Pencarian

Negeri Para Bedebah 5

Negeri Para Bedebah Karya Tere Liye Bagian 5


Dan sebelum dua pramugari itu berkata sepatah pun keberatan, di bawah tatapan beberapa penumpang yang ingin tahu, Rudi sudah lebih dulu melangkah cepat ke depan. Aku bergegas menyusul langkah Rudi.
Sebaiknya kau punya rencana yang hebat, Thom, Rudi berbisik. Kita jelas melanggar banyak peraturan penerbangan dengan merangsek kabin pilot saat pendaratan. Dengan begitu kau bukan lagi buronan pribadi petinggi markas besar, tapi naik pangkat jadi teroris dunia. Ada banyak penumpang bule di atas pesawat.
Aku tertawa pelan, mengangguk. Ini jelas rencana baik, tidak kalah hebatnya dengan rencana Rudi yang berhasil menyelundupkan aku ke atas pesawat dengan kostum tahanan transfer. Jika gagal, setidaknya, tidak ada penumpang yang akan dibahayakan dalam rencana ini.
Gerimis terus membungkus waduk, kaca jendela terlihat buram berembun.
Namanya Mata Picak, usianya tidak ada yang tahu, boleh jadi baru empat puluh, tapi perawakan dan wajahnya terlihat lebih tua dari itu. Tubuhnya kurus tinggi, seolah sedikit sekali daging di tubuhnya. Jika dia hanya mengenakan pakaian tipis, terlihat menyeramkan saat berjalan di jalanan kampung, seperti ada kerangka manusia lewat. Kenapa dia dipanggil Mata Picak" Karena matanya rusak parah sebelah. Bola matanya busuk, lantas terlepas, menyisakan cekung kosong, dan dia sama sekali tidak merasa perlu menutupinya dengan kain, serbet, atau apalah. Sedangkan satu mata lagi, meski bisa dipergunakan, hampir seluruhnya putih, tanpa bagian berwarna hitam. Bola mata putih yang terus begerak-gerak menyelidik ke segala arah. Opa menghela napas pelan, memulai cerita.
Aku menelan ludah. Cerita seperti ini selalu saja lebih seram karena imajinasi pendengarnya.
Mata Picak awalnya sama dengan penduduk lain. Dia petani di dataran subur Cina. Hidup berkecukupan dan bertetangga baik, meski banyak anak kecil takut melihatnya, segera berlarian masuk rumah saat dia melintas. Atau orang dewasa berbisikbisik membicarakannya, berusaha mencari tahu kapan matanya busuk sebelah. Atau bagi sekelompok yang lebih berani, mengolok-olok tertawa, berjalan di belakangnya, meniru memasang wajah dengan bola mata rusak satu. Tetapi di luar itu, Mata Picak bagian dari penduduk kampung, tidak lebih, seperti tetangga sebelah rumah. Opa diam sejenak, mendongak menatap gerimis.
lai rumit, perebutan kekuasaan. Perang saudara meletus di seluruh Cina, ditambah lagi Sungai Kuning meluap. Banjir besar berhari-hari membumihanguskan puluhan ribu hektar tanaman, gagal panen di daratan Cina. Semua orang kesulitan bertahan hidup, termasuk di kampung kami. Dan sejak itulah, di tengah banyak kesulitan, ingar-bingar keributan, perang, Mata Picak mendadak berubah haluan.
Awalnya dia hanya mengaku dukun biasa. Kau kehilangan terompah misalnya, atau dompet tempat uang, liontin, benda berharga, maka Mata Picak komat-kamit membaca mantra. Bola matanya yang putih berputar-putar. Ludahnya muncrat. Beberapa kejap, dia berbisik memberitahukan di mana barang hilang tersebut. Beres, barang ditemukan. Atau lain waktu kau datang karena sakit demam, punya penyakit menahun dan tidak sembuh-sembuh, atau kesulitan tidur, merasa gelisah, cemas atas banyak hal, Mata Picak menggeram panjang di atas tikar pandan. Tubuh tinggi kurusnya bergetar. Dia mengepalkan tangan, keringat menetes deras di antara asap dupa, sejurus kemudian Mata Picak membuka kepalan tangannya. Entah dari mana datangnya, Mata Picak menyerahkan jimat untuk dipakai. Manjur.
Penduduk kampung tidak pernah tahu dari mana Mata Picak memperoleh banyak pengetahuan seperti itu. Dia tidak pernah punya guru, tidak berpendidikan, dan tidak terlihat pintar membaca apalagi menulis. Yang penduduk tahu, semakin hari, ritual dukun Mata Picak semakin menakutkan. Di sudutsudut hutan gelap dekat lubuk sungai, di kuburan tua yang bertahun-tahun tidak terawat, di kelenteng yang hampir roboh, di sering kali ditemukan sedang menggelar sesaji. Malam-malam gulita, ketika penduduk kampung memilih tidur, dia sedang asyik menceracau kalimat yang tidak dipahami. Tubuh kurus tinggi itu menari, berjingkrak-jingkrak, ludah tepercik ke manamana, melolong bersama anjing liar, memukul-mukul badannya seperti gerakan pohon nyiur ditempa badai. Dan setiap kali pulang dari ritualnya, Mata Picak bertambah-tambah ilmu hitamnya.
Jika dulu penduduk kampung merasa terbantu, sekarang situasi berubah buruk. Misalnya, ada yang benci melihat sebuah keluarga, iri dengki melihat kesuksesan orang lain, mereka datang ke Mata Picak. Dengan harga mahal, entah itu dengan bayaran setumpuk uang atau korban sesaji, Mata Picak dengan mudah memutus buhul tali keluarga, tercerai-berai, binasa. Apalagi kalau sekadar menginginkan jabatan dan kekuasaan, mudah saja baginya. Atau ada yang sakit hati, ingin membalas kebenciannya, tinggal datang ke Mata Picak. Dengan mantra yang membuat merinding seluruh tubuh, malam itu juga yang dibenci sudah terbaring kaku di atas ranjang. Membuat geger seluruh kampung. Mulailah Mata Picak dikenal sebagai dukun teluh, pembunuh dengan ilmu hitam. Semakin hari, semakin mengerikan reputasinya. Dia bisa membunuh siapa saja, pejabat, orang biasa, anak-anak, orang tua, pendatang, dengan cara tidak masuk akal sekalipun.
Celakanya, kesenangan membunuh itu mengalahkan apa pun. Tidak lagi karena permintaan orang lain. Pernah berbulan-bulan dia menghilang, rumahnya sepi dan suram, tidak ada suara lolong"an di malam hari, membuat suasana kampung terasa lebih dengan tampilan yang lebih gelap, tubuh semakin kurus, rambut tidak terawat, mata putih yang semakin kelam, malam itu juga beruntun terjadi kematian empat penduduk tanpa sebab. Saat pagi buta, terdengar ratapan pilu yang ditinggalkan, memeluk suami, istri, atau anak yang mati mendadak, Mata Picak justru sedang tertawa gelak di rumahnya, begitu senang, begitu megah, membuat senyap puluhan meter sekitar, gentar, ngeri. Entah ke mana lagi Mata Picak menambah ilmu sesatnya. Sekarang dia bahkan tidak membutuhkan alasan untuk membunuh orang.
Orang-orang semakin takut padanya. Jangankan mendongak melihat wajahnya, mendengar Mata Picak melintas saja semua segera menyingkir, berebut berlari masuk rumah, menutup pintu dan jendela rapat-rapat. Tidak ada yang ingin bernasib sama seperti sekerumunan pemuda yang telanjur asyik duduk di atas kursi bambu panjang beberapa minggu lalu. Mereka tidak menyadari dukun teluh akan lewat. Mereka tertawa-tawa, bergurau satu sama lain, memukul kursi. Mata Picak yang terganggu mendengar suara tawa itu, benar-benar hanya karena terganggu mendengar suara tawa, menyemburkan ludahnya yang berwarna pekat dan busuk ke tanah. Empat pemuda itu gagu dan lumpuh seketika.
Hanya sedikit saja penduduk kampung yang bisa berada dekat dengannya. Itu pun karena mereka menganggap Mata Picak guru. Mereka bersedia disuruh-suruh, membantu keperluan sesaji Mata Picak, ikut melaksanakan ritual, berpakaian sama kusamnya, berpenampilan sama seramnya, menjadi centeng Mata Picak, bahkan bersedia mengorbankan apa saja jika diminta. Kejam sekali sebenarnya, bahkan tidak masuk akal, karena itu Opa diam sejenak, menghela napas. Aku menunggu tidak sabar"an.
Saat perang saudara semakin berlarut-larut, silih berganti pihak berkuasa mengirimkan pasukan untuk menguasai satu sama lain, meski penduduk berkali-kali mengadukan kegilaan Mata Picak, tidak ada penguasa pasukan yang berani menyentuh Mata Picak. Komandannya telanjur takut, prajuritnya apalagi. Pernah ada pasukan yang menyerbu rumah Mata Picak, karena tersinggung salah satu prajurit mereka diteluh, tapi sia-sia. Kesaktian Mata Picak tidak bisa dilawan dengan tombak atau pedang. Seluruh prajurit yang menyerbu rumah Mata Picak mati dengan kulit melepuh, bau sangit mengambang di jalanan kampung berjam-jam, bahkan walau sudah memakai penutup mulut, tetap tercium. Dan lebih sadis lagi balasan Mata Picak pada penduduk yang melaporkannya ke kota, mereka diteluh sekeluarga, sekujur tubuh dipenuhi bisul bernanah, meletus busuk hingga penderitanya mati.
Bertahun-tahun penduduk terkungkung rasa takut. Serbasalah, tidak berani melawan. Mereka tidak bisa pindah dari kampung. Mata Picak mengancam akan meneluh siapa saja yang menghindarinya, coba-coba pergi dari kampung. Termasuk para pendatang yang tidak tahu-menahu, terperangkap dalam aturan main Mata Picak. Dialah penguasa mutlak di sana. Semua orang harus tunduk padanya, atau bersiap menerima kunjungan, bersiap menatap wajahnya dengan satu bola mata hilang, menyisakan cekungan dalam mengerikan. Mata Picak menjadi bayangan hitam yang menyelimuti kampung. Gelap.
Hingga suatu hari, hujan deras turun tanpa henti, Sungai Cina. Opa ingat sekali hari itu, Tommy. Seperti Opa bisa melihat hujan yang sama di luar jendela rumah ini. Menatap waduk, seperti Opa bisa menatap air yang merendam seluruh kampung. Itu hari paling seram dalam hidup orang tua ini. ERIMIS terus membungkus waduk. Aroma masakan Tante Liem di dapur tercium hingga kamar. Selalu begitu, setiap kali tahu aku datang ke rumah peristirahatan, Tante Liem memaksakan diri ikut datang, selalu memasakkan makanan yang enakenak, selalu ingin menebus masa-masa hilang itu. Aku tidak ke"beratan, sepanjang Om Liem tidak ada. Sore ini, aku mengabaikan betapa lezatnya aroma masakan Tante Liem. Otakku sempurna tertuju pada cerita Opa, tidak sabaran menunggu kalimat berikutnya, seperti pencinta cerbung sedang menunggu episode baru besok pagi.
Kau tahu, Tommy, Opa melanjutkan cerita setelah menghela napas panjang menatap kaca jendela berembun, bagi pengikut animisme iya, tentu saja Mata Picak adalah salah satu pengikut animisme, penyembah kekuatan alam, dia bahkan pengikut nomor wahid pertanda alam besar selalu menjadi kesempatan hebat. Hutan gelap, kuburan meranggas, gua-gua berkelelawar, Sungai Kuning. Ribuan ternak hilang, puluhan ribu sawah terendam, rumah-rumah terseret bah, dan ratusan orang hanyut, tewas. Itu tragedi besar. Dan itulah kesempatan besar bagi Mata Picak melakukan pemujaan, memberikan sesembahan. Maka saat orang sedang susah oleh perang saudara, ditambah-tambah banjir, dia justru memutuskan menggelar pengorbanan. Mata Picak membutuhkan empat orang usia anak-anak untuk dilempar ke air bah Sungai Kuning.
Rusuhlah perkampungan. Pagi-pagi sekali enam centeng, murid Mata Picak, mendatangi rumah-rumah penduduk, mencari anak-anak dan remaja yang sesuai. Mereka menari-nari sepanjang jalan, tidak peduli hujan. Mereka berteriak-teriak, memukul-mukul badan dengan pisau, menunjukkan bahwa mereka kebal, tertawa-tawa. Dan berjalan paling depan, dengan tubuh kurus tinggi bagai jerangkong, terus menggeram membaca mantra, mata putihnya berputar-putar, adalah Mata Picak. Matanya jelalatan mencari korban. Penduduk rebah jimpah, mereka masuk rumah, menutup pintu dan jendela rapat-rapat. Sayangnya itu percuma, Mata Picak justru ingin berkunjung.
Itu tidak cocok, terlalu lemah. Tidak cocok. Mata Picak meng"geleng-geleng. Dia dan centengnya sedang berada di rumah besar, dengan beberapa keluarga tinggal bersama. Ada enamtujuh anak kecil di sana, beserta orang dewasa yang sekarang me"ringkuk ketakutan.
Ini juga tidak cocok, terlalu gendut. Mata Picak mendengus marah, kecewa.
Yang berdiri di belakang, tarik dia ke depan. Aku ingin melihatnya dengan lebih jelas.
tuanya yang hendak melindungi. Anak kecil itu hendak berontak, tetapi rasa takut telanjur menyergap. Dia gemetar saat dibanting duduk di depan Mata Picak.
Dongakkan kepala! Mata Picak berseru lantang. Bocah itu tetap tertunduk, menangis ketakutan, tenaganya hilang oleh rasa takut juga belasan penghuni rumah yang berkumpul, satu-dua mati-matian menggigit bibir karena ngeri. Mendongak kataku! Mata Picak menggeram.
Kepala bocah itu bergerak mendongak tanpa disentuh siapa pun.
Haa& menarik sekali. Ini baru pilihan yang tepat. Mata Picak awas memeriksa si bocah. Mata putihnya berputar-putar me"ngeri"kan.
Jangan, Tuan. Jangan ambil anak saya. Demi mendengar seruan Mata Picak, ibu si bocah sudah loncat, bersimpuh satu meter dari kaki Mata Picak. A mpuni keluarga kami. Dia sungguh amat gentar dengan Mata Picak dan centengnya, siapalah yang berani melawan, tapi kekuatan kasih sayang seorang ibu memberinya sedikit keberanian.
Haa& ini benar-benar pilihan yang tepat. Bawa dia. Mata Picak tidak peduli.
Jangan, Tuan. Kasihanilah kami. Ibu itu beringsut, panik dan takut menjadi satu.
Baa! Mata Picak tiba-tiba menoleh ke arah ibu itu persis seperti kalian sedang bermain cilukba. Kau pikir tangismu membuatku kasihan, orang bisu"
Centeng Mata Picak terkekeh melihat apa yang terjadi. Tangis A syik, bukan" Asyik sekali jadi bisu, bukan" Mata Picak tertawa. A yo menangis lagi kalau bisa.
Centeng Mata Picak semakin tergelak, satu-dua memukulmukul badan sendiri.
Bawa yang satu ini! Mata Picak memberi perintah. Jangan, Tuan. Jangan. Kasihanilah kami. Dia anak kami satusatunya. Kali ini ayah si bocah yang lompat hendak memeluk kaki Mata Picak.
A nak tunggal" Oh, itu lebih bagus lagi. Mata Picak tertawa.
Saya mohon, Tuan. Ayah si bocah menangis. Sejak tadi rasa takutnya sudah di ubun-ubun, satu-satunya yang ada di kepalanya adalah memohon. A pa saja, Tuan. Tuan boleh bisukan istri saya, Tuan boleh butakan saya, tidak mengapa. Tapi jangan ambil anak kami. Kasihanilah kami, Tuan.
Dia menangis. Oh, lucu sekali melihat pria dewasa menangis. Lihat, lihat, dia menyeka hidungnya yang beringus. Lucu sekali ini. Mata Picak terpingkal, tawa merendahkan. Enam centengnya lagi-lagi ikut tertawa. Meski hujan terus turun, udara dingin mengungkung perkampungan, ruangan itu terasa sesak melihat begitu berkuasanya Mata Picak. Tidak ada yang bisa melawannya. Tidak ada.
Ayah si bocah, di tengah putus asanya, di tengah ujung akal sehatnya, berderap berlari masuk kamar, meraih tombak berburu babi miliknya.
Matilah kau orang jahat. Matilah kau! Dia berusaha menombak Mata Picak.
Cilukba! Mata Picak terkekeh. Bukannya menghindar, kepalayang sedang menemukan temannya dalam permainan petak umpat.
Tombak itu jatuh berkelontang. Ayah si bocah roboh tanpa disentuh. Badannya kejang-kejang. Dan seolah sedang beranjangsana ke taman bunga, melihat warna-warni kembang dihinggap kumbang, Mata Picak melambaikan tangannya tidak peduli. Dia sudah santai melangkah menuju pintu keluar. Enam centengnya mengikuti, sambil menggendong anak yang akan dikorbankan, menyisakan tangisan pilu, takut, dan marah. Semua bercampur jadi satu dalam keluarga besar itu.
*** Kamarku lengang, Opa diam sejenak, mengusap kepala berubannya.
Semua cerita itu seperti tidak masuk akal, bukan" Seperti legenda tua hantu Cina saja. Opa menelan ludah, menatapku. Aku mengangguk, ikut menelan ludah.
Tetapi di dunia ini, bahkan ada yang lebih tidak masuk akal dari cerita itu, Tommy. Opa menatapku dengan tatapan bijak dan penuh kasih sayang. Lebih jahat, lebih zalim, dan betapa tidak beruntungnya, karena tidak seorang pun berani melawannya. Di dunia ini banyak orang melupakan sifat baik di hatinya. Kau, misalnya, papa dan mamamu mati terbakar bersama rumah dan harta benda milik kita. Anak-anak itu, mereka dilemparkan ke Sungai Kuning yang justru sedang mengamuk. Airnya menjilat-jilat bibir sungai, bergemuruh mengerikan.
Di belahan bumi lain, ribuan orang ditembaki saat mencoba membunuh warga sipil musuhnya. Di kota lain, seseorang tega menukar vaksin obat untuk wabah penyakit, agar dia lebih kaya sejengkal. Itu bahkan membunuh puluhan ribu orang secara serentak yang seharusnya sembuh. Juga orang yang tega membangun gedung seadanya, mengambil biaya yang bukan haknya, gedung itu roboh, ratusan mati dalam satu detik. Semua itu membuat ilmu hitam, dukun teluh seperti Mata Picak, seperti tidak ada apa-apanya. Dan yang membuat sesak, seolah tidak ada yang bisa melawannya, tidak ada yang berani mencegah.
Aku mengangguk, menunduk Opa suka sekali menyebutnyebut Papa dan Mama dalam cerita seperti ini. Aku tahu, Opa sedang mengajariku untuk mengenang kejadian itu dengan baik, tapi rasa-rasanya aku selalu sedih mengingatnya.
Nah, kenapa cerita ini horor sekali bagi Opa, Tommy" Opa tersenyum, memegang lenganku, kembali ke cerita"nya. Kau tahu" Kenapa"
Aku menggeleng. Karena Opa-lah salah satu dari empat korban yang disiapkan Mata Picak.
Tidak mungkin! aku berseru. Mungkin saja. Opa tertawa kecil. Opa bergurau!
Opa jelas sedang serius sekali, Tommy. Bagaimana... Bagaimana....
Bagaimana Opa selamat" Opa meneruskan pertanyaanku. Itu salah satu keajaiban dalam hidup Opa, Tommy. Nah, biar Opa lanjutkan ceritanya agar kau tahu.
Kali ini dadaku hendak meletus oleh antusiasme. Belum Aroma lezat masakan Tante Liem seperti luruh ke lantai, terabaikan. Opa salah satu dari anak itu, bagaimana mungkin"
Nah, setelah empat korban terpilih, Mata Picak menyuruh centengnya memasukkan kami ke dalam empat guci tembikar berukuran besar. Usia Opa saat itu sepantaranmu, usia remaja. Tidak terbayangkan badan Opa disirami air kembang yang baunya busuk, dimasukkan paksa ke dalam guci, lantas guci ditutup, disegel dengan mantra. Orangtua Opa juga tidak bisa berbuat apa-apa. Siapa yang bisa melawan" Setidaknya mereka tidak dibuat bisu, buta, atau dibunuh oleh Mata Picak.
Tapi ada rahasia kecil yang tidak diketahui banyak orang. Saat tahu Mata Picak dan centengnya sedang berkeliling kampung mencari korban, beberapa saat sebelum mereka tiba di rumah, ibu Opa menyeret Opa ke dapur. Dia menyuruh Opa menyimpan air di dalam mulut. Opa ingat sekali wajah Ibu saat itu, Jangan banyak tanya, Nak. Kau ingat pesan Ibu, jangan ditelan, jangan dikeluarkan. Apa pun yang terjadi, biarkan air itu ada di dalam mulutmu. Paham" Ibu mencengkeram bahu Opa. Opa mengangguk, gemetaran oleh rasa takut. Aku belum mengerti kenapa Ibu menyuruh Opa menyimpan air dalam rongga mulut, sementara Mata Picak bisa saja membunuh orang tanpa menyentuhnya.
Mata Picak tiba di rumah kami. Dia menyelidiki wajahku, me"ngerikan sekali menatap cekung tanpa bola mata di wajahnya dengan jarak sedekat itu, belum lagi mata putihnya terus memeriksa, ludahnya tepercik saat bicara, busuk sekali. Opa ham"pir saja menelan air yang tersimpan di mulut Opa. Tapi Opa meneguhkan diri, mencengkeram lutut, mengingat pesan Ibu.
hanya bisa tersungkur tanpa bisa protes, tidak ada yang bisa mereka lakukan. Salah satu centeng menggendong Opa kasar, membawa pergi.
Kami berempat dimandikan air kembang. Mata Picak membaca mantra. Murid-muridnya berjingkrak senang. Opa hampir mengeluarkan air di mulut saat dipaksa masuk ke dalam guci. Kepala Opa ditekan kasar. Mereka menutup guci dengan anyaman rotan. Mata Picak menyegelnya dengan mantra. Tiga anak lain langsung tertidur setelah mantra dibacakan. Dan ternyata itulah gunanya pesan Ibu. Konsentrasi Opa mati-matian menjaga air di dalam mulut agar tidak tertelan atau keluar, membuat Opa tidak bisa dimantra. Opa tetap terjaga.
Ritual sesembahan Sungai Kuning itu dilakukan malam hari, saat purnama berada di titik paling tinggi. Murid-murid Mata Picak terus saja sibuk dengan teriakan, tarian, dan semua prosesi. Hujan deras membungkus perkampungan, banjir semakin menggila, Sungai Kuning meluap-luap. Suaranya terdengar hingga perkampungan. Opa bisa mendengarnya dari dalam guci. Ketika Mata Picak melolong panjang, muridnya berbaris membawa empat guci itu ke bibir sungai, dan dengan satu teriakan perintah dari Mata Picak, empat guci dilemparkan, berdebum lang"sung ke dalam air deras. Air sungai meledak empat kali menyambut guci-guci yang dilemparkan.
Opa tersenyum melihat wajah terperangahku.
Tentu saja Opa selamat, Tommy. Opa selamat& . Opa tidak pernah berada di dalam guci itu saat dilemparkan. Opa sudah melarikan diri saat Mata Picak dan murid-muridnya sedang ekstase membaca mantra. Mereka dibutakan oleh kesaktian, megalkan empat guci tanpa penjagaan. Opa dengan mudah keluar dari guci, memasukkan batu ke dalam guci agar beratnya tetap sama, lantas berlari pulang mencari Ibu, menangis, mengeluarkan air dari mulut Opa di telapak tangan Ibu. Ibu balas memeluk Opa erat-erat.
Opa berhasil kabur, sesembahan Mata Picak telah gagal. Hanya ada tiga anak yang dikorbankan. Dan seperti kebanyakan ritual animisme, gagalnya sesembahan bisa berakibat fatal, apalagi itu sesembahan puncak. Sejak malam itu, kesaktian Mata Picak luntur bagai kain berwarna berubah menjadi pucat. Seminggu kemudian, saat seseorang ternyata berhasil melemparkan batu ke halaman rumahnya penuh kebencian, batu itu tidak berbalik arah seperti biasanya. Hanya soal waktu seluruh penduduk kampung berani melawan. Perang saudara terus terjadi bertahuntahun kemudian hingga Opa tumbuh dewasa. Juga banjir besar dari Sungai Kuning. Tetapi cerita Mata Picak dan murid-muridnya sudah lama tutup buku setahun setelah kejadian itu. Mereka dilemparkan ke Sungai Kuning dengan kaki dan tangan terikat. Itu memang tidak pernah setimpal dengan kejahatannya. Tetapi mau dikata apa, hukuman maksimal di muka bumi ini hanyalah kematian.
Opa bersedekap, tersenyum simpul mengakhiri seluruh cerita.
Aku akhirnya menghela napas yang sejak tadi tanpa sadar ter"tahan.
Bagaimana" Seram, bukan" Opa bertanya. Aku mengangguk.
Nah, mari kita lupakan cerita ini dengan masakan lezat ***
Komandan pasukan khusus itu hanya menemukan kursi kosong di belakang pesawat.
Bagaimana lututmu" Sakit" Aku menyikut Rudi. Kau gila, Thomas! Kau seharusnya bilang sejak awal kita harus loncat dari pesawat! Rudi tertatih, berlari meninggalkan mobil pengait bagasi.
Aku ikut tertawa, terus berlari menuju jalan raya, menyetop taksi yang melintas. Tentu saja kami harus loncat dari pesawat. Itu satu-satunya cara kabur dari pasukan yang bersiap menembak mati di tempat.
Panjang landasan pacu bandara internasional setidaknya 2.400 meter, kurang dari itu, maka tidak akan cukup bagi pesawat berbadan besar untuk mendarat atau lepas landas. Bangunan bandara lazimnya selalu berada di tengah landasan pacu sepanjang dua kilometer lebih itu. Jika sebuah pesawat akan mendarat, pesawat itu akan menyentuh runaway di posisi paling ujung, terus berusaha mengerem, memperlambat laju, sebelum tiba di ujung landasan satunya. Kemudian pesawat itu berputar arah, kembali ke bangunan bandara, parkir menurunkan penumpang.
Berapa jarak ujung terjauh landasan pacu bandara dari bangun"an terminal" Hampir satu kilometer. Kalian tidak akan bisa melihat detail pesawat di ujung sana dengan jarak sejauh itu. Begitu pula pasukan khusus yang sedang geram, siaga total menunggu di bangunan terminal. Bagaimana aku bisa kabur dari mereka" Sama seperti strategi Opa, keluar dari guci besar pada Lima menit kami bersitegang di kabin pilot sebelum pesawat mendarat. Rudi mengeluarkan tanda pengenalnya, menunjukkan pistolnya, membual tentang situasi darurat. Rudi menjelaskan ada satu gerombolan teroris yang mengaku pasukan khusus menunggu kami, dan bersiap membunuh tahanan penting, saksi pem?"bunuhan itu aku. Pilot ragu-ragu, mengonfirmasi ke menara pengawas. Tentu saja itu benar, ada pasukan khusus yang sedang mengambil alih bandara, hendak menangkap penjahat yang ada di pesawat. Rudi membentak, berkata bahwa mereka yang berada di daratlah yang sebenarnya penjahat. Pilot ragu-ragu, tetapi karena mereka mengenali Rudi pernah mengawal memindahkan tahanan transfer di penerbangan sebelumnya, pilot tidak punya pilihan, memutuskan membantu salah satu pihak.
Persis di ujung landasan, pesawat bergerak amat lambat, pilot sengaja bergerak lebih pelan dan lebih menepi di runaway. Roda pesawat hampir menyentuh lapangan rumput. Pramugari cekatan membuka pintu samping. Lima belas detik, urusan selesai. Kalian pernah loncat dari bus yang masih bergerak tidak sabaran menurunkan penumpang" Atau kereta api" Nah, loncat dari pesawat yang bergerak tidak ada bedanya, hanya lebih tinggi, itu saja. Aku dan Rudi adalah anggota klub petarung, cukup terlatih untuk urusan loncat dari ketinggian dua meter. Kami langsung berguling di rumput. Pramugari segera menutup pintu. Pilot terus melajukan pesawat menuju terminal. Enam pasukan khusus itu persis seperti centeng Mata Picak, tidak pernah menyadari bahwa pesawat berjalan terlalu lambat saat memutar di ujung landasan, dan perintah komandannya untuk menahan nyak pesawat parkir di sisi runaway, menghalangi pemandang"an, melindungi aksi kami dari kejauhan, tidak terlihat.
Komandan pasukan khusus itu hanya menemukan kursi kosong.
Setelah bergulingan menghantam rumput di luar runaway, aku dan Rudi berlari dengan kaki masih terasa sakit, pincang, mengambil mobil pengait bagasi yang terparkir tanpa petugas, menabrakkannya ke pagar bandara, lantas menyelinap keluar dari pagar kawat yang bengkok.
Aku yakin, saat komandan pasukan itu hanya menemukan kursi kosong, dia pasti berteriak marah seperti Mata Picak yang berteriak marah melihat sesembahannya gagal dan saat itu pulalah aku dan Rudi sudah loncat ke dalam taksi, melesat menuju tempat pertemuanku dengan putra mahkota, menemui seseorang yang menjadi kunci paling penting penyelamatan Bank Semesta. Satu telepon darinya bisa mengubah seluruh keputusan rapat komite nanti malam. Dalam urusan ini, dia dan partai politiknya bahkan lebih sakti dibanding Mata Picak beserta centeng-centengnya.
EMBAYUNG. Sejauh mata memandang terbentang warna lembayung. Umbul-umbul, spanduk, bendera, bahkan tiga papan reklame yang menjual pasta gigi, sampo, dan makanan ringan di perempatan jalan ditutup sementara dengan foto penguasa partai bernuansa lembayung.
Ruang konvensi ramai oleh orang-orang dengan pakaian berwarna lembayung.
Kita terlihat berbeda sekali di sini, Thom. Rudi mengusap peluh di leher.
Aku tidak menjawab celetukan Rudi.
Kita seperti tamu tidak diundang datang ke pesta perkawinan. Sialnya, ditambah dengan dress code yang keliru. Rudi masih asyik memperhatikan kesibukan.
Sebentar, aku punya ide yang lebih baik, kali ini aku menjawab. Aku menoleh ke kiri-kanan sejak taksi memasuki lobi depan hotel yang disesaki peserta konvensi. Mataku mencari sesuatu.
Nah, itu dia. Aku melangkah cepat.
Tanpa bertanya banyak, Rudi bergegas mengikuti. Kami tiba di lapak yang menjual pernak-pernik partai. Aku tidak perlu memilih dua kali, mengambil ukuran yang terlihat paling pas. Rudi menyengir. Dia ragu-ragu ikut meraih salah satu jas berwarna lembayung yang tergantung rapi di hanger pajangan.
Ayolah, aku yang traktir. Aku tertawa melihat tampang masam Rudi yang baru mengerti ideku.
Aku melepas mantel besar, melempar topi longgar, mengenakan jas lembayung yang kupilih. Ukurannya cocok, pas di badan. Bertanya pada penjualnya, tidak menawar, kubayar dua jas langsung.
Lihat, kau sekarang tidak ada bedanya dengan petinggi partai yang hilir-mudik. Aku menyengir melihat Rudi yang sedikit tidak nyaman dengan kostum barunya. Anggota dewan juga, Bos" Daerah pemilihan mana"
Rudi kali ini ikut tertawa, melambaikan tangan. Ini perubahan yang kontras. Tiga jam lalu kami masih berkelahi di dalam lift sempit, menghajar enam anggota pasukan khusus. Dua setengah jam lalu kami masih di Jakarta, kabur dari serbuan belasan polisi di bandara dengan menyamar menjadi tahanan transfer. Setengah jam lalu, bahkan kami masih nekat loncat dari pesawat yang bergerak di runaway. Lima detik terakhir, ajaib, kami sudah berubah menjadi salah satu peserta konvensi partai besar di Denpasar. Kami menepuk-nepuk jas Bagaimana kau tahu ada yang menjual jas mereka di sini" Rudi bertanya.
Kami melangkah menuju ruangan besar konvensi. Tentu saja dijual. Ada dua ribu peserta konvensi. Orangorang politik sedang bergaya. Kau bisa menjual apa saja kepada mereka, aku menjawab santai. Menurut perhitunganku, tidak jauh dari sini, bahkan ada meja atau lapak yang menjual jamu kuat, dengan sales wanita cantik.
Jamu kuat" Ya. Apa lagi" Rapat besar berlangsung tiga hari dua malam. Mereka butuh stamina, bukan" Kau pikir mereka sepertimu yang bertugas sepanjang siang, dua puluh empat jam, tapi malamnya masih kuat bertinju memukuli lawan di klub petarung. Itu doping, entah apa pun gunanya.
Rudi ber-oh pelan. Aku menyengir, tidak berniat membahas lebih lanjut, mengeluarkan telepon genggam dari saku.
Kami persis berada di depan pintu ruangan auditorium. Penjaga meja depan menanyakan ID Card saat kami melangkah masuk. Kami tidak punya. Aku harus menelepon Erik, makelar per"temuan ini. Sementara Rudi asyik menonton, melalui pintu besar yang terbuka lebar, petinggi partai sedang pidato berapi-api nun jauh di atas panggung sana.
Dua kali nada panggil. Thomas" Astaga, kau di mana sekarang" Erik langsung berseru.
Di Denpasar, di mana lagi" aku balas berseru. Suara pidato yang disambut teriakan Merdeka! berkali-kali oleh ribuan sini berisik sekali. Aku harus menemui siapa, Erik" Mereka meminta kartu peserta. Atau aku langsung ke podium" Bilang mencari dia"
Justru itu, Thomas. Astaga! Erik di seberang sana berseru untuk kedua kalinya, suaranya terdengar sedikit jengkel, setengah putus asa. Urusan ini kacau-balau, Thom. Kau ke mana saja, hah" Tiga jam aku berusaha meneleponmu, tidak ada nada sambung sama sekali.
Aku di pesawat, Erik. Telepon dimatikan. Ada apa" aku berseru, menebak arah pembicaraan.
Pertemuanmu dimajukan dua jam lalu, Thomas. Apa kau bilang"
Pertemuanmu dimajukan, Thom. Dua jam lalu. Mereka meneleponku, bilang dia sibuk. Dia hanya punya sedikit waktu di sela konvensi. Setelah pembukaan yang rasa-rasanya sedang berlangsung di sana, dia harus segera kembali ke Jakarta, jadi hanya bisa menerima audiensi sebelum itu.
Aku mendengus mendengar kabar buruk dari Erik. Kau tidak sedang bergurau, bukan"
Astaga, Thom. Aku harus menggunakan seluruh akses dan jaringanku untuk meminta waktunya. Bagaimana mungkin aku bergurau dalam situasi menyebalkan seperti ini.
Tapi kenapa kau tidak segera bilang bahwa pertemuan itu dimajukan" aku berseru jengkel.
Aku sudah berusaha bilang, Thom. Tiga jam aku meneleponmu seperti orang gila. Teleponmu mati. Erik tidak kalah kencang berteriak, jengkel. Mereka berkali-kali, berkali-kali menelepon"ku sejak dua jam lalu. Bertanya apakah kau jadi bertemu ingin bertemu dia, bukan kau saja donatur partai. Ini membuat reputasiku rusak, Thom. Mereka pikir aku main-main. Kau ke mana saja, hah" Bahkan pesan dariku tidak ada reply"
Aku di pesawat, Erik, bukankah sudah kubilang. Telepon harus dimatikan, aku menjawab ketus, mengembuskan napas. Urusan ini benar-benar jadi kapiran. Siapa pula yang akan menerima telepon jika di belakang ada pasukan bersenjata mengejar" Lagi pula, dengan situasi di bandara yang rumit, mana sempat aku memeriksa telepon genggam, membaca pesan dari Erik"
Jangan-jangan kau baru tiba di Denpasar" Erik bertanya. Iya, penerbangan barusan. Baru lima menit di arena konvensi.
Astaga, Thomas. Kenapa kau tidak berangkat dari tadi pagi" Atau segera setelah aku mendapatkan jadwalnya" Bukankah kau sendiri yang bilang pertemuan itu superpenting" Kau gila, baru tiba di lokasi konvensi lima menit sebelum jadwal. Mereka sibuk, orang-orang politik, amat fleksibel dengan waktu. Terserah mereka membatalkan atau memajukan jadwal pertemuan. Kau seharusnya tahu itu, Thomas. Erik sepertinya memukul sesuatu di kamar apartemennya, tidak percaya bahwa aku datang begitu tergesa-gesa ke Denpasar.
Aku menyumpahi Erik dalam hati. Dengan semua rusuh, bagaimanalah aku bisa datang lebih cepat" Dia tidak mengalami sendiri diberondong belasan senapan semiotomatis dari dermaga yacht.
Pidato petinggi partai di podium semakin hebat. Dia sedang semangat membahas visi kebangsaan, cita-cita partai yang segaris nya semakin sering meneriakkan kata Merdeka! di setiap akhir kalimat petinggi partai. Mungkin mereka lebih sering berteriak Merdeka! dibanding pahlawan nasional yang dulu berperang langsung siang-malam melawan penjajah Belanda.
Sekarang bagaimana" Aku berusaha terkendali, menatap kursi paling depan. Putra mahkota pasti ada di sana, duduk bersama petinggi partai dan pejabat pemerintah berkuasa. Aku sudah telanjur di tempat konvensi, Erik. Kau harus membujuk mereka menjadwal ulang, meminta waktu, atau bagaimanalah. Aku hanya butuh lima belas menit, apa susahnya meminta waktu lima belas menit"
Aku tidak tahu... Kau harus membantu, Erik, aku memotong. Aku sudah membantu, Thom.
Tidak, sepanjang pertemuan itu belum terjadi, kau sama sekali belum membantuku, Erik. Suaraku mengancam.
Erik terdengar mengeluarkan sumpah serapah. Dia tahu maksud intonasi kalimatku. Baik, Thom. Baiklah. Kau memang bedebah. Kalau saja kau tidak memiliki data-data kasus lama milikku, sudah dari tadi aku sendiri yang justru melaporkan lokasimu sekarang kepada polisi. Beri aku waktu lima belas menit, aku akan menghubungi mereka. Kita lihat apa yang bisa dilakukan.
Aku menyeringai, menutup telepon. Sial! Urusan ini kenapa jadi begini"
Kau pernah melihat konvensi partai seperti ini" Rudi menyikut"ku, mengabaikan ekspresi wajahku yang terlipat. Bukan main! Dengar, mereka sedang berikrar menjadi partai paling ber- Bagaimana, Saudara" Apakah Saudara mau bersama-sama dengan saya katakan Tidak! pada koruptor" Yang pidato di atas podium sedang membakar massanya, bertanya lantang.
Tidak! Dua ribu peserta konvensi berteriak dengan mengepal"kan tinju ke udara.
Bagaimana, Saudara" Apakah Saudara mau bersama-sama dengan saya, sekali lagi katakan Tidak! pada koruptor, serta menyuap, menyogok, dan perbuatan hina lainnya"
Tidak! Sekali lagi dua ribu peserta konvensi mengepalkan tinju ke udara.
Aku mengeluarkan puh, mengabaikan ingar-bingar konvensi, termasuk mengabaikan Rudi yang geleng-geleng menatap ke dalam auditorium. Kepalaku sedang berpikir, sia-sia semua urusan jika aku gagal bertemu putra mahkota. Menekan phone book, aku harus segera menelepon Kadek. Tiga jam aku tidak tahu kabar mereka, jangan-jangan sudah terjadi hal buruk seperti jadwal pertemuanku yang berantakan.
Teleponku lebih dulu bergetar sebelum aku menekan nama Kadek. Julia meneleponku.
Kau di mana, Thomas" Julia langsung bertanya dengan nada cemas.
Aku mengeluh dalam hati, sepertinya semua orang selalu bertanya hal itu padaku sekarang. Aku menjawab pendek, Di Denpasar.
Oh, kau sudah bertemu dengannya" Belum. Sedang diusahakan.
Aku baru saja mengirimkan e-mail penting, Thom. Kau harus membacanya.
Kau baik-baik saja, Thom" Suara Julia terdengar cemas lagi.
Aku baik-baik saja. Oh, syukurlah. Suaramu barusan tidak terdengar mantap seperti biasanya, Thom.
Bagaimana akan mantap, dengan kemungkinan pertemuan yang gagal.
Kau buka file yang kulampirkan dalam e-mail, Thom. Itu data penting Bank Semesta. Bagian riset review mingguan kami menerima data itu dari lembaga riset dan intelijen keuangan ternama di Singapura. Menarik sekali, Thom. Kau harus baca segera.
Aku akan segera memeriksanya, Julia. Kau baik-baik saja, Thom"
Aku baik-baik saja, Julia! aku berseru kesal. Kau sudah mirip seorang mama yang cerewet mencemaskan anak remajanya pulang kemalaman. Atau seorang gadis yang mencemaskan kekasihnya pergi ke medan perang.
Oh, syukurlah. Aku akan meneleponmu lagi jika ada kemajuan baru lagi. Hati-hati, Thomas. Jaga diri baik-baik. Julia menutup telepon.
Aku mengembuskan napas, mencari nama Kadek lagi. Kau pernah melihat yang beginian, Thom" Aku baru kali ini melihat langsung konvensi partai. Bukan main. Rudi menyikutku, menunjuk ruangan auditorium dengan hidungnya. Mereka sekarang berikrar menjadi partai yang baik.
Bagaimana, Saudara" Apakah Saudara bisa menjadi kader partai yang santun, beretika, dan terhormat" Yang pidato di atas Bisa! Dua ribu peserta konvensi berteriak dengan mengepalkan tinju ke udara.
Bagaimana, Saudara" Apakah Saudara bisa menjadi kader partai yang membanggakan, yang tidak memfitnah, bicara sembarang"an, selalu santun, beretika, dan terhormat"
Bisa! Sekali lagi dua ribu peserta konvensi mengepalkan tinju ke udara.
Aku untuk kedua kalinya mengeluarkan suara puh, mengabaikan geleng-geleng kepala Rudi apalagi ingar-bingar teriakan anggota konvensi di dalam auditorium. Aku sudah menekan nomor telepon satelit milik Kadek, setidaknya memastikan mereka baik-baik saja di kapal.
Selamat sore, Tommy. Itu suara Opa, terdengar khas, tenang dan menyenangkan.
Sore, Opa. Aku mengembuskan napas lega.
Kadek sedang menyiapkan makan malam. Dia sibuk mengaduk masakan di kuali. Dia menyuruh Opa mengangkat telepon. Terlalu sekali pekerjamu ini, menyuruh-nyuruh Opa. Tadi dia bahkan tega menyuruh orang tua ini mengiris bawang, cabai. Opa terkekeh.
Aku ikut tertawa pelan. Selalu menjadi selingan efektif mendengar suara Opa, bahkan dalam situasi seperti ini.
Semua baik-baik saja, Tommy. Kau tidak perlu cemas. Ommu yang mengendalikan kemudi kapal. Dia masih terampil, ditemani Maggie, karyawanmu. Kami jauh dari daratan, berputar pelan di Kepulauan Seribu. Boleh jadi kami akan menuju Singapura sore ini. Tidak akan ada yang peduli dengan kapal yacht di sana, ada banyak yang lain, akhir pekan. Opa, seperti biasa, Aku menutup telepon setelah beberapa kalimat basa-basi. Aku menghela napas, setidaknya satu kecemasanku berkurang. Aku kembali menatap ruangan konvensi. Petinggi partai itu seperti"nya sudah tiba di penghujung pidatonya. Rudi masih asyik menonton.
Saat itulah, saat aku masih menunggu telepon dari Erik tentang jadwal ulang pertemuanku dengan putra mahkota, seseorang mendekat. Dia tersenyum lebar, menjulurkan tangan.
ESEORANG itu tersenyum lebar. Kau Thomas" Aku mengangguk, ragu-ragu menerima juluran tangannya. Aku tidak mengenalinya. Dia mengenakan jas lembayung yang baik, sepatu mengilat, wajah bersih, dan postur yang baik.
Oke, Erik, aku sudah bertemu dengan Thomas. Iya, kau betul, di depan pintu ruangan auditorium. Orang itu, sambil ber"jabat tangan ramah, masih memegang telepon genggam dan berbicara dengan orang di telepon, ter"lihat sedikit repot. Tenang saja, akan aku atur pertemuannya. Nanti kita kontak-kontaklah lagi. Oh iya, terima kasih banyak untuk garansi bank tender proyek terakhir, mereka tidak banyak tanya lagi dengan jaminan dari bank tempatmu bekerja. Nanti aku transfer segera persenannya. Apa" Oh, itu mudah, tenang saja, semua beres. Oke" Oke, Bos, selamat bersquash lagi. Sore.
Kau datang sendirian" Dia mengangkat kepalanya lebih baik, Aku menunjuk Rudi di sebelah. Rudi demi sopan santun menjulurkan tangan, berkenalan.
Cocok sekali kau memakainya. Orang itu tertawa pelan, basa-basi.
Cocok" Rudi melipat dahi.
Jas yang kaukenakan. Orang itu tertawa lagi. Kau sudah mirip dengan petinggi partai lainnya.
Rudi tidak berkomentar, hanya mengangguk. Kita bicara di ruangan, boleh" Di sini berisik sekali. Aku harus bertemu dengan..., selaku.
Tentu saja aku tahu kau hendak bertemu dengan siapa, Thomas. Erik sudah memberitahuku. Orang itu memotong, dengan gaya bicara bersahabat, seperti sudah kenal lama, atau sebaliknya, gaya bicara penuh jebakan, seperti ada banyak kepentingan dalam setiap intonasi kalimat. Tetapi sekarang dia sedang ada di kursi deretan depan, tidak bisa meninggalkan pidato penting.
Aku menelan ludah, hendak menggeleng. Jauh-jauh aku datang ke Denpasar, lari dari kejaran pasukan khusus, aku tidak mau bertemu dengan ajudan, staf, atau apalah dari putra mahkota, siapa pun orang di depanku.
Sebenarnya ini pengeculian khusus, Thomas. Kau terlambat dua jam dari jadwal. Kalau saja Erik tidak membantu banyak proyek-proyek terakhir kami, aku tidak punya waktu menemuimu. Tenang saja, kalau memang apa yang hendak kausampaikan memang berharga, kau akan menemuinya, aku bisa mengaturnya. Kita bicara ringan dulu di ruangan lain, tempat yang lebih rileks. Ngopi-ngopi. Oke"
dia, sepenting apa pun posisinya di partai, berkata benar. Aku tidak bisa mendikte pertemuan, aku terlambat, jadi harus mengikuti prosedur mereka. Baik, aku mengangguk setelah berpikir beberapa detik. Orang itu tersenyum, menunjuk lorong di hotel, balas mengangguk, melangkah santai, memimpin di depan.
Kami tiba di ruangan berukuran 4 x 6 meter, persis di belakang ruangan auditorium. Ingar-bingar konvensi langsung padam saat pintu ditutup. Sistem kedap suara ruangan ini berjalan baik. Dua sofa mewah melintang di tengah, beberapa meja kerja dengan layar komputer terbaik, lemari es, mini bar, dan pendingin udara yang disetel maksimal, dingin. Ruangan itu kosong, hanya kami bertiga sepertinya semua anggota partai, staf, dan panitia sedang berada di ruangan auditorium, mendengarkan pidato pembukaan konvensi.
Percaya atau tidak, ini ruang tunggu ketua partai kami beberapa menit lalu sebelum pidato sekaligus membuka konvensi. Orang itu tertawa. Kau duduk di sana, Thomas. Silakan merasakan bekas duduknya. Hangat" Siapa tahu bisa ketularan menjadi orang penting.
Aku tidak mengerti selera humor orang di depanku selera humor orang-orang politik, tapi demi sopan santun aku ikut ter"tawa. Rudi tidak, dia duduk tanpa banyak ekspresi, menatap sekitar.
Omong-omong, kau tidak tertarik menjadi anggota partai kami, Thomas" Dia duduk di sofa satunya. Kami membutuhkan banyak sekali orang-orang potensial.
Aku menggeleng. Aku sepertinya tidak berbakat. Ayolah, kau tidak perlu bakat apa pun untuk menjadi polibisa diatur. Kau hanya perlu kemauan besar, sisanya bisa dipelajari. Dia menyilangkan kaki. Kau pengusaha" Aku menggeleng lagi. Aku konsultan keuangan. Oh iya, tadi Erik juga sudah bilang. Nah, kira-kira, apa yang bisa ditawarkan seorang konsultan keuangan ternama untuk partai kami" Dia langsung ke topik pembicaraan.
Aku menghela napas perlahan, melirik pergelangan tangan, pukul 16.30, kurang enam belas jam lagi besok hari Senin, pukul 08.00 saat perkantoran dan bank-bank kembali dibuka. Kurang dari beberapa jam lagi saat anggota komite stabilitas sistem keuangan berkumpul, membahas nasib Bank Semesta. Aku sepertinya harus merelakan tiga puluh menit atau lebih ber"sama orang yang sama sekali tidak kukenal ini, membahas ke"mungkinan intervensi penyelamatan Bank Semesta. Ibu Menteri itu tidak akan pernah mau melanggar prinsip-prinsipnya, hanya ini satu-satunya yang tersisa.
Aku menatap wajah orang di depanku lamat-lamat. Ayo, Thom. Katakan saja, apa yang bisa kauberikan untuk partai kami. Nah, nanti kita lihat apa yang bisa kami berikan sebagai imbalannya. Dia balas menatapku tersenyum.
Baiklah. Sepertinya aku memang harus bicara dulu dengan level lebih rendah, sebelum bicara kepada pengambil keputusan. Mereka sepertinya punya prosedur, sama dengan ribuan prosedur di perusahaan atau lembaga keuangan. Maka meluncurlah negosiasi itu.
Bisa dikatakan, setiap hari aku bertemu banyak orang. Rapat, presentasi, seminar, memberikan pernyataan, wawancara, apa saja. Tidak hanya di Jakarta, tapi juga pertemuan di kota-kota Tetapi baru kali ini aku bertemu dengan karakter unik seperti orang di depanku. Bicara dengan simbol-simbol, pilihan kata, idiom-idiom yang digunakan dalam negosiasi kotor. Orang di depanku begitu santai, tertawa terkendali, sekali-dua melontar gurauan, bahkan tidak segan berbagi informasi yang dimilikinya.
Realistis saja, Thom. Dia mengangkat bahu, kami masih basa-basi membicarakan hal lain. Semua partai membutuhkan banyak uang untuk menggerakkan orang. Konvensi ini misalnya. Jika ada dua ribu kader yang datang, kau hitung saja akomodasi dua malam, transportasi udara, taksi, dan biaya-biaya lain per orang"nya, kalikan dua ribu. Siapa yang akan menyediakan" Partai bukan perusahaan, partai bukan mesin uang. Apakah kader-kader sukarela menyumbang tanpa berharap imbalan" Ayolah, kalau mereka memang bersedia membangun bangsa ini dengan tulus, berbagi dengan banyak orang, kau bisa melakukannya tanpa perlu repot-repot menjadi anggota partai.
Belum lagi dana kampanye, dana operasional partai, jumlahnya ratusan miliar setiap tahun, bahkan bisa menyentuh triliun saat tahun pemilihan. Semua partai butuh uang. Siapa yang menyumbang" Anggota partai" Mereka tidak akan pernah bersedia menyumbang jika tidak mendapatkan sesuatu. Kekuasaan, misalnya. Posisi, akses, jaringan, atau perlindungan. Termasuk individu atau perusahaan yang bukan anggota, mereka yang sekadar partisan partai tetapi ikut mendukung, mereka menuntut se"suatu. Tidak ada makan siang gratis di dunia ini. Bahkan di level pengurus paling rendah, kumpul-kumpul rapat sambil mengopi dan kudapan, siapa yang akan membayar uang kopi uang sendiri, punya idealisme membicarakan kemajuan bangsa, dan membangun sekitar, bukan"
Aku menghela napas samar. Rudi di sebelahku juga menghela napas. Kami anggota klub petarung. Kami tidak pernah menemukan seseorang yang begitu terus terang dengan negosiasi seperti ini. Ini seperti pertarungan terbuka, tanpa ditutup-tutupi.
Berapa banyak yang bisa disediakan pemilik rekening Bank Semesta" Dia akhirnya bertanya setelah beberapa kalimat basabasi lagi, seperti sedang bertanya harga beras di Pasar Induk.
Aku menyebut angka yang dikonfirmasi Ram sebelumnya dalam rapat dengan pemilik rekening besar. Tetapi itu tidak oto"matis tersedia. Akan ada banyak mekanisme keuangan. Kita tidak bisa menarik uang sekaligus saat pengumuman penyelamatan. Tidak semua jenis rekening dijamin. Mereka tidak bisa ikut. Kita juga harus melakukan rekayasa penarikan, memecahnya men"jadi bilangan kecil, melakukan...
Dia melambaikan tangan, memotong, Itu semua bisa diatur, bukan"
Aku mengangguk. Kalau begitu, tidak masalah. Kau tahu, Thom. Kami selama ini sudah terbiasa jadi makelar. Tertawa, dia sudah asyik loncat lagi membahas hal lain. Penetapan anggaran, alokasi anggaran, tender, siapa yang menang, semua ada mekanismenya. Sudah terbiasalah dengan proses yang kaubilang itu. Proyek A, di lokasi A, mulai dari kenapa harus ada proyek A, alokasi, siapa yang akan menggarapnya, semua ada mekanismenya. Semua tahu sama tahu. Toh, persenan itu sebagian juga akan mengalir ke ATM di kader-kader partai. Oh iya, kau mau jadi bupati atau gubernur, Thom"
Aku tertawa hambar, menggeleng, sambil melirik pergelangan tangan, hampir pukul 17.00. Pembukaan konvensi nyaris usai, urusan ini semakin kapiran. Bagaimana aku bisa bertemu dengan putra mahkota jika aku masih terjebak di sini" Bicara melantur ke mana-mana seperti sedang asyik nongkrong di kafe.
Nah, kalau kau punya uang, itu bisa diatur. Kau tinggal setor berapa miliar untuk partai, sisanya kami yang urus. Itu juga makelar, bukan" Ada mekanismenya. Ada tendernya. Jadi jangan heran, walaupun kau gagal, andaikata bertahun-tahun kemudian keluargamu terjerat kasus hukum misalnya, partai yang pernah mendukungmu tentu tahu diri melakukan balas budi.
Aku sekali lagi menggeleng, berkali-kali sejak tadi berusaha mengembalikan jalur pembicaraan ke soal penyelamatan Bank Semesta.
Lima belas menit lagi berlalu sia-sia.
Oh ya" Menarik sekali" Bagaimana melakukannya" Aku menelan ludah. Menyumpahi diri sendiri, kenapa pula aku kelepasan membahas cara lain yang lebih modern mengumpulkan uang partai dengan cepat. Situasi cemas, karena jarum jam terus bergerak, sementara orang di depanku tidak menunjukkan kabar apakah aku bisa bertemu dengan putra mahkota dan malah membuatku terperangkap dalam topik pembicaraannya.
Coba kaujelaskan, Thom" Ayolah, kau konsultan keuangan. Dia tertawa.
Aku menggeleng. Bagaimana pertemuan dengan.... Itu gampang diatur, Thom.
Tentu saja mereka hampir selesai. Rombongan harus kembali ke Jakarta malam ini juga, pesawat carteran kami menunggu di bandara. Ayolah, jelaskan padaku.
Aku harus bertemu dengannya, membicarakan Bank Semesta. Aku kali ini mencoba lebih tegas, mengusap dahi berkeringat meski pendingin ruangan bekerja maksimal.
Kau sudah membicarakan Bank Semesta padaku, Thom. Itu sudah lebih dari cukup. Bicara denganku atau dengannya sama saja. Aku mesin ATM paling hebat di partai ini. Ayolah, jelaskan tentang IPO tadi" Aku tidak secanggih kau soal keuangan, kau pasti amat menguasainya. Dia begitu santai membujuk, seperti sedang bicara dengan teman akrab.
Aku menelan ludah, baiklah, paling hanya butuh waktu lima menit lagi.
Itu mudah. Aku mulai menjelaskan, ada banyak perusahaan milik negara, atau dikenal dengan istilah BUMN yang dikuasai seratus persen oleh pemerintah. Maka tawarkan saja beberapa BUMN yang sehat ke pasar modal, misalnya jual 30% kepemilikan kepada publik, Initial Public Offering atau IPO, penawaran saham perdana. Nilainya menakjubkan, katakanlah sepuluh miliar saham dijual seharga seribu rupiah, itu totalnya sepuluh triliun. Dalam mekanisme tawar-menawar saham modern hari ini, persis hari pertama saham itu dijual, lazimnya akan segera naik 20 hingga 40%, apalagi jika sekuritas yang menjamin IPO tersebut sengaja memasang harga semurah mungkin agar laku. Seribu perak dijual pagi ini, pukul dua belas nanti siang sudah diburu oleh pemodal asing di harga 1.400. Dengan sedikit trik, penjatahan 30% saham publik tadi bisa diberikan pada individukeuntungan dari transaksi itu adalah 400 miliar. Satu kali tepuk saja.
Astaga" Itu besar sekali, Thom! Itu bahkan cukup untuk dana kampanye pemilihan presiden. Orang di depanku tertarik.
Aku mengangguk. Dan akan lebih besar lagi jika sekuritas bisa menurunkan harga perdana serendah mungkin. Semakin banyak pengamat ribut, semakin bagus posisi saham itu.
Tetapi bagaimana kau bisa mengalokasikan saham itu kepada individu tertentu" Bukankah ada prosedur pembagian yang adil untuk seluruh calon investor"
Aku tertawa, menggeleng. Seharusnya kalian yang lebih tahu. Orang-orang pemerintahan, itu perusahaan pemerintah. Jika itu perusahaan pribadi, terserah pemiliknya mengalokasikan.
Tetapi kau tetap butuh uang untuk membeli 10% saham dengan harga 1.000 sebelum dijual 1.400 di bursa saham, bukan"
Aku menggeleng. Itu bisa diatur, mekanisme pinjaman dana atau apalah. Yang bersangkutan bahkan tidak perlu sepeser pun uang, cukup namanya saja yang terpasang. Transaksi berjalan, selisih 400 perak dikali jumlah saham alokasi. Dia tinggal ditransfer. Hanya saja, semua itu teoretis, jika ada yang benar-benar mampu mengendalikan regulator pasar modal dan berniat jahat. Lazimnya regulator pasar modal selalu tegas dalam urusan ini.
Bukan main, dia tertawa, semakin bersahabat, sepertinya kami harus merekrut konsultan keuangan sepertimu dalam struktur partai, Thom. Kau pasti punya ide lebih canggih, bukan" tangan untuk kesekian kali juga. Sudah pukul 17.30. Acara konvensi sudah benar-benar selesai.
Baik. Terima kasih banyak atas percakapan hebat ini, Thom. Dia berdiri.
Hei" Lantas bagaimana dengan pertemuanku"
Kau hendak kembali ke Jakarta malam ini juga, bukan" Besok kembali bekerja dengan strategi-strategi keuangan lain, bukan"
Hei, aku benar-benar jengkel sekarang. Waktuku terbuang sia-sia melayani dia bicara.
Nah, kau mau menumpang bersama kami, Thom" Orang itu lebih dulu bicara lagi sebelum aku berseru marah. Kalimat yang menahan ekspresi muka dan gerakan tanganku.
Menumpang" aku bertanya balik.
Iya. Ada beberapa kursi kosong di pesawat carteran. Bukan, itu bukan pesawat kenegaraan, mereka naik pesawat lain. Jika kau mau, kau bisa bergabung, Thom. Apa kubilang tadi" Soal ber"temu putra mahkota itu mudah. Sepanjang kau bisa meyakinkanku, sepanjang pembicaraan tadi menjanjikan, semua bisa diurus. Kau tahu, aku memberikan apa saja untuk partai ini. Aku"lah mesin ATM paling sibuk. Dan dalam struktur partai modern, orang yang paling banyak menyetorkan uang, paling giat mencari uang untuk partainya, dia bahkan bisa berdiri di posisi paling tinggi, tidak peduli berapa usiamu, tidak peduli apakah kau sebelumnya dikenal atau tidak. Nah, kau mau menumpang pesawat kami" Dia pasti senang berkenalan dengan orang sepertimu.
Aku terdiam. Astaga! Menumpang pesawat mereka"
rombongan ke bandara, bukan" Dia tertawa, menepuk pundakku, sudah berjalan lebih dulu.
*** Itu benar-benar di luar dugaanku. Beberapa menit lalu aku masih cemas memikirkan kemungkinan bertemu dengan putra mahkota, negosiasi penyelamatan Bank Semesta, sekarang aku bahkan sekaligus memperoleh solusi kembali ke Jakarta dengan aman.
Tidak ada pembicaraan lagi di atas pesawat. Orang itu mengajakku berkeliling, berkenalan dengan banyak orang penting. Tertawa, menepuk-nepuk bahuku, menyanjungku sebagai konsultan keuangan yang baik. Kita selama ini terlalu sibuk merekrut pengacara, bah. Sudah seharusnya kita juga merekrut profesi lain. Salah satu dari mereka bergurau, terbahak. Aku lebih banyak diam, mengangguk sehalus mungkin. Rudi memutuskan duduk di kursinya, menolak sopan. Hanya dua menit aku bicara dengan putra mahkota. Dia lelah, hendak tidur. Orang itu sekali lagi menepuk bahuku. Nah, Thom, silakan beristirahat juga. Kita lihat nanti apa yang bisa dilakukan.
Pesawat mendarat di bandara yang berbeda, tanpa puluhan polisi menunggu di lobi kedatangan. Lagi pula, tidak akan ada anggota pasukan khusus yang terlalu bodoh memeriksa rombongan kami. Aku dan Rudi memutuskan menumpang taksi, menggeleng atas tawaran terakhir orang itu. Pukul 22.00, tidak ada lagi yang bisa kulakukan. Semua urusan sudah tuntas. Opini tentang penyelamatan Bank Semesta sudah ramai disebut-sebut oleh pengamat dan wartawan di berbagai media massa. Persimpanan sudah kulakukan. Audiensi dengan menteri sekaligus ketua komite stabilitas sistem keuangan sudah terjadi, bahkan pion terakhir, putra mahkota, sudah kuletakkan di atas papan permainan. Saat ini, di salah satu ruangan besar kementerian, seluruh anggota komite pastilah sedang panas berdiskusi mencari jawaban atas pertanyaan simpel itu: Apakah Bank Semesta akan diselamatkan"
Taksi melaju cepat menuju hotel. Aku memutuskan menginap di tempat yang aman. Rudi tidak banyak bicara. Dia meluruskan kaki. Aku membuka telepon genggam, teringat Julia beberapa jam lalu mengirimkan e-mail berisi informasi tentang Bank Semesta. Mungkin bermanfaat, mungkin tidak. Layar telepon genggamku membuka file itu beberapa detik kemudian, yang membuatku tersedak seketika.
Ini gila! Ini tidak mudah dipercaya.
APORAN dengan penanda strictly confidential yang dikirimkan Julia hanya dua lembar. Dalam bentuk dokumen online terenkripsi, dengan password yang disertakan Julia lewat e-mailnya. Tetapi itu cukup untuk menjelaskan banyak hal. Aku mengeluh tertahan. Tanganku dengan cepat, sedikit gemetar, berusaha membuka file yang dikirimkan Maggie tadi pagi. File yang berisi daftar debitur kelas kakap Bank Semesta. Aku memeriksa cepat spreadsheet berisi dua puluh nama perusahaan atau grup konglomerasi peminjam uang terbesar di Bank Semesta.
Ada apa, Thom" Rudi yang asyik meluruskan kakinya menoleh. Dia menguap, terlihat lelah. Sudah pukul sepuluh malam, taksi meluncur cepat menuju salah satu hotel di jantung kota.
Aku menggeleng resah. Tidak menjawab, ujung jariku masih bolak-balik membuka beberapa file. Mataku sempurna tertuju ke layar telepon genggam. Ini tidak mudah dipercaya. Bagaimana Ada apa, Thom" Rudi bertanya lagi, tertawa kecil. Wajahmu mendadak kusut seperti habis ditinju KO oleh anggota klub yang masih ingusan. Ayolah, kau lebih tangguh dibanding siapa pun, kecuali melawanku tentu saja.
Aku justru berseru pelan. Mataku persis menemukan namanama yang dimaksud dalam laporan rahasia milik relasi review keuangan tempat Julia bekerja, membuat sopir taksi menoleh, ingin tahu apa yang terjadi. Eh, ada apa, Pak" Ada perubahan tujuan"
Aku mengabaikan dua kepala yang bertanya. Aku bergegas menekan tombol alamat telepon Kadek. Aku harus segera menghubungi Kadek, aku mendesis tidak sabaran. Urusan ini serius sekali.
Astaga, aku sudah memikirkan ini begitu lama, sejak sekolah di asrama, sejak berangkat menyelesaikan sekolah bisnisku, sejak meniti karier menjadi konsultan keuangan. Dua bedebah dari masa lalu itu terlalu pintar untuk menjadi otak kejahatan. Mereka hanyalah bayang-bayang. Tidak lelah aku mengumpulkan ribuan kliping koran, berita tentang mereka, menelusuri banyak hal, menghubungkan informasi yang tersedia, melacak semuanya, tetap saja bagian itu menjadi misteri.
Pertanyaan itu tidak pernah terjawab. Setinggi apa pun posisi mereka saat ini, yang satu adalah orang kuat di kepolisian, satu lagi di kejaksaan, mereka tetaplah kuli lapangan. Jika mereka memang sehebat itu, sepintar itu, mereka jelas akan memilih ber"henti menjadi aparat negara, memutuskan membangun sendiri imperium bisnis dan kekuasaan. Buktinya tidak, mereka hanya asyik menakut-nakuti pebisnis kelas bawah, tetapi ter-Aku mengeluh. Ini sudah pukul sepuluh malam. Enam kali nada panggil, tidak ada yang mengangkat. Jangan-jangan mereka sudah tidur. Jangan-jangan telepon satelit Kadek tertinggal di ruang tengah. Jangan-jangan telah terjadi sesuatu. Pikiran buruk menyelimuti otakku.
Halo, Pak Thom, selamat malam" Aku mendengus lega.
Pasifik sekarang berada di mana, Kadek" Kadek menyebutkan lintang dan bujur posisi yacht. Aku menyumpahi Kadek. Dalam situasi seperti ini mana sempat aku menerjemahkan posisi angka-angka. Kadek selalu saja merasa sedang berlayar resmi dan dia menjadi asisten nakhoda. Itu persisnya berapa kilometer dari perairan Jakarta, Kadek"
Kami sudah jauh dari Jakarta, Pak Thom. Tujuh ratus kilometer. Tujuh-delapan jam lagi dari Singapura. Tadi siang sebenarnya Opa meminta saya mengarahkan kapal untuk terus saja bergerak ke arah barat laut. Dia sekali lagi ingin menyusuri rute pengungsiannya dulu, meskipun dia bilang ke Pak Thom lewat telepon hanya melepas jangkar di sekitar Kepulauan Seribu. Mengenang masa lalu. Pak Thom seperti tidak tahu kebiasaan...
Semua baik-baik saja, Kadek" aku memotong penjelasan Kadek. Lupakan, sekarang bukan saatnya memprotes kebiasaan kakek tua itu, yang suka berbohong tujuan kapal sebenarnya kepadaku.
Semua baik, Pak Thom. Logistik dan bahan bakar cukup untuk berlayar dua hari. Opa, Om Liem, dan Bu Maggie beristirahat di kamar masing-masing. Saya tadi hendak mengaktifkan ritan, dapur. Tapi karena Pak Thom bilang semua harus terkendali, kemudi saya pegang terus. Saya tidak mengantuk, Pak Thom. Ini justru seru, sudah lama sekali tidak beramai-ramai berlayar.
Baik. Aku mendengus, berpikir cepat. Pasifik sudah setengah jalan, boleh jadi ini lebih baik, kabur ke Singapura terlebih dulu, hal lain diurus belakangan. Dengarkan aku, Kadek, kau melaju dengan kecepatan penuh ke Singapura. Jangan hubungi siapa pun, jangan terima telepon siapa pun. Aku akan menyusul ke Singapura dengan pesawat terbang.
Eh, Pak Thom menyusul segera" Eh, sebenarnya ada apa, Pak" Kadek ragu-ragu menyela, mendengar intonasi suara"ku yang tegang.
Jangan banyak tanya dulu, Kadek. Lakukan perintahku. Siap, Pak Thom. Kadek terdengar sigap.
Nah, kaupastikan Om Liem tidak menerima telepon dari siapa pun hingga besok. Kau mengawasinya terus, bukan" Dia tidak menghubungi atau dihubungi sepanjang hari"
Tidak, Pak Thom. Setahu saya tidak ada yang menghubungi. Eh...
Kau harus tiba di pelabuhan Singapura sebelum pukul enam pagi, Kadek. Pacu kapal secepat yang bisa mesin Pasifik lakukan. Aku segera menyusul.
Aku sudah menutup telepon genggam sebelum Kadek bilang siap untuk kedua kalinya. Aku menekan tombol alamat kontak, mencari nama Julia. Kita menuju ke bandara sekarang, seruku pada sopir taksi.
Bandara" Itu pertanyaan memastikan dari sopir taksi.
Bandara satunya, Soekarno-Hatta. Aku harus segera berangkat ke Singapura malam ini juga, Rud. Situasi darurat. Mataku ke layar telepon, satu kali nada panggil.
Selamat malam, Thom. Cepat sekali Julia mengangkat panggilan teleponku.
Malam, Julia. Aku tahu Julia belum tidur. Dia bersama belasan rekan wartawan lainnya sedang menunggu rapat komite stabilitas sistem keuangan sebenarnya banyak sekali orang yang sedang menunggu kabar dari rapat penting tersebut, termasuk aku, menunggu di detik kapan persisnya telepon tidak bisa ditolak itu akan diterima ketua komite.
Aku butuh bantuan lagi, Julia. Kau tidak keberatan" Tentu tidak, Thom. Dengan senang hati. Silakan. Suara Julia terdengar riang.
Aku menyeka dahi yang berpeluh, aku sungguh butuh kecepatan saat ini. Meskipun Bandara Soekarno-Hatta sepertinya tidak lagi dipadati polisi yang mencari kami, aku tetap tidak bisa melakukan transaksi apa pun atas namaku. Mereka pasti bersiaga dengan informasi seperti itu. Aku meminta Julia segera memesankan satu tiket ke Singapura malam ini juga.
Itu mudah, Thom. Tunggu lima menit, segera aku kirim tiket online-nya lewat e-mail. Julia tidak banyak bertanya, mengangguk.
Terima kasih, Julia. Aku bersiap menutup telepon. Kau sudah baca e-mail terakhirku, bukan" Sudah. Terima kasih.
Eh, sebentar, kau terpaksa harus ke Singapura malam ini juga karena e-mail itu, Thom"
Eh, kau hati-hati, Thom. Setidaknya kau harus mendengar dan melihat sendiri hasil semua skenario hebat itu. Aku memasang taruhan, Bank Semesta akan diselamatkan. Delapan banding dua, wartawan lain lebih banyak bilang tidak dengan reputasi Ibu Menteri, lobi depan gedung kementerian ramai sekali malam ini, seperti sedang menonton siaran langsung sepak bola.
Iya, terima kasih, Julia. Aku buru-buru menutup telepon, mengabaikan antusiasme suara Julia membiarkan di seberang sana Julia berseru mengkal dengan wajah memerah. Taksi sudah meluncur menaiki ramp tol bandara. Ada apa" Rudi menyikut lenganku, nyaris sepuluh menit dia diabaikan. Wajah lelahnya sudah pergi, berganti wajah siaga, seperti siap meninju siapa pun.
Tidak bisa kujelaskan sekarang, Rud. Aku menggeleng. Sekali ini benar-benar terlalu personal.
Ayolah. Rudi menyengir, tertawa. Kita teman baik, bukan" Aku bisa membantu.
Tentu kau bisa membantu, dan kau selalu membantuku. Tetapi ini urusan keluarga, Rud. Bukan lagi soal menyelamatkan Bank Semesta. Aku menggeleng sekali lagi. Kau sudah membantu banyak dengan menemaniku ke Denpasar, membantu lolos dari mereka. Kali ini, biar aku yang menyelesaikannya sendirian. Rudi diam, menyelidik.
Besok siang, jika keputusan komite adalah menyelamatkan Bank Semesta, seperti janjiku, aku akan membayar lunas semua bantuanmu, lengkap dengan bunga-bunganya. Itu janji petarung, kau tahu persis nilainya. Posisi, martabat, kariermu sebagai polisi Seharusnya aku bisa menjelaskan lebih baik pada Rudi, tapi dengan taksi yang melaju cepat menuju bandara, waktuku terbatas. Setiba di bandara, aku harus segera loncat menuju lobi keberangkatan. Aku harus bergegas check-in, menyumpal petugas imigrasi, mengejar pesawat.
Terima kasih banyak atas semua bantuanmu, Rud. Berdoa sajalah aku baik-baik saja. Kalau tidak, klub petarung tidak akan sama lagi, bukan" Tidak ada lagi yang bisa menghajarmu. Aku mencoba bergurau, melirik layar telepon genggam, ada notifikasi e-mail masuk. Itu pasti tiket online yang dikirimkan Julia.
Rudi mengusap rambutnya yang terpotong pendek, ikut tertawa. Kau tidak berutang apa pun, Thom. Aku sudah bosan dengan semua hipokrasi, hanya itu alasanku membantumu. Terserah kaulah. Jika ada apa-apa, tinggal kontak saja. Aku akan membantu dengan cara apa pun.
Aku mengangguk. Rudi, dan semua anggota klub petarung, adalah teman yang baik.
Sayangnya, dalam urusan ini, aku akan menyelesaikannya sendirian, Rud. Tanganku sendiri yang akan membasuh seluruh masa lalu itu. Tiga puluh dua tahun aku menunggu saat-saat ini. Aku mengingat semua detail. Asap hitam membubung tinggi dari rumah dan gudang milik Papa. Abu beterbangan. Tetangga menjerit panik, berusaha mati-matian menahanku agar tidak mendekat. Orang-orang bayaran yang berteriak buas, merusak apa saja, membakar apa saja. Sepeda tergeletak. Botol susu berhamburan. Buntalan kain yang berisi pakaian seadanya tersampir di pundakku. Aku duduk menatap ke luar jendela kaca bus yang meninggalkan kota kami.
Tetapi aku baru tahu beberapa menit lalu, ada pengkhianat besar dalam keluarga kami. Tanganku gemetar mencengkeram telepon genggam. Beberapa jam lagi semua bagian akan terselesaikan.
ELAMAT pagi, Koh, letnan polisi muda itu menyapa Papa. Aku tahu siapa dia, sering diundang dalam acara pesta-pesta Papa. Dia datang ditemani salah satu pejabat muda kejaksaan kota kami. Aku juga kenal, namanya Tunga, juga kolega dekat Papa dan Om Liem.
Situasinya sepertinya memburuk, Koh" Tunga tersenyum. Papa mengangguk, mengembuskan napas panjang. Kau tidak perlu cemas. Opa mengelus rambutku. Setidaknya dengan ada petugas, massa tidak akan bertindak nekat. Om Liem kau akan segera membawa kabar baik.
Aku mengangguk. Kau tidak jadi mengantar botol susu" Opa mengingatkan. Aku menepuk jidat, segera berlari kecil ke belakang. Mama sempat membantuku menaikkan botol susu ke atas keranjang sepeda. Hati-hati. Dan entah kenapa Mama sempat mencium dahiku.


Negeri Para Bedebah Karya Tere Liye di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kerumunan yang meski semakin keras berteriak, tidak berani melewati barikade petugas.
Sementara di rumah, aku tidak tahu Papa sedang melakukan negosiasi dengan petugas.
Aku cemas mereka tidak bisa bersabar lagi. Papa mengusap dahi.
Tenang saja, Koh. Anak buahku akan menjaga seluruh rumah, Wusdi menenangkan.
Semua bisa diatur, Koh. Tunga manggut-manggut. Papa dan Opa tersenyum kecut. Belakangan ini mereka benarbenar mengandalkan dua orang ini untuk mengurus banyak hal. Meski semua justru semakin berlarut-larut dan rumit.
Aku lihat di antara kerumunan lebih banyak yang bukan anggota arisan, Papa mengeluh.
Mereka sepertinya bahkan membawa senjata tajam, Opa ikut mengeluh.
Wusdi tertawa kecil. Jangan cemas. Paling juga mereka hanya tertarik melihat keramaian.
Tunga ikut tertawa kecil. Biasalah. Kokoh harusnya tahu sekali, urusan seperti ini selalu mengundang perhatian.
Sementara itu aku terus mengayuh sepeda, melintasi gang, jauh meninggalkan rumah, mengantar susu. Aku tidak tahu saat itu dering telepon terdengar di rumah.
Papa sedikit tersentak. Itu pasti kabar baik dari Liem. Semua kepala menoleh, Papa meraih telepon genggam, semua kepala menunggu.
Papa berbicara sebentar. Apa" Gagang telepon jatuh.
Ka... kapal itu sudah merapat, Papa terbata-bata. Bukankah itu kabar baik" Tante Liem bertanya. Papa menggeleng. Kapal itu merapat dengan seluruh muatan terbakar.
Mama berseru pelan, meraih pegangan di dinding. Wusdi bergumam pelan dengan wajah penuh simpati. Situasi ini rumit sekali, Koh. Sungguh rumit& Sekali saja massa di luar tahu kabar buruk ini, mereka bisa mengamuk.
Opa terdiam. Mengusap kepalanya yang setengah botak. Tunga ikut berkomentar, Kami ikut menyesal mendengar kabar ini, Koh. Tapi sidang pengadilan tentang barang selundupan dan ganja akan segera dilakukan siang ini. Dengan kabar buruk ini, akan banyak pihak yang berebut menjatuhkan keluarga kalian. Ada banyak petugas yang harus disumpal mulutnya. Celakanya, kalian pasti tidak punya uang lagi.
Opa semakin terdiam. Bakar! Terdengar teriakan dari luar. Bakar! Yang lain menimpali.
Apa yang harus kami lakukan" Papa memegang lutut Wusdi. Wusdi dan Tunga terdiam sejenak, menyeringai. Wusdi bergumam lagi, Anak buahku bisa saja menahan massa. Membubarkan mereka, tapi massa di luar perlu jaminan bahwa uang mereka akan dibayarkan.
Tunga ikut bergumam, Kami bisa saja menarik seluruh tuntutan, tuduhan. Tapi semua itu butuh biaya.
Apa saja& apa saja yang bisa memastikan keluarga kami tidak diganggu. Akan aku tebus. Papa mulai panik, massa di luar mulai merangsek ke dalam.
Baiklah, apakah Kokoh bisa menyerahkan seluruh sertifikat rumah dan tanah" Dengan menunjukkan itu pada massa di luar, menjanjikan mereka akan dibayar dengan menjual harta keluarga kalian, mereka mungkin bisa dibubarkan, Wusdi berkata arif.
Juga surat-menyurat perusahaan, gudang-gudang, kapal. Biarkan kami yang pegang, dengan itu akan terlihat iktikad baik keluarga kalian menyelesaikan masalah. Aku bisa membujuk jaksa kepala untuk membatalkan tuntutan. Menghilangkan bukti-bukti, Tunga ikut berkata bijak.
Papa dan Opa saling tatap sejenak. Mama sambil terisak berusaha bangkit dari jatuhnya.
Lima menit, semua berkas itu sudah masuk ke dalam tas-tas Wusdi dan Tunga.
Sekarang biarkan kami mengurus mereka. Wusdi berdiri, menyalami Papa.
Tunga tersenyum mantap. Kalian tidak perlu ke mana-mana. Semua masalah sudah selesai.
Mereka melangkah ke halaman rumah. Teriakan-teriakan marah terdengar dari pintu yang setengah terbuka. Sudah hampir dua ratus massa memenuhi halaman.
Aku sungguh sudah jauh sekali dari rumah. Mulai menurunkan satu per satu botol susu pesanan tetangga. Menyapa mereka sambil berlari-lari kecil.
Lapor, Komandan, apa perlu kami memberikan tembakan peringatan untuk membubarkan massa" Salah satu sersan mendekati Wusdi dan Tunga.
Tidak perlu. Perintahkan seluruh anak buahmu kembali ke Dahi sersan polisi itu terlipat, tidak mengerti. Bukankah kita seharusnya justru meminta tambahan petugas, Komandan"
Tidak perlu, Sersan. Jangankan membayar uang arisan, keluarga ini bahkan tidak bisa membayar seperak pun upahmu berjaga-jaga siang ini di rumah mereka. Kapal mereka terbakar di pelabuhan. Tunga menepuk bahu sersan polisi itu. Sersan polisi itu terdiam. Tidak mengerti.
Wusdi dan Tunga santai menaiki mobil, perlahan membelah massa yang beringas. Wusdi menurunkan kaca, memberikan kode ke gerombolan preman. Tunga di sebelahnya tertawa menepuknepuk tas penuh berkas berharga.
PRANG! Aku mengerem sepeda sekuat tenaga, seekor kucing melintas di gang.
Hari itu, umurku sepuluh tahun. ***
Pesawat yang kutumpangi menuju Singapura terlambat dua jam lebih.
Aku tiba di Bandara Soekarno-Hatta pukul sepuluh lewat tiga puluh. Taksi merapat cepat. Suara roda direm paksa terdengar mendecit panjang. Tetapi tidak ada yang memperhatikan kami yang terburu-buru. Tontonan biasa di bandara. Lobi keberangkatan internasional sepi, hanya diisi calon penumpang dan pengantar. Display layar televisi penunjuk jadwal penerbangan hanya diisi rute jarak jauh, tidak ada penerbangan domestik tengah malam begini.
mungkin mereka sudah ditarik kembali ke pos masing-masing setelah hanya menemukan bangku kosong di pesawat yang mendarat di Denpasar.
Kau pakai ini, Thom. Barangkali saja berguna. Rudi ikut turun dari taksi, menepuk bahuku. Dia melepas sesuatu dari tubuhnya. Nah, selamat jalan, Teman. Besok aku akan menunggu di bandara ini sepanjang siang, menunggu berita darimu.
Aku melintasi meja imigrasi dengan mudah. Namaku dicekal, tapi aku kenal anak buah Randy yang menjaga loket salah satu anggota klub petarung lainnya yang menjadi petinggi imigrasi bandara. Bahkan dua hari lalu aku juga berniat melarikan Om Liem ke luar negeri, tapi berubah pikiran, kembali turun dari pesawat. Pengumuman dari pramugari terdengar menyebalkan saat penumpang sudah duduk di pesawat dengan rapi, delay karena masalah teknis.
Penumpang tidak penuh, hanya terisi separuh. Pesawat ini tujuan akhirnya adalah Amsterdam, transit sebentar di Singapura. Julia membelikanku tiket kelas bisnis. Pesawat baru berangkat pukul satu malam, dan mengalami keterlambatan lagi persis di udara. Cuaca buruk di Singapura, hujan deras, kabut. Pesawat terpaksa berputar-putar, hampir dipindahkan mendarat di Kuala Lumpur. Aku menunggu gelisah. Sialnya, tidak ada yang bisa kulakukan selain bersabar, dan dengan semua ketegangan, selama di atas pesawat, kepalaku justru sibuk mengenang potongan masa lalu itu.
Aku tidak menyaksikan sendiri percakapan itu, aku sudah mengayuh pedal sepeda dengan semangat. Opa yang menceritakan"nya padaku di kunjungan rutinku ke rumah peristirahatan santai berpindah topik cerita, favoritnya apalagi kalau bukan, Nah, Tommy, kau mau mendengar sesuatu yang paling menyeramkan dari kisah pengungsian Opa dulu" Sesuatu yang amat Opa takutkan selama berada di kapal nelayan bocor" Opa tertawa saat aku menolak halus. Ini sesuatu yang berbeda, Tommy. Bukan badai, bukan monster, bukan perompak, bukan pula kapal penjajah yang nelayan-nelayan itu takutkan. Sesuatu yang lebih seram lagi. Kau mau dengar"
Aku tahu tentang apa yang ditakutkan pelaut, nelayan yang dimaksudkan Opa setelah aku kuliah bisnis. Dan Opa kehilangan salah satu trik favoritnya. Lagi pula, ayolah, saat itu usiaku sudah dua puluh tahun lebih, banyak cerita berulang-ulang Opa seperti kaset rusak yang tidak lagi relevan.
Aku tiba di Singapura pukul tiga pagi. Akhirnya pesawat itu mendarat. Aku berlari kecil menuju lobi bandara, meneriaki sembarang taksi, menyebut dermaga yacht, tempat biasa Pasifik merapat di Singapura setiap kali melewati perairan Semenanjung Malaka. Aku tiba di dermaga itu lebih cepat dibanding Kadek. Pasifik baru tiba satu jam kemudian, hampir pukul lima pagi. Semburat cahaya matahari menerpa ujung-ujung kapal, pucukpucuk menara beton. Aku mendesah resah tidak sabaran menatap Pasifik yang mendekat gagah, moncong palka depannya begitu elok. Pasifik kapal kesayangan Opa dibuat selama dua tahun di galangan kapal terbaik dengan supervisi langsung Opa.
Dermaga yacht sepi, masih terlalu pagi untuk memulai hari di Singapura meskipun ini hari Senin. Belasan kapal pesiar ukuran sedang dan kecil tertambat, tiang kapalnya menganggukan masih menyala satu-dua. Dari sisi dermaga, aku bisa melihat jelas kubah Esplanade diterpa cahaya matahari pagi. Tetapi perhatianku sedang tertuju ke arah teluk, sebuah kapal yang amat kukenal mendekat.
Pasifik belum merapat sempurna, aku sudah tidak sabaran loncat ke atasnya.
Aku bergegas menuju ruang kabin dalam, berteriak memanggil Kadek dan yang lain. Aku harus memastikan semua baik-baik saja. Kami harus segera menyusun banyak rencana. Langkah kakiku seketika terhenti, dengus napasku juga tertahan.
Seketika aku mematung. Justru mereka-lah yang sedang menungguku.
Halo, Thomas. Selamat pagi. Kau sepertinya tergesa-gesa sekali. Orang itu tertawa.
Suara tawa itu terdengar khas. Muncul kembali dari malammalam dengan mimpi buruk saat aku tinggal di asrama.
ALO, Thomas. Akhirnya kau tiba juga.
X-2, kode untuk petinggi polisi itu, menyapaku, seperti seseorang yang sedang menunggu teman baik di sebuah kafe, atau seperti teman lama yang semringah bertemu tidak sengaja. Bedanya, sepucuk pistol dengan peredam suara teracung di tangannya. Dia bangkit dari duduk menyambutku.
Aku pikir kau baru datang satu-dua jam lagi, Kawan. Dia bukan Kawan, Wusdi. Dia pernah menipu kita. Rekan dekatnya, salah satu jaksa senior, orang kuat di kejaksaan menyahut, bersedekap, berdiri mengawasi kursi panjang di kabin tengah, tempat Opa, Om Liem, dan Maggie dengan tangan terikat, mulut tersumpal, dipaksa duduk berdempetan.
Menipu" Wusdi menoleh pada rekannya. Dia anak muda yang jujur, Tunga.
Jujur apa" Di mobil taktis, saat kaupaksa mengaku, dia bernal yang digaji tinggi oleh Liem untuk menyelamatkan Bank Semesta. Ternyata ini reuni keluarga.
Oh, kau benar. Ini memang reuni keluarga besar. Wusdi ber-oh, pura-pura baru mengerti situasinya, tinggal lima langkah lagi dariku yang mematung di depan pintu kabin. Laras pistol dengan peredam suara teracung sempurna. Pelatuknya siap ditarik jika aku bergerak, melakukan hal bodoh.
Aku menelan ludah, jemari tanganku mengepal, berusaha mengabaikan dialog standar mereka setiap mengintimidasi pengusaha kacangan untuk mendapat keuntungan.
Aku berhitung cepat dengan situasi. Ini memang mengejutkan, tapi bukan kejutan besar. Saat menyuruh Kadek membawa Pasifik ke Singapura, bergegas menyusul dengan pesawat terbang, aku tahu persis, cepat atau lambat mereka akan menemukan posisi Pasifik. Pengkhianat itu telah memberitahu. Mataku berusaha menyibak ruangan, membaca posisi masing-masing. Selain Opa, Om Liem, dan Maggie yang terikat di sofa panjang, masih ada dua lagi petugas berseragam kepolisian Singapura dengan pistol teracung berjaga-jaga. Sedangkan Kadek yang baru saja merapatkan kapal di bibir dermaga, digiring turun dari ruang kemudi, tangannya terangkat. Dua petugas lainnya mengawal dari belakang.
Layar televisi ukuran besar yang terpasang di dinding kabin terlihat sedang menyiarkan berita pagi, saluran televisi lokal. Suara"nya dibisukan, hanya gambar-gambar berita silih berganti.
Nah, kau mau tahu bagaimana kami berada di sini lebih cepat, Thomas" Wusdi bertanya, mengedipkan mata penuh ketahu, sebenarnya mudah saja menangkap buronan di Singa"pura. Hanya perlu dua hal, jaringan serta kemauan. Soal per"tama, itu mudah, antar petinggi kepolisian pasti kenal satu sama lain. Aku tadi malam bahkan sempat makan malam di restoran mewah Jalan Orchard bersama mereka. Tidak perlu notifikasi interpol, tidak perlu dokumen, hanya basa-basi lisan pertemanan akrab. Mereka ringan tangan meminjamkan empat petugas serta kapal patroli untuk memotong yacht kalian di Teluk Singapura. Nah, soal kedua, kemauan, astaga, jangan tanya tentang kemau"anku, Thomas. Wusdi tertawa lagi, dia sekarang persis berada di depanku. Pistol itu sempurna terarah ke wajahku.
Aku mendengus, napasku mulai menderu. Dengan jarak sedekat itu, jantungku berdetak lebih cepat karena kebencian bahkan tidak seperti ini saat bel ronde pertama terdengar di klub petarung.
Opa, Om Liem, dan Maggie menatapku cemas. Mereka terlihat tidak berdaya. Sementara Kadek sudah tiba di ujung anak tangga, terus digiring turun oleh dua petugas, bergabung ke kabin tengah kapal.
Lihat wajahnya, Wusdi. Kau lihatlah, dia sepertinya marah sekali. Petinggi kejaksaan dengan tangan masih bersedekap itu berseru, tertawa.
Tentu saja dia marah, Tunga. Sebentar lagi meletus. Rekannya ikut tertawa.
Kau hati-hati, Wusdi. Bukankah dia berkali-kali menipu anak buahmu dengan mudah"
Tidak kali ini, Tunga. Anak muda ini tidak bisa bergerak ke mana-mana. Aku akan meledakkan kepalanya dengan peluru jika belakang, tetap menatapku dengan senyum jahat yang amat kuingat.
Nah, sekarang kau mau tahu bagaimana aku tahu posisi yacht mewah kalian ini, Thomas" Matanya bergerak-gerak senang, seperti anak kecil yang berhasil menjawab tebakan. Di mana Ram" RAM" dia berseru memanggil, sambil terus siaga menjagaku.
Dari ruang tengah, melangkah masuk pengkhianat itu. Astaga, lama sekali kau ke toilet" Kau kehilangan momen terbaik penyambutan, Ram.
Ram sedikit kikuk, menepuk-nepuk celananya yang sedikit basah, melangkah ke tengah kabin. Wajahnya terlihat sedikit kaku. Om Liem terlihat meronta-ronta, berusaha melepaskan ikat"an"nya. Wajah tua Om Liem tersengal oleh kemarahan. Kalau saja mulutnya tidak disumpal saputangan, dia pasti sudah berteriak.
Ayolah, sudah cukup marah-marahnya, Liem. Tunga yang berdiri di belakang sofa menurunkan tangannya, menepuk-nepuk bahu Om Liem dari belakang. Ini hanyalah masalah bisnis biasa, jangan terlalu diambil hati. Cincai sajalah. Wajah Om Liem semakin memerah.
Aku menggeram, berusaha mengabaikan kejadian di atas sofa. Aku menatap lurus ke arah Ram. Yang ditatap hanya mengangkat bahu, sekali lagi menepuk-nepuk celananya yang sedikit basah.
Reuni keluarga yang hebat, bukan" Kau pasti mengenal Ram. Wusdi terkekeh.
Ram tidak banyak bicara, balas menatapku datar.
lambat menyadari situasinya. Bukankah sejak di rumah peristirahatan Opa, penyerbuan di dermaga Sunda Kelapa, posisiku di kantor, pergerakanku ke Bali, tidak ada yang tahu kecuali Ram"
Ram yang selalu bertanya di mana aku. Ram yang selalu ingin tahu di mana Om Liem. Ekspresi wajahnya saat rapat pemilik rekening kakap. Jika aku sedikit curiga, urusan ini tidak akan telanjur rumit. Laporan dua lembar yang dikirimkan Julia hanya menjelaskan duduk persoalannya. Itu dokumen rahasia tentang kepemilikan akhir sebuah perusahaan, ultimate shareholder. Sudah menjadi praktik umum, kepemilikan saham sebuah perusahaan dibuat berlapis-lapis seperti kulit bawang melalui anak-anak perusahaan secara bertingkat. Banyak alasannya, mulai dari menghindari pajak, regulasi, atau sekadar pemiliknya enggan diketahui publik. Dokumen yang dikirimkan Julia menyebutkan empat dari sepuluh debitur Bank Semesta, peminjam paling besar, adalah perusahaan yang dimiliki Tuan Shinpei. Keempat perusahaan debitur yang dimiliki Tuan Shinpei, empat perusahaan yang terdaftar di Cayman Islands serta negara-negara pelindung lain"nya, mendudukkan Ram sebagai salah satu pemilik minoritasnya.
Tentu saja urusan ini jadi terang benderang. Tuan Shinpei adalah orang di atas dunia ini yang paling menginginkan Bank Semesta pailit sejak enam tahun lalu. Dengan pailit, utangutang empat perusahaannya, yang terdaftar atas nama orang lain di pencatatan Bank Semesta, akan hangus panjang sekali urusan"nya jika itu akan diurus. Pailitnya Bank Semesta juga menyeret belasan perusahaan milik Opa dan Om Liem. Bisnis properti, perdagangan, dan transportasi, akan runtuh satu per Ram adalah kaki tangan Tuan Shinpei, ditanamkan langsung oleh Tuan Shinpei untuk melakukan banyak hal secara diamdiam.
Kau ingin memiliki perusahaan besar, Ram" aku mendesis, menatap Ram. Bekerja keraslah. Kau menginginkan semuanya, tidak sekadar menjadi orang suruhan" Bekerja keraslah. Itu selalu nasihat Opa saat kau masih berseragam, disekolahkan, dibesarkan keluarga ini. Bukan dengan jalan pintas, membalas semua kebaikan itu kepada musuh keluarga. Kau sungguh hebat, Ram. Mengatur begitu banyak transaksi merugikan dari dalam bank, menyusun persekongkolan, bahkan merekayasa seolah-olah Tuan Shinpei-lah salah satu pemilik dana besar di Bank Semesta. Itu hanya angka-angka di atas kertas, bukan" Kausiapkan semua agar cepat atau lambat laporan keuangan Bank Semesta hancur, bukan" Bagaimana rasanya melakukan itu semua, hah" Mengurus kongsi jahat dari ruangan Om Liem, orang yang mengangkatmu dari kehidupan biasa"
Ram hanya mengangkat bahu, tidak menanggapi. Jika situasinya berbeda, aku sendiri yang akan menghajar Ram tanpa ampun, apalagi dengan semua kepura-puraan selama ini. Seolah paling peduli dengan nasib Bank Semesta, paling patuh pada Om Liem, paling bersahabat denganku.
Aku menghela napas perlahan, berusaha mengendalikan diri. Percuma memaki Ram, dia sudah melatih dirinya menghadapi situasi ini. Tuan Shinpei, tentu saja dialah yang sejak dulu mengatur semua kejadian. Saat rumah dan gudang itu dibakar, dialah yang paling menginginkan bisnis perdagangan itu. Posisi perusahaannya terjepit, juga punya utang pada Papa dan Om Liem.
jaksa muda yang haus kekuasaan serta kekayaan. Membujuk Ram yang ambisius sebagai kaki tangan orang dalam.
Aku menatap sudut layar televisi. Layar televisi ukuran besar itu sedang melaporkan breaking news, langsung dari lobi gedung komite. Kadek setengah jalan menuju sofa.
Kalian menginginkan Bank Semesta hancur, bukan" Aku tertawa pelan. Tuan Shinpei menjanjikan banyak hal pada kalian jika bank itu bangkrut, bukan" Ram dengan persen tertentu kepemilikan saham. Kalian, aparat pemerintah, upah setoran besar karena membantu penyelidikan atas Bank Semesta. Tentu saja kalian mengambil inisiatif, semangat sekali membantu Tuan Shinpei.
Kalian telah gagal, Kawan. Gagal total. Aku tertawa, menatap wajah-wajah mereka.
Wusdi dan Tunga menatapku, tidak mengerti.
Aku tertawa semakin bahak, menatap wajah-wajah bingung mereka.
Lihatlah, komite ternyata memutuskan menyelamatkan Bank Semesta. Aku menunjuk layar televisi, kembali menatap Ram. Baca jelas-jelas headline-nya, Ram. Bank Semesta ditalangi! Bail out. Nah, mungkin sekarang kita perlu mengeraskan volume televisi untuk mendengar pidato Ibu Menteri secara langsung.
Wusdi dan Tunga menoleh ke layar televisi. Ram gugup membaca cepat headline yang tertulis di bawah layar televisi: Breaking News: Indonesian government decided to rescue Bank Semesta.
Aku masih tertawa panjang. Seluruh pion yang kuletakkan di atas papan catur selama dua hari terakhir telah bekerja. Pukul sakti itu telah mengubah pendirian dan prinsip kukuh Ibu Menteri. Urusan Bank Semesta telah selesai.
Aku telah memenangkan skenario hebat itu.
Saatnya aku menyelesaikan urusan masa lalu. Tanganku bergerak cepat. Sepersepuluh detik, saat mereka masih memperhatikan layar televisi, terperangah dengan berita itu, aku sudah menyerbu Wusdi di depanku. Mereka benar-benar salah memilih lokasi pertempuran. Kapal ini milikku, hadiah ulang tahun dari Opa. Aku amat mengenal setiap jengkalnya, dan akulah petinju paling ganas di klub petarung.
Kadek! Habisi yang di belakangmu! aku berteriak lantang, memecah kesunyian dermaga yacht.
Kadek yang jelas membaca kode dari kedipan mataku beberapa detik lalu, tangannya meraih ornamen besi di dinding kabin bahkan sebelum teriakanku habis.
Wacth out! dua polisi Singapura yang menjaga sofa berteriak.
Suara senjata semiotomatis meletus bersahut-sahutan, merobek palka, langit-langit.
Dua detik senyap, salah satu polisi Singapura itu terkapar dengan wajah berdarah, satunya lagi tertatih berusaha berdiri, terkena hantaman ornamen besi. Aku sudah berhasil merebut pistol milik petinggi kepolisian di hadapanku, membantingnya duduk, mengarahkan moncong pistolnya ke pelipis, membuatnya tidak bisa bergerak kecuali mengaduh kesakitan.
Jangan bergerak! Atau aku ledakkan kepalanya! aku berseru galak.
Lengang. Napas-napas menderu.
hanya terserempet peluru. Tangannya masih menggenggam ornamen besi. Dua polisi Singapura yang tersisa menahan tembakan demi mendengar teriakanku.
Wajah Maggie tampak pucat dia hendak menangis karena takut. Opa dan Om Liem gemetar di atas sofa.
Jangan coba-coba! aku membentak salah satu polisi Singapura yang hendak melangkah maju, sekarang senjata semiotomatis"nya terarah padaku. Satu laras lain terarah ke kepala-kepala di sofa. Petinggi kejaksaan itu juga memegang pistol sekarang, terarah persis ke kepala Opa.
Jangan pernah coba-coba! aku mendesis, mengancam. Mata kami bersitatap tajam. Berhitung detik demi detik.
ETAKKAN pistol kalian atau kuledakkan kepalanya! Aku tidak main-main! aku membentak. Tanganku memiting Wusdi, mem"buatnya mengaduh kesakitan. Menekan dalam-dalam moncong senjata ke kepala Wusdi, suara pelatuk ditarik terdengar bergemeletuk.
Kabin yacht semakin tegang.
Turuti perintahnya. Letakkan pistol kalian! Wusdi berseru ter"tahan, akhirnya bersuara setelah beberapa detik berhitung dengan situasi.
Dua orang berseragam polisi Singapura itu ragu-ragu menurun"kan pistol mereka. Tunga menatap serbasalah. Wajahnya sedikit jengkel, tetapi dia tidak bisa melakukan apa pun selain ikut menurunkan pistolnya. Ram masih menatap layar televisi, tidak percaya mendengar siaran langsung reporter dari gedung kementerian.
Kadek masih terkapar di lantai dengan darah membasahi ce- Lepaskan ikatan mereka! Aku memberi perintah, menunjuk Opa, Om Liem, dan Maggie di atas sofa. Waktuku terbatas, ada banyak yang harus kuurus sekarang, Kadek bisa diurus nantinanti.
DOR! Aku menembakkan pistol ke langit-langit kapal, membuat tersedak Wusdi di depanku.
Berapa kali harus kuulangi, hah" Lepaskan ikatan mereka! aku membentak marah, tanganku semakin kencang memiting Wusdi.
Dua orang berseragam polisi Singapura yang tadi masih raguragu, menunggu konfirmasi Wusdi, bergegas mendekati sofa. Maggie yang pertama kali bebas.
Keluar dari kapal! aku meneriakinya.
Maggie menyeka wajahnya yang sembap, masih dengan tangan yang kesakitan sisa ikatan, berlari melintasi kabin tengah. Om Liem menyusul kemudian.
Naik taksi di dermaga. Cari kendaraan apa saja yang bisa membawa ke bandara, kau kembali ke Jakarta sekarang juga! Aku berkata tegas pada Om Liem yang berjalan melewatiku, me"nuju pintu kabin. Temui Rudi di bandara, dia akan mengurus masalah ini dengan adil.
Om Liem mengangguk, tertatih melewati pintu kabin. Aku harus berpikir cepat dalam situasi genting. Meskipun Bank Semesta ditalangi pemerintah, kasus hukum yang membelit Om Liem tetap bertumpuk tinggi. Dia tidak bisa lari terusmenerus. Aku tahu, sejahat-jahatnya Om Liem, dia selalu bertanggung jawab atas semua keputusan bisnisnya. Dengan begitu banyak aparat korup, Om Liem membutuhkan seseorang yang akan mengembalikan reputasi serta nama baik Rudi, bisa menangkap kembali buronan besar.
Dua orang berseragam polisi Singapura melepaskan ikatan Opa.
Kau akan menyesal, Thomas, Wusdi berbisik dengan suara bergetar karena marah. Aku akan membuat seluruh polisi memburu kalian, menghabisi siapa saja.
Diam, Bedebah! Tidak ada yang menyuruhmu bicara! Aku menarik tangannya lebih dalam.
Wusdi mengeluh kesakitan.
Ikatan Opa sudah terlepas. Dia berdiri dengan wajah meringis.
Bergegas, Opa! aku meneriakinya.
Dengan kaki sedikit pincang, kesakitan sisa pukulan dari petugas sebelumnya Opa bergerak melintasi kabin.
Ayo, Opa. Tinggalkan kapal! Aku tidak sabaran, situasi belum terkendali jika Opa belum berada di luar yacht, menyusul Om Liem dan Maggie.
Sial! Saat persis melintasiku, kaki pincang Opa tersandung ujung meja. Dia berseru pelan, wajahnya meringis. Bagi anggota klub petarung, refleks selalu memberikan perlindungan sekaligus serangan terbaik. Tapi dalam situasi ini, refleks membuatku lengah. Aku refleks hendak meraih tubuh Opa yang jatuh, membuat Wusdi lepas dari telikungan, dan dia dengan cepat memanfaatkan situasi.
Tangan Wusdi yang bebas menyikut perutku. Aku melenguh. Tinjunya menyusul, menghantam daguku. Meski perutnya sudah yang terlatih. Aku terduduk bahkan sebelum membantu Opa berdiri, pistol berperedam suara terlepas dari tanganku.
Kau pikir hanya kau yang bisa meninju, hah" Wusdi membentakku yang terkapar. Dia meluruskan tangannya yang sakit, meregangkan badannya, santai meraih pistol di lantai kapal.
Dua orang berseragam polisi Singapura juga bergegas mengambil pistol mereka, lari menuju pintu palka kapal, hendak menangkap kembali Om Liem dan Maggie.
LARI! Tinggalkan kami! aku meneriaki Om Liem dan Maggie, mengabaikan darah yang keluar dari mulutku bersama ludah. Sepertinya ada gusiku yang berdarah.
Maggie tidak perlu diteriaki dua kali. Dia menyuruh sopir segera menekan gas. Taksi itu melesat meninggalkan dermaga yacht.
Biarkan saja mereka kabur. Wusdi mendengus ke arah dua orang berseragam polisi Singapura, kakinya santai menginjak lenganku. Kita tidak lagi membutuhkan mereka. Kalian ikat saja orang tua ini. Wusdi menunjuk Opa.
Aku meringis kesakitan. Nah, Thomas, situasi sepertinya berbalik seratus delapan puluh derajat. Wusdi menatapku jemawa, menyeka pelipisnya dengan punggung telapak tangan yang memegang pistol ber"peredam.
Opa kembali diseret ke atas sofa. Tunga berjaga-jaga dengan senjata teracung. Dua orang lain kasar mengikat tangan Opa.
Seharusnya kau ikut terbakar puluhan tahun silam, Thomas. Bukan sebaliknya, menghancurkan semua rencana kami. Aku masih meringis, napasku tersengal, lenganku terasa Tapi peduli setan soal Bank Semesta. Kami tidak pernah tertarik dengan Bank Semesta. Itu urusan Tuan Shinpei. Kami ha"nya tertarik urusan lain. Wusdi membungkuk, menjawil pipiku dengan pistol.
Hati-hati, Teman, dia tetap berbahaya walaupun sedang terkapar, Tunga mengingatkan.
Wusdi tidak menanggapi teriakan rekannya, dia masih menatap"ku. Kau tahu apa yang sebenarnya kami inginkan dari keluarga kalian, hah"
Aku tidak menjawab, napasku menderu.
Puluhan tahun silam, kami juga tidak tertarik dengan perusahaan, bisnis perdagangan. Itu urusan Tuan Shinpei. Kami lebih praktis, lebih suka memperoleh sesuatu yang terlihat. Nah, kau pastilah bisa menebaknya, Thomas. Kau konsultan keuangan yang hebat. Wusdi tertawa.
Terima kasih atas bantuanmu, Thomas. Apa yang kau bilang saat di mobil taktis" Kau bilang, kau tahu tempat dokumendokumen aset keluarga kalian yang terdaftar di luar negeri. Itulah kenapa aku memilih menyusul kapal mewah kalian, karena aku tahu di mana dokumen-dokumen itu disimpan. Di kapal ini, bukan" Di salah satu kabin. Kau bisa menebaknya sekarang, Thomas. Sama seperti puluhan tahun silam, mengambil akta ta"nah, rumah, gudang milik kalian, sekarang kami lebih tertarik hal serupa, Thomas. Lupakan Bank Semesta yang diselamatkan.
Aku mengeluh dalam hati, menyumpahi kejadian dua hari lalu itu.
Bangun segera, Thomas. Wusdi menendang perutku, memaksa.
Aku mengaduh, tertatih berusaha duduk. Opa menatapku lamat-lamat dari atas sofa.
Nah, karena anak buahmu sepertinya tidak bisa lagi mengemudikan kapal, Wusdi menunjuk Kadek, dan sepertinya kau satu-satunya yang bisa, kau sekarang yang mengemudikan kapal. Kita berlayar ke Hongkong. Aku tahu kalian mendaftarkan semua aset itu di sana. Kau akan membawa kami ke sana Thomas, membantu memindahkan seluruh aset tersebut, lantas sebagai ucapan terima kasihnya, berharaplah aku tidak membunuh kau dan opamu.
Wusdi kasar mendorong badanku dengan ujung sepatunya. Aku masih bergeming, berdiri kaku.
Ayo, Thomas, waktu kita tidak banyak. Atau kau mau aku menembak Opa lebih dulu agar kau mau melakukannya"
Aku menelan ludah, menatap Opa yang tertunduk dalam. Sial. Dengan todongan tiga pistol lain ke arah Opa, aku tidak punya banyak pilihan. Setidaknya Om Liem dan Maggie sudah aman di luar sana. Baiklah, aku mendengus, melangkah pelan ke anak tangga menuju kabin kemudi, melewati Kadek yang masih terkapar. Dadanya masih naik-turun, tanda dia sepertinya pingsan karena tembak-menembak barusan.
Hongkong! Bukan main, aku sudah lama sekali ingin pensiun di sana. Menghabiskan waktu sebagai taipan kaya, ongkangongkang kaki. Bagaimana menurutmu, Tunga"
Temannya tertawa, mengangguk.
kalian, lemparkan dia ke laut! Kita tidak perlu membawa beban tidak berguna di kapal. Wusdi menunjuk Kadek, mendorongku kasar agar segera menaiki anak tangga.
ERIMA kasih teh panasnya, Ram. Wusdi menerima gelas plastik, kepul uap terlihat.
Ini makan malam paling sederhana seumur hidupku. Tunga tertawa, mengangkat kemasan makanan instan di tangannya.
Sudah hampir pukul delapan malam, sudah empat belas jam Pasifik dengan kecepatan penuh meninggalkan dermaga Singapura, terus ke utara menuju Hongkong atau begitulah mestinya tujuan kemudi. Sejauh mata memandang, lautan terlihat gelap, langitlah yang terlihat bercahaya tanpa saputan awan. Bintanggemintang dan bulan bersinar terang.
Tenang, Tunga. Setiba di Hongkong besok pagi-pagi, setelah membereskan banyak hal, aku akan mentraktirmu, juga Ram, seporsi besar bebek peking di salah satu restoran mahal Hongkong. Kau boleh tambah sepuas perutmu. Wusdi bergurau, me"nyeduh makanan instan di depannya.
Setelah aku nonstop berjam-jam kelelahan mengemudikan kapal, dua bedebah itu akhirnya mengizinkan Pasifik melaju dengan sistem kendali otomatis. Mereka juga berbaik hati mengizinkanku menelan makanan, dengan tangan terborgol bersama Opa. Makan malam seadanya di kabin tengah, mengeduk isi kulkas, mencari makanan instan. Kemudi otomatis diawasi dua petugas berseragam polisi Singapura.
Angin laut masuk lewat pintu kabin yang tersingkap. Terasa dingin.
Wajahmu tegang sekali, Ram" Ayolah, santai saja. Wusdi menyikut koleganya.
Dia masih kecewa tampaknya, Tunga yang menjawab. Kecewa apanya" Gagal menjadi pemilik Bank Semesta" Lupakan. Wusdi ber-hah kepanasan, menyeka ujung bibir, meletakkan kemasan mi instan, meraih gelas plastik teh panas. Kita akan memperoleh gantinya, belasan properti di Hongkong, tanah, gedung perkantoran, hotel, kau lihat saja tumpukan dokumen di atas meja. Kau boleh ambil yang mana saja, Ram, termasuk kapal mewah ini.
Atau kau mencemaskan sesuatu" Tunga menyelidik. Bah, kau seperti tidak tahu. Kami ini pejabat penting, semua bisa diatur. Kali ini tidak akan ada jejak yang tertinggal. Semua akan dihabisi setelah urusan di Hongkong beres.
Tunga menunjuk pojok kabin, tempat aku dan Opa duduk di lantai.
Teh buatanmu nikmat, Ram, Wusdi berseru, ber-hah kepanasan.
Mungkin dia sudah terbiasa menyajikan teh untuk Liem di Mereka tertawa lagi.
Aku menunduk, menyuap mi perlahan. Sejak tadi siang Wusdi berhasil menemukan lemari penyimpanan dokumendokumen aset tersebut. Rakus memeriksa satu demi satu. Opa di sebelahku menghela napas, dia sejak tadi tidak menyentuh kemasan gelas mi instan untuknya.
Opa seharusnya makan, aku berbisik.
Orang tua ini tidak lapar, Tommy. Opa menatap ke luar jendela. Salah satu tangan kami terborgol ke tiang kabin, diduduk"kan di pojokan dinding, berada dalam pengawasan mereka.
Setidaknya Opa memaksakan satu-dua sendok. Kita butuh semua tenaga...
Jangan cemaskan orang tua ini, Tommy. Opa bahkan pernah berhari-hari hanya menelan air asin lautan. Suara Opa terdengar dalam, matanya masih jauh menatap lautan.
Opa mengembuskan napas perlahan, memutuskan tidak memaksa lagi, berusaha menghabiskan jatah makan malamku.
Opa tahu apa yang sedang kaurencanakan, Tommy, Opa berbisik. Dia masih menatap melintasi jendela kaca, memperhatikan langit yang terang, konstelasi bintang.
Aku menoleh. Opa justru tertawa pelan. Kau tumbuh jauh lebih tangguh dibanding siapa pun, Tommy. Bahkan berkali-kali lebih tangguh dibanding orang tua ini waktu muda dulu, mengungsi dari tanah kelahiran. Penjahat-penjahat itu telah keliru memilih lawannya.
Opa tahu apa yang sedang kaulakukan. Opa mengedipkan mata".
Opa mengenali rasi bintang, Tommy. Nelayan yang mengajari Opa selama berminggu-minggu di atas perahu kayu bocor. Kemudi otomatis kapal tidak menuju ke Hongkong, bukan" Aku menelan ludah.
Opa menghela napas dalam-dalam. Ah, bahkan hingga sekarang, Opa selalu merinding membayangkan cerita itu. Lihat, bulu lengan Opa berdiri. Ketakutan terbesar bagi seorang pelaut paling tangguh sekalipun. Pasifik tidak menuju ke Hongkong, bukan"
Belum sempat aku menjawab pertanyaan retoris Opa, dari seberang sofa terdengar seruan tertahan. Bukan, itu bukan teriakan agar kami berhenti bicara, atau menyuruh segera menghabiskan makanan, menyuruhku bergegas kembali ke ruang kemudi, itu teriakan tertahan Wusdi untuk urusan lain.
Gelas plastik berisi teh panas terjatuh dari tangannya. Tubuhnya mendadak terjerembap ke bawah sofa. Badannya kejangkejang.
Ram! Ram, apa yang telah kaulakukan" dia berteriak marah, dari mulutnya keluar busa, meringis menahan sakit yang mendadak menyergap perut, ulu hati, dan sistem saraf.
Tunga berusaha membantu, meraih tangan Wusdi, tapi dia juga meluncur terjatuh, tangan kanannya tiba-tiba lumpuh tidak bisa digerakkan.
Apa yang terjadi" Tunga berteriak dengan sisa-sisa tenaga, menatap gentar tubuhnya yang tidak bisa digerakkan. Butir peluh besar-besar menetes dari keningnya, wajahnya pucat, memyang satunya masih sempat memegang ujung celana Ram, wajahnya melotot menahan rasa sakit.
Tolong, Ram! Tunga berusaha berdiri.
Kalian berdua tidak pernah becus bekerja. Kalian justru mem"biarkan musuh lolos berkali-kali. Kalian berdua bedebah tidak berguna, merusak seluruh rencanaku dan Tuan Shinpei. Ram santai menepis tangan Tunga, berdiri, mendorong tubuh sekarat itu jatuh ke lantai. Kalian tidak berhak memperoleh apa pun di Hongkong. Akulah yang akan mengambil semuanya.
Ram, apa yang telah kaulakukan" Tunga berseru serak, belum mengerti.
Hanya mengamankan bagianku. Semuanya. Ram menyeringai.
Kau& kau pengkhianat& ! Tunga mendesis. Di sebelahnya, Wusdi bahkan sudah tidak bisa lagi mengeluarkan suara, terkapar dengan tubuh mulai kaku.
Ayolah, siapa yang bukan pengkhianat di sini! Kalian, Tuan Shinpei, aku, semuanya. Ram melemparkan gelas plastik berisi teh panas yang telah dicampur dengan racun. Kabar baiknya, kalian sudah terbiasa dengan situasi ini, bukan" Pengkhianatan" Kabar buruknya, kalian dalam posisi dikhianati sekarang. Nah, tidak ada sakit hati, Teman. Tidak ada dendam. Semua hanya soal uang. Selamat tinggal.
Tunga hendak menjerit penuh amarah, tapi suaranya hilang lebih dulu di kerongkongan. Wajah birunya segera pucat, dan hanya dalam hitungan detik, dia menyusul Wusdi. Dua bedebah itu terkapar oleh persekongkolan mereka sendiri. Aku menelan ludah, mematung dari pojok kabin menyaksikan Opa hanya menghela napas perlahan. Bergumam sesuatu. Dua bedebah itu telah mati. Mati begitu saja karena keserakahan, akal bulus, serta pengkhianatan yang merupakan keahlian mereka selama ini.
UA kali dilemparkan, dua kali suara debur air terdengar. Pasifik terus melaju ke utara. Lautan terlihat gelap sejauh mata memandang.
Ram kembali masuk ke kabin, diiringi dua orang berseragam polisi Singapura yang sebenarnya pengawal setia Ram dan Tuan Shinpei. Mereka baru saja melemparkan jasad Wusdi dan Tunga ke Laut Cina Selatan.
Lepaskan borgol mereka! Ram memberi perintah, menunjuk pojok kabin.
Dua orang berseragam polisi Singapura itu mengangguk, melangkah cepat ke tempat kami duduk. Salah satu dari mereka melepas borgol Opa dari tiang kabin, satunya lagi berjaga-jaga dengan pistol teracung padaku.
Berdiri, Opa! Ram membentak.
Opa tertatih berusaha berdiri. Napasnya tersengal. Wajah tuanya terlihat lelah dan meringis.
Kau juga berdiri, dan jangan macam-macam, Thomas! Aku tidak segan membunuh Opa. Ram menoleh padaku, matanya menatap datar. Ram jelas sudah melatih dirinya jauh-jauh hari menghadapi situasi seperti ini.
Aku berdiri. Borgol di tanganku sudah dilepaskan, meski rasa sakit terasa di pergelangan tangan seolah borgol itu masih di sana. Dua orang berseragam polisi Singapura itu menodongku, berjaga atas segala kemungkinan. Ram menodong Opa.
Kalian berdua jalan ke buritan. Ram mendorong punggung Opa.
Opa menoleh padaku. Aku mengangguk. Tidak ada pilihan selain menuruti perintah Ram.
Dengan kaki semakin pincang, Opa menggigit bibir menahan sakit, melangkah menuju pintu kabin ke arah buritan yacht. Kami dikawal seperti dua pesakitan berbahaya.
Aku tahu apa yang akan dilakukan Ram. Jika dia ringan tangan membunuh Wusdi dan Tunga, tidak sulit baginya menyingkirkan aku dan Opa.
Ambilkan pelampung di dinding kapal! Ram menyuruh anak buahnya lagi.
Salah satu anak buahnya bergegas mengambil pelampung. Kami sekarang persis berdiri di geladak buritan. Pasifik terus melaju dengan kemudi otomatis, anggun membelah lautan yang tenang.
Maafkan aku, Opa. Kalian tidak dibutuhkan lagi di atas kapal. Ram menatap Opa. Matanya sama sekali tanpa kilatan perasa"an.
selalu bosan diajari Opa. Apalagi mendengar cerita masa lalunya yang tidak berguna. Ram sekarang ganti menatapku. Tapi dengan kemudi otomatis, aku tinggal menunggu yacht ini tiba di perairan Hongkong besok pagi. Tidak terlalu sulit merapatkannya di dermaga sana. Terima kasih banyak telah membantuku.
Aku menelan ludah, menatap wajah Ram yang terlihat dingin.
Opa menghela napas perlahan.
Ini pelampung untuk Opa. Anggap saja sebagai rasa terima kasihku telah dibesarkan di keluarga kalian. Ram melemparkan pelampung ke tangan Opa. Ini hanya urusan bisnis. Semoga Opa tidak pernah membenciku. Lihat, aku bahkan berbaik hati menunda kematian Opa secara langsung. Kalau aku jahat, mudah saja menembak Opa sekarang.
Ram tertawa kecil, mengacungkan pistolnya.
Nah, sekarang silakan pilih, loncat dari kapal dengan pelampung atau kutembak sekarang juga! Ram menatap galak, bersiap menarik pelatuk pistolnya.
Aku hampir berseru, tidak dapat menahan rasa marah yang membakar kepala.
Opa menoleh padaku. Lengang sejenak.
Aku mati-matian berusaha mengendalikan diri, tubuhku bergetar.
Waktu kita tidak banyak, Opa. Loncat atau kutembak! Ram membentak.
Angin malam menerpa wajah. Lautan terlihat gelap. Orang tua ini akan memilih loncat, Tommy. Opa tersenyum lelah, tertawa ganjil. Kau pastilah tahu, Opa lebih baik memilih sekalipun, dibanding s esuatu itu. Kau tahu, bukan" Opa mengedipkan matanya.
Aku menggigit bibir menahan marah. Jika tidak ada dua pistol yang terarah ke wajahku, sudah sejak tadi tinjuku menghajar wajah Ram.
Pilihan yang baik. Selamat tinggal, Opa!
Dengan gerakan kecil Ram mendorong Opa keluar dari geladak buritan.
Aku berseru, refleks hendak menahan tubuh Opa sudah lebih dulu jatuh bersama pelampung. Suara debur air terdengar di antara suara deru mesin yacht dan gelapnya lautan. Kau memang bedebah, Ram! aku mendesis. Kita semua bedebah, Thom.
Kau akan menerima balasannya.
Giliran kau sekarang, Thomas. Ram tidak memedulikan seruan marahku.
Aku loncat, hendak meninju dagu Ram dengan tangan yang terborgol. Gerakan Ram lebih cepat, jari telunjuknya menarik pelatuk pistol. Dua tembakan menghantam perutku, membuat tubuhku terbanting ke belakang. Aku kehilangan keseimbangan. Ram hanya perlu mendorong sedikit tubuhku.
Suara debur di permukaan laut untuk keempat kalinya terdengar. Pasifik terus melaju cepat, segera meninggalkan tempat Opa dan aku dilemparkan.
Gelap. Lautan gelap. Yang terang adalah langit, dipenuhi formasi bintang-gemintang.
*** Setengah jam berlalu. Dengan berpelampung, Opa tersengal mendekatiku yang berusaha berenang mengambang di lautan. Tubuh kurus Opa bergerak perlahan. Formasi bintang-gemintang terlihat semakin elok.
Opa tertawa melihatku, meraih tubuhku. Aku ikut tertawa. Aku masih hidup. Tentu saja. Dua tembakan Ram memang tepat mengenai perutku, tapi dua puluh empat jam sebelumnya, saat berpisah dengan Rudi di pelataran bandara, Rudi sempat memberikan sesuatu yang langsung kukenakan, rompi antipeluru miliknya.
Delapan jam kemudian. Saat cahaya matahari pagi me"nyemburat merah di timur laut, saat cahaya lembut itu membasuh tubuhku dan tubuh Opa yang terapung-apung berpegangan sebuah pelampung, Kadek dengan paha dibebat berseru-seru senang telah menemukanku. Dia berdiri di geladak depan sebuah kapal pesiar, melambaikan tangan kepadaku. Kadek selalu bisa kuandalkan. Dia tahu apa yang harus dilakukan di Pasifik. Dia berpura-pura terkapar di lantai setelah baku tembak, dan persis beberapa detik setelah Wusdi melemparkan tubuhnya di perairan teluk Singapura, dengan sisa tenaga, Kadek berenang kembali ke dermaga, meminta bantuan kenalan sesama nakhoda, meminjam kapal pesiar mereka. Dia segera menyusulku. Aku tertawa, memeluk Kadek.
Opa menerima handuk dan baju hangat dari awak kapal lain.
Kenapa Pak Thom tertawa begitu lebar" Kadek menatapku bingung.
Kenapa, Pak Thom" Ram, aku menertawakan dia sekarang. Persis saat ini, Pasifik telah tiba di bagian laut yang hilang dari peta navigasi. Kemudi kapal itu tidak pernah menuju Hongkong. Aku telah mengubahnya, lantas menipu display-nya seolah-olah tetap menuju ke arah Hongkong. Persis saat ini juga, Pasifik kehabisan solar, terapungapung tanpa tenaga, terjebak di bagian laut yang bahkan sejak Opa muda dulu legendanya sudah mengerikan.
Aku tertawa, membayangkan wajah panik Ram saat bangun tidur, melihat ke luar jendela, bukannya gedung-gedung tinggi dan burung camar yang menyambutnya, melainkan hamparan lautan kosong sejauh mata memandang. Dengan logistik di lambung Pasifik, dia boleh jadi bisa bertahan dua hari di sana. Tetapi semua pelaut tahu, bukan soal logistik. Bertahun-tahun, puluhan kapal, bahkan belasan pesawat terbang telah hilang di bagian itu tanpa pernah terjelaskan.
Kembali ke Jakarta, Kadek! aku berseru. Siap, Pak Thom. Kadek mengangguk.
Saatnya aku menyelesaikan urusan lain. Tuan Shinpei.
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama Kompas Gramedia Building
NOVEL DEWASA Memanah Burung Rajawali 29 Pendekar Rajawali Sakti 47 Buronan Singo Wulung Tiga Sandera 2
^