Pencarian

Tongkat Sihir Dewa Api 1

Pendekar Rajawali Sakti 147 Tongkat Sihir Dewa Api Bagian 1


. 147. Tongkat Sihir Dewa Api Bag. 1 dan 2
7. Dezember 2014 um 07:32
? Pendekar Rajawali Sakti
episode: Tongkat Sihir Dewa Api
Oleh Teguh S. Penerbit Cintamedia, Jakarta
? 1 Cahaya matahari pagi menerobos lewat celah-celah bilik bambu sebuah gubuk kecil di tepi Hutan
Karangalas. Sebuah gubuk yang agak tersendiri dari
rumah-rumah yang berada di ujung desa. Kelihatannya, gubuk itu sudah lama tidak ditempati. Atap rumbianya sebagian telah rusak. Demikian juga dinding-nya. Di sana-sini terlihat bolong-bolong. Namun begitu
masih terdapat sebuah ruangan yang masih layak ditempati.
Seseorang tampak tengah duduk memperhatikan
sosok yang terbaring di balai-balai bambu dengan wajah duka. Bola matanya kosong menatapi tubuh yang
penuh luka di atas dipan itu. Sesekali air matanya menitik, kemudian diseka dengan lengannya yang halus.
Seorang laki-laki berpakaian gembel mendekat..
Diperhatikannya keadaan mereka, lalu duduk di sebelah gadis cantik itu.
"Bagaimana keadaannya...?" tanya laki-laki itu,
halus. "Dia masih suka mengigau," sahut gadis berbaju
biru itu lesu. Laki-laki gembel yang memegang tongkat itu
mendesah pelan.
"Kau harus sabar. Mudah-mudahan dia bisa cepat sadar. Daya tahan tubuhnya amat kuat."
Gadis itu mengangguk. Kemudian kepalanya me-noleh sambil tersenyum harus memandangi laki-laki
setengah baya di sebelahnya.
"Kelelawar Buduk.... Terima kasih atas pertolonganmu."
"Sudah seribu kali kau mengucapkannya," sahut
laki-laki gembel yang dipanggil si Kelelawar Buduk.
Sementara gadis itu kembali tersenyum haru.
"Kalau saja kau tidak menolongku, entah apa jadinya. Tapi kenapa kau lakukan juga" Padepokan saudara seperguruanmu sendiri kau bakar. Bahkan mem-bantu orang yang tadinya hendak kau bunuh...?" de-sah gadis itu.
"Hm, bagaimana" Katakan saja bahwa aku tidak
rela kalau si Pendekar Rajawali Sakti binasa. Sebab
bagaimanapun, aku menyadari kalau apa yang dilakukannya tanpa didasari, karena dipengaruhi orang lain."
Gadis berbaju biru itu terdiam. Kemudian ke-palanya berpaling sambil memperhatikan dengan sek-sama sosok pemuda yang penuh luka di tubuhnya,
terbaring di dipan. Pemuda itu menggeliat lemah.
"Kakang Rangga," panggil gadis itu, pelan. Pemuda yang memang Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti
mengeluh tertahan sambil membuka kelopak matanya.
"Kakang.... Apakah kau telah sadar?" Tanya gadis itu.
Wajah Pendekar Rajawali Sakti berkerut mena-han rasa sakit. Kemudian pandangannya ditegaskan.
"Kau?" suara Rangga terdengar lemah.
"Ya, aku Pandan Wangi." kata gadis yang me-mang Pandan Wangi sambil tersenyum.
"Pandan Wangi?"
Pandan Wangi tampak kecewa ketika Rangga ma-lah balik bertanya dengan sorot mata heran. Namun
perasaan hatinya berusaha disembunyikan, dan beru-saha tersenyum.
"Dia si Kelelawar Buduk yang ikut membantumu,
saat kau dikeroyok," ujar Pandan Wangi menjelaskan,
ketika Rangga memandang pada laki-laki gembel yang
duduk di sebelah gadis itu.
"Menolongku?" Tanya Rangga dengan dahi berkerut.
"Kau tidak ingat" Saat itu, keadaanmu terjepit.
Dan kau mengalami luka berat akibat panah murid-murid Padepokan Kalong Wetan?" lanjut Pandan Wangi
berusaha mengingatkan (Baca serial Pendekar Rajawali
Sakti dalam episode: "Bunuh Pendekar Rajawali Sak-ti").
Rangga mengerutkan dahi, berusaha mengingat.
"Saat itu si Kelelawar Buduk membakar barak
para murid serta bangunan utama padepokan itu. Lalu
setelah mereka kalang kabut, aku menolongmu keluar
dari tempat itu," lanjut Pandan Wangi lagi.
"Sarti" Astaga! Ke mana dia"! Dia pasti celaka!"
Tiba-tiba Rangga berusaha bangkit dengan wajah
cemas. "Kakang, tenanglah. Dia tidak apa-apa!"
Pandan Wangi menahan pemuda itu dan memba-ringkannya pelahan.
"Benarkah dia tidak apa-apa?"
Pandan Wangi tidak tahu harus menjawab apa.
Ketika Rangga lebih mengkhawatirkan keselama-tan gadis bernama Sarti itu ketimbang dirinya, sebe-narnya Pandan Wangi marah. Dan rasanya, ingin me-nampar mulut pemuda itu. Namun disadari, kalau
Rangga yang dihadapinya saat ini bukanlah Rangga
kekasihnya yang biasa. Pendekar Rajawali Sakti sedang terkena pengaruh suatu ajian yang dapat meng-hilangkan akal dan pikiran untuk sementara. Bahkan
dia tidak tahu, siapa dirinya yang sebenarnya. Dan
Pandan Wangi hanya bisa menarik napas panjang, dan
berusaha menahan gejolak hatinya yang bergemuruh.
Kesal, geram, benci, bercampur satu dengan perasaan
iba! "Pandan Wangi.... Kau..., kau tidak menjawab
pertanyaanku" Apakah Sarti aman?"
Pandan Wangi menoleh sekilas pada si Kelelawar
Buduk. Laki-laki itu mengerti, apa arti pandangan gadis itu. Dan dia segera keluar dari kamar ini.
"Maaf, Kisanak. Aku keluar dulu mencari angin."
Keduanya terdiam memperhatikan. Dan ketika si
Kelelawar Buduk telah keluar dari ruangan, Rangga
memandang Pandan Wangi dengan wajah penuh tanda
tanya. "Dia baik-baik saja," sahut Pandan Wangi, lemah.
"Kenapa dia tidak di sini?"
"Katanya, ada keperluan mendadak. Sehingga,
dia tidak bisa menjaga mu. Dan dia meminta ku untuk
mengurusi mu."
"Hm, sungguh aneh" Bukankah kalian berdua
sepertinya bermusuhan" Lalu, kenapa dia menyuruhmu?"
"Maaf, Kakang. Soal itu aku tidak tahu."
"Mungkinkah dia melaporkan kejadian yang menimpa ku kepada Ki Netra Buana?"
"Ki Netra Buana" Apakah dia majikanmu?"
"Ya."
Pandan Wangi jadi trenyuh mendengar jawaban
polos Rangga. Namun sekali lagi, dia berusaha menyembunyikan perasaan hatinya.
"Mungkin juga dia ke sana," lanjut gadis itu lirih.
Rangga menarik napas panjang, kemudian
menghembuskannya perlahan-lahan.? Sejenak luka-luka di sekujur tubuhnya yang telah mengering diper-hatikannya. Berkat ramuan yang dibuat Pandan Wan-gi, luka-luka itu memang cepat mengering.
"Kaukah yang telah mengobati lukaku?"
Pandan Wangi hanya mengangguk.
"Terima kasih. Aku berhutang budi padamu."
"Setahuku, kau adalah orang yang tidak bisa melupakan budi orang lain."
"Pandan Wangi.... Tentu saja aku tidak pernah
melupakan budi baikmu ini. Dan suatu saat, aku pasti
akan membalasnya!" sahut Rangga meyakinkan.
Pandan Wangi tersenyum.
"Bukan begitu maksudku," kata Pandan Wangi
pelan Pemuda itu memandangnya. Ditunggunya gadis
itu melanjutkan kata-katanya.
? *** Pandan Wangi menghela napas panjang. Lalu, ditatapnya pemuda itu dengan seksama.
"Maksudku.... Kau adalah orang baik."
"Orang baik" Bagaimana maksudmu?"
"Kau suka menolong orang yang sedang kesuli-tan. Kau bisa membedakan, mana orang yang berniat
jahat dan mana yang tidak."
"Begitukah?"
"Ya!"
"Pandan Wangi.... Dari mana kau tahu?"
"Karena aku mengenalmu sangat dekat."
Rangga terdiam. Kali ini, dipandangnya gadis itu
agak lama dengan wajah sedikit heran. Kemudian bibirnya tersenyum malu.
"Aku tidak tahu, apakah pernah mengenalmu
atau tidak. Tapi..., ku rasakan bahwa kau amat dekat
denganku."
"Kakang Rangga, memang kau dekat padaku. Terutama, di hatiku," sahut Pandan Wangi. Suaranya
nyaris tidak terdengar, untuk menyembunyikan perasaan haru di hatinya.
"Di mana dan kapankah itu?"
"Apakah yang kau ingat tentang nama Karang
Setra, atau kuda berbulu hitam yang bernama Dewa Bayu?"
Pemuda itu mengerutkan dahi, berusaha mengingat-ingat.
"Hm.... Nama itu tidak asing bagiku. Tapi..., ah!
Di mana aku pernah mengenalnya?"
"Karang Setra adalah sebuah kerajaan yang amat
disegani. Dan kaulah yang menjadi raja di Sana. Sedangkan Dewa Bayu adalah tunggangan-mu yang
mampu berlari kencang laksana tiupan angin," jelas
Pandan Wangi. "Benarkah itu?"
Pandan Wangi mengangguk cepat.
"Maukah kau
menunjukkan, eh! Maksudku, mengantarkan ke Karang Setra"
"Tentu saja, Kakang. Dengan senang hati! Tapi,
tidak sekarang."
"Kenapa?"
"Keadaanmu yang tidak memungkinkan. Seorang
raja haruslah bisa menguasai diri dan dihormati rakyatnya."
"Apakah rakyat di kerajaan Karang Setra tidak
menghormatiku" "
"Bukan begitu maksudku, Kakang."
"Lalu?"
"Saat ini, namamu telah cemar. Dan,? banyak
pendekar yang ingin membunuhmu. Bila kau tidak bisa menjelaskan pada seluruh rakyat, maka tentu saja
mereka akan gelisah. Karena rajanya berbuat kejahatan dan diburu banyak orang," jelas Pandan Wangi.
"Hm.... Kejahatan apa yang kulakukan?" ?
"Kau banyak membunuh orang yang tidak bersalah."
"Pandan Wangi! Aku membunuh, karena mereka
hendak membunuhku. Begitu yang dikatakan Ki Netra
Buana dan Sarti. Makanya aku harus membunuh me-reka terlebih dulu."
"Tidak, Kakang. Sesungguhnya mereka adalah
orang-orang baik. Jadi, mana mungkin mereka hendak
membunuhmu. Mereka justru satu golongan denganmu."
"Tapi menurut Ki Netra Buana dan Sarti, mereka
orang-orang jahat."
"Mereka berdusta padamu."
"Tidak mungkin! Mereka adalah orang baik!" sentak pemuda itu berkeras.
Pandan Wangi tersentak. Lalu dihelanya napas
panjang. Disadari kalau pengaruh jahat di dalam jiwa
Rangga masih ada. Sehingga bila Pandan Wangi me-nyalahkan kedua orang itu, mana mungkin Rangga
mau percaya. "Sudahlah, Kakang. Lebih baik istirahat dulu.
Nanti setelah tubuhmu agak segar, kita akan bercerita
lebih banyak lagi."
Pemuda itu diam saja ketika Pandan Wangi me-nyelimuti tubuhnya. Namun ketika gadis itu hendak
keluar dari kamar, Rangga memanggilnya pelan.
"Pandan Wangi."
"Hm."
Gadis itu berbalik dan memandang Rangga.
"Apakah benar kau pernah dekat denganku?"
lanjut Rangga setelah menarik napas panjang.
"Adakah sesuatu yang kau ingat tentang ku?"
"Rasanya samar-samar. Tapi, aku begitu yakin
kalau kau pernah dekat denganku. Paling tidak, hatiku
berkata demikian."
"Nah! Kau boleh percayai hatimu."
"Maksudku..., dekat seperti Sarti padaku?"
Pandan Wangi terdiam. Kemudian tanpa menya-hut, dia berlalu dari ruangan ini dengan perasaan pedih.
Rangga terdiam. Wajahnya kini tampak bingung.
Perubahan sikap gadis ini jelas sekali jika Rangga me-nyebut-nyebut Sarti. Dan dalam kebingungan Pendekar Rajawali Sakti, dia semakin tidak mengerti. Apa
yang terjadi sebenarnya antara Sarti dan gadis bernama Pandan Wangi ini" Rangga menghela napas panjang. Tubuhnya perih seperti disayat sembilu. Nafasnya terasa sesak. Namun jauh di lubuk hatinya, ada
sesuatu yang lebih nyeri. Yaitu, ketika merasakan dirinya berada jauh di bawah jurang yang dingin dan sepi!
Kemudian ada gaung di hatinya, yang berteriak berulang-ulang.
"Ada apa semua ini" Ada apa semua ini"!"
Sampai kemudian dia terlelap, karena letih. Tubuh dan pikirannya semakin lelah saja!
? *** Seorang gadis dengan kedua tangan dan kaki terikat rantai besi, yang menempel di tembok menggeliat
sambil gelagapan ketika tubuhnya diguyur seember
air. Wajahnya menggeram dengan pandangan tajam
penuh kebencian. Ingin rasanya dia menerkam orang-orang yang berdiri di hadapannya. Tapi, semua itu sia-sia belaka.
"Apakah kau tidak juga mau mengatakan di ma-na si Netra Buana berada"!" Tanya seorang tua bertu-
buh gemuk pendek dengan kepala nyaris botak.
"Chuih! Kau boleh menyiksaku sampai mati. Ta-pi, jangan harap aku akan mengatakannya padamu!"
Desis gadis itu garang sambil meludah.
Orang tua itu berkelit ke samping sambil ter-senyum tipis. Dua orang yang bersamanya sudah hen-dak bergerak memukul gadis itu, namun orang tua
yang tak lain Ki Polong menahannya.
"Jangan!"
"Tapi, Guru! Dia telah menghinamu"!" Sahut sa-lah seorang dengan wajah kesal.
"Biarkan saja," sahut Ki Polong.
"Ki Polong! Biar aku yang akan membuka mulut-nya," sahut seorang wanita tua yang menyertai Ketua
Padepokan Kalong Wetan itu.
"Apakah Nyai Kami punya akal?"
"Kita lihat saja," sahut wanita tua yang dipanggil
Nyai Kami, tersenyum tipis. Perlahan, didekatinya ga-dis yang tengah dirantai itu.
"Perempuan busuk! Jangan harap kau menda-patkan sesuatu dariku!" Desis gadis itu garang. Sorot
matanya tampak penuh kebencian.
"Apa yang bisa kudapatkan darimu?" Sahut Nyai
Kami tidak peduli. Kemudian diusapnya pipi gadis itu.
Namun dengan kasar, si gadis memalingkan muka, be-rusaha menepisnya.
"Hm.... Namamu Sarti, bukan" Wajahmu cantik.
Tidak heran kalau Pendekar Rajawali Sakti kepincut
padamu," kata Nyai Kami.
"Chuih! Kau tidak ada urusan dengan persoalan-ku!" Desis gadis yang ternyata Sarti meludah.
Namun wanita tua itu dengan gesit berkelit. Wa-jahnya masih tetap tersenyum, belum menunjukkan
kemarahannya. "Hm.... Kau galak juga. Tapi pernahkah ter-bayang olehmu?"
Sarti mendengus sinis sambil memalingkan mu-ka.
"Wajahmu yang cantik ini bisa rusak?" Lanjut
Nyai Kami, mulai menakut-nakuti. "Bila mereka me-nyiksamu, maka bayangkan apa yang akan kau alami.
Kau tahu" Mereka begitu benci dan marah padamu.
Sehingga, bila dibiarkan, maka mereka bisa berbuat
sesuka hatinya terhadapmu. Bisakah kau bayangkan"
Seorang gadis secantikmu di antara puluhan laki-laki
yang memandang mu penuh kebencian" Mungkin me-reka akan membunuhmu. Tapi, itu terlalu mudah.
Apalagi melihat wajahmu yang cantik dan tubuhmu
yang menggiurkan...."
"Tutup mulut kotormu itu!" Sentak Sarti geram.
"Hm, mungkin saja mulutku kotor. Tapi tidak se-kotor mulut dan hatimu!"
Sarti menggeram sambil memandang penuh ke-bencian.
"Jika Ki Netra Buana ke sini, maka tidak ada
seorang pun dari kalian yang akan selamat!" Dengus
Sarti, mengancam.
"Itu tidak akan terjadi. Tahukah kau, kenapa"
Sebab dia tidak akan mengotori tangannya untuk me-nyelamatkan seorang budak sepertimu. Kau tidak ada


Pendekar Rajawali Sakti 147 Tongkat Sihir Dewa Api di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

artinya bagi si Netra Buana!"
"Huh! Kau tidak tahu, siapa dia!"
"Kenapa tidak" Kalau bukan karena kasihan dan
berharap dia akan menjadi orang yang benar, maka ti-dak akan hidup sampai sekarang. Apakah kau kira
kami tidak tahu?"
"Huh! Kau hanya mengarang-ngarang cerita! Dia
pasti akan ke sini membebaskanku dan membunuh
kalian semua!"
Nyai Kami tersenyum lebar.
"Sudah berapa hari kau berada di sini" Dua hari,
bukan" Dan orang-orang di luaran sana tahu dengan
kegagalan kalian. Kalau si Netra Buana punya telinga,
tentu telah mendengarnya. Dan kalau berniat hendak
menolongmu, maka dia telah datang menolongmu se-jak kemarin. Tapi, apa yang terjadi" Tidak terdapat
tanda-tanda kalau dia akan datang. Kenapa" Karena
dia memang sengaja menugaskan kalian sampai mati.
Dan, dia tidak ambil pusing terhadap apa yang terjadi
pada kalian berdua. Dia berpikir, kalian hanya budak-budaknya belaka. Apa gunanya menolong seorang bu-dak?"
Sarti terdiam dengan kepala tertunduk men-dengar kata-kata wanita tua itu.
"Nah! Pikirkanlah baik-baik. Jika saja kau men-gerti, betapa jahatnya Ki Netra Buana, maka kau tidak
akan mengabdi kepada orang sepertinya. Dan tahu-kah, apa yang kau lakukan selama ini adalah perbua-tan keji" Tapi, kau bisa menebusnya jika mau kembali
pada jalan yang benar. Salah satunya, adalah menun-jukkan pada kami. Di mana kediaman si Netra Buana,"
lanjut Nyai Kami.
Sarti masih tetap diam membisu. Entah, apa
yang dipikirkannya. Mungkin merenungi kata-kata
yang diucapkan Nyai Kami. Atau juga, merasa tidak
ada gunanya buka mulut!
"Pikirkanlah baik-baik. Nanti sore kami akan
mendengar jawabanmu," lanjut wanita tua itu, seraya
mengajak yang lainnya berlalu.
"Apakah itu bisa berhasil?" Tanya Ki Polong ragu,
ketika mereka telah berada di luar kamar tahanan.
"Entahlah, kita lihat saja. Bagaimanapun, dia
mesti berpikir. Dan kalau saja hatinya ada sedikit saja
benih kebaikan, maka kekeliruannya akan cepat dis-adari. Kecuali kalau di dasar hatinya hanya ada kebu-sukan. Maka, kita terpaksa menggunakan cara lain
yang lebih keras untuk mengorek keterangan dari mu-lutnya," sahut Nyai Kami.
Ki Polong mengangguk.
"Bagaimana" Apakah sudah ada berita dari mu-rid-muridmu yang kau sebar untuk mencari tahu, di
mana si Pendekar Rajawali Sakti bersembunyi?"
"Belum, Nyai. Kurasa untuk sementara waktu,
dia bersembunyi jauh dari keramaian."
"Biarlah. Dan, jangan hentikan pencarian. Ka-takan pada murid-muridmu untuk mencari ke tempat-tempat terpencil yang jarang didatangi manusia."
"Baik, Nyai!"
"Kita tetap harus merasa yakin kalau si Pendekar
Rajawali Sakti bukan diselamatkan si Netra Buana.
Sebab, aku begitu yakin kalau si Netra Buana tidak
akan mau bersusah-payah untuk menyelamatkan si
Pendekar Rajawali Sakti. Bagaimanapun, dia menyada-ri bahwa suatu saat nanti, pemuda itu akan menjadi
senjata makan tuan baginya," jelas wanita tua itu se-raya mengikuti langkah Ki Polong ke bangunan utama
padepokan. *** ? 2 Seorang laki-laki bertubuh sedang dengan rambutnya yang putih riap-riapan sepanjang punggung,
duduk di atas sebuah kursi rotan berukuran besar.
Bajunya berukuran besar, bercorak kembang-kembang
warna biru dan hijau. Dasarnya, berwarna merah.
Pancaran matanya tampak berkilau tajam laksana
elang mengintai mangsa. Wajahnya agak bersih, na-mun ada hawa mengiriskan bercampur kelicikan. Di
tangan kanannya terdapat sebatang tongkat sepanjang
tiga jengkal yang ujungnya berwarna putih. Sepintas
lalu, tongkat itu seperti mainan. Namun, sesungguh-nya di tangan laki-laki ini menjadi sebuah senjata yang
hebat. Karena tongkatnya ini, maka dia dinamakan
Tongkat Sihir Dewa Api. Sedangkan nama aslinya ada-lah, Netra Buana!
Di depan Tongkat Sihir Dewa Api duduk seenak-nya empat sosok tubuh. Dua orang laki-laki dan dua
orang wanita. Yang berada di sebelah kiri adalah seorang wanita berusia sekitar empat puluh tahun. Wajahnya cantik dengan tubuh menggiurkan. Rambutnya yang lebat
sebatas pinggang, dibiarkan lepas begitu saja. Cara
berpakaiannya amat seronok. Dia hanya menutupi bagian dada, dengan membiarkan bagian perut dan
pangkal lengannya terbuka lebar. Bagian bawah perutnya ditutupi celana hitam pendek, yang berbayang
jelas dari pakaian luarnya yang amat tipis. Di pinggangnya melilit sebuah selendang sutera tipis berwarna ungu. Orang-orang persilatan lebih mengenalnya
sebagai Iblis Perayu Sukma, ketimbang nama aslinya Malini.
Di samping Iblis Perayu Sukma adalah seorang
laki-laki gemuk pendek dengan perut besar. Wajahnya
amat buruk. Orang ini bernama Ki Bangkong. Dan
kaum rimba persilatan mengenalnya sebagai Raja Ka-tak Hitam.
Di sebelah Raja Kata Hitam lagi adalah Nyi Pucuk Nyiur. Wanita berusia sekitar tujuh puluh tahun
ini mulutnya selalu berkomat-kamit mengunyah sirih.
Tubuhnya kurus dan bungkuk. Dia selalu membawa-bawa sapu lidi yang diberi tongkat kayu.
Sedangkan yang terakhir adalah laki-laki beram-but keriting. Kelopak matanya cekung. Tubuhnya kurus. Di pangkuannya melingkar beberapa ekor ular
berbisa dengan tenangnya. Orang ini bernama Ki Naga
Pertala, Di rimba persilatan, dikenal sebagai si Setan
Ular. "Sobat-sobatku! Silakan dicicipi hidangan yang
telah tersedia!" seru Ki Netra Buana.
"Hei, Netra Buana! Langsung saja utarakan, apa
maksudmu mengundang kami berempat?" Tanya Ki
Bangkong, seraya meraup serenceng anggur dan mengunyahnya dengan lahap.
"Apakah tidak sebaiknya kita bersantap dulu?"
"Sudahlah.... Tidak usah berbasa-basi. Katakan
saja maksudmu!" Timpal Nyi Pucuk Nyiur, segera mereguk cawan berisi arak yang berbau harum.
"Baiklah. Sebenarnya, aku memerlukan bantuan
kalian berempat."
"Hm, bantuan apa" Tidak biasa-biasanya kau
memerlukan bantuan kami," potong Ki Naga Pertala.
"Hi hi hi...! Amat menggelikan mendengar si
Tongkat Sihir Dewa Api memerlukan bantuan. Apakah
kau tengah mengalami persoalan yang amat rumit?"
Tanya Iblis Perayu Sukma sambil tertawa genit.
"Bisa jadi begitu."
"Katakanlah! Kami adalah sahabat-sahabatmu.
Kau sering menolong kami. Maka sudah sepantasnya
kami pun menolongmu, jika kau mengalami kesulitan!"
desah si Raja Katak Hitam alias Ki Bangkong, penasa-ran.
"Apakah kalian mendengar berita-berita santer
belakangan ini?" Tanya Tongkat Sihir Dewa Api.
"Berita apa" Apakah ada jejaka tampan yang ke-luyuran mencari-cariku?" sahut Malini diiringi tawa
cekikikan. "Maksudku tentang sepak terjang si Pendekar
Rajawali Sakti."
Ki Netra Buana tidak mengindahkan kelakar wa-nita genit itu.
"Pendekar Rajawali Sakti" Hm, ya. Kudengar dia
banyak membunuh tokoh golongan lurus. Apa hebat-nya" Bukankah itu bagus?" kata Ki Naga Pertala.
"Kudengar dia yang membalaskan dendammu
pada tokoh-tokoh yang pernah mengalahkanmu sebe-las tahun lalu?" Tanya Ki Bangkong.
"Hei, Netra Buana! Kenapa mesti repot-repot
menggunakan Pendekar Rajawali Sakti untuk mem-balaskan dendammu pada mereka"? Bukankah kau
ataupun kami sudah lebih dari cukup?" Timpal Nyi
Pucuk Nyiur. "Iya, betul! Bahkan kalau diinginkan, aku sendiri
mampu menjatuhkan si Pendekar Rajawali Sakti!"
Timpal Malini. Ki Netra Buana tersenyum.
"Aku tidak meragukan kehebatan kalian. Juga,
tidak meragukan kesetiakawanan kalian," desah Tong-kat Sihir Dewa Api.
"Lalu, kenapa kau harus menggunakan tangan si
Pendekar Rajawali Sakti?" Tanya Ki Bangkong.
"Ada beberapa alasan, kenapa aku harus meng-gunakan tangannya. Pertama, dia mampu melakukan
tugas itu karena kepandaiannya cukup hebat. Kedua,
aku ingin merontokkan pamor Pendekar Rajawali Sak-ti. Dengan perbuatannya, tentu dia akan dikucilkan.
Lalu, diburu-buru untuk dibunuh oleh orang-orang
segolongannya sendiri," jelas Ki Netra Buana.
"Hm, cerdik juga kau! Lalu, apa masalahnya"
Bukankah kudengar dia telah mengerjakan perintah-mu?" Tanya Malini
"Benar. Sejauh ini, dia telah melakukannya. Dan
itu membuatku senang. Tapi dua hari lalu, aku men-dengar berita buruk," desah Ki Netra Buana lagi.
"Berita buruk apa?" Tanya Ki Bangkong.
"Saat mendatangi Ki Polong di padepokannya,
ternyata di sana telah berkumpul lebih dari lima belas
tokoh persilatan, dibantu murid-murid Padepokan Ka-long Wetan. Mereka mengepung pemuda itu dan ber-hasil melumpuhkannya."
"Lalu?"
"Untukku, tidak menjadi persoalan kalau saja
Pendekar Rajawali Sakti tewas dalam kejadian itu.
Namun pada saat yang gawat, ternyata seseorang telah
menolong dan melarikannya dari tempat itu," lanjut Ki
Netra Buana, menjelaskan lagi.
"He, apa rumitnya persoalan ini?" Tanya Nyi Pu-cuk Nyiur.
"Ya. Di mana letak kesulitanmu mendengar beri-ta ini?" Timpal Ki Bangkong. "Pemuda goblok itu telah
gagal. Tapi, kau masih punya kami. Kalau kau me-mang ingin menghabiskan mereka, serahkan saja pada
kami!" ? *** Ki Netra Buana tersenyum mendengar tanggapan
kawan-kawannya itu.
"Pendekar Rajawali Sakti lepas dari kendaliku.
Dan aku tidak tahu, di mana dia sekarang berada. Ba-
gaimanapun, dia akan menjadi batu sandungan bua-tku kelak."
"Bukankah kau telah mempengaruhinya dengan
aji sirep 'Pelumpuh Sukma'" Lalu, kenapa masih kha-watir" Dia pasti akan kembali padamu," ujar Ki Naga
Pertala. "Benar! Selama ini setiap kali dia pulang, maka
aku selalu mencekokinya dengan aji sirep 'Pelumpuh
Sukma'. Sehingga, dia tidak bisa berpaling dariku. Tapi
aji itu mempunyai batas keampuhan. Bila dalam dua
hari dia tidak ku cekoki lagi, maka sejak itu pengaruh-nya berangsur-angsur akan hilang. Dan kini telah dua
hari sejak kejadian itu. Maka aku yakin, dia mulai sa-dar dari pengaruh yang memudar dalam dirinya," jelas
Ki Netra Buana.
"Hm.... Jadi kau khawatir dia berbalik memusu-himu?" tebak Malini.
"Malini! Bocah itu tidak bisa dipandang enteng.
Kepandaiannya hebat. Kalau saja tidak dicekoki aji si-rep 'Pelumpuh Sukma', dia akan sangat berbahaya.
Maka aku tidak bisa membiarkannya begitu saja."
"Lalu, apa yang kau inginkan sekarang darinya?"
"Aku ingin, dia ditemukan. Bawa ke hadapanku.
Dan kalau membangkang, bunuh saja! Untuk tugas
ini, aku tidak bisa memberikannya pada anak buahku.
Sebab tak ada seorang pun dari mereka yang bisa di-andalkan untuk menangani Pendekar Rajawali Sakti."
"Aku mengerti. Serahkan saja urusan itu pada-ku. Ini pekerjaan mudah, sekaligus mengasyikkan!"
Seru Malini sambil tersenyum genit.
"Syukurlah kalau memang kau bersedia mem-bantuku. Budimu tidak akan kulupakan, Malini," ucap
Ki Netra Buana.
"Eit, tidak usah bicara budi segala! Bila bocah itu
kudapatkan, maka dia harus memberi kesenangan pa-daku. Dan kau tidak boleh mengganggu. Kau mengerti
maksudku?" Kata Malini, buru-buru.
"Ha ha ha! Malini.... Kelakuanmu selalu saja ti-dak berubah. Kenapa musti repot-repot, kalau aku
pun bisa memuaskan mu!" timpal Ki Bangkong disertai
tawa lebar mendengar ucapan wanita berpakaian sero-nok itu.
"Cih! Apa yang bisa kudapatkan darimu" Me-mandang mukamu saja, aku sudah tidak berselera.
Lagi pula, tenagamu sudah loyo setelah bermain bebe-rapa kali!" dengus Malini tandas.
"Sial!" umpat Ki Bangkong kesal.
"Kenapa tidak kau alihkan perhatianmu dari si
Malini, Bangkong" Aku toh, dengan sukarela meme-nuhi keinginanmu," kata Nyi Pucuk Nyiur, mengejek.
"Tutup mulutmu, Peot! Apa yang bisa kudapat-kan dari kulit keriput mu itu!" desis Ki Bangkong.
"Hi hi hi..! Paling tidak, aku mengerti bagaimana
caranya menyenangkan mu," sahut Nyi Pucuk Nyiur
sambil tertawa nyaring.
"Lalu, apa yang kau harapkan dari kami, Ki Ne-tra...?" Tanya Ki Naga Pertala tanpa mempedulikan
kawan-kawannya yang saling mengejek.
"Salah seorang anak buahku tertangkap, saat
menyertai si Pendekar Rajawali Sakti di padepokan itu.
Aku khawatir dia buka mulut. Sehingga, mereka men-getahui tempatku ini. Aku ingin anak itu dibungkam."
"Hm, itu pekerjaan mudah. Biar kubereskan dia!"
"Baiklah! Tapi, ingat. Bila dia tidak mengkhiana-tiku, tidak perlu kau bereskan. Dan kalau ternyata
berkhianat, mereka tentu melindunginya dengan ke-tat."
"Bagaimana dengan kami?" Tanya Nyi Pucuk
Nyiur. "Aku ingin agar mereka yang ada dalam penye-rangan, dibereskan. Tapi ini tidak mudah. Sebab yang
paling sulit adalah ketiga tokoh utama yang menjadi
musuh berat ku. Siapa di antara kalian berdua yang
sanggup membereskan mereka semua?"
"Hm.... Kau meremehkan kemampuan kami, Ki
Netra?" Tanya Ki Bangkong, jumawa.
"Bukan begitu, Sobat! Aku justru bingung memi-lih di antara kalian berdua! Karena aku yakin, kalian
pasti mampu. Nah, biarlah ku putuskan bahwa tugas
ini menjadi bagian kalian berdua saja."
"Hm.... Tidak menjadi masalah," sahut Nyi Pucuk
Nyiur, enteng. "He he he...! Sudah lama aku tidak menghirup
darah segar. Ini akan menjadi pesta yang menggairah-kan!" Seru Ki Bangkong, seraya terkekeh-kekeh.
"Enak bagi kalian. Tapi, membuatku tersing-gung," kata Ki Naga Pertala tidak puas.
"Kenapa, Sobat?"
"Kau memberi tugas yang sesuai pada mereka.
Sedangkan aku, kau beri bagian ringan. Apakah den-gan begitu kau memandang rendah padaku?"
"Apakah kau tidak mengerti tugasmu?" Tanya Ki
Netra Buana heran sambil tersenyum.
"Apa maksudmu?"
"Tugas membereskan anak buahku jika dia
berkhianat, bukanlah tugas mudah. Jika mereka pu-tus asa untuk menemukan tempatku ini, maka akan
memaksa anak buahku itu. Dan saat tahu kalau ada
yang hendak membinasakan anak buahku, mereka
pasti melindunginya mati-matian. Lalu bila ternyata
anak buahku tidak berkhianat, maka kau kuberi tugas
untuk membuat kekacauan dengan melenyapkan se-
mua tokoh persilatan golongan putih, agar timbul ke-gemparan. Sehingga dengan begitu, perhatian mereka
terpecah-pecah. Juga, kau boleh melakukan keduanya
sekaligus. Nah, coba pikirkan. Apakah dengan demi-kian aku menganggap rendah padamu?" kata Ki Netra
Buana menjelaskan.
"Hm, aku mengerti kini," sahut Ki Naga Pertala
sambil mengangguk puas.
"Syukurlah. Kurasa mulai hari ini, kita sudah bi-sa melaksanakan tugas masing-masing!" Lanjut Ki Ne-tra Buana.
"Hi hi hi...! Kalau memang tidak ada lagi yang
mau dibicarakan, aku akan melanjutkan kesenangan-ku!"
Malini bergegas bangkit sambil tertawa cekiki-kan. Dan manakala berjalan keluar, pinggulnya terli-hat bergoyang genit membuat Ki Bangkong berdesah
sambil menggelengkan kepala. Dan tiba-tiba, wanita
menggiurkan itu berbalik.
"Apakah tidak ada lagi di antara budak-budakmu
yang bertubuh kuat dan berwajah manis?" Tanya Ma-lini.
"Jangan khawatir, Malini. Mereka akan menye-diakannya untukmu!"
"Hi hi hi...! Kau memang baik, Ki Netra. Silakan
kalian lanjutkan obrolan tadi. Setelah selesai berse-nang-senang, maka aku akan segera berangkat!" Lan-jut wanita itu sambil berlalu, tanpa menoleh lagi.
"Heh"! Kalau dia mendapat bagian, bagaimana


Pendekar Rajawali Sakti 147 Tongkat Sihir Dewa Api di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mungkin kau bisa melupakan ku, Sobat?" Tanya Ki
Bangkong sambil mesem-mesem.
"Tua bangka tak tahu malu! Perempuan akan
pingsan melihat wajahmu sebelum kau mendapat ke-senangan!" Umpat Nyi Pucuk Nyiur.
"He he he...! Siapa peduli"!" Sahut Ki Bangkong,
terkekeh-kekeh.
"Jangan khawatir, Sobat. Anak buahku akan se-gera mengurusmu. Dan mereka akan menyediakan ga-dis-gadis cantik yang kau sukai!" Ujar Ki Netra Buana.
"He he he...! Kau dengar itu, Nenek Peot! Kau bo-leh bergabung kalau suka. Tapi, tidak denganku!"
Ki Bangkong segera keluar dari ruangan itu.
Nyi Pucuk Nyiur hanya mencibir sinis. Kemu-dian, diikutinya jejak kuda kawannya itu. Sedangkan
Ki Naga Pertala yang tidak banyak bicara, menyusul
terakhir. Ki Netra Buana menghela napas panjang, ke-mudian tersenyum seraya merebahkan punggungnya
di kursi. ? *** Pandan Wangi duduk termenung di depan gubuk
ini. Pikirannya jauh menerawang entah ke mana. Dagunya bertumpu pada kedua lututnya yang ditekuk.
Suasana di tepian Hutan Karangalas terasa sepi. Yang
ada hanya suara desau angin yang sesekali bertiup
dan mempermainkan ujung-ujung rambut gadis itu,
dan nyanyian jangkrik serta unggas malam yang sese-kali meningkahi. Sementara jauh di depan dan samp-ing kiri dan kanan, yang terlihat hanya kegelapan.
"Hhh...."
Pandan Wangi menghela napas panjang tanpa
merubah sikap duduknya. Beberapa kali dia bergu-mam pendek. Namun, tidak jelas apa yang diucapkan-nya.
Mendadak gadis itu dikagetkan oleh sesosok tu-buh tua yang melangkah pelan mendekati. Pakaiannya
kumal penuh tambal. Tubuhnya sedikit terbungkuk
menahan beban tumpukan ranting kering di pundak.
"Eh, maaf. Mataku mungkin sudah lamur, se-hingga aku tersesat," ujar sosok tua itu ketika Pandan
Wangi memandang dengan mata tidak berkedip.
Pandan Wangi merubah sikap duduknya.
"Orang tua, hendak ke mana tujuanmu?" Tanya
Pandan Wangi dengan nada datar.
"Eh! Aku hendak pulang ke rumahku. Seper-tinya, sebelah sini. Tapi, ternyata aku kesasar. Maaf telah mengganggumu, Nisanak."
"Tidak apa," sahut Pandan Wangi tersenyum ramah.
Orang tua itu hendak berbalik, namun sepertinya dia teringat sesuatu. Kembali wajahnya dipalingkan pada gadis itu.
"Seingatku tempat ini tadinya kosong. Penghuninya pindah. Apakah kau sanak saudara penghuni
rumah ini, Nisanak" Aku belum pernah melihatmu sebelumnya."
"Bukan. Aku hanya kebetulan lewat, dan kema-laman. Sehingga, ku putuskan untuk berteduh di pondok ini."
"Seorang diri?"
"Eh, ya!"
Pandan Wangi terpaksa berdusta. Dia tidak ingin
memancing kecurigaan orang tua ini.
"Hm, sungguh berani. Seorang gadis berada seo-rang diri di tempat seperti ini. Apakah kau tidak merasa takut, Nisanak?" Tanya orang tua itu sambil meng-geleng lemah.
"Aku sudah terbiasa, Orang Tua."
"Hm.... Ya, ya.... Baiklah. Kalau begitu, aku pamit dulu," lanjut orang tua itu seraya berbalik dan me-
ninggalkan tempat itu dengan langkah terbungkuk-bungkuk.
Pandan Wangi mengamatinya sampai orang tua
itu hilang dari pandangan. Lalu dihelanya napas pan-jang. Hatinya menyimpan curiga. Sebab, meski bagaimanapun wajarnya sikap orang tua itu, keadaan me-reka saat ini dalam keadaan terjepit. Semua kalangan
mengejar si Pendekar Rajawali Sakti. Dan beberapa
orang di antara mereka ada yang tahu kalau hubungannya dengan pendekar itu amat dekat. Bisa saja
orang tua itu salah seorang mata-mata. Kalaupun bukan, dia bisa mengundang kecurigaan orang lain.
Si Kipas Maut bangkit lalu beranjak ke dalam.
Begitu berada di dalam, sejenak diperhatikannya
Rangga yang masih tertidur lelap. Keadaan pemuda itu
sudah mulai membaik, meski tenaganya belum pulih
betul. Sehari ini Rangga lebih banyak berdiam diri.
Dan dia hanya menjawab sepatah kata atau dua patah
kata bila Pandan Wangi bertanya atau sekadar menga-jaknya ngobrol.
Pandan Wangi menghela napas panjang. Ke-mudian dia kembali keluar untuk berjaga-jaga. Sudah
beberapa malam ini matanya sulit dipejamkan. Meski
beberapa kali menguap, namun kantuk sepertinya
enggan datang. "Heh"!"
Pandan Wangi tersentak kaget.? Perasaannya
mengatakan ada sesuatu yang mengendap-endap pelan di halaman depan. Mungkinkah si Kelelawar Buduk" Sejak pagi tadi, dia telah meninggalkan tempat
ini. Dan katanya, akan kembali esok hari. Tapi, tidak
mungkin. Dia tidak perlu mengendap-endap seperti ini.
Atau..., pandangannya yang mungkin salah karena di-bayangi letih"
Srak! Pandan Wangi semakin yakin kalau saat ini pan-dangan serta firasatnya tidak salah, saat beberapa sosok tubuh melompat ringan dan menghilang di semak-semak halaman depan. Perlahan ditutupnya pintu. Lalu dia mengawasi keadaan sekitarnya dari dalam.
"Hm.... Mereka telah mengepung tempat ini. Kurang ajar! Ternyata kecurigaanku tadi pada si orang
tua kini terbukti!"
Tiga orang laki-laki setengah baya melompat ke
tengah halaman dan berdiri tegak.
"Kipas Maut, keluarlah kau! Berikan si Pendekar
Rajawali Sakti pada kami. Kalau tidak, kalian tak akan
selamat!" teriak salah seorang.
"Sial! Dia kira bisa berbuat seenaknya padaku!
Huh!" Dengus gadis itu geram.
"Kipas Maut! Kami menghitung sampai tiga. Jika
kau tidak keluar bersama Pendekar Rajawali Sakti,
maka jangan salahkan kalau kami akan bertindak kejam pada kalian!" Teriak orang tadi.
Pandan Wangi masih membisu. Dan sesaat, dia
tidak tahu apa yang harus dilakukan. Kalau menyahut, maka sudah dipastikan tuduhan mereka benar,
kalau dirinya adalah si Kipas Maut. Dan di sini, dia
bersama Pendekar Rajawali Sakti. Tapi kalau diam saja, apa yang akan dilakukan"
Gadis ini tidak perlu berpikir panjang. Mendadak
beberapa buah obor melayang ke atap gubuk ini. Pandan Wangi terkesiap. Mereka hendak membakar gubuk
ini, dan sekaligus hendak memanggang mereka. Celaka!
Pandan Wangi memburu ke kamar. Namun ternyata Pendekar Rajawali Sakti telah tak ada di tempatnya. Sementara, api menyala cepat. Gadis ini mulai
blingsatan ketika mencari-cari ke belakang. Namun si
Pendekar Rajawali Sakti telah lenyap tanpa bekas di
seluruh ruangan ini. Sambil berteriak marah, gadis itu
melompat keluar menerjang kobaran api.
"Keparat busuk! Kalian rupanya ingin mampus
semua. Yeaaa...!"
*** Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 . 147. Tongkat Sihir Dewa Api Bag. 3 dan 4
7. Dezember 2014 um 07:41
3 Begitu Pandan Wangi mencelat keluar, tiga orang
berusia setengah baya yang telah menunggu langsung
memberi perintah pada anak buahnya.
"Itu dia! Seraaang...!"
"Heaaa...!"
Seketika lebih dari sepuluh orang bersenjata
langsung mengepung si Kipas Maut. Dan sebagian dari
mereka langsung menyerang ganas. Pandan Wangi
yang saat ini sedang kalap karena kehilangan jejak
Pendekar Rajawali Sakti, tidak mempedulikan jumlah
lawannya. Langsung dipapaknya serangan itu dengan
ganas. Trak! Duk! "Akh!"
Senjata Kipas Mautnya menangkis beberapa
buah golok yang menderu keras mengancam keselamatannya. Kaki kanannya menyapu ke kanan. Maka, seketika dua orang menjerit keras sambil mendekap dadanya. Tubuh mereka terhuyung-huyung terkena hantaman keras.
"Jangan beri dia kesempatan! Ayo, kurung terus
dan ringkus secepatnya!" teriak seseorang.
Pandan Wangi mendengus geram. Matanya mendelik tajam pada tiga orang laki-laki setengah baya
yang tadi berdiri tegak di depan gubuk ini. Agaknya, tiga orang inilah pimpinan mereka. Si Kipas Maut berusaha melompat ke arah ketiganya untuk menghajar.
Namun para pengeroyoknya tidak memberi kesempatan. Mereka terus merangseknya dengan serangan-serangan ganas.
"Baiklah. Kalian yang mulai. Maka, kalian akan
menanggung akibatnya!" Desis Pandan Wangi semakin
geram saja. Semula Pandan Wangi tidak sampai hati menurunkan tangan kejam pada mereka. Tapi melihat dirinya mulai terancam, terpaksa dia harus mempertahankan diri dan balas menyerang ganas.
Trak! Bret! "Aaa...!"
Salah seorang memekik keras. Tubuhnya terjungkal bermandikan darah ketika kipas maut Pandan
Wangi merobek perut. Gadis itu tidak berhenti sampai
di situ. Tubuhnya terus berkelebat sambil mengamuk
dahsyat. Beberapa orang lagi menjadi korbannya.
"Huh! Ini tidak bisa dibiarkan terus. Biar kuhadapi dia!" dengus seseorang di antara ketiga orang
itu seraya melompat menerjang Pandan Wangi.
"Hati-hati, Ki Blauran! Kepandaian gadis itu tidak rendah!" seru seorang lagi, memberi peringatkan.
"Jangan khawatir, Ki Sampang Giro! Aku tahu
harus bagaimana menghadapinya!"
Pandan Wangi tertawa mengejek ketika laki-laki
yang dipanggil Ki Blauran telah berhadapan dengannya.
"Bagus! Akhirnya kau maju juga menghadapiku.
Kenapa tidak sejak tadi saja, sehingga anak buahmu
tidak menjadi korbanku?"
"Gadis liar! Jangan banyak mulut! Kau memang
keras kepala. Dan untuk itu, kau harus menerima akibatnya!" desis Ki Blauran seraya mengeluarkan goloknya. Seketika diserangnya gadis itu dengan hebat.
Sementara mereka bertarung, kedua kawan Ki
Blauran memberi perintah pada anak buahnya untuk
memeriksa gubuk itu. Pandan Wangi hanya tersenyum
dingin, tidak berusaha mencegah. Gadis itu menyadari
kalau mereka tidak akan mendapatkan apa-apa di dalam gubuk itu.
"Tidak ada siapa-siapa di dalam gubuk itu!" lapor
seorang anak buahnya.
"Apakah sudah kalian periksa dengan teliti?"
Tanya Ki Sampang Giro.
"Sudah, Ki! Bahkan kalaupun terbakar, mayatnya tidak ada."
"Hm.... Jadi benar kalau Pendekar Rajawali Sakti
tidak bersamanya...?" gumam Ki Sampang Giro.
"Keterangan yang diberikan penduduk desa itu
ternyata salah," timpal kawannya.
"Tidak, Ki Pendet. Kita yang salah menduga. Dia
mengatakan, hanya si Kipas Maut yang terlihat."
"Lalu, apa yang akan kita lakukan sekarang?"
Tanya Ki Pendet.
Ki Sampang Giro tidak menjawab pertanyaan itu.
Tapi.... "Ki Blauran! Pendekar Rajawali Sakti tidak ada
bersamanya!" Teriak Ki Sampang Giro.
"Mustahil! Dia pasti menyembunyikannya di suatu tempat..!" Desis Ki Blauran seraya memandang
Pandan Wangi dengan tatapan menyelidik.
"Orang-orang tolol! Kalian kita aku menyembu-nyikan Pendekar Rajawali Sakti, he?" Sahut Pandan
Wangi, geram. "Sudah pasti. Kau kekasihnya. Dan tentu saja
tak menginginkan dia celaka. Sehingga, kau menolongnya dalam peristiwa di Padepokan Kalong Wetan!"
tuduh Ki Blauran.
"Kini telah terbukti. Dan kalian tidak menemukan siapa pun, selain aku. Lalu, seenaknya menuduh
orang!" "Lalu, apa yang kau lakukan di tempat ini seorang diri" Kau coba mengecoh kami, bukan?"
"Kau tidak perlu tahu, apa urusanku di sini!"
"Kalau begitu, kami terpaksa memaksamu! Katakan, di mana Pendekar Rajawali Sakti berada. Dan,
kau akan selamat. Atau..., kau akan menggantikan
kedudukannya!" kata Ki Blauran mengancam.
"Huh! Kau kira bisa mengancamku"! Coba saja
kalau mampu!" tantang Pandan Wangi.
"Baiklah. Kalau itu yang kau inginkan, jangan
salahkan aku jika bertindak keras padamu!"
Setelah berkata demikian, Ki Blauran menghantam Pandan Wangi dengan pukulan maut setelah menyorongkan telapak tangan kanannya ke muka.
"Heaaa!"
Seketika satu angin kencang berhawa panas me-luruk ke arah si Kipas Maut. Cepat bagai kilat, gadis
itu melompat ke atas. Kemudian sambil membuat ge-rakan jungkir balik, diterjangnya laki-laki itu. Tapi, Ki
Blauran telah siap memapakinya.
? *** Trak! Bet! Terjadi benturan dua senjata. Dan seketika itu
pula, Ki Blauran melepaskan satu tendangan ke arah
ulu hati. Namun Pandan Wangi cepat bergerak ke
samping, dengan ujung kipasnya menyambar ke arah
tengkuk. Untung saja Ki Blauran segera melompat ke
belakang. Sehingga, serangan si Kipas Maut luput dari
sasaran. Gadis itu hendak mengejar. Tapi pukulan
maut Ki Blauran telah menderu keras ke arahnya. Maka buru-buru si Kipas Maut menjatuhkan diri.
"Heaaat!"
Dengan mengerahkan segenap kecepatan yang
dimiliki, Ki Blauran melesat ke arah Pandan Wangi
tanpa ingin menyia-nyiakan kesempatan itu. Begitu
kakinya menghantam tanah, bumi terasa bergetar. Serangannya kali ini memang disertai pengerahan tenaga
dalam tinggi. tapi Pandan Wangi sudah mengelak secepatnya dengan bergulingan. Lalu, tubuhnya melompat gesit ke belakang.
"Lincah juga gerakanmu! Tapi jangan harap kali
ini kau akan lolos dari tanganku!" seru Ki Blauran
dengan wajah penasaran.
"Orang tua tolol! Kau kira bisa berbuat apa pa-daku, he"! Lebih baik pergi dan bawa serta ka-wan-kawannya, sebelum kau menyesal nantinya!" Balas
Pandan Wangi. "Hm.... Tidak ada seorang pun yang boleh meng-halangi niatku. Apalagi hanya seorang bocah sepertimu. Jangan girang dulu. Kau belum menang, Bocah!"
Ki Blauran bergegas menggosok kedua telapak
tangan. Wajahnya tampak berkerut dengan kedua kaki
sedikit direnggangkan. Dengan begitu, dia bersiap menyerang si Kipas Maut dengan jurus mautnya.
Namun sebelum orang tua itu berbuat sesuatu,
mendadak.... "Kisanak! Apa yang dikatakan gadis ini benar.
Pulanglah kalian, dan persoalan ini akan kubereskan...!"
Tiba-tiba terdengar sebuah suara dari belakang
si Kipas Maut. "Heh"!"
Mereka mengerahkan pandangan pada asal suara, termasuk Pandan Wangi.
"Kakang Rangga...!" seru gadis itu girang dengan
wajah berseri. Terbersit di hati Pandan Wangi untuk segera
memeluk pemuda itu. Dan dia ingin menumpahkan
kecemasannya tadi, yang saat ini berganti kegembiraan
melihat keadaan pemuda yang memang Pendekar Rajawali Sakti tidak kurang suatu apa pun. Namun,
Rangga tidak menoleh ke arahnya. Wajahnya pun terlihat dingin. Sehingga, seketika Pandan Wangi mengurungkan niat. Dan gadis itu hanya menunduk dengan hati kecewa.
"Pendekar Rajawali Sakti! Hm, bagus. Akhirnya
kau muncul juga. Sudah kuduga, kau berada di sekitar tempat ini," dengus Ki Blauran.
Sementara itu kedua kawan Ki Blauran langsung
mendekat. Sedangkan anak buah mereka segera mengurung keduanya dengan senjata terhunus.
"Kisanak! Hentikan pertumpahan darah ini. Aku
tidak ingin ada lagi korban di antara kita!" ujar pemuda itu dengan suara ditahan.
"Tidak usah banyak mulut! Kalau kau tidak ingin
ada korban lagi, maka sebaiknya kau tidak melawan.
Dan, ikut kami menghadap yang lainnya untuk menerima hukuman atas perbuatan-perbuatanmu yang biadab!" Desis Ki Blauran lantang.


Pendekar Rajawali Sakti 147 Tongkat Sihir Dewa Api di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rangga menggeleng lemah.
"Pendekar Rajawali Sakti, kau harus ikut dengan
kami! Kau harus menerima hukuman atas perbuatan-perbuatanmu yang biadab!" Desis Ki Blauran lantang.
"Maaf.... Aku tidak bisa memenuhi keinginanmu. Kelak aku akan datang untuk menjelaskannya,"
sahut Pendekar Rajawali Sakti perlahan.
"Maaf.... Aku tidak bisa memenuhi keinginanmu.
Persoalan ini begitu membingungkan. Dan kuharap,
kalian bisa mengerti. Aku pasti akan datang pada ka-lian untuk menjelaskannya, bila segala sesuatunya te-lah beres," sahut Pendekar Rajawali Sakti.
"Tidak ada yang membingungkan, karena se-galanya telah jelas. Dan tidak ada lagi yang bisa ditun-da, kecuali kau akan lari dari tanggung jawab!" Tegas
Ki Blauran. "Kuminta pada kalian agar segera pulang. Sebab,
janji yang keluar dari mulutku akan ku penuhi. Aku
tidak tahu, apa yang kalian bicarakan. Tapi dengan segera akan kubereskan," sahut Rangga, dengan suara
lemah. "Tidak tahu katamu"!" Sentak Ki Sampang Giro
mendelik garang. "Kau bunuh Ki Pindih Daksa serta
murid-muridnya dengan kejam! Kau bunuh si Kembar
Muara Gamping! Kau bunuh Ketua Padepokan Tapak
Merah! Apakah mereka musuhmu" Apakah mereka
pernah berbuat jahat padamu"! Dan kini, seenaknya
kau katakan tidak tahu apa yang kami bicarakan. Ka-mi meminta tanggung jawabmu!" (Untuk jelasnya, baca
serial Pendekar Rajawali Sakti dalam episode: "Bunuh
Pendekar Rajawali Sakti").
Mendengar itu Rangga terdiam dengan wajah
bingung. Dia tidak menjawab sepatah kata pun.
"Hm.... Kau tidak bisa mengelak, bukan" Nah!
Sebaiknya, ikut kami untuk mempertanggungjawabkan perbuatanmu itu!" tandas Ki Sampang Giro.
"Maaf, Kisanak. Aku tidak bisa memenuhi permintaan kalian."
"Hm.... Persoalan sudah jelas! Dia memang sen-gaja berbuat kejam. Dan dikiranya tak ada seorang
pun yang berani menghalanginya!" dengus Ki Blauran
sinis, kemudian menuding. "Hei, Pendekar Rajawali
Sakti! Meski kepandaianmu laksana dewa, tidak nantinya kau akan luput dari hukuman!"
"Ki Blauran dan Ki Sampang Giro! Untuk apa sekadar bicara kosong" Lebih baik kita ringkus saja. Dan
kalau si Kipas Maut berusaha membantu, maka ring-kus saja sekalian!" sambung Ki Pendet sudah merasa
tidak sabar lagi mendengar perdebatan yang terjadi.
"Betul katamu, Ki Pendet! Kita tidak boleh membuang waktu lagi!" sambut Ki Sampang Giro.
Orang tua ini langsung memberi perintah pada
anak buahnya untuk meringkus Pendekar Rajawali
Sakti. "Heaaat...!"
Rangga menggeleng lemah seraya mendesah pe-lan, begitu melihat lebih dari dua belas orang bersenjata menerjang ke arahnya.
"Maaf, kalian tidak memberi pilihan lain padaku,"
gumam Pendekar Rajawali Sakti pendek. Lalu telapak
tangan kanannya disorongkan ke depan.
"Aji 'Bayu Bajra'!"
Werrr...! "Aaakh...!"
Dari telapak tangan Rangga, seketika mendesir
angin kencang laksana badai topan. Sehingga, membuat para pengeroyoknya terhuyung-huyung ke bela-kang. Beberapa orang yang tidak memiliki tenaga da-lam kuat, sudah terpelanting seperti daun kering tertiup angin. Padahal, Pendekar Rajawali Sakti baru
mengerahkan satu dari empat seluruh kekuatan ajian
itu. "Kurang ajar! Ayo, Ki Pendet dan Ki Blauran.
Agaknya harus kita sendiri yang turun tangan mering-kusnya!" ajak Ki Sampang Giro pada kedua kawannya.
Ketiga orang itu langsung menerjang si Pendekar
Rajawali Sakti. Pandan Wangi mendengus geram. Dan
dia berniat membantu pemuda itu, namun tiba-tiba di-cekal Rangga.
"Biar kuselesaikan mereka, Pandan...!"
Malah seketika itu pula Pendekar Rajawali Sakti
telah mencelat memapak serangan ketiga lawannya.
? *** Pandan Wangi terpaku. Kata-kata Pendekar Ra-jawali Sakti tadi bernada agak lain. Dan sepertinya,
akrab betul di telinganya. Gadis itu mulai curiga. Dan
di hatinya. terbersit perasaan gembira.
Mungkinkah Rangga telah sadar dari kelinglungannya selama ini" Ah! Jika hal itu terjadi, betapa
sangat melegakan hatinya.
Ketiga orang laki-laki yang menjadi lawan Pende-kar Rajawali Sakti sebenarnya termasuk di dalam tokoh berkepandaian tinggi. Mendengar nama mereka
saja, sudah cukup membuat segan tokoh dunia persilatan lainnya. Sehingga bila bergabung menjadi satu,
maka tak heran bila serangan mereka menjadi sungguh dahsyat seperti yang ter-lihat saat ini. Namun sejauh ini, Pendekar Rajawali Sakti belum juga terdesak.
Apalagi hendak menjatuhkannya. Tentu saja membuat
mereka geram dan sangat penasaran.
"Huh! Aku tidak mau bertindak setengah-setengah lagi! Kita harus meringkusnya secepat mungkin!" Desis Ki Sampang Giro, langsung mencabut golok.
"Betul, Ki Sampang!" Sambut Ki Blauran, segera
mengeluarkan tombak pendek yang sejak tadi terselip di pinggang.
Melihat kedua kawannya mulai menggunakan
senjata, Ki Pendet tak mau ketinggalan. Langsung di-cabutnya sepasang trisula. Dan kini mereka bertiga
kembali menggempur Pendekar Rajawali Sakti.
"Hm.... Kalian benar-benar memaksaku, Kisanak.
Baiklah.... Aku tidak punya pilihan lain," sahut Rangga, langsung melompat ke belakang sambil membuat
beberapa kali putaran.
"Yeaaa!"
Ketiga tokoh persilatan itu mengejar cepat. Na-mun bersamaan dengan itu, Pendekar Rajawali Sakti
telah mencabut pedang, siap menyambut serangan.
Sring! Trak! Tras! Pedang pusaka yang memancarkan sinar biru
berkilauan itu berkelebat, sehingga menyilaukan pan-dangan lawan-lawannya. Mereka terperangah melihat
kelebatan Pedang Pusaka Rajawali Sakti yang bukan
main cepatnya. Dan tahu-tahu, sepasang trisula Ki
Pendet putus hingga tinggal gagangnya.
Belum lagi habis rasa kaget mereka, disusul se-ruan tertahan Ki Blauran. Tombak pendeknya menjadi
sasaran berikut pedang milik Pendekar Rajawali Sakti.
Masih untung bagi Ki Sampang Giro. Karena, dia tidak
berusaha menangkis pedang itu. Tubuhnya cepat me-nyusup dari bawah, bermaksud mengadakan serangan
kilat yang tidak terduga.
"Hup!"
Meski sedikit kerepotan menghadapi serangan
ketiga lawannya, Pendekar Rajawali Sakti sama sekali
tidak melupakan kewaspadaannya. Tubuhnya lang-sung berjumpalitan dua kali. Kemudian pedangnya di-ayunkan menyambar leher Ki Pendet.
Mendapat serangan cepat itu, Ki Pendet terkejut.
Dia bermaksud melompat ke belakang untuk meng-hindarinya. Namun, Rangga mendadak mengurungkan
serangannya. Dan sebagai gantinya, disodokkannya
satu tendangan keras yang tak mampu ditahan Ki
Pendet. Duk! "Aaakh!"
Ki Pendet menjerit keras. Tubuhnya langsung
terjungkal beberapa langkah, begitu tendangan Pende-kar Rajawali Sakti mendarat telak di dada.
Kedua kawan Ki Pendet terkesiap. Namun de-ngan geram mereka merangsek bersamaan. Cepat ba-gai kilat Pendekar Rajawali Sakti menundukkan ba-dannya sedikit, kemudian melangkah ke belakang dan
berputar ke kiri. Pedangnya menyambar ke arah perut
Ki Sampang Giro. Maka buru-buru orang tua itu me-nangkis dengan goloknya.
Pada saat yang sama Ki Blauran menyerang dari
belakang. Dugaannya, Pendekar Rajawali Sakti akan
melanjutkan serangan kepada Ki Sampang Giro.
Tras! Tapi, sungguh tak terduga. Ternyata, setelah
membabat putus golok Ki Sampang Giro, tubuh Pen-dekar Rajawali Sakti berbalik. Langsung diayunkan sa-tu tendangan keras ke dada Ki Blauran.
Begkh! "Aaakh...!"
Ki Blauran menjerit keras, begitu dadanya terha-jar tendangan Rangga. Tubuhnya kontan terjungkal ke
belakang, dengan darah meleleh dari sudut-sudut bi-
birnya. "Kurang ajar! Kau akan merasakan dahsyatnya
pukulanku, Bocah!" Desis Ki Sampang Giro geram me-lihat kedua kawannya dapat mudah dijatuhkan Pen-dekar Rajawali Sakti.
Ki Sampang Giro membuang gagang goloknya.
Lalu kedua telapak tangannya diusap-usap dengan wa-jah berkerut. Sementara Pendekar Rajawali Sakti tegak
memperhatikan. Tampak kedua telapak tangan orang
tua itu berwarna kemerahan yang menjalar ke siku.
Rangga sama sekali tidak merasa khawatir. Dia bisa
tahu kalau aji kesaktian orang tua ini jelas belum
sempurna. Ini bisa dilihat dari cara gerak tangan orang
tua itu. "Kisanak, jangan keterlaluan. Kau bisa memba-hayakan dirimu sendiri," kata pemuda itu mengin-gatkan.
"Huh! Agaknya kau mulai takut, he"! Lebih baik
menyerah saja!" sahut Ki Sampang Giro sinis.
"Hm.... Kau tidak mengerti alasanku."
"Sudah, tidak usah banyak bicara! Terimalah
pukulanku ini! Hiaaat...!" desis Ki Sampang Giro, lang-sung menghentakkan kedua tangannya.
Saat itu juga berkelebat selarik cahaya merah
kekuningan, menerpa dahsyat ke arah si Pendekar Ra-jawali Sakti.
Rangga mendesah lemah. Begitu serangan ham-pir dekat, telapak kirinya disorongkan ke depan den-gan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'. Seketika da-ri telapak tangannya itu melesat selarik cahaya merah
yang langsung melabrak pukulan Ki Sampang Giro.
Jder! "Aaakh...!"
Ki Sampang Giro memekik keras. Tubuhnya kon-
tan terbanting ke belakang disertai muntah darah se-gar dari mulut. Napas orang tua itu megap-megap. Dia
berusaha bangkit, dibantu kedua orang kawannya.
Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti masih tetap
berdiri tegak seraya mengatur pernafasannya. Bera-dunya kedua pukulan tadi terasa amat dahsyat. Bah-kan sempat membuat yang lainnya terperangah. Tidak
heran bila akibatnya sangat berat bagi Ki Sampang Gi-ro. Namun hal itu seperti tidak berpengaruh sedikit
pun terhadap Pendekar Rajawali Sakti.
"Pergilah kalian dari sini. Aku tidak ingin mem-perpanjang urusan. Katakan pada tokoh-tokoh pende-kar lainnya, aku akan datang pada mereka bila segala
sesuatunya telah beres!" Ujar pemuda itu dengan sua-ra penuh wibawa.
Menyadari kalau percuma saja mereka mene-ruskan niatnya meringkus pemuda itu, Ki Blauran dan
Ki Pendet memerintahkan anak buahnya segera berla-lu dari tempat ini. Dan mereka sendiri segera membo-pong tubuh Ki Sampang Giro, dan segera bergegas
menyusul. "Pendekar Rajawali Sakti! Persoalan ini belum se-lesai! Kami akan datang bersama yang lainnya. Bagai-manapun kau tidak akan luput dari hukuman!" Ki
Blauran sempat mengancam sebelum meninggalkan
tempat ini. Rangga diam saja tidak menjawab. Dia tetap ber-diri di tempatnya semula seraya memandang mereka
sampai hilang dari pandangan.
Pandan Wangi yang sejak tadi membisu, kini ti-dak tahu apa yang harus dilakukan. Dipandangnya
pemuda itu. Namun, Rangga sedikit pun tidak meno-leh. Gadis itu ragu-ragu mendekat. Dan mendadak
pemuda itu tersedak pelan, lalu tubuhnya terhuyung-
huyung ke samping.
"Kakang Rangga...!" seru Pandan Wangi terkejut,
segera melompat memapah pemuda itu.
"Kau..., kau tidak apa-apa...?" Tanya Pandan
Wangi cemas ketika memperhatikan wajah pemuda itu
yang sedikit pucat. Tubuhnya pun terasa dingin.
"Aku tidak apa-apa. Tenanglah," sahut pemuda
itu lemah, seraya bersandar di bawah sebatang pohon.
*** ? 4 Pandan Wangi membiarkan Pendekar Rajawali
Sakti sambil memandang dengan wajah cemas. Kini
Rangga duduk bersila untuk mengatur pernafasannya
dengan kedua kelopak mata terpejam. Dengan sabar
Pandan Wangi menunggu sambil mengawasi keadaan
di sekelilingnya.
"Pandan."
"Eh, Kakang Rangga.... Kau merasa sudah lebih
baik?" sahut Pandan Wangi cepat berbalik. Segera dihampirinya pemuda itu.
"Keadaanku belum pulih betul," sahut Rangga,
disertai anggukan kepala.
"Kita harus mencari tempat lain yang lebih aman,
Kakang!" kata gadis itu gelisah.
"Ya.... Tapi, ke mana?"
"Tidakkah lebih baik kalau kita ke Karang Se-tra?"
Pandan Wangi agak ragu. Perasaan gembira dalam hatinya karena yakin kalau Rangga telah pulih seperti sediakala, mendadak menjadi keraguan ketika melihat pemuda itu terdiam seperti sedang berpikir keras.
"Kenapa, Kakang" Kau..., kau masih belum ingat
segalanya?" lanjut gadis itu hati-hati.
Rangga masih terdiam. Kemudian perlahan-lahan dipandangnya gadis itu dan tersenyum.
"Aku..., mulai ingat, siapa kau sebenarnya."
"Benarkah"! Oh, Kakang Rangga! Aku gembira
sekali!" seru Pandan Wangi girang dengan wajah berseri. Kemudian tanpa sadar dipeluknya pemuda itu erat-erat untuk menumpahkan perasaan harunya.
"Pandan! Kalau kau peluk aku kuat-kuat begini,
tubuhku bisa remuk. Aku...."
"Oh, maaf Kakang! Maafkan aku.... Aku begitu
gembira melihat keadaanmu sekarang!" seru gadis itu,
seraya melepaskan pelukannya.
"Aku seperti baru terbangun dari mimpi buruk
yang amat menakutkan. Apakah kau mengetahuinya?"
Tanya Pendekar Rajawali Sakti.
"Banyak hal yang telah menimpamu belakangan
ini," sahut Pandan Wangi, lesu.
"Maukah kau menceritakannya padaku" Kehadiran mereka membuatku bingung, meski sedikit banyak
aku bisa mengerti."
"Kakang.... Aku akan menceritakannya padamu,
seperti apa yang kudengar selama ini. Yaitu, mengenai
sepak terjangmu. Namun sebelum itu, kita harus segera menyingkir dari sini. Aku khawatir, mereka kembali
dengan membawa tokoh silat lainnya dalam jumlah
banyak," ujar Pandan Wangi seraya membantu pemu-da itu untuk bangkit.
"Apakah kita akan ke Karang Setra?"
"Kurasa..., ng, tidak usah. Kita akan mencari
tempat yang aman saja lebih dulu!" ?
"Ke mana?"
"Entahlah. Nanti akan ku pikirkan dalam perjalanan."
Tapi baru saja mereka melangkah dua tindak,
mendadak sesosok tubuh muncul di depan. Pandan
Wangi cepat bersiaga. Namun ketika mengetahui siapa
yang datang, dia menghela napas lega.
"Tidak apa-apa, Kakang. Dia si Kelelawar Buduk
yang telah ikut membantuku menyelamatkanmu, ketika dalam pengeroyokan," jelas Pandan Wangi.
Orang yang baru muncul memang tidak lain si
Kelelawar Buduk. Wajahnya tampak lega, ketika melihat keduanya tidak kurang suatu apa pun.
"Syukurlah kalian tidak apa-apa."
"Bukankah kau katakan akan kembali esok hari?" Tanya Pandan Wangi.
"Eh! Aku memutuskan untuk melihat keadaan
kalian, ketika mendengar beberapa tokoh persilatan
menuju tempat ini dengan membawa sejumlah murid
yang cukup banyak," sahut si Kelelawar Buduk.
"Dari mana kau mendengar berita itu?" Tanya
Pandan Wangi. Si Kelelawar Buduk tersenyum.
"Kipas Maut... Kau mencurigaiku?" Tanya laki-laki gembel itu dengan nada sinis.
"Maaf, Kelelawar Buduk. Kau adalah adik seper-guruan Ki Polong. Bagaimana aku tidak curiga?" sahut
Pandan Wangi, tanpa basa-basi.
"Hm, memang beralasan. Tapi rasanya, terlalu
berlebihan. Sebab kalau memang hendak berniat ja-hat, rasanya aku tidak perlu membantumu menyela-matkan si Pendekar Rajawali Sakti dari kepungan me-reka!" Kata si Kelelawar Buduk, tandas.
Gadis itu terdiam beberapa saat kemudian. Apa
yang dikatakan si Kelelawar Buduk memang benar.
Tapi bukan berarti Pandan Wangi bisa percaya begitu saja.
"Kelelawar Buduk.... Sampai saat ini, sebenarnya
aku tidak habis pikir. Apa untungnya kau membantuku menyelamatkan Pendekar Rajawali Sakti" Bukan
aku tidak tahu berterima kasih. Tapi, semula kau hendak membunuhnya. Dan kini, berbalik. Apa sebenarnya yang kau inginkan?"
"Bukankah sudah kukatakan, aku tidak ingin
mereka kesalahan tangan" Aku tahu, Pendekar Rajawali Sakti bukanlah tokoh jahat. Dan kalaupun sampai
melakukan kejahatan, tentu bukan karena kemauannya sendiri. Apakah tidak cukup alasan kalau aku


Pendekar Rajawali Sakti 147 Tongkat Sihir Dewa Api di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ingin menyelamatkannya" Apa-lagi, setelah kini terbukti bahwa dia sebenarnya tidak ingat siapa dirinya.
Bukankah alasan ku benar" Sudah kukatakan pula,
aku memang bukan orang baik-baik. Tapi aku bisa
membedakan, mana yang harus kulakukan dan mana
yang tidak," sahut si? Kelelawar Buduk menjelaskan
dengan nada kesal.
"Pandan Wangi, kenapa kau mencurigai orang
yang bermaksud baik pada kita" Sudahlah, aku bisa
merasakan akan kebenaran kata-katanya," kata Rangga.
Pemuda itu kemudian berpaling pada si Kele-lawar Buduk, lalu tersenyum.
"Kisanak! Aku mengucapkan terima kasih atas
bantuanmu. Maafkan Pandan Wangi. Dia memang terlalu besar curiga pada orang lain."
"Tidak apa. Aku bisa memahami, melihat usianya
yang masih muda. Hm, aku menyesal gubuk ini terbakar. Tapi, di sini pun sudah tidak aman lagi. Sebaiknya kita mencari tempat lain yang lebih aman."
"Ya, aku pun berpikir begitu. Hanya sedang bingung, ke mana kita harus bersembunyi?"
"Aku punya tempat yang aman. Kalau kalian suka, biar kuantarkan!"
"Terima kasih, Kelelawar Buduk. Kami akan suka
sekali," sahut Rangga cepat. Sama sekali tidak di indahkannya kedipan mata Pandan Wangi dengan wajah
cemberut menahan kesal.
Gadis itu sebenarnya tidak setuju. Namun Rangga sepertinya tidak mengindahkannya. Sehingga dengan menahan kesal, terpaksa diikutinya langkah me-reka berdua.
? *** Sejak lolosnya si Pendekar Rajawali Sakti, serta
terbakarnya beberapa buah barak tempat tinggal para
murid, Ki Polong merasakan perlunya meningkatkan
kewaspadaan. Terlebih lagi, kini mereka menawan seorang anak buah Ki Netra Buana yang bernama Sarti.
Meski beberapa tokoh beranggapan kalau Ki Netra Buana tidak akan mengirimkan anak buahnya yang Iain
untuk menyelamatkan gadis itu, tetap saja mereka curiga. Terlebih lagi, baru saja Sarti menyatakan akan
memberitahu di mana sarang Ki Netra Buana. Mereka
pun bertekad untuk tidak lagi kecolongan seperti peristiwa penyerangan terhadap Pendekar Rajawali Sakti.
Sementara, penjagaan di Padepokan Kalong Wetan demikian ketat. Belakangan ini, beberapa padepokan silat ternama telah bergabung di dalamnya. Se-hingga tidak heran bila jumlah tokoh persilatan di da-lamnya amat banyak.
Seperti yang terlihat malam ini. Semua tembok di
sekeliling padepokan terlihat dua sosok tubuh yang
menyelinap ke arah padepokan itu.
Dua sosok ini melayang ringan ke salah satu cabang pohon terdekat, sambil mengawasi keadaan di
padepokan itu. Lalu salah seorang berkelebat ke kiri,
sedang kawannya melayang ke kanan. Tak lama, mendadak terdengar jerit kematian. Dua orang penjaga ro-boh dan tewas dengan leher patah.
"Kurang ajar! Perbuatan siapa ini"!" Desis salah
seorang penjaga lainnya.
Orang itu berteriak nyaring, sehingga membuat
kawan-kawannya yang berjaga-jaga segera membantu
dan menghampirinya.
"Aaa...!"
"Heh"!"
Kembali mereka dikejutkan teriakan dari arah
kanan. Beberapa orang berlarian sambil berteriak ka-lang kabut.
"Gajul dan Dewo mati!" teriak seseorang.
"Kurang ajar! Cepat bersiaga. Dan, tangkap me-reka yang mencurigakan! Ayo kalian jangan menjadi
gugup!" Teriak seorang tua yang bernama Ki Suyatna.
Ki Suyatna baru saja keluar dari bangunan uta-ma, ketika mendengar kekacauan itu. Beberapa orang
kawannya menyusul. Dalam keadaan begitu, menda-dak kembali terdengar pekik kematian Lima orang
kembali roboh dengan tubuh terjungkal laksana dihan-tam badai topan.
"Keparat!" desis Ki Suyatna geram. Langsung tubuhnya mencelat ke atas tembok pagar dan mengawasi
ke sekelilingnya. Namun tidak terlihat sesuatu yang
mencurigakan. Di luar tetap sepi dengan angin bertiup
semilir. "Bagaimana, Ki Suyatna?" Tanya seorang laki-laki tua lain ketika orang tua itu menjejakkan kedua
kakinya di halaman depan padepokan.
"Tidak ada apa-apa. Di luar sepi...," sahut Ki
Suyatna dengan wajah geram.
"Hm.... Agaknya ada orang yang hendak bermain
kucing-kucingan dengan kita!"
"Benar, Ki Prayoga!"
"Siapa kira-kira menurutmu?" Tanya kawannya
yang bernama Ki Prayoga.
"Entahlah. Aku tidak bisa menduganya."
Mereka segera kembali ke dalam, setelah memberi perintah untuk membereskan orang-orang yang
tewas. Langkah mereka terhenti, ketika di pintu depan
terlihat Ki Polong dan tiga tokoh utama yang mendatanginya berdiri tegak memperhatikan, bersama tokoh-tokoh silat lainnya.
"Ki Suyatna dan Ki Prayoga! Apa yang kalian da-patkan...?" Tanya Ki Walang Ijo.
"Agaknya ada musuh yang sengaja menakut-nakuti kita, Ki...," sahut Ki Suyatna.
"Apakah kau melihatnya?"
Ki Suyatna menggeleng lemah.
"Hm.... Berapa orang yang menjadi korban?"
Tanya salah satu tokoh utama yang bernama Ki Gem-par Persada.
"Entahlah, Ki. Mungkin sembilan, atau dua be-las."
Mereka terdiam sesaat.
"Menurutku, pelakunya pasti si Pendekar Ra-jawali Sakti!" Kata Ki Polong membuka pembicaraan,
dengan nada penuh keyakinan.
"Kurasa bukan," sahut Nyai Kami.
"Kenapa tidak, Nyai?"
"Bocah itu tidak mungkin melakukannya. Kalau
dia ingin balas dendam, maka akan dilakukan secara
terang-terangan."
"Huh! Mana mungkin dia berani!"
"Bukan begitu, Ki Polong. Tokoh sepertinya, tidak
berbuat seperti ini. Ini perbuatan pengecut!"
"Apa bedanya" Toh, bukankah pemuda itu pun
seorang pengecut"!" Sahut Ki Polong, menahan kesal.
Wanita tua itu memandangnya dengan wajah he-ran.
"Ki Polong! Ada apa denganmu" Apa kau ingin
berdebat denganku" Bukankah kita sedang menduga,
siapa pelaku peristiwa barusan" Menuduh seseorang
harus punya dasar. Bukan oleh perasaan marah pada
seseorang. Meskipun kau kesal pada si Pendekar Ra-jawali Sakti, hendaknya berpikirlah secara jernih."
"Maafkah aku, Nyai. Aku memang terbawa ama-rah oleh ulah pemuda itu," desah Ki Polong.
"Ada baiknya kita bicara di dalam," ajak Ki Gem-par Persada.
"Ya, benar. Mari, Kisanak semua!" Ajak Ki Polong.
Ki Polong bersama lebih sepuluh orang tokoh
persilatan yang berkumpul di tempatnya, masuk ke
dalam untuk melanjutkan pembicaraan di ruang ten-gah yang berukuran besar.
? *** Ki Polong sengaja menata meja dan bangku berbentuk lingkaran, sehingga mereka bisa saling berha-dapan.
"Maafkan aku, Kisanak semua. Hatiku memang
dikuasai amarah. Karena ulah Pendekar Rajawali Sakti, aku banyak kehilangan sahabat dekat ku," ujar Ki
Polong lemah, mengulang kata-katanya ketika mereka
telah berkumpul.
"Ki Polong.... Bukan hanya kau saja yang sedih.
Namun, semua yang berada di sini kurasa ikut berduka atas kematian sahabat-sahabat kita di tangan pe-muda itu. Namun, kita harus ingat. Di belakang semua
ini adalah Ki Netra Buana. Kita tidak boleh melupakannya dengan memusatkan perhatian terhadap si
Pendekar Rajawali Sakti. Sebab, ancaman terhadap kita sudah jelas datangnya dari si Netra Buana. Maka,
orang itulah yang patut dicurigai," kata Nyai Kami,
bernada bijak. Ki Polong terdiam seraya mengangguk pelan.
"Apa yang dikatakan Nyai Kami memang benar.
Kita tidak boleh melupakan si Netra Buana begitu saja.
Sebab, sesungguhnya orang itulah musuh kita yang
sebenarnya. Ada pun Pendekar Rajawali Sakti meru-pakan salah satu caranya saja, untuk membalaskan
dendamnya terhadap kita," timpal Ki Walang Ijo.
"Lalu, apa yang akan kita lakukan sekarang"
Apakah kita hanya menunggu dan terns menunggu,
apa yang mereka lakukan terhadap kita?" Tanya orang
yang bernama Ki Pintur Gumelar.
"Tenanglah, Ki Pintur. Bukankah kita punya ren-cana untuk esok hari?" Sahut Nyai Kami, halus.
"Kenapa kita harus menunggu sampai esok hari"
Bukankah kita bisa bergerak sekarang?" Tanya Ki Pin-tur Gumelar, bernada tidak sabar.
"Apa yang dikatakan Ki Pintur Gumelar benar!"
Bela seorang pemuda berusia sekitar dua puluh dela-pan tahun. Namanya, Ki Jaka Gedong. Kehadirannya
di tempat ini untuk mewakili gurunya, yaitu Ki Tam-bak Ireng yang telah berusia lanjut dan sakit-sakitan.
"Kenapa kita harus mengalah pada gadis itu, dan me-nuruti kemauannya" Dia telah berada dalam gengga-
man kita. Seharusnya, kita paksa saja dia untuk men-jelaskan di mana sarang si Netra Buana!"
Nyai Kami tersenyum seraya mengalihkan pan-dangan pada pemuda itu.
"Jaka Gedong. Jika kau tertawan musuh dan
musuh menginginkan sesuatu di bawah suatu an-caman berat, apa yang kau lakukan" Memberikan apa
yang diminta musuhmu, sementara tak ada jaminan
kalau nyawamu akan diselamatkan?"
Mendengar itu, Jaka Gedong terdiam tidak bisa
menjawab. Dalam hati, dia membenarkan apa yang di-katakan wanita tua itu.
"Syukurlah kalau kau bisa mengerti. Demikian
juga gadis itu. Meski kita sudah menjamin keselama-tannya, tetap saja dia belum merasa yakin. Untuk itu-lah dia menawarkan syarat."
"Baiklah.... Kita lanjutkan pembicaraan. Kurasa,
Jaka Gedong telah mengerti, kenapa kita tidak bisa
memaksa gadis itu untuk bicara. Dia akan memberita-hukannya esok hari. Dan kita berangkat bersama-sama dengannya. Yang akan kita lakukan saat ini ada-lah, melewati malam ini. Kejadian tadi bisa sebagai
isyarat kalau jalan yang akan kita hadapi tidak akan
mudah," ujar Ki Gempar Persada.
"Aku telah memerintahkan mereka untuk berjaga
lebih ketat lagi," sahut Ki Suyatna.
"Hm.... Dengan caranya menyelinap seperti itu,
tentu mudah sekali baginya untuk mengecoh mereka.
Bukankah sebaiknya kita pun berjaga-jaga bersama
mereka," kata Ki Walang Ijo memberi usul.
"Hm.... Baiklah kalau memang demikian. Malam
ini, kita semua berjaga-jaga," sambut Ki Polong, dan
disetujui yang lainnya.
"Aku ada pertanyaan buatmu, Ki Polong" Aku ti-
dak melihat kehadiran Ki Blauran, Ki Sampang Giro,
serta Ki Pendet" Ke mana mereka sebenarnya" Apa
mereka memang tidak bisa memenuhi undanganmu
lagi?" Tanya Nyai Karni dengan wajah heran.
"Mereka baik-baik saja, Nyai. Dan tentu saja, me-reka dengan senang hati membantu. Hanya kali ini,
mereka punya pikiran lain?"
"Apa maksudmu?"
"Mereka bermaksud menyelidiki, ke mana kini si
Pendekar Rajawali Sakti berada," jelas Ki Polong.
"Hm, bagus! Lalu, apakah kini sudah mendapat
hasil?" "Belum. Namun,? aku percaya. Mereka adalah
orang-orang gigih dan memiliki banyak akal. Mereka
pasti menemukan pemuda itu!" sahut Ki Polong, ber-nada yakin.
"Apakah mereka hanya pergi bertiga?"
"Tidak. Masing-masing ditemani beberapa orang
murid." "Hm, entahlah. Aku punya dugaan, mereka me-lakukan pekerjaan yang sia-sia. Namun begitu, tentu
saja sangat kuhargai usaha mereka," gumam Nyai
Karni sambil tersenyum.
"Sudahlah. Lebih baik kita keluar sekarang. Jan-gan sampai kita kecolongan lagi seperti tadi."
Mereka segera beranjak. Dan saat itu juga, seo-rang murid Ki Polong masuk tergopoh-gopoh. Wajah-nya pucat dengan napas memburu.
"Gum! Di..., di luar ada...."
"He! Hei! Coba tenangkan dirimu. Ambil napas
dalam-dalam, lalu ceritakan apa yang hendak kau ka-takan pada kami!" potong Ki Polong.
Murid itu mengatur pernafasannya. Dan semen-tara itu, beberapa tokoh silat lain telah menghambur
keluar untuk melihat apa yang terjadi.
"Me..., mereka kami dapati tewas di luar pintu
gerbang...!" kata murid itu setelah nafasnya agak lega.
"Apa"! Apa maksudmu..."!" Tanya Ki Polong ka-get.
"Ki Blauran, Ki Sampang Giro, dan Ki Pendet!
Mereka tewas beserta murid-muridnya. Dan kami te-mukan berada di dalam gerobak yang penuh ceceran
darah!" jelas murid itu.
Ki Polong tidak menunggu sampai murid itu sele-sai melapor. Bersamaan dengan yang lain, dia lang-sung menghambur keluar untuk melihat sendiri apa
yang telah terjadi.
Apa yang diceritakan murid tadi memang benar.
Mereka melihat sebuah gerobak berukuran agak besar,
dipenuhi mayat-mayat yang saling bertumpuk. Bau
anyir darah langsung menebar di tempat itu.
"Biadab! Siapa yang melakukan perbuatan ini"!"
Desis Ki Polong geram.
"Hm, pasti Pendekar Rajawali Sakti!" Tuduh Ki
Jaka Gedong cepat
"Ha ha ha...! Orang-orang tolol. Apakah kalian
sudah menerima kiriman khusus dari kami"!"
Mendadak terdengar suara tawa yang berku-mandang, seperti berasal dari sekeliling tempat ini. Ki
Polong segera memerintahkan murid-muridnya untuk
bersiaga. Sementara para tokoh silat lainnya langsung
melompat mengejar, ketika melihat dua sosok tubuh
berkelebat ringan seperti hendak memancing mereka
agar mengejar. "Itu dia! Tangkap! Ayo, kejar mereka...!" Teriak
seseorang memberi perintah.
Ajakan itu disambut dengan suara gegap gem-pita. Sehingga ketika Nyai Karni dan kedua kawannya
berteriak mencegah, mereka sama sekali tidak meng-gubris.
*** Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 " . 147. Tongkat Sihir Dewa Api Bag. 5 dan 6
7. Dezember 2014 um 07:48
5 "Hm.... Mereka tidak sadar kalau lawan telah
mengecohnya!" dengus Nyai Kami dengan wajah bersungut-sungut menahan kesal.
"Tipuan yang dilakukan musuh-musuh kita
mengena. Setelah keributan tadi, lalu disusul mayat-mayat ini yang tergeletak mengenaskan, sudah pasti
mengundang amarah pihak kita," timpal Ki Walang Ijo.
"Lalu, apa yang akan kita lakukan sekarang?"
Tanya Ki Gempar Persada.
"Mungkin menerima nasib," sahut Nyai Kami, se-tengah tersenyum. "Kita bagi tugas. Terserah kalian,
tapi aku punya usul. Mereka mungkin hendak mem-bebaskan gadis itu, atau menghabisi kita semua. Nah!
Biar aku menjaga gadis itu. Dan kalian berdua, mem-bantu yang lain. Siapa yang tidak setuju, boleh menggantikan tugasku!"
Pedang Naga Kemala 8 Pendekar Kembar 6 Cumbuan Menjelang Ajal Anak Pendekar 14
^