Pencarian

Dear Dylan 2

Dear Dylan Karya Stephanie Zen Bagian 2


"Bukannya gitu..." Bang Budy menghela napas. "Tapi kalau alasan kalian berkelahi
karena kamu membela Alice kan kesannya... kamu ada di posisi yang benar. Kamu akan
terlihat gentle, sayang sama pacarmu, melindungi dia."
"Kalau aku melindungi dia, itu berarti aku nggak membawa-bawa dia dalam ide gila
kayak gini!" Gue meninju meja Bang Budy. Damn, sakit juga! "Apa sih yang ada di otak Pak
Leo" Kalau dia mau cari orang yang harus dikorbankan, aku aja! Nggak usah bawa-bawa
Alice!" "Tapi kalau kamu menonjok Yopie dengan alasan dia menghina kamu dan kamu lepas
kontrol, akan terkesan kamu orang yang high-temper."
"Terus kenapa" Toh nantinya image aku bakal jelek juga di depan orang! Sekalian aja
jelek banget!" Bang Budy nggak menjawab lagi, dia menatap gue dengan gelisah. Gue tahu, dia juga
pasti bingung gara-gara semua ide sinting Pak Leo ini, tapi gue yang harus jadi boneka
pelakunya, bukan dia. Harusnya gue yang terlihat lebih bingung...
"Apa... si Yopie itu suadh tahu soal skenario ini?" tanya gue setelah beberapa saat
ruangan senyap. "Ya, dia udah tahu. Dia setuju apa pun skenarionya."
Jelas aja! Toh dia kepingin bandnya ngetop! Dasar artis karbitan!
"Dylan, tolong... Kamu bisa bicara sama Alice, dia pasti nggak keberatan membantu
kamu..." Iya, dianya nggak keberatan, gue yang keberatan!
"Nggak. Sori, aku nggak bisa kalau skenarionya kayak gitu, Bang."
Dan gue meninggalkan ruang Bang Budy, juga melewati Dudy dan Dovan yang siap
menginterogasi di depan sana, tanpa mengatakan apa-apa.
Pertama masalah pernikahan Tora, sekarang masalah ini. Kalau ada masalah satu lagi,
kayaknya gue bakal mati. M-A-T-I.
*** Sumpaahh, gue bengong sebengong-bengongnya waktu ngeliat penampilan Alice!
Gilaaa... dia cantik BANGET!
Harusnya gue sering-sering ajak dia ke acara begini ya, biar gue bisa lihat dia dandan"
Wah, cewek gue top abis lah pokoknya!
Dan untung juga gue udah minta izin sama Bang Budy supaya gue dibolehin pinjam
mobil plus sopir manajemen untuk malam ini (tahu sendiri kan kalaug ue nggak bisa, dan
nggak suka, nyetir mobil"). Kalau nggak, rusak deh dandanan Alice! Masa udah dandan
cantik-cantik begitu, gue tega ngajak dia boncengan naik motor" Toh Dudy, Dovan, Ernest,
dan Rey pada berangkat naik mobil sendiri-sendiri dan mobil ini nganggur, ya gue pake aja.
Memang ya, cewek kalau sehari-hari tampil apa adanya, begitu dandan kelihatan cantik
banget... Inilah kenapa gue suka punya pacar dari kalangan nonseleb. Secara, kalau seleb kan
tiap hari make-up-nya tebal punya, jadi kalau special occassion gini juga penampilannya
nggak special. Yang ada dandanannya makin menor, dempulnya makin tebal!
Kalau Alice sih, wahh... lain deh pokoknya! Gue juga suka banget bajunya, warnanya
antara campuran hijau dan biru gitu (apa sih istilahnya untuk warna ini?""), dan modelnya
juga nggak berlebihan, tapi pas banget buat dia. Terus bunga di rambutnya itu... gue sempat
mengira asli, sebelum Alice bilang itu cuma bunga tiruan.
Nah, gue agak malu mengakui, tapi gue bener-bener nggak bisa melepaskan pandangan
gue dari dia sejak gue jemput di rumahnya. Bahkan sekarang di dalam mobil yang gelap dan
dalam perjalanan menuju lokasi MTV Awards pun, gue memandangi dia tanpa henti.
"Kamu cantik banget malam ini," kata gue akhirnya. Heran, ngomong kayak begini saja
kok susah banget ya"
Alice menoleh, dan tersenyum kecil. "Makasih."
Dan tiba-tiba saja, gue sudah mencium pipinya. Alice tersenyum lagi.
"Oya," gue memulai obrolan, teringat permintaan Mama, "Mama minta kamu jadi
penerima tamu di pestanya Tora sama Mbak Vita."
"Penerima tamu?"
"Iya, cewek-ceweknya kurang satu, katanya."
"Ohh... ya udah, nggak papa, aku mau."
"Trims, Say." Gue menggenggam tangannya. "By the way, nanti kalau diajak rapat iniitu, jangan mau, ya?"
"Lho, kenapa memangnya?"
"Nanti kamu ikutan stres. Mama sama tante-tanteku itu kalau udah berdebat, aduh...
kacau banget lah!" Alice tertawa, membuatnya terlihat semakin cantik. "Nggak, kamu tenang aja. Yang
segitu aja sih nggak bakal bikin aku stres."
"Bener nih" Padahal Tora sendiri aja sampai nggak tahan lho. Tiap ada rapat panitia di
rumah, dia langsung ngabur."
"Ke mana?" "Ikut Papa, mancing di kolam pemancingan."
"Papamu juga... ngabur?" tanyanya dengan mata membulat besar.
"Haha," gue tertawa. "Begitulah."
"Terus, Mbak Vita gimana?"
"Ya mencak-mencak di rumah. Tapi dia nggak mungkin ikut ngabur juga, kan" Dia
harus tetap ikut rapat, menjaga supaya Mama dan para tanteku nggak seenaknya bikin konsep
buat pernikahannya."
Lagi-lagi Alice tertawa. Aduh, gue seneng banget kalau ada di dekat dia, rasanya semua
capek dan bete hilang. Rasanya semua masalah hilang...
Ah nggak, ada satu masalah yang belum hilang. Masalah Yopie Excuse si artis karbitan
itu, dan Pak Leo sang pemilik recording label yang sinting.
Mungkinkah gue harus menceritakan semua itu sama Alice sekarang"
"Eh... Say, ada sesuatu yang mau aku omongin sama kamu..."
"Ya?" "Gini... Mmm... Beberapa waktu lalu Bang Budy minta aku ngasih tahu kamu sesuatu..."
"Sesuatu" Oke. Apa?"
"Mmmm..." Gue mulai gelisah, dan malah mengubah-ubah posisi duduk. Gue nggak
pernah nyangka ngomong soal ini ke Alice bisa sebegini susahnya.
"Apa mau ada tur panjang" Sangaaaattt... panjang" Lebih dari tiga bulan" Bang Budy
takut dianggap "merampas" kamu dari aku gara-gara jadwal tur itu?" tanya Alice dengan
wajah penasaran. "Itu..." Gue tertawa mendengar dugaan Alice. DIa ini lucu banget! "Nggg... itu..."
Hell, susah banget sih ngomongnya"! Pantas waktu itu Bang Budy gayanya kayak ayam
mau bertelor! Jangan-jangan sekarang gaya gue kayak gitu juga"
"Bener, ya?" Kok gue jadi nggak tega ngomongnya"
"Ehh... iya sih... itu. Mau ada tur panjang...," akhirnya gue berbohong.
"Seberapa lama?"
"Mmm... tiga puluh kota." Yeah, satu kebohongan pasti akan berlanjut dengan
kebohongan lainnya. "Berarti... sekitar dua bulan?" tanya Alice. Ada sedikit kecewa yang bisa gue baca di
matanya. Oh sugar-honey-ice-tea, kalau mendengar masalah kayak tur panjang gitu aja dia
kecewa, bakal seperti apa reaksinya kalau tahu pacarnya diminta menonjok vokalis band baru
yang sedang cari popularitas, dan dia harus ikut andil dalam masalah itu"
"Yah... sekitar itu."
Alice mengangguk, dan menatap ke luar jendela. Kami sudah semakin dekat dengan
JHCC sekarang, yang berarti seharusnya kami mulai siap-siap untuk turun di red carpet, tapi
wajah Alice berubah jadi murung, dan itu gara-gara gue.
"Aku... nanti kalau ada jeda, aku balik ke Jakarta. Dengan biaya sendiri," kata gue,
berusaha menenangkan dia. Gila, kebohongan ini masih berlanjut, dan gue bahkan belum
jujur soal masalah Excuse itu ke Alice!
"Nggak usah. Aku nggak papa kok," Alice memandang gue dan tersenyum. "Tahun lalu
juga ada tur tiga puluh kota, kan" Dan waktu kamu balik, aku belum punya pacar baru, kan"
So... I will be alright."
GLEK! Apa maksudnya tahun lalu saat gue balik tur tiag puluh kota dia belum punya
pacar baru"! Apa dia berniat melakukannya tahun ini" Cari pacar baru?""
"Hahaha..." Alice tiba-tiba meledak tertawa. "Aku cuma bercandaaaaa! Mukamu udah
kayak muka Bang Budy kalau kalian dapat flight delay tuh! Hahaha..."
Fiuuhh... ternyata dia cuma bercanda" Syukurlah. Bayangan Alice bakal cari pacar baru
selama gue tur panjang ternyata sanggup bikin gue parno sendiri.
Well, it means I don"t wanna lose her, doesn"t it"
*** Kayaknya tahun lalu waktu gue datang ke MTV Awards, suasananya nggak seheboh ini deh.
Dan tentu saja, wartawannya dulu juga nggak sebanyak ini.
Gue tadi nyaris jatuh kesandung begitu turun dari mobil karena disambut sejuta kilatan
blitz yang minta ampun silaunya. Gila, apa di dunia ini nggak ada alat yang bisa mengautr
tingkat kesilauan blitz kamera"
"Dylan, Dylan! Alice!" Wartawan-wartawan itu berebut-rebutan memanggil, dan ketika
gue memberanikan diri menoleh menghadap blitz-blitz sialan itu, mereka langsung menjepret
sebanyak-banyaknya. Nah, salah mereka sendiri kalau nanti semua foto gue adalah dengan mata terpejam.
Blitz-nya gilal-gilaan, man!
Tapi untunglah, gue nggak beneran jatuh kesandung gara-gara semua blitz sialan itu. Gue
sukses menggandeng Alice sampai bagian tengah red carpet, tempat board-board dengan
tulisan MTV Awards dipasang,d I mana kami harus berhenti dan berpose untuk difoto.
Lumayan, seenggaknya kali ini lensa kameranya nggak persis berada di depan hidung gue.
Ada kemungkinan mereka akan dapat beberapa foto gue dengan mata terbuka.
Alice, lucunya, kelihatan lebih bete daripada gue. Dia tersenyum, tapi gue tahu dalam
hati dia pasti mengomel gara-gara semua blitz itu. Tapi at least kan dia bakal punya foto-foto
cantik dari red carpet session ini.
Ternyata di tempat yang terang benderang gini dia kelihatan lebih manis daripada di
mobil tadi... "Yihuu, Dylan "Skillful"!"
Gue mengalihkan tatapan dari Alice, agak bete karena ada yang mengganggu gue dari
pacar sendiri. Ohh, si Daniel. "Wow wow wow! We got Dylan "Skillful" here!" Daniel, as known as VJ Daniel,
menghampiri gue dan Alice, lalu menepuk bahu gue. "What"s up, man!"
"Hai," sapa gue.
"And we also got Alice! Hello, Alice!"
"Hai," Alice tersenyum.
"Okee, berhubung gue fashion police malam ini, gue harus menginterogasi kalian soal
penampilan. Jas sama kemeja dari mana, Lan?"
"ZARA." "Alrite, ZARA! Favorit banyak seleb kita malam ini! Jins?" Dia menunjuk jins gue,
yang, seperti biasa, gue pasangi aksesori rantai.
"Levi"s." "Sipp!" Daniel mengacungkan jarinya tanda setuju atas penampilan gue, dan dalam hati
gue bersyukur setengah mati karena Mbak Vita masih sempat memaksa gue memakai semua
baju formal membosankan ini di tengah kegilaan pra-pernikahannya. Tadinya, gue nyaris
datang ke sini pakai kemeja sisa syuting video klip terakhir plus celana jins gue yang biasa.
Pastinya, Daniel nggak akan mengacungkan jempolnya kalau gue datang dengan penampilan
kayak gitu. "And now, Alice! Wow, you look fabulous!"
"Thanks." Alice tersenyum lagi, dan gue ikut-ikutan nyengir. Fabulous" Iyalaaahh,
cewek gue! Hehe! "Dress dari mana nih, Lice?"
"Run & Ran," jawab Alice, masih sambil mengembangkan senyumnya.
"Waoowww, good choice! Stileto?"
"Also Run & Ran." Gue baru nyadar, senyum Alice makin sumringah setiap kali dia
menyebut nama butik itu. Kenapa ya"
"Mmm..." Daniel memandangi cewek gue, berusaha menemukan sesuatu untuk
ditanyakan lagi. "Clutch?"
Heh" Apa itu clutch"
Gue memandang Alice, dan ternyata Daniel menunjuk tas kecil dalam genggaman cewek
gue itu. Ooh, itu namanya clutch"
"Dari lemari Mama, vintage punya!" Alice terkikik.
Wow, tas ehh... clutch Alice yang lucu itu dari lemari mamanya" Dia bisa memanfaatkan
barang yang ada untuk penampilannya, yang berarti dia nggak boros dan doyan belanja sanasini" Hey girl, you"ve just got one more point from me. Gue makin salut sama cewek gue!
"Weits, keren abesh! So, vintage lookalike tonight?"
Alice mengangguk. "Cool! Kalau boleh tahu, budget buat penampilan berapa nih?"
Gue bengong. Nggak ingat berapa duit yang gue abisin buat beli jas sama celana jins ini.
Gimana mau ingat, kalau gue masuk ke toko-toko itu setengah diseret Mbak Vita" Bayarnya
juga pakai credit card, tinggal digesek terus tanda tangan, nggak ingat deh gue habis berapa.
"Ah, lupa gue..."
"Haha!" Daniel tertawa. "Khas cowok!" Dia menepuk-nepuk bahu gue." Kalau Alice,
gimana?" "Hmm... nggak banyak sih."
"Waah, dia main rahasia!" Daniel ngakak. "Okay, have a great night, guys! Silakan
masuk, silakan..." Daniel memberi jalan pada gue dan Alice, lalu menyambut seleb lain lagi entah siapa
yang berdiri di belakang kami.
"Eh, Say, kamu habis berapa buat dress sama yang lain-lain ini?" bisik gue di telinga
Alice setelah kami agak jauh dari Daniel dan segala kehebohan di depan sana. Gue penasaran
juga. "Hmm... kasih tahu nggak, ya?" Alice tersenyum dan memutar bola matanya.
"Yah, masa aku nggak dikasih tahu?"
"Oke deehh... Aku nggak habis satu sen pun buat semua ini!"
"Hah" Serius?"
"Iyaa! Owner butiknya tuh temen kakaknya Grace, terus waktu aku bilang aku butuh
gaun buat ke MTV Awards, tau-tau dia ngasih dress sama stileto gitu aja. Sama jepit bunga
yang di rambutku ini juga," tambahnya sambil menyentuh jepit yang ada di rambutnya.
"Ooh, pantas kamu senyum-senyum tiap nyebutin nama butiknya tadi."
Alice nyengir lucu, dan gue merangkul pinggangnya menuju pintu ke venue MTV
Awards. Di sini sudah nggak seramai di red carpet tadi, hanya ada beberapa seleb lalu-lalang,
dan kru-kru yang sibuk berbicara pada mikrofon headset mereka. Hmm... berarti sekarang
kami harus cari seat nih, kalau nggak salah sih Bang Budy bilang seat untuk Skillful di baris
kedua di balkon, deretan tengah.
"Hei, Dylan!" Seseorang menepuk bahu gue. Masa Daniel lagi sih" Apa dia... yah, mungkin mendadak
ingat belum nanya sepatu gue mereknya apa"
Tapi ternyata bukan Daniel" Yang ada di hadapan gue adalah seorang cowok yang sama
sekali nggak gue kenal. "Sori, tapi... siapa ya?"
"Lo nggak ngenalin gue?" tanya cowok itu lagi, dan gue langsung memutar otak.
Biasanya, otak gue sangat jaga menyimpan memori (kecuali lirik-lirik lagu Skillful, yang
kadang-kadang hanya merupakan baris kosong di otak gue saat konser), dan gue yakin, gue
sama sekali nggak kenal cowok ini.
Gue menggelen glalu menatap Alice, dan kelihatannya dia juga nggak mengenali cowok
whoever lah dia yang ada di depan kami ini.
"Gue Yopie, vokalis Excuse," katanya dengan nada sok.
Oooohhhh... jadi ini si artis karbitan"
"Gue kira, lo udah ngenalin gue," katanya lagi, dan gue makin nggak suka sama dia.
Gaya bicaranya itu lho, seolah-olah fakta gue yang nggak tahu tampang dia merupakan dosa
besar. Hah, yang bener aja!
"Nggak. Gue nggak ngenalin lo."
"Ooh." Dia kelihatan seolah baru ditonjok. Pasti pedenya yang selangit itu berantakan
gara-gara omongan gue barusan. Dan, bukannya gue sombong nih, tapi apa bener dia dapat
undangan buat lewat di red carpet ini" Bandnya kan baru tanda tangan kontrak sama label.
Mereka... yah, boleh dibilang belum terkenal. Sekali lagi, bukannya gue nyombong lho.
"Mmm, kalau boleh, gue sama cewek gue mau masuk dulu." Gue berusaha senyum, dan
menggandeng tangan Alice untuk masuk ke venue.
Tapi dia memanggil gue lagi.
"Dylan, tunggu!"
Gue menoleh dengan bete. Apa lagi sih ni orang"!
"Manajer lo... udah cerita kan, soal skenario Pak Leo?"
"Ya, tapi gue nggak setuju," jawab gue dingin.
Gue merasakan tangan Alice gelisah dalam genggaman gue, dan waktu gue menatapnya,
dia kelihatan benar-benar bingung. Ah, berarti nanti gue harus dengan jujur menjelaskan
sama dia soal masalah ini, nggak bisa bohong lagi. Pasti nanti suasananya bakal nggak enak,
dan ini semua gara-gara si artis karbitan yang berhasrat tinggi untuk masuk infotainment ini!
"Tapi itu harus! Lebih cepat lebih baik!" si artis karbitan mengoceh lagi.
Gue mulai habis kesabaran, apalagi orang-orang yang lewat di sekitar kami mulai curicuri pandang penasaran. Kalau orang yang harus gue tonjok tuh nyebelinnya selangit begini,
gue nonjoknya nggak bakal pura-pura! Dengan sepenuh hati deh!
"Dengar ya," kata gue sambil berusaha sabar, "pertama kali gue dikasih tahu skenario
sinting ini, gue nggak setuju. Apalagi setelah Pak Leo bilang alasan gue menonjok lo adalah
karena lo ganggu Alice, gue makin KEBERATAN!"
Ada pekik terkejut, dan gue dengan ngeri melihat Alice menutup mulutnya dengan
tangan. Yeah, dia pasti dengar apa yang gue bilang ke si artis karbitan itu barusan. Oh damn,
memang seharusnya gue cerita sama Alice sebelum ini, jadi dia nggak akan sekaget ini.
"Tapi ini demi publikasi band gue..."
"Emangnya gue pikirin"! Mau band lo ngetop kek, gagal kek, mengais-ngais tanah kek,


Dear Dylan Karya Stephanie Zen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gue nggak peduli!" Gue berbalik, dan berusaha secepat mungkin menggandeng Alice menuju pintu masuk
venue, tapi Yopie masih terus mengoceh.
"Cih, baru gitu ja udah sombong! Kalau tahu lo belagu begini, gue ganggu aja tuh cewek
lo beneran!" Kalau ada yang mengatai gue vokalis band paling payah se-Indonesia sekalipun, gue
nggak akan semarah ini. Omongan Yopie barusan benear-benar sudah bikin tembok
pertahanan emosi gue berantakan.
Tau-tau, tinju gue sudah mendarat di mukanya, dan dia mengaduh-aduh kesakitan di atas
lantai pualam JHCC. Yeah, gue menang TKO. Haha.
Saat mendongak, gue melihat sudah ada kerumunan kecil orang di sekitar gue, Alice, dan
Yopie. Dan sekali lagi, jutaan blitz yang silaunya gila-gilaan itu berpendar di depan gue, dengan
bunyi jeprat-jepret yang memualkan.
MASUK INFOTAINMENT "DAN sekarang, Pemirsa, kita beralih pada kasus pemukulan yang dilakukan oleh Dylan "Skillful"
kepada vokalis band pendatang baru Excuse, Yopie. Kejadian yang berlangsung di acara
penghargaan sebuah televisi swasta tersebut tengah menjadi perbincangan hangat. Dylan, yang
selama ini dikenal jauh dari gosip, lepas kendali pada acara tersebut, dan memukul Yopie saat
akan memasuki ruang acara. Alice, kekasih Dylan yang juga hadir saat itu, disebut-sebut menjadi
sumber pertikaian antara Dylan dan..."
KLIK! Aku menekan tombol berwarna merah di remote TV-ku, dan gambar presenter infotainment
yang hiperbola dan sok tahu itu langsung menghilang, digantikan dengan layar hitam yang
kosong. "Gue masih nggak percaya Dylan masuk infotainment...," ujar race sambil menyodorkan
kantong potato chips-nya padaku, tapi kucuekin. Ini hari Minggu, sehari setelah kejadian
"pemukulan" itu, dan semua infotainment sedang semangat-semangatnya memasang berita itu
sebagai berita utama. Mood-ku hancur berantakan gara-gara semua pemberitaan itu, dan dengan
kondisi kayak gini, akan lebih bijaksana kalau aku nongkrong di kamarku sendrii saja.
"Dylan nggak salah, dia cuma ngebelain gue. Si Yopie itu yang kurang ajar...," gumamku
pada Grace. Dylan sudah cerita semua tentang apa yang disebutnya sebagai skenario-gila-pemilikrecording-label-dan-band-kunyuk-rindu-masuk-infotainment itu padaku, dan pada awalnya aku benarbenar nggak percaya.
Karena skenario itu melibatkan aku! AKU!
Benar-benar gila. Aku sama sekali nggak nyangka di industri musik ada politik semacam itu.
Kepingin ngetop mendadak" Minta pemilik recording label-mu merancang skenario supaya kamu
bisa ditonjok oleh artis lain dari label itu yang lebih terkenal, maka... simsalabim! Wajahmu akan
langsung muncul di semua infotainment, dan kamu ngetop mendadak! Sangat mudah bukan"
Yang lebih gila lagi, menurut skenario itu harusnya Dylan hanya perlu pura-pura menonjok
Yopie (yang disebabkan Yopie menggangguku), tapi gara-gara semua ocehan Yopie kemarin,
Dylan yang tadinya ngak setuju sama rencana itu tiba-tiba sudah melayangkan tinju ke muka
Yopie, dan cowok tengil itu terjatuh di lantai sambil merengek-rengek kayak anak kecil. Tahu
rasa! Aku ngak pernah tahu Dylan ternyata jago menonjok orang. Dia hebat banget!
Ehh... maksudku, aku bisa mengerti kenapa Dylan sampai kehilangan kontrol. Si Yopie itu
orangnya belagu banget sih! Udah SKSD sama Dylan, gaya ngomongnya sok jago, lagi! Kayaknya
memang dia udah berhasrat banget kepingin masuk infotainment!
Yeah, you got what you want, jerk.
Dan cowokkulah yang disalah-salahkan di infotainment. Dibilang high-temper lah, nggak bisa
menahan diri lah, emosian lah, meledak-ledak lah. Mereka nggak tahu aja gimana brengseknya
Yopie. Cuma orang tuli atau bego yang akan diam saja kalau mendengar semua omongannya ke
Dylan kemarin. Masalahnya sekarang, orang lebih percaya apa kata infotainment. Apalagi orang macam Bu
Parno. Infotainment jelas panduan hidup baginya. Keterangan dari orang yang benar-benar berada
di lokasi kejadian macam aku sih nggak bakal dipedulikan. Tentu saja, karena aku pacar Dylan,
orang-orang akan beranggapan aku melindungi dia.
Kasihan Dylan, dia pasti stres banget sekarang. Kemarin dalam perjalanan pulang dari JHCC
aja, dia diam terus... Dan dia diam kayak gitu hanya kalau punya masalah yang superberat.
"Yah, bukan mau dia masuk infotainment, Grace," akhirnya aku menanggapi komentar Grace.
"Lo kan udah gue ceritain kalau semua itu akal-akalan manajemen band Yopie sama recording
label-nya. Dylan cuma... korban."
Grace manggut-manggut, padahal tadi dia heboh banget waktu mendengar ceritaku. Dia
bilang, owner recording label sinting yang mengarang semua skenario itu salah profesi, karena
seharusnya dia jadi penulis novel, penulis skenario, atau perancang strategi kampanye parpol aja,
karena cocok sama otaknya yang dipenuhi ide gila. Aku amat sangat setuju!
Tapi yah, sekarang kami nggak bisa mengubah apa pun, kan" Image cowokku, yang tadinya
sangat sempurna, sekarang hancur berantakan di depan publik.
Huh, aku bakal senang banget sandainya AKU yang ditugaskan untuk menghadiahi si Yopie
itu bogem mentah! Dan aku nggak akan sebaik hati Dylan, yang cuma membogem cowok
brengsek itu sekali. Aku bakal menghajarnya habis-habisan, karena beraninya dia merusak image
cowokku demi band busuknya itu. Biar aja kami dilihatin seluruh undangan MTV Awards, aku
nggak peduli. Ehh... tapi kalau aku melakukan itu, image Dylan juga bakal tercoreng, ya" Dia akan dijuluki
vokalis-band-yang-nggak-bisa-mengendalikan-pacarnya-yang-ternyata-berbakat-jadi-petinjuprofesional.
Ah, sudahlah. *** "Mmm... iya, jadi dia emang gangguin gue... Ngomongnya nggak sopan... Terus Dylan marah...
Udah negur dia, tapi nggak didengerin... Ya udah, akhirnya dia nonjok..."
"Berarti Dylan kayak gitu karena ngebelain lo?"
"Iyaa... Gue jadi nggak enak banget, ini semua gara-gara gue..."
"Ah, jangan bilang kayak gitu. Lo kan pacar Dylan, memang seharusnya Dylan ngejagain dan
ngebelain lo. Gue sebenernya kaget banget sih lihat berita di infotainment tadi pagi, tapi gue
langsung mikir kalau Dylan nggak mungkin berbuat kayak gitu kalau dia nggak punya alasan
kuat." "Iya. Thanks ya, Del."
"Yep, sama-sama. Take care, ya, Lice. Salam buat Dylan. Anak-anak juga pada nitip salam
semua tuh." "Iya, thanks lho... Salamin balik ke anak-anak yaa..."
Aku memutus sambungan telepon yang baru saja terjadi via HP-ku. Tadi itu Ardelia, salah
satu fans Skillful yang cukup akrab sama aku, plus sering curhat-curhat juga. Dia menelepon
karena penasaran gimana sebenernya kejadian pemukulan Dylan vs. Yopie, dan tentu saja aku
harus cerita yang sebenarnya. Yah... yang bisa kulakukan sekarang kan cuma itu, menyelamatkan
sisa-sisa image baik Dylan di depan para fansnya...
Ngomong-ngomong, kok Dylan sendiri belum menghubungiku"
Ah... mungkin dia masih shock gara-gara semua kejadian ini, dan butuh waktu untuk
menenangkan diri sebentar.
Aku memencet tombol speed dial nomor Dylan pada HP-ku, dan mengaktifkan loudspeaker.
"Nomor yang Anda tuju sedang sibuk atau berada di luar..."
Kenapa dia mematikan HP-nya?""
Aku mencoba sekali lagi, tapi ternyata tetap tersambung ke mailbox. Berarti Dylan memang
benar mematikan HP-nya, satu hal yang jarang banget dia lakukan.
Perasaanku jadi makin nggak enak. Apa ada sesuatu lagi yang udah terjadi tanpa setahuku"
Mungkin Yopie si artis karbitan kepingin lebih banyak dapat sorotan media lagi, dan
memutuskan untuk sok-sok ngadu ke polisi"
Omigod! Jangan sampai dia melakukan itu... Dylan nggak boleh berurusan dengan hukum...
Dia nggak salah apa-apa...
Aku haurs menelepon Dylan. Harus!
Tapi kalau HP-nya mati..." Oh iya! Telepon rumahnya saja! Telepon rumahnya!
Aku mencari-cari nomor telepon rumah Dylan di phonebook, dan memencet tombol OK.
Seumur-umur, baru kali ini aku telepon ke rumah Dylan. Biasanya aku selalu langsung
menghubungi HP-nya. Oh ya ampun, nggak ada yang mengangkat JUGA" Ke mana sih semua orang?""
"Halo?" "Thanks God, Mbak Vita!" Aku langsung lega mendengar suara yang kukenal baik itu
menjawab panggilan teleponku.
"Eh" Alice" Ini Alice?"
"Iya, Mbak, ini aku! Dylan ada" HP-nya dimatiin... aku nggak bisa telepon dia..."
"Oh, dia..." Mbak Vita terdengar gelisah. Apa dia menyembunyikan sesuatu"
"Mbak, ada apa" Nggak ada... nggak ada sesuatu yang buruk terjadi, kan?"
"Mmm... Dylan lagi nggak di rumah, Lice."
Aneh sekali, Mbak Vita nggak menjawab pertanyaanku. Tapi lebih penting untuk tahu di
mana Dylan sekarang. "Dia ke mana?" "Tadi dia dapat telepon dari kantor manajemen, terus buru-buru pergi..."
Kantor manajemen?""
"Aduuhh... Mbak, tolong jujur sama aku dong... Nggak ada masalah yang lebih gawat lagi,
kan?" "Gue nggak tahu, Lice. Tadi Dylan nggak bilang apa-apa, dia langsung pergi gitu aja habis
terima telepon." "Tapi ekspresinya... apa dia kelihatan baru dapat bad news?"
"Mmm... kayaknya sih..."
Kadar kekhawatiranku naik lagi setingkat. Aku nggak bisa diam saja di rumah dan jadi orang
yang paling ketinggalan berita. Aku harus memastikan Dylan nggak dapat masalah tambahan!
"Mbak, aku mau ke kantor manajemen!"
"Hah?" Mbak Vita terdengar superkaget. "Lo mau ngapain ke sana?"
"Aku harus cari tahu Dylan kenapa, Mbak... Dia belum telepon atau SMS aku sekali pun
sepagian ini... Aku khawatir..."
"Tapi lo kan nggak usah ke kantor manajemen, Lice. Kita nggak tahu apa yang terjadi di
sana, nanti malah..."
"Justru karena nggak tahu itu, aku harus cari tahu..."
Mbak Vita terdiam, mungkin dia setuju dengan usulku.
"Mbak?" "Lice, gue tetap berpikir kalau lo sebaiknya nggak ke kantor manajemen."
Aku menelan ludah. Ternyata argumenku sangat lemah, sampai Mbak Vita pun nggak bisa
terbujuk. "Lo... lo tunggu di rumah aja dulu ya. Gue janji, nanti begitu Dylan pulang, atau telepon...
pokoknya begitu ada kabar dari dia, gue bakal langsung ngabarin lo."
Aku nggak rela untuk mengiyakan usul Mbak Vita, tapi mau gimana lagi" Dylan dan Bang
Tora pernah bilang, di antara mereka semua, Mbak Vita lah yang logikanya paling jalan, yang
paling bijaksana. Mereka sering minta saran dari Mbak Vita kalau ada masalah, dan biasanya saran
itu selalu tokcer. Mungkin kali ini aku harus memercayai omongan Dylan dan Bang Tora itu...
"Oke, Mbak. Please, kalau udah ada kabar dari Dylan, aku dikasih tahu ya..."
SENSASI KELEWATAN BANG BUDY kayaknya udah ketularan penyakit gila Pak Leo. Tadi pagi-pagi, dia telepon
dan langsung nyerocos di telinga gue kayak orang yang waktu hidupnya tinggal sepersekian
detik saja. Gue sampai terpaksa menginterupsi ocehannya itu, upaya terakhir gue mencegah
dia mengocehkan segala hal yang sama sekali tidak gue mengerti. Kayak dia nggak tahu aja
antara otak dan panca indra gue nggak pernah sinkron kalau gue baru bangun tidur dan belum
minum kopi. Lucunya, begitu gue selesai menginterupsi, Bang Budy mematikan telepon. Gue terpaksa
memutar otak, berusaha mengingat apa ada potongan informasi yang bisa gue tangkap dari
ocehan Bang Budy sebelum dia mematikan teleponnya tadi. Samar-samar gue bisa mengingat
dia mengocehkan sesuatu yang kedengarannya seperti "datang ke kantor manajemen", "Pak
Leo", dan "laporan polisi".
Begitu berhasil mengingat semua itu dan merangkainya jadi satu, gue langsung meloncat
turun dari tempat tidur, dan ngacir ke kamar mandi. Dalam sepuluh menit, gue sudah berlari
melintasi ruang tamu, menuju garasi untuk mengambil motor. Mama sempat menghentikan
gue sebelum gue mencapai pintu depan.
"Dylan, kamu mau k emana?" tanya Mama, berlari mengejar gue dari arah ruang makan,
dengan Mbak Vita mengikuti di belakangnya. Wajah Mama terlihat pucat.
"Mau ke kantor manajemen, Ma."
"Kamu... kamu ada di semua infotainment pagi ini, Lan," kata Mama dengan suara
bergetar, dan gue rasanya kepingin menonjok Yopie si artis karbitan itu sepuluh kali lagi.
Gue nggak pernah membuat Mama sampai sepucat ini, tapi gara-gara Yopie tengik itu...
"Aku bisa jelasin itu nanti, Ma. Aku janji aku bakal jelasin. Sekarang aku... harus buruburu ke kantor manajemen..."
Dan sekarang, saat gue sudah berada di ruang rapat di kantor manajemen, plus sudah
mendengar ulang semua yang ternyata diocehkan Bang Budy di telepon tadi, gue yakin nggak
akan sanggup menjelaskan ke Mama nanti.
Yopie sialan itu sudah memasukkan laporan ke Polda Metro Jaya. Dia melaporkan GUE,
atas tuduhan tindak kekerasan dan perbuatan tidak menyenangkan!
Gue kepingin tahu, apa bisa melaporkan dia balik dengan tuduhan penipuan dan
pencemaran nama baik! Benar-benar gila, Bang Budy kan nggak pernah menyebutkan kami bakal bawa-bawa
polisi dalam skenario sinting ini!
"Kenapa kita harus melibatkan polisi?" protes gue. "Ini kan pada dasarnya hanya
sandiwara, untuk MENCARI SENSASI supaya Excuse bisa dikenal masyarakat, kenapa
sekarang malah bawa-bawa polisi"!" Gue dengan emosi menekankan pada kata "mencari
sensasi". Orang yang baru gue tahu adalah manajer Excuse, yang duduk di seberang meja sana,
wajahnya memucat dalam sekejap. Mungkin dia mengira vokalis Skillful adalah orang jinak
yang bisa dikendalikan dengan mudah oleh recording label dan manajemen. Pasti dia nggak
mengira gue bisa memprotes sekeras ini. You"re wrong, stupid.
"Ini karena semuanya terjadi tidak sesuai rencana, Dylan," Pak Leo angkat bicara, dan
gue menatapnya dengan pandangan benci yang teramat sangat. SEumur-umur, gue nggak
pernah berurusan dengan polisi, bahkan dalam urusan sepele macam tilang sekalipun. Karena
gue mahasiswa fakultas hukum, gue tahu betapa pentingnya bagi masyarakat untuk taat pada
hukum. Tapi sekarang, gara-gara semua skenario sinting ini, gue berpeluang untuk punya
catatan kriminal! "Apanya yang di luar rencana?" tanya gue berang. "Saya sudah melakukan apa yang Pak
Leo mau, kan" Saya sudah cari gara-gara dengan vokalis Excuse, supaya mereka bisa masuk
infotainment! Apa lagi yang di luar rencana"!"
"Seharusnya, kamu tidak melakukan itu di MTV Awards kemarin," kata Pak Leo tenang,
melipat tangan di atas perutnya yang buncit.
"Memangnya amarah saya bisa ditunda"! Saya dari awal nggak setuju dengan rencana
ini, dan menolak melakukannya! Tapi dia," gue menunjuk Yopie, "mendatangi saya di MTV
Awards kemarin, dan mengatakan hal-hal yang tidak sopan! Hanya orang idiot dan tuli yang
akan diam saja kalau mendengar omongannya kemarin!"
Seluruh ruangan sunyi senyap, yang terdengar hanya napas gue yang tersengal, berusaha
menahan diri untuk nggak menjungkirkan meja di ruang rapat ini. Pak Leo menatap gue
dengan mata melotot. "Dylan, sabar...," kata Bang Budy di telinga gue, tapi gue memelototinya dengan geram.
Gimana sih Bang Budy" Kenapa dia jadi melempem gini" Biasanya dia yang paling nggak
bisa terima kalau ada hal-hal di luar album atau prestasi Skillful yang masuk infotainment!
Biasanya dia yang paling meledak kalau manajemen Skillful diobok-obok sama orang luar!
Apa dia sudah dicuci otak sama Pak Leo"!
"Maslaahnya," kata Pak Leo, kelihatan jelas berusaha meredakan kekagetannya atas
kata-kata gue tadi, "publisitas yang saya inginkan untuk Excuse bukan yang semacam ini."
Gila kali ya dia" Bukannya dia sendiri yang merancang semua ini"
"Lalu, yang semacam apa?" tanya gue dalam desis berbahaya. "Apakah yang Pak Leo
inginkan adalah publisitas yang mengangkat Excuse, tapi menghancurleburkan Skillful"
Iya?" Pak Leo terdiam. Entah dia memikirkan apa dalam otak kotornya itu. Cih, dari dulu gue
memang sering mendengar selentingan bahwa bos recording label ini sering bermain kotor
dalam bisnisnya. Banyak rumor yang berembus tentang kelicikan Pak Leo dalam menyerobot
penyanyi-penyanyi potensial yang seharusnya hampir dimiliki recording label lain. Juga ideidenya dalam mencari sensasi agar artis-artisnya sendiri dapat perhatian dari masyarakat.
Selama ini, gue nggak percaya semua rumor itu, tapi melihat apa yang terjadi sekarang,
gue jadi menyesal kenapa nggak dari dulu-dulu gue mikir apa yang bakal gue lakukan
seandainya gue dalam posisi seperti sekarang.
"Kita akan mengatur, supaya nanti Yopie mencabut laporannya di Polda," kata Pak Leo
setelah terdiam cukup lama. Semua mata dalam ruangan yang tadinya memandangi gue,
sekarang menatap Pak Leo.
"Bagus. Kalau perlu suruh dia bikin pernyataan maaf di media nasional," sambar gue
ketus. "Maaf, Dylan, tapi kamu-lah yang akan membuat pernyataan maaf di media nasional."
"APA"!" Gue membeliak. Kuping gue masih normal, kan"
"Ya, kita akan mengatur seolah Yopie bersedia mencabut laporannya dan menyelesaikan
permasalahan dengan jalan damai, karena kamu setuju untuk membuat pernyataan maaf di
media nasional... atas perbuatanmu terhadap dia."
Gue menatap Yopie si artis karbitan, dan bisa dengan jelas melihat senyum kemenangan
mengembang di bibirnya, seolah menyindir gue. Gue menatapnya sambil berusaha mengatur
napas gue yang berantakan, saking kepinginnya menghajar dia lagi.
Dan apa tadi Pak Leo bilang..." Brengsek! Kalau ada yang harus bikin permintaan maaf
di media nasional, Pak Leo-lah orangnya! Dia harus bikin permintaan maaf selama empat
puluh hari berturut-turut karena punya otak yang nggak waras, dan melibatkan orang lain
dalam ketidakwarasannya! "Lalu setelah itu?" tanya gue antara pahit dan berang.
"Kalian akan muncul di infotainment, berjabat tangan dan berdamai, menyatakan
masalah kalian sudah selesai, dan... Excuse bisa memulai proses mastering untuk album
mereka," jelas Pak Leo tenang, seolah yang dijelaskannya barusan hanyalah susunan acara
kemping Persami untuk anak-anak SD.


Dear Dylan Karya Stephanie Zen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Yang gue tahu, kurang dari semenit berikutnya, gue sudah berada di luar ruang rapat,
meninggalkan suara bantingan pintu yang luar biasa kerasnya di belakang sana.
*** Gue menjatuhkan puntung rokok ke aspal, dan menginjaknya sampai apinya padam. Di
sekeliling puntung yang baru gue injak, berserakan puntung-puntung lainnya. Entah sudah
berapa batang rokok yang gue habiskan selama duduk di atas motor ini. Pak Kirno, satpam
kantor manajemen, bolak-balik mencuri pandang ke arah gue, gue yakin dia penasaran
setengah mati kepingin tahu apa yang terjadi tapi ngak berani tanya.
Yeah, gue memang belum kepingin pulang. Belum berani, tepatnya. Gue nggak sanggup
pulang dan mendapati wajah Mama yang penuh harap menunggu penjelasan kenapa gue bisa
masuk sejuta infotainment sialan itu dengan tuduhan memukuli anak orang. Mama pasti stres
kalau tahu gue terlibat dalam konspirasi tingkat tinggi yang kotornya amit-amit macam ini.
Jadi sekarang, gue duduk merokok di atas motor gue, di parkiran kantor manajemen,
bengong kayak orang bloon.
Sebenarnya, gue udah bertahun-tahun nggak merokok, apalagi setelah pacaran sama
Alice, dia terang-terangan menyatakan sikap benci rokok. Tapi berhubung sekarang lagi stres,
gue butuh pelampiasan. Gue beli aja dua bungkus di kios yang buka di depan kantor
manajemen. Yang punya kios sampai terbengong-bengong ngeliat gue beli rokok, habisnya
yang selama ini sering mondar-mandir ke kios dia kan cuma anak-anak kru, atau paling
banter Dovan sama Dudy. Hhh... sebodo amatlah sama pita suara gue yang bakal rusak gara-gara semua rokok ini,
gue sekarang kan lagi kepingin nabok orang!
"Mas Dylan... nggg... anu..."
Gue mendongak, menatap Pak Kirno yang sedang menatap balik gue dengan gelisah,
seolah dia sudah mengumpulkan seluruh keberaniannya untuk bertanya pada gue tentang hal
gila macam apa yang tadi terjadi di dalam sana.
"Ya, Pak Kirno?" tanya gue sehalus mungkin. Biarpun lagi kesal setengah mati, gue
nggak bisa melampiaskan kekesalan dengan membentak-bentak Pak Kirno, kan" Atau
jangan-jangan Pak Kirno nonton infotainment juga, dan percaya bahwa gue, yang sudah
dikenalnya selama tiga tahun ini sebagai orang paling nggak suka cari masalah, sekarang
sudah berubah jadi juara tinju amatir kelas bantam 85 kg"
Yeah, kayak ada petinju yang seberat anak gajah baru lahir macam gue aja.
"Maaf, Mas Dylan, tapi..."
"Bapak mau nanya kenapa saya bisa masuk infotainment?"
Pak Kirno mengangguk dengan takut-takut, dan gue jadi geli. Gimana sih, Pak Kirno kan
satpam, kalau dia takut-takut begini hanya karena bertanya sama gue, apa jadinya kalau ada
maling yang mau merampok kantor manajemen" Jangan-jangan bukannya menangkapi para
maling itu, Pak Kirno malah ngibrit duluan!
"Itu semua," gue mengisap rokok di tangan gue, "adalah ide orang-orang gila yang ada di
dalam sana." Gue mengedikkan kepala ke arah kantor manajemen yang ada di depan kami.
"Ide... Pak Budy sama Pak Leo?" tanya Pak Kirno kaget. "Tapi kenapa?"
"Pak Leo punya band baru yang harus diorbitkan, dan rupanya band itu segitu payahnya
kemampuannya, sampai-sampai membutuhkan bantuan saya untuk membawa mereka masuk
infotainment." Pak Kirno diam, terilhat berpikir keras, dan tiba-tiba gue jadi merasa bersalah sama dia.
Sudah tiga tahun gue keluar-masuk kantor manajemen ini, yang berarti sudah tiga tahun juga
gue mengenal Pak Kirno, tapi gue nggak pernah sekali pun mengajaknya ngobrol seperti
sekarang. Buat gue, melihat Pak Kirno di kantor setiap hari lebih seperti... rutinitas. Nyaris
nggak pernah muncul dalam pikiran gue niat untuk sekedar menyapa dia, atau mengajaknya
ngobrol seperti gue biasa ngobrol dengan semua personel dan kru Skillful.
"Jadi... jadi semua itu sandiwara" Mas Dylan mukul pokalis band yang baru itu cuma
bohongan aja?" tanya Pak Kirno.
Gue menggeleng, nyaris ngakak mendengar Pak Kirno melafalkan "vokalis" menjadi
"pokalis". "Seharusnya cuma sandiwara, tapi saya nggak tahan sama kelakuan sengak orang
itu, jadi saya bogem aja dia sekalian! Toh ujung-ujungnya juga saya harus masuk TV karena
mukulin orang, kan" Kalau orangnya brengsek, kenapa nggak saya pukulin aja beneran?"
"Iya, iya, Mas Dylan!" Tiba-tiba Pak Kirno berubah jadi bersemangat. "Saya dari awal
nggak percaya Mas Dylan emosian seperti yang dibilang inpotainmen-inpotainmen itu! Saya
kan kenal Mas Dylan, mereka nggak! Saya yakin, kalau Mas Dylan marah, pasti ada
sebabnya! Jangan takut, Mas Dylan, orang benar pasti akhirnya menang kok!"
Gue terlongong bengong. Rasanya nggak percaya mendengar rentetan kalimat barusan
dari mulut Pak Kirno, satpam kantor manajemen Skillful. Pak Kirno, yang nyaris nggak
pernah gue ajak ngobrol itu... memercayai gue" Dia yakin gue ada di posisi yang benar"
Seperti ada yang baru menyodok rusuk gue dengan telak, dan gue mendadak speechless.
Betapa kadang-kadang kita nggak menghargai orang yang ada di sekitar kita, padahal
mereka sangat berarti... "Ehh... makasih, Pak Kirno...," ucap gue kagok.
"Iya, Mas Dylan, sama-sama... Mas Dylan yang kuat ya, nanti juga gosip-gosipnya bakal
hilang sendiri. Saya juga yakin kalau band yang pokalisnya butuh dihajar dulu untuk ngetop,
pasti bubar jalan! Mereka mah nggak lepel sama Skillful! Skillful kan jagoan saya!" Pak
Kirno menepuk-nepuk bahu gue bersemangat.
Dan mendadak gue sadar, apa yang dibilang Pak Kirno itu benar. GUe nggak akan
membiarkan Yopie dan segala kutu busuk sekutunya itu merasa puas karena mendapatkan
apa yang mereka mau. Gue akan membuat orang melihat, band yang benar-benar bagus lah
yang akan bertahan. *** Mama bolak-balik meremas tangan Mbak Vita sepanjang gue menjelaskan lelucon buruk apa
yang sebenarnya terjadi sekarang. Tora dan Papa yang ada di sofa seberang diam saja, cuma
saling mengangkat alis, seolah mereka sudah menemukan bahasa isyarat baru dengan
mengangkat alis itu, dan sekarang sedang membicarakan gue dengan bahasa itu.
"Yah, jadi gitu, Ma, Pa, Tor, Mbak Vit... Aku awalnya menolak rencana ini, tapi tiba-tiba
aja anak itu datang dan ngomong yang nggak-nggak di depanku dan Alice, jadi aku emosi...
Aku pukul aja dia!" "Dylan, Dylan..." Mama menggeleng-geleng dengan sedih, lalu pindah duduk di sebelah
gue dan memeluk gue. "Kenapa harus kamu" Kenapa nggak orang lain aja yang disuruh
melakukan itu semua" Kamu kan nggak pernah macam-macam..."
Gue menatap Papa, Tora, dan Mbak Vita dari balik bahu Mama, dan menghela napas.
"Justru orang kayak gitu yang mereka cari, Ma. Orang yang nggak pernah macam-macam,
yang bakal bikin geger kalau masuk infotainment karena mukulin orang..."
Seisi ruangan terdiam, gue sampai nggak tahu harus ngomong apa lagi. Aneh banget,
keluarga gue, yang adalah keluarga Batak yang biasanya nyaris nggak bisa diam, sekarang
kehilangan suara begini. This is soooo not us.
"Nanti juga bakal selesai masalahnya, Ma. CUma perlu muncul di infotainment sekali
lagi kok, sok-sok damai, Yopie bakal mencabut laporan polisi, aku bakal bikin permintaan
maaf pura-pura..." "Cabut laporan polisi?" tanya Tora kaget, dan Mama melepaskan pelukannya ke gue.
"Masalah sandiwara begini bawa-bawa polisi juga, Lan?"
Gue mengangguk letih. Sedari tadi gue berusaha menghindar menceritakan soal laporan
polisi itu, tapi gue sadar cepat atau lambat keluarga gue bakal tau juga dari infotainment, dan
akan lebih baik kalau mereka mengetahuinya lebih dulu langsung dari gue.
"Iya. Pak Leo merasa Excuse belum cukup dapat perhatian dengan semua yang gue
lakukan. Dia pikir, sedikit melibatkan polisi akan lebih baik. Sensasinya akan lebih... hebat."
"Tapi lo jadi punya catatan kriminal," gumam Mbak Vita dengan suara kering. Gue
nggak per nah mendengar nada suara Mbak Vita yang seperti itu sebelumnya, karena biasanya
dialah yang paling tenang dan selalu punya jalan keluar kalau di antara kami-kami ini ada
masalah, tapi sekarang dia juga gelisah.
"Iya sih... tapi laporannya bakal dicabut sebelum ada pemeriksaan apa-apa kok, Mbak.
Aku nggak bakal sampai ditahan atau apa..."
Lagi-lagi seisi ruangan terdiam, dan gue merasa nggak tahan lagi dengan kondisi kayak
gini. "Aku boleh tidur dulu, ya" Aku capek banget..." Nggak ada yang bereaksi, tapi gue
menganggap diamnya mereka sebagai ya.
"Tadi dicari Alice, Lan. Katanya HP lo nggak bisa dihubungi. Kasihan dia, khawatir
banget sama lo..." Gue menghela napas. Alice... tentu saja dia khawatir. Tapi gue nggak sanggup kalau
harus bercerita ke satu orang lagi malam ini, jadi gue mengambil HP dan menulis SMS untuk
Alice. To: Sayang Say, sori seharian aku ga bs dihub. Td ada mslh di kntr
mnjmen, tp aku ga bs jelasin skrg. Bsk aja kita ktmu ya. Nite.
Love u. GOSIP: MAKIN DIGOSOK MEMANG MAKIN SIP! "EHH... Lice, sori nih gue nanyain hal yang nggak enak gini, tapi tadi pagi gue lihat cowok lo di
TV..." Aku menelan ludah. Sepagian ini, sejak aku menginjakkan kaki di sekolah, aku memang
merasakan bisik-bisik heboh di sekitarku. Aku tahu apa yang mereka semua bicarakan. Apa lagi
kalau bukan kasus Dylan"
Tapi sekarang, Oscar, teman sekelasku sekaligus cowok paling cool yang biasanya nggak
pernah bawel sama urusan orang lain pun, tiba-tiba saja berkomentar begitu.
Yeah, masalah ini memang benar-benar sudah kronis. Kalau diibaratkan penyakit kanker,
masalah ini sudah stadium lanjut. Oscar saja sampai bisa memberikan komentarnya.
Ditambah lagi, Dylan belum menjelaskan apa pun ke aku tentang kenapa dia bisa sampai
dilaporkan ke polisi! Padahal semua infotainment pagi ini menayangkan itu! Tapi setelah kemarin
seharian nggak bisa dihubungi, Dylan cuma SMS, bilang akan menjelaskan semuanya hari ini.
Plis deh, bukannya ini semua seharusnya cuma sandiwara" Kenapa Dylan sampai harus
dilaporkan ke polisi" Apa Dylan memukul si Yopie brengsek itu terlalu keras, lalu dia nggak
terima, dan memutuskan sebodo amat dengan segala rencana sandiwara, lalu mengadu ke polisi"
Aku benar-benar menyesal Dylan cuma memukul anak kurang ajar itu sekali. Dia benarbenar nggak tahu diri!
Dan pemilik recording label tempat Skillful bernaung itu... entah bakal masuk neraka tingkat
berapa dia! Bisa-bisanya bikin Dylan kena masalah sampai kayak gini!
"Mmm... Lice, sori... lo pasti nggak mau ngomongin ini, ya?" tanya Oscar lagi, kali ini
dengan nada nggak enak, mungkin dia baru sadar sudah menanyakan hal yang sensitif.
"Nggak papa, Os... Gue udah menduga kalau hari ini gue bakal menghadapi banyak
pertanyaan," kataku pelan. "Cowok gue memang lagi ada masalah, dan dia sampai seperti itu
karena belain gue...," aku setengah berbohong. Ya, Dylan memang seharusnya membelaku dalam
sandiwara itu, tapi pada kenyataannya kan dia memukul Yopie karena mulut cowok bego itu
nggak pernah mengenyam tata krama, dan menyebabkan Dylan muntab.
"Iya, gue dengar katanya cowok vokalis band apaaaa... itu, you know, yang ditonjok Dylan,
katanya cowok itu gangguin lo, ya?"
Aku mengangguk, menambah satu kebohongan lagi. "Orang itu mulutnya perlu
disekolahin." Oscar nyengir. "Memang ada orang-orang yang kayak gitu. Kalau mulutnya nggak makan
bangku sekolah, at least tu mulut harus makan tinju sekali, biar punya etika, hehe..."
Mau nggak mau aku tertawa. Oscar cowok yang baik, dan aku juga nggak pernah lupa dia,
dan Moreno, yang juga teman sekelasku, pernah menyelamatkanku saat hampir ditabrak mobil.
Yah... ceritanya panjang. Itu kejadian saat aku dan Dylan sempat putus setahun yang lalu.
"Tapi, Lice, kalau cowok los ampai dilaporin ke polisi..."
Aku menggigit bibir, nggak tahu harus memberikan komentar apa. Dylan belum
menjelaskan apa pun ke aku soal polisi-polisian ini, dan aku nggak mau sampai salah bicara di
depan orang. Sejak jadian sama Dylan, aku belajar menjaga mulutku untuk berhati-hati. Salah
bicara sedikit saja tentang Dylan atau Skillful, bisa berdampak besar.
"Nggak papa, gue yakin kalaupun nanti ada macam-macam pemeriksaan, Dylan akan
terbukti nggak bersalah. Kan Yopie yang mulai duluan..."
Oscar nggak bertanya-tanya lagi, padahal argumenku sangat lemah. Dia hanya
menggumamkan sesuatu yang kedengarannya seperti "take care, Lice", lalu pergi dari depanku.
Ya Tuhan, aku benar-benar berharap laporan polisi ini juga cuma bagian dari sandiwara
sinting itu... *** Grace merendengiku ke mana pun seharian ini. Dia yang melotot galak pada semua orang yang
menatapku diam-diam. Dia yang mengomeli orang-orang yang berbisk-bisik di belakangku. Dia
yang membentak orang-orang yang menudingkan jari ke arahku. Singkatnya, seharian ini dia
berusaha menjagaku tetap berada pada garis batas kewarasan.
"Makasih ya, Grace," kataku setelah kami aman di dalam mobilnya saat pulang sekolah.
"Nggak tahu deh gimana kalau nggak ada lo."
"Sama-sama. Gue juga bete kenapa tu orang pada usil semua. Dikiranya enak apa dilihatin
dan diomongin kayak gitu" Mereka nggak ngerasain aja gimana susahnya jadi lo..."
Aku tersenyum kecut. Ya, mereka memang nggak ikut merasakan perasaan kacau-balauku
karena semua masalah ini. Mereka nggak tahu gimana rasanya punya pacar vokalis band terkenal
yang lagi kena masalah. Entahlah, kadang aku berharap Dylan cuma cowok biasa... yang kalau menonjok orang
nggak akan masuk infotainment dan ditonton jutaan orang.
"Dylan belum hubungin lo?" tanya Grace sambil menstarter mobilnya.
Aku menggeleng. "Mungkin dia masih butuh menyusun kata-kata?" tanyaku nggak penting.
Kegelisahan sudah membuatku jadi superjayus dan dengan mudah mengeluarkan komentarkomentar nggak penting seperti tadi.
Grace nggak menimpali, dan aku menghela napas dalam-dalam. Mungkin sudah sejuta kali
aku menghela napas hari ini, dan bolak-balik memutar kejadian MTV Awards di otakku. Itu hari
Sabtu, yang berarti baru lewat dua hari yang lalu, tapi rasanya sudah lama sekali... Hari Minggu
yang kulewatkan dengan memandang hampa tayangan-tayangan infotainment yang memasang
wajah Dylan di segmen "Hot Gossip" (beberapa di antaranya bahkan berhasil mendapatkan
rekaman ekspresi shock-ku saat Dylan menonjok Yopie!) juga rasanya sudah lewat seabad... Dan
percuma saja aku berharap jeda satu hari setelah peristiwa itu akan berhasil membuat warga
sekolahku lupa, dan nggak akan membahasnya di hari Senin ini. Yang ada malah mereka semua
makin menggebu, karena sudah mengendapkan hasrat bergosip itu selama hari Minggu!
Aku tiba-tiba merasa letih... dan khawatir... semua ini masih akan terus berlanjut...
Ya Tuhan... Tolonglah aku... Tolonglah Dylan... *** Waktu mobil Grace berhenti di depan rumahku, aku nggak terlalu kaget mendapati ada motor
terparkir di carport. Aku memang sudah setengah berharap akan menemukan motor itu di sana,
supaya pemiliknya bisa menjelaskan apa saja yang terjadi seharian kemarin, yang bikin aku gelisah
lebih daripada gelisahnya ikan yang dikeluarkan dari air.
"Motor Dylan, ya?" tanya Grace setelah melihat motor itu juga.
"He-eh." "Lo masuk gih. Ngobrol yang baik sama dia, kasih support... ntar malam kalau mau cerita,
telepon gue aja, oke?"
Aku mengangguk, dan setelah menggumamkan thanks, turun dari mobil Grace.
Di ruang tamu, aku melihat Dylan mengobrol dengan Daddy. Wajahnya serius, dan kalau
situasinya nggak setegang ini, mungkin aku bakal menggodanya dengan bilang dia sedang
berusaha melamarku pada Daddy, tapi aku kan nggak mungkin segila itu sekarang.
"Hai," sapa Dylan begitu dia melihatku. Dia kelihatan... kucel. Bagian bawah matanya ada
lingkaran hitam, dan matanya sendiri merah. Apa dia nggak tidur semalaman"
"Daddy tinggal dulu," kata Daddy sambil membawa cangkir kopinya yang tadi ada di meja
tamu, dan menggandeng masuk Mama, yang mengintip dari celah pembatas antara ruang tamu
dan ruang keluarga, agar nggak mengganggu aku dan Dylan.
Aku melepaskan sepatuku di depan pintu, lalu duduk di sebelah Dylan, dan menatapnya
lurus-lurus (biar sekali-sekali dia tahu bagaimana rasanya dilihatin dengan jenis tatapan seperti
itu!), tapi dia malah menatapku balik, sampai aku nggak sanggup terus memelototinya.
"Maaf ya..." Dia menepuk pelan lututku. "Kamu pasti kaget lihat di TV kalau aku dilaporin
ke polisi..." "Nggak cuma kaget," kataku dengan suara serak, yang kukenali dengan baik sebagai
pendahuluan sebelum prosesi berjatuhannya air mata, "aku... marah."
"Iya, aku tau. That"s why I"m here."
Feeling-ku benar, air mataku mulai bercucuran. Nggak enak rasanya jadi cengeng begini di
depan Dylan, tapi aku nggak bisa menahannya lagi... Dua hari ini aku stres, gelisah, diomongin
orang, belum lagi membayangkan cowokku bakal berurusan sama polisi, gimana bisa aku baikbaik saja"
Dylan ternyata bengong melihatku menangis. Dia seperti membeku dalam posisinya,
sebelum akhirnya membelai rambutku pelan.
"Kamu kan tau, aku pasti cerita segalanya ke kamu..."
"Kamu dulu nggak cerita soal kamu yang disuruh mukulin Yopie!" potongku gusar. Hah,
apanya yang "cerita segalanya" kalau begitu"
"Yah... aku minta maaf soal itu, tapi itu kan karena... sampai detik terakhir, aku tetap
berharap nggak perlu melakukan semua itu... tapi Yopie sendiri yang tiba-tiba nongol...
menawarkan diri ditonjok dengan mulut bocornya itu..."
Aku terisak, nggak menjawab. Mulutku malah terlalu gemetar untuk bicara.
"Aku sama sekali nggak tau soal masalah polisi-polisian ini, Say... Bang Budy nggak pernah
ngomong tentang itu... tapi tiba-tiba aja kemarin pagi aku ditelepon, disuruh datang ke kantor
manajemen, dan di sana baru mereka bilang kalau Yopie sudah memasukkan laporan... dan itu
karena pak Leo kepingin publisitas Excuse bisa lebih sensasional. Kamu kira aku nggak kaget"
Nggak marah" Aku juga kaget... marah... tapi aku nggak bisa berbuat apa-apa..."
"Tapi... tapi..." Aku akhirnya berhasil bicara dengan bibir gemetar, biarpun masih nggak
jelas, "kamu kan bisa cerita sama aku setelah itu... aku nggak harus tau kamu dilaporkan ke polisi
dari infotainment tadi pagi... nggak harus seharian gelisah kepengin tau kabarmu seperti kemarin...
HP-mu juga nggak aktif..."
"Iya, aku salah... Maaf, ya" aku tau kamu pasti khawatir banget mikirin aku, makanya aku
makin nggak tega cerita ke kamu."
Kami berdua terdiam. Aku masih menangis dengan cengengnya, dan menunduk menatapi
kaus kakiku yang berwarna pink garis-garis kuning, yang pernah membuatku dihukum jemur di


Dear Dylan Karya Stephanie Zen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lapangan karena memakainya saat upacara bendera hari Senin.
Kira-kira dua menit kemudian, Dylan mulai bicara lagi, "Kadang malah aku mikir aku nggak
pernah bikin kamu senang selama kita pacaran... yang ada aku bikin kamu sedih, marah, stres,
kecewa..." Aku terdiam, lalu tiba-tiba menjawab, "Memang."
Mata Dylan membulat, sebelum dia terkekeh geli. Aku mendongak dan dengan malu
menyadari mulutku baru saja menyeletukkan sesuatu yang luar biasa konyol. Dan gara-gara itu,
suasana langsung berubah dalam sekejap! Lima detik yang lalu kami masih ber-mellow-mellow, tapi
sekarang Dylan malah cengengesan!
Semua gara-gara komentar nggak pentingku barusan! Ohh... aku memang cewek yang aneh!
"Makanya," sambung Dylan, berusaha menahan cengirannya yang masih mengembang lebar,
"kita masih harus sama-sama untuk jangka waktu yang sangaaatttt lama! Sampai aku bisa bikin
kamu senang, bahagia, ceria, live happily ever after..."
Ha, sekarang dia berusaha bikin banyolan!
"Kalau dalam dongeng Disney, itu berarti kita masih harus menumpas nenek sihir, ibu tiri
yang jahat, makhluk-makhluk kegelapan, dan sejuta penghalang lainnya," celetukku lagi, mulai
tertular Dylan yang mengoceh. Isakanku, tentu saja, sudah terhenti.
"Tenang aja," Dylan menepuk dadanya, "pacarmu ini kan juara dunia tinju, baru meng-TKO
satu makhluk kegelapan dua hari yang lalu! Nenek sihir mah keciiiiilll!"
Aku terbahak, nggak percaya tadi baru saja menangis. Pernahkan aku bilang pacaran sama
dylan bisa membuat mood dan suasana hati berubah dalam hitungan detik"
Kamu baru saja melihat satu contoh kasusnya.
*** Hari Sabtu, aku bangun jam dua belas siang dan bermalas-malasan di tempat tidur, memutar
kembali semua kejadian belakangan ini.
Sisa hari sepanjang minggu ini kulewati dengan lebih baik dibanding awal minggu kemarin.
Dylan dan Yopie muncul sekali di infotainment hari Kamis lalu, menyatakan mereka sudah
berdamai, dan Yopie sudah mencabut laporannya di polisi. Mereka berjabat tangan dan cengarcengir di depan kamera, untuk menunjukkan mereka memang benar-benar sudah berdamai. Tapi
aku bisa melihat dengan jelas, senyum Dylan adalah senyum terpaksa, dan dia setengah mati
menahan diri untuk nggak melayangkan tinjunya ke muka Yopie yang hanya berjarak dua puluh
senti dari wajahnya. Komentarku hanya satu: aku senaaaangggg banget karena pelipis kiri Yopie masih
menunjukkan lebam ungu bekas ditonjok Dylan! Hah, tau rasa, semoga bekas itu nggak hilang
selamanya! Dan masih ada juga permohonan maaf Dylan yang dimuat tiga hari berturut-turut di koran,
bikin aku merasa mual setiap membacanya. Pak Leo yang pemilik recording label itu beneran waras
nggak sih" Dia benar-benar memperlakukan Dylan seperti... sampah. Seolah Dylan cuma vokalis
band besutan Pro Music yang penjualan albumnya seret, dan lebih baik dijadikan tumbal!
Heloooo, Pak Leo, nggak ingat ya, dari album terakhirnya saja, Skillful sudah
menyumbangkan tujuh platinum"! Apa vokalis band utama seperti itu yang Anda korbankan
untuk mempopulerkan band nggak jelas macam Excuse"
Hhh... tapi aku dan Dylan sudah memutuskan mengambil sikap cuek terhadap semua itu.
Toh masalahnya sudah selesai, Pak Leo sudah mendapatkan apa yang dia inginkan. Seenggaknya
sekarang kalau Excuse muncul di TV, penonton akan berkomentar "Ohh, gue tahu! Cowok ini
yang dulu pernah dibogem sama Dylan Skillful, kan?", dan bukannya "Sape tuh?"
Asal setelah ini Pak Leo nggak mengganggu Dylan lagi aja! Awas kalau iya!
"Haha... iya, Bu, si Alice baru bangun ini, masih bengong di kamarnya. Iya... tunggu
sebentar, ya..." Eh, ngomong sama siapa tuh Mama" Kok menyebut-nyebut aku" Mama bilang aku baru
bangun dan masih bengong di kamar, pula! Nggak bener nih!
Mama muncul di ambang pintu kamar kurang dari dua detik setelah aku mendengar
suaranya, tangannya mengangsurkan telepon wireless padaku. Rupanya tadi Mama bicara di
telepon. "Siapa?" tanyaku bingung.
"Mama Dylan." "Haaah"!" Tante Ana?"" Mama menyebut-nyebut kalau aku baru bangun tidur jam dua belas
siang di hari Sabtu pada Tante Ana?""
Well done, Mom. Kalau setelah ini Tante Ana ilfil padaku dan menyangsikan aku untuk jadi
menantu yang baik, itu semua gara-gara Mama.
"Katanya tadi telepon HP kamu, tapi nggak aktif, makanya nelepon ke rumah," bisik Mama,
masih sambil mengangsurkan telepon wireless yang belum kuambil dari genggamannya.
"Ihh, tapi itu kan nggak berarti Mama harus cerita-cerita ke Tante Ana bahwa aku baru
bangun! Mama gimana sih?"?" desisku jengkel, tapi Mama malah cengengesan dan meninggalkan
kamarku. "Halo," kataku akhirnya ke gagang telepon.
"Selamat siang, Alice," kata Tante Ana ramah, tapi aku menelan ludahku. Glek! Selamat
SIANG, katanya! S-I-A-N-G, bukan pagi!!! "Baru bangun tidur?"
"Eh... oh... nggak... saya udah bangun dari tadi kok TAnte, udah mandi juga... Cuma tadi lagi
baca-baca majalah di kamar, jadinya Mama kira saya masih tidur, hehe..." Aku mengarang cerita
yang, kuharap, bisa menaikkan lagi image-ku yang sudah jeblok di depan Tante Ana.
"Ohh, kalau baru bangun juga nggak papa, kan hari libur, hehe... Dylan juga masih tidur
tuh." "Hehehe iya, Tante...," gumamku sambil cengengesan nggak penting. Harus cepat
mengalihkan topik pembicaraan sebelum Tante Ana makin ilfil sama aku nih!" O iya, Tante cari
saya ada perlu apa?"
Aku jadi penasaran, apa tujuan Tatne Ana meneleponku" Nggak mungkin cuma mau
ngobrol-ngobrol, kan" Kalau memang begitu, kan bisa besok-besok kalau aku ke rumah Dylan.
Atau jangan-jangan... Tante Ana sudah tahu kalau akulah yang menginjak pot mawarnya
waktu itu"! Aduuhhh tidaaakk...! Aku kan benar-benar nggak sengaja!
Tapi nggak mungkin ah, kan aku ngak cerita soal "dosa"-ku yang satu itu ke siapa pun.
"Eh iya, Tante sampai hampir lupa. Tante mau tanya, Dylan sudah pernah nyampein belum
kalau Tante mau minta tolong Alice untuk jadi penerima tamu di pesta pernikahannya Tora sama
Vita?" Oh itu. Syukurlah bukan masalah pot mawar!
"Udah, Tante, udah..."
"Terus, Alice mau, kan?"
"Mau, Tante." "Wah, asyik deh kalau begitu! Soalnya ceweknya kurang satu nih, hehe... Dan kamu kan
udah bagian dari keluarga kami."
Glek. GLEK! Aku sudah dianggap bagian dari keluarga Dylan?"" Cihuhuhuy!
"Terus ini nih... penjahit bajunya siang ini mau datang ke rumah untuk ngukur badan. Alice
bisa ke sini juga nggak" Untuk ngukur juga, maksudnya. Harus mulai bikin baju dari sekarang,
kalau nggak nanti waktunya nggak cukup..."
Samar-samar aku teringat kata-kata Dylan untuk nggak ikut rapat panitia ini-itu, karena bakal
bikin stres, tapi mana mungkin aku bilang nggak mau ke Tante Ana" Apalagi ngukur badan kan
nggak bisa diwakilkan. Tapi... oh no! Ngukur badan! Itu berarti lebar pinggang, pinggul, dan lingkar dadaku bakal
diukur di depan Tante Ana dan seluruh tante Dylan?""
Arrghh!!! Gimana dong" Mana semalam Mama masak ikan bumbu tomat dan aku makan
banyak banget terus langsung tidur, pula! Pasti perutku sudah bertambah buncit dua senti dalam
semalam! Bagaimana bisa aku mengukur badan dalam kondisi begini" Nanti Tante Ana bakal
benar-benar beranggapan aku nggak pantas untuk Dylan! Omigod...
"Halo, Alice" Kamu masih di situ?"
"Ehh... ehh iya, Tante."
"Gimana, dalam dua jam bisa ada di sini, kan" Maaf lho dari dulu Tante sering minta Alice
datang ke sini mendadak, habisnya kemarin... yah, Alice tahu kan, ada masalah Dylan itu... jadinya
Tante lupa ngabarin Alice dari jauh-jauh hari."
Aku terdiam. Iya ya, kalau ada masalah seperti itu, siapa yang bakal ingat hal kecil macam
mengukur badan untuk menjahit baju"
"Mmm... nggak papa sih, Tante. Nanti saya ke sana."
"Oke, kalau gitu nanti kalau sudah siap, SMS Vita aja ya, biar dia jemput kamu. Kan dia
nggak perlu ngukur badan juga, hehe..."
Aku tersenyum. Iya dong, Tante, Mbak Vita kan pengantinnya, dia nggak perlu ngukur
badan untuk penjahitan baju panitia.
"Oke, Tante. Saya mau mandi dulu deh kalau gitu."
"LHo, tadi katanya udah mandi?"
Wadaw! Salah ngomong! "Ehh... maksudnya mandi lagi, biar segar. Di sini panas banget
sih..." "Ohh, gitu. Hehe... ya udah, nanti jangan lupa SMS Vita, ya?"
"Iya, Tante. Sampai ketemu."
Fiuhh... untung Tante Ana nggak jadi tahu bahwa aku, yang pacar anaknya ini, bener-bener
baru bangun jam dua belas siang dan belum mandi.
*** Mbak Vita datang menjemputku setengah jam setelah aku meng-SMS-nya, padahal jarak
rumahku dan Dylan biasanya harus ditempuh dalam 45 menit. Aku sampai geleng-geleng,
kecepatan menyetir Mbak Vita memang luar biasa, nggak bisa dikalahkan oleh Bang Tora
sekalipun, apalagi Dylan (ya iyalah, Dylan kan nggak bisa nyetir mobil!).
"Hai, Mbak," sapaku begitu memasuki mobil. Mobil Mbak Vita bukan jenis sedan atau city
car manis macam Honda Jazz yang biasa dipakai cewek. Mobilnya Chevrolet CAptiva, yang
gedenya amit-amit dan berkesan sangar. Cocok sama Mbak Vita yang memang cewek jagoan.
"Hai, Lice. Sori, nunggunya kelamaan, ya?"
"Haha, nggak kok. Malah aku bingung kok Mbak sampainya cepet banget."
"Lho, nama belakang gue kan Schummacher."
Aku tertawa, dan Mbak Vita menjalankan mobilnya. Kami langsung disambut lalu lintas
Jakarta yang macet setelah keluar dari kompleks perumahanku.
"Persiapan pestanya udah sejauh apa nih, Mbak?" Aku memulai obrolan.
"Yah, udah hampir lima puluh persen. Tanggal pemberkatan di gereja udah cocok, sewa
gedung beres, katering beres... tinggal yang kecil-kecil aja kayak undangan sama suvenir, terus
baju-baju untuk panitia..."
"Capek ya, Mbak, ngurusnya?"
"Haha, iya... Gue dulu nggak nyangka mau nikah aja segini ribetnya. Kalau tau bakal begini,
gue nolak deh waktu dilamar Tora."
"Heh?" Aku bengong. Mbak Vita kok ngomong gitu sih"
"Waaahh, lo percaya, ya" Hahaha... bercanda, kali!" Mbak Vita mengibaskan tangan kirinya
di depan wajah bengongku. Fiuhh, ternyata dia cuma bercanda, aku kira dia serius mau menolak
lamaran Bang Tora seandainya dia bisa kembali ke masa lalu. "Gue malah udah nggak sabar
nunggu Hari H-nya, hehe..."
Aku terkekeh. "Eh, tapi nanti kalau lo merit, jangan tunjuk gue jadi panitianya, ya?" kata Mbak Vita lagi.
Aku nyaris menggigit lidahku sendiri. "Mer... merit?"
"Iya, kan suatu saat nanti lo bakal merit. Katakanlah, enam atau tujuh tahun lagi. Nah, kalau
lo meritnya sama Dylan, gue jangan dilibatin jadi panitia, ya" Pusing gue... cukup sekali seumur
hidup deh ngurus tetek bengek pernikahan. Nanti kalau anak gue udah dewasa dan mau merit,
gue bakal suruh dia pakai wedding organizer aja," cerocos Mbak Vita.
Aku sudah amat sangat bengong.
"Yaelah, bengong lagi dia!" Mbak Vita mengerlingku, dan dia terbahak. "Udah, jangan
dipikirin omongan gue tadi itu, ntar lo stres, lagi. Cuma pemberitahuan awal kok, biar nanti lo
nggak kaget kalau gue nolak jadi panitia, hehe... Lagian masih lama juga."
"Oh... ehh... iya," jawabku kagok karena bingung entah harus menjawab apa.
"Oh iya, soal masalah yang kemarin," kata Mbak Vita sambil menyalip mobil di depan kami,
"gue nggak nyangka owner Pro Music bisa punya... ide kotor kayak gitu."
"Iya... aku juga nggak nyangka."
"Dylan dimanfaatkan habis-habisan sama dia, dibikin jelek reputasinya... cuma demi band
baru yang belum tentu layak ngedapetin itu semua."
"Iya, kasihan, Dylan... dia tertekan setengah mati..."
"Ya iya, kan dia terpaksa ngelakuin itu semua. Dan lo tau nggak apa yang ada di pikiran
gue?" "Apa?" "Dylan kan awalnya menolak mentah-mentah ide itu, dan Pak Leo tau rencananya nggak
akan berjalan kalau Dylan menolak terlibat. Dia juga tau Dylan bakal datang di MTV Awards,
makanya dia mengirim Yopie ke red carpet, supaya mulut embernya itu bisa memancing emosi
Dylan, dan... syalalala... simsalabim! Mission accomplished!"
Bengongku lebih lebar daripada yang sudah-sudah.
"Jadi, munculnya Yopie di red carpet itu... diatur Pak Leo juga?"
"Yep. Gue yakin seratus persen. Lo nggak nyadar, nggak sembarang orang bisa lewat red
carpet, apalagi acara sekelas MTV Awards. Yopie kan... bukan siapa-siapa, mana mungkin dia bisa
ada di situ kalau nggak ada backing-nya?"
Aku berusaha mencerna semua kalimat Mbak Vita dengan otakku yang pas-pasan. Kenapa
aku nggak pernah nyadar sebelumnya, kalau aneh sekali Yopie yang "bukan siapa-siapa" tiba-tiba
bisa berada di red carpet"
Ah... benar apa kata Bang Tora dan Dylan, Mbak Vita memang punya daya pikir dan analisis
yang nggak bisa ditandingi kami semua. Dulu saja, dia yang berhasil menemukan cara bagaimana
menyuruh penerorku mengaku. Yah... ceritanya panjang.
"Mbak, IQ Mbak berapa sih?" tanyaku akhirnya, memaksa Mbak Vita mengalihkan
perhatiannya dari lalu lintas di depan kami sesaat.
"Kok lo mendadak nanya gitu?"
"Habisnya... Mbak Vita cerdas banget sih, bisa kepikiran sampai situ. Aku mana bisa gitu..."
"Alice, Alice... kalau gue ada di posisi lo, yang berarti cowok gue yang lagi kena masalah
berat, otak gue juga nggak akan bisa mikir sampai ke situ. Otak gue hanya akan berisi perasaan
khawatir sama reputasi Dylan, marah sama Pak Leo, kepingin nabok Yopie..." Mbak Vita
nyengir, aku juga. "Tapi berhubung gue nggak terlibat langsung, otak gue masih punya cukup
tenaga untuk bikin analisis kenapa semua itu bisa terjadi."
Aku manggut-manggut. "Terus ini nih... gue boleh nggak kasih saran?"
"Boleeehhh banget, Mbak, hehe... Apa?"
"Yang kemarin itu kan... yah, salah satu masalah terberat yang pernah dihadapi Dylan sejak
dia gabung di Skillful. Nah, gue yakin nanti-nanti pasti masih ada masalah lebih berat menerpa
dia. Kita yang orang biasa aja sering kena masalah, apalagi Dylan yang seleb, ya kan" Saran gue...
kalau ada masalah kayak gini lagi, lo support Dylan, ya" Soalnya dia itu gampang banget down kalau
kena masalah. Dan dia sering nggak cerita tentang masalahnya karena takut bikin orang lain
khawatir, padahal kan kita bisa membantu sebisa kita kalau tau masalah dia apa."
Aku mengiyakan dalam hati. Masalah skenario sinting itu saja Dylan nggak cerita ke aku
sebelumnya. Dan dia bilang itu karena dia nggak kepingin bikin aku khawatir...
"Ya, Lice" Kita sama-sama support dia, ya?"
Aku mengangguk setuju. "Ya, Mbak. Aku janji."
KAPAN NYUSUL" "PERUT kau ini... sudah seperti perut Bapak kau saja, hahaha...," oceh Tante Luci sambil
melilitkan meteran jahit di pinggang gue, sementara gue memelototinya dengan bete. Masa
dia bilang perut gue udah mirip perut Bokap"!
Emmhh... kalau dilihat-lihat sih memang mirip dikiiitt... Kayaknya gara-gara gue makantidur makan-tidur melulu akhir-akhir ini.
"Jas kau bisa nggak cukup nanti. Jangan tambah gendut lagi ya." Tante Luci melepaskan
lilitan meterannya, dan mencatat ukuran pinggang gue di notes kecil yang dia bawa. Yeah,
dia memang penjahit yang ketiban tugas menjahitkan baju kami semua untuk pesta
pernikahan Tora dan Mbak Vita, dan, sayangnya, dia masih kerabat jauh keluarga ini juga
(yang berarti dia bakal punya sedikit kebebasan untuk mengomentari ukuran badan kami
semua). Kayak badan Tante Luci proporsional aja.
"Soreee... wah, udah pada rame nih!" Mbak Vita masuk dari pintu depan, sambil
memutar-mutar kunci mobil di tangannya. Di belakangnya, mengekor... Alice.
"Hai," sapanya pelan begitu melihat gue, dan gue nyengir lebar. Dia hampir mencapai
tempat gue berdiri, waktu Mama melihatnya.
"Hai, Alice, udah sampai?" Mama mencipika-cipiki Alice dengan penuh semangat.
Entah kenapa Mama sepertinya euforia berlebihan kalau ketemu Alice. "Mau minum dulu"
Atau makan kue" Tante baru habis bikin tar kelapa tuh."
"Ehh... makasih, tapi nanti aja, Tante."
"Oke, tapi janji ya, nanti makan?"
"Iya, Tante. Pasti."
Akhirnya dia berhasil juga mencapai tempat gue berdiri, setelah Mama pergi melihat
proses pengukuran badan Tata dan Ina, dua sepupu gue yang bakal jadi penerima tamu juga.
"Hai," katanya lagi.
"Hai," balas gue. "Sori ya, tadinya aku yang mau jemput, tapi kata Mama biar Mbak Vita
aja, soalnya aku harus ngukur badan juga. Kalau Mbak Vita kan nggak ikutan ngukur."
"Iya, iya, nggak papa kok." Dia menepu-nepukkan tangannya di lengan gue. "Kamu
udah selesai ngukurnya?"
Gue memberi isyarat dengan alis pada Tante Luci yang masih mencatat-catat di dekat
gue. "Nih, masih ribet. Kacau deh, padahal dua jam lagi aku harus ngumpul di kantor
manajemen. Nanti malam kan ada show di kafe... aduh, apa sih namanya" Lupa..."
"HIPS," jawab Alice.
"Oh iya, itu dia... HIPS." Gue cengengesan, dan merasakan Tante Luci menempelkan
meteran jahitan di bahu gue. "Kamu kok lebih hafal jadwal sih daripada aku?"
"Ya gimana nggak hafal, orang tiap hari Ardelia, Cynthia, Xiu Mei, sama yang lainlainnya pada SMS-in aku terus, nanya aku ikutan nonton atau nggak," Alice menyebutkan
anak-anak milis Skillful, yang sudah setahun ini akrab dengannya.
"Hmm... kamu nggak merasa terganggu kan sama mereka?"
"Aku" Terganggu" Ya nggak lah... aku malah seneng bisa akrab sama mereka. Lagian,
mereka sopan-sopan kok."
"Oh, bagus deh kalo gitu. Terus, kamu nonton nggak ntar malam?"
"Nggak bisa... kan aku udah bilang ke kamu kalau minggu depan aku midtest. Mama
nggak bakal ngizinin aku pergi. Lagian, aku juga kepingin perbaiki nilaiku..."
"Hehe... maaf ya, Say, gara-gara sering nonton Skillful, nilaimu jadi turun." Gue


Dear Dylan Karya Stephanie Zen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengacak rambut Alice dengan sayang.
"Ah nggak turun kok... cuma aku kepingin ningkatin aja." Alice tersenyum.
"wah wah, siapa ini?" Tante Luci akhirnya menengadah dari meteran dan notesnya, dan
melihat Alice dengan mata berbinar. Seolah dia kucing garong dan Alice adalah ikan asin
yang dijemur di atas atap di tengah terik siang. Gawat!
"Saya Alice, Tante," Alice tersenyum dan mengulurkan tangannya, yang langsung
disambut Tante Luci dengan bersemangat.
"Alice pacar saya, Tante," jelas gue, dan mata Tante Luci langsung melebar dua kali
lipat. "Ah iya! Tante pernah lihat kamu di TV sama Dylan beberapa kali!"
Alice mengangguk dan tersenyum, tapi nggak bilang apa-apa. Gue agak risih dengan
kalimat Tante Luci barusan. Jangan-jangan yang dia maksud melihat-Alice-dan-gue-di-TVbeberapa-kali adalah rekaman kami di MTV Awards yang muncul di infotainment kemarin"
Hmm... sebenarnya gue tahu Papa dan Mama sudah memberikan warning pada semua
saudara gue untuk nggak membahas masalah kemarin di depan gue, sekadar untuk memberi
gue perasaan nyaman setelah tertimpa masalah, tapi mungkin Tante Luci melewatkan
warning itu. Lagi pula, dia kan keluarga jauh, jadi mungkin Papa dan Mama nggak
memberikan warning padanya juga.
"Jadi, halletmu bule do kan, Lan?"3
"Iya." Aih, sekarang Tante Luci mulai pakai bahasa Batak, lagi! Padahal kan nggak
sopan bicara di depan orang dengan bahasa yang nggak mereka mengerti!
Cerita dikit nih, dulu pernah ada mahasiswa program pertukaran pelajar dari Jerman di
kampus gue, dan Udik, temen kuliah gue yang pikirannya cuma ceweeekkk... mulu itu,
ngobrol sama gue di depan mahasiswa pertukaran itu pakai bahasa Indonesia. Tanpa tedeng
aling-aling, si mahasiswa Jerman langsung menyindirnya. Tampang Udik awktu itu langsung
berubah seperti orang yang baru menelan kodok hidup-hidup.
Sayangnya, gue nggak mungkin menyindir Tante Luci seperti si mahasiswa pertukaran
itu menyindir Udik dulu. Bisa dibilang nggak sopan gue, sama orang yang lebih tua kok
nyindir. 3 Pacarmu bule, ya, Lan"
"Jadi, nunga leleng hamu marhallet?" 4 Nah, Tane Luci masih mengoceh pakai bahasa
Batak, taip kali ini sambil memperhatikan Alice dari atas ke bawah. Hhh... tolong deh, Mama
aja nggak kayak gitu! "Setahun lebih," gue menjawab dengan bahasa Indonesia, sebisa mungkin mengarahkan
Tante Luci untuk pakai bahasa yang sama. Kasihan Alice, wajahnya bingung mendengar
obrolan gue dan Tante Luci. Dia pasti nggak mengerti sepatah katapun.
"Jadi boa do" Ndang adong rencanam" Andigan be...?" 5 Tante Luci mengedipkan
sebelah matanya, bikin gue langsung mendengus kesal.
Kenapa sih orang nggak pernah berhenti nanya "kapan nyusul?"?" Mereka kira Alice
umur berapa"! Dan memangnya segampang itu "menyusul?" Belum lagi nanti kalau udah
"nyusul", ditanya kapan punya anak lah, kalau anaknya udah gede ditanya kapan dikasih adik
lah, huh... orang-orang zaman sekarang memang pada bawel semua! Kepingin tau aja urusan
orang! "Masih lama, Tante," jawab gue akhirnya, setengah mati menahan diri untuk nggak
menjawab "Mei" seperti Ringgo Agus di iklan rokok itu.
"Ooh... molo adong rencanam, paboa tu Tante da" Atik boha ho porlu bantuan laho
mambahen baju tu angka panitia." 6
Gue nyengir nggak penting. Yeah, you wish, Tante.
Untunglah, Tante Luci akhirnya pergi mengawasi asistennya yang tengah mengukur
badan Ina dan Tata di ruangan sebelah. Gue jadi nggak perlu menjawab pertanyaanpertanyaannya lagi.
"Eh, tadi itu tantemu?" tanya Alice.
"Hmm... saudara jauh sih, tapi kebetulan Mama minta Tante Luci yang handle baju
panitia ini, karena dia pintar jahit."
"Oohh... terus dia tadi nanya apa aja" Aku nggak ngerti sama sekali..."
Waduh! Jawab apa nih"! "Mmm... yang mana?" Gue berusaha mengulur waktu untuk
memutar otak. "Ituuu... yang kamu jawab "masih lama" itu."
wah, pertanyaan yang itu pula! Gue ngak mungkin membahas pertanyaan kayak gitu ke
Alice! Bisa canggung nanti! "Ehh... dia nanya kapan aku wisuda...," jawab gue akhirnya,
berhasil menemukan jawaban yang tepat. "Ya aku bilang masih lama, orang sekarang aja aku
masih cuti kuliah, kan" Skillful belum bisa ditinggal."
"Oh... nanyain itu. Kirain..." Alice memutar bola matanya.
"Kirain... apa?"
"Kirain tantemu nanya kapan kita nyusul Bang Tora sama Mbak Vita," jawab Alice
sambil terkikik. Hah"! *** 4 Sudah lama pacarannya"
Jadi bagaimana" Sudah ada rencana" Kapan nih..."
6 Ohh... gitu. Nanti kalau sudah ada rencana, kasih tahu Tante, ya" Siapa tau kamu butuh bantuan membuat
baju untuk panitia juga. 5 HIPS benar-benar dijejali manusia. Dari depan panggung sampai di dekat pintu keluar sana,
gue sama sekali nggak bisa melihat tempat yang lowong. Para waiter saja terpaksa harus
desak-desakan untuk mengantarkan pesanan ke meja-meja.
Ah, show pertama setelah masalah dengan Yopie si artis karbitan itu kemarin. Gue jadi
kepingin tahu gimana tanggapan orang-orang. Apa mereka masih interest sama Skillful
setelah reputasi gue jeblok"
"Selamat malam, semuanya!"
Gue setengah berlari ke atas panggung, dan semua penonton langsung bertepuk tangan
dengan riuh. Nah, ternyata pemberitaan buruk tentang gue sepanjang minggu kemarin nggak
mempengaruhi audiens di sini. Atau mereka nggak nonton infotainment" Haha... nggak tau
deh. Yang penting sekarang gue bisa memberikan performa yang bagus, itung-itung kredit
poin untuk menaikkan image gue lagi.
Rey mulai unjuk gigi dengan gitarnya, dan gue mengambil mike gue dari stand mike.
Opening-nya lagu favorit gue nih, Masa Itu.
*** "Hai, Dylan!" Gue menurunkan handuk yang gue pakai untuk mengelap keringat dari wajah, dan
melihat beberapa anak milis sudah di depan gue dengan wajah sumringah.
"Hai, Cynthia... Ardelia... Xiu Mei... Elsa... Winda," kata gue sambil menyalami mereka
satu per satu. Mereka termasuk deretan fans Skillful yang paling setia, nyaris selalu datang di
show-show kami di Jakarta. Kadang mereka juga berhasil ngobrol sama gue setelah show,
saat gue masih menunggu mobil manajemen disiapkan atau gue masih istirahat sebentar di
backstage. Tapi gue nggak keberatan, karena mereka nggak pernah minta yang aneh-aneh.
Mereka pada baik semua, malah.
"Alice nggak ikut, ya?" tanya Cynthia.
Gue mengangguk. "Alice minggu depan midtest, harus belajar."
"Iya sih, dia cerita ke gue kemarin... Oh iya, boleh foto bareng, kan?"
Sekali lagi gue mengangguk, dan satu per satu mereka berdiri di sebelah gue untuk
berfoto. "Oh ya, Dylan, sori nih gue mau nanya masalah ini, tapi..." Ardelia kelihatan ragu, tapi
dia sudah setengah bicara, dan gue bisa menebak arah pembicaraannya.
"Nggak papa, lo mau nanya soal... masalah gue yang kemarin, kan" Yang sama Yopie
itu?" Ardelia mengangguk ragu. "Gue kaget banget waktu pertama lihat di TV..."
"Jangankan elo, gue sendiri aja kaget ngeliat diri gue di TV," gue berkelakar. Winda dan
Elsa nyengir, tapi Cynthia, Ardelia, dan Xiu Mei berubah kikuk. "Yah, kalian semua kan tau,
gue cuma manusia biasa yang bisa marah... dan Yopie itu gangguin Alice, masa gue nggak
marah?" "Iya, Lan, menurut gue memang sudah seharusnya lo marah," kata Elsa sambil manggutmanggut. "Gue nggak suka lihat tampang si Yopie itu waktu di TV, gayanya aja so banget!"
Wow, sepertinya Elsa berbakat jadi psikolog, dia bisa tahu sifat Yopie seperti apa tanpa
perlu bertemu langsung, hanya melihatnya di TV.
"Iya, makasih ya, kalian masih percaya sama gue."
Setelah itu mereka nanya-nanya beberapa hal lagi, sebelum akhirnya pamit karena sudah
malam. Bang Budy juga sudah ribut saja menyuruh gue beres-beres karena kami mau makan
bareng dulu sebelum pulang, jadi gue membereskan semua barang gue, dan masuk ke mobil.
*** "Iya nih, jadi Sascha kaget gitu waktu dibilangin mau jadi kakak. Dia nanya, "Nanti adik
Sascha emang datangnya dari mana?" Hahahaha... gue sama Lia sampai nggak bisa jawab!"
Ernest, kibordis Skillful, mematikan rokoknya di asbak sambil tertawa. Dudy, rey,
Dovan, Bang Budy, dan kru-kru Skillful juga tertawa. Cuam gue yang mesam-mesem sambil
mengaduk spageti di piring. Kami memang lagi nongkrong bareng di Uno, kafe Italia yang
buka sampai pagi, setelah capek manggung tadi. Sebenarnya kami jarang "foya-foya" dengan
nongkrong di kafe begini, tapi Bang Budy bilang sekali-sekali nggak papa, dan kali inid ia
yang bayarin. Lagi banyak duit ternyata.
Seperti biasa, kami ngobrol-ngobrol, makan, dan ngerokok (tapi gue nggak ikutan
ngerokok, karena terakhir kali gue merokok itu, suara gue langsung parau! Tobat deh, tobat!).
Terus tiba-tiba aja Ernest cerita tentang istrinya yang sekarang hamil anak kedua mereka.
Hmm... kok akhir-akhir ini semua orang yang gue kenal pada memulai babak baru ya di
hidup mereka" Tora mau nikah sama Mbak Vita... Ernest bentar lagi anaknya dua... Tyo,
salah satu kru Skillful, mau nikah juga... Cuma gue aja yang masih nyantai. Susah memang
kalau jadi personel band yang single sendirian. Di saat Ernest dan yang lainnya membahas
anak-anak mereka yang masuk TK, bisa jalan, dan bisa mengucapkan kata-kata baru seperti
"papa" dan "mama", gue cuma bisa mesam-mesem nggak jelas. Ya iyalah, gue mau ngebahas
apa, coba" "Halo, Dylan." Gue menoleh mendengar ada yang memanggil. Apa Cynthia cs tadi mengikuti gue dari
HIPS ke Uno, ya" Oh, ternyata bukan mereka. Yang memanggil gue barusan adalah Regina.
Yeah, Regina Helmy. Hell, dia tambah cantik aja.
"Lagi nongkrong bareng?" tanya Regina sambil menebarkan senyumnya pada yang lain.
Asep, kru Skillful yang duduk paling dekat posisi Regina, sampai terlongong bengong
melihat cewek itu. Padahal kan ini bukan pertama kalinya Asep ketemu Regina. Dia dulu kan
juga kut bantu-bantu waktu pembuatan video klip Skillful yang modelnya Regina.
"Gitu deh," gue menjawab sekenanya. "Lo sama siapa di sini?"
"Sama temen-temen gue, lagi nongkrong juga." Dia mengedikkan kepalanya ke meja
seberang, dan gue melihat beberapa orang di sana melambai, yang gue balas dengan lambaian
juga. "Anastasia nggak ikut?" Gue menanyakan adik Regina, yang adalah presenter Pacar
Selebriti, acara yang "mendekatkan" gue dan Alice.
"Ah, dia sih nggak asyik diajak nongkrong gini. Kelar syuting bawaannya kepingin
langsung pulang mulu. Heran, apa asiknya di rumah, ya nggak?"
Gue mengangguk meski nggak begitu setuju dengan pendapat Regina, dan tiba-tiba...
Regina menyentuh pipi gue!
"Bekas tamparan gue udah hilang, ya?" bisiknya persis di telinga gue, bikin merinding!
"Ehh... iya... iya, udah hilang." Damn, kok gue jadi salting gini sih"!
"Baguslah... gue nggak mau kalau sampai merusak wajah Dylan "Skillful" yang ganteng
ini," bisiknya lagi, kali ini lebih dekat. Gue sampai bisa merasakan embusan napasnya di
leher gue, dan baru sadar napas Regina berbau alkohol. Pasti dia habis minum tadi, Uno kan
memang menyediakan wine dan minuman beralkohol juga.
"Haha, nggak papa, nggak papa..." Gue pura-pura mengambil gelas gue dan menenggak
isinya, upaya halus untuk menjauh sedikit dari Regina.
"Ya udah, gue balik ke meja gue dulu ya." Wah, dia sekarang malah memegang dagu
gue dan menempatkan wajahnya hanya dua sentimeter dari muka gue!
"Iya, iya...," jawab gue tergagap.
"Have fun, guys!" Dia melepaskan tangannya dari dagu gue, dan melambai pada anakanak, lalu kembali ke mejanya.
"Buset," kata Asep begitu Regina sudah duduk lagi di mejanya. "Lo nggak berasa apaapa, Lan, digituin tadi?"
Gue mendongak, dan melihat semua personel dan kru Skillful, plus Bang Budy, menatap
gue. "Ehh... nggak berasa apa-apa gimana?"
"Ya lo kan cuma dua senti dari mukanya! Dia megang-megang lo, lagi!"
Ha, gue baru ngeh apa maksud Asep! "Ah, gue nggak papa! Pikiran lo itu aja tuh yang
suneh, suka aneh!" Dovan dan Dudy terkekeh. "Haduh, kalau gue yang digituin Regina tadi, astagfirullaahhh... gue sosor aja deehh!"
celetuk Asep lagi. "Tuh kaann... lo aja yang pikirannya aneh-aneh! Gue nih nggak papa! Lagian gue udah
punya cewek, juga!" Gue menepuk dada dengan bangga.
"Ckck," Asep berdecak," gue bingung, Lan, lo ini kelewat setia, apa bego sih" Masa
muda cuma sekali, Lan! Ya nggak?" Asep meminta pendapat teman-temannya sesama kru.
Tyo dan kru-kru lainnya langsung mengiyakan omongan Asep dengan gegap gempita.
Siaul, maksudnya apa sih"!
SEHARI BERSAMA KELUARGA BESAAARRR DYLAN AKU benar-benar capek, rasanya tulangku mau copot semua! Kenapa sih acaara pengukuran
badan untuk membuat baju aja bisa segitu ribetnya" Padhaal aku kan cuma akan jadi penerima
tamu! Yahh... aku tau sih sebenarnya aku jadi encok-pegel-linu begini karena apa... karena
sepanjang acara pengukuran tadi, seluruh anggota keluarga Dylan, yang belum pernah kujumpai
sebelumnya, mendekatiku dan bertanya macam-macam!
Pertama, saudara jauh Dylan yang bernama Tante Luci, yang kebetulan jago menjahit dan
dapat jatah mengurusi baju-baju untuk panitia pernikahan Bang Tora dan Mbak Vita. Waktu aku
sampai di rumah Dylan tadi siang, dia sedang mengukur badan Dylan, dan karena aku
mendatangi Dylan untuk mengobrol, dia tentu saja melihatku.
Dan entah apa yang dibicarakannya sama Dylan, aku sama sekali nggak ngerti (mereka pakai
bahasa Batak, bayangkan!). Kayaknya sih Tante Luci mengajukan pertanyaan-pertanyaan, yang
dijawab Dylan dengan "iya", "setahun lebih", dan "masih lama, Tante."
Hmm... mari kita pikir bersama-sama, apa pertanyaan yang kira-kira akan dijawab Dylan
dengan "iya", yang begitu rahasianya dariku, sampai-sampai Tante Luci menggunakan bahasa
Batak" Mungkin... "Pacar kamu masih muda banget, ya, Lan" Kamu nggak serius kan, pacaran sama
dia?", dan Dylan menjawab "iya?"
Waduh, jangan deh, jangaann... Aku nggak bisa membayangkan kalau selama ini Dylan cuma
berniat mainin aku. Atau... "Pacarmu obesitas, ya, Lan?", dan Dylan menjawab "iya?"
Arrggghh! Apa aku sudah segitu gendutnya"!
Sudahlah, kemungkinannya terlalu banyak. Kita pikirkan kemungkinan pertanyaan kedua
saja, yang dijawab Dylan dengan "setahun lebih".
Ah, itu sih gampang! Pasti Tante Luci menanyakan sudah berapa lama kami pacaran, dan
Dylan menjawab "setahun lebih". Ya, pasti itu.
Terus jawaban terakhir, "masih lama, Tante". Dylan bilang Tante Luci menanyakan kapan
dia akan wisuda, jadi dia menjawab begitu, tapi entah kenapa tadi aku mendadak berubah genit
dan malah bilang ke Dylan kalau aku mengira Tante Luci bertanya kapan kami akan menyusul
Bang Tora dan Mbak Vita. Haduuhh... entah apa yang ada di pikiran Dylan waktu aku bilang begitu! Dia tadi langsung
bengong! Jangan-jangan dia mengira aku ngebet kepingin nikah, dan dalam hati dia ngeri!
Hiiiyyy...! Semoga dia nggak berpikir yang aneh-aneh deh! Amin!
Lalu setelah Tante Luci, yang mengajakku ngobrol adalah istri oom Dylan (adik mamanya),
yang dipanggilnya dengan Nantulang Saidah.
Minta ampuuunn deh, yang namanya Nantulang Saidah ini ceriwis banget! Sepanjang kami
ngobrol, dia sudah mengocehkan suaminya, anak-anaknya, keponakan-keponakannya, sampai
cucu tetangga temannya! Tapi aku senang ngobrol sama Nantulang Saidah. Seenggaknya Beliau
nggak bicara dalam bahasa Batak yagn sama sekali nggak kumengerti itu, hehe.
Setelah Nantulang Saidah (yang obrolannya terputus denganku karena dia "diseret" Tante
Ana ke dapur agar mau bantu-bantu memasak), yang mengajakku ngobrol adalah Tata dan Ina,
sepupu Dylan. Mereka anak amangtua (oom Dylan yang adalah abang papanya) Dylan, baru kelas
tiga SMP, dan ternyata... anak kembar!
Waow, berarti aku berpeluang untuk punya anak kembar nanti, karena di keluarga Dylan ada
garis keturunan kembar! Hihihi...
HUSH! Apa sih malah bahas anak segala"!
Nah, kembali ke Tata dan Ina, awalnya aku sama sekali nggak nyangka mereka kembar.
Penampilannya itu lhoo... beda banget! Tata kelihatan jelas tomboi meski rambutnya panjang.
Dan dia bilang dia fans mati My Chemical Romance, makanya dandanannya gothic dari atas ke
bawah. Ina, yang berulang kali memanang Tata dengan pandangan mencemooh karena saudara
kembarnya itu mengusulkan supaya mereka pakai kebaya berwarna HITAM untuk pesta
pernikahan, adalah kebalikan Tata. Rambutnya sebahu, tapi kelihatan jelas dirawat, nggak seperti
Tata yang hanya mengucir kuda rambutnya dengan asal-asalan. Pakaian Ina juga girly banget,
kardigan warna shocking pink dan tank-top lime green, plus celana pendek balon. Tapi mereka berdua
sependapat waktu bilang mereka senaaangg banget begitu tau pacar Dylan umurnya nggak beda
jauh dengan mereka. Katanya, mereka jadi punya teman ngobrol di acara membosankan yang
isinya hanya para tante dan oom yang seumuran ortu mereka itu.
Sayang, mereka nggak bisa lama mengobrol denganku karena pengukuran badan keluarga
mereka sudah selesai, dan mereka buru-buru pulang karena papa mereka ada janji dengan
temannya. Tapi aku senang karena tahu Tata dan Ina-lah yang akan jadi penerima tamu bareng
aku nanti. Seenggaknya nanti aku nggak akan bete sendiri menunggui tamu-tamu mengisi buku,
hehe...

Dear Dylan Karya Stephanie Zen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Selanjutnya, masih ada Nantulang Uci, Nantulang Maria, Tulang Jonathan, Inanguda Meisya,
Amangtua Jody, dan lain-lainnya yang mengajakku ngobrol. Entah kenapa mata mereka langsung
berbinar terang begitu Dylan mengenalkan aku sebagai pacarnya. Only God knows what was on their
mind! Semoga saja bukan pikiran yang aneh-aneh.
Fiuuhh... aku baru sadar hari ini, kalau keluarga Dylan itu besaaaarr sekali! Dan panggilan
untuk oom dan tatne dalam keluarga Batak itu ternyata banyak banget! Ada amangtua-inangtua,
amanguda-inanguda, tulang-nantulang... pokoknya banyak! Semua itu digolongkan menurut
urutan lahir, apakah si oom adalah kakak atau adik papa, kakak atau adik mama, sepupu, atau ipar
mereka. Ya ampun, benar-benar ribet! Dylan bahkan bilang dia saja sering keliru memanggil oom
dan tantenya itu! Hmm... entah aku harus bersyukur atau bagaimana karena dalam keluargaku nggak rumit
begitu. Daddy cuma punya satu kakak perempuan, Auntie May, yang tinggal di Melbourne
bersama Uncle Dave dan anak tunggal mereka, Josh. Mama cuma punya satu kakak laki-laki,
Oom Ronald, yang masih jomblo, dan kerja di KBRI di Jenewa. Panggilanku untuk mereka tentu
saja hanya Auntie, Uncle, dan Oom. Gampang banget, kan" Benar-benar berbanding terbalik
dengan keluarga besar Dylan.
Sudah ah, memikirkan semua ini membuatku pusing. Aku kan nanti hanya perlu "membeo"
Dylan saja, dia memanggil apa pada oom dan tantenya yang banyak itu. Sekarang yang perlu
kupikirkan hanya... Ujian fisika dan kimia hari Senin nanti! Huhh... gara-gara tadi diajak ngobrol begitu banyak
orang dan sekarang kecapekan, aku nggak mungkin mencicil belajar hari ini. Itu berarti besok
seharian aku harus menempel di meja belajar untuk menjejalkan rumus-rumus ke otakku!
Oohh... kenapa sih sekolah nggak ada cutinya seperti kuliah?""
ANOTHER JERK GUE memasukkan tas gue ke detektor barang, dan melewati pintu pemeriksaan yang ada di
gate Bandara SoekarnoHatta. Petugas yang mengawasi alat detektor itu menatap gue selama
beberapa detik"jenis tatapan orang yang selalu gue jumpai sejak gue jadi vokalis Skillful"
dan gue tersenyum padanya, yang akhirnya dia balas dengan senyum kikuk, mungkin karena
kaget. Gue mengambil travel bag gue, dan mengikuti Dudy duduk di sudut ruang tunggu.
Pesawat baru akan boarding lima belas menit lagi, yang berarti gue, Bang Budy, anak-anak
Skillful dan semua kru harus ngetem dulu di ruang tunggu ini. Berhubung nggak kepingin
basi duduk bengong, gue mengeluarkan HP gue dari kantong, dan mulai mengirim SMS.
Untuk Alice, tentu saja. To: Sayang 10 things I hate about you:
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. Nothing" B"coz I like everything "bout u!
Gonna miss u much much muuuuccchhh! Love you, Say!
Gue menekan tombol send, dan SMS itu terkirim pada Alice dalam hitungan detik.
Hhh... sejak jadian sama Alice, gue selalu nggak bersemangat untuk show di luar kota.
Gimana ya... biasanya ketemu Alice tiap hari, tiba-tiba nggak bisa ketemu selama tiga hari,
bener-bener bikin gue mati gaya total. Thank God, ada orang yang cukup cerdas untuk
menemukan HP dan 3G, jadi ke mana pun gue pergi, gue masih bisa menghubungi Alice, dan
melihat wajahnya. Gue mendongak karena merasakan ada yang menyiku rusuk gue. Ternyata Dudy, dan dia
sedang memberi isyarat dengan matanya pada gerombolan orang yang baru memasuki ruang
tunggu. Wajah yang familier... dan gue dengan cepat bisa mengenali siapa orang-orang itu. Grup
band eXisT dengan para kru dan manajer mereka. Orang yang berjalan paling belakang, yang
gue kenali sebagai Hugo, vokalis eXisT, menatap sekelilingnya dengan pandangan sok.
Yeah, Skillful memang bakal manggung bareng eXisT, dan band Revans, di Surabaya
besok malam. Kami semua dijadwalkan menjadi pengisi acara Say Hello Loudly!, konser
musik yang disponsori Hello!, salah satu provider seluler baru di Indonesia. Dan tentu saja,
kami semua akan satu flight dari Jakarta ke Surabaya.
Gue melihat Rey melambaikan tangannya pada Reza, drummer eXisT, yang baru saja
melewati alat detektor. Rey dan Reza memang teman lama. Kalau nggak salah malah dulu
mereka pernah gabung di satu band, sebelum Rey cabut dan bergabung dengan Skillful.
Berbalik 180 derajat dari Rey yang senang melihat Reza, Dudy meletoti Hugo dengan
wajah galak. "Lo kenapa?" tanya gue melihat mata Dudy yang nyaris copot saking seriusnya melotot
pada Hugo. "Gue alergi dekat tu orang!" Dia bergidik, dan membuang muka ke arah landasan
pesawat. Gue tertawa kecil. Bukan rahasia kalau Dudy benci banget sama Hugo. Dulu kan mereka
pernah berantem gara-gara Hugo mengatai Skillful band "cengeng". Dudy, yang memang
gampang emosi (gue heran kenapa nggak dia aja yang diminta menonjok Yopie si artis
karbitan itu), nyaris membuat Hugo babak belur waktu itu, kalau saja nggak dilerai Tyo,
Asep, dan kru-kru eXisT. Sejak itu, Dudy setengah-alergi-setengah-jijik kalau melihat Hugo.
"Gue heran, orang kayak dia kok bisa keluar dari penjara," desis Dudy.
"Siapa" Hugo" Keluar dari penjara?" tanya gue bingung.
"Iya, dia memang pernah masuk penjara," kata Rey yang tiba-tiba sudah duduk di
sebelah kiri gue, mungkin sudah selesai menyapa Reza, "kasus kepemilikan sabu-sabu. Lo
nggak tau, Lan?" Gue menggeleng. Memang gue nggak begitu suka sama sifat Hugo, tapi gue nggak
nyangka dia ternyata pernah jadi narapidana juga.
"Buset, ke mana aja lo?" tanya Dudy, dan gue cuma bisa nyengir mendengarnya. Gue
kan bukan maniak infotainment, Pak!
"Emang kapan dia masuk penjara?"
"Hampir dua tahun yang lalu. Ketangkap basah lagi fly di Surabaya. Tapi dia pakai
pengacara top, jadi dipenjaranya nggak sampai setengah tahun. Padahal semua saksi, barang
bukti, dan tes urin membuktikan dia positif pemakai," jelas Rey sambil geleng-geleng, dan
gue jadi miris mendengarnya. Nanti, kalaug ue udah nggak gabung di Skillful dan akhirnya
membereskan semua kuliah gue, lalu jadi pengacara, gue nggak akan mau jadi pengacara
macam pengacaranya si Hugo.
"Huh, harusnya Hugo tuh busuk di tahanan!" Dudy memaki dengan sepenuh hati.
"Tapi... kok eXisT mau gitu aja nerima dia jadi personel lagi?" gue mengacuhkan
omelan Dudy yang kelewat sentimentil dan bertanya ke Rey.
"Iya. Gue juga herannya di situ," gumam Rey. "Tapi mungkin mereka mau nerima
karena Hugo janji nggak bakal nyabu lagi, kali. Lagian, Hugo kan yang paling banyak
penggemarnya di eXisT. Nggak gampang cari vokalis baru yang bisa menarik fans sebanyak
dia." Gue manggut-manggut, merasa maklum. Narkoba dan dunia anak band memang sering
dikait-kaitkan, entah siapa yang memulai paham konyol itu. Memang sih, ada beberapa band
yang gue tahu personelnya junkies, tapi gue berani menjamin kalau Skillful, termasuk gue,
nggak pernah menyentuh barang-barang busuk itu.
To be honest, gue pernah beberapa kali ditawari heroin oleh anak-anak junkies itu, tapi
gue selalu menolak mentah-mentah. Nggak ada gunanya mencoba, gue sudah melihat nasib
teman-teman musisi gue yang junkies. Mereka kehilangan segalanya cuma karena narkoba,
dan gue kan nggak sebego itu mau mempertaruhkan hidup gue untuk hal yang sama sekali
nggak berharga. Yeah, Hugo termasuk sedikit yang "beruntung" bisa mendapatkan kembali kehidupannya
yang lama, setelah dia terlibat narkoba. Junkies lain susah untuk jadi "seberuntung" dia.
Kalau nggak mati OD, bakal busuk di penjara.
HP gue tiba-tiba bergetar, dan gue melihat ada SMS dari Alice. Rupanya dia membalas
SMS gue yang tadi. From: Sayang 10 things I hate about you:
1. Jayus 2. Kl mandi lamaaa 3. Lbh cinta PUKIS drpd aku
4. Srg diciumin cwe2 5. Mknnya byk! Aku jd srg trgoda utk mkn byk jg :"(
6. Sk ga bs ditelp kl ngaret janjian
7. Ga bs diajak ngmg kl br bgn tdr & blm minum kopi
8. Pcrn sm km bikin aku msk inftnment
9. Trlalu baik sm cwe, aplg REGINA HELMY! Huh!
10. Ga prnh crta2 kl ada mslh, aku sebeeeelll!
But there are MILLION things I LOVE about you.
Gonna miss u bunch bunch buuunnccchh!
Aduh, padahal pesawat belum juga boarding, tapi gue sudah kangen berat sama Alice!
*** "Lo mau ke mana?" tanya Ernest.
"Beli Aqua di bawah."
"Hah, nggak papa lo jalan sendirian?"
Gue nyengir. "Nggak papa lah... emangnya gue anak kecil" Eh, tapi pinjem topi lo
dong... buat jaga-jaga aja nih!"
Ernest melepas topi yang dipakainya, dan melemparkan topi itu ke gue, yang langsung
gue pakai. Dengan puas gue menyadari bahwa bayangan yang gue lihat di cermin sama sekali
nggak menunjukkan cowok bertopi ini adalah Dylan "Skillful".
Gue keluar kamar, dan melalui koridor hotel yang sepi. Gue baru sampai di Surabaya dua
jam yang lalu, tapi sudah menghabiskan stok air mineral di kamar gue dan Ernest. Padahal,
kalau nggak ada suplai air minum yang cukup di kamar hotel, gue bisa uring-uringan.
PMS, kalau Alice bilang. Pengin Marah Selalu. Hehe.
Duh, jadi kangen dia... Nanti habis beli Aqua telepon ah!
Gue berjalan menuju lift hotel, dan memencet tombol bergambar panah ke bawah pada
empat lift yang ada di situ, lalu berdiri menunggu.
Lift di sebelah kiri gue terbuka, dan gue nyaris melangkah masuk ke dalamnya, kalau
saja nggak bengong melihat pemandangan yang ada di lift itu.
Ada Hugo dan seorang cewek seksi... yang bajunya setengah terbuka di dalam lift.
Mereka sedang berciuman dengan heboh, sampai-sampai punggung si cewek menempel ke
dinding lift, dan rambutnya berantakan. Hugo menciuminya habis-habisan, dan cewek itu
membalas dengan sama gilanya. Mereka bahkan nggak nyadar pintu lift sudah terbuka, dan
masih meneruskan aksi ganasnya.
Gila! Tapi Hugo, akhirnya, sadar juga ada gue yang sedang menatapnya dan cewek itu sambil
geleng-geleng. Selama sepersekian detik, gue yakin melihat Hugo salah tingkah. Tapi sepersekian detik
berikutnya, dia sudah memunculkan kembali tatapan sok yang biasanya. Ditambah tatapan
marah, kalau lo mau tanya pendapat gue.
Lift di sebelah kanan gue terbuka, dan tanpa babibu lagi, gue masuk ke sana. Nggak
minat deh gue satu lift sama Hugo dan cewek itu. Makasih banyak.
Pemandangan barusan bener-bener bikin gue nyaris muntah.
*** "Nggak bisa, Mas Hugo, sudah ditetapkan kalau mobil yang itu untuk band Skillful... Band
eXisT pakai mobil yang ini..."
"Gue nggak terima! Apa bagusnya Skillful sampai mereka dapat fasilitas lebih dari
eXisT"!" "Bukan masalah fasilitas lebih, Mas Hugo... tapi pengaturan ini sudah ditetapkan
panitia..." "Panitia goblok!"
Gue, yang hampir masuk ke mobil yang disediakan panitia Say Hello Loudly! untuk
transpor dari hotel ke venue acara, cuma bisa menghela napas melihat kejadian itu.
Hugo, tiga meter di depan gue, sedang memarahi (atau lebih tepatnya memaki-maki)
seorang anggota panitia yang berdiri di depannya. Dan gue tahu karena apa dia uring-uringan
begitu. Karena Skillful dapat Toyota Alphard untuk transport dari hotel ke venue, sementara
eXisT disuruh naik Kijang Innova.
Hugo, tentu saja, menganggap ini penghinaan untuk dirinya yang mahamulia, karena
harus naik mobil yang kalah mewah dari Skillful. Ya ampun, orang itu benar-benar kayak
anak kecil, tukang ngambek kalau merasa yang didapatkannya kalah dari orang lain.
"Gue nggak mau tahu, pokoknya eXisT harus dapat mobil yang itu! Atau yang lebih
bagus!" Si anggota panitia kelihatannya sudah habis kata-kata, tapi kelihatan jelas dari wajahnya
kalau dia kepingiiin banget menggetok kepala Hugo yang sombong itu dengan clipboard
yang dipegangnya. Dudy mendengus melihat apa yang sedang gue perhatikan.
Entah Hugo mendengar itu, atau merasa ada orang yang memerhatikannya, tiba-tiba dia
menoleh pada gue dan Dudy, dan memandangi kami dengan sengit.
Gue cuma mengedikkan bahu, dan masuk ke mobil. Nggak penting deh ngurusin Hugo
sebelum manggung begini. Bisa rusak mood gue. Semoga aja nanti di venue kami nggak
disuruh duduk dalam satu ruang tunggu.
*** Sayang, harapan gue ternyata nggak terkabul.
Di venue, yang adalah Hall AJBS (tempat gue dulu pernah manggung sambil nangis
karen amata gue perih akibat asap rokok di ruangan tertutup, remember"), Skillful satu ruang
tunggu sama eXisT! Dan tentu aja, Hugo berkali-kali curi-curi pandang ke arah gue.
Mengerikan. Kalau bukan karena gue yakin dia melakukan itu (curi-curi pandang, maksudnya) garagara dia tahu gue memergoki dia melakukan adegan hot di lift, gue pasti udah curiga dia
nggak normal. Cowok curi-curi pandang ke sesama cowok, kurang abnormal apa, coba"
Tapi untunglah, ada beberapa fans Skillful yang datang untuk ngobrol sama gue di ruang
tunggu, jadi gue bisa mengalihkan perhatian dari fakta bahwa gue menjadi objek pelototan
Hugo. *** Gue nggak bisa lebih senang lagi daripada ini. Dalam hitungan jam, gue bakal berada di
Jakarta, yang berarti gue bakal ketemu Alice lagi!
Heran, nggak ketemu tiga hari aja bisa segini kangennya, ya" Gimana nanti kalau gue tur
buat album baru lagi"
"Gue nggak ikut flight ke Jakarta! Gue langsung flight ke Bandung!"
Gue mendongak dari koran olahraga Dovan yang sedang gue baca, dan melihat Ernest
mondar-mandir dengan panik di lobi hotel. Mulutnya bolak-balik menggumamkan dia akan
langsung mengambil flight ke Bandung.
Kenapa dia" "Sabar, Nest, sabar... Kita sekarang bisa nunggu mobil dari panitia, nanti di airport
langsung beli tiket go show buat kamu."
"Gue nggak bisa nunggu, Bud!" seru Ernest dengan muka memerah karena emosi. "Gue
harus tahu keadaan Lia secepatnya!"
Lho, lho, ada apa ini" Ernest marah-marah sama Bang Budy" Dan kenapa menyebutnyebut Mbak Lia"
Gue tolah-toleh, mencari orang yang bisa gue tanyai. Kalau kondisi Ernest lagi panik
gitu, nggak mungkin gue nanya langsung ke dia. Ahh, ada Dovan di situ!
"Van, Ernest kenapa?" tanya gue setengah berbisik. Beberapa orang sudah mulai
memandangi kami, entah karena mereka menyadari kami ini Skillful atau karena mendengar
keributan yang ditimbulkan Ernest.
Dovan nggak menjawab, jadi gue memelototinya, dan dengan shock menyadari ekspresi
Dovan juga aneh banget. "Lo kenapa" Ernest kenapa?" desak gue. Ini aneh banget! Biasanya Dovan dan Ernest
paling nggak bisa diam, tapi kenapa sekarang ekspresi mereka sama-sama seperti orang yang
menahan untuk nggak muntah"
"Ernest baru dapat telepon dari mertuanya. Katanya LIa jatuh di kamar mandi, terus
pendarahan..." Gue speechless, bahkan untuk menelan ludah pun nggak sanggup. Mbak Lia... istri
Ernest, jatuh di kamar mandi" Pendarahan"
Padahal, Ernest waktu itu cerita kalau Mbak Lia...
Ya Tuhan, Mbak Lia jatuh di kamar mandi saat sedang hamil"!
Gue dengan cepat menoleh ke arah Ernest lagi, dan ternyata dia terlihat makin panik.
Pasti dia gelisah banget.
"Terus ini... jadinya gimana" ernest langsung ke Bandung" Mbak Lia nggak papa, kan?"
Dovan menggeleng. "Gue nggak tahu, Ernest nggak ngomong banyak tadi... tapi
kayaknya Lia lagi dibawa ke rumah sakit..."
Gue menarik napas dalam-dalam, berusaha untuk punya sedikit ketenangan dan
kejernihan otak untuk berpikir. Gimana gue harus membantu Ernest" Dia pasti kepingin
sampai di Bandung secepatnya. Apalagi gue tahu Ernest sudah lama kepingin ngasih adik
untuk Sascha, anak pertamanya, tapi sekarang Mbak Lia pendarahan...
Tanpa sadar, gue jadi ikut mondar-mandir juga. Seumur hidup, gue nggak pernah berada
dalam situasi seperti ini. Nggak pernah gue ada di situasi saat orang yang gue sayangi ada
dalam bahaya, sementara gue nggak bisa melakukan apa-apa seperti Ernest sekarang.
Oh, pernah. Dulu, waktu gue tahu Alice diteror, tapi gue nggak bisa menemukan
penerornya. Itu sebelum Grace datang dan memberikan nomor polisi mobil peneror yang
hampir menabrak Alice itu. Waktu itu gue bener-bener merasa bego nggak bisa melakukan
apa-apa untuk melindungi orang yang gue sayangi.
"Yang kemarin masih kurang, ya" Sekarang kepingin masuk infotainment lagi?"


Dear Dylan Karya Stephanie Zen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Suara sok dan belagu itu nggak perlu ditebak lagi milik siapa. Gue, tentu saja, mendapati
tampang Hugo saat gue mendongak.
"Maksud lo apa?"
Kayaknya nih anak mau cari gara-gara nih. Gue tahu dia masih nggak terima karena
semalam Skillful manggung sebagai penutup di Say Hello Loudly!, sementara eXisT
manggung sebelum kami. Itu kan membuktikan Skillful lah yang paling ditunggu audiens.
Save the best for the last. Tapi Hugo malah ribut sama panitia semalam, karena nggak terima
bandnya nggak jadi closing. Mungkin karena itu dia secara nggak langsung dendam sama
gue, dan sekarang kepingin cari gara-gara.
"Lo mau main sandiwara lagi" Bikin heboh biar bisa muncul di infotainment lagi, kan?"
Terbang Harum Pedang Hujan 8 Pendekar Slebor 07 Pusaka Langit Playboy Dari Nanking 12
^