Pencarian

Setan Gembel 1

Pendekar Rajawali Sakti 214 Setan Gembel Bagian 1


" 214. Setan Gembel Bag. 1 - 4
20 septembre 2015, 08:58
? Pendekar Rajawali Sakti
episode: Setan Gembel Oleh Teguh S. Penerbit Cintamedia, Jakarta
? 1 ? Di bawah udara siang yang tidak terlalu terik, beberapa penduduk Desa Beji yang semula tenang-tenang saja, mendadak seperti tersirap. Mereka yang semula sibuk dengan pekerjaan masing-masing langsung menghentikan kegiatan, begitu di tempat jalan utama desa ini berjalan seorang laki-laki asing berusia sekitar dua puluh delapan tahun dengan pakaian compang-camping.
Yang membuat kening para penduduk desa itu berkerut keheranan, orang asing yang masih muda itu tengah menarik sebuah peti mati usang terbuat dari kayu jati dengan seutas tambang. Tubuhnya kurus. Rambutnya panjang dan kusut masai. Sebagian malah menutupi wajah. Kulitnya kusam dan dekil seperti tidak pernah terurus.
Pemandangan aneh itu, membuat beberapa penduduk saling berbisik. Sementara itu anak-anak kecil yang sejak tadi menakuti pemuda itu terus berteriak-teriak. Dan sebenarnya memang ada keanehan lain. Karena, peti mati itu terlihat berat. Sementara pemuda yang menariknya hanya menggunakan sebelah tangan. Tidak terlihat sedikit pun kalau mengalami kesulitan.
"Orang gila! Ada orang gila, woooiii...!" teriak anak-anak kecil itu.
Pemuda berpakaian compang-camping itu di-am saja. Bahkan ketika para bocah itu melempari kerikil, dia tidak bergeming. Beberapa buah sempat menyambar punggung dan batok kepalanya. Tapi, dia sama sekali tidak merasa sakit. Sehingga membuat beberapa orang penduduk yang tadi melihatnya, kini menaruh iba.
"Hei, anak-anak! Pergi sana! Pergi! Jangan mengganggu dia...!" teriak seorang penduduk yang mungkin merasa kasihan melihat pemuda berpakaian gembel.
Walaupun sambil berlari bocah-bocah itu tetap mengejek seraya menjulurkan lidah. Sementara laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun yang mengusir anak-anak kecil tadi menghampiri pemuda gembel yang menyeret peti mati.
"Kau tidak apa-apa, Kisanak...?" sapa laki-laki itu ramah.
Pemuda berpakaian compang-camping itu diam saja. Bahkan tidak menghentikan langkah. Apalagi menoleh!
"Kasihan.... Mungkin kau tuli...," gumam laki-laki penduduk desa ini, lirih.
Tapi, tiba-tiba pemuda gembel ini berhenti, dan langsung berbalik. Dipandanginya orang itu sekilas. Yang dipandang langsung bergidik ngeri, melihat sinar mata laki-laki gembel yang berkilat tajam, seperti menusuk langsung ke jantungnya.
"Eh! Ma..., maaf...," ucap penduduk desa ini pelan, lalu buru-buru menjauh.
Pemuda berpakaian gembel itu tidak mempe-dulikannya. Dia kembali berjalan. Sementara beberapa pemuda penduduk desa ini mulai tertarik. Diam-diam mereka mengikuti ke mana arah tujuan gembel itu.
"Hei" Lihat, Lanang, Tambuk! Dia menuju ru-mah Ki Jaban!" kata seorang pemuda berpakaian merah, yang berjalan bersama dua orang kawan-nya. Kepalanya sedikit dimiringkan ke arah dua pemuda yang dipanggil Lanang dan Tambuk.
"Mau apa dia ke sana, Kojar" Ki Jaban itu to-koh hebat" Apa dia mau can gara-gara?" tanya pemuda berpakaian putih bernama Lanang.
"Mungkin musuhnya barangkali...," timpal yang bernama Tambuk.
"Hush! Sembarangan kau bicara, Tambuk!" sentak pemuda yang bernama Kojar. "Siapa yang berani melawan Ki Jaban" Gembel itu kelihatan lemah. Pasti dengan sekali tiup, tubuhnya akan terpelanting!"
"Eee.... Jangan sembarang menilai kau, Kojar! Coba tadi perhatikan! Gembel itu dilempari batu oleh anak-anak kecil. Tapi, dia tidak mengelak. Dan sama sekali tidak merasakan sakit. Apa namanya itu" Dia juga tidak berdarah. Orang seperti dia harus dicurigai! Jangan-jangan, dia malah tokoh hebat!" sergah Lanang.
"Apa iya...?" Kojar mulai terpengaruh.
Pemuda berpakaian merah itu menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Sementara mereka terus melangkah, membuntuti gembel yang telah tiba di depan rumah orang yang disebut-sebut sebagai Ki Jaban. Agaknya mereka tidak puas kalau tidak melihat apa yang akan dilakukan pemuda gembel itu dari dekat.
"Betul! Dia menuju rumah Ki Jaban! seru Tambuk.
"Gila!, Aku tidak habis pikir, mau apa dia ke sana"!" desis Lanang.
"Mau mampus barangkali!" timpal Kojar.
"Sudah, diam! Kita lihat saja apa maunya" tu-kas Tambuk.
Kini tidak ada yang bicara lagi. Hati mereka masih penasaran, dengan apa yang hendak dilakukan gembel itu.
? *** ? Memang tak seorang pun penduduk Desa Beji yang tak mengenal Ki Jaban.
Laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun itu memang cukup disegani di desanya. Ciri khas untuk mengenalinya adalah surjan dan blangkon yang dikenakannya. Juga, pipa rokok yang tidak pernah lepas dari bibirnya. Konon, Ki Jaban adalah salah seorang tokoh persilatan yang memiliki lebih dari sepuluh buah keris pusaka.
Srek! Srek..! Perlahan tapi pasti, pemuda gembel itu mema-suki halaman rumah Ki Jaban. Lalu dia berhenti ketika telah tiba persis di depan pintu. Sesaat dia berdiri tegak. Entah apa yang hendak dilakukannya.
Sementara itu dari tempat-tempat tersembunyi, para penduduk desa memperhatikan keadaan dengan hati tegang.
Mendadak, pemuda berpakaian compang-camping ini mengangkat kepalan kirinya. Begitu tangannya bergerak mengibas.....
Brakkk! "Hei"!"
Pintu itu kontan hancur berantakan, dihantam laki-laki gembel ini. Sementara dari dalam terdengar bentakan bernada terkejut. Tidak lama, dari pintu yang telah jebol berdiri tegak seorang laki-laki berusia empat puluh tahun dengan muka garang. Sepasang matanya melotot lebar. Jakun di lehernya turun naik begitu melihat sosok di depannya.
"Kurang ajar! Gembel sialan! Apa maksudmu membuat keributan di sini"!" bentak laki-laki berpakaian surjan, yang tak lain Ki Jaban.
Sementara, pemuda gembel itu tidak langsung menjawab. Ditatapnya tajam-tajam Ki Jaban. Sinar matanya begitu menusuk, seolah hendak meruntuhkan nyali Ki Jaban.
"Kau yang bernama Ki Jaban?" tanya pemuda gembel ini dingin.
"Kalau iya, kau mau apa"!" tantang Ki Jaban dengan pandangan tak kalah tajam.
"Kalau benar, aku akan membunuhmu. Sebab, arwah sosok dalam peti mati yang kubawa ini, merasa belum tenang, sebelum aku menuntaskan dendamnya!" desis pemuda gembel itu.
"Jangan main-main, Kisanak! Aku tak mengerti it maksudmu"!"
"Ingatkah kau pada Kemala" Sepuluh tahun yang lalu, gadis itu adalah kembangnya Desa Jambe Wetan. Kau waktu itu berniat memilikinya. Tapi setelah kau perawani dia, kau tinggalkan begitu saja...," papar pemuda gembel itu.
Ki Jaban kontan terjingkat. Ingatannya langsung berbalik ke masa sepuluh tahun lalu. Ya, dia dulu pernah mencintai Kemala. Namun karena suatu ketika Kemala dikunjungi seorang pemuda, Ki Jaban yang waktu itu berusia tiga puluh tahun, meninggalkannya. Cemburu butanya membuatnya harus meninggalkan Desa Jambe Wetan, sekaligus meninggalkan Kemala.
"Kau sendiri siapa?" tanya Ki Jaban dengan pandangan menyelidik.
"Kau lupa padaku" Hm.... Ternyata waktu sepuluh tahun cukup membuatmu jadi pikun.... Baiklah. Aku Respati, adik Kemala," sahut pemuda gembel itu.
"Lantas, mana kakakmu Kemala?" tanya KI Jaban lagi.
"Dia ada di dalam peti," sahut pemuda gembel yang ternyata bernama Respati.
"Kau jangan main-main, Respati!"
"Aku tidak main-main. Justru kau yang main-main dengan kakakku, sehingga dia terbaring di dalam peti! Kaulah awal bencana itu! Kau telah berhutang pada kakakku. Dan kini aku menagihnya!"
"Kurang ajar...!"
Merasa kelakuannya terbongkar, Ki Jaban langsung naik darah. Seketika kaki kanannya melayang ke dada Respati.
Wuuut! Namun Respati yang dulu pemuda tak punya kepandaian apa-apa, mendadak mengibaskan ta-ngannya ke bawah. Ditangkisnya serangan itu se-cepat kilat.
Plak! Dan sebelum Ki Jaban menyerang kembali, Respati telah menghantamkan tangan kanannya ke perut.
Desss...! "Aaakh...!
Ki Jaban terjajar dengan muka berkerut geram menahan rasa sakit bercampur dendam. Dia segera memasang kuda-kuda, langsung membuka jurus. Sungguh dia tidak mau kecolongan dua kali dengan menganggap remeh pemuda yang sebelumnya diketahui tidak punya kepandaian apa-apa.
"He he he...! Kudengar kau sekarang menjadi tokoh hebat, Jaban. He he he...! Inikah orang hebat itu"!" ejek Respati sambil tertawa. Kakinya mundur perlahan ke halaman. Agaknya pemuda ini hendak mencari tempat yang lebih lega, ketimbang di depan pintu rumah Ki Jaban.
"Keparat! Kau sengaja cari mampus, he"!"
Begitu kata-katanya habis, Ki Jaban melompat dengan sebuah tendangan keras.
"Heaaa...!"
Namun, pemuda gembel itu bersikap tenang-tenang saja. Begitu serangan tinggal sejengkal lagi, tangan kirinya bergerak menangkis.
Plak! Lalu kaki kanan pemuda ini cepat terangkat tinggi menyodok dada.
Desss! "Aaakh...!"
Kembali laki-laki bersurjan itu memekik kesa-kitan. Tubuhnya terjungkal ke belakang. Dan kali ini, dari mulutnya tampak menetes darah segar.
"Hm.... Ternyata hanya begitu saja kepandai-anmu, Jaban!" leceh Respati.
"Jahanam!"
Ki Jaban menggeram. Dan seketika dicabutnya keris yang terselip di pinggang.?
Srak! Perlahan-lahan laki-laki ini mendekati Respati dengan sorot mata setajam elang.
Sementara itu para penduduk desa yang mengintip semakin tegang saja. Dan perlahan-lahan jumlah mereka semakin bertambah.
"Heaaat...!"
Dengan bernafsu Ki Jaban menikam ujung ke-risnya ke dada lawan. Dan anehnya, Respati sama sekali tidak berusaha menghindar. Akibatnya.....
Clap! "Heh"!"
Ujung keris Ki Jaban tepat menyentuh dada kiri pemuda itu. Namun, tidak mampu melukai kulit dadanya. Apalagi sampai menembus. Sudah barang tentu hal itu bukan saja membuat Ki Jaban terkejut. Bahkan mereka yang melihat kejadian itu sama-sama melotot tak percaya.
Dan belum lagi keterkejutan Ki Jaban lenyap, Respati telah meluruk maju dengan satu hantaman bertenaga dalam amat tinggi. Maka tak dapat dihindari lagi....
Desss...!'?? 'Aaa...!" Ki Jaban memekik setinggi langit. Tubuhnya terjungkal roboh beberapa langkah ke belakang sambil memuntahkan darah segar. Dia hanya mampu bergerak-gerak sebentar, kemudian diam seketika!
Sejenak Respati memandang mayat Ki Jaban. ?Lalu kepalanya mendongak ke langit.
"Kakak! Dendammu telah kubalaskan! Tenanglah kau di alam sana! Aku tahu, masih ada beberapa orang yang menyakitimu! Dan mereka semua harus mempertanggungjawabkannya...!"
Sehabis mendesah lirih begitu, Respati dengan tenang meninggalkan halaman ini seperti tidak ada kejadian apa-apa. Peti matinya kembali diseret-seret, seolah tak ingin terpisahkan.
Orang-orang desa yang melihat kejadian tadi, tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka seperti tidak tahu, apa yang harus dilakukan untuk sesaat. Tapi tidak lama kemudian satu persatu mendekati mayat Ki Jaban.
? *** ? 2 ? Srek...! Srek...!
Sambil menyeret peti mati yang berisi mayat kakaknya, Respati terus melangkah. Begitu sayangnya pemuda berpakaian compang-camping ini pada kakaknya, sehingga ke mana pun pergi peti mati itu selalu dibawanya. Dan kini pemuda itu tiba di depan sebuah bangunan besar dengan pagar kayu mengelilingi. Di pintu gerbang tertulis "Perguruan Tombak Sakti".
Sebentar pemuda itu memandangi tulisan, lalu melanjutkan langkah memasuki perguruan itu. Namun baru beberapa langkah....
"Tahan!"
Terdengar bentakan dari depan. Respati menghentikan langkahnya. Ditatapnya sosok pemuda yang membentaknya. Sepasang matanya begitu tajam, seolah hendak menusuk jantung pemuda di depannya.
"Aku tidak ada urusan denganmu. Pergilah!" desis Respati, dingin.
Pemuda yang agaknya murid Perguruan Tombak Sakti terkesiap. Dan dia tidak mampu berbuat apa-apa ketika Respati melangkah maju. Di halaman ini, beberapa murid yang tengah berlatih langsung berhenti. Sementara seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh lima tahun yang tengah melatih pun sudah melangkah menghampiri Respati, setelah memberi isyarat.
"Siapa kau, Kisanak" Dan apa yang kau ingin-kan di sini?" tanya laki-laki berpakaian jubah warna coklat itu, penuh wibawa.
"Kaukah Gautama alias si Tombak Sakti?" Respati malah bertanya, setelah meletakkan tali penarik peti.
"Benar!"
"Aku Respati, alias Setan Gembel."
"Belum pernah kudengar sebelumnya nama itu...?" kata laki-laki berjuluk si Tombak Sakti dengan dahi berkernyit.
"Tapi kau mengenal Kemala bukan?" tukas Respati yang ternyata berjuluk Setan Gembel.
Gautama tercekat. Nama Kemala memang tak asing lagi di telinganya. Namun sembilan tahun yang lalu dia terpaksa meninggalkannya, karena gadis itu dipergoki main gila dengan laki-laki lain. Mereka memang sempat menikah beberapa bulan.
Sebenarnya si Tombak Sakti bukannya tak mengenal Respati. Namun karena keadaan dan penampilan pemuda itu telah jauh berubah, sehingga membuatnya pangling. Begitu pula Respati. Dia pun bukannya tak mengenali si Tombak Sakti. Hanya karena masalah ini urusan pribadi, tindakannya terlihat hati-hati. Karena sejak kakaknya menikah, Respati hanya sekali saja melihat tampang si Tombak Sakti. Setelah itu dia pergi berguru di Gunung Rogo Sembangan pada seorang tokoh hitam berjuluk Iblis Gembel. Tak heran kalau dia perlu menanyakan nama dulu, sebelum menuntaskan dendam kakaknya.
"Hm.... Apa yang kau inginkan, Respati?" tanya si Tombak Sakti yang bernama asli Gautama.
"Tentu saja mengajakmu ke akhirat untuk me-nemani kakakku yang kau tinggalkan begitu saja pada sembilan tahun yang lalu," sahut Respati. "Kau adalah suami Kemala. Dan setelah menikmati madunya, kau tinggalkan begitu saja!"
"Brengsek!" desis si Tombak Sakti menggeram, merasa rahasianya terbongkar.
"Guru! Orang ini telah lancang menuduh yang bukan-bukan! Lebih baik, biar aku yang menghajarnya!" teriak salah seorang murid.
"He he he...! Kau bocah bau kencur! Apa yang?? bisa kau perbuat padaku?" tantang Setan Gembel, melecehkan.
"Keparat! Rupanya kau memang benar-benar kepingin dihajar!"
Setelah berkata begitu, murid yang bertubuh tegap itu langsung meluruk menyerang Respati.
Wuuut! Namun tidak disangka-sangka, pemuda gembel itu berkelit gesit ke samping. Dan tiba-tiba saja, Respati memutar tubuhnya sambil mengibaskan tangan. Lalu....
Begkh...! "Aaakh...!"
Tahu-tahu murid Perguruan Tombak Sakti itu terpental ke belakang sambil memekik kesakitan. Begitu jatuh di tanah, dia tak bangun-bangun lagi.
"Hah"! Si Sarwa mati!" desis salah seorang murid yang langsung memeriksa keadaan pemuda yang jadi sasaran pukulan Respati.
"Iya, dia mati!" timpal yang lain.
Gautama memandang geram pada Setan Gembel. Terbayang amarah memuncak dari wajahnya. Begitu juga murid-muridnya. Bahkan sebagian telah ada yang bergerak.
"Jangan!" cegah si Tombak Sakti ketika meli-hat murid-muridnya hendak mengeroyok Setan Gembel.
"Tapi, Guru...."
"Ini urusan pribadiku! Bukan urusan perguruan. Oleh sebab itu akulah yang bertanggung ja-wab!" tegas Gautama seraya memandang Setan Gembel.
"Ha ha ha...! Bagus! Bagus! Kuhargai tanggung jawabmu! Tapi sayang, sudah terlambat! Kemala sudah terbaring di peti yang kubawa. Jadi tanggung jawabmu sudah tak berharga lagi di denanku!"
"Tapi Kemala mengkhianatiku, Respati! Kakakmu kupergoki telah menerima laki-laki lain. Itulah sebabnya aku meninggalkannya!" kilah Gautama.
"Tapi, biar bagaimanapun dia tetap kakakku. Orang yang amat kusayang dan kukasihi. Tak akan kubiarkan kakakku dihina begitu rupa!"
"Hm.... Percuma bicara denganmu!" dengus si Tombak Sakti.
Bersamaan dengan itu, laki-laki yang juga Ke-tua Perguruan Tombak Sakti ini mengibaskan tombaknya.
Wuuut! Bet! Ujung tombak Gautama menyambar-nyambar ke leher dan dada Setan Gembel. Namun dengan lincahnya Respati meliuk-liukkan tubuhnya. Dan itu membuat si Tombak Sakti semakin gemas saja.
"Hiih...!"
Geraham Gautama bergemelutuk. Seketika permainan ilmu tombaknya semakin cepat dan ganas. Namun begitu, tetap saja belum mampu mendesak Respati. Setan Gembel terus saja menghindar dengan meliuk-liukkan tubuhnya sambil tertawa mengejek.
"He he he...! Tombak Sakti adalah nama yang kesohor. Tapi yang kulihat tidak lebih dari seorang tokoh yang tengah belajar ilmu silat satu dua jurus!"
"Kurang ajar!" dengus Gautama, menggeram marah.
"Ha ha ha...! Kenapa mesti marah" Seharus-nya aku yang marah, karena kau membuat kakakku putus asa, dan akhirnya bunuh diri!"
Memang aneh watak Respati, setelah berguru beberapa tahun di Gunung Rogo Sembangan. Dulu pemuda ini dikenal pendiam dan ramah. Tapi entah mengapa, sifatnya jadi penuh dendam dan berkesan brangasan. Mungkinkah itu akibat tempaan Iblis Gembel"
Wut! Wut! Ujung tombak Gautama terus mengejar ke mana saja Respati bergerak. Namun sejauh itu belum juga mampu mengenai sasaran. Apalagi hanya untuk menyentuh Setan Gembel.
"Apa kebisaanmu hanya menghindar, Respati"!" bentak si Tombak Sakti.
"Hm, agaknya kau sudah tidak sabar untuk mati" Baiklah. Akan kukabulkan keinginanmu!" sahut Setan Gembel.
Begitu kata-katanya habis, Respati bergerak amat cepat mendekati si Tombak Sakti. Gautama terkesiap, tidak menyangka kalau pemuda itu mampu bergerak secepat ini. Dan sebelum dia sempat berpikir lebih jauh, Setan Gembel melepas satu gedoran amat cepat bertenaga dalam tinggi.
Desss! "Aaakh...!"
Telak sekali gedoran Respati mendarat di dada Gautama. Disertai teriakan keras, Ketua Perguruan Tombak Sakti itu terjungkal ke belakang. Begitu mencium tanah, si Tombak Sakti tak bangun-bangun lagi.
"Guru...!"
Murid-murid Perguruan Tombak Sakti tersentak kaget. Mereka menyerbu tubuh Gautama yang dikira hanya pingsan saja. Namun ketika salah seorang menempelkan telinganya ke dada, jantung laki-laki Ketua Perguruan Tombak Sakti itu tak berderak lagi. Darah tampak meleleh pada mulut, hidung, dan kelopak matanya. Jelas si Tombak Sakti terluka dalam dengan jantungnya pecah!
Sebentar Respati memandang mayat si Tombak Sakti, lalu berbalik menuju peti mati yang dibawanya. Diambilnya tali penarik, lalu kakinya melangkah perlahan. Namun baru beberapa tombak melangkah.
"Hei"! Berhenti!"
"Hm...!"
? *** ? Respati alias Setan Gembel menggumam tak jelas seraya menghentikan langkah ketika terdengar bentakan keras. Dan sebelum dia berbalik, murid-murid Perguruan Tombak Sakti telah berlompatan. Mereka mengurung Setan Gembel sambil menghunus tombak.
"Kau telah membunuh Guru kami! Jangan seenaknya pergi, Keparat!" dengus murid yang bertubuh gemuk.
"Apa maumu?" tanya Setan Gembel, tenang.
"Kau harus mati, Gembel Busuk!"
"Mati di tangan kalian" Ha ha ha...! Gurumu saja tidak mampu mengalahkanku. Apalagi kalian?"
"Kau jangan takabur, Keparat! Meski kepan-daianmu tinggi, tapi kami tidak takut!"
Setan Gembel memutar tubuhnya perlahan-lahan. Pandangan matanya tajam menusuk, me-nyapu orang-orang yang mengepungnya
"Begitukah menurut kalian?" tanya Respati dingin.
"Habisi dia! Bentuk barisan 'Tujuh Bintang'!" setu murid bertubuh gemuk kepada kawan-kawannya.
"Yaaap...!"
Mereka membentuk barisan seperti huruf S. Dan salah satu ujung barisan bergerak ke arah Setan Gembel.
"Hup!"
Namun dengan gesit Respati mencelat ke atas. Begitu menjejak tanah kembali, barisan murid-murid itu terus mengejar. Namun kegesitan Setan Gembel tidak bisa diimbangi. Di mata Respati ge-rakan mereka terasa lambat. Sehingga dengan mudah pemuda ini mengobrak-abrik hingga mereka tercerai-berai.
Wut! Tap! Tap! Dua tombak mendadak meluncur deras ke tubuh Respati. Namun dengan sigapnya, dia berhasil menangkap. Dan dengan sekali sentak, tombak yang satu lepas dari genggaman. Sementara pemiliknya sendiri terjungkal ke depan. Saat itulah Respati melepas tendangan bertenaga dalam tinggi.
Desss...! "Aaakh...!"
Seorang yang tadi menghujamkan tombak kontan roboh dengan dada hancur. Darah kontan termuntah dari mulutnya.
"Sial! Si Jaka mati!" teriak seorang murid si Tombak Sakti.
Belum lagi habis rasa kaget, mendadak tombak yang satu lagi di tangan Setan Gembel berputaran cepat. Beberapa senjata para murid itu terpental. Maka saat itu pula korbannya mulai berjatuhan dalam waktu singkat.
Crab! Bret! "Aaa...!"
Setan Gembel tidak berhenti sampai di situ. Ujung tombaknya terus bergerak, menyambar-nyambar. Tiap sambaran tombaknya, beberapa korban kembali jatuh. Baru ketika korban berjatuhan semakin banyak, murid-murid yang masih sayang nyawa segera mundur teratur.
"Ha ha ha...!"
Setan Gembel terbahak-bahak dengan kepala mendongak ke atas. Kemudian perlahan-lahan matanya memandang para murid satu persatu.
"Pergilah kalian! Aku tidak berselera melawan orang-orang yang sok pahlawan!" ujar Respati da-tar.
Setelah berkata begitu, Setan Tombak berbalik, lalu melangkah kembali ke arah peti matinya. Dan tombaknya dilempar ke tanah begitu saja. Perlahan-lahan dia meninggalkan tempat ini sambil menyeret peti mati.
Srek! Srek! ? *** ? Kabar tentang kematian Ki Jaban dan Gautama yang terjadi beberapa minggu yang lalu cepat tersebar luas di kalangan persilatan. Maka saat itu juga nama Setan Gembel langsung jadi buah bibir. Karena selama ini, memang tak ada orang yang menyangsikan kepandaian Ki Jaban dan si Tombak Sakti yang dikenal sebagai tokoh atas dunia persilatan. Namun dengan mudahnya mereka tewas di tangan Setan Gembel. Bahkan kematian mereka, diikuti dengan kematian-kematian para tokoh persilatan lainnya.
Orang-orang mulai bertanya-tanya, siapa itu Setan Gembel" Mengapa membunuhi tokoh persilatan yang termasuk golongan putih itu. Konon menurut kabar, Setan Gembel adalah seorang pemuda berpakaian compang-camping dengan badan lusuh tak terurus. Rambutnya kusut masai. Dan yang paling khas adalah, selalu menyeret-nyeret sebuah peti mati.
Namun rupanya peristiwa itu belum sampai di telinga seorang pemuda tampan berbaju rompi putih yang tengah berjalan tenang memasuki Desa Kalianget. Pemuda berambut sebahu dengan pedang bergagang kepala burung rajawali di punggung ini tampak begitu menikmati keramaian di desa itu.
Ketika pemuda yang kalau melihat ciri-cirinya adalah Rangga atau lebih dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti ini melintasi sebuah pohon di jalan utama desa, mendadak....
"Sedekah, Tuan...!"
Rangga menoleh, melihat seseorang menadah-kan tangan di dekatnya sambil terns mengikuti langkahnya. Sambil tersenyum, Pendekar Rajawali Sakti merogoh saku di pinggangnya. Lalu dilemparkannya beberapa keping uang perak.
"Ambillah...!"
"Terima kasih, Tuan! Terima kasih...!" sahut pengemis berusia lanjut itu dengan wajah haru. Lalu dia berlari-lari kecil meninggalkan tempat itu.
Namun tidak berapa lama, muncul beberapa orang pengemis mendekati Rangga. Dalam hati, pemuda ini menghitung. Jumlah mereka lebih sepuluh orang. Semuanya menadahkan tangan minta sedekah. Sehingga membuat Pendekar Rajawali Sakti bingung.
"Kasihan, Tuan...!"
"Sedekah...."????
"Hm...."
Pemuda tampan berbaju rompi putih menggumam sambil garuk-garuk kepalanya yang tak gatal. Namun tanpa terduga, salah seorang menubruk tubuhnya sambil merogoh ke balik ikat pinggangnya.
"He, apa yang kau lakukan"!" bentak Rangga garang.
Tap! Secepat kilat Pendekar Rajawali Sakti menangkap pergelangan tangan pengemis yang merogohnya. Namun pengemis berusia muda dengan tubuh kurus itu mencoba melepaskan diri.
"Lepaskan aku! Lepaskan...! Tolong, orang ini memukulku! Orang ini memukulku!" teriak pengemis muda itu.
"He, lepaskan dia!" teriak pengemis yang lain.
Dan agaknya bukan hanya kawan-kawan pengemis itu yang hendak membantu. Tapi, juga orang-orang yang berada di dekat situ. Mereka mendekati Pendekar Rajawali Sakti beramai-ramai.
"Orang asing kurang ajar! Kau telah mencelakai kawan kami sampai terluka! Kau harus mengganti kerugiannya. Atau, akan kami seret ke balai desa!" bentak salah seorang pengemis lain dengan suara lantang.
"Kisanak! Jangan mengada-ada. Kau sendiri mengetahui kalau dia bemsaha mencuri uangku! Dan aku sama sekali tidak menyakitinya!" kilah Pendekar Rajawali Sakti berusaha membela diri.
"Bohong! Aku lihat sendiri kau memukulnya. Yang lain juga melihat!" seru pengemis yang berusia sekitar tiga puluh tahun seraya mempengaruhi kawan-kawarnya.
"Ya! Kau telah memukul kawan kami...!" sahut yang lain, saling menimpali.
Dan tanpa banyak bicara lagi, mereka langsung mengerubuti Pendekar Rajawali Sakti.
"Tangkap dia!"
"Heaaa...!"
"Sial!" dengus Rangga kesal.
"Hup!"
Pendekar Rajawali Sakti yang tak ingin menya-kiti mereka segera melenting ke atas. Setelah berputaran dua kali, tubuhnya mendarat dua tombak dari keroyokan para pengemis.
Karuan saja, hal itu membuat para pengemis terkejut. Dan belum mereka menyerang, Rangga segera berkelebat cepat meninggalkan tempat ini.
Tapi baru saja kira-kira sepuluh tombak dari tempat tadi, mendadak di depannya berdiri dua sosok tubuh yang menghadang sambil menghentakkan kedua tangan mereka.
"Heaaa...!"
Wuuttt! Serangkum angin bertenaga dahsyat meluruk ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
"Celaka...!"
Rangga mendesis pelan. Namun secepat kilat tubuhnya dibuang ke kiri, langsung berguling-gu-ling. Sehingga pukulan jarak jauh yang dilepaskan kedua orang itu berhasil dihindari.
Rangga bangkit berdiri dengan gerakan indah. Matanya memperhatikan kedua orang yang menyerangnya. Di depannya berdiri dua sosok pengemis berbaju dekil dan penuh tambalan. Yang seorang berusia muda, memiliki kumis tebal. Sedang seorang lagi bertubuh pendek, dengan rambut telah memutih.
"He he he...! Boleh juga kepandaianmu, Bocah. Tapi bukan berarti kau boleh berbuat seenak jidatmu terhadap anak buahku!" ujar pengemis tua.
"Aku tidak tahu ke mana arah bicaramu, Ki?" kilah Pendekar Rajawali Sakti, tenang.
"Tidak usah pura-pura! Baru saja kau memukul salah seorang anak buahku!" sahut pengemis tua itu dengan suara keras.
Rangga tidak langsung menjawab. Pandangan-nya beredar ke sekitamya. Dalam waktu singkat. tempat ini telah dipenuhi pengemis berbaju dekil dan penuh tambalan. Rangga tersenyum kecut. Dan dia mulai mengerti, siapa yang dihadapinya kini. Kemudian matanya memandang kepada pengemis tua itu.
"Apa yang kau inginkan dariku, Ki?" tanya Pendekar Rajawali Sakti datar.
"Kau telah memukul salah seorang anak buahku. Semestinya, kau harus dihukum. Tapi kami bisa bertindak lebih adil. Maka sebagai gantinya, kau boleh membayar tebusan sejumlah sepuluh keping uang emas!" jelas pengemis tua itu tanpa tedeng aling-aling.
"Sebelum kuterima atau kutolak permintaanmu itu, bolehkah aku tahu dengan siapa berhadapan?" tanya Rangga lagi.
"Kau berhadapan dengan Ki Surati, Ketua Per-kumpulan Pengemis Tongkat Angin!" sahut pengemis tua bernama Surati.
"Ki Surati! Aku tidak tahu, apakah kau bijaksana atau tidak. Namun dengan caramu, kini aku bisa menilai bahwa kelakuanmu sama buruknya dengan anak buahmu tadi! Dia penipu dan tukang fitnah. Kalau anak buahmu mau jujur, mereka pasti akan mengatakan kalau pemuda kurus itulah yang mencoba mencuri uangku. Dan aku tidak sedikit pun memukulnya."
"Huh! Kau kira bisa mungkir dengan jawaban-mu itu"! Kau menambah satu kesalahan lagi, Bocah. Menghina diriku, sama artinya menghina mereka semua. Dan jelas, kami tidak terima. Maka tidak ada pilihan bagimu jika ingin selamat. Yaitu, membayar denda seratus keping uang emas ditambah pedangmu itu!" sahut Ki Surati dengan suara lantang.


Pendekar Rajawali Sakti 214 Setan Gembel di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ki Surati!" bentak Rangga mulai kesal melihat tingkah mereka. "Kalau aku bersalah, akan kubayar denda meski seribu keping pmas. Tapi aku tidak bersalah. Maka jangankan seratus. Bahkan sekeping pun jangan harap kuberikan!"
? *** ? 3 ? "Keparat! Serang dia!" teriak Ki Surati memberi perintah.
Saat itu juga tanpa basa-basi lagi, semua pengemis berlompatan menyerang Rangga dengan kibasan tongkat kayu.
"Heaaa...!"
"Uts!"
Tubuh Pendekar Rajawali Sakti langsung berkelebat di antara sambaran tongkat. Segera dikerahkannya jurus 'Sembilan Langkah Ajaib". Seketika tubuhnya meliuk-liuk indah, ditunjang dengan gerakan kaki yang lincah. Kadang tubuhnya condong ke depan, kadang ke belakang, hampir sejajar tanah. Sehingga tak satu pun serangan yang bisa menyentuh tubuhnya.
Melihat keadaan ini, Ki Surati jadi geram.
"Jawul! Bantu bawahanmu!" ujar Ketua Per-kumpulan Pengemis Tongkat Angin ini pada pemuda pengemis di sebelahnya.
"Baik, Ketua!" Sahut pemuda berkumis tebal yang dipanggil Jawul.
"Heaaa...!"
Jawul langsung meluruk, menyelip di antara kawan-kawannya. Seketika tongkatnya disabetkan dari atas ke bawah.
"Hiih!"
Tangan Pendekar Rajawali Sakti cepat diangkat ke atas, memapak tongkat Jawul.
Trak! Pemuda pengemis itu kaget bukan main melihat tongkatnya malah patah, saat menghantam tangan Pendekar Rajawali Sakti. Dan sebelum hilang rasa kaget Jawul, Rangga cepat melepas satu tendangan menggeledek yang begitu cepat tak ter-tahankan.
Desss! "Aaah...!"
Tendangan kaki Rangga membuat Jawul ter-lempar ke belakang sambil menjerit kesakitan.
"Keparat!" Ki Surati menyumpah geram.
Sementara itu Jawul telah bangkit kembali. Segera didekatinya Ki Surati. Wajahnya tampak gusar penuh amarah.
"Bagaimana, Ki" Apa yang akan kita lakukan sekarang?" tanya Jawul seraya memperhatikan sepak terjang Pendekar Rajawali Sakti yang tengah dikeroyok para pengemis lain dan dibantu beberapa penduduk.
"Apa yang kita lakukan" Dasar tolol! Kita harus membekuknya! Orang itu harus mampus di tanganku!" desis Ki Surati geram seraya mengepalkan buku jari-jarinya.
"Tapi, Ki.... Dia berkepandaian tinggi....."
"Tutup mulutmu! Dasar pengecut! Ayo cepat kau bantu mereka lagi...!" hardik Ki Surati.
"Baik, Ki!" sahut Jawul.
Dengan langkah terburu-buru pemuda itu ber-gabung kembali dengan kawan-kawannya untuk ikut mengeroyok Pendekar Rajawali Sakti. Sedang Ki Surati masih tenang-tenang saja memperhatikan.
Serangan para anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat Angin ini sebenarnya hebat. Namun agaknya mereka kurang kompak, sehingga dengan mudah Pendekar Rajawali Sakti menghindarinya. Bahkan sambil berkelebat Rangga sempat membalas dengan pukulan yang tak dialiri tenaga dalam. Karena pada dasarnya, dia tak ingin menyakiti. Apalagi Rangga melihat di antara pengeroyoknya terdapat beberapa penduduk yang sebenarnya tak tahu apa-apa.
Buk! "Akh...!"
Setiap tangan Pendekar Rajawali Sakti bergerak maka seketika terdengar jeritan yang susul-menyusul disertai robohnya para pengemis itu satu persatu. Padahal para pengemis itu berusaha mati-matian untuk menjatuhkan Rangga secepat mungkin, tapi yang terjadi justru sebaliknya.
"Kurang ajar!" maki Jawul kalap, melihat kawan-kawannya berjatuhan.
Saat itu juga, pemuda berkumis lebat ini melompat menerjang sambil melepaskan pukulan bertubi-tubi.
"Yeaaat!"
Namun Pendekar Rajawali Sakti kelihatan tenang-tenang saja. Bahkan mampu menghindar dengan mengegoskan tubuhnya ke kanan dan kiri. Hal ini membuat Jawul semakin gemas. Serangannya makin kacau dan tak karuan.
Kesempatan itu tidak disia-siakan Pendekar Rajawali Sakti. Sambil memutar tubuhnya, tangannya mengibas cepat. Lalu....
Des! "Wuaaa...!" '
Jawul menjerit keras ketika dadanya terhantam kepalan Pendekar Rajawali Sakti. Pemuda ber-kumis lebat itu kembali terlempar sejauh dua tombak. Begitu jatuh di tanah, kedua tangannya langsung memegangi dadanya yang terasa nyeri dan sesak. Sementara mulutnya meringis dengan mata menatap sendu pada Ki Surati.
"Brengsek! Dasar tidak becus...!" umpat Ki Surati.
Pengemis tua itu langsung meluruk cepat melepas serangan saat Pendekar Rajawali Sakti disibukkan oleh kerubutan para pengemis dan para penduduk yang masih bertahan.
Tapi, agaknya percuma saja Ki Surati berusaha membokong. Sebab meski cukup sibuk menghadapi serangan-serangan, namun kewaspadaan Pendekar Rajawali Sakti ternyata tidak lenyap begitu saja. Begitu terasa ada desir angin halus di belakangnya, Pendekar Rajawali Sakti segera melompat ke samping. Dan akibatnya, tongkat di tangan Ki Surati malah mengenai kepala seorang anak buahnya.
Bletak! "Adouw...!"
"Brengsek! Kenapa kau ada di situ, goblok!" sembur Ki Surati.
"Aduh, Ki! Kira-kira kalau mau menyerang. Masa' batok kepalaku yang dihantam...," rintih orang yang jadi sasaran dengan wajah meringis sambil mengusap-usap kepala yang terasa nyeri.
"Sudah! Diam kau...!" bentak Ki Surati.
? *** Sementara itu, agaknya Rangga sudah mulai bosan berhadapan dengan mereka. Jelas para pengemis dan para penduduk itu tidak bisa mem-bedakan mana yang harus dibela dan mana yang tidak. Mereka adalah kaum pengemis yang mungkin saja sering memeras korbannya dengan cara seperti ini. Sehingga, penduduk ikut terhasut oleh fitnah mereka. Bahkan ikut membantu mengeroyok. Dan kalau begini terus, tidak akan mungkin menyadarkan mereka meski dihajar sampai babak belur. Yang paling tepat adalah menangkap pemimpinnya.
"Heaaa...!"
Maka disertai teriakan keras, Pendekar Rajawali Sakti melompat ke udara dengan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Setelah berputaran beberapa kali tubuhnya meluncur ke arah Ki Surati.
"Eeh...! Uts!"
Ki Surati terkesiap. Secepat kilat tubuhnya dimiringkan seraya mengibaskan tongkatnya. Namun Pendekar Rajawali Sakti tak peduli, cepat tangannya berkelebat dengan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'.
Trak! "Heh"!"
Ki Surati tercekat melihat tongkatnya patah terhantam tangan Pendekar Rajawali Sakti. Dan sebelum keterkejutannya hilang, Pendekar Rajawali Sakti yang masih berada di udara kembali memutar tubuhnya dengan kedua kaki merapat, tertuju lurus ke dada Ki Surati. Dan....
Begkh! . "Aaakh...!"
Ki Surati menjerit keras ketika kedua kaki Pendekar Rajawali Sakti mendarat telak di dadanya. Tubuh orang tua itu tersungkur jatuh ke tanah. Dan Pendekar Rajawali Sakti tidak mau menyia-nyiakan kesempatan itu. Tubuhnya yang telah mendarat segera melompat ke arah Ki Surati. Saat itu juga sebelah kakinya menginjak dada Ketua Perkumpulan Pengemis Tongkat Angin itu, namun dengan perhitungan yang matang agar tidak sampai menyebabkan kematian.
"Hugkh...!"
Ki Surati melenguh tertahan. Wajahnya berke-rut menahan rasa sakit saat dadanya ditekan Pendekar Rajawali Sakti. Sementara anak buahnya jadi tercengang tanpa bisa berbuat apa-apa.
"Sekarang apa yang hendak kau lakukan, Ki?" ancam Rangga dingin seraya menekan dada Ki Surati dengan kakinya. Karena disertai tenaga dalam, Ki Surati merasa dadanya bagai ditindih batu sebesar kerbau.
"Am..., ampun! Aku akan membebaskan kau dari syarat tadi. Kau boleh pergi sesukamu sekarang juga!" sahut Ki Surati.
"Huh! Kau kira semudah itu"!" cibir Rangga.
"Lalu apa maumu?"
"Kau harus membayar denda padaku!"
"Eh! Mana mungkin" Aku hanya pengemis. Dan, tidak mungkin punya uang banyak"
"Aku tidak katakan uang. Tapi kau harus bayar denda. Lagi pula apa dikira aku percaya kalau kau tidak punya uang?"
"Maksudmu?" tanya Ki Surati dengan mulut tetap meringis.
"Kalian tentu sering. melalcukan penipuan seperti ini, bukan?" tebak Rangga langsung.
"Eh, aku tidak mengerti. Kau yang bersalah..., aaakh!"
Pengemis tua itu tidak sempat melanjutkan kata-katanya, karena seketika itu juga Rangga menekan injakannya. Karuan saja, Ki Surati menjerit kesakitan.
"Jangan memutarbalikkan kenyataan! Atau, dadamu akan hancur sekarang juga!" gertak Rangga.
"Apa yang harus kukatakan kalau kenyataan-nya memang begitu?" tukas laki-laki tua itu, kembali berpura-pura setelah tekanan di dadanya dikendorkan.
''Sial!" dengus Rangga geram.
Kembali Pendekar Rajawali Sakti menambah tekanan di dada, sampai Ki Surati gelagapan. Anak buah Ki Surati yang sejak tadi diam dan tak tahu apa yang harus dilakukan, coba-coba memberanikan diri dengan bergerak maju. Tapi baru saja beberapa langkah mendekat...
"Jangan coba-coba mendekat! Atau, pemimpin kalian akan tewas di tanganku"!" ancam Pendekar Rajawali Sakti dengan suara garang.
"Kalau kau bukan pengecut, lepaskan dia!" ujar Jawul.
"Aku tak peduli! Aku sudah muak melihat tingkah kalian!" dengus Pendekar Rajawali Sakti.
"Dasar pengecut!" umpat Jawul.
"Ya, Pengecut Busuk!" timpal yang lain beramai-ramai.
"Kalian yang pengecut! Apa namanya main keroyokan kalau bukan perbuatan pengecut?"
Tak ada yang menjawab. Seolah mereka tersa-dar dengan apa yang telah diperbuat.
"Sekarang katakan padaku, mengapa kau me-ngemis secara paksa seperti ini"!" tanya Pendekar Rajawali Sakti lantang suaranya.
"Aku sebenarnya terpaksa melakukan hal ini...," desah Ki Surati, akhimya melemah juga.
"Apa maksudmu?"
"Kami perlu uang banyak..."
"Untuk apa?"
"Untuk membayar seseorang."
Dahi Pendekar Rajawali Sakti berkernyit. Sementara Ki Surati tahu kalau pemuda itu masih kebingungan dengan jawaban-jawabannya.
"Kami bermaksud menyewa Iblis Api untuk membunuh seseorang. Tapi, harganya cukup ma-hal. Dan itu tidak terjangkau oleh kami...," jelas Ki Surati.
"Lalu kalian menggunakan cara menipu seperti yang dilakukan kepadaku?"
"Kami terpaksa, Anak Muda...," sahut Ki Surati, lirih.
"Bangunlah, Ki. Maaf, ini terpaksa kulakukan agar kau jangan terlalu mengumbar kekuasaan demi memaksakan kehendak terhadap orang lain," ucap Pendekar Rajawali Sakti halus, seraya mengangkat kakinya dari dada Ki Surati. Dia yakin, laki-laki tua ini berkata jujur. Dan itu terlihat dari sorot matanya yang memancarkan kesungguhan.
"Tak apa, Anak..."
"Panggil aku Rangga, Ki!" potong Pendekar Rajawali Sakti.
"Baik, Rangga. Aku sebenarnya jadi malu pa-damu," desah Ki Surati setelah bangkit berdiri, walaupun masih meringis merasakan nyeri pada dadanya.
Rangga menarik napas panjang seraya menatap lembut laki-laki tua itu. Ki Surati jadi tertunduk malu. Dia tahu apa yang tengah dipikirkan pemuda itu mengenai mereka. Dan khususnya mengenai dirinya. Perbuatan itu memang tidak pantas dilakukan.
"Sebenarnya untuk apa kau bermaksud menyewa Iblis Api?" tanya Rangga.
"Agar dia membunuh Setan Gembel!" jelas Ki Surati, mendesis.
Wajah laki-laki tua ini tampak geram ketika menyebut nama itu. Dan Rangga pun merasakannya.
"Setan Gembel" Siapa dia?" tanya Rangga.
"Apakah kau tidak mendengar berita yang baru tersebar beberapa hari ini?"
Pemuda itu menggeleng.
"Hm.... Setan Gembel sekarang mulai mere-sahkan tokoh-tokoh silat di belahan bumi ini," jelas Ki Surati.
"Apa salah Setan Gembel padamu sehingga kau begitu mendendam?" tanya Pendekar Rajawali Sakti lagi.
"Dia telah membunuh saudaraku. Ki Jaban, namanya."
"Itu hal biasa. Mungkin saja di antara mereka pernah terjadi permusuhan. Dan saat Ki Jaban mati, lalu kau mendendam padanya. Dan seandainya dia pun mati olehmu, tapi sahabatnya atau kerabatnya akan mendendam lagi padamu. Maka dendam tidak akan ada habis-habisnya."
'Tapi Setan Gembel juga membunuhi orang-orang yang tak ada sangkut pautnya dengan urusan pribadinya. Memang, dia terjun ke dunia persilatan untuk pertama kali hanya untuk urusan dendam. Tapi begitu namanya jadi buah bibir karena mampu membunuh saudaraku dan membunuh si Tongkat Sakti, dia jadi besar kepala! Segala tokoh yang menurutnya berkepandaian tinggi mulai didatanginya satu persatu," jelas Ki Surati.
Rangga mendesah sambil menggeleng lemah. Dia tak habis pikir, dalam setiap petualangannya, selalu saja ada peristiwa berdarah.
"Hm.... Kalau boleh tahu, berapa bayaran yang diminta Iblis Api agar mau membantu kalian?" tanya Rangga.
"Sepuluh ribu keping uang perak, atau dua ribu lima ratus keping uang emas...," sahut Ki Surati.
"Hei"! Itu jumlah yang banyak sekah"!" Rang-ga tersentak kaget mendengar jumlah uang yang disebutkan Ki Surati.
"Ya, begitulah harganya...," desah laki-laki tua itu.
"Kenapa kau mesti menyewa dia" Bukankah dengan mengandalkan jumlah anak buahmu kalian dapat menaklukkan Setan Gembel?"
"Aku tak ingin mengorbankan nyawa anak buahku untuk mati sia-sia. Kepandaian Setan Gembel telah bisa kuukur, setelah mampu membunuh si Tombak Sakti."
"Kau benar, Ki. Aku kagum dengan kasih sa-yangmu dengan anak buahmu. Kalau begitu ceritanya, kalian memang bukan tandingannya. Hm.... Kalau Setan Gembel sampai membantai tanpa alasan jelas, aku pun tak akan tinggal diam. Aku harus menyelidikinya!" tandas Pendekar Rajawali Sakti.
"Maaf, aku tidak bermaksud mengajakmu untuk terlibat dalam urusan ini," desah Ki Surati dengan nada lirih.
"Sudahlah.... Itu sudah menjadi urusanku, bila tindakan Setan Gembel benar-benar sesat," ujar Rangga. "Kalau begitu aku pamit dulu...!"
Setelah berkata begitu, Rangga berkelebat cepat dengan ilmu meringankan tubuh yang sudah sangat tinggi. Sehingga dalam sekejap mata dia telah jauh dari tempat tadi. Ki Surati hanya bisa memandang dengan tatapan bahagia.
? *** ? 4 ? "Heaaa...!"
Seekor kuda putih berlari cepat, seiring gebah-an penunggangnya, seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun dengan pakaian jubah warna biru tua.
Namun ketika berbelok ke kanan, saat itu pula dari kejauhan terlihat seseorang berjalan pelan dari arah yang berlawanan. Laki-laki penunggang kuda ini menggeram, dengan mata memandang tajam. Semakin dekat jarak mereka, semakin jelas terlihat kalau orang yang berjalan seenaknya di tengah jalan itu adalah seorang pemuda berbaju kumal penuh compang-camping. Sementara sebuah peti mati dari kayu diseret-seretnya di belakang.
"Hooop...!"
Laki-laki penunggang kuda itu ini menghentikan tunggangan pada jarak dua tombak, ketika pemuda penghadangnya tak juga menyingkir. Dengan wajah kesal dia melompat turun. Dipandanginya pemuda gembel itu di depannya dengan seksama.
"Hm.... Ya! Aku tahu. Kau pasti Setan Gem-bel!" tebak laki-laki penunggang kuda itu.
Pemuda gembel yang tak lain memang Setan Gembel tidak menjawab. Perlahan-lahan mukanya diangkat sehingga mereka saling pandang.?????
"Hhh...! Rupanya kau telah tahu siapa diriku! Lantas kenapa" Kau punya dendam padaku?" sahut Respati, datar.
"Ya! Aku memang punya dendam denganmu. Aku Tejareksa alias si Pedang Kayu ingin agar kau bertanggung jawab atas kematian Gautama!" dengus laki-laki setengah baya yang berjuluk si Pedang Kayu.
"Dia memang pantas untuk mati!"
"Keparat!"
Si Pedang Kayu yang bernama asli Tejareksa kontan kalap mendengar jawaban Setan Gembel. Kedua bola matanya mendelik lebar.
"Banyak yang mampus di tanganku. Tapi buat apa mengingat mereka?" lanjut Respati, dingin.
"Bedebah! Si Tombak Sakti masih terhitung keponakanku, tahu"!"
"Tapi apa urusannya denganmu" Dia mati karena dosa-dosanya. Dan itu harus ditebus dengan nyawanya sendiri," sahut Setan Gembel enteng tanpa beban perasaan.
"Kau memang tidak berperasaan sama sekali. Memang pantas kau mendapat julukan Setan Gembel! Jiwamu sendiri memang gembel! Gembel terkutuk..!" maki Tejareksa, kalap.
"Ha ha ha...! Apakah baru sekarang kau mengetahui" Aku sendiri yang menjuluki Setan Gembel. Bukan orang lain. Dan siapa yang berani mengusikku nyawa taruhannya!"
"Tapi hari ini aku yang akan mencabut nyawa-mu!" tegas si Pedang Kayu geram.
"Jangan terlalu yakin. Sebab menurutku kaulah yang kukirim ke liang kubur."
"Sebaiknya kita buktikan saja sekarang! Kalau kau punya senjata. Keluarkan!"
Sret! Begitu selesai berkata begitu, Ki Tejareksa mencabut pedangnya. Sambil maju selangkah, pedangnya ditusukkan ke dada Respati.
Sebaliknya Setan Gembel kelihatan tenang-tenang saja. Tapi begitu sebilah pedang hampir mengenainya, tubuhnya melejit ke atas. Lalu sambil berjumpalitan beberapa kali, dia mencelat ke belakang.
"Hup!"
"Yeaaa...!"
Ki Tejareksa tidak mau membiarkan begitu saja. Tubuhnya langsung meluruk mengejar sambil berusaha menyarangkan senjatanya sebelum lawan menjejak tanah.
"Hiih!"
Setan Gembel mengegoskan kepala, sehingga pedang itu luput, hanya menyambar angin kosong. Pada saat yang singkat, si Pedang Kayu melepas tendangan menggeledek. Maka cepat bagai kilat, Respati menangkis tendangan si Pedang Kayu dengan tangan kiri.
Plak! Ki Tejareksa kelihatan gemas karena serangannya berhasil dikandaskan. Padahal, dia ingin menghabisi pemuda itu secepatnya. Tapi Setan Gembel sendiri ternyata bukan tokoh sembarangan yang bisa dijatuhkan dengan mudah.
"Ha ha ha...! Senjatamu ternyata bukan pedang pusaka yang bisa diandalkan. Rasanya pedang mainan itu lebih pantas digunakan untuk bertarung dengan anak-anak!" ejek Setan Gembel.
'Tutup mulutmu, Bedebah! Sebentar lagi kau akan tahu, bagaimana enaknya kepalamu menggelinding oleh tebasan pedangku ini!" maki Ki Tejareksa.
? *** ? Mendadak si Pedang Kayu mengamuk sejadi-jadinya. Ejekan Setan Gembel membuatnya geram. Dan kemarahannya memuncak laksana api berkobar-kobar. Pedangnya berkelebat menyambar ke mana saja pemuda itu bergerak.
"Hmm...!"
Mula-mula Setan Gembel terkesiap melihat perubahan jurus-jurus yang diperlihatkan laki-laki setengah baya itu. Tapi begitu diperhatikannya dengan seksama, ternyata jurus-jurus yang tengah dimainkan si Pedang Kayu sangat ceroboh, karena terlalu mengumbar kemarahan. Sehingga dalam keadaan seperti sekarang malah jurus-jurusnya terlihat berantakan. Banyak sekali kelemahan, serta pertahanan terbuka.
"Heaaa...!"
Dalam satu kesempatan Setan Gembel mem-bentak nyaring. Tubuhnya bergerak cepat. Dan tahu-tahu dia telah menyelinap di antara sapuan pedang. Ki Tejareksa terkesiap. Sebelum menyadari kebodohannya sendiri tahu-tahu....
Des! "Aaakh...!"
Satu tendangan Respati telah menghantam telak sekali. Si Pedang Kayu kontan terjungkal beberapa langkah ke belakang disertai pekik kesakitan. Dari mulutnya keluar darah segar.
"Ha ha ha...! Hanya segitukah kepandaian pendekar kesohor yang menamakan diri si Pedang Kayu"!" teriak Setan Gembel disertai tawa nyaring dan berkacak pinggang.
"Kurang ajar!" Ki Tejareksa menggeram. Matanya memandang buas kepada Setan Gembel.
Dan sekali menyentak garang, si Pedang Kayu telah kembali bangkit berdiri. Seketika dia melompat menerjang.
"Yeaaa...!"
"Huh!"
Setan Gembel hanya mendengus dingin. Kemudian sekali berkelebat, tangannya memapaki serangan.
Plak! Tubuh si Pedang Kayu terjajar beberapa langkah. Sedangkan Respati tak bergeming sama sekali.
Kini baru Ki Tejareksa menyadari kalau tenaga dalamnya masih kalah dua tingkat dibanding pemuda itu.
Dan sebelum si Pedang Kayu membuka serangan, tubuh Setan Gembel telah meluruk cepat dengan satu tendangan berisi tenaga dalam tinggi. Begitu cepat gerakannya, sehingga Ki Tejareksa tak mampu menghindar lagi.
Krak! "Aaakh...!"?
Si Pedang Kayu memekik kesakitan begitu tendangan Setan Gembel mendarat telak di dadanya. Seketika terdengar suara berderak dari tulang yang patah. Tubuh laki-laki itu kontan terlempar seperti selembar daun kering. Tulang dadanya patah. Dan kelihatannya Ki Tejareksa susah sekali bangkit. Wajahnya berkerut menahan rasa sakit hebat.
"Aku tidak pernah meninggalkan musuhku hidup-hidup. Aku akan menjemput mautmu sekarang juga!" desis Setan Gembel.
"Huh! Kau kira aku sebangsa pengecut yang takut mati" Bunuhlah aku cepat!" sentak Ki Tejareksa.
"Ha ha ha...! Kau akan mampus sekarang, Iblis Tua!"
Setelah mengumbar tawanya, tiba-tiba saja Setan Gembel berubah garang. Dipandanginya la-ki-laki setengah baya dengan tajam. Kedua tangannya terangkat pelan-pelan. Tapi pada saat yang paling gawat buat si Pedang Kayu....
"Heh..."!"
Setan Gembel langsung berbalik saat terdengar derap kaki kuda. Agaknya, kuda-kuda itu segera akan melewati tempat ini, sehingga membuatnya menjadi gusar.
"Hhh...!"
Respati mendengus saat melihat pasukan prajurit berkuda mendekati tempat ini. Dari umbul-umbul yang dibawa, jelas kalau pasukan prajurit berkuda itu berasal dari Kerajaan Linggapura. Maka sebelum pasukan prajurit itu berada pada jarak sepuluh tombak, Respati menghentakkan tangannya.
"Hiih!"
Wuusss...! Serangkum angin kencang berhawa panas meluruk ke arah pasukan prajurit.
"Uts! Kurang ajar!"
Seorang prajurit yang berada paling depan cepat melompat sambil membuat gerakan jungkir balik. Lalu kakinya jatuh dengan mulus di tanah, tidak jauh dari Setan Gembel. Namun....
Blarrr...! "Aaakh...!"
Ketika prajurit berpangkat panglima yang tadi melompat memandang ke arah kawan-kawannya, dua orang prajurit yang tadi persis di belakangnya telah terbujur tewas karena tak sempat menyelamatkan diri. Sementara tiga orang lainnya ikut terjungkal, meski tidak sampai terluka parah. Tapi itu sudah cukup membuat amarah panglima itu terbangkit.
"Kurang ajar! Kau telah membunuh prajurit Kerajaan Linggapura! Aku, Panglima Rukmana akan menghukummu, Gembel!" bentak panglima yang bernama Rukmana.
Melihat gerak-geriknya, tampaknya Panglima Rukmana tengah memimpin pasukan yang berjumlah sekitar dua puluh orang ini.
Setan Gembel tidak langsung menjawab. Melainkan, berdiri tegak memandangi mereka untuk sesaat.
"Pergilah! Aku tidak ingin berurusan dengan kalian...!" ujar Respati dingin.
"Bedebah! Kau berani mengusir kami seenaknya"! Gembel busuk! Kau betul-betul tidak tahu penyakit! Tidak tahukah kau, bahwa saat ini tengah berhadapan dengan para prajurit kerajaan"! Kau akan dihukum pancung karena berani membunuh dua prajurit!" sahut Panglima Rukmana geram.
"Hukum pancung" Ha ha ha...!" Setan Gembel tertawa geli mendengar amarah panglima itu.
"Setan! Dasar gembel gila! Kau tidak tahu bahwa sebentar lagi akan mampus. Tapi, masih juga bisa tertawa! Serang dia!" teriak Panglima Rukmana memberi perintah pada anak buahnya.
Sret! Begitu mencabut pedang, para prajurit mengangkatnya tinggi-tinggi.
"Yeaaa...!"
? *** ? Serentak para prajurit Kerajaan Linggapura mengurung Setan Gembel. Dan secepat itu beberapa orang langsung meluruk maju dengan sambaran pedang. Dalam waktu singkat Setan Gembel telah berada dalam kelebatan pedang-pedang. Rasanya sulit untuk mencari jalan keluar dari kepungan.
"Hup!"
"Heaaa...!"
Namun dengan enaknya, Respati meliuk-liukkan tubuhnya. Sehingga tak satu pedang pun yang menyentuh tubuhnya. Bahkan tiba-tiba, Setan Gembel melakukan serangan balik dengan melakukan tendangan beruntun dan bertenaga dalam tinggi.
Des! Des! Des! "Aaakh...!"
Tiga prajurit kontan terjungkal roboh, tidak bangkit lagi terhantam tendangan Respati. Sedang yang seorang hanya terjungkal, dan masih sempat bangkit meski dengan wajah meringis menahan sakit pada bahunya.
"Kurang ajar! Pantas saja kau berlagak! Rupanya ada sesuatu yang kau banggakan, he"!" dengus Panglima Rukmana.
Panglima ini langsung bergerak maju dengan langkah lebar.
"Minggir!" perintahnya pada anak buahnya.
Serentak para prajurit kerajaan itu menghentikan serangan, mundur teratur. Namun begitu, mereka tetap membuat bentuk lingkaran untuk mengurung Setan Gembel.
Panglima Rukmana mendekat perlalan-lahan. Sorot matanya tajam memandang Respati. Laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun yang bertubuh tegap ini amat terkenal di kalangan prajurit sebagai seorang yang memiliki kepandaian hebat.
"Aku telah memberi kesempatan padamu untuk menyerah. Tapi, kau menolak. Maka jangan salahkan bila aku akan membunuhmu sekarang juga!" lanjut Panglima Rukmana mendengus sinis.
"Membunuhku" Seekor kecoa sepertimu ingin membunuhku"! Ha ha ha...! Sungguh mengge-likan!" ejek Setan Gembel seraya tertawa nyaring.
Suara tawa Setan Gembel agaknya bukan sembarangan karena disertai pengarahan tenaga dalam. Buktinya beberapa prajurit yang memiliki tenaga dalam rendah buru-buru mendekap kedua telinga dengan wajah berkerut menahan sakit.
"Tertawalah sesuka hatimu, Keparat!" desis Panglima Rukmana.
Bersamaan dengan itu, panglima ini melompat menerjang dengan pedang siap dikibaskan.
Wuuttt! "Uts!"
Ujung pedang panglima itu menyambar cepat. Tapi Setan Gembel ternyata bukan lawan enteng.
Pemuda gembel yang wajahnya selalu tertutup rambut panjangnya itu bergerak amat lincah menghindari setiap serangan.
"Ha ha ha...! Hanya seginikah kebisaanmu" Kau hanya membuang-buang waktu menghadapi Setan Gembel!" ejek Respati.
"Keparat! Jangan berbangga diri dulu. Kau belum merasakan ilmuku yang Iain. Dan kau akan menjerit sampai ke neraka sana!" teriak Panglima Rukmana kalap.
"Ha ha ha...!"
Setan Gembel hanya tertawa mendengar kata-kata lawan. Tapi tawanya lebih tepat merupakan ejekan. Sepertinya, dia memang betul-betul menganggap enteng panglima itu.
"Heaaa...!"
Disertai bentakan nyaring tubuh Panglima Rukmana berkelebat. Kali ini dia merubah gerakan, sehingga terlihat lebih cepat dan memiliki gerakan-gerakan beragam.
Tapi sekali pandang saja Setan Gembel tahu, kalau gerakan-gerakan panglima itu masih mentah. Sehingga masih banyak lubang-lubang lowong yang bisa dijadikan sasaran empuk.
"Huh! Kau akan mampus sekarang juga!" dengus Respati.
"Cobalah buktikan!" balas Panglima Rukmana tidak kalah garang.
"Hiyaaa...!"
Disertai bentakan garang, Setan Gembel berkelebat cepat mendekat. Panglima Rukmana pun tidak kalah sigap. Cepat disambutnya luncuran tubuh Respati dengan ayunan pedangnya.
Tak! Pedang Panglima Rukmana jelas menghantam dada. Namun tidak berakibat apa pun terhadap Setan Gembel. Jangankan terluka. Bahkan tergores pun tidak. Dan sebelum panglima itu bisa menghapus rasa herannya, satu tendangan keras telah menggedor dadanya.
Desss...! "Aaa...!"


Pendekar Rajawali Sakti 214 Setan Gembel di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Panglima itu kontan memekik keras. Tubuhnya terpental ke belakang disertai semburan darah segar.
"Panglima...!" desis prajurit-prajurit yang me-nyaksikan kejadian itu.
Serentak mereka memburu pimpinannya. Terlihat mulut Panglima Rukmana bergerak-gerak sebentar. Sementara, darah terus berlelehan. Tidak ada suara yang terdengar. Bahkan kemudian kepalanya terkulai lemah, dan jantungnya berhenti berdenyut.
"Keparat! Kau harus membalas kematiannya!" bentak salah seorang prajurit, seraya melompat ke depan Setan Gembel.
Prajurit lain pun mengikuti. Wajah mereka kelihatan garang dan penuh dendam.
"Kalian bukan tandinganku. Pergilah!" ujar Setan Gembel dingin.
"Setan! Kami harus membunuhmu sekarang juga. Hutang nyawa bayar nyawa!" desis prajurit itu, seraya melompat menerjang bersama kawan-kawannya.
"Hm, bandel!" gumam Setan Gembel, dingin. Dan tiba-tiba sebelah telapak tangan Respati menghentak ke depan. Dan dari telapak tangannya seketika melesat serangkum angin kencang berhawa panas ke arah para prajurit.
Wuuus...! "Aaakh...!"
Beberapa prajurit terpental disertai pekik kesakitan. Mereka roboh bermandikan darah, dan tidak bangkit lagi.
Melihat keadaan itu bukan main geramnya para prajurit yang selamat. Mereka kembali menyerang serentak. Namun kali ini, Setan Gembel berbuat seperti tadi. Sehingga, korban yang jatuh semakin bertambah.
Dan sisa lima prajurit segera memutuskan untuk melarikan diri saja. Memang, agaknya Setan Gembel tidak berselera bermain-main dengan mereka. Dia hanya memperhatikan saja dengan senyum dingin.
"Dasar tikus-tikus busuk!" umpat Respati.
Kemunculan pemuda berbaju compang-camping itu menoleh pada sosok si Pedang Kayu yang tadi terluka parah. Ternyata Ki Tejareksa telah diam tidak bergerak.
Setelah yakin kalau laki-laki itu sudah tidak bernyawa lagi, Respati segera menghampiri peti matinya.
Srek! Srek..! Suara gesekan peti mati dengan tanah terdengar saat Setan Gembel melangkah.
? *** Pendekar Rajawali Sakti
Articles de Pendekar Rajawali Sakti
Bahasa Indonesia
s ? 2017 . 214. Setan Gembel Bag. 5 - 8 (Selesai)
20. September 2015 um 09:03
? 5 ? "Hooop...!"
Seorang penunggang kuda menghentikan laju kudanya di depan seorang gadis berbaju serba putih yang tidak menoleh sedikit pun atas kehadirannya. Di sebelah gadis itu tampak kuda lain yang tengah merumput.
"Hup!"
Penunggang kuda yang ternyata seorang pemuda berusia dua puluh lima tahun dan bertubuh tegap itu langsung melompat dari tunggangannya. Begitu mendarat, dia langsung berlutut memberi hormat.
"Maafkan aku karena membuat Nona Lemba-yung menunggu terlalu lama...!" ucap pemuda berpakaian ketat warna hitam ini.
"Apa yang kau bawa, Mayong?" tanya gadis itu masih belum berbalik.
"Sepertinya aku telah menemukannya...," kata pemuda yang dipanggil Mayong, agak merayu.
Gadis bernama Lembayung berbalik. Matanya langsung memandang tajam kepada Mayong.
"Kau telah menemukannya, Mayong! Di mana dia"!" kejar Lembayung dengan wajah bersema-ngat.
Pemuda berpakaian ketat warna hitam itu tidak langsung menjawab. Dia diam sejurus lamanya. Sikapnya kelihatan bingung sekali.
"Katakan padaku, Mayong! Di mana kau temu-kan dia...!" desak Lembayung.
"Amat berbahaya mendekatinya, Nona...."
"Aku tidak peduli! Katakan padaku! Di mana dia sekarang"!"
"Dia menjadi tokoh yang amat berbahaya, Nona. Buas dan tidak kenal ampun...."
"Apa maksudmu"!" desis Lembayung dengan wajah kaget.
"Respati telah berubah. Dia menjadi seseorang yang lain daripada yang dulu pernah kita kenal...," desah Mayong.
"Katakan padaku terus terang, Mayong! Jangan berbelit-belit!" sentak Lembayung.
"Aku..., aku...."
"Mayong! Kepada siapakah kau mengabdi"!" tukas gadis ini menghardik.
"Kepada Nona tentunya..," sahut Mayong, mantap.
"Lalu, kenapa kau mulai membangkang?"
"Maaf, Nona. Tak sekali-sekali aku bermaksud demikian...," ucap Mayong.
"Lalu, kenapa seolah kau mencoba mengajari-ku?" cibir Lembayung.
Mayong terdiam. Kepalanya ditundukkan da-lam-dalam. Dia tidak berani bicara lagi mendengar kata-kata gadis ini yang ketus bercampur marah.
"Maafkan aku, Nona...," ulang Mayong, lirih.
Gadis itu terdiam. Wajahnya kelihatan masih menyimpan kesal. Dipandanginya pemuda itu se-kilas, lalu membuang pandang ke arah lain.
"Di mana kau temukan dia?" tanya Lembayung kemudian.
"Terakhir kulihat dia berada di Desa Ganter. Kelihatannya dia akan ke ibukota kerajaan, Nona...," jelas Mayong.
"Hm.... Dia hanya akan mengantarkan nyawa percuma. Kita harus mencegahnya," gumam Lembayung.
"Nona.... Dia telah membunuh banyak prajurit kerajaan. Panglima utama tentu tidak akan membiarkan begitu saja perbuatannya. Apalagi dia telah membunuh Panglima Rukmana."
"Kemajuan ilmunya demikian pesat. Panglima Rukmana temasuk salah satu panglima kerajaan yang berilmu tinggi...," gumam gadis itu lagi.
Telapak Setan 3 Durjana Dan Ksatria Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen Penunggang Kuda Iblis 3
^