Hantu Langit Terjungkir 2
Wiro Sableng 111 Hantu Langit Terjungkir Bagian 2
empat anakmu! Si bungsu anakmu yang ke empat telah menjadi musuh besarmu! Kau
telah kehilangan seluruh kesaktianmu!' Setelah berkata begitu dia mengutuk, 'Mulai
hari ini kau akan hidup
menyungsang. Kaki ke atas kepala ke bawah. Kau akan berjalan dengan dua
tanganmu! Kau akan jadi makhluk tersiksa seumur-umur!' Seperti kau saksikan
sendiri saat ini. Aku benar-benar hidup menyungsang. Kaki ke atas kepala ke
bawah!" (Mengenai riwayat Lasedayu alias Hantu Langit Terjungkir harap baca
serial Wiro Sableng dua Episode sebelumnya yaitu "Hantu Muka Dua" dan "Rahasia
Kincir Hantu").
"Wahai... Riwayatmu sungguh hebat. Aku baru tahu
kalau kau punya empat orang anak..."
"Empat orang anak. Tapi apa artinya..." ujar Hantu Langit Terjungkir. "Aku tidak
tahu di mana mereka sekarang. Kalau masih hidup kira-kira seusiamu. Aku juga
tidak tahu apakah istriku Luhpingitan masih hidup atau entah sudah tiada..."
"Sungguh berat beban derita hidup orang tua ini," kata Lakasipo dalam hati. Lalu
pada Hantu Langit Terjungkir dia berkata. "Orang tua, karena kau sudah
menceritakan riwayat nasib dirimu, sekarang tiba saatnya aku memenuhi janji.
Memberi tahu amanat apa yang aku bawa untukmu.
Apakah kau kenal dengan seorang tua bernama
Lawungu?" Hantu Langit Terjungkir keluarkan seruan tertahan.
Berkali-kali dia menarik nafas dalam. Tenggorokannya turun naik. "Lawungu...
Lawungu..." katanya beberapa kali.
"Puluhan tahun silam, kau belum lagi dilahirkan. Di Negeri Latanahsilam ini ada
satu kelompok orang-orang yang mengaku gagah karena paling tinggi ilmunya.
Mereka tiga bersahabat. Yang pertama adalah yang dikenal dengan Hantu Sejuta
Tanya Sejuta Jawab. Yang kedua aku sendiri.
Yang ketiga Lawungu itu. Karena sibuk dengan urusan masing-masing kami kemudian
berpisah dan lama tak saling bertemu... Wahai! Mengapa kau bertanyakan
Lawungu padaku?"
"Karena kakek itulah yang menitipkan amanat yang
kukatakan itu," jawab Lakasipo.
"Kau... Lawungu! Amanat apa yang dititipkan sahabatku itu"!" tanya Hantu Langit
Terjungkir. Dengan tangan kirinya dia sibakkan rambut serta kumis yang terjulai
hingga kini Lakasipo untuk pertama kalinya dapat melihat jelas sebagian wajah
orang tua itu. Wajah ini putih seperti tidak berdarah sedang sepasang matanya
berwarna kelabu.
"Katakan cepat. Amanat apa yang dititipkan Lawungu padamu!"
"Aku dimintanya menyerahkan benda ini..." kata
Lakasipo seraya mengeluarkan sebuah benda berwarna kuning yang berkilauan
tertimpa sinar sang surya pagi.
"Sendok Pemasung Nasib!" seru Hantu Langit
Terjungkir dengan keras dan mata mendelik besar. Sekujur tubuhnya bergeletar.
Lebih-lebih ketika Lakasipo
mengulurkan tangannya siap menyerahkan sendok itu pada si orang tua.
Hantu Langit Terjungkir keluarkan suara seperti hendak menangis. Tangan kanannya
bergetar keras ketika
diulurkan untuk mengambil sendok emas itu. Namun
hanya sekejapan lagi sendok itu akan disentuhnya tiba-tiba satu bayangan kuning
berkelebat, dan...! Lakasipo serta Hantu Langit Terjungkir sama-sama berseru
kaget. Sendok Pemasung Nasib lenyap disambar orang. Bersamaan
dengan itu bayangan kuning yang tadi berkelebat ikut menghilang!
Lakasipo coba mengejar sambil lepaskan pukulan Lima Kutuk Dari Langit. Namun tak
ada gunanya. Yang hendak dihantam sudah keburu kabur.
Hantu Langit Terjungkir meraung keras. Betapa tidak.
Melihat sendok emas tadi timbul kembali harapan
hidupnya dengan memiliki segudang kesaktian. Namun harapan tinggal harapan.
Sendok emas amblas dirampas sosok kuning tidak dikenal.
*** WIRO SABLENG HANTU LANGIT TERJUNGKIR
6 EMBALI kepada Pendekar 212 Wiro Sableng yang
tengah berusaha menyelidiki di mana beradanya
KLuhjelita. Kawasan selatan yang didatanginya
ternyata merupakan daerah mendaki berbatu-batu. Di situ tumbuh sejenis pepohonan
setinggi kepala manusia, yang batang, ranting serta dedaunannya ditancapi duri-
duri berwarna coklat kehitaman. Melihat duri-duri itu Wiro ingat pada sahabatnya
yang malang yaitu Hantu Jatilandak. Dia tidak tahu di mana pemuda yang sekujur
tubuhnya penuh duri landak itu kini berada.
Karena pepohonan berduri tumbuh cukup rapat, Wiro tak bisa berlari cepat. Dia
harus hati-hati, jangan sampai tergores duri coklat yang bukan mustahil
mengandung racun. Di satu tempat ketinggian murid Eyang Sinto Gendeng dari
Gunung Gede ini hentikan larinya,
memandang berkeliling. Tiba-tiba matanya membentur sesuatu yang tergantung
melambai-lambai di ujung sebuah ranting berduri. Wiro segera bergerak,
memperhatikan lebih dekat. Ternyata benda yang melambai-lambai di ujung ranting
berduri itu adalah robekan pakaian terbuat dari kulit kayu halus berwarna
jingga. "Kain jingga..." ujar Wiro berdebar. "Siapa lagi
pemiliknya kalau bukan Luhjelita. Aku menempuh arah yang benar. Agaknya gadis
itu berada di sekitar sini. Kini tinggal mencari di mana goanya." Wiro memandang
berkeliling, tak berkesip. Dia tidak melihat apa-apa. Juga tidak menemukan
petunjuk lain. Lalu dia mendengar ada suara menderu di udara. Memandang ke atas
dia tidak melihat sesuatupun. Langit cerah. Sinar sang surya terasa mulai
menyengat. Wiro sibakkan semak belukar di samping kirinya lalu meneruskan
perjalanan. Berjalan sejauh belasan tombak mendadak dia melihat kelainan pada serumpunan
semak belukar dan pohon-pohon berduri di arah sebelah kanan. Semak-semak dan
pepohonan itu terkuak ke kiri kanan dan ada tanda-tanda bekas rambasan.
"Ada orang membuat jalan setapak di tempat itu. Aku harus mengikuti jalan itu.
Mungkin menuju ke goa yang dikatakan dua gadis kembar cantik tapi sialan itu!"
Berpikir begitu Pendekar 212 Wiro Sableng segera bergerak ke ujung semak belukar
yang terkuak. Tak lama mengikuti jalan kecil itu tiba-tiba dia dikejutkan oleh
sebuah benda aneh yang mencuat seperti bukit batu kecil, berwarna coklat. Selagi
tegak keheranan Wiro kembali terkejut karena bukit batu ini kelihatan bergerak.
Tidak mau mengalami celaka yang tidak terduga, Wiro segera
kerahkan tenaga dalam ke tangan kanan untuk sewaktu-waktu bisa menghantamkan
pukulan sakti. Batu coklat itu kembali bergerak. Tiba-tiba di ujung kanan bukit batu ada
sesuatu yang lain, bergerak naik ke atas. Ternyata kepala seekor kura-kura
raksasa. "Astaga, Laecoklat! Kura-kura raksasa tunggangan
Luhjelita..." Dalam kejutnya Wiro juga merasa gembira.
Kalau tunggangannya berada di sana, berarti Luhjelita tidak berada jauh dari
situ. Laecoklat berpaling pada Wiro. Matanya dikedip-
kedipkan. Melihat binatang ini tidak bersikap galak Wiro beranikan diri mendekat
lalu melompat ke atas
punggungnya yang keras atos. Sambil mengusap kepala binatang itu Wiro berkata.
"Laecoklat, bisa kau
menunjukkan padaku di mana Luhjelita berada?"
Kura-kura raksasa itu kedipkan sepasang matanya dua kali lalu palingkan
kepalanya ke kiri. Setelah menghadap ke kiri, kepala itu sedikit ditundukkan.
Wiro memperhatikan. Dadanya berdebar. Di balik lima rumpun pohon berduri yang telah
dirambas orang kelihatan sebuah mulut goa batu yang tingginya sepenyandak kepala
manusia. "Kura-kura pintar!" Memuji Wiro. Lalu sekali melompat dia sudah sampai di depan
pintu goa. Tanpa menunggu lebih lama murid Sinto Gendeng ini segera masuk ke
dalam goa yang ternyata bagian dalamnya terbuat dari sejenis batu putih
berkilauan hingga keadaan di situ tidak gelap.
Berjalan masuk sejauh enam tindak, Wiro tiba-tiba hentikan langkahnya. Dia
mendengar suara orang
mendesah dan sesenggukan berulang kali. Suara
perempuan. Luhjelita-kah itu" Apa yang terjadi dengan dirinya" Karena belum
melihat sosok orang, Wiro
melangkah masuk lebih jauh ke dalam goa. Untuk kedua kalinya kembali langkah
sang pendekar terhenti.
Di sana, sejarak enam langkah di hadapannya, di lantai goa batu putih tergeletak
sesosok tubuh perempuan.
Pakaiannya, sehelai baju panjang berwarna jingga bertebar di lantai. Hanya
sebagian saja yang masih menutupi auratnya hingga sosok perempuan itu nyaris
tidak terlindung. Wiro memperhatikan wajah perempuan itu. Dia segera mengenali dan
berseru memanggil.
"Luhjelita!"
Seperti mendengar suara malaikat, perempuan yang
tergeletak di atas lantai putar kepalanya. Begitu dia melihat dan mengenali
siapa yang berdiri di depan sana langsung dia meraung.
"Wiro...!"
Perempuan itu yang memang Luhjelita adanya
menangis tersedu-sedu. Wajahnya yang cantik nampak pucat pasi dan basah oleh air
mata. Gadis itu kemudian tutup mukanya dengan dua tangan dan menangis lebih
keras. "Luhjelita, apa yang terjadi dengan dirimu!" seru Wiro lalu mendekat dan duduk
di samping sosok Luhjelita. Dia hendak meraba kening gadis ini namun Luhjelita
lebih dulu bergerak bangkit dan rangkulkan kedua tangannya ke leher Wiro lalu
menangis lebih keras.
"Luhjelita, tenangkan dirimu. Katakan apa yang telah terjadi. Dengar, kenakan
pakaianmu lebih dulu... Aku menyesal tidak bisa datang lebih cepat
menolongmu..."
"Terlambat Wiro, tak ada gunanya penyesalan. Mungkin ini sudah takdir nasib
diriku. Harus mengalami hal seperti ini. Jangan sentuh diriku lagi... Pergilah,
pergi dan jangan pernah menemui diriku lagi. Aib yang aku derita terlalu besar.
Jangan sesalkan dirimu Wiro..." Gadis itu lepaskan rangkulannya di leher Wiro
lalu menangis lebih keras sambil menutupkan dua tangannya di atas wajah.
Pendekar 212 jadi bingung. Dia tak berani menyentuh tubuh Luhjelita yang saat
itu memang tidak tertutup apa-apa. Akhirnya diambilnya pakaian Luhjelita yang
bertebaran di lantai. Pakaian ini ditutupkannya sebisanya ke tubuh si gadis.
Pada saat itulah dia melihat ada bayangan bergerak di dinding goa. Berarti ada
seseorang di mulut goa. Wiro berpaling, hendak bangkit berdiri. Namun gerakannya
tertahan oleh suara Luhjelita.
"Wiro..."
Wiro terpaksa kembali mendekati gadis itu, duduk
disampingnya. "Kenakan pakaianmu, baru nanti kita bicara. Aku merasa ada
seseorang di luar goa. Aku akan menyelidik sebentar. Nanti kembali lagi ke
sini..." "Jangan... jangan pergi. Aku takut Wiro. Takut sekali.
Aku... rasanya aku ingin mati saja saat ini. Jangan pergi.
Siapapun yang ada di luar sana biar saja..."
"Gadis ini sedang kacau pikiran," kata Wiro dalam hati.
"Tadi disuruhnya aku pergi, jangan menemuinya lagi.
Sekarang dia tidak mau ditinggal..."
Wiro terpaksa mengikuti kata-kata Luhjelita. Karena si gadis tidak berusaha
mengenakan pakaiannya, setengah memaksa Wiro membantu Luhjelita berpakaian.
Dalam keadaan lain, berdua-dua seperti itu bisa membuat sang pendekar jadi panas
dingin. "Gila, mengapa keadaan bisa seperti ini. Kalau ada orang lain yang melihat bisa-
bisa dia salah sangka!" Wiro membatin sambil garuk-garuk kepala.
"Nah, kau sudah berpakaian rapi. Duduklah bersandar ke dinding goa sebelah sini.
Kelihatannya kau berada dalam satu goncangan besar..."
"Luar biasa besarnya Wiro. Membuat aku rasanya ingin mati saja saat ini," jawab
Luhjelita lirih. Gadis ini beringsut ke kiri lalu duduk bersandar ke dinding
goa. "Ceritakan apa yang terjadi..." kata Wiro pula seraya duduk di hadapan si gadis.
"Aku ingin tahu dulu, bagaimana kau bisa sampai di sini?" tanya Luhjelita sambil
mengusap air mata yang membasahi pipinya. Wajahnya masih pucat tak berdarah.
Rambutnya awut-awutan.
Wiro lalu bercerita.
"Aku bertemu dan diserang oleh dua orang gadis
kembar mengaku berjuluk Sepasang Gadis Bahagia..."
Mendengar Wiro mengucapkan nama itu Luhjelita
langsung terpekik. "Dua gadis jahanam itu! Mereka...!"
Jeritan Luhjelita terputus, bersambung dengan ratapan panjang.
*** Kita tinggalkan Wiro dan Luhjelita yang ada di dalam goa. Kita kembali pada
saat-saat sebelumnya ketika Wiro berusaha mencari goa di mana Luhjelita disekap
oleh sepasang dara kembar. Seperti dituturkan karena
perhatiannya sangat terpusat pada usaha mencari dan menyelamatkan Luhjelita,
murid Sinto Gendeng ini sampai tidak memperhatikan kalau di udara ada sesosok
burung besar yang bukan lain adalah Laeputih, angsa raksasa milik Peri Angsa
Putih. Binatang ini terbang mengikutinya dari kejauhan. Tentu saja binatang itu
melayang mengikuti atas kehendak si pemiliknya yakni Peri Angsa Putih yang ada
di atas punggungnya.
Sang Peri merasa heran melihat Wiro berlari ke arah kawasan tinggi berbatu-batu
dan dipenuhi semak belukar serta pohon-pohon berduri. Saat itulah angsa
tunggangan yang bernama Laeputih itu keluarkan suara menguik halus.
Peri Angsa Putih yang sudah tahu sifat binatang
kesayangannya itu mengusap kepala Laeputih seraya berucap.
"Aku tahu, kau melihat sesuatu. Tapi mataku masih belum melihat apa-apa.
Melayanglah lebih rendah. Hati-hati. Jangan sampai orang yang kita ikuti melihat
kita..." Laeputih menguik halus lalu tukikkan kepalanya ke bawah. Sesaat kemudian angsa
putih inipun melayang merendah. Gerakan sayapnya dibuat demikian rupa hingga dia
terbang hampir tanpa suara. Di ketinggian tertentu Laeputih berputar dua kali.
Peri Angsa Putih memandang ke bawah. Dia melihat bebukitan. Batu-batu diseling
oleh semak belukar dan pohon-pohon berduri aneh. Tiba-tiba matanya melihat
sesuatu. Tapi belum jelas benar. Dada sang peri mendadak berdebar. Matanya
digosoknya. "Lae..." bisik Peri Angsa Putih pada binatang
tunggangannya. "Berputar sekali lagi, jangan terlalu cepat..."
Laeputih lakukan apa yang dikatakan Peri Angsa Putih.
Binatang ini kembali melayang berputar. Peri Angsa Putih memasang mata tajam-
tajam. Debaran di dadanya
semakin kencang. Matanya membelalak dan dua
tangannya memegangi pangkal leher. Wajahnya berubah pucat.
"Laecoklat..." desis sang peri. "Kura-kura bersayap tunggangan Luhjelita!
Laeputih, lekas terbang ke balik bukit sana. Melayang berputar sampai aku
memberi perintah berikutnya!"
Di langit sebelah timur Laeputih berputar berulang kali.
Namun sang Peri masih belum memberi aba-aba
selanjutnya. Di atas punggung angsa putih itu Peri Angsa Putih justru berada
dalam pikiran kacau balau serta hati tak karuan rasa.
"Wiro... Dia menuju ke bukit terpencil itu. Ternyata di situ ada Laecoklat,
kura-kura terbang milik Luhjelita. Pasti gadis itu juga berada di bukit itu.
Jangan-jangan antara mereka memang sudah ada perjanjian untuk bertemu...
Wahai para Dewa, wahai para Peri Agung. Apa yang harus aku lakukan"!" Rasa
cemburu membakar diri Peri ini hingga wajahnya yang cantik jelita menjadi merah
sampai ke pangkal leher.
Seperti diketahui sejak dia pertama kali bertemu
dengan Wiro yang masih berada dalam sosok kecil
dibanding dengan orang-orang yang ada di Negeri
Latanahsilam, Peri Angsa Putih memang telah merasa suka kepadanya. Lalu sewaktu
sosok Wiro berubah menjadi besar, rasa suka sang Peri semakin bertambah besar,
malah berubah menjadi rasa menyayangi. Peri Angsa Putih menyadari bahwa dia
telah jatuh cinta pada Pendekar 212.
Wiro Sableng 111 Hantu Langit Terjungkir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Satu perasaan yang sangat menjadi pantangan bagi
bangsa Peri di Negeri Atas Langit.
Sebelumnya dia pernah tertarik pada lelaki gagah
bernama Lakasipo berjuluk Hantu Kaki Batu. Rasa tertarik ini lebih didorong
karena hiba melihat nasib yang dialami Lakasipo yakni setelah istrinya meninggal
bunuh diri. Namun setelah kejadian itu, jika kini dia boleh memilih maka rasa tertarik dan
cinta kasihnya ingin diberikannya sepenuhnya pada pemuda dari negeri seribu dua
ratus tahun mendatang itu. Peri Angsa Putih sadar akan
pantangan yang hendak dilanggarnya serta akibat besar yang bakal dihadapinya.
Namun dia seperti tidak berdaya.
Semakin dia coba menghilangkan Wiro dari pikirannya, semakin berkobar dan
terpateri kasih sayang dalam lubuk hatinya. Semakin dicobanya untuk keluar dari
telaga cinta, semakin jauh dia tenggelam ke dalamnya. Dalam keadaan seperti itu
berbagai ganjalan kemudian ditemuinya.
Luhjelita, gadis cantik berkepandaian tinggi itu muncul dan dirasakannya sebagai
saingannya. Kemudian muncul pula gadis yang dikenalnya dengan nama Luhcinta.
Kecantikannya melebihi Luhjelita dan agaknya antara si gadis dengan Wiro telah
terjalin satu hubungan. Semua kecemburuan ini membuat Peri Angsa Putih merasa
seolah-olah langit hendak runtuh menyungkup dirinya.
Apalagi kemudian dia menyirap kabar yang bersifat teka-teki. Hantu Raja Obat
kabarnya pernah berucap bahwa ada seorang gadis yang akan memberikan cinta
kasihnya hanya pada Wiro seorang. Lalu dia juga pernah mendengar sendiri
Luhrinjani berucap. Istri Lakasipo yang sebenarnya telah lama meninggal dunia
tapi rohnya bisa muncul kembali seperti manusia biasa itu berucap bahwa memang
ada seorang gadis yang sangat mencintai Wiro Sableng.
Celakanya Luhrinjani tidak mau menyebutkan siapa
orangnya. Namun Peri Angsa Putih selain penasaran juga merasa sangat khawatir.
Gadis yang dimaksud Luhrinjani itu tentulah gadis penghuni Negeri Latanahsilam,
bukan bangsa Peri seperti dirinya. Seringkali dalam merenung di malam sepi Peri
Angsa Putih mengucurkan air mata. Itu sebabnya dia merasa lebih suka berada di
Negeri Latanahsilam dari pada berada di negerinya sendiri.
Kalaupun dia berada di negeri bangsa Peri, dia lebih suka memencilkan diri.
Terkadang ada hasrat di hatinya untuk menemui Hantu Raja Obat atau mencari
makhluk roh bernama Luhrinjani itu untuk menanyakan. Siapa sebenarnya gadis yang
mereka katakan sebagai satu-satunya gadis yang
memberikan cintanya hanya kepada Wiro" Namun setelah dipikirnya lebih dalam dia
memutuskan untuk tidak melakukan hal itu. Bisa-bisa tersiar kabar bahwa dirinya
telah tergila-gila pada Pendekar 212 Wiro Sableng dan menaruh cemburu pada
gadis-gadis lainnya yang pernah berhubungan dengan pemuda itu.
Kini menghadapi kenyataan bahwa Wiro berada di
sebuah bukit di mana dipastikannya Luhjelita juga ada di situ, Peri Angsa Putih
merasa seolah sekujur tubuhnya terpanggang oleh panasnya hawa cemburu.
"Gadis bernama Luhjelita itu. Dia selalu mendahului atau memotong setiap rencana
yang hendak aku lakukan.
Kini mereka melakukan pertemuan rahasia di bukit itu.
Apakah aku harus menyelidik apa yang mereka lakukan"
Ah... Bagaimana ini!" Dalam bingungnya Peri Angsa Putih membiarkan angsa
tunggangannya melayang berputar-putar sampai beberapa kali. "Daripada tambah
hancur hatiku, kurasa lebih baik aku pergi saja dari sini. Luhjelita bukan saja
cantik. Tapi juga pandai memikat. Aku tidak punya kepandaian seperti itu. Aku...
Laeputih, kita harus..."
Namun maksud sang Peri hendak memerintahkan angsa putihnya meninggalkan kawasan
itu tidak terucapkan.
Malah pada saat-saat hati dan pikirannya tambah kacau, akhirnya dia mengambil
keputusan yang berbeda.
"Lae, kita kembali ke bukit tadi. Hati-hati, jangan sampai terlihat oleh
Laecoklat..."
*** WIRO SABLENG HANTU LANGIT TERJUNGKIR
7 AMPIR tanpa suara dan tidak terlihat oleh kura-kura coklat, Peri Angsa Putih
menyusup di balik kelebatan Hsemak belukar dan pohon-pohon berduri hingga
akhirnya dia sampai ke mulut goa. Di mulut goa Peri ini hentikan langkahnya.
Sesaat hatinya meragu, apakah akan terus masuk ke dalam goa atau bagaimana.
Jangan-jangan gadis bernama Luhjelita berada di dalam goa. Dia tidak suka pada
Luhjelita dan dia yakin Luhjelitapun benci sekali padanya. Semua ini berpangkal
pada perasaan mereka yang sama-sama ingin menyayangi Pendekar 212 Wiro Sableng.
Perselisihan mereka sampai pada saling pukul memukul (baca Episode sebelumnya
berjudul "Hantu Muka Dua").
Tiba-tiba Peri Angsa Putih dikejutkan oleh suara
perempuan menangis keluar dari dalam goa. Dia
memasang telinga. Sulit untuk mengenali suara tangisan siapa itu adanya. Dengan
dada berdebar akhirnya Peri Angsa Putih bergerak masuk ke dalam goa.
Tepat di pertengahan goa, langkah Peri Angsa Putih tertahan. Sepasang kakinya
laksana dipantek. Sekujur badannya menjadi panas bergeletar. Dua matanya
membeliak. Apa yang disaksikannya membuat dia ingin menjerit. Hatinya benar-
benar terpukul.
Lututnya mulai goyah. Dia seperti mau roboh!
Di depan sana, seorang gadis dalam keadaan tanpa
pakaian duduk di lantai sambil rangkulkan ke dua
tangannya ke leher Pendekar 212 Wiro Sableng. Dan gadis itu bukan lain adalah si
cantik genit Luhjelita! Saat itu terdengar Luhjelita berkata lirih tapi jelas
seperti petir menyambar masuknya ke telinga Peri Angsa Putih.
"Terlambat Wiro, tak ada gunanya penyesalan. Mungkin ini sudah takdir nasib
diriku. Harus mengalami hal seperti ini. Jangan sentuh diriku lagi... Pergilah,
pergi dan jangan pernah menemui diriku lagi. Aib yang aku derita terlalu besar.
Jangan sesalkan dirimu Wiro..."
Menggigil sekujur tubuh Peri Angsa Putih melihat
keadaan kedua orang itu, lebih-lebih mendengar apa yang barusan diucapkan
Luhjelita. Dia tidak dapat
membayangkan apa arti maksud ucapan gadis itu. Tapi pasti telah terjadi sesuatu.
"Mereka telah melakukan sesuatu di dalam goa ini sebelum aku datang. Wahai
Dewa... Wahai Peri!" Peri Angsa Putih tekapkan dua tangannya erat-erat ke leher,
berusaha menahan jeritan yang mungkin bisa membersit keluar dari mulutnya.
Khawatir dia tidak sanggup menahan diri, tanpa menunggu lebih lama gadis dari
Negeri Atas Langit ini segera memutar tubuh dan tinggalkan goa itu. Namun
bayangannya sempat terlihat oleh Wiro di dinding goa. Murid Sinto Gendeng ini
segera hendak bergerak keluar goa guna menyelidik. Tapi niatnya batal karena
mendadak Luhjelita memanggilnya.
Di luar goa saking bingungnya Peri Angsa Putih
bukannya kembali menemui angsa putih tunggangannya yang ditinggalkannya di satu
tempat kelindungan, tapi dia justru lari ke dalam rimba belantara. Di satu
tempat ketika dadanya terasa sesak dan kakinya bergetar berat tak sanggup lagi
di langkahkan kakinya, Peri Angsa Putih gulingkan diri di tanah lalu menangis
tersedu-sedu. Sang Peri tidak tahu berapa lama dia berada dalam keadaan seperti itu ketika
tiba-tiba ada cahaya biru berkelebat di atasnya disertai menebarnya bau harum
semerbak. Peri Angsa Putih turunkan dua tangan yang sejak tadi ditekapkannya ke
wajahnya yang basah oleh air mata. Peri ini terbelalak ketika melihat siapa yang
tegak di depannya. Dia segera menghapus air matanya, mengusap wajahnya dan
membungkuk, "Peri Bunda... Simpul Agung Dari Segala Peri, Peri Junjungan Dari Segala
Junjungan..."
Yang tegak di hadapan Peri Angsa Putih saat itu
ternyata adalah Peri Bunda, Peri separuh baya berwajah cantik. Pakaian birunya
yang panjang menjela-jela sampai ke tanah. Di kepalanya ada sebentuk mahkota
bertabur batu permata. Walau usianya sudah agak baya namun kecantikannya masih
mempesona. Peri Bunda adalah salah seorang Peri yang sangat
dihormati. Itu sebabnya Peri Angsa Putih tadi membungkuk dan menyapa dengan
segala panggilan penghormatan.
Dalam kejutnya melihat Peri Bunda, Peri Angsa Putih bertanya-tanya bagaimana
Peri Bunda tahu-tahu berada di tempat itu. Walau ingin mengetahui, namun Peri
Angsa Putih tidak berani menanya. Malah sebaliknya Peri Bunda berkata padanya
dengan penuh kelembutan.
"Wahai Peri Angsa Putih kerabatku yang cantik. Setelah cukup lama kau
meninggalkan negeri kita, sungguh aneh menemukan dirimu di dalam rimba belantara
ini. Lebih aneh lagi tadi kau dalam keadaan terguling di tanah.
Menangis. Dari suara tangismu agaknya ada suatu
keperihan yang sangat mendalam di relung hatimu. Peri Angsa Putih katakan padaku
apa yang terjadi. Katakan jika ada sesuatu yang bisa kulakukan untuk
menolongmu."
Ditegur begitu rupa kesedihan Peri Angsa Putih jadi bertambah, membuat dia
kembali menangis tersedu-sedu dan tutupkan lagi dua tangannya ke wajahnya yang
berurai air mata.
Peri Bunda dekati kerabatnya itu. Sambil membelai rambut hitam Peri Angsa Putih
dia berkata. "Peri Angsa Putih, segala kesulitan dan kesedihan tidak dapat
diakhiri hanya dengan air mata. Aku ingin menolongmu dari duka deritamu. Karena
itu mulailah menceritakan padaku apa yang terjadi..."
Peri Angsa Putih pergunakan pakaian putihnya untuk mengusap wajahnya lalu
berkata. "Peri Bunda, semuanya serba tidak terduga. Aku... dia..." Kembali Peri
Angsa Putih sesenggukan.
"Kuatkan hatimu wahai Peri Angsa Putih. Bicaralah dengan ketabahan seorang Peri.
Tak usah terburu-buru.
Aku akan mendengarkan dengan sabar..." Kembali Peri Bunda membelai kepala Peri
Angsa Putih dengan penuh kasih sayang.
"Peri Bunda, sungguh baik sekali hatimu. Kau sangat memperhatikan diriku. Apakah
kau masih ingat
pembicaraan kita beberapa waktu lalu tentang menipisnya batas antara kita para
Peri dengan manusia di bawah langit?"
Peri Bunda pejamkan mata sesaat seperti merenung.
Begitu dia membuka kedua matanya yang bagus, diapun berkata, "Wahai, tentu saja
aku ingat. Pembicaraan itu sangat besar artinya bagimu bukan" Bagiku merupakan
sesuatu yang perlu mendapat perhatian. Apakah ada hubungan pembicaraan kita
waktu itu dengan keadaanmu saat ini?"
"Peri Bunda, terus terang hatiku memang telah
melangkah jauh walau sepasang kakiku masih terikat demi menjaga segala pantangan
dan larangan kaum Peri..."
Peri Bunda kerenyitkan keningnya. "Aku tidak mengerti maksud ucapanmu wahai Peri
Angsa Putih. Atau...
hemmm... Mungkinkah kau..."
"Peri Bunda, barusan saja aku menyaksikan sesuatu di dalam sebuah goa tak jauh
dari tempat ini."
"Apa yang kau saksikan di dalam goa itu wahai Peri Angsa Putih?" tanya Peri
Bunda pula. "Aku menyaksikan Luhjelita..."
"Luhjelita, gadis cantik genit perayu lelaki itu! Apa yang kau saksikan wahai
kerabatku" Mengapa dia, sedang apa dia?" Pertanyaan Peri Bunda datang beruntun.
Tenggorokan Peri Angsa Putih turun naik dan suaranya bergetar ketika dia
berucap, "Gadis itu... Tanpa pakaian...
Dia berdua dengan..." Tangis Peri Angsa Putih kembali tersembur.
Setelah tangisnya mereda baru Peri Bunda bertanya.
"Kau melihat Luhjelita. Berdua dengan siapa wahai kerabatku?"
Karena memang hanya akan membuat sesak dadanya
menahan-nahan cerita, maka Peri Angsa Putih lalu
menuturkan apa yang dilihatnya di dalam goa beberapa waktu lalu. Sepasang mata
Peri Bunda jadi terbelalak, wajahnya sebentar memutih pucat sebentar bersemu
merah mendengar apa yang dituturkan Peri Angsa Putih.
Dia memandang lekat-lekat pada Peri Angsa Putih yang memandang kepadanya dengan
sepasang mata berurai air mata.
"Wahai Peri Bunda..." kata Peri Angsa Putih tersengguk-sengguk. "Sungguh aku
tidak menduga mereka mau
melakukan hal itu. Dan setelah itu terjadi mereka bicara segala macam
penyesalan... Sangat menjijikkan...!"
Lama Peri Bunda terdiam. Setelah geleng-gelengkan kepala beberapa kali baru dia
berucap, "Begitulah sifat dan martabat bangsa manusia di muka bumi, yang tidak
sama dan tidak boleh terjadi dengan kita para Peri dari Negeri Atas Langit.
Luhjelita, gadis perayu itu tidak menghargai diri dan kesuciannya sendiri.
Begitu mudah dia menyerahkan diri. Dan pemuda bernama Wiro Sableng itu aku
menaruh curiga dia sebenarnya adalah apa yang disebut sebagai pemuda hidung
belang. Kau dengar mereka bicara segala penyesalan. Itu semua hanyalah siasat
basa-basi karena pasti di lain saat mereka akan melakukan hal-hal mesum seperti
itu... Dan aku yakin, pemuda dari negeri seribu dua ratus tahun mendatang itu,
setelah mendapatkan kesucian Luhjelita, pasti dia akan mencari mangsa lainnya!"
Mendengar kata-kata Peri Bunda itu Peri Angsa Putih tekapkan dua tangannya ke
wajah, lalu kembali terisak-isak.
"Peri Angsa Putih, turunkan dua tanganmu. Angkat
wajahmu dan pandang wajahku. Aku harus menanyakan sesuatu padamu. Aku harus
mengatakan sesuatu padamu.
Apakah kau mendengar ucapanku wahai kerabatku?"
Perlahan-lahan Peri Angsa Putih turunkan kedua
tangannya, menatap wajah Peri Bunda dan menunggu
sampai Peri yang digelari Simpul Agung Segala Peri, Peri Junjungan Dari Segala
Junjungan itu berkata.
"Melihat kepada air mukamu. Dari cara kau
menuturkan apa yang kau saksikan, aku melihat dan bisa merasakan bahwa kau
sangat terpukul. Kalau aku boleh bertanya wahai Peri Angsa Putih, dan jika kau
mau berterus terang, apakah kau mempunyai satu perasaan tertentu terhadap pemuda
dari negeri seribu dua ratus tahun mendatang itu?"
Peri Angsa Putih gigit bibirnya menahan agar tidak terisak. Setelah menguatkan
hatinya baru dia berkata.
"Wahai Peri Bunda, itu sebabnya tadi aku mengingatkanmu pada pembicaraan kita
beberapa waktu lalu..."
"Hemmm... Aku mengerti sekarang," ujar Peri Bunda pula. "Rupanya kau telah jatuh
cinta pada pemuda itu..."
"Wahai Peri Bunda, aku tidak tahu perasaan apa yang ada dalam hatiku terhadap
pemuda itu. Karena selama ini hal-hal seperti itu tidak pernah aku alami.
Lagipula bukankah itu merupakan satu pantangan besar yang berat hukumannya jika
sampai dilanggar..."
"Jadi benar kau telah jatuh cinta pada pemuda
bernama Wiro Sableng itu?"
"Peri Bunda," sahut Peri Angsa Putih yang bermata biru itu. "Ingat pembicaraan
kita dulu. Waktu itu aku
menanyakan padamu, apakah kau sependapat denganku bahwa dunia kita semakin lama
semakin mengalami
banyak perbedaan. Bahwa batas antara kita bangsa Peri dan manusia di bawah
langit sana semakin tipis. Laksana kabut pagi yang mudah dipupus ditelan sinar
matahari...?"
"Aku memang ingat pembicaraan kita itu, wahai
kerabatku. Tapi saat ini yang aku inginkan ialah agar kau mau menjawab
pertanyaanku tadi. Benarkah kau telah jatuh cinta pada Wiro Sableng?"
Ditanya seperti itu Peri Angsa Putih jadi tundukkan kepala.
"Kau tidak mau menjawab pertanyaanku Peri Angsa
Putih?" Karena didesak akhirnya dalam menunduk Peri Angsa Putih anggukkan kepalanya.
Peri Bunda pejamkan
sepasang matanya. Wajahnya sesaat memucat. Tanpa
diketahuinya saat itu Peri Angsa Putih telah mengangkat kepala dan memandang
padanya. Peri Angsa Putih merasa heran melihat sikap Peri Bunda yang
mendongakkan wajah dengan mata terpejam seperti itu.
"Peri Bunda..." memanggil Peri Angsa Putih.
Sadar dan agak terkejut Peri Bunda buka sepasang
matanya, menatap ke dalam mata biru Peri Angsa Putih, lalu berkata.
"Kerabatku Peri Angsa Putih, jangan berisau hati.
Mungkin kau memang telah melakukan satu kesalahan.
Jatuh cinta pada insan lain yang bukan kaum kita. Namun dalam keadaan seperti
itu kau masih ingat bahwa hal itu merupakan satu pantangan besar. Yang jika kau
Wiro Sableng 111 Hantu Langit Terjungkir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
langgar akan menimbulkan malapetaka besar, bukan saja bagi dirimu tapi juga bagi
negeri kita. Ingat apa yang terjadi di Negeri Atas Langit ketika seorang peri
yang kemudian mengganti namanya menjadi Luhmintari bercinta dengan seorang
lelaki berasal dari Negeri Latanahsilam bahkan kemudian melangsungkan perkawinan
yang membuahi seorang anak cacat mengerikan bernama Jatilandak" Alam kita tercemar, segala
tuah tidak lagi mujarab. Angin tidak berhembus selama setahun penuh. Kalaupun
berhembus maka hawa busuk tercium di mana-mana dan udara terasa pengap. Air
berhenti mengucur dari tempat ketinggian ke tempat rendah. Akibatnya banyak
kawasan mengalami kekeringan. Bunga-bunga menjadi layu. Pucuk tidak akan menjadi
buah. Buah banyak yang jatuh busuk ke tanah.
Lalu semacam penyakit menular bertebar menakutkan.
Aku, kita semua bangsa Peri tidak ingin kejadian itu terulang kembali. Karenanya
wahai kerabatku Peri Angsa Putih, aku mewakili para Peri di Negeri Atas Angin,
berharap dengan sepuluh jari tersusun di atas kepala.
Sebelum terlambat, sebelum datang penyesalan yang tiada gunanya, jangan kau
lanjutkan kesesatan itu. Jangan langgar pantangan kaum kita. Sirnakan cintamu,
kikis rasa kasih sayangmu, buang jauh-jauh rasa sukamu, apapun namanya terhadap
pemuda bernama Wiro Sableng itu. Aku tahu kau belum melangkah terlalu jauh. Aku
tahu kau punya kebesaran jiwa ketabahan hati dan sikap tegas dalam mengambil
keputusan. Jauhi pemuda itu, lupakan semua yang ada di hatimu terhadapnya. Aku
dan para Peri akan berusaha menolongmu..."
Peri Angsa Putih tercekat mendengar kata-kata Peri Bunda itu. Wajahnya kembali
pucat tidak berdarah. "Peri Bunda..." ucapnya tersendat. "Mungkinkah...
Mungkinkah aku bisa melupakan pemuda itu" Kasih sayang, cinta tulusku
terhadapnya telah terpendam di lubuk hati, menjadi satu dalam aliran darahku.
Berada dalam setiap tarikan nafasku. Ke mana mataku memandang, wajahnya yang
terlihat. Wahai..."
Peri Bunda tersenyum. "Dengar baik-baik wahai Peri Angsa Putih. Kita para Peri
tidak mengenal dan tidak boleh mengenal kasih sayang atau cinta tulus terhadap
makhluk di bumi. Terhadap manusia di Negeri Latanahsilam saja hal itu sudah
merupakan satu pantangan besar yang jika dilanggar sangat mengerikan akibatnya.
Apalagi pemuda itu konon datang dari negeri seribu dua ratus tahun mendatang.
Satu negeri yang tidak kita kenal. Ingat ketika pertama kali dia dan kawan-
kawannya muncul di sini"
Sosok mereka tidak lebih besar dari jari kaki kita...!"
Peri Angsa Putih, Peri yang memiliki sepasang bola mata berwarna biru bagus ini
mengusap air mata yang berderai jatuh di pipinya. "Peri Bunda... Wahai, aku
tidak tahu harus mengatakan apa..."
"Kau tidak perlu mengatakan apa-apa dengan
mulutmu, wahai Peri Angsa Putih. Tapi berucaplah dalam hatimu bahwa kau akan
menjauhkan pemuda itu dan
melupakannya untuk selama-lamanya. Semua apa yang terjadi hanya kita berdua yang
tahu. Aku tidak akan mengungkapkannya pada Peri yang lain."
Peri Angsa Putih terduduk bersimpuh. Mukanya
ditekapnya kembali pada wajahnya. Kepalanya
digelengkan, dadanya bergetar menahan isak. Mulutnya bergerak, tapi suaranya
hanya keluar di dalam hati.
"Tidak mungkin Peri Bunda... Tidak mungkin aku
menjauhkan dirinya karena dirinya sudah terpateri dalam hatiku. Cinta kasihku
terhadapnya sudah larut dalam aliran darahku. Kasih sayangku terhadapnya menjadi
satu dengan hembusan nafasku. Peri Bunda, jika aku harus memilih sesuatu yang lain,
aku lebih suka memilih kematian..."
"Peri Angsa Putih, aku tahu kau tidak akan
mengecewakan aku dan kerabat para Peri lainnya. Aku tahu kau akan mengambil
keputusan sesuai dengan
semua nasihat yang kusampaikan tadi. Aku tidak punya waktu berlama-lama di sini
dan harus kembali ke Negeri Atas Langit. Kuharap kau juga segera kembali ke
sana. Semakin berlama-lama kau di negeri ini semakin buruk akibatnya bagimu..."
Setelah berucap begitu dengan lembut Peri Bunda cium kening Peri Angsa Putih
lalu melesat ke udara dan lenyap di ketinggian langit sebelah timur.
Hanya sesaat setelah Peri Bunda meninggalkan tempat itu, dari balik batu
rerimbunan semak belukar lebat, beranjak pula seseorang yang telah lama mendekam
di situ. Dia telah mendengar seluruh pembicaraan antara Peri Bunda dengan Peri
Angsa Putih. Apa yang didengarnya itu membuat hatinya tergoncang hebat. Dia baru
menyadari betapa dalam kasih sayangnya terhadap pemuda itu
setelah mengetahui benar-benar ada gadis lain yang mencintai si pemuda. Dalam
pikiran kacau seperti itu dia tidak lagi memperhatikan arah maupun gerak
jalannya. Pakaiannya tersangkut di ujung ranting lancip. Secarik kecil robekannya terkait
tinggal di ujung ranting.
*** WIRO SABLENG HANTU LANGIT TERJUNGKIR
8 EMBALI ke dalam goa di mana Pendekar 212 Wiro
Sableng berada bersama gadis cantik Luhjelita. Saat Kitu Luhjelita telah
mengenakan pakaian jingganya kembali. Gadis ini duduk di lantai goa, bersandar
ke dinding batu. Sepasang matanya sembab bekas menangis dan wajahnya masih agak
pucat. "Luhjelita, apakah sekarang kau bisa mengatakan apa yang terjadi" Tadi aku
menyebutkan nama Sepasang Gadis Bahagia. Kau begitu terkejut, marah besar malah
meraung keras!"
"Dua gadis kembar itu! Mereka jahanam-jahanam yang telah mencelakai menodaiku!"
teriak Luhjelita. Lalu gadis itu hantamkan tinjunya ke dinding goa.
Braakkk! Goa batu bergetar. Bagian yang terkena
pukulan hancur berlobang besar.
"Aku ingin menghancurkan kepala mereka seperti aku menghancurkan dinding batu
ini!" teriak Luhjelita. Lalu, braakkk! Sekali lagi dia hantamkan kepalan tangan
kanannya. Lobang ke dua menganga di dinding goa. Ketika Luhjelita yang seperti
kesetanan hendak menghantam untuk ke tiga kalinya, Wiro cepat pegang tangan
gadis itu dan berkata.
"Gadis berkepandaian tinggi sepertimu jangan sampai dirasuk amarah dan melakukan
hal yang hanya mencelakai diri sendiri!"
Luhjelita menggerung. Dua matanya memandang besar berapi-api pada Wiro. Wiro
coba tersenyum. Perlahan-lahan gadis ini turunkan tangannya.
"Diriku memang sudah celaka! Saat ini matipun aku mau! Kau mau lihat bagaimana
aku memecahkan kepala dengan membenturkannya ke dinding batu ini"! Mau"!"
"Jangan jadi orang gila!" kata Wiro pula tapi cepat-cepat menekap kepala si
gadis dengan dua tangannya karena khawatir Luhjelita benar-benar mau bertindak
nekad. "Aku percaya dua gadis kembar itu telah mencelakaimu karena mereka memang
bukan gadis baik-baik. Mereka telah merampas tongkat batu biru yang dulu kau
berikan padaku. Dengar, aku percaya mereka telah mencelakaimu.
Tapi kalau kau katakan mereka juga menodaimu, ini yang aku tidak mengerti!"
"Tidak mengerti! Apa yang tidak kau mengerti! Apa kau tidak tahu siapa mereka"!"
"Siapapun mereka, mana mungkin mereka menodaimu.
Mana ada perempuan menodai perempuan..." kata Wiro pula sambil garuk-garuk
kepala. Luhjelita mendengus gemas. "Kau dengar baik-baik
Wiro!" katanya setengah berteriak. "Dua gadis itu adalah gadis-gadis binal yang
cuma bergairah melakukan
hubungan badan dengan sejenisnya!"
Wiro melongo ternganga. "Maksudmu..." Pendekar 212
kembali garuk-garuk kepala. "Aku tidak..."
"Kau tidak mengerti! Kau juga tolol! Apa perlu
kujelaskan terang-terangan"! Menjijikkan!"
"Apanya yang menjijikkan?" tanya Wiro.
Luhjelita acungkan tinjunya. Siap hendak dijotoskan ke mulut Wiro. Wiro diam dan
tenang saja. Pelahan-lahan Luhjelita turunkan tangannya. Matanya berkaca-kaca
dan isakannya memenuhi goa itu.
"Aku tidak bermaksud mempermainkanmu. Tapi aku
benar-benar tidak mengerti..."
"Aku akan jelaskan..." kata Luhjelita akhirnya dengan suara lirih. "Dua gadis
kembar itu memiliki kelainan.
Mereka tidak pernah suka pada laki-laki. Mereka hanya bergairah dan bernafsu
pada kaum perempuan. Mereka menghadangku di satu tempat, menanyakan tongkat batu
biru yang kutemukan dekat mayat Si Tongkat Biru
Pengukur Bumi. Aku tak mau memberi tahu. Terjadi perang mulut disusul
perkelahian. Dua gadis kembar itu ternyata memiliki kepandaian tinggi dan juga
licik. Mereka berhasil membuatku tidak berdaya. Mereka membawaku ke dalam goa
ini lalu mengancam. Jika aku tidak menerangkan di mana beradanya tongkat batu
biru itu maka mereka akan menodai diriku... Daripada menjadi korban kebejatan
dan kemesuman mereka aku terpaksa mengatakan bahwa
tongkat batu biru itu telah aku berikan padamu. Tapi memang dasar mereka dua
manusia bejat. Setelah kuberi tahu mereka tetap saja berbuat keji menodaiku!"
"Menodaimu... Maksudmu, maaf... Maksudmu mereka
mengancam hendak memperkosamu?"
Luhjelita beliakkan matanya ke arah Wiro tapi
kemudian anggukkan kepalanya lalu palingkan wajah yang bersemu merah ke arah
lain. "Luhjelita, bagaimana mungkin... Bagaimana mungkin mereka melakukan hal itu
padamu" Bagaimana bisa
perempuan dengan perempuan... Memangnya mereka
memakai apa...?"
"Pertanyaan gila!" teriak Luhjelita kembali marah.
"Mereka menanggalkan pakaianku secara paksa! Mereka menggerayangi seluruh
tubuhku! Bukan cuma meraba!
Mereka melakukan perbuatan mesum itu! Menodaiku
bergantian!" Luhjelita tekapkan dua tangannya ke
wajahnya lalu menangis terisak-isak.
Wiro terdiam melongo, pandangi Luhjelita sambil garuk-garuk kepala.
"Luhjelita... Kalaupun mereka menodaimu, kurasa saat ini kau masih tetap
perawan. Maksudku kau tidak sampai kehilangan kegadisanmu!"
Plaaakkk! Tamparan Luhjelita mendarat di pipi kiri Pendekar 212
hingga Wiro sempoyongan. Melihat Wiro mengerenyit kesakitan sambil usap-usap
pipinya yang terasa sakit pedas, Luhjelita jadi sadar dan menyesal atas
perbuatannya. Saking menyesalnya gadis ini langsung memeluk Wiro seraya berkata.
"Maafkan diriku. Aku tidak berniat menyakiti dirimu. Aku... pikiranku sangat
kacau. Semua yang kau ucapkan seperti mempermainkan diriku.
Aku menyesal... Maafkan..."
Wiro pegang dua lengan Luhjelita. Lalu berkata. "Dulu...
Di negeri asalku di tanah Jawa, aku juga pernah mengalami kejadian aneh, lucu
tapi juga mesum menjijikkan. Aku bertemu dengan dua gadis cantik. Mereka hendak
menggagahiku. Ternyata mereka adalah dua orang lelaki yang hanya punya gairah
terhadap lelaki. Aku... Tapi aku tidak sempat... Ah sudahlah!" Wiro menutupkan
tangannya ke mulut. Tapi semburan tawanya tidak terbendung.
Akhirnya murid Sinto Gendeng ini tersadar ke dinding goa dan tertawa gelak-gelak
sampai keluar air mata. Luhjelita mula-mula memandang dengan wajah beringas.
Lalu cemberut. Namun kemudian dia ikut-ikutan tertawa walau sambil banting-banting
kaki (Mengenai apa yang dikatakan Wiro itu harap baca serial Wiro Sableng
berjudul "Sepasang Iblis Betina").
Tiba-tiba Luhjelita hentikan tawanya. Wajahnya yang cantik kembali kelihatan
beringas. Lalu berubah sayu sedih. Dia menarik nafas panjang dan dalam lalu
berkata. "Bagaimana hidupku selanjutnya. Aku merasa sangat malu. Kalau saja ada orang
lain yang tahu..."
"Mengapa kau mengkhawatirkan kehidupanmu
selanjutnya. Memangnya ada sesuatu yang hilang pada dirimu...?"
"Pemuda sinting...! Jangan bergurau terus!"
"Aku tidak bergurau. Walau apa yang kau alami akan sangat menghantui dirimu tapi
lambat laun harus bisa kau lupakan. Apalagi kau memang tidak kehilangan apa-apa.
Lalu tak ada orang lain yang menyaksikan atau tahu hal itu kecuali aku. Dan aku
tidak akan mungkin menceritakannya pada orang lain. Lalu..."
"Sudah! Yang jelas aku akan mencari dua gadis kembar jahanam itu! Sebelum mereka
kuhabisi belum puas
hatiku!" "Kau harus berlaku hati-hati Luhjelita. Menurutmu mereka berkepandaian tinggi.
Aku sendiri sudah
menghadapi mereka. Keduanya memiliki gerakan sangat cepat. Buktinya mereka
berhasil merampas tongkat batu biru itu. Kalau kau suka, aku mau membantumu!
Sekaligus mendapatkan tongkat itu kembali. Tapi apa perlu sampai membunuh mereka
segala"!"
"Kalau tidak dibunuh mereka akan menodai gadis-gadis lainnya! Sampai saat ini
entah sudah berapa puluh gadis yang jadi korban kemesuman mereka. Setan betul,
mengapa nasibku sampai begini. Kalau sudah kubunuh mereka mungkin aku akan
menjalani kehidupan
memencilkan diri. Aku merasa malu sendiri melihat dunia ini..."
"Jangan bodoh. Kau masih muda! Masakan mau
memencilkan diri. Memangnya kau mau jadi apa...?"
"Mau jadi apa bukan urusanmu. Tapi..." Luhjelita ingat pada ilmu yang tengah
dicari dan dituntutnya.
Dipandanginya tangan kanannya di mana terlihat tiga buah tahi lalat hitam. Lalu
dia melirik pada Wiro. Dia tahu karena pernah melihat dan hampir mendapatkan.
Di bawah pusar sang pendekar ada tiga buah tahi lalat yang dulu hampir dapat
dipindahkannya ke telapak
tangannya kalau tidak terhalang dengan kemunculan seseorang berjuluk Si Pelawak
Sinting (Baca Episode Wiro Sableng berjudul "Hantu Tangan Empat").
"Tapi apa?" Wiro bertanya.
Luhjelita gelengkan kepala. Lalu dia bangkit berdiri.
"Aku harus pergi sekarang."
"Mencari dua gadis kembar itu?" tanya Wiro.
"Aku perlu menemui seseorang terlebih dulu. Kau
betulan ingin membantuku menghadapi dua gadis kembar itu?"
"Tentu. Tapi aku juga perlu mencari dua sahabatku lebih dulu," jawab Wiro.
"Kakek tukang ngompol bau pesing dan anak lelaki
konyol itu?"
Wiro tertawa mendengar kata-kata Luhjelita itu.
"Karena saat itu masing-masing kita punya
kepentingan, bagaimana kalau kita berjanji bertemu di satu tempat..."
"Setuju-setuju saja," jawab Wiro. "Kau yang
menentukan tempat dan waktunya..."
"Di sebelah selatan Gunung Latinggimeru ada sebuah kawasan dipenuhi batu-batu
berbentuk aneh. Aku akan menunggumu di dekat tiga buah batu berbentuk tonggak
lancip mengarah ke langit. Saatnya malam bulan purnama penuh mendatang."
Wiro anggukkan kepala.
"Kau benar-benar akan datang?" Luhjelita bertanya seolah tidak percaya.
"Kita memang tak sering berjumpa. Tapi apakah aku pernah berdusta padamu?"
"Mana aku tahu," jawab Luhjelita. "Mungkin di saat pertemuan, sebelum mencari
Sepasang Gadis Bahagia kita perlu bicara soal bunga mawar kuning beracun tempo
hari..." Wiro jentikkan jari-jari tangannya seraya berkata. "Itu memang salah satu
keinginanku!"
Luhjelita ulurkan tangan kanannya seperti hendak
memegang lengan Pendekar 212. Tapi niatnya itu
dibatalkan. Dia membalikkan badan dan melangkah cepat menuju mulut goa.
Tak jauh dari mulut goa, di satu tempat yang
kelindungan seseorang yang sejak tadi menunggu
mengintai begitu melihat kemunculan Luhjelita, dalam hati dia berkata. "Agaknya
apa yang dikatakan Peri Bunda benar adanya. Tadi di dalam goa kulihat dan
kudengar sendiri dia menangis menyesali diri yang ditimpa aib. Kini keluar dari
goa kulihat wajahnya cerah. Malah ada sekelumit senyum di bibirnya. Rupanya
memang dia gadis yang pandai merayu lelaki untuk diajak berbuat mesum!"
Baru saja dia berkata begitu sepasang mata biru orang yang mengintai tampak
membesar ketika dari mulut goa dia melihat pula sosok Pendekar 212 melangkah
Wiro Sableng 111 Hantu Langit Terjungkir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
keluar sambil garuk-garuk kepala.
"Mungkin memang ada benarnya aku harus menuruti
nasehat Peri Bunda. Menjauhi dan melupakan pemuda itu!
Seperti gadis murahan tadi dia juga tampak keluar sambil cengar-cengir! Sungguh
menjijikkan!" Orang ini balikkan badannya siap hendak melangkah pergi. Namun ada
kebimbangan di wajahnya. "Wahai... Apakah aku memang sanggup melupakannya"
Mungkin aku harus menemui
Hantu Raja Obat untuk mencari keterangan. Mungkin juga aku perlu mencari Hantu
Sejuta Tanya Sejuta Jawab untuk mendapatkan petunjuk..."
*** WIRO SABLENG HANTU LANGIT TERJUNGKIR
9 EMBAH Seribu Kabut. Saking marahnya Lakasipo
hantamkan kaki batunya hingga sebatang pohon
Lbesar patah dan tumbang menggemuruh. Di atas batu Hantu Langit Terjungkir
mendesah berulang kali sambil menjambak-jambak rambutnya yang putih terjulai.
"Tololnya diriku! Bagaimana mungkin aku berlaku ayal dan lengah! Hingga benda
yang sangat berharga itu sampai dirampas dan dilarikan orang. Wahai, titipan
amanat orang aku sia-siakan. Bagaimana aku harus
mempertanggungjawabkan!" Lakasipo alias Hantu Kaki Batu menatap orang tua yang
tegak kaki ke atas kepala ke bawah di atas batu. "Hantu Langit Terjungkir, aku
mohon maaf atas kelalaianku ini. Aku bersumpah akan mencari si pencuri dan
dapatkan kembali Sendok Pemasung Nasib itu." "Aku memang ikut menyesali kejadian
ini..." kata Hantu Langit Terjungkir alias Lasedayu. "Tapi mau dibilang apa.
Mungkin ini sudah takdir para Dewa bahwa hidupku
seumur-umur akan sengsara seperti ini." Hantu Langit Terjungkir sibakkan
rambutnya yang menjulai. Orang tua ini ternyata memiliki wajah pucat putih
seolah tidak berdarah.
Sepasang matanya berwarna kelabu, menatap ke arah Lakasipo lalu berkata.
"Orang yang tadi merampas Sendok Pemasung Nasib
itu dari tanganmu, pastilah seorang berkepandaian luar biasa tinggi. Gerakannya
laksana kilatan cahaya, seperti hantu di siang bolong. Aku tidak sempat melihat
sosok, apalagi wajahnya. Siapa dia tak bisa diduga..."
"Aku akan menyelidik. Aku musti mendapatkan sendok emas itu kembali..." kata
Lakasipo pula. "Terus terang, aku tidak terlalu berharap wahai Hantu Kaki Batu," kata si orang
tua setengah berputus asa. "Saat ini aku hanya menginginkan satu pertolongan
saja darimu..."
"Katakanlah, mungkin itu bisa sebagai penebus
kesalahanku," ujar Lakasipo.
"Jika kau bertemu sahabatku bernama Lawungu itu,
atau Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab, beri tahu bahwa aku ada di lembah ini.
Katakan padanya bahwa sebelum mati aku sangat ingin bertemu dengannya. Terutama
Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab. Mungkin dia tahu perihal istri dan empat
anakku..."
"Permintaanmu pasti akan kulaksanakan, Hantu Langit Terjungkir. Jika kau
mengizinkan aku juga akan menyirap kabar tentang anak istrimu. Kau telah
menjelaskan bahwa istrimu bernama Luhpingitan. Kalau aku boleh tahu, siapakah
nama ke empat anakmu?"
Hantu Langit Terjungkir kelihatan sedih. "Kau orang baik. Kalau anak-anakku
masih hidup usia mereka kira-kira sebaya denganmu. Hanya sayang... Wahai. Waktu
aku pergi meninggalkan mereka sebelum banjir besar melanda
negeri, aku belum berkesempatan memberikan nama
kepada masing-masing mereka..."
"Sayang sekali, tapi aku akan berusaha melakukan apa yang bisa aku lakukan,"
kata Lakasipo lalu menyambung ucapannya. "Dengan memohon maaf sekali lagi atas
kelalaianku, aku minta diri. Cepat atau lambat aku akan menemuimu kembali di
Lembah Seribu Kabut ini."
Lakasipo menjura lalu balikkan tubuhnya. Ketika dia melangkah pergi sepasang
kaki batunya mengeluarkan suara bergemuruh menggetarkan tanah. Hantu Langit
Terjungkir memperhatikan dengan pandangan sepasang mata kelabunya. Tiba-tiba
orang tua ini melihat sesuatu di lengan atas sebelah belakang, dekat ketiak
Lakasipo. Mata Hantu Langit Terjungkir membeliak besar. Dadanya
berdebar keras.
"Tanda bunga dalam lingkaran! Dewa Maha Besar!
Tidak salahkah penglihatanku"! Jangan-jangan dia adalah salah satu dari..."
Hantu Langit Terjungkir usap kedua matanya berulang kali. Dari mulutnya kemudian
melesat teriakan yang membahana di Seantero lembah.
"Hantu Kaki Batu! Tunggu dulu! Kembali!"
Di balik kabut di kejauhan sana Lakasipo hentikan langkahnya lalu berbalik.
Hatinya bertanya-tanya ada apa Hantu Langit Terjungkir memanggilnya. Tetapi
justru ketika Lakasipo membalik, pada saat yang sama satu gelombang api sangat
dahsyat berkiblat seolah mencurah dari langit.
Lakasipo cepat melompat mundur.
Nyala api mengobari kawasan lembah. Ketika akhirnya kobaran api itu sirna Hantu
Langit Terjungkir tidak kelihatan lagi di tempatnya.
"Ada gelombang api dari atas langit! Apa yang terjadi"
Ke mana lenyapnya orang tua itu"!"
Tiba-tiba di langit terdengar suara tawa bergelak.
Lakasipo mendongak ke atas. Di langit sebelah timur ada sesosok tubuh dibalut
kobaran api, melesat laksana terbang menuju ke utara.
"Lamanyala... Pasti itu Lamanyala. Makhluk Wakil Para Dewa yang diceritakan
Hantu Langit Terjungkir..." pikir Lakasipo. "Jangan-jangan dia telah mencelakai
orang tua itu. Telah membunuhnya!" Lakasipo berkelebat kian kemari. Mencari
sambil memanggil-manggil. Namun tak ada jawaban. Tak ada gerakan. Lembah Seribu
Kabut kini disungkup kesunyian.
*** TAK lama setelah Lakasipo meninggalkan Lembah
Seribu Kabut, satu batu besar tampak bergerak lalu terguling ke kiri. Dari
sebuah lobang di bagian bawah batu itu muncul sosok tubuh Hantu Langit
Terjungkir, kotor coreng-moreng oleh tanah liat basah. Ketika kejadian gelombang
api melesat dari langit orang tua ini bukan saja sudah tahu apa yang bakal
terjadi, tetapi juga mengetahui siapa yang punya pekerjaan. Secepat kilat dia
melompat lalu menyelinap masuk ke dalam lobang di bawah batu besar itu. Lobang
tersebut memang sengaja dibuatnya untuk berlindung dari segala macam bahaya yang
tidak diinginkan. Hantu Langit Terjungkir selamat dari sambaran api karena
setelah mendapat ilmu yang ditimbanya dari kekuatan alam tubuhnya menjadi sangat
enteng seperti kabut dan dia mampu bergerak luar biasa cepatnya.
Dari tempatnya berdiri kaki ke atas tangan ke bawah Hantu Langit Terjungkir
memandang ke langit. Mulutnya komat-kamit, pelipisnya menggembung. Matanya yang
kelabu menyorotkan hawa amarah.
"Jahanam Lamanyala! Siapa lagi kalau bukan dia yang punya pekerjaan! Belum puas
dia rupanya! Caranya tadi menghantam dengan gelombang api jelas hendak
memisahkan aku dengan Hantu Kaki Batu. Tepat pada saat aku melihat sebuah tanda
di lengan lelaki itu.
Mungkin sekali Lamanyala tidak menginginkan aku
mendapatkan jejak anak-anakku!"
Lasedayu alias Hantu Langit Terjungkir memandang ke arah lenyapnya Lakasipo.
"Hantu Kaki Batu..." desisnya.
"Firasatku mengatakan kau memang salah seorang dari mereka. Tidak ada manusia
lain di dunia ini yang memiliki tanda bunga dalam lingkaran seperti yang kau
Gempar Aji Karang Rogo 1 Pendekar Romantis 05 Skandal Hantu Putih Lembah Kutukan 2
empat anakmu! Si bungsu anakmu yang ke empat telah menjadi musuh besarmu! Kau
telah kehilangan seluruh kesaktianmu!' Setelah berkata begitu dia mengutuk, 'Mulai
hari ini kau akan hidup
menyungsang. Kaki ke atas kepala ke bawah. Kau akan berjalan dengan dua
tanganmu! Kau akan jadi makhluk tersiksa seumur-umur!' Seperti kau saksikan
sendiri saat ini. Aku benar-benar hidup menyungsang. Kaki ke atas kepala ke
bawah!" (Mengenai riwayat Lasedayu alias Hantu Langit Terjungkir harap baca
serial Wiro Sableng dua Episode sebelumnya yaitu "Hantu Muka Dua" dan "Rahasia
Kincir Hantu").
"Wahai... Riwayatmu sungguh hebat. Aku baru tahu
kalau kau punya empat orang anak..."
"Empat orang anak. Tapi apa artinya..." ujar Hantu Langit Terjungkir. "Aku tidak
tahu di mana mereka sekarang. Kalau masih hidup kira-kira seusiamu. Aku juga
tidak tahu apakah istriku Luhpingitan masih hidup atau entah sudah tiada..."
"Sungguh berat beban derita hidup orang tua ini," kata Lakasipo dalam hati. Lalu
pada Hantu Langit Terjungkir dia berkata. "Orang tua, karena kau sudah
menceritakan riwayat nasib dirimu, sekarang tiba saatnya aku memenuhi janji.
Memberi tahu amanat apa yang aku bawa untukmu.
Apakah kau kenal dengan seorang tua bernama
Lawungu?" Hantu Langit Terjungkir keluarkan seruan tertahan.
Berkali-kali dia menarik nafas dalam. Tenggorokannya turun naik. "Lawungu...
Lawungu..." katanya beberapa kali.
"Puluhan tahun silam, kau belum lagi dilahirkan. Di Negeri Latanahsilam ini ada
satu kelompok orang-orang yang mengaku gagah karena paling tinggi ilmunya.
Mereka tiga bersahabat. Yang pertama adalah yang dikenal dengan Hantu Sejuta
Tanya Sejuta Jawab. Yang kedua aku sendiri.
Yang ketiga Lawungu itu. Karena sibuk dengan urusan masing-masing kami kemudian
berpisah dan lama tak saling bertemu... Wahai! Mengapa kau bertanyakan
Lawungu padaku?"
"Karena kakek itulah yang menitipkan amanat yang
kukatakan itu," jawab Lakasipo.
"Kau... Lawungu! Amanat apa yang dititipkan sahabatku itu"!" tanya Hantu Langit
Terjungkir. Dengan tangan kirinya dia sibakkan rambut serta kumis yang terjulai
hingga kini Lakasipo untuk pertama kalinya dapat melihat jelas sebagian wajah
orang tua itu. Wajah ini putih seperti tidak berdarah sedang sepasang matanya
berwarna kelabu.
"Katakan cepat. Amanat apa yang dititipkan Lawungu padamu!"
"Aku dimintanya menyerahkan benda ini..." kata
Lakasipo seraya mengeluarkan sebuah benda berwarna kuning yang berkilauan
tertimpa sinar sang surya pagi.
"Sendok Pemasung Nasib!" seru Hantu Langit
Terjungkir dengan keras dan mata mendelik besar. Sekujur tubuhnya bergeletar.
Lebih-lebih ketika Lakasipo
mengulurkan tangannya siap menyerahkan sendok itu pada si orang tua.
Hantu Langit Terjungkir keluarkan suara seperti hendak menangis. Tangan kanannya
bergetar keras ketika
diulurkan untuk mengambil sendok emas itu. Namun
hanya sekejapan lagi sendok itu akan disentuhnya tiba-tiba satu bayangan kuning
berkelebat, dan...! Lakasipo serta Hantu Langit Terjungkir sama-sama berseru
kaget. Sendok Pemasung Nasib lenyap disambar orang. Bersamaan
dengan itu bayangan kuning yang tadi berkelebat ikut menghilang!
Lakasipo coba mengejar sambil lepaskan pukulan Lima Kutuk Dari Langit. Namun tak
ada gunanya. Yang hendak dihantam sudah keburu kabur.
Hantu Langit Terjungkir meraung keras. Betapa tidak.
Melihat sendok emas tadi timbul kembali harapan
hidupnya dengan memiliki segudang kesaktian. Namun harapan tinggal harapan.
Sendok emas amblas dirampas sosok kuning tidak dikenal.
*** WIRO SABLENG HANTU LANGIT TERJUNGKIR
6 EMBALI kepada Pendekar 212 Wiro Sableng yang
tengah berusaha menyelidiki di mana beradanya
KLuhjelita. Kawasan selatan yang didatanginya
ternyata merupakan daerah mendaki berbatu-batu. Di situ tumbuh sejenis pepohonan
setinggi kepala manusia, yang batang, ranting serta dedaunannya ditancapi duri-
duri berwarna coklat kehitaman. Melihat duri-duri itu Wiro ingat pada sahabatnya
yang malang yaitu Hantu Jatilandak. Dia tidak tahu di mana pemuda yang sekujur
tubuhnya penuh duri landak itu kini berada.
Karena pepohonan berduri tumbuh cukup rapat, Wiro tak bisa berlari cepat. Dia
harus hati-hati, jangan sampai tergores duri coklat yang bukan mustahil
mengandung racun. Di satu tempat ketinggian murid Eyang Sinto Gendeng dari
Gunung Gede ini hentikan larinya,
memandang berkeliling. Tiba-tiba matanya membentur sesuatu yang tergantung
melambai-lambai di ujung sebuah ranting berduri. Wiro segera bergerak,
memperhatikan lebih dekat. Ternyata benda yang melambai-lambai di ujung ranting
berduri itu adalah robekan pakaian terbuat dari kulit kayu halus berwarna
jingga. "Kain jingga..." ujar Wiro berdebar. "Siapa lagi
pemiliknya kalau bukan Luhjelita. Aku menempuh arah yang benar. Agaknya gadis
itu berada di sekitar sini. Kini tinggal mencari di mana goanya." Wiro memandang
berkeliling, tak berkesip. Dia tidak melihat apa-apa. Juga tidak menemukan
petunjuk lain. Lalu dia mendengar ada suara menderu di udara. Memandang ke atas
dia tidak melihat sesuatupun. Langit cerah. Sinar sang surya terasa mulai
menyengat. Wiro sibakkan semak belukar di samping kirinya lalu meneruskan
perjalanan. Berjalan sejauh belasan tombak mendadak dia melihat kelainan pada serumpunan
semak belukar dan pohon-pohon berduri di arah sebelah kanan. Semak-semak dan
pepohonan itu terkuak ke kiri kanan dan ada tanda-tanda bekas rambasan.
"Ada orang membuat jalan setapak di tempat itu. Aku harus mengikuti jalan itu.
Mungkin menuju ke goa yang dikatakan dua gadis kembar cantik tapi sialan itu!"
Berpikir begitu Pendekar 212 Wiro Sableng segera bergerak ke ujung semak belukar
yang terkuak. Tak lama mengikuti jalan kecil itu tiba-tiba dia dikejutkan oleh
sebuah benda aneh yang mencuat seperti bukit batu kecil, berwarna coklat. Selagi
tegak keheranan Wiro kembali terkejut karena bukit batu ini kelihatan bergerak.
Tidak mau mengalami celaka yang tidak terduga, Wiro segera
kerahkan tenaga dalam ke tangan kanan untuk sewaktu-waktu bisa menghantamkan
pukulan sakti. Batu coklat itu kembali bergerak. Tiba-tiba di ujung kanan bukit batu ada
sesuatu yang lain, bergerak naik ke atas. Ternyata kepala seekor kura-kura
raksasa. "Astaga, Laecoklat! Kura-kura raksasa tunggangan
Luhjelita..." Dalam kejutnya Wiro juga merasa gembira.
Kalau tunggangannya berada di sana, berarti Luhjelita tidak berada jauh dari
situ. Laecoklat berpaling pada Wiro. Matanya dikedip-
kedipkan. Melihat binatang ini tidak bersikap galak Wiro beranikan diri mendekat
lalu melompat ke atas
punggungnya yang keras atos. Sambil mengusap kepala binatang itu Wiro berkata.
"Laecoklat, bisa kau
menunjukkan padaku di mana Luhjelita berada?"
Kura-kura raksasa itu kedipkan sepasang matanya dua kali lalu palingkan
kepalanya ke kiri. Setelah menghadap ke kiri, kepala itu sedikit ditundukkan.
Wiro memperhatikan. Dadanya berdebar. Di balik lima rumpun pohon berduri yang telah
dirambas orang kelihatan sebuah mulut goa batu yang tingginya sepenyandak kepala
manusia. "Kura-kura pintar!" Memuji Wiro. Lalu sekali melompat dia sudah sampai di depan
pintu goa. Tanpa menunggu lebih lama murid Sinto Gendeng ini segera masuk ke
dalam goa yang ternyata bagian dalamnya terbuat dari sejenis batu putih
berkilauan hingga keadaan di situ tidak gelap.
Berjalan masuk sejauh enam tindak, Wiro tiba-tiba hentikan langkahnya. Dia
mendengar suara orang
mendesah dan sesenggukan berulang kali. Suara
perempuan. Luhjelita-kah itu" Apa yang terjadi dengan dirinya" Karena belum
melihat sosok orang, Wiro
melangkah masuk lebih jauh ke dalam goa. Untuk kedua kalinya kembali langkah
sang pendekar terhenti.
Di sana, sejarak enam langkah di hadapannya, di lantai goa batu putih tergeletak
sesosok tubuh perempuan.
Pakaiannya, sehelai baju panjang berwarna jingga bertebar di lantai. Hanya
sebagian saja yang masih menutupi auratnya hingga sosok perempuan itu nyaris
tidak terlindung. Wiro memperhatikan wajah perempuan itu. Dia segera mengenali dan
berseru memanggil.
"Luhjelita!"
Seperti mendengar suara malaikat, perempuan yang
tergeletak di atas lantai putar kepalanya. Begitu dia melihat dan mengenali
siapa yang berdiri di depan sana langsung dia meraung.
"Wiro...!"
Perempuan itu yang memang Luhjelita adanya
menangis tersedu-sedu. Wajahnya yang cantik nampak pucat pasi dan basah oleh air
mata. Gadis itu kemudian tutup mukanya dengan dua tangan dan menangis lebih
keras. "Luhjelita, apa yang terjadi dengan dirimu!" seru Wiro lalu mendekat dan duduk
di samping sosok Luhjelita. Dia hendak meraba kening gadis ini namun Luhjelita
lebih dulu bergerak bangkit dan rangkulkan kedua tangannya ke leher Wiro lalu
menangis lebih keras.
"Luhjelita, tenangkan dirimu. Katakan apa yang telah terjadi. Dengar, kenakan
pakaianmu lebih dulu... Aku menyesal tidak bisa datang lebih cepat
menolongmu..."
"Terlambat Wiro, tak ada gunanya penyesalan. Mungkin ini sudah takdir nasib
diriku. Harus mengalami hal seperti ini. Jangan sentuh diriku lagi... Pergilah,
pergi dan jangan pernah menemui diriku lagi. Aib yang aku derita terlalu besar.
Jangan sesalkan dirimu Wiro..." Gadis itu lepaskan rangkulannya di leher Wiro
lalu menangis lebih keras sambil menutupkan dua tangannya di atas wajah.
Pendekar 212 jadi bingung. Dia tak berani menyentuh tubuh Luhjelita yang saat
itu memang tidak tertutup apa-apa. Akhirnya diambilnya pakaian Luhjelita yang
bertebaran di lantai. Pakaian ini ditutupkannya sebisanya ke tubuh si gadis.
Pada saat itulah dia melihat ada bayangan bergerak di dinding goa. Berarti ada
seseorang di mulut goa. Wiro berpaling, hendak bangkit berdiri. Namun gerakannya
tertahan oleh suara Luhjelita.
"Wiro..."
Wiro terpaksa kembali mendekati gadis itu, duduk
disampingnya. "Kenakan pakaianmu, baru nanti kita bicara. Aku merasa ada
seseorang di luar goa. Aku akan menyelidik sebentar. Nanti kembali lagi ke
sini..." "Jangan... jangan pergi. Aku takut Wiro. Takut sekali.
Aku... rasanya aku ingin mati saja saat ini. Jangan pergi.
Siapapun yang ada di luar sana biar saja..."
"Gadis ini sedang kacau pikiran," kata Wiro dalam hati.
"Tadi disuruhnya aku pergi, jangan menemuinya lagi.
Sekarang dia tidak mau ditinggal..."
Wiro terpaksa mengikuti kata-kata Luhjelita. Karena si gadis tidak berusaha
mengenakan pakaiannya, setengah memaksa Wiro membantu Luhjelita berpakaian.
Dalam keadaan lain, berdua-dua seperti itu bisa membuat sang pendekar jadi panas
dingin. "Gila, mengapa keadaan bisa seperti ini. Kalau ada orang lain yang melihat bisa-
bisa dia salah sangka!" Wiro membatin sambil garuk-garuk kepala.
"Nah, kau sudah berpakaian rapi. Duduklah bersandar ke dinding goa sebelah sini.
Kelihatannya kau berada dalam satu goncangan besar..."
"Luar biasa besarnya Wiro. Membuat aku rasanya ingin mati saja saat ini," jawab
Luhjelita lirih. Gadis ini beringsut ke kiri lalu duduk bersandar ke dinding
goa. "Ceritakan apa yang terjadi..." kata Wiro pula seraya duduk di hadapan si gadis.
"Aku ingin tahu dulu, bagaimana kau bisa sampai di sini?" tanya Luhjelita sambil
mengusap air mata yang membasahi pipinya. Wajahnya masih pucat tak berdarah.
Rambutnya awut-awutan.
Wiro lalu bercerita.
"Aku bertemu dan diserang oleh dua orang gadis
kembar mengaku berjuluk Sepasang Gadis Bahagia..."
Mendengar Wiro mengucapkan nama itu Luhjelita
langsung terpekik. "Dua gadis jahanam itu! Mereka...!"
Jeritan Luhjelita terputus, bersambung dengan ratapan panjang.
*** Kita tinggalkan Wiro dan Luhjelita yang ada di dalam goa. Kita kembali pada
saat-saat sebelumnya ketika Wiro berusaha mencari goa di mana Luhjelita disekap
oleh sepasang dara kembar. Seperti dituturkan karena
perhatiannya sangat terpusat pada usaha mencari dan menyelamatkan Luhjelita,
murid Sinto Gendeng ini sampai tidak memperhatikan kalau di udara ada sesosok
burung besar yang bukan lain adalah Laeputih, angsa raksasa milik Peri Angsa
Putih. Binatang ini terbang mengikutinya dari kejauhan. Tentu saja binatang itu
melayang mengikuti atas kehendak si pemiliknya yakni Peri Angsa Putih yang ada
di atas punggungnya.
Sang Peri merasa heran melihat Wiro berlari ke arah kawasan tinggi berbatu-batu
dan dipenuhi semak belukar serta pohon-pohon berduri. Saat itulah angsa
tunggangan yang bernama Laeputih itu keluarkan suara menguik halus.
Peri Angsa Putih yang sudah tahu sifat binatang
kesayangannya itu mengusap kepala Laeputih seraya berucap.
"Aku tahu, kau melihat sesuatu. Tapi mataku masih belum melihat apa-apa.
Melayanglah lebih rendah. Hati-hati. Jangan sampai orang yang kita ikuti melihat
kita..." Laeputih menguik halus lalu tukikkan kepalanya ke bawah. Sesaat kemudian angsa
putih inipun melayang merendah. Gerakan sayapnya dibuat demikian rupa hingga dia
terbang hampir tanpa suara. Di ketinggian tertentu Laeputih berputar dua kali.
Peri Angsa Putih memandang ke bawah. Dia melihat bebukitan. Batu-batu diseling
oleh semak belukar dan pohon-pohon berduri aneh. Tiba-tiba matanya melihat
sesuatu. Tapi belum jelas benar. Dada sang peri mendadak berdebar. Matanya
digosoknya. "Lae..." bisik Peri Angsa Putih pada binatang
tunggangannya. "Berputar sekali lagi, jangan terlalu cepat..."
Laeputih lakukan apa yang dikatakan Peri Angsa Putih.
Binatang ini kembali melayang berputar. Peri Angsa Putih memasang mata tajam-
tajam. Debaran di dadanya
semakin kencang. Matanya membelalak dan dua
tangannya memegangi pangkal leher. Wajahnya berubah pucat.
"Laecoklat..." desis sang peri. "Kura-kura bersayap tunggangan Luhjelita!
Laeputih, lekas terbang ke balik bukit sana. Melayang berputar sampai aku
memberi perintah berikutnya!"
Di langit sebelah timur Laeputih berputar berulang kali.
Namun sang Peri masih belum memberi aba-aba
selanjutnya. Di atas punggung angsa putih itu Peri Angsa Putih justru berada
dalam pikiran kacau balau serta hati tak karuan rasa.
"Wiro... Dia menuju ke bukit terpencil itu. Ternyata di situ ada Laecoklat,
kura-kura terbang milik Luhjelita. Pasti gadis itu juga berada di bukit itu.
Jangan-jangan antara mereka memang sudah ada perjanjian untuk bertemu...
Wahai para Dewa, wahai para Peri Agung. Apa yang harus aku lakukan"!" Rasa
cemburu membakar diri Peri ini hingga wajahnya yang cantik jelita menjadi merah
sampai ke pangkal leher.
Seperti diketahui sejak dia pertama kali bertemu
dengan Wiro yang masih berada dalam sosok kecil
dibanding dengan orang-orang yang ada di Negeri
Latanahsilam, Peri Angsa Putih memang telah merasa suka kepadanya. Lalu sewaktu
sosok Wiro berubah menjadi besar, rasa suka sang Peri semakin bertambah besar,
malah berubah menjadi rasa menyayangi. Peri Angsa Putih menyadari bahwa dia
telah jatuh cinta pada Pendekar 212.
Wiro Sableng 111 Hantu Langit Terjungkir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Satu perasaan yang sangat menjadi pantangan bagi
bangsa Peri di Negeri Atas Langit.
Sebelumnya dia pernah tertarik pada lelaki gagah
bernama Lakasipo berjuluk Hantu Kaki Batu. Rasa tertarik ini lebih didorong
karena hiba melihat nasib yang dialami Lakasipo yakni setelah istrinya meninggal
bunuh diri. Namun setelah kejadian itu, jika kini dia boleh memilih maka rasa tertarik dan
cinta kasihnya ingin diberikannya sepenuhnya pada pemuda dari negeri seribu dua
ratus tahun mendatang itu. Peri Angsa Putih sadar akan
pantangan yang hendak dilanggarnya serta akibat besar yang bakal dihadapinya.
Namun dia seperti tidak berdaya.
Semakin dia coba menghilangkan Wiro dari pikirannya, semakin berkobar dan
terpateri kasih sayang dalam lubuk hatinya. Semakin dicobanya untuk keluar dari
telaga cinta, semakin jauh dia tenggelam ke dalamnya. Dalam keadaan seperti itu
berbagai ganjalan kemudian ditemuinya.
Luhjelita, gadis cantik berkepandaian tinggi itu muncul dan dirasakannya sebagai
saingannya. Kemudian muncul pula gadis yang dikenalnya dengan nama Luhcinta.
Kecantikannya melebihi Luhjelita dan agaknya antara si gadis dengan Wiro telah
terjalin satu hubungan. Semua kecemburuan ini membuat Peri Angsa Putih merasa
seolah-olah langit hendak runtuh menyungkup dirinya.
Apalagi kemudian dia menyirap kabar yang bersifat teka-teki. Hantu Raja Obat
kabarnya pernah berucap bahwa ada seorang gadis yang akan memberikan cinta
kasihnya hanya pada Wiro seorang. Lalu dia juga pernah mendengar sendiri
Luhrinjani berucap. Istri Lakasipo yang sebenarnya telah lama meninggal dunia
tapi rohnya bisa muncul kembali seperti manusia biasa itu berucap bahwa memang
ada seorang gadis yang sangat mencintai Wiro Sableng.
Celakanya Luhrinjani tidak mau menyebutkan siapa
orangnya. Namun Peri Angsa Putih selain penasaran juga merasa sangat khawatir.
Gadis yang dimaksud Luhrinjani itu tentulah gadis penghuni Negeri Latanahsilam,
bukan bangsa Peri seperti dirinya. Seringkali dalam merenung di malam sepi Peri
Angsa Putih mengucurkan air mata. Itu sebabnya dia merasa lebih suka berada di
Negeri Latanahsilam dari pada berada di negerinya sendiri.
Kalaupun dia berada di negeri bangsa Peri, dia lebih suka memencilkan diri.
Terkadang ada hasrat di hatinya untuk menemui Hantu Raja Obat atau mencari
makhluk roh bernama Luhrinjani itu untuk menanyakan. Siapa sebenarnya gadis yang
mereka katakan sebagai satu-satunya gadis yang
memberikan cintanya hanya kepada Wiro" Namun setelah dipikirnya lebih dalam dia
memutuskan untuk tidak melakukan hal itu. Bisa-bisa tersiar kabar bahwa dirinya
telah tergila-gila pada Pendekar 212 Wiro Sableng dan menaruh cemburu pada
gadis-gadis lainnya yang pernah berhubungan dengan pemuda itu.
Kini menghadapi kenyataan bahwa Wiro berada di
sebuah bukit di mana dipastikannya Luhjelita juga ada di situ, Peri Angsa Putih
merasa seolah sekujur tubuhnya terpanggang oleh panasnya hawa cemburu.
"Gadis bernama Luhjelita itu. Dia selalu mendahului atau memotong setiap rencana
yang hendak aku lakukan.
Kini mereka melakukan pertemuan rahasia di bukit itu.
Apakah aku harus menyelidik apa yang mereka lakukan"
Ah... Bagaimana ini!" Dalam bingungnya Peri Angsa Putih membiarkan angsa
tunggangannya melayang berputar-putar sampai beberapa kali. "Daripada tambah
hancur hatiku, kurasa lebih baik aku pergi saja dari sini. Luhjelita bukan saja
cantik. Tapi juga pandai memikat. Aku tidak punya kepandaian seperti itu. Aku...
Laeputih, kita harus..."
Namun maksud sang Peri hendak memerintahkan angsa putihnya meninggalkan kawasan
itu tidak terucapkan.
Malah pada saat-saat hati dan pikirannya tambah kacau, akhirnya dia mengambil
keputusan yang berbeda.
"Lae, kita kembali ke bukit tadi. Hati-hati, jangan sampai terlihat oleh
Laecoklat..."
*** WIRO SABLENG HANTU LANGIT TERJUNGKIR
7 AMPIR tanpa suara dan tidak terlihat oleh kura-kura coklat, Peri Angsa Putih
menyusup di balik kelebatan Hsemak belukar dan pohon-pohon berduri hingga
akhirnya dia sampai ke mulut goa. Di mulut goa Peri ini hentikan langkahnya.
Sesaat hatinya meragu, apakah akan terus masuk ke dalam goa atau bagaimana.
Jangan-jangan gadis bernama Luhjelita berada di dalam goa. Dia tidak suka pada
Luhjelita dan dia yakin Luhjelitapun benci sekali padanya. Semua ini berpangkal
pada perasaan mereka yang sama-sama ingin menyayangi Pendekar 212 Wiro Sableng.
Perselisihan mereka sampai pada saling pukul memukul (baca Episode sebelumnya
berjudul "Hantu Muka Dua").
Tiba-tiba Peri Angsa Putih dikejutkan oleh suara
perempuan menangis keluar dari dalam goa. Dia
memasang telinga. Sulit untuk mengenali suara tangisan siapa itu adanya. Dengan
dada berdebar akhirnya Peri Angsa Putih bergerak masuk ke dalam goa.
Tepat di pertengahan goa, langkah Peri Angsa Putih tertahan. Sepasang kakinya
laksana dipantek. Sekujur badannya menjadi panas bergeletar. Dua matanya
membeliak. Apa yang disaksikannya membuat dia ingin menjerit. Hatinya benar-
benar terpukul.
Lututnya mulai goyah. Dia seperti mau roboh!
Di depan sana, seorang gadis dalam keadaan tanpa
pakaian duduk di lantai sambil rangkulkan ke dua
tangannya ke leher Pendekar 212 Wiro Sableng. Dan gadis itu bukan lain adalah si
cantik genit Luhjelita! Saat itu terdengar Luhjelita berkata lirih tapi jelas
seperti petir menyambar masuknya ke telinga Peri Angsa Putih.
"Terlambat Wiro, tak ada gunanya penyesalan. Mungkin ini sudah takdir nasib
diriku. Harus mengalami hal seperti ini. Jangan sentuh diriku lagi... Pergilah,
pergi dan jangan pernah menemui diriku lagi. Aib yang aku derita terlalu besar.
Jangan sesalkan dirimu Wiro..."
Menggigil sekujur tubuh Peri Angsa Putih melihat
keadaan kedua orang itu, lebih-lebih mendengar apa yang barusan diucapkan
Luhjelita. Dia tidak dapat
membayangkan apa arti maksud ucapan gadis itu. Tapi pasti telah terjadi sesuatu.
"Mereka telah melakukan sesuatu di dalam goa ini sebelum aku datang. Wahai
Dewa... Wahai Peri!" Peri Angsa Putih tekapkan dua tangannya erat-erat ke leher,
berusaha menahan jeritan yang mungkin bisa membersit keluar dari mulutnya.
Khawatir dia tidak sanggup menahan diri, tanpa menunggu lebih lama gadis dari
Negeri Atas Langit ini segera memutar tubuh dan tinggalkan goa itu. Namun
bayangannya sempat terlihat oleh Wiro di dinding goa. Murid Sinto Gendeng ini
segera hendak bergerak keluar goa guna menyelidik. Tapi niatnya batal karena
mendadak Luhjelita memanggilnya.
Di luar goa saking bingungnya Peri Angsa Putih
bukannya kembali menemui angsa putih tunggangannya yang ditinggalkannya di satu
tempat kelindungan, tapi dia justru lari ke dalam rimba belantara. Di satu
tempat ketika dadanya terasa sesak dan kakinya bergetar berat tak sanggup lagi
di langkahkan kakinya, Peri Angsa Putih gulingkan diri di tanah lalu menangis
tersedu-sedu. Sang Peri tidak tahu berapa lama dia berada dalam keadaan seperti itu ketika
tiba-tiba ada cahaya biru berkelebat di atasnya disertai menebarnya bau harum
semerbak. Peri Angsa Putih turunkan dua tangan yang sejak tadi ditekapkannya ke
wajahnya yang basah oleh air mata. Peri ini terbelalak ketika melihat siapa yang
tegak di depannya. Dia segera menghapus air matanya, mengusap wajahnya dan
membungkuk, "Peri Bunda... Simpul Agung Dari Segala Peri, Peri Junjungan Dari Segala
Junjungan..."
Yang tegak di hadapan Peri Angsa Putih saat itu
ternyata adalah Peri Bunda, Peri separuh baya berwajah cantik. Pakaian birunya
yang panjang menjela-jela sampai ke tanah. Di kepalanya ada sebentuk mahkota
bertabur batu permata. Walau usianya sudah agak baya namun kecantikannya masih
mempesona. Peri Bunda adalah salah seorang Peri yang sangat
dihormati. Itu sebabnya Peri Angsa Putih tadi membungkuk dan menyapa dengan
segala panggilan penghormatan.
Dalam kejutnya melihat Peri Bunda, Peri Angsa Putih bertanya-tanya bagaimana
Peri Bunda tahu-tahu berada di tempat itu. Walau ingin mengetahui, namun Peri
Angsa Putih tidak berani menanya. Malah sebaliknya Peri Bunda berkata padanya
dengan penuh kelembutan.
"Wahai Peri Angsa Putih kerabatku yang cantik. Setelah cukup lama kau
meninggalkan negeri kita, sungguh aneh menemukan dirimu di dalam rimba belantara
ini. Lebih aneh lagi tadi kau dalam keadaan terguling di tanah.
Menangis. Dari suara tangismu agaknya ada suatu
keperihan yang sangat mendalam di relung hatimu. Peri Angsa Putih katakan padaku
apa yang terjadi. Katakan jika ada sesuatu yang bisa kulakukan untuk
menolongmu."
Ditegur begitu rupa kesedihan Peri Angsa Putih jadi bertambah, membuat dia
kembali menangis tersedu-sedu dan tutupkan lagi dua tangannya ke wajahnya yang
berurai air mata.
Peri Bunda dekati kerabatnya itu. Sambil membelai rambut hitam Peri Angsa Putih
dia berkata. "Peri Angsa Putih, segala kesulitan dan kesedihan tidak dapat
diakhiri hanya dengan air mata. Aku ingin menolongmu dari duka deritamu. Karena
itu mulailah menceritakan padaku apa yang terjadi..."
Peri Angsa Putih pergunakan pakaian putihnya untuk mengusap wajahnya lalu
berkata. "Peri Bunda, semuanya serba tidak terduga. Aku... dia..." Kembali Peri
Angsa Putih sesenggukan.
"Kuatkan hatimu wahai Peri Angsa Putih. Bicaralah dengan ketabahan seorang Peri.
Tak usah terburu-buru.
Aku akan mendengarkan dengan sabar..." Kembali Peri Bunda membelai kepala Peri
Angsa Putih dengan penuh kasih sayang.
"Peri Bunda, sungguh baik sekali hatimu. Kau sangat memperhatikan diriku. Apakah
kau masih ingat
pembicaraan kita beberapa waktu lalu tentang menipisnya batas antara kita para
Peri dengan manusia di bawah langit?"
Peri Bunda pejamkan mata sesaat seperti merenung.
Begitu dia membuka kedua matanya yang bagus, diapun berkata, "Wahai, tentu saja
aku ingat. Pembicaraan itu sangat besar artinya bagimu bukan" Bagiku merupakan
sesuatu yang perlu mendapat perhatian. Apakah ada hubungan pembicaraan kita
waktu itu dengan keadaanmu saat ini?"
"Peri Bunda, terus terang hatiku memang telah
melangkah jauh walau sepasang kakiku masih terikat demi menjaga segala pantangan
dan larangan kaum Peri..."
Peri Bunda kerenyitkan keningnya. "Aku tidak mengerti maksud ucapanmu wahai Peri
Angsa Putih. Atau...
hemmm... Mungkinkah kau..."
"Peri Bunda, barusan saja aku menyaksikan sesuatu di dalam sebuah goa tak jauh
dari tempat ini."
"Apa yang kau saksikan di dalam goa itu wahai Peri Angsa Putih?" tanya Peri
Bunda pula. "Aku menyaksikan Luhjelita..."
"Luhjelita, gadis cantik genit perayu lelaki itu! Apa yang kau saksikan wahai
kerabatku" Mengapa dia, sedang apa dia?" Pertanyaan Peri Bunda datang beruntun.
Tenggorokan Peri Angsa Putih turun naik dan suaranya bergetar ketika dia
berucap, "Gadis itu... Tanpa pakaian...
Dia berdua dengan..." Tangis Peri Angsa Putih kembali tersembur.
Setelah tangisnya mereda baru Peri Bunda bertanya.
"Kau melihat Luhjelita. Berdua dengan siapa wahai kerabatku?"
Karena memang hanya akan membuat sesak dadanya
menahan-nahan cerita, maka Peri Angsa Putih lalu
menuturkan apa yang dilihatnya di dalam goa beberapa waktu lalu. Sepasang mata
Peri Bunda jadi terbelalak, wajahnya sebentar memutih pucat sebentar bersemu
merah mendengar apa yang dituturkan Peri Angsa Putih.
Dia memandang lekat-lekat pada Peri Angsa Putih yang memandang kepadanya dengan
sepasang mata berurai air mata.
"Wahai Peri Bunda..." kata Peri Angsa Putih tersengguk-sengguk. "Sungguh aku
tidak menduga mereka mau
melakukan hal itu. Dan setelah itu terjadi mereka bicara segala macam
penyesalan... Sangat menjijikkan...!"
Lama Peri Bunda terdiam. Setelah geleng-gelengkan kepala beberapa kali baru dia
berucap, "Begitulah sifat dan martabat bangsa manusia di muka bumi, yang tidak
sama dan tidak boleh terjadi dengan kita para Peri dari Negeri Atas Langit.
Luhjelita, gadis perayu itu tidak menghargai diri dan kesuciannya sendiri.
Begitu mudah dia menyerahkan diri. Dan pemuda bernama Wiro Sableng itu aku
menaruh curiga dia sebenarnya adalah apa yang disebut sebagai pemuda hidung
belang. Kau dengar mereka bicara segala penyesalan. Itu semua hanyalah siasat
basa-basi karena pasti di lain saat mereka akan melakukan hal-hal mesum seperti
itu... Dan aku yakin, pemuda dari negeri seribu dua ratus tahun mendatang itu,
setelah mendapatkan kesucian Luhjelita, pasti dia akan mencari mangsa lainnya!"
Mendengar kata-kata Peri Bunda itu Peri Angsa Putih tekapkan dua tangannya ke
wajah, lalu kembali terisak-isak.
"Peri Angsa Putih, turunkan dua tanganmu. Angkat
wajahmu dan pandang wajahku. Aku harus menanyakan sesuatu padamu. Aku harus
mengatakan sesuatu padamu.
Apakah kau mendengar ucapanku wahai kerabatku?"
Perlahan-lahan Peri Angsa Putih turunkan kedua
tangannya, menatap wajah Peri Bunda dan menunggu
sampai Peri yang digelari Simpul Agung Segala Peri, Peri Junjungan Dari Segala
Junjungan itu berkata.
"Melihat kepada air mukamu. Dari cara kau
menuturkan apa yang kau saksikan, aku melihat dan bisa merasakan bahwa kau
sangat terpukul. Kalau aku boleh bertanya wahai Peri Angsa Putih, dan jika kau
mau berterus terang, apakah kau mempunyai satu perasaan tertentu terhadap pemuda
dari negeri seribu dua ratus tahun mendatang itu?"
Peri Angsa Putih gigit bibirnya menahan agar tidak terisak. Setelah menguatkan
hatinya baru dia berkata.
"Wahai Peri Bunda, itu sebabnya tadi aku mengingatkanmu pada pembicaraan kita
beberapa waktu lalu..."
"Hemmm... Aku mengerti sekarang," ujar Peri Bunda pula. "Rupanya kau telah jatuh
cinta pada pemuda itu..."
"Wahai Peri Bunda, aku tidak tahu perasaan apa yang ada dalam hatiku terhadap
pemuda itu. Karena selama ini hal-hal seperti itu tidak pernah aku alami.
Lagipula bukankah itu merupakan satu pantangan besar yang berat hukumannya jika
sampai dilanggar..."
"Jadi benar kau telah jatuh cinta pada pemuda
bernama Wiro Sableng itu?"
"Peri Bunda," sahut Peri Angsa Putih yang bermata biru itu. "Ingat pembicaraan
kita dulu. Waktu itu aku
menanyakan padamu, apakah kau sependapat denganku bahwa dunia kita semakin lama
semakin mengalami
banyak perbedaan. Bahwa batas antara kita bangsa Peri dan manusia di bawah
langit sana semakin tipis. Laksana kabut pagi yang mudah dipupus ditelan sinar
matahari...?"
"Aku memang ingat pembicaraan kita itu, wahai
kerabatku. Tapi saat ini yang aku inginkan ialah agar kau mau menjawab
pertanyaanku tadi. Benarkah kau telah jatuh cinta pada Wiro Sableng?"
Ditanya seperti itu Peri Angsa Putih jadi tundukkan kepala.
"Kau tidak mau menjawab pertanyaanku Peri Angsa
Putih?" Karena didesak akhirnya dalam menunduk Peri Angsa Putih anggukkan kepalanya.
Peri Bunda pejamkan
sepasang matanya. Wajahnya sesaat memucat. Tanpa
diketahuinya saat itu Peri Angsa Putih telah mengangkat kepala dan memandang
padanya. Peri Angsa Putih merasa heran melihat sikap Peri Bunda yang
mendongakkan wajah dengan mata terpejam seperti itu.
"Peri Bunda..." memanggil Peri Angsa Putih.
Sadar dan agak terkejut Peri Bunda buka sepasang
matanya, menatap ke dalam mata biru Peri Angsa Putih, lalu berkata.
"Kerabatku Peri Angsa Putih, jangan berisau hati.
Mungkin kau memang telah melakukan satu kesalahan.
Jatuh cinta pada insan lain yang bukan kaum kita. Namun dalam keadaan seperti
itu kau masih ingat bahwa hal itu merupakan satu pantangan besar. Yang jika kau
Wiro Sableng 111 Hantu Langit Terjungkir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
langgar akan menimbulkan malapetaka besar, bukan saja bagi dirimu tapi juga bagi
negeri kita. Ingat apa yang terjadi di Negeri Atas Langit ketika seorang peri
yang kemudian mengganti namanya menjadi Luhmintari bercinta dengan seorang
lelaki berasal dari Negeri Latanahsilam bahkan kemudian melangsungkan perkawinan
yang membuahi seorang anak cacat mengerikan bernama Jatilandak" Alam kita tercemar, segala
tuah tidak lagi mujarab. Angin tidak berhembus selama setahun penuh. Kalaupun
berhembus maka hawa busuk tercium di mana-mana dan udara terasa pengap. Air
berhenti mengucur dari tempat ketinggian ke tempat rendah. Akibatnya banyak
kawasan mengalami kekeringan. Bunga-bunga menjadi layu. Pucuk tidak akan menjadi
buah. Buah banyak yang jatuh busuk ke tanah.
Lalu semacam penyakit menular bertebar menakutkan.
Aku, kita semua bangsa Peri tidak ingin kejadian itu terulang kembali. Karenanya
wahai kerabatku Peri Angsa Putih, aku mewakili para Peri di Negeri Atas Angin,
berharap dengan sepuluh jari tersusun di atas kepala.
Sebelum terlambat, sebelum datang penyesalan yang tiada gunanya, jangan kau
lanjutkan kesesatan itu. Jangan langgar pantangan kaum kita. Sirnakan cintamu,
kikis rasa kasih sayangmu, buang jauh-jauh rasa sukamu, apapun namanya terhadap
pemuda bernama Wiro Sableng itu. Aku tahu kau belum melangkah terlalu jauh. Aku
tahu kau punya kebesaran jiwa ketabahan hati dan sikap tegas dalam mengambil
keputusan. Jauhi pemuda itu, lupakan semua yang ada di hatimu terhadapnya. Aku
dan para Peri akan berusaha menolongmu..."
Peri Angsa Putih tercekat mendengar kata-kata Peri Bunda itu. Wajahnya kembali
pucat tidak berdarah. "Peri Bunda..." ucapnya tersendat. "Mungkinkah...
Mungkinkah aku bisa melupakan pemuda itu" Kasih sayang, cinta tulusku
terhadapnya telah terpendam di lubuk hati, menjadi satu dalam aliran darahku.
Berada dalam setiap tarikan nafasku. Ke mana mataku memandang, wajahnya yang
terlihat. Wahai..."
Peri Bunda tersenyum. "Dengar baik-baik wahai Peri Angsa Putih. Kita para Peri
tidak mengenal dan tidak boleh mengenal kasih sayang atau cinta tulus terhadap
makhluk di bumi. Terhadap manusia di Negeri Latanahsilam saja hal itu sudah
merupakan satu pantangan besar yang jika dilanggar sangat mengerikan akibatnya.
Apalagi pemuda itu konon datang dari negeri seribu dua ratus tahun mendatang.
Satu negeri yang tidak kita kenal. Ingat ketika pertama kali dia dan kawan-
kawannya muncul di sini"
Sosok mereka tidak lebih besar dari jari kaki kita...!"
Peri Angsa Putih, Peri yang memiliki sepasang bola mata berwarna biru bagus ini
mengusap air mata yang berderai jatuh di pipinya. "Peri Bunda... Wahai, aku
tidak tahu harus mengatakan apa..."
"Kau tidak perlu mengatakan apa-apa dengan
mulutmu, wahai Peri Angsa Putih. Tapi berucaplah dalam hatimu bahwa kau akan
menjauhkan pemuda itu dan
melupakannya untuk selama-lamanya. Semua apa yang terjadi hanya kita berdua yang
tahu. Aku tidak akan mengungkapkannya pada Peri yang lain."
Peri Angsa Putih terduduk bersimpuh. Mukanya
ditekapnya kembali pada wajahnya. Kepalanya
digelengkan, dadanya bergetar menahan isak. Mulutnya bergerak, tapi suaranya
hanya keluar di dalam hati.
"Tidak mungkin Peri Bunda... Tidak mungkin aku
menjauhkan dirinya karena dirinya sudah terpateri dalam hatiku. Cinta kasihku
terhadapnya sudah larut dalam aliran darahku. Kasih sayangku terhadapnya menjadi
satu dengan hembusan nafasku. Peri Bunda, jika aku harus memilih sesuatu yang lain,
aku lebih suka memilih kematian..."
"Peri Angsa Putih, aku tahu kau tidak akan
mengecewakan aku dan kerabat para Peri lainnya. Aku tahu kau akan mengambil
keputusan sesuai dengan
semua nasihat yang kusampaikan tadi. Aku tidak punya waktu berlama-lama di sini
dan harus kembali ke Negeri Atas Langit. Kuharap kau juga segera kembali ke
sana. Semakin berlama-lama kau di negeri ini semakin buruk akibatnya bagimu..."
Setelah berucap begitu dengan lembut Peri Bunda cium kening Peri Angsa Putih
lalu melesat ke udara dan lenyap di ketinggian langit sebelah timur.
Hanya sesaat setelah Peri Bunda meninggalkan tempat itu, dari balik batu
rerimbunan semak belukar lebat, beranjak pula seseorang yang telah lama mendekam
di situ. Dia telah mendengar seluruh pembicaraan antara Peri Bunda dengan Peri
Angsa Putih. Apa yang didengarnya itu membuat hatinya tergoncang hebat. Dia baru
menyadari betapa dalam kasih sayangnya terhadap pemuda itu
setelah mengetahui benar-benar ada gadis lain yang mencintai si pemuda. Dalam
pikiran kacau seperti itu dia tidak lagi memperhatikan arah maupun gerak
jalannya. Pakaiannya tersangkut di ujung ranting lancip. Secarik kecil robekannya terkait
tinggal di ujung ranting.
*** WIRO SABLENG HANTU LANGIT TERJUNGKIR
8 EMBALI ke dalam goa di mana Pendekar 212 Wiro
Sableng berada bersama gadis cantik Luhjelita. Saat Kitu Luhjelita telah
mengenakan pakaian jingganya kembali. Gadis ini duduk di lantai goa, bersandar
ke dinding batu. Sepasang matanya sembab bekas menangis dan wajahnya masih agak
pucat. "Luhjelita, apakah sekarang kau bisa mengatakan apa yang terjadi" Tadi aku
menyebutkan nama Sepasang Gadis Bahagia. Kau begitu terkejut, marah besar malah
meraung keras!"
"Dua gadis kembar itu! Mereka jahanam-jahanam yang telah mencelakai menodaiku!"
teriak Luhjelita. Lalu gadis itu hantamkan tinjunya ke dinding goa.
Braakkk! Goa batu bergetar. Bagian yang terkena
pukulan hancur berlobang besar.
"Aku ingin menghancurkan kepala mereka seperti aku menghancurkan dinding batu
ini!" teriak Luhjelita. Lalu, braakkk! Sekali lagi dia hantamkan kepalan tangan
kanannya. Lobang ke dua menganga di dinding goa. Ketika Luhjelita yang seperti
kesetanan hendak menghantam untuk ke tiga kalinya, Wiro cepat pegang tangan
gadis itu dan berkata.
"Gadis berkepandaian tinggi sepertimu jangan sampai dirasuk amarah dan melakukan
hal yang hanya mencelakai diri sendiri!"
Luhjelita menggerung. Dua matanya memandang besar berapi-api pada Wiro. Wiro
coba tersenyum. Perlahan-lahan gadis ini turunkan tangannya.
"Diriku memang sudah celaka! Saat ini matipun aku mau! Kau mau lihat bagaimana
aku memecahkan kepala dengan membenturkannya ke dinding batu ini"! Mau"!"
"Jangan jadi orang gila!" kata Wiro pula tapi cepat-cepat menekap kepala si
gadis dengan dua tangannya karena khawatir Luhjelita benar-benar mau bertindak
nekad. "Aku percaya dua gadis kembar itu telah mencelakaimu karena mereka memang
bukan gadis baik-baik. Mereka telah merampas tongkat batu biru yang dulu kau
berikan padaku. Dengar, aku percaya mereka telah mencelakaimu.
Tapi kalau kau katakan mereka juga menodaimu, ini yang aku tidak mengerti!"
"Tidak mengerti! Apa yang tidak kau mengerti! Apa kau tidak tahu siapa mereka"!"
"Siapapun mereka, mana mungkin mereka menodaimu.
Mana ada perempuan menodai perempuan..." kata Wiro pula sambil garuk-garuk
kepala. Luhjelita mendengus gemas. "Kau dengar baik-baik
Wiro!" katanya setengah berteriak. "Dua gadis itu adalah gadis-gadis binal yang
cuma bergairah melakukan
hubungan badan dengan sejenisnya!"
Wiro melongo ternganga. "Maksudmu..." Pendekar 212
kembali garuk-garuk kepala. "Aku tidak..."
"Kau tidak mengerti! Kau juga tolol! Apa perlu
kujelaskan terang-terangan"! Menjijikkan!"
"Apanya yang menjijikkan?" tanya Wiro.
Luhjelita acungkan tinjunya. Siap hendak dijotoskan ke mulut Wiro. Wiro diam dan
tenang saja. Pelahan-lahan Luhjelita turunkan tangannya. Matanya berkaca-kaca
dan isakannya memenuhi goa itu.
"Aku tidak bermaksud mempermainkanmu. Tapi aku
benar-benar tidak mengerti..."
"Aku akan jelaskan..." kata Luhjelita akhirnya dengan suara lirih. "Dua gadis
kembar itu memiliki kelainan.
Mereka tidak pernah suka pada laki-laki. Mereka hanya bergairah dan bernafsu
pada kaum perempuan. Mereka menghadangku di satu tempat, menanyakan tongkat batu
biru yang kutemukan dekat mayat Si Tongkat Biru
Pengukur Bumi. Aku tak mau memberi tahu. Terjadi perang mulut disusul
perkelahian. Dua gadis kembar itu ternyata memiliki kepandaian tinggi dan juga
licik. Mereka berhasil membuatku tidak berdaya. Mereka membawaku ke dalam goa
ini lalu mengancam. Jika aku tidak menerangkan di mana beradanya tongkat batu
biru itu maka mereka akan menodai diriku... Daripada menjadi korban kebejatan
dan kemesuman mereka aku terpaksa mengatakan bahwa
tongkat batu biru itu telah aku berikan padamu. Tapi memang dasar mereka dua
manusia bejat. Setelah kuberi tahu mereka tetap saja berbuat keji menodaiku!"
"Menodaimu... Maksudmu, maaf... Maksudmu mereka
mengancam hendak memperkosamu?"
Luhjelita beliakkan matanya ke arah Wiro tapi
kemudian anggukkan kepalanya lalu palingkan wajah yang bersemu merah ke arah
lain. "Luhjelita, bagaimana mungkin... Bagaimana mungkin mereka melakukan hal itu
padamu" Bagaimana bisa
perempuan dengan perempuan... Memangnya mereka
memakai apa...?"
"Pertanyaan gila!" teriak Luhjelita kembali marah.
"Mereka menanggalkan pakaianku secara paksa! Mereka menggerayangi seluruh
tubuhku! Bukan cuma meraba!
Mereka melakukan perbuatan mesum itu! Menodaiku
bergantian!" Luhjelita tekapkan dua tangannya ke
wajahnya lalu menangis terisak-isak.
Wiro terdiam melongo, pandangi Luhjelita sambil garuk-garuk kepala.
"Luhjelita... Kalaupun mereka menodaimu, kurasa saat ini kau masih tetap
perawan. Maksudku kau tidak sampai kehilangan kegadisanmu!"
Plaaakkk! Tamparan Luhjelita mendarat di pipi kiri Pendekar 212
hingga Wiro sempoyongan. Melihat Wiro mengerenyit kesakitan sambil usap-usap
pipinya yang terasa sakit pedas, Luhjelita jadi sadar dan menyesal atas
perbuatannya. Saking menyesalnya gadis ini langsung memeluk Wiro seraya berkata.
"Maafkan diriku. Aku tidak berniat menyakiti dirimu. Aku... pikiranku sangat
kacau. Semua yang kau ucapkan seperti mempermainkan diriku.
Aku menyesal... Maafkan..."
Wiro pegang dua lengan Luhjelita. Lalu berkata. "Dulu...
Di negeri asalku di tanah Jawa, aku juga pernah mengalami kejadian aneh, lucu
tapi juga mesum menjijikkan. Aku bertemu dengan dua gadis cantik. Mereka hendak
menggagahiku. Ternyata mereka adalah dua orang lelaki yang hanya punya gairah
terhadap lelaki. Aku... Tapi aku tidak sempat... Ah sudahlah!" Wiro menutupkan
tangannya ke mulut. Tapi semburan tawanya tidak terbendung.
Akhirnya murid Sinto Gendeng ini tersadar ke dinding goa dan tertawa gelak-gelak
sampai keluar air mata. Luhjelita mula-mula memandang dengan wajah beringas.
Lalu cemberut. Namun kemudian dia ikut-ikutan tertawa walau sambil banting-banting
kaki (Mengenai apa yang dikatakan Wiro itu harap baca serial Wiro Sableng
berjudul "Sepasang Iblis Betina").
Tiba-tiba Luhjelita hentikan tawanya. Wajahnya yang cantik kembali kelihatan
beringas. Lalu berubah sayu sedih. Dia menarik nafas panjang dan dalam lalu
berkata. "Bagaimana hidupku selanjutnya. Aku merasa sangat malu. Kalau saja ada orang
lain yang tahu..."
"Mengapa kau mengkhawatirkan kehidupanmu
selanjutnya. Memangnya ada sesuatu yang hilang pada dirimu...?"
"Pemuda sinting...! Jangan bergurau terus!"
"Aku tidak bergurau. Walau apa yang kau alami akan sangat menghantui dirimu tapi
lambat laun harus bisa kau lupakan. Apalagi kau memang tidak kehilangan apa-apa.
Lalu tak ada orang lain yang menyaksikan atau tahu hal itu kecuali aku. Dan aku
tidak akan mungkin menceritakannya pada orang lain. Lalu..."
"Sudah! Yang jelas aku akan mencari dua gadis kembar jahanam itu! Sebelum mereka
kuhabisi belum puas
hatiku!" "Kau harus berlaku hati-hati Luhjelita. Menurutmu mereka berkepandaian tinggi.
Aku sendiri sudah
menghadapi mereka. Keduanya memiliki gerakan sangat cepat. Buktinya mereka
berhasil merampas tongkat batu biru itu. Kalau kau suka, aku mau membantumu!
Sekaligus mendapatkan tongkat itu kembali. Tapi apa perlu sampai membunuh mereka
segala"!"
"Kalau tidak dibunuh mereka akan menodai gadis-gadis lainnya! Sampai saat ini
entah sudah berapa puluh gadis yang jadi korban kemesuman mereka. Setan betul,
mengapa nasibku sampai begini. Kalau sudah kubunuh mereka mungkin aku akan
menjalani kehidupan
memencilkan diri. Aku merasa malu sendiri melihat dunia ini..."
"Jangan bodoh. Kau masih muda! Masakan mau
memencilkan diri. Memangnya kau mau jadi apa...?"
"Mau jadi apa bukan urusanmu. Tapi..." Luhjelita ingat pada ilmu yang tengah
dicari dan dituntutnya.
Dipandanginya tangan kanannya di mana terlihat tiga buah tahi lalat hitam. Lalu
dia melirik pada Wiro. Dia tahu karena pernah melihat dan hampir mendapatkan.
Di bawah pusar sang pendekar ada tiga buah tahi lalat yang dulu hampir dapat
dipindahkannya ke telapak
tangannya kalau tidak terhalang dengan kemunculan seseorang berjuluk Si Pelawak
Sinting (Baca Episode Wiro Sableng berjudul "Hantu Tangan Empat").
"Tapi apa?" Wiro bertanya.
Luhjelita gelengkan kepala. Lalu dia bangkit berdiri.
"Aku harus pergi sekarang."
"Mencari dua gadis kembar itu?" tanya Wiro.
"Aku perlu menemui seseorang terlebih dulu. Kau
betulan ingin membantuku menghadapi dua gadis kembar itu?"
"Tentu. Tapi aku juga perlu mencari dua sahabatku lebih dulu," jawab Wiro.
"Kakek tukang ngompol bau pesing dan anak lelaki
konyol itu?"
Wiro tertawa mendengar kata-kata Luhjelita itu.
"Karena saat itu masing-masing kita punya
kepentingan, bagaimana kalau kita berjanji bertemu di satu tempat..."
"Setuju-setuju saja," jawab Wiro. "Kau yang
menentukan tempat dan waktunya..."
"Di sebelah selatan Gunung Latinggimeru ada sebuah kawasan dipenuhi batu-batu
berbentuk aneh. Aku akan menunggumu di dekat tiga buah batu berbentuk tonggak
lancip mengarah ke langit. Saatnya malam bulan purnama penuh mendatang."
Wiro anggukkan kepala.
"Kau benar-benar akan datang?" Luhjelita bertanya seolah tidak percaya.
"Kita memang tak sering berjumpa. Tapi apakah aku pernah berdusta padamu?"
"Mana aku tahu," jawab Luhjelita. "Mungkin di saat pertemuan, sebelum mencari
Sepasang Gadis Bahagia kita perlu bicara soal bunga mawar kuning beracun tempo
hari..." Wiro jentikkan jari-jari tangannya seraya berkata. "Itu memang salah satu
keinginanku!"
Luhjelita ulurkan tangan kanannya seperti hendak
memegang lengan Pendekar 212. Tapi niatnya itu
dibatalkan. Dia membalikkan badan dan melangkah cepat menuju mulut goa.
Tak jauh dari mulut goa, di satu tempat yang
kelindungan seseorang yang sejak tadi menunggu
mengintai begitu melihat kemunculan Luhjelita, dalam hati dia berkata. "Agaknya
apa yang dikatakan Peri Bunda benar adanya. Tadi di dalam goa kulihat dan
kudengar sendiri dia menangis menyesali diri yang ditimpa aib. Kini keluar dari
goa kulihat wajahnya cerah. Malah ada sekelumit senyum di bibirnya. Rupanya
memang dia gadis yang pandai merayu lelaki untuk diajak berbuat mesum!"
Baru saja dia berkata begitu sepasang mata biru orang yang mengintai tampak
membesar ketika dari mulut goa dia melihat pula sosok Pendekar 212 melangkah
Wiro Sableng 111 Hantu Langit Terjungkir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
keluar sambil garuk-garuk kepala.
"Mungkin memang ada benarnya aku harus menuruti
nasehat Peri Bunda. Menjauhi dan melupakan pemuda itu!
Seperti gadis murahan tadi dia juga tampak keluar sambil cengar-cengir! Sungguh
menjijikkan!" Orang ini balikkan badannya siap hendak melangkah pergi. Namun ada
kebimbangan di wajahnya. "Wahai... Apakah aku memang sanggup melupakannya"
Mungkin aku harus menemui
Hantu Raja Obat untuk mencari keterangan. Mungkin juga aku perlu mencari Hantu
Sejuta Tanya Sejuta Jawab untuk mendapatkan petunjuk..."
*** WIRO SABLENG HANTU LANGIT TERJUNGKIR
9 EMBAH Seribu Kabut. Saking marahnya Lakasipo
hantamkan kaki batunya hingga sebatang pohon
Lbesar patah dan tumbang menggemuruh. Di atas batu Hantu Langit Terjungkir
mendesah berulang kali sambil menjambak-jambak rambutnya yang putih terjulai.
"Tololnya diriku! Bagaimana mungkin aku berlaku ayal dan lengah! Hingga benda
yang sangat berharga itu sampai dirampas dan dilarikan orang. Wahai, titipan
amanat orang aku sia-siakan. Bagaimana aku harus
mempertanggungjawabkan!" Lakasipo alias Hantu Kaki Batu menatap orang tua yang
tegak kaki ke atas kepala ke bawah di atas batu. "Hantu Langit Terjungkir, aku
mohon maaf atas kelalaianku ini. Aku bersumpah akan mencari si pencuri dan
dapatkan kembali Sendok Pemasung Nasib itu." "Aku memang ikut menyesali kejadian
ini..." kata Hantu Langit Terjungkir alias Lasedayu. "Tapi mau dibilang apa.
Mungkin ini sudah takdir para Dewa bahwa hidupku
seumur-umur akan sengsara seperti ini." Hantu Langit Terjungkir sibakkan
rambutnya yang menjulai. Orang tua ini ternyata memiliki wajah pucat putih
seolah tidak berdarah.
Sepasang matanya berwarna kelabu, menatap ke arah Lakasipo lalu berkata.
"Orang yang tadi merampas Sendok Pemasung Nasib
itu dari tanganmu, pastilah seorang berkepandaian luar biasa tinggi. Gerakannya
laksana kilatan cahaya, seperti hantu di siang bolong. Aku tidak sempat melihat
sosok, apalagi wajahnya. Siapa dia tak bisa diduga..."
"Aku akan menyelidik. Aku musti mendapatkan sendok emas itu kembali..." kata
Lakasipo pula. "Terus terang, aku tidak terlalu berharap wahai Hantu Kaki Batu," kata si orang
tua setengah berputus asa. "Saat ini aku hanya menginginkan satu pertolongan
saja darimu..."
"Katakanlah, mungkin itu bisa sebagai penebus
kesalahanku," ujar Lakasipo.
"Jika kau bertemu sahabatku bernama Lawungu itu,
atau Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab, beri tahu bahwa aku ada di lembah ini.
Katakan padanya bahwa sebelum mati aku sangat ingin bertemu dengannya. Terutama
Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab. Mungkin dia tahu perihal istri dan empat
anakku..."
"Permintaanmu pasti akan kulaksanakan, Hantu Langit Terjungkir. Jika kau
mengizinkan aku juga akan menyirap kabar tentang anak istrimu. Kau telah
menjelaskan bahwa istrimu bernama Luhpingitan. Kalau aku boleh tahu, siapakah
nama ke empat anakmu?"
Hantu Langit Terjungkir kelihatan sedih. "Kau orang baik. Kalau anak-anakku
masih hidup usia mereka kira-kira sebaya denganmu. Hanya sayang... Wahai. Waktu
aku pergi meninggalkan mereka sebelum banjir besar melanda
negeri, aku belum berkesempatan memberikan nama
kepada masing-masing mereka..."
"Sayang sekali, tapi aku akan berusaha melakukan apa yang bisa aku lakukan,"
kata Lakasipo lalu menyambung ucapannya. "Dengan memohon maaf sekali lagi atas
kelalaianku, aku minta diri. Cepat atau lambat aku akan menemuimu kembali di
Lembah Seribu Kabut ini."
Lakasipo menjura lalu balikkan tubuhnya. Ketika dia melangkah pergi sepasang
kaki batunya mengeluarkan suara bergemuruh menggetarkan tanah. Hantu Langit
Terjungkir memperhatikan dengan pandangan sepasang mata kelabunya. Tiba-tiba
orang tua ini melihat sesuatu di lengan atas sebelah belakang, dekat ketiak
Lakasipo. Mata Hantu Langit Terjungkir membeliak besar. Dadanya
berdebar keras.
"Tanda bunga dalam lingkaran! Dewa Maha Besar!
Tidak salahkah penglihatanku"! Jangan-jangan dia adalah salah satu dari..."
Hantu Langit Terjungkir usap kedua matanya berulang kali. Dari mulutnya kemudian
melesat teriakan yang membahana di Seantero lembah.
"Hantu Kaki Batu! Tunggu dulu! Kembali!"
Di balik kabut di kejauhan sana Lakasipo hentikan langkahnya lalu berbalik.
Hatinya bertanya-tanya ada apa Hantu Langit Terjungkir memanggilnya. Tetapi
justru ketika Lakasipo membalik, pada saat yang sama satu gelombang api sangat
dahsyat berkiblat seolah mencurah dari langit.
Lakasipo cepat melompat mundur.
Nyala api mengobari kawasan lembah. Ketika akhirnya kobaran api itu sirna Hantu
Langit Terjungkir tidak kelihatan lagi di tempatnya.
"Ada gelombang api dari atas langit! Apa yang terjadi"
Ke mana lenyapnya orang tua itu"!"
Tiba-tiba di langit terdengar suara tawa bergelak.
Lakasipo mendongak ke atas. Di langit sebelah timur ada sesosok tubuh dibalut
kobaran api, melesat laksana terbang menuju ke utara.
"Lamanyala... Pasti itu Lamanyala. Makhluk Wakil Para Dewa yang diceritakan
Hantu Langit Terjungkir..." pikir Lakasipo. "Jangan-jangan dia telah mencelakai
orang tua itu. Telah membunuhnya!" Lakasipo berkelebat kian kemari. Mencari
sambil memanggil-manggil. Namun tak ada jawaban. Tak ada gerakan. Lembah Seribu
Kabut kini disungkup kesunyian.
*** TAK lama setelah Lakasipo meninggalkan Lembah
Seribu Kabut, satu batu besar tampak bergerak lalu terguling ke kiri. Dari
sebuah lobang di bagian bawah batu itu muncul sosok tubuh Hantu Langit
Terjungkir, kotor coreng-moreng oleh tanah liat basah. Ketika kejadian gelombang
api melesat dari langit orang tua ini bukan saja sudah tahu apa yang bakal
terjadi, tetapi juga mengetahui siapa yang punya pekerjaan. Secepat kilat dia
melompat lalu menyelinap masuk ke dalam lobang di bawah batu besar itu. Lobang
tersebut memang sengaja dibuatnya untuk berlindung dari segala macam bahaya yang
tidak diinginkan. Hantu Langit Terjungkir selamat dari sambaran api karena
setelah mendapat ilmu yang ditimbanya dari kekuatan alam tubuhnya menjadi sangat
enteng seperti kabut dan dia mampu bergerak luar biasa cepatnya.
Dari tempatnya berdiri kaki ke atas tangan ke bawah Hantu Langit Terjungkir
memandang ke langit. Mulutnya komat-kamit, pelipisnya menggembung. Matanya yang
kelabu menyorotkan hawa amarah.
"Jahanam Lamanyala! Siapa lagi kalau bukan dia yang punya pekerjaan! Belum puas
dia rupanya! Caranya tadi menghantam dengan gelombang api jelas hendak
memisahkan aku dengan Hantu Kaki Batu. Tepat pada saat aku melihat sebuah tanda
di lengan lelaki itu.
Mungkin sekali Lamanyala tidak menginginkan aku
mendapatkan jejak anak-anakku!"
Lasedayu alias Hantu Langit Terjungkir memandang ke arah lenyapnya Lakasipo.
"Hantu Kaki Batu..." desisnya.
"Firasatku mengatakan kau memang salah seorang dari mereka. Tidak ada manusia
lain di dunia ini yang memiliki tanda bunga dalam lingkaran seperti yang kau
Gempar Aji Karang Rogo 1 Pendekar Romantis 05 Skandal Hantu Putih Lembah Kutukan 2