Pencarian

Bajang Menggiring Angin 1

Anak Bajang Menggiring Angin Karya Sindhunata Bagian 1


Anak bajang menggiring angin naik kuda sapi liar ke padang bunga
menggembalakan kerbau raksasa lidi jantan sebatang
disapukan ke jagad raya dikurasnya samudra dengan tempurung bocor di tangannya
dari negeri atas angin berhembulah nafas naga giyani dan mintuna meniupkan samirana dukula anak bajang terbang
hinggap di pucuk mandira menari-nari bersama kukila di gelaran sayap garudayaksa
naik anak bajang ke bukit hardacandra janur gerbang berayun-ayunan anak bajang berarak-arakan dalam iring-iringan panjang para pecangakan dan kemamang
di belakang riang memanjang barisan warudoyong dan singabarong dhenokongkrong dan dadhungwinong berkebit-kebit di ekor anak-anak carubawor
paro petang bulan purnama
lelap tertidur anak bajang dekat perapian kundakencana
dibelai gading gajahmeta dan bisa permata nagaraja dengan tikar dan daun runya di bawah perempuan menangis melahirkan pedang
dari luka-luka kedukaan sedih anak bajang bertanya bunda kenapa
kau robek kainmu dengan darah sedang hendak merayap aku di antara dua bukit-bukitmu"
15 juni 1982 Sindhu Kampung Hendrik-Batu
gelap pun gulita dengan empat nafsu cahaya anak bajang menyalakan dian
teja darpasura bumi bergoncang dahana menyala
jaladri pecah prahara melimbah-limbah
anak bajang dikejar dua manusia senjatanya pedang emas
payung kencana menghadang di sana raksasa mulutnya berlumuran darah
ikan berbisa anak bajang meronta-ronta
menolak susu wanita yang menutup payung hitamnya
gemuruh malam kumbang ular jantan di kiblatan dipeluk petang jalanan catur denda anak bajang lari menubruk sunya
langit mendung hujan bintang matahari padam senyum bulan muram kusuma terbang merebut singgasana awan
bidadari turun telanjang di madu-madu buah dadanya menyusu anak bajang
sekeras duka-dukanya tangis dan sorak gambiralaya lahir di saptapratala
dunia tua berusia bayi muda.
Satu M eNDUNG bagaikan bidadari menangis di Negeri Lokapala.
Air matanya jatuh berupa batu-batu hitam menutupi kehijauan rerumputan. Kesunyiannya tanpa bintang. Kesedihannya tanpa bulan. Malamnya berhias dengan ratapan awan-awan tebal.
Nak, kenapa kau tatap langit dalam kedinginan" tanya Begawan Wisrawa.
Ayah, lihatlah Dewi Sukesi di ufuk timur. Kedua matanya bagaikan matahari kembar. Tapi sinarnya tak sampai di hatiku yang kedinginan. Ia menaburkan bunga dari angkasa, runtuh seperti emas-emas jatuh. Tapi emas-emas berubah menjadi karang-karang tajam yang menghempaskan Negeri Lokapala kecintaanku, jawab Prabu Danareja, anak Begawan Wisrawa, yang menjadi raja Negeri Lokapala.
Nak, kau telah jatuh cinta pada seorang dewi yang mengharapkan redupnya bulan. Hatinya mengeras seperti sebilah keris pusaka yang haus akan darah para dewa. Di pangkuannya, pertiwi dipeluknya dalam kedamaian, kata Begawan Wisrawa.
Tapi, Ayah, hatinya menyulam cinta dengan benang-benang yang belum didapatkannya. Kau tahu Ayah, darah pun akan kuberikan supaya sulamannya cepat menjadi taman yang penuh dengan bunga-bungaan, jawab Prabu Danareja.
Begawan Wisrawa menundukkan kepalanya. Ia tahu asmara anaknyalah yang menyebabkan Negeri Lokapala dirundung muram. Asmara Prabu Danareja yang belum terpuaskan mengakibatkan alam bermalasan dalam kesedihan, sehingga tanahtanahnya menjadi gersang, kesuburan dan kehijauannya berubah menjadi kekeringan Dan rakyatnya kurang makan.
Nak, tak perlu kau bayar cinta dengan darah. Aku tahu kini Negeri Alengka sedang mengadakan sayembara, siapa dapat mengalahkan Arya Jambumangli, paman Dewi Sukesi, dialah yang berhak memperoleh gadis yang keelokannya bagaikan Batari Ratih itu.
Tapi Nak, aku adalah sahabat karib Prabu Sumali, raja Alengka, ayah Dewi Sukesi. Bersama dia, dulu kumengembara mengitari jurang dan hutan-hutan. Jurang dan hutan-hutan itu akan menangis Nak, kalau aku mesti memusuhi Negeri Alengka. Ijinkan aku, untuk meminta Dewi Sukesi kepada Prabu Sumali tanpa pertumpahan darah. Hari ini juga aku akan berangkat ke Alengka, kata Begawan Wisrawa.
Prabu Danareja terdiam. Kebijaksanaan Begawan Wisrawa merayapi pikirannya berbarengan dengan datangnya malam berbintang-bintang. Ia tahu, ayahnya akan segera dapat menaklukkan Dewi Sukesi yang menawarkan cinta dengan meminta redupnya rembulan.
Malam makin larut. Suara burung elang mengigau di kejauhan. Seakan bilang, cinta takkan menang melawan kebijaksanaan. Dan kesombongan satria yang selalu memperhitungkan cinta dengan pertumpahan darah takkan bisa menaklukkan cinta yang sudah mengeras seperti batu karang. Seperti hati Dewi Sukesi.
Prabu Danareja makin terdiam ketika menatap wajah ayahnya yang bertambah terang karena sinar bulan purnama yang sempat masuk ke balai agung, tempat pertemuan. Wajah ayahnya memperlihatkan rasa sayang. Tak pernah ayahnya menolak permintaannya. Dan ayahnya selalu tahu kesedihannya. Kali ini ia datang ke Lokapala, juga karena tahu anaknya sedang dirundung asmara.
Ayah tidurlah! Malam takkan sanggup menangguhkan kebijaksanaan Ayah untuk berbuah menjadi kenyataan, kapan pun juga. Mari Ayah, masuklah ke dalam keheningan, ajak Prabu Danareja.
Malam menjadi penuh janji buat Prabu Danareja. Disirami terang bulan, pohon-pohon bambu raksasa yang angker berderitderit menyanyi bersama angin pegunungan. Menyampaikan bisikan pada pohon-pohon bambu kuning di pelataran istana Lokapala.
Pohon bambu raksasa menjadi lemah gemulai. Pohon bambu kuning menjadi manja. Seolah pohon-pohon bambu itu saling berkasih-kasihan saja. Disaksikan kunang-kunang gemerlapan seperti berlian jatuh dari busana indah para bidadari yang sedang mengembara di angkasa, iri akan asmara Prabu Danareja.
Nak, kenapa kau pandangi malam, sedang mata bulan pun sudah merah karena lelah" tiba-tiba terdengar suara halus memecahkan lamunan Danareja.
Danareja terkejut, dan ketika ia berpaling, dilihatnya, Dewi Lokawati, ibunya, sudah berdiri dihadapannya. Sinar bulan yang mulai pudar menjamah rambut Dewi Lokawati yang telah beruban keputih-putihan.
Ibu, biarlah aku ditelan malam yang penuh janji ini. Bagiku, hari-hari serasa berlalu dengan penuh beban. Bahkan, malam-malam berbulan pun hanya memberikan kegelapan bagi hatiku yang ditimpa kerinduan. Tapi tiada malam seperti ini, Ibu. Malam ini terasa menyimpan masa depanku, dan lihatlah, Ibu, bulan yang telah lelah bagaikan bunda yang mengaduh kesakitan, ingin melahirkan kekasih hatiku, Dewi Sukesi, jawab Danareja. Nak, lamunanmu akan menjadi kenyataan. Percayalah, Wisrawa ayahmu, akan mengubah hari-harimu yang gelap menjadi kebahagiaan. Tiada orang sebijak ayahmu. Ketika aku masih membutuhkan cintanya, ia telah pergi meninggalkanku ke hutan sunyi untuk bertapa, karena ia tahu di sanalah ada kebesaran yang lebih mulia daripada cinta kita berdua. Sejak saat itu, ia tak mau menyentuhku, demi cita-citanya yang mulia itu. Dan ingatlah, Nak, ia rela menyerahkan takhtanya padamu, meski saat itu usianya belum tua. Ia sangat menyintaimu, Nak. Demi dirimu, ia rela melakukan apa saja. Pengorbanannya pasti akan membawa buah melimpah, ia akan memboyong Dewi Sukesi bagimu. Tak perlu kau meragukan malam yang penuh janji, karena kasih sayang ayahmu. Berlombalah dengan bulan untuk memejamkan mata, supaya kau bermimpi indah. Tidurlah, Nak, kata Dewi Lokawati sambil memeluk Danareja. Tak ada malam yang demikian pasti akan janji. Dan Danareja pun tidur dalam kebahagiaan.
Oh, Sukesi! Tunggulah aku di sudut benteng kota. Di dekat dua pohon beringin putih, gapura masuk ke Taman Argasoka, tempat kau bermandikan musim bunga. Tidak, kau bukanlah kejelitaan tapi anugerah dewi kejelitaan. Asmaraku yang belum kesampaian ternyata mengundang amarah para dewa yang mendatangkan malapetaka bagi Negeri Lokapala, negeri warisan ayahku yang dulunya tentram dan kaya-raya. Aku menderita seperti bunga angsana yang sarinya disengat lebah. Tapi hatiku senantiasa bermain-main dalam kemanisan dan harapan untuk menemanimu mandi di Taman Argasoka. Dan lihatlah, lalu dewa-dewa pun menarik murkanya, mengubah Lokapala menjadi Taman Argasoka, kata Prabu Danareja dalam mimpinya.
Waktu seakan tahu asmara Prabu Danareja. Sang surya membiarkan awan gelap menutupinya, sehingga fajar pun tak kunjung tiba, mempersilakan Prabu Danareja lelap dalam mimpi indahnya. Bunga tanjung kelelahan karena bercumbu, maka embun pagi kecapaian membangunkannya, menyebabkan pagi
B eGAWAN Wisrawa berjalan dalam keindahannya. Hutan-
hutan yang dilaluinya seakan mengubah dirinya menjadi taman bunga yang harum baunya. Pohon-pohon yang dahsyat dan rindang merebah, seolah menjadi padang rerumputan hijau yang meringankan perjalanan Begawan Wisrawa. Kali-kali gemericik, bersukaria. Alam memang selalu indah dan ramah, tapi tak seindah dan seramah kalli ini, ketika Begawan Wisrawa pergi ke Alengka, melamar Dewi Sukesi bagi anaknya, Danareja.
Burung tadahasih yang biasanya suka menangis tiba-tiba terus menyanyi gembira. Burung jalak ingin menjadi garuda yang dapat dijadikan tunggangan Begawan Wisrawa, pendeta yang arif bijaksana itu ke Alengka. Dan tataplah, pohon-pohon nagasari membiarkan saja, dahan-dahannya diterpa angin, ingin menyerupai perempuan-perempuan elok yang sepantasnya menjadi dayang-dayang keraton mengiringi maksud kepergian Begawan Wisrawa. Seorang pertapa tiba-tiba menghampirinya.
tak berhiaskan kesejukan, sehingga hari masih seperti malam layaknya.
Fajar pun datang, serasa amat tiba-tiba. Mata sang surya memerah. Dan menguaklah cahayanya yang dahsyat. Burung kepodang berkicau di dahan pohon kanigara, suaranya meyerupai senandung sebuah cinta. Ayam-ayam alas berkelebat di ladangladang desa Lokapala. Dan lebah-lebah datang menggoda kembang-kembang dengan belaian sengat-sengatnya. Alam semarak! Dan Prabu Danareja pun terjaga dari tidurnya. Dilihatnya, ayahnya, Begawan Wisrawa sudah tiada lagi di pembaringannya.
Oh Dewa, terimalah sembah sujudku. Tak pernah kubermimpi bahwa di hutan segelap dan seluas ini, kau sudi datang. Kau adalah Batara Kamajaya yang tampan. Ketampananmu mengundang hutan ini menjadi indah, kata pertapa itu sambil menyembah Begawan Wisrawa.
Jangan salah sangka, Pertapa. Aku bukan Kamajaya. Aku hanya manusia biasa yang sedang berjalan ke Negeri Alengka, kata sang begawan membangkitkan pertapa. Pertapa terkejut, tapi hatinya tidak kecewa, karena ia percaya bahwa yang disembahnya adalah seorang dewa. Ketika itu Begawan Wisrawa yang hendak melamar Dewi Sukesi, putri Alengka, memang nampak bagaikan Batara Kamajaya yang sedang mencari kekasihnya, Dewi Ratih yang hilang ditelan semak bunga dan kembang-kembangan.
Langkah Begawan Wisrawa semakin mantap, membuat binatang-binatang hutan takut mengganggunya. Sang begawan teringat anaknya yang tercinta. Oh anakku Danareja, kutinggalkan Negeri Lokapala bagimu. Karena kutahu, kau bakal menjadi raja jagad raya yang arif dan bijaksana. Demi dirimu, aku memilih hidup sepi sebagai pertapa, menyendiri di hutan sunyi, jauh dari Lokapala. Siang-malam kumohonkan pada para dewa, agar kau bahagia Danareja. Kali ini Lokapala muram karena kerinduanmu. Jangan khawatir Nak, Dewi Sukesi akan segera berada di pelukanmu. Danareja, anakku yang tercinta! kata Begawan Wisrawa dalam hatinya. Mendadak langkahnya makin cepat, ia seperti diterbangkan Dewa Indra ke Alengka.
Selagi Begawan Wisrawa berjalan dengan kesemarakannya, bumi Alengka sedang kenyang dengan darah. Seperti terkutuk dewata, keindahan negeri yang disayangi dunia ini menjadi kedahsyatan yang menakutkan. Darah para raja yang melamar Dewi Sukesi dimuntahkan oleh kesaktian pamannya, Arya Jambumangli.
Prabu Sumali, raksasa yang berhati manusia bermuram durja. Dihadapannya bersimpuh anaknya yang jelita, Dewi Sukesi berserta anaknya tercinta, Prahasta. Burung hantu terus tersedu-sedu, meski hari sudah bergulat dengan sang surya, seakan menangisi sang arwah raja-raja yang mati di tangan Arya Jambumangli.
Dewi Sukesi bercahaya seperti menara emas di tengah lautan darah. Kecantikannya mengumandang ke segenap penjuru dunia. Bidadari pun menjadi rendah hati melihat keelokan putri raksasa yang berwujud manusia jelita ini. Sampai megamega mengurungkan niatnya menjadi hujan, supaya manusia bisa senantiasa terpukau akan putri bagaikan Dewi Ratih ini. Bibirnya membentuk senyuman bunga angsoka yang manja dibangunkan embun pagi. Matanya mengerling dengan kewaspadaan yang indah dari mata berlian kijang kencana. Busananya direnda dengan benang lentera. Sebagai bulan yang tertutup pelangi, demikian keadaan buah dadanya yang jelita, tersembunyi di balik kain bersulamkan manikam Batari Ratih.
Anakku Sukesi, tahukah kau bahwa kecantikanmu adalah ciptaan empu yang pernah menghias keindahan pelataran para dewa" Tapi empu itu adalah makhluk yang tak berbahagia, seperti ayahmu ini" tanya Prabu Sumali, raja raksasa yang halus budi bahasanya.
Sukesi, anakku yang jelita. Hentikan pertumpahan darah di tanah Alengka. Raja-raja mati di tangan pamanmu Arya Jambumangli. Roh mereka gentayangan tidak puas mengganggu ketentraman bumi Alengka, rakyat susah karena kekakuan hatimu, Sukesi. Siapakah makhluk dunia yand dapat mengalahkan pamanmu Jambumangli"
Katakan pada pamanmu, Sukesi, bahwa kau mau segera menjatuhkan pilihan hatimu pada seorang raja yang melamarmu, siapa saja, supaya cepat berhenti kutukan para dewa di Alengka yang kini haus darah karena keinginanmu dan kekerasan serta kesaktian pamanmu itu, kata Prabu Sumali. Mata raja raksasa itu melayang dalam kesedihannya.
Ayahku, jangan salah sangka. Pertumpahan darah bukan kehendakku, tapi kehendak pamanku Jambumangli. Ia memaksaku, mau membela kecantikan putrimu, anugerah dewi keindahan ini, dengan kesaktiannya. Aku sebenarnya tak berkenan menawarkan cinta dengan kekerasan. Ayahku, berhari-hari aku dilanda mimpi. Dan sesungguhnya aku mau kawin bila ada manusia, tak peduli siapa orangnya, yang dapat memenuhi permintaan mimpiku itu, kata Dewi Sukesi.
Prabu Sumali makin termangu. Prahasta, adik Dewi Sukesti, hening menunggu.
Ayahku, ketika itu aku bermimpi berada di suatu dunia yang tak mengenal malam, tak mengenal siang. Dalam dunia itu ada alun-alun bercahaya gemerlapan. Kendaraan makhluknya adalah kereta kencana dihela binatang-binatang elok. Di atasnya ada pelangi berupa seekor naga yang sisiknya emas yang senantiasa menetes bagaikan hujan berkah. Ayahku dalam keadaan demikian itu aku menerima Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu. Aku tak tahu maknanya, tapi siapa yang dapat mengupasnya bagiku, hanya kepadanya aku mau menyerahkan hidupku, kata Dewi Sukesi. Wajahnya bersinar seperti surya di fajar pagi.
Tiba-tiba bumi bergoncang. Kilat menggeledek. Dan hujan tangis seakan runtuh dari khayangan. Gelap sejenak, menutupi bumi Alengka. Burung-burung mengurungkan niatnya untuk terbang. Dan ibu-ibu Alengka memeluk putra-putrinya erat-erat, seperti takut digondol Batara Kala.
Sukesi, anakku! Urungkan niatmu. Dewa-dewa marah mendengar permintaanmu. Dan dunia yang takut berubah, akan mencelamu. Aku tak tahu apa makna permintaanmu. Setahuku Nak, binatang akan menjadi manusia, dan manusia akan mulia seperti dewa, bila ada makhluk yang dapat mengupas Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu ini. Urungkan niatmu, Sukesi! kata Prabu Sumali.
Ayahku, aku terima hidup sendiri seumur hidupku, bila belum ada makhluk yang dapat mengupas Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu, anugerah mimpiku itu, kata Sukesi.
Sekonyong-konyong di luar terdengar suara ribut. Wanitawanita cantik istana Alengka keluar menyaksikan kedatangan Begawan Wisrawa. Disangkanya, ia Batara Kamajaya. Tambah indah keadaannya, serentak berlian gapura pendapa berkilau-kilauan. Batu widuri di sekitarnya bersinar kebiru-biruan. Bungabunga istana menunda niatnya untuk layu, menyaksikan kemegahan Begawan Wisrawa.
Prabu Sumali menjemput keluar sahabat lamanya yang sangat dicintai dan dihormatinya itu. Begawan Wisrawa memeluknya. Disaksikan bumi Alengka yang tiba-tiba menjadi indah.
Seribu kunang-kunang memancar dari mata Begawan Wisrawa, memercikkan sinar dalam kegelapan hati sahabatnya, Prabu Sumali. Di luar, sorak gemuruh para hadirin menyaksikan pertemuan dua sahabat yang kesetiaannya bagaikan bintang malam merayapi tangga langit.
Sumali, adikku. Kenapa kehangatanmu terasa menyimpan duka" Tahun-tahun berlalu, masihkah mimpimu yang indah dahulu memendam derita" Kesedihanmu, Sumali, nampak berupa bunga gading kering. Ingatlah Sumali, ketika kita berdua bergembira bersama kijang-kijang di belantara. Kini di masa tua kita ini, aku ingin kita berdua menjadi kijang-kijang yang berbahagia menyaksikan anak kita berdua. Aku ingin melamar putrimu, Dewi Sukesi, untuk anakku Danareja, Sumali, kata Begawan Wisrawa.
Sumali bertambah sedih. Hatinya seperti tertusuk panas panah-panah matahari. Kekhawatirannya muncul jangan-jangan persahabatannya putus karena Wisrawa juga gagal memenuhi permintaan Dewi Sukesi.
Kakakku, Wisrawa. Akankah kau menambah dosaku dengan melihat darahmu mengalir di Alengka yang gegap-gempita dengan mawar-mawar neraka ini" Aku tak ingin melihat kau mati di tangan Jambumangli. Dan ketahuilah kakakku, Sukesi mau hidup dengan mengharapkan kehidupan ini redup. Ia hanya mau menyerahkan diri kepada siapa saja yang dapat menguraikan makna Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu! jawab Prabu Sumali.
Sumali, Sumali. Sudahkah saatnya tiba kita menangisi dunia karena permintaan putrimu ini" Lihatlah, dari pusar Gunung Maliawan itu keluar berbagai cahaya berupa kembang-kembang api yang tiba-tiba menjadi mendung gelap ketika datang di Alengka ini. Aku tak takut akan Jambumangli, aku lebih takut bila jagad raya marah karena aku menguraikan makna dari permintaan putrimu itu, kata Wisrawa.
Alengka bagaikan berubah menjadi sejuta kegelapan. Menyanyi bidadari-bidadari malam. Mengintai kembang-kembang api yang berarak ke barat, timur, utara dan selatan, bergandengan menjadi mega-mega mendung. Di kejauhan burung tadahasih terus merintih. Wisrawa makin kacau hatinya. Akankah ia menuruti permintaan Dewi Sukesi demi anaknya yang terkasih, Danareja"
Sumali, suruhlah anakmu ke taman yang sepi, jauh dari segala keindahan dan keramaian dunia sekitarnya. Hanya bunga kenanga biarkan tumbuh di sana. Sumali, demi anakku Danareja, aku akan menguraikan makna Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu, seperti diminta anakmu terkasih, Dewi Sukesi, kata Begawan Wisrawa.
Sumali terkejut. Dan kilat menggelegar di angkasa. Di antara kilat yang berapi itu nampak lintang kemukus dalam kekejamannya. Dan jeritan menyayat hati dari para arwah terdengar di kejauhan. Arwah-arwah itu lari menuju bukit, bertumpuk-tumpuk di sana saling tumpang tindih, gigi-giginya meringis. Dan burung walik seperti nenek tua terkekeh-kekeh.
D i taman yang hanya berhias kembang kenanga, Sukesi ba-
gaikan berdiri di dataran dengan tangannya mencengkeram tiga buah bulan wanci ratri (waktu malam). Keelokannya bagai mengutuk tiga dunia. Di hatinya terbelah luka-luka, suram-suram cahaya matanya. Sukesi bagaikan putri dewa matahari yang tak mau lelah dalam amarahnya.
Sukesi, anakku. Teduhkanlah hatimu. Bulan yang kau pegang minta belas kasihanmu. Jangan kau berdiri seperti bertakhta di atas singgasana dewa kematian. Jangan kau biarkan keindahanmu menjadi kerinduan bayi akan susu ibunya. Oh Sukesi, betapa dalam tekadmu untuk bermain-main dengan mutiara yang tak pernah ada di dunia. Belum waktunya sebenarnya permintaanmu kuturuti. Dewa-dewa belum saatnya mati, anakku. Tapi Sukesi, demi anakku Danareja, dan demi kau berdua, sekarang juga akan kuwedarkan makna dari Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu, kata Begawan Wisrawa. Matanya basah dengan air kurban dari makhluk-makhluk yang kesunyian.
Tak cukup kukatakan dengan kata-kata. Sastra Jendra itu bukan kata-kata, ia adalah kehidupan anakku. Kehidupan dalam hati yang tidak mempunyai wadah di dunia ini. Tenangkan hatimu seperti embun pagi yang belum terganggu matahari. Jangan kau menjerit kepada siapa pun, sebab di sekitarmu tak ada siapa pun, tak ada apa pun. Jangankan manusia, dewa-dewa pun sudah tiada, mereka sudah mati, anakku, hanya dalam ketiadaan dan kematiannya itulah mereka berada dalam kehidupan sejati, seperti kau anakku, ketika kau mulai memahami Sastra Jendra ini, kata Begawan Wisrawa lagi.
Sukesi lalu mandi dalam samudra cinta! Menggigil dalam kehangatan tubuhnya seperti berdiri di puncak dunia yang berdekatan dengan surya bagai bulan sinar matanya. Rambutnya mengurai, menghelai bunga-bunga tanjung menyulamkan kehidupannya di pelataran bunga kenanga.
Sukesi, lihatlah sungai yang mengalir di taman ini. Pahamilah dia, dan kau akan mengerti akan rahasia kehidupan yang kaya di dalamnya. Kau akan melihat betapa di kedalamannya bermain-main beribu mutiara gemerlapan, udara yang segar berenang di permukaannya, dan kebiruan cahaya langit berkaca kepadanya. Tinggallah bersama dia, belajarlah dari dia dan cintailah dia, maka akan terbukalah bagimu berjuta rahasia, kata Wisrawa.
Sukesi menatap aliran sungai yang bening di taman bunga kenanga. Matanya disesapi berbagai warna. Dan hatinya pun terbuka akan suatu makna: rahasia sungai itu adalah rahasia hidupnya. Ia melihat sungai itu berjalan, tetap berjalan dan terus berjalan, tapi sungai itu tetap berada di sana, senantiasa di sana. Sungai itu seperti merindukan sesuatu dalam perjalanannya, namun justru dalam kerinduannya itu ia menjadi selalu baru.
Sukesi, apa yang kau lihat" Tidakkah dari sungai itu kau mengerti akan suatu rahasia, bahwa sebenarnya waktu itu tidak ada dalam kehidupanmu" tanya Wisrawa.
Sukesi tersenyum. Senyumnya seperti menghambat peredaran bulan purnama.
Sungai itu di mana-mana sama, Begawan. Ia sama di mata airnya, sama di muaranya. Airnya tetap sama meski ia mengarungi air terjun, menelentang di samudra raya, terjepit di selasela bukit atau pegunungan. Ia sama dalam amarahnya ketika mengamuk menjadi air bah, sama seperti dalam keramahannya ketika bernyanyi menjadi sungai kecil di sebuah desa, sama seperti dalam kesedihannya ketika ia merintih menjadi hujan gerimis rintik-rintik, jawab Sukesi.
Sukesi, pahamkah kau sekarang akan arti masa lalu, dan masa depanmu. Kau harus tetap sama, Sukesi, tapi hendaklah kesamaanmu selalu membuahkan kerinduan, supaya hidupmu selalu baru. Kerinduanmu itulah yang membuat kau tak pernah muda tak pernah tua. Itulah hakekat waktu, anakku, dan dalam waktu itulah berada hidupmu, kata Wisrawa.
Sukesi lalu teringat akan mimpinya, ketika ia berada di suatu dunia yang tak mengenal siang tak mengenal malam. Ia merasa menggenggam bulan dan matahari di tangannya. Gelap dan terang sekaligus. Tapi tiba-tiba mencuat sebuah cahaya, menggulung menjadi mega yang berarak gemerlap-gemerlap diiringi suara mulia gamelan para bidadari, entah dari mana asalnya. Sukesi berlinangan air mata.
Jangan terkejut, anakku. Cahaya itu adalah Sastra Jendra dalam hatimu sendiri. Maka, jangan camkan aku. Camkan hatimu sendiri. Tak ada manusia atau pribadi. Yang ada hanyalah manusia dan pribadi dalam hatimu. Kebijaksanaan manusia tersembunyi dalam hatimu sendiri seperti malam yang bersayapkan terang, seperti kehidupan bersayapkan kematian. Kebijaksanaan hati itulah Sukesi, yang seharusnya bicara dan kau patuhi, kata Wisrawa.
Sukesi lalu meratapi hatinya. Dari hatinya, mengalir kelemahannya berupa penderitaan dan kesengsaraan yang pernah dialaminya. Dari hatinya pula, mengalir kekuatannya berupa kebahagiaan dan kegembiraan. Dan hatinya kemudian menjadi penjelajah tujuh jagad raya. Wajahnya yang cantik dan tubuhnya yang molek bergetar dan merasa tidak mempunyai arti apa-apa berhadapan dengan hatinya.
Sukesi, kini hatimu berubah menjadi keindahan. Dan keindahan itulah milik rahasiamu. Keindahan itu tak dapat kau pelajari lebih daripada kebenaran, keindahan itu adalah keseimbangan, keseimbangan antara kebahagiaan dan penderitaan, antara kegembiraan dan kedukaan, antara harapan dan kenyataan. Dan justru dalam keseimbangan itulah kebahagiaan dan penderitaan lenyap, harapan dan kenyataan menghilang. Keindahan itu adalah matahari yang tahu diri, menarik cahayanya dari ladang dan sawah-sawah, yang di waktu malam ingin menikmati cahaya bulan. Dan keindahan itu adalah bunga tanjung, yang tiada berbudi, tapi mekar dalam keharumannya karena persekutuannya dengan alam semesta. Keindahan itu adalah penyerahan diri, Sukesi! Kini terbanglah bersama keindahanmu itu, kata Begawan Wisrawa.
Sukesi terbang dalam keindahannya! Hening dimana-mana. Dan dalam keheningan itu ia merasakan dirinya sebagai titah. Sebagai titah, ia merasa dunia bukan lagi tempat tinggalnya. Ia ingin menggapai keabadian yang bercahaya bagaikan lentera istana para dewa, tapi kematian mengikatnya pada bumi yang melengking dengan bunyi sangkakala.
Sukesi, maukah kau ke sini. Lepaskanlah dirimu. Terdengar suara gaib itu terus memanggilnya. Makin menarik suara itu, bercampur dengan madah mantra-mantra suci sayup-sayup bunyinya. Bau boreh anak bayi semerbak di sekitarnya.
Mata Sukesi menjadi lelah. Dan semangatnya rebah. Ia merasa, bahwa ia masih berada dalam dosa maka ia tidak dapat ke sana. Ia belum bersih dan suci sebagai titah. Dari sinilah ia merasa bahwa ia masih perlu diruwat (dibersihkan dari segala yang jelek dan jahat) oleh yang menitahkannya.
Sukesi menyerahkan dirinya. Ia merasa seperti berada di antara Sela Matangkep. Di telinganya terdengar suara meringkik. Raksasa-raksasa bertelanjang badan membawa gada-gada dahsyat. Nyanyian mereka adalah badai yang mengerikan. Tawa mereka meremukkan kepala manusia. Lalu mereka mabuk dengan darah manusia.
Sukesi merasa sesak bernafas. Bau busuk mayat-mayat menusuk hidungnya. Di sana-sini huru-hara.
Sukesi, apa yang kau rasakan sekarang adalah hawa nafsumu sendiri. Tengoklah dalam-dalam, betapa mengerikan wujud nafsumu yang kelihatan halus itu. Kecantikanmu yang sombong adalah raksasa yang kasar dan telanjang badannya. Tertawamu yang memikat adalah amarah mereka yang meremukkan kepala manusia. Dan cintamu yang badaniah adalah kemabukan akan darah manusia. Cita-cita akan keagungan adalah keinginan mereka untuk masuk ke dunia yang panas apinya, kata suara gaib itu.
Sukesi merasa tidak dapat menolong dirinya. Ia hanya melihat badan alus (roh) berkeliaran di sana-sini. Memakai pakaian seba halus dengan renda-renda putih. Menyala dalam terang yang sangat halus pula. Berpendaran seperti kunang-kunang senja. Hanya mereka kelihatan tak berdaya.
Sukesi, apa yang kau lihat sekarang adalah makhluk tak berdaya, hatimu sendiri, anugerah yang memberi titah. Kau tindas hatimu dengan hawa nafsumu berupa raksasa-raksasa jahat itu. Hatimu adalah roh halus tak berdaya di bawah himpitan tangan-tangan nafsu kedurhakaanmu. Roh halus itu bisa mengalahkan raksasa-raksasa jahat itu Sukesi, asal kini kau meruwat dirimu, dengan kembali pada jalan dari yang menitahkanmu, dengan cara menyingkirkan dosa dan hawa nafsumu, kata suara gaib itu lagi.
Sukesi mengheningkan dirinya. Mendengarkan nyanyian kekekalan gamelan putih. Memohon hawa nafsu disingkirkan daripadanya. Lembah-lembah itu lalu tertutup dengan suatu samudra keheningan hati dari roh halus di dalam dirinya.
Dan lihatlah, roh-roh itu menyala-nyala, keluar dari himpitan batu, menyandang pedang dan keris-keris besi putih. Gerakan mereka dahsyat tapi serba mulia dan mempesona. Senjata-senjata itu mengeluarkan api keemas-emasan. Memenggal kepalakepala raksasa. Langkah mereka gemulai tapi kaki-kaki mereka menginjak kepala para raksasa sampai remuk dan menimbulkan suara mengguntur. Mayat-mayat raksasa tergeletak, darahnya hitam mengalir. Jeritan para raksasa itu sangat menyayat hati. Mereka mati.
Sukesi mengalami pergulatan batin, antara nafsu dan roh baik di dalam dirinya. Kemenangan roh-roh halus menyirnakan hawa nafsunya. Dan dengan cara demikian, ia sudah diruwat menuju kesuciannya. Sukesi berjubah putih-putih. Damai, bahagia dan hening. Ia dibebaskan dari batu yang menghimpitnya.
Sukesi sudah berada dalam alam halus. Busananya serba putih, berteteskan manik-manik beringin putih. Dan di dadanya bersinar kencana rukmi. Rambutnya mengurai bagai bulu-bulu halus merak jantan yang keputih-putihan. Tangannya merasa ringan, padahal ia menggenggam tiga buah bulan.
Sukesi, hentikan langkahmu. Matamu sudah bening dengan cahaya ilahi sampai kau bisa merasa hidup dalam dunia yang tak mengenal siang, tak mengenal malam. Tapi Sukesi kau masih dalam kesendirian. Sastra Jendra itu bukan kesendirian, Sukesi, kata Begawan Wisrawa.
Sukesi tidak mengira ada orang yang mengikutinya. Seakan ia menikmati alam yang sudah disucikan hanya untuk seorang diri saja.
Aku ingin hidup dalam kesendirianku, Begawan. Aku ingin mengembara sebagai awan. Biarkan mataku sebening mata awan yang hanya bisa menangis, mencurahkan air mata hujan, sehingga dunia tahu bahwa aku hanya mempunyai belas kasihan, jawab Sukesi. Ia terus terbang dalam keindahannya.
Anakku, apakah berkah dari kesendirian" Kesendirianmu adalah keresahan burung merpati yang terbang tinggi, tinggi sekali, tapi kemudian jatuh ke bumi dan minta perlindungan kepadanya. Dengarlah Sukesi, Sastra Jendra itu adalah cinta. Baru dengan cinta itulah kau bisa membalik dunia, kata Wisrawa.
Dewa-dewa di kahyangan mulai resah. Roh-roh jahat gentayangan. Bidadari-bidadari merah wajahnya karena iri. Akan terjadikah kerajaan cinta yang mengalahkan segalanya" Sementara wajah Begawan Wisrawa makin terang mengalahkan sinar matahari pagi.
Sukesi, di sebuah kerajaan di seberang bumi ini, ada dua makhluk yang seluruh hidupnya adalah mencinta dan dicinta. Bahkan angin kahyangan pun tak mampu menguburkan mereka.
Mereka tak megenal waktu. Tak lelah-lelah yang satu memandang lainnya, sampai beruban rambut mereka. Mereka adalah pria dan wanita. Tak ada kembang gading, tak ada kembang tanjung dapat tumbuh dengan indahnya seperti bila dua makhluk itu dalam cintanya.
Air bisa kehilangan kesegarannya bila tiba di muara, tapi cinta mereka hidup dari pagi sampai malam. Api yang menyala dari pusar bumi pun tak mampu menghanguskan cinta mereka. Dan lihatlah, musim-musim telah berganti sampai tujuh kali peredaran jagad raya ini, tapi keindahan cinta mereka sanggup membuat dunia kembali kepada masa mudanya yang tak bercela.
Sukesi, pria telah memetik sekuntum kembang menur dari wanita, tapi wanita tak merasa taman hatinya tercuri kesuciannya. Sebab dengan memetik sekuntum kembang menur itu, pria membunuh dirinya sebagai kumbang yang kehilangan sengatnya. Bibir merah wanita bukanlah kelopak bunga yang menantang asmara matahari pagi, melainkan pelangi yang berisi aneka warna rahasia kehidupan. Dan ketika pria mencium bibir wanita, terbukalah aneka warna rahasia kehidupan itu.
Cinta menuntun mereka melewati jalan-jalan sempit penuh duri, tapi cinta membawa mereka melewati padang-padang terang bulan. Cinta menjerumuskan mereka ke dalam jurangjurang dalam, tapi cinta mengangkat mereka ke puncak gunung kembar di mana berdiri pohon beringin kembar. Cinta menyeret mereka masuk ke pondok yang hampir rubuh bila dilihat dari luar, tapi begitu tiba di dalam mereka berada dalam balairung yang dihampari permadani yang tersulam aneka bunga-bungaan. Begitulah Sukesi, dalam cinta kebahagian dan penderitaan itu bersatu, lebur menjadi kehidupan, kata Wisrawa. Sukesi, kini kau mengerti bahwa cintalah yang menciptakan kehidupan. Karena cinta itu, anak-anak manusia sudah lahir sebelum ia keluar dari kandungan ibunya. Cinta selalu menemukan jalannya sendiri, anakku. Buat cinta, tak ada angin sekuat badai, tak ada petang segelap malam. Cinta selalu bisa mengalahkan segalanya, termasuk hawa nafsumu sendiri, Sukesi.
Begawan, di manakah cinta itu berada" tanya Sukesi yang semakin kagum karena melihat begawan Wisrawa kelihatan makin agung.
Sukesi, cinta itu ada dalam budimu sendiri. Budimu itulah yang menjadi sumber cinta, bukan hawa nafsumu. Budimu itulah pangkal segala-galanya, Sukesi, maka Sastra Jendra tak lain tak bukan adalah cinta dalam budi. Cinta di dalam budi itulah kehidupan yang sejati. Kalau kau sudah memahami cinta dalam terang budimu, genap sudah pemahamanmu akan Sastra Jendra. Dan ketahuilah, pada saat itu pula, kerajaan di seberang jagad raya tempat dua makhluk mencinta dan dicinta itu sudah ada dalam dirimu. Pada saat itu pula Sukesi, dewa-dewa sebenarnya sudah mati. Dewa-dewa itu ada karena kau masih ada dalam kerinduan akan keilahian. Ketika kau sudah memahami cinta dalam budi, kau menjadi titah yang sejati, kau menjadi ilahi, maka takkan terpikirkan lagi olehmu keilahian dewa-dewa yang selalu kau bayangkan dahulu, kata Wisrawa.
Tiba-tiba terjadilah gempa tujuh kali. Bumi bergoncang, air laut mendidih. Di mana-mana panas membakar bagaikan kawah gunung berapi. Tanaman-tanaman mengering, hewanhewan susah mencari makan, dan burung-burung di udara jatuh lingsut dari udara. Tanah pun menganga, gunung-gunung raksasa menggelegar ngeri. Dan lahar meluap ke kanan-kiri punggung-punggung bumi. Pintu khayangan digedor para brekasakan yang terbirit-birit lari minta perlindungan. Para bidadari tersungkur tangis-tangisan. Jagad raya seperti terbalik karena hampir terpenuhi permintaan Dewi Sukesi! Batara Guru kebingungan. Sukesi, sudahkah saatnya kau sempurna sebagai titah" Kasihanilah tangis jagad raya yang belum saatnya kau cela. Kau menyanyi seperti burung perenjak pagi, merindukan tamu keabadian yang belum saatnya datang. Kau masih berbadan wadag (jasmani), Sukesi, dunia yang berbadan wadag ini belum sanggup mengikuti keheningan budi ilahi. Maka bergoncanglah keseimbangan jagad raya ini, teriak Batara Guru yang mengintip keindahan Sukesi dari celah-celah awan.
Batara Guru tahu, jagad raya ini akan tenang dan mempunyai wajah yang sama sekali baru, bila manusia bisa bertahan pada keilahian budinya yang wening. Tapi jagad raya ini akan menjadi bagaikan neraka, bila manusia tak sanggup mempertahankan budinya. Maka ia memutuskan turun ke dunia, mencobai Wisrawa dan Sukesi, sampai di manakah mereka sudah bersih dari hawa nafsunya, meski mereka sudah memahami Sastra Jendra dalam pikirannya.
Batara Guru menyusup ke dalam tubuh jasmani Dewi Sukesi. Cantik jelita Dewi Sukesi bagai tak ada duanya. Matanya menjadi mata puspita dari bintang-bintang yang menyala. Bulan purnama kembar jatuh ke dunia menjadi buah dadanya. Jalannya menyerupai kembang setaman yang melambai-lambai. Sukesi menikmati hawa nafsunya. Wisrawa seakan bisa jatuh di pelukannya.
Begawan, betapa mulia wajahmu seperti Batara Kamajaya, setelah kau mewedarkan Sastra Jendra kepadaku. Sudah kukatakan, siapa saja, tak peduli tua atau muda, akan menjadi kawan hidupku, bila ia dapat mewedarkan Sastra Jendra kepadaku. Begawan, lihatlah aku mengaduh dari kesendirianku, kata Dewi Sukesi. Matanya mengerling indah, dan kondenya mengurai, menyebarkan bau harum putri dewi matahari.
Oh Sukesi, kenapa kau bedaki pipimu dengan merah-merah kembang api dari neraka" Ikatlah rambutmu, supaya kondemu tetap menjadi kekasih hatimu sendiri. Dan lunakkan suaramu, supaya tidak menjadi suara menyeramkan dari makhluk jahat yang haus darah. Sukesi, ingatlah, aku datang bukan untuk dirimu, tapi untuk anakku terkasih Danareja. kata Wisrawa marah. Wisrawa makin menyala kesuciannya. Cahaya ilahi membersit dari atas kepalanya, menyinari kegelapan hawa nafsu Dewi Sukesi. Sukesi seperti dihentakkan dari lamunannya.
Begawan, maafkan aku. Budiku kabur karena hawa nafsuku. Aku telah tertipu seakan melihat Batara Kamajaya di hadapanku, padahal kau lebih agung dari siapa saja, sehingga tak boleh aku menjamahmu. Aku tahu Begawan, Sastra Jendra itu bukan sekedar pengetahuan, tapi kehidupan. Ia bukan untuk dimengerti, tapi untuk dihayati. Maafkan aku, Begawan yang suci, kata Dewi Sukesi. Air matanya berlinang penuh penyesalan.
Batara Guru kagum akan keteguhan Wisrawa. Dan terkejut menyaksikan pengaruh cahaya kesuciannya terhadap hawa nafsu Dewi Sukesi. Kini ia menyusup ke badan jasmani Begawan Wisrawa untuk mencobai kekuatan budi Sukesi.
Wisrawa bagai mandi di lautan darah. Telapak kakinya menjadi belati-belati kaki kuda yang larinya menutupi bumi. Dengan lentera hitam, ia hendak meraba sukma Dewi Sukesi yang gemerlapan bagai intan berpendar. Gemetar hawa nafsunya hendak memeluk Dewi Sukesi.
Sukesi, anakku Danareja sudah mati kaena belati-belati kaki kudaku. Roh-roh halus lari seperti kukus-kukus tak berapi, takut pada lentera hitam yang kubawa. Sukesi biarlah mereka menangis dalam kesedihannya. Marilah kita menghiasi bumi ini dengan percikan darahmu ketika kau merintih pada malam pertama kau bersamaku. Lupakanlah, anakku Danareja, Sukesi! kata Begawan Wisrawa. Dari hatinya, keluar sebilah keris yang bercahaya api merah darah.
Begawan, dengarlah, dunia menjerit merintih-rintih. Bunga srigading menutup matanya karena duka. Dewa-dewa puas tertawa karena kita tidak jadi membalik dunia. Oh, Begawan
semoga cahaya ilahi bersinar menerangi budimu yang tertutup awan tebal hawa nafsumu, kata Sukesi. Lemah suaranya, seperti angin-angin datang berpusaran, menghembuskan kehidupan. Wisrawa terkejut, lalu menyesali dorongan hawa nafsunya.
Batara Guru pulang ke kahyangan. Gagal menaklukkan dua makhluk dunia yang berada di ambang kesempurnaan. Sementara itu jagad makin bergoncang, guntur dan kilat terus bersahut-sahutan. Seakan dunia sebentar lagi akan dibawa menuju ke perubahannya.
Tiba-tiba di depan pintu kahyangan, Sela Matangkep, terjadilah huru-hara luar biasa. Bagaikan air bah, mengalir darah dari mulut-mulut raksasa yang berkepala manusia. Sela Matangkep bergetar daun pintunya dihajar banjir darah itu, sampai terhentak kedua penjaganya, Cingkarabala dan Balaupata.
Warudoyong bermatakan sing barong dan pocong bergendongan dengan jerangkong, berenang-renang dalam air bah darah itu. Banaspati menyemburkan kawah-kawah gunung berapi di atasnya. Dan balangatandan mengapungkan bumi, ingin dihantamkannya ke pintu kahyangan. Di belakang para makhluk jahat itu, menangis sedih berjuta-juta manusia, yang masih ingin tidur dalam dosa-dosanya.
Hai Raja para Dewa, keluarlah, dan dengarkanlah kami. seru suara-suara kasar bersama air bah darah. Batara Guru berdiri di sela-sela Sela Matangkep, bergetar juga hatinya melihat balatentara kejahatan itu.
Lihatlah, berjuta-juta manusia yang mengiringi kami. Mereka ini belum lelah dengan dosa-dosanya. Pandanglah tangis mereka. Kami ingin mereka tetap menangis, karena memang demikian kehendak mereka. Jangan sampai tangis mereka diubah menjadi kebahagiaan oleh kesucian Wisrawa dan Sukesi, yang kini sudah berada di ambang Sastra Jendra.
Maka, hai Raja para Dewa, jangan kau mengira mereka telah berhasil memasuki alam ilahimu. Mereka masih milik kami. Percobaanmu terhadap mereka belum lengkap. Manusia itu adalah laki-laki dan wanita. Manusia belum menjadi ilahi, bila hanya lelaki saja yang bisa memiliki cahaya ilahi. Dan manusia belum ilahi pula, bila hanya wanita saja yang bisa memiliki cahaya ilahi. Turunlah ke dunia dan cobailah mereka berdua bersama-sama. Nanti kau akan tahu bahwa keduanya adalah makhluk yang masih ingin berdosa. Wisrawa dan Sukesi tak mungkin menghindar dari kekuasaan kami. Mereka sama dengan manusia-manusia yang mengiringi kami dengan tangisnya ini.
Demikianlah suara-suara kejahatan itu berteriak riuh-rendah. Batara Guru kembali ke istananya, memanggil istrinya, Dewi Uma. Hening sejenak, dan berhentilah arus air bah darah para makhluk-makhluk jahat itu.
Uma, ikutlah turun ke dunia bersamaku. Sukesi dan Wisrawa sudah di ambang kebahagiaannya. Tapi salah satu dari mereka justru terjerumus ke dalam lembah kenistaan, ketika yang lain sudah berhasil melampauinya. Kalau keduanya berhasil melangkahi lembah kenistaan, kerajaan para makhluk jahat itu, dunia mereka akan menjadi satu dengan alam keilahian ini. Aku merasa tidak adil karena hanya mencobai salah satu dari mereka. Maka sekarang ikutlah bersamaku. Dan marilah kita cobai mereka berdua bersama-sama. kata Batara Guru.
Setibanya di dunia, Batara Guru dan Dewi Uma langsung mencobai kekuatan Wisrawa dan Sukesi.
Batara Guru menyusup ke badan Begawan Wisrawa. Dan Dewi Uma menyusup ke badan jasmani Sukesi. Malam paro bulan. Gelap di sana, dan tak ada suatu apa di sekitarnya, kecuali ratapan nafsu yang merintih-rintih. Burung walik menghentikan tertawanya seperti nenek tua yang sebentar lagi mati.
Malam tak mau beranjak. Keheningan berteriak. Oh, keheningan penuh duka yang meninggalkan dunia melewati tanggatangga langit. Di bawah awan-awan yang muram, keheningan itu seperti makhluk berjubah putih-putih, mengkilat kemudian redup, masuk ke kerajaan cinta di seberang jagad raya. Keheningan itu menghilang. Dan lihatlah Wisrawa dan Sukesi sedang tidur menikmati hawa nafsunya. Keheningan itu adalah Sastra Jendra yang telah meninggalkan Wisrawa dan Sukesi karena mereka tega membunuhnya. Dua makhluk, pria dan wanita itu, gagal menghayati Sastra Jendra sebagai kehidupannya meski mereka sudah memahami dalam pikirannya.
Sekarang kembali dunia menjadi tenang. Langit tidak lagi menurunkan hujan darah. Tanah-tanah yang menganga merapat seperti sediakala. Brekasakan tertawa-tawa riang gembira. Hewan-hewan makan dengan kenyangnya, dan burung-burung tebang dengan tingginya. Tapi ketenangan itu adalah ketenangan seperti semula. Makhluk-makhluk dunia tetap berada dalam dosanya. Jagad raya tidak jadi dibawa menuju ke perubahannya, karena dua makhluk dunia gagal menghayati inti dan hakekat kehidupannya, dan Sastra Jendra menjadi semata-mata impian mereka yang masih diselubungi hawa nafsunya.
Sukesi merintih sedih. Kemuliaannya telah menjadi kesengsaraan. Rambutnya tergerai di atas pelataran kembang kenanga, ke mana-mana gerakannya, setelah dijamah oleh tangan Wisrawa yang kotor dengan hawa nafsunya. Sementara Wisrawa kelihatan seperti pendeta tua yang hidupnya terkutuk oleh para dewa karena tiada menyanyikan darma di atas api kuburannya.
Sukesi, nasib apa yang menimpa kita. Lihat, busanamu merah karena terpercik darah. Darah itu adalah dosa-dosa jagad raya. Kau telah mengandung, Sukesi. Dari kandunganmu kelak lahir makhluk yang dosanya tiada tara. Dialah kejadian dari hawa nafsu kita. Sukesi akankah kita menerima semuanya ini" Kita telah berdosa, Sukesi. Dan kau Danareja, anakku tercinta, maafkanlah ayahmu ini, kata Wisrawa berlinangan air matanya.
Anakku, jangan kau tangisi kemalanganmu. Nyanyikanlah kemalanganmu menjadi sebuah darma, karena memang demikianlah tugas setiap manusia. Kau berdua telah mencari kebahagiaan di luar kemalanganmu. Padahal bagi manusia, dalam kemalangan itulah istana kebahagiaan. Ingatlah, tak mungkin bagi manusia, mencari sendiri kebahagiannya yang sejati, karena manusia terikat pada kejahatan yang melahirkan hukum-hukum kemalangan itu, tiba-tiba terdengar suara ilahi menyapa Sukesi dan Wisrawa.
Anakku, kau berdua mengira, hanya dengan budimu kau dapat mencapai kebahagiaan yang abadi itu. Kau berdua lupa, bahwa hanya dengan pertolongan yang ilahi, baru kau dapat mencapai cita-cita mulia itu. Manusia memang terlalu percaya pada kesombongannya, lupa bahwa kesombongannya yang perkasa hanyalah setitik air di lautan kelemahannya. Tanpa bantuan yang ilahi, kau pasti tenggelam lagi dalam lautan kelemahanmu itu. Dan itulah yang kini kau alami.
Ketahuilah, anakku, Sastra Jendra bukanlah wedaran budi manusia, melainkan seruan sebuah hati yang merasa tak berdaya, memanggil keilahian untuk meruwatnya. Kau mengira, dengan budimu kau bakal memasuki rahasia Sastra Jendra. Kenyataannya adalah kebalikannya: baru dengan hatilah manusia akan merasakan kebahagiannya. Namun seharusnya kau tahu, hati manusia dalam badan jasmaninya itu demikian lemahnya. Budimu bisa membayangkan keluhuran apa saja, tapi serentak dengan itu hatimu bisa terjerumus ke dalam kenistaan tak terkira, seperti yang kau alami hari ini. Maka anakku, Sastra Jendra pada hakekatnya adalah kepasrahan hati pada ilahi, supaya yang ilahi menyucikannya. Kepasrahan hati itulah yang tak kau alami, ketika kau merasa memahami Sastra Jendra. Kau dihukum oleh kesombongan budimu sendiri, yang tidak mempedulikan jeritan hati dalam belenggu jasmaninya yang masih berdosa tapi ingin pasrah. Dan itulah dosamu, anakku, suara ilahi itu berkata-kata, kemudian meninggalkan Wisrawa dan Sukesi dalam kepedihannya.
Sukesi tidak dapat berbicara apa-apa. Gelisah dan merasa
L angit seperti ladang hitam. Padanya bergantung bulan sabit
yang kelihatan seram. Kebahagiaan bagaikan tertidur. Kesedihan hati Wisrawa dan Sukesi adalah air mata bintang-bintang yang cahayanya ditelan malam kelam.
Para brekasakan, banaspati dan gandarwa membuat dahuru reridhu. Suara mereka berteriak memecahkan kensunyian. Mereka adalah para arwah yang kesasar sukmanya dan belum menemukan kedamaiannya. Para arwah ini marah kepada Wisrawa dan Sukesi yang karena dosanya makin menjerumuskan mereka ke alam kutukan para dewa.
Prabu Sumali termenung resah. Hatinya tak mau tentram memikirkan anaknya. Sementara lentera istana Alengka ingin padam ditiup angin malam.
Sukesi, kenapa langit menjadi hitam menggendong bulan sabit yang menyeramkan" Semoga keinginanmu tidak menambah dosa Negeri Alengka ini, anakku! demikian Prabu Sumali berkata dalam hatinya.
Tiba-tiba Dewi Sukesi tersungkur di hadapannya. Ayah, anakmu telah berdosa. Oh Ayah, aku telah menjadi korban dari harapanku sendiri. Pandanglah aku, Ayah, pandanglah aku telah mengandung, mengandung dosa, Sukesi menjerit. Air matanya jatuh membasahi permadani istana.
berdosa. Keindahan yang dialaminya ketika ia hidup dalam cinta budinya, kini akan menjadi duka seumur hidupnya. Ia langsung memeluk Wisrawa. Menangis sepuas-puasnya. Malam menangis panjang. Dua makhluk ini berjalan dalam kegelapan. Arwaharwah leluhurnya tidur dalam harapan yang tak kesampaian. Di kejauhan menanti Prabu Sumali dalam keresahan.
Anakku, apa gerangan yang terjadi" Kecantikanmu seperti memudar. Kenapa aku takut memandang wajahmu" Katakan Sukesi, apa gerangan yang terjadi" Prabu Sumali mendesak tak sabar.
Sukesi tak dapat meneruskan kata-katanya. Ia terbungkam bersama kesunyian malam. Oh, kesunyian yang mencekam. Dan Prabu Sumali tahu betapa kesunyian itu tersenyum. Menertawakan Sukesi yang baru saja menambah dosa jagad raya.
Sementara terlihat Wisrawa bagaikan terpenjara dalam penyesalannya. Wisrawa terpaku pada kengeriannya. Matanya bagai tertutup debu. Sekonyong-konyong Wisrawa memeluk Prabu Sumali. Dan Prabu Sumali merasakan kegelapan dan ketakutan hatinya.
Adikku Sumali, maafkanlah aku. Lupakanlah fajar masa muda kita yang cerah ketika dunia menjadi ladang harapan bagi kita. Kini di hari-hari tua kita, dunia menjadi ladang penderitaan bagi kita. Sumali, aku tak layak menjadi menantumu. Aku telah menuruti hawa nafsuku, justru ketika keabadian hendak membuka pintunya bagi kita saat Sastra Jendra hampir menghampiri aku dan anakmu, Sukesi. Aku berdosa terhadap kau, Sumali, kata Wisrawa. Prabu Sumali menatap gunung Maliawan, yang terletak jauh dari Alengka. Ucapan Wisrawa seperti membuat gunung yang suci bergerak dan menutupi bumi Alengka. Kesedihan raja raksasa yang berhati manusia ini makin membuat malam bertambah suram. Dipandangnya anaknya tercinta, yang tersungkur dihadapannya.
Sukesi, dulu telah kukatakan, kenapa kau ingin redupnya rembulan dan mematikan cahaya matahari. Mungkinkah badan jasmanimu kau jadikan badan ilahi yang bisa mencuri bulan dari malam" Kau hanya bermimpi dalam tidurmu, Sukesi. Dan ternyata, sementara kau bermimpi, matahari sudah bangun dari tidurnya, menguakkan dunia seperti sediakala. Anakku, peluklah ayahmu yang berbadan raksasa ini. Dan semoga kau tetap merasakan kasih sayangku, meski kau telah menyianyiakan harapanku, kata Prabu Sumali. Malam menjadi terang sebentar. Bulan sejenak menjadi bundar. Cahaya berkilat sejenak menerangi Alengka. Dan bau harum bunga-bunga ditaburkan bidadari surga. Kata-kata Prabu Sumali yang bijaksana itu ternyata dapat sebentar membuat dunia kembali dalam keseimbangannya.
Sukesi makin menangis terharu. Ratapannya yang memilukan hati seperti kekeringan yang mengharapkan belas kasih megamega.
Sudahlah Sukesi, keringkan air matamu dan tengadahkan wajahmu seperti bunga yang mau mekar di tamanmu Argasoka. Buatlah masa lalumu menjadi nyanyian yang mengharapkan kedatangan masa depan sebagai fajar. Semoga dari kegagalanmu menghayati Sastra Jendra, kau akhirnya mengerti bahwa di dunia ini nafsu manusia itu bagaikan samudra, sedangkan budinya hanyalah daratan kecil di tengah-tengahnya. Sukesi, budi manusia itu memang bagaikan orang lumpuh yang terang matanya, tapi terpaksa digendong ke mana-mana oleh nafsunya berupa orang kuat tapi buta matanya, kata Prabu Sumali menghibur kesedihan anaknya.
Dan Wisrawa kakakku, apa yang mesti kukatakan lagi" Aku hanya dapat membayangkan kesedihanmu adalah tatapan mata akan Negeri Alengka yang mungkin akan hancur di masa depannya. Barangkali mesti demikianlah kehendak dari yang menjalankan jagad raya ini, supaya dunia bisa makin suci justru karena ia menyesali dosa-dosa kita. Terimalah Sukesi, kakakku, kata Sumali.
Di luar tiba-tiba terdengar suara menggelegar. Arya Jambumangli marah bukan buatan. Raksasa dahsyat, paman Dewi Sukesi itu, kembali menjadi haus darah ketika mendengar peristiwa keponakannya. Rambutnya kasar panjang, merah warnanya seperti mega-mega berapi. Teriakannya riuh-rendah bagai guntur malam hari.
Wisrawa, kau pendeta berhati serigala. Kesucianmu ternyata hanyalah selubung dari nafsumu. Kau telah menghina kesucian keponakanku. Biarlah darahmu segera menjadi minuman setansetan jahat di bumi Alengka ini, teriak Arya Jambumangli. Raksasa ini segera menyeret Wisrawa ke luar dari pendapa istana.
Wisrawa gundah-gulana hatinya. Andaikan ia sendiri tidak berdosa, betapa ia dapat membuka kedok kasih sayang Arya Jambumangli terhadap keponakannya. Ia tahu, sayembara memperebutkan Dewi Sukesi yang diadakan Jambumangli sebenarnya diperuntukkan bagi dirinya sendiri. Ia adalah raksasa amat sakti, tak mungkin ada manusia atau raja yang dapat mengalahkannya. Dengan demikian, Sukesi akhirnya dapat dimilikinya sendiri, setelah semua peminang digulingkannya.
Jambumangli, memang aku telah berdosa. Tapi aku minta, berkacalah kau pada dosa-dosaku itu. Lalu mungkin kau tahu bahwa kita sama-sama makhluk yang menuruti hawa nafsu kita, hanya demikian kata Wisrawa.
Amarah Jambumangli meledak. Ia segera tahu bahwa Wisrawa telah memahami isi hatinya yang jahat. Dari semula ia memang ingin memiliki Dewi Sukesi. Hanya ia malu terhadap Prabu Sumali, lalu pura-pura melindungi Dewi Sukesi dengan sayembaranya.
Maka dihajarnya Wisrawa dengan segala kekuatannya. Wisrawa hanya diam saja. Tapi terdengarlah suara dari surga, agar ia menggunakan kesaktiannya untuk segera menghabisi nyawa Jambumangli, supaya berkurang pertumpahan darah di Alengka akibat tipu muslihat Jambumangli.
Wisrawa mencabut pusakanya. Ditatapnya pusaka itu, lalu keluarlah cahaya bening. Jambumangli yang terbahak-bahak, dililit oleh cahaya bening yang tiba-tiba menjadi naga raksasa, sisik badannya adalah duri-duri tajam sebesar daun kelapa. Jambumangli bekelojotan. Namun ia mencoba berdiri dan menyerang Wisrawa.
Raksasa sebesar gunung ini menghantamkan tubuhnya ke Wisrawa. Cepat-cepat Wisrawa mengelak, sementara itu pusaka cahaya bening telah kembali lagi ke tangannya. Dilepaskannya pusaka sakti itu, tiba-tiba di udara ia menjadi ribuan anak panah, yang memenggal-menggal anggota tubuh Jambumangli.
Oh Wisrawa, kau telah melanggar janjimu sendiri. Kau telah membayar dengan darahku untuk memperoleh Sukesi bagimu. Ingatlah, kelak anakmu akan mengalami nasib yang sama dengan diriku, jerit Jambumangli menyayat hati. Diiringi teriakan kesakitan, Jambumangli binasa. Dan darahnya mengalir, melepaskan dahaga bumi Alengka, yang haus darah.
Oh Dewa, lakon hidup apa yang kini sedang kujalani" Aku tak mau membayar cinta anakku Danareja dengan pertumpahan darah. Tapi kini di hadapanku mengalir darah karena aku terpedaya oleh hawa nafsuku terhadap calon istri anakku. Danareja, apa yang harus kukatakan padamu" Begawan Wisrawa merintih sedih. Rintihannya panjang, merayapi Negeri Lokapala.
D i Negeri Lokapala, Danareja bagaikan anak yang telah diting-
gal bapaknya. Ia tidak tahu apa yang terjadi di Alengka. Namun asmaranya pada Dewi Sukesi makin mekar bagaikan kembang selasih di pagi hari. Hanya sebentar-sebentar ia resah, seakan me-dapat irasat ayah-ya telah pergi jauh me-i-ggalka--ya. Pada saat-saat begini, ia merasa betapa kasih sayang ayahnya dapat mengalahkan asmaranya.
Ayah kau selalu bilang, jangan takut anakku, alam selalu tersenyum kepadamu. Kini kumerasa alam seperti terus menangis, dan lihatlah tangisnya membuat pedih bumi Lokapala. Ketika kau berada jauh di pertapaan sebagai pendeta suci, aku tetap merasa hangat dalam tidurku, karena aku merasa selalu kau selimuti dengan kesucianmu. Kini aku merasa dingin dalam malam-malam sepi. Apakah kau telah meninggalkanku, Ayah" Danareja, raja yang tampan itu terus melamun.
Nak, jangan kau terus bersedih dengan lamunanmu, tegur Dewi Lokawati, yang sangat mencintai anaknya, Danareja.
Ibu, hatiku merasa takut. Sudah lama, Begawan Wisrawa, ayahku, belum juga tiba. Lokapala serasa digoncangkan dengan badai aneka kembang-kembangan. Awan-awan terbang dengan teriakan panjang. Aku tak bisa mematikan api kerinduanku akan Dewi Sukesi, tapi sementara itu aku merasa api kerinduan itu seakan membakar kekasih hatiku menjadi sekuntum mawar yang kejam. Ibu, apakah yang akan terjadi" tanya Danareja.
Dewi Lokawati ikut merasa me-dapat irasat jelek, me-dengar kata-kata anaknya. Namun ia berusaha untuk tetap menghibur hati Danareja.
Danareja, anakku! Jangan kau turuti ketakutan hatimu. Lihatlah, burung tadahasih hinggap di tangkai bunga selasih, maka terdengarlah nyanyian cinta, meski masih ada dalam derita. Saat-saat membahagiakan memang selalu menakutkan, anakku. Saat-saat membahagiakan bisa membuat kita takut akan segala-galanya. Takut akan harapan kita, takut akan kegagalan kita. Manakah ada surga, jika kita tidak takut akan neraka"
Tapi, Nak, hilangkanlah ketakutanmu kali ini. Percayalah sebentar lagi ayahmu akan tiba, mengajakmu pergi ke Alengka untuk memboyong Dewi Sukesi ke Lokapala. Betapa bahagia hatiku, Nak, biarlah aku yang telah beruban ini cepat mati bersama Wisrawa, ayahmu, asal kau sudah bahagia, karena tercapai cita-citamu. Maka kini, persiapkanlah dirimu, Nak. Mari kita menyongsong kedatangan ayahmu dengan hati gembira. Hari inilah kesukacitaan kita, kata Dewi Lokawati. Semangat Danareja bangkit, setelah mendengar kata-kata ibunya yang menghibur itu. Ayahnya, Begawan Wisrawa, seakan sudah mendekati pintu benteng Lokapala. Danareja lalu memanggil kedua patihnya, Banendra dan Gohmuka.
Persiapkanlah Negeri Lokapala ini untuk menyongsong kedatangan ayahku, Wisrawa. Hamparkanlah permadani terindah dari alun-alun ke istana, supaya menjadi jalan bagi ayahku yang telah lelah. Dan tabuhlah gamelan Lokananta, gemakan suara indahnya ke hutan-hutan yang kini sedang dilalui ayahku. Lalu tariklah kereta kencana dengan sembilan kuda ke benteng kota. Tunggulah di sana. Sebentar lagi Wisrawa, ayahku, akan tiba dari perjalanan cinta. Naikkan dia ke atas kereta. Dan perintahkan rakyat supaya menyambutnya dengan penuh sukacita. Tiada orang yang berjasa seperti ayahku, maka pantaslah kalau Negeri Lokapala menyambutnya dengan meriah, perintah Danareja dengan berapi-api. Ia masuk ke kamarnya dengan penuh lamunan akan Dewi Sukesi. Ia ingin bersujud di kaki ayahnya, sebagai ucapan terima kasihnya yang tak terhingga.
Sementara di kejauhan terdengar rakyat berteriak mengejek. Mereka menertawakan dua insan, pria dan wanita, yang berjalan minta belas kasih langit. Wisrawa kelihatan seperti kakekkakek, wajahnya makin menutupi hawa nafsu seorang jejaka yang menderita malu. Di sampingnya Sukesi, ia bagaikan Dewi Ratih yang sedang memudar kecantikannya karena kutukan para dewa. Wisrawa dan Sukesi hendak menghadap Prabu Danareja.
Danareja keluar dari istananya, ketika mendengar teriakan rakyatnya yang kian lama kian tidak mengenakkan hatinya. Dan betapa terkejut ia, serentak mengetahui apa yang sebenarnya telah terjadi. Hampir saja ia pingsan mengamati dua makhluk seperti setan berdiri di hadapannya, dan menangislah Danareja sejadi-jadinya.
Ayah, mengapa semuanya ini mesti terjadi" Danareja, anakku tercinta. Aku menyerahkan diriku kepadamu, bersama Sukesi, permata hatimu yang kini menjadi ibumu. Nak, terserah, apa yang akan kau perbuat bagiku. Aku berdosa kepadamu, Danareja, kata Wisrawa yang lalu bungkam seribu bahasa.
Ah, lihatlah, tangis Danareja seperti membuat tempat-tempat pemujaan para pendeta Lokapala menjadi puing-puing. Bau kemenyan dan dupa pemujaan tidak lagi membumbung kepada yang menjadikan jagad raya ini. Angin musim hujan berkelana ke tempat-tempat kosong. Lokapala telah dicabut kesuciannya.
Ayah, betapa kau tega terhadap anakmu. Kubiarkan hatiku dimakan rindu. Kunantikan kedatanganmu yang membawakan kebahagiaan bagiku. Di malam-malam, di siang-siang, Negeri Lokapala selalu memuji keluhuranmu dengan nyanyian panjang. Tengoklah, kesemarakan Lokapala yang ingin menyambut kedatanganmu. Ternyata kau, ayahku, datang dengan hadiah dosadosamu.
Ayah, akan kutaruh di manakah mukaku berhadapan dengan dunia" Betapa maluku, mempunyai ayah yang mencuri cinta anaknya. Jasamu ternyata hanya menuntun aku menuju kehancuranku. Dan mengatar Lokapala ke alam kutukan dewa. Ayah, kenapa kau hukum aku dengan kenistaanmu itu" kata Danareja merintih-rintih, rebah di pelukan ibunya yang tersayang, Dewi Lokawati.
Danareja, tenangkanlah hatimu. Hari-harimu masih panjang, Nak. Tabahkanlah hatimu untuk menerima percobaan hidup ini, kata Dewi Lokawati sambil terisak-isak.
Ibu, apa yang harus kuperbuat" Tak ada cara lain untuk menghapus nista yang kejam ini, kecuali aku atau ayahku, yang harus mati untuk menebusnya! Danareja tak dapat menahan amarahnya.
Danareja, jangan, Nak! Ingatlah, masih ada aku, ibumu, yang sangat mencintaimu dan mengharapkanmu. Betapa pun dia adalah ayahmu, kasihanilah dia, tapi lebih-lebih kasihanilah ibumu ini, pinta Dewi Lokawati dengan sedih hati.
Kata-kata Dewi Lokawati demikian mengharukan. Danareja luluh hatinya, lalu memeluk ibunya yang tercinta. Dan dengan perasaan hancur berpalinglah ia kepada Wisrawa.
Ayahku, mataku berat karena menahan rinduku dan kasih sayangku. Kini mataku seperti berdarah. Darah itu akan terus menetes sebagai air mata yang mengganggu tidurku, jika saat ini kau tak pergi meninggalkan Lokapala, kata Danareja. Dipandangnya ayahnya dengan mata berkaca-kaca. Dikerlingnya Dewi Sukesi, calon permaisurinya yang kini menjadi milik ayahnya sebagai perempuan yang berhati kematian. Sukesi membalas kerlingan Danareja dengan penuh penyesalan.
Lokawati, maafkanlah aku, terdengar suara Wisrawa memecahkan kesunyian. Dewi Lokawati tak bisa membalas dengan kata-kata, matanya berkunang-kunang memandang kepergian Wisrawa. Beginikah akhir cintanya" Dan inikah akhir pengorbanannya"
Oh Dewa, tabahkanlah hatiku, tapi lebih-lebih tabahkanlah hati anakku, Danareja. Sampai beruban rambutku telah kulewatkan hari-hariku dalam kesepian, demi kebahagiaan anakku. Dewa, mengapa kau timpakan nasib ini padaku" hati Dewi Lokawati terasa hancur. Ia mencoba menabahkan dirinya, tapi tak urung ia pun rebah di pelukan Danareja. Ibu dan anak ini tenggelam dalam kehancuran hatinya, mengiringi langkah-langkah Wisrawa meninggalkan Lokapala.
R akyat Lokapala beramai-ramai mengusir Wisrawa dan Sukesi
dari hadapan Prabu Danareja. Perempuan-perempuan bergegas naik ke tempat tinggi sambil meninggalkan anaknya yang me-
nangis untuk menyaksikan Wisrawa dan Sukesi yang digiring sebagai pencuri cinta anaknya, Danareja. Dalam amarahnya Danareja hancur hatinya menyaksikan kepergian ayahnya, tapi lebih hancur hati Wisrawa dan Sukesi.
Begawan, mengapa dunia menghukum kita dengan begini kejam" Dewi Sukesi merintih sedih. Wisrawa mengusap air mata kekasihnya sambil matanya menatap keelokan bunga srigading Negeri Lokapala yang dicintainya.
Malam kembali datang, tanpa terang sebuah bintang. Wisrawa dan Sukesi masuk ke hutan belantara gelap-gulita. Di bawah pohon beringin raksasa, Sukesi terjatuh dan merintih karena sakit kandungannya.
Begawan, apa yang akan terjadi" Mengapa kandunganku bergejolak seperti gunung berapi yang akan memuntahkan lahar panasnya. Kekasihku, aku tak tahan menanggung penderitaan ini, Dewi Sukesi terus merintih-rintih.
Bersama rintihan Dewi Sukesi, bumi dan langit seperti mau berpeluk-pelukan. Kilat berkelebat mau menghanguskan bumi. Dewi Widowati di kahyangan terkejut karena permata berliannya diterbangkan dari kalung kecana di dadanya. Dan di seberang lautan sana, anak bajang membawa tempurung bocor hendak menguras air samudra.
Dan Sukesi pun melahirkan kandungannya, beriringan dengan gempa bumi tujuh kali. Ia seperti mau mati ketika melihat bahwa bukan bayi yang dilahirkannya, tapi darah, telinga dan kuku manusia. Tak lama kemudian darah itu menjadi anak dengan sepuluh muka raksasa. Telinga menjadi anak raksasa sebesar Gunung Anakan. Dan kuku menjadi raksasa wanita yang tidak sedap baunya.
Sukesi, itulah wujud dosa-dosa kita, kata Wisrawa. Sukesi menangis terus, dan tangis itu makin membuat besar anakanaknya sehingga seperti makhluk dewasa. Wisrawa menamai anaknya yang bersepuluh muka dengan Rahwana karena ia lahir dari darah. Rahwana segera kelihatan angkara murkanya, lari-lari ganas, suaranya keras. Sepuluh mukanya melambangkan semua nafsu manusia dan kekacauan budinya yang berselisih satu sama lainnya. Anak kedua diberi nama Kumbakarna karena lahir dari telinga. Meskipun raksasa, anak ini amat bijak bestari, sebab ia melambangkan penyesalan dari ayah-ibunya setelah gagal menghayati Sastra Jendra. Dan yang lahir berupa kuku diberi nama Sarpakenaka. Ia adalah lambang wanita yang tidak mempunyai keistimewaan apa-apa kecuali kegemarannya akan lelaki.
Kelak ketika kembali ke Alengka, Wisrawa dan Sukesi melahirkan seorang putra lagi, yang diberi nama Gunawan Wibisana. Anak terakhir ini berupa manusia sempurna yang baik dan bijaksana. Karena ia lahir dari cinta sejati, jauh dari hawa nafsu Sukesi dan Wisrawa.
Dua D i Sebuah pelataran yang indah, seorang gadis jelita menari-
nari gembira. Wajahnya secerah pagi. Ia adalah Retna Anjani, putri Resi Gotama yang selalu menyanyikan darma. Mengiringi kegembiraan gadis jelita itu, bunga-bunga mawar laksana serimpi menari di tepi sungai kecil yang alirannya mendesir lewat lembah-lembah.
Retna Anjani bagaikan anak kecil yang tertawa bermain-main dengan jagad raya seisinya. Ada segumpal awan yang menyendiri dari kawan-kawannya untuk menjadi mendung menggumpal dan menurunkan hujan sebelum waktunya.
Dengan mudah Retna Anjani menangkap awan yang kesepian itu sehingga ia berkumpul riang dengan kawan-kawannya. Dan dunia pun cerah seketika. Betapa taat awan kepada Retna Anjani.
Lain kali, ketika senja sedang merekah, Retna Anjani melihat burung dara kehabisan nafas dikejar pemburu yang menginginkan kematiannya. Dan Retna Anjani tahu kesedihan burung yang malang itu. Ia menghiburnya dengan menyanyi dan berbicara dalam bahasa burung.
Hai Burung Dara, jangan kau bersedih. Di hadapan ilahi, kau adalah ciptaan yang bebas, sebebas manusia yang memburu kematianmu. Hanya manusialah yang membuat kau sebagai ciptaan yang tak berarti, kata Retna Anjani.
Lalu Retna Anjani meletakkan burung dara itu di awanawan. Ia pun bersuka hati, mengamati burung dara yang lepas dari kekejaman manusia. Sedang ia menari-nari karena kegirangannya, datanglah kedua kakaknya, Guwarsa dan Guwarsi.
Adikku, apakah yang kau pegang, sehingga kau bersuka ria" Baru saja kami mendengar seekor burung dara menangis sedih karena sarangnya dikoyak manusia. Kau ternyata dapat menghibur kesedihannya. Dan betapa hatimu tiba-tiba menjadi gembira, kata Guswara.
Anjani terkejut mendengar permintaan kakaknya itu. Segera ia menyembunyikan kedua tangannya yang memegang benda yang diinginkan kakaknya itu.
Anjani, tunjukkanlah kepada kami benda itu. Nampaknya diam-diam kau menyembunyikan pusaka. Tunjukkanlah kepada kami. Kalau tidak kami akan mengadu kepada ayah supaya kau dikutuk menjadi tugu, kata Guwarsi mendesak.
Retna Anjani ketakutan. Sebelum sempat ia menjawab, kedua saudaranya sudah lari menuju ayahnya, Resi Gotama, untuk menceritakan apa yang baru dialaminya. Resi Gotama merasa tak pernah memberi barang apa pun kepada putrinya, Retna Anjani. Maka didatanginya Retna Anjani dan dimintanya benda yang dipegang anaknya itu.
Benda tersebut ternyata sebuah cupu wasiat. Dan betapa terkejut Resi Gotama ketika mellihat segala isi jagad raya berada dalam cupu itu. Indah sekali kelihatannya.
Resi Gotama seperti berada dalam alam mimpi. Ia melihat rahasia-rahasia alam bergerak seperti ombak di atas samudra. Semua makhluk jagad raya seperti saudara sekandung yang saling mencinta. Harimau menyusui anak kambing, dan serigala bercumbu dengan rusa betina. Akar pohon gading merambat ke atas, lalu menjadi tangkai-tangkai yang menyemarakkan musim bunga.
Jagad raya itu bersuara seperti nyanyian perdamaian. Gemericik sungai-sungai kecil bertiup seperti seruling. Dan hantaman ombak samudra berteriak seperti sangkakala yagn menghentikan peperangan. Hujan yang jatuh di dedaunan laksana gemerincing gelang wanita yang malu terhadap kekasihnya.
Dan lihatlah, anak-anak manusia berkeliaran di tengah fajar. Tidur beralaskan kembang-kembang mekar. Bangun di pangkuan cahaya bintang. Anak-anak manusia ini selalu menjadikan hidupnya menjadi ucapan syukur bersama kicauan burung yang berterima kasih pada kehangatan alam.
Dalam jagad raya itu, sang surya menjadi mata dari malam! Putriku, benda ajaib ini adalah Cupu Manik Astagina. Cupu ini milik leluhur para dewa. Seorang leluhur para dewa mendapatkannya di negeri para malaikat di mana keadaannya lebih petang, lebih dari dingin, tapi sang surya selalu bersinar.
Di negeri para malaikat itu, leluhur para dewa mandi dengan air kehidupan yang berasal dari permata-permata mendung. Ketika hendak kembali ke alam dewa, leluhur itu ingin membawa air kehidupan permata-permata mendung. Dan ia tidak mendapatkan wadah untuk air itu. Tiba-tiba ibu para malaikat memberinya sebuah cupu, dengan cupu itulah para leluhur dewa menyimpan air kehidupan permata mendung.
Putriku, dalam air kehidupan itulah berada jagad raya sebelum dirusak oleh dosa manusia. Di dalamnya belum ada manusia, binatang atau tanaman dengan badan wadagnya. Yang ada hanya jiwa-jiwa ilahi yang hidup dalam keseimbangan serupa keindahan aneka warna. Itulah sebabnya kau tidak mendengar lagi jeritan manusia atau kicauan burung atau gaung serigala yang merindukan sesuatu yang belum dimilikinya, kata Resi Gotama.
Guwarsa dan Guwarsi terpesona mendengar keterangan ayahnya. Sementara Retna Anjani menangis, karena takut benda wasiat yang indah itu hilang dari tangannya.
Ayah, kenapa Cupu Manik Astagina itu mesti berada di tangan Anjani" Kami menginginkannya, Ayah! kata Guwarsa dan Guwarsi. Resi Gotama kebingungan mendengar permintaan kedua anak lelakinya.
Anjani, putriku yang jelita, dari siapakah kau mendapatkan cupu wasiat itu" Katakanlah, Nak, desak Resi Gotama.
Anjani terdiam, tak berkata suatu apa. Ditatapnya cupu itu dan ia melihat betapa matahari yang menjadi satu-satunya mata dari kegelapan malam bersinar terang. Cupu wasiat itu sebenarnya adalah pemberian ibunya, Dewi Windradi, seorang bidadari yang turun ke dunia dan menjadi istri Resi Gotama. Dewi Windradi berpesan, jangan sampai cupu wasiat itu ketahuan oleh siapa pun juga, termasuk kedua kakak dan ayahnya sendiri. Kini karena ketakutan, Anjani terpaksa mengatakan bahwa cupu itu adalah pemberian ibunya.
Resi Gotama segera memanggil istrinya, Dewi Windradi. Dewi Windradi tak mau mengaku dari mana asal cupu itu. Cupu itu pemberian Batara Surya ketika mereka berdua sedang berkasih-kasihan dahulu di kahyangan.
Windradi, kenapa kau diam saja" tanya Resi Gotama. Windradi tetap diam. Ia terdiam seperti malam yang dilindungi penderitaan. Tapi dalam keadaannya itu justru bersinar keindahannya, seperti kembang selasih yang mekar lebih indah bila dilihat dalam cahaya fajar.
Windradi benar-benar nampak sebagai bidadari kekasih Batara Surya. Ia teringat betapa dahulu cintanya terhadap Batara Surya bukanlah keinginan bidadari yang mau bermainmain dengan keagungan seorang dewa. Cintanya mengandung rahasia bahwa Dewa Surya akan mengasihi dunia justru lewat penderitaannya. Ia teringat kata-kata Dewa Surya bahwa Cupu Manik Astagina akan membawa malapetaka bagi dirinya dan keturunannya demi perubahan dunia.
Windradi, kenapa kau diam saja" tanya Resi Gotama kedua kalinya.
Windradi tetap terdiam, dan terdiamnya itu bagaikan nyanyian para bidadari surga yang membawa manusia kepada alam keabadiannya. Diam itu adalah suara hatinya. Diam itu yang memisahkannya dari dunia. Dengan diam itu ia merasa bahwa dunia ini adalah penjara bagi jiwanya yang berbadan manusia.
Windradi merasa dunia ini sudah saatnya diajak berubah menjadi seperti alam ilahi yang dilihatnya dalam Cupu Manik Astagina. Tapi ia tidak tahu bagaimana perubahan itu bisa terjadi. Ia hanya bisa merasakan, perubahan itu bakal terjadi karena penderitaan yang akan dialaminya. Maka ia diam. Dan diam itulah pengorbanannya!
Windradi, kenapa kau tak menjawab pertanyaanku" Kau diam seperti tugu batu! kata Resi Gotama yang hilang kesabarannya.
Ketika Resi Gotama mengucapkan kata-kata itu, ada bidadari berpakaian putih-putih menagis sedih. Tangisnya jatuh berupa bintang-bintang malam yang kepanasan di siang hari. Lalu bidadari itu seperti terpeleset, dari lereng-lereng surga. Dadanya berkalung kembang menur kehitam-hitaman. Dan Dewi Windradi pun berubah menjadi tugu batu!
Anjani pingsan seketika. Gadis jelita ini telah kehilangan ibunya yang tercinta. Guwarsa dan Guwarsi tersungkur ke tanah, memeluk ibunya yang telah menjadi tugu batu. Tugu batu itu diam, tapi Guwarsa dan Guwarsi bisa merasakan bahwa tugu batu itu bersuara lantang ingin membuka rahasia dunia. Dan betapa dengan kasih sayang, tugu batu itu membisikkan penderitaan dan pengorbanan.
Resi Gotama tetap belum habis kemarahannya. Apalagi ketika ia teringat akan mata Batara Surya yang menjadi mata dari
T elaga Sumala bening seperti langit. Seekor kura-kura mengam-
bang di dalamnya bagaikan bulan yang menjadi mata telaga. Bintang-bintang yang ditaburkan di dalamnya adalah riak-riak air yang digelarkan seperti mega.
Tapi Telaga Sumala sebenarnya bening hanya karena air
malam dalam Cupu Manik Astagina. Hatinya terbakar karena cemburu. Maka dilemparkannya tugu batu itu ke seberang lautan, tugu batu itu jatuh di tanah Alengka.
Dewa-dewa menaburkan bunga-bunga harum dari langit. Mereka bersyukur karena Windradi rela menyajikan penderitaannya demi perubahan dunia. Ketika tugu itu jatuh ke tanah Alengka, terdengar suara halus seperti suara seorang ibu yang mencium putranya tercinta. Kelak tugu batu itu memang akan membantu memusnahkan Alengka yang angkara murka.
Guwarsa dan Guwarsi meratap agar ayahnya rela memberikan Cupu Manik Astagina, peninggalan ibunya kepada mereka. Tapi Resi Gotama makin marah. Lalu ia melemparkan Cupu Manik Astagina ke udara.
Di udara, cupu terpisah dari tutupnya. Tutup cupu kemudian jatuh ke Negeri Ayodya dan menjadi Telaga Nirmala. Sedangkan cupu yang berisi air kehidupan jatuh di tengah hutan belantara menjadi Telaga Sumala. Berpadu dengan sumber-sumber air di bumi, air kehidupan seakan menjadi titik-titik air mata kebahagian yang telah berpadu dengan penderitaan.
Guwarsa dan Guwarsi mengejar Cupu Manik Astagina yang telah menghilang. Dan setelah sadar dari pingsan, Retna Anjani mengikuti mereka bagaikan anak manusia yang dituntun ke dalam penderitaan.
matanya. Air mata itu adalah kesedihan air kehidupan dari permata mendung yang keilahiannya telah bersatu dengan dosa-dosa dunia. Inilah tanda dunia seperti selalu berada dalam mangsa kapat (masa keempat) yang menahan air mata menggenang dalam hatinya sehingga kesejukannya tak dapat keluar menyegarkan dunia.
Dan lihatlah kesedihan Telaga Sumala itu sebentar lagi akan menyambut Guwarsa, Guwarsi, dan Retna Anjani masuk ke dalam penderitaannya!
Guwarsa dan Guwarsi lari naik-turun bukit. Mereka berjalan di bawah bayang-bayang awan-awan senja. Matahari segera akan berpamitan minta diri karena beban berat dunia yang ditanggungnya lalu melepas beban berat itu untuk diserahkan kepada kekuasaan bulan yang mengawal malam.


Anak Bajang Menggiring Angin Karya Sindhunata di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Guwarsa dan Guwarsi sebentar lagi akan terjun ke Telaga Sumala karena mereka mengira Cupu Manik Astagina yang dilemparkan oleh ayahnya tercebur di telaga yang bening itu.
Ada kesedihan di puncak gunung. Ada tangisan di lembahlembah. Dan ketakutan di dalam diri bunga-bunga kanigara, ketika Guwarsa dan Guwarsi menceburkan diri ke dalam Telaga Sumala.
Sepasang burung engkuk yang sedang berkasih-kasihan tibatiba menghentikan keinginannya karena ketakutan. Sambil melihat Guwarsa dan Guwarsi mereka seakan berkata satu sama lainnya, Oh manusia yang pemberani, keberanianmu itulah tombak yang akan menguburkan dirimu sendiri. Dan ingatlah, ketampananmu akan ditelan kegelapan malam.
Guwarsa dan Guwarsi tak sedikit pun memperhatikan ketakutan alam yang menyanyangi mereka. Dan mereka pun menceburkan diri ke dalam Telaga Sumala. Tiba-tiba mereka merasa telaga yang bagaikan cermin bidadari surga itu menjadi jelaga hitam, pupur setan-setan betina di dunia bawah. Dan langit pun menurunkan hujan darah di permukaan telaga. Sejenak ada terang yang berasal dari sinar mata Batara Surya. Dan Guwarsa melihat seekor kera menyelam di dalam telaga. Ia menyangka kera itu adalah pencuri Cupu Manik Astagina. Ia segera menyerang kera itu dengan segenap tenaganya. Amarahnya meledak-ledak seperti mau mengebur air telaga.
Hai, makhluk rendah, tak berbudi! Kembalikan cupu wasiat itu kepadaku, sebelum kuinjak-injak kepalamu yang kosong itu, teriak Guwarsa. Ia kaget karena kera lawannya itu dapat marah seperti dia.
Lihatlah dirimu sendiri. Kau adalah anak kera. Bulu badanmu mengingatkan aku ketika dewa mengutuk manusia karena dosa-dosanya, balas Guwarsi marah.
Guwarsa mulai ragu-ragu. Dan Guwarsi pun sejenak termanggu-manggu. Mereka seperti merasa marah terhadap dirinya sendiri. Di sandaran sebuah batu serupa gapura, seekor ikan mengedipkan matanya. Dan keluarlah suara yang bergemuruh seperti ombak samudra, Oh duka anak-anak manusia. Dunia akan kegirangan menyambut kedatanganmu sebagai dua ekor saudara kera.
Guwarsa segera memeluk kera lawannya itu. Dan Guwarsi menyerahkan diri dalam pelukannya. Saat itulah mereka merasa bahwa mereka berdua telah menjadi kera. Tangis mereka menjadikan air telaga bening seperti semula. Dan air mata para dewa jatuh berderai mengheningkan Telaga Sumala.
Disaksikan kesedihan bulan purnama, dua anak manusia ini berpelukan dalam rupa dua ekor kera!
Sementara Retna Anjani berjalan diiringi kijang kencana putih yang ingin melepas dahaganya. Kayu-kayu jati yang menjadi rintangan jalannya, mengejangkan dirinya seakan memperingati agar ia tidak menuruti keinginannya. Tapi mereka ini menjadi putus asa dan melunakkan dirinya kembali karena melihat Retna Anjani yang selalu menangis karena keinginannya.
Dilihatnya sebuah telaga bening, airnya menyebarkan bau sepahan sirih seorang dewi jelita. Anjani tak dapat menahan diri lagi, perjalanannya yang berat membuat rasa dahaganya tak mau ditunda.
Ketika ia mendekat, tiba-tiba sepercik air telaga bergerak menghampirinya seperti mau menyampaikan sebuah pesan, Anjani, kedipkan matamu sejenak saja, dan kemudian kau akan melihat air telaga ini menjadi darah. Sayang suara ini hanya ratapan kesedihan alam yang tidak bisa mengelakkan diri untuk berada dalam tuntutan yang ilahi.
Maka Anjani pun membungkukkan diri ke tepi telaga. Ia meneguk segenggam air Telaga Sumala, lalu suryan (mencuci muka) dan membasahi lengan dan kakinya dengan air telaga jernih itu.
Air telaga berguncang sedikit. Lalu tenang kembali. Dan menjadi kaca bulan purnama. Anjani melepas kelegaannya karena terhapus dahaganya dan segar rasa badannya. Tapi betapa terkejut hatinya, ketika ia menumpang pada cahaya bulan yang menerpa permukaan telaga untuk berkaca: wajahnya telah menjadi kera. Dirabanya lengan dan kakinya, ternyata berbulu, hilang keindahannya.
Dilihatnya dua ekor kera muncul dari tengah telaga. Dua ekor kera yang berangkulan itu menangis. Anjani mengenal tangisan dua ekor kera yang mengharukan itu sebagai tangisan kedua saudaranya.
Gadis cantik itu pingsan, dalam rupa seekor kera! Tiga anak manusia kini telah berubah menjadi makhluk dalam masa lalunya, ketika jagad raya masih belum berkenalan dengan dosa manusia. Dan tiga mega berarak, seperti perahu mengarungi samudra langit.
Tak lama kemudian, muncullah Resi Gotama, pakaiannya serba putih. Kesedihan ada di hatinya ketika ia melihat rupa anaknya yang telah menjadi kera. Ia memeluk Anjani dan mencoba menyadarkan dia dari pingsannya. Sementara Guwarsa dan Guwarsi terus meratap di tepi telaga. Anakku, jaman telah menjadi tua dan waktu telah lelah, tapi manusia selalu bisa dilahirkan kembali bahkan lewat kematiannya. Dan lihatlah air Telaga Sumala itu tak pernah berputus asa dalam ketenangannya. Semuanya itu membawa hikmah anakku, kata Resi Gotama.
Oh Dunia, bersinarlah karena penderitaan anak-anakku ini. Teguklah air mata mereka, supaya kau mendapatkan berkah daripadanya. Air mata mereka adalah keheningan yang ingin menghampirimu. Berjalanlah bersama kesedihan anak-anakku ini. Dan janganlah kau takut, karena mereka akan membakarmu bukan dengan api kemarahannya, melainkan akan mendinginkanmu dengan sedu-sedannya, Resi Gotama berdoa menghadap langit.
Guwarsa dan Guwarsi, ingatlah akan pelajaran hidup yang kini kau alami. Kau berdua merasa bahwa kau akan memiliki dunia jika kau memiliki Cupu Manik Astagina. Tapi ketahuilah anakku, kesaktian itu tidak dapat direbut, kesaktian itu tidak dapat datang dengan sendirinya. Kesaktian itu lahir dari usaha manusia yang mau berusaha dan bertapa. Kau mau merebut kesaktian itu, tapi kini akhirnya kesaktian itu justru mencampakkanmu menjadi kera.
Dan kau Anjani, Cupu Manik Astagina ini memang akan menjadi milikmu. Tapi ketahuilah Nak, kini belum saatnya kau boleh memilikinya. Kelak semuanya akan jelas dengan sendirinya.
Anak-anakku, bukan maksudku membuatmu menderita dengan kubuangnya cupu yang akhirnya membawa malapetaka ini. Aku sangat menyanyangi kalian, anak-anakku. Seandainya aku tahu akibat celaka yang akan menimpa kalian semua karena amarahku, takkan aku menuruti amarah celaka ini, Nak. Maafkanlah ayahmu, Nak. Tapi hendaknya kalian bertiga juga tahu, semuanya ini telah membawa hikmah bagi kita, kata Resi Gotama sambil mengusap air mata putrinya, Retna Anjani.
Guwarsa, Guwarsi, dan Anjani, anakku. Janganlah kau bersedih. Sebab penderitaanmu saat ini sangat diinginkan dunia. Kau telah menjadi kera, makhluk yang hina. Tapi justru sebagai kera itulah kau akan menyadari hakekat dirimu sebagai titah, yang tiada artinya apa-apa di hadapan Penciptanya.
Di seberang sana, telah bertahta kejahatan dan kesombongan dalam diri seorang makhluk dunia, yang ingin melebihkan dirinya sebagai seorang titah. Kesombongannya bahkan hendak mengutuk para dewa dan menjerit seperti gemuruh malam yang menggetarkan anak-anak manusia. Kesombongannya dan kejahatannya tidak dapat ditaklukkan oleh siapa pun jua, kecuali oleh mereka yang menyadari diri sebagai titah, yang kecil, dan tak berarti apa-apa. Kesombongan itu hanya bisa ditaklukkan dengan kerendahan hati, anakku. Berbahagialah kamu bertiga, karena kamu akan dapat dengan mudah menyadari dirimu sebagai titah, justru dalam rupa kera. Pada penderitaanmu itulah dibebankan tugas untuk menaklukkan kesombongan yang angkara murka, kata Resi Gotama.
Ayah, tapi kenapa kami mesti menjadi kera. Di manakah keadilan di jagad raya ini" tanya ketiga anaknya.
Anakku, kera adalah titah yang merindukan kesempurnaan manusia. Ia paling dekat pada bentuk seorang manusia. Untuk itulah, ia selau berprihatin, supaya lekas diangkat kesempurnaannya. Janganlah kau anggap itu semuanya sebagai ketidakadilan, tapi sebagai kerinduan akan kesempurnaan. Dan berbahagialah kau, anakku, karena kerinduan itulah yang menciptakan kerendahan hati dan memberi harapan akan sesuatu yang belum dimilikinya. Lebih berbahagialah kamu daripada mereka yang sudah berada dalam kepenuhan tapi kemudian mencampakkan kepenuhan itu dengan dosa-dosa yang diperbuatnya. Kerinduan itulah hakekat seekor kera yang ingin menjadi manusia. Dan ingatlah pula, air kehidupan permata mendung itu pun sudi bercampur dengan darah duniawi, supaya Telaga Sumala (air keruh) menjadi Nirmala (air suci). Kau telah mandi dengan air suci itu, seperti leluhur para dewa dulu di negeri yang keadaannya lebih dari petang tapi sang surya telah bersinar. Tapi air suci itu telah bercampur dengan air duniawi, yang belum sempurna. Air suci itu menderita, dan penderitaan itu sekarang terwujud dalam dirimu yang berupa kera. Tapi dari penderitaan itulah dunia akan memperoleh kebahagiaannya, kata Resi Gotama.
Kini pergilah kamu untuk bertapa dan mati raga supaya kau cepat menjadi manusia yang sempurna. Dan kau Guwarsa dan Guwarsi, kini namamu menjadi Subali dan Sugriwa, sebagai tanda perubahan dari manusiamu yang lama dan tidak sempurna. Tabahkanlah hatimu seperti ibumu yang kini diam dalam penderitaannya sebagai tugu batu di Alengka. Dan ingatlah pesanku, berbahagialah kera yang berhati manusia dan celakalah manusia yang berhati kera. Setelah berkata demikian, Resi Gotama menghilang dalam kemuliaannya.
Subali segera pergi tapa ngalong (bertapa seperti seekor kelelawar) di puncak Gunung Sunyapringga. Dan Sugriwa menjalani tapa ngidang (bertapa seperti seekor menjangan) di hutan Sunyapringga. Sedangkan Retna Anjani menjalani tapa nyantuka (bertapa seperti katak) di Telaga Sumala. Dewa-dewa bercucuran air matanya melihat penderitaan ketiga makhluknya.
Dengan tapa nyantuka, Anjani menjalani tapa yang paling berat. Ia tidak makan apa-apa keculi daun-daun yang kebetulan masuk ke mulutnya. Dan ia tidak minum apa-apa kecuali tetes embun yang dijatuhkan dari langit ke lidahnya. Ini semua melambangkan sikap pasrah seorang makhluk kepada penciptanya. Air telaga mendinginkan semua keinginannya. Dan air Telaga Sumala yang telah bersatu dengan air kehidupan permata mendung menyucikan dirinya dari hari ke hari. Katakkatak di sekitarnya setiap hari bersuara karena seperti mendapat ratu yang mau memprihatini sesamanya. Suara katak-katak ini bagaikan pujian bagi keagungan para dewa.
Kahyangan bergoncang karena tekad makhluknya di dunia.
Batara Guru segera turun ke dunia dengan menaiki Lembu Nandini. Di atas Telaga Sumala ia melihat Anjani. Hatinya tergerak karena belas kasih kepada Anjani, dan dari rasa belas kasih itu timbullah rasa cintanya.
Anjani, aku tak tega melihat penderitaanmu. Aku mencintaimu. Tapamu akan dikabulkan, sebentar lagi kau akan menjadi makhluk sempurna. Tapi tugasmu belum selesai. Tugasmu untuk meluhurkan dunia akan ditanggung oleh anakmu yang lahir dari cintaku. Makanlah Ron Jati Malela (daun jati mamela) ini dan kau akan mengandung. Daun jati malela ini adalah kehidupan sejati yang warnanya putih, dan dalamnya terkandung baja hitam yang melambangkan senjata sakti dan tekad bulat untuk meluhurkan dunia dengan membasmi angkara murkanya. Daun jati mamela yang berasal dari diriku itu akan berpadu dengan air kehidupan permata mendung yang kini meresapi dirimu lalu melahirkan seorang anak yang sangat diharapkan dunia, kata Batara Guru.
Anjani mendengar suara gaib itu tapi tidak dapat melihat siapa yang mengucapkannya. Hanya tiba-tiba di hadapan mulutnya mengambang sehelai daun jati malela. Ketika ia memakannya, ia merasa mengenyam rasa cinta yang tertinggi. Cahaya di langit sekonyong-konyong padam semuanya, seolah menyerupai dian yang ditiup oleh seorang kekasih yang sedang mencuri hati. Anjani merasakan kebahagiaan yang tak terkira. Dan alam bergembira, menyaksikan Anjani mengandung karena cinta dari yang ilahi.
K etika Anjani mengandung tua, ia merasakan ketenangan arus
air Telaga Sumala bagaikan keheningan nafas alam yang sedang
tertidur. Bulan pada waktu paro putih menjadi mata alam yang menyaksikan kesucian Retna Anjani.
Terdengarlah suara dari mekarnya malam dan teriakan halus dari balik bumi. Dan Anjani menikmati keadaan di mana tak ada yang lebih tinggi daripada yang ilahi, tak ada yang lebih dalam daripada Telaga Sumala yang disucikan karena tapanya, dan... tak ada yang lebih aneh daripada kehidupan ini. Penderitaan tapanya membuka pengetahuan yang belum ia ketahui sebelumnya.
Setangkai teratai putih berkaca-kaca di pelupuk matanya! Menyaksikan kebahagiaan Retna Anjani.
Tiba-tiba malam gelap-gulita. Dan guntur menyambar-nyambar di atas Telaga Sumala. Menimbulkan cahaya kilat yang saling berbenturan sehingga cuaca terang. Batara Guru kebingungan karena kendaraannya Lembu Nandini lepas, lalu balik lagi ke kahyangan dan menyerudukkan tanduknya mau menjebol pintu kahyangan, tanda mempersilakan Anjani masuk ke kahyangan.
Dan kandungan Retna Anjani terasa makin sakit. Bayi di dalamnya seperti melonjak-lonjak. Sementara datanglah seribu angin ribut mengawal laku Batara Bayu. Begitu tiba di atas Telaga Sumala, angin ribut itu membelai Retna Anjani. Bidadaribidadari turun ke dunia dan meninggalkan busananya. Bungabunga di tepi telaga terbangun sebelum waktunya, mengintip tubuh-tubuh jelita yang menjadi indah karena berpercikan dengan kesucian air telaga dalam kedinginannya, menuju Retna Anjani. Bidadari-bidadari ini segera menolong Retna Anjani yang sebentar lagi akan melahirkan anaknya. Dan Telaga Sumala pun penuh dengan kebahagiaan ilahi.
Maka lahirlah kandungan Retna Anjani. Dari tubuhnya keluar seberkas cahaya ilahi yang menangis ketika melihat bumi pertama kali. Teja (cahaya) itu kemudian menjadi bayi dalam rupa seekor kera. Bulu bayi kera itu berwarna putih, putih bersih seperti kapuk dicuci dengan air susu.
Air Telaga Sumala berubah menjadi bening sekali. Telaga Sumala menjadi suci seluruhnya karena kelahiran bayi Retna Anjani. Dan bayi berupa kera itu diresapi dengan kesucian air kehidupan permata mendung yang telah memandikan leluhur para dewata di negeri para malaikat, di mana keadaannya lebih dari petang tapi sang surya selalu bersinar.
Anak kera yang indah ini menangis keras karena kedinginan. Tangisnya keras bagaikan guntur yang terdengar sampai ke negeri-negeri seberang lautan. Di Alengka, tangis ini terdengar bagai nyanyian pembebasan oleh neneknya yang kini telah menjadi tugu batu di sana. Sampai tugu batu itu seakan mau bergerak hingga membuat goncangan hebat bumi Alengka yang haus darah. Tugu batu itu terdiam kembali karena dewadewa menenangkannya: saatnya belum tiba.
Retna Anjani memandangi putranya yang bermandikan air telaga suci. Berenang-renang dalam kebahagiaannya. Dan tibatiba muncullah setangkai tunjung putih (lambang kejujuran satria sejati), tunjung putih itu tersenyum bahagia. Bidadari-bidadari yang telanjang memandikan putra Anjani, mengurapinya dengan boreh bayi dan istana naga putih. Dan mereka melagukan lagu pujian abadi.
Retna Anjani lalu menggendong putranya. Dipeluknya putranya yang berupa bayi kera putih itu dengan penuh cinta. Ia mencium putranya, dan terasalah padanya sebuah ciuman langit dan bumi. Ia terkejut ketika pada waktu itu ia telah berubah menjadi manusia kembali. Ia berkaca pada air suci telaga dan melihat wajahnya yang cantik jelita seperti sediakala. Ia tidak merasa bahwa sejak ia melahirkan putranya, pada saat itulah dosa-dosanya sudah seluruhnya diampuni dan ia menjadi manusia kembali. Dalam kebahagiaan, anugerah dewa itu, ia menjadi sedih karena melihat putranya dalam rupa seekor kera putih. Air matanya jatuh ke pipi anaknya yang matanya berkedipan bersama bintang-bintang.
Oh Anakku, apakah dosamu" Anakku, biarkanlah aku menemanimu, meski aku mesti hidup dalam rupa kera kembali. Aku ibumu, dan seorang dewa yang mengasihi aku adalah ayahmu, tapi kau harus hidup sendiri, tanpa ibu dan bapa, dalam rupa seekor bayi kera. Andaikan kau mengerti, betapa kau ingin secepatnya mati, karena sebenarnya tidak ada lagi kasih sayang ibumu yang menjadi manusia ini, Retna Anjani menangis. Kesedihan ibunya membuat anak kera itu makin menangis keras, seperti tak mau ditinggalkan ibunya.
Anakku, tidurlah kini, kenapa kau menangis" Retna Anjani terpaksa menghibur anaknya, dari kesedihannya, Tidurlah dalam kehangatan cahaya bulan. Bulan lebih mencintai anak kera, anakku. Lihatlah kau diberi warna putih yang suci yang tidak dimiliki seorang anak manusia pun. Di pinggir telaga ini, aku akan terus memelukmu. Oh bulan, sinarkan kebahagiaan pada anakku, aku mencintainya.
Air mata dewa-dewa turun ke dunia, ketika menyaksikan kesedihan Anjani. Dan turunlah Batara guru ke dunia, mendekati Anjani dan putranya di Telaga Sumala.
Anjani, janganlah kau bersedih. Sudah kukatakan, penderitaanmu memang harus ditanggung putramu. Kesucianmu menjadi kesucian hati anakmu. Tapi inilah hukum jagad raya seisinya: sekali manusia berdosa, dosa itu tetap ada, karena siapa yang dapat menghapuskan apa yang telah terjadi. Apa yang telah terjadi tetap terjadi, sedangkan manusia hanya dapat berusaha agar ia tidak berdosa lagi. Dan kau Anjani, kau telah berdosa ketika kau bernafsu memiliki dunia dengan Cupu Manik Astagina. Dosamu itu membuahkan penderitaan yang kini harus ditanggung putramu, dalam rupa kera, meski kau sendiri telah diruwat ketika dengan tapamu yang dahsyat kau telah berhasil membunuh dirimu untuk tidak berdosa lagi. Terimalah Anjani, hukum jagad raya itu, kata Batara Guru.
Anjani, berbahagialah dirimu, karena justru anakmu dalam rupa kera ini sangat dinanti-nantikan dunia yang sedang diliputi angkara murka. Kesombongan dunia akan ditaklukkan oleh kerendahan hati seekor kera. Tapamu telah menghasilkan kesucian yang kini telah menjelma dalam diri anakmu, sehingga anak menjadi giri suci, jaladri prawata, suraya sasangka, anila tanu. (Maksudnya ia mempunyai hati yang sentosa seperti gunung, bening seperti air, luas kebijaksanaannya bagaikan samudra, terang akal budinya seperti matahari, manis tutur katanya seperti rembulan, teguh pendiriannya seperti angin yang berhembus keras tak takut halangan). Karena kesuciannya itulah maka aku memberi nama anakmu Anoman, kata Batara Guru.
Anjani, takkan lama lagi kau boleh mendampingi putramu. Kau sudah disucikan, anakku, maka kau harus pulang kembali ke alam dewa. Asuhlah anakmu dengan penuh kasih sayang, ajarilah ia menyanyikan darma, sebelum tiba saatnya kau harus meninggalkannya di dunia. Jangan kau bersedih Anjani, karena memang sudah kehendak para dewa, Anoman harus hidup sendiri dalam kesunyian di rimba raya, sebelum ia melakukan tugasnya kelak, kata Batara Guru lagi.
Anjani terharu memandang anaknya yang tanpa bapa. Dibiarkannya Anoman menyusu sekeras-kerasnya. Sehari-hari dirawatnya Anoman dengan penuh kasih sayang. Pada pagi hari, dimandikannya Anoman dengan kabut-kabut hutan. Mengapa, Anakku, kau kumandikan dengan kabut-kabut hutan" Tak mudah kabut-kabut itu kutangkap dengan daun-daunan, tapi mandilah, Anakku, dalam kabut-kabut yang berkeliaran. Di sana akan kau rasakan kedinginan, dan tersimaklah rahasia bagimu: kabut-kabut itu kegelapan, namun di dalamnya kau bermandikan dengan kesegaran.
Bila malam tiba, dibelainya Anoman dalam pangkuannya. Mata anaknya dibiarkan berpendaran bersama sinar bulan. Anakku, selagi kau bersamaku, mata bulan akan memberikanmu sukacita dan terang, namun akan tiba saatnya bahkan bulan pun akan menenggelamkanmu dalam kegelapan. Ketika bulan menjadi kegelapan, anak-anak manusia akan tersedusedan. Tapi kau tidak, Anakku, meski terang telah dirampas darimu, kau akan memperoleh cahaya-cahaya penghiburan yang keluar dari mata kejujuranmu sendiri. Anak-anak manusia akan meraba-raba dalam kegelapan, tapi tidak bagi anak kera, seperti kau, Anakku. Bagimu, kegelapan bahkan akan memberi jalan, dan di sanalah kau takkan memperoleh apa-apa kecuali keluhuran dan kebahagiaan.
Maka, Anakku, terbanglah dalam mega-mega yang kini keperak-perakan warnanya. Lihatlah, ada capung yang kemalaman, menangis tertatih-tatih di celah-celah mega. Namun hatinya hening, Anakku, lalu datanglah anak-anak bidadari memberikan sayapnya dan terbanglah capung itu mengarungi angkasa, seperti dirimu, Anakku, karena dalam keheningan hatimu tersimpan segala rahasia kekuatan mega-mega.
Bermimpilah, Anakku, seakan kau telah hidup di negeri anak-anak kera. Kau menjadi rajanya. Dan perintahkanlah kepada anak-anak kera agar mereka mengatur negerinya dengan permainan-permainan yang membawakan kedamaian tanpa malapetaka. Lihatlah, Anakku, bulan seakan ingin cepat tiba di ufuk yang bisa menenggelamkannya, ajaklah dia bermain-main, supaya hari-hari selalu menjadi malam seperti siang karena sinar-sinar keramahannya. Anoman terbelai dalam kidung-kidung kasih sayang ibunya, terlelap tidurnya, setelah ibunya yang tercinta mengusap-usap dahi dan pelupuk matanya.
Sehari-hari Anjani mengajari Anoman agar ia hidup berkawan dengan hutan. Anoman sangat dicintai makhluk-makhluk hutan. Diajaknya bercanda dengan ular-ular berbisa. Anoman tergulingguling karena lilitannya, kemudian ular-ular berbisa mengeluselusnya dengan lidah-lidahnya, yang bagaikan air kembang melati rasanya.
Suatu hari pernah Anoman lari berkejar-kejaran dengan singa barong. Kera kecil itu tertangkap oleh mulut singa barong yang menganga lebar, dan ditelannya Anoman. Dalam mulut singa barong itu Anoman merasakan kehangatan seperti di negeri tanpa kedinginan malam. Singa barong membawanya ke Bengawan Sri, dan kera putih itu lalu bercanda dengan buayabuaya yang telah melunakkan gigi-giginya menjadi mutiara.
Hari menjelang senja, Anjani resah menantikan kedatangan anaknya. Dan betapa terkejutnya Anjani, ketika melihat Anoman datang diiringi dengan segala macam binatang hutan. Anoman melompat-lompat, diapit dua anak singa nagaraja merayap di belakangnya, diikuti sorak gembira anak gajahmeta.
Anakku, akhirnya kau temukan juga kebahagiaan di dalam kesunyianmu, kata Anjani sambil tak putus-putusnya mencium Anoman.
Ibu, mengapakah hari mesti menjadi malam, sehingga tak dapat kubermain dengan makhluk-makhluk hutan" tanya Anoman.
Seperti dirimu, Anakku, hari-hari pun bisa lelah dalam perjalanannya. Dan mereka pun ingin tidur, saat itulah hari menjadi malam, jawab Anjani.
Ibu, mengapa hari-hari mesti berjalan, sehingga terjadi malam"
Jika hari-hari tidak berjalan, kau tidak dilahirkan, Anakku. Dan kau menjadi besar karena perjalanan hari-hari itu. Dan di dalam perjalanan hari-hari itulah kau bersatu dengan empat penjuru alam.
Apakah empat penjuru alam itu"
empat penjuru alam itu adalah timur, selatan, barat, dan utara. Di empat penjuru alam itulah sebagian dirimu berada. Di timur ada negara yang keputih-putihan warnanya, di sanalah air kelapa menjadi samudra, dijaga burung bangau, tamantamannya adalah kembang menur dan melati. Penjuru timur inilah yang melahirkan kawahmu.
Lalu selatan, Anakku. Di selatan ada negara yang merah-merah warnanya, samudranya adalah lautan madu, bunga celung dan krandang menjadi taman-tamannya, dan burung elang penjaganya. Penjuru selatan inilah yang melahirkan darahmu. Dan barat, Anakku. Di barat ini ada negara kembar rupa, sari-sari manis mengisi samudranya, seluruh tanahnya ditumbuhi kembang tunjung dan cempaka, dan burung kepodang beterbangan menaunginya. Penjuru barat inilah yang melahirkan ari-arimu.
Dan terakhir, Anakku, adalah utara. Di utara ini ada negeri yang berkekuatan besi baja, samudranya adalah lautan nila, pelataran-pelatarannya berhiaskan kembang telung dan temu, dijaga burung-burung tuhu. Penjuru utara inilah yang melahirkan pusarmu.
Siapakah kawah, darah, ari-ari, dan pusarku itu, Ibu" Kelak kau akan tahu, Anakku.
Tapi mengapa aku mesti dipisahkan dari kawah, darah, ariari, dan pusarku" tanya kera kecil itu meminta-minta.
Karena kawah adalah anak bapamu yang timur, darah adalah anak ibumu yang selatan, ari-ari adalah anak kakekmu yang barat dan pusarmu adalah anak nenekmu yang utara. Dan kau sendiri adalah anakku. Bapa kawahmu yang timur, ibu darahmu yang selatan, kakek ari-arimu yang barat, dan nenek pusarmu yang utara, serta aku ibumu ini bernama sama Anakku. Purwajati, nama kami. Dari Purwajati itulah asal kesejatian kelahiranmu.
Anakku, hari-hari berjalan karena ingin membawa dirimu bersinggah-singgah ke timur, selatan, barat, dan utara, supaya kau bertemu dengan kawahmu, darahmu, ari-arimu, dan pusarmu.
Tapi mengapa kami tidak bisa selalu bersatu, sehingga aku tidak mengenal siapa kawahku, siapa darahku, siapa ari-ariku, dan siapa pusarku, karena mereka tersebar di timur, selatan, barat, dan utara"
Karena ada matahari, Anakku. Matahari yang menyebabkan ada timur, selatan, barat, dan utara.
Kalau begitu, akan kutelan matahari, bila ia muncul esok pagi, supaya matahari itu tidak dapat menjadikan timur, selatan, barat, dan utara, yang memisahkan kami! kata Anoman.
Anoman, jangan..., tegur Anjani penuh kekhawatiran. Ibu, apa susahnya menelan matahari" Tidakkah ia seperti buah delima yang merekah, bila ia muncul di pagi hari" Aku suka buah delima, ijinkan aku memakannya. Akan kuajak raja burung hutan rimba menerbangkan aku ke taman fajar di samudra mega-mega, dan aku akan memetiknya, pinta Anoman.
Anakku, jangan, Nak ..., cegah Anjani.
Tapi malam sudah terlanjur menjadi siang. Awan-awan dingin lari bertebar-tebaran, dan langit menggulungkan renda-renda kegelapan, menggantinya dengan berkas-berkas cahaya kegemilangan. Dan turunlah Batara Surya menggenggam matahari bagaikan bulan-bulanan.
Anoman, kuberikan matahari ini padamu, tapi jangan kau telan dia, Nak. Kasihan dunia jika senantiasa berada dalam kegelapan, kata Batara Surya dengan wajah penuh kegembiraan.
Anjani melakukan sembah, sambil memeluk Anoman di gendongannya. Matanya penuh dengan seribu tanya.
Anjani, berbahagialah dirimu. Pada usianya yang sangat muda, anakmu, Anoman, telah memahami rahasia kebesaran alam. Betapa besar hasrat anakmu untuk menyelami rahasia alam itu. Bagi budinya yang jujur dan bening, kebesaranku tak ubahnya seperti buah delima yang sewaktu-waktu dapat ditelannya.
Anoman, kau benar, Nak, kata Batara Surya membelai Anoman, Dengan menelan matahari, kau menjadikan dirimu pusat dari empat penjuru dunia, sehingga tiada timur, selatan, barat, dan utara, yang memisah-misahkan dirimu. Dengan menelan matahari, kau akan mengumpulkan segala kekuatan Purwajati, asal-usulmu yang sejati, menjadi satu. Dengan kesadaranmu yang satu itu, Nak, kau sebenarnya telah memahami keabadian, yang bagi manusia masih merupakan teka-teki. Keabadian bukan perjalanan waktu tanpa henti. Ke-
abadian adalah kesejatian hidup yang satu dan ilahi. Dan itulah Purwajati. Bukan perjalanan hari-harilah yang melahirkan keabadian, sebaliknya keabadianlah yang dapat menghentikan perjalanan hari-hari. Hasratmu untuk menelan matahari adalah bukti bahwa kau ingin memiliki keabadian yang sejati.
Tapi kini belum waktunya, Nak. Belum saatnya kau menelan matahari. Pada suatu saat kelak, kau akan merasa betapa kau membutuhkan diriku dalam pengabdian hidupmu. Saat itu pula, matahari yang bagaikan bulan-bulanan di tanganku ini, akan membantumu untuk menemukan kekuatan-kekuatan hidup yang kini terpisah-pisah dari dirimu. Bersabarlah, Nak, kata Batara Surya.
Sementara Anoman mulai berkedipan matanya, minta ditidurkan ibunya. Ia telah lupa dengan hasrat-hasratnya, begitu ibunya membelainya dengan mesra. Siang telah kembali menjadi malam. Lenyaplah dari tangan Batara Surya, matahari yang bagaikan bulan-bulanan. Dan mega-megapun berebutan berlindungan di bawah cahaya bintang.
Anjani, apakah artinya malam yang tiba-tiba menjadi siang, dan siang yang tiba-tiba menjadi malam" tanya Batara Surya sambil memperhatikan Anjani yang bersimpuh menghangatkan anaknya.
Hamba tidak mengerti, Batara, sahut Anjani. Itulah perpisahan, Anakku. Dan inilah saatnya kau harus berpisah dengan anakmu, jawab Batara Surya.
Oh Dewa, jangan hal itu terjadi. Kasihanilah anakku, seekor kera yang masih kecil ini, Anjani terkejut dan mohon belas kasihan. Air matanya turun dan membasahi pipi anaknya, yang sedang bermimpi tenggelam dalam kehangatan purnama kembar buah dada ibunya.
Anjani, sudah menjadi kehendak para dewa, seperti dikatakan Batara Guru kepadamu, kau harus meninggalkan anakmu. Ingatlah, Anjani, sebenarnya kau telah berada dalam kemuliaan, yang tak boleh kau tinggalkan, kata Batara Surya.
Oh Dewa, tidakkah anakku yang tidak berbapa ini masih membutuhkan kasih sayangku" Mungkinkah aku tega meninggalkannya dalam kesendiriannya" air mata Anjani makin keras berderai-derai.
Anakku, Anoman yang masih kecil ini akan menemukan apa yang kau inginkan. Biarlah ia berteman alam. Biarlah ia menjadi besar dari bijaksana karena kasih sayang alam. Kau tak perlu bersedih, Anakku, karena sudah menjadi kehendak para dewa anakmu harus hidup dalam kesendiriannya, kata Batara Surya.
Anjani membisu. Dipeluknya Anoman, kera putih yang kecil itu erat-erat. Oh Anakku, karena dosa-dosakulah kau harus hidup dalam kesendirianmu! Siapakah yang akan memandikanmu dalam kesegaran kabut-kabut" Siapakah yang akan mengidungkan nyanyian malam, mengiringi tidurmu" Siapakah yang akan memberikan kemesraan dan kehangatan" Anoman, aku harus pergi meninggalkanmu. Kau harus menemukan jalanmu sendiri, Nak. Berharaplah pada keindahan bulan, bercandalah dengan keakraban makhluk-makhluk hutan. Dan belajarlah kebijaksanaan dari matahari. Tapi ingatlah, Nak, tak ada sesuatu pun yang bisa menggantikan kasih sayangku padamu. Kasih sayangku itu, Nak, yang akan datang menemanimu, bila kau sudah tak menemukan jalanmu dengan terang bulan, dengan cahaya bintang dan kebesaran matahari, dengan rahasia segala isi alam.
Selamat tinggal, Anakku, Anjani mencium anaknya, kera putih yang kecil itu untuk terakhir kali. Dan lihatlah, bidadaribidadari surga telah menyaksikan perpisahan itu. Lalu turunlah tangga-tangga langit. Anjani naik dengan sayap kesedihan hatinya. Air matanya menitik-nitik menjadi hutan bunga. Anoman terjaga, ketika bunga-bunga itu menyelimutinya.
Ibu, di manakah kau" jerit Anoman. Pada saat inilah kera kecil malang itu meraba-raba kasih sayang ibunya. Kehangatan tiada ditemukannya, dan menangislah ia ketika ia menyaksikan ibunya yang tercinta telah tiada.
Matanya yang indah menatap langit. Dan dilihatnya, ibunya naik ke langit merambati renda-renda yang dipasang sinar bulan purnama. Betapa cantik jelita ibunya, terbang diiringi bidadari surga. Namun keindahan itu hanya menjadi kepedihan hati kera kecil itu. Suara kesedihan ibunya terdengar bagaikan nyanyian burung tadahasih yang merintih-rintih.
Ibu, ke manakah kau" Mengapa kau tinggalkan aku" Anoman menjerit-jerit. Jeritannya terdengar oleh ibunya yang sudah hampir tiba di ambang kemuliaan. Tapi jeritan itu tak dapat mengembalikan ibunya yang tersayang. Jeritan itu hanya membangunkan makhluk-makhluk hutan, yang serentak menjadi sedih bersama Anoman. Anoman meminta-minta, agar mereka mau menolongnya, mempertemukan dia dengan ibunya. Tapi tak ada makhluk-makhluk hutan yang bisa.
Dalam kebingungannya, Anoman lari-lari ke Bengawan Sri. Dilihatnya seekor kura-kura di tepi bengawan yang bagaikan telaga bening itu.
Anoman, mengapa kau menangis sedih" tanya kura-kura. Sahabatku, tolonglah aku agar aku dapat menemukan kembali ibuku yang telah meninggalkan aku, jawab Anoman.
Ah, Kera yang malang, mungkinkah aku bisa" Ibumu terbang dalam kemuliaannya mengarungi angkasa. Sedang diriku hanya seekor kura-kura yang dengan empat kakinya hanya mampu melata di air telaga.
Kura-kura, apakah angkasa itu selalu harus berada di atasmu" Tengoklah ke bawah, angkasa itu tenggelam di telagamu yang bening. Dalam telagamu, segala penghuni langit nampak dengan terang. Lihatlah, ibuku pun berada di sana. Biarlah aku naik di punggungmu dan menyelamlah ke bawah, maka di sana aku akan menemukan segala penghuni angkasa, juga ibuku yang tercinta. Segala yang ada di atas juga berada di bawah karena kebeningan Bengawan Sri ini. Tolonglah aku, hai Kura-kura, kata Anoman.
Kura-kura merelakan dirinya. Dan Anoman menunggang di punggungnya, mengarungi Bengawan Sri, yang seperti telaga. Maka terjadilah bening-bening laksana langit, dan kura-kura yang ditumpangi Anoman menjadi mata bulannya. Makin teranglah gambar di atas telaga: benda-benda angkasa bagaikan boneka mengelilingi Retna Anjani yang jelita.
Ibu, tunggulah aku, mengapa kau berada di dasar telaga" teriak Anoman.
Retna Anjani menundukkan kepalanya ke bawah, tapi di dasar telaga itu ia bagaikan mendongakkan kepalanya ke atas, meminta Anoman terjun ke bawah, main bersama dengan anak-anak boneka kencana dari bintang-bintang cahaya matanya. Anoman kegirangan dan menyuruh kura-kura menukik ke bawah.
Tapi ketika kura-kura hendak menyelamkan dirinya, datanglah angin ribut menerjangnya, dan menerbangkan mereka ke angkasa. Bulan tanggal dua, keadaan sedang gelap, tapi bintang-bintang yang menjadi kunang-kunangnya gemerlapan tertabukan sebagai kusuma di angkasa.
Angin menerbangkan Anoman dan kura-kuranya makin tinggi. Kura-kura tergagap, bersusah payah meletakkan kakinya untuk merayap. Tiada yang menyangganya, kecuali permadani megamega. Di atasnya, Anoman kebingungan, memegang leher kura-kura kencang-kencang. Dan makin melesatlah kura-kura bersayapkan angin-angin.
Mereka menembus awan-awan yang kekuning-kuningan. Dan terdengarlah suara bagaikan seruling, datang dari lingkaran awan bambu-bambu kosong tertiup angin.
Oh Angin, hendak kau bawa ke manakah aku" Akan kau temukankah aku dengan ibuku" Anoman meratap-ratap. Sedih ratapannya bagaikan suara belalang diterbangkan angin.
Mendadak terhamparlah jalan dari angin-angin. Anoman dan kura-kuranya melewati jalan dari angin-angin itu. Dan membentanglah di sana, aneka benda-benda yang berada tanpa ada yang menyangganya. Ada bumi tanpa dasarnya. Matahari tanpa gantungannya. Bulan tanpa tali-talinya. Bintang-bintang tanpa ikatannya. Makhluk-makhluk dan tetumbuhan mengawangawang tanpa jatuh ke bawah. Dan ada jendela-jendela tanpa kayu-kayunya.
Anoman, kau telah tiba di istana angin. Selamat datang, Anakku, kata sebuah suara menggelegar tapi sangat merdu.
Siapakah kau hai makhluk yang menyapaku" tanya Anoman.
Aku adalah Batara Bayu, dewa angin. Kemarilah, Anakku, kata suara itu.
Anoman datang menghadap. Ia turun dari punggung kurakuranya. Terhuyung-huyung ia, karena takut terjerumus ke bawah. Tapi tiba-tiba ia merasakan kenikmatan berada tanpa ada yang menyangganya.
Mengapa kau memanggilku ke sini, Dewa" Akankah kau mempertemukan aku dengan ibuku yang tercinta" tanya Anoman.
Anoman, ibumu telah berpulang ke alam kemuliaannya. Jangan kau bersedih Anoman, kebeningan hatimu akan senantiasa membuatmu takkan terpisah dari kasih sayangnya, seperti ketika kau melihatnya tersenyum di dasar telaga. Kebeningan hatimu akan membuat apa yang berada di atas menjadi kenyataan hidup yang di bawah. Lupakan ibumu, Nak, karena ia sudah menjadi milikmu, kata Batara Bayu.
Anoman sebentar lupa akan ibunya, ketika Batara Bayu mengajaknya berkeliling di istana angin. Kumkuma angin menghampiri hidungnya, dan semerbak bunga-bunga angin memandikan bulunya yang keputih-putihan. Suatu keindahan yang halus meresapinya, dan Anoman memasuki alam atma, nafas sejati kehidupan ini.
Perjalanan Menantang Maut 2 01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Kisah Membunuh Naga 29
^