sudah menjadi rencanamu, Opa tidak akan memaksa. Tapi sekali-dua, itu pun jika kau bersedia, bolehlah memberikan nasihat yang baik pada kami, terutama pada ommu. Sejak kembali mengurus bisnis, dia seperti orang kesetanan, melakukan apa saja, penuh ambisi.
Aku menyeringai. Tidak ada yang bisa menasihatinya, Opa. Dulu tidak, sekarang juga tidak.
Opa manggut-manggut setuju, menatap lurus ke lautan yang tenang sekali, bagai tak beriak. Pantulan purnama terlihat elok di permukaan laut. Kapal terus melaju stabil, lengang sejenak. Ini hari kesebelas perjalanan kami. Sudah setengah jalan melewati rute pengungsian Opa dulu.
Opa senang kau tidak tumbuh ambisius seperti om dan papamu dulu, Tommi. Opa pikir kau jauh lebih arif, kau lebih mirip dengan Opa. Opa memecah senyap suara mesin dan baling-baling kapal yang terdengar menderum samar dari balik dinding kedap suara.
Kejadian menyakitkan selalu mendidik kita menjadi lebih arif. Kau dengan kematian papa dan mamamu. Dan Opa, waktu Opa masih muda dulu, menumpang kapal kayu bocor itu, mengungsi dari perang saudara, banyak kebijaksanaan hidup yang Opa pelajari.
Aku menyengir, ini untuk kesekian kali Opa mulai bertingkah seperti kaset rusak.
Opa sungguh tidak takut mati waktu itu, Tommi. Opa terus Badai, kehabisan bekal, minum air asin, ditembaki kapal Belanda, itu semua makanan sehari-hari. Termasuk cerita-cerita seram tentang legenda lautan, itu tidak mempan. Opa menghela napas sejenak. Hingga suatu saat nelayan senior bercerita. Astaga, itu cerita paling seram yang Opa dengar. Membayangkan"nya, bahkan setelah berpuluh-puluh tahun, Opa tetap merinding.
Lengang lagi sejenak. Aku terus memegang kemudi kapal, menatap lurus.
Opa menoleh, menatapku bingung. Kau sepertinya tidak sepenasaran seperti dua tahun lalu, Tommi" Bukankah dulu kau mendesak ingin tahu"
Aku tertawa, menggeleng. Opa terlihat kecewa. Kau sungguh tidak ingin tahu lagi, Tommi" Padahal Opa sudah sengaja benar membuat variasi ini agar kau tidak bosan mendengar cerita masa lalu Opa yang ituitu saja.
Aku kembali menggeleng, menatapnya penuh penghargaan. Bukan itu masalahnya, Opa. Aku selalu senang mendengarnya, itu selalu membuatku paham masa lalu keluarga kita, tahu diri. Tetapi soal kisah seram nelayan itu, aku sudah tahu. Kau tahu" Dari mana kau tahu"
Aku menyengir. Dua tahun sekolah di luar, ada banyak yang ingin kupelajari. Termasuk PR itu, aku mencari tahu ke manamana. Buku-buku, berita, apa saja. Lama sekali aku menemukan penjelasannya. Hingga mendatangi perkampungan nelayan di pesisir, ratusan kilometer dari sekolah bisnis. Satu-dua nelayan tua di sana masih ingat cerita itu.
Opa terdiam, menyelidik, memastikan apakah aku sungguh- Lihat, laut tenang sekali. Samudra luas yang bernama Pasifik, Kedamaian . Semua nelayan amatir, pelaut pemula, selalu menilai lautan setenang dan sedamai ini berkah. Aku tahu cerita itu, Opa. Dan aku tahu itu bukan sekadar legenda, meski tidak ada penjelasannya hingga hari ini. Aku membuka tumpukan kliping berita, berpuluh-puluh kapal hilang, bahkan bukan hanya yang mengapung di lautan, yang terbang di atas juga hilang, belasan pesawat tempur, belasan pesawat komersial. Aku tahu. Opa menelan ludah. Ruang kemudi lengang sejenak. Puluhan tahun silam, setelah mendengar cerita itu, Opa takut sekali kalau perahu kayu yang tua dan bocor itu tersesat ke sana, bukan" Wilayah paling misterius di Samudra Pasifik. Cemas kalau kapal bukannya menuju tanah terjanjikan di arah selatan, malah bergerak tidak sengaja ke timur, masuk dalam perangkap tenangnya permukaan samudra. Hilang dalam catatan sejarah. Aku tahu, Opa. Tetapi dengan sistem navigasi hebat masa kini, tidak ada nelayan, nakhoda kapal, atau pilot pesawat sekalipun yang cukup bodoh melewati wilayah itu. Aku menunjuk layar kemudi, tertawa pelan. Lihat, kita ribuan kilo"meter dari sana. Terus mengarah ke selatan, jadi seratus persen aman.
Opa menghela napas. Ternyata kau sudah tahu, Tommi. Aku mengangguk.
Baiklah, Opa akan beristirahat. Sudah larut malam. Aku tersenyum, Opa beranjak keluar.
Satu lagi, Tommi. Opa sempat menoleh sebelum sempurna keluar. Kau tidak seharusnya meremehkan cerita itu walaupun kapal ini dilengkapi sistem navigasi hebat. Lautan tetaplah laut- Yes, Sir! Aku menaruh tangan di kening. Opa menutup pintu.
Itu pelayaran pertamaku. Sejak hari itu aku memutuskan mem"beri nama Pasifik pada kapal pesiar besar hadiah Opa. Kadek bergabung lima tahun kemudian. Aku banyak sekali meng"habiskan waktu di kapal ini. Dalam banyak hal, masa-masa pentingku ada di kapal ini.
Belasan tahun kemudian, seperti yang kuduga, kapal ini juga tetap menjadi saksi hebat hidupku. Pertempuran pertama yang kulakukan atas nama masa lalu.
*** Inilah pertempuran pertama itu.
Persis setelah penjaga gerbang dermaga menelepon, aku meneriaki Opa dan Om Liem agar berlindung di kamar, menyuruh mereka tiarap. Aku terus berlari menuju ruang kemudi. Kadek sudah lompat ke arah buritan.
Terlambat. Kadek baru setengah jalan melepas ikatan talitemali kapal, mobil taktis polisi sudah memasuki dermaga petugas gerbang tidak kuasa menahan mereka lebih lama lagi. Aku yang sudah berdiri di belakang kemudi kapal, bersiap menekan pedal gas sekencang mungkin jika ikatan kapal telah terlepas, melihat belasan polisi berlompatan dari mobil.
Jangan biarkan mereka lolos! Komandan mereka berteriak kencang, merobek pagi yang tenang.
Senjata-senjata teracung ke depan, mereka bergerak hati-hati mendekati kapal. Posisi mereka tinggal belasan meter dari burit- Berhenti atau kami tembak! Komandan menyambar toa, berteriak.
Kadek tidak peduli, dia terus melepas tali.
Tidak akan sempat, aku mengutuk dalam hati. Berpikir cepat, aku segera mengangkat Kalashnikova yang sempat kuambil di kamar sebelum berlari menyalakan mesin. Aku memutuskan menarik pelatuk senjata sebelum mereka menembak. AK-47 itu teracung sempurna ke rombongan polisi yang siap menyergap.
Berlindung! Salah satu anggota polisi yang melihatnya berteriak kalap.
Belum habis gema teriakannya, senjata serbu yang kudekap telah memuntahkan peluru dengan kecepatan hingga 600 butir/ menit, membuat lantai dermaga seperti ditimpa gerimis, semen lantai merekah, berhamburan bersama kelotak peluru.
Belasan polisi itu kalang kabut mencari posisi berlindung, kembali ke belakang mobil taktis. Mereka sepertinya tidak menduga akan menerima sambutan semeriah ini. Komandan polisi berteriak serak, meneriaki anak buahnya, Tembak kapal itu! Habisi mereka!
Aku mendengus. Dasar bodoh! Aku sama sekali tidak mengincar mereka. Aku hanya menyuruh mereka mundur, memberikan kesempatan pada Kadek menyelesaikan tugas.
Rahangku mengeras. AK-47 yang kupegang dengan cepat menembaki salah satu sisi mobil. Salah satu dari polisi yang sudah dalam posisi berlindung berusaha membalas tembakan. Satu lubang berhasil kututup, dua lubang lain mun"cul. Mereka mulai balas menembaki kapal. Dua-tiga peluru meng"hantam pecahan kaca. Lebih banyak lagi peluru yang mengarah ke buritan, membuat pekerjaan Kadek terhambat.
Kami kalah jumlah. Aku mengepalkan tinju. Polisi sialan ini sungguh tidak menyadari, kalau aku berniat jahat pada mereka, sejak tadi aku bisa menembaki tangki bensin mobil taktis, dan dalam hitungan detik, mereka yang berlindung di balik mobil menjadi kepiting bakar bersamaan dengan meledaknya mobil. Tetapi itu tidak bisa kulakukan. Aku menggeram, berpikir keras, aku harus bergerak cepat.
Naik ke ruang kemudi, Kadek! aku berteriak. Kadek yang masih tiarap di buritan mendongak, tidak mengerti.
Bergegas! aku menyuruh. Akan kulindungai kau! Senapanku kembali terarah ke mobil taktis, secara spartan me"nembaki setiap jengkal kemungkinan ada moncong senjata terarah pada buritan kapal.
Kadek bangkit, berlari cepat menuju ruang kemudi. Desing peluru balasan menerpa anak tangga, membuat dinding-dinding kapal merekah.
Pegang kemudinya! aku berseru, tanganku masih terus menarik pelatuk senjata.
Kadek membungkuk, memegang kemudi.
Aku mengarahkan laras panjang AK-47 ke arah bibir dermaga, menembaki tiang tempat kapal tertambat. Dua, enam, sepuluh peluru menghantamnya. Tiang beton itu roboh. Ikatan tali-temali terburai lepas.
Kadek yang mengerti apa yang kurencanakan segera menekan pedal gas bahkan sebelum tiang beton itu sempurna roboh.
Kami kabur di bawah rentetan suara tembakan polisi yang semakin lama semakin samar.
Setengah menit, kami sudah jauh. Aku menyeka pelipis, melemparkan senjata ke lantai ruang kemudi.
Kau baik-baik saja" Kadek tertawa kecil. Ini seru, Pak Thom. Saya baik-baik saja.
Aku menyeringai. Kita berlayar meninggalkan Jakarta, Kadek. Kauarahkan kapal ini ke Manila, Filipina. Jaga jarak dengan pesisir pantai seaman mungkin. Aku akan memeriksa Opa dan Om Liem di bawah, termasuk memeriksa kapal. Jika semua baik-baik saja, kau antar aku merapat ke salah satu pulau wisata yang kita lewati. Aku akan naik kapal lain kembali ke Jakarta.
Siap, Komandan. Kadek memasang gerakan hormat militer.
Aku bergegas menuruni anak tangga.
SIAKU menjelang empat belas tahun saat aku pertama kali me"ngunjungi Opa. Libur panjang sekolah, membawa ransel kecil di punggung, aku menumpang angkutan umum dari sekolah berasrama.
Malam terakhir di sana, aku dan Opa berdua menghabiskan waktu dengan duduk santai di beranda belakang, menonton televisi, acara kesayangan Opa. Acara kuis, tiga layar terpentang lebar menutupi hadiah. Satu peserta yang maju ke babak bonus menghadapi situasi hidup-mati , membawa pulang hadiah besar atau kembali dengan tangan hampa. Dialah finalis kuis.
Satu di antara tiga layar ini adalah sebuah mobil mewah terbaru. Pembawa acara memasang wajah semringah, menunjuk layar televisi besar yang segera menayangkan bentuk dan rupa mobil itu.
Penonton di studio bertepuk tangan antusias. Wajah finalis kuis menyimpul senyum.
Satu lagi adalah seekor sapi perah yang gemuk. Pembawa acara tertawa.
Penonton di studio ikut tertawa.
Ayolah, pembawa acara mengangkat bahu, saya tidak bergurau. Sungguhan seekor sapi. Kami menyediakan truk besar untuk membawanya pulang nanti.
Penonton di studio tertawa lagi, finalis kuis manggut-manggut tertawa pelan.
Aku ikut tertawa, meletakkan garpu ke atas piring pembantu rumah Opa memasak menu lezat untuk menemani malam santai. Di sekolah berasrama jangankan menonton, televisi satu pun tidak ada di sana. Terlepas dari fakta itu, aku segera mengerti, pantas saja Opa suka menonton acara kuis ini, menarik. Lihat, Opa sudah terkekeh di sebelahku.
Pembawa acara mengangkat tangan, menyuruh penonton di studio diam sejenak. Musik latar terdengar lebih cepat. Nah, sayangnya, pemirsa di rumah dan hadirin di studio, satu layar lagi, tentu saja, menutupi sebuah kotak sampah. Layar televisi besar segera menunjukkan kotak sampah berwarna kuning yang sering kalian lihat di trotoar jalanan.
Penonton di studio tertawa meski tidak sekencang soal sapi tadi.
Finalis kuis tersenyum meski senyumnya sekarang terlihat kecut.
Baiklah, mari kita bermain. Anda pilih layar yang mana, Bung" Satu, dua, atau tiga" Amat bergaya pembawa acara menawar"kan kesempatan pertama kepada finalis.
Permainan babak terakhir telah dimulai.
Anda yakin" Finalis kuis mengangguk. Baik. Kita kunci layar satu.
Hadirin di studio bertepuk tangan menyemangati. Kalau begitu, tolong dibuka layar nomor dua, layar yang tidak dia pilih, pembawa acara memberi perintah. Layar dua segera tergulung ke atas.
Aku terpingkal bersama Opa, juga bersama penonton di studio sampai melupakan wajah supertegang finalis yang merangkai doa. Di balik layar dua, sungguhan seekor sapi gemuk terlihat gelisah, moncongnya diikat rapat. Seorang peternak andal sejak tadi berdiri di sebelah sapi itu, mengelus-elus pundak si sapi, agar sapi itu diam dan tidak membuat pertanda ada seekor sapi di balik layar dua.
Bukan main. Mari kita lupakan sapi perah barusan. Permainan ini semakin menarik. Pembawa acara menghela napas.
Tersisa dua layar, Bung. Satu adalah mobil mewah terbaru. Satu lagi kotak sampah berwarna kuning. Pembawa acara mengangkat tangan, memberi tanda.
Penonton di studio kembali hening. Wajah finalis semakin tegang.
Anda sudah memilih layar nomor satu. Apakah kita akan membuka layar nomor satu sekarang"
Penonton berseru-seru antusias, mengangguk.
Pembawa acara tertawa, menggeleng takzim. Kita buat acara ini lebih menarik.
Penonton justru semakin berseru-seru antusias. Saya tidak tahu layar mana yang menyembunyikan mobil belakang studio yang tahu. Bahkan keputusan di mana mobil itu berada, baru dilakukan beberapa menit sebelum babak bonus. Nah, karena saya tidak tahu, semua orang di sini juga ti"dak tahu, saya akan memberi Anda kesempatan menukar pilih"an. Tetap di layar nomor satu" Atau pindah ke layar nomor tiga"
Aku menelan ludah, benar-benar melupakan makanan lezat di atas piring padahal makanan di sekolah asrama tidak pernah selezat ini. Mataku sempurna tertuju ke layar kaca.
Tetap di layar satu atau pindah ke layar tiga" Pembawa acara mendesak, mengulangi pertanyaan kesekian kali. Sudah dua menit berlalu tanpa keputusan.
Pindah. Terdengar jawaban mantap. Tetapi itu bukan jawaban finalis kuis. Itu suara Opa di sebelahku.
Aku menoleh, menatap wajah Opa yang terlihat begitu yakin. Kalau kau dalam situasi seperti ini, kau akan pindah, Tommi, Opa menjawab santai.
Bagaimana Opa tahu" Pindah saja. Insting.
Tapi Opa tidak tahu di mana mobilnya, bukan" Karena itulah. Ketika tidak ada yang tahu, permainan berjalan adil dan sebagaimana mestinya, maka seorang penjudi ulung, seorang petaruh berpengalaman akan memilih pindah. Kenapa" aku mendesak.
Opa terkekeh. Mana Opa tahu, Tommi. Itu hanya naluri, sekadar insting seorang petaruh.
Waktu itu umurku menjelang empat belas tahun. Aku tidak paham naluri dan insting yang dikatakan Opa meski aku tahu tanah kelahir"annya, Opa tumbuh menjadi pelaku bisnis yang hebat, petaruh sejati.
Aku baru tahu penjelasan itu di sekolah bisnis. Salah seorang guru besar, yang juga penjudi ulung di Texas pekerjaan sampingan selain akademisi memberikan kasus yang sama. Ada tiga kotak di depan kelas, di manakah yang berisi selembar tiket pesawat"
Profesor itu menunjukku, memintaku bermain. Aku menyeringai. Di bawah tatapan puluhan pasang mata peserta mata kuliah matematika bisnis tingkat lanjut yang antusias, aku sembarang menunjuk kotak. Hanya permainan memperebutkan tiket, bukan hidup-mati seperti peserta kuis sepuluh tahun lalu yang aku tonton bersama Opa.
Profesor mengangkat kotak lain yang tidak kupilih, kosong. Dia tertawa. Nah, Thomas, sekarang tinggal dua kotak tersisa. Kau akan tetap memilih kotak sebelumnya, atau kau akan pindah"
Ruangan kelas menjadi sedikit tegang.
Saat itulah, ilham pengetahuan itu masuk ke kepalaku. Opa benar sekali. Aku dengan santai bilang, Pindah. Ruangan besar kelas kami dipenuhi seruan. Profesor mengedipkan mata, menyuruh mereka diam. Kenapa kau memilih pindah, Thomas"
Aku tertawa pelan, mengusap wajah. Entah bagaimana caranya, aku paham seketika teori berjudi Opa. Bukan karena naluri, melainkan karena setelah sepuluh tahun berlalu, belajar banyak hal, berada dalam kelas yang mengagumkan ini, penjelasan itu Penjelasannya amat sederhana. Ada tiga kotak, itu berarti kemungkinan kalian memenangkan pertaruhan adalah 33,3%, alias sepertiga. Itu kemungkinan yang rendah, bahkan di bawah 50%, permainan ya atau tidak . Ketika aku memilih salah satu kotak, lantas profesor di depanku membuka kotak lain yang ternyata kosong, maka kemungkinanku sekarang adalah 50%, bukan" Apakah aku akan pindah" Ingat rumus ini: Jika kalian tetap di pilihan sebelumnya, variabel baru yang hadir dalam permainan tidak diperhitungkan. Jika kalian tetap di pilihan pertama, dengan dua kotak tersisa, kesempatan kalian untuk menang sesungguhnya bukan 50%, melainkan tetap 33,3%, karena kalian tetap memilih kotak yang sama dari tiga kotak sebelumnya.
Pindah! Lakukan segera, tutup mata. Dengan demikian, kalian memasukkan variabel baru dalam permainan. Berapa kesempatan kalian menang" 50%" Tidak, kalian menjadikannya 66,6%. Ada tiga kotak dalam permainan, dan kalian diberi kesempatan memilih dua kali. Apakah kalian otomatis akan memenangkan permainan" Tentu tidak, masih ada 33,3% kemungkinan kalah. Tetapi kemungkinan 66,6% jauh lebih baik. Aku tidak akan seperti peserta kuis yang keukeuh sekali dengan pilihan awal, resisten sekali mengubah pilihan. Aku memilih pindah. Ruangan kelas lengang sejenak setelah penjelasanku. Profesor menatapku tajam. Kau yakin, Thomas" Aku tersenyum simpul. Ini mata kuliah matematika bisnis tingkat lanjut. Aku sama sekali tidak berjudi, aku menggunakan logika. Tentu saja teori ini hanya berlaku jika lawan bermain mobil itu berada, dia bisa menipu peserta dengan membujukbujuk, memanipulasi kalimat-kalimatnya, hingga peserta terkecoh.
Buka saja, Prof. Aku tertawa. ***
Tidak ada pertaruhan hidup-mati di meja judi. Semua soal persentase dan logika. Maka jika di meja judi saja tidak ada, apalagi di dunia nyata.
Tidak ada skenario Russian Roullette dalam kehidupan nyata. Kita selalu saja punya kesempatan untuk memanipulasi situasi, bertaruh dengan sedikit keunggulan.
Orang Cina bijak zaman dulu bilang, tempat yang paling aman justru tempat paling berbahaya, dan sebaliknya tempat yang paling berbahaya justru tempat yang kalian pikir paling aman. Itu benar sekali. Ahli strategi perang masyhur Cina itu, ketika menemukan pertama kali kalimat bijak ini, boleh jadi tidak dibekali dengan ilmu matematika tingkat lanjut, tapi dia jelas memiliki pengalaman panjang, naluri serta insting seperti yang dikatakan Opa.
Putar haluan, Kadek! aku berteriak, berlari-lari kecil menaiki anak tangga.
Ya, Pak Thom" Kadek menatapku bingung. Kami sudah belasan kilometer meninggalkan dermaga yacht Sunda Kelapa, kabur dari polisi yang membabi buta menembaki kapal. Kita kembali ke Jakarta, aku menjawab dingin. Kadek menelan ludah.
Lima menit lalu aku memastikan Opa dan Om Liem baikbaik saja. Seluruh kapal juga baik. Mesin, sistem sanitasi, air, gudang, logistik, dan sebagainya baik. Lima menit aku berpikir cepat. Tidak, lari ke Manila hanya membuat situasi semakin buruk.
Aku akan mengambil mata dadu terbaik dalam pertarungan ini. Kembali ke Jakarta.
Profesor sekolah bisnis menepuk bahuku setelah kelas usai. Ruangan besar lengang. Kau muridku yang paling brilian, Thomas. Tidak sekadar soal logika, tapi gestur wajah, senyuman, bahkan tatapan mata yang berkelas. Itu tiket pulang-pergi ke Texas, Thomas. Kalau kau mau, kau bisa bergabung bersamaku menaklukkan kasino-kasino besar di sana. Kita bertaruh dengan kemenangan di tangan. Kau bisa membawa pulang ratusan ribu dolar dari kunjungan singkat dua hari di sana. Mau" Aku tertawa. Aku harus mengerjakan paper dari Anda, Prof. P AK THOM naik apa" Kita tidak punya kendaraan di
dermaga. Kadek menyejajari langkahku, bergegas menyerahkan S&W. Aku menyuruhnya mengambil revolver itu dari kamar.
Pasifik sudah sempurna merapat di bagian dermaga lain. Dari geladak kapal, sebenarnya dengan teropong bisa terlihat tidak ada polisi yang berjaga di dermaga tempat kapal ini sebelumnya tertambat, tapi aku memutuskan merapat di bagian lain. Aku naik taksi, Kadek.
Taksi" Kadek menyeringai.
Aku menoleh, sambil memasang revolver di pinggang. Naik apa lagi" Aku menelepon call center mereka lima menit lalu, salah satu mobilnya segera ke dermaga.
Pak Thom akan berperang dengan naik taksi" Aku tertawa kecil. Aku tidak pergi berperang, Kadek. Ini hanya untuk berjaga-jaga.
Aku melambaikan tangan pada Opa dan Om Liem yang berdiri di balik jendela kamar dengan tirai tersingkap, lalu berjalan cepat ke tempat taksi terparkir rapi, membuka pintu, mengempaskan badan di jok mobil, dan menyebut alamat kantorku tujuan pertama pagi ini. Aku harus mengambil salinan dokumen Bank Semesta dari Maggie.
Bergegas, Bung. Semakin kau ngebut, semakin banyak tips yang kuberi"kan.
Sopir taksi mengangguk senang. Ditilik dari gurat wajah muda"nya, jelas dia bosan dengan aturan main harus mengendarai kendaraan hati-hati dan nyaman. Belum lagi stiker di pintu mobil, Laporkan ke nomor telepon ini jika pengemudi ugal-ugalan. Aku merestuinya.
Sopir taksi segera menekan pedal gas, sambil membanting setir, lalu taksi berbelok, meluncur cepat meninggalkan dermaga yacht.
Lima menit, mobil sudah melintasi tol yang lengang pada Minggu pagi, langsung menuju pusat kota.
Aku meraih telepon genggam, saatnya menghubungi beberapa orang.
Astaga, Thomas! Kau dari mana saja"
Ram, adalah orang pertama, dan aku sedikit menyesal menghubunginya lebih dulu.
Aku meneleponmu sejak pukul sepuluh tadi malam, Thomas. Telepon genggammu tulalit. Berkali-kali kau membuatku terjebak serbasalah menghadapi puluhan nasabah Bank Semesta. Wajah-wajah cemas, meminta penjelasan, bahkan mereka berteriak-teriak marah tidak sabaran. Mereka minta segera kepastian, ingin tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi. Kau gila, Thom! Ke mana kau sebenarnya tadi malam" Aku tidak bisa menahan mereka, bersabar, menyuruh mereka menunggu hingga kau datang. Sial! Jangankan hidung dan dahimu, telepon genggammu mati.
Rileks, Ram, aku menyela sebelum kalimat keluhan (sekaligus laporan) Ram tidak berkesudahan dan berlebihan. Kita bisa me"minta mereka kembali berkumpul, reschedule. Aku akan menjelas"kan situasinya. Ini hanya soal pertemuan yang tertunda.
Ram tertawa kecil, prihatin. Tidak perlu, Thom. Tanpa disuruh, mereka sudah berkumpul. Pagi ini sudah separuh nasabah besar datang ke kantor pusat Bank Semesta, mendesak bertemu dengan Om Liem. Ini hari Minggu, Thom, tapi mereka datang dengan wajah seperti Senin yang menyebalkan. Berdiri di depan kantor, terus menyuruh satpam membuka pintu.
Aku menelan ludah. Itu kabar terbaru di luar dugaan. Aku berpikir sejenak.
Aku melirik jam di dasbor taksi. Pukul 07.45, masih tiga jam lagi janji pertemuan dengan menteri. Aku harus bergerak cepat, waktuku tinggal 24 jam sebelum tenggat besok Senin, pukul
08.00. Baiklah, ini menjadi lebih mudah, Ram. Bilang ke mereka, aku akan tiba di kantor lima belas menit lagi. Kita bahas segera masalah ini. Kau juga minta nasabah besar lain bergegas datang.
Aku mematikan telepon genggam sebelum Ram sempat berkomentar. Aku menjulurkan kepala ke depan, menyebut gedung tujuan baru, kantor Bank Semesta.
Sopir taksi tidak banyak bertanya, hanya mengangguk, matanya konsentrasi penuh ke depan.
Aku menekan nomor telepon kedua, Erik. Nada tunggu lama, siap mengumpat dalam hati, jangan-jangan dia masih tidur lelap.
Halo, siapa" Terdengar suara orang menguap. Aku menyengir. Siapa" Sayangnya mungkin aku orang yang paling kauhindari sejak kemarin, Kawan.
Benar, belum habis kalimatku, Erik sudah mendengus. Aku tertawa pelan, setidaknya Erik jadi seratus persen bangun mendengar suaraku.
Kau mau apa lagi" Ini hari Minggu, tidak bosannya kau mengganggu waktu istirahatku. Aku sudah melakukan yang kauminta. Pejabat bank sentral itu mengalah. Dia mentah-mentah mengerjakan apa yang kausuruh, mempermanis laporan. Entah dari mana dia memperoleh angka talangan dua triliun. Dia juga menghapus seluruh laporan rekayasa dan kejahatan keuangan Bank Semesta di seluruh laporan sebelumnya. Asal kau tahu, mungkin setitik pun tidak lagi tersisa kode etik, integritas, kejujuran, dan sebagainya di hatinya gara-gara permintaanmu.
Tawaku bungkam, wajahku sedikit mengeras. Jangan bicara soal kode etik, integritas, dan kejujuran kepadaku, Erik. Ini masih terlalu pagi untuk ceramah. Kita sama-sama tahu, untuk orang-orang seperti kita, kehormatan adalah omong kosong. Boleh saja kau presentasi tentang good governance, patuhi regulasi, sesuai standar prosedur, membual pada setiap klien, tapi sejatinya kita hidup dari bisnis hipokrasi.
Erik terdiam oleh kalimat tajamku.
Lupakan. Aku meneleponmu hanya untuk bertanya, kau punya nomor telepon putra mahkota " aku menyela, lengang se"jenak.
Siapa lagi" Salah satu anggota klub bertarung kita, Erik, junior petinggi partai besar, anak orang paling penting di negeri ini. Kau punya nomor teleponnya"
Buat apa" Erik bertanya ragu-ragu.
Aku mau mendaftar jadi kader partainya. Siapa tahu bisa bantu-bantu bazar sembako atau berjaga di pos periksa kesehatan gratis.
Eh" Berhentilah bertanya, Erik. Aku menyumpahi Erik dalam hati. Aku harus menguasai seluruh bidak jika ingin memenangkan permainan ini, menyelamatkan Bank Semesta.
Erik diam sebentar, helaan napasnya bahkan terdengar hingga langit-langit taksi.
Nomor teleponnya langsung, Erik. Bukan nomor kontak sekretaris, ajudan, staf ahli, apalagi orang-orang penjilat di sekitarnya. Aku harus berbicara langsung dengannya. Aku mengingatkannya sebelum dia menjawab.
Baik, Thom. Akan kukirimkan business card-nya beberapa detik lagi.
Nah, itu baru teman yang baik.
Kau berutang banyak sekali padaku untuk ini semua, Thom.
Aku tertawa. Tenang saja. Aku akan membayarnya lunas. Kau bahkan bisa sekaligus menagih bunga-bunganya setelah hari Senin, Kawan. Dengan asumsi, aku masih hidup dan bebas berkeliaran di kota ini.
Aku menutup pembicaraan, membiarkan dahi Erik terlipat mendengar kalimat terakhirku.
lagi kantor pusat Bank Semesta. Aku menarik napas dalamdalam, kalimatku tadi kepada Erik tidak bergurau. Dengan situasi yang terus serius jam demi jam, ada banyak kemungkinan buruk di hadapanku, termasuk yang terburuk sekalipun. Aku mengembuskan napas. Baiklah, telepon ketiga pagi ini. Halo, Thom. Bukankah kau baru dua jam lalu meneleponku" Ini membuatku tersanjung. Kau amat perhatian padaku. Suara Julia terdengar renyah. Tapi kalau kau bertanya apakah aku sudah bersiap-siap menuju kantor menteri, aku bahkan sudah di gedungnya. Berkumpul bersama belasan wartawan lain yang mencari tahu kabar terakhir. Semoga jadwal pertemuan kita tidak dibatalkan di detik terakhir. Banyak sekali orang yang ingin menemui beliau dalam situasi seperti ini.
Aku menyengir, memutuskan tidak bertanya soal itu. Kau memang wartawan terbaik review terkemuka, Julia, aku memuji.
Julia tertawa. Sepertinya tiga hari lalu, di atas pesawat, kau bahkan melihatku sebelah mata pun tidak, Thom. Aku tidak lebih anak SMA yang baru belajar ilmu ekonomi, bukan"
Hei, semua orang berubah pikiran, Julia. Lagi pula, kalau kau ingin sebuah hubungan berhasil, entah itu pertemanan, atau lebih dari itu, kau harus terbiasa menyesuaikan diri, selalu berubah. Aku ikut tertawa. Setelah kejadian ditembaki satu pasukan polisi tadi pagi, bergegas kembali ke dermaga, naik taksi, menelepon Ram dan Erik, percakapan pendek dengan Julia sepagi ini membuatku lebih santai. Mendengar suaranya yang riang, aku lupa kemarin siang kami diborgol bersama. Kau tidak sedang menggodaku dengan mengatakan kalimat Aku menyumpahi Julia dalam hati. Tidak mudah menggoda gadis seterus terang kau, Julia. Nah, kau pagi ini tidak memakai rok dan blus seperti di pesawat, bukan"
Eh" Memangnya kenapa"
Karena aku tidak menjamin kebersamaan kita hari ini akan nyaman seperti pasangan pergi berwisata, Julia. Boleh jadi seperti kemarin siang, ngebut, tangan diborgol, mulut dibekap, dibanting duduk. Aku menyengir.
Kalau hanya itu, tidak masalah, Thom. Aku pandai berakting, lebih dari adegan telenovela malah. Suara Julia masih terdengar santai.
Aku mengusap dahi, membiarkan Julia riang sejenak. Ini tidak lagi sekadar urusan Fernando-Esmeralda, Julia. Sepagi ini saja, setelah meneleponmu tadi pagi, aku sudah dikejar polisi. Mereka membabi buta menembaki kapal. Om Liem, Opa, tiarap di lantai kabin. Aku harus balas menembaki mereka agar bisa lolos.
Astaga! Tetapi kau baik-baik saja, bukan" Julia berseru, suaranya berubah cemas. Eh, maksudku, tentu saja kau baikbaik saja. Kau meneleponku dengan suara santai, dia bergegas menganulir.
Terima kasih sudah bertanya kabarku, Julia. Aku tertawa. Kau amat perhatian kepadaku. Jarang sekali ada gadis yang berseru mencemaskanku, padahal tiga hari lalu dia sepertinya bahkan bersedia menimpukku dengan piring kaviar.
Julia bergumam sebal. Kau memang pria yang suka membalas, Thomas.
dan sinis seorang gadis. Kau seharusnya kenal sekali siapa dia. Aku baru kenal dia tiga hari terakhir.
Julia mendengus. Nah, semoga kau tidak memakai rok dan blus hari ini, Julia. Jadi, kau bisa lebih gesit berlari. Sampai bertemu pukul sebelas. Aku segera menutup percakapan.
Taksi sudah keluar dari tol, langsung menuju kantor pusat Bank Semesta.
Aku harus mengurus nasabah besar, pemilik tabungan dan deposito individu dengan nilai puluhan miliar. Nasabah yang paling terancam jika Bank Semesta ditutup. Tidak sepeser pun uang mereka akan kembali. Sekali mereka bersepakat, urusan dengan putra mahkota dan yang lainnya akan lebih mudah.
RANG!! Guci berusia ratusan tahun salah satu ornamen sederhana, tapi superantik dan mahal di ruangan rapat lantai satu Bank Semesta menghantam dinding. Hancur berkeping-keping.
Ruangan besar hening sejenak setelah suara bising yang mengejutkan.
Kami mau uangnya kembali! Salah seorang nasabah yang baru saja melempar guci berharga itu ditilik dari wajah dan bentuk badannya dia pastilah pernah mengikuti dinas kemiliteran menatapku galak.


Negeri Para Bedebah Karya Tere Liye di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ya, kami mau uangnya kembali! nasabah lain berseru menimpali.
Benar! Teriakan nasabah lain ikut terdengar, menganggukangguk dengan tampang masam.
Kami juga ingin bertemu Om Liem. Sejak tadi malam kami ahli, orang kedua, wakil, atau apalah kalian menyebutnya, salah satu nasabah di barisan belakang berseru pelan.
Iya, kami ingin bertemu Om Liem. Dia harus mengembalikan seluruh uang kami.
Aku mengembuskan napas jengkel, menggeleng. Urusan ini sama saja, di pinggiran pasar induk yang becek dan bau, maupun di ruangan dengan lantai keramik mahal dan bergorden beludru. Baik para pedagang buah dan sayur yang meributkan kembalian maupun nasabah kelas kakap dengan tabungan miliaran, semua orang bertingkah sama, melupakan kesabaran jika urusannya tentang uang.
Baik! aku berseru tegas, berjalan cepat menuju sudut ruangan, kasar menyambar guci antik lain. Nah, kaulemparkan juga yang ini! Lemparkan semaumu! Aku membentak, melotot.
Nasabah setengah baya dan berbadan kekar itu terdiam, bingung menatapku.
PRANG! Aku yang lebih dulu melemparkan dua guci mahal itu menghantam dinding cermin dekat proyektor. Suara potongan guci yang hancur beserta serpihan cermin berderai menimpa lantai.
Gumaman puluhan nasabah besar Bank Semesta segera bungkam, mereka sempurna menatap ke arahku.
Kalian lemparkan semua guci di ruangan ini, kalian rusak semuanya, bahkan gedung besar ini kalian hancurkan, percuma, itu tidak akan mengembalikan uang kalian! aku berseru, balas menatap wajah-wajah tidak sabaran.
Sekali Bank Semesta ditutup pemerintah, tidak ada sepeser pun uang nasabah di atas dua miliar akan selamat. Percuma sia! Maka berhentilah bertingkah kekanak-kanakan, mari kita bicara baik-baik.
Ruangan besar kembali senyap. Aku menahan napas.
Pertemuan ini sebenarnya berjalan sesuai dugaanku. Persis aku masuk ruangan, mereka sudah berteriak marah, dan lebih marah lagi saat aku mulai bicara tentang kemungkinan Bank Semesta ditutup. Lima menit berlalu, hanya soal waktu salah satu nasabah akan berusaha meninju wajahku, pertemuan menjadi gaduh. Jadi, aku harus bergerak cepat.
Adegan melempar guci tadi sepertinya kurang lugas dan meyakinkan, maka aku mencabut revolver di pinggang. Beberapa nasabah berseru tertahan melihat senjata itu teracung. Dua-tiga orang malah refleks melangkah mundur. Aku tidak peduli, melangkah maju, menyerahkan pistol itu ke tangan nasabah setengah baya berbadan kekar yang berdiri paling dekat.
Nah, kau tembak saja kepalaku, uangmu tetap tidak akan kembali! aku berkata datar dan tajam, memasangkan gagang pistol ke dalam tangannya.
Ayo, tembak saja! aku menyuruh, mengarahkan tangan yang memegang pistol ke kepalaku. Moncong S&W itu persis di dahiku sekarang.
Wajah-wajah tidak sabaran itu dengan cepat berubah pucat. Nasabah ibu-ibu menutupi wajahnya dengan tas bermerek atau kedua belah telapak tangan. Cemas. Satu-dua malah berteriak panik, berseru jangan atau hentikan .
Tembak saja! aku justru membentak.
Nasabah itu menggeleng, mengembuskan napas. Tangannya yang memegang pistol terkulai. Tatapan galak itu telah luntur.
Delapan menit sejak pertemu"an dimulai, aku akhirnya menguasai situasi. Ini rekor terlamaku mengendalikan sebuah pertemuan.
Kami hanya ingin uang itu kembali, Pak Thom, nasabah setengah baya berbadan tegap itu berkata pelan. Saya lama sekali mengumpulkannya. Itu uang pensiun saya setelah berpuluh tahun menjadi tentara. Uang sekolah anak-anak yang masih remaja, biaya makan kami, biaya berobat. Pak Thom pastilah tahu, bahkan untuk pensiunan tentara, meski jenderal sekalipun, uang pensiun dari pemerintah tidak memadai.
Nasabah lain mengangguk meski tidak bergumam ribut lagi.
Baiklah. Kalau demikian, kita bisa bicara baik-baik sekarang.
Aku memasang kembali revolver ke pinggang, menatap wajahwajah di sekitarku dengan tatapan pura-pura bersimpati. Peduli setan dengan rasa simpatiku. Di ruangan ini banyak sekali nasabah yang tidak masuk akal bisa memiliki deposito puluhan miliar.
Nah, seperti yang telah kusampaikan dalam kalimat pembuka pertemuan kita tadi, aku konsultan keuangan profesional. Aku ditunjuk mewakili Om Liem untuk melakukan negosiasi dengan otoritas yang memutuskan apakah Bank Semesta ditutup atau tidak sebelum pukul 08.00 besok. Aku memasang wajah tegak, menatap seluruh peserta pertemuan.
Kabar buruknya, Bapak-Bapak, Ibu-Ibu, menurut perhitungnya ditutup enam tahun lalu. Titik. Kabar baiknya, urusan ini sudah telanjur rumit dan memiliki implikasi luas, tidak pernah lagi sesederhana enam tahun silam. Lagi pula, sebagai orang yang dibayar pihak bank, aku jelas orang pertama yang menentang penutupan Bank Semesta. Aku akan melakukan apa saja untuk mencegah Bank Semesta pailit.
Kenapa kita bertemu di sini" Dalam situasi tidak jelas, panik, serta marah" Karena aku butuh bantuan kalian. Apa yang aku butuhkan" Sederhana saja. Kalian jawab pertanyaan ini, dalam situasi darurat, dengan kemungkinan seratus persen uang kalian hilang, apakah kalian akan memilih kehilangan seluruh uang itu atau bersedia mengorbankan sepertiga darinya sebagai biaya penyelamatan"
Aku diam sejenak, membiarkan puluhan nasabah kelas kakap mencerna kalimatku.
Kalian kehilangan semua atau sepertiga, pilih yang mana" Aku mengulang pertanyaan itu setelah mereka saling menoleh, bergumam pelan, mulai mengerti situasinya.
Tetapi buat apa uang yang sepertiga itu, Pak Thom" Aku tertawa prihatin. Untuk menyumpal semua pihak, apa lagi"
Mereka terdiam. Jika itu terjadi, jika Bank Semesta akhirnya diselamatkan komite stabilitas sistem keuangan nasional, itu jelas akan menjadi skandal perbankan terbesar di negeri ini. Semua pihak, terutama media massa, LSM, lembaga, individu yang masih memiliki integritas akan menuntut dilakukan penyelidikan, diusut tuntas. Nah, sebelum itu terjadi, kita harus menyumpal sebanyak tinggi institusi, kroni, teman, kolega, bahkan bila perlu pengurus organisasi olahraga, apa pun itu. Semakin banyak yang menerima kucuran uang haram itu, maka jangankan melakukan penyidikan secara sistematis dan besar-besaran, menggerakkan satu pion petugas penyidik saja mereka tidak kuasa. Seluruh penjara di negeri ini penuh jika komisi pemberantasan korupsi berani mengutak-atik kasus penyelamatan Bank Semesta.
Aku butuh banyak uang untuk melakukannya, Bapak-Bapak, Ibu-Ibu. Nah, kalian bersedia menyerahkan sepertiga deposito atau tabungan, atau sebaliknya, kalian bersedia kehilangan semuanya" Putuskan segera, sebelum pemerintah mengetuk palu. Sekali Bank Semesta ditutup, tidak ada lagi rekayasa yang bisa aku laku"kan. Kalian punya waktu setengah jam untuk berdiskusi. Aku harus segera pergi, waktuku sempit. Selamat pagi. Aku balik kanan, meninggalkan keributan yang segera meruap di ruang"an.
Ram, kau pimpin mereka berdiskusi, aku menepuk bahu Ram, kabarkan segera padaku apa pun keputusan mereka.
Ram mengangguk, bergegas menyejajari langkah kakiku keluar ruangan rapat. Suara bising peserta pertemuan segera memenuhi langit-langit. Satu-dua berseru soal semua ini tidak masuk akal, menyesal telah menabung di Bank Semesta. Satu-dua menangis, mungkin sedih membayangkan uangnya hilang. Tetapi lebih banyak yang mengangguk menyetujui kalimatku, mulai berkumpul dan membahas solusi yang kutawarkan, solusi paling masuk akal bagi mereka.
Aku sudah tidak mendengarkan, sudah pukul sembilan. Dua sebentar ke kantor mengambil salinan dokumen Bank Semesta dari Maggie.
Saat itulah, saat aku melintasi pintu, berjalan cepat menuju lobi luas gedung, seseorang telah menungguku. Rambutnya menguban, tubuhnya gempal pendek, wajah khas seperti Opa. Dia tersenyum hangat. Tommi, apa kabar"
Aku mendongak, menelan ludah. Hanya sedikit orang yang tahu nama panggilan masa kecilku, apalagi sejak rumah dibakar puluhan tahun lalu. Nama kecil itu hanya diketahui Opa, Om Liem, dan Tante. Siapa orang tua ini"
IDAK terbayangkan, Nak. Sungguh tidak pernah berani kubayangkan, bahkan dalam mimpi paling liar orang tua ini sekali"pun, bahwa kau ternyata selamat dari kejadian puluhan tahun silam. Kupikir hanya Liem, istrinya, dan opamu yang selamat. Ternyata kau juga selamat. Orang tua dengan tongkat di tangan itu merentangkan tangan, dan tanpa bisa kucegah, sudah memelukku takzim.
Aku masih menelan ludah. Berdiri menerima pelukan, mengingat-ingat wajahnya.
Dia melepaskan pelukan, menatapku datar, tersenyum. Kau dulu masih kecil sekali, Tommi. Setinggi ini. Berpakaian seperti pelayan, berlari-lari kecil membawa nampan berisi gelas air minum dan makanan saat pesta keluarga diadakan. Apa kata Edward, papamu" Tentu saja dia mau bekerja keras, Shinpei. Dia digaji mahal sekali. Aku lantas bertanya, Mahal" Papamu menjawab, Sebuah sepeda baru, Shinpei. Seperti baru terjadi kemarin sore pesta meriah itu, beberapa bulan sebelum rumah Aku akhirnya ingat sudah.
Bukan karena orang yang sedang memegang bahuku itu menyebut namanya sendiri, tapi karena aku juga sempurna kembali mengingat masa lalu itu. Tuan Shinpei, orang ini adalah rekan"an Papa dan Om Liem zaman berdagang tepung terigu dulu. Salah satu pengusaha besar yang kudengar tahun-tahun terakhir memiliki bisnis properti hingga negeri tetangga.
Lihatlah, anak kecil berpakaian pelayan itu sekarang sudah berubah menjadi harimau gagah. Astaga, Nak, aku melihat sendiri bagaimana tadi kau mengendalikan puluhan nasabah kakap yang marah. Itu amazing, mengagumkan, Tommi. Ke mana saja kau selama ini" Aku tidak pernah mendengarmu dalam rapat perusahaan milik Om Liem dan opamu. Kau sekolah di business school ternama" Dikirim Liem belajar magang di per"usahaan raksasa Amerika" Disiapkan sebagai penerus bisnis keluarga" Atau jangan-jangan kau diam-diam sedang membangun imperium bisnis sendiri" Dengan kemampuanmu tadi, itu me"ngerikan, Nak, tidak akan ada satu pesaing pun yang berani melawanmu.
Aku untuk pertama kalinya membalas kalimat Tuan Shinpei dengan tersenyum terkendali, menggeleng. Aku hanya membuka kantor konsultan keuangan skala kecil, Tuan Shinpei.
Dia menggeleng. Jangan panggil aku Tuan Shinpei, Tommi. Kau panggil saja aku Om Shinpei. Keluarga kalian sudah seperti keluargaku sendiri. Tuan Shinpei diam sejenak, menganggukangguk. Oh iya, apa kau bilang tadi" Konsultan keuangan" Aku baru ingat, aku pernah melihat wajahmu sekali-dua kali di majalah atau review ekonomi Hongkong terkemuka. Tetapi aku tidak menduga kau Thomas yang itu. Aku baru tahu beberapa Orang tua ini tinggal di Hongkong, Tommi, tidak tahu banyak urusan bisnis di Jakarta. Bahkan sebenarnya aku baru tiba tadi malam. Perjalanan mendadak yang cukup melelahkan untuk orang setuaku.
Aku mengangguk sopan, melirik pergelangan tangan. Lima menit aku tertahan di lobi gedung Bank Semesta. Kalau saja orang tua ini bukan Tuan Shinpei, aku sudah izin pamit segera. Pertemuan superpenting menungguku pukul sebelas. Tapi mengingat dia teman dekat Papa dan Om Liem, aku memutuskan basa-basi sebentar.
Perjalanan mendadak" Keperluan bisnis" aku bertanya, mencomot sembarang pertanyaan.
Tuan Shinpei mengangkat bahu. Iya, perjalanan bisnis mendadak, Tommi. Tidak kebetulan aku datang kemari. Ke gedung megah bank yang nyaris kolaps milik Liem. Aku terdaftar dalam nasabah besar Bank Semesta. Tadi malam aku dihubungi untuk segera berkumpul.
Alisku sedikit terangkat.
Tentu saja namaku tidak ada dalam daftar yang kaupegang. Tetapi setidaknya ada lima nama nasabah lain yang mewakili depositoku secara tidak langsung, Tuan Shinpei menjelaskan tanpa diminta. Urusan ini rumit sekali, bukan" Semua uang na"sa"bah terancam hangus tanpa sisa. Aku sebenarnya pernah dihubungi Liem enam bulan lalu. Dia bahkan pernah datang ke Hongkong tiga bulan lalu, mendiskusikan jalan keluar Bank Semesta. Sayangnya bisnis properti milikku juga sedang bermasalah. Aku tidak bisa membantu banyak. Ini situasi rumit kedua yang harus dihadapi Liem setelah cerita lama tentang Meskipun lengang dari lalu-lalang orang, lobi luas tempatku berdiri berhadapan-hadapan dengan Tuan Shinpei dan dua ajudannya tetap berisik. Suara perdebatan di ruang rapat terdengar hingga lobi.
Aku mengangguk, teringat percakapan dengan Om Liem sebelum melarikan diri dengan kamuflase ambulans dua malam lalu. Aku pernah bertanya apakah Om Liem telah meminta bantu"an kolega bisnisnya, siapa saja, termasuk dari Tuan Shinpei. Tetapi aku baru tahu pagi ini kalau Tuan Shinpei juga memiliki dana di Bank Semesta.
Kau sepertinya punya rencana hebat, Tommi" Rencana hebat"
Iya, apa lagi" Rencana hebat menyelamatkan Bank Semesta" Tuan Shinpei bertanya, menyelidik dengan mata berkerut.
Inferno 10 Pendekar Mata Keranjang 6 Pewaris Pusaka Hitam Raden Banyak Sumba 6
^