Mengurung Bidadari 2
Mengurung Bidadari Karya A Rita Bagian 2
mematahkan hati Rory berkali-kali. Rory mencoba mempercayai bahwa selama ini Erris diam,
bersikap dia adalah teman yang paling mendengarkan. Ekspresi Erris tidak terbaca sehingga
tidak ada seorang pun yang tahu, apa yang ia sembunyikan.
--Natha diam, Rory tidak bicara. Sibuk sendiri-sendiri setelah pertemuan semalam yang
melegakan bagi keduanya, namun sekarang jadi tidak ada artinya lagi.
Rory keluar dari kamar, setelah mandi dan berpakaian sementara Natha di dapur mengolesi
rotinya dengan selai hijau sarikaya. Sambil memperhatikan Rory, mengambil sepatu dan duduk
di sofa untuk memakainya. Rory menyandang ranselnya keluar tanpa bilang apa-apa dan pintu
depan tertutup dengan bunyi keras. Natha menaruh rotinya kembali di piring, dia kehilangan
nafsu makannya. Suasana hati Rory sedang buruk. Dia tampak ingin memukul seseorang hari ini dan sudah lama
Natha tidak melihatnya semarah itu. Rory menakutkan. Dia menakutkan jika marah, seolah
apapun yang ada di dekatnya akan dia lemparkan. Karena itu Natha menjaga jarak darinya.
Natha tidak mengajaknya bicara. Begitu bangun tidur, Rory sudah duduk di sofanya dan pasti
dia tidak tidur semalaman. Saat pintu kamar terbuka, ia langsung masuk menuju kamar mandi,
dia juga membanting pintu dengan keras. Ia membuka lemari dengan tidak sabaran,
memberantaki isi lemarinya hanya untuk mencari sehelai kaos yang baru. Dia terlihat sangat
emosional saat lemari tidak bisa merapat karena tersangkut dia menendangnya sampai engselnya lepas. Dia berjalan terburu-buru keluar.
Ada kesedihan yang tidak bisa diungkapkan saat itu.
Kegaduhan semalam membuatnya penasaran. Ia bangkit dari tidur pura-pura-nya untuk
mencari tahu asal suara-suara itu. Ia berdiri di jendela mengintip diluar melihat Rory
kehilangan kendali, mengetahui sahabatnya berkhianat. Chris di sampingnya dan mereka
seperti baru saja pulang dari pertunjukan sirkus yang gagal.
Rory tidak bisa tidur. Ia tampak gelisah berbaring di sofa, lalu ia bangkit untuk duduk, lalu
berbaring lagi, itu terjadi berkali-kali. Dia membungkuk, terlihat mengepalkan tangannya
dengan kuat. Dia berusaha menahannya tapi dia tidak cukup mampu mengatasinya.
Natha ingin keluar, menghampirinya. Duduk di depannya, menggenggam tangan-nya yang
mengepal gemetaran itu agar Rory mengalihkan wajahnya kepada dirinya. Jika Rory sudah
menatapnya, semoga itu bisa mengurangi gemuruh di hatinya. Natha mungkin akan
merangkulnya seperti saat Rory menghilangkan ketakutannya di pinggir jalan kemarin. Dan jika,
sebuah ciuman bisa menyapu semua amarah itu, Natha akan memberikannya. Natha tahu,
itulah yang ingin dilakukan Rory saat melihatnya tertidur, tapi ia urung saat wajah mereka
hanya berjarak beberapa inci lagi. Rory memilih keluar dari kamar.
Betapa pun inginnya dia, Natha tidak melakukan semua itu. Karena separuh hati Rory, sudah
dibawa pergi Uki. Rory terjaga semalaman, begitu juga dirinya yang meringkuk kesepian di balik pintu yang
memisahkan ruang mereka. Natha mengumpulkan semua yang ia tahu tentang Rory, untuk
menyatukannya menjadi sebuah kepastian bahwa dia tidak seperti apa yang terlihat dari gaya
rambut dan tato-nya. Tapi, Natha mulai merasa, apa yang terjadi pada Rory bukan sekedar
karena Erris, sahabatnya tapi juga gadis itu, yang pernah dia cintai selama bertahun-tahun.
Pikirannya sendiri membuat Natha kecewa.
Natha terdiam sejenak, lalu menyadari bahwa roti gandum-nya sudah habis. Ia harus pergi
membeli yang baru nanti. Mungkin sendiri, karena Rory pasti sibuk seharian ini mengurus
masalahnya. --"Gue kecewa bukan karena Uki nggak pernah jadi milik gue, Ris", kata Rory pada Erris yang
tertunduk penuh rasa bersalah.
Rory seperti banteng yang sedang mengamuk. Matanya merah dan sudah jauh melewati batas
yang ia sebut titik sabarnya. Dia sedang membayangkan bagaimana mereka berdua sembunyi
dengan aman. Setiap kali Rory bercerita padanya soal Uki, dia dengan penuh perhatian
mendengarkan, bahkan memberi saran. Sekarang, semua itu menjadi duri dalam daging, dan
Rory merasa dibodohi selama bertahun-tahun.
Laras menariknya dari Erris, sebelum Rory bermain dengan kepalan tangannya dan Erris akan
terluka. Erris tidak bisa berkelahi. Dia pasti akan 'habis' di tangan Rory jika seseorang tidak
menghentikan kegilaannya itu.
"Rory, udah", ujarnya, dia sudah menyiapkan diri untuk situasi seperti ini dari semalam. Karena
dia adalah orang pertama yang diberi tahu Erris telah melakukan kesalahan yang berat "Semua
udah terjadi, kita nggak bisa apa-apa lagi sekarang"
Tidak ada satu kata pun yang keluar dari bibir Erris selain maaf. Dia sudah menceritakan
semuanya kepada Laras, karena rasa bersalah sudah lama menyiksanya. Dia bisa berkata semua
sudah berakhir, dan tidak ada yang salah dengan itu. Tapi, satu-satunya hal yang tidak bisa
dimaafkan adalah, dia menyembunyikannya dalam waktu yang sangat lama.
"Lo bersikap seperti teman setia! Lo bahkan mengusir Natha demi kepentingan gue!
Sebelumnya lo ngapain, Ris"!"
Damar membantu Laras, menahan Rory, "Cukup, Ror!", katanya memegangi pundak Rory dan
menahannya lebih kuat. "Kita bisa selesaiin masalah ini, oke?"
"Lo nggak hanya bohongin gue, tapi Laras dan Damar juga! Gue hanya pingin tahu, kenapa lo
lakuin ini ke kita!", Rory tidak peduli, kemarahannya semakin meluap. Menatap Erris seperti
menatap musuh dan mereka tidak pernah demikian buruk sebelumnya.
Tidak ada yang mencoba me-reka ulang saat-saat penuh tawa di SMA. Mereka masih
mengenakan seragam putih abu-abu dan memakai sepatu kets ke sekolah. Rory, Erris dan
Damar, masih berambut cepak sedangkan Laras, memakai rok. Rory menjelma menjadi
pembuat masalah berkat Damar. Erris terpilih jadi ketua OSIS, sementara Laras dan Damar
mulai kasmaran. Lalu Uki masuk, di tahun ke dua mereka. Menyita perhatian semua orang
dengan kemampuan menyanyi-nya.
Mereka yang ibarat api kecil pada sebatang korek jika sendirian, tapi jika sudah lengkap,
mereka bisa membakar apa saja.
Erris jatuh tersungkur di lantai, menimpa sebuah kursi yang ada di belakangnya.
"Rory"!", Laras menjerit.
Rory berbalik, menatapnya lalu Damar, "Masih mau berteman sama pengkhianat"!", teriaknya
sebelum pergi dan menendang kursi yang menghalangi jalannya.
Semua mata tertuju padanya dengan ngeri.
--"Kamu dari mana?", Rory bertanya. Suara yang dingin terasa menakutkan bagi Natha yang
terdiam di depan pintu karena terkejut. Dia pikir siapa yang tengah duduk di sofa seperti
patung, tapi tiba-tiba bergerak.
Natha pulang dengan membawa barang belanjaan karena ia tidak mau menunggu Rory dan
memutuskan untuk lebih mandiri. Lagipula Rory bukan pacar yang harus mengurusi semua
kebutuhannya. Jadi dia melangkah melewatinya tanpa menjawab. Dia hanya pergi belanja dan
Rory lihat kantong-nya. Rory segera berdiri, "Aku tanya kamu dari mana"!". Ia bertanya sekali lagi sambil menarik
lengan Natha kuat-kuat, Kantong belanjaan Natha terjatuh karena dia kehilangan keseimbangan oleh suara yang
terdengar layaknya petir di tengah mendung.
"Aku pergi belanja!",
jawab Natha, berteriak, karena kesal. Dia tidak harus menjadi
pelampiasan Rory karena ini sama sekali tidak ada hubungan dengan dirinya. Bahkan dia tidak
ikut campur, berpendapat juga tidak. Masalah itu juga sudah ada jauh sebelum dia hadir di sini.
"Kenapa nggak bilang"!", tanya Rory, belum melepaskan tangannya.
Sekarang mereka berhadapan, Natha membalas tatapannya dengan cara yang sama, tajam dan
menantang. Seperti tidak pernah bosan, membangkitkan amarah Rory. Natha pun tidak punya
pilihan, jika tidak melawan, apa yang akan dilakukan lelaki marah ini padanya" Dia sangat
menakutkan untuk dipandang, langsung ke matanya.
"Kenapa aku harus bilang"!", cetus Natha berusaha melepaskan tangannya. "Aku memang
tinggal di rumah kamu tapi nggak berarti kamu juga mengatur-ngatur aku!"
"Kamu tahu akibatnya tersesat seperti kemarin malam"!"
"Apa peduli kamu"!"
"Aku peduli!" "Kenapa harus peduli"! Memang aku ini apanya kamu"!"
Rory melepaskannya segera dengan kasar.
"Apa kamu baru aja mukul orang gara-gara cewek impian kamu?", gerutu Natha sambil
membungkuk, mengambil barang belanjaannya yang terjatuh.
Rory masih diam di tempatnya, "Kamu nguping ya?", tanya Rory lebih tenang.
"Dengan suara sekeras itu siapa yang nggak akan bangun"!", tandas Natha.
Natha menahan rasa takutnya.
"Segala sesuatu yang berhubungan sama pegawai supermarket itu selalu membuat kamu jadi
gila! Kenapa kamu nggak kejar dia dan berhenti melampiaskan kekesalan sama aku!", teriak
Natha sebelum ia masuk ke kamar dan menutup pintu. Natha juga langsung menguncinya,
takut kalau-kalau Rory akan memaksa masuk.
Tatapan cowok itu membuatnya merinding, seakan membakar dan melelehkannya. Hingga
tanpa sadar tubuhnya tidak berhenti gemetaran. Natha bersandar lemas ke pintu, melepaskan
kantong belanjaan dari genggaman, lalu dia beringsut ke bawah. Meringkuk ketakutan dan
menangis kebingungan. Rory sangat menakutkan. Dia kelihatan seperti mau membunuhnya.
Sementara itu, Rory tertegun di depan pintu yang kini menghalangi pandangannya.
Memandangi pintu yang tertutup rapat dan sudah pasti dikunci oleh Natha yang tidak ingin ia
mendekat lagi. Apapun yang terjadi padanya, sungguh, gadis itu tidak pantas menerima semua
sisa amarahnya. Bukan salahnya, aku lah yang bersalah..., hatinya bergumam.
ooOoo BAB 12 Forgiveness "Aneh?", gumam Natha memandanginya dengan tatapan menyeledik.
Rory tersenyum dengan lesung pipinya. Tapi, masih belum pudar dari ingatan Natha rautnya
yang menakutkan tadi siang, seakan tersimpan di kepala selamanya. Bagaimana bisa dia bisa
bersikap seolah tidak pernah terjadi apapun"
Mereka ribut tadi siang dan sekarang ada di restoran mahal untuk makan malam.
Rory terlihat lebih santai menghabiskan makanannya dan sering berkata "ini enak". Tapi Natha
menggeleng, saat Rory lupa lagi, dia tidak makan daging. Rory minum air putih dalam gelas,
meneguk setengahnya lalu menaruhnya lagi. Sedangkan Natha belum menyentuh salad
miliknya. "Kenapa?", tegur Rory, memperhatikan Natha sedikit gelisah.
"Apa sih maksud kamu ngajak makan di luar?", tanya Natha, tangannya menggenggam
gaunnya, di bawah meja. Ia berusaha menyembunyikan kegelisahannya.
"Ini permintaan maaf karena tadi siang marah-marah sama kamu", katanya, tenang dan
mengandung makna yang sungguh-sungguh, "Aku sadar sepenuhnya bahwa apapun
masalahnya, kamu nggak pantas menerima sikap aku tadi"
Natha tersenyum sinis, melihatnya yang sekarang tidak ada yang menyangka empat jam
sebelumnya dia kehilangan kontrol yang benar-benar parah, "Aku pikir kamu sama sekali nggak
sadar," Rory menarik nafas lagi, "Aku serius", ia menegaskan, agar Natha tidak menjengkelkan di saat ia
mengaku salah. "Aku minta maaf"
"Jadi apa yang kamu lakukan ke Erris?", tanya Natha yang penasaran kelanjutan kejadian
semalam. "Aku nggak mau ngomongin itu", wajah Rory berubah masam.
"Tangan kamu pasti sudah mendarat di wajahnya Erris", tebak Natha dan Rory berpura-pura
tidak terpengaruh. "Nggak punya pilihan lain", Rory membenarkan.
"Itu nggak menyelesaikan masalah", kata Natha.
"Aku tahu, tapi sekarang masalahnya udah selesai, Little Mermaid", jelas Rory melirik salad
Natha, "Cepat habisin, aku capek, mau cepat-cepat pulang"
"Kamu mengirim Erris ke neraka?", Natha "nyeleneh" lagi dengan gayanya yang menyebalkan.
"Belum", jawab Rory santai.
"Masalahnya bukan sama Erris", kata Natha, "Kamu kesal mengetahui kamu terlambat untuk
tahu alasan dia menolak kamu lagi dan kamu benar-benar sudah kehilangan kesempatan untuk
mendapatkan dia" "Sok tahu", cetus Rory menolak dahi Natha dengan ujung jari telunjuknya.
"Iiih, apa sih"!" Natha langsung menepiskan tangan Rory dari kepalanya.
--"Harusnya kita punya kulkas, supaya aku bisa buat salad sendiri", kata Natha menyeberangi
ruang depan menuju kamarnya.
Rory tersenyum simpul, "Tapi kamu pernah bilang nggak ada istilah "kita" di sini", katanya,
sekedar mengingatkan, dia pernah ditolak dengan cara itu, dengan kata-kata 'kita'.
Natha berbalik dan dia tersenyum, dengan sedikit malu-malu, saat Rory berdiri di depannya.
Dan ia berusaha menatapnya tanpa ketakutan seperti tadi siang.
"Kamu mau buat pengecualian untuk kali ini?" Rory bertanya dengan lesung pipi yang terlihat
lebih jelas dari dekat. Dia semakin mendekat ke wajah Natha dan yakin Natha tidak akan
mendorongnya. Dia akan mengakhiri semua keragu-raguan ini dengan satu ciuman, pikirnya
semakin mendekat, mengisi kekosongan diantara dadanya dengan Natha.
"Aku pikir?", Natha menjawab, ia mundur selangkah sebelum itu sempat terjadi dan
membuatnya tidak bisa tidur, "Aku nggak berpikir seperti itu, Mr. Stalker"
Masalahnya hanya satu. Rory tampak belum melepaskan Uki sepenuhnya. Inilah akar dari
amukan Rory siang ini. Natha terlalu berat mengakui bahwa ia kecewa. Dan Natha tidak akan
membiarkan Rory masuk untuk membuatnya terluka.
Rory terdiam. Tidak marah, dan justru tampak maklum, pada reaksi Natha. Syukur ia tidak
dimaki atau ditampar karena berbuat kurang ajar. Sadar, mereka sekarang, adalah tanpa ikatan
dan suatu kesalahan, jika tetap melakukannya
Natha mundur, masuk ke kamarnya, "Aku ngantuk", katanya, sebelum menutup pintu dan
menghilang dari pandangan Rory. Dia bersandar ke pintu yang tertutup, menghembuskan
nafas, dan kembali meringkuk di sana.
"Oke"Miss Broken Heart?", ia bergumam pelan setelah pintu tertutup, kembali di depan
wajahnya, lalu berbalik dengan kecewa sambil menyapukan helaian rambutnya ke belakang.
Menghembuskan nafas panjang, lalu duduk di sofa, tempat terakhir-nya. Tersenyum untuk
dirinya sendiri, "Ini nggak mungkin, Rory?"
--"Ini sih bukan soal Uki lagi..", kata Laras, dengan kepala terkulai di atas meja. Tiga sloki
membuatnya tidak berdaya sekarang.
Damar yang sedang merokok dan minum, menggeleng, "Kalau Rory nggak ada, gue yang pukul
Erris", katanya, "Itu kelewatan, kita ini dianggap apa sih?"
Laras tertawa pelan, rambut panjangnya menutup setengah wajahnya yang lemas, ia menepuknepuk punggung Damar, "Udah?", katanya serak, "Kalian sahabatan sejak lama?"
Damar tersenyum simpul, melirik Laras yang harusnya sudah diseret pulang. Cewek ini memang
nggak pernah berubah, pikirnya. Tipe yang terlalu cuek dan santai. Laras adalah "Rory" versi
cewek, karena juga punya tato di tubuhnya.
"Lo tau nggak sih Erris yang paling sabar di antara kita?", tanya Laras, setelah mengangkat
kepalanya kembali dan menatap Damar sejenak. "Di antara kita cuma dia yang"agak normal.
Maksudnya"dia berusaha untuk serasional mungkin di saat kita bertiga berusaha menjadi apa
yang nggak bisa orang lakuin?"
Tidak ada tanggapan dari Damar yang menyalakan sebatang rokok lagi dan menghisapnya
untuk meniupkan asap tebal dari mulut dan hidungnya.
"Setiap kita bikin masalah, selalu dia yang tanggung jawab. Ingat waktu itu Erris nyembunyiin
kita setelah Rory nabrak orang saat kita liburan ke Anyer" Erris ikut terlibat padahal waktu
kejadian dia nggak sama-sama kita, Mar. Dan lo ingat ketika lo sama Rory berantem dan dia
coba melerai, tapi lo malah pukul dia. Sampai Erris luka di kepala. Erris dijemput polisi di
sekolah, ikut-ikutan jadi tersangka karena melindungi kita", kenang Laras, "Erris ketua OSIS,
punya teman yang semuanya anak bandel. Dia nggak pernah bilang kita merusak reputasinya di
sekolah dan dia sering dinasehati guru supaya bisa mengiring kita ke "jalan yang benar", dia
nggak pernah memaksa kita keluar dari jalur kita supaya dia dianggap hebat"gue
rasa"perjuangan Erris saat itu hebat juga sih?"
"Termasuk perjuangan nyembunyiin Uki?", Damar sinis. "Dari Rory yang patah hati berat, dan
dari kita, yang dia bela dari orang-orang?"
"Gue cewek, Mar", kata Laras lebih serius.
"Bukan itu masalahnya, apa kita seperti orang-orang itu kalau Erris terus terang?", Damar nggak
setuju. "Kita sahabat! Bukan baru kenal sebulan dua bulan"
Laras tertawa lagi, pelan dan dalam,
"Gue ngerti posisi Erris", katanya, terdengar pembelaan seorang pengacara sukarela bagi Erris,
"Yang satu sahabatnya, yang satu cewek yang dia suka, dia nggak bisa memilih salah satu.
Harusnya kita yang pengertian. Toh, Uki juga nggak akan pernah suka sama Rory sekalipun Erris
nggak ada. Cinta nggak bisa dipaksain, Mar"
"Kayaknya lo tambah pintar sejak pulang dari Australia", celetuk Damar, tiba-tiba, tertawa
pelan dan sinis. Seperti ejekan, karena selama ini Laras hanya tahu soal marah tanpa sebab.
Laras bungkam cukup lama, dan terkulai tanpa bicara.
Damar terkejut saat melihat Laras mengeluarkan rokok dari tasnya lengkap dengan pemantik
apinya. Dia baru tahu sekarang Laras juga perokok selain peminum. Dia juga punya tato di
punggung sebelah kirinya dan sejak tadi ia abaikan, karena tertulis sebuah nama 'Myles' di
sana. Nama yang seringkali membuat amarahnya meledak-ledak. Tapi, sudah bukan hak-nya
untuk marah. Damar mengalihkan pandangannya ke minuman yang dia pesan. Menyingkirkan semua yang
pernah mengganggu perasaannya.
Laras membuat tato-nya di Australia. Tampaknya juga tidak peduli, sekarang Damar jadi
mengetahuinya. Ia menganggap semua yang terjadi hanya kenang-kenangan. Hanya sebatas
kenangan. Karena mereka sekarang melangkah di jalan yang berbeda.
--Natha mendengar suara berisik dari dapur, yang membuat matanya terbuka sekarang. Dia baru
saja tertidur karena bosan sepanjang siang. Ini sudah jam empat sore tapi tidak terdengar
kegaduhan dari suara TV yang dinyalakan Rory untuk sekedar santai, sebelum ia keluar lagi,
melakukan "pekerjaan".
Natha terkejut saat melihat dua orang asing baru keluar dari dapurnya. Mereka berseragam
toko elektronik dan baru akan pergi. Ia mengucek-ngucek matanya saat melihat Rory ada di
dapur dengan sebuah kulkas baru!
"Kamu mau pergi belanja sekarang?", tanya Rory yang tersenyum padanya di pintu, sebagai
kejutan. Senyum terpancar di wajahnya, Natha mengangguk, menghampiri Rory. Dengan senang hati dia
tidak akan menolak. Lalu pergi dengan taksi, agar bisa membawa lebih banyak barang.
Mengurung Bidadari Karya A Rita di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Rory datang mendorong trolley. Dia memasukan apa saja yang dia suka ke dalamnya sambil
berjalan. "Kamu nggak akan mengembalikannya ke rak kan?", Rory bertanya saat mengambil satu paket
mie instan yang terdiri dari lima bungkus.
Natha tersenyum manis, mengambil paket mie instan-nya dan Rory sempat berpikir bungkusan
itu akan pindah ke trolley, tapi malah kembali ke tempatnya.
"Aku bukan orang Jerman!", serunya begitu Natha mendorong trolley ke tempat lain. "Aku
nggak biasa makan roti yang cuma bisa tahan kurang dari satu jam di perut!"
"Aku pernah dengar kalau makanan pokok orang Indonesia bukan mie instan", balasnya,
menoleh sebentar lalu berjalan lagi.
Ini moment paling menyenangkan yang pernah ia alami. Natha mendorong trolley-nya di antara
rak khusus makanan kecil. Ia mengambil beberapa bungkus snack, lalu berjalan lagi. Mereka
butuh snack untuk nonton TV dan saat Rory membalik-balik buku pelajarannya sambil tiduran
di sofanya. Rory sudah tidak terlihat mengikutinya. Natha pun keluar dari lorong khusus snack dan
menemukannya kembali. Rory sedang mengobrol bersama si kerdil itu di depan rak khusus mie instan.
Natha baru tahu bahwa cewek itu bekerja di supermarket langganan mereka. Natha pun
menarik trolley-nya pergi, ke tempat lain. Di mana dia tidak akan melihat mereka lagi.
--Natha mengangkat satu kantong ke atas meja di samping kulkas baru dan ingin mengisinya
dengan buah dan sayur. Dengan gembira ia menyusun semuanya dengan terampil dan cekatan.
Rory mengambil sebuah apel dari dalam kantong, mengelapnya sebentar dan menancapkan
gigitan pertamanya, yang berbunyi, "krauk" yang terdengar jelas oleh Natha yang tersenyum di
sampingnya. Manis, katanya, saat melirik Natha.
"Aku mau pergi, ada urusan", kata Rory padanya, sekedar member tahu, ia mungkin tidak bisa
menemani sampai malam. Natha mengangguk, biasanya dia akan bilang, "kenapa aku harus tahu?". Kali ini sikapnya lebih
manis. Mungkin karena terlalu senang, "Ambilin kantong yang itu dong?", pintanya lembut
pada Rory sambil menunjuk salah satu di antara dua kantong yang isinya belum dikeluarkan.
Rory ingin berkomentar, bahwa ini pertama kalinya Natha berbicara padanya dengan nada
seperti itu, dan meminta tolong padanya. Ia mengambilkan salah satu, menaruhnya di atas
meja, menyingkirkan kantong yang sudah kosong, agar Natha bisa mengeluarkan isi kantong
yang baru. Menyusun telur, jus jambu dan jeruk, serta susu cair di dalam kulkas. Rory menarik
perkiraannya bahwa Natha adalah nona kaya yang tidak tahu apa-apa selain marah-marah.
Natha tersenyum, menatap ke bawah. Tersirat sebuah kekecewaan yang ganjil. Sekarang dia
berpura-pura bisa tertawa, sementara hatinya menjerit sejak mereka di supermarket.
Dapur lebih terlihat seperti dapur, dengan adanya peralatan makan yang baru.
Tawa renyah terdengar saat mereka saling ejek dengan ringan. Rory menyikut tangannya yang
sedang bekerja, dan Natha bergeser agak jauh. Lalu seseorang mengetuk pintu.
"Jangan lemari", Natha mengingatkan ia nggak ingin dikurung seperti waktu itu lagi, saat Rory
menoleh padanya. "Iya", jawab Rory yang segera pergi ke depan, sementara Natha masuk kamar. Rory baru
membuka pintu setelah memastikan bahwa Natha menutup pintunya rapat-rapat.
--Tidak ada yang perlu ditakutkan, hanya Erris.
Rory menatapnya dingin saat Erris kembali menunjukan penyesalannya.
Sudah pasti datang untuk minta maaf dan memperbaiki apa yang sudah dirusaknya. Tapi,
semua memang bukan tentang Uki lagi sekarang. Hanya soal persahabatan. Semua ucapan Uki
di supermarket masih ia ingat dengan jelas. Uki memintanya untuk tidak membenci Erris karena
itu juga salahnya. Uki membela Erris itu pasti.
"Gue?", Erris memulai, ia duduk di teras, sementara Rory tetap di motor-nya.
Semua amarah sudah lenyap dari wajah Rory.
"Gue selalu bukan di posisi yang bisa berkeluh kesah, "jelas Erris.
"Harusnya lo bilang, Ris", tuntut Rory, menggelengkan kepalanya, ia berusaha menerima, ini
masa lalu, ini sudah terjadi, ini tidak bisa diubah lagi, "Gue kelihatan bodoh di depan semua
orang, tahu nggak?" "Gue tahu,..," jawabnya murung,
"Gue tahu Uki yang minta untuk tetap diam. Sebenarnya ada masalah apa lagi sih di antara
kalian?", tanya Rory, teringat pada kata-kata Uki yang akhirnya mengakui sekaligus
membenarkan analisa Chris, adiknya.
Erris tetap tertunduk, "Nggak akan mudah bagi Uki, jika semua tahu. Gue seperti penghalang
buat dia meraih apa yang dia mau. Bodohnya gue turutin kemauan dia karena gue nggak
pernah bisa lepasin dia", jawabnya, "Gimana mungkin gue jujur kalau pacar gue adalah cewek
yang disukai sama temen gue sendiri?"
"Terus, sekarang kalian gimana?", tanya Rory.
"Uki nggak lagi seperti Uki yang dulu. Gue pernah hancurin hidup dia, sekali untuk selamanya,
Sampai sekarang gue masih terus mencoba perbaiki kesalahan gue tapi dia nggak pernah mau
terima gue lagi." "Memangnya apa yang lo perbuat ke dia?" Rory mengernyit, "Lo tahu Chris dekatin Uki, apa
nggak masalah buat lo?".
Erris menggeleng, "Gue nggak ngerti...", jawab dia, bingung.
Rory menarik nafas panjang, "Sumpah, sekarang gue nggak ingin lagi membahas masalah itu.",
kata Rory mengakhiri kebingungan Erris yang tampak tak punya penjelasan lain selain dari
keragu-raguan dan rasa bersalah yang tersirat di wajah murungnya. "Itu sudah jadi urusan lo
dan Uki" "Lo mau maafin gue kan?", tanya Erris.
Rory menarik nafas panjang lagi, "Gue kenal lho sudah separuh umur", jelas dia, menatapnya
lalu tersenyum simpul, "Dan ini memang pertama kalinya lo ngelakuin hal yang bikin gue kesel
setengah mati. Pertama kali, tapi paling nyakitin. Tapi...kalau diingat-ingat lagi, semua itu belum
ada artinya dibandingkan sama apa yang pernah kita hadapi sama-sama. Lo, gue, Laras dan
Damar...Nggak akan adil kalau persahabatan kita putus cuma gara-gara masalah ini..."
Sedikit senyuman diperlihatkan Erris ketika raut Rory sudah berubah santai.
ooOoo BAB 13 In Love Laras mendengus, "Oke, ratu pesta kita sudah datang?", katanya pelan.
Natha meliriknya dan memastikan Laras melihat ke mana.
Ada seorang cewek baru, satu lagi, yang sekarang menjadi bagian dari mereka. Yaitu,
gandengan Damar, Hilda yang katanya cantik selangit. Ia menghampiri semua orang dengan
senyum dari bibir yang penuh lipstick peach. Ia harusnya berlenggak di catwalk dengan
penampilannya malam ini. Benar, kabarnya Hilda adalah seorang model.
Hilda, berkulit putih, bentuk tubuh yang mirip seperti Laras, sedikit sentuhan feminin. Dia
memakai high heels runcing dengan tinggi 11 cm bertali halus berwarna keemasan. Hot dress
dengan belahan dada rendah, warna ungu muda.
"Aku nggak suka ungu", Natha mendesis, saat ingat Rory pernah membelikan satu untuknya
dan dia tidak mau terlihat "sama dengan", dengan cewek berambut lurus sebahu itu.
Laras cekikikan di sampingnya, "Aku nggak suka dia", sambungnya, mempertahankan sikap
tenangnya, walau jelas-jelas ia melihat Damar dan cewek itu terlalu mesra, "Harusnya mereka
cari kamar kosong" Rory ikut cekikikan mendengar umpatan Laras pada pacar mantan pacarnya. Sambil memukul
Erris di depannya, mengingatkannya untuk ikut tertawa juga, Damar membawa badut cantik ke
perkumpulan mereka yang "ekslusif".
"Hai semua", Hilda menyapa sambil mengambil tempat duduk di kiri Erris, diikuti Damar di
sampingnya. Sekarang Damar berhadapan dengan Laras. Rory mulai bercanda soal hari ini di kampus saat ia
menjatuhkan puntung rokok dari atas atap gedung kampus dan mengenai Pak Subagja, dosen
kalkulus-nya. Dia tidak takut sekalipun ini berakibat fatal baginya dan malah menjadikannya
lelucon segar. Erris seperti orang mabuk saat berusaha mengikuti cerita dan berpendapat
bahwa DO sudah mengancam Rory dan ia harus mengucapkan "bye" kepada gelar SE -nya
setelah ini. Rory tertawa, dia merokok lagi.
"Apa kalian nggak tahu perokok pasif kena efek yang lebih parah dari polusi ini?", gerutu Natha
sambil mengipas udara di sekitarnya dari asap rokok yang menyerangnya sejak tadi. Ia batuk
beberapa kali dan berpikir untuk menggeser kursinya agak ke belakang.
Rory langsung mematikan rokoknya di saat ia baru menyulutnya. Lalu tersenyum pada Natha,
"Nggak perlu jauh-jauh lagi, Little Mermaid?", katanya dan cekikikan. Meminta Natha
menggeser kembali kursinya ke depan.
"Sekarang kalian punya panggilan kesayangan rupanya?", celetuk Damar, ikut cekikikan.
Natha menyipitkan matanya kepada Rory maupun Damar - ekspresi paling lucu dan konyol yang
pernah mereka lihat dari Natha yang biasanya berwajah cemberut. "Iya", jawab Natha, "Kalian
nggak tahu aku panggil dia Mr. Stalker?"
Damar dan Laras tertawa makin keras, saat Rory melirik Natha dengan tatapan penuh
peringatan, "stalker" adalah julukan yang tidak dia sukai.
"Stalker?", Hilda berusuara setelah ia berpura-pura "jaim" dengan sikap yang tampak anggun
dan terhormat, dia masih mengalahkan gaya perfeksionis Natha yang sangat alami "Itu julukan
buat penguntit kan?"
Rory cukup tersinggung, "Ya, aku suka menguntit" katanya. "Laras perokok berat, Erris maniak
dan Damar kolektor cewek"
Laras cekikikan lagi, melihat ekspresi Hilda yang lebih tersinggung.
Damar tidak mengatakan apapun, ketika pacarnya merasa tidak nyaman dengan temantemannya yang lebih dari "kacau". Ia malah ikut tertawa, "Itu hinaan", katanya memperingatkan
Rory, "Gue punya banyak miniatur mobil klasik di rumah" --Rory menggeleng. "Gue nggak ngerti sama apa yang ada dipikirin sama cewek itu", jelasnya.
Erris di sampingnya, melirik sebentar sebelum kembali lagi ke tempat di mana Laras dan Natha
mengobrol dengan serius. Sementara Damar sibuk di lantai dansa bersama pacarnya.
"Lo jatuh cinta sama dia?"
Rory kembali tersenyum, entah apa yang dia rasakan. Terlalu cepat memastikan Uki sudah
benar-benar hilang dari hatinya, namun, mengetahui Erris lah satu-satunya yang pernah dicintai
Uki tidak lagi membuatnya kecewa. Mungkin saja, ia dan Natha bertemu di saat yang paling
tepat untuk mengakhiri semua perasaan ingin tahu dan menggebu-gebu terhadap Uki.
"Gue punya pandangan yang nggak terlalu bagus sama cewek bule", kata Rory, "Dan gue ingat
betul saat Natha memohon sama cowok brengsek itu, nggak semudah itu buat dia bisa lupa..."
Erris mendengarkan tanpa komentar.
"Gue nggak mau jadi pelarian..."
"Apa dia kelihatan sedang jadiin lo pelarian?"
Rory angkat bahu, "Itu dia yang gue nggak ngerti", jawabnya, "Kadang dia suka dekat-dekat gue,
tapi tiba-tiba dia juga bisa marah dan ngusir."
"Kenapa nggak lo pastiin aja?"
"Gue nggak yakin secepat itu dia bisa berubah pikiran dari si brengsek itu lalu ke gue...",
jawabnya terdengar sedikit putus asa, "Dia pasti bakal pergi juga" ---"Aneh kalian nggak punya hubungan apa-apa", tanya Laras yang hampir tumbang karena
minum terlalu banyak dari biasanya.
Para cowok duduk di meja dekat bartender, mereka juga membicarakan masalah sesama dan
mungkin tidak dimengerti cewek. Hilda sudah meninggalkan mereka dengan kesal karena tidak
dipedulikan. Ia terlalu meremehkan Natha yang ia pikir cewek kuper tapi bisa mengendalikan
suasana menjadi menyenangkan dengan sikapnya yang menjengkelkan. Geng ini memang berisi
empat orang yang paling menjengkelkan yang pernah ada.
Natha punya Orange Juice-nya untuk diminum sampai mereka selesai. "Aku nggak minta dia
ikut campur masalah aku", jelas Natha, datar.
"Rory nggak pernah pacaran", Laras mulai bercerita, "Aneh untuk ukuran cowok yang
digandrungi cewek ke mana-mana nggak pernah punya pacar"
"Oh, aku tahu masalah itu!", potong Natha, "Ini selalu berhubungan sama cewek yang kerja di
supermarket itu kan?"
Laras megernyit, tidak menyangka Natha tahu soal Uki.
"Aku pernah ketemu", jelas Natha lagi, "Di beberapa tempat saat Mr. Stalker nggak bisa
berhenti mandangin dia"
Laras heran, gadis ini bisa dengan santai membahas sesuatu yang harusnya membuatnya
cemberut. Laras hanya tidak tahu, Natha sedang mengungkapkan kekesalannya atas apa yang ia
lihat. Membahas Rory dan gadis itu, seperti menyayat lukanya sendiri, tapi dia tidak bisa
berhenti bicara karena kesal.
"Oh ya?" "Sampai itu ada hubungannya dengan Erris, aku nggak tahu persis kejadiannya. Tapi, saat itu
Mr. Stalker marah-marah sama aku tanpa sebab", Natha berceloteh dengan santai. "Dia
berteriak"dan aku merinding"
"Terus?" "Ya, itu aja sih", jawab Natha santai. Dia minum jus jeruknya dari sedotan, sedikit lalu menatap
Laras. Natha tidak bisa menjelaskan ia sudah tahu karena banyak melihat.
Laras juga tidak tahu mereka tinggal serumah dan ia harus menjaga rahasia dengan tidak
banyak bicara. Lalu Rory datang membuat pembicaraan mereka terhenti sejenak. Ia langsung duduk sambil
menatap Natha seperti hendak mengatakan sesuatu yang penting. Semoga bukan kabar buruk
bahwa ia terlalu mabuk untuk mengendarai motor. Tapi, Rory memang tidak pernah minum
belakangan ini sejak mereka berakhir di hotel dekat klub.
"Kamu pulang s ama Erris ya?", katanya, "Aku ada urusan sebentar"
--- Mobil melaju di tangan Erris, santai dan pelan. Dia sangat berhati-hati di tikungan dan tidak
pernah berkendara melebihi kecepatan 70 km per jam. Dia tidak banyak bicara dan paling
tenang di antara teman-temannya.
Laras tertidur di belakang dan Erris selalu bertanggungjawab atas dirinya. Sementara Damar
pulang dengan mobilnya sendiri.
Natha duduk di samping Erris, memandangi setiap jengkal jalan di depannya yang terbentang.
Cahaya lampu jalan dan gedung-gedung yang menjulang. Semua tampak membosankan dari
atas mobil. Belakangan Natha terlalu sering naik motor yang melaju kencang bersama Rory
yang ugal-ugalan dan dia memeluknya dari belakang sepanjang jalan, bersandar pada
punggungnya dan sering membuatnya nyaris ketiduran karena terasa nyaman.
"Kamu punya berapa hari lagi sebelum masa berlaku visa-nya habis?", tanya Erris.
"Masih cukup lama, kenapa?"
"Kamu belum berencana kembali ke Jerman?"
"Adik aku sudah mengurus semuanya kok, tinggal berangkat kapanpun aku mau", jelas Natha,
kembali tenang pada nada suaranya. "Jangan berusaha bikin aku merasa bersalah karena harus
pergi, Mr. Stalker bakal baik-baik aja dan kalian kayaknya terlalu paranoid soal kita"
"Mungkin kamu udah terbiasa, menjalani hubungan tanpa ikatan lalu pergi, dan untuk
beberapa kebiasaan barat dan timur jauh beda", jelas Erris.
"Aku tahu ujung pembicaraan ini ke mana, kalian hanya nggak kenal aku", potong Natha. "Aku
memang tumbuh sama budaya barat, tapi aku nggak minum-minum dan belum pernah ke klub
seperti yang kalian lakuin tiap malam seumur hidup aku di Jerman. Dan sekarang kamu
menuduh aku meracuni teman kamu, menjadikan dia korban dari perbuatan aku!"
"Tapi, kenyataannya begitu, Renatha!"
"Terserah kamu sekarang. Aku nggak mau ikut campur urusan kalian dengan bilang ini, kamu
menghancurkan dia sampai sekarang gara-gara mengambil apa yang dia cintai! Dan dia bisa jadi
lebih gila setiap saat setiap ingat itu!"
Erris menepikan mobil di pinggir jalan tol dengan rem mendadak.
Mereka mendengar bunyi "tuk" saat Laras terjatuh dan masih bisa tidur di bawah jok.
"Kalau kamu tahu seperti itu kenyataannya kenapa kamu kembali ke rumahnya?", tanya Erris,
"Apa yang kamu mau dari dia, Renatha?"
"Bukan urusan kamu!", balas Renatha, seperti saat Erris memakinya dengan cara yang sama.
Natha jadi ingin mengatakan yang sebenarnya. "Dia mempermainkan aku! Dia menginginkan
aku tapi juga belum bisa melepaskan mantan pacar kamu! Dia seperti itu saat di depan aku, di
depan cewek itu dia berubah menjadi orang yang lain lagi! Dia nggak akan tersiksa setelah aku
pergi! Dia punya banyak pilihan di sini!"
--"Little Mermaid ngapain tidur di sini?", Rory membangunkannya di saat Natha baru terlelap
beberapa saat di atas sofa miliknya.
TV masih menyala, membiaskan cahaya ke wajah Natha yang lesu, terusik tidurnya. Ia duduk
dengan baik, menarik gaunnya menutupi pahanya. Natha merah padam, Rory melihatnya dan
itu mungkin akan mempengaruhi cowok itu dalam sesaat. Tapi, ekspresi Rory tetap biasa saja.
Hanya kelelahan yang ia perlihatkan saat duduk di sofa dan ia mengambil remote untuk
mengganti chanel. "Aku pikir kamu nggak pulang", kata Natha di sampingnya.
"Kalau nggak pulang aku mau tidur di mana?", balas Rory menjatuhkan punggungnya di atas
sandaran sofa merahnya, "Kamu nggak tidur lagi?"
Natha segera berdiri, dengan kikuk, ia bergegas meninggalkan Rory di sofanya. Sedikit berat
hati, melihatnya tepar seperti baru saja menjadi kuli bangunan. Rory menyimak tayangan di TV
sementara sinar matanya meredup. Sekarang, Natha jadi tahu arti semuanya. Ia masuk ke
Mengurung Bidadari Karya A Rita di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kamar dan mengunci pintu.
Rory memperhatikannya masuk lewat sudut matanya dan ia meluruskan kakinya ke depan
sambil menguap dan menghembuskan nafas panjang yang terdengar lelah. Lalu setelah merasa
cukup meregangkan pinggangnya yang sakit, ia membungkuk untuk melepaskan sepatunya dan
menaruhnya di lantai sisi kanan sofa. Setelah ia menggeliat, ia baru merasa yakin ia akan tidur
pulas. --- "Aku ada kelas pagi", kata Rory sambil mengambil minum dan ia telah rapi sekitar setengah jam
yang lalu, namun ada yang aneh dengan suaranya. Terdengar serak, lendir mengisi penuh
hidungnya. "Kamu demam", kata Natha yang sedang membuat sandwich.
"Aku bersyukur aku bisa sakit juga", katanya begitu selesai minum dan menaruh botol airnya di
meja. Lalu langsung keluar dari dapur untuk mengambil sepatu dan memakainya.
"Kamu yakin?", tanya Natha mengikutinya keluar.
"Yap", jawabnya sambil memastikan sepatunya sudah terpakai dengan baik di kakinya, ia
mengambil ranselnya dan bergegas ke pintu.
Harusnya dia tidak usah ke kampus, pikir Natha melihat Rory pucat dan sangat sakit. Rory
mungkin terlalu takut membuat kesalahan lagi dan dikeluarkan, dia sangat serius dengan
pendidikannya walaupun, kemungkinan orang sepertinya tidak akan bekerja di bidang yang dia
pelajari bertahun-tahun itu.
Natha tahu, Rory punya SLR dengan lensa panjang di dalam tas-nya dan selalu membawanya ke
mana-mana. Dia mungkin akan menjadi street fotografer dan hidup dari menggelar pameran.
Natha masih berdiri di dekat pintu dapur, saat tiba-tiba Rory kembali kepadanya.
Rory menghampirinya dengan cepat, meraih tengkuknya dan mengecup dahinya. Natha
membeku di hadapannya. Kenapa Rory lakukan itu" Rory tidak mengatakan apapun, senyum dan lesung pipinya seolah
mengatakan dia akan baik-baik saja dan akan segera kembali.
Sedih rasanya untuk tahu bahwa mereka akan berpisah. Natha masih membeku, setelah pintu
depan tertutup. --Rory batuk beberapa kali. Ia pergi ke dapur untuk minum dan menepuk-nepuk dadanya yang
sakit. Dia tidak pernah terlihat semenyedihkan ini. Dan bukan dirinya bila ia terlihat sangat
lemah, namun ia baru sadar ia mempunyai batas kemampuan. Ia batuk lagi dengan
membungkuk, tenggorokannya seperti terbakar. Dia sudah menemui seorang dokter sepulang
kuliah dan memberinya obat-obatan berwarna-warni seperti permen.
"Kenapa yang kuning nggak dimakan?", tanya Natha yang melihat bungkusan pil kuning masih
rapi, tidak pernah dibuka.
"Itu obat tidur", jawabnya, mengumpulkan semuanya dan menyimpannya di tempat yang
kering. "Aku nggak mungkin tidur"
"Apa yang nggak mungkin?", Natha terdengar ketus, "Dokter kasih obat tidur supaya bisa
istirahat" "Tapi, aku sama sekali nggak bisa istirahat", kata Rory tenang, kembali duduk di sofa,
mengambil sepatunya untuk dipakai.
"Jangan bilang kamu mau pergi lagi"
"Aku nggak perlu bilang kalau kamu lihat sendiri", Rory tampak sangat acuh.
"Seberapa pentingnya pekerjaan menguntit dari kesehatan kamu sendiri?"
"Aku nggak mau bertengkar", tandas Rory, malas-malasan bicara, "Apa kamu nggak bosan
selalu teriak-teriak di telingaku?"
Perbedaan sikapnya dengan yang tadi pagi sangat jauh.
Natha membiarkannya pergi karena tidak ingin ribut. Setelah mendengar suara motor Rory
yang nyaring telah benar-benar hilang, ia masuk ke kamar. Mencari koper-nya dan memasukan
semua barang-barang-nya. Rumah kecil itu sunyi sebelum handphone-nya berbunyi. Natha menyeka air matanya dan
menarik nafas panjang sebelum menyentuh tombol jawab. Dia tidak ingin terdengar sedih oleh
satu-satunya orang yang mencemaskannya saat ini.
--"Hei,", sapa wanita muda berkulit sawo matang itu saat Rory mengambil tempat di kursi
kosong di depannya. "Kamu telat"
"Jakarta macet", jawabnya santai. Dan tersenyum.
"Jangan becanda. Jakarta udah macet dari 30 tahun yang lalu?", celetuk perempuan berambut
sangat pendek itu sinis, "Jadi kamu ikutin Andrew kemana?"
"Jakarta " Bandung " Jakarta", jawab Rory. Sambil mengeluarkan sesuatu dari ranselnya.
Sebuah amplop kuning yang kemudian ia serahkan kepada perempuan itu.
"Kamu yakin nggak melewatkan apapun?", perempuan itu menerima amplop-nya untuk
langsung membukanya sambil memandang Rory dengan sudut matanya.
Rory menggeleng dengan santainya, menunggu reaksi perempuan itu saat melihat hasil
jepretannya. Perempuan itu tidak melihat semua lembaran yang diberikan Rory, ia memasukannya kembali
ke dalam amplop dan mengembalikannya kepada Rory. Dia tidak membutuhkannya lagi, juga
tidak ingin membawanya. Selama riwayat pekerjaannya, baru sekali ini dia bertemu dengan seorang klien yang sangat
aneh. Mungkin saking kayanya dia tidak tahu lagi akan menghamburkan uangnya kemana. Dia
seorang perempuan yang cukup "berantakan". Dia tidak bermasalah dengan kekasihnya, tapi
justru dialah yang mencoba mencari masalah dengan sebuah ujian konyol.
"Kamu ikuti dia terus", katanya memberi perintah, untuk sebuah amplop putih yang dia taruh di
atas meja, "Aku nggak akan menelpon, kamu yang telpon aku jika ada sesuatu. Kuharap
jumlahnya lebih dari cukup sampai kita bisa ketemu lagi"
Rory heran saat perempuan itu berlalu dari hadapannya.
Perempuan itu memang klien yang paling aneh, tapi ini pekerjaan paling santai. Ada seorang
pria yang ia ikuti selama seminggu belakangan dan dia tidak melakukan sesuatu yang tidak
diinginkan terhadap kekasihnya. Dia seorang pria kantoran biasa, yang selalu mengendarai
mobilnya seorang diri ke mana pun dan mengetahui kekasihnya menghilang ia tampak begitu
frustasi. Rory sudah membuktikan pada perempuan ini bahwa tidak ada hal yang mencemaskan, seperti
perselingkuhan dan menurut Rory jika pria itu akhirnya mencari pasangan lain, itu bukan
salahnya. Seharusnya dia kembali karena kekasihnya sangat frustasi. Tapi, dia tampak punya
rencana lain dengan meminta Rory terus menguntit kekasihnya.
ooOoo BAB 14 Panic on Shock Theraphy "Natha?", Rory memecah kesunyian yang tidak biasa di rumahnya saat ia pulang sekitar jam
tujuh malam. Dia membawa sebuah tas belanjaan dari butik, "Natha?"
Rory pergi ke dapur, dia tidak ada. Lalu ke kamar yang kosong melompong. Koper pink-nya yang
biasanya tersandar di sudut kamar juga tidak ada! Rory segera keluar, mencoba
menghubunginya, tapi ia mendapat jawaban yang mengecewakan dari operator selular.
Kenapa tidak pamitan kalau ingin pergi", Rory masih bertanya-tanya pada dirinya saat
menghidupkan mesin motor. Tapi, ke mana ia bisa mencarinya" Atau jangan-jangan Natha
sudah memesan tiket pulang ke Jerman dan dia meninggalkan Indonesia malam ini juga"
Tidak, itu belum boleh terjadi. Tanpa bicara, tanpa ucapan selamat tinggal. Rory tidak
menghendaki perpisahan seperti ini! Dia belum siap, walau tahu Natha tidak punya banyak
waktu di negara ini dan ia menyesal tidak memanfaatkan kesempatan sebaik-baiknya. Sangat
menyesal. Rory menuju bandara, tempat pertama kali melihatnya. Mengecek semua jadwal penerbangan.
Bertanya pada petugas bandara untuk meyakinkan dirinya bahwa ini bukan perpisahan.
Petugas itu menyuruhnya menunggu sebentar. Tapi Rory tidak bisa lebih sabar melihatnya
bekerja, memeriksa komputernya mencari nama Renatha Grissham. Lalu ia menggeleng, "Tidak
ada", katanya. "Coba periksa sekali lagi", pinta Rory, mendesak. Berharap petugas itu melakukan kesalahan
sehingga melupakan bahwa jika nama itu tidak ditemukan dalam daftar penumpang, artinya
Natha belum akan meninggalkan negara ini.
Perempuan muda itu gusar, ia memeriksa komputernya sekali lagi, lalu memberi jawaban yang
sama, "Tidak ada".
--- Rory hampir menyerah. Ia sudah mencarinya ke mana-mana, memeriksa semua hotel terdekat
seperti orang gila. Tapi tidak ada yang terdaftar atas namanya. Ke mana lagi harus mencarinya"
Rory juga sudah menghubungi Laras, Damar dan Erris, mereka juga mencarinya juga sekarang.
Akhirnya, dengan langkah yang lelah Rory pulang ke rumah. Sambil berharap, Natha sudah
berada di sana. Sedang menunggu dan ia benar-benar belum akan pergi dari hidupnya. Rory
membuka pintu, sunyi. TV mati, seperti saat ia meninggalkannya dengan terburu-buru. Ia pergi
ke dapur, kosong. Lalu ke kamar, tidak ada siapapun. Ia juga memeriksa kamar mandi, tapi
pintunya tidak terkunci, Natha tidak di sana. Ia pergi ke halaman belakang, juga tidak ada.
Natha tidak pernah kembali ke sini. Mungkin tidak akan pernah lagi!
Putus asa menghampirinya juga ketika ia merebahkan tubuhnya panas ke atas tempat tidur.
Merasakan hawa Natha masih tertinggal di sini, dan membayangkan dia masih tertidur dengan
kesepian. Bayangannya masih tertinggal, bagaimana dirinya akan menjalani hidupnya setelah
semua yang terjadi" Suaranya, amarahnya dan tawanya. Seorang bidadari yang sengaja
dikurung, karena Rory jatuh cinta padanya.
Meskipun iblis seperti dirinya tidak akan pantas memiliki seorang bidadari dalan hidupnya,
untuk sekali ini, tidak bisakah ia bersamanya beberapa saat lagi"
Rory bangkit, dari putus asanya. Dia meninggalkan rumah lagi, tanpa tujuan. Pergi ke tempat
yang pernah ia datangi bersama Natha. Restoran cepat saji, dan supermarket langganan. Dia
pikir Natha mungkin akan pergi ke sana karena tidak tahu tempat lain untuk belanja makanan.
Tapi, dia malah menemukan Uki di sana. Uki yang dengan cekatan sedang menyusun mie instan
di lorong paling ujung. Uki tersenyum ramah padanya, seperti dia yang biasanya, ketika menghampirinya
--"Erris bilang apa?", Rory bertanya, sekedar mengobrol di halte menemani Uki menunggu busnya. Tapi ia sudah mengabaikan beberapa sejak tadi. Rory masih tampak frustasi dengan apa
yang baru menimpanya. "Nggak ada,", jelasnya, berusaha tersenyum, "Itu aja. Apa sih yang bisa dibahas lagi?""
"Kamu nggak apa-apa sekarang?", tanya Rory.
Uki tersenyum. Rambut lurusnya yang dikucir ke belakang, menyisakan poni ratanya di depan,
bergoyang tertiup angin malam. "Ya, kayak sekarang", jawabnya, "Aku sibuk kerja dan jadi lebih
realistis sekarang..."
"Baguslah", kata Rory, sambil berdiri kembali saat ia merasa harus pergi mencari Natha.
"Rory!", panggil Uki sebelum Rory berbalik, kembali ke parkiran mall, mengambil motornya dan
pulang. "Ya?", sahut Rory.
"Aku sama sekali nggak pernah bermaksud mainin kamu lho!", kata dia tampak ragu dan sedikit
rasa bersalah yang tersisa.
Rory tersenyum, "Maksud kamu apa sih?".
Uki menghela nafas, "Aku merasa sudah melakukan hal yang jahat. Padahal kamu baik sama
aku tapi aku malah...", jelasnya agak lesu, "Aku bener-bener minta maaf, Rory..."
"Aku nggak apa-apa", katanya dengan lapang, memandang dengan tenang dan lega. Tidak
menyangka bahwa perasaannya terhadap Uki sekarang terasa begitu ringan
Uki kembali tersenyum, dia menatap ke jalanan dan memberhentikan bus yang akan melewati
mereka. "Aku pulang dulu, sampai ketemu lagi, Rory?"
Rory melambaikan tangannya saat Uki akan naik bus. Uki membalasnya dengan lambaian yang
sama. Lalu bus melaju, Rory masih berdiri menunggunya sampai jauh dan baru memutar
badannya setelah ia pikir ia harus pulang.
Halte tampak sepi dari kejauhan.
Sekantong apel jatuh ke trotoar, di kakinya. Satu per satu berguling ke jalan raya. Sekarang
sudah menjadi sampah bersama buah-buahan lain yang pasti sudah hancur di dalam kantong
yang baru saja dilempar kepadanya dengan sengaja. Rory menatap siapa yang ada di depannya
saat ini. Matanya membelelak, bibirnya membentuk garis tipis dan jantungnya seakan berpacu
dengan laju kendaraan yang lewat di sampingnya, di bawah cahaya lampu jalan. Ia berlari ke
arahnya. Rory baru sadar oleh rasa sakit dari kantong seberat hampir sepuluh kilo. Rory tidak sanggup
bicara, Natha dalam pelukannya lagi sekarang. Dia tidak akan melepaskannya apapun yang akan
dilakukan gadis ini. Memukulnya, menamparnya, menendangnya, apapun terserah untuk kali
ini. --Natha diam sejenak sebelum ia menggunakan cara satu-satunya untuk bisa lepas dari keadaan
ini. Dia tidak mengharapkan pelukan dari cowok ini setelah apa yang ia lihat barusan. Dia
menyesali kenapa dia nekat keluar malam-malam dan pergi ke supermarket sialan itu dan
menemukan hal yang paling dia benci!. Saat ini, dia hanya ingin melepaskan dirinya, dari kedua
tangan yang membungkusnya erat. Ini belum berarti apa-apa dibandingkan dengan semua yang
ia ketahui sekarang! Rory menjerit "Aduh!", sambil mengangkat sebelah kakinya. Ia terlonjak oleh sengatan
menyakitkan pada tulang kering kaki kirinya. Natha menendangnya hanya untuk melepaskan
diri atau tengah melampiaskan kekesalan" Rory meringis, wajahnya menegang, ia menatap
Natha yang memandangnya jengkel.
Teganya Natha menghancurkan momen sepenting ini! Di saat Rory baru akan mengatakan
sesuatu yang akan mengakhiri ketidapastian mereka, sekali untuk selamanya. Tapi, bagaimana
mungkin Rory bisa mengatakannya di saat sakit ini menyebar ke seluruh badannya"
Natha sedang tidak merasa terharu dengan pertemuan kembali mereka setelah Rory melewati
beberapa jam penuh ketegangan dan rasa frustasi. Dia malah memandang Rory dengan
kebencian yang sama seperti saat Rory sengaja menjebaknya.
Harusnya ada "I love you", tapi bisikan itu menghilang di antara deru mesin dan bunyi klakson
kendaraan lewat. Nada harmonis yang mengalir terenggut bagaikan senar biola yang putus.
"Hanya Tuhan yang tahu aku seperti mau gila mencari kamu ke sana ke mari!", teriak Rory,
"Harusnya kita pulang ke rumah, ciuman dan mesra-mesraan atau apapun yang mengakhiri
semua kegilaan ini, tapi kamu merusak happy ending-nya!"
Natha mendekat untuk satu tamparan yang tidak terelakan oleh Rory, "Jangan ngomong
sembarangan kamu!", balasnya geram,
Rory mendekat, dengan sigap menarik tangan Natha agar mereka berhenti menarik perhatian
orang-orang yang lewat dan ini akan lebih memalukan. Meski ditendang dan ditampar, tidak
menghilangkan perasaan bahagia yang meluap-luap dan penuh saat ini.
"Lepasin!", Natha ternyata menarik tangannya kembali, "Aku nggak mau!"
Rory berbalik, untuk melihat Natha yang tertunduk, "Kenapa lagi sih?", tanyanya, heran dengan
sikap Natha yang ragu-ragu padanya.
"Aku cuma becanda tadi, aku nggak akan melakukan apa-apa kalau kamu nggak minta!", ujar
Rory, meraih tangannya kembali tapi Natha malah mundur beberapa langkah. "Aku memang
tukang buat masalah, tapi belum pernah jadi bajingan"
"Aku nggak mau pulang sama cowok yang baru ketemuan sama cewek lain lalu merasa nggak
terjadi apa-apa!", sembur Natha, "Apa aku terlihat seperti pilihan kedua, setelah kamu
memastikan kamu gagal"!"
"Kamu ngomong apa sih"!"
--"Lo ngapain sih di sini?", tegur Erris menepuk bahu Laras yang sedang duduk sendirian.
Laras baru akan menyalakan rokoknya yang seperti mau jatuh sebelum ia sempat
memegangnya. Ia melihat kedua cowok idiot itu mengambil tempat di kursi kosong di
depannya. Lalu kembali mencoba menyalakan rokoknya. Kepulan asap berkumpul di depan
wajahnya, lalu bubar dan menghilang.
"Natha ketemu?", tanya Laras pada mereka.
"Mungkin,", jawab Erris, sambil melambaikan tangannya, lalu seorang pelayan menghampiri
meja mereka. Damar mulai memesan minuman.
"Kalian mau taruhan berapa kalau malam ini akan jadi malam terakhir Rory jadi perjaka?", kata
Laras tiba-tiba, dia pasti sedang mabuk. Dia tertawa dan merokok bersamaan di balik kepulan
asap rokoknya. Erris mendengus, "Serius lo?", tanya dia sinis. Tapi, kelihatan tertarik, lewat senyum sangsinya.
Laras mengeluarkan lembaran uang dari dompet yang ia ambil dari tasnya, lima lembar seratus
ribu, ia menaruhnya di atas meja, "Ini malam terakhir!", katanya.
"Rusak lo! Jadiin teman sendiri bahan taruhan", celetuk Damar, ia tertawa lalu merogoh
sakunya mengeluarkan dompet, mengeluarkan lima ratus ribu lagi, "Gue setuju sama Laras"
"Gue taruhan sejuta, Rory nggak akan tergoda buat begituan?", kata Erris, ia mengeluarkan
semua isi dompetnya. "Lo nggak nyesel tuh?", tanya Damar, "Lo kan lagi cekak, Ris"
Erris cuma tertawa. Minuman mereka datang dan mereka mulai larut dalam suasana malam. Melupakan soal
taruhan sejenak, dan jika Rory tahu ini, cowok itu pasti mengamuk.
--"Adikku datang ke sini", jelasnya, "Aku nggak mungkin tinggal di rumah kamu lagi"
Rory terlihat kecewa, raut bahagianya sirna sudah, "Apa dia datang buat jemput kamu kembali
ke Jerman?" Natha mengangguk. Natha menarik nafas, menenangkan dirinya. Dia harus mengatakan hal
yang masuk akal agar cowok ini tidak memandangnya seperti itu lagi. "Aku nggak pernah cerita
soal kamu ke dia", ia menjelaskan dengan hati-hati, "Apa sih yang dia katakan kalau dia tahu
aku tinggal di rumah cowok yang baru dikenal" Aku cuma nggak mau dia cemas, dan kalau dia
sudah begitu, dia akan ngawasin aku dua puluh empat jam sehari?"
"Ya ampun, kamu bukan cewek 16 tahun lagi!", keluh Rory.
"Kami yatim piatu", Natha menegaskan dengan getir. "Aku lahir lebih dulu tapi jadi yang paling
lemah. Aku tinggal di rumah kaca terbesar di Munich, sama perempuan tua pengurus rumah
tangga. Jarang kena sinar matahari langsung dan hujan. Dia cuma punya aku, dan aku cuma
punya dia. Setiap kali terjadi sesuatu, dia berpikir lebih keras dari aku. Dia tinggalin kencannya
hanya gara-gara aku jatuh dari tangga padahal cuma memar sedikit. Aku selalu berusaha
meyakinkan dia bahwa aku bisa ngurus diri sendiri dan setiap aku mencoba aku gagal, dia jadi
makin ketakutan" "Apa dia tahu kamu ke sini untuk mencari Kevin?",
Natha menggeleng, "Setiap kali aku bilang baik-baik aja ke dia. Aku pikir aku baru kasih tahu
setelah pulang nanti?", jelasnya, "Supaya dia nggak lebih dulu cemas"
"Kalau gitu biar aku yang meyakinkan dia bahwa kamu akan baik-baik aja!", kata Rory mantap.
"Aku tahu apa yang bakal dia pikirkan saat melihat kamu!", kata Natha, nadanya meninggi, ia
memandang Rory dengan menyesal. Adiknya tidak akan mentoleransi saat melihat Rory yang
dari tampangnya sudah jelas dia terlihat serampangan.
"Aku nggak ngerti sama hubungan persaudaraan yang kalian jalani", celetuk Rory, membuang
Mengurung Bidadari Karya A Rita di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pandang, dan berusaha keras menguasai dirinya. "Kalian bukan anak kecil lagi dan dunia nggak
hanya berputar di sekitar kalian! Aku jadi ingin ketemu sama dia kalau itu hanya untuk
membuktikan kalau aku serius!"
"Semuanya butuh waktu!", Natha bersikeras, "Aku hanya baru ketemu dia beberapa jam yang
lalu dan ada banyak hal yang harus omongin dulu sebelum dia akhirnya melihat kamu!"
Tangan besar Rory menariknya ke tempat yang hangat. Memisahkannya dari udara malam
jalanan yang mencekam. Tak pernah ada yang lebih baik dari ini sebelumnya. Natha membenci
dirinya jika ia bersikeras membenci perasaan ini. Dia jadi tidak bisa bicara.
--Laras tertawa, puas pada dirinya. Dia tidak menganggap ada seseorang yang memperhatikannya tanpa berkedip. Ia terus menari dengan girang.
"Lo ngeces tuh!", tegur Erris, setengah mabuk, memukul lengan Damar yang memperhatikan ke
arah lantai dansa. "Sialan lo!", Damar sewot karena terkejut. Dia kembali membelakangi lantai dansa, mengambil
minumannya dan meneguknya sampai habis. Ia menghembuskan nafas saat membanting
gelasnya ke meja, "Kira-kira si Rory udah ngapain ya?"
"Tidur, palingan?", jawab Erris acuh tak acuh.
"Malam ini panjang?", kata Damar, mengambil rokok milik Erris dan menyulutnya untuk diri
sendiri. "Menurut lo kenapa kita bisa ada di sini setiap saat?"
Erris angkat bahu, "Lo bosan?", tanya dia setelah minum seteguk.
"Setelah ini mungkin Rory nggak akan mau ke sini lagi, sama kita", kata Damar, teringat akan
keberadaan Natha di samping Rory dan mereka selalu berdebat soal minuman dan rokok.
Natha pernah merampas rokok milik Rory dan mematikannya di asbak. Di depan temantemannya sendiri, dan membuang sisanya ke tempat sampah. Natha menjauhkan minuman
darinya dan bahkan Natha jengkel saat Rory turun untuk menari di bawah sana. Natha terusterusan menyindirnya.
Gadis itu mengatur Rory sesuai dengan keinginannya, semua tahu tidak pernah ada yang
pernah mencobanya terhadap Rory, bahkan orang tuanya sendiri. Saat semua terpaku padanya,
Rory masih tertawa, dia tersenyum penuh arti pada gadis itu setiap kali bicara dengan Natha.
Rory tidak pernah terlihat demikian lunak, bahkan di depan Uki yang dicintainya selama enam
tahun. "Kalau gitu juga kita nggak usah ke sini lagi", kata Erris.
Pandangan Erris tertuju pada Laras yang sudah turun ke lantai dansa. Dia ingin mengatakan
bahwa klub ini adalah dunia bagi Laras yang sekarang. Tapi, dia membelalak saat menemukan
seseorang menari di belakang Laras dan mengajaknya berpasangan.
---Rory melepaskannya saat ia sadar gadis dalam dekapannya yang kuat tidak bisa bernafas lalu
melihatnya berusaha mengatur detak jantungnya sambil menatap tidak percaya.
"Aku sedang mikirin gimana caranya bilang selamat tinggal", Natha menjelaskan padanya
setelah masuk ke rumah dan melihat wajah sedihnya dalam gelap.
"Kamu tahu aku nggak ingin dengar selamat tinggal,", cetus Rory yang membelakanginya,
suaranya masih serak. Ya, tapi ia akan tetap meninggalkan negara ini. Ia mendekat melihat punggung Mr. Stalker-nya
yang gemetar, menyentuhnya dengan hati-hati takut dia akan terkejut. Tapi, siapa sangka
cowok yang tidak pernah ingin ia sebutkan nama-nya itu berbalik untuk menatapnya lebih
dekat. Natha tidak lagi ragu-ragu padanya, dia tidak akan menghindar seperti waktu itu, karena
dia juga menginginkannya saat ini.
"Cium aku, Natha?", kata Rory dengan pelan padanya. Dan ia langsung mendapatkannya
kurang dari lima detik kemudian. Tanpa gerakan dan kaku. Ia bisa merasakan Natha gemetaran
di bibirnya. Apa yang akan mereka lakukan setelah ini", pikiran itu seolah menghantui Natha.
Rory memberinya jawaban saat menariknya kembali, untuk ciuman kedua yang jauh berbeda
dengan yang Natha berikan padanya. Kali ini sangat berbeda. Mata Rory terpejam dengan
damai, merasakan sentuhan jemari Natha di pipinya yang panas. Tangan mulai Rory
mengangkat tubuhnya hingga kaki Natha tidak lagi menyentuh lantai.
Perlahan, Rory melangkah dengan menggendong Natha di depan dan yang terpikir olehnya
adalah kamar. Natha sedang membalas ciumannya dengan cara yang sama saat ia menurunkan
tubuh gadis itu di atas tempat tidur. Natha belum melepaskan tangannya yang melingkar di
leher Rory. Dengan cepat Rory melepas jaket kulitnya, tanpa buang waktu menaruhnya di
lantai. Matanya pada Natha menginginkannya lebih dekat.
Tangan Natha mulai menelusuri punggungnya, berhenti di ujung T-shirt-nya. Menyusup di atas
kulitnya yang panas. Rory yang sedang demam, suhunya seperti udara siang hari yang membuat
Natha seperti terbakar. Rory mulai berkeringat saat mereka berhenti dan saling tatap tanpa
bicara. Ini tidak akan bisa dilupakan, pikirnya sambil membelai puncak kepala Natha. Rambut coklatnya
yang panjang jatuh di sisinya, tidak pernah melihat bidadari secantik ini. Bermata bulat dan
coklat tua, bulu mata yang lentik dan alis mata yang rapi alami. Dia ingin memilikinya tapi apa
Natha akan mengizinkannya"
Natha menarik kaos Rory ke atas, mengejutkan dia. Tangannya mulai menyapu dada telanjang
Mr. Stalker dan membuat cowok itu terpejam penuh rasa bergejolak di dadanya. Makin panas
saat Natha membelai punggungnya.
"Jangan?", Rory berbisik padanya, "Kamu akan menyesal nanti?"
Natha menggeleng pelan, menyapukan tangannya dari bahu ke lengan Rory yang bertato. Dia
tenggelam dalam tubuhnya. Natha mulai meneteskan air mata, tanpa sebab.
"Kalau kamu nggak mau kita nggak akan melakukannya kok?"
Isak tangis Natha di dadanya terdengar keras, dan Rory kembali menatapnya dengan lembut.
Walaupun tenggorokannya terasa menggelitik dan mata merahnya terasa pedih dan berair. Ia
tidak cukup kuat bertahan dengan sebelah sikunya, lalu jatuh di samping Natha dengan tarikan
nafas panjang. --- Erris tidak bereaksi saat melihat Damar melompat turun ke lantai dansa. Begitu menoleh ke
belakang dia sudah menemukan, seseorang terkapar di lantai di depan Damar dan Laras.
Mereka akan membuat dunia ini menangis saat mereka memanas! Seperti biasanya.
Erris mengabaikan mereka, karena handphone-nya berbunyi. Sebuah nomor tidak dikenal
muncul di layarnya. "Ya?", ia menjawab telponnya.
"Hai, apa kabar?", suara itu membuat suasana dalam kepalanya sunyi seketika, suara khas yang
dulu selalu ia rindukan. "Kamu nggak sedang di klub minum sambil rokok lagi kan" Itu nggak
baik" Erris tertawa, dia tidak pernah tertawa selapang ini sejak lama, "Kenapa, Uki" Kamu nggak
terbangun gara-gara mimpi jelek kan?", tanya Erris. Kesadarannya kembali sepenuhnya. Dia
mendengarkan dengan sangat hati-hati, karena suara masuk membuat otaknya terbagi menjadi
beberapa bagian, belum lagi melihat Damar memukuli orang di bawah sana. Erris hanya
mengawasi mereka bersitegang dari tempat duduknya.
"Aku"mau bilang sesuatu", kata Uki, suaranya terdengar menyenangkan.
"Apa lagi?", tanya Erris, agak ketus.
"Aku minta maaf, sekalipun kamu nggak akan mau...tapi aku hanya mencoba memperbaiki
keadaan..", ucapnya sedikit gemetaran.
"Tunggu! Tunggu!", potong Erris, "Kamu nggak nyesal setelah semuanya berakhir kan?"
Uki terdiam cukup lama. Hanya desahan nafas pelan yang terdengar dari seberang dan ia seolah
berusaha menenangkan dirinya.
Erris masih menunggunya melanjutkan.
"Semua waktu yang udah aku buang untuk kamu nggak akan kembali hanya dengan permintaan
maaf, Ki", Erris tertawa sinis.
Uki lagi-lagi diam. Erris ikut diam. Tawa sudah hilang dari bibirnya. Ia melirik ke lantai dansa, Laras dan Damar
sudah tidak ada di sana. Sementara lagu dan tarian masih berlanjut. Ke mana mereka" , ia
berpikir keras, sambil memperhatikan sekitarnya. Lalu ia mematikan rokoknya di asbak.
"Maaf...", hanya itu yang diperdengarkan Uki dengan suara riangnya yang sekarang terdengar
murung. Erris tengah menerobos para pengunjung, mencari jalan keluar.
"Aku harap kita impas, Ris...", kata Uki.
"Aku tahu", jawab Erris yang sudah berada di tempat parkir, ia mulai berjalan mencari-cari
kedua temannya, tapi ia tidak terkejut saat menemukan mobil Damar raib bersamaan dengan
mereka. "Oke, kita impas, tapi jangan lagi muncul di depan aku, kamu ngerti?"
Tak ada jawaban. Erris merogoh saku celananya dan mengambil kunci mobilnya. Ia memencet remotnya lalu
membuka pintu. Erris masuk ke mobilnya dan duduk di belakang setir. Tangannya masih
memegang handphone di telinga.
"Semoga kamu bahagia", kata Uki, sebelum telponnya terputus.
Kepala Erris merosot seketika di atas setir. Dia menjadi tidak tenang. Dia kembali menjadi
seseorang yang diliputi keresahan.
--"Aku demam?", Rory berkata sambil menertawai dirinya sendiri, "Di saat begini"aku nggak
percaya aku jadi cowok lemah"
Natha di sisinya tidak mengizinkannya menjauh, tetap mengisi jarak di antara mereka. Rory
menemukan Natha sosok yang berbeda saat ini, dia tidak melepaskan pelukannya. "Nggak
kok?", desisnya. Rory menguap, "Aku ngantuk", katanya, "Aku tahu aku payah, tapi aku benar-benar nggak
punya tenaga lagi?" "Apa kamu pikir aku bener-bener mau?", celetuk Natha,
"Buktinya?", tantang Rory, mereka sangat dekat sekarang. Kulit bersentuhan dan rapat, hanya
tinggal menunggu Rory memaksakan dirinya. Tapi, kembali berdebat dan berkata-kata sumbang
seperti biasanya, sudah lebih dari cukup. Saat-saat itu juga sama berharganya seperti sekarang
ini, tidak ingin dia lepaskan.
Natha melepaskan dirinya, membalikan badannya, memunggungi Rory. Tanpa bicara dan jelasjelas kembali merajuk. Ia meringkuk, di sisi Rory, seperti baru tersinggung.
"Aku nggak mau kita berantem di saat seperti ini?", bisik Rory di telinganya, meniupkan hawa
panas yang menembus helaian rambut Natha hingga terasa di kulit lehernya. Hawa Rory terasa
makin panas, suaranya mungkin tidak akan keluar lagi jika ia masih terus bicara. Dia butuh
istirahat total. Rory mengalungkan lengannya di pinggang Natha, menariknya lebih dekat untuk
bisa memeluknya dan sama-sama meringkuk di bawah selimut.
Natha tersenyum. Punggungnya tidak bergerak, ia biarkan Rory bersandar di sana, dan bernafas
padanya. Lalu merasakan hembusan panas itu mulai terdengar teratur. Begitu menoleh ke
belakang, Rory sudah tidur seperti bayi. Diam, tenang dan damai. Natha bisa dengan leluasa
memandanginya dan terbawa kedamaian itu. Dengan perlahan dia mendekat untuk berbisik ke
telinga Rory, "I love you, Angel?"
ooOoo BAB 15 Ms. Bomber "Rory, lepasin?", keluh Natha, berusaha melepakan pelukan Rory pada pinggangnya. Ini sudah
berlangsung semalaman. Sekarang sudah pagi.
Malam sudah berlalu, cahaya matahari masuk dari jendela di atas Rory yang masih bermimpi.
Natha sudah tidak sabar ingin melepaskan diri tapi pelukan itu terlalu kuat. Apa Rory memang
masih kuat saat tidur atau dia hanya pura-pura tidur"
Natha diliputi kecemasan, harusnya dia kembali ke hotel tempat adiknya menginap dan dia
belum menghubunginya sama sekali. Natha berusaha meraih handphone-nya yang berada di
lantai sambil memikirkan alasan apa yang akan ia berikan untuk adiknya.
"Aku lagi tidur, Natha?", gerutu Rory, matanya masih terpejam, dan tangannya merangkul
Natha kembali ke dekatnya. Suaranya masih serak, tapi panasnya sudah turun.
"Ini sudah pagi?", keluh Natha, kedua tangannya terkurung di dalam dekapan Rory.
Punggungnya bersentuhan dengan dada Rory. Dia tidak bisa bergerak. "Aku belum kasih tahu
Henrietta"dia bisa marah?"
Rory tidak peduli, ia terlalu nyaman bersandar di punggungnya. "Kamu wangi?", katanya,
"Sepuluh menit aja, ya?"
Natha mendengus, apa yang bisa dia lakukan" Cahaya matahari menyinari mereka, menyusup
dari bawah gorden. Mengusir kegelapan di tempat tidur, sekarang kamar menjadi remangremang dan sunyi. Natha memejamkan matanya, untuk merasakan hawa panas yang tersisa
dari Rory di tubuhnya. Tubuh Natha yang kurus seakan menghilang dalam dekapan kedua
lengan besar yang salah satunya bertato. Dia akan terbiasa dengan ini. Bersyukur ada malam
dengan kejujuran sebelum Natha kembali ke Jerman dengan perasaan sedih. Juga ada pelukan
seperti ini. "Bagus, Rory!", seseorang menarik semua rasa syukur itu dalam sekejap, Chris sudah berdiri di
pintu saat Natha bangkit dan Rory masih menggeliat di sampingnya, "Lo beruntung, bukan
Mama yang masuk karena tadi dia bilang mau ke sini"
"Bagus, Chris?", gumam Rory, setelah memastikan itu cuma adiknya. Dia kembali menjatuhkan
dirinya yang penat ke tempat tidurnya.
Chris menatap ke arah Natha yang sudah menjauh dari Rory dengan perasaan malu. Ia
mengambil ponsel-nya dan melakukan sesuatu dengan itu untuk mengalihkan perhatian. Chris
segera keluar dari kamar, mereka harus bicara tentang sesuatu yang sangat penting. Kalau tidak
penting, dia tidak akan bolos di jam pertama kuliahnya hanya untuk datang ke sini dan
menemukan mereka baru selesai.
Rory akhirnya bangkit, ia merangkak di atas tempat tidur, untuk memergoki apa yang dilakukan
Natha dengan smartphone-nya. Dia sedang mengirim pesan kepada adiknya. Natha tidak
menyadarinya, sebelum Rory mengecup bibirnya sekilas lalu Rory mengedipkan sebelah
matanya pada Natha saat ia di pintu hendak keluar.
Natha hanya memerah, dan kembali pada layar ponsel-nya. Dia heran, kenapa tidak ada telpon
atau SMS dari adiknya itu"
--"Lo begok atau tolol sih?", Chris sudah menjadi dia yang biasanya, "Lo lupa kunci pintu?"
Rory sadar, dia tidak melakukannya semalam. Dia cuma tersenyum simpul saat duduk di
sofanya sambil menguap sementara Chris berdiri di depannya. "Ada apa?", ia bertanya dengan
suara seraknya. "Di rumah sedang gawat", kata Chris, "Mama sama Papa berantem"
"Lagi?", Rory seakan tidak terpengaruh, itu sudah biasa terjadi.
"Kali ini bener-bener gawat", kata Chris, "Papa selingkuh, Ror!"
Rory hanya menghembuskan nafas panjang, dia berdiri kembali, "Sama siapa?", tanya Rory
terdengar acuh. "Gue nggak tahu", Chris kelihatan bingung namun ia merasa sikap Rory terlalu santai.
"Semalaman Mama nangis, gue nggak tega lihatnya"
Rory diam saja. Dia malah memeriksa setiap saku celana jeans-nya seperti mencari-cari sesuatu,
rokok. Begitu dia menemukannya, dia menyulutnya dan menghisapnya dengan santai seperti
dia menghembuskan kepulan asap dari hidung dan mulutnya. Secara halusnya, Rory tampak
tidak peduli. "Lo gimana sih?", protes Chris.
"Kita nggak bisa ngapa-ngapain, Chris", kata Rory padanya, meyakinkan, bahwa mereka sudah
cukup dewasa untuk menyikapi masalah orang tua mereka. "Lo hibur Mama deh sana. Itu lebih
baik daripada ngangisin Papa"
Chris jadi tidak mengerti. "Mama juga Mama lo, Ror", katanya.
"Ya gue tahu kok", suara Rory merendah. Dia sedang berpikir dan kata-kata Chris hanya akan
membuatnya bertambah pusing.
"Ya udah deh", Chris berkata sebelum dia meninggalkan rumah Rory dan menutup pintunya.
--Rory masuk, dengan sebuah tas belanjaan di tangannya dan tangannya yang satu lagi
memegang rokok. Dia menghampiri Natha yang baru saja menerima balasan pesan singkat dari
adiknya dan dia tampak agak gelisah. Rory menaruh barang-barang itu di dekatnya. "Ini buat
kamu", katanya. Natha mendongak untuk mengintip ke dalam tas dan dia tahu kalau itu isinya baju. Bukan baju
warna putih polos, pastinya. Dan Natha bersyukur itu bukan warna ungu seperti yang dipakai
Hilda si menyebalkan. Natha mengernyit, kapan dia membelinya"
"Harusnya aku kasih ini kemarin, tapi begitu sampai rumah kamu udah nggak ada", jelas Rory,
yang menganggap ini sebagai permintaan maaf atas pertengkaran kecil mereka kemarin. Rory
menarik nafasnya karena hidung yang tersumbat membuatnya geli. Dia flu berat saat ini. "Pakai
ya?" "Aku nggak punya baju ganti?", Natha menegaskan dia pasti memakainya.
Rory tertangkap basah sedang tersenyum kepadanya ketika Natha mengeluarkan isi tasnya.
Lalu Rory menunduk, malu sendiri. Dia menghisap rokoknya lagi dan membuat kepulan asap di
depan wajahnya. Natha mengipas wajahnya dengan tatapan merengut. Dia tidak suka bau asap
itu. Rory hanya lupa, sesaat kemudian ia membuka jendela di belakangnya dan membuang
rokoknya keluar. Ia kembali mendekati Natha seakan belum puas memeluknya dan ia
melakukannya lagi. Hari ini akan terasa panjang. Atau Rory tidak mempercayai akan adanya hari ini seperti mimpi.
Jadi dia benar-benar berusaha meresapi hawanya, mengingat ini baik-baik sebagai kebahagiaan
terbesar dalam hidupnya yang tak pernah istimewa. Dagunya berada di atas pundak Natha yang
membelai kepala belakangnya dengan lembut. Mereka seperti sepasang merpati yang sedang
jatuh cinta di bawah cahaya matahari. Tanpa kata-kata dan hanya isyarat bahwa mereka saling
membutuhkan untuk bisa bahagia. Tidak memerlukan syarat untuk bisa saling mengisi.
Terlalu mudah untuk terbawa suasana. Hanya berdua. Tapi,...
Alunan melodi dalam kepala mereka, kembali terganggu dengan adanya suara senapan mesin
yang dilontarkan berkali-kali dari smartphone Rory! Itu bunyi yang paling jelek yang pernah
Natha dengar! Rory kesal, mengutuk siapa yang telah menghancurkan saat-saat terpentingnya. Rupanya Erris.
"Halo?", ia menjawab telponnya sementara tubuhnya bertahan dengan siku tangan kirinya.
"Iya, udah"hah"...gue nggak masuk hari ini"ada kerjaan juga beberapa masalah lain"lo lagi
ada masalah"...terus"...ya udah deh, nanti lagi"gue lagi sibuk"sialan lo!...apa sih ikut campur
urusan gue!..iya iya, nanti deh?"
"Baru dengar ada percakapan kayak gitu", celetuk Natha yang berbaring di bawah dada-nya, dia
tersenyum. "Masa bodoh?", kata Rory melempar ponselnya ke samping Natha dan dia kembali mendekat
untuk melanjutkan percintaan mereka yang berulang kali terganggu.
Mengurung Bidadari Karya A Rita di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tapi, Natha malah beringsut ke atas, "Mungkin nggak sekarang, Mr. Stalker?", ucapnya sambil
bangkit dan segera berlari ke kamar mandi. Dia menoleh sebentar sebelum menutup pintu dan
melempar senyuman manis pada Rory.
Rory meninju kasur dan menjatuhkan dirinya dengan perasaan gusar. Gagal lagi!, gerutunya.
--Erris membelokan Honda Jazz-nya ke kiri saat ia merasa tidak yakin akan mengambil jalan lurus
karena lampu merah di jalan ini bisa sangat lama. Dia menguap dan berkonsentrasi pada
jalanan di depannya. Dia sedang memikirkan satu tempat tujuan dan pada saat-saat seperti ini,
biasanya dia pergi ke tempat Rory atau Damar. Tapi, sekarang mereka sedang menikmati pagi
indah mereka dan dia tidak mungkin datang untuk mengganggu.
Pagi ini terasa sangat hambar. Dia mengenakan kemeja hitam dan jeans-nya, sama seperti
kemarin dan artinya dia tidak pulang ke rumah. Dan sekarang mata sipitnya mengantuk dan
ingin tidur. Namun, dia tidak ingin pulang.
Pikirannya melayang ke masa-masa terang yang ia miliki ketika remaja. Dia pergi ke sana dari
semalam, namun belum kembali sampai pagi ini. Erris enggan kembali ke masa sekarang,
karena saat itu terlalu indah baginya untuk dilupakan, meski terlarang untuk diingat lagi. Uki
seperti cahaya lilin kecil yang menerangi dunianya yang gelap. Ia masih mengingatnya dengan
jelas. Langkahnya yang riang dan suara merdunya yang khas, dia menyihir ratusan pasang mata
pada masa orientasi di hari pertama.
Mereka sering bertemu. Di perpustakaan, saat Uki mengerjakan tugas Bahasa Indonesia-nya
dan tubuhnya yang pendek tidak bisa meraih buku yang diinginkannya. Erris tidak
membantunya dan membiarkannya berusaha sendiri. Saat ujung jarinya menyentuh punggung
buku, Uki tampak senang, dia meloncat dan berhasil memegang bukunya tapi buku itu terlepas
dari genggamannya dan terlalu lucu saat mengingat bagian ini. Bayangkan kamus Bahasa
Indonesia yang tebal dan bersampul keras itu menimpa kepalanya.
Erris menyesal tidak menolongnya. Karena Uki hampir menangis menahan sakit dan dahi di
balik poni ratanya memerah. Dia baru menghampirinya dan Uki tergagap melihatnya. Merasa
malu sendiri dan sejak itu dia jatuh cinta. Tapi, Erris punya tiga serigala di belakangnya dan
selalu disibukan oleh kelakuan mereka.
Erris tersenyum pada jalanan sebelum terpental ke depan, secara tiba-tiba. Dia refleks
mengerem saat melihat seseorang melintas di depannya dan ia masih melaju. Orang itu terlihat
jatuh di depan mobilnya. Ya Tuhan!, Erris panik. Dia segera turun dari mobilnya dan menghadapi kenyataan bahwa dia
baru saja menabrak orang sampai terluka! Seorang perempuan lagi, gerutunya bertambah
cemas saat menghampirinya.
"Maaf, aku nggak sengaja?", ucap Erris padanya.
Perempuan itu menoleh kepadanya sambil meringis, kakinya tergores oleh plat mobil dan
berdarah. Erris terpana padanya bukan karena dia sangat cantik, tapi mengingatkannya pada
seseorang. --"Dia kerja di konsultan pajak?", jelas Natha saat mereka melintasi trotoar jalan raya untuk
pergi ke gedung yang ada di seberang jalan. Sebuah hotel tempat adiknya menginap.
Rory memegang tangannya sejak mereka turun dari motor. Ia mengikuti langkah Natha yang
cepat memasuki lobi hotel dan dia berhenti di meja resepsionis untuk bertanya di mana
restoran-nya. Mereka mengambil jalan lurus, melewati pintu kaca besar dan berbelok ke kanan pada loronglorong mewah dengan ornament klasik pada dindingnya. Hanya sekitar lima meter, mereka
menemukan meja-meja prasmanan yang tertata rapi di tengah-tengah ruangan. Orang-orang
menyebar di setiap meja uuntuk mengambil sarapan pagi mereka.
Natha mulai mencari-cari sosok adik perempuannya di antara tamu-tamu hotel yang lain, tanpa
melepaskan genggaman Rory. Lalu berhasil menemukannya tengah duduk di salah satu meja
yang berada di luar ruangan. Dia sedang mengobrol dengan seseorang.
"Puji Tuhan, Renatha, kamu keluar juga dari baju mengerikan itu?", ia menyapa Natha yang
menghampirinya dengan terengah-engah dan terlihat sangat berbeda dari biasanya.
Natha memakai setelan kaos dan celana jeans. Ekpresinya bercampur antara ketakutan
dan".terkejut melihat Henrietta sedang bersama siapa, "Erris?", mulutnya menganga.
"Hai", Erris menyapa Rory yang terpana melihatnya.
Henrietta menyuruh mereka duduk, dan dia sama sekali jauh dari gambaran yang diberikan
Natha pada Rory. Dia ramah dan murah senyum. Suaranya lembut dan kata-katanya sangat
teratur. Bahasa Indonesia-nya lebih fasih dari Natha dan dia lawan bicara yang sangat
menyenangkan. Rambut Henrietta tidak terlalu panjang, lurus dan berwarna keemasan,
kulitnya agak gelap. Dia juga berkaca-mata seperti Erris.
Grissham bersaudara ini tidak terlalu mirip. Mereka seperti duo Cathy Sharon dan Jullie Estelle.
Sulit untuk menentukan mana yang lebih cantik. Keduanya sama-sama menawan, memiliki aura
yang berbeda. Renatha dengan sentuhan alami dan down to earth sedangkan Henrietta adalah
cewek modern dengan kesan "smart".
Mereka mengobrol dengan wajar. Soal liburan dan beberapa perbedaan tinggal di Indonesia
dan Jerman berdasarkan pengalaman Henrietta yang ternyata sering bolak-balik ke sini dan
punya banyak teman di Jakarta. Henrietta juga sangat humoris dan berkali-kali membuat Natha,
Rory, dan Erris tertawa. "Ini pertama kalinya aku diserempet mobil sampai luka, ", ia berkelakar, melirik Erris di
sampingnya, lalu Natha dan Rory.
--"Well, dia nggak lebih menyakinkan dari si "Mama Boy", tapi"aku dengar dia sangat bereputasi
sebagai perjaka terbaik", akhirnya Henretta berkomentar soal Rory. "mama boy" adalah julukan
Henrietta untuk Kevin. Dia sudah tahu semua yang belum sempat dijelaskan Natha dari Erris.
Bukannya bermaksud tidak baik. Natha bersyukur hari ini Erris menyerempetnya. Jika dia tidak
bertemu Erris lebih dulu, maka Natha akan bingung memulainya dari mana. Dan mereka
menyambung seperti sudah kenal selama bertahun-tahun. Natha tengah berkutat dengan
pikirannya sendiri, saat merasa aneh adiknya mungkin tertarik pada Erris.
Dia mengurutkan semua kejadian dari awal. Dulu Erris dengan Uki, si penjaga supermarket.
Mereka putus, gantian Rory yang mengejar-ngejar dia. Lalu adik Rory ikut-ikutan. Rory
berhubungan dengannya sekarang, dan apakah Erris dan Henrietta juga begitu nanti"
Natha terlalu tidak menyukai Erris untuk banyak alasan. Dia pernah menjadi musuh dalam
selimut, dia terlalu mencampuri urusan pribadi temannya dan itu mulai mengganggu Natha
saat dia mengusirnya dari rumah Rory. Tercatat dalam ingatannya, mereka pernah berdebat
dua kali. Ini sudah merupakan suatu bencana, dan mengetahui sifat Henrietta hampir mirip
dengan Erris, ini akan menjadi "double disaster".
Henrietta tidak pernah kekurangan teman kencan. Dia bisa memilih siapapun yang dia mau,
karena dia lebih dari sekedar menarik. Tapi, Erris bukan termasuk tipe-nya. Natha mulai
memusingkan hal ini, saat adiknya tidak merasa sakit kakinya sekarang terluka. Dia berbaring di
ranjangnya dengan pikiran menjulang ke langit-langit. Sudah bisa ditebak apa yang sedang dia
pikirkan. "Mereka masih punya dua lagi biang masalah", kata Natha padanya, mengingatkan. Cukup
dirinya yang berhubungan dengan geng perokok dan peminum ulung itu.
Henrietta tersenyum padanya, penuh arti. Dia selalu yakin masalah adalah tantangan yang
harus dia taklukan. Sialan, ini "triple disaster" namanya, Natha menggerutu.
ooOoo BAB 16 Bidadari Angel "Kita udah ngomongin ini kemarin! Apa mau dibahas lagi"!", teriak Damar, ia berada di
belakang meja dapur dan masih mengenakan kaos putih yang dia pakai kemarin. Rambut spike
Mohawk-nya acak-acakan, dia tampak kurang istirahat dan lelah. Tapi, masih harus menghadapi
yang lebih buruk. Sejenak Rory dan Erris seperti kembali ke masa-masa dahulu. Saat dunia menangis di depan
mereka, ketika Damar berteriak pada Laras dan Laras membalasnya. Tidak pernah usai.
Erris menggeleng-geleng. Dia belum ganti pakaian dan tampak seperti 'tragedi' saat melepas
kaca matanya untuk mengelapnya. Matanya yang sipit mengecil dan dia agak sedikit pusing
karena belum tidur. Dia melirik Rory yang sedang berpikir, dan tidak terganggu dengan
keributan di belakang mereka.
Laras meminta mereka datang, untuk membicarakan soal taruhan sedangkan Rory belum tahu
apa-apa soal itu. Tapi, keduanya dikagetkan saat tahu Damar menginap dan sekarang mereka
bertengkar seperti suami istri yang sudah bertahun-tahun menikah. Tidak jelas apa yang
mereka ributkan. Sejak datang, amukan itu sudah seperti perang dunia.
"Bokap gue berulah lagi", kata Rory pada Erris.
Erris hanya meliriknya dan tak ada yang bisa ia katakan. Ia tidak bisa bilang kepalanya terasa
amat berat untuk diajak berpikir. Lagipula untuk masalah klise seperti itu, Rory memang tidak
pernah meminta saran. Sudah jadi kebiasaannya untuk membiarkannya begitu saja.
Dan Rory terlihat sangat menggelikan karena suaranya yang serak dan wajahnya yang tidak bisa
menyembunyikan bahwa dia terserang demam yang cukup parah.
"Lo masih sakit?", tanya Erris.
Mereka duduk di ruang tamu.Dengan santai, bahkan terlalu santai untuk ukuran orang yang
sedang bertahan di tengah gencatan senjata - kata-kata makian Laras dan Damar yang
terdengar hingga ke penjuru ruangan-.
"Kepala gue pusing", keluh Rory, yang tidak berminat untuk merokok seperti Erris yang tampak
seperti pecandu. "Kenapa bisa pusing?", tanya Erris, "Harusnya lo senang kan?"
Rory mengernyit, "Apaan sih lo"!", cetusnya sebal, dan mulai sadar arah pembicaraan Erris ke
mana. "Terus?", Erris bertanya dengan santainya, - bertanya penuh maksud terselubung pada tatapan
di balik kaca matanya. "Lo masih tidur di sofa semalam?"
"Sialan lo!", sembur Rory, "Apa sih lo mau tahu urusan gue"!"
"Payah...", gumam Erris, yang sudah mengetahui jawabannya dari sikap Rory yang malu-malu
itu, "Tapi...hebat juga pertahanan lo...salut..."
Melihat senyum penuh arti Erris, Rory mulai curiga. lebih-lebih ketika si jangkung itu berdiri
tiba-tiba dan pergi ke tempat asal kegaduhan. Rory mengikutinya karena ingin tahu apa yang
akan dia lakukan. "Kaliah udah berantemnya!", Erris berteriak, tampak sedikit kesal dan capek, "Uang gue
mana"!" Damar dan Laras melongo. Mereka baru saja saling berteriak dan menunjuk ke wajah masingmasing dengan emosi. Keduanya menatap Erris heran.
"Gue menang!", kata Erris memperjelas soal taruhan semalam. Setidaknya itu menghentikan
keributan yang berlangsung sejak pagi ini namun menyulut keributan yang lain dari Rory.
--"Nggak biasanya kamu datang ke sini",
Rory memanggilnya Papa. Dia pria yang sangat mirip dengannya. Mata, hidung, bentuk wajah,
semua nyaris sama. Pria itu hanya sudah berumur dan tua. Juga sangat dingin. Saat berhadapan
dengannya Rory seperti sedang bercermin. Tampak seperti dua orang yang sama tapi bertolak
belakang. Pria itu duduk di kursi, di belakang meja kerjanya. Bersama berkas-berkas di depannya dan ia
berhenti sejenak mengurusinya saat tiba-tiba Rory menerobos masuk tanpa menghiraukan
sekretaris perempuan yang melarangnya masuk. Pria itu menatap Rory dengan sangat tenang
seperti sudah tahu angin apa yang membawanya kemari.
Mereka jarang punya kesempatan seperti ini. Rory tidak pernah suka berhadapan dengannya.
Di depan ayahnya dia lebih tampak seperti bajingan kecil daripada seorang anak.
"Apa Papa nggak bisa berhenti?", nada suara Rory terdengar lebih keras.
Rory sudah tahu ini sejak lama. Sejak masih sekolah dan ia berpura-pura tidak tahu. Demi
adiknya, demi wanita yang sudah membesarkannya dan ia anggap seperti ibu kandungnya. Rory
sudah menguntit sejak SMA, sejak ia tahu Papa-nya punya wanita lain. Dan ia mulai
membayangkan; kebenaran akan menjadi sangat mahal harganya dan ia akan menjualnya pada
orang yang sangat membutuhkannya.
Teman-teman Rory tahu, pekerjaan menguntit yang ia lakukan berawal dari pengalamannya
sendiri. "Papa masih punya banyak pekerjaan, Rory", kata sang ayah tegas, menghindari tatapan
menusuk Rory dan dia tampak berusaha menyingkirkan gangguan yang disebabkan kehadiran
Rory di tempat kerjanya. "Papa nggak bisa menjadikan Mama alasan!", Rory tampak tidak puas dengan sikap Papa-nya.
"Mama sudah meninggal! Kenapa Papa malah menghukum orang lain hanya karena nggak bisa
menemukan yang seperti Mama!"
--"Ngapain kamu di sini?", Rory terkejut mendapati kekasihnya duduk di teras sendirian. Pada
udara dingin di malam yang hampir larut.
Natha tersenyum lega melihatnya datang. "Aku bosan di hotel...", jelasnya dengan pelan dan
manja saat Rory memeluknya sebentar, "Henry...ya kamu tahu dia mulai sibuk sama Erris..."
"Kenapa nggak telpon?"; tanya Rory sambil mengusap pipi Natha yang memerah kedinginan
dan dia masih mengenakan dress kesukaannya. Dan dari jauh dia terlihat seperti penampakan
yang sempat membuat Rory merinding.
"Handphone kamu nggak aktif kan?", balas Natha.
Rory segera mencari-cari ponselnya di dalam saku celana. Dan benda itu tidak mengeluarkan
cahaya sama sekali. "Aku lupa cas batrainya", ucapnya cemas sambil merangkul pundak Natha
dan membawanya ke dalam. Rory menarik nafas panjang. Dia beruntung punya seorang bidadari di sisinya di saat ia hampir
kehilangan dirinya dalam amarah.
Natha menghidupkan semua lampu untuk menerangi mereka. Lalu melihat Rory tak hanya
sekedar lelah setelah pulang entah dari mana. Mengingatkannya pada saat Chris datang
membeberkan rahasia Erris dan Uki, Rory tampak bingung. Tapi, tidak. Rory tidak hanya
bingung, saat ini lebih buruk dari itu. Rory tampak sangat tertekan. Natha tidak yakin ini
kembali berhubungan dengan orang-orang itu; karena sekarang Rory memiliki dirinya.
Rory menaruh helm dan ranselnya di lantai dekat sofa tempat ia duduk dengan lelah, seperti
baru kecurian barang berharga. Rory juga meringis tanpa sebab saat ia membungkukan
badannya untuk mengambil remote TV yang tercecer di lantai.
"Kamu nggak apa-apa?", tegur Natha yang mendekat.
Rory tampak sangat berantakan dari rautnya yang kusut dan dia selalu seperti itu di saat ada
yang membuatnya kesal. Dia hancur berkeping-keping bagaikan pecahan kaca yang tipis. Sangat
rentan. --Natha terkejut. Tubuhnya ditarik dengan cepat dan Rory yang gemetar tengah memeluk
pinggangnya. Natha terpaku pads rambut Rory yang acak-acakan di bawah dadanya. Ringisan
Rory di perutnya terdengar kian jelas.
Ada apa dengannya" Kadang bahagianya meluap-luap hingga orang-orang di sekitarnya bisa
terpengaruh, tapi bila dia bersedih, dia akan tampak seperti anak kecil yang ketakutan.
Natha membelai rambutnya dengan pelan dan hati-hati, takut-takut itu seolah akan
membuatnya marah. Rory mengangkat kepalanya sedikit, menengadah dan mendapati Natha ikut sedih melihatnya.
Sungguh, ia tidak ingin terlihat lemah di depan gadis itu walaupun sedikit. Tapi, inilah sisi lain
dari seorang 'Rory' yang tidak banyak diketahui orang. Rory yang tak pernah terlihat sedih
tengah terluka. "Aduh", Natha mengeluh saat pelukan Rory terasa makin kuat di pinggangnya. Dengan cepat
Rory menjatuhkan tubuh kurus Natha di dalan dekapan kedua tangannya yang besar dan kuat.
Rory mendekap dengan semua tenaganya saat Natha terlipat di atas pangkuannya. Begitu ia
melepaskan Natha, ia malah melihat Natha cemas saat memandang ke matanya yang merah.
Mata yang tak terlihat seperti api amarah yang meledak-ledak. Melainkan mata yang menahan
tangis. Natha tidak sanggup memandangnya lebih lama sehingga dia memberanikan diri untuk
mencium bibirnya yang gemetaran.
Rory membalasnya begitu ia sadar Natha mencoba menenangkannya. Dan yang terpikir
olehnya kemudian adalah melepaskan sebentuk hasrat tertahan terhadap seorang gadis cantik
yang selalu menggoda hatinya belakangan ini. Betapa ingin ia memilikinya.
Rory memeluknya; menariknya lebih dekat sehingga tak ada lagi jarak yang membatasi. Ia
merasakan Natha terengah yang merasa panas membakar sampai ke seluruh tubuhnya yang
manusiawi ingin mempertahankan ini lebih lama lagi
Tapi, tiba-tiba Rory tersenyum sendiri.
"Kenapa?"; tanya Natha heran.
"Nggak..."; jawabnya, segera membuang jauh-jauh pikiran tentang taruhan ketiga temannya
yang iseng. Rory menikmati keindahan yang tak pernah Natha perlihatkan pada siapapun sebelum dirinya.
Sama-sama menjadi liar dalam kebutuhan untuk terpuaskan oleh orangi yang dicintai. Samasama menjadi asing dalam dunia yang baru mereka jamah. Dan Natha menangis, akan awal
yang terasa begitu buruk.
"Aku cinta kamu, Natha...", kata-kata itu menghapus kesakitan, juga kepedihan.
---"Kami memang dominan", jelas Henrietta, menatap Erris di depannya "Itu sifat turunan dari
orang tua kami" Erris tidak pernah tahu soal itu. Renatha sudah menjadi urusan Rory sepenuhnya dan apakah ia
harus tetap tahu karena sepertinya gadis ini menunjukan ketertarikan terhadapnya"
"Renatha mirip ayah tapi dia rapuh seperti ibu. Kata Bibi-ku aku duplikat ibu tapi semua sifat
keras ayah diturunkan ke aku", sambungnya dan ini akan menjadi cerita yang sangat panjang.
Sementara itu pandangan Erris tertuju pada dua orang gadis yang sedang bersenang-senang di
lantai dansa. Erris berusaha setenang mungkin agat Henrietta tidak melihat ada apa di
belakangnya. Dia terlihat mendengatkan tapi kata-kata Henrietta berlalu begitu saja dalam
kepalanya. Apa Uki sedang mencoba mempermainkan perasaannya lagi", Erris bertanya pada hatinya yang
menangkap adanya rasa cemburu pada gadis yang entah bagaimana bisa ada di tempat seperti
ini. Jika dia tidak bersama Henrietta sudah pasti Erris akan menariknya keluar dari kerumunan itu.
Mereka akan berdebat panjang lebar soal kenapa begini atau begitu, seperti biasa, dan itu
terasa kian menyakitkan mengingat apa yang baru dia alami karena terlalu saling memaksa.
"Kematian orang tua kami sangat mendadak", kata Henrietta.
Erris jadi memusatkan perhatiannya karena itu adalah sesuatu yang belum ia ketahui tentang
Grishamm bersaudara yang.cantik. Sejenak ia memandangi Henrietta.
"Kami terpukul", kenangnya dengan satu kaleng bir di tangannya yang belum ia habiskan
karena ingin meminumnya dengan perlahan. "Apalagi Renatha. Selama delapan tahun dia
seperti hidup di dalam kapsul. Tahu-tahu saat bangun, dia harus menghadapi perubahan besar
dan dia sama sekali nggak siap"
Ini akan menjadi cerita yang menarik atau unsur menarik itu berasal dari Henrietta sendiri. Dia
terbuka dengan segala hal dan permasalahan, matanya memancarkan cahaya sehingga kita
terpana padanya. Berbeda dengan Uki yang kekanakan.
"Dia nggak mau menerimanya sejak tahu orang tua kami dibunuh", kenang Henrietta.
"Dibunuh?"
Mengurung Bidadari Karya A Rita di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ayah sangat dominan dalam segala hal dan banyak orang yang ingin menyingkirkannya. Tapi,
ibu memuja dia. Waktu dapat kabar ayah tewas dalam kecelakaan yang disengaja, dia tertekan.
Kami semua pulang ke Surabaya. Tapi, hanya beberapa tahun, sebelum Renatha lihat dengan
mata kepalanya sendiri ibu menembakan pistol ke mulutnya. Sejak itu, Natha nggak pernah
ingin pulang ke Indonesia"
Erris menatapnya tidak percaya.
"Jadi kamu ngerti kenapa dia...yah...sering nggak stabil dan ingin segala sesuatu menjadi
nyaman buat dirinya sendiri?", Henrietta sedikit tersenyum, "Kami terkenal di Munich, sebagai
'anak-anak Grishamm'. Kejadian yang merenggut orang tua kami adalah tragedi sosial sehingga
mereka kasihan. Rumah kaca tempat tinggal kami adalah tempat selain panti asuhan di mana
kami bisa tinggal sama Bibi yang nggak pernah menikah. Dia menjaga Renatha yang nggak
pernah tersentuh modernisasi sampai dia kenal Kevin dan jadi gila. Seperti...gadis remaja yang
jatuh cinta pertama kali"
--"Kamu risau", cetus Natha, di sisinya. "Apa aku belum berhak untuk tahu?"
"Tadinya...", Rory sedikit tertawa. "Aku beruntung punya bidadari"
Natha mengernyit, ia anggap sebutan bidadari adalah rayuan. Karena Rory selalu terdengar
memanggilnya putri duyung, ikan mas atau Miss Broken Heart. "Sejak kapan kamu panggil aku
bidadari?" "Sejak pertama kita ketemu", jawab Rory menerawang pada hari di bandara di mana dia
melihat Natha duduk sendirian di kursi tunggu dengan bingung. "Aku sudah menyebut kamu
bidadari, tapi...bidadari itu malah panggil aku 'Angel'..."
"Bukannya itu memang nama kamu?", Natha nengernyit lagi. "Di kartu mahasiswa..."
"Tuh kan, kamu memang suka periksa barang-barangku...", godanya lalu tertawa.
"Iih! Itu karena kamu nggak mau balikin pasporku!"
Rory menghela nafas, dia sudah dipanggil Rory sebelum pandai bicara. 'Rory' mungkin plesetan
dari 'Flori' agar mudah diucapkan.
"Angel itu nama pemberian Mama-ku", jelasnya. "Dia pikir aku terlahir perempuan"
"Tapi, nama bisa diganti setelah tahu kamu terlahir laki-laki",
"Dia nggak sempat menggantinya", kenang Rory agak sedih, "Dia meninggal supaya aku bisa
hidup" Natha terkejut, ia bangkit untuk melihat ekspresi Rory yang murung. "Mama-nya Chris..."
"Bukan", potongnya sebelum Natha melanjutkan, "Aku dan Chris cuma seayah..."
Natha terdiam sambil merapat ke sisi Rory, "Aku nggak tahu..."
"Memang banyak yang nggak tahu", ujar Rory sambil mengusap-usap kepalanya dan
nenunjukan dia sama sekali tidak sedih walaupun masa lalu baru saja mengguncang jiwanya
dalam sesaat. Dia belum bisa menceritakannya karena ia sendiripun masih bingung. Tapi, hanya
dengan melihat dia saja semua beban itu seakan menjadi lebih ringan, karena Rory bisa
mengintip sedikit masa depannya.
Ya, masa depan yang Rory tidak pernah memikirkannya. Ia mengejar-ngejar Uki karena tidak
pernah tahu apa yang dia inginkan dari gadis itu. Mereka bersama setiap waktu, berbicara,
bercanda dan menguntit untuk sejumlah bayaran. Tapi, ia mencintai Natha, untuk bisa bahagia.
Hidup tanpa kesepian. "Aku...kurang suka kalau kamu panggil aku sama nama itu...", katanya, "Aku bukan seseorang
yang bisa...menjadi seperti malaikat buat kamu. Aku lebih mirip iblis daripada malaikat. Aku
mungkin nggak bisa menjadi seperti yang kamu inginkan. Kamu mungkin akan menderita,
menangis lebih banyak...karena aku yang seperti ini. Tapi, yang pasti...seorang laki-laki sejati
nggak akan mempermainkan perempuan yang dia cintai. Dia bahkan rela mati demi cintanya.
Apa kalau aku bilang kalau akulah dia, kamu akan mencintai aku selamanya?"
"Malaikat...", Natha tersenyum pada langit-langit kamar. "Malaikat di dunia nyata nggak harus
terlihat indah di mata orang lain. Malaikat bersayap, serba putih, itu hanya penggambaran yang
imajinatif dari orang-orang seni. Memangnya ada orang yang benar-benar pernah melihat
malaikat, Angel?" Rory mencoba untuk menerka-nerka apa yang akan dia katakan selanjutnya.
"Kamu malaikat, bagi almarhum Mama-mu,", kata Natha, "Setidaknya itu yang dia pikirin saat
memutuskan memberi kamu nama itu kan?"
Rory berusaha untuk tertawa sebelum malah memperlihatkan tangisnya. Mana pernah ada
orang yang berkata seperti itu padanya"
"Kamu nggak harus menjadi seorang malaikat supaya aku bisa menerima kamu", katanya lagi,
"Dan aku nggak mau disebut bidadari kalau itu hanya membuat kita jadi sangat berbeda. Aku
ingin jadi Renatha aja, dan kamu Angel. Itu sudah cukup kan?"
ooOoo BAB 17 The Plan "So, apa kita akan ngobrol soal aku dan Renatha sampai pagi?", tanya Henrietta, dengan mata
riang yang berusaha menghibur Erris yang tengah berputar-putar dalam pikirannya sendiri.
"Nggak ada yang menarik soal aku", katanya tenang setelah tidak lagi mendapati Uki dan
temannya di lantai dansa. Tadi mereka terlihat duduk sebentar sebelum akhirnya pergi entah ke
mana. "Kamu nggak terbiasa bergaul dengan orang-orang selain teman-teman kamu yang biasa?",
tanya Henrietta dan Erris hanya tersenyum simpul.
Cara bicaranya menarik. Entah karena sedikit mabuk atau kesal menemukan Uki di sini, di
tempat yang sama sekali nggak cocok untuknya. Ya Tuhan, Erris segera sadar, mereka sudah
berakhir dengan cara yang paling baik. Tidak seperti saat Erris menjadi begitu pemaksa yang
tidak terkontrol dan pertengkarannya dengan Uki bahkan bisa menjadi lebih parah dari
keributan Damar dan Laras.
Gadis itu sudah berubah 180 derajat! Kata-kata saja tidak akan membuatnya berhenti
melakukan apa yang seharusnya tidak dia lakukan.
"Terus?", Erris masih mencari-cari sosoknya dan ia terlau pandai berpura-pura.
Beberapa waktu lalu, di sini, ia begitu tersiksa saat menerima telpon dari Uki yang
menginginkan keadaan membaik. Lebih-lebih karena tidak ingin disebut murahan karena kisah
cintanya selalu berputar-putar di sekitar Erris. Antara Rory, sahabatnya dan Chris, adik
sahabatnya itu. Gila, ini lebih seperti hukuman bagi Erris. Melihat ada orang lain yang bisa mencintai Uki,
seperti yang dia inginkan untuk bisa dicintai.
"Kami nggak pernah berpisah", Erris memulai setelah yakin Uki dan temannya itu sudah pergi,
"Kami merasa nggak pernah bisa diterima orang lain karena punya latar belakang yang buruk"
"Semua punya, Ris", Henrietta mengingatkan bahwa dia juga sudah diajarkan oleh masa lalu
yang pahit untuk bertahan hidup.
"Kita seperti anak manusia yang dimutasi jadi Frankenstein"
"Oh, itu aku baru dengar..."
"Laras punya ayah yang suka main tangan. Damar anak adopsi yang kurang dapat kasih sayang.
Sedangkan Rory, dia dibenci ayahnya karena dianggap membunuh ibunya yang meninggal
waktu melahirkan dia", jelas Erris, "Aku sendiri dibesarkan sama ibu yang pemabuk dan gila judi
dengan dua kakak perempuan yang sering kawin cerai"
Henrietta termangu, "Wow...", ia menghela nafas panjang, "Kalian seperti kumpulan 'bencana'
sepanjang masa" "Aku nggak seperti yang kamu kira. Aku ini brengsek", kata Erris, tersenyum dingin. Tidak ada
yang pernah melihat senyum Erris yang seperti itu sebelumnya. "Aku juga pemaksa, dan
berurusan sama aku adalah mimpi buruk"
Henrietta terdiam, menatapnya sambil berpikir akan sesuatu.
Perjalanan kembali ke hotel berlangsung dengan hening dengan kecepatan rendah. Erris sangat
tenang, dia tidak terbaca. Dan sikapnya itu menimbulkan rasa penasaran bagi Henrietta yang
terlalu malas bicara. Erris memang tidak seperti yang dia kira sebelumnya. Berpikir dia kutu buku dan tidak gaul,
serta kaku dan membosankan. Erris lebih dari itu.
---"Kamu nggak apa-apa?", tegur Natha waktu melihat adiknya masih di tempat tidur jam dua
siang. Henrietta membalikan badannya, "Eh, hei...", sapanya lesu. Harusnya dia bisa lebih
bersemangat. Tapi malah kelihatan seperti habis mabuk berat semalam. Padahal ia hanya
minum sekaleng bir dan diantar ke sini tanpa kurang sesuatu apapun. "Aku nggak apa-apa"
"Erris nggak menyebalkan kan?", tanya Natha sambil duduk di sisi tempat tidurnya. Dia
mencium adanya sesuatu yang tidak beres dari adiknya.
Henrietta tampak malas-malasan dan dia hanya seperti itu jika sedang sakit atau...patah hati.
"Kayaknya kamu tahu betul deh...", Henrietta menguap.
Menurut pengalaman, iya, jawabnya dalam hati. "Sudah, nanti juga kamu lupa", ujarnya lalu
berpindah ke meja rias untuk menyisir rambut, "Dia bukan tipe yang biasa kamu kencani."
"Aaah...aku mau cepat-cepat pulang!", keluhnya.
"Jangan bilang kamu patah hati cuma gara-gara cowok itu, Henry!",
Henrietta sudah duduk di atas tempat tidurnya. "Enggak juga...", katanya.
"Mereka lebih rumit dari kita", Natha mengingatkan.
"Aku tahu..."; Henrietta kembali menjatuhkan dirinya di atas ranjang yang memantulkan
tubuhnya ke atas sebelum ia bisa dengan tenang bernafas.
"Angel, Erris dan adiknya Angel pernah terjerat sama cewek yang sama", jelas Natha yang
merasa adiknya harus tahu soal ini.
Henrietta bangkit kembali, "Apa dia cantik?"
"Dia terlalu sederhana dan...kecil", jelas Natha lagi, "Kalau aku dan Angel nggak pernah ketemu,
Angel pasti masih mengejar-ngejar dia..."
Henrietta makin tidak bersemangat.
"Erris mungkin masih memikirkan dia", Natha berpendapat, "Tapi, entahlah..."
"Kamu tahu aku nggak menyerah semudah itu untuk semua yang aku mau...",.gumam
Henrietta. "Walaupun dia...'Frankenstein'"
Tawa terlompat dari mulut Natha. Frankenstein"
"Kita mungkin harus menemukan seseorang yang jauh beda dengan kita.", kata Henrietta getir,
"Yang memahami kalau kita punya masa lalu yang buruk"
"Aku terlambat menyadari itu", celetuk Natha berubah murung. "Saat Angel bilang aku adalah
bidadari dalam hidupnya, itu sangat membebani aku..."
"Kamu mulai meragukan dia?"
"Nggak, ini bukan soal itu..."
"Lalu?" "Aku selalu takut terluka...tapi sepertinya dia akan membuat aku menerimanya lebih banyak",
Henrietta diam. "Aku nggak tahu aku sanggup atau nggak..."
"Kalau nggak sanggup, kita pulang!", Henrietta memutuskan sebelum pemikiran Natha
bermuara pada satu kemungkinan bahwa dia tidak akan bahagia.
--Seorang wanita cantik menyambutnya dengan ramah dan hangat. Dia menyiapkan makanan
kecil dan minuman di atas meja serta pertanyaan-pertanyaan tentang asal-usul dan pendidikan.
Tidak banyak yang bisa Natha jelaskan. Dia tidak mengambil pendidikan formal di sekolah,
orang-orang menyebutnya Home Schooling, tapi Natha menjalani terapi khusus selama
bertahun-tahun demi menghilangkan trauma psikis di masa kecilnya. Dia kedengaran hebat
saat menjelaskan bahwa dia lahir dan besar di Jerman dan hanya tinggal di Indonesia kurang
lebih selama 4 tahun sebelum tidak pernah kembali lagi. Tapi, Natha tidak mengikuti kuliah
sejak menemukan pelarian lain di rumah kaca, di mana ia bisa bekerja dan belajar banyak
tentang flora yang ada di dunia, meninggalkan dunianya yang gelap. Dia terlihat jelek saat
mengenakan kostum pekerja dan dia menikmati itu seperti gadis-gadis lain menikmati masa
pacaran. Natha tidak pernah melakukan yang namanya pacaran. Dia hanya berpikir bahwa ia harus
keluar dari rumah kaca karena waktu di luar sana telah bergulir tanpa sepengetahuannya. Dan
dia keliru saat mengira Kevin yang cuma mahasiswa studi banding dari Indonesia akan
membawanya pergi. Sisanya, Natha tidak mengerti, harus ada hal-hal seperti ini dalam pacaran. Berkenalan dengan
keluarga kekasihnya dan berusaha untuk tetap tersenyum sekalipun ia.merasa sangat jengah.
Dia menggingit bibirnya beberapa kali saat kebingungan.
Rory yang menyadari Mama-nya terlalu ngotot mulai mengalihkan pembicaraan. Dia melirik
Natha sambil mengedipkan sebelah matanya, dan melegakan Natha yang tak tahan ingin segera
pergi. Natha duduk diam di sampingnya sambil menyadari, Rory bukan berasal dari keluarga
sembarangan. Semua untuknya haruslah yang terbaik, apalagi pendamping. Mama-nya tentu
mengharapkan.selain cantik, gadis itu haruslah pintar. Rory hanya tidak tahu bagaimana Natha
menjalani hidupnya selama ini. Yang sebenarnya berkubang dengan tanah setiap harinya,
mengawasi pengunjung yang kemungkinan merusak tanaman-tanamannya. Dia orang yang
menutup diri dan kolot. Wanita itu menatapnya dengan ramah tanpa sadar sudah membuatnya tidak betah. Tapi, saat
Chris datang, suasana agak berubah. Kunjungan selesai saat Rory akhirnya pamitan untuk pergi.
Sewaktu datang ke rumah itu, Natha menduga akan melihat sisi lain dari Rory. Semua cerita
masa kecil dan remajanya yang berlalu di rumah ini. Bersama ibu tiri perhatian dan adik yang
sedikit menjengkelkan. Mereka sangat berbeda. Natha tidak pernah menyadarinya karena mereka tinggal bersama di
rumah yang seperti satu dunia di mana hanya ada mereka berdua. Tidak pernah melihat adanya
orang lain sebagai perbandingan. Lalu dunia itu seperti mencekam begitu mereka kembali.
Natha mengeluh saat tetesan hujan membasahi bajunya dan dia mulai benci mengenakan baju
putih. Tak ada yang tahu bahwa semua ini hanya kamuflase, tidak ada yang tahu bahwa baju ini
berhasil menyembunyikan dirinya yang sesungguhnya dan pekerjaan kotor yang berhubungan
dengan tanah, lumpur dan pupuk kompos berbau menyengat.
Namun ia terkejut saat mendapati suasana rumah sudah jauh berbeda. Mereka punya
beberapa perabotan baru. TV yang lebih besar, karpet baru yang lebih luas, dibatasnya ada
meja di depan TV dan bantal untuk duduk. Juga peralatan masak yang sudah tertata rapi di
dapur. --Rory mengubah banyak hal seakan mereka akan tinggal bersama.Pemikiran yang amat
sederhana dan kekanakan. Rory memang tidak pernah berpikir dua kali akan sesuatu yang mau
dia lakukan. Dia harus punya seseorang yang bisa dia dengarkan. Meski akan sangat sulit bagi
Natha. "Aku akan pulang ke rumah", katanya, "Karena kalau masih tinggal di sini, Mama-ku pasti
sering-sering ke sini karena tahu aku punya pacar"
Natha tidak bisa tersenyum. Hanya satu hal yang langsung mencuat dalam pikirannya. Dari
mana semua ini" Rory tidak punya pekerjaan tetap yang menghasilkan uang.
"Kamu nggak perlu melakukan semua ini", katanya, menghindari tatapan bahagia Rory dengan
sengaja. "Aku nggak bisa tinggal di sini"
"Kamu suda h mau pulang?", Rory berwajah kecewa sekarang, ia mencari celah untuk bisa
melihat raut wajah Natha saat ini. "Bukannya kamu masih punya sebulan?"
"Henrietta mau pulang, dia harus kerja lagi", jelasnya berkilah agar Rory berhenti
menatapnya.curiga bahwa Natha sudah mulai ketakutan dengan perpisahan yang pasti akan
terjadi cepat atau lambat.
Kenyataannya mereka tinggal di negara berbeda, di benua yang sangat berjauhan. Sesuatu yang
tidak pernah dia pikirkan sekarang muncul sebagai suatu masalah. Saat menarik Natha ke
sisinya dia mulai merasakan ketakutan itu. Takut jika nanti tidak akan bisa lagi seperti ini.
"Aku hanya perlu lulus kuliah kan" Kita bisa menikah dan hidup bahagia. Aku 24 dan kamu 25,
kita sudah dewasa untuk memutuskan..."
"Dengan pekerjaan kamu yang sekarang?", suara dingin Natha terdengar lebih menusuk dari
saat Natha mendorongnya untuk melepaskan diri. Dia kembali membuang muka.
"Itu bukan kerjaan yang salah sepenuhnya kok!", jelas Rory, "Aku nggak bertaruh, nggak
merampok, atau menipu! Aku cuma menjual kebenaran dengan harga yang pantas!"
"Aku nggak menganggap itu kerjaan yang menghasilkan uang haram!", Natha bersuara lebih
keras, matanya membesar karena marah. "Tapi, kamu sadar nggak sih sedang bermain dengan
apa"!" Rory terdiam beberapa saat. Setiap kali gadis itu marah padanya dia seperti tak punya pilihan
lain selain menurutinya. Dia menyerah sepenuhnya.
"Bahaya!", Natha menjawab pertanyaannya sendiri. Dia hanya ingin Rory menjauhi masalah,
dengan menjauhi masalah mereka baru bisa hidup bahagia. Tapi, setelahnya Natha sepertinya
baru saja sadar satu-satunya yang mencari masalah adalah dirinya. Dengan memilih orang
seperti Rory, sementara ia sudah tahu betul Rory sendirilah yang disebut masalah. Menyadari
ini akhirnya, membuat Natha kecewa, "Apa kamu nggak pernah kepikiran kalau seandainya
kamu ketahuan"!"
"Aku masih hidup sampai sekarang. Aku nggak pernah ketahuan!", katanya menegaskan.
"Belum, Angel!", teriak Natha, semakin menghindar dan dia malah memunggungi Rory untuk
mengambil nafas dalam-dalam.
"Aku harus berjuang untuk diriku sendiri!", Rory mencari pembenaran dirinya karena Natha
belum tahu bagaimana hubungan dia dengan sang ayah yang membuatnya harus bisa mandiri.
Betapa ia benci harus bergantung di saat tidak ingin. "Aku butuh uang! Untuk kuliah, untuk kita
juga nanti, sayang...", suaranya melemah diujung kalimat terakhirnya dengan harapan Natha
bisa mengerti. "Aku nggak butuh uang!", cetus Natha, "Yang aku tahu uang hanya sumber masalah!"
"Lalu aku harus gimana lagi"! Aku nggak punya kerjaan lain sebelum lulus kuliah untuk hidupku!
Aku harus begini sampai kuliahku selesai dan juga harus menabung supaya kita bisa tinggal di
tempat yang lebih bagus!"
Natha menggeleng-geleng. "Aku biasa tinggal di rumah kaca, takut sama dunia luar. Aku nggak
sekolah, nggak kuliah! Aku hanya penghuni rumah kaca yang hidup tanpa uang! Kamu tahu
kenapa"!" Wajah Rory nampak tegang.
"Karena orang-orang berpikir semua itu untuk masa depan!", jawabnya, "Masa depan di mana
mereka bisa kaya dan hidup mapan sampai mereka lupa lalu menjadikan uang segala-galanya!
Aku nggak mau seperti itu!"
Rory tidak mengerti maksud kata demi kata yang tampak keluar tanpa kontrol dari Natha yang
hampir menangis. "Uang membuat aku kehilangan segalanya!", teriak Natha dan bergema di telinga Rory saat itu
juga. "Aku kehilangan keluarga dan masa kecil yang harusnya bahagia!"
Rory mendekat perlahan dengan sedikit menyesal.
"Ayah menggunakan segala cara untuk mendapatkan uang demi ibu! Dia hebat dan kaya,
sampai membuat semua orang ingin menghancurkannya! Dia dibunuh dalam kecelakaan mobil
Mengurung Bidadari Karya A Rita di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang disengaja!", jeritnya lalu merosot ke bawah dengan kepala berdenyut. Setelah bertahuntahun ini pertama kalinya, Natha membicarakan mimpi buruknya, "Kamu tahu aku dan Henry
terkenal karena semua orang di Munich membicarakan tragedi itu"! Bagaimana ibuku
menghabisi nyawanya sendiri dan aku melihatnya secara langsung dia menarik pelatuk pistol di
depan mulutnya"! Itu nggak lama setelah kami kehilangan semua harta dan rumah"! Itu terjadi
di negara ini!" ooOoo BAB 18 Hard Crash "Lo dari mana sih?", Erris bertanya begitu Damar duduk di sampingnya dan ia terlihat berbeda
dengan setelan kemeja yang rapi.
"Tadi ada urusan sebentar", jawabnya santai.
Erris mengernyit sambil menatapnya, "Masa?"
"Gue bakal bikin perubahan besar-besaran dalam hidup gue, tahu nggak sih?", jelasnya mantap.
Erris mengangkat bahu, dengan alisnya yang ditarik masuk. "Lo balikan sama Laras?", tanya dia
menebak-nebak soal pertengkaran setelah kejadian di klub malam itu.
Damar menggeleng, dan Erris semakin penasaran.
"Gue mau cuti kuliah supaya bisa kerja",
"Lo mau kerja apaan?", tanya Erris sangsi.
"Asisten chef di hotel bintang lima, Ris", katanya dengan bersemangat.
Erris tersenyum, "Bagus...", komentarnya, "Tapi kenapa ya rasanya bukan lo banget?"
Damar tertawa, "Nggak semua orang tahu, itu masalahnya", cengirnya. "Tapi, cuma itu kerjaan
yang bisa gue lakukan sekarang"
"Lo aneh, ada apa sih?", Erris bertanya lagi saat melihat Damar masih saja tersenyum lebar dan
ceria. Damar meliriknya sejenak sebelum dia mengeluarkan sesuatu dari saku celananya.
Sebuah kotak kecil berwarna abu-abu.
"Serius lo?", senyum terlukis di bibir Erris saat Damar membukakan tutup kotaknya dan ada
sebuah cincin emas putih dengan berlian kecil di tengahnya.
Damar mengangguk-angguk. Erris menepuk punggungnya dan Damar nyaris jatuh ke depan di mana lapangan rumput sudah
menanti di bawah. Setiap angin berhembus, tempat ini menjadi sejuk. Atap gedung kampus
yang menghadap jalan raya dan mereka bisa menghitung kendaraan yang lewat sampai bosan
lalu turun saat pelajaran di mulai. Erris akan meninggalkan kampus ini lebih dulu, hanya
beberapa bulan lagi menjelang wisuda dan dia akan menjadi seseorang yang baru lagi
setelahnya. Ada banyak hal yang terjadi, hal-hal menyenangkan yang tidak pernah terbayangkan
sebelumnya. Tuhan mempunyai rencana yang indah untuk setiap orang yang percaya Dia selalu ada di atas
sana. Erris mulai mencari-cari ponselnya. Untuk memberitahu Rory bahwa salah seorang dari mereka
akan mendahului memulai lembaran baru.
--Seorang wanita cantik tampak keluar dari mobil yang baru saja selesai parkir. Dia menunggu
pria itu keluar dan Rory menarik nafas panjang sambil mencoba menghubungi nomor itu lagi.
Tapi,.dia masih mendapat jawaban yang klise 'Nomor yang anda hubungi tidak dapat...bla bla
bla'. Rory segera mematikannya. Dia tidak mengerti kenapa dia harus ada di sini untuk mengawasi
mereka. Semua sudah jelas. Perempuan itu tidak pernah kembali lagi kepada kekasihnya yang
sekarang sudah berpaling.
Suara senapan mesin itu kembali berteriak lewat ponselnya. Dan nama Erris muncul di layar.
Mata Rory masih mengawasi mereka yang sedang mengobrol akrab sambil tertawa. Pria yang
selalu dia ikuti dan kekasih barunya yang cantik.
"Ada kerjaan sedikit...", ia menjelaskan, "Ya, gue tahu kok. Gue bakal berhenti karena Natha
memang nggak suka. Tapi, ini bikin gue merasa terganggu..."
Kedua orang itu akhirnya berlalu setelah mereka menghilang di antara mobil-mobil yang parkir.
"Perempuan itu menghilang, Ris", jelas Rory yang sudah terlibat secara emosional dengan
seorang klien, artinya melanggar kode etik yang dia tetapkan sendiri dalam pekerjaan
rahasianya. "Gue cuma mastiin kalau dia sudah mengakhiri ujian konyol itu...Iya, gue tahu kok
itu bukan urusan gue...gue nggak menguntit lagi sekarang...iya deh iya, gue ke sana sekarang..."
Rory menghela nafas. Dia sudah memutuskan berhenti karena tadi pagi Natha mendebatnya
lagi. Dunia Rory yang Natha tahu persis adalah pekerjaannya sebagai mahasiswa yang nakal dan
pembolos. Juga seorang stalker profesional yang katanya tidak pernah gagal sampai misinya
selesai. Natha juga sudah lama tahu dia berasal dari keluarga mapan dan Rory hampir tidak
pernah merasa kekurangan. Dia juga seorang pemberontak yang berusaha melakukan
semuanya sendiri. Rory balik kanan, berpikir untuk pergi ke kampus dan saat itulah dia melihat ada dua orang pria
berbaju hitam sudah ada di belakangnya. Mereka mendekat dan Rory segera menghindar saat
tahu bahwa mereka akan menangkapnya.
Mereka mengejar! Sosok pria yang diikutinya sudah tidak tampak. Mungkin dia dijebak dan sudah lama ketahuan!
Motornya jauh tertinggal di belakang. Rory terus berlari sepanjang area parkir, menghindari
mobil masuk yang membunyikan klakson panjang saat ia nyaris tertabrak.
Sekolah Jerit 2 Joko Sableng Pedang Keabadian Satria Terkutuk Kaki Tunggal 2
mematahkan hati Rory berkali-kali. Rory mencoba mempercayai bahwa selama ini Erris diam,
bersikap dia adalah teman yang paling mendengarkan. Ekspresi Erris tidak terbaca sehingga
tidak ada seorang pun yang tahu, apa yang ia sembunyikan.
--Natha diam, Rory tidak bicara. Sibuk sendiri-sendiri setelah pertemuan semalam yang
melegakan bagi keduanya, namun sekarang jadi tidak ada artinya lagi.
Rory keluar dari kamar, setelah mandi dan berpakaian sementara Natha di dapur mengolesi
rotinya dengan selai hijau sarikaya. Sambil memperhatikan Rory, mengambil sepatu dan duduk
di sofa untuk memakainya. Rory menyandang ranselnya keluar tanpa bilang apa-apa dan pintu
depan tertutup dengan bunyi keras. Natha menaruh rotinya kembali di piring, dia kehilangan
nafsu makannya. Suasana hati Rory sedang buruk. Dia tampak ingin memukul seseorang hari ini dan sudah lama
Natha tidak melihatnya semarah itu. Rory menakutkan. Dia menakutkan jika marah, seolah
apapun yang ada di dekatnya akan dia lemparkan. Karena itu Natha menjaga jarak darinya.
Natha tidak mengajaknya bicara. Begitu bangun tidur, Rory sudah duduk di sofanya dan pasti
dia tidak tidur semalaman. Saat pintu kamar terbuka, ia langsung masuk menuju kamar mandi,
dia juga membanting pintu dengan keras. Ia membuka lemari dengan tidak sabaran,
memberantaki isi lemarinya hanya untuk mencari sehelai kaos yang baru. Dia terlihat sangat
emosional saat lemari tidak bisa merapat karena tersangkut dia menendangnya sampai engselnya lepas. Dia berjalan terburu-buru keluar.
Ada kesedihan yang tidak bisa diungkapkan saat itu.
Kegaduhan semalam membuatnya penasaran. Ia bangkit dari tidur pura-pura-nya untuk
mencari tahu asal suara-suara itu. Ia berdiri di jendela mengintip diluar melihat Rory
kehilangan kendali, mengetahui sahabatnya berkhianat. Chris di sampingnya dan mereka
seperti baru saja pulang dari pertunjukan sirkus yang gagal.
Rory tidak bisa tidur. Ia tampak gelisah berbaring di sofa, lalu ia bangkit untuk duduk, lalu
berbaring lagi, itu terjadi berkali-kali. Dia membungkuk, terlihat mengepalkan tangannya
dengan kuat. Dia berusaha menahannya tapi dia tidak cukup mampu mengatasinya.
Natha ingin keluar, menghampirinya. Duduk di depannya, menggenggam tangan-nya yang
mengepal gemetaran itu agar Rory mengalihkan wajahnya kepada dirinya. Jika Rory sudah
menatapnya, semoga itu bisa mengurangi gemuruh di hatinya. Natha mungkin akan
merangkulnya seperti saat Rory menghilangkan ketakutannya di pinggir jalan kemarin. Dan jika,
sebuah ciuman bisa menyapu semua amarah itu, Natha akan memberikannya. Natha tahu,
itulah yang ingin dilakukan Rory saat melihatnya tertidur, tapi ia urung saat wajah mereka
hanya berjarak beberapa inci lagi. Rory memilih keluar dari kamar.
Betapa pun inginnya dia, Natha tidak melakukan semua itu. Karena separuh hati Rory, sudah
dibawa pergi Uki. Rory terjaga semalaman, begitu juga dirinya yang meringkuk kesepian di balik pintu yang
memisahkan ruang mereka. Natha mengumpulkan semua yang ia tahu tentang Rory, untuk
menyatukannya menjadi sebuah kepastian bahwa dia tidak seperti apa yang terlihat dari gaya
rambut dan tato-nya. Tapi, Natha mulai merasa, apa yang terjadi pada Rory bukan sekedar
karena Erris, sahabatnya tapi juga gadis itu, yang pernah dia cintai selama bertahun-tahun.
Pikirannya sendiri membuat Natha kecewa.
Natha terdiam sejenak, lalu menyadari bahwa roti gandum-nya sudah habis. Ia harus pergi
membeli yang baru nanti. Mungkin sendiri, karena Rory pasti sibuk seharian ini mengurus
masalahnya. --"Gue kecewa bukan karena Uki nggak pernah jadi milik gue, Ris", kata Rory pada Erris yang
tertunduk penuh rasa bersalah.
Rory seperti banteng yang sedang mengamuk. Matanya merah dan sudah jauh melewati batas
yang ia sebut titik sabarnya. Dia sedang membayangkan bagaimana mereka berdua sembunyi
dengan aman. Setiap kali Rory bercerita padanya soal Uki, dia dengan penuh perhatian
mendengarkan, bahkan memberi saran. Sekarang, semua itu menjadi duri dalam daging, dan
Rory merasa dibodohi selama bertahun-tahun.
Laras menariknya dari Erris, sebelum Rory bermain dengan kepalan tangannya dan Erris akan
terluka. Erris tidak bisa berkelahi. Dia pasti akan 'habis' di tangan Rory jika seseorang tidak
menghentikan kegilaannya itu.
"Rory, udah", ujarnya, dia sudah menyiapkan diri untuk situasi seperti ini dari semalam. Karena
dia adalah orang pertama yang diberi tahu Erris telah melakukan kesalahan yang berat "Semua
udah terjadi, kita nggak bisa apa-apa lagi sekarang"
Tidak ada satu kata pun yang keluar dari bibir Erris selain maaf. Dia sudah menceritakan
semuanya kepada Laras, karena rasa bersalah sudah lama menyiksanya. Dia bisa berkata semua
sudah berakhir, dan tidak ada yang salah dengan itu. Tapi, satu-satunya hal yang tidak bisa
dimaafkan adalah, dia menyembunyikannya dalam waktu yang sangat lama.
"Lo bersikap seperti teman setia! Lo bahkan mengusir Natha demi kepentingan gue!
Sebelumnya lo ngapain, Ris"!"
Damar membantu Laras, menahan Rory, "Cukup, Ror!", katanya memegangi pundak Rory dan
menahannya lebih kuat. "Kita bisa selesaiin masalah ini, oke?"
"Lo nggak hanya bohongin gue, tapi Laras dan Damar juga! Gue hanya pingin tahu, kenapa lo
lakuin ini ke kita!", Rory tidak peduli, kemarahannya semakin meluap. Menatap Erris seperti
menatap musuh dan mereka tidak pernah demikian buruk sebelumnya.
Tidak ada yang mencoba me-reka ulang saat-saat penuh tawa di SMA. Mereka masih
mengenakan seragam putih abu-abu dan memakai sepatu kets ke sekolah. Rory, Erris dan
Damar, masih berambut cepak sedangkan Laras, memakai rok. Rory menjelma menjadi
pembuat masalah berkat Damar. Erris terpilih jadi ketua OSIS, sementara Laras dan Damar
mulai kasmaran. Lalu Uki masuk, di tahun ke dua mereka. Menyita perhatian semua orang
dengan kemampuan menyanyi-nya.
Mereka yang ibarat api kecil pada sebatang korek jika sendirian, tapi jika sudah lengkap,
mereka bisa membakar apa saja.
Erris jatuh tersungkur di lantai, menimpa sebuah kursi yang ada di belakangnya.
"Rory"!", Laras menjerit.
Rory berbalik, menatapnya lalu Damar, "Masih mau berteman sama pengkhianat"!", teriaknya
sebelum pergi dan menendang kursi yang menghalangi jalannya.
Semua mata tertuju padanya dengan ngeri.
--"Kamu dari mana?", Rory bertanya. Suara yang dingin terasa menakutkan bagi Natha yang
terdiam di depan pintu karena terkejut. Dia pikir siapa yang tengah duduk di sofa seperti
patung, tapi tiba-tiba bergerak.
Natha pulang dengan membawa barang belanjaan karena ia tidak mau menunggu Rory dan
memutuskan untuk lebih mandiri. Lagipula Rory bukan pacar yang harus mengurusi semua
kebutuhannya. Jadi dia melangkah melewatinya tanpa menjawab. Dia hanya pergi belanja dan
Rory lihat kantong-nya. Rory segera berdiri, "Aku tanya kamu dari mana"!". Ia bertanya sekali lagi sambil menarik
lengan Natha kuat-kuat, Kantong belanjaan Natha terjatuh karena dia kehilangan keseimbangan oleh suara yang
terdengar layaknya petir di tengah mendung.
"Aku pergi belanja!",
jawab Natha, berteriak, karena kesal. Dia tidak harus menjadi
pelampiasan Rory karena ini sama sekali tidak ada hubungan dengan dirinya. Bahkan dia tidak
ikut campur, berpendapat juga tidak. Masalah itu juga sudah ada jauh sebelum dia hadir di sini.
"Kenapa nggak bilang"!", tanya Rory, belum melepaskan tangannya.
Sekarang mereka berhadapan, Natha membalas tatapannya dengan cara yang sama, tajam dan
menantang. Seperti tidak pernah bosan, membangkitkan amarah Rory. Natha pun tidak punya
pilihan, jika tidak melawan, apa yang akan dilakukan lelaki marah ini padanya" Dia sangat
menakutkan untuk dipandang, langsung ke matanya.
"Kenapa aku harus bilang"!", cetus Natha berusaha melepaskan tangannya. "Aku memang
tinggal di rumah kamu tapi nggak berarti kamu juga mengatur-ngatur aku!"
"Kamu tahu akibatnya tersesat seperti kemarin malam"!"
"Apa peduli kamu"!"
"Aku peduli!" "Kenapa harus peduli"! Memang aku ini apanya kamu"!"
Rory melepaskannya segera dengan kasar.
"Apa kamu baru aja mukul orang gara-gara cewek impian kamu?", gerutu Natha sambil
membungkuk, mengambil barang belanjaannya yang terjatuh.
Rory masih diam di tempatnya, "Kamu nguping ya?", tanya Rory lebih tenang.
"Dengan suara sekeras itu siapa yang nggak akan bangun"!", tandas Natha.
Natha menahan rasa takutnya.
"Segala sesuatu yang berhubungan sama pegawai supermarket itu selalu membuat kamu jadi
gila! Kenapa kamu nggak kejar dia dan berhenti melampiaskan kekesalan sama aku!", teriak
Natha sebelum ia masuk ke kamar dan menutup pintu. Natha juga langsung menguncinya,
takut kalau-kalau Rory akan memaksa masuk.
Tatapan cowok itu membuatnya merinding, seakan membakar dan melelehkannya. Hingga
tanpa sadar tubuhnya tidak berhenti gemetaran. Natha bersandar lemas ke pintu, melepaskan
kantong belanjaan dari genggaman, lalu dia beringsut ke bawah. Meringkuk ketakutan dan
menangis kebingungan. Rory sangat menakutkan. Dia kelihatan seperti mau membunuhnya.
Sementara itu, Rory tertegun di depan pintu yang kini menghalangi pandangannya.
Memandangi pintu yang tertutup rapat dan sudah pasti dikunci oleh Natha yang tidak ingin ia
mendekat lagi. Apapun yang terjadi padanya, sungguh, gadis itu tidak pantas menerima semua
sisa amarahnya. Bukan salahnya, aku lah yang bersalah..., hatinya bergumam.
ooOoo BAB 12 Forgiveness "Aneh?", gumam Natha memandanginya dengan tatapan menyeledik.
Rory tersenyum dengan lesung pipinya. Tapi, masih belum pudar dari ingatan Natha rautnya
yang menakutkan tadi siang, seakan tersimpan di kepala selamanya. Bagaimana bisa dia bisa
bersikap seolah tidak pernah terjadi apapun"
Mereka ribut tadi siang dan sekarang ada di restoran mahal untuk makan malam.
Rory terlihat lebih santai menghabiskan makanannya dan sering berkata "ini enak". Tapi Natha
menggeleng, saat Rory lupa lagi, dia tidak makan daging. Rory minum air putih dalam gelas,
meneguk setengahnya lalu menaruhnya lagi. Sedangkan Natha belum menyentuh salad
miliknya. "Kenapa?", tegur Rory, memperhatikan Natha sedikit gelisah.
"Apa sih maksud kamu ngajak makan di luar?", tanya Natha, tangannya menggenggam
gaunnya, di bawah meja. Ia berusaha menyembunyikan kegelisahannya.
"Ini permintaan maaf karena tadi siang marah-marah sama kamu", katanya, tenang dan
mengandung makna yang sungguh-sungguh, "Aku sadar sepenuhnya bahwa apapun
masalahnya, kamu nggak pantas menerima sikap aku tadi"
Natha tersenyum sinis, melihatnya yang sekarang tidak ada yang menyangka empat jam
sebelumnya dia kehilangan kontrol yang benar-benar parah, "Aku pikir kamu sama sekali nggak
sadar," Rory menarik nafas lagi, "Aku serius", ia menegaskan, agar Natha tidak menjengkelkan di saat ia
mengaku salah. "Aku minta maaf"
"Jadi apa yang kamu lakukan ke Erris?", tanya Natha yang penasaran kelanjutan kejadian
semalam. "Aku nggak mau ngomongin itu", wajah Rory berubah masam.
"Tangan kamu pasti sudah mendarat di wajahnya Erris", tebak Natha dan Rory berpura-pura
tidak terpengaruh. "Nggak punya pilihan lain", Rory membenarkan.
"Itu nggak menyelesaikan masalah", kata Natha.
"Aku tahu, tapi sekarang masalahnya udah selesai, Little Mermaid", jelas Rory melirik salad
Natha, "Cepat habisin, aku capek, mau cepat-cepat pulang"
"Kamu mengirim Erris ke neraka?", Natha "nyeleneh" lagi dengan gayanya yang menyebalkan.
"Belum", jawab Rory santai.
"Masalahnya bukan sama Erris", kata Natha, "Kamu kesal mengetahui kamu terlambat untuk
tahu alasan dia menolak kamu lagi dan kamu benar-benar sudah kehilangan kesempatan untuk
mendapatkan dia" "Sok tahu", cetus Rory menolak dahi Natha dengan ujung jari telunjuknya.
"Iiih, apa sih"!" Natha langsung menepiskan tangan Rory dari kepalanya.
--"Harusnya kita punya kulkas, supaya aku bisa buat salad sendiri", kata Natha menyeberangi
ruang depan menuju kamarnya.
Rory tersenyum simpul, "Tapi kamu pernah bilang nggak ada istilah "kita" di sini", katanya,
sekedar mengingatkan, dia pernah ditolak dengan cara itu, dengan kata-kata 'kita'.
Natha berbalik dan dia tersenyum, dengan sedikit malu-malu, saat Rory berdiri di depannya.
Dan ia berusaha menatapnya tanpa ketakutan seperti tadi siang.
"Kamu mau buat pengecualian untuk kali ini?" Rory bertanya dengan lesung pipi yang terlihat
lebih jelas dari dekat. Dia semakin mendekat ke wajah Natha dan yakin Natha tidak akan
mendorongnya. Dia akan mengakhiri semua keragu-raguan ini dengan satu ciuman, pikirnya
semakin mendekat, mengisi kekosongan diantara dadanya dengan Natha.
"Aku pikir?", Natha menjawab, ia mundur selangkah sebelum itu sempat terjadi dan
membuatnya tidak bisa tidur, "Aku nggak berpikir seperti itu, Mr. Stalker"
Masalahnya hanya satu. Rory tampak belum melepaskan Uki sepenuhnya. Inilah akar dari
amukan Rory siang ini. Natha terlalu berat mengakui bahwa ia kecewa. Dan Natha tidak akan
membiarkan Rory masuk untuk membuatnya terluka.
Rory terdiam. Tidak marah, dan justru tampak maklum, pada reaksi Natha. Syukur ia tidak
dimaki atau ditampar karena berbuat kurang ajar. Sadar, mereka sekarang, adalah tanpa ikatan
dan suatu kesalahan, jika tetap melakukannya
Natha mundur, masuk ke kamarnya, "Aku ngantuk", katanya, sebelum menutup pintu dan
menghilang dari pandangan Rory. Dia bersandar ke pintu yang tertutup, menghembuskan
nafas, dan kembali meringkuk di sana.
"Oke"Miss Broken Heart?", ia bergumam pelan setelah pintu tertutup, kembali di depan
wajahnya, lalu berbalik dengan kecewa sambil menyapukan helaian rambutnya ke belakang.
Menghembuskan nafas panjang, lalu duduk di sofa, tempat terakhir-nya. Tersenyum untuk
dirinya sendiri, "Ini nggak mungkin, Rory?"
--"Ini sih bukan soal Uki lagi..", kata Laras, dengan kepala terkulai di atas meja. Tiga sloki
membuatnya tidak berdaya sekarang.
Damar yang sedang merokok dan minum, menggeleng, "Kalau Rory nggak ada, gue yang pukul
Erris", katanya, "Itu kelewatan, kita ini dianggap apa sih?"
Laras tertawa pelan, rambut panjangnya menutup setengah wajahnya yang lemas, ia menepuknepuk punggung Damar, "Udah?", katanya serak, "Kalian sahabatan sejak lama?"
Damar tersenyum simpul, melirik Laras yang harusnya sudah diseret pulang. Cewek ini memang
nggak pernah berubah, pikirnya. Tipe yang terlalu cuek dan santai. Laras adalah "Rory" versi
cewek, karena juga punya tato di tubuhnya.
"Lo tau nggak sih Erris yang paling sabar di antara kita?", tanya Laras, setelah mengangkat
kepalanya kembali dan menatap Damar sejenak. "Di antara kita cuma dia yang"agak normal.
Maksudnya"dia berusaha untuk serasional mungkin di saat kita bertiga berusaha menjadi apa
yang nggak bisa orang lakuin?"
Tidak ada tanggapan dari Damar yang menyalakan sebatang rokok lagi dan menghisapnya
untuk meniupkan asap tebal dari mulut dan hidungnya.
"Setiap kita bikin masalah, selalu dia yang tanggung jawab. Ingat waktu itu Erris nyembunyiin
kita setelah Rory nabrak orang saat kita liburan ke Anyer" Erris ikut terlibat padahal waktu
kejadian dia nggak sama-sama kita, Mar. Dan lo ingat ketika lo sama Rory berantem dan dia
coba melerai, tapi lo malah pukul dia. Sampai Erris luka di kepala. Erris dijemput polisi di
sekolah, ikut-ikutan jadi tersangka karena melindungi kita", kenang Laras, "Erris ketua OSIS,
punya teman yang semuanya anak bandel. Dia nggak pernah bilang kita merusak reputasinya di
sekolah dan dia sering dinasehati guru supaya bisa mengiring kita ke "jalan yang benar", dia
nggak pernah memaksa kita keluar dari jalur kita supaya dia dianggap hebat"gue
rasa"perjuangan Erris saat itu hebat juga sih?"
"Termasuk perjuangan nyembunyiin Uki?", Damar sinis. "Dari Rory yang patah hati berat, dan
dari kita, yang dia bela dari orang-orang?"
"Gue cewek, Mar", kata Laras lebih serius.
"Bukan itu masalahnya, apa kita seperti orang-orang itu kalau Erris terus terang?", Damar nggak
setuju. "Kita sahabat! Bukan baru kenal sebulan dua bulan"
Laras tertawa lagi, pelan dan dalam,
"Gue ngerti posisi Erris", katanya, terdengar pembelaan seorang pengacara sukarela bagi Erris,
"Yang satu sahabatnya, yang satu cewek yang dia suka, dia nggak bisa memilih salah satu.
Harusnya kita yang pengertian. Toh, Uki juga nggak akan pernah suka sama Rory sekalipun Erris
nggak ada. Cinta nggak bisa dipaksain, Mar"
"Kayaknya lo tambah pintar sejak pulang dari Australia", celetuk Damar, tiba-tiba, tertawa
pelan dan sinis. Seperti ejekan, karena selama ini Laras hanya tahu soal marah tanpa sebab.
Laras bungkam cukup lama, dan terkulai tanpa bicara.
Damar terkejut saat melihat Laras mengeluarkan rokok dari tasnya lengkap dengan pemantik
apinya. Dia baru tahu sekarang Laras juga perokok selain peminum. Dia juga punya tato di
punggung sebelah kirinya dan sejak tadi ia abaikan, karena tertulis sebuah nama 'Myles' di
sana. Nama yang seringkali membuat amarahnya meledak-ledak. Tapi, sudah bukan hak-nya
untuk marah. Damar mengalihkan pandangannya ke minuman yang dia pesan. Menyingkirkan semua yang
pernah mengganggu perasaannya.
Laras membuat tato-nya di Australia. Tampaknya juga tidak peduli, sekarang Damar jadi
mengetahuinya. Ia menganggap semua yang terjadi hanya kenang-kenangan. Hanya sebatas
kenangan. Karena mereka sekarang melangkah di jalan yang berbeda.
--Natha mendengar suara berisik dari dapur, yang membuat matanya terbuka sekarang. Dia baru
saja tertidur karena bosan sepanjang siang. Ini sudah jam empat sore tapi tidak terdengar
kegaduhan dari suara TV yang dinyalakan Rory untuk sekedar santai, sebelum ia keluar lagi,
melakukan "pekerjaan".
Natha terkejut saat melihat dua orang asing baru keluar dari dapurnya. Mereka berseragam
toko elektronik dan baru akan pergi. Ia mengucek-ngucek matanya saat melihat Rory ada di
dapur dengan sebuah kulkas baru!
"Kamu mau pergi belanja sekarang?", tanya Rory yang tersenyum padanya di pintu, sebagai
kejutan. Senyum terpancar di wajahnya, Natha mengangguk, menghampiri Rory. Dengan senang hati dia
tidak akan menolak. Lalu pergi dengan taksi, agar bisa membawa lebih banyak barang.
Mengurung Bidadari Karya A Rita di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Rory datang mendorong trolley. Dia memasukan apa saja yang dia suka ke dalamnya sambil
berjalan. "Kamu nggak akan mengembalikannya ke rak kan?", Rory bertanya saat mengambil satu paket
mie instan yang terdiri dari lima bungkus.
Natha tersenyum manis, mengambil paket mie instan-nya dan Rory sempat berpikir bungkusan
itu akan pindah ke trolley, tapi malah kembali ke tempatnya.
"Aku bukan orang Jerman!", serunya begitu Natha mendorong trolley ke tempat lain. "Aku
nggak biasa makan roti yang cuma bisa tahan kurang dari satu jam di perut!"
"Aku pernah dengar kalau makanan pokok orang Indonesia bukan mie instan", balasnya,
menoleh sebentar lalu berjalan lagi.
Ini moment paling menyenangkan yang pernah ia alami. Natha mendorong trolley-nya di antara
rak khusus makanan kecil. Ia mengambil beberapa bungkus snack, lalu berjalan lagi. Mereka
butuh snack untuk nonton TV dan saat Rory membalik-balik buku pelajarannya sambil tiduran
di sofanya. Rory sudah tidak terlihat mengikutinya. Natha pun keluar dari lorong khusus snack dan
menemukannya kembali. Rory sedang mengobrol bersama si kerdil itu di depan rak khusus mie instan.
Natha baru tahu bahwa cewek itu bekerja di supermarket langganan mereka. Natha pun
menarik trolley-nya pergi, ke tempat lain. Di mana dia tidak akan melihat mereka lagi.
--Natha mengangkat satu kantong ke atas meja di samping kulkas baru dan ingin mengisinya
dengan buah dan sayur. Dengan gembira ia menyusun semuanya dengan terampil dan cekatan.
Rory mengambil sebuah apel dari dalam kantong, mengelapnya sebentar dan menancapkan
gigitan pertamanya, yang berbunyi, "krauk" yang terdengar jelas oleh Natha yang tersenyum di
sampingnya. Manis, katanya, saat melirik Natha.
"Aku mau pergi, ada urusan", kata Rory padanya, sekedar member tahu, ia mungkin tidak bisa
menemani sampai malam. Natha mengangguk, biasanya dia akan bilang, "kenapa aku harus tahu?". Kali ini sikapnya lebih
manis. Mungkin karena terlalu senang, "Ambilin kantong yang itu dong?", pintanya lembut
pada Rory sambil menunjuk salah satu di antara dua kantong yang isinya belum dikeluarkan.
Rory ingin berkomentar, bahwa ini pertama kalinya Natha berbicara padanya dengan nada
seperti itu, dan meminta tolong padanya. Ia mengambilkan salah satu, menaruhnya di atas
meja, menyingkirkan kantong yang sudah kosong, agar Natha bisa mengeluarkan isi kantong
yang baru. Menyusun telur, jus jambu dan jeruk, serta susu cair di dalam kulkas. Rory menarik
perkiraannya bahwa Natha adalah nona kaya yang tidak tahu apa-apa selain marah-marah.
Natha tersenyum, menatap ke bawah. Tersirat sebuah kekecewaan yang ganjil. Sekarang dia
berpura-pura bisa tertawa, sementara hatinya menjerit sejak mereka di supermarket.
Dapur lebih terlihat seperti dapur, dengan adanya peralatan makan yang baru.
Tawa renyah terdengar saat mereka saling ejek dengan ringan. Rory menyikut tangannya yang
sedang bekerja, dan Natha bergeser agak jauh. Lalu seseorang mengetuk pintu.
"Jangan lemari", Natha mengingatkan ia nggak ingin dikurung seperti waktu itu lagi, saat Rory
menoleh padanya. "Iya", jawab Rory yang segera pergi ke depan, sementara Natha masuk kamar. Rory baru
membuka pintu setelah memastikan bahwa Natha menutup pintunya rapat-rapat.
--Tidak ada yang perlu ditakutkan, hanya Erris.
Rory menatapnya dingin saat Erris kembali menunjukan penyesalannya.
Sudah pasti datang untuk minta maaf dan memperbaiki apa yang sudah dirusaknya. Tapi,
semua memang bukan tentang Uki lagi sekarang. Hanya soal persahabatan. Semua ucapan Uki
di supermarket masih ia ingat dengan jelas. Uki memintanya untuk tidak membenci Erris karena
itu juga salahnya. Uki membela Erris itu pasti.
"Gue?", Erris memulai, ia duduk di teras, sementara Rory tetap di motor-nya.
Semua amarah sudah lenyap dari wajah Rory.
"Gue selalu bukan di posisi yang bisa berkeluh kesah, "jelas Erris.
"Harusnya lo bilang, Ris", tuntut Rory, menggelengkan kepalanya, ia berusaha menerima, ini
masa lalu, ini sudah terjadi, ini tidak bisa diubah lagi, "Gue kelihatan bodoh di depan semua
orang, tahu nggak?" "Gue tahu,..," jawabnya murung,
"Gue tahu Uki yang minta untuk tetap diam. Sebenarnya ada masalah apa lagi sih di antara
kalian?", tanya Rory, teringat pada kata-kata Uki yang akhirnya mengakui sekaligus
membenarkan analisa Chris, adiknya.
Erris tetap tertunduk, "Nggak akan mudah bagi Uki, jika semua tahu. Gue seperti penghalang
buat dia meraih apa yang dia mau. Bodohnya gue turutin kemauan dia karena gue nggak
pernah bisa lepasin dia", jawabnya, "Gimana mungkin gue jujur kalau pacar gue adalah cewek
yang disukai sama temen gue sendiri?"
"Terus, sekarang kalian gimana?", tanya Rory.
"Uki nggak lagi seperti Uki yang dulu. Gue pernah hancurin hidup dia, sekali untuk selamanya,
Sampai sekarang gue masih terus mencoba perbaiki kesalahan gue tapi dia nggak pernah mau
terima gue lagi." "Memangnya apa yang lo perbuat ke dia?" Rory mengernyit, "Lo tahu Chris dekatin Uki, apa
nggak masalah buat lo?".
Erris menggeleng, "Gue nggak ngerti...", jawab dia, bingung.
Rory menarik nafas panjang, "Sumpah, sekarang gue nggak ingin lagi membahas masalah itu.",
kata Rory mengakhiri kebingungan Erris yang tampak tak punya penjelasan lain selain dari
keragu-raguan dan rasa bersalah yang tersirat di wajah murungnya. "Itu sudah jadi urusan lo
dan Uki" "Lo mau maafin gue kan?", tanya Erris.
Rory menarik nafas panjang lagi, "Gue kenal lho sudah separuh umur", jelas dia, menatapnya
lalu tersenyum simpul, "Dan ini memang pertama kalinya lo ngelakuin hal yang bikin gue kesel
setengah mati. Pertama kali, tapi paling nyakitin. Tapi...kalau diingat-ingat lagi, semua itu belum
ada artinya dibandingkan sama apa yang pernah kita hadapi sama-sama. Lo, gue, Laras dan
Damar...Nggak akan adil kalau persahabatan kita putus cuma gara-gara masalah ini..."
Sedikit senyuman diperlihatkan Erris ketika raut Rory sudah berubah santai.
ooOoo BAB 13 In Love Laras mendengus, "Oke, ratu pesta kita sudah datang?", katanya pelan.
Natha meliriknya dan memastikan Laras melihat ke mana.
Ada seorang cewek baru, satu lagi, yang sekarang menjadi bagian dari mereka. Yaitu,
gandengan Damar, Hilda yang katanya cantik selangit. Ia menghampiri semua orang dengan
senyum dari bibir yang penuh lipstick peach. Ia harusnya berlenggak di catwalk dengan
penampilannya malam ini. Benar, kabarnya Hilda adalah seorang model.
Hilda, berkulit putih, bentuk tubuh yang mirip seperti Laras, sedikit sentuhan feminin. Dia
memakai high heels runcing dengan tinggi 11 cm bertali halus berwarna keemasan. Hot dress
dengan belahan dada rendah, warna ungu muda.
"Aku nggak suka ungu", Natha mendesis, saat ingat Rory pernah membelikan satu untuknya
dan dia tidak mau terlihat "sama dengan", dengan cewek berambut lurus sebahu itu.
Laras cekikikan di sampingnya, "Aku nggak suka dia", sambungnya, mempertahankan sikap
tenangnya, walau jelas-jelas ia melihat Damar dan cewek itu terlalu mesra, "Harusnya mereka
cari kamar kosong" Rory ikut cekikikan mendengar umpatan Laras pada pacar mantan pacarnya. Sambil memukul
Erris di depannya, mengingatkannya untuk ikut tertawa juga, Damar membawa badut cantik ke
perkumpulan mereka yang "ekslusif".
"Hai semua", Hilda menyapa sambil mengambil tempat duduk di kiri Erris, diikuti Damar di
sampingnya. Sekarang Damar berhadapan dengan Laras. Rory mulai bercanda soal hari ini di kampus saat ia
menjatuhkan puntung rokok dari atas atap gedung kampus dan mengenai Pak Subagja, dosen
kalkulus-nya. Dia tidak takut sekalipun ini berakibat fatal baginya dan malah menjadikannya
lelucon segar. Erris seperti orang mabuk saat berusaha mengikuti cerita dan berpendapat
bahwa DO sudah mengancam Rory dan ia harus mengucapkan "bye" kepada gelar SE -nya
setelah ini. Rory tertawa, dia merokok lagi.
"Apa kalian nggak tahu perokok pasif kena efek yang lebih parah dari polusi ini?", gerutu Natha
sambil mengipas udara di sekitarnya dari asap rokok yang menyerangnya sejak tadi. Ia batuk
beberapa kali dan berpikir untuk menggeser kursinya agak ke belakang.
Rory langsung mematikan rokoknya di saat ia baru menyulutnya. Lalu tersenyum pada Natha,
"Nggak perlu jauh-jauh lagi, Little Mermaid?", katanya dan cekikikan. Meminta Natha
menggeser kembali kursinya ke depan.
"Sekarang kalian punya panggilan kesayangan rupanya?", celetuk Damar, ikut cekikikan.
Natha menyipitkan matanya kepada Rory maupun Damar - ekspresi paling lucu dan konyol yang
pernah mereka lihat dari Natha yang biasanya berwajah cemberut. "Iya", jawab Natha, "Kalian
nggak tahu aku panggil dia Mr. Stalker?"
Damar dan Laras tertawa makin keras, saat Rory melirik Natha dengan tatapan penuh
peringatan, "stalker" adalah julukan yang tidak dia sukai.
"Stalker?", Hilda berusuara setelah ia berpura-pura "jaim" dengan sikap yang tampak anggun
dan terhormat, dia masih mengalahkan gaya perfeksionis Natha yang sangat alami "Itu julukan
buat penguntit kan?"
Rory cukup tersinggung, "Ya, aku suka menguntit" katanya. "Laras perokok berat, Erris maniak
dan Damar kolektor cewek"
Laras cekikikan lagi, melihat ekspresi Hilda yang lebih tersinggung.
Damar tidak mengatakan apapun, ketika pacarnya merasa tidak nyaman dengan temantemannya yang lebih dari "kacau". Ia malah ikut tertawa, "Itu hinaan", katanya memperingatkan
Rory, "Gue punya banyak miniatur mobil klasik di rumah" --Rory menggeleng. "Gue nggak ngerti sama apa yang ada dipikirin sama cewek itu", jelasnya.
Erris di sampingnya, melirik sebentar sebelum kembali lagi ke tempat di mana Laras dan Natha
mengobrol dengan serius. Sementara Damar sibuk di lantai dansa bersama pacarnya.
"Lo jatuh cinta sama dia?"
Rory kembali tersenyum, entah apa yang dia rasakan. Terlalu cepat memastikan Uki sudah
benar-benar hilang dari hatinya, namun, mengetahui Erris lah satu-satunya yang pernah dicintai
Uki tidak lagi membuatnya kecewa. Mungkin saja, ia dan Natha bertemu di saat yang paling
tepat untuk mengakhiri semua perasaan ingin tahu dan menggebu-gebu terhadap Uki.
"Gue punya pandangan yang nggak terlalu bagus sama cewek bule", kata Rory, "Dan gue ingat
betul saat Natha memohon sama cowok brengsek itu, nggak semudah itu buat dia bisa lupa..."
Erris mendengarkan tanpa komentar.
"Gue nggak mau jadi pelarian..."
"Apa dia kelihatan sedang jadiin lo pelarian?"
Rory angkat bahu, "Itu dia yang gue nggak ngerti", jawabnya, "Kadang dia suka dekat-dekat gue,
tapi tiba-tiba dia juga bisa marah dan ngusir."
"Kenapa nggak lo pastiin aja?"
"Gue nggak yakin secepat itu dia bisa berubah pikiran dari si brengsek itu lalu ke gue...",
jawabnya terdengar sedikit putus asa, "Dia pasti bakal pergi juga" ---"Aneh kalian nggak punya hubungan apa-apa", tanya Laras yang hampir tumbang karena
minum terlalu banyak dari biasanya.
Para cowok duduk di meja dekat bartender, mereka juga membicarakan masalah sesama dan
mungkin tidak dimengerti cewek. Hilda sudah meninggalkan mereka dengan kesal karena tidak
dipedulikan. Ia terlalu meremehkan Natha yang ia pikir cewek kuper tapi bisa mengendalikan
suasana menjadi menyenangkan dengan sikapnya yang menjengkelkan. Geng ini memang berisi
empat orang yang paling menjengkelkan yang pernah ada.
Natha punya Orange Juice-nya untuk diminum sampai mereka selesai. "Aku nggak minta dia
ikut campur masalah aku", jelas Natha, datar.
"Rory nggak pernah pacaran", Laras mulai bercerita, "Aneh untuk ukuran cowok yang
digandrungi cewek ke mana-mana nggak pernah punya pacar"
"Oh, aku tahu masalah itu!", potong Natha, "Ini selalu berhubungan sama cewek yang kerja di
supermarket itu kan?"
Laras megernyit, tidak menyangka Natha tahu soal Uki.
"Aku pernah ketemu", jelas Natha lagi, "Di beberapa tempat saat Mr. Stalker nggak bisa
berhenti mandangin dia"
Laras heran, gadis ini bisa dengan santai membahas sesuatu yang harusnya membuatnya
cemberut. Laras hanya tidak tahu, Natha sedang mengungkapkan kekesalannya atas apa yang ia
lihat. Membahas Rory dan gadis itu, seperti menyayat lukanya sendiri, tapi dia tidak bisa
berhenti bicara karena kesal.
"Oh ya?" "Sampai itu ada hubungannya dengan Erris, aku nggak tahu persis kejadiannya. Tapi, saat itu
Mr. Stalker marah-marah sama aku tanpa sebab", Natha berceloteh dengan santai. "Dia
berteriak"dan aku merinding"
"Terus?" "Ya, itu aja sih", jawab Natha santai. Dia minum jus jeruknya dari sedotan, sedikit lalu menatap
Laras. Natha tidak bisa menjelaskan ia sudah tahu karena banyak melihat.
Laras juga tidak tahu mereka tinggal serumah dan ia harus menjaga rahasia dengan tidak
banyak bicara. Lalu Rory datang membuat pembicaraan mereka terhenti sejenak. Ia langsung duduk sambil
menatap Natha seperti hendak mengatakan sesuatu yang penting. Semoga bukan kabar buruk
bahwa ia terlalu mabuk untuk mengendarai motor. Tapi, Rory memang tidak pernah minum
belakangan ini sejak mereka berakhir di hotel dekat klub.
"Kamu pulang s ama Erris ya?", katanya, "Aku ada urusan sebentar"
--- Mobil melaju di tangan Erris, santai dan pelan. Dia sangat berhati-hati di tikungan dan tidak
pernah berkendara melebihi kecepatan 70 km per jam. Dia tidak banyak bicara dan paling
tenang di antara teman-temannya.
Laras tertidur di belakang dan Erris selalu bertanggungjawab atas dirinya. Sementara Damar
pulang dengan mobilnya sendiri.
Natha duduk di samping Erris, memandangi setiap jengkal jalan di depannya yang terbentang.
Cahaya lampu jalan dan gedung-gedung yang menjulang. Semua tampak membosankan dari
atas mobil. Belakangan Natha terlalu sering naik motor yang melaju kencang bersama Rory
yang ugal-ugalan dan dia memeluknya dari belakang sepanjang jalan, bersandar pada
punggungnya dan sering membuatnya nyaris ketiduran karena terasa nyaman.
"Kamu punya berapa hari lagi sebelum masa berlaku visa-nya habis?", tanya Erris.
"Masih cukup lama, kenapa?"
"Kamu belum berencana kembali ke Jerman?"
"Adik aku sudah mengurus semuanya kok, tinggal berangkat kapanpun aku mau", jelas Natha,
kembali tenang pada nada suaranya. "Jangan berusaha bikin aku merasa bersalah karena harus
pergi, Mr. Stalker bakal baik-baik aja dan kalian kayaknya terlalu paranoid soal kita"
"Mungkin kamu udah terbiasa, menjalani hubungan tanpa ikatan lalu pergi, dan untuk
beberapa kebiasaan barat dan timur jauh beda", jelas Erris.
"Aku tahu ujung pembicaraan ini ke mana, kalian hanya nggak kenal aku", potong Natha. "Aku
memang tumbuh sama budaya barat, tapi aku nggak minum-minum dan belum pernah ke klub
seperti yang kalian lakuin tiap malam seumur hidup aku di Jerman. Dan sekarang kamu
menuduh aku meracuni teman kamu, menjadikan dia korban dari perbuatan aku!"
"Tapi, kenyataannya begitu, Renatha!"
"Terserah kamu sekarang. Aku nggak mau ikut campur urusan kalian dengan bilang ini, kamu
menghancurkan dia sampai sekarang gara-gara mengambil apa yang dia cintai! Dan dia bisa jadi
lebih gila setiap saat setiap ingat itu!"
Erris menepikan mobil di pinggir jalan tol dengan rem mendadak.
Mereka mendengar bunyi "tuk" saat Laras terjatuh dan masih bisa tidur di bawah jok.
"Kalau kamu tahu seperti itu kenyataannya kenapa kamu kembali ke rumahnya?", tanya Erris,
"Apa yang kamu mau dari dia, Renatha?"
"Bukan urusan kamu!", balas Renatha, seperti saat Erris memakinya dengan cara yang sama.
Natha jadi ingin mengatakan yang sebenarnya. "Dia mempermainkan aku! Dia menginginkan
aku tapi juga belum bisa melepaskan mantan pacar kamu! Dia seperti itu saat di depan aku, di
depan cewek itu dia berubah menjadi orang yang lain lagi! Dia nggak akan tersiksa setelah aku
pergi! Dia punya banyak pilihan di sini!"
--"Little Mermaid ngapain tidur di sini?", Rory membangunkannya di saat Natha baru terlelap
beberapa saat di atas sofa miliknya.
TV masih menyala, membiaskan cahaya ke wajah Natha yang lesu, terusik tidurnya. Ia duduk
dengan baik, menarik gaunnya menutupi pahanya. Natha merah padam, Rory melihatnya dan
itu mungkin akan mempengaruhi cowok itu dalam sesaat. Tapi, ekspresi Rory tetap biasa saja.
Hanya kelelahan yang ia perlihatkan saat duduk di sofa dan ia mengambil remote untuk
mengganti chanel. "Aku pikir kamu nggak pulang", kata Natha di sampingnya.
"Kalau nggak pulang aku mau tidur di mana?", balas Rory menjatuhkan punggungnya di atas
sandaran sofa merahnya, "Kamu nggak tidur lagi?"
Natha segera berdiri, dengan kikuk, ia bergegas meninggalkan Rory di sofanya. Sedikit berat
hati, melihatnya tepar seperti baru saja menjadi kuli bangunan. Rory menyimak tayangan di TV
sementara sinar matanya meredup. Sekarang, Natha jadi tahu arti semuanya. Ia masuk ke
Mengurung Bidadari Karya A Rita di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kamar dan mengunci pintu.
Rory memperhatikannya masuk lewat sudut matanya dan ia meluruskan kakinya ke depan
sambil menguap dan menghembuskan nafas panjang yang terdengar lelah. Lalu setelah merasa
cukup meregangkan pinggangnya yang sakit, ia membungkuk untuk melepaskan sepatunya dan
menaruhnya di lantai sisi kanan sofa. Setelah ia menggeliat, ia baru merasa yakin ia akan tidur
pulas. --- "Aku ada kelas pagi", kata Rory sambil mengambil minum dan ia telah rapi sekitar setengah jam
yang lalu, namun ada yang aneh dengan suaranya. Terdengar serak, lendir mengisi penuh
hidungnya. "Kamu demam", kata Natha yang sedang membuat sandwich.
"Aku bersyukur aku bisa sakit juga", katanya begitu selesai minum dan menaruh botol airnya di
meja. Lalu langsung keluar dari dapur untuk mengambil sepatu dan memakainya.
"Kamu yakin?", tanya Natha mengikutinya keluar.
"Yap", jawabnya sambil memastikan sepatunya sudah terpakai dengan baik di kakinya, ia
mengambil ranselnya dan bergegas ke pintu.
Harusnya dia tidak usah ke kampus, pikir Natha melihat Rory pucat dan sangat sakit. Rory
mungkin terlalu takut membuat kesalahan lagi dan dikeluarkan, dia sangat serius dengan
pendidikannya walaupun, kemungkinan orang sepertinya tidak akan bekerja di bidang yang dia
pelajari bertahun-tahun itu.
Natha tahu, Rory punya SLR dengan lensa panjang di dalam tas-nya dan selalu membawanya ke
mana-mana. Dia mungkin akan menjadi street fotografer dan hidup dari menggelar pameran.
Natha masih berdiri di dekat pintu dapur, saat tiba-tiba Rory kembali kepadanya.
Rory menghampirinya dengan cepat, meraih tengkuknya dan mengecup dahinya. Natha
membeku di hadapannya. Kenapa Rory lakukan itu" Rory tidak mengatakan apapun, senyum dan lesung pipinya seolah
mengatakan dia akan baik-baik saja dan akan segera kembali.
Sedih rasanya untuk tahu bahwa mereka akan berpisah. Natha masih membeku, setelah pintu
depan tertutup. --Rory batuk beberapa kali. Ia pergi ke dapur untuk minum dan menepuk-nepuk dadanya yang
sakit. Dia tidak pernah terlihat semenyedihkan ini. Dan bukan dirinya bila ia terlihat sangat
lemah, namun ia baru sadar ia mempunyai batas kemampuan. Ia batuk lagi dengan
membungkuk, tenggorokannya seperti terbakar. Dia sudah menemui seorang dokter sepulang
kuliah dan memberinya obat-obatan berwarna-warni seperti permen.
"Kenapa yang kuning nggak dimakan?", tanya Natha yang melihat bungkusan pil kuning masih
rapi, tidak pernah dibuka.
"Itu obat tidur", jawabnya, mengumpulkan semuanya dan menyimpannya di tempat yang
kering. "Aku nggak mungkin tidur"
"Apa yang nggak mungkin?", Natha terdengar ketus, "Dokter kasih obat tidur supaya bisa
istirahat" "Tapi, aku sama sekali nggak bisa istirahat", kata Rory tenang, kembali duduk di sofa,
mengambil sepatunya untuk dipakai.
"Jangan bilang kamu mau pergi lagi"
"Aku nggak perlu bilang kalau kamu lihat sendiri", Rory tampak sangat acuh.
"Seberapa pentingnya pekerjaan menguntit dari kesehatan kamu sendiri?"
"Aku nggak mau bertengkar", tandas Rory, malas-malasan bicara, "Apa kamu nggak bosan
selalu teriak-teriak di telingaku?"
Perbedaan sikapnya dengan yang tadi pagi sangat jauh.
Natha membiarkannya pergi karena tidak ingin ribut. Setelah mendengar suara motor Rory
yang nyaring telah benar-benar hilang, ia masuk ke kamar. Mencari koper-nya dan memasukan
semua barang-barang-nya. Rumah kecil itu sunyi sebelum handphone-nya berbunyi. Natha menyeka air matanya dan
menarik nafas panjang sebelum menyentuh tombol jawab. Dia tidak ingin terdengar sedih oleh
satu-satunya orang yang mencemaskannya saat ini.
--"Hei,", sapa wanita muda berkulit sawo matang itu saat Rory mengambil tempat di kursi
kosong di depannya. "Kamu telat"
"Jakarta macet", jawabnya santai. Dan tersenyum.
"Jangan becanda. Jakarta udah macet dari 30 tahun yang lalu?", celetuk perempuan berambut
sangat pendek itu sinis, "Jadi kamu ikutin Andrew kemana?"
"Jakarta " Bandung " Jakarta", jawab Rory. Sambil mengeluarkan sesuatu dari ranselnya.
Sebuah amplop kuning yang kemudian ia serahkan kepada perempuan itu.
"Kamu yakin nggak melewatkan apapun?", perempuan itu menerima amplop-nya untuk
langsung membukanya sambil memandang Rory dengan sudut matanya.
Rory menggeleng dengan santainya, menunggu reaksi perempuan itu saat melihat hasil
jepretannya. Perempuan itu tidak melihat semua lembaran yang diberikan Rory, ia memasukannya kembali
ke dalam amplop dan mengembalikannya kepada Rory. Dia tidak membutuhkannya lagi, juga
tidak ingin membawanya. Selama riwayat pekerjaannya, baru sekali ini dia bertemu dengan seorang klien yang sangat
aneh. Mungkin saking kayanya dia tidak tahu lagi akan menghamburkan uangnya kemana. Dia
seorang perempuan yang cukup "berantakan". Dia tidak bermasalah dengan kekasihnya, tapi
justru dialah yang mencoba mencari masalah dengan sebuah ujian konyol.
"Kamu ikuti dia terus", katanya memberi perintah, untuk sebuah amplop putih yang dia taruh di
atas meja, "Aku nggak akan menelpon, kamu yang telpon aku jika ada sesuatu. Kuharap
jumlahnya lebih dari cukup sampai kita bisa ketemu lagi"
Rory heran saat perempuan itu berlalu dari hadapannya.
Perempuan itu memang klien yang paling aneh, tapi ini pekerjaan paling santai. Ada seorang
pria yang ia ikuti selama seminggu belakangan dan dia tidak melakukan sesuatu yang tidak
diinginkan terhadap kekasihnya. Dia seorang pria kantoran biasa, yang selalu mengendarai
mobilnya seorang diri ke mana pun dan mengetahui kekasihnya menghilang ia tampak begitu
frustasi. Rory sudah membuktikan pada perempuan ini bahwa tidak ada hal yang mencemaskan, seperti
perselingkuhan dan menurut Rory jika pria itu akhirnya mencari pasangan lain, itu bukan
salahnya. Seharusnya dia kembali karena kekasihnya sangat frustasi. Tapi, dia tampak punya
rencana lain dengan meminta Rory terus menguntit kekasihnya.
ooOoo BAB 14 Panic on Shock Theraphy "Natha?", Rory memecah kesunyian yang tidak biasa di rumahnya saat ia pulang sekitar jam
tujuh malam. Dia membawa sebuah tas belanjaan dari butik, "Natha?"
Rory pergi ke dapur, dia tidak ada. Lalu ke kamar yang kosong melompong. Koper pink-nya yang
biasanya tersandar di sudut kamar juga tidak ada! Rory segera keluar, mencoba
menghubunginya, tapi ia mendapat jawaban yang mengecewakan dari operator selular.
Kenapa tidak pamitan kalau ingin pergi", Rory masih bertanya-tanya pada dirinya saat
menghidupkan mesin motor. Tapi, ke mana ia bisa mencarinya" Atau jangan-jangan Natha
sudah memesan tiket pulang ke Jerman dan dia meninggalkan Indonesia malam ini juga"
Tidak, itu belum boleh terjadi. Tanpa bicara, tanpa ucapan selamat tinggal. Rory tidak
menghendaki perpisahan seperti ini! Dia belum siap, walau tahu Natha tidak punya banyak
waktu di negara ini dan ia menyesal tidak memanfaatkan kesempatan sebaik-baiknya. Sangat
menyesal. Rory menuju bandara, tempat pertama kali melihatnya. Mengecek semua jadwal penerbangan.
Bertanya pada petugas bandara untuk meyakinkan dirinya bahwa ini bukan perpisahan.
Petugas itu menyuruhnya menunggu sebentar. Tapi Rory tidak bisa lebih sabar melihatnya
bekerja, memeriksa komputernya mencari nama Renatha Grissham. Lalu ia menggeleng, "Tidak
ada", katanya. "Coba periksa sekali lagi", pinta Rory, mendesak. Berharap petugas itu melakukan kesalahan
sehingga melupakan bahwa jika nama itu tidak ditemukan dalam daftar penumpang, artinya
Natha belum akan meninggalkan negara ini.
Perempuan muda itu gusar, ia memeriksa komputernya sekali lagi, lalu memberi jawaban yang
sama, "Tidak ada".
--- Rory hampir menyerah. Ia sudah mencarinya ke mana-mana, memeriksa semua hotel terdekat
seperti orang gila. Tapi tidak ada yang terdaftar atas namanya. Ke mana lagi harus mencarinya"
Rory juga sudah menghubungi Laras, Damar dan Erris, mereka juga mencarinya juga sekarang.
Akhirnya, dengan langkah yang lelah Rory pulang ke rumah. Sambil berharap, Natha sudah
berada di sana. Sedang menunggu dan ia benar-benar belum akan pergi dari hidupnya. Rory
membuka pintu, sunyi. TV mati, seperti saat ia meninggalkannya dengan terburu-buru. Ia pergi
ke dapur, kosong. Lalu ke kamar, tidak ada siapapun. Ia juga memeriksa kamar mandi, tapi
pintunya tidak terkunci, Natha tidak di sana. Ia pergi ke halaman belakang, juga tidak ada.
Natha tidak pernah kembali ke sini. Mungkin tidak akan pernah lagi!
Putus asa menghampirinya juga ketika ia merebahkan tubuhnya panas ke atas tempat tidur.
Merasakan hawa Natha masih tertinggal di sini, dan membayangkan dia masih tertidur dengan
kesepian. Bayangannya masih tertinggal, bagaimana dirinya akan menjalani hidupnya setelah
semua yang terjadi" Suaranya, amarahnya dan tawanya. Seorang bidadari yang sengaja
dikurung, karena Rory jatuh cinta padanya.
Meskipun iblis seperti dirinya tidak akan pantas memiliki seorang bidadari dalan hidupnya,
untuk sekali ini, tidak bisakah ia bersamanya beberapa saat lagi"
Rory bangkit, dari putus asanya. Dia meninggalkan rumah lagi, tanpa tujuan. Pergi ke tempat
yang pernah ia datangi bersama Natha. Restoran cepat saji, dan supermarket langganan. Dia
pikir Natha mungkin akan pergi ke sana karena tidak tahu tempat lain untuk belanja makanan.
Tapi, dia malah menemukan Uki di sana. Uki yang dengan cekatan sedang menyusun mie instan
di lorong paling ujung. Uki tersenyum ramah padanya, seperti dia yang biasanya, ketika menghampirinya
--"Erris bilang apa?", Rory bertanya, sekedar mengobrol di halte menemani Uki menunggu busnya. Tapi ia sudah mengabaikan beberapa sejak tadi. Rory masih tampak frustasi dengan apa
yang baru menimpanya. "Nggak ada,", jelasnya, berusaha tersenyum, "Itu aja. Apa sih yang bisa dibahas lagi?""
"Kamu nggak apa-apa sekarang?", tanya Rory.
Uki tersenyum. Rambut lurusnya yang dikucir ke belakang, menyisakan poni ratanya di depan,
bergoyang tertiup angin malam. "Ya, kayak sekarang", jawabnya, "Aku sibuk kerja dan jadi lebih
realistis sekarang..."
"Baguslah", kata Rory, sambil berdiri kembali saat ia merasa harus pergi mencari Natha.
"Rory!", panggil Uki sebelum Rory berbalik, kembali ke parkiran mall, mengambil motornya dan
pulang. "Ya?", sahut Rory.
"Aku sama sekali nggak pernah bermaksud mainin kamu lho!", kata dia tampak ragu dan sedikit
rasa bersalah yang tersisa.
Rory tersenyum, "Maksud kamu apa sih?".
Uki menghela nafas, "Aku merasa sudah melakukan hal yang jahat. Padahal kamu baik sama
aku tapi aku malah...", jelasnya agak lesu, "Aku bener-bener minta maaf, Rory..."
"Aku nggak apa-apa", katanya dengan lapang, memandang dengan tenang dan lega. Tidak
menyangka bahwa perasaannya terhadap Uki sekarang terasa begitu ringan
Uki kembali tersenyum, dia menatap ke jalanan dan memberhentikan bus yang akan melewati
mereka. "Aku pulang dulu, sampai ketemu lagi, Rory?"
Rory melambaikan tangannya saat Uki akan naik bus. Uki membalasnya dengan lambaian yang
sama. Lalu bus melaju, Rory masih berdiri menunggunya sampai jauh dan baru memutar
badannya setelah ia pikir ia harus pulang.
Halte tampak sepi dari kejauhan.
Sekantong apel jatuh ke trotoar, di kakinya. Satu per satu berguling ke jalan raya. Sekarang
sudah menjadi sampah bersama buah-buahan lain yang pasti sudah hancur di dalam kantong
yang baru saja dilempar kepadanya dengan sengaja. Rory menatap siapa yang ada di depannya
saat ini. Matanya membelelak, bibirnya membentuk garis tipis dan jantungnya seakan berpacu
dengan laju kendaraan yang lewat di sampingnya, di bawah cahaya lampu jalan. Ia berlari ke
arahnya. Rory baru sadar oleh rasa sakit dari kantong seberat hampir sepuluh kilo. Rory tidak sanggup
bicara, Natha dalam pelukannya lagi sekarang. Dia tidak akan melepaskannya apapun yang akan
dilakukan gadis ini. Memukulnya, menamparnya, menendangnya, apapun terserah untuk kali
ini. --Natha diam sejenak sebelum ia menggunakan cara satu-satunya untuk bisa lepas dari keadaan
ini. Dia tidak mengharapkan pelukan dari cowok ini setelah apa yang ia lihat barusan. Dia
menyesali kenapa dia nekat keluar malam-malam dan pergi ke supermarket sialan itu dan
menemukan hal yang paling dia benci!. Saat ini, dia hanya ingin melepaskan dirinya, dari kedua
tangan yang membungkusnya erat. Ini belum berarti apa-apa dibandingkan dengan semua yang
ia ketahui sekarang! Rory menjerit "Aduh!", sambil mengangkat sebelah kakinya. Ia terlonjak oleh sengatan
menyakitkan pada tulang kering kaki kirinya. Natha menendangnya hanya untuk melepaskan
diri atau tengah melampiaskan kekesalan" Rory meringis, wajahnya menegang, ia menatap
Natha yang memandangnya jengkel.
Teganya Natha menghancurkan momen sepenting ini! Di saat Rory baru akan mengatakan
sesuatu yang akan mengakhiri ketidapastian mereka, sekali untuk selamanya. Tapi, bagaimana
mungkin Rory bisa mengatakannya di saat sakit ini menyebar ke seluruh badannya"
Natha sedang tidak merasa terharu dengan pertemuan kembali mereka setelah Rory melewati
beberapa jam penuh ketegangan dan rasa frustasi. Dia malah memandang Rory dengan
kebencian yang sama seperti saat Rory sengaja menjebaknya.
Harusnya ada "I love you", tapi bisikan itu menghilang di antara deru mesin dan bunyi klakson
kendaraan lewat. Nada harmonis yang mengalir terenggut bagaikan senar biola yang putus.
"Hanya Tuhan yang tahu aku seperti mau gila mencari kamu ke sana ke mari!", teriak Rory,
"Harusnya kita pulang ke rumah, ciuman dan mesra-mesraan atau apapun yang mengakhiri
semua kegilaan ini, tapi kamu merusak happy ending-nya!"
Natha mendekat untuk satu tamparan yang tidak terelakan oleh Rory, "Jangan ngomong
sembarangan kamu!", balasnya geram,
Rory mendekat, dengan sigap menarik tangan Natha agar mereka berhenti menarik perhatian
orang-orang yang lewat dan ini akan lebih memalukan. Meski ditendang dan ditampar, tidak
menghilangkan perasaan bahagia yang meluap-luap dan penuh saat ini.
"Lepasin!", Natha ternyata menarik tangannya kembali, "Aku nggak mau!"
Rory berbalik, untuk melihat Natha yang tertunduk, "Kenapa lagi sih?", tanyanya, heran dengan
sikap Natha yang ragu-ragu padanya.
"Aku cuma becanda tadi, aku nggak akan melakukan apa-apa kalau kamu nggak minta!", ujar
Rory, meraih tangannya kembali tapi Natha malah mundur beberapa langkah. "Aku memang
tukang buat masalah, tapi belum pernah jadi bajingan"
"Aku nggak mau pulang sama cowok yang baru ketemuan sama cewek lain lalu merasa nggak
terjadi apa-apa!", sembur Natha, "Apa aku terlihat seperti pilihan kedua, setelah kamu
memastikan kamu gagal"!"
"Kamu ngomong apa sih"!"
--"Lo ngapain sih di sini?", tegur Erris menepuk bahu Laras yang sedang duduk sendirian.
Laras baru akan menyalakan rokoknya yang seperti mau jatuh sebelum ia sempat
memegangnya. Ia melihat kedua cowok idiot itu mengambil tempat di kursi kosong di
depannya. Lalu kembali mencoba menyalakan rokoknya. Kepulan asap berkumpul di depan
wajahnya, lalu bubar dan menghilang.
"Natha ketemu?", tanya Laras pada mereka.
"Mungkin,", jawab Erris, sambil melambaikan tangannya, lalu seorang pelayan menghampiri
meja mereka. Damar mulai memesan minuman.
"Kalian mau taruhan berapa kalau malam ini akan jadi malam terakhir Rory jadi perjaka?", kata
Laras tiba-tiba, dia pasti sedang mabuk. Dia tertawa dan merokok bersamaan di balik kepulan
asap rokoknya. Erris mendengus, "Serius lo?", tanya dia sinis. Tapi, kelihatan tertarik, lewat senyum sangsinya.
Laras mengeluarkan lembaran uang dari dompet yang ia ambil dari tasnya, lima lembar seratus
ribu, ia menaruhnya di atas meja, "Ini malam terakhir!", katanya.
"Rusak lo! Jadiin teman sendiri bahan taruhan", celetuk Damar, ia tertawa lalu merogoh
sakunya mengeluarkan dompet, mengeluarkan lima ratus ribu lagi, "Gue setuju sama Laras"
"Gue taruhan sejuta, Rory nggak akan tergoda buat begituan?", kata Erris, ia mengeluarkan
semua isi dompetnya. "Lo nggak nyesel tuh?", tanya Damar, "Lo kan lagi cekak, Ris"
Erris cuma tertawa. Minuman mereka datang dan mereka mulai larut dalam suasana malam. Melupakan soal
taruhan sejenak, dan jika Rory tahu ini, cowok itu pasti mengamuk.
--"Adikku datang ke sini", jelasnya, "Aku nggak mungkin tinggal di rumah kamu lagi"
Rory terlihat kecewa, raut bahagianya sirna sudah, "Apa dia datang buat jemput kamu kembali
ke Jerman?" Natha mengangguk. Natha menarik nafas, menenangkan dirinya. Dia harus mengatakan hal
yang masuk akal agar cowok ini tidak memandangnya seperti itu lagi. "Aku nggak pernah cerita
soal kamu ke dia", ia menjelaskan dengan hati-hati, "Apa sih yang dia katakan kalau dia tahu
aku tinggal di rumah cowok yang baru dikenal" Aku cuma nggak mau dia cemas, dan kalau dia
sudah begitu, dia akan ngawasin aku dua puluh empat jam sehari?"
"Ya ampun, kamu bukan cewek 16 tahun lagi!", keluh Rory.
"Kami yatim piatu", Natha menegaskan dengan getir. "Aku lahir lebih dulu tapi jadi yang paling
lemah. Aku tinggal di rumah kaca terbesar di Munich, sama perempuan tua pengurus rumah
tangga. Jarang kena sinar matahari langsung dan hujan. Dia cuma punya aku, dan aku cuma
punya dia. Setiap kali terjadi sesuatu, dia berpikir lebih keras dari aku. Dia tinggalin kencannya
hanya gara-gara aku jatuh dari tangga padahal cuma memar sedikit. Aku selalu berusaha
meyakinkan dia bahwa aku bisa ngurus diri sendiri dan setiap aku mencoba aku gagal, dia jadi
makin ketakutan" "Apa dia tahu kamu ke sini untuk mencari Kevin?",
Natha menggeleng, "Setiap kali aku bilang baik-baik aja ke dia. Aku pikir aku baru kasih tahu
setelah pulang nanti?", jelasnya, "Supaya dia nggak lebih dulu cemas"
"Kalau gitu biar aku yang meyakinkan dia bahwa kamu akan baik-baik aja!", kata Rory mantap.
"Aku tahu apa yang bakal dia pikirkan saat melihat kamu!", kata Natha, nadanya meninggi, ia
memandang Rory dengan menyesal. Adiknya tidak akan mentoleransi saat melihat Rory yang
dari tampangnya sudah jelas dia terlihat serampangan.
"Aku nggak ngerti sama hubungan persaudaraan yang kalian jalani", celetuk Rory, membuang
Mengurung Bidadari Karya A Rita di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pandang, dan berusaha keras menguasai dirinya. "Kalian bukan anak kecil lagi dan dunia nggak
hanya berputar di sekitar kalian! Aku jadi ingin ketemu sama dia kalau itu hanya untuk
membuktikan kalau aku serius!"
"Semuanya butuh waktu!", Natha bersikeras, "Aku hanya baru ketemu dia beberapa jam yang
lalu dan ada banyak hal yang harus omongin dulu sebelum dia akhirnya melihat kamu!"
Tangan besar Rory menariknya ke tempat yang hangat. Memisahkannya dari udara malam
jalanan yang mencekam. Tak pernah ada yang lebih baik dari ini sebelumnya. Natha membenci
dirinya jika ia bersikeras membenci perasaan ini. Dia jadi tidak bisa bicara.
--Laras tertawa, puas pada dirinya. Dia tidak menganggap ada seseorang yang memperhatikannya tanpa berkedip. Ia terus menari dengan girang.
"Lo ngeces tuh!", tegur Erris, setengah mabuk, memukul lengan Damar yang memperhatikan ke
arah lantai dansa. "Sialan lo!", Damar sewot karena terkejut. Dia kembali membelakangi lantai dansa, mengambil
minumannya dan meneguknya sampai habis. Ia menghembuskan nafas saat membanting
gelasnya ke meja, "Kira-kira si Rory udah ngapain ya?"
"Tidur, palingan?", jawab Erris acuh tak acuh.
"Malam ini panjang?", kata Damar, mengambil rokok milik Erris dan menyulutnya untuk diri
sendiri. "Menurut lo kenapa kita bisa ada di sini setiap saat?"
Erris angkat bahu, "Lo bosan?", tanya dia setelah minum seteguk.
"Setelah ini mungkin Rory nggak akan mau ke sini lagi, sama kita", kata Damar, teringat akan
keberadaan Natha di samping Rory dan mereka selalu berdebat soal minuman dan rokok.
Natha pernah merampas rokok milik Rory dan mematikannya di asbak. Di depan temantemannya sendiri, dan membuang sisanya ke tempat sampah. Natha menjauhkan minuman
darinya dan bahkan Natha jengkel saat Rory turun untuk menari di bawah sana. Natha terusterusan menyindirnya.
Gadis itu mengatur Rory sesuai dengan keinginannya, semua tahu tidak pernah ada yang
pernah mencobanya terhadap Rory, bahkan orang tuanya sendiri. Saat semua terpaku padanya,
Rory masih tertawa, dia tersenyum penuh arti pada gadis itu setiap kali bicara dengan Natha.
Rory tidak pernah terlihat demikian lunak, bahkan di depan Uki yang dicintainya selama enam
tahun. "Kalau gitu juga kita nggak usah ke sini lagi", kata Erris.
Pandangan Erris tertuju pada Laras yang sudah turun ke lantai dansa. Dia ingin mengatakan
bahwa klub ini adalah dunia bagi Laras yang sekarang. Tapi, dia membelalak saat menemukan
seseorang menari di belakang Laras dan mengajaknya berpasangan.
---Rory melepaskannya saat ia sadar gadis dalam dekapannya yang kuat tidak bisa bernafas lalu
melihatnya berusaha mengatur detak jantungnya sambil menatap tidak percaya.
"Aku sedang mikirin gimana caranya bilang selamat tinggal", Natha menjelaskan padanya
setelah masuk ke rumah dan melihat wajah sedihnya dalam gelap.
"Kamu tahu aku nggak ingin dengar selamat tinggal,", cetus Rory yang membelakanginya,
suaranya masih serak. Ya, tapi ia akan tetap meninggalkan negara ini. Ia mendekat melihat punggung Mr. Stalker-nya
yang gemetar, menyentuhnya dengan hati-hati takut dia akan terkejut. Tapi, siapa sangka
cowok yang tidak pernah ingin ia sebutkan nama-nya itu berbalik untuk menatapnya lebih
dekat. Natha tidak lagi ragu-ragu padanya, dia tidak akan menghindar seperti waktu itu, karena
dia juga menginginkannya saat ini.
"Cium aku, Natha?", kata Rory dengan pelan padanya. Dan ia langsung mendapatkannya
kurang dari lima detik kemudian. Tanpa gerakan dan kaku. Ia bisa merasakan Natha gemetaran
di bibirnya. Apa yang akan mereka lakukan setelah ini", pikiran itu seolah menghantui Natha.
Rory memberinya jawaban saat menariknya kembali, untuk ciuman kedua yang jauh berbeda
dengan yang Natha berikan padanya. Kali ini sangat berbeda. Mata Rory terpejam dengan
damai, merasakan sentuhan jemari Natha di pipinya yang panas. Tangan mulai Rory
mengangkat tubuhnya hingga kaki Natha tidak lagi menyentuh lantai.
Perlahan, Rory melangkah dengan menggendong Natha di depan dan yang terpikir olehnya
adalah kamar. Natha sedang membalas ciumannya dengan cara yang sama saat ia menurunkan
tubuh gadis itu di atas tempat tidur. Natha belum melepaskan tangannya yang melingkar di
leher Rory. Dengan cepat Rory melepas jaket kulitnya, tanpa buang waktu menaruhnya di
lantai. Matanya pada Natha menginginkannya lebih dekat.
Tangan Natha mulai menelusuri punggungnya, berhenti di ujung T-shirt-nya. Menyusup di atas
kulitnya yang panas. Rory yang sedang demam, suhunya seperti udara siang hari yang membuat
Natha seperti terbakar. Rory mulai berkeringat saat mereka berhenti dan saling tatap tanpa
bicara. Ini tidak akan bisa dilupakan, pikirnya sambil membelai puncak kepala Natha. Rambut coklatnya
yang panjang jatuh di sisinya, tidak pernah melihat bidadari secantik ini. Bermata bulat dan
coklat tua, bulu mata yang lentik dan alis mata yang rapi alami. Dia ingin memilikinya tapi apa
Natha akan mengizinkannya"
Natha menarik kaos Rory ke atas, mengejutkan dia. Tangannya mulai menyapu dada telanjang
Mr. Stalker dan membuat cowok itu terpejam penuh rasa bergejolak di dadanya. Makin panas
saat Natha membelai punggungnya.
"Jangan?", Rory berbisik padanya, "Kamu akan menyesal nanti?"
Natha menggeleng pelan, menyapukan tangannya dari bahu ke lengan Rory yang bertato. Dia
tenggelam dalam tubuhnya. Natha mulai meneteskan air mata, tanpa sebab.
"Kalau kamu nggak mau kita nggak akan melakukannya kok?"
Isak tangis Natha di dadanya terdengar keras, dan Rory kembali menatapnya dengan lembut.
Walaupun tenggorokannya terasa menggelitik dan mata merahnya terasa pedih dan berair. Ia
tidak cukup kuat bertahan dengan sebelah sikunya, lalu jatuh di samping Natha dengan tarikan
nafas panjang. --- Erris tidak bereaksi saat melihat Damar melompat turun ke lantai dansa. Begitu menoleh ke
belakang dia sudah menemukan, seseorang terkapar di lantai di depan Damar dan Laras.
Mereka akan membuat dunia ini menangis saat mereka memanas! Seperti biasanya.
Erris mengabaikan mereka, karena handphone-nya berbunyi. Sebuah nomor tidak dikenal
muncul di layarnya. "Ya?", ia menjawab telponnya.
"Hai, apa kabar?", suara itu membuat suasana dalam kepalanya sunyi seketika, suara khas yang
dulu selalu ia rindukan. "Kamu nggak sedang di klub minum sambil rokok lagi kan" Itu nggak
baik" Erris tertawa, dia tidak pernah tertawa selapang ini sejak lama, "Kenapa, Uki" Kamu nggak
terbangun gara-gara mimpi jelek kan?", tanya Erris. Kesadarannya kembali sepenuhnya. Dia
mendengarkan dengan sangat hati-hati, karena suara masuk membuat otaknya terbagi menjadi
beberapa bagian, belum lagi melihat Damar memukuli orang di bawah sana. Erris hanya
mengawasi mereka bersitegang dari tempat duduknya.
"Aku"mau bilang sesuatu", kata Uki, suaranya terdengar menyenangkan.
"Apa lagi?", tanya Erris, agak ketus.
"Aku minta maaf, sekalipun kamu nggak akan mau...tapi aku hanya mencoba memperbaiki
keadaan..", ucapnya sedikit gemetaran.
"Tunggu! Tunggu!", potong Erris, "Kamu nggak nyesal setelah semuanya berakhir kan?"
Uki terdiam cukup lama. Hanya desahan nafas pelan yang terdengar dari seberang dan ia seolah
berusaha menenangkan dirinya.
Erris masih menunggunya melanjutkan.
"Semua waktu yang udah aku buang untuk kamu nggak akan kembali hanya dengan permintaan
maaf, Ki", Erris tertawa sinis.
Uki lagi-lagi diam. Erris ikut diam. Tawa sudah hilang dari bibirnya. Ia melirik ke lantai dansa, Laras dan Damar
sudah tidak ada di sana. Sementara lagu dan tarian masih berlanjut. Ke mana mereka" , ia
berpikir keras, sambil memperhatikan sekitarnya. Lalu ia mematikan rokoknya di asbak.
"Maaf...", hanya itu yang diperdengarkan Uki dengan suara riangnya yang sekarang terdengar
murung. Erris tengah menerobos para pengunjung, mencari jalan keluar.
"Aku harap kita impas, Ris...", kata Uki.
"Aku tahu", jawab Erris yang sudah berada di tempat parkir, ia mulai berjalan mencari-cari
kedua temannya, tapi ia tidak terkejut saat menemukan mobil Damar raib bersamaan dengan
mereka. "Oke, kita impas, tapi jangan lagi muncul di depan aku, kamu ngerti?"
Tak ada jawaban. Erris merogoh saku celananya dan mengambil kunci mobilnya. Ia memencet remotnya lalu
membuka pintu. Erris masuk ke mobilnya dan duduk di belakang setir. Tangannya masih
memegang handphone di telinga.
"Semoga kamu bahagia", kata Uki, sebelum telponnya terputus.
Kepala Erris merosot seketika di atas setir. Dia menjadi tidak tenang. Dia kembali menjadi
seseorang yang diliputi keresahan.
--"Aku demam?", Rory berkata sambil menertawai dirinya sendiri, "Di saat begini"aku nggak
percaya aku jadi cowok lemah"
Natha di sisinya tidak mengizinkannya menjauh, tetap mengisi jarak di antara mereka. Rory
menemukan Natha sosok yang berbeda saat ini, dia tidak melepaskan pelukannya. "Nggak
kok?", desisnya. Rory menguap, "Aku ngantuk", katanya, "Aku tahu aku payah, tapi aku benar-benar nggak
punya tenaga lagi?" "Apa kamu pikir aku bener-bener mau?", celetuk Natha,
"Buktinya?", tantang Rory, mereka sangat dekat sekarang. Kulit bersentuhan dan rapat, hanya
tinggal menunggu Rory memaksakan dirinya. Tapi, kembali berdebat dan berkata-kata sumbang
seperti biasanya, sudah lebih dari cukup. Saat-saat itu juga sama berharganya seperti sekarang
ini, tidak ingin dia lepaskan.
Natha melepaskan dirinya, membalikan badannya, memunggungi Rory. Tanpa bicara dan jelasjelas kembali merajuk. Ia meringkuk, di sisi Rory, seperti baru tersinggung.
"Aku nggak mau kita berantem di saat seperti ini?", bisik Rory di telinganya, meniupkan hawa
panas yang menembus helaian rambut Natha hingga terasa di kulit lehernya. Hawa Rory terasa
makin panas, suaranya mungkin tidak akan keluar lagi jika ia masih terus bicara. Dia butuh
istirahat total. Rory mengalungkan lengannya di pinggang Natha, menariknya lebih dekat untuk
bisa memeluknya dan sama-sama meringkuk di bawah selimut.
Natha tersenyum. Punggungnya tidak bergerak, ia biarkan Rory bersandar di sana, dan bernafas
padanya. Lalu merasakan hembusan panas itu mulai terdengar teratur. Begitu menoleh ke
belakang, Rory sudah tidur seperti bayi. Diam, tenang dan damai. Natha bisa dengan leluasa
memandanginya dan terbawa kedamaian itu. Dengan perlahan dia mendekat untuk berbisik ke
telinga Rory, "I love you, Angel?"
ooOoo BAB 15 Ms. Bomber "Rory, lepasin?", keluh Natha, berusaha melepakan pelukan Rory pada pinggangnya. Ini sudah
berlangsung semalaman. Sekarang sudah pagi.
Malam sudah berlalu, cahaya matahari masuk dari jendela di atas Rory yang masih bermimpi.
Natha sudah tidak sabar ingin melepaskan diri tapi pelukan itu terlalu kuat. Apa Rory memang
masih kuat saat tidur atau dia hanya pura-pura tidur"
Natha diliputi kecemasan, harusnya dia kembali ke hotel tempat adiknya menginap dan dia
belum menghubunginya sama sekali. Natha berusaha meraih handphone-nya yang berada di
lantai sambil memikirkan alasan apa yang akan ia berikan untuk adiknya.
"Aku lagi tidur, Natha?", gerutu Rory, matanya masih terpejam, dan tangannya merangkul
Natha kembali ke dekatnya. Suaranya masih serak, tapi panasnya sudah turun.
"Ini sudah pagi?", keluh Natha, kedua tangannya terkurung di dalam dekapan Rory.
Punggungnya bersentuhan dengan dada Rory. Dia tidak bisa bergerak. "Aku belum kasih tahu
Henrietta"dia bisa marah?"
Rory tidak peduli, ia terlalu nyaman bersandar di punggungnya. "Kamu wangi?", katanya,
"Sepuluh menit aja, ya?"
Natha mendengus, apa yang bisa dia lakukan" Cahaya matahari menyinari mereka, menyusup
dari bawah gorden. Mengusir kegelapan di tempat tidur, sekarang kamar menjadi remangremang dan sunyi. Natha memejamkan matanya, untuk merasakan hawa panas yang tersisa
dari Rory di tubuhnya. Tubuh Natha yang kurus seakan menghilang dalam dekapan kedua
lengan besar yang salah satunya bertato. Dia akan terbiasa dengan ini. Bersyukur ada malam
dengan kejujuran sebelum Natha kembali ke Jerman dengan perasaan sedih. Juga ada pelukan
seperti ini. "Bagus, Rory!", seseorang menarik semua rasa syukur itu dalam sekejap, Chris sudah berdiri di
pintu saat Natha bangkit dan Rory masih menggeliat di sampingnya, "Lo beruntung, bukan
Mama yang masuk karena tadi dia bilang mau ke sini"
"Bagus, Chris?", gumam Rory, setelah memastikan itu cuma adiknya. Dia kembali menjatuhkan
dirinya yang penat ke tempat tidurnya.
Chris menatap ke arah Natha yang sudah menjauh dari Rory dengan perasaan malu. Ia
mengambil ponsel-nya dan melakukan sesuatu dengan itu untuk mengalihkan perhatian. Chris
segera keluar dari kamar, mereka harus bicara tentang sesuatu yang sangat penting. Kalau tidak
penting, dia tidak akan bolos di jam pertama kuliahnya hanya untuk datang ke sini dan
menemukan mereka baru selesai.
Rory akhirnya bangkit, ia merangkak di atas tempat tidur, untuk memergoki apa yang dilakukan
Natha dengan smartphone-nya. Dia sedang mengirim pesan kepada adiknya. Natha tidak
menyadarinya, sebelum Rory mengecup bibirnya sekilas lalu Rory mengedipkan sebelah
matanya pada Natha saat ia di pintu hendak keluar.
Natha hanya memerah, dan kembali pada layar ponsel-nya. Dia heran, kenapa tidak ada telpon
atau SMS dari adiknya itu"
--"Lo begok atau tolol sih?", Chris sudah menjadi dia yang biasanya, "Lo lupa kunci pintu?"
Rory sadar, dia tidak melakukannya semalam. Dia cuma tersenyum simpul saat duduk di
sofanya sambil menguap sementara Chris berdiri di depannya. "Ada apa?", ia bertanya dengan
suara seraknya. "Di rumah sedang gawat", kata Chris, "Mama sama Papa berantem"
"Lagi?", Rory seakan tidak terpengaruh, itu sudah biasa terjadi.
"Kali ini bener-bener gawat", kata Chris, "Papa selingkuh, Ror!"
Rory hanya menghembuskan nafas panjang, dia berdiri kembali, "Sama siapa?", tanya Rory
terdengar acuh. "Gue nggak tahu", Chris kelihatan bingung namun ia merasa sikap Rory terlalu santai.
"Semalaman Mama nangis, gue nggak tega lihatnya"
Rory diam saja. Dia malah memeriksa setiap saku celana jeans-nya seperti mencari-cari sesuatu,
rokok. Begitu dia menemukannya, dia menyulutnya dan menghisapnya dengan santai seperti
dia menghembuskan kepulan asap dari hidung dan mulutnya. Secara halusnya, Rory tampak
tidak peduli. "Lo gimana sih?", protes Chris.
"Kita nggak bisa ngapa-ngapain, Chris", kata Rory padanya, meyakinkan, bahwa mereka sudah
cukup dewasa untuk menyikapi masalah orang tua mereka. "Lo hibur Mama deh sana. Itu lebih
baik daripada ngangisin Papa"
Chris jadi tidak mengerti. "Mama juga Mama lo, Ror", katanya.
"Ya gue tahu kok", suara Rory merendah. Dia sedang berpikir dan kata-kata Chris hanya akan
membuatnya bertambah pusing.
"Ya udah deh", Chris berkata sebelum dia meninggalkan rumah Rory dan menutup pintunya.
--Rory masuk, dengan sebuah tas belanjaan di tangannya dan tangannya yang satu lagi
memegang rokok. Dia menghampiri Natha yang baru saja menerima balasan pesan singkat dari
adiknya dan dia tampak agak gelisah. Rory menaruh barang-barang itu di dekatnya. "Ini buat
kamu", katanya. Natha mendongak untuk mengintip ke dalam tas dan dia tahu kalau itu isinya baju. Bukan baju
warna putih polos, pastinya. Dan Natha bersyukur itu bukan warna ungu seperti yang dipakai
Hilda si menyebalkan. Natha mengernyit, kapan dia membelinya"
"Harusnya aku kasih ini kemarin, tapi begitu sampai rumah kamu udah nggak ada", jelas Rory,
yang menganggap ini sebagai permintaan maaf atas pertengkaran kecil mereka kemarin. Rory
menarik nafasnya karena hidung yang tersumbat membuatnya geli. Dia flu berat saat ini. "Pakai
ya?" "Aku nggak punya baju ganti?", Natha menegaskan dia pasti memakainya.
Rory tertangkap basah sedang tersenyum kepadanya ketika Natha mengeluarkan isi tasnya.
Lalu Rory menunduk, malu sendiri. Dia menghisap rokoknya lagi dan membuat kepulan asap di
depan wajahnya. Natha mengipas wajahnya dengan tatapan merengut. Dia tidak suka bau asap
itu. Rory hanya lupa, sesaat kemudian ia membuka jendela di belakangnya dan membuang
rokoknya keluar. Ia kembali mendekati Natha seakan belum puas memeluknya dan ia
melakukannya lagi. Hari ini akan terasa panjang. Atau Rory tidak mempercayai akan adanya hari ini seperti mimpi.
Jadi dia benar-benar berusaha meresapi hawanya, mengingat ini baik-baik sebagai kebahagiaan
terbesar dalam hidupnya yang tak pernah istimewa. Dagunya berada di atas pundak Natha yang
membelai kepala belakangnya dengan lembut. Mereka seperti sepasang merpati yang sedang
jatuh cinta di bawah cahaya matahari. Tanpa kata-kata dan hanya isyarat bahwa mereka saling
membutuhkan untuk bisa bahagia. Tidak memerlukan syarat untuk bisa saling mengisi.
Terlalu mudah untuk terbawa suasana. Hanya berdua. Tapi,...
Alunan melodi dalam kepala mereka, kembali terganggu dengan adanya suara senapan mesin
yang dilontarkan berkali-kali dari smartphone Rory! Itu bunyi yang paling jelek yang pernah
Natha dengar! Rory kesal, mengutuk siapa yang telah menghancurkan saat-saat terpentingnya. Rupanya Erris.
"Halo?", ia menjawab telponnya sementara tubuhnya bertahan dengan siku tangan kirinya.
"Iya, udah"hah"...gue nggak masuk hari ini"ada kerjaan juga beberapa masalah lain"lo lagi
ada masalah"...terus"...ya udah deh, nanti lagi"gue lagi sibuk"sialan lo!...apa sih ikut campur
urusan gue!..iya iya, nanti deh?"
"Baru dengar ada percakapan kayak gitu", celetuk Natha yang berbaring di bawah dada-nya, dia
tersenyum. "Masa bodoh?", kata Rory melempar ponselnya ke samping Natha dan dia kembali mendekat
untuk melanjutkan percintaan mereka yang berulang kali terganggu.
Mengurung Bidadari Karya A Rita di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tapi, Natha malah beringsut ke atas, "Mungkin nggak sekarang, Mr. Stalker?", ucapnya sambil
bangkit dan segera berlari ke kamar mandi. Dia menoleh sebentar sebelum menutup pintu dan
melempar senyuman manis pada Rory.
Rory meninju kasur dan menjatuhkan dirinya dengan perasaan gusar. Gagal lagi!, gerutunya.
--Erris membelokan Honda Jazz-nya ke kiri saat ia merasa tidak yakin akan mengambil jalan lurus
karena lampu merah di jalan ini bisa sangat lama. Dia menguap dan berkonsentrasi pada
jalanan di depannya. Dia sedang memikirkan satu tempat tujuan dan pada saat-saat seperti ini,
biasanya dia pergi ke tempat Rory atau Damar. Tapi, sekarang mereka sedang menikmati pagi
indah mereka dan dia tidak mungkin datang untuk mengganggu.
Pagi ini terasa sangat hambar. Dia mengenakan kemeja hitam dan jeans-nya, sama seperti
kemarin dan artinya dia tidak pulang ke rumah. Dan sekarang mata sipitnya mengantuk dan
ingin tidur. Namun, dia tidak ingin pulang.
Pikirannya melayang ke masa-masa terang yang ia miliki ketika remaja. Dia pergi ke sana dari
semalam, namun belum kembali sampai pagi ini. Erris enggan kembali ke masa sekarang,
karena saat itu terlalu indah baginya untuk dilupakan, meski terlarang untuk diingat lagi. Uki
seperti cahaya lilin kecil yang menerangi dunianya yang gelap. Ia masih mengingatnya dengan
jelas. Langkahnya yang riang dan suara merdunya yang khas, dia menyihir ratusan pasang mata
pada masa orientasi di hari pertama.
Mereka sering bertemu. Di perpustakaan, saat Uki mengerjakan tugas Bahasa Indonesia-nya
dan tubuhnya yang pendek tidak bisa meraih buku yang diinginkannya. Erris tidak
membantunya dan membiarkannya berusaha sendiri. Saat ujung jarinya menyentuh punggung
buku, Uki tampak senang, dia meloncat dan berhasil memegang bukunya tapi buku itu terlepas
dari genggamannya dan terlalu lucu saat mengingat bagian ini. Bayangkan kamus Bahasa
Indonesia yang tebal dan bersampul keras itu menimpa kepalanya.
Erris menyesal tidak menolongnya. Karena Uki hampir menangis menahan sakit dan dahi di
balik poni ratanya memerah. Dia baru menghampirinya dan Uki tergagap melihatnya. Merasa
malu sendiri dan sejak itu dia jatuh cinta. Tapi, Erris punya tiga serigala di belakangnya dan
selalu disibukan oleh kelakuan mereka.
Erris tersenyum pada jalanan sebelum terpental ke depan, secara tiba-tiba. Dia refleks
mengerem saat melihat seseorang melintas di depannya dan ia masih melaju. Orang itu terlihat
jatuh di depan mobilnya. Ya Tuhan!, Erris panik. Dia segera turun dari mobilnya dan menghadapi kenyataan bahwa dia
baru saja menabrak orang sampai terluka! Seorang perempuan lagi, gerutunya bertambah
cemas saat menghampirinya.
"Maaf, aku nggak sengaja?", ucap Erris padanya.
Perempuan itu menoleh kepadanya sambil meringis, kakinya tergores oleh plat mobil dan
berdarah. Erris terpana padanya bukan karena dia sangat cantik, tapi mengingatkannya pada
seseorang. --"Dia kerja di konsultan pajak?", jelas Natha saat mereka melintasi trotoar jalan raya untuk
pergi ke gedung yang ada di seberang jalan. Sebuah hotel tempat adiknya menginap.
Rory memegang tangannya sejak mereka turun dari motor. Ia mengikuti langkah Natha yang
cepat memasuki lobi hotel dan dia berhenti di meja resepsionis untuk bertanya di mana
restoran-nya. Mereka mengambil jalan lurus, melewati pintu kaca besar dan berbelok ke kanan pada loronglorong mewah dengan ornament klasik pada dindingnya. Hanya sekitar lima meter, mereka
menemukan meja-meja prasmanan yang tertata rapi di tengah-tengah ruangan. Orang-orang
menyebar di setiap meja uuntuk mengambil sarapan pagi mereka.
Natha mulai mencari-cari sosok adik perempuannya di antara tamu-tamu hotel yang lain, tanpa
melepaskan genggaman Rory. Lalu berhasil menemukannya tengah duduk di salah satu meja
yang berada di luar ruangan. Dia sedang mengobrol dengan seseorang.
"Puji Tuhan, Renatha, kamu keluar juga dari baju mengerikan itu?", ia menyapa Natha yang
menghampirinya dengan terengah-engah dan terlihat sangat berbeda dari biasanya.
Natha memakai setelan kaos dan celana jeans. Ekpresinya bercampur antara ketakutan
dan".terkejut melihat Henrietta sedang bersama siapa, "Erris?", mulutnya menganga.
"Hai", Erris menyapa Rory yang terpana melihatnya.
Henrietta menyuruh mereka duduk, dan dia sama sekali jauh dari gambaran yang diberikan
Natha pada Rory. Dia ramah dan murah senyum. Suaranya lembut dan kata-katanya sangat
teratur. Bahasa Indonesia-nya lebih fasih dari Natha dan dia lawan bicara yang sangat
menyenangkan. Rambut Henrietta tidak terlalu panjang, lurus dan berwarna keemasan,
kulitnya agak gelap. Dia juga berkaca-mata seperti Erris.
Grissham bersaudara ini tidak terlalu mirip. Mereka seperti duo Cathy Sharon dan Jullie Estelle.
Sulit untuk menentukan mana yang lebih cantik. Keduanya sama-sama menawan, memiliki aura
yang berbeda. Renatha dengan sentuhan alami dan down to earth sedangkan Henrietta adalah
cewek modern dengan kesan "smart".
Mereka mengobrol dengan wajar. Soal liburan dan beberapa perbedaan tinggal di Indonesia
dan Jerman berdasarkan pengalaman Henrietta yang ternyata sering bolak-balik ke sini dan
punya banyak teman di Jakarta. Henrietta juga sangat humoris dan berkali-kali membuat Natha,
Rory, dan Erris tertawa. "Ini pertama kalinya aku diserempet mobil sampai luka, ", ia berkelakar, melirik Erris di
sampingnya, lalu Natha dan Rory.
--"Well, dia nggak lebih menyakinkan dari si "Mama Boy", tapi"aku dengar dia sangat bereputasi
sebagai perjaka terbaik", akhirnya Henretta berkomentar soal Rory. "mama boy" adalah julukan
Henrietta untuk Kevin. Dia sudah tahu semua yang belum sempat dijelaskan Natha dari Erris.
Bukannya bermaksud tidak baik. Natha bersyukur hari ini Erris menyerempetnya. Jika dia tidak
bertemu Erris lebih dulu, maka Natha akan bingung memulainya dari mana. Dan mereka
menyambung seperti sudah kenal selama bertahun-tahun. Natha tengah berkutat dengan
pikirannya sendiri, saat merasa aneh adiknya mungkin tertarik pada Erris.
Dia mengurutkan semua kejadian dari awal. Dulu Erris dengan Uki, si penjaga supermarket.
Mereka putus, gantian Rory yang mengejar-ngejar dia. Lalu adik Rory ikut-ikutan. Rory
berhubungan dengannya sekarang, dan apakah Erris dan Henrietta juga begitu nanti"
Natha terlalu tidak menyukai Erris untuk banyak alasan. Dia pernah menjadi musuh dalam
selimut, dia terlalu mencampuri urusan pribadi temannya dan itu mulai mengganggu Natha
saat dia mengusirnya dari rumah Rory. Tercatat dalam ingatannya, mereka pernah berdebat
dua kali. Ini sudah merupakan suatu bencana, dan mengetahui sifat Henrietta hampir mirip
dengan Erris, ini akan menjadi "double disaster".
Henrietta tidak pernah kekurangan teman kencan. Dia bisa memilih siapapun yang dia mau,
karena dia lebih dari sekedar menarik. Tapi, Erris bukan termasuk tipe-nya. Natha mulai
memusingkan hal ini, saat adiknya tidak merasa sakit kakinya sekarang terluka. Dia berbaring di
ranjangnya dengan pikiran menjulang ke langit-langit. Sudah bisa ditebak apa yang sedang dia
pikirkan. "Mereka masih punya dua lagi biang masalah", kata Natha padanya, mengingatkan. Cukup
dirinya yang berhubungan dengan geng perokok dan peminum ulung itu.
Henrietta tersenyum padanya, penuh arti. Dia selalu yakin masalah adalah tantangan yang
harus dia taklukan. Sialan, ini "triple disaster" namanya, Natha menggerutu.
ooOoo BAB 16 Bidadari Angel "Kita udah ngomongin ini kemarin! Apa mau dibahas lagi"!", teriak Damar, ia berada di
belakang meja dapur dan masih mengenakan kaos putih yang dia pakai kemarin. Rambut spike
Mohawk-nya acak-acakan, dia tampak kurang istirahat dan lelah. Tapi, masih harus menghadapi
yang lebih buruk. Sejenak Rory dan Erris seperti kembali ke masa-masa dahulu. Saat dunia menangis di depan
mereka, ketika Damar berteriak pada Laras dan Laras membalasnya. Tidak pernah usai.
Erris menggeleng-geleng. Dia belum ganti pakaian dan tampak seperti 'tragedi' saat melepas
kaca matanya untuk mengelapnya. Matanya yang sipit mengecil dan dia agak sedikit pusing
karena belum tidur. Dia melirik Rory yang sedang berpikir, dan tidak terganggu dengan
keributan di belakang mereka.
Laras meminta mereka datang, untuk membicarakan soal taruhan sedangkan Rory belum tahu
apa-apa soal itu. Tapi, keduanya dikagetkan saat tahu Damar menginap dan sekarang mereka
bertengkar seperti suami istri yang sudah bertahun-tahun menikah. Tidak jelas apa yang
mereka ributkan. Sejak datang, amukan itu sudah seperti perang dunia.
"Bokap gue berulah lagi", kata Rory pada Erris.
Erris hanya meliriknya dan tak ada yang bisa ia katakan. Ia tidak bisa bilang kepalanya terasa
amat berat untuk diajak berpikir. Lagipula untuk masalah klise seperti itu, Rory memang tidak
pernah meminta saran. Sudah jadi kebiasaannya untuk membiarkannya begitu saja.
Dan Rory terlihat sangat menggelikan karena suaranya yang serak dan wajahnya yang tidak bisa
menyembunyikan bahwa dia terserang demam yang cukup parah.
"Lo masih sakit?", tanya Erris.
Mereka duduk di ruang tamu.Dengan santai, bahkan terlalu santai untuk ukuran orang yang
sedang bertahan di tengah gencatan senjata - kata-kata makian Laras dan Damar yang
terdengar hingga ke penjuru ruangan-.
"Kepala gue pusing", keluh Rory, yang tidak berminat untuk merokok seperti Erris yang tampak
seperti pecandu. "Kenapa bisa pusing?", tanya Erris, "Harusnya lo senang kan?"
Rory mengernyit, "Apaan sih lo"!", cetusnya sebal, dan mulai sadar arah pembicaraan Erris ke
mana. "Terus?", Erris bertanya dengan santainya, - bertanya penuh maksud terselubung pada tatapan
di balik kaca matanya. "Lo masih tidur di sofa semalam?"
"Sialan lo!", sembur Rory, "Apa sih lo mau tahu urusan gue"!"
"Payah...", gumam Erris, yang sudah mengetahui jawabannya dari sikap Rory yang malu-malu
itu, "Tapi...hebat juga pertahanan lo...salut..."
Melihat senyum penuh arti Erris, Rory mulai curiga. lebih-lebih ketika si jangkung itu berdiri
tiba-tiba dan pergi ke tempat asal kegaduhan. Rory mengikutinya karena ingin tahu apa yang
akan dia lakukan. "Kaliah udah berantemnya!", Erris berteriak, tampak sedikit kesal dan capek, "Uang gue
mana"!" Damar dan Laras melongo. Mereka baru saja saling berteriak dan menunjuk ke wajah masingmasing dengan emosi. Keduanya menatap Erris heran.
"Gue menang!", kata Erris memperjelas soal taruhan semalam. Setidaknya itu menghentikan
keributan yang berlangsung sejak pagi ini namun menyulut keributan yang lain dari Rory.
--"Nggak biasanya kamu datang ke sini",
Rory memanggilnya Papa. Dia pria yang sangat mirip dengannya. Mata, hidung, bentuk wajah,
semua nyaris sama. Pria itu hanya sudah berumur dan tua. Juga sangat dingin. Saat berhadapan
dengannya Rory seperti sedang bercermin. Tampak seperti dua orang yang sama tapi bertolak
belakang. Pria itu duduk di kursi, di belakang meja kerjanya. Bersama berkas-berkas di depannya dan ia
berhenti sejenak mengurusinya saat tiba-tiba Rory menerobos masuk tanpa menghiraukan
sekretaris perempuan yang melarangnya masuk. Pria itu menatap Rory dengan sangat tenang
seperti sudah tahu angin apa yang membawanya kemari.
Mereka jarang punya kesempatan seperti ini. Rory tidak pernah suka berhadapan dengannya.
Di depan ayahnya dia lebih tampak seperti bajingan kecil daripada seorang anak.
"Apa Papa nggak bisa berhenti?", nada suara Rory terdengar lebih keras.
Rory sudah tahu ini sejak lama. Sejak masih sekolah dan ia berpura-pura tidak tahu. Demi
adiknya, demi wanita yang sudah membesarkannya dan ia anggap seperti ibu kandungnya. Rory
sudah menguntit sejak SMA, sejak ia tahu Papa-nya punya wanita lain. Dan ia mulai
membayangkan; kebenaran akan menjadi sangat mahal harganya dan ia akan menjualnya pada
orang yang sangat membutuhkannya.
Teman-teman Rory tahu, pekerjaan menguntit yang ia lakukan berawal dari pengalamannya
sendiri. "Papa masih punya banyak pekerjaan, Rory", kata sang ayah tegas, menghindari tatapan
menusuk Rory dan dia tampak berusaha menyingkirkan gangguan yang disebabkan kehadiran
Rory di tempat kerjanya. "Papa nggak bisa menjadikan Mama alasan!", Rory tampak tidak puas dengan sikap Papa-nya.
"Mama sudah meninggal! Kenapa Papa malah menghukum orang lain hanya karena nggak bisa
menemukan yang seperti Mama!"
--"Ngapain kamu di sini?", Rory terkejut mendapati kekasihnya duduk di teras sendirian. Pada
udara dingin di malam yang hampir larut.
Natha tersenyum lega melihatnya datang. "Aku bosan di hotel...", jelasnya dengan pelan dan
manja saat Rory memeluknya sebentar, "Henry...ya kamu tahu dia mulai sibuk sama Erris..."
"Kenapa nggak telpon?"; tanya Rory sambil mengusap pipi Natha yang memerah kedinginan
dan dia masih mengenakan dress kesukaannya. Dan dari jauh dia terlihat seperti penampakan
yang sempat membuat Rory merinding.
"Handphone kamu nggak aktif kan?", balas Natha.
Rory segera mencari-cari ponselnya di dalam saku celana. Dan benda itu tidak mengeluarkan
cahaya sama sekali. "Aku lupa cas batrainya", ucapnya cemas sambil merangkul pundak Natha
dan membawanya ke dalam. Rory menarik nafas panjang. Dia beruntung punya seorang bidadari di sisinya di saat ia hampir
kehilangan dirinya dalam amarah.
Natha menghidupkan semua lampu untuk menerangi mereka. Lalu melihat Rory tak hanya
sekedar lelah setelah pulang entah dari mana. Mengingatkannya pada saat Chris datang
membeberkan rahasia Erris dan Uki, Rory tampak bingung. Tapi, tidak. Rory tidak hanya
bingung, saat ini lebih buruk dari itu. Rory tampak sangat tertekan. Natha tidak yakin ini
kembali berhubungan dengan orang-orang itu; karena sekarang Rory memiliki dirinya.
Rory menaruh helm dan ranselnya di lantai dekat sofa tempat ia duduk dengan lelah, seperti
baru kecurian barang berharga. Rory juga meringis tanpa sebab saat ia membungkukan
badannya untuk mengambil remote TV yang tercecer di lantai.
"Kamu nggak apa-apa?", tegur Natha yang mendekat.
Rory tampak sangat berantakan dari rautnya yang kusut dan dia selalu seperti itu di saat ada
yang membuatnya kesal. Dia hancur berkeping-keping bagaikan pecahan kaca yang tipis. Sangat
rentan. --Natha terkejut. Tubuhnya ditarik dengan cepat dan Rory yang gemetar tengah memeluk
pinggangnya. Natha terpaku pads rambut Rory yang acak-acakan di bawah dadanya. Ringisan
Rory di perutnya terdengar kian jelas.
Ada apa dengannya" Kadang bahagianya meluap-luap hingga orang-orang di sekitarnya bisa
terpengaruh, tapi bila dia bersedih, dia akan tampak seperti anak kecil yang ketakutan.
Natha membelai rambutnya dengan pelan dan hati-hati, takut-takut itu seolah akan
membuatnya marah. Rory mengangkat kepalanya sedikit, menengadah dan mendapati Natha ikut sedih melihatnya.
Sungguh, ia tidak ingin terlihat lemah di depan gadis itu walaupun sedikit. Tapi, inilah sisi lain
dari seorang 'Rory' yang tidak banyak diketahui orang. Rory yang tak pernah terlihat sedih
tengah terluka. "Aduh", Natha mengeluh saat pelukan Rory terasa makin kuat di pinggangnya. Dengan cepat
Rory menjatuhkan tubuh kurus Natha di dalan dekapan kedua tangannya yang besar dan kuat.
Rory mendekap dengan semua tenaganya saat Natha terlipat di atas pangkuannya. Begitu ia
melepaskan Natha, ia malah melihat Natha cemas saat memandang ke matanya yang merah.
Mata yang tak terlihat seperti api amarah yang meledak-ledak. Melainkan mata yang menahan
tangis. Natha tidak sanggup memandangnya lebih lama sehingga dia memberanikan diri untuk
mencium bibirnya yang gemetaran.
Rory membalasnya begitu ia sadar Natha mencoba menenangkannya. Dan yang terpikir
olehnya kemudian adalah melepaskan sebentuk hasrat tertahan terhadap seorang gadis cantik
yang selalu menggoda hatinya belakangan ini. Betapa ingin ia memilikinya.
Rory memeluknya; menariknya lebih dekat sehingga tak ada lagi jarak yang membatasi. Ia
merasakan Natha terengah yang merasa panas membakar sampai ke seluruh tubuhnya yang
manusiawi ingin mempertahankan ini lebih lama lagi
Tapi, tiba-tiba Rory tersenyum sendiri.
"Kenapa?"; tanya Natha heran.
"Nggak..."; jawabnya, segera membuang jauh-jauh pikiran tentang taruhan ketiga temannya
yang iseng. Rory menikmati keindahan yang tak pernah Natha perlihatkan pada siapapun sebelum dirinya.
Sama-sama menjadi liar dalam kebutuhan untuk terpuaskan oleh orangi yang dicintai. Samasama menjadi asing dalam dunia yang baru mereka jamah. Dan Natha menangis, akan awal
yang terasa begitu buruk.
"Aku cinta kamu, Natha...", kata-kata itu menghapus kesakitan, juga kepedihan.
---"Kami memang dominan", jelas Henrietta, menatap Erris di depannya "Itu sifat turunan dari
orang tua kami" Erris tidak pernah tahu soal itu. Renatha sudah menjadi urusan Rory sepenuhnya dan apakah ia
harus tetap tahu karena sepertinya gadis ini menunjukan ketertarikan terhadapnya"
"Renatha mirip ayah tapi dia rapuh seperti ibu. Kata Bibi-ku aku duplikat ibu tapi semua sifat
keras ayah diturunkan ke aku", sambungnya dan ini akan menjadi cerita yang sangat panjang.
Sementara itu pandangan Erris tertuju pada dua orang gadis yang sedang bersenang-senang di
lantai dansa. Erris berusaha setenang mungkin agat Henrietta tidak melihat ada apa di
belakangnya. Dia terlihat mendengatkan tapi kata-kata Henrietta berlalu begitu saja dalam
kepalanya. Apa Uki sedang mencoba mempermainkan perasaannya lagi", Erris bertanya pada hatinya yang
menangkap adanya rasa cemburu pada gadis yang entah bagaimana bisa ada di tempat seperti
ini. Jika dia tidak bersama Henrietta sudah pasti Erris akan menariknya keluar dari kerumunan itu.
Mereka akan berdebat panjang lebar soal kenapa begini atau begitu, seperti biasa, dan itu
terasa kian menyakitkan mengingat apa yang baru dia alami karena terlalu saling memaksa.
"Kematian orang tua kami sangat mendadak", kata Henrietta.
Erris jadi memusatkan perhatiannya karena itu adalah sesuatu yang belum ia ketahui tentang
Grishamm bersaudara yang.cantik. Sejenak ia memandangi Henrietta.
"Kami terpukul", kenangnya dengan satu kaleng bir di tangannya yang belum ia habiskan
karena ingin meminumnya dengan perlahan. "Apalagi Renatha. Selama delapan tahun dia
seperti hidup di dalam kapsul. Tahu-tahu saat bangun, dia harus menghadapi perubahan besar
dan dia sama sekali nggak siap"
Ini akan menjadi cerita yang menarik atau unsur menarik itu berasal dari Henrietta sendiri. Dia
terbuka dengan segala hal dan permasalahan, matanya memancarkan cahaya sehingga kita
terpana padanya. Berbeda dengan Uki yang kekanakan.
"Dia nggak mau menerimanya sejak tahu orang tua kami dibunuh", kenang Henrietta.
"Dibunuh?"
Mengurung Bidadari Karya A Rita di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ayah sangat dominan dalam segala hal dan banyak orang yang ingin menyingkirkannya. Tapi,
ibu memuja dia. Waktu dapat kabar ayah tewas dalam kecelakaan yang disengaja, dia tertekan.
Kami semua pulang ke Surabaya. Tapi, hanya beberapa tahun, sebelum Renatha lihat dengan
mata kepalanya sendiri ibu menembakan pistol ke mulutnya. Sejak itu, Natha nggak pernah
ingin pulang ke Indonesia"
Erris menatapnya tidak percaya.
"Jadi kamu ngerti kenapa dia...yah...sering nggak stabil dan ingin segala sesuatu menjadi
nyaman buat dirinya sendiri?", Henrietta sedikit tersenyum, "Kami terkenal di Munich, sebagai
'anak-anak Grishamm'. Kejadian yang merenggut orang tua kami adalah tragedi sosial sehingga
mereka kasihan. Rumah kaca tempat tinggal kami adalah tempat selain panti asuhan di mana
kami bisa tinggal sama Bibi yang nggak pernah menikah. Dia menjaga Renatha yang nggak
pernah tersentuh modernisasi sampai dia kenal Kevin dan jadi gila. Seperti...gadis remaja yang
jatuh cinta pertama kali"
--"Kamu risau", cetus Natha, di sisinya. "Apa aku belum berhak untuk tahu?"
"Tadinya...", Rory sedikit tertawa. "Aku beruntung punya bidadari"
Natha mengernyit, ia anggap sebutan bidadari adalah rayuan. Karena Rory selalu terdengar
memanggilnya putri duyung, ikan mas atau Miss Broken Heart. "Sejak kapan kamu panggil aku
bidadari?" "Sejak pertama kita ketemu", jawab Rory menerawang pada hari di bandara di mana dia
melihat Natha duduk sendirian di kursi tunggu dengan bingung. "Aku sudah menyebut kamu
bidadari, tapi...bidadari itu malah panggil aku 'Angel'..."
"Bukannya itu memang nama kamu?", Natha nengernyit lagi. "Di kartu mahasiswa..."
"Tuh kan, kamu memang suka periksa barang-barangku...", godanya lalu tertawa.
"Iih! Itu karena kamu nggak mau balikin pasporku!"
Rory menghela nafas, dia sudah dipanggil Rory sebelum pandai bicara. 'Rory' mungkin plesetan
dari 'Flori' agar mudah diucapkan.
"Angel itu nama pemberian Mama-ku", jelasnya. "Dia pikir aku terlahir perempuan"
"Tapi, nama bisa diganti setelah tahu kamu terlahir laki-laki",
"Dia nggak sempat menggantinya", kenang Rory agak sedih, "Dia meninggal supaya aku bisa
hidup" Natha terkejut, ia bangkit untuk melihat ekspresi Rory yang murung. "Mama-nya Chris..."
"Bukan", potongnya sebelum Natha melanjutkan, "Aku dan Chris cuma seayah..."
Natha terdiam sambil merapat ke sisi Rory, "Aku nggak tahu..."
"Memang banyak yang nggak tahu", ujar Rory sambil mengusap-usap kepalanya dan
nenunjukan dia sama sekali tidak sedih walaupun masa lalu baru saja mengguncang jiwanya
dalam sesaat. Dia belum bisa menceritakannya karena ia sendiripun masih bingung. Tapi, hanya
dengan melihat dia saja semua beban itu seakan menjadi lebih ringan, karena Rory bisa
mengintip sedikit masa depannya.
Ya, masa depan yang Rory tidak pernah memikirkannya. Ia mengejar-ngejar Uki karena tidak
pernah tahu apa yang dia inginkan dari gadis itu. Mereka bersama setiap waktu, berbicara,
bercanda dan menguntit untuk sejumlah bayaran. Tapi, ia mencintai Natha, untuk bisa bahagia.
Hidup tanpa kesepian. "Aku...kurang suka kalau kamu panggil aku sama nama itu...", katanya, "Aku bukan seseorang
yang bisa...menjadi seperti malaikat buat kamu. Aku lebih mirip iblis daripada malaikat. Aku
mungkin nggak bisa menjadi seperti yang kamu inginkan. Kamu mungkin akan menderita,
menangis lebih banyak...karena aku yang seperti ini. Tapi, yang pasti...seorang laki-laki sejati
nggak akan mempermainkan perempuan yang dia cintai. Dia bahkan rela mati demi cintanya.
Apa kalau aku bilang kalau akulah dia, kamu akan mencintai aku selamanya?"
"Malaikat...", Natha tersenyum pada langit-langit kamar. "Malaikat di dunia nyata nggak harus
terlihat indah di mata orang lain. Malaikat bersayap, serba putih, itu hanya penggambaran yang
imajinatif dari orang-orang seni. Memangnya ada orang yang benar-benar pernah melihat
malaikat, Angel?" Rory mencoba untuk menerka-nerka apa yang akan dia katakan selanjutnya.
"Kamu malaikat, bagi almarhum Mama-mu,", kata Natha, "Setidaknya itu yang dia pikirin saat
memutuskan memberi kamu nama itu kan?"
Rory berusaha untuk tertawa sebelum malah memperlihatkan tangisnya. Mana pernah ada
orang yang berkata seperti itu padanya"
"Kamu nggak harus menjadi seorang malaikat supaya aku bisa menerima kamu", katanya lagi,
"Dan aku nggak mau disebut bidadari kalau itu hanya membuat kita jadi sangat berbeda. Aku
ingin jadi Renatha aja, dan kamu Angel. Itu sudah cukup kan?"
ooOoo BAB 17 The Plan "So, apa kita akan ngobrol soal aku dan Renatha sampai pagi?", tanya Henrietta, dengan mata
riang yang berusaha menghibur Erris yang tengah berputar-putar dalam pikirannya sendiri.
"Nggak ada yang menarik soal aku", katanya tenang setelah tidak lagi mendapati Uki dan
temannya di lantai dansa. Tadi mereka terlihat duduk sebentar sebelum akhirnya pergi entah ke
mana. "Kamu nggak terbiasa bergaul dengan orang-orang selain teman-teman kamu yang biasa?",
tanya Henrietta dan Erris hanya tersenyum simpul.
Cara bicaranya menarik. Entah karena sedikit mabuk atau kesal menemukan Uki di sini, di
tempat yang sama sekali nggak cocok untuknya. Ya Tuhan, Erris segera sadar, mereka sudah
berakhir dengan cara yang paling baik. Tidak seperti saat Erris menjadi begitu pemaksa yang
tidak terkontrol dan pertengkarannya dengan Uki bahkan bisa menjadi lebih parah dari
keributan Damar dan Laras.
Gadis itu sudah berubah 180 derajat! Kata-kata saja tidak akan membuatnya berhenti
melakukan apa yang seharusnya tidak dia lakukan.
"Terus?", Erris masih mencari-cari sosoknya dan ia terlau pandai berpura-pura.
Beberapa waktu lalu, di sini, ia begitu tersiksa saat menerima telpon dari Uki yang
menginginkan keadaan membaik. Lebih-lebih karena tidak ingin disebut murahan karena kisah
cintanya selalu berputar-putar di sekitar Erris. Antara Rory, sahabatnya dan Chris, adik
sahabatnya itu. Gila, ini lebih seperti hukuman bagi Erris. Melihat ada orang lain yang bisa mencintai Uki,
seperti yang dia inginkan untuk bisa dicintai.
"Kami nggak pernah berpisah", Erris memulai setelah yakin Uki dan temannya itu sudah pergi,
"Kami merasa nggak pernah bisa diterima orang lain karena punya latar belakang yang buruk"
"Semua punya, Ris", Henrietta mengingatkan bahwa dia juga sudah diajarkan oleh masa lalu
yang pahit untuk bertahan hidup.
"Kita seperti anak manusia yang dimutasi jadi Frankenstein"
"Oh, itu aku baru dengar..."
"Laras punya ayah yang suka main tangan. Damar anak adopsi yang kurang dapat kasih sayang.
Sedangkan Rory, dia dibenci ayahnya karena dianggap membunuh ibunya yang meninggal
waktu melahirkan dia", jelas Erris, "Aku sendiri dibesarkan sama ibu yang pemabuk dan gila judi
dengan dua kakak perempuan yang sering kawin cerai"
Henrietta termangu, "Wow...", ia menghela nafas panjang, "Kalian seperti kumpulan 'bencana'
sepanjang masa" "Aku nggak seperti yang kamu kira. Aku ini brengsek", kata Erris, tersenyum dingin. Tidak ada
yang pernah melihat senyum Erris yang seperti itu sebelumnya. "Aku juga pemaksa, dan
berurusan sama aku adalah mimpi buruk"
Henrietta terdiam, menatapnya sambil berpikir akan sesuatu.
Perjalanan kembali ke hotel berlangsung dengan hening dengan kecepatan rendah. Erris sangat
tenang, dia tidak terbaca. Dan sikapnya itu menimbulkan rasa penasaran bagi Henrietta yang
terlalu malas bicara. Erris memang tidak seperti yang dia kira sebelumnya. Berpikir dia kutu buku dan tidak gaul,
serta kaku dan membosankan. Erris lebih dari itu.
---"Kamu nggak apa-apa?", tegur Natha waktu melihat adiknya masih di tempat tidur jam dua
siang. Henrietta membalikan badannya, "Eh, hei...", sapanya lesu. Harusnya dia bisa lebih
bersemangat. Tapi malah kelihatan seperti habis mabuk berat semalam. Padahal ia hanya
minum sekaleng bir dan diantar ke sini tanpa kurang sesuatu apapun. "Aku nggak apa-apa"
"Erris nggak menyebalkan kan?", tanya Natha sambil duduk di sisi tempat tidurnya. Dia
mencium adanya sesuatu yang tidak beres dari adiknya.
Henrietta tampak malas-malasan dan dia hanya seperti itu jika sedang sakit atau...patah hati.
"Kayaknya kamu tahu betul deh...", Henrietta menguap.
Menurut pengalaman, iya, jawabnya dalam hati. "Sudah, nanti juga kamu lupa", ujarnya lalu
berpindah ke meja rias untuk menyisir rambut, "Dia bukan tipe yang biasa kamu kencani."
"Aaah...aku mau cepat-cepat pulang!", keluhnya.
"Jangan bilang kamu patah hati cuma gara-gara cowok itu, Henry!",
Henrietta sudah duduk di atas tempat tidurnya. "Enggak juga...", katanya.
"Mereka lebih rumit dari kita", Natha mengingatkan.
"Aku tahu..."; Henrietta kembali menjatuhkan dirinya di atas ranjang yang memantulkan
tubuhnya ke atas sebelum ia bisa dengan tenang bernafas.
"Angel, Erris dan adiknya Angel pernah terjerat sama cewek yang sama", jelas Natha yang
merasa adiknya harus tahu soal ini.
Henrietta bangkit kembali, "Apa dia cantik?"
"Dia terlalu sederhana dan...kecil", jelas Natha lagi, "Kalau aku dan Angel nggak pernah ketemu,
Angel pasti masih mengejar-ngejar dia..."
Henrietta makin tidak bersemangat.
"Erris mungkin masih memikirkan dia", Natha berpendapat, "Tapi, entahlah..."
"Kamu tahu aku nggak menyerah semudah itu untuk semua yang aku mau...",.gumam
Henrietta. "Walaupun dia...'Frankenstein'"
Tawa terlompat dari mulut Natha. Frankenstein"
"Kita mungkin harus menemukan seseorang yang jauh beda dengan kita.", kata Henrietta getir,
"Yang memahami kalau kita punya masa lalu yang buruk"
"Aku terlambat menyadari itu", celetuk Natha berubah murung. "Saat Angel bilang aku adalah
bidadari dalam hidupnya, itu sangat membebani aku..."
"Kamu mulai meragukan dia?"
"Nggak, ini bukan soal itu..."
"Lalu?" "Aku selalu takut terluka...tapi sepertinya dia akan membuat aku menerimanya lebih banyak",
Henrietta diam. "Aku nggak tahu aku sanggup atau nggak..."
"Kalau nggak sanggup, kita pulang!", Henrietta memutuskan sebelum pemikiran Natha
bermuara pada satu kemungkinan bahwa dia tidak akan bahagia.
--Seorang wanita cantik menyambutnya dengan ramah dan hangat. Dia menyiapkan makanan
kecil dan minuman di atas meja serta pertanyaan-pertanyaan tentang asal-usul dan pendidikan.
Tidak banyak yang bisa Natha jelaskan. Dia tidak mengambil pendidikan formal di sekolah,
orang-orang menyebutnya Home Schooling, tapi Natha menjalani terapi khusus selama
bertahun-tahun demi menghilangkan trauma psikis di masa kecilnya. Dia kedengaran hebat
saat menjelaskan bahwa dia lahir dan besar di Jerman dan hanya tinggal di Indonesia kurang
lebih selama 4 tahun sebelum tidak pernah kembali lagi. Tapi, Natha tidak mengikuti kuliah
sejak menemukan pelarian lain di rumah kaca, di mana ia bisa bekerja dan belajar banyak
tentang flora yang ada di dunia, meninggalkan dunianya yang gelap. Dia terlihat jelek saat
mengenakan kostum pekerja dan dia menikmati itu seperti gadis-gadis lain menikmati masa
pacaran. Natha tidak pernah melakukan yang namanya pacaran. Dia hanya berpikir bahwa ia harus
keluar dari rumah kaca karena waktu di luar sana telah bergulir tanpa sepengetahuannya. Dan
dia keliru saat mengira Kevin yang cuma mahasiswa studi banding dari Indonesia akan
membawanya pergi. Sisanya, Natha tidak mengerti, harus ada hal-hal seperti ini dalam pacaran. Berkenalan dengan
keluarga kekasihnya dan berusaha untuk tetap tersenyum sekalipun ia.merasa sangat jengah.
Dia menggingit bibirnya beberapa kali saat kebingungan.
Rory yang menyadari Mama-nya terlalu ngotot mulai mengalihkan pembicaraan. Dia melirik
Natha sambil mengedipkan sebelah matanya, dan melegakan Natha yang tak tahan ingin segera
pergi. Natha duduk diam di sampingnya sambil menyadari, Rory bukan berasal dari keluarga
sembarangan. Semua untuknya haruslah yang terbaik, apalagi pendamping. Mama-nya tentu
mengharapkan.selain cantik, gadis itu haruslah pintar. Rory hanya tidak tahu bagaimana Natha
menjalani hidupnya selama ini. Yang sebenarnya berkubang dengan tanah setiap harinya,
mengawasi pengunjung yang kemungkinan merusak tanaman-tanamannya. Dia orang yang
menutup diri dan kolot. Wanita itu menatapnya dengan ramah tanpa sadar sudah membuatnya tidak betah. Tapi, saat
Chris datang, suasana agak berubah. Kunjungan selesai saat Rory akhirnya pamitan untuk pergi.
Sewaktu datang ke rumah itu, Natha menduga akan melihat sisi lain dari Rory. Semua cerita
masa kecil dan remajanya yang berlalu di rumah ini. Bersama ibu tiri perhatian dan adik yang
sedikit menjengkelkan. Mereka sangat berbeda. Natha tidak pernah menyadarinya karena mereka tinggal bersama di
rumah yang seperti satu dunia di mana hanya ada mereka berdua. Tidak pernah melihat adanya
orang lain sebagai perbandingan. Lalu dunia itu seperti mencekam begitu mereka kembali.
Natha mengeluh saat tetesan hujan membasahi bajunya dan dia mulai benci mengenakan baju
putih. Tak ada yang tahu bahwa semua ini hanya kamuflase, tidak ada yang tahu bahwa baju ini
berhasil menyembunyikan dirinya yang sesungguhnya dan pekerjaan kotor yang berhubungan
dengan tanah, lumpur dan pupuk kompos berbau menyengat.
Namun ia terkejut saat mendapati suasana rumah sudah jauh berbeda. Mereka punya
beberapa perabotan baru. TV yang lebih besar, karpet baru yang lebih luas, dibatasnya ada
meja di depan TV dan bantal untuk duduk. Juga peralatan masak yang sudah tertata rapi di
dapur. --Rory mengubah banyak hal seakan mereka akan tinggal bersama.Pemikiran yang amat
sederhana dan kekanakan. Rory memang tidak pernah berpikir dua kali akan sesuatu yang mau
dia lakukan. Dia harus punya seseorang yang bisa dia dengarkan. Meski akan sangat sulit bagi
Natha. "Aku akan pulang ke rumah", katanya, "Karena kalau masih tinggal di sini, Mama-ku pasti
sering-sering ke sini karena tahu aku punya pacar"
Natha tidak bisa tersenyum. Hanya satu hal yang langsung mencuat dalam pikirannya. Dari
mana semua ini" Rory tidak punya pekerjaan tetap yang menghasilkan uang.
"Kamu nggak perlu melakukan semua ini", katanya, menghindari tatapan bahagia Rory dengan
sengaja. "Aku nggak bisa tinggal di sini"
"Kamu suda h mau pulang?", Rory berwajah kecewa sekarang, ia mencari celah untuk bisa
melihat raut wajah Natha saat ini. "Bukannya kamu masih punya sebulan?"
"Henrietta mau pulang, dia harus kerja lagi", jelasnya berkilah agar Rory berhenti
menatapnya.curiga bahwa Natha sudah mulai ketakutan dengan perpisahan yang pasti akan
terjadi cepat atau lambat.
Kenyataannya mereka tinggal di negara berbeda, di benua yang sangat berjauhan. Sesuatu yang
tidak pernah dia pikirkan sekarang muncul sebagai suatu masalah. Saat menarik Natha ke
sisinya dia mulai merasakan ketakutan itu. Takut jika nanti tidak akan bisa lagi seperti ini.
"Aku hanya perlu lulus kuliah kan" Kita bisa menikah dan hidup bahagia. Aku 24 dan kamu 25,
kita sudah dewasa untuk memutuskan..."
"Dengan pekerjaan kamu yang sekarang?", suara dingin Natha terdengar lebih menusuk dari
saat Natha mendorongnya untuk melepaskan diri. Dia kembali membuang muka.
"Itu bukan kerjaan yang salah sepenuhnya kok!", jelas Rory, "Aku nggak bertaruh, nggak
merampok, atau menipu! Aku cuma menjual kebenaran dengan harga yang pantas!"
"Aku nggak menganggap itu kerjaan yang menghasilkan uang haram!", Natha bersuara lebih
keras, matanya membesar karena marah. "Tapi, kamu sadar nggak sih sedang bermain dengan
apa"!" Rory terdiam beberapa saat. Setiap kali gadis itu marah padanya dia seperti tak punya pilihan
lain selain menurutinya. Dia menyerah sepenuhnya.
"Bahaya!", Natha menjawab pertanyaannya sendiri. Dia hanya ingin Rory menjauhi masalah,
dengan menjauhi masalah mereka baru bisa hidup bahagia. Tapi, setelahnya Natha sepertinya
baru saja sadar satu-satunya yang mencari masalah adalah dirinya. Dengan memilih orang
seperti Rory, sementara ia sudah tahu betul Rory sendirilah yang disebut masalah. Menyadari
ini akhirnya, membuat Natha kecewa, "Apa kamu nggak pernah kepikiran kalau seandainya
kamu ketahuan"!"
"Aku masih hidup sampai sekarang. Aku nggak pernah ketahuan!", katanya menegaskan.
"Belum, Angel!", teriak Natha, semakin menghindar dan dia malah memunggungi Rory untuk
mengambil nafas dalam-dalam.
"Aku harus berjuang untuk diriku sendiri!", Rory mencari pembenaran dirinya karena Natha
belum tahu bagaimana hubungan dia dengan sang ayah yang membuatnya harus bisa mandiri.
Betapa ia benci harus bergantung di saat tidak ingin. "Aku butuh uang! Untuk kuliah, untuk kita
juga nanti, sayang...", suaranya melemah diujung kalimat terakhirnya dengan harapan Natha
bisa mengerti. "Aku nggak butuh uang!", cetus Natha, "Yang aku tahu uang hanya sumber masalah!"
"Lalu aku harus gimana lagi"! Aku nggak punya kerjaan lain sebelum lulus kuliah untuk hidupku!
Aku harus begini sampai kuliahku selesai dan juga harus menabung supaya kita bisa tinggal di
tempat yang lebih bagus!"
Natha menggeleng-geleng. "Aku biasa tinggal di rumah kaca, takut sama dunia luar. Aku nggak
sekolah, nggak kuliah! Aku hanya penghuni rumah kaca yang hidup tanpa uang! Kamu tahu
kenapa"!" Wajah Rory nampak tegang.
"Karena orang-orang berpikir semua itu untuk masa depan!", jawabnya, "Masa depan di mana
mereka bisa kaya dan hidup mapan sampai mereka lupa lalu menjadikan uang segala-galanya!
Aku nggak mau seperti itu!"
Rory tidak mengerti maksud kata demi kata yang tampak keluar tanpa kontrol dari Natha yang
hampir menangis. "Uang membuat aku kehilangan segalanya!", teriak Natha dan bergema di telinga Rory saat itu
juga. "Aku kehilangan keluarga dan masa kecil yang harusnya bahagia!"
Rory mendekat perlahan dengan sedikit menyesal.
"Ayah menggunakan segala cara untuk mendapatkan uang demi ibu! Dia hebat dan kaya,
sampai membuat semua orang ingin menghancurkannya! Dia dibunuh dalam kecelakaan mobil
Mengurung Bidadari Karya A Rita di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang disengaja!", jeritnya lalu merosot ke bawah dengan kepala berdenyut. Setelah bertahuntahun ini pertama kalinya, Natha membicarakan mimpi buruknya, "Kamu tahu aku dan Henry
terkenal karena semua orang di Munich membicarakan tragedi itu"! Bagaimana ibuku
menghabisi nyawanya sendiri dan aku melihatnya secara langsung dia menarik pelatuk pistol di
depan mulutnya"! Itu nggak lama setelah kami kehilangan semua harta dan rumah"! Itu terjadi
di negara ini!" ooOoo BAB 18 Hard Crash "Lo dari mana sih?", Erris bertanya begitu Damar duduk di sampingnya dan ia terlihat berbeda
dengan setelan kemeja yang rapi.
"Tadi ada urusan sebentar", jawabnya santai.
Erris mengernyit sambil menatapnya, "Masa?"
"Gue bakal bikin perubahan besar-besaran dalam hidup gue, tahu nggak sih?", jelasnya mantap.
Erris mengangkat bahu, dengan alisnya yang ditarik masuk. "Lo balikan sama Laras?", tanya dia
menebak-nebak soal pertengkaran setelah kejadian di klub malam itu.
Damar menggeleng, dan Erris semakin penasaran.
"Gue mau cuti kuliah supaya bisa kerja",
"Lo mau kerja apaan?", tanya Erris sangsi.
"Asisten chef di hotel bintang lima, Ris", katanya dengan bersemangat.
Erris tersenyum, "Bagus...", komentarnya, "Tapi kenapa ya rasanya bukan lo banget?"
Damar tertawa, "Nggak semua orang tahu, itu masalahnya", cengirnya. "Tapi, cuma itu kerjaan
yang bisa gue lakukan sekarang"
"Lo aneh, ada apa sih?", Erris bertanya lagi saat melihat Damar masih saja tersenyum lebar dan
ceria. Damar meliriknya sejenak sebelum dia mengeluarkan sesuatu dari saku celananya.
Sebuah kotak kecil berwarna abu-abu.
"Serius lo?", senyum terlukis di bibir Erris saat Damar membukakan tutup kotaknya dan ada
sebuah cincin emas putih dengan berlian kecil di tengahnya.
Damar mengangguk-angguk. Erris menepuk punggungnya dan Damar nyaris jatuh ke depan di mana lapangan rumput sudah
menanti di bawah. Setiap angin berhembus, tempat ini menjadi sejuk. Atap gedung kampus
yang menghadap jalan raya dan mereka bisa menghitung kendaraan yang lewat sampai bosan
lalu turun saat pelajaran di mulai. Erris akan meninggalkan kampus ini lebih dulu, hanya
beberapa bulan lagi menjelang wisuda dan dia akan menjadi seseorang yang baru lagi
setelahnya. Ada banyak hal yang terjadi, hal-hal menyenangkan yang tidak pernah terbayangkan
sebelumnya. Tuhan mempunyai rencana yang indah untuk setiap orang yang percaya Dia selalu ada di atas
sana. Erris mulai mencari-cari ponselnya. Untuk memberitahu Rory bahwa salah seorang dari mereka
akan mendahului memulai lembaran baru.
--Seorang wanita cantik tampak keluar dari mobil yang baru saja selesai parkir. Dia menunggu
pria itu keluar dan Rory menarik nafas panjang sambil mencoba menghubungi nomor itu lagi.
Tapi,.dia masih mendapat jawaban yang klise 'Nomor yang anda hubungi tidak dapat...bla bla
bla'. Rory segera mematikannya. Dia tidak mengerti kenapa dia harus ada di sini untuk mengawasi
mereka. Semua sudah jelas. Perempuan itu tidak pernah kembali lagi kepada kekasihnya yang
sekarang sudah berpaling.
Suara senapan mesin itu kembali berteriak lewat ponselnya. Dan nama Erris muncul di layar.
Mata Rory masih mengawasi mereka yang sedang mengobrol akrab sambil tertawa. Pria yang
selalu dia ikuti dan kekasih barunya yang cantik.
"Ada kerjaan sedikit...", ia menjelaskan, "Ya, gue tahu kok. Gue bakal berhenti karena Natha
memang nggak suka. Tapi, ini bikin gue merasa terganggu..."
Kedua orang itu akhirnya berlalu setelah mereka menghilang di antara mobil-mobil yang parkir.
"Perempuan itu menghilang, Ris", jelas Rory yang sudah terlibat secara emosional dengan
seorang klien, artinya melanggar kode etik yang dia tetapkan sendiri dalam pekerjaan
rahasianya. "Gue cuma mastiin kalau dia sudah mengakhiri ujian konyol itu...Iya, gue tahu kok
itu bukan urusan gue...gue nggak menguntit lagi sekarang...iya deh iya, gue ke sana sekarang..."
Rory menghela nafas. Dia sudah memutuskan berhenti karena tadi pagi Natha mendebatnya
lagi. Dunia Rory yang Natha tahu persis adalah pekerjaannya sebagai mahasiswa yang nakal dan
pembolos. Juga seorang stalker profesional yang katanya tidak pernah gagal sampai misinya
selesai. Natha juga sudah lama tahu dia berasal dari keluarga mapan dan Rory hampir tidak
pernah merasa kekurangan. Dia juga seorang pemberontak yang berusaha melakukan
semuanya sendiri. Rory balik kanan, berpikir untuk pergi ke kampus dan saat itulah dia melihat ada dua orang pria
berbaju hitam sudah ada di belakangnya. Mereka mendekat dan Rory segera menghindar saat
tahu bahwa mereka akan menangkapnya.
Mereka mengejar! Sosok pria yang diikutinya sudah tidak tampak. Mungkin dia dijebak dan sudah lama ketahuan!
Motornya jauh tertinggal di belakang. Rory terus berlari sepanjang area parkir, menghindari
mobil masuk yang membunyikan klakson panjang saat ia nyaris tertabrak.
Sekolah Jerit 2 Joko Sableng Pedang Keabadian Satria Terkutuk Kaki Tunggal 2