Pencarian

Di Tepi Jeram Kehancuran 4

Di Tepi Jeram Kehancuran Karya Mira W Bagian 4


Pak Ario mengangkat wajahnya dengan kesal. Hatinya panas dibakar cemburu.
Anda bukan sahabat yang baik, Pak Ariffin! Memancing di air keruh!
Anda juga bukan suami yang setia, Pak Ario! Kelak Anda akan menyesal! Pikirkanlah baik-baik selama masih ada waktu! Jangan salah pilih!
* * * Sejak saat itu Rianti tak pernah lagi mau disentuh oleh suaminya meskipun Pak Ario masih menginginkannya.
Maaf, Mas. Rianti memiringkan tubuhnya ke dinding ketika lengan suaminya mulai merangkulnya. Saya tidak dapat.
Keinginan yang dulu selalu menggelora setiap kali jari-jemari suaminya menyentuh kulitnya kini padam tanpa bekas. Rianti malah merasa jijik. De-
t . c ngan tangan itu pulalah Mas Ario menggeluti perempuan itu&
Pak Ario menarik tangannya dengan jengkel. Lebih baik saya tidur di depan, katanya sambil menggeliat bangkit mengambil rokoknya.
Sudah seminggu lebih Pak Ario tidak menjumpai Karin. Gairah kelaki-lakiannya yang menggelora ingin disalurkannya kepada istrinya sendiri. Tetapi Rianti malah menolaknya mentah-mentah. Dan dia merasa tersinggung.
Dalam waktu seminggu ini Pak Ario telah mencoba melupakan Karin. Melupakan Awan. Dia telah kembali ke rumahnya sendiri. Ingin mencoba hidup seperti dulu lagi. Sebelum Karin datang.
Tetapi Rianti telah berubah. Tampaknya dia sudah tidak ingin bersatu kembali. Sudah termakankah bujuk rayu Pak Ariffin" Sudah lama Pak Ario mencurigai majikan istrinya itu. Dia pasti menaruh hati pada Rianti. Dan sekarang dia mempergunakan kesempatan yang baik untuk merebut istrinya!
Sudah lama Pak Ario tahu, Pak Ariffin berpisah dengan istrinya walaupun belum bercerai. Tidak sulit bagi laki-laki itu untuk menceraikan istrinya dan mengambil Rianti&
Lebih baik jangan, Mas. Rianti mencegah suaminya pindah tidur ke kamar tamu. Nanti Ibu tahu.
Persetan! Kasihanilah Ibu, Mas. Beliau tidak tahu apa-
t . c apa. Biarkanlah Ibu menikmati hari tuanya dengan tenang.
Ibu malah senang kalau kita ribut. Mas keliru menilai Ibu.
Kali ini Pak Ario memang keliru menilai ibunya sendiri. Bu Danu mengernyitkan dahi melihat perubahan sikap anak-menantunya. Sudah beberapa hari ini dia mengawasi mereka dengan cermat.
Rianti memang selalu berusaha menutup-nutupi keretakan rumah tangganya. Dia berusaha bersikap wajar di depan mertuanya. Tetapi Ario tidak. Kentara betul kalau dia sedang kesal. Sarapan paginya tidak disentuh sama sekali walaupun istrinya sendiri yang menghidangkannya. Dia hanya minum kopi sambil merokok dan membaca koran.
Ada apa" cetus Ibu tak sabar lagi. Kalian bertengkar semalam"
Ah, cuma sedikit salah paham, Bu, sahut Rianti yang sedang melayani sarapan pagi mertuanya. Biasa kan suami-istri. O ya, hari ini Ibu mesti ke dokter. Kontrol.
Mudah-mudahan tulangku sudah menyambung cukup kuat. Aku sudah bosan pakai tongkat.
Biar nanti saya antar, Bu, cetus Pak Ario. Kebetulan ada alasan baginya untuk menghindari Karin. Kalau dia masuk kantor, Karin selalu meneleponnya. Padahal Pak Ario butuh waktu untuk berpikir.
Hari ini saya sudah mengambil cuti setengah hari, Mas, kata Rianti wajar, seolah-olah tidak ada
t . c persoalan apa-apa. Biar saya yang mengantar Ibu. Barangkali Mas repot.
Sebenarnya Rianti tidak ada maksud menyindir. Tetapi di telinga Pak Ario yang sedang jengkel, kata-kata itu terdengar seperti sindiran. Dia langsung meledak.
Saya tahu kapan saya repot! geramnya sengit. Tidak usah mengajari saya!
Yang terperanjat bukan hanya Rianti. Ibu juga. Dia langsung menoleh sambil mengerutkan dahi. Ditatapnya anaknya dengan tajam.
Ario! tegurnya keheran-heranan. Kamu kenapa"
Mengapa saya tidak boleh mengantar Ibu" Saya kan masih anak Ibu juga!
Lho, istrimu kan cuma memikirkan pekerjaanmu. Biasanya kau selalu repot!
Dia tidak perlu mengatur saya!
Rianti menggigit bibirnya menahan tangis. Ditinggalkannya ruang makan dengan separuh berlari. Bu Danu menghela napas panjang melihat sikap mereka.
Kalian pasti habis bertengkar! Kami hendak bercerai!
Kalau dulu Bu Danu demikian mengharapkan kata-kata itu keluar dari mulut anaknya, kini dia malah menjadi gusar mendengarnya.
Bercerai lagi" Itu juga yang Ibu harapkan, bukan"
t . c Tidak kalau dengan Rianti! Ibu tidak peduli siapa istri saya. Ibu sudah telanjur menyukai Rianti! Dia akan segera menjadi istri majikannya! Tidak mungkin! sembur Ibu marah. Ibu tidak percaya Rianti mau mengkhianati kita!
Bukan dia yang berkhianat. Pak Ario menundukkan kepalanya sambil mengatupkan rahangnya menahan marah. Saya!
Bu Danu mengawasi anaknya dengan sengit. Matanya menyala di balik kacamatanya. Perempuan mana lagi yang menjeratmu"! Karin telah kembali. Kami telah memutuskan untuk hidup bersama seperti dulu. Awan membutuhkan saya.
Karin"! Ibu membanting cangkir kopinya dengan geram. Jadi dia lagi biang keladinya"! Dia ibu anak saya.
Bodoh kau, Ario! geram Ibu gemas. Kaupikir perempuan seperti dia mau kembali kepadamu cuma karena kau ayah anaknya"!
Karin memang tidak sebaik Rianti. Tapi dia ibu anak saya. Dan saya masih mencintainya. Jadi kau mau menceraikan Rianti"! Tentu saja tidak!
Mata Bu Danu lebar membelalak.
Jadi kau ingin punya dua istri" Atau& perempuan itu sudah cukup puas menjadi simpananmu"!
t . c Karin tidak peduli dengan perkawinan. Yang penting, dia ingin hidup bersama saya lagi& Dia memang perempuan tidak bermoral! Cuma alam pikirannya yang berbeda, Bu. Di Barat sana, orang tidak terlalu menghiraukan perkawinan lagi. Jika seorang laki-laki mencintai seorang wanita, mereka tidak perlu mengikat diri dengan sehelai surat kawin. Mereka dapat tinggal bersama, hanya dengan cinta dan pengertian.
Tapi kau orang Indonesia, bukan orang Barat! Aku tidak rela kau tinggal bersama seorang perempuan tanpa menikah.
Bantulah saya, Bu. Jangan membuat saya malah bertambah bingung.
Kau bodoh jika menceraikan Rianti! Saya tidak ingin menceraikannya. Pikirmu Rianti mau hidup dimadu" Karin hanya minta sebagian waktu saya, Bu. Dia tidak serakah. Dia orang yang realistis. Dia tahu saya telah menikah. Tapi dia tidak memaksa saya untuk bercerai. Dia mau menerima saya seperti apa adanya& .
Tapi aku tidak mau menerima dia lagi! Jika kaubawa perempuan itu masuk kemari, aku akan keluar dari rumah ini!
Dia akan tinggal di rumah lain, Bu. Ibu boleh tetap tinggal di sini bersama Rianti.
Kaupikir Rianti mau" Enak saja kau memperlakukan wanita!
t . c Habis saya harus bagaimana, Bu" Rianti harus mengerti kesulitan saya. Saya tidak dapat berpisah lagi dengan Awan. Dia anak saya!
Hhh. Baru sekarang kamu tidak dapat berpisah dengan anakmu! cibir Bu Danu sinis. Entah racun apa yang dimasukkan perempuan itu ke dalam kopimu!
Ibu harus melihat Awan& . Aku tidak ingin melihatnya!
Tapi dia cucu Ibu! Dengan kesal Pak Ario bangkit dan keluar meninggalkan ibunya.
Rianti yang sedang menangis di dalam kamar mendengar langkah-langkah sepatu suaminya di luar. Dia mengira laki-laki itu akan masuk untuk meminta maaf padanya. Selama ini, Mas Ario belum pernah membentaknya. Rianti merasa hatinya sakit. Sakit sekali. Dan lebih pedih lagi ketika ternyata suaminya terus pergi tanpa sempat menjenguknya.
Bu Danu-lah yang masuk beberapa saat kemudian. Perlahan-lahan dia menghampiri tempat tidur. Rianti mendengar bunyi tongkatnya memukul-mukul lantai. Kemudian dirasakannya tangan perempuan itu menyentuh bahunya.
Rianti segera membalik dan merangkul mertuanya. Dipindahkannya tangisnya ke dalam pelukan perempuan itu. Bu Danu membelai-belai punggung Rianti sambil menghela napas panjang berulangulang.
t . c Mengapa tidak kaukatakan pada Ibu sejak dulu" Sebelum racun perempuan itu benar-benar masuk ke dalam darah Ario!
Apa salah saya, Bu" tangis Rianti lirih. Kau terlalu lemah! Jangan mau saja menyerahkan suamimu ke tangan perempuan lain! Rampaslah Ario kembali!
Tapi Mas Ario masih mencintai bekas istrinya, Bu. Perempuan itu cinta pertamanya. Apalagi mereka sudah punya anak.
Aku tidak percaya dengan segala macam cinta pertama! Yang penting bagaimana memikat hati suami!
Mengapa Mas Ario begitu cepat bosan pada saya, Bu" Apakah pelayanan saya kurang baik" Bagaimana Ibu bisa hidup begitu lama dengan Mas Ario tanpa dia pernah merasa bosan"
Anak bodoh! Bu Danu menggeleng-gelengkan kepalanya dengan perasaan iba bercampur haru. Dalam hal memikat laki-laki, kamu masih kalah jauh dengan perempuan itu! Kamu tidak mungkin memenangi pertempuran ini. Kamu masih anakanak. Masih terlalu polos. Tapi Ibu kenal betul sifat Ario. Kalau Ibu tidak dapat mengembalikan Ario kepadamu, Ibu tidak ada muka lagi melihat wajah perempuan itu!
Ibu& Rianti merenggangkan pelukannya dan mengawasi mertuanya dengan bingung. Apa yang akan Ibu lakukan"
t . c Bu Danu menatap mata Rianti yang berlinang air mata dengan sungguh-sungguh.
Akan kita kalahkan perempuan, Rianti, katanya tenang tapi mantap. Enam tahun yang lalu, Ibu sudah pernah mengalahkannya! Waktu itu mereka juga sudah punya anak!
Tapi saya tidak sampai hati memisahkan mereka, Bu& . desah Rianti lirih. Anak itu membutuhkan Mas Ario. Membutuhkan seorang ayah!
Dan kau tidak membutuhkan suamimu, anak bodoh"
Tentu saja saya membutuhkan Mas Ario, Bu. Saya pun tidak dapat berpisah dengan Ibu. Tapi jika kebahagiaan saya harus ditukar dengan penderitaan seorang anak kecil&
Rianti, keluh Bu Danu sambil menghela napas panjang. Kamu sudah kalah sebelum bertanding!
Biarlah saya yang mengalah, Bu. Supaya anak yang tidak berdosa itu memperoleh ayahnya kembali. Saya akan minta cerai. Tapi saya mohon kepada Ibu, tetaplah menjadi ibu saya yang kedua! Izinkanlah saya tetap menjadi anak Ibu!
Dengan pilu Rianti memeluk ibu mertuanya kembali. Bu Danu menggeleng-gelengkan kepalanya sambil menghela napas panjang.
* * * t . c Sengaja Pak Ario membawa Awan ke rumah hari Minggu esoknya. Seharian dia bermain-main dengan anak itu. Sebentar saja Rianti sudah menyukai Awan. Dia bukan cuma cerdas. Sekaligus lucu. Apalagi kalau dia sudah mempraktekkan bahasa Indonesianya yang kacau-balau. Rianti sampai tersenyum di tengah-tengah kepedihannya. Padahal sudah seminggu lebih dia tidak pernah tersenyum lagi.
Awan dapat bergaul dengan siapa saja. Dia berani. Ramah. Dan memiliki daya tarik untuk memikat hati siapa pun yang bergaul dengan dia. Termasuk Rianti.
Awan tidak malu-malu berbicara dalam bahasa Indonesia meskipun banyak salahnya. Dia selalu meniru apa yang didengarnya. Dan dia mengucapkan kata-kata itu dengan lidah Jermannya.
Cuma Bu Danu yang tidak mau keluar dari kamar. Katanya dia tidak ingin melihat anak itu meskipun ketika Awan baru turun dari mobil, dia sudah mengintipnya dari jendela.
Cucunya boleh menarik. Boleh lucu. Boleh pintar. Tapi Bu Danu telah mengeraskan hatinya agar tidak terpikat. Cuma menantunya yang bodoh itu yang sedang sibuk di dapur menyiapkan makanan untuk mereka. Entah terbuat dari apa hati perempuan itu. Mau saja melayani anak perempuan yang akan merampas suaminya.
Rianti memang begitu terkesan melihat hubungan Awan dengan ayahnya. Mereka bermain berdua
t . c seperti dua orang anak kecil yang sudah lama bersahabat akrab. Belum pernah Rianti melihat Mas Ario seriang dan sebebas itu. Seperti anak kecil dia bersorak-sorak mengumbar perasaan girangnya bila memenangkan game.
Keriangannya ditingkahi oleh lagak lagu dan pekikan-pekikan Awan yang meledak-ledak menyalurkan ketegangannya. Bila dia merasa dicurangi ayahnya, dia akan menubruk Mas Ario. Dan mereka akan bergulat sambil berguling-guling di lantai dengan tertawa-tawa.
Tak sadar Rianti tersenyum sambil menggelenggelengkan kepalanya melihat tingkah mreka. Ah, Mas Ario begitu mendambakan seorang anak. Dia dapat bermain begitu riangnya dengan anaknya. Seandainya saja mereka juga dikaruniai seorang anak&
Tak terasa air mata menggenangi mata Rianti. Buru-buru dia pergi ke dapur dengan alasan ingin melihat masakannya, padahal dia hanya ingin menghindari mereka. Mencegah mereka melihat air matanya.
Di dapur sambil membuat bumbu gado-gado, Rianti masih mendengar tawa dan celoteh mereka dari ruang tengah. Dan Rianti merasa hatinya tambah pedih. Dia tidak sampai hati memisahkan mereka.
Mas Ario begitu berbahagia di sisi anaknya. Belum pernah Rianti melihatnya secerah itu. Dan
t . c Awan demikian gembira dapat bermain dengan ayahnya. Mereka berhak memperoleh kebahagiaan itu. Tak seorang pun berhak memisahkan mereka! Tidak juga Rianti!
* * * Ketika akan pulang sore itu, Pak Ario masih menyuruh Awan pamit pada neneknya. Dia menyuruh anaknya mengetuk pintu kamar Bu Danu sambil mengajarkan pada Awan apa yang harus diucapkannya. Dan Awan meniru perintah ayahnya dengan patuh, walaupun dia belum pernah melihat seperti apa wanita yang harus dipanggilnya nenek itu.
Nenek! teriaknya meniru kata-kata ayahnya. Nenek!
Ketika tidak ada jawaban juga dari dalam, Pak Ario menyuruh anaknya berteriak lebih keras lagi. Nek! Awan mau pulang!
Mungkin Nenek tidur. Pak Ario menghela napas kesal.
Sudah empat kali Awan berteriak di depan pintu. Tetapi tak ada jawaban dari dalam. Rianti yang mengawasi mereka dari belakang ikut merasa trenyuh. Mengapa Ibu begitu keras kepala" Awan tidak tahu apa-apa. Dia tidak bersalah.
Bilang sama Tante Rian, Awan mau pulang, kata Pak Ario akhirnya.
Awan menghampiri Rianti dengan patuh.
t . c Tante, Awan mau pulang, katanya dalam bahasa Indonesia yang kaku.
Lain kali main lagi ya, sahut Rianti tulus. Bilang terima kasih pada Tante, Awan. Terima kasih.
Kembali. Rianti tersenyum sambil menjabat tangan anak itu.
Kembali, Awan menirukan ucapan Rianti. Tante enak sekali.
Hush! Pak Ario mau tak mau terpaksa tersenyum geli. Rianti juga. Masa Tante dibilang enak! Cuma makanan yang boleh disebut enak! Tante cantik!
Cantik. Awan menirukannya dengan lucunya. Cantik sekali.
Pintar. Rianti membelai rambut anak itu. Lain kali main di sini lagi ya. Nanti Tante buatkan makanan yang enak.
Pak Ario menatap istrinya antara terkejut dan terharu. Ibu benar. Rianti perempuan paling baik yang pernah ditemuinya. Tak habis-habisnya dia menyalahkan diri sendiri mengapa tak dapat puas dengan seorang wanita saja. Mengapa harus menyakiti istri yang sebaik Rianti" Mengapa dia tidak dapat membahagiakannya"
Tetapi begitu bertemu dengan Karin, Rianti pun lenyap sama sekali dari benaknya. Karin demikian pandai mengenyahkan semua akal sehat dari kepalanya. Melenyapkan dendam yang membakar hati
t . c Pak Ario selama enam tahun setelah istri pertamanya meminta cerai.
Kamu bukan laki-laki. Sisa-sisa umpatan Karin yang bertahun-tahun lamanya membatu di hatinya kini berserakan diterbangkan angin. Pak Ario telah memaafkannya. Walaupun belum melupakannya. Kamu cuma anak laki-laki! Kamu masih perlu ibu untuk menyusuimu!
Ibu memang terlalu dekat dengannya. Tetapi dia harus bagaimana lagi" Dia anak tunggal. Ayah telah meninggal. Haruskah dia meninggalkan ibu seorang diri menganyam kesepian di hari tuanya"
Hampir tiap hari Karin bertengkar dengan Ibu. Ada-ada saja persoalan remeh yang dapat meletupkan pertikaian. Akhirnya Karin menyodorkan ultimatum.
Pilih ibumu atau anak-istrimu! geramnya malam itu, setelah pertengkaran yang kesekian kalinya dengan Ibu.
Setelah Awan lahir, Karin yakin dia sudah memenangkan suaminya. Tetapi dia keliru. Indonesia bukan Jerman. Di sini, ikatan tali kekeluargaan mempunyai simpul yang kuat sekali. Apalagi Ario anak tunggal. Ada hubungan batin yang tak mungkin terputuskan antara mereka.
Lagi pula Ario tidak mudah digertak. Bagi lakilaki Indonesia, bagaimanapun tingginya derajat seorang istri, kedudukannya masih tetap di bawah suami. Dia malah merasa tersinggung diultimatum seperti itu.
t . c Pak Ario tidak dapat digertak. Tidak dapat diancam. Tak pernah terlintas dalam pikirannya, Karin akan serius dengan ancamannya. Perempuan itu toh sudah menjadi istrinya. Dan mereka sudah punya anak!
Tetapi dalam hal ini Pak Ario pun keliru. Setelah melalui perselisihan yang cukup keras, mereka berpisah. Karin menuntut perceraian.
Dan bukan itu saja. Karin seorang wanita yang tahu hak-haknya sebagai seorang istri. Dia bukan hanya menuntut perceraian. Dia juga menuntut separuh harta Pak Ario. Demi anaknya, Pak Ario meluluskan tuntutan Karin. Meskipun Bu Danu menentangnya.
Karin kembali ke Jerman bersama bayinya sebagai seorang janda kaya. Dan selama dua tahun di sana, dia tinggal bersama seorang mahasiswa Indonesia yang pernah menjadi kekasihnya sebelum Pak Ario muncul. Lalu Budiman harus kembali ke Indonesia setelah lulus. Dan Karin terlibat affair dengan seorang laki-laki Jerman yang telah beristri. Memikirkan apa, Sayang"
Karin merangkul Pak Ario dari belakang. Mengambil rokok yang terselip di bibirnya dan menghirupnya dalam-dalam. Diembuskannya asap rokok itu dengan nikmat. Kemudian dikembalikannya ke celah-celah bibir Pak Ario. Digelitikinya bulu di dada laki-laki itu dengan jari-jemarinya. Sementara bibirnya menelusuri telinga dan sisi leher kekasihnya dengan mesra dari belakang.
t . c Pak Ario meletakkan rokoknya yang tinggal separuh itu di tepi asbak. Dan membalas ciumanciuman Karin dengan sama hangatnya.
Karin memang ahli memanfaatkan situasi. Dia pandai memanaskan suasana santai mereka. Dia memiliki berbagai cara mujarab untuk menghidupkan kembali gairah Pak Ario yang mengendur bila dia sudah lelah. Atau bila laki-laki itu sedang kalut memikirkan istrinya.
Bila bibir mereka telah saling bertaut, tubuh mereka pun akan saling menyatu tak kenal waktu. Karin akan menghirup isi gelas sampanyenya jika Pak Ario sudah terkapar kelelahan di sisinya. Mendekatkan bibirnya ke bibir laki-laki itu. Dan mencurahkan sebagian sampanye di mulutnya ke dalam mulut Pak Ario. Mereka akan sama-sama menelan sampanye itu tanpa saling melepaskan bibir mereka.
Lalu Karin akan memagut bibir kekasihnya dengan mesra. Mengulumnya sedemikian rupa dengan bibir dan lidahnya sampai Pak Ario tak mempunyai kesempatan lagi untuk melepaskan lelah.
Mereka akan saling berdekapan seolah-olah kerinduan mereka takkan pernah berakhir. Gairah cinta yang menggebu-gebu meluap tak ada habis-habisnya. Dan Pak Ario pun melupakan istrinya yang sedang menunggu dengan setia di rumah.
Hampir pukul satu malam baru Pak Ario kembali ke rumahnya. Dengan mulut penuh busa
t . c alkohol dan tubuh yang letih lesu. Begitu sampai di kamar, dia langsung menjatuhkan dirinya di tempat tidur. Dan dia sudah terlelap sebelum Rianti sempat membukakan sepatunya.
* * * Bagaimana pendapatmu tentang Awan, Rian" tanya Pak Ario ketika mereka sedang sarapan pagi. Seluruh tubuhnya terasa pegal. Tetapi dipaksakannya juga untuk tetap terlihat segar di depan istrinya.
Anak yang cerdas, sahut Rianti terus terang; tanpa mengangkat kepalanya. Diletakkannya roti yang sudah dipanggang di atas piring suaminya.
Pintar dan berani. Pak Ario tersenyum bangga. Lucu pula.
Ketika Rianti tidak menyahut, Pak Ario menoleh. Rianti sedang meletakkan potongan roti yang kedua di atas piringnya. Pak Ario menangkap tangan istrinya sesaat sebelum Rianti menariknya. Kamu menyukainya"
Ya, sahut Rianti datar. Ditariknya tangannya selembut mungkin.
Kamu juga tidak tega memisahkan kami, bukan"
Tentu saja tidak. Dia anakmu, Mas. Terima kasih, Rian. Pak Ario meletakkan tangannya di atas tangan istrinya. Pengertianmulah yang saya harapkan.
t . c Butter-nya, Mas. Rianti menarik tangannya sekali lagi. Mengambil tempat butter dan mendorongnya ke dekat piring suaminya. Sekadar menutupi kepedihan yang menyengat hatinya.
Karin tidak minta saya nikahi, kata Pak Ario terus terang. Dia tidak minta terlalu banyak. Dia hanya minta kemurahan hatimu untuk tidak memisahkan Awan dari ayahnya.
Rianti menggigit bibirnya menahan tangis. Tibatiba saja matanya terasa panas. Didorongnya tempat marmalade ke dekat piring suaminya. Dan dia tidak mampu lagi mengucapkan sepatah kata pun. Karena begitu dia membuka mulutnya, tangisnya pasti pecah.
Inikah laki-laki yang diharapkannya dapat menjadi suami yang harus dijunjungnya seumur hidup" Dia tidak lebih dari seorang laki-laki egois yang hanya memikirkan dirinya sendiri.
Rian. Kini Pak Ario benar-benar menggenggam tangan istrinya dan tidak mau melepaskannya lagi. Maafkan saya. Saya tahu saya telah menyakiti hatimu& .
Kamu menyakiti hati saya dalam setiap helaan napasmu, pekik Rianti dalam hati. Inikah cinta" Inikah kebahagiaan yang Mas janjikan" Tapi cobalah mengerti keadaan saya, Rian& . Mengapa harus saya yang selalu memahamimu, Mas" Mengapa Mas Ario sendiri tak pernah dapat
t . c memahami perasaan saya" Di mana ada perempuan yang rela berbagi kasih dengan perempuan lain" Awan anak saya. Dia membutuhkan saya& . Mengapa baru sekarang anak itu membutuhkan ayahnya" Mengapa tidak sejak dulu, sebelum Mas menikahi saya"
Saya pun menyayanginya. Dia tanggung jawab saya. Masa depan saya. Saya ingin mendidiknya. Menyekolahkannya. Membahagiakannya. Kamu tidak keberatan bukan, Rian"
Rianti menggelengkan kepalanya sambil menunduk.
Terima kasih, Rian. Pak Ario menghela tubuh Rianti ke dalam pelukannya. Walaupun tidak menolak, Rianti juga tidak membalas. Sudah tak ada lagi gairah di hatinya. Pelukan itu terasa hambar! Ciuman bibirnya pun terasa menyakitkan. Ciuman Yudas. Ciuman seorang pengkhianat.
Kita tidak akan berpisah bukan, Rian" bisik Pak Ario lembut. Didekapnya istrinya dengan hangat. Kamu bisa memahami perasaan saya"
Saya bisa memahami perasaanmu, Mas, sahut Rianti dengan getir. Suaranya basah didera tangis. Saya pun bisa memahami perasaan bekas istri Mas Ario. Kami sama-sama perempuan& .
Rian& Pak Ario memeluk istrinya lebih erat lagi. Kita akan tetap seperti ini. Seperti sekarang. Tidak ada yang dapat memisahkan kita!
t . c Tapi saya tidak dapat, Mas. Tangis Rianti meledak tanpa dapat ditahan-tahan lagi. Ceraikanlah saya.
Rianti! cetus Pak Ario kaget. Kecewa. Direnggangkannya pelukannya. Ditatapnya isrtinya yang sedang menangis sambil menunduk.
Kembalilah pada keluargamu, Mas, tangis Rianti lirih. Awan membutuhkanmu.
Tapi saya tidak dapat menceraikanmu, Rianti! Demi anakmu, Mas. Dia tidak bersalah. Dan dia memerlukan seorang ayah. Awan membutuhkan dirimu lebih daripada saya.
Saya mencintaimu, Rianti! Saya tidak dapat berpisah denganmu!
Saya pun mencintaimu, Mas! Tapi kalau cinta itu menghancurkan kebahagiaan dan masa depan seorang anak kecil, saya tidak dapat! Saya rela mengalah! Rela berkorban!
* * * Ada apa, Rian" tanya Ibu begitu Rianti muncul di rumah orangtuanya.
Awal bulan Rianti selalu pulang untuk menjenguk keluarganya. Sekaligus memberikan uang gajinya kepada Ayah. Sejak dia menikah dengan Pak Ario, kehidupan ekonomi keluarga mereka memang menjadi jauh lebih baik.
Pak Ario memberikan tunjangan yang cukup
t . c kepada keluarga Rianti, walaupun mula-mula dulu ibunya menentang. Gaji Rianti sendiri pun semakin lama semakin bertambah. Tak ada kesulitan keuangan lagi dalam keluarga mereka.
Sejak Ayah bekerja di perusahaan Pak Ario, meskipun hanya sebagai pengawas, sikapnya pun sudah banyak berubah. Apalagi Ibu yang sudah berhenti bekerja atas permintaan Rianti, dapat berada di rumah setiap hari.
Pelangi kebahagiaan yang sudah menaungi keluarga mereka selama beberapa bulan nyaris sirna oleh keputusan Rianti untuk bercerai. Dan Ibu yang arif sudah langsung melihat perubahan wajah putrinya begitu dia muncul di rumah.
Kamu sakit, Rian" desak Ibu cemas. Mukamu pucat sekali.
Ah, cuma masuk angin sedikit, Bu. Haidmu masih teratur"
Tiba-tiba saja Rianti tertegun. Pertanyaan Ibu menyentakkan kesadarannya. Haidnya memang belum muncul juga. Karena keruwetan pikirannya akhir-akhir ini, Rianti tidak pernah menggubrisnya. Kalau orang sedang banyak pikiran, kadang-kadang haid pun dapat terlambat, bukan"
Jangan-jangan kamu hamil, Rian" kata Ibu serius. Periksalah ke dokter.
Rianti tidak menjawab. Dia cuma menghela napas. Terlalu keras untuk luput dari telinga Ibu. Dan Ibu semakin curiga.
t . c Ada apa" desak Ibu hati-hati. Diawasinya wajah putrinya yang murung itu dengan cermat. Bertengkar dengan suamimu"
Rianti menggeleng. Dijatuhkannya dirinya ke kursi. Dicobanya untuk bersikap sewajar mungkin di depan Ibu. Tetapi Ibu terlalu sulit untuk dibohongi, seolah-olah dia memiliki indra keenam. Bagaimana Yos, Bu" Lulus sipenmarunya" Sengaja Rianti mengalihkan perhatian Ibu. Gagal. Sekarang Ibulah yang menghela napas. Berat. Getir. Dia ingin bicara denganmu. Dia ingin mencoba di PTS"
Biayanya berat. Uang pendaftaran tiga puluh ribu. Uang sumbangan dua-tiga juta. Belum lagi uang kuliah, uang praktikum& bisa sampai ratusan ribu setahun.
Dia mau mencoba melamar pekerjaan" Itu pula yang ingin dirundingkannya denganmu.
Diam-diam Rianti mengeluh. Tentu saja dia ingin adiknya melanjutkan pelajarannya. Masuk universitas. Kuliah. Mencapai gelar sarjana. Kalau saja tidak ada persoalan dalam rumah tangganya, tak ada yang perlu dibingungkan.
Mas Ario sudah berjanji untuk membiayai Yos sampai selesai. Tetapi kini" Mereka sudah di ambang perceraian! Masih beranikah Rianti mengharapkan tunjangan dari bekas suaminya" Dan Ibu seperti dapat membaca perasaannya.
t . c Ada apa, Rian" Ibu mertuamu lagi" desak Ibu hati-hati.
Oh, ibu Mas Ario sangat baik pada saya, Bu. Kami tak pernah berselisih.
Pandai-pandailah membawa diri, Rian. Kalau kamu dapat membuat ibu mertuamu menganggapmu sebagai anak sendiri, dia takkan merasa disaingi lagi dalam mencintai anaknya.
Saya selalu ingat nasihat Ibu. Antara kami sudah tidak ada persoalan lagi.
Jadi apa yang membuatmu murung" Suamimu"
Rianti menggeleng sambil menggigit bibir menahan tangis. Dia tidak ingin menceritakan kesusahannya kepada Ibu. Membuat Ibu sedih saja. Tetapi bagaimana mendustai mata Ibu" Firasat Ibu sangat tajam.
Ada perempuan lain" desak Ibu lembut. Kata-kata Ibu demikian perlahan. Demikian halus. Tetapi di telinga Rianti, kata-kata itu bagai ledakan bom. Ledakan yang mengoyakkan pertahanannya. Mencabik-cabik perasaannya sampai berkeping-keping.
Akhirnya tak tahan lagi Rianti menyembunyikan kesedihannya seorang diri. Dirangkulnya Ibu sambil menangis. Dan Ibu telah menemukan jawaban pertanyaannya dalam tangis itu.
Sabarlah, Nak, bisik Ibu terharu. Laki-laki seperti suamimu memang selalu mendapat godaan
t . c dari kaum kita. Cobalah lihat bagaimana menariknya dia. Tampan. Gagah. Dewasa. Matang dalam pengalaman. Kaya. Sarjana pula. Direktur perusahaan& Nah, siapa yang tidak tergiur" Laki-laki mana yang tahan kalau digoda terus-menerus" Suamimu kan manusia biasa, Rian. Bukan dewa. Tidak luput dari kesalahan. Tidak lekang dari kekurangan. Maafkanlah kekhilafannya. Jangan marahi dia. Nanti dia pergi makin jauh dari rumah.
Saya sudah minta cerai, Bu! tangis Rianti lirih. Terus terang Ibu tersentak juga. Tidak menyangka persoalan mereka sudah sampai sejauh itu.
Mengapa mengambil jalan pintas seperti itu, Rian" Keretakan rumah tangga kalian masih dapat diperbaiki, bukan" Memang sakit rasanya mendengar suami kita terpikat pada perempuan lain. Tapi mengapa harus buru-buru menyerahkannya begitu saja kepada perempuan itu" Kamu harus memperjuangkan keutuhan rumah tanggamu, Rian! Kamu harus berjuang untuk kebahagiaanmu sendiri! Bukan lantas meminta cerai! Pikirkanlah dulu baikbaik. Jangan turuti hati yang panas. Nanti kamu menyesal. Ibu percaya Ario laki-laki yang setia. Hanya dia tergoda rayuan seorang perempuan& .
Perempuan itu bekas istrinya, Bu! Mereka sudah punya anak!
Sekarang Ibu tak mampu membuka mulutnya lagi. Kalau benar perempuan itu bekas istri Ario, persoalan mereka benar-benar serius!
t . c Mas Ario sudah membelikan mereka rumah, kata Rianti lirih. Perempuan itu tidak minta dinikahi. Tapi dia minta agar saya tidak memisahkan Mas Ario dari anaknya.
Jadi perempuan itu rela menjadi simpanan suamimu"
Mas Ario tidak ingin menceraikan saya. Tapi dia juga tidak dapat berpisah dengan anaknya. Anak itu sudah besar, Bu. Sudah enam tahun umurnya.
Dan anak itu tahu siapa ayahnya" Rianti mengangguk getir.
Saya pun tidak sampai hati memisahkan mereka, Bu. Anak itu tidak bersalah. Mengapa dia harus kehilangan ayahnya karena saya"
Bukan salahmu, Rian. Mereka sudah bercerai sebelum kamu muncul!
Tapi sekarang mereka telah kembali berkumpul, Bu. Saya tidak dapat memisahkan mereka kembali. Saya tidak sampai hati!
Dan kamu mengorbankan kebahagiaanmu sendiri"
Haruskah saya menganyam kebahagiaan saya di atas penderitaan seorang anak kecil"
Rian. Ibu mendekap putrinya erat-erat. Air matanya meleleh ke pipi. Satu-satu menetes membasahi bahu Rianti. Mengapa penderitaan seperti tak pernah mau jauh dari orang sebaik kamu"
t . c * * * Sudah tiga kali laki-laki itu datang kemari menanyakanmu, Rian. Bu Danu memecahkan kesunyian di ruang makan. Pak Ario yang sedang makan cepat-cepat sambil menunduk mengangkat mukanya. Tapi dia tidak bertanya apa-apa. Rianti-lah yang bertanya, Siapa, Bu" Katanya namanya Rasid. Bu Danu sengaja menarik muka masam. Kalau urusan bisnis, mengapa tidak diselesaikan di kantor saja"
Kemarin dia sudah menemui saya di kantor, Bu.
Lalu mau apa lagi dia datang ke rumah" Rianti menggeleng bingung.
Saya juga tidak tahu, Bu. Hhh!
Sengaja Bu Danu mendengus agak keras. Sudah dilihatnya bagaimana anaknya meneguk air minumnya dengan sedikit terburu-buru. Pasti nasinya sulit masuk.
Ada seorang laki-laki yang sudah tiga kali datang ke rumah untuk menemui istrinya. Hah. Padahal cuma Bu Danu yang tahu, laki-laki itu baru sekali muncul. Dia memang sengaja memanas-manasi hati anaknya.
Ario memang tidak bertanya apa-apa. Tetapi dia pasti merasa tidak enak. Kelihatannya dia juga kenal laki-laki itu. Belum terlalu tua. Tampan pula.
t . c Menarik. Rapi. Hm, Ario pasti menganggapnya saingan yang cukup berat.
Tentu saja Rianti tidak mengira itu siasat ibu mertuanya. Dia hanya merasa terkejut ketika keesokan harinya, tiba-tiba saja suaminya muncul di kantor. Padahal sejak pemutusan hubungan kerja sama mereka, Mas Ario tak pernah datang lagi ke kantor Pak Ariffin.
Kebetulan Pak Ariffin sedang mendiktekan surat kepada Rianti. Mereka hanya berdua saja di dalam ruangan tertutup yang sejuk itu. Dalam jarak yang cukup dekat pula.
Rianti duduk di balik meja tulisnya. Pak Ariffin berjuntai di tepi meja itu. Kalau dia mau, ujung jarinya dapat mencolek dagu Rianti.
Pak Ario" desis Pak Ariffin keheran-heranan mendengar suara Wati melalui airphone. Suruh masuk saja.
Pak Ariffin tidak mengubah posisi duduknya. Tidak mencoba berpura-pura menjauhi Rianti. Ketika Pak Ario masuk, dia cuma menatapnya dengan tenang.
Selamat pagi! Mau bertemu saya atau Rianti" Pak Ario menatap istrinya sekilas. Tepat pada saat Rianti sedang memandangnya dengan heran. Sekilas mata mereka bertemu. Dan Rianti menangkap sorot cemburu dalam mata yang dingin itu.
Saya ingin membawa Rianti pulang, kata Pak Ario pada Pak Ariffin. Ada yang harus kami bicarakan.
t . c Sepenting itu" tanya Pak Ariffin kurang senang. Saya sedang mendiktekan surat penting untuk dikerjakan hari ini. Tak dapat ditunda sampai nanti siang"
Mau minum apa, Mas" Rianti buru-buru bangkit untuk mengambilkan minuman ketika merasakan suasana yang kurang menyenangkan itu.
Tidak usah. Suara Pak Ario sedingin tatapannya. Saya hanya ingin bicara denganmu.
Nanti siang saja ya, Mas" Biar saya selesaikan surat ini dulu.
Pak Ario mengatupkan rahangnya menahan marah. Bahkan membawa pulang istri sendiri pun dia tidak mampu!
Baik, katanya menahan geram. Saya jemput kamu pukul dua belas!
Lebih baik setengah satu, sambar Pak Ariffin sebelum Pak Ario melangkah pergi. Hari ini ada rapat staf. Nanti Pak Ario menunggu terlalu lama!
Pak Ario melangkah geram tanpa menoleh lagi. Setelah tubuhnya lenyap di balik pintu, Pak Ariffin menoleh ke arah Rianti.
Ada apa" Kalian bertengkar"


Di Tepi Jeram Kehancuran Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rianti menggeleng muram. Mengapa suaminya bersikap seperti itu"
Hm. Pak Ariffin tersenyum sinis. Dia mencemburuiku! Padahal dia sendiri menyeleweng dengan perempuan lain! Hhh, laki-laki memang begitu,
t . c Rianti! Dia boleh memiliki seratus perempuan, tapi istrinya sendiri harus menjadi miliknya seratus persen!
Tolong dilanjutkan suratnya, Pak, sela Rianti dengan perasaan tidak enak.
* * * Sepanjang perjalanan pulang Pak Ario membisu. Rianti pun tidak dapat menemukan kata-kata untuk memulai pembicaraan. Keheningan menyekap mobil mereka selama hampir satu jam.
Ibulah yang memecahkan kebisuan itu begitu mereka tiba di rumah.
Lelaki itu menelepon lagi, Rian, katanya dengan wajah berang. Apa sebenarnya yang dia inginkan"
Saya belum pernah bertemu lagi dengan dia, Bu, sahut Rianti gugup. Terlalu gugup sehingga membangkitkan kejengkelan Pak Ario.
Dia sering datang ke kantor" Siapa, Mas"
Siapa lagi! Tentu si Rasid itu! Apa lagi yang dikehendakinya" Uang lagi"
Rianti tercengang. Tidak menyangka suaminya akan semarah itu.
Kata Dila dia telah bercerai. Dan dia sering mengajakmu makan siang di warung tegal. Apa sebenarnya maunya"
t . c Sekali lagi Rianti terperangah. Suaminya sampai menanyakan hal-hal seperti itu kepada Dila" Astaga! Dan& Dila! Mengapa dia membalas budi Rianti dengan memfitnah dirinya" Lupakah dia siapa yang telah memberikan pekerjaan itu kepadanya"
Punya hubungan apa dia denganmu, Rian" Ibu menambah keruh suasana dengan pertanyaan yang bernada curiga. Orangnya masih muda. Ganteng pula. Rapi. Pesolek. Tipe pria perayu. Kamu harus hati-hati menghadapinya, Rian! Jangan-jangan dia punya maksud tertentu padamu! Pakai tulis surat segala macam!
Pak Rasid bekas guru saya, Bu, sahut Rianti dengan perasaan serbasalah.
Ah, itu tidak menjamin keamanan hubungan kalian!
Sementara itu Pak Ario telah masuk ke kamar. Rianti mendengar suara pintu dibanting. Lalu barang-barang berjatuhan di dalam kamar.
Bergegas Rianti memburu ke sana. Dan tertegun di ambang pintu.
Suaminya sedang mengaduk-aduk isi lemari. Entah apa yang dicarinya. Baju-baju berserakan di lantai. Dompet dan tas berjatuhan saling tumpuk. Kotak perhiasan Rianti pun jatuh dengan menerbitkan suara berisik.
Mas! sergah Rianti bingung. Mas cari apa" Pak Ario tidak menjawab. Setelah mengosongkan
t . c isi lemari, dia pindah ke meja hias. Semua barang di atasnya disapunya dengan tangan.
Rianti menutup mulutnya menahan pekikan yang hampir terlepas melihat botol-botol minyak wangi, tempat bedak, kotak alat-alat make-up, dan kotak perhiasan berhamburan ke lantai. Botol-botol pecah berderai. Isinya muncrat ke sana kemari.
Belum puas dengan amukannya, Pak Ario masih menyapu bersih semua benda di atas meja dekat tempat tidur. Jambangan bunga, jam meja, radio kecil, asbak& semua terpental untuk hancur berderai di lantai.
Ketika Pak Ario hendak merenggut foto perkawinan mereka yang tergantung di dinding dan membantingnya pula, Rianti lari mencegahnya. Tetapi laki-laki itu malah mendorongnya dengan kasar.
Tubuh Rianti terempas keras ke dinding. Dan Pak Ario tidak membiarkan istrinya tepekur terlalu lama di sana. Dengan kasar diseretnya tubuh Rianti. Didorongnya ke tempat tidur.
Rianti tersungkur separuh terbanting. Dan Pak Ario tidak memberikan kesempatan padanya untuk menarik napas. Direnggutnya pakaian istrinya sampai koyak. Dipaksanya Rianti melayani keinginannya. Ketika Rianti mencoba menolak, dia malah mendapat perlakuan yang lebih kasar lagi.
Kamu yang minta diperlakukan seperti ini! geramnya setelah selesai. Kamu yang minta diperlakukan seperti pelacur!
t . c Rianti menelungkup sambil menangis. Dia tidak tahu apa kesalahannya. Tetapi hatinya sudah terlalu remuk untuk bertanya.
Kamu tolak suamimu yang menginginkan istrinya sendiri, geram Pak Ario sengit, Tapi kamu serahkan dirimu kepada segala macam lelaki! Bekas gurumu. Majikanmu&
Mas! pekik Rianti tak tahan lagi. Apa sebenarnya kesalahan saya"
Tanya pada dirimu sendiri!
Dengan sengit Pak Ario bangkit dari tempat tidur. Merapikan pakaiannya. Mengambil sebuah sampul surat dari sakunya. Dan melemparkan isinya ke atas tubuh Rianti.
Lembaran uang puluhan ribu rupiah bertebaran di sana. Sebagian di atas tempat tidur. Sebagian lagi jatuh di atas tubuh Rianti. Di antara lembaranlembaran uang itu terselip sehelai kertas.
Katakan pada gigolomu itu, dia akan kubunuh kalau berani menyentuh istriku lagi!
Dengan membanting pintu, Pak Ario meninggalkan kamarnya. Ibu yang sedang menunggu di luar langsung menyambutnya.
Mengapa kau marah-marah begitu"! tegurnya marah. Apa yang kaulakukan terhadap istrimu lebih buruk lagi daripada apa yang dilakukannya sekarang!
Ibu! Pak Ario menatap ibunya dengan geram. Jangan ikut campur urusan rumah tangga saya!
t . c Ibu hanya mengingatkanmu! Kalian akan bercerai, bukan" Nah, mengapa mesti marah kalau Rianti menjalin hubungan dengan pria lain"!
Pak Ario tidak menjawab. Karena dia memang tidak mampu menjawab. Ditinggalkannya ibunya dengan sengit. Tetapi ketika sedang mengemudikan mobil ke rumah Karin, kata-kata Ibu terus-menerus mengganggu pikirannya.
Apa sebenarnya kesalahan Rianti" Mereka sudah hampir bercerai. Rianti sudah memintanya meskipun dia sendiri keberatan. Tidak adil memperlakukan istrinya seperti itu. Kalau dia sendiri boleh hidup bersama Karin dua bulan lebih, mengapa istrinya tidak boleh berkencan dengan seorang pria sekali saja"
Apa yang kaulakukan terhadap istrimu lebih buruk lagi daripada apa yang dilakukannya sekarang!
Terngiang lagi suara ibunya. Tegas. Ketus. Tajam. Khas Ibu. Siapa lagi yang dapat menegurnya sekarang kecuali Ibu" Cuma Ibu yang dapat memaksanya melihat kebenaran. Menghadapi kenyataan.
Kalian akan bercerai, bukan" Nah, mengapa mesti marah kalau Rianti menjalin hubungan dengan pria lain"
Tidak!! Pak Ario memukul kemudi mobilnya dengan sengit. Aku tidak akan menceraikannya! Dia milikku!
Tapi saya tidak dapat, Mas, tangis Rianti kembali melanda telinganya. Ceraikanlah saya!
t . c Tidak! geram Pak Ario lagi. Getir. Aku mencintaimu, Rian! Aku tidak sanggup menceraikanmu!
Tapi bukankah serakah namanya ingin memiliki dua wanita sekaligus" Mengapa dia hanya memikirkan dirinya sendiri"
Kamu dapat memahami saya bukan, Rian" Saya tidak dapat berpisah dengan Awan!
Saya dapat memahami perasaanmu, Mas, sahut Rianti lugu. Begitu tulus. Begitu penuh pengertian.
Mengapa dia tidak dapat melihat betapa hancur hati istrinya" Betapa berat penderitaannya ketika mengetahui suaminya mempunyai simpanan"
Istrinya dapat mengerti alasan penyelewengannya. Dengan besar hati dia memaafkannya. Mengapa dia sendiri tidak dapat mengerti alasan istrinya berhubungan dengan laki-laki itu"
Terbayang kembali isi surat Pak Rasid yang diserahkan Ibu kepadanya itu. Isinya demikian kurang ajar. Membuat hatinya panas. Mendidih dijerang di atas api cemburu.
Karena kamu tidak muncul di tempat yang kita janjikan, terpaksa surat ini saya antar ke rumah, Rian. Uang ini merupakan sebagian dari uang yang kamu berikan juga. Saya kembalikan sebagai pembayaran utang di masa lalu. Besok siang saya tunggu di tempat biasa. Ada yang ingin saya bicarakan denganmu. Penting. Rasid.
t . c Pak Ario ingin sekali mencekik leher laki-laki itu. Melumatkannya. Berani benar dia mengganggu istrinya!
Uang apa yang diberikan Rianti kepadanya" Mengapa dia memberikan uang lagi kepada laki-laki itu" Utangnya dulu saja belum dibayar!
Laki-laki itukah yang menyebabkan Rianti selalu menolak kalau suaminya ingin menidurinya" Atau& laki-laki keparat yang ada di kantornya"! Majikannya sendiri"!
Sebenarnya kalau tidak ada surat itu, Pak Ario lebih mencemburui Pak Ariffin daripada Pak Rasid. Pak Ariffin lebih mempunyai peluang untuk menggantikan kedudukannya setelah mereka bercerai nanti.
Hampir tiap hari mereka berada berdua di dalam ruangan tertutup itu. Dalam keadaan bahagia, Rianti mungkin masih dapat mengusir godaan yang datang dari majikannya.
Tetapi dalam keadaan rumah tangganya kacau seperti ini" Tidak mungkinkah Rianti memakai kesempatan itu untuk menghibur diri atau malah untuk membalas dendam kepada suaminya"
Barangkali aku sudah gila, pikir Pak Ario sengit. Mengapa aku dilanda cemburu buta seperti remaja lagi"! Rianti belum tentu melakukan sesuatu yang salah. Mengapa sudah diperlakukannya dia seperti itu"
t . c * * * Rianti menangis tersedu-sedu. Hatinya sekarang bukan cuma sakit. Lebih dari itu. Sakitnya sudah hampir tak terkatakan lagi. Hancur. Remuk. Lumat. Larut dalam kehinaan.
Belum pernah suaminya memperlakukan dirinya serendah ini. Mas Ario bukan hanya menyakiti tubuhnya. Memaksanya menuruti kehendaknya. Dia melakukannya dengan kasar. Amat kasar. Seolaholah Rianti bukan istrinya. Seolah-olah dia ini cuma perempuan jalanan yang patut diperlakukan seperti itu.
Tidak dihiraukannya rintih kesakitan istrinya. Tidak diacuhkannya permintaan Rianti untuk menyudahinya. Mas Ario sudah kalap. Dirampasnya miliknya sendiri dengan brutal.
Belum merasa cukup menyakiti istrinya, dia masih melemparkan uang ke atas tubuh Rianti. Seolah-olah dia pelacur yang dibayar sesudah melayani laki-laki!
O, cukuplah sudah penghinaan itu! Rianti tak sanggup lagi meneguk racun berikutnya. Dia sudah lebur dalam kepahitan empedu yang melumatkan harga dirinya.
Ke mana perginya cinta" Begitu cepatkah cinta berlalu" Mas Ario yang demikian mengasihinya& Dia berubah begitu cepat setelah cinta pertamanya kembali!
t . c Cintanya kepada Rianti hilang tanpa bekas. Dia sampai hati memperlakukan istrinya seperti ini. Seperti seorang wanita tuna susila! Perempuan yang tidak berharga!
Rianti& Suara Bu Danu begitu lembut membelai-belai telinga Rianti. Entah sudah berapa lama Ibu berada di dalam kamar. Di sisi pembaringannya.
Rianti merasa malu Ibu mengetahui pertengkarannya. Tetapi dia tidak mempunyai pilihan lain. Ibu telah melihat tangisnya. Tak ada lagi yang dapat disembunyikan.
Rianti hanya mampu menggeliat bangun untuk merangkul ibu mertuanya. Memindahkan tangisnya ke pelukan perempuan tua itu. Dan dia harus mengaduh kesakitan.
Ada rasa nyeri menikam bagian bawah perutnya. Di ujung sekali. Agak ke kiri. Dan bukan itu saja. Dia juga merasa pedih di bawah sini. Amat pedih.
Seluruh tubuhnya terasa sakit. Digigitnya bibirnya menahan nyeri. Dan desah terperanjat meluncur dari celah-celah bibir Bu Danu yang sedang merangkulnya.
Rian! cetusnya kaget. Matanya terbelalak menatap seprai! Darah!
* * * t . c Apa yang terjadi, Dokter" desah Bu Danu gugup. Apa yang terjadi dengan menantu saya"
Dia keguguran, sahut Dokter Bahrum hatihati.
Ya Tuhan! Bu Danu menebah dadanya. Matanya terbeliak antara terkejut dan kecewa. Ibu tidak tahu dia hamil"
Bu Danu hanya mampu menggeleng. Mulutnya masih separuh terbuka tak mampu digerakkannya lagi. Rahangnya mengejang dalam kekecewaan.
Telah datang cucu yang diharapkannya! Tetapi dia telah pergi lagi sebelum sempat memanggilnya Nenek! Bahkan sebelum sempat memberitahukan kedatangannya! Diam-diam dia telah hadir di antara mereka! Diam-diam pula dia telah kembali ke tangan Pencipta-nya!
Kandungannya tidak dapat diselamatkan lagi. Terpaksa dikuret.
Tak terasa berlinang air mata Bu Danu. Padahal dia seorang perempuan yang tabah.
Bolehkah saya menemuinya, Dokter" desis Bu Danu sedih.
Dia belum sadar. Masih dalam pengaruh obat bius. Tapi sementara itu, ada yang ingin saya tanyakan pada Ibu.
Soal apa, Dokter" Bolehkah saya tahu ke mana suaminya" Ke kantor, sahut Bu Danu spontan. Saya telah menelepon sekretarisnya. Dia dalam perjalanan menuju kemari sekarang.
t . c Bu Danu sendiri heran bagaimana dia dapat berdusta selancar itu. Dia memang telah menelepon kantor anaknya. Tetapi Ario tidak ada di sana.
Sekretarisnya telah berjanji untuk mencarinya. Ario mempunyai starco yang selalu dibawanya kemana-mana. Dengan alat itu dia dapat dihubungi di mana pun dia berada.
Kalau begitu saya ingin bicara dengan suaminya kalau dia datang nanti.
Soal apa, Dokter" tanya Bu Danu dengan dada berdebar-debar. Bolehkah saya tahu" Saya ibunya.
Nanti saja, Bu. Soal ini sangat pribadi sifatnya. Lebih baik saya tanyakan langsung pada suaminya.
* * * Pak Ario muncul sejam kemudian. Saat itu Rianti telah sadar. Bu Danu sudah boleh menjenguknya. Tetapi Pak Ario langsung dipanggil ke kamar kerja Dokter Bahrum.
Apakah Bapak tahu istri Bapak sedang hamil" tanya Dokter Bahrum hati-hati.
Hamil" Pak Ario hampir berteriak. Rianti hamil"
Saya belum bicara dengan istri Bapak. Dia baru saja siuman. Perdarahannya cukup banyak. Kandungannya tidak dapat dipertahankan lagi. Karena
t . c itu terpaksa dikuret untuk menghentikan perdarahan itu&
Wajah Pak Ario yang sudah pucat semakin memutih.
Rianti& Rianti& keguguran" desahnya gemetar.
Sekarang masa kritisnya telah lewat, hibur Dokter Bahrum. Cuma ada yang ingin saya tanyakan. Dengan siapa lagi istri Bapak tinggal selain dengan Ibu"
Dengan saya, sahut Pak Ario bingung. Ada apa"
Terus terang saya menemukan tanda-tanda perkosaan pada tubuh istri Bapak. Demi kepentingan hukum, saya harus membuat visum. Seandainya kelak istri Bapak hendak menuntut seseorang, tubuhnya saat ini merupakan barang bukti.
Selama beberapa detik Pak Ario tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Dia benar-benar shock.
Sayalah yang memerkosanya, katanya akhirnya, setelah mampu menggerakkan lidahnya lagi. Kami baru saja bertengkar.
Suami tidak dapat dituntut memerkosa istri sendiri. Dokter Bahrum menyembunyikan perasaan muaknya. Tapi Bapak dapat dituduh menganiaya istri Bapak.
* * * t . c Ketika Pak Ario keluar dari kamar kerja Dokter Bahrum dengan kepala tertunduk, seseorang memanggilnya. Dia menoleh. Dan melihat Karin muncul seorang diri.
Bagaimana istrimu" tanyanya serius. Keguguran, sahut Pak Ario dengan perasaan bersalah. Dia terus berjalan menuju ke kamar Rianti. Karin mengikutinya. Aku yang menyebabkan dia kehilangan anaknya. Kami baru saja bertengkar. Karena aku"
Pak Ario menggeleng. Bukan salahmu. Dia baru saja menerima surat dari seorang laki-laki. Aku cemburu. Dan khilaf. Aku yang mengasarinya. Aku yang membunuh anak itu! Aku tidak tahu dia hamil. Dia tidak pernah mengatakannya padaku.
Rianti tak pernah menerima surat dari lakilaki, sambar Bu Danu dari depan pintu kamar Rianti. Ibulah yang menulis surat itu.
Sekejap pun Bu Danu tidak memandang Karin meskipun dia telah memberi salam lebih dulu.
Ibu! sergah Pak Ario kaget. Mengapa Ibu berbuat begitu" Belum cukupkah penderitaan Rianti karena saya"
Laki-laki itu hanya datang memberikan uang yang dipinjamnya dari Rianti. Istrimu tidak mau menemuinya lagi. Di rumah maupun di kantor. Terpaksa dia memberikannya kepada Ibu. Ibulah yang membuat surat itu. Supaya kau cemburu.
t . c Dan Ibulah yang membuat saya menjadi pembunuh! geram Pak Ario menahan marah. Saya telah membunuh anak saya sendiri!
Ibu hanya tidak ingin kau menceraikan Rianti. Dengan takjub Karin melihat bagaimana perempuan yang keras hati itu, perempuan jahat yang selalu hendak memisahkan anak laki-lakinya dari istrinya, menyusut air matanya. Perempuan yang tegar hati itu kini menangis! Dia menangisi istri anaknya! O, seperti apakah perempuan yang menjadi istri Ario itu, sampai seorang wanita sejudes Bu Danu menangis untuknya"
Saya tidak pernah berpikir untuk menceraikan Rianti! desah Pak Ario dengan perasaan tertekan. Ibu juga tahu saya tidak mungkin melakukannya!
Tapi Rianti tidak mau memisahkanmu dari anakmu! Dia wanita paling luhur yang pernah Ibu temui. Dia mengatakan pada Ibu, jika kebahagiaannya harus ditukar dengan penderitaan seorang anak kecil, dia rela memilih untuk bercerai saja&
Diam-diam keharuan menyelinap ke hati kecil Karin. Selama ini dia tidak pernah memikirkan perasaan istri Ario. Dia malah tidak ingin melihatnya. Tidak peduli seperti apa perempuan yang menjadi saingannya itu.
Karin orang yang tahu sekali kelebihannya. Percaya kepada diri sendiri. Dan tidak pernah memikirkan orang lain.
t . c Karin tidak peduli perempuan itu akan minta cerai atau tidak. Dia toh tidak minta dinikahi. Baginya, hidup bersama sudah cukup. Dan dia sudah pernah hidup bersama suami orang sebelum kembali ke Jakarta.
Selama ini Karin tidak pernah memikirkan bagaimana perasaan istri laki-laki itu. Tetapi kini, dia dipaksa untuk mendengarkan naluri kewanitaannya sendiri.
Istri Ario seorang perempuan yang sangat istimewa. Bukan cuma Ario yang tidak ingin menceraikannya. Ibunya pun keberatan. Bukan main.
Dia wanita paling luhur yang pernah Ibu temui& .
Kalau perempuan sebengis Bu Danu yang mengatakannya, istri Ario pasti seorang wanita yang luar biasa! Dan memang. Tidak luar biasakah seorang wanita yang mendahulukan kepentingan orang yang telah merampas kebahagiaannya" Dia rela mengalah. Rela berkorban untuk orang yang telah membuatnya menderita lahir-batin!
Jika kebahagiaan saya harus ditukar dengan penderitaan seorang anak kecil&
Karin pulang dengan kata-kata itu terus-menerus mendengung di telinganya. Ario sudah masuk ke dalam kamar Rianti tanpa menoleh lagi kepadanya. Mungkin dia juga sudah lupa ada Karin di sana.
Ketika Bu Danu juga bergerak masuk ke dalam, Karin sudah ikut melangkah. Dia ingin menemui
t . c perempuan itu. Ingin melihat seperti apa perempuan yang menjadi istri Ario. Tetapi Bu Danu sudah menutup pintu. Dan Karin terpaksa membatalkan langkahnya.
* * * Ketika Pak Ario masuk, Rianti sudah sadar. Dia pun sudah tidak menangis lagi. Tetapi dia tidak menoleh. Dia malah memalingkan wajahnya ke dinding.
Lambat-lambat Pak Ario menghampiri pembaringan istrinya. Digenggamnya tangan istrinya dengan penuh penyesalan. Rianti tidak menarik tangannya. Tetapi dia juga tidak memberikan reaksi. Dia hanya mematung.
Maafkan saya, Rian, desah Pak Ario dengan perasaan bersalah. Saya tidak tahu kamu hamil. Sayalah yang telah membunuh anak kita. Saya terburu nafsu menuduhmu& .
Tidak ada jawaban. Tidak ada reaksi. Rianti tidak menoleh. Dia malah memejamkan matanya. Membiarkan dua tetes air mata merembes melalui celah-celah bulu matanya.
Kamu berhak menghukum saya, Rian. Pak Ario meremas tangan istrinya dengan lembut. Tapi jika kamu memberikan kesempatan sekali lagi pada saya& saya berjanji pengorbanan anak kita tidak akan sia-sia& .
t . c Sudah tidak ada apa-apa lagi di antara kita, Mas. Suara Rianti begitu berbeda. Begitu lain. Begitu dalam dan tertekan. Nadanya pahit. Getir. Sudah luruh buah cinta kasih kita& . Kembalilah pada keluargamu. Jangan biarkan anakmu tak mempunyai ayah.
Jika kamu minta, saya tidak akan menemui mereka lagi, Rian.
Rianti menggeleng lirih. Ada simpul yang tidak dapat terurai di antara kalian. Anak itulah pengikatnya, Mas. Barangkali sudah kehendak Tuhan, hanya sampai di sini kisah cinta kita& .
t . c R ianti tidak kembali ke rumah suaminya sepulangnya dari rumah sakit. Dia langsung pulang ke rumah orangtuanya. Tak kurang dari Bu Danu dan orangtua Rianti sendiri yang mencoba membujuknya. Tetapi Rianti tidak dapat dihalangi lagi. Dia tetap minta cerai.
Mereka punya anak, katanya pada setiap orang yang mencoba membujuknya. Saya tidak punya apa-apa lagi.
Tapi kamu dapat mencoba sekali lagi, Rian, bujuk Ibu sedih. Maafkanlah suamimu. Memang sakit rasanya. Tapi jika Tuhan saja mau mengampuni umat-Nya yang bertobat, mengapa kamu tak dapat memaafkan suami sendiri"
Saya dapat memaafkannya, Bu. Tapi saya tidak dapat melupakannya.
BAB IX t . c Kamu tidak usah melupakannya. Tapi kamu juga tidak perlu bercerai!
Bagaimana saya dapat menyerahkan diri lagi kepadanya kalau saya tidak dapat melupakan apa yang telah dilakukannya terhadap saya"
Perceraian bukan jalan yang direstui Tuhan, Rianti.
Memisahkan seorang anak dari ayahnya juga bukan perbuatan yang disukai Tuhan, Bu.
Akhirnya Ibu menyerah juga. Sambil menghela napas, disusutnya air matanya.
Mengapa kebahagiaan kita tidak berumur panjang, Rian"
Kebahagiaan harus diperjuangkan, Bu. Rianti merangkul Ibunya dengan terharu. Bukan untuk ditangisi. Minggu depan saya sudah mulai masuk kerja kembali. Pak Ariffin akan menaikkan gaji saya dua kali lipat kalau saya bersedia ditempatkan di Surabaya. Agatha akan menikah. Dan hanya saya yang dapat dipercaya menggantikan Agatha. Saya akan diberi rumah dan mobil. Kalau Ibu dan Ayah tidak keberatan, kita semua akan pindah ke Surabaya. Mencoba hidup baru di sana.
* * * Untuk pertama kalinya Pak Ario melangkah tanpa gairah memasuki rumah Karin. Sudah seminggu lebih dia tidak mengunjungi rumah ini.
t . c Karin menyambutnya seperti biasa. Tetapi sekali lihat saja, Pak Ario sudah dapat mencium ada sesuatu yang berubah.
Ada apa" tanyanya begitu melangkah masuk. Besok aku dan Awan pulang ke Jerman, sahut Karin tenang, seolah-olah dia cuma mengatakan akan pergi ke Bogor.
Sekejap Pak Ario tertegun. Tapi di detik lain kemarahannya sudah meledak tanpa dapat ditahantahan lagi.
Inikah hadiah untuk perceraianku"! Jangan marah, Sayang. Karin mencium Pak Ario dengan mesra. Liburan Awan telah berakhir. Dia harus sekolah lagi.
Jangan membuat alasan yang konyol! Pak Ario mendorong tubuh Karin dengan sengit. Kamu cuma ingin meninggalkanku.
Tiga bulan aku telah hidup di sini, sahut Karin santai. Rasanya aku belum sanggup juga menyesuaikan diri. Aku mencintai kehidupanku di Jerman.
Kau boleh pergi ke mana saja kau suka. Tapi tinggalkan Awan di sini.
Sudah kutanyakan kepadanya tadi malam. Dia memilih ikut bersamaku pulang ke Jerman. Mustahil! Dia anakku!
Dia anak Budiman. Ketika menikah denganmu, aku telah hamil.
Sekujur tubuh Pak Ario menahan marah. Dia merasa dipermainkan. Karena Karin-lah Rianti me-
t . c minta cerai. Karena mereka telah mempunyai anak, istrinya yang setia itu rela mengundurkan diri.
Tetapi sekarang Karin malah mau membawa Awan kembali ke Jerman! Dan dia mengemukakan alasan yang menjijikkan itu. Awan bukan anaknya! Dia anak Budiman!
Pak Ario telah mengangkat tangannya dengan geram. Mengikuti nalurinya, ingin dihancurkannya semua barang di rumah itu. Ingin ditamparnya Karin kuat-kuat. Supaya dia sadar. Dan membatalkan niatnya.
Tetapi apa yang telah terjadi pada Rianti tibatiba menyadarkannya. Dia tidak boleh bertindak sewenang-wenang. Hanya mengikuti hawa nafsu.
Tekanan darahnya memang tinggi. Dia cepat marah. Mudah meledak. Tetapi perasaan bersalah karena telah berlaku kasar pada Rianti mengekang amarahnya. Pada saat terakhir dia ingat anaknya. Yang telah gugur sebelum lahir. Anak itu pergi karena kesalahannya! Karena kekasarannya&
Setelah sia-sia membatalkan niat Karin, Pak Ario membawa Awan ke Ancol. Berdua saja mereka menikmati permainan-permainan di Dunia Fantasi. Untuk terakhir kali.
Tiga bulan yang lalu Pak Ario pernah membawa Awan kemari juga. Tetapi pada saat itu, keceriaan menyelubungi mereka. Awan tertawa gembira. Pak Ario tersenyum bahagia.
Kini Roda Raksasa masih tetap berputar. Kuda-
t . c kuda permainan masih tetap naik-turun mengikuti irama lagu. Perahu oleng masih tetap terayun-ayun memancing jeritan penumpangnya.
Tetapi tak ada lagi desah kegembiraan yang meluncur dari celah-celah bibir Awan. Wajahnya suram. Sesuram wajah ayahnya. Yang duduk di sampingnya sambil melingkarkan lengan di bahunya.
Kebetulan Roda Raksasa sedang separuh kosong. Pak Ario hanya berdua saja dalam kereta gantung mereka. Sesaat kereta mereka terhenti di puncak roda tatkala penumpang-penumpang yang lain sedang mengisi kereta-kereta gantung yang di bawah.
Dari atas ketinggian di puncak roda, mereka dapat menatap Teluk Jakarta. Laut yang biru berkilatkilat menyilaukan mata ditimpa sinar matahari pukul sebelas siang.
Dulu Awan begitu gembira menyaksikannya. Begitu banyak pertanyaan yang mengalir dari mulutnya. Namun kini tak ada yang bicara di antara mereka. Keheningan yang mengharukan meronai suasana perpisahan.
Pak Ario telah menanyakan sendiri keinginan Awan. Dia memang tidak ingin berpisah dengan ayahnya. Tetapi jika dia harus memilih, dia memilih Mama.
Dan Pak Ario menghormati pilihan anaknya. Karena itu dia mengajak Awan ke tempat-tempat yang berkesan untuk mereka. Untuk terakhir kali. Lain
t . c kali jika dia kemari lagi, Awan sudah tidak ada di sisinya.
Papa nanti sering ke sini lagi" tanya Awan ketika mereka sedang sama-sama termenung dibuai perasaan mereka masing-masing.
Pak Ario menggeleng. Nanti ingat Awan. Tapi Papa mesti kemari. Mengapa"
Supaya ingat Awan terus! Papa tidak mungkin melupakan Awan. Juga kalau sudah ada adik kecil" Tidak ada adik kecil.
Nanti ada. Kata siapa" Mama. Tiba-tiba saja kesadaran itu melecut hati Pak Ario yang sedang gundah. Adik kecil. Apakah karena itu Karin sengaja mengalah" Menyingkirkan diri untuk memberikan kesempatan kepadanya dan Rianti supaya mereka dapat memiliki anak lagi"
Karin memang tidak seluhur Rianti. Kebebasannya tidak dapat dipahami kalau dilihat dengan kacamata orang Timur. Tetapi satu hal Pak Ario yakin. Dia benar-benar mencintainya.
Dan Karin orang yang konsekuen. Kalau dia memutuskan untuk tinggal di sini, dia akan menepati kata-katanya. Mengapa sekarang tiba-tiba saja dia
t . c ingin pulang" Karena Awan anak Budiman" Itu cuma alasan yang dicari-cari!
Cuma kepada anaknyalah Karin mengemukakan alasan yang sebenarnya. Meskipun Awan masih kecil, Karin selalu mengajaknya berdialog seperti orang dewasa. Sikap mereka selalu terbuka. Tidak ada yang disembunyikan. Adik kecil. Mungkin cuma itu yang dapat ditangkap oleh area pengertian Awan yang masih sempit.
Laut dan bukit akan memisahkan kita, Awan, kata Pak Ario sambil merangkul bahu anaknya. Bersama-sama mereka menatap kaki langit di kejauhan. Tapi hati kita takkan terpisahkan. Suatu hari nanti, Awan harus datang untuk menjenguk Papa.
Awan akan menyetir kapal sendiri untuk membawa Papa! sahut Awan bersemangat.
Dengan penuh haru Pak Ario merangkul anaknya. Awan membalas pelukannya. Dan Pak Ario merasakan tubuh anak itu bergetar diguncang tangis.
Jangan menangis, bisik Pak Ario terharu. Pilot tidak boleh cengeng! Nanti kapalnya oleng!
Awan tertawa. Pak Ario merenggangkan pelukannya. Dan menatap anaknya sambil tersenyum. Air mata berlinang-linang di mata Awan. Tapi bibirnya tersenyum.
Hari sudah gelap ketika Pak Ario tiba kembali di rumah Karin. Awan sudah tertidur di mobil karena kecapekan. Dia tidak terjaga sekalipun mobil me-
t . c reka telah memasuki halaman dan ayahnya telah mematikan mesin.
Hati-hati Pak Ario mendukung Awan ke kamarnya. Karin yang menyambut di ruang tengah langsung mengikuti mereka dari belakang.
Pak Ario meletakkan tubuh Awan dengan penuh kasih sayang di atas tempat tidurnya. Dua bulan yang lalu dia sendiri yang merancang tempat tidur ini bersama Awan. Tempat tidur yang sesuai dengan fantasi anaknya. Mirip sebuah pesawat terbang. Lengkap dengan gambar kemudi dan instrumeninstrumennya.
Pak Ario menyelimuti tubuh anaknya. Mengecup dahinya. Dan membelai pipinya dengan lembut.
Karin yang menyaksikan dari ambang pintu kamar diam-diam merasa terharu. Tak terasa air mata meleleh ke pipinya. Dan dia tidak sempat menghapus air mata itu. Pak Ario keburu berbalik.
Sekejap mereka saling tatap. Sama-sama membisu dibuai perasaan masing-masing. Tak ada yang dapat diucapkan. Tak perlu lagi kata-kata. Tatapan mereka telah berbicara dengan sendirinya. Dan air mata yang membasahi mata Karin yang tak pernah menangis itu tambah mengharubirukan perasaan Pak Ario.
Jangan katakan lagi dia bukan anakku, katanya dengan suara basah.
Tanpa dapat menahan perasaannya lagi, Karin melemparkan tubuhnya ke dalam pelukan Pak Ario.
t . c Mereka saling dekap dengan erat. Membiarkan perasaan mereka saling tercurah melalui lengan-lengan yang berangkulan dan tubuh yang melekat rapat.
Aku mencintaimu, bisik Karin lirih. Karena itu aku harus pergi.
Tak perlu kaujelaskan lagi. Pak Ario memejamkan matanya dan mencari mulut wanita itu dengan bibirnya. Aku tahu apa yang kaulakukan dan mengapa engkau melakukannya.
Untuk sesaat suasana menjadi hening. Bibir mereka saling pagut. Mengalirkan kata-kata yang tak terucapkan.
Kembalilah pada istrimu. Aku belum pernah menjumpainya. Tapi aku kenal ibumu. Jika orang seperti dia menginginkan perempuan itu kembali menjadi istrimu, dia pasti seorang perempuan yang istimewa.
Rianti memang istimewa. Perempuan paling baik yang pernah kukenal. Istri yang paling setia pula. Tapi dia telah kusakiti. Dan hatinya terlalu halus untuk menahan penderitaan itu. Dia telah minta cerai.
Dengan lesu Pak Ario melepaskan pelukannya. Dia melangkah ke luar dengan gontai. Karin mengikutinya dari belakang.
Cinta tidak akan mati dalam sehari, Ario. Aku yakin dia masih mencintaimu. Dan selama cinta masih berbicara, tak ada tempat lagi untuk dendam. Selalu ada kesempatan untuk kembali.
t . c Aku mencintai Rianti. Tapi aku pun mencintaimu. Mencintai Awan. Mengapa aku tidak boleh mencintai ketiga-tiganya"
Kau boleh mencintai ketiga-tiganya, Ario. Karena tidak seorang pun bisa melarangmu mencintai seseorang. Tapi kau tidak dapat memiliki ketigatiganya. Kau harus memilih.
Aku tidak dapat memilih lagi. Rianti telah minta cerai. Kau pun telah memutuskan untuk meninggalkan aku. Apa lagi yang harus kupilih"
Jangan kaukira aku meninggalkanmu karena istrimu semata-mata. Aku orang yang egois. Tak pernah memikirkan orang lain.
Tapi kali ini Rianti telah memaksamu untuk mengikuti perasaanmu. Kau tidak sampai hati memisahkan kami.
Itu alasan pertama. Ada alasan yang kedua. Jangan katakan lagi Awan bukan anakku. Dia memang bukan anakmu. Aku merasa bersalah padamu jika karena anak orang lain kau terpaksa bercerai dengan istrimu. Dan melenyapkan kesempatanmu untuk mempunyai anak sendiri. Mengapa baru kaukatakan sekarang" Supaya kau bisa berpisah dengan Awan. Juga setelah istriku meminta cerai"
Aku seorang pembosan, Ario. Sekarang, pada saat cinta sedang menyala di hatiku, aku mungkin masih dapat mengatasi kebosananku tinggal di negeri ini. Tapi beberapa tahun lagi, kalau cintaku
t . c

Di Tepi Jeram Kehancuran Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

telah meredup, siapa dapat menahanku di sini" Aku memang orang Indonesia. Darah Indonesia mengalir di tubuhku. Tapi badan dan pikiranku milik Jerman.
Seharusnya kau mengatakannya tiga bulan yang lalu!
Bagaimana mungkin" Aku sendiri baru menyadarinya beberapa hari yang lalu. Ketika tahu seperti apa perempuan yang menjadi istrimu! Kata-kata ibumu memaksaku untuk berpikir. Dialah perempuan yang paling tepat untuk menjadi istrimu. Kalau aku mencintaimu, aku harus meninggalkanmu sekarang, sebelum kalian bercerai! Jika aku meninggalkanmu beberapa tahun lagi, sudah terlambat bagimu untuk kembali pada istrimu!
Sekarang pun sudah terlambat, sahut Pak Ario lesu. Rianti tidak mau memaafkanku lagi.
Tanpa menoleh lagi, Pak Ario berjalan ke luar. Di ambang pintu, Karin masih memanggilnya sekali lagi. Pak Ario menoleh. Dan dia melihat Karin menatapnya dengan tatapan yang belum pernah dilihatnya bersorot di mata yang indah itu.
Maafkan aku, Ario, desahnya separuh berbisik.
Jaga dirimu baik-baik, kata Pak Ario sesaat sebelum memutar tubuhnya dan melangkah gontai ke sisi mobilnya. Tolong bahagiakan Awan. Anak siapa pun dia, aku tetap menyayanginya seperti anakku sendiri.
t . c * * * Ketika menjabat tangan Awan di Bandara Soekarno-Hatta, Pak Ario masih belum yakin anak ini bukan anaknya. Mungkinkah Karin cuma berdusta"
Lama dijabatnya tangan anak itu. Rasanya Pak Ario lebih berat berpisah dengan Awan daripada dengan Karin. Dalam waktu setengah bulan saja, dia telah kehilangan kedua orang anaknya. Sekaligus kehilangan kedua orang wanita yang paling dicintainya.
Pak Ario masih termenung di sana. Sikunya bertelekan pada pagar besi pemisah di hadapannya. Karin dan Awan sudah tidak kelihatan lagi. Tetapi dia masih tepekur di sana. Bertopang dagu sambil melamun.
Apa sebenarnya yang terjadi pada dirinya" Mengapa dia masih memikirkan hari kemarin padahal hari esok sudah di ambang pintu"
Pernah ada suatu masa dulu, Karin dan Awan memang menjadi miliknya. Tapi masa itu telah lewat. Mengapa dia masih juga mengejar-ngejar mereka" Memburu masa lalu"
Dia telah menemukan Rianti. Memilikinya. Istrinya bahkan telah mengandung anaknya. Mengapa harus disakitinya istrinya yang setia itu"
Rianti mungkin tidak seromantis Karin. Tidak dapat menggairahkan kejantanannya sampai sede-
t . c mikian menggelora. Tetapi Pak Ario mencintainya pula. Dia istri yang baik. Menantu yang berbakti. Jika Ibu saja dapat mengasihinya, mengapa dia justru menyia-nyiakannya"
Pengadilan masih memberi mereka kesempatan untuk berpikir sebelum memutuskan perceraian. Pak Ario masih memiliki harapan meskipun sangat kecil. Jika Rianti tahu Karin dan Awan telah kembali ke Jerman, masih maukah dia kembali kepada suaminya" Dapatkah dia melupakan sakit hatinya"
Akan kucoba meraih kembali cinta dan kepercayaan Rianti, cetus Pak Ario mantap. Kami tidak akan bercerai!
* * * Pak Ariffin tidak menyangka akan melihat Pak Ario muncul lagi di kantornya.
Rianti" tanyanya tanpa bersedia menyembunyikan ketidaksenangannya. Dia sedang mengurus keberangkatannya ke Surabaya.
Surabaya" Agatha menikah. Dia mengundurkan diri. Rianti yang akan menggantikan tugasnya" Ya. Dia berangkat dengan keluarganya ke sana.
Pak Ariffin. Pak Ario membungkukkan badannya di depan meja tulis laki-laki itu. Buku-buku jarinya sampai memutih karena terlalu keras me-
t . c nekan meja. Saya harus memperoleh Rianti kembali! Berikan pekerjaan kepada saya di Surabaya!
Pak Ariffin mengawasi rivalnya dengan tatapan jengkel.
Jangan menyusahkan dia lagi! Kata Rianti kalian telah bercerai!
Sampai saat ini, dia masih istri saya! Dia hanya tinggal menunggu surat ceraimu! Saya tidak akan menceraikannya!
Tapi dia sudah tidak ingin menjadi istrimu lagi!
Dia tetap milik saya! Saya tidak akan melepaskannya!
Pikirkanlah dulu baik-baik. Pak Ariffin menopangkan kakinya dengan santai di atas kakinya yang lain. Disulutnya sebatang rokok. Diembuskannya asapnya dengan gaya separuh mengejek. Apa artinya memiliki seorang wanita yang sudah tidak ingin menjadi istrimu lagi"
* * * Tetapi Pak Ario bukan laki-laki yang mudah ditaklukkan. Bukan orang yang mudah putus asa. Kebetulan pekerjaan di Jakarta sedang sepi. Belum ada kontrak lagi. Dia bisa meninggalkannya sebentar untuk mengejar Rianti ke Surabaya. Apalagi Ibu juga merestui niatnya.
Ibu malah ingin ikut ke Surabaya. Tetapi Pak
t . c Ario mencegahnya. Dia merasa harus dapat melakukannya seorang diri. Tanpa bantuan siapa pun. Dia yang telah membuat Rianti berpaling. Dia pula yang harus memaksanya menoleh kembali.
Rianti terkejut sekali ketika melihat suaminya muncul di kantornya di Surabaya. Sekejap dia sampai tidak dapat membuka mulutnya.
Sudah dua minggu lebih Rianti tidak melihat Mas Ario. Rasanya laki-laki itu bertambah kurus dan tua. Wajahnya tampak letih. Matanya juga. Tetapi di dalam mata itu Rianti masih melihat sepercik harapan.
Maaf mengganggumu di kantor. Pak Ario-lah yang lebih dulu membuyarkan kesunyian yang menyelimuti pertemuan mereka. Saya belum tahu di mana kamu tinggal.
Ada apa, Mas" Rianti berusaha untuk tidak membalas tatapan laki-laki itu terlalu lama. Sakit rasanya melihat mata yang pernah menjadi miliknya itu. Mata yang suatu waktu dulu pernah menatapnya dengan penuh cinta! Ibu sakit"
Ibu! Ada pukulan yang tidak kelihatan menghantam dada Pak Ario. Bahkan dalam keadaan seperti ini pun Rianti masih memikirkan ibu mertuanya! Begitu besar perhatiannya. Malah lebih besar daripada perhatiannya terhadap suaminya sendiri&
Pak Ario merasa terharu. Sekaligus kecewa. Benarkah kini cuma Ibu yang dipikirkannya"
t . c Ibu baik-baik saja. Pak Ario mencoba menyembunyikan kegetiran dalam suaranya. Dan karena dia menekan perasaannya sedemikian rupa, suara itu jadi terdengar dingin di telinga Rianti.
Saya pasti hadir di pengadilan minggu depan, Mas, kata Rianti dengan perasaan tidak enak. Saya akan mengambil cuti dua hari untuk pulang ke Jakarta. Sekalian menengok Ibu.
Ibu lagi. Benar-benar cuma Ibu yang dipikirkannya! Pak Ario jadi menyesal tidak membawa ibunya kemari! Dan Pak Ariffin muncul pada saat yang paling tidak diinginkan. Begitu melihat siapa yang hadir di kamar kerjanya, wajahnya langsung berubah.
Pak Ario! cetusnya tanpa mengulurkan tangannya. Dia langsung duduk di balik meja tulisnya.
Kemenakan Pak Ariffin yang menjadi direktur kantor cabang Bumi Makmur di Surabaya menjadi salah tingkah. Dia tidak tahu harus menjabat tangan Pak Ario atau mengikuti jejak pamannya.
Apa kabar, Pak Ario" sambung Pak Ariffin sambil berpura-pura sibuk mencari sesuatu di laci meja tulisnya.
Saya minta izin mengajak Rianti keluar sebentar.
Pak Ario mencoba memperlunak nada suaranya yang kaku. Bahkan untuk mengajak istrinya sendiri dia harus minta izin pada laki-laki lain!
t . c Oh, tentu saja boleh! Tapi tolong, jangan sekarang, Pak Ario! Kami ada meeting. Penting sekali.
Pak Ariffin menyambar sebuah agenda. Dan melangkah ke ruang pertemuan.
Maaf, saya tinggal sebentar, Pak Ario. Ayo, Rian, Rusli, kita sudah terlambat!
Terpaksa Rianti bangkit dari balik meja tulisnya.
Maaf, Mas, gumamnya dengan perasaan tidak enak. Diambilnya sebuah file. Didekapnya ke dadanya. Kemudian dia melangkah mengikuti majikannya.
Tolong minumannya, El, pintanya kepada salah seorang pembantunya, Mau minum apa, Mas"
Tidak usah. Terima kasih, sahut Pak Ario menahan marah. Dia langsung keluar. Tetapi tidak pulang ke hotel. Ditunggunya di luar sampai Rianti muncul kembali bersama Pak Ariffin dan kemenakannya.
Pak Ariffin sendiri yang mengantarkan Rianti ke mobilnya. Dia pula yang membukakan pintu meskipun sopir Rianti sudah siap melakukannya. Pak Ariffin baru melangkah ke mobilnya sendiri setelah mobil yang membawa Rianti meluncur keluar dari halaman kantor.
Ketika Pak Ario sedang berdiri di tepi jalan untuk mencari kendaraan yang dapat ditumpanginya mengikuti mobil Rianti, sebuah mobil berhenti di hadapannya. Pintu belakang sebelah kiri langsung
t . c terbuka. Pak Ario melongok ke dalam. Dan melihat Ir. Rusli di bangku belakang.
Silakan naik, Pak Ario, sapanya ramah. Boleh mengantarkan Anda"
Terima kasih. Tanpa ragu-ragu Pak Ario melangkah masuk ke dalam mobil.
Ke hotel" Ke rumah Rianti, sahut Pak Ario mantap. Sedetik Ir. Rusli tertegun. Tetapi pada detik berikutnya dia sudah menginstruksikan sopirnya untuk meluncurkan mobil mereka ke rumah Rianti.
Saya tidak ingin mencampuri urusan rumah tangga Pak Ario, kata Ir. Rusli sambil menawarkan rokoknya. Tapi kata Paman, Pak Ario dan Rianti akan bercerai.
Rianti yang ingin bercerai. Pak Ario mengambil sebatang rokok yang ditawarkan dan menyulutnya. Saya tidak.
Ir. Rusli mengembuskan asap rokoknya lebih dulu sebelum membuka mulutnya lagi.
Pak Ario, apakah Anda sudah tahu, Paman telah menceraikan istrinya"
Hampir lepas rokok itu dari celah-celah bibir Pak Ario. Rahangnya langsung mengejang. Dan tinjunya terkepal erat.
Maafkan saya, Pak Ario, sambung Ir. Rusli dengan perasaan tidak enak. Sekali lagi saya ulangi, saya tidak ingin mencampuri urusan pribadi Anda. Tapi Paman Ariffin sangat baik pada saya. Walau-
t . c pun saya pribadi tidak setuju Paman menikah dengan wanita yang seumur dengan anaknya, saya tidak ingin Anda mengganggu hubungan Paman dengan Rianti. Kata Paman, dialah yang lebih dulu menemukan Rianti. Tapi Paman telah mengalah pada Anda. Membiarkan Pak Ario memiliki Rianti. Paman baru mencoba lagi setelah Anda menyianyiakan istri Anda. Paman ingin membahagiakan Rianti. Sesuatu yang tidak dapat Anda berikan padanya, Pak Ario.
Tolong antarkan saya ke lapangan terbang. Pak Ario memadamkan rokoknya di dasar asbak. Jika Rianti memilih menjadi istri Pak Ariffin, saya harus menghormati pilihannya. Pak Ariffin benar. Saya telah diberi kesempatan. Dan saya telah menyianyiakan kesempatan itu. Tak pantas saya mencoba mengambil kesempatan berikutnya. Saya harus memberikan kesempatan kepada orang lain.
* * * Rianti merasa heran ketika suaminya tidak menemuinya lagi. Di kantor maupun di rumah.
Tidak ada yang mencari saya, Bu" tanya Rianti penasaran setiap pulang dari kantor.
Tidak ada, sahut Ibu yang sedang menjahit tirai baru untuk jendela. Siapa yang kamu tunggu, Rian"
Kemarin Mas Ario datang ke kantor.
t . c Rianti memutuskan untuk berterus terang saja. Percuma membohongi Ibu.
Kebetulan saya sedang sibuk, Bu. Ada meeting yang tidak dapat saya tinggalkan.
Ada apa" Kentara sekali wajah Ibu langsung berubah. Dihentikannya kerjanya. Ditatapnya Rianti dengan sungguh-sungguh. Mengapa dia mencarimu"
Saya belum sempat menanyakannya, Bu. Seharusnya kamu tanyakan dulu. Jauh-jauh dia datang mencarimu ke Surabaya. Mungkin ada hal yang penting yang harus disampaikannya padamu.
Memang salah saya, Bu. Nanti kalau ketemu lagi di Jakarta, saya akan minta maaf.
Kamu tidak ingin rujuk lagi, Rian" tanya Ibu sambil menghela napas panjang.
Jangan bicarakan soal itu lagi, Bu, pinta Rianti sungguh-sungguh. Keputusan saya sudah bulat. Saya akan memberikan kesempatan kepada Mas Ario untuk membahagiakan anaknya.
Rian. Ibu meletakkan jahitannya. Dan menghampiri putrinya. Kamu masih sakit hati pada suamimu"
Sakitnya memang masih terasa, Bu. Tapi Mas Ario sudah saya maafkan. Saya tidak mendendam padanya.
Ibu tidak akan mendesakmu lagi untuk rujuk, Rian. Tapi kamu masih muda. Jangan sampai per-
t . c ceraian ini membuatmu takut mencoba lagi. Jangan sampai kamu membenci laki-laki. Tidak semua laki-laki seperti suamimu.
Saya belum memikirkan perkawinan lagi, Bu. Ibu tahu. Ibu hanya tidak ingin kamu begini terus seumur hidup.
Apa salahnya hidup menjanda, Bu" tanya Rianti lunak. Rianti masih memiliki orangtua dan adik-adik. Rianti tidak merasa kesepian.
Tapi Ibu dan adik-adikmu tidak selamanya dapat mendampingimu, Rian. Suatu hari kita mesti berpisah juga.
Suatu hari semua orang mesti berpisah, Bu. Tidak ada yang abadi.
Ibu ingin meninggalkanmu kalau sudah ada laki-laki yang dapat melindungimu, Rian. Ibu menyusut air mata yang meleleh ke pipinya. Setiap malam Ibu selalu berdoa semoga Tuhan menganugerahimu dengan kebahagiaan. Semoga dia memberimu seorang suami yang baik, anak-anak yang manis&
Ibu. Rianti merangkul ibunya dengan terharu. Sudahlah. Jangan terlalu banyak pikiran. Rianti sudah menganggap perceraian ini sebagai cobaan yang harus dihadapi, Bu. Tuhan tidak akan melupakan hamba-Nya yang tawakal.
* * * t . c Saya jemput kamu nanti malam pukul tujuh, kata Pak Ariffin sesaat sebelum menutupkan pintu mobil Rianti. Ingat, tidak ada alasan lagi untuk tidak pergi. Besok saya kembali ke Jakarta. Mungkin baru bulan depan saya dapat ke Surabaya lagi.
Tapi saya sudah janji akan mengantarkan Ibu ke dokter gigi, Pak, sanggah Rianti rikuh.
Bukan baru pertama kali ini Pak Ariffin mengajak Rianti pergi makan malam. Tetapi belum pernah dia terlihat begitu memaksa seperti sekarang. Firasat Rianti membisikkan Pak Ariffin akan mengemukakan sesuatu yang penting. Dan entah mengapa, dia merasa takut.
Rianti sudah mendengar desas-desus perceraian majikannya itu. Dan dia tidak mau orang-orang menyalahkannya sebagai sumber perceraian mereka. Dia tidak pernah memberi harapan kepada Pak Ariffin. Pergaulan mereka selama ini tidak lebih dari sekadar hubungan antara karyawan dan majikan. Tak pernah melampui batas.
Rianti memang menghormati Pak Ariffin. Tapi tidak pernah mencintainya. Dia pernah dibawa majikannya untuk berkunjung ke rumahnya. Entah disengaja entah tidak, Pak Ariffin mengajaknya mampir sepulangnya meninjau salah satu proyeknya di Jakarta.
Rianti tidak dapat menolak karena kebetulan mereka semobil. Dan melihat sikap ketujuh anak Pak
t . c Ariffin, Rianti bertekad untuk tidak menikah dengan laki-laki itu sekalipun di dunia ini sudah tidak ada lagi laki-laki yang mau menikahinya.
Saat itu Pak Ariffin memang belum bercerai. Meskipun sudah hampir tiga tahun dia berpisah rumah dengan istrinya. Anak-anaknya tinggal bersamanya. Istrinya pulang ke rumah orangtuanya.
Anaknya yang sulung seumur dengan Rianti. Yang bungsu baru duduk di kelas satu SD. Tetapi mereka sudah mengerti apa artinya kehadiran seorang wanita baru dalam kehidupan ayahnya.
Dan kalau mereka masih boleh memilih, mereka lebih suka ikut ibu kandung daripada ibu tiri, bagaimanapun tampak baiknya si calon ibu tiri itu.
Setengah hari ini kamu tidak usah kembali ke kantor. Pak Ariffin membuyarkan lamunan Rianti. Dari notaris kamu langsung pulang saja. Antarkan ibumu ke dokter gigi atau ke mana saja!
Tapi akte notaris ini dibutuhkan Pak Rusli sore ini juga, Pak&
Suruh saja Pak Tejo mengantarkannya ke kantor.
Dokter giginya baru praktek pukul lima, Pak. Maksud saya&
Datanglah pukul empat! Supaya bisa pulang lebih cepat!
Pak Ariffin menutupkan pintu mobilnya. Dan Pak Tejo langsung meluncurkan mobilnya ke pintu
t . c keluar halaman kantor setelah menerima isyarat dari majikannya.
Di pintu, mobil itu hampir melanggar seorang perempuan tua yang sedang tertatih-tatih melangkah dengan tongkatnya. Pak Tejo menginjak rem. Dan membuka kaca jendela mobilnya dengan jengkel.
Jalannya kurang ke tengah, Bu! geramnya sengit.
Terkejut karena hampir melanggar mobil, perempuan itu tersentak ke samping. Kehilangan keseimbangan. Dan hampir jatuh bila seorang petugas satpam tidak menangkap tubuhnya dengan cekatan.
Mau ke mana, Bu" tegur satpam yang menolongnya. Di sini banyak mobil yang keluar-masuk. Seharusnya Ibu lewat pintu itu. Khusus untuk pejalan kaki.
Kasihan, gumam Rianti sambil membuka pintu mobil. Ibu itu pasti kaget sekali. Sudah tua, memakai tongkat pula& Dan Rianti memekik tertahan, Ibu!
Rianti! Bu Danu menggapai menantunya dengan lega. Jadi benar di sini kantormu!
Ibu! Rianti merangkul ibu mertuanya dengan cemas. Ibu tidak apa-apa"
Cuma kaget. Terima kasih, Mas Salam, kata Rianti pada satpam yang masih menopang Bu Danu. Biar saya yang memapah Ibu.
t . c Duduk dulu saja di sini, Mbak Rianti. Kelihatannya Ibu masih lemas.
Ibu tidak apa-apa. Ibu hanya ingin mengajakmu pulang, Rian.
Ibu! sergah Rianti kuatir. Mas Ario& tidak apa-apa"
Sepulangnya dari Surabaya hampir tiap malam dia mabuk&
Rianti! tegur Pak Ariffin yang segera menghampiri mereka, begitu menyaksikan kejadian itu dari kejauhan. Ada apa"
Tentu saja Bu Danu kenal Pak Ariffin. Lebih dari itu, dia juga tahu apa artinya ancaman yang datang dari laki-laki ini. Karena itu, tanpa memalingkan wajahnya dari Rianti, pintanya memelas, Pulanglah, Rian. Ario sakit.
Seumur hidup, Bu Danu belum pernah memohon. Tetapi bukan itu yang membuat Rianti memutuskan untuk kembali ke Jakarta saat itu juga.
Maafkan saya, Pak, cetus Rianti pada Pak Ariffin. Saya harus ke Jakarta. Mas Ario sakit&
* * * Tentu saja Pak Ario tidak sakit. Itu cuma ulah ibunya. Rianti tidak kecewa ketika menemukan suaminya tidak ada di rumah sore itu. Dia masih di kantor.
t . c Kau marah pada Ibu, Rian" tanya Bu Danu tanpa perasaan bersalah.
Tentu saja tidak, Bu. Saya hanya heran& Tinggallah di sini malam ini. Dan kau akan melihat penyakit suamimu. Bukan fisiknya yang sakit tapi jiwanya.
Mas Ario& Rianti memalingkan wajahnya dari tatapan ibu mertuanya. Masih tinggal di sini" Di mana lagi"
Mas Ario& tidak menginap di Cinere" Jadi kau belum tahu!
Sekarang Ibulah yang menatap Rianti dengan heran.
Rianti menoleh mendengar nada suara Bu Danu.
Ada apa, Bu" tanyanya dengan dada berdebardebar. Mereka tidak sedang bertengkar lagi, kan"
Karin sudah kembali ke Jerman bersama anaknya.
Rianti terenyak kaget. Matanya menatap Bu Danu dengan nanar.
Kasihan Mas Ario, bisiknya lirih. Itu sebabnya dia kembali lagi pada kebiasaan lamanya. Mabukmabukan.
Dia baru mabuk setelah kembali dari Surabaya, sanggah Bu Danu tegas. Bukan setelah Karin pergi.
Tapi& apa yang terjadi di Surabaya"
t . c Ibulah yang harus bertanya padamu. Tapi Mas Ario tidak mengatakan apa-apa pada saya!
Juga tentang kepergian Karin"
Rianti menggeleng lirih. Mungkinkah Mas Ario belum sempat mengatakannya"
Hari itu dia pergi ke Surabaya dengan penuh semangat. Katanya dia ingin mengajakmu pulang. Tapi hari itu pula dia kembali ke rumah. Lesu dan putus asa. Dia tidak mengatakan apa-apa pada Ibu. Percuma Ibu mendesaknya terus. Dia menumpahkan perasaannya hanya kepada minuman keras. Mabuk. Itulah kerjanya setiap malam.
Dan memang itulah yang dilihat Rianti ketika suaminya pulang pada pukul dua belas malam. Ibu sudah lama masuk ke kamar. Rianti yang menyuruhnya tidur lebih dulu.
Sudah setiap malam Ibu menunggu Mas Ario pulang, kata Rianti lembut. Dibantunya Ibu mertuanya masuk ke dalam kamar. Sekarang lebih baik Ibu tidur. Biar saya yang menunggu Mas Ario.
Untuk pertama kalinya Bu Danu tidak membantah. Tanpa berkata sepatah pun dia naik ke tempat tidur. Rianti menyandarkan tongkatnya di sisi pembaringan. Kemudian diselimutinya tubuh ibu mertuanya baik-baik.
Selamat tidur, Bu, katanya sambil memadamkan lampu. Jangan pikirkan apa-apa lagi.
t . c Bu Danu tidak menyahut. Tetapi ketika Rianti mencapai ambang pintu, dia mendengar namanya dipanggil. Dia kembali ke sisi tempat tidur. Disentuhnya tangan ibu mertuanya dengan lembut.
Ada seberkas cahaya lemah menerobos melalui celah pintu yang separuh terbuka. Sebagian cahaya itu jatuh menyinari wajah Bu Danu. Dan untuk pertama kalinya Rianti melihat kilatan air yang berkilauan di sudut mata perempuan yang keras hati ini.
Tahu apa keinginan Ibu yang belum pernah Ibu katakan pada siapa pun, Rian" bisik Bu Danu sambil menggenggam tangan Rianti.
Rianti menggeleng dalam gelap. Meskipun Bu Danu tidak dapat melihatnya, dia bisa merasakannya.
Ibu ingin mempunyai seorang anak perempuan.
Kata-katanya demikian sederhana. Tapi kata-kata yang sederhana itu mampu mengharubirukan perasaan Rianti. Dikecupnya pipi Bu Danu dengan air mata berlinang. Dibisikkannya dengan penuh keharuan di telinga mertuanya.
Sekarang keinginan Ibu telah dikabulkan Tuhan.
Lalu Bu Danu melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukannya selama ini. Dia merangkul Rianti lebih dulu. Dan membiarkan air matanya membasahi wajah dan leher menantunya.
t . c * * * Pak Ario melangkah masuk dengan terhuyunghuyung. Dia tidak merasa perlu melihat siapa yang membukakan pintu untuknya. Siapa lagi. Kalau bukan Ibu, tentu si Romah.
Tanpa menoleh sekejap pun pada perempuan yang tegak di balik daun pintu itu, Pak Ario melangkah sempoyongan menuju ke kamar tidurnya. Itulah kebiasaannya setiap malam. Pulang dari kantor dia langsung ke pub. Minum sampai mabuk. Dan masuk ke kamar tidurnya dalam keadaan separuh sadar.
Besok pagi dia akan terjaga dalam keadaan pusing. Merendam tubuhnya dalam bak mandi. Dan membasahi kepalanya dengan air pancuran.
Lalu Pak Ario akan merasa lebih segar. Bersantap pagi bersama Ibu dan sehelai koran. Kemudian menuju ke kantor.
Tenggelam dalam kesibukan kerjanya memang dapat melupakan kesedihan hatinya. Tetapi tatkala semua kesibukan berakhir, dia harus mencari teman lain yang dapat mengusir Rianti dari kepalanya. Dan dia menemukan teman yang dicarinya itu dalam busa minuman keras.
Heran. Dia belum pernah merasa kehilangan Rianti seperti saat ini. Ketika perempuan itu masih tinggal bersamanya, dia malah belum pernah merasa demikian mencintainya seperti sekarang.
t . c Laki-laki memang makhluk yang paling egois. Ketika miliknya hampir diambil orang, dia baru menyadari apa artinya kehilangan.
Selangkah lagi sebelum mencapai pintu kamarnya, Pak Ario tersandung sesuatu di lantai. Dia terjerembap. Jatuh tersungkur di depan pintu.
Rianti menutup mulutnya dengan tangan. Mencegah jerit kekagetan yang hampir terlompat dari celah-celah bibirnya.
Pak Ario merangkak bangun dengan limbung. Menggapai-gapai handel untuk membuka pintu. Dan tanpa berpikir lagi, Rianti menghambur lari untuk membantunya.
Mari saya tolong, katanya sambil membukakan pintu.
Dan Pak Ario yang sedang separuh bersandar ke pintu itu langsung terjerembap ke dalam. Tepat seperti kejadian di Kairo. Hampir dua tahun yang lalu.
Rianti memekik tertahan. Buru-buru dia berlutut untuk membangunkan suaminya. Tetapi tubuh Pak Ario terlalu berat.
Ketika laki-laki itu berbalik dengan tiba-tiba, Rianti malah ikut tersungkur. Dan Pak Ario yang sudah separuh mabuk itu kehilangan keseimbangannya. Tubuhnya jatuh menindih Rianti. Dan kepalanya membentur kaki tempat tidur.
Sekali lagi Rianti mengaduh kesakitan. Tetapi Pak Ario seperti baru terjaga dari mimpi yang amat
t . c memukau. Rasa sakit di kepalanya yang mengembalikan sebagian kesadarannya. Pekikan tertahan Rianti menyentakkannya dari alam kegelapan yang hampir menelannya.
Ada seorang wanita dalam dekapannya. Hangat dan lembut. Aroma keharuman tubuhnya mengingatkannya pada seseorang& seseorang yang sekali waktu dulu pernah berada begitu dekat dengan dirinya& seseorang yang suaranya demikian dikenalnya& seseorang yang&
Rianti! gumamnya tak percaya. Rianti! Dipeluknya wanita itu lebih erat lagi. Diciuminya dengan penuh kerinduan.
Sia-sia Rianti berusaha menolak. Bukan karena suaminya terlalu kuat. Tetapi karena tubuhnya sendiri tidak ingin dilepaskan. Dia sendiri sia-sia memadamkan kerinduan yang bergejolak minta dipuaskan. Sia-sia dia mengkhayalkan betapa menjijikkannya lengan suaminya. Lengan yang pernah memeluk seorang perempuan lain&
Ketika lengan itu memeluk tubuhnya, seluruh jaringan saraf di tubuhnya malah bersorak seperti menyambut pemiliknya yang telah lama pergi. Ketika bibir suaminya mengulum bibirnya dengan penuh kerinduan, percuma saja Rianti mencoba membayangkan seorang perempuan lain. Dia malah sudah tak dapat membayangkan apa-apa lagi. Bibirnya seperti lepas dari kontrol otaknya. Bibir itu sendiri yang balas memagut dengan sama mesranya.
t . c Rianti bahkan sudah melupakan betapa memuakkannya bau alkohol yang keluar dari mulut suaminya&
Lalu semuanya terjadi dengan sendirinya. Tak ada kesakitan yang menakutkan Rianti. Tak ada kekerasan yang mengingatkannya pada kejadian yang memalukan pada hari dia kehilangan anaknya itu. Semuanya berlangsung dengan cepat dan mulus.
Kekasaran suaminya cuma didorong oleh kerinduannya yang sudah lama terpendam. Dan dalam waktu yang sekejap itu, semuanya terlupakan. Yang ada dalam hati Rianti hanyalah sebongkah cinta kasih yang mencair seperti salju yang meleleh menuruni lereng gunung.
Sementara bibir suaminya terus-menerus mendesahkan namanya, tubuh mereka bersatu dalam dekapan kebahagiaan.
Tak ada suara apa-apa lagi yang terdengar pada tengah malam yang sepi itu, kecuali desah napas mereka yang berpacu dengan detak jarum jam.
Bu Danu menutupkan pintu kamarnya dengan sepelan mungkin agar tidak terdengar suara yang ketiga.
t . c Lengkapi Koleksi Anda GRAMEDIA penerbit buku utama
t . c GRAMEDIA penerbit buku utama Lengkapi Koleksi Anda
t . c t . c NOVEL DEWASA Mira W. i r a i T e p i J e r a m e h a n c u r a n Mira W. Di Tepi Jeram Kehancuran Akan kita kalahkan perempuan itu, Rianti. Enam tahun yang lalu Ibu sudah pernah mengalahkannya! Waktu itu, mereka juga sudah punya anak!
Tapi saya tidak sampai hati memisahkan mereka, Bu! Anak itu membutuhkan ayah& .
Dan kau tidak membutuhkan suamimu, anak bodoh"
Tentu saja saya membutuhkan suami saya, Bu. Tapi jika kebahagiaan saya harus ditukar dengan penderitaan seorang anak kecil&
Di tepi jeram kehancuran Yang hampir menjerumuskan bahtera
impian Rianti dihadapkan pada dua pilihan Kebahagiaan
Atau& Pengorbanan"
t . c Name Of Rose 9 Mockingjay Buku Terakhir Trilogi Monk Sang Detektif Genius Karya Lee Goldberg Pedang Dan Kitab Suci 4
^