Pencarian

For Better Or Worse 1

For Better Or Worse Karya Christina Juzwar Bagian 1


agi sudah menjelang dan matahari sudah keluar dari sarangnya. Sinarnya baru terlihat sedikit, tetapi di sebuah rumah bernomor 18, rumah berwarna putih dengan lis hitam, sudah terdengar keramaian. Atau, lebih tepatnya, kehebohan.
Seorang gadis kecil menangis karena ngompol di ranjang setelah bangun tidur. Tak lama berselang, seorang lelaki kecil berhidung mancung berteriak marah karena kaus kaki kesayangannya yang bergambar karakter film Cars ternyata dicuci. Padahal, dia ingin sekali memakainya hari itu. Belum lagi seorang lelaki dewasa berambut pendek dan rapi ribut mencari dasi keberuntungannya. Dia memiliki bentuk hidung yang mirip dengan anak lelaki pencinta Cars tadi. Kacamatanya terlihat berkilat bening.
Jul, kamu yakin nggak lihat dasi aku" Dimainin sama Emili, ya" Dia berseru dengan suara tertelan lemari. Maklum, kepalanya terbenam di antara baju-baju dalam lemari pakaian.
Mamiii ... aku, kan, udah bilang, kaus kakiku itu jangan dicuci!!!
Huaaa!!! Mamiii ... aku basahhh!!
Seorang perempuan hanya bisa menggelengkan kepala
t . c melihat kericuhan yang terjadi di rumahnya. Sebenarnya, dia berparas cantik, tetapi penampilannya pagi ini sama sekali tak ada cantik-cantiknya. Rambutnya tergelung ke atas dan dijepit asal dengan jepitan bebek berwarna hitam. Dua gigi jepitan itu sudah patah. Seorang gadis kecil dengan keingintahuan yang tinggi memainkannya. Dia hanya penasaran, apakah dengan hilangnya beberapa gigi jepitan itu masih bisa menjepit rambut maminya. Untung saja teorinya benar.
Perempuan itu adalah ... aku.
Panggilanku banyak, mulai dari Mami, Mam, July, sampai Babe. Dua panggilan terakhir hanya oleh suamiku, Martin Putra. Morning chaos seperti ini sudah menjadi bagian setia dari setiap pagiku.
Mamiii!!! Emilia Putra, gadis kecilku yang baru berumur empat tahun, kembali berteriak sambil menangis. Aku berjalan mendekatinya. Kali ini aku mendelik. Eh, buset, dia sudah telanjang saja. Sepertinya, dia sudah terlebih dahulu berinisiatif membuka sendiri pakaian tidurnya.
Aku menarik napas panjang. Baru juga melangkah hendak menghampirinya, dia malah berteriak kembali. Kali ini si gadis cilik tukang ngoceh itu tidak lagi menangis. Dia menjerit-jerit girang sambil berlari kencang seperti celurut kecil. Ya, ampunnn ... kalau melihat kelakuannya sekarang ini, aku yakin banget bahwa aku sudah mengambil keputusan yang salah dahulu sewaktu hamil Emilia. Dahulu aku ngotot serta merengek ingin makan kepiting. Mau tahu hasilnya" Itu, tuh, yang lagi berlarian tanpa henti mengelilingi ruang keluarga, kemudian berlanjut ke ruang makan, dapur hingga ... buk!
Huaaa!!! Mamiii! Sakittt!
Aku menghela napas dan memberikan cengiran yang lebar kepada Martin, yang sedari tadi masih mencari dasi keberuntungan berwarna ungu. Namun, sepertinya dia sudah
t . c menemukannya. Dia mengangkat Emilia yang masih terduduk sambil menangis karena tersandung mainannya sendiri.
Kamu ngapain, sih, telanjang begini, Angel" tanya Martin kepada anak perempuannya yang selalu dia panggil dengan angel atau malaikat. Karena Emilia adalah anak kesayangan Papi, bisa ditebak bahwa dia langsung gelendotan dengan manjanya sambil merangkul leher papinya dengan erat. Tangisnya usai dan gelitikan Martin membuatnya lupa akan sakitnya. Dia kembali tertawa cekikikan. Gelak tawa serta-merta memenuhi seluruh penjuru rumah.
Martin menyerahkan Emilia kepada ART kami, Mbak Nani, untuk dimandikan. Akhirnya, satu krucil sudah teratasi tanpa perlu mengeluarkan tenaga Rambo. Sekarang tinggal satu lagi. Aku segera mendekati Ernest Putra, anak lelakiku yang berumur delapan tahun. Dia duduk di ranjangnya dengan manyun berat alias ngambek karena kaus kaki kesayangannya ternyata dicuci. Sumpah, aku nggak tahu dan nggak sengaja.
Kak, pakai yang lain aja, ya. Kan, masih ada yang bagus, tuh, aku membujuknya.
Ternyata, Ernest masih tetap ngotot ingin memakai kaus kaki tercintanya. Tapi, aku mau yang Cars, Mamiii .... Yang lain, kan, biasa, polos. Hari ini hari bebas.
Iya, aku tahu. Rabu adalah hari bebas, anak-anak bisa memakai baju, celana, dan sepatu bebas, termasuk kaus kaki. Aku jadi teringat bahwa aku pernah membelikannya sepasang kaus kaki dan belum pernah digunakan. Buru-buru aku mengambil di laci dan menunjukkannya kepada Ernest.
Pakai yang ini aja, ya. Bukan gambar Cars, sih, tapi sama kerennya, kok. Aku menunjukkannya kepada Ernest. Wajahnya masih menunjukkan keraguan. Kemudian, aku berbisik di telinganya, Mami yakin, belum ada, loh, teman-
t . c teman kamu yang punya. Ini model terbaru.
Bujukanku ternyata berhasil. Ernest langsung tersenyum dan mengambil kaus kaki bergambar karakter Ben Ten dan memakainya dengan bangga. Aku menghela napas lega. Another solution for morning problem. Aku berdiri dan menatap krucil lainnya yang melenggang dengan wajah gembira. Kemudian, aku merasakan pinggangku dipeluk hangat dan pipiku dikecup bibir yang lembut.
Babe, aku jalan dulu, ya.
Oke. Hati-hati, Hon. Martin kembali lagi ke dalam karena ponselnya ketinggalan. Dia muncul lagi dari dalam sambil berkata, Jangan lupa jemput Ernest, ya. Hari ini Emili libur, kan"
Aku tersenyum dan mengangguk. Aku pun mengantarkan kedua orang yang kusayangi itu untuk berangkat kerja dan sekolah. Aku menunggu sampai mobil yang membawa keduanya menghilang dari pandangan dan ....
Mamiiii!!! Baik tukang sayur maupun tukang roti yang sedang lewat sama-sama menoleh mendengar teriakan superkencang dari suara Emilia. Sumpah, pengin banget, deh, ngumpet di pohon palem depan rumah saking malunya. Aku bergegas masuk dan mencari tahu apa yang diinginkan oleh Emilia kali ini. Mamiiii!!!
Ya ampun, Emilia, suaranya!
Darl, lo ada di mana, sih" Gue teleponin lo susahnya amitamit. Gantung, tuh, handphone di leher lain kali. Lo lihat deh, tuh, missed call. Sepuluh biji ada kali.
Aku tertawa mendengar nyinyiran Gita, Si Mama Funky yang rambutnya berwarna cokelat terang. Sambil mengepit ponsel di antara telinga dan pundak, aku menutup pintu mobilku yang mungil. Iya, nggak kedengeran Git, sorry.
t . c Suara Gita terdengar lagi, Eh, serius, deh. Lo di mana, sih" Kok, gue dengar suara pintu mobil ditutup.
Dengan sedikit kewalahan, akhirnya aku berhasil mengosongkan mobilku yang berwarna pink itu. Gue baru sampai rumah, Git. Baru jemput anak-anak. Emili tidur, gue mesti gendong dia.
Oh. Nada suara Gita menurun. Gue cuma mau mastiin, entar sore jadi, kan"
Bentar, Git. Aku menurunkan ponsel dan mengambil tubuh Emilia yang tertidur lagi begitu aku gendong. Menggendongnya juga nggak mudah karena Emilia berat banget. Kayak menggendong satu galon air.
Setelah sampai di kamar Emilia, aku menaruh ponselku di meja belajar mungil milik Emilia dan berikutnya menaruh Tuan Putri yang masih terlelap itu di ranjang. Dia sempat menggeliat sebelum akhirnya memeluk guling dan mendesah nyaman. Aku menyambar ponselku kembali sambil mengusap kepala Ernest serta menyuruhnya untuk makan siang dahulu.
Kak, makan dulu, gih. Mbak Nani sudah siapin, tuh. Bentar lagi Mami nyusul. Ernest pun mengangguk patuh. Begitu Ernest pergi ke meja makan, aku menempelkan kembali ponselku di telinga. Satu tanganku yang bebas membuka kulkas untuk mengambil air dingin dan meneguknya cepat untuk melepas dahaga. Udara panas siang menjelang sore ini benar-benar menggila. Bikin gerah kebangetan.
Setelah semua sudah selesai, aku duduk di teras belakang rumah yang mungil dengan sepetak taman kecil. Aku selalu suka berada di sini, memandangi pohon cemara mungil di pojokan dan hamparan rumput hijau yang bikin adem. Anakanak juga sering menggunakan halaman mungil ini sebagai tempat bermain mereka.
Gue udah bebas. Aku memberi tahu Gita.
t . c Just want to make sure arisan kita sore ini. Jadi, kan" Jadi, dong. Gue nyampe jam setengah enam. Yang lain sudah oke juga, kan"
Lah, bukannya lo yang punya rumah"
Tapi, lo, kan, ketua panitia arisan bulan ini, Darl" balas Gita nggak mau kalah. Aku jadi gemas mendengarnya. Aku pun menggodanya. Iya-iya ..., tapi bulan depan lo, kan" Tapi, di rumah lo lagi, ya, biar double sibuknya.
Gita tertawa garing dan cepat menyahut, Hahaha. Thanks for reminding me. Sampai ketemu sore nanti, ya. Gue mau beli makanan dulu. Kalau bisa, sih, ingetin lagi yang lain, ya.
Oke. Setelah menutup telepon dari Gita, aku menemani Ernest menghabiskan makan siangnya. Begitu suapan terakhir masuk ke dalam mulut mungilnya, Ernest berkata kepadaku, Mam, aku mau main dulu boleh, ya.
Mau main apa" Kakak nggak ada pe-er"
Ernest menggeleng sambil mengelap mulutnya dengan punggung tangan. Ada sisa air di atas bibirnya. Nggak ada, Mam.
Ulangan" Ernest kembali menggeleng. Boleh, ya" Aku mau main lego.
Aku mengangguk. Tapi, mainnya jangan di kamar, ya. Emili lagi bobok. Lalu aku mengambil tasnya dan mengecek buku tugas Ernest untuk memastikan tidak ada PR dan ulangan.
Ernest lagi demen-demennya main lego. Karena tidak ada pe-er dan ulangan, aku mengizinkannya. Wajahnya menjadi cerah dan segera berlari mengambil ember berisi lego dan mulai membentuknya. Aku menyempatkan diri beristirahat sejenak dengan merebahkan diriku di sofa.
t . c Kemudian, tanganku menggapai dan mengambil majalah yang tergeletak di bawah meja. Tak jauh dariku, Ernest sedang bermain dengan asyiknya yang membuat dia tak menghiraukan sekelilingnya.
Waktu berlalu cepat, tidak terasa ketika terdengar suara Emilia yang memanggilku. Suara malaikat mungil berambut ikal itu seperti sebuah alarm sore untuk kami semua. Mbak Nani sudah sibuk menyiapkan air hangat untuk Emilia sehingga begitu Emilia benar-benar terbangun, aku bisa segera memandikannya. Ernest menyusul setelah aku selesai memandikan Emilia. Aku melirik ke jam berbentuk kotak di dinding, sudah pukul 5.30 sore. Setelah memastikan anakanak sudah beres dan sedang asyik bermain ditemani Mbak Nani, sekarang giliranku untuk mandi.
Sepuluh menit kemudian, aku keluar dari kamar mandi hanya dengan berbalut handuk. Aku sedikit terkejut ketika mendapatkan seseorang sudah berada di dalam kamar. Untung saja aku tidak menjerit. Aku memegang dadaku yang berdebar keras. Kutatap Martin agak keki, mengingat kemunculannya di dalam kamar tidak menimbulkan suara sama sekali. Persis tuyul.
Kamu bikin kaget aja. Aku berkata pelan sementara jantungku masih melompat-lompat. Sepertinya, dia baru saja sampai. Ikat pinggangnya masih terpasang rapi, hanya tiga kancing atas kemejanya yang sudah terbuka.
Hai ..., sapa Martin yang langsung mendaratkan ciumannya.
Mau ke mana sudah wangi begini" dia bertanya dengan pandangan menyelidik.
Aku menatapnya seolah dia sedang bertanya, Gimana kalau kita ke Bali detik ini juga" Mataku menyipit. Sambil berkacak pinggang, aku menjelaskan kepadanya dengan nada yang sedikit jengkel, Aku mau ke rumahnya Gita. Aku udah bilang ke kamu dari jauh-jauh hari makanya kamu
t . c pulang on time, remember"
Raut wajah Martin seperti berpikir keras, lalu sebuah senyuman muncul. Aku tahu senyuman itu. Senyum jail. Aku tahu dia sedang menggodaku. Mataku menyipit, sedangkan raut wajah laki-laki tampan di depanku sekarang malah terlihat sedih, Aku kira aku yang bakal pergi dengan kamu. Wangi kamu menggoda banget, sih.
Aku memukul dadanya yang bidang dan mendorongnya agar melepaskan pelukannya. Alasan aja.
Martin membuka bajunya. Aku serius, Babe. Aku segera melayangkan cubitan tepat di perutnya. Dia mengaduh kesakitan. Kamu jahat.
Kamu pikun, sahutku. Martin tertawa. Cepat-cepat aku memilih baju dan berdandan. Dalam waktu singkat aku sudah siap untuk pergi arisan.
Tanpa kusadari Martin sudah menghilang dari kamar. Aku berjalan menuju kamar anak-anak dan menemukan mereka bertiga sedang asyik bermain.
Aku pergi dulu, Hon. Aku pamitan kepada Martin. Wajahnya tertutup tubuh Emilia yang sedang digelitiki papinya. Gadis kecil itu tertawa dan menjerit kegelian. Tak lama kemudian, aku melihat Ernest ikut bergabung. Seisi kamar langsung riuh seperti sedang ada kerusuhan. Aku hanya bisa menggelengkan kepala.
Aku nggak akan lama, Hon. Oke, Babe.
Kalau repot, minta Mbak Nani bantuin, ya. Ajak anakanak makan di meja makan, ya, jangan di sofa. Aku menatap cermin yang ada di belakang pintu, memeriksa apakah alisku sudah kulukis dengan cukup rapi. Aku juga mematut diriku untuk memastikan bahwa bajuku pantas dan tidak terlalu santai. Aku tidak boleh memilih sembarang
t . c busana kalau mau bertemu Gita. Soalnya, Si Fashion Police itu pasti bakalan ngomel-ngomel tidak keruan. Kausku cukup pantas dan celana jinku juga belum belel-belel amat.
Oke, Babe. Jangan khawatir. Kami akan baik-baik aja. Just go. Martin mendelik untuk mengusirku. Mungkin dia sudah tidak tahan dengan sejuta pesan yang aku sampaikan. Aku tertawa.
Have fun! seru Martin, lalu kembali mulai menggelitiki telapak kaki Emilia. Ernest tidak mau kalah. Dia ikut menggelitik kaki papinya. Tawa gembira mewarnai kamar itu.
Aku mencium ketiganya dengan cepat, lalu keluar dari rumah dengan langkah ringan. Dalam hitungan detik, aku sudah berada di perjalanan menuju rumah Gita.
Gita menyambutku dengan mulut yang tak henti bicara. Segala macam cerita keluar dari bibirnya yang bergincu merah tebal, warna favoritnya. Aku memasang kuping saja, serta mengangguk-angguk seperti pajangan anjing di dasbor mobil yang pasrah karena gerakan mobil yang tak menentu. Semua omongan yang keluar dari mulut Gita, saking bawelnya, memang mampu menyihir orang lain jadi tak berdaya, lalu terpaksa menjadi tipe pendengar setia, seperti diriku ini.
Di dalam ruang keluarga Gita yang besar dan bergaya etnik Jawa, sudah hadir kedua sahabatku lainnya. Itu artinya, aku adalah yang paling terakhir nongol di sini. Aku melihat Paula, sang guru yoga yang seksi, sedang bersila di bawah membaca majalah. Sedang duduk di sofa, tak jauh dari Paula, ada Mala, yang selalu dipanggil Ibu Mala oleh aku, Paula, dan Gita. Mala bertubuh subur dan penampilannya terlalu tua untuk umur yang disandangnya.
Kali ini kami mengadakan arisan, seperti bulan-bulan
t . c sebelumnya. Hanya saja, arisan bulan ini jadi pengecualian karena diadakan pada Rabu sore. Biasanya, aku dan para sahabatku melakukan arisan pada Sabtu atau Minggu siang. Sayangnya, pada bulan ini weekend kami selalu dipenuhi jadwal lain sehingga tidak bisa ngumpul. Alhasil, kapan adanya waktu kosong langsung kami manfaatkan untuk arisan.
Arisan di rumah Gita selalu kami lakukan di taman belakang rumah. Taman belakang ini termasuk luas dengan kolam renang berbentuk persegi yang menghiasinya. Mengapa di taman belakang" Gara-garanya, Gita adalah seorang perokok berat. Dia pasti akan memilih kongko di luar ruangan. Kalau acara berlangsung indoor, ada dua kemungkinan yang akan dilakukan Gita. Entah sepanjang arisan dia bakal gelisah saking kepinginnya merokok atau dia bakal terus-menerus menghilang keluar dari ruangan demi memuaskan hasratnya merokok. Aku berani bertaruh dia bakal melakukan yang terakhir. Gita gitu, loh.
Bu Malaaa! Kacang gue jangan digadoin melulu, dong! Entar abis! sembur Gita dengan suara melengking tinggi. Namun, Mala cuek. Mulutnya tak jauh berbeda dari Gita, tak bisa diam. Hanya saja, kalau Gita tak bisa berhenti bicara, Mala bisa sakaw jika tak mengunyah. Tidak heran tubuhnya jadi subur begitu. Gita semakin mendelik melihat isi stoplesnya dalam waktu singkat berkurang setengah. Ingat, Bu Malaaa ... diet, diet! gerutu Gita. Ha"
Paula pun ngakak berat. Tanggapan singkat dari Mala tak urung membuat Gita tambah meradang. Di antara kami berempat, Gita memang yang paling ceriwis. Bukan hanya Mala yang selalu dikomentari, aku dan Paula juga tak luput dari mulut tajamnya yang selalu berwarna merah. Terkadang aku mikir, apakah kecerewetannya karena dia keseringan pakai lipstik berwarna merah" Kalaupun iya, so I ll blame
t . c the lipstick ... and the color.
Aku yang kurus mungil dan berpakaian sederhana terkena serangan Gita. Dengan galak dia menyuruhku untuk berpakaian lebih fashionable. Paula pun tak luput dari sentilannya. Sahabatku satu itu diperintahkan untuk segera menikah lagi. Awalnya Paula sering menanggapi karena suka gemas dengan kebawelan Gita, tetapi lama-kelamaan dia malas membahasnya. Dia lebih memilih menutup mulutnya dengan aksi masuk kuping kiri-keluar kuping kanan .
Git, kita, tuh, mau arisan, bukannya mau dikuliahin. Paula melirik sadis Gita, agak bete dengan nasihat yang tanpa henti.
Aku setuju dengan Paula. Kalau mau kuliah, sana, tuh, di Twitter. Banyak, kok, yang mau dengerin dan nanggepin.
Paula tertawa lagi. Hampir saja dia tersedak kue brownies yang sedang dikunyahnya. Mala tersenyum tanpa melepas stoples kacang dari tangannya. Tinggal Gita yang misuh-misuh kesal karena diserang oleh sahabatsahabatnya.
Habis, siapa suruh bawel" Mulut, kok, gatel amat minta digaruk sama garpu.
Ya, udah. Ayo, mulai arisannya! seru Gita dengan bibir melengkung ke bawah.
Deuhhh ... Madame! Jangan ngambek, dong! goda Paula sambil mencolek dagu Gita. Sementara itu, yang dicolek langsung menyambit Paula dengan bantal. Nona Gita lagi ngambek berat rupanya. Sempat terjadi perang bantal antara Paula dan Gita, layaknya anak umur sepuluh tahun saja. Aku dan Mala hanya bisa menggelengkan kepala. Terpaksa aku menghentikan mereka karena tidak ada tandatanda bahwa aksi kekanakan mereka itu akan berakhir.
Udah, dong, pada kayak bocah, deh. Kalau masih tetap begini juga, duit arisannya gue ambil, nih!
Aksi mereka pun langsung berhenti.
t . c Hai ..., gimana arisannya"
Aku mengempaskan diriku di samping Martin yang sedang berselonjor santai di sofa ruang keluarga. Matanya menatap layar televisi yang menayangkan berita malam. Rumah sudah sepi.
Heboh, tapi menyenangkan, jawabku singkat. How was the kids"
Martin melingkarkan lengannya di bahuku dan menjawab, Ernest tidur duluan. Mungkin capek. Emilia yang tidurnya susah. Dia minta dibacain buku tentang kucing sampai lima kali baru bisa tidur pulas. Itu kalau nggak salah, ya. Rasanya aku juga ikutan pulas setelah bacain buku itu.
Aku tertawa serta menepuk dadanya dengan pelan, You did a great job, Hon.
I did. The good news is aku jadi hafal mati cerita kucing itu. Martin mengangkat alisnya dengan bangga. Aku mengangkat jempolku.
Jadi, mau nonton film apa" tanyaku sambil menyilangkan kedua kakiku.
Yang lama atau yang baru" Martin berdiri dan meraih kotak berisi koleksi DVD kami.
Baru, jawabku. Wajah Martin terlihat begitu serius. Black Swan" Martin mengacungkan DVD Black Swan yang sudah dia tarik keluar dari impitan DVD lainnya. Aku menyetujuinya, Oke.
Kami pun mulai menikmati me-time kami berdua. Nonton adalah hobi yang menyatukan aku dan Martin. Aku dan Martin dua orang dengan kepribadian yang cukup berbeda. Aku lebih pendiam, tetapi gampang panik, sedangkan Martin lebih ramai, tetapi sabar.
Tampaknya, mustahil seorang melankolis bisa bersatu dengan sanguinis, tetapi kalau sudah cinta, apa pun bisa
t . c terjadi. Nyatanya, kami bisa bersatu hingga sekarang. Pernikahan kami sudah berusia sembilan tahun. Banyak orang bertanya-tanya bagaimana kami bisa terus bersama. Terkadang aku juga bingung menjawabnya. Namun, yang pasti kami punya hobi yang sama, yaitu nonton. Yang lainnya" Kepercayaan dan pengertian. Aku tidak pernah melarang Martin jika dia kepingin hang out dengan temantemannya. Begitu juga jika aku ingin berkumpul bersama sahabatku, Martin selalu memberikan izin. Mungkin inilah rahasia kecil kami agar pernikahan kami berjalan dengan lancar.
Martin duduk di sampingku, tangannya memegang remote control. Babe, udah lama, nih, kita nggak ke bioskop. Gimana kalau malam Minggu besok"
Aku menoleh dan menatap Martin. Rahangnya terlihat hitam karena jenggot yang mulai tumbuh. Boleh aja.
Buat menebus dua minggu kemarin yang batal terus. Aku juga lagi nggak terlalu sibuk, kok, jelas Martin. Aku kembali mengangguk.
Tapi, aku yang milih filmnya, ya.
Martin tersenyum dan mengecup pelipisku lembut, Oke, Bos. []
t . c ore itu cerah. Aku menatap buku pelajaran IPA milik Ernest dengan kening berkerut. Sementara itu, di sampingku, raut wajah Ernest juga sama. Dia sedang serius menulis di buku tulisnya. Keningnya berlipat-lipat seolah ingin menjadikan setiap kata yang ditulisnya adalah sempurna.
Mam, kalau yang ini, gimana, ya" Ernest menggeser bukunya untuk menunjukkannya kepadaku. Aku meraihnya dan membacanya sejenak.
Coba Kakak baca dulu, ya. Gampang, kok, ujarku setelah selesai membacanya. Aku menyodorkan buku teks itu kembali kepadanya. Aku membiarkan Ernest untuk memikirkan jawaban dari pe-er yang sedang dikerjakannya.
Ernest mengambil buku teks dari tanganku dan membacanya. Tak lama kemudian, senyumnya terbit di wajah mungil itu. Berarti, dia sudah mengerti.
Gampang, kan" Ernest mengangguk. Lalu, dia mulai menulis jawabannya di buku tulisnya. Tiba-tiba Emilia memanggilku dari dalam kamar. Ah, dia sudah bangun tidur. Aku bergegas masuk ke dalam kamar. Senyum malaikat bergigi ompong menyambutku. Tumben amat Si Ompong lucu ini senyum.
t . c Dia hampir selalu menangis kalau bangun tidur. Aku ikut tersenyum senang melihat dia menyunggingkan senyum lucu itu.
Mandi, Mami, ujar Emilia, sementara tangan gendutnya mengucek-ngucek mata. Eh, tumben amat minta mandi sendiri. Biasanya mesti kejar-kejaran dahulu serta bonus teriak-teriak menolak untuk mandi. Aku semakin senang.
Emili mandi sama Mbak Nani, ya" Mami lagi bantuan Kakak buat pe-er.
Emilia merengek, Emili mau mandi sama Mami! Oh, aku tidak jadi senang. Si Nona Keras Kepala ini merengek. Tangisannya pasti akan pecah jika aku menolaknya. Aku menyerah. Ya, sudah ... yuk, mandi. Bisa, kan, buka bajunya"
Emilia pun berusaha membuka bajunya sendiri. Apa yang dilakukan oleh Emilia menjadi pemandangan yang menyenangkan untuk diriku. Pola tingkahnya yang lucu dan serius ketika berusaha untuk membuka bajunya sendiri. Meskipun sempat kesulitan, akhirnya dia berhasil menanggalkan seluruh pakaiannya, baik baju maupun celana. Untuk merayakan keberhasilannya, Emilia menunjukkan kembali gigi ompongnya kepadaku. Tubuhnya yang sudah telanjang bulat berlari lincah seraya memberiku pelukan yang kencang.
Good job! Aku memuji Emilia, kemudian mencium pipi gembulnya dan rambut panjangnya yang ikal. Tak lama kemudian, dia sudah menceburkan diri ke dalam bak kesukaannya. Aku sempat terkurung lama di kamar mandi. Memandikannya, sih, tidak membutuhkan waktu yang lama. Yang membuatnya jadi lama adalah karena Emilia suka sekali bermain air. Entah itu bola, gayung, hingga botol, masuk semua ke dalam ember berisi air hangatnya. Aku harus membujuknya berkali-kali untuk berhenti bermain air. Untung saja suasana hati Emilia sedang baik. Dia menurut
t . c saja ketika aku menyuruhnya untuk menyudahi acara mandi sambil mainnya itu.
Selesai mandi, Emilia minta bermain sepeda di depan rumah. Aku menemaninya sesaat sebelum meminta Mbak Nani untuk menggantikanku. Aku langsung ngebut membantu Ernest menyelesaikan pe-er-nya yang tinggal sedikit lagi, kemudian menyiapkan diri untuk pergi latihan yoga di rumah Paula.
Aku memang menggemari yoga dan beruntung karena salah seorang sahabatku, Paula, adalah guru yoga. Dia membuka kelas di rumahnya. Salah satu ruangan di rumahnya disulap menjadi studio kecil. Selain di rumah, dia juga mempunyai studio yang lebih besar di daerah Menteng. Aku mengikuti jadwal yoga di rumah Paula karena lebih dekat dari rumahku dibandingkan harus pergi ke Menteng. Dengan begitu, aku tidak harus meninggalkan anak-anak terlalu lama. Cukup dua kali dalam seminggu selama satu jam, stresku berkurang setengahnya.
Bu, masak nasi lagi nggak, ya"
Mbak Nani bertanya ketika aku sedang menyempatkan diri untuk membantu Emilia mengeluarkan krayon miliknya. Dia sudah kembali dari halaman, sudah bosan bermain sepeda di luar.
Masak lagi, deh, Mbak. Bapak sebentar lagi pulang, kok. Oh, ya, jangan lupa nanti jam enam anak-anak makan malam, ya. Ernest tadi sempat makan donat. Jadi, mungkin nanti makan malamnya nggak terlalu banyak.
Baik, Bu. Kok, sepi, ya, Pol" tanyaku begitu masuk ke dalam studio. Tidak ada siapa pun, kecuali Paula sendiri. Musik lembut yang menenangkan mengalun dari tape yang terletak di pojok ruangan. Studio ini berlantai kayu, dinding-dindingnya
t . c dilapisi cermin. Aku melirik ke jam dinding berbentuk bulat yang berada di dalam studio. Sudah pukul 4.55 sore.
Paula mengangguk. Dia sedang mengatur matras yoga miliknya di posisi paling depan. Setelah itu, dia melakukan peregangan di depan salah satu cermin.
Iya, dua orang nggak bisa datang. Oh.
Aku ikutan berbenah. Aku mengeluarkan matras yoga milikku sendiri serta botol air minum yang sudah terisi penuh. Aku juga merapikan rambutku yang keluar dari ikatannya karena mengganggu wajahku. Aku mengikatnya erat di belakang kepala, lalu melakukan peregangan. Tak lama kemudian, bergabung dua orang lainnya sebelum Paula memulai kelas yoga-nya. Sejenak aku mulai tenggelam dalam gerakan yoga yang dilakukan secara perlahan. I love it and it s so relaxing.
Tak terasa kelas yoga bimbingan Paula sudah berlangsung selama satu jam. Kedua murid Paula yang lainnya sudah pulang, sementara aku masih bercengkerama bersama Paula.
Yoyo ke mana, Pol" Yoyo atau Yohana adalah anak semata wayang Paula. Biasanya, jika kemari untuk mengikuti kelas yoga, aku melihatnya mondar-mandir atau sekadar duduk nongkrong di belakang ruangan sementara kelas yoga berlangsung. Namun, kali ini dia tidak terlihat sama sekali.
Ada, tuh, di atas. Tumben nggak kelihatan. Paula menggedikkan bahunya. Paling lagi asyik mantengin videoklipnya Super Junior. Biasa, ABG. Aku tertawa. Idola baru, ya" tanyaku sambil nyengir. Gitu, deh. Wait until Emilia and Ernest become teenagers, Jul. Pusing lo akan beda. It s about boys, girls,
t . c and their idols. Tahu, nggak" Saking seringnya gue dengar tuh lagu-lagu, sekarang kepala gue otomatis mutar lagunya Super Junior. Bahkan, sampai kebawa-bawa mimpi! Ampun, deh! Paula menggeleng-gelengkan kepala.
Aku tergelak mendengar cerita Paula. Teenager. Masa remaja, masa yang tak akan pernah aku lupakan. Yohana memang sudah beranjak remaja. Dia sudah berusia 13 tahun. Paula hanya tinggal berdua dengan Yohana. Dia sudah bercerai dari suaminya tiga tahun yang lalu. Aku menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri proses perceraiannya yang tidak berjalan dengan mulus tersebut. Bisa dibilang parah dan berliku karena mantan suaminya itu nggak mau bercerai. Lelaki itu bahkan sengaja membuat keributan yang cukup heboh di rumah. Mau tak mau, polisi terlibat dalam insiden itu. Paula sangat down dibuatnya.
Akan tetapi, kenyataan hidup yang ada malah membuat Paula menjadi lebih tegar daripada yang aku kenal. Perceraian ini membuatnya menjadi orang yang berbeda, tentunya dalam arti yang baik. Dia bertambah dewasa dan berusaha menjadi single parent yang baik untuk Yoyo. I m so proud of her.
Gue pulang, Pol. Aku berkata kepada Paula setelah membereskan barang bawaan milikku.
Oke. Take care, Jul. Titip cium peluk buat Emili dan Ernest, ya.
Kami bercipika-cipiki sebelum aku pergi dari rumah Paula. Aku berusaha pulang sesegera mungkin karena sudah berjanji kepada Ernest untuk membantunya menyelesaikan tugas Kesenian yang diberikan gurunya. Pe-er dan tugasnya lagi menumpuk. Dia pusing, aku juga ikutan pusing. Bayangin aja, aku sudah menamatkan SD sangat lama. Tidak gampang untuk menggali ingatan lagi demi membantu mengerjakan tugas-tugas milik Ernest. Rasanya seperti terlempar ke masa lalu, harus memutar otak dan mengulang pelajaran, dan
t . c menjadi anak SD lagi. Apalagi, kurikulum dan materi pelajaran anak SD zaman sekarang sudah jauh berbeda dengan zaman aku sekolah dahulu.
Setibanya di rumah, aku heran karena Martin belum juga pulang. Padahal, tadi pagi dia berkata bahwa hari ini akan pulang on time.
Bapak nggak telepon, Mbak" Aku bertanya kepada Mbak Nani.
Nggak, Bu, sahut Mbak Nani yang sedang membereskan meja makan setelah Ernest dan Emilia makan malam. Martin juga tidak mengabariku sama sekali. Rasanya aku harus meneleponnya. Setelah selesai mandi, aku pun menghubunginya.
Ternyata, dia terjebak di kantor.
Aku belum bisa pulang, Babe. Ternyata, ada kerjaan yang harus diselesaikan. So sorry. Aku stuck sampai nggak sempat ngabarin kamu.
Aku memakluminya. It happens sometimes. Nggak apa-apa. Just want to make sure kamu makan di rumah atau di luar biar aku bisa suruh Mbak Nani nggak beresin meja makan dulu.
Di rumah aja. Sebentar lagi beres. I ll be home at eight.
Oke. See you soon. Ernest sudah menagih apa yang sudah aku janjikan sebelumnya: membuat prakarya berupa boneka daur ulang. Aku duduk di depannya dan kami pun asyik larut dalam pekerjaan kami berdua. Ketika kami masih tenggelam dalam kesibukan yang mengasyikkan ini, Martin sudah sampai di rumah.
Papi!!! jerit Emilia begitu melihat papinya. Dia melompat dari sebelahku dan berlari menyongsong Martin yang sigap menangkap dan menggendongnya. Martin melakukan hal yang menjadi kesukaan Emilia, yaitu terbang
t . c bak pesawat terbang. Tangannya merentang lebar, sedangkan Martin memutar-mutar tubuhnya. Emilia menjerit kegirangan.
Lihat, Mami! Aku terbang! seru Emilia. Aku hanya tertawa, sedangkan Ernest memutar bola matanya. Baginya, tingkah adiknya itu sangat konyol. Maklum, Ernest sudah melewati masa itu. Sekarang dia sedang merasa sudah lebih dewasa dan memandang rendah segala kelakuan kekanakan Emilia.
Setelah beberapa menit menjadi mesin untuk pesawat terbang khayalan Emilia, Martin pun roboh di sofa kelelahan. Sebagai gantinya, dia mulai menggelitik perut Emilia, membuat gadis ciliknya itu menggeliat ke sana kemari, kegelian seperti cacing kepanasan.
Bagaimana sekolahmu, boy" Martin mengusap kepala Ernest setelah Emilia merosot turun dari pangkuannya. Sekarang gadis kecilku berlari mendekatiku dan melompat ke pangkuanku.
Banyak pe-er, ujar Ernest singkat. Dia terlihat cemberut pada semua potongan kertas dan karton yang bertebaran di sekelilingnya. Seolah-olah semua orang di ruangan ini sudah mengganggunya. Aku rasa suasana hatinya sore ini sedang tidak baik. Padahal, tadi siang biasa saja dan aku tidak menemukan keanehan. Martin melirikku dengan penuh arti. Aku hanya mengangkat bahuku. It s a sign, yang artinya Aku akan kasih tahu kamu nanti . Martin pun sudah mengerti. Dia tidak bertanya lebih lanjut lagi.
Ernest memang sedikit berbeda dari Emilia yang periang, ramai, dan lincah. Ernest tipe anak yang pendiam, pengamat, tetapi cukup moody. Aku menyadarinya sejak dia kecil. Oh, ya, dia juga serius dan sedikit introvert. Malah sejak dia masuk SD, aku harus ekstra perhatian karena Ernest terkadang menyimpan masalah sendiri dan tak mau berbagi
t . c dengan siapa pun. Introvert" Martin kebingungan ketika aku mengungkapkan hal ini kepadanya beberapa tahun yang lalu. Aku mengangguk. Believe me, dahulu aku juga sulit untuk memercayai, tetapi kenyataannya memang begitu. Tidak hanya aku yang menyadarinya, tetapi juga guru yang mengajar Ernest. Begitu aku dan gurunya sudah mendiskusikan hal ini, kami pun sepakat untuk menjaga suasana hatinya dan perlahan mendekatkan diri kepadanya. Jika dia terlihat berubah atau bete sepulangnya dari sekolah, kami harus lebih berhati-hati dan mengajaknya berbicara pelan-pelan. Kalau salah langkah, dia justru tak mau berbicara sepatah kata pun sehingga kita tidak akan tahu apa yang telah terjadi dengan dirinya.
Papi, main! seru Emilia. Dia sedang memeluk boneka kudanya dan berguling-guling di lantai.
Papi makan dulu, ya, Angel ....
Nggak mau ..., mau main sama Papiii .... Emilia merengek. Papi nggak usah makan, main sama Emili aja ....
Aku segera mengalihkan perhatiannya dengan mengajaknya mewarnai buku para putri dalam film kartun Disney.
Emilia sudah lupa dengan papinya begitu dia asyik mewarnai. Dia tenggelam dalam kesibukannya. Aku kembali menemani Ernest mengerjakan tugas Kesenian. Selama itu, aku memperhatikannya dengan saksama sampai akhirnya bertanya, Kakak kenapa"
Ernest menggeleng. Mulutnya mengerucut. Nggak apaapa.
Kok, Kakak jadi diam aja"
Nggak, kok. Ernest tetap berkelit. Dia terlihat sedang menggunting kertas karton yang dipegangnya dengan kasar. Nggak mau cerita sama Mami" bujukku, sementara
t . c tanganku masih mengerjakan tangan boneka dan menempelkannya dengan tali.
Ernest menghentikan kegiatannya. Dia menaruh gunting dan kertas karton bekas susu di atas meja dan menatapku ragu, sepertinya sedang berpikir apakah dia hendak mengatakannya kepadaku atau tidak. Namun, akhirnya dia pun menyerah dan berkata kepadaku, Ada anak yang bandel di kelas, Mam. Dia duduk sebangku denganku. Bandelnya kenapa"
Suka gangguin aku. Ngajakin ngobrol macam-macam. Padahal, aku, kan, kepingin belajar. Aku jadi nggak bisa dengerin Bu Fenny ngomong di depan.
Ah, ternyata ini masalahnya. Ernest memang suka sekolah. Ibu Fenny, yang menjadi wali kelasnya, juga mengatakan bahwa Ernest termasuk murid yang pintar dan rajin di kelas. Tak heran kelakuan teman sebangkunya itu jadi mengganggunya.
Kenapa Kakak nggak ngomong sama Bu Fenny" Ernest menggeleng lemah. Nggak enak, Mam. Nanti Erik dimarahi, dong.
Aku tertawa. Ternyata, Ernest bisa juga bersikap sungkan. Aku mencoba memberikan solusi. Gini aja. Nanti Mami akan bicara dengan Bu Fenny biar nanti beliau yang cari cara supaya Erik nggak gangguin kamu lagi. Oke"
Ernest mengangguk dengan senyum lega yang tersungging di bibirnya.
Yuk, kita beresin, lanjutin besok aja. Sekarang Kakak tidur, ya.
Aku teringat Emilia dan Martin. Kok, aku tidak mendengar suara mereka berdua" Mereka lagi ngapain, ya" Aku dan Ernest masuk ke kamar dan aku jadi tersenyum geli melihat pemandangan di dalamnya.
Ternyata, keduanya tertidur di ranjang kecil milik Emilia. Mereka saling berpelukan dengan guling yang terselip di
t . c antara mereka. Sepertinya, mereka sudah tertidur cukup lama karena keduanya tampak begitu pulas. Begitu menggemaskan.
Aku mengantarkan Ernest tidur, lalu mendekati pasangan papi dan gadis ciliknya untuk mengecup keduanya.
Dengan lega, aku merebahkan tubuhku di ranjang yang nyaman. Seluruh bagian tubuhku rasanya terus berdenyut karena kelelahan. Hari ini menjadi hari yang cukup padat dan aku bersyukur sudah hampir berlalu. Dalam waktu singkat, aku jatuh tertidur.
Pada tengah malam aku sempat terbangun dan mendapati sebuah tangan sudah melingkari pinggangku. Lampu kamar juga sudah dimatikan, menyisakan lampu kecil berwarna kekuningan yang bersinar malu-malu di sudut kamar. Aku segera tahu bahwa Martin belum tidur, lebih tepatnya hampir tertidur. Aku memutar badanku hingga menghadap kepadanya.
Kamu baru pindah" tanyaku perlahan.
Martin mengangguk. Matanya pun sudah terpejam, Heeh. Kakiku pegal. Nggak muat di tempat tidur Emili. Udah gitu dari tadi ditendangi sama Emili terus. Tidur berasa lagi kungfu.
Aku tersenyum sambil mengusap pipinya. Emili, kan, tidurnya emang nggak bisa diam. Dari kecil begitu. Kamu, sih, ngidam kepiting, sindir Martin.
Aku jadi jengkel. Kok, aku yang disalahin" Salahin kepitingnya.
Damn you crabs! bisik Martin. Dia membuka matanya dan menyunggingkan senyum jenaka. Eh, iya, Babe. Besok kamu yang antar Ernest dan Emili, ya. Aku harus sampai kantor pagi-pagi. Morning meeting. No problem.
t . c Sesaat kamar kembali menjadi sunyi. Aku mengira Martin sudah tertidur pulas. Ternyata, aku salah. Aku kembali mendengarnya berkata, Sabtu ini tetap jadi, loh, ya, kita nonton.
Aku memukul tangannya yang masih melingkari pinggangku. Aku kira kamu sudah tidur.
Sabtu itu dua hari lagi. Nggak boleh lupa, ya, Babe, kata Martin. Kali ini suaranya sudah terdengar mengantuk.
Aku berdesis sambil mencubit tangannya. Iya, tahu, bawel!
Mungkin kita bisa sekalian makan ikan gurami di Pondok Seafood yang enak itu, ya, Babe. Aku lagi kepingin, nih. Kamu lagi ngidam, ya" Kepingin, kok, seafood" Iya, ngidam gurami dan kawan-kawannya. Udang goreng tepung juga nikmat.
Aku menarik selimut ke atas, Udah, ah, jangan ngomongin makanan. Aku jadi lapar.
Have a good dream, Babe. Aku mendesah serta menutup mataku. Selama mimpinya nggak soal makanan aja ....
Aku mau mimpiin makanan ..., sahut Martin pelan. Lalu, aku mendengar dia terkekeh. Siapa tahu bangunbangun jadi kenyang ... auch! Sakit dong, Babe.
Aku menyikutnya pelan. Tepat mengenai tulang rusuknya. Sudah tidur sana! []
t . c arl, lo lagi di mana"
Suara yang sedikit serak menyapaku pada pagi menjelang siang. Aku tidak perlu bertanya siapakah yang meneleponku karena hanya Gita yang mempunyai suara seperti itu.
Lagi di supermarket. Baru aja sampai.
Lama, nggak" Kita lagi di Coffee Addict, nih. Nyusul ke sini, dong.
Lo sendirian" Sama Paula. Lo juga lagi nungguin Ernest dan Emili, kan"
Meski tidak terlihat spontan aku mengangguk. Gue belanja dulu, ya, baru ke sana.
Sip. Hurry, ya. Acara belanja di supermarket kali ini tidak memakan waktu yang lama. Hanya membeli beberapa keperluan Emilia dan Ernest seperti sabun, sampo, dan tisu. Tak lama kemudian, aku sudah duduk santai bersama Gita dan Paula. Tempat ini menjadi tempat favorit buat kami bertiga untuk menunggu anak-anak pulang sekolah karena jaraknya yang sangat dekat dengan sekolah. Tidak setiap hari, sih, kami
t . c berkumpul di sini karena terkadang kami punya kesibukan masing-masing.
Anak-anak kami bersekolah di sekolah yang sama, Sekolah Harapan Kasih. Sementara Mala, yang rumahnya memang cukup jauh dari kami bertiga, menyekolahkan anaknya di sekolah yang lebih dekat dari rumahnya. Dia jarang ngumpul, selain pada hari arisan kami.
Belanja bulanan dulu" tanya Gita begitu aku muncul di depan mereka. Dia terlihat begitu asyik mengepulkan asap rokoknya. Aku mengibaskan tangan untuk mengusir asap rokok yang mengepung wajahku.
Nggak, cuma cari beberapa barang. Sabun sama sampo Emili dan Ernest sudah habis.
Emili dan Ernest pulang jam berapa, Jul" Paula bertanya sembari menyeruput teh dari cangkir lebar berwarna putih.
Jam dua belas. Kalau Yoyo"
Jam dua. Gue, sih, nggak akan ke mana-mana lagi. Langsung pulang.
Nggak ngajar ke Menteng" tanyaku.
Paula menggeleng. Nope. Besok baru ke Menteng. Donna dan Desi juga pulang jam dua. Gita menimpali seraya menyebutkan nama kedua anak perempuannya yang juga seumur dengan Yoyo. Gue bisa, kok, nemenin lo di sini, Pol. Gue juga nggak ada acara. Gita mematikan puntung rokoknya di asbak berwarna hitam.
Kemudian, aku teringat sesuatu begitu melihat Gita sedang mengoleskan lipstik di bibirnya. Git, cukurin alis gue, dong ....
Sini. Dengan senang hati banget, deh, gue cukurin alis lo. Dengan sigap Gita mengeluarkan cukuran alis dari sebuah dompet kecil berisi peralatan kosmetik. Dompet itu selalu dibawanya ke mana pun dia pergi. Sambil menggenggam pisau cukur miliknya, Gita pun berpindah
t . c tempat ke sampingku. Gue juga udah gatal, nih, lihat alis lo, ujar Gita. Perlahan dia mulai mencukur alisku. Belajar make-up, dong, Darl. Jadi, kan, nggak usah bergantung sama gue demi mencukur alis lo doang.
Sok, deh, lo. Males, ah, sahutku santai.
Capek, deh. Gita menggerutu tanpa menghentikan gerakan tangannya yang luwes. Tak butuh waktu yang lama, dalam sekejap alisku sudah terbentuk dengan rapi.


For Better Or Worse Karya Christina Juzwar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Thanks, ya, Git. Aku puas menatap hasil kreasi Gita. Alisku sudah terbentuk indah menghias wajahku. Jujur saja, untuk urusan alis aku memang menyerahkan sepenuhnya kepada Gita. Buatku, dialah yang paling jago membentuk alis. Bukannya aku tidak pernah mencobanya sendiri. Sudah terlalu sering dan akhirnya aku menyerah karena ketika aku melakukannya, yang ada malah alisku terluka karena tersayat pisaunya. Daripada terluka terus, lebih baik menyerahkan kepada ahlinya.
Yakin, nih" Gita terus nyeletuk, Penawaran gue masih berlaku sampai tahun 2020, loh, buat ngajarin lo make-up. Aku tertawa. Lama amat expired-nya"
Gue ngasih lo waktu buat berpikir, tahu. Gita menggerutu.
Jelas aja Gita sewot. Aku paling malas dandan. Jika aku disandingkan dengan Gita, perbedaannya akan terlihat amat jelas. Bak langit dan bumi. Wajahku yang polos sedikit pucat berbanding terbalik dengan wajah Gita yang full color. Karena itu, meski umur kami sama, nyatanya aku jadi terlihat lebih muda dibandingkan dengan Gita yang sudah seperti tante-tante. Maksudku, dia memang sudah tante-tante, begitu juga aku. Namun, jelas sekali make-up itu bisa menambah umur seseorang dalam waktu singkat.
Seenggaknya, gue ajarin, deh, pakai eyeliner dan eyeshadow, bujuk Gita entah untuk kali keberapa ratus.
t . c Emangnya lo mau buat July jadi kayak ondel-ondel" Aduh, Gita darling, kesian amat, sih, Si July, sindir Paula.
Gita melirik garang ke Paula, keki dengan ucapan Paula. Biar cakepan dikit gitu, loh, Pol.
Jadi, gue nggak cakep, nih" Salah satu alisku terangkat mendengar argumen Gita.
Gita bertambah jengkel. Lirikannya bukan ditujukan kepadaku, melainkan lebih kepada Paula. Lo, sih, Pol! Nggak ada salahnya, kan, kalau July belajar make-up. Yang simpel aja, jangan sampai pucat kayak begini, jarinya menunjuk ke arah mukaku.
Aku mengangkat bahuku. Buat gue yang simpel itu bedak sama lipstik, that s it.
Itu terlalu simpel. Cukuplah, Git. Gita mengibaskan tangannya. Dia menyerah. Untuk kali kesekian ratus, bujukannya tidak mempan. Terserah lo, deh.
Aku meneguk kopiku yang mulai mendingin. Kulirik arloji berwarna putih yang melingkar di pergelangan tanganku, waktu sudah hampir menunjukkan pukul 12.00 siang. Aku pun segera beres-beres.
Gue cabut dulu. Talk to you guys later, ya. Aku melambaikan tangan kepada kedua sahabatku.
Emili sayang, bangun yuk. Udah sampai.
Aku membangunkan Emilia yang tertidur di mobil. Ketika aku hendak mengangkatnya, aku terkejut. Badannya panas. Pantas saja dia terlihat sedikit pendiam. Aku mengira dia hanya mengantuk karena biasanya sepulang sekolah dia selalu mengantuk.
Begitu sudah masuk ke dalam kamar, buru-buru aku mengukur suhu tubuhnya. Mataku hampir meloncat keluar,
t . c 39". Aku segera mengganti bajunya. Mumpung dia masih terbangun, aku juga langsung memberikannya obat penurun panas dan mengompres dahinya. Dia sempat rewel dan tak mau lepas dariku, tetapi tak berlangsung lama. Karena pengaruh obat, tak lama kemudian dia tertidur kembali.
Berulang-ulang aku mengecek keadaan Emilia diselingi dengan menemani Ernest makan siang. Ketika aku mengintip dari pintu untuk kali ketiga, Emilia terlihat sedang bergulingguling di tempat tidur karena gelisah. Aku jadi cemas. Daya tahan tubuh Emilia memang sedikit lemah. Dia mudah terkena penyakit. Aku tidak pernah menyukai situasi seperti ini. Orangtua mana pun tak akan suka jika anaknya sakit.
Karena tidak ada pe-er untuk besok, aku mengizinkan Ernest untuk bermain sebentar. Sementara Ernest asyik bermain, aku memutuskan untuk menunggui Emilia. Dua jam kemudian, dia terbangun serta menangis keras. Pasti karena dia merasakan tubuhnya yang tidak enak. Aku coba menenangkannya, tetapi tidak berhasil. Alhasil, Emilia jadi tantrum.
Emilia baru agak tenang ketika aku menggendongnya. Pernah tidak, sih, bayangin gotong galon air selama satu jam" Begitulah yang aku rasakan sekarang. Beratnya luar biasa. Punggung dan kakiku jadi sakit dan gemetar, tak kuat menahan beban Emilia yang berat.
Aku tidak berdaya karena Emilia tetap tidak mau lepas dari pelukanku. Nempel bak bayi kanguru. Aku membujuknya untuk turun. Dia tetap tidak mau, malah menangis lagi. Aku memanggil Mbak Nani untuk menggantikan posisiku. Emilia bertambah marah dan malah menjadi tantrum kembali.
Saking sudah tidak kuatnya, aku pun duduk di sofa dengan Emilia berada di dekapanku. Aku mengecek suhu tubuhnya sekali lagi. Belum ada perubahan. Aku
t . c memutuskan untuk menelepon Martin.
Sudah dari kapan" Rasanya tadi pagi belum sakit. Martin berkata dengan bingung.
Sejak pulang sekolah. Udah gitu dia nggak mau lepas dari aku. Minta gendong terus. I barely can t do anything. Sama Mbak Nani nggak mau juga"
Nggak. Sini biar aku yang coba bujuk, usul Martin. Aku menyerahkan ponselku kepada Emilia. Dia bersedia bicara dengan papinya. Entah apa yang dikatakan oleh Martin karena akhirnya Emilia pun setuju untuk melepaskan diriku sejenak. Dia pun beralih kepada Mbak Nani. Aku mengempaskan tubuhku di sofa dengan tubuh yang lemas.
Apa aku bawa ke dokter aja, ya" Aku cek suhunya masih 39. Itu setengah jam yang lalu. Nggak tahu sekarang. Rasanya, sih, masih tinggi. Nggak bisa nunggu sampai besok. Harus dibawa sekarang juga, kataku bertubi-tubi. Aku berjalan mondar-mandir tak menentu. Masalah anak sakit, sama seperti orangtua lainnya, adalah masalah yang paling membuatku cemas dan gelisah. Senewen tingkat tinggi. Calm down, Babe. Martin menenangkanku. Bagaimana bisa tenang, Hon" Panasnya ini tinggi banget. Nggak biasanya. Nangisnya juga nggak berhenti dari tadi.
Martin coba menenangkanku. I know, Babe. I understand. Ya, sudah, bawa aja ke Dokter Luki. Kamu pastikan dia sedang praktik di mana dan jam berapa, baru kamu bawa ke sana.
Aku cari buku catatan kesehatannya Emilia dulu. I ll call you later. Pikiranku sudah kacau-balau.
Kabarin aku kalau kamu sudah mau berangkat. Dengan tergesa-gesa aku mengambil buku catatan kesehatan milik Emilia. Di sana tertera nama dokter anak
t . c langganan Emilia beserta teleponnya. Aku langsung meneleponnya. Sesaat aku baru menyadari ternyata aku juga menyimpan nomor telepon Dokter Luki di ponselku. Jadi, ngapain susah-susah mencari bukunya Emilia, sementara sedari tadi aku memegang ponselku" Aku jadi kesal sendiri. Otakku benar-benar sulit untuk diajak kerja sama pada saat-saat genting seperti ini.
Untung saja Dokter Luki sedang praktik di rumah sakit yang biasa kami datangi, yaitu Mitra Sejahtera. Tanpa menunggu lama aku pun segera bersiap-siap.
Mami mau ke mana" tanya Ernest ketika melihatku sedang membereskan barang milik Emilia dan menjejalkannya ke dalam tas berwarna merah mudanya.
Mami mau bawa Emili ke dokter dulu, ya, Kak. Kakak di rumah dulu sama Mbak Nani. Nggak apa-apa, kan" Ernest mengangguk. Emili sakit apa"
Badannya panas. Jangan lupa mandi dan makan, ya, Kak.
Oke, Mam. How was it" Aku melepas lelah di tempat tidur dengan teh manis hangat yang dibuatkan oleh Mbak Nani. Asistenku itu sudah ikut dalam keluarga kecilku ini sejak Ernest masih bayi sehingga dia sudah sangat mengenali kebiasaan-kebiasaan kami. Sebelum aku memintanya, dia sudah membuatkan secangkir teh itu terlebih dulu.
Aku memijat pelipis yang berdenyut teratur dan masih betah tinggal di kepalaku sejak dari rumah sakit hingga sekarang. Emilia sudah tidur sedari tadi setelah aku memberikan obat kepadanya. Ernest sedang asyik bermain game, yang dilakukannya bersama papinya, sebelum Martin meninggalkannya dan mendatangiku di dalam kamar.
t . c Dokter bilang ada infeksi di tenggorokannya. Udah mau flu dan batuk juga. Harus dipantau terus. Kalau besok panasnya turun, tidak apa-apa. Tapi, kalau sampai tidak turun, kita harus bawa lagi ke rumah sakit untuk cek darah. Suhu terakhir berapa"
38 derajat. Kalau gitu, kita tunggu saja, kata Martin. Tangannya terulur untuk memijat tengkukku. Pijatannya sungguh enak. Perlahan aku merasakan tubuhku mulai relaks.
Kamu sudah makan" Aku memandangi Martin. Pancaran wajahnya menyiratkan kelelahan. Wangi shower gel kesayangannya dari The Body Shop menguar tajam. Kamar yang masih tercium bau maskulin. Itu artinya Martin belum lama mandi. Dia juga sudah mengenakan pakaian rumahnya, berupa T-shirt belel dan celana pendek. Sudah.
How was your work" Martin bekerja di perusahaan yang tak terlalu besar, yaitu distributor makanan ringan yang diimpor dari Thailand. Dia sudah lama bekerja di perusahaan itu dan posisinya sekarang menjabat sebagai seorang marketing manager. Biasa aja. Belum ada perjalanan lagi"
Sebagai seorang marketing manager, Martin terkadang berkeliling Indonesia, bahkan sampai luar negeri karena perusahaannya ini juga mengekspor barang ke negaranegara ASEAN.
Martin menggeleng. Belum ada jadwal, Babe. Lagi lesu.
Aku menoleh. Tapi, semuanya baik-baik saja, kan" Tentu saja. Jangan khawatir.
Aku mengangguk dengan denyut di pelipis yang semakin terasa. Aku memejamkan mata dan menekan-nekan keningku. Rasanya seperti ada seribu jarum yang sedang
t . c balas dendam. Sekarang kamu tidur dulu. You look tired. Kita sambung bicaranya nanti, ya.
Aku menghela napas. Aku nggak akan bisa tidur, Hon. Percaya, deh.
Martin berdiri setelah sebelumnya mengecup keningku. Kita, kan, bisa menjaganya bergantian. Besok aku yang akan antar Ernest. Pulangnya Ernest bisa nebeng sama Paula atau Gita. Mereka pasti bersedia untuk mengantarkan Ernest pulang.
Rasanya itu ide yang bagus. Aku mendesah lega. Aku bersyukur Martin mengusulkan hal itu karena meringankan sebagian bebanku. Thanks, Hon. What can I do without you"
You can t do anything. I am your other leg. Romantis banget, ya.
Sindiranku membuat Martin tertawa kecil. Begitu dia hendak keluar dari kamar, dia bertanya, Kamu butuh sesuatu" Aku mau lihat Emili dulu.
A massage" sahutku penuh harap. Martin tertawa. Nanti, ya.
Begitu Martin keluar, terdengar dia berseru kepada Ernest, Ayo, Nest. Kamu harus tidur. Matiin game-nya. Cukup untuk malam ini.
Suara klakson mobil yang begitu familier terdengar keras di depan rumahku. Sebuah sedan putih perlahan memasuki pekarangan. Tak lama kemudian, keluarlah Paula dan Ernest dari dalam mobil.
Kemarin malam aku sudah menelepon Paula, meminta tolong kepadanya untuk mengantarkan Ernest pulang. Sebelumnya, aku bercerita sedikit perihal sakitnya Emilia yang membuatku berhalangan menjemput Ernest. Tentu saja
t . c Paula bersedia. Jangan khawatir, Jul. Serahin ke gue. Biar gue yang antar-jemput Ernest besok, ya, ujarnya semalam.
Aku menyambut mereka di depan pagar rumah. Saat itu sudah pukul 2.30 sore. Lebih sore dari biasanya karena Ernest harus menunggu Yoyo, anak perempuan Paula, yang baru pulang pada pukul 2.00 siang.
Emili udah baikan, Jul" tanya Paula ketika dia sudah berdiri di depanku.
Panasnya sudah turun. Udah stabil dari tadi pagi. Tapi, masih belum mau makan, nih.
Syukur, deh. Pelan-pelan aja. Nanti dia pasti mau makan. Oh, ya, Ernest tadi udah makan sama gue waktu lagi nungguin Yoyo.
Aku mengangguk. Makasih banget, ya, Pol. Paula pun pamit. Gue pulang dulu. Yoyo mau les piano. Bye, Jul. Bye, Ernest. Paula melambaikan tangannya, begitu juga Yoyo yang melongok dari jendela mobil yang terbuka lebar.
Ernest mengangguk dan membalas lambaian tangan Paula. Makasih, Tante!
Begitu Paula pulang, aku dan Ernest melewati ruang makan. Di sana ada Emilia sedang dibujuk oleh Mbak Nani untuk makan buah.
Emili sudah sembuh, Mam" tanya Ernest begitu melihat adiknya.
Sudah mendingan, Kak. Ernest berlalu ke kamar. Tak lama kemudian dia sudah mengganti seragam sekolahnya dengan baju rumah.
Kakak mau mandi dulu" tanyaku kepada Ernest melihat dahinya berkeringat dan rambutnya lepek.
Ernest menggeleng. Nanti sore aja, deh, Mam. Banyak pe-er, nih.
Tanpa terasa hari sudah menjelang sore. Emilia sudah
t . c selesai mandi dan kondisinya jauh lebih baik daripada kemarin. Dia sudah bisa tersenyum mempertontonkan gigi ompongnya dan bermain dengan otopetnya.
Ketika hari mulai gelap, Emilia malah duduk di bangku teras depan menunggu papinya pulang. Sesekali dia menegakkan kepalanya jika ada suara deruman mobil yang mendekati rumah atau ada pantulan lampu mobil yang membias menyinari pagar rumah.
Tak lama kemudian, Emilia menjerit ketika akhirnya mobil papinya benar-benar berhenti sambil memberi tanda berupa klakson tiga kali.
Papi, aku sudah sembuh! Ucapan itu keluar begitu tangan mungil dan tangan kekar itu bertaut. Senyum merekah di wajah keduanya. Martin membungkuk untuk mencium puncak kepala Emilia.
That s my girl! Papi senang, deh, lihat Emili udah sembuh.
Udah, dong! Sekarang Emili mau main sama Papi, ya! Aku dan Martin saling bertatapan dan tersenyum. What a great afternoon.[] ~35~h
t . c artin suka dengan film drama romantis" Masa, sih" Kesambet apa suamiku ini"
Tidak hanya bersedia menontonnya, tetapi dia juga terang-terangan mengatakan bahwa dia menyukai film yang barusan kami tonton, Habibie dan Ainun. Wajah Martin terlihat puas begitu kami keluar dari bioskop. Dia tidak hentinya membahas film tersebut. Si komentator film dadakan ini sempat jeda sesaat karena butuh pergi ke toilet. Komentarnya kembali berlanjut lagi begitu dia keluar dari toilet. Tangannya menggandengku, sedangkan mulutnya tak henti mengoceh. Benar-benar panjang dikali lebar. Dia mengungkapkan kekagumannya kepada Habibie.
Dia ternyata romantis, ya, Babe. That s what I called a true soulmate. Bayangin bersama selama 48 tahun. Dalam suka dan duka. Seperti janji pernikahan.
That s the meaning of marriage, Hon.
That s the meaning of love. Martin mencium tanganku yang digenggam olehnya. Aku mengangguk setuju. Film yang diputar berisi kisah kehidupan cinta Habibie dan Ainun itu memang superromantis. Aku jadi penasaran mengapa Martin, yang selalu mengatakan film romantis itu terlalu meyek-meyek yang tentu saja tidak kusetujui bisa
t . c menyukainya. Karena sangat menginspirasi, Babe, ujarnya beralasan. Itu saja"
Percayalah, sesingkat itulah alasannya. Membingungkan, tetapi nyata. Ya, buat Martin, dia tidak butuh alasan yang panjang lebar. Kalau suka, dia akan bilang suka. Kalau tidak, it s a no for him. Sesimpel itu.
Dia baru benar-benar berhenti bicara ketika kami sampai di restoran yang membuatnya ngidam beberapa hari yang lalu, Pondok Seafood.
Kamu, tuh, pantasnya jadi komentator film, ucapku menyindirnya.
Kalau ada tawaran, sih, boleh-boleh saja. Aku bersedia, kok, sahutnya dengan cengiran yang lebar.
Kamu ingin memesan apa" tanyaku dengan mata meneliti menu satu per satu.
Semuanya, ujar Martin dengan santai dengan mata tetap tertuju pada deretan menu.
Aku menurunkan buku menu dari yang menutupi wajahku. Kamu rakus.
Alisnya yang tebal terangkat. Aku lapar, katanya tidak mau kalah. Aku ikutan ngotot.
Salah, Hon. Kamu itu rakus. Lapar dan rakus itu bedanya jauh.
No. Martin terus membantah. Urgh! Kalau begini, aku jadi tahu dari mana Emilia mendapatkan sifat keras kepalanya. Siapa lagi kalau bukan dari papinya yang tercinta ini"
Emilia lebih mirip dengan Martin. Bawel, ceria, ramai, dan keras kepala. Sementara Ernest, seperti mini copy dari diriku. Lebih tenang, tidak banyak omong, dan a bit mellow. Karena itu, aku selalu menyebut keluarga kecil kami ini adalah paket yang lengkap.
t . c Lapar dan rakus itu bedanya tipis. Setipis benang. Kayak gini, nih. Martin menyipitkan matanya. Jari telunjuk dan jempol dia gerakkan untuk menunjukkan ketipisan yang dia maksud.
Aku tertawa. Dasar keras kepala.
Martin sudah menentukan pilihannya. Dia memesan udang saus telur asin, taoge cah ikan asin, dan gurami saus padang. Pelayan sudah mencatatkan pesanan kami. Kamu udah lama nggak nelepon Kak Jeni" Aku menyuapkan sesendok nasi setelah aku membukakan kulit udang untuk Martin. Tumben nanya Kak Jeni" Kangen" godaku.
Martin tertawa. Iya, kangen bawelnya, balas Martin. Aku melotot. Lantas, aku menggerutu. Kayak yang sendirinya nggak bawel aja.
Bercanda, Babe. Martin tertawa melihatku melotot protes karena kakakku dikatai bawel. Sebenarnya, aku juga mengakui bahwa dia bawel, tetapi Kak Jeni sangat baik. Aku tidak bisa membayangkan mempunyai sosok kakak selain dirinya. Sejak kedua orangtuaku meninggal, dia sudah seperti orangtua bagiku. Dia benar-benar mengurusku dengan baik padahal saat itu aku baru saja lulus kuliah. Kami sangat dekat dan hingga sekarang tidak lupa untuk saling memberi kabar setiap harinya.
I know. Martin makan dengan lahap. Dalam sekejap, setengah nasi di piringnya raib. Lalu, dia mengelap mulutnya dengan tisu. Aku membantu membersihkan tisu yang tertinggal di dagunya. Rahangnya mulai berwarna gelap karena dia memang tidak mencukur jambangnya tadi pagi.
Kemarin Markus nelepon aku.
Oh, ya" Aku mengangkat alisku, sedikit surprise mendengar Martin menyebutkan nama kakak iparku itu. Memangnya Kak Markus ngomong apa"
t . c Ngobrol aja. Lebih banyak soal kerjaan.
Mulutku membulat. Namun, ada bagusnya juga Martin menyebut tentang Kak Jeni. Martin menyadarkanku. Sudah berapa lama, ya, aku tidak main ke rumah Kak Jeni" Dua bulan" Wah, ternyata sudah cukup lama juga. Biasanya tiap bulan aku pasti berkunjung. Setitik rasa bersalah merayap di hatiku.
Minggu depan aku ke rumah Kak Jeni, deh. Tapi, aku nggak bisa. Ingat, kan, aku sudah ada janji nonton bola di World Caf?"
Ah, iya. Kalau Martin tidak mengingatkan, aku pasti akan lupa. Aku pun mengangguk. It s ok. Aku pergi bertiga saja.
Dalam sekejap makan malam kami berdua sudah berpindah ke perut. Martin terlihat puas. Di tengah perjalanan pulang, dia berkata, Mampir di minimarket dulu, Babe.
Mau apa" Emili nagih es krim. Aku pun protes. Nggak, ah. Jangan beliin es krim melulu. Nggak lihat, tuh, giginya" Kamu, tuh, manjain dia banget.
Nggak apa-apalah sesekali. Martin membujukku. Kamu, tuh, bukannya sesekali, tapi tiap hari. Pokoknya, no ice cream.
Iya, deh, Mami galak. Em, ayo, sikat gigi dulu. Kakak juga. Aku mau sikat gigi sama Papi.
Aku menghela napas. Menghadapi Emilia memang membutuhkan kesabaran ekstra. Malam ini kesabaranku diuji. Dia khusus meminta papinya karena biasanya memang
t . c Martin yang menemaninya menyikat gigi setiap malam. Masalahnya, Martin belum pulang dan entah jam berapa dia akan sampai di rumah. Sudah tiga hari begini terus. Pagi-pagi harus sudah sampai kantor dan pulang terkadang sampai larut malam.
Masa Emilia harus menunggu terus" Bisa-bisa dia ketiduran tanpa menyikat gigi. Kalau dibiarkan, malah jadi kebiasaan dan membuatnya malas menggosok gigi. Ayolah, Em. Sama Mami aja.
Mau sama Papi! Duh, dasar anak keras kepala! Aku benar-benar harus menegur Martin agar tidak terlalu memanjakannya lagi. Em ....
Sama Papi! Aku gemas, juga kesal. Oke, tidak ada gunanya membujuk dia lagi. Yang ada malahan aku jadi capek hati dan darah mendidih. Sementara itu, Emilia masih melakukan aksi penolakan dan bersikeras untuk menunggu papinya, sedangkan Ernest sudah selesai menggosok gigi. Sekarang dia sedang asyik membaca buku cerita di tempat tidur.
Tak lama kemudian, aku menyodorkan sikat gigi kepada Emilia lagi dan berkata dengan suara yang tegas. Papi pulangnya malam. Ayo! Kamu, kan, udah bisa gosok gigi sendiri. Sini, Mami mau lihat.
Meskipun sambil mengerang dan melengkungkan bibirnya ke bawah, Emilia akhirnya bersedia gosok gigi sendiri. Aku menungguinya hingga selesai. Emilia memilih piama yang ingin dia pakai dan aku membantunya mengancingkan piama itu. Piama itu tampak kekecilan dan warnanya mulai memudar. Sedikit sesak di bagian perut. Rasanya tak sampai beberapa bulan lagi baju ini bakal dipensiunkan untuk selamanya. Sepertinya, to-do-list yang tertulis di kepalaku semakin bertambah: membeli baju tidur baru untuk Emilia yang pertumbuhannya pesat bak pohon yang subur.
t . c Ayo, bobok. Naik ke tempat tidur.
Emilia sudah memeluk boneka kudanya dan memanggilku untuk menemaninya. Aku memeluknya dan berbincang sesaat dengannya. Begitu mulai merasa mengantuk, dia memintaku untuk menggaruk punggungnya. Omong-omong, dia memang sangat menyukainya, entah itu aku atau papinya yang menemaninya pasti dia akan meminta untuk menggaruk punggungnya. Aku juga suka melakukannya karena akan membuatnya cepat tertidur.
Sambil menggaruknya, sesekali aku melihat ke jam di dinding. Aku memikirkan Martin yang belum pulang juga, sedangkan sekarang sudah pukul 8.30 malam. Aku khawatir karena dia belum mengabariku tentang kepulangannya yang sangat terlambat malam ini.
Tin tin tin!!! Panjang umur! Ketika aku sedang memikirkannya, suara klakson mobil Martin terdengar. Martin sudah pulang. Aku menyuruh Mbak Nani untuk membukakan pintu gerbang. Tepat ketika mobil Martin sudah terparkir di garasi, tiba-tiba hujan turun begitu cepat dan lebat.
Ujan! Emilia berteriak. Matanya yang tadinya sudah merem tiba-tiba langsung meninggalkan tempat tidur begitu saja dan berlari ke jendela untuk melihat hujan.
Eeemm ..., ayo, dong! Tadi katanya udah ngantuk. Aku memanggilnya dan mengikutinya keluar.
Aku mau lihat ujan, Mami! serunya.
Aku menggelengkan kepala. Padahal, tadi Emilia sudah berbaring dan siap tidur. Dia sudah memeluk boneka kuda kesayangannya yang aku beri nama Si Dekil karena tidak pernah diperbolehkan untuk dicuci. Namun, Emilia suka hujan. Dia akan bela-belain meninggalkan apa yang dia sedang lakukan demi menatap rintik-rintik air hujan. Aku jadi sebal, sepertinya garukan di punggungnya kurang mantap dan tidak mampu membuatnya tertidur.
t . c Sekarang Emilia malah menatap keluar dengan terpesona hingga melongo tanpa berkedip di depan jendela. Kehebohan dan kelincahan dirinya untuk sesaat terserap oleh pesona hujan tersebut. Dia jadi sejinak burung merpati. Papinya yang baru saja pulang pun tidak digubrisnya.
Jul" July" Martin memanggilku. Seketika bulu kudukku merinding. Aku langsung merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Martin yang memanggilku dengan namaku sendiri, tanpa panggilan kesayangan, bisa berarti banyak. Bisa jadi dia sedang kesal, marah, atau kecewa. Lebih parah lagi, ada masalah.
Begitu aku melihat wajah Martin yang bercampur aduk, antara tegang, kusut, bete, dan gelisah, the feeling is getting worst. Aku sampai susah menebak yang manakah suasana hati Martin yang sebenarnya. Bahkan, aku bisa melihat kemarahan di antara campuran perasaannya yang terlihat jelas di sorot matanya.
I need to talk to you. Aku memegang leherku yang menelan ludah terusterusan. Dadaku berdebar begitu keras sampai terasa sakit. Kegelisahan Martin begitu cepat menular. Aku jadi ikutan gelisah.
Ada apa, Hon" Kamu baik-baik aja" Ada masalah" Dia memegang kepalanya. Martin terlihat frustrasi. Kegelisahanku semakin menjadi. Sekarang rasa takut dengan cepat menginfeksi diriku. Oke, what s going on" Mengapa sekarang wajah Martin menjadi pucat" Aku merasakan aliran darahku terhenti begitu saja.
Aku kena PHK. Suara Martin yang sedikit bergetar seperti palu yang menghantam hatiku. Hujan yang mengguyur Jakarta bertambah deras, ikut mengguyur hatiku.
Seketika wajahku memucat. Aku langsung merasa mual, seperti ada yang menonjok ulu hatiku. PHK" Ka-kamu
t . c serius" [] t . c ku merasa diriku begitu terpuruk dan melihat langit seakan runtuh menimpa diriku ketika kedua orangtuaku meninggal dalam waktu yang berdekatan. Hanya dalam kurun waktu satu tahun aku harus merasakan kesedihan yang teramat sangat karena ditinggal oleh mereka. Saat itu aku baru saja menyelesaikan kuliah. Tinggal wisuda.
Mami meninggal karena sakit kanker yang menggerogoti dirinya. Papi meninggal tiga bulan setelah itu. Kondisi Papi memang langsung drop begitu ditinggal oleh Mami. Beliau pun menyusul pasangan hatinya ke surga. Bahkan, aku masih bisa ingat dan bisa mendeskripsikan secara detail perasaanku saat itu.
Hati yang begitu kosong, semangat yang menguap hilang seolah ditarik dengan paksa meninggalkan tubuhku, serta kesedihan dan rasa kehilangan yang menggerogoti satu per satu sel saraf di otakku. Sebuah kenyataan yang amat menyakitkan bahwa aku tidak mempunyai orangtua lagi. Mereka tidak akan pernah melihatku menikah ataupun menimang cucu mereka. Hanya tinggal aku dan Jeni, kakak perempuanku satu-satunya.
Rasanya begitu pahit hingga kecut. Sampai air mata yang seharusnya keluar agar dada tidak terasa sesak malah
t . c tersumbat di dalam. Dada ini jadi terasa tambah berat. Seperti itulah yang aku rasakan saat ini. Detik ini.
Bersama Martin yang berdiri di hadapanku. Aku yakin dia juga merasakan hal yang sama dengan apa yang aku rasakan saat ini. Diri kami tercabik-cabik mendengar kenyataan itu.
PHK. Martin kena PHK. Tiga huruf yang mematikan. Tiga huruf yang paling ditakuti oleh semua orang yang berjuang bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Terutama ketika kenyataan ini didapat begitu mendadak.
Aku nggak .... Kok, bi-" Aku tergagap. Sungguh tidak masuk akal sehatku. Martin pekerja keras. Dia sudah lama bekerja di perusahaan itu. Bahkan, dia sudah bergabung sejak dirinya lulus kuliah dan bekerja sangat loyal hingga sekarang. Aku tahu banget dia berjuang dari nol untuk mendapatkan posisi yang dijalaninya sampai hari ini.
Apakah mereka memecatnya karena tidak menyukai Martin" Atau, dia sudah melakukan skandal" Buatku tidak ada dari semua spekulasi itu yang benar! Martin sangat menikmati dan mencintai pekerjaannya. Selama ini dia tidak pernah mengeluh soal masalah di pekerjaannya. Dia lebih banyak bercerita seputar keseruan dan dinamika yang dijalani. Martin juga orang yang menyenangkan dan jujur. Aku tidak bisa membayangkan kalau ada yang tidak suka kepadanya.
Aku nggak ngerti, Hon .... Lagi-lagi aku tidak bisa meneruskan kata-kataku. Semuanya tertelan kembali. Seperti ada gumpalan di tengah tenggorokanku. Martin tidak mengatakan apa-apa. Dia hanya menutup mulutnya rapat. Posisi duduknya di sofa juga kaku. Begitu juga diriku.
Martin ..., Aku memanggilnya. Aku berpindah tempat dan duduk di sebelahnya. Sekarang dia bersandar di sofa
t . c dengan mata tertutup. Kedua tangannya mengusap wajahnya yang pucat. Akhirnya, dia menemukan suaranya, Aku ... juga nggak menyangka ... sama sekali .... Martin berkata perlahan dengan suara serak. Dia sepertinya masih shock. Ternyata, perusahaan bangkrut .... Pabrik di Jepang tutup dan begitu banyak yang dirumahkan ... juga diberhentikan ... termasuk aku.
Kami sama-sama tidak berkata apa-apa dan terpaku diam. Baik aku maupun Martin tenggelam di dalam pusaran pikiran di kepala masing-masing.
Suara anak-anak yang ramai menyadarkanku. Spontan aku melirik ke suara riang itu berasal. Emilia yang tadi sedang melihat hujan sudah meninggalkan jendela karena hujan sudah berhenti. Sekarang dia bermain dengan kakaknya.
Sungguh perbedaan yang terlampau jauh. Di satu sisi, mereka di dalam kamar begitu menikmati permainan dan tawa ceria yang mengelilingi mereka, sedangkan di sisi lain rumah ini, kami berdua ....
Lalu ..., bagaimana dengan ... kita" tanyaku perlahan. Martin menoleh. Dia meraih serta menggenggam tanganku yang terkulai lemas di pangkuan. Sorot matanya, meskipun masih terlihat shock, aku bisa melihat bahwa dia berusaha untuk membesarkan hatiku. Ada uang pesangon. Jumlahnya lumayan karena masa kerjaku sudah cukup lama. Mungkin ... bisa jadi pegangan kita, sementara aku mencari pekerjaan lagi ....
Tapi ..., apakah cukup" Untuk sehari-hari, untuk sekolah anak-anak, untuk kita berlima" Otakku yang kosong memaksa untuk berhitung, untuk membuat perkiraan dengan cepat mengenai masa depan kami. Namun, yang ada aku jadi panik.
Bagaimana dengan asuransi" Apakah kita sanggup untuk membayarnya" Aku teringat dengan asuransi yang
t . c kami miliki. Bukan jumlah yang sedikit.
Martin mengatupkan mulutnya karena tidak bisa menjawab pertanyaanku. Mataku berkaca-kaca. Ya Tuhan, aku sungguh tidak percaya. Kami tidak pernah punya persiapan untuk menghadapi keadaan seperti ini.
Kita akan pikirkan jalan keluarnya. Aku akan segera mencari pekerjaan.
Aku menyimpan kekhawatiranku sendiri di dalam hati. Aku tahu persis mencari pekerjaan tidak semudah mencari toko Seven Eleven di Kota Jakarta. Sangat sulit. Terutama pada umur Martin yang bukan ukuran fresh graduate lagi. Peluangnya tidak luas. Sempit seperti jalanan yang semakin mengecil. Aku jadi pesimis.
Seperti bisa membaca keresahanku, Martin mencoba menguatkan kami berdua. Bisa, Jul. Pasti bisa. Kita harus banyak doa, ya, ujar Martin dengan suara datar. Dia sudah jauh lebih tenang dan bisa menguasai dirinya. Wajahnya sudah tidak lagi pucat dan dia tidak berdiam diri lagi.
Setelah itu, Martin beranjak mandi, makan, dan mencari cara untuk menghibur dirinya dengan bermain bersama anakanak.
Sementara aku" Aku masih sangat terpukul. Aku terus diam dan bergumul dengan pikiranku. Dadaku masih terasa sesak. Aku menenangkan diri dengan duduk di teras depan. Aku butuh waktu sendiri untuk menenangkan diri sejenak. Kepalaku masih terasa pening. Berjuta pertanyaan tercetak satu per satu di otakku. Apakah aku harus memindahkan anak-anak ke sekolah yang biayanya lebih terjangkau" Anggaran apa yang harus aku kurangi" Bisakah aku menghentikan asuransi dan melanjutkannya sampai kondisi keuangan kami normal kembali atau setidaknya sampai Martin mendapatkan pekerjaan tetap" Pertanyaan terus bertubi-tubi hinggap di benakku.
Aku menghela napas. Rasanya ada sekepul asap keluar
t . c dari kepalaku. Sejujurnya, aku tidak bisa menjawab semuanya sekarang. Tidak ada satu pun pertanyaan yang tadi melintas ganas di benakku yang bisa aku jawab sendiri.
Masalah ini terlalu complicated. Jujur saja, aku benarbenar tidak siap dengan berita buruk ini. Aku menatap langit yang gelap dan suram. Hujan sudah berhenti, yang tersisa hanyalah hawa dingin. Aku memeluk diriku untuk mencari kehangatan. Ketika hawa semakin dingin, aku pun masuk sekaligus mengunci pintu.
Aku menemukan Martin di depan televisi, seperti yang selalu dia lakukan untuk menunggu kantuk datang. Martin mengangkat wajahnya begitu melihatku datang. Dia menepuk sofa di sebelahnya, memintaku duduk.
Anak-anak sudah tidur" tanyaku begitu aku duduk di sebelahnya.
Sudah, sahut Martin. Matanya kembali tertuju pada layar televisi dan kami saling bungkam. Kami tidak banyak bertukar kata malam itu. Malam ini pengecualian.
Dampak PHK terhadap Martin begitu nyata, seperti virus yang cepat menyebar. Suasana rumah terasa sedih. Bahkan, ketika kami sudah berbaring di tempat tidur, lidah kami tetap kaku. Kami hanya bisa menatap langit-langit di kegelapan kamar. Pikiran kami berdua sibuk berkelana.
Babe" Suara Martin menyadarkanku bahwa dia belum juga tidur padahal kami sudah berbaring dengan posisi yang sama selama beberapa waktu.
Ya" Aku memiringkan tubuhku ke kanan agar bisa menatapnya. Posisi tidur Martin masih berbaring telentang. Matanya terbuka lebar menembus ke langit-langit kamar, sepertinya berharap bisa mendapatkan jawaban yang dia cari di atas sana.
I m so sorry, ujar Martin tercekat.
Aku terkejut dengan permintaan maafnya. Aku segera mengelus tangannya. Jangan minta maaf. Kejadian ini
t . c bukan salah kamu, Hon. Aku menggelengkan kepala, lalu mengembuskan napas dengan berat. Seharusnya, aku yang minta maaf.
Mulutku terkatup rapat karena dadaku semakin terasa sesak. Ada gumpalan tangis yang mendesak keluar. Akulah yang seharusnya mendukung kamu dan menenangkan kamu, bukan sebaliknya. Aku teringat diriku yang bukannya menenangkan Martin, malah menjadi panik. I m not proud of it. Namun, itulah yang terjadi. Peristiwa ini benar-benar di luar dugaanku. Dugaan kami.
Martin ikutan memutar badannya hingga kami berdua berbaring miring, berhadapan satu sama lain. It s ok. I understand. Kalau aku di posisi kamu, aku juga akan bereaksi sama.
Kami terdiam lagi sebelum aku berkata, Kita akan pikirkan jalan keluarnya, ya. Pasti ada jalan keluarnya.
Martin terdiam sejenak. Lalu, dia berkata sekelebat, seperti tidak ditujukan kepada siapa pun, Aku sudah mengecewakan kamu, Babe. Mengecewakan keluarga kita ....
Aku mengangkat sebagian tubuhku dan menopangnya dengan siku tangan dan berkata dengan sungguh-sungguh, Aku tidak pernah berpikir kamu sudah mengecewakan kita. You ve done the best for our family. Dan, aku sangat bangga kepadamu, Hon.
Martin memutar tubuhnya dan kembali telentang. Kedua tangannya diselipkan di belakang kepalanya. Kesunyian kembali mengisi jeda di antara kami.
Kamu percaya kita bisa survive" tanya Martin mengisi kesunyian.
Aku sedih mendengarnya. Aku tidak pernah berharap Martin akan mempertanyakan hal itu. Ucapannya barusan benar-benar melukiskan ketidakpercayaan dirinya. Namun, aku maklum jika percaya dirinya hilang begitu saja dan
t . c sangat mengerti mengapa dia bisa mempertanyakannya.
Akan tetapi, aku harus menguatkan dan mendukungnya. Bukan hanya untuk dirinya semata, melainkan juga demi keluarga kecil kami.
Kita harus bisa. Ya ..., mudah-mudahan .... Ucapan Martin menggantung di udara. Lalu, aku mengutarakan sebuah usul kepadanya. Apakah aku harus mencari pekerjaan juga" Apa pun yang harus dilakukan ....
Dugaanku benar bahwa Martin pasti akan menolaknya. Tidak usah, Jul. It s my job. It s my responsibility.
Ini tanggung jawabku juga, Hon, ralatku. Kita menjalaninya berdua, bukan kamu aja. Ini kapal kita, setidaknya kalau kamu berhenti mendayung, aku punya tenaga untuk membantu kamu.
Martin mengeluarkan sebelah tangannya dari belakang kepala dan meraih pundakku. Aku merebahkan kepalaku di dadanya yang bidang. Aku bisa mendengar detak jantungnya yang berirama dan tarikan napasnya yang teratur. Lalu, aku merasakan puncak kepalaku dikecup cukup lama olehnya.
Aku tahu. Tapi, aku nggak bisa menambah bebanmu dengan masalah ini, sedangkan kamu sudah repot dengan anak-anak. Nggak adil buat kamu, Babe.
Kita lihat ke depannya, ya" Yang pasti kita harus tetap saling menguatkan.
Martin mengecup keningku. Kami pun tertidur dengan kegelisahan yang menyelimuti hingga pagi.
Papi, kok, nggak pakai baju kerja" Nggak kerja, ya, hari ini"
Pertanyaan pertama pada pagi hari ketika kami hendak menjalankan aktivitas. Pertanyaan Ernest membuat aku dan Martin saling berpandangan satu sama lain. Ernest masih
t . c menunggu jawaban papinya. Aku sendiri tidak menyangka Ernest bisa menanyakan hal tersebut. Saking pintarnya, Ernest menyadari ketika Martin hendak mengantarkannya tanpa menggunakan pakaian kantor, yaitu kemeja dan celana bahan.
Hari ini Papi cuti, boy. Lagi libur dulu, jawab Martin dengan santai, menutupi kenyataan yang ada.
Mendengar kata libur membuat Ernest senang. Emilia pun menyahut, Papi nggak kerja" Horeee!!! Yaay!!!
Mau tak mau aku tersenyum kecut. Martin juga tertawa meskipun tak begitu lepas.
Nanti Papi yang jemput aku, yaaa ..., seru Emilia lagi. Martin membelai rambutnya. Iya, nanti Papi yang jemput. Yuk, sekarang kita berangkat.
Aku mengantar kepergian mereka dalam diam dan hati yang teriris. Pertanyaan dan jawaban dari Ernest dan papinya begitu membekas di benakku. Sepanjang hari aku termenung.
Sepulangnya mengantarkan anak-anak ke sekolah, Martin tidak banyak bicara. Dia berkutat di depan laptop ataupun di depan televisi. Begitu waktunya menjemput anak-anak di sekolah, dia pun pamit, lalu pergi tanpa banyak omong. Tak lama kemudian, aku menerima telepon darinya. Sepertinya, kami akan pulang telat, Babe. Martin memberitahuku.
Oh. Memangnya mau ke mana"
Ke toko buku. Ernest minta dibelikan buku, nih. Oh, ya, juga sekalian ajak mereka ke kantor, aku mau ambil cek pesangon.
Aku menelan ludah ketika mendengar Martin menyebutkan kata pesangon . Sekali lagi hatiku miris. Aku benci kata tersebut. Perutku langsung terasa mulas. Namun, aku tahu bahwa aku tidak boleh lemah. Aku harus kuat. Aku harus kuat. Aku. Harus. Kuat.
t . c Oke. Aku sengaja memasang suara yang tenang padahal hatiku bercampur aduk.
Aku juga mau ajak mereka makan bakmi. Di dekat kantor ada bakmi yang enak.
Tapi, Emili nggak suka bakmi.
Nggak apa-apa, di sini ada yang jual bihun juga. Dia suka bihun, kan" Belum juga menyahut, samar aku mendengar suara di belakang Martin, Aku mau bihun, Papiiii .... Aku lapar, yuk, makannn ....
Aku jadi tersenyum mendengar ucapan Emilia. Terdengar Martin berbisik menenangkan Emilia, lalu kembali lagi kepadaku. Is that okay with you"
Aku mengangguk. Nggak apa-apa. Kalau nunggu sampai di rumah, mereka pasti akan kelaparan. Thanks, Babe.
Hati-hati, ya.

For Better Or Worse Karya Christina Juzwar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku menutup sambungan telepon. Aku pergi ke meja makan dan membuka tudung saji. Makan siang sudah tersedia sedari tadi. Mbak Nani menyusunnya dengan rapi. Ada ca kangkung, terung balado kesukaanku, dan mun tahu kesukaan Emilia dan Ernest. Aku mengambil piring, lalu duduk.
Ketika menatap nasi putih yang masih hangat, aku sadar bahwa aku tidak terlalu lapar. Sayur-mayur dan lauk di meja hanya aku pandangi. Cukup lama sampai aku tidak sadar Mbak Nani sudah ada di ruang makan.
Bu" Nggak mau makan"
Aku terkejut mendengarnya menegurku. Mungkin Mbak Nani bingung karena aku tidak melakukan apa-apa selain memelototi semuanya, padahal aku duduk di kursi makan. Aku menggeleng. Tolong buatin aku susu jahe aja, Mbak. Ibu lagi sakit" Mau saya kerokin"
Aku tersenyum mendengar tawaran penuh perhatian dari
t . c Mbak Nani. Nggak, kok, Mbak. Cuma pusing sedikit. Baik, Bu. Saya buatkan dulu susu jahenya. Aku meninggalkan ruang makan dan pergi ke sofa setelah sebelumnya mengambil ponsel di kamar. Aku sempat menimbang-nimbang untuk menelepon seseorang. Diam saja seperti ini bisa membuatku stres. Aku segera menekan nomor yang sudah sangat kuhafal. Pada deringan ketiga, dia mengangkatnya.
Halo" Kak Jen" Lagi di mana"
Hai, Jul! Kok, kita sehati banget, ya. Kakak baru aja mau nelepon kamu.
Mau tak mau aku tersenyum. Saking dekatnya, aku dan Kak Jeni memang sering kali begitu. Sehati. Feeling kami kuat menyambung satu sama lain. Seperti anak kembar. Namun, kenyataannya aku dan Kak Jeni berbeda umur cukup jauh hingga delapan tahun.
Penampilan kami berdua juga berbeda. Kak Jeni tinggi dan besar serta modis, berbanding terbalik denganku yang kurus mungil dan lebih sederhana. Penampilan Kak Jeni tidak sampai seheboh dan mentereng seperti Gita, sih, tetapi dia selalu percaya diri meskipun tubuhnya besar. Dia selalu tahu bagaimana harus berpenampilan yang baik dan sesuai dengan dirinya sendiri.
Kak, sibuk nggak" Aku mau ke sana.
Suara riang Kak Jeni menguap begitu saja. Tone suaranya sekarang berganti jadi penuh tanda tanya dan sedikit serius, Loh, tumben" Sama anak-anak" Nggak, sendiri. Aku ke sana, ya, sekarang. Aku tunggu. Cepat, ya.
Itulah kakakku. Sesibuk apa pun dia selalu meluangkan waktu untukku. Untungnya, dia tidak bekerja di kantor. Dia seorang agen asuransi sehingga waktunya cukup fleksibel
t . c untuk dia luangkan ke keluarga, teman-teman, dan juga diriku.
Dengan pakaian seadanya, aku menyambar tasku dan kunci mobil. Spontanitasku ini terpacu oleh otakku yang mumet. Aku butuh pelarian dan curhat, serta nasihat. Aku harus mendapatkannya dari Kak Jeni. Jalanan cukup macet sehingga butuh waktu satu jam untuk sampai ke rumahnya. Ternyata, dia sudah menungguku di teras depan.
Nggak usah ditunggu kali, Kak. Kayak pejabat aja. Aku menggoda sekaligus menyindirnya begitu aku keluar dari mobil. Kak Jeni tertawa. Nggak, lah. Tadi Jessie dan Jeinita baru aja pulang. Kurang kerjaan kali aku nungguin kamu. Kak Jeni membalasku. Ayo, masuk, Jul.
Kedua keponakanku: yang sulung, Jessie, sudah kelas XI, sedangkan Jeinita baru kelas IX. Begitu melihatku datang, mereka langsung menyambutku. Kak Jeni benar, mereka baru pulang. Jessie dan Jeinita masih mengenakan seragam sekolah mereka.
Hai, Tante July! Hai, sayang!
Mereka berdua memelukku. Tahu, nggak, Tante .... Ada cowok ganteng banget di sekolah ....
Dan, Kak Jessie suka sama dia. Jeinita langsung menyambar, membuat Jessie melotot, tetapi wajahnya merona. Aku tertawa melihatnya.
Jangan dengerin Jein, Tante. Dia bohong! Tapi, Kakak, kan, bilang ....
Aku harus melerai mereka sebelum ada keributan yang lebih besar. Mereka memang sering sekali beradu mulut, tetapi aku selalu terhibur. Sedikit mengingatkanku dengan masa kecilku dan Kak Jeni.
Aku sempat bercengkerama dengan kedua keponakanku untuk beberapa saat. Keduanya yang ceriwis tak hentihentinya berceloteh dan menimpali satu sama lain. Yang
t . c pasti, topik cowok tidak pernah absen dari perbincangan santai kami. Rasanya, itu menjadi topik satu-satunya yang seru dan tak ada habisnya.
Sesi curhat berakhir ketika Kak Jeni mengusir kedua anak gadisnya untuk mandi dan belajar, hingga akhirnya meninggalkan kami berdua saja.
Ada masalah apa, Jul" tanya Kak Jeni langsung tanpa basa-basi lagi. Tangannya memegang secangkir kopi yang masih mengepul hangat, yang baru saja dibuatkan oleh asisten rumah tangganya.
Aku pun memutuskan untuk langsung bercerita kepadanya. Martin kena PHK, Kak.
Kak Jeni tersentak dan hampir menumpahkan kopinya. Dia menaruh gelas kopi di meja dan menatapku dengan bersungguh-sungguh. Ha" Kapan" Kak Jeni terkejut.
Aku sudah bisa menduga reaksinya. Sama seperti aku dan yang lainnya, reaksi kami sama. Terkejut. Tidak ada yang menyangka bahwa kejadian itu sekarang terjadi di keluargaku.
Kemarin. Bukannya Martin sudah lama, ya, kerja di sana" Kok, bisa di-PHK" Kak Jeni mempertanyakan ketidakpuasannya. Aku mengangkat bahuku. Lama atau nggak lama sama aja, Kak. Perusahaannya kolaps. Nggak hanya dia yang kena. Ada ratusan orang. Mungkin akan tutup.
Kak Jeni menghela napas dengan sangat berat. Aku nggak nyangka. So sorry to hear that, Jul.
Aku juga, sahutku muram. Setiap kali memikirkan pemecatan Martin, perutku bergejolak lagi. Kak Jeni menatapku dengan saksama. Meneliti setiap inci di wajahku. Sepertinya, dia hendak membaca pikiranku lewat wajahku dan mengoreknya lebih dalam lagi.
Apa yang kamu pikirkan, Jul" tanya Kak Jeni lembut.
t . c Entahlah, Kak. Banyak. Penuh. Jadinya malah pusing .... Aku terdiam sejenak. Mataku menatap nanar lurus, Aku mikirin anak-anak ..., mikirin Martin ..., mikirin keluargaku. Sekolah anak-anak, masa depan mereka .... Gimana kalau Martin nggak dapat kerja lagi" Gimana hidup kami ..."
Aku ngerti, Jul .... Kak Jeni sekarang pindah dan duduk di sampingku dengan punggung yang tegak. Kesabaran terpancar dari wajahnya. Oh, andai aku bisa mencuri sedikit kesabarannya pada saat seperti ini karena aku sangat membutuhkannya.
Sumpah, aku nggak tahu apa yang harus aku lakukan, Kak. Aku mengatakan kepada Martin bahwa semuanya akan baik-baik saja. Padahal, aku sendiri nggak yakin akan seperti itu! Aku nggak tahu ke depannya seperti apa, bagaimana nasibku, Martin, dan anak-anak .... Bisa saja Martin tidak akan mendapatkan pekerjaan lagi dan terpaksa kami harus menjual satu per satu aset kami ... dan sekolah anak-anak .... Atau bagaimana jika mereka sakit ....
Aku menghentikan ucapanku yang mulai meracau. Napasku jadi tersengal-sengal karena aku lupa mengambil napas. Aku mengusap keningku yang berpeluh. Kegelisahan itu muncul kembali.
Aku segera berdiri dari sofa dan berjalan di dalam ruangan dengan tak menentu untuk menenangkan diriku. Aku tahu apa yang sedang terjadi sekarang. Aku jadi panik. Aku berusaha membuang kepanikan itu jauh-jauh dengan menarik napas panjang dan mengeluarkannya. Aku melakukannya terus berulang-ulang.
Rasanya tidak akan berhasil. Aku pun akhirnya keluar untuk mendapatkan udara segar. Begitu angin menerpa wajahku, aku mulai merasa sedikit lebih baik. Aku berdiri di teras depan sambil berkacak pinggang. Perlahan udara segar berkumpul di paru-paruku membuat diriku jadi lebih tenang.
t . c Aku merasakan pundakku diremas lembut. Ternyata, Kak Jeni sudah berdiri di sampingku. Sial, aku tidak bisa menahan diri untuk tidak mulai menangis. Mataku jadi berkaca-kaca. Aku bodoh banget, Kak. Curhat bukannya makin tenang, malah panik. Tolol, ya ..., kalau begini caranya, gimana aku bisa nolong Martin" Apa-apa panik, dikit-dikit gelisah, belum apa-apa udah mewek. Sejenak aku merasa benci kepada diriku.
Nggak tolol, kok. Itu alami. Kamu memuntahkan semuanya jadi nggak terkendali. Tapi, kamu mesti tahu, Jul, panik nggak membuat persoalan jadi beres. Begitu juga marah, apalagi sampai depresi. Tangan Kak Jeni sudah berpindah dari bahu. Sekarang aku merasakan tanganku digenggam. Lantas, Kak Jeni mengajakku masuk kembali ke dalam.
Kakak akan bantu untuk mencari jalan keluarnya. Tapi, sementara ini, kamu harus menenangkan diri dulu. Kalau nggak, gimana kamu bisa memikirkan solusi yang baik" Demi keluarga kamu. Demi anak-anak dan Martin.
Aku mengangguk. Aku tahu.
Kak Jeni membiarkan aku bergumul dulu dengan pikiranku sendiri. Kami sama-sama terdiam. Jeda itu berisi tawa kedua keponakanku yang terdengar samar-samar dari kamarnya, membuatku teringat Emilia dan Ernest.
Padahal, aku berencana memasukkan asuransi pendidikan buat Ernest dan Emili. Aku mau mereka bersekolah setinggi-tingginya. Aku membuka suara dan menumpahkan perasaanku.
Jangan pikirkan hal itu dulu. Yang penting kesehatan, Jul. Mereka sudah punya itu. That s the most important.
Aku tersenyum. Ck. July, July. Bodoh, kok, dipelihara" Aku menggerutu dalam hati. Tentu saja yang terpenting adalah kesehatan. Percuma kalau punya pendidikan tinggi, tetapi kesehatan malah keok. Tidak akan
t . c ada artinya. Oh, ya, satu lagi. Aku baru teringat. Aku lupa bersyukur. Seharusnya, aku merasa beruntung karena masih ada uang pesangon, uang tabungan juga cukup meskipun tidak banyak. Namun, yang paling penting, kami semua sehat. Perlahan, aku merasa malu dan begitu bodoh.
Jalani perlahan, Jul. Cari kerjanya juga perlahan. Bantu Martin browsing lowongan pekerjaan. Di internet, kan, banyak situsnya. Nanti aku juga minta tolong Kak Markus buat bantuin tanya ke rekan-rekan kerjanya. Percaya, deh, sama Kakak, pasti akan ada jalan.
Berapa lama akan terus begini, ya, Kak" tanyaku setengah merenung. Aku berharap Kak Jeni akan bisa menjawabnya. Kak Jeni malah tertawa. Kok, nanya ke Kakak" Emangnya Tuhan" Ikutin aja rencana-Nya, ya. Banyak doa, Jul. Nanti kebuka, kok, jalannya. []
t . c uasana rumah sedikit berubah. Walaupun begitu, tidak ada pertanyaan yang terlontar lagi dari mulut Ernest mengenai keberadaan papinya yang sekarang berada di rumah setiap hari. Emilia yang belum terlalu mengerti dan peduli, malah menunjukkan sukacitanya karena bisa bertemu dan bermain dengan papinya sepanjang waktu tanpa harus menunggu sore atau malam hari lagi.
Aku juga telah berpikir banyak dan memutuskan untuk mengundurkan diri dari acara arisan bulanan. Aku merasa tidak bijak jika terus bersenang-senang , sementara situasi keluarga kami sedang terpuruk. Aku tahu sebenarnya Martin tidak melarangku, tetapi hati kecilku terus mengatakan tidak adil. Martin sendiri yang dulu rajin kumpul dengan sahabatnya menonton bola atau bermain futsal, juga sudah tidak melakukannya lagi. Bahkan, janjiannya di World Caf" yang tempo hari dia beri tahukan ke aku pun dia batalkan dengan sendirinya.
Akhirnya, setelah aku mengambil keputusan tersebut, aku mengumpulkan ketiga sahabatku dan kami sepakat untuk berkumpul di rumah Paula.
Ada apa, sih" Gita terus mengerutkan keningnya. Aku memang belum memberi tahu alasan yang membuat aku
t . c sampai harus mengumpulkan mereka.
Iya, bikin takut aja, deh, Jul, ampe bikin pertemuan kayak begini, ujar Mala tegang. Wajahnya sedikit tegang, bahkan dia tidak menggubris makanan yang dihidangkan oleh Paula.
Gue ... harus mengundurkan diri dari arisan. What" Kenapa" Gita langsung bereaksi. Dia memang selalu cepat dalam hal apa pun. Mala dan Paula memilih untuk mengerutkan kening dengan tatapan penuh tanya.
Aku berdeham, lalu memandang mereka satu per satu. Setelah itu, aku baru menyebutkan berita buruk itu. Karena ... Martin ... kena PHK.
Masing-masing mengatupkan mulutnya. Wajah-wajah sahabatku langsung tersentak begitu mendengar pemberitahuanku.
Kok ..., bisa" Suara Gita melemah. Paula pindah dan duduk di sebelahku. Dia memelukku. I m so sorry, Darl ....
Bagaimana bisa" Mala ikutan bertanya.
Pabrik di Thailand tutup dan pemilik perusahaan tempat Martin bekerja menutupnya karena ada masalah keuangan. Banyak karyawan yang di-PHK. Termasuk Martin. Aku menjelaskan singkat kepada ketiganya.
Aku melanjutkan penjelasanku. Rasanya nggak adil kalau gue terus ikutan arisan sementara .... Aku mengangkat bahuku. Situasinya nggak mendukung. Gue harap kalian mengerti.
Jadi, apa yang akan lo lakukan"
Aku menghela napas. Sementara ini, gue akan bantu Martin cari pekerjaan. Mungkin itu yang bisa aku lakukan sekarang.
Gue yakin Martin akan cepat dapat pekerjaan lagi. Gita membesarkan hatiku seraya menepuk kakiku lembut. Aku
t . c meremas tangannya penuh rasa terima kasih.
Thanks, Git. So sorry, ya, guys .... Gue juga nggak nyangka ....
Mala menggeleng. Jangan minta maaf begitu. Nggak apa-apa, kok, Jul. Tapi, ingat kalau lo butuh bantuan, lo harus hubungi kita semua .... Gue nggak mau ada yang namanya sungkan.
Lo harus cari kita. Gita menambahkannya. Paula mengangguk mantap. Aku jadi terharu. Paula menggenggam tanganku. Arisan akan tetap berjalan. Nanti kita akan hitung bagian yang udah lo setor selama ini, Jul. Jangan khawatir.
Aku mengangguk. Rasanya mengucapkan syukur beribu kali tidak akan pernah cukup atas keberadaan mereka dalam hidupku. Aku tidak salah memilih siapa sahabat-sahabatku.
Aku baru saja memandikan Emilia dan hendak memakaikannya baju. Namun, Emilia berlarian ke sana kemari dengan lincah dan akhirnya berlabuh di sofa. Sekarang dia meloncat-loncat di atas sofa.
Em! Ayo, turun! Jangan loncat-loncatan di sofa! Aku memanggilnya. Emilia tidak menggubrisnya. Sofa yang dia anggap trampoline itu membuatnya betah meloncat-loncat. Begitu aku mendekatinya, dia malah berlari menuju kamar. Sekarang dia menjadikan kasurnya sebagai trampoline berikutnya. Ck! Benar-benar, deh, anak ini! Kelakuannya sudah seperti monyet yang bebas di hutan!
Aku hampir kehabisan napas mengejarnya ketika melihat Martin keluar dari kamar dengan berpakaian cukup rapi. Dia sepertinya hendak pergi keluar.
Aku menyerahkan baju Emilia kepada Mbak Nani, yang menggantikanku mengejar monyet cilik nan lincah itu. Aku mendekati Martin dan bertanya, Mau ke mana, Hon" Kening Martin mengernyit, Bukannya aku udah kasih
t . c tahu kamu, Babe" Aku mau ketemu Kak Markus.
Giliranku yang mengerutkan kening. Belum. Kamu belum kasih tahu aku.
Martin memakai jam tangannya. Masa, sih" Kalau begitu, aku yang lupa. Sorry, Babe.
Kerjaan" Martin mengangguk. Iya, Kak Markus mau ngobrolngobrol. Siapa tahu dia bisa mencarikan aku lowongan di tempat kerja teman-temannya atau mungkin di tempatnya.
Kak Markus, suami Kak Jeni, bekerja di perusahaan otomotif internasional dari Jerman. Posisinya cukup bagus, yaitu sebagai marketing director. Aku rasa, janji temu Martin dengan Kak Markus ini ide yang bagus.
Aku akan pulang jam sepuluh. Don t wait for me. Martin mengecup pipiku singkat. Kemudian, dia menghampiri kedua buah hatinya dan melakukan hal yang sama. Aku mengantarnya sampai ke mobil.
Martin baru pulang menjelang pukul 10.30 malam. Aku sudah berbaring meskipun masih terjaga. Dia pun selalu mandi sepulangnya dari nonton bareng, seperti yang dia lakukan sekarang.
Tidak lama kemudian, Martin sudah berbaring di sebelahku. Aku memunggunginya. Harum sabun yang begitu familier langsung membelai penciumanku. Aku merasakan tangannya melingkar di pinggangku. Aku bisa mendengar helaan napasnya yang berat. Spontan aku meraih tangannya dan menggenggamnya hingga kami berdua jatuh tertidur.
Pendekar Tongkat Dari Liongsan 3 Goosebumps - Berburu Monster Pembalasan Dari Liang Lahat 2
^