Pencarian

Dendam Sepasang Gembel 1

Pendekar Rajawali Sakti 182 Dendam Sepasang Gembel Bagian 1


" . 182. Dendam Sepasang Gembel ~ Bag. 1-3
26. M?rz 2015 um 07:10
1 ? "Sial! Ke mana dadu itu, Rebung"! Jangan paksa aku menelanjangimu!"
Bentakan barusan berasal dari mulut seorang laki-laki bertampang kasar yang tengah bermain judi dadu koprok dengan beberapa laki-laki lain di sebuah gardu, di depan sebuah rumah besar berbentuk indah.
Permainan judi koprok ini memang sudah sampai pada titik puncaknya. Kebetulan, sang bandar berhasil menguras kantong para pemainnya, yang merupakan para penjaga keamanan rumah besar itu.
"Jangan begitu, Tumang! Baiklah. Ini, kukem-balikan uangmu," tukas sang bandar yang dipanggil Rebung seraya mengeluarkan semua uang milik laki-laki bernama Tumang yang baru saja hendak menyambar bajunya.
Dalam permainan judi ini, memang uang Tumang yang paling tandas terkuras. Dan ketika entah bagaimana dadu itu menghilang, dia kontan naik darah. Amarahnya langsung ditumpahkan pada sang bandar.
Secepatnya Tumang menyambar uang yang di-sodorkan Rebung. Namun meski uangnya telah kembali, rasa penasaran dan kesalnya belum juga habis.
"Lalu, ke mana dadu itu kau sembunyikan"!" desak Tumang, penasaran.
"Entahlah.... Aku sendiri tak tahu. Hilang begitu saja," tegas Rebung, meyakinkan.
"Mustahil!"
"Aku bersungguh-sungguh!"
Karena sebelumnya merasa telah dibohongi, Tumang jadi tidak buru-buru percaya. Padahal Rebung telah berkata yang sebenarnya.
"Makanya, jadi orang jangan curang. Memang-nya kau sembunyikan ke mana dadu itu?" tukas pemain lain yang memiliki jenggot tebal dan pan-jang.
"Aku berkata jujur, Sangka! Dadu itu tidak kusembunyikan!" tangkas Rebung, menegaskan.
"Alaaah, ngaku saja!" desak laki-laki berjeng-got yang dipanggil Sangka. Namun, laki-laki ini ti-dak mau meminta uangnya pada Rebung! Kekalahannya hanya dianggap sebagai buang sial yang tak perlu diambil lagi.
"Brengsek! Kenapa kalian menyalahkanku"! Sudah kukatakan, aku tak tahu ke mana dadu itu menghilang"!" sergah Rebung, ikut-ikutan marah agar tidak terlalu disalahkan.
Tapi percuma saja kalau Rebung ikut-ikutan marah, karena kawan-kawannya tidak akan percaya.
"Kau yang mainkan dadu. Jadi mana mungkin dadunya menghilang begitu saja," sahut pemain lainnya. "Sudah, serahkan saja dadunya. Kenapa mesti bertahan segala kalau memang sudah keta-huan berbuat curang?"
"Sudah kukatakan aku tak tahu ke mana dadu itu! Kenapa kalian tidak percaya"!" teriak Rebung jengkel.
"Lalu ke mana kalau bukan kau sembunyikan"!" balas Tumang tidak kalah garang.
"Aku tidak tahu! Mungkin terjatuh. Atau salah seorang dari kita menyembunyikannya!" bantah Rebung.
"Hm...!" Tumang bergumam seraya meman-dang kawan-kawannya.
"Ini masalah remeh. Tapi kalau ternyata di an-tara kita tidak ada yang menyembunyikan, maka akan menjadi masalah pelik. Baiknya masing-ma-sing bersikap jujur. Berikan dadu itu, kalau memang menyembunyikannya!" seru salah seorang lagi, yang terlihat dengan otot-otot bersembulan di lengannya.
Laki-laki tinggi besar ini memandang mereka satu persatu. Tapi, semuanya menggeleng. Kalau mau bertindak lebih lanjut, dia bisa memeriksa mereka satu persatu. Tapi dia percaya kalau mereka tidak bohong. Memang, kalau laki-laki ini sudah bicara penuh wibawa, maka tidak akan ada yang berani main-main. Sebab dia tidak akan segan-segan menjatuhkan tangan. Apalagi untuk urusan sepele seperti sekarang. Hanya sebuah dadu! Dia yakin, tidak akan ada yang berani menerima hajarannya, karena kedudukannya memang sebagai kepala para penjaga keamanan ini.
"Lalu di mana dadu itu sekarang?" tanya laki-laki bertubuh tegap yang dikenal bernama Pati-geni.
Tiada seorang pun yang menyahut. Mereka diam seribu bahasa.
"Apakah ini yang kalian cari?"
Mendadak terdengar suara yang disusul mun-culnya satu sosok tubuh di depan gerbang bagian dalam sambil menunjukkan dadu kecil.
"Hei"!"
Semua para penjaga keamanan yang ada di gardu ini menoleh, dan langsung tersentak kaget. Bagaimana sosok wanita bertubuh kurus dengan rambut awut-awutan ini bisa masuk padahal pintu terkunci rapat"
"Kenapa kalian terdiam" Istriku tengah ber-tanya!"
"Heh"!"
Kembali para penjaga itu tersentak kaget, ketika terdengar lagi suara lain yang lebih berat. Mereka kontan menoleh ke arah suara, di atas pagar telah berdiri satu sosok lain yang keadaannya hampir mirip dengan sosok pertama. Bedanya, sosok ini adalah seorang laki-laki. Tubuhnya kurus dengan pakaian kumal tak karuan.
Sepasang matanya menatap tajam ke arah para penjaga. Bibirnya tersenyum sinis.
Ringan sekali laki-laki kurus dan kumal itu melompat ke bawah seperti daun kering tertiup angin. Dan tahu-tahu dia telah berada di samping wanita kurus yang tadi berdiri di depan pintu gerbang. Wanita yang ternyata istri dari laki-laki kurus itu melangkah beberapa tindak. Sementara sang suami mengimbanginya.
"Siapa kalian"!" bentak Patigeni seraya ber-siaga terhadap kemungkinan yang bakal terjadi.
"Aku ingin bertemu majikanmu!" sahut perem-puan kurus dengan pakaian kumal ini.
"Siapa yang kau maksud?"
"Siapa saja yang menjadi majikanmu!"
"Ki Danang Mangkuto sedang tidak menerima tamu. Apalagi untuk melayani pengemis. Pergilah!" usir Patigeni.
"Hi hi hi...! Kau dengar, Kakang Barata" An-jing-anjing saja sudah demikian galak. Apalagi majikannya"!" cibir wanita berpakaian gembel itu sambil terkekeh.
"Kaubenar, Retno. Hm.... Aku sudah tak sabar ingin bertemu majikan anjing-anjing ini!" sahut laki-laki berpakaian gembel yang dipanggil Barata.
Mendengar percakapan sepasang gembel itu membuat darah Patigeni bergerak cepat naik ke kepala. Apalagi ketika disamakan dengan anjing.
"Hei, Gembel Busuk! Jaga mulutmu! Jangan sembarangan bicara!" bentak Patigeni geram.
"Kau dengar, Kakang" Gonggongannya keras sekali!" ejek wanita gembel yeng bernama Retno.
"Keparat!"
Patigeni sudah tidak dapat menahan amarahnya. Seketika tubuhnya melesat ke luar gardu. Langsung diserangnya perempuan gembel itu dengan satu ayunan tangan bertenaga kuat.
Namun Retno tak kalah sigap. Cepat tangan kirinya diayunkan menangkis pukulan.
Plak! Dan mendadak kepalan kanan perempuan gembel ini menyodok ke dada. Gerakannya cepatsekali, sehingga kejadian itu terasa singkat. Tahu-tahu....
Dess...! "Aaakh...!"
Patigeni kontan terjungkal ke belakang disertai jerit kesakitan.
"Hei"!"
Para penjaga yang lain terkejut melihat Patigeni yang selama ini menjadi ketua, ambruk di tanah. Bagaimana mungkin Patigeni dapat dijatuhkan hanya sekali pukul" Padahal, mereka tahu kalau kepandaiannya cukup tinggi.
"Kang! Kang Patigeni...!" seru Tumang yang telah menghambur, dan coba mengguncang-gun-cangkan tubuh Patigeni.
Tapi Patigeni diam membisu. Tubuhnya per-lahan berubah dingn mengikuti suhu di sekitarnya.
"Dia sudah mampus!" desis wanita gembel itu, terdengar dingin.
"Mati" Astaga! Kau telah membunuhnya!" sen-tak Rebung.
"Kalian akan menyusulnya!"
"Hah"!"
Mendengar kata-kata yang mengancam itu, tak terasa tubuh para penjaga menggigil ketakutan. Kalau saja Patigeni yang mereka takuti bisa mati dengan sekali hajar, maka apa yang bisa diperbuat melawan kedua gembel itu"
"Eh! Kami..., kami tidak punya salah apa-apa kepada kalian, bukan" Lalu kenapa kalian begitu kejam?" Tumang yang bertampang kasar sendiri memberanikan diri untuk mulai minta pengampunan.
"Kalian jelas salah, karena telah bekerja pada si durjana Joko Gending, anak si keparat bernama Danang Mangkuto!" desis Retno dengan suara penuh kebencian.
"Eh! Ka..., kalian punya persoalan dengan Den Joko Gending"!" tanya Tumang, tergagap.
? *** ? "Keparat Joko Gending!"
Wanita gembel bernama Retno itu membetul-kan panggilan terhadap majikan muda mereka.
"Kalau boleh kami tahu persoalan apa?" lanjut Tumang.
"Jangan banyak tanya! Masuklah ke dalam. Dan suruh dia keluar!" dengus wanita itu geram.
"Kalau itu keinginanmu, baiklah. Aku pergi sekarang!" sahut Tumang seraya buru-buru meninggalkan tempat dengan langkah tergopoh-gopoh.
Namun baru melangkah beberapa tindak saja....
"Berhenti!"
"Hei"!"
Tumang terkesiap, ketika mendengar teriakan keras. Tahu-tahu di depannya kini berdiri tiga orang pada jarak sepuluh langkah. Dia segera mengenali orang-orang itu.
"Ki Danang Mangkuto...! Den Joko Gending...!" sebut Tumang pada laki-laki tua yang berdiri di tengah, dan pada laki-laki berusia tiga puluh tahun yang berada di sebelah kanan.
Sementara yang berada di sebelah kiri adalah seorang laki-laki kekar berkumis tebal Golok bergagang besar tampak terselip di pinggangnya. Agaknya, dialah tangan kanan laki-laki tua yang bemama Ki Pengging.
"Ada apa, Tumang?" tanya Ki Danang Mangkuto.
"Eh! Anu, Ki...."
"Anu apa" Dan siapa kedua gembel itu"!"
"Mereka ingin bertemu Den Joko Gending...," jelas Tumang.
"Aku tidak punya urusan dengan mereka! Apalagi, dua orang gembel. Usir mereka dari sini!" bentak laki-laki berpakaian biru berusia tiga puluh tahun yang bernama Joko Gending sambil berkacak pinggang. Suara ketus.
"Hi hi hi...! Benarkah kau tidak punya urusan dengan kami, Joko Gending?" tanya Retno dengan suara tawa nyaring.
"Aku tidak kenal kalian! Pergi!" bentak Joko Gending garang.
"Ha ha ha...! Setelah memperkosa istriku be-ramai-ramai, lalu kau pikir bisa pergi begitu saja untuk melupakan tanggung jawabmu"!" tukas Barata dengan suara tawa penuh dendam.
"Hei, apa maksudmu" Jangan sembarangan bicara"!" dengus Joko Gending. Wajahnya merah padam karena amarah.
Kalau saja ayahnya tidak mencegah, mungkin Joko Gending akan menghajar kedua gembel itu. Dan dia hanya menoleh pada orang kepercayaan Ki Danang Mangkuto.
"Paman Pengging! Hadapi mereka!" ujar Joko Gending.
Laki-laki kekar bernama Ki Pengging maju ke depan ketika mendapat perintah.
"Kisanak dan Nisanak.... Jika kalian lapar, maka majikanku akan memberi makan. Jika kalian butuh uang, beliau juga bisa memberikannya. Tapi jangan menuduh sembarangan begitu. Keluarga Ki Danang Mangkuto adalah keluarga terhormat. Tidak mungkin Den Joko Gending berbuat begitu terhadap istrimu seperti yang tadi kau katakan," kata Pengging, datar.
"Ha ha ha...! Kau dengar, Retno" Mereka hendak mengelak dengan dalih keluarga terhormat?" kata Barata.
"Huh! Menjijikkan!" dengus Retno mempeduli-kan tawa suaminya.
Mata wanita gembel ini memandang tajam pada Ki Pengging.
"Kami memang gembel. Tapi, bukan berarti seenaknya menuduh orang! Tanyakan pada anjing keparat itu, apa yang dilakukannya tujuh tahun lalu ketika pada pertemuan di tempat kediaman keluarga Ardisoma"! Apa yang dilakukannya kepada seorang wanita pembantu keluarga itu"! Katakan padanya! Dan ingin kudengar jawabannya, sebelum kuminta kepalanya!" tuding wanita gembel itu sengit.
"Hah, apa"! Tidak mungkin! Tidak mungkin...! Kalian sudah mati! Tidak mungkin bisa hidup!" sentak Joko Gending, dengan wajah pucat karena kaget.
? *** ? 2 ? Ki Danang Mangkuto jadi tidak habis pikir melihat perubahan sikap putranya. Demikian pula Ki Pengging dan yang lainnya. Sebaliknya suami istri gembel itu terkekeh dengan suara menyeramkan.
"He he he...! Syukur kau masih ingat kejadian itu. Jadi, kami tidak susah-payah lagi menuntut balas!" lanjut Barata.
"Kurang ajar! Bunuh mereka sekarang!" teriak Joko Gending pada Tumang dan kawan-kawannya.
"Eh! Tapi, Den...."
"Bunuh mereka! Atau, kupecat kalian semua"!" bentak Joko Gending mengancam.
"Mereka..., mereka telah membunuh Patigeni," sahut Tumang ketakutan.
"Apa"!"
Ki Danang Mangkuto dan Ki Pengging terkejut Buru-buru mereka menghampiri mayat Patigeni yang ditunjukan.
"Ayo, bunuh mereka!" bentak Joko Gending lagi, tak peduli melihat kematian salah seorang anak buah ayahnya.
Tapi ketika tak seorang pun dari anak buahnya yang bergerak, laki-laki itu kalap sendiri. Langsung dia melompat menyerang kedua gembel itu.
"Keparat! Kubunuh kalian sekarang!"
"Biar ini menjadi bagianku, Retno!" ujar Barata.
"Baiklah. Bereskan dia untukku, Kakang!"
Barata sudah berkelebat. Langsung ditangkis-nya tendangan Joko Gending dengan kaki kanan-nya. Dan seketika sikut kanannya langsung menyodok.
Joko Gending berkelit ke samping. Namun, laki-laki gembel itu telah cepat memutar tubuhnya. Bahkan sebelah kakinya langsung melepaskan tendangan berputar.
Desss...! "Aaakh...!"
Joko Gending kontan terpekik, ketika rahang-nya terhantam tendangan Barata. Tubuhnya langsung terjajar ke belakang.
"Ayo, maju! Tunjukkan kegaranganmu dulu!" ejek Barata.
"Keparat!"
Sambil mengusap darah yang mengucur dari sela bibirnya, Joko Gending membuka jurus baru. Kini dia siap menyerang kembali dengan amarah meluap.
'Yeaaa...!"
Begitu meluruk, kedua tangan Joko Gending yang sudah membentuk cakar elang segera me-nyambar-nyambar dengan cepat. Namun bukan main panas hatinya melihat pengemis itu mampu bergerak cepat.
Barata tidak jauh-jauh menghindar. Kepalanya cukup memiringkan sedikit ke kiri dan ke kanan. Dan di kali lain tubuhnya membungkuk atau bergoyang seperti tengah menari. Dan ini membuat serangan Joko Gending selalu luput dari sasaran.
"Kini rasakan balasan dariku!" dengus Barata.
Begitu kata-katanya selesai, pengemis ini segera menerkam buas. Kedua tangannya yang kurus membentuk cakar. Namun dengan nekad Joke Gending berusaha menangkis.
"Ohh...!"
Joko Gending tercekat, karena mendadak saja tangan kanan Barata telah meliuk deras ke pung-gung tangan kirinya.
Tap! Belum sempat Joko Gending berbuat apa-apa, Barata telah menarik tangannya. Lalu....
Bret! "Aaa...!"
Joko Gending menjerit setinggi langit, ketika pangkal lengan kirinya putus. Darah kontan mengucur bagai pancaran kecil dari lukanya yang mengerikan.
"Hei"!"
Ki Danang Mangkuto dan para anak buahnya terkejut setengah mati melihat kejadian itu. Laki-laki tua ini langsung melompat menghadang di depan putranya, ketika Barata hendak menyerang kembali.
"Kurang ajar! Aku akan membalas atas perla-kuan ini!" dengus Ki Danang Mangkuto, geram.
"He he he...! Ki Danang yang perkasa! Orang-orang mengenalmu sebagai Satria Mata Elang yang budiman serta terhormat. Tapi kenapa kau malah membela putramu yang nyata-nyata bersalah dan berkelakuan bejat"!" sahut Barata, kalem.
"Ahh.... Banyak mulut! Yeaaa...!"
Ki Danang Mangkuto agaknya tidak dapat lagi menahan amarahnya. Diiringi bentakan keras, dia melompat menyerang laksana seekor elang menyambar mangsa. Kedua tangannya yang membentuk cakar menyambar dengan cepat. Dan sesekati kedua kakinya ikut membantu silih berganti.
Dibanding putranya, gerakan orang tua itu lebih gesit dan bertenaga hebat Tapi Barata tampak tenang-tenang saja meladeninya. Semakin gemas orang tua itu terhadapnya, maka makin sering pula dia mengejek.
"Tahukah kau, Bangsat Tua" Kalian berdua akan kugantung di halaman mmah ini. Dengan begitu, akan menjadi pelajaran bagi yang lainnya."
"Banyak mulut! Kalian bisa berbuat apa pada-ku"!" dengus Ki Danang Mangkuto geram, sambil terus menyerang.
Orang tua itu menyadari kalau pengemis ini memiliki kepandaian hebat yang tidak berada di bawahnya. Maka dia tidak mau bertindak sembarangan. Saat itu juga segera dikeluarkannya jurus andalannya.
"Terimalah jurus 'Elang Membabat Belalang' ku ini. Yeaaa...!"
Kedua tangan Ki Danang Mangkuto yang membentuk cakar silih berganti menyerang, mengikuti gerakan tubuhnya yang lincah. Begitu juga kedua kakinya yang menendang dan menyapu se-tiap kali ada kesempatan.
"Ha ha ha...! Apa hebatnya jurusmu ini" Aku bisa mematahkannya dalam sekejap!" ejek Barata.
Dan laki-laki berpakaian kumal itu segera membuktikan kata-katanya. Tiba-tiba saja kepala kanannya menyodok ke perut.
Ki Danang Mangkuto cepat mengibaskan sebelah tangan untuk menangkis. Namun, Barata cepat menarik tangannya. Bahkan secepat kilat tubuhnya bergerak ke bawah seraya bergulingan, dan langsung melepas tendangan menggeledek.
?"Hiiih!"
Desss!??? "Aaakh!"
? *** ? Sebelah kaki Barata menghantam perut Ki Danang Mangkuto yang kontan menjerit kesakitan. Tubuhnya terpental ke belakang. Namun masih untung dia mampu berdiri di atas kedua kakinya, setelah berjumpalitan dua kali di udara. Wajahnya tampak pucat dan matanya melotot geram.
Bukan main marahnya orang tua itu karena merasa kecolongan. Bukan rasa sakit itu yang di-pikirkannya, tapi rasa malu karena selama ini belum pernah ada orang yang berhasil memukulnya.
"Keparat! Aku tidak akan memberi hati lagi pa-damu"!" dengus Ki Danang Mangkuto dengan pe-lipis mengembung. "Heaaa...!"
"Anjing busuk! Tidak usah banyak bacot! Maju dan terima kematianmu!"
Ki Danang Mangkuto menyerang lagi. Dan kali ini dia bertekad untuk bertarung mati-matian. Tidak mengherankan kalau serangahnya terlihat ganas. Kepalan kanannya cepat menghantam ke dada.
Werrr...! Saat itu juga mendesir angin kencang bertenaga kuat.
Namun, Barata lebih cepat mencelat ke atas. Tubuhnya berputar dua kali, lalu meluruk seraya melepas tendangan geledek.
"Hiih!"
Plak! Dengan nekat Ki Danang Mangkuto menangkis dengan tangan kiri. Bahkan tiba-tiba kepalan tangan kanannya menyodok ke perut sambil menunduk, karena kaki Barata yang satu lagi menyapu batok kepalanya.
"Hup!"
Di luar dugaan, Barata membuat gerakan cepat. Tubuhnya mendadak melenting ke belakang sambil menghantam dada dua kali lewat kakinya.
Dukk... Diegkh...!
"Aaakh...!"
Ki Danang Mangkuto menjerit kesakitan ketika dadanya terhantam dua tendangan dahsyat. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang sambil muntahkan darah segar.
"Hei"!"
Ki Pengging terkejut. Begitu juga Tumang dan kawan-kawannya. Mereka tak percaya majikan mereka mengalami saat naas, di tangan seorang gembel. Padahal semua tahu, Satria Mata Elang tidak mudah dikalahkan karena berkepandaian cukup hebat.
"Ayaaah...!" seru Joko Gending. Mulutnya tetap meringis merasakan sakit luar biasa, karena tangan kirinya buntung. Untuk menghentikan darah, dia telah menotok beberapa urat. Itu untuk sementara, karena bila masa totokannya habis darah akan kembali mengucur deras.
"Kau akan menyusul ke akherat, Anjing Muda!" desis Retno sambil menghampiri ketika melihat Joko Gending bermaksud membantu ayahnya.
Langkah Joko Gending terhenti. Dan tidak terasa jantungnya berdetak lebih cepat. Kedua gembel ini ternyata bukan orang sembarangan. Mereka punya kesaktian yang jauh melebihi mereka. Dan tujuan mereka sudah jelas, membalas dendam pada dirinya.
'Tumang, Rebung! Kalian semua! Serang dia! Tangkap...!" teriak Joko Gending seraya mundur teratur, ketika wanita berambut panjang itu mendekatinya perlahan-lahan.
"Eg! Ti..., tidak. Den! Kami berhenti saja...!" sahut Tumang dengan suara gemetar.
Kemudian setelah itu laki-laki bertampang seram itu langsung ambil jurus langkah seribu, terbirit-birit meninggalkan tempat ini. Perbuatannya diikuti kawan-kawannya. Bagi mereka saat ini lebih baik kehilangan pekerjaan, ketimbang kehilangan nyawa. Pekerjaan bisa dicari. Tapi nyawa! Siapa yang bisa memberi ganti"
"Terkutuk kalian! Kalian kupecat semua!" teriak Joko Gending geram.
Tapi Tumang dan kawan-kawannya mana peduli lagi. Kedua gembel itu tidak mengejar. Dan itu merupakan kesempatan baik bagi mereka untuk kabur sejauh-jauhnya dari tempat celaka ini.
Kalau ada yang tersisa saat itu adalah Ki Pengging. Meski dia setia pada majikannya, namun melihat kehebatan gembel itu, hatinya ketar-ketir juga.
"Kenapa" Apakah kau hendak lari seperti mereka?" dengus Barata, yang telah menghentikan serangannya dan melirik tajam ke arah Ki Pengging.
"Ini urusan pribadi kalian, bukan" Maka aku tidak berhak ikut campur...," sahut Ki Pengging sambil melirik pada majikannya yang megap-megap berusaha bangkit.
Wajah Ki Pengging kelihatan ngeri melihat tu-lang rusuk Ki Danang Mangkuto patah dan tubuhnya bersimpah darah. Siapa pun yakin kalau keadaannya gawat sekali. Harapan hidupnya amat tipis. Kalaupun bisa selamat, rasanya tidak punya waktu lama untuk bertahan. Sedangkan Joko Gending tak bisa diharapkan.
"Kalau kau mau pergi, kenapa tidak lekas-le-kas"!" bentak Barata.
"Eh, baik! Baiklah, aku pergi," sahut Ki Pengging cepat ketika melihat kesempatan lolos.
Tanpa pikir panjang lagi, laki-laki ini langsung kabur secepatnya dari tempat itu.
"Paman Pengging! Mau ke mana kau"! Jangan tinggalkan kami sendiri di sini"!" teriak Joko Gending.
"Maaf, Den Joko! Paman masih punya tanggung jawab lain. Selamat tinggal!" sahut Ki Peng-ging, tak mempedulikan teriakan Joko Gending.
"Keparat! Pengecut...!" umpat Joko Gending geram. "Kau pun kupecat seperti yang lain!"
"Kini kepada siapa lagi kau akan bergantung?" tanya Retno sinis, ketika wajah Joko Gending kelihatan semakin pucat.
"Eh! Aku..., aku punya uang banyak. Kalian boleh ambil itu, asal..."
"Asal nyawamu kuampuni?" potong Retno, seraya terus mendekati Joko Gending.
"Iya! iya...! Kau setuju, bukan"!" sahut Joko Gending cepat sambil tersenyum lebar.
"Hi hi hi...! Kenapa mesti uang" Tanpa itu pun aku mau, asal...."
"Asal apa" Katakan! Apa syaratmu aku pasti akan memenuhinya!"
"Bersujudlah. Dan minta ampun padaku atas perbuatan-perbuatanmu dulu!" ujar Retno, enteng.
"Hanya itu"!" tanya Joko Gending tak percaya.
"Ya! Cepat lakukan!" bentak Retno.
"Baik, baik...!"
Maka secepatnya Joko Gending bersujud di kaki wanita itu.
"Maafkan perbuatanku dulu kepadamu. Perca-yalah.... Aku amat menyesal dan berjanji tidak akan melakukannya lagi. Juga kepada orang lain!"
"Hiih!"
Tepat ketika Joko Gending selesai berkata, Retno melompat tinggi ke udara. Dan secepat itu pula tubuhnya meluruk, ke arah kaki laki-laki ini. Dan....
Krak! Krak! "Aaakh...!"
Joko Gending menjerit kesakitan ketika tiba-tiba wanita itu mematahkan tulang kakinya. Karuan saja dia menggelepar sambil bergulingan.
'Terkutuk kau! Perempuan biadab! Kenapa kau tidak mampus saja sejak dulu!" maki Joko Gending berulang-ulang.
? *** ? "Hi hi hi...! Kalau mati kau tentu tidak akan pernah bertemu lagi denganku, bukan" Padahal betapa bernafsunya kau melihat tubuhku. Apakah saat ini kau tidak tertarik lagi menggelutiku dan memperkosaku dengan paksa?" ejek Retno.
"Jahanam...!" maki Joko Gending.
Tapi seketika lengkingan suaranya habis, ujung kaki wanita itu telah melaju cepat.
Duk! "Aaakh!"
Beberapa buah gigi laki-laki ini tanggal ketika kaki Retno menghantam wajahnya. Hidungnya patah. Dari lubang hidungnya mengucur darah segar membasahi bumi.
"Kenapa tidak sekalian kau bunuh saja aku"! Ayo, bunuh aku! Bunuh! Aku tidak takut mati!" teriak Joko Gending, meratap.
"Kenapa buru-buru" Nikmatilah hidupmu meski tinggal sedikit lagi. Mali cepat terlalu enak bagimu. Mati pelan-pelan, itulah yang kumau. Paling tidak, agar kau rasakan penderitaanku saat itu!" dengus Retno.
"Perempuan terkutuk, mampuslah kau lebih dulu!"
"Hi hi hi...! Sumpah manusia biadab sepertimu tidak akan berarti."
Dan selesai berkata begitu, sebelah kaki Retno kembali menghantam dada.
Duk! "Ohh...!"
Pelan saja. Dan itu memberi kesempatan bagi Joko Gending untuk bergulingan. Tapi, agaknya hal itu yang diinginkan Retno. Sebab, seketika salah satu ujung kakinya menyepak ke bagian bawah perut laki-laki ini.
"Hiih!"
'Jrot! "Aaakh...!"
Joko Gending menjerit-jerit dengan muka ber-kerut dan airmata bercucuran. Otot-ototnya menegang tatkala bagian kebanggaan kaum laki-laki pecah ditendang Retno. Kesudahannya, tubuh pemuda itu terkulai lesu dengan mata berkedip-kedip lambat.
"Bagaimana rasanya" Enak, bukan?" tanya Retno seraya tersenyum dingin.
Tidak ada tanggapan dari Joko Gending. Kelo-pak matanya menutup. Dan seluruh tubuhnya diam bagai patung, kecuali bagian jari-jarinya yang bergetar lambat menandakan bahwa nyawanya tengah berkutat untuk lepas dari raga.
"Aku tahu, kau masih mendengar suaraku, Anjing Buduk!" dengus Retno. "Kematianmu tidak setimpal dengan perbuatan biadab yang kau lakukan bersama kawan-kawanmu. Tapi paling tidak, kau merasakan betapa sakitnya menjadi orang tak berdaya. Harga dirimu hancur! Dan kau seperti bayi yang tak mampu melindungi diri. Juga, tidak mendapat perlindungan dari siapa pun. Kami berdua hidup dari penderitaan. Dan karena penderitaan itu pula yang membuat kami tetap bertahan untuk membalas sakit hati ini. Kau yang pertama. Dan kawan-kawanmu akan mendapat giliran berikutnya!"
Kemudian Retno bergegas berkelebat cepat ke dalam. Sedangkan Barata menunggui kedua ayah dan anak itu. Sebentar saja, wanita itu telah kembali bersama dua utas tampang panjang.
"Apa yang akan dilakukannya...?" tanya Ki Danang Mangkuto lemah, yang masih sekarat di-tunggu Barata.
"Menurutmu apa?"
Ki Danang Mangkuto terdiam. Tapi, dia kaget bukan main ketika wanita itu menjerat leher putranya. Sesat, terdengar Joko Gending tersedak ketika wanita itu menyeretnya dengan paksa.
"Oh, tidak! Kalian tidak boleh melakukan hal itu padanya!" ratap orang tua itu sambil memalingkan wajah.
"Dia akan melakukan apa saja kepada anak-mu!" desis Barata.
Ki Danang Mangkuto tak kuasa menoleh. Dia tahu kalau wanita itu akan menggantung leher Joko Gending. Meski tidak terdengar lagi jeritan, namun laki-laki tua ini bisa merasakan penderitaan putranya yang malang.
"Kenapa" Kenapa kalian berbuat telengas seperti itu" Apa dosaku" Selama ini aku selalu berbuat baik kepada orang lain...," tanya Ki Danang Mangkuto hampa.
"Mungkin saja kau orang baik. Juga, terhormat. Tidak kuragukan hal itu. Tapi ada pepatah mengatakan, rusak susu sebelanga karena nila setitik. Anakmu telah mencoreng mukamu. Dan kau menambah corengan itu dengan membelanya. Aku dan istriku bersumpah akan membunuh siapa saja yang menghalangi niat kami!" sahut Barata, tegas.


Pendekar Rajawali Sakti 182 Dendam Sepasang Gembel di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ki Danang Mangkuto terkulai lesu.
Pada saat itu, Retno telah menyelesaikan tugasnya menggantung mayat Joko Gending di tiang beranda rumah. Dihampirinya Ki Danang Mangkuto. Bola matanya tetap sama ketika membunuh Joko Gending. Penuh dendam dan kebencian.
"Kini giliranmu!" desis Retno, dingin.
"Aku telah pasrah menerima apa pun yang akan kalian perbuat kepadaku...," sahut Ki Danang Mangkuto, lemah.
"Huh! Jangan kira aku akan menaruh belas kasihan padamu!"
Ki Danang Mangkuto menghela napas, tak menjawab.
Retno telah melompat ke kepala dan menjerat lehernya. Seperti yang dilakukannya kepada Joko Gending, maka orang tua itu pun diseretnya ke tiang beranda rumah besar ini.
Ki Danang Mangkuto hanya melenguh pendek. Dan matanya terbelalak dengan mulut terbuka lebar. Nyawanya lepas sudah dari raga, menggantung berjejeran dengan anaknya.
"Hhh.... Selesai sudah tugas pertama!" desah wanita itu sambil berkacak pinggang. Bola matanya kelihatan berkaca-kaca, memandangi kedua mayat yang tergantung di tiang beranda rumah ini.
"Ayo kita pergi, Sayang...!" ajak Barata.
"Baik, Kakang. Tugas kita masih banyak!"
Tak lama kemudian mereka berkelebat gesit meninggalkan tempat ini. Dalam sekejapan mata mereka telah menghilang, setelah melompati pagar rumah besar ini.
? *** ? ? ? 3 ? Dua sosok penunggang kuda melintas di sebuah jalan tak begitu lebar di pinggiran Desa Selabang. Mereka menjalankan kudanya lambat-Iambat sambil berbincang-bincang.
"Aku tidak habis pikir, Kakang Wiraguna! Siapa yang tega berbuat demikian kepada beliau!" kata salah seorang yang berusia sekitar tujuh belas tahun. Bajunya ketat warna kuning.
"Mungkin beliau punya musuh...," sahut yang seorang lagi. Dia seorang pemuda bertubuh tegap, terbungkus pakaian ketat warna biru. Wajahnya ditumbuhi jenggot tipis.
"Selama ini beliau jarang memiliki musuh, Kakang!"
Pemuda berbaju biru yang dipanggil Wiraguna tersenyum. Dan kepalanya menoleh sekilas.
"Apakah kau mengenal Ki Danang Mangkuto dengan baik, Caraka?"
Pemuda berbaju kuning dan bernama Caraka tampak tersipu malu.
"Itulah. Kita tidak bisa memberi penilaian, kalau tak tahu banyak tentang seseorang yang dinilai. Penilaian berdasarkan cerita-cerita orang, tidak bisa dijadikan patokan," ujar Wiraguna.
"Menurut pendapat Kakang sendiri, apa kira-kira penyebab kematian mereka?" tanya Caraka.
"Dendam."
"Dendam" Kenapa begitu?"
"Harta mereka tidak diusik. Begitu juga para pegawainya."
"Tapi satu orang mati, Kang?" ingat Caraka.
"Mungkin dia ingin membantu majikannya, namun gagal. Bahkan kematian menjemputnya."
Caraka mengangguk. Disadari kalau Wiraguna memang cerdas. Dan Caraka sendiri tahu, di antara lima putra Ki Genduk Mani, agaknya hanya Wiraguna yang disukainya. Pemuda berusia dua puluh lima tahun itu bersifat ramah, baik hati, dan tidak sombong. Tidak seperti saudara-saudaranya. Perbedaan watak satu sama lain seperti bumi dan langit. Tak heran kalau Caraka sering melihat Ki Genduk Mani selalu mengeluh melihat tingkah laku keempat putranya yang lain.
"Ki Danang Mangkuto bukan orang sembarangan. Bahkan jarang ada yang berani cari gara-gara dengannya. Menurut Kakang, siapa kira-kira yang bernafsu hendak membunuhnya?" tanya Ca-raka lagi, untuk mengetahui pendapat Wiraguna.
"Entahlah. Aku tidsak bisa memperkirakannya, Caraka...."
"Apa mungkin Ki Sancang, Kang?" duga Cara-ka.
"Maksudmu, si Raja Ular Selatan?" Caraka mengangguk.
"Tidak mungkin! Ki Danang dan putranya mati dihajar pukulan, dan kemudian baru digantung. Sedangkan ciri khas si Raja Ular Selatan selalu menggunakan racun ular, untuk membunuh lawan-lawanya," sanggah Wiraguna, sekaligus menjelaskan.
"Oo...."
"Eh"! Dari mana kau tahu soal si Raja Ular Selatan itu?" Wiraguna balik bertanya.
"Dari para pembantu Ki Danang sendiri. Mereka pernah bicara kalau Si Raja Ular Selatan itu musuh bebuyutan Ki Danang," sahut Caraka.
"Ya. Ki Danang juga punya beberapa musuh tangguh...."
"Seperti Ki Jepara alias si Iblis Pulau Hantu?" tukas Caraka sambil tersenyum lebar.
"Hm.... Kau semakin banyak tahu saja!" puji Wiraguna.
"Dari banyak mendengar cerita orang aku semakin banyak tahu mengenai tokoh-tokoh persilatan, Kang," tambah Caraka.
"Itu bagus untuk pengetahuanmu." 'Tapi...."
"Ada apa?" serobot Wiraguna ketika Caraka menghentikan kata-katanya dengan wajah murung.
"Kalau mengingat mereka aku jadi semakin kecil, Kang...."
"Kenapa begitu?"
"Aku ingin seperti mereka. Tapi, rasanya seperti pungguk merindukan rembulan. Jangankan seperti mereka. Bahkan memiliki kepandaian seperti Kakang pun, aku sudah amat gembira."
"Untuk itu kau mesti giat berlatih."
"Aku selalu giat berlatih. Tapi tidak ada yang membimbing. Kakang selalu sibuk membantu Ki Genduk Maru. Dan yang lain juga sibuk dengan urusannya masing-masing...," sahut Caraka mas-yghul.
Wiraguna tersenyum.
"Baiklah. Nanti akan kucarikan waktu untuk melatihmu...."
"Benarkah, Kakang"!" seru Caraka kegirangan.
Wiraguna mengangguk.
"Ah, terima kasih! Terima kasih, Kakang...!"
"Sudahlah. Sekarang kita mesti cepat tiba di rumah untuk memberitahukan hal itu pada ayah!"
"Baik, Kakang! Heaaa...!" Caraka segera menggebah kudanya. Sementara Wiraguna telah lebih dulu menghela kudanya dengan kencang.
Namun baru saja beberapa tarikan napas....
"Kakang, lihat! Siapa yang tidur melintang di jalan!" seru Caraka ketika melihat seseorang tidur seenaknya di tengah jalan yang dilalui.
"Hooop...!"
"Hieee...!"
Karuan saja mereka secepat kilat menghentikan laju kuda agar tidak menginjak orang yang tengah berbaring di tengah jalan.
? *** ? Apa yang dilihat Wiraguna dan Caraka adalah seorang laki-laki tua bertubuh kurus dengan pakaian seperti pengemis tengah tidur nyenyak sekali.
"Kakang! Kita memutar sedikit ke kanan," saran Caraka.
"Ya."
Mereka segera menghela kuda untuk memutar. Tapi, tiba-tiba saja pengemis itu menggeliat. Sehingga sikap tidumya berubah, kembali menghalangi langkah kuda mereka.
"Hhh...!"
Wiraguna menghela napas. Kemudian diberi-nya isyarat pada Caraka agar kembali ke jalan pertama.
Tapi begitu mereka membalikkan arah kuda, saat itu juga si pengemis menggeliat kembali, menghalangi jalan.
"Hmm...!" gumam Wiraguna pendek.
"Kenapa, Kakang?" tanya Caraka ketika melihat Wiraguna terdiam seraya memperhatikan pe-ngemis itu.
"Kisanak.... Kalau tidak keberatan, sudilah kiranya menepi dari jalan ini!" ujar Wiraguna tanpa mempedulikan pertanyaan Caraka.
Bukannya menjawab, pengemis itu malah memperdengarkan dengkurannya.
"Kalau kau tidak mau menepi, biarlah kami mencari jalan lain," sahut Wiraguna datar.
Pemuda itu memberi isyarat pada Caraka. Lantas mereka segera memutar haluan, membelakangi pengemis itu untuk mencari jalan lain.
'Heaaa...!"
Brakkk! "Hieee...!"
Tapi baru saja menggebah kuda, mendadak sebatang pohon besar di depan tumbang, langsung melintang menghalangi jalan. Kontan kuda tunggangan mereka terkejut dan meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depan tinggi-tinggi.
"Aduh!"
Caraka mengeluh kesakitan ketika terlempar dari punggung kudanya. Masih untung bagi Wiraguna, karena mampu mengendalikan kuda tung-gangannya.
"Kau tak apa-apa, Caraka?" tanya Wiraguna setelah kudanya benar-benar tenang.
Caraka menggeleng sambil bangkit berdiri. Pantatnya yang masih terasa sakit dielus-elusnya. Wajahnya kelihatan lucu, ketika meringis.
Semua itu tidak membuat Wiraguna tertawa. Justru matanya kini memandang tajam pada orang yang membuat ulah. Pengemis tua yang tadi tertidur nyenyak, kini berdiri di dekat mereka sambil terpingkal-pingkal melepaskan tawa.
"He he he...!"
"Kenapa kau tertawa"! Kau senang melihat ke-susahan kami"!" bentak Caraka kesal.
"He he he...! Dasar bocah dungu! Kenapa pula kau marah-marah melihatku tertawa?"
"Karena semua ini perbuatanmu!" tuding Caraka kesal.
"Bocah geblek! Bocah sinting! Seenaknya saja bicara. Apa buktinya kalau aku yang melakukan semua ini?" sahut pengemis tua itu dengan suara tidak kalah garang.
"Itu memang salahmu! Karena..., karena kau tidur di tengah jalan!"
"Apakah ada larangan untuk orang tidur di tengah jalan?" kilah pengemis tua ini.
"Huh, sudahlah! Dasar orang gila!" umpat Caraka kesal seraya menghampiri kudanya.
"He, apa kau bilang" Kau kira aku gila" Dasar bocah sinting tak tahu diri. Kau memang turunan orang gila! Marah-marah tak karuan!" dengus pengemis ini.
Mendengar dirinya dimaki-maki begitu, kesal juga hati Caraka. Dipandanginya orang tua gembel itu dengan mata mendelik garang.
"Sekali lagi kau berani bicara begitu, kuhajar kau!" ancam Caraka.
"Bocah sinting! Turunan orang gila!" ejek pengemis tua ini sambil tertawa lebar.
"Kurang ajar...!"
"Caraka, sudahlah! Tidak usah diladeni!" cegah Wiraguna ketika Caraka hendak melabrak pengemis itu.
"Kenapa denganmu, Bocah" Apa kau kira akutakut dengannya" Huh! Dengan sekali sentil, dia akan kubuat terpental!" ejek pengemis ini sambil menuding marah. Pada Wiraguna.
"Paman...," panggil Wiraguna.
"Aku bukan pamanmu!" tukas pengemis itu marah.
"Lalu aku mesti memanggil apa?"
"Kau lihat aku" Aku seorang pengemis. Panggil saja begitu!" sahut pengemis ini seenaknya.
"Baiklah, Pengemis...."
"Nah! Begitu baru enak didengar!" potong pengemis itu lagi sambil tersenyum girang. "Tam-bahkan saja dengan kata sinting. Jadi kau boleh memanggilku Pengemis Sinting...!"
"Kami tengah ada urusan penting, Pengemis Sinting. Kalau tidak keberatan, bolehkah kami pergi dulu?"
"Aku tidak menghalangi jalanmu, bukan?" tukas pengemis yang mengaku berjuluk Pengemis Sinting.
"Kalau kau tidur di jalan, tentu saja menghalangi...."
"Kenapa" Bukankah kuda-kuda kalian masih bisa melangkah?"
"Tentu saja. Tapi bagaimana kalau tubuhmu terinjak-injak?"
"Hua ha ha...! Terinjak-injak kudamu" Kenapa rupanya" Apa kau kira perutku akan jebol" Atau dadaku akan remuk" Begitu"! Bahkan seekor gajah sekalipun tidak akan mampu meremukkan perut atau dadaku!" teriak Pengemis Sinting jumawa.
Menghadapi orang seperti ini, Wiraguna hanya bisa menahan sabar. Di antara saudara-saudaranya pun dia terkenal paling sabar. Apalagi sampai menjatuhkan tangan dalam menyelesaikan persoalan. Begitu juga kali ini. Hanya Caraka saja yang semakin geregetan melihat tingkah Pengemis Sinting itu.
"Sudahlah, Kang. Buat apa berdebat dengan orang gila sepertinya" Kita akan ikut-ikutan gila dibuatnya," ujar Caraka.
"Kurang ajar! Apa katamu" Aku gila"!" semprot pengemis itu galak.
Tiba-tiba saja Pengemis Sinting menjulurkan sebelah tangan ke jidat Caraka.
Wut! Karuan saja Caraka kesal bukan main. Dia bermaksud menangkis, dan sekalian saja menghajarnya. Tapi entah bagaimana satu dorongan kuat menerpa kepalanya.
Plak! "Aaa...!"
Pemuda itu kontan terjungkal ke belakang. Kepalanya terasa pusing. Pandangannya berku-nang-kunang ketika bangkit berdiri.
"Kakang. Oh..., kepalaku pusing...," keluh Caraka.
"He he he...! Ha ha ha...! Hu ha hu...!"
Pengemis Sinting ketawa terpingkal-pingkal melihat pemuda itu mengeluh seperti bocah.
Melihat apa yang diperbuat pengemis itu kepada Caraka, sadarlah Wiraguna bahwa kini tengah berhadapan dengan orang sakti yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Jidat Caraka tadi hanya ditepuk pelan sekali. Tapi itu cukup membuatnya terjungkal ke belakang seperti disapu badai topan.
"Kurang ajar! Yeaaa...!"
Caraka tidak peduli kejadian itu. Dan begitu melihat Pengemis Sinting menertawakannya, dia langsung menyerang tanpa pikir panjang.
? *** ? Wut! Bet! "Belum kena! Ayo, pukul lagi!" ejek pengemis itu seraya berkelit ke sana kemari menghindari pukulan serta tendangan Caraka.
"Kurang ajar! Pintar juga kau mengelak, ya"!" dengus Caraka semakin geram.
Pemuda itu kembali menyerang membabi-buta. Namun sedikit pun tidak membuahkan hasil. Pengemis itu mampu menghindarinya dengan mudah. Bahkan dengan cara yang membuat hati Caraka panas. Kadang pukulan pemuda itu hanya dielakkan dengan memiringkan kepala sedikit, atau tubuh berbalik. Atau terkadang pantatnya nungging, dan nyaris menghantam mukanya. Dan semua itu dilakukan pengemis tua ini sambil terkekeh kegirangan.
"He he he...! Kenapa" Sudah kepayahan"!" ejek Pengemis Sinting ketika melihat Caraka sem-poyongan dengan napas turun naik tak beraturan.
"Pengemis busuk! Aku masih sanggup meng-hajarmu lagi!" dengus Caraka tak mau mengalah.
"Ayo lakukan! Lakukan lebih kencang dan cepat!"
"Yeaaa...!"
Kalau tadi Pengemis Sinting hanya menghindar, kini mulai lebih bersungguh-sungguh. Ketika Caraka maju ke depan sambil menyarangkan tendangan, tubuhnya berkelit ke samping. Dan tiba-tiba sebelah kakinya mengait pergelangan kaki Caraka yang berpijak di tanah.
Wuuutt! Plak! Caraka terkesiap merasakan sentakan keras. Dan tak ayal lagi tubuhnya ambruk ke depan ketika tak mampu menguasai diri.
Brukk! "Hua ha ha...!" sambut Pengemis Sinting dengan tawa terbahak-bahak melihat muka Caraka mencium tanah.
"Sial!" dengus Caraka sambil mengusap mukanya yang berdebu.
Muka pemuda ini semakin berkerut geram, ketika melihat darah di telapak tangan. Ketika meraba hidung terasa cairan merah mengocor pelan.
"Caraka, sudah! Jangan lanjutkan lagi!" teriak Wiraguna mencegah ketika pemuda itu hendak menyerang lagi.
"Tapi, Kakang...."
"Kau tidak akan mampu melawannya. Dia bukan orang sembarangan. Bersihkan tubuhmu. Kita pulang sekarang!" sergah Wiraguna cepat.
"Eee, siapa yang menyuruh kalian pergi begitu saja" Aku belum lagi memerintahkannya!" timpal Pengemis Sinting seraya mengangsurkan telapak tangan kanan.
"Kisanak..."
"Panggil aku Pengemis Sinting!" tukas pengemis itu dengan suara keras.
"Baiklah, Pengemis Sinting.... Sekarang izinkan kami pergi dulu," ujar Wiraguna.
"Brengsek! Brengsek...! Apa kau tidak lihat aku tengah bermain-main dengannya"! Aku belum puas. Tapi, dia sudah lemas. Kenapa tidak kau saja yang menggantikannya"!"
"Aku tengah tidak berhasrat untuk main-main, Pengemis Sinting!" tolak Wiraguna halus.
"Aku akan memaksamu!" sentak Pengemis Sinting.
"Apakah kau akan menghajarku?"
"Siapa yang akan menghajarmu" Aku justru ingin agar kau menghajarku sampai puas!"
"Aku tidak akan melakukannya, Pengemis Sinting."
"Kalau begitu aku akan memaksamu!"
"Silakan! Aku tidak akan melawan," kata Wiraguna, pasrah.
Pengemis Sinting melotot geram. Namun tidak berbuat apa-apa. Tiba-tiba kakinya menghentak-hentak ke tanah.
"Brengsek! Brengsek...!" maki Pengemis Sinting berkali-kali, kemudian mencelat cepat dari tempat itu. Dalam sekejapan mata, tubuhnya menghilang dari pandangan.
"Pengemis brengsek!" umpat Caraka seraya melompat ke punggung kudanya.
"Sudahlah, tidak usah hiraukan dia lagi...."
"Kenapa Kakang mengalah padanya" Padahal, aku sudah kepayahan dipermainkannya. Kakang sengaja membiarkan aku!" dengus Caraka kesal.
Wiraguna tersenyum seraya menggebah kudanya kembali, pertahan-lahan.
"Kenapa kau berkata begitu" Kalaupun kula-rang, apakah kau akan menurut?"
Caraka diam saja. Hatinya masih kesal, karena Wiraguna tidak mau membantunya menghajar pengemis itu. Lantas kudanya digebah, mengikuti Wiraguna.
"Dunia persilatan banyak dihuni tokoh aneh, Caraka. Ayah pernah mengatakannya. Mereka rata-rata memiliki kepandaian tinggi dan sulit diukur. Salah seorang di antara mereka bergelar Pengemis Sinting tadi," jelas Wiraguna memulai menjelaskan.
"Kenapa Kakang begitu yakin?"
"Pengemis Sinting tidak jahat. Hanya kela-kukannya aneh dan sulit diikut orang waras seperti kita."
"Jadi itukah sebabnya Kakang tidak mau membantuku, juga menolak tantangannya?" duga Caraka.
"Tentu saja! Kalau aku membantumu, apa yang bisa kuperbuat" Kepandaiannya tinggi sekali. Bahkan ayah sendiri tidak mampu menyentuhnya, bila saling berhadapan. Dia hanya ingin bermain-main seperti katanya. Maka kalau keinginannya diladeni, dia akan betah menemani kita di sini. Dan kita akan letih sendiri meladeninya. Tapi kalau tidak meladeni, dia akan jemu dan meninggalkan kita seperti tadi," lanjut Wiraguna menyempumakan penjelasannya.
Caraka mengangguk-angguk.
"Nah! Kau masih marah padaku?" tanya Wiraguna.
Dengan tersipu-sipu Caraka menggeleng lemah,
"Kita beruntung bisa bertemu dengannya, meski mendapat pengalaman aneh...,"'kata Wiraguna.
"Kalau saja di dunia ada sepuluh sepertinya, maka banyak orang yang akan dibuat pusing!" dengus Caraka.
"Bahkan orang sepertinya bukan cuma sepuluh, tapi banyak!"
"Ah! Mana mungkin, Kang"!"
"Benar! Jika kau rajin mendengar dan ber-tualang sekaligus, kau akan menemukan orang-orang sepertinya."
Caraka terdiam, setengah percaya mendengar penuturan Wiraguna.
"Kenapa mereka bisa seperti itu, Kang?"
"Ya, banyak. Bisa karena kebanyakan ilmu, karena penyakit, karena penderitaan, dan lain-lain. Nantilah kita bahas panjang lebar bila ada kesempatan. Sekarang, kita mesti cepat-cepat sampai di rumah."
Setelah berkata begitu, Wiraguna menggebah kudanya kencang-kencang. Caraka pun langsung mengikuti.
"Heaaa...!"
? *** ? Selanjutnya Bagian 4-6
? Dendam Sepasang Gembel
? Daftar Isi ? Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 " . 182. Dendam Sepasang Gembel ~ Bag. 4-6
26. M?rz 2015 um 07:11
4 ? "Dari mana kau peroleh berita itu, Wiraguna?"
Suara bernada pertanyaan itu ditujukan buat Wiraguna, yang baru saja tiba di rumah bersama Caraka. Langsung diceritakannya kejadian yang menimpa Ki Danang Mangkuto dan anaknya yang bernama Joko Gending, pada ayahnya yang tak lain Ki Genduk Mani.
Wajah laki-laki tua ayah dari Wiraguna itu terlihat terkejut. Sepertinya dia tidak percaya de-ngan pendengarannya sendiri.
Ki Genduk Mani kembali terdiam. Dahinya berkerut. Sementara kedua tangannya terkepal menandakan kalau tengah menahan amarahnya yang hendak menggelegak.
"Terkutuk!" desis laki-laki berusia sekitar enam puluh tiga tahun itu, geram.
Sementara itu orang yang ada dalam ruangan ini terdiam. Dan ketika Ki Genduk Mani meman-dang mereka satu persatu, seolah-olah orang-orang itu siap menerima perintah.
"Wiraguna.... Tahukah kau siapa yang mela-kukan hal itu pada mereka?" tanya Ki Gending Mani.
"Sayang sekali, Ayah. Tidak ada yang menge-tahuinya...," desah Wiraguna.
"Kau katakan para pengawalnya banyak yang hidup?"
"Mayat mereka tidak ditemukan di sana, Ayah...."
"Mungkin mereka lari menyelamatkan diri, saat terjadi pembunuhan terhadap majikan mereka."
"Mungkin begitu...."
"Ki Danang Mangkuto adalah sahabatku. Maka kematiannya akan kuusut sampai ke mana pun!" desis Ki Genduk Mani yang dikenal dengan julukan si Gelang Maut.
"Apa yang mesti kita lakukan Ayah?" tanya Wiraguna.
"Kerahkan orang-orang kita untuk mencari para pengawal Ki Danang Mangkuto. Bujuk mereka untuk memberitahu, siapa pembunuh Ki Danang Mangkuto dan putranya," ujar Ki Genduk Mani.
"Ayah! Mengapa kita mesti repot-repot mengu-rusi persoalan orang lain?" tanya salah seorang anak muda, yang juga anak Ki Genduk Mani.
"Dia sahabatku, Wirabrata!" sahut Ki Genduk Mani menekankan.
"Kalau kita yang mengalami kejadian ini, apakah Ayah kira mereka akan berbuat sama"!" lanjut pemuda yang dipanggil Wirabrata, merasa kurang senang atas sikap ayahnya.
"Lepas apakah dia sahabatku, maka sudah menjadi kewajiban kita untuk tolong-menolong. Bila merasa direpotkan, kau boleh diam di rumah. Biar yang lain mengadakan pencarian!" jawab orang tua itu, menegaskan.
Mendengar keputusan itu Wirabrata yang merupakan putra kedua Ki Genduk Mani tidak berkata apa-apa lagi. Mau tidak mau, dia terpaksa tunduk pada keputusan yang telah dikeluarkan ayahnya.
"Aku tidak memaksakannya kepada kalian. Tapi seperti yang tadi kukatakan, kewajiban kita adalah tolong-menolong. Maka kuminta kalian mengikuti Wiraguna, untuk mengadakan pencarian terhadap para pengawal almarhum Ki Danang Mangkuto," ujar Ki Genduk Mani.
"Kenapa mesti Wiraguna" Aku pun bisa!" cetus seorang pemuda lain. Dia adalah anak tertua Ki Genduk Mani.
"Benar, Adiguna! Itu kalau kau tidak punya tugas lain!" sahut orang tua itu.
"Aku memang tidak punya tugas lain, Ayah," jawab pemuda bernama Adiguna itu.
'Tidak! Kau kutugaskan pergi menemui sahabat-sahabat Ayah lainnya, untuk menceritakan peristiwa ini kepada mereka."
"Kenapa mesti aku" Bukankah itu bisa diker-jakan Wiraguna?"
"Aku telah memutuskan, Adiguna! Apakah kau hendak menolaknya?" tukas orang tua itu tajam.
Adiguna tidak bisa berkata apa-apa lagi. Dalam pikirannya, pekerjaan yang diberikan kepadanya terlalu ringan. Bahkan bocah kecil pun mampu melakukannya. Sedangkan tugas yang diberikan pada Wiraguna tergolong agak lumayan. Dia menyangka, ayahnya meremehkan kemampuannya. Dan hal itu tidak bisa diterima, karena Wiraguna adalah adiknya. Bukankah semestinya seorang kakak yang mesti melakukan tugas-tugas berat"
Tapi yang ada di benak Ki Genduk Mani tidak demikian. Dia tahu, di antara kelima putranya hanya Wiraguna yang bisa diandalkan. Ketimbang saudara-saudaranya, Wiraguna yang paling rajin berlatih. Sehingga ilmu olah kanuragannya bisa dibanggakan. Pemuda itu juga cerdas dan tidak mudah putus asa. Persoalan ini penting baginya. Maka bila Adiguna yang dipilihnya untuk tugas pencarian, mungkin saja akan putus asa setelah beberapa kali dicari ternyata para pengawal Ki Danang Mangkuto tidak kunjung ditemui. Lain halnya Wiraguna. Dia amat patuh menjalankan perintah. Bahkan jarang kembali bila yang dicarinya belum berhasil ditemui.
"Kapan bisa kulaksanakan tugas itu, Ayah?" tanya Wiraguna ketika ruangan itu hening untuk beberapa saat.
"Kapan kau sanggup berangkat?"??
"Besok pagi-pagi sekali, Ayah!" sahut pemuda itu mantap.
"Baik! Bawalah beberapa orang bersamamu."


Pendekar Rajawali Sakti 182 Dendam Sepasang Gembel di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wiraguna mengangguk.
"Baiklah. Kalian boleh pergi semua!" tandas orang tua itu.
"Eh! Sebentar, Ayah! Mungkin ini ada artinya buat kita!" sambung Wiraguna.
"Apa?"
"Dalam perjalanan pulang, kami bertemu seseorang. Ayah mungkin tidak percaya. Tapi, aku yakin pasti dia orangnya," sahut Wiraguna, menjelaskan.
"Siapa yang kau maksud?" tanya Ki Genduk Mani.
"Pengemis Sinting!"
"Pengemis Sinting"!"
Ki Genduk Mani terkejut mendengar nama itu disebutkan.
"Apa yang, dilakukannya.. terhadap kalian?" lanjut orang tua ini.
Wiraguna kemudian menceritakan pengalaman mereka bertemu dengan si Pengemis Sinting.
"Bagaimana, Ayah" Apakah kira-kira dia ter-sangkut paut dalam urusan ini?" Tanya Wiraguna.
"Sepengetahuanku, Ki Danang Mangkuto tidak bermusuhan dengannya. Lagi pula, Pengemis Sinting, tidak akan membunuh sembarangan. Tapi entah juga. Siapa tahu dia berubah pikiran. Kirim beberapa orang untuk mengawasinya di sekitar wilayah kita!" jelas Ki Genduk Mani.
"Baik, Ayah!"
? *** ? Seorang pemuda berdiri tegak mematung di depan rumahnya yang tak begitu besar. Angin malam yang dingin lembut mengusap-usap kulit tubuhnya.
Sejenak kepalanya mendongak, memandang ke langit. Bintang-bintang tertutup awan. Dan langit terlihat pekat. Cahaya bulan tidak terlihat sedikit pun.
"Hei"!"
Wajah pemuda ini seketika tegang ketika melihat satu sosok tubuh melompati pagar dengan gerakan ringan. Lalu sosok itu berjalan tenang, memasuki halaman rumah.
"Sugala! Apa yang kau lakukan tengah malam begini?" sapa pemuda ini seraya menghela napas lega, begitu mengenali siapa yang datang.
Sementara sosok yang ternyata seorang pemuda tersentak kaget, begitu namanya disebut.
"Kakang Tirta Janaka! Kau ada di sini" Kenapa belum tidur?" pemuda yang dipanggil Sugala malah balik bertanya.
Pemuda berambut pendek yang dipanggil Tirta Janaka itu menghela napas sebentar sebelum menjawab.
"Aku belum mengantuk. Dan kau" Apa yang kau lakukan malam-malam begini?" tanya Tirta Janaka, yang berusia tiga tahun di atas Sugala.
"Apa lagi"!" sahut Sugala sambil tersenyum lebar.
"Mendatangi gadis itu lagi?" tebak Tirta Janaka.
Sugala mengangguk.
"Dia tak suka padamu. Kenapa kau masih me-ngejar-ngejarnya juga?"
"Bukan dia. Tapi, orang tuanya!" jelas Sugala.
"Sama saja! Dia patuh pada orangtuanya. Dan berarti, dia tidak akan suka padamu," sergah Tirta Janaka.
"Aku cuma heran...."
"Kenapa?"
"Kita orang terpandang. Dan kekayaan pun tidak kurang. Kenapa orang tuanya begitu benci. pada keluarga kita?"
"Bukan pada keluarga kita. Tapi, kepadamu!" sahut Tirta Janaka, seperti meralat Sugala tersenyum.
"Kalau aku katakan sesuatu, apakah kakang akan marah?" tanya Sugala.
"Kau mau katakan apa" Katakanlah!" ujar Tirta Janaka.
"Sejujumya kukatakan, mereka sebenarnya bukan benci kepada keluarga kita...."
"Apa kataku! Mereka hanya tidak suka padamu, sehingga keluarga kita dijadikan sasaran kebencian pula!" tukas Tirta Janaka.
"Kau salah, Kakang! Mereka justru benci padamu!" sahut Sugala, dingin.
"He, apa maksudmu?"
"Jangan pura-pura, Kakang! Apa sebenarnya yang telah kau lakukan terhadap gadis-gadis di desa ini" Mereka semua benci kepadamu, karena kau sering mempermainkan gadis-gadis itu. Bahkan kepada istri orang pun, kau berani mengganggu. Dan yang lebih membuatku malu, kau justru pernah memperkosa mereka!" berondong Sugala, berapi-api.
"Sugala! Tutup mulutmu yang kotor itu! Jangan kau lemparkan tuduhan busuk itu padaku!" bentak Tirta Janaka garang.
"Itu bukan tuduhan busuk. Tapi kau sendiri yang busuk! Kau dan segala kelakuanmu yang busuk, sehingga mencemarkan nama baik keluarga!" dengus Sugala sengit.
Pertengkaran berlanjut. Dan amarah Tirta Janaka pun tak tertahankan lagi. Langsung adiknya dihajar dengan satu tendangan keras ke arah dada.
Wut! Namun Sugala cepat melompat ke kanan. Di-tangkisnya tendangan itu dengan tangan kiri.
Plak! Tap! Bahkan Sugala menangkap pergelangan kaki Tirta Janaka, lalu sekuat tenaga didorongkannya ke belakang.
"Hup!"
Tirta Janaka memang terjungkal ke belakang. Namun dengan gesit dia berkoprol, lalu mendarat mulus. Wajahnya kelihatan semakin berang melihat kelakuan adiknya.
"Bagus! Kau sudah mulai berani melawanku, ya?" desis Tirta Janaka.
"Kau yang memulainya, Kakang!" sentak Sugala.
"Tidak usah banyak bicara! Ayo! Ingin kulihat, sampai di mana kemajuanmu sekarang!" dengus Tirta Janaka geram.
"Kau anak manja dan selalu disayangi ayah, sehingga beliau lupa bahwa kelakuanmu sudah kelewat batas! Kau cemarkan nama keluarga! Kau siram wajah ayah dengan segala perbuatan-perbuatan bejadmu!" tuding Sugala geram.
"Yeaaa...!"
Begitu kata-kata Sugala habis, Tirta Janaka yang tidak mau banyak bicara lagi segera melepas tendangan mautnya ke dada. Tapi, Sugala meladeninya dengan tangkisan-tangkisan mantap. Beberapa kali serangan Tirta Janaka dapat dipatahkannya. Dan ini membuat kakaknya semakin geram saja.
"Hiih!"
Mendadak Tirta Janaka bergulingan di tanah. Begitu bangkit kedua tangannya segera dihantamkan secara bersamaan.?
"Uts!"
Sugala melompat ke belakang.
"Hei"! Kau hendak membunuhku dengan jurus 'Kepalan Iblis', Kakang?" seru Sugala, cukup kaget juga.
? *** ? 5 ? Tirta Janaka tak peduli. Dan pada satu kesempatan, sebelah kakinya menyodok keras ke perut adiknya.
Desss.... "Aaakh...!"
Sugala jatuh terjungkal sambil menjerit kesakitan.
Baru saja Tirta Janaka hendak menghajarnyalagi.....
Heh"!"
Saat itu juga pandangan Tirta Janaka membentur pada dua sosok tubuh berpakaian gembel yang telah tegak berdiri mengawasi pertarungan tak jauh dari tempat ini.
"Siapa kalian"!" bentak Tirta Janaka lantang.
"Kau lupa padaku, Tirta Janaka?" sahut salah seorang.
Tirta Janaka mengamatinya dengan seksama. Rupanya yang barusan bicara adalah seorang wanita berusia sekitar dua puluh enam tahun. Rambutnya panjang, namun tak terurus. Matanya memandang tajam pada pemuda itu.
"Aku tidak kenal kalian! Pergilah sebelum ku-panggilkan penjaga untuk mengusir kalian!" bentak Titra Janaka, lantang.
"Penjaga mana yang kau maksudkan" Apakah kedua anjing buduk yang kau suruh berjaga di depan sana" Mereka kini tengah nyenyak tertidur. Dan mereka tidak akan terbangun, meski kau telah berangkat ke neraka!" desis wanita itu dingin.
"Kurang ajar! Berani betul kau mengancamku"! Tahukah kau tengah berhadapan dengan siapa saat ini"!"
"Aku tengah berhadapan dengan anjing buduk!" sahut wanita itu, mengejek.
"Setan!"
Tirta Janaka yang saat itu tengah kalap pada adiknya, semakin geram saja mendengar ocehan wanita berpakaian dekil itu. Dengan serta merta dia melompat menyerang dengan satu tendangan dahsyat.
"Yeaaa...!"
Wanita itu tidak berusaha menghindar. Cepat ditangkisnya serangan itu dengan tangan kiri. Dan tiba-tiba saja tangan kanannya, menyodok keras ke ulu hati. Tirta Janaka terkejut, namun tak mampu lagi menghindar. Dan....
Begkh! "Aaakh...!"
Tak ampun lagi tubuh Tirta Janaka terjungkal ke belakang. Dari mulutnya keluar jerit kesakitan.
"Hei"!"
Sugala yang masih meringis kesakitan ketika memperhatikan pertarungan jadi terkesiap. Demikian mudah Tirta Janaka dijatuhkan. Padahal, dia sendiri tidak mampu melawannya. Memang, kepandaian Tirta Janaka sendiri cukup hebat. Dan kalau sampai ada yang membuatnya terjungkal dengan sekali hantam, maka orang itu tidak bisa dipandang sebelah mata.
Siapa wanita gembel ini" Dan, siapa pula laki-laki gembel yang bersamanya" Mungkin saja laki-laki itu mempunyai kepandaian yang setingkat dengan wanita ini" Bahkan mungkin lebih! Namun Sugala memang tak ingin ikut campur dalam urusan kakaknya, yang pasti berbau mesum. Secepatnya dia berkelebat pergi, meninggalkan tempat ini.
Sementara itu Tirta Janaka telah bangkit kembali dengan wajah geram. Pandangan matanya penuh nafsu membunuh.
"Gembel busuk! Akan kujahar kau sampai mampus!" dengus pemuda itu.
"Kaulah yang busuk, Keparat! Dan kau akan mati di tanganku dengan cara mengenaskan!" dengus wanita gembel yang tak lain Retno dengan suara dingin.
"Huh!"
Tirta Janaka kembali mendengus dan bersiap menyerang. Kini jurus mautnya yang bernama 'Kepalan Iblis' siap digunakan.
"Yeaaa...!"
Tirta Janaka meluruk dengan kedua tangan terkepal yang dihantamkan bertubi-tubi. Tapi Retno mudah sekali menghindarinya. Tubuhya bergerak ringan meliuk-liuk dan mencelat ke sana kemari. Kakinya seperti tidak berpijak di tanah.
Dalam satu kesempatan telapak tangan wanita itu menangkis kepalan Tirta Janaka.
Plak! Tirta Janaka geram bukan main. Kepalannya yang mampu meremukkan kepala seekor banteng, ternyata di depan wanita itu sama sekali tak berarti apa-apa. Bahkan sedikit pun tubuh Retno tak bergeser. Dan ketika pemuda itu melayangkan kepalan yang satu lagi, wanita ini pun menangkisnya dengan cara sama.
Sebaliknya dengan satu sentakan keras, Retno menangkap kedua pergelangan tangan Tirta Janaka.
Tap! Lalu kedua kaki wanita ini bergerak cepat menghantam dada serta perut.
Duk! Des! "Aaakh...!"
Tirta Janaka kembali menjerit kesakitan. Tubuhnya terjungkal beberapa tombak ke belakang. Bahkan sampai membentur tembok rumah dengan keras. Dari mulutnya menyembur darah segar. Pemuda itu meringis-ringis kesakitan dan terkulai lesu, karena tak mampu bangkit berdiri lagi.
"Itu permulaan yang bagus buatmu! Sekarang akan kau rasakan penderitaanmu yang lain!" desis Retno.
Langkah Retno terhenti ketika mendadak dari arah dalam rumah, berkelebat cepat sesosok tubuh. Dan tahu-tahu, sosok itu telah dekat dengan Tirta Janaka. Kini tampak jelas sosok itu. Dia adalah seorang lelaki berusia sekitar lima puluh lima tahun berbaju rapi. Sebagian rambutnya yang telah memutih digelung rapi ke atas. Sepasang matanya tajam, seperti menyiratkan perbawa kuat.
"Apa salah putraku, sehingga kau tega melukainya?" sapa laki-laki itu dingin.
"Tanyakan pada peristiwa tujuh tahun lalu, di pinggiran Hutan Kemboja!" sahut wanita gembel itu masih, dingin. "Pada saat itu kalian berkumpul di rumah Ardisoma!"
Orang tua yang tak lain ayah dari Tirta Janaka ini memandang tajam pada putranya.
"Coba jawab pertanyaannya, Tirta! Jelaskan padaku!" ujar laki-laki setengah baya itu.
"Aku..., aku tidak mengerti apa maksudnya. Ayah...," sahut Tirta Janaka dengan suara bergetar.
"Keparat busuk! Apakah kau hendak mungkir dari perbuatan bejad yang kau lakukan kepada salah seorang pembantu keluarga Ardisoma"! Apakah kau hendak mengingkari, bahwa kau telah memperkosanya bersama kawan-kawanmu"! Kau menyiksanya! Menyiksa suaminya! Lalu, kau jebloskan suami istri itu ke sebuah jurang dalam. Masihkah kau hendak mengingkari perbuatan bejadmu"!" teriak Retno dengan sepasang mata melotot garang penuh terbakar dendam kebencian.
? *** ? "Apa"! Oh, tidak! Tidak..! Itu tidak benar!" bantah Tirta Janaka dengan wajah kaget.
"Boleh saja kau berkilah. Tapi kedua orang itu masih hidup. Dan kini, tegak berdiri di depanmu!" dengus Retno.
"Kau" Kalian..."!" desis Tirta Janaka, seperti tak percaya dengan pandangannya.
Pemuda ini memandang mereka berdua dengan sikap gugup, seperti hendak meyakinkan pandangannya.
"Tidak mungkin! Kalian sudah mati! Kalian sudah mati...!" teriak Tirta Janaka kalap.
"Itu memang keinginanmu. Tapi, nyatanya nasib berkehendak lain. Dan kali ini, kau yang mesti mati untuk menebus perbuatanmu itu!" desis Retno.
"Jadi benar apa yang dikatakannya, Tirta Janaka?" dengus laki-laki setengah baya, ayah Tirta Janaka.
"Tidak! Itu tidak benar. Ayah! Aku bahkan sama sekali tidak kenal dengan mereka!" elak pemuda itu dengan wajah bersungguh-sungguh.
Tapi percuma saja Tirta Jenaka berkilah untuk membela diri. Kata-katanya tadi sudah cukup beralasan kalau dirinya mengenali kedua gembel ini. Buktinya, dia mengatakan bahwa semestinya kedua gembel itu mati.
Wajah laki-laki setengah baya ayah dari Tirta Janaka kelihatan geram. Baru sekali ini ada yang terang-terangan mengadukan kebejatan budi pekerti putranya, setelah semua desas-desus yang didengar selama ini,
"Kisanak! Aku Ki Putut Denawa yang berjuluk Pendekar Budiman Bertangan Maut, akan bertanggung jawab penuh atas perbuatan putraku!" kata laki-laki setengah baya itu lantang, seraya memandang pada kedua suami istri berbaju pengemis itu.
"Aku ingin dia mati!" desis Retno.
"Aku akan menghukumnya sesuai keinginanmu!" sahut laki-laki setengah baya yang mengaku bernama Putut Denawa alias Pendekar Budiman Bertangan Maut.
'Tidak! Bukan kau yang melakukannya. Teta-pi, aku...," tukas Retno.
"Apakah kau tak percaya padaku" Akan ku-buktikan saat ini juga!"
Bersamaan dengan itu Ki Putut Denawa mengangkat sebelah tangannya. Namun sejengkal lagi tangan itu mampir di kepala Tirta Janaka....
"Hiih!"
Retno tidak tinggal diam. Seketika telapak tangan kirinya menghantam ke depan. Dan bersa-maan dengan itu, terasa angin kencang mendesir keras.
"Heh"! Hup!"
Ki Putut Denawa terkejut. Namun dia cepat melompat menghindarinya.
Bruak! Akibatnya sungguh hebat. Dinding rumah Ki Putut Denawa yang terkena pukulan itu jebol hancur berantakan.
Pulau Seribu Setan 1 Pendekar Naga Putih 55 Panggung Kematian Utusan Siluman Tujuh Nyawa 3
^