Pencarian

Negeri Para Bedebah 4

Negeri Para Bedebah Karya Tere Liye Bagian 4


Aku menggeleng perlahan. Tidak ada rencana hebat. Hanya rencana nekat.
Tuan Shinpei terkekeh prihatin. Jangan terlalu merendah, Tommi. Kau pastilah yang terbaik dari ribuan konsultan keuangan yang ada. Wajahmu ada di halaman depan majalah Hongkong, itu pasti jaminan. Dan lebih dari itu, kau pasti akan melakukan apa pun untuk menyelamatkan bisnis keluarga, bukan" Bahkan termasuk mati sekalipun. Mereka punya lawan tangguh seka"rang.
Aku terdiam, menelan ludah, sedetik aku seperti merasa ada yang ganjil dengan percakapan ini.
Ini kabar baik. Tentu saja kabar baik. Tuan Shinpei mengangguk-angguk, tidak terlalu memperhatikan ekspresi wajahku. Jadi aku tidak usah mencemaskan banyak hal lagi, bukan" Kerumus baku bagi pebisnis ulung. Mengorbankan sebagian, demi keuntungan lebih besar. Mundur dua langkah, untuk maju bahkan lari ribuan langkah. Kau pasti lebih dari paham tentang itu. Nah, bisa kauceritakan apa yang sedang kaurencanakan, Tommi"
Aku menggeleng sopan. Tentu saja kau tidak boleh bercerita. Tuan Shinpei tertawa kecil. Atau kau bisa memberitahuku, Liem sekarang berada di mana" Sejak tadi malam aku berusaha mencari tahu, tentu juga puluhan nasabah lainnya ingin tahu.
Om Liem di tempat yang aman. Tempat yang aman"
Aku lagi-lagi menggeleng sopan, tapi tegas. Lobi luas gedung Bank Semesta masih lengang dari lalu-lalang orang. Suara berisik di ruang rapat mulai terdengar pelan, Ram sepertinya melakukan apa saja untuk mengendalikan diskusi. Sejenak aku beradu tatapan dengan Tuan Shinpei. Baiklah, Tommi. Orang tua ini sepertinya terlalu cemas, terlalu ingin tahu. Kau sepertinya sedang terburu-buru. Waktu yang tersisa sempit sekali, bukan" Kau boleh meninggalkanku sekarang. Tuan Shinpei menepuk-nepuk bahuku. Aku akan bergabung ke ruang rapat bersama nasabah lain. Setidaknya aku tidak perlu mencemaskan nasib Bank Semesta sekarang, termasuk nasib uangku. Nasibnya sudah ada di tangan orang yang tepat. Aku hanya perlu mencemaskan hal lain.
Mencemaskan hal lain" aku bertanya.
Tuan Shinpei menyeka pelipis, menatapku sambil tersenyum. Apa lagi selain mencemaskanmu, Tommi" Apa pun yang sedang pepatah bijak orang tua dulu, musuh ada di mana-mana, maka berhati-hatilah sebelum kau bisa memegang kerah lehernya. Senang bertemu kau lagi, Tommi.
Tuan Shinpei sudah melangkah menuju ruang rapat sebelum aku basa-basi menjawab kalimatnya. Dua ajudannya ikut bergerak. Suara tongkat mengetuk lantai keramik terdengar berirama.
Aku menelan ludah. Rombongan Tuan Shinpei sudah menghilang di balik pintu ruang rapat.
Aku melirik pergelangan tangan, mengumpat dalam hati. Waktu"ku terbuang hampir setengah jam. Aku harus segera menuju kantor, mengambil salinan dokumen dari Maggie. Jadwal audiensiku dengan menteri satu setengah jam lagi. Aku berlarilari kecil melintasi lobi luas gedung Bank Semesta.
AKSI yang kutumpangi dari dermaga yacht masih setia menunggu.
Kita ngebut lagi, Pak" sopir taksi bertanya, menyeringai. Belum hilang anggukanku, belum genap menyebut tujuan berikutnya, mobil sudah melesat meninggalkan pelataran parkir gedung Bank Semesta.
Hari Minggu, jalanan protokol lengang.
Telepon genggamku berbunyi saat aku merebahkan punggung, berusaha rileks sejenak. Nama Erik terpampang di layar telepon genggam. Aku menggerutu, sejak tadi aku menunggu nomor kontak yang akan dikirimkan Erik.
Aku mengangkat telepon, setengah berseru. Kau butuh berapa lama lagi untuk mengirimkan business card putra mahkota, Erik"
Sabar, Thomas, Erik berkata santai.
Aku harus melewati beberapa prosedur sebelum memberikan nomor kontaknya, Thom. Kau tahu, ini tidak seperti memberikan nomor telepon artis idola atau pengarang kesayangan, atau nomor telepon terapis langgananmu. Lagi pula, kabar buruknya, dia tidak otomatis mengangkat setiap telepon yang masuk. Nomormu tidak dikenali, mau kau telepon belasan kali, jangan harap dia angkat, dilirik pun tidak, Erik menjawab dengan logika.
Aku terdiam sejenak. Benar juga.
Nah, kabar baiknya, aku baru saja menelepon dia lima menit lalu, memberitahukan ada teman klub petarung yang ingin menghubungi, membicarakan sesuatu yang amat penting. Dia bersedia kauhubungi, tapi tidak lewat telepon, Kawan. Riskan sekali melakukan pembicaraan sensitif lewat telepon. Dia menyediakan waktu untuk pertemuan langsung. Kabar baik, bukan" Erik tertawa.
Aku mengepalkan tinju, senang mendengarnya. Ini jelas lebih baik, Erik. Terima kasih banyak. Kau memang teman yang baik.
Berterima kasih saja tidak cukup, Thom. Kau harus mencium kakiku. Erik masih tertawa. Meminta jadwal pertemuan dengan putra mahkota tidak pernah mudah. Aku harus meyakinkannya berkali-kali bahwa kau akan membicarakan sesuatu yang sangat penting.
Di mana pertemuannya" Aku mengabaikan kalimat Erik dan tawanya, bergegas memastikan.
Nanti sore pukul empat di Denpasar. Dia dan petinggi partai politiknya sedang di sana, urusan partai, membuka munas, Aku mengembuskan napas. Tidak bisakah dia ke Jakarta" Jadwalku ketat sekali sebelum besok pagi kantor buka.
Erik tertawa menyebalkan. Kau gila, Thom. Kau pikir dia klien, teman kantor, atau siapalah yang bisa kau suruh-suruh selama ini. Esok lusa boleh jadi kau melihatnya di televisi sedang pidato kenegaraan, dan kita tidak bisa lagi memanggil namanya langsung tanpa sebutan Bapak .
Aku menelan ludah. Aku hanya bergurau, Erik. Kau tidak pernah mengerti sarkasme, entah itu di rapat-rapat atau bahkan dalam percakapan telepon sekalipun. Aku bisa ke Denpasar nanti sore pukul empat, itu hanya perjalanan dua jam. Terima kasih sudah membantuku.
Simpan saja terima kasihmu sekarang, Thom. Aku akan menagihnya di waktu yang tepat, permintaan yang tepat, dan harga yang mahal. Erik terkekeh.
Aku akan membayarnya. Pegang janjiku. Great. Adios, Kawan.
Sebentar, Erik, aku mencegah Erik menutup telepon, teringat sesuatu. Tadi kau bilang tidak mudah bertemu dengannya, lantas bagaimana kau hanya butuh waktu lima menit untuk meyakinkan dia"
Itu gampang, Thom. Aku tiru mentah-mentah trikmu selama ini. Kubilang, orang ini, yang meminta jadwal bertemu, hendak menyumbang sepuluh miliar untuk dana partai. Brilian, bukan" Dia bahkan lupa untuk bertanya siapa namamu. Nah, selamat berlibur. Jangan lupa bawa sunblock atau papan selancar. Selamat bertemu dengannya, Thom. Ingat, kau harus sopan. Dia amat sensitif. Maklumlah, anak muda yang tiba-tiba kejatuhan bulan, Salah-salah kata, mood-nya bisa rusak, dan kau kehilangan kesempatan. Kalau dia siapalah, paling juga sedang keringatan mengepit map lamaran kerja, atau gugup mengerjakan lembar ujian psikotes. Erik tertawa, menutup telepon.
Aku mendengus pelan, lelucon yang buruk. Taksi terus membelah jalanan lengang.
Telepon genggamku berbunyi lagi saat aku baru saja rileks meluruskan kaki.
Kau di mana, Thomas" Suara Julia, sedikit terdengar panik.
Aku di taksi, menuju kantor, hendak mengambil berkas. Lantas baru ke tempatmu. Ada apa"
Tidak ada waktu lagi, Thomas. Kau harus segera ke sini. Jadwal pertemuan kita dimajukan satu jam. Ajudan menteri baru memberitahuku beberapa detik lalu.
Kau yakin" Aku melirik jam di dasbor taksi. Itu berarti tiga puluh menit lagi.
Bergegas, Thomas! Julia menjawab jengkel. Atau hanya aku yang akan menemuinya, melakukan wawancara basa-basi sesuai skedul.
Tetapi berkas itu penting, Julia. Itu akan membuat perbedaan.
Peduli amat dengan berkas itu. Kau suruh siapa saja mengantarnya. Aku tidak bisa meneleponmu lama-lama. Lobi gedung ini semakin ramai, sepertinya semua wartawan berebut ingin tahu apa yang sedang terjadi. Ada staf khusus istana yang datang. Mobilnya baru merapat. Dia sepertinya juga akan bertemu menteri. Teman wartawan lain sudah berlari-lari mengerubungi.
Percakapan telepon diputus.
Baiklah. Kepalaku melongok ke depan, menyebut tujuan baru pada sopir taksi.
Lebih ngebut, Pak" sopir taksi bertanya polos. Terserah kau saja, aku menjawab pendek. Siap, Pak.
Taksi dengan cepat meliuk, menyalip dua mobil sekaligus. Aku menekan nomor telepon genggam Maggie. Aku harus me"minta Maggie mengantarkan dokumen itu. Tanpa salinan dokumen yang disiapkan Maggie, aku tidak bisa membujuk Ibu Menteri. Kalian tidak akan pernah bisa membujuk wanita berhati baja itu. Aku mengenalnya bahkan sejak kuliah. Satusatunya cara meruntuhkan sebuah keteguhan sikap atas kejujuran dan integritas hidup hanyalah dengan mengurung dia dengan dua pilihan. Hanya dua pilihan, tidak lebih, tidak kurang. Dua pilihan yang sama-sama sulit. Maka ketika skenario itu terjadi, konteksnya menjadi berubah: pilihan paling rasional atas dua kemungkinan terburuk.
Salinan dokumen yang dipegang Maggie adalah kuncinya.
OBI gedung ramai oleh lalat pencari berita. Tetapi tentu saja mereka tidak peduli ketika taksi yang kutumpangi merapat. Mereka menunggu pejabat penting. Aku menyeringai, melintasi lobi tanpa gangguan. Seandainya mereka tahu akulah yang sedang berusaha mati-matian menskenariokan banyak hal terkait Bank Semesta, memegang kunci informasi penting, mungkin mereka akan saling sikut, saling dorong mengepungku. Apa kata Opa dulu, di dunia ini, urusan penting dan tidak penting hanya terlihat dari kulit luarnya saja. Orang terkadang lupa, orangorang di sekitarnya yang selama ini terlihat biasa saja dan sederhana, justru adalah bagian terpenting dalam hidupnya.
Lupakan kebijaksanaan Opa, aku harus bergegas menemui Julia. Sejak tadi dia menunggu.
Dari gumaman kuli tinta, saat aku menuju lift, aku tahu isu tentang rapat komite stabilitas sistem keuangan hanya menunggu waktu digelar. Staf istana sudah hadir. Petinggi bank sentral dan ketua lembaga penjamin simpanan dalam perjalanan pulang dari luar kota setelah mengisi jadwal kuliah umum. Beberapa petinggi bank besar milik negara, pejabat tinggi, dan anggota komite juga telah dihubungi.
Aku menekan tombol lift. Pintu lift membuka. Aku melangkah masuk, sendirian, menatap wajah di dinding. Aku menyisir rambut dengan jemari, merapikan jas yang kukenakan, menepuk debu di celana gelap, dan mengangguk. Semua sudah oke.
Lift mendesing naik, lima belas detik lengang. Kontras dengan di luar tadi.
Akhirnya kau tiba tepat waktu, Thom. Eh" Aku menelan ludah.
Wajah dan suara Julia sudah menungguku persis ketika pintu lift terbuka, lantai ruangan menteri. Julia berseru dengan wajah cemas. Dia sepertinya sejak tadi berdiri di lorong lift.
Beliau sudah datang lima belas menit lalu. Tanpa memberiku kesempatan bernapas, Julia bergegas melangkah menuju meja resepsionis yang dijaga beberapa petugas keamanan yang sejauh ini berhasil menghalau siapa saja yang hendak masuk ruangan menteri.
Sebentar, Julia. Kita tidak bisa menemui beliau sekarang. Aku harus menunggu Maggie. Ada dokumen penting, aku mengingatkan, masih berdiri di lorong.
Tidak akan sempat, Thom. Ajudan menteri sudah mengingatkan dua kali. Jika kita tidak segera masuk ruangan, jadwal kita dibatalkan.
Dua menit, Julia! Ayolah, kita tunggu dua menit. Thomas, kita tidak punya waktu bahkan untuk satu menit. meja resepsionis di ujung lorong, berseru, ditonton petugas keamanan. Kau tidak tahu apa yang telah dilakukan pemimpin redaksi review kami untuk mendapatkan jadwal audiensi sepenting ini. Aku masuk duluan kalau kau tidak mau.
Aku menggeleng. Percuma aku masuk dalam sebuah pertempuran tanpa amunisi.
Kabar baiknya, sebelum Julia berseru jengkel dan masuk sendirian ke dalam ruangan, atau melemparku dengan tasnya, suara denting pelan berbunyi. Pintu lift di belakangku terbuka. Maggie dengan napas tersengal datang membawa dokumen. Aku tidak terlambat, bukan" Maggie bertanya cemas. Demi melihat wajah bergegas Maggie, aku sungguh tertawa lega. Kau tidak pernah terlambat, Mag. Kau sudah seperti superhero yang menyelamatkan dunia, selalu datang tepat waktu.
Maggie mengembuskan napas. Syukurlah. Ini dokumennya, Thom. Semua ada di sana.
Aku memeriksa sebentar, mengangguk.
Eh, kau bersama Nenek Lampir itu" Maggie berbisik, menunjuk.
Aku mendongak, menoleh ke belakang, ke arah yang ditunjuk Maggie.
Aku seketika tertawa, menatap Julia yang masih berdiri menunggu di depan meja resepsionis. Maggie pastilah masih sebal karena kemarin Julia merangsek ruanganku, tidak bisa dia cegah.
Astaga, bahkan wajahnya sekarang tetap sama seperti saat dia menerobos kantor kemarin. Judes, tidak berperasaan, tidak sabaran. Benar-benar Nenek Lampir, Maggie bergumam.
pada Maggie. Nah, terima kasih untuk dokumen ini. Kau bisa segera kembali ke kantor. Aku memerlukan beberapa bantuan lainnya. Aku harus ke Denpasar nanti sore. Ada pertemuan penting pukul empat. Kau bisa bantu menyiapkan perjalanan, juga menghubungi beberapa orang lagi dan beberapa informasi penting.
Baik, baik. Maggie mengusap wajahnya, memasang wajah pura-pura kecewa besar. Nasib sekali menjadi stafmu, Thom. Bertahun-tahun hanya disuruh mengurus tiket pesawat, kurir dokumen, mengumpulkan informasi, dan remeh-temeh lainnya. Sementara Nenek Lampir tidak jelas yang baru kaukenal kemarin itu kau ajak bertemu dengan menteri.
Maggie menekan tombol lift.
Aku tertawa lagi. Kau lupa kalimatku barusan, Mag. Kau adalah superhero. Julia hanya Nenek Lampir.
Pintu lift terbuka. Ya, ya, superhero remeh-temeh. Bye, Thom. Salam buat Nenek Lampir itu. Semoga dia tidak naksir kau. Kalau kejadian, aku bisa menjadi pesuruh rendahannya kelak. Maggie sudah masuk ke dalam lift.
Aku mengabaikan gurauan Maggie, melangkah menuju meja resepsionis.
Petugas memberi kami kartu pengenal. Untuk ketiga kali"nya dia mengingatkan bahwa jadwal kami hanya tiga puluh menit. Aku mengangguk. Itu lebih dari cukup. Aku segera mengenakan kartu pengenal.
Stafmu itu tadi bilang apa" Julia bertanya saat kami melangkah menuju pintu ruangan menteri, sambil merapikan pakai- Dia bilang kau Nenek Lampir, aku sengaja menjawab lurus.
Apa" Dahi Julia terlipat.
Iya, dia bilang kau Nenek Lampir. Aku melambaikan tangan.
Dasar sialan! Julia bahkan terhenti sejenak.
Beliau sudah datang lima belas menit lalu, Julia. Kita tidak punya waktu bahkan untuk satu menit membahas tentang Nenek Lampir. Kau tidak tahu apa yang telah dilakukan pemimpin redaksi review untuk mendapatkan jadwal audiensi sepenting ini, bukan" Aku terus melangkah.
Wajah Julia terlihat merah padam, berbisik ketus, Kau memang lelaki pembalas, Thomas. Dan stafmu tadi juga mewarisi sikap buruk itu.
Aku hanya menyengir, mendorong pintu. Inilah pertemuan penting kedua setelah kemarin sore aku sengaja satu pesawat dengan gubernur bank sentral dan ketua lembaga penjamin simpan"an. Bidak kedua dalam permainan penting ini.
UANGAN menteri, untuk seseorang yang disebut salah satu wanita paling perkasa di Asia menurut majalah terkemuka itu, terlihat sederhana. Aku dan Julia (yang masih berusaha memulihkan tampang masam karena dipanggil Nenek Lampir) terus melangkah menuju meja kerjanya. Ibu Menteri sudah berdiri sejak melihat kami masuk. Wajahnya datar, tanpa senyum siapa pula yang bisa tersenyum dengan gejolak krisis dunia"
Selamat pagi. Dia lebih dulu menjulurkan tangan, sikap khas seorang gentleman meski jelas dia seorang woman.
Aku mengangguk takzim, berjabat tangan, memperkenalkan diri. Julia menyusul kemudian.
Maaf, kami terlambat beberapa detik, aku basa-basi. Tidak masalah, Ibu Menteri mengangguk, berkata cepat dengan intonasi tegasnya, walaupun terlambat adalah terlambat. Tidak ada bedanya terlambat beberapa detik dengan terlambat Menteri menunjuk sofa simpel berwarna gelap di ruangannya. Meja kecil di depan sofa dipenuhi tumpukan berkas.
Aku menelan ludah. Benar-benar tipikal pejabat tinggi yang suka berterus terang.
Julia melirikku lirikan yang jelas menyalahkanku. Telepon di meja kerjanya berbunyi menyelamatkan situasi kebas barusan. Ibu Menteri mengangguk kepada kami, meminta izin sejenak, dan sebelum kami balas mengangguk dia sudah melangkah cepat ke meja, mengangkat gagang telepon, dan sekejap sudah terlibat percakapan seru berbahasa Inggris mengenai situasi terakhir krisis subprime mortgage di luar sana. Aku sungguh berusaha tidak menguping karena meskipun aku seorang bedebah, itu melanggar etika mana pun, tetapi Julia dengan senang hati menulis beberapa kalimat penting yang terdengar lantang. Aku menyikut Julia. Dia mengangkat bahu, memasang wajah tanpa dosa.
Itu dari salah satu analis dana moneter internasional, IMF. Ibu Menteri sudah kembali, beranjak duduk di hadapan kami, Kolega dekat. Dia berbaik hati memberikan briefing kabar terbaru. Oh iya, tidak masalah bukan kalau wawancara kita diselingi pekerjaan, satu-dua telepon" Susah sekali menyisihkan waktu tiga puluh menit dalam situasi seperti sekarang.
Aku dan Julia (tentulah) mengangguk kompak, berbarengan.
Ini situasi rumit, kalian lebih dari tahu. Tadi malam ketika Shambazy menelepon, meminta jadwal audiensi mendadak, saya sebenarnya keberatan. Sayangnya, saya tidak pernah bisa menolak permintaan Shambaz. Dia teman baik sejak kuliah, ketua Saya baru tahu bahwa Pak Shambaz pernah jadi ketua senat, Julia memotong sopan.
Ibu Menteri memperbaiki posisi duduk. Dia bukan sekadar ketua senat. Tetapi Shambazy tidak pernah tertarik bekerja menjadi birokrat, lebih memilih berkarier menjadi wartawan, lebih nyaman dan tenang mengomentari banyak hal. Tidur lebih nyenyak. Menjadi menteri yang berdedikasi penuh tidak pernah sesederhana seperti masa lalu. Stres, tekanan politik, kritik, hujatan, sorotan media massa, itu makanan sehari-hari.
Tetapi Ibu terlihat selalu segar. Julia memuji basa-basi yang keliru.
Ibu Menteri menanggapi pujian itu dengan tersenyum tipis. Kau tidak akan bertanya tentang trik tampil segar dan cantik seperti wartawan lain dalam jadwal wawancara sepenting ini, bukan"
Eh" Julia menelan ludah, kikuk.
Tentu tidak, Bu. Aku tertawa sopan, menyikut Julia agar diam, bergegas memperbaiki situasi. Untuk seseorang yang amat berpengaruh, suka berbicara lugas, percakapan basa-basi bisa merusak. Tetapi karena rekan kerja saya sudah telanjur, bolehlah saya tambahi satu lagi pemanis awal pembicaraan. Saya pikir Ibu dulu pastilah pemain bola kasti yang pintar berkelit. Bola kasti" Ibu Menteri bertanya balik.
Ya, bola kasti. Di bawah ada puluhan wartawan dengan wajah tidak sabaran menunggu Ibu sejak tadi pagi. Nah, tidak ada satu pun di antara mereka yang punya ide bahwa ternyata yang di"tunggu sudah berada di ruang kerjanya. Itu pastilah trik hindari terkena bola, bukan" Aku memasang wajah sungguhsungguh.
Ibu Menteri sejenak diam, lantas tertawa renyah. Bola kasti, astaga, itu sungguh pemanis awal percakapan yang orisinal. Kau jelas bukan wartawan kebanyakan. Siapa namamu tadi" Thomas, Bu. Aku tersenyum.
Ya, Thomas, itu mudah saja kalau kau sering diburu wartawan, tidak perlu trik istimewa. Ada beberapa pintu masuk di gedung ini, kau tinggal parkir mobil di luar, berjalan kaki seperti orang kebanyakan, menyelinap lewat pintu belakang, beres. Dan omong-omong soal bola kasti, waktu SD, saya pemain yang buruk sekali, Thomas. Berkali-kali kena timpuk bola, menjadi sasaran teman lelaki yang lebih besar. Hei, siapa pula di antara kita yang tidak pernah main bola kasti sewaktu kecil" Padahal bolanya itu untuk bermain tenis lapangan, bukan"
Kami menghabiskan lima menit pertama untuk nostalgia. Sepertinya itu menjadi selingan yang menarik bagi Ibu Menteri dibanding dipuji terlihat selalu cantik dan segar.
Rapat komite akan diadakan sore ini, segera setelah semua anggotanya berkumpul. Kalian wartawan pertama yang mendengar konfirmasi ini, Ibu Menteri menjawab pendek pertanyaan pertama Julia. Wawancara telah dimulai, lima menit kemudian.
Belum tahu. Rapat akan dilakukan maraton sepanjang malam hingga keputusan diambil. Ini boleh jadi salah satu proses pengambilan keputusan yang melelahkan. Jawaban atas pertanyaan kedua Julia.
Seandainya Bank Semesta tidak diselamatkan, apakah peme- Saya tidak suka berandai-andai, Ibu Menteri memotong kalimat Julia, sambil memperbaiki posisi duduknya, bahkan keputusan mengenai bank itu saja belum diambil.
Tetapi situasi terburuk bisa terjadi, bukan" Mengingat situasi di luar semakin buruk menyusul tumbangnya beberapa lembaga keuangan besar, Julia mendesak sopan.
Soal situasi di luar semakin memburuk, itu benar, terlepas dari kau sepertinya ikut menguping briefing dari staf dana moneter internasional tadi. Tetapi perekonomian kita berbeda dengan mereka. Catat ini, fundamental perekonomian kita jauh lebih tangguh, baik dibandingkan dengan negara luar maupun di"banding saat krisis menghantam kita satu dekade silam. Pertumbuhan ekonomi sesuai target, surplus neraca perdagangan men"catatkan rekor, sistem berjalan stabil, kebijakan fiskal optimal, semua terkendali, semua lebih mature.
Tetapi kemungkinan rush, dampak sistemis yang dikhawatirkan media massa dan pengamat ekonomi dua hari terakhir" Bukankah itu sinyal berbahaya.
Sepertinya tidak ya, situasi kita jauh berbeda, Ibu Menteri menjawab ringan.
Bukankah indeks saham tumbang seminggu terakhir" Itu masih reaksi yang wajar. Siapa yang tidak ingin bergegas melepas sahamnya" Apalagi sebagian besar pemodal di bursa datang dari dana asing. Mereka cepat pergi dalam situasi ini, menjual rugi. Tetapi pemodal lokal kita masih wait and see, masih membeli saham.
Atau nilai tukar yang bergerak cepat, terus melemah" Julia tidak mudah mengalah.
fluktuatif. Pihak bank sentral punya penjelasan lebih baik. Tetapi menurut saya tetap saja situasi masih terkendali.
Jika demikian, apakah Ibu Menteri memilih membiarkan Bank Semesta ditutup" aku akhirnya ikut bertanya, tidak sabaran dengan prosesi wawancara Julia. Saatnya langsung ke topik paling penting.
Rapat komite baru dimulai nanti sore, Thomas. Ibu Menteri melambaikan tangan, gerakan khasnya. Sudah saya katakan dua kali. Kau termasuk pelupa untuk orang semuda dirimu.
Ibu benar, baru nanti sore. Tetapi kita terkadang telah mengambil keputusan bahkan sebelum keputusan itu dibuat. Rapat, diskusi, dengar pendapat, itu terkadang hanya proses mencari argumen, alasan sebuah keputusan, bukan untuk mengambil keputusan itu sendiri, aku berkata dengan intonasi datar terkendali, menatap lurus ke arah wajah Ibu Menteri. Ruangan menjadi lengang sejenak.
Ibu Menteri balas menatapku, tersenyum tipis. Kau memang tidak seperti wartawan kebanyakan, Thomas.
Apakah Ibu sudah memutuskan" Aku tersenyum, memastikan.
Baiklah. Tetapi bagian yang ini off the record, pastikan kalian tidak mengutipnya dalam berita. Kau bertanya apakah saya secara personal memilih membiarkan Bank Semesta ditutup" Justru saya akan bertanya balik, apa untungnya bank itu diselamat"kan" Dalam teori ekonomi modern, pemberian subsidi, penetapan harga tertentu, pengenaan kebijakan fiskal untuk melindungi sebuah industri, dan sebagainya, adalah pilihan terakhir. Kita selalu membiarkan pasar bekerja sendiri, apa adanya. Bakapitalis. Terserah. Tetapi mereka lupa, mengendalikan perekonomian sebuah negara besar membutuhkan disiplin tinggi, konsistensi, teori, serta pengetahuan yang memadai. Kita tidak sedang bicara di lapak becek, sambil tertawa santai. Saya bertanggung jawab penuh memastikan perekonomian negara dengan penduduk 240 juta orang berjalan baik.
Apa untungnya menalangi Bank Semesta bagi pemerintah" Bukan sekadar angka dana talangan dua triliun pihak bank sentral baru saja merevisi angkanya bukan pula soal uang itu lebih baik diberikan untuk membangun ribuan sekolah, misalnya, bukan pula tentang kabar bahwa pemilik bank melakukan kejahatan dan manipulasi keuangan meskipun di laporan bank sentral tidak disebutkan, tetapi lebih karena apakah keputusan menyelamatkan Bank Semesta sesuai dengan disiplin, konsistensi kebijakan keuangan pemerintah selama ini. Bank itu kolaps, berarti pasar telah melakukan seleksi alam. Selesai. Kalian seharusnya paham sekali, ada prinsip-prinsip dalam pengelolaan perekonomian nasional yang harus dipegang teguh. Jika tidak, omong kosong bicara good governance, reformasi birokrasi, dan sebagainya itu.
Aku menelan ludah. Sejak awal aku sudah tahu, jika keputusan urusan ini terserah Ibu Menteri, Bank Semesta tidak akan pernah membuka kantornya lagi, tidak ada matahari esok untuk bank milik Om Liem. Pemberian dana talangan di luar kelaziman yang dipahaminya.
Nah, apakah akan terjadi rush besar-besaran Senin besok jika Bank Semesta diumumkan pailit" Bahaya dampak sistemis terjadi" Sistem keuangan nasional ikut kolaps" Itu sepertinya mungkin saja benar, terkadang keputusan telah dibuat sebelum kita memutuskan. Tetapi rapat komite nanti sore jelas adalah proses pengambilan keputusan, bukan mencari argumen. Sejauh ini, saya tidak akan mendahului proses itu dengan preferensi pribadi. Ibu Menteri untuk ketiga kalinya memperbaiki posisi duduk.
Bagaimana dengan nasabah besar yang harus kehilangan uang kalau Bank Semesta ditutup" Julia bertanya setelah lengang sejenak.
Itu risiko mereka. Semua orang seharusnya tahu, lembaga penjamin simpanan kita hanya menjamin tabungan hingga batas tertentu.
Ada ratusan nasabah... Tentu saja akan ada ratusan, bahkan ribuan nasabah yang ke"hilangan uang, tapi bukan nasabah kecil yang dijamin pemerintah. Ada banyak hal yang harus kami cemaskan, dan jelas itu bukan nasabah kelas kakap, apalagi nasib pemilik bank yang bangkrut, Ibu Menteri menjawab datar.
Ruangan lengang lagi sejenak. Sudah hampir dua puluh menit berlalu.
Baiklah, sudah saatnya aku mengambil dokumen yang tadi di"antarkan Maggie. Aku mengeluarkan selembar kertas dari dalam amplop cokelat, menyodorkannya pada Ibu Menteri.
Apakah Ibu pernah membaca data ini dalam laporan-laporan tentang Bank Semesta"
Ini apa" Ibu Menteri menerimanya.
Daftar deposito perusahaan negara di Bank Semesta, aku men"jawab pendek, membiarkan sebentar Ibu Menteri melihat Apakah ini valid" Terdengar helaan napas samar di balik pertanyaan Ibu Menteri meski wajahnya tetap berusaha tenang dan datar.
Lebih dari valid, saya mendapatkannya dari pihak internal Bank Semesta, aku menjawab lugas. Seperti yang Ibu lihat sendiri, setidaknya ada delapan perusahaan negara yang menaruh deposito bernilai ratusan miliar di Bank Semesta. Nah, tadi Ibu bertanya pada saya, apa untungnya bagi pemerintah menalangi Bank Semesta" Ibu bisa menyimpulkannya sendiri.
Ruangan besar itu kembali lengang. Aku sengaja memasang wajah menunggu komentarnya setelah melihat dokumen itu. Boleh saja wanita tangguh ini memilih disiplin dan konsisten, memegang teguh prinsip-prinsipnya, tapi dengan dokumen ini, situasinya hanya menjurus dua hal buruk. Biarkan Bank Semesta pailit, maka seluruh deposito delapan perusahaan negara bernilai nyaris satu triliun akan hangus. Kerugian itu akan dilaporkan dalam laporan keuangan perusahaan negara, tidak bisa ditutuptutupi. Maka dengan cepat, media massa memburu penjelasan. Siapa yang telah memberikan otorisasi menyimpan deposito di bank bermasalah" Siapa yang harus bertanggung jawab" Lingkaran setan masalah ini sama runyamnya dengan pilihan menyelamat"kan Bank Semesta.
Saya tahu, cepat atau lambat urusan ini tidak pernah sesederhana itu. Kali ini aku mendengar jelas helaan napas Ibu Menteri. Saya tidak menemukan data ini dalam laporan bank sentral. Astaga, banyak sekali uang perusahaan negara disimpan di sana.
Saya minta maaf kalau dokumen itu menambah tekanan baru bagi Ibu dalam mengambil keputusan, aku berkata sesopan mungkin, berlagak ikut simpati.
Terima kasih, Thomas. Tanpa dokumen ini pun, cepat atau lambat situasinya semakin rumit. Ibu Menteri perlahan meletakkan se"lembar kertas itu di atas meja. Sayangnya waktu wawancara kita telah habis, ada banyak pekerjaan yang harus saya tuntaskan.
Aku dan Julia mengangguk.
Ibu Menteri berdiri. Saya antar kalian ke pintu keluar. Kami melangkah menuju pintu depan.
Salam buat Shambazy. Ibu Menteri berjabat tangan dengan Julia.
Dan kau, Thomas, kau tidak cocok menjadi wartawan. Kau bukan tipikal komentator dan penonton seperti Shambaz. Kau adalah pemain, pemain kasti yang hebat, tukang timpuk anakanak perempuan yang lebih kecil. Ibu Menteri menyalamiku, tertawa.
Aku ikut tertawa sopan. Pertemuan itu telah selesai.
*** Dari mana kau dapat ide tentang bola kasti itu" Julia bertanya saat lift meluncur turun.
Maggie. Dia menuliskan hasil googling-nya dalam kertas lain di dokumen yang dia antar tadi. Berguna, bukan" Detail super- Maggie" Stafmu yang memanggil aku Nenek Lampir" Wajah Julia terlipat.
Aku tertawa, melirik pergelangan tangan. Pukul 09.45. Aku masih punya waktu tiga jam sebelum jadwal penerbangan nanti sore.
Kau sekarang ke mana" Julia bertanya lagi.
Beberapa pertemuan kecil lagi sebelum nanti sore berselancar di Bali.
Berselancar di Bali"
Aku mengangguk, menatap angka-angka penunjuk lantai di dinding lift. Kau mau ikut"
Alis Julia terangkat. Dalam urusan seperti ini" Kau bergurau atau serius, Thom"
Mengajakmu berselancar ke Bali" Tentu saja aku serius, Julia. Itu bisa jadi pengantar yang baik sebelum kita makan malam bersama di tepi pantai misalnya.
Julia melotot sebal. Aku tertawa. Aku harus menemui seseorang di Denpasar pukul empat sore. Itu pertemuan paling penting dari semua skenario, Julia. Kau seharusnya bisa menyimpulkan sendiri dari percakapan tadi. Walaupun aku menyerahkan dokumen yang lebih mengenaskan tentang deposito perusahaan negara di Bank Semesta, wanita tangguh itu boleh jadi tetap akan memilih disiplin dan konsistensinya. Dia kukuh. Dia tidak akan menalangi Bank Semesta sepeser pun. Aku membutuhkan bidak lain untuk memastikan keputusan rapat komite sebaliknya.
Kau akan bertemu siapa di Bali" Julia bertanya. Pintu lift sudah terbuka sebelum aku sempat menjawab. Lobi sentral dan ketua lembaga penjamin simpanan (yang kemarin sore satu pesawat denganku) telah tiba dari luar kota, dikerubuti wartawan.
Cepat, Julia. Aku sudah melangkah cepat, berusaha menyelinap pergi.
NJAK remnya, Tommi. Opa yang duduk di sebelahku berseru, mengingatkan.
Eh" Aku menoleh, menelan ludah, sedikit gugup. Injak remnya, Tommi! Remnya! Opa berseru lebih kencang.
Sudah, Opa! Sudah kuinjak remnya! aku balas berteriak panik. Mobil yang kukemudikan bukannya melambat, malah semakin cepat menuruni halaman belakang rumah. Remnya, Tommi! Astaga, kau justru menginjak gasnya! Sudah kuinjak! Mobilnya tidak bisa berhenti! Eh, sebenarnya remnya yang mana, Opa"
Yang tengah, Tommi! Injak remnya! Opa berseru panik, dengan cepat menyambar kemudi, berusaha membanting mobil ke kanan.
Terlambat, mobil melaju terlalu kencang, sedetik sudah menghantam gundukan taman. VW Kodok klasik itu seperti kodok bentur kemudi, suara klakson terdengar nyaring tidak sengaja ter"kena dahiku. Opa yang berusaha membantu mengendalikan mobil mengaduh tertahan, siku kiriku menghantam wajahnya. Urusan semakin kapiran. Lepas gundukan tanah, mobil menerabas barisan bunga bugenvil yang segera porak-poranda. Mobil tidak terkendali dan terus meluncur ke bibir waduk.
Dan sebelum kami bisa melakukan apa pun, mobil berdebum loncat ke dalam air, dengan cepat tenggelam. Gelembung udara menyeruak ke permukaan air.
Keluar, Tommi! Cepat keluar dari mobil! Opa menggerutu, berteriak dengan masih meringis menahan sakit dan kaget. Opa berusaha membuka daun pintu, terkunci, macet.
Aku lebih cepat, sudah mendorong pintu mobil sebelah kanan. Mobil sudah separuh tenggelam di sisiku. Aku segera berenang ke sebelah Opa, membantunya menjebol pintu.
Setelah sekitar dua menit berkutat, Opa berhasil keluar, aku me"nyeretnya ke tepi waduk.
Dasar anak ceroboh! Kau hampir membuat kita celaka. Untuk kesekian kalinya. Opa bersungut-sungut, badannya basah kuyup, napasnya tersengal.
Aku tertawa, membungkuk, memegangi pahaku yang nyeri terhantam entahlah tadi.
Kau jangan pernah meminta Opa mengajari mengemudi lagi. Ini seru, Opa! Hebat!
Omong kosong! Kau membuat mobil klasik Opa tenggelam di waduk! Opa berseru sebal.
Namanya juga kodok, Opa. Aku menyengir. Opa mengacungkan tinju, marah.
kau mematahkan kail kesayangan Opa, belum terhitung kaca jendela rumah yang pecah, anjungan dermaga somplak, atap genteng pecah. Opa tidak mau lagi mengajarimu apa pun. Kau sama seperti papamu dulu. Perusak nomor satu. Opa men"dengus, mendorong pelan bahuku, menyuruh menyingkir, lantas melangkah ke beranda rumah.
Aku mengibaskan rambut, tertawa lagi.
Tetapi Opa bergurau. Setelah ditertawakan Tante yang hari itu juga datang ke rumah peristirahatan, kami berganti baju kering, menghabiskan kue lezat buatan Tante di beranda belakang, Opa sudah lupa urusan mobil kodok itu. Staf rumah peristirahatan mengontak pemilik alat berat. Belalai pengeduk tanah itu tiga jam setelah kejadian sudah terjulur ke waduk. Beberapa penyelam mengikat mobil di dalam air, berusaha menariknya keluar.
Kau besok mau melakukan apa lagi, Tommi" Opa bertanya. Kami asyik menonton proses evakuasi mobil kodok. Belajar mengemudi lagi, Opa.
Astaga! Opa menepuk jidatnya. Tidak mau. Jangankan menyentuh mobil Opa, berada dekat dengan garasi saja kau tidak boleh, setidaknya hingga berusia delapan belas.
Kau membantu Tante masak saja, Tommi. Tante akan mengajarimu mem?"buat kue-kue. Siapa tahu berguna saat kau kembali ke se"kolah. Tante ikut bicara, duduk di salah satu kursi santai, me"nyeduh teh hijau.
Opa terkekeh. Ide bagus, lebih baik kau belajar memasak saja. Risikonya lebih kecil.
Aku memonyongkan bibir. Bukankah Opa sudah berjanji Enak saja! Janji itu batal dengan sendirinya kalau kau merusak sesuatu. Opa melambaikan tangan, menunjuk mobil kodok"nya yang mulai ditarik keluar dari permukaan waduk. Orang-orang berseru memberi aba-aba, belalai penciduk tanah itu sedikit bergetar.
Kami kembali asyik menonton.
Tetapi lagi-lagi tentu saja Opa bergurau, esok pagi-pagi kami sudah asyik belajar menembak.
Opa meminjamiku pistol tua, memberikan penutup telinga, lantas kami sibuk dar-der-dor di halaman kanan rumah yang disulap jadi tempat latihan tembak dadakan.
Itu untuk kedua kalinya aku berkunjung ke rumah peristirahatan Opa, liburan sekolah. Usiaku belum genap lima belas. Opa semangat menyusun jadwal agar aku betah, membuatku melupakan banyak hal, apalagi untuk sekadar bertanya tentang kejadian masa lalu. Aku tidak keberatan, lagi pula aku tidak tertarik membahas kenangan buruk itu.
Dari mana Opa belajar menembak" Kami sedang beristirahat, duduk di dermaga, betis terendam di dinginnya air waduk.
Kalau kau bertanya demikian, berarti kau mau bilang orang tua ini termasuk jago menembak, Tommi. Opa tertawa se"nang. Aku menyengir.
Autodidak, Tommi. Tidak ada yang mengajari orang tua ini. Mengemudi speed" Merawat mobil" Aku menguap, berusaha mengisi sesuatu dengan percakapan.
Itu juga autodidak. Sama seperti bermain musik, meskipun dalam bidang itu Opa tidak berbakat sama sekali. Opa ter- Berbisnis"
Ya, sama seperti berbisnis. Mana ada sekolah bisnis pada zaman Opa masih muda" Opa lulus sekolah rakyat pun tidak. Semua"nya dipelajari sendiri. Dicoba, gagal. Dicoba, gagal lagi. Terus saja kaulakukan. Lama-lama kau tahu sendiri bagaimana seharusnya trik terbaik dan tidak mengulangi kesalahan yang sama. Itu sekolah terbaik. Apa kata bijak itu" Pengalaman adalah guru terbaik.
Aku mengangguk. Aku akan menjadi autodidak seperti Opa.
Opa mengacak rambutku. Itu bagus. Sepanjang kau punya semangat untuk itu, kau bisa ahli dalam banyak hal tanpa harus duduk di kelas.
Kami diam sejenak. Sebuah perahu nelayan melintas, beberapa penumpangnya melambai. Opa balas melambai.
Hanya saja, esok lusa, dunia akan berubah banyak, Tommi. Opa menatap hamparan permukaan waduk yang kembali lengang setelah perahu tadi pergi, kabut turun membungkus pebukitan.
Hari ini, misalnya, semua pebisnis seperti Opa memilih hidup susah untuk mengumpulkan modal. Menahan diri untuk belanja, agar tabungan cukup untuk memperbesar bisnis, bersabar, konsisten, hati-hati. Esok lusa, orang-orang lebih memilih meminjam uang di bank, menerbitkan surat utang, atau jenis utang-utang lainnya. Mereka tidak sabaran dan mengambil risiko. Saat mereka gagal membayar utang, mereka akan me"nutupnya dengan pinjaman yang lebih besar.
Aku mengangguk meski belum mengerti kalimat Opa. Aku keuangan modern, kalian akan dicekoki dengan dogma: Meminjam lebih baik daripada mengeluarkan modal sendiri. Secara teoretis, pengungkitnya lebih besar.
Hari ini, misalnya juga, semua pebisnis hanya mengurus preman-preman, pungutan-pungutan dari pejabat rendahan, tikus-tikus busuk kelas bawah, makelar murahan. Esok lusa, bahkan anggota dewan terhormat menjadi calo, tidak beda dengan calo tiket di stasiun kereta. Pejabat tinggi menjadi peng"hubung, dan tidak terhitung aparat keamanan yang seharusnya melindungi, siap menggebuk bisnis kita jika tidak mendapat bagian. Aku lagi-lagi hanya mengangguk.
Nah, semoga kalau kau nanti autodidak, kau akan lebih hebat dibanding Opa. Situasimu berubah, masalahmu juga berubah. Dicoba, gagal, dicoba lagi, gagal lagi, jangan pernah putus asa, mengeluh, apalagi berhenti dan melangkah mundur. Kau me"warisi darah seorang perantau, mewarisi tabiat seorang pejuang tangguh, Tommi. Tidak terbayangkan, ribuan kilometer opamu ini menaiki perahu kayu tua, bocor...
Tante memanggil kita, aku memotong kalimat Opa. Eh" Opa menoleh ke beranda belakang, dia tidak mendengar apa pun.
Opa tidak mendengar suara Tante" Opa menggeleng, tidak mengerti.
Kata Tante, makan siang sudah siap. Aku duluan. Aku sudah lompat berdiri. Sebelum Opa menyadarinya, aku sudah berlari-lari kecil melintasi dermaga. Kakiku yang basah membentuk barisan jejak telapak kaki.
Opa menggerutu, Dasar anak tidak tahu sopan santun! saja Opa sudah dua kali bercerita tentang perahu nelayan bocor itu. Tiga kali bahkan belum tengah hari, itu berlebihan. ***
Opa benar. Tanpa kita sadari, dalam hidup ini, potongan-potongan kecil menjadi tempat kita belajar sesuatu dengan efektif. Misalnya, anak kecil belajar mengendarai sepeda hanya karena teman bermainnya membawa sepeda dan dia iseng mencoba. Orangtuanya terpesona saat tahu anaknya sudah bisa mengendarai sepeda. Dalam kasus lebih ekstrem, anak kecil usia tiga-empat tahun di"biarkan sendirian menonton acara televisi yang mengajari membaca, dan dia fokus memperhatikan entah bagaimana konsentrasi itu datang, orangtuanya terpesona saat tahu anaknya bisa membaca tanpa pernah diajari.
Ada banyak momen spesial ketika kita belajar sesuatu. Termasuk saat kita sudah remaja atau tumbuh dewasa. Kata Opa, Melakukan perjalanan, bertemu banyak orang, membuka diri, mengamati, mencoba sendiri, memikirkan banyak hal, adalah cara tercepat belajar. Kau bisa jadi tukang kayu yang baik jika berhari-hari mengunjungi lapak tukang kayu yang sedang sibuk membuat meja, kursi, pintu, dan sebagainya. Kau juga bisa menjadi tukang las, tukang cat, pembalap, penembak, penjahat, atau apa pun jika menghabiskan waktu bersama orang-orang dengan profesi itu. Sayangnya, banyak orang yang tidak menyadarinya, menghabiskan hari dengan rutinitas itu-itu saja tapi pengetahuannya tidak berkembang. Bagaimana mungkin, misalnya, kau setiap masinis. Opa terkekeh. Kalau kau autodidak yang baik, kau bahkan sudah bisa mengemudikan kereta, Tommi.
Aku belajar banyak hal dari kunjungan singkat ke rumah peristirahatan itu setiap liburan sekolah. Tidak sempurna autodidak, tapi Opa mengajariku dengan cara uniknya. Apa saja, termasuk keahlian kecil yang kadang buat apa pula kupelajari. Esok lusa, kau akan tahu apa gunanya, Tommi. Aku mengangguk, aku selalu percaya kalimat Opa. Dua puluh tahun berlalu, hari ini, di lobi parkiran gedung ke"menterian yang ramai, setelah menemui menteri yang kukuh itu, berlari-lari kecil bersama Julia, kalimat itu menemukan konteksnya.
Telepon genggamku berbunyi. Langkah kaki melamban. Dari layar telepon genggam aku tahu Maggie yang menelepon.
Halo, Maggie, cepat sekali kau sudah meneleponku. Kau sudah di kantor" Tiketnya sudah siap" Atau ada sesuatu yang hendak kaulaporkan"
Halo, Thomas. Itu jelas bukan suara Maggie. Langkah kakiku sempurna terhenti.
Sepertinya kami terlalu meremehkanmu. Terdengar tawa fals.
Julia hampir menabrakku, menggerutu, wajah sebalnya bertanya siapa yang menelepon.
Kau punya waktu lima belas menit, Thomas. Menyerahkan diri. Kami menunggu di kantormu yang mewah ini. Atau stafmu yang begitu cekatan ini esok lusa sudah bergabung dengan penghuni penjara perempuan. Ah, itu tidak seru, bagaimana kalau bagian tahanan khusus untuk para penjahat, pembunuh, dan peng"edar obat-obatan terlarang. Ide bagus, bukan" Sepertinya gadis"mu ini tidak akan bertahan satu hari.
Aku membeku. AU diajari tentang Socrates di sekolah" Opa bertanya takzim.
Aku mengangguk. Itu salah satu pelajaran favoritku, Opa. Oh ya" Opa tertawa. Tetapi apakah gurumu bilang bahwa Socrates, orang bijak, filsuf, penemu banyak pengetahuan itu mati bunuh diri"
Aku menggeleng, menelan ludah.
Itu jadwal ketiga kalinya aku ke rumah peristirahatan. Opa mengajakku ke kebun miliknya dekat Waduk Jatiluhur, mengenakan topi bambu, bersepatu bot, santai berjalan di bawah rimbun pohon durian, mangga, alpukat, nangka, dan pohon lainnya.
Tentu saja tidak. Opa menepuk bahuku. Itu akan merusak imajinasi kalian tentang orang hebat itu. Tetapi adalah fakta, dia bunuh diri dengan racun hemlock.
Aku menyeka keringat di pelipis. Sejak tadi pagi, saat Opa meneriakiku agar bangun, tertawa menyiramkan air di kepalamancing di waduk aku sudah menebak-nebak Opa akan mengajariku apa lagi pagi ini.
Indah, bukan" Opa menunjuk serumpun bunga di semak belukar.
Aku tidak menggeleng, juga tidak mengangguk. Insting remajaku menebak, bunga ini pasti ada hubungannya dengan kematian Socrates.
Itulah poison hemlock, Tommi. Inilah salah satu tumbuhan paling berbahaya di dunia. Socrates yang agung mati setelah menelan racun hemlock. Tubuhnya kejang-kejang, lantas maut segera datang. Mengerikan, bukan"
Bulu kudukku berdiri. Aku menghela napas.
Opa sudah melangkah ringan, berpindah ke bagian lain kebun, seperti sedang mengajakku berjalan-jalan di lorong mal.
Nah, itu pohon strychnine. Tidak lazim kaudengar. Tetapi Cleopatra memaksa pelayannya memakan biji buah pohon ini, untuk mengetahui apakah biji pohon ini cara terbaik untuk bunuh diri. Racun pohon ini terkenal sekali, Tommi, disebut brucine. Beberapa cerita legendaris menyebut-nyebut racun brucine. Kembali lagi ke Cleopatra tadi, kabar baiknya, setelah melihat pelayannya meninggal dengan cara yang amat menyakitkan, Cleopatra berubah pikiran. Kabar buruknya, dunia ini memang aneh sekali dalam kasus tertentu, Cleopatra memilih racun ular untuk bunuh diri. Dia mati dengan memasukkan tangannya ke dalam keranjang ular berbisa.
Astaga, aku paham sudah apa pelajaranku pagi ini. Opa mengajakku mengenal begitu banyak racun. Inilah sesi paling senyap. Aku lebih banyak diam, menatap wajah tua Opa yang terlihat karena jelas, dengan pengalaman hidupnya, meski Opa tidak pernah sekolah, pengetahuannya luas dan membekas. Aku lebih memikirkan, buat apa aku diajari soal ini. Ini berbeda dengan belajar mengemudi speedboat, menembak, atau menyetir mobil.
Awalnya hanya bunga, pohon, atau tanaman yang memang tidak lazim, tidak pernah kudengar, dan langka tumbuh di iklim tropis. Tetapi semakin siang, Opa mulai menunjuk jenis tanaman yang sejatinya banyak sekali berada di halaman rumah kebanyakan. Aku menelan ludah, bahkan satu-dua jenis tanaman itu dihidangkan di meja makan.
Kau pernah makan singkong mentah, Tommi" Opa menyeringai.
Aku buru-buru menggeleng.
Jangan pernah lakukan. Beberapa jenis singkong, ketela pohon, atau apalah orang menyebutnya mengandung racun sianida dengan kadar yang lebih dari cukup untuk membunuhmu. Dengan suara perlahan, Opa menjelaskan.
Masa-masa itu, ketika kehidupan semakin sulit, banyak orang-orang kampung yang mencari tumbuhan yang bisa dimakan dalam hutan. Kemarau panjang, paceklik, gagal panen, tidak ada bantuan, mereka memakan apa saja yang bisa dimakan. Di beberapa tempat disebut gadung, aku akan menyebutnya ubi kayu hutan saja. Jika kau tidak becus memasaknya, tidak cukup matang prosesnya, satu keluarga penuh, atau seluruh kampung bisa binasa dalam satu malam.
Aku bergidik, teringat tadi pagi Tante menghidangkan cake dari ketela pohon.
Opa tertawa. Tenang, Tommi, kalau kau masak dengan betahu bahwa singkong itu berbahaya. Kita tidak akan bisa berjalan-jalan di kebun lagi jika tantemu salah memasaknya.
Itu sungguh bukan gurauan yang menarik. Aku perlahan meng"embuskan napas.
Persis saat matahari di atas kepala terik membakar ubunubun, Opa melambaikan tangan, mengajakku kembali ke rumah peristirahatan. Aku lebih banyak diam saat Opa mengemudi mobil.
Kau tidak suka pelajaran hari ini, Tommi. Opa berkata takzim.
Aku bergumam antara terdengar dan tidak. ***
Dua puluh tahun berlalu sejak pelajaran itu. Ada berapa orang di atas sana" aku bertanya cepat. Setidaknya enam orang, Pak Thom, satpam kantor menjawab ragu-ragu. Mungkin juga lebih. Saya tidak sempat menghitung. Mereka baru tiba setengah jam lalu, berseragam dan bersenjata. Beberapa memakai topeng. Mereka langsung menerobos meja depan. Jangankan menahannya, bertanya saja kami tidak berani.
Aku mengusap dahi. Urusan ini serius sekali. Itu pasti rombong"an petugas yang tadi malam menangkapku. Seharusnya aku segera menyuruh Maggie menyingkir, bekerja dari lokasi alter"natif yang lebih aman. Dengan telepon genggamku dipegang bintang tiga itu, soal waktu mereka bisa menyisir satu per satu orang kepercayaanku, dan Maggie jelas ada di urutan pertama.
Jatiluhur" Julia bertanya cemas sepertinya sakit hati dibilang Nenek Lampir menguap cepat oleh situasi ini.
Aku mengangguk cepat. Mereka juga orang yang sama yang telah menembaki kapal Opa tadi pagi di dermaga yacht. Aku melirik jam di pergelangan tangan. Meski jadwalku superketat, aku sungguh tidak bisa membiarkan Maggie ditangkap. Tadi dari parkiran gedung kementerian, mengambil alih kemudi mobil Julia, kami mengebut di jalanan protokol ibu kota, tiba dua menit lebih awal dibanding tenggat waktu yang diberikan penelepon, suara fals yang amat kukenal. Kami segera merapat di gerbang belakang kantor, bertanya pada satpam yang berjaga yang justru lebih dulu melaporkan situasi.
Apa yang sebenarnya sedang terjadi, Pak Thom" satpam kantor bertanya cemas.
Mereka menggeledah kantorku.
Menggeledah kantor Pak Thom" Memangnya ada apa di sana" Ada bom"
Mana aku tahu. Mereka sekarang menahan Maggie. Ibu Maggie yang cantik dan baik hati itu" Aduh! Satpam kantor kontan mengeluh.
Aku mengabaikan wajah terlipat satpam. Apa yang harus kita lakukan, Pak Thom"
Aku belum tahu, dan berhentilah bertanya. Kau tidak membantu situasi dengan pertanyaan itu, aku menjawab ketus.
Bagaimana aku bisa menyelamatkan Maggie dari sana" Dengan jumlah polisi lebih dari setengah lusin, jangankan menyelamatkan Maggie, mendekati lantai kantorku saja tidak mudah. Sejak mengebut tadi aku sudah memikirkan skenario, tapi bunsetengah lusin pasukan, kami berempat aku, Julia, Opa, dan Om Liem kemarin sore bahkan tidak bisa kabur jika tidak ada bantuan Rudi.
Telepon genggamku berbunyi. Nomor telepon Maggie.
Halo, Thomas. Kau butuh berapa lama lagi, hah" Suara berat itu langsung bertanya, intonasinya tidak main-main. Aku masih dalam perjalanan.
Waktumu habis, Thomas. Aku perlu waktu untuk tiba di kantor. Ayolah, lima belas menit lagi. Aku pasti datang, aku berseru, mengucapkan apa saja yang terpikir di kepala, termasuk kemungkinan menundanunda, memperlambat.
Sayangnya, aku tidak punya waktu selama itu, Thomas. Jika lima menit dari sekarang kau tidak menampakkan hidung di ruang"an kantor ini, stafmu yang cekatan ini sudah telanjur dibawa ke penjara, dan tidak akan ada lagi jalan kembali untuknya. Pembicaraan diputus.
Aku berseru jengkel, hampir membanting telepon genggam. Hei, tidak bisakah dia bicara lagi sebentar, bernegosiasi" Dasar tabiat pengecut. Dia seharusnya tidak melibatkan orang lain dalam urusan ini apalagi Maggie.
Bagaimana" Julia bertanya cemas.
Sebuah motor bebek pengantar pizza melintasi gerbang satpam.
Kau tidak akan menyerbu langsung ke atas, bukan" Julia ber"tanya panik saat melihat tanganku bergerak ke arah revolver Aku akan menyerbu mereka. Kita lihat saja akan seperti apa.


Negeri Para Bedebah Karya Tere Liye di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kau gila, Thomas. Kau kalah jumlah. Dan sejak kapan kau pintar menembak" Julia berteriak.
Pak Thom" Apa yang akan Pak Thom lakukan" Satpam gerbang juga refleks melangkah mundur, jeri melihat revolver di tanganku beruntung hari ini hari Minggu, pintu masuk gedung perkantoran sepi, keributan kecil ini tidak menarik perhatian siapa pun.
Motor bebek pizza yang barusan melintas sudah parkir rapi. Petugasnya sambil bersiul menenteng kantong plastik besar berisi kotak pizza lezat.
Aku sudah melangkah cepat. Tunggu, Thomas!
Aku tidak mendengarkan Julia.
Kau benar-benar kehilangan akal sehat, Thomas. Kau sama saja bunuh diri!
Aku sekarang bahkan berlari-lari kecil, membiarkan Julia mengejarku.
Sekejap, aku sudah mencengkeram kerah baju petugas pengantar pizza, mengacungkan pistol, berkata tegas. Ikut denganku, segera!
*** Dalam hitungan detik, aku mendapatkan ide itu.
Opa benar, tidak ada pengetahuan yang tersia-siakan, termasuk tentang pengetahuan racun sekalipun. Kalian tahu, di naman yang sangat beracun tanpa kita sadari. Bunga terompet mekar tidak berbilang di taman gedung perkantoran. Indah. Tetapi apakah ada karyawan yang sering berlalu-lalang tahu bahwa bu"nga itu amat berbahaya"
Aku menyeret petugas pengantar pizza itu berjalan ke toilet lantai dasar gedung, menyuruhnya melepas baju seragam pengantar pizza. Dia takut-takut, nanar melihat revolver, mulai melepas baju dan celana. Aku melemparkan pistol ke Julia, mengganti pakaianku dengan cepat.
Hei, sebentar! aku meneriaki pengantar pizza yang hendak lari terbirit-birit setelah pertukaran baju selesai. Untukmu! Cukup untuk mengganti pizza dan seragam kerjamu. Aku melemparkan gumpalan uang yang kutarik dari dompet. Dia takut-takut mengambilnya di lantai toilet.
Sekali saja kau cerita tentang kejadian ini, bahkan dalam mimpimu pun aku akan datang. Hei, kau dengar"
Pengantar pizza itu sudah mendorong pintu toilet, berlari cepat menuju motornya, melintasi gerbang, membuat satpam menatap heran, sejak kapan pengantar pizza ini berganti pakaian jas rapi"
Aku menyuruh Julia memetik beberapa bunga terompet di taman gedung perkantoran. Gadis itu, yang mulai mengerti, berlari cepat seperti mengejar informan berita setimpal hadiah Pullitzer.
Kandungan aktifnya adalah atropine, hyoscyamine, dan scopolamine, zat penghilang kesadaran. Kau bisa meninggal jika overdosis, aku menjawab cepat pertanyaan Julia, seberapa berbahayanya tanaman itu, sambil memeras bunga terompet yang Julia menelan ludah, wajahnya pucat. Kau tidak sungguh-sungguh, Thomas"
Aku lebih dari serius. Sekali saja mereka tidak sopan menyentuh Maggie, aku akan membunuh mereka semua, aku menjawab dingin, sekarang memotong bunga itu kecil-kecil, menjadikannya topping pizza.
Julia berpegangan ke pintu toilet.
Sempurna sudah. Potongan bunga terompet sudah bergabung, tersamar seperti bagian dari resep lezat pizza. Aku memasukkan kembali dua pizza ukuran jumbo itu ke dalam kotak, meletakkannya dalam kantong plastik, memasang topi khas pengantar pizza, memasang kacamata besar bundar milik pengantar pizza tadi, menyamarkan tampilan. Kau tunggu di sini, Julia. Jika lima belas menit aku tidak turun, kau beritahu satpam depan untuk menelepon siapa saja, meminta bantuan.
Julia kehilangan komentar. Dia mencengkeram pintu toilet. Aku sudah bergegas menuju lift.
Entah siapa yang memesan pizza ini, tidak penting. Aku akan membawanya langsung menuju ruangan kantorku, bilang ada kiriman pizza untuk penghuni ruangan itu, meninggalkannya.
Apakah mereka akan tertarik mengunyahnya" Waktuku sekarang adalah detik. Aku menekan tombol lift. Keliru atau benar, berhasil atau gagal rencana ini sekarang hanya soal detik. Aku akan memikirkan cara terbaik agar setengah lusin lebih anggota pasukan itu tertarik memakannya sepanjang lift bergerak naik.
ELIRU, mereka sama sekali tidak tertarik mengunyah pizza yang kubawa.
Pintu lift lantai lima terbuka, aku melangkah layaknya pengantar pizza yang baik, bergegas masuk ke ruang resepsionis kantorku.
Segera, dua dari petugas berseragam taktis langsung menghadang.
Pagi, Bos. Saya hendak mengantar pizza ke dalam. Kau tidak boleh masuk! Salah satu dari mereka mengangkat tangan, menunjuk lorong, menyuruhku pergi. Tangan satunya mengangkat senjata mesin otomatis, teracung padaku.
Eh" Aku pura-pura bingung, memastikan nama perusahaan yang ditulis dengan batu pualam di belakang meja resepsionis. Bukankah ini kantor Thomas & Co" Ada karyawannya yang me"mesan pizza. Saya harus mengantar ke dalam. Dan aku, seperti gaya pengantar pizza yang terburu-buru, mengabaikan dua petugas itu, melangkah menuju pintu di sebelah meja resepsionis.
Kau tidak boleh masuk! Salah satu dari mereka membentak, sigap meloncat. Tangannya yang terlatih dengan cepat mencengkeram kerah seragam pizza-ku.
Sial! Aku menelan ludah, sedikit tercekik.
Eh, saya tahu ruang kerja yang memesan pizza ini, Bos. Biar saya antar ke dalam langsung, tidak akan lama. Mereka sudah biasa pesan. Aku berusaha mengangkat tinggi kotak pizza, menunjukkannya, memasang wajah seperti tersiksa oleh cengkeraman kasar itu.
Petugas yang memegang kerahku sedikit melonggarkan genggaman tangannya demi cicit suara kesakitanku. Tidak ada yang memesan pizza! Tidak ada siapa-siapa di dalam sana.
Ada yang pesan, Pak, eh Bos. Aku menunjukkan sekilas resi pesanan. Saya sungguh harus mengantarkannya tepat waktu, atau mereka berhak menerima pizza gratis karena terlambat dan pizza-nya telanjur dingin. Gaji saya akan dipotong manajer gerai, belum lagi dia akan marah-marah. Aku membungkuk, mengembuskan napas, pura-pura tersengal dan pucat karena kejadian barusan.
Petugas itu menoleh ke arah temannya, meminta pendapat. Temannya mengangkat bahu. Tangannya terus siaga memegang senjata terarah padaku.
Baik. Sekarang kauserahkan pizza-nya, biar kami yang bawa ke dalam.
Eh, saya harus mengantarnya sendiri, Pak Bos. Aku buruburu menggeleng. Aku harus masuk, harus melihat sendiri posisi Maggie, dan seberapa banyak mereka yang sedang menahan Maggie.
lagi melihat wajahku. Kau tinggal bilang di mana meja pemesan pizza ini. Biar aku yang antar. Kau tunggu di sini saja.
Aku berpikir sejenak, berusaha mencari akal untuk bernegosiasi diizinkan masuk.
Petugas itu sudah merampas kantong plastik besar berisi kotak pizza di tanganku.
Di mana meja pemesannya" Dia mendesak, menatap galak. Eh, Ibu Maggie. Mejanya paling pojok, aku terbata-bata menjawab.
Petugas itu melangkah dengan cepat. Aku ikut melangkah masuk, mengiringinya.
Astaga. Petugas menoleh, tangannya bergerak cepat, senjata mesin otomatisnya terangkat, larasnya menahan dadaku. Alangkah susah memberi perintah padamu. Kalau kubilang tunggu di luar, berarti kau tunggu. Atau kau tidak akan pernah bisa lagi mengantar pizza walau sekotak kecil jika kutarik pelatuk senjata ini.
Aku menahan napas. Mata kami bersitatap satu sama lain. Maaf, Pak, eh, Bos. Maaf. Aku menelan ludah, mengangkat tangan, perlahan melangkah mundur.
Setidaknya satpam gerbang belakang gedung perkantoran benar. Jumlah mereka enam. Meski berpura-pura gentar menatap senjata, sebelum melangkah mundur, aku sekejap bisa melirik dengan jelas ujung ruangan. Maggie didudukkan di salah satu kursi, tangannya diborgol. Empat petugas berada di sekitarnya, berjaga penuh. Bintang tiga polisi itu terlihat santai menikmati pemandangan jalanan kota yang lengang dari dinding kaca. Dua kecil dua petugasnya yang berjaga di meja resepsionis dengan peng"antar pizza.
Apa lagi yang kautunggu, hah" Pizza-mu sudah kuletakkan di atas meja pemesannya. Petugas yang membawa kotak pizza kembali.
Eh. Aku menggaruk kepala, melonggarkan topi seragam. Biasanya mereka memberi saya tips, Bos.
Apa kau bilang" dia membentak, melotot.
Eh, tips, Pak Bos. Biasanya ada. Aku masih berusaha melirik ke sana kemari, memastikan apakah masih ada petugas lain yang berjaga di lokasi berbeda.
Lupakan tipsmu. Segera menyingkir dari sini. Dia mendorong"ku kasar. Dan jangan pernah cerita pada siapa pun apa yang kaulihat.
Petugas yang satunya mendekat, bersiap memukulkan popor senjata jika aku tidak segera pergi.
Aku mengangguk. Baiklah, tidak ada yang bisa lagi kulakukan. Dengan situasi seperti ini, jangankan menyelamatkan Maggie, mendekatinya saja aku tidak bisa. Segeram apa pun aku, segemas apa pun, termasuk ingin meninju petugas yang sekarang kasar sekali menusuk-nusukkan laras senjatanya ke perut, aku tidak punya pilihan selain pura-pura pergi. Setidaknya aku tahu persis Maggie baik-baik saja. Dia tidak diperlakukan kasar. Sesuai skenario, aku hanya bisa menunggu. Dan berharap, setengah lusin polisi berpakaian tempur ini akan mengunyah pizza dengan topping spesial bunga terompet.
Aku perlahan melangkah keluar.
Sayangnya skenario itu gagal total. Jangankan memakan, me-***
Lima menit yang dijanjikan bintang tiga polisi itu berlalu.
Aku menunggu dengan tegang di lorong lift, di balik tanaman hias besar, di dekat pintu menuju tangga darurat. Aku mengintip ke arah kantorku, sama sekali tidak terlihat tanda-tanda pizza itu disentuh mereka. Dua petugas yang berjaga di meja resepsionis kantor tetap siaga, berjaga-jaga atas segala kemungkinan.
Bintang tiga polisi itu membuktikan ucapannya, dia akan mem"bawa Maggie pergi jika aku tidak menunjukkan batang hidung sesuai tenggat yang diberikan. Lima menit berlalu, dia bahkan tidak perlu repot-repot lagi berusaha meneleponku. Dia berteriak memberi perintah pada empat anak buahnya untuk segera membawa tahanan. Mereka bergerak. Senjata-senjata teracung, Maggie disuruh berdiri.
Dari balik tanaman hias, aku mendengar bentakan-bentakan menyuruh Maggie segera melangkah. Terdengar suara mengaduh tertahan Maggie. Tanganku mengepal, situasi semakin serius. Kalau saja hendak menurutkan emosiku, saat ini juga aku akan menyerbu ruangan. Tapi itu tidak bisa kulakukan. Julia benar, itu hanya bunuh diri, dan aku bisa membahayakan Maggie secara tidak langsung.
Maggie melangkah patah-patah keluar. Dua petugas di meja resep"sionis bergabung mengawal, seperti sedang mengawal penjahat besar paling berbahaya.
Bintang tiga polisi itu melangkah santai di belakang. Aku mendongak, menatap langit-langit lorong. Apa yang harus kulakukan sekarang" Napasku sungguhan tersengal, tegang.
Rombongan itu sudah menuju lift. Satu-dua kali Maggie didorong agar berjalan lebih cepat.
Tanganku mengepal keras. Hanya dalam hitungan detik, dan Maggie sudah dibawa pergi entah ke mana. Aku tidak akan pernah bisa lagi menyelamatkannya.
Rombongan itu beberapa langkah lagi menuju lift. Aku kehabisan kesabaran, sekarang atau tidak sama sekali. Aku siap lompat dari persembunyian, berlari menyerbu rombongan itu.
Psst! Seperseribu detik. Bisikan pelan itu membuat gerakanku tertahan.
Psst! Aku menoleh. Kejutan besar.
Bisikan pelan itu bersumber dari Rudi, si bokser sejati klub petarung. Kepalanya muncul di balik pintu tangga darurat dua langkah di sebelahku.
Ikuti aku, Thomas. Waktu kita terbatas. Dia tersenyum, mata"nya bersinar meyakinkan.
Aku menelan ludah, tertahan menoleh pada Rudi sejenak, menoleh lagi ke ujung sana. Rombongan yang membawa Maggie sudah persis di depan lift.
Cepat, Kawan. Atau stafmu yang cantik itu tidak punya kesempatan lagi. Wajah Rudi hilang di balik pintu darurat, suara kakinya yang menuruni anak tangga terdengar berderap di balik pintu.
Aku mengusap wajah. Tidak mengerti apa yang sedang terjadi.
menoleh ke ujung lorong, salah satu polisi menekan tombol ke bawah, menunggu lift terbuka.
Baiklah. Pilihanku terbatas. Aku bergegas membuka pintu darurat, dengan cepat menyusul Rudi yang sudah satu lantai di bawah. Aku loncat ke pegangan tangga, dengan bantalan paha, meluncur.
Jangan banyak bertanya dulu, Kawan. Rudi menoleh, tertawa. Anggap saja aku sakit hati karena hanya bertugas mengatur lalu lintas di perempatan.
Aku menelan ludah. Kami sudah tiga lantai turun dengan cepat.
Dari dulu aku selalu berharap bisa bertarung bersisian bersamamu, Thomas. Rudi menyipitkan matanya. Itu pasti akan seru. Tetapi Theo dan pendiri klub petarung terlalu konservatif. Aku sudah mengusulkan berkali-kali agar kita membuat jenis pertarungan baru di klub. Dua lawan dua, misalnya. Atau empat lawan empat. Itu jelas lebih seru, bukan"
Kami tinggal satu lantai lagi tiba di lantai lobi gedung. Rudi mendorong pintu darurat, keluar, berlari di lobi yang lengang. Nah, inilah kesempatan besarnya. Dua lawan enam. Ini akan menjadi pertarungan hebat, Thomas. Pertarungan legendaris.
Aku tidak berkomentar, terus mengikuti langkah kaki Rudi. Kita masuk dengan cepat, Kawan. Seperti angin puyuh. Rudi mengatur napas, menatapku yakin. Lima detik pertama adalah segalanya.
Aku akhirnya paham. Kami sudah berdiri persis di depan pintu lift lantai lobi. Aku mendongak, menatap petunjuk posisi Kau pasti tahu, senjata mesin otomatis yang mereka pegang tidak akan berguna dalam pertarungan jarak pendek. Ruangan lift terlalu sempit untuk mengambil ancang-ancang menembak. Begitu pintu lift terbuka, kita akan menyerbu masuk dan langsung beradu punggung, Thomas. Kau urus tiga atau empat petugas, aku urus tiga yang lainnya. Rudi bersiap-siap, mengenakan kedok di kepala, hanya terlihat matanya saja sekarang. Dia memasang posisi bertinju.
Aku ikut memasang posisi. Gigiku bergemeletuk oleh sensasi pertarungan, tanganku mengepal sempurna membentuk tinju, bedanya sekarang tidak ada sarung tinjunya.
Rudi benar, ini akan jadi pertarungan hebat.
Pukul bagian badan yang mematikan, Thomas. Jangan mengasihani lawanmu. Aku tahu, dalam setiap pertarungan klub, kau bukan tipikal petarung pembunuh, kau kadang berbaik hati. Tetapi enam polisi yang akan kita hadapi ini terlatih untuk membunuh, aku tahu persis. Mereka mantan anak buahku. Jika kau tidak segera melumpuhkan mereka, mereka dengan senang hati melakukannya lebih dulu. Ingat, Thomas, satu kali pukulan yang me"matikan. Tidak akan ada kesempatan tinju kedua atau ketiga!
Aku mengangguk. Lobi gedung yang lengang hanya menyisakan dengus napas kami, tegang.
Bersiap, Kawan. Bel ronde pertama sekaligus terakhir akan terdengar! Rudi mendesis.
Lift berbunyi pelan, tanda lift sudah tiba di lobi. Pintunya bergerak membuka. Amat perlahan rasa-rasanya. Enam petugas bersenjata langsung terlihat. Salah satunya bin-Maggie persis di tengah.
Aku dan Rudi sudah melompat masuk, bahkan sebelum pintu sempurna terbuka.
Lihatlah! Kami sudah bertarung puluhan kali di klub. Tetapi ini sungguh pertarungan paling hebat yang pernah kulakukan. Kami seperti penari masyhur yang sedang ekstase menari mengikuti gerakan tangan dan kaki, atau seperti konduktor orkestra yang sedang memimpin pertunjukan dengan segenap sen"sasi, atau seperti pelukis besar yang setengah sadar mencampur warna, menumpahkannya di kanvas, corat-coret penuh irama, membuat karya agung.
Masterpiece. Tanganku sudah bergerak cepat dalam ketukan pertama, satu tinju menghantam dagu salah satu polisi. Tubuhnya terbanting, kepalanya menghantam dinding lift, senjatanya terlepas. Rekannya berteriak, Awas! Belum hilang kata awas itu di langit-langit lift yang terasa sempit karena ada tujuh orang di dalamnya, tubuh polisi itu sudah menghantam dinding lift, dan Rudi meninju pelipisnya.
Aku dan Rudi petarung terbaik klub, beringas menghabisi lawan. Dua detik kemudian, dua polisi lain menyusul terkapar. Salah satu polisi itu terduduk, tanpa sengaja menarik pelatuk senjata mesin di tangannya, rentetan peluru melukis atap lift, lampu terburai, cermin pecah berderai, suara tembakan yang memekakkan telinga, aku dan Rudi menunduk, tanganku mendorong Maggie agar tiarap.
Tembakan terhenti, polisi itu sudah terkapar pingsan. Aku lompat dengan cepat, meninju dagu polisi yang tersisa, giginya rontok, keluar bercampur darah dan ludah. Rudi, dalam waktu yang sama, sudah menghajar polisi lainnya, menghantam leher. Polisi itu sejenak berdiri, lantas roboh tanpa suara. Pertarungan selesai di detik kelima belas.
Rudi dengan cepat memegang kerah bintang tiga polisi yang sejak tadi termangu menatap kejadian supercepat, ibarat menonton kereta Shinkansen yang sedang melintas di hadapannya. Sekejap, enam anak buahnya terkapar, tumpang tindih di ujung kakinya.
Kau bahkan tidak layak untuk menerima tinjuku. Rudi meng"geram, mendorong bintang tiga itu jatuh terduduk, meloloskan pistol di pinggang petinggi polisi itu, membuang isi pistol. Peluru berkelotakan di lantai lift.
Ayo, Thomas, bawa stafmu pergi! Rudi menoleh padaku, sem"barang melemparkan pistol kosong.
Aku mengangguk, mencari kunci borgol di salah satu pinggang petugas.
Aku membuka borgol Maggie, lantas membantunya berdiri. Wajah Maggie pucat. Tangannya gemetar tidak terkendali. Matanya basah. Dia menangis ketakutan, tetapi dia baik-baik saja.
Aku memapah Maggie keluar dari lift. Rudi berjalan di belakang"ku.
Lobi gedung lengang. Jam besar yang diletakkan di salah satu dinding lobi berdentang sebelas kali.
Kami sudah melangkah keluar, Julia menyusul bergabung dari toilet.
alo, Mag. Aku tersenyum, kepalaku melongok ke jok belakang, menyerahkan sekotak tisu kuambil sembarang dari dasbor mobil yang dikemudikan Rudi dengan cepat. Tampaknya kondisimu buruk sekali, Mag. Sembap, menangis, kotor, rambut berantakan, baju kusut. Kau persis seperti gadis yang ditinggal tanpa kejelasan bertahun-tahun, atau setidaknya, dalam level paling rendah, seperti pembaca cerbung yang berlama-lama tidak jelas menunggu lanjutan cerita.
Jangan ganggu dia dulu, Thom. Julia mendorong pundakku, menyuruhku kembali ke posisi di jok depan sambil mencemooh kotak tisu. Julia mengambil tisu basah yang jelas lebih baik dari tasnya.
Maggie tidak berkomentar, menerima tisu basah dari Julia, bilang terima kasih pelan, lantas menyeka wajahnya yang cemong ka"rena tersungkur di lift yang ingar-bingar oleh pertarungan dan tembakan senjata lima belas menit lalu. Sementara Rudi di sebelahku seperti besok matahari terbit dari barat, terus memacu kecepatan mobil, meninggalkan gedung perkantoran.
Tetapi terlepas dari situasinya, harus kuakui kau tetap stafku yang paling cantik, Mag. Aku masih berusaha memastikan Maggie baik-baik saja dengan caraku sendiri.
Astaga, Thomas, tidak bisakah kau berhenti mengganggunya. Julia melotot, menepuk-nepuk ujung kemeja putih Maggie, membersihkan debu.
Aku menyeringai, menatap Julia yang siap mendorong badanku kembali.
Sana! Julia mengacungkan telunjuknya.
Aku mengangkat bahu, tetap melihat Maggie yang sekarang mengelap tangannya yang luka.
Hanya lecet, bukan" Kalau sampai membekas, kau tidak bisa lagi memakai baju lengan pendek, Mag. Bekas lukanya akan terlihat mengerikan.
Julia hampir memukulku dengan kotak tisu, tetapi Maggie lebih dulu berkomentar. Aku baik-baik saja, Thom.
Kau tidak sedang berbohong, bukan" Tidak sekadar menyenang"kan atasan"
Aku baik-baik saja, Thom. Sungguh. Aku tadi menangis karena kaget dan takut. Kau tidak pernah menulis deskripsi pe"kerjaan seperti ini saat merekrutku dulu. Aku pasti segera minta kenaikan gaji, Thom. Dan soal staf paling cantik, omong kosong, karena seluruh stafmu memang laki-laki. Kalimat Maggie ter"dengar sengau, sisa kaget dan gentarnya. Dia mem"perbaiki rambu nya yang berantakan, memasang ikat rambut dari Julia.
kenal. Kalau dia sudah menyebut-nyebut pekerjaan, gaji, dan sebagainya, berarti dia memang baik-baik saja.
Tadi& suara tembakan tiba-tiba membuatku takut sekali. Maggie menghela napas, suaranya sedikit tercekat. Di dalam lift yang sempit dan bergetar, kaca berhamburan, percikan nyala api dari lampu yang pecah, delapan orang berkelahi. Semua kacaubalau. Tidak ada yang mendengarkan teriakanku. Aku menelan ludah. Gerakan tangan Julia terhenti. Saat tiarap, aku sempat berpikir semua akan berakhir di lift, ada peluru yang mengenaiku, darah mengalir, mati... Kakiku bahkan masih gemetar sekarang. Maggie menyeka wajahnya sekali lagi dengan tisu basah. Aku takut sekali& Kabin mobil lengang sejenak. Maggie hendak menangis lagi. Kau salah satu wanita tangguh yang pernah kukenal, Mag. Julia membesarkan hati. Tidak semua orang bisa bertahan dalam lift dengan kejadian seperti itu, bahkan aku tidak yakin bisa pergi dari sana tanpa ditandu, pingsan.
Terima kasih. Maggie sejenak menatap Julia, tersenyum lebih baik.
Julia balas tersenyum, mengangguk.
Aku menyengir. Kalian sekarang terlihat akrab sekali. Kau se"perti lupa saja, dua jam lalu Maggie masih memanggilmu Nenek Lampir, Julia.
Kali ini Julia sungguhan melemparku dengan kotak tisu.
*** Lima belas menit lalu, Rudi memimpin rombongan keluar dari Aku dan Julia memapah Maggie masuk ke mobil. Dalam situasi seperti ini, aku tidak sempat menyusun rencana cadangan. Rudi yang segera menekan pedal gas bertanya, Kita ke mana" Aku menjawab sekenanya, Pelabuhan yacht. Itu satu-satunya tempat aman. Setidaknya hingga semua urusan selesai, Maggie bisa bersembunyi di sana bersama Opa dan Om Liem dari kejaran petinggi kepolisian itu.
Depan belok kiri atau kanan, Thom" Rudi menyikutku. Aku kembali memasang posisi duduk, meletakkan kotak tisu di dasbor. Mobil yang dikemudikan Rudi memasuki gerbang pelabuhan. Hanya butuh lima belas menit. Aku pikir, Rudi menyetir sebaik dia menghajar anggota klub dalam sebuah pertarungan terlepas dari mobil yang dia bawa.
Hari Minggu, hampir pukul dua belas siang, dermaga terlihat ramai.
Beberapa kapal pesiar melepas sauh. Satu-dua dipenuhi pencinta memancing, satu-dua oleh sosialita kelas atas yang bosan menghadiri pesta, atau kongsi bisnis penuh kelicikan, beberapa lainnya tidak jelas benar siapa saja penumpangnya. Di dermaga ini tidak ada yang peduli aktivitas orang lain, lebih tidak peduli dibanding kompleks mahal yang kenal tetangga sebelah pun tidak. Itu menguntungkan, tidak ada yang memperhatikan mobil yang merapat di dekat Pasifik.
Tidak usah dibantu, Julia. Aku bisa sendiri, Maggie menolak halus.
Kau yakin" Suara Julia terdengar rasa-rasanya seperti menganggap Maggie saudara kembarnya saja sejak kejadian di lift. Aku tertawa tipis, melangkah menuju tangga kapal Julia meng-Maggie tersenyum meyakinkan, mengangguk. Dia lebih dari sehat untuk naik kapal tanpa dibantu.
Pak Thom" Cepat sekali kembali" Ada apa" Kadek langsung menyambut saat kepalaku melongok pintu kabin belakang.
Ada peserta baru yang ikut mendaftar, aku menjawab santai.
Eh, peserta baru" Kadek menatap bingung, dia masih memakai celemek masak. Bisa dimaklumi, sebentar lagi jadwal makan siang. Aroma masakan tercium lezat dari dapur kapal pesiar.
Opa dan Om Liem menyusul di belakang Kadek, membuat kabin belakang sedikit ramai.
Kenalkan, itu Maggie, salah satu stafku di kantor. Yang satunya...
Aku tahu dia, Opa terkekeh pelan, memotong. Sejak kemarin sore diborgol bersama-sama di rumah peristirahatanku, kau sepertinya tidak terpisahkan lagi dari Tommi, Nona. Julia mengangguk sopan. Selamat siang, Opa.
Bukankah dia polisi" Om Liem ragu-ragu menatap Rudi yang terakhir kali masuk.
Iya, dia memang polisi. Astaga! Kadek seperti bersiap lari mengambil Kalashnikova di dapur.
Dia di pihak kita sekarang. Setidaknya hingga detik ini. Aku melambaikan tangan.
Kadek masih ragu-ragu. Kalian seperti habis berkelahi" Opa menyelidik. Aku tertawa pelan, tidak menjawab. Lima menit yang terlalu Aku harus segera pergi, Opa. Aku mengangguk kepada Opa, lantas menoleh, memegang bahu Kadek. Maggie akan tinggal di sini hingga semua jelas. Dia peserta baru yang harus kaujaga. Julia...
Aku tidak akan tinggal di sini, Thom, Julia memotong kalimat"ku. Aku tidak perlu bersembunyi. Dalam situasi seperti ini, tidak akan ada yang terlalu bodoh menangkap wartawan. Lagi pula aku tidak tersangkut apa pun sebelumnya. Aku harus kembali ke kantor, ada laporan penting yang harus kuketik. Kau masih butuh amunisi tambahan untuk pembenaran penyelamatan Bank Semesta, bukan"
Terima kasih, Julia. Aku akan menghubungimu jika ada sesuatu.
Julia mengangguk. Kau hendak pergi lagi, Tommi" Tidak bisakah kau makan siang bersama sebentar" Kadek sedang memasak bebek panggang lezat, Opa menyela, selalu suka dengan acara makan bersama.
Aku menggeleng, melirik pergelangan tangan. Aku harus mengejar jadwal penerbangan, Opa. Ada ikan besar yang harus kutangkap.
Ikan besar" Opa diam sejenak, tersenyum. Baiklah, kalau begitu kau harus hati-hati. Jika ikan itu terlalu besar untuk ditangkap, jangan sampai joran kailmu telanjur patah, apalagi sampai kau terseret jatuh ke dalam air.
Aku tidak akan menangkapnya dengan kail, Opa. Aku akan menombaknya dengan bergaya, dia tidak akan lolos. Aku balas menatap tatapan Opa yang penuh makna.
napas perlahan. Dia bijak, memutuskan tidak ikut berkomentar, khawatir aku akan menyuruhnya tutup mulut.
Aku akan menjaga Maggie, percayakan saja, Pak Thom, Kadek berjanji.
Aku menepuk lengannya. Kau selalu bisa kuandalkan, Kadek.
Saat pergi, aku menoleh pada Rudi. Kau bisa mengantarku ke bandara sekarang"
Rudi tertawa. Kenapa tidak" Itu mungkin lebih seru dibanding mengatur perempatan lalu lintas.
Aku dan Rudi melangkah menuju dermaga.
Sebentar, Thom. Suara pelan Maggie menahan langkahku. Ada apa"
Maggie menarik kertas terlipat dari saku celananya. Tiketmu ke Denpasar. Kau harus membawanya. Aku tersenyum lebar, menatap Maggie penuh penghargaan. Terima kasih, Mag. Kau tahu, tanpa bantuanmu, aku tidak akan bisa melakukan apa pun dengan baik.
Aku loncat dua-tiga menuruni anak tangga kapal. Rudi sudah menghidupkan mobilnya.
Aku harus di bandara setengah jam lagi. Aku mengempaskan punggung di jok mobil.
Itu mudah, Kawan. Rudi menyeringai. Kau seperti pelupa saja. Mobil yang kukemudikan ini mobil patroli polisi. Nah, mari kita tekan tombol sirenenya.
ENGAN suara sirene meraung, mobil patroli yang dikemudi"kan Rudi menikung tajam menaiki fly over menuju tol bandara.
Kalimat pertanyaanku kepada Rudi yang hendak kutanyakan sejak kabur dari gedung perkantoran tertahan sejenak. Telepon genggamku bergetar lebih dulu.
Ram. Nama Ram muncul di layar sentuh. Halo, Thomas. Kau ada di mana sekarang"
Di mobil polisi, aku menjawab pendek. Rasa-rasanya, dua hari terakhir, pertanyaan pembuka telepon Ram selalu kau ada di mana .
Mobil polisi" Suara Ram terdengar kecut.
Semua baik-baik saja, Ram. Tidak selalu apa yang kaudengar seburuk yang sebenarnya.
Eh, tapi mobil polisi"
Kau ada kabar apa" aku memotong, malas menjelaskan.
dah mengambil keputusan. Mereka bersedia mem"berikan sepertiga dana mereka....
Bagus. Aku mengangguk. Tetapi ada dua masalah baru, Thomas, Ram buru-buru menambahkan.
Apa lagi" Yang pertama, kita hanya mengundang pemilik tabungan dan deposito. Kita tidak mengundang pemilik dana yang membeli produk investasi lewat Bank Semesta, mereka...
Itu bukan masalah kita, aku memotong. Tidak akan ada orang yang berpikiran waras menalangi dana investasi, bahkan jika mereka bersedia membelikan lima pesawat terbang sekalipun. Pemerintah hanya akan mengganti tabungan, giro, dan deposito.
Tetapi jumlah mereka banyak, Thom. Dana mereka juga... Itu masalah mereka. Apa masalah keduanya" Aku tidak sabaran bertanya, menghela napas kesal. Urusan ini rumit sejak awal. Sistem keuangan dunia memang sumber hipokrasi besar yang pernah ada. Semua bank bicara tentang tata kelola yang baik, prinsip kehati-hatian. Tapi lihatlah, kasus pembobolan bank skala raksasa selalu melibatkan orang dalam.
Semua bank bicara fit and proper test. Tapi lihatlah, pelanggar terbesar peraturan justru datang dari mereka sendiri.
Konvensi internasional, misalnya, dengan jelas melarang perbankan melakukan bisnis di luar fokus bisnis perbankan. Tetapi sekarang hampir semua bank besar berkembang biak menjadi konglomerat, memiliki anak perusahaan asuransi, pembiayaan, sekuritas, dan berbagai jasa keuangan lainnya. Kalian datang ke investasi, seperti reksadana, investasi saham dengan risiko tinggi, yang jelas-jelas bukan produk perbankan. Esok lusa, janganjangan staf mereka yang cantik dan wangi juga akan menjual parfum, minuman dingin, celana dalam, dan sebagainya. Atau membuka gerai butik persis di sebelah teller.
Konvensi internasional, misalnya lagi, dengan jelas mengatur ketat tentang know your customer. Itu bahkan menjadi dogma besar ketahui siapa nasabah Anda. Tetapi lihatlah, divisi private banking, wealth management, atau entah apa lagi mereka menyebutnya, rakus mencari nasabah. Tutup mata kalau nasabah mereka adalah koruptor, pengemplang pajak, pebisnis kotor, mencuci uang lewat sistem perbankan. Yang penting target tahunan tembus, bonus melimpah, tidak masalah mengirim staf dengan dandanan lebih mirip wanita penggoda dibanding profesional perbankan bersertifikat.
Sekarang Ram meneleponku, memberitahu tentang pemilik produk dana investasi Bank Semesta. Aku tahu datanya, ada dalam salah satu laporan yang disiapkan Maggie. Nasabah jenis ini seharusnya tahu persis dana mereka adalah produk investasi, dan persis seperti kalian berinvestasi atas sesuatu, risiko kehilangan selalu ada. Seharusnya Om Liem dan stafnya menjelaskan masalah ini saat nasabah tersebut menyetor uang, tapi apa pula yang diharapkan" Om Liem sendiri, dengan ambisi besarnya, boleh jadi yang memerintahkan menutupi banyak informasi.
Apa masalah keduanya, Ram" aku menyergah. Ram sepertinya terdiam terlalu lama.
Mereka meminta jaminan, Thom. Eh, nasabah tabungan dan deposito yang baru saja memutuskan memberikan sepertiga uangnya meminta jaminan tertulis. Itu masalah keduanya.
Hanya itu" Mudah saja, tinggal kaubuat selembar surat jaminan, kautandatangani.
Mereka meminta Om Liem yang menandatangani. Tidak bisa, Ram. Om Liem tidak bisa dihubungi siapa pun hingga semua selesai.
Mereka memaksa... Astaga, kau cari tahu sendiri cara mengurus mereka, Ram. Kau salah satu direktur Bank Semesta, bukan" Bilang kau diberikan kuasa tanda tangan, bilang kau pengganti presdir, apa pun.
Baik, akan kuusahakan. Ram menghela napas. Telepon aku jika ada kabar baik lagi. Aku bersiap menutup telepon.
Satu lagi, Thom. Kau sungguh tidak akan memberitahuku di mana Om Liem"
Tidak. Baiklah. Bilang pada Om Liem, Tante baik-baik saja. Dia sesiang ini saja tiga kali menyuruh staf di rumah bertanya tentang Om Liem dan dirimu.
Akan kusampaikan. Selamat siang, Ram. Aku menutup telepon.
Aku mengempaskan punggung ke jok mobil. ***
Sibuk, heh" Rudi menoleh sekilas, konsentrasi di kemudi.
Apakah semua mobil patroli AC-nya rusak" Gerah. Aku memutar-mutar tombol AC mobil, tidak menjawab.
Rudi tertawa. Kau pikir ini seperti mobil patroli di Eropa, paling sial sedan kelas menengah.
Aku menurunkan jendela sedikit. Kenapa kau memilih menyelamatkan kami dibanding membantu komandanmu" aku bertanya pertanyaan yang sejak tadi tertunda.
Dia bukan lagi bosku, Thomas, Rudi menjawab santai. Dahiku terlipat sedikit.
Sejak kemarin aku hanya seorang polisi dengan buku tilang, Thom. Rudi tertawa, tidak sabaran menunggu mobil di depannya menepi, menekan tombol klakson, menambahi pekak sirene.
Kau tidak sedang bergurau"
Kau mau melihat buku tilangnya" Buka saja dasbor mo"bil. Aku tidak tertarik membuka dasbor, menatap jalanan. Apa pun itu, kau tetap mengambil risiko melakukannya. Salah satu dari mereka bisa saja mengenali wajah di balik kedok. Situasimu bisa lebih buruk dibanding melepaskanku kemarin. Pengkhianat. Dipecat.
Omong kosong, Thomas. Kita berdua sama-sama petarung. Aku melakukannya penuh perhitungan. Kalkulasi matang untung-rugi. Rudi mendengus, menyalip dua mobil sekaligus.
Anggap saja aku bosan disuruh melakukan banyak hal. Bosan dengan perintah, laksanakan, tutup mulut, jangan banyak tanya. Kau tahu, aku meteor terang dalam kesatuan, meraih segalanya di usia muda. Bagaimana aku melakukannya" Itu tidak istimewa.
galanya, termasuk pasukan elite, akses tidak terbatas, uang, apa pun. Rudi bicara cepat, dia membanting kemudi ke kanan, menyalip dua truk kontainer.
Aku memilih menyelamatkanmu. Itu hal paling logis yang akan dilakukan orang sepertiku. Karierku tamat dengan purapura lalai, membiarkan kau kabur kemarin, Thomas. Satu-satu"nya kesempatan untuk menyelamatkan diri sendiri adalah mengambil jalan berputar. Aku masih punya akses informasi. Aku sekarang tahu siapa Om Liem, tahu siapa opamu, bahkan aku tahu siapa kau. Thomas, petarung yang dilahirkan masa lalu kelam.
Jadi jangan tanya tentang komandanku, aku tahu siapa dia. Tadi pagi aku mencarimu di apartemen, kosong. Mendatangi Erik, juga Theo, mereka tidak tahu kau ada di mana. Aku memutuskan pergi ke kantormu. Menyaksikan bekas anak buahku menyergap stafmu, melihatmu mengendap-endap dengan kostum pengantar pizza jelek ini. Lima detik aku mengambil keputusan, aku memilih. Kau teman baikku sekaligus petarung. Aku percaya kau akan memegang janji, membayar kontan semua bantuan, kalimat yang kaukatakan di Jatiluhur. Jadi anggap saja aku petaruh yang baik, bertaruh dengan seluruh koin di atas namamu, Thomas. Masuk akal, bukan"
Mobil patroli masih terus melesat cepat, memasuki gerbang bandara, menuju terminal keberangkatan.
Aku menghela napas. Terima kasih banyak telah membantuku, Rudi.
Rudi tertawa, melambaikan tangan kirinya. Terima kasihnya jangan sekarang, Thom. Kau bahkan segera berutang satu pertolong"an lagi.
Tangan kiri Rudi memutar tombol volume radio panggil. Aku menelan ludah.
Rudi benar. Terdengar dari percakapan radio panggil, simpang siur informasi dan perintah agar semua unit polisi terdekat menuju bandara. Mister T, itu simbolku, sedang menuju bandara. Apa pun caranya, ringkus segera, hidup atau mati. Perintah langsung dari markas besar. Titik.
Mobil patroli yang dikemudikan Rudi melamban. Dia menunjuk keluar, belasan polisi sudah sibuk menyibak calon penumpang, mencari wajahku. Beberapa mobil patroli sejenis merapat. Mereka pastilah sudah tahu aku akan terbang ke Denpasar. Kejadian di lift tadi pagi membuat petinggi polisi itu marah besar, menggunakan seluruh sumber daya untuk menangkap"ku segera.
Aku mengepalkan tinju, mendengus. Sial, pesawatku sepuluh menit lagi boarding. Bagaimana mungkin aku lolos menaiki pesawat dengan polisi di setiap sudut bandara" Aku mengusap wajah. Perjalanan ini mendesak, tidak bisa dibatalkan, aku harus menemui bidak terpenting dalam permainan ini: Sang Pangeran.
AU sudah gila, Rudi" aku berbisik dengan suara setengah tiang, menatapnya tidak percaya.
Rudi menyeringai. Tenang saja, Thom. Ini hanya strategi biasa seorang petinju. Pura-pura memberikan bagian tubuhnya yang paling lemah untuk dipukul, agar lawannya justru tidak memukulnya.
Kita tidak sedang bertinju, Rudi, tidak ada wasit yang adil dalam pertarungan ini. Bukankah kau sendiri yang bilang di lift, mereka tidak segan membunuh. Aku berusaha menurunkan intonasi sebal serendah mungkin. Bagaimana aku tidak sebal" Dalam situasi seperti ini, Rudi justru sengaja memarkir mobil patrolinya persis di kerumunan polisi dan beberapa mobil lain.
Kau tunggu di sini, Thom. Lima menit aku pasti kembali. Rudi tidak mendengarkan protesku, tertawa. Dan kau jangan terlalu menarik perhatian dari luar, meski tidak akan ada yang buat mereka tertarik mengintip ke dalam. Rudi membuka pintu, santai melangkah turun.
Aku mengumpat, bergegas menurunkan posisi duduk, berusaha tidak terlalu terlihat.
Rudi sudah asyik menyapa teman-temannya. Satu-dua anggota yang mengenalinya, boleh jadi bekas anak buah, memberi salut dengan anggukan. Rudi membalas dengan anggukan pelan, bilang entahlah satu-dua kalimat, lantas melangkah cepat menuju lobi keberangkatan, kedua tangan di saku jaket.
Aku menghela napas, melirik jam di dasbor mobil. Aku tidak suka situasi seperti ini, ketika tidak ada yang bisa dilakukan selain menunggu, menunggu, dan menunggu. Sejak kejadian menyakitkan masa lalu itu, aku selalu mengambil keputusan, tindakan, aksi, intervensi apa pun namanya, untuk menentukan takdirku sendiri. Tidak ada rumus, biarkan mengalir apa adanya, apalagi tergantung pada takdir orang lain, menyerahkan nasib pada orang lain.
Tiga menit berlalu. Rudi belum kembali.
Aku menyeka keringat di pelipis, menatap lobi keberangkatan dari balik jendela gelap. Beberapa mobil polisi lain tiba, merapat cepat, dua-tiga polisi berlompatan. Panggilan darurat ke seluruh unit petugas itu sepertinya efektif, semua petugas menjawab. Lobi keberangkatan semakin ramai. Aku mengeluh, jika situasinya sudah seperti ini, bagaimana Rudi akan meloloskanku dari mereka"
Dia tidak akan berpikir memberikan seragam pilot padaku, bukan" Lantas menyuruh belasan pramugari mengawal" Itu hanya ada dalam cerita film lawas. Waktu kami hanya sepuluh bukan pesulap. Ke mana dia akan mencari seragam pilot" Tukang jahit maskapai" Apalagi belasan pramugari, satu pun tidak mudah disuruh menjadi pagar ayu.
Atau Rudi menyuruhku memakai seragam polisi, berpurapura" Aku menggeleng, itu juga bukan pilihan yang baik. Aku harus menaiki pesawat. Tidak akan ada polisi yang terlalu bodoh melihatku dengan seragam duduk rapi di pesawat menuju Bali. Itu amat mencolok perhatian. Dia akan tertarik menyapa, memeriksa. Bahkan kalian tidak pernah melihat polisi berseragam lengkap di atas pesawat, bukan"
Aku mulai tegang, mengepalkan tangan. Sudah enam menit berlalu, ke mana saja Rudi pergi" Pertemuan ini harus terjadi, hanya itu satu-satunya cara memastikan rapat komite nanti malam berjalan sesuai yang kuinginkan. Bagaimana kalau Rudi justru sedang merencanakan sesuatu" Menyerahkanku pada atasannya" Dia jelas-jelas sudah mengetahui lokasi Opa, Om Liem, dan yang lain. Menukar nasib buruknya dengan tangkapan besar, boleh jadi memperoleh kenaikan pangkat. Aku segera mengutuk pikiran jahat itu terlintas di kepalaku. Tidak. Rudi lebih memilih berkelahi hingga mati melawan puluhan polisi di bandara daripada melakukan itu.
Aku mendesah gemas, atau jangan-jangan Rudi menyuruhku masuk ke koper bagasi" Pura-pura mengantar pizza ke pesawat, delivery service" Aku menyeka lagi pelipis, dalam situasi menunggu, tegang. Jangankan untuk orang-orang yang malas berpikir, untuk orang sepertiku, tetap saja terpikirkan alternatif kocak dan tidak masuk akal. Aku melirik dasbor mobil, hampir berseru tertahan, sialan, habis sudah waktuku. Sepuluh menit Aku kesal, hendak memukul dasbor kencang-kencang. Seharusnya aku tidak memercayakan takdir perjalananku ke Bali pada Rudi. Dia memang teman yang baik, bisa dipercaya, tapi mengurus hal ini, tidak ada yang bisa kaupercayai selain diri sendiri. Seharus"nya aku tidak& . Urung, gerakan tanganku tertahan. Rudi, entah kapan datangnya, sudah membuka pintu mobil.
Kau terlihat tegang sekali, Thomas" Rudi tertawa santai, menjengkelkan.
Astaga, bagaimana mungkin aku tidak tegang" Pakai ini, Thomas. Rudi melemparkan sesuatu. Ini apa" Aku menatap rendah mantel panjang dengan tutup kepala yang mendarat di pangkuanku. Aku disuruh menyamar" Menjadi siapa pula dengan mantel besar dan kumuh" Penyihir" Gelandang"an"
Pakai saja, Thomas. Tutupi seluruh seragam pizza-mu dengan mantel itu. Juga tutupi mukamu dengan kacamata hitam besar ini. Rudi menyengir, melemparkan lagi barang kedua.
Aku menggeleng perlahan. Ini sepertinya bukan pilihan yang baik. Menyamar dengan seragam pilot jauh lebih masuk akal setidaknya lebih keren.
Dengarkan aku, Thomas. Kepala Rudi menyeruak ke dalam mobil, menatapku tajam.
Waktu kita terbatas, akan kujelaskan dengan cepat. Kau pasti"lah jago urusan statistik, bukan" Tentu saja kau ahlinya berhitung dan angka-angka. Nah, setiap hari, setidaknya ada seribu tindakan kriminal di seluruh negeri. Mulai dari mencuri, pemukulan, perampokan, perkosaaan, dan belasan jenis kejahatan ada ratusan penjahat yang ditangkap. Sebagian besar ditangkap dekat dari kejadian perkara. Sebagian lainnya di luar kota, di luar pulau, atau di luar negeri sana, telanjur kabur. Nah, kau mau tahu ada berapa penjahat yang setiap hari harus dibawa pulang dari kota lain" Pulau lain" Ada berapa penjahat yang terpaksa berlalu-lalang menumpang angkutan umum saat dipindahkan"
Aku menelan ludah, menebak arah penjelasan Rudi. Banyak! Kalian, para penumpang sipil, tidak pernah memperhatikan. Bisa saja saat kalian terbang, tertawa-tawa di kabin depan bersama teman, pelesir beserta keluarga, ternyata persis di bagian paling belakang pesawat ada pelaku kejahatan pembunuhan, residivis pemerkosa, atau perampok besar sedang dipindah"kan dari satu kota ke kota lain. Tidak tahu, bukan" Karena kami selalu memindahkan penjahat tanpa menarik perhati"an siapa pun. Tidak ubahnya seperti penumpang kebanyakan. Kalian tidak akan pernah melihat borgol, pentungan, pistol. Bagaimana akan lihat" Penumpang sipil jelas akan menolak naik pesawat jika tahu ada seorang paedofil atau pembunuh kelas berat menumpang bersama mereka. Paham" Segera pakai mantel kumuh dan kacamata itu, Thomas, dan ini juga. Rudi melemparkan borgol.
Aku terdiam sejenak, mengangguk, paham situasinya. Lihat, ini surat pemindahanmu ke Bali sebagai kriminal besar. Rudi tertawa, menunjukkan map plastik yang dia bawa ber"sama mantel. Perampok, menghabisi seluruh anggota keluarga saat beraksi. Diancam dijatuhi hukuman seumur hidup. Aku tidak mendengarkan Rudi yang membaca deskripsi seram mengenakan penutup kepala, memasang cepat borgol, lantas menghela napas, selesai.
*** Rudi menarikku kasar keluar dari mobil patroli. Di tengah kekacauan, dua-tiga polisi yang persis berdiri tidak jauh dari kami tertarik, mendekat, bertanya. Rudi menjawab singkat, Biasalah, pemindahan kargo. Polisi itu mengangguk. Satu-dua menatap iri, dia bosan bertahun-tahun menjadi polisi lalu lintas.
Rudi menggiringku persis menuju lobi keberangkatan, lebih banyak lagi polisi di sana. Ibarat dua ekor kancil hendak menyeberangi sungai, kami persis menuju belasan buaya yang berjemur.
Terus melangkah seperti seorang pesakitan, Thomas, Rudi berbisik.
Aku mengumpat dalam hati, memangnya gayaku belum meyakinkan" Terus tertatih, aku menunduk dalam-dalam agar wajahku tidak terlihat.
Tiga polisi dengan senjata lengkap menahan kami, hendak memeriksa.
Penumpang khusus. Rudi menyerahkan surat dalam amplop plastik.
Salah satu dari polisi itu menerimanya, membaca sekilas. Buka kacamata dan mantelnya, dia menyuruh dua temannya.
Aku menghela napas tegang.
tangannya menyuruh menyingkir. Itu jelas melanggar seluruh prosedur transfer terdakwa.
Buka kacamata dan mantelnya! Polisi bersenjata itu tetap memaksa.
Astaga! Rudi membentak dengan suara terkendali, berusaha tidak menarik perhatian. Ada ratusan orang sipil di sekitar kita saat ini. Kau tidak ingin mereka melihat wajah biru dia, lebam habis dipukuli, hah" Kau tidak ingin membuat penduduk sipil tahu apa yang terjadi dengan penumpang khusus ini, kan" Satudua dari mereka akan mengambil foto, merekam video, mengupload-nya di internet. Aku akan pastikan, bukan hanya karierku yang tamat, tapi seluruh kesatuan kalian.
Polisi bersenjata itu menelan ludah, terdiam sejenak. Sedikit jeri menatap wajah galak Rudi. Berpikir, jangan-jangan pangkat orang di depannya lebih tinggi daripada seorang petugas escort kriminal.
Aku menahan napas, terus menunduk, membiarkan wajahku tidak terlihat jelas.
Kami mencari orang, Pak, polisi itu akhirnya berkata lebih lunak.
Aku tidak ada urusan dengan orang yang kalian cari. Rudi masih terlihat marah.
Kami harus memastikan siapa pun yang melintas. Kau bisa lihat fotonya di surat transfer. Apa susahnya" Rudi memotong.
Polisi itu menoleh, menatap dua rekannya.
Dua rekannya mengangkat bahu, tidak mau berdebat lebih panjang. Polisi itu mengalah, sekali lagi melihat surat pemindah- Silakan lewat, Pak. Maaf telah mengganggu.
Terima kasih, Rudi menjawab pendek, tidak peduli. Dia persis seperti orang marah sungguhan yang mencari tempat pelampiasan, mendorong pinggangku dengan sikutnya, kasar. Jalan, Bedebah! Terlalu banyak waktu kita terbuang sia-sia. Aku mengaduh kesakitan.
*** Setiap kali ada penjahat yang dipindahkan, ada bagian khusus di keamanan bandara yang akan menyiapkan surat-menyurat, urusan administrasi, termasuk berkoordinasi dengan maskapai. Rudi memberikan penjelasan tambahan, lepas dari kerumunan polisi. Kami berjalan cepat menuju ruang boarding.
Tentu saja ini dokumen milik penjahat lain, Thomas. Aku tidak punya waktu menyiapkan khusus buatmu. Termasuk menyiapkan mantel dan kacamata hitam besar kamuflase. Rudi tertawa, seperti tahu apa yang hendak kutanyakan, menjawab sebelum aku bertanya. Dia buru-buru memasang wajah galak lagi ketika kami melintasi polisi-polisi lain yang tidak me"meriksa.
Aku bergegas menuju ruangan itu saat meninggalkanmu tadi. Berdoalah, semoga tidak ada polisi lain yang ke sana sekarang. Atau mereka akan menemukan petugas escort serta penjahat sungguh"annya pingsan tumpang tindih di toilet, Rudi menjawab ringan.


Negeri Para Bedebah Karya Tere Liye di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Melewati penjaga pemeriksaan barang bawaan kabin, kami tiba di pintu ruang boarding.
Tetapi kita sudah terlambat, Rudi. Aku mengembuskan najalan keluar yang dipilih Rudi, apakah aku respek padanya karena ternyata jelas aku bisa memercayakan nasibku pada Rudi, atau apakah aku sedang jengkel dengan betapa naifnya Rudi. Lihat, sehebat apa pun strategi dia, ruang tunggu sudah kosong, final call pesawat menuju Bali sudah sejak tadi. Semua rencana bergayanya sia-sia jika aku ditinggal pesawat.
Rudi tertawa, melambaikan tangan. Tenang, Thomas. Kau lupa, kau penumpang spesialnya. Pesawat itu tidak akan bergerak satu senti pun sebelum kau naik. Ikuti aku, Kawan. Mari kita menuju Bali.
Itulah yang terjadi tiga menit berikutnya.
Rudi bicara dengan petugas ground handling, menunjukku. Mereka mengangguk, sudah terbiasa dengan perjalanan istimewa seperti ini. Kami menuruni tangga, ke landasan. Rudi benar, pesawat itu masih gagah di posisinya. Pintu belakangnya terbuka dengan sebuah anak tangga terpasang, seperti menunggu seseorang. Rudi memperlihatkan surat pemindahan kepada dua petugas dan dua pramugari yang juga ikut briefing. Mereka mengangguk, mempersilakan kami naik.
Kursi paling belakang selalu dikosongkan dalam situasi seperti ini. Bahkan dalam kasus amat mendesak, penumpang sipil bisa dibatalkan. Rudi menyuruhku duduk dekat jendela. Bukan karena ada pemandangannya. Itu prosedur, Kawan, Rudi berbisik, mengedipkan mata.
Aku tidak berkomentar, duduk rapi.
Pintu pesawat ditutup. Pramugari kembali di posisinya masing-masing, seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Pilot menyerukan persiapan take off. Badan pesawat akhirnya beringsut menuju terlambatan sepuluh menit terakhir karena petugas sedang menaikkan penjahat ke atas pesawat. Tidak ada. Bahkan saat mereka bolak-balik ke toilet, melintasi barisan kursiku, tidak akan terpikir oleh mereka ada seorang penjahat sedang dikawal, duduk di sana.
Atau boleh jadi, mulai sekarang, saat kalian naik pesawat, kalian akan bertanya-tanya, melirik-lirik, jangan-jangan di sana, di kursi paling belakang, sedang duduk seorang kriminal. Dan itu jelas bukan aku. Pesawat yang kutumpangi sudah melesat cepat membelah awan, menuju pemberhentian berikutnya.
AJU! Cepat! Cepat! Komandan pasukan khusus antiteroris itu berseru galak.
Empat, lima, tidak sesedikit itu, ada belasan anak buahnya berderap melintasi lobi kedatangan Bandara Internasional Ngurah Rai, Denpasar. Mereka berpakaian tempur lengkap, rompi antipeluru, helm tertutup, dan senjata otomatis di tangan. Tatapan mereka tajam. Gerakan mereka sigap dan tangkas, membuat penumpang buru-buru loncat menyingkir.
What s going on, Mom" Salah satu bocah bule bertanya sambil menggenggam tangan ibunya, menatap gentar rombongan yang baru datang.
Bisik-bisik cemas mengambang cepat di langit-langit ruangan.
Step aside, kid! Step aside! Lebih dulu jawaban itu yang keluar dari sang komandan, membentak, menyuruh menyingkir ke- Mom" Bocah bule itu berseru ketakutan, mencengkeram lengan ibunya.
Please take your child out, Madam. Now! Tatapan galak, intonasi suara lebih pelan, tapi terdengar jelas tidak bisa ditawar.
Ada apa" Ada yang bisa kami bantu" Tergopoh-gopoh dua pe"tugas keamanan bandara mendekat setelah lebih banyak bingung melihat keributan.
Situasi daurat. Bandara kami ambil alih selama setengah jam.
Situasi darurat" Petugas keamanan bandara menelan ludah.
Kalian akan membantu jika tidak banyak bertanya, duduk rapi menonton. Paham" Suara komandan terdengar amat mengendali"kan, mengatasi teriakan-teriakan ketakutan penumpang di ruangan besar yang satu-dua berbisik jangan-jangan ada ancaman bom.
Eh" Dua petugas keamanan saling lirik, berhitung dengan situasi.
Alfa dua, tango sembilan, pimpin yang lain kosongkan seluruh lobi kedatangan! SEGERA! Saya ingin semua lokasi steril dalam waktu lima menit. Komandan pasukan menoleh ke belakang. Astaga, mengapa kalian tetap berdiri di sini, hah" Bengong" Segera menyingkir dari sini! teriaknya membentak petugas keamanan bandara.
Anggota pasukan khusus menjalankan perintah sang komandan. Cepat sekali mereka mengambil alih situasi, membuat wajah terperangah petugas keamanan bandara seperti ekspresi pramuka siaga hanya bisa menonton tanpa bicara apa pun.
ratusan penumpang dan penjemput. Semua pintu dijaga pasukan bersenjata. Mereka mencegah siapa pun yang mendekat. Lengang. Hanya suara desis pendingin udara terdengar. Berapa menit lagi pesawat itu akan mendarat" Komandan melirik pergelangan tangan.
Lima menit, Komandan! salah satu anak buah menjawab. Semua runaway bersih"
Positif, Komandan. Izin mendarat prioritas sudah diberikan menara pengawas. Tidak ada pesawat yang boleh take off atau mendarat setengah jam ke depan selain pesawat target. Koridor depan" Situasi" Komandan menoleh ke arah lain. Terkendali, Komandan! anak buah yang lain menjawab kencang.
Pintu-pintu keluar" Aman, Komandan. Bahkan pintu toilet sudah disegel, tidak ada seekor tokek pun yang bisa kabur melintasinya tanpa diketahui.
Komandan pasukan melotot. Tapi dalam situasi seperti ini, tidak ada yang berniat menertawakan jawaban selugas (sepolos) itu. Wajah-wajah tegang, jari telunjuk bersiap di pelatuk, kapan saja jika perlu peluru dimuntahkan.
Baik. Enam orang ikuti aku. Kita akan menjemput langsung tersangka turun dari pesawatnya. Tidak ada kesempatan baginya untuk lolos. Yang lain tetap di posisinya. Berhati-hati, bersiap, informasi dari Jakarta mereka amat licin, berbahaya, bersenjata, dan tidak sungkan membunuh. Kita mendapatkan izin bunuh di tempat jika melawan. Mengerti"
Maju! Cepat! Cepat! Komandan sudah balik kanan, berlari kecil menuju pintu kedatangan.
Separuh anggota pasukan khusus itu melesat menyusul. Gigi mereka bergemeletukan. Langkah sepatu menginjak lantai ruangan terdengar bergema. Atmosfer tempur membuat ruangan dingin terasa pengap. Ini situasi awas. Sudah lama sekali mereka tidak beraksi seserius ini sejak bom Bali terakhir. Padahal baru setengah jam lalu kawat perintah itu datang dari markas besar, perintah menangkap salah satu buruan penting yang melarikan diri ke Denpasar. Tangkap, hidup atau mati.
*** Apa yang sedang kaukerjakan, Tommy" Membaca.
Membaca" Membaca apa"
Buku cerita, aku menjawab pendek, tanpa mengangkat wajah dari halaman buku.
Opa tertawa pelan, beranjak duduk di pinggir ranjang, di sebelah"ku. Gerimis membungkus waduk, terlihat dari jendela yang berembun. Udara terasa sejuk, menyenangkan. Ini jadwal kunjunganku yang kesekian ke rumah peristirahatan Opa. Seharusnya aku belajar mengemudi boat, sesuai janji Opa, tapi karena hujan turun, sengotot apa pun aku memaksa, Opa tetap membatalkan jadwal apalagi Tante Liem juga ikut berkunjung. Dia tadi yang paling kencang berteriak melarangku. Kalau sudah menyangkut urusanku, Tante selalu saja paling pencemas. Kau berbeda dengan papamu atau Om Liem waktu remaja Berbeda" Aku menoleh, sedikit mengangkat kepala. Iya. Mereka berdua tidak pernah suka membaca buku, apalagi buku cerita. Opa manggut-manggut. Seusiamu, mereka berdua lebih suka berjualan di pasar. Menghabiskan waktu luang dengan membawa apa saja yang bisa dijual.
Aku ber-oh pelan, tidak berkomentar.
Itu buku tentang apa" Opa memecah suara gerimis setelah lengang sejenak.
Tentang teluh jahat, Opa. Teluh" Dahi Opa terlipat sedikit.
Iya. Ada janda yang suka membunuh siapa saja yang dibencinya dengan teluh. Aku mengangkat buku, menunjukkan gambar depannya.
Opa mengangguk-angguk. Ceritanya seram" Aku tertawa. Tentu saja, Opa.
Usiaku waktu itu baru genap enam belas. Aku sebenarnya tidak suka buku itu, kucomot saja dari rak perpustakaan sekolah, kumasukkan ke ransel, sebagai bahan bacaan selama liburan kalau aku lagi bosan. Apalagi selama ini aku selalu senang menghabiskan waktu di rumah peristirahatan Opa. Aku tidak pernah merasa perlu menyentuh buku-buku itu, kecuali sore ini. Sepertinya tidak ada ide yang lebih baik menghabiskan waktu menunggu hujan reda selain membaca buku horor. Seberapa seram" Opa bertanya lagi.
Seram sekali, Opa. Seperti sungguhan. Aku tertawa lagi. Ah, tapi tidak akan ada yang lebih seram dibandingkan pengalaman Opa sewaktu muda. Opa melambaikan tangan, memasang Aku balas menatap Opa, melupakan sejenak buku di tanganku.
Sayangnya kau tidak akan berani mendengarnya, Tommy. Opa terkekeh, melirikku. Bisa-bisa kau meminta tidur di kamar Opa malam ini.
Enak saja. Aku menatap Opa kesal. Kalau Opa sengaja meman"cing"ku agar penasaran dengan ceritanya, dia berhasil. Tetapi kalau dia bilang aku akan setakut itu mendengar ceritanya, dia tidak berhasil. Aku bukan anak kecil yang gampang ditakuttakuti.
Kau mau mendengarnya" Opa menggoda.
Puh, paling juga hanya cerita itu-itu saja. Lebih seru bukuku. Aku pura-pura tidak tertarik, kembali menatap halaman buku di tangan sudah kebiasaan Opa menipuku dengan prolog cerita ber"beda, padahal isinya sama saja seperti kaset rusak yang diputar berkali-kali, tentang masa mudanya, naik perahu nelayan bocor, pergi meninggalkan Cina daratan, terdampar di tanah Jawa, dan seterusnya, dan seterusnya.
Opa menyengir, menggeleng takzim. Ini tidak sama, Tommy. Opa bahkan belum pernah menceritakannya kepada siapa pun, termasuk pada papa dan ommu. Nah, kau mau mendengarnya atau tidak, Tommy" Hitung-hitung sebagai pengganti jadwal belajar boat yang batal.
Aku sudah melempar buku di tanganku. Tentu saja aku mau. Di usiaku yang masih remaja, segala cerita masa muda Opa terdengar sungguhan dan hebat meski entahlah, dia mengarang atau betulan.
Semua siaga di posisi! Komandan pasukan berteriak, mengangkat tangannya.
Siap, Komandan! Steady! Pesawat yang mereka tunggu beberapa detik lalu sudah mendarat halus di runaway. Soft landing. Enam anggota pasukan khu"sus itu tidak memedulikan suara mesin, baling-baling pesawat yang memekakkan telinga. Mata mereka melotot tajam ke depan, tegang memperhatikan target mereka.
Pesawat itu mulai melaju lambat di runaway sepanjang 2.500 meter. Pilotnya mengerem sesuai prosedur. Pesawat lantas berputar anggun di ujung lintasan, seribu meter di kejauhan sana, lebih pelan daripada biasanya, terlihat agak samar dari posisi pasukan khusus, di antara mobil-mobil pengait pembawa bagasi. Kemudian pesawat berbalik arah menuju bangunan bandara, siap parkir di tempat yang disiapkan bedanya, kali ini bukan petugas ground handling yang memberikan aba-aba dengan bendera, melainkan salah satu pasukan bersenjata.
Pesawat semakin dekat, terlihat semakin besar dan gagah. Dengus napas enam anggota pasukan khusus semakin kencang. Mereka sejak tadi bersiap dengan situasi apa pun, termasuk baku tembak di pelataran parkir bandara. Roda pesawat mendecit pelan, beberapa detik di bawah suara mesin dan balingbaling yang masih memekakkan telinga. Pesawat berhenti sempurna di tempat. Salah satu petugas bergegas mendorong tangga ke badan pesawat. Pintu pesawat terdengar mulai dibuka dari dalam.
Begitu posisi tangga menempel ke badan pesawat, komandan dua anak tangga, disusul dua anggota pasukan khusus dengan senjata otomatis. Tensi situasi meningkat dengan tajam.
Tidak boleh gagal. Komandan pasukan khusus mendesis. Dia ingat sekali, setengah jam lalu X2 meneleponnya langsung dari markas besar Jakarta. Kali ini, siapa pun yang mengacaukan penyergapan, membuat target buruan kembali lolos, maka terima saja akibatnya. Itu perintah sekaligus ancaman.
Tidak boleh gagal, dia sendiri yang akan meringkus target. Komandan pasukan khusus antiteroris menarik napas dalamdalam untuk terakhir kalinya, bersiap.
Pintu pesawat terbuka perlahan-lahan.
Dua pramugari langsung terlihat, beberapa penumpang berdiri dengan tas, bersiap turun.
Semua kembali duduk! Tidak boleh ada yang turun. Pesawat kami ambil alih. Semua harap kembali duduk! Teriakan kencang itu membuat semua gerakan di dalam pesawat terhenti. Detik-detik penangkapan telah tiba.
UA hari ini, kapan terakhir kali kau tidur" Rudi menoleh.
Lupa, aku menjawab sambil melemaskan punggung. Kenapa"
Rudi tertawa pelan. Setengah prihatin, setengahnya lagi sungguhan tertawa. Setidaknya tampilanmu masih lebih baik daripada buronan yang pernah kutangkap, Thom. Mantel kebesaran, topi longgar dan kacamata tebal, wajah lelah& Lima belas menit lagi kita mendarat.
Aku mengangguk. Aku justru terbangun oleh suara lembut pramugari dari speaker yang memberitahukan pesawat bersiap mendarat, menyebutkan ritual memasang sabuk pengaman, menegakkan sandaran kursi, melipat tatakan meja, dan seterusnya. Penerbangan dua jam Jakarta-Denpasar. Setengah jam setelah perutku menyentuh makanan yang dihidangkan pramugari, aku punya waktu untuk tidur, bersitirahat. Rudi sudah melepas borsawat, santai dia lemparkan borgol yang dibungkus kotak nasi ke dalam troli sampah.
Kami berada di ketinggian 30.000 kaki. Tidak ada yang bisa di"lakukan petinggi kepolisian itu sekarang, tidak mungkin dia menyuruh anak buahnya mengejar hingga ke dalam pesawat. Dan tidak ada juga yang bisa kulakukan sekarang di dalam kabin pesawat, termasuk menelepon Maggie dan Julia menanyakan perkembangan situasi, atau menghubungi Kadek, menanyakan kabar terakhir Opa dan Om Liem di atas kapal. Jadi lebih baik aku tiduran, sambil memikirkan jalan keluar masalah baru yang segera akan kami hadapi. Dalam situasi seperti ini, aku lupa kapan persisnya terakhir kali makan, mandi, dan tidur.
Aku menatap sejenak gumpalan awan di luar jendela pesawat. Mengembuskan napas. Baiklah, tidur sejenak membuatku jauh lebih segar. Sejak mengempaskan pantat di kursi, aku terus memikirkan solusi masalah, tidak ada pilihan, ini rencana terbaik. Aku melepas sabuk pengaman, berdiri.
Kau mau ke mana" Ke toilet" Rudi mendongak. Aku menggeleng. Kita harus bersiap.
Rudi melipat dahi, bersiap untuk apa" Pesawat bahkan belum mengeluarkan roda.
Mereka pasti telah menunggu kita, Rud, aku berkata pelan. Salah satu pramugari yang berdiri di tengah memberikan kode agar aku duduk kembali, menunjuk lampu safety belt yang menyala. Walaupun di manifes pesawat tidak ada namaku, mereka tidak akan mengambil risiko, Rud. Aku berani bertaruh, satu pasukan khusus sudah mengamankan bandara saat ini. Mantan bosmu itu sedang mengamuk. Dia akan melakukan apa saja ber"khianat. Kau seharusnya tahu persis cara kerja pasukan itu. Kau dulu bagian dari mereka, bukan"
Rudi menatapku sejenak, menyeringai. Kau benar. Boleh jadi mereka sudah menunggu di Bandara Ngurah Rai. Tapi bukankah itu justru menarik"
Aku balas menatap Rudi, tidak mengerti.
Yah, aku sudah gatal bertinju kembali, Kawan. Nah, kau urus satu atau dua dari mereka, aku urus sisanya. Sepakat" Pembagian yang cukup adil, bukan"
Aku tertawa kecil. Kau gila, Rud. Ini bukan kotak lift dengan perimeter sempit dan terbatas. Kita tidak akan punya kesempatan di dalam kabin pesawat dengan ratusan penumpang. Belum lagi mereka bisa membabi buta melepas tembakan. Aku punya rencana lebih baik.
Maaf, Bapak-Bapak, pesawat akan segera mendarat, semua penumpang harus duduk dengan sabuk pengaman terpasang. Pra"mu"gari dengan wajah sedikit sebal mendekat, menyela percakapan. Wajah cantiknya terlihat serius dia jelas sudah sering latihan menghadapi penumpang yang bandel.
Saya justru harus menemui pilot sekarang. Aku keluar dari barisan kursi, mendekatinya.
Pramugari itu mundur satu langkah, menoleh kepada Rudi, bertanya dengan tatapan bingung dan takut. Bukankah aku tahan"an yang sedang dipindahkan. Kenapa berdiri dengan tangan bebas" Bukankah prosedur baku semua tahanan transfer harus diborgol"
Tensi kabin pesawat bagian belakang mulai menanjak. Beberapa penumpang menoleh. Salah satu pramugari senior yang Ada masalah apa"
Situasi darurat. Kami harus menemui pilot segera, aku menjawab dengan suara pelan tapi tegas.
Pesawat sebentar lagi mendarat, Bapak-Bapak. Itu mustahil di"lakukan. Semua penumpang harus duduk dengan sabuk pengaman terpasang. Pramugari senior itu menggeleng, berhitung dengan situasi ganjil selama lima belas tahun dia bertugas.
Dia benar. Rudi sudah melepas sabuk pengamannya, akhirnya ikut berdiri meski belum tahu apa yang sedang kurencanakan. Rudi menyingkapkan jaket, sengaja memperlihatkan gagang pistol di pinggang. Ini situasi darurat. Ada kesalahan fatal. Kami harus bertemu pilot sekarang.
Pensiunan Pengusaha Cat 1 Setannya Kok Beneran Karya Dyah Ratna Pendekar Aneh Dari Andalas 4
^