Tiga Sandera 2
Tiga Sandera Trio Tifa Karya Bung Smas Bagian 2
"Kapan, Pak?" "Dalam surat Bapak. Pak Letnan tidak percaya novel Ibu Tak Pernah Menangis benar-benar hasil
karyamu. Coba kaubilang sendiri padanya."
Pak Letnan berdiri di ambang pintu. Dia tertawa-tawa. "Saya bukan tidak percaya," katanya.
"Saya meragukan apa Fia benar-benar bisa berbahasa sebagus itu. Banyak ungkapan dan
kalimat indah yang hanya pantas ditulis oleh orang dewasa. Ini yang bikin saya ragu!"
"Saya banyak menerima bimbingan dari Bapak, kok," kata Fia, tersipu. "Mestinya yang jadi
pengarang Bapak, bukan saya, Pak Letnan."
Letnan Marcus tertawa. "Jangan kecil hati! Kau memang anak berbakat. Hanya anak berbakat yang mampu menata
kalimat-kalimat indah seperti itu. Ya... meskipun beberapa kalimat berasal dari ucapan ayahmu.
Terus terang, saya sendiri tidak bisa menata kalimat sebagus dalam novelmu. Selamat, ya!"
Letnan Marcus mengulurkan tangan.
Fia menjabat tangan polisi muda itu. "Terima kasih, Pak Letnan," ucapnya. "Pak Letnan masih
akan menahan ayah saya?"
"Lho! Saya tidak pernah menahan ayahmu! Dia sendiri yang ingin tinggal di sini! Saya memberi
penginapan dan makan minum gratis."
"Hu! Oom Marcus jadi dermawan begitu?" Tress mencibir. "Papa juga nggak akan percaya!"
"Heh! Maksud Oom, Oom ini yang memerintahkan agar disediakan pelayanan yang baik bagi
Pak Marfiatno selama waktu tertentu di sini. Ngomong sama kamu lebih sulit daripada sama
kuda, ya?" "Jadi, biayanya bukan dari kantung Oom, kan?" "Bukan."
"Dari negara?" "Kalau begitu, Pak Marfi punya jasa tertentu kepada negara, dong" Masa uang negara
dihambur-hamburkan untuk memberi makan Pak Marfi?"
"Kalian perlu penjelasan seluruhnya, ya" Oke" Tapi janji dulu!" kata Letnan Marcus yang merasa
terdesak oleh pertanyaan-pertanyaan Tress.
"Janji apa, Oom?"
"Kalau kalian sudah tahu, kalian harus merahasiakannya. Bagi Oom, soal ini termasuk tugas
negara juga." "Kami janji, Oom! Tapi cepat bilang, dong!"
Memang harus diterangkan sejak awalnya, agar tidak terjadi kesalahpahaman yang
menyesatkan. Tress akan tahu mana yang harus dirahasiakan dan mana yang bukan.
Sebenarnya Pak Marfi tidak ditangkap polisi, begitu kata Letnan Marcus Hope. Sehari sebelum
ia 'ditangkap', ia dimintai keterangan oleh polisi tentang komplotan perampok yang belakangan
ini sering beraksi di wilayah Jakarta. Terakhir, komplotan itu beraksi di Cipete. Pak Marfi
menyatakan sanggup menyusup ke dalam tubuh komplotan dengan cara seolah-olah ia
ditangkap kembali karena dicurigai terlibat dalam perampokan. Ia juga pura-pura ditahan, agar
bisa berkenalan dengan Santo, anggota komplotan yang tertangkap. Selanjutnya diciptakan
peristiwa pelarian itu. Seharusnya Pak Marfi sudah bisa bergabung dengan komplotan melalui
bantuan Santo. Tapi sungguh di luar dugaan, ternyata pihak komplotan menghendaki kematian
Santo dan Pak Marfi. Mereka menganggap Santo telah memberi keterangan kepada polisi
mengenai komplotannya. Padahal Santo memang tidak tahu apa-apa. Ia hanya tahu semua
perintah komplotan disampaikan oleh Kiwo. Pemimpin komplotan yang bertindak sebagai
sutradara dalam setiap aksi bernama Abun. Santo tidak pernah bertemu muka dengan Abun.
Sebagai orang kecil dalam komplotan itu, Santo memang tidak banyak tahu. Tugasnya hanya
mencari sasaran perampokan serta melakukan penyelidikan terhadap sasaran agar pekerjaan
komplotan berjalan lancar. Santo ditangkap karena dalam aksi perampokan di Cipete,
sandiwaranya diketahui oleh polisi. Berdasar-kan laporan masyarakat sekitar tempat tinggal
korban perampokan, polisi menangkap Santo. Kata banyak orang di Cipete, Santo sering
mondar-mandir dan bertanya-tanya tentang rumah berlantai dua di dekat rumah sakit di
Cipete. Rumah itulah yang kemudian menjadi sasaran perampokan.
Kini Santo telah tiada. Menjadi korban penembakan yang dilakukan oleh Kiwo. Tentang Kiwo
ini, polisi belum mendapat keterangan lebih lanjut. Pak Marfi pun hanya melihat wajah Kiwo
dalam kegelapan selama dalam perjalanan dari rumah persembunyian sampai ke kebun karet.
Pak Marfi belum berani memberikan keterangan terperinci tentang Kiwo. Ia khawatir polisi
salah tangkap karena keterangan yang tidak pasti.
"Bapak kok bisa selamat dari penembakan itu?" tanya Fia dengan rasa ingin tahu.
"Bapak sudah menduga akan terjadi pembunuhan itu. Sikap Kiwo terlalu tegang. Begitu Bapak
turun dan mobil, Bapak segera merencanakan untuk lari ke kebun karet. Makanya begitu
terdengar suara tembakan, Bapak langsung meloncat ke balik pohon karet. Untung yang
ditembak dulu Santo, jadi Bapak sempat menghindar. Peluru-pelurunya menancap di pohon
karet." "Bapak nggak kena barang sedikit, Pak?" tanya Fia seraya mengedarkan pandangannya dari
kepala sampai ke kaki ayahnya.
"Tidak. Cuma kena semak-semak saja. Lihat! Baju Bapak baru, kan" Ini pemberian Pak Letnan.
Baju yang Bapak pakai malam itu sudah nggak keruan lagi!"
"Baunya tujuh macam, ya Pak?"
"Bukan saja baunya! Wujudnya juga sudah berantakan. Sobek-sobek nggak keruan. Bapak kan
berguling-guling ke lubang tanah di kebun karet itu!"
"Bapak hebat, ya Pak?"
"Yang hebat banditnya! Sampai sekarang belum bisa dilacak. Bapak sudah gagal."
Selama percakapan itu, Tress dan Iwon diam saja. Iwon membisikkan sesuatu ke telinga Tress.
Letnan Marcus menoleh ke arah Iwon. Tress mengucapkan kata-kata yang dibisikkan Iwon,
"Dalam koran ini diberitakan kedua pelarian tewas ditembak, Oom. Bagaimana bisa jadi
begini?" Letnan Marcus menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia terpaksa harus menjawab pertanyaan itu.
Katanya, "Ini kesalahan pemberitaan. Jangan menyalahkan siapa-siapa. Ini hanya kekeliruan
yang bisa terjadi dalam keadaan serupa itu. Ceritanya begini... "
Semuanya bersikap mendengarkan. Letnan Marcus duduk di kursi di seberang meja rendah,
berhadapan dengan Pak Marfi.
"Oom menugaskan anak buah Oom untuk membuntuti Pak Marfi," kata Letnan Marcus. "Anak
buah Oom kehilangan jejak penjahat di daerah Parung. Ketika penembakan itu terjadi, anak
buah Oom berada jauh dari tempat kejadian. Mereka tiba di tempat itu ketika orang-orang
kampung sekitar kebun karet sudah ramai mengerumuni jenazah Santo. Pak Marfi bersembunyi
di tengah kebun karet itu. Ia khawatir penduduk akan mengeroyoknya kalau ia menampakkan
diri." "Kenapa sampai dikeroyok" Bapak kan... " ucapan Fia terhenti. Lalu dijawabnya sendiri
pertanyaan itu, "Eh... Bapak kan lagi berperan sebagai bandit, ya" Orang kampung suka main
keroyok begitu, sih!"
"Tepat!" sahut Letnan Marcus. "Untuk menghindarkan hal-hal yang tidak diinginkan, Pak Marfi
bersembunyi. Kami menemukannya jauh di tengah kebun karet, jauh dari kerumunan orang.
Brengsek! Pak Marfi bikin lelucon juga! Dia pura-pura teler ketika kami tiba di tempatnya. Polisi
terpaksa menggotongnya dengan bantuan beberapa orang penduduk. Begitu mobil polisi yang
mengangkutnya melaju, Pak Marfi terbahak-bahak!"
Dan kini Pak Marfi tertawa terkekeh. Dia memang sengaja berpura-pura pingsan. Kalau tidak ia
akan ditanya macam-macam oleh polisi yang menjemputnya di tengah kebun karet. Hal
semacam itu bisa menimbulkan salah paham di tengah orang banyak pula. Siapa tahu ada yang
bertindak liar. Kalau salah seorang mulai memukul, lainnya tentu akan ikut-ikutan. Pak Marfi
bisa mati tanpa ditembak bandit.
Tress 'menyerang' Letnan Marcus lagi dengan pertanyaannya, "Kenapa polisi tidak menjelaskan
kepada wartawan bahwa korban penembakan itu tidak tewas kedua-duanya?"
"Anak bandel!" cetus Letnan Marcus. "Pertanyaanmu tidak bisa dijawab, Nona Kecil! ini sudah
rahasia tugas kami. Jangan keki, ya?"
"Keki saja!" Tress cemberut. Di mana pun, dia tetaplah bertingkah begitu bila hatinya tak suka
pada seseorang. Fia tak ingin bertanya-tanya lagi. Ia sudah mengerti seluruhnya. Teringat akan ucapan Bapak
yang sering didengarnya, 'Orang tua sering melakukan sesuatu yang tidak dimengerti oleh anakanaknya.' Begitulah adanya. Fia tidak akan mengerti seluruhnya. Bapak tentu menyembunyikan
hal-hal yang rahasia. Seperti Letnan Marcus itu. Bukankah semua ini pun semula menjadi
misteri" Ternyata Bapak belum mau pulang juga. Entah apa lagi yang akan dilakukannya. Fia pun tak
ingin mengerti, tak ingin bertanya-tanya. Ia percaya, Bapak telah benar-benar menjadi ayah
yang baik lagi. Bukan seorang bromocorah, bukan pula seorang pelarian yang dikejar-kejar
polisi. Matahari sudah rendah sekali ketika mereka meninggalkan kantor polisi. Dada terasa betapa
lapangnya. Mobil meluncur ke Rawasari untuk mengantarkan Fia.
Begitu melangkah masuk ke rumah, Fia disergap oleh Ibu sejadi-jadinya. Ibu memeluk Fia erat
sekali. Ibu menangis tanpa mengisak. Hanya air matanya yang berderai. Yadi dan Yanto
menatap adegan itu dengan mulut melongo. Mereka memang tidak tahu persis apa sebenarnya
yang terjadi. Mereka hanya tahu, pulang dan bepergian tadi, Ibu membawa jajan dan belanjaan
banyak sekali. "Bapak menepati janjinya, Fia...," ucap Ibu di antara sendat-sendat tangisnya. "Bapak tidak
jahat lagi. Kita keliru telah menolak uang pemberiannya. Padahal ia memperoleh uang itu
dengan bertaruh nyawa... "
Fia teringat akan uang lima puluh ribu rupiah pemberian Bapak yang ditolak mentah-mentah
oleh Ibu. Tentunya Bapak memperoleh uang itu dari Letnan Marcus. Mungkin sebagai uang
lelah. Bisa juga sumbangan polisi sebagai penghargaan atas jerih payah Pak Marfi. Sekarang Ibu
telah mau menerima uang itu.
"Tuhan... " Fia mendesis, "aku tak bisa lupa akan semua ini. Terima kasih, Tuhanku... "
Terima kasih, Tuhan! Betapa dalamnya rasa terima kasih Fia kepada Tuhan. Tak banyak anak
seumurnya yang mengalami peristiwa semacam ini. Bukankah Fia pantas berterima kasih
kepada Tuhan" Banyak duka dialaminya, tetapi betapa banyak pula kebahagiaan miliknya...
6. Disandera Penjahat SUARA hingar-bingar dari panggung musik membuat telinga terasa lelah sekali. Dalam
kebisingan seperti itu Iwon sering merasa letih. Ia segera meninggalkan tempatnya di tengah
rombongan wartawan yang memotret pertunjukan itu. Telah sepuluh kali ia memotret. Sudah
cukup untuk latihan. Hanya latihan, karena Tress bilang ia tidak akan menulis tentang pagelaran
musik ini. Iwon boleh memotret sebagai latihan. Sekali ini Iwon menggunakan film hitam putih
ASA 1000. Film ASA 1000 ini mempunyai kepekaan daya tangkap obyek (sesuatu yang dipotret)
sangat tinggi. Sehingga dalam pemotretan, tidak diperlukan cahaya lampu kilat. Untuk pertama
kalinya ini Iwon memotret pada malam hari tanpa lampu kilat.
Ia akan selalu teringat pada ucapan Oom Didat tentang hasil potretnya. Kata Oom Didat, Iwon
baru bisa menjadi 'tukang potret'. Belum menjadi 'seniman fotografi'. Tukang potret selalu
memotret untuk menghasilkan potret yang bisa laku dijual. Sedangkan seniman fotografi
menghendaki karya foto yang bermutu dan bernilai seni. Begitu kata Oom Didat. Dalam hati
Iwon mengakui Oom Didat sebagai gurunya untuk menjadi seniman fotografi. Sedangkan Bang
Ifar adalah guru untuk menjadi tukang potret.
Sekali jepret harus menghasilkan uang, kata Bang Ifar. Tapi Oom Didat bilang, "Ambillah
kesempatan memotret sebanyak-banyaknya.
Hasilnya diambil hanya yang terbaik."
Dua pendapat itu saling bertentangan. Bagi Bang Ifar, pendapat Oom Didat bisa berarti
pemborosan. Studio foto 'Della' bisa bangkrut kalau menuruti saran Oom Didat. Memang dua
orang itu berbeda pendapat. Tapi kedua-duanya benar. Sebab Bang Ifar seorang tukang potret,
sedangkan Oom Didat seorang seniman fotografi. Iwon harus mengikuti pendapat keduaduanya. Tapi untuk menghabiskan satu rol film dalam tustelnya, ia masih merasa kagok juga.
Maka sepuluh jepretan sudah cukup. Padahal Oom Didat memberinya dua rol film untuk
latihan. Sekarang tiba waktunya untuk mencari Tress dan Fia. Kalau mereka belum duduk di tempat
duduk mereka, tentunya sedang berada di ruang panitia untuk menemui Pak Akil. Tadi Fia
masih sempat menjual sisa karcis di halaman gedung besar itu. Berarti sekarang masih
menyetorkan uang hasil penjualannya di ruang panitia. Iwon menuju ke ruang itu di lobby.
Ia mengetuk pintu. Tapi tidak ada sahutan. Lubang kuncinya rapat. Ia tidak bisa mengintip ke
dalam. Diketuknya lagi pintu itu. Masih juga tidak ada sahutan. Iwon menggerutu. Ia mulai kesal
pada Tress. Ada saja tingkahnya yang membuat orang lain kesal.
Lama Iwon mondar-mandir di depan pintu itu. Ada apa gerangan di ruang panitia" Iwon mulai
curiga. Ia bermaksud mencari Pak Tohar di pelataran parkir mobil. Bila ia sendirian dengan
tustel di tangannya, ia selalu merasa takut dirampok orang. Ia bingung sesaat. Rasa ingin tahu
terhadap apa yang terjadi di ruang panitia sangat mengganggunya. Tapi rasa takut dirampok
orang, juga tak kalah mengganggu. Akhirnya dia berdiri saja, di dekat pelataran parkir.
Betapa terkejutnya ia melihat Tress dan Fia keluar dari pintu yang lurus berada di depannya! Fia
dan Tress digandeng oleh Pak Akil. Mereka berjalan di depan. Di belakang mereka, dua orang
lelaki bertubuh tegap berjalan merapat. Apa gerangan yang terjadi" Wajah Tress tampak tegang
sekali. Juga wajah Fia. Iwon telah terbiasa dengan hal-hal yang terjadi secara tiba-tiba seperti itu. Ia berlari merunduk
dan bersembunyi di balik sebuah mobil. Disiapkannya tustelnya dalam waktu seperempat
menit. Ia membidik dan memotret. Film hitam putih ASA 1000 akan bisa menangkap obyek
dengan penerangan lampu teras gedung Balai Sidang. Iwon terus memotret sampai tiga kali.
Lalu dilihatnya Tress, Fia, dan Pak Akil digiring ke sebuah mobil Jeep CJ 7. Begitu mereka naik ke
mobil itu, mobil segera berjalan menyentak. Rupanya sopirnya sudah siap melarikan mobil itu.
Tiba-tiba Iwon melihat mobil Daihatsu Charade Tress meluncur dari pelataran parkir. Iwon
berlari mencegatnya. Mobil berhenti. Pintu depan sebelah kiri terbuka. Iwon berlari seraya
berseru, "Tress diculik, Pak!"
"Cepat naik!" seru Pak Tohar.
Pak Tohar menghendaki Iwon tidak usah ribut. Baginya, yang penting adalah menyelamatkan
Tress dan Fia. Tapi Iwon sudah berteriak-teriak. Polisi berseragam yang berjaga di situ berlari
mendekati mobil. "Ada apa?" tanyanya seraya menjenguk ke jendela mobil itu.
"Penculikan, Pak!" seru Iwon. "Teman saya dibawa kabur dengan mobil tadi!"
Mobil Daihatsu Charade itu menyentak cepat dan meluncur menyusul Jeep CJ 7. Polisi itu
melapor kepada komandannya melalui pesawat walkie-talkie. Polisi-polisi bertindak cepat.
Mereka segera mengetahui bahwa yang terjadi adalah perampokan, bukan penculikan. Uang
panitia dikuras habis. Dua orang anggota panitia diringkus dan diikat dengan mulut tersumbat
dan mata tertutup kain. Ketua panitia dan dua orang anak kecil disandera dan dibawa lari
penjahat. Kini mobil Jeep CJ 7 meluncur di Jalan Pintu IX Senayan. Daihatsu Charade memburunya.
"Siapkan tustelmu, Won! Mungkin ada gunanya" seru Pak Tohar. "Komplotan yang kita hadapi
ini pasti komplotan yang sedang diselidiki oleh Pak Marfi. Kita harus hati-hati. Mereka cukup
kejam!" "Aku mengkhawatirkan keadaan Tress dan Fia... "
"Kita akan menyelamatkan mereka!" "Bagaimana caranya"'
"Kita kuntit saja. Kusesalkan tadi kau ribut di pelataran parkir. Kalau tidak, mungkin kerja kita
akan lebih mudah." Iwon menyesal sedalam-dalamnya. Tapi mau apa lagi, semuanya sudah telanjur.
Mobil Jeep CJ 7 itu membelok ke kanan di dekat Lapangan Tembak Senayan. Memasuki jalan
kecil yang sepi. "Biar kudekati mobil itu. Potret saja sekenanya. Nomor platnya mungkin palsu. Tapi potretmu
bisa berguna juga. Paling tidak bisa menggambarkan bentuk mobil itu!"
"Mobil Jeep CJ 7 kan sama saja di mana-mana?"
"Tapi ciri-ciri khususnya berbeda! Lihat saja! Di dekat roda cadangan yang menempel di pintu
itu ada bagian cat yang tergores, seperti bekas ditabrak. Ayo, mulai memotret!"
Pak Tohar menekan pedal gas dengan kaki kanannya. Mobilnya melaju makin kencang. Iwon
memotret lewat jendela mobil. Ketika itu mobil Pak Tohar menikung memasuki jalan kecil di
dekat Lapangan Tembak. Agaknya pengejaran itu sudah diketahui oleh penjahat. Lelaki yang
duduk di belakang, yang bernama Kiwo, mengacungkan pistol dan menembak. Pelurunya
berdesing menghantam kaca mobil Daihatsu Charade.
"Masya Allah!" jerit Iwon kaget. Tak sengaja jari telunjuknya menekan tombol tustel. Ia telah
memotret adegan penembakan itu.
Kaca depan mobil itu berlubang bekas peluru. Demikian juga sandaran tempat duduk Iwon.
Ujung peluru menancap di sandaran tempat duduk itu. Iwon lemas sekali menyadari apa yang
telah terjadi. Bila tadi ia tidak sedang membidikkan kameranya, kepalanya sudah berlubang
ditembus peluru! Perampokan itu memang dilakukan oleh orang-orang terlatih. Persiapannya pun cukup matang.
Semula mereka tidak bermaksud menyandera siapa pun juga. Tapi ketukan pintu yang
dilakukan oleh Iwon membuat mereka mengubah rencana. Mereka menganggap aksi
perampokan itu sudah diketahui oleh orang luar atau pihak keamanan pertunjukan. Maka
mereka melakukan penyanderaan untuk melarikan diri.
Mereka juga menyangka Daihatsu Charade berisi polisi yang melakukan pengejaran. Maka
mereka menembak. Jeep CJ 7 itu meluncur di jalan sempit yang berkelok-kelok dan naik-turun.
Sungguh gila, mereka sengaja memilih jalan dengan keadaan seperti itu. Biasanya, perampok
akan memilih jalan yang lebar dan ramai untuk melarikan diri. Pilihan terhadap jalan yang
sempit itu adalah juga siasat perampok. Padatnya lalu-lintas yang datang dari dua arah akan
mengakibatkan sulitnya pengejaran. Juga memudahkan mereka untuk mengelabuhi pihak
pengejar. Pak Tohar menyadari bahwa mobil yang dikendarainya telah dikenali oleh penjahat. Ia menyalip
sebuah taksi berwarna kuning. Lalu berhenti mendadak di depan taksi itu. Sopir taksi mengutuk
dan menginjak pedal rem. Pak Tohar keluar dari mobil diikuti oleh Iwon. Mereka menghampiri
taksi itu. "Cepat kejar mobil Jeep CJ 7 itu!" seru Pak Tohar kepada sopir taksi yang belum hilang
kagetnya. "Memang kenapa?" tanya sopir taksi terbengong-bengong.
Pak Tohar tidak menjawab. Ia mendorong sopir taksi ke kiri, sementara ia sendiri duduk di
tempat duduk pengemudi. "Biar saya yang nyetir!" serunya. "Ini gawat! Anak majikan saya diculik!"
"Aduh! Saya takut! Jangan!" seru sopir taksi.
Pak Tohar tidak peduli. Ia membentak sopir itu, "Pindah ke belakang! Buka bajumu, cepat!"
Sopir taksi terbengong-bengong. Pak Tohar membentaknya lagi, "Buka bajumu, Tolol! Aku akan
menyamar sebagai sopir taksi cari penumpang! Kamu ngumpet di jok belakang bersama Iwon!
Won! Kamu merunduk! Jangan sampai kelihatan dari luar!"
Iwon yang telah duduk di jok belakang segera merunduk. Sopir taksi membuka bajunya. Pak
Tohar orang hebat. Sambil mengendarai mobil di jalan yang sulit begitu, ia bisa membuka
Tiga Sandera Trio Tifa Karya Bung Smas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bajunya sendiri dan mengenakan baju sopir taksi.
"Kamu punya topi"' tanyanya. Tentunya pertanyaan itu ditujukan kepada sopir taksi.
Tapi sopir taksi tidak merasa ditanya. Ia diam saja. Pak Tohar memukul pantat orang itu. Sopir
taksi menjerit kaget seraya menyembulkan kepalanya. Tadi ia merebahkan tubuhnya hingga
setengah menungging di tempat duduk belakang.
"Apa, Pak?" tanyanya.
"Kamu punya topi?"
"Itu di situ... " Sopir taksi menunjuk ke jok depan.
Ada topi pet di situ. Pak Tohar mengenakannya. Ditekannya agar topi itu sedikit
menyembunyikan wajahnya. Kemudian ia tancap gas hingga kecepatan taksi itu meninggi.
Beberapa kali ia menyalip kendaraan lain.
Jeep CJ 7 kini memasuki jalan di daerah perumahan mewah. Mobil itu agak pelan. Lalu
melontarlah dari dalamnya sesosok tubuh besar. Tubuh itu jatuh terguling-guling di atas jalan.
Terdengar suara tembakan tiga kali. Betapa mengerikan adegan itu! Pak Akil dilemparkan dari
mobil lewat pintu belakang, lalu ditembaki!
"Pak!" jerit Iwon yang sempat melihat adegan itu.
"Pak Akil dibunuh!"
Taksi kuning itu melintasi tubuh Pak Akil yang tergeletak di tepi jalan. Tapi Pak Tohar tidak mau
menghentikan mobil yang dikendarainya.
"Buat saya, yang penting keselamatan Non Tress dan Non Fia!" seru sopir itu.
Iwon menghembuskan napas panjang sekali. Kepalanya terasa pening dalam ketegangan ini.
Sadarlah Pak Tohar, penyamarannya sebagai sopir taksi telah diketahui oleh komplotan
penjahat. Ia tidak bisa terlalu dekat dengan Jeep CJ 7. Penjahat bisa mencelakakan dua orang
sanderanya. "Kita tidak bisa dekat, Won. Demi Tuhan, aku rela mati asalkan Non Tress dan Non Fia
selamat?" kata Pak Tohar mantap.
"Kita lapor polisi saja, Pak. Kita serahkan saja pada polisi!"
"Polisi sudah tahu akan semua ini."
Iwon diam saja. Tidak bisa berbuat apa-apa. Rasa pening di kepalanya makin menggigit.
Jauh di depan sana, tampaknya Jeep CJ 7 berhenti. Pak Tohar tegang sekali.
"Kalau Non Tress ditembak, aku bersumpah akan membunuh semua bandit itu?" serunya
dengan suara berteriak. Iwon kaget mendengarnya. Ia menatap Pak Tohar dari arah belakang. Bisakah orang itu
membunuh sesamanya" Diam-diam ada rasa tak senang pada Pak Tohar di hati Iwon.
Bagaimanapun juga, ia tidak setuju bila Pak Tohar membunuh orang! Tapi ia maklum akan
perasaan lelaki setengah baya itu. Ia telah dipercaya oleh Oom Didat untuk menjaga
keselamatan Tress. Bila Tress celaka, mungkin ia menjadi gila. Dalam kegilaan orang semacam
Pak Tohar akan sanggup berbuat apa pun juga. Bulu Kuduk Iwon meremang membayangkan hal
itu. "Tuhan... jangan jadikan dia pembunuh...," desisnya.
Tidak terdengar suara tembakan. Jeep CJ 7 itu semakin jauh memasuki jalan yang sepi. Lalu
tidak tampak lagi. Taksi itu tiba di tempat Jeep CJ 7 tadi berhenti. Ternyata Tress dan Fia
diturunkan saja, tanpa dicederai.
"Noooon!" jerit Pak Tohar begitu mobil taksi itu berhenti. Pak Tohar melompat turun. "Nooon!
Non kenapa?" Tress menangis mengisak-isak. Ia berlari menghambur seraya memeluk Pak Tohar. Fia berdiri
saja, seperti orang linglung.
Jalan itu sepi sekali. Rumah-rumah besar berdiri di kanan-kirinya. Sangat indah, tapi bagai
kuburan belaka karena tidak ada seorang pun yang tampak dari sana. Jeritan sekeras halilintar
pun tak akan membuat penghuni rumah-rumah itu bangkit membuka pintunya. Orang-orang
telah menjadi tak acuh terhadap nasib sesamanya karena mengkhawatirkan keselamatan diri
sendiri. Pada siang hari tempat itu sungguh indah sebagai daerah pemukiman yang hijau di
tengah kota Jakarta. Tapi pada malam hari, jalan-jalan pun sepi dan menye-ramkan. Seolah
semua orang takut keluar dari rumahnya bila matahari telah terbenam.
"Fia! Kamu tidak apa-apa?" tanya Iwon dengan gugup.
Fia menggelengkan kepalanya. Tapi Iwon tidak melihatnya karena tempat itu cukup gelap.
"Fia! Kamu tidak apa-apa, kan" Ngomonglah!" seru Iwon.
"Tidak...," suara Fia gemetar. "Aku masih takut..."
Iwon menangkap lengan Fia.
"Jangan takut kalau kau tidak apa-apa!"
katanya. "Oh... tadi seram sekali...
Pak Akil bagaimana?" tanya Fia.
"Aku tidak tahu!"
"Cepat menyingkir dan sini!" seru Pak Tohar segera. "Non! Mari kita pulang, Non!"
Pak Tohar membimbing Tress ke dekat taksi. Tress masih diam. Ia didudukkan di jok belakang.
"Aaaaaa!" jeritnya tiba-tiba.
Kepala sopir taksi menyembul.
"Ampun! Saya, Non! Saya!" seru sopir taksi itu.
"Bodoh!" Pak Tohar menghardik. "Kenapa dari tadi nungging saja di situ?"
Rupanya tadi Tress menyentuh kepala sopir taksi, sehingga ia terkejut.
"Ampun, Pak... saya gugup. Saya takut. Saya orang perantauan, Pak. Saya hanya cari makan.
Saya cari keselamatan "Diam!" hardik Pak Tohar. "Jangan bikin kacau saja! Hayo pindah ke depan!"
Sopir taksi ketakutan karena bentakan itu. Gerakannya jadi lamban sekali. Kasihan, agaknya dia
benar-benar penakut. Tibalah di situ polisi berpakaian dinas yang ikut mengejar perampok. Tress mengeluh karena ia
harus ikut ke kantor polisi untuk memberi keterangan. Ia ingin lekas pulang. Ingin lekas
memeluk Mama dan Papa. Ketika itu Iwon berbisik pada Pak Tohar, "Soal potret itu jangan dilaporkan pada polisi. Aku
hanya akan melapor pada Oom Didat,"
"Aku mengerti," bisik Pak Tohar.
Syukurlah bila dia mengerti.
Sungguh ajaib, bila ternyata Pak Akil tidak apa-apa. Ia hanya menderita lecet-lecet di kedua
tangannya. Pakaiannya kotor sekali. Dahinya sedikit bengap karena terantuk batu. Tapi ia
sungguh-sungguh tidak tewas. Ia tertawa begitu melihat rombongan Tress tiba di Polda Metro
Jaya yang gedungnya megah di sudut Jembatan Semanggi. Pak Akil duduk di kursi empuk. Ada
polisi berpangkat sersan di ruangan itu, sedang duduk di balik meja tulis.
"Banditnya goblok, Fia!" seru Pak Akil kepada Fia yang terbengong-bengong. "Nembak saja
nggak becus?" "Jadi Pak Akil tidak apa-apa?" tanya Fia, masih kurang yakin.
"Didorong dari mobil dan ditembak! Masa tidak apa-apa?"
"Tapi kan hanya lecet-lecet saja?"
"Tuhan menyelamatkan aku. Mungkin masih
ada gunanya aku hidup, ya?"
Fia memikir-mikir. Bagaimana mungkin Pak Akil tidak kena peluru setelah ditembak tiga kali" Ia
akan menanyakan hal itu kepada Bapak.
7. Kekecewaan Iwon BERITA perampokan itu hanya ditulis secara singkat di koran Gegap yang terbit pada hari
Minggu. Terbitan hari Senin sama sekali tidak memuat berita itu. Hasil potret Iwon juga tidak
menghiasi halaman surat kabar itu selama dua hari berturut-turut.
Iwon sangat kecewa. Padahal Oom Didat memuji hasil potret itu.
Pulang sekolah, Iwon terus ke kantor Oom Didat bersama Tress. Mereka naik bis kota sampai di
perempatan Tugas, lalu naik becak. Hari ini mobil Mama sedang diganti kaca depannya karena
pecah terkena peluru. "Pasti kau akan protes!" Oom Didat menyambut Iwon dengan ucapan itu.
"Saya haus, Oom. Kalau saya sudah dikasih minum, saya akan bicara!" sahut Iwon seraya duduk
di kursi tamu. "Tress! Kau juga bisa bertindak sebagai nona rumah di sini," kata Oom Didat.
"Oke, Pa!" sahut anaknya. "Papa selalu memerintah dengan ucapan yang bermutu, ya?"
Tress mengambilkan teh botol untuk Iwon dari dalam kulkas di ruangan itu. Iwon menyedot
tehnya sampai setengah botol. Lalu ia berkata, "Saya ingin jawaban Oom. Masa potret saya
tidak dimuat" Oom kan sudah ngasih honornya?"
"Tidak dimuat bukan berarti tidak memenuhi syarat. Hasil fotomu sudah bagus. Sangat bagus,
malah. Tapi menurut pertimbangan
Oom, sebaiknya tidak dimuat. Sampai saat ini perampok itu belum tertangkap. Kalau potret itu
dimuat, keselamatanmu terancam. Perampok kan sudah tahu kau ikut dalam mobil yang
mengejar mobil perampok. Melihat hasil potretmu, perampok akan tahu bahwa kau yang
memotretnya. Ini bisa membahayakan keselamatanmu."
"Kalau yang dimuat potret yang saya ambil dari pelataran parkir, kan nggak apa-apa, Oom"
Tidak ada yang tahu kalau saya memotret mereka!"
"Hasil potret itu sangat diperlukan oleh polisi untuk bahan penyelidikan kasus ini. Kita tunggu
saja hasilnya. Kalau kita muat sekarang, perampok akan tahu bahwa polisi sudah bisa mengenali
wajah mereka. Hal ini bisa mengganggu kelancaran tugas polisi."
"Jadi Oom menyerahkan potret itu ke tangan polisi?"
"Sebagai warga negara yang baik, kita wajib membantu alat negara demi kelancaran tugas
mereka." Iwon mendengus dengan hati masygul. Di Polda Metro Jaya ia tidak menyebut-nyebut soal
potret itu kepada polisi. Ia ingin potret itu dimuat Gegap lebih dahulu. Tapi kini ternyata potret
itu jatuh ke tangan polisi juga.
"Ingin tahu siapa polisi yang meminta hasil potretmu?" tanya Oom Didat yang mengetahui
kekecewaan Iwon. "Pasti Letnan Marcus Hope!" cetus Iwon.
"Betul! Letnan Marcus Hope akan berterima kasih padamu kalau ia bisa meringkus komplotan
penjahat itu." "Saya tidak perlu mendengar dia ngomong terima kasih, Oom!"
Oom Didat hanya tertawa. Iwon makin dongkol saja. Kedongkolan itu masih menggunung
sampai ketika ia meninggalkan kantor Oom Didat.
Tress mengerti betul mengapa Iwon kecewa seperti ini. Tapi ia juga mengerti akan sikap Papa.
Tress merasa serba salah. Harus berpihak pada siapakah dia"
Kling-klong! Bel berbunyi. Tress membuka pintu depan. Pukul empat sore sudah lewat tiga
menit. Siapa yang datang ini"
"Selamat sore," seorang pemuda menyapa ramah. Ia membawa tas hitam. Tress tahu, tas itu
adalah tempat tustel. Wartawan Gegap juga mempunyai perlengkapan tas seperti itu. Pemuda
tamu bertanya, "Apa saya berhadapan dengan Dik Tress Ragapadmi?"
"Mas siapa?" Tress bertanya.
"Saya dari surat kabar Wartakota."
"O, mau wawancara, ya" Aduh, bagaimana ini" Saya sendiri kerjanya mewawancarai orang,
kok! Masa saya diwawancarai" Tuh, wawancara kakak saya saja, ya" Kemarin dia juga masak
sayur asem di sekolahnya!"
Pemuda tamu tertawa. Ia melangkah masuk, padahal Tress tidak mempersilakannya.
"Mbak Trian! Mbaaaaak!" seru Tress. "Ini ada wartawan mau wawancara dengan juara masak
sayur asem! Ai! Ngetop deh, kamu!"
Trian muncul dari pintu dalam.
"Apa kamu-kamu" Sama kakaknya pakai kamu!" semburnya.
"Sori, deh. Tuh, Mas Wartawan mau wawancara! Ngomong saja apa adanya. Jangan lupa, ya!
Bilang terus terang, yang mengajari Mbak Trian masak sayur asem kan Papa!"
Trian kena dikerjain juga. Ia mengulurkan tangan pada wartawan itu.
"Saya Trian HS. HS-nya singkatan Haryo-sebrang. Saya menjuarai masak sayur asem di sekolah
dalam rangka peringatan Hari Pendidikan Nasional. Saya suka masak, terutama karena saya
nggak bisa nulis di koran seperti Tress. Eh, mau tanya apa lagi" Tanya dong, Mas!"
Wartawan itu tertawa-tawa.
"Saya ingin mewawancarai Tress tentang perampokan itu," katanya.
"Ooo... jadi bukan mewawancarai saya?"
Wartawan itu tersenyum, meskipun hatinya tidak tega mengecewakan Trian.
"Tress!" Trian berseru seraya berlari ke dalam. Adiknya sedang tertawa-tawa sendirian di
kamarnya. Trian menyerbu ke kamar itu. Dipukulinya punggung adiknya. Dicubitinya pula.
"Sialan! Kurang ajar kamu! Kurang ajar! Tahu rasa! Hayo! Sakit, nggak" Sakit, nggak" Rasain!"
Mama yang masih tidur segera terbangun.
"Apa-apaan ini" Sudah besar kerjanya ribut melulu!" seru Mama gusar.
"Tress sialan, Ma! Tress kurang ajar!" Trian mengadu.
"Trian! Mulutmu kotor! Begitu ya, omongan anak Papa" Ngajarin adiknya ngomong kotor!"
Trian jadi dongkol bukan main. Memang selalu begitu. Ia tak akan bisa menang lawan Tress.
Tapi akhirnya Trian tertawa juga. Ia begitu menyayangi Tress, sekaligus juga mengaguminya.
"Sana deh, kamu yang akan diwawancarai, kok!" katanya dengan rela.
Tress jadi merasa iba pada kakaknya.
"Tress nyesel deh," katanya bersungguh-sungguh. "Sori ya, Mbak" Tress hanya mau bercanda
saja, kok. Tress nggak menghina, lho!"
Tress ke ruang tamu. Wartawan itu sudah mulai mengeluarkan tustelnya.
"Stop dulu!" Tress mencegah. "Mas! Kalau sumber berita keberatan diwawancarai, apa
wartawan berhak memaksa?"
"O, ya tidak." "Saya keberatan diwawancarai!"
"Lho! Kenapa?" "Nggak apa-apa. Pokoknya saya keberatan! Mas akan saya tuntut lho, kalau memaksa!"
"Sebentar, Dik Tress... "
"Saya keberatan! Tuh, kalau mau wawancara, sama Iwon saja!" "Iwon siapa?"
"Teman saya! Dia ikut merasakan ditembak perampok!"
"O, ya, ya. Anak yang ikut mengejar perampok dalam mobil Daihatsu Charade, kan?"
"Betul! Ke sana saja, deh! Dia punya bahan-bahan yang lengkap, kok."
"Tapi Dik Tress kan yang jadi sandera?"
Tress dongkol juga pada wartawan itu. Mungkin beginilah rasanya orang sebel pada wartawan.
Ia mulai mengerti kalau ada orang yang tidak mau diwawancarainya. Biasanya ia yang dibuat
dongkol karena sumber berita tak mau bicara padanya. Gantian, dia ngerjain wartawan!
Dengan berlagak siap menelepon, Tress berkata, "Kalau Mas nggak mau pergi, saya akan
menelepon polisi! Sungguh, lho! Saya keberatan diwawancarai!"
"Oke, oke." Wartawan itu bangkit. "Tolong kasih tahu saja alamat Iwon."
"Cari saja di Klender. Tanya di situ sama siapa saja. Dia orang terkenal, kok."
"Alamat Iengkapnya?"
"Studio Foto 'Della'. Tanya saja studio foto itu. Pasti ketemu. Selamat sore, Mas! Nggak ngusir,
Iho!" Biar tidak mengusir, wartawan itu merasa diusir juga. Dia pergi. Naik sepeda motor jelek dan
butut. Sebutut jaket dan celananya.
Potret adegan penjahat menembak Iwon dicetak dalam ukuran besar. Potret itu memang tak
begitu jelas, karena diambil pada jarak jauh tanpa menggunakan lensa tele[Lensa untuk
memotret jarak jauh]. Tapi lumayanlah, dibesarkan bisa tampak gambar-nya. Film ASA 1000
memang punya daya tangkap yang luar biasa kuatnya.
"Pemborosan!" Bang Ifar menggerutu ketika Iwon memandangi potret yang baru saja
dicetaknya itu. "Untuk apa kau buang-buang
kertas foto, he?" "Aku beli sendiri, Bang. Kertas ini bukan kuambil dan simpanan Abang," kata Iwon.
"Beli sendiri atau beli beramai-ramai dengan orang sekampung, itu namanya pemborosan!"
Bang Ifar marah. "Kalau potret itu bisa kaujual, baru bisnis namanya! Kau memang suka buangbuang duit. Negara bisa bangkrut kalau orang-orang yang pegang pimpinan macam kau!"
Soal selembar kertas foto ukuran delapan kali kartu pos jadi ramai begini. Padahal Iwon
membeli kertas itu dengan uang honornya. Bang Ifar juga sudah diberi bagian, sekedar 'ganti
rugi' karena tustelnya dipakai Iwon. Tapi abang ipar itu masih marah-marah juga.
Datang ke situ seorang wartawan muda. Ia memperkenalkan diri dan menyatakan maksudnya.
Iwon teringat akan kekecewaannya pada Oom Didat. Dia akan 'membalas dendam' pada papa
Tress itu. "Lihat potret ini Mas!" kata Iwon.
"Waow!" seru wartawan muda itu. "Siapa yang memotret?"
"Saya," kata Iwon dengan bangga. Ia melirik Bang Ifar yang duduk menghadapi meja tulis kecil
di studio fotonya. Bang Ifar membalas lirikan mata Iwon.
"Dia bisa memotret, sayalah gurunya!" katanya bangga.
"Oh, ya?" puji wartawan itu. "Ini potret bagus. Memang agak kurang jelas karena bidikannya
tidak tepat. Tapi mengingat keadaan ketika pemotretan dilakukan, hasil ini sudah top!"
"Saya mengajarkan semua ilmu saya kepadanya," kata Bang Ifar menyombong. "Iwon tidak bisa
motret hanya kalau lagi tidur. Kalau dia melek, dia siap memotret apa pun juga. Hanya
malaikatlah yang belum pernah dipotretnya! Ha... ha... ha...!"
Iwon tertawa. Bang Ifar ini kecil-kecil gede sombongnya juga. Tubuhnya terlalu kecil sebagai
lelaki. Punggungnya agak melengkung ke depan. Hidungnya panjang, tapi ukurannya juga kecil.
Matanya lebar. Rambutnya panjang dan keriting. Bila dilihat dan samping persis, amit-amit,
Bang Ifar ini mirip singa cacingan!
"Ada potret lainnya, Dik Iwon?" tanya wartawan itu.
"Ada! Sebentar saya ambil!"
Iwon mengambil tiga lembar potret lagi. Ketiganya ukuran kartu pos. Hasilnya lebih bagus
daripada potret yang dicetak lebar. Wartawan itu berdecak-decak kagum.
"Saya main tustel sudah belasan tahun," katanya. "Dulu saya hanya hobi memotret saja. Tapi
selama belasan tahun itu saya belum pernah mengambil potret dalam kesempatan seperti ini.
Dik Iwon cukup berbakat. Potret ini bisa saya bawa, kan?"
"Bisa. Tapi janji, ya?"
"Apa"' "Jangan direproduksi?"
"Oke. Saya akan memuat potret ini di koran saya. Hak cipta potret ini tetap milik Dik Iwon.
Kalau ada rekan wartawan yang menghendaki potret ini, akan saya suruh ke sini saja."
"Bagus juga." Iwon melirik dan mengerdip ke arah Bang Ifar.
"Bagus sih bagus!" cetus Bang far. "Tapi omong-omong berapa Anda mau kasih honor buat
Iwon?" "Ha.. soal honor nanti diatur oleh redaksi."
"Tidak bisa! Kami pengusaha kecil. Setiap lembar potret yang keluar dan studio ini, harus
Tiga Sandera Trio Tifa Karya Bung Smas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dibayar kontan!" Wartawan muda tertawa dengan arif.
"Baiklah. Saya bisa memberi uang dulu sebagai pinjaman. Tolong buatkan kuitansinya. Nanti
akan saya minta gantinya di kantor."
"Berapa?" tanya Bang Ifar penuh nafsu.
"Koran kami biasa memberi honor dua ribu lima ratus rupiah per lembar potret."
"Dua ribu lima ratus rupiah" Gila, apa?"
"Koran kami membayar honor paling tinggi. Ada koran yang membayar selembar foto hanya
lima ratus rupiah, lho!"
"He, Bung! Anda sudah lama jadi wartawan?" Bang Ifar bertanya dengan sengit. Ia bahkan
berdiri dan bertolak pinggang.
"Sudah belasan tahun, saya bilang."
"Anda kenal Robert Capa?"
"Oh... tidak, tidak. Orang mana dia?"
"Amerika sana! Robert Capa terkenal karena hasil potretnya dari medan-medan perang di mana
pun sejak zaman Perang Dunia Pertama. Anda tahu berapa harga per lembar hasil fotonya?"
"Tidak." "Tentu saja tidak! Saya pun tidak tahu! Tapi dia bisa hidup berkecukupan sebagai wartawan
perang! Tentunya honornya mahal, karena dia bertaruh nyawa untuk mendapatkan foto-foto
dari medan tempur. Dia bahkan tewas dalam tugasnya. Bung pikir bagaimana" Iwon melakukan
pekerjaan yang mirip-mirip kerja Robert Capa. Masa Bung menghargai hasil fotonya hanya dua
ribu lima ratus rupiah?"
"Baiklah, mungkin untuk foto khusus ada tarif khusus pula. Abang minta berapa?"
"Dua puluh lima ribu per lembar."
"Masya Allah! Semahal itu?"
Bang Ifar orang nyentrik juga. Iwon yang kenal betul perangai abang iparnya, jadi kaget dengan
tindakan gila-gilaan itu. Lebih gila lagi, karena Bang Ifar merobek-robek semua potret itu dan
membuangnya di tempat sampah!
"Begini lebih bagus, Bung!" katanya tandas. "Carilah di seluruh pelosok dunia! Kalau Bung bisa
dapat potret begini, saya berani bayar satu juta per lembar!"
"Heh..." Totok, si wartawan muda, terhenyak. "Baiklah. Tapi begini saja. Saya hanya membawa
uang kontan sebesar lima puluh ribu rupiah. Saya bawa dulu potret itu, dan uangnya saya
tinggalkan di sini. Nanti saya berunding dengan redaksi. Mudah-mudahan redaksi tidak
keberatan membayar semahal itu."
"Saya mau keputusan pasti! Bung mau bayar segitu, atau tidak?"
"Baik, baik! Apa boleh buat! Tapi saya hanya punya uang kontan lima puluh ribu rupiah."
"Akan saya cetak dua lembar untuk Bung!"
Iwon terbengong-bengong saja. Bang Ifar masuk ke kamar gelap untuk mencetak potret. Totok
mendengus. "Hebat orang itu!" gumamnya. "Bisnisnya bisa maju karena dia tegas."
"Tapi saya kurang setuju pada sikapnya yang keras. Maafkan abang saya, Mas. Dia tukang
potret, bukan seniman fotografi. Eh, maaf. Saya cuma menjiplak kata-kata Pak Didat
Haryosebrang, itu bukan kata-kata saya."
"O, Pak Didat sudah memperoleh foto itu?"
"Belum. Hanya Mas yang punya."
"Bagus! Tolong jangan kasih orang lain sebelum koran saya terbit, ya" Kita kerja sama yang
enak, lah!" "Baik!" Totok berseru ke kamar gelap, "Tolong cetak yang adegan menembak dan pengambilan di
teras, Bang!" "Saya tahu memilih barang bagus!" seru Bang Ifar dari dalam kamar gelap.
"Ketus, ya?" desah Iwon.
"Tidak apa-apa. Oke, Dik Iwon, tolong ceritakan jalannya perampokan itu."
"O, jangan mewawancarai saya. Saya tidak tahu apa-apa. Saya hanya melihat Tress dan Fia
disandera, lalu saya ikut mengejar. Mas akan mendapatkan bahan lengkap kalau mau bertemu
dengan... " "Tress keberatan diwawancarai. Makanya saya ke sini."
"Kalau begitu, Mas ke rumah Fia saja. Dia tinggal di Rawasari. Tolong catat saja alamatnya!"
Totok mengeluarkan buku catatan. Alamat Fia mudah dicari. Ia mencatat selengkapnya.
Bang Ifar bisa bekerja dengan cepat. Selesai menghitung uang yang diberikan oleh Totok, ia
membuat kuitansi. Totok segera pergi untuk menuju ke rumah Fia.
"Apa kataku?" seru Bang Ifar bangga. Ia membanting uang itu di meja tulisnya. "ini rejeki kau!
Berapa kau mau kasih aku, he?"
"Semuanya untuk Abang."
"Goblok! Aku cuma mencetak dan menjualnya saja. Kau yang payah-payah memotret! Aku
cuma mau makan yang halal, Won!"
"Baiklah, Bang. Kalau begitu, bagaimana cara membagi rejeki ni?"
"Sepuluh persen untuk aku! Kau cocok, kan?"
"Cocok, Bang!" Bang Ifar mengambil selembar uang lima ribuan. Sisanya diberikannya pada Iwon.
"Nah, kausimpan di Tabanas-mu. Ingat! Kau sudah pergi dari kampungmu. Kalau kau pulang,
kau harus jadi orang! Paham" Uang itu untuk biaya sekolahmu! Tapi jangan lupa ponakanmu
Della. Belikanlah dia susu barang sekaleng."
"Akan kubeli satu peti, Bang!"
"Bodohnya, kau!" Bang Ifar memaki. "Kalau punya satu mulut sudah cukup, jangan pakai
seratus mulut! Tahu?"
"Aku tidak paham, Bang."
"Satu kaleng cukup, kenapa beli satu peti" Kau bakal miskin kalau cara hidupmu begitu! Jangan
royal dulu! Kau pernah lihat aku nonton film?"
"Tidak, Bang" "Nah, itu! Kalau aku nonton film, berarti aku sudah bisa beli bioskopnya! Selama aku belum bisa
beli bioskop, aku tidak akan nonton film. Itu hidup yang teratur namanya! Bangsa kau bisa
miskin kalau semuanya royal kayak kau!"
Iya, deh. Satu kaleng cukup. Iwon segera ke warung untuk beli susu. Sekalian ke tempat telepon
umum. Ia akan menghubungi Letnan Marcus Hope di Polwil Jakarta Pusat. Akan dipesannya
Letnan Marcus agar tidak memberikan potret adegan perampokan kepada siapa pun. Cukup
untuk dokumentasi kepolisian saja. Juga untuk barang bukti di pengadilan nanti.
Kebetulan Letnan Marcus berada di kantor. Ia gembira mendapat telepon dari Iwon.
"Datang ke kantorku, Won!" seru Letnan Marcus. "Akan kaulihat tampang-tampang penjahat
itu!" "Ha" Jadi sudah tertangkap, ya?" seru Iwon kaget. "Berkat potretmu yang jitu! Kami tangkap
mereka di Padalarang, Jawa Barat. Ketiga-tiganya ada di tahanan Polda Metro Jaya. Kalau kau
bisa cepat datang, aku akan mengantarmu ke sana."
"Tidak usah, Pak. Tolong selamatkan saja hasil foto saya. Jangan ada yang memilikinya!"
"Beres, Won! Aku juga menghargai jerih-payahmu! Tadi Pak Didat menelepon ke kantorku. Dia
meminta potret itu. Permintaannya kutolak karena dia tidak bawa surat izin dari kau!"
"Wah! Saya kok jadi hebat begitu, Pak?"
"Sudah lama kau jadi anak hebat, kok."
"Aduh, memuji lagi! Bagaimana hasil pemeriksaan terhadap penjahat itu, Pak" Saya khawatir
mereka akan mendendam pada saya."
"Jangan takut! Mereka tidak tahu siapa yang memotret aksi mereka. Keselamatanmu
kulindungi, Won!" "Mereka mengakui perbuatan mereka, Pak?"
"Ya. Mereka juga sudah mengakui semua kegiatan mereka sejak awal tahun ini. Semuanya
terbongkar." "Siapa otak mereka, Pak?"
"He! Ini wawancara resmi, apa?"
"Balas jasa dong, Pak! Kan kata Bapak saya berjasa" Saya ingin dengar sedikit masa nggak
boleh?" "Boleh! Otak mereka adalah Abun. Kau belum pernah melihatnya. Sebab dia menjadi sopir
dalam aksi di Balai Sidang. Nama aslinya Bun Liong. Di antara anak buahnya terkenal dengan
nama Abun. Menurut pengakuan mereka begitu. Cukup, Won?"
"Sedikit lagi, Pak!" "Ngomonglah!"
"Kenapa tempo hari wartawan sampai salah tulis" Diberitakan Pak Marfi tewas didor penjahat!
Ternyata tidak. Tapi kok beritanya tidak diralat" Seolah-olah polisi membiarkan kesalahan
pemberitaan itu. Apa polisi sengaja memberi keterangan salah?"
"Pasang coin lagi! Ini telepon umum, kan?"
"Oh, ya. Sebentar, Pak!"
Iwon memasukkan uang logam lima puluhan lagi ke dalam telepon umum itu. Kalau tidak,
hubungan akan putus dengan sendirinya setelah pembicaraan berlangsung selama tiga menit.
"Halo, Pak! Ngomong, dong!" seru Iwon kemudian.
"Eh, kau sudah berani menyuruh seorang letnan, ya! Pangkatmu sudah kapten, apa?"
"Sori, Pak. Saking senangnya, saya jadi lupa daratan. Sori, deh. Maaf!"
"Nggak apa. Saya cuma bercanda. Jadi begini, Won... "
Lewat pembicaraan telpon itu Letnan Marcus Hope menjelaskan kepada Iwon tentang
kesalahan pemberitaan. Sebenarnya polisi tidak memberi keterangan apa-apa kepada
wartawan. Polisi bungkam meskipun wartawan mendesak meminta keterangan tentang
penembakan di daerah Parung. Letnan Marcus bilang, Parung bukan wilayah wewenangnya.
Makanya dia tidak berhak memberi keterangan.
Rupanya para wartawan terus menelepon kepolisian Parung. Sedangkan kepolisian Parung
telah diberi laporan tentang penembakan itu oleh Letnan Marcus.
Tetapi disertai pesan agar tidak memberi keterangan apa-apa kepada wartawan, mengingat
kasusnya belum dipecahkan. Kepolisian Parung memenuhi pesan itu. Alasan petugas piket yang
menerima telepon itu, tidak berhak memberi keterangan karena komandan tidak berada di
tempat. Memang pada malam itu komandan kepolisian di sana tidak berada di posnya.
Wartawan mencari keterangan ke rumah sakit. Mereka melihat Santo telah tewas, dan dokter
pun menyatakan korban tidak tertolong lagi. Wartawan tidak berhasil mendapatkan keterangan
tentang Pak Marfi. Mereka mencari keterangan pada masyarakat sekitar hutan karet di Parung.
Dalam pemberitaan beberapa koran dituliskan, "Korban kedua yang diduga bernama Mf,
seorang buron polisi, sampai saat berita ini diturunkan belum diketahui nasibnya. Tetapi
menurut keterangan masyarakat setempat, korban dalam keadaan gawat. Ia digotong oleh
beberapa orang petugas berpakaian preman dibantu oleh dua orang penduduk. Salah seorang
penduduk yang ikut menggotong korban menyatakan bahwa korban menderita luka parah.
Diduga keras korban tersebut juga tewas."
Kesalahan pemberitaan itu dibiarkan saja oleh polisi. Sebab Pak Marfi yang berperan sebagai
'buron polisi bernama Mf harus dilindungi keselamatannya. Kalau penjahat tahu bahwa Mf
tidak tewas, mungkin mereka akan mengulangi penembakan lagi. Jadi Mf lebih baik dianggap
mati saja. "Tapi sekarang Pak Marfi hidup lagi kan, Pak?" seru Iwon setelah ia mendengarkan keterangan
itu. Ia telah memasukkan sekeping uang logam lagi.
"Sekarang dia hidup lagi dan telah kembali ke tengah keluarganya. Pihak kepolisian sangat
berterima kasih kepadanya. Dia telah bertaruh nyawa untuk membantu tugas kami. Oke, Won"
Kapan-kapan kau dan teman-temanmu boleh datang ke rumahku. Aku punya bahan cerita yang
bagus untuk kalian tulis. Mungkin Fia memerlukan bahan cerita itu."
"Tengkyu, Pak!"
Iwon merasa lega. Keluar dari tempat telepon umum, dihirupnya udara senja hari sebanyakbanyaknya. Tahu rasa Oom Didat, katanya dalam hati. Lunas sudah dendam Iwon kepadanya.
8. Diculik PAGI-PAGI sekali Iwon membeli koran Wartakota. Terpampang hasil fotonya dalam ukuran
besar di halaman pertama. Betapa bangganya! Biasanya kalau hasil fotonya dimuat di Gegap,
rasanya biasa-biasa saja. Sebab ia merasa, karyanya dimuat karena ia kenal baik dengan Oom
Didat. Tetapi sekarang ini foto hasil karyanya dimuat oleh koran lain.
Tapi ia keki juga ketika melihat Gegap terbitan hari itu. Berita tentang penculikan itu sama
sekali tidak dimuat. Tidak sepotong pun kalimat tertera di sana, yang memberitakan bahwa
komplotan penjahat itu telah digulung polisi.
Ditanyakannya hal itu kepada Tress. Tress hanya mengangkat bahu.
"Apa Oom Didat nggak ngomong soal itu, Tress?" tanya Iwon penasaran.
"Nggak. Kadang-kadang Papa begitu, sih. Nggak tahu apa sebenarnya rencana Papa. Percuma
deh, kalau kau ngelawan dia!"
Ada lagi yang mengherankan Iwon. Dalam pemberitaan di Wartakota sama sekali tidak
disebutkan bahwa keterangan itu berasal dan Fia. Jadi Fia tidak diwawancarai, atau tidak mau
diwawancarai. Sumber berita berasal dari kepolisian. Polisilah yang menerangkan jalannya perampokan itu.
Tiga orang sandera disebutkan masing-masing bernama AB, TR, dan Mf. AB, tentunya Pak Akil.
Sedangkan TR, tentunya Tress Ragapadmi. Fia mendapatkan nama Mf, sama juga dengan inisial
(nama singkatan) ayahnya. Nama Fia memang Marfianti. Nama yang digunakannya dalam
setiap tulisan hasil karyanya.
Iwon sendiri mendapatkan nama Iw. Di bawah potret-potret itu juga tertera tulisan, 'Foto: Iw'.
Tentunya semua itu disengaja untuk menyembunyikan nama-nama sandera dan pemotret.
Maksudnya untuk melindungi keselamatan pemilik nama-nama itu. Tak apalah.
Tapi mengapa Fia tidak mau memberi keterangan" Iwon penasaran sekali. Ia bermaksud
menemui Fia. Tapi sepulang sekolah dia sibuk di studio. Bang Ifar mendapat obyek besar
membuat pasfoto orang se-RT untuk KTP. Iwon membantunya, dan ia tidak bisa mengelak dari
pekerjaan itu agar abang iparnya tidak ngamuk.
Pukul delapan tepat, Iwon melangkah di Jalan Rawasari. Begitu akan membelok ke gang rumah
Fia, ada mobil Colt Pick-up berhenti di sisinya. Setengah jam yang lalu, mobil ini tiba di depan
Studio Foto 'Della'. Penumpangnya menanyakan Iwon kepada Bang Ifar. Bang Ifar bilang, Iwon
sedang ke Rawasari. Alamat Fia dijelaskan pula oleh Bang Ifar.
Maka mobil itu pun tiba di Rawasari. Penumpangnya seorang anak muda. Sopirnya juga masih
muda. "Iwon!" penumpang Colt Pick-up itu memanggil.
Iwon menghentikan langkahnya. Ia menghampini mobil itu. Penumpang Colt yang duduk di
samping sopir, segera turun. Dengan gerakan cepat ia menyergap Iwon.
"Hai!" Iwon terkejut. "Kamu siapa?"
"Jangan ribut! Ikut kami!" bentak penumpang Colt itu.
"Toloooong!" Iwon menjerit setelah menyadari keadaan yang gawat itu.
Tapi ia tak berdaya. Sebilah pisau tajam menempel di lehernya.
"Kalau berteriak lagi, kupotong lehermu!" ancam penumpang Colt itu.
Iwon menyerah. Ia didorong masuk ke samping sopir. Pemuda yang menyergapnya duduk di
samping kirinya. Iwon terjepit di tengah. Untunglah teriakannya terdengar oleh banyak orang di
situ. Orang-orang pun ribut. Pak Marfi yang tengah menunggui anaknya menulis cerpen,
mendengarnya. Ia bergegas ke luar. Tapi mobil Colt itu sudah menderu.
Hari masih belum begitu malam. Tapi peristiwa cepat itu terjadi begitu saja. Mobil Colt melaju
kencang. Iwon setengah pingsan karena rasa takutnya. Ia diam saja, tak bisa lagi berkata-kata.
Mobil terus melaju lewat Jalan By-Pass, lalu membelok memasuki kawasan Pulo Mas. Di dekat
Pacuan Kuda ada tanah lapang yang gelap dan sepi. Ke situlah mobil melaju.
"Saya... saya akan dibawa ke mana...?" Iwon baru bisa bersuara ketika mobil mulai memasuki
lapangan gelap. "Saya akan bikin kamu mampus!" kata penyergapnya. "Kamu sok tahu! Gara-gara kamu, kerja
kami jadi berantakan."
"Oh... apa salah saya?"
"Ke mana film hasil potretanmu, he?"
Tahulah Iwon kini. Dia diculik anggota komplotan perampok karena dia memotret wajah
perampok itu di teras Balai Sidang! Ternyata belum semua anggota komplotan tertangkap.
Masih ada kaki-tangannya. Dan kini Iwon pasrah kepada Tuhan. Ia rela mengalami apa pun juga
sebagai akibat dari gerakannya. Tapi ia ingin meloloskan diri dari bahaya ini, sedapat-dapatnya.
Adakah kemungkinan untuk itu" Sedangkan tanah lapang ini betapa sepinya. Rumah-rumah
penduduk jauh di tepian sana.
Mobil berhenti. Iwon diseret ke luar. Ia digenjot. Tubuhnya terbanting ke tanah berumput yang
lembab. Ia merangkak bangun. Tapi kaki bersepatu keras menghantam wajahnya. Ia terguling.
Dengan sisa tenaganya, ia berusaha lari. Dua orang penjahat yang menculiknya mengejar. Iwon
tertangkap. "Habisin saja sekarang!" kata sopir Colt itu seraya mencabut pisau dari pinggangnya.
"Habisin, dah!" sahut temannya. Berarti dia setuju kalau Iwon dibunuh saja, tidak usah dianiaya
lebih lama lagi. Pisau di tangan sopir terayun tinggi-tinggi. Lalu meluncur deras ke arah dada Iwon. Tapi kenapa
sopir itu menjerit dan jatuh tenjungkal" Pasti ada orang yang menghantamnya dengan tinju
sekeras batu kali. Orang itu berdiri dengan gagahnya. Kedua kakinya kukuh. Kaki kanan
melayang. Menghantam telak dada penyergap Iwon. Pemuda itu mengaduh, lalu terjengkang.
Iwon belum sadar betul apa yang sebenarnya terjadi. Ia merasakan tangannya diseret oleh
penyerang kedua bandit itu. Merasakan tubuhnya diangkat ke dalam mobil. Lalu tahu-tahu
penolongnya duduk di tempat sopir. "Pak... Pak Marfi."
Orang itu, yang pasti Pak Marfi, diam saja. Matanya mengawasi kedua bandit yang siap
menyerbu. Mobil dijalankan dengan laju yang kencang. Sopir Colt itu beranjak hendak naik ke
kendaraan. Tapi dia dihajar bumper mobilnya sendiri. Dia terpelanting dan berguling di
rerumputan. Tinggal seorang lagi, yang tadi menyergap Iwon. Orang itu kini kebingungan. Pak
Marfi mengejarnya dengan mobil Colt itu. Banditnya lari pontang-panting. Tapi pisau masih siap
menikam. "Menyerah atau kugilas, kamu!" teriak Pak Marfi.
Iwon merasakan bulu kuduknya berdiri meremang. Sungguh mati, sampai kapan pun juga ia
tidak menyukai kekerasan. Tak peduli siapa yang melakukan kekerasan, ia tidak menyukainya.
Ia pun tak setuju bila Pak Marfi benar-benar menggilas tubuh bandit itu. Tapi mengingat bandit
itu hampir membinasa-kannya, Iwon jadi bingung. Mana yang lebih baik" Membiarkan Pak
Marfi menggilas tubuh bandit itu" Ya, Allah!
Ternyata Pak Marfi bukan orang kejam seperti gertakannya. Ia menjalankan mobil itu luruslurus mengarah ke tubuh bandit. Si Bandit lari. Pak Marfi mengejar terus. Tapi bukan untuk
menggilasnya. Sekedar menakut-nakuti saja. Banditnya kalang-kabut. Dia ke utara, mobil pun
mengejar ke sana. Dia ke timur, mobil terus memburu. Dia bukan pemain sepak bola. Makanya
napasnya ngos-ngosan setelah berlari-lari mengelilingi setiap bagian lapangan berumput itu.
Dia menyerah. Dia jatuh. Tapi pisaunya masih di tangan.
"Kau diam di sini!" seru Pak Marfi seraya menghentikan mobil itu. "Awas! Lihat-lihat kalau
orang yang kutabrak tadi menyerangmu!"
Tiga Sandera Trio Tifa Karya Bung Smas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pak Marfi meloncat turun. Lampu mobil masih menyala menerangi bandit yang menelungkup di
rerumputan. Pak Marfi menghampirinya. Tiba-tiba bandit itu bangkit. Pisaunya mengarah lurus
ke lambung Pak Marfi. Iwon menjerit seraya memejamkan matanya.
Kelak dia akan menyesal karena tidak membawa tustelnya, juga karena tidak menyaksikan
bagaimana Pak Marfi menerima serangan itu. Pak Marfi orang berpengalaman dalam dunia
kejahatan. Ia bisa berkali-kali lolos dari kejaran polisi karena kemahirannya dalam ilmu bela diri.
Diserang mendadak begitu, dia tak gentar karena sudah menduga sebelumnya. Dia hanya
menjejakkan kaki kanannya. Tepat mengenai dada sebelah kanan penyerangnya. Si bandit
terjengkang. Pisau masih juga di tangannya. Pak Marfi melangkah sekali, lalu menginjak tangan
yang menggenggam pisau itu. Dia santai saja. Badannya membungkuk, kemudian dipungutnya
pisau itu seperti memungut rokoknya yang jatuh.
Bukan main, bandit itu ulet juga. Begitu Pak Marfi melepaskan injakannya, dia bangkit dan lari
terbirit-birit. Pak Marfi memegangi pisau itu. Ia bisa melemparkan senjata itu hingga menancap
di punggung penjahat. Tapi bukan dia orangnya yang tega berbuat begitu terhadap sesamanya.
Dibiarkannya saja bandit muda itu terbirit-birit tak tentu arah.
Ia kembali ke mobil. Dijalankannya mobil itu perlahan-lahan. Lampunya menyorot ke depan.
Bandit yang tadi ditabraknya tidak tampak lagi. Dia menarik napas panjang.
"Syukurlah dia tidak mati...," gumamnya dengan perasaan lega. "Aku tidak pernah ingin jadi
pembunuh... " "Kita kejar, Pak!" seru Iwon yang telah tumbuh semangat juangnya setelah menyaksikan
keperkasaan Pak Marfi. "Tidak usah. Itu bagian polisi. Kita sandera saja mobil ini. Untuk mencari pemiliknya kan mudah.
Biar saja mereka lari ke ujung dunia"
"Tadi Pak Marfi kok tahu-tahu di sini?"
"Teriakanmu bikin singa tidur bisa bangun! Aku sempat melompat ke bak belakang mobil ini."
"Oh... kalau tidak..."
Dua orang bandit tadi benar-benar tidak ada di situ. Mereka kabur entah ke mana. Bagaikan
hilang menyatu dengan angin saja. Pak Marfi membawa mobil itu ke luar dari lapangan.
Di tepi jalan ada telepon umum. Pak Marfi menelepon kantor polisi. Letnan Marcus tidak di
kantor. Tapi akan segera dihubungi, dan letnan itu pasti akan tiba secepatnya. Ternyata polisi
pun sudah melakukan pengejaran setelah mendapat laporan lewat telepon dari Fia.
"Kita harus ke rumah dulu. Fia pasti panik kalau tidak segera tahu kau selamat!" kata Pak Marfi.
Iwon setuju saja. Dia menarik napas panjang-panjang. Bila Pak Marfi tidak datang menolongnya,
saat ini dia tak bisa bernapas lagi.
Betapa ramainya rumah Fia. Banyak orang berkumpul di situ. Tress dan Pak Tohar sudah tiba
lebih dahulu. Ia dihubungi pula oleh Fia lewat telepon umum di seberang jalan.
"Woooon! Masya Allah, Woooon Kamu bikin gara-gara!" jerit Tress begitu melihat Iwon
selamat. "Bandit itu yang bikin gara-gara! Aku mana mau diculik! Jangan ngaco, kamu!" seru Iwon.
Orang-orang tertawa. Mereka ribut. Pak RT tak bisa mengusir warganya yang bergerombol
padat sekali. Rumah Fia bisa ambruk bila mereka tetap memadatinya.
Di situ ada pula Pak Salim, penjual burung di Jalan Pramuka. Rumah kontrakan Pak Salim
memang dekat dari situ. "Saya ngantar Pompies ke sini, Won," kata Pak Salim. "Dia mau ketemu Fia. Saya nggak tahu
kalau di sini ada penculikan, lho"
Iwon tertawa. Menertawakan logat bicara Pak Salim yang berat sekali. Logat itu mengingatkan
Iwon pada kampung halamannya di lereng utara Gunung Slamet. Pak Salim memang berasal
dari lereng gunung itu pula, tetapi di sisi selatan.
"Lah! Ngapah Mas Pompies ke sini, yak!" seru Iwon dengan logat Klender yang kental sekali.
Orang tertawa riuh mendengar ucapannya. Di Rawasari, logat itu bisa ditertawakan orang.
Biarpun berdekatan letaknya, logat Rawasari dari Klender jauh berbeda.
"Aku kenal orang di potret ini!" kata Pompies seraya menunjuk potret hasil jepretan Iwon di
harian Wartakota yang sengaja dibawanya.
"Ha" Kenal" Siapa namanya?" tanya lwon segera.
Tapi Pak Marfi memotong, "Ayo, kita ke kantor polisi saja! Semua ini kita laporkan pada Letnan
Marcus! Ayo, minggir! Minggir!"
Orang-orang menyibak begitu Pak Marfi melangkah. Iwon menyusul, juga yang lainnya, kecuali
ibu Fia dan Pak Salim. Tiba di kantor polisi, Letnan Marcus sudah menyongsong di depan pos piket. Ia mengenakan
baju batik, karena tidak sedang berdinas.
"Apa lagi, Won?" sapanya sambil tertawa. Iwon tertawa.
"Saya hampir diginikan!" katanya seraya menggosokkan telunjuk ke lehernya sendiri. "Ini garagara potret yang dimuat di koran itu, Pak!"
"Baguslah!" "Lho! Kok bagus?"
"Bagusnya kau tidak jadi digitukan!"
Letnan Marcus membawa mereka ke sebuah ruangan. Cukup berdesakan juga, karena ruangan
itu sempit. Di sinilah tempo hari Pak Marfi dijumpai anaknya dalam keadaan segar-bugar
setelah didor penjahat di Parung.
"Ini siapa?" tanya Letnan Marcus seraya memandangi Pompies.
"Saya bekas tahanan Polda Metro Jaya, Pak," kata Pompies berterus-terang.
"Terus kamu terlibat penculikan ini?"
Pompies tampak gentar ditanya seperti itu.
"Dia kenal orang dalam potret itu!" sela Iwon. "Itu Iho, Pak! Yang bernama Kiwo! Dia yang
nembak saya. Yang nembak Pak Marfi juga! Ah, sialan itu orang! Dia juga nembak Pak Akil!
Untungnya dia bukan penembak jitu!"
"Siapa bilang?" seru Letnan Marcus. "Dia bisa nembak Santo pada bagian-bagian yang
mematikan! Dia seorang penembak jitu, Won! Kalau Pak Marfi tidak keburu lari ke kebun karet,
Kiwo bisa menghabisinya dengan sekali tembak!"
"Tapi tiga korban penembakannya selamat!" "Karena beberapa sebab."
"Apa saja, Pak?"
"Tuhan masih menghendaki kalian hidup."
"Jangan main-main, dong! Polisi ngomongnya ngaco!" Iwon mencetus, tanpa sadar dia sedang
berhadapan dengan seorang perwira polisi.
"Apa saya ngomong salah, Won?"
"Ya, tidak. Tapi sebab lainnya apa?"
"Korban penembakan bisa menghindar ke kebun karet." Letnan Marcus menoleh pada Pak
Tohar. "Juga karena Pak Sopir ini cukup lihai untuk menghindarkan tembakan yang akan
menamatkan riwayatmu!"
Pak Tohar membantah, "Tidak! Saya tidak sempat menghindar. Saya terpana begitu melihat
pistol nongol dari Jeep CJ 7 itu!"
"Kalau begitu, sebabnya adalah karena penembak berada di mobil yang berlari kencang. Hal
semacam ini terjadi ketika Pak Akil ditembak."
"Mobilnya tidak kencang, Pak," Pak Tohar membantah lagi. "Saya sudah memberikan
keterangan tentang ini di Polda Metro Jaya. Bahwa ketika Pak Akil ditembak, mobilnya tidak
melaju kencang. Malah baru saja berhenti menurunkan Pak Akil! Saya pikir hanya Tuhan yang
tahu bagaimana Pak Akil tidak kena pelor!"
"Ini disuruh ngomong, dong!" seru Fia seraya menepuk pundak Pompies. "Dia jauh-jauh datang
kan mau ngomong!" "Oke. Bicaralah, Dik!" sahut Letnan Marcus. Sejak tadi ia berdiri saja, karena tidak kebagian
tempat duduk. Pompies tampak gugup. Tress memegangi bahu pemuda itu, agar Pompies tidak gugup lagi.
"Saya pernah ditahan di Polda Metro Jaya karena tertangkap basah sedang mencuri buku di
Balai Sidang," katanya. "Saya dendam pada Pak Akil yang menangkap saya dan menyerahkan
saya ke tangan polisi. Saya tidak bisa ikut kuliah karena saya ditahan. Saya akan balas dendam,
tapi Fia dan teman-temannya melarang tindakan saya. Fia tidak mau ngasih tahu alamat Pak
Akil. Saya menelepon PT Tantipala untuk menanyakan alamat itu. Saya pura-pura jadi
keponakan Pak Akil yang baru datang dari Jawa. Saya dapat alamat itu... "
"Ngomong cepetan, dong!" Tress menyentak. "Dari tadi muter-muter melulu!"
Pompies tampak gugup. "Saya minta minum," katanya.
Orang jadi tertawa karenanya.
"Jangan dibentak-bentak. Nanti jantungnya copot!" kata Letnan Marcus. Ia memerintahkan
anak buahnya untuk mengambil minuman. Hanya teh tanpa gula. Tapi itu lumayan bisa
menenangkan Pompies. "Saya... saya ke sana sama teman-teman," kata Pompies lagi. "Maaf, Pak. Habis saya dendam
sekali. Saya mau hajar itu Pak Akil. Tapi saya dicegah sama Kartubi. Saya ketemu Kartubi di
rumah Pak Akil. Dia lagi bertamu di situ."
"Kartubi siapa?" tanya Letnan Marcus.
"Dia bekas tetangga saya di Kayu Manis. Tapi sudah lama pindah ke Padalarang, Pak."
"Ngomong dia siapa, dong!" Tress menyentak karena tidak sabar menunggu akhir pembicaraan
Pompies. "Kartubi itu yang nembak Iwon. Saya kenal betul tampangnya. Demi Allah, saya kenal betul
tampangnya!" Tress tertawa. Pompies ini makin lama bicaranya makin berantakan saja. Tapi kemudian Tress
maklum. Pompies memang ketakutan karena dia bekas tahanan dan pernah berusaha
menganiaya Pak Akil. "Tress," Letnan Marcus memanggil, "ulangi sekali lagi keteranganmu tentang jalannya
penculikan itu." Tress dongkol. Tapi ia mau juga mengulangi keterangannya yang pernah diucapkannya kepada
polisi Polda Metro Jaya, "Saya mencari Pak Akil di ruang panitia bersama Fia. Fia ini akan
menyetorkan uang hasil penjualan karcis. Dia masih jualan karcis di halaman Balai Sidang
sampai pertunjukan dimulai. Fia sedang menghitung uang di depan Pak Akil dan dua orang
anggota panitia di ruang panitia. Tahu-tahu masuk ke situ dua orang bersenjata pistol. Mereka
mengenakan topi rajutan benang wol. Begitu masuk, mereka menurunkan topi sehingga
menjadi semacam topeng. Semua orang di situ ditodong. Tadinya Pak Akil ditodong dan diikat
juga. Dua orang anggota panitia ditutup matanya dengan topeng itu. Mata Pak Akil ditutup
dengan sapu tangannya sendiri. Rupanya perampok tidak menduga di situ ada saya dan Fia.
Mereka tidak menyediakan tali dan penutup mata untuk kami berdua. Lalu tiba-tiba Iwon
mengetuk pintu. Perampok menyangka yang mengetuk adalah anggota keamanan yang terdiri
dan polisi. Ada sebagian polisi berseragam, ada sebagian yang berpakaian preman, menyamar
sebagai penonton biasa. Saya tahu mereka polisi karena mereka sering berbicara menggunakan
walkie-talkie." "Kamu juga ngelantur!" Iwon memotong. "Ngomong yang singkat!"
Letnan Marcus memberi tanda dengan tangannya agar Iwon diam.
Tress melanjutkan, "Perampok memutuskan untuk membawa sandera dalam usaha melarikan
diri setelah semua uang panitia dirampok. Pak Akil disuruh menggandeng saya dan Fia. Mereka
berjalan di belakang seraya menodongkan pistol ke punggung Fia dan saya. Pistol itu di saku
jaket, jadi tidak kelihatan dari luar. Sudah, ya?"
"Teruskan," kata Letnan Marcus.
"Waktu kami dilarikan dengan mobil, kami tetap ditodong. Kami dipaksa harus menundukkan
kepala. Tidak boleh lihat kanan-kiri. Saya menjerit ketika salah seorang perampok menembak
mobil saya. Saya tahu, di mobil itu ada Iwon dan Pak Tohar. Saya menangis karena takut sekali.
Saya tidak tahu bagaimana Pak
Akil didorong ke luar dan ditembak."
"Fia tahu?" tanya Letnan Marcus.
"Saya tahu, Pak. Saya lihat Pak Akil didorong punggungnya. Dia jatuh terjengkang ke belakang,
lalu ditembak." "Ketika Pak Akil dijatuhkan, apa mobilnya berjalan kencang?"
"Pelan sekali, Pak. Waktu Pak Akil ditembak, mobilnya juga berjalan pelan-pelan."
Letnan Marcus mengangguk sekali, lalu bertepuk tangan juga sekali.
"Fia!" tiba-tiba Iwon berseru.
Semuanya kaget mendengar seruan itu.
"Siapa nama lengkap Pak Akil?" tanya Iwon. "Singkatannya di koran kok AB?"
"Akil Bunyamin," jawab Fia.
"Akil Bunyamin..." Iwon menggumam. "A... Abun" Singkatannya Abun! Kata Pak Marcus lewat
telepon kemarin, otak komplotan itu bernama Abun! Tapi kok katanya Bun Liong" Ah, bukan!
Pasti Bunyamin! Dia memerintahkan anak buahnya untuk membunuh saya. Dia! Pasti dia!
Hanya dia yang tahu saya bisa memotret! Sialan! Dia hanya pura-pura disandera dan ditembak!
Sandiwara!" "Kamu ngaco!" Fia memberengut. "Dari semula kamu memang nggak senang sama Pak Akil!
Kamu memfitnah!" "Tenang, Fia," sela Pak Marfi. "Ini bukan fitnah. Ini dugaan. Menurut Pompies tadi, Kartubi alias
Kiwo berada di rumah Pak Akil. Berarti Kiwo mengenal Pak Akil. Tapi selama ini Pak Akil tidak
mengakui hal itu kepada polisi. Bukankah dia patut dicurigai" Ketika perampok masuk ke ruang
panitia kan dia sempat melihat wajah Kiwo" Dia bahkan berada di mobil CJ 7 sebagai sandera.
Mustahil dia tidak mengenali Kiwo!"
"Bisa saja, Pak! Dia kan ketakutan! Aku juga nggak ingat lagi siapa-siapa yang jadi perampok
itu!" bantah Fia. "Tenang. Semuanya akan kami selesaikan sebaik-baiknya. Terima kasih atas bantuan semuanya.
Pompies!" "Ya, Pak!" Pompies menjawab dengan kaget.
"Kau memberi keterangan seperti tadi bukan karena rasa dendam, kan?"
"Demi Allah, Pak! Demi Allah!"
"Demi Allah bagaimana"' "Saya bilang apa adanya, demi Allah!" "Bagus. Terima kasih atas
keteranganmu. Tapi lain kali jangan suka main hakim sendiri, ya?"
"Saya beramai-ramai dengan teman saya, Pak."
"Ya, ya. Maksud saya, jangan main hajar begitu!" "Ya, Pak."
Fia menunduk dengan wajah sedih. Bagaimanapun juga ia tak bisa menerima kenyataan ini. Ia
tetap tidak percaya bahwa Pak Akil mengotaki komplotan itu!
9. Air Mata untuk Penjahat
INI memang terasa pahit. Tapi itulah kesudahannya. Fia gelisah menunggu di sebuah ruangan di
kantor Polda Metro Jaya. Ia berniat bertemu muka dengan Pak Akil. Letnan Marcus
mengantarkannya ke situ. "Kau harus tabah," kata Letnan Marcus. "Abun bisa saja baik terhadapmu. Tapi pada
kenyataannya dia penjahat besar. Dia memimpin komplotan penjahat yang cukup lihai. Kami
telah lama melacak jejak komplotan ini. Fia, korban mereka telah cukup banyak. Bayangkan
saja, dalam sekali gebrak di Balai Sidang, mereka merampok uang lebih dari dua puluh juta
rupiah... " Fia menunduk pilu. Air matanya mulai menetes di pipinya.
"Komplotan itu juga cukup kejam," Letnan Marcus berkata lagi. "Mereka tidak segan-segan
menghabisi nyawa sesama anggota yang dianggap berkhianat. Mereka juga tega membunuh
Iwon. Kalau Pak Marfi tidak segera bertindak, Iwon juga akan senasib dengan Santo. Ingatlah
itu, Fia. Jadikan ini sebagai pengalaman hidupmu. Agar kelak kau bisa berhati-hati terhadap
orang yang tampaknya baik kepadamu."
Pak Akil masuk ke ruangan itu dengan tangan diborgol. Dua orang anggota polisi mengawalnya.
Pak Akil kaget melihat Fia.
"Fia... " suaranya serak.
"Pak... saya tidak tahu akhirnya jadi begini...," suara Fia tak kalah serak.
Pak Akil mendesah. Ia menatap Fia lekat-lekat. Mungkin dia memang sayang benar pada Fia.
"Iwon mana, Fia?" tanya Pak Akil. "Saya tidak tahu, Pak. Saya sendirian ke sini."
"Aku ingin bertemu dengannya. Akan kukatakan padanya, aku tidak pernah memerintahkan
siapa pun untuk menganiaya orang. Apalagi Iwon dan ayahmu. Kiwo yang mengambil
keputusan untuk menembak ayahmu. Aku tidak tahu akan begitu jadinya."
"Bapak tidak apa-apa, kok. Bapak selamat."
"Oh." Pak Akil tampak terkejut. "Syukurlah... syukurlah... "
"Saya akan bilang pada Iwon tentang itu, Pak. Saya yakin Iwon akan memaafkan Pak Akil."
Sejenak suasana menjadi hening. Sebenarnya Fia sendiri tidak yakin apakah Iwon bisa
memaafkan Pak Akil. Sebab Iwon tetap menduga bahwa Pak Akil-lah yang memerintahkan dua
orang penculik untuk membunuhnya. Padahal Letnan Marcus bilang, kedua penjahat yang
ditangkap malam itu juga telah mengaku bahwa mereka melakukan penganiayaan itu atas
kemauan mereka sendiri. Mereka merasa khawatir akan nasib mereka setelah Kiwo, Kaput, dan
Bun Liong tertangkap. Mereka mengetahui alamat Iwon dari Pak Akil. Sedangkan Pak Akil
mengetahuinya dari Fia. Kedua penjahat itu menanyakan alamat Iwon kepada Pak Akil dengan
alasan akan mencuri film hasil pemotretan peristiwa perampokan.
Bukan untuk membunuh Iwon.
"Cukup?" seorang polisi pengawal Pak Akil bertanya sambil menarik lengan tahanan itu.
Tapi Pak Akil belum beranjak dari tempatnya. Ia menatap Fia seraya menarik napas panjang.
Wajahnya mencerminkan rasa penyesalan yang mendalam.
"Teruslah menulis," katanya. Suaranya semakin serak. "PT Tantipala akan tetap menerima
naskah-naskahmu meskipun aku sudah tidak bekerja di sana. Kalau novelmu terbit lagi,
kirimkan barang sebuah untukku."
"Saya akan selalu mengenang kebaikan Bapak. Saya akan selalu menjenguk Bapak. Terima kasih
atas semua kebaikan Bapak untuk saya... "
Pak Akil digiring kembali ke dalam selnya. Fia berjalan sambil menunduk. Ia lupa minta diri pada
polisi-polisi yang berada di ruangan itu. Letnan Marcus membimbingnya.
"Kuatkan hatimu. Kelak kau akan bisa menuliskan pengalamanmu dalam sebuah novel yang
tegang. Pembacamu akan puas karena ini merupakan pengalaman pribadi pengarangnya."
Tetapi Fia menggeleng. "Saya tidak akan menuliskan pengalaman ini" katanya dengan tegas, meskipun nada suaranya
tetap lunak. Itu memang keputusannya. Ia tak akan menulis barang sepotong pun pengalaman yang ini.
Permintaan Oom Didat pun ditolaknya. Oom Didat ingin Fia menulis pengalamannya untuk
koran Gegap dalam bentuk kisah nyata yang akan dimuat secara bersambung. Tetapi Fia tidak
menyambut tawaran itu. Tress pun tak mau menulisnya, karena ia ingin menghargai perasaan
Fia. Di pintu keluar, serombonga
n wartawan menyongsong Fia. Mereka memotret beberapa kali.
Namun Fia menundukkan wajahnya. Bahkan kedua tangannya menutupi wajah itu.
"Angkat sedikit wajahnya dong!" seru seorang wartawan wanita.
Fia makin menunduk. Iwon dan Tress yang baru tiba di tempat itu bersama Pak Tohar, segera
Tiga Sandera Trio Tifa Karya Bung Smas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyusup di antara kerumunan wartawan. Mereka berdiri menghalang-halangi pandangan
para wartawan. Fia disembunyikan di belakang tubuh mereka. Iwon mengangkat kedua
tangannya. "Kami keberatan dipotret dan diwawancarai!" serunya lantang.
Pak Tohar tidak tinggal diam. Ia mendorong-dorong tubuh wartawan yang tetap mengerumuni
Fia. "Minggir! Minggir!" serunya dengan galak. Ia merebut sebuah tustel. Lalu diangkatnya benda
itu. Siap dibanting ke lantai teraso. "Minggir semua atau saya hancurkan benda ini!"
Pemilik tustel menjerit. "Minggir atau saya hancurkan!" Pak Tohar mengancam lagi.
Para wartawan minggir. Salah seorang berseru, "Fia! Coba Anda bicara barang sepatah kata!"
"Ayo, bicaralah!" seru seorang wartawan wanita. "Bicara, Dik! Satu kalimat saja!"
"Penuhi permintaan mereka, Fia," bisik Letnan Marcus Hope. "Mereka juga pengagummu.
Ketika kau berada di pameran buku, mereka ikut memberitakan tentang suksesmu. Ayo, penuhi
permintaan mereka." Fia melangkah maju. Iwon dan Tress menyisih.
"Tapi jangan ada yang memotret!" seru Iwon dengan suara makin lantang saja.
Pak Tohar tetap mengangkat tustel yang dipegangnya tinggi-tinggi. Para wartawan setia kawan.
Mereka tidak memotret, karena khawatir tustel itu benar-benar dihancurkan. Padahal di
dalamnya sudah ada film yang sudah digunakan untuk memotret bahan berita.
"Diam! Jangan ribut! Fia mau bicara!" seru Tress.
Semuanya diam menunggu. Fia pun berbicara dengan nada yang lunak, diucapkan sangat lirih, "Saya tidak pernah
membenci Pak Akil... "
Hanya itu. Wartawan berseru riuh, meminta Fia berkata-kata lagi. Tapi Fia tak mau. Pak Tohar
menyerahkan tustel itu kepada pemiliknya. Dasar wartawan, pemilik tustel segera membidik
dan memotret" Yang lain pun ikut-ikutan.
Fia memasuki mobil Tress. Suara jepretan tustel masih terdengar mengiringi setiap gerakannya.
Seharusnya dia berbahagia dalam peristiwa istimewa ini. Tapi dia tetap berwajah sedih. Fia,
gadis kecil yang tabah dan periang ini, kenapa dia bermuram-durja" Bahkan kini dia menjadi
mudah menangis. Mobil melaju. Sampai di situ, Fia tak ingin menangis lagi.
TAMAT Jodoh Si Naga Langit 1 Pena Beracun The Moving Finger Karya Agatha Christie Kitab Mudjidjad 9
"Kapan, Pak?" "Dalam surat Bapak. Pak Letnan tidak percaya novel Ibu Tak Pernah Menangis benar-benar hasil
karyamu. Coba kaubilang sendiri padanya."
Pak Letnan berdiri di ambang pintu. Dia tertawa-tawa. "Saya bukan tidak percaya," katanya.
"Saya meragukan apa Fia benar-benar bisa berbahasa sebagus itu. Banyak ungkapan dan
kalimat indah yang hanya pantas ditulis oleh orang dewasa. Ini yang bikin saya ragu!"
"Saya banyak menerima bimbingan dari Bapak, kok," kata Fia, tersipu. "Mestinya yang jadi
pengarang Bapak, bukan saya, Pak Letnan."
Letnan Marcus tertawa. "Jangan kecil hati! Kau memang anak berbakat. Hanya anak berbakat yang mampu menata
kalimat-kalimat indah seperti itu. Ya... meskipun beberapa kalimat berasal dari ucapan ayahmu.
Terus terang, saya sendiri tidak bisa menata kalimat sebagus dalam novelmu. Selamat, ya!"
Letnan Marcus mengulurkan tangan.
Fia menjabat tangan polisi muda itu. "Terima kasih, Pak Letnan," ucapnya. "Pak Letnan masih
akan menahan ayah saya?"
"Lho! Saya tidak pernah menahan ayahmu! Dia sendiri yang ingin tinggal di sini! Saya memberi
penginapan dan makan minum gratis."
"Hu! Oom Marcus jadi dermawan begitu?" Tress mencibir. "Papa juga nggak akan percaya!"
"Heh! Maksud Oom, Oom ini yang memerintahkan agar disediakan pelayanan yang baik bagi
Pak Marfiatno selama waktu tertentu di sini. Ngomong sama kamu lebih sulit daripada sama
kuda, ya?" "Jadi, biayanya bukan dari kantung Oom, kan?" "Bukan."
"Dari negara?" "Kalau begitu, Pak Marfi punya jasa tertentu kepada negara, dong" Masa uang negara
dihambur-hamburkan untuk memberi makan Pak Marfi?"
"Kalian perlu penjelasan seluruhnya, ya" Oke" Tapi janji dulu!" kata Letnan Marcus yang merasa
terdesak oleh pertanyaan-pertanyaan Tress.
"Janji apa, Oom?"
"Kalau kalian sudah tahu, kalian harus merahasiakannya. Bagi Oom, soal ini termasuk tugas
negara juga." "Kami janji, Oom! Tapi cepat bilang, dong!"
Memang harus diterangkan sejak awalnya, agar tidak terjadi kesalahpahaman yang
menyesatkan. Tress akan tahu mana yang harus dirahasiakan dan mana yang bukan.
Sebenarnya Pak Marfi tidak ditangkap polisi, begitu kata Letnan Marcus Hope. Sehari sebelum
ia 'ditangkap', ia dimintai keterangan oleh polisi tentang komplotan perampok yang belakangan
ini sering beraksi di wilayah Jakarta. Terakhir, komplotan itu beraksi di Cipete. Pak Marfi
menyatakan sanggup menyusup ke dalam tubuh komplotan dengan cara seolah-olah ia
ditangkap kembali karena dicurigai terlibat dalam perampokan. Ia juga pura-pura ditahan, agar
bisa berkenalan dengan Santo, anggota komplotan yang tertangkap. Selanjutnya diciptakan
peristiwa pelarian itu. Seharusnya Pak Marfi sudah bisa bergabung dengan komplotan melalui
bantuan Santo. Tapi sungguh di luar dugaan, ternyata pihak komplotan menghendaki kematian
Santo dan Pak Marfi. Mereka menganggap Santo telah memberi keterangan kepada polisi
mengenai komplotannya. Padahal Santo memang tidak tahu apa-apa. Ia hanya tahu semua
perintah komplotan disampaikan oleh Kiwo. Pemimpin komplotan yang bertindak sebagai
sutradara dalam setiap aksi bernama Abun. Santo tidak pernah bertemu muka dengan Abun.
Sebagai orang kecil dalam komplotan itu, Santo memang tidak banyak tahu. Tugasnya hanya
mencari sasaran perampokan serta melakukan penyelidikan terhadap sasaran agar pekerjaan
komplotan berjalan lancar. Santo ditangkap karena dalam aksi perampokan di Cipete,
sandiwaranya diketahui oleh polisi. Berdasar-kan laporan masyarakat sekitar tempat tinggal
korban perampokan, polisi menangkap Santo. Kata banyak orang di Cipete, Santo sering
mondar-mandir dan bertanya-tanya tentang rumah berlantai dua di dekat rumah sakit di
Cipete. Rumah itulah yang kemudian menjadi sasaran perampokan.
Kini Santo telah tiada. Menjadi korban penembakan yang dilakukan oleh Kiwo. Tentang Kiwo
ini, polisi belum mendapat keterangan lebih lanjut. Pak Marfi pun hanya melihat wajah Kiwo
dalam kegelapan selama dalam perjalanan dari rumah persembunyian sampai ke kebun karet.
Pak Marfi belum berani memberikan keterangan terperinci tentang Kiwo. Ia khawatir polisi
salah tangkap karena keterangan yang tidak pasti.
"Bapak kok bisa selamat dari penembakan itu?" tanya Fia dengan rasa ingin tahu.
"Bapak sudah menduga akan terjadi pembunuhan itu. Sikap Kiwo terlalu tegang. Begitu Bapak
turun dan mobil, Bapak segera merencanakan untuk lari ke kebun karet. Makanya begitu
terdengar suara tembakan, Bapak langsung meloncat ke balik pohon karet. Untung yang
ditembak dulu Santo, jadi Bapak sempat menghindar. Peluru-pelurunya menancap di pohon
karet." "Bapak nggak kena barang sedikit, Pak?" tanya Fia seraya mengedarkan pandangannya dari
kepala sampai ke kaki ayahnya.
"Tidak. Cuma kena semak-semak saja. Lihat! Baju Bapak baru, kan" Ini pemberian Pak Letnan.
Baju yang Bapak pakai malam itu sudah nggak keruan lagi!"
"Baunya tujuh macam, ya Pak?"
"Bukan saja baunya! Wujudnya juga sudah berantakan. Sobek-sobek nggak keruan. Bapak kan
berguling-guling ke lubang tanah di kebun karet itu!"
"Bapak hebat, ya Pak?"
"Yang hebat banditnya! Sampai sekarang belum bisa dilacak. Bapak sudah gagal."
Selama percakapan itu, Tress dan Iwon diam saja. Iwon membisikkan sesuatu ke telinga Tress.
Letnan Marcus menoleh ke arah Iwon. Tress mengucapkan kata-kata yang dibisikkan Iwon,
"Dalam koran ini diberitakan kedua pelarian tewas ditembak, Oom. Bagaimana bisa jadi
begini?" Letnan Marcus menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia terpaksa harus menjawab pertanyaan itu.
Katanya, "Ini kesalahan pemberitaan. Jangan menyalahkan siapa-siapa. Ini hanya kekeliruan
yang bisa terjadi dalam keadaan serupa itu. Ceritanya begini... "
Semuanya bersikap mendengarkan. Letnan Marcus duduk di kursi di seberang meja rendah,
berhadapan dengan Pak Marfi.
"Oom menugaskan anak buah Oom untuk membuntuti Pak Marfi," kata Letnan Marcus. "Anak
buah Oom kehilangan jejak penjahat di daerah Parung. Ketika penembakan itu terjadi, anak
buah Oom berada jauh dari tempat kejadian. Mereka tiba di tempat itu ketika orang-orang
kampung sekitar kebun karet sudah ramai mengerumuni jenazah Santo. Pak Marfi bersembunyi
di tengah kebun karet itu. Ia khawatir penduduk akan mengeroyoknya kalau ia menampakkan
diri." "Kenapa sampai dikeroyok" Bapak kan... " ucapan Fia terhenti. Lalu dijawabnya sendiri
pertanyaan itu, "Eh... Bapak kan lagi berperan sebagai bandit, ya" Orang kampung suka main
keroyok begitu, sih!"
"Tepat!" sahut Letnan Marcus. "Untuk menghindarkan hal-hal yang tidak diinginkan, Pak Marfi
bersembunyi. Kami menemukannya jauh di tengah kebun karet, jauh dari kerumunan orang.
Brengsek! Pak Marfi bikin lelucon juga! Dia pura-pura teler ketika kami tiba di tempatnya. Polisi
terpaksa menggotongnya dengan bantuan beberapa orang penduduk. Begitu mobil polisi yang
mengangkutnya melaju, Pak Marfi terbahak-bahak!"
Dan kini Pak Marfi tertawa terkekeh. Dia memang sengaja berpura-pura pingsan. Kalau tidak ia
akan ditanya macam-macam oleh polisi yang menjemputnya di tengah kebun karet. Hal
semacam itu bisa menimbulkan salah paham di tengah orang banyak pula. Siapa tahu ada yang
bertindak liar. Kalau salah seorang mulai memukul, lainnya tentu akan ikut-ikutan. Pak Marfi
bisa mati tanpa ditembak bandit.
Tress 'menyerang' Letnan Marcus lagi dengan pertanyaannya, "Kenapa polisi tidak menjelaskan
kepada wartawan bahwa korban penembakan itu tidak tewas kedua-duanya?"
"Anak bandel!" cetus Letnan Marcus. "Pertanyaanmu tidak bisa dijawab, Nona Kecil! ini sudah
rahasia tugas kami. Jangan keki, ya?"
"Keki saja!" Tress cemberut. Di mana pun, dia tetaplah bertingkah begitu bila hatinya tak suka
pada seseorang. Fia tak ingin bertanya-tanya lagi. Ia sudah mengerti seluruhnya. Teringat akan ucapan Bapak
yang sering didengarnya, 'Orang tua sering melakukan sesuatu yang tidak dimengerti oleh anakanaknya.' Begitulah adanya. Fia tidak akan mengerti seluruhnya. Bapak tentu menyembunyikan
hal-hal yang rahasia. Seperti Letnan Marcus itu. Bukankah semua ini pun semula menjadi
misteri" Ternyata Bapak belum mau pulang juga. Entah apa lagi yang akan dilakukannya. Fia pun tak
ingin mengerti, tak ingin bertanya-tanya. Ia percaya, Bapak telah benar-benar menjadi ayah
yang baik lagi. Bukan seorang bromocorah, bukan pula seorang pelarian yang dikejar-kejar
polisi. Matahari sudah rendah sekali ketika mereka meninggalkan kantor polisi. Dada terasa betapa
lapangnya. Mobil meluncur ke Rawasari untuk mengantarkan Fia.
Begitu melangkah masuk ke rumah, Fia disergap oleh Ibu sejadi-jadinya. Ibu memeluk Fia erat
sekali. Ibu menangis tanpa mengisak. Hanya air matanya yang berderai. Yadi dan Yanto
menatap adegan itu dengan mulut melongo. Mereka memang tidak tahu persis apa sebenarnya
yang terjadi. Mereka hanya tahu, pulang dan bepergian tadi, Ibu membawa jajan dan belanjaan
banyak sekali. "Bapak menepati janjinya, Fia...," ucap Ibu di antara sendat-sendat tangisnya. "Bapak tidak
jahat lagi. Kita keliru telah menolak uang pemberiannya. Padahal ia memperoleh uang itu
dengan bertaruh nyawa... "
Fia teringat akan uang lima puluh ribu rupiah pemberian Bapak yang ditolak mentah-mentah
oleh Ibu. Tentunya Bapak memperoleh uang itu dari Letnan Marcus. Mungkin sebagai uang
lelah. Bisa juga sumbangan polisi sebagai penghargaan atas jerih payah Pak Marfi. Sekarang Ibu
telah mau menerima uang itu.
"Tuhan... " Fia mendesis, "aku tak bisa lupa akan semua ini. Terima kasih, Tuhanku... "
Terima kasih, Tuhan! Betapa dalamnya rasa terima kasih Fia kepada Tuhan. Tak banyak anak
seumurnya yang mengalami peristiwa semacam ini. Bukankah Fia pantas berterima kasih
kepada Tuhan" Banyak duka dialaminya, tetapi betapa banyak pula kebahagiaan miliknya...
6. Disandera Penjahat SUARA hingar-bingar dari panggung musik membuat telinga terasa lelah sekali. Dalam
kebisingan seperti itu Iwon sering merasa letih. Ia segera meninggalkan tempatnya di tengah
rombongan wartawan yang memotret pertunjukan itu. Telah sepuluh kali ia memotret. Sudah
cukup untuk latihan. Hanya latihan, karena Tress bilang ia tidak akan menulis tentang pagelaran
musik ini. Iwon boleh memotret sebagai latihan. Sekali ini Iwon menggunakan film hitam putih
ASA 1000. Film ASA 1000 ini mempunyai kepekaan daya tangkap obyek (sesuatu yang dipotret)
sangat tinggi. Sehingga dalam pemotretan, tidak diperlukan cahaya lampu kilat. Untuk pertama
kalinya ini Iwon memotret pada malam hari tanpa lampu kilat.
Ia akan selalu teringat pada ucapan Oom Didat tentang hasil potretnya. Kata Oom Didat, Iwon
baru bisa menjadi 'tukang potret'. Belum menjadi 'seniman fotografi'. Tukang potret selalu
memotret untuk menghasilkan potret yang bisa laku dijual. Sedangkan seniman fotografi
menghendaki karya foto yang bermutu dan bernilai seni. Begitu kata Oom Didat. Dalam hati
Iwon mengakui Oom Didat sebagai gurunya untuk menjadi seniman fotografi. Sedangkan Bang
Ifar adalah guru untuk menjadi tukang potret.
Sekali jepret harus menghasilkan uang, kata Bang Ifar. Tapi Oom Didat bilang, "Ambillah
kesempatan memotret sebanyak-banyaknya.
Hasilnya diambil hanya yang terbaik."
Dua pendapat itu saling bertentangan. Bagi Bang Ifar, pendapat Oom Didat bisa berarti
pemborosan. Studio foto 'Della' bisa bangkrut kalau menuruti saran Oom Didat. Memang dua
orang itu berbeda pendapat. Tapi kedua-duanya benar. Sebab Bang Ifar seorang tukang potret,
sedangkan Oom Didat seorang seniman fotografi. Iwon harus mengikuti pendapat keduaduanya. Tapi untuk menghabiskan satu rol film dalam tustelnya, ia masih merasa kagok juga.
Maka sepuluh jepretan sudah cukup. Padahal Oom Didat memberinya dua rol film untuk
latihan. Sekarang tiba waktunya untuk mencari Tress dan Fia. Kalau mereka belum duduk di tempat
duduk mereka, tentunya sedang berada di ruang panitia untuk menemui Pak Akil. Tadi Fia
masih sempat menjual sisa karcis di halaman gedung besar itu. Berarti sekarang masih
menyetorkan uang hasil penjualannya di ruang panitia. Iwon menuju ke ruang itu di lobby.
Ia mengetuk pintu. Tapi tidak ada sahutan. Lubang kuncinya rapat. Ia tidak bisa mengintip ke
dalam. Diketuknya lagi pintu itu. Masih juga tidak ada sahutan. Iwon menggerutu. Ia mulai kesal
pada Tress. Ada saja tingkahnya yang membuat orang lain kesal.
Lama Iwon mondar-mandir di depan pintu itu. Ada apa gerangan di ruang panitia" Iwon mulai
curiga. Ia bermaksud mencari Pak Tohar di pelataran parkir mobil. Bila ia sendirian dengan
tustel di tangannya, ia selalu merasa takut dirampok orang. Ia bingung sesaat. Rasa ingin tahu
terhadap apa yang terjadi di ruang panitia sangat mengganggunya. Tapi rasa takut dirampok
orang, juga tak kalah mengganggu. Akhirnya dia berdiri saja, di dekat pelataran parkir.
Betapa terkejutnya ia melihat Tress dan Fia keluar dari pintu yang lurus berada di depannya! Fia
dan Tress digandeng oleh Pak Akil. Mereka berjalan di depan. Di belakang mereka, dua orang
lelaki bertubuh tegap berjalan merapat. Apa gerangan yang terjadi" Wajah Tress tampak tegang
sekali. Juga wajah Fia. Iwon telah terbiasa dengan hal-hal yang terjadi secara tiba-tiba seperti itu. Ia berlari merunduk
dan bersembunyi di balik sebuah mobil. Disiapkannya tustelnya dalam waktu seperempat
menit. Ia membidik dan memotret. Film hitam putih ASA 1000 akan bisa menangkap obyek
dengan penerangan lampu teras gedung Balai Sidang. Iwon terus memotret sampai tiga kali.
Lalu dilihatnya Tress, Fia, dan Pak Akil digiring ke sebuah mobil Jeep CJ 7. Begitu mereka naik ke
mobil itu, mobil segera berjalan menyentak. Rupanya sopirnya sudah siap melarikan mobil itu.
Tiba-tiba Iwon melihat mobil Daihatsu Charade Tress meluncur dari pelataran parkir. Iwon
berlari mencegatnya. Mobil berhenti. Pintu depan sebelah kiri terbuka. Iwon berlari seraya
berseru, "Tress diculik, Pak!"
"Cepat naik!" seru Pak Tohar.
Pak Tohar menghendaki Iwon tidak usah ribut. Baginya, yang penting adalah menyelamatkan
Tress dan Fia. Tapi Iwon sudah berteriak-teriak. Polisi berseragam yang berjaga di situ berlari
mendekati mobil. "Ada apa?" tanyanya seraya menjenguk ke jendela mobil itu.
"Penculikan, Pak!" seru Iwon. "Teman saya dibawa kabur dengan mobil tadi!"
Mobil Daihatsu Charade itu menyentak cepat dan meluncur menyusul Jeep CJ 7. Polisi itu
melapor kepada komandannya melalui pesawat walkie-talkie. Polisi-polisi bertindak cepat.
Mereka segera mengetahui bahwa yang terjadi adalah perampokan, bukan penculikan. Uang
panitia dikuras habis. Dua orang anggota panitia diringkus dan diikat dengan mulut tersumbat
dan mata tertutup kain. Ketua panitia dan dua orang anak kecil disandera dan dibawa lari
penjahat. Kini mobil Jeep CJ 7 meluncur di Jalan Pintu IX Senayan. Daihatsu Charade memburunya.
"Siapkan tustelmu, Won! Mungkin ada gunanya" seru Pak Tohar. "Komplotan yang kita hadapi
ini pasti komplotan yang sedang diselidiki oleh Pak Marfi. Kita harus hati-hati. Mereka cukup
kejam!" "Aku mengkhawatirkan keadaan Tress dan Fia... "
"Kita akan menyelamatkan mereka!" "Bagaimana caranya"'
"Kita kuntit saja. Kusesalkan tadi kau ribut di pelataran parkir. Kalau tidak, mungkin kerja kita
akan lebih mudah." Iwon menyesal sedalam-dalamnya. Tapi mau apa lagi, semuanya sudah telanjur.
Mobil Jeep CJ 7 itu membelok ke kanan di dekat Lapangan Tembak Senayan. Memasuki jalan
kecil yang sepi. "Biar kudekati mobil itu. Potret saja sekenanya. Nomor platnya mungkin palsu. Tapi potretmu
bisa berguna juga. Paling tidak bisa menggambarkan bentuk mobil itu!"
"Mobil Jeep CJ 7 kan sama saja di mana-mana?"
"Tapi ciri-ciri khususnya berbeda! Lihat saja! Di dekat roda cadangan yang menempel di pintu
itu ada bagian cat yang tergores, seperti bekas ditabrak. Ayo, mulai memotret!"
Pak Tohar menekan pedal gas dengan kaki kanannya. Mobilnya melaju makin kencang. Iwon
memotret lewat jendela mobil. Ketika itu mobil Pak Tohar menikung memasuki jalan kecil di
dekat Lapangan Tembak. Agaknya pengejaran itu sudah diketahui oleh penjahat. Lelaki yang
duduk di belakang, yang bernama Kiwo, mengacungkan pistol dan menembak. Pelurunya
berdesing menghantam kaca mobil Daihatsu Charade.
"Masya Allah!" jerit Iwon kaget. Tak sengaja jari telunjuknya menekan tombol tustel. Ia telah
memotret adegan penembakan itu.
Kaca depan mobil itu berlubang bekas peluru. Demikian juga sandaran tempat duduk Iwon.
Ujung peluru menancap di sandaran tempat duduk itu. Iwon lemas sekali menyadari apa yang
telah terjadi. Bila tadi ia tidak sedang membidikkan kameranya, kepalanya sudah berlubang
ditembus peluru! Perampokan itu memang dilakukan oleh orang-orang terlatih. Persiapannya pun cukup matang.
Semula mereka tidak bermaksud menyandera siapa pun juga. Tapi ketukan pintu yang
dilakukan oleh Iwon membuat mereka mengubah rencana. Mereka menganggap aksi
perampokan itu sudah diketahui oleh orang luar atau pihak keamanan pertunjukan. Maka
mereka melakukan penyanderaan untuk melarikan diri.
Mereka juga menyangka Daihatsu Charade berisi polisi yang melakukan pengejaran. Maka
mereka menembak. Jeep CJ 7 itu meluncur di jalan sempit yang berkelok-kelok dan naik-turun.
Sungguh gila, mereka sengaja memilih jalan dengan keadaan seperti itu. Biasanya, perampok
akan memilih jalan yang lebar dan ramai untuk melarikan diri. Pilihan terhadap jalan yang
sempit itu adalah juga siasat perampok. Padatnya lalu-lintas yang datang dari dua arah akan
mengakibatkan sulitnya pengejaran. Juga memudahkan mereka untuk mengelabuhi pihak
pengejar. Pak Tohar menyadari bahwa mobil yang dikendarainya telah dikenali oleh penjahat. Ia menyalip
sebuah taksi berwarna kuning. Lalu berhenti mendadak di depan taksi itu. Sopir taksi mengutuk
dan menginjak pedal rem. Pak Tohar keluar dari mobil diikuti oleh Iwon. Mereka menghampiri
taksi itu. "Cepat kejar mobil Jeep CJ 7 itu!" seru Pak Tohar kepada sopir taksi yang belum hilang
kagetnya. "Memang kenapa?" tanya sopir taksi terbengong-bengong.
Pak Tohar tidak menjawab. Ia mendorong sopir taksi ke kiri, sementara ia sendiri duduk di
tempat duduk pengemudi. "Biar saya yang nyetir!" serunya. "Ini gawat! Anak majikan saya diculik!"
"Aduh! Saya takut! Jangan!" seru sopir taksi.
Pak Tohar tidak peduli. Ia membentak sopir itu, "Pindah ke belakang! Buka bajumu, cepat!"
Sopir taksi terbengong-bengong. Pak Tohar membentaknya lagi, "Buka bajumu, Tolol! Aku akan
menyamar sebagai sopir taksi cari penumpang! Kamu ngumpet di jok belakang bersama Iwon!
Won! Kamu merunduk! Jangan sampai kelihatan dari luar!"
Iwon yang telah duduk di jok belakang segera merunduk. Sopir taksi membuka bajunya. Pak
Tohar orang hebat. Sambil mengendarai mobil di jalan yang sulit begitu, ia bisa membuka
Tiga Sandera Trio Tifa Karya Bung Smas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bajunya sendiri dan mengenakan baju sopir taksi.
"Kamu punya topi"' tanyanya. Tentunya pertanyaan itu ditujukan kepada sopir taksi.
Tapi sopir taksi tidak merasa ditanya. Ia diam saja. Pak Tohar memukul pantat orang itu. Sopir
taksi menjerit kaget seraya menyembulkan kepalanya. Tadi ia merebahkan tubuhnya hingga
setengah menungging di tempat duduk belakang.
"Apa, Pak?" tanyanya.
"Kamu punya topi?"
"Itu di situ... " Sopir taksi menunjuk ke jok depan.
Ada topi pet di situ. Pak Tohar mengenakannya. Ditekannya agar topi itu sedikit
menyembunyikan wajahnya. Kemudian ia tancap gas hingga kecepatan taksi itu meninggi.
Beberapa kali ia menyalip kendaraan lain.
Jeep CJ 7 kini memasuki jalan di daerah perumahan mewah. Mobil itu agak pelan. Lalu
melontarlah dari dalamnya sesosok tubuh besar. Tubuh itu jatuh terguling-guling di atas jalan.
Terdengar suara tembakan tiga kali. Betapa mengerikan adegan itu! Pak Akil dilemparkan dari
mobil lewat pintu belakang, lalu ditembaki!
"Pak!" jerit Iwon yang sempat melihat adegan itu.
"Pak Akil dibunuh!"
Taksi kuning itu melintasi tubuh Pak Akil yang tergeletak di tepi jalan. Tapi Pak Tohar tidak mau
menghentikan mobil yang dikendarainya.
"Buat saya, yang penting keselamatan Non Tress dan Non Fia!" seru sopir itu.
Iwon menghembuskan napas panjang sekali. Kepalanya terasa pening dalam ketegangan ini.
Sadarlah Pak Tohar, penyamarannya sebagai sopir taksi telah diketahui oleh komplotan
penjahat. Ia tidak bisa terlalu dekat dengan Jeep CJ 7. Penjahat bisa mencelakakan dua orang
sanderanya. "Kita tidak bisa dekat, Won. Demi Tuhan, aku rela mati asalkan Non Tress dan Non Fia
selamat?" kata Pak Tohar mantap.
"Kita lapor polisi saja, Pak. Kita serahkan saja pada polisi!"
"Polisi sudah tahu akan semua ini."
Iwon diam saja. Tidak bisa berbuat apa-apa. Rasa pening di kepalanya makin menggigit.
Jauh di depan sana, tampaknya Jeep CJ 7 berhenti. Pak Tohar tegang sekali.
"Kalau Non Tress ditembak, aku bersumpah akan membunuh semua bandit itu?" serunya
dengan suara berteriak. Iwon kaget mendengarnya. Ia menatap Pak Tohar dari arah belakang. Bisakah orang itu
membunuh sesamanya" Diam-diam ada rasa tak senang pada Pak Tohar di hati Iwon.
Bagaimanapun juga, ia tidak setuju bila Pak Tohar membunuh orang! Tapi ia maklum akan
perasaan lelaki setengah baya itu. Ia telah dipercaya oleh Oom Didat untuk menjaga
keselamatan Tress. Bila Tress celaka, mungkin ia menjadi gila. Dalam kegilaan orang semacam
Pak Tohar akan sanggup berbuat apa pun juga. Bulu Kuduk Iwon meremang membayangkan hal
itu. "Tuhan... jangan jadikan dia pembunuh...," desisnya.
Tidak terdengar suara tembakan. Jeep CJ 7 itu semakin jauh memasuki jalan yang sepi. Lalu
tidak tampak lagi. Taksi itu tiba di tempat Jeep CJ 7 tadi berhenti. Ternyata Tress dan Fia
diturunkan saja, tanpa dicederai.
"Noooon!" jerit Pak Tohar begitu mobil taksi itu berhenti. Pak Tohar melompat turun. "Nooon!
Non kenapa?" Tress menangis mengisak-isak. Ia berlari menghambur seraya memeluk Pak Tohar. Fia berdiri
saja, seperti orang linglung.
Jalan itu sepi sekali. Rumah-rumah besar berdiri di kanan-kirinya. Sangat indah, tapi bagai
kuburan belaka karena tidak ada seorang pun yang tampak dari sana. Jeritan sekeras halilintar
pun tak akan membuat penghuni rumah-rumah itu bangkit membuka pintunya. Orang-orang
telah menjadi tak acuh terhadap nasib sesamanya karena mengkhawatirkan keselamatan diri
sendiri. Pada siang hari tempat itu sungguh indah sebagai daerah pemukiman yang hijau di
tengah kota Jakarta. Tapi pada malam hari, jalan-jalan pun sepi dan menye-ramkan. Seolah
semua orang takut keluar dari rumahnya bila matahari telah terbenam.
"Fia! Kamu tidak apa-apa?" tanya Iwon dengan gugup.
Fia menggelengkan kepalanya. Tapi Iwon tidak melihatnya karena tempat itu cukup gelap.
"Fia! Kamu tidak apa-apa, kan" Ngomonglah!" seru Iwon.
"Tidak...," suara Fia gemetar. "Aku masih takut..."
Iwon menangkap lengan Fia.
"Jangan takut kalau kau tidak apa-apa!"
katanya. "Oh... tadi seram sekali...
Pak Akil bagaimana?" tanya Fia.
"Aku tidak tahu!"
"Cepat menyingkir dan sini!" seru Pak Tohar segera. "Non! Mari kita pulang, Non!"
Pak Tohar membimbing Tress ke dekat taksi. Tress masih diam. Ia didudukkan di jok belakang.
"Aaaaaa!" jeritnya tiba-tiba.
Kepala sopir taksi menyembul.
"Ampun! Saya, Non! Saya!" seru sopir taksi itu.
"Bodoh!" Pak Tohar menghardik. "Kenapa dari tadi nungging saja di situ?"
Rupanya tadi Tress menyentuh kepala sopir taksi, sehingga ia terkejut.
"Ampun, Pak... saya gugup. Saya takut. Saya orang perantauan, Pak. Saya hanya cari makan.
Saya cari keselamatan "Diam!" hardik Pak Tohar. "Jangan bikin kacau saja! Hayo pindah ke depan!"
Sopir taksi ketakutan karena bentakan itu. Gerakannya jadi lamban sekali. Kasihan, agaknya dia
benar-benar penakut. Tibalah di situ polisi berpakaian dinas yang ikut mengejar perampok. Tress mengeluh karena ia
harus ikut ke kantor polisi untuk memberi keterangan. Ia ingin lekas pulang. Ingin lekas
memeluk Mama dan Papa. Ketika itu Iwon berbisik pada Pak Tohar, "Soal potret itu jangan dilaporkan pada polisi. Aku
hanya akan melapor pada Oom Didat,"
"Aku mengerti," bisik Pak Tohar.
Syukurlah bila dia mengerti.
Sungguh ajaib, bila ternyata Pak Akil tidak apa-apa. Ia hanya menderita lecet-lecet di kedua
tangannya. Pakaiannya kotor sekali. Dahinya sedikit bengap karena terantuk batu. Tapi ia
sungguh-sungguh tidak tewas. Ia tertawa begitu melihat rombongan Tress tiba di Polda Metro
Jaya yang gedungnya megah di sudut Jembatan Semanggi. Pak Akil duduk di kursi empuk. Ada
polisi berpangkat sersan di ruangan itu, sedang duduk di balik meja tulis.
"Banditnya goblok, Fia!" seru Pak Akil kepada Fia yang terbengong-bengong. "Nembak saja
nggak becus?" "Jadi Pak Akil tidak apa-apa?" tanya Fia, masih kurang yakin.
"Didorong dari mobil dan ditembak! Masa tidak apa-apa?"
"Tapi kan hanya lecet-lecet saja?"
"Tuhan menyelamatkan aku. Mungkin masih
ada gunanya aku hidup, ya?"
Fia memikir-mikir. Bagaimana mungkin Pak Akil tidak kena peluru setelah ditembak tiga kali" Ia
akan menanyakan hal itu kepada Bapak.
7. Kekecewaan Iwon BERITA perampokan itu hanya ditulis secara singkat di koran Gegap yang terbit pada hari
Minggu. Terbitan hari Senin sama sekali tidak memuat berita itu. Hasil potret Iwon juga tidak
menghiasi halaman surat kabar itu selama dua hari berturut-turut.
Iwon sangat kecewa. Padahal Oom Didat memuji hasil potret itu.
Pulang sekolah, Iwon terus ke kantor Oom Didat bersama Tress. Mereka naik bis kota sampai di
perempatan Tugas, lalu naik becak. Hari ini mobil Mama sedang diganti kaca depannya karena
pecah terkena peluru. "Pasti kau akan protes!" Oom Didat menyambut Iwon dengan ucapan itu.
"Saya haus, Oom. Kalau saya sudah dikasih minum, saya akan bicara!" sahut Iwon seraya duduk
di kursi tamu. "Tress! Kau juga bisa bertindak sebagai nona rumah di sini," kata Oom Didat.
"Oke, Pa!" sahut anaknya. "Papa selalu memerintah dengan ucapan yang bermutu, ya?"
Tress mengambilkan teh botol untuk Iwon dari dalam kulkas di ruangan itu. Iwon menyedot
tehnya sampai setengah botol. Lalu ia berkata, "Saya ingin jawaban Oom. Masa potret saya
tidak dimuat" Oom kan sudah ngasih honornya?"
"Tidak dimuat bukan berarti tidak memenuhi syarat. Hasil fotomu sudah bagus. Sangat bagus,
malah. Tapi menurut pertimbangan
Oom, sebaiknya tidak dimuat. Sampai saat ini perampok itu belum tertangkap. Kalau potret itu
dimuat, keselamatanmu terancam. Perampok kan sudah tahu kau ikut dalam mobil yang
mengejar mobil perampok. Melihat hasil potretmu, perampok akan tahu bahwa kau yang
memotretnya. Ini bisa membahayakan keselamatanmu."
"Kalau yang dimuat potret yang saya ambil dari pelataran parkir, kan nggak apa-apa, Oom"
Tidak ada yang tahu kalau saya memotret mereka!"
"Hasil potret itu sangat diperlukan oleh polisi untuk bahan penyelidikan kasus ini. Kita tunggu
saja hasilnya. Kalau kita muat sekarang, perampok akan tahu bahwa polisi sudah bisa mengenali
wajah mereka. Hal ini bisa mengganggu kelancaran tugas polisi."
"Jadi Oom menyerahkan potret itu ke tangan polisi?"
"Sebagai warga negara yang baik, kita wajib membantu alat negara demi kelancaran tugas
mereka." Iwon mendengus dengan hati masygul. Di Polda Metro Jaya ia tidak menyebut-nyebut soal
potret itu kepada polisi. Ia ingin potret itu dimuat Gegap lebih dahulu. Tapi kini ternyata potret
itu jatuh ke tangan polisi juga.
"Ingin tahu siapa polisi yang meminta hasil potretmu?" tanya Oom Didat yang mengetahui
kekecewaan Iwon. "Pasti Letnan Marcus Hope!" cetus Iwon.
"Betul! Letnan Marcus Hope akan berterima kasih padamu kalau ia bisa meringkus komplotan
penjahat itu." "Saya tidak perlu mendengar dia ngomong terima kasih, Oom!"
Oom Didat hanya tertawa. Iwon makin dongkol saja. Kedongkolan itu masih menggunung
sampai ketika ia meninggalkan kantor Oom Didat.
Tress mengerti betul mengapa Iwon kecewa seperti ini. Tapi ia juga mengerti akan sikap Papa.
Tress merasa serba salah. Harus berpihak pada siapakah dia"
Kling-klong! Bel berbunyi. Tress membuka pintu depan. Pukul empat sore sudah lewat tiga
menit. Siapa yang datang ini"
"Selamat sore," seorang pemuda menyapa ramah. Ia membawa tas hitam. Tress tahu, tas itu
adalah tempat tustel. Wartawan Gegap juga mempunyai perlengkapan tas seperti itu. Pemuda
tamu bertanya, "Apa saya berhadapan dengan Dik Tress Ragapadmi?"
"Mas siapa?" Tress bertanya.
"Saya dari surat kabar Wartakota."
"O, mau wawancara, ya" Aduh, bagaimana ini" Saya sendiri kerjanya mewawancarai orang,
kok! Masa saya diwawancarai" Tuh, wawancara kakak saya saja, ya" Kemarin dia juga masak
sayur asem di sekolahnya!"
Pemuda tamu tertawa. Ia melangkah masuk, padahal Tress tidak mempersilakannya.
"Mbak Trian! Mbaaaaak!" seru Tress. "Ini ada wartawan mau wawancara dengan juara masak
sayur asem! Ai! Ngetop deh, kamu!"
Trian muncul dari pintu dalam.
"Apa kamu-kamu" Sama kakaknya pakai kamu!" semburnya.
"Sori, deh. Tuh, Mas Wartawan mau wawancara! Ngomong saja apa adanya. Jangan lupa, ya!
Bilang terus terang, yang mengajari Mbak Trian masak sayur asem kan Papa!"
Trian kena dikerjain juga. Ia mengulurkan tangan pada wartawan itu.
"Saya Trian HS. HS-nya singkatan Haryo-sebrang. Saya menjuarai masak sayur asem di sekolah
dalam rangka peringatan Hari Pendidikan Nasional. Saya suka masak, terutama karena saya
nggak bisa nulis di koran seperti Tress. Eh, mau tanya apa lagi" Tanya dong, Mas!"
Wartawan itu tertawa-tawa.
"Saya ingin mewawancarai Tress tentang perampokan itu," katanya.
"Ooo... jadi bukan mewawancarai saya?"
Wartawan itu tersenyum, meskipun hatinya tidak tega mengecewakan Trian.
"Tress!" Trian berseru seraya berlari ke dalam. Adiknya sedang tertawa-tawa sendirian di
kamarnya. Trian menyerbu ke kamar itu. Dipukulinya punggung adiknya. Dicubitinya pula.
"Sialan! Kurang ajar kamu! Kurang ajar! Tahu rasa! Hayo! Sakit, nggak" Sakit, nggak" Rasain!"
Mama yang masih tidur segera terbangun.
"Apa-apaan ini" Sudah besar kerjanya ribut melulu!" seru Mama gusar.
"Tress sialan, Ma! Tress kurang ajar!" Trian mengadu.
"Trian! Mulutmu kotor! Begitu ya, omongan anak Papa" Ngajarin adiknya ngomong kotor!"
Trian jadi dongkol bukan main. Memang selalu begitu. Ia tak akan bisa menang lawan Tress.
Tapi akhirnya Trian tertawa juga. Ia begitu menyayangi Tress, sekaligus juga mengaguminya.
"Sana deh, kamu yang akan diwawancarai, kok!" katanya dengan rela.
Tress jadi merasa iba pada kakaknya.
"Tress nyesel deh," katanya bersungguh-sungguh. "Sori ya, Mbak" Tress hanya mau bercanda
saja, kok. Tress nggak menghina, lho!"
Tress ke ruang tamu. Wartawan itu sudah mulai mengeluarkan tustelnya.
"Stop dulu!" Tress mencegah. "Mas! Kalau sumber berita keberatan diwawancarai, apa
wartawan berhak memaksa?"
"O, ya tidak." "Saya keberatan diwawancarai!"
"Lho! Kenapa?" "Nggak apa-apa. Pokoknya saya keberatan! Mas akan saya tuntut lho, kalau memaksa!"
"Sebentar, Dik Tress... "
"Saya keberatan! Tuh, kalau mau wawancara, sama Iwon saja!" "Iwon siapa?"
"Teman saya! Dia ikut merasakan ditembak perampok!"
"O, ya, ya. Anak yang ikut mengejar perampok dalam mobil Daihatsu Charade, kan?"
"Betul! Ke sana saja, deh! Dia punya bahan-bahan yang lengkap, kok."
"Tapi Dik Tress kan yang jadi sandera?"
Tress dongkol juga pada wartawan itu. Mungkin beginilah rasanya orang sebel pada wartawan.
Ia mulai mengerti kalau ada orang yang tidak mau diwawancarainya. Biasanya ia yang dibuat
dongkol karena sumber berita tak mau bicara padanya. Gantian, dia ngerjain wartawan!
Dengan berlagak siap menelepon, Tress berkata, "Kalau Mas nggak mau pergi, saya akan
menelepon polisi! Sungguh, lho! Saya keberatan diwawancarai!"
"Oke, oke." Wartawan itu bangkit. "Tolong kasih tahu saja alamat Iwon."
"Cari saja di Klender. Tanya di situ sama siapa saja. Dia orang terkenal, kok."
"Alamat Iengkapnya?"
"Studio Foto 'Della'. Tanya saja studio foto itu. Pasti ketemu. Selamat sore, Mas! Nggak ngusir,
Iho!" Biar tidak mengusir, wartawan itu merasa diusir juga. Dia pergi. Naik sepeda motor jelek dan
butut. Sebutut jaket dan celananya.
Potret adegan penjahat menembak Iwon dicetak dalam ukuran besar. Potret itu memang tak
begitu jelas, karena diambil pada jarak jauh tanpa menggunakan lensa tele[Lensa untuk
memotret jarak jauh]. Tapi lumayanlah, dibesarkan bisa tampak gambar-nya. Film ASA 1000
memang punya daya tangkap yang luar biasa kuatnya.
"Pemborosan!" Bang Ifar menggerutu ketika Iwon memandangi potret yang baru saja
dicetaknya itu. "Untuk apa kau buang-buang
kertas foto, he?" "Aku beli sendiri, Bang. Kertas ini bukan kuambil dan simpanan Abang," kata Iwon.
"Beli sendiri atau beli beramai-ramai dengan orang sekampung, itu namanya pemborosan!"
Bang Ifar marah. "Kalau potret itu bisa kaujual, baru bisnis namanya! Kau memang suka buangbuang duit. Negara bisa bangkrut kalau orang-orang yang pegang pimpinan macam kau!"
Soal selembar kertas foto ukuran delapan kali kartu pos jadi ramai begini. Padahal Iwon
membeli kertas itu dengan uang honornya. Bang Ifar juga sudah diberi bagian, sekedar 'ganti
rugi' karena tustelnya dipakai Iwon. Tapi abang ipar itu masih marah-marah juga.
Datang ke situ seorang wartawan muda. Ia memperkenalkan diri dan menyatakan maksudnya.
Iwon teringat akan kekecewaannya pada Oom Didat. Dia akan 'membalas dendam' pada papa
Tress itu. "Lihat potret ini Mas!" kata Iwon.
"Waow!" seru wartawan muda itu. "Siapa yang memotret?"
"Saya," kata Iwon dengan bangga. Ia melirik Bang Ifar yang duduk menghadapi meja tulis kecil
di studio fotonya. Bang Ifar membalas lirikan mata Iwon.
"Dia bisa memotret, sayalah gurunya!" katanya bangga.
"Oh, ya?" puji wartawan itu. "Ini potret bagus. Memang agak kurang jelas karena bidikannya
tidak tepat. Tapi mengingat keadaan ketika pemotretan dilakukan, hasil ini sudah top!"
"Saya mengajarkan semua ilmu saya kepadanya," kata Bang Ifar menyombong. "Iwon tidak bisa
motret hanya kalau lagi tidur. Kalau dia melek, dia siap memotret apa pun juga. Hanya
malaikatlah yang belum pernah dipotretnya! Ha... ha... ha...!"
Iwon tertawa. Bang Ifar ini kecil-kecil gede sombongnya juga. Tubuhnya terlalu kecil sebagai
lelaki. Punggungnya agak melengkung ke depan. Hidungnya panjang, tapi ukurannya juga kecil.
Matanya lebar. Rambutnya panjang dan keriting. Bila dilihat dan samping persis, amit-amit,
Bang Ifar ini mirip singa cacingan!
"Ada potret lainnya, Dik Iwon?" tanya wartawan itu.
"Ada! Sebentar saya ambil!"
Iwon mengambil tiga lembar potret lagi. Ketiganya ukuran kartu pos. Hasilnya lebih bagus
daripada potret yang dicetak lebar. Wartawan itu berdecak-decak kagum.
"Saya main tustel sudah belasan tahun," katanya. "Dulu saya hanya hobi memotret saja. Tapi
selama belasan tahun itu saya belum pernah mengambil potret dalam kesempatan seperti ini.
Dik Iwon cukup berbakat. Potret ini bisa saya bawa, kan?"
"Bisa. Tapi janji, ya?"
"Apa"' "Jangan direproduksi?"
"Oke. Saya akan memuat potret ini di koran saya. Hak cipta potret ini tetap milik Dik Iwon.
Kalau ada rekan wartawan yang menghendaki potret ini, akan saya suruh ke sini saja."
"Bagus juga." Iwon melirik dan mengerdip ke arah Bang Ifar.
"Bagus sih bagus!" cetus Bang far. "Tapi omong-omong berapa Anda mau kasih honor buat
Iwon?" "Ha.. soal honor nanti diatur oleh redaksi."
"Tidak bisa! Kami pengusaha kecil. Setiap lembar potret yang keluar dan studio ini, harus
Tiga Sandera Trio Tifa Karya Bung Smas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dibayar kontan!" Wartawan muda tertawa dengan arif.
"Baiklah. Saya bisa memberi uang dulu sebagai pinjaman. Tolong buatkan kuitansinya. Nanti
akan saya minta gantinya di kantor."
"Berapa?" tanya Bang Ifar penuh nafsu.
"Koran kami biasa memberi honor dua ribu lima ratus rupiah per lembar potret."
"Dua ribu lima ratus rupiah" Gila, apa?"
"Koran kami membayar honor paling tinggi. Ada koran yang membayar selembar foto hanya
lima ratus rupiah, lho!"
"He, Bung! Anda sudah lama jadi wartawan?" Bang Ifar bertanya dengan sengit. Ia bahkan
berdiri dan bertolak pinggang.
"Sudah belasan tahun, saya bilang."
"Anda kenal Robert Capa?"
"Oh... tidak, tidak. Orang mana dia?"
"Amerika sana! Robert Capa terkenal karena hasil potretnya dari medan-medan perang di mana
pun sejak zaman Perang Dunia Pertama. Anda tahu berapa harga per lembar hasil fotonya?"
"Tidak." "Tentu saja tidak! Saya pun tidak tahu! Tapi dia bisa hidup berkecukupan sebagai wartawan
perang! Tentunya honornya mahal, karena dia bertaruh nyawa untuk mendapatkan foto-foto
dari medan tempur. Dia bahkan tewas dalam tugasnya. Bung pikir bagaimana" Iwon melakukan
pekerjaan yang mirip-mirip kerja Robert Capa. Masa Bung menghargai hasil fotonya hanya dua
ribu lima ratus rupiah?"
"Baiklah, mungkin untuk foto khusus ada tarif khusus pula. Abang minta berapa?"
"Dua puluh lima ribu per lembar."
"Masya Allah! Semahal itu?"
Bang Ifar orang nyentrik juga. Iwon yang kenal betul perangai abang iparnya, jadi kaget dengan
tindakan gila-gilaan itu. Lebih gila lagi, karena Bang Ifar merobek-robek semua potret itu dan
membuangnya di tempat sampah!
"Begini lebih bagus, Bung!" katanya tandas. "Carilah di seluruh pelosok dunia! Kalau Bung bisa
dapat potret begini, saya berani bayar satu juta per lembar!"
"Heh..." Totok, si wartawan muda, terhenyak. "Baiklah. Tapi begini saja. Saya hanya membawa
uang kontan sebesar lima puluh ribu rupiah. Saya bawa dulu potret itu, dan uangnya saya
tinggalkan di sini. Nanti saya berunding dengan redaksi. Mudah-mudahan redaksi tidak
keberatan membayar semahal itu."
"Saya mau keputusan pasti! Bung mau bayar segitu, atau tidak?"
"Baik, baik! Apa boleh buat! Tapi saya hanya punya uang kontan lima puluh ribu rupiah."
"Akan saya cetak dua lembar untuk Bung!"
Iwon terbengong-bengong saja. Bang Ifar masuk ke kamar gelap untuk mencetak potret. Totok
mendengus. "Hebat orang itu!" gumamnya. "Bisnisnya bisa maju karena dia tegas."
"Tapi saya kurang setuju pada sikapnya yang keras. Maafkan abang saya, Mas. Dia tukang
potret, bukan seniman fotografi. Eh, maaf. Saya cuma menjiplak kata-kata Pak Didat
Haryosebrang, itu bukan kata-kata saya."
"O, Pak Didat sudah memperoleh foto itu?"
"Belum. Hanya Mas yang punya."
"Bagus! Tolong jangan kasih orang lain sebelum koran saya terbit, ya" Kita kerja sama yang
enak, lah!" "Baik!" Totok berseru ke kamar gelap, "Tolong cetak yang adegan menembak dan pengambilan di
teras, Bang!" "Saya tahu memilih barang bagus!" seru Bang Ifar dari dalam kamar gelap.
"Ketus, ya?" desah Iwon.
"Tidak apa-apa. Oke, Dik Iwon, tolong ceritakan jalannya perampokan itu."
"O, jangan mewawancarai saya. Saya tidak tahu apa-apa. Saya hanya melihat Tress dan Fia
disandera, lalu saya ikut mengejar. Mas akan mendapatkan bahan lengkap kalau mau bertemu
dengan... " "Tress keberatan diwawancarai. Makanya saya ke sini."
"Kalau begitu, Mas ke rumah Fia saja. Dia tinggal di Rawasari. Tolong catat saja alamatnya!"
Totok mengeluarkan buku catatan. Alamat Fia mudah dicari. Ia mencatat selengkapnya.
Bang Ifar bisa bekerja dengan cepat. Selesai menghitung uang yang diberikan oleh Totok, ia
membuat kuitansi. Totok segera pergi untuk menuju ke rumah Fia.
"Apa kataku?" seru Bang Ifar bangga. Ia membanting uang itu di meja tulisnya. "ini rejeki kau!
Berapa kau mau kasih aku, he?"
"Semuanya untuk Abang."
"Goblok! Aku cuma mencetak dan menjualnya saja. Kau yang payah-payah memotret! Aku
cuma mau makan yang halal, Won!"
"Baiklah, Bang. Kalau begitu, bagaimana cara membagi rejeki ni?"
"Sepuluh persen untuk aku! Kau cocok, kan?"
"Cocok, Bang!" Bang Ifar mengambil selembar uang lima ribuan. Sisanya diberikannya pada Iwon.
"Nah, kausimpan di Tabanas-mu. Ingat! Kau sudah pergi dari kampungmu. Kalau kau pulang,
kau harus jadi orang! Paham" Uang itu untuk biaya sekolahmu! Tapi jangan lupa ponakanmu
Della. Belikanlah dia susu barang sekaleng."
"Akan kubeli satu peti, Bang!"
"Bodohnya, kau!" Bang Ifar memaki. "Kalau punya satu mulut sudah cukup, jangan pakai
seratus mulut! Tahu?"
"Aku tidak paham, Bang."
"Satu kaleng cukup, kenapa beli satu peti" Kau bakal miskin kalau cara hidupmu begitu! Jangan
royal dulu! Kau pernah lihat aku nonton film?"
"Tidak, Bang" "Nah, itu! Kalau aku nonton film, berarti aku sudah bisa beli bioskopnya! Selama aku belum bisa
beli bioskop, aku tidak akan nonton film. Itu hidup yang teratur namanya! Bangsa kau bisa
miskin kalau semuanya royal kayak kau!"
Iya, deh. Satu kaleng cukup. Iwon segera ke warung untuk beli susu. Sekalian ke tempat telepon
umum. Ia akan menghubungi Letnan Marcus Hope di Polwil Jakarta Pusat. Akan dipesannya
Letnan Marcus agar tidak memberikan potret adegan perampokan kepada siapa pun. Cukup
untuk dokumentasi kepolisian saja. Juga untuk barang bukti di pengadilan nanti.
Kebetulan Letnan Marcus berada di kantor. Ia gembira mendapat telepon dari Iwon.
"Datang ke kantorku, Won!" seru Letnan Marcus. "Akan kaulihat tampang-tampang penjahat
itu!" "Ha" Jadi sudah tertangkap, ya?" seru Iwon kaget. "Berkat potretmu yang jitu! Kami tangkap
mereka di Padalarang, Jawa Barat. Ketiga-tiganya ada di tahanan Polda Metro Jaya. Kalau kau
bisa cepat datang, aku akan mengantarmu ke sana."
"Tidak usah, Pak. Tolong selamatkan saja hasil foto saya. Jangan ada yang memilikinya!"
"Beres, Won! Aku juga menghargai jerih-payahmu! Tadi Pak Didat menelepon ke kantorku. Dia
meminta potret itu. Permintaannya kutolak karena dia tidak bawa surat izin dari kau!"
"Wah! Saya kok jadi hebat begitu, Pak?"
"Sudah lama kau jadi anak hebat, kok."
"Aduh, memuji lagi! Bagaimana hasil pemeriksaan terhadap penjahat itu, Pak" Saya khawatir
mereka akan mendendam pada saya."
"Jangan takut! Mereka tidak tahu siapa yang memotret aksi mereka. Keselamatanmu
kulindungi, Won!" "Mereka mengakui perbuatan mereka, Pak?"
"Ya. Mereka juga sudah mengakui semua kegiatan mereka sejak awal tahun ini. Semuanya
terbongkar." "Siapa otak mereka, Pak?"
"He! Ini wawancara resmi, apa?"
"Balas jasa dong, Pak! Kan kata Bapak saya berjasa" Saya ingin dengar sedikit masa nggak
boleh?" "Boleh! Otak mereka adalah Abun. Kau belum pernah melihatnya. Sebab dia menjadi sopir
dalam aksi di Balai Sidang. Nama aslinya Bun Liong. Di antara anak buahnya terkenal dengan
nama Abun. Menurut pengakuan mereka begitu. Cukup, Won?"
"Sedikit lagi, Pak!" "Ngomonglah!"
"Kenapa tempo hari wartawan sampai salah tulis" Diberitakan Pak Marfi tewas didor penjahat!
Ternyata tidak. Tapi kok beritanya tidak diralat" Seolah-olah polisi membiarkan kesalahan
pemberitaan itu. Apa polisi sengaja memberi keterangan salah?"
"Pasang coin lagi! Ini telepon umum, kan?"
"Oh, ya. Sebentar, Pak!"
Iwon memasukkan uang logam lima puluhan lagi ke dalam telepon umum itu. Kalau tidak,
hubungan akan putus dengan sendirinya setelah pembicaraan berlangsung selama tiga menit.
"Halo, Pak! Ngomong, dong!" seru Iwon kemudian.
"Eh, kau sudah berani menyuruh seorang letnan, ya! Pangkatmu sudah kapten, apa?"
"Sori, Pak. Saking senangnya, saya jadi lupa daratan. Sori, deh. Maaf!"
"Nggak apa. Saya cuma bercanda. Jadi begini, Won... "
Lewat pembicaraan telpon itu Letnan Marcus Hope menjelaskan kepada Iwon tentang
kesalahan pemberitaan. Sebenarnya polisi tidak memberi keterangan apa-apa kepada
wartawan. Polisi bungkam meskipun wartawan mendesak meminta keterangan tentang
penembakan di daerah Parung. Letnan Marcus bilang, Parung bukan wilayah wewenangnya.
Makanya dia tidak berhak memberi keterangan.
Rupanya para wartawan terus menelepon kepolisian Parung. Sedangkan kepolisian Parung
telah diberi laporan tentang penembakan itu oleh Letnan Marcus.
Tetapi disertai pesan agar tidak memberi keterangan apa-apa kepada wartawan, mengingat
kasusnya belum dipecahkan. Kepolisian Parung memenuhi pesan itu. Alasan petugas piket yang
menerima telepon itu, tidak berhak memberi keterangan karena komandan tidak berada di
tempat. Memang pada malam itu komandan kepolisian di sana tidak berada di posnya.
Wartawan mencari keterangan ke rumah sakit. Mereka melihat Santo telah tewas, dan dokter
pun menyatakan korban tidak tertolong lagi. Wartawan tidak berhasil mendapatkan keterangan
tentang Pak Marfi. Mereka mencari keterangan pada masyarakat sekitar hutan karet di Parung.
Dalam pemberitaan beberapa koran dituliskan, "Korban kedua yang diduga bernama Mf,
seorang buron polisi, sampai saat berita ini diturunkan belum diketahui nasibnya. Tetapi
menurut keterangan masyarakat setempat, korban dalam keadaan gawat. Ia digotong oleh
beberapa orang petugas berpakaian preman dibantu oleh dua orang penduduk. Salah seorang
penduduk yang ikut menggotong korban menyatakan bahwa korban menderita luka parah.
Diduga keras korban tersebut juga tewas."
Kesalahan pemberitaan itu dibiarkan saja oleh polisi. Sebab Pak Marfi yang berperan sebagai
'buron polisi bernama Mf harus dilindungi keselamatannya. Kalau penjahat tahu bahwa Mf
tidak tewas, mungkin mereka akan mengulangi penembakan lagi. Jadi Mf lebih baik dianggap
mati saja. "Tapi sekarang Pak Marfi hidup lagi kan, Pak?" seru Iwon setelah ia mendengarkan keterangan
itu. Ia telah memasukkan sekeping uang logam lagi.
"Sekarang dia hidup lagi dan telah kembali ke tengah keluarganya. Pihak kepolisian sangat
berterima kasih kepadanya. Dia telah bertaruh nyawa untuk membantu tugas kami. Oke, Won"
Kapan-kapan kau dan teman-temanmu boleh datang ke rumahku. Aku punya bahan cerita yang
bagus untuk kalian tulis. Mungkin Fia memerlukan bahan cerita itu."
"Tengkyu, Pak!"
Iwon merasa lega. Keluar dari tempat telepon umum, dihirupnya udara senja hari sebanyakbanyaknya. Tahu rasa Oom Didat, katanya dalam hati. Lunas sudah dendam Iwon kepadanya.
8. Diculik PAGI-PAGI sekali Iwon membeli koran Wartakota. Terpampang hasil fotonya dalam ukuran
besar di halaman pertama. Betapa bangganya! Biasanya kalau hasil fotonya dimuat di Gegap,
rasanya biasa-biasa saja. Sebab ia merasa, karyanya dimuat karena ia kenal baik dengan Oom
Didat. Tetapi sekarang ini foto hasil karyanya dimuat oleh koran lain.
Tapi ia keki juga ketika melihat Gegap terbitan hari itu. Berita tentang penculikan itu sama
sekali tidak dimuat. Tidak sepotong pun kalimat tertera di sana, yang memberitakan bahwa
komplotan penjahat itu telah digulung polisi.
Ditanyakannya hal itu kepada Tress. Tress hanya mengangkat bahu.
"Apa Oom Didat nggak ngomong soal itu, Tress?" tanya Iwon penasaran.
"Nggak. Kadang-kadang Papa begitu, sih. Nggak tahu apa sebenarnya rencana Papa. Percuma
deh, kalau kau ngelawan dia!"
Ada lagi yang mengherankan Iwon. Dalam pemberitaan di Wartakota sama sekali tidak
disebutkan bahwa keterangan itu berasal dan Fia. Jadi Fia tidak diwawancarai, atau tidak mau
diwawancarai. Sumber berita berasal dari kepolisian. Polisilah yang menerangkan jalannya perampokan itu.
Tiga orang sandera disebutkan masing-masing bernama AB, TR, dan Mf. AB, tentunya Pak Akil.
Sedangkan TR, tentunya Tress Ragapadmi. Fia mendapatkan nama Mf, sama juga dengan inisial
(nama singkatan) ayahnya. Nama Fia memang Marfianti. Nama yang digunakannya dalam
setiap tulisan hasil karyanya.
Iwon sendiri mendapatkan nama Iw. Di bawah potret-potret itu juga tertera tulisan, 'Foto: Iw'.
Tentunya semua itu disengaja untuk menyembunyikan nama-nama sandera dan pemotret.
Maksudnya untuk melindungi keselamatan pemilik nama-nama itu. Tak apalah.
Tapi mengapa Fia tidak mau memberi keterangan" Iwon penasaran sekali. Ia bermaksud
menemui Fia. Tapi sepulang sekolah dia sibuk di studio. Bang Ifar mendapat obyek besar
membuat pasfoto orang se-RT untuk KTP. Iwon membantunya, dan ia tidak bisa mengelak dari
pekerjaan itu agar abang iparnya tidak ngamuk.
Pukul delapan tepat, Iwon melangkah di Jalan Rawasari. Begitu akan membelok ke gang rumah
Fia, ada mobil Colt Pick-up berhenti di sisinya. Setengah jam yang lalu, mobil ini tiba di depan
Studio Foto 'Della'. Penumpangnya menanyakan Iwon kepada Bang Ifar. Bang Ifar bilang, Iwon
sedang ke Rawasari. Alamat Fia dijelaskan pula oleh Bang Ifar.
Maka mobil itu pun tiba di Rawasari. Penumpangnya seorang anak muda. Sopirnya juga masih
muda. "Iwon!" penumpang Colt Pick-up itu memanggil.
Iwon menghentikan langkahnya. Ia menghampini mobil itu. Penumpang Colt yang duduk di
samping sopir, segera turun. Dengan gerakan cepat ia menyergap Iwon.
"Hai!" Iwon terkejut. "Kamu siapa?"
"Jangan ribut! Ikut kami!" bentak penumpang Colt itu.
"Toloooong!" Iwon menjerit setelah menyadari keadaan yang gawat itu.
Tapi ia tak berdaya. Sebilah pisau tajam menempel di lehernya.
"Kalau berteriak lagi, kupotong lehermu!" ancam penumpang Colt itu.
Iwon menyerah. Ia didorong masuk ke samping sopir. Pemuda yang menyergapnya duduk di
samping kirinya. Iwon terjepit di tengah. Untunglah teriakannya terdengar oleh banyak orang di
situ. Orang-orang pun ribut. Pak Marfi yang tengah menunggui anaknya menulis cerpen,
mendengarnya. Ia bergegas ke luar. Tapi mobil Colt itu sudah menderu.
Hari masih belum begitu malam. Tapi peristiwa cepat itu terjadi begitu saja. Mobil Colt melaju
kencang. Iwon setengah pingsan karena rasa takutnya. Ia diam saja, tak bisa lagi berkata-kata.
Mobil terus melaju lewat Jalan By-Pass, lalu membelok memasuki kawasan Pulo Mas. Di dekat
Pacuan Kuda ada tanah lapang yang gelap dan sepi. Ke situlah mobil melaju.
"Saya... saya akan dibawa ke mana...?" Iwon baru bisa bersuara ketika mobil mulai memasuki
lapangan gelap. "Saya akan bikin kamu mampus!" kata penyergapnya. "Kamu sok tahu! Gara-gara kamu, kerja
kami jadi berantakan."
"Oh... apa salah saya?"
"Ke mana film hasil potretanmu, he?"
Tahulah Iwon kini. Dia diculik anggota komplotan perampok karena dia memotret wajah
perampok itu di teras Balai Sidang! Ternyata belum semua anggota komplotan tertangkap.
Masih ada kaki-tangannya. Dan kini Iwon pasrah kepada Tuhan. Ia rela mengalami apa pun juga
sebagai akibat dari gerakannya. Tapi ia ingin meloloskan diri dari bahaya ini, sedapat-dapatnya.
Adakah kemungkinan untuk itu" Sedangkan tanah lapang ini betapa sepinya. Rumah-rumah
penduduk jauh di tepian sana.
Mobil berhenti. Iwon diseret ke luar. Ia digenjot. Tubuhnya terbanting ke tanah berumput yang
lembab. Ia merangkak bangun. Tapi kaki bersepatu keras menghantam wajahnya. Ia terguling.
Dengan sisa tenaganya, ia berusaha lari. Dua orang penjahat yang menculiknya mengejar. Iwon
tertangkap. "Habisin saja sekarang!" kata sopir Colt itu seraya mencabut pisau dari pinggangnya.
"Habisin, dah!" sahut temannya. Berarti dia setuju kalau Iwon dibunuh saja, tidak usah dianiaya
lebih lama lagi. Pisau di tangan sopir terayun tinggi-tinggi. Lalu meluncur deras ke arah dada Iwon. Tapi kenapa
sopir itu menjerit dan jatuh tenjungkal" Pasti ada orang yang menghantamnya dengan tinju
sekeras batu kali. Orang itu berdiri dengan gagahnya. Kedua kakinya kukuh. Kaki kanan
melayang. Menghantam telak dada penyergap Iwon. Pemuda itu mengaduh, lalu terjengkang.
Iwon belum sadar betul apa yang sebenarnya terjadi. Ia merasakan tangannya diseret oleh
penyerang kedua bandit itu. Merasakan tubuhnya diangkat ke dalam mobil. Lalu tahu-tahu
penolongnya duduk di tempat sopir. "Pak... Pak Marfi."
Orang itu, yang pasti Pak Marfi, diam saja. Matanya mengawasi kedua bandit yang siap
menyerbu. Mobil dijalankan dengan laju yang kencang. Sopir Colt itu beranjak hendak naik ke
kendaraan. Tapi dia dihajar bumper mobilnya sendiri. Dia terpelanting dan berguling di
rerumputan. Tinggal seorang lagi, yang tadi menyergap Iwon. Orang itu kini kebingungan. Pak
Marfi mengejarnya dengan mobil Colt itu. Banditnya lari pontang-panting. Tapi pisau masih siap
menikam. "Menyerah atau kugilas, kamu!" teriak Pak Marfi.
Iwon merasakan bulu kuduknya berdiri meremang. Sungguh mati, sampai kapan pun juga ia
tidak menyukai kekerasan. Tak peduli siapa yang melakukan kekerasan, ia tidak menyukainya.
Ia pun tak setuju bila Pak Marfi benar-benar menggilas tubuh bandit itu. Tapi mengingat bandit
itu hampir membinasa-kannya, Iwon jadi bingung. Mana yang lebih baik" Membiarkan Pak
Marfi menggilas tubuh bandit itu" Ya, Allah!
Ternyata Pak Marfi bukan orang kejam seperti gertakannya. Ia menjalankan mobil itu luruslurus mengarah ke tubuh bandit. Si Bandit lari. Pak Marfi mengejar terus. Tapi bukan untuk
menggilasnya. Sekedar menakut-nakuti saja. Banditnya kalang-kabut. Dia ke utara, mobil pun
mengejar ke sana. Dia ke timur, mobil terus memburu. Dia bukan pemain sepak bola. Makanya
napasnya ngos-ngosan setelah berlari-lari mengelilingi setiap bagian lapangan berumput itu.
Dia menyerah. Dia jatuh. Tapi pisaunya masih di tangan.
"Kau diam di sini!" seru Pak Marfi seraya menghentikan mobil itu. "Awas! Lihat-lihat kalau
orang yang kutabrak tadi menyerangmu!"
Tiga Sandera Trio Tifa Karya Bung Smas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pak Marfi meloncat turun. Lampu mobil masih menyala menerangi bandit yang menelungkup di
rerumputan. Pak Marfi menghampirinya. Tiba-tiba bandit itu bangkit. Pisaunya mengarah lurus
ke lambung Pak Marfi. Iwon menjerit seraya memejamkan matanya.
Kelak dia akan menyesal karena tidak membawa tustelnya, juga karena tidak menyaksikan
bagaimana Pak Marfi menerima serangan itu. Pak Marfi orang berpengalaman dalam dunia
kejahatan. Ia bisa berkali-kali lolos dari kejaran polisi karena kemahirannya dalam ilmu bela diri.
Diserang mendadak begitu, dia tak gentar karena sudah menduga sebelumnya. Dia hanya
menjejakkan kaki kanannya. Tepat mengenai dada sebelah kanan penyerangnya. Si bandit
terjengkang. Pisau masih juga di tangannya. Pak Marfi melangkah sekali, lalu menginjak tangan
yang menggenggam pisau itu. Dia santai saja. Badannya membungkuk, kemudian dipungutnya
pisau itu seperti memungut rokoknya yang jatuh.
Bukan main, bandit itu ulet juga. Begitu Pak Marfi melepaskan injakannya, dia bangkit dan lari
terbirit-birit. Pak Marfi memegangi pisau itu. Ia bisa melemparkan senjata itu hingga menancap
di punggung penjahat. Tapi bukan dia orangnya yang tega berbuat begitu terhadap sesamanya.
Dibiarkannya saja bandit muda itu terbirit-birit tak tentu arah.
Ia kembali ke mobil. Dijalankannya mobil itu perlahan-lahan. Lampunya menyorot ke depan.
Bandit yang tadi ditabraknya tidak tampak lagi. Dia menarik napas panjang.
"Syukurlah dia tidak mati...," gumamnya dengan perasaan lega. "Aku tidak pernah ingin jadi
pembunuh... " "Kita kejar, Pak!" seru Iwon yang telah tumbuh semangat juangnya setelah menyaksikan
keperkasaan Pak Marfi. "Tidak usah. Itu bagian polisi. Kita sandera saja mobil ini. Untuk mencari pemiliknya kan mudah.
Biar saja mereka lari ke ujung dunia"
"Tadi Pak Marfi kok tahu-tahu di sini?"
"Teriakanmu bikin singa tidur bisa bangun! Aku sempat melompat ke bak belakang mobil ini."
"Oh... kalau tidak..."
Dua orang bandit tadi benar-benar tidak ada di situ. Mereka kabur entah ke mana. Bagaikan
hilang menyatu dengan angin saja. Pak Marfi membawa mobil itu ke luar dari lapangan.
Di tepi jalan ada telepon umum. Pak Marfi menelepon kantor polisi. Letnan Marcus tidak di
kantor. Tapi akan segera dihubungi, dan letnan itu pasti akan tiba secepatnya. Ternyata polisi
pun sudah melakukan pengejaran setelah mendapat laporan lewat telepon dari Fia.
"Kita harus ke rumah dulu. Fia pasti panik kalau tidak segera tahu kau selamat!" kata Pak Marfi.
Iwon setuju saja. Dia menarik napas panjang-panjang. Bila Pak Marfi tidak datang menolongnya,
saat ini dia tak bisa bernapas lagi.
Betapa ramainya rumah Fia. Banyak orang berkumpul di situ. Tress dan Pak Tohar sudah tiba
lebih dahulu. Ia dihubungi pula oleh Fia lewat telepon umum di seberang jalan.
"Woooon! Masya Allah, Woooon Kamu bikin gara-gara!" jerit Tress begitu melihat Iwon
selamat. "Bandit itu yang bikin gara-gara! Aku mana mau diculik! Jangan ngaco, kamu!" seru Iwon.
Orang-orang tertawa. Mereka ribut. Pak RT tak bisa mengusir warganya yang bergerombol
padat sekali. Rumah Fia bisa ambruk bila mereka tetap memadatinya.
Di situ ada pula Pak Salim, penjual burung di Jalan Pramuka. Rumah kontrakan Pak Salim
memang dekat dari situ. "Saya ngantar Pompies ke sini, Won," kata Pak Salim. "Dia mau ketemu Fia. Saya nggak tahu
kalau di sini ada penculikan, lho"
Iwon tertawa. Menertawakan logat bicara Pak Salim yang berat sekali. Logat itu mengingatkan
Iwon pada kampung halamannya di lereng utara Gunung Slamet. Pak Salim memang berasal
dari lereng gunung itu pula, tetapi di sisi selatan.
"Lah! Ngapah Mas Pompies ke sini, yak!" seru Iwon dengan logat Klender yang kental sekali.
Orang tertawa riuh mendengar ucapannya. Di Rawasari, logat itu bisa ditertawakan orang.
Biarpun berdekatan letaknya, logat Rawasari dari Klender jauh berbeda.
"Aku kenal orang di potret ini!" kata Pompies seraya menunjuk potret hasil jepretan Iwon di
harian Wartakota yang sengaja dibawanya.
"Ha" Kenal" Siapa namanya?" tanya lwon segera.
Tapi Pak Marfi memotong, "Ayo, kita ke kantor polisi saja! Semua ini kita laporkan pada Letnan
Marcus! Ayo, minggir! Minggir!"
Orang-orang menyibak begitu Pak Marfi melangkah. Iwon menyusul, juga yang lainnya, kecuali
ibu Fia dan Pak Salim. Tiba di kantor polisi, Letnan Marcus sudah menyongsong di depan pos piket. Ia mengenakan
baju batik, karena tidak sedang berdinas.
"Apa lagi, Won?" sapanya sambil tertawa. Iwon tertawa.
"Saya hampir diginikan!" katanya seraya menggosokkan telunjuk ke lehernya sendiri. "Ini garagara potret yang dimuat di koran itu, Pak!"
"Baguslah!" "Lho! Kok bagus?"
"Bagusnya kau tidak jadi digitukan!"
Letnan Marcus membawa mereka ke sebuah ruangan. Cukup berdesakan juga, karena ruangan
itu sempit. Di sinilah tempo hari Pak Marfi dijumpai anaknya dalam keadaan segar-bugar
setelah didor penjahat di Parung.
"Ini siapa?" tanya Letnan Marcus seraya memandangi Pompies.
"Saya bekas tahanan Polda Metro Jaya, Pak," kata Pompies berterus-terang.
"Terus kamu terlibat penculikan ini?"
Pompies tampak gentar ditanya seperti itu.
"Dia kenal orang dalam potret itu!" sela Iwon. "Itu Iho, Pak! Yang bernama Kiwo! Dia yang
nembak saya. Yang nembak Pak Marfi juga! Ah, sialan itu orang! Dia juga nembak Pak Akil!
Untungnya dia bukan penembak jitu!"
"Siapa bilang?" seru Letnan Marcus. "Dia bisa nembak Santo pada bagian-bagian yang
mematikan! Dia seorang penembak jitu, Won! Kalau Pak Marfi tidak keburu lari ke kebun karet,
Kiwo bisa menghabisinya dengan sekali tembak!"
"Tapi tiga korban penembakannya selamat!" "Karena beberapa sebab."
"Apa saja, Pak?"
"Tuhan masih menghendaki kalian hidup."
"Jangan main-main, dong! Polisi ngomongnya ngaco!" Iwon mencetus, tanpa sadar dia sedang
berhadapan dengan seorang perwira polisi.
"Apa saya ngomong salah, Won?"
"Ya, tidak. Tapi sebab lainnya apa?"
"Korban penembakan bisa menghindar ke kebun karet." Letnan Marcus menoleh pada Pak
Tohar. "Juga karena Pak Sopir ini cukup lihai untuk menghindarkan tembakan yang akan
menamatkan riwayatmu!"
Pak Tohar membantah, "Tidak! Saya tidak sempat menghindar. Saya terpana begitu melihat
pistol nongol dari Jeep CJ 7 itu!"
"Kalau begitu, sebabnya adalah karena penembak berada di mobil yang berlari kencang. Hal
semacam ini terjadi ketika Pak Akil ditembak."
"Mobilnya tidak kencang, Pak," Pak Tohar membantah lagi. "Saya sudah memberikan
keterangan tentang ini di Polda Metro Jaya. Bahwa ketika Pak Akil ditembak, mobilnya tidak
melaju kencang. Malah baru saja berhenti menurunkan Pak Akil! Saya pikir hanya Tuhan yang
tahu bagaimana Pak Akil tidak kena pelor!"
"Ini disuruh ngomong, dong!" seru Fia seraya menepuk pundak Pompies. "Dia jauh-jauh datang
kan mau ngomong!" "Oke. Bicaralah, Dik!" sahut Letnan Marcus. Sejak tadi ia berdiri saja, karena tidak kebagian
tempat duduk. Pompies tampak gugup. Tress memegangi bahu pemuda itu, agar Pompies tidak gugup lagi.
"Saya pernah ditahan di Polda Metro Jaya karena tertangkap basah sedang mencuri buku di
Balai Sidang," katanya. "Saya dendam pada Pak Akil yang menangkap saya dan menyerahkan
saya ke tangan polisi. Saya tidak bisa ikut kuliah karena saya ditahan. Saya akan balas dendam,
tapi Fia dan teman-temannya melarang tindakan saya. Fia tidak mau ngasih tahu alamat Pak
Akil. Saya menelepon PT Tantipala untuk menanyakan alamat itu. Saya pura-pura jadi
keponakan Pak Akil yang baru datang dari Jawa. Saya dapat alamat itu... "
"Ngomong cepetan, dong!" Tress menyentak. "Dari tadi muter-muter melulu!"
Pompies tampak gugup. "Saya minta minum," katanya.
Orang jadi tertawa karenanya.
"Jangan dibentak-bentak. Nanti jantungnya copot!" kata Letnan Marcus. Ia memerintahkan
anak buahnya untuk mengambil minuman. Hanya teh tanpa gula. Tapi itu lumayan bisa
menenangkan Pompies. "Saya... saya ke sana sama teman-teman," kata Pompies lagi. "Maaf, Pak. Habis saya dendam
sekali. Saya mau hajar itu Pak Akil. Tapi saya dicegah sama Kartubi. Saya ketemu Kartubi di
rumah Pak Akil. Dia lagi bertamu di situ."
"Kartubi siapa?" tanya Letnan Marcus.
"Dia bekas tetangga saya di Kayu Manis. Tapi sudah lama pindah ke Padalarang, Pak."
"Ngomong dia siapa, dong!" Tress menyentak karena tidak sabar menunggu akhir pembicaraan
Pompies. "Kartubi itu yang nembak Iwon. Saya kenal betul tampangnya. Demi Allah, saya kenal betul
tampangnya!" Tress tertawa. Pompies ini makin lama bicaranya makin berantakan saja. Tapi kemudian Tress
maklum. Pompies memang ketakutan karena dia bekas tahanan dan pernah berusaha
menganiaya Pak Akil. "Tress," Letnan Marcus memanggil, "ulangi sekali lagi keteranganmu tentang jalannya
penculikan itu." Tress dongkol. Tapi ia mau juga mengulangi keterangannya yang pernah diucapkannya kepada
polisi Polda Metro Jaya, "Saya mencari Pak Akil di ruang panitia bersama Fia. Fia ini akan
menyetorkan uang hasil penjualan karcis. Dia masih jualan karcis di halaman Balai Sidang
sampai pertunjukan dimulai. Fia sedang menghitung uang di depan Pak Akil dan dua orang
anggota panitia di ruang panitia. Tahu-tahu masuk ke situ dua orang bersenjata pistol. Mereka
mengenakan topi rajutan benang wol. Begitu masuk, mereka menurunkan topi sehingga
menjadi semacam topeng. Semua orang di situ ditodong. Tadinya Pak Akil ditodong dan diikat
juga. Dua orang anggota panitia ditutup matanya dengan topeng itu. Mata Pak Akil ditutup
dengan sapu tangannya sendiri. Rupanya perampok tidak menduga di situ ada saya dan Fia.
Mereka tidak menyediakan tali dan penutup mata untuk kami berdua. Lalu tiba-tiba Iwon
mengetuk pintu. Perampok menyangka yang mengetuk adalah anggota keamanan yang terdiri
dan polisi. Ada sebagian polisi berseragam, ada sebagian yang berpakaian preman, menyamar
sebagai penonton biasa. Saya tahu mereka polisi karena mereka sering berbicara menggunakan
walkie-talkie." "Kamu juga ngelantur!" Iwon memotong. "Ngomong yang singkat!"
Letnan Marcus memberi tanda dengan tangannya agar Iwon diam.
Tress melanjutkan, "Perampok memutuskan untuk membawa sandera dalam usaha melarikan
diri setelah semua uang panitia dirampok. Pak Akil disuruh menggandeng saya dan Fia. Mereka
berjalan di belakang seraya menodongkan pistol ke punggung Fia dan saya. Pistol itu di saku
jaket, jadi tidak kelihatan dari luar. Sudah, ya?"
"Teruskan," kata Letnan Marcus.
"Waktu kami dilarikan dengan mobil, kami tetap ditodong. Kami dipaksa harus menundukkan
kepala. Tidak boleh lihat kanan-kiri. Saya menjerit ketika salah seorang perampok menembak
mobil saya. Saya tahu, di mobil itu ada Iwon dan Pak Tohar. Saya menangis karena takut sekali.
Saya tidak tahu bagaimana Pak
Akil didorong ke luar dan ditembak."
"Fia tahu?" tanya Letnan Marcus.
"Saya tahu, Pak. Saya lihat Pak Akil didorong punggungnya. Dia jatuh terjengkang ke belakang,
lalu ditembak." "Ketika Pak Akil dijatuhkan, apa mobilnya berjalan kencang?"
"Pelan sekali, Pak. Waktu Pak Akil ditembak, mobilnya juga berjalan pelan-pelan."
Letnan Marcus mengangguk sekali, lalu bertepuk tangan juga sekali.
"Fia!" tiba-tiba Iwon berseru.
Semuanya kaget mendengar seruan itu.
"Siapa nama lengkap Pak Akil?" tanya Iwon. "Singkatannya di koran kok AB?"
"Akil Bunyamin," jawab Fia.
"Akil Bunyamin..." Iwon menggumam. "A... Abun" Singkatannya Abun! Kata Pak Marcus lewat
telepon kemarin, otak komplotan itu bernama Abun! Tapi kok katanya Bun Liong" Ah, bukan!
Pasti Bunyamin! Dia memerintahkan anak buahnya untuk membunuh saya. Dia! Pasti dia!
Hanya dia yang tahu saya bisa memotret! Sialan! Dia hanya pura-pura disandera dan ditembak!
Sandiwara!" "Kamu ngaco!" Fia memberengut. "Dari semula kamu memang nggak senang sama Pak Akil!
Kamu memfitnah!" "Tenang, Fia," sela Pak Marfi. "Ini bukan fitnah. Ini dugaan. Menurut Pompies tadi, Kartubi alias
Kiwo berada di rumah Pak Akil. Berarti Kiwo mengenal Pak Akil. Tapi selama ini Pak Akil tidak
mengakui hal itu kepada polisi. Bukankah dia patut dicurigai" Ketika perampok masuk ke ruang
panitia kan dia sempat melihat wajah Kiwo" Dia bahkan berada di mobil CJ 7 sebagai sandera.
Mustahil dia tidak mengenali Kiwo!"
"Bisa saja, Pak! Dia kan ketakutan! Aku juga nggak ingat lagi siapa-siapa yang jadi perampok
itu!" bantah Fia. "Tenang. Semuanya akan kami selesaikan sebaik-baiknya. Terima kasih atas bantuan semuanya.
Pompies!" "Ya, Pak!" Pompies menjawab dengan kaget.
"Kau memberi keterangan seperti tadi bukan karena rasa dendam, kan?"
"Demi Allah, Pak! Demi Allah!"
"Demi Allah bagaimana"' "Saya bilang apa adanya, demi Allah!" "Bagus. Terima kasih atas
keteranganmu. Tapi lain kali jangan suka main hakim sendiri, ya?"
"Saya beramai-ramai dengan teman saya, Pak."
"Ya, ya. Maksud saya, jangan main hajar begitu!" "Ya, Pak."
Fia menunduk dengan wajah sedih. Bagaimanapun juga ia tak bisa menerima kenyataan ini. Ia
tetap tidak percaya bahwa Pak Akil mengotaki komplotan itu!
9. Air Mata untuk Penjahat
INI memang terasa pahit. Tapi itulah kesudahannya. Fia gelisah menunggu di sebuah ruangan di
kantor Polda Metro Jaya. Ia berniat bertemu muka dengan Pak Akil. Letnan Marcus
mengantarkannya ke situ. "Kau harus tabah," kata Letnan Marcus. "Abun bisa saja baik terhadapmu. Tapi pada
kenyataannya dia penjahat besar. Dia memimpin komplotan penjahat yang cukup lihai. Kami
telah lama melacak jejak komplotan ini. Fia, korban mereka telah cukup banyak. Bayangkan
saja, dalam sekali gebrak di Balai Sidang, mereka merampok uang lebih dari dua puluh juta
rupiah... " Fia menunduk pilu. Air matanya mulai menetes di pipinya.
"Komplotan itu juga cukup kejam," Letnan Marcus berkata lagi. "Mereka tidak segan-segan
menghabisi nyawa sesama anggota yang dianggap berkhianat. Mereka juga tega membunuh
Iwon. Kalau Pak Marfi tidak segera bertindak, Iwon juga akan senasib dengan Santo. Ingatlah
itu, Fia. Jadikan ini sebagai pengalaman hidupmu. Agar kelak kau bisa berhati-hati terhadap
orang yang tampaknya baik kepadamu."
Pak Akil masuk ke ruangan itu dengan tangan diborgol. Dua orang anggota polisi mengawalnya.
Pak Akil kaget melihat Fia.
"Fia... " suaranya serak.
"Pak... saya tidak tahu akhirnya jadi begini...," suara Fia tak kalah serak.
Pak Akil mendesah. Ia menatap Fia lekat-lekat. Mungkin dia memang sayang benar pada Fia.
"Iwon mana, Fia?" tanya Pak Akil. "Saya tidak tahu, Pak. Saya sendirian ke sini."
"Aku ingin bertemu dengannya. Akan kukatakan padanya, aku tidak pernah memerintahkan
siapa pun untuk menganiaya orang. Apalagi Iwon dan ayahmu. Kiwo yang mengambil
keputusan untuk menembak ayahmu. Aku tidak tahu akan begitu jadinya."
"Bapak tidak apa-apa, kok. Bapak selamat."
"Oh." Pak Akil tampak terkejut. "Syukurlah... syukurlah... "
"Saya akan bilang pada Iwon tentang itu, Pak. Saya yakin Iwon akan memaafkan Pak Akil."
Sejenak suasana menjadi hening. Sebenarnya Fia sendiri tidak yakin apakah Iwon bisa
memaafkan Pak Akil. Sebab Iwon tetap menduga bahwa Pak Akil-lah yang memerintahkan dua
orang penculik untuk membunuhnya. Padahal Letnan Marcus bilang, kedua penjahat yang
ditangkap malam itu juga telah mengaku bahwa mereka melakukan penganiayaan itu atas
kemauan mereka sendiri. Mereka merasa khawatir akan nasib mereka setelah Kiwo, Kaput, dan
Bun Liong tertangkap. Mereka mengetahui alamat Iwon dari Pak Akil. Sedangkan Pak Akil
mengetahuinya dari Fia. Kedua penjahat itu menanyakan alamat Iwon kepada Pak Akil dengan
alasan akan mencuri film hasil pemotretan peristiwa perampokan.
Bukan untuk membunuh Iwon.
"Cukup?" seorang polisi pengawal Pak Akil bertanya sambil menarik lengan tahanan itu.
Tapi Pak Akil belum beranjak dari tempatnya. Ia menatap Fia seraya menarik napas panjang.
Wajahnya mencerminkan rasa penyesalan yang mendalam.
"Teruslah menulis," katanya. Suaranya semakin serak. "PT Tantipala akan tetap menerima
naskah-naskahmu meskipun aku sudah tidak bekerja di sana. Kalau novelmu terbit lagi,
kirimkan barang sebuah untukku."
"Saya akan selalu mengenang kebaikan Bapak. Saya akan selalu menjenguk Bapak. Terima kasih
atas semua kebaikan Bapak untuk saya... "
Pak Akil digiring kembali ke dalam selnya. Fia berjalan sambil menunduk. Ia lupa minta diri pada
polisi-polisi yang berada di ruangan itu. Letnan Marcus membimbingnya.
"Kuatkan hatimu. Kelak kau akan bisa menuliskan pengalamanmu dalam sebuah novel yang
tegang. Pembacamu akan puas karena ini merupakan pengalaman pribadi pengarangnya."
Tetapi Fia menggeleng. "Saya tidak akan menuliskan pengalaman ini" katanya dengan tegas, meskipun nada suaranya
tetap lunak. Itu memang keputusannya. Ia tak akan menulis barang sepotong pun pengalaman yang ini.
Permintaan Oom Didat pun ditolaknya. Oom Didat ingin Fia menulis pengalamannya untuk
koran Gegap dalam bentuk kisah nyata yang akan dimuat secara bersambung. Tetapi Fia tidak
menyambut tawaran itu. Tress pun tak mau menulisnya, karena ia ingin menghargai perasaan
Fia. Di pintu keluar, serombonga
n wartawan menyongsong Fia. Mereka memotret beberapa kali.
Namun Fia menundukkan wajahnya. Bahkan kedua tangannya menutupi wajah itu.
"Angkat sedikit wajahnya dong!" seru seorang wartawan wanita.
Fia makin menunduk. Iwon dan Tress yang baru tiba di tempat itu bersama Pak Tohar, segera
Tiga Sandera Trio Tifa Karya Bung Smas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyusup di antara kerumunan wartawan. Mereka berdiri menghalang-halangi pandangan
para wartawan. Fia disembunyikan di belakang tubuh mereka. Iwon mengangkat kedua
tangannya. "Kami keberatan dipotret dan diwawancarai!" serunya lantang.
Pak Tohar tidak tinggal diam. Ia mendorong-dorong tubuh wartawan yang tetap mengerumuni
Fia. "Minggir! Minggir!" serunya dengan galak. Ia merebut sebuah tustel. Lalu diangkatnya benda
itu. Siap dibanting ke lantai teraso. "Minggir semua atau saya hancurkan benda ini!"
Pemilik tustel menjerit. "Minggir atau saya hancurkan!" Pak Tohar mengancam lagi.
Para wartawan minggir. Salah seorang berseru, "Fia! Coba Anda bicara barang sepatah kata!"
"Ayo, bicaralah!" seru seorang wartawan wanita. "Bicara, Dik! Satu kalimat saja!"
"Penuhi permintaan mereka, Fia," bisik Letnan Marcus Hope. "Mereka juga pengagummu.
Ketika kau berada di pameran buku, mereka ikut memberitakan tentang suksesmu. Ayo, penuhi
permintaan mereka." Fia melangkah maju. Iwon dan Tress menyisih.
"Tapi jangan ada yang memotret!" seru Iwon dengan suara makin lantang saja.
Pak Tohar tetap mengangkat tustel yang dipegangnya tinggi-tinggi. Para wartawan setia kawan.
Mereka tidak memotret, karena khawatir tustel itu benar-benar dihancurkan. Padahal di
dalamnya sudah ada film yang sudah digunakan untuk memotret bahan berita.
"Diam! Jangan ribut! Fia mau bicara!" seru Tress.
Semuanya diam menunggu. Fia pun berbicara dengan nada yang lunak, diucapkan sangat lirih, "Saya tidak pernah
membenci Pak Akil... "
Hanya itu. Wartawan berseru riuh, meminta Fia berkata-kata lagi. Tapi Fia tak mau. Pak Tohar
menyerahkan tustel itu kepada pemiliknya. Dasar wartawan, pemilik tustel segera membidik
dan memotret" Yang lain pun ikut-ikutan.
Fia memasuki mobil Tress. Suara jepretan tustel masih terdengar mengiringi setiap gerakannya.
Seharusnya dia berbahagia dalam peristiwa istimewa ini. Tapi dia tetap berwajah sedih. Fia,
gadis kecil yang tabah dan periang ini, kenapa dia bermuram-durja" Bahkan kini dia menjadi
mudah menangis. Mobil melaju. Sampai di situ, Fia tak ingin menangis lagi.
TAMAT Jodoh Si Naga Langit 1 Pena Beracun The Moving Finger Karya Agatha Christie Kitab Mudjidjad 9