Pencarian

Rindu Capuccino 1

Rindu Capuccino Karya Syandarini Bagian 1


Bab I Jangan Pasung Cintaku Prolog Mungkin orang akan berpikir bahwa aku, Syandarini Aprilia Joshepine Munaf, adalah gadis teraneh
yang pernah ada. Bagaimana tidak, seorang gadis yang hanya menambatkan biduk cintanya hanya
pada satu dermaga hati saja, meski banyak dermaga yang dihamparkan di hadapannya dengan
pantai yang lebih indah sekalipun.
Sama ketika aku begitu mencintai secangkir Cappuccino dan menolak banyak kopi lain yang
ditawarkan kepadaku - Espresso, Coffee Junket, Coffe Mocha, Iced Vanilla Latte Espresso, Coffee
Frappuccino, Tiramisu Latte, Cafe Macchiato, Almond Cafe Au Lait, dan masih banyak jenis kopi
lainnya. Sesungguhnya, bukan karena aku tidak kepingin. Bukan. Tapi bagiku, minum kopi bukan semata
untuk memenuhi selera lidah. Namun lebih pada citarasa yang telah melekat pada lidah.
Dan sejak mula, aku telah menentukan pilihanku pada Cappuccino. Aku jatuh cinta padanya. Dan
aku tidak mungkin berpaling pada kopi-kopi lainnya.
Rindupuccino - sebuah falsafah tentang cinta sejati
*** Syanda tercenung sesaat di muka kulkas memilih minuman yang hendak disajikannya untuk Aditya.
Kalau untuk dia sendiri sih, gampang. Cappuccino.
"Belum pulang juga anak itu"!" tegur Mama.
Syanda hanya menggeleng. Dia tahu, di rumah ini tidak seorang pun menyukai Aditya. Dan yang
paling sering menunjukkan rasa tidak senang itu adalah Mama.
"Sudah jam berapa ini...."
"Ini kan malam Minggu, Ma," kilah Syanda sambil mencomot sebotol Coca-Cola jumbo dari
kulkas. "Malam Minggu sih, malam Minggu. Zaman Mama masih muda dulu juga ada malam Minggu.
Tapi tidak sampai selarut seperti ini hura-hura sama pacarnya."
"Zaman Mama kan, dua puluh tahun yang lalu. Kuno. Ya lain, dong," ujar Syanda berkelakar.
Mama mencibir. "Botol yang keberapa itu?" tanyanya nyinyir, melirik dengan rupa tidak senang.
"Kenapa sih, Ma" Minuman di kulkas itu kan, memang disediakan untuk tamu!"
"Anak itu suka minum, ya?"
Syanda membanting tubuhnya dengan kesal di atas sofa.
"Kata teman-teman arisan Mama, temanmu Si Aditya itu tukang minum. Tukang begadang. Tukang
kebut-kebutan." "Tukang minum apa dulu. Ya, kalau minumnya softdrink sampai segentong juga kan tidak apa-apa,
Ma. Namanya juga anak muda, begadang dan kebut-kebutan itu biasa. Kalau tidak dilakukan selagi
muda, kapan lagi dong, Ma" Apa mesti kalau sudah jadi kakek-kakek?" bela Syanda seraya
beranjak berdiri. Dia baru ingat kalau Aditya masih menunggu di luar.
"Huh, kamu ini! Dibelaaa terus Si Aditya. Pemuda itu tidak punya masa depan. Mana boleh kamu
menggantungkan diri pada orang yang tidak punya masa depan" Mau makan apa kamu nanti" Mau
makan batu, apa"!" tukas Mama sengit.
Syanda hanya menghela napas lantas berlalu meninggalkan Mama. Mama memang cerewet. Syanda
sadar, siapa pun akan menilai Aditya sebagai anak berandalan. Sebab cowok itu kelewat apatis.
Cuek-bebek. Tukang balap. Doyan begadang. Tapi bagi Syanda, hal itu bukan merupakan citra
buruk selama semua itu dilakukan sebagai trend anak muda belaka. Toh, selama ini dia tidak pernah
melakukan hal-hal yang negatif. Malah, perhatian dan kasih sayangnya tidak pernah berkurang
secuil pun kepadanya. Ya, mungkin Mama benar. Aditya tidak punya masa depan yang menjanjikan. Tapi, apa peduliku"
pikir Syanda. Hari ini memang mereka pacaran. Tapi esok" Hari esok pasti menjanjikan cerita yang
berbeda dengan hari ini. Dan Syanda merasa hari-hari yang akan dilaluinya masih panjang.
"Lama banget. Kukira kamu ngambil Coca-Cola-nya sampai ke pabriknya," goda Aditya,
menyambut gadisnya yang keluar dengan sebotol minuman ringan.
Syanda tersenyum. "Nih, minum sampai mabuk!" Diserahkannya botol Coca-Cola itu ke tangan Aditya.
"Mamamu marah lagi, ya?" tanya Aditya.
"Kok tahu" Nguping, ya?"
"Tidak usah nguping juga kedengaran dari sini, Syan. Suara Mamamu itu bisa sampai ke bulan
kalau lagi ngedumel."
Syanda terkikik. Dicubitnya lengan Aditya dengan gemas. Selalu saja ada bahan untuk memancing
tawanya. "Jangan terpengaruh Mamamu ya, Syan" Aku cinta banget sama kamu!" ujar Aditya, mendadak
jadi serius. Syanda tercenung. Ditatapnya mata lugu di hadapannya dengan hati berdentam. Cinta" Cintakah
aku kepada Aditya" Terlalu pagi rasanya mengucapkan kata-kata itu. Sampai detik ini, yang dia
tahu, dia hanya merasa senang berada di dekat Aditya. Itu saja.
"Aku juga sayang kamu, Dit!" ujar Syanda akhirnya setelah berhasil meredakan gemuruh di
hatinya. Aditya menggenggam tangannya.
"Walaupun aku tidak naik sedan seperti Edo?" tukasnya.
"Hei, hei! Memangnya aku cewek matre apa?" Syanda melototkan matanya. "Aku tuh, suka
dibonceng sama motor trailmu itu asal kamu tidak ngebut saja."
"Tapi, aku juga tidak punya banyak duit buat neraktir kamu."
"Ya amplop! Kok, kamu mendadak jadi Mama kedua, sih?"
"Aku takut perasaanmu kepadaku akan luntur karena terpengaruh Mamamu...."
"Dih, memangnya baju apa pakai luntur-luntur segala," Syanda bergurau. "Eh Dit, maksud Mama
kan baik juga sebetulnya," ujar Syanda lagi, mencoba berpikir dewasa.
"Baik"!" Aditya mencibir. "Berusaha memisahkan kita, itu kamu katakan baik"!"
"Mama tidak sepicik itu. Mama hanya tidak ingin melihat aku bergaul dengan cowok urakan. Nah,
kamu harus introspeksi, dong! Perbaiki sikap dan tingkah kamu. Mulai sekarang jangan suka
ngebut. Jangan suka merokok. Jangan suka begadang. Itu saja. Begitu lho, maksud Mama."
Aditya menghela napas. Sementara Syanda hanya memilin-milin tepian roknya sebagai pengusir
keterdiaman mereka. Enam bulan sejak perkenalan mereka di orientasi kampus sudah mampu
menautkan dua kutub hati yang berbeda. Aditya dengan kebengalannya akibat broken home, dan
Syanda yang tumbuh berkembang dalam didikan Katolik yang saleh.
"Aku pulang dulu ya, Syan?" pamit Aditya setelah meneguk minumannya sampai tandas. "Sudah
larut malam." Syanda mengangguk. "Pamitkan aku pada Mamamu, ya?"
"Langsung pulang ya, Dit?" pesan Syanda mewanti-wanti.
"Oke. Aku mampir sebentar ke Menteng, tapi. Kalau tidak, nanti aku dibilangin sombong lagi.
Mentang-mentang sudah punya pacar sehingga melupakan teman lama," jawab Aditya sambil
menaiki motornya dan memasang helm. "Eh... ada yang kelupaan."
Aditya turun dari motornya dan membuka helm. Dihampirinya Syanda yang anggun berdiri dengan
denimnya. Cup. Sebuah kecupan singgah di dahi Syanda.
"Met bobo, ya" Have a nice dream, " bisiknya lembut.
"Jangan kebut-kebutan malam ini lagi, ya?"
Aditya mengedipkan matanya. Sesaat kemudian motor pun menderu dan meninggalkan Syanda
dengan lambaiannya. Di dalam kamarnya, di atas tempat tidurnya, Syanda semalam-malaman tidak dapat memejamkan
matanya lagi. Itulah kecupan pertama yang dirasakannya dari seorang cowok. Kecupan dari Aditya.
Cintanya yang pertama. *** Syanda menguap lebar sementara HP-nya masih menempel di telinganya. Juga suara Sonya yang
seperti cucakrawa itu membujuknya supaya kuliah hari ini.
"Cuma Kewiraan kok, Syan. Masuk sajalah," bujuk Sonya di seberang sana.
"Justru karena cuma Kewiraan saja aku jadi malas."
"Ya ampun... kujemput, deh!"
"Bukan soal jemput menjemput...."
"Apa perlu aku sewa motor trail untuk menjemputmu?"
"Hei, ngeledek kamu, ya?"
Didengarnya suara Sonya terkekeh.
"Habis, susah amat sih bikin kamu insyaf buat kuliah."
"Aku lagi tidak enak badan nih, Son. Asli, tidak tahu kenapa pikiranku hari ini tidak karuan."
Syanda memijit pelipisnya. Bukan, bukan kepalanya yang pening. Tapi, dia merasakan sesuatu yang
janggal pagi ini. "Kalian bertengkar tadi malam?"
"Tidak." "Atau, Mamamu yang cicit-cuwit itu lagi ngedumel soal Aditya?"
"Termasuk. Tapi, ah tauklah. Aku titip catatan saja, ya" Mau, kan?" bujuk Syanda. "Aku tahu kamu
teman yang terbaik sedunia."
"Dih, kalau ada maunya...." Sonya terkekeh. "Boleh saja, Syan. Tapi...."
"Tapi apa?" "Asal kamu tahu saja. Teman yang baik perlu disuap agar lebih baik lagi. Sepotong burger dan
segelas es krim di McDonalds bolehlah. Hehehe"."
"Ember." Syanda turut terkekeh. "Cingcai-lah."
"Oke. Hati-hati di rumah ya, Non" Nanti sore aku ke rumahmu. Salam buat tukang balapmu itu."
Bip. Telepon diputus. Syanda menggeliat. Kalau bukan karena dering telepon Sonya, tentu dia masih
bermalas-malasan di tempat tidur. Dan, masih bermimpi tentang Aditya!
Hei... apa mimpinya tadi malam"! Rasanya bukan mimpi yang indah. Buktinya, dia bangun dengan
badan yang basah oleh keringat dan rambut acak-acakan.
Mimpi buruk, keluhnya dalam hati. Semoga saja cuma mimpi. Dan semoga saja perasaan tidak enak
yang bermain dalam hatinya saat ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan mimpinya tadi
malam. Syanda beranjak ke dapur. Dibukanya tutup wadah kopi dan dituangkannya tiga sendok kopi instan
pada cangkirnya. Kring-kring-kring. Telepon berdering lagi. Namun kali ini telepon rumah. Tapi beberapa saat kemudian terhenti. Tentu
sudah diangkat oleh Santi, adiknya. Perlahan Syanda menuang air panas dari dispenser setelah
menabur krimer dan mengaduk-aduknya.
"Syan... telepon untukmu," ujar Santi di muka dapur. Wajahnya kelihatan agak pucat.
"Dari siapa?" "Suara perempuan. Tapi sudah kututup."
"Lho, bagaimana sih kamu ini?" seru Syanda, tidak jadi meneguk cappuccino yang sudah berada di
pelepah bibirnya. "Ka-katanya... Aditya berada di panti rehabilitasi 'Nusa Bangsa'!" jawab Santi terbata-bata.
Syanda tercekat. Panti rehabilitasi 'Nusa Bangsa'"! Siapa pun tentu tahu tempat seperti apa itu. Tapi
kalau Aditya masuk ke panti itu.... Ah, salah apa Aditya"! Panti itu kan, tempat untuk merawat
mereka yang kecanduan dan terlibat pemakaian obat-obat terlarang-narkoba"!
"Pe-perempuan itu tidak bi-bilang apa-apa lagi, San"!" tanyanya nyaris tanpa ekspresi.
"Tidak. Katanya cuma menyampaikan permintaan Aditya untuk memberitahumu," jawab Santi
sambil duduk di hadapan Syanda. "Sebetulnya Aditya itu nyabu atau tidak, sih?"
Syanda menggeleng lemah. "Kamu yakin dia bukan junkies?" tanya Santi lagi kurang yakin.
"Aku tidak tahu!" Syanda bangkit berdiri. Memijat keningnya kemudian. Dia benar-benar shock.
Santi menggeleng-gelengkan kepalanya.
Aditya... ah, pasti polisi-polisi itu salah menangkap orang. Pasti Aditya hanya ikut terjaring operasi
penertiban narkoba dan ekstasi. Mungkin beberapa temannya memakai narkoba. Tapi Aditya"
Syanda membatin galau. Dia kenal betul siapa Aditya Putra Wicaksana. Tukang balap yang setiap
Minggu tidak pernah absen ke gereja. Tapi kalau teman-temannya junkies, apakah tidak mungkin
Aditya juga ikut-ikutan walau cuma sedikit"
"Ti-tidak mungkin! Tidak mungkin!" desis Syanda berulang-ulang. Matanya mulai membasah.
Bibirnya bergetar menahan tangis.
"Tapi, Aditya kan perokok?" bantah Santi.
"Aku harus ketemu Aditya!" Syanda meninggalkan Santi yang masih menatap kakaknya dengan
pandangan heran. Siapa pun pasti heran. Gadis semanis dan sepandai Syanda mau menggantungkan hatinya pada
cowok bengal yang tidak ketahuan ke mana tujuan hidupnya. Tapi, siapa yang tahu kalau di balik
semua sikap buruk Aditya ternyata ada sebongkah emas murni. Dan Syanda-lah yang tahu di mana
emas itu tersembunyi. Cuma Syanda yang tahu. *** "Waktu Nona cuma tiga puluh menit," pesan satpam yang mengantar Syanda ke ruang tamu panti
rehabilitasi 'Nusa Bangsa'. Ternyata panti rehabilitasi ini juga dilengkapi dengan beberapa aparat
keamanan. Syanda agak bergidik tatkala melihat beberapa penghuni yang juga sedang menerima
tamu. Badan mereka kurus kering dan tatapan mereka hampa. Ah, Aditya-nya bukan orang jenis
seperti itu. Dan Syanda semakin yakin kalau polisi salah menjaring orang. Mata Aditya selalu berbinar dan
bersemangat manakala menyanyikan lagu-lagu rohani di gereja. Ah, mana bisa dia disamakan
dengan para junkies itu"!
"Kamu datang juga," suara berat Aditya membuyarkan lamunan Syanda.
"Ka-kamu... ke-kenapa"!"
Aditya menarik kursi di hadapannya. Menatap lurus sepasang mata indah milik gadis yang
belakangan ini diakrabinya melebihi apa pun juga.
"Kamu pikir aku sama dengan mereka...."
"Tidak. Aku yakin kamu tidak bersalah...."
Aditya mengerjap-erjapkan matanya. Kepalanya terkulai lemas. "Malam itu, Omar dan Maxi
ternyata bikin pesta gila-gilaan di rumahnya, di tempat kami biasa nongkrong ramai-ramai. Aku
ingat pesanmu untuk segera pulang, Syan. Tapi terlambat. Polisi ternyata sudah mengepung kami.
Semua terjaring. Malah, Maxi dan Omar ditahan di polsek Menteng," ceritanya dengan suara serak.
"Tapi kamu ti-tidak...."
"Demi Tuhan, Syan. Demi Tuhan aku tidak...."
"Aku percaya...."
"Terima kasih. Hanya kamu yang mau percaya aku."
Syanda memaksakan bibirnya tersenyum. "Berapa lama kamu di sini?"
"Entahlah, Syan. Mungkin sebulan. Atau, mungkin pula bisa setahun...."
"Se-setahun"!" Syanda terbelalak.
"Kamu malu aku masuk panti rehabilitasi?"
Syanda menggeleng. "Aku tidak peduli. Aku hanya takut membayangkan hari-hari yang mesti
kulalui tanpa kamu."
Aditya mengeraskan rahangnya. Berusaha menahan airmata yang hendak menyeruak. Laki-laki
pantang mengeluarkan airmata. Dia harus menunjukkan ketabahannya di hadapan Syanda.
Bukannya malah menambah rasa pedih di hati gadis yang sangat disayanginya itu.
"Memang lama. Tapi...."
"Ak-aku akan tabah, Dit. Aku akan menunggu...."
"Ja-jangan...."
Syanda tersedu. "Ak-aku akan menunggumu sampai kapan pun juga!"
Aditya merengkuh pundak gadisnya. Membiarkannya menangis di bahunya. "Terima kasih untuk
ketulusanmu." Waktu berlalu. Tiga puluh menit berjalan tanpa terasa. Mereka harus berpisah tepat ketika bel tanda
besuk berakhir berdenting memekakkan.
"Pulanglah...."
"Dit...!" Syanda kembali memeluk Aditya setelah sesaat tadi siap melangkah keluar. "Jangan lupa
berdoa, ya?" "Pasti." Aditya mengangguk lalu melambai setelah Syanda berdiri di bawah bingkai pintu keluar
ruang tamu. Ditatapnya tubuh Syanda yang menirus dan menghilang di balik tembok. Dua petugas
satpam telah mengapitnya untuk menggiringnya masuk dan berkumpul dengan penghuni panti
rehabilitasi lainnya. Di luar, betapa inginnya Syanda berteriak lantang. Bahwa Aditya sama sekali tidak bersalah. Aditya
bukan junkies . Tapi, siapa yang peduli" Bahkan, Aditya pun tampak pasrah dan tabah menerima
kenyataan itu. Dipisahkan dari orang-orang tercinta.
Syanda menyusut airmatanya. Diayunkannya langkah lebih cepat menyusuri koridor panti
rehabilitasi 'Nusa Bangsa'. Dia ingin ke kapel. Berdoa di sana. Melaburkan dirinya di dalam damai
dan teduhnya sinar Ilahi.
Keterangan Ember = memang (bahasa gaul atau prokem Jakarta ).
Cingcai = tidak apa-apa (bahasa Betawi yang diadaptasi dari bahasa Tionghoa).
Nyabu = mengisap shabu-shabu (bahasa melayu Jakarta yang diadaptasi dari kata shabu-shabu).
Junkies = sebutan untuk pecandu atau pemakai narkoba (khususnya jenis shabu-shabu dan putauw).
Kapel = gereja kecil (di asrama, biara, dsb).
Bab II To You I Belong Rain feel down You where there I cried for you when I hurt my hand Storm a-rushing in Wind was howling I called for you, you where there....
Suara B*Witched dari Radio Prambors FM masih memenuhi ruang kamar Syanda. Di atas bantal,
Syanda merenung. Terlentang menatap langit-langit kamarnya. Tiada lagi hari-hari bersama Aditya.
Tidak ada lagi acara JJS yang mengesankan. Tidak ada acara shopping bersama ke Blok M Plaza.
Juga, tidak ada tawa canda ceria lagi di malam Minggu. Ah, betapa beratnya menerima kenyataan
kehilangan sesuatu yang amat berarti dalam hidupnya secara tiba-tiba. Hari-harinya kini terasa
terpenggal. Padahal baru beberapa hari berlalu. Apalagi satu tahun"
Syanda bergidik membayangkan. Tiga ratus enam puluh lima hari harus dilaluinya dalam
kesendirian. Apakah dia akan mampu mempertahankan rasa sayangnya kepada Aditya" Apakah dia
sanggup memerangi setiap kejenuhan yang datang" Belum lagi sindiran sana-sini yang akan


Rindu Capuccino Karya Syandarini di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membuat kupingnya memerah. Syanda pacaran dengan junkies! Pacar Syanda ada di panti
rehabilitasi milik yayasan Katolik 'Nusa Bangsa'. Ah!
Tok-tok-tok. "Masuk," ujar Syanda tak bergeming.
Pintu berderit, dibuka. Wajah Mama menyembul.
"Sedang apa, Syan?" tegur Mama lembut sambil melangkah masuk.
Syanda menggeleng. "Melamun terus." Mama mengangkat bantal dan guling yang berserakan jatuh di lantai.
"Berantakan betul kamarmu. Uh, sama kusutnya dengan wajahmu yang awut-awutan itu."
"Nanti Syanda rapikan."
"Sudahlah. Untuk apa memikirkan anak itu lagi" Sekarang terbukti kan, kata-kata Mama dulu?"
ujar Mama dengan perasaan bangga.
"Apanya yang terbukti"!" Syanda tersinggung.
"Lho" Kurang bukti apa lagi" Aditya sekarang tengah dirawat di panti rehabilitasi untuk orang yang
kecanduan obat-obat terlarang. Itu tandanya dia morfinis atau entah apalah namanya. Masa sih
kamu tidak sadar juga, Syan"!" pekik Mama tertahan.
Syanda menggeleng. "Bukannya Syanda membela Adit, Ma. Tapi, Mama harus tahu kalau polisi salah menjaring orang.
Adit hanya ber...." "Ah, Mama tahu semuanya, kok," potong Mama. "Mama sudah punya firasat yang buruk pada anak
itu." "Memang Mama tidak senang sama Aditya, kok! Kenapa sih, Ma"! Apa Aditya pernah bikin salah
sama Mama"!" tanya Syanda serak sambil menatap kosong langit-langit kamar.
"Tidak. Mama tidak menyukainya karena dia dekat dengan anak Mama. Mama tidak mau anak
perempuan Mama ikut-ikutan rusak! Belum lagi ocehan tetangga yang ramainya seperti pasar. Mau
dikemanakan muka Mama ini"! Anaknya pacaran sama pemabuk, tukang kebut, berandalan. Kok,
dibiarkan saja...." Syanda menghela napas keras. "Tapi Aditya tidak seperti sangka Mama!"
"Kamu terus saja membelanya, Syan. Heran. Jangan-jangan kamu sudah dipelet."
"Dipelet" Dipelet pakai apa"! Apa Mama tidak tahu kalau Aditya rajin ke gereja?" bantah Syanda
jengkel. Mamanya mulai tidak rasional.
"Ah, itu kan cuma pura-pura saja. Supaya kamu makin simpati kepadanya. Aslinya berandalan, ya
tetap saja posisinya di tengah-tengah orang yang berandalan."
"Tidak! Aditya tidak bersalah. Dia memang bandel, tapi tidak seburuk sangka Mama. Dia bukan
pemabuk, pecandu narkoba. Dia bukan berandalan!" seru Syanda gusar.
Mama tersenyum melecehkan.
"Kamu mau bela dia lagi" Mau bilang bahwa polisi salah menjaring orang?"
Syanda terdiam. "Polisi tidak asal tangkap saja, Sayang. Mereka menyelidiki dulu. Kalau Aditya ikut terjaring, itu
tandanya dia betul bersalah. Dia betul morfinis, atau apalah namanya. Sebab polisi tidak bakalan
menahan orang tanpa bukti."
Syanda makin diam, terjerat oleh kata-kata Mamanya. Hatinya mulai ragu. Siapa yang salah.
Polisikah" Mama" Atau, jangan-jangan justru Aditya yang begitu pandai mengelabuinya" Atau...
ah! "Berhentilah memikirkan dia." Mama mengelus kepala Syanda.
Sementara lagu terus mendayu-dayu, pikiran Syanda membelit benaknya sendiri. Hanya beberapa
hari berlalu tanpa Aditya, tapi semua telah tampak demikian kabur. Masih beratus-ratus hari lagi,
tentulah bayangannya akan semakin jauh dan makin tak kelihatan. Makin samar, lalu menghilang....
Whenever dark turns to night
And all the dreams sing their song
And in the daylight forever
To you I belong Beside the sea When the waves broke I drew a heart for you in the sand
in fields where streams Turn to rivers I ran to you, you where there....
*** Aditya tampak kurusan dengan seragam hijau tuanya itu. Dagunya membiru habis dicukur.
Rambutnya tidak lagi gondrong. Syanda menatap iba. Aditya yang dulu senantiasa bersemangat,
kini harus menghabiskan detik demi detik di sebuah panti rehabilitasi. Segalanya harus diawasi.
Segalanya dibatasi. Bagai terpenjara.
"Apa kabar, Dit?" sapa Syanda canggung.
"Aku baik-baik saja. Kamu?" Adit mencoba tersenyum. Tapi di mata Syanda senyumnya kelihatan
hambar. Jujur, Aditya tentu tidak kerasan di tempat ini. Senyum tadi hanya untuk
membahagiakannya saja. Hanya sekedar untuk mengusir rasa resah dari dalam diri Syanda.
"Ak-aku baik." Syanda tertunduk.
"Mamamu dan Santi?"
"Mereka baik-baik saja dan titip salam untukmu."
"Mamamu juga"!"
"Ya, Mama juga...."
Aditya menyeringai. "Kamu bohong! Mamamu pasti makin benci sama aku. Bahkan, Ibuku sendiri
mulai bosan menjengukku"."
"Dit, kamu mau berjanji kepadaku?"
"Apa?" "Berhentilah merokok. Berhentilah ngebut dan begadang setelah kamu keluar dari panti ini," pinta
Syanda. "Pasti. Pasti. Aku telah berhenti merokok, Syan. Dan di sini, aku lebih suka tidur ketimbang
begadang." "Syukurlah. Kamu juga tidak lupa berdoa, kan?"
"Tentu. Kebetulan di sini ada kapel. Kamu lupa, panti ini milik yayasan Katolik. Malah aku mulai
akrab dengan salah satu pastornya," cerita Aditya agak bersemangat.
Tapi masih beratus hari lagi mesti kamu lalui di sini, bisik Syanda pedih. Masih adakah
semangatmu esok" Lusa" Bulan depan"
"Kamu juga mendoakan aku?" bisik Syanda. Menggenggam jemari Aditya.
"Ya. Mendoakan kita. Aku dan kamu. Juga Mamamu."
"Mamaku juga"!"
"Ya. Aku menyesal. Seandainya saja sejak dulu kemauan Mamamu kuturuti, tentu Mamamu tidak
akan menentang hubungan kita. Juga tragedi sialan ini tidak bakal terjadi...."
"Sudahlah, Dit!" Syanda menyentuh lembut bahu kekasihnya.
"Aku kangen kamu, Syan...."
"Kamu pikir aku tidak" Aku sering kebingungan menghabiskan malam Minggu-ku dengan
membaca atau menonton TV," ujar Syanda.
"Kamu... ah maaf. Aku ingin tahu, apakah ada yang mengisi tempatku di hatimu selama aku tidak
ada?" tanya Aditya hati-hati.
Syanda menggeleng. "Jangan bicarakan hal itu."
"Apakah kamu akan setia, Syan?" Aditya menatapnya dengan tajam.
Syanda makin rikuh. Dia takut Aditya membaca kebimbangan yang mulai sering merecoki hatinya.
Ah, kamu tidak tahu bagaimana kejamnya dunia memusuhimu, Dit! Mempengaruhiku untuk
meninggalkanmu dan merengkuh asa yang lebih baik. Selama ini aku mencoba bertahan tapi aku
mulai ragu. Apakah pasak yang kita bangun bersama akan cukup kuat menyanggah setiap empasan
badai yang datang" Sementara hari masih begitu panjang dan gersang. Apakah semua akan berlalu
seperti rencana kita, Dit" Syanda membatin dengan kepala tertunduk. "Hei, kamu tidak datang
untuk membingkiskan airmata untukku, kan?" goda Aditya, mencairkan kebekuan suasana, lalu
menghapus titik airmata yang menempel di pipi kekasihnya tersebut.
Syanda tersenyum. Menyusut sisa airmata yang menggantung di sudut matanya yang tak tersentuh
tangan Aditya tadi. "Ma-maafkan aku, Dit. Aku sedih membayangkan hari-hari sepi yang harus kamu lalui sendiri di
sini," kilahnya. "Aku akan baik-baik saja."
Bel berbunyi. Memisahkan mereka kembali. Hari terus berganti dan roda terus berputar. Bagi
Aditya, mungkin tidak terlalu sulit. Tapi aku" batin Syanda.
Syanda menyeret langkahnya meninggalkan panti rehabilitasi 'Nusa Bangsa' dengan hati galau.
Dunia seakan menertawakan dirinya yang mau saja setia pada pemuda seperti Aditya. Duh!
Bab III Aku Akan Tetap Menunggumu
Syanda tercenung menatap lembar-lembar diarinya. Belakangan ini dia seolah menorehkan
kenangan biru dan kelabu semata. Biasanya, hari-hari yang dicatatnya adalah hari penuh bunga,
penuh tawa dan canda ceria bersama Aditya. Tapi kini"
Dihelanya napasnya yang kian hari terasa berat. Bahkan ada sekelumit rasa enggan untuk mengisi
diarinya lagi. Diari, tulisnya. Entah apa lagi yang akan terjadi esok, lusa, minggu depan, bulan depan, seratus hari
lagi, dan... ratusan hari yang lain lagi. Ah, sepertinya semua mendadak hilang. Begitu tiba-tiba dan
tanpa sisa untukku! Apa yang tengah dilakukan Aditya di panti sana" Apakah dia merasakan sepi yang menggigit
nurani ini" Apakah dia juga tengah bergumul dengan keragu-raguannya" Apakah dia juga mulai
bimbang" Ya, Tuhan! Kenapa petaka itu harus ditanggungnya"!
Rasanya Aditya berada jauh. Sangat jauh. Karena biasanya, tidak ada jarak di antara kami. Tapi
sekarang" Hanya tiga puluh menit seminggu. Betapa singkatnya. Betapa pendeknya setiap detik
yang berlalu untuk bertukar kasih dan sayang. Waktu seolah musuh yang menakutkan buatku!
Waktu pulalah yang memisahkan aku dengan Aditya. Aku benci, aku benci waktu! Syanda
membatin pilu. Tapi, apakah ini yang dinamakan cinta" Aku tidak tahu. Selama ini pikiranku belum sampai ke sana
. Aku hanya kadang merasa takut kehilangan Aditya. Aku rindu. Aku kangen. Tapi, aku bimbang....
Mungkin cinta memerlukan pengorbanan. Apakah aku siap menderita untuk Aditya"! Jawabnya
masih kucari, entah di mana. Bahkan, di hari-hari belakangan ini pun aku mulai ragu. Apakah aku
masih memiliki kesetiaan untuknya"! Apakah aku masih harus setia menunggunya"!
Kami masing-masing sudah menjauh. Tidak lagi saling mengetahui. Tidak lagi saling berbagi.
Setiap perjumpaan, yang hadir hanyalah airmata kesedihan. Tidak ada lagi derai tawa. Tidak ada
lagi senyum Aditya yang membuatku rindu. Semua telah berubah....
Syanda menghela napas. Direbahkannya dirinya ke sandaran kursi.
"Syan...," panggil Santi yang tiba-tiba saja sudah masuk dalam kamar.
"Ada apa?" Syanda menghapus dua titik airmatanya. Ditenangkannya dirinya. Dia tidak ingin Santi
mengetahui kalau dia kembali menangisi Aditya. Cowok yang sudah rusak segala-galanya di mata
orang-orang. "Boleh mengganggu?" Santi duduk di bibir ranjang. "Sudah selesai menulisnya?"
Syanda mengangguk. Menutup diari merah mudanya.
"Tadi aku ketemu Nimo di Pondok Indah Mall. Kamu masih ingat dia" Katanya, teman SMA-mu."
Syanda termenung sesaat. Nimo"! Geronimo Panggabean"!
"Ya, ya. Aku masih ingat."
Syanda tersenyum. Siapa yang tidak kenal Nimo. Anak Batak bandel yang gencar mengejarnya itu.
Dia cukup cute. Tajir. Royal. Dan yang pasti, dia anak pejabat berstatus sosial baik-baik. Syanda
terkenang masa SMA-nya dulu. Waktu itu, semua tahu Nimo tergila-gila kepadanya. Tapi itu dulu.
Sebelum dia mengenal Aditya. Meski Nimo baik kepadanya, tapi ada sesuatu yang sama sekali
membedakannya dengan Aditya. Itulah sebabnya lantas dia lebih memilih Aditya.
"Nimo nanyain kabarmu," gugah Santi.
"Oya?" Syanda pura-pura cuek. "Dia masih ingat aku?"
Santi mengangguk mengiyakan.
"Katanya juga, salam buat Aditya."
"Nimo, Nimo...." Syanda tersenyum kembali.
"Sebetulnya kenapa dulu kamu menolak Nimo sih, Syan?" tanya Santi ragu.
"Kenapa" Aku juga tidak tahu kenapa. Kalau kamu kelak menghadapi masalah seperti aku, kamu
akan mengerti sendiri, San."
"Tapi, Nimo memiliki hampir segalanya," bantah Santi.
"Aku tahu." "Lalu... ah, aku heran sama kamu. Padahal, Nimo.... Duh, kenapa sih kamu masih mengharap
Aditya"!" "Aku aku hanya bersikap dewasa, San! Berkomitmen dengan janji-janjiku kepada Aditya selama
ini. Terlepas dari semua itu pun, aku menemukan sesuatu dalam diri Aditya yang sama sekali tidak
dimiliki oleh cowok-cowok lain. Juga tidak dalam diri Nimo," jawab Syanda dengan suara paruh
tangis. "Apa itu"!" Santi bertanya sinis. Melecehkan.
"Kejujuran. Aditya memang nakal. Bandel. Tapi, dia jujur. Dia tidak malu orang lain mengetahui
tingkah-lakunya. Dia tidak menutup-nutupi apa pun dariku. Aku salut!"
"Kamu juga salut dong, dengan keberhasilannya masuk panti rehabilitasi"!" serang Santi
memojokkan. "Ka-kamu...." tukas Syanda gusar. "Dia bukan junkies, San! Harus berapa kali aku bilang, kalau itu
bukan salah Aditya! Dia hanya ikut terjaring saat operasi berlangsung. Dia tidak tahu apa-apa!"
"Apakah kamu tidak memikirkan apa yang bakal terjadi padanya bila kelak dia keluar dari panti
rehabilitasi itu" Dia akan terkucil, Syan!" teriak Santi, berdiri dari duduknya. "Apakah kamu mau
ikut-ikutan dikucilkan orang" Oh, Syanda, kakakku sayang! Berpikirlah rasional. Kamu terlampau
sentimentil. Sok idealis tanpa memperhitungkan untung-ruginya."
"Cinta tidak pernah memperhitungkan untung-rugi, San!" Syanda menggigit bibir.
"Kamu kelewat mencintainya! Oh, betapa beruntungnya cowok itu, dicintai kakakku yang berhati
bidadari." Syanda tercekat. Setulus itukah cintanya kepada Aditya"! Padahal, sejujurnya dia mulai ragu
dengan kesetiaan cintanya kepada Aditya! Cuma cinta emosi, mungkin. Syanda mengusap
wajahnya. "Syan, lupakanlah Aditya-mu itu. Tinggalkan Aditya sekarang, dan mulai lagi dengan harimu yang
baru. Masih banyak kok, cowok yang lebih baik dari dia." Santi masih berusaha membujuk.
"Tinggalkan aku sendirian di sini, San!" pinta Syanda lemah.
"Oke, oke," Santi mengembangkan senyumnya sembari menjawil hidung kakak semata wayangnya
itu, jelas untuk meringankan suasana hati. Kemudian dilangkahkannya kakinya dengan melompatlompat
kecil sampai ke bawah bingkai pintu kamar. "Tapi janji lho, kamu tidak akan nangisin
Aditya-mu itu lagi."
Syanda ikut tersenyum. Dan mengangguk perlahan.
"Eh, Syan, Nimo janji akan meneleponmu, lho," Santi menghentikan langkahnya di bawah bingkai
pintu kamar Syanda. "Jangan marah, ya. Tanpa seizinmu, aku sudah ngasih dia nomor HP-mu."
Syanda kembali tersenyum.
"Dia sudah tahu semuanya tentang Aditya. Sori, aku cerita semua kepadanya. Dia juga janji akan
datang kemari untuk menghiburmu, kapan-kapan." Santi berlalu tanpa merasa bersalah.
Menghiburku"! Syanda tersenyum kecut. Satu-satunya hiburan bagiku adalah kembalinya Aditya. Bersamaku,
mengisi hari-hariku yang terasa hampa. Dan barusan Santi bilang Nimo akan datang menghiburku.
Untuk apa" Untuk melupakan Aditya" Untuk menghapus namanya dari dalam hatiku" Tidak! Tidak
ada yang bakal dapat menggeser posisi dia. Aku tidak bakal dapat melupakan dia! Bukankah aku
sudah berjanji padanya untuk tetap setia"! Menunggunya hingga dia keluar dari panti rehabilitasi
seberapa lama pun"! Tidak! Aku bukan cewek tukang ingkar janji. Aku bukan cewek tipe kutu
loncat. Aku tidak bakal melupakan Aditya hanya karena sekarang namanya telah tercemar.
Aku akan tetap menunggunya.
Bab IV Asmara dari Seberang Kamu makin kurus saja, Syan," ujar Sonya sambil mengunyah permen karetnya. Mereka berjalan
beriringan di antara para mahasiswa lain yang menuju ruang kuliah masing-masing.
"Ah, masa?" Syanda memperhatikan pergelangan tangannya. Dia selalu mengukur kondisi
badannya dari pergelangan tangan. Dan dilihatnya tonjolan tulang di sana. Berarti Sonya tidak
salah. Badannya memang menyusut beberapa kilogram.
"Masih sering menjenguk Aditya?"
"Tentu. Kalau bukan aku, siapa lagi?"
"Ibunya?" "Ah, semua telah mengucilkan Aditya. Padahal, Aditya tidak bersalah," ujar Syanda seolah kepada
dirinya sendiri. "Tapi, itu kan pengakuannya terhadapmu?"
"Maksudmu, Aditya berbohong sama aku"!" Syanda menghentikan langkahnya sesaat. "Tidak
mungkin!" "Kamu begitu yakin?"
"Ya." "Kamu tipe cewek setia, Syan," kelakar Sonya.
"Setia" Rasanya pujian itu terlalu berlebihan. Kamu perlu tahu, Son, akhir-akhir ini aku sering
bimbang. Apakah aku harus terus bersedih" Atau, mulai berpikir untuk hari-hari dan masa depanku
sendiri." "Of course. Satu tahun bukan waktu yang singkat memang...." Sonya ikut merenung.
Syanda mengerjapkan matanya.
"Sudahlah. Kuliah apa hari ini?" ujarnya, mengganti pokok pembicaraan. Semangatnya selalu surut
setiap kali membicarakan soal Aditya dan soal masa depannya bersama Aditya. Juga soal kesetiaan.
Soal apa pun tentang Aditya hanya akan menumbuhkan kedukaan yang kian dalam saja. Makin
membuatnya merasa bahwa hari penantian kian panjang dan tak berujung.
"Hari ini Kewiraan. Dua jam."
"Kewiraan lagi" Huh!" Syanda menghela napasnya.
"Pasti malas lagi. Bolos lagi?"
"Tauklah. Aku bosan sama Pak Irwan dan caranya mengajar itu. Setiap kali mata kuliah Kewiraan,
aku hanya terkantuk-kantuk di ruang kuliah."
"Jadi?" Sonya menghentikan langkahnya di pertigaan koridor. "Kamu terus atau ke kiri?"
Syanda melirik ke kiri. Rasanya lebih baik dia menghabiskan siang ini di kantin saja. Seorang diri,
menghabiskan waktu sembari menanti Sonya untuk pulang bareng nanti.
"Ke kiri saja." Senyum Syanda disambut cubitan jengkel Sonya.
"Tunggu aku, ya?" pesan Sonya sebelum berlalu.
Syanda melambai. Diayunkannya langkahnya ke kantin. Lantas dipesannya secangkir cappuccino
dan sepotong roti keju bakar setibanya di sana. Ah, betapa segarnya badannya setelah beberapa hari


Rindu Capuccino Karya Syandarini di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dia menghindarkan diri dari tempat yang bernama kampus ini. Betapa jernih pikirannya setelah
beberapa minggu dia menghindari tatapan orang-orang yang kebetulan tahu siapa dia dan siapa
Aditya. Diteguknya kopinya dengan semangat begitu pesanannya tersaji di hadapan. Ah, mana tisu" Syanda
mengorek-ngorek tasnya untuk mencari sepotong tisu guna memegang roti bakar yang berminyak
dan agak panas itu. Pluk. Sebuah benda terjatuh dari tasnya. Korek api Aditya! Korek api yang dulu sempat
disembunyikannya agar Aditya tidak merokok di rumahnya.
"Punyamu?" Ups. Rupanya Syanda kalah cepat dengan tangan kekar yang kini menyodorkan benda itu
kepadanya. "Ya." Ditatapnya si penolong itu. Seorang cowok berambut cepak ala Tintin, berkemeja garis-garis
dengan lengan baju yang dilipit rapi.
Cowok itu tersenyum simpatik.
"Terima kasih," ujar Syanda lagi.
"Sama-sama. Kamu kuliah di sini?" tanyanya lagi.
Syanda mengangguk. Cowok itu menatap berkeliling. Rupa-rupanya kursi kantin telah penuh terisi. Syanda menatap
cowok itu lantas mengambil inisiatif.
"Duduklah di sini kalau kamu mau."
"Oh, terima kasih. Kursi-kursi kantin selalu penuh pada jam-jam begini. Jam-jam lapar! Hahaha...."
Cowok itu tertawa. "Oya, kita belum kenalan. Saya Ivan, Ivan Prasetyo. Fakultas ekonomi semester
dua." Syanda menyambut uluran tangan Ivan. "Syanda. Syandarini Aprilia Joshepine Munaf. Aku di
fakultas psikologi. Baru semester pertama."
"Calon psikolog" Wah, saya harus hati-hati kalau begitu."
"Kenapa?" "Katanya, psikolog bisa tahu apakah seseorang jujur atau berbohong hanya dengan menatap mata
orang itu. Betul" Apakah ilmumu sudah sampai di situ?"
Syanda tertawa. "Ada-ada saja," kilahnya sembari menggeleng-gelengkan kepala.
"Eh, tapi ngomong-ngomong, rasanya saya memang sering lihat kamu dulu. Habis cuti kuliah?"
tanya Ivan. Syanda menggeleng. "Sakit," dustanya.
"Oo." Ivan manggut-manggut.
"Kamu tidak mesan apa-apa?" tanya Syanda.
"Nanti saja. Ngobrol dengan kamu membuat rasa laparku hilang."
"Oya" Jadi aku kamu anggap sejenis roti bakar, ya?" kelakar Syanda. Rasanya sudah lama betul dia
tidak menemukan teman untuk diajak bercanda seperti ini. Mereka tertawa bersama. Keakraban
terjalin begitu cepat. "Keberatan kalau aku menganggapmu roti bakar?"
"Tidak. Tapi aku menyesal membiarkanmu duduk bersamaku kalau tahu kamu sebetulnya bukan
perlu makanan, tapi perlu teman ngobrol saja saja," ujar Syanda santai.
"Jadi betul ...." desis Ivan.
"Apanya yang betul?"
"Seorang psikolog bisa menangkap maksud seseorang hanya dari tatapan matanya."
"Jadi...?" Syanda mengernyitkan alisnya tidak mengerti.
"Kebetulan aku ketemu kamu. Aku sedang butuh teman bicara. Hm, aku tengah menghadapi
persoalan dengan...."
"Pacarmu?" penggal Syanda yakin.
"Yap! Seratus lagi buat kamu!" Ivan menjentikkan jarinya.
"Kamu percaya sama aku" Orang baru kamu kenal lima menit lalu?" pancing Syanda.
"Kenapa tidak" Tiba-tiba saja aku merasa menemukan orang yang tepat untuk nuangin unek-unek.
Boleh?" "No problem. Aku siap jadi waskom curhatmu, kok." Syanda tertawa.
Ivan latah. "Begini, pacarku itu, hm... namanya Mita. Kami satu fakultas, satu ruang kuliah malah.
Belakangan ini kami selalu ribut. Soal kecil bisa jadi besar. Karena itu aku jadi malas ketemu dia
lagi. Nah, akhirnya ya begini. Aku keseringan bolos jam kuliah. Kamu tahu, Mita tidak pandang
tempat! Kalau dia ngambek, di mana pun jadi. Nah, kalau kejadiannya di ruang kuliah, mau kutaruh
di mana mukaku yang berjerawat batu ini?" cerita Ivan bersemangat.
"Lantas?" "Lantas aku ingin menyadarkannya. Bahwa, cowok perlu juga dimanja sesekali. Jangan ditekan
terus, jangan diomelin terus. Tapi, aku bingung mencari kalimat yang tepat." Ivan mengusap-usap
keningnya. "Dia terlalu egois dan mau menang sendiri! Susah ngatur dia!"
Syanda tersenyum. "Kamu merasa lebih lega sekarang?"
"Yah." "Itulah. Lain kali kalau ada persoalan, ceritakanlah pada orang yang dapat kamu percaya. Walaupun
belum tentu bisa mencarikan jalan keluarnya, tapi paling tidak dengan bercerita beban batinmu
sudah sedikit berkurang," ujar Syanda sok tua. Mengutip kalimat dari literatur yang pernah
dibacanya. Ivan hanya manggut-manggut. Matanya yang jenaka dan cara bicaranya yang polos mengingatkan
Syanda pada seseorang. Seseorang yang kini jauh darinya. Ah, kerinduan selalu datang tiba-tiba.
Sekelebat dilihatnya Sonya melambai dari kejauhan. Syanda bergegas merapikan tasnya lalu bersiap
meninggalkan tempat duduknya.
"Hei... mau ke mana?" tahan Ivan.
"Temanku sudah menjemput."
"Tapi, kamu belum memecahkan masalahku."
"Lain kali saja. Oke?" Syanda berdiri, siap untuk beranjak. "Aku sendiri sedang banyak masalah."
"Lain kali" Kapan?" desak Ivan.
"Mungkin suatu hari di kantin ini kita ketemu lagi. Atau... entah kapan." Syanda mengangkat
bahunya. Menatap roti bakar yang sama sekali belum disentuhnya.
"Kamu tidak ingin kita bersahabat?"
Syanda tersenyum, lalu melambai. "Sampai ketemu...."
"Hei, tunggu! Ini korek apimu!" panggil Ivan.
"Oh... trims." Syanda menghentikan langkahnya di bawah bingkai pintu kantin. Bergegas
disambutnya benda kecil bergrafer 'A' di depannya.
"Kamu merokok?"
Syanda menggeleng. "Milik temanku," jawabnya hambar.
Ditatapnya Ivan sekilas. Dirasakannya ada kerinduan yang tertambat di mata Ivan. Sepasang mata
yang pernah diakrabinya. Ah, sebetulnya dia ingin menghabiskan beberapa saat lagi bersama Ivan.
Berbagi cerita. Bertukar canda seperti yang biasa dilakukannya bersama Aditya. Tapi, tidak
mungkin. Ada yang tengah menunggunya jauh di sana. Ada yang terperangkap dalam sepi. Ada
yang menagih kesetiaannya.
"Sampai ketemu." Syanda melambai kembali lantas bergegas menghampiri Sonya. Meninggalkan
Ivan yang tengah melongong, menatap langkah gegasnya yang melesat secepat camar.
"Pak Irwan tidak masuk," urai Sonya tanpa ditanya.
"Tumben...." "Eh, siapa cowok yang bersamamu di kantin tadi...."
Bab V Masih Ada Damba yang Tersimpan
"Halo." Syanda menyambut gagang telepon yang diberikan Santi kepadanya.
"Halo juga, Non. Masih ingat saya?"
"Maaf. Tidak. Ini dengan siapa, ya?"
"Nimo. Geronimo Panggabean. Masih lupa" Atau, perlu keterangan lainnya" Hahaha... apa kabar,
Syan?" Cowok bersuara bariton di seberang sana terdengar tertawa. Dan saat itu baru Syanda teringat.
Tawa Nimo mengingatkannya pada masa-masa silam. Masa SMA-nya.
"Astaga! Apa kabar, Nimo?"
"Baik. Kamu sendiri?"
"Baik." "Masuk psikologi, ya?"
"Kok, tahu?" "Santi yang cerita."
"Oh. Kamu sendiri?"
"Aku ambil komputer di San Fransisco. Sedang liburan, kembali ke Jakarta."
"Welcome back, kalau begitu."
"Thank's. Hei, Kamu sekarang sombong, Syanda. Tidak pernah nelepon. Tidak pernah mengabari
aku lagi. Sampai-sampai aku harus mencari tahu kabarmu lewat teman-teman SMA dulu," ujar
Nimo dengan nada suaranya yang khas. Keras.
"Ah...." "Bagaimana kabarnya, Aditya?"
"Ba-baik!" Syanda terbata.
"Aku turu... turut apa, ya" Mendengar kabar Aditya masuk panti rehabilitasi, aku ikut prihatin.
Sungguh Syan, aku tidak nyangka Aditya seburuk itu. Aku...."
"Sudahlah!" penggal Syanda jengkel. "Kalau kamu hanya menelepon untuk membicarakan
kejelekan Aditya, lain kali saja!"
"Oh, maaf. Tunggu dulu, Syan. Aku hanya...."
"Semua selalu menuduh Aditya yang bukan-bukan. Aditya yang salah, Aditya yang buruk, Aditya
yang junkies. Lalu buntut-buntutnya aku yang bodoh, yang mau saja menanti cowok bengal tukang
teler yang sudah tidak punya masa depan lagi!" seru Syanda dengan isak tertahan.
"Syanda...." "Beratus kali sudah kukatakan kepada semua orang. Aditya tidak bersalah. Dan aku juga tidak salah
menanti dia. Kesetiaanku selama ini bukanlah sesuatu yang tolol dan sia-sia. Kamu dengar itu"!"
Klik. "Hallo! Hallo! Syan, Syanda...!"
Tapi Syanda telah membanting gagang teleponnya. Menuntaskan setiap percakapan tentang Aditya.
Tentang kebodohan dirinya. Tentang penantiannya yang terasa sia-sia. Penantian yang tak berujung.
Benarkah tindakanku ini" Syanda bertanya kepada dirinya sendiri. Ditatapnya bayangan dirinya
dalam cermin besar bufet di muka pesawat telepon. Ada seraut wajah tirus dengan sepasang mata
sayu di sana. Aditya telah pergi membawa hari-hariku. Akankah dia kembali" Haruskah kutunggu
dia dan kubiarkan diriku sendiri hancur oleh penantian dan kerinduan yang sarat" Tidak bolehkah
aku sedikit memikirkan diriku sendiri" Membenahi hatiku yang porak-poranda dan menata kembali
hari-hariku" Mencari secuil keceriaan, tawa dan semangat dari orang lain"
Sekilas seraut wajah melintas di benaknya. Ah, Aditya! Akankah semua usai dan berganti dengan
hari-hari yang indah seperti dulu lagi"
*** Ruang tunggu di panti rehabilitasi 'Nusa Bangsa' masih sama seperti minggu-minggu yang lalu. Dua
minggu sudah Syanda alpa menjenguk Aditya.
"Apa kabar?" sapa Aditya agak kering.
"Baik." "Lama tidak kemari...."
"Kamu marah?" tanya Syanda hati-hati.
Aditya menggeleng. "Tidak ada yang salah. Kamu berhak merasa jenuh...."
"Aku tidak jenuh, Dit. Hanya saja... hanya saja kuliahku menuntut waktu yang agak banyak. Kamu
tahu sendiri, beberapa waktu lalu nilaiku jeblok semua. Kini aku tengah memperbaiki segalanya.
Memulai lagi dari awal, sendiri tanpa kamu. Kamu mengerti, kan ?"
Aditya mengangguk. "Aku sudah banyak menyusahkanmu, ya?" bisiknya lembut, menepuk
punggung tangan Syanda dengan lembut. Ada getar rindu yang tercetus di sana .
Syanda menggeleng. "Aku tidak memaksamu datang setiap minggu. Sungguh. Kalau kamu mau, kamu boleh tidak
datang. Kalau kamu sibuk... ah, siapalah aku ini! Aku mulai terbiasa berkawan dengan sepi, kok!"
"Jangan ngomong begitu, Dit! Siapa bilang aku enggan datang" Aku sa-sama sekali...."
"Tidak ada pemaksaan...."
"Siapa bilang aku merasa terpaksa?"
"Lho" Kenapa kamu jadi mudah tersinggung seperti ini, Syan?" tanya Aditya agak terkejut.
"Aku menyempatkan diri datang dengan maksud mendengar ceritamu. Untuk menceritakan apa
yang terjadi pada diriku selama ini. Untuk melepas rindu, tapi kamu malah menuduh yang bukanbukan.
Kamu bilang, aku bosan. Aku jenuh. Aku enggan. Apa-apaan sih, ini?" pekik Syanda
kecewa. Padahal, dia merasa sudah cukup banyak berkorban untuk Aditya. Airmatanya mulai
menitik. "Syanda...!" "Aku tidak ngerti, Dit! Kamu seperti tidak peduli, betapa sulitnya aku menghadapi situasi di luaran.
Aku sendiri dikecam banyak orang. Bahkan, Mama dan Santi pun ikut-ikutan mengecamku.
Mengatakan aku bodoh, menanti sesuatu yang tidak pasti."
"Jadi, kamu mulai bimbang?"
"Ak-aku tidak bimbang. Ke-kenapa kamu menuduhku yang bukan-bukan. Kamu bilang aku bosan.
Aku jenuh. Aku...." "Sudah, Syan. Cukup!" potong Adit tandas. "Kalau kamu datang ke sini hanya untuk memakimakiku,
kamu boleh pulang sekarang!"
"Aditya! Ka-kamu...!"
Aditya melepaskan genggamannya. Dibuangnya pandangannya jauh ke taman panti. Cepat atau
lambat, dia telah menduga hal ini akan terjadi. Sebenarnya dia telah mempersiapkan diri sejak awal
dia direhab di panti ini. Dia sudah menyiapkan dirinya untuk kemungkinan ini. Kemungkinan yang
paling buruk. Dia sudah siap untuk ditinggalkan. Karena selama ini memang semua telah
meninggalkannya. Ayahnya, Ibunya, bahkan Syanda pun kini mulai bimbang. Mulai ragu. Mulai
menjauhinya. "Dit, aku...." "Sudahlah, Syan. Maafkan kata-kataku yang kasar tadi...." Aditya mengusap wajahnya seolah
mengusir galau yang berkecamuk di benaknya.
"Aku maklum. Kamu kesepian di sini, Dit. Tapi, kamu juga harus mengerti keadaan dan
penderitaanku di luar...."
Aditya mengangguk-angguk. "Aku mengerti semuanya. Aku juga mengerti kalau kamu mulai
merasa penat dengan penantianmu...."
Syanda tercenung. Penatkah dia" Sejauh ini dia masih berusaha untuk bertahan pada janji-janjinya.
Bahwa menanti Aditya bukanlah pekerjaan yang sia-sia. Bahwa kesetiaannya selama ini tidaklah
percuma. Tapi kini.... Sesaat mereka bertatapan. Berpelukan. Tapi rindu tak juga turut. Masih ada damba yang tersimpan.
Entah sampai kapan.... Bab VI Bukan Aku Tak Sayang "Nah, ketemu lagi!"
Syanda tersentak. Dan puluhan mahasiswa lain yang berada di perpustakaan itu pun ikut tersentak.
Ivan agak risih juga. "Maaf, aku mengejutkan kamu, ya?"bisiknya.
Syanda menggeleng, menunjuk pada sebilah papan bertuliskan: HARAP TENANG, RUANG
BACA. Ivan tersipu. Diambilnya tempat duduk tepat di hadapan Syanda.
"Apa kabar?" bisiknya. "Long time no see, yeah?"
Syanda tersenyum. "Apa kabar juga pacarmu" Siapa namanya?"
"Mita." "Ah, iya. Mita. Bagaimana?"
"Justru aku yang mau tanya sama kamu. Bagaimana?"
"Oo, maksudmu bagaimana penyelesaiannya?" tukas Syanda sambil mengerling.
"Iya, tapi jangan pakai mengerling begitu, dong. Demi lirikanmu, rasanya aku rela meninggalkan
Mita," goda Ivan. "Ah. Caramu bicara, caramu bercanda, mengingatkan aku kepada...."
"Aditya?" potong Ivan.
"Ka-kamu tahu"!" Syanda terbelalak. "Dari mana...."
Ivan mengangguk. "Aku tahu segalanya. Tentang kamu. Tentang Aditya-mu. Tapi, saat ini aku
tidak ingin membicarakan siapa kamu dulu. Atau, siapa Aditya-mu. Aku tidak mau tahu semua itu.
Aku hanya ingin berkawan denganmu. Dengan Syanda yang sekarang. Oke?" ujarnya, lugas namun
tegas. "Belum pernah ada orang seperti kamu sebelumnya," desah Syanda antara kagum dan terharu.
"Ah, sudahlah."
"Kamu mirip banget Aditya, Van," ujar Syanda sambil menatap lekat wajah di hadapannya.
Sesaat mereka saling memandang. Saling menelusuri apa yang ada dalam bayang binar mata
masing-masing. Sampai akhirnya Syanda tertunduk jengah.
"Ma-maaf... aku teringat Aditya." Syanda menyadari telah kelepasan omong.
"Aku mengerti." Ivan tersenyum bijak.
"Jadi, apa yang bisa aku bantu sekarang?" Syanda menghela napas dan membelokkan arah
pembicaraan. "Tidak ada." "Lho?" "Aku sudah tahu jawabnya. Aku harus mengambil sikap tegas. Aku akan meninggalkan Mita. Di
antara kami sudah tidak ada kecocokan lagi."
"Secepat itukah kamu mengambil keputusan" Padahal, tadi ketika baru masuk kamu masih meminta
saran dariku. Aneh!"
"Setelah aku menatap matamu, aku tahu, aku harus berpisah dari Mita. Banyak yang tidak
kutemukan dalam dirinya, tapi kutemukan dalam dirimu."
"Maksudmu...." "Aku tidak bermaksud apa-apa. Hanya... selama ini aku seperti merindukan suasana ceria. Santai.
Tidak bertengkar melulu."
Syanda tercenung. Agaknya setiap orang memang memerlukan saat-saat seperti itu. Saat yang
pernah jadi miliknya dulu. Bersama Aditya. Ya, aku pun kehilangan saat-saat yang terindah dalam
hidupku, Van! desis Syanda dalam hati. Dan betapa inginnya aku merengkuh kembali hari-hari
yang indah itu lagi. Dan untuk itulah aku menanti. Masih beratus-ratus hari lagi... dan aku mulai
bimbang. Haruskah kujalani ratusan hari itu dengan penantian, sementara di sekelilingku banyak
yang menjanjikan kebahagiaan itu sendiri"
Di satu pihak, Syanda merasa bersalah mengkhianati Aditya. Tapi di pihak lain, dia merasa berhak
memperoleh jalan hidupnya sendiri. Berhak melepaskan lingkar derita yang membelenggunya
karena kesetiaan yang dipertahankannya.
"Kamu sudah makan siang?"


Rindu Capuccino Karya Syandarini di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Belum," geleng Syanda.
"Kalau begitu, aku yang meneraktirmu."
"Untuk apa kamu meneraktirku" Alasan apa yang membuatku harus menerima tawaranmu?"
"Ayolah...." Ivan menarik tangan Syanda. "Untuk jasamu memberiku jalan keluar dari masalahku."
Syanda tersenyum. Lalu, sembari tertawa-tawa kecil mereka beriringan meninggalkan perpustakaan
yang senyap. Sebuah cerita baru yang menjanjikan babak baru mulai terbit.
Agaknya.... *** Dengan langkah ringan Syanda melangkah menapaki jalan setapak menuju serambi rumahnya.
Acara makan malam bersama Ivan lumayan menyenangkan kalau tidak mau dibilang istimewa.
"Dengan siapa kamu pulang?" tegur Mama halus begitu Syanda menongolkan batang hidungnya di
dalam rumah. "Ivan, teman sekampus," sahut Syanda ringan.
"Cowok bersedan merah itu lagi, ya" Sudah tiga kali kalau tidak salah kamu pulang dengan... siapa
namanya?" sambung Santi sambil mengunyah popcorn.
"Ivan. Namanya Ivan Prasetyo. Mahasiswa tingkat dua fakultas ekonomi." Syanda melepas
sepatunya dan mencuci tangannya lalu beranjak ke dapur. Membuka kulkas dan menuang sebotol
sirup jeruk dingin ke dalam gelasnya.
"Rasanya aku kenal Ivan," Santi menyusul ke dapur. "Dia kan, seniorku ya?"
"Mungkin. Ya ampun, kenapa aku bisa sampai lupa kalau kamu juga di fakultas ekonomi" Aku
selalu mengingat kamu anak teknik sebab waktu SMA dulu kamu kan, jurusan IPA."
"Yoi." Santi mengangguk-angguk. "Ivan. Hm, boleh juga. Lumayan dijadikan gandengan buat JJS."
"Dasar!" Syanda pura-pura sewot.
"Maksudku, kamu tidak salah memilih." Santi terkekeh.
"Siapa memilih siapa?" tanya Syanda, mencibir kemudian.
"Kupikir kalian...."
"Jangan macam-macam kamu. Kita cuma teman biasa. Tidak lebih dari itu. Kalau kamu mau tahu
yang lebih dari sekedar teman, tidak ada nama lain selain Aditya. Tahu?"
"Teman atau teman?" goda Santi lagi.
Syanda melotot. "Tidak usah ngotot begitu, dong," sungut Santi sambil membuntuti Syanda keluar dari dapur.
"Habis, kamu picik betul, sih. Baru jalan bersama saja dibilang pacaran. Tidak semudah itu aku
melupakan Aditya! Memangnya aku gadis ABG seumur kamu yang tahunya cuma cinta monyet."
"Iya deh, yang cinta gorila!" Santi mencibir.
"Eh, ada apa ini"!" lerai Mama. "Pulang-pulang kok, malah ribut sama adiknya."
Santi membanting dirinya di atas sofa di sebelah Mama. "Biasa, Ma...."
"Biasa apa"!" Syanda melotot.
"Lagi kangen sama Aditya, ditanya sedikit sudah marah-marah," jawab Santi dengan entengnya.
"Eh eh, ngaco kamu!" tukas Syanda marah.
"Huss... Syanda, sudahlah. Maksud Santi kan , baik. Lagipula, apa untungnya tetap memikirkan
Aditya" Lupakanlah dia. Bina hari esokmu sendiri. Kamu akan lebih baik tanpa Aditya. Dengarlah
kata-kata Mama, Syan." Mama memijit-mijit pelipisnya. Dahinya mengerut membentuk lipatan
tujuh. Syanda terdiam. "Kapan-kapan, kenalkan Mama sama Ivan. Boleh, kan ?" ujar Mama lagi.
Syanda menggigit bibirnya. Mengapa semua orang seolah ingin memisahkannya dari Aditya"!
Mengapa tidak seorang pun mendukungnya untuk tetap setia terhadap Aditya"! Apakah mereka
tidak tahu bahwa dalam hatinya pun tengah berkecamuk perang antara tetap setia dan menggapai
masa depan sendiri"! Antara tetap setia atau berpisah"! Mengapa tidak seorang pun meyakinkannya
untuk tetap setia"! Mengapa"!
"Syanda...," panggil Mama.
Tapi Syanda tak peduli. Dilangkahkannya kakinya berlari memasuki kamarnya. Mengunci diri di
sana. Membiarkan keheningan melarutkannya dalam lamunan. Dalam angan-angan kebimbangan,
dia harus memilih. Tapi saat ini dia enggan memilih siapa pun.
Dit, doakan agar aku tetap berpegang pada janji-janji yang pernah kita ucapkan bersama. Aku
sayang kamu, Dit. Aku rindu kamu. Tapi rindu yang seolah tak berujung ini malah menyeretku
pada kebimbangan demi kebimbangan.
Syanda membatin galau. Setiap hari dia berdoa untuk Aditya. Melakukan segalanya untuk Aditya.
Namun, akhirnya dia sadar. Dia hanya manusia biasa. Dia bukan bidadari yang memiliki kesetiaan
tanpa batas. Bab VII Sepenggal Cinta Lain Hari terus bergulir bagai roda pedati yang terus berputar. Dan Syanda semakin larut dalam memori
indah hari-harinya yang hilang dulu. Segalanya. Hampir segalanya ditemukannya dalam diri Ivan.
Semua sifat Aditya, tercermin dari sikap dan tingkah Ivan. Di sana , ada kebahagiaan yang pernah
menjadi bagian termanis dalam hidupnya. Tanpa dia sadari, semua itu semakin melarutkannya.
Menyeretnya lebih jauh ke alam yang sebetulnya semu. Yang sebetulnya sama sekali tidak
diinginkannya. Senja itu, seusai menghabiskan seharian waktu JJS di Plaza Senayan, mereka beristirahat di
Starbucks. "Minum apa?" tanya Ivan pada Syanda sewaktu pelayan datang.
"Cappuccino." "Makan?" Syanda menggeleng. "Cappuccino satu, espresso satu, dan roti cruissant-nya," ujar Ivan pada pelayan.
"Kenapa kamu baik banget sama aku, Van?" tanya Syanda, lebih untuk dirinya sendiri.
"Aku" Baik sama kamu" Kamu ini lucu." Ivan tersenyum.
"Ak-aku... ah maksudku, sebelumnya belum pernah ada orang setulus kamu selain...."
Mereka bertatapan. Tanpa sadar, sesaat jemari mereka saling menggenggam, namun Syanda sadar
dan cepat menariknya. "Maafkan aku," tukas Ivan, seperti tahu apa yang ada di benak gadis di hadapannya. Seolah tahu
bahwa Aditya masih menjadi bayang-bayang baginya.
"Mungkin aku adalah orang terbodoh di dunia," keluh Syanda. "Seorang calon psikolog yang tidak
mampu menolong dirinya sendiri."
"Aditya...." "Dia...." "Aku tidak pernah memaksamu untuk bertindak apa pun, Syan."
"Aku tahu, karena itu kukatakan kamu adalah satu-satunya orang yang tulus yang pernah kukenal
selain Aditya." Ivan terdiam dengan pandangan menerawang. Ludahnya tiba-tiba memahit.
"Ak-aku takut dihadapkan pada dua pilihan yang sulit. Tapi, ah... lupakanlah. Bicaraku memang
tidak karuan." Syanda mengibaskan tangannya seolah ingin mengusir pikiran yang sempat melintas
barusan. "Kamu masih mempertahankan kesetiaan bagi Aditya?" tanya Ivan perlahan. Di matanya tersimpan
berjuta harap cemas. Syanda mengangguk. Tapi sesaat kemudian menggeleng. Mengangkat bahunya seperti orang
bingung yang tidak memiliki pegangan sama sekali.
"Aku tidak tahu," desisnya.
"Kamu sedang gundah, Syan. Dan aku tidak pernah memaksamu untuk memutuskan apa pun.
Biarlah waktu yang mengatur segalanya...."
"Yang aku tahu, aku harus menyelesaikan semuanya," putus Syanda sambil menatap lurus ke
dinding kaca berlogo Starbucks.
"Maksudmu, kamu akan...?"
"Aku akan mengosongkan hati dan pikiranku sementara waktu tanpa seorang pun yang
mengganggu." "Ja-jadi...?" "Aku harus memberi tahu Aditya. Kurasa... ah, bagaimana pendapatmu?"
Percakapan terhenti sesaat ketika pesanan mereka datang. Syanda mengaduk-aduk cappuccino-nya
tanpa semangat. Sementara Ivan menatap roti cruissant -nya dengan perasaan hambar."
"Itu keputusan yang baik. Tapi, apakah tidak terlalu terburu-buru?"
"Tidak. Orang-orang benar, aku harus mulai memikirkan diriku sendiri. Masa depanku."
"Kamu mencintainya, Syan?" Ivan seolah menuntut jawaban yang pasti.
Syanda mengangkat bahunya seraya menghela napas berat. "Sejak dulu aku tidak pernah tahu
jawabannya." "Kamu harus membuktikannya."
"Caranya?" "Mungkin dengan tidak menemuinya untuk sementara waktu. Atau... ah, aku bingung!"
Syanda tertawa dengan mimik paksa. Entah apa yang ditertawakan. Mungkin jalinan kehidupannya
yang terasa kian rumit dari hari ke hari.
Mereka menghabiskan minuman dan makanan tanpa banyak bicara. Ketika mendung memayungi
bumi, mereka beranjak meninggalkan Starbucks. Di luar, senja mulai basah oleh gerimis.
Syanda menerawang. Dibiarkannya Ivan memakaikan jaketnya dan menggandengnya menuju mobil. Perhatian dan
kesabaran Ivan semakin membuatnya terjerat. Semakin mendilematisasikannya terhadap dua pilihan
yang sama-sama sulit. Aditya adalah bagian dari hari-harinya yang dulu. Dan Ivan....
"Ke mana sekarang?" tegur Ivan ketika mobil mulai melaju meninggalkan pelataran parkir.
"Ke mana lagi" Sudah seharian kita jalan-jalan, atau apa kamu mau bawa aku ke bulan?" canda
Syanda." "Mungkin. Ke mana saja, asal kamu tidak bermuram durja begitu."
Sekilas dirasakannya tangan Ivan membelai pelipisnya. Ah.
"Hentikan segala kebaikanmu ini, Van," desahnya perlahan.
Sungguh. Dia tidak ingin mengkhianati Aditya.
*** "Aku mendapat sms dari Aditya," lapor Syanda kepada Sonya melalui horn di HP-nya.
"Oya?" "Ya. Dan aku butuh pertimbanganmu."
"Apa yang ditulisnya?"
"Antara lain, dia kangen. Dia bingung karena aku tidak membesuknya lagi. Dia bertanya tentang
banyak hal." "Jadi, kamu benar-benar sudah tidak pernah mengunjunginya lagi?" pekik Sonya tertahan. "Gila
kamu! Sebuah revolusi yang tidak pernah kuduga sebelumnya."
"Kini aku harus memutuskan sesuatu, sebelum melangkah lebih jauh."
"Dengan Ivan?" "Ah, Sonya. Antara aku dan Ivan tidak pernah ada apa-apa. Bagiku, dia adalah dewa penyelamat.
Aku tidak pernah berani membayangkan lebih dari itu."
"Lalu, apa rencanamu?"
"Aku akan membalas sms-nya, atau mungkin mendatangi Aditya dan menceritakan semuanya.
Kurasa, keterusterangan lebih baik sekalipun kelihatannya menyakitkan. Aku tidak mau
membohongi Aditya." "Kamu masih mencintainya, Syan" Soalnya, aku merasakan hal itu dari ucapanmu."
"Cinta" Ak-aku...."
"Sudahlah...." Sonya tidak mau peduli. Dia sadar benar kalau Syanda masih menyimpan perasaan
cintanya untuk Aditya. "Jadi, menurutmu, apakah aku harus juga memberitahu Ivan?"
"Ya, kalau prinsipmu adalah keterbukaan. Tapi, hei... kamu kan tidak mengatakan bahwa kamu
mencintai Ivan?" "Son, please. Berhentilah mengucapkan kata 'cinta'," pinta Syanda.
"Oke." Sonya tertawa.
"Tapi, Son, aku ragu. Aku takut perbuatanku hanya akan menambah luka hati Aditya. Kamu kan
tahu, selama ini semua orang telah meremehkannya. Meninggalkannya. Apa jadinya kalau aku pun,
orang yang paling dipercayainya, ikut berpaling dari dia"!"
"Syan, kamu kan tetap temannya. Hanya saja ikatan yang ada di antara kalian kini agak renggang.
Tidak serapat dulu. Jelaskanlah kepadanya. Kamu kan, calon psikolog...."
Syanda menghela napas panjang.
"Masih ada lagi?" tanya Sonya.
"Tidak. Thank's."
Syanda mematikan HP-nya. Hatinya berdebar. Dia harus membenahi kehidupannya sendiri. Dia
tidak selamanya harus bergantung pada kesetiaannya menanti Aditya. Dan membiarkan hidupnya
sendiri porak-poranda. Selama ini orang-orang ternyata benar, hanya saja dia yang kelewat
sentimentil. Menutup mata dan telinganya rapat-rapat hingga dibutakan oleh cinta.
Pikirannya melayang pada Ivan. Ataukah, keputusan ini datang karena ada Ivan" Karena ada yang
menjanjikan hari baru" Mungkin dia akan membiarkan waktu mengatur segalanya. Seperti kata
Ivan, believe in time. Maafkan aku, Dit. Tapi kurasa ini yang terbaik untuk kita. Syanda membatin. Setelah itu dia lalu
mengacungkan cangkirnya tinggi-tinggi seolah menyalami Aditya sebagai tanda perpisahan. Lalu
meneguk cappuccino-nya sampai tandas.
Dibacanya kembali penggalan sms Aditya yang diterimanya siang tadi.
Syanda, Maafkan aku kalau sikap dan kata-kataku tempo hari menyakiti hatimu, membuatmu tersinggung.
Aku tahu, prahara inilah yang menyebabkan keretakan di antara kita. Kerenggangan,
ketidakdekatan kita, memang membuat kita masing-masing asing dan berubah.
Dan, aku yang seolah terpenjara kini hanya dapat merenda impian indah bersamamu. Bertemu
denganmu, adalah anugerah yang terindah dalam hidupku kini. Namun aku sadar, sadar
sepenuhnya untuk tidak terlalu menuntut banyak darimu. Sebab, aku tahu banyak hal yang dapat
membahagiakanmu di luar sana ketimbang mengharap pemuda ringkih tanpa daya yang
mendekam di panti ini. Aku mafhum kalau kamu sekarang lebih memilih renjana indah. Bukannya renjana tak berujung
dalam sarat beban penantian yang panjang. Lupakanlah aku, Syanda! Lupakanlah masa lalu kita
berdua. Aku ikhlas melihatmu berbahagia dengan siapa pun yang dapat membahagiakanmu.
Jangan tunggu aku lagi, sungguh pun aku rindu kabarmu, wajahmu, suaramu. Segalanya.
Segalanya tentang kamu! Tuhan beserta kita. Salam sayang, Aditya Syanda kembali menghela napas panjang. Dia harus sesegera mungkin menemukan jawaban
hatinya. Dia untuk siapa. Lalu, diputuskannya hengkang dari Jakarta . Mungkin pada sebuah tempat
nun jauh di sana, dari setiap permenungan yang dijalaninya, dia dapat menemukan jawaban. Ada
butiran hangat sebesar bulir padi yang masih mengalir di pipinya. Kepalanya memberat. Dia merasa
pening tiba-tiba. Bab VIII Kucari Jawabnya di Sana Syanda mengemasi barang-barang yang akan dibawanya ke dalam koper. Pakaian, iPod Apple,
kamera, dan beberapa perlengkapan yang diperlukannya untuk mengusir sepi di tempat
pengasingannya nanti. "Semua ini tidak bakal menyelesaikan masalah," ujar Mama, berusaha menahan kepergian putri
sulungnya itu. "Tidak, Ma." "Apanya yang tidak" Bagaimana dengan kuliahmu?" Mama membelai rambut Syanda. "Tidak
seharusnya kamu lari di saat seperti ini, Syan! Ini bukan jalan keluar!"
"Tapi, Syanda harus pergi, Ma. Syanda sudah izin cuti semester. Syanda perlu istirahat."
"Kenapa" Bukankah kamu di sini telah...."
"Maksud Mama... Ivan"!" desis Syanda getir.
"Yah, siapa pun...."
"Sudahlah, Ma...." Syanda menutup kopernya sambil berusaha menghentikan ocehan Mamanya.
"Jangan pergi, Syan...." bujuk Mama dengan tatapan kecewa.
Syanda menggeleng. Dialihkannya matanya keluar jendela. Pikirannya menerawang. Sesuatu yang
sejak dulu tak mampu dijawabnya. Itulah yang memaksa dan membulatkan tekadnya untuk pergi
sesaat. Menguji diri dan mencari jawaban yang pasti. Mencari cintanya yang sejati!
"Syan...!" Wanita separo baya itu menghela napas panjang. "Ivan baik...."
Syanda menatap Mamanya. Wanita yang dikasihinya itu memang tidak menyukai Aditya. Dan
rasanya semua orang pun akan bersikap sama. Ivan dibandingkan Aditya memang ibarat bumi dan
langit. Syanda heran, mengapa dia merasakan kebahagiaan yang sama. Padahal, dua pemuda itu
amat berbeda. Amat berbeda!
"Saat ini Syanda memang dekat dengan Ivan, Ma. Sementara Aditya berada jauh dari Syanda.
Kalau Mama menyukai Ivan, Mama tidak salah. Tapi tolong, biarkan Syanda mengambil keputusan
sendiri, Ma. Syanda akan mencari jawabannya," pinta Syanda. Matanya terasa hangat.
"Ivan tahu rencana keberangkatanmu?" tanya Mama akhirnya dengan nada suara pasrah.
"Tidak seorang pun tahu. Tidak Ivan, tidak Aditya. Tidak siapa pun tahu ke mana Syanda akan
pergi, dan berapa lama!"
"Tidak juga Mama"! Syan, kamu akan memberitahu tempat tinggalmu kepada Mama, kan ?" tanya
Mama penuh harap. Syanda mengusap wajah. Bukan tidak mungkin Mama-lah yang akan menjadi orang pertama yang
paling bersemangat mengacaukan acara pengasingannya. (Meski jauh-jauh hari Papa sudah
mengusulkan agar Syanda kuliah di Yogyakarta atau Solo dan belajar hidup mandiri di sana , tapi
baru kali inilah terpikir olehnya). Dia juga yakin kalau Mama tidak akan berhenti menghalangi
niatnya sebelum mendapat jawaban yang pasti tentang perpisahannya dengan Aditya. Karena itu
digelengkannya kepalanya.
"Ya, tidak juga Mama. Papa. Santi. Maafkan Syanda, Ma. Untuk kali ini saja biarkanlah Syanda
melakukan sesuatu atas dasar keinginan Syanda sendiri. Bila tiba saatnya, Syanda pasti akan
mengabari Mama, Papa, dan Santi."
Dipeluknya Mamanya. Direbahkannya kepalanya di bahu bidang Mama. Dijatuhkannya airmatanya
di sana . Perpisahan memang terasa berat. Namun keputusan telah bulat. Mungkin dalam
kesendiriannya nanti akan ditemukannya jawaban yang dicarinya selama ini. Sebuah jawaban untuk
menjawabi kebimbangan dan dilematisasi yang selama ini melingkupi hidupnya.
*** Lagu lawas 'Miss You Like Crazy' dari The Moffatts yang menemaninya selama perjalanan dalam
kereta api masih mengalun di telinganya lewat dua kabel iPod Apple. Ah, sebetulnya haruskah
kuteruskan rencana kepergianku ini" Apakah yang kucari di sana" Hanya sebentuk keputusan, dan
untuk itu harus juga kutinggalkan Ivan dengan segebung cinta yang tulus diberikannya untukku"


Rindu Capuccino Karya Syandarini di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Apakah kepergianku ini tidak hanya sekedar pelarian diri belaka" Syanda membatin galau.
Dipijitnya keningnya yang terasa pening. Dimatikannya iPod Apple dan dicopotnya kabel
earphone yang menyambung di telinganya. Terdengar gerus deru kereta api. Dibukanya jendela.
Angin dingin menerpa wajahnya yang masai.
"Maaf, apakah tidak lebih baik jendelanya ditutup saja?" Sebuah suara tiba-tiba menegurnya dari
arah belakang. Dari deretan kursi di belakangnya.
Syanda tercekat. Suara itu memaksanya untuk menoleh ke belakang. Untuk memastikan bahwa....
"Astaga...!" "Yap. Aku ikut. Kamu marah?"
"Ka-kamu...." "Kursi sebelahmu kosong?"
Syanda mengangguk, masih setengah tercengang.
Ivan bergerak, berpindah tempat duduk. Tubuhnya sedikit limbung karena getaran di kereta api.
"Lebih sulit berjalan di kereta api ketimbang di pesawat udara," keluh Ivan dengan mimik jenaka.
"Ivan, sebelum aku marah, katakan dari mana kamu tahu tentang kepergianku ini?" tanya Syanda
dengan hati tidak menentu. Apakah dia harus jengkel karena Ivan mengacaukan rencananya,
ataukah dia harus gembira karena ternyata....
"Baiklah, sebelum kamu marah, sebelum aku bercerita, aku minta jaminan bahwa kamu tidak bakal
memusuhi 'si Mata-mata' itu?"
"Oke. Aku janji."
"Sonya...." "A-anak itu..."!"
"Hei, kamu sudah janji...."
"Oke, oke. Aku tidak marah, kok."
"Suer?" Syanda mengangguk dan tertawa geli menyaksikan mimik bersalah Ivan. Amarahnya yang sempat
mengubun tadi perlahan mereda.
Ivan menghela napas. Ditatapnya seraut wajah mungil dengan rambut tergerai di hadapannya.
Wajah yang belakangan ini membuat hari-harinya menjadi bergairah setelah berpisah dengan Mita.
Wajah yang membuatnya lebih mengenal arti hidup ini. Wajah yang selalu ingin disimpannya
dalam hati. Selalu.... "Mengapa kamu tidak memberitahuku keberangkatanmu ini?" tuntut Ivan serius. Dahinya
mengerut. Syanda tergagap. "Ak-aku... aku bahkan tidak memberitahu Mama."
"Aku mengerti. Tapi untuk apa semua ini, Syan"!"
"Untuk masa depanku. Mungkin kamu tidak mengerti, Van. Tapi bagiku, ke mana kaki akan
melangkah harus diputuskan dengan sungguh-sungguh. Karena aku takut kecewa. Takut salah
langkah." "Maksudmu?" Syanda tertunduk. Haruskah dijelaskannya bahwa hatinya masih terpaut utuh pada Aditya"!
Haruskah Ivan tahu bahwa bayang Aditya pun masih sering menghiasi mimpinya"!
"Kenapa kamu pergi, Syan"!"
"Aku pergi untuk mencari jawaban demi diriku sendiri, Van. Karena itu, biarlah kucari jawaban itu
sendiri tanpa dipengaruhi siapa pun. Tidak terkecuali kamu yang baik kepadaku!" Airmata Syanda
menggenang. Di luar, deru kereta semakin menderas.
"Seandainya saja aku dapat menolongmu mencari jawaban itu," desah Ivan seraya menghela
napasnya. "Kamu bisa menolongku!"
"Caranya?" "Turun di peron terdekat. Tinggalkan aku!" ujar Syanda, tidak berani menatap mata elang Ivan. Dia
tahu, hatinya tidak akan kuat bila memandang tatapan tulus dan penuh harap dari Ivan. Tatapan
yang begitu menjanjikan namun harus segera dienyahkannya.
"Ja-jadi... kamu sungguh-sungguh... ah, Syan! Ak-aku mencintaimu! Aku tidak ingin ada cowok
lain dalam hatimu. Sumpah, aku cinta kamu!" Ivan menggenggam erat lengan Syanda dan berbisik
dengan suara parau ke telinga Syanda.
Hening sesaat. Kereta terus melaju sampai pluit terdengar tanda kereta memasuki peron perhentian
sesaat. Tangan mereka masih saling menggenggam erat. Erat sekali.
Syanda menatap Ivan dengan hati tidak menentu. Betapa ingin kepala ini mengangguk, betapa ingin
kusambut mata yang menjanjikan itu, betapa ingin kutumpahkan tangis di dada bidang itu.
Betapa.... Ah, betapa sulit untuk memutuskan itu semua, karena jauh di sana, ada sepotong hati di mana
terlanjur kutorehkan janji. Sepotong hati di mana telah terajut banyak kenangan. Kepala Syanda
menggeleng kecil, perlahan dan ragu.
"Syan... ka-kamu...!" Ivan mendesah serak.
"Van, aku harus mencari jawaban itu dari diriku sendiri. Jawaban itu tidak datang dari kamu. Tidak
dari siapa pun. Kamu mau mengerti, kan ?"
Ivan menundukkan kepalanya, berusaha menyembunyikan airmata yang menggantung di sudut
matanya. Belum pernah Ivan secengeng ini, batin Syanda getir. Aku telah melukai hatinya, tapi itu
lebih baik ketimbang nanti kulukai dia dengan pilihanku yang keliru.
"Aku harus jujur kepada diriku sendiri, Van. Saat ini aku ragu. Cobalah untuk mengerti. Aku tidak
ingin mengecewakan siapa pun. Tidak kamu, tidak Aditya!"
"Ja-jadi... kamu masih menyimpan Aditya dalam hatimu"!"
Syanda tertegun. Jadi dia masih menyimpan Aditya dalam hatinya"! Perlahan kepalanya
mengangguk. "Ya!" "Ja-jadi...." "Aku mencintainya!"
"Sadarilah, Syan. Selama ini, apa yang diberikan Aditya untukmu" Tidak ada selain penantian,
penderitaan, kesepian dan kemarahan Mamamu belaka. Tapi ternyata, kamu masih tetap
menyimpan namanya dalam hatimu. Bahkan dengan kehadiranku, dengan segala kebahagiaan yang
berusaha kuberikan untukmu agar melupakan Aditya, kamu masih tetap bertahan. Kamu ragu, itu
wajar. Tapi bagiku, segalanya telah terjawab!" Ivan mengangkat dirinya dari bangku kereta.
"Ivan...!" "Aku harus bergegas, kalau tidak kereta ini akan terlanjur berangkat lagi dan membawaku ikut ke
tempat pengasinganmu di Solo. Aku akan turun di sini!" Ivan mengulurkan tangannya seperti
hendak memberi selamat. "Ma-maafkan aku, Van...."
"Selamat, Syan. Belum pernah kutemukan gadis setegar dan sesetia dirimu. Seandainya aku adalah
Aditya, betapa bahagianya aku."
Syanda ternganga. Pluit panjang berbunyi lagi tanda kereta api akan segera meninggalkan peron
persinggahan. Ivan bergegas menjinjing travelling bag-nya. Rupanya keputusannya telah bulat.
Sesaat Syanda tercenung bimbang.
Betapa inginnya dia menarik tangan Ivan dan mengajaknya ikut ke tempat pengasingannya. Betapa
rindunya dia mendengar tawa dan canda yang selama ini mengakrabinya! Dan, semuanya itu dari
Ivan. Ketulusan yang ditampiknya atas nama cinta pertama.
Perlahan dirasakannya airmata mengalir di pipinya. Sebilah jari hangat menyusutnya.
Membelainya. Mungkin untuk yang terakhir kalinya.
"Selamat tinggal, Syan. Keraguanmu adalah jawaban bagiku!"
"I-Ivan... ak-aku sayang kamu," desah Syanda terisak.
"Tidak, Syan. Airmatamu adalah airmata untuk Aditya. Aku merasakan itu sejak lama. Sesaat masih
kucoba untuk mengajakmu melangkah bersamaku, hanya bersamaku. Belakangan ini aku tahu
kamu tidak mungkin melupakan Aditya!"
Pluit panjang berbunyi lagi.
"Aku harus pergi!" Ivan mengecup kening Syanda sekilas.
Mata Syanda memejam. Dia tidak berani membuka matanya dan menatap hilangnya Ivan dari
gerbong. Dia takut kakinya akan bergerak mengejar Ivan. Deru kereta api terdengar lagi. Makin
lama makin cepat. Berlomba dengan deras airmata yang mengalir membasahi pipi Syanda. Makin
lama makin deras. Sebenarnya apa yang kucari selama ini" Sekeping cinta atau hanya seonggok kebahagiaan semu
belaka" Lewat jendela kereta api, Syanda menatap jauh ke langit luas. Berdoa agar di sana ada
jawaban untuknya. Namun semua tetap membisu.
Bab IX Suatu Tempat dalam Kurungan Hening
Satu Tahun Kemudian Aditya tertegun membaca puisi yang didapatinya dalam sebuah majalah. Dan nama penulis puisi itu
makin membuat dadanya bergetar.
Suatu tempat dalam kurungan hening
Jalan-jalan dengan lampu temaram
Keriuhan menjelma dalam senyap
Mengajarkan hati 'tuk bersikap sederhana
Kota telah lelap tertidur
Kudengar suara mendengkur
Kututup buku harianku Bisikkan merdu di telingaku
Bahwa tak 'kan kutemukan lagi
Orang yang pernah kau tinggalkan
Oh, Cintaku yang sejati Tangisku pecah bersama bumi
Syanda! Kurang lebih setahun. Ah, nama itu masih begitu lekat di hatinya. Bahkan, menjelang saat-saat
terakhirnya di panti rehabilitasi ini. Beratus-ratus hari lewat sudah. Aditya membalik kalender yang
penuh coretan merah. Begitu banyak coretan merah yang menandakan ketidakhadiran Syanda.
Dan hari ini, nama itu sekonyong-konyong kembali berdenyar. Sejak kapan Syanda menulis puisi"
Aditya tahu bahwa Syanda telah pergi jauh. Entah ke mana. Semua diketahuinya dari Sonya.
Namun hingga detik ini tidak ada sebaris pun sms terkirim di HP-nya. Tidak sepotong berita pun
terbang ke telinganya sekadar memberitahu tujuan Syanda mengucilkan diri. Apakah untuk
menghindariku" Apakah dia malu" Aditya membatin dengan gundah.
Beratus hari di panti rehabilitasi ini membuatnya merasa selangkah lebih dewasa. Dari Romo Dirgo
dia banyak belajar tentang Tuhan. Tentang kebatilan dan kebajikan. Dan semua itu membuatnya
arif, mampu menahan segala rasa yang menghunjam tatkala Syanda perlahan-lahan mulai berpaling
darinya. Hampir setahun. Aditya menghela napas. Agaknya Syanda tidak menganggap dirinya sebagai bagian hidupnya lagi.
Agaknya Syanda tidak ingat lagi kepadanya. Agaknya semua memang harus terkubur.
"Selamat sore, Aditya," sapa Romo Dirgo.
"Eh, Romo...." "Tertarik pada puisi?"
"Eh, ti-tidak. Kebetulan penulisnya adalah...."
"Gadismu?" terka Romo Dirgo.
"Romo tahu" Ah, dia bukan lagi milik saya...." kilah Aditya dengan mata masih menyimpan harap.
Romo Dirgo mengangguk bijak. "Berapa kali Romo bilang, Aditya. Kita ini hanya anak wayang.
Apapun yang terjadi merupakan kehendak Ki Dalang. Dan kamu tahu, siapa Dalang kita?"
Aditya mengangguk. Kepalanya menengadah ke atas. Dilihatnya matahari mulai terbenam di sisi
barat. Tenggelam membawa impiannya selama ini. Dibacanya bait demi bait puisi Syanda sekali
lagi, tapi tidak ditemukannya apa-apa. Dia memang tidak mengerti apa pun tentang puisi. Bahkan
puisi yang ditulis Syanda sekalipun.
Baginya, sikap Syanda selama ini merupakan ultimatum putusnya hubungan mereka. Mengapa
kamu tidak berterus terang kepadaku, Syanda" Sejak dulu masih kusimpan segalanya. Tapi hari ini,
malam terakhir di panti rehabilitasi ini, malam kebebasanku, kamu tetap tidak datang. Tidak juga
kabarmu. Kita telah begitu jauh, dan aku si tolol ini masih menyimpan segala kenangan yang kita
rajut bersama dulu. "Saya telah mengerti, Romo."
"Bagus." "Saya telah mantap. Terima kasih untuk segalanya, Romo."
"Bukan saya, tapi Dia yang di atas sana." Romo Dirgo menunjuk ke langit.
Dan sekali lagi Aditya melihat matahari bergerak kemerahan, dan sosok Syanda sekilas melintas.
Seperti melambai. Lantas ikut tenggelam bersama matahari. Ke ujung barat. Ujung tanpa batas.
Ujung yang entah di mana. Ujung yang tidak pernah dapat terkejar.
*** "Suaramukah itu, Syan"!" seru Sonya seperti menemukan kembali sahabatnya yang hilang.
"Ya, ya...." Syanda tertawa tertahan.
"Ya Allah, kupikir kamu telah...."
"Kamu pikir aku bunuh diri, ya" Karena kebingungan, begitu?"
"Bukan itu saja. Aku pikir kamu lebih daripada itu...."
"Apa itu?" "Aku pikir, kamu adalah hantu yang mengabariku via HP-ku. Hahaha...."
"Ah, ada-ada saja kamu ini, Son."
"Hahaha. Tapi, aku cukup surprais juga waktu membaca namamu pada sebuah majalah."
"Puisiku?" "Ya. Bahkan majalah itu sempat kuberikan kepada... maaf, kamu jangan marah ya?" Suara Sonya
Melemah. Syanda merapatkan ponsel ke telinganya. "Aditya...?" terkanya yakin dengan suara pelan sebelum
Sonya menuntaskan kalimatnya.
"Ya." Syanda menghela napas. Satu tahun memang bukan waktu yang sebentar. Tiga ratus enam puluh
hari lebih telah ditinggalkannya semua yang pernah jadi bagian dari hidupnya hanya sekadar untuk
membuktikan, siapakah sebenarnya yang paling memaksanya untuk segera pulang serta siapa yang
paling dirindukannya! Dan sekarang semua telah terjawab. Untuk siapa dia pergi dan untuk siapa dia pulang kini....
"Kamu masih di sana, Syan?" tegur Sonya.
"Ya, ya. Apa kabarnya Aditya?"
"Baik." "Aku pun telah mengiriminya sms. Barusan."
"Bagus itu. Kamu tahu, belakangan ini Aditya mulai sering menulis dan juga ditulis...."
"Maksudmu" Menulis puisi seperti aku" Ah, sejak kapan Aditya mengerti soal seni?" seru Syanda
tidak percaya. "Bukan puisi, tapi... ah, aku pun tidak mengerti apa namanya. Tapi yang jelas, Aditya banyak
membantu sebuah majalah rohani dalam rubrik tanya jawab. Semacam konsultasilah. Dia juga
mengasuh sebuah kolom di majalah tersebut yang menyerukan anti-drugs!"
"Oya?" "Ya. Dan dia juga banyak ditulis di media massa. Semua mata mulai terbuka bahwa sebetulnya
Aditya dulu tidak bersalah. Dia hanya korban drugs semata."
Syanda tertegun. Inikah jawaban Tuhan atas doanya selama ini" Inikah jawaban dari segala
penantian dan kesetiaannya" Rasa-rasanya ingin segera dikejarnya kereta api di Stasiun
Solobalapan dan berangkat kembali ke Jakarta. Berkumpul kembali di tengah orang-orang yang
ditinggalkannya. Mama, Papa, Santi, Sonya, Ivan, dan... Aditya! Semuanya terasa berakhir dengan
begitu manis. "Syanda, kapan kamu kembali?"
"Besok sore." "Beri kepastian, Syan. Aku akan menjemputmu di Stasiun Gambir."
"Thank's. Oya, sebelum lupa, bagaimana kabar Mama dan Santi?" tanya Syanda.
"Astaga! Jadi kamu bahkan belum pernah sekali pun mengabari mereka" Kamu keterlaluan, Syan!
Putri durhaka!" Sonya tergelak. "Terkutuklah kamu!"
"Aku ingin kepulanganku menjadi sebuah kejutan. Untuk semuanya, kecuali kamu karena aku tahu
kamu jantungan." Syanda mengolok, lalu ikut tergelak.
"Mulai lagi, nih!"
"Oke, besok sore aku kembali. Jemput, ya" Salamku untuk Aditya... eh, jangan! Jangan bilang
siapa-siapa, ya?" "Ehem...." Di seberang sana Sonya sengaja berdeham.
"Janji, ya?" "Iya, iya. Eh, hati-hati ya, Non. Besok kujemput kamu."
"Thank's ya, Son. Bye."
Bip. Syanda menutup HP-nya. Ditinggalkannya travel kecil samping pondokannya di daerah Makam
Haji dengan dada lapang sembari mengipas-ngipaskan badannya dengan tiket kereta apinya. Sesaat
ditatapnya langit biru, lalu gugusan rumah sederhana dengan atap genteng khas penduduk Kota
Solo. Kurang lebih setahun diakrabinya semuanya dalam masa permenungannya. Menyepi,
menggali makna hidup ini. Dan keramahan kota kecil di belahan tengah Pulau Jawa itu telah
membantu menjernihkan pikirannya. Menenteramkan hatinya yang dilanda kegalauan.
Membantunya menentukan siapa yang pantas mendampingi hidupnya kelak.
Cerita Sonya telah membuncahkan kebahagiaan di hatinya. Inilah akhir cerita lara yang
dirangkainya bersama Aditya. Dia akan minta maaf kepada Aditya atas keraguannya selama ini.
Dan semua orang akan minta maaf kepada Aditya. Atas tuduhan mereka yang tidak benar sama
sekali tentang Aditya yang terlibat dalam penggunaan narkoba.
Senyum Syanda mengembang. Semuanya bakal menjadi pelangi.
Bab X Atas Nama Cinta Pertama "Kamu tidak keberatan walau Mamamu tidak menyukaiku?" tanya Aditya.
"Tidak." "Juga walau aku tidak dapat mengajakmu dinner ke resto-resto mewah seperti yang lain?"
"Tidak." "Juga walau aku hanya mempunyai motor trail butut dan bukan sedan seperti...."
"Sstt... sudahlah. Aku menyukaimu karena kamulah satu-satunya...."
"Tapi, sungguh. Aku tidak punya apa-apa...."
"Ah, gombal!" "Kamu cinta kepadaku, Syan?"
"Ah, kenapa harus gunakan kata-kata usang itu?"
"Kenapa" Eh, kenapa ya?"
Syanda mengerjapkan matanya. Pluit panjang berbunyi mengakhiri lamunannya. Membuyarkan


Rindu Capuccino Karya Syandarini di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

masa-masa indahnya semasih bersama Aditya di setiap malam Minggu. Masa-masa dimana dia
masih bimbang mengungkapkan kata-kata cinta untuk Aditya. Namun kini dia tahu, sebenarnya
yang membuatnya enggan mengatakan cinta bukan karena ragu tapi lantaran dia sudah terlampau
yakin. Kata itu tidak lagi diperlukan. Semua sikap Aditya dan sikapnya telah mencerminkan cinta
itu sendiri. Tanpa suara, tanpa kata-kata!
Deru kereta makin menggema saat memasuki stasiun. Syanda bersiap, matanya mencari-cari lewat
jendela. Apakah Sonya betul menjemputnya atau malah lupa"
"Syanda!" Syanda tersentak. Menoleh ke arah kanan, nyaris terpeleset dari tangga kereta. Dilihatnya Santi
berlari ke arahnya. Saat itu juga kopernya terlepas dari pegangannya. Disambutnya Santi.
Disambutnya udara kota kelahirannya. Disambutnya segalanya.
"Syanda...!" "Santi... apa kabar?"
"Baik. Kamu sendiri?"
"Seperti yang kamu lihat." Syanda mengerjapkan matanya menahan tangis haru. "Aku baik-baik
saja. Dan kurasa apa yang akan kutemui di sini akan membuatku merasa semakin baik."
Santi menatap kakaknya dengan mata berkaca-kaca. Dalam dirinya terbersit keinginan untuk
menjadi wanita setegar kakaknya. Yang begitu mengagungkan kesetiaannya terhadap cinta
pertamanya, hingga rela melakukan apa saja. Sekedar membuktikan bahwa dia memang hidup atas
dasar dan untuk cinta suci.
"Kamu agak kurusan, Syan."
"Ya. Dan kamu pun nampak seperti gadis... hm, maksudku seperti bidadari yang turun lewat titian
pelangi, dan baru selesai mandi di sungai. Kamu tambah dewasa dan cantik, Santi."
"Dan aku sendiri bidadari yang membawa kabar gembira ini kepada Santi dan pada Mamamu!"
Tiba-tiba saja Sonya sudah berada di tengah mereka.
"Sonya...!" Syanda memeluk sahabatnya.
"Selamat datang kembali, Syanda Manis-ku!" balas Sonya.
"Terima kasih."
"Mari kubantu." Sonya membantu mengangkat beberapa travelling bag Syanda. Beriringan mereka
berjalan meninggalkan stasiun yang mulai ramai lagi oleh suara pluit. Kereta datang silih berganti,
sama halnya dengan kehidupan manusia, suka dan duka silih berganti. Berputar bagai roda pedati.
"Satu tahun rasanya seperti berabad-abad," kenang Syanda sumringah.
"Apa saja yang kamu lakukan di sana?" tanya Santi.
"Aku" Apa, ya" Merenung, menulis puisi, bekerja sebagai pramuniaga untuk membayar pondokan
dan makan. Itu saja."
"Kamu hebat," puji Santi lugas.
"Ah, tidak," Syanda tertegun. "Tapi, kalau kamu katakan aku berjuang, rasanya memang iya. Dan
sekarang perjuanganku telah berhasil."
"Jangan membuat puisi di jalanan, Syan," kelakar Sonya.
Mereka tertawa bareng. "Oya, Mama tidak ikut?"
"Jaga rumah. Katanya, supaya kalau pingsan tidak ngerepotin," gurau Santi.
"Oh, aku sudah kangen banget sama Mamaku, Son. Eh, apakah kamu sudah memberitahu Aditya?"
Sesaat hening. Tiba-tiba saja terasa kebekuan di antara tawa hangat mereka. Ada sesuatu yang
janggal. Sesuatu yang sumbang tatkala Sonya mencoba tersenyum dan bergurau.
"Aditya sudah tidak di panti rehabilitasi "Nusa Bangsa' lagi, Syan...," ujar Sonya ragu.
"Oya" Di mana dia sekarang?" Syanda nyaris melonjak kegirangan.
"Kamu tidak tahu?"
"Dari mana aku tahu" Kami tidak pernah sms-an lagi...."
"Dan mungkin juga sudah ganti nomor," sela Santi menimbrung.
" Ada apa sebenarnya?" Syanda mengernyitkan dahinya.
"Tidak ada apa-apa." Sonya menggeleng. "Harusnya kamu gembira Aditya sudah tidak lagi berada
di panti rehabilitasi itu. Juga karena nama dan reputasi Aditya kini telah bersih. Tidak seorang pun
lagi yang dapat menuding dan menuduhnya sebagai berandalan."
Syanda tercenung. Ya, semestinya dia gembira. Tapi dalam suasana haru seperti ini, perasaannya
berkata lain. Ada sesuatu yang disembunyikan Sonya. Dan sesuatu itu agaknya tidak
menyenangkan. Tentang Aditya. Ya, Aditya-nya....
*** Dengan hati berbunga-bunga Syanda menapaki anak tangga serba putih yang mengantarkannya ke
gerbang gereja. Dia tahu, sejak dulu, Aditya yang suka begadang itu adalah juga Aditya yang rajin
ke gereja lengkap dengan alkitab dan madah baktinya. Kemarin dia surprais menerima sms dari
Aditya. Mengundangnya bertemu di gereja Katolik tua ini.
Setengah enam sore. Misa tengah berlangsung. Syanda mengambil tempat agak di belakang.
Ditundukkannya kepalanya dan mulai berdoa. Menunggu penuh harap bahwa akan datang
seseorang menegurnya, duduk di sebelahnya seperti janji yang tertulis dalam layar ponselnya
malam tadi. Bahwa Aditya mengajaknya bertemu di gereja ini.
Sementara itu frater di atas mimbar terus membacakan firman Tuhan, dan menginterpretasikannya
sehingga manusia lebih mudah mengamalkannya di dunia ini. Namun pikiran Syanda tidak terpusat
pada kotbah di atas mimbar.
"Aditya...!" desisnya sewaktu dilihatnya bahu bidang berkemeja kotak-kotak, berambut klimis.
Agak kurusan memang, tapi dia kenal betul. Dicondongkannya tubuhnya agak ke muka untuk
menyentuh bahu berkemeja kotak-kotak itu.
"Dit...!" panggilnya pelan.
Perlahan pemuda itu menoleh. Gadis di sebelahnya pun ikut menoleh. Sesaat Syanda terkesiap.
Ditutupnya bibirnya dengan jemarinya.
"Anda memanggil saya?"
"Eh, ma-maaf. Saya pikir Anda Aditya, teman lama saya. Dari belakang tadi Anda tampak mirip
dengan teman saya itu." Syanda gelagapan malu. Apalagi gadis di sebelah cowok itu barusan
memandangnya dengan tatapan tidak senang.
"Maaf, ya?" ujar Syanda sekali lagi. Kali ini maksudnya pada cewek bermata gundu itu. "Saya
mengganggu konsentrasi Anda." Syanda mundur, dan kembali menyandarkan punggungnya di
sandaran kursi. "Tidak apa," balas cowok itu, lalu mengurai senyum tipis.
Bukan Aditya. Lantas, di mana Aditya-nya" Bukankah pesan sms kemarin Aditya menulis akan
menemuinya di gereja ini" Syanda menatap sekelilingnya sekali lagi, dan dia yakin Aditya tidak
pernah berbohong. Karena itu dia berusaha bersabar beberapa saat lagi sambil mendengar kotbah
frater. "... sebab itu hendaklah kita memperlakukan sesama kita seperti orang yang paling kita kasihi,
seperti kita mengasihi diri kita sendiri. Sebab segala yang kita miliki saat ini; harta, harkat,
martabat; datangnya dari Yang Di Atas Sana, dan suatu saat akan kembali juga ke asalnya. Hidup
adalah ujian sebelum masuk dalam kerajaan-Nya yang kekal. Amin."
Umat menyambut usainya kotbah frater dengan koor panjang. "Sekarang dan selamanya...."
Bibir Syanda ikut bergerak mengucapkan kalimat itu, namun dalam benaknya hadir sejuta tanya.
Tentang suara si Pengkotbah tadi. Ah, seperti begitu diakrabinya pada suatu masa dulu. Syanda
menatap tanpa berkedip ke arah mimbar.
"Aditya...!" desisnya.
Tidak dipedulikannya beberapa pasang mata yang menatap heran waktu dia melangkah. Pindah ke
deretan kursi terdepan. Sekedar untuk memastikan bahwa pemuda yang dilihatnya memang Aditya!
"A-Aditya... kamukah itu?" tanyanya perlahan sewaktu frater melintas di hadapannya.
Pemuda berjubah panjang serba putih itu menghentikan langkahnya. Menatap Syanda dengan
tatapan setenang air telaga. Ah, mata itu bukan lagi mata yang penuh dengan ambisi. Mata itu telah
berubah, namun tidak bisa membohongi Syanda bahwa inilah pemuda yang dicarinya. Inilah
pemuda yang memaksa hatinya kembali dari tempat pengasingannya.
"Syanda?" Kening frater berkerut.
"A-Aditya... ka-kamu benar, Aditya"!"
"Ikut saya seusai misa," ujar frater
Bab XI Selamat Jalan Merpatiku Mata sayu itu membasah seperti dua air sungai yang mengalir deras. Syanda menangis tanpa suara
sewaktu Aditya menceritakan segalanya di ruang pastori, di belakang mimbar gereja. Dan
semuanya lantak bagai keping beling ketika disadarinya Aditya kini telah sedemikian jauh tidak
mampu lagi tergapai tangan.
"Waktu itu, Romo Dirgo, pastor di panti rehabilitasi melihat aku tidak seperti penghuni lain. Pada
saat itu aku stres berat. Aku bimbang. Aku juga meragukan kesetiaanmu. Apalagi, selama sekian
lama aku tidak pernah menerima kabar darimu lagi," papar Aditya. "Dan semua itu membuatku
semakin dekat dengan Romo Dirgo dan juga kepada-Nya."
"Aku tahu kamu rajin ke gereja, Dit. Aku tahu.... ta-tapi, apakah semua ini tidak bisa dibatalkan"
Apakah kita tidak bisa kembali seperti dulu lagi" Seperti setahun yang lalu"!"
Aditya menggeleng-geleng. "Aku sudah merasa damai dengan pilihanku, Syan. Tanyakanlah
kepada dirimu sendiri, Syan! Apakah kamu juga bisa kembali menjadi Syanda yang dulu"! Yang
hanya punya satu kekasih dalam hidupnya?"
Syanda mengernyitkan alisnya. "Ka-kamu tahu soal Ivan juga"!" tanyanya tidak percaya.
Adiya menggeleng. "Tidak. Tidak satu pun kabar luar tentangmu yang kudengar. Tapi aku yakin
dan percaya, ketidakhadiranmu menjengukku merupakan pertanda bahwa aku bukan lagi satusatunya
yang ada di hatimu."
Syanda tertunduk. "Ta-tapi....."
"Karena itu, Syan, kutempuh jalan ini." Aditya bangkit dari kursinya, melangkah ke jendela.
"Karena aku tidak bisa memberi hatiku pada gadis lain seperti kamu membagi hatimu pada pemuda
lain. Akhirnya, kuputuskan untuk memberikan segala cinta yang ada pada yang paling berhak. Dia
yang ada di atas sana !"
"Ja-jadi, ka-kamu menganggap semua salahku"!" Mata Syanda memerah. Digigitnya bibirnya
keras-keras. Kerongkongannya terasa perih.
"Siapa bilang begitu?" kilah Aditya dengan suara sabar.
"Tapi....." "Semua ini bukan salah siapa-siapa."
"Ta-tapi....." "Mungkin semua ini sudah menjadi kehendak-Nya."
Syanda memintas dengan rupa nelangsa. Ditatapnya nanar sepasang mata teduh di hadapannya.
"Dit, aku mengasingkan diri selama kurang lebih setahun. Hanya untuk memastikan bahwa di
hatiku cuma ada kamu! Tapi, apa yang kuperoleh kini"! Di mana keadilan Tuhan yang kamu agungagungkan
itu"!" tuntutnya, menelan ludahnya dengan susah payah. "Adilkah apa yang kudapatkan"!
Penantian, kesetiaan, pembuktian yang kuberikan kepadamu. Oh, Tuhan!" Ditutupnya wajahnya
dengan kedua belah telapak tangannya.
"Syanda....." "Aku telah kehilangan segalanya! Segalanya!" jerit Syanda dengan suara serak. "Di saat aku merasa
mantap untuk memperoleh segalanya. Segalanya!".
Aditya tersenyum bijak. Dipandanginya lekat-lekat wajah kuyu gadisnya dulu itu. Ditatapnya
sepasang mata beningnya. Seolah berusaha bicara dari hati ke hati, menenangkannya yang
bermuram dalam ketidakrelaannya melepas sosokya yang kini tak terjamah.
"Syan, dengarlah," pintanya lembut. Disentuhya bahu Syanda dari arah belakang. "Kamu tidak
kehilangan apa pun. Cinta kita masih ada. Berada di tempat yang paling abadi. Cinta kita telah
kukirim kepada Tuhan. Biarlah Dia saja yang menyimpannya. Cintaku kepadamu kutukar dengan
cintaku untuk semua umat. Untuk sesama. Karena kini aku tidak hanya milikmu, tapi milik umat
gerejaku. Kamu mau mengerti, kan ?"
"Ak-aku....." Syanda tergagap. "Ta-tapi....."
"Tuhan pasti memberkati cinta kita, Syanda."
"Ja-jadi.... cinta kita masih ada?" Mata Syanda mengerjap, menatap penuh harap ke arah Aditya.
Dan sekali anggukan kecil Aditya membuatnya yakin.
"Cinta kita abadi, Syan. Yakinlah itu. Sebab, aku yakin cinta kita tidak berlandaskan pamrih."
"Cin-cinta kita masih ada"! Di tempat yang lebih kekal di atas sana"!" tanya Syanda seolah
bergumam. Tubuhnya mengejang.
"Ya," angguk Aditya bijak.
"Ak-aku mencintaimu, Dit! Lebih dari yang kamu bayangkan. Bahkan, lebih dari yang pernah
terpikir olehku sendiri. Tahukah kamu"!"
"Aku tahu, aku tahu." Aditya menepuk-nepuk bahu gadis yang pernah diakrabi dan dikasihinya itu.
Syanda sesenggukan. Hatinya pedih. Sesaat dia merasa nasib seolah mempermainkannya. Sewaktu
dia memiliki segalanya, dia bimbang dan ragu atas apa yang dimilikinya. Tapi setelah dia berhasil
meyakinkan diri bahwa dia memang pantas memiliki Aditya dan cintanya, justru kenyataan
membawanya pada babak baru dalam kisah kehidupannya. Aditya semakin menjauh, direntang oleh
jalan suci yang ditempuhnya. Hidup berselibat dalam pengabdian kepada Tuhan dan sesama. Dan
dia harus menerima kenyataan itu.
"Aku mencintaimu, Dit! Sampai kapan pun juga.... selamanya!" desis Syanda dengan mata sembap.
Diraihnya tangan Aditya. Digenggamnya erat-erat.
Aditya kembali mengangguk dengan sinar bijak. "Terima kasih untuk ketulusan cintamu, Syan."
"Selamat tinggal, Frater!"
Syanda melepaskan genggaman tangannya. Dengan masih berlinang airmata ditinggalkannya ruang
pastori dengan hati pedih.
Memang, ada saatnya cinta itu tidak mesti bersatu. Mungkin inilah cinta yang sesungguhnya. Untuk
saat ini rasanya dia belum sanggup menerima dengan hati tabah. Mungkin suatu saat dia dapat
memafhumi. Entah kapan. *** Dua Tahun Kemudian Kekecewaan yang pernah dirasakannya perlahan memudar dari hari-harinya. Pengalaman pahit
membentuknya menjadi gadis yang tegar dan tabah. Syanda telah menemukan kembali dunianya
yang hilang. Dunia yang penuh dengan warna. Meski dia belum dapat sepenuhnya melupakan cinta
pertamanya, namun dia tidak lagi terkungkung dalam romantisme masa lalunya yang menyakitkan.
Sekarang dia menyibukkan dirinya dalam kegiatannya yang seabrek. Menjadi penulis freelance di
majalah-majalah remaja, copy-writer, dan penyiar radio. Kuliahnya pun sudah hampir rampung.
Mungkin setahun lagi dia sudah dapat menyandang predikat psikiater. Suatu kebanggaan yang tidak
dapat dilukiskannya dengan kata-kata.
"Selamat siang, Syanda?"
"Eh, selamat siang, Frater."
Frater Aditya tiba-tiba sudah berdiri di bawah bingkai pintu ruang sekretariat pemuda gereja.
Suaranya yang khas melantun lembut. Menggugah keterdiaman Syanda yang entah sudah berapa
lama mematung dalam lamunannya. Syanda kikuk. Dia berusaha menyembunyikan tingkahnya
akibat melamun terlampau jauh ke belahan silam. Mudah-mudahan Frater Aditya tidak
menyadarinya, batinnya jengah. Dia kemudian berdiri dari duduknya di belakang meja kerjanya.
"Bagaimana dengan buletin edisi depan kita?"
"Hm, sudah siap naik cetak, Frater. Mungkin minggu depan beredar," jawab Syanda santun, lalu
kembali duduk di kursinya.
Sebagai seorang penulis remaja, Syanda dipercayakan mengasuh sebuah terbitan rohani. Dan
pekerjaan mulianya itu telah mempertemukannya kembali dengan Aditya, cinta pertamanya. Namun
kini, Syanda sadar bahwa inilah sesungguhnya cinta sejati. Cinta yang universal, cinta yang tak
dibatasi oleh waktu dan jarak.
Cinta untuk sesama. "Selamat siang, Frater!" sebait suara melantun dari arah bingkai pintu.
"Siang, siang," jawab Frater Aditya. "Masuk. Mari masuk. Ada yang bisa saya bantu?"
Seorang pemuda tampan membungkukkan badannya menghormat.
"Maaf, mengganggu. Saya ingin bertemu dengan Syandarini Aprilia Joshepine Munaf."
Syanda mengangkat wajahnya dari monitor komputer ke arah suara lembut tersebut. Dan dia
terpana seperti patung. "I-Ivan!" serunya dengan mata terbelalak. "Ivan Prasetyo"!"
Pemuda bernama Ivan itu tersenyum manis. "Hai, apa kabar Syanda?"
"Kalian sudah saling kenal, ya?" ujar Frater Aditya sembari melangkah keluar dari ruang
sekretariat. "Kalau begitu, saya pamit keluar dulu, ya?"
Syanda berdiri, berlari dan memeluk tubuh lampai Ivan. Dipereratnya pelukannya dengan pipi
membasah. Dia menangis bahagia.
"Aku tidak ingin kehilangan kamu lagi, Syan!" bisik Ivan lembut. "Aku rindu kamu....."
Syanda tidak dapat bicara apa-apa lagi. Tangisnya menderas.
"Maafkan aku, Syan. Aku tidak dapat membohongi perasaanku lagi. Apa pun yang terjadi, aku
harus mencarimu. Aku...."
"Aku mencintaimu, Van!"
Di luar ruang sekretariat, Sonya dan Santi tersenyum penuh arti. Mereka semua bahagia dapat
mempertemukan Syanda dengan cinta sejatinya!
TAMAT Keterangan Selibat = pranata yang menentukan bahwa orang-orang dalam kedudukan tertentu tidak boleh
kawin (dalam gereja Katolik Roma, para rohaniawan yang telah ditahbiskan harus hidup
membujang, tidak boleh kawin).
BIODATA PENULIS Penulis remaja Indonesia paling produktif dalam dekade terakhir millennium kedua ini masih menggeluti dunia tulis-menulis sampai
sekarang. Di bawah bendera ZZapp Entertainment, ibu muda dari satu putri ini telah melahirkan puluhan skenario sinetron yang
sangat popular. Di antaranya sinetron Janjiku yang diproduksi oleh Multivision, Bukan Cinta Sesaat yang diproduksi oleh Indika
Entertainment, dan banyak lagi sinetron popular lainnya. Karya-karya Zara Zettira ZR. dalam bentuk novelet pun
sudah tak terbilang jumlahnya yang diterbitkan oleh PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Di antaranya novelet Jejak-Jejak Jejaka,
Eugene Kota Penuh Romansa, Salju Merah, Mimi Elektrik, Sexy Anissa, dan lain-lain. Pernah menjabat sebagai salah satu dewan
redaksi dan redaktur istimewa di majalah Planet Pop, Jakarta (1999-2000).
Penulis yang senangnya berkutat di dunia remaja hingga sekarang ini lahir di Watampone, Sulawesi Selatan, 13 Juni 1980,
Effendy Wongso menghabiskan masa-masa remajanya untuk menulis. Cerpen-cerpennya sudah tersebar hampir di
seluruh majalah remaja nasional. Nominator LCCR (Lomba Cipta Cerpen Remaja) Anita Cemerlang empat tahun berturut-turut
sekaligus sebagai salah seorang pengarang paling produktif versi majalah Anita Cemerlang 1996 ini, pernah tercatat sebagai
koresponden majalah Anita Cemerlang (1996-1998) dan pemimpin redaksi majalah Planet Pop (1999-2000
Mengurung Bidadari 2 Pendekar Pendekar Negeri Tayli Karya Jin Yong Lembah Tiga Malaikat 13
^