Pencarian

Pengemis Bintang Emas 2

Pendekar Rajawali Sakti 167 Pengemis Bintang Emas Bagian 2


Desss! "Aaakh...!"
Karuan saja Diwangkara terpental disertai jerit kesakitan, begitu dadanya telak sekali mendapat tendangan keras Ki Pamulang.
"Ayo, mau mencobaku lagi"!" ejek Ki Pamulang.
"Huh! Aku akan mengadakan pembalasan denganmu nanti! Tunggu saja saatnya!" dengus Diwangkara, berusaha bangkit berdiri walau tertatih-tatih.
Diwangkara bermaksud angkat kaki dari situ sambil memberi isyarat pada anak buahnya.
"Kau boleh pergi karena bukan anggota partai. Tapi, mereka tidak! Orang-orang ini harus mempertanggungjawabkan perbuatan mereka di hadapan Ki Jembrana!" ujar Ki Pamulang tegas.
"Tapi, Ki...."
Para pengemis coba berdalih. Namun....
"Kalian berani mengikutinya, maka aku tidak segan-segan bertindak!" hardik Ki Pamulang, memotong. "Aku mendapat perintah dari Ki Jembrana, boleh membunuh siapa saja anggota partai yang coba melawan untuk dibawa ke hadapannya!"
Anak buah Diwangkara kontan bergidik ngeri. Tak seorang pun yang berani beranjak dari tempatnya. Bahkan ketika Diwangkara meninggalkan mereka sambil mendengus, tak seorang pun yang berani bergeming.
"Bagus! Ternyata akal kalian masih sehat, dan bisa membedakan keputusan apa yang harus diambil!" ujar Ki Pamulang.
"Tapi, Ki.... Kami hanya sekadar mengikuti perintah Karyasena saja...," sahut salah seorang pengemis, coba membela diri.
"Itu bukan tanggung jawabku. Katakan saja di depan Ki Jembrana. Dialah yang akan memutuskan, apakah kalian bersalah atau tidak. Tugasku hanya membawa kalian kembali!" tegas Ki Pamulang.
Kemudian Ki Pamulang memandang Pendekar Rajawali Sakti.
"Rangga, maafkan. Karena kami harus buru-buru menghadap Ki Jembrana, maka kita tidak bisa saling tukar cerita. Kalau kau tidak keberatan, beliau tentu senang sekali mendapat kunjunganmu."
"Terima kasih, Ki Pamulang. Sampaikan saja salamku untuk beliau. Saat ini, aku belum bisa memenuhi undanganmu. Tapi mungkin lain kali...."
"Ah, sayang sekali. Tapi aku tak bisa memaksa agaknya. Baiklah. Kami tunggu saat itu, Rangga. Kapanpun kau datang, kami akan gembira menyambutnya. Mari, Rangga!"
Rangga membalas salam hormat orang itu sambil tersenyum. Kemudian memandang kepergian mereka beberapa saat, sebelum kembali dan melanjutkan perjalanan menuju arah yang tadi dilalui Diwangkara.
*** ? 5 ? Bukit Tanggamus terletak agak jauh dari desa terdekat. Di kakinya berdiri sebuah rumah bagai istana kecil yang dikelilingi pagar bambu setinggi kurang dari dua tombak. Sehingga dari luar yang terlihat hanya atapnya saja, dan sebuah menara yang di atasnya terdapat gubuk kecil seperti pos penjagaan.
Bagian dalam pagar bambu itu ternyata dilapisi batang-batang pohon kelapa, sehingga terlihat kokoh. Kemudian di sekeliling halaman yang cukup luas, terdapat barak-barak melingkar. Hanya ada bagian sekitar pintu gerbang saja yang lowong. Sedangkan bangunan utama yang terlihat mewah ini terletak di tengah-tengah. Tidak terlalu luas, namun kelihatan mewah.
Setahun yang lalu, penduduk Desa Tanggamus yang terdekat dari tempat ini, belum tahu adanya bangunan itu. Namun belakangan mereka baru mengerti, ketika banyak pengemis yang keluar masuk tempat itu. Lalu mereka pun menduga, bahwa tempat itu merupakan markas Partai Pengemis Bintang Emas yang selama ini dikenal sering membantu rakyat jelata untuk memberi perlindungan setempat.
Tapi, bayangan itu terhapus sudah ketika partai ini ternyata tidak seperti apa yang diharapkan. Para anggotanya ternyata tidak lebih dari kawanan perampok! Penduduk desa ini diwajibkan memberi upeti yang cukup besar setiap minggu. Siapa yang berani menolak, maka kematian akan menjemput. Dan terbukti, beberapa orang yang menentang tidak lama ditemukan telah tidak bernyawa lagi. Dan mereka yang berusaha melarikan diri, pasti hidup dalam ketakutan dari cengkeraman partai pengemis itu.
Rupanya, sepak terjang Partai Pengemis Bintang Emas sudah demikian meluas. Kegiatan mereka yang dimulai dari Desa Arjawinangun, kini telah melebar ke Desa Tanggamus di wilayah timur laut ini.
Siang yang tidak terlalu panas, membuat penjagaan di sekitar pintu gerbang tidak terlalu ketat. Seorang tampak duduk dengan mata terkantuk. Yang seorang lagi malah tengah asyik mengilik-ngilik telinganya dengan bulu ayam.
Dan mereka masih belum menyadari ketika seorang pemuda berpakaian pengemis berjalan mendekati. Tangan kanannya menggenggam sebatang tongkat yang ujungnya runcing.
"Aku ingin bertemu Karyasena...," kata pemuda itu pelan.
Kedua penjaga pintu gerbang terjaga. Yang terkantuk cuma menoleh sebentar, lalu kembali terkantuk-kantuk.
"Siapa pimpinanmu" Dan, ada keperluan apa?" tanya penjaga yang tengah mengilik-ngilik telinga.
"Pimpinanku Ki Jembrana. Dan urusanku, kalian tidak perlu tahu...," sahut pemuda itu datar.
Kedua pengemis yang menjaga pintu gerbang ini seketika terkesiap dan saling berpandangan. Kemudian mereka sama-sama menatap pengemis muda itu. Mereka coba menegaskan wajah yang terlindung di balik topi caping lebar yang terbuat dari bambu itu. Dan ketika pemuda itu membuka tudungnya, mendadak kedua pengemis penjaga pintu gerbang ini terkejut kaget.
"Ketua Karyasena, maaf! Kami sama sekali tidak menyangka kalau ketua yang datang. Tapi..., bukankah Ki Karyasena masih di dalam, dan tengah menerima tamu"!" ucap pengemis penjaga yang tadi terkantuk-kantuk. Namun sesaat kemudian dia seperti terjaga, lalu kembali memandang pemuda di depannya dengan seksama.
"Aku bukan Karyasena, melainkan Daryasena. Saudara kembar ketua kalian. Apakah kalian tidak mengenalinya?" kata pemuda pengemis yang mengaku bernama Daryasena.
"Oh, maaf. Kami orang baru, sehingga tidak mengenalimu. Tapi wajahmu mirip sekali dengan ketua kami. Sudah barang tentu kami mempercayainya. Silakan masuk!" ucap penjaga itu, seraya membuka pintu gerbang.
Salah seorang penjaga kemudian mengantarkan Daryasena ke dalam. Sementara beberapa orang pengemis yang berada di dalam halaman depan terkejut dan buru-buru memberi hormat. Sedang yang lainnya, meski tidak terkejut, namun tetap memberi hormat juga.
Mereka yang tidak terkejut, agaknya mengenali pemuda itu sebelumnya. Sedangkan yang terkejut tentu saja tidak mengenalinya. Dan mereka sudah kaget, sebab menyangka kalau pemuda itu ketua mereka. Padahal sang ketua sendiri sedang bercakap-cakap di ruang tamu, bersama beberapa orang kawan.
? *** "Ah, saudaraku Daryasena! Apa kabar" Silakan masuk!" sambut seorang pemuda yang tidak lain dari Karyasena, ketika Daryasena memasuki ruangan utama rumah mewah ini.
Walaupun tidak terlihat, sebenarnya Karyasena terkesiap mengetahui siapa tamu yang datang. Namun senyumnya segera terkembang, buru-buru menyongsong saudaranya.
"Karyasena, aku tidak akan berlama-lama di sini! Aku membawa pesan dari kakek yang harus kau patuhi!" jelas Daryasena langsung tanpa basa-basi. Suaranya terdengar lantang.
"Oh, benarkah" Bagaimana keadaannya" Sehat-sehat saja, bukan" Hm, aku juga telah rindu. Juga kepada ibu. Tapi, sebaiknya kau duduk dulu!" ajak Karyasena kembali.
"Sudah kukatakan padamu, aku tidak bisa berlama-lama di sini. Kakek menginginkan kau menghadap kepadanya sekarang juga!" Daryasena kembali menegaskan maksudnya.
"Kenapa tidak" Tentu saja aku senang sekali bertemu beliau. Tapi, tidak sekarang. Masih banyak urusan yang harus kuselesaikan...," elak Karyasena.
"Aku harus membawamu sekarang. Suka atau tidak. Dan, bisa atau tidak bisa!" tegas Daryasena, mantap.
Raut wajah Karyasena seketika berubah mendengar kata-kata Daryasena. Itu suatu pemaksaan. Dan selamanya dia tidak suka dipaksa. Meskipun itu saudaranya sendiri!
"Kalau aku tidak mau?"
"Aku akan memaksamu!"
? *** Karyasena terdiam sejurus lamanya. Tapi perlahan-lahan dia tersenyum, lalu tertawa.
"Selamanya tak seorang pun yang boleh memaksakan kehendak kepada Karyasena! Tidak juga kau, Daryasena! Pulanglah! Katakan pada kakek, bahwa aku akan datang menghadapnya kapan saja suka!" ujar Karyasena dengan suara keras.
"Karyasena! Kau memang keterlaluan! Tidakkah kau bisa membalas budi orang"! Beliau membesarkan, lalu mendidikmu. Dan inikah balasan yang kau berikan kepadanya"! Kau cemarkan nama baik beliau! Kau tebar benih kekacauan. Dan kini, kau akan melawan dengan menolak perintahnya!" bentak Daryasena tak kalah keras. Wajahnya tampak merah padam, mendengar penolakan Karyasena!
"Sudah kukatakan padamu, bahwa tidak seorang pun bisa memerintahku! Aku berbuat atas apa yang kusukai. Lagi pula, kakek telah mengusirku. Buat apa sekarang ingin memanggilku"!"
"Kau harus mempertanggungjawabkan perbuatanmu selama ini di hadapan Kakek!"
"Ha ha ha...! Kau tahu, Daryasena" Itu sama sekali tidak mungkin kulakukan. Aku bertanggung jawab penuh atas apa yang kulakukan!"
"Lalu kenapa kau menggunakan nama Partai Bintang Emas untuk segala tindak bejatmu itu" Itu saja sudah patut bagi Kakek untuk memberi hukuman bagimu!"
"Tutup mulutmu, Daryasena!" bentak Karyasena, tak tahan lagi. "Pergilah sebelum aku berbuat kasar padamu!"
"Aku tidak akan pergi, kalau tidak bersamamu!"
"Jangan bertindak bodoh! Di sini, aku bisa berbuat apa saja. Karena masih memandang kalau kau saudaraku, maka aku mengampuni kelancanganmu! Nah! Pergilah, sebelum aku berubah pikiran!" hardik Karyasena, masih berusaha menahan diri.
"Karyasena! Kau tahu, bagaimana keputusanku"! Aku tetap pada pendirianku. Kau harus ikut sekarang juga. Atau, aku terpaksa memaksamu!"
"Cobalah kalau kau mampu!" dengus Karyasena, membuka tantangan.
"Baiklah kalau itu maumu," sambut Daryasena, merasa tak ada pilihan lagi.
Daryasena maju dua langkah sambil mengebutkan tongkat di tangannya ke belakang. Dan Pada saat itu juga, capingnya disambar dan dilemparkan ke arah Karyasena.
Wut! Caping lebar itu melesat ke arah Karyasena.
"Hiyaaat!"
Namun Karyasena cepat bergerak, mengibaskan tongkatnya ke arah caping.
Caping bambu itu terbelah dua, dan jatuh di lantai. Sementara Daryasena langsung melesat, sambil mengayunkan tongkatnya.
Karyasena yang baru saja membabatkan tongkat caping yang mengancamnya, terpaksa kembali membabatkan tongkatnya untuk memapak.
Trak! Baru saja kedua tongkat mereka beradu, ujung tongkat Karyasena telah kembali menyambar ke tenggorokan saudara kembarnya.
Wut! "Uts!"
Daryasena berkelit gesit dengan melompat ke belakang. Dan baru saja kakinya menjejak tanah, serangan Karyasena kembali datang. Tongkatnya berkelebat menghantam kepala. Cepat bagai kilat, Daryasena memalangkan tongkatnya di atas kepala.
Tak! Begitu tongkat Karyasena terpental balik, Daryasena langsung membabatkan tongkatnya sekaligus menuju ke arah dada. Namun Karyasena cepat memutar tongkatnya pula.
Pertarungan antara dua orang saudara kembar ini berlangsung cepat dan hebat. Apalagi, mereka memiliki ilmu olah kanuragan dari sumber yang sama. Sehingga masing-masing saling mengetahui kelebihan dan kekurangan jurus satu sama lain. Tanpa disadari, pertarungan telah bergeser ke halaman rumah mewah ini. Keduanya terus saling gebrak, tanpa ada yang mau mengalah.
Tapi begitu menginjak jurus ke tiga puluh satu, terlihat Daryasena mulai terdesak hebat. Pemuda itu tidak habis pikir. Gaya serangan saudara kembarnya kini berbeda dan sama sekali tidak diketahuinya. Meski dia berusaha menghindar, tetap saja kewalahan. Apalagi, Karyasena bisa membaca jurus yang digunakannya untuk menghindar.
Pada satu kesempatan, Daryasena melenting ke atas menghindari serangan. Tapi saat itu juga, ujung tongkat Karyasena berputar membentuk lingkaran. Sehingga, mau tidak mau Daryasena akan masuk perangkap. Terpaksa Daryasena menekuk tubuhnya menghindari sabetan tongkat. Dan baru saja Daryasena mendarat di tanah, sebuah kepalan tangan Karyasena mendadak meluruk menghantam ke arah dada. Cepat bagai kilat, Daryasena mengebutkan tongkatnya untuk menangkis. Namun Karyasena cepat menarik serangannya kembali. Pada saat yang sama dari arah samping ujung tongkat Karyasena berkelebat. Dan....
Crasss...! "Aaakh...!"
Tanpa dapat dicegah lagi, ujung tongkat Karyasena merobek dada bidang Daryasena. Saudara kembar Karyasena ini kontan terjajar beberapa langkah disertai pekik kesakitan. Darah tampak merembes dari dadanya. Langsung ditatapnya tajam-tajam Karyasena.
"Heh"! Jurus apa yang kau pergunakan itu"!" desis Daryasena. Tangan kirinya mendekap luka di dadanya.
"He he he...! Kau tak perlu heran, Daryasena. Kepandaianku semakin bertambah sejak mengembara setahun lalu. Aku berguru lagi pada banyak orang. Maka, tidak usah heran kalau aku dapat mengalahkanmu!" leceh Karyasena.
"Huh! Meski kau memiliki ilmu iblis sekalipun, jangan harap aku akan takut! Aku akan tetap memaksamu sampai kau ikut denganku!" dengus Daryasena.
"Hm, bandel!" Karyasena bersungut-sungut garang. "Aku masih memandang hubungan pertalian darah denganmu, sehingga masih mau mengampuni jiwamu. Tapi kau sungguh tolol jika mengira aku tidak berani membunuhmu. Daryasena! Aku akan membunuhmu hari ini!"
"Tidak usah banyak mulut! Lakukanlah kalau kau mampu!" sentak Daryasena.
"Huh!"
Karyasena kembali mendengus. Setelah kakinya maju selangkah ke depan, tubuhnya langsung meluruk menyerang disertai ayunan tongkatnya.
"Yiaaat...!"
Ujung tongkat Karyasena menyambar-nyambar mengincar keselamatan Daryasena dengan gencar. Meski sesekali Daryasena berhasil menangkis atau menghindar, tapi tak urung serangan Karyasena cukup mengejutkannya. Ini tidak mengherankan lagi, sebab banyak jurus milik Karyasena yang tidak dikenalnya. Sebaliknya Karyasena amat mengenal jurus-jurus saudara kembarnya itu dengan baik. Sehingga dengan cepat mampu mendesak Daryasena.
"Hiyaaat...!"
Daryasena membentak nyaring begitu tubuhnya mencelat ke belakang. Ketika mendarat empuk di tanah, telapak tangan kirinya dihentakkan ke arah Karyasena. Saat itu juga, dari telapak tangannya mendesir angin kencang berhawa panas.
Wesss...! "Uts!"
Namun Karyasena yang sudah mampu membaca serangan, cepat melenting ke atas. Begitu berada di atas, tubuhnya meluruk ke arah Daryasena dengan hantaman pukulan jarak jauhnya. Begitu cepat gerakan Karyasena, sehingga....
Des! "Aaakh...!"
*** Daryasena kontan memekik keras begitu dadanya terhantam tongkat Karyasena. Tubuhnya terpental ke belakang sambil memuntahkan darah segar.
"Karyasena! Habisi dia sekarang! Kalau tidak, kelak akan menjadi batu sandungan bagimu!" teriak seorang laki-laki tua berpakaian pendeta yang berada di dekatnya.
Sementara itu Karyasena ragu-ragu untuk melanjutkan serangan. Tampak Daryasena megap-megap, berusaha bangkit dengan susah payah. Sementara darah berlelehan dari mulutnya.
"Ayo, Karyasena! Apa lagi yang kau tunggu"! Bunuh saja! Dia akan menjadi duri dalam hidupmu kalau dibiarkan hidup. Bunuh dia sekarang!" bentak pendeta itu lagi.
Karyasena melirik sekilas. Kemudian kembali kepalanya berpaling kepada Daryasena. Lalu....
"Yeaaa...!"
Disertai bentakan menggelegar, gerakan cepat Karyasena mencelat ke arah Daryasena dan siap menghabisinya. Telapak tangan kiri siap menghantam pukulan maut. Sedangkan tongkat di tangan kanannya berjaga-jaga jika Daryasena mampu menghindar.
"Uhhh...!"
Daryasena melenguh pendek dengan sikap pasrah. Kepalanya sakit dan dadanya sesak. Pandangannya mengabur. Beberapa kali dia muntahkan darah segar bercampur warna kehitam-hitaman. Bukannya Daryasena tidak tahu adanya serangan. Namun dalam keadaan seperti saat ini, sulit baginya untuk menghindar. Pemuda itu hanya bisa duduk berlutut sambil memejamkan mata.
Tapi begitu serangan pukulan jarak jauh hampir menghantam Daryasena, mendadak berkelebat satu bayangan putih yang langsung menyambarnya.
Tap! "Heh"!"
Glarrr...! Tepat ketika pukulan jarak jauh Karyasena menghantam tanah tempat Daryasena tadi terjajar, bayangan itu sudah kembali berkelebat. Sementara bunyi ledakan keras terdengar, disertai bongkahan tanah yang terhantam pukulan jarak jauh tadi.
Belum sempat ada yang menyadari, sosok bayangan putih itu sudah melesat cepat, lalu melompati pagar yang cukup tinggi. Begitu cepat dan ringan gerakannya, pertanda sosok itu memiliki ilmu meringankan tubuh yang sudah sangat tinggi.
"Keparat! Siapa kira-kira dia, Wiku Timbal"!" tanya Karyasena kepada laki-laki berpakaian pendeta, begitu mereka tersadar dari keterpakuan.
"Entahlah.... Apa kau tidak punya dugaan bahwa itu kakekmu sendiri?" sosok berpakaian pendeta yang dipanggil Wiku Timbal malah balik bertanya.
Dahi Karyasena berkerut sebentar, lalu menggeleng kecil.
"Sejak kakek menyerahkan tampuk pimpinan kepada Daryasena, beliau memilih hidup mengasingkan diri...," desah Karyasena.
"Tidak mau mencampuri urusan dunia lagi?" tanya Wiku Timbal sambil tersenyum.
"Ya...."
"Kalau begitu, kenapa dia menyuruh saudaramu ke sini dan memerintahkanmu agar menghadap kepadanya" Tahukah kau, untuk apa kau diperintahkan menghadap padanya?" tanya Wiku Timbal.
"Orang tua itu pasti akan mencoba untuk menghukumku!" desis Karyasena.
"Dia hendak turun mengurusi tingkah cucunya?"
"Ya!"
"Kalau begitu dia telah mengurusi hal-hal keduniaan. Itu berarti pertapaannya dibatalkan."
Karyasena terdiam. Dia mengerti, apa yang dimaksud Wiku Timbal. Tapi bukan itu yang menjadi pikirannya saat ini.
"Aku yakin, itu bukan kakek. Kalau betul, dia tidak akan berbuat begitu. Kakekku berangasan. Kalau bermaksud menghukum, tentu tidak secara begini. Menyelamatkan Daryasena, lalu kabur...," gumam Karyasena.
"Lalu siapa" Apa salah seorang anak buah kakekmu?" desah Wiku Timbal.
"Tidak. Tidak ada yang memiliki ilmu meringankan tubuh sehebat itu. Aku curiga pada seseorang...," ucap Karyasena terputus.
"Siapa?"
"Pendekar Rajawali Sakti."
"Pendekar Rajawali Sakti" Kau hendak menghubungkannya dengan cerita yang dibawa Diwangkara?" duga Wiku Timbal dengan kening berkerut.
"Ya, Orang itu suka ikut campur urusan orang. Dia akan menjadi batu sandungan bagi kita!" desis Karyasena.
"Tidak usah khawatir! Jumlah kita banyak. Dan kami bukanlah tokoh-tokoh tingkat rendah!" tandas Wiku Timbal.
Karyasena tersenyum seraya memandang sang wiku serta yang lainnya.
"Ya, aku percaya itu. Itulah sebabnya kalian kuajak bergabung. Nah! Aku inginkan kepala Pendekar Rajawali Sakti. Tangkaplah dia. Dan, pancung kepalanya. Tidak seorang pun boleh menghalangi urusanku."
"Beres! Dalam waktu singkat akan kami bawakan kepalanya untukmu!" sahut Wiku Timbal.
Karyasena kembali tersenyum, lalu kembali ke rumah utama.
*** ? 6 ? Daryasena menggeliat perlahan-lahan sambil mengerjap-ngerjapkan kelopak matanya. Kepalanya masih terasa sakit berdenyut-denyut Pandangannya sedikit mengabur. Namun matanya masih jelas melihat seseorang berbaju rompi putih berdiri membelakangi memandang keluar lewat jendela.
"Oh...!"
Daryasena mengeluh, ketika berusaha bangkit Sementara orang berbaju rompi putih itu berbalik. Dia mendekati Daryasena, lalu mendorong dadanya hingga kembali berbaring. Kini dia bisa melihat jelas, seorang pemuda tampan dengan baju rompi putih di depannya.
"Siapakah Kisanak" Apakah kau yang menolongku...?" tanya Daryasena, lirih.
"Aku Rangga. Hanya kebetulan saja aku dapat menolongmu," sahut pemuda berbaju rompi putih yang memang Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti.
"Ah! Aku harus mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu. Tapi...."
"Kau masih lemah," potong Rangga. "Jangan terlalu banyak berpikir."
"Aku gagal menjalankan tugas! Apa yang harus kukatakan pada Kakek Jembrana?" keluh pemuda berbaju pengemis itu.
"O, jadi kau cucu Ki Jembrana?" tanya Rangga.
"Kau kenal beliau?"
"Hanya kebetulan saja?"
"Kau sahabat kakekku"!" desak Daryasena.
"Begitulah...."
Daryasena tertawa, namun tiba-tiba berhenti. Wajahnya meringis. Sebelah telapak tangannya mendekap dada. Pendekar Rajawali Sakti cepat bertindak mengurut-urut dada pemuda pengemis ini. Sehingga rasa nyeri yang tadi dirasakannya berangsur-angsur membaik.
"Kenapa kau tadi tertawa...?" tanya Rangga.
Daryasena tersenyum, lalu menarik napas panjang.
"Kakekku sudah tua. Sedangkan kau paling-paling berusia sedikit di atasku. Bagaimana bisa dikatakan kalau kau sahabatnya?"
Kali ini Pendekar Rajawali Sakti tersenyum.
"Apakah kau tidak tahu" Dalam bersahabat, bukan usia yang menentukan. Tapi ketulusan hati dan saling menghormati. Itulah yang kami lakukan...," jelas Rangga, penuh makna.
"Kau menghormati kakekku?"
"Tentu saja!"
"Bila menghormati, tentu akan saling menolong bila kawan dalam kesulitan. Kini kakekku dalam kesulitan. Karyasena, saudara kembarku, membuat malu Kakek Jembrana dengan segala kelakuan buruknya. Maka sebagai seorang sahabat, mana rasa hormatmu kepadanya?" pancing Daryasena.
Rangga tersenyum.
"Bukankah kau dan aku di sini" Kalau kubiarkan, kau akan mati dibunuh saudaramu sendiri. Dan kemarin, seseorang bernama Pamulang mungkin telah menceritakan keterlibatanku. Sehingga, dia secara tidak langsung berhasil membawa pulang beberapa pengemis yang selama ini menjadi anak buah Karyasena. Itulah tanda rasa hormatku kepadanya. Dan kalaupun tanpa rasa hormat, aku tetap akan turut campur memerangi kejahatan dan membantu mereka yang lemah...."
Daryasena terdiam. Dipandanginya pemuda itu untuk beberapa saat lamanya, lalu mengalihkan pandangan ke tempat lain.
"Maafkan, mungkin aku terlalu picik. Wawasan berpikirku sempit sehingga tidak tahu apa yang harus kukatakan...," ucap Daryasena.
"Mungkin kau terlalu dibawa hanyut perasaan. Kau menghendaki semua orang mengikuti jalan pikiranmu, sementara caramu menyampaikannya salah. Sehingga ketika mereka tidak mau mengerti, maka kau menjadi marah...," kata Rangga, bijaksana.
"Yaah, kau benar...," desah Daryasena.
"Sudahlah.... Tidak usah dipersoalkan lagi. Kini apa rencanamu selanjutnya?" tanya Rangga.
"Aku harus membawa Karyasena menghadap kakek. Tapi dalam keadaan begini..." Oh, rasanya sulit...," keluh pemuda berbaju pengemis itu.
"Apakah tidak ada cara lain?"
"Kakek memberi perintah begitu. Maka aku harus melaksanakannya sesuai perintah."
"Kau cucu yang baik, Daryasena. Namun perlu banyak akal untuk membawa Karyasena ke hadapan kakekmu. Bila kita gagal dalam menggunakan satu cara, maka kita harus menempuh cara lain. Yang penting maksudnya tercapai," jelas Rangga.
"Maksudnya?"
"Bukankah tujuanmu cuma ingin mendapatkan Karyasena, lalu dibawa menghadap Ki Jembrana?"
Daryasena mengangguk. Wajahnya tampak penuh perhatian menunggu bicara pemuda berbaju rompi putih itu.
"Cara yang kau tempuh tadi jelas salah. Kedudukan Karyasena saat ini bukan sekadar saudara kembarmu, dan tidak seperti dulu. Dia Ketua Partai Pengemis yang baru, meski masih menggunakan nama partai kakekmu. Sudah tentu dia tidak sudi ikut denganmu!" papar Rangga.
"Kenapa?"
"Harga dirinya akan jatuh di depan anak buahnya. Apalagi, dia tahu bila menghadap kakekmu, berarti siap menerima hukuman. Sedang Karyasena jelas tidak mau dihukum. Dia berani berbuat semaunya dengan menggunakan nama partai yang dipimpin kakekmu, itu berarti ingin melawan. Mana mungkin orang yang jelas-jelas melawan, mau datang menemui orang yang dilawannya," papar Rangga lagi.
"Hm, ya. Kau benar. Sobat. Tapi cara apa yang sebaiknya kutempuh" Dengan kekerasan jelas tidak mungkin. Sebab, kepandaiannya saat ini jauh di atasku...!" keluh Daryasena.
"Itu sama seperti bunuh diri. Bukan saja dia lebih hebat, tapi di sekelilingnya pun banyak terdapat tokoh silat yang cukup tangguh. Sekarang yang terpenting adalah, menyembuhkan luka dalam yang kau derita. Baru setelah itu, kita pikirkan bagaimana cara menyeret Karyasena...."
"Ya, kau benar. Dalam keadaan terluka begini, tak ada yang bisa kulakukan. Berpikir pun rasanya kacau...."
"Kalau begitu, jangan berpikir dulu," tukas Rangga seraya menyodorkan bumbung bambu berisi cairan obat kepada Daryasena. "Minum, lalu tidurlah...."
"Eh, kau mau ke mana"!" seru Daryasena, ketika Rangga melangkah keluar.
"Aku berjaga-jaga di luar!" sahut Rangga tanpa menoleh.
? *** Di luar gubuk yang telah ditinggalkan pemiliknya, udara terasa dingin. Sehingga Rangga lebih nyaman berada di dalam. Sesekali matanya melirik Daryasena yang masih terbaring di dipan. Kelihatannya tidur pulas sekali. Obat yang tadi diberikan mungkin telah bekerja. Itu lebih baik, ketimbang dia banyak bicara dan terus berpikir. Daryasena memang lugu, sehingga pikirannya selalu lurus ke depan. Ketika bertemu jalan buntu, maka dia jadi putus asa dan nekat melabrak apa saja dengan kekuatannya.
Rangga menarik napas. Ketika mendongak ke atas, langit terlihat gelap. Tidak terlihat sebuah bintang pun. Mendung demikian tebal. Dan sebentar lagi, mungkin hujan. Gubuk ini sudah rusak, sehingga ditinggalkan pemiliknya. Kalau hujan lebat datang bersama angin kencang, maka mereka terpaksa mencari tempat berlindung yang lain. Mungkin di rumah salah seorang penduduk desa ini.
"Hm...."
Pemuda Itu menghela napas pendek, ketika telinganya yang terlatih mendengar beberapa langkah halus mendekati tempat ini. Mendengar gerakannya, mereka tampaknya jelas memiliki ilmu meringankan tubuh cukup tinggi. Sementara Rangga sendiri belum berbuat apa-apa. Dia sengaja memberi peluang kepada pengintai-pengintai yang berada tidak jauh dari tempatnya.
Set! Set! Baru ketika dari balik pohon-pohon di sekitarnya berkelebat sinar putih keperakan, Pendekar Rajawali Sakti mulai bertindak.
"Hup!"
Saat itu juga, tubuh Rangga melenting tinggi ke udara, menghindari terjangan senjata rahasia yang ternyata logam berbentuk bintang berwarna keemasan.
Tap! Tap! Beberapa bintang emas langsung menancap di tiang-tiang rumah di belakang Rangga tadi. Sedangkan Rangga yang baru saja mendarat di tanah, langsung menghentakkan kedua tangannya ke depan.
"Aji "Bayu Bajra"! Heaaa...!"
Saat itu juga tercipta angin keras bagai topan, menerjang sosok-sosok tubuh yang mulai berlompatan hendak menyerang.
Wusss...! "Aaakh...!"
Bagi sosok-sosok yang berkepandaian tangguh, angin itu membuat tubuh mereka terhumbalang, dan langsung menghantam batang-batang pohon.
Pendekar Rajawali Sakti kini melipat kedua tangannya ke dada, lalu memandang beberapa orang yang mampu bertahan setelah mengerahkan tenaga dalam tinggi.
"He he he...! Ternyata nama Pendekar Rajawali Sakti bukan isapan jempol belaka!"
Seorang laki-laki bertubuh besar dengan jubah panjang terkekeh sambil berkacak pinggang.
"Aku tidak perlu pujianmu. Apa yang kalian inginkan di sini, sehingga mesti mengendap-endap seperti maling?" sahut Rangga, datar.
"Serahkan Daryasena pada kami. Dan, jauhi segala urusan partai pengemis!" dengus laki-laki berjubah hitam itu.
"Kenapa kau bisa menuduhku begitu?" tanya Rangga, pura-pura bodoh.
"Jangan berpura-pura. Keparat! Saat ini kau berhadapan dengan Ki Bagus Tiran. Aku kenal sekali semua orang di desa ini. Dan, tahu apa pun yang terjadi meski kecil sekalipun!" dengus laki-laki berjubah hitam yang mengaku bernama Ki Bagus Tiran.
Pendekar Rajawali Sakti tersenyum dingin.
"Kalau begitu, berarti kau tahu juga bagaimana watakku. Aku tidak suka diganggu. Dan siapa saja yang berani mengganggu, akan kujewer telinganya!" sambung Rangga, memanas-manasi.
"Keparat! Sombong juga rupanya kau!" bentak Ki Bagus Tiran.
"Huh! Aku jadi ingin tahu sampai di mana kebisaan keparat sombong ini!" desis orang yang berada di sebelah kiri Ki Bagus Tiran.
Tanpa menunggu perintah kawannya, orang itu langsung mencelat ke depan Pendekar Rajawali Sakti.
"Keparat sombong, hadapi si Kuto Gede!" dengus laki-laki bernama Kuto Gede.
Sring! Begitu pedangnya tercabut, Ki Kuto Gede langsung meluruk menyerang Pendekar Rajawali Sakti.
"Heaaa...!"
Pendekar Rajawali Sakti agaknya tidak mau terlalu bermain dengan lawan. Begitu Ki Kuto Gede menyerang, maka saat itu pula pedangnya dicabut. Sinar biru berkilauan langsung memancar dari Pedang Pusaka Rajawali Sakti.
Sring! Tepat ketika pedang Ki Kuto Gede hampir menyambar leher. Rangga cepat melompat ke belakang sambil memapak.
Tras! "Heh"!"
Bukan main kagetnya Ki Kuto Gede ketika melihat pedangnya putus disambar senjata Pendekar Rajawali Sakti. Belum sempat dia berbuat sesuatu, Pendekar Rajawali Sakti telah berkelebat cepat bagai kilat. Dan tahu-tahu, pedangnya meluncur ke dada. Begitu cepat gerakannya, sehingga....
Jres! "Aaa...!"
Ki Kuto Gede kontan terpekik begitu pedang Pendekar Rajawali Sakti menghujam dadanya. Tubuhnya langsung ambruk saat Rangga mencabut pedangnya. Di tengah genangan darah, tubuhnya menggelepar-gelepar, kemudian diam tak berkutik.
"Kuto Gede"!" sentak Ki Bagus Tiran kaget.
Laki-laki berjubah hitam itu memandang Pendekar Rajawali Sakti lekat-lekat. Wajahnya menyiratkan amarah dan kegeraman luar biasa.
"Keparat! Kau bunuh kawanku, he"! Kau pun akan mampus di tanganku!" desis Ki Bagus Tiran seraya mencabut sepasang kapak besar yang terselip di pinggang.
Sret! "Heaaa...!"
Bukan hanya Ki Bagus Tiran saja yang ikut menyerang.. Seorang kawannya yang bersenjata pedang pun sudah langsung mencabut senjata. Lalu dengan cepat dia membantu menyerang Pendekar Rajawali Sakti.
"Hiyaaa...!"
Rangga pun seperti tak pernah ciut nyalinya. Begitu mendapat dua serangan, tubuhnya berkelebat cepat sambil memapak senjata-senjata dua orang lawannya dengan pedang.
"Uts!"
Ki Bagus Tiran terkesiap. Nyaris ujung pedang pemuda itu membabat lehernya kalau tidak cepat-cepat melompat ke belakang. Meski begitu, tidak urung hawa panas menyengat seperti menyambarnya. Namun malang bagi kawannya. Dia begitu nekat memapaki senjata Pendekar Rajawali Sakti dengan pedangnya.
Bet! Tras! Akibatnya pedang itu putus. Sedangkan senjata Pendekar Rajawali Sakti terus mengejarnya secepat kilat. Dan....
Cras! "Aaakh...!"
Disertai pekik kecil, orang itu kontan ambruk dengan mata melotot. Pedang Pusaka Rajawali Sakti yang begitu cepat meluncur, tidak dapat dihindari dan langsung membeset lehernya. Begitu tubuhnya ambruk, kepalanya langsung menggelinding di tanah. Darah seketika berhamburan dari lehernya yang buntung.


Pendekar Rajawali Sakti 167 Pengemis Bintang Emas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jlatung...!" teriak Ki Bagus Tiran, kaget. Ki Bagus Tiran memandang pemuda itu sambil menyeringai buas. Sepasang matanya mendelik garang. Kemudian tiba-tiba dia melompat menerjang.
"Heaaa...!"
? *** Rangga tidak mau menunggu lama-lama lagi. Seketika itu juga pedangnya berkelebat memapaki kedua kapak Ki Bagus Tiran.
Tras! Dalam keadaan marah seperti ini, Ki Bagus Tiran mulai lupa akan keampuhan senjata pemuda itu. Dan ketika kesadarannya pulih, sebuah kapaknya ternyata telah putus!
"Setan! Akan kubunuh kau. Jahanam!" desis Ki Bagus Tiran menggeram.
"Silakan saja, Kisanak. Tidak usah sungkan-sungkan!" balas Rangga, kalem.
"Heaaa...!"
Baru saja kata-kata Rangga habis, Ki Bagus Tiran langsung menghentakkan tangan kanannya ke depan.
Wurrr...! Dari telapak tangan Ki Bagus Tiran seketika meluncur sinar hijau ke arah Rangga. Pada saat yang sama tubuhnya menyusuli dengan mencelat cepat sambil mengayunkan senjatanya menebas leher.
"Hup!"
Dengan gerakan mengagumkan, Pendekar Rajawali Sakti cepat mengegos ke kiri, menghindari pukulan jarak jauh Ki Bagus Tiran. Pada saat yang sama pula, pedangnya berkelebat, memapak kapak laki-laki berjubah itu.
Tras! Ki Bagus Tiran geram bukan main melihat kapaknya kembali buntung terbabat pedang pemuda itu. Dan belum sempat dia berbuat sesuatu. Rangga telah melepaskan gedoran tajam ke dadanya.
Desss...! "Aaakh...!"
Ki Bagus Tiran kembali terpekik. Tubuhnya kontan terjungkal ke belakang. Isi dadanya terasa remuk. Dan dari mulutnya mengucur darah segar. Dengan bersusah-payah dia berusaha bangkit. Tapi baru saja bergerak, ujung pedang pemuda itu telah menempel di dada kirinya.
"Apakah kau masih sayang nyawamu?" kata Rangga, mengancam.
"Huh!" Ki Bagus Tiran hanya bisa mendengus sambil memandang sinis pada pemuda itu.
"Pergilah. Dan katakan pada Karyasena! Kutunggu dia di sini kalau memang jantan!" ujar Pendekar Rajawali Sakti, dingin.
Setelah berkata begitu, Rangga mengangkat pedangnya dan tubuhnya lantas berbalik, meninggalkan Ki Bagus Tiran.
Ki Bagus Tiran kembali menggeram dan buru-buru bangkit. Dia tidak berani berbuat macam-macam, meski pemuda itu memunggunginya. Tanpa banyak bicara, dia segera kabur dari tempat ini.
Di ambang pintu terlihat Daryasena tengah bersandar seraya memperhatikan Pendekar Rajawali Sakti. Segera saja Rangga menghampiri.
"Hebat sekali! Tapi bagaimana kalau ternyata mereka benar-benar datang lalu mengeroyokmu" Apakah kau sanggup menghadapi mereka?" tanya Daryasena ketika Rangga telah berada setengah tombak di depannya.
"Mudah-mudahan saja," sahut Rangga merendah.
"Lantas, kenapa kau berani menghadapi mereka?"
"Jangan khawatir. Kita tidak perlu menghadapi mereka semua...."
"Lantas, kau punya cara lain?"
"Ya."
"Apa itu?"
"Kita harus cepat-cepat angkat kaki dari sini!"
"Kau telah menantangnya, kemudian kabur begitu saja. Itu bukanlah tindakan ksatria!"
Rangga tersenyum.
"Beda besar antara pengecut dengan mereka yang menggunakan akalnya. Pengecut, berarti tidak berani menghadapi musuh dan terus bersembunyi. Sedang aku masih bersemangat untuk mencundangi mereka," kilah Rangga.
"Bagaimana caranya?" desak Daryasena.
"Inilah salah satunya. Kita biarkan mereka marah, karena tidak berhasil menemui musuhnya. Dan..., ah! Pokoknya ikut saja. Dan, jangan banyak tanya dulu! Bagaimana keadaanmu sekarang?" ujar Rangga.
"Agak lumayan...."
"Bagus! Kita berangkat sekarang juga ke tempat mereka."
"Ke tempat mereka"!"
"Ya, kenapa" Untuk mengalahkan musuh, kita perlu tahu apa saja gerakan yang dilakukannya. Dan setelah itu, baru menghantamnya setelah mengetahui kelemahannya."
"Hm, akal yang cerdik!" puji Daryasena.
"Bukan. Kita belum sampai ke tujuan. Ini baru rencana. Karena, kalau keadaannya tidak sama seperti yang diharapkan, maka rencana bisa berubah. Nah, ayo kita berangkat sekarang juga!" ajak Pendekar Rajawali Sakti.
"Ayolah...!"
*** Pendekar Rajawali Sakti
Notes by Pendekar Rajawali Sakti
Bahasa Indonesia
s ? 2017 . 167. Pengemis Bintang Emas Bag. 7 - 8 (Selesai)
31. Januar 2015 um 21:37
7 ? Karyasena mencak-mencak tak karuan. Wajahnya tampak garang dengan sepasang mata melotot tajam.
"Keparat! Jadi dia ingin menantangku, he"!" dengus Karyasena geram.
"Begitulah yang dikatakannya...," ujar Ki Bagus Tiran.
"Tidak tahukah dia, siapa aku"!" lanjut Karyasena, bernada sombong.
"Kenapa tidak sekalian saja kau beri pelajaran, agar dia tidak jadi besar kepala?" tanya Ki Bagus Tiran.
"Tutup mulutmu! Kau kuajak bergabung bukan untuk mengajariku!" hardik Karyasena.
Ki Bagus Tiran tersentak kaget, dan buru-buru menunduk.
Karyasena terdiam. Namun hela napasnya terasa memburu. Raut wajahnya masih tegang penuh api amarah. Dipandanginya mereka yang duduk di depan satu persatu, kemudian berakhir pada Wiku Timbal.
"Bagaimana, Wiku" Apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Karyasena.
"Apa rencanamu?" Wiku Timbal malah balik bertanya.
"Aku akan datang ke sana dan memenggal kepalanya dengan tanganku sendiri!" desis pemuda itu.
"Hm, memang begitu seharusnya. Tapi, hati-hati. Siapa tahu ini pancingan untuk kita...," ujar Wiku Timbal.
"Bukankah kau sendiri yang berjanji akan menyerahkan kepalanya untukku?" sindir Karyasena.
"Aku tidak akan menarik janjiku, Karyasena. Bagus Tiran telah gagal menunaikan tugasnya. Maka, kini giliranku!" dengus Wiku Timbal seraya mengepalkan kedua tangannya.
"Lalu, apa lagi yang kau tunggu" Pergilah ke sana. Dan, penggal kepalanya lalu bawa ke hadapanku!"
"Karyasena! Kau harus ingat. Selain memiliki ilmu olah kanuragan hebat, Pendekar Rajawali Sakti pun terkenal cerdik. Kita harus hati-hati dan jangan terburu-buru...," ujar Wiku Timbal.
"Lalu apa yang akan kau lakukan sekarang?"
"Menunggu dia datang."
"Menunggu dia datang" Gila!" sentak Karyasena dengan mata mendelik garang.
Kata-kata Wiku Timbal, membuatnya hampir tak percaya. Begitu hebatkah Pendekar Rajawali Sakti, sehingga akan menyatroni tempat ini"
"Sabar dulu. Dengarkan penjelasanku selanjutnya!" tukas sang wiku ketika melihat perubahan air muka Ketua Partai Pengemis Bintang Emas itu.
Karyasena memandang penuh seksama dan menanti lanjutan kata-kata Wiku Timbal.
"Aku tidak yakin bila Pendekar Rajawali Sakti berada di sana. Dia menantang kita semua ke sana. Bagaimana kalau itu hanya jebakan?" jelas laki-laki berpakaian pendeta ini.
"Jebakan bagaimana maksudmu?" tanya Karyasena tak sabar.
"Begitu kita ke sana, maka dia ke sini. Lalu mengobrak-abrik seluruh anak buahmu serta markas ini!" papar Wiku Timbal.
Karyasena berpikir beberapa saat, lalu mengangguk pelan.
"Benar juga katamu...," gumam pemuda itu.
"Kita harus cari cara lain," cetus Wiku Timbal membuat semua mata memandang ke arahnya.
"Cara apa?"
"Kirim dua orang ke sana. Dan pastikan bahwa ini bukan siasatnya saja. Bila benar dia ada di sana, maka kita datang memenuhi tantangannya. Tapi bila ternyata cuma siasat, maka kita gunakan cara lain," jelas Wiku Timbal lagi.
"Apa itu?" desak Karyasena, tak sabar.
"Kita sandera penduduk desa! Bila dia tidak muncul, maka bunuh mereka satu persatu tiap hitungan ke lima puluh!" papar laki-laki berpakaian pendeta, namun beraliran sesat ini.
"Kenapa kau yakin caramu ini akan berhasil" Bagaimana kalau Pendekar Rajawali Sakti tidak ada di sini, sehingga tidak tahu ancaman kita itu" Sia-sia saja jadinya."
"Aku yakin dia di sini. Pendekar Rajawali Sakti selalu menyelesaikan urusannya sampai tuntas. Lagi pula, untuk apa dia menantang kita segala kalau ternyata sudah tidak berada di wilayah ini lagi?"
"Hm, kau benar. Semoga saja begitu dugaanmu. Aku sudah geram sekali ingin menghajar batok kepalanya!" desis Karyasena.
"Sabarlah, tidak usah terburu-buru. Bila saatnya tiba, maka segalanya akan berjalan lancar," ujar Wiku Timbal.
"Sekarang juga kirim dua orang ke sana. Dan, pastikan bahwa keparat itu ada atau tidak!" perintah Karyasena pada salah seorang anak buahnya yang berada di ruangan ini.
Orang itu segera menjura hormat dan cepat berlalu.
Tapi baru saja Karyasena hendak duduk, mendadak terdengar ribut-ribut dari arah luar. Tak lama, salah seorang tergopoh-gopoh memasuki ruangan ini.
"Ada apa"!" semprot Karyasena pada orang yang baru masuk ini.
"Seorang pengemis tua mengamuk di depan!" lapor orang itu.
"Tolol! Kenapa dia bisa masuk"!" bentak Karyasena.
"Dia lompat melewati pagar, Ki!"
"Keparat! Siapa dia"!"
"Menurut yang lain, orang tua itu bernama Ki Jembrana...."
"Apa" Ki Jembrana"!"
Bola mata Karyasena tampak membulat. Jantungnya berdetak lebih kencang. Dan hatinya mulai ketar-ketir. Selama kepergiannya dari tempat orang tua itu, baru sekali ini Ki Jembrana mengunjunginya. Dan jelas kalau kunjungan orang tua itu ke sini tidak sekadar menjenguk cucunya, melainkan untuk menghukumnya.
"Apa yang harus kita lakukan, Wiku?" tanya Karyasena.
"Kenapa kau kelihatan gelisah" Tidak usah khawatir. Kita sambut dia sebagaimana layaknya," sahut sang wiku, tenang.
"Tapi...."
"Jangan khawatir!" potong Wiku Timbal. "Kami tentu saja tidak akan membiarkannya mencelakaimu. Ayo, mari temui dia!"
"Baiklah...," sahut Karyasena dengan nada datar.
Sementara itu di halaman depan terlihat seorang pengemis tua tengah menghadapi keroyokan beberapa orang berpakaian pengemis. Gerakannya lincah sekali. Dan hampir setiap ujung tongkatnya bergerak, terdengar jerit kesakitan dari lawan-lawannya.
"He he he...! Cuma beginikah Karyasena mendidik kalian" Huh! Ternyata kalian sedikit lebih buruk ketimbang anjing kurap!" ejek orang tua ini.
Tidak ada seorang pun yang berani menanggapi ejekan kakek itu. Bahkan bila dilihat, ternyata serangan yang mereka lakukan seperti tidak sungguh-sungguh. Orang-orang itu hanya sekadar menjalankan perintah kaki tangan Karyasena. Ini tidak mengherankan, karena di antara mereka kenal betul, siapa orang tua itu. Beliau tidak lain dari Ki Jembrana, Ketua Partai Pengemis Bintang Emas.
"Hentikaaan...!"
Mendadak terdengar bentakan keras. Tampak di ambang pintu berdiri tegak Karyasena bersama Wiku Timbal serta yang lain. Perlahan-lahan mereka melangkah mendekati orang tua itu, lalu menjura hormat.
"Kakek, terimalah salam hormat cucumu...!" sambut Karyasena.
"He he he...! Kau masih menganggapku sebagai kakekmu, Karyasena?" kata Ki Jembrana.
"Tentu saja, Kakek!"
"Lalu kenapa kau mengkhianatiku?"
"Kakek, aku tidak mengerti maksudmu..."!"
"Tidak usah berpura-pura, Anak Celaka! Kau gunakan nama partai yang kupimpin, demi kepentinganmu sendiri. Kalau apa yang kau lakukan beserta anak buahmu itu baik dan tidak merugikan, mungkin aku tidak semarah ini. Tapi perbuatanmu sungguh terkutuk! Kau coreng wajahku sehingga tokoh-tokoh persilatan menyangka aku merestui semua perbuatanmu!" dengus Ki Jembrana.
"Kakek! Kau salah sangka. Meski kau telah mengusirku, tapi aku sama sekali tidak bermaksud mencemarkan nama baikmu. Aku bisa menjelaskan semua ini!" kilah Karyasena.
"Kau boleh menjelaskannya setelah di akherat sana!" dengus Ki Jembrana lagi, langsung mencelat menyerang pemuda itu.
"Kakek...!"
Karyasena pura-pura terkejut.
"Jangan sebut aku sebagai kakekmu lagi, Bocah Busuk!" Ki Jembrana menggeram sambil menyambarkan ujung tongkatnya ke muka Karyasena.
Namun pemuda itu tidak mau terluka begitu saja. Secepat itu dia melompat ke belakang.
"Bagus! Itu membuktikan bahwa kau memang ingin melawanku!" desis Ki Jembrana.
"Kakek! Aku tidak mau mati konyol begitu saja!"
"Kalau begitu, coba pertahankan kematianmu dari tanganku!"
"Maaf, Kek. Kau terlalu memaksaku...!" seru Karyasena, seraya mengayunkan tongkat menangkis senjata orang tua itu.
Trang! Wuuut...! Mula-mula Karyasena terlihat canggung setiap kali menangkis serangan kakeknya. Bagaimanapun, Ki Jembrana telah ikut membesarkan, mendidik, serta mengajarkannya ilmu olah kanuragan. Tapi lama kelamaan dia terpaksa harus mempertahankan diri, saat orang tua itu menyerangnya sungguh-sungguh. Sepertinya apa yang tadi dikatakannya, akan dibuktikan. Dan tentu saja, Karyasena tidak mau mati konyol!
"Heaaa...!"
Trang! Kembali Karyasena menangkis senjata Ki Jembrana. Bahkan kini ujung tongkatnya melesat menyambar leher orang tua itu.
Ki Jembrana terkekeh. Tubuhnya langsung mencelat ke belakang. Namun, Karyasena tidak mau membiarkan begitu saja. Amarahnya yang telah bangkit, kini membuat niat hatinya bukan sekadar ingin menangkis dan membalas serangan, melainkan juga ingin membunuh kakek angkatnya.
"He he he..,! Kau ingin mencobaku. Bocah" Baiklah! Akan kulihat, sampai di mana kemajuanmu selama ini!"
Ki Jembrana terkekeh. Lalu tubuhnya melompat menghindari serangan, untuk kemudian meluruk membalas serangan.
"Uts!"
Karyasena cepat mencelat ke atas sambil mengibaskan ujung tongkatnya. Tapi tubuh Ki Jembrana terus mengejarnya, orang tua ini malah mencelat ke atas melewati kepalanya.
Tentu saja hal ini membuat Karyasena terkejut. Dia coba merunduk sambil mengibaskan tongkat. Dan tahu-tahu senjatanya menyambar tempat kosong.
"Bedebah...!" maki pemuda itu geram begitu kakinya menjejak tanah.
Sepasang mata Karyasena nanar menatap Ki Jembrana yang juga sudah mendarat ringan. Wajahnya menyeringai buas.
"Kau yang memaksaku, Kakek. Jangan salahkan kalau aku bertindak kasar padamu!" desis Karyasena, penuh ancaman.
"Karyasena! Kau sudah kuanggap orang lain! Dan kejahatanmu mesti disingkirkan. Kenapa mesti memikirkan aku sebagai kakekmu, sehingga kau jadi sungkan" Ayo, seranglah! Aku tahu, kau banyak belajar selain ilmu yang kuturunkan kepadamu!" balas Ki Jembrana.
Karyasena mendengus geram. Telapak tangan kirinya mendadak menghentak ke depan. Dari telapak tangannya melesat angin kencang berhawa panas. Bersamaan dengan itu Karyasena mencelat menerjang Ki Jembrana.
"Heaaa...!"
"Uts!"
Ki Jembrana mencelat ke atas menghindari angin kencang yang meluruk ke arahnya. Setelah membuat beberapa gerakan jungkir balik orang tua itu cepat memapak serangan Karyasena selanjutnya yang berupa sabetan tongkatnya, dengan tongkat pula.
Trak! Baru saja memapak serangan Karyasena, mendadak berkelebat beberapa buah benda berkilatan ke arahnya. Maka secepat itu pula tongkatnya kembali dikibaskan.
Trak! Trak! Orang tua itu terkekeh ketika kedua telapak kakinya berpijak ke tanah. Sebagai tokoh silat tingkat tinggi, memang mudah baginya menghalau serangan gelap yang dilakukan anak buah Karyasena berupa lemparan pisau kecil.
"He he he...! Ternyata orang-orangmu sudah gatal tangannya. Mereka tidak sabar ingin ikut campur. Kenapa tidak kau suruh saja mereka untuk ikut membantumu?" ejek Ki Jembrana.
"Kakek! Kau yang menginginkan hal itu. Aku hanya sekadar menjalankannya saja," sambut pemuda itu.
Karyasena cepat memberi isyarat, maka tujuh orang kawannya langsung melompat mengurung orang tua itu. Termasuk, Wiku Timbal.
Tanpa banyak bicara, mereka langsung menyerang Ki Jembrana dari segala arah.
"Heaaa...!"
Tring! Trang! Bet! Wuuuk! Ki Jembrana kelihatan lincah menghadapi serangan-serangan lawan-lawannya. Meski mereka rata-rata memiliki kepandaian di bawahnya, namun kalau bersatu seperti sekarang, maka sulit juga baginya untuk bisa mengalahkan dengan mudah. Terlebih lagi, di situ ada Karyasena yang mengerti sebagian ilmu silatnya. Dan mungkin telah mengajarkan sebagian garis besarnya pada kawan-kawannya.
Kecurigaan Ki Jembrana itu bukannya tanpa alasan. Hampir semua serangannya selalu bisa dielakkan dengan mudah. Sementara semua titik-titik kelemahannya meski yang paling kecil sekalipun, dapat diketahui. Sehingga beberapa kali terpaksa dia tersentak kaget, lalu pontang-panting menghindar ketika serangan lawan-lawannya datang bertubi-tubi dan sambung menyambung bagai ombak di lautan.
? *** "Ha ha ha...! Inikah dia Ketua Partai Pengemis Bintang Emas yang kesohor tidak ada bandingannya" Yang kulihat sekarang ternyata tidak ubahnya seperti tikus kecebur got!" ejek Wiku Timbal.
"Diam kau, Paderi Busuk! Tidak malukah kau dengan seragammu itu"! Kau seperti serigala berbulu domba. Luarnya kelihatan baik, tapi dalamnya busuk dan keji!" balas Ki Jembrana.
"Keparat! Orang tua celaka! Sebentar lagi kau bakal mampus di tanganku. Maka hiruplah udara sepuas-puasnya untuk yang terakhir kali!"
"Kaulah yang sepatutnya berdoa. Mudah-mudahan Yang Maha Kuasa berkenan mengirimmu ke neraka!"
"Setan!" Wiku Timbal memaki.
Tongkat besar di tangan Wiku Timbal menggebuk punggung Ki Jembrana dengan tenaga dalam tinggi. Sehingga terdengar angin kencang bergemuruh. Namun, Ki Jembrana telah melompat ke atas, sehingga serangan itu luput dari sasaran.
Baru saja kedua kaki Ki Jembrana menginjak tanah, saat itu juga Karyasena mengayunkan tongkat menebas lehernya. Cepat bagai kilat, orang tua itu menarik tubuhnya ke belakang tanpa menggeser kakinya dengan dada menghadap ke atas. Sementara tongkat di tangannya menangkis, saat dua lawan lainnya hendak memapas pinggangnya. Dan belum sempat Ki Jembrana menegakkan tubuhnya kembali....
"Lepaskan jaring!"
Begitu terdengar perintah, beberapa sosok tubuh langsung melompat. Masing-masing dari mereka melempar ujung jaring yang terbuat dari bahan yang cukup alot. Bahkan sulit diputuskan meski dengan sebilah golok tajam.
"Uts! Yeaaa...!"
Begitu sebuah jaring hendak meringkus, Ki Jembrana merendahkan kuda-kuda, lalu melompat ke samping dan bergulingan. Jaring pertama gagal meringkusnya. Tapi tiga lawannya serentak menyudutkan orang tua itu dengan serangan gencar.
"Yeaaa...!"
Pengemis tua itu kembali mencelat ke atas sambil mengayunkan tongkat, ketika sebuah jaring lain berusaha meringkusnya.
Tes! Tes! Ujung tongkat laki-laki tua itu yang dialiri tenaga dalam tinggi, berhasil memutus beberapa utas tali jaring. Tapi mendadak seutas tali lain melibat pergelangan tangan kanannya.
Rrrrt! Baru saja Ki Jembrana hendak menyentaknya, maka seutas tali lain melibat pergelangan tangannya yang satu lagi.
"Hmhhh...!"
Ki Jembrana mendengus geram. Dia bermaksud mengerahkan tenaga dalam untuk menyentak mereka. Namun belum lagi hal itu dilakukan, mendadak dua utas tali lain segera menjerat pergelangan kedua kakinya.
"Keparat...!" desis Ketua Partai Pengemis Bintang Emas itu.
Wrap...! Ketika dua buah jaring lain melesat hendak meringkusnya, Ki Jembrana coba mencelat ke atas. Dengan begitu, dia berharap keempat pemegang tali yang menjeratnya akan terpental dan terbanting.
"Heaaa...!"
Harapan Ki Jembrana memang terkabul. Empat sosok tubuh lawannya terpental. Tapi mereka tidak terbanting seperti yang diharapkannya, melainkan seperti bertukar tempat satu sama lain dengan gerakan berputar.
Tap! Tap! "Keparat...!" dengus orang tua itu.
Sia-sia Ki Jembrana berusaha berontak. Sebab secara tidak langsung, keempat orang pemegang tali itu terlihat melilitnya dengan cepat.
Dua buah jala menutupi Ki Jembrana, dan langsung dikebat tali-tali yang dipegang empat orang yang meringkusnya. Sekali lagi, orang tua itu berusaha berontak. Namun tongkat Wiku Timbal telah bergerak cepat.
Begkh...! "Aaakh...!"
Ki Jembrana memekik, ketika tongkat itu menghajar tengkuknya.
"Hua ha ha...! Bagaimana, Pengemis Tua" Apakah kau merasa lebih baik dalam keadaan begini"!" ejek Wiku Timbal.
Ki Jembrana meringis. Namun seketika wajahnya berubah. Orang tua itu seperti tidak sudi memperlihatkan rasa sakit di depan lawan-lawannya.
"Tahukah kau" Aku sama sekali tidak merasakan apa-apa sejak tadi! Apa itu" Tongkatmukah yang tadi mengelus-elusku" He he he...! Aku bahkan merasa lebih baik dielus-elus sehelai bulu."
"Baik! Akan kulihat, apakah tongkatku sama sekali tidak terasa olehmu!" geram Wiku Timbal.
Secepat kilat laki-laki pendeta murtad itu melompat seraya menghantamkan tongkatnya kepada Ki Jembrana berkali-kali.
Des! Begkh! Buk!
"Uhhh...!"
Ki Jembrana mengeluh tertahan. Dengan sekuat tenaga dia berusaha untuk tidak menjerit, meski tulang-tulangnya terasa remuk menerima hajaran. Dan darah mulai mengucur dari mulut, lubang hidung, serta beberapa bagian tubuhnya yang terluka.
Tak seorang pun yang merasa iba melihat perlakuan Wiku Timbal terhadap orang tua itu. Apalagi berusaha menolongnya. Kalau tidak dihentikan, agaknya Ki Jembrana akan tewas. Tindakan Wiku Timbal seperti orang kesurupan!
"Heaaa...!"
"Heh"!"
? *** 8 ? Mendadak terdengar satu teriakan keras menggelegar yang disertai berkelebatnya satu sosok bayangan putih yang langsung menahan gerakan Wiku Timbal.
Semua orang yang ada di sini tersentak kaget, namun tidak bisa berbuat apa-apa, saking cepatnya gerakan bayangan putih itu.
"Uts!"
Wiku Timbal terkesiap. Buru-buru dia melompat menghindari. Dan baru saja kakinya menjejak tanah. Tampak sesosok tubuh lainnya mencelat ke tempat itu. Dan kini di hadapannya berdiri dua sosok pemuda dengan wajah dingin menggetarkan.
"Hm, pucuk dicinta ulam tiba!" seru sang wiku ketika melihat siapa yang muncul. "Pendekar Rajawali Sakti! Hm..., rupanya Daryasena berhasil membujukmu ke sini!"
Sosok bayangan putih yang pertama muncul tak lain dari Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan yang berdiri di sampingnya, Daryasena.
"Aku pernah mendengar nama seorang pendeta berhati busuk dengan isi kepala penuh niat-niat buruk. Kurasa saat ini telah bertemu dengannya!" sindir Rangga.
"Pendekar Rajawali Sakti! Kau telah terkepung di tempatku! Menyerahlah!" bentak Karyasena, garang.
Rangga melirik dan tersenyum.
"Inikah murid durhaka itu?"
Disindir demikian bukan main geramnya Karyasena. Sejak semula mendengar nama Pendekar Rajawali Sakti dan mengetahui kalau tokoh satu ini akan menjadi batu sandungan baginya, dia sudah begitu membencinya. Dan niatnya untuk membunuh Pendekar Rajawali Sakti tidak pernah padam. Apalagi saat ini, ketika tokoh itu telah berdiri di depannya.
"Tangkap dia...!" perintah Karyasena, dengan suara menggelegar.
"Heaaa...!"
Tujuh orang yang tadi dikerahkan untuk menangkap Ki Jembrana, kini mencoba meringkus Pendekar Rajawali Sakti. Karyasena agaknya mau menyamakannya dengan Ki Jembrana. Bila orang tua itu berhasil diringkusnya, maka Pendekar Rajawali Sakti pun pasti bisa pula.
"Daryasena! Tidak usah ikut membantuku! Bantulah kakekmu lebih dulu!" teriak Rangga ketika melihat pengemis muda itu hendak bersiap membantunya.
"Tapi kau sendiri...?" kata Daryasena, ragu-ragu.
"Sudah, jangan pikirkan aku!" tukas Pendekar Rajawali Sakti.
Suara Pendekar Rajawali Sakti terdengar lantang, seolah-olah sengaja agar didengar lawan-lawannya.
"Baiklah...," ujar Daryasena.
Pemuda itu bermaksud membebaskan kakeknya. Tapi hal itu agaknya tidak mudah, sebab anak buah Karyasena langsung menghalangi dan menyerang gencar.
"Heaaa...!"
Maka terpaksa Daryasena lebih dulu harus menghadapi mereka.
Sementara hal yang sama tengah dialami Pendekar Rajawali Sakti. Ketujuh anggota partai pengemis yang diketuai Karyasena begitu bernafsu hendak menghajar dan menghabisinya dalam waktu singkat. Sehingga tidak mengherankan kalau gerakan mereka terlihat cepat. Masing-masing mengerahkan segenap kemampuan yang dimiliki. Terutama dalam permainan tongkatnya.
"Hiyaaat...!"
Sring! Dan seperti hendak membuktikan kata-katanya, si Pendekar Rajawali Sakti tidak mau bertindak setengah-setengah. Tubuhnya mencelat ke atas sambil berputaran beberapa kali. Begitu tubuhnya menukik tajam, pedangnya sudah tercabut.
Selarik cahaya biru yang terpancar dari batang pedang Pendekar Rajawali Sakti berkelebat memapas senjata lawan-lawannya.
Trasss! Orang-orang itu terkesiap. Dan sebelum mereka sempat sadar, ujung pedang si Pendekar Rajawali Sakti telah mendapat korban.
Bret! Cras! "Aaa...!"
Dua orang roboh setelah memekik kesakitan.
"Heaaa...!"
Pada saat yang sama tiga orang lawan termasuk Wiku Timbal, mencelat ke atas mengejar. Kembali tubuh Pendekar Rajawali Sakti mencelat ke atas, lalu menukik tajam mengerahkan jurus "Sayap Rajawali Membelah Mega". Begitu cepat gerakannya sehingga....


Pendekar Rajawali Sakti 167 Pengemis Bintang Emas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Desss! Digkh! "Aaa...! Aaakh...!"
Dua orang kontan terjungkal roboh dengan dada ringsek ke dalam begitu hantaman tangan Pendekar Rajawali Sakti mendarat telak pada sasaran.
Sementara Wiku Timbal berhasil menghindari dengan menjatuhkan diri ke tanah, langsung bergulingan.
? *** Kembali Pendekar Rajawali Sakti mencelat menyerang lawan-lawannya. Empat lawan yang tersisa ditambah Karyasena agaknya tidak cukup menahan amukan pemuda berbaju rompi putih itu. Sehingga perlu menambahkan beberapa orang anak buahnya yang lain.
"Hup!"
Rangga terus berkelebat dengan pedangnya menyambar-nyambar mencari korban.
Cras! Cras! "Aaa...!"
"Aaakh...!"
Kembali dua orang menjadi korban. Sementara Pendekar Rajawali Sakti terus mencelat. Dan kali ini, gerakannya terarah pada Karyasena.
"Keparat busuk!" bentak Wiku Timbal.
Pendeta itu segera memberi isyarat agar beberapa anak buahnya menyiapkan perangkap seperti yang tadi dilakukan terhadap Ki Jembrana.
"Hup!"
Set! Beberapa orang melompat sambil menebar jala. Rangga tersenyum dingin. Dan tubuhnya langsung mencelat ke samping. Namun, lawan-lawannya yang lain telah menunggu dan bermaksud memojokkannya. Dan seketika mereka langsung menebar jala.
"Heaaat...!"
Namun, begitu pedang pemuda itu bergerak...
Tras! Jala-jala yang dilempar itu kontan koyak, tak dapat digunakan lagi tersambar pedang Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan ketika Rangga berkelebat dengan jurus mengibas, tak ada seorang pun yang mampu mencegahnya.
Bret! "Aaakh...!"
Kembali jatuh korban. Dua orang memekik, lalu roboh bermandikan darah saat pedang Rangga mendapatkan sasaran. Bahkan sang wiku sendiri kalau tidak cepat mengelak, lehernya nyaris putus.
"Heaaa...!"
Kali ini Karyasena meluruk, memberikan perlawanan hebat. Tapi amarah dan dendam telah menguasai hatinya, sehingga serangannya jadi kurang hati-hati. Dan ketika pedang Pendekar Rajawali Sakti berkelebat ke arahnya, tanpa pikir panjang lagi tongkatnya langsung menangkis.
Tras! "Heh"!"
. Betapa terkejutnya Karyasena ketika tongkatnya putus menjadi tiga bagian. Sementara pedang Pendekar Rajawali Sakti terus menyambar tenggorokannya. Dengan terburu-buru, Karyasena mencelat ke belakang.
Rangga bermaksud mengejar, namun tiga lawan lainnya menyerang dari belakang.
"Hiaaa...!"
Cepat bagai kilat Pendekar Rajawali Sakti mencelat ke atas. Setelah berputaran beberapa kali, tubuhnya menukik tajam mengejar Karyasena. Sedangkan tiga orang yang menyerang dari belakang hanya terbengong melihat serangannya luput.
Karyasena mencoba menghalau serangan dengan melepaskan pukulan jarak jauhnya.
"Hih!"
"Uts!"
Namun Pendekar Rajawali Sakti cepat membuang tubuhnya, sehingga serangan itu luput.
Bletar! "Aaakh...!"
Pukulan yang terus meluncur itu menghajar beberapa orang anak buah Karyasena. Mereka terlempar ke belakang dan roboh bermandikan darah. Nyawa mereka melayang saat itu juga.
"Heh"!"
Karyasena terkesiap melihat keadaan itu. Tapi dia tidak punya banyak waktu, karena begitu tegak berdiri, tubuh Rangga kembali meluruk deras. Kali ini gerakan Pendekar Rajawali Sakti lebih cepat dari semula.
Kilauan cahaya biru yang terpancar dari pedang Pendekar Rajawali Sakti menyilaukan pandangan. Dengan sejadi-jadinya, Karyasena berusaha melompat ke samping menghindari pedang pusaka milik Pendekar Rajawali Sakti. Namun di luar dugaan. Rangga tahu-tahu memutar tubuhnya sambil mengibaskan tangannya. Belum sempat Karyasena berbuat apa-apa tahu-tahu....
Tuk! Tuk! "Uhhh...!"
Karyasena kontan melorot ambruk di tanah, begitu dua totokan Pendekar Rajawali Sakti yang cepat bagai kilat mendarat di rusuknya. Tubuhnya seketika lemas tak bertenaga lagi.
Belum sempat yang lain berbuat sesuatu. Pendekar Rajawali Sakti telah menyandera Karyasena. Pedangnya persis berada di muka pemuda yang memimpin pengemis ini.
"Kalau kalian masih menganggapnya pemimpin, menyerahlah! Aku tidak segan-segan menggorok lehernya!" bentak Pendekar Rajawali Sakti mengancam.
Yang lainnya terkesiap, tidak berani berbuat apa-apa. Namun Wiku Timbal yang masih sakit hati, sudah langsung menyerang Pendekar Rajawali Sakti lewat senjata-senjata rahasianya yang berbentuk bintang emas.
"Huh!"
Rangga mendengus. Cepat bagai kilat pedangnya berkelebat menangkis senjata-senjata rahasia yang dilepaskan Wiku Timbal.
Tring! Tring! Begitu bintang-bintang emas itu berjatuhan di tanah. Pendekar Rajawali Sakti langsung berkelebat sambil menyabetkan pedangnya. Gerakannya yang tak terduga, membuat Wiku Timbal terkesiap kaget. Dan....
Cras! "Aaakh...!"
Semua orang yang berada di situ baru menyadari ketika terdengar pekikan halus. Dan ternyata tubuh Wiku Timbal ambruk bermandikan darah dengan leher nyaris putus! Sebentar dia menggelepar, lalu diam tak berkutik lagi.
"Bila ada yang mencoba lagi, dia akan mengalami nasib yang sama dengan wiku celaka ini!" desis Pendekar Rajawali Sakti.
Tidak ada satu pun yang berani macam-macam lagi. Perlahan-lahan mereka melempar senjata sebagai isyarat menyerah.
Trek! Rangga menyarungkan pedangnya. Seketika sinar biru yang memancar dari pedangnya lenyap. Kemudian Pendekar Rajawali Sakti menoleh ketika Daryasena yang saat itu membopong kakek angkatnya menghampiri.
"Rangga, aku dan kakekku amat berterima kasih atas pertolongan yang kau berikan...," ucap Daryasena.
Rangga tersenyum seraya melirik Karyasena.
"Jangan pikirkan soal itu. Nah! Karyasena dan anak buahnya kuserahkan pada kalian. Kepentinganku di sini sudah tak ada lagi."
"He he he...! Apakah kau tidak ingin bertandang ke gubukku, Bocah?" ujar Ki Jembrana sambil tertawa kecil.
Orang tua itu memang kelihatan tabah sekali. Meski menahan luka yang cukup hebat, namun masih sempat tertawa-tawa.
? *** "Apakah ini berarti kau mengundangku, Orang Tua?" tanya Rangga.
"Apalagi namanya?"
Rangga tersenyum.
"Lukamu cukup parah. Dalam keadaan begini, kau bukan tuan rumah yang baik untuk menyambut tamu. Setelah kelak kau sembuh, mudah-mudahan aku akan menyempatkan diri. Nah, Orang Tua, aku pamit dulu!" ujar Rangga tenang.
Belum sempat cucu dan kakek itu berkata-kata, Pendekar Rajawali Sakti telah berkelebat pergi dari tempat ini. Begitu cepat gerakannya, sehingga sebentar saja sudah terlihat jauh. Jelas ilmu meringankan tubuh Pendekar Rajawali Sakti sudah sangat tinggi.
"Aku heran...!" gumam Daryasena.
"Apa yang kau herankan, Cucuku?" tanya Ki Jembrana.
"Dia katakan, akan menghancurkan Karyasena melalui rencana yang bagus. Tapi yang kulihat tadi bukan rencana atau siasat bagus seperti yang dikatakannya...," papar Daryasena.
"Kalau saja bukan dia yang muncul, mungkin hanya bunuh diri saja. Perbuatannya sama seperti yang kulakukan. Nekat, dan tanpa perhitungan!" tambah Ki Jembrana.
"Kakek katakan Pendekar Rajawali Sakti cerdik. Tapi ternyata sama sekali tidak terbukti. Bahkan siasat yang dikatakannya padaku, tidak dijadikannya," ujar Daryasena dengan kening berkerut.
"Mungkin saja mulanya begitu. Tapi ketika aku datang ke sini, rencananya jadi rusak. Dan yang terpikir dalam benaknya hanya satu. Yaitu, ingin menyelamatkanku! Jadi bukan berarti dia tidak cerdik atau tidak punya siasat," jelas Ki Jembrana, bijaksana.
"Tapi kenapa dia mesti bersiasat segala" Padahal, dia mampu melabrak mereka?"
"Kadang-kadang orang sepertinya membutuhkan sentuhan manis untuk mengalahkan musuh...."
"Sentuhan manis bagaimana, Kek"!"
Daryasena semakin tidak mengerti.
"Kemenangan yang diperoleh dari siasat, sehingga lawan terjebak atau tak berdaya sebelum bertarung. Itu lebih bagus ketimbang kalah dalam bertarung," papar orang tua ini.
Daryasena mengangguk-angguk. Dia ingin bertanya lebih lanjut, tapi Ki Jembrana yang sejak tadi memang malas-malasan menjawabnya, sudah beranjak meninggalkannya. Dan dia kini sibuk mengurusi Karyasena yang tertotok.
? SELESAI ? Serial Pendekar Rajawali Sakti selanjutnya:
KITAB NAGA JONGGRANG
? ? ? Scanned by Clickers
Edited by Lovely Peace
Pdf by Abu Keisel
? www.duniaabukeisel.blogspot.com
Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 Kisah Si Bangau Putih 8 Dewi Ular Ancaman Iblis Betina Bara Diatas Singgasana 12
^