Pencarian

Pengemis Bintang Emas 1

Pendekar Rajawali Sakti 167 Pengemis Bintang Emas Bagian 1


" . 167. Pengemis Bintang Emas Bag. 1 - 3
31. Januar 2015 um 21:32
? Pendekar Rajawali Sakti
episode: Pengemis Bintang Emas
Oleh Teguh S. Penerbit Cintamedia, Jakarta
? 1 ? Udara pagi ini terasa cerah. Angin bertiup pelan, ditingkahi kicau burung yang terdengar merdu. Cahaya matahari belum lagi terasa, namun biasnya sudah terlihat nun jauh di ufuk timur. Kehidupan baru pun mulai nampak. Para penduduk Desa Arjawinangun mulai mengisinya dengan kegiatan sehari-hari, seiring waktu berjalan.
Tapi ketika hari mulai berangkat siang, mungkin segalanya akan berubah!
Dari kejauhan terdengar derap langkah kuda mendekati mulut Desa Arjawinangun ini. Mereka kelihatan santai dan tidak tergesa-gesa. Bahkan cenderung sembunyi-sembunyi. Tak seorang penduduk pun yang menyadari kehadiran mereka. Memang selama ini mereka merasa tidak ada perlunya waspada, karena tidak pernah terjadi hal-hal yang buruk selama beberapa puluh tahun. Kehadiran mereka dianggap sesuatu yang wajar, karena desa ini memang sering dilalui para pedagang maupun orang-orang persilatan.
"Heaaa...!"
Begitu berada di tengah desa, para penunggang kuda itu berteriak langsung menggebah kudanya, dan menyebar ke segala arah. Lalu tahu-tahu saja, ada rumah terbakar. Sementara penghuninya kalang kabut berteriak-teriak ketakutan begitu keluar dari rumahnya yang terbakar.
Para penunggang kuda langsung berlompatan turun, seraya menghunus senjata tajam. Begitu ada penduduk yang keluar rumah, mereka langsung bergerak cepat menyerang disertai sabetan senjata.
"Aaa...!"
Seorang laki-laki berusia lanjut langsung memekik ketika lehernya ditebas golok. Sementara, dua wanita yang berada di dekatnya menjerit ketakutan. Dua orang laki-laki berwajah kasar telah menelikung mereka. Tak seorang pun yang berani menolong, karena rumah tetangga mereka juga mengalami hal yang sama.
"Aaa...!"
"Ouw, lepaskan! Lepaskaaan...! Ayah, tolooong...!"
Jerit kematian terdengar membaur dengan teriak ketakutan penduduk desa ini. Yang lelaki dibunuh. Sementara perawan dan janda muda dipermainkan sesuka hati. Bahkan tak peduli kalau wanita yang dipermainkan telah bersuami. Yang berani menolak dan berusaha melarikan diri tidak segan-segan dibunuh.
Kekejaman kawanan perampok memang sudah kelewat batas. Setelah selesai meluluhlantakkan Desa Arjawinangun ini berikut penghuninya, maka mereka segera pergi begitu saja. Meninggalkan tangis pilu dan rutuk kegeraman para korban.
? *** "Kawanan perampok datang! Ada perampok...!"
Orang-orang Desa Arjawinangun yang berada di sawah ladangnya mendadak terkejut, ketika seorang berlari kencang sambil berteriak-teriak dengan wajah pucat. Mereka langsung memandang ke satu arah, di mana seorang pemuda berusia lima belas tahun dengan tergopoh-gopoh dengan napas tersengal berusaha menghampiri.
"Siapa, Man?" tanya seorang laki-laki setengah baya, langsung menghadang pemuda tanggung itu.
"Perampok, Ki! Perampok...," sahut pemuda itu dengan suara menggigil.
Seketika mereka yang bekerja berlari mendekati pemuda tanggung bernama Saman ini.
"Apa katamu, Man"!" desak yang bicara pertama kali padanya menegaskan pendengarannya.
"Ada perampok, Ki Gandoro! Lekas kita ke sana! Mereka bukan saja merampok, tapi juga membunuh serta memperkosa wanita-wanita kita," lapor Saman.
"Rarasati...!" desis laki-laki setengah baya bernama Gandoro ketika mendengar penuturan itu.
Agaknya bukan hanya Ki Gandoro saja yang terkesiap, tapi juga yang lainnya. Mereka yang meninggalkan istri, kekasih, atau adik mulai cemas.
Maka seperti diberi aba-aba, serentak orang-orang itu menyambar cangkul dan merapikan letak golok di pinggang, kemudian berlari-lari kencang menuju desanya.
Dalam perjalanan, mereka berteriak-teriak, seperti menyumpahi para perampok. Agaknya mereka juga siap untuk adu nyawa, bila memang harus terjadi. Senjata-senjata mereka telah teracung-acung di atas kepala, sambil berlarian memasuki desa.
Namun setiba di desa orang-orang ini hanya menemukan rumah-rumah yang sebagian telah roboh dan terbakar. Mayat-mayat bergelimpangan. Anak-anak kecil menangis ketakutan. Sementara yang membuat mereka pilu bercampur geram adalah, ketika melihat para wanita yang sendu dan terus terisak dengan wajah kusut.
"Rarasati...!" teriak Ki Gandoro ketika anak gadisnya duduk termenung di sudut ruangan depan.
Rambut gadis cantik ini kusut. Kedua telapak tangannya mendekap wajahnya yang sembab. Masih terdengar isak tangisnya. Halus.
"Ayah...!"
Gadis itu menoleh, lantas cepat bangkit. Dipeluknya laki-laki setengah baya itu sekuat-kuatnya seperti hendak menumpahkan isi hatinya yang sesak oleh kedukaan.
"Tenanglah, Anakku. Tenang...," hibur Ki Gandoro seraya mengelus-elus riak rambut putri tunggalnya.
"Ayah, aku..., aku...."
"Sudahlah.... Ayah mengerti. Ayah tahu peristiwanya...," tukas Ki Gandoro berusaha menenangkan perasaan putrinya.
Rarasati tidak kuasa menahan sesak di dadanya, dan kembali menangis terisak-isak. Entah berapa lama Ki Gandoro berusaha membujuk. Barulah tangis putrinya itu mereda.
Laki-laki yang telah ditinggal mati istrinya lima tahun lalu itu tidak kuasa menahan geram di hatinya. Sebelah tangannya terkepal. Bias wajahnya tampak kelam. Kalau saja saat ini jahanam itu berada di depan hidungnya mungkin akan dicincang-cincangnya!
"Ayah.... Aku..., aku...."
Ki Gandoro seperti terjaga. Sementara Rarasati melepaskan pelukan. Wajahnya tertunduk. Dan suaranya berhenti sampai di situ.
"Apa yang ingin kau katakan. Anakku...?" tanya Ki Gandoro.
"Diriku telah kotor, Ayah! Aku telah ternoda dan membawa aib bagi keluarga kita...."
Walaupun hal itu sudah diduga, namun tak urung Ki Gandoro jadi tercekat. Dan rasanya seketika hatinya jadi mengkelap, penuh rasa dendam pada perampok yang telah menodai putrinya. Namun demikian dia berusaha menguatkan hatinya. Disadari tak akan ada yang dapat mengembalikan Rarasati sebagai gadis seutuhnya.
"Anakku, kau tidak sendiri. Semua kawanmu telah mengalami kekejian perampok itu. Tidak ada yang bisa kita lakukan saat ini, selain bersabar dan memohon kepada Yang Maha Kuasa agar diberi kekuatan menghadapi cobaan ini...," hibur Ki Gandoro.
"Tapi, aku malu pada Kang Dirja...," keluh Rarasati, masih menyembunyikan wajahnya dengan menunduk. Sehingga rambutnya yang panjang laksana tirai hitam, menghalangi pandangan ayahnya.
Laki-laki ini menarik napas panjang. Dia tidak bisa bicara lagi untuk sesaat. Entah, bagaimana caranya menghadapi calon besannya nanti. Padahal menurut rencana, orangtua Dirja akan datang kurang dari seminggu ini. Apa yang harus dikatakan kepada mereka" Tapi yang terpenting adalah, apakah Dirja mau menerima Rarasati dalam keadaan seperti sekarang"
Rarasati kembali terisak. Dan ayahnya terpaksa membujuk kembali.
"Dia tidak akan mau menerima diriku! Aku telah ternoda...!" sentak Rarasati.
"Bila kalian saling mencintai, maka persoalan apa pun tidak akan bisa menghalangi. Apalagi kejadian ini bukan kehendak kita. Dan semua orang desa menjadi saksi atas kejadian ini. Tidak ada alasan untuk menganggap dirimu nista," tandas Ki Gandoro.
Rarasati terdiam. Namun isaknya masih terdengar juga meski lirih. Kata-kata ayahnya mungkin saja benar. Tapi, hatinya tidak bisa menyetujui. Tidak semudah itu. Apalagi dia seorang wanita, yang pendiam. Tentu saja semua kejadian ini sulit diceritakan kepada kekasihnya. Dan akhirnya, tentu saja tidak semudah apa yang dinasihatkan ayahnya tadi. Tapi Rarasati tidak bisa membantah. Dan saat ini, dia sama sekali tidak tahu apa yang harus dikatakan. Terlebih lagi, apa yang harus dilakukan.
? *** Penduduk Desa Arjawinangun seperti mati. Semenjak terjadinya perampokan, di desa ini seperti tidak ada kegiatan. Semua masih berdiam diri di rumah masing-masing. Meski satu atau dua orang masih berani keluar dan mengerjakan sawah ladang, tapi umumnya tidak memiliki anak atau saudara wanita. Sehingga tidak begitu merasakan perihnya aib yang diderita para tetangganya.
Ki Gandoro juga merasa ikut susah. Soalnya, dalam dua hari ini Rarasati lebih banyak menyendiri di kamarnya. Kalau tidak didesak, mungkin gadis itu tak akan makan. Meski begitu, makannya sedikit sekali. Sehingga bila diperhatikan, tubuhnya terlihat mulai kurus. Padahal esok hari calon mertuanya akan datang dari desa tetangga yang jaraknya cukup jauh dari desa ini.
"Fuuuh...!"
Ki Gandoro menghembuskan asap rokoknya sambil duduk-duduk di ruang beranda rumahnya. Terasa panjang, bercampur beban yang menghimpit dadanya. Mukanya kusut dan keruh. Dahinya kelihatan berkerut. Udara malam yang sejuk dan bintang-bintang di langit yang berkerlap-kerlip, seperti tidak mampu membuat cerah hatinya.
"Belum tidur, Ki...?"
Ki Gandoro langsung menoleh begitu terdengar sapaan seorang tetangganya yang kebetulan lewat di depan rumahnya. Cepat kemurungannya dihilangkan, lalu tersenyum ramah.
"Eh! Kau, Guminta! Dari mana?" tanya Ki Gandoro.
Laki-laki berusia tiga puluh tahun yang dipanggil Guminta melangkah menghampiri, lalu duduk di sebelah Ki Gandoro ini.
"Jalan-jalan saja, Ki...," sahut Guminta, serak.
"Oh, ya. Maafkan aku. Sejak peristiwa perampokan di desa kita, aku tidak keluar rumah lagi. Apalagi untuk berkunjung ke rumahmu. Hm.... Apa keluargamu baik-baik saja?"
Guminta tak menyahut. Mukanya berkerut. Kusut. Suaranya tercekat di kerongkongan. Dia tidak tahu, apa yang harus dikatakan untuk menjawab pertanyaan Ki Gandoro.
Ki Gandoro mengangguk pelan, seperti bisa menduga apa yang tengah dipikirkan pemuda ini.
Guminta punya dua orang saudara perempuan. Satu berusia di atasnya, dan seorang lagi adiknya. Mereka pasti menjadi korban kebiadaban kawanan perampok itu juga.
"Saudaramu pun menjadi korban...?" pancing Ki Gandoro, halus.
"Ya...," sahut Guminta pendek.
Laki-laki setengah baya ini mendesah. Mukanya terlihat semakin geram. Sementara kedua tangannya terkepal.
"Keparat terkutuk!" desis Ki Gandoro.
Guminta terdiam. Dia tak ikut-ikutan meluapkan amarahnya seperti orang tua ini.
"Aku bingung, Ki. Mereka selalu menangis. Dan kedua orangtuaku terus mendesak agak aku membalaskan dendam kedua saudaraku itu. Aku harus membalas kepada siapa" Para perampok itu" Itu sama saja bunuh diri...," keluh Guminta.
"Memang sulit. Jumlah mereka banyak dan berkepandaian tinggi. Percuma saja kita berusaha membalaskan dendam. Bisa-bisa kita yang akan mati di tangan mereka...."
Mereka lantas terdiam untuk beberapa saat.
"Si Rarasati bagaimana, Ki?" tanya Guminta, memecah kebisuan.
"Sama saja seperti yang lainnya...," sahut Ki Gandoro, lesu.
"Oh, maafkan aku, Ki. Aku sama sekali tidak tahu. Aku juga lama tak keluar rumah."
"Kasihan dia. Jadi, bagaimana dengan calon mertuanya yang akan berkunjung ke sini?"
"Entahlah. Itu yang menjadi pikiranku. Apalagi Rarasati. Dia amat terpukul."
"Bagaimana kira-kira tanggapan calon mertuanya, Ki" Terlebih lagi calon suaminya...?"
"Entahlah...," desah Ki Gandoro, seperti enggan menjawab pertanyaan itu.
Laki-laki setengah baya ini lebih baik memilih diam. Dan Guminta agaknya tahu diri akan perasaan orang, sehingga tidak lagi bertanya-tanya soal Rarasati serta calon suami dan mertua putri Ki Gandoro ini. Dicobanya untuk mengalihkan perhatian dengan percakapan lain.
"Sebentar lagi panen. Sawahmu termasuk luas, hasilnya pun bagus. Apa rencanamu, Ki?"
Orang tua itu tersenyum hambar seraya menggeleng kecil.
"Entahlah...."
Guminta terdiam lagi. Disadari kalau orang tua ini tengah kusut pikiran serta hatinya. Sama seperti dirinya saat ini.
Pada saat itu, dua penduduk desa lain yang bertugas jaga malam melewati depan rumah Ki Gandoro.
"Belum tidur, Ki...?" sapa salah seorang.
"Belum. Kalian akan berjaga sampai pagi?"
"Iya. Kalau tidak begini, kita akan kecolongan lagi...."
"Syukurlah. Hendaknya kegiatan ronda dilakukan sejak dulu."
"Nasi telah jadi bubur, Ki. Mudah-mudahan peristiwa buruk ini tidak terulang lagi."
"Mudah-mudahan...."
"Eh! Ngomong-ngomong, si Rarasati tadi mau ke mana, Ki?"
"Apa maksudmu, Ragil?"
"Tadi kami melihatnya menuju arah timur. Kelihatannya terburu-buru sekali...," sahut peronda bernama Ragil.
"Ah, masa?"! Dia ada di dalam, kok!"
Ki Gandoro tampak kaget, dan buru-buru ke dalam. Begitu berada di dalam, tidak dijumpainya Rarasati di dalam kamar. Jendela kamarnya pun terbuka lebar. Wajah orang tua itu mulai resah. Apalagi ketika menemukan sepucuk surat yang ditulis di permukaan meja.
? Ayah, Rarasati pergi dari rumah. Tidak usah dicari-cari. Sebab jika masih di sini, aku hanya akan menyusahkan Ayah saja. Rarasati membawa aib bagi keluarga.
? Salam hormat, ?????????????????????????????????????????????????????? Rarasati.
? "Rarasati...!" desis orang tua itu kaget.
Buru-buru Ki Gandoro keluar dan menemui Guminta. Kedua peronda tadi agaknya tahu gelagat, dan masih menunggu di depan.
"Bagaimana, Ki?" tanya salah seorang peronda yang dikenal bernama Balung.
"Rarasati tidak ada di kamarnya! Tunjukkan padaku, di mana kalian tadi bertemu dengannya!" sahut Ki Gandoro dengan wajah bingung.
"Di sebelah sana, Ki!" sahut Ragil.
"Ayo, ikut Ragil. Dan, tunjukkan padaku!" sentak Ki Gandoro seraya menarik lengan salah seorang peronda.
Sementara Balung mau tidak mau juga mengikuti. Begitu juga Guminta.
? *** "Di sini terakhir kami melihatnya!" tunjuk Ragil, begitu mereka telah tiba di tempat terakhir dua peronda bertemu Rarasati.
"Rarasati...! Rarasatiii!" teriak laki-laki setengah baya ini.
Yang lain ikut berteriak mencari gadis itu. Namun tidak ada sahutan, selain angin malam yang bertiup lembut.
"Mungkin ke sana, Ki!" tunjuk Balung.
Ki Gandoro mengejar ke arah yang ditunjuk Balung. Jalan menuju ke kaki gunung ini harus melewati persawahan. Kalau benar seperti yang dikatakan Balung, kalau Rarasati menuju ke sana, apa yang akan dilakukannya" Ki Gandoro membatin. Namun dia tidak peduli, dan terus berlari kencang mencari-cari putrinya sambil berteriak-teriak.
"Rarasati..! Rarasatiii...!"
Tapi sampai jauh malam, gadis itu tidak kunjung ditemui. Ki Gandoro mulai putus asa. Seluruh persawahan ini telah dikelilinginya, dibantu ketiga orang tadi. Hasilnya tetap nihil. Rarasati raib seperti ditelan bumi.
"Ki, lihat!" seru Guminta seraya menunjukkan sesuatu.
"Ada apa"!"
Orang tua itu melompat menghampiri Guminta. Langsung disambarnya sobekan kain di tangan pemuda itu.
"Ini sobekan kain Rarasati...!" desis Ki Gandoro dengan wajah tegang.
"Kudapatkan di sini. Melihat arah jalan ini, dia pasti menuju...."
"Jurang Mangu"!" tukas Ki Gandoro dengan wajah semakin kaget. "Tidak! Anakku tidak mungkin bunuh diri. Tidaaak...!"
Laki-laki setengah baya ini segera melompat dan menyusuri jalan yang berada di dekatnya. Sementara yang lain berusaha menahan dengan berteriak-teriak memanggil serta berlari menyusulnya.
"Ki Gandoro! Ki Gandoro...! Kembalilah. Sia-sia kita mencarinya di sana!"
Namun laki-laki itu tidak peduli. Dan dia terus saja berlari sambil menyebut-nyebut nama putrinya.
"Rarasati! Rarasatiii...!"
*** ? 2 ? Sementara itu tidak jauh di bibir Jurang Mangu tampak berdiri sesosok tubuh ramping dengan kepala menengadah ke langit. Kedua tubuhnya tampak turun naik perlahan-lahan, seperti menyiratkan debaran jantungnya yang berdebaran lemas. Ada kegelisahan terpantul pada wajahnya, tatkala cahaya rembulan yang suram menyapu sekujur tubuhnya. Dan isak tangis halus menambah keyakinan siapa pun, bahwa gadis ini tengah gelisah.
"Ibu, maafkan anakmu. Aku tidak kuasa menanggung aib yang begitu berat. Jangan marah, ibu. Aku akan menyusulmu di negeri sana untuk bersujud memohon ampun...," ucap sosok ramping yang ternyata seorang gadis ini. Suaranya sendu dan lirih.
Kemudian gadis itu menundukkan kepalanya. Kedua telapak tangannya langsung membekap wajahnya. Dan seketika tangisnya kian memuncak.
"Ayah, maafkan Rarasati. Jangan sesali apa yang akan Rarasati lakukan saat ini. Tidak ada pilihan lain bagi Rarasati...," lanjut gadis yang tak lain Rarasati dengan suara lebih lirih ketika tangisnya sudah reda. "Selamat tinggal...."
Tanpa ragu-ragu gadis yang tak lain Rarasati menceburkan diri ke jurang yang saat ini kelihatan gelap gulita.
"Rarasatiii...!"
Sementara pada saat yang bersamaan terdengar jeritan panjang dari arah belakang, memanggil nama gadis itu.
Namun, nasi telah menjadi bubur. Gadis malang itu agaknya tidak tertolong lagi. Tubuhnya seperti tersedot deras ke bawah. Dan suara teriakan tadi semakin keras saja, ketika sesosok tubuh telah berdiri di bibir jurang dengan wajah sedikit melongok ke bawah.
"Rarasatiii...! Rarasatiii...!" teriak sosok yang tak lain Ki Gandoro. Sementara dua sosok tubuh lain telah berdiri dua tombak di belakang Ki Gandoro. Mereka tak lain Balung dan Ragil, dua peronda yang mengikutinya. Perlahan-lahan, mereka mendekati Ki Gandoro.
"Ki Gandoro! Sadar! Sadar, Ki! Jangan berbuat nekat!" kata Ragil sambil memegangi kedua kaki dan tangan Ki Gandoro. Tindakannya diikuti Balung.
Pada saat itu, Guminta yang tadi tertinggal telah juga sampai di tempat ini.
"Lepaskan aku! Lepaskan! Biar kususul anakku ke sana. Lepaskan...!" sentak laki-laki setengah baya ini.
"Astaga! Sadar, Ki. Sadar! Belum tentu yang kau lihat itu si Rarasati...."
"Diam kau, Ragil! Apa kau kira aku tidak mengenali anakku sendiri" Dia Rarasati! Dan aku tahu itu!" bentak Ki Gandoro.
"Tapi, Ki...."
"Tutup mulutmu!" semprot Ki Gandoro.
Ragil terkesiap dan tidak berani bicara lagi. Dia sendiri sebenarnya memang yakin kalau sesosok tubuh yang tadi terlihat adalah si Rarasati. Apalagi, Ki Gandoro sebagai ayahnya. Tentu dia merasa lebih yakin lagi. Kalaupun tadi meragukan, karena sekadar ingin membujuk orang tua itu agar jangan kalap. Tapi agaknya niatnya itu tidak tersampaikan. Ki Gandoro tetap kalap, dan berusaha melepaskan diri dari cekalan kedua peronda itu.
"Keparat kalian! Lepaskan aku! Lepaskan akuuu...!" teriak Ki Gandoro seraya memaki dan meronta-ronta sekuat tenaga untuk melepaskan diri.
"Guminta! Kenapa diam saja"! Bantu kami! He, malah bengong!" teriak Ragil, ketika menoleh ke belakang Guminta telah berada di situ tanpa berbuat apa-apa.
"Eh, apa" Oh, iya! Maaf...!" kata Guminta, tergagap.
"Kurang ajar kau, Guminta! Kupatahkan batang lehermu! Lepaskan aku! Lepaskaaan...!" teriak Ki Gandoro, ketika Guminta ikut-ikutan memegangi tubuhnya.
"Sadarlah, Ki. Kalaupun benar gadis tadi si Rarasati, kita tidak harus menyusulnya ke sana. Bunuh diri itu tidak baik. Dan seharusnya kau sadar dan jangan ikut-ikutan, Ki," ujar Balung.
"Kau hanya bisa bicara. Balung. Apakah kau tahu, apa yang kurasakan?"
"Semua orang di desa ini juga dilanda kesedihan, Ki. Tentu saja kami bisa merasakan kepedihan yang kau rasakan. Apalagi menyaksikan putri sendiri bunuh diri. Tentu saja kami rasakan kepedihanmu. Tapi jalan keluarnya tidak harus ikut-ikutan bunuh diri. Maka sadarlah, Ki. Masih banyak yang harus dikerjakan, Ki," ujar Balung lagi.
"Rarasati, Anakku. Oh, Rarasati...," keluh Ki Gandoro.
Suara laki-laki setengah baya itu lemah. Begitu juga perlawanannya. Dia duduk dengan lesu sambil memandang bibir jurang dengan tatapan kosong.
"Kenapa kau lakukan ini, Rarasati" Bukankah aku bisa menerima keadaanmu yang seperti ini...?" desah Ki Gandoro kembali mengeluh.
Kini suasana jadi hening, ketika Ki Gandoro tidak bersuara lagi. Mereka yang berada di situ ikut terhanyut merasakan kepedihan yang dialaminya.
"Sudahlah, Ki. Besok akan kita cari mayat Rarasati di bawah jurang sana. Lalu, kita kuburkan secara layak...," bujuk Balung lagi.
Ki Gandoro hanya diam saja, namun tak lama bangkit berdiri dan berbalik. Kepalanya menoleh ke arah jurang sebelum melangkah mengikuti ketiga tetangganya.
"Eh, mau ke mana lagi?" tanya Guminta ketika orang tua ini kembali berbalik.
"Tidak apa-apa. Aku hanya ingin memandang bibir jurang ini sekali lagi...," desah Ki Gandoro lemah.
Kedua peronda itu mengikuti. Namun mereka tidak melepaskan cekalan pada kedua tangan Ki Gandoro. Dan orang tua ini pun agaknya maklum. Atau mungkin tidak terlalu memikirkan hal itu. Tatapannya kosong tanpa arti. Untuk sesaat dia mematung, tidak mempedulikan keadaan sekelilingnya.
"Ayo, Ki. Kita pulang sekarang...," ajak Guminta.
Ki Gandoro tidak menyahut. Namun tidak menolak ketika dipapah untuk mengikuti langkah mereka satu persatu meninggalkan tempat ini.
? *** Jurang Mangu bukanlah tempat yang asing bagi penduduk Desa Arjawinangun. Dasarnya cukup dalam, dipenuhi batu-batu besar. Dan tentu saja rasanya orang tak akan selamat bila terjungkal ke dalamnya. Dan anggapan seperti itu agaknya yang membayangi benak Ki Gandoro dan tiga orang yang bersamanya. Sementara buat Rarasati sendiri, benarkah tubuhnya telah luluh lantak terhempas di dasar jurang"
Kini gadis itu merasa sudah berada di akherat. Matanya mengerjap-ngerjap, beredar ke sekeliling dengan pandangan heran. Apalagi ketika menyadari kalau tubuhnya masih utuh. Juga kedua tangannya. Lalu, kedua kakinya.
"Oh! Di manakah aku?" desah Rarasati pendek, seraya bangkit. Kembali matanya memperhatikan keadaan sekeliling. Tak ada apa-apa di sini. Hanya sebuah ruangan seperti tak pernah terawat. Di samping dipan yang ditidurinya, hanya ada sebuah bangku. Tepat di atas dipannya adalah sebuah jendela. Sementara ruangan ini sendiri hanya ditutupi dinding papan.
"O, bagus! Kau telah siuman rupanya?"
Tiba-tiba terdengar sebuah suara dari ambang pintu ruangan ini. Rarasati tersentak kaget, menyangka kalau yang datang malaikat. Tapi ketika menoleh ternyata seorang laki-laki tua berpakaian gembel yang langsung menghampiri dan duduk di bangku sisi dipannya.
"Siapa kau?" tanya Rarasati, merasa aneh.
Tidak terasa gadis itu merapatkan tubuhnya ke dinding. Wajahnya kelihatan tegang, dan bias ketakutan menyapu sekujur tubuhnya yang mulai bergetar.
"Di mana ini" Apakah aku berada di neraka?" tanya Rarasati, masih belum yakin.
"Gadis tolol! Apakah kau merasa telah berada di neraka"!" tukas orang tua berpakaian gembel itu dengan suara sedikit keras.
Rarasati termangu. Dipandanginya orang tua itu agak lama. Rambutnya yang panjang dan sedikit beruban tampak kusut masai seperti tak pernah dirawat. Begitu juga jenggot dan kumisnya. Beberapa buah giginya yang tadi sekilas sempat terlihat, tumbuh jarang-jarang. Bahkan sebagian telah gerepes, hitam dan menakutkan.
"Lalu, siapa kau sebenarnya?" tanya Rarasati.
"Aku Ki Jembrana, Ketua Partai Pengemis Bintang Emas," sahut laki-laki tua ini, memperkenalkan diri.
"Ki Jembrana..." Jadi, kau bukan malaikat..?"
Orang tua itu terkekeh. Sehingga barisan giginya yang buruk itu terlihat, membuat gadis ini bergidik ngeri.
"Dasar anak tolol! Apa kau pernah ke akherat, sehingga tahu betul rupa malaikat, he"!" kata Ki Jembrana, dengan suara keras.
"Maaf...."
"Tidak perlu! Katakan padaku, kenapa kau mencoba bunuh diri?"
Rarasati terdiam. Dia berusaha meyakinkan diri, kalau saat ini berada di sebuah ruangan. Dari sini terdengar suara ribut-ribut orang yang tengah bercakap-cakap di luar sana.
"Kau telah menolongku...?"
"Kalau tidak, kau tentu tidak berada di sini!"
Gadis itu melenguh pendek. Matanya memandang perutnya sekilas, lalu mengalihkannya ke tempat lain.
"Aku sempat memeriksa nadimu, dan... ternyata kau sedang hamil muda. Kira-kira sebulan," jelas Ki Jembrana.
"Ohhh...!" desis Rarasati seraya menelungkupkan mukanya ke permukaan dipan tempatnya tadi berbaring.
Tanpa dapat dicegah lagi, Rarasati mulai memperdengarkan isak tangisnya yang pelan. Lalu, berubah keras dengan cepat. Kedua kepalan tangannya memukul-mukul permukaan dipan.
"Seharusnya aku mati! Aku harus mati! Tidak ada gunanya hidup...!" teriak Rarasati.
Ketua Partai Pengemis Bintang Emas itu jadi bingung sendiri. Kepalanya yang tak gatal digaruk-garuk melihat kelakuan gadis itu. Dia akan mendekat dan bermaksud membujuk. Tapi saat itu juga gadis ini bangkit dan memandang sinis padanya.
"Kenapa kau selamatkan aku"! Kenapa tidak kau biarkan saja aku mati"! Biarkan aku mati! Biarkan aku matiii...!" dengus Rarasati.
"Gadis tolol! Apa kau kira mati akan menyelesaikan masalahmu, he"! Kau akan lebih sengsara di neraka sana. Malaikat-malaikat akan menyiksamu dengan kejam. Mati bunuh diri, teramat buruk!" bentak ketua pengemis ini.
Rarasati terdiam. Dan isak tangisnya perlahan-lahan mereda. Gadis itu kembali menyembunyikan wajahnya di permukaan dipan dengan kedua tangan menelungkupinya.
"Tidak ada gunanya kau mati sekarang. Sebab bila waktunya tiba, maka kau akan mati dengan sendirinya Dan saat itu, tidak ada seorang pun yang bisa menolongmu. Kalaupun tadi aku berhasil menolongmu, mungkin karena telah ditakdirkan kalau kematianmu belum saatnya," oceh Ki Jembrana.
Rarasati masih terdiam, tidak menyahut. Dia bangkit perlahan-lahan, namun tidak juga memandang pengemis tua itu. Tatapannya kosong ke depan. Untuk sesaat baru disadari kalau beberapa pasang mata mengintip dari balik jendela dan lubang-lubang dinding papan ruangan ini yang telah banyak yang bolong. Namun sebelum dia berbuat sesuatu, tiba-tiba....
? *** Ki Jembrana bergerak gesit. Disambarnya sebatang tongkat yang berada di dekatnya, lalu dihantamnya dinding ruangan yang terbuat dari papan.
"Heaaa...!"
Pletak! Tak! "Adaouwww...!"
Terdengar suara gaduh dari luar bercampur teriakan kesakitan.
"Ke sini kalian semua!" teriak Ki Jembrana.
"Baik, Ki...," sahut suara di luar, terdengar bergetar ketakutan.
Tidak lama, muncul tujuh pengemis bertubuh kurus dari ambang pintu. Mereka langsung menghadap orang tua ini dengan langkah terseret-seret sambil menundukkan kepala. Sinar ketakutan tampak memancar di wajah mereka.
"Apa yang kalian intip, he"! Kalian kira aku memperkosa gadis ini"!" bentak Ki Jembrana geram, ketika tujuh pengemis ini telah berdiri berjajar.
"Tidak, Ki...," sahut salah seorang.
"Mana berani kami menuduh begitu...!" timpal yang lain.
"Iya, Ki. Mana berani kami berbuat seperti itu...," sahut seorang lagi.
"Terkutuk! Kalian kira semudah itu mengelabuiku"!" sentak Ki Jembrana.
Bersamaan dengan itu, tongkat di tangan Ketua Partai Pengemis Bintang Emas bergerak cepat ke batok kepala mereka.
Tak! Tok! Pletak!
"Adouw!"
"Ampun, Ki! Ampuuun...!"
Ketujuh pengemis itu berteriak kesakitan, berusaha melindungi kepala masing-masing dengan tangan.
"Pergi sana! Sekali lagi berbuat begitu, akan kupecahkan batok kepala kalian!" bentak Ki Jembrana.
"Ampun, Ki! Kami tidak akan berbuat seperti itu lagi...!" ucap ketujuh pengemis ini serentak, langsung meninggalkan ruangan ini.
Ki Jembrana masih menunjukkan muka masam setelah ketujuh orang tadi tidak kelihatan lagi.
"Brengsek!" umpat laki-laki berpakaian gembel ini.
Kemudian Ki Jembrana memalingkan muka ke arah Rarasati. Tampak gadis itu tengah berdiri di dekat pinggiran dipan sambil memandang aneh.
"Kenapa"! Kau masih ingin bunuh diri"!" bentak Ki Jembrana, garang.
Rarasati terkesiap, tidak mengerti sifat orang-orang tua ini. Kelihatannya dia baik. Tapi, bicaranya kasar dan sedikit keras.
"Untuk apa kau menolongku...?" tanya Rarasati.
"Lalu kau sendiri, kenapa mau bunuh diri" Apa tidak sayang suami dan calon anakmu?" Ki Jembrana malah balik bertanya.
"Kalau aku punya suami, tidak mungkin nekat bunuh diri...."
"Hm.... Jadi, kau perempuan nakal?" duga Ki Jembrana, seenaknya.
Mendengar hal ini wajah Rarasati seketika merah bercampur amarah. Dipandanginya orang tua itu lekat-lekat dengan perasaan geram.
"Aku tidak perlu bunuh diri kalau memang perempuan nakal!" dengus gadis itu garang.
"Lalu, apa?" tanya orang tua itu enteng.
Sama sekali tidak terlihat perubahan wajah Ki Jembrana melihat kemarahan gadis itu.
"Untuk apa kau ingin tahu...?"
"Supaya aku tahu, siapa orang yang kutolong...."


Pendekar Rajawali Sakti 167 Pengemis Bintang Emas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku tidak minta pertolonganmu!" tukas Rarasati sinis.
"Kalau begitu, anggap saja aku menolong janin yang sedang...."
"Kau tidak berhak, sebab dia milikku...!" potong gadis itu cepat.
Tapi seperti sadar akan kata-katanya, Rarasati jadi termenung. Dan tanpa sadar matanya melirik perut, lalu mengusap-usapnya perlahan-lahan.
"Kalau memang dia milikmu, lalu kenapa tega hendak membunuhnya?" pancing Ki Jembrana.
Rarasati terdiam tak menjawab. Diliriknya orang tua itu sekilas, lalu beralih ke arah lain.
"Katakanlah, apa masalahmu...?" tanya Ki Jembrana.
Kali ini suara orang tua itu terdengar lunak dan bersahabat. Rarasati menoleh. Tampak Ki Jembrana duduk tidak jauh di dekatnya.
"Kalau dulu aku kawin, mungkin cucuku akan seusia denganmu...," kata orang tua ini sambil tersenyum kecil.
Rarasati masih diam membisu. Dipandanginya orang tua itu beberapa saat, kemudian menunduk perlahan-lahan.
"Semua ini bukan keinginanku...," desah Rarasati lirih.
"Kenapa kau tidak cerita agar aku mengerti" Lagi pula menurut sebagian orang, menceritakan kesusahan hati kepada orang lain akan mengurangi beban dan melapangkan dada...."
"Benarkah...?"
Ki Jembrana mengangguk sambil menyungging senyum.
Gadis itu menarik napas panjang, lalu mulai menceritakan kejadian yang menimpa dirinya dari awal sampai akhir.
Sementara Ki Jembrana menarik napas, lalu wajahnya tampak geram.
"Hhh, Jahanam Keparat! Kalau saja kutahu siapa mereka, akan kusapu bersih tanpa sisa!" dengus Ketua Partai Pengemis Bintang Emas.
Sesaat Ki Jembrana memperhatikan gadis itu. Dan ketika melihat wajah Rarasati mulai sendu, perlahan-lahan kegeramannya berubah. Bibirnya kembali menyungging senyum.
"Nah, apa kataku. Kau merasa lega, setelah menceritakan kejadian itu, bukan" Tidak ada yang menghinamu. Tidak ada yang akan mengatakan dirimu kotor atau pembawa aib. Siapa yang berani bicara begitu, akan kupecahkan batok kepalanya!" tandas orang tua ini.
Rarasati tertunduk, namun tidak mengangguk. Entah apa yang dipikirkannya saat ini.
"Kasihan ayah...," desah gadis ini, halus.
"Kau ingin pulang?"
Rarasati menggeleng.
"Bagus! Kau boleh tinggal di sini sampai kapan saja kau suka. Akan kujadikan anakmu sebagai buyutku, dan kelak kuangkat menjadi muridku!"
"Terima kasih, Ki...."
"He he he...! Tapi, ingat! Kau harus rela kalau aku berbuat sesuatu."
"Maksudmu?"
"Aku harus mengatakan pada anak buahku, bahwa kau hamil. Jangan nanti mereka mengira bahwa kau hamil karena perbuatanku. Kau setuju, bukan?"
"Tentu saja...."
"Bagus! Kau tidak perlu marah kalau mereka nanti usil. Anak buahku memang gembel, tapi kebanyakan dari mereka baik hati. Meskipun, terkadang ada yang jahil satu atau dua orang. Kau menjadi cucuku saat ini. Maka siapa yang berani mengusikmu, akan kuhajar sampai babak belur!" lanjut orang tua ini sambil mengayun-ayunkan tongkatnya.
Rarasati terdiam untuk beberapa saat karena tak tahu apa yang harus dilakukannya. Ucapan terima kasih rasanya tidak sepadan bagi sikap bersahabat yang ditunjukkan Ki Jembrana.
"Tubuhmu lemah, mungkin kurang makan. Pergilah ke dapur. Ada makanan di atas meja. Kau boleh menyantapnya, dan sisakan sedikit untukku."
"Aku belum lapar...."
"Makanlah, tidak usah malu-malu! Anggap saja saat ini kau berada di rumah sendiri. Atau barangkali aku yang harus mengambilkannya untukmu?"
Ki Jembrana tidak menunggu jawaban gadis itu. Segera tubuhnya beranjak ke belakang. Sebentar saja dia sudah kembali dengan dua mangkuk berukuran sedang. Yang satu disodorkan pada Rarasati, sedang yang satu lagi untuknya.
"Ayo, makan!" ujar Ki Jembrana sambil mulai menyuap untuk dirinya sendiri. "Makan dan jangan malu-malu!"
Rarasati terpaku barang sesaat. Tapi perlahan-lahan didekatinya mangkuk itu dan mulai menyantap isinya.
*** ? 3 ? Dua puluh tahun telah berlalu sejak peristiwa di Desa Arjawinangun. Desa itu pun telah pulih seperti sediakala. Bagi kebanyakan mereka, hal itu seperti mimpi buruk yang tidak boleh terulang lagi. Kalaupun ada hal-hal yang menyakitkan, itu adalah akibat perbuatan kawanan perampok, yang telah menghamili wanita-wanita di desa ini. Dan kemudian, para wanita itu harus membesarkan anaknya dengan perasaan malu. Bahkan tidak jarang ada yang menggugurkannya selagi belum hamil besar. Tapi, tidak ada seorang penduduk pun yang menganggap mereka sebagai suatu keaiban. Mereka menyadari, kejadian itu tidak bisa dielakkan dan bukan kemauan sendiri.
Siang ini, Desa Arjawinangun seperti tengah terpanggang sinar matahari. Sinarnya yang menyengat, membuat seorang pemuda berpakaian pengemis berteduh di bawah sebatang pohon, dekat sebuah kedai. Sepasang matanya menatap tajam ke arah orang-orang yang tengah bersantap di situ. Kemudian perlahan-lahan dia mendekat dan duduk di sebelah salah seorang yang bersandar.
"Maaf. Kalau boleh tahu, di mana rumah Ki Gandoro?" tanya pemuda berpakaian pengemis ini.
"Ki Gandoro..." Ki Gandoro yang hidup sendiri itu?" sahut laki-laki tua yang ditanya.
"Mungkin...."
"Sayang sekali.... Dia telah lama mati, Anak Muda."
"Mati" Kenapa?"
"Bunuh diri di Jurang Mangu."
"Kenapa dia bunuh diri?"
"Mungkin karena gara-gara putrinya yang bernama Rarasati mati bunuh diri di jurang itu."
"Hm, ada apa sebenarnya" Bapak dan anak sama-sama bunuh diri...?" tanya pemuda itu dengan dahi berkerut.
"Itu terjadi dua puluh tahun lalu. Anak Muda. Apakah kau saudaranya?"
"Ya! Aku adalah saudara jauhnya. Kebetulan, ibuku baru mengatakan kalau kami memiliki saudara di desa ini. Sekadar ingin mempererat persaudaraan saja jangan sampai terputus," sahut pengemis muda itu ramah. "Bisakah kalian menceritakan tentang kejadian itu?"
Laki-laki tua itu lalu menceritakan secara ringkas peristiwa yang diketahuinya dua puluh tahun lalu di Desa Arjawinangun ini. Karena semua orang di desa ini tahu, maka mereka bisa menduga apa yang menyebabkan bapak dan anak itu bunuh diri.
"Mungkin mereka tidak kuat menahan aib dan rasa malu...," ujar orang tua itu menyelesaikan ceritanya dan menyimpulkannya sendiri.
"O, begitu...?" Pengemis muda ini mengangguk-angguk. "Lalu, di mana kawanan perampok itu berada saat ini?"
"Konon menurut sebagian orang, mereka berada di hutan sebelah timur laut sana. Pemimpinnya bernama Mayong Ireng. Kenapa kau tanyakan mereka" Apakah kau ingin membalas dendam?" tanya orang tua ini.
"Ki Gandoro adalah saudara kami satu-satunya. Sudah sepatutnya aku membalaskan dendamnya. Kalau tidak, dia tidak akan tenang di alam sana!" desis pemuda pengemis itu.
"Percuma saja. Kawanan rampok itu berjumlah banyak. Dan mereka pun amat kuat. Kau akan sia-sia bila mencoba melawan mereka."
Pemuda itu tersenyum.
"Itu sama sekali tidak kupikirkan. Tapi, ada hal yang amat menggangguku saat ini...."
"Tentang apa?"
"Ki Gandoro konon memiliki sawah yang cukup luas. Siapa yang kini mengerjakannya. Dan, ke mana hasil panennya setiap tahun?"
"O.... Itu ditangani Ki Saptasena."
"Siapa dia?"
"Kepala desa ini."
"O.... Di mana rumahnya!"
"Dari sini kelihatan. Itu, yang atap rumahnya merah. Dia satu-satunya yang memiliki rumah agak besar dan hidup berkecukupan," jelas orang tua ini sambil menunjuk rumah yang dimaksudkan.
"Hm, terima kasih...," ucap pemuda pengemis ini seraya melangkah ke sana.
"Kau mau ke sana?" tanya orang tua itu.
"Ya!" sahut pemuda ini singkat.
*** Apa yang ditunjukkan orang tadi memang tidak salah. Di antara sekian banyak rumah di desa ini, hanya rumah kepala desa yang agak besar dan mewah. Dan pemuda berpakaian pengemis itu telah berada di depan rumah ini. Tampak seorang penjaga rumah bertampang seram terus memperhatikannya. Tanpa ragu-ragu lagi, pemuda pengemis ini segera menghampiri.
"Selamat siang. Aku ingin bertemu Ki Saptasena," ucap pemuda pengemis ini. Setelah berada satu tombak di hadapan penjaga rumah.
Laki-laki bertampang seram itu memperhatikan pengemis muda ini sejurus lamanya.
"Maaf, Ki Saptasena tak ada. Lagi pula dia tidak pernah menerima tamu pengemis...," sahut penjaga ini, Jumawa.
Pemuda pengemis itu tersenyum. Dan tahu-tahu dia melompat cepat sambil melepaskan tendangan menggeledek. Begitu cepat gerakannya, sehingga....
Buk...! "Aaakh...!"
Penjaga itu kontan terpelanting ke belakang, ketika tendangan pengemis ini menghantam perutnya. Punggung belakangnya langsung menghantam dinding. Saat itu juga dari mulutnya keluar pekik kesakitan.
Teriakan penjaga itu agaknya mengagetkan orang-orang yang berada di dalam rumah. Sebentar saja seorang laki-laki tua berusia sekitar enam puluh tahun tergopoh-gopoh keluar ditemani seorang wanita tua dan seorang pemuda.
"Parta! Ada apa" He, siapa kau..."!"
Pengemis muda itu tidak langsung menjawab.
"Kaukah kepala desa di sini...?" pengemis ini malah balik bertanya.
"He! Jaga bicaramu, Pengemis Busuk! Jawab dulu pertanyaan ayahku. Siapa kau"! Dan apa yang kau lakukan terhadapnya"!" tuding salah seorang pemuda di samping laki-laki tua itu.
"Dia telah memukulku tanpa sebab...," lapor Parta, orang yang tadi terjajar, seraya bangkit dan berlindung di belakang orang tua yang sebenarnya memang Ki Saptasena.
? *** "Aku pengemis busuk seperti katamu. Dan aku hanya ingin bertemu kepala desa ini. Tapi, orangmu yang kurang ajar ini bicara macam-macam!" sahut pengemis muda itu disertai dengusan kecil.
"Benar apa yang dikatakannya, Parta?" tanya Ki Saptasena.
"Bohong, Ki! Dia ingin mengemis, lalu kuusir. Eee..., tahu-tahu dia malah memukulku!" bantah Parta.
"Kurang ajar!"
Pengemis muda itu kelihatan geram sekali mendengar jawaban orang itu.
"Sudahlah, tidak usah diteruskan. Kalau memang benar dia salah bicara, maafkanlah. Nah! Siapa sebenarnya kau, Anak Muda" Kau mencari kepala desa ini. Akulah orangnya," ujar Ki Saptasena, berubah ramah.
"Aku sedang bukan hendak mengemis, tapi hendak menuntut hakku atas peninggalan Ki Gandoro!" sahut pengemis muda itu, lantang.
"O, begitu" Punya hubungan apa kau dengannya?"
"Aku cucunya!"
"Cucunya" Seingatku, Ki Gandoro belum mempunyai cucu. Bahkan terakhir sebelum bunuh diri, perkawinan putrinya dengan seorang pemuda dari seberang dibatalkan. Sebab, Rarasati keburu bunuh diri. Bagaimana mungkin kau bisa mengatakan sebagai cucunya?" kilah Ki Saptasena.
"Semua orang di desa ini tahu, kenapa ibuku bunuh diri. Dia dinodai kawanan perampok. Begitu juga yang terjadi dengan semua wanita muda di desa ini saat itu. Ibuku tidak mati. Dia telah diselamatkan seseorang, dan kemudian mengandung aku. Nah! Kini, apakah kau masih belum percaya?" tuntas pengemis muda itu.
Ki Saptasena terdiam. Dia mengajak tamunya masuk. Tapi pengemis muda itu menolak. Keangkuhannya membuat dua pemuda yang merupakan putra Ki Saptasena semakin kesal saja.
"Ayah! Buat apa susah-susah mempercayai seorang pengemis" Bisa saja cerita itu dikarang sendiri!" ujar putra sulung Ki Saptasena yang bernama Kalangka.
"Benar! Lebih baik usir saja. Aku muak melihat tingkahnya!" timpal si bungsu yang bernama Brata.
"Huh! Jadi kalian memang telah kemaruk harta dan bermaksud menguasai harta kakekku"!" dengus pengemis muda ini.
"Eee! Jangan salah sangka, Anak Muda. Siapa namamu...?" tukas Ki Saptasena.
"Karyasena!" sahut pengemis muda ini.
"O, Karyasena. Aku tidak bermaksud menyerakahi harta kakekmu. Tapi kalau benar kau cucunya, maka tentu saja akan kuserahkan peninggalannya," jelas Ki Saptasena.
"Selama dua puluh tahun kalian menikmatinya. Aku ingin semua itu tanpa tersisa!" tegas Karyasena.
"Heh"!" Ki Saptasena terkesiap. Demikian juga kedua putra serta istrinya.
Apa yang dikatakan Kalangka tidak salah. Pemuda pengemis bernama Karyasena kelewat angkuh dan mau menang sendiri. Akhirnya mau tidak mau Ki Saptasena harus berpikir seperti itu.
"Hm.... Rumah bagus ini tentu hasil jerih payah kakekku. Maka aku adalah pemilik sahnya...," tandas Karyasena.
"Kurang ajar! Dasar pengemis tak tahu diri. Kau semakin tidak sopan di rumah orang. Pergilah sebelum kami memanggil orang-orang kampung untuk menggebukmu!" bentak Jarot, yang agaknya tidak bisa menahan amarahnya lagi.
"Kau mengusirku di rumahku sendiri" He he he..., lucu! Lucu sekali! Sebaiknya, kalianlah yang harus cepat-cepat angkat kaki dari sini. Atau, perlu aku yang melakukannya?"
Baru saja selesai bicara begitu, mendadak pengemis muda ini bergerak cepat. Tahu-tahu kedua tangan Karyasena telah mencengkeram ke arah baju Kalangka dan Brata. Lalu....
Wut! Wut! "Aaakh...!"
Tubuh Jarot dan Brata kontan terlempar keluar begitu Karyasena menariknya dengan keras. Dan mereka langsung terbanting di tanah disertai jerit kesakitan.
"He, apa yang kau lakukan terhadap kedua putraku"!" desis Ki Saptasena terkesiap kaget.
"Kau kira apa" Mereka pantas mendapatkan itu," sahut Karyasena enteng.
"Kurang ajar! Kalau begitu jelas, siapa kau sebenarnya!"
Ki Saptasena naik pitam. Dia bermaksud memukul kentongan yang berada di depan rumahnya. Namun sebelum dilakukannya, pengemis muda itu mencekal pergelangan tangannya.
Tap! "Heh!"
"Kau ingin memanggil orang-orang desa untuk mengeroyokku" Sebaiknya, pikirkan dulu keselamatanmu sebelum melakukannya. Coba lihat!" ujar Karyasena.
Karyasena bersuit nyaring. Maka tiba-tiba saja berlompatan lebih dari dua puluh pengemis dari berbagai arah. Perlahan-lahan mereka melangkah masuk ke pekarangan rumah Ki Saptasena.
"Coba lihat! Mereka siap melaksanakan apa saja perintahku. Oleh sebab itu, jangan berbuat macam-macam. Turuti saja keinginanku kalau ingin selamat!" ancam Karyasena.
"Apa sebenarnya yang kau inginkan?" tanya Ki Saptasena dengan suara tercekat di tenggorokan.
"Tidak banyak. Selama dua puluh tahun, kau menguras sawah ladang kakekku. Maka sudah sepatutnya aku meminta imbalan darimu. Kau tetap menjadi kepala desa ini, dan tetap mengurus sawah ladang kakekku. Tapi, kau harus membayar upeti kepadaku seminggu sekali. Besarnya sepuluh keping uang emas," jelas Karyasena.
Ki Saptasena tampak terbelalak, mendengar sejumlah uang yang disebutkan pengemis muda ini.
"Sepuluh keping uang emas setiap satu minggu"! Mana mungkin! Itu jumlah yang sangat banyak," elak orang tua itu.
"Aku tidak mau tahu. Kau hanya punya dua pilihan. Menyetujuinya atau kalian sekeluarga akan mati di tanganku!" ancam Karyasena, lebih menggiriskan.
Ki Saptasena bergidik ngeri mendengar ancaman Karyasena. Dengan apa yang dilakukannya tadi kepada dua putranya, orang tua ini yakin kalau Karyasena mampu membuktikan ancamannya.
"Ba..., baiklah...," sahut Ki Saptasena lemah.
"Bagus! Berarti kau memang pintar memilih. Maka sejak hari ini, sampai ketemu satu minggu, kami mulai akan menagihnya. Jangan pernah telat sedikit pun, sebab aku tidak akan bisa mengampunimu!"
"I..., iya...!"
Karyasena mendengus sebentar, kemudian berlalu dari tempat ini diikuti para pengemis anak buahnya. Tak ada yang tahu, ke mana mereka akan pergi.
"Apa yang akan kita lakukan. Ayah?" tanya Kalangka, ketika para pengemis sudah tak terlihat lagi.
"Entahlah...," sahut Ki Saptasena, lirih.
"Ayah akan memenuhi tuntutannya?"
"Tak ada jalan lain, kalau kita ingin selamat...."
"Tapi dari mana ayah akan mencarinya?"
"Entahlah...," sahut Ki Saptasena hambar.
Orang tua itu berbalik dan melangkah ke belakang, diikuti istrinya. Kedua anaknya perlahan-lahan mengikuti. Ada perasaan yang sama di dada mereka. Kegelisahan!
? *** Seorang laki-laki bertampang kasar duduk di bawah sebatang pohon besar yang sejuk dan rindang, tepat di depan sebuah gubuk besar yang berbentuk lingkaran dengan atap rumbia. Di dekatnya bergayut dua wanita berpakaian seronok yang sesekali mencumbunya. Laki-laki itu sesekali tertawa geli, kemudian balas mencumbu kedua wanita itu dengan gemas. Sementara di depannya, tiga orang kaki tangannya tengah berpesta pora. Dan masing-masing dilayani seorang wanita muda yang berpenampilan genit. Sedangkan sepuluh orang anak buahnya yang lain tersebar di sekitar tempat ini untuk berjaga-jaga.
"Ayo, Jiran! Tambah lagi minumannya! Apa kau takut mabuk"!" seru laki-laki bertampang kasar itu.
"Sudah terlalu banyak yang masuk ke perutku, Ki Mayong!" sahut laki-laki yang dipanggil Jiran.
"Ha ha ha...! Kau ini seperti banci saja. Ayo, tambahkan lagi minuman ke bumbungmu!" teriak laki-laki bertampang kasar yang tak lain Ki Mayong Ireng.
Laki-laki berperawakan besar ini memang memiliki kulit hitam legam. Dialah pemimpin perampok yang pernah menyerang Desa Arjawinangun dua puluh tahun lalu.
Jiran tidak bisa menolak ketika wanita yang meladeninya menuangkan tuak kembali ke dalam bumbung minumannya. Dia bersulang sebentar dengan pimpinannya, dan pada kawan-kawan di sebelahnya. Lalu ditenggaknya tuak itu sampai tandas ke perutnya.
"He he he...! Begitu baru betul. Ayo, tambahkan tuak kalian lagi. Hari ini kita akan berpesta besar-besaran untuk merayakan keberhasilan kita!" teriak Ki Mayong Ireng dengan suara serak.
Anak buah laki-laki berkulit hitam ini tidak bisa membantah. Entah sudah berapa bumbung tuak yang mengisi lambung mereka. Dan sebagian terlihat mulai mabuk. Namun mereka terpaksa harus menenggaknya lagi. Siapa pun tahu, kalau perintah Ki Mayong Ireng tak bisa ditolak. Bagi yang menolak, maka orang itu akan mendapat hukuman berat.
"Wah.... Sungguh meriah pesta kalian!"
"Heh"!"
Dalam keadaan begitu, mendadak Ki Mayong Ireng dan anak buahnya dikejutkan sebuah suara asing. Begitu mereka memandang ke sekeliling, tampak kawanan pengemis telah mengepung rapat tempat ini.
Dengan langkah sempoyongan, tiga anak buah Ki Mayong Ireng bergerak menghampiri para pengemis. Seketika mereka berusaha menyerang pengemis yang paling muda dengan golok masing-masing. Namun dengan tangkas pengemis muda yang tak lain Karyasena mengebutkan tongkat di tangannya.
Trak! Ketiga kaki tangan kanan Ki Mayong Ireng kontan terjajar mundur, begitu golok-golok mereka terpapak. Dan sebelum mereka berbuat sesuatu, tongkat Karyasena telah bergerak cepat.
Brusss! "Aaa...!"
Ketiga anak buah Ki Mayong Ireng terpekik. Mereka terjungkal ke belakang dengan darah bercucuran dari luka lebar di bagian leher.
"Suiiit...!"
Mayong Ireng bersuit nyaring. Namun tidak seorang pun dari anak buahnya yang tersebar di tempat ini muncul.
"Kau mencari anak buahmu" Mereka telah kami lumpuhkan. Sia-sia saja...," ejek Karyasena.
"Keparat! Kau ingin bermain-main denganku rupanya!"
Laki-laki berkulit hitam itu seketika menyambar kapak besar yang tidak pernah berada jauh darinya.
"Heaaa...!"
Disertai teriakan menggelegar, Ki Mayong Ireng meluruk dengan sambaran kapaknya ke arah Karyasena.
"Hm.... Aku memang akan bermain-main sebentar denganmu!" sahut Karyasena bernada mengejek. Tongkat runcing di tangannya diputar sedemikian rupa untuk menangkis kapak Ki Mayong Ireng.
Trang! Baru saja senjata mereka beradu, mendadak ujung tongkat Karyasena menggores dada Ki Mayong ireng.
Cras! "Aaakh...!"
Ki Mayong Ireng terpekik tanpa sadar. Dia mundur beberapa langkah ke belakang.
"Mulai takut mati, he"!" kata pengemis muda itu, terdengar sinis.
"Siapa kau"!" hardik Ki Mayong Ireng.
"Aku hanya salah satu dari akibat perbuatan bejat kalian! Aku tidak peduli siapa pun yang berbuat kepada ibuku. Tapi sebagai akibatnya, kau harus bertanggung jawab. Kau harus mati di tanganku!" dengus Karyasena.
"Hm.... Jadi kau anak haram jadah, he" He he he...! Orang sepertimu mana mungkin menakut-nakutiku!"
Ki Mayong Ireng berusaha menjatuhkan semangat lawan dengan membangkitkan amarah pemuda itu.
Tapi Karyasena hanya tersenyum.
"Pantat kuali! Kau tidak perlu memanasiku. Aku sudah kebal disebut sebagai anak haram jadah. Dan yang perlu kau ketahui, aku sama sekali tidak berniat menakut-nakutimu. Tapi akan kubuktikannya segera!"
Baru saja selesai kata-katanya, tubuh Karyasena melenting ke arah Ki Mayong Ireng dengan ayunan tongkatnya.
"Hih!"
Ki Mayong Ireng berusaha menangkis, meski gerakannya kurang mantap. Mungkin gugup menyaksikan kecepatan pemuda itu bergerak. Atau juga, karena kebanyakan minum tuak. Sehingga, kemampuannya tidak seperti dalam keadaan biasa.
Trak! Tubuh Ki Mayong Ireng kontan terhuyung-huyung. Tapi pemuda itu tidak memberi ampun. Ujung tongkatnya bergerak amat cepat. Bahkan sulit diimbangi kepandaian Ki Mayong Ireng. Akibatnya....
Cras! "Aaakh...!"
Ki Mayong Ireng kembali terpekik. Ujung tongkat pemuda pengemis itu tahu-tahu merobek perutnya. Belum lagi dia memperbaiki keseimbangan, satu tendangan geledek menghantam kepalanya.
Prak! "Aaakh...!"
Orang tua itu hanya melenguh pendek, lalu ambruk dengan batok kepala retak. Darah mengalir deras dari lukanya. Saat itu juga nyawanya melayang!
Karyasena berdiri tegak di depan anak buah Ki Mayong Ireng yang sudah digiring ke hadapannya dalam keadaan teringkus.
"Mulai hari ini aku yang memimpin kawanan ini! Siapa yang menentang boleh tunjuk tangan. Biar akan sekalian kukirim ke neraka!" desis pemuda itu dingin.
Tidak ada seorang pun yang berani tunjuk tangan.
"Bagus! Berarti kalian setuju. Beritahu yang lain tentang pengangkatanku ini. Lalu, buang mayat keparat ini ke hutan agar menjadi santapan kawanan serigala!"
*** Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 " 167. Pengemis Bintang Emas Bag. 4 - 6
January 31, 2015 at 9:35pm
4 ? Seorang pemuda tampan berbaju rompi putih menghentikan makanannya, ketika mendengar pembicaraan orang-orang di dalam kedai yang cukup ramai ini. Keningnya jadi berkerut, seperti tak percaya.
Bergegas pemuda tampan dengan pedang tersilang di punggung ini beranjak dari tempat duduknya, lalu menghampiri orang-orang yang sedang ramai berbicara itu.
"Maaf, Kisanak semua! Soal apa yang kalian bicarakan?" tanya pemuda itu.
"Partai Pengemis Bintang Emas mengamuk dan banyak membunuh penduduk Desa Arjawinangun ini," jelas seorang berusia lima puluh tahun.
"Partai Pengemis Bintang Emas" Bukankah mereka terkenal sebagai orang-orang yang suka menolong rakyat?" tanya pemuda yang tak lain Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti dengan kening berkerut.
"Kau ketinggalan berita. Anak Muda! Itu dulu. Tapi sekarang, kawanan itu tidak ubahnya seperti perampok. Mereka memeras, membunuh, dan merampok harta benda penduduk. Serta segudang lagi perbuatan buruk yang dilakukan," jelas laki-laki tua itu dengan suara geram.
"Setahuku Partai Pengemis Bintang Emas dipimpin Ki Jembrana. Dan dia terkenal sebagai tokoh golongan putih. Bagaimana mungkin orang tua sepertinya tiba-tiba saja berubah pikiran seperti itu?" tanya Rangga seperti untuk diri sendiri.
"Ki Jembrana mungkin saja tidak melakukannya, tapi harus tetap bertanggung jawab!"
"Apa maksudnya?"
"Kawanan pengemis yang suka merampok itu dipimpin seorang pemuda bernama Karyasena. Entah, apa hubungannya dengan Ki Jembrana. Tapi dia selalu mengatakan dari Partai Pengemis Bintang Emas, dalam setiap sepak terjangnya," jelas orang itu.
Pendekar Rajawali Sakti mengangguk kecil.
"Dan kau sendiri, apa urusannya tanya-tanya soal mereka" Apakah ingin bergabung juga?" tanya orang tua ini, seraya memandang ke arah teman-temannya.
"Ah, tidak! Mana mungkin aku bergabung?"
"Kenapa tidak" Banyak orang yang dulu berkata seperti itu. Tapi setelah berhadapan dengan kemewahan, bicara mereka jadi lain. Apalagi, kawanan itu memang suka sekali mencari orang-orang tangguh untuk dijadikan kaki tangannya," tambah orang tua ini.
Pemuda berbaju rompi putih ini termangu, kemudian melangkah keluar kedai setelah membayar makanannya. Begitu tiba di luar, di ujung desa ini terlihat dua orang pengemis tengah berebutan buntalan kain lusuh dengan seorang wanita tua di depan sebuah rumah.
"Jangan! Jangan dibawa! Ini satu-satunya benda berharga yang kumiliki. Tolong, jangan diambil...!" ratap wanita tua itu.
"Keparat! Kau ingin mampus, he"!" sentak salah seorang pengemis sambil mencabut sebilah golok pendek yang terselip di pinggang.
Srang! "Hih!"
Tanpa belas kasihan sedikit pun, golok itu diayunkan. Namun belum juga pergelangan tangan wanita itu jadi sasaran, mendadak berkelebat satu sosok bayangan putih. Lalu.-...
Trak! Des! "Aaakh!"
Pengemis itu kontan terpekik kaget begitu senjatanya tahu-tahu mental entah ke mana. Bahkan dia langsung menjerit, ketika tiba-tiba saja perutnya terhantam pukulan keras, hingga terasa mulas.
Sementara pengemis yang satu lagi terkesiap. Namun sebelum sempat berbuat sesuatu, bayangan itu telah kembali berkelebat.
Des! "Aaakh...!"
Pengemis itu terpekik begitu perutnya terhantam sebuah pukulan telak. Tubuhnya kontan terjungkal ke belakang.
"Keparat! Siapa kau, he"!" bentak pengemis yang pertama kali terhantam pukulan. Dia berusaha bangkit dengan muka meringis menahan rasa sakit.
Di depan pengemis itu kini berdiri seorang pemuda tampan berbaju rompi putih dengan pedang bergagang kepala burung tersampir di punggung. Dia tak lain dari Rangga yang di rimba persilatan dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti.
"Kalian tidak perlu tahu...!" desis Rangga, dingin menggetarkan.
"Setan! Rupanya kau belum tahu siapa kami, he"!" bentak pengemis itu.
"Aku juga tak perlu tahu, siapa kalian. Yang jelas, aku tak bisa tinggal diam melihat kalian bertindak sewenang-wenang terhadap wanita tua itu!" sahut Pendekar Rajawali Sakti, enteng.
"Keparat!"
Dengan wajah gusar pengemis itu langsung mengayunkan tongkat menyerang. Sementara kawannya yang bersenjata golok ikut menyerang dari belakang.
"Heaaa...!"


Pendekar Rajawali Sakti 167 Pengemis Bintang Emas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Uts!"
Namun hanya meliuk-liukkan tubuhnya, Pendekar Rajawali Sakti mampu menghindari serangan dari dua arah. Bahkan begitu kedua tangannya bergerak mengibas....
Duk! Des! "Aaakh...!"
Terdengar dua jeritan saling susul yang diikuti ambruknya dua pengemis itu. Telak sekali hantaman Pendekar Rajawali Sakti bersarang di dada, membuat napas mereka terasa sesak.
"Siapa kau sebenarnya"!" bentak seorang pengemis, berusaha bangkit berdiri.
"Hm.... Kalian belum kapok, rupanya. Cepat pergi dari sini sebelum tubuhmu terbujur kaku di sini!" ujar Rangga, tenang.
"Kurang ajar!"
Kedua pengemis itu memaki geram, namun tidak berani berbuat apa-apa lagi. Dengan muka gusar ditinggalkannya pemuda itu.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Anak Muda. Tapi sebaiknya cepat-cepat pergi dari sini. Jumlah mereka banyak dan amat tangguh. Kau akan celaka kalau terus berada di sini," ujar wanita tua itu, kepada Pendekar Rajawali Sakti.
"Kalau begitu tunjukkan padaku, di mana sarang mereka?" tanya Rangga.
"Anak muda! Kau sungguh gila! Apakah sudah bosan hidup"!" bukannya menjawab, wanita tua itu malah terkejut.
"Nyisanak! Aku sama sekali tidak gila. Dan aku hanya ingin bicara dengan pimpinan mereka. Yah.... Siapa tahu bisa melunakkan hatinya...," sahut Pendekar Rajawali Sakti, kalem.
Wanita itu mendesah seraya menggeleng perlahan.
"Entahlah, aku tidak mengerti. Banyak orang yang ingin menjauh dari mereka. Tapi kau malah ingin bertemu pimpinannya. Kecuali mereka yang ingin bergabung, apakah kau ingin bergabung dengannya?" tanya wanita tua ini dengan tatapan penuh selidik.
Rangga tersenyum.
"Mereka yang bergabung tentu menginginkan uang dan kekayaan. Tapi aku tidak seperti itu, Nyisanak!"
Wanita itu menggeleng lemah.
"Kalau kau tanyakan di mana tempat mereka, aku tidak tahu. Kecuali, kalau kau mau menunggu. Mereka pasti akan datang, sebab kau telah menghajar dua orang anggota mereka," jelas wanita tua ini.
"Kalau begitu akan kutunggu mereka di desa ini!" sahut Rangga enteng.
Wanita itu menggeleng tak percaya. Dan setelah mengucapkan terima kasih sekali lagi, dia segera masuk ke dalam rumahnya.
? *** Baru saja Pendekar Rajawali Sakti hendak kembali ke kedai, telah berlompatan beberapa sosok pengemis dari balik pohon dan rumah-rumah penduduk. Mereka langsung bergerak mengepung Rangga. Wajah mereka tampak beringas penuh dendam. Rangga berhenti melangkah, dan mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Jumlah mereka tidak kurang dari sepuluh ketika Rangga menghitung dalam hati. Termasuk, dua orang yang tadi dihajarnya.
Namun seperti tak ingin peduli, Pendekar Rajawali Sakti kembali melangkah.
"Berhenti kau, Bocah!" bentak pengemis yang bertubuh besar.
Orang itu berbaju serba hitam. Sepasang matanya tampak merah. Dengan cambang bauk dan kumis serta jenggot tebal jelas menambah keseraman wajahnya. Terlebih lagi ketika menyeringai lebar.
Tapi Pendekar Rajawali Sakti hanya menatap dengan kening berkerut, begitu menghentikan langkahnya kembali.
"Hm.... Apakah kalian kawan dari dua pengemis yang terlalu memaksakan kehendak kalian sendiri?" gumam Rangga, tenang.
"Kurang ajar! Bocah sudah bosan hidup!" dengus laki-laki berbaju hitam itu. "Rupanya kau belum kenal Diwangkara, he"!"
Dengan amarah yang meluap laki-laki yang mengaku bernama Diwangkara mencabut golok besar di punggungnya.
Sret! "Kau akan mampus sekarang, bersiaplah!" desis laki-laki itu, geram. "Heaaat...!"
Diwangkara langsung melompat dengan ayunan senjatanya.
Wut! Namun dengan gerakan ringan sekali. Rangga melenting ke belakang, sehingga serangan itu hanya menyambar angin kosong.
"He! Punya kebisaan juga rupanya, Monyet Buduk ini!" dengus Diwangkara geram.
Dan begitu serangannya gagal, Diwangkara kembali mencelat mengejar. Golok di tangannya siap menebas leher Pendekar Rajawali Sakti yang baru saja mendarat empuk di tanah.
"Heaaa...!"
"Uts!"
Namun dengan mengegoskan tubuhnya ke kanan, Rangga berhasil menghindari serangan golok yang hanya beberapa rambut di depannya.
Serangan yang gagal membuat Diwangkara semakin geram saja.
"Buangsaaat!" dengus laki-laki itu sambil menyeringai buas.
"Hm.... Sudah cukup bermain-main denganmu. Sekarang bukalah mata," ujar Rangga pendek.
Setelah berkata begitu, Pendekar Rajawali Sakti melenting tinggi ke udara. Dan setelah berputaran dua kali, tubuhnya meluruk menggunakan jurus "Rajawali Menukik Menyambar Mangsa" dengan kaki kanan mengancam batok kepala.
"Hiyaaat...!"
Diwangkara terkesiap melihat pemuda itu mampu bergerak amat cepat. Makanya dia tidak mau bertindak sembarangan. Cepat goloknya diayunkan, siap memapaki serangan.
Wut! "Heh"!"
Betapa terkejutnya Diwangkara ketika pemuda itu menarik kaki kanannya. Sehingga goloknya hanya memapas angin. Bahkan tahu-tahu, kaki kiri Pendekar Rajawali Sakti menghantam pergelangan tangannya.
Plak! Golok Diwangkara terpental tersambar kaki Rangga. Bahkan kaki itu cepat melepaskan tendangan menggeledek menghantam dada Diwangkara.
Des! "Aaakh...!"
"Heh"!"
Para pengemis yang lain terkesiap ketika Diwangkara jatuh tersungkur di dekat mereka.
"Seraaang...!"
Dan keterkejutan mereka hanya sebentar, karena selanjutnya seseorang memberi aba-aba. Maka serentak mereka maju mengurung Pendekar Rajawali Sakti.
"Heaaa...!"
"Uts!"
Rangga bergerak gesit. Cepat ditangkapnya pergelangan tangan salah seorang yang memegang golok. Begitu golok terlepas, Rangga cepat balik menyerang. Dengan golok di tangan, Rangga menangkis semua senjata dan menghantam mereka satu persatu.
Tak! Trak! Cras! Cras! "Aaakh...!"
Empat orang kontan terjungkal dengan senjata terpental entah ke mana. Dan Pendekar Rajawali Sakti sendiri benar-benar tidak memberi kesempatan. Tubuhnya berkelebat cepat melepaskan pukulan maupun sabetan golok.
Desss! "Aaakh...!"
Jerit kesakitan saling susul terdengar. Dan dalam waktu singkat para pengemis itu dibuat tidak berdaya.
Sebentar Rangga memperhatikan para pengemis yang bergelimpangan, lalu berbalik pada Diwangkara.
"Siapa kau sebenarnya"!" tanya Diwangkara dengan hati kecut. Tapi, dia tidak mau kehilangan muka di depan para pengemis, sehingga perlu membentak sambil berkacak pinggang.
"Maaf, agaknya kau bukan ketua pengemis ini, karena aku hanya perlu bicara dengannya!" sahut Pendekar Rajawali Sakti, enteng.
"Keparat! Di dalam partai pengemis, aku memiliki dua puluh anak buah. Apa kau kira aku tidak memiliki derajat"!"
"Aku tidak bilang kalau kau tak memiliki derajat. Hanya mungkin pandangan kurang luas untuk dapat mengenali seseorang," sahut Rangga tanpa bermaksud merendahkan.
Kata-kata pemuda itu membuat wajah Diwangkara merah menahan malu.
"Huh! Apa kehebatanmu"! Kau hanya bocah pentil yang baru saja turun gunung!"
Mendengar itu, Pendekar Rajawali Sakti hanya tersenyum dingin.
"Kalau memang aku hanya orang biasa, buat apa kau repot-repot mau tahu tentang diriku" Sampaikan saja pada ketuamu, Ki Jembrana bahwa suatu saat aku akan berkunjung. Dan aku akan menanyakan, kenapa anak buahnya kini berubah menjadi kawanan perampok!" balas pemuda itu, pedas.
Namun sebelum Diwangkara menjawab....
"Rangga! Tentu saja aku akan senang hati menyampaikannya pada Ki Jembrana. Suatu kehormatan baginya bila mendapat kunjungan Pendekar Rajawali Sakti!"
Mendadak terdengar suara yang menyahuti kata-kata Pendekar Rajawali Sakti. Dan belum habis gema suara yang berisi tenaga dalam ini, berkelebat satu sosok bayangan yang kemudian mendarat di samping Pendekar Rajawali Sakti.
"Hm....!"
Begitu menoleh, tampak seorang berpakaian pengemis. Usianya sekitar empat puluh tahun. Raut wajahnya tidak sekasar Diwangkara.
Sebaliknya Diwangkara terkesiap kaget. Bukan karena kehadiran pengemis itu, melainkan karena telah tahu, siapa pemuda yang tadi menjadi lawannya.
"Pendekar Rajawali Sakti?"
? *** Rangga tidak menanggapi. Matanya melirik sekilas. Dan dia tahu kalau kawanan pengemis yang bersama Diwangkara tampak salah tingkah setelah kemunculannya pengemis yang baru datang ini.
"Rangga.... Perkenalkanlah aku yang rendah ini. Namaku Pamulang. Telah lama sekali kami memperingatkan mereka. Tapi, orang-orang ini ternyata membandel. Dan Ki Jembrana bukannya tidak bertindak tegas, tapi karena mereka selalu bermuka dua di depannya," jelas pengemis yang baru muncul dan bernama Pamulang.
"Ki Pamulang, jangan merendah begitu. Kau dan aku mempunyai derajat sama. Nah, apa maksud kata-katamu tadi?" ujar Rangga, seraya menahan pundak Ki Pamulang yang hendak membungkuk memberi hormat.
"Mereka bukanlah anak buah Ki Jembrana yang asli, melainkan kaki tangan Karyasena...," jelas Ki Pamulang, setelah tubuhnya tegak kembali.
"Siapa itu Karyasena?"
"Murid, dan sekaligus cucu angkat Ki Jembrana sendiri."
"Hm.... Kenapa bisa terjadi demikian?"
Dahi Pendekar Rajawali Sakti berkerut dengan raut wajah bingung.
"Pamulang, tutup mulutmu! Bicara apa kau"! Mereka semua tentu saja anak buah Ki Jembrana. Hanya saja, di bawah kendali Ki Karyasena!" hardik Diwangkara.
"Siapa kau"! Aku kenal semua anggota partai pengemis. Tapi kau sama sekali asing bagiku. Kau pasti orang luar. Dan oleh karenanya, jangan campuri urusan pribadi pengemis!" sahut Ki Pamulang, sinis.
"Keparat!"
Bukan main geramnya Diwangkara mendengar kata-kata itu. Amarahnya tidak tertahan lagi. Dan dengan geram, goloknya dicabut langsung melompat menyerang.
"Ingin kulihat, sampai di mana kehebatanmu berani bicara seperti itu!"
Begitu selesai kata-katanya, Ki Pamulang cepat mengayunkan tongkatnya untuk menangkis golok Diwangkara.
Trak! Dan tongkat runcing di tangan Ki Pamulang ternyata menjadi senjata yang cukup ampuh. Bahkan mampu meladeni serangan-serangan Diwangkara. Selesai terjadi benturan senjata, Ki Pamulang kembali mengebutkan tongkat runcingnya.
Diwangkara terkesiap melihat ujung tongkat itu hendak menyambar mukanya. Cepat tubuhnya mencekal ke belakang sambil jungkir balik. Namun baru saja kedua kakinya menjejak tanah, serangan Ki Pamulang yang cepat dan dahsyat telah kembali datang.
"Uts!"
Diwangkara mencoba menjatuhkan diri ke samping, namun terlambat. Karena....
Bret! "Aaakh...!"
Tak urung pinggang Diwangkara tergores ujung tongkat Ki Pamulang, membuatnya mengeluh tertahan. Dan sebelum sempat bangkit berdiri satu tendangan keras meluncur ke dadanya.
Bergelut Dalam Kemelut Takhta Dan Angkara 2 Candika Dewi Penyebar Maut X I Golok Sakti 11
^