Pencarian

Penunggang Kuda Iblis 3

Pendekar Gila 28 Penunggang Kuda Iblis Bagian 3


merasa lawannya terlalu berbahaya bagi para anak buahnya. Apalagi dilihat
kesepuluh anak buahnya sudah tak bisa bangun lagi,
karena menderita luka dalam akibat pukulan jarak
jauh yang dilancarkan Pendekar Gila.
Dengan cepat Somakarta melabrak maju. Ma-
tanya yang nampak dari lubang di kain penutup wa-
jah, melotot garang menatap Pendekar Gila yang masih cengengesan dan menggaruk-
garuk kepala. "Sudah kuduga sejak tadi, bahwa kaulah Pende-
kar Gila!" kata Somakarta sambil mencabut golok dari sarungnya. Lalu sambil
menuding Sena dengan goloknya Somakarta berkata lagi, "Aku sengaja mencarimu dan
ingin menantangmu, Pendekar Kondang...!"
"Hi hi hi..., lucu sekali! Mengapa kau menan-
tangku, Kisanak" Rasanya aku tak pernah berbuat sa-
lah padamu," sahut Sena sambil terus menggaruk-
garuk kepala dan cengengesan.
"He he he..., tentu saja untuk mengalahkanmu,
Anak Gila. Aku ingin namaku kesohor! Sehingga tak
ada lagi orang yang berani menghalangi maksudku..!
Aku akan berkuasa, serta bebas berbuat apa saja...!
Ha ha ha.... Heaaat...!"
Selesai berkata begitu, Somakarta melesat me-
nyerang Pendekar Gila. Dengan jurus 'Serigala Mener-
kam Mangsa', tangannya bergerak cepat, membabat
dan menusukkan goloknya ke tubuh lawan.
Pendekar Gila segera merundukkan tubuh, ke-
mudian melompat mundur mengelakkan tusukan go-
lok Somakarta. Wut! Wut! "Eit...! Hi hi hi...! Heaaa...!"
Tiba-tiba secepat kilat Pendekar Gila balik me-
nyerang dengan sebuah tendangan kaki kirinya. Seke-
tika Somakarta tersentak kaget, karena tidak menduga sama sekali serangan balik
Sena yang begitu cepat.
Bergegas, serangan berikutnya segera ditarik. Namun
tubuhnya yang sudah melayang ke depan sangat sulit
untuk dibalikkan ke belakang. Sehingga....
Degkh! "Uaaakh...!"
Tubuh Somakarta terlontar ke depart, lalu tersu-
ruk dan mencium tanah.
Sena tertawa terbahak-bahak sambil berjingkrak
melihat lelaki berpakaian ungu itu meringis kesakitan.
Setelah itu tangan kanannya menepuk-nepuk pantat
dengan mulut cengengesan. Ketika melihat Somakarta
tampak begitu marah dan geram. Pendekar Gila justru
bertepuk tangan sambil terus tertawa-tawa.
"Bedebah! Kurang ajar...!" dengus Somakarta bertambah murka, menyaksikan tingkah
Pendekar Gila yang kian menjengkelkan itu.
"Kau memang tak bisa dikasih hati, Bocah Gila!
Heaaa...!"
"Hi hi hi..! Heaaa...!"
Anak buah Somakarta yang masih tersisa lima
orang, langsung ikut menyerbu dengan babatan dan
tusukan golok ke tubuh Pendekar Gila. Mereka nam-
paknya bernafsu sekali untuk segera menghabisi pen-
dekar yang bertingkah laku konyol itu.
Melihat lawan kembali mengeroyok, Pendekar Gi-
la bukan merasa takut. Bahkan tingkahnya semakin
aneh dan konyol. Mulutnya cengengesan sambil mene-
puk-nepuk pantat dan menggaruk-garuk kepala, kaki
melompat-lompat persis kera. Namun kemudian tu-
buhnya segera meliuk-liuk ke sana kemari, mengelak-
kan setiap serangan lawan. Itulah jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat' Tangannya
dengan gerakan pelan dan
lemah gemulai menepuk dan menangkis serangan la-
wan. "Heaaa...!"
Plak! "Aaauw...!"
Suara pekikan panjang terdengar dari salah seo-
rang pengeroyok, ketika pukulan telapak tangan Pen-
dekar Gila mendarat di dadanya. Tubuh lelaki berpa-
kaian serba ungu itu terlontar ke belakang hingga menerjang sebatang pohon
besar. Kepala pecah, me-
nyemburkan darah segar dari mulutnya.
Pendekar Gila kini bergerak cepat meliuk dan
menepuk. Tidak hanya jurus 'Si Gila Menarik Menepuk
Lalat', bahkan dipadu pula dengan jurus yang semakin membuat lawan kalang kabut.
Jurus 'Si Gila Menyapu
Kabut'. Wusss...! Dari kedua telapak tangan Pendekar Gila keluar
angin deras menghantam ke arah lawan. Para penge-
royok seketika terdorong keras ke belakang. Bahkan
pakaian Somakarta terlepas. Karuan saja hal itu mem-
buat dirinya kelabakan dan segera menutupi kema-
luannya dengan kedua tangan. Wajahnya merah kare-
na malu. Dirinya kini tak dapat berbuat apa-apa. Se-
mentara anak buahnya yang tinggal dua orang ikut
terbengong dan tersenyum-senyum.
Sementara itu Pendekar Gila pun tertawa terba-
hak-bahak merasa geli. Tubuhnya terguncang-guncang
dengan sesekali menepuk-nepuk kepalanya dengan
tangan kanan. "Pergiii...!" seru Somakarta memerintahkan kedua anak buahnya yang masih hidup.
"Pendekar Gila, kali ini aku kalah. Tapi lain waktu akan kubuat kau ma-lu...!"
sebelum lari lelaki setengah baya itu masih sempat memungut pakaiannya untuk
menutupi tubuhnya.
Sena tertawa-tawa melihat Somakarta dan dua
orang anak buahnya lari tunggang langgang. Dan lagi
pula sebenarnya Somakarta pun telah mengalami luka
dalam, ketika pukulan Pendekar Gila sempat mendarat
telak di dadanya. Karena itulah Somakarta memilih la-ri, setelah dibuat malu dengan telanjang.
*** Pesisir Pantai Pasir Putih nampak damai dan
asri, dengan barisan pohon kelapa yang tumbuh subur
di sekitarnya. Burung-burung laut berterbangan ke
sana kemari, berkicau dengan riang. Angin laut bertiup kencang bersama suara
alunan ombaknya, membuat
mata mengantuk.
Namun suasana sejuk siang ini tidak seperti bi-
asanya. Di antara pepohonan kelapa tampak dua so-
sok tubuh saling berhadapan. Yang satu seorang lelaki bertubuh tinggi besar dan
bertelanjang dada. Tampak
bulu tebal di dadanya yang bidang. Matanya yang ta-
jam menatap nanar pada sesosok wanita berpakaian
compang-camping. Tampaknya mereka baru saja me-
lakukan pertarungan. Hal itu dapat dilihat dari pepohonan kecil yang berserakan
seperti bekas terinjak-
injak atau terkena terjangan pukulan keduanya.
"Hei! Tunggu...! Kenapa kau menyerangku..."!"
tanya lelaki berkumis melintang itu yang ternyata
Gaek Weling. Matanya terbelalak menyiratkan pera-
saan heran, mengapa wanita bercaping lebar itu me-
nyerangnya. "Kau pasti Pendekar Gila, atau paling tidak ka-
wannya! Maka itu aku harus membunuhmu...!" ujar wanita yang berpakaian gembel
itu. Gaek Weling belum juga dapat menduga siapa
sebenarnya wanita berpakaian kumal dengan celana
warna hitam itu. Dirinya masih diam tak segera men-
jawab pertanyaan wanita itu.
Namun tiba-tiba hatinya merasa yakin kalau wa-
nita itu bukan Lara Kanti, murid Ki Warantala. Karena wanita bercaping lebar
dari daun pandan itu tiba-tiba kembali melakukan serangan, Gaek Weling melompat
menghindar. Yang lebih membuatnya heran, ketika
mendengar pertanyaan wanita itu, bahwa dirinya diki-
ra teman Pendekar Gila.
"Tunggu...! Kita bisa berbicara sebentar...!" ujar Gaek Weling sambil berusaha
menghindari serangan
lawan, dengan melompat hingga beberapa langkah.
Rupanya wanita muda yang berpakaian gembel
itu bisa mengerti, dihentikan serangannya. Lalu menatap tajam, dari balik
capingnya, "Apa maumu..."!" tanya wanita gembel bersenjata pedang itu.
"Begini, kalau memang kau juga bermaksud me-
nantang dan membunuh Pendekar Gila, kita bisa be-
kerja sama melawannya. Kita bersatu untuk melawan-
nya. Bagaimana...?" usul Gaek Weling membujuk
orang yang mirip dengan Lara Kanti.
"Hm...! Enak saja kau! Aku ingin membunuh
Pendekar Gila seorang diri, karena dendamku atas
kematian saudara dan orangtua ku," sahut wanita berpakaian gembel itu ketus.
"Bagaimana mungkin kau bisa melawan Pende-
kar Gila seorang diri. Kau akan sia-sia saja. Percayalah..., kalau kau dan aku
bersatu, Pendekar Gila tak akan mampu menghadapi kita. Walaupun aku belum
tahu betul kemampuanmu. Tapi melihat permainan
pedangmu yang lincah dan mantap, aku yakin kau
bukan orang sembarangan...," kata Gaek Weling sedikit memuji wanita yang berdiri
di hadapannya. "Heh.. hi hi hi...! Kau rupanya pintar mengambil hati orang. Baiklah, tapi aku
ingin tahu. Kau sendiri untuk apa mau menantang dan membunuh Pendekar
Gila?" tanya wanita berpakaian gembel itu.
"Ha ha ha, kau rupanya masih tak mengerti. Sa-
ma seperti yang kau alami. Balas dendam! Namun bu-
kan sanak saudaraku yang dibunuh oleh Pendekar Gi-
la, melainkan kawanku. Dan kini saatnya aku harus
menurut balas...!" jawab Gaek Weling dengan suara parau.
Wanita berpakaian gembel dan bercaping lebar
itu menghela napas dalam-dalam.
"Hhh...! Siapa kawanmu itu...?" tanya wanita bercaping lebar itu.
"Kurasa kau tak perlu tahu. Sudahlah sebaiknya
kau terima tawaranku. Kita akan dikenal dan disegani, bahkan bakal jadi penguasa
rimba persilatan. Ha ha
ha...!" kata Gaek Weling merasa yakin kalau orang yang diajak bersatu itu akan
menerima tawarannya.
"Ha ha ha...!" wanita itu tertawa, namun terasa hambar. Lalu dengan pedangnya ia
menuding Gaek Weling yang masih tertawa terbahak-bahak "Hai...!
Kau! Tawaranmu memang masuk akal. Tapi aku tak
mau ada jago lain di sisiku. Jadi, maksudmu itu tak bisa kuterima, Kisanak!
Hhh... kini aku ingin menantang, sekaligus membunuhmu, agar dapat membunuh
Pendekar Gila seorang diri."
"Heh"!"
Gaek Weling tersentak kaget mendengar jawaban
wanita gembel itu. Dugaannya meleset. Sebenarnya
Gaek Weling mempunyai maksud jahat, akan mempe-
ralat wanita itu sebagai umpan. Namun dirinya tak ta-hu siapa sebenarnya wanita
berpakaian gembel seperti Lara Kanti itu.
"Baiklah. Aku siap menghadapimu. Tapi sebe-
lumnya lebih baik kau pikir dulu. Apakah kau tak me-
nyayangi dirimu, kalau nanti aku sampai membunuh-
mu" Lebih baik kita bersatu. Aku akan memberikan
kenikmatan batin padamu...!"
"Mulutmu kotor, perlu dibersihkan...!" selesai berbicara begitu, wanita itu
melesat menyerang Gaek
Weling. "Yeaaat..!"
"Heaaa...!"
Melihat lawan juga melesat memapakinya, wanita
itu segera mengubah serangannya. Tubuhnya melent-
ing ke atas, dengan tangan membabatkan pedang ke
tubuh lawan. Namun Gaek Weling cepat mengelak
dengan merunduk dan bergulingan di tanah.
Dengan berdiri tegap sambil menatap lawannya,
wanita bercaping lebar daun pandan itu memain-
mainkan pedang, gerakannya cepat. Sementara itu
Gaek Weling masih diliputi rasa terkejut Dengan ken-
ing berkerut ditatapnya wajah wanita itu.
Gaek Weling kemudian menggerakkan kedua
tangannya, membuat jurus 'Pukulan Pelebur Sukma'.
Gerakan kedua tangannya begitu cepat. Sementara ke-
dua kakinya pun tak tinggal diam, terus bergerak dengan kuda-kuda yang mantap.
"Heaaa...!"
Melihat lawan telah melesat menyerang, wanita
itu segera menggeser kaki kanan agak membuka. Dite-
kuknya kaki kiri membentuk siku. Tangan kiri dige-
rakkan ke atas, lalu ditarik ke bawah dan dilecutkan di depan dada. Sedangkan
pedang di tangannya dis-abetkan miring ke samping, lalu ditarik lurus di depan
dada. Kemudian, dilanjutkan dengan gerakan memutar
di depan tubuh. Disambung lagi dengan gerakan ber-
samaan antara pukulan tangan kiri dan tebasan pe-
dang. "Heaaa...!"
Wut! Wut.! "Hah..."!" Gaek Weling tersentak kaget dengan matanya terbelalak lebar. Kemudian
bergumam, "Jurus Pedang...".'"
Belum habis Gaek Weling mengingat jurus pe-
dang yang dilancarkan lawannya. Tiba-tiba....
"Yeaaa...!"
Wut! Plak! "Ukh!"
Gaek Weling mengeluh. Cepat-cepat tubuhnya di-
lontarkan ke belakang, menghindari dari tusukan pe-
dang lawan yang cepat dan ganas. Merasa jurus 'Seri-
gala Melebur Sukma' tak mampu menandingi ilmu pe-
dang lawan, Gaek Weling cepat mencabut goloknya
yang berukuran panjang seperti pedang. Dengan gera-
kan cepat lelaki bertubuh besar itu menyerang sambil melompat, dibarengi dengan
babatan golok dan tusukan ke tubuh lawan. Namun wanita yang belum dike-
tahui siapa sebenarnya itu, tak tinggal diam. Dengan cepat memapaki serangan
Gaek Weling. "Heaaa...!"
"Yeaaa....'"
Keduanya sama-sama melesat untuk melakukan
serangan dengan senjata masing-masing.
Trang! Trang! Degkh!

Pendekar Gila 28 Penunggang Kuda Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wret! "Ukh...!"
Gaek Weling terhuyung dan rambutnya sempat
terbabat pedang lawan, hingga rontok. Sedangkan go-
loknya telah patah menjadi dua bagian, setelah saling berbenturan dengan senjata
lawan. Tiba-tiba Gaek Weling ingat akan pedang di tan-
gan lawannya. Tubuhnya segera mundur tiga tombak
ke belakang, sambil membuka jurus baru.
"Hanya Bidadari Pencabut Nyawa pemilik pedang
pusaka yang dapat mematahkan golok pusakaku.
Apakah wanita ini Bidadari Pencabut Nyawa" Atau
saudara seperguruannya" Tak mungkin! Hanya ada
satu Bidadari Pencabut Nyawa...!" gumam Gaek Weling dalam hati, bertanya-tanya
pada diri sendiri. Wajahnya
mulai tegang. Dan ternyata benar. Lawan yang sedang dihadapi
Gaek Weling tak lain Mei Lie, kekasih Sena atau Pen-
dekar Gila. Gadis itu menyamar menjadi gembel, ber-
maksud untuk menyelidiki sepak terjang si Penung-
gang Kuda Iblis.
"Ha ha ha.... Kini giliran nyawamu, Iblis....'" dengus wanita yang ternyata Mei
Lie. Digerakkan Pedang
Bidadari-nya yang mampu mengeluarkan sinar kuning
kemerahan-merahan. Membuat keadaan di sekitar itu
menjadi bertambah terang.
"Benar juga dugaanku, dia ternyata Si Bidadari
Pencabut Nyawa...!" gumam Gaek Weling. Matanya membelalak lebar memandangi
pedang di tangan kanan Mei Lie. "Kepalang basah...! Heaaa...!"
Gaek Weling nekat, dia kembali menyerang. Pu-
kulan sakti yang dimilikinya dikerahkan habis-
habisan. Tangannya kini berubah jadi ungu kehita-
man. Kuku-kukunya berubah panjang dan runcing,
serta mengandung racun.
Menyaksikan Gaek Weling melakukan serangan,
secepat kilat Mei Lie memapakinya dengan jurus
'Pukulan Bidadari Menjebol Benteng'.
"Hiaaat..!"
Wret! Wret! Tangan Gaek Weling yang berkuku tajam berge-
rak cepat menyambar-nyambar wajah dan bagian tu-
buh yang mematikan.
"Heaaa...!"
Tubuh Mei Lie melayang dengan tangan kiri ter-
kepal memukul lurus ke kepala Gaek Weling. Sedang-
kan pedang di tangan kanannya membabat ke tangan
lawan. Matanya terpejam dan gerakan pedangnya
nampak aneh. Terlihat pelan dan lambat, namun se-
sungguhnya gerakan itu mengandung kekuatan yang
luar biasa. Itulah jurus 'Pedang Tebasan Batin', jurus pamungkas yang sangat
ampuh dan mematikan.
Gaek Weling yang sudah mata gelap, tak menghi-
raukan apa yang akan terjadi. Dirinya yakin kalau pukulan saktinya akan mampu
meremukkan tubuh Mei
Lie. Tubuhnya masih melesat cepat, dengan tangan
bergerak bergantian.
"Heaaa...!"
"Hiaaa..!"
Keduanya kembali sama-sama berteriak kuat,
melancarkan serangan.
Wut! Srat! "Aaakh...!"
Dari mulut Gaek Weling terdengar jeritan pan-
jang, ketika pedang lawan membabat tangan kanan-
nya. Sedangkan tangan kiri Mei Lie yang berisi
'Pukulan Bidadari Menjebol Benteng' menghantam te-
lak dadanya. Dugkh! "Uaaakh...!"
Gaek Weling terjengkang ke belakang. Tubuhnya
perlahan bangkit dengan sempoyongan. Namun tiba-
tiba lelaki bertubuh besar dan bertelanjang dada itu tampak terkejut, ketika
mengetahui tangan kanannya
yang tersambar pedang tetap utuh, tanpa luka....
Mei Lie terdiam sesaat, mengatur pernapasan se-
telah mengerahkan tenaga dalam. Matanya memperha-
tikan lawan yang kelihatan pucat, dengan kening ber-
kerut Gaek Weling tak mengerti mengapa tangannya
masih utuh. Padahal tadi dilihatnya terbabat pedang
wanita gembel itu.
Meskipun dari sela-sela bibirnya mengalir darah,
karena luka dalam akibat pukulan lawan, Gaek Weling
tampaknya tak peduli. Merasa tangannya yang terba-
bat tak mengalami cidera, lelaki bertubuh besar itu
langsung melancarkan serangan. Namun baru dua
tindak bergerak, mendadak tangan kanannya retak-
retak, lalu berhamburan menjadi debu.
"Hah..."! Aaa.... Akh, tidaaak...!" pekik Gaek Weling ketakutan. Matanya
membesar nyaris keluar, tak
percaya dengan apa yang dilihatnya.
Mei Lie hanya tersenyum sinis menyaksikan ke-
takutan Gaek Weling.
"Kini aku akan mencabut nyawamu, Orang Bo-
doh! Bersiaplah!" ancam Mei Lie. Lalu dengan cepat, pedangnya digerakkan
kembali. Gaek Weling yang masih tak percaya, antara sa-
dar dan tidak melihat tangan kanannya jadi debu. Wa-
jahnya semakin pucat dan ketakutan. Dia telah mera-
sakan kehebatan ilmu pedang lawannya. Gaek Weling
bermaksud untuk kabur, tapi dengan cepat Mei Lie te-
lah menghadangnya.
"Kau tak akan bisa lepas begitu saja, Manusia
Busuk!" "Hah..."! Ampun..., ampuni aku! Jangan bunuh
aku! Aku akan menurut semua perintahmu.... Tapi
siapa kau sebenarnya...?" Gaek Weling meratap sambil gemetaran dan meringis
menahan perih dan sakit.
Mei Lie tak menjawab. Matanya masih menatap
tajam wajah Gaek Weling yang meratap, minta ampun
padanya. "Hm.... Kali ini kuampuni. Tapi jangan sekali-kali berbicara besar, dan ingin
memperdaya Dewi Bayangan Kabut! Sekarang cepat pergi...!" bentak Mei Lie.
Gaek Weling mengangguk-anggukkan kepala
sambil menggumam lirih.
"Dewi Bayangan Kabut.." Baru kali ini aku den-
gar nama itu. Tapi jurus pedang yang dia miliki seperti si Bidadari Pencabut
Nyawa. Hhh.... Siapa pun dia aku
tak peduli...!"
Gaek Weling bangkit berdiri. Namun ketika Mei
Lie lengah, dengan sisa-sisa tenaganya, lelaki berambut panjang itu melepaskan
pukulan ke tubuh Mei Lie
yang membelakanginya.
"Hiaaa...!"
Mei Lie bukan orang sembarangan. Dirinya su-
dah menduga tindakan yang akan dilakukan Gaek
Weling. Maka dengan cepat dibuang tubuhnya ke
samping dan bersalto beberapa kali, sambil memba-
batkan pedangnya ke tubuh lawan.
"Rupanya kau lebih suka mampus, Manusia Li-
cik! Heaaa...!"
Wut! Sret! "Aaauw...!"
Gaek Weling kembali memekik, ketika pedang
Mei lie menebas tangan kirinya. Dan seperti kejadian sebelumnya, tangan kirinya
sedikit pun tak mengalami luka. Namun ketika angin bertiup, tangan yang telah
berubah menjadi debu itu berhamburan.
Belum habis kengerian Gaek Weling, Mei Lie yang
sudah tak bisa menahan amarah, langsung menya-
betkan pedangnya secara menyilang, dan menebas tu-
buh Gaek Weling.
Cras! Cras! "Aaakh...!"
Terdengar jeritan Gaek Weling dalam satu leng-
kingan panjang. Matanya membeliak. Sesaat tubuhnya
mematung di tempat itu, namun kemudian lebur jadi
debu! Mei Lie menghela napas panjang seraya terse-
nyum. "Rupanya yang menginginkan kematian Kakang
Sena cukup banyak. Aku harus segera mencari si Pe-
nunggang Kuda Iblis itu, sebelum bentrok dengan Ka-
kang Sena...!" gumam Mei Lie kemudian. Lalu tubuhnya melesat pergi dari tempat
itu. Dari gerakannya yang begitu cepat, jelas kalau
gadis Cina itu, kekasih Pendekar Gila yang mengguna-
kan ilmu meringankan tubuh tingkat tinggi. Sehingga
dalam waktu yang singkat saja, tubuhnya yang ter-
bungkus pakaian kumal telah melesat puluhan tom-
bak menuju arah barat.
*** 7 Matahari yang telah condong ke barat masih me-
nyirami bumi. Sinarnya sudah tak terlalu panas kare-
na sebagian tertutup awan hitam. Udara terasa sejuk, apalagi angin yang
berhembus kencang menerpa dedaunan.
Pendekar Gila melangkah menelusuri jalanan di
tengah Bukit Parangkan. Tiba-tiba telinganya menden-
gar suara pertarungan di kejauhan. Didengar dari suaranya, jelas ada beberapa
orang yang terlibat pertarungan di balik bukit di sebelah timur itu.
"Heaaa...!"
"Hait..! Heaaa!"
Trang! "Aha, ada orang bertarung rupanya," gumam Se-na sambil memasang pendengarannya
lebih tajam, agar suara pertarungan itu lebih jelas. "Ah benar. Aku harus melihatnya, siapa
yang bertarung itu?"
Dengan menggunakan ilmu 'Sapta Bayu' Pende-
kar Gila melesat menuju asal suara itu. Tak lama ke-
mudian pemuda berompi kulit ular itu telah melintasi
jalan terjal berbatu, sampai di balik bukit sebelah timur. Tiba-tiba matanya
terbelalak, seperti terkejut
"Aha...! Seorang wanita...?" gumamnya sambil cengengesan dan menggaruk-garuk
kepala. "Hi hi hi....
Lucu...! Diakah yang disebut si Penunggang Kuda Ib-
lis..."! Yang ingin menantangku"!"
Dari jarak cukup jauh Pendekar Gila terus men-
gamati jalannya pertarungan itu. Keningnya tampak
berkerut, seolah-olah ada yang tengah dipikirkannya.
Meskipun mulutnya tetap cengengesan dengan tangan
menggaruk-garuk kepala.
Mata Sena semakin membelalak lebar, ketika me-
lihat seekor kuda hitam pekat, dengan mata bagai api.
Menerjang dan mendepak orang-orang yang menge-
royok wanita yang tak lain Lara Kanti. Kuda itu me-
ringkik dan mendengus...! Berusaha membela tuan-
nya. Kuda hitam yang oleh Lara Kanti dipanggil si
Ireng, tapi dikenal dengan julukan Kuda Iblis itu terus mengamuk tak terkendali.
Hingga beberapa orang di
antara pengeroyok yang berjumlah puluhan itu mati
tersepak bahkan digigit kuda itu.
Sementara itu, Lara Kanti masih terus mengha-
dapi lawan-lawannya yang ternyata murid-murid dari
Perguruan Merak Suci. Mereka dipimpin gurunya, Ki
Kantawijaya, seorang lelaki berusia sekitar enam puluh tahun.
Pendekar Gila masih memperhatikan dari kejau-
han. Mulutnya tampak cengar-cengir sendirian.
"Sebaiknya aku membantu lelaki tua itu. Tapi...?"
gumam Sena lirih.
Swing! Swing...!
Baru saja Sena selesai bergumam, tiba-tiba men-
desing puluhan senjata rahasia ke tubuhnya.
"Aha, eit..! Kenapa mainan ini nyasar ke arah-
ku..."!" gumam Sena sambil melenting, mengelakkan serangan puluhan senjata
rahasia. Tubuhnya bersalto
di udara beberapa kali, kemudian dengan cepat mene-
pis beberapa senjata rahasia itu.
"Heaaa...!"
Trak! Swing! Swing...!"
Senjata-senjata rahasia itu berbalik ke asalnya.
Jleb! Jleb! "Aaa....'"
Terdengar suara jerit kematian dari kejauhan.
Rupanya senjata itu menghujam pemiliknya.
Sena tersenyum puas, lalu menggaruk-garuk ke-
pala. Namun baru saja memalingkan kembali matanya
ke tempat pertarungan Ki Kantawijaya dengan Lara
Kanti, tiba-tiba hatinya terkejut. Telinganya mendengar suara perintah seseorang
dari balik bukit yang berada di belakangnya. Pendekar Gila segera berbalik dan
melompat dari tempat itu.
Swing! Swing...!
"Serbuuu...! Bunuh!"
Puluhan anak panah dan tombak berukuran ke-
cil berdesing memburu Sena. Hal itu membuatnya se-
gera merundukkan tubuh, lalu dengan cepat berguling
ke bawah. Hal itu sengaja dilakukan dengan maksud
agar orang-orang yang bersembunyi di balik bukit
akan keluar. Satu anak panah ditangkapnya, lalu dis-
elipkan di ketiak. Sehingga seakan-akan terhujam se-
batang anak panah tadi.
"Aaauw...!" Sena menjerit, seakan merasa kesakitan. Benar dugaan Pendekar Gila,
seketika berlompa-
tan sosok-sosok tubuh dengan wajah tertutup kedok
kulit macan tutul! Mereka semua bertelanjang dada.
Namun bagian bawah dibelit pula dengan kulit macan
tutul. Mata mereka menatap tajam tubuh Pendekar Gi-
la yang pura-pura mati.
Ketika itu pula Pendekar Gila segera melontarkan
pukulan 'Inti Bayu'


Pendekar Gila 28 Penunggang Kuda Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Heaaa...!"
Wusss! Angin kencang menderu keras bagai topan,
memburu sosok-sosok berkedok kulit macan tutul,
yang berdiri di atas bukit
"Awaaas...!" seru pimpinan gerombolan berkedok macan tutul itu.
Prats...! "Aaa...!"
Namun terlambat! Angin kencang laksana topan
telah mengancam mereka. Seketika orang-orang ber-
kedok macan tutul itu berpentalan dari atas bukit
"Ah ah ah..., aneh! Siapa mereka sebenarnya"
Apakah teman wanita yang sedang bertarung dengan
lelaki tua itu.."!" gumam Sena bertanya dalam hati.
Mulut Pendekar Gila cengengesan sambil meng-
garuk-garuk kepala. Kemudian berseru, "Hei turunlah kalian! Tangkap aku...!"
tantang Sena yang sudah kesal. Orang-orang berkedok kulit macan tutul itu, tak
lain Gerombolan Macan Tutul dari Lembah Neraka.
Pekerjaan mereka hanya membunuh dan memakan
daging manusia. Mereka tak tahu siapa sebenarnya
Sena atau Pendekar Gila.
"Grrr...!" pemimpin manusia aneh itu mengerang keras penuh amarah. Lalu tubuhnya
melakukan lompatan macan, memburu Sena yang berada di bawah.
Melihat lawan menyerang, Pendekar Gila tak
tanggung-tanggung menghadapinya. Dengan jurus 'Si
Gila Melebur Gunung Karang' dipapakinya serangan
lawan. Tangan dan kaki Pendekar Gila bergerak cepat.
Kedua tangannya menghantam ke sana kemari. Puku-
lannya disertai angin topan, membuat beberapa lawan
terpelanting. "Heaaa...!"
Pendekar Gila tak mau berhenti sampai di situ.
Dia terus bergerak menyerang dengan garang. Tingkah
lakunya yang seperti orang gila itu, dipadu dengan pukulan-pukulan maut yang
dahsyat Wusss! Glarrr! "Aaauw...!"
Lima orang seketika menjadi korban. Tubuh me-
reka berpentalan jauh dan hancur berkeping-keping
terhantam pukulan 'Si Gila Melebur Gunung Karang'.
Pendekar Gila tak memberi kesempatan pada la-
wan-lawannya. Tubuhnya mencelat ke atas kemudian
menukik sambil melepaskan pukulan. Kedua kakinya
pun tak tinggal diam, menjejak dan menendang ke ke-
pala lawan. Melihat tubuh lawan berputaran dan menyerang
dari udara, Pimpinan Gerombolan Macan Tutul dari
Lembah Neraka dan beberapa orangnya, mengarahkan
golok mereka ke atas. Hal itu membuat Pendekar Gila
mendapat keuntungan. Dengan begitu, serangannya
kini terpusat ke satu titik.
"Pukulan 'Inti Brahma'! Heaaa...!"
Wusss...! Api keluar dari tangan Pendekar Gila melesat ke
tubuh lawan-lawannya di bawah. Tentu saja gerombo-
lan itu terkejut, lalu berusaha mengelakkan serangan dahsyat berbentuk api itu.
Namun api yang bergulung-gulung itu lebih cepat menerjang tubuh mereka. Hing-
ga... Prats...!
"Aaauw...!"
"Aaakh...!"
Pekikan keras seketika terdengar bersahutan ke-
tika beberapa anak buah Gerombolan Macan Tutul da-
ri Lembah Neraka itu terhantam api. Tubuh-tubuh
berpakaian kulit macan itu bergulingan. Api dari ajian
'Inti Brahma' itu tak dapat dipadamkan, hingga tubuh mereka hangus terbakar.
Sang Pemimpin gerombolan
pun tak luput dari amukan api yang ganas itu. Tu-
buhnya hangus lalu tewas.
Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala sambil
cengengesan. "Hi hi hi...! Itu imbalan bagi orang licik...!
Maafkan aku!" gumam Sena bicara pada diri sendiri, lalu tertawa-tawa cekikikan.
Namun tawanya segera
dihentikan, manakala teringat akan pertarungan lelaki tua berpakaian putih
melawan wanita bercaping bambu kuning itu.
Pendekar Gila segera melesat menuju tempat di-
rinya tadi mengawasi pertarungan itu., Namun kini
matanya hanya melihat lelaki tua itu tergeletak sekarat. Sedangkan wanita
bercaping lebar atau si Penunggang Kuda Iblis telah menghilang.
Pendekar Gila segera melompat turun, meng-
hampiri lelaki tua yang tak lain Ki Kantawijaya.
Nampak dada Ki Kantawijaya luka lebar berlu-
muran darah kena sayatan pedang si Penunggang Ku-
da Iblis. "Akh! Ukh...!" Ki Kantawijaya merintih menahan sakit di dadanya. "Oh..., kau"
Kau..., siapa.... Anak Muda...!"
"Aku Sena, Ki...," jawab Sena.
"Kau..., apakah kau yang bernama Pendekar Gila
itu...?" tanya Ki Kantawijaya tiba-tiba. Seakan tahu siapa pemuda yang ada di
dekatnya. "Benar, Ki.... Kau siapa?" tanya Sena.
"Aku..., aku Kantawijaya.... Jaga dirimu. Wanita itu ingin menantang dan
membunuhmu..., akh...!"
Selesai berkata begitu, Ki Kantawijaya menghem-
buskan napas terakhir. Sena menghela napas panjang.
Menatap sedih Ki Kantawijaya yang sudah tiada. "Semoga Hyang Widhi menerima
arwahmu, Ki...!"
Pendekar Gila kemudian menengadah. Setelah
itu diangkatnya tubuh lelaki tua berpakaian putih itu untuk dikuburkan.
Sementara itu angin kencang bertiup menyapu bumi. Sena melangkah sambil memon-
dong mayat Ki Kantawijaya.
*** Sore itu hujan mengguyur Desa Waringin. Desa
tempat Padepokan Kates Sewu berada tampak sunyi
dan sepi. Tak seorang pun keluyuran di luar rumah-
nya. Para penduduk seperti terbuai suara rintik hujan dan dinginnya hawa yang
berhembus dari daerah perbukitan yang mengitari desa itu.
Dari arah timur tampak sesosok kuda hitam, ba-
ru saja keluar dari Hutan Jatirata. Kuda tinggi dan besar itu melesat memasuki
tapal batas Desa Waringin.
Derap kaki, kuda tak terlalu keras. Langkahnya bagaikan tak menginjak bumi. Di
atas punggung kuda du-
duk dengan tegap wanita bercaping lebar dan berpa-
kaian compang-camping. Dari balik caping lebar, terlihat matanya menyapu
sekeliling tempat itu. Sementara hujan rintik-rintik masih turun. Wanita yang
tak lain dari Lara Kanti seakan tak mempedulikan air hujan
yang terus membasahi tubuhnya. Dari mata kuda hi-
tam pekat itu memancarkan sinar merah membara.
Pantas kuda itu dijuluki sebagai Kuda Iblis.
"Hieeeh...! Hieeehhh...!"
Kuda itu tiba-tiba meringkik keras. Suaranya
yang melengking keras bergema sampai di kejauhan,
hingga mengejutkan murid-murid Padepokan Kates
Sewu. Mereka tengah beristirahat, ketika tiba-tiba terdengar suara ringkikan
kuda yang begitu keras. Begitu pula Ki Palguna Wijaya, guru yang memimpin
padepokan itu. Lelaki setengah baya dengan wajah menggam-
barkan ketenangan itu pun tampak mengernyitkan
kening, terkejut.
"Kurang ajar! Siapa yang telah lancang membuat
keonaran!" gumam Ki Palguna Wijaya marah. Matanya menyapu ke sekelilingnya.
Tiba-tiba muncul seekor kuda hitam pekat dari
balik tembok padepokan. Langkah kaki kuda itu tak
terdengar. Mata Ki Palguna Wijaya tak berkedip, terus mengawasi si penunggang
kuda itu. "Hm...," gumam Ki Palguna tak jelas.
"Kau mencariku...?"
Terdengar tanya si penunggang kuda, dengan su-
ara lantang. Tubuhnya yang terbalut pakaian com-
pang-camping basah kuyup oleh air hujan. Dengan
ringan tubuhnya melompat dan mendarat di tanah ba-
sah. Gerakannya yang begitu cepat menandakan kalau
ilmu yang dimiliki cukup tinggi. Wajahnya yang terhalang caping lebar terbuat
dari kulit bambu kuning,
membuat Ki Palguna Wijaya tak dapat mengenalinya.
Namun lelaki tua itu pasti telah mendengar sepak terjang si Penunggang Kuda
Iblis yang berpakaian com-
pang-camping. Tokoh wanita yang menantang Pende-
kar Gila, juga orang-orang yang mengenal dan dekat
dengan pendekar muda itu. Termasuk Ki Palguna Wi-
jaya sendiri! "Kau rupanya yang disebut Penunggang Kuda Ib-
lis...! Mau apa kau datang kemari..."!" tegur Ki Palguna Wijaya dengan suara
parau. Matanya yang tajam tapi
lembut menatap dengan nanar wajah Lara Kanti yang
berada di balik caping lebar.
"Aku datang hanya ingin kau mau memberitahu-
kan, di mana Pendekar Gila berada. Aku yakin kau ta-
hu itu. Karena kau salah seorang yang akan dikunjun-
ginya...," ujar si Penunggang Kuda Iblis.
"Ha ha ha...! Bicaramu seperti orang paling jago saja. Kalau aku tak mau, kau
mau apa..."!" sergah Ki Palguna sambil tertawa-tawa.
"Terserah kau saja. Yang pasti aku akan menca-
but nyawamu, jika kau tak menghiraukan permin-
taanku...! Bersiaplah! Yeaaa...!"
Melihat tamunya menyerang, Ki Palguna Wijaya
tak mau tinggal diam. Tubuhnya segera melompat un-
tuk menghadapi serangan Lara Kanti. Kedua kakinya
digenjotkan, sedangkan tangannya bergerak memben-
tuk sebuah kuda-kuda dengan membentuk cakar.
Sementara itu kuda hitam yang matanya me-
mancarkan sinar kemerahan, melompat dan mener-
jang murid-murid Padepokan Kates Sewu. Suara ring-
kikan yang keras menambah keadaan semakin kacau.
Namun Ki Palguna Wijaya tak merasa terganggu.
Dirinya terus merangsek menyerang Lara Kanti.
"Heaaa...!"
Tangan Ki Palguna Wijaya bergerak mencekeram
ke tubuh lawan. Namun dengan cepat Lara Kanti men-
gelakkannya. Kakinya digeser ke samping, lalu dengan cepat balas menyerang
dengan tendangan.
"Heaaa...!"
Ki Palguna Wijaya menarik cengkeramannya.
Kemudian dengan berputar dia membalas serangan
lawan. Kakinya bergerak menendang, disusul dengan
pukulan tangan kanan ke dada lawan.
"Heaaa...!"
Wret! Wret! Suasana Padepokan Kates Sewu semakin riuh
dan pertarungan semakin sengit. Apalagi kuda hitam
milik Lara Kanti yang bernama Ireng, mengamuk,
memporak-porandakan padepokan. Murid-murid Pa-
depokan Kates Sewu kalang kabut Mereka berusaha
menangkap kuda yang dijuluki Kuda Iblis itu. Namun
tampaknya binatang itu terlalu liar dan ganas.
Sementara pertarungan Ki Palguna Wijaya dan
Lara Kanti terus berlangsung. Lelaki tua berjubah kuning kemerahan itu
melancarkan pukulan-pukulan ke-
ras yang merupakan serangan andalan. Jurus-jurus
tingkat tinggi 'Sapuan Badai' dan 'Cakaran Elang Sakti'
dikeluarkan dengan cepat dan beruntun.
Melihat serangan lawan telah menggunakan ju-
rus-jurus andalan Lara Kanti tak mau kalah. Segera
dicabutnya pedang yang tersampir di punggungnya.
Sret! "Heaaa...!"
Wut! Wut! Dengan pedang terhunus Lara Kanti balas me-
nyerang. Pedangnya digerakkan membabat dan menu-
suk ke tubuh lawan dengan ganas, diikuti pukulan
dan tendangannya yang sangat berbahaya.
"Hiaaa...!"
Ki Palguna Wijaya terkesiap. Matanya membela-
lak menyaksikan serangan lawan yang sangat cepat.
Sepertinya Lara Kanti tak ingin memberi kesempatan
sedikit pun, bahkan sekadar untuk menarik napas.
Pedang di tangan tidak ubahnya Malaikat Maut yang
siap mencabut nyawa.
"Edan! Bisa modar aku!" gumam Ki Palguna Wijaya dengan mata semakin terbelalak
tegang. Dirasa-
kan serangan lawan begitu cepat dan sangat berba-
haya. Ki Palguna Wijaya berusaha mengelakkan seran-
gan lawan yang gencar. Namun pedang di tangan Lara
Kanti bagai memiliki mata.
Wut! Wut..! Pedang Lara Kanti terus mencecar tubuh lawan
dengan tebasan-tebasan yang membahayakan. Hal itu
membuat Ki Palguna Wijaya semakin terdesak. Hing-
ga.... "Hih!"
Cras! "Aaakh...!"
Ki Palguna memekik keras, ketika dadanya ter-
sayat pedang Lara Kanti. Tubuhnya terhuyung-huyung
ke belakang dengan mata membelalak.
"Hiaaat..!"
Lara Kanti yang sudah kalap tak puas sampai di
situ, meski lawan sudah dalam keadaan sekarat. Pe-
dang di tangannya memburu tubuh Ki Palguna Wijaya
yang tengah terhuyung-huyung kesakitan. Namun pa-
da saat yang gawat itu, tiba-tiba sesosok bayangan hitam berkelebat cepat.
Dan.... "Heaaa...!"
Trang! "Ikh!"
Lara Kanti tersentak kaget. Tubuhnya terhuyung-
huyung ke belakang dengan mata membelalak, me-
mandang sosok wanita berpakaian gembel, compang-
camping seperti dirinya. Pedang di tangan wanita yang berdiri tegap di hadapan
Lara Kanti itu bersinar kuning kemerah-merahan.
"Hah"!" Lara Kanti terbelalak. Kemudian segera memulihkan kembali tenaga


Pendekar Gila 28 Penunggang Kuda Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dalamnya dengan cepat
"Kau mengapa ikut campur" Siapa kau..."!" bentak La-ra Kanti geram.
"Rupanya kau yang dijuluki Penunggang Kuda Ib-
lis!" dengus wanita di hadapan Lara Kanti, yang tak lain Mei Lie.
"Ya! Kenapa kau menghalangi niatku! Atau kau
ingin melawanku?" jawab Lara Kanti tak kalah ketus-nya. "Ha ha ha...! Akulah
Dewi Bayangan Kabut Dan kalau tak salah, kau ingin menantang Pendekar Gila,
bukan..."!" ujar Mei Lie dengan suara lantang, matanya terpicing menatap sinis
Lara Kanti. "Benar! Apakah kau tahu di mana Pendekar Gila
berada..." Cepat beri tahuku, sebelum kesabaranku hilang!" Lara Kanti menatap si
Dewi Bayangan Kabut
"Ha ha ha...! Rupanya kau termasuk orang yang
tak memiliki kesabaran. Kalau boleh tahu, siapa na-
mamu sebenarnya"!"
"Aku Lara Kanti...! Puas" Sekarang katakan di
mana Pendekar Gila. Lalu untuk apa kau datang ke
desa ini?"
"Sama dengan yang kau inginkan. Puas..."!" jawab Mei lie memancing Lara Kanti.
"Jadi, kau juga ingin menantang Pendekar Gi-
la...?" tanya Lara Kanti dengan menyipitkan matanya, menyelidik.
"Tepat Biarlah akan kukatakan di mana Pendekar
Gila. Tapi aku ingin tahu, apa masalahnya sampai kau ingin menantang dan
membunuh Pendekar Gila...?"
tanya Mei Lie sedikit mendesak.
"Hhh..., untuk balas dendam atas kematian
ayahku...! Sudah, jangan banyak tanya! Cepat kata-
kan, di mana Pendekar Gila berada"! Atau, kucabut
nyawamu...!" kata Lara Kanti sudah tak sabar sambil menghunuskan pedangnya.
"Sabar! Sekali lagi siapa ayahmu itu...?" tanya Mei Lie ingin tahu jelas.
"Kau memang banyak mulut! Aku akan katakan,
tapi kini yang terakhir pertanyaanmu kujawab. Ayah-
ku dikenal dengan nama Tempurung Sakti," jawab La-
ra Kanti. Menjadikan Mei Lie kaget Pengemis Tempu-
rung Sakti, bukan Pendekar Gila yang membunuh, me-
lainkan dia sendiri. Sesaat Mei Lie berpikir, lalu menghela napas dalam-dalam.
Ditatapnya Lara Kanti tajam.
"Ayahmu bukan mati di tangan Pendekar Gila!
Ketahuilah, Tempurung Sakti mati di tangan Bidadari
Pencabut Nyawa!" tegas Mei Lie. "Mengapa kau hendak membunuh Pendekar Gila, yang
tak bersalah..."!"
"Aku tahu, kalau Bidadari Pencabut Nyawa-lah
pembunuh ayahku. Dan kau tahu pula, tentunya Pen-
dekar Gila tak akan tinggal diam jika kekasihnya ku-
bunuh. Maka itu aku ingin sekaligus menghadapi ke-
duanya...! Aku harus membuat perhitungan terhadap
mereka," jawab Lara Kanti dengan penuh geram.
Mei Lie tersenyum sinis.
"Akulah Bidadari Pencabut Nyawa. Hadapilah
aku!" tantang Mei Lie sambil membuka capingnya.
"Hah..."!" Lara Kanti kaget bukan main. Matanya membelalak lebar. "Bangsat..!
Jadi kau yang bernama Bidadari Pencabut Nyawa..."! Keparat! Kini kukirim
nyawamu ke neraka! Heaaa...!"
Lara Kanti melesat melakukan serangan. Mei Lie
pun tak tinggal diam. Kini dua wanita muda jago pe-
dang itu saling berhadapan. Satu memegang pedang
bersinar kuning kemerah-merahan. Yang lain meme-
gang pedang bersinar merah api. Mata mereka yang
indah, saling menatap tajam.
Dua ilmu pedang sakti akan saling bertarung un-
tuk menentukan siapa di antara mereka yang paling
hebat. Satu Pedang Bidadari, sedangkan yang satunya
Pedang Mata iblis.
"Heaaa...!"
"Yeaaat..!"
Mei Lie membuka jurus pertama dengan jurus
'Tarian Bidadari Membelah Langit'. Pedang di tangan-
nya bergerak cepat, dari bawah ke atas, seakan beru-
saha membelah langit
Wut! Wut! Sementara itu, Lara Kanti tak mau kalah. Dengan
penuh amarah, segera dikerahkan jurus pembuka
yang tak kalah hebatnya. Dengan 'Tusukan Malaikat
Maut' pedangnya bergerak cepat, hinggap membentuk
gulungan yang mengeluarkan sinar merah laksana ma-
ta iblis memancar ganas.
"Hiaaa...!"
"Yeaaat...!"
Wut! Wut! Trang! Trang! Denting dua pedang beradu terdengar nyaring.
Tubuh keduanya melompat ke belakang kemudian
dengan sigap kembali melakukan serangan. Pedang di
tangan mereka bagai memiliki mata, bergerak cepat ke sana kemari, memburu tubuh
lawan. Pertarungan seru dua wanita muda yang memili-
ki ilmu pedang tingkat tinggi itu terus berlangsung.
Hal itu membuat semua murid Padepokan Kates Sewu
terkagum-kagum menyaksikannya. Begitu pula Ki Pal-
guna Wijaya yang telah mengalami luka tampak terke-
sima menyaksikan ilmu pedang kedua wanita muda
itu. Sementara itu kuda Lara Kanti mulai dapat di-
amankan oleh murid-murid Padepokan Kates Sewu,
dengan menjerat leher dan kaki binatang itu.
Mei Lie tampak mulai membuka jurus andalan-
nya. Dalam jurus 'Tebasan Pedang Bidadari Membelah
Gunung', pedangnya bergerak mendatar, kemudian di-
angkat tinggi-tinggi, lalu diteruskan dengan sabetan ke tubuh lawan.
Cahaya kuning kemerah-merahan berpendar-
pendar seiring dengan kelebatan Pedang Bidadari Mei
Lie. Wut! Wut! "Yeaaa"
"Hiaaat..!"
Keduanya kembali berkelebat, saling menyerang
dengan babatan dan tusukan pedang. Gerakan mereka
sangat cepat, sehingga sulit untuk diikuti mata.
Kini yang tampak hanya sinar kuning kemerah-
merahan berbaur dengan sinar merah api membara.
Trang! Trang...!
Wut! Wut! "Hiaaa...!"
Beberapa kali pedang mereka saling beradu. Tu-
buh keduanya sesaat melompat ke belakang. Mata ke-
duanya saling tatap dengan tajam. Kemudian didahu-
lui pekikan menggelegar, keduanya kembali melesat
dengan sabetan pedang yang cepat
"Yeaaat...!"
Wut! Wut! Trang...! Mei Lie mulai mengeluarkan jurus pamungkas
'Pedang Tebasan Batin'. Sebuah jurus sakti yang san-
gat dahsyat. Orang yang terkena babatan pedangnya
akan mengalami keanehan. Tubuhnya tak menampak-
kan luka. Namun ketika tertiup angin, tubuhnya akan
lebur menjadi debu dan berterbangan.
Lara Kanti tersentak menyaksikan jurus yang
sudah sangat kesohor itu. Hatinya tegang menyaksi-
kan jurus yang tengah diperagakan lawan. Nyalinya
seketika menciut, jika ingat korban jurus yang tengah diperagakan si Bidadari
Pencabut Nyawa.
Karena terdorong dendam kesumat, si Penung-
gang Kuda Iblis tak mau mundur, Lara Kanti merang-
sek maju. Keduanya kini kembali bertarung. Babatan
pedang Mei Lie sempat merobek pakaian Lara Kanti.
Lara Kanti tersentak kaget, lalu melenting ke atas untuk mengelakkan serangan
lawan yang terus membu-
runya. Beberapa kali tubuhnya terpaksa berjumpali-
tan. Namun sempat pula mengeluarkan jurus 'Pedang
Mata Iblis', untuk menangkis serangan Mei Lie.
*** 8 Sementara itu Ki Palguna Wijaya sedang diobati
oleh murid-muridnya di dekat pintu gerbang padepo-
kan. Tiba-tiba muncul sesosok bayangan putih berke-
lebat, dan langsung ingin menyerang Ki Palguna Wi-
jaya. Namun belum sempat sosok itu melakukan se-
rangan, tiba-tiba muncul pula sesosok bayangan lain.
Plakkk! "Ukh...!"
"Hi hi hi...! Lucu, Tua Bangka ingin main curang.
Licik...!" terdengar suara tawa cekikikan mengejek lelaki tua berpakaian putih
yang kesakitan sambil me-
megangi tangannya. Suara tawa itu ternyata milik Se-
na atau Pendekar Gila, yang entah dari mana tiba-tiba telah berada di tempat
itu. "Kau rupanya, Pemuda Gila...! Kebetulan, aku
sedang mencarimu. Ayo.., lawan aku! Hutang nyawa
harus dibayar dengan nyawa...!" seru lelaki tua berambut putih yang ternyata Ki
Rawantula, guru Lara Kan-
ti. "Hutang nyawa..."! Hi hi hi.! Lucu sekali...! Tua bangka menagih hutang. Ah ah
ah...! Kau mengada-ada saja, Ki!" ujar Sena sambil tertawa-tawa ngakak.
Pada saat itu Ki Rawantula berkelebat melakukan
serangan. Namun dengan cepat Pendekar Gila bergul-
ing ke samping, lalu segera dicabutnya Suling Naga
Sakti dan dibabatkan.
"Heaaa...! Hih!"
Wut! Trak! "Ukh...!" Ki Rawantula memekik tertahan. Langkah terseok-seok karena kakinya
terkena sabetan Sul-
ing Naga Sakti.
Pendekar Gila menatap sambil menggaruk-garuk
kepala. Kemudian dengan cengengesan, dirinya mem-
buka jurus 'Si Gila Melebur Gunung Karang'. Namun
Ki Rawantula tampaknya melihat gerakan lawan.
Meskipun kakinya telah terluka, dengan cepat mela-
kukan lompatan mengelak dari serangan Pendekar Gi-
la. "Heaaa...!"
Wusss...! Glarrr...! Pukulan Pendekar Gila menghantam sebatang
pohon besar di luar padepokan ini.
Ki Rawantula segera menggerakkan kedua tan-
gannya dengan cepat, melakukan serangan balasan,
setelah terhindar dari bahaya maut itu. Pendekar Gila yang telah berdiri tegap
dalam kedudukan yang mantap langsung bergerak. Tubuhnya meliuk-liuk ke sana
kemari dalam jurus 'Si Gila Menepuk Lalat'. Sementara itu tangannya segera
mengibaskan Suling Naga Sakti
ke tubuh Ki Rawantula
Wut! "Hait..! Heaaa...!"
Ki Rawantula tersentak. Dirasakan ada hawa pa-
nas menjalar di tubuhnya bersamaan dengan serangan
Pendekar Gila. Dengan cepat lelaki berpakaian jubah
putih itu membuang tubuh ke belakang. Lalu segera
melepas pukulan dengan jurus 'Tamparan Sukma'.
Wut! Plak! "Eits!"
Pendekar Gila kaget, ketika tangan Ki Rawantula
menepis pundaknya. Seketika, pundaknya terasa pa-
nas. Hal itu membuatnya bertambah marah.
Werrr...! Sambil meliuk Pendekar Gila menghantamkan
sulingnya ke tubuh Ki Rawantula. Disusul serangan-
serangan gencar dengan jurus 'Si Gila Membelah
Awan'. Gabungan serangan yang begitu cepat dan aneh
itu cukup menyentakkan lawan. Ki Rawantula berusa-
ha mengelakkan serangan-serangan yang dilancarkan
Pendekar Gila. Namun nampaknya pemuda berpakaian
rompi kulit ular itu tak mau memberi kesempatan bagi lawan untuk menyerang.
Pendekar Gila terus memburu lelaki tua itu hingga tak mampu melancarkan se-
rangan balasan.
"Heaaa...!"
Dengan nekat Ki Rawantula merangsek, berusa-
ha menjatuhkan Pendekar Gila. Namun karena diliputi
hawa marah dan nafsu, serangannya lolos. Hanya den-
gan memiringkan tubuh, meliuk ke kanan dan kiri
Pendekar Gila mampu mematahkan serangan lawan.
Kemudian dengan cepat, Suling Naga Sakti dihantam-
kan ke kepala Ki Rawantula.
Wut! Prak! "Aaakh...!"
Ki Rawantula menjerit keras, kepalanya hancur
terhantam Suling Naga Sakti. Tubuhnya terdorong ke
belakang dalam keadaan mengerikan, lalu ambruk dan
tewas. Melihat lawannya mati, Pendekar Gila menghela
napas panjang. Lalu segera dipalingkan wajahnya ke
tempat pertarungan Mei Lie dengan Lara Kanti.
*** "Heaaa...!"
Wut! Cras! "Aaakh...!"
Lara Kanti memekik keras. Lengan kirinya ter-
sambar ujung pedang Mei Lie. Untung saja si Bidadari Pencabut Nyawa itu telah
mengubah jurusnya dengan
jurus ringan. Sehingga tebasan itu hanya mengaki-
batkan luka yang tak terlalu berbahaya, bahkan tak
mematikan. Kejadian itu memang tampak aneh, karena se-
mula Mei Lie telah siap mengerahkan jurus pamung-
kasnya, 'Pedang Tebasan Batin' yang sangat berbahaya itu. Namun hatinya tiba-
tiba merasa iba, tak tega melihat gadis cantik lawannya harus tewas dengan Pe-
dang Bidadari. Hal itu karena Mei Lie sendiri menyaksikan perubahan nyali
lawannya. Lara Kanti tampak
pucat. Serangannya pun terus mengendor. Bahkan


Pendekar Gila 28 Penunggang Kuda Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seakan-akan pasrah selama pertarungan dalam jurus-
jurus terakhir itu.
Sikap Mei Lie tentu saja membuat Lara Kanti ke-
heranan. Dirinya menyadari kalau Mei Lie belum mau
membunuhnya. Padahal dia tadi sempat lengah. Lara
Kanti bertanya dalam hati!
"Kenapa dia tak mau membunuhku... ?"
Mei Lie tersenyum sinis, lalu menggerakkan Pe-
dang Bidadari-nya, perlahan di depan dadanya, sedang tangan kirinya diluruskan
ke depan membuat gerakan
silat yang indah. Matanya tajam menatap ke arah Lara Kanti. Lara Kanti menatap
tajam wajah Mei Lie. Pedang di tangannya kini diputar di atas kepala, kemudian
di- hentakkan ke depan diiringi teriakan nyaring.
"Heaaa...!"
Wirt! Wut! Sementara itu Pendekar Gila, hanya menyaksi-
kan dari jauh sambil menggaruk-garuk kepala. Se-
dangkan murid-murid Padepokan Kates Sewu masih
tegang menyaksikan pertarungan kedua wanita muda
yang cantik-cantik itu.
Ki Palguna Wijaya yang sudah mulai terbebas da-
ri rasa sakit, melangkah mendekati Pendekar Gila di-
ikuti beberapa muridnya.
"Selamat datang, Sena...," tegur Ki Palguna Wijaya setelah sampai di sisi
Pendekar Gila. Pendekar
muda itu menoleh, lalu mengangguk.
"Maafkan, aku terlambat datang, Ki...!"
"Tak apa. Untung Mei Lie segera muncul, kalau
tidak mungkin aku sudah mati...," ujar Ki Palguna Wijaya lemah.
Pendekar Gila hanya tersenyum sambil mengga-
ruk-garuk kepala.
"Ah, sengaja aku tak mau ikut campur, Ki. Wa-
laupun aku tahu wanita yang sedang bertarung den-
gan Mei Lie itu yang ingin menantangku. Biarlah Mei
Lie yang mengatasinya...," tutur Sena kemudian.
"Ya. Aku mengerti, Sena.... Semoga Mei Lie ber-
hasil menaklukkan si Penunggang Kuda Iblis itu!" kata Ki Palguna Wijaya seraya
menepuk pundak Pendekar
Gila. "Heaaa...!"
"Heaaa...!"
Kini nampak kedua wanita muda itu saling se-
rang dan tangkis di udara. Mei Lie berhasil menya-
rangkan pukulan tangan kirinya ke dada lawan. Tubuh
Lara Kanti jatuh. Mei Lie segera meluncur turun. Dan siap untuk menusukkan
pedangnya ke tubuh Lara
Kanti. Namun Lara Kanti cepat melompat ke depan
sambil menendang.
"Hukh!"
Mei Lie memekik lirih, kena tendangan kaki ka-
nan Lara Kanti yang tidak diduganya sama sekali. Hal itu tentu saja membuat Mei
Lie marah. Kemudian segera menyerang dengan mengerahkan jurus 'Pedang
Tebasan Batin'.
Lara Kanti kembali membelalakkan mata me-
nyaksikan jurus 'Pedang Tebasan Batin' muncul lagi.
Gadis itu kemudian mengambil keputusan untuk lari.
Maka tubuhnya melesat cepat dan menghilang.
Mei Lie kaget lalu mengejarnya. Dengan ilmu me-
ringankan tubuh yang sempurna, tubuhnya melesat
begitu cepat *** Sementara itu si Ireng yang tadi terjerat, entah
kekuatan apa yang ada dalam kuda itu, tiba-tiba terlepas. Lalu mengamuk
menerjang semua orang yang ada
di depannya, sambil meringkik-ringkik keras..., Pendekar Gila yang melihat
segera melompat dan mengejar
dengan ilmu lari 'Sapta Bayu'nya.
Kuda hitam yang dijuluki Kuda Iblis itu terus
berlari kencang. Di belakangnya nampak Sena menge-
jarnya. Tubuh Pendekar Gila bagai terbang. Namun
kuda itu seakan tahu ada yang mengejarnya. Menda-
dak kuda yang berkulit hitam pekat itu berbalik arah.
Membuat Sena kaget
"Edan! Kuda edan...!" gerutu Sena kesal.
Kuda itu meringkik keras sambil mengangkat ke-
dua kaki depannya. Lalu menyepak menyerang Pende-
kar Gila. Mata kuda yang memancarkan sinar merah
itu nampak menyeramkan dan ganas.
Sena melompat dan berjumpalitan untuk menge-
lak dari tendangan kaki kuda itu.
"Husss! Husss...! Tenang, Manis! Tenang....
Husss...!" Sena berusaha menjinakkan kuda yang seperti kemasukan setan itu.
Namun tetap saja, kuda milik Lara Kanti itu terus
mengejar dan mendepak tubuh Sena. Tiba-tiba pantat
Sena tersepak keras.
Dugkh! "Waduuuh...!" Sena memekik keras, sambil memegangi pantatnya.
Setelah itu Pendekar Gila menggerakkan kedua
tangannya membuka jurus 'Inti Bayu'. Dan menderu-
lah angin kencang memburu Kuda Iblis itu. Karena tak mengetahui bahaya tengah
mengancam, kuda hitam
itu terus meringkik-ringkik dan berlari memburu Pen-
dekar Gila. Namun tiba-tiba kuda hitam bertubuh be-
sar dan kekar itu terpental ke belakang, bagai terdorong suatu kekuatan dahsyat
Murid-murid Padepokan Kates Sewu langsung
bersorak-sorai sambil berlari menghampiri kuda yang
masih terguling-guling itu.
*** Mel Lie yang mengejar Lara Kanti tak menyadari
kalau telah sampai di Pesisir Pantai Karang Bolong.
Mei Lie menyapukan mata ke sekeliling tempat itu. Angin laut yang kencang
bercampur dengan debur om-
bak. Hanya itu yang dapat didengar telinganya.
Sementara itu Lara Kanti tampak sempat me-
nunggu untuk menyerang, jika Mei Lie muncul ke ka-
rang itu. Benar juga, ketika Mei Lie baru saja mendekati karang, tiba-tiba....
"Hiaaa...!" teriakan nyaring terdengar, disertai de-
ru pedang meluncur ke kepala Mei Lie.
Mei Lie dengan cepat merunduk lalu melompat,
mengelakkan serangan lawan sambil mencabut pe-
dangnya. Lara Kanti terus memburu, dengan tusukan
dan sabetan pedangnya.
Trang! Trang! Trang!
"Heaaa...!"
"Yeaaa...!"
Degkh! Degkh! "Ukh...!"
Lara Kanti memekik keras, dadanya terhantam
pukulan 'Bidadari Membelah Dada'.
Tubuhnya terhuyung ke belakang dan dari mu-
lutnya keluar darah segar. Matanya dirasakan berku-
nang-kunang. Melihat hal itu, Mei Lie segera maju sambil men-
gangkat Pedang Bidadari-nya di atas kepala.
"Tunggu...!" seru Lara Kanti sambil memegangi dadanya.
Mei Lie segera mengurungkan niat, untuk mem-
babatkan Pedang Bidadari-nya.
"Hm...! Ada apa" Apa kau...?" Mei Lie tak meneruskan kata-katanya karena merasa
iba melihat kea-
daan Lara Kanti.
"Aku menyerah kalah.... Ohhh.... Ukh!" wajah La-ra Kanti semakin pucat. Dari
mulutnya kembali keluar darah segar.
Melihat itu. Mei Lie semakin tak tega. Dideka-
tinya Lara Kanti, sambil tetap waspada, takut kalau-
kalau lawannya hanya berpura-pura. Dengan gerakan cepat Mei Lie menotok jalan
darah Lara Kanti. Wanita muda sebaya Mei Lie itu seketika terkulai lemas tanpa
daya. Mei Lie segera mengangkat tubuh si Penunggang
Kuda Iblis itu. Lalu melesat meninggalkan tempat itu.
*** Sementara itu Pendekar Gila dan Ki Pagulna Wi-
jaya masih menyaksikan kuda Lara Kanti yang sedang
dikerumuni murid-murid Padepokan Kates Sewu. Me-
reka mengikat kaki kuda yang sudah mulai jinak itu.
"Ki, aku harus mencari Mei Lie. Aku khawatir kalau...," ucapan Sena terhenti,
ketika mendengar suara Mei lie.
"Kakang Sena...!"
Sena menoleh ke belakang.
"Mei Lie..."!"
Pendekar Gila menghambur mendekati kekasih-
nya. Orang-orang yang ada di situ menoleh ke arah
Mei Lie yang memondong tubuh Lara Kanti.
"Kau memang tak ada belas kasihan. Kenapa kau
bunuh dia, Mei...?" tanya Sena sambil menggaruk-garuk kepala
"Oh, kau rupanya menaruh hati padanya. Aku
tak membunuhnya. Hanya kutotok jalan darahnya.
Agar aku aman...!" jawab Mei Lie seraya menurunkan tubuh Lara Kanti perlahan ke
tanah. Ki Palguna Wijaya dan murid-muridnya pun
mendekat Sena masih cengengesan dan menggaruk-
garuk kepala, memandangi wajah Lara Kanti yang pu-
cat. Di mulut gadis itu tampak ada darah yang mulai
mengering. Mei Lie segera membuka totokannya.
Lara Kanti perlahan menggeliat. Hatinya kaget
melihat lelaki muda berpakaian rompi kulit ular, tersenyum padanya. Lalu Lara
Kanti berpaling melihat
Mei Lie yang tersenyum pula.
Pandangannya pun kemudian beralih ke wajah Ki
Palguna Wijaya. Kemudian kepalanya menunduk per-
lahan, lemas. "Nisanak, kalau kau hendak membunuh Pende-
kar Gila, sekarang kau dapat melakukan itu. Dia ada
di hadapanmu saat ini...," ujar Mei Lie perlahan.
Lara Kanti mengangkat wajahnya kembali, dan
menatap Sena yang masih cengengesan sambil meng-
garuk-garuk kepala.
"Untuk apa" Kau bilang bukan Pendekar Gila
yang membunuh ayahku..., tapi kau...," jawab Lara Kanti dengan suara serak.
Mendengar itu Sena mengerutkan kening, me-
mandang wajah Mei Lie.
"Ketahuilah, Nisanak! Ayahmu Tempurung Sakti
sebenarnya tak akan terbunuh, kalau saja dia tidak
bertindak durjana. Tempurung Sakti hanya mengikuti
nafsu belaka. Ingin menjadi jago! Dia telah membunuh kakak seperguruanku, Nyi
Bangil. Itulah sebabnya aku terpaksa membunuh ayahmu. Maafkan aku Lara...!"
kata Mei Lie menjelaskan pada Lara Kanti.
Rupanya Lara Kanti dapat memaklumi. Dengan
sedih dan linangan air mata, gadis itu menunduk lesu.
Sementara Pendekar Gila menghela napas panjang,
memandangi Lara Kanti.
Semua yang berada di situ merasa terharu. Begi-
tu pula Ki Palguna Wijaya.
"Di mana kudaku..." Aku sangat menyayanginya.
Dialah teman hidupku selama ini. Jangan bunuh dia!"
ujar Lara Kanti kemudian sambil terisak. Hatinya mu-
lai menyesali semua sepak terjangnya selama ini.
"Kudamu tak mati. Ki Palguna Wijaya dan murid-
muridnya akan merawatnya. Percayalah...!" sahut Sena mencoba menenangkan hati
gadis cantik berpakaian
compang-camping itu.
Lara Kanti menatap wajah Sena, tak berkedip da-
lam linangan air mata.
"Maafkan aku, Pendekar Gila! Sebenarnya aku
pun sangat mengagumi kesaktian dan kepiawaianmu.
Aku telah mendengar semua tentang dirimu. Tapi tak
mengenal wajahmu. Kini rasanya aku lega dapat ber-
temu denganmu...," kata Lara Kanti dengan suara ber-getar. Mei Lie yang
mendengar itu, mengerutkan ken-
ing. Ada sedikit rasa cemburu. Namun perasaan itu
segera dibuang jauh-jauh. Lalu segera dirangkulnya
Lara Kanti. "Untuk sementara, tinggallah kau di Padepokan
Kates Sewu! Ki Palguna Wijaya akan merawatmu...,"
saran Mei Lie penuh persahabatan.
"Ya. Kita semua telah memafkanmu. Mulai hari
ini, kau harus mengubah sikap dan tindak tanduk-
mu...! Aku menerimamu dengan senang hati...," sahut Ki Palguna Wijaya seraya
tersenyum. Lara Kanti semakin terharu. Wajahnya mulai
nampak ceria, merasa masih ada orang yang mau me-
nerimanya. Mau memberikan tempat berteduh, bagi di-
rinya yang kini yatim piatu.
Lara Kanti memeluk Mei Lie erat-erat, penuh ka-
sih. Begitu pula Mei Lie, air mata pun menetes di pi-pinya yang halus. Karena
mengetahui nasib Lara Kanti yang tak berbeda dengannya, yatim piatu.
Namun perasaan gembira nampak dari wajah
mereka. Demikian juga Pendekar Gila yang tersenyum-
senyum sambil menggaruk-garuk kepala.
SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Document Outline
Uhttps://www.facebook.com/pages/Dunia-Abu-Keisel/511652568860978U
Tusuk Kondai Pusaka 3 Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar ( Bwee Hoa Kiam Hiap ) Karya Liong Pei Yen Pohon Kramat 8
^