Pencarian

Rantau Satu Muara 1

Rantau Satu Muara Buku 3 Negeri Lima Menara Karya Ahmad Fuadi Bagian 1


Daster Macan ku tancapkan kunci dan kuakkan pintu itu tergesa-gesa.
Macet. Tidak beringsut. Hanya anak-anak kunci lain yang
bergoyang berdenting-denting. Aku lorotkan ransel tambunku
yang seberat batu ke lantai, lalu aku miringkan badan dan
aku sorong pintu ini dengan bahu. Bruk. Daun pintu tripleks
bercat biru muara itu akhirnya bergeser dengan bunyi terseret.
Engselnya merengek kurang minyak. Entah mengapa, di setiap
kamar kos yang aku pernah sewa di kota ini, ukuran rangka dan
daun pintu jarang yang klop.
Aroma lembap seperti bau timbunan koran basah mengerubuti hidungku begitu pintu menganga. Di tengah gelap, tanganku mencari-cari sakelar di pojok kamar. Bohlam usang itu
mengerjap-ngerjap beberapa kali seperti baru siuman dan lalu
bersinar malas-malasan, bagai protes minta diganti. Di bawah
sinar lindap, aku melihat kamarku masih persis seperti waktu
aku tinggalkan. Dipan kayu dengan kasur busa yang kisut bersanding dengan seonggok lemari plastik motif bunga anyelir
ungu yang sudah doyong ke kiri. Di sebelah pintu tegak sebuah
rak buku kelebihan beban dari kayu murahan, made in Balubur.
"Assalamualaikum, ketemu lagi kita," sapaku iseng ke seisi
kamar. Tentulah tidak ada yang menjawab karena semua benda
mati. Namun tiba-tiba aku meloncat kaget. Entah dari mana datangnya, bagai menjawab salamku, dua makhluk hitam berbulu
rantau1muara.indd 1 mencericit, zig-zag melewati kakiku dan lari lintang pukang
menerobos pintu kamarku yang terbuka sedikit. Di luar, Ibu
Kos yang sedang asyik menonton TV, tergagau sambil mengangkat kaki, "Eee cepot ee copooot! Kok, masih ada tikus" Ibu kan
kadang-kadang bersihin kamar itu ditemani Momon." Kucingnya, si Momon, menegakkan kuping dan melompat dari pangkuannya mengejar si tikus sampai lubang gelap di sudut dapur,
persis seperti Tom and Jerry. Ukuran "kadang-kadang" Ibu Kos
itu mungkin hanya sekali dua kali saja dalam setahun.
ain Seperti kebiasaanku setiap masuk kamar, aku julurkan tangan menekan tombol radio usangku. Jarum frekuensinya setentang angka 100.4, KLCBS FM, stasiun kesukaanku. Begitu
bunyi saksofon Spyro Gyra mengalirkan lagu "Morning Dance", seketika itu hawa pengap terasa mencair dan sudut-sudut
kamarku tampak lebih terang dan lapang. Sambil mengembuskan napas lega, aku tumpuk ransel dan koper besarku di sudut
kamar. Setelah mengembara mengitari separuh bola dunia, kini
aku kembali. Setahun yang telah membuat aku bukan pemuda
tahun lalu lagi. Aku yang baru, aku yang sudah berbeda. I am
back in Bandung. Karena malas pindah-pindah seperti kucing beranak, aku
"menghasut" Ibu Odah, ibu kosku, agar tidak melepas kamarku
ke orang lain selama aku pergi. Sebagai imbalan, aku imingi
sesuatu yang Ibu Kos tidak akan bisa tolak. "Nanti akan saya
cariin Ibu daster di luar negeri." Dia memang tipe ibu-ibu separuh umur yang selalu berbaju daster kembang segala rupa.
Belakangan aku sadar tidak ada daster di Kanada. Sebagai gantinya, aku belikanlah dia baju musim panas yang mirip-mirip
rantau1muara.indd 2 daster di lapak di sebelah Ch"teau Frontenac, Ville de Quebec.
Karena motif kembang habis, aku belikan yang bercorak loreng
macan. Ibu Odah girang bukan kepalang.
Kemoceng bersiut-siutan ketika aku sabetkan kiri dan kanan.
Beberapa sanak keluarga laba-laba lari terbirit-birit ketika tali-temali sarangnya aku amuk. Dan bersinku meletus-letus karena
menghirup butir-butir debu yang mengapung-apung pekat. Jerih
membersihkan kamar, aku rebahkan badan di dipan yang berderit itu. Senyumku terbit begitu menatap dinding kamarku. Di
sana terpampang coretan-coretan impian gilaku di atas sebuah
peta dunia. Satu coretan besar dengan spidol merah berbunyi:
"Aku ingin ke Amerika".
Dengan gadang hati, aku melonjak bangkit dari dipan, aku
contreng impian di dinding itu dengan spidol merah. Beres.
Tuntas. Tanganku lalu merogoh ransel. Secarik tiket Royal Jordanian itu aku tarik keluar. Di dalam kolom passenger tercetak
mantap namaku untuk jalur Montreal"Amman"Jakarta. Aku
tempelkan tiket bekas itu dengan paku rebana di atas peta. Alhamdulillah, man jadda wajada kembali mujarab.
Ada rasa bangga menjalar dari dasar hatiku. Apa yang aku
impikan akhirnya selalu tercapai. Uh, aku kok terdengar sombong" Mungkin sekali-sekali tidak apa, apalagi kalau kenyataannya
memang begitu. Kesombongan yang kelak aku sesali.
Dinding kos bergetar-getar ketika aku hunjamkan paku baja untuk menggantung bendera ini. Aku menertawakan diriku
sendiri. Mana pernah aku dulu berpikir akan memaku sang
rantau1muara.indd 3 Merah Putih di kamar. Aku tidak senasionalis itu. Tapi kini
aku dengan bangga melakukannya sebagai seorang duta muda
Indonesia. Bahkan aku pajang pula bendera Kanada yang berbentuk daun maple merah itu dan sepotong peta Quebec. Daratan Quebec yang menjulur ke arah Kutub dan Sungai Saint
Lawrence-nya yang bermuara ke Lautan Atlantik kini terasa
dekat di hatiku. Bukan aku ingin jadi orang Kanada tapi untuk
pengingat kenangan indah aku pernah tinggal di sana. Je me
souviens! Aku kan selalu ingat.
ain Tiba-tiba Ibu Kos menepuk-nepuk pintu kamarku. Heran.
Dari dulu dia tidak pernah mengetuk pintu, tapi selalu menepuk pintu dengan tangan terbuka. Buk-buk-buk. Tidak enak
didengar. Mungkin kali ini dia terganggu mendengar suara palu
beradu dengan dinding. "Punten Bu," kataku buru-buru membuka pintu kamar dan minta maaf. Tapi perhatiannya rupanya
tidak ke suara palu. "Lif, pas pisan. Meuni alus loreng maungna. Resep. Nuhun
nyak. Ibu suka lorengnya," kata Ibu Kos bertolak pinggang
bak peragawati. Aku mengacungkan jempol walau di mataku dia seperti orang sedang dipeluk macan. Si Momon saja
sampai melengkungkan punggungnya dan mengeong-ngeong
pilu melihat penampilan majikannya. Aku tidak tega menertawakannya, karena setiap melihat dia, aku ingat Amak. Usia
mereka sepantar. Bedanya Amak suka berbaju kurung dan
seorang guru SD, sedang Ibu Odah berdaster dan berkarier sebagai ibu kos sejak sepuluh tahun lalu setelah ditinggal wafat
oleh suaminya. "Sebelum lupa, ini surat-surat yang datang selama ini," ka4
rantau1muara.indd 4 tanya. Aku ulurkan tangan menerima satu plastik besar berisi
surat-surat. Beraneka rupa surat, mulai dari surat teman dari
Kanada, surat tagihan ini-itu, sampai surat dari koran yang
menolak naskahku. Tanganku terhenti di surat bersampul cokelat dengan gambar kujang kembar, lambang kampusku. Ada cap
besar di luarnya: PENTING! Dengan tinta merah yang tebal.
Aku buka amplop itu. Isinya surat peringatan, agar aku segera mendaftar ulang dan membayar uang kuliah. Aku urut-urut
keningku sendiri. Aku baru ingat kalau aku belum mengurus
pendaftaran kuliah selama di Kanada. Kalau tidak diurus, aku
bisa dianggap cuti lagi satu semester. Di surat ini tertulis, aku
harus mendaftar ke fakultas paling lambat tanggal 10 bulan ini.
Aku sudah terlambat seminggu.
Buk-buk-buk. Tepukan di pintu lagi. Sebelum aku jawab, kepala Ibu Kos tiba-tiba muncul dari balik pintu. "Punten pisan
Alif, baru datang sudah Ibu ganggu. Tapi Ibu lagi ribet dan
perlu duit untuk belanja bulanan. Tolong uang kosnya nyak,"
dia melempar senyum sekilas, dan kepalanya kembali lenyap di
balik pintu. Upeti daster macan pun tidak mampu menghalangi
tagihan uang kos yang jatuh tempo.
Bagus! Hanya dalam beberapa hela napas, dua masalah muncul. Uang kuliah dan bayar kos. Kedua-duanya sudah terlambat.
Aku merogoh dompet. Yang terselip di sana hanya ada selembar lima puluh ribuan kusut yang kesepian. Tidak cukup.
rantau1muara.indd 5 Getar Pembawa Rezeki engan malu-malu aku menelepon Bang Togar untuk melakukan hal yang paling aku benci: meminjam uang.
Bukannya bersimpati, dia malah menyalak, "Macam mana kau
ini. Gayanya bisa ke luar negeri, tapi kere. Foya-foya kau di
sana?" "Nggak Bang, duit abis untuk dikirim ke Amak dan beli
oleh-oleh buat semua orang, termasuk oleh-oleh khusus buat
Abang," kataku mencoba mengambil hatinya. Itu setengah dari
fakta. Selain untuk hadiah buat orang lain, uangku sebagian
lagi tandas untuk membeli buku-buku di Montreal buat diriku
sendiri. Mungkin memang adat Bang Togar saja yang suka mengintimidasi di awal. Selanjutnya dia bilang, "Ingat kau selama di
Kanada mengirimkan artikel ke koran di Bandung" Aku lihat
banyak artikel kau yang dimuat selama kau tak ada di Indonesia. Duit kau semua itu."
Mataku rasanya berbinar-binar. "Wah yang benar Bang"
Aku segera meluncur ke kantor redaksi sekarang," kataku terburu-buru. Selama di Kanada aku banyak berkirim tulisan ke
beberapa koran di Bandung, tanpa tahu tulisan itu dimuat atau
tidak. Aku hitung-hitung, honor berbagai tulisan itu akan cukup melunasi uang kuliah dan membiayai hidupku satu bulan
lebih. Alhamdulillah. rantau1muara.indd 6 "Eh, jangan lupa ke rumah ya. Kau bawa buah tangan khusus apa buatku?" tanyanya dengan nada penasaran sebelum aku
menutup telepon. Dengan dompet sesak menyembul dari saku belakangku, aku
melangkah pasti ke Kantor Fakultas. Selama ini Pak Wangsa
yang kurus tinggi menjaga meja administrasi dengan disiplin
dan lurus. Terlambat sedikit mengurus daftar ulang semesteran,
dia akan marah. Aku berharap semoga kali ini dia mau sedikit
fleksibel. Di depan hidungku Pak Wangsa bersungut-sungut. "Mana
mungkin kamu mengurus KRS kalau sudah terlambat seperti
ini. Sudah, kembali saja semester depan!" katanya dengan nada
tak acuh. Aku mencoba memohon dengan memberikan berbagai alasan.
"Terlambat ya terlambat," katanya menggeleng kuat-kuat. Jelas dia sedang tidak mood.
Aku tidak kurang akal. Aku keluarkan koran Pikiran Rakyat
dari tasku. Aku kembangkan lembar yang memuat tulisanku
yang berjudul "Alif Fikri Harumkan Nama Unpad, Menjadi
Duta Muda ke Kanada".
"Ini Pak, saya telat karena tugas mewakili Unpad. Mewakili
FISIP," kataku mengetuk-ngetukkan jari ke halaman itu.
Dia melihat sejurus dan air mukanya berganti senang. "Ini
teh benar kamu" Wah, saya jadi ikut bangga sebagai urang Unpad euyyy. Sok kadieu, saya uruskan."
rantau1muara.indd 7 Pendaftaran selesai hanya dalam beberapa menit.
Dari halaman kantor dekan, aku berbelok ke tempat kerumunan anak-anak FISIP. Pusat kerumunan itu adalah Warung 1
Meter Kang Maman yang kami gelari the Savior from Cimahi, sang
penyelamat dari Cimahi. Dialah penyelamat mahasiswa yang kelaparan dan kehausan di sela-sela kelas. Lalu dia menjelma menjadi penyantun kami di tanggal tua karena dia mau diutangi
sampai bulan depan. Di atas meja warungnya yang satu meter itu
dia menyuplai mulai bacang, aneka gorengan, kacang-kacangan
sampai Teh Botol. Kang Maman mengaku masih memegang
daftar utang para alumni yang lupa melunasinya sebelum lulus.
"Ya kapan-kapan mereka main ke kampus, saya tagih," katanya.
Begitu aku mendekat ke warung Kang Maman, Wira, Agam,
dan Memet dari Geng Uno memeluk dan mengguncang-guncang bahuku senang. Mereka melingkar di sekitarku sambil mengunyah combro mendengarkan ceritaku sampai sore. Mereka
sibuk bersuit-suit begitu aku singgung pula cerita tentang Raisa.
"Enaknya kamu Lif, bisa jalan-jalan ke Kanada gratis. Beruntung
banget," celetuk Memet.
Tentulah aku beruntung. Seandainya dia tahu dan merasakan
bagaimana aku mengorbankan kenikmatan-kenikmatan sesaat
untuk bisa sampai "beruntung". Berapa ratus malam sepi yang
aku habiskan sampai dini hari untuk mengasah kemampuanku, belajar, membaca, menulis, dan berlatih tanpa henti.
Melebihkan usaha di atas rata-rata orang lain agar aku bisa meningkatkan harkat diriku.
rantau1muara.indd 8 Sejak tulisan-tulisan yang aku kirim dari Kanada dimuat, aku
semakin dikenal oleh para redaktur koran dan tabloid di Bandung. Bulan ini, aku kaget ketika diminta oleh redaktur koran
Warta Bandung untuk menulis kolom tetap. Sebuah kehormatan
besar. Minggu lalu ada lagi permintaan dari media yang berbeda
untuk membuat analisis politik luar negeri. Bayangkan, selama
ini aku yang mengirimkan tulisan dan belum tentu dimuat,
sekarang aku yang diminta menulis. Kini setiap tulisan yang keluar dari kamarku adalah tulisan yang pasti dimuat. Semangat
menulisku semakin menggebu-gebu, apalagi belakangan aku juga sering menjadi juara lomba karya tulis level nasional.
Untuk mempermudah komunikasi dengan beberapa redaktur, aku kini punya pager yang kerap bergetar-getar di pinggang. Setiap getar, rasanya sebuah kemewahan. Setiap getar
biasanya membawa rezeki. Kadang-kadang isinya tidak bisa bersabar. "Mohon menulis tentang pendidikan alternatif di luar
negeri, ditunggu besok pagi untuk segera dimuat. Ttd. Redaksi
opini." Kombinasi honor yang teratur dan hadiah lomba karya tulis
yang berjuta-juta membuat hidupku sejahtera. Hanya dalam
beberapa bulan aku sudah punya uang cukup untuk membeli
komputer yang lebih layak. Sudah naik kelas ke Pentium, bukan XT lagi. Sedangkan jatah kiriman untuk Amak dan biaya
sekolah adik-adikku bisa aku naikkan tiap bulan.
Mungkin benar juga kata pepatah yang konon berasal dari
Imam Al-Ghazali, "Jika kau bukan anak raja dan juga bukan
anak ulama besar, maka menulislah." Aku bukan anak orang
kaya, bukan anak orang berkuasa, dan bukan pula anak orang
terpandang, maka menulis sajalah yang harus aku lakukan.
rantau1muara.indd 9 Waktu terasa semakin ligat karena aku mendapat beasiswa
sebagai visiting student di the National University of Singapore
selama satu semester. Ini aku dapatkan gara-gara keseringan
membaca papan pengumuman beasiswa di depan Kantor
Fakultas. Begitu melihat poster Singapore International Foundation Fellowship, aku langsung mendaftar. Setelah dites oleh
panitia, aku terbang ke Singapura hanya satu hari setelah sidang
skripsi selesai. Satu semester kemudian, aku kembali ke Bandung. Aku
ingat sekali waktu aku melenggang turun dengan langkah
ringan dari pesawat Singapore Airlines yang membawaku dari
Changi. Aku merasa menjelma seperti tokoh utama di film
Hollywood yang melangkah gagah menuruni tangga pesawat
dengan slow motion. Ujung-ujung rambut berkibar-kibar ditiup
angin dan musik yang megah mengiringi. Inilah aku, seorang
anak kampung, yang telah melanglang separuh dunia dengan
tanpa membayar sepeser pun. Inilah aku, mahasiswa yang jadi
kolumnis tetap di media dan telah sukses membiayai hidup dan
kuliah sendiri. Belum pernah rasanya aku sepercaya diri ini.
Aku tidak pernah menyangka, empat semester yang penuh
kelimpahan ini segera berlalu....
rantau1muara.indd 10 Koran Kurus elegalisir ijazah" adalah kegiatan yang populer di kalangan kami yang baru diwisuda. Ini kegiatan penanda
bahwa masa bersenang-senang di kampus sudah habis. Kini tiba
waktunya bersaing mencari kerja, atau bahasa sopannya, saat
mengamalkan ilmu di masyarakat.
"Kamu sih enak Lif, banyak pengalaman luar negerinya. Pasti banyak yang manggil wawancara," kata Wira kepadaku ketika
kami sama-sama antre mendapatkan cap legalisasi di depan
ruang tata usaha. "Ah, nggak juga," kataku mencoba merendah walau dalam
hati aku mengiyakan. "Lah kamu sebagai aktivis dan ketua Senat pasti juga diincar
oleh berbagai perusahaan penting," balasku. Wira hanya tersenyum saja. Sejak berani melawan tindakan represif senior di
acara perploncoan dulu, Wira terus meniti karier menjadi aktivis dan pemimpin gerakan mahasiswa yang terkenal. Ia disegani
oleh kawan dan lawan dan juga dipuja oleh para mahasiswi.
"Jadi sudah ngirim lamaran ke mana aja?" tanya Wira lagi.
"Baru mau mulai," balasku. Sejak aku jadi penulis tetap di
berbagai media, aku memang tidak merasa terburu-buru untuk
mencari kerja yang lain. Penghasilanku sekarang cukup dan aku
punya waktu yang fleksibel. Aku tidak ingin asal melamar kerja
rantau1muara.indd 11 saja. Hanya tempat kerja yang sesuai dengan minat dan panggilan jiwaku yang akan aku bidik. Lagi pula, aku merasa kualifikasiku sudah melejit melompati orang sepantaranku.
Mungkin aku kini salah satu lulusan terbaik dibandingkan seluruh teman kuliahku, seluruh angkatanku di Pondok Madani,
dan seluruh anak muda dari kampungku. Jadi aku dengan ge-er
membayangkan perusahaan-perusahaan besar akan berebut menawariku gaji tinggi. Sementara ibu-ibu di kampungku mungkin
berebut menjodohkanku dengan anak gadis mereka.
Amak pernah bertanya kenapa aku tidak mau jadi pegawai
negeri. Di keluargaku, salah satu profesi favorit adalah menjadi
guru dan pegawai negeri. "Jadi pegawai negeri itu jelas dan
pasti, di masa tua pun akan aman karena mendapatkan pensiun," terang Amak. Aku hanya menggeleng. Ingatanku kembali
ke pesan Kiai Rais, "Jangan gampang terbuai keamanan dan
kemapanan. Hidup itu kadang perlu beradu, bergejolak, bergesekan. Dari gesekan dan kesulitanlah, sebuah pribadi akan
terbentuk matang. Banyak profesi di luar sana, usahakanlah
untuk memilih yang paling mendewasakan dan yang paling
bermanfaat buat sesama. Lalu kalau kalian nanti sudah bekerja,
jangan puas jadi pegawai selamanya, tapi punyailah pegawai."
Sebetulnya diplomat sempat masuk ke dalam profesi impianku. Rasanya cool, melihat kakak seniorku yang telah jadi pegawai negeri di Departemen Luar Negeri. Selain bisa bertugas di
kedutaan Indonesia di segala penjuru dunia, aku selalu terkesan


Rantau Satu Muara Buku 3 Negeri Lima Menara Karya Ahmad Fuadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melihat mereka selalu necis dengan jas dan dasi. Terlihat smart
dan sharp. Pak Etek-ku malah memberi masukan lain. "Kalau mau
rantau1muara.indd 12 kelihatan necis dan bisa ke luar negeri, tidak hanya melalui jalur diplomat. Banyak cara lain yang tidak kalah seru." Alasan
dia itu cukup membuat aku tidak lagi tertarik dengan jabatan
pegawai negeri. Aku sedang berpikir-pikir untuk bekerja di
organisasi internasional seperti WHO, Unicef, atau mungkin
media asing. "Lif, punten nyak, mulai sekarang Ibu tidak bisa lagi nyediain
sarapan dan teh manis. Minyak tanah dan sembako makin mahal. Krismon euy. Kecuali kamu mau nambah uang kos," kata
Ibu Kos pagi-pagi. Selama ini uang kosku sudah termasuk sarapan ringan.
Kosakata krismon atau krisis moneter baru saja menjadi
buah bibir sejak harga dolar melambung dan ikut mengatrol
harga barang. Tapi Ibu Odah sudah fasih memakai istilah krismon dalam pembicaraan sehari-hari. "Ngomong krismon itu
ingat si Momon, kucing jantan ibu ini. Sama-sama nyusahin
dan bikin pusing," katanya menyodorkan logika anehnya sambil
terkekeh. Selain senang memakai daster, ibu kosku adalah pecandu
siaran berita di TV. Segenap berita politik sampai gosip diikutinya dengan saksama. Program favoritnya Seputar Indonesia
dan Liputan 6. Karena kecerewetannya bercerita, aku kadang
mendapat berita politik dan gosip terhangat dari dia. Dengan
menemaninya duduk setengah jam saja, maka aku mengerti apa
isi berita sepanjang hari.
Walau tarif kos sudah naik tapi tepukan di pintu kamarku
rantau1muara.indd 13 semakin sering datang. Ibu Kos kini kerap meminjam uang, padahal dulu tidak pernah sama sekali. Belakangan aku tahu, Teh
Arti, anak sulung ibu kos pekan lalu kena PHK. "Juragan tekstilnya mudik ke India dan nutup pabrik di Bandung," begitu
kata Ibu Kos. Lapangan kerja tampaknya kini lebih banyak yang
dihilangkan daripada dibuka.
Bagaimana nasib para pencari kerja baru seperti aku dan
teman-teman kuliah" Aku masih bisa tenang-tenang karena punya penghasilan dari menulis tapi aku kasihan dengan teman-teman yang lulus kuliah dan harus segera mencari kerja.
Hari ini aku mampir ke koran Suara Bandung untuk mengambil honor dari tulisan bulan lalu. Untuk sampai ke ruang
kasir, aku harus melintas di depan ruangan Pak Endang, redaktur pelaksana yang eksentrik. Dia suka memberi teka-teki
yang aneh-aneh kepada stafnya, yang jawabannya hanya dia
dan Tuhan yang tahu. Aku selalu menghindar agar tidak sampai tersandera di ruangannya dengan teka-teki aneh. Tapi aku
terlambat, kepalanya sudah mencogok dari balik pintu ruangannya. Dia tersenyum lebar bagai seorang anak yang baru dapat
mainan baru. Kena deh! "Lif, alat yang digunakan di meja makan. Awalnya T akhirnya
I. Sembilan huruf," serobotnya.
Yah, mana aku tahu, sepanjang itu lagi. Setelah menunggu
jawabanku beberapa detik, dengan kalem dia bilang, "Tusuk
gigi". Aku mau protes, tusuk gigi bukan alat untuk makan.
Tapi sudahlah, tak ada untungnya bersilat lidah dengan dia.
Memang selain menjadi redaktur pelaksana, Pak Endang atas
rantau1muara.indd 14 kemauannya sendiri merangkap menjadi pembuat TTS di koran
ini, posisi yang sangat dia banggakan. Di mejanya menumpuk
berbagai buku kumpulan TTS. "Hobi sejak kecil," katanya ketika aku tanya kenapa dia suka teka-teki dan TTS.
Ketika aku akan meneruskan langkah, dia memanggilku dengan kibasan tangannya, "Alif, kadieu heula, ngobrol di dalam,"
katanya. Terakhir dia memanggilku masuk ruangannya dua
tahun lalu, untuk memastikan aku bisa menulis teratur untuk
korannya. Aku sedang malas menghadapinya dan mencoba berkelit dengan bilang akan ke toilet. "Ya sudah, pakai toilet di
ruang saya aja, saya tungguin." Ah, alasan yang salah. Dengan
pasrah aku melangkah juga ke dalam ruangannya. Ya Tuhan,
semoga tidak ada teka-teki lain lagi.
"Kumaha, damang" Baik kabarnya?" tanyanya sambil menunjuk kursi mempersilakan aku duduk. "Pangestu Pak," jawabku
membalas basa-basi ini. Matanya menatap ke dinding tapi tangannya sibuk menyusun kertas-kertas dan koran-koran yang
sebenarnya sudah teronggok rapi di mejanya.
"Negara kita ini kok ya aneh. Kebutuhan perut masyarakat
seperti beras, gula, garam bisa disubsidi. Padahal manusia kan
bukan cuma perlu mengisi perut, tapi juga buat mengisi ini,"
telunjuknya menyentuh jidatnya tiga kali.
Aku mengangguk-angguk pura-pura setuju walau aku tidak
paham arah pembicaraan ini. Jangan-jangan, ini pembukaan
menuju teka-teki yang lain lagi. Aku bersiap-siap pamit.
"Coba Lif, apa makanan kepalaku ini" Empat huruf," tanyanya. Nah, akhirnya sesi teka-teki dilanjutkan lagi. Kayaknya ini
gampang. rantau1muara.indd 15 "Ehmm, ilmu?" jawabku.
Dia tersenyum lebar. Tumben jawabanku jitu.
"Iya, ilmu. Nah, apa pemerintah itu tidak mikir soal makanan
kepala. Itu hajat orang banyak. Tau gak ilmu disampaikan lewat
apa" Enam huruf."
Aku duduk gelisah. Ini seperti kuis berlapis-lapis. Kalau
benar aku untung, kalau salah aku seperti orang bodoh.
"Iya lewat kuliah, hmm lewat pulpen, hmm kertas"." Sekalian aku jawab banyak, biar jika salah satu, masih benar yang
lain. Dia menyerobot. "Iya pinter, itu yang aku maksud, ilmu itu
disampaikan kertas. Enam huruf kan?"
Aku mengangguk-angguk lagi, syukurlah, jawabanku ada
yang mengena. "Jadi itulah yang bikin saya pusing Lif. Karena harga kertas
ikut pasar dan tanpa subsidi pemerintah, saat krismon ini harga
kertas naik gila-gilaan. Apalagi setelah dolar naik. Pajak kertas
mahalnya minta ampun. Saya baru dikabari, mulai minggu ini
harga kertas akan naik sampai 30 persen." Dia mengelus-elus
kepalanya yang licin mengkilat. Tangannya kembali menyusun
koran dan kumpulan TTS-nya.
"Kalau pangan bisa disubsidi karena dianggap hajat perut
orang banyak, maka kertas sebagai hajat kepala orang banyak
harus bisa disubsidi juga dong. Tanpa subsidi kertas, buku di
Indonesia lebih mahal daripada negara lain seperti India. "Dia
bicara berapi-api. Aku mengangguk-angguk paham tapi sebenarnya bosan.
rantau1muara.indd 16 "Sementara saya tidak bisa begitu saja menaikkan harga jual
koran. Karena akan membuat pembaca keberatan dan itu bisa
membahayakan oplah kita."
Sekarang dia memandangku dengan tatapan yang aku tidak
mengerti. Sayu. Aku tidak enak menatap matanya. Jadi, aku
tanggapi saja pembicaraannya. "Mungkin kertasnya diturunkan
kualitasnya" Atau ukuran koran dikecilkan jadi seperti tabloid?"
Dia tersenyum tawar. "Kamu memang pintar. Itulah yang
akan kita lakukan agar tetap terbit dan pembaca tidak berat
dengan harga kertas baru. Harga tetap sama, tapi kertas akan
lebih tipis, ukuran lebih kecil, bahkan jumlah halaman akan
berkurang. Koran kita akan lebih kurus."
Aku mereka-reka apakah yang aku pikirkan adalah yang
akan dia sampaikan. Dia mengelus kepala lagi lalu menggaruk
ubun-ubun dan mendeham. "Jadi Lif, karena mulai minggu depan kita akan menyusutkan
halaman, saya mohon pengertianmu. Untuk sementara waktu,
kami tidak akan bisa memuat tulisan dari penulis luar lagi.
Karena itu, kontrakmu menulis teratur untuk sementara kami
tangguhkan. Sekali lagi, untuk sementara aja, sampai situasi
kembali normal." Tiada teka-teki lagi dari dia. Kali ini cukup terang dan jelas.
Tulisanku tidak akan dimuat untuk waktu yang tidak ditentukan. Tiada tulisan, tiada pemasukan.
Aku cuma mengangguk-angguk seperti burung beo. Dia
menjulurkan tangannya menyalamiku. "Semoga harga kertas
segera stabil Lif, jadi kami bisa memuat tulisan bermutu dari
kamu lagi." rantau1muara.indd 17 Krisis ekonomi Thailand yang sebelumnya terasa jauh dari
duniaku, sekonyong-konyong membekap Bandung dan langsung
menjerat tengkukku. Berat dan dingin. Membuatku gamang.
Karena profesiku sebagai penulis akan macet, maka urusan
melamar pekerjaan tidak bisa aku tunda lagi. Malam tanggal 9
Maret 1998 itu aku begadang menulis surat lamaran dan besok
paginya aku sudah sampai di Kantor Pos Besar Bandung untuk
mengirimkan surat-surat itu. Dengan memejamkan mata dan
menyebut basmalah, aku lepas surat-surat lamaran itu terbang
ke lusinan organisasi internasional dan korporasi.
Ketika aku pulang ke rumah kos, Ibu Kos kembali nyap-nyap
sambil bertolak pinggang. "Kumaha ini" Negara susah, tapi kok
wakil rakyat di Senayan masih mau milih Pak Harto" Sudah tujuh kali, Ibu mah sudah bosen." Dia percaya kalau Pak Harto
sudah terlalu tua dan tidak kuat lagi memimpin Indonesia.
"Apalagi sudah ditinggal sama Ibu Tien. Seharusnya pensiun
saja, main-main sama cucu di rumah. Rajin maca Quran dan ke
masjid," katanya panjang lebar, seakan-akan dia bisa mengatur
Pak Harto sekehendak hatinya.
Sepertinya dia terbawa emosi setelah menonton Seputar Indonesia atau Liputan 6 tentang pelantikan Presiden Suharto oleh
MPR. "Sama Bu, kami mahasiswa juga sudah ingin dia turun baikbaik dari jabatannya. Emangnya mau seumur hidup," jawabku.
Sejak hari ini semakin banyak mahasiswa di seluruh Indonesia
turun ke jalan untuk menuntut Suharto lengser dari kursi presiden. Mereka dengan berani berhadapan dengan aparat ke-
rantau1muara.indd 18 amanan yang kerap menggunakan gas air mata, pentungan,
sampai peluru karet untuk membubarkan massa.
Dalam sekejap, Indonesia dipenuhi demonstrasi seiring
dengan harga dolar yang membubung dan kenaikan harga
BBM. Aku dan Geng Uno, walau sudah lulus, tetap ikut bergabung dengan demo mahasiswa sampai ke Gedung Sate. Ketika hampir semua kampus bergerak di segala penjuru Tanah
Air, untuk pertama kalinya Pak Harto yang selama ini perkasa,
tampak mulai goyah. rantau1muara.indd 19 Pintu Kecil di Sudut Asia Afrika
ari itu kepalaku berat. Aku terserang pilek parah dan
hanya bisa bergelung dan berkelumun di bawah selimut.
Saputangan tidak henti-henti aku bekapkan ke hidung untuk
mengeringkan ingus yang lancar mengalir. Tiba-tiba aku terkejut
mendengar tangisan keras Ibu Kos dari ruang makan, di tempat
dia biasa menonton televisi. Terhuyung-huyung aku menjenguk
ke luar. "Ada apa Bu?"
"Aduh, kok pada tega membunuh mahasiswa! Ke mana hati
tentara dan pejabat ini," katanya menyeka air mata. Tangannya
menunjuk ke layar televisi yang sedang menyiarkan berbagai
kegiatan demo di Jakarta dan kota lainnya. Momon mengeongngeong seperti ikut resah.
Reporter TV melaporkan bahwa empat mahasiswa Universitas Trisakti, Jakarta, tewas diterjang peluru aparat keamanan
ketika terjadi aksi keprihatinan ribuan mahasiswa di dalam
kampus mereka. Puluhan mahasiswa lainnya menderita lukaluka berat dan ringan. Aku ikut merinding melihat liputan ini
karena baru minggu lalu aku ikut demonstrasi bersama mahasiswa berbagai perguruan tinggi di Bandung.
Bagai sumbu dicetus api, empat korban jiwa ini semakin
membakar semangat mahasiswa. Sejak saat itu demontrasi besar-besaran tidak terbendung lagi menuntut reformasi dan Pak
rantau1muara.indd 20 Harto mundur. Tidak hanya mahasiswa yang bergerak tapi ada
juga penjarah yang membongkar toko-toko dan membakar bangunan serta kendaraan di Jakarta dan kota-kota besar lain.
Siaran televisi penuh dengan gambar yang berulang, yaitu orang
berlari-larian menuju toko yang dirusak, asap, api, dan suara kaca pecah. Lalu segerombolan orang dalam sekejap muncul dan
mengangkuti apa saja yang mereka dapatkan dari toko. Chaos di
mana-mana. Besok hari Wira muncul di depan kamarku. "Lif, mau ikut"
Untuk solidaritas kawan mahasiswa yang meninggal di Jakarta.
Di Gedung Sate bersama teman-teman."
"Aku ikut." Aku lupa kalau sedang flu berat. Bergabung
dengan para pendemo untuk menurunkan pemerintah Orde
Baru saat itu rasanya bagai berjihad membela Ibu Pertiwi.
Heroisme inilah yang menyulut gelombang demi gelombang
mahasiswa untuk turun ke jalanan dan menyemut memenuhi
kompleks gedung DPR/MPR. Tokoh reformasi seperti Amien
Rais, Megawati, Gus Dur, dan Sultan Hamengkubowono X menyerukan Pak Harto turun dari takhta. Di tengah suasana yang
makin kacau, para anggota kabinet mundur dan loyalis Orde
Baru pun ikut menyerukan agar Pak Harto mundur. Harinya
sudah senja. Pagi itu aku ikut duduk di depan TV bersama Ibu Kos
yang tidak henti-hentinya ngemil kacang. Dia mengaku, kalau
gelisah dia jadi suka lapar. Rumor yang beredar, Pak Harto
mungkin akan mundur. Semua TV melakukan siaran langsung
dari Credentials Room di Istana Merdeka, Jakarta. Dengan
wajah redup Pak Harto berpidato. "Saya memutuskan untuk
rantau1muara.indd 21 menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden RI, terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini pada hari ini, Kamis,
21 Mei 1998"." Aku ikut melonjak-lonjak gembira melihat laporan ini di
televisi. Hal yang dulu dianggap mustahil itu kini jadi nyata.
Dari jauh aku bisa ikut merasakan euforia ribuan mahasiswa
yang berteriak dan mengibarkan bendera Merah Putih di halaman dan atap Gedung DPR di Senayan.
Ibu kosku ikut bangkit dari sofa, tidak memedulikan stoples
kacangnya yang tumpah, mengangkat kedua tangan dan menyalamiku, "Terima kasih dan selamat ya Lif, negara kita repormasi juga." Huruf "f" ibu kos yang asli Cicalengka dan sudah
lama merantau di Bandung ini jelas tertukar dengan "p".
"Kenapa Ibu menyelamati saya?"
"Kalian anak-anak mahasiswa lebih kuat dari politikus dan
tentara. Menumbangkan pemerintahan Orde Baru. Kalau bukan mahasiswa siapa lagi?"
Aku tersenyum-senyum dan geleng-geleng kepala. Bagi Ibu
Kos, aku yang baru lulus ini masih disebut mahasiswa dan turunnya Pak Harto dianggap jasa kami. Mungkin karena di seluruh televisi dan koran, yang tampak berteriak-teriak sampai ke
Gedung MPR itu ya para mahasiswa.
"Asal nanti kita tidak repotnasi aja, repot nyari nasi," katanya berseloroh sambil memunguti kacang yang terserak di
lantai. "Tolong Ibu dibantu," katanya menunjuk ke sebuah
foto di dinding. Aku turunkan foto laki-laki berpeci dan berjas
itu. Dua ekor anak cicak yang berumah di balik foto itu lari
rantau1muara.indd 22 terbirit-birit. Yang tertinggal di belakang bekas gantungan foto
itu adalah dinding belang berbeda cat. Foto Pak Harto sudah
berpuluh tahun tergantung di sana.
Tumbangnya Orde Baru dan lengsernya Pak Harto mungkin
melegakan hati sebagian besar masyarakat tapi belum bisa segera
mengubah suasana ekonomi yang morat-marit. Peluangku mendapat pekerjaan makin buram. Satu per satu surat lamaranku
mulai dibalas oleh perusahaan yang aku hubungi.
Suratnya berkop di atas kertas mewah, tapi isinya hampir
seragam. Kira-kira seperti ini: "We are very impressed with your
strong resume. Unfortunately, your qualification does not match our
need." atau "Due to recent economic crisis, we postpone our recruitment process." Apa pun isinya, artinya sama: aku belum diterima.
Sebagai hiburan, di pengujung surat ada kalimat bagai pil pahit
bersalut gula, "We wish you a great success in your endeavor." Kami
doakan Anda sukses di usaha yang lain.
Hari ini aku tahu, krismon telah menusuk ulu hatiku, ketika
uang yang ada di dompetku hanya cukup untuk membeli makan
siang hari ini. Semua tabunganku di masa makmur dulu tidak
bersisa lagi. Sudah sebulan pula aku tidak mengirim uang sekolah untuk adik-adikku dan sudah dua minggu aku menunda
pembayaran uang kos. Hari ini aku insaf, sudah waktunya harus
melakukan tindakan yang selama ini selalu kuhindari.
Tidak ada jalan lain. Dengan membulatkan tekad, aku naiki
angkot jurusan Dago-Kalapa berwarna hijau itu. Tujuanku satu,
Jalan Asia Afrika. Menemui sebuah nama yang aku yakin bisa
memberikan solusi walau untuk sesaat.
rantau1muara.indd 23 Aku meloncat turun dari angkot tepat di perempatan Jalan
Lengkong dan Jalan Asia Afrika. Tanpa memedulikan gerimis
tipis, aku terus berjalan. Tujuanku satu itu saja. Pintu itu. Ruangan itu. Siang ini serasa senja. Awan hitam berlapis-lapis
menggantung di langit dan guruh menggeram-geram.
Aku intai ruangan itu dari jauh. Ada orang di dalamnya, lalu dia pergi tanpa menutup pintu. Ini kesempatanku. Aku baru


Rantau Satu Muara Buku 3 Negeri Lima Menara Karya Ahmad Fuadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akan melangkah tapi seseorang lain segera masuk. Aku urungkan niatku lagi. Untung cuma sebentar, dia berlalu dengan langkah lebar. Pintu itu masih merenggang sebesar badan. Ini waktunya. Aku percepat langkah dan aku kuak pintu kamar kecil
itu. Inilah penyelamatku. Ruang kecil yang sejuk karena ber-AC.
Teduh dan aman rasanya. Di sudut ruangan dia bersandar ke
dinding bagai mengimbau-imbauku untuk mendekat.
Aku rogoh dompetku dan aku genggam senjata terakhir ini.
Sudah lama aku menimbang-nimbang. Kalau situasi semakin
kritis, memang hanya ini jalan keluar sementara. Tanpa malu.
Tanpa meminjam kepada manusia yang aku kenal. Tanpa harus
berhadapan dengan makhluk hidup.
Kartu yang aku sodorkan sudah hilang ditelannya. Dia adalah mesin yang akan mematuhiku. Aku tekan tombol angkaangka itu. Respons mesin ini merengek lalu memuntahkan
berlembar-lembar puluhan ribu rupiah ke tanganku. Selembar
struk keluar otomatis dari mulut mesin, persis bagai seseorang
yang memeletkan lidah mengolok-olok diriku. Semoga ini terakhir kali aku ke sini untuk menarik uang dari kartu kredit,
bukan dari rekening tabungan yang sudah mencatat saldo 0.
rantau1muara.indd 24 Suara geluduk datang menggelegar. Di luar sana, langit seperti
bocor, menggelontorkan butiran air hujan yang gemuk-gemuk.
Aku sadar sesadar-sadarnya, menarik tunai di ATM dari
kartu kredit adalah kesalahan elementer dan salah satu dosa terbesar seorang pemegang kartu kredit. Hari ini aku bukan lagi
orang merdeka. Aku terjajah oleh utang.
rantau1muara.indd 25 Surat di Depan Kardus ku baru saja diwawancara untuk posisi management trainee
di kantor perusahaan telekomunikasi di pusat Kota Bandung. Semoga kali ini lulus, kataku membatin sambil melangkah ke pinggir jalan untuk menyetop angkot. Tiba-tiba,
hanya dalam sekelebat pandang, aku terkesiap. Ujung sepatuku
seperti mencengkeram trotoar. Ingin aku membalikkan badan,
menghindar jauh, kalau perlu bersembunyi. Ini bukan waktu
yang tepat untuk bertemu. Tapi sudah terlambat. Keduanya
sudah melihatku dan melambai ke arahku.
"Hoi, Lif. Sombong betul wa"ang! Sejak pulang dari Singapura
indak pernah berkabar," seru Randai dengan seringai khasnya.
Di belakangnya, dengan senyum yang tidak akan aku lupakan,
Raisa menambahkan, "Iya, mana nih oleh-oleh buat kawan lama?" Kata "kawan" yang terucap darinya itu mengingatkanku
pada kenangan Saint Raymond dan kejadian wisuda lalu. Pedih.
Sekeras aku menolak, sekeras itu pula mereka berdua mengajakku untuk mengobrol sambil makan siang di rumah makan
Saung Sunda. "Jangan begitu Kawan, iko hari ulang tahun den,
jarang-jarang kita bertemu," bujuk Randai. Aku terpaksa mengalah.
Dengan segala cara, aku belokkan pembicaraan kami dari
masalah kerja. Tapi bagaimana mungkin bisa" Bagi orang yang
rantau1muara.indd 26 baru lulus kuliah, apa lagi yang jadi topik hangat selain mencari
kerja. Dan pertanyaan berat itu datang juga, seperti tonjokan
alu di ulu hati. "Jadi sudah kerja di mana nih sekarang" Pakai dasi gaya sekali?" tanya Raisa. Aku menekur. Duh, dasi wawancara tadi belum sempat aku copot. Dasi, lambang yang bisa menipu. Kalau
terpajang di leher pengusaha, dia adalah simbol status yang
patut. Kalau tersangkut di leher pencari kerja sepertiku, seperti
simbol kosong yang mencekik kenyataan. Hidup tetap susah,
dasi hanya tameng dan penghibur diri semata.
Aku berpikir keras bagaimana cara menjawab pertanyaan tanpa berbohong, tapi juga tidak merendahkan harkatku di depan
mereka. "Aku masih menunggu hasil beberapa wawancara. Sementara itu aku terus menulis," kataku.
Tidak perlu menunggu lama, Randai seperti biasa mulai
membuka konflik. "Aden sekarang sedang mengurus tugas belajar dari IPTN. Kemungkinan aden akan belajar di Eropa atau
Amerika, atau ikut training di markas Airbus atau Boeing,"
katanya seperti membanggakan diri. Aku tahu gaya dia selalu
berusaha memancing kompetisi.
"Kita lihat saja nanti. Siapa yang lebih dulu belajar di Eropa
atau Amerika!" balasku dengan suara yang keras dan meyakinkan. Walau dalam hatiku tanpa keyakinan.
"Masa orang dengan kualitas bagus seperti wa"ang belum dapat kerja juga?" kata Randai bagai meluncurkan sebuah uppercut
keras. Mungkin ini cara dia membakar semangatku. Tapi kali
ini aku merasa tersindir dan harga diriku tergores. Selama ini
aku bisa melayani dan membuktikan prestasiku yang tak kalah
rantau1muara.indd 27 darinya. Itu dulu. Kini, ketika saling menyebut prestasi di depan
Raisa, aku bagai terjajar di pojok ring. Ke mana harga diriku
harus aku letakkan. "Setiap sesuatu ada waktu. Doain aja sebentar lagi," kataku
datar. "Iya, kita doain deh Lif," kata Raisa mencoba menetralkan
keadaan. Mungkin dia bisa merasakan tensi yang meningkat.
"Ingatlah baik-baik, wa"ang kini sudah ketinggalan beberapa
langkah dari aden. Yakin bisa mengejar?" Seringai Randai berkelebat lagi. Gaya kurang ajarnya sejak kecil dulu memang tidak
berganti. Dan selalu berhasil memancingku untuk membalasnya.
"Jangankan mengejar, bahkan aku akan melampaui."
"Ooo, kalau berani, jangan cuma soal kerja, tapi juga soal
kuliah S-2. Gimana?"
"Oke, deal! Belajar dan bekerja di Eropa atau Amerika."
"Siapa takut. Deal!"
Kami bersalaman dengan sentakan keras. Raisa memalingkan
mukanya ke arahku lalu ke Randai berganti-ganti dengan muka
bingung. Mungkin dia ingin melerai kami, atau dia purapura bingung. Ah, siapa peduli. Dadaku terbakar rasa kesal.
Lihat saja nanti. Aku akan mengalahkan Randai. Aku kadang
berpikir mungkin kami berdua membutuhkan satu sama lain
untuk mengukur kekuatan, untuk mengukur sejauh mana kami
bisa mengalahkan dan menjadi lebih baik. Persaingan yang
panas tapi sehat. Fastabiqul khairat, berlomba-lomba menuju
kebaikan. rantau1muara.indd 28 Konsistensi yang diperlihatkan Randai sebentar lagi akan
mengantarkan dia mencapai impian kami berdua dulu, yaitu
belajar membuat pesawat sampai ke Jerman, tempat Habibie
bersekolah. Sedangkan aku"
Mungkin malah Randai yang memaknai salah satu "mantra"
yang diajarkan di Pondok Madani: Man saara ala darbi washala,
siapa yang berjalan di jalannya, akan sampai di tujuan. Jalan apa
yang aku tempuh" Jalur mana yang aku ambil" Sampai ke mana
tujuan yang aku ingin capai" Entahlah, semuanya terasa kabur.
Aku ingat pesan Kiai Rais, "Berusahalah untuk mencapai
sesuatu yang luar biasa dalam hidup kalian setiap tiga sampai
lima tahun. Konsistenlah selama itu, maka insya Allah akan
ada terobosan prestasi yang tercapai." Jadi aku harus konsisten
selama lima tahun" Bagaimana kalau aku tidak suka dengan
apa yang aku lakukan selama itu" Bagaimana kalau aku sudah
telanjur tercebur ke suatu bidang" Kapankah aku boleh melangkah surut atau berbelok arah"
Jika aku lihat Randai, maka dia sudah melakukan konsistensi
paling tidak enam tahun sampai sekarang. Kuliah teknik penerbangan selama lima tahun dan dia langsung bekerja di industri
penerbangan. Dia fokus, dia tekun, dia konsisten di bidangnya.
Tidak heran kalau dia punya terobosan dalam hidupnya.
Aku menghitung-hitung apa bidang keilmuan yang aku tekuni dengan intensitas tinggi selama lima tahun terakhir" Aku
harus jujur: tidak ada. Semua serba tanggung. Di masa kuliah
kurang dari lima tahun terakhir, aku belajar ilmu hubungan in29
rantau1muara.indd 29 ternasional. Tapi itu pun belum genap lima tahun. Ilmu agama"
Memang pernah aku dalami empat tahun, tapi itu dulu ketika
di Madani. Memang tidak ada sama sekali bidang keilmuan yang aku
dalami dengan konsisten. Tapi aku mencoba menghibur diri,
paling tidak di bidang nonpelajaran, ada satu bidang yang tidak
pernah putus kugeluti selama delapan tahun terakhir hidupku.
Aku konsisten mengasah kemampuan menulis.
Aku mulai dari menulis buku harian di usia 13 tahun, lalu
di Pondok Madani aku bergabung dengan majalah Syams. Dan
sepanjang kuliah di Unpad aku aktif di majalah Kutub. Dan
aku terus menulis untuk media massa sampai hari ini. Aku
telah merasakan susah payahnya menulis, telah melatihnya
siang dan malam. Ini mungkin seperti yang dilakukan Imam
Syafii ketika menuntut ilmu ke berbagai daerah di usia muda.
Seperti Bill Gates menekuni dunia komputer. Seperti Beatles
berlatih musik. Atau seperti Pele ketika belajar menyepak bola.
Aku telah menginvestasikan waktu dan usaha panjang untuk
mengasah ujung penaku. Bukankah ini salah satu bentuk konsistensi" Sudah bertahun-tahun aku menanam, mungkin sekarang waktunya menuai. Man yazra yahsud. Siapa yang menanam, dia menuai.
Jangan-jangan ini adalah jalurku yang selama ini tidak kusadari. Jangan-jangan ini misiku. Caraku mengabdi dan menjadi
khalifah di muka Bumi. Aku bisa menjadi editor, penulis buku,
atau bahkan wartawan. Kenapa aku tidak mencoba jalur ini"
Kenapa tidak terpikir dari dulu-dulu"
rantau1muara.indd 30 Sejak hari itu, aku mengirim banyak surat lamaran ke berbagai media massa dan penerbit buku. Man saara ala darbi washala.
Sejak sebelum subuh tadi aku sudah bangun. Ini hari
penting. Yang aku tunggu-tunggu datang juga. Minggu lalu
aku menghela napas lega ketika sebuah surat dari perusahaan
multinasional berbunyi: "Selamat, kami gembira mengabarkan
bahwa Anda kami terima sebagai staf di tim Marketing dan Komunikasi..."
Aku kurang percaya dengan apa yang kulihat. Aku baca lagi.
Iya, ini surat penerimaan kerja dan aku diharapkan sudah masuk kantor dua minggu lagi di Jakarta. Alhamdulillah, doa dan
usaha itu memang selalu didengar-Nya. Kini aku bisa berdiri dengan kepala tegak kalau bertemu lagi dengan Randai dan Raisa.
Jari tanganku kesat oleh debu setelah seharian membongkar
semua isi kamarku. Aku menumpuk buku-buku terakhir ke dalam kardus, bercampur dengan kabel komputer yang sudah aku
pintal rapi-rapi. Hari ini aku mencarter sebuah mobil pikap
untuk membawa barang-barang ini ke Jakarta. Sampai mendapat kos sendiri, aku akan menumpang di kos Uda Ramon dulu
di Cawang. Tanganku baru mengeratkan ikatan tali rafia di dus terakhir
ketika sebuah motor berhenti di depan pagar. Aku sudah hafal, bunyi motor Pak Imin si tukang pos. Tangan Pak Imin
tenggelam ke dalam tas cokelat tuanya yang tersampir di motor
bagian belakang. "Kilat khusus buat Alif Fikri." Aku tersenyum
saat menandatangani tanda terima. Surat apa pun yang datang
rantau1muara.indd 31 sekarang bagiku tidak masalah lagi. Mau surat penolakan, mau
surat terima kasih, atau apa saja, tidak masalah. Toh, aku sudah
menggenggam surat yang memastikan aku mulai bekerja minggu depan.
Aku baca surat itu pelan-pelan dengan setengah tidak percaya. Tiba-tiba ujung jariku terasa dingin. "Karena situasi ekonomi
dan politik Indonesia yang kurang baik, kami dengan sangat
menyesal menangguhkan perekrutan Anda sebagai karyawan
baru sampai waktu yang belum ditentukan. Kantor kami untuk
sementara akan menutup sebagian besar operasi di Jakarta dan
telah memulangkan para pekerja asing yang ada di Indonesia."
Aku tertunduk di depan pintu kosku, di antara tumpukan kardus. Aku belajar satu hal baru. Memang impian bisa jadi nyata
tapi yang nyata bisa jadi hampa.
Beberapa penolakan awal rasanya biasa saja. Namun ketika
datang bertubi-tubi, setiap penolakan bagai jarum-jarum halus
yang pelan-pelan merajam rasa percaya diriku.
Apa yang harus aku lakukan" Aku sudah kepalang malu
karena sudah pamit kepada Ibu Kos, teman-teman Uno, Bang
Togar, juga Randai serta Raisa. Ke mana mukaku akan disurukkan kalau aku tidak jadi ke Jakarta"
Aku menggertakkan gigi. Jangan sampai penolakan ini mengurungkan niatku merantau ke Jakarta. Aku pun memasang target pribadi. Bulan depan, kalau belum dapat pekerjaan juga,
maka aku tetap akan pindah ke Jakarta, berjuang bersama jutaan pencari kerja lainnya. Apa boleh buat, aku akan menjadi
salah satu dari jutaan pengangguran yang akan mengadu nasib
di Ibu Kota. Semoga setiap kesusahan selalu ada kemudahan,
bisikku dalam hati. rantau1muara.indd 32 Kepak Rama-Rama bu Kos dengan daster kebesarannya sudah sibuk hilir-mudik dengan aktivitas paginya: menyapu dan mengelap kaca
jendela. Sapu ijuk di tangan kanan dan sehelai lap hinggap di
bahunya. Suara berita di televisi disetelnya keras-keras.
"Punten Bu," kataku ketika lewat ke kamar mandi.
"Mangga. Eh Lif, coba lihat tuh di pintu kamar kamu geura.
Kayaknya kamu bakal kedatangan tamu. Atau bakal dapat keberuntungan, meureun."
Aku memutar badan dan melihat ke arah pintu kamarku.
Tepat di atas plat mobil Quebec yang kutempel di pintu, bertengger seekor kupu-kupu besar. Sesekali sayapnya mengepak
pelan. Di kampungku, kalau ada kupu-kupu atau rama-rama
masuk rumah, katanya akan kedatangan tamu. Tapi aku tidak
terlalu percaya. "Amin Bu, asal bukan tamu tidak diundang saja," jawabku sekadarnya sambil melanjutkan langkah ke kamar
mandi. Kupu-kupu mengingatkan aku ketika Kiai Rais mengajar mata pelajaran Mantiq di kelas kami di Pondok Madani. Di selasela pelajaran dia gemar memberi cerita dengan analogi dunia
hewan. Ada analogi burung, kambing, dan pernah pula tentang
rama-rama. "Coba kalian perhatikan. Kita itu selalu disuruh
membaca. Membaca yang luas. Membaca tanda-tanda." Kami
rantau1muara.indd 33 mengangguk-anggukkan kepala sambil menengadah melihat beliau yang berdiri di depan kelas. Dia lalu merogoh sebuah kotak
dari saku jasnya. "Di tangan saya ada seekor rama-rama yang dikeringkan.
Ketika hidup dia terbang dengan lincah ke sana dan kemari.
Mempesona karena keindahan warnanya. Tapi dia awalnya seekor ulat yang buruk rupa dengan prestasi tertinggi memanjat
ranting. Namun, ulat tidak puas dengan prestasi ini. Setelah
mengumpulkan semua bekal, dia mengasingkan diri, dan bertapa dalam kepompong. Mengolah dirinya untuk menjadi lebih
baik. "Setelah merasa cukup di masa pengasingan, dia berjuang
keras merobek kepompongnya yang liat. Pelan-pelan dia meregangkan badannya. Sayap yang basah dan ringkih dikepak-kepakkan sehingga menjadi kering dan kuat. Dia hirup udara
untuk menguatkan badannya. Dulu hanya merayap di ranting,
kini terbang bebas ke angkasa. Dulunya ulat yang lemah dan jelek kini jadi rama-rama bersayap indah. Sesuatu itu bisa indah
pada waktunya." Aku mungkin perlu mempraktikkan ilmu rama-rama ini,
setelah lama jadi kepompong kuliah di Bandung. Aku harus
berani merobek keterbatasan dan keluar dari zona nyaman ini.
Jangan jadi ulat terus, aku harus jadi rama-rama, merantau ke
dunia baru di Jakarta. Tempat aku terbang mencari bunga dan
madu. Ulat dan rama-rama jadi contohku. Alam takambang jadi
guru. rantau1muara.indd 34 Rama-rama itu ternyata memang mengundang tamu. Selepas
zuhur, ketika duduk-duduk di teras kos, aku mendengar klakson
motor melengking. Sesaat kemudian aku lihat kepala yang berkacamata hitam dan berkumis tebal mondar-mandir di balik pagar. Lalu pintu pagar diketuk keras. Ketika aku dekati, dia tampak melongok-longok ke dalam rumah. Tampaklah seluruh badannya yang lebih menyeramkan dibanding kepalanya. Berkaos
ketat biru kelam dengan otot lengan dan dada yang menyembulnyembul.
"Ini tempat tinggal Pak Alif Fikri?" tanya laki-laki itu ketika
melihatku. Kacamata hitamnya memantulkan bayanganku. Tato
bergambar macan, ular, dan segala hewan buas bersembulan dari pangkal lengan kemejanya yang digulung. Aku mengangguk
ragu-ragu. "Boleh ketemu orangnya?" Mungkin dia menganggap akan
bertemu orang yang lebih tua usianya daripada aku. Dia membuka kacamata hitam lebarnya, memperlihatkan kulit wajahnya
yang seperti kucing belang Ibu Kos. Loreng hitam abu-abu. Aku
tidak menjawab, tapi bertanya balik.
"Maaf, ada keperluan apa Pak?"
"Orangnya mana" Jangan banyak tanya. Dia ada urusan penting dengan kantor saya!" serunya dengan suara lantang. Mentang-mentang berbadan kekar, gaya bicara dan bahasa tubuhnya
mengancam. Aku mencoba mengimbangi keadaan dengan waspada.
"Loh yang namu kan Bapak. Saya hanya tanya, ada urusan
apa" Lalu dari kantor apa?" balasku sengit.
rantau1muara.indd 35 "Saya dari kantor kartu kredit! Kami akan menagih utangnya
yang belum lunas. Kamu siapanya?" salaknya membalas tidak
kalah keras. Jantungku berdegup serabutan. Semoga wajahku tidak kelihatan pucat. Kenekatanku mengambil tunai dari kartu kredit
tempo hari membawa sengsara. Aku memang tidak mampu
membayar cicilan bulan lalu karena setiap bulan tagihanku semakin bertumpuk.
Tenang Lif, jangan takut. Kehadiran fisik seperti ini memang
dibuat untuk menjatuhkan mental. Belum lagi aku menjawab,
di belakang laki-laki itu muncul seseorang berkepala botak dan
berbadan tidak kalah gempal. Berdua mereka rupanya. Oh ini
dia mungkin makhluk yang bernama debt collector itu. Para penagih
utang. Selama ini aku hanya mendengar reputasinya saja, atau
pernah melihatnya di film Barat. Baru kali ini aku melihat versi
Melayunya. Tidak kalah sangar dengan yang di film.
"Ayo panggil orangnya sekarang!" Suaranya makin tinggi. Lengannya tanpa segan sudah terjulur ke dalam pagar. Intimidasi


Rantau Satu Muara Buku 3 Negeri Lima Menara Karya Ahmad Fuadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

fisik tampaknya sudah dimulai. Aku punya pilihan, bisa mengaku akulah orangnya, atau bilang kalau Alif Fikri sedang keluar.
Aku ragu-ragu. Kalau aku mengaku, aku tidak ingin diintimidasi
secara fisik. Tapi Kiai Rais pernah bilang, jangan takut pada manusia. Dunia itu rata, di atas langit, di bawah tanah. Semua kita
sama. Kenapa takut" "Saya orangnya," kataku dengan suara dimantap-mantapkan.
Hatiku berdoa untuk berlindung dari orang yang berniat jahat
dan terkutuk. rantau1muara.indd 36 Sore itu aku merasa terhina karena membiarkan diriku terancam secara psikologis dan fisik oleh tamu-tamu tak diundang
ini. Gertakan mereka tidak hanya membuat jeri tapi membuat
malu. Mereka sengaja berbicara dengan suara keras sehingga
menarik perhatian Ibu Kos, tetangga, dan orang-orang yang lalulalang di jalanan.
Sosok berwajah belang dan si kepala botak itu baru pergi
setelah aku berjanji akan mulai mencicil lagi. "Awas, kami akan
ke sini kalau bermasalah lagi!" ancam si Botak sambil menunjuk-nunjuk mukaku.
Dalam hati aku merutuk, wahai rama-rama, kenapa mereka
yang menjadi tamuku"
Ketika matahari baru tergelincir ke Barat, aku mendengar
suara motor yang berhenti di depan pintu kosku. Aku kembali
deg-degan. Jangan-jangan debt collector tadi belum puas mengintimidasiku.
"Surat buat Alif Fikri!" Aku menghela napas lega. Aku kenal
suaranya. Pak Imin. "Terima kasih Pak."
"Silakan diteken di sini," kata Pak Imin menunjuk kertas
dengan jempolnya. Aku tanda tangani dengan kurang bergairah. Ah, mungkin pil pahit bersalut gula lagi. Aku timang tapi
aku ragu untuk membukanya. Logo di amplop surat ini sangat
kukenal. Ini logo majalah berita nasional yang prestisius, mungkin hampir setiap jurnalis ingin bekerja di sana. Salah satu
rantau1muara.indd 37 tempat kerja yang pernah tebersit di impianku sejak di PM dulu. Majalah Derap.
Ketika tes tempo hari, aku agak minder melihat sainganku
adalah para wartawan yang pernah bekerja di media nasional. Yang agak menghiburku, tes yang diujikan tidak ada hubungannya dengan menulis. Ini tes psikologi untuk melihat
sifat dan karakter. Salah seorang penguji bilang, "Menulis bisa
dipelajari dan dilatih. Tapi karakter dan sifat itu tidak gampang
berubah karena sudah tertanam sejak kecil."
Srett. Aku robek juga amplop itu. Perlahan aku baca: "Setelah
melihat hasil psikotes dan wawancara, kami menilai Anda
mampu untuk bergabung dengan tim redaksi Derap. Selamat
bergabung." Aku kucek-kucek mataku sambil duduk baik-baik
di ujung kasurku. Aku kembali membaca surat itu dari ujung
atas sampai bawah pelan-pelan. Isinya sama. Tidak salah. Alhamdulillah ya Tuhan. Di saat aku terdesak, tangan-Mu selalu
datang menjangkauku. Entah sudah keberapa kali Engkau menyelamatkanku. Mungkin rama-rama itu memang penanda buat
berita gembira ini. "Ondeh, sudah payah-payah belajar Hubungan Internasional.
Bukannya jadi diplomat, malah jadi kuli tinta. Tidak turun kelas
wa"ang tu?" kata Randai dengan nada tinggi. Aku bayangkan pasti alisnya terangkat melengkung dengan mulut monyong mencemooh. Aku hafal betul gaya bicara dia. Aku pun merutuki
keputusanku meneleponnya mengabarkan berita ini. Awalnya
hanya untuk membalas tantangannya bahwa aku akan segera
rantau1muara.indd 38 dapat kerja di tempat yang bagus. Dan mungkin aku akan bisa
bekerja dan belajar di Eropa atau Amerika lebih dulu daripada
dia. Tapi dia selalu tahu cara menyudutkan dan memanasi
hatiku. "Randai, wa"ang belum tahu bagaimana hebatnya wartawan
dan penulis. Boleh wa"ang kerja di pabrik pesawat terbang, tapi
kita lihat saja nanti siapa yang duluan terbang untuk sekolah
dan kerja di Barat itu," balasku. Di balik gagang telepon aku
bisa mendengar dia ketawa panjang. Mungkin dia merasa menang karena berhasil membuatku naik darah.
Ketika dulu menjadi wartawan majalah Syam di Pondok
Madani, ada masanya aku dan teman-teman redaksi merasa
malas menulis. Ketika satu minggu lagi majalah bulanan kami
terbit, belum ada satu pun tulisan yang siap muat. Saat itulah
Ustad Salman ikut turun tangan. Dia memanggil kami dan
menyuruh duduk di depannya. Satu-satu mata kami yang tidak
bergairah itu ditatap olehnya. "Tahukah kalian, kalau menulis
itu sesungguhnya membuat kalian awet muda?" Kami menggeleng lesu.
Aku bertanya iseng, "Lho, kok seperti jamu saja Ustad, bisa
bikin awet muda." Dia terkekeh panjang lalu mengambil sebuah buku di mejanya. Buku tebal bersampul merah hati ayam dengan tulisan
Arab. Dia mengayunkan buku besar itu di depan kami. "Bukan
awet muda seperti itu maksud saya. Kalian kenal tokoh cendekia
Ibnu Rusyd atau di Eropa dikenal dengan nama Averrous ini?"
rantau1muara.indd 39 Tentu kami tahu. Dia yang menulis kitab wajib yang kami
pelajari di Pondok Madani berjudul Bidayatul Mujtahid. Isinya
tentang kajian hukum Islam dari berbagai aliran pemikiran dan
mazhab. Namun kami hanya kenal sebatas itu saja.
"Coba kalian dengar baik-baik. Ibnu Rusyd itu adalah seorang laki-laki ajaib, salah satu orang paling jenius yang pernah
lahir di peradaban muslim. Dia lahir di Cordoba, Spanyol, pada
tahun 1126 dan meninggal tahun 1198 di Marrakesh, Maroko,"
katanya bersemangat. Seperti biasa Ustad Salman selalu menceritakan sejarah dengan detail sampai tahun dan tempat. Dia
selalu bilang, untuk menulis yang baik harus ditopang riset dan
data yang lengkap. "Dia adalah seorang polymath. Tahukah kalian apa itu polymath" Orang cerdas yang mampu menguasai beragam ilmu
sekaligus. Contoh seorang polymath lain ya Leonardo da Vinci.
Nah, Ibnu Rusyd ini menguasai ilmu filsafat Aristoteles, ilmu fikih dan tauhid, ilmu hukum, logika, psikologi, politik, teori musik, ilmu kedokteran, astronomi, geografi, matematika, fisika,
mekanik, dan lainnya. Tidak heran kalau namanya pun harum
di kalangan orang terdidik Eropa, sehingga aliran filsafatnya dikenal dengan Averroism. Nah, namanya terus langgeng sampai
sekarang, antara lain karena dia meninggalkan banyak karya
tulis yang terus dibaca orang sampai hari ini. Salah satunya dibaca oleh kalian, oleh setiap murid Pondok Madani saban hari.
Buku ini." Mata kami mengerjap-ngerjap kagum, bagaimana orang zaman dulu bisa menguasai berbagai ilmu. Aku saja untuk menguasai balaghah, nahwu sharaf, dan matematika, sudah ngos-ngosan.
rantau1muara.indd 40 "Ketika dia meninggal pada Maroko di umur 72, yang dikuburkan hanya jasad dan kafannya. Sementara semua tulisannya
tetap hidup, tetap mengirim kebaikan dan manfaat kepadanya
sampai sekarang, hampir 800 tahun kemudian. Pada hakikatnya
dia tetap awet muda dengan segala tulisan dan bukunya yang
kita pegang sekarang, walau pada kenyataannya jasad dia sudah
dilebur Bumi." Kami mengangguk-angguk lagi. Baru mafhum makna awet
muda itu. "Di Cordoba, Spanyol, ada patung seseorang yang memegang
buku. Patung itu menjadi objek foto banyak turis yang datang
ke sana. Itulah patung Ibnu Rusyd, yang didirikan di tanah
kelahirannya untuk menghormati sumbangsihnya yang begitu
banyak kepada dunia."
Aku membayangkan kalau suatu saat bisa berkunjung ke
Cordoba, aku pasti akan berfoto di sebelah patung orang hebat
ini. "Nah, siapa para penulis yang terus hidup setelah dia wafat?"
Lalu kami berebut menyebutkan para orang awet muda lainnya yang sudah mangkat dan meninggalkan karya-karya tulis.
Mulai dari Aristoteles, Mpu Prapanca dengan Negarakertagamanya, Syekh Al Minangkabawi, Syekh Al Banjari, Syekh Al
Bantani, Bung Hatta, Buya Hamka, bahkan sampai para kiai
pendiri PM. Betapa hebatnya sebuah tulisan. Kekal, melewati
batas umur, zaman, bahkan geografis. Melalui tulisan dan
huruflah manusia belajar dan menitipkan ilmu kepada manusia
lain. rantau1muara.indd 41 Mungkin dengan menjadi penulis dan wartawan, aku bisa
merintis jalan untuk bisa awet muda dengan tulisan dan karya
jurnalistik yang berguna dan abadi. Bisa mengubah dunia hanya
dengan kata-kata. rantau1muara.indd 42 Pangkat Sersan obil Carry tua itu terkentut-kentut melarikan aku ke Jakarta bersama empat kardus, dua buntalan sarung, dan
satu koper sesak yang ritsletingnya macet setengah jalan. Ketika
memasuki Jakarta, dari mobil sewaan ini sesekali kulihat dinding bangunan yang masih menyisakan jelaga sisa kebakaran,
jendela yang masih ditutup seng dan tripleks, dan portal-portal
besi yang baru dipasang di hampir semua mulut jalan dan gang.
Tapi selain itu, denyut kehidupan Ibu Kota kembali menggeliat,
berusaha meninggalkan trauma amuk massa dan penjarahan
bulan Mei lalu. Tujuanku adalah kamar kos Uda Ramon. "Lif, kalau nanti
ke Jakarta, wa"ang tinggal saja di kamar aden. Memang sempit
tapi bisa untuk berteduh," katanya ketika kami bersua di kampung pada Lebaran beberapa tahun lalu.
Dia masih terhitung sepupuku. Rumahnya persis di belakang
rumah kami di kampungku Nagari Bayur. Uda Ramon terkenal
sebagai anak pemberontak dan paling lasak di kampungku. Pergaulannya luas, seluas lapangan bermainnya mulai Maninjau
sampai Bukittinggi. Ketika baru kelas 2 SMA, dia pernah menghilang seminggu dari kampung kami bersama sebuah motor
CB milik pamannya yang sedang naik haji. Ketika pulang,
mukanya hitam terbakar matahari, dan dia dimarahi amaknya
yang berderai air mata karena mengira anaknya hilang. Pa43
rantau1muara.indd 43 dahal dia bersenang-senang berkeliling Sumatra Barat dan Riau
naik motor dengan teman-temannya. Setelah minta ampun
dan bersujud di kaki amaknya, dia hanya membela diri enteng,
"Selagi muda, aden ingin melihat negeri orang naik motor. Seperti Che Guevara." Selepas kuliah dia minta izin merantau
ke Jakarta. Rupanya rantau membuat dia insaf. Dia kini anak
muda yang rajin salat, pekerja keras, dan sering berkirim wesel
ke amaknya. Konon ibu-ibu di kampung kini memujinya sebagai anak yang tahu diuntuang, dan mereka mulai berbisik-bisik
membicarakan kemungkinan menjodohkan anak gadis mereka
dengan Uda Ramon. "Aman tu. Nanti barang-barang wa"ang bisa aden titip di
kamar sebelah yang sedang kosong," kata Uda Ramon ketika
melihat bawaanku yang cukup banyak. Kasurnya hanya muat
untuk tidur satu orang, tapi Uda Ramon tidak keberatan
bersempit-sempit. "Wa"ang tidurlah dulu, masih letih, kan?"
katanya. Dia menggelar tikar di samping kasur lipatnya di
lantai. Karena kamar yang sempit, kakinya tidak bisa diluruskan
sehingga terpaksa dijulurkan ke luar pintu kamar. "Insya Allah
Lif, rezeki kita tahun ini bisa lebih baik, biar bisa mengontrak
kamar yang lebih panjang," katanya tersenyum lebar, sebelum
mendengkur hebat tanpa beban.
Keesokan hari, ketika aku sedang menyeruput kuah terakhir
mi telor kornet di warung sebelah kosnya, Uda Ramon bercerita
tentang kariernya di Jakarta. Dia tangkas bertukang dan menggunakan peragat teknik. Dia pernah bekerja di perusahaan yang
rantau1muara.indd 44 menyediakan jasa pemasangan pemanas air untuk hotel. Dia
juga pernah menjadi juru lampu dan asisten kameramen di
sebuah televisi swasta. "Lumayanlah jadi banyak kenal bintang
film. Topi ini misalnya, dikasih aktor kawakan pemenang FFI.
Yang menyebalkan itu bintang sinetron yang baru naik daun
dan belagu. Sudah datang ke set terlambat, bikin begadang, tidak tahu terima kasih lagi," kenangnya.
"Boleh gak ikut lihat syuting Da?" tanyaku penasaran.
"Telat wa"ang datang. Indak bisa lagi. Gara-gara krismon,
produksi sinetron pun turun. Bulan lalu pihak manajemen
perusahaan memberikan golden shakehand. Lumayanlah untuk
bertahan beberapa bulan ke depan," katanya. Dia kena PHK
sebulan lalu dan belum bekerja lagi sampai sekarang. Tapi dia
menceritakan hal ini kepadaku dengan sikap tenang dan tanpa
beban. Dia tipe yang lapang dada dengan pemecatan.
"Siapa tahu ini peluang mengembangkan usaha. Waktu
aden mengaji di surau di kampung dulu, angku guru selalu bilang ayat innamaal yusri yusra. Bersama setiap kesulitan itu ada
kemudahan. Aden pegang ayat ini saja. Pokoknya aden berjanji
pada diri sendiri untuk tidak mencari lowongan kerja, tapi akan
bikin usaha sendiri," katanya dengan raut optimistis.
"Lif, uang pesangon aden baru cair. Ayo kawani den, kita belanja ke Kota," ajak Uda Ramon pagi-pagi. Uang tolaknya dari
perusahaan swasta dibelanjakannya untuk barang-barang yang
aneh untuk ukuran seseorang yang baru dipecat. Dia membeli
komputer, modem internet, printer, dan dia berniat mengurus
rantau1muara.indd 45 paspor minggu depan. Padahal internet baru dikenal umum di
Indonesia dua tahun terakhir ini. Warnet baru ada satu-dua. Sepanjang jalan kami naik motor, dia tepuk-tepuk barang-barang
itu dengan sayang, "Dengan kalian, aku akan memulai hidup
baru, membikin usaha sendiri," katanya sambil memandang
komputer itu. "Dengan paspor aku bisa memulai bisnis dengan
perusahaan di luar negeri," katanya lagi kepadaku. Mimpi yang
tinggi, yang harus diperjuangkan. Aku tersenyum mengamini.
"Tapi, Uda mau pasang internet di mana" Di kos saja belum
ada sambungan telepon?" tanyaku.
"Ini namanya ilmu memantaskan diri. Aden pantaskan saja
dulu keadaanku. Semoga nanti situasi akan menyesuaikan dengan kepantasan ini," katanya.
"Emangnya Uda pernah pakai internet?"
"Belum, baru lihat orang-orang saja di warnet. Tapi aden
melihat masa depan bisnis ada di sana. Makanya itu gunanya
wa"ang di sini, mengajari aden teknologi dan peluang bisnis
masa depan. Besok, kita latihan di warnet ya," katanya tertawa
sambil menepuk-nepuk bahuku.
Saking bersemangatnya, aku tersentak bangun sebelum azan
Subuh. Aku sisir rambut licin-licin. Aku linting lengan kemeja
dan aku cangklongkan sebuah ransel. Ini hari pertamaku masuk
kerja. Aku berdebar-debar. Sepanjang jalan di atas Metro Mini
aku melamun membayangkan bagaimana suasana di kantor.
Lamunan terganggu ketika seorang ibu berseragam baju Kor-
rantau1muara.indd 46 pri yang duduk di sebelahku menyorongkan satu plastik kacang
goreng yang baru dibelinya dari pedagang asongan. "Mau?" tawarnya dengan mulut masih mengunyah. "Terima kasih Bu,"
kataku mengambil beberapa butir kacang.
"Di mana kuliahnya Dik?" Tampangku yang muda dan lusuh mungkin pantas dianggap mahasiswa.
"Alhamdulillah saya sudah kerja Bu."
"Wah hebat. Di mana?"
"Di Derap. Itu loh Bu, majalah berita yang dulu diberedel
Orde Baru," jawabku dengan keterangan tambahan.
Mata ibu itu membesar sebentar. "Ooo, itu majalah jempolan.
Saya sekeluarga dulu berlangganan sebelum diberedel. Selalu berani mengungkap fakta dengan bahasa yang enak. Kapan mulai
terbit?" katanya. ain Tiba-tiba bangku keras Metro Mini ini berubah empuk.
Hidungku mekar karena bangga tempat kerjaku dikenal. Ibu
Korpri ini sampai mengeluarkan tangannya ke luar jendela bus
hanya untuk melambaikan tangan ketika aku turun lebih dulu.
"Silakan dibaca dulu sebelum tanda tangan. Kalau bingung
tanya ke saya," kata Mbak Eva dari Bagian Personalia. Ini pengalaman pertamaku melihat sebuah kontrak kerja. Lima lembar
kertas bertuliskan hak dan kewajiban dengan bahasa hukum
aku bolak-balik antara mengerti dan tidak. Pusat perhatianku
hanya pada pasal gaji. Ini penting. Menyangkut hajat hidup
orang banyak: aku, adik-adikku, dan Amak.
rantau1muara.indd 47 Di bawah pasal kompensasi tersurat: Gaji calon reporter sebesar satu juta dua ratus ribu rupiah. Dibayarkan setiap tanggal 1
setiap bulan. Aku menghela napas. Tidak sebanyak yang aku bayangkan. Namun segala sesuatu yang bunyinya di atas satu juta,
selalu merdu di kupingku. Alhamdulillah.
Aku berbisik sendiri: "Tenang adiak-adiak kanduang, abang
kalian ini sekarang sudah dapat pekerjaan. Tenang-tenang sajalah kalian dalam bersekolah, Abang akan bantu. Kita akan
punya rezeki, insya Allah tanggal muda bulan depan."
"Ini block note untuk liputan. Kalau habis, tinggal minta ke
Bagian Umum ya," kata Mbak Eva menyerahkan tiga buku catatan kecil yang biasa dipakai wartawan. "Dan ini kartu pers."
Dia mengangsurkan sebuah kertas yang di-laminating berukuran
sedikit lebih besar dari kartu nama. Tulisan besar terpampang
jelas di atasnya. Aku baca pelan: P-E-R-S. Di bawah tulisan itu
terpampang foto wajahku, namaku, dan nama kantorku, Derap,
di baris paling bawah. Ketika kartu pers yang sudah diberi tali


Rantau Satu Muara Buku 3 Negeri Lima Menara Karya Ahmad Fuadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kukalungkan ke leher, rasanya seperti memenangkan medali
emas. Gagah betul. Dadaku terasa mengembang maksimal. Aku
tersenyum-senyum sendiri.
"Sebentar lagi ada sambutan dari pemimpin redaksi. Silakan
gabung dengan semua wartawan baru di lantai tiga. Ini hari pertama kita beroperasi sebagai sebuah majalah lagi," kata Mbak
Eva tersenyum melihat tingkahku bagai seseorang yang akan
mendapat makan siang gratis.
Aku masuk ke ruang rapat yang berisi meja bundar dikelilingi
belasan kursi. Beberapa orang sedang asyik mengobrol. Sedikitsedikit pecah gelak tawa mereka bersama. Dari pendengaran
rantau1muara.indd 48 sekilas, mereka pernah menjadi rekan sejawat ketika masih
menjadi wartawan di media lain.
Sambil pura-pura menulis di block note-ku, aku tajamkan pendengaran mengikuti obrolan mereka. Seorang laki-laki berambut
keriting seperti per di sebelahku bercerita bagaimana mereka
sempat dijebloskan ke penjara beberapa hari karena mengadakan
rapat jurnalis independen yang tidak mau tunduk pada Orde Baru. Seseorang yang bertopi rimba kumal menyeletuk, bahwa dia
tidak masuk penjara tapi satu giginya copot kena gebuk popor
senapan ketika meliput demonstrasi yang ricuh. Dia lalu berdiri
sambil menganga lebar-lebar memamerkan gerahamnya yang
rompal. Seorang pemuda berkulit putih seperti bule melinting
lengan bajunya untuk memperlihatkan bekas lengannya yang
patah karena tersungkur ketika meliput sebuah kerusuhan etnis. Seorang gadis tomboi berkerudung memperagakan bagaimana kerudungnya sempat ditarik-tarik oleh aparat ketika
meliput. Setiap orang berusaha bercerita lebih seru dari orang
sebelumnya. Tawa mereka melantun-lantun menggetarkan kaca
jendela ruang rapat, juga menggetarkan hatiku. Mereka tampak
begitu hebat dan trengginas sebagai wartawan. Sedangkan aku
tidak tahu apakah siap kalau sampai harus melawan aparat dan
dipenjara, atau sampai defisit gigi. Baru menghadapi debt collector kemarin saja aku sudah pucat.
Aku coba lirik kiri-kanan, mengamati siapa yang kira-kira
sama perasaannya denganku. Di pojok ruangan kulihat anak
muda berbadan kurus tinggi dengan baju flanel dan selempang
tas yang masih menyilang di badannya. Dari tadi dia diam saja.
Mungkin dia tidak termasuk kawanan wartawan Ibu Kota seperti
yang lain. Aku beringsut mendekatinya. Kami berkenalan.
rantau1muara.indd 49 "Saya Pasus Warta," katanya pendek.
"Haaaa" Pasus Warta" Nama sebenarnya?" tanyaku takut kalau salah dengar.
Dia melirikku dengan ujung mata, lalu mengangguk. Sambil
merogoh dompet, dia menantang, "Mau lihat KTP saya?"
Aku menggeleng. Tapi tangannya telanjur mencabut KTP
dari dompet dan memampangkannya tepat di depan mataku.
"Percaya sekarang?" tanyanya.
Nama yang aneh. Seperti kombinasi antara tentara dan wartawan. Yang jelas dia senasib denganku, anak kampung juga.
Dia lulusan UGM Yogya dan pernah jadi wartawan lokal di
Jawa Tengah tapi belum punya pengalaman jadi wartawan profesional di Jakarta. Tidak seperti Si Keriting dan Si Topi Rimba
serta teman-temannya. Sepanjang hari ini aku lebih banyak ngobrol dengan Pasus.
Dia mengaku berasal dari Medan dan bermarga Pujakesuma.
Putra Jawa kelahiran Sumatra. Lahir dan besar di Medan, tapi
kuliah ke Jawa. Alhasil lidahnya masih dikuasai logat Medan.
Sebelas-dua belas dengan gaya bicara Raja dan Bang Togar.
Pintu ruang rapat terkuak lebar. Gelak tawa dan obrolan
riuh yang tadi menguasai ruangan mendadak hilang seperti
asap dimakan angin. Hening. Aku menegakkan punggungku
dari sandaran kursi. Seorang laki-laki masuk sambil mendeham
dua kali. Berkacamata, berkumis, serta berambut menjurai bergelombang sampai bahunya. Beberapa helai rambut ini tampak
rantau1muara.indd 50 mengilap berwarna perak. Kerah kemeja sampai ujung sepatu,
ber warna gelap jelaga. Kumisnya paling menarik perhatian karena hitam kasar membelintang subur tapi berlekuk di bagian
ujung. Lancip seperti ujung kaligrafi diwani jali. Selama ini aku
hanya mengenalnya melalui televisi dan koran. Dia adalah pendiri majalah ini dan dikenal sebagai pembela kebebasan pers di
masa Pak Harto. Jebolan sekolah teknik, dia malah jadi penyair
dan akhirnya menjelma menjadi wartawan yang amat disegani.
Di kalangan aktivis kampus dulu, dia menjadi simbol suara
perlawanan yang ditakuti rezim Orde Baru. Bukan karena dia
punya pasukan, tapi karena syair dan tulisan kritisnya dibaca
jutaan orang. Kabarnya, dia pernah beberapa kali diculik serta diinterogasi agar mau melunakkan tulisan-tulisannya. Beberapa hari saja setelah dilepas, dia menulis lebih tajam lagi.
Dan dia diculik lagi dan begitu selanjutnya. Anehnya, bagai
kucing bernyawa sembilan, dia masih hidup. Mungkin "menghilangkannya" sangat berisiko buat pamor Pemerintah. Namanya Sang Aji, atau akrab dipanggil Mas Aji atau dengan
inisialnya, SA. Karena Mas Aji tidak juga bisa dibungkam, Pemerintah
Orde Baru akhirnya mematikan majalahnya. Diberedel dan
tidak boleh terbit selamanya. Mas Aji bersama timnya terus melawan dengan menjelma menjadi media underground. Dan ketika
internet masuk Indonesia di awal "90-an, Derap menjadi media
pertama yang terbit online. Bagai hantu, badan fisik tidak ada,
tapi ruhnya gentayangan. Halaman situsnya dicetak lalu difotokopi dan diedarkan secara gerilya di balik punggung, dibaca
sembunyi-sembunyi sambil diselipkan di antara buku kuliah,
rantau1muara.indd 51 di kantor-kantor, bahkan juga di warung-warung kopi. Aparat
tidak bisa berbuat apa-apa, mungkin karena mereka dulu belum
melek internet. Setelah Orde Baru runtuh, media bebas untuk
terbit, tanpa harus mendapatkan izin khusus dari pemerintah.
Majalah Derap bagai bangkit dari kubur.
Di belakang Mas Aji, muncul seorang laki-laki yang berkepala
plontos mengilat. Aku juga sering melihatnya di koran, namanya Malaka. Dia menjinjing sebuah gitar akustik. Konon Mas
Aji dan Mas Malaka ini dynamic duo dalam memimpin tim
Derap ketika bergerak di bawah tanah. Mereka dikenal pula suka bernyanyi duet bersama.
"Selamat pagi, assalamualaikum. Saya Sang Aji, pimpinan
redaksi majalah ini."
Mas Aji diam sejenak dan mengembangkan sebuah buku di
meja, mencari sebuah halaman yang sudah dilipat. Mukanya
berkerut-kerut serius. Sambil sesekali melirik ke halaman buku
yang dibacanya, dia mulai bicara. Tidak meledak-ledak, tonal datar, tapi isinya menyesap ke hatiku sejak dari kalimat pertama:
"Selamat bergabung dengan awak Derap. Anda semua adalah
orang pilihan dari ribuan pelamar yang ingin bergabung dengan
Derap. Bagi saya sendiri ini hari bersejarah, karena inilah rapat redaksi pertama setelah diberedel lima tahun. Sebelum kita
mulai bekerja bersama, saya ingin kita punya pandangan yang
sama tentang profesi dan tugas kita."
Dia berhenti sesaat, membasahi ujung telunjuknya dengan
lidah, lalu membalik halaman buku di depannya. Sesaat kemudian dia melanjutkan:
rantau1muara.indd 52 "Kita bukan majalah dengan jurnalisme kebanyakan. Karena
kita fokus kepada seni menyampaikan yang sebenarnya. Tugas
kita melacak, mencatat, dan menyebarluaskan informasi kepada masyarakat, selanjutnya aparat hukumlah yang kita
harapkan bergerak. Dalam menghidangkan berita kepada masyarakat, kita tidak berharap puja-puji dan hinaan.
"Kita ingin mengabarkan berita yang sahih dengan cara sahih.
Tapi kebenaran itu bisa ada di mana saja, bahkan di tempat
yang mungkin kita tidak suka. Tugas kita mengantarkan kebenaran di mana pun dia berada kepada masyarakat. Untuk itu
kalian akan kami latih juga dengan benar. Selama seminggu
ke depan kita akan memberikan pembekalan sebelum kalian
terjun ke lapangan. Selama bertugas di sini kalian juga akan
mendapatkan mentor wartawan senior, tempat bertanya, dan
berdiskusi. Tugas kita mulia, tapi juga berat dan bisa berisiko
kepada keselamatan kita. Tapi ini harga yang setimpal kalau
kita ingin bisa menuliskan dan mengungkap kebenaran. Jangan
takut, kita akan hadapi ini bersama.
"Selamat datang. Selamat bergabung di rumah baru kalian,
Derap. Mari kita rawat dan bangun bersama."
Ah, heroik sekali, pikirku. Rasanya kami adalah pasukan
mahakhusus yang punya tugas mulia pula. Dadaku baru saja
membusung bangga sebelum kempis lagi ketika Mas Aji melanjutkan.
"Kalian hanya punya waktu enam bulan untuk membuktikan
kalau kalian layak berada dalam tim kita. Enam bulan saja, ka53
rantau1muara.indd 53 rena itu ukuran kami menilai kinerja dan perilaku kalian. Kalau tidak sesuai kualitas, ya maaf, sayonara."
Aku ciut. Apa aku bisa bertahan enam bulan untuk membuktikan aku mampu" Bagaimana kalau aku tidak lulus enam
bulan ini" Sudah banyak yang aku janjikan. Buat diriku, adikadik, dan Amak. Jantungku berdetak lebih ligat.
"Yang lulus itu kriterianya apa Mas?" tanya laki-laki bertopi
rimba hati-hati. Sepertinya bukan aku saja yang was-was.
"Tentu saja yang bisa menjalankan tugas jurnalistik dengan kualitas Derap. Kita menyebutnya "layak Derap". Setiap
keberhasilan kalian wawancara sampai reportase akan dihitung.
Berhasil berarti dapat angka, kalau gagal, bisa kosong, bisa minus. Dan tidak lupa karakter dan etika kalian. Harus jujur, bermartabat, juga berani," katanya tuntas. Suasana tiba-tiba terasa
menjadi serius. "Hei, why so serious!" tiba-tiba Mas Malaka yang dari tadi
diam berteriak nyaring, suaranya melengking lucu. "Ingat, kita
di sini tidak ada yang jenderal dan prajurit, semua orang di sini
sersan. Serrrsannnnn," katanya sambil memanjangkan huruf
"r" dan "n".
Kami celingukan kurang paham.
"Sersan. Serius tapi santai. Nikmati kerja kita," terang dia.
"Contohnya gini," lanjut Mas Malaka. Dia tiba-tiba berdiri. Kami semua terpana. Ketika datang tadi, dia berbaju kaos merah
menyala dan bercelana jeans. Sekarang tiba-tiba dia sudah berkain sarung kotak-kotak kuning.
"Bahkan di sini rapat boleh pakai apa saja, layaknya di ru54
rantau1muara.indd 54 mah sendiri. Pakai sarung saja boleh. Karena kami tidak melihat sarung, tapi melihat isi laporan kalian," katanya.
"Atau begini," dia meraih gitar di sebelahnya dan memetiknya.
"Di antara kesibukan menulis berita, sekali-sekali kita bisa nyanyi bersama. Siapa yang minat nanti gabung dengan saya di sofa
sudut tangga. Kita bikin konser unplugged," katanya.
"Di Derap, kita boleh memanggil nama inisial biar mudah
dan egaliter. Inisial nama kalian juga nanti akan sering dipakai
sebagai byline," kata Mas Aji, sambil mengikat jurai rambutnya
dengan karet gelang. Kali ini dengan senyum lebar. Kumis suburnya seperti pecah di tengah dan melenting ke kiri dan ke
kanan. Tidak ada lagi kerut-merut di mukanya.
Kami wartawan baru saling berkenalan. Si Topi Rimba adalah Putu dari Bali, Si Keriting bernama Yansen dari Ambon, Si
Bule adalah Faizal dari Aceh, dan gadis berkerudung itu Hana
namanya. Selain itu ada belasan wartawan dan fotografer lain
memenuhi ruangan rapat ini. Setiap orang melemparkan guyon, atau jadi korban guyon. Suasana rileks dan penuh suara
tawa. Riuh. Inilah kami, anak muda berpangkat sersan. Pasukan serius
tapi santai. Jenderal kami Mas Aji dan komandan kami Mas
Malaka. Hari-hari selanjutnya diisi dengan pelatihan internal khusus
buat kami yang baru menjadi wartawan di Ibu Kota. Sebagai
pegangan awal, Mas Aji memberi setiap orang sebuah buku
tipis bersampul merah yang bertajuk "Dasar Jurnalistik Kita".
rantau1muara.indd 55 "Resapi baik-baik petuah tokoh-tokoh pers Indonesia yang ada
di dalam buku ini," katanya. Aku buka halaman pertama buklet
itu. Sebuah kalimat dengan tinta hitam di atas dasar putih
bersih berbunyi: "Pondasi kerja kita adalah bukan jurnalisme yang memihak
satu golongan. Kami percaya bahwa kebajikan, juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami percaya
bahwa tugas pers bukan menyebarkan prasangka, justru melengkapinya. Bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian. Jurnalisme majalah ini bukanlah jurnalisme untuk memaki atau mencibirkan bibir, juga
tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba. Yang
menjadi komando bukan kekuasaan atau uang, tapi niat baik,
sikap adil, dan akal sehat."
Setelah kelas Dasar-Dasar Reportase yang disampaikan Mas
Malaka"masih dengan bersarung kuning"dia mengajak kami
tur keliling kantor. "Supaya kalian kenal teman-teman bagian
iklan, marketing, desain, dan yang paling penting bagian keuangan," katanya. Gedung kami ini empat ruko bertingkat tiga
yang disulap jadi kantor. Ruangan disekat-sekat untuk menjadi
ruang riset, studio foto, ruang desain, ruang iklan, dan tentu
saja newsroom, tempat kami para wartawan nanti akan bekerja.
Suatu hari aku mendekati Mas Malaka. "Mas, maaf mau nanya. Kenapa suka pakai sarung?" tanyaku. Aku penasaran karena
bagiku sebagai lulusan pesantren, sarung adalah barang yang
sangat dekat dan bernilai nostalgia. Dalam hati, aku setengah
berharap dia menjawab kalau dia juga lulusan pesantren.
"Sejak dulu aku selalu suka pakai sarung. Enak, adem, pe56
rantau1muara.indd 56 nuh angin, dan sekalian bisa kemulan kalo AC kantor terlalu
dingin. Jadi gampang dapat inspirasi kalau menulis," katanya
sambil membetulkan gulungan sarungnya yang mengendor.
rantau1muara.indd 57 Amplop yang Harum ita media yang berpihak," tegasnya.
"Bukannya Mas sendiri yang bilang media itu harus independen?" tanya Pasus.
"Kita harus berpihak kepada kebenaran dan kepada yang
tertindas," kata Mas Aji di kelas menulis laporan investigatif.
"Dengan laporan investigatif yang dalam, kita berniat membongkar kebusukan dan menjelaskan kebenaran kepada publik."
"Tapi Mas, bagaimana kita melakukan investigasi dengan
baik, padahal kita bukan aparat hukum yang berwenang," selaku. Dia memandangku lekat-lekat.
"Makanya kalian harus belajar dari berbagai sumber. Minggu
ini kami datangkan pakar hukum, militer, ekonomi, dan politik
ke kelas kalian. Gunakan kesempatan ini untuk belajar, menyerap
ilmu dari mereka. Tentu saja membuat laporan investigatif tidak
mudah. Makian, ancaman fisik, tekanan mental itu biasa, tapi
inilah tugas mulia kita."
"Yang paling sulit dalam proses laporan investigatif itu apa
Mas?" tanya Pasus. "Memilah yang layak dimuat dari ribuan informasi. Kalau
kita benar dalam melakukan proses investigasi, pasti banyak
rantau1muara.indd 58 temuan kita. Tapi sayangnya hanya sedikit yang bisa kita kemukakan. Karena terbatas oleh hukum, alat bukti, atau jumlah
halaman majalah. Inilah yang disebut seni mengemukakan yang
sebenarnya." "Alif, tugas pertamamu, meliput rapat kontraktor proyek pemerintah dan konferensi pers setelah itu. Ini lembar penugasan.
Pelajari baik-baik dan riset dulu ya. Angle kita adalah mengamati
kualitas pelaksanaan proyek dan kemungkinan adanya korupsi.
Kalau perlu, kamu tongkrongin rapatnya sampai habis," kata
Mas Malaka menugasiku pada hari Senin. Hari ini dia pakai
sarung Madura berbunga merah terang.
"Oke Mas," jawabku senang. Aku pegang erat-erat kertas
penugasan pertamaku ini. Sepertinya penugasan ini tidak sulit.
Hanya mengikuti rapat dan konferensi pers lalu wawancara
dengan beberapa pejabat pemerintah dan pemenang tender.
Tugasku yang menantang adalah mengendus kalau ada modus
korupsi di balik proyek. Aku diantar Kang Andang, sopir redaksi yang selalu ngebut
dan memperlakukan klakson seperti mainan, sedikit-sedikit tettot. Ketika aku sampai, sudah banyak orang yang bergerombol
di depan pintu tempat acara berlangsung. Ada beberapa anak
muda, serombongan bapak-bapak separuh umur, dan beberapa
perempuan. Semuanya dipersatukan ciri: memegang block note
atau mengalungkan tanda pengenal wartawan.
Aku plangak-plongok sendiri, merasa tidak ada yang aku kenal.
Di sudut ruangan, tampak duduk seorang laki-laki berbadan
rantau1muara.indd 59 tambun dengan topi pet hitam, berkemeja lengan panjang yang
digulung setengah tiang. Dia mengangkat kacamata bacanya
yang bagai terbenam di wajahnya yang gelap. Aku merasa matanya mengekor gerakanku. Taksiranku dia berumur 40-an tahun
lebih. Sekonyong-konyong dia bangkit dan berjalan tepat ke
arahku. "Wartawan baru ya" Tuh cepat daftar dulu di sana," katanya
dengan nada memerintah. Mulutnya yang berbau tembakau
dimonyongkan ke arah meja pendaftaran yang dijaga oleh seseorang berbaju safari. Aku mengangguk berterima kasih dan menurut saja karena merasa belum tahu medan.
"Mas, silakan diisi daftar hadir dan tanda tangan di sini ya,"
kata laki-laki berbaju safari cokelat muda yang menjaga meja
pendaftaran sambil menunjuk sopan dengan jempol. Setelah
membubuhkan nama dan tanda tangan, aku berlalu masuk ke
dalam ruangan. Baru berjalan beberapa langkah, laki-laki bersafari tadi menyusulku. "Terima kasih ya sudah datang," katanya. Sekejap


Rantau Satu Muara Buku 3 Negeri Lima Menara Karya Ahmad Fuadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kemudian dia menempelkan sebuah amplop putih bersih ke
tanganku. Aku tidak siap dan kaget sehingga amplop itu jatuh.
Ketika aku pungut di lantai, amplop yang yang lumayan gemuk
ini terbuka. Beberapa lembar uang lima puluh ribu mengintip
keluar. Dari bau harum kertasnya yang meruap, aku tahu uang
itu baru diambil dari bank. Aku taksir mungkin beberapa ratus
ribu. Setara dengan setengah gajiku sebulan.
"Apa ini Pak?" kataku dengan suara tidak pasti.
Keningnya berlipat heran. "Lah kok tumben nanya Mas. Kurang" Ntar deh pas anggaran baru saya usulin naik ke pimpinan.
rantau1muara.indd 60 Sekarang pegang aja dulu. Untuk bantu uang bensin dan rokok."
Di kepalaku langsung terbayang muka serius Mas Aji ketika
berpidato sambil mengacung-acungkan telunjuknya di depan
hidung kami. "Jangan sekali pun kalian tergiur amplop". Ketika
itu kami mengangguk-angguk setuju. Tapi bau duit kertas baru
ini sungguh mengimbau-imbau menggoyahkan iman.
Di kepalaku pelan-pelan tumbuh rencana. Apa salahnya
aku terima saja" Toh ini kan tidak mencuri, tapi dikasih.
Duitnya juga bukan dari bisnis haram. Lagi pula Mas Aji dan
Mas Malaka tak akan tahu. Uang ini bisa kupakai untuk uang
transpor dan biaya hidup. Ya, hanya untuk mengganjal hidup
beberapa minggu saja, sampai aku terima gaji pertama akhir
bulan ini. Sebelum aku sadar sepenuhnya, tanganku bergerak.
Tanpa banyak bicara, amplop aku lipat dan kantongi di saku
belakang. Laki-laki bersafari tersenyum, laki-laki berpet hitam
tertawa. Sepanjang konferensi pers, sensasi yang dihasilkan dari
sebongkah amplop di saku belakangku berubah-ubah, mulai
dari tebal, berat, sampai rasa panas yang memancar. Mungkin ini
hanya sugestiku saja. Mungkin juga ini asal-muasal istilah duit
panas. Sebenarnya aku sudah punya beberapa pertanyaan kritis
untuk liputan ini, tapi aku coret satu per satu. Aku menyumpahi
diriku sendiri. Amplop itu terus terasa, mengingatkan aku
sudah dibayar. Setelah acara selesai aku menemui laki-laki bersafari tadi.
Ragu sejenak, tapi akhirnya aku mengangsurkan juga amplop
itu kembali ke dia. "Maaf Pak, saya gak usah."
rantau1muara.indd 61 Dia melongo tidak mengerti. "Kalau kurang ambil saja dulu,
nanti kan ada lagi," katanya berbisik.
Pak Pet Hitam tadi tiba-tiba sudah berada di sampingku.
Dia melihatku dari atas ke bawah, sambil mengangkat lagi
kacamatanya. Dia merapat ke sampingku, sampai napasnya yang
berbau tembakau terasa mengembus-embus di pucuk kupingku.
"Ambil aja. Gak rugi!" katanya berbisik ketus.
Maaf, kebijakan kantor memang begitu, Pak." Segan aku memanggil dia mas, karena tampak terlalu tua.
"Kayak kantornya kaya aja. Kayak punya gaji gede aja. Dari
mana kamu?" suaranya meninggi, tidak berbisik lagi. Mendengar
ini, beberapa wartawan lain datang mendekat. Anehnya aku
merasa berdebar-debar ketika dikepung oleh rekan-rekan sejawat. Aku pelan-pelan mengeluarkan kartu pengenalku dan
mengalungkannya di leher. Mereka memandang dengan wajah
merengut. "Jangan sok, anak baru, mentang-mentang kerja di Derap.
Kami-kami ini punya dapur yang harus mengepul. Ini Jakarta
Bung, setiap orang perlu teman. Kalau mau terkucil, silakan aja,
tapi artinya tidak ada berita untuk kau!"
"Setahu saya berita itu gratis dan ada di mana-mana," jawabku melawan.
Ketika aku bergegas keluar, beberapa orang melihatku dengan ujung mata. Tiada tegur sapa. Aku sudah punya musuh di
tugas pertamaku. "Hi, I know how you feel," kata sebuah suara di belakangku.
Ketika aku membalikkan badan, seorang gadis berwajah Asia
rantau1muara.indd 62 tapi bermata biru tersenyum. "My name is Belle, I am with the
Associated Press," katanya mengulurkan tangan.
"What are you doing here?" tanyaku heran. Wartawan asing sangat jarang meliput kegiatan lokal seperti di kantor ini.
"Hey, I am a journalist like you too, why not?" katanya tertawa.
Kami mengobrol sebentar, berganti kartu nama, dan berjanji
kontak lagi kapan-kapan. Ah, aku tidak hanya punya musuh baru hari ini tapi juga teman baru.
Aku ceritakan kejadian di konferensi pers itu dalam rapat
redaksi. "Yang lebih penting adalah suara hati kamu yang melarang. Bukan karena ada aturan internal kita," kata Mas Malaka tersenyum." Mulai hari ini kalau kalian tidak enak hati
untuk mengembalikan amplop, atau merasa akan menyinggung
rekan wartawan lain, amplop boleh kalian bawa pulang...."
Dia berhenti sesaat. Membuat kami penasaran.
"...lalu serahkan ke Mbak Tina, sekretaris redaksi untuk
dicatat dan nanti kita kembalikan ke pemberi, dengan surat
resmi." "Apa pun tulisannya, jangan lupa riset dulu. Riset itu
hukumnya fardhu "ain. Wajib. Kalau mau wawancara narasumber, kalian perlu tahu hobinya, dia suka makan apa, berapa
anaknya, berapa istrinya, di mana simpanannya, siapa sopirnya,
apa rahasianya, apa kelemahannya, apa kelebihannya. Semuanya
kalian endus dulu semaksimal mungkin. Kalau kalian sudah
menguasai latar belakang yang akan diwawancara, maka ka63
rantau1muara.indd 63 lian akan mudah memahami kepribadiannya. Pertanyaan harus berotot, strategis, dan mencerahkan. Riset-riset-riset," kata
Mas Aji mengingatkan kami di rapat mingguan. Hari ini dia
berganti busana, kalau minggu lalu serba hitam, hari ini semuanya putih. Bahkan kaos kakinya pun putih. Karet gelang
pengikat rambutnya juga putih. Putih-putih. Kami mengamini.
Ini pidatonya entah yang keberapa tentang riset.
Melihat daftar tugas liputan beberapa hari ke depan, tampaknya kami akan banyak lembur. Pemerintahan baru pasca
Pak Harto penuh keriuhan politik, apalagi menjelang Sidang
Istimewa MPR. Tekanan kerja mulai kami rasakan ketika rutinitas adalah penugasan, reportase, rapat redaksi, wawancara,
transkrip, dan begitu lagi berulang sepanjang minggu.
Untungnya pertemanan di Derap menyenangkan. Begadang
menyelesaikan laporan ditemani canda dan ledekan sesama reporter, membuat hari-hari sibuk terasa enteng. Biasanya baru
jam 9 malam ruang redaksi berangsur sepi. Paling-paling yang
tinggal hanya Pasus yang mengangkat kaki di atas meja dan
merem-melek mendengarkan musik dengan headphone.
Pasus adalah penggemar tingkat parah Ike Nurjanah dan Gito
Rollies, yang berkorelasi dengan selera musiknya yang aneh: campuran dangdut dan rock. Hobinya memutar kaset koleksinya di
tape rekaman untuk wawancara. Kepalanya mengangguk-angguk
mengikuti irama lagu. Kadang dia ikut berdendang. Suaranya
seperti dawai kendor. Meleot ke sana, meleot kemari. Tanpa
peduli kuping kami yang keriting mendengarnya, dia tetap bernyanyi sepenuh hati.
rantau1muara.indd 64 Semakin malam aku pulang, semakin susah mendapat angkot dan makin larut aku sampai di kos Uda Ramon. Aku kerap
mendapati Uda Ramon sudah tidur duluan. Badannya yang
besar membelintang di kamar sempit kami. Artinya cukuplah setengah badanku yang menumpang di kamar dan kaki
menjulur ke luar pintu. Di hari lain, kalau aku yang pulang
duluan, maka paginya aku yang melihat Uda Ramon tidur
setengah badan di dalam kamar. Kalau aku nanti gajian, mungkin saatnya aku tidak menumpang lagi.
Sudah lima tempat kami datangi seminggu ini, tapi tidak ada
yang cocok. Yang bagus, bersih dan bahkan ber-AC terlalu mahal, sedangkan yang murah tidak memadai. Belum ada yang cocok dari harga maupun fasilitas. "Kita harus sadar Lif, memang
susah cari kos bagus kalau ngukurnya dengan gaji wartawan,"
kata Pasus dengan wajah letih. Kami berdua memang bertekad
mencari kos bersama. Kenyataannya, beberapa pekan kemudian
aku tetap belum mendapatkan kos.
Suatu malam ketika bersiap-siap pulang, Pasus menyapaku,
"Pulang ke kos uda kamu, Lif"
"Ya iyalah. Mau ke mana lagi, abisnya belum dapat kos."
"Bagaimana kalau kamu nginep aja di kamarku"
"Hah, sejak kapan kau dapat kos" Kan kita sudah janji nyari
bersama?" "Makanya malam ini aku ajak kamu nginap. Kalau suka, bareng aja kita. Yuk!"
rantau1muara.indd 65 Tawaran Pasus seperti lagu surgawi. Mataku sepet dan urat
punggungku pegal karena kebanyakan duduk mengetik. Aku
ingin segera menelentangkan badan di kasur. Apalagi besok
pagi aku ada janji wawancara di Puncak dengan seorang ketua
partai baru yang ingin ikut pemilu tahun depan.
"Asalkan ada ruang buatku ya. Dan jangan merepotkan."
"Tenang Bos, tidak repot kok. Dan ruangannya paslah buat
berdua. Yuk, kita kemon," katanya sambil menyampirkan tas di
bahu lalu mencopot dan menggulung kabel headphone yang tersambung ke tape recorder.
rantau1muara.indd 66 Doktor Alif etika kami menuruni tangga, dia tidak langsung turun
ke lantai satu, tapi melipir dulu ke lantai dua, masuk ke
gang kecil menuju kamar kecil di ujung koridor. Ah, dia mau ke
WC dulu. Aku menunggu saja di ujung tangga.
Di ujung sana dia berteriak, "Eh Lif, ayo!"
"Aku tidak mau ke toilet!"
"Siapa yang mau buang air" Ayo ke sini!"
Di ujung gang itu, setelah melewati WC, dia membuka sebuah pintu kecil. Pintu apa ini" Aku belum pernah tahu. Mungkin ini pintu menuju arah belakang kantor.
Tangannya terangkat ke udara, melambai bagai dirigen. "Dengan bangga, aku kenalkan kepada kau, inilah kamar kos terbaik di kawasan ini." Dia menguakkan pintu lebar-lebar untuk
menunjukkan sebuah ruangan yang penuh bundel kertas yang
diikat tali rafia bertumpuk di berbagai sudut ruangan yang menyerupai gudang ini. Di sebelah rak tinggi yang dijejali timbunan kertas tergantung sebuah papan nama: "Ruang Kliping dan
Arsip Penerbitan." Aku bingung, tidak mengerti.
"Jangan bengong begitu Kawan. Awalnya karena aku tidak
bisa pulang ke rumah Pakde di Bogor gara-gara hujan besar
minggu lalu. Aku perlu tempat meluruskan badan dan ketemu67
rantau1muara.indd 67 lah ruangan ini. Jadi inilah kamar yang sudah aku tempati sejak
tiga hari yang lalu."
Aku memicingkan mata dan menggaruk kepala.
"Sementara saja kok. Sampai aku dapat kamar kos yang sebenarnya."
"Maksudnya, kau menginap dan tinggal di kantor, di ruangan
separuh ruang kliping separuh gudang ini?"
Dia mengangguk cepat seperti menikmati kebingunganku.
"Sudah minta izin Mas Aji?"
"Ah, kenapa harus bilang-bilang orang lain. Selama tidak ada
larangan, apa salahnya" Satpam dan OB juga tahu aku di sini.
Tidak ada yang protes. Oke-oke aja."
Sejenak kemudian, dia merogoh ke balik sebuah rak dan
menarik sebuah plastik besar berisi bantal dan guling, serta selimut. "Ini perlengkapan tidurku. Karena kau malam ini tamu
di kosku, kau aku kasih guling, aku pakai bantal. Selimut tidak
perlulah, di sini cukup hangat."
Sehelai sarung diraihnya dari dalam sebuah kardus mi instan. Lalu dengan gaya muka serius, dia sampirkan sarung itu
ke leherku. Bagai seorang pembaca doa di pernikahan, dengan
suara khidmat dia berkata, "Alif Fikri, dengan ini aku resmikan
dan anugerahi kau dengan gelar doktor." Geliginya tersembul
lalu suara tawanya yang terpingkal-pingkal memenuhi ruangan.
Doktor" Doktor apa" Aku bingung, menurutku tidak ada
yang lucu sama sekali. Mungkin selera humornya kelas rendah.
Selain itu dia memang suka egois menikmati humornya sendiri.
rantau1muara.indd 68 Tidak peduli orang lain merasa itu lucu atau tidak. Aku coba
juga bertanya, "Hoi, kenapa kau ketawa?"
"Kau ini tidak mengerti, kau sudah jadi doktor. Kependekan
dari "mondok di kantor". Kau doktor kedua setelah aku," katanya mengakak keras lagi.
"Doktor," gumamku pada diri sendiri. Boleh jugalah julukan
ini, walau aku belum tentu akan tinggal di sini bersama Pasus.
Aku menguap lebar dan langsung menulari Pasus. Sudah
menjelang tengah malam. Pasus mengucek matanya dan menggelar dua sajadah berdampingan. "Ini dia ranjang indah kita,
bayangkan saja tebal seperti kasur bulu angsa atau spring bed di
hotel. Kau boleh pilih di atas sajadah ini atau sajadah itu."
Aku tersenyum sendiri seperti deja vu. Ini duniaku dulu di
PM. Tidur hanya berkalang sajadah dan sarung. Tidak dinyana,
aku merantau ke Jakarta pun akan begini. Aku mengambil sajadah hijau sebagai alas dan guling sebagai pengalang leher. Lampu ruangan kami padamkan dan dalam sekejap aku melayang.
Di kamar kos baruku. Antara gudang dan ruang kliping. Malam
ini, aku resmi bergelar doktor.
Setelah dua minggu menjadi doktor, aku menerima gaji
pertama. Untuk pertama kali dalam hidup aku mendapatkan
gaji yang langsung ditransfer ke rekeningku. Dalam sekejap
Rp1.250.000 habis aku bagi-bagi, untuk Amak, adik-adik, utang,
biaya makan, dan membeli sepotong pantalon dan kemeja.
Hari itu pula, sebelum tidur di kos ruang arsip, dengan resmi
aku cabut surat Amak dan adik-adik yang telah kuselipkan di
buku harianku sejak berbulan-bulan lalu. Hari ini aku tunaikan
rantau1muara.indd 69 kembali tugasku yang sempat tertunda sebagai anak laki-laki
dan kakak tertua: membantu mereka secara finansial, sesuai
kemampuanku. Sejak sekamar dengan Pasus, hidupku rasanya lebih ringan.
Biaya kosku menjadi nol, tidak ada uang transportasi kantor
dan rumah, dan aku kini selalu bisa hadir di kantor kapan
saja, 24 jam, 5 hari dalam seminggu. Hanya pada akhir pekan
aku menginap di kos Uda Ramon, sedangkan Pasus pulang ke
pakdenya di Bogor. Selebihnya kami adalah dua doktor belaka.
Perkara makan juga tidak jadi soal. Dapur kami adalah segala
macam gerobak makanan yang berseliweran lewat di depan kantor. Aku tinggal melambaikan tangan tiga kibas dari jendela
lantai tiga, maka niscaya makanan yang kuminta akan datang
ke mejaku. Sejauh ini semua tukang bubur, ketoprak, soto, bakso, dan kawan-kawannya selalu memberikan delivery service yang
memuaskan. Teh hangat selalu tersedia setiap pagi, berkat office
boy kami, Yono yang bergelar Yono the Incredible. Jam 7 pagi dia
sudah beroperasi di lantai newsroom, sapu disandang, kemoceng
di pinggang, dan lap serta ember di tangan. Jika diperlukan
Yono juga bersedia memasakkan mi telor buat kami. Sedikit
uang tip membuat dia bersiul-siul panjang.
Malam-malam ketika akan tidur, aku tinggal mencomot buku
yang ingin kubaca sebagai pengantar tidur dari perpustakaan redaksi. Rasanya seperti memiliki perpustakaan pribadi. Begitu
terus aku lakukan setiap hari. Dalam waktu sebulan aku sudah
menamatkan banyak sekali buku. Kalau bosan, aku baca kli70
rantau1muara.indd 70 ping-kliping yang disimpan berdasarkan klasifikasi di dinding
"kamar" tidurku. Kadang-kadang aku bangun pagi dengan kliping dan buku bertaburan di sekeliling alas tidurku.
Kalau aku tidak capek, malam-malam aku bangun dan bersimpuh di sajadah minta kemudahan dalam hidup dan karierku.
Di saat khusyuk berdoa, kadang-kadang aku terganggu oleh linduran dangdut ala Pasus yang meringkuk di balik sarungnya.
Dia melindur dalam bentuk bait lagu dangdut terbaru.
Sejak gajian kemarin, tape recorder hitam Pasus sudah berganti
menjadi CD player. Beberapa kotak CD berserak di sekitar bantal barunya. Yang paling banyak beraliran dangdut, lalu rock,
dan terakhir ini aku lihat dia mulai membeli CD Iwan Fals.
Sesuai umurnya yang lebih tua dua tahun, selera musiknya juga
lebih tua dari aku. Putu, Yansen, Faizal, Hana, dan teman lainnya lama-lama
tahu kalau aku dan Pasus sudah jadi doktor. Mereka menertawakan kami sebagai tunawisma profesional. Aku dan Pasus
selalu membela diri bahwa ini sementara saja.
"Tau gak kalian kenapa si Bill Gates itu hebat sekali ilmu
komputer" Karena dulu dia suka menyelinap dan begadang di
laboratorium komputer sekolahnya. Ketika orang lain sibuk
dengan urusan lain, dia mendalami ilmu komputer sendiri. Siapa tahu nanti kami jadi seperti dia, karena selalu mendalami
bidang ilmunya, sampai pakai nginap segala," kataku membela
diri sambil bercanda. Pasus langsung mengiyakan.
"Bill Gates itu kan jago komputer.... Lah kalian, tidur di
rantau1muara.indd 71 ruang kliping. Nanti jadi ahli kliping dong," ejek Faizal. Koor
tawa mengikuti komentar Faizal.
"Ah paling kau iri saja kami tidak perlu bayar kos," balas
Pasus sambil nyengir lebar membalas ejekan itu. Dan ejekan
itu ditakdirkan tidak bertahan lama. Suatu hari kami harus


Rantau Satu Muara Buku 3 Negeri Lima Menara Karya Ahmad Fuadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyelesaikan laporan investigasi panjang dan mengharuskan
kami lembur di kantor. Ketika Faizal dan Putu menyelesaikan
laporan lewat tengah malam, hujan turun dengan lebat dan
mereka sudah terlalu lelah untuk pulang. "Daripada kalian tertidur duduk di kursi, aku undang kalian tidur di "kamar" kami,"
ajak Pasus. Dengan muka mengantuk dan mata redup, mereka
menerima tawaran Pasus untuk ikut istirahat di ruang kliping.
Sejak itu "kamar" kami jadi milik bersama.
Namun kebahagiaan kami ditakdirkan mendapat tantangan.
Suatu ketika, di rapat mingguan redaksi, meluncurlah sebuah
instruksi dari Mas Aji yang kali ini mengenakan hem putih dan
celana hitam. "Maaf beberapa hari ini kerja kalian mungkin
akan sedikit terganggu karena akan banyak tukang yang lalu-lalang. Untuk menambah ruangan bagi wartawan, ruangan kasir
kita rombak jadi ruang rapat kecil. Sebagai gantinya, ruangan
kasir akan dipindahkan ke lantai bawah, tepatnya di ruang
kliping." Aku berpandangan dengan Pasus. Mulutnya komatkamit tanpa suara, tapi aku tebak artinya adalah "Itu kamar
kita." Mata Mas Aji memandang berkeliling. Tapi aku merasa,
matanya berhenti sebentar ke arahku dan Pasus. "Jadi tolong
sesuaikan nanti ruang kegiatan kalian." Mungkin dia tahu kami
penduduk tetap kantor ini.
"Selain itu, untuk kebaikan hidup kalian, wartawan dilarang
sering-sering menginap di kantor. Jangan mau tua di kantor. Sa72
rantau1muara.indd 72 ya tidak mau ada anak buah saya jadi jomblo karena kelamaan
di kantor. Kecuali sedang deadline atau piket." Nah, benar kan"
Dia sudah mengendus praktik menginap kami. Pasti dia tahu!
Teman-temanku yang lain mengikik kecil di balik telapak tangan mereka.
Sore itu kami tergopoh-gopoh mengemasi semua barang yang
kami punya di ruang kliping. Pasus bersungut-sungut memungut
kaos kaki beraroma ikan asin busuknya dan memasukkannya ke
dalam ransel. Kami tampaknya tidak ikhlas pergi dari "kamar
kos" kami yang sempurna ini.
"Aku ada ide. Tapi berbau religius," kata Pasus dengan raut
muka yang mencurigakan. "Ngomong apa sih kau?" tanyaku.
"Kita tidak boleh menyerah diusir dari kamar kos kita."
Aku cekikikan, "Eh Sus, kan dari awal kita bilang ini hanya
kamar sementara. Ini bukan diusir, dan ini bukan kos-kosan.
Ini kantor tau." Pasus tidak peduli. "Bagaimana kalau kita menjadi penjaga
rumah ibadah?" tanyanya dengan mata nakal.
"Maksudmu?" "Kita jadi marbot alias penjaga musala."
"Aku gak minat," jawabku membayangkan jadi penjaga musala di kampungku yang kerjanya menyapu, menabuh beduk,
dan berazan. Aku lebih rela bayar kos daripada jadi marbot saat
ini. "Eh, ini bukan musala sembarang musala. Ini musala terpilih."
rantau1muara.indd 73 Kulkas di Atas Bajaj ari Minggu sore, selepas Magrib, adalah waktu ketika
kantor berada di titik paling sepi. Para wartawan sudah
menyetor berita sejak kemarin, sedangkan para redaktur yang
kelelahan mengedit naskah artikel sehari semalam baru saja pulang ke rumah masing-masing.
Semua naskah majalah kini sudah berada di percetakan.
Inilah waktunya. Bagai korban penggusuran, kami mengepit
bantal di ketiak dan menjinjing tas di kiri-kanan keluar dari
ruang kliping. Kami berjinjit, mencoba melakukan operasi
pindah ini dalam senyap. Semakin sedikit saksi mata yang
melihat kami, semakin baik.
Setelah berdiskusi panjang, kami sepakat pindah ke musala
kecil di lantai kantor redaksi. Ukuran musala cuma 2 x 3 meter,
tidak kalah mungil dibandingkan kamar Uda Ramon. Bantal,
selimut, koper, dan buntalan baju yang belum dicuci kami titipkan di balik kerai studio foto dan sebagian lagi kami masukkan ke dalam laci meja masing-masing.
"Tapi kita benar-benar harus berjanji akan serius mencari
kos ya," kataku ke Pasus.
"Iya, iya. Tiap hari kita harus nyari," jawab Pasus serius.
rantau1muara.indd 74 Namun janji tinggal janji. Tiga bulan berlalu, dan kami masih saja menjadi penduduk musala. Seiring dengan kesibukan
kerja, kami selalu menunda mencari kos dan akhirnya melupakan sama sekali. Ada masanya kadang-kadang kami pindah
tidur ke ruang rapat. Ceritanya begini. Pernah suatu kali,
di malam deadline begitu ramai dengan reporter yang masih
menyelesaikan laporan investigasi kekayaan para pejabat Orde
Baru. Setelah lewat tengah malam, Faizal, Yansen, dan Putu
akhirnya memutuskan untuk tidur di kantor dan baru paginya
pulang. Tidur di mana" Musala terlalu sempit untuk menampung beberapa orang.
Pasus mengaku punya ide brilian. "Kalau kita berhak ikut
meeting dengan semua petinggi di ruang rapat, kita berhak juga
tidur bersama di lantai ruang rapat itu," katanya. Mungkin karena sudah terlalu mengantuk dan tidak kuat berdebat lagi, kami lalu setuju dan berebut mengatur posisi di bawah meja rapat
yang besar itu. Begitu azan Subuh berkumandang dari masjid yang berdiri
pas di belakang kantor, beberapa orang terlonjak bangun. Faizal
langsung terbirit-birit pulang, Yansen pindah tidur ke sofa butut
dekat tangga, dan Putu dengan ajaib langsung mampu menghidupkan komputernya dan kembali melanjutkan pekerjaan
yang belum selesai. Adapun Pasus tidur tidak bergerak seperti
orang mati, sampai aku gagal membangunkannya. "Ya sudah,
kesiangan tanggung sendiri ya Sus," kataku setelah tiga kali
menggoyang-goyang bahunya. Dia membalas dengan kecapan
mulut dan dengkuran halus.
Hari ini aku tidak melihat tanda-tanda kehadiran Pasus. Dia
rantau1muara.indd 75 baru tertatih-tatih duduk di kursi kerjanya sekitar jam 2 siang.
Dengan air muka keruh, dia bersungut-sungut di depan kami
yang sedang sibuk mengetik laporan hari ini. "Kalian ini tega
kali, aku tidur dibiarkan saja sendiri. Kesianganlah aku!"
"Lha siapa tadi yang tidur kayak badak bercula?" sambut
Faizal. "Gak apa-apalah Sus, biar dapat istirahat cukup, kan kamu
baru liputan ke Ujung Genteng kemarin," jawabku. Teman-teman lain mengangguk.
"Hampir aku mati terkejut gara-gara kalian. Mau dengar ceritaku ini?" tanyanya dengan muka serius. Suaranya direndahkan
seperti berbisik, sehingga kami mendekat.
Dia mengaku awalnya amat senang ketika diajak rapat oleh
staf personalia dan pendiri Derap. Sebagai satu-satunya wakil
reporter, dia dengan bangga ikut duduk bersama para petinggi
ini. Setelah berhasil menggolkan rencana kenaikan gaji buat
para reporter, dia baru sadar kalau rapat itu hanya mimpi. Dia
tiba-tiba terbangun masih dalam posisi berkelumun sarung
di lantai di bawah meja rapat. Yang aneh, suara diskusi para
peserta rapat itu masih terdengar jelas. Pelan-pelan dia bangkit dan memandang ke sekelilingnya. "Aku kaget sekali ketika
melihat beberapa ujung sepatu mengelilingiku. Tepat di depan
hidungku menyembul sepatu berhak tinggi cokelat dari balik
pantalon hitam. Aku ingat, ini sepatu Bu Yani, Direktur Personalia," sungutnya. Dia tertidur di bawah meja rapat yang sedang dipakai rapat direksi.
"Lalu kau ngapain?" tanya Yansen.
"Ya mau apa lagi. Daripada ketahuan, aku diam saja sambil
rantau1muara.indd 76 menguping semua isi rapat tentang penggajian dan penilaian
kar yawan. Aku bahkan merekamnya," katanya mengacungkan
sebuah kaset. "Aku sekarang tahu gaji semua orang dan penilaiannya. Termasuk kalian semua. Supaya tak lupa, aku catat di
block note," katanya menyengir lebar sambil menunjuk kening
kami satu-satu. "Mau tahu gaji siapa" Mas Aji, Mas Malaka, redaktur, Manajer Personalia" Sebut saja. Ada semua."
Kuping kami seperti berdiri dengan muka ingin tahu. Kami
semakin merapat mendengar ocehannya. Ini dia yang namanya
top secret. Sumber A1. "Tenang, semua info ada, tapi juga ada harganya. Cok klean
traktir dulu aku nonton dan makan."
Demi rahasia kelas satu ini, minggu ini kami mentraktir
Pasus sampai gembul. Dia ketawa-ketawa bahagia sambil bersiulsiul dangdut. Setiap ada bos yang lewat, kami bisik-bisik. "Nah
kalau yang itu gayanya saja yang berlebih, gajinya cuma segini,"
kata Pasus sambil menjentikkan kelingkingnya.
"Kayak gaji lu gede aja Sus," kata Yansen meledek.
"Kasian deh kita, gajinya segitu-segitu aja. Little-little to me,
salary not up up," senandung Pasus dengan irama lagu Ike Nurjanah berjudul "Terlena".
Topik gaji yang kurang itu akhirnya diobati oleh sebuah
kebanggaan. "Kita media yang menyampaikan kebenaran dan
berpihak kepada yang benar, yang lemah, dan yang tertindas,"
rantau1muara.indd 77 itu kalimat Mas Aji yang tidak bosan dia sampaikan kepada
kami. Kami para wartawan merasa menjadi kesatria yang luhur
dan berani melawan status quo. Kadang kami merasa menjadi
kelompok superhero, yang membela kebenaran. Kalau sudah begitu dada rasanya ikut membusung bangga. Kami bekerja tidak
sekadar mendapatkan uang, tapi mendapatkan kepuasan karena sebuah perjuangan besar.
"Biar kere, yang penting independen, dan sombong," celetuk
Pasus mengejek diri kami sendiri. Komentarnya disambut teriakan riuh-rendah kami di ruang rapat. Mas Aji hanya cengarcengir. Dia tidak tahu kami riuh karena tahu gaji semua orang.
Kartu tanda pengenal yang menggantung-gantung di leher
kami adalah salah satu sumber kebanggaan itu. Setiap aku memakainya, rasanya banyak orang melirik dan berbisik. Rekan
sesama wartawan dari media lain melirik hormat, mungkin juga
iri, atau pura-pura tak peduli. Para pejabat negara dan aparat
militer yang bermasalah melirik dengan jeri atau bahkan benci
karena kami dengan semangat 45 melakukan investigasi membuka borok mereka. Para artis dan aktivis LSM melirik kami dengan air muka sukacita dan penuh harap untuk diwawancarai.
Lain lagi kalau ketemu polisi lalu lintas. Kadang kala para
polisi pura-pura tidak melihat kalau mobil dinas yang bertuliskan "PERS" melanggar rambu-rambu. Paling mereka menyapa bernada memaafkan, "Lagi buru-buru liputan ya Mas?" Lalu
menyilakan kami melanjutkan perjalanan, bebas dari pelanggaran apa pun yang baru kami lakukan. Pengendara lain tentulah dongkol dengan privilege ini. Sebetulnya aku tidak enak
juga mendapat hak untuk melanggar aturan ini, tapi di saat-saat
genting sungguh berguna untuk tidak ketinggalan deadline.
rantau1muara.indd 78 Walau gaji pas-pasan tapi wartawan punya "kuasa" untuk
mewawancara siapa saja, mulai orang super kaya, pejabat tinggi,
pengusaha, sampai selebriti. Ketika kuasa besar tapi gaji kecil,
muncullah rayuan untuk menyalahgunakan peran wartawan untuk uang dan kekuasaan. Bahkan ada pula wartawan yang hanya
bermodal kartu pers dan dengan kartu itulah dia mencari "gaji".
Untuk membuat dapurnya mengepul, ada saja wartawan yang
mencari amplop sana-sini, bahkan kadang menggertak akan
memberitakan aib narasumber kalau tidak diberi uang diam.
Simbiosis mutualisme antara narasumber yang bermasalah dan
wartawan khianat ini yang merusak citra media. Ketika ada
berita yang bisa dibeli, dipesan, diatur sesuai selera, saat itulah
media tergadaikan kepada kuasa.
Godaan inilah yang sejak hari pertamaku telah diingatkan
Mas Aji. Kalau kami memanfaatkan profesi wartawan sepercik
pun untuk uang dan materi, Mas Aji bersumpah akan memecat
siapa saja. "Kita tidak perlu mengharapkan tepuk tangan dan
pertemanan yang bersekongkol, lebih baik kita sendiri di jalan
yang terang," kata Mas Aji mengutip kalimat bijak. Entah dari
buku mana lagi dia pungut.
Pada suatu hari yang terik, Pasus tiba di kantor dengan napas satu-satu dan baju kuyup oleh keringat. "Kenapa kau Kawan?" tanyaku. Dia hanya menunjuk ke bajaj yang menunggu
di parkiran. Bajaj ini miring ke kiri, karena ada sebuah kulkas
yang ditumpangkan di dalamnya. Karena tidak muat, sebagian
badan kulkas mencuat ke luar jendela. "Bantulah aku menu-
rantau1muara.indd 79 runkan kulkas itu. Tadi di perempatan Salemba habis tenagaku
mendorong bajaj yang mogok sambil menahan kulkas itu biar
tidak melorot ke luar."
"Tapi ini kulkas siapa" Kenapa ada di sini?" tanyaku sambil
menggotong kulkas putih yang masih dilapisi plastik ini bersama
teman-teman lain. "Ah sudahlah, jangan banyak tanya kau. Angkut dulu ke
atas. Kita pasang di ruang redaksi. Enak kan, nanti semua minuman kita dingin dan seger," katanya terbahak.
Mendengar ribut-ribut, Mas Aji menjengukkan kepalanya dari jendela lantai atas. Dan dia berteriak, "Pasus, dari mana kau
dapat kulkas itu?" Pasus mendongak dan balik berteriak, "Mas, anu. Ini hadiah
doorprize waktu aku liputan ultah departemen tadi. Bukan sogokan, Mas. Cuma doorprize. Sumpah!"
Sedetik kemudian, kami mendengar suara mengguntur, bagai
hukuman dari langit: "ITU JUGA SOGOKAN! Tidak hanya
amplop dan duit. Semua yang kalian dapat tanpa membayar dari narasumber adalah sogokan. Sana, kembalikan sekarang juga.
Jangan sampai kalian yang aku kembalikan ke rumah kalian,
tidak bekerja lagi di sini!"
Bagai tertembak petir, Pasus terdiam kaku. Kami yang sedang
membopong kulkas pelan-pelan melipir sambil menunduk. Tiada seorang pun yang berani mendongak melihat muka Mas Aji
yang menjulur dari jendela atas. Akhirnya kulkas yang sudah
tinggal masuk pintu kantor, kami dorong ke luar dan kami naikkan kembali ke bajaj yang kembali doyong karena berat sebelah.
rantau1muara.indd 80 Pasus dengan bersungut-sungut menyuruk kembali ke samping
kulkas dan cepat-cepat menyuruh bajaj jalan. "Jalan Bang. Kita
kembalikan saja barang pembawa sial ini." Kami melambai-lambaikan tangan dengan lunglai. Kulkas untuk minuman dingin
kami hilang ditelan asap hitam bajaj itu.
Beberapa jam kemudian Pasus kembali ke kantor masih dengan wajah kuyu dan kemeja kotor. Bajajnya rupanya mogok
lagi dan dia ikut mendorongnya. Dan departemen yang bersangkutan hampir tidak bersedia menerima kulkas kembali. Dia
menghadap Mas Aji di ujung ruangan dan protes. "Mas, kasih
tahu akulah, kalau yang haram itu bukan cuma amplop. Kalau
tahu begitu aku tidak akan susah-susah bawa ke sini." Kesalnya
sedang memuncak sehingga dia pun tidak segan melawan bos
kami dengan suara yang keras dan jelas terdengar.
"Seteguk minum pun, kalau sedang bertugas atau wawancara,
Giri 5 Naga Merah Bangau Putih Karya Kho Ping Hoo Pendekar Guntur 21
^