Pencarian

Tongkat Sihir Dewa Api 2

Pendekar Rajawali Sakti 147 Tongkat Sihir Dewa Api Bagian 2


"Baik! Kau telah membagi tugasmu. Biar kami
bersama mereka!" sahut Ki Walang Ijo. Ki Gempar Persada pun setuju. Maka ketiganya langsung bergerak ke
arah tujuannya masing-masing.
Apa yang diduga memang demikian. Kedua sosok
tubuh yang terlihat tadi mengecoh habis-habisan. Sehingga membuat para tokoh persilatan itu tercerai-berai. Meski Ki Polong dan yang lain memberi perintah
pada murid-muridnya untuk mengepung seluruh ka-wasan ini secara perlahan-lahan, namun hasilnya te-
tap nihil. Beberapa orang menjerit panjang. Lalu ketika
dihampiri, terdengar jeritan dari arah lain. Rata-rata
mereka tewas secara mengenaskan. Tentu saja kejadian ini amat menjengkelkan, sekaligus menimbulkan
amarah mereka semua.
"Kurang ajar! Kembali! Ayo, kita kembali...!" Teriak Ki? Polong memberi perintah pada murid-mu-ridnya.
Bagai semut beriringan, mereka berduyun-duyun
kembali ke padepokan. Namun begitu, korban kembali
berjatuhan. Sehingga, semakin membuat mereka kalang kabut saja.
Sementara itu, Ki Walang Ijo dan Ki Gempar Persada bukannya tidak berusaha membantu. Begitu me-lihat dua sosok bayangan berkelebat ringan, mereka
langsung mengejar.
"Keparat busuk! Jangan lari kalian! Yeaaa...!"
"He he he...! Dua ekor kerbau dungu berlagak
hendak menjadi harimau"! He he he...!"
Terdengar sahutan disertai tawa panjang yang
menyakitkan telinga. Jelas, orang itu memiliki tenaga
dalam tinggi. "Hiiih!"
Seketika dari arah tawa tadi, melesat seberkas
sinar kuning yang langsung tertuju pada Ki Walang Ijo.
Cepat bagai kilat, orang tua itu berusaha memapak-nya.
Plak! "Aaakh!"
Ki Walang Ijo terkejut, ketika telapak tangannya
seperti menghantam dinding baja yang tebal bukan
main. Belum lagi habis rasa terkejutnya, tiba-tiba ber-kelebat satu bayangan Dan tahu-tahu tubuh Ki Wa-lang Ijo terjungkal ke belakang terkena satu tendangan
keras. Bersamaan dengan itu, terdengar pula jerit ter-tahan dari arah lain Dan, tampaklah tubuh Ki Gempar
Persada terjungkal tidak jauh darinya.
"Hi hi hi...! Pergunakan kesempatan hidup ini
sebaik-baiknya. Sebab, esok atau nanti kalian tidak
akan menikmatinya lagi! Hi hi hi...!" Ejek satu suara
lain yang terdengar nyaring.
Ki Walang Ijo dan Ki Gempar Persada buru-buru
bangkit dengan satu lentingan indah. Namun baru saja
kedua kaki mereka menjejak tanah, dua bayangan te-lah melesat cepat, pergi dari tempat itu. Kedua orang
itu hanya bersungut-sungut kesal sambil menahan
nyeri di dada. Mereka bertatapan sesaat, kemudian
bersama-sama meninggalkan tempat itu menuju ke
Padepokan Kalong Wetan.
? *** "Ki Walang Ijo...! Ki Gempar Persada...! Kalian ti-dak apa-apa"! Maafkan kekeliruan kami...!" seru Ki Po-long seraya memapah mereka berdua, dibantu bebera-pa orang muridnya.
Sementara itu Nyai Karni berlari-lari menghampi-ri keduanya dari arah belakang.
"Bagaimana" Tampaknya kita menghadapi mu-suh yang cukup kuat!" Tanya wanita tua itu seraya
menghela napas dan menggeleng lemah.
"Entahlah. Sepertinya aku kenal dengan pukulan
itu," sahut Ki Walang Ijo, lemah.
"Aku pun begitu," timpal Ki Gempar Persada
sambil mengerutkan dahi berusaha mengingat-ingat.
"Aku yakin! Siapa pun mereka, ini pasti ulah si
Netra Buana!" Dengus Nyai Kami geram.
"Bagaimana tawanan itu?" Tanya Ki Walang Ijo.
"Dia tidak apa-apa. Aku menyuruh murid-murid
Ki Polong untuk melipatgandakan jumlah penjagaan-nya."
"Hm, bagus!" sambut Ki Walang Ijo.
"Apa yang menurutmu bagus" Kalian bisa ter-kena hantaman dua sosok tadi. Kalau mereka hanya
anak buahnya, lalu bagaimana si Netra Buana sendiri"
Kepandaiannya mungkin telah maju pesat. Dulu saja
dengan susah payah baru kita berhasil mengalah-kannya!" dengus Nyai Kami kesal.
"Tidak usah menyalahkan. Bukankah itu pun
usulmu, agar kita mengampuninya?" Sahut Ki Walang
Ijo. "Dia telah masuk jurang. Apalagi yang kita ha-rapkan...?"
"Yang lain bersedia mencari dan memastikan
kematian, tapi kau mencegah!"
"Menurutku saat itu dia tewas. Dan kalaupun
masih bisa hidup, paling tidak akan insaf dan tidak
akan mengulangi perbuatannya lagi," sahut Nyai Kami
dengan suara lemah.
Ki Walang Ijo sudah akan menimpali, namun Ki
Gempar Persada sudah langsung menengahinya.
"Sudahlah. Tidak ada yang perlu membicarakan
soal masa lalu. Kita semua salah. Sebab, orang-orang
seperti kita terlalu berharap, kalau orang jahat sekali-pun masih ada kesempatan bertobat. Kini lebih baik
kita urus mereka yang tewas dan mengebumikannya
secara layak"
"Ya! Apa yang dikatakan Ki Gempar Persada be-nar. Alangkah lebih baiknya kita mengurus mereka
yang tewas," lanjut Ki Pintur Gumelar.
"Apakah mereka tidak akan datang lagi...?"
Tanya Ki Polong ragu.
Semua terdiam beberapa saat.
"Kurasa hari ini tidak. Sebab kalau mereka men-ginginkannya, mungkin kita semua akan celaka. Mere-ka sengaja hendak mempermainkan kita perlahan-lahan," sahut Nyai Karni.
"Baiklah. Kita urus mereka yang tewas sekarang
juga." Ki Walang Ijo segera berlalu membantu yang lain
mengurus mayat-mayat yang bergeletakan di halaman
padepokan ini maupun di luar.
? *** Sejak tadi Pandan Wangi mondar-mandir terus
menunggui Rangga yang duduk bersila di atas sebuah
dipan beralas tikar pandan. Hatinya tidak tenang di
tempat ini dan terus berjaga-jaga. Apalagi, si Kelelawar
Buduk tidak ada di tempat. Katanya, hendak mencari
makanan untuk mereka. Tapi pikirannya yang sejak
semula curiga, tidak bisa mempercayainya begitu saja.
"Sudahlah, Pandan. Tenangkan hatimu," ujar
Rangga yang telah menyelesaikan semadinya.
"Bagaimana aku bisa tenang" Kelakuannya se-makin membuatku curiga. Huh! Kalau saja dia ber-maksud jahat pada kita, akan kupenggal lehernya!"
Desis gadis itu geram.
"Bagaimanapun, dia telah berbuat kebaikan pada
kita." "Huh...!"
Gadis itu mendengus kesal. Namun ketika me-nyadari keadaan Pendekar Rajawali Sakti lebih baik
dari semalam, bibirnya tersenyum lega.
"Bagaimana keadaanmu, Kakang" Kau sudah
merasa lebih baik saat ini?" Tanya Pandan Wangi se-
raya duduk di dekat pemuda berbaju rompi putih ini.
"Kurasa begitu," sahut Rangga, sambil meng-angguk.
"Syukurlah. Aku senang sekali kau telah sembuh
kembali seperti sediakala...!" Senyum gadis itu girang.
Tapi, tidak demikian halnya dengan Rangga. Wa-jahnya tampak lesu. Sesaat dia tercenung, lalu bebe-rapa kali menghela napas panjang.
"Ada apa, Kakang...?" Tanya Pandan Wangi hati-hati.
"Aku memikirkan apa yang telah kau ceritakan.
Hm, mereka tentu tidak mau memaafkanku," desah
Rangga lemah! Pandan wangi menepuk-nepuk pundak pemuda
itu sesaat. "Kakang, semua ini di luar kesadaranmu. Ku-rasa, para tokoh persilatan bisa memahaminya. Kita
masih punya kesempatan untuk menebusnya. Yaitu,
melenyapkan Ki Netra Buana yang telah mempengaru-himu."
"Hm, ya. Aku pun tengah berpikir ke situ. Dia
harus membayar mahal atas apa yang telah dilaku-kannya padaku!" Desis Rangga. Wajahnya berkerut ge-ram menahan amarah.
"Kalau Kakang sudah mulai sembuh, lebih baik
kita cari saja keparat itu saat ini!"
"Apakah tidak sebaiknya menunggu si Kelelawar
Buduk?" Usul Rangga.
"Aku tidak mempercayai orang itu! Siapa tahu,
dia tengah menjebak kita di sini!" Tandas Pandan
Wangi. "Itu lebih bagus. Sebab kalau benar demikian, ki-ta bisa langsung mengetahui untuk apa dan siapa
yang menjebak kita."
Pandan Wangi memberengut dengan wajah kesal.
Dia tidak menyetujui usul Rangga. Tapi, juga membe-narkan apa yang dikatakan pemuda itu.
"Hm.... Bagaimana kabarmu sekarang?" Gumam
Rangga disertai senyum.
"Baik!" Jawab Pandan Wangi, pendek.
Pemuda itu menggamit lengan Pandan Wangi se-raya memandangnya dengan perasaan kasih.
"Kalau tidak ada kau, entah apa jadinya aku ini,"
desah Rangga, lemah. "Bukankah pilihanku tepat?"
"Pilihan apa?"
"Memilihmu menjadi kekasih tentunya."
"Dan melupakan gadis itu begitu saja?" cibir
Pandan Wangi kesal.
"Gadis mana?" Tanya Rangga dengan dahi ber-kerut.
"Uh! Pura-pura bodoh lagi!"
"Ah, ya. Samar-samar aku ingat"
"Bukan samar-samar! Tapi memang nyata ter-lihat di depan mataku!"
Rangga terdiam sambil tersenyum pahit.
"Aku memang salah. Tapi ini kulakukan tanpa
sadar. Begitu burukkah aku di depan matamu saat
ini" Sehingga, kekasihku sendiri memojokkanku"
Hm.... Aku memang patut mendapat hukuman. Dan
rasanya, kau tak perlu menyelamatkanku saat itu. Ka-rena, mati lebih baik daripada hidup tapi dengan batin
tersiksa," ucap Pendekar Rajawali Sakti lemah.
Pandan Wangi terdiam. Begitu juga Rangga. Pe-muda itu lantas bangkit dan memandang keluar lewat
jendela berjeruji kayu. Di luar terlihat sepi. Dan di ke-jauhan, dua orang mendatangi mereka. Dahi Rangga
jadi berkerut. "Si Kelelawar Buduk datang bersama seseorang,"
kata Rangga. Pandan Wangi menghampiri dan melihat keluar.
Tampak seorang wanita cukup cantik berjalan bersa-ma si Kelelawar Buduk sambil menggenggam tongkat.
Secara bersamaan, mereka keluar dan berdiri di depan
gubuk ini. "Ah! Agaknya kalian telah bangun pagi-pagi begi-tu...!" seru si Kelelawar Buduk disertai tawa lebar.
"Aku bawakan makanan untuk kalian!"
"Terima kasih, Kelelawar Buduk Siapa wanita
yang bersamamu ini?" Tanya Rangga ikut tersenyum.
"Ah! Sampai aku lupa. Wanita ini tabib yang ku-bawa dari desa terdekat. Kukira, kau memerlukannya.
Sehingga, dia kubawa ke sini!" Jelas Kelelawar Buduk
"Oh, terima kasih! Kau baik sekali!" Seru Rangga,
langsung memandang tajam pada wanita cukup cantik
bertubuh menggiurkan itu.
Wanita itu tersenyum. Dari caranya berpakaian
yang amat sederhana dan mirip wanita desa biasa, se-pintas saja segera bisa diketahui kalau apa yang dika-takan si Kelelawar Buduk memang benar.
"Eh! Apakah Kisanak yang memerlukan pertolon-ganku...?" Tanya wanita itu.
"Hm.... Aku memang menderita luka dalam. Isi
tubuhku terasa nyeri sekali. Bisakah kau mengoba-tinya?" Rangga balik bertanya.
"Kelihatannya Kisanak orang persilatan Dan luka
itu, mungkin akibat pukulan. Aku punya ramuan pe-nyembuhnya. Dan biasanya, mereka yang meminum
ramuan ku segera sembuh dalam waktu singkat."
"Kau tentu seorang tabib yang manjur. Nah! Kau
boleh membuat ramuannya sekarang juga."
"Aku tidak perlu membuatnya. Sebab, telah ku-sediakan!"
"Telah kau sediakan?" Tanya Rangga. Dahinya
tampak berkerut.
"Eh! Maksudku, kawanmu ini telah menjelaskan
luka-luka yang kau derita. Sehingga dari rumah, aku
telah menyiapkan ramuannya."
"Oh, begitu! Baiklah.... Mana ramuan obatmu
itu?" Mereka kini telah duduk di ruang depan. Dan
wanita itu segera mengeluarkan sebuah kantong kulit.
Lalu dituangkan isinya ke dalam cangkir, kemudian
diserahkannya pada pemuda itu.
"Setelah meminum obat itu, aku hams mengu-rutmu untuk melancarkan peredaran darahmu!" Kata
wanita ini. "Ya, ya. Lakukanlah."
"Kakang, kurasa itu tidak perlu!" cegah Pandan
Wangi, ketika Rangga hendak menenggak isi cawan di
tangannya. "Kenapa?"
"Pokoknya tidak perlu. Bukankah kau katakan
tubuhmu sudah sehat?"
Pandan Wangi berusaha mengalihkan jawaban
karena tidak ingin persoalan bertambah rumit kalau
menuduh si Kelelawar Buduk hendak menipu. Karena
dalam hati, sedikit pun gadis itu tidak percaya dengan
maksud baik mereka berdua!
? *** "Pandan Wangi.... Tadi aku hanya berbohong
agar kau tidak cemas. Sebenarnya tubuhku masih lemah dan sakit sekali."
"Kakang, kau..."!"
"Tenanglah. Aku tidak apa-apa. Kelelawar Buduk
begitu baik hendak menolongku. Tidak semestinya kita
menaruh curiga. Bukan begitu, Kelelawar Buduk?"
"Hm.... Niatku tak lain sekadar untuk menolong
kalian berdua. Tak ada lain," tandas si Kelelawar Bu-duk.
Rangga tersenyum lebar.
"Aku belum makan. Dan tidak baik minum obat
kalau belum makan. Apakah kau membawa makanan
untuk kami?"
"Ey, iya! Maaf, aku sampai lupa. Makanan yang
kubawa ini memang khusus untuk kalian!"
Si Kelelawar Buduk bergegas menyerahkan
bungkusan yang dibawanya.
"Ayolah kita makan bersama!"
"Eh, tidak! Aku tadi sudah makan lebih dulu di
kedai!" tolak si Kelelawar Buduk.
"Hm, sayang sekali. Padahal, makanan ini kelihatannya lezat sekali. Ayo, Pandan! Tidak usah malu-malu!" ajak Rangga seraya menawarkan pada gadis itu.
"Tidak. Aku tidak lapar!" sahut gadis itu cepat,
dengan wajah memberengut
"Sayang sekali. Aku memang berpantang makan
sendiri kalau tidak ada yang makan bersamaku," ucap
Rangga seraya membungkus kembali makanan itu.
"Tapi.... Bukankah kau belum makan" Ayolah,
tidak usah sungkan-sungkan!" ujar si Kelelawar Bu-duk.
"Hm. Sebenarnya aku suka sekali. Tapi, sudah
menjadi kebiasaan ku untuk tidak makan di depan
orang lain. Dan itu tidak bisa ku rubah. Kecuali...."
"Kecuali apa, Sobat?" Tanya si Kelelawar Buduk.
"Kecuali kalau kalian menunggu di luar."
"Baiklah kalau itu maumu," sahut si Kelelawar


Pendekar Rajawali Sakti 147 Tongkat Sihir Dewa Api di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Buduk seraya beranjak keluar.
"Kakang! Aku tidak tahu kebiasaanmu yang satu
ini?" Tanya Pandan Wangi heran ketika kedua orang
itu menunggu di depan. "Sejak kapan kau punya ke-biasaan tidak bisa makan kalau ditunggui?"
"Sejak tadi," sahut Rangga enteng, seraya mem-bungkus rapi makanannya setelah mencampurnya
dengan ramuan obat yang berada di dalam cangkir.
Pandan Wangi memperhatikan seksama. Dan se-ketika gadis cerdik ini tahu siasat Rangga. Apa-lagi,
ketika pemuda itu membuang bungkusan makan ke
belakang. "Hm, dasar! Rupanya kau pun hendak menge-cohku pula, he"!" Seru Pandan Wangi seraya memukul
pundak Rangga pelan dengan perasaan dongkol.
Rangga hanya tersenyum kecil.
"Menurut Kakang, siapa wanita yang bersamanya
itu?" Bisik Pandan Wangi bertanya.
"Entahlah. Yang jelas, dia bukan orang semba-rangan."
"Dari mana Kakang tahu?"
"Sorot matanya menggambarkan tenaga dalam-nya yang kuat."
"Apakah sampai merontokkan hatimu?" Goda
Pandan Wangi. "Pandan, jangan mulai lagi!"
"Iya, iya."
"Wanita itu ada sangkut pautnya dengan si Netra
Buana," Lanjut Rangga menduga.
"Dari mana Kakang bisa berpikir demikian?"
"Ramuan obat yang diberikannya, baunya sama
seperti asap yang menghilangkan kesadaranku dulu."
"Kurang ajar!" Dengus Pandan Wangi sambil
mengepalkan kedua tangan dengan wajah geram. "Ka-lau begitu, untuk apa tunggu waktu lama lagi" Mari ki-
ta bereskan mereka sekarang!"
"Tunggu!" Rangga cepat mencekal pergelangan
tangan gadis itu. "Kita tidak boleh bertindak gegabah.
Mungkin mereka tidak sendiri. Atau, punya rencana
lain." "Lalu apa yang akan kita lakukan?"
Rangga memberi isyarat agar gadis itu berada le-bih dekat lagi dengannya. Kemudian dibisikkan-nya
sesuatu di telinganya. Wajah gadis itu tampak berseri
seraya mengangguk setuju.
"Kapan" Sekarang...?"
"Hm, bolehlah," sahut Rangga, segera menyan-darkan punggungnya ke dinding. Kini tubuhnya terli-hat lemah seperti tidak bertenaga.
"Oh, bagaimana ini"! Bagaimana ini" Kakang
Rangga...! Kakang...!" Pandan Wangi berteriak-teriak
kebingungan seraya mengguncang-guncangkan tubuh
pemuda itu. Mendengar ribut-ribut dari dalam, si Kelelawar
Buduk dan wanita yang tadi bersamanya segera ma-suk.
"Pandan Wangi, ada apa?" Tanya si Kelelawar
Buduk dengan wajah kaget.
"Kau..., kau..., Keparat! Kalian memang telah
bersekongkol hendak meracuni Kakang Rangga! Dia ti-dak sadarkan diri, setelah meminum ramuan obat itu.
Wanita laknat! Kubunuh kau! Kubunuh kau...!"
Dengan amarah meluap, Pandan Wangi menca-but senjata kipasnya. Langsung diterjangnya wanita
yang datang bersama si Kelelawar Buduk itu.
"Yeaaa!"
Namun sebelum senjata kipas itu mengenai sasa-ran, tongkat si Kelelawar Buduk telah lebih dulu me-nangkis.
Trak! "Dasar keparat! Rupanya dugaanku benar kalau
kalian telah bersekongkol untuk membunuh Kakang
Rangga! Huh! Aku bersumpah akan membunuh kalian
berdua!" teriak gadis itu, semakin kalap dan langsung
menerjang si Kelelawar Buduk.
"Heaaat!"
? *** 6 "Hi hi hi...! Siapa sangka pekerjaan ini ternyata
begitu mudah. Hei, Kelelawar Buduk! Kau boleh men-dapatkan gadis itu. Atau, barangkali kau perlu ban-tuan"!" Teriak tabib berusia setengah baya yang diba-wa si Kelelawar Buduk melepaskan samaran.
Pandan Wangi melompat ke belakang. Diperhati-kannya dengan seksama. Tabib itu telah melepaskan
ikatan rambutnya. Sehingga, terlihat rambutnya yang
sepanjang pinggang, terurai begitu saja. Begitu juga
pakaian yang tadi dikenakan. Kini hanya tinggal penu-tup dada serta bagian bawah perut yang dilapisi sutera
halus tembus pandang. Sebuah selendang melilit ping-gangnya. Dia berkacak pinggang sambil tersenyum
mengejek pada Pandan Wangi.
"Wanita hina! Siapa kau sebenarnya"!" Hardik
Pandan Wangi garang.
"Hi hi hi...! Tidak ada salahnya kau mengetahui
siapa diriku. Namaku, Malini. Dan orang-orang me-nyebutku Iblis Perayu Sukma."
"Iblis Perayu Sukma" Hm, pernah kudengar na-ma besarmu itu. Tapi, apa gunanya menginginkan Ka-
kang Rangga?"
"Sebenarnya bukan untukku. Tapi untuk sahabatku, si Netra Buana. Tapi di samping itu, aku pun
ingin mencicipi kegagahannya. Hi hi hi! Bocah manis.... Kau tentu sudah lama bersamanya, bukan" Tidak ada salahnya kini dia menjadi milikku."
"Cis, tidak tahu malu! Kau kira semudah itu
mendapatkannya dariku?"
"Hi hi hi...! Kenapa tidak" Kau kira bisa mengha-langi niatku" Boleh jadi nama Kipas Maut membuat
gentar kalangan persilatan kelas picisan. Tapi dengan-ku, jangan harap kau bisa berkutik!" Desis Malini tersenyum sinis.
"Tentu saja...!"
Tiba-tiba Rangga bangkit dan berdiri tegak se-raya tersenyum sinis.
Malini dan si Kelelawar Buduk terhenyak me-nyaksikannya.
"Tidak usah heran. Aku sudah tahu tipu muslihat kalian. Seekor kelinci mungkin bisa terjebak sepuluh kali. Tapi bagiku, terjebak satu kali sudah cukup
menjadi pelajaran pahit. Ramuan obat yang kau berikan serta makanan itu telah ku buang," lanjut Pendekar Rajawali Sakti.
Malini cepat menguasai diri. Buru-buru perasaan
kagetnya dihilangkan.
"Hm, bagus! Rupanya kau mulai cerdik saat ini.
Tapi jangan kira bisa lolos dari tanganku!" Dengus Malini sinis.
"Aku tidak bermaksud meloloskan diri. Bahkan
hendak menangkap kalian berdua dan akan kuserahkan pada tokoh-tokoh persilatan. Kalian tahu" Me-reka saat ini tengah mencari semua anak buah Ki Ne-tra Buana. Maka dengan begitu, aku bisa mengurangi
tugas mereka."
"Hi hi hi...! Bocah dungu! Apa kau kira semudah
itu" Saat ini boleh jadi mereka tengah mencari si Netra
Buana. Namun sebelum sampai, tiga orang kawanku
akan membereskan mereka tanpa sisa!" sahut Iblis Perayu Suka sambil tertawa nyaring.
"Mereka tokoh-tokoh hebat. Dan kau kira, semudah itu tiga orang kawanmu membereskannya?"
ejek Rangga. "Seribu orang seperti mereka, tidak ada artinya
dibanding tiga orang kawanku. Mungkin kau pernah
mengenal nama Raja Katak Hitam, Setan Ular, dan Nyi
Pucuk Nyiur. Nah! Apa kau kira mereka bisa menahannya?"
Rangga terdiam sesaat. Ketiga tokoh yang dikatakan Iblis Perayu Sukma bukanlah orang semba-rangan. Mereka terhitung datuk-datuk sesat yang be-lum ada tandingannya. Kalaupun para tokoh itu bisa
meringkusnya, pasti akan mengorbankan sekian ba-nyak nyawa. Bisa dibayangkan, mayat-mayat akan
bergelimpangan akibat sepak terjang ketiga datuk sesat itu.
"Hi hi hi...! Agaknya kau bisa mengerti keadaan,
bukan" Nah, lebih baik, menurut saja padaku. Sebab
setelah mereka membereskan kerbau-kerbau tolol itu,
ketiganya akan ke sini untuk meringkusmu. Percuma
saja kau melawan. Menghadapi seorang sepertiku saja,
kau belum tentu mampu!"
Rangga tersenyum.
"Iblis Perayu Sukma, biarlah ku coba peruntun-ganku kali ini. Siapa tahu, kau bersedia mengalah un-tuk kupenggal lehermu," sahut Pendekar Rajawali Sak-ti.
"Bocah keparat! Agaknya kau tidak bisa diberi
hati. Hm.... Kau boleh mampus di tanganku!" Umpat
Malini geram, langsung melompat menerjang pemuda
itu. Rangga langsung mengelak. Dan tubuhnya se-gera mencelat keluar dengan menerobos wuwungan
gubuk ini. Sementara Malini dengan gesit mengikuti.
"Kelelawar Buduk! Ringkus bocah perempuan
itu! Mungkin kalau kekasihnya celaka, dia bisa lunak!"
Teriak Iblis Perayu Sukma, saat tubuhnya melesat
"He he he...! Kau menganggap rendah pada kekasihku?" Ejek Rangga, begitu mendaratkan kakinya di
halaman depan. "Tutup mulutmu, Bocah! Lihat serangan!" bentak
Malini garang. Rangga hanya terkekeh-kekeh mengejek lawannya.
Si Iblis Perayu Sukma memang memiliki sifat
tinggi hati dan pantang dihina. Di samping itu, dia pun
merasa yakin dengan kepandaiannya. Sehingga tak heran dalam setiap pertarungan, selalu menganggap enteng lawan. Tak terkecuali terhadap si Pendekar Raja-wali Sakti. Maka ketika setiap kali serangannya selalu
menemui kegagalan, hatinya makin panas terbakar
amarah. Sementara, Pendekar Rajawali Sakti dengan
enaknya memainkan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'.
Tubuhnya santai saja meliuk-liuk seperti orang menari-nari, di antara kelebatan serangan Iblis Perayu
Sukma. Memang jurus ini lebih banyak menghindar.
Tapi sekali-kali mampu me-lancarkan serangan mendadak, yang tak terduga lawan.
"Bocah setan! Apa kebisaan? mu hanya meng-hindar seperti penari, he"! Kuremukkan tubuhmu, Keparat!" hardik Iblis Perayu Sukma, segera meloloskan
selendang di pinggangnya.
Sret! "Nyai Malini! Tidak perlu gusar. Aku ingin bermain-main sejenak denganmu. Bukankah kau menyukaiku?" ejek Rangga, sengaja hendak membuat wanita
itu semakin marah.
Harapan Pendekar Rajawali Sakti terbukti. Kini
wanita itu menggeram. Lalu tiba-tiba ujung selendangnya meliuk dahsyat menghantamnya.
"Jahanam! Kubeset mulutmu itu, Setan!"
Jder! "Uts! Hampir saja...," keluh Rangga ketika merasakan tenaga kuat dan bunyi menggelegar laksana petir, manakala selendang itu luput menghajarnya.
"Yeaaa!"
Malini membentak nyaring. Dan senjatanya meliuk kembali.
Rangga kini telah mengerahkan jurusnya pada
tingkat yang tertinggi untuk menghindari serangan
senjata Iblis Perayu Sukma. Untuk beberapa saat dia
memang mampu menghindarinya. Namun manakala
Malini mengeluarkan jurus dahsyatnya yang bernama
'Bidadari Menari di Atas Pelangi', gerakan wanita itu
mulai kacau dan kelihatannya tidak beraturan. Namun
sesungguhnya, itu menjadi suatu serangan dahsyat
yang membuat Pendekar Rajawali Sakti kebingungan
dan beberapa kali diincar maut.
"Ayo, pergunakan jurus pedangmu kalau tidak
ingin mampus dengan cuma-cuma!" teriak Iblis Perayu
Sukma di sela-sela serangannya.
Apa yang dikatakan wanita itu memang benar.
Dan Rangga harus mencabut pedangnya kalau tidak
ingin celaka. "Heaaat!"
Sing! "Bagus! Ingin kulihat, sampai di mana keampu-han jurus pedangmu itu. Ayo, jangan sungkan-sungkan! Kerahkan semua kepandaian yang kau mili-ki!"
Rangga melompat tinggi dan berputaran ke bela-kang. Ketika Iblis Perayu Sukma mengejar, pemuda itu
tidak menjejak tanah. Dan tahu-tahu tubuhnya berge-rak cepat mengitari wanita itu. Sehingga sepintas lalu
Iblis Perayu Sukma melihat jumlah Pendekar Rajawali
Sakti menjadi banyak.
"Bagus! Bagus...!" puji wanita itu meski mulai
kebingungan. Namun perasaannya tidak ditunjukkan
pada pemuda itu.
Rangga sengaja mengerahkan jurus 'Seribu Rajawali' untuk mengecoh. Kemudian ketika serangan Iblis Perayu Sukma terlihat mulai mengendor, jurusnya
segera dirubah. Langsung dimainkannya jurus 'Pedang
Pemecah Sukma' pada tingkat tertinggi untuk menggempur Malini habis-habisan.
Malini terkejut, namun hanya sesaat. Selarik ca-haya biru dari Pedang Pusaka Pendekar Rajawali Sakti
yang berkelebat ke arahnya, menyambar ke arah leher,
dada, dan pinggang dengan kecepatan sulit diikuti
pandangan mata. Wanita itu mengibaskan selendangnya bermaksud untuk melibat Pedang Pusaka Rajawali
Sakti. Bres! Cras! "Aaakh!"
Malini memekik tertahan. Sementara begitu telah
mengelebatkan pedang pusakanya, Pendekar Rajawali
Sakti sudah berada di belakangnya pada jarak lima
langkah dalam sikap memunggungi. Keduanya terdiam
dan masing-masing berdiri tegak. Ketika angin bertiup
semilir, terlihat selendang Malini melayang terbang
menjadi beberapa potongan. Lalu, tubuh wanita itu
ambruk menggelepar berlumuran darah. Leher dan
pinggangnya nyaris putus. Nyawanya pun melayang
saat itu juga. Rangga menghela napas panjang seraya menyarungkan pedangnya. Lalu diperhatikannya pertarun-gan antara Pandan Wangi dan si Kelelawar Buduk.
"Hei"!"
Bukan main kagetnya si Kelelawar Buduk melihat kematian Iblis Perayu Sukma.
"Hiiih!"
Pandan Wangi tidak menyia-nyiakan kesempatan
itu. Kipas Maut-nya berkelebat cepat, membuat si Ke-lelawar Buduk terkesiap. Dia berusaha menangkis
dengan tongkatnya. Namun sudah terlambat, ketika
ujung senjata gadis itu telah memapak pergelangan
tangan kanannya.
Cras! "Akh!"
Si Kelelawar Buduk mengeluh tertahan dengan
tubuh terhuyung-huyung ke belakang. Tangan kirinya
cepat menotok tangan kanannya yang putus untuk
menghentikan aliran darah yang terus mengucur de-ras.
"Keparat! Kubunuh kau, Setan Betina! Yeaaa!"
Si Kelelawar Buduk menggeram. Telapak tangan
kirinya menghantam Pandan Wangi sambil mengerah-kan tenaga dalam tinggi.
Wusss! "Uts!"
Pandan Wangi cepat berkelit dengan meliukkan
tubuhnya, menghindari pukulan jarak jauh yang di-lancarkan si Kelelawar Buduk. Kemudian dengan gesit
dia melompat menerjang dan balas menyerang.
"Hiiih!"
"Uhhh...! Si Kelelawar Buduk merasakan sambaran angin
kencang berhawa panas menerpa dirinya. Buru-buru
tubuhnya mencelat ke samping. Dan saat itu pula satu
tendangan menggeledek telah menantinya. Cepat bagai
kilat dia membungkuk. Dan ketika berbalik sambil
menghindari kelebatan kipas Pandan Wangi, telapak
tangannya menyodok ke arah dada. Namun dengan si-gap, kepalan kiri Pandan Wangi menangkis. Dan ber-samaan dengan itu, ujung kipasnya kembali menyam-bar perut.
Plak! Bret! "Aaa!"
Si Kelelawar Buduk terhuyung-huyung ke be-lakang sambil mendekap perutnya yang robek mengu-curkan darah. Sepasang matanya mendelik garang.
Wajahnya tampak berkerut menahan rasa sakit serta
dendam yang tidak tersampaikan.
"K..., kau."
Ucapan laki-laki itu terputus ketika nafasnya
terhenti. Tubuhnya langsung ambruk tak berdaya.
"Huh! Dia patut menerima semua ini!" Dengus
gadis itu seraya membersihkan senjatanya dari noda
darah. Segera kipas baja itu diselipkannya kembali di
pinggang. "Sebenarnya sangat disayangkan kematiannya.
Sebab walau bagaimanapun, dia pernah berjasa pada
kita," gumam Rangga lirih.
"Tidak perlu, Kakang! Niatnya menolong kita,
agar kau bisa diperbudak lagi oleh si Netra Buana!"
Dengus Pandan Wangi tegas, seraya menyipitkan mata
penuh kebencian memandang mayat si Kelelawar Bu-


Pendekar Rajawali Sakti 147 Tongkat Sihir Dewa Api di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

duk. "Sudahlah. Kita tidak bisa berlama-lama di sini.
Orang-orang itu dalam bahaya. Dan kita mesti meno-longnya!"
"Apa Kakang yakin?"
"Maksudmu?"
"Mereka berniat meringkus dan hendak mem-bunuhmu," sahut Pandan Wangi, khawatir.
"Pandan! Aku telah berbuat salah. Dan mereka
patut menghukumku. Apa pun yang terjadi, aku tidak
takut. Yang penting, mereka harus mendengar lebih
dulu alasan ku. Ayo, lekas kita berangkat sebelum ter-lambat!" Ajak Pendekar Rajawali Sakti bergegas berlari
kencang ke satu arah.
Pandan Wangi mengikuti dari belakang, meski
hatinya ragu. ? *** Seorang gadis berbaju lusuh dengan kelopak mata cekung dan rambut kusut, tampak tengah menung-gang kuda. Dia diapit Ki Walang Ijo dan Ki Gempar
Persada. Sementara, Nyai Kami berada di belakang mereka. Ki Polong dan Ki Pintur Gumelar berada paling
depan memimpin rombongan.
Matahari mulai terang membuat bayangan panjang. Udara mulai terasa segar ketika rombongan itu
memasuki sebuah lembah yang subur. Ki Walang Ijo
memberi perintah agar mereka berhenti untuk sesaat.
"Ada apa, Ki Walang?" Tanya Ki Polong.
"Tempat ini bernama Lembah Putus Nyawa. San-gat indah pemandangannya. Namun di balik itu, ba-nyak rahasia tersembunyi yang amat berbahaya. Kita
mesti hati-hati!"
"Nisanak! Di mana tempat itu?" Tanya Ki Gempar
Persada pada gadis di sebelahnya, yang tak lain dari
Sarti. "Di balik gundukan bukit sebelah kiri, terdapat
sebuah goa berukuran besar. Di situlah sarang Ki Ne-tra Buana," sahut Sarti, datar.
"Kau yakin?"
Wajah Sarti tampak kurang senang, karena keli-hatannya Ki Gempar Persada tidak mempercayai kata-katanya.
"Aku tidak peduli, apakah akan tewas dengan ka-lian atau di tangan Ki Netra Buana. Kita telah tiba di
daerah kekuasaannya. Dan sebentar lagi, kalian akan
membuktikannya kalau aku tak berdusta!" Sahut Sarti
tandas. "Apa maksudmu?"
Namun pertanyaan Ki Gempar Persada agaknya
tidak perlu dijawab, ketika tahu-tahu terlihat beberapa
orang muncul dengan senjata lengkap dari jarak lebih
kurang dua puluh lima langkah. Jumlah itu perlahan-lahan semakin banyak, keluar dari balik bukit-bukit
serta hutan-hutan kecil yang mengelilingi. Demikian
pula di atas cabang-cabang pohon. Tampak orang-orang bersenjata lengkap telah mengepung rapat.
"Kita telah terkepung...!" Desis Ki Walang Ijo pe-lan.
Belum lagi habis suaranya, mendadak muncul
tiga sosok tubuh di hadapan mereka pada jarak sepu-luh langkah. Dua laki-laki berusia lanjut dan seorang
wanita tua renta.
"Hi hi hi...! Kita bertemu lagi di sini, Kerbau-kerbau Dungu! Hari ini kalian akan mengantar nyawa
sia-sia!" Kata wanita tua renta itu dengan tawa nyar-ing.
"Hm, Nyi Pucuk Nyiur...!" Gumam Ki Walang Ijo.
"Dan Setan Ular, serta Raja Katak Hitam...!" Seru
Ki Gempar Persada dengan wajah kaget.
Mereka segera menyadari kalau lawan-lawan
yang akan dihadapi bukanlah tokoh sembarangan.
Dan meski di hati terbersit perasaan jerih melihat ke-hadiran ketiga tokoh itu, namun Ki Walang Ijo dan ke-dua kawannya berusaha bersikap gagah untuk mem-bangkitkan semangat kawan-kawan yang lain.
"Walang Ijo! Dan kau Gempar Persada! Menye-rahlah kalian Suruh semua orangmu meletakkan sen-jata, dan ikut kami menghadap Ki Netra Buana untuk
menerima hukuman!" Teriak orang tua bertubuh pen-dek dan gempal yang tak lain si Raja Katak Hitam.
"Raja Katak Hitam! Kau boleh bermimpi bila me-nyangka kami akan menyerah begitu saja!" Dengus Ki
Walang Ijo. "Hik hik hik...! Bukan main dan sungguh hebat!
Si Belalang Sakti agaknya masih juga punya nyali. Pa-dahal tak ada gunanya melawan!" Teriak Nyi Pucuk
Nyiur mengejek.
"Sebaiknya menyingkirlah kalian dari sini! Kami
tidak punya urusan dengan kalian. Dan, suruh si Ne-tra Buana keluar dari sarangnya!" Timpal Ki Gempar
Persada. "Gempar Persada, tutup mulutmu! Kau kira te-ngah berhadapan dengan siapa saat ini"!"
Wajah si Raja Katak Hitam berubah garang men-dengar kata-kata Ki Gempar Persada yang seolah-olah
menganggap sepi kehadiran mereka di sini. Hal itu ti-dak mengherankan. Sebab, ketiga datuk sesat ini begi-tu yakin kalau hanya mendengar namanya saja, orang-orang akan takut terhadap mereka. Dan kini, seorang
tokoh yang sama sekali tidak dipandang sebelah mata
olehnya, seenaknya saja pentang bacot yang bernada
meremehkan. Itu saja sudah cukup baginya untuk
membunuhnya. "Hiaaat!"
Cepat sekali tubuh Raja Katak Hitam mencelat
menyerang Ki Gempar Persada. Bahkan Ki Polong dan
Ki Pintur Gumelar yang dilewati, tidak mampu berbuat
apa-apa. "Hup!"
"Ki Gempar Persada melompat ke samping untuk
menghindari serangan. Akibatnya sungguh hebat. Ter-nyata kuda tunggangannya menjadi sasaran serangan.
Hewan malang itu kontan meringkik nyaring ketika tu-buhnya mencelat setinggi satu tombak dan terjungkal
roboh. Tulang punggungnya patah. Kuda itu mering-kik-ringkik terus menahan ajal.
"Huh! Biar kawannya menjadi bagianku!" Dengus
Ki Naga Pertala alias si Setan Ular.
Langsung tokoh sesat itu melompat menyerang
Ki Walang Ijo. Sementara hampir bersamaan dengan
itu, Nyi Pucuk Nyiur mencari lawan yang dirasakannya
setimpal. Nyai Kami!
Melihat keadaan ini, yang lain segera mengikuti.
Dan sambil berteriak garang, mereka menyerang para
tokoh silat lain beserta murid mereka masing-masing.
"Yeaaa...!"
*** Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 . 147. Tongkat Sihir Dewa Api Bag. 7 dan 8 (Selesai)
7. Dezember 2014 um 07:54
7 Pertempuran kedua belah pihak tidak bisa terelakkan lagi. Pekik kematian dan tubuh-tubuh yang
bergelimpangan, mulai terlihat satu persatu di antara
kelebatan orang-orang yang saling baku hantam.
Sesungguhnya orang-orang yang bersama tiga
datuk sesat itu tidak bisa dianggap sembarangan. Mereka terdiri dari kawanan perampok dan tokoh-tokoh
golongan hitam yang memiliki kepandaian lumayan.
Sehingga tidak heran bila banyak yang jatuh korban di
pihak rombongan tokoh silat aliran putih. Hal ini tentu
saja membuat mereka merasa cemas bercampur kha-watir. Ki Polong beberapa kali mendapati orang-orangnya tewas. Sehingga dalam waktu singkat, jumlah mereka berkurang banyak.
"Ki Polong! Dua orang kawan kita tewas...!" Teriak Ki Pintur Gumelar di sela-sela pertarungan.
"Siapa?" Tanya Ki Polong.
"Ki Dewantara dan Ki Jaka Gedong...," sahut Ki
Pintur Gumelar lemah. Dan dia terus mengamuk hebat
sambil mengibaskan pedang untuk menghalau musuh-musuhnya.
"Keparat!" maki Ki Polong geram.
Pedang Ketua Padepokan Kalong Wetan itu berkelebat ke sana kemari menyapu tiga orang lawan yang
mengurung ketat. Namun mereka pun bukanlah orang
sembarangan. Setiap serangan Ki Polong selalu dapat
dihindari dengan mudah. Sementara, sesekali mereka
tiba-tiba balas menyerang, membuat luka cukup banyak di tubuh Ketua Padepokan Kalong Wetan itu.
Sementara itu bukan hanya mereka yang mengalami saat-saat sulit. Tampak Ki Walang Ijo beserta kedua kawannya pun pontang-panting menghadapi la-wan-lawannya. Nyata sekali kalau serangan-serangan
yang dilakukan tidak membawa hasil. Ketiga datuk se-sat itu benar-benar menunjukkan bobotnya sebagai
tokoh sesat yang memiliki kepandaian hebat
Saat ini keadaan Ki Walang Ijo benar-benar ga-wat. Apalagi, si Setan Ular mempergunakan senjata
mautnya, berupa ular-ular kecil berkulit merah dan
memiliki bisa dahsyat.
"Hiiih!"
Wuuut! Dua ekor ular milik Ki Naga Pertala menderu ba-gaikan kilat ke arah Ki Walang Ijo. Terpaksa tokoh tua
ini berjumpalitan ke samping untuk menghindarinya.
Meskipun telah memainkan jurus andalannya yang
bernama 'Belalang Sakti Menangkap Mangsa', namun
gerakan si Setan Ular selanjutnya tidak mampu diim-banginya. Dia hanya mampu terkesiap. Dan tahu-tahu,
satu dupakan keras menghantamnya.
Duk! "Wuaaakh!"
Tubuh orang tua itu terpental beberapa langkah
ke belakang disertai muntahan darah segar dari mulut
"Hiiih!"
Ki Naga Pertala melepaskan dua ekor ular bera-cunnya. Dengan mengerahkan sisa tenaganya yang
masih ada, Ki Walang Ijo bergulingan menghindarinya.
Kemudian tubuhnya mencelat ke atas manakala kedua
ekor ular itu melenting mengejar. Namun saat itu juga,
tubuh si Setan Ular telah mengapung ke udara. Dan....
Begkh! "Aaakh...!"
Sekali lagi tubuh Ki Walang Ijo terpental disertai
pekikan keras. Darah kental dari mulutnya langsung
muncrat keluar tak tertahankan lagi. Orang tua itu
megap-megap dan berusaha bangkit. Bersamaan den-gan itu, si Setan Ular kembali melepaskan dua ekor
ular beracunnya.
"Hm.... Tamatlah riwayatmu, Kerbau Dungu!" de-sis Ki Naga Pertala.
Wet! "Ohhh!"
Ki Walang Ijo terkesiap. Kali ini tampaknya dia
tak mampu menghindar. Dan nyawanya tentu saja be-rada di ujung tanduk. Orang tua itu sudah merasa pa-srah. Dan hanya keajaiban saja yang bisa menolong-nya saat ini.
Dan..., sepertinya keajaiban itu memang muncul
pada saat yang tepat Tiba-tiba saja sesosok bayangan
putih berkelebat cepat. Langsung disambarnya kedua
ekor ular beracun itu.
Kres! "Heh"!"
Ki Naga Pertala alias si Setan Ular terkejut bukan
main. Dua ekor ular beracunnya mati dengan tubuh
remuk dan terjatuh dekat kakinya. Dan tahu-tahu di
dekat Ki Walang Ijo berdiri tegak sesosok pemuda tam-pan berbaju rompi putih.
"Pendekar Rajawali Sakti...!" Desis Ki Walang Ijo
begitu melihat siapa yang muncul.
Hati orang tua itu kecut. Dan, semangatnya se-perti terbang. Meski, secercah harapan masih tersisa.
Dalam hatinya mengira, seorang lagi tokoh hebat kaki
tangan Ki Netra Buana muncul. Dan itu sudah cukup
untuk menghabisi mereka semua. Namun, kenapa dia
menghalangi Ki Naga Pertala"
"Tenanglah, Kisanak. Aku berada di pihak ka-lian," kata pemuda yang memang Pendekar Rajawali
Sakti. "Kau..." Bagaimana mungkin?"
"Ceritanya panjang. Nanti saja kuceritakan. Biar
kubereskan dulu orang ini. O, ya. Jangan khawatir.
Aku datang bersama si Kipas Maut. Dia tengah mengu-rus yang lainnya," sahut pemuda itu singkat.
"Hm.... Jadi kau orangnya yang berjuluk Pende-kar Rajawali Sakti?" Tanya Ki Naga Pertala, terdengar
sinis. "Syukurlah kau telah mengetahuinya. Nah! Ber-siaplah, Anjing Netra Buana!"
Tidak seperti biasanya, Rangga kini sudah lang-sung mencabut pedang pusakanya. Bahkan langsung
melompat bagai kilat menyerang si Setan Ular.
"Hiiih! Yeaaa...!"
Bet! "Uts! Bocah haram jadah! Kau akan merasakan
kematian di tanganku!" dengus Ki Naga Pertala langsung berkelit cepat dari tebasan Pedang Pusaka Rajawali Sakti.
? *** Ada dua hal agaknya yang membuat Pendekar
Rajawali Sakti tidak mau berbasa-basi menyerang lawan. Yang pertama, dia tahu kalau kepandaian si Setan Ular sangat hebat. Sehingga tak ada gunanya ber-basa-basi. Dan kedua, keadaan saat ini amat genting
bagi kalangan para pendekar golongan lurus. Kalau
waktu dipergunakannya untuk bermain-main, maka
korban yang jatuh akan semakin banyak Karena ala-san itu, tidak heran kalau Pendekar Rajawali Sakti
mengamuk dahsyat.
"Hiyaaat...!"
Tubuh Rangga mencelat ringan bagai kilatan ca-haya. Sementara batang pedangnya yang mengelua-rkan sinar biru berkelebat cepat mengurung si Setan
Ular. Tampak Ki Naga Pertala terkesiap. Sama sekali
tidak diduga kalau si Pendekar Rajawali Sakti mampu
melakukan serangan demikian hebat Percuma saja
ular-ular beracunnya di-lepaskan. Sebab sebelum
mengenai sasaran, ular-ularnya akan tertebas senjata
pemuda itu. "Yeaaat...!"
Ki Naga Pertala mencelat ke atas. Tubuhnya ber-gulung bagai angin lesus. Dari situ, terpancar kilatan
laksana petir yang menyambar Pendekar Rajawali Sak-ti. Dan itu adalah pengerahan aji saktinya bernama
'Indra Widyuta'.
Pendekar Rajawali Sakti tidak berusaha meng-hindar. Bahkan langsung dikerahkannya aji 'Cakra
Buana Sukma' untuk memapak serangan. Ketika tan-gan kanannya menggosok-gosok batang pedang, maka
telapak tangannya mulai membias cahaya biru yang
menyebar cepat ke sekujur tubuhnya. Dan secepat itu
pula, Rangga memindahkan pedangnya ke tangan ka-nan. Begitu ajian milik si Setan Ular hampir menghan-tam tubuhnya, tangan kirinya cepat dihentakkan ke
depan. "Aji 'Cakra Buana Sukma'! Heaaa...!"
Jderrr...! "Aaa...!"
Terdengar ledakan keras ketika kedua pukulan
sakti beradu, sehingga membuat kaget mereka yang
berada di tempat itu. Untuk beberapa saat, pertempu-ran jadi terhenti.
Tampak Ki Naga Pertala tersungkur sambil ber-guling-gulingan ke belakang beberapa kali. Dari mu-lutnya menggelogok darah kental kehitaman. Bahkan
tubuhnya menghitam cepat. Orang tua itu hanya
mampu menarik napas tertahan dengan sepasang ma-ta mendelik garang. Kemudian, tubuhnya ambruk ti-dak berkutik!
Sedang Rangga sempat terhuyung-huyung be-berapa tindak ke belakang. Namun Pendekar Rajawali
Sakti masih tetap berdiri tegak dengan wajah kelam
membesi membiaskan cahaya biru yang terpancar dari
batang pedangnya. Kedua bahunya turun naik tidak
beraturan, menandakan pernafasannya agak kacau
akibat benturan kedua pukulan sakti tadi.
"Bocah keparat! Kau akan mampus di tanganku...!" teriak Ki Bangkong alias si Raja Katak Hitam ge-ram, langsung melompat tinggi ke atas dan berjumpalitan beberapa kali. Ketika kedua kakinya jatuh berdebum, telapak tangan kirinya menghantam tanah. Se-mentara telapak tangan kanannya disorongkan ke muka.
Werrr...! "Yiaaat!"
Serangkum angin kencang laksana topan yang
berhawa panas dan mengeluarkan cahaya kuning, me-nerpa Pendekar Rajawali Sakti dengan hebat.
Cepat bagai kilat, Rangga mencelat ke atas
menghindarinya. Sehingga, pukulan itu luput dari sa-saran. Namun, akibat yang ditimbulkan si Raja Katak
Beracun itu sungguh dahsyat. Beberapa orang yang
sudah kembali bertarung di belakang si Pendekar Ra-jawali Sakti, terpental dengan tubuh remuk tanpa
mampu menjerit lagi. Bahkan beberapa pohon besar
yang terkena hantaman pukulan itu hancur beranta-kan.
Rangga tidak mempedulikan. Dan dia balas
menghantam si Raja Katak Hitam dengan jurus 'Pu-kulan Maut Paruh Rajawali'. Begitu tangan kirinya
menghentak ke depan, selarik cahaya merah laksana
kobaran bara api melesat cepat menyambar Ki Bangkong.


Pendekar Rajawali Sakti 147 Tongkat Sihir Dewa Api di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Haiiit!"
Ki Bangkong mencelat ke samping. Namun, pukulan itu agaknya memang disengaja si Pendekar Ra-
jawali Sakti untuk mengecoh. Dan ternyata, serangan
sesungguhnya adalah lewat kelebatan pedangnya yang
menderu dahsyat.
Bet! Bet! Ki Bangkong terkesiap. Pendekar Rajawali Sakti
menyerang begitu cepat pada jarak dekat. Sehingga tak
ada kesempatan buatnya untuk mengeluarkan puku-lan dahsyat tadi, yang bernama 'Pukulan Katak Bera-cun'!
"Hiiih!"
Cepat-cepat Ki Bangkong berusaha menghantam
ketika Pendekar Rajawali Sakti berkelebat ke samping.
Tapi, Rangga telah memutar tubuhnya dengan indah.
Lalu dia melompat ke atas melewati kepala si Raja Ka-tak Hitam. Dan tahu-tahu, ujung pedangnya menyam-bar ke arah leher. Bukan main kagetnya Ki Bangkong.
Malah, kepalanya sampai mendongak. Dan akibat-nya....
Cras! "Wuaaa...!"
Ki Bangkong memekik setinggi langit. Dadanya
kontan robek disambar pedang Pendekar Rajawali Sak-ti. Orang tua bermuka buruk itu pun ambruk, dan te-was bersimbah darah dengan mata terbelalak lebar.
Kematian dua orang datuk sesat itu mengemba-likan semangat tokoh-tokoh golongan lurus. Sehingga
kini mereka bertempur lebih bersemangat Sebaliknya
pihak golongan sesat mulai khawatir. Satu-satunya
andalan mereka saat ini adalah Nyi Pucuk Nyiur yang
sedang menghadapi keroyokan Ki Gempar Persada dan
Nyai Kami. Namun meskipun dikeroyok dua begitu,
wanita yang tergolong datuk sesat itu sama sekali ti-dak mampu terdesak Bukan saja gerakan Nyi Pucuk
Nyiur yang hebat bukan main. Tapi, juga tenaga da-
lamnya sangat kuat.
"Kisanak berdua! Tinggalkan saja nenek peot ini
untukku! Bantulah yang lain membereskan lawan-lawannya," ujar Pendekar Rajawali Sakti, langsung me-lompat menyerang Nyi Pucuk Nyiur.
Suara yang dikeluarkan pemuda itu terdengar
menggelegar mendebarkan jantung. Mereka menden-garnya seperti ancaman maut yang amat menakutkan.
Malah wajah Pendekar Rajawali Sakti saat ini begitu
terlihat bagai malaikat maut dengan batang pedang
melintang di mukanya.
Kedua orang itu terkesiap, dan langsung me-lompat menghindar. Mereka terpaku sesaat, sebelum
menolong yang lain membereskan lawan.
"Bocah busuk! Akan ku rencah tubuhmu dengan
senjataku...!" Desis Nyi Pucuk Nyiur seraya mengi-baskan sapu lidi yang diberi tongkat.
Senjata itu kelihatannya remeh dan lucu. Namun
di tangan Nyi Pucuk Nyiur, menjadikan alat pembunuh
yang mengerikan. Pada setiap ujung satu pucuk lidi,
terdapat racun yang amat mematikan. Bila saja ada
orang yang berusaha memapas sapu lidi itu dengan
senjata biasa, maka akan ter-kejut. Karena bukan sen-jata itu yang putus, tapi senjata biasa yang akan pa-pas. Dan memang sapu milik Nyi Pucuk Nyiur sepintas
lalu seperti lidi daun kelapa. Namun sesungguhnya,
merupakan kumpulan kawat baja pilihan yang alot
dan amat kuat. Trang! Bet! Tangan Pendekar Rajawali Sakti bergetar ketika
kedua senjata mereka beradu. Sapu lidi nenek itu sa-ma sekali tidak rusak. Jelas terbukti, selain senjata itu
memang hebat, pemiliknya pun memiliki tenaga dalam
tinggi. Tapi Rangga sama sekali tidak mempedulikannya
meski disadari kalau Nyi Pucuk Nyiur memiliki kepan-daian sedikit lebih tinggi ketimbang kedua kawannya.
Terutama, tenaga dalamnya.
? *** Dengan turunnya Ki Gempar Persada dan Nyai
Karni membantu Ki Polong dan yang lainnya, maka pihak golongan sesat mulai berjatuhan. Sehingga dalam
waktu singkat keadaan menjadi terbalik. Sebenarnya,
hal itu sudah terjadi sejak kedua tokoh andalan golon-gan sesat binasa di tangan Pendekar Rajawali Sakti.
Sehingga nyali semakin ciut, yang membuat mereka
kehilangan semangat tempur. Lalu ketika Ki Gempar
Persada dan Nyai Kami mengamuk hebat, banyak yang
merasa tak perlu melanjutkan pertempuran ini. Maka
tidak heran ada yang langsung melarikan diri dari per-tempuran. Tentu saja hal ini amat menggembirakan
bagi Ki Polong dan kawan-kawannya. Semangat mere-ka makin menyala-nyala dalam menghajar lawan-lawannya.
Sementara itu, pertarungan antara Pendekar Ra-jawali Sakti dan Nyi Pucuk Nyiur semakin alot dan ber-langsung seru. Nyi Pucuk Nyiur telah mengerahkan se-genap kemampuannya untuk menghabisi pemuda itu
secepatnya. Namun, agaknya Pendekar Rajawali Sakti bukan-lah lawan enteng. Gerakan pemuda ini gesit sekali da-lam setiap menghindari serangan. Kemudian tiba-tiba
saja menyelinap ke daerah pertahanan wanita tua itu
dengan melakukan serangan kilat. Dan ini sering
membuat Nyi Pucuk Nyiur menyumpah-nyumpah tak
karuan. "Haram jadah! Bocah edan! Kau benar-benar
menguji kesabaranku...!" Teriak wanita tua itu marah.
Rangga tidak meladeni serapah Nyi Pucuk Nyiur.
Tubuhnya mencelat ke belakang, setelah serangannya
dapat dielakkan. Dengan menekuk punggung dan me-nyilangkan pedang di dada, dia siap menyambut se-rangan ketika senjata wanita tua itu menerpa kencang
yang menimbulkan desir angin laksana badai topan.
"Hup!"
Rangga cepat bergulingan di tanah. Lalu men-dadak tubuhnya melenting ke atas seraya menekuk
kedua kaki. Pedangnya tampak bergulung-gulung lak-sana ombak di laut yang mengamuk dahsyat.
"Hiyaaa...!"
"Hiiih!"
Selarik cahaya kuning yang dilepaskan Nyi Pu-cuk Nyiur nyaris menyambar batok kepala Rangga ka-lau tidak cepat menundukkan kepala. Sementara
ujung pedang Pendekar Rajawali Sakti menyambar ke
arah dada. Namun, Nyi Pucuk Nyiur telah mencelat ke
belakang sambil jungkir balik menghindarinya.
Melihat itu, Rangga langsung menghantam
menggunakan jurus 'Pukulan Maut Paruh Raja-wali'
Maka selarik cahaya merah langsung me-nerpa ke
arah Nyi Pucuk Nyiur dengan kuat. Wanita tua itu me-lejit ke samping untuk menghindarinya. Namun, Rang-ga kembali melepaskan pukulan bersamaan tubuhnya
yang mencelat ke arah Nyi Pucuk Nyiur.
"Hup!"
"Heaaat!"
Nyi Pucuk Nyiur bergulingan menghindarinya
sambil menyumpah-nyumpah tak karuan. Pada saat
itu pula, ujung pedang Rangga menyambar ke arah pe-rut. Wanita itu sempat menangkis dengan senjatanya.
Namun lutut kanan Pendekar Rajawali Sakti ditekuk,
dan langsung dihantamkan ke dada wanita tua itu.
Trang! Bugkhr "Aaakh...!"
Nyi Pucuk Nyiur menjerit keras. Tubuhnya ter-huyung-huyung ke belakang. Tapi saat itu pula Pende-kar Rajawali Sakti telah mengejarnya sambil bergulin-gan. Dan....
Wuuuk! Cras! "Aaa...!"
Nyi Pucuk Nyiur kembali memekik nyaring den-gan pinggang nyaris putus begitu pedang Rangga
membabatnya. Tubuhnya kontan ambruk bermandi-kan darah, dan tewas beberapa saat kemudian setelah
menggelepar-gelepar seperti ayam disembelih!
"Nyi Pucuk Nyiur tewas...!" Teriak seseorang.
"Apa"!"
"Heh"!"
Sesaat timbul kegaduhan. Dan nyali orang-orang
Ki Netra Buana semakin ciut Mereka hendak melari-kan diri dari pertempuran, karena merasa tidak ada
gunanya lagi melanjutkannya. Tapi saat itu, bertiup
angin kencang yang menerpa di seluruh lembah ini.
Werrr! "Apa ini" Dari mana datangnya..."!" Teriak orang-orang kebingungan.
Pendekar Rajawali Sakti berdiri tegak dengan ke-dua telapak tangan bertumpu pada gagang pedang
yang ujungnya menyentuh tanah. Untuk sesaat dia
memusatkan pikirannya. Disadari betul kalau badai
topan itu bukan terjadi dengan sendirinya. Tapi, akibat
perbuatan seseorang.
"Ki Polong! Tolooong...!"
"Tolooong...! Aaakh...!"
Mendadak terdengar jeritan panjang yang meme-nuhi sekitar arena pertarungan, begitu angin yang
kencang tadi menerbangkan apa saja yang berada di
sekitarnya. Beberapa buah pohon tumbang. Dan me-reka yang tidak memiliki tenaga dalam kuat, terpelant-ing laksana sehelai daun kering.
"Heaaat...!"
Pada saat itu juga Pendekar Rajawali Sakti berte-riak menggelegar. Dan tiba-tiba telapak kirinya dis-orongkan ke muka. Dari telapak itu seketika menderu
angin kencang laksana badai topan, yang menghantam
pusat angin topan yang pertama. Beradunya kedua
angin topan yang dahsyat, menimbulkan tenaga do-rongan yang menerpa ke mana-mana.
Sementara Pendekar Rajawali Sakti yang me-ngerahkan aji 'Bayu Bajra', perlahan-lahan bergerak ke
depan. Lalu ketika jarak terasa dianggap telah cukup
dekat, pedangnya cepat diputar-putar menerobos te-kanan angin kencang di depannya.
"Hiyaaat..!"
Bet! Wuuut! "Hm...."
Desir angin kencang itu mendadak berhenti. Dan
sebagai gantinya, terlihat dua orang saling bertarung
dengan gerakan sulit diikuti pandangan mata biasa. Ki
Walang Ijo beserta kedua kawannya bisa menduga ka-lau yang seorang pasti Pendekar Rajawali Sakti. Na-mun yang satunya, mereka masih belum bisa menduga
dengan pasti. Mungkin salah seorang anak buah Ki
Netra Buana. Atau...., mungkin Ki Netra Buana sendi-ri"
*** ? 8 "Hup...!"
Salah seorang yang tengah bertarung tampak
mencelat ke belakang, membuat jarak. Begitu kakinya
menjejak tanah, jelaslah siapa orang itu. Dia adalah
seorang laki-laki tua berambut sepunggung yang di-biarkan begitu saja tanpa pengikat. Wajahnya bersih,
meski terlihat kerut-merut yang menandakan usianya
telah lanjut. Sebagian rambutnya telah beruban. Na-mun begitu, tubuhnya masih terlihat kekar meski ti-dak terlalu besar. Baju berukuran besar dengan dasar
merah berkembang-kembang berwarna biru dan hijau.
Sepasang matanya tajam manakala mengedarkan pan-dangan ke sekeliling.
"Ki Netra Buana...!" Desis Ki Gempar Persada dan
kedua kawannya dengan wajah kaget. Demikian juga
Ki Polong dan Ki Pintur Gumelar serta beberapa tokoh
silat lainnya yang dulu pernah menghadapi tokoh tua
yang baru muncul itu.
"Hua ha ha...! Siapa sangka akhirnya kita berte-mu lagi di sini, sobat-sobat lamaku!"
Suara tawa laki-laki tua yang memang Ki Netra
Buana menggelegar dan menyakitkan pendengaran
mereka yang berada di sini. Beberapa orang langsung
terkapar dengan lobang telinga mengucurkan darah.
Bahkan Ki Polong dan Ki Pintur Gumelar yang terhitung memiliki tenaga dalam kuat, sempat tertunduk
lemas. Wajah mereka berkerut, dengan kedua tangan
mendekap telinga.
"Netra Buana! Hentikan ocehanmu...!" Bentak
Pendekar Rajawali Sakti, juga disertai pengerahan te-naga dalam sempurna.
Orang tua itu langsung menghentikan tawanya.
Matanya kontan mendelik garang, kemudian bibirnya
tersenyum sinis.
"Hm.... Budakku tersayang. Apa kabarmu saat
ini" He he he...! Agaknya kini kau baik-baik saja, bu-kan?"
"Netra Buana! Perbuatanmu sungguh licik! Dan
aku bersumpah tidak akan memaafkanmu. Kau sirep
aku dengan tipu muslihat, sehingga kesadaranku hi-lang. Lalu kau suruh aku membunuh tokoh-tokoh
yang tidak bersalah apa-apa padaku, demi kepuasan!"
Pendekar Rajawali Sakti yang sudah demikian
geram karena telah terpedaya oleh Ki Netra Buana
memang tak ada niat untuk memberi maaf. Baginya
kematianlah satu-satunya bagi tokoh sesat berkepan-daian tinggi ini.
"He he he...! Syukurlah kau telah sadar. Tapi ki-ni, aku sudah tidak memerlukanmu lagi. Dan kau bo-leh mampus sekarang juga!" desis Ki Netra Buana se-ketika tongkat pendek dalam genggamannya diki-baskan.
Wuuut! "Heh"!"
Rangga terkejut. Tiba-tiba saja di hadapannya
berdiri tiga sosok tubuh yang bentuk dan potongannya
mirip betul dengan Ki Netra Buana. Lalu dengan tiba-tiba saja, ketiga sosok Ki Netra Buana itu menyerang-nya dengan ganas.
"Aku berjuluk Tongkat Sihir Dewa Api! Dan yang
kau hadapi ini, memang ilmu sihir. Tapi jangan kira
mereka tidak bisa melukaimu!" Teriak Ki Netra Buana,
mengingatkan. "Persetan dengan segala ilmu iblismu!" Desis
Rangga. Seketika itu pula, Pendekar Rajawali Sakti berke-lebat cepat, mengerahkan jurus 'Seribu Rajawali. Den-gan mengerahkan jurus itu, tubuhnya seolah-olah ber-jumlah banyak. Rangga menyadari, apa yang dikata-kan Ki Netra Buana benar. Sehingga tidak ingin mela-deni serangan ketiga sosok tubuh ciptaan Ki Netra Bu-ana, melainkan menyerang lawannya yang asli.
"Hiyaaat...!"
Sambil terus mengitari Ki Netra Buana dengan
jurus 'Seribu Rajawali', Pendekar Rajawali Sakti juga
mengerahkan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'.
Begitu tangannya menghentak ke depan, melesat cepat
selarik cahaya merah ke arah Ki Netra Buana. Namun
orang tua itu hanya ter-kekeh. Bahkan dengan mudah
menghindari dari serangan Rangga.
"He he he...! Hanya segitukah kepandaianmu"
Hm, sungguh memalukan!" Ejek Ki Netra Buana alias
Tongkat Sihir Dewa Api.
Namun kata-kata Ki Netra Buana terhenti, ketika
ujung pedang Rangga tahu-tahu telah berada dekat ke
tenggorokannya.
"Jangkrik...!" Umpat Tongkat Sihir Dewa Api kes-al seraya melompat ke belakang.
"Hiiih!"
Rangga tidak memberi kesempatan. Telapak tan-gan kirinya cepat menghantam ke depan, me-ngerahkan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'. Maka
kembali cahaya merah melesat menghantam tokoh se-sat itu.
Meski Ki Netra Buana mampu menghindarinya,
namun cukup membuatnya repot. Karena si Pendekar
Rajawali Sakti tidak memberi kesempatan sedikit pun
padanya untuk bergerak leluasa. Hal itu amat men-jengkelkan, karena membuat perhatian Ki Netra Buana
buyar. Dan dengan demikian, tiga sosok tubuh cip-taannya menghilang.
"Lihat!" Bentak Ki Netra Buana membentak nyar-ing, ketika ujung pedang Pendekar Rajawali Sakti me-nyambar tenggorokannya.
Rangga terkesiap melihat sepasang mata Tongkat
Sihir Dewa Api yang berkilat tajam, memancarkan si-nar menyilaukan pandangan. Dan tahu-tahu....
Duk! "Hoakh...!"
Rangga terpental ke belakang sambil memuntah-kan darah segar, akibat satu pukulan keras yang tera-sa merontokkan isi dadanya. Kepalanya terasa pusing
dan langkahnya goyah.
"Kakang Rangga...!" Jerit Pandan Wangi cemas,
melihat keadaan pemuda itu. Dan si Kipas Maut ber-siap akan melompat membantunya, namun Nyai Kami
buru-buru mencegah.
"Jangan, Nisanak! Kau akan celaka sendiri!"
"Lepaskan aku! Lepaskaaan...!" Sentak Pandan
Wangi, berusaha melepaskan diri.
Nyai Kami menelikung kedua lengan gadis itu ke
belakang. "Maaf.... Aku terpaksa bertindak kasar padamu.
Sebab bila kau berusaha membantunya, kalian akan
celaka bersama."
Setelah berkata begitu, Nyai Kami memandang ke
arah Pendekar Rajawali Sakti.
"Pendekar Rajawali Sakti! Jangan tatap matanya!
Si Netra Buana akan menguasaimu dengan sihirnya,
jika kau melawan tatapan matanya!" teriak Nyai Kami,
lantang. ? *** Rangga terkesiap. Lalu buru-buru dia berdiri tegak sambil mengambil napas dalam-dalam. Kemudian


Pendekar Rajawali Sakti 147 Tongkat Sihir Dewa Api di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terlihat matanya terpejam. Kali ini pemuda itu ingin
menerapkan jurus anehnya yang didasarkan pada ilmu
'Pembeda Gerak dan Suara'.
"He he he...! Kau ingin menghadapiku dengan ca-ra seperti itu" He he he...! Kau malah mempercepat
kematianmu sendiri, Bocah!" Ejek Ki Netra Buana alias
Tongkat Sihir Dewa Api.
Ki Netra Buana mengibaskan tongkat pendek-nya. Dan bersamaan dengan itu, menjelma sepuluh
sosok tubuh yang mirip dengannya yang langsung
mengurung Pendekar Rajawali Sakti. Kemudian sosok-sosok itu bergerak bersamaan menyerang Rangga ber-sama Tongkat Sihir Dewa Api.
"Yeaaa...!"
"Hup!"
Rangga menekuk kaki kanan dengan pedang me-lintang di dada. Tubuhnya menekuk dengan dada ke
atas. Lalu riba-riba saja, dia berputar ke kiri ketika
dua serangan melesat menghantam dari arah kanan.
Kini tubuh Pendekar Rajawali Sakti meliuk-liuk ke de-pan, seperti orang yang sedang mabuk. Kedua kakinya
bergerak lincah menghindari serangan lawan-lawannya. Meski sosok-sosok ciptaan Ki Netra Buana
sekadar sihir belaka, tapi Rangga merasakan angin se-rangan dahsyat. Entah, ilmu apa yang dipergunakan
Tongkat Sihir Dewa Api. Namun, Pendekar Rajawali
Sakti merasa yakin kalau lawan-lawan ciptaan Ki Netra
Buana ini bisa melukainya.
Wuuut! "Uhhh, Setan...!"
Ki Netra Buana mengumpat. Ujung pedang Pen-dekar Rajawali Sakti nyaris merobek tenggorokannya.
Ki Netra Buana mencelat ke belakang. Kemudian
kedua telapak tangannya digosok-gosokkan. Perlahan-lahan, kedua tangannya sampai sebatas siku terlihat
merah membara. Bahkan timbul nyala api yang sema-kin marak dan menyelubungi tubuhnya.
"Heh"! Aji 'Dewa Api'!" desis Ki Gempar Persada
dan kedua kawannya kaget.
"Astaga! Ternyata dia telah menguasai ilmu sakti
itu!" seru Ki Walang Ijo.
"Ki Polong! Perintahkan yang lain untuk me-nyingkir pada jarak yang cukup jauh!" Teriak Nyai Ka-mi memperingatkan.
Meski tidak mengerti apa maksud wanita tua itu,
Ki Polong mengikutinya saja. Segera dia memerintah-kan yang lain untuk menyingkir pada jarak yang cu-kup jauh.
Apa yang dikhawatirkan ketiga tokoh itu memang
beralasan. Buktinya ketika Ki Netra Buana membentak
nyaring dengan sebelah kaki menghantam bumi, arena
pertarungan seketika dipenuhi kobaran api yang me-nyala-nyala laksana keluar dari perut bumi. Bahkan
sampai mengurung Pendekar Rajawali Sakti.
"Kakang Rangga...! Oh! Lepaskan aku! Dia bisa
celaka! Aku harus menolongnya...!" Teriak Pandan
Wangi parau bernada khawatir dan amat memelas.
"Percuma saja, Nisanak. Tak ada seorang pun
yang bisa menolongnya. Sekali api itu menjilat tubuh,
maka akan langsung merebak ke sekujur tubuh. Api
itu bukan jenis sembarangan. Bahkan amat memati-kan. Belum pernah ada yang selamat bila terjilat oleh-nya," Jelas Nyai Kami lemah.
"Ini semua salahmu! Kalau saja kau tidak men-cegah ku, maka tadi aku bisa menolongnya!" Sentak
gadis itu berang, dengan kelopak mata berair.
"Kalau aku tidak mencegahmu, maka kau akan
terkurung bersamanya. Apakah kau memiliki tenaga
hebat, sehingga bisa melindungi diri sendiri" Mungkin
Pendekar Rajawali Sakti mampu melindungi dirinya.
Tapi, bisakah dia melindungimu" Kau hanya membuat
beban baginya."
"Lalu kalian" Apa yang kalian lakukan"! Hanya
menonton dan tidak berbuat apa-apa"! Padahal, dia
bertarung mati-matian membela selembar nyawa ka-lian semua..."!"
Nyai Kami dan yang lain hanya bisa diam mem-bisu mendengar kata Pandan Wangi yang terasa me-nusuk telinga dan sampai ke jantung. Tapi, semua
menyadari kalau kepandaian Ki Netra Buana amat pe-sat dibanding sebelas tahun lalu. Tentu saja kepan-daian mereka saat ini tidak ada seujung kuku Ki Netra
Buana. Bila mereka memaksakan diri, maka hanya
kematian sia-sia saja yang diperoleh. Sebab baru me-lawan ketiga anak buahnya saja, mereka tidak berku-tik!
Sementara itu tubuh si Pendekar Rajawali Sakti
terlihat telah terselubung cahaya biru. Sehingga, api
yang mengelilingi di sekitarnya tidak mampu menjilati
tubuhnya. Selarik kobaran api membelenggu Pendekar Ra-jawali Sakti laksana lilitan seekor ular berukuran besar. Sementara Rangga balas menyerang dengan mengibaskan pedangnya.
"Heaaat...!"
Cahaya biru yang menyelubungi tubuh Pendekar
Rajawali Sakti menggembung sesaat. Kemudian, men-gempis disertai muntahan kilatan biru yang menerpa
Ki Netra Buana dengan gerakan amat cepat.
"Aaakh!"
Ki Netra Buana memekik nyaring. Tubuhnya
yang diselimuti kobaran api, terjungkal ke belakang
seperti dihantam bandul besi yang kuat bukan main.
Cahaya biru yang terpancar dari batang pedang Pen-dekar Rajawali Sakti terus menekannya dengan kuat.
Lalu ketika pemuda itu melompat mendekati.
Bruesss! Ki Netra Buana terhenyak. Kepalanya kontan pu-tus dari tempatnya ditebas Pedang Pusaka Pendekar
Rajawali Sakti. Maka seketika itu juga, kobaran api
sirna. Sedang Tongkat Sihir Dewa Api tergeletak kaku
dalam keadaan menghitam. Rangga sendiri berdiri ter-paku dengan tatapan lesu. Semua melihat, dari ujung
bibirnya menetes darah kental. Kemudian..., tubuh
pemuda itu sendiri ambruk terduduk!
"Kakaaang.,.!"
Pandan Wangi menjerit keras. Dan kali ini, Nyai
Karni tidak berusaha menghalangi. Bahkan bersama
yang lain mereka mengerubungi pemuda itu.
? *** "Nisanak, coba kuperiksa nadinya," ujar Nyai
Karni lembut ketika Pandan Wangi memeluk pemuda
itu dengan airmata berlinang.
Gadis itu sempat memeriksa. Nyatanya, detak
jantung Rangga terhenti dengan nadi tidak berdenyut.
Maka langsung diduga kalau Rangga telah tewas.
Pertarungan tadi berlangsung antara hidup dan
mati. Meski Ki Netra Buana tewas, bukan berarti Pen-dekar Rajawali Sakti selamat. Jelas pemuda itu menge-rahkan seluruh kekuatannya untuk menembus perta-hanan Tongkat Sihir Dewa Api. Pandan Wangi sendiri
menyadari kalau Rangga telah menggunakan aji 'Cakra
Buana Sukma' pada tingkat tertinggi untuk membina-sakan lawan. Dan itu berarti menguras seluruh tena-ganya. Padahal Rangga baru saja sembuh dari luka-luka yang diderita akibat pertarungan dengan Ki Walang Ijo beserta kedua kawannya, beberapa minggu lalu.
"Hm, masih ada harapan. Nadinya berdenyut le-mah sekali. Coba kau tolong tahan kedudukannya,"
gumam Nyai Karni seraya memerintahkan agar menahan tubuh Rangga dalam keadaan ter-duduk.
Kemudian wanita tua itu sendiri duduk bersila di
belakang Rangga. Ditariknya napas dalam-dalam seraya meletakkan kedua tangan di pinggang. Lalu, tiba-tiba saja kedua telapak tangannya ditempelkan ke punggung Rangga.
"Heup!"
Semua orang menyadari kalau Nyai Karni ber-usaha menolong Pendekar Rajawali Sakti dengan me-nyalurkan hawa murni ke tubuh pemuda itu.
Beberapa saat kemudian terlihat perubahan. Ku-lit Rangga yang semula pucat, kini terlihat seperti di-aliri darah. Tubuhnya berkeringat, seperti yang dialami
Nyai Kami. Terdengar pemuda itu tersedak. Lalu darah
segar mengucur deras dari mulutnya.
Pandan Wangi tampak cemas. Dan tahu bila penyaluran hawa murni itu gagal, maka jiwa Rangga tidak akan tertolong lagi. Namun, perlahan-lahan wajah
gadis itu berubah lagi melihat Rangga mulai batuk-batuk, seiring Nyai Karni menyudahi penyaluran tenaga dalamnya. Wanita tua itu menarik napas panjang,
sambil menyeka keringat yang membanjir di sekujur
tubuhnya. Wajahnya tampak pucat.
"Kakang, kau tak apa-apa...?" tanya Pandan
Wangi dengan wajah cemas.
"Pandan...," ujar Rangga lemah, lantas meman-dang ke sekeliling.
"Nyai Karni yang tadi menolongmu...," jelas Pan-dan Wangi.
Pemuda itu merangkapkan kedua tangan mem-beri hormat pada wanita tua.
"Nyai Karni, aku berhutang budi padamu. Ba-gaimana aku harus membalasnya."
"Kau tidak perlu membalasnya, Pendekar Raja-wali Sakti. Apa yang kulakukan bukan apa-apa diban-dingkan dengan apa yang telah kau lakukan...."
"Nyai Karni... Sebenarnya kedatanganku ke sini
ada dua hal. Pertama melenyapkan Ki Netra Buana.
Dan kedua, menyerahkan diri pada kalian untuk me-nerima hukuman atas perbuatan-perbuatan biadab
yang telah kulakukan. Pandan Wangi telah banyak
menceritakan padaku tentang apa yang telah kulaku-kan. Dan aku merasa sangat bersalah," sahut pemuda
itu lemah. Nyai Karni tersenyum seraya menepuk pundak
pemuda itu. "Pendekar Rajawali Sakti, kami telah mengetahui
cerita yang sebenarnya. Kau tentu tidak melakukannya
bila keadaanmu sadar. Kami tahu, kau telah di sirep
oleh Ki Netra Buana, sehingga membuat akalmu hi-lang. Dan di samping itu, dia pun telah menyihir mu."
"Tapi...."
"Sudahlah, tidak usah dipikirkan."
"Apa yang dikatakan Nyai Karni memang benar.
Dan kurasa semua yang hadir di sini pun menyetujui.
Apa yang kau lakukan memang kesalahan besar. Na-mun karena kau melakukannya tanpa sadar, maka
kami tidak bisa menyalahkanmu. Apalagi, kemunculan
Ki Netra Buana juga akibat kesalahan kami, yang
membiarkannya tetap hidup. Akibatnya, dia muncul
kembali untuk membalas dendam terhadap kami, den-gan menggunakan tenagamu. Kini kau telah sadar
kembali. Bahkan kau telah membalasnya dengan se-timpal. Kau telah membinasakan pokok pangkal
keangkaramurkaan ini, yaitu Ki Netra Buana beserta
semua anak buahnya. itu telah cukup membuktikan
kalau sesungguhnya kau memiliki hati yang halus,"
timpal Ki Gempar Persada.
Rangga memandang mereka satu persatu. Orang-orang itu mengangguk sambil tersenyum.
"Terima kasih atas pengertian Kisanak semua.
Aku sangat terharu, dan bisa merasakan persahabatan
kalian. Mudah-mudahan, di lain waktu aku tidak
membuat kekeliruan yang dapat membawa malapetaka
bagi banyak orang," kata Rangga, lirih.
Nyai Karni mengangguk. Begitu juga yang lain-nya.
"Sisa-sisa anak buah Ki Netra Buana melarikan
diri. Dan..., rasanya, tidak ada lagi yang bisa kami la-kukan. Kalau kau memerlukan bantuan, kau bisa
menghubungi kami. Pendekar Rajawali Sakti, kami
mohon pamit," lanjut Nyai Karni.
Bersama yang lain, mereka meninggalkan tempat
itu. Beberapa orang menepuk-nepuk pundak Pendekar
Rajawali Sakti disertai senyum haru.
Tempat ini telah sepi. Orang-orang itu telah men-jauh. Dan yang tinggal hanya mayat-mayat yang berge-limpangan. Rangga terpaku. Ternyata ada seseorang
yang belum beranjak dari tempat-nya. Seorang gadis
belia berwajah cantik berbaju lusuh, seperti wajahnya
yang suram penuh kesedihan. Rambutnya yang pan-jang, dibiarkan lepas begitu saja. Kusut masai. Dan
beberapa helai di antaranya menyapu wajah manakala
angin bertiup perlahan.
"Pandan, siapa gadis itu" Kenapa dia menatap ku
sedemikian rupa" Apakah aku pernah mengenalnya?"
tanya Rangga heran.
"Kau betul-betul tidak mengingatnya?"
Rangga terdiam. Dan dahinya tampak berkerut
berusaha mengingat-ingat.
"Samar-samar...."
"Namanya, Sarti. Dan ketika kau tidak sadar, dia
adalah kekasihmu. Sehingga, kau melupakan aku be-gitu saja," jelas Pandan Wangi setelah menarik napas
panjang, berusaha menekan perasaan gemuruh di ha-tinya.
"Benarkah...?" Tanya Rangga seperti tak percaya.
Pandan Wangi tidak berusaha meyakini. Per-lahan, Sarti menghampiri mereka, lalu berhenti tepat
di depan pada jarak dua langkah. Dia memandang se-saat pada Pandan Wangi.
"Maafkan.... Aku tidak bermaksud merebutnya
darimu. Sungguh, aku tidak mengetahui sebelumnya,"
ujar Sarti lirih.
Pandan Wangi berusaha tersenyum.
Sarti menoleh pada Rangga dan memandangnya
agak lama. "Kakang Rangga, maafkan. Mungkin kau lupa
kalau kita pernah dekat untuk sesaat. Itu sangat indah, meski hanya ku rasakan seorang diri. Tanpa sadar, aku telah merebutmu dari orang lain. Semula itu
kulakukan untuk menuruti perintah Ki Netra Buana.
Aku tidak punya pilihan, sebab pernah berhung budi
padanya. Namun belakangan kusadari, bahwa aku
memang suka padamu. Tapi, rasanya tak pantas bagi-ku. Diriku kotor. Dan lebih dari itu..., ada seseorang
amat mencintaimu. Maafkan aku"
Setelah berkata begitu, perlahan Sarti berbalik.
Kemudian kakinya melangkah pergi meninggalkan
tempat itu tanpa menoleh lagi.
"Masih ingatkah di benakmu...?" Tanya Pandan Wangi kembali, ketika gadis itu telah semakin menjauh.
"Entahlah," desah Rangga.
"Hm.... Dia cantik."
Rangga memandang Pandan Wangi sambil tersenyum pahit.
"Dalam keadaan sadar, orang bisa saja berbuat
salah. Dan, banyak orang bisa memaafkannya. Tapi bila dalam keadaan tidak sadar, dan seseorang melakukan kesalahan, apakah orang lain tidak bisa memaafkannya" Apalagi, orang yang amat dekat di hatinya..." Jadi, apakah kau betul-betul tidak bisa memaafkan ku...?"
Pandan Wangi membalas tatapan pemuda itu.
Lalu sambil memberengut kesal, segera digamitnya
lengan Rangga. "Sudahlah...," kata Pandan Wangi seraya mengajak Rangga berlalu.
? SELESAI ? Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Dedig
? www.duniaabukeisel.blogspot.com
Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 Kisah Pendekar Bongkok 12 Pendekar Mata Keranjang 2 Bara Di Jurang Guringring Iblis Lengan Tunggal 2
^