Pencarian

Ranah Tiga Warna 6

Ranah Tiga Warna Buku 2 Negeri Lima Menara Karya Ahmad Fuadi Bagian 6


kenapa, tiba-tiba ada rasa haru yang besar menyerang hatiku
begitu melihat merah putih mulai berkibar naik. Tiada satu
suara pun yang keluar dari kerongkonganku. Macet.
Aku tampaknya tidak sendiri. Rusdi, Topo, Sandi, Dina,
Ketut serentak mendeham-deham melemaskan pita suara kami
yang tiba-tiba serak. Wajah kawan-kawanku ini memerah
400 dengan mata berkaca-kaca. Baru setelah ayunan tangan Raisa
yang ketiga, kami berhasil mengeluarkan suara. Tidak merdu,
karena bergetar-getar tak tentu seperti gitar berdawai kendor.
Indonesia, tanah airku, tanah tumpah darahku
Di sanalah aku berdiri, jadi pandu ibuku
Indonesia, kebangsaanku, bangsa dan tanah airku
Marilah kita berseru: Indonesia bersatu
Suara kami terus berpacu-pacu tidak mematuhi melodi
yang benar. Tapi kami sudah tidak peduli, suara kami bertujuh
terus melantun memenuhi puncak yang sunyi ini. Dengan
sepenuh suara, sepenuh hati, sepenuh rasa, sepenuh bangga
dan haru" Hiduplah tanahku, hiduplah negriku
Bangsaku, rakyatku, semuanya
Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya
Untuk Indonesia Raya Belum pernah aku menghayati lagu kebangsaan penuh keinsafan seperti kali ini. Setiap bait, bahkan setiap kata mengirim
getar hangat yang menghanyutkan. Rasanya bercampur-campur
antara haru, rindu, bangga. Aku lirik kawan-kawanku, tampaknya perasaan mereka tidak jauh berbeda denganku. Bahkan
Rusdi sampai membuka kacamata hitamnya dan memejamkan
mata sambil terus bernyanyi. Sayup-sayup aku lihat dari sudut
matanya yang terpejam terbit air. Satu-satu mata temantemanku juga berair. Aku menggigit bibir mencoba bertahan.
401 Indonesia Raya, merdeka merdeka
Tanahku, negriku, yang kucinta
Indonesia Raya, merdeka merdeka
"Hiduplah Indonesia Raya...." Begitu tangan Raisa ke
posisi sempurna, mataku mulai terasa pedas. Angin dingin
kembali berembus, lalu hening, suara yang terdengar hanya
kain bendera yang mengepak-ngepak perkasa di atas sana.
Rusdi tiba-tiba berbisik ke arah Raisa, "Sss...ssss, Raisa,
tambah lagunya, kita lanjut dengan Padamu Negeri." Apaapaan ini" Upacara resmi kok ada bisik-bisiknya" Ini jelas di
luar rencana susunan acara tadi. Tapi kami tidak bisa berbuat
apa-apa. Raisa telah mengayunkan tangannya lagi. Sekali lagi
suara gitar kendor kami mengumandang.
Padamu negeri kami berjanji
Padamu negeri kami berbakti
Padamu negeri kami mengabdi
Dan setelah jeda sejenak untuk menghela napas bersama,
kami pekikkan bait terakhir:
"Bagimu negeri, jiwa ragaaa kaaaamiiiiiii..."
Rasanya setiap helai bulu di badanku berdiri tegak, seakan
ingin ikut menghormat bendera. Inilah perasaan merinding
paling parah yang pernah aku alami. Sebenarnya jemari tangan Raisa sudah kembali mengatup di depan dada sebagai
penutup lagu. Tapi bunyi "jiwa raga kamiiiii" terus terdengar
402 panjang, entah hanya berdengung di kepalaku atau memang
betul keluar dari mulut kami.
Kurang ajar kau, Rusdi! Kali ini aku benar-benar bekerja
keras menahan luapan air mataku. Selama ini aku selalu
menolak untuk terbawa emosi dalam momen haru semacam
ini. Selama hidup sepertinya hanya sekali aku menangis sampai
tergugu-gugu, yaitu ketika ayunan cangkul terakhir membawa
tanah merah menutupi makam Ayah. Hanya waktu itu saja.
Selain itu, aku menolak keras untuk menitikkan air mata.
Belum lagi kawan-kawan selesai mengeringkan air mata
dengan lengan jas masing-masing, Rusdi berjalan tegap ke
arah barisan kami. Apa lagi maunya" Apa lagi improvisasinya"
Bagai seorang pesulap, dia dengan sigap menarik sehelai kain
dari balik jas birunya. Aku kenal. Itulah bendera merah
putih yang selalu dibawanya ke mana-mana. "Wahai, Pemuda
Garuda, para duta muda Indonesia, sekarang mari cium bendera kebangsaan kita," kata Rusdi sambil menyerahkan bendera itu ke Raisa yang berdiri di barisan paling ujung. Awalnya
Raisa ragu-ragu, tapi pelan-pelan dia membenamkan mukanya
ke sang merah putih. Ketika mukanya diangkat lagi, warna
merah seperti tertinggal di wajahnya. Bibirnya terkatup tapi
badannya berguncang-guncang seperti menahan luapan perasaan.
Berganti-ganti kawanku mencium bendera ini. Dan entah
apa yang terjadi, bendungan teman-temanku jebol. Tangis
mereka pecah terisak-isak. Giliranku paling terakhir. Ujung
bendera ini sudah basah oleh air mata kawan-kawanku. Aku
hanya cium sekilas lalu aku angsurkan kembali ke Rusdi.
403 Tapi entah dapat dorongan dari mana, aku rebut kembali
bendera itu dari tangan Rusdi dan aku tenggelamkan mukaku
ke dalam kain basah ini. Akhirnya aku pun menyerah, tidak
kuasa membendung rasa haru yang membajak perasaanku. Aku
angkat mukaku dari kain basah ini dan aku tempelkan bendera
itu di dada kiriku. Jantungku terasa naik-turun berdetak-detak
di balik kain ini. Aku menghela napas, menikmati sensasi
ini. Aku pejamkan mata. Ada air hangat yang pelan-pelan
meleleh di pipiku. Mado dan beberapa undangan seperti dikomando, sibuk
merogoh tas dan kantong mereka, mengeluarkan tisu atau
sapu tangan masing-masing. Walau tidak mengerti bahasa
Indonesia, mereka mungkin ikut terbawa arus perasaan kami.
Oh, para pahlawan bangsa, baru sekali ini aku sampai
begitu dalam tersentuh oleh perjuangan heroik kalian merebut
dan membela negara ini. Sedangkan aku" Apa yang sudah aku
berikan pada tanah airku" Apa yang bisa aku dermakan" Aku
bertekad akan membalas jasa para pahlawan dengan merawat
bangsa ini dengan baik, dengan semampuku. Detik ini adalah
detik aku paling bangga dan terharu menjadi orang Indonesia
dengan alasan yang aku tidak benar-benar pahami saat ini.
404 Indang dan Gombloh etelah Rusdi membubarkan barisan, kami pindah ke
aula yang terbuat dari kayu log untuk persiapan acara
selanjutnya: e Festival de la Culture et de la Gastronomie
d"Indon"sienne. Semakin siang semakin banyak warga SaintRaymond yang datang dan antre membeli tiket masuk. Ada
bosku Stephane, yang datang dengan tim liputan TV dan
bahkan Lance Katapatuk, kawanku orang Indian juga hadir.
Kami senang sekali, artinya publikasi gencar di TV dan koran
lokal berhasil. Kami sibuk mengelap meja makan dan mengalasinya
dengan kain batik, sarung Bugis, tenun ikat, dan segala macam
kain etnik yang kami punya. Lalu Raisa dan Dina menata
hasil kreasi kuliner mereka yang membuat jakunku naikturun: rendang padang, soto ayam, sayur asem, sate ayam,
sampai nasi goreng dan goreng pisang. Rob, Topo, dan Rusdi
memanjat tangga lipat untuk memaku spanduk acara kami
di dinding. Sementara Dominique, Cathy, Dina, dan Kim
menjalin bendera-bendera kecil Indonesia dan Kanada yang
nanti akan direntangkan di sebuah tali yang menjela melintasi
panggung. Sedangkan pipi Mark, Sandi, dan Ketut dari tadi
kembang-kempis meniup balon aneka warna untuk menjadi
hiasan panggung. 405 Aku, Patrick, dan Franc memilih membantu Raisa mengangkat barang pecah belah untuk tempat makanan. "Kayaknya
aku bisa menghabiskan sendiri satu ember makanan enak
ini," kata Franc cengengesan sambil mencomot sepotong pisang goreng lagi saat mengangkat setumpuk piring. Raisa
mendelik, takut pisangnya tidak cukup bagi semua tamu. Franc
menyembah-nyembah minta ampun. "Pardon, pardon?"
"Raisa, dari mana semua bumbu dan bahan makanan ini?"
tanyaku sambil menggeleng-geleng heran.
Raisa tersenyum-senyum. "Ingat dua koper besarku yang
kamu bantu-bantu angkat sejak dari Jakarta" Nah itu berisi
berbagai bumbu jadi, kerupuk, kecap, terasi, dan buku
memasak makanan Indonesia. Kalau bahan sayur, aku ganti
dengan bahan lokal. Untuk sayur asem pakai daun kale75 saja.
Untuk bikin lontong, nggak ada daun pisang pembungkus
beras, pakai aluminium foil dan plastik juga bisa. Sudah aku
siapkan dari tanah air." Ya Tuhan, selain lancar Prancis-nya,
mumpuni di bidang seni, gadis berkilau ini ternyata juga
pintar memasak. Aku menghela napas.
Aku dan Franc melangkah naik ke panggung. Di depan
kami, semua kursi telah penuh, bahkan beberapa orang sudah
berdiri di belakang dan sisi ruangan. Aku memakai baju silat
Minang dan destar di kepala, Franc berbaju batik dan berpeci
Sejenis sayuran hijau yang tumbuh di daerah dingin
406 hitam, pinjaman dariku. "Selamat datang dan mari kita
nikmati budaya dan kuliner Indonesia," sambut kami berdua.
Penonton bertepuk tangan tidak sabar melihat apa yang akan
kami tampilkan. Aku sejujurnya juga tidak kalah penasaran
ingin melihat bagaimana hasil latihan kami berminggu-minggu
bersama teman-teman Kanada.
Ketika layar dikerek, kami telah berdiri sejajar, selang-seling
antara anak Indonesia dan teman Kanada kami. Topo duduk
memulai petikan gitarnya yang ritmis menawan. Raisa menjadi
lead vocal. Yang lain mengikuti. Khusus untuk aku dan Rusdi,
cukup lip-sync, pura-pura menyanyi saja. Raisa dan Topo sudah
mewanti-wanti, aku tidak boleh mengeluarkan suara sedikit
pun, takut merusak keharmonisan vocal group ini.
Berturut-turut kami lantunkan medley lagu Euis dari
Sunda dan Panggayo dari Maluku serta Yamko Rambe Yamko
dari Papua. Aku mengikik sendiri ketika mendengar Franc
dengan logat Quebec-nya tetap percaya diri melantunkan lagu
Sunda. "Euing, keu enchoseng eule, eung eung saa eteng...76"
katanya dengan suara yang mendengung ke sana-kemari. Tapi
tampilnya Franc jadi backing vocal malah semakin meramaikan
sore itu. Penonton berteriak-teriak kegirangan. Aku tidak
mau ketinggalan aksi, maka dengan penuh semangat aku buka
mulutku lebar-lebar, mangap-mangap seperti maskoki lapar.
Padahal aku cuma lip-sync. Ingin rasanya ikut menyumbang
sedikit suara, tapi aku sungguh takut dengan ancaman dan
lirikan tajam Raisa yang mengomandoi koor kami di depan.
Lirik lagu Euis yang benar adalah Euis, ke antosan heula, aeh aeh saha
eta... 407 Sesi pertama ini kami lengkapi dengan lagu sendu dari
Batak, Dago Inang Sarge dan kami tutup dengan lagu berirama
cepat, Sik Sik Sibatu Manikam. Penonton mengentak-entakkan
kaki dan ada yang berdiri sambil bertepuk-tepuk tangan riuh.
Lagu kedua dibuka dengan dentingan gitar putih Topo
dan ketukan ketipung kecil yang ditabuh Sandi. Dengan ikat
kepala merah putih, Raisa maju ke mik. Suaranya meninggi
bagai seorang rocker: Indonesia... Merah darahku, putih tulangku
Bersatu dalam semangatmu Begitu suara Raisa hilang, disambung suara Topo:
Indonesia... Debar jantungku, getar nadiku
Berbaur dalam angan-anganmu
Lalu kami bersama-sama meneruskan lagu patriotis gubahan Gombloh ini. Lidah Rob, Patrick, Cathy, Kim, Mark,
Dominique, dan Franc sudah kami latih beberapa minggu
terakhir ini untuk bisa melafalkan lirik dengan benar. Tapi
mereka terpaksa sering menunduk-nundukkan kepala untuk
membaca contekan syair yang kami tulis besar-besar di kertas
dan kami lem di lantai, tidak jauh dari kaki mereka.
408 Gebyar-gebyar, pelangi jingga
Biarpun bumi bergoncang Kau tetap indonesiaku Andaikan matahari terbit dari barat
Kaupun tetap indonesiaku Tak sebilah pedang yang tajam
Dapat palingkan daku darimu
Kusingsingkan lengan Rawe-rawe rantas Malang-malang runtas Denganmu... Indonesia... Merah darahku, putih tulangku
Bersatu dalam semangatmu Indonesia... Debar jantungku, getar nadiku
Berbaur dalam angan-anganmu
Gebyar-gebyar, pelangi jingga
Indonesia... Merah darahku, putih tulangku
Bersatu dalam semangatmu Indonesia... Nada laguku, simfoni perteguh
Selaras dengan simfonimu 409 Begitu kami membungkukkan badan dengan tersengalsengal di penghabisan lagu, tepuk tangan bergemuruh memenuhi aula. Ternyata efek sebuah pertunjukan seni itu bisa luar
biasa menggugah. Mungkin Ibu Sonia ada benarnya, kesenian
bisa menjadi alat paling mudah mengenalkan Indonesia ke
luar negeri. Tapi tentu bukan satu-satunya.
Waktu entracte77, kami semua turun berbaur dengan penonton sambil memperkenalkan rupa-rupa makanan khas Indonesia. Goreng pisang tetap menjadi cemilan paling disukai.
"Wow, luar biasa penampilan kalian, seperti artis profesional
saja. Saya penasaran Apa lagi yang akan ditampilkan setelah
ini?" kata Walikota Plamondon sambil tak henti-henti mengunyah pisang goreng.
"Terima kasih sudah datang, kawan," kataku sambil menyalami Lance yang asyik menggigiti sate ayam bersaus kacang.
"Hiasan di kepala kamu itu apa namanya," tunjuk Lance ke
destar yang membelit keningku. Aku mencopot destar sambil
menerangkan bahwa penutup ini dipakai oleh para pesilat di
Minang. "Hiasan kepala dari kain ini fungsinya mungkin sama
dengan hiasan kepala bulu kami," katanya sambil meminta
izin untuk memakainya. "Ayo kita goyang lagi Saint-Raymond ini. Mereka belum
tahu, yang tadi baru pembukaan saja," kata Rusdi ketika kami
Intermission, jeda di antara dua babak pertunjukan
410 kembali ke balik panggung. Mungkin dia benar, kalau lagulagu saja sudah membikin mereka hiruk pikuk, bagaimana
dengan yang akan kami tampilkan selanjutnya, di bagian kedua ini.
Sebagai pembuka, panggung segera digebrak dengan entakan beat kencang dari musik gamelan Bali. Lincah dan
bersemangat. Tiba-tiba menghamburlah ke panggung seseorang berpakaian kerlap-kerlip, matanya melotot liar, melirik kanan-kiri. Jari tangannya kembang-kempis, kadang
berkelebat cepat dan kakinya berdebum-debum mengentak
lantai. Ketut begitu perkasa mempertunjukkan tari Baris
dari Bali yang menggambarkan kegagahan dan ketangkasan
seorang prajurit. Penonton kami tidak mampu menahan diri


Ranah Tiga Warna Buku 2 Negeri Lima Menara Karya Ahmad Fuadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk mendecakkan lidah dan bertepuk tangan. Penampilan
Ketut ini menjadi pembuka sebuah tari massal yang akan kami
tampilkan bersama dengan teman-teman Kanada.
Mengikuti arahan Raisa, kami berempat belas duduk bersusun-susun rapi memanjang di panggung. Semua orang telah
diatur oleh Raisa untuk memakai pakaian warna-warni, ikat
kepala dari kain, dan sarung yang dilipat separuh paha. Lalu
loudspeaker bergetar ketika suara perempuan dari negeri yang
jauh mengalun syahdu: Balari... lari... bukannyo kijang
Panda tajamua di muaro Kami manari basamo samo...
Paubek hati dunsanak sadonyo
Ikolah indang oi Sungai Garinggiang.....
411 Suara khas Elly Kasim yang diiringi bunyi talempong Minang
adalah petunjuk kami untuk memulai gerakan tari Indang78
dari ranah Minang ini. Serempak kami menggerakkan badan
dan tangan secara harmonis. Aku berdoa dengan sungguh agar
tidak salah gerak, karena bisa membuat tanganku tersangkut
badan orang lain dan kepalaku bisa saling beradu dengan
kepala Rusdi yang duduk di sebelahku.
Ketukan talempong semakin giat, gerakan kami semakin
ligat. Suara tepuk tangan penonton menyiram kami bergelombang-gelombang. Lagu semakin cepat dan gerakan kami
semakin gila. Awalnya aku dan Rusdi berhasil mempraktikkan
semua latihan khusus dari Raisa. Tapi lama-lama, gerakan
kami mulai tidak akurat. Sudah beberapa kali aku harus menundukkan kepala untuk mengelakkan sabetan tangan Rusdi yang
hampir menyasar wajahku. Rusdi sempat mengaduh ketika
kepalanya beradu dengan kepalaku. Tapi kami terus menari
dan menari. Tepuk tangan membahana melihat keindahan
keseragaman gerakan kami. Setiap ketukan musik pengiring
kini diikuti derap tepuk tangan menonton.
Gerak tarian semakin cepat, makin kuat, makin kencang,
makin gila, makin tinggi, makin heboh, seperti kitiran angin.
Musik terus berkejar-kejaran sampai satu titik dan berhenti
mendadak. Klimaks! Dengan serempak berhenti pulalah gerakan kami dalam
Tari Indang adalah hasil percampuran tradisi Islam dan Minang. Aslinya, Indang dibawakan oleh tujuh penari laki-laki dengan rebana kecil yang
disebut indang. Versi tari Indang Badindin diperkenalkan dalam acara MTQ
Nasional di Padang tahun 1981
412 posisi seperti kitiran, tangan kami saling bersatu dengan teman
lain. Ada yang di posisi duduk dan ada di posisi menunduk!
Akhir yang sempurna dan indah. Sejenak ruangan terasa
hening. Bulir-bulir keringat kami menetes satu-satu ke lantai.
Kaus dalamku terasa lengket di punggung. Hadirin terpana.
Napas kami tersengal-sengal. Franc mengeluarkan lidahnya
seperti kepedasan. Pelan-pelan pecahlah satu-dua tepuk
tangan, lalu semakin riuh dan diselingi sorakan penonton di
sana-sini. Walikota Plamondon dan Lance Katapatuk yang
duduk di depan langsung berdiri. Penonton lain mengikuti.
Standing ovation yang bergemuruh dan panjang! Diselangselingi suit-suitan yang melengking. Bahkan Walikota
Plamondon maju ke depan panggung dan tidak henti-henti
berteriak, "Magnifique! Magnifique! Luar biasa!"
Setelah semua bunyi tepuk tangan padam, tiba-tiba, entah
dari mana datangnya, Kak Marwan dan Sebastien muncul
di panggung dan langsung memegang mik. Dari tadi aku
dan teman-teman tidak melihat mereka. Sebuah kunjungan
kejutan dari pendamping kami yang tinggal di Quebec City.
"Para warga Saint-Raymond, sebagai pimpinan rombongan,
dengan segala kebanggaan hati, kami berterima kasih atas sambutan luar biasa dari Anda semua. Dan dengan bangga hati, di
depan Anda semua kami ingin memberikan sebuah penghargaan
prestisius dalam program kami ini kepada peserta terbaik
tahun ini," kata Kak Marwan dalam bahasa Prancis yang fasih.
413 Aku melirik Franc yang menggosok-gosok kedua telapak
tangannya dengan muka tegang. Aku pun tidak kalah gugup.
Baru dua minggu lalu kami mengirimi Kak Marwan kaset
wawancara dengan Daniel Janvier sebagai bukti kami melakukan proyek bermanfaat buat warga. Tapi aku juga tahu
dari Rusdi bahwa Rob telah membuat sebuah klub antisipasi
kebakaran buat anak sekolah dan orang cacat di SaintRaymond. Anggotanya semakin banyak dan aktif mengadakan
pelatihan pemadam kebakaran yang dibuka Walikota
Plamondon dan diliput media, termasuk oleh TV tempat aku
bekerja. Sebuah proyek yang membikin aku minder.
?"Alif dan Franc... dengan wawancara eksklusifnya dengan
tokoh utama referendum Quebec."
Franc langsung menubruk dan menggendongku sambil
berputar-putar di tengah tepuk tangan yang riuh. "Felicitations,
mon homologue. Selamat ya, mitraku," teriaknya. Aku menangkap bayangan Rob yang tertunduk di ujung ruangan. Rambut
panjangnya yang biasa mekar sekan-akan kuncup. Sisa-sisa
kesombongannya rontok habis. Dia hanya mendapat medali
perunggu. Aku merasa telah menunaikan misiku merebut
penghargaan dan mengalahkan bule itu dengan telak. Lihat,
orang kampung dari Indonesia pun bisa menggusur seorang
bule Kanada, kalau mau mengerahkan segenap doa dan usaha.
Alhamdulillah, terima kasih Tuhan, kami menang.
Dari belakang panggung yang gelap, tiba-tiba Raisa muncul.
Sambil tertawa lebar dia bergegas mendekatiku. Dengan menjulurkan telapak tangan, sinar matanya berkilau-kilau, dan
sebuah senyum manis mengembang lembut. "Alif, dari sejak
414 pertama kita ketemu, aku selalu tahu, kamu akan jadi yang
terbaik." Diguyur pujian setinggi langit dan diulas dengan
senyum indah Raisa membuatku bisu. Rasanya badanku ringan
dan melayang ke langit berkelir merah jambu. Seakan-akan
tidak percaya, aku hanya sempat tersenyum, bahkan lupa
bilang terima kasih sampai Raisa berlalu.
Dari kejauhan, aku lihat Rob yang berbadan tegap melangkah ke arahku. Mukanya tegang dan dingin. Aku bersiaga
dengan semua kemungkinan. Mungkinkah dia kecewa dan
protes karena tidak berhasil menang" Tepat di depan mukaku
dia berhenti. Walau badannya yang tinggi besar membuat aku
harus mendongak, tapi aku tidak hendak bergerak mundur
satu senti pun. "Selamat, Alif, sebuah prestasi luar biasa. Aku ternyata
salah, ternyata prestasi anak Indonesia tidak kalah dengan
kami," katanya tanpa senyum sambil mengulurkan telapak
tangannya yang besar ke arahku.
Aku jabat tangannya dengan terbengong-bengong.
415 Hantu Bernama Randai lhamdulillah, alhamdulillah, alhamdulillah! Akhirnya
mimpi burukku untuk tampil menyanyi dan menari
telah lewat. Aku catat hanya dua kali gerakanku yang meleset
di tari Indang, dan satu kali kibasan tanganku yang tidak
sinkron dengan Rusdi. Tapi selebihnya jempolan dan tentulah
penonton mengira aku senang menari. Aku juga menjamin,
tidak ada penonton yang syak wasangka kalau semua gerakan
mulutku yang mangap-mangap hanya lip sync.
Aku masih merasa terkejut-kejut telah menerima anugerah
medali dari Kak Marwan dan Sebastien. Rasanya beban di
pundakku lepas setelah berhasil mengalahkan Rob, dan entah kenapa aku merasa heroik layaknya seorang pahlawan
muda karena bisa mengalahkan bule Kanada ini. Seakan-akan
genderang dan tambur kemenangan bertalu-talu ditabuh ketika aku menekuk tengkuk untuk dikalungkan medali, sementara di sudut panggung Rob tertunduk patah semangat. Jika
nanti pulang ke Bandung, aku akan bercerita ke Ibu Sonia
kalau aku berhasil membuktikan bahwa aku mengharumkan
nama bangsa melalui prestasi laporan jurnalistik, bukan hanya
nyanyi dan tari. Dan hidupku terasa semakin sempurna ketika
prestasiku ini diganjar dengan pujian langsung dan senyum
manis dari Raisa. Jangan-jangan dia pun menganggap aku pahlawan. Oh, aku semakin ge-er sendiri.
416 Di belakang panggung, semua anak Kanada dan Indonesia
menyatukan tangan bersalaman, merayakan kesuksesan acara
hari ini. "Great teamwork, guys. Terima kasih dan selamat untuk
kita semua ya," kata Raisa.
Tapi sebelum menyalami siapa pun, aku menghampiri Rusdi
dan menepuk-nepuk punggungnya yang basah berkeringat. "Ini
semua gara-gara kau, anak Kalimantan. Selamat ya, kawan.
Kalau tidak ada ide peringatan Hari Pahlawan dari kau tempo
hari, belum tentu ada acara ini juga." Aku merangkul bahunya
dan dia tidak putus-putus tersenyum dan bersenandung riang.
"Yuk, kita ucapkan terima kasih dan selamat jalan kepada
para undangan," kata Rusdi mengajak kami keluar dari
belakang panggung. Baru saja kami berjalan, sejurus kemudian langkah kami
terhenti. Muka kami bingung. Lamat-lamat kami mendengar
teriakan-teriakan dari arah penonton. Mulanya kecil, lamalama makin membesar. Ada keributan" Kami buru-buru mengintip dari celah-celah tirai panggung. Walikota Plamondon
dan penonton berdiri dan mengacung-acungkan kepalan tangan seperti tidak puas. Mungkinkah pisang goreng kami kurang" Atau tarian kami menyinggung perasaan mereka" Rusdi
berbisik ke arah kami. "Mereka berteriak apa ya" Apa salah
kita" Kok semua orang berdiri?"
"Rusdi, mereka itu bilang "encore". Itu artinya mereka minta
tambahan acara lagi. Begitu adatnya di sini," kata Raisa yang
ada di belakang kami tergelak.
417 "Ah bagaimana mungkin" Kan semua tari dan lagu sudah
kita tampilkan?" tanya Rusdi. Aku menangkap suara trauma
di suara Rusdi. Dia pasti tidak mau menari lagi, takut beradu
kepala seperti waktu tari Indang tadi.
Raisa mengerutkan keningnya berpikir keras. "Memang
sudah habis semua lagu dan tarian kita. Tapi tunggu! Aku
ada ide. Ikuti arahanku." Tanpa menunggu jawaban kami, dia
segera berlari ke atas panggung dan menyuruh kami kembali
mengerek tirai. Dengan bahasa Prancis yang fasih, Raisa
kembali menyapa penonton. Tepuk tangan kembali bergema.
Aku ikut-ikutan bertepuk tangan di belakang panggung mengagumi betapa eloknya dia berbicara Prancis.
"Tout le monde, terima kasih sekali untuk sambutan luar
biasa ini. Atas permintaan Anda, kami punya pertunjukan terakhir. Tapi ini pertunjukan kita semua. Ini pertunjukan yang
melibatkan Anda semua. Silakan siapa saja naik ke panggung,
kita menari bersama... Ayo" ayo... silakan".S"il vous plait."
Kami hanya berpandang-pandangan. Apa maksud Raisa"
Rusdi menunjuk-nunjuk jadwal acara kami dengan berbisik,
"Ini tidak ada dalam skenario acara." Tanpa dinyana, banyak
penonton yang berebut naik ke panggung, tua-muda, lakilaki dan perempuan. Termasuk Walikota Plamondon, Lance
Katapatuk, Mado, dan Ferdinand. Raisa merentangkan tangannya mengatur semua orang duduk bersila memanjang. "Kita
akan menarikan bersama tari Indang tadi dan saya akan ajarkan secara kilat apa yang harus Anda lakukan. Asal ingat dua
gerakan utama, kita akan bisa membuat sebuah kolaborasi tari
yang hebat." 418 Para bule ini bertepuk tangan senang dan mata mereka
berkelap-kelip antusias. Raisa kini menghadap ke kami dan
meminta kami bergabung dengan acak di dalam barisan yang
panjang ini. "Ayo kita ajarkan mereka bersama-sama sekitar
5 menit. Hanya gerakan tangan maju dan mundur lima ya,
supaya gampang. Setelah itu kita coba menari bersama."
Raisa dan Topo duduk paling depan dan memeragakan
gerakan dasar yang gampang diikuti. Setelah mengulang beberapa kali, Raisa memberi komando lagi, "Hadirin semua, tampaknya Anda sudah menguasai gerakan tari ini. Ayo, sekarang
kita akan menari bersama..." Gila benar, ini improvisasi yang
nekat. Kaset kembali diputar dan mengumandangkan lirik...
"Ikolah indang oi Sungai Garinggiang......" Ajaib, sebagian besar
para penonton bule ini berhasil menarikan Indang dengan
serempak walau hanya versi pendek dan sederhana. Tapi itu
saja sudah cukup menghipnotis warga Saint-Raymond. Dan
para penonton melonjak-lonjak histeris setelah sampai di
gerakan tari yang terakhir. Aku menggosok-gosok lenganku
yang merinding melihat penonton terus bertepuk sorak
mengelu-elukan kami. Hari itu kami telah membuat sejarah.
Besoknya, koran dan TV lokal penuh dengan berita sensasi
tari Indang massal ini. Esoknya, kami berempat belas berkumpul di Caf" Qu"b"cois.
Sambil menyantap pancake, kami tidak bosan mengulang-ulang
419 seluk-beluk suksesnya acara kami kemarin. Kami berebutan
membaca beberapa media cetak yang memuat berita tentang
e Festival de la Culture et de la Gastronomie d"Indon"sienne.
Salah satu koran lokal, The Gazette, menulis headline besar
yang berbunyi "Indang Menyihir Saint-Raymond" dengan
foto kami menari. Di koran yang lebih kecil, Ici-Quebec,
bahkan ada gambar aku dan Franc ketika dikalungi medali
kehormatan. Raisa beberapa kali mengacungkan ibu jari
memuji foto aku mendapat medali ini. Satu acungan jempol
saja telah mampu dengan ajaib membuat mukaku hangat dan
jantungku berdegup lebih kencang.
"Terima kasih untuk Raisa yang sudah berpikir cepat untuk
memberikan encore yang berkesan," kataku di depan temanteman. Raisa tersenyum manis dan mengangguk ke arahku.
Lalu dia membuka mulut. "Ah itu kan kerja kita bersama, saya tidak akan bisa sendirian. Dan tidak sia-sia Randai, seorang teman Alif di Bandung, mengajarkan aku tari Indang," kata Raisa.
Hah Randai" Isi dadaku bergemuruh tak menentu. Kenapa
sampai ada campur tangan Randai di Kanada" Kenapa namanya
harus disebut oleh Raisa" Aku mencoba membungkus kesalku
di balik senyum tersopanku. Entah berhasil entah tidak.
Kenapa Randai masih menghantuiku sampai jauh ke ujung
dunia" Bukankah dia cuma jadi peserta cadangan dan tidak
berhasil berangkat ke Kanada" Bukankah yang lulus terpilih
420 aku dan Raisa, bukan dia" Aku tidak benci kawan dekatku
itu, yang sekaligus kompetitorku. Tapi mendengar namanya
disebut Raisa sekarang, di sini, di Kanada, terus terang,
mengganggu perasaanku. Cukuplah dia muncul terakhir pada
malam perpisahan sebelum kami berangkat ke Kanada saja.
Malam perpisahan" Aku putar lagi ingatanku ke malam itu.
Aku sungguh terkesan dengan sportivitas Randai. Walau dia
gagal terpilih, tapi dia berbesar hati dan khusus datang naik
bus 4,5 jam dari Bandung ke Cibubur hanya untuk melepas
keberangkatanku, kawannya sejak kecil. Sungguh kawan yang
mulia sekali. Aku jadi malu hati.
Tiba-tiba aku tersedak. Tunggu dulu. Lalu apa hubungannya
Randai dengan tari Indang yang Raisa ajarkan ke kami semua" Benarkah dia datang ke Cibubur HANYA untukku" Aku memutar
otak mengingat detail kejadian itu. Apa sebetulnya yang terjadi
ketika aku dikenalkan oleh Raisa kepada Dinara dan temantemannya" Randai ada di sana sebentar tapi kemudian pergi.
Ya, Randai tidak ada setelah aku mengobrol dengan Dinara
dan teman lainnnya. Dan aku juga tidak melihat Raisa pula.
Jangan-jangan... Ah betapa aku cemas membahas prasangka
ini. Ada kemungkinan kesimpulannya bisa menggores, bahkan
meretakkan hatiku. Ah sudahlah. Jangan-jangan memang
malam itu Randai bukan datang untukku. Jangan-jangan aku
saja yang ge-er, merasa Randai datang untuk melepas kepergianku. Pelan-pelan aku tersadar. Situasi malam itu kini terasa
terang benderang dan masuk akal buatku. Bukankah aku
tidak pernah memberitahu dan mengundang Randai ke acara
perpisahanku di Cibubur"
421 Kalau bukan aku, lalu siapa yang mengundangnya" Siapa


Ranah Tiga Warna Buku 2 Negeri Lima Menara Karya Ahmad Fuadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lagi kalau bukan Raisa. Kalau begitu, Randai sebenarnya datang
ke Cibubur untuk Raisa. Bukan untukku. Tujuan utamanya
adalah melepas Raisa. Bukan aku. Untuk menyaksikan Raisa
membawakan tari Indang pada malam perpisahan. Tarian
yang diajarkan Randai langsung ke Raisa, seperti yang baru
diakui Raisa. Jangan-jangan mereka masih saling kontak sampai sekarang. Ada yang berdenyut keras di jantungku. Aku begitu
bodoh selama ini. Aku menekur memandang sepatuku, si
Hitam yang seperti mencibir mengejek kebodohanku. Tapi,
hei, kenapa aku harus merasa cemburu" Bukankah hak Raisa
untuk menyebut nama siapa saja, termasuk Randai" Ada apa
denganku" Olala. Inikah rasanya jatuh hati"
Kepada Rusdi-lah aku akhirnya mengadu. Matanya mengerjap-ngerjap sambil berkali-kali bilang, "Betul kan kecurigaanku dari dulu" Kau suka dia?" Setelah mencoba bersimpati
sekadarnya, anak Banjar ini dengan kejam menyampaikan
sebuah jawaban yang menurut dia analisis paling tajam tentang
manusia unggul Indonesia abad ke-21.
"Lif, kamu itu sungguh mirip denganku. Kita anak kampung yang baik. Di kampungku, kita tergolong tipe menantu
idaman semua orangtua. Karena itu kita sebenarnya juga punya potensi sebagai suami idaman setiap wanita." Aku mem422
belalakkan mata, bingung mendengar cerocosannya. Tapi dia
tidak peduli dan terus berkicau.
"Tapi, Lif, sayang seribu kali sayang. Kita ditakdirkan
bukan tipe idaman para gadis." Dia ketawa sendiri terbahakbahak mendengar analisisnya yang ngawur.
Aku malas menanggapi Rusdi. Enak sekali dia menyamanyamakan dirinya denganku. Kalau dia bernasib malang, belum tentu aku begitu. Sungguh aku tidak merasa mirip dengan
dia. Tapi dia terus saja menyerocos.
"Jadi, tidak ada gunanya kita itu idaman calon mertua,
tapi tidak dilirik gadis. Gadis-gadis itu tergila-gila kepada
pemuda-pemuda yang aktif di olahraga dan berlabel bandel.
Bukan pemuda pandai, rajin baca buku macam kita ini. Para
gadis kesengsem dengan pemuda nyeni berambut panjang
gaya punk rock. Bukan pada yang berambut rapi belah tepi.
Mereka jatuh hati pada pemuda yang cool dan anak band.
Bukan pada pemuda dengan IPK tinggi. Termehek-mehek
pada pemuda gaul, bukan yang serius merencanakan hidup.
Pada pemuda kota, bukan pemuda kampung macam kita ini...
Ironis memang," imbuh Rusdi dengan suara lirih seperti kalah
perang. Aku melengos. Namun dalam hati, aku mengamini pidatonya, sepedih apa pun kenyataan yang dia katakan. Rusdi
sekarang tegak berdiri. Matanya menyapu horizon bersalju di
depan kami. Urat mukanya kali ini mengencang. Serius betul.
Seakan yang disampaikannya suatu hal yang maha penting.
"Tapi, Alif, janganlah kamu sendu dan sedih. Para gadis
423 itu nanti akan menyesal. Mereka salah pilih. Karena ternyata
yang mereka taksir bukanlah kualitas suami idaman. Pemudapemuda yang mereka gandrungi hanya menyenangkan di mata dan untuk kebahagiaan sesaat, tapi belum tentu cocok
untuk mendampingi hidup mereka. Tapi kitalah, ya kita,
yang sebetulnya berkualitas laki-laki terbaik. Kitalah manusia
unggul," tegasnya. Ada nada dendam di suaranya.
"Kita seperti sedang menyamar. Sayang sekali mereka, para
gadis, itu tidak tahu. Rugilah mereka. It"s their loss, not ours,"
katanya berapi-api. Aku curiga, dia pasti sudah beberapa kali
patah hati. Seperti aku sekarang.
Dan seperti biasa, tangannya kembali terentang 45 derajat
ke depan. Dagunya naik. Dia tutup dengan pantun, yang merupakan plesetan dari seloroh kiaiku di Pondok Madani dulu:
Walau kini jual duku Tapi besok jual rambutan Walau kini tidak laku Tapi besok jadi rebutan "Bukan pantun yang aku butuhkan sekarang. Aku perlu
obat penawar hati. Kenapa Raisa tega menyebut nama Randai
di depanku," kataku tetap kesal. Rusdi malah tertawa terbahakbahak.
"Okelah, Lif, kalau memang obat yang kamu cari, coba
dengar kata-kataku ini." Dia memandang mataku nanap. "Apa
yang kamu ceritakan tadi itu, tentang Raisa dan Randai, kan
baru dugaan kamu. Belum tentu itu kenyataannya. Belum
424 tentu Raisa suka Randai. Dan yang paling penting, belum
tentu Raisa tahu perasaan kamu kepada dia. Kamu kan tidak
pernah menyatakan apa-apa kepada dia. Kenapa harus kecewa
dan sakit hati?" Rusdi mungkin benar. Raisa mungkin tidak tahu isi hatiku,
karena aku tidak pernah mengungkapkannya. Lalu bagaimana
caranya agar dia tahu"
Beberapa hari aku terpuruk dengan "hantu" Randai ini.
Tapi apa yang aku dapat dengan keterpurukan ini" Aku jadi
tidak konsentrasi kerja, mudah tersinggung, tidak terlalu hirau
dengan Franc, Mado, dan Ferdinand. Semuanya hanyalah kerugian.
Pelan-pelan aku mencoba menghibur diri dengan mengingat-ingat segala nikmat yang telah aku terima selama ini.
Aku timang-timang medali emas yang berkilat-kilat di tanganku. Dan, sesungguhnya, ternyata setelah aku buka mata hati,
yang tampak adalah betapa beruntungnya aku. Tidak pantas
aku merasa sedih, kalah, dan patah hati. Sebaliknya, ini masaku yang paling berbahagia. Cita-citaku ke luar negeri telah
tercapai, bahkan tepat ke benua impianku. Kanada bagai
anugerah air di tengah kemarau. Kanada menyelamatkanku
dari hidup yang melelahkan dan sulit di Bandung. Membuka
dimensi baru dalam hidupku.
Aku mendapatkan teman-teman yang baik seperti Franc
dan Rusdi, orangtua angkat yang baik, serta tempat kerja yang
425 sesuai minatku. Apa lagi yang kurang" Semakin hari bahasa
Prancis-ku semakin membaik dan aku sudah merasa menyatu
dengan rutinitasku di sini.
Tidak pantas aku bersedih hanya karena masalah Randai
dan Raisa. Enyahlah kau "hantu-hantu" pengganggu pikiranku.
Pergilah jauh kalau perlu ke Kutub Utara dan membeku di
sana selamanya. Nikmat yang mana lagi yang aku dustakan"
Alhamdulillah, I"am blessed.
426 Walikota Plamondon onjour, Mado, Bonjour, Ferdinand," kataku memberi
salam sambil membuka pintu rumah di 531 Rue Notre
Dame. Mado yang sedang berselonjor menonton TV melihatku
dengan pandangan aneh. Dia tidak menjawab salamku tapi
berjalan ke arahku. Tanpa suara lalu dia merangkul bahuku
dengan cara seperti yang dilakukan Amak padaku. Kulit
mukanya yang mulai keriput ini tidak ceria seperti biasanya.
Ferdinand yang duduk di kursi malas di pinggir jendela hanya
melihat dari jauh. Mereka tidak berkata-kata sepatah pun.
Hatiku tidak enak. ?"a va, Mado" Apa yang terjadi?" tanyaku dengan nada
khawatir. "Surat ini...," katanya. Tangannya mengibar-ngibarkan
dengan lemah sepucuk surat yang sudah dirobek ujungnya.
Dia berhenti sebentar, seperti menahan sesuatu. Tahu-tahu
Ferdinand sudah berdiri di samping Mado dan merangkul
istrinya untuk menenangkan. Aku makin khawatir dan jantungku berdebar-debar hebat. Aku menyiapkan diri untuk
menerima kabar apa saja, seburuk apa pun. Jangan-jangan ini
surat dari Amak di kampungku. Semoga aku termasuk orang
yang sabar. "Surat ini, kami sudah tahu akan datang. Tapi ketika sampai
427 dan kami baca, saya tetap sedih dan tidak kuasa menahan
air mata," Mado terbata-bata menyelesaikan kalimatnya, dari
matanya terbit tetesan air, isak kecilnya terdengar. Air muka
Ferdinand beku. Aku membuka lipatan surat itu. Isinya: jadwal
kepulanganku ke tanah air dua minggu lagi.
"Rasanya baru kemarin kita kenal. Rasanya baru kemarin
kami menyiapkan sarapan kalian. Rasanya belum puas kami
mengenal kamu, Alif. Tapi program ini sudah akan berakhir.
Hanya dua minggu lagi kamu akan pulang, jauh ke belahan
dunia sana. Entah kapan kita ketemu lagi," kata Mado sambil
melesitkan hidungnya dengan tisu.
Ya Tuhan, mereka sesedih ini hanya karena aku akan
pulang" Tidak pernah terpikir olehku akan menjadi sebuah
kesedihan besar buat mereka. Dua orang paruh baya ini bukan
siapa-siapaku pada mulanya. Tapi dalam hitungan bulan, kedua
orang baik hati ini bagai bagian dari diriku. Tidak lagi terasa
bagiku mereka orang asing, mereka bule, mereka berbahasa
asing. Mereka sudah bagai orangtuaku juga.
Mado, perempuan berambut pirang yang lembut hati ini
selalu telaten membakar roti isi omelet yang gurih buat sarapanku. Sering dia berlari-lari tiba-tiba menyusulku yang
sudah naik ke sadel sepeda, hanya untuk memasukkan lagi
sebungkus biskuit atau sebiji apel ke tas punggungku. Mado
bahkan sudah hapal jadwal salatku. Dan sering mengingatkan
saat waktu datang agar aku menunaikan salat.
Sedangkan Ferdinand banyak berbuat daripada bicara. Aku
pernah bilang harus mengirim artikel setiap minggu ke koran
di Bandung. Diam-diam dia menghubungi anak sulungnya,
428 Jeaninne yang sudah bekerja di Quebec City, menanyakan
apakah punya komputer yang tidak dipakai. Sungguh ajaib,
besoknya di meja kamarku telah duduk dengan manis sebuah
komputer Macintosh Classic. Pernah pula kakiku beku karena
berjalan kaki setengah jam dari kantor melintasi jalan bersalju.
Tanpa diminta, Ferdinand sibuk bertukang di bengkelnya
untuk memperbaiki dua sepeda bekas Jeannine dan Martin,
yang sudah lama tidak dipakai. Besoknya, dua sepeda itu tersedia di depan pintu, siap aku dan Franc kayuh ke kantor.
Padahal, kalau aku ingat-ingat, tidak banyak yang aku
berikan kepada mereka sebagai balasan. Aku hanya menjadi
pendengar yang baik atas cerita mereka, lalu menceritakan apa
dan bagaimana negara Indonesia. Paling jauh aku ikut bantu
cuci piring, menyapu dedaunan musim gugur, dan nyekop
salju. "Mado dan Ferdinand, doakan aku bisa segera kembali
mengunjungi kalian nanti."
"Pasti kami doakan. Kamu tahu bahwa kamu punya rumah
di sini. Rumah di Rue Notre Dame ini adalah juga rumahmu
dan Franc. Kalian bebas datang kapan saja," kata Mado sambil
menyentuhkan saputangan ke sudut matanya yang merah.
Besoknya, Kak Marwan dan Sebastien berkunjung ke
Saint-Raymond dan mengumpulkan kami berempat belas di
biblioth"que. 429 "Khusus buat adik-adikku semua dari Indonesia. Kalian
telah memberikan yang terbaik dalam mewakili negara dan
tentu telah belajar banyak di sini. Saatnya kita membawa
ilmu ini pulang, kita bagikan kepada bangsa kita. Dua minggu
lagi, bus kuning yang dulu mengantar kita akan menjemput
kalian di depan rumah masing-masing. Kita akan kembali ke
Montreal, sebelum terbang ke tanah air," kata Kak Marwan di
depan kami. Ruangan mendadak senyap. Hanya klak-klik bunyi ujung
pulpen yang ditekan berkali-kali yang terdengar. Ada bunyi
helaan napas lalu diembuskan dengan berat. Ada yang menutup
muka dengan telapak tangan. Aku sendiri merasa hawa dingin
menjalar sejenak di badanku. Ada rasa cemas kehilangan,
walau tidak jelas kehilangan apa. Tanganku sibuk memainkan
bulu elang dari Lance. Hanya Rusdi yang menerbitkan senyum
tuntas. Bukan aku tidak senang pulang. Bahkan ada rasa rindu
pulang, bertemu Amak, adik-adikku, dan teman semua. Tapi
kenapa harus pulang sekarang" Terlalu cepat. Rasanya aku
belum puas belajar hidup di rantau ini. Aku sedang senang-senangnya belajar ilmu tentang TV broadcasting, sedang seriusseriusnya mendalami bahasa Prancis.
Malam itu, berjam-jam aku mencoba memicingkan mata,
tapi tetap tidak berhasil. Bahagia dan sedih datang silih
berganti. Bahagia telah mendapat teman dan kerabat baru,
bahagia telah mencapai impianku, tapi sedih karena harus
berpisah. Cocok sekali dengan syair Imam Syaf"i, "Tinggalkan
negerimu dan merantaulah ke negeri orang. Merantaulah,
430 kau akan dapatkan pengganti kerabat dan kawan." Ini bukan program pertukaran biasa yang hanya memperkaya pengetahuan. Bagiku, program ini memperkuat jati diri, meluaskan wawasan hidup, serta menautkan tali-tali hati lintas
benua. Aku rasa, aku sudah memenangkan pertarungan hatiku
dengan "hantu" Randai. Sudah lama dia tidak lagi muncul
dalam pikiranku. Mengenyahkan Randai di pikiranku ternyata
tidak berarti membuat aku lupa perasaanku kepada Raisa. Dia
tetap sekali-sekali muncul dalam ingatanku. Rasa yang sudah
lama aku perangi dan aku coba lupakan.
Tapi apa hasilnya" Setiap hari rasa itu kadarnya bertambah.
Rasa ini masuk ke lubuk hati dan bahkan mimpiku. Yang
membikin aku merasa demam adalah aku tidak tahu bagaimana
sebenarnya perasaan Raisa kepadaku. Dia tetaplah seorang
gadis yang baik, yang selalu tersenyum dengan manis kepada
siapa saja. Dia kadang-kadang melambungkan harga diriku
dengan pujiannya, tapi kali lain, juga menggerus hatiku, setiap
dia berbicara dengan bersemangat tentang Randai.
Beberapa kali aku pertimbangkan nasihat Rusdi untuk
memberitahu Raisa tentang perasaanku kepadanya. Tapi bagaimana caranya memberanikan diriku"
Maka pada suatu hari dengan tekad besar aku putar nomor
telepon kantor Raisa. Dari jendela kantorku, aku bisa melihat
dia mengangkat telepon di ujung sana, "All", bonjour, c"est
431 Raisa." Suaranya empuk dan ramah. Aku ingin menjawab
dengan tidak kalah ramahnya. Tapi entah kenapa lidahku tibatiba kelu. Detak jantungku bergemuruh seperti tambur dipukulpukul, sampai-sampai aku khawatir Raisa bisa mendengarnya.
Untaian kata-kata yang tadi sudah aku susun dengan sangat
indah dan aku latih di depan kaca tiba-tiba menguap. "Halo,
dari siapa?" Suaranya kembali terdengar menagih jawaban.
Bingung dengan apa yang harus aku lakukan, refleks tanpa
sadar aku tutup telepon itu.
Pernah pada hari lain, aku membulatkan tekad untuk
bicara langsung padanya. Aku telah berdiri di depan pintu
kantornya, siap mengetuk. Tanganku sudah mengapung di
udara. Bagaimana raut mukanya jika mendengar aku bicara"
Bagaimana kalau dia tidak senang" Kembali aku ragu-ragu dan
menarik lagi tanganku. Tidak jadi mengetuk, aku berbalik arah
dan mengeloyor pergi. Tanpa bisa kukendalikan, perasaanku
selalu bolak-balik, antara malu dan berani menghadapinya.
Terlalu banyak andai-andai di kepalaku untuk urusan satu ini.
Ah, betapa penakutnya aku.
Kenapa aku takut" Takut ditolak" Jangan-jangan bukan
takut, tapi karena aku tidak tahu apa yang aku harapkan. Maka
aku interogasi diriku sendiri. Sebetulnya apa sih mauku"
Raisa menjadi pacarku" Entahlah. Aku coba putar ulang
semua referensi yang aku punya tentang konsep pacaran. Yang
paling aku ingat adalah nasihat wali kelasku di PM, Ustad
Salman. "Ustad, bagaimana kalau kita bertemu dan suka pada
seorang gadis selama masa liburan," tanya Raja waktu itu.
432 Ustad Salman tersenyum lebar bagai menggoda kami.
"Suka sama perempuan" Saya juga mengalami itu. Dan itu
artinya kalian sehat dan normal. Memang sudah kodrat kita


Ranah Tiga Warna Buku 2 Negeri Lima Menara Karya Ahmad Fuadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebagai manusia, saling suka lawan jenis." Dia diam sejenak.
"Tapi tahu nggak, suka itu datang dari sono, jadi kita harus
ikut aturan yang di sono," katanya sambil menunjuk ke langit.
"Suka dan cinta datang dari Allah."
"Jadi maksud Ustad?" kejar Baso.
"Suka boleh saja, tapi jangan sampai kalian berduaan, karena banyak mudharat-nya. Nanti kalau berdua-duaan, ada
makhluk ketiga yang diam-diam berada di antara kalian. Dia
adalah setan yang membisikkan berbagai hal buruk yang bisa
membuat kalian terbawa arus dan melanggar aturan agama.
Jadi berteman boleh saja, tapi jangan berpacaran. Kalau nanti
tiba masanya, umur kalian cukup dan kemampuan ada, barulah kalian berpasang-pasangan menjadi sebuah keluarga,
melalui pernikahan. Percayalah, sesungguhnya itu lebih baik
dan aman buat kalian semua."
Dalam hitungan bulan, pelan-pelan, kami anak-anak
Indonesia menjelma menjadi selebriti lokal di Saint-Raymond.
Mungkin karena kulit kami berwarna, mungkin karena bahasa
kami beraksen aneh, mungkin karena kami selalu ramah,
mungkin karena kami sering diundang untuk bercerita dan
mempertunjukkan kesenian Indonesia. Pokoknya, setiap kami
433 berjalan di tengah kota, ada saja yang menegur dan mengajak
kami bicara. Bahkan pernah satu kali sebuah keluarga yang
beranggotakan lima orang ingin berfoto bersama dengan kami.
"Untuk bukti kepada kerabat kami di kota lain, kalau kami
pernah bertemu orang Indonesia," kata sang ayah. Rusdi
senangnya minta ampun. Di antara warga yang merasa dekat dengan kami adalah
Walikota Plamondon. Selepas acara di Mont Laura yang
sukses itu, dia bicara di depan kami semua. "Kami akan atur
acara makan perpisahan buat kalian di H"tel de ville. Tapi,
tolong kalian tampilkan lagi tari kitiran serempak itu," pintanya. Tari kitiran yang dimaksudnya adalah tari Indang. Kami
mengangguk-angguk takzim.
"Dan saya siap tampil lagi menari di panggung, kalau diperlukan," katanya tertawa lebar.
Acara makan malam di kantor walikota itu kembali sukses membuat warga berdecak mengagumi keragaman budaya
Indonesia. Pada akhir acara, banyak penonton yang menuntut
ingin ikut menari Indang seperti acara di Mont Laura kemarin.
Raisa tampil ke depan dan berkata, "Hadirin semua, kami
tidak akan pernah bisa melupakan kenangan indah yang telah
Anda berikan kepada kami selama di sini. Untuk mengenang
kenangan indah ini, mari kita menyanyikan sebuah lagu bersama. Tapi ini adalah lagu khusus, yang mungkin Anda belum
pernah dengar." Penonton berbisik ragu. "Anda bahkan tidak
perlu mengeluarkan suara untuk menyanyikannya. Tunggu sebentar ya. Kami siapkan alatnya di belakang panggung..."
434 Seisi ruangan ramai seperti bunyi lebah, semua orang penasaran dengan lagu khusus ini. Kami anak-anak Indonesia
juga bingung, karena ini sekali lagi di luar skenario.
"Tenang. Aku punya rencana. Ada yang tidak kalah menarik," katanya dengan senyum misterius di belakang panggung. Raisa kemudian membuka sebuah koper besar yang dari
tadi didorong-dorongnya. Oh aku hapal betul, itu koper yang
aku pernah angkat dengan terengah-engah saking beratnya.
Begitu tutup koper terkuak, kami melihat puluhan angklung
mungil tersusun rapi. "Angklung ini mirip seperti yang ada di
sanggar Mang Udjo di Bandung, tapi lebih kecil. Kebetulan
aku dulu pernah belajar di sana," katanya. Raisa lalu mengajak
kami membagikan alat musik ini kepada para penonton.
Setiap orang kami beri satu angklung.
Raisa kembali naik panggung dan memberi aba-aba bagaimana cara membunyikan angklung, hanya dengan menggoyang-goyangkannya. Mulut para undangan ternganga melihat benda dari bambu ini mengeluarkan bunyi unik. Walikota
Plamondon saking antusiasnya maju ke depan mendampingi
Raisa. Di tangan Raisa ada kertas karton yang bertuliskan
angka-angka. "Anda lihat nomor yang ada di angklung masingmasing" Nah begitu saya mengangkat karton sesuai angka itu,
Anda menggoyangkan angklung, jangan salah ya," ujar Raisa.
"Ayo kita mulai..." Raisa mengangkat karton besar yang
bertuliskan nomor tiga. Angklung dengan nomor tiga digoyangkan oleh para penonton. Raisa terus mengangkat karton
dengan nomor berbeda-beda. Dan bagai turun dari langit, tibatiba sebuah lagu instrumental angklung yang indah menggema
435 dari semua sudut ruangan ini. Bunyi indah, mendayu-dayu
keluar dari goyangan tangan para bule ini. Bulu tengkukku
merinding. Pada akhir acara, Raisa memberikan pesan yang sangat
manis, "Warga Saint-Raymond yang kami cintai, terima kasih
telah menjadi tuan rumah yang ramah buat kami. Sebagai
kenang-kenangan kecil, setiap angklung yang Anda pegang
adalah suvenir kami buat setiap Anda. Au revoir." Kontan,
tepuk tangan membahana, semua hadirin berdiri sambil menggoyang-goyangkan angklung mereka. Tak pelak lagi, sekali lagi
kami membuat headline besar di berbagai media lokal. "SaintRaymond Disihir Alat Musik Bambu dari Jawa."
Di tengah kesibukan mempersiapkan pulang ke Indonesia,
aku terus memikirkan cara mengungkapkan perasaanku kepada Raisa. Tiba-tiba di kepalaku terlintas sebuah ide. Ya,
kenapa tidak" Aku tuliskan saja sepucuk surat untuk dia.
Sepucuk surat yang jujur tentang perasaanku. Tapi kira-kira
apa pendapatnya kalau aku hanya berani menyurati dia. Kuno
sekali kesannya. Tapi kalau harus bicara langsung, aku tidak
mampu. Lidahku akan kelu dan suaraku bergetar. Sudahlah,
surat ini pasti bisa mengatasi rasa maluku bercakap-cakap langsung dengannya. Selain itu, dengan menulis, aku lebih pede
bisa menyampaikan perasaanku secara jelas dan lebih indah.
Penaku tidak mengenal kelu dan gemetar.
Maka pada hari Minggu sore, aku duduk di meja kayu di
depan tungku perapian yang hangat. Seumur hidupku, belum
pernah aku menulis surat jenis ini. Sebuah surat pengakuan
rasa. Aku tulis pelan-pelan sambil mengatur napas. Baru satu
436 alinea, aku merasa ganjil. Aku robek lembaran itu. Aku tulis
lagi, robek lagi, tulis lagi, robek lagi. Barulah setelah upaya
entah yang ke berapa kali, aku berhasil membuat satu lembar
surat. Tapi bagaimana cara mengirimkan surat ini ke tangan
Raisa" 437 Girl Talk ni rencana baruku. Besok pagi aku akan datang ke kantornya. Aku bayangkan sedang mengetuk pintu ruangannya,
lalu Raisa akan membuka pintu dengan senyumannya. Dengan
gagah aku akan bilang, "Saya punya surat khusus hanya
untukmu, Raisa." Aku angsurkan sebuah surat ke tangannya,
lalu aku akan tunggu sebentar reaksi wajahnya. Sebelum dia
sempat berbicara, aku akan pamit dengan sikap yang sangat
gentleman. Aku akan biarkan dia ternganga bingung dengan
muka merah muda karena malu. Semoga dengan surat ini dia
mengerti bagaimana isi perasaanku selama ini kepadanya. Jadi,
besok sungguh hari yang maha penting.
Pagi-pagi, aku sudah sisipkan amplop penting ini di saku
dalam bagian atas jaketku. Setiap beberapa saat aku tepuktepuk dadaku, untuk memastikan amplop itu tidak tercecer.
Belum lagi jam makan siang, aku sudah berjalan tergesa ke
luar kantor. Awalnya, langkahku berpacu serabutan. Tapi
semakin dekat ke tujuan, kakiku rasanya digantungi beban
berton-ton. Berat. Langkahku kini pendek-pendek. Ragu-ragu
aku menyeret kakiku untuk sampai ke kantor Raisa.
Kini aku berdiri tegak di depan pintu ruangannya yang
tertutup rapat. Dekat sekali. Teramat dekat sehingga aku bisa
mendengar canda dan tawa Raisa dengan Dominique mengalir
438 dari dalam sana. Aku bahkan bisa melihat sebagian tangannya
dari celah pintu yang tidak tertutup rapat. Tanganku mengail
amplop dari balik jaket. Lalu aku perintahkan tanganku untuk
mengetuk pintu dan aku suruh mulutku untuk mengucapkan
"excusez-moi". Tapi tidak ada gerak, tidak ada suara. Mereka: tangan dan
mulutku ingkar janji. Mereka telah mogok dan mengkhianatiku.
Hawa panas menjalari mukaku dan jantungku berdentamdentam seperti gendang besar baralek gadang79 di Minang.
Menguap ke mana keberanian yang sudah aku kumpulkan sejak
berhari-hari lalu" Kenapa aku grogi lagi" Bahkan hanya untuk
mengetuk pintu. Aku geleng-geleng kepala sendiri, kecewa
dengan nyaliku. Dengan menundukkan wajah aku mundur teratur, berjinjit membalik badanku. Sebuah tong sampah besar
aku hantam, jatuh berguling-guling, dan membawa bunyi
centang perenang. Aku terbirit-birit lari, takut Raisa membuka
pintu dan menangkap basah aksi pengecutku.
Tanganku masih kencang memegang suratku. Keringat
telapak tanganku pasti telah membekas di amplop surat ini.
Sekarang apa yang harus aku lakukan" Di kepalaku berkelebat
sebuah ide. Aku berjalan ke arah Madame Chantall, seorang
ibu berambut perak yang menjadi resepsionis kantor walikota.
Dia tersenyum lebar ke arahku sambil mengacung jempol,
"Tari Indang dan lagu Indonesia sungguh bagus." Tentulah dia
salah satu penggemar spectacle culturel kami.
Baralek gadang adalah kenduri besar di Minang dalam rangka perkawinan
atau pengangkatan penghulu. Dipenuhi dengan makanan enak, acara seni,
dan petatah-petitih 439 "Madame, bisa tolong sampaikan surat ini ke Raisa segera,
s"il vous plait?"
"Kenapa tidak langsung saja ke Raisa, kantornya di sebelah
sana?" katanya menunjuk dengan dagu.
"Maunya begitu, tapi tampaknya dia sedang ada pembicaraan
penting," kataku berbohong. "Saya titip saja ya, saya harus
buru-buru meliput," kataku pura-pura tergesa.
Madame Chantall tidak menjawab. Malah dia menepuk
keningnya berkali-kali. Matanya nyalang menatap jam dinding
besar di belakangku. Dan buru-buru membereskan kertaskertas di mejanya. "Aduh, saya sudah terlambat. Saya harus
segera menyusul Walikota ke Community Center. Kenapa
saya bisa lupa. Saya harus berangkat sekarang, maaf tidak bisa
bantu ya," katanya sambil berjalan terbirit-birit ke tempat
parkir. Tinggallah aku melongo sendiri. Calon kurirku sudah pergi
seperti diburu anjing. Aku mengentakkan kaki kesal. Si Hitam
seperti mengejek: masa sudah besar, ngasih surat aja takut. Sudah bicara langsung nggak berani, hanya memberi surat juga tidak
bernyali. Mau jadi apa"
Dengan menggeretakkan gigi, aku ambil keputusan. Aku
akan paksa diriku untuk kembali berjalan ke ruangan Raisa
dan benar-benar menyerahkan surat ini sendiri. Daripada
hidupku rasanya tidak menentu.
Aku kembali tegak di depan pintu ruangan Raisa. Kali ini
daun pintunya terbuka sedikit dan aku bisa melihat Dominique
dan Raisa sedang asyik mengobrol sambil memunggungiku.
440 Aku bisa mendengarkan suara mereka sayup-sayup. Kadangkadang mereka seperti berbisik dan cekikikan. Aku paksa
tanganku mengetuk. Tapi kembali gagal. Bukan gara-gara
tanganku mogok lagi, tapi karena tiba-tiba kupingku bagai
berdiri. Aku mendengar Dominique bertanya kepada Raisa.
Tidak terlalu jelas apa pertanyaannya. Tapi aku merasa dia
menyebut-nyebut namaku. Walau aku tahu tidak baik menguping pembicaraan orang,
aku tidak tahan untuk mengikuti obrolan dua cewek ini.
Ragu-ragu aku dekatkan kuping kanan ke celah pintu. Hatiku
ragu-ragu memutuskan antara mau mendengar dan tidak.
"Raisa, jadi siapa cowok kamu?"
"Ah, pengen tahu aja. Nggak ada, belum ada. Kamu mau
nyariin?" "Kayaknya banyak tuh yang antre. Tinggal pilih aja."
"Itu dia. Papaku selalu mengajarkan kami anak-anak perempuannya untuk tidak mencari pacar, tapi calon suami."
"Hah, kamu kuno. Tradisional sekali. Masa seumur kita
mencari suami. Terlalu muda... ha ha?"
"Iya, keluargaku tradisional. Papaku bilang sebaiknya pacarannya setelah menikah aja."
"Coba kamu pikir, di Kanada ini, aku kenal beberapa orang
yang merasa tidak perlu menikah dulu untuk punya anak."
"Oh ya" Kalau aku sih patuh saja sama orangtua. Mereka
tahu yang terbaik untuk anak-anaknya."
"Jadi bagaimana kamu tahu seseorang itu cocok kalau tidak
pacaran?" 441 "Kan bisa berteman baik, bisa juga curhat. Adalah proses
saling mengenal itu, biar nggak beli kucing dalam karung.
Tapi kan tidak harus pacaran ala orang Kanada?"
"Hidup kalian terkungkung sekali ya?"
"Kalau kita menerima dengan lapang dada, nggak juga tuh.
Baik-baik saja." "Kalau begitu, siapa yang kamu bayangkan jadi pacarmu?"
"Kan sudah aku bilang, teman atau calon suami, bukan
pacar," bantah Raisa.
"Oke deh, kalo gitu siapa calon suamimu?" balas
Dominique. Diam sesaat, lalu terdengar ketawa tertahan Raisa. Aku
maju lebih dekat ke daun pintu dengan berdebar-debar.
Tiba-tiba Dominique merendahkan suara, "Kalau yang namanya..." Dia berbisik halus sekali tepat ketika menyebut sebuah
nama. Raisa membalas dengan berbisik pula. Aku merapatkan
kuping ke pintu, tapi aku tetap tidak bisa mendengar jelas.
Malah yang terdengar sekali lagi suara cekikikan mereka.
"Tipe cowok seperti apa sih yang kamu mau?"
"Dia harus dewasa cara berpikirnya. Punya visi dalam hidupnya. Lalu dia harus bisa jadi tempat aku bersandar dalam
hidup dan dalam agama. O ya, dia harus telah menyelesaikan
kuliahnya. Aku tidak ingin nanti hubungan dijadikan alasan
belum selesai kuliah, atau hubungan jadi tidak serius karena
masih sibuk kuliah."
"Kalo tampang gimana?"
442 "Tentu yang tidak membosankan dipandang. Yang lebih
penting sih hatinya baik. Dan dia seorang pribadi matang
yang sudah tahu apa yang akan dia lakukan. Bukan kekanakkanakan. Aku tidak mau jadi baby-sitter."
"Wah syaratnya banyak ya. Jadi kandidatnya udah ada?"
korek Dominique lagi. Suara Raisa kembali berbisik tidak kedengaran. Tapi aku
melihat kepalanya menggeleng-geleng. Lalu kedua gadis ini
kembali tertawa bersama. Cukup. Girl talk yang aku dengar di balik pintu ini berhasil
menyabotase misi besarku hari ini. Aku dengan berjingkatjingkat mundur dan kembali ke kantor. Surat yang sudah aku
pegang kembali aku simpan di saku yang paling dalam.
Tiga informasi penting aku dapat. Raisa saat ini single.
Kedua, dia tidak mencari pacar, tapi calon suami. Bukan
sekadar calon biasa, tapi seseorang yang sudah selesai kuliahnya.
Ketiga dia punya standar tinggi untuk calon suaminya. Salah
satunya sudah lulus kuliah. Tidak ada jalan lain, kecuali
aku harus menunda menyampaikan perasaanku sampai aku
diwisuda nanti. Malam itu aku berbaring lurus-lurus di tempat tidur mengingat perbincangan Raisa dan Dominique tadi. Yang diharapkan Raisa adalah seorang pemuda matang, yang sudah
memikirkan masa depan, dan sudah lulus kuliah. Aku merasa
443 tersindir habis-habisan. Mungkin sudah saatnya aku melihat
diriku bukan lagi sebagai anak kuliahan saja. Aku adalah
pemuda yang beranjak menjadi laki-laki dewasa yang harus
punya rancangan masa depan.
Kalau begitu, mulai dari sekarang aku akan berusaha menjadi
laki-laki dewasa. Aku membuka halaman kosong diary-ku.
Aku harus tuliskan rancangan masa depanku sekarang juga.
Dengan semangat membara, aku bubuhkan sebuah judul besar,
"Rencana Hidup sepuluh Tahun ke Depan." Menulis rencana


Ranah Tiga Warna Buku 2 Negeri Lima Menara Karya Ahmad Fuadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

masa depan yang melibatkan timeline ternyata tidak segampang
yang aku bayangkan. Proses tulis-coret, tulis-coret berkali-kali
sampai tengah malam. Masih aku lanjutkan lagi besoknya.
Akhirnya setelah dua hari sibuk mencoret-coret, di diary-ku
telah ada tulisan dalam tiga kolom: rencana jangka pendek,
menengah, dan panjang hidupku. Untuk yang jangka pendek
aku masukkan lulus kuliah S1 dan bekerja. Sedangkan jangka
menengah adalah kuliah S-2 di luar negeri dan menikah.
Dan jangka panjang adalah S3 dan mengabdikan ilmu untuk
kepentingan orang banyak.
Di bawah poin "lulus kuliah" aku bubuhkan rencana bulan
dan tahun wisudaku. Dan tepat di sebelahnya, aku goreskan
coretan berbentuk bintang bersegi lima. Keterangan bintang
itu: menyerahkan suratku ke tangan Raisa.
Ya, surat ini tetap akan aku sampaikan, tepat ketika aku
telah memenuhi "syarat" Raisa. Aku akan sabar menunggu
waktu yang tepat. Man shabara zhafira.
444 Makhluk yang paling setia dalam hidup ini mungkin
adalah waktu. Dia tidak pernah ingkar janji dan akan selalu
hadir berkunjung ke mana pun dan ke siapa pun, walau topan
badai sedang mengamuk. Dia datang dalam bentuk tanggal,
dalam bentuk nama hari, dalam bentuk bulan, bahkan abad.
Dia selalu tepat waktu, tidak telat sedetik pun, tidak lebih
awal sedikit pun. Dan kali ini, waktu penting itu hadir dalam
bentuk pagi kelabu. Pagi itu, di beranda kayu rumah, kedua ibu-bapak angkatku
yang berambut jagung ini merangkulku erat bagai merangkul
anak kandung mereka sendiri. Padahal aku hanyalah seorang
anak bujang berambut hitam dari Maninjau, kira-kira terletak
setengah lingkaran bumi dari Kanada.
"Berjanjilah untuk berkunjung lagi ke rumah ini. Anggap
ini rumah kamu sendiri," kata Mado mencengkeram bahuku.
Matanya merah saga dan basah. Aku mengangguk-angguk
kuat. "Bien s"re, tentu saja, Mado, aku berjanji," balasku.
Tentulah aku mau singgah lagi di sini. Tapi entah kapan dan
entah bagaimana caranya. "Attends ici. Tunggu di sini," kata Mado menahan kedua
bahuku, seperti takut aku akan lenyap. Dia lalu masuk ke
rumah dan segera kembali dengan dua bungkusan kertas biru.
"Ini hadiah khusus kami buat kamu. Silakan buka." Pelanpelan aku robek kertas bungkusan itu. Isinya sweter wol yang
tebal, berwarna biru. Di dadanya ada sulaman bertuliskan, "Alif
Lepine", Alif adalah keluarga Lepine. Aku sudah dianggap anak
sendiri oleh keluarga ini. Segera aku kenakan baju hangat ini.
"Merci beaucoup, Mado et Ferdinand," kataku berkali-kali.
445 "Saya pintal dan rajut sendiri setiap hari," kata Mado
dengan mata yang berkilat-kilat lalu luruh jadi manik-manik
air. Aku tidak kuasa menahan haru. Bibirku bergetar mengulang-ulang kata "merci beaucoup". Terima kasih. Terima kasih.
Franc juga menerima hadiah yang sama.
Bunyi klakson terdengar dua kali. Seperti janji Kak
Marwan, di depan jalan 531 Rue Notre Dame berhenti sebuah
bus kuning yang akan membawa kami kembali ke Montreal.
Teman-temanku yang lain telah ada di dalam bus, sebagian
melambai-lambaikan tangan. Tapi bagai tidak peduli waktu
keberangkatan sudah datang, Mado dan Ferdinand malah
sibuk mengisahkan padaku proses Mado menyulam sendiri
sweter ini setiap hari di kamarnya supaya aku dan Franc tidak
tahu. Sekali lagi klakson berbunyi, tampaknya sopir bus mulai
tidak sabar. Franc yang dari tadi siaga di sebelahku melambailambaikan tangan ke arah bus, minta menunggu sebentar
lagi. "It"s about time. Shall we go?" kata Franc dalam bahasa
Inggris-nya yang makin fasih. Tanpa menunggu jawabanku,
dia segera memikul koper besarku yang teronggok di depan
pintu. Akhirnya dengan berat hati aku melambaikan tangan
kepada Mado dan Ferdinand yang berangkulan tegak berdiri
di depan pintu melepas aku, anak bujang dari dunia lain.
Sekali lagi aku palingkan mukaku ke rumah kayu di pinggang Sungai Sainte-Anne. Aku ingin menyerap kenangan
indah di rumah yang teduh ini untuk terakhir kalinya. Tanpa
kusadari, bibirku membisikkan sampai jumpa kepada air Sungai
446 Sainte-Anne yang tenang mengalir, kepada empat pokok
pohon maple, pohon apel, pohon ek yang rimbun, tupai dan
keluarganya, meja kayu taman, perapian, dan kamarku di
loteng. Semuanya sudah terasa seperti keluargaku sendiri.
Semuanya sesak dengan kenangan indah. Pintu bus berdesis
ditutup, tapi aku terus berdiri sambil melambai ke Mado dan
Ferdinand, sampai mereka mengecil dan mengecil, menjadi
dua titik yang kemudian menghilang dari pandanganku.
Aku berjalan ke bagian belakang bus. Duduk di kursi
paling belakang, di dekat Rusdi. Bus kuning kembali melaju
melintasi tanah Quebec yang masih berkemul salju. Rusdi
termenung-menung di ujung jendela. Padahal dialah yang
paling kangen pulang selama ini. Di leher jaketnya tersemat
pin perak berbentuk sayap burung yang mengilat diterpa
sinar matahari. "Ini wing aku, bukti aku pernah jadi co-pilot.
Hadiah orangtua angkat," katanya dengan bangga kepadaku.
"Kok wajahmu tidak senang kita akan pulang ke tanah
air?" godaku. Dia melihatku sekilas. "Tentulah aku senang pulang. Tapi
ternyata setelah berpisah dengan orangtua angkat dan saudara
angkatku di peternakan, rasanya ada yang hilang. Mereka
orang-orang yang baik," katanya dengan wajah sungguh-sungguh. Tiap sebentar tangannya menyentuh pin itu lagi. Rusdi
tampaknya nelangsa. Bahkan tidak sebait pantun pun yang
meluncur dari mulutnya sejak naik bus tadi. Aku biarkan dia
sibuk dengan pikirannya. Sedangkan aku merapat ke jendela lain yang terasa sedingin
balok es. Di pelupuk mataku masih mengerjap-ngerjap ba447
yangan Mado yang ramah dan keibuan, dan Ferdinand yang
selalu siap menyediakan apa saja. Aku julurkan tangan,
mencari-cari sesuatu di kantong ranselku. Aku tarik keluar,
bulu burung elang pemberian kawan Indian-ku, Lance
Katapatuk. "Lambang keberanian dan petualangan," katanya.
Walau dingin mencucuk tulang, aku buka sedikit jendela
kaca, aku lambai-lambaikan bulu itu, aku biarkan dia diembus
angin. Biarlah dia mengabarkan aku ingin datang lagi ke ranah
maple ini suatu hari nanti. Biarlah dia mengabarkan aku akan
terbang kembali ke tanah airku, Indonesia, yang semakin aku
cintai dan hargai setelah aku terbang jauh darinya.
Bunyi mesin pesawat Jumbo Jet Boeing 747 ini seperti
dengkuran raksasa. Kami sudah duduk rapi dengan Seragam
Garuda yang gagah itu. Aku memandang ke jendela, melihat
daratan Kanada untuk terakhir kalinya. Aku merasa menjadi
seekor punai yang terbang jauh ke ujung-ujung awan dan
tetap kembali ke sarang juga. Ke Indonesia. Aku pulang!
448 Toga di Ujung Sabar Dua tahun kemudian. ku menggenggam kertas tipis ini dengan bisikan syukur
yang berserabutan keluar dari mulutku. Hanya secarik
kertas, dengan isi hanya beberapa kalimat, dan ditutup dengan
tanda tangan besar bergelombang-gelombang dan cap bertinta
biru. Tapi surat ini cukup kuat menghentikan detak jantungku
beberapa detik. Surat ini sesungguhnya mewakili sebuah pelabuhan keberuntungan yang bahagia setelah berkayuh melalui laut penuh
badai dan gelombang ganas, hanya bermodalkan baju sabar.
Man shabara zhafira. Akhirnya. Sepucuk surat dari kampus.
Isinya: aku dinyatakan lulus dan berhak wisuda bulan depan.
Dengan perasaan senang yang melonjak-lonjak aku fotokopi
surat ini dan aku kirimkan ke Amak. Beberapa hari berselang,
selembar telegram Amak sampai di tanganku. "Amak tidak
sabar ingin melihat wa"ang pakai toga. Amak akan datang ditemani Laili dan Safya," tulis Amak. Bagi beliau, ini akan jadi
hari pertama beliau menginjak Bandung, sekaligus hari paling
berarti melihat anaknya yang telah merantau bertahun-tahun,
menjadi sarjana. Menjadi doktorandus, begitu istilah orang
449 kampungku. Hari yang istimewa bagi Amak. Tapi juga hari
yang istimewa bagiku, karena aku akan menuntaskan sebuah
misi yang sudah aku siapkan sejak dua tahun lalu.
Aku menekuk badan lebih rendah dan menyuruk masuk
ke kolong dipan reyotku. Setelah merosok-rosok dalam kegelapan, tanganku akhirnya menyentuh sebuah benda berdebu.
Aku tarik benda berbentuk persegi ini keluar. Ada tulisan
besar di tutup kotak berbahan kardus ini: "Quebec, je me
souviens80". Dari dalam kotak aku keluarkan sepasang sepatu
yang kulitnya sudah meranggas dan pecah-pecah, tapi dia
berhak mendampingiku pada hari besarku.
"Hitam, ayo temani aku ke acara wisuda. Sekali lagi saja.
Setelah itu, bolehlah kau bebas tugas selamanya," bisikku
dalam hati. Si Hitam ini hanya menganga lebar dengan pasrah.
Solnya kini telah rengkah besar. Mungkin telah lelah menuruti
langkahku sejak berangkat dari kampungku di Maninjau, lalu
merantau ke Bandung, berkunjung ke Yordania sampai tinggal
di Kanada. Untunglah tukang sepatu bertangan satu di Pasar
Simpang berhasil merapatkan kembali sol si Hitam. Malamnya
aku semir si Hitam tebal-tebal sampai mengilap layaknya
ketika pertama kali dihadiahkan Ayah kepadaku, sebelum
beliau meninggal. Artinya "Quebec, I remember". Biasa dipasang juga sebagai tagline di
nomor plat kendaraan di Quebec.
450 Aku buka ritsleting lemari plastikku dan aku ambil
setumpuk baju tebal. Untuk alasan sentimental yang kurang
jelas, aku membawa pulang jaket musim dingin selutut dari
Kanada, lengkap dengan aksesori penahan dingin mulai dari
sarung tangan, penutup kuping, syal, sampai kaus kaki tebal.
Di bawah tumpukan baju musim dingin ini aku simpan sebuah
diary kenangan yang bersampul kulit.
Di tengah diary ini ada pembatas buku dari daun maple
yang aku pungut sendiri di teras rumah Mado dan Ferdinand
di Saint-Raymond. Waktu itu warna daun ini masih merah
menyala-nyala, sekarang telah menjadi cokelat tua. Yang aku
cari bukan daun ini, tapi sebuah amplop surat yang aku
siapkan sejak dua tahun lalu untuk Raisa. Surat yang aku
tunda untuk menyerahkannya sampai hari ini, hari wisudaku.
Jantungku rasanya menari-nari tidak keruan membayangkan
apa akan terjadi hari ini.
Aku antarkan Amak, Laili, dan Safya ke kursi undangan di
dalam aula Unpad di Dipati Ukur. Aku menggandeng Amak,
mencari kursi yang masih kosong. Jemari tanganku dicekalnya
kuat-kuat. Wajah Amak serius dan tertunduk. Entah apa yang
dipikirkannya. "Kenapa muka Amak muram?" tanyaku. Amak
hanya diam. Aku tidak mau bertanya lebih jauh. Mungkin
beliau tegang melihat anak bujangnya akan maju ke depan
untuk disahkan sebagai sarjana dan menerima secarik ijazah.
Di dalam ruangan ini sudah penuh sesak dengan ribuan
orangtua dan keluarga wisudawan, suara mereka mengobrol
terdengar berdengung-dengung seperti kerumunan lebah. Aku
sendiri bergabung duduk dengan Wira, Agam, dan Memet
451 yang juga diwisuda hari ini. Jenggot dan kumis Agam yang
berantakan telah dibabat rapi, sedangkan rambut Wira dan
Memet sekarang licin dibalur minyak rambut. Kaus oblong
mereka sekarang berganti dengan kemeja lengan panjang
yang tampak bersisi tajam karena baru disetrika, celana kain
dan sepatu yang disemir sampai berkilat-kilat. Leher mereka
dikebat oleh dasi aneka warna. "Wah, cakep-cakep kawankawanku hari ini. Emangnya siapa PW kalian nih?" godaku.
PW adalah singkatan untuk pendamping wisudawan, alias
tunangan atau pacar, pokoknya kandidat kuat pendamping
hidup. Kami semua saling menunjuk hidung yang lain sambil
tertawa terbahak-bahak. Teman-temanku yang perempuan tampak cantik dan
mampu membuat hidungku semriwing akibat wewangian mereka yang beraneka aroma. Rambut mereka tertata licin dan
bergombak-gombak disanggul, dibalut baju kebaya dan kain
panjang. Beberapa ujung selendang mereka menjulur sampai
menyentuh tanah dan menyerempet sepatu berhak tinggi
mereka. Mungkin mereka canggung berpakaian seperti ini
setelah setiap hari selama menjadi mahasiswi hanya memakai
celana jins. Memang hari inilah penampilan puncak mereka
selama "berkarier" jadi mahasiswi. Tentulah semua ini hasil
perjuangan mereka yang telah datang ke salon-salon sejak
subuh tadi. Aku salut untuk kerja keras mereka.
Walau berbeda dandanan, yang menyamakan perempuan
dan laki-laki ini adalah kami memakai baju luar yang seragam. Baju hitam longgar panjang dari bahan tipis yang
murah. Kepala kami disongkok topi tipis datar yang sedikit452
sedikit miring. Toga: pakaian aneh yang dirindukan setiap
mahasiswa. Aku memanjangkan leher mencari-cari kelompok mahasiswa Komunikasi. Dari jauh aku melihat wisudawan fakultas
ini didominasi oleh para mahasiswi yang duduk rapi-rapi dengan anggun. Sesekali, mereka saling berbisik di balik kipas
tangan dengan gelak-gelak kecil yang lepas. Tapi di mataku,
yang paling anggun dari semua itu adalah Raisa, yang duduk
di barisan kedua dari depan. Bagiku dialah yang paling memancarkan warna terang. Dari tadi aku belum sempat bicara
langsung, baru saling melambaikan tangan dari jauh saja. Itu
sudah cukup membuat aku panas-dingin. Aku sentuh lagi
kantong di dada kiriku. Aman. Surat masih ada.
"Wisudawan selanjutnya. Alif Fikri, sarjana dari jurusan
Hubungan Internasional." Namaku bergaung-gaung keluar
dari speaker besar di aula ini. Aku melirik ke kursi Amak di
seberang sana, berbisik dari jauh, minta izin kepada beliau.
Amak mengangguk-angguk masih dengan raut tegang. Dengan
siaga aku berjalan tegap menuju panggung. Sol si Hitam masih
mampu menghasilkan derap-derap nyaring di lantai pualam
berkelir krem ini. Di panggung, Pak Rektor dan Pak Dekan
telah menunggu dengan senyum lebar. Aku menyalami mereka,
berterima kasih dengan mengangguk kecil. Dengan cepat, jari
Pak Rektor memindahkan seutas benang di topi hitam datarku
ke sebelah kanan. Lalu giliran Pak Dekan menggenggam
453 tanganku kuat-kuat sambil menyerahkan sebuah map biru,
berisi ijazah sarjanaku. Inilah detik persaksian penting dalam
hidupku, ketika impianku telah bertukar menjadi kenyataan.
Tuhan, Engkau sungguh Maha Pengabul Impian.
"Hadirin dimohon berdiri, untuk bersama-sama menyanyikan lagu Syukur karya H. Mutahar," seru pembawa acara
bergaung-gaung di akhir acara. Serempak kami berdiri khidmat.
Aku pindah berdiri ke sebelah Amak dan menggenggam tangannya. Lalu terdengarlah berdengung-dengung nada yang
menggoyang-goyang dawai hati.
Dari yakinku teguh Hati ikhlasku penuh Akan karuniamu Tanah air pusaka

Ranah Tiga Warna Buku 2 Negeri Lima Menara Karya Ahmad Fuadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Indonesia merdeka Syukur aku sembahkan Ke hadiratMu Tuhan Dari yakinku teguh Cinta ikhlasku penuh Akan jasa usaha Pahlawanku yang baka Indonesia merdeka Syukur aku hanjukkan Ke bawah duli tuan 454 Dari yakinku teguh Bakti ikhlasku penuh Akan asas rukunmu Pandu bangsa yang nyata Indonesia merdeka Syukur aku hanjukkan Ke hadapanmu tuan Sekujur tubuhku seperti dirayapi beribu semut. Merinding
sampai ubun-ubun. Tiba-tiba ada rasa hangat di tanganku.
Satu-dua tetes air jatuh di ujung jari telunjukku. Beberapa
tetes lagi luruh dan menetesi kepala si Hitam. Bukan air
mataku. Aku lihat Amak yang tadi berwajah diam sudah tidak
bisa lagi menutupi perasaannya. Untuk pertama kali dalam
hidupku aku melihat Amak tergugu dan bersimbah air mata.
Hidungnya merah dan basah.
"Seandai Ayah melihat wa"ang tegak mandiri. Seandainya
Ayah tahu wa"ang telah sampai ke benua Amerika. Seandainya
Ayah tahu wa"ang hari ini wisuda... Tentu dia adalah seorang
ayah yang paling gadang ati. Bahagia," kata Amak berbisik
sambil mengusap air matanya dengan saputangan warna merah
jambu. Aku hanya bisa mengangguk-angguk sambil mengeratkan
peganganku di tangan Amak yang kurus dan mulai keriput.
Aku bungkukkan badan mencium tangan beliau dengan lama.
Tangan yang telah menyuapi, membesarkan, dan menadahkan
tangan untuk berdoa buatku. Tanpa keluh dan pamrih.
455 Akhirnya, inilah waktunya! Sudah dua tahun aku menunggu.
Kini aku sudah menggenggam ijazah, aku sudah sarjana, dengan
nilai yang bagus pula. Aku kini sudah jadi pemuda dewasa,
lengkap dengan semua "syarat" yang disampaikan Raisa ke Dominique. Saatnya aku akan sampaikan surat penting yang dulu
aku tulis di Kanada ini kepadanya. Inilah waktunya.
Aku tinggikan leher, mencari-cari Raisa di tengah kerumunan wisudawan.
456 Bintang Segi Lima anganku menepuk-nepuk pelan dada kiriku sekali
lagi. Masih ada. Surat maha penting itu masih terselip
aman di saku kemejaku. Telapak tanganku yang berkeringat
dingin aku simpan di dalam saku celana panjang. Bibir dan
tenggorokanku tiba-tiba terasa kering. Untuk menutupi rasa
gugup, aku percepat ayunan langkah ke arah kursi Raisa
dan aku kembangkan mulutku untuk menghasilkan senyum
selebar-lebarnya ketika makin dekat dengan dia.
"Ehm...ehm"," dehamku ketika sudah berada di samping
kursinya. Raisa menengadahkan wajahnya ke arahku. Aku
mulai dengan kalimat, "Akhirnya, kita sarjana juga ya. Selamat
ya, Raisa." Duh, kata-kata yang klise dan tidak bermutu!
"Alif, felicitations. Selamat juga ya. Sama siapa aja" Ada
yang datang dari Maninjau?" balasnya dengan mata berbinar.
"Iya, ada Amak dan adik-adikku," jawabku dengan tidak
fokus. Kepalaku sibuk mengingat redaksi kata-kata yang sudah
aku siapkan sejak semalam. Dengan pasti tangan kananku menyelinap ke saku baju sebelah kiriku dan menarik setengah
amplop keluar. Tapi mendadak Raisa berseru girang, "Eh, Alif, sini deh,
aku kenalin dengan orangtuaku yuk." Tanganku terhenti di
tengah jalan. Tidak jadi menarik surat itu keluar dari saku.
457 Dia mengajak aku berjalan ke arah tiga orang yang sedang
mengobrol sambil tertawa-tawa. Seorang bapak yang berambut
keperakan, seorang ibu berkebaya merah, dan satu orang lain
yang memunggungiku. "Papa, kenalin ini dia Alif, teman di Kanada dulu, yang
sering Raisa ceritakan. Dia penulis dan lulusan pondok
lho," katanya. Sering diceritakan" Lubang hidungku rasanya
mengembang mekar. "Kapan-kapan main ke rumah ya, Alif,"
sambut papanya dengan jabat tangan yang erat. Raisa kini
menarik tangan ibunya yang masih sibuk bicara dengan orang
yang membelakangiku itu. "Ma, sini, aku kenalin dengan
tetangga kos dulu, kita bareng ke Kanada." Ibunya memutar
badannya dan menjabat tanganku sambil tersenyum. Lawan
bicaranya yang tadi memunggungiku juga membalikkan badan
ke arah kami. Aku terperanjat. Wajah yang aku kenal. Bahkan
sangat aku kenal. Randai! Kenapa dia di sini"
Ibunya menyalamiku dan memberi selamat. Randai tidak
kalah ramahnya. "Selamat wisuda, Alif, sukses ya." Dia meraup
bahuku kuat, aku juga merangkulnya sigap. Kami tetap kawan
baik. Tapi perasaanku kalang kabut. Aku cemburu.
Setelah mengobrol basa-basi, aku menghadap ke Raisa. Misi
utamaku harus tetap dijalankan. Sudah saatnya aku benarbenar memberikan surat ini, apa pun yang terjadi "Raisa, ehm,
boleh bicara sebentar?" Matanya membesar dan mengangguk
cepat. "Tapi ntar dulu," kata Raisa mendahului, "Lif, aku juga
mau bicara sesuatu. Aku punya berita gembira yang ingin aku
bagi kepada kamu..." Dia berhenti sejenak.
458 "Teman baik kamu itu datang ke orangtuaku bulan lalu.
Dan" " Dia mendeham kecil dua kali dan melanjutkan dengan
senyum yang mekar cemerlang bagai bunga matahari. "Singkatnya, kedua belah pihak setuju dan kami sepakat untuk
bertunangan." Setiap tetes darahku rasanya surut seketika ke jantungku
dan membeku di sana. Telingaku berdenging-denging. Rasanya
aula tempat wisuda ini gemeretak dan runtuh berkeping-keping. Membawa semuanya rata di tanah, debu beterbangan
pekat, dan aku terkapar tidak berdaya. Tanganku yang sudah
memegang surat dan hampir mengeluarkan dari saku, surut
kembali, seperti undur-undur terkejut.
"Pertunangan ini baru kami putuskan minggu lalu. Kamu
teman dekat pertama yang kami kasih tahu," kata Raisa. Randai berjalan mendekat ke arah kami.
"Iya, Lif, waktunya memang tiba-tiba. Kami sekalian mengundang kamu untuk hadir di acara perkenalan antarkeluarga
minggu depan. Datang ya. Amak dan Apak datang langsung
dari Maninjau, pasti mereka akan menanyakan kamu," kata
Randai sungguh-sungguh. Pelan-pelan surat yang sudah aku genggam itu aku benamkan lagi ke dasar saku bajuku. Dalam-dalam. Di dalam sehelai
kertas itu aku simpan perasaanku yang belum tersampaikan
dan mungkin tidak akan pernah tersampaikan selamanya. Biarlah perasaanku ini terkurung beku di kertas ini, sampai dia
menguning, lapuk berderai, dan terkubur bagai sebuah fosil
kenangan. Itulah suratku yang terbenam.
459 Dengan susah payah aku kerahkan senyum terbaik yang
aku punya. Apa lagi yang bisa aku lakukan" Aku beri mereka
selamat. Pikiranku pecah antara cemburu dan senang. Bagaimanapun mereka kawan-kawan terbaikku. Aku paksa hatiku
bahagia untuk mereka. Ketika bersalaman, aku bisa merasakan
cincin di jari Randai dan Raisa. Melekat dingin di kulitku,
rasa dingin yang menyelusup sampai ke lubuk hatiku.
Matahari telah merambat tinggi di langit Bandung. Beberapa berkas sinarnya menyelinap dari kisi-kisi jendela, lalu
berjatuhan di lantai aula besar ini. Beberapa larik tepat jatuh
ke mata cincin di jari manis Raisa. Permata itu berkilau. Berpendar.
Kini di mataku seisi ruangan telah berubah menjadi hitam
putih saja. Monokrom. Semua unsur warna lain tanpa ampun
telah habis diisap oleh sinar gemilang dari cincin Raisa.
Beberapa minggu setelah wisuda itu, badanku rasanya
masih lunglai. Aku masih sering terkejut-kejut sendiri setiap
mengingat hari itu. Lama aku tidak tahu rasa rendang yang
enak. Butuh waktu untuk mengajak hatiku lepas dari trauma
kata "hampir". Aku "hampir" saja berhasil menyampaikan
surat hatiku. Tinggal sedetik lagi, tinggal beberapa senti lagi
surat itu sampai ke tangan Raisa. Tapi sedekat apa pun "hampir" itu dengan kenyataan, dia tetap saja sesuatu yang tidak
pernah terjadi. Akhirnya aku sampai pada suatu kesimpulan yang selalu
460 diajarkan di PM: ikhlaskan. Itulah satu-satunya cara agar aku
bisa menentramkan hati dan berdamai dengan kenyataan ini.
Aku ikhlaskan mereka bertunangan. Aku telah bersabar, telah
mengamalkan man shabara zhafira, tapi hanya Tuhan yang
tahu apa yang terbaik buat aku, buat Randai, dan buat Raisa.
Pelan-pelan, semuanya terasa makin masuk akal. Randai
berhasil lulus dari Teknik Penerbangan lebih dari setahun
lalu dan langsung bekerja di PT. IPTN. Itulah yang mungkin
membuat dia berani melamar Raisa. Randai punya "syarat"
lebih lengkap dari aku dan dia bertindak lebih cepat.
Aku kembangkan diary-ku, tepat di halaman corat-coret
"Rencana Hidup Sepuluh Tahun ke Depan". Sudah saatnya
ada agenda hidup yang harus segera aku ubah. Aku coret kuatkuat sebuah goresan berbentuk bintang bersegi lima di sebelah
waktu wisudaku. Bintang dengan keterangan: "menyerahkan
surat ke Raisa". Itu sudah lewat, satu rencanaku yang gagal.
Saatnya aku menggoreskan rencana dan impian baru.
Aku torehkan penaku menuliskan impian-impian baru.
Aku ingin bisa membantu Amak menyekolahkan adik-adikku
sampai tuntas. Aku ingin melanjutkan sekolah ke jenjang S-2
di Amerika. Aku ingin membangun sekolah yang membangun
jiwa dan karakter anak bangsa. Bagaimana dengan agenda
pasangan hidup" Aku mau menuliskan sesuatu, tapi penaku
terhenti di tengah jalan. Ah, sudahlah, setelah hikayat Raisa
tamat, aku butuh waktu untuk merawat hati dan mengikis dia
dari ingatanku. Aku tutup kepala penaku. Klik.
Segala sesuatu ada waktunya. Aku ikhlaskan tangan Tuhan
menuntunku meraih segala impian ini.
461 Pulang Kampung Sebelas tahun kemudian. elupuk mataku mengerjap-ngerjap cepat. Semua terlihat
begitu akrab. Puncak bukit yang ditumbuhi pepohonan
yang rimbun, langit yang biru perkasa bersaput sebingkah
awan, dan gemericik riak danau dan sungai yang aku lewati
sejak menyetir tadi. Kaca depan mobil Ford Explorer yang
aku kendarai terus berdetak-detak diketuk hujan. Hujan
yang berwarna-warni cemerlang. Mengikuti kisaran angin,
hujan daun berkelir merah, kuning, lembayung, marun, hijau,
cokelat, dan oranye berputar-putar jatuh ke Bumi. It"s autum.
Segenap pohon di pinggir jalan aspal yang aku lewati
dengan rajin menggugurkan daunnya menyambut musim
gugur. Ford Explorer" Aku tersenyum sendiri. Oh Tuhanku,
Engkau memang suka memberi kejutan dengan kebetulankebetulan. Kenapa aku harus mendapat mobil sewaan bernama
ini. Explorer. Penjelajah. Sudah belasan tahun aku diberiNya
anugerah menjelajah berbagai sudut Bumi.
"Duh sebel, nggak kena lagi!" teriak seseorang di kursi
sebelahku. Aku kembali tersenyum melihat jemari halus putih
itu menggapai-gapai di sela sunroof yang sedikit terbuka. Dia
menggigit-gigit ujung bibirnya karena dari tadi belum juga
berhasil menangkap satu pun daun yang gugur itu. "Horeee.
462 Akhirnya dapat yang merah!" soraknya sambil menggenggam
sehelai daun canyon maple. "Coba kalau bisa, sekarang tangkap
yang warna kuning," seruku.
"Yee, Abang bisanya cuma nyuruh. Coba sendiri kalau
bisa," jawabnya balas menantang. Kami berdua terkikik berdua
seperti anak SMA. "Banyak berubah nggak bangunannya, Bang?" tanyanya
mengerling ke arahku. Aku melambatkan laju mobil begitu
memasuki Rue Saint-Joseph. Sebelas tahun sudah berlalu, tapi
semua pemandangan yang aku lihat masih tampak sama: H"tel
de ville dengan bendera Fleur-de-lis yang berkibar, kantor
televisi SRTV dengan antena besar, rumah jompo berdinding
terakota, dan Caf" Qu"b"cois dengan gambar pancake besar di
kacanya. Hanya biblioth"que yang tampaknya baru direnovasi.
Betapa sebelas tahun bisa terasa bagai sebelas bulan saja.
"Nggak, rasanya masih kayak kemarin aku di sini," balasku
setelah terdiam lama. Aku menikung tepat di depan 531 Rue Notre Dame. Aku
kembangkan kedua lengan, menghirup kembali udara yang
terasa sangat kental mengendap di ingatanku: bau halaman
rumput yang baru dicukur dan aroma angin musim gugur yang
sejuk. Aku lihat pohon maple, pohon apel, dan pohon ek kini
semakin rimbun. Bahkan sekarang lebih banyak tupai yang
berloncatan di dahan-dahannya yang kokoh. Percikan air
Sungai Sainte-Anne tetap terdengar menyejukkan, mengalir
jauh ke hilir, ke Sungai Saint-Laurent dan lalu bermuara di
Laut Labrador dan Samudra Atlantik.
Dan, tentu saja, tepat di depan kami berdua berdiri tegak
rumah kayu bercat biru putih yang terasa sangat ramah me463
nyambutku. Ini pernah jadi rumahku. Bahkan aku telah diakui
jadi keluarga Lepine. Hari ini aku penuhi janjiku kepada
Mado dan Ferdinand. Aku mengambil liburan panjang untuk
kembali "pulang kampung" ke Saint-Raymond.
"Butuh belasan tahun untuk menepati janjiku. Pardonez
moi," bisikku kepada Mado. Dia memegang pipiku bagai rindu
pada anak bujang kandungnya sendiri sambil tersenyum tidak
berbunyi. Tangan kekar Ferdinand menepuk bahuku kuat-kuat
sambil berkata, "Bienvenue " la maison81, Alif."
"Setiap menonton berita televisi tentang bencana dan
kerusuhan di Indonesia, kami selalu cemas. Ingat kamu, Alif,"
kata Mado mengusap ujung kelopak matanya yang basah
sambil menata piring di meja makan. Ferdinand seperti biasa
tidak banyak bicara, hanya senyum terus melekat di bibirnya
sejak kami sampai. Sungguh tidak banyak yang berubah dari
kedua orangtua angkatku yang baik ini, selain koleksi helai
uban mereka bertambah banyak. Bahkan buah tanganku dulu,
miniatur Jam Gadang dan angklung masih mendapat tempat
terhormat di atas pendiangan mereka.
"Dan untuk menyambut kamu dan perempuan cantik ini,"
kata Mado mengerling ke istriku, "saya masak lagi resep
istimewa, trout panggang dengan irisan lemon dan taburan
lada merah," katanya sambil mengangsurkan potongan daging
besar-besar ke piring kami. Sampai jauh malam kami tidak
beranjak dari meja makan itu, sibuk bercerita apa yang terjadi
dalam sebelas tahun terakhir dalam hidup kami.
Selamat datang di rumah (sendiri), Alif.
464 "Untuk sebuah kenangan masa lalu, kita harus naik ke
sana. Tempat peringatan Hari Pahlawan tahun 1995 dulu,"


Ranah Tiga Warna Buku 2 Negeri Lima Menara Karya Ahmad Fuadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kataku menunjuk ke puncak Mont Laura. Muka istriku tampak
berubah melihat jalan setapak yang terjal. "Tidak akan rugi
jalan sedikit. Mado dan Ferdinand bilang di sanalah tempat
paling tepat menyaksikan keindahan musim gugur di SaintRaymond." Aku menggenggam tangannya. Kami meloncati
beberapa bongkahan batu besar untuk mencapai pondok kayu
bercat merah, di pinggang bukit. Dulu aku sering hiking ke
sini bersama Franc, lalu kami duduk di pondok ini, beranginangin, sambil memotret, membaca buku, atau sekadar menulis
diary. "Wow indahnya!" istriku berteriak girang begitu kami sampai di pondok itu. Di bawah kaki kami terhampar kota
mungil yang sedang dihiasi warna-warna hangat musim gugur.
Di horizon, sayup-sayup tampak Pegunungan Laurentin yang
berkopiah salju. Pepohonan rindang di sekeliling pondok
bagai berlomba memamerkan warna-warni daun yang semakin
cemerlang. Warna oranye datang dari daun american smoke,
marun dimiliki daun white oak, sassafras menghasilkan merah,
autumn purple jadi lembayung, dan tentunya canyon maple
menghasilkan daun bernuansa merah manyala. Sungguh tepat
menjadi lokasi foto paling romantis di Saint-Raymond.
Istriku tidak putus-putus mengarahkan Canon DSLR berlensa 10-22mm-nya ke segala penjuru. Sementara aku duduk
di lantai kayu, merogoh ransel, mengeluarkan bekal sandwich
465 roti gandum berisi kalkun asap dari Mado. Dan juga diary yang
selalu menemaniku. Dari dulu, aku selalu senang menulis diary
di tempat yang pernah lekat di hatiku, karena suasana, bau,
warna, sampai tekstur tempat itu bisa terbawa masuk ke dalam
coretanku. Sepasang tupai berlarian di dekat kaki kami, lalu menyuruknyuruk ke bawah tumpukan daun yang gugur. Hidungnya yang
ditumbuhi kumis panjang brewok mengendus ke sana-sini.
Sesekali kedua tupai ini berdiri di dua kaki sambil melentikkan
ekornya yang seperti kemoceng tali rafia. Matanya mengawasi
mulutku yang mengunyah roti. Iseng, aku lemparkan sepotong
roti. Dengan takut-takut, satu tupai mendekati roti itu dan
menggondolnya ke dalam sarangnya di pokok sebuah pohon
ek. Seekor tupai lagi, tetap berdiri tidak bergerak sedikit
pun, seperti memohon jatahnya. Barulah setelah istriku melempar sepotong roti lagi, dia bergerak, dan menyimpannya
di sarangnya. Begitu kerja mereka setiap hari, sedikit demi
sedikit, mengumpulkan bekal untuk musim dingin. Begitu
salju pertama turun, mereka tidur bergelung di sarangnya menikmati hasil jerih payah sambil menunggu musim semi menjelang. Sungguh makhluk-makhluk yang sabar.
Sabar" Aku termenung bersandar ke dinding pondok kayu
ini. Betapa hikayat hidupku sebetulnya hanya karena melebihkan usaha, bersabar, dan berdoa. Tanpa itu entah bagaimana aku bisa mengarungi hidup. Tanpa itu rasanya tidak
mungkin aku bisa berkelana melintas Bandung, Amman, dan
Saint-Raymond, tiga ranah berbeda warna, pada masa kuliahku
dulu. Aku buka lembar terakhir diary-ku yang kerap menjadi
466 penyemangatku. Di sana aku telah merekatkan dengan selotip secarik hasil fotokopi dari buku angkatanku di Pondok
Madani, berisi pesan bertulisan tangan Kiai Rais kepada kami
para alumni PM. Bunyinya:
Anak-anakku" Akan tiba masa ketika kalian dihadang badai dalam hidup. Bisa
badai di luar diri kalian, bisa badai di dalam diri kalian. Hadapilah
dengan tabah dan sabar, jangan lari. Badai pasti akan berlalu.
Anak-anakku" Badai paling dahsyat dalam sejarah manusia adalah badai jiwa,
badai rohani, badai hati. Inilah badai dalam perjalanan menemukan
dirinya yang sejati. Inilah badai yang bisa membongkar dan
mengempaskan iman, logika, kepercayaan diri, dan tujuan hidup.
Akibat badai ini bisa lebih hebat dari badai ragawi. Menangilah
badai rohani dengan iman dan sabar, kalian akan menjinakkan
dunia akhirat. Anak-anakku" Bila badai datang. Hadapi dengan iman dan sabar. Laut tenang
ada untuk dinikmati dan disyukuri. Sebaliknya laut badai ada
untuk ditaklukkan, bukan ditangisi. Bukankah karakter pelaut
andal ditatah oleh badai yang silih berganti ketika melintas lautan
tak bertepi" 467 Istriku sekarang mengganti lensanya dengan lensa makro
dan sibuk memotret daun beragam warna yang ditaruhnya
berderet-deret di lantai papan. "Untuk koleksi stockphotos kita,
Bang," katanya tanpa menunggu aku bertanya.
Aku kembali menyandarkan badan ke dinding kayu dan
membalik halaman diary-ku yang kosong. Aku bubuhkan
tanggal hari ini. Aku tarik napas panjang dan aku mulai menggoreskan penaku:
Hidupku selama ini membuat aku insaf untuk menjinakkan
badai hidup, "mantra" man jadda wajada saja ternyata tidak cukup
sakti. Antara sungguh-sungguh dan sukses itu tidak bersebelahan,
tapi ada jarak. Jarak ini bisa hanya satu sentimeter, tapi bisa juga
ribuan kilometer. Jarak ini bisa ditempuh dalam hitungan detik,
tapi juga bisa puluhan tahun.
Jarak antara sungguh-sungguh dan sukses hanya bisa diisi
sabar. Sabar yang aktif, sabar yang gigih, sabar yang tidak menyerah, sabar yang penuh dari pangkal sampai ujung yang paling
ujung. Sabar yang bisa membuat sesuatu yang tidak mungkin
menjadi mungkin, bahkan seakan-akan itu sebuah keajaiban dan
keberuntungan. Padahal keberuntungan adalah hasil kerja keras,
doa, dan sabar yang berlebih-lebih.
Bagaimanapun tingginya impian, dia tetap wajib dibela habishabisan walau hidup sudah digelung oleh nestapa akut. Hanya
dengan sungguh-sungguhlah jalan sukses terbuka. Tapi hanya dengan sabarlah takdir itu terkuak menjadi nyata. Dan Tuhan selalu
memilihkan yang terbaik dan paling kita butuhkan. Itulah hadiah
Tuhan buat hati yang kukuh dan sabar.
468 Sabar itu awalnya terasa pahit, tetapi akhirnya lebih manis
daripada madu. Dan alhamdulillah, aku sudah mereguk madu itu.
Man shabara zhafira. Siapa yang sabar akan beruntung.
AF, di puncak Saint-Raymond.
Diary bersampul kulit hitam ini aku katupkan, kepala pena
aku satukan dengan tutupnya, lalu aku mengulurkan tangan,
mengajak istriku menuruni pinggang Mont Laura. Pulang.
TAMAT Bintaro, 14 Desember 2010
AF-DD 469 Tentang Penulis Dari Wartawan ke Novelis, dari Maninjau ke Amerika
Ahmad Fuadi lahir di Bayur, kampung kecil di pinggir Danau
Maninjau tahun 1972, tidak jauh dari kampung Buya Hamka.
Fuadi merantau ke Jawa, mematuhi permintaan ibunya untuk
masuk sekolah agama. Di Pondok Modern Gontor dia bertemu
dengan kiai dan ustad yang diberkahi keikhlasan mengajarkan
ilmu hidup dan ilmu akhirat. Gontor pula yang mengajarkan
kepadanya "mantra" sederhana yang sangat kuat, man jadda
wajada, siapa yang bersungguh sungguh akan sukses. Lulus
kuliah Hubungan Internasional, UNPAD, dia menjadi wartawan majalah Tempo. Kelas jurnalistik pertamanya dijalani
dalam tugas-tugas reportase di bawah bimbingan para wartawan senior Tempo. Tahun 1999, dia mendapat beasiswa
Fulbright untuk kuliah S-2 di School of Media and Public
Affairs, George Washington University, USA. Merantau ke
Washington DC bersama Yayi, istrinya"yang juga wartawan
Tempo"adalah mimpi masa kecilnya yang menjadi kenyataan.
Sambil kuliah, mereka menjadi koresponden Tempo dan
wartawan Voice of America (VOA). Berita bersejarah seperti
tragedi 11 September dilaporkan mereka berdua langsung
dari Pentagon, White House dan Capitol Hill. Tahun 2004,
470 jendela dunia lain terbuka lagi ketika dia mendapatkan
beasiswa Chevening Award untuk belajar di Royal Holloway,
University of London untuk bidang film dokumenter. Seorang
scholarship hunter, Fuadi selalu bersemangat melanjutkan
sekolah dengan mencari beasiswa. Sampai sekarang, Fuadi
telah mendapatkan 8 beasiswa untuk belajar di luar negeri.
Dia telah mendapat kesempatan tinggal dan belajar di
Kanada, Singapura, Amerika Serikat dan Inggris. Penyuka
fotografi ini pernah menjadi Direktur Komunikasi The Nature
Conservancy, sebuah NGO konservasi internasional. Kini,
Fuadi sibuk menulis, jadi pembicara dan motivator, mulai
menggarap film layar lebar Negeri 5 Menara, serta membangun
yayasan sosial untuk membantu pendidikan orang yang tidak
mampu"Komunitas Menara.
Negeri 5 Menara telah mendapatkan beberapa penghargaan,
antara lain Nominasi Khatulistiwa Award 2010 dan Penulis
dan Buku Fiksi Terfavorit 2010 versi Anugerah Pembaca
Indonesia. Twitter: @fuadi1 (pakai angka 1)
Facebook fanpage: Negeri 5 Menara
Email penulis: negeri5menara@yahoo.com
Email untuk mengundang: kontak@negeri5menara.com
471 PENGUMUMAN PENTING! Terima kasih untuk para pembaca dan masyarakat
yang telah mengapresiasi Negeri 5 Menara,
Ranah 3 Warna dan penulis A. Fuadi (Bang Fuadi).
Selama ini banyak pembaca yang bertanya bagaimana
cara mengundang dan menghubungi Bang Fuadi untuk
kepentingan bicara, talkshow, seminar dan pelatihan.
Untuk memudahkan kontak dan pengaturan jadwal,
silakan hubungi Manajemen Negeri 5 Menara melalui
Erwin di nomor: 087881667985 atau email kontak@negeri5menara.com
472 Komunitas Menara (KM) adalah sebuah yayasan
sosial yang bercita-cita ingin memajukan pendidikan anak bangsa, khususnya yang kurang
mampu. Kegiatannya dimulai dari hal yang
kecil-kecil untuk kemudian menjadi sebuah gerakan sosial yang luas. Kegiatannya bertumpu
pada dukungan dari para relawan dan siapa
saja yang tertarik membantu pendidikan Indonesia. Komunitas Menara berawal dari keinginan untuk bermanfaat
buat sebanyak mungkin orang. Motto Komunitas Menara adalah: Ikhlas
Berbagi. Kegiatan yang sudah dilakukan oleh Komunitas Menara antara lain
pembangunan PAUD (pre-school) korban gempa di Pariaman, beasiswa,
serta workshop inspirasi Man Jadda Wajada oleh A. Fuadi bagi para
pendidik di beberapa tempat di Indonesia. Komunitas ini didirikan oleh
A. Fuadi, penulis novel Negeri 5 Menara dan istrinya, Danya Dewanti.
Dalam kegiatannya, Komunitas Menara mengharapkan bantuan dari
relawan. Relawan adalah orang yang percaya dengan misi Komunitas
Menara dan terpanggil dari dalam hati untuk membantu tanpa pamrih,
sesuai dengan kemampuan masing-masing.
Bantuan dari relawan sangat beragam dan bisa disesuaikan dengan
kemampuan dan kesempatan masing-masing. Boleh dalam bentuk waktu,
tenaga, keahlian, masukan membangun, bahkan sampai dana.
Jika Anda merasa cocok dengan misi Komunitas Menara, silakan mendaftar menjadi relawan. Caranya, kunjungi website www.
negeri5menara.com, lalu klik halaman "Komunitas" dan isi formulir yang
tersedia. Komunikasi dan ide-ide Anda buat Komunitas Menara bisa dikirim
ke komunitas@negeri5menara.com atau dengan bergabung di akun
Facebook "Komunitas Menara".
Salam. Mari ikhlas berbagi.
Komunitas Menara 473 Dokumentasi Majalah Chic Ranah 3 Warna adalah buku ke-2 dari trilogi Negeri 5 Menara. Ditulis oleh Ahmad Fuadi, mantan wartawan TEMPO dan VOA, penerima 8 beasiswa luar negeri dan penyuka
fotografi. Pernah tinggal di Kanada, Singapura,
Amerika Serikat, dan Inggris. Alumni Pondok
Modern Gontor, HI Unpad, George Washington
University dan Royal Holloway, University of
London ini meniatkan sebagian royalti trilogi ini untuk membangun
Komunitas Menara, sebuah yayasan sosial untuk membantu pendidikan
orang yang tidak mampu, yang berbasiskan sukarelawan.
Penghargaan untuk Negeri 5 Menara: Nominasi Khatulistiwa Literary
Award 2010, Penulis dan Fiksi Terfavorit, Anugerah Pembaca Indonesia
2010. ..... ..... Alif baru saja tamat dari Pondok Madani. Dia bahkan sudah
bisa bermimpi dalam bahasa Arab dan Inggris. Impiannya"
Tinggi betul. Ingin belajar teknologi tinggi di Bandung seperti
Habibie, lalu merantau sampai ke Amerika.
Dengan semangat menggelegak dia pulang kampung ke Maninjau dan tak
sabar ingin segera kuliah. Namun kawan karibnya, Randai, meragukan Alif
mampu lulus UMPTN. Lalu dia sadar, ada satu hal penting yang dia tidak punya.
Ijazah SMA. Bagaimana mungkin mengejar semua cita-cita tinggi tanpa ijazah"
Terinspirasi semangat tim dinamit Denmark, dia mendobrak rintangan berat.
Baru saja dia tersenyum, badai lain menggempurnya silih berganti tanpa
ampun. Alif letih dan mulai bertanya-tanya: "Sampai kapan aku harus teguh
bersabar menghadapi semua cobaan hidup ini?" Hampir saja dia menyerah.
Rupanya "mantra" man jadda wajada saja tidak cukup sakti dalam memenangkan
hidup. Alif teringat "mantra" kedua yang diajarkan di Pondok Madani: man
shabara zhafira. Siapa yang bersabar akan beruntung. Berbekal kedua mantra
itu dia songsong badai hidup satu persatu. Bisakah dia memenangkan semua
impiannya" Ke mana nasib membawa Alif" Apa saja 3 ranah berbeda warna itu" Siapakah
Raisa" Bagaimana persaingannya dengan Randai" Apa kabar Sahibul Menara"
Kenapa sampai muncul Obelix, orang Indian, Michael Jordan, dan
Kesatria Berpantun" Apa hadiah Tuhan buat sebuah kesabaran
yang kukuh" Ranah 3 Warna adalah hikayat tentang bagaimana impian
tetap wajib dibela habis-habisan walau hidup digelung
nestapa tak berkesudahan. Tuhan sungguh bersama orang
yang sabar. FIKSI/NOVEL Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Kompas Gramedia Building Blok I Lantai 5 Jl. Palmerah Barat 29"37
Jakarta 10270 www.gramedia.com Enigma 2 Llano Estacado Karya Dr. Karl May Kisah Si Naga Langit 5
^