Pencarian

Di Tepi Jeram Kehancuran 1

Di Tepi Jeram Kehancuran Karya Mira W Bagian 1


A da lowongan" Tanpa permisi, kepala Anis sudah melongok melewati bahu Rianti.
Belum, sahut yang ditanya tanpa menoleh. Tanpa melihat pun Rianti sudah tahu siapa yang datang. Enam bulan bersama-sama mengikuti kursus sekretaris, dia sudah dapat mengenali temantemannya hanya dengan mendengar suara mereka. Bahkan untuk beberapa orang, bunyi sepatu mereka saja sudah dapat dikenalinya.
Tidak ada atau tidak ada yang cocok" Dua-duanya.
Tanpa mengacuhkan seloroh Anis, Rianti melanjutkan kerjanya. Membolak-balik daftar permintaan tenaga sekretaris di bursa lapangan kerja yang dikelola oleh salah seorang bekas gurunya.
Sesudah lulus ujian, memang cuma itulah kesibukannya setiap hari. Mencari pekerjaan. Tetapi
BAB I t . c memperoleh pekerjaan yang sesuai dengan keahlian yang baru diperolehnya rupanya tidak mudah. Terlalu banyak saingan.
Kamu betul-betul mau kerja, Rian" Nah, kamu pikir mau apa aku ke sini" Bukan cari Pak Ras"
Memerah paras Rianti. Lagi-lagi Pak Ras. Heran. Teman-temannya tak pernah bosan-bosannya menggodanya dengan Pak Ras. Padahal sudah hampir setengah tahun laki-laki itu berhenti jadi dosen mereka.
Pak Ras membuka usaha business service. Menyalurkan tenaga administratif ke perusahaan-perusahaan yang membutuhkan. Dan supaya usaha yang sudah berjalan hampir setahun itu maju pesat, Pak Ras membuka cabang baru di beberapa tempat. Karena kesibukan barunya itu, profesinya yang lama terpaksa ditinggalkan. Padahal dia sudah lima tahun lebih menjadi salah seorang staf pengajar di kursus sekretaris tempat Rianti menuntut ilmu.
Meskipun Pak Ras hanya mengajar korespondensi, dia termasuk guru favorit di sana. Wajahnya tampan. Sikapnya simpatik. Biarpun tubuhnya agak pendek, teman-teman Rianti amat menyukainya.
Pak Ras memang murah senyum. Tidak pelit memberi nilai. Dan selalu siap mendengarkan keluhan murid-muridnya. Hubungannya dengan siswisiswinya yang rata-rata masih remaja itu sangat akrab. Tidak heran begitu ada siswi yang kelihatannya
t . c mendapat perhatian istimewa, gosip langsung bermunculan dari sana-sini.
Ini ada permintaan dari panitia delegasi Indonesia ke Konferensi Pengusaha Real Estate Asia- Afrika di Kairo.
Bu Titi menyodorkan sehelai kertas. Tentu saja maksudnya untuk Rianti. Tetapi yang lebih cepat menyerobotnya justru Anis.
Apa syarat-syaratnya, Bu" tanya Anis sambil buru-buru membaca isi kertas itu.
Baca saja sendiri, sahut Bu Titi kurang senang.
Sudah lama Bu Titi bersimpati kepada Rianti. Calon sekretaris yang satu itu amat berbeda dengan kebanyakan temannya. Dia pendiam. Boleh dikatakan malah agak pemalu. Tidak pernah berusaha menarik perhatian orang. Cara bicara maupun gaya berjalannya tak pernah dibuat-buat.
Wajahnya memang tidak terlalu cantik. Tetapi wajah kebocahan yang masih polos itu malah mengundang simpati yang lebih besar lagi bagi yang melihatnya. Lebih-lebih kalau dia sedang tersenyum. Senyum tersipu yang menggemaskan.
Sebenarnya dia tidak cocok untuk menjadi seorang sekretaris, sering Bu Titi berpikir demikian. Untuk menjadi sekretaris dibutuhkan igur yang menarik, pandai menguasai keadaan, dan cekatan melayani atasan serta menerima tamu. Bukan gadis yang pemalu dan serbacanggung begini!
t . c Ayah ingin saya cepat dapat pekerjaan, Bu, sahut Rianti terus terang ketika Bu Titi menanyakan alasannya masuk kursus sekretaris. Karena itu lulus SMA saya langsung mendaftar di sini. Biayanya pun tidak terlalu besar.
Berapa kecepatanmu mengetik sekarang, Rian" Dua ratus tujuh puluh ketukan per menit, Bu. Bagus. Dalam surat permintaan itu mereka mencari seorang sekretaris dengan kecepatan mengetik di atas dua ratus. Coba tanya Pak Ras kalau datang nanti. Barangkali dia mau mencalonkanmu.
Tetapi di sana ada Anis. Dan dia lebih pandai menarik perhatian Pak Ras. Lebih pandai merayu pula. Dia cantik. Dewasa. Dengan penampilan yang tidak memalukan untuk dibawa ke forum internasional. Nah, selama masih ada sekretaris sekaliber Anis, siapa yang mau melirikkan mata pada Rianti" Kecuali kalau dia sendiri yang mendorong dirinya ke depan.
Dekati Pak Ras, bisik Bu Titi, yang sudah hampir setahun menjadi kepala tata usaha di sana. Dia baik kok.
Ya, Pak Ras memang baik. Terlalu baik malah. Tapi Rianti malu. Masa dia harus merayu untuk mendapat pekerjaan" Lagi pula& bagaimana caranya" Bermanis-manis seperti teman-temannya"
Ah, rasanya dia tidak sanggup. Dia selalu gugup kalau berada di dekat laki-laki. Apalagi yang sebaik Pak Ras. Ramah. Dan& menarik.
t . c Selamat siang. Sapaan yang ceria itu sudah mengisi seluruh ruangan sebelum Rianti sempat menemukan bagaimana caranya untuk mendekati Pak Ras. Dan orang yang sedang dipikirkannya itu muncul begitu saja.
Rianti merasa pipinya panas. Dibalasnya sapaan Pak Ras tanpa berani balas menatap. Anis-lah yang sudah mendahului menghampiri Pak Ras.
Ada lowongan nih, Pak, katanya sambil mengibaskan kertas di tangannya. Buat saya ya"
Bu Titi mendengus jengkel. Tetapi Anis sedang terlalu sibuk untuk mendengar. Lagi pula cuma seorang kepala tata usaha tidak masuk dalam perhitungannya. Tidak ada perhatian yang tersisa buat Bu Titi. Semuanya hanya untuk Pak Ras. Di tangannyalah kini nasibnya.
Konferensi di Kairo! Bukan main. Permulaan yang baik untuk kariernya. Konferensi internasional. Wah, pasti uang sakunya besar!
Dan bukan itu saja. Bukan cuma honor. Tapi sekaligus pergi ke luar negeri! Wah. Wah. Di sini, ke Bali saja dia belum pernah! Dan Rianti tersentak kaget. Kaki Bu Titi menyenggol kakinya. Ketika dia menoleh, perempuan itu mengerlingkan matanya ke arah Pak Ras. Mengisyaratkannya agar ikut merayu.
Tetapi Rianti tidak mampu. Jangankan merayu. Membuka mulut saja sudah sulit. Parasnya sudah dua kali berganti warna. Padahal Pak Ras tidak se-
t . c dang memandangnya. Dia sedang membaca surat permintaan yang disodorkan Anis.
Ah, kamu, katanya separuh melecehkan separuh bergurau. Tentu saja kepada Anis. Yang sedang menatapnya dengan harap-harap cemas. Stenomu masih kurang cepat. Kecepatan mengetik baru dua ratus lebih sedikit. Kok sudah mau melamar ke konferensi internasional! Jangan memalukan saya dong!
Aduuuh, Pak Ras nih! Anis pura-pura merajuk. Ngejek melulu! Serius nih, Pak! Buat saya ya" Ayo dong, Pak! Saya sudah ingin kerja! Masa nganggur terus"!
Bukan cuma kamu kok yang masih menganggur.
Pak Ras menoleh ke arah Rianti. Dan yang ditoleh menjadi gugup setengah mati. Mukanya memerah dengan sendirinya. Dia buru-buru menunduk. Menghindari tatapan Pak Ras.
Berapa kecepatanmu, Rian"
Dua ratus tujuh puluh, sambar Bu Titi, seolaholah takut keduluan. Kalau menunggu Rianti, barangkali sampai besok dia baru bicara! Stenonya juga baik, Pak. Korespondensinya tidak memalukan. Cuma belum ada lowongan saja. Kasihan, tiap hari dia kemari. Ayahnya ingin sekali dia cepat-cepat dapat pekerjaan.
Tiap orang juga begitu, Bu Titi. Pak Ras tersenyum sinis. Lulus sekolah ingin buru-buru dapat
t . c pekerjaan. Tapi lowongan pekerjaan sekarang ini kan sulit.
Mumpung ada lowongan, Pak, potong Anis gesit. Bagaimana kalau Bapak mengajukan kami berdua" Kami bersedia dites! Biar mereka yang memilih!
Anis begitu mantap. Rianti pasti bukan saingan berat. Dia boleh pandai. Tapi penampilan" Hah! Siapa yang mau punya sekretaris pemalu seperti anak sekolah begitu" Pasti dia yang terpilih. Dia tahu sekali bagaimana caranya memikat perhatian penguji. Mudah-mudahan mereka laki-laki semua!
Hubungkan saya dengan sekretariat panitia ini, Bu Titi. Pak Ras menyodorkan kertas itu kepada Bu Titi. Saya ingin tahu syarat-syarat yang lebih terperinci. Dan bagaimana kondisi yang mereka tawarkan. Kalian berdua pulang dulu saja. Temui saya di sini besok pukul sembilan.
Rianti sudah buru-buru memutar tubuhnya setelah mengucapkan selamat siang. Tapi Anis masih di sana. Dia benar-benar gigih. Dalam hal yang satu ini Rianti kalah lagi.
* * * Begitu Rianti membuka pintu pagar halaman rumahnya, ayah tirinya langsung menyambut dengan pertanyaan yang itu-itu saja. Pertanyaan yang kemarin. Dan kemarinnya lagi.
t . c Bagaimana" Dapat"
Sejak Ayah diberhentikan dari pekerjaannya sebagai karyawan perusahaan konfeksi, hampir tiap hari dia ada di rumah. Ibulah yang menggantikan tugasnya. Pergi mencari nafkah.
Terus terang, Rianti lebih senang kalau Ibu yang diam di rumah. Ibu lebih sabar. Lebih penuh pengertian. Tidak pernah menuntut apa-apa. Ibu mengerti betapa sulitnya mencari pekerjaan. Lebih-lebih bagi seseorang yang baru saja lulus sekolah. Belum memiliki pengalaman.
Karena ingin cepat-cepat bekerja, Rianti mendaftarkan diri di business service yang dikelola oleh Pak Ras. Tetapi hampir semua permintaan yang masuk mencantumkan syarat sudah berpengalaman. Kalaupun ada yang tidak, pasti sudah didahului oleh teman-temannya. Mereka lebih gesit. Lebih pandai merayu.
Hhh, bagaimana sih, gerutu Ayah ketika dilihatnya Rianti menggeleng lemah. Sudah tiga bulan cari pekerjaan masih belum dapat juga. Belum ada lowongan, Yah.
Itu di koran begitu banyak yang cari sekretaris! Tapi semuanya mencari yang sudah berpengalaman!
Katamu dulu masuk business service lebih cepat bisa dapat pekerjaan! Mana buktinya" Sudah tiga bulan kamu masih tetap nganggur! Buang-buang uang saja!
t . c Rianti tidak menjawab. Karena dia memang tidak merasa perlu menjawab lagi. Dan tidak tahu lagi apa yang harus dijawab. Ayah selalu marah-marah. Lebih-lebih kalau dia pulang belum mendapat pekerjaan juga. Padahal siapa sih yang tidak ingin kerja"
Ah, rasanya Rianti ingin menangis. Dia tidak tahu harus bagaimana lagi. Dulu dia ingin sekali masuk Akademi Seni Rupa. Lebih sesuai dengan bakatnya. Tetapi Ayah melarang. Katanya pekerjaan itu tidak menghasilkan uang.
Lulus SMA, Ayah langsung menyuruhnya mendaftarkan diri di sebuah kursus sekretaris. Lebih cepat dapat pekerjaan. Lebih cepat menghasilkan uang. Adik-adiknya banyak, kata Ayah. Dia harus membantu mengongkosi sekolah mereka.
Terpaksa Rianti mematuhi keinginan Ayah tirinya. Padahal pekerjaan itu tidak sesuai dengan bakatnya. Dia seorang introver. Dan gadis introver tidak cocok untuk menjadi sekretaris.
Tetapi Ayah tidak peduli. Ayah orangnya keras. Tidak pernah mau dibantah. Lebih-lebih setelah dia kehilangan pekerjaan. Dan hampir selalu berada di rumah sepanjang hari. Lebih banyak lagi kesalahan yang dapat ditemukannya. Kalau sudah demikian anak-anaklah yang jadi korban.
Yos dipukuli dengan ban pinggang kulit milik Ayah. Padahal dia cuma ketahuan sedang merokok. Wajar kalau anak SMA seperti dia ikut-ikutan te-
t . c mannya, bukan" Tetapi Ayah sangat marah. Seolaholah Yos baru saja membakar rumah mereka.
Uang dibakar percuma begitu! Cari uang sendiri belum bisa sudah pintar membuang uang!
Yan lain lagi. Pulang sekolah sepedanya ringsek ditubruk bajaj. Dia belum sempat minta uang untuk memperbaiki sepeda itu di bengkel ketika rotan Ayah sudah menghajarnya sampai babak belur.
Adik-adiknya yang perempuan lebih beruntung sedikit. Ayah tak pernah memukul mereka. Tetapi kalau Ayah sedang marah, Lestari dan Hesti sampai tidak berani keluar dari kamar. Padahal mereka berdua anak kandung Ayah. Hasil pernikahannya dengan ibu Rianti.
Kalau tahu begini, lebih baik Ibu tidak menikah lagi, tangis Ibu ketika melihat bilur-bilur di tubuh Yan. Bilur bekas pukulan rotan malah lebih banyak daripada memar karena ditubruk bajaj. Tapi dulu Ayah begitu baik. Ibu merasa lebih tenang mengurus dan membesarkan kalian kalau ada yang memberi nafkah. Melindungi keluarga kita. Ayah begitu berubah setelah dipecat dari pekerjaannya&
Barangkali Ibu benar. Ayah stres setelah dipecat dengan tidak hormat dari pekerjaannya. Ayah dituduh berkomplot dengan teman-temannya menggelapkan sepuluh lusin kemeja yang sudah jadi. Padahal menurut Ayah, dia tidak pernah ikut dengan mereka.
Lalu Ayah mencoba mencari pekerjaan di tempat
t . c lain. Tetapi karena keahliannya cuma memotong kain, pekerjaan lainnya sulit didapat. Apalagi Ayah tidak punya surat referensi. Dia diberhentikan dengan tidak hormat. Dituduh mencuri. Tidak diajukan kepada yang berwajib saja sudah bagus.
Ayah ingin membuka usaha jahit sendiri. Tetapi dia belum punya modal. Dari anak-anaknyalah diharapkannya modal itu dapat diperoleh. Padahal anak yang sulung baru sebesar Rianti. Baru dia yang lulus SMA. Setelah mengikuti kursus enam bulan, Ayah mengharap dia langsung mendapat pekerjaan. Dan membawa sejumlah uang untuk membeli mesin jahit.
Mau ke mana lagi" tegur Ayah begitu dilihatnya Rianti sudah bergerak hendak keluar lagi. Baru pulang sudah mau ngeluyur!
Latihan ngetik di rumah teman, sahut Rianti ketakutan. Dia memang tidak betah berdua saja di rumah dengan Ayah. Adik-adiknya belum pulang. Ibu belum akan muncul sebelum matahari terbenam di ufuk barat.
Sudah lulus kok masih perlu latihan! Alasan saja!
Supaya lebih mahir, Ayah. Mengetik kan perlu latihan terus. Padahal kita tidak punya mesin tik.
Ah, alasan! Bilang saja kamu mau jalan-jalan. Buang-buang uang saja!
Apa yang dibuang" keluh Rianti dengan hati pedih ketika dia sedang menelusuri jalan berdebu ke
t . c rumah Bu Titi. Dia tidak pernah naik bus. Apalagi bajaj. Ke mana pun ditempuhnya dengan berjalan kaki. Kadang-kadang membonceng teman kalau ada yang berbaik hati menawarkan.
Mesin tik dia tidak punya. Padahal lancar mengetik merupakan keharusan bagi seorang calon sekretaris. Dan untuk mengetik dengan lancar dia perlu banyak latihan. Terpaksa dia pinjam sanasini.
Sebenarnya yang dipinjamnya bukan cuma mesin tik. Sepatu pun terpaksa dia meminjam dulu. Seorang sekretaris perlu sepatu dengan ujung tertutup dan bertumit tinggi. Padahal sejak kelas dua SMA, sepatunya belum pernah berganti. Masih tetap sepatu karet untuk berolahraga.
Mau membeli, Rianti belum punya uang. Minta uang pada Ibu, Rianti tidak tega. Uang kursus yang dua ratus lima puluh ribu itu pun masih dicicilnya. Untung direktur tempat kursusnya itu baik hati. Dia mengerti kesulitan Rianti. Dan memberikan keringanan untuk mencicil.
Enam bulan kursus di sana, hampir semua orang bersimpati pada Rianti. Hidupnya yang prihatin, sikapnya yang lugu dan sederhana, menarik perhatian semua staf pengajarnya. Apalagi dia cerdas dan rajin. Semua pelajaran dapat diselesaikannya dengan baik.
Bu Titi belum pulang ketika Rianti datang ke rumahnya. Tapi suaminya ada. Dan dia sudah kenal
t . c pada Rianti. Tanpa ragu-ragu dia menyilakan Rianti masuk.
Maaf, Pak. Mengganggu lagi. Boleh pinjam mesin tiknya"
Oh, tentu. Pakai saja, sahut suami Bu Titi dengan ramah. Sudah dapat pekerjaan"
Belum, Pak. Wah, sayang sekali. Bu Titi juga cerita, lowongan sekarang sulit. Jarang ada permintaan.
Tidak mengganggu kalau saya mengetik di sini, Pak"
Oh, tentu saja tidak. Kebetulan Bapak juga mau pergi. Jadi ada yang jaga rumah. Tolong berikan kunci rumah pada Bu Titi kalau dia pulang nanti ya.
Sampai Pak Handoko meninggalkan rumah, Rianti masih termenung di depan mesin tiknya. Alangkah baiknya laki-laki itu. Ah, seandainya Ayah sedikit saja menyerupai dia&
Ayah kandung Rianti telah meninggal ketika dia baru berumur empat tahun. Ketika itu, Yan baru saja lahir. Rianti sudah tidak begitu ingat lagi bagaimana rupa ayahnya. Tapi kerinduannya untuk memiliki seorang ayah masih tetap belum terpuaskan sampai sekarang.
Ayah tirinya memang dapat dipanggilnya Ayah. Tapi cuma itu. Ayah bukan igur kebapakan yang kokoh di luar tapi lembut di dalam seperti yang selama ini dibayangkannya. Bukan laki-laki penuh
t . c kasih sayang yang memanjakan anak perempuannya. Bukan pahlawan yang melindungi keluarganya dalam ketenteraman.
Ayah tirinya kasar. Diktator. Pemarah. Nyinyir. Dan masih seribu satu sifat jelek lagi. Satu-satunya kelebihannya hanyalah dia tidak punya perempuan lain selain Ibu. Dan dia tidak pernah melarikan diri dari frustrasinya kepada minuman keras.
Rianti masih asyik mengetik ketika Bu Titi pulang. Dan belum juga meletakkan tasnya, Bu Titi sudah menghampirinya sambil menggerutu.
Kenapa buru-buru pulang, Rian" Anis masih di sana! Jangan cepat putus asa. Kamu mesti gigih mendesak Pak Ras. Kalau dia mau, kamu bisa dapat pekerjaan itu. Mereka tidak mencari sekretaris yang berpengalaman. Cukup yang bisa steno dan mengetik cepat. Kamu tahu berapa honornya, Rian" Tiga ratus ribu bersih, makan dan penginapan gratis, masih dapat uang saku sepuluh dolar sehari, apa kamu tidak kepingin" Lha, bukannya ngotot, malah terbirit-birit lari pulang!
Tiga ratus ribu! Ya Tuhan! Alangkah banyaknya. Belum pernah dia memegang uang sebanyak itu. Tiga ratus ribu. Bisakah untuk membeli sebuah mesin jahit" O, Ayah pasti gembira! Ayah dapat mulai bekerja kembali. Dan sifatnya akan berubah& Betapa bahagianya Ibu nanti!
Selama ini Ibu sudah cukup menderita. Tertekan karena sikap Ayah yang kasar. Adik-adik juga akan
t . c merasa lega. Tidak usah takut lagi dimarahi Ayah untuk kesalahan yang sepele.
Tapi& benarkah dia dapat memperoleh uang itu" Mungkinkah dia berhasil mengalahkan temantemannya" Menyingkirkan saingan-saingannya untuk meraih pekerjaan itu"
Ah, Pak Ras memang baik. Terlalu baik malah. Dia memang baik pada setiap orang. Tetapi pada Rianti, sikapnya lebih manis lagi.
Teman-temannya sudah lama menggosipkan, Pak Ras menaruh hati padanya. Dulu Rianti tidak peduli. Dia hanya menganggap Pak Ras sebagai guru. Tidak lebih.
Pak Ras memang tampan. Simpatik. Masih muda pula. Umurnya pasti tidak lebih dari tiga puluh lima tahun. Tapi dia sudah punya istri. Punya anak. Apa yang dapat diharapkannya lagi dari lakilaki yang sudah punya keluarga"
Rianti tidak mau merusak rumah tangga orang. Lagi pula, dia tidak tertarik pada Pak Ras. Sekarang baru timbul persoalan. Dia harus mendekati lakilaki itu. Supaya dapat memperoleh pekerjaan.
Tapi& mendekati bukan berarti harus memberikan sesuatu bukan" Dia bisa minta agar Pak Ras memilihnya. Tanpa perlu menukarnya dengan sesuatu.
Besok pagi Pak Ras ada di kantor. Pukul delapan, kata Bu Titi pula. Aduh, tidak sabar rasanya menghadapi pelonco ini. Pada saat teman-temannya
t . c yang lain sedang berjuang mendapatkan pekerjaan yang mereka inginkan, dia malah bengong di sini! Di zaman yang sulit ini, mana ada pekerjaan yang turun sendiri dari langit" Kecuali kalau bapaknya yang menganugerahkan pekerjaan itu! Lebih baik kamu tunggu dia di sana! Minta supaya pekerjaan itu diberikan padamu. Ayo, Rian, kapan lagi" Ini ada kesempatan bagus! Jangan disia-siakan!
* * * Tetapi kesempatan bagus itu tidak datang semulus yang diharapkannya. Seperti tahu sedang ditunggu gadis-gadis manis, Pak Ras seolah-olah tahan harga. Pukul sepuluh lebih empat puluh lima menit dia baru muncul di kantor. Tamu yang menunggunya sudah ada dua orang. Ketika tamu pertama selesai diterima, muncul dua orang tamu lagi.
Teman-teman Rianti benar-benar gigih. Kalau kemarin cuma Anis yang mengharapkan pekerjaan itu, sekarang ada tiga orang gadis lagi yang menginginkan pekerjaan yang sama.
Sebenarnya Rianti sudah putus asa. Luki sudah dua kali mengikuti konferensi internasional di Jakarta. Bahasa Inggrisnya baik sekali. Bahasa Prancisnya juga tidak mengecewakan. Maklum bapaknya bekas karyawan Kedubes Indonesia di Canberra. Dan kursus bahasa Prancisnya sudah sampai 5 f. Nah, kurang apa lagi" Pasti dia yang terpilih. Le-
t . c bih baik Rianti pulang saja. Daripada buang-buang waktu di sini. Tetapi Anis masih gigih seperti kemarin. Meskipun harapannya tinggal selembar benang, dia masih tetap bertahan.
Kemarin Pak Ras sudah janji, pekerjaan itu akan diberikannya kepadaku, katanya mantap, entah untuk menghancurkan mental saingan-saingannya, entah cuma untuk menghibur dirinya sendiri.
Asal kamu mau dicium saja! gerutu Dila, melampiaskan kejengkelannya.
Seperti Rianti, Dila juga sudah patah semangat. Tubuhnya terlalu montok untuk tubuh seorang sekretaris. Pak Ras sendiri pernah bilang, dia terlalu lamban. Direkturnya bisa pegal disuruh menunggu terus.
Dila kemari bukan untuk menemui Pak Ras. Lelaki itu memang baik. Tetapi tidak pernah terlalu ramah kepadanya. Tidak seperti sikapnya terhadap teman-temannya yang lain. Barangkali karena tubuhnya. Potongannya seperti guling.
Biarpun begitu Dila tidak percaya tidak ada lowongan pekerjaan baginya. Tuhan mahaadil. Masa tidak ada direktris, barangkali wanita separuh baya, yang membutuhkan seorang sekretaris yang tidak genit, kurang gesit, tapi setia" Nah, Dila-lah orangnya!
Jangan sembarangan omong! geram Anis marah. Kuadukan pada Pak Ras baru tahu rasa kamu!
t . c Ah, jangan pura-pura enggak tahu! sambung Dila, sudah kepalang basah. Sekalian saja dilampiaskannya kemengkalannya. Mumpung ada kesempatan. Toh pekerjaan itu tidak akan dapat diperolehnya! Siapa yang mau melirikkan mata padanya selama masih banyak gadis-gadis seagresif Anis, secantik Luki, sepandai Rianti"
Mana buktinya" Tanya saja tuh si Luki! Biar saja, Nis. Luki tersenyum, tenang seperti biasa. Dia memang masih tetap dapat bersikap tenang biarpun yang menuduhnya istri Pak Ras sendiri. Dila lagi kumat. Dilawan juga percuma.
Sambil menggeram Dila bangkit hendak meninggalkan kantor. Dia memang datang untuk menemui Bu Titi. Bukan Pak Ras.
Bu Titi orangnya baik. Kalau ada lowongan, pasti dia diberitahu. Sayang, hari ini dia terlambat. Begitu datang, sudah banyak teman-temannya yang berkumpul di sini. Kelas berat semua lagi. Lebih baik dia pulang saja. Percuma.
Tetapi Rianti meraih lengannya. Ketika Dila menoleh, dilihatnya gadis itu sedang menatapnya. Matanya yang sepolos mata bayi itu memandangnya dengan sungguh-sungguh.
Tunggu saja, Dila. Suaranya setulus tatapannya. Siapa tahu kamu yang terpilih&
Bukan cuma Dila yang tertegun, Bu Titi juga. Yang terakhir ini malah menghela napas panjang.
t . c Ternyata bukan hanya penampilannya saja yang masih anak-anak, pikir Bu Titi antara kesal dan iba. Hatinya pun masih seputih hati bayi! Biarpun sedang bersaing berebut pekerjaan, Rianti masih tetap menganggap Dila sebagai temannya! Benarbenar teman sejati!
Dan Pak Ras yang ditunggu-tunggu itu muncul sebelum Dila sempat mengambil keputusan. Begitu masuk, dia menyapa gadis-gadis itu dengan ramah.
Selamat siang, Nona-nona manis! Wah, ada apa rupanya" Pemilihan ratu kecantikan sejagat pindah kemari"
Dila mendengus. Tentu saja sepelan mungkin. Supaya tidak terdengar. Yang dimaksudkan nonanona manis itu pasti mereka. Dia tidak masuk hitungan!
Orang-orang bilang, hidung Dila besar seperti jambu. Mulutnya mancung seperti bemo. Dan matanya selalu membelalak seperti ikan maskoki. Jadi dilihat dari pandangan muka, samping, maupun atas, proporsi isiknya pasti jauh dari harmonis.
Katanya ada lowongan buat kita, Pak, cetus Vin, seakan-akan takut keduluan.
Sejak tadi Vin belum bicara sepatah pun. Mungkin menyimpan suara untuk Pak Ras. Di antara teman-temannya, Vin memang terkenal memiliki suara yang merdu. Bukan hanya waktu menyanyi
t . c dialunkannya suaranya yang bak buluh perindu itu. Pada saat-saat tertentu, suaranya yang merdu menggemaskan itu dimanfaatkannya pula untuk berbicara. Seperti saat ini misalnya. Jangankan cuma seorang Pak Ras. Cecak pun sampai menoleh, tergiur oleh suara bidadari yang diperdengarkan oleh Vin.
Memang ada lowongan. Pak Ras tersenyum menyadari kata-katanya didengar seperti sabda dewata oleh gadis-gadis manis ini. Tapi cuma untuk satu orang!
Bapak sudah janji kemarin! sela Anis tanpa sempat menarik napas lagi. Lowongan itu buat saya kan, Pak" Saya yang tahu lebih dulu!
Luki tidak perlu berbunyi. Dia hanya tersenyum. Begitu yakin akan dirinya sendiri. Tanpa mengeluarkan bunyi pun Pak Ras pasti akan menoleh padanya. Dan Pak Ras memang menoleh. Tersenyum. Tapi tidak memilihnya.
Dila sudah bangkit. Tidak merasa perlu untuk menunggu sampai Pak Ras menentukan pilihannya. Kalaupun dia belum meninggalkan ruangan itu, semata-mata hanya karena dia menghormati bekas gurunya. Dia melirik Rianti. Tapi Rianti sedang menoleh ke arah Bu Titi. Dan Dila sempat melihat isyarat mata Bu Titi.
Sekejap Rianti menjadi gugup. Tidak tahu harus mengucapkan mantra apa. Dan Pak Ras berpaling kepadanya sebelum dia keburu menutup mulutnya. Kamu juga ingin ke Kairo, Rian"
t . c Suara Pak Ras begitu lembut. Begitu ramah. Begitu menjanjikan harapan. Tetapi celaka. Begitu mata mereka saling bertemu, lelatu kegugupan meletik di hati Rianti. Bukan hanya pipinya yang merah terbakar. Telinganya juga. Dan dia menjadi salah tingkah. Lebih-lebih setelah teman-temannya sama-sama menoleh ke arahnya.
Saya ingin bekerja, Pak& . sahut Rianti terbatabata. Ayah saya&
Rianti sudah tiga kali mengulangi kalimat yang terakhir itu. Tetapi tetap tidak mampu menyelesaikannya. Akhirnya Bu Titi yang tidak sabar. Dengan gemas dilanjutkannya kata-kata Rianti.
Dia ingin membelikan ayahnya mesin jahit dari honornya yang pertama, Pak. Supaya ayahnya bisa bekerja lagi. Mencari nafkah untuk keluarga mereka!
Yang tercengang bukan cuma teman-temannya. Rianti sendiri juga terkejut. Ditatapnya Bu Titi dengan bengong. Tapi yang ditatap cuma mendengus. Hanya Pak Ras yang tidak terperanjat. Ditatapnya Rianti dengan tatapan yang setenang tadi.
Baiklah. Kesempatan kali ini saya berikan padamu, Rianti. Tapi kamu masih harus membuktikan keterampilanmu. Nanti sore datang ke sini. Saya tes kamu sekali lagi. Supaya tidak memalukan di forum internasional nanti. Soalnya kamu tidak sendirian di sana. Mereka sudah menyediakan seorang sekretaris senior yang akan mendampingimu.
t . c Masih dengan gaya dan tatapan setenang semula, tanpa kehilangan senyum simpatiknya, Pak Ras berpaling pada gadis-gadis yang lain.
Nah, Nona-nona manis. Jangan putus asa. Masih ada kesempatan lain. Bulan depan, ada seminar ilmiah dokter-dokter di Bali. Mereka meminta kita menyediakan sebuah tim. Selamat siang.
Cuma Dila yang sempat membalas salam Pak Ras. Yang lain masih membeku dalam kekecewaan masing-masing. Sedangkan Rianti masih tenggelam dalam telaga ketidakpercayaan.
Bukan main! Dia yang terpilih dari antara gadisgadis sebanyak ini" Ya Tuhan, apa kelebihannya" O, rasanya dia ingin menangis. Dengan penuh keharuan dibisikkannya ucapan syukur kepada Tuhan.
Kepada Pak Ras, Rianti tidak sempat lagi berterima kasih. Dia sudah keluar. Hanya Bu Titi yang dapat menjadi tumpuan luapan keharuannya. Dirangkulnya wanita separuh baya itu dengan penuh rasa terima kasih. Air matanya meleleh membasahi baju Bu Titi.
Sudah, sudah, bisik Bu Titi, menutupi keharuannya sendiri. Nanti baju Ibu basah semua!
Oh, maaf, Bu! cetus Rianti kaget. Tersipu-sipu buru-buru disekanya air matanya. Ketika dia hendak mengeringkan tetesan air mata yang merembes ke baju Bu Titi, perempuan itu mencegahnya. Sudah. Tidak apa-apa. Sekarang pulang saja.
t . c Latihan mengetik lagi di rumah Ibu. Nanti sore jangan lupa datang kemari.
Terima kasih, Bu, kata Rianti sekali lagi. Dia baru teringat pada teman-temannya. Tetapi mereka sudah tidak ada. Cuma Luki dan Vin yang masih sempat dikejarnya. Mereka sedang berdiri sambil mengobrol di dekat tangga. Dan Rianti masih sempat mendengar kata-kata Luki yang terakhir.
Sudahlah, Vin. Seperti yang belum kenal Pak Ras saja. Dia sudah bosan sama kita! Ingin mencicipi yang baru!
Rianti tersentak seperti disengat lebah. Tidak menyangka akan mendengar kata-kata seperti itu diucapkan oleh teman-temannya. Luki mengucapkannya dalam nada sinis. Sesinis senyumannya. Rianti sampai tidak berani mendekat. Takut akan mendengar yang lebih sadis lagi. Lebih menyakitkan hati.
Rianti masih tertegun di tempatnya ketika seseorang memukul bahunya.
Eh, melamun! cetus Dila yang tahu-tahu sudah berada di sampingnya. Dapat pekerjaan kok malah bengong! Ayo, traktir dong!
Traktir pakai apa" sahut Rianti, masih gugup. Entah apa warna mukanya saat itu. Merah" Pucat" Atau biru"
Kan boleh ngutang dulu. Pulang dari Kairo baru bayar!
Ketika melihat Vin dan Luki masih berdiri di
t . c sana, sengaja Dila mengeraskan suaranya. Rianti tidak keburu mencegah. Vin dan Luki sudah menoleh ke tempat mereka. Dan langsung menghampiri. Selamat ya, Rian.
Ada senyum yang menyakitkan di sudut bibir Luki. Untuk pertama kalinya Rianti tidak senang melihat wajah gadis itu. Senyumnya membuat wajah Luki jadi tidak enak dilihat. Padahal dia cantik. Dan biasanya Rianti selalu mengagumi kecantikannya.
Ah, selamat apa! sahut Rianti gugup. Belum tentu terpilih kok. Masih harus dites lagi. Pasrah saja. Pasti lulus.
Tiba-tiba Vin tertawa geli. Dan untuk kedua kalinya Rianti tersentak lagi. Biasanya suara Vin enak didengar. Termasuk suara tawanya. Tapi kali ini, lebih baik Rianti tidak usah mendengarnya.
Serahkan saja apa yang diminta Pak Ras. Jangan kuatir. Dia tidak pernah minta terlalu banyak kok! Apalagi pada kesempatan pertama!
Herannya, yang marah bukan Rianti. Tapi Dila. Jangan mengajarkan yang bukan-bukan pada Rianti! bentaknya sengit. Dia bukan seperti kalian!
Lihat saja nanti. Kamu juga tahu kan, seperti apa Pak Ras itu!
Sambil mengobral senyum, Luki menggamit Vin. Dan mereka melenggang meninggalkan Rianti dalam kebingungan.
t . c Seperti apa Pak Ras itu, Dila" tanya Rianti penasaran.
Anak-anak bilang dia genit. Tapi dia baik& .
Lelaki yang genit memang biasanya baik! Betul yang kamu bilang itu, Dila" Mesti mau di& ah!
Memerah paras Rianti. Dan dia tidak mampu melanjutkan lagi kata-katanya.
Teman-teman bilang begitu. Siapa yang bilang"
Banyak. Semua yang sudah pernah diberi pekerjaan oleh Pak Ras. Mesti mau dicium dulu baru lulus.
Merinding bulu-bulu halus di sekujur tubuh Rianti. Ya Tuhan! Begini beratkah ujiannya untuk mendapat pekerjaan" O, lebih baik dia menganggur daripada mesti menyerahkan bibirnya di&
Terus terang aku sih lebih senang kamu yang dapat pekerjaan itu daripada mereka, kata Dila ketika dilihatnya Rianti diam saja. Tapi hati-hati, Rian. Pak Ras itu buaya. Di luarnya saja dia kelihatan baik!
Dila, cetus Rianti tiba-tiba. Kamu mau menggantikan aku"
Menggantikan kamu" Ke mana"
Datanglah nanti sore. Ambil pekerjaan itu. Aku mengundurkan diri saja!
Lho! t . c Aku takut, Dila! Tapi&
Tolong katakan pada Pak Ras, ayahku keberatan aku pergi ke luar negeri!
* * * Kamu ini bagaimana sih, Rian"! belalak Bu Titi begitu muncul di ambang pintu rumah Rianti. Ada pekerjaan begitu bagus kok ditolak"!
Petang itu Bu Titi langsung mampir di rumah Rianti sepulangnya dari kantor. Dan Rianti tidak keburu mencegah. Bu Titi sudah mengumbar kekesalannya. Padahal di sana ada Ayah!
Teman-temanmu berebut ingin memperoleh kesempatan itu! Kesempatan langka yang begitu menggiurkan! Tiga ratus ribu rupiah! Astaga, Rian! Kamu sudah terpilih, masa malah mengundurkan diri"!
Ada lowongan, Bu Titi" sela Ayah seperti tikus mencium beras. Perusahaan apa"
Bukan pekerjaan tetap, Pak. Tapi honornya baik. Tiga ratus ribu untuk sepuluh hari melayani kongres internasional di Mesir! Masih ditambah uang saku sepuluh dolar sehari!
Tiga ratus ribu! Ayah Rianti menelan ludah dengan sulitnya. Kamu tolak, Rian"! Kamu sudah benar-benar gila barangkali!
Saya takut, Ayah& . Takut" Anak sebesar kamu"! Jangan cari pekerja-
t . c an kalau takut! Diam saja di kamar! Menyusu pada ibumu!
Ada perasaan sesal menyelinap ke hati Bu Titi ketika mendengar kata-kata kasar yang diucapkan ayah Rianti. Tetapi semuanya sudah telanjur. Terpaksa disaksikannya saja bagaimana Rianti dimakimaki ayahnya. Gadis itu hanya menundukkan kepala sambil menggigit bibir. Bu Titi-lah yang justru merasa sakit.
Masih ada kesempatan lain, Pak, potongnya, tak tahan lagi mendengar Rianti dimarahi habishabisan. Bulan depan&
Bulan depan kan urusan nanti, Bu Titi! Ini sudah ada di depan mata! Masa ditolak! Apa dia kira sekolahnya itu tidak dibayar dengan uang"! Dasar anak tidak tahu diri! Apa kamu tidak ingin membalas budi orangtuamu" Mengembalikan sebagian uang yang telah kami keluarkan untuk sekolahmu dengan gajimu"!
Lain kali masih ada kesempatan, Pak. Barangkali Rianti masih takut ke luar negeri sendirian& .
Tidak! Kamu harus dapat pekerjaan itu, Rian! Ayah tidak mau tahu! Kamu pergi ke rumah Pak Ras sekarang! Bilang, kamu mau kerja! Tidak mengerti jugakah kamu, Rian" Kita perlu uang! Lebih baik tunggu sampai besok, Pak& . Jangan, Bu Titi! Harus sekarang juga! Nanti keburu diambil orang! Kamu harus dapat pekerjaan itu, Rian! Harus! Ayah tidak mau dengar lagi kamu gagal! Sudah tiga bulan kamu nganggur!
t . c * * * Maafkan Ibu, Rian, bisik Bu Titi di pintu pagar rumah Rianti. Ibu tidak bermaksud menyusahkanmu& .
Memang salah saya, Bu, sahut Rianti lirih. Tapi saya tidak berani ke rumah Pak Ras& .
Ibu mau mengantarkanmu ke sana, Rian. Tapi jangan sekarang. Ibu mau mengantar Ruri ke dokter. Bagaimana kalau besok pagi" Sebelum Ibu ke kantor"
Ibu dengar sendiri, Ayah tidak bisa ditawar lagi!
Kalau begitu tunggulah sampai Ibu pulang dari dokter.
Ayah tidak bisa menunggu lagi, Bu! Biar Ibu yang bicara.
Kan Ibu sudah dengar sendiri tadi. Ayah takut saya keduluan teman lain. Ayah menyuruh saya pergi sekarang juga!
Hhh, ayahmu benar-benar susah dibantah, Rian!
Ayah memang begitu, Bu. Tapi semua salah saya.
Sudah. Jangan menyalahkan dirimu lagi. Pergilah tukar pakaian. Nanti ayahmu marah lagi.
Istri Pak Ras tidak marah kalau saya datang ke rumahnya sore-sore begini, Bu"
Kalau malam lebih tidak enak lagi, Rian. Ayolah, cepat berangkat. Katakan saja pada Pak Ras,
t . c ayahmu sudah mengizinkan. Dan kamu minta kesempatan sekali lagi untuk dites.
Bagaimana dengan Dila, Bu" Saya sudah menyerahkan kesempatan itu padanya.
Kamu terlalu memikirkan orang lain! Tapi Dila teman saya, Bu!
Belum tentu Pak Ras mau menerima Dila! Bagaimanapun saya harus menemui Dila dulu, Bu.
Bu Titi menghela napas. Terserah kamulah, Rian. Ibu jadi pusing. Ibu pulang dulu ya" Ruri sudah dua hari tidak enak badan.
Lama sudah Bu Titi menghilang di kelok gang, Rianti masih termenung di pintu pagar. Suara Ayahlah yang menyentak lamunannya.
Tunggu apa lagi"! Pekerjaan itu tidak bakal datang sendiri kemari!


Di Tepi Jeram Kehancuran Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

* * * Aku sih oke saja, sahut Dila ketus. Tadi siang kamu yang minta aku menggantikan tempatmu. Ayah memaksaku ikut, Dila.
Jadi bagaimana maumu sekarang" Aku pergi ke rumah Pak Ras dan bilang ayahmu menyuruhmu ikut"
Cukup kalau kamu memaafkan aku, Dila& Ah, sudahlah! Aku tidak apa-apa kok! Biar
t . c kamu berikan kesempatan ini padaku, belum tentu Pak Ras memilihku! Dia kan belum buta!
Kalau aku datang ke rumahnya sekarang, apa istri Pak Ras tidak marah, Dila"
Ah, masa bodoh saja! Luki pernah didamprat habis-habisan! Dia tidak peduli!
Tapi aku bukan Luki! pikir Rianti bingung. Di mana harus kutaruh mukaku kalau sampai didamprat istri orang"
* * * Istri Pak Ras memang tidak langsung mendamprat. Tapi wajahnya bukan main masamnya ketika Rianti datang ke rumahnya. Sikap Pak Ras pun tidak seramah di kantor. Dia seperti kesal Rianti mengunjunginya di rumah.
Maafkan saya terpaksa mengganggu Bapak di rumah, kata Rianti gugup. Ayah saya sudah mengizinkan& .
Tidak bisa tunggu sampai besok di kantor" Saya takut Bapak sudah keburu memberikan pekerjaan ini pada orang lain& .
Sudahlah, kamu pulang saja. Besok temui saya di warteg dekat kantor saya. Jam sebelas.
Rianti melongo keheranan. Di warung tegal" Bukan di kantor" Tapi& mengapa mesti di sana& "
Istri saya orangnya sulit, bisik Pak Ras, seperti memahami kebingungan Rianti. Ada gadis cantik
t . c malam-malam begini datang ke rumah, pasti besok dia menunggu seharian di kantor!
Tapi apa salahnya" Suaminya hanya menguji kemampuan mengetik dan stenoku! Bukan yang lain! Tapi& di warung tegal, bagaimana Pak Ras bisa menguji kecepatanku mengetik" Paling-palling dia hanya mau menguji kecepatanku makan!
Tetapi Rianti tidak bisa membantah. Terpaksa dia minta diri. Dan di rumah, ayahnya sudah menunggu seperti pemburu menanti mangsanya.
Besok siang saya diuji, cetus Rianti sebelum ditanya. Masih ada kesempatan& .
Jangan pulang kalau gagal! geram Ayah separuh mengancam. Ada pekerjaan kok ditolak! Edan!
* * * Malam itu Rianti benar-benar tidak bisa tidur. Sudah hampir dua jam dia membolak-balikkan tubuhnya di ranjang. Tapi matanya belum mau terpejam juga. Silih berganti peristiwa siang tadi melintas dalam pikirannya.
Benarkah Pak Ras seperti apa yang diceritakan Luki" Alangkah mengerikan kalau benar demikian! Rianti akan berada bersamanya selama sepuluh hari. Di negeri asing. Di lingkungan yang asing pula. Tidak ada yang dikenalnya di sana.
Kata Bu Titi, Pak Ras sendiri akan pergi ke sana memimpin dua orang sekretaris dalam delegasi itu.
t . c Sekretaris yang seorang lagi sudah berpengalaman enam belas tahun. Sudah berkali-kali mengikuti kongres-kongres internasional. Rianti akan bertugas sebagai asistennya. Dapatkah dia bekerja sama dengan sekretaris yang belum dikenalnya itu"
Esok dia akan berada berdua saja dengan Pak Ras. Di tempat yang tidak resmi pula. Bukan di kantor. Padahal di sana ada Bu Titi. Pasti lebih aman. Tes apa yang harus dihadapinya" Benarkah seperti apa yang dikatakan Dila"
Dan Kairo! Tuhanku, alangkah jauhnya negeri itu! Membayangkannya saja Rianti sudah merasa gerah. Gurun pasir. Tandus. Panas. Dan seorang diri pula.
Dan Pak Ras. Mengapa pula dia harus ikut" Kalau dia tidak ada, barangkali Rianti lebih tenang. Tapi& benarkah dia dapat lebih tenang tanpa Pak Ras" Tanpa seorang pun yang dikenalnya"
Di negeri orang yang jauh itu segalanya dapat saja terjadi. Bagaimanapun memiliki seseorang yang sudah dikenalnya pasti lebih baik& daripada tidak punya siapa-siapa!
Ah, Rianti benar-benar takut. Seandainya Ayah tidak memaksa& lebih baik kalau dia tidak ikut saja. Mencari pekerjaan di Jakarta pasti lebih aman. Kalau tidak ada lowongan sebagai sekretaris, mengapa tidak mencoba dulu dengan yang lain"
Tapi Ayah! Dia tentu memaki lagi. Sudah membuang uang mahal-mahal untuk sekolah, tidak ada
t . c hasilnya. Kalau tidak dapat menjadi sekretaris, buat apa sekolah jadi sekretaris"
Ah, Ayah. Mengapa sulit sekali bagimu untuk mengerti" Aku ingin bekerja. Ingin memberimu uang. Ingin membahagiakanmu. Tapi cobalah mengerti. Betapa sulitnya bagiku untuk merealisasikan impianmu. Impianku juga!
Belum tidur" Rianti terlambat menyadari, Ibu telah berada di samping tempat tidurnya. Sudah tidak mungkin lagi untuk berpura-pura tidur. Ibu sudah sempat melihat matanya yang masih nyalang terbuka. Padahal adik-adiknya sudah tertidur semua.
Ibu memang selalu menyempatkan diri mengunjungi kamar mereka setiap malam. Barangkali Ibu merasa bersalah kalau tidak melihat anak-anaknya sehari saja. Padahal pekerjaannya mengharuskan demikian.
Ibu bekerja di sebuah salon kecantikan yang cukup ramai. Biasanya pukul delapan malam Ibu baru diizinkan meninggalkan salon. Tetapi bila sedang ramai, Ibu bisa tiba di rumah sampai pukul sepuluh.
Dalam kegelapan, samar-samar Ibu melihat Rianti menggeleng. Ibu memang tidak mungkin melihat air mata yang menggenangi sudut mata Rianti. Tetapi nalurinya sebagai seorang ibu membisikkan, kegelisahan sedang memorak-porandakan hati anak gadisnya yang masih remaja itu.
t . c Ada apa" bisik Ibu lembut. Ayah lagi" Rianti menggeleng meskipun sebenarnya dia ingin mengangguk. Tak patut menyusahkan Ibu lagi. Penderitaannya sendiri sudah cukup berat. Tetapi Ibu memang mempunyai mata yang ketiga. Ibu selalu tahu kalau Rianti berdusta.
Ayah marah-marah lagi" Ibu duduk di sisi tempat tidur. Dan membelai pipi Rianti dengan lembut. Sabarlah. Ibu tahu kamu sudah berusaha. Mencari pekerjaan memang tidak mudah.
Saat itu lahirlah tekad di hati Rianti. Begitu tiba-tiba. Dia harus memperoleh pekerjaan itu. Sekarang, bukan lagi hanya untuk memberi uang pada Ayah. Tapi untuk membahagiakan Ibu! Untuk memberinya secercah kebahagiaan. Dan kebanggaan di hadapan Ayah!
* * * Pak Ras tampak demikian segar dalam t-shirt dan jins yang mengurangi umurnya menjadi sepuluh tahun lebih muda. Tetapi di mata Rianti, dalam penampilan seperti itu, respeknya yang terakhir kepada bekas gurunya langsung punah tanpa sisa. Apalagi melihat gayanya yang begitu santai.
Laki-laki itu memperlakukan Rianti seperti seorang teman. Bukan murid. Dan untuk suatu alasan yang Rianti sendiri tidak tahu, dia lebih suka
t . c kalau Pak Ras tetap bersikap sebagai atasan yang harus dihormati.
Mau makan apa" tanya Pak Ras ramah. Lagi-lagi Rianti kecewa. Dia mengharapkan Pak Ras akan mengujinya. Bukan mengajak makan! Terima kasih, Pak. Saya masih kenyang& Ah, jangan malu-malu. Mau apa kemari kalau tidak mau makan!
Tapi kata Bapak& Pekerjaan itu" Suara Pak Ras demikian acuh tak acuh. Sudah saya berikan padamu. Siap-siap sajalah. Kamu berangkat bulan depan. Paspormu akan disiapkan. Demikian pula visanya.
Tidak perlu diuji" belalak Rianti tidak percaya. Tentu saja dia gembira. Tapi sekaligus bingung. Duh, mudahnya mendapat pekerjaan!
Asal mau dicium saja! terngiang lagi kata-kata Dila di telinganya. Dan tak sadar, Rianti menggigit sedikit.
Ah, tes kan cuma formalitas! Semua bisa diatur!
Tapi& Bapak percaya saya tidak akan mengecewakan Bapak"
Sekarang Pak Ras memandang Rianti dengan sabar. Matanya yang selalu tersenyum itu seolah-olah berkata, Alangkah dungunya engkau, anak kecil!
Saya percaya, sahutnya lembut. Kamulah yang harus membuktikan, kepercayaan saya itu tidak siasia!
t . c Apa yang harus saya lakukan, Pak"
Pertama, makanlah sampai habis apa yang dipesankan untukmu!
Terpaksa Rianti menekan rasa malunya. Dan menghabiskan semua makanan yang dipesan Pak Ras untuknya. Tanpa sisa. Kebetulan dia memang sedang lapar.
Bagus. Pak Ras tersenyum melihat piring Rianti sudah licin tandas. Yang pertama ini, tes kepatuhan.
Asal jangan disuruh menghabiskan sepiring lagi, Pak, sahut Rianti tersipu-sipu. Perut saya bisa meledak!
Tentu saja tidak. Yang kedua ini tidak termasuk dalam tes. Jadi santai saja.
Dengan tenang Pak Ras membayar semua pesanan mereka. Dan mengajak Rianti keluar. Kita jalan saja ya"
Ke mana" Ke toko di seberang itu. Mau apa ke sana, Pak" tanya Rianti bingung. Dengan canggung dia mengikuti langkah Pak Ras.
Cari baju, sahut Pak Ras tenang. Dia melangkah dengan santai di samping Rianti seolah-olah gadis itu teman akrabnya.
Baju" Untuk siapa" Untukmu.
Untuk saya" t . c Di konferensi internasional, kamu harus mengenakan pakaian yang pantas.
Apakah pakaian saya kurang pantas" Kurang bonaide. Jangan memalukan saya. Tapi&
Pilihlah baju yang kamu suka. Nanti saya lihat sesuai tidak untukmu. Ingat, jangan pilih yang kampungan. Yang kamu hadapi di sana itu orang-orang yang berselera tinggi.
Tapi, Pak, saya& Uang" Jangan kuatir, saya yang bayar. Ah, jangan, Pak! cetus Rianti spontan, antara terkejut dan malu. Tidak pantas&
Mengapa tidak" Kamu dapat membayarnya sepulang dari Kairo nanti.
Rianti terdiam. Kata-kata Pak Ras memang ada benarnya juga. Bajunya tidak ada yang pantas untuk diketengahkan. Bahannya sederhana. Potongannya seperti anak sekolah. Warnanya sudah luntur pula. Teman-temannya sering menertawakannya.
Rambutmu juga mesti diubah sedikit, sambung Pak Ras, seolah-olah Rianti baru lulus SD. Masa sekretaris rambutnya dikepang dua begitu. Tidak pantas.
Tapi, Pak& Sudah, jangan membantah lagi! Kamu mau pergi atau tidak"
Tapi saya tidak tahu&
Serahkan saja pada saya. Pokoknya kamu me-
t . c nurut saja. Sekarang pilihlah bajumu. Atau saya juga yang harus memilihkannya untukmu"
Terus terang Rianti memang bingung. Tidak tahu harus memilih baju apa. Yang disukainya, terlalu sederhana. Yang dipilihkan Pak Ras, rasanya kurang pantas dipakai. Terlalu& ah!
Tidak apa-apa. Penampilan sangat penting. Apa salahnya menonjolkan sedikit keindahan tubuhmu! Supaya orang senang melihatnya.
Tapi saya bukan peragawati, Pak!
Betul. Tapi apa salahnya menonjolkan daya tarikmu" Semua orang senang melihat perempuan cantik! Apa pun pekerjaannya!
Tapi saya tidak berani, Pak! Baju itu tidak sesuai dengan kepribadian saya. Saya malah jadi canggung memakainya!
Hebat anak ini pikir Pak Ras kagum. Benar-benar lain daripada yang lain. Teman-temannya mana ada yang berani membantah! Ternyata diam-diam kepribadiannya kuat juga. Dia teguh mempertahankan prinsip, biarpun dari luar kelihatannya pemalu seperti anak sekolah!
Baiklah, kata Pak Ras akhirnya. Saya mengalah. Kita pilih yang lebih sesuai dengan seleramu. Tapi jangan yang terlalu kampungan begitu! Ini kan kongres internasional, bukan rapat RT!
Hampir dua jam mereka memilih. Akhirnya Rianti memperoleh dua buah gaun dan sepasang sepatu. Tiba giliran Pak Ras membayar, Rianti tertegun lagi.
t . c Hampir seratus tujuh puluh ribu rupiah! Astaga! Dari mana akan diperolehnya uang sebanyak itu"
Honormu tiga ratus ribu, masih ditambah uang saku. Jangan kuatir.
Tapi Ayah! Bagaimana memberi pengertian pada Ayah" Seratus tujuh puluh ribu rupiah dihamburkan hanya untuk membeli pakaian dan sepatu" Hhh, baru punya uang sekian sudah berlagak jadi orang kaya!
O, Rianti sudah dapat membayangkan bagaimana marahnya Ayah nanti. Ibu pun pasti tak akan mampu meredakan kemarahan Ayah. Seratus tujuh puluh ribu rupiah! Hampir dua bulan gaji Ibu!
Tetapi Pak Ras tidak mau dibantah lagi. Dan dia punya kekuasaan. Dia bisa membatalkan pilihannya semudah menjentikkan jari. Pak Ras dapat mencari penggantinya dalam waktu beberapa jam saja. Jadi, apa artinya seratus tujuh puluh ribu rupiah dibandingkan pendapatan yang akan diperolehnya"
Ah, Ibu pasti mengerti. Dan Ayah" Barangkali kalau sudah punya mesin jahit, lebih mudah menjejalkan pengertian ke dalam kepalanya. Sekarang saja sikapnya kepada Rianti sudah banyak berubah. Padahal uangnya saja belum kelihatan.
Rianti benar-benar dimanja di rumah. Tidak boleh bekerja terlalu berat. Mendapat jatah makanan paling banyak. Dan menjadi tokoh yang dimanja. Terutama oleh Ayah.
Kamu tidak boleh sakit, kata Ayah tiga kali
t . c sehari. Makan yang banyak. Jangan terlalu capek!
Cuma Ibu yang tidak segembira yang lain. Barangkali Ibu kuatir. Rianti belum pernah meninggalkan rumah semalam pun. Sekarang dia harus pergi seorang diri ke tempat yang amat jauh. Untuk sepuluh hari! Ah, kalau saja dia boleh ikut! Akan dijaganya baik-baik anak perempuannya itu! Rianti masih terlalu muda. Terlalu hijau. Terlalu polos. Dia belum tahu kejamnya dunia. Belum kenal jahatnya manusia.
t . c S eminggu sebelum keberangkatan, Pak Ras membatalkan kepergiannya ke Kairo. Tidak seorang pun tahu persis apa alasannya. Kata Bu Titi, istrinya sakit.
Tetapi teman-teman Rianti berpendapat lain. Istri Pak Ras bukan sakit. Justru dia yang melarang suaminya pergi. Entah bagaimana caranya. Dan mengapa seorang laki-laki seperti Pak Ras mau saja tunduk pada larangan istrinya.
Sebenarnya Rianti tidak ingin mengetahui persoalan rumah tangga Pak Ras. Dia merasa tidak pantas untuk mencampuri urusan pribadi orang lain. Tetapi setelah sekian lama bersama-sama, hubungan mereka menjadi lebih erat. Lebih-lebih ketika Pak Ras memutuskan untuk tidak ikut serta ke Kairo.
Dalam seminggu terakhir itu dia benar-benar menggembleng Rianti. Akibatnya, tiap hari mereka
BAB II t . c selalu bersama. Dan Pak Ras sudah tidak malumalu lagi menceritakan masalah-masalah pribadinya. Termasuk hubungannya yang kurang harmonis dengan istrinya.
Kelihatannya saja rumah tangga saya tenteram, katanya ketika mereka sedang makan malam di sebuah coffee shop. Hampir tiap hari Pak Ras mengajaknya keluar. Katanya untuk menyesuaikan pergaulan Rianti. Agar tidak memalukan di forum internasional nanti. Kalau kamu mengiris daging bistikmu seperti mengiris bawang, mengambil saladmu dengan sendok, delegasi Indonesia kan bisa mendapat malu!
Sebenarnya perkawinan kami sudah di ambang kehancuran. Yah, beginilah kalau kawin tanpa cinta.
Mula-mula Rianti sendiri merasa canggung. Segan memberi komentar. Mengapa dia harus ikut campur urusan pribadi orang lain"
Tetapi karena hampir setiap hari Pak Ras mengeluh, mengadukan problem rumah tangganya, lama-lama Rianti jadi terbiasa. Dan tergelitik untuk bertanya. Mengapa ada orang menikah tanpa cinta"
Saat itu saya masih terlalu muda. Baru dua puluh satu. Istri saya tujuh belas. Kami masih terhitung famili. Keluarga kami yang menginginkan pernikahan itu. Padahal cita-cita saya belum tercapai. Saya masih ingin kuliah. Melanjutkan studi
t . c saya di fakultas publistik. Saya ingin jadi wartawan. Sekarang semuanya gagal. Saya terkungkung dalam perkawinan yang tidak saya kehendaki. Karier saya gagal. Dan saya tenggelam dalam frustrasi.
Tapi usaha Pak Ras sekarang maju, bantah Rianti, mulai bersimpati pada nasib Pak Ras. Tidak dapatkah Bapak mengelola bisnis ini sambil melanjutkan kuliah"
Kamu tidak mengerti. Istri saya bukan seperti perempuan lain. Yang senang melihat suaminya maju. Dia selalu curiga. Lihat saja bagaimana sikapnya waktu kamu datang. Dianggapnya semua perempuan yang mendekati saya pasti punya maksud merebut suaminya. Kalau bisa, dia ingin mengurung saya di rumah. Siang-malam!
Untuk pertama kalinya Rianti melihat wajah Pak Ras penuh kemengkalan. Padahal biasanya dia selalu tenang. Selalu cerah. Selalu riang. Setiap kali menceritakan istrinya, wajahnya memang senantiasa berubah muram. Tetapi belum pernah dia tampak sekesal ini. Barangkali ambang kesabarannya telah terlewati. Atau dia baru saja bertengkar tadi malam.
Beberapa hari ini istrinya pasti sulit menemui Pak Ras di kantor. Dia selalu keluar. Dan Bu Titi tahu sekali bagaimana harus menyimpan rahasia. Tak akan dikatakannya ke mana dan dengan siapa Pak Ras pergi.
Wah, Bu Titi tentu masih ingat bagaimana pe-
t . c rempuan itu mendamprat Luki. Dan dia tahu sekali, Rianti bukan Luki. Sekali dimaki-maki, Rianti pasti shock. Dan keberangkatannya ke Kairo bisa terancam gagal.
Sebenarnya Bu Titi sendiri tidak suka Rianti terlalu sering pergi dengan Pak Ras. Tetapi dia tahu sekali bagaimana sikap atasannya. Dia juga tahu betapa Rianti membutuhkan pekerjaan itu. Jadi kalau kebetulan Rianti ada di kantor dan Pak Ras belum datang, Bu Titi selalu menasihatinya. Dia tidak rela kalau Rianti yang pergaulannya masih terbatas pada teman-teman sekolah dan saudara-saudaranya sendiri, menjadi korban. Gadis itu masih terlalu suci!
Hati-hati, Rian, katanya hampir setiap hari. Lelaki tetap lelaki. Apalagi yang rumah tangganya sedang kalut seperti Pak Ras.
Pak Ras hanya mencurahkan isi hatinya kepada saya, Bu.
Ibu tahu. Barangkali Pak Ras butuh seseorang yang dapat mendengarkan keluhan-keluhannya. Dengan menumpahkan segenap kekesalannya kepada orang lain, hatinya merasa lebih lega.
Ya, Ibu tahu. Tapi kamu juga harus tahu, bukan hanya kepadamu Pak Ras mencurahkan isi hatinya.
Kasihan Pak Ras ya, Bu. Cita-citanya kandas. Rumah tangganya kacau. Semua gara-gara istrinya.
t . c Mengapa wanita itu tidak mau mengerti perasaan suaminya"
Jangan menyalahkan siapa-siapa sebelum tahu persoalannya, Rian, sahut Bu Titi hati-hati. Yang kamu dengar itu baru cerita Pak Ras! Kita belum dengar cerita istrinya!
Tetapi Rianti sudah terlampau terbenam dalam telaga simpati. Dia dapat mengerti perasaan Pak Ras. Penderitaannya. Frustrasinya. Karena itu dia dapat memaafkan kalau laki-laki itu tidak henti-hentinya merokok. Minum alkohol kadang-kadang sampai melewati batas. Pergi dengan gadis-gadis yang jauh lebih muda. Dia butuh pelarian. Butuh tempat untuk mencurahkan isi hatinya.
Sekarang Rianti mendengarkan dengan penuh perhatian dan simpati setiap kali Pak Ras menceritakan persoalan pribadinya. Dia ikut sedih mendengar betapa tertekannya perasaan Pak Ras di rumah. Ikut gemas terhadap tindakan-tindakan istri Pak Ras yang di luar batas. Ikut prihatin atas membekunya hubungan Pak Ras dengan istrinya. Ikut berduka ketika Pak Ras ingin mengakhiri kehidupan rumah tangganya melalui suatu perceraian.
Diam-diam Rianti berdoa semoga Pak Ras menemukan wanita yang dapat memahami dirinya. Supaya dia dapat membina rumah tangganya dengan bahagia.
Kasihan. Pak Ras begitu baik. Selalu mengajarkan
t . c apa-apa yang belum diketahui Rianti. Mengajaknya bicara seperti seorang teman. Dan selalu sopan.
Ternyata teman-temannya tukang bohong semua! Pandai saja mereka memburuk-burukkan Pak Ras. Dia tidak pernah melakukan sesuatu yang melanggar kesopanan. Apalagi minta dicium!
Belum pernah Rianti bertemu dengan seorang laki-laki sebaik dia. Sudah wajahnya tampan, orangnya pintar, baik budi pula. Ah, seandainya dia belum menikah& Rasanya sesudah dia bercerai pun&
O, Rianti jadi malu sendiri! Mengapa sampai mempunyai pikiran demikian" Belum tentu Pak Ras mencintainya! Mungkin dia hanya membutuhkan seorang teman bicara. Tempat menumpahkan isi hatinya!
* * * Ketika Rianti tiba di lapangan terbang, belum ada seorang pun dari delegasi Indonesia yang hadir di sana. Orang Indonesia memang terkenal santai. Dan kebanyakan jamnya terbuat dari karet. Jadi bisa melar.
Sebaliknya dengan Rianti. Dia demikian takutnya ketinggalan pesawat sehingga tiga jam sebelum pesawat tinggal landas, dia sudah sampai di Bandar Udara Soekarno-Hatta. Ketika kopernya dijinjing
t . c oleh seorang petugas bandara, ayahnya langsung mendorong Rianti untuk mengikutinya.
Ikuti cepat, katanya menambah kegugupan Rianti. Nanti hilang!
Bergegas Rianti mengikuti petugas itu. Padahal dia cuma menjinjing koper Rianti ke tempat pemeriksaan koper, kemudian ke tempat penimbangan barang.
Tiketnya, pinta petugas di balik meja itu. Buru-buru Rianti membuka tasnya. Karena gugupnya, beberapa barang yang tidak terpakai ikut melompat ke luar. Terpaksa petugas itu menghela napas dan menunggu. Untung masih sepi. Merokok" tanya petugas itu sambil menulis. Maaf" ulang Rianti bingung. Dia mendengar apa yang ditanyakan. Tapi tidak yakin akan maksudnya. Daripada salah lebih baik diulang sekali lagi.
Sekarang petugas itu mengangkat mukanya. Dan menatap Rianti sambil tersenyum. Merokok"
Tidak, sahut Rianti tanpa berusaha menyembunyikan kebingungan yang mewarnai wajahnya.
Ini boarding pass-mu. Simpan baik-baik. Di sini ada nomor tempat dudukmu di pesawat nanti. Saya beri kamu tempat yang paling enak. Di sebelah jendela.
Terima kasih, sahut Rianti gugup.
Ini baggage claim untuk kopermu. Kalau koper ini hilang, bisa kamu claim dengan kartu ini. Terima kasih.
t . c Ongkosnya, Non! sela laki-laki yang mengangkut kopernya tadi.
Ongkos apa" tanya Rianti bingung. Berapa" Dua ribu. Untuk angkat koper.
Kok mahal amat" cetus Rianti kaget. Beri saja seribu, potong petugas yang tadi melayaninya. Kopernya juga cuma satu. Enteng lagi. Jangan memeras, Pak! Kasihan nona ini! Ya sudah, seribu! Lekas dong! Tapi saya tidak bawa uang& Tidak bawa uang"
Sekarang yang terkejut bukan hanya tukang angkat koper itu. Si petugas juga bengong.
Maaf, Pak. Saya pikir uang rupiah tidak terpakai lagi di luar negeri! Jadi&
Ada keluargamu di luar" Rianti mengangguk.
Nah, minta saja pada mereka.
Ketika Rianti berjalan ke luar diikuti bapak yang mengangkat kopernya itu, si petugas memandanginya sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Ampun noraknya! gunjing teman di sebelahnya. Baru pertama kali ke luar negeri barangkali!
Di luar, Ayah masih membuat keributan lagi. Dia tidak bersedia membayar seribu rupiah. Masa mengangkat koper saja begitu mahal ongkosnya! Begitu dekat kok!
Sudahlah, Ayah, pinta Rianti pusing. Saya sudah janji. Berikanlah seribu.
t . c Jangan gampang-gampang diperas orang! gerutu Ayah sambil mengeluarkan selembar uang ribuan. Cari uang itu susah, tahu"!
Sudahlah, Pak, potong Ibu jemu. Jangan ribut lagi. Rianti sudah hampir berangkat. Jangan membuat dia bertambah pusing.
Rianti memang pusing mendengar suara Ayah. Tapi dia lebih pusing lagi karena tegang. Mengapa namanya belum dipanggil juga" Padahal pesawat tinggal lima belas menit lagi berangkat!
Untunglah ketika Rianti sedang menoleh-noleh kebingungan, seorang wanita berpakaian rapi menghampirinya. Mengamat-amati kartu pengenal yang tergantung di bajunya. Dan langsung menegur. Kairo"
Ya, sahut Rianti secepat lidahnya dapat digerakkan kembali.
Konferensi Pengusaha Real Estate Asia-Afrika" Ya.
Tunggu apa di sini" Semua peserta delegasi Indonesia sudah naik ke pesawat!
Lho! yang kaget bukan cuma Rianti. Ayahnya juga. Kok tidak dipanggil"
Boarding sudah seperempat jam yang lalu, kata wanita itu ketus. Kalau kamu mengharapkan namamu dipanggil, sampai besok juga tidak ada yang memanggil!
Oh. Bergegas Rianti meraih tasnya dari tangan Ayah. Ketika dia sudah dua langkah mengikuti
t . c wanita itu, tiba-tiba dia berbalik kembali. Dia merangkul ibunya.
Ibu! cetusnya gemetar. Rianti. Ibu yang juga baru tersadar kembali dari kebingungannya, balas merangkul sambil menangis. Hati-hati ya, Nak.
Doakan saya, Bu, bisik Rianti.
Ayo, cepat! Nanti kapalnya keburu berangkat! potong Ayah tidak sabar.
Perempuan itu sudah melewati ambang pintu yang memisahkan para pengantar dengan penumpang pesawat. Meskipun mengenakan sepatu dengan tumit yang cukup tinggi dan runcing, dia bisa berjalan secepat angin. Dan walaupun jalannya demikian cepat, dia masih tetap dapat mempertahankan keanggunan langkah-langkahnya.
Bukan main, pikir Rianti penuh kekaguman ketika dia sedang tergesa-gesa mengikuti langkah perempuan itu. Dengan sepatu bertumit separuhnya saja Rianti sudah harus terseok-seok melangkah. Hati-hati menjaga keseimbangan tubuhnya supaya jangan tergelincir jatuh. Bagaimana perempuan ini bisa melangkah secepat itu tanpa kehilangan keanggunannya"
Belum hilang kekaguman Rianti sudah muncul kejutan baru. Sesudah memasuki sebuah lorong yang bepermadani, tahu-tahu dia sudah tiba di pintu pesawat. Tidak perlu lagi berjalan menghampiri pesawat. Tidak perlu mendaki tangga seperti yang
t . c pernah dilihatnya ketika mengantar salah seorang temannya naik pesawat ke Medan dulu.
Pramugari di pintu pesawat itu menyambut Rianti dengan manis. Sedikit pun dia tidak menampakkan kekesalannya meskipun Rianti datang terlambat. Dia meminta boarding pass Rianti dengan ramah. Dan menunjukkan deretan tempat duduknya.
Benar juga kata petugas di bawah tadi. Rianti mendapat tempat duduk di samping jendela. Di sebelahnya duduk dua orang laki-laki. Yang pertama, yang duduk paling tepi, sudah langsung bangkit. Dan mempersilakan Rianti masuk lebih dulu. Tetapi yang duduk di tengah, mungkin sedang tidur.
Rianti tidak dapat melihat matanya. Mata itu tertutup kacamata hitam yang cukup gelap. Dia bersandar separuh merosot di kursinya. Tungkainya yang panjang memblokir seluruh jalan sempit di depannya. Sejenak Rianti tertegun bingung. Tidak tahu harus berbuat apa.
Mari tasnya saya taruh di atas, kata laki-laki yang pertama itu, yang masih berdiri di samping kursinya.
Oh, terima kasih, sahut Rianti gugup. Sebelum Rianti sempat menyodorkan tasnya, laki-laki itu telah membuka tutup rak barang di atas kepala mereka. Ketika Rianti mencoba menaruh tasnya di atas, laki-laki itu kebetulan ber-
t . c balik. Barangkali dia juga bermaksud mengambil tas Rianti dan menolong menaruhkannya. Rak barang itu terlalu tinggi untuk Rianti. Sebelum tasnya sempat ditaruh, lengan laki-laki itu telah menyenggol tangan Rianti. Tas terlepas. Dan jatuh berdebum dengan menimbulkan suara keras di kursi kosong yang paling tepi. Sebagian isinya tumpah dan berhamburan keluar.
Laki-laki yang sedang tidur itu tersentak kaget. Karena pinggangnya telah terikat sabuk pengaman, dia tidak dapat melompat bangun.
Maaf, cetus Rianti tersipu-sipu. Mukanya merah padam melihat hampir seluruh penumpang di bagian itu menoleh ke arahnya. Dan melihat dua potong roti bergulir keluar bersama-sama sebotol plastik air. Tempat sikat gigi. Sabun. Sisir. Bedak. Dan seribu satu potong barang lagi. Sebagian besar dari barang-barang itu sebenarnya tidak diperlukan karena sudah disediakan dalam pesawat terbang.
Lelaki yang pertama itu langsung berjongkok membantu memunguti barang-barang Rianti yang bertebaran. Pramugari yang tadi menyambutnya pun langsung turun tangan membantu.
Asisten saya, gerutu perempuan berpakaian rapi itu, yang tahu-tahu telah tegak berkacak pinggang di belakang mereka. Dia sedang berbicara dengan seorang laki-laki separuh baya yang mengenakan jas dan dasi. Lelaki itu duduk tepat di belakang kursi Rianti. Ya, begitulah! Minta tenaga baru lulus
t . c yang belum berpengalaman untuk menghemat biaya! Tahu-tahu dapat yang seperti ini!
Sepintas lalu kata-katanya seperti gurauan. Dan gurauan itu disambut tawa oleh hampir semua penumpang di sekitar mereka. Tawa itu sama sekali tidak bersifat mengejek. Tidak juga menghina. Semua menganggap kecelakaan kecil itu sebagai selingan penghilang kantuk.
Tetapi bagi Rianti peristiwa itu cukup menghanguskan wajahnya. O, membuat malu saja! Pak Ras benar. Dia masih kurang pengalaman. Terlalu kampungan untuk mengikuti konferensi internasional seperti ini. Barangkali Luki lebih pantas meraih kesempatan ini. Dia tentu tidak akan memalukan Pak Ras!
Selesai membenahi tas Rianti, pramugari itu menaruhnya di atas rak. Sementara laki-laki yang membantunya itu langsung menyilakan Rianti duduk. Sekarang si kacamata menarik kakinya rapatrapat ke kursi supaya Rianti dapat lewat.
Terima kasih, gumam Rianti, masih gugup oleh peristiwa tadi.
Pramugari yang ramah itu memasangkan ikat pinggang pengaman untuk Rianti. Dan sekali lagi, si kacamata terpaksa mengerut di kursinya. Lelaki yang duduk di tepi sama sekali belum sempat duduk sejak tadi. Padahal peragaan cara-cara penyelamatan diri bila terjadi kecelakaan pesawat telah
t . c mulai didemonstrasikan. Tetapi parasnya sama sekali tidak menampakkan kejengkelan.
Terima kasih, Pak kata pramugari itu selesai membantu Rianti. Silakan duduk. Dan pakai seat belt-nya. Pesawat telah mulai bergerak.
Dengan sopan lelaki itu mengangguk. Dia malah masih sempat menawarkan permen karet pada Rianti.
Nama saya Ariin. Bumi Makmur. Land and Housing Real Estate Developer. Anda juga peserta konferensi di Kairo, kan"
Dengan canggung Rianti menerima uluran tangan laki-laki yang ramah ini.
Arianti, gumamnya lirih. Saya bukan peserta.
Karena kursi mereka dipisahkan oleh laki-laki berkacamata hitam itu, terpaksa jabat tangan pun harus melewatinya. Tanpa berusaha menyembunyikan kemengkalannya karena ketenangannya terganggu, dia mendengus sambil meraih majalah di hadapannya.
Maaf, sapa Pak Ariin, masih tetap seramah tadi. Kali ini kepada si kacamata. Pak Ario merasa terganggu, ya"
Oh, tidak. Suaranya demikian acuh tak acuh. Memberi kesan angkuh. Sejak semula, Rianti sudah tidak menyukainya. Asosial sekali makhluk ini! Mau tukar tempat" Kalian bisa ngobrol lebih enak.
t . c Ah, tidak usah. Saya hanya ingin membantu Dik Rianti. Di Kairo nanti, pasti kita yang perlu bantuannya. Dik Rianti ini sekretaris kita lho, Pak Ario.
Hm. Si kacamata mendengus lagi. Kali ini lebih sopan. Tetapi tetap tidak dapat mengusir kesan angkuh dalam suaranya. Selama perjalanan pun lelaki itu tidak pernah bicara. Kecuali minta minum pada pramugari. Atau permisi numpang lewat pada Pak Ariin karena mau ke WC. Selebihnya dia tidur terus.
Barangkali di rumahnya tidak ada tempat tidur, pikir Rianti gemas. Dalam perjalanan panjang yang membosankan ini, alangkah enaknya kalau di sebelahnya ada orang yang dapat diajak bicara. Apalagi yang pintar ngobrol seperti Bu Titi. Bukan tunggul bisu seperti ini!
Kalau sudah jemu menatap punggung kursi di depannya, Rianti terpaksa menoleh ke luar. Tetapi di luar pun tidak ada yang dapat dilihat. Semua gelap.
Inilah malam terpanjang dalam hidupnya. Rasanya malam tak habis-habisnya. Padahal Rianti sudah lelah. Ingin tidur, tidak dapat lelap. Ingin meluruskan kaki, tempatnya tidak ada.
Rasa lapar menusuk-nusuk lambungnya. Dia tidak dapat makan dengan enak tadi. Tidak tahu apa yang harus dimakan kecuali roti yang keras se-
t . c perti batu itu. Dagingnya terlalu berminyak. Nasinya terlalu gurih. Cium baunya saja dia sudah mau muntah. Padahal kedua laki-laki di sebelahnya melahap makanan mereka seperti sudah setahun tidak bersua makanan. Dalam sekejap mata saja nampan mereka sudah licin tandas.
Heran, bagaimana laki-laki yang punya nafsu makan seperti itu tidak gemuk. Kedua pengusaha di sebelahnya termasuk laki-laki yang bertubuh tinggi besar. Tetapi perut mereka tidak gendut. Tidak ada lemak-lemak bergelantungan yang menjadi tempat penyimpanan sisa-sisa kalori yang mereka makan. Padahal umur mereka pasti sudah di ambang empat puluh. Dan lelaki di umur itu biasanya sudah kehilangan kerampingan tubuhnya.
Barangkali aktivitas dan stres akibat pekerjaan yang mencegah kegemukan mereka. Barangkali juga mereka gemar berolahraga untuk menjaga keawetan tubuhnya. Barangkali istrinya cerewet& seperti istri Pak Ras&
Ah, peduli amat! Untuk apa memikirkan mereka" Sekarang kedua laki-laki itu sudah tidur pulas, seolah-olah mereka tidur di hotel yang nyaman, bukan di atas pesawat terbang yang sebentar-sebentar berguncang-guncang.
Rianti tidak tahu lagi harus melakukan apa. Majalah, koran, dan apa saja yang dapat dibaca sudah habis dibaca. Sekarang kabin pesawat sudah digelapkan. Ada ilm di layar di depan sana.
t . c Tetapi Rianti tidak bisa nonton. Dia tidak tahu bagaimana harus memasang alat pendengarnya. Lagi pula tubuhnya terlalu mungil. Kepalanya tidak dapat melewati deretan bangku-bangku di depannya. Jadi lebih baik dia memejamkan mata saja.
Tapi& ah, ada gangguan lain. Dia ingin sekali buang air kecil. Tempatnya dapat ditanyakan pada pramugari. Tetapi bagaimana caranya melewati kedua laki-laki ini"
Hhh, lebih baik tunggu sampai pagi. Tahan saja. Tahan. Tapi celaka! Pagi seakan-akan tak pernah datang!
Ada apa" Ada suara dalam kegelapan. Wah, Rianti terkejut seperti disengat kala. Tapi yang berbunyi bukan tunggul di sebelahnya. Pak Ariin-lah yang sedang menatapnya. Astaga, rupanya dia juga belum tidur. Barangkali sejak tadi dia memperhatikan kegelisahan Rianti! Duh, baiknya lelaki ini!
Tidak nonton ilm" Rianti menggeleng. Ketika tiba-tiba dia teringat betapa gelapnya suasana, dan mungkin Pak Ariin tidak dapat melihat gelengan kepalanya, lekas-lekas dia menyahut. Kuatir dikira tidak sopan.
Mau minum" Nanti saya panggilkan pramugari.
Jangan, Pak. Tidak usah. Lalu, mengapa gelisah" Ingin ke kamar kecil" Nah, itu dia! Ya Tuhan, terima kasih telah Kau-


Di Tepi Jeram Kehancuran Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

t . c kirimkan seorang penolong yang baik seperti dia! Sabar, baik hati, dan penuh pengertian! Mari saya antar.
Ah, tak usah, Pak, sanggah Rianti tersipu-sipu. Saya hanya tidak tahu bagaimana&
Oh, dia. Gampang. Bangunkan saja! Tanpa basa-basi lagi Pak Ariin menepuk lengan si kacamata.
Pak Rio, Dik Rianti ingin ke belakang. Hhh"
Lelaki itu membuka matanya. Dan untuk pertama kalinya Rianti dapat melihat matanya. Dalam gelap pun, mata itu tampak mengerikan. Dingin. Mencekam. Dan angker. Pantas kalau sedang tidak tidur dia selalu mengenakan kacamata hitam. Barangkali supaya orang tidak takut melihat matanya!
Huh, dia pasti majikan yang jahat. Sering memarahi bawahan sampai melewati batas. Kejam. Tak kenal perikemanusiaan. Mudah-mudahan di Kairo nanti aku tak usah berurusan dengan dia, pinta Rianti dalam hati. Umurku bisa tambah pendek beberapa hari!
Malas-malasan laki-laki itu menegakkan duduknya. Dan merapatkan tungkainya ke kursi. Dia memang tidak menggerutu. Tetapi air mukanya jelas menggambarkan kekesalan karena tidurnya terganggu.
Tergesa-gesa Rianti melewatinya. Satu lompatan lagi sebelum mencapai tempat bebas, ujung tumit-
t . c nya tersandung lutut laki-laki itu. Dan Rianti langsung terjerembap. Hampir tersungkur kalau Pak Ariin tidak buru-buru menangkapnya.
Aduh, hati-hati Dik Rianti! cetus Pak Ariin kaget. Hampir jatuh!
Terima kasih, Pak, sahut Rianti kemalu-maluan.
Ketika Rianti menoleh kepada laki-laki yang seorang lagi untuk minta maaf, hatinya menjadi mengkal. Laki-laki itu telah memejamkan matanya kembali! Benar-benar makhluk asosial! Egois! Menyebalkan!
* * * Belum pernah Rianti melihat sabun sebanyak itu! Kecuali tentu saja, di toko. Belum pernah pula dia menemukan sabun dalam bentuk sekecil ini!
Ih, lucunya! Dan& harum pula. Diambilnya beberapa buah. Dijejalkannya ke dalam saku gaunnya. Sayang, sakunya kurang besar!
Sabun-sabun ini pasti diperuntukkan buat penumpang! Kalau tidak, buat apa ditaruh di sini" Jadi bukan mencuri namanya kalau mengambil beberapa buah saja, bukan" Ah, adik-adiknya pasti senang! Akan dibawakannya untuk mereka seorang satu!
Rianti tersenyum. Dituangkannya minyak pengharum dari botol di atas wastafel. Dioles-oleskannya
t . c ke lehernya. Oi, harumnya! Diambilnya beberapa helai kertas tisu. Kemudian ditatapnya wajahnya dalam cermin.
Ah, kusutnya! Agak pucat pula. Dia sedang mencoba merapikan rambutnya ketika pesawat berguncang agak hebat. Rianti terdorong maju. Untung masih sempat berpegangan.
Cepat-cepat didorongnya pintu keluar. Sekali. Macet. Dua kali. Belum mau terbuka juga. Tiga kali. Masih tetap tertutup. Ah, Rianti mulai gugup. Dicobanya sekali lagi. Gagal pula. Ditenang-tenangkannya dirinya lebih dulu. Digesernya pasaknya sekali lagi. Lalu ditariknya pelan-pelan& dan& hup! Daun pintu terlipat& Bim salabim! Terbuka!
Wah, bagai kuda lepas dari kandang, Rianti bergegas melangkah ke kursinya. Seorang wanita yang sedang tidur terpegang rambutnya tatkala Rianti berpegang ke sandaran kursinya. Dia menoleh separuh meradang. Tetapi Rianti buru-buru minta maaf.
Pak Ariin sudah berdiri menyambutnya. Dia pun telah membangunkan si kutu bantal. Kali ini Rianti dapat masuk dengan cepat.
* * * Saat itu, gerimis turun membasahi Kairo.
Hujan yang kedua untuk tahun ini, kata pemandu wisata mereka dengan gembira. Wah, Anda
t . c sekalian benar-benar beruntung! Tanpa hujan, Kairo bukan main panasnya!
Barangkali kami tidak terlalu merasakannya, komentar Pak Ariin, yang selalu ramah terhadap siapa saja. Kami juga berasal dari negeri tropis. Jakarta hampir sama panasnya seperti ini.
Tunggulah sampai besok. Si pemandu wisata yang mirip Omar Sharif itu menyeringai. Pendapat Anda akan berubah. Apalagi kalau Anda pergi ke gurun.
Di Las Vegas juga hampir sama panasnya seperti ini, komentar peserta yang lain.
O, Anda belum pernah ke Gurun Sahara! cetus peserta yang kedua. Lebih panas lagi! Rasanya kulit seperti mengeluarkan asap! Dan mata pedih sekali menatap pasir yang menyilaukan!
Lalu berlomba-lombalah mereka mengungkapkan pengalaman masing-masing. Hampir semua peserta sudah pernah pergi ke tempat-tempat yang jauh. Cuma Rianti yang bengong saja. Bali pun hanya pernah didengar namanya saja! Bagaimana dia bisa ikut ambil bagian"
Tidak sadar Rianti mencari-cari si kacamata. Ternyata dia duduk seorang diri di sudut belakang bus& sedang tidur!
Sinting, pikir Rianti gemas. Tanpa tahu mengapa harus kesal. Kalau cuma mau tidur, buat apa jauhjauh pergi kemari"
Cari siapa, Dik" tegur wanita separuh baya di sebelahnya.
t . c Oh, cuma lihat-lihat, sahut Rianti gugup. Takut ketahuan sedang mencari seseorang. Saya tidak menyangka Kairo seperti ini.
Seperti apa" perempuan itu tersenyum manis. Seperti Jakarta juga ya" Lalu lintas macet, terminal bis penuh sesak, jalan berdebu&
Saya rasa malah lebih macet lagi, komentar laki-laki di sampingnya tanpa ditanya, seolah-olah di dalam bus ini semua orang punya hak untuk bicara tanpa diminta. Dan terminal bus di sana itu! Lihat! Begitu penuh sesak seperti pasar!
Rianti ikut menoleh ke luar jendela bus. Dan melihat kerumunan orang yang menyemut di kejauhan. Astaga, pikirnya terheran-heran. Di Blok M saja orang tidak sebanyak itu! Padahal gerimis sudah turun. Angin menerbangkan debu ke sana kemari. Mobil-mobil mewah yang diparkirkan begitu saja di tepi jalan kotor berlumur debu.
Kalau hujan turun lebih deras mereka tidak perlu lagi cuci mobil, gurau seorang peserta.
Rianti tidak tertarik melihat deretan mobil-mobil mewah itu. Jadi dipalingkan saja mukanya ke tempat lain. Dia lebih tertarik menatap gedung-gedung bertingkat yang tinggal puing di sela-sela gang sempit yang bertebaran di kiri-kanan jalan.
Bangunan separuh hancur seperti kena bom itu ternyata masih dihuni manusia. Di balik temboktembok yang tinggal separuh terlihat bayangan anakanak sedang bermain. Di latar belakang, tampak
t . c melambai-lambai kain warna-warni dari pakaianpakaian yang mungkin sedang dijemur. Toko-toko kecil berdesak-desakan sampai di pelosok-pelosok gang.
Anda bisa menawar kalau membeli barang di sini, kata pemandu wisata mereka. Tapi hati-hati, jangan keluarkan semua uang Anda. Di sini banyak copet. Banyak pula yang suka menipu.
Sama saja seperti di Jakarta, komentar wanita di samping Rianti.
Memasuki pusat kota, terlihat Sungai Nil yang membelah kota mengalir dengan tenangnya. Airnya yang kebiru-biruan bebercak-bercak ditimpa butirbutir hujan. Hotel-hotel mewah dan gedung-gedung bertingkat menjulang di sana-sini. Kemegahan yang tampak di bagian ini seakan-akan hendak mengikis habis bayangan kemelaratan dan kemiskinan di bagian lain dari kota ini.
Bus mereka membelok tepat di depan hotel. Hampir seluruh isi bus menjerit kaget ketika bus menikung dengan tajamnya. Memotong antrean panjang mobil-mobil yang langsung menekan klakson dengan marahnya.
Wah, koboi juga nih sopir kita! gerutu wanita di sebelah Rianti.
Untung dia brengsek begini, komentar bapak di sampingnya sambil tersenyum. Kalau tidak, sampai kapan kita baru bisa masuk" Lihat saja, antrean begitu panjang!
t . c Poster-poster berukuran raksasa menyambut kedatangan mereka di hotel itu. Lima belas orang peserta delegasi Indonesia yang kecapekan langsung diantar ke lobi hotel dan dipersilakan menunggu di sana. Sementara itu ketua delegasi sedang sibuk bersama pemandu wisata dan resepsionis hotel membagikan kamar yang telah tersedia.
Peserta yang beruntung mendapat kamar yang menghadap ke Sungai Nil, gurau pemandu wisata mereka sambil membagikan kunci kamar.
Yang tidak beruntung menghadap dapur hotel! sambung Pak Ariin menyambut kelakarnya. Boleh menyaksikan cerobong asap siang-malam!
Ada ikan duyung keluar dari Sungai Nil nanti malam" sambar yang lain. Ada yang menari perut di sana"
Si pemandu wisata menggeleng sambil tersenyum.
Kalau begitu buat apa kita memilih kamar yang menghadap ke Sungai Nil"
Tari perutnya ada di hotel ini. Tidak usah jauhjauh mencari ke Sungai Nil! Tapi pemandangan Sungai Nil di waktu malam dari jendela kamar Anda pasti merupakan kenangan yang amat mengesankan!
Diam-diam Rianti berdoa dalam hati. Mudahmudahan dialah yang memperoleh kamar itu. Orang lain bisa datang dua-tiga kali ke kota ini. Tapi dia" Mungkin ini yang pertama dan terakhir.
t . c Dia ingin memperoleh yang terbaik di sini. Semoga dialah yang beruntung mendapatkan kamar itu!
Tetapi begitu pintu terbuka, yang terpampang di depan jendelanya hanya dinding bangunan lain. Rianti merasa sendi lututnya tiba-tiba lemas. Dia masih tertegun di ambang pintu ketika Pak Ariin tiba-tiba menegurnya.
Tunggu koper" Ya, sahut Rianti gugup. Masuk saja. Nanti juga diantarkan pelayan. Di sini harus memberi tip.
Ya, ulang Rianti sekali lagi. Sudah kehilangan gairahnya untuk berbicara.
Dapat kamar bagus" Ah.
Cuma itu yang dapat keluar dari celah-celah bibir Rianti. Tetapi Pak Ariin langsung dapat menebaknya.
Kasihan. Mari tukar dengan kamar saya. Oh, tidak usah& .
Ayolah. Tidak apa-apa. Saya sudah dua kali kemari. Malam juga langsung tidur. Mana sempat melihat pemandangan Sungai Nil!
Tanpa ragu-ragu Pak Ariin mengambil kunci dari tangan Rianti. Dan menukarnya dengan kuncinya sendiri.
Nanti kalau ada yang antar koper saya, tolong tunjukkan kamar ini. Saya lapor sebentar ke bawah.
t . c Tidak apa-apa. Ayolah masuk. Sekamar dengan siapa"
Dengan saya, potong wanita berpakaian rapi itu, yang muncul sambil membawa sebuah map. Konferensinya sudah mulai di sini, Pak"
Oh, kami hanya ingin bertukar kamar. Biar Dik Rianti dapat kamar yang lebih baik. Perempuan lebih emosional, kan" Barangkali pemandangan ke Sungai Nil dapat membangkitkan inspirasi.
Terima kasih, sahut perempuan itu tanpa berusaha menyembunyikan perasaan kurang senangnya. Suaranya tetap sopan. Tetapi entah mengapa Rianti tidak suka mendengarnya. Rasanya terlalu formal. Ah, bukan. Rasanya kurang ramah. Kurang tulus. Terlalu tegar.
Sebenarnya tidak perlu. Kalau Rianti ingin melihat Sungai Nil, dia bisa memandanginya puaspuas dari dekat nanti. Pergi saja ke sana naik taksi kalau ada waktu luang.
Lho, pemandangan dari atas kan lain, Mbak Sri. Apalagi di waktu malam. Lampu-lampu kecil yang berkelap-kelip dari perahu yang sedang melayari sungai itu, atau dari restoran terapung di atasnya, kan merupakan kenangan yang manis untuk dibawa pulang.
Tidak sempat, Pak! sahut Mbak Sri tegas. Malam juga kami masih harus bekerja. Di kamar pun masih harus mengetik. Menyelesaikan tugas siangnya. Mempersiapkan tugas untuk esoknya.
t . c Mana bisa duduk-duduk santai merenungi Sungai Nil" Memangnya turis"! Kami kan ke sini untuk bekerja!
Barangkali hanya perasaan Rianti saja. Tapi bagaimanapun, Rianti merasa kata-kata yang terakhir itu ditujukan untuknya. Mbak Sri telah memperingatkan, mereka datang kemari untuk bekerja! Bukan untuk bersenang-senang! Untuk itu mereka dibayar!
Untung Pak Ariin tetap berkeras dengan niatnya. Dia sendiri yang akan melaporkan pertukaran kamar mereka ke bawah. Ah, dia benar-benar baik! Sangat baik!
Mbak Sri-lah yang uring-uringan. Dia meletakkan mapnya separuh membanting di atas meja. Rianti yang sedang menutup pintu dengan hati-hati agak tersentak. Lho, belum apa-apa kok dia sudah marah-marah"
Jangan gampang-gampang dirayu laki-laki! gerutu Mbak Sri sambil menyalakan AC. Nanti kamu menyesal! Lelaki tidak akan menawarkan sesuatu kalau tidak mengharapkan balasan! Mereka tidak mau rugi!
Lho" Rianti tertegun lagi. Apa-apaan ini" Siapa yang dimarahinya" Siapa yang dimaksudkannya" Pak Ariin yang baik itu" Astaga! Lelaki sebaik itu dituduhnya&
Belum apa-apa sudah mau menerima sesuatu dari lelaki yang tidak kamu kenal! Mbak Sri me-
t . c lanjutkan gerutuannya sambil menyalakan TV. Mau jadi apa kamu" Di sini banyak peserta konferensi dari negara lain! Dan tidak semua laki-laki asing itu sebaik yang kamu lihat dari luar! Budi bahasanya mungkin kelihatannya manis, tapi punya maksud-maksud tertentu! Kamu tidak boleh jual murah! Memalukan nama Indonesia saja!
Rianti masih tertegun di balik pintu. Sementara Mbak Sri masih sibuk menyalakan semua yang bisa dinyalakan di kamar itu. Apa saja. AC. TV. Lampu. Radio. Seolah-olah dia tidak mau rugi. Sudah membayar tidak mempergunakan fasilitas kamar yang ada.
Ketika pintu tiba-tiba diketuk dari luar, secepat angin Mbak Sri melangkah menghampiri pintu dan langsung membukanya. Yang muncul cuma seorang pelayan bertubuh tinggi besar seperti Mohammad Ali, yang mengantarkan koper.
Dengan ramah pelayan itu menyapa mereka. Mengangkat kedua buah koper itu. Dan meletakkannya di atas rak untuk koper.
Mbak Sri mengucapkan terima kasih sambil menyelipkan selembar uang. Sekali lagi si pelayan memamerkan senyum satu dolarnya. Giginya putih sekali. Kontras benar dengan mukanya yang hitam.
Ketika pelayan itu sudah pergi, Mbak Sri baru menoleh kepada Rianti.
Aku ke bawah sebentar. Ada yang ketinggalan. Diam saja di sini.
t . c Rianti belum sempat mengangguk. Angin puyuh itu telah berlalu. Hati-hati ditutupkannya pintu. Dan dia menghambur ke jendela. Dibukanya pintu yang menuju ke balkon.
Angin hangat langsung menerpa wajah Rianti. Hujan telah berhenti. Cuaca pun mulai gelap. Tapi kesibukan di luar belum juga berkurang.
Dari balkon kamarnya yang berada di tingkat dua puluh satu, Rianti menatap ke bawah. Ih, tingginya! Belum pernah dia berada di tempat setinggi ini& kecuali waktu berada di kapal terbang tadi malam.
Mobil-mobil di bawah tampak amat kecil. Merayap lambat seperti siput di tengah-tengah kemacetan lalu lintas. Tak terasa kaki Rianti menggeletar. Ah, seandainya dia tidak hanya berada seorang diri di sini&
Dan pintu diketuk dua kali. Pasti si angin puyuh. Wah, dia benar-benar gesit. Barangkali lift sedang kosong. Dan dia dapat berjalan seperti berlari.
Tanpa ragu sedikit pun, Rianti membuka pintu. Dan dia tertegun kaget. Yang hendak melangkah masuk bukan Mbak Sri. Tapi lelaki berkacamata itu. Si tunggul yang duduk semalaman di sampingnya. Dia juga terkejut dan langsung mengerutkan dahi.
Tetapi tanpa berkata sepatah pun Pak Ario melangkah masuk. Terpaksa Rianti menyingkir mem-
t . c beri jalan. Dia baru tertegun ketika melihat koper Rianti. Dan tidak menemukan Pak Ariin di dalam kamar itu.
Di mana Pak Ariin" tanyanya sambil menoleh ke arah Rianti. Dan darah Rianti berdesir dua kali lebih cepat. Mata itu kini langsung menatapnya. Terus menembus ke jantungnya.
Belum pernah Rianti melihat mata yang sedingin itu. Barangkali sedetik lagi beradu pandang, sekujur parasnya akan membeku menjadi es. Dan Rianti belum sempat membuka mulutnya untuk menjawab ketika tiba-tiba saja Mbak Sri masuk.
Sekarang yang terkejut bukan cuma lelaki itu. Mbak Sri juga. Dan parasnya langsung berubah.
Ada yang diperlukan, Pak Ario" tanyanya sopan tapi datar.
Saya mencari Pak Ariin. Mari saya antarkan ke kamarnya.
Oh, tidak usah. Tolong sebutkan saja nomor kamarnya. Saya pasti tidak kesasar.
Persis di seberang sana. Terima kasih. Tanpa menoleh lagi pada Rianti, dia langsung keluar.
Begitu selesai menutup pintu, Mbak Sri segera berpaling pada Rianti.
Jangan sembarangan menerima tamu di dalam kamar, katanya ketus. Apalagi tamu lelaki! Kita harus menjaga martabat kita sebagai wanita. Kehormatan bangsa berada di atas pundak kita! Apa
t . c nanti kata orang kalau melihat gadis Indonesia menerima tamu pria di dalam kamar malam-malam begini.
Tapi dia cuma mencari Pak Ariin, Mbak, sanggah Rianti jemu. Tidak ada urusan dengan saya!
Aku kan cuma menasihati! Syukur kalau didengar. Jangan memberi malu nama Indonesia!
* * * Terus terang Rianti tidak suka bekerja sama dengan si angin puyuh. Dia galak. Cerewet. Nyinyir. Selalu curiga. Tetapi kalau melihat cara kerjanya, mau tak mau timbul kekaguman di hati Rianti.
Kerjanya cepat. Gesit. Segesit jalannya. Semua tugas yang diserahkan panitia kepadanya pasti beres. Dia bekerja sampai jauh malam. Rajinnya, bukan main. Kalau bisa dikerjakannya sendiri, tidak akan diserahkannya kepada Rianti.
Tidak sadar Rianti berdesah kagum melihat cara kerjanya.
Mbak pasti sudah lama jadi sekretaris, cetus Rianti polos. Tanpa berusaha menyembunyikan kekagumannya.
Hm. Mbak Sri mendengus tanpa menghentikan kerjanya di depan sebuah word processor. Dia baru berhenti setelah pekerjaannya selesai.
t . c Aku menjadi sekretaris sejak kamu masih bayi!
Saya kepingin sepintar Mbak Sri.
Ah, anak sekarang! Mana bisa bekerja keras! Terlalu santai! Cuma mengharapkan kemudahan dari sana-sini, mana bisa maju! Paling-paling koneksi!
Rianti tertegun. Gairahnya untuk bicara langsung lenyap. Mengapa seorang wanita yang sepintar dia dapat menjadi demikian sinis"
Sekretaris muda zaman sekarang cuma pintar memikat hati direktur dengan kegenitan kalian! Bukan dengan prestasi kerja! Bagaimana perempuan bisa maju kalau cuma mengandalkan belas kasihan lelaki!
Lagi-lagi Rianti tertegun. Mengapa seorang wanita secantik dia begitu alergi terhadap pria"
Mbak Sri cukup cantik. Walaupun usianya pasti sudah lebih dari empat puluh tahun, tubuhnya masih ramping. Kulitnya masih kencang. Belum ada sehelai uban pun di rambutnya. Dandanannya tidak berlebihan. Tapi menarik. Rapi. Canggih.
Ah, mengapa Mbak Sri belum menikah juga" Ada rahasia apa di balik ketegaran wajah yang jarang disentuh kegembiraan itu"
Dan dering telepon menyentakkan Rianti. Belum sempat dia bergerak, Mbak Sri telah menyambar gagang telepon. Dia masih sibuk mencatat instruksi dari yang meneleponnya ketika pintu diketuk dua kali.
t . c Sekarang Rianti-lah yang bergegas ke pintu. Soalnya meskipun sedang sibuk, ketukan pintu itu tak luput dari perhatian Mbak Sri. Dan dia sudah memberi isyarat dengan matanya agar Rianti cepatcepat membuka pintu. Dengan dia, orang benarbenar tidak boleh lengah sekejap pun. Waktu harus dimanfaatkan sebaik-baiknya. Berlambat-lambat berarti kena marah lagi.
Selamat malam, sapa Pak Agus, ketua delegasi mereka. Mengganggu"
Pak Agus sudah berusia hampir enam puluh tahun. Tetapi masih tampak gagah dan rapi. Semua anggota delegasi segan dan hormat padanya. Termasuk Rianti.
Oh, tidak. Silakan masuk, Pak. Apa yang bisa saya bantu"
Kalian pasti sedang sibuk. Panitia memang keterlaluan. Untuk pekerjaan sebanyak ini hanya membawa dua orang sekretaris.
Rianti hanya tersenyum. Memberi komentar pasti ditegur lagi oleh Mbak Sri. Karena dia sudah menganggap Rianti bulat-bulat sebagai asistennya. Memberi komentar pun bukan haknya lagi. Hanya Mbak Sri yang boleh memberi komentar. Dan dia memang langsung berkomentar begitu gagang teleponnya diletakkan. Heran, entah berapa pasang telinganya.
Dua orang juga cukup, Pak, asal eisien kerjanya.
t . c Nah, dia mulai lagi menyindir Rianti! Rianti rajin kok, Pak Agus mencoba membela Rianti. Dia menoleh kepada gadis itu sambil tersenyum ramah.
Sejak hari pertama konferensi, hampir semua peserta menaruh perhatian pada sekretaris muda yang manis ini. Kalau boleh memilih, hampir semua peserta lebih suka bekerja sama dengan Rianti.
Mereka segan minta tolong pada Mbak Sri. Kecuali untuk tugas yang benar-benar mendesak. Dia terlalu formal! Terlalu kaku! Membosankan. Bekerja dengan dia seperti bekerja dengan komputer. Pintar, tapi tidak manusiawi.
Memang rajin, balas Mbak Sri tidak mau kalah. Ketua delegasi pun masih didebatnya! Wah, dia benar-benar ulet! Tapi masih kurang profesional!
Maklum, belum pengalaman! Beberapa kali lagi ikut konferensi seperti ini, Rianti pasti maju pesat. Tenaganya dapat diandalkan. Dia cerdas. Rajin. Dan bahasa Inggrisnya cukup baik.
Justru karena dia belum pengalaman! Mbak Sri seakan-akan gemas mendengar pujian Pak Agus. Seharusnya dia belum boleh ikut serta dalam konferensi internasional sepenting ini! Semua pekerjaan jadi terbengkalai!
Tidak ada tugas yang tidak beres. Pak Agus juga pantang menyerah. Mereka memang lawan yang seimbang. Semua puas.
t . c Itu karena saya! Coba kalau dia dilepas bekerja seorang diri! Wah, bisa runyam!
Karena itu dia ditugaskan menjadi asistenmu! Supaya dapat membantu pekerjaanmu sambil mencari pengalaman!
Knock out. Dan karena Mbak Sri kalah bertarung lidah, Rianti-lah yang menjadi korban. Tugas yang diberikan oleh Pak Agus itu harus diselesaikan seorang diri malam itu juga!
Barangkali Mbak Sri ingin Pak Agus jera memberi tanggung jawab pada tenaga muda seperti Rianti. Lihat saja pekerjaannya besok! Pasti berantakan! Biar Pak Agus tahu rasa. Dan berhenti memuji Rianti.
Mbak Sri sudah bosan melayani para peserta pria yang mengajak Rianti menemani mereka selesai konferensi. Huh, memangnya dia hostes! Rianti kan sekretaris! Cuma melayani keperluan administratif selama mereka bersidang. Urusan hiburan sesudahnya, itu kan bukan tugas dia!
Tetapi gadis celaka itu! Dia sulit sekali menolak ajakan orang. Terpaksa Mbak Sri yang menjadi manajernya. Dialah yang mengatur dengan siapa Rianti boleh pergi. Tidak boleh sembarangan orang saja!
Hhh, kalau ada apa-apa nanti, delegasi Indonesia yang dapat malu! Jangan mereka kira gadis Indonesia semudah itu menyerahkan diri! Nah, kalau dia sibuk malam ini, pasti dia tidak dapat pergi ke mana-mana.
t . c Batalkan semua acaramu malam ini, perintah Mbak Sri sambil memberi instruksi apa-apa yang harus dikerjakan. Selesaikan tugas untuk besok. Jangan sampai Pak Agus kecewa! Dia begitu respek padamu!
Tidak ada acara apa-apa kok, Mbak. Bohong! Aku kan belum tuli. Siapa tadi sore yang mengajakmu nonton belly dance" Jangan gampang-gampang menerima ajakan lelaki! Nanti kamu dicap gadis murahan!
Rianti menghela napas. Dia memang ingin menonton tari perut. Bersantai sedikit sesudah bekerja keras hampir seharian. Tetapi tentu saja dia tidak akan meninggalkan tugasnya. Kalau ada pekerjaan yang harus diselesaikan malam ini, dia pasti akan membatalkan janjinya dengan Pak Ariin.
Ah, laki-laki itu memang sangat baik! Sejak hari pertama sampai sekarang, sifat kebapakannya yang ingin selalu membantu tak pernah berubah.
Alangkah beruntungnya kalau aku menjadi salah seorang anaknya yang tujuh orang itu, pikir Rianti setiap kali menerima kebaikan Pak Ariin. Herannya, Mbak Sri yang selalu marah-marah. Padahal apa salahnya sih ada orang yang membantu Rianti" Barangkali dia sendiri iri karena tidak pernah ada orang yang menawarkan bantuan padanya. Tetapi siapa yang merasa perlu menawarkan bantuan kepada Mbak Sri" Dia sendiri tak pernah memerlukan bantuan!
t . c Tentu saja Rianti pun tidak mau mengecewakan Pak Agus. Malam ini dia harus membuktikan, dia juga mampu bekerja sendiri. Tanpa mengenal lelah, diselesaikannya tugasnya.
Hampir pukul tiga pagi ketika Rianti selesai bekerja. Dipadamkannya lampu. Diluruskannya pinggangnya. Uh, pegalnya!
Mbak Sri sudah lama tidur. Dengkurnya halus mengisi kesunyian ruangan yang hanya diisi oleh suara AC. Sambil menguap Rianti berjalan ke kamar mandi. Dan& bunyi gedebuk yang cukup keras berdebum di pintu.
Astaga, Rianti tersentak kaget. Bunyi apa itu" Bergegas dia melangkah ke pintu. Tangannya sudah terulur. Releks hendak membuka pintu dan melihat apa yang terjadi di luar.
Namun tiba-tiba suatu kesadaran melecut otaknya. Dibatalkannya niatnya. Bagaimana kalau orang jahat"
Lebih baik diam saja di dalam kamar. Pasang kunci pengaman. Dan telepon roomboy.
Tetapi perasaan ingin tahunya lebih kuat. Raguragu Rianti mengintip keluar melalui lubang pengintai& kosong. Tak ada orang. Lalu& bunyi apa tadi" Bunyi yang aneh. Seperti orang jatuh.
Perasaan ada orang yang sedang membutuhkannya mengalahkan rasa takut di hati Rianti. Hatihati dia membuka pintu. Dan mengintai ke luar&
t . c Seseorang sedang merayap bangun di depan kamar di seberang sana& Sambil berlutut, laki-laki itu mencoba memasukkan anak kunci yang dipegangnya ke lubang kunci& Tapi usahanya berkalikali gagal.
Barangkali dia mabuk. Tubuhnya yang limbung condong ke depan. Hampir tersungkur kalau tidak tertahan oleh pintu yang tertutup.
Playboy Dari Nanking 1 Pendekar Kembar 4 Setan Cabul Dear Dylan 2
^