Pencarian

Bajang Menggiring Angin 2

Anak Bajang Menggiring Angin Karya Sindhunata Bagian 2


Anoman, atma adalah kekuatan ilahi yang menyangga jagad raya ini. Ia tak kelihatan oleh mata, tapi ia menjadi daya bagi segala yang ada. Ia ada dalam api, tidakkah api akan padam tanpa atma" Ia ada dalam air, mungkinkah air akan bergerak tanpa atma" Ia ada dalam bumi, siapakah yang menyangga bumi kalau bukan atma" Ia ada dalam bulan, matahari, dan bintang-bintang, siapakah yang menggantungkan bulan, matahari, dan bintang-bintang kalau bukan atma" Dan tidakkah tanpa atma nafasnya, manusia akan binasa" Demikian hebatnya atma itu, tapi kau tak mungkin merabanya. Atma itu adalah ada dan tiada.
Tenggelamkan dirimu dalam atma itu, Nak! Maka dirimu akan memiliki daya kehidupan ilahi dari atma itu. Keilahian dari atmalah yang menyebabkan kau tidak dapat meraba dan merasakan hawa, sebaliknya kehidupan dari atmalah yang membuat kau dapat memiliki daya yang menggerakkan dirimu seakan tanpa penyangga. Maka dalam dirimu akan terjadi ada dan tiada, kata Batara Bayu.
Anoman menenggelamkan diri dalam atma itu. Berenang-renanglah kera kecil itu dengan penuh keindahan. Ia berenang dalam samudra tanpa tepi. Ia menikmati sesuatu yang tak dapat digayuhnya. Ia melewati bukit gundul tanpa menemukan punggungnya. Ia berada dalam ada dan tiada.
Anoman, cukuplah sudah! Kembalilah sekarang kau ke dunia, kata Batara Bayu.
Sekonyong-konyong datanglah badai bergemuruh. Badai itu berpusar-pusar, menarik kekuatan angin dari empat penjuru dunia. Anoman dililit-lilitnya dengan kekuatan sejuta naga raksasa. Pada saat itulah Anoman mendapat Aji Sepi Angin, suatu daya kekuatan yang luar biasa, sanggup merobohkan sepuluh gunung dalam seketika.
Anoman, kau telah menjadi anakku. Aku, Batara Bayu, telah menjadi ayahmu, setelah kuberikan pusakaku berupa Aji Sepi Angin itu. Pulanglah, Nak. Kebeningan hatimu yang bagaikan Bengawan Sri telah membawamu pergi memulangkanmu dalam tugas-tugasmu yang suci, kata Batara Ayu.
Maka bersama kura-kuranya, Anoman turun ke dunia diiringi angin. Kembalilah ia berada di hutannya yang sepi. Hatinya ma-
S ementara itu matahari bersinar muram di puncak Gunung
Sunyapringga. Di puncak gunung yang tinggi dan sepi ini Subali masih terus melanjutkan tapa ngalong-nya. Kepalanya menukik ke jagad raya. Kakinya bergelayutan pada dahan kering pohon beringin. Oh, betapa sepi dan sunyi keadaan makhluk yang menyendiri dari keramaian dunia ini. Dan kesepian itu menceritakan segala-galanya kepadanya.
Dunia telah ditinggalkannya. Subali seperti mau pulang ke kediamannya yang ilahi. Diserahkan segalanya kepada sang penciptanya. Baginya, jaman hampir menuju kepenuhannya. Dan betapa ia bisa merasakan, kematian ini hanyalah ejekan bagi kehidupan, kehidupan dan segala gerakannya seakan hanya menghasilkan kematian. Tapi justru dalam kesunyian dan kesepiannya, Subali merasakan kematian itu hanyalah suatu tidur nyenyak seorang makhluk.
Puncak Gunung Sunyapringga bagaikan ingin menyentuh langit. Dan lihatlah, menyisih awan gelap dari kawanannya. Mata Subali melihat kabut jatuh dalam hitam-hitam cahayanya. Maka meledaklah keheningan saat sebelum manusia bisa berhitung dengan waktu. Suatu keheningan purbakala, yang mempunyai mata, yang mengendap-endap di dahan-dahan pohon nagasari tempat naungan para bidadari, yang bisa menembus keilahian
sih terkenang akan ibunya. Namun kenangannya perlahan-lahan menghilang justru karena kesepiannya. Berteman dengan makhluk-makhluk hutan, Anoman hidup dalam kesunyian dan kesendiriannya. Kesunyian dan kesendiriannyalah yang membuat ia merayapi kehidupan dengan nyanyian burung cengga.
para titah, yang belum mau menjeritkan sangkakala. Suatu hening-hening kesucian dari yang ilahi!
Dalam keheningannya yang sepi itu Subali merasakan apa yang belum pernah dirasakannya ketika ia berada di bumi. Dalam keheningannya itu ia merasa betapa bumi mencintainya. Dulu ia merasa hidup di bumi sebagai hal biasa, di mana ia bangun bersama kehangatan surya, lalu berjalan tanpa ada yang memapahnya, dan kemudian tidur mengikuti ajakan bulan.
Kini justru dalam kejauhannya dengan bumi, ia melihat betapa makhluk-makhluk itu sebenarnya tak dapat hidup tanpa disangga bumi! Makhluk-makhluk itu, seperti dia sendiri dahulu ketika belum bertapa ngalong di puncak Gunung Sunyapringga, seakan tak merasa bahwa jalan dan lakunya akan roboh jika tiada bumi yang menyangganya.
Justru dengan terpisah dari bumi seisinya karena tapa ngalong-nya itu, Subali merasa betapa ia sebenarnya tak dapat berpisah daripadanya. Justru dalam kesepiannya itu ia makin merasa betapa bumi sangat mencintainya. Dengan tapa ngalong-nya, ia merasa betapa berat dan sepi hidup tanpa bumi itu. Ia merasa tak ada cara lain untuk membalas kasih sayang bumi itu dengan mencintainya. Dan mulailah ia makin tekun dengan tapanya: menukikkan budinya, memusatkan pikiran dan segenap daya hatinya kepada bumi yang berada di bawahnya. Ia ingin bersatu dengan bumi seisinya, yang mencintainya itu.
Subali kembali ke alam purwanya! Ia berada di perut pertiwi, sebelum ia sendiri ada. Dalam perut bumi ini ada urat-urat darah. Menggenang dalam telaga kekuning-kuningan warnanya. Di dalam telaga itu ada kakek dan nenek, yang usianya lebih tua daripada sejarah. Di tangan mereka ada dian perak bernyala dengan air besi baja. Kakek dan nenek itu mengukir boneka telanjang dengan kepala meringkuk terjepit oleh sepasang tangan dan kakinya. Boneka itu menjerit berbarengan dengan perut pertiwi yang menyempit, membawa sejarah kembali ke alam purwanya. Dan saat itulah boneka itu menjadi jabang bayi di kandungan ibunya.
Sebuah kehangatan tak terkira, kehangatan dari malam rabaraba. Kehangatan yang tak ingin keluar dari celah-celah. Tapi pertiwi menghendaki kelahirannya. Dan keluarlah jabang bayi dari kandungan ibunya. Jabang bayi itu meronta-ronta, ia ingin tetap menjadi sebuah kehangatan jaman purwa, dan di sanalah jabang bayi itu merasakan kelahiran itu adalah kerinduan akan kematian, karena hanya dengan kematian ia dapat dikembalikan menjadi sebuah kehangatan dalam perut pertiwi. Bumilah yang melahirkannya, dan kepada bumilah ia harus berpulang kembali. Kembali bagaikan boneka telanjang, dengan kepala meringkuk terjepit oleh sepasang tangan dan kakinya, seperti yang diukirkan oleh kakek dan nenek yang usianya lebih tua dari sejarah.
Dengan tapa ngalong-nya, Subali merasa telah dikembalikan ke ibundanya yang sejati, bumi pertiwi. Ia mengalami kematian sebelum kelahiran. Dan di sanalah ia menyelami rahasia kematian yang mendahului kelahiran, yakni keilahian. Dalam keilahian itu kematian dan kelahiran sudah tidak mempunyai arti lagi, kematian dan kelahiran telah lebur menjadi keabadian. Subali telah memeluk keilahian itu. Dan pada saat itulah turun Aji Pancasona, menganugerahkan diri padanya.
Subali, selesai sudah tapamu, karena kini kau telah bersatu lagi dengan ibumu yang sejati, bumi pertiwi. Kau telah mendapat Aji Pancasona, Anakku. Kau takkan mati karena kesaktian itu. Setiap kali kau mau mati, dan tubuhmu menyentuh bumi, maka kau akan hidup kembali. Dengan tapamu, kau telah membuktikan diri betapa kau mencintai bumi, sebagai pernyataan kasih sayangmu. Memang seharusnya demikian, sebab bumilah yang melahirkanmu, maka kepada bumilah kau harus kembali. Sebagai balasan cintamu, bumi, ibumu yang sejati itu, akan memberikan dirinya sendiri, yakni keilahian yang membuat tak berarti kehidupan dan kematian, kata suara ilahi mengiringi kebahagiaan Subali.
Tak ada makhluk yang menyayangi bumi seperti kau dengan tapa ngalong-mu itu. Mereka merasa hidup seperti tanpa bumi yang menyangganya. Mereka keliru, Nak, sebab mana mungkin mereka hidup tanpa dilahirkan, dan mana mungkin mereka bertahan tanpa ada yang menyangganya dengan kasih sayang" Mereka lupa akan bumi yang melahirkan mereka, sombong, seakan mereka dapat hidup tanpa ada yang menyangganya. Mereka lupa pada bunda yang sejati, yang melahirkan dan memeliharanya, yakni keilahian pertiwi sendiri. Itulah sebabnya dengan sendirinya mereka akan mati.
Sebagai bunda, bumi akan senantiasa memberikan kasih sayangnya pada anak-anaknya yang mencintainya. Itulah sebabnya kau kini mendapat Aji Pancasona. Pancasona adalah kehidupan keblat papat, lima pancer (arah empat, lima pusat). Kau boleh menengok ke utara, ke selatan, ke barat, dan ke timur, tapi jangan lupa, kau bisa menengok ke empat penjuru dunia itu karena kau berdiri di suatu pusat, yakni bumi tempatmu berpijak. Kau bisa mengubah utara menjadi selatan, timur menjadi barat, tapi kau tak mungkin meniadakan pusat tempatmu berpijak. Tanpa pusatmu berpijak, kau takkan tahu dan bisa untuk membuat utara menjadi selatan, timur menjadi barat. Dengan kata lain, timur, barat, utara, dan selatan, selalu bisa berubah-ubah, mereka adalah tujuan-tujuan dunia, yang tiada kekekalannya dan akan musnah bila waktunya tiba, tapi pusatmu akan tetap selamanya. Pusat itulah ibumu sendiri, bumi pertiwi, keilahian sendiri.
Dan, Anakku, keilahian bumi itu kini telah bersatu dengan dirimu. Itulah sebabnya kau tidak dapat mati. Itulah Aji Pancasona yang kau miliki. Hanya ingatlah Anakku, apa pun kesaktian itu, dia akan meninggalkan pemiliknya, bila pemiliknya berbuat kejahatan yang tercela. Turunlah Anakku dari tapamu yang berat itu, suara ilahi berkata-kata lalu menghilang bersama hutan yang menjadi taman bunga.
Subali turun dari pohon beringin. Menyentuh bumi yang ia
S ubali terkejut. Ketika ia menginjakkan kakinya ke tanah, terde-
ngarlah suara ramai di hutan sebelah sana. Delapan ratus anak kera bermain-main dengan riang gembira. Melompat-lompat mereka di atas bunga rangin. Kumbang-kumbang berdengung bersama rintihan angin, menimbulkan suara bagaikan seruling. Dan anak-anak kera itu lalu lari-lari menyusulnya, bersusun-susun mereka meraihnya membentuk payung-payungan dengan atap bulu-bulu mereka yang aneka warna. Sebuah payung untuk musim bunga. Dan ketika kumbang-kumbang itu datang menghampiri mereka, pura-pura hendak menyengatnya, berantakanlah payung musim bunga itu ke tanah. Anak-anak kera yang indah berjatuhan tergulung-gulung. Memakan bunga padma.
Ada seekor kera yang telah berusia duduk termenung. Mengapakah, hai kera, kau amati matahari yang menuruni bukit, sedang hutanmu semerbak dengan musim bunga" Maka berdatanganlah anak-anak kera itu menghampirinya. Memberinya bunga padma.
Subali tertegun menyaksikan pemandangan itu. Dari manakah anak-anak kera itu" Lihatlah, berkelompok-kelompok mereka. Ada bentangan sayap kupu-kupu keemas-emasan tersiram sinar surya, karena kera-kera berbulu emas berkumpul membentuknya. Kera-kera yang warnanya bagai pohon bana, bertumpuk-tumpuk menjadi permadani dari kulit serangga. Kehijau-hijauan bentangan kera yang bulunya berhiaskan warna manik-manik ringin. Hamparan pemandangan anak-anak kera itu
cintai dan bumi pun menyambut makhluknya dengan penuh kasih sayang. Subali bersatu dengan bumi yang telah lama ditinggalkannya.
penuh dengan titik-titik mega berwarna merah muda, karena mereka sedang memakan bunga padma.
Tapi mengapa kera yang telah berusia itu tetap terdiam, tanpa sukacita bunga padma" Subali terhenyak, ketika melihat kera yang terdiam itu adalah adiknya, Sugriwa. Dipanggilnya Sugriwa dengan suara lemah, dan terbangunlah Sugriwa dari kesepiannya. Lari menuju Subali, dengan sukacita. Berpelukanlah kakak beradik, yang telah lama berpisah itu, dalam rupa dua ekor kera. Kebahagiaan mereka disaksikan kegembiraan anak-anak kera, dengan bunga padma di tangannya.
Subali, kakakku, lama aku menunggumu. Aku sudah diperintahkan dewa untuk mengakhiri tapaku. Aku mengira, aku akan hidup sebatangkara. Anjani, adikku yang jelita, entah bagaimana kesudahannya. Dan kau, kakakku, tak terbayangkan olehku hari ini kau datang padaku. Nasib menjadi seekor kera ini akan lebih ringan rasanya, jika kau bersamaku. Syukurlah, Subali, kakakku, kita kembali bersatu, kata Sugriwa bahagia.
Sugriwa, adikku, jangan kau pikirkan masa lalu kita. Lihatlah, di depan kita ada delapan ratus anak kera yang indah. Tidakkah mereka akan menjadi kawan kita" Tapi Sugriwa, bolehkah aku bertanya, dari manakah kau mendapatkan mereka" tanya Subali, sambil tak henti-hentinya memandang keindahan anak-anak kera yang kini mulut-mulutnya merekah dengan bu-nga padma.
Kakakku, pada akhir tapaku, datanglah Batara Guru menyapaku. Batara Guru berkata, aku akan diberi anak-anak kera yang diperanakkan oleh dewa-dewa, suatu saat kelak, anakanak kera ini dengan semua keturunannya akan membantuku untuk suatu tugas yang belum saatnya aku ketahui, kata Sugriwa.
Lalu melompatlah seekor kera berwarna nila. Kera itu adalah anak Batara Narada. Karena warna bulunya yang berwarna nila itu, ia diberi nama Anila. Sangat jenaka rupa Anila. Jenaka seperti ayahnya, Batara Narada. Tubuhnya gemuk pendek, ekornya bisa memanjang melilit-lilit pohon raksasa, perutnya bagaikan belahan kelapa besar. Tingkah laku Anila sering membuat tertawa anak-anak kera. Dan Subali pun tersenyum, ketika Anila memanjatkan diri dengan ekornya, mempersembahkan bunga padma kepadanya.
Subali, kakakku, Batara Guru bercerita, para dewa menyambut gembira perintahnya agar mereka memperanakkan anakanak kera. Sebab mereka percaya, anak-anak kera inilah yang akan membantu kita untuk ikut mengajak dunia kembali ke kerendahan hatinya, seperti telah dikatakan ayah kita, Resi Gotama, kepada kita sebelum kita mulai bertapa. Kakakku, kau adalah saudaraku, kera-kera yang dianugerahkankan kepadaku ini juga harus menjadi milikmu. Terimalah mereka, Kakakku, kata Sugriwa.
Dengan senang hati, kuterima pemberianmu yang indah ini, Sugriwa. Dan marilah kita bersyukur atas kemurahan dewa. Aku masih terbayang-bayang dan rindu akan adikku, Retna Anjani, seperti dirimu juga. Tapi biarlah, mungkin sudah menjadi kehendak para dewa, kita mesti dipisahkan dari dia. Anak-anak kera ini pasti akan menjadi teman yang menghiburkan kita, jawab Subali.
Maka mulailah bertakhta kerajaan kerendahan hati di dunia, kerajaan para kera. Dengan hati bunga padma.
J auh dari kerajaan kerendahan hati para kera, seekor burung
walik meratap di tangga langit. Dunia sedang merayap dalam kejahatannya. Seekor lembu berkubang dalam darah manusia. Inilah tanda manusia diperintah oleh kebinatangannya. Maesasura, raja dari segala sapi, telah memerintah dunia!
Sepasang tanduknya mendongak, menyentuh langit. Menjatuhkan bintang-bintang, kemudian menginjak-injaknya. Ia menjadi berhala yang dipuji-puji dunia. Manusia menyembahnya bagaikan dewa. Menghaturkan kurban kepada raja sapi yang kini menjadi peminum darah manusia.
Jagad telah terbalik. Di langit ada samudera, karang-karangnya yang keras menjadi bulan purnama. Airnya adalah darah. Di bumi ada langit, mega-meganya adalah jeritan duka anakanak manusia. Pulau-pulau dan daratannya adalah sumber-sumber kering air mata nenek moyangnya. Dalam jagad raya yang terbalik karena kejahatan manusia inilah seekor sapi telah menjadi raja atas manusia.
Kejahatan dunia ini memuncak ketika Maesasura, sang raja sapi, naik ke kahyangan, mau melamar bidadari jelita, Dewi Tara. Langkah raja sapi ini seperti gemuruh kemarahan hutan. Pakaiannya yang keemas-emasan menempel di tubuhnya yang kasar, mengeluarkan cahaya yang mematahkan sinar bulan. Pintu-pintu langit tak kuasa menutup dirinya, ketika Maesasura menubrukkan tanduknya, minta jalan ke kahyangan.
Maka terjadilah gempa bumi tujuh kali sehari. Para durhangkara lari ke mana-mana. Terjepit di lembah-lembah bulan. Lidahnya menjilat darah hitam. Bertiup angin malam keluar dari megantara, negeri raja jin hitam. Dan kahyangan pun diguncangkan.
Batara Guru tahu, Maesasura tak dapat dikalahkan, karena di belakangnya berdiri barisan makhluk ciptaan yang matanya adalah kejahatan. Batara Guru sedih hatinya, sebab inilah saat manusia dibinasakan oleh kejahatannya sendiri.
Oh Manusia, kenapa sapi kau jadikan raja" Sudahkah kau dirusak oleh hawa nafsumu. Hari inilah hari leburnya jagad. Bumi akan menjadi karang merah darah. Bintang di langit telah mati, hilang cahayanya. Matahari berlubang sejak terbitnya, dan rembulan tidak mengeluarkan sinarnya. Raja sapi telah membalikkan langit, menggoncangkan bumi sampai ke dasardasarnya. Ia sendiri yang dulu menyembahmu, kini akan membanting bayi-bayimu sampai remuk di hadapanmu. Dan lihatlah, kini kejahatanmu telah berdiri di muka sang pencipta, memuncak nafsunya, hendak melamar Dewi Tara, Batara Guru bersedih meratapi dunia.
Tapi timbullah kasih sayangnya kepada jagad raya, seperti kembang melati di pagi hari. Maka turunlah Batara Guru ke dunia, mencari makhluk yang masih berada dalam kerendahan hatinya. Oleh nyala kasih sayangnya inilah, jagad raya sebentar lagi akan rebah di pangkuannya.
Di kejauhan, ada dua ekor kera yang hatinya disinggahi matahari fajar. Subali dan Sugriwa sedang menikmati hari-hari yang menyimpan harapan makhluk akan kesempurnaan. Duduk di tangkai-tangkai pohon hutan, dua ekor kera ini bagaikan pagi yang menantikan matahari.
Anakku, kulihat dalam dirimu hati yang hening dan sunyi, berteriak dalam kesia-siaan menyatakan rahasianya kepada jagad raya. Kulihat pula hatimu kesepian seperti awan yang menggembara, ingin mengubah dirinya menjadi air mata yang jatuh di pelupuk mata hati manusia, kata Batara Guru, menyapa Subali dan Sugriwa.
Subali dan Sugriwa segera melakukan sembah. Wajahnya mengharapkan kasih sayang bagi anak-anak kera.
Anakku, dunia sedang berada dalam kejahatannya. Sampai manusia memuja sapi menjadi rajanya. Di bawah perintah raja sapi yang tiada berbudi, dunia telah berada dalam kesombongannya. Raja sapi ini tak suka kedamaian, ia lebih suka peperangan. Ia ingin membuat dunia sebagai tempat makhluk-makhluknya saling bermusuhan. Tiada cinta dalam hatinya, hanyalah kekasaran yang bertakhta. Manusia memuja raja sapi itu sebagai berhala, karena kejahatan mereka telah membutakan mata hatinya.
Lihatlah, Anakku, tiga ekor sapi, Maesasura sang raja sapi, dan kedua patihnya, Jatasura dan Lembusura, sedang berada di ambang kahyangan. Maesasura ingin melamar Dewi Tara untuk dijadikan permaisurinya. Kuperintahkan Batara Sambu untuk melapis mega tebal di hadapan mereka, supaya untuk sementara mereka tidak dapat merusak kahyangan. Kini mereka sedang dalam perjalanan kembali ke Gua Kiskenda, menanti saatnya para dewa menyerahkan Dewi Tara kepadanya. Sementara itu aku turun ke dunia, untuk menyapamu dan memerintahkanmu mengalahkan raja sapi itu. Karena hanya kau berdualah yang dapat mengalahkan Maesasura. Sebab kesombongan hati makhluk itu hanya dapat dikalahkan dengan kerendahan hatimu yang kini sedang berprihatin dalam rupa kera. Pergilah ke Gua Kiskenda, binasakanlah mereka, maka kaulah anakku yang akan memperoleh Dewi Tara, kata Batara Guru kepada makhluknya dalam rupa dua ekor kera.
Subali dan Sugriwa segera mohon restu kepada Batara Guru. Dengan melompat dari pohon ke pohon, mereka munuju Gua Kiskenda. Gunung-gunung dan bukit-bukit bergembira, pohonpohon bertepuk tangan menyaksikan keberangkatan dua makhluk dalam rupa kera ini. Sepanjang perjalanan, tumbuhlah kembang-kembang melati menggantikan duri-durian. Dan burung walik di tangga langit menghentikan ratapannya.
Kakakku Subali, lihat alam menjadi teman kesucianmu. Biarkanlah cintamu kepada kehidupan menjadi harapanmu yang tertinggi. Aku akan membantumu mengalahkan Maesasura dan kedua patihnya. Tapi dengan segala kerendahan hati, aku tak menginginkan Dewi Tara. Kau lebih sakti dan kau adalah kakakku, sudah selayaknya jika kau memperoleh Dewi Tara. Berbahagialah kau, Kakakku, kata Sugriwa.
Sugriwa, siapakah yang dapat memastikan kehidupan. Maut bisa datang bagaikan mendung, sering kali malah kita harus mencari perlindungannya, tanpa menyadari kita sudah direnggut olehnya. Sugriwa, syukurlah bahwa kau merelakan Dewi Tara untukku. Tapi jangan kau pastikan kehidupan tanpa kematian itu. Aku akan membunuh raja sapi itu di Gua Kiskenda. Tunggulah nyawaku di lubang gua. Jika mengalir darah merah melewati lubang gua, sambutlah aku dan antarkan aku ke kahyangan untuk membuktikan keluhuran kita di hadapan Dewi Tara. Itulah tanda kemenanganku. Tapi jika darah putih yang mengalir menghiasi bumi, janganlah kau menangis Sugriwa, karena artinya aku telah berpulang ke alam baka, mati di tangan Maesasura, kata Subali. Ditatapnya adiknya. Dan Sugriwa pun terharu melihat keberanian kakaknya.
Dua ekor kera ini akhirnya tiba di Gua Kiskenda. Subali memeluk adiknya, dan masuklah ia ke gua. Terdengar dengkuran, bergemuruh, seperti suara guntur. Ketiga sapi itu ternyata sedang tidur. Di sekitarnya berserakan tengkorak-tengkorak manusia. Maesasura, sang raja sapi yang memerintah manusia, wajahnya menyerupai banaspati. Matanya terbuka laksana berlian yang jatuh dari amarah Batara Kala. Tanduknya mendongak menyerupai pedang yang mengiris bunga angsoka merah.
Subali merasa, bukanlah watak seekor kera membunuh musuh yang sedang terlena. Ia segera menjatuhkan batu hitam sebesar bukit, hingga terbangunlah Maesasura dan kedua patihnya. Sang raja sapi ini sangat marah, matanya berdarah. Disuruhnya Jatasura untuk menghabisi nyawa Subali.
Jatasura segera menyerang Subali dengan tanduknya. Subali mengelak, dan tanduk sapi yang menyerang dengan dahsyat itu masuk ke dinding gua. Sewaktu Jatasura kesulitan menarik tanduknya lagi, Subali menjejakkan kakinya ke lawannya. Dan Jatasura binasa.
Maesasura dan Lembusura marah bukan buatan melihat rekannya terbunuh oleh seekor kera. Kedua sapi ini segera menyerang Subali berbarengan. Dan Subali menjadi bulan-bulanan keganasan dua makhluk dahsyat itu.
Badan Subali yang kecil ditanduk oleh Maesasura. Melesat di udara dan ketika jatuh kembali tanduk Lembusura sudah siap menghajar Subali. Subali sebenarnya sudah binasa ditanduk dua sapi itu. Namun begitu badannya menyentuh bumi, Subali pun hidup kembali. Bumi memang menyayangi Subali, tersentuhnya Subali pada bumi bagaikan pertemuan dua orang kekasih yang saling memberi kehidupannya. Itulah kesaktian Aji Pancasona, yang didapat Subali ketika ia mengarahkan dirinya seluruhnya pada bumi di puncak Gunung Sunyapringga.
Maesasura terheran-heran melihat kesaktian Subali. Kembali ia menanduk Subali dengan segala kekuatannya. Tubuh kera ini terkoyak-koyak penuh darah. Dan Lembusura tidak memberi kesempatan lagi, terus menghajar Subali dengan tanduknya, sambil mengeluarkan dengusan mengerikan. Tapi begitu Subali jatuh ke tanah, ia bersatu dengan keilahian bumi, maka ia hidup lagi, dan tubuhnya pun utuh seperti sedia kala. Begitulah seterusnya, dan kedua sapi itu lalu putus asa melihat kesaktian kera yang dicintai bumi ini.
Subali segera mengetahui kelemahan musuhnya. Ketika dua ekor sapi itu lengah, ia segera memegang leher-leher mereka. Dan dengan suatu kekuatan yang luar biasa, kedua kepala itu diadu kumba (saling ditubrukkan) oleh Subali. Dan kepala Maesasura dan Lembusura pun pecah, otaknya muncrat dan darahnya mengalir menganak sungai. Darah kedua sapi yang binasa ini mengalir ke mulut gua, warnanya merah putih, karena telah bercampur dengan otak yang telah lebur lembut. Darah berwarna putih mengalir seperti gemuruh sungai yang memenuhi Gua Kiskenda.
Oh kakakku Subali, akhirnya kau binasa bersama lawanlawanmu. Betapa malang nasibmu. Darah merah ini telah menjadi sungai di mana kau berenang menuju ke alam baka. Lihatlah Kakakku, dunia menjadi suci kembali, ketika darahmu mencuci Gua Kiskenda, kata Sugriwa yang dari tadi menjaga di pintu gua. Hatinya sedih mengamati darah merah putih yang terus keluar dari mulut gua.
Karena mengira kakaknya sudah binasa, Sugriwa segera mengambil batu hitam sebesar gajah dan menutupkannya pada pintu Gua Kiskenda. Sugriwa telah menguburkan kakaknya tan-
pa ia sengaja. Dan dengan penuh kesedihan, ia terus terbang ke kahyangan untuk memberitahu para Dewa tentang kematian Maesasura dan kakaknya.
Sugriwa, sesuai dengan janjiku, aku akan memberikan Dewi Tara kepada kamu berdua. Kini Subali sudah mati, maka terimalah Dewi Tara bagimu, kata Batara Guru, Sugriwa menerima Dewi Tara dalam kesedihannya mengenang kematian kakaknya. Dan ia turun lagi ke dunia, mencintai Dewi Tara, yang kini menjadi istrinya.
Sementara di Gua Kiskenda, Subali merasa kegelapan di mana-mana. Ia merasa aneh, kenapa tiba-tiba gua menjadi sangat gelap, setelah kematian tiga musuhnya. Dengan berpegang pada dinding yang masih basah dengan darah lawannya, Subali merayap mendekati pintu gua. Hatinya menjadi ngeri, karena kakinya merasa menginjak-injak bangkai lawannya.
Tiba di mulut gua, Subali tak dapat menahan kemarahannya lagi. Sugriwa, Sugriwa, kenapa kau berkhianat padaku. Kau mengubur aku dengan menutup pintu gua ini, karena kau ternyata ingin memiliki Dewi Tara. Adikku, di manakah kasih sayangmu pada kakakmu yang telah berhasil membinasakan raja sapi yang menguasai dunia ini, kata Subali meratap di pintu gua. Hatinya tak dapat ditenangkan, maka dengan kemarahannya ditendangnya batu hitam sebesar gajah yang menjadi penutup pintu gua. Batu besar itu pun pecah berkeping-keping. Dan terbukalah Gua Kiskenda. Bagaikan anak panah, Subali melesat lari, mencari Sugriwa untuk melampiaskan amarahnya.
Amarahnya bagaikan mau meledak, ketika ia melihat adiknya sedang berkasih-kasihan dengan Dewi Tara. Sugriwa, ternyata kau berhati binatang, sama dengan lawan-lawanku yang baru saja kubinasakan. Kau mengubur aku di Gua Kiskenda, hanya supaya kau bisa memiliki Dewi Tara, jerit Subali. Sugriwa terkejut melihat kakaknya yang disangkanya sudah binasa.
Kakakku, syukurlah bahwa kau masih hidup. Tapi janganlah kau menyalahkan aku. Bukankah kau sendiri bilang, bila ada darah putih keluar dari gua, itulah tanda kau binasa. Kulihat darah mengalir berwarna merah dan putih, aku mengira kau mati sampyuh bersama lawanmu. Dan sesuai dengan pesanmu, aku segera menutup pintu gua. Aku tak bermaksud mengkhianatimu, Kakakku, kata Sugriwa.
Subali tak dapat menerima pengakuan adiknya yang jujur itu. Ia segera menyerang Sugriwa. Maka terjadilah perkelahian dua saudara kera. Sugriwa ternyata tidak dapat menandingi kesaktian Subali. Dan Subali pun menjadi raja kera di Gua Kiskenda. Anak-anak kera datang bersujud padanya menjadi rakyatnya.
Kakakku, begitu kejam kau terhadapku. Aku memang kejam terhadap dirimu, tapi tidakkah itu kuperbuat tanpa kesengajaanku. Biarlah kali ini kau merasa menang. Tapi saatnya akan tiba, siapa dari antara kita yang benar, Sugriwa meratap.
Dengan penuh keprihatinan, ia menghabiskan hari-harinya bertapa di Gunung Maliawan, seraya hatinya merindukan pertolongan akan keadilan.
Tiga I ni adalah malam ketika hukum alam berkeliaran dengan mata-
nya menyinarkan pembalasan dendam. Langit pucat dan dingin. Air mata manusia terus mengalir, seperti sungai yang tak mau dikeringkan. Jeritan alam melolong bagaikan serigala kelaparan di waktu malam.
Dan dengarlah, sebentar lagi ada suara meratap haru di tepi sungai. Mengajak manusia mandi dalam sinar yang menakutkan. Tak ada apa-apa, kecuali impian: dalam suatu istana kegelapan, hukum alam bertakhta di atas singgasana keindahan sebilah pedang yang menuntut kematian.
Dan dengarlah, sebentar lagi ada suara meratap haru di tepi sungai...
Hutan sedang tidur dalam ketakutan di pangkuan malam. Hujan turun deras dari langit kehitam-hitaman. Airnya jatuh ke lereng-lereng lembah, bergemuruh bersama aliran sungai. Dasarata, satria gagah perkasa, bermain-main menantang keadilan alam dengan keahliannya menggunakan anak panah.
Ada suara di seberang sana, suara makhluk yang mencintai orang tuanya. Dasarata yang berada dalam kegelapan malam, menyangka suara itu suara binatang buas. Maka dibidikkanlah anak panahnya, melesat laksana kilat. Lalu terdengarlah suara meratap haru di tepi sungai, suara seorang anak manusia yang mendekati ajalnya.
Angin bertiup perlahan, membiarkan suara anak manusia itu terdengar ke seluruh dunia. Pada saat inilah kematian seperti menyapa Dasarata.
Siapa gerangan engkau yang menyapaku dengan sebatang anak panah" Betapa kejam engkau memperlakukan aku yang tak pernah bersalah. Kulewatkan hari-hariku di hutan, tanpa pernah kumerasa membuat dosa. Kuagungkan darma dalam hidupku sebagai pertapa. Aku hendak mengambil air minum untuk bapakku yang buta, tapi di tepi sungai ini aku akan menemui ajalku, kata suara itu.
Dasarata mendekat. Dan dilihatnya seorang pertapa muda sedang bergulat dengan kematiannya. Dari lehernya keluar sebuah cahaya ilahi, walaupun darah mengalir karena tertancapnya sebatang anak panah. Dasarata seperti terpenjara dalam kematiannya.
Oh, raja Ayodya. Apa dosaku terhadapmu sampai engkau menghabisi hidupku justru ketika orang tuaku yang buta mengharapkan aku. Sehari-hari aku menemaninya, selalu aku mengambil air dari sungai ini untuk pelepas dahaganya. Kini aku terkapar mendekati ajal karena anak panahmu, tanpa setahu orang tuaku yang menderita. Oh Dasarata, betapa hancur hatinya bila mereka tahu keadaanku ini. Apa salahku terhadapmu, Dasarata" kata pertapa muda itu. Dasarata tercekam dalam ketakutannya. Kematian laksana burung elang menyambar-nyambar dari angkasa. Begitu ia merasakannya.
Hai Raja, yang seharusnya berhati mulia. Sekarang cabutlah anak panah ini dari leherku. Biarlah aku mati sebagai manusia, bukan sebagai binatang pemburuan seperti yang kau inginkan. Tapi camkanlah permintaanku, pergilah kau ke kedua orang tuaku yang buta. Ceritakanlah peristiwa kematian ini. Dengarkanlah tangisan mereka, supaya kau tahu apa arti penderitaan yang menuntut pembalasannya, pertapa muda itu terus mendesak Dasarata.
Dengan hati yang hancur, Dasarata terpaksa menuruti permintaan korbannya. Dicabutnya anak panah, lalu terdengarlah teriakan kesakitan dari pertapa muda yang malang itu. Tak lama kemudian, pertapa itu terkapar menahan rasa sakit. Lalu maut datang dengan senyumnya yang manis. Dan bintang bertaburan di langit. Sementara jatuhlah hujan bunga menutupi mayat manusia yang tak bersalah.
Dasarata tertegun. Air matanya bercucuran. Apa artinya kegagahan seorang raja yang ahli bermain dengan anak panah, jika semuanya itu hanya mengandung maut bagi manusia yang tak bersalah" Lama Dasarata terdiam. Akhirnya ia mengambil buli-buli yang tergeletak di sisi mayat pertapa muda itu, lalu diisinya dengan air. Dengan hati penuh penyesalan, pergilah raja Ayodya ini mencari orang tua pertapa muda. Tak ada lagi suara haru meratap di tepi sungai, yang ada hanyalah malam yang matanya menyinarkan dendam.
Di kejauhan dua orang tua buta itu sedang menunggu kedatangan anaknya yang pergi mencarikan air bagi mereka. Rasa haus yang mengeringkan tenggorokan makin membuat mereka merindukan kedatangan anaknya.
Aku tak bisa melihat cahaya. Tapi aku merasa kini kegelapan sedang melanda hutan. Kenapa anakku belum juga datang" tanya sang kakek.
Jangan kau meresahkan anak yang sehari-hari merawat kita. Jangan pula kau tertipu oleh matamu yang buta. Dari mana kau yakin bahwa kegelapan ada di sekitar kita. Mungkin saja bulan sedang bersinar, sehingga membuat anak kita kegirangan, mandi di sungai jernih, jawab sang nenek.
Burung-burung terjaga dari tidurnya. Seakan mau memberi tahu tentang peristiwa yang baru saja menimpa anaknya. Dan datanglah Dasarata, kakinya gemetar menyaksikan dua orang tua buta yang sedang mengharapkan kedatangan anaknya.
Anakku, kenapa demikian lama kau meninggalkan kami" Ah, seandainya mata kami dapat melihat, betapa kami ikut bergembira menyaksikan kau mandi bersama cahaya bulan. Kemarilah, Anakku, dan berilah kami air dari buli-bulimu, sang kakek menyapa anaknya. Ia tidak merasa, Dasarata-lah yang berdiri di hadapannya. Dasarata makin tidak tahu apa yang mesti dilakukannya. Akhirnya dengan suara terputus-putus, diceritakanlah peristiwa malang yang menimpa pertapa muda.
Ampunilah aku, hai Orang Suci yang menderita. Karena nafsu akan kegagahanku, aku tak lagi membedakan mana suara manusia yang tak bersalah, mana suara musuh yang harus kubinasakan. Badanku telah tua dengan segala keperkasaan seorang ksatria, tapi hatiku bagaikan bayi yang belum tahu penderitaan, kata Dasarata.
Siapa gerangan engkau" Kenapa engkau tiba-tiba minta ampun kepadaku" tanya seorang kakek. Raja Dasarata memperkenalkan dirinya dan melanjutkan ceritanya.
Malam sedang tercekam oleh kegelapan. Kukira ada binatang yang akan mengancam aku, datang dari tepi sungai. Kubidikkan anak panahku, ternyata ia mengenai leher putramu yang sedang mencari air bagimu. Putramu telah binasa, karena kecerobohanku. Kini ia tergeletak di tepi sungai. Kubawakan kamu air dari sungai itu. Ampunilah kesalahanku, kata Dasarata.
Kedua orang tua buta itu menangis. Makin mengharukan keadaannya, karena air mata mereka keluar dari mata yang buta. Tak ada kasih yang menghibur kesedihan mereka, kecuali alam yang mau menuntut bela bagi mereka.
Oh Maut, seharusnya kau menaklukkan orang yang gagah perkasa, yang sombong seolah dunia berada di telapak tangannya. Kenapa kau mencabut nyawa orang yang lemah dan menderita" Lebih baik aku yang tua dan tak berdaya ini berkata padamu, di sinilah aku hai Maut, antarkanlah aku kepada penciptaku. Tapi kenapa kau cabut nyawa anakku yang masih mencintai kehidupannya" kata sang kakek, tanpa mempersalahkan Dasarata.
Anakku, kau adalah mata hidupku. Apa artinya kehidupan ini tanpa kasih sayangmu lagi" Peluklah aku, Anakku, bersama malam yang sudah reda, tapi tanpa tahu saat pergantiannya. Peluklah aku Anakku, supaya aku pun bisa merasakan keindahan dari kematian yang kau alami. Anakku, kenapa kau tinggalkan kami yang buta dan tidak berdaya ini" sang kakek terus meratap. Air matanya membuat malam makin ingin menuntut balas baginya.
Dasarata, sekarang bawalah kami ke tepi sungai. Akan kuraih anakku untuk terakhir kali, kata sang kakek. Dasarata menurut saja apa yang diinginkan mereka. Dituntunlah kedua orang tua buta menuju ke mayat anaknya.
Tiba di tepi sungai, kedua orang tua ini segera memeluk mayat anaknya yang telah dingin. Mereka tidak tahan untuk menyimpan kehancuran hatinya lagi.
Dan lihatlah, kedua orang tua ini tiba-tiba menghilang bersama mayat anaknya. Maka malam pun menjadi terang-benderang, bulan bersinar gemilang dan binatang-binatang bertaburan. embun berderai di daun-daun, kali-kali berbunyi di antara lembah-lembah, burung-burung terbang menyanyikan kegembiraan. Di angkasa, tiga wajah anak manusia yang telah disucikan naik ke langit. Saat inilah alam mengatakan hukumhukumnya, kepada Dasarata. Maka terdengarlah suara tak dikenal, merdu tapi mengerikan.
Dasarata, kau telah memisahkan anak dari orang tuanya yang tercinta. Pada masa tuamu, ketika kau diliputi kebahagiaan, saat itulah kau akan dipisahkan dari anakmu yang tercinta, bukan oleh pedang atau panah, tapi oleh apa yang namanya cinta seorang wanita, kata suara di langit.
Dasarata menangis keras. Tapi tangisan ini seakan tak mendapat perhatian dari alam sekitarnya. Sia-sia belaka semua
P rabu Dasarata memerintah dengan bijaksana. Kebijaksanaan-
nya terkenal sampai ke ujung-ujung dunia. Ketiga permaisurinya, Dewi Sukasalya, Dewi Kekayi, dan Dewi Sumitra, sangat mencintainya. Hanya Raja Dasarata ini selalu prihatin, karena di hari tuanya belum juga ia memperoleh seorang anak pun.
Maka dipanggillah pendeta sakti, Begawan Wasista namanya. Raja Dasarata menyampaikan maksudnya, agar sang pendeta mengadakan pemujaan besar kepada para Dewa, memohon putra bagi Dasarata.
Dengan pelbagai sesaji, Begawan Wasista memuja para dewa. Asap dupa mewangi membumbung tinggi, menyampaikan keinginan Dasarata kepada para dewata. Pendeta sakti ini minta tiga permaisuri raja, agar mereka bersembahyang di sekitar api pemujaan, lalu berjalan jongkok mengitarinya.
Tiba-tiba asap bercampur dupa mewangi itu membesar, membentuk diri seperti lingkaran. Dewata mengabulkan permintaan Dasarata. Sebentar kemudian, asap yang membesar ini disiram hujan bunga dari langit, dan api pun padam. Begawan Wasista memerintahkan agar abu dari bahan-bahan pemujaan yang telah terbakar dikumpulkan. Lalu abu itu disimpan untuk sedikit demi sedikit dijadikan campuran makanan dan minuman tiga permaisuri sang raja.
penyesalannya. Alam yang ramah itu sebenarnya menyandang kekejaman hukum-hukumnya yang harus ditanggung oleh Dasarata.
Dalam keadaan demikian inilah Dasarata merasakan dukacita sebuah cinta yang harus berhadapan dengan kekejaman hukum alam. Maka pulanglah ia ke Ayodya. Namun di hatinya selalu tersandang duka.
Rakyat Ayodya bersukacita, ketika mendengar ketiga permaisuri sang raja telah mengandung. Sekian saat kemudian, ketiga permaisuri ini pun melahirkan kandungannya. Dewi Sukasalya melahirkan seorang putra yang tampan. Dasarata menamai anaknya yang sulung ini Ramawijaya. Semua rakyat tahu bahwa putra sulung Ayodya ini adalah titisan Batara Wisnu yang akan memerintah dunia. Bayi kedua lahir dari Dewi Kekayi, dan diberi nama Barata. Anak Dewi Kekayi ini sudah memancarkan kesederhanaan dari wajahnya. Sedangkan Dewi Sumitra melahirkan bayi kembar, yang masing-masing diberi nama Laksmana dan Satrugna.
Keempat putra raja ini berkembang dalam kebajikan dan kesaktian dan sangat dicintai rakyatnya. Mereka dilatih dengan pelbagai ilmu sastra maupun perang di bawah bimbingan pendeta sakti, Begawan Wasista. Dari antara keempat putra raja ini, Ramawijaya-lah yang paling berkembang dalam segala keutamaan.
Raja Dasarata bahagia melihat perkembangan putranya. Sehari-hari ia diliputi kebahagiaan dan memuja kemurahan dewata. Ia lupa bahwa hidupnya sudah mengandung dendam dari alam, ketika ia membunuh pertapa muda di tepi sungai dalam kegelapan malam. Suara haru yang meratap di tepi sungai itu untuk sejenak ia lupakan.
R ama mempunyai sepasang mata seperti bianglala. Dari mata-
nya ini memancar isi hatinya yang penuh dengan kebijaksanaan Dewa Wisnu, menyimpan kebahagiaan manusia dalam duka dan derita hatinya. Bulan pada waktu paro putih tersungging dalam senyum satria sulung Ayodya ini.
Suatu hari datanglah dua orang resi, Begawan Yogiswara dan Begawan Mitra kepada Prabu Dasarata. Dua orang resi ini melaporkan ketenteraman hutan yang selalu diganggu dua raksasa jahat, Katakalya dan Kala Marica. Penduduk desa sekitar hutan selalu tidak tenang karena gangguan dua raksasa jahat ini. Kata orang, dua raksasa itu berasal dari Alengka.
Tolonglah kami, hai Raja, yang mulia dan baik hati. Hanya Ramawijaya-lah yang dapat membinasakan raksasa jahat itu! kata Begawan Yogiswara. Dasarata keberatan mengabulkan permintaan Resi Yogiswara.
Resi yang mulia, Rama masih sangat muda. Belum pula mempunyai pengalaman berperang. Tegakah kamu membiarkan dia terbunuh oleh raksasa jahat itu" kata Dasarata.
Hai Raja, belum yakinkah kau bahwa anakmu itu titisan Batara Wisnu" Rama mempunyai tugas untuk menjaga ketenteraman jagad. Jangan kau halangi tugas anakmu, hanya demi kasih sayangmu sendiri, jawab Begawan Yogiswara. Guru Rama, Resi Wisasmita, membenarkan jawaban Begawan Yogiswara. Maka dengan hati berat akhirnya Dasarata merelakan anaknya pergi ke hutan untuk berperang dengan raksasa pengacau hidup manusia itu.
Dan berangkatlah Rama bersama Laksmana menjalankan tugasnya yang pertama. Mereka dielu-elukan penduduk kota. Luar biasa indahnya keadaan dua satria ini ketika mereka berjalan menuruni lembah-lembah. Tanggal bunga-bunga cempaka, karena ingin melihat mereka dengan cara menjatuhkan diri ke jurang-jurang curam. Penduduk-penduduk desa menaburkan bunga-bunga sepanjang perjalanan mereka. Ada wanita-wanita desa menangis, karena terharu membayangkan ketampanan mereka ditelan raksasa.
Bau busuk menusuk hidung, seperti nafas makhluk yang makanannya bangkai manusia, ketika Rama dan Laksmana masuk ke dalam hutan. Di sebuah pohon besar, bergelayut Katakalya, si raksasa jahanam. Dari mulutnya masih menetes sisa-sisa darah manusia. Senyumnya sejahat amarah bunga-bunga api di kediaman para durhangkara.
Melihat kedatangan dua satria tampan. Katakalya bergermuruh nafsunya bagaikan dendam kawah Gunung Meru. Ia terjun ke bawah, hendak menelan Rama dan Laksmana. Tapi dengan kecepatan luar biasa, Rama segera menarik panahnya. Riuh-rendah suara hutan ketika anak panah Rama menghampiri leher Katakalya. Binatang-binatang hutan berlari-lari mengelilingi Katakalya yang menjerit-jerit kesakitan. Dan burung-burung elang, menarik-narik rambut Katakalya, supaya kepalanya cepat terpisah dari badannya. Sementara bunga-bunga kamboja memekarkan dirinya, lalu berguguran menutup tubuh Katakalya yang telah rubuh binasa.
Mendung tiba-tiba menyelimuti hutan. Ribuan raksasa terbang menjadi mega-mega hitam, menggelapkan keadaan sekitar Katakalya binasa. Satu per satu mereka terjun, hendak menubruk Rama dan Laksmana, suara Kala Marica merobek langit, memerintahkan balas dendam atas kematian Katakalya.
Rama dan Laksmana memanahkan panah berangin. Di udara anak panah mereka tersebar menjadi ribuan jumlahnya. Menyerbu laksana badai yang menggeret tubuh-tubuh raksasa ke gunung-gunung, lalu membenturkan tubuh-tubuh itu kepada batu-batunya, sehingga berantakan keadaannya. Kala Marica lari terbirit-birit ke Alengka, menyaksikan kawan-kawannya hancur lebur, bertumpuk-tumpuk menjadi bukit, dengan darah menjadi anak-anak sungainya.
Hujan bunga dari langit! Penduduk desa mengucap syukur kepada dewa-dewa karena kemenangan Rama dan Laksmana. Rama tersenyum di antara bunga-bunga angsoka. Di dadanya, memancar cahaya kasih Batara Wisnu yang membuka pintupintu langit.
Anakku, titisan Batara Wisnu, dunia mengucap terima kasih kepadamu. Tiada yang dapat menandingi kesaktianmu. Kedatanganmu segera mengubah riwayat dunia. Sekarang pergilah ke Negeri Mantili. Di sana Prabu Janaka mengadakan sayembara, barangsiapa dapat menarik gandewa cinta, dialah yang mendapat putrinya yang cantik jelita, Dewi Sinta namanya. Tapi ingatlah pesanku yang kuterima dari para dewa, kebahagiaanmu nanti hanyalah awal dari penderitaan yang harus kau jalani untuk menjaga kerahayuan jagad raya ini. Berangkatlah, Anakku, doa dan puji kami selalu mengiringimu, kata Begawan Yogiswara, resi sakti yang pandai meramal ini, setelah Rama berhasil menyelesaikan tugasnya.
S ang surya sudah hampir ditelan laut, ketika Rama dan Laks-
mana berangkat ke Negeri Mantili. Gapura keemasan Negeri Mantili berpantulan dengan cahaya lemah matahari senja. Di keputrian, tempat kediaman Dewi Sinta, ada kumbang yang mendengung-dengung mencari lubang dengan mata yang rabun karena hari mulai malam. Putri-putri istana jatuh kasihan, kumbang itu seolah-olah suara lelaki yang merindukan kekasih. Dewi Sinta tersenyum melihat putri-putri istana yang menggodanya, tingkah laku mereka seakan wanita yang haus asmara. Bunga pudak mekar karena dicumbu bintang, seperti kekasih yang mengharapkan kesucian hati.
Pagi hari raja-raja gagah dari pelbagai penjuru dunia duduk mengelilingi alun-alun istana. Aneka rupa busana mereka, menambah indahnya suasana sayembara. Prabu Janaka duduk di singgasana emas. Di sebelahnya, sang putri Sinta bersinar-sinar kecantikannya. Jari manisnya memakai cincin bermata berlian seperti mata Dewi Widowati.
Hai Raja-raja gagah, Sinta putriku akan menjadi milikmu, bila kau dapat menarik gandewa yang sebentar akan ditaruh di tengah-tengah halaman istana ini, kata Prabu Janaka.
Kereta kencana ditarik delapan ekor kuda putih datang dari arah utara. Kuda-kuda itu sangat indah suri-surinya, tertiup angin. Berpuluh-puluh punggawa istana membuka pintu kereta kencana, lalu mengeluarkan gandewa sayembara. Gandewa itu megah, dilapisi serpihan pasir dari negeri leluhur para dewa yang lahirnya berbarengan dengan wayah julung kembang (saat merekahnya matahari). Berat sekali kelihatannya, sampai-sampai puluhan punggawa yang mengangkatnya terhuyung-huyung mau roboh.
Para raja yang gagah, satu per satu, maju ke tengah halaman istana. Dengan mengheningkan cipta, mereka mencoba menarik gandewa raksasa itu. Tak ada yang berhasil, bahkan mengangkatnya pun tidak. Dengan wajah malu, para raja gagah dari segenap penjuru dunia ini mundur ke tempat duduknya.
Tiba-tiba terdengar sorak-sorai rakyat yang mengelilingi halaman istana. Rama dan Laksmana berjalan dalam keindahannya. Langkahnya seperti bintang paling terang, yang sejak malam menghilang. Kesederhanaan mereka segera memancing tanda tanya yang hadir.
Hai Orang muda, siapa gerangan kamu" tanya Raja Janaka.
Hamba hanyalah anak gunung, yang ingin mengikuti sayembara, jawab Rama. Prabu Janaka tertegun melihat ketampanan satria ini, hanya hatinya menyangsikan kemampuan anak gunung itu untuk menarik gandewa saktinya. Namun ia sudah berjanji, siapa saja berhak mengikuti sayembara. Para raja-raja melemparkan senyum mengejek. Hanya Dewi Sinta yang hatinya sedih mengkhawatirkan kegagalan Rama.
Hening detik-detik yang berlalu. Para hadirin terbelalak melihat Rama bercahaya mukanya ketika ia melangkah ke arah gandewa. Dengan tenang, Rama mengangkat gandewa sakti itu.
Hening saat-saat yang berlalu. Tapi hati Rama berdetak keras, ia seperti melihat seekor raksasa durhaka di hadapannya, bergelimangan dalam semua nafsu-nafsunya. Raksasa durhaka itu memeluk seorang putri jelita yang meronta-ronta. Dan kakinya menginjak-injak ratusan wanita-wanita telanjang yang ketakutan.
Rama, kelak raksasa itulah yang harus kau panah dengan panah saktimu Guwawijaya, terdengar suara dari langit. Rama segera menarik gandewa yang dipegangnya, seolah-olah ia mengarahkan sasarannya ke tubuh raksasa durhaka itu.
Gandewa ditarik dengan gerakan tangan yang indah, seperti pelangi yang berasal dari gerakan selendang Dewi Widowati. Bagi hadirin, bunyi tarikan gandewa itu terdengar lemah dan merdu. Tapi bagi Rama, bunyi tarikan gandewa itu menyerupai suara air bah, seram, dan menimbulkan goncangan-goncangan bumi, sampai-sampai bukit-bukit menggelundung runtuh di hadapannya. Rama seperti baru saja membunuh raksasa durhaka, yang memeluk wanita cantik jelita.
Suara ilahi terdengar memenuhi langit, sehingga Rama tidak mendengar sorak-sorai hadirin yang menyambut kemenangannya.
Rama, apa artinya cinta yang kau dapat dengan panah yang harus ditarik dengan gandewa" Gandewa itu adalah kehidupanmu sendiri, yang harus kau tarik dan kau berikan bila cinta menuntutmu demikikan. Itu berat Rama, sebab siapakah yang mau melepaskan kehidupannya" Lihatlah para raja itu gagal menarik gandewa, karena sebenarnya mereka tidak merelakan hidupnya. Tapi bila kau mau melepaskan hidupmu dengan jujur, anak panah itu akan melesat dengan sendirinya dan mengenai sasarannya. Dengan kerelaanmu akan kehidupanmu itulah, maka seseorang lain bisa terpanah hatinya.
Tapi ingatlah Rama, bahwa agungnya cinta tidak dapat digambarkan seperti apa pun. Cinta selalu lebih besar daripada segala-galanya, termasuk hidupmu sendiri. Maka jangan kau merasa sudah dapat menguasai cinta dengan anak panahmu yang telah mengenai sasarannya, tapi sebaliknya pasrahkanlah dirimu kepada cinta untuk dikuasainya.
Karena itu Rama, jangan kau mengelak bila cinta kelak menuntutmu untuk menderita. Kini kau berdiri di bawah permadani emas dari hari-hari kebahagiaanmu, tapi sebentar lagi justru cinta yang akan menuntunmu ke dalam samudera kehidupan yang penuh dengan penderitaan. Kau kini merasakan kemanisannya, tapi hidupmu perlahan-lahan harus sabar dengan kepahitannya. Seperti dikatakan pendeta di hutan yang meramalkan hidupmu, kebahagiaanmu hari ini hanyalah awal dari penderitaanmu, demi tugasmu sebagai titisan Batara Wisnu, suara di langit bicara dalam keilahiannya.
Suara mengesankan itu tiba-tiba menghilang. Dan terdengar hiruk-pikuk di sekitar halaman istana. Hadirin bersorak-sorai menyaksikan kemenangan Rama. Rama seperti tersadar dari mimpi dan tiba-tiba berdiri di hadapannya Prabu Janaka dan putrinya Dewi Sinta.
Biarlah dewa-dewa menjadi saksi kemenanganmu. Inilah putriku Sinta, cintailah dia lebih dari hidupmu sendiri. Semoga ia menjadi kekasihmu yang setia. Jadikanlah dia teman dalam setiap perjalanan hidupmu. Bahagiakanlah putriku ini, dalam kesenangan maupun penderitaan. Satria, terimalah anakku, kata Prabu Janaka.
Dewi Sinta memandang Rama dengan mata yang menahan air mata. Hatinya merasakan suatu sentuhan tiada tara. Berdiri di hadapan Rama, ia merasa laksana menyelam ke dalam arus kehidupan yang luas. Rama membalas pandangannya, dan bertemulah hati yang telah dipersatukan dengan cinta.
Kebahagiaan dan kebanggaan Prabu Janaka makin besar, setelah mendengar bahwa Rama adalah pewaris takhta raja yang bijak dan terkenal di mana-mana, Dasarata dari Kerajaan Ayodya. Ia segera mengirim utusan ke Ayodya, untuk mengundang Dasarata menyaksikan perkawinan anaknya.
Negeri Ayodya dan Mantili berpesta-ria merayakan perkawinan Rama dan Sinta.
W aktu iring-iringan Rama dan Sinta pulang dari Mantili ke
Ayodya, lewat sebuah hutan lebat terjadilah angin ribut. Angin berteriak meniupkan kabut. Dari celah-celah pohon-pohon raksasa terdengarlah langkah gemuruh. Dan muncullah seorang manusia raksasa sebukit tingginya, menghadang iring-iringan Rama dan Sinta.
Hai Satria, biarlah kugenapi hari-hariku mengelilingi dunia tujuh kali. Saatnya sudah tiba, aku melengkapi nazarku, dengan melihatmu tergeletak, sehingga habis sudah sejarah para satria di dunia ini, bentak makhluk raksasa itu dengan garangnya.
Iring-iringan terkejut. Manusia raksasa itu berpakaian seorang pendeta. Gagah kelihatannya, hanya wajahnya terlalu dingin memendam dendam. Ia memegang sebuah kampak besar dan gandewa raksasa yang berat sekali kelihatannya.
Dasarata, yang ikut dalam iring-iringan itu, menggigil ketakutan. Ia tahu bahwa makhluk raksasa yang menghadang anaknya itu adalah Ramabargawa, pendeta yang haus darah para satria.
Bukit-bukit membisu. Kabut yang ditiupkan angin bertebaran hancur membuat angkasa menjadi biru abu-abu. Matahari belum bersinar sempurna. Sehingga pucat cahayanya. Di langit berkeliaran Batara Yamadipati, seakan menggagalkan niatnya untuk mencabut nyawa.
Di tengah suasana seperti ini, Ramabargawa seperti dipaksa mengingat masa lalunya yang menyandang beban duka. Sejenak ia tidak ingat bahwa ia harus membunuh satria tampan di hadapannya karena melihat seakan-akan ayah dan ibunya di alam baka sudah bersatu dalam kedamaian cinta.
Oh Dewa, mengapa aku harus hidup dengan beban yang tidak kuinginkan. Semuanya ternyata bisa menjadi lain bila manusia sudah berada di alam baka, Ramabargawa meratap dalam hatinya. Sambil terus mengenang masa lalunya.
Ia teringat, masa mudanya bukanlah masa bahagia. Pada saat itulah ia mengalami ketidaksetiaan seorang ibu dan kekejaman seorang ayah. Dewi Renuka, ibunya, adalah wanita yang selalu mencari kenikmatan. Suatu hari, ibunya terpesona akan ketampanan Prabu Citrarata yang sedang mandi di sungai bening bersama isteri-isterinya.
Dewi Renuka ingin menikmati cinta Prabu Citrarata yang tampan itu. Dengan segala cara ia akhirnya berhasil memadu cinta bersama Prabu Citrarata, tanpa sepengetahuan suaminya, ayah Rumabargawa yang bernama Resi Jamadagni.
Resi Jamadagni adalah pendeta sakti yang bisa melihat batin orang. Ia tahu, bahwa istrinya telah berkhianat. Maka disuruhnya keempat putranya untuk membunuh ibunya sendiri, Dewi Renuka. Keempat putranya ini menolak, maka marahlah Resi Jamadagni dan mengutuk mereka sehingga hilang ingatannya.
Tidak seperti kakak-kakaknya, Ramabargawa, putra bungsu Resi Jamadagni, langsung sanggup ketika ayahnya memerintahkannya untuk membunuh ibunya. Ia segera mengambil kampak untuk menghabisi nyawa ibunya.
Anakku, ampunilah kesalahanku. Aku menyesali kesalahanku, kata Dewi Renuka meratap di hadapan Ramabargawa. Dewa-dewa di langit memperhatikan ratapan makhluknya itu. Tapi Ramabargawa segera mengayunkan kampaknya dan memenggal leher ibunya. Robohlah Dewi Renuka, darahnya terciprat ke bunga angsoka yang menjadi marah karena kekejaman Ramabargawa.
Ramabargawa, begitu tega kau terhadap seorang ibu yang telah mengakui kesalahannya. Kau merasa, perbuatanmu itu lahir dari kejujuran hatimu. Tapi ketahuilah kejujuran sejati tidak akan berakhir dengan pedang yang mematikan, kejujuran sejati itu adalah belas kasih yang mau mengampuni. Kau telah tertipu Ramabargawa, oleh kejujuranmu yang beku. Maka biarlah hidupmu terkutuk, sepanjang hidupmu kau takkan merasakan belas kasih. Akan kau rasakan betapa berat hidupmu tanpa belas kasih itu. Itu berarti kau hidup hanya dalam dendam yang menyesakkan, tiba-tiba terdengarlah suara dari langit menyesalkan perbuatan Ramabargawa. Ia lalu tersungkur, memeluk ibunya yang berlumuran darah.
Oh Ibu, mengapa harus kujumpai hidup seperti ini" Aku gemetar, karena kini aku harus menggenggam hidup kosong, hidup tanpa belas kasih. Kau sudah bahagia, Ibu, sebab telah diampuni kesalahanmu, karena penyesalanmu. Akulah yang harus menanggung akibat perbuatanku, hidup mengembara dalam dunia yang marah, Ramabargawa meratap. Ia melihat Dewi Renuka naik ke sorga dengan berlinangan air matanya.
Ramabargawa hidup tanpa seorang ibu. Hari-harinya dilewatkan bersama ayahnya yang pertapa. Ia mencoba untuk tidak membenci ayahnya, meski karena ayahnya ia kehilangan ibunya. Waktu berjalan dan betapa ia menyadari kasih sayang ayahnya. Apalagi di saat-saat tuanya, ayahnya selalu menyesali tindakannya yang kejam, yang memerintahkan Ramabargawa membunuh ibunya.
Anakku, hatiku selalu mau menjerit, bila aku teringat akan kekejamanku terhadap ibumu. Lihatlah embun-embun di dahan ini, itulah air mataku yang tertahan bersama kesunyian hutan ini. Air mata itu kering sebelum jatuh, seakan mau mengatakan sesalku tidak ada gunanya dibanding dengan kekejamanku, kata Resi Jamadagni.
Suatu hari, Ramabargawa tiba-tiba mendapati ayahnya telah binasa. Resi Jamadagni mati akibat keroyokan para satria, putra Prabu Arjunasasrabahu. Ramabargawa marah bukan kepalang. Dibarengi dengan sinar bulan yang sedang muram, ia mengucapkan nazar: ia akan membunuh satria sebanyakbanyaknya, sampai ia sendiri mati di tangan satria yang lebih sakti daripadanya.
Hai para Satria, saksikan gemuruh kemarahan rimba. Dunia yang telah hitam karena kejahatanmu biarlah menjadi merah oleh darah tebusanmu terhadap nyawa ayahku, teriak Ramabargawa. Ketika mengucapkan sumpahnya, Ramabargawa tidak merasa bahwa justru dengan sumpahnya itulah bermula kutukan yang pernah dijatuhkan kepadanya ketika ia membunuh ibunya: ia akan hidup dalam dendam, tanpa belas kasih.
Ramabargawa mengembara ke mana-mana dan membunuh setiap satria yang dijumpainya. Dendamnya selalu membakar, dan ia sendiri tak kuasa untuk mengatasinya. Ia merasakan hidupnya kosong, hidupnya bagaikan mengarungi samudra yang tak kenal batas. Ada kaki langit di seberang sana, di mana matahari bersinar ramah, tapi begitu jauh kaki langit itu. Makin didekati, makin tak terjangkau. Itulah samudera dendam, tapi Ramabargawa merasa harus mengarunginnya. Ramabargawa seperti tak kenal lelah, ia sudah mengitari jagad tujuh kali, membunuh setiap satria yang dijumpainya. Sejenak ia melamun. Tiba-tiba terdengarlah suara memohon ampun.
Pendeta yang sakti, ampunilah nyawa anakku, kata Dasarata sambil memeluk kaki Ramabargawa. Pendeta sebesar raksasa ini tersentak, segera melupakan bayangan ibu-bapanya yang telah berdamai dalam cinta, dan kembalilah amarahnya melihat satria tampan di hadapannya.
Hai Satria, turunlah dari tandumu. Tariklah gandewa-ku, kalau kau berhasil, biarlah aku mati di tanganmu. Tapi kalau tidak, akan kubunuh kau sebagai pelengkap nazarku, kata Ramabargawa, tak mempedulikan permohonan Dasarata yang minta belas kasih bagi anaknya.
Rama turun dengan tenang dari tandunya. Wajahnya segar bagai gerimis hujan di punjung yang indah. Dewi Sinta di sampingnya, keindahannya menyilaukan, berkilauan memikat mega-mega yang tanggal.
Ramabargawa terkejut. Satria ini lain daripada satria lainnya. Gemuruh dendamnya seperti berenang dalam kali yang suci, di mana-mana burung cengga berkicau damai. Pendeta yang hidupnya berhiaskan dendam ini seperti bermandikan cinta. Baginya Rama menjadi cakrawala yang membatasi samudera dendamnya.
Pendeta, berikanlah gandewamu padaku, pinta Rama. Semua mata memandang dengan hati berdebar-debar. Dan lihatlah, matahari menjadikan awan menjadi bibirnya, menguraikan rambutnya berupa cahaya-cahaya lemah, menaungi panasnya hati Ramabargawa. Rama memandangnya tanpa prasangka apa-apa, malah menatapnya dengan hati iba.
Pendeta, kau bukan manusia jahat. Kemalangan masa lalumu memaksamu berbuat cela. Dalam dirimu sebenarnya kejahatan sedang minta untuk dikalahkan, bukan untuk dimenangkan. Itu nampak dalam hidupmu yang kau lewatkan sebagai pendeta, menjauhi dunia dengan segala keserakahan satria. Tapi kejahatan tetap mencekam dirimu berupa dendam yang tak kunjung padam. Sebenarnya kau bukan manusia jahat, hai Pendeta, tapi manusia yang menderita, menderita karena tidak dapat mengalahkan dendammu sendiri, kata Rama dengan penuh kewibawaan. Ramabargawa terdiam, bagai mendengar petuah dari kekuasaan di atasnya.
Tapi Pendeta, kau takkan pernah lepas dari penderitaanmu itu. Ada batu widuri di hatimu, tapi sinarnya tak pernah keluar karena terpenjara oleh batu-batuan hitam. Kau telah berniat hidup baik, tapi kau selalu terjerumus ke dalam dendam. Memang kau tak dapat menolong dirimu sendiri, karena dirimu terpenjara dalam dosa masa lalumu. Kau perlu ditolong oleh suatu kekuatan dari luar dirimu, anugerah para dewa yang berupa cinta. Sesungguhnya dendammu membutuhkan cinta, hai Pendeta. Baru dengan cinta itulah, kau dibebaskan dari segala penderitaan dan kekosongan hidupmu, kata Rama lagi.
Ramabargawa makin tertegun. Pelupuk matanya menyimpan air mata. Ia tidak dapat memahami kenyataan dirinya, seakan
seluruh perjalanan ke dendamnya akan berhenti di hadapan Rama. Dan ia serasa masuk ke dalam kebahagiaan cinta.
Hai Pendeta, serahkan gandewamu padaku, pinta Rama. Dengan hati pasrah, Ramabargawa menyerahkan gandewanya. Bidadari berarak-arak di langit, menaburkan bunga-bunga wangi, menyongsong pertemuan hati yang penuh dendam dan hati yang penuh cinta.
Rama memegang gandewa itu. Matanya memandang dengan penuh haru kepada Ramabargawa. Dan tiba-tiba terdengarlah suara merdu dari kayu yang patah, telah menjadi dualah gandewa dendam Ramabargawa karena ditarik cinta Rama. Iring-iringan bersorak gembira. Sementara hati Ramabargawa sudah menemukan kedamaian cinta.
Rama, putra Ayodya, kepadamulah kuserahkan hidupku. Panahlah aku, sebab inilah saatnya aku mengakhiri semua nazarku. Terima kasih padamu, karena kaulah yang mendamaikan dendamku kepada cinta. Tariklah panahmu Rama, dan layangkanlah ke leherku. Aku akan menyusul leluhurku yang telah bahagia, pinta Ramabargawa dengan hati yang tabah.
Rama diliputi kesedihan. Tapi hatinya yang diterangi dengan kebijaksanaan Wisnu tahu akan apa yang mesti diperbuatnya. Ia lalu menarik gandewanya, dan berdesinglah sebatang anak panah yang mengenai leher Ramabargawa. Pendeta malang itu roboh dan menjumpai ajalnya. Puji-pujian para bidadari merdu melagukan nafas dendam yang terhenti karena cinta. Ramabargawa diarak naik melewati awan yang telah bersih laksana sutera. Sekuntum kembang gading menjadi mata kebahagiaannya.
Iring-iringan kagum dan tidak bisa memahami peristiwa itu. Hanyalah Rama yang tahu. Sedang Dewi Sinta makin agung dalam keindahannya ketika menyaksikan kesaktian Rama, suaminya. Dasarata memeluk anaknya. Dan iring-iringan pun melanjutkan perjalanannya, menjelajahi rimba, menuju Ayodya. Setibanya di Ayodya, tak berapa lama kemudian, terdengar keputusan sang Raja Dasarata, bahwa ia akan segera menyerahkan takhta kerajaan kepada putra sulungnya, Ramawijaya. Rakyat Ayodya sangat berbahagia mendengar keputusan itu, karena merasa akan mendapat raja yang tak kalah bijaksananya dengan ayahnya.
Persiapan perayaan dan pesta diadakan. Sungguh indahlah keadaan Negeri Ayodya menjelang peristiwa penobatan itu. Taman-taman dihiasi aneka warna, rakyat Ayodya membayangkannya sebagai taman para dewa. Balairung istana bertaburan dengan emas dan manikam, berkilau-kilauan menatap bulan bila malam datang. Gapura-gapura menjadi megah, karena pekerjaan para wanita istana.
Sementara terlihatlah alam semarak, bunga gadung mengharum baunya, dan bunga srigading membuka kelopaknya, berbarengan dengan bunga melati yang mekar putih menunjukkan kesuciannya.
Semuanya ini seakan ucapan syukur bagi kedatangan seorang manusia bijaksana yang akan memerintah dunia.
S angat indahlah keadaan bulan pada waktu malam menjelang
penobatan Rama menjadi Raja Ayodya. Belum gemilang cahayanya karena masih nampak sebagian wajahnya, bagaikan seorang gadis yang mengintip kekasihnya. Sayang, di tengah keindahannya alam ini ada kembang menur yang meneteskan air matanya.
Raja Dasarata bahagia wajahnya. Tapi begitu terkejut hatinya, ketika di langit ia seperti melihat seorang bidadari berpakaian merah-merah, dan merah padam pula cahaya matanya, seperti seorang yang sedang dilanda nafsu marah. Tak lama kemudian masuklah Dewi Kekayi, permaisurinya yang kedua, menangis tersungkur di hadapannya. Wajahnya menyandang nafsu seekor burung garuda yang ingin melampiaskan kesombongannya.
Hai Raja, kasihanilah aku. Kalau tidak, dunia sudah menanti kehancuranmu, dunia akan memperolokmu sebagai makhluk yang mengkhianati istrinya, kata Dewi Kekayi dengan tiba-tiba. Dasarata terkejut melihat keadaan permaisurinya. Ia membangunkan Dewi Kekayi dengan mesranya.
Kekayi, kenapa kau bersedih di hari bahagia menjelang penobatan Rama" Lihatlah alam yang semarak di waktu malam indah ini. Jadilah kau seorang wanita di antara wanita lainnya yang ingin menyulamkan bunga-bunga idamannya di hati alam yang sedang bahagia. Bangkitlah, Kekayi, kata Dasarata dengan sabarnya. Kekayi makin menangis keras, sehingga bingunglah hati sang raja.
Hai Raja, akan hilang kesedihanku, bila kau mau bersumpah menuruti permintaanku, kata Kekayi. Dasarata tak menaruh curiga apa-apa, dan dengan senang hati menuruti permintaan Dewi Kekayi.
Demi cintaku kepadamu, Kekayi, aku bersumpah di hadapan segala dewa dan disaksikan langit, bahwa aku mau menuruti permintaanmu, seperti yang pernah kujanjikan dahulu, kata Dasarata tanpa ragu-ragu.
Hai Raja, yang mulia, kalau demikian, inilah permintaanku yang harus kau turuti. Usirlah Rama ke hutan, dan nobatkanlah putraku Barata menjadi Raja Ayodya! kata Kekayi. Malam tiba-tiba menjadi muram, dan terkejutlah Raja Dasarata atas permintaan istrinya itu.
Kekayi kau bermimpi, usirlah mimpimu yang buruk itu. Ataukah setan telah merasuki dirimu. Sadarlah Kekayi, kau mungkin dilanda keinginan yang tak kau hendaki, kata Dasarata dengan marah.
Hai Raja, jangan kau tarik sumpahmu. Aku tetap pada permintaanku. Usirlah Rama, dan nobatkanlah anakku Barata menjadi raja. Kenangkanlah kembali sumpahmu, ketika kau akan dimakan maut bila tiada aku yang menolongmu, kata Kekayi dengan jahatnya.
Raja Dasarata terdiam seribu bahasa. Ia teringat malam ketika ia mengucapkan sumpahnya kepada Kekayi. Pada waktu itu, hari sedang gelapnya, ia lari masuk hutan karena serangan lawan dalam suatu peperangan. Ia sudah hampir binasa, karena lawan yang sakti terus mengejarnya. Untunglah ada Kekayi di hutan yang sunyi itu. Dan Kekayi menyelamatkan nyawanya, dengan menyembunyikannya dari lawan yang mengejarnya. Saat itulah Dasarata bersumpah, bahwa ia akan menuruti permintaan Dewi Kekayi, tentang apa saja. Kekayi kemudian menjadi istrinya, namun sampai saat tuanya tak pernah Kekayi minta satu permintaan pun. Hari ini tiba-tiba datanglah permintaan Kekayi yang ganas dan jahat itu.
Kekayi, akan kutaruh di mana mukaku, bila aku harus mengusir Rama yang kucintai dan dicintai seluruh rakyat Ayodya. Bukankah Rama yang bijaksana juga mencintaimu lebih daripada ibunya sendiri" Apakah salah Rama, hai Kekayi. Tanyakanlah kepada dunia, mereka akan menangis mendengar permintaanmu karena dunia sudah kenal kebijaksanaan dan kemuliaan hatinya. Kekayi, aku belum percaya akan permintaanmu yang jahat itu. Kau bermimpi Kekayi, buanglah mimpimu yang buruk itu, kata Dasarata meratap.
Hai Raja, dunia akan lebih mengejekmu bila kau menarik sumpahmu. Kau akan ditudurh sebagai orang yang mengingkari janji. Begitu rendahkah kemuliaanmu yang telah dipuja-puja dunia ini. Aku tidak bermimpi, hai Raja. Aku tak berkhayal dengan kemauanku ini. Sekali lagi, usirlah Rama dan nobatkanlah Barata menjadi raja Ayodya, kata Kekayi. Wajahnya merah padam menahan amarah. Kesabarannya seakan sudah habis menghadapi Dasarata.
Dasarata seperti kehilangan ingatan. Ia sangat mencintai Rama, dan di atas Rama-lah semua harapan rakyat Ayodya diletakkannya. Tegakah ia mengusir Rama yang tercinta dan tanpa salah itu" Karena ini semuanya, raja lalu bergulung-gulung di lantai kamarnya menangis seperti anak kecil kepada ibunya. Ia memegang kaki Kekayi, memeluknya dan minta belas kasih, supaya Kekayi mengurungkan niatnya.
Kekayi, faedah apakah yang akan kau peroleh dengan perbuatanmu yang terkutuk itu" Dan tidakkah dunia akan menyebutku sebagai manusia yang tercela dan berdosa karena mengusir anaknya, demi sumpah yang diucapkannya ketika ia terbuai asmara kepada perempuan seperti engkau, hai Kekayi, kata Dasarata sambil terus bercucuran air matanya.
Oh, kesepian batu-batu di gunung, heningkanlah hati perempuan yang bergemuruh seperti samudera ini. Dan musim, janganlah kau beredar membiarkan kembang-kembang di taman ini mekar mengejekku. Biarlah bulan muram, dan matahari menghentikan peredarannya, supaya tak berlalu malam yang memalukan ini sehingga dunia tidak mengetahui cela dosadosa, kata Dasarata.
Sementara itu tiba-tiba ada suara halus di seberang sana, suara seorang tua meratapi anaknya yang tiada. Dan di kejauhan, terdengar suara haru meratap di tepi sungai, suara anak manusia yang binasa karena kekejaman sesamanya. Tapi semua ini tak dipedulikan Dasarata.
Kekayi makin megah dalam kekejamannya. Rambutnya bagaikan mega-mega merah, terurai karena amarah. Hitam-hitam mata hatinya. Seakan puas melihat seroang raja bertekuk lutut di kakinya.
Kekayi, sudah naik kereta-kereta neraka, memuat semua nafsumu yang tercela. Apa artinya kekuasaan seorang wanita, bila ia meraihnya dengan kekejamannya" Ketahuilah Kekayi, kehalusan wanita sewaktu-waktu bisa menjadi keserakahan yang tiada tara. Padamu, keserakahan itu ternyata telah bersembunyi dalam kehalusanmu. Sadarlah Kekayi, dan urungkanlah niatmu, Dasarata meratap, dan mempererat pelukannya pada kaki Kekayi.
Hai Raja, kalau kau tak mengabulkan permintaanku, dan kau menarik sumpahmu, biarlah aku mati bunuh diri malam ini. Sehingga malumu menjadi semakin besar bagi dunia. Jangan kau merengek lagi, aku tetap pada keputusanku, kata Kekayi makin sengit. Dasarata tak sadarkan diri, padahal hari sudah menjelang pagi.
Di luar rakyat sudah bersorak-sorai, memenuhi jalanan ke istana. Matahari mulai memperlihatkan wajahnya di sebelah timur. Dan makin gegap-gempitalah suara rakyat Ayodya yang sedang bergembira. Sebentar lagi, akan terjadilah peristiwa penobatan Rama menjadi raja.
Kegembiraan seperti meledak, ketika Rama dan Sinta berjalan diiringi segenap wanita-wanita dan serdadu istana, hendak menghadap Raja Dasarata. Rama masuk ke dalam, untuk menghanturkan sembah kepada ayahnya. Di luar rakyat makin tidak sabar, menunggu saat-saat yang mereka nantikan itu.
Anakku, ampunilah ayahmu. Dekatkanlah dirimu ke sini. Mungkin kali ini aku akan menatapmu untuk terakhir kali. Anakku, apa salahmu, sampai kau mesti mengalami nasib seperti ini. Dan Dewi Sinta, istrimu, apa yang harus kau katakan tentang kehinaan ini" kata Dasarata memeluk anaknya. Kekayi hanya memandang kejadian yang mengharukan ini dengan mata penuh kebencian.
Rama, ayahmu takut mengatakan kewajibannya kepadamu. Maka biarlah aku yang mengatakannya. Kau harus menerima Rama, karena itu adalah darma seorang satria. Permintaanku ini sebenarnya adalah keinginan ayahmu sendiri, kata Kekayi.
Katakanlah Ibu, apa pun halnya akan kuturuti, kata Rama tabah.
Rama, ayahmu telah bersumpah, bahwa ia akan menuruti permintaanku ketika kutolong ia lepas dari maut. Kini ia memenuhi sumpahnya, ketika malam tadi aku mengatakan permintaanku kepadanya. Aku ingin anakku Barata menjadi raja Ayodya, dan minta agar raja mengusirmu ke hutan tiga belas tahun lamanya. Turutilah Rama, demi sumpah ayahmu, kata Kekayi angkuh.
Oh Ibu, demi ayahku, aku rela berbuat segala-galanya. Akan kulakukan permintaanmu hari ini juga. Demi cinta kepada ayahku, aku mohon pamit untuk berangkat ke hutan, Rama menjawab, tanpa perasaan kecewa dan dendam sedikit pun. Matanya bersinar seperti mata Wisnu yang sebentar lagi akan menghadapi penderitaannya.
Kekayi, hai perempuan iblis, perempuan berhati setan jalang. Dan Rama..., jangan kau pergi, Anakku. Kepergianmu adalah kematianku. Oh Rama..., kata Dasarata tak kuasa menahan kesedihannya. Rama memeluknya erat-erat, mencoba menabahkan ayahnya.
Panggillah Dewi Sinta kemari, Rama. Kau harus berangkat bersama dia. Kalian berdua harus menanggalkan pakaian kerajaan yang kau kenakan, dan mari, inilah pakaian kulit yang harus kau pakai selama kau di hutan-hutan, supaya orang tahu bahwa kini kau bukan anak kerajaan lagi, kata Kekayi. Rama terkejut mendengar permintaan Kekayi kali ini, bukan karena ia takut menjalani kehidupan di hutan, tapi karena kasihan kepada Sinta. Namun dengan hati tabah ia keluar sebentar untuk menerangkan segala yang terjadi kepada Dewi Sinta.
Rama, suamiku tercinta, jangan kau pandang istrimu sebagai orang yang tak setia pada penderitaan suaminya. Segala kelemahanku sebagai wanita akan kusajikan untuk menemani penderitaanmu. Penderitaanmu adalah kebahagiaanku, Rama. Indah kesediaanmu Rama demi cinta kasih pada ayahmu supaya ia tidak terkutuk oleh sumpahnya. Keindahan itu akan lebih elok, bila aku berjalan di depanmu meratakan jalan di hutan, menangkap kupu-kupunya, untuk menyemarakkan jalan penderitaanmu menuju kebahagiaan. Rama, jangan kau khawatirkan penderitaanku. Aku lebih baik mati, bila harus berpisah denganmu, aku akan hancur bila melihatmu pergi ke hutan untuk menderita sementara aku hidup enak di istana.
Rama ijinkan aku mengikutimu, pinta Sinta dengan berlinangan air matanya. Air mata itu bukan air mata ketakutan akan penderitaan, tapi air mata kesetiaan seorang istri akan penderitaan suaminya. Sinta tak membayangkan bahwa betapa berat hidup yang akan dijalaninya, semuanya seperti terang yang memancar indah. Rama terharu melihat kesetiaan istrinya. Ia lalu teringat ketika ia mematahkan gandewa di Negeri Mantili, yang memberi tanda baginya bahwa kemenangan cintanya di Mantili adalah awal dari segala penderitaan yang harus dijalani.
Rama dan Sinta lalu menghadap Dewi Kekayi. Tanpa perasaan, Kekayi lalu memakaikan pakaian kasar kepada Rama dan Sinta. Dua anak manusia ini menerimanya dengan tabah. Sejenak mereka menyembah ayahnya, Dasarata yang sudah tidak berdaya apa-apa.
Oh Rama dan Sinta, aku yang membuangmu ke hutan belantara. Maafkanlah aku, Anakku, hanya inilah yang dapat dikatakan Dasarata.
Hadirin di luar sudah tidak sabar lagi menunggu kedatangan Rama dan Sinta dari dalam istana. Mereka serentak bersorak ketika melihat wajah raja dan permaisurinya kelihatan dari balairung. Tapi betapa terkejut mereka ketika melihat kedua sembahan mereka bukan berpakaian seorang raja, melainkan mengenakan pakaian hutan yang hina dina. Sebentar kemudian tersiarlah kabar di antara mereka, bahwa Rama dan Sinta diusir oleh Dewi Kekayi demi sumpah ayahnya. Teriakan kebencian kepada Kekayi terdengar keras di seluruh Ayodya. Namun Rama dan Sinta melangkah dengan tabah di tengah-tengah kekecewaan mereka. Rakyat Ayodya tidak jadi merayakan pesta kebesaran penobatan, tapi mengelu-elukan penderitaan.
Rama dan Sinta minta restu ibunya, Dewi Sukasalya, yang langsung pingsan ketika mendengar kabar penderitaan anaknya. Namun Rama tetap pada pendiriannya. Kali ini ia bersama Dewi Sinta betul-betul berangkat ke hutan, diikuti oleh adiknya yang selalu setia, Raden Laksmana, putera Dasarata dari Dewi Sumitra.
Kepergian Rama membuat Raja Dasarata terus sakit. Apalagi ia selalu diratapi oleh ibu Rama, Dewi Sukasalya, serta ibu Laksmana, Dewi Sumitra, sehingga makin sakit hatinya. Sementara matanya makin hari makin tak tahan memandang kekejaman Dewi Kekayi, wanita halus berhati iblis itu. Dan makin pula hancur hatinya ketika ia mengingat bahwa anaknya yang paling dicintainya telah tiada di sampingnya.
Tak berapa lama setelah Rama pergi, Dasarata hampir mendekati ajalnya. Pada saat itulah ia teringat akan ratapan pertapa tua di hutan yang anaknya ia bunuh. Kini ia memahami makna ratapan itu: bahwa ia telah dipisahkan dengan anaknya yang tercinta justru karena cintanya kepada wanita yang menipunya. Dasarata meninggal dunia, bersama lenyapnya suara haru pertapa muda di tepi sungai yang dahulu mati karena panahnya.
A ngin dari barat laut seperti menghembuskan belati-belati
tajam. Sungai-sungai mengalir deras, membawakan lagu kesedihan. Dan laut bagai ingin memberontak, memuntahkan gelombang-gelombangnya ke tepi-tepi daratan. Negara Ayodya menjadi negara duka yang marah, karena kepergian Rama dan Sinta. Hujan gerimis dari lengkungan langit adalah air mata kemarahannya.
Sehari-harian Dewi Kekayi bagaikan berbaring di batu-batu dingin, diejek dan dicela rakyat Ayodya. Kekayi mengalami kepedihan dunia yang menderita karena nafsunya. Namun hatinya sudah menjadi tembaga merah, terbakar dalam lamunannya. Adakah seorang ibu yang tidak ingin membahagiakan anaknya, sampai ia dibenci oleh dunia. Oh, Barata, hari-hari telah meletihkanku karena mataku sudah terlalu lelah untuk memandang amarah rakyat Ayodya. Tapi itu semuanya demi dirimu, Barata, begitu Dewi Kekayi menghibur dirinya.
Barata waktu itu masih sangat muda usianya. Kejujurannya masih sangat bening seperti air Danau Nirmala di tengah istana Ayodya. Ia merasa heran, ketika pulang dari pengembaraannya dan menyaksikan Ayodya sepi, mengejek, dan berduka di setiap sudut-sudut kota. Di tangkai kering pohon beringin, seekor burung tadahasih belum juga habis dengan air matanya. Kemudian baru Barata tahu, bahwa semuanya itu adalah duka rakyat Ayodya karena nafsu Dewi Kekayi yang menginginkan dirinya menjadi raja. Putra terkasih Dewi Kekayi ini lalu menangis, marah, dan lari ke ibunya.
Ibu, sadarlah Ibu, bahwa kasih sayangmu terhadap diriku sebenarnya adalah kasih sayangmu terhadap dirimu sendiri. Kau tidak pernah memukul aku, tapi kau telah menghancurkan hidupku dengan kasih sayangmu yang beku. Kau tidak pernah memarahi aku, tapi telah membakar aku dengan keserakahanmu. Ibu, kasihanilah aku dengan cinta yang memang aku butuhkan, bukan dengan cinta yang kau inginkan. Apa arti kasih sayangmu kepadaku, jika itu kau laksanakan dengan mengusir kakakku Rama yang tercinta" kata Barata marah di hadapan ibunya.
Dewi Kekayi seperti disiram air dingin. Tak terbayang dalam angan-angannya bahwa anaknya justru akan memarahinya. Namun hatinya tetap yakin, bahwa semua tindakannya itu benar demi kasih sayangnya pada Barata.
Barata, begitukah balasanmu terhadap kasih sayang seorang ibu" Aku sudah siap menanggung cela dan amarah dunia demi dirimu, Anakku. Jadilah kau raja Ayodya. Kebesaranmu pasti akan menghapus segala kutukan dewa bagiku, kata Kekayi.
Ibu, seorang anak itu selalu mempunyai masa depannya sendiri. Kau menginginkan agar masa depanku bahagia, tapi keinginanmu itu sendiri sebenarnya sudah menyempitkan cita-cita hidupku tersudut ke jurang yang curam. Lihatlah, kebanggaanmu sudah menjadi rasa maluku terhadap rakyat Ayodya yang kehilangan Rama. Jangan kau beri aku makan dengan makananmu, oh Ibu. Seorang anak ingin makanan yang halus, bukan makanan yang keras seperti santapan orang tua. Jangan pula kau paksakan pikiranmu padaku. Seorang anak mempunyai pikiran laksana bunga pudak yang mau mengenal alam, bukan pikiran orang tua yang sudah mau meninggalkan alam. Jangan pula kauberi aku dengan kebijaksanaanmu yang sudah lelah dan penat mengarungi dunia, karena dunia akan memberiku sendiri kebijaksanaan yang segar, lain daripada kebijaksanaan jamanmu.
Oh, Ibu. Aku bukannya anak yang tak mau taat kepada orang tua. Aku hanya ingin agar kau membimbing hidupku, bukan mengarahkan hidupku. Dunia ini berjalan, Ibu, dan ingin selalu membaharui dirinya, menjadi lebih segar dan merekah setiap pagi. Di mana aku harus menaruh mukaku terhadap dunia yang selalu segar dan merekah itu, kalau aku tiba-tiba menjadi tua karena terpaksa, akibat keinginanmu itu. Aku belum mau menjadi tua karena terpaksa, aku ingin berjalan sesuai dengan masa mudaku, semerbak bersama alam yang selalu muda, kata Barata meratap. Hati Dewi Kekayi makin resah karena ratapan Barata.
Ibu, ternyata kau telah memberi aku sepahan sirih yang telah kau kunyah di mulutmu. Sepahan serih itu terasa asam bagiku. Kau menginginkan aku berenang-renang dalam telaga yang airnya keemas-emasan dan batu-batunya adalah berlian, tapi sebenarnya kau menjerumuskan aku ke lautan pedang tajam. Kasih sayangmu telah menghukumku, oh Ibu. Lihatlah, aku bersama rakyat Ayodya telah kehilangan Rama yang bijaksana. Dan ayahku, Prabu Dasarata, telah binasa, karena keinginanmu bagiku. Apa artinya semua ini, kalau bukan suatu nista belaka" kata Barata makin marah.
Dewi Kekayi mencoba menenangkan hati anaknya. Tapi hatinya sudah terlalu letih, terlalu letih untuk bisa mengobati luka anaknya. Kata-kata Barata sendiri telah membuatnya tak berdaya apa-apa. Ia hanya bisa menangis, sementara gerimis duka alam di Negeri Ayodya belum juga reda.
Ibu, hari ini juga aku akan menyusul Rama. Akan kuminta dia untuk kembali ke Ayodya menjadi raja. Kalau ia tidak berkenan, selamat tinggal Ibu, karena aku akan hidup bersama dia yang sangat kucintai, kata Barata mohon pamit. Dewi Kekayi ditinggalkannya, dalam keadaan duka. Barata berangkat ke hutan, dengan segala perlengkapan kebesaran. Pasukan kuda mengiringinya. Prajurit-prajurit bersenjata ada di hadapannya. Bagi Barata, Rama adalah seorang raja besar, selayaknyalah bila ia disambut dengan kebesaran. Ketika pasukan Barata lewat, sepanjang jalan rakyat mengeluelukannya memuji kebesaran hati Barata. Mereka pun bergembira karena sebentar lagi mereka melihat Rama pulang ke Ayodya.
Sesampainya di hutan, sisa-sisa pengiring Rama terkejut mendengar langkah dan derap pasukan. Mereka mengintai dari semak-semak rindang, dan marahlah mereka semua setelah mengetahui bahwa pasukan itu pasukan Barata. Mereka mengira bahwa Barata belum puas dengan takhta pemberian ibunya, dan ingin membunuh Rama supaya ia dapat menjalani pemerintahannya. Hanyalah Rama yang tahu, bahwa Barata tidak sejahat yang mereka kira, maka dengan segala kesabaran, ia mengingatkan orang-orangnya, supaya menyambut Barata dengan ramah. Sekonyong-konyong dari arah utara datang seorang muda, bersembah dan menangis di hadapan Rama.
Rama, kakakku tercinta, kesayangan dan pujian rakyat Ayodya, pulanglah memerintah kerajaan. Maafkanlah aku, oh Rama, aku sama sekali tidak menginginkan takhtamu itu, Barata menangis sambil memeluk kaki Rama.
Barata, bangunlah. Adikku, tabahkanlah hatimu. Sudah menjadi kehendak dewa dan menjadi kewajibanku aku harus menjalani hidupku di hutan ini tiga belas tahun lamanya, kata Rama menghibur.
Rama, begitu tegakah kau terhadap aku. Maafmu baru betul-betul terlaksana bagiku, bila sekarang ini juga kau mau pulang ke Ayodya. Jangan kau biarkan duka ini berlangsung terlalu lama, jawab Barata. Rama terdiam, dan terus mencoba menenangkan hati adiknya. Di sebelah sana nampak Dewi Sinta mengurungkan niatnya untuk menangkap kupu-kupu di dedahanan mawar hutan, lalu memandang kesedihan Barata.
Kakakku, tidakkah kau tahu bahwa ayah telah tiada karena kesedihan yang ditanggungnya setelah kepergianmu. Rakyat sangat mengharapkanmu, dan lebih daripada mereka, adalah aku sendiri yang tidak tahan menanggung malu karena keinginan ibuku ini, kata Barata lagi.
Rama nampak murung wajahnya ketika mendengar berita kematian ayahnya. Ia sangat mencintai ayahnya! Namun kembali ia tenang dan meyakinkan Barata agar adiknya ini mau menjadi raja Ayodya.
Barata, hadapilah tugasmu. Peganglah tampuk pimpinan Ayodya sampai tiga belas tahun kemudian, ketika aku sudah selesai dengan masa pembuanganku. Tapi sebelumnya, camkanlah kata-kataku agar engkau dapat menjadi raja bijaksana, kata Rama dengan penuh wibawa. Dan Barata menurutinya. Maka meluncurlah dari mulut Rama, kata-kata bagaikan mutiara, wejangan dari seorang raja.
Siapakah junjunganmu, hai Barata, selain dia yang menciptakan jagad raya seisinya ini" Ia sudah turun dari takhtanya di kerajaan langit, berdiam di hatimu dan mengenali sudut-sudut hatimu. Bagai fajar yang dingin ia menyapamu, dengarkanlah Barata, apa yang dikehendakinya bagi seorang raja.
Barata, dunia ini bergerak menurut hukum ilahi. Dan ketahuilah bahwa hukum ilahi itu adalah cinta. Bahkan matahari, bulan, bintang, dan bumi pun takkan dapat menyembunyikan diri dari hukum ilahi itu. Maka matahari selalu bersinar, bulan senantiasa terang, bintang tak habis-habisnya gemilang, dan bumi sendiri selalu segar, meski mereka enggan dengan kejahatan makhluk-makhluknya. Mereka digerakkan oleh cinta, meski dunia ini ditindih dengan kepedihan karena permusuhan.
Lihatlah Barata, cinta itu bagaikan samudra kapas, keputihputihan, yang takkan kabur bertebaran karena dosa-dosa manusia. Seperti purnama sidhi ia berkeliling mengitari jagad. Dunia haus akan dia, Barata. Maka curahkanlah dia ke hati para rakyatmu. Apa artinya memerintah kerajaan dengan cinta"
Artinya, kau harus memerintah dengan kebebasan. Tiada cinta, Barata, bila tiada kebebasan. Namun sadarlah, Adikku. Bahwa pada hakekatnya kebebasan itu tidak dapat diperintah atau dikuasai. Kebebasan itu bagaikan pohon yang bertumbuh dengan sendirinya, bila ada alam yang menyuburkannya. Maka janganlah kamu bermegah diri jika kau dihormati sebagai raja, sebab ini bukanlah tanda bahwa kamu telah berhasil menguasai mereka, melainkan bahwa rakyatmu sendirilah yang telah berhasil mengatur dirinya sesuai dengan kebebasannya sehingga mereka rela mendudukkanmu sebagai raja.
Barata, apakah satu-satunya milik rakyat yang paling berharga dan bernilai, kalau bukan kebebasannya. Kalau mereka mengangkatmu menjadi raja, berarti mereka rela menyerahkan sebagian dari milik mereka satu-satunya itu. Jangan kau sia-siakan pemberian rakyatmu itu, hargailah dan hormatilah. Dengan demikian tugasmu sebagai raja bukan pertama-tama untuk memerintah, melainkan untuk menyuburkan hidup mereka sebagai manusia, yakni manusia yang berkembang kebebasannya.
Jangan kau khawatir, Barata, bahwa kebebasan akan menimbulkan huru-hara. Sebab di dunia ini kebebasan pada hakekatnya adalah kerinduan akan kesempurnaan. Kesempurnaan itu mengandalkan manusia yang mampu memperkembangkan dirinya dan ini hanya bisa dijalankan bila manusia di dunia ini bebas. Maka Barata, janganlah kau berprasangka bahwa rakyatmu sedang melakukan kejahatan bila mereka mengadakan huru-hara, sebaliknya jernihkanlah pikiranmu terlebih dahulu akan kemungkinan bahwa huru-hara itu mungkin disebabkan oleh benih-benih kebaikan dan kebebasan yang seharusnya tumbuh tapi terhalang oleh kesempitan dunia.
Maka perhatikanlah pula Barata, bahwa pertama-tama bukan hukum yang mengatur negeri, melainkan cinta yang memungkinkan kebebasan itu berkembang. Hukum itu sematamata mengatur perjalanan manusia seperti nasib yang sudah dipastikan, sedangkan cinta memberi manusia kebebasan untuk meraih kesempurnaannya. Hukum itu adalah suatu kesetimpalan, mengganjar yang baik dan menghukum yang jahat. Sedangkan cinta itu lebih daripada hukum. Cinta itu adalah kemurahan hati, yang selalu siap memaafkan.
Barata, bagaimana kamu dapat memerintah kerajaan secara demikian" Ingatlah bahwa pertama-tama kau sebenarnya harus memerintah dan menjadi raja bagi dirimu sendiri, sebelum kau memerintah dan menjadi raja bagi rakyatmu. Artinya, kau harus menguasai segala nafsumu, kamu harus menjadi bebas sendiri, tanpa keinginan untuk memaksakan apa pun. Dengan kebebasanmu yang tak terikat pada kehendak dan kemauanmu yang kaku, kau akan terbuka untuk mendengarkan rakyatmu. Bila kau sendiri telah bebas, saat itulah kau sungguh dapat mencintai rakyatmu. Ingatlah pula Barata, sering terjadi seorang raja menyamakan keinginannya dengan keinginan rakyatnya. Tidakkah banyak raja yang suka perang, lalu memaklumkan perang itu sebagai keputusan rakyatnya. Hati-hatilah Barata terhadap keinginanmu sendiri.


Anak Bajang Menggiring Angin Karya Sindhunata di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Barata, hari sudah hampir petang. Pulanglah ke Ayodya, dan jadikanlah Ayodya kerajaan cinta. Di mana tiada permusuhan dan percekcokan, dan kedamaian selalu menjadi awan-awannya. Tugasmu berat, Barata, seperti berlayar di samudra dengan perahu kecil. Namun itulah yang harus kau buat bagi rakyat Ayodya. Selamat jalan, Adikku, kata Rama menutup semua wejangannya. Ketika mengucapkan semuanya tadi, Rama bagaikan Wisnu yang menurunkan kebijaksanaannya. Barata mendengarkan semua itu dengan hati yang terbuka.
Rakyat Ayodya menyambut kembali kedatangan Barata. Mereka tetap menghormatinya, karena menanggapnya sebagai wakil Rama. Barata memang dapat memerintah Ayodya dengan bijaksana. Ia sangat dihormati rakyatnya. Dewi Kekayi sendiri tak habis-habisnya memohon ampun kepada dewa, karena melihat kebijaksanaan anakya yang telah mendapat bimbingan dari Rama yang diusirnya. Hati Barata memang sebening Danau Nirmala.
Empat L angit bagai berdetak, bintang-bintangnya meneteskan gerimis
air matanya. Malam yang dingin mengajak bulan keluar dari lubuk kegelapan. Musim-musim harapan sedang merekah di pucuk-pucuk daun. Harum kembang-kembangnya. Dan sebentar lagi fajar pun cepat tiba. Membuka jalan bagi Rama dan Sinta serta Laksmana untuk melangkah dalam derita di hutan belantara.
Ketiga anak manusia ini bagaikan kumbang-kumbang yang baru saja mengenal keindahan hutan dengan kembang-kembangnya. Menatap alam dengan kepasrahan hatinya. Menyelami rimba raya dengan kejujurannya. Hutan yang dahsyat dan ganas menjadi nafas yang tenang dalam keheningan budinya.
Di sungai yang bening, airnya berderai menyibak akar-akar pohon yang menjulur di dalamnya. Gemerciknya bagai suara anak-anak burung yang minta kehangatan sayap ibunya. Sinta mandi di sungai yang indah ini. Tubuhnya yang cantik menyelam dalam kedinginannya. Sang surya kasihan melihatnya, dan dikirimkan cahayanya yang hangat, menerobos celah-celah dedaunan pohon-pohon rimba.
Rama mengamati kekasihnya. Cinta Sinta terasa harum bagai wewangian kembang-kembang di sekitarnya. Sinta memandangnya dengan mata yang sebasah pagi dengan tetesan-tetesan embunnya. Malu hatinya membayangkan Rama sempat mengamati dirinya yang telanjang berendam di sungai dingin. Matahari seakan tahu akan asmara dua anak manusia. Dikuatkan pancaran cahayanya, sehingga kekuning-kuningan warnanya, seakan menjadikan hari menjadi musim asmara yang menaungi Rama dan Sinta.
Di tengah suasana yang indah ini, tiba-tiba bergeramlah suara keras laksana gunung yang mau rebah. Angin yang bertiup lemah seperti tersibak oleh langkah makhluk raksasa. Makin dekat makin menggetarkan hati suaranya. Sinta yang ketakutan lari memeluk Rama. Dan muncullah raksasa yang jahat rupanya. Wirada namanya, pengacau ketenangan rimba.
Siapakah engkau, hai Manusia" Berani benar kamu mengarungi rimba. Kamu hanya akan menjadi mangsa perutku yang sudah lama lapar akan daging manusia, kata Wirada. Mulutnya masih berdarah, bekas daging-daging busuk binatang hutan menempel di dadanya. Suaranya mengaum-aum seperti singa kelaparan. Kedatangan Wirada yang jahat ini membuat burung-burung bertebaran. Dan binatang-binatang kecil pun lari tunggang-langgang.
Dalam sekejap Wirada menarik Dewi Sinta ke dalam pelukannya. Serupa mutiara putih keadaan Dewi Sinta di tangan Wirada. Mutiara itu berlinangan air matanya. Jatuh menetes menjadi pelepas kesepian bumi rimba yang kini kesakitan diinjak kaki Wirada. Wirada tertawa menggelegar sampai pohonpohon bergoyang ketakutan.
Rama menjadi gelap pandang matanya. Ia larut dalam keputusasaannya. Dari mulutnya, keluar kata-kata yang mencela penderitaan yang harus dihadapinya.
Mengapa mesti burung-burung ini terbang dari sarangnya" Mengapa mesti aku meninggalkan istana bersama kekasihku untuk menemui raksasa jahat ini. Kekayi, tidakkah kau tahu akan dosa-dosamu, hingga aku harus mengalami seperti ini" kata Rama meratap. Laksmana getir hatinya mendengar keluhan kakaknya. Dengan geram ia memperingatkan Rama.
Kakakku, kenapa kau menjadi demikian lemah" Rimba raya ini menjadi temanmu. Bersama rimba raya yang sepi ini kau harus menghadapi dukamu. Kau adalah Wisnu di dunia, apa artinya seorang raksasa jahat di hadapanmu, kata Laksmana.
Serentak terdengarlah suara dari langit. Bidadari seakan lari menunggang kuda putih, menyentakkan Rama yang baru saja disadarkan kata-kata Laksmana.
Rama, Rama. Masih banyak lagi raksasa yang harus kau hadapi. Masih ada satu lagi raksasa paling jahat yang harus kau akhiri hidupnya, kelak di akhir pengembaraanmu. Wirada mengajakmu mengingat akan tugasmu, kata suara dari langit itu.
Rama teringat ketika ia menarik gandewa cinta di Mantili. Sekilas ia teringat akan seorang raksasa yang memeluk dewi jelita, dengan menginjak-injak ratusan wanita di kakinya. Rama menjadi sangat geram, lalu menarik gandewanya, melepas panah ke arah Wirada.
Panah Rama datang beruntun, mengiris-iris badan Wirada yang langsung berkelojotan dalam darah. Wirada yang kesakitan menjadi makin murka. Matanya seperti bola api, panas terasa nafsunya. Ia mau meremukkan Rama dengan tangannya yang sebesar beringin hutan. Namun Laksmana segera melepas anak panahnya, sehingga terhalang maksud sang raksasa. Bersama dengan panah Laksmana, Rama terus menghujankan panahnya ke badan Wirada. Akhirnya Wirada tak kuasa menahan kesakitannya. Ia roboh ke tanah. Bergulung-gulung dengan darahnya yang membasahi bumi, kemudian binasa. Dewi Sinta segera lari, memeluk Rama kembali, dengan perasaan bahagia.
Begitulah ujian berat yang harus dihadapi Rama. Masih banyak lagi percobaan hidup yang harus dihadapinya selama masa pembuangannya di rimba raya.
Perjalanan Rama, Sinta dan Laksmana akhirnya sampai di pertapaan Resi Yogiswara. Resi sakti inilah yang memberi petunjuk Rama untuk mengikuti sayembara di Mantili. Kedatangan mereka disambut dengan gembira oleh Resi Yogiswara.
Berhadapan dengan Rama, wajah resi tua yang sakti ini tibatiba bersinar keemas-emasan. Ia memeluk Rama, menengadahkan tangannya ke atas, berdoa kepada dewa yang memelihara dunia. Suaranya terdengar bagai mantra-mantra suci yang mengundang suasana ilahi.
Rama, dunia tidak perlu khawatir lagi dengan kedatanganmu. Sebagai Wisnu, kau akan dapat menyelenggarakan perjalanan dunia menuju kesempurnaannya. Kulewatkan hari-hariku dengan tapa di hutan rimba, supaya kesepianku menjadi berkah bagi dunia. Kini aku telah memandang wajahmu ketika kau harus mengalami pelbagai percobaan hidup. Dalam dirimu kulihat suatu kepastian yang kuharapkan sejak masa mudaku. Maka Rama, kini saatnya aku berpulang, kata Resi Yogiswara.
Resi itu kemudian pergi ke tempat pembakaran. Tempat pembakaran ini sudah tersedia lama di depan pertapaannya. Sudah lama ia rindu untuk segera terjun ke tempat pembakaran itu. Kerinduannya tersampaikan ketika kini ia melihat Rama dalam pembuangannya. Sangat tenang dan penuh keyakinan, Resi Yogiswara naik ke pancaka.
Rama, seumur hidup aku senantiasa berusaha untuk mengumpulkan kebaikan-kebaikan. Kulepaskan segalanya dengan hidup menyepi di rimba ini. Kini terimalah kebaikan-kebaikan itu bagimu, serta bagi Sinta istrimu, dan bagi Laksmana adikmu yang kau cintai. Tapi apakah kebaikan itu Rama"
Sebenarnya aku tak mempunyai kebaikan-kebaikan itu. Kebaikan itu bukan pahala perbuatan manusia, Rama. Kebaikan itu bahkan sudah ada, sebelum manusia mampu mengadakannya. Kebaikan itu bukan suatu peristiwa, kebaikan itu hanya ingin menjelma di dunia, Rama. Ia adalah dorongan-dorongan batin yang tak henti-hentinya ingin mewujudkan diri keluar. Sering manusia justru menghalanginya karena kejahatannya. Maka Rama, biarlah kehidupanmu yang sepi di hutan ini menjadi saat-saat hening di mana kau dapat merenungkan kebaikan itu. Dengan demikian kau akan masuk ke dalam kebaikan itu, dan perlahan-lahan kebaikan itu akan meresapi dirimu. Lalu kau akan menjadi baik. Saat inilah sebenarnya kebaikan telah menjelmakan dirinya. Jadi kau jangan bermegah atau sombong kalau kau merasa telah melakukan perbuatan baik, kau hanyalah jalan dan kesempatan bagi kebaikan itu untuk menjelma. Kalau aku bilang, terimalah kebaikanku, sebenarnya bukanlah aku yang memberi, tapi kebaikan itu sendiri yang merelakan diri untuk terus mewujudkan diri, kata Resi Yogiswara.
Rama tertegun mendengar ajaran dan petuah resi yang bijaksana ini. Sinta mendengarnya dengan sukacita. Tapi tibatiba mereka terhentak, karena demikian cepat sang resi terjun ke dalam api pembakaran. Ia hilang ditelan api. Rama hanya melihat seberkas cahaya putih, membubung di tengah merahmerahnya api. Resi Yogiswara telah pulang ke alam baka. Dan lihatlah, hujan bunga dari langit ditaburkan para dewa, yang menerima kedatangannya. Ketiga anak manusia itu hanya terharu melihatnya.
Pertemuan dengan Resi Yogiswara membuat Rama makin tertarik akan kehidupan pendeta atau pertapa. Dari tempat ke tempat di dalam rimba, ia selalu bersemadi, menyepi dan bermatiraga seperti yang dijalankan mereka. Demikian juga, tak jemu-jemunya ia berbincang dengan para resi dari pertapaan ke pertapaan di hutan, untuk menekuni ajaran mereka tentang yang ilahi. Hal ini sungguh membahagiakan hati Rama pada masa-masa pertama pembuangannya.
Rama, kakakku, lihatlah seperti ada perempuan menangis di bawah langit. Bayinya menjerit, matanya dingin seperti batu gunung. Di bawah langit ini masih banyak penderitaan, Kakakku. Apakah kau akan terus menyepi dalam kehidupanmu yang menyendiri di hutan yang sunyi ini" Ingatlah, bukan di sini tempatmu, bukan di hutan belantara, bukan di rumah-rumah pertapa inilah panggilan hidupmu. Kau sangat diharapkan untuk menyelamatkannya. Sadarlah, Kakakku, jangan kau terbuai dalam kesendirianmu, kata Laksmana yang melihat hidup kakaknya nampak asyik sebagai pertapa.
Rama seperti dibangunkan dari mimpi. Ia mengucap terima kasih atas peringatan adiknya itu. Ia memang merasa bahagia hidup di belantara sebagai pertapa, tapi kini ia makin tahu bukan itu panggilan hidupnya. Mulai saat itu semua semadi dan tapanya diarahkannya untuk tugasnya di masa depan, tugas membebaskan dunia demi kesejahteraan dan keselamatannya. Maka di samping kehidupan pertapa, tak bosan-bosannya Rama bertekun sebagai satria.
Sementara itu makin indahlah keadaan Dewi Sinta yang kini kian terbiasa dengan kehidupan rimba raya. Keprihatinannya yang tekun mengalir laksana gemericik sungai-sungai jernih hutan yang sepi. Ini menjadikan wajahnya memancarkan kesegaran hijau-hijauan kecintaan binatang rimba.
Burung-burung menyanyikan kecantikannya dalam suatu ramuan suara yang menyemarakkan rimba. Mereka seperti menangis bila tak sempat melihat keindahan sang dewi dalam sehari saja. Sehingga rimba memuramkan wajahnya. Ada kijang berkelompok-kelompok, selalu menemani Dewi Sinta bila mandi mengiringi terbitnya matahari. Lebah-lebah berdengung, menemani Sinta yang bermain dengan kembang-kembang hutan. Bunga-bunga mawar selalu merelakan dirinya untuk dipetik oleh tangan yang indah. Dan bunga melati mana yang tidak rela bila dijadikan penghias kondenya"
Rama tak habis-habis kekaguman, dan pujiannya atas kecantikan kekasihnya. Di rimba raya yang hening ini, memang kecantikan akan makin memancar bila yang memiliki suci hatinya seperti Dewi Sinta. Semuanya ini membangkitkan asmara yang bergelora, laksana deru air sungai bila musim hujan tiba.
Sinta, istriku tercinta, matamu mengerling, tapi remang-remang cahayanya. Jangan kau hancurkan hati yang sudah remuk ini dengan kecantikanmu yang suci. Biarlah aku mendekap di dadamu, supaya kurasakan terang hatimu yang seperti mata ikan tak kenal kedinginan, kata Rama pada suatu senja ketika mereka sedang bercengkerama.
Rama, mengapa tak kau hancurkan saja gembira ria kita" ketahuilah, andaikan semuanya hancur, masih ada yang terus hidup di rimba ini, cintaku yang sangat bersahaja ini takkan kunjung habis ditelan derita. Untaikanlah kembang menur dan kalungkan di leherku, lalu tiada lagi bayang-bayang hati yang malu-malu, tiada lagi tujuan yang menyesakkan hati, kecuali malam yang dengan rembulannya ingin menyaksikan kita memadu cinta, jawab Sinta. Dan bulan pun datang memberi terang kepada dua anak manusia yang sedang terkena asmara dalam derita rimba.
Rama menghabiskan harinya dengan mengalami kasih cinta istrinya yang setia. Hanya ada sekilas kata-kata dalam pancaran mata Dewi Sinta yang malam itu berkedipan dengan sinar bintang. Kata-kata itu adalah syair sebuah nyanyian yang terperas dari hati yang sebentar lagi akan menderita. Rama tak tahan melihat mata yang seperti mau berkata-kata tentang derita itu. Namun kembali ia lelap dalam asmaranya karena sapaan bulan yang makin indah di rimba raya.
M atahari sedang mencium lembah-lembah gunung Hutan Dan-
daka, ketika Rama dan Sinta berlelah-lelah mengarungi belantara. Sinarnya terurai, menembus mega-mega di kedinginan pagi, menjadi benang-benang alam, lembut menyulamkan keindahan pada diri Dewi Sinta.
Dan alam pun bergetar karena keindahan Dewi Sinta. Takkan ada di dunia ini yang dapat melukiskan kecantikannya, ketika sekejap lagi derita akan mencintainya. Berjalan dalam pakaian hutan yang serba putih, Sinta seramping seberkas cahaya ilahi yang memancar dari mata asmara Dewa Surya. Kata-katanya merdu, bagaikan suara embun yang malas jatuh dari pucukpucuk daun kembang-kembangan karena tiupan angin. Langkahnya gemulai, bagaikan daun-daun beterbangan.
Bunga pudak hutan buru-buru memperelok diri, ketika iri menyaksikan betis Dewi Sinta yang menyala-nyala seperti bianglala. Akar-akar bunga bakung menjadi lemas tak berdaya ketika memperhatikan mata yang bagaikan malam di tengah siang, dengan dian-dian redup yang dinyalakan api Dewa Brahma. Pohon-pohon beringin putih dengan susah payah menyegarkan diri, karena mengerlingkan jari-jarinya yang lentik milik para bidadari yang menganyam permadani Swargaloka.
Dan lihatlah bunga-bunga angsoka itu memilih mati, daripada harus disingkirkan dari buah dadanya, yang bundar laksana sepasang mata matahari senja yang terbelalak dirayu asmara ketika menyaksikan bulan sedang mandi supaya sebentar lagi dapat segar menggantikan tugasnya menerangi dunia.
Seekor anak rusa berhenti menyusu ibunya, ketika Sinta dengan penuh kasih sayang menatapnya. Anak rusa ini seperti dihadapkan pada rahasia keindahan. Baginya, keindahan Dewi Sinta bukan karena rambutnya yang mengurai keemas-emasan, melainkan karena kesucian yang beterbangan di benaknya. Mata Sinta memang menarik hatinya, tapi lebih tertarik lagi ia akan terang ilahi yang memancar dari mata itu. Bukan pula bibirnya yang merah sesegar buah delima, tapi kata-kata manis yang keluar daripadanya yang menarik hati anak rusa. Sinta memang sempurna kecantikannya tapi lebih sempurna lagi keheningan jiwanya, yang kuat bagai tirai-tirai kasih sayang langit dan bumi. Anak rusa ini kemudian berpaling kepada ibunya yang sedang menyusuinya. Dan ia seakan tahu jawaban dari teka-teki di hadapannya: keindahan Sinta berasal dari cinta. Cinta itu pula yang membuat ibunya tiada tara bandingannya dalam keindahannya. Anak rusa ini lalu mendekam makin rapat ke pelukan induknya, ketika Sinta lewat di sisinya.
Sinta memang pendiam, tapi keheningannya adalah irama yang selalu membawa Rama kepada impian akan kedamaian. Rama melihat, di balik pakaiannya yang serba putih sebenarnya Sinta mengenakan busana penderitaan sepanjang hidupnya, yang menyebabkan keindahannya makin mekar, seperti melati yang makin segar bila diamati dalam cuaca fajar.
Dalam kedamaian alam, Sinta mengelus dahi Rama dan kemudian membelai rambutnya dengan jari-jarinya yang jelita. Tapi tiba-tiba matanya yang terang berkaca-kaca dan air matanya menetes seperti gerimis sedih di atas bunga melati.
Rama, kekasihku, tiada yang akan percaya cinta kita. Karena mereka tidak mengetahui, cinta adalah mawar yang mekar tanpa pertolongan musim mana pun jua. Cinta itu adalah anugerah dari yang ilahi, yang akan menuntun kita tanpa kita tahu tujuannya, dan barangkali cinta itu bisa menjadi derita seumur hidup kita. Rama, tidaklah kita mesti berterima kasih padanya, pada dia yang membuat kita berada dalam kedamaian, meski kita mesti hidup dalam derita rimba raya, kata Sinta.
Rama tak tahan mendengar kata-kata Sinta. Matanya menatap langit yang jauh. Di sana seakan-akan nampak seorang perempuan yang duduk di tepi sungai dengan naungan mega-mega muram. Ia mengaduh di batu-batu kedinginan. Tubuhnya menggigil ketakutan. Gemetar keadaannya, melihat seorang lelaki yang terengah-engah dalam lumpur dengan kuda-kuda tunggangannya yang meringkik karena terjebak dalam kejahatan.
Laksmana menyaksikan semuanya dari kejauhan. Bernyanyi hatinya melihat dua anak manusia yang karena deritanya merasa pasti dapat mengayun rembulan. Tiba-tiba muncullah seorang perempuan cantik dari celah-celah semak belukar. Perempuan ini berdandan berlebihan. Dari kecantikannya tersorot pandangan mata yang merah tajam. Badannya menyiarkan bau harum kemewahan. Dan dalam ketenangannya yang ketakutan seperti berdegup gemuruh nyala api dan auman macan betina yang lapar. Ia berjalan dalam lagak lagu yang membuat lebah-lebah hutan berdengung, mengejek menertawakan. Di pangkal kakinya yang bergemerincing gelang emas berdering karena langkah-langkah yang menjauhi duri-durian. Perempuan ini mendekati Laksmana.
Hai Satria tampan, siapa gerangan kamu yang mengembara di kekejaman belantara ini" Tiadakah engkau takut dimakan raksasa rimba yang selalu berkeliaran" Aduhai Satria, lindungilah aku, aku ketakutan di tengah rimba ini, kata perempuan ini.
Aku Laksmana dari Ayodya. Tak pernah kutakuti rimba raya, apalagi bila kakakku selalu berada di sampingku. Dan siapakah kau, hai perempuan yang sendirian di tengah keadaan seperti ini" Apa yang kau inginkan" tanya Laksmana kembali.
Perempuan ini memperlihatkan tingkah yang makin berani. Wajahnya makin berseri-seri.
Aku adalah putri kerajaan yang kaya raya. Saudara-saudaraku terkenal di ujung-ujung bumi. Raja-raja takluk di bawah kakinya. Kini aku sedang diarak kereta-kereta terbang untuk melihat keindahan alam di seberang lautan. Dari atas kulihat dirimu yang sendiri, hatiku jatuh karena dirimu. Maukah kau pulang bersamaku ke rumah ayahku" Ketampananmu tak pantas menjadi penghuni rimba raya, kata perempuan ini sambil makin mendekat ke Laksmana.
Hai perempuan, apa sebenarnya maksudmu" tanya Laksmana dengan tenang.
Sejak pertama aku melihatmu, aku mencintaimu, Satria. Badanku gemetar, barangkali karena siraman keinginan hatiku yang tertarik kepadamu, jawab perempuan ini. Laksmana sama sekali tidak terkejut mendengar pengakuan perempuan ini. Tekadnya tak lapuk hanya karena kehadiran seorang perempuan cantik di kesepian rimba raya.
Hai perempuan, maafkanlah aku. Aku sudah berjanji, takkan kawin sepanjang hidupku. Disaksikan asap kurban purnama sidhi, aku berkaul untuk hidup wadat. Pergilah ke kakakku di tepi sungai itu, ia sudah kawin dengan putri Kerajaan Mantili, tapi barangkali ia mau menuruti permintaanmu, jawab Laksmana.
Perempuan itu bagaikan orang kehilangan akal. Tak berpikir panjang, ia menuruti anjuran Laksmana. Aduhai perempuan, katak-katak yang bernafsu di musim cinta pun tidak berbuat demikian. Apa yang menggerakkanmu sehingga dengan mudah kau berjalan dari lelaki ke lelaki lain" Tanya Laksmana dalam hatinya, sementara matanya mengamati perempuan yang mendekati Rama. Dengan cara yang sama, perempuan itu mencoba mengambil hati Rama.
Hai Satria tampan, tidakkah engkau tahu, sejak tadi seorang perempuan jatuh hati kepadamu. Nampaknya kau demi-kian berbahagia dengan istrimu, tapi kau pasti akan lebih berbahagia, jika kau menjadi suamiku. Pulanglah bersamaku Satria, ke kerajaanku yang kaya raya, kata perempuan itu.
Maafkanlah aku, hai Perempuan cantik. Sinta telah mengambil hatiku. Dan aku sangat mencintainya. Wanita mana yang sanggup menemani aku meraba bulan dalam kegelapan derita rimba ini, kecuali dia yang kini di sampingku" Tak mungkin aku memberikan cintaku pada wanita lain, karena cintanya sudah melebihi manisnya madu yang dengan berlebihan telah memuaskanku. Pergilah ke adikku yang sendiri di seberang sana, barangkali ia akan mencintaimu, jawab Rama tenang.
Perempuan ini menjadi marah hatinya, mendengar penolakan Rama. Apalagi ketika ia sempat mengamati kecantikan Dewi Sinta. Dalam dandanannya yang sangat sederhana, Sinta ternyata melebihi kecantikannya yang mewah dan kaya. Sinta bagai bidadari kerajaan dewa, sedang dirinya hanya seperti budak wanita yang mengimpikan hati seorang dewa. Sinta memandangnya dengan mata lembut, dan perempuan ini makin takut akan keadaannya yang tercela.
Maka ia pun lari ke Laksmana kembali. Nafsunya sudah mengebur seperti muara sungai kotor yang rindu akan kejernihan laut biru. Tanpa berpikir panjang, ia memeluk Laksmana, merebahkan diri satria Ayodya ini ke tanah. Nafasnya terengahengah laksana kuda betina yang jalang di mata ketenangan binatang-binatang rimba.
Laksmana terkejut. Ia mencium bau tidak sedap dari harumnya wewangian perempuan oleh gejolak nafsu. Kecantikan dan kelemahan perempuan ini menjadi gemuruh kasar bagai kawah berapi yang mau muntah. Dan Laksmana menjadi marah. Satria Ayodya ini segera menarik hidung sang perempuan sekuat tenaganya, sampai putuslah hidung yang tadinya melekat dalam kecantikannya.
Tiba-tiba terdengarlah pekik hebat, memecah kesunyian rimba. Pekik dari raksasa wanita, yang telah dipermalukan oleh seorang satria. Wanita cantik ini ternyata adalah Sarpakenaka, putri Kerajaan Alengka yang lahir dari nafsu Wisrawa dan Dewi Sukesi, ketika mereka berdua gagal menghayati Sastra Jendra. Sebenarnya ia adalah seorang raksasa, yang menyamar sebagai wanita cantik untuk merayu Rama dan Laksmana. Wanita yang tadinya cantik ini terbang dalam keganasannya. Taringnya kelihatan seram. Rambutnya yang tadi mengurai, kini menjadi kaku dan jelek. Sarpakenaka memang berhati malam tanpa tepi dalam kehausannya akan lelaki. Ia segera mengadu kepada dua suaminya, Karadursana dan Trimurda, dua raksasa, raja rimba dan Hutan Dandaka.
Aduh Suamiku, tidakkah kamu malu melihat keadaan istrimu seperti ini" Ada dua satria menghuni hutan ini, mereka tergiur melihatku memetik bunga. Dengan segala cara aku menolak untuk melayani nafsunya. Aku berkata, cintaku sudah tertumpah pada kalian berdua. Tapi mereka memaksaku untuk menuruti nafsunya. Aku menolak, aku menolak. Seorang dari mereka menggeluti aku, dan karena aku tetap tidak bersedia, ia menjadi marah lalu menarik hidungku, sehingga aku tidak mempunyai hidung lagi. Balaslah mereka, Suamiku. Bunuhlah mereka yang telah mempermalukan aku. Berangkatlah sekarang juga, kata Sarpakenaka.
Bangkitnya Pandan Wangi 2 Shugyosa Samurai Pengembara 9 Tamu Dari Gurun Pasir 16
^