Pencarian

For Better Or Worse 2

For Better Or Worse Karya Christina Juzwar Bagian 2


Aku hendak berangkat ke rumah Paula untuk mengikuti yoga, salah satu kegiatan yang syukurlah masih bisa aku pertahankan. Paula sangat baik. Aku sempat ingin mengundurkan diri dari kegiatan favoritku ini, tetapi Paula berhasil menyakinkan diriku untuk terus ikut tanpa perlu
t . c membayarnya. Aku sempat menolaknya, tetapi Paula memaksaku.
Cuma seminggu sekali doang, Darl. Udahlah. Nggak usah hitung-hitungan sama gue.
Aku sungguh terharu. Dia sungguh-sungguh teman yang baik.
Baru saja aku membuka pintu mobil ketika Martin menyusulku ke depan rumah. Aku melihat dia masih menggenggam ponselnya.
Babe. Martin memanggilku.
Aku menoleh dan melihat wajahnya yang sedikit bergairah. Aku dapat panggilan kerja.
Spontan aku memeluknya. Aku pun ikut senang. I m so happy for you! Kapan, Hon"
Besok pagi. Di daerah Sudirman. Aku minta tolong, dong, tadi aku cari-cari kertas dan amplop cokelat, kayaknya habis. Mereka minta untuk membawa CV lengkap. Bisa tolong belikan nanti sepulangnya kamu dari yoga" Aku mengangguk dengan mantap. Tentu saja. Sebuah kabar kecil, belum tentu bisa dibilang bagus, tetapi mampu mengangkat sepercik beban di hati dan membangkitkan semangat serta harapan yang sempat terpuruk beberapa minggu lalu.
Aku mengendarai mobilku dengan perasaan ringan. Wajahku juga tidak sekusut biasanya. Bahkan, ketika aku melakukan yoga, tubuhku terasa lebih enteng.
Rupanya raut wajahku begitu transparan menunjukkan isi hatiku hingga Paula bertanya apa yang membuatku terlihat begitu senang. Aku pun bercerita kepada Paula mengenai panggilan kerja pertama Martin.
That s great, Darl. Semoga berjalan lancar, ya. Paula memelukku hangat.
Doain aja, ya, Pol. Semoga jadi yang terbaik buat kami.
t . c Keesokan paginya aku membantu Martin untuk wawancara pertamanya. Aku bantu menyiapkan kemeja serta celananya yang sudah disetrika dengan rapi dan licin. Martin cukup percaya diri untuk menghadapinya. Dia terlihat tenang. Sebaliknya, aku malah gugup. Ya, ampun, istri macam apa, sih, aku ini"
Kok, tegang" goda Martin sesampainya di rumah sehabis mengantarkan Ernest dan Emilia ke sekolah. Aku jadi manyun. Mulutku melengkung ke bawah ketika membantunya memasangkan dasi.
Nggakkk ..., santai, kok ... siapa juga yang tegang" sahutku ngeles. Martin tertawa. Dia mengecup keningku ringan. Kalau santai, jidatnya gak berlipat dan mulutnya nggak rapat kayak begini.
Daripada godain orang, mending mikirin wawancaranya. Konsentrasi, gerutuku. Martin menyunggingkan senyum lebar. Aku mengantarkannya sampai di depan rumah.
Good luck, ya, Hon! Aku menyemangatinya. Martin mengedipkan sebelah matanya dengan jenaka sambil melambaikan tangannya keluar jendela. Perlahan aku menghela napas. Sekarang yang aku bisa lakukan adalah berdoa dan menunggu sekaligus pasrah.
Wawancaranya" tanyanya.
Pertanyaannya membuatku mendelik. Eh" Kok, dia jadi bertanya balik" Apakah aku menanyakannya kurang jelas"
Iya, Hon. Gimana wawancaranya" Apakah berjalan dengan baik" How s the result" Aku mengulanginya dengan lebih detail.
Martin baru saja pulang dari Sudirman. Dia tidak mengatakan apa-apa seolah dia bukan baru mendatangi
t . c wawancara pekerjaan. Aku tidak tahan untuk tidak bertanya. Maka, aku pun mengikutinya sampai ke dalam kamar.
Sambil mengganti baju, akhirnya Martin menjawabnya, Lancar. Belum tahu hasilnya. Tapi, aku sendiri nggak gitu yakin, Babe.
Nada pesimis terdengar. Sumpah, aku tidak suka mendengarnya. Terlalu dini untuk pesimis. Bagiku seperti sudah keburu mengibarkan bendera putih sebelum memulai perang. Namun, aku mau tahu alasannya. Maksudnya nggak yakin"
Martin membersihkan kacamatanya dengan lap kecil. GM yang wawancara aku itu sempat menyebut gaji. Buatku terlalu kecil, Babe. Tidak ada setengahnya. Meskipun mereka mau mempekerjakanku, belum tentu aku akan menerimanya.
Oh. Aku agak kecewa mendengarnya. Aku menyayangkannya. Gaji memang menjadi penentuan mengingat Martin sudah lama bekerja dengan posisi yang bagus. Kalau sampai dipotong setengahnya, mungkin akan menjadi sedikit sulit untuk ke depannya.
Aku membesarkan hatinya. Nanti akan dapat yang lebih bagus, kok, Hon.
Aku harap begitu, sahut Martin mantap. Makan, yuk. Aku lapar, nih.
Sore hari, ketika Emilia sudah bangun, Martin mengajak Emilia dan Ernest untuk bermain sepeda di taman yang tersedia di kompleks rumah. Mereka baru pulang menjelang magrib. Seiring dengan kepulangan mereka, aku mendengar gelak tawa dari ketiganya. Tawa mereka belum sepenuhnya surut setibanya di rumah.
Ayo, mandi sama Papi! seru Martin.
Aku dulu! teriak Emilia tidak pernah mau kalah. Aku tersenyum geli ketika melihat Ernest hanya mengedikkan bahunya dengan pasrah. Keriuhan berpindah tempat ke
t . c kamar mandi. Bahkan, ketika Ernest mendapatkan giliran, acara mandi menjadi lebih lama karena pasangan anak dan papi itu malah bermain perang-perangan dengan pistol air berwarna kuning dan biru. Alhasil, Martin keluar dari kamar mandi dalam keadaan basah kuyup.
Kamu sekalian mandi aja kenapa" kataku, merasa risi melihat baju dan celana yang dikenakannya basah semua.
Iya, Mamiii .... Eh, mau sekalian aku mandiin, nggak" bisik Martin dengan seringai yang lebar. Aku melotot dan memukul punggung serta mencubit perutnya. Dia mengaduh kesakitan.
Ya sudah, kalau nggak mau. Jangan marah, dong. Aku mandi dulu, ya.
Sore itu aku membantu Mbak Nani memasak. Sudah ada tahu dan tempe bacem serta sayur asem untuk Martin, juga sambal terasi yang pasti bukan buatanku, melainkan racikan Mbak Nani. Aku memang sangat payah dalam urusan masak-memasak. Bantuanku di dapur juga tidak berkontribusi banyak. Ilmu yang paling tinggi yang bisa aku terapkan di dapur palingan hanya tumis-menumis.
Karena itu, aku bersyukur banget ada Mbak Nani. Lihat saja, sekarang di meja makan sudah terhidang sup ayam jagung yang gurih, telur dadar, serta sosis goreng untuk Emilia dan Ernest.
Keriuhan berpindah ke meja makan. Celoteh Emilia tidak berhenti meskipun mulutnya penuh dengan nasi dan sup jagung. Ernest bahkan sampai terbahak-bahak memperlihatkan isi mulutnya yang masih penuh makanan. Aku sampai harus menegur keduanya. Mereka hanya diam sesaat, lalu meneruskannya ketika Martin mengerang kesakitan. Dia tak sengaja menggigit lidahnya sendiri saat mengunyah tempe bacem. Bukannya prihatin, kedua anak itu
t . c malah tertawa terbahak-bahak. Akhirnya, malah menular kepadaku, juga Martin.
Tak terasa waktu sudah menyentuh malam. Sedari tadi, Emilia menguap terus. Tampaknya, dia sudah mengantuk, sedangkan mata Ernest masih tak lepas dari buku yang sedang dibacanya di ranjang.
Melihat Ernest asyik membaca, Emilia jadi tertarik. Karena belum lancar membaca, dia hanya mengambil buku gambar warna-warni. Sesekali dia melirik kakaknya dan meniru gayanya. Aku membiarkannya karena tingkah lakunya menjadi hiburan tersendiri buatku. Aku menemani mereka hingga mereka tertidur. Sambil berjingkat, aku keluar dan membiarkan pintu terbuka sedikit.
Martin yang sedang duduk di depan laptop berkata kepadaku begitu melihatku keluar dari kamar anak-anak, Aku ada panggilan lagi, Babe.
Senyumku mengembang. Aku mendekatinya dan memeluk pundaknya dari belakang. Bagus, dong. Kapan" Dua hari lagi.
Aku mengecup rambutnya. Semoga berhasil, ya, Hon. Semoga bisa lulus.
Terus berdoa, ya .... Martin menepuk lembut lenganku yang melingkari bahu dan dadanya sambil terus menatap laptopnya. I know. I will. []
t . c ebulan sudah berlalu. Aku bisa melihat situasi keluarga ini bukannya berjalan ke depan, melainkan malah jalan di tempat.
Masalah terbesarnya adalah tak satu pun lamaran yang dikirimkan oleh Martin ke perusahaan-perusahaan yang dia tuju mendapatkan respons yang baik. Panggilan wawancara, sih, banyak, bahkan hampir setiap minggu selalu ada panggilan wawancara. Tahapannya pun kadang sudah nyaris. Beberapa kali Martin dipanggil untuk wawancara tahap kedua dan ketiga.
Akan tetapi, semuanya nihil. Tidak ada satu pun yang mengabarkan bahwa Martin diterima dan bisa bekerja secepatnya.
Aku tahu tidak ada sesuatu yang instan. Mencari pekerjaan tidak seperti memilih pakaian di toko baju, yang bisa asal pilih dan coba-coba. Aku mulai merasakan dan mencium ketegangan, juga keputusasaan. Martin memang tidak mengatakan bahwa dirinya putus asa, kesal, atau marah. Dia hanya diam. Masalahnya, Martin tidak pernah diam. Martin yang diam bukanlah Martin yang aku kenal selama sepuluh tahun ini. Martin yang diam bagiku adalah sebuah pertanda buruk.
t . c Perlahan Martin berubah, tepat di depan mataku. Terbukti ketika Emilia mengajaknya bermain dengan terang-terangan Martin menolaknya.
Nggak, Em. Jangan sekarang. Papi sibuk. Sana, main sendiri.
Bayangkan, dia benar-benar mengatakan tidak kepada malaikat kecilnya! Sebelumnya, mana pernah dia menolak Emilia" Bukan hanya aku yang kaget. Emilia juga. Dia terdiam ketika Papi yang dia sayangi itu tidak menggubris ajakan mainnya, bahkan meninggalkan gadis kecil itu sendirian.
Sampai dia benar-benar yakin bahwa papinya benarbenar tidak mau bermain dengan dirinya, baru Emilia berulah. Dia mengungkapkan kekecewaannya dengan menangis.
Huaaa!!! Aku mau sama Papiiiii!!! jerit Emilia dengan pilu. Hatiku sungguh miris. Aku ingin ikut menangis tanpa bisa berbuat apa-apa. Bukannya tidak mau, tetapi aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku seperti berada di tengah bara api. Aku tidak bisa bergerak ke mana-mana.
Karena Emilia terus-menerus menangis, mau tak mau aku turun tangan juga untuk menenangkannya, menggendongnya agar melupakan kekecewaannya.
Aku sengaja membiarkan Martin sendiri, memberikan ruang dan waktu untuknya. Pada dasarnya aku sungguh mengerti apa yang Martin maupun Emilia rasakan. Mereka sama-sama kecewa dalam dua konteks yang berbeda.
Emilia akhirnya berhasil ditenangkan. Begitu tangisnya surut, dia merosot turun dari gendonganku, tetapi dia masih merengek. Tanpa aku duga Ernest-lah yang turun tangan dan itu membuatku takjub. Ernest-lah yang membuat Emilia melupakan kekecewaannya dengan mengajaknya bermain, ditemani Mbak Nani. Mereka mengajak Emilia untuk
t . c memenuhi buku stiker milik Emilia yang sempat terbengkalai karena bosan. Saking asyiknya, Emilia jadi lupa dengan penolakan papinya.
Kejadian itu sangat membekas. Penolakan Martin, kecuekannya, masih terasa. Bahkan, ucapan Martin yang terdengar begitu ketus kepada Emilia terus terngiang di telingaku hingga terbawa tidur.
Hari demi hari sikap Martin semakin aneh, berubah, dan janggal. Dia tak lagi hanya menunjukkan rasa frustrasi atau kekecewaan yang mendalam soal lamaran pekerjaan yang tak kunjung datang dan diterima. Dia jadi apatis dan cuek. Martin sama sekali tidak peduli dengan sekelilingnya.
Martin juga mulai malas mencari lowongan pekerjaan. Pencarian yang dia lakukan tidak segigih dulu. Kali ini hanya seadanya. Waktu yang dia punya malah diisi dengan bermain game atau menonton televisi. Jika dia sedang menatap layar laptop, yang dia lakukan bukanlah membuka situs lowongan, melainkan bermain game online. Tadinya hanya sesekali, untuk mengisi waktu yang tersisa begitu banyak. Namun, sekarang" Menjadi kebiasaan. Keharusan. Bermain game online harus dia lakukan tanpa henti.
Tak jarang dia pergi keluar secara diam-diam, tanpa kabar, dan pulang dalam kondisi yang memprihatinkan. Bau rokok menguar dari sekujur tubuhnya. Matanya memerah dan seringnya baru tiba di rumah saat pagi buta.
Ketika diriku yang masih sepenuhnya sadar telah mengambil kesimpulan akan keadaan Martin, rasanya seperti ditohok dengan sangat keras. Ini bukan lagi mimpi buruk, melainkan kenyataan. Aku tengah menjalaninya dan kenyataan itu tidaklah manis, tetapi pahit.
Perlahan Martin seperti menghilang dari keluarga kecil kami serta mengurung dirinya di dalam dunianya sendiri,
t . c tanpa mau berbagi kepadaku maupun kepada anak-anak.
Meskipun tidak nyaman dan risi dengan kelakuannya, selama beberapa saat aku memutuskan untuk mendiamkannya saja. Aku tidak mau dia merasa aku menyerang serta mendesaknya.
Akan tetapi, kelakuannya tetap sama saja. Cuek. Tak terhitung berapa banyak saat-saat Emilia menjadi marah dan menangis gara-gara diabaikan oleh Papi yang menjadi pujaannya itu. Juga Ernest yang hanya bisa menatap nanar sosok papinya yang tidak melakukan apa-apa selain berselonjor dan menatap ke layar televisi saja. Atau, begitu tenggelam dalam game online-nya. Yang lebih menyakitkan, Martin jarang sekali ada di rumah. Dia sering pergi entah ke mana, hanya dia dan Tuhan yang tahu.
Sampai akhirnya, aku sudah tidak tahan lagi dengan kecuekan dan apatisnya suamiku. Aku pun memutuskan untuk berbicara dengannya.
Akan tetapi, aku harus mencari waktu yang tepat. Tidak mudah karena sepanjang hari aku direpotkan oleh anak-anak karena mereka sedang libur. Aku kewalahan dan Martin tidak membantu sama sekali. Bahkan, dia tidak peduli ketika Emilia mencarinya karena ingin bermain bersamanya atau ketika Ernest meminta agar sepedanya yang rusak dibetulkan. Kalau dia sampai melakukannya, kentara sekali bahwa dia melakukannya juga dengan terpaksa. Aku menahan marah dan kekecewaan menyaksikan ketidakpeduliannya. Miris mungkin kata yang tepat.
Aku baru punya waktu pada malam hari ketika anak-anak sudah tertidur pulas. Aku mendapatinya sedang duduk di depan laptop dengan posisi membelakangiku. Tubuhnya menutupi laptop. Namun, aku tahu yang dia lakukan bukanlah mencari pekerjaan, melainkan hanya browsing iseng atau
t . c bermain game online. Aku mau bicara, Hon.
Soal" tanyanya tanpa menoleh. Hanya punggungnya yang menatapku. Aku mendekatinya dan berdiri tepat di samping meja. Kamu.
Keningnya berkerut dan sempat melirikku sesaat sebelum kembali menatap laptopnya. Aku" Kenapa aku" Karena kamu berubah.
Martin tertawa sinis, seolah aku sudah mengatakan sesuatu yang mengejeknya. Berubah" Aku masih sama, kok.
Aku menarik napas, sangat panjang. Aku mengumpulkan kesabaranku. Kamu sekarang cuek. Terutama kepada anak-anak.
Ditembak seperti itu Martin cemberut. Raut wajahnya jelas-jelas menunjukkan rasa tidak suka. Namun, aku puas karena itu artinya teguranku itu mengenai hatinya. Aku nggak cuek, Jul. Aku sibuk. Kamu aja yang terlalu sensitif.
Aku menahan diri untuk tidak marah mendengar Martin berkelit. Kalau aku marah, aku cukup yakin pembicaraan ini akan menjadi sia-sia. Pertengkaran tidak akan menyelesaikan masalah apa pun. Dengan tubuh dan suara yang gemetar menahan marah aku menjelaskannya. Yang menilai itu mereka dan aku, Hon. Bukan kamu.
Martin melirikku tajam. Sepertinya, dia semakin jengkel dengan perkataan yang keluar dari mulutku. Kalian salah menilai.
Anak-anak nggak pernah salah menilai. Mereka sangat kecewa dengan kamu. Kalau kamu ada masalah, diomongin. Jangan diam saja, terus cuek. Kamu tahu, kan, aku bantu kamu terus untuk mencari pekerjaan. Tiap hari aku membuka situs lowongan kerja di internet, juga koran. Aku juga terus mencari peluang, kataku setengah menyindir. Melihat Martin tidak merespons, cepat-cepat aku memelankan
t . c suaraku dan nada suaraku sudah dalam tahap yang memohon, Kamu juga jangan berhenti. Jangan menyerah.
Martin lekas berdiri. Dia berkata dengan ketus. Aku sudah berusaha semampuku, Jul. Ini di luar kuasaku! Dengar, aku nggak mau omongin ini lagi! Martin menutup laptopnya dan membawanya pergi. Bukan ke kamar, melainkan keluar dari rumah.
Aku mendengar deru mobil yang dipacu dengan cepat. Ya Tuhan, ke mana sekarang dia akan pergi" Aku menatap nanar jam dinding, yang sudah menunjukkan pukul 9.00 malam. Aku sungguh menyesalkan sikap Martin yang selalu melarikan diri seperti ini tanpa berkeinginan mencari penyelesaian masalah. Dia juga tidak mau mendengarkan aku. Aku seperti merasa sia-sia dan tak berguna.
Ingin rasanya aku berteriak dan mencurahkan kekesalanku ini. Namun, kepada siapa"
Aku hanya bisa merebahkan tubuhku di ranjang dengan lesu. Aku sungguh tidak berdaya.
Mendadak telingaku seperti disentil oleh suara yang terdengar cukup kencang. Suara itu langsung membangunkanku. Perlahan aku membuka mata. Kamar tidur sudah dalam suasana gelap, tetapi aku masih bisa melihat ada gerak-gerik dalam samar. Martin baru saja masuk.
Entahlah dia baru pulang dari mana. Perlahan tubuhku membeku ketika hidungku menangkap bau yang asing yang semakin lama semakin kuat. Aku menajamkan telinga. Cara Martin berjalan juga tersaruk-saruk, seakan tubuh yang ditopangnya itu sangat berat.
Aku mendengar suara pintu dibuka, Martin pergi ke kamar mandi. Namun, tidak berlangsung lama. Ketika dia akhirnya keluar, aku masih bisa mencium bau tajam kembali
t . c menguar di seluruh kamar. Aku merasakan sisi ranjang di sebelahku juga bergerak. Dugaanku benar. Martin tidak pergi mandi. Dia langsung pergi tidur dan pulas seketika.
Kantukku perlahan hilang. Sementara itu, tanda tanya mulai membesar dan melekat di benakku. Jangan-jangan ... dia juga mulai minum. Aku menggigit bibirku dan kegelisahan menghapus kantukku seutuhnya.
Mataku mengerjap di dalam kegelapan kamar karena sudah mulai dipenuhi air mata. Perlahan aku bangun dan sempat menoleh. Martin sudah tidur membelakangiku. Punggungnya terlihat naik-turun seiring dengan tarikan napasnya.
Aku bangkit berdiri, lalu keluar dari kamar tanpa bersuara. Hanya satu tempat yang aku tuju. Kamar anakanak. Dengan penerangan remang-remang dari lampu kecil yang terpasang di sudut kamar, aku melihat mereka. Ernest meringkuk ke sebelah kiri dengan selimut hampir menutupi seluruh tubuhnya. Sementara Emilia, tidur lebih serabutan, selimutnya hanya menutupi kakinya. Dia tidur telentang, tangan terbuka lebar, dan mulut mangap.
Aku membetulkan selimutnya. Lalu, aku berbaring di sebelahnya. Memeluknya erat. Pelukanku membuatnya bergerak tanpa sadar dan memelukku balik. Dalam diam dan kesunyian pagi buta aku menangis untuk kali pertama karena merasakan keluargaku yang mulai retak.
Sebenarnya, aku tidak mau datang, tetapi Paula tak hentinya mengirimkan SMS memintaku untuk datang. Bukan meminta, lebih tepatnya memaksa.
Malas, Pol. Malas itu pikiran lo doang, Darl. Badan lo, kan, nggak. Gue tunggu, ya. Jangan sampai nggak datang, loh. Ya, kalau dipikir-pikir, tidak ada salahnya juga. Aku
t . c sedang butuh pelarian. Lagi pula, Paula tidak akan berhenti mengirimkan SMS sampai aku benar-benar nongol di depan mukanya.
Aku datang tepat waktu, tanpa semangat. Kelas juga sudah penuh. Aku dan Paula tidak sempat bertukar sapa karena Paula harus segera memulai kelas yoga-nya. Dengan pikiran yang mumet seperti ini mustahil aku bisa mengikuti semua gerakan dengan baik. Beberapa kali ketika melakukan gerakan yang butuh keseimbangan, seperti tree pose, aku hampir saja terjatuh.
Setengah jam sudah berlalu dan aku menyerah. Aku berhenti dan memilih untuk keluar dari kelas, lalu duduk di sofa tunggal yang berada di depan kelas.
Setengah jalan, kok, berhenti"
Aku mengangkat kepalaku dan mendapatkan Paula sudah berdiri di sampingku. Ternyata, kelas yoga sudah berakhir. Karena melamun, aku jadi tidak begitu menyadarinya. Paula duduk di dekatku sambil meneguk air putih dari botol plastik berukuran besar. Meskipun keringat mengucur di wajahnya dan rambutnya juga lepek, dia terlihat lebih segar. Nggak konsen, jawabku.
Paula mengamatiku. Lo baik-baik aja, Jul" You don t look okay.
Aku mengangkat bahuku dengan lesu. Lo benar, kok, Pol. I m not okay.
Paula menatapku prihatin. Martin"
Dia berubah, Pol. Aku mengangguk perlahan, tanpa daya.
Berubah bagaimana" Aku menggeleng. Dia bukan Martin lagi.
Paula menghiburku. Dia tetap Martin, kok. Hanya saja ... dia sedang dalam masa ... apa, ya" Transisi mungkin. Paula tak terdengar yakin.
t . c Lidahku kelu. Ini masa sulit untuk dirinya. Juga buat lo, Jul. Dia berubah, mungkin. Bisa jadi. Karena kalian, kan, sedang lewatin cobaan yang berat. Tapi, gue yakin dia tetap Martin yang lo kenal dulu.
Rasanya ... gue udah nggak kenal dia lagi, sahutku putus asa.
Gue tahu. Tapi, anggap aja ini masa yang harus lo lewati agar bisa mendapatkan kebahagiaan yang lo dambakan di depan mata.
Apakah gue patut untuk bahagia" tanyaku sendu. Paula tertawa kecil. Ngaco, deh, pertanyaannya. Jangan egois sekaligus pesimis gitu, dong ....
Tapi, benar, kan, pertanyaan gue" Gue ngerasa makin lama gue nggak bahagia. Sikap Martin bikin gue kecewa. Nggak hanya gue, tapi anak-anak. Gue paling nggak suka lihat anak-anak sedih.
Setiap orang patut untuk bahagia, Darl. Tapi, caranya, kan, berbeda-beda. Terkadang kita memang harus melewati suatu masa atau peristiwa, either good or bad. Kita, kan, nggak bahagia terus-menerus.
Aku termangu mendengar ucapan Paula yang sekaligus menyadarkanku bahwa kebahagiaan itu memang ada. And I do believe it. Karena aku pernah bahagia. Mungkin ini cara Tuhan mengujiku agar aku tidak terlalu larut dalam kebahagiaanku. Namun, sampai kapan aku akan mendapatkan kebahagiaanku lagi, itulah yang masih menjadi misteri.
Thanks, ya, Pol. Anytime, Dear.
Apa" desisku dengan tidak percaya.
Aku baru saja pulang mengantar anak-anak ke sekolah
t . c ketika Martin mengucapkan sesuatu yang membuat jantungku hampir berhenti berdetak.
Kamu dengar aku, Jul. Aku mau cairin pesangon itu. Oh, ya, aku rasa kita nggak butuh banyak mobil. Aku pikir mobil kamu bisa dijual.
Ya Tuhan. This is not happening. Aku berharap ini hanya mimpi. Aku memejamkan mataku dan berpegangan dengan kursi makan. Aku merasakan tubuhku yang melemas.
Aku masih butuh mobil itu untuk anak-anak, Hon. Kita tidak butuh dua mobil pada saat seperti ini, Jul. Martin bersikeras.
Aku mengatur napasku serta debaran dadaku. Untuk cek pesangon, aku mengerti bahwa memang harus dicairkan segera, tetapi mobil" Aku masih butuh mobil itu!
Martin tetap keras kepala dan ngotot dengan keputusannya. Nggak bisa, Jul.
Sayang kalau dijual, Martin! jeritku.
Rupanya Martin tak menerima sanggahanku. Dia jadi berang. Kamu, kok, pada saat seperti ini masih sayangsayang" We need that, Jul! We need money! Kamu sendiri, kan, yang bilang bahwa keuangan kita semakin menipis"
Tapi, nggak sampai harus menjual mobil itu! Aku jadi emosi. Kemarahanku memuncak.
Martin malah berkacak pinggang. Dia tidak mau larut dalam kesengitan di antara kami berdua. Seperti biasa, dia memilih untuk tidak berada dalam perdebatan dan lebih suka melarikan diri. Sudahlah. Berikan aku cek pesangon itu.
Apa yang mau kamu lakukan dengan uang itu" tanyaku sedikit sangsi. Aku cemas dengan apa yang hendak Martin lakukan dengan uang sebanyak itu. Aku sungguh tidak bisa mengelak untuk berpikiran jelek mengingat akhir-akhir ini kelakuan Martin benar-benar sudah menjengkelkan.
t . c Ada yang perlu aku kerjakan. Begitu aku sudah mencairkannya, aku akan transfer ke kamu secepatnya. Semuanya"
Sebagian" Sisanya untuk apa" Aku mendesaknya. Martin berdecak kesal. Aku ada perlu!
Aku sungguh marah. Aku harap kamu bertanggung jawab dengan entah apa yang kamu lakukan itu, Martin. Kalau tidak, kamu akan menghancurkan masa depan anakanak.
Kecemasan sudah mengurungku bak kabut. Martin hanya menatapku tajam begitu mendengar ucapanku. Begitu aku menyerahkan cek tersebut, dia langsung pergi.
Sesudah Martin pergi, datanglah seseorang yang tak kusangka-sangka. Kak Jeni muncul di depan rumah. Dia terlihat begitu bersemangat dan lincah. Senyum selalu tersungging di bibirnya yang berhiaskan lipstik berwarna lembut.
Hai! Kak Jeni duluan yang menyapaku. Hai, sapaku singkat dan lesu.
Melihatku yang manyun dengan bibir yang membentuk bulan sabit ke bawah, dia jadi sedikit waspada. Kok, manyun" Kamu kenapa" Ada masalah"
Kapan, sih, Kak, nggak ada masalah" Everyday is trouble, ucapku sambil mengerling mata.
Jangan begitu ..., tegur Kak Jeni. Ayo, cerita sama aku.
Aku mendekap bantal kecil berwarna ungu di sofa. Martin berulah.
Kak Jeni mengernyit. Maksudnya"
Setelah menghela napas beberapa kali seperti orang yang
t . c kehabisan oksigen, aku pun memuntahkan unek-unekku kepadanya, Dia mau pakai uang pesangon, entah untuk apa, dan dia bersikeras mobilku dijual.
Kak Jeni kaget. Memangnya udah nggak ada pegangan"
Masih ada, sih, cuma udah nggak bisa buat nabung. Lalu"
Aku mengangkat bahu. Ya, mau gimana" Aku tanya buat apa, dia nggak mau bilang yang sebenarnya. Dia cuma bilang mau transfer sebagian uang pesangon itu ke aku. Soal mobil yang bikin kami saling ngotot. Aku nggak mau jual mobil, Kak. Aku masih butuh. Anak-anak pergi dan pulang sekolah naik apa" Kan, jauh.
Kak Jeni menggigit bibirnya. Dia berpikir keras. Lalu, dia mengambil ponselnya dan sibuk mengetik dengan jempolnya yang lincah. Kemudian, dia berkata, Waktu itu Kakak dengar Markus ketemu sama Martin, bukan"
Ya, aku masih ingat. Tapi, udah lama banget, kan, Kak. Kak Jeni mengangguk. Di kantor dia memang masih belum buka lowongan, Jul. Tapi, Kak Markus juga lagi berusaha nanyain ke teman-temannya. Coba, nanti aku follow up.
Aku mengangguk. Aku tetap berterima kasih kepadanya. Aku merasa tidak enak karena secara tidak langsung sudah merepotkan dan melibatkan semua orang dalam masalahku. Semestinya, Martin-lah yang berinisiatif, tetapi dia justru tidak melakukan apa-apa.
Kak Jeni hanya mampir sebentar. Begitu dia pulang, aku menerima SMS dari Martin yang mengatakan bahwa dia sudah transfer sejumlah uang ke rekeningku. Aku mendesah. Artinya, dia sudah mencairkan uang pesangon tersebut. Aku memilih tidak membalas SMS dari dia.
Hingga malam menjelang, setibanya Martin di rumah, dia sudah tidak lagi mengungkit-ungkit mengenai mobilku. Kabar
t . c bagus menutup hari yang melelahkan dan penuh emosi ini bahwa dia mendapatkan panggilan wawancara lagi. Semoga kali ini Tuhan mendengar doa kami berdua.[]
t . c ebenarnya, aku bukan tipikal orang yang spontan. Itu sudah bagian dari sifat Kak Jeni, bukan aku. Aku lebih terencana, lurus, dan suka mikir. Saking kebanyakan mikirnya, makanya spontan tidak pernah ada di dalam kamusku.
Akan tetapi, kali ini apa yang aku lakukan menjadi pengecualian.
Anak-anak sedang tidur siang dan aku merenung di sofa. Pandangan mataku tertuju ke laptop yang tergeletak di meja kerja kecil. Laptop yang berwarna putih serta terbuka lebar itu seperti menatapku balik.
Laptop itu seperti menarikku untuk mendekatinya. Aku melempar majalah yang sedari tadi aku anggurkan dan mulai menyalakan laptop. Aku sempat termenung menatap layarnya karena terlintas keraguan. Lalu, aku mulai mengetik alamat situs web yang sudah aku masuki kali puluhan dalam dua bulan terakhir.
Mataku dengan awas memperhatikan dan mencari setiap lowongan yang tercantum selama dua minggu terakhir. Begitu banyak lowongan pekerjaan yang tertera di sana. Aku membacanya satu per satu. Tidak lupa mencatat di kertas yang tersedia di samping laptop. Setelah aku rasa cukup, aku
t . c menatap kertas tersebut dengan hati yang berdebar.
Kali ini aku mencarinya bukan untuk Martin, melainkan untukku sendiri.
Aku menghela napas, tetapi debaran di dadaku masih terasa. Ya. Aku, July Bernadeth, yang sudah hampir sepuluh tahun menjadi ibu rumah tangga 100%, kini memutuskan untuk kembali ke dunia kerja. Aku mengusap wajahku yang pucat karena tegang serta gelisah. Menatap kertas itu bukannya membuatku semangat, melainkan membuat hatiku malah menciut.
Apakah aku bisa" Apakah mereka mau menerimaku" Aku menggigit bibir bawahku. Aku merasa tak cukup percaya diri untuk kembali ngantor . Aku lupa bagaimana rasa dan caranya. Satu hal yang aku tahu, aku harus memulai semuanya dari nol lagi. Dari bawah.
Entah mengapa, hatiku mengatakan bahwa ini adalah hal yang benar untuk dilakukan. Aku juga tidak mau berlamalama larut serta mengiba diriku sendiri. Bisa jadi CV-ku akan dicemooh. Ada bolong sepuluh tahun yang tidak diisi dengan pengalaman kerja apa pun. Namun, aku akan lebih merasa bodoh jika aku tidak mencobanya. Martin semakin terpuruk, keuangan kami juga semakin lama semakin terkikis. Tabungan dikorek dengan paksa, masa depan anak-anak pun seketika mengundang tanda tanya. Kalau bukan aku yang bergerak, lalu siapa"
Sebagian CV-ku sudah terkirim lewat surel, sebagian lagi aku kirimkan besok lewat jasa pos. Meskipun begitu, hatiku belum sepenuhnya lega. Aku belum memberitahukan keputusanku untuk kembali bekerja kepada Martin. Aku segan. Lagi pula, aku punya firasat bahwa Martin tak akan menyambut positif keputusanku ini. Aku ingat dulu pernah ada pembicaraan mengenai pekerjaan dan dia menghindarinya.
Kini aku hanya bisa menunggu setiap detik dengan rasa
t . c waswas. Papi, bantuin aku kerjain pe-er ini, dong. Susah. Aku nggak bisa.
Ernest mendekati papinya yang sedang duduk di depan laptop. Mendengar Ernest mendekati papinya, aku mengawasinya dari meja makan. Aku memasang kuping baik-baik dan radar kewaspadaanku meningkat. Jelas saja aku jadi cemas karena sepanjang hari ini Martin uringuringan terus. Suasana hatinya memburuk tanpa alasan yang jelas
Papi sibuk! sahut Martin ketus. Sebentar aja, Papi ....
Tiba-tiba Martin berteriak marah, Ernest! Kamu dengar Papi, nggak" Papi bilang, Papi sibuk! Kemudian, Martin berderap masuk ke dalam kamar.
BLAK! Dia membanting pintu kamar dengan keras. Lengan Ernest yang tadinya terangkat langsung terkulai. Dia terdiam. Matanya menatap nanar pintu yang barusan dibanting oleh papinya tersebut. Dia terlihat begitu sedih dan kecewa.
Aku buru-buru mendekati Ernest serta meremas pundaknya lembut. Sini, biar Mami yang bantuin Kakak.
Papi lagi kenapa, sih, Mam" Kok, marah-marah dan nggak mau bantuin aku" tanya Ernest begitu aku di sampingnya. Pertanyaannya sangat memilukan. Papi lagi sibuk dan lagi banyak pikiran.
Ernest mengangguk patuh. Namun, dia terus merapatkan mulutnya. Pe-er-nya juga dikerjakan asal-asalan. Begitu peer-nya selesai dikerjakan, Ernest masuk ke dalam kamar dengan kepala menunduk dan tidak keluar lagi. Ingin rasanya aku menangis dan mengangkat beban dari pundak masingmasing sosok yang aku cintai ini.
t . c Sejak mengirimkan setumpuk lamaran kerja, aku tidak pernah berani untuk berharap karena takut kecewa. Malah aku sudah menyusun berbagai rencana dari A, B, dan C, lalu menyiapkan diri menghadapi berbagai kemungkinan jika sampai tidak ada satu pun lowongan yang aku kirim mendapat respons. Karena keraguan itu, aku pun menunda memberi tahu Martin mengenai ini.
Ternyata, lamaran pekerjaan yang aku kirimkan itu mendapat respons lebih cepat daripada yang kukira. Siapa yang menyangka"
Maka, tak ada celah lagi bagiku untuk menyembunyikan hal ini dari suamiku. Ya, seharusnya aku tahu, lambat laun Martin akan mencium hal ini. Faktanya, Martin bahkan sudah mengetahui respons lowongan kerja itu lebih dulu daripada aku.
Dia sangat marah. Marah besar.
Aku baru pulang dari menjemput anak-anak. Suasana di dalam rumah terlihat sepi. Aku tidak melihat keberadaan Martin di dalam rumah.
Mbak, Bapak ke mana" tanyaku kepada Mbak Nani. Pergi, Bu. Lima belas menit yang lalu, kata Mbak Nani singkat sambil mengangkat tas anak-anak dan beberapa kantong belanjaan.
Nggak bilang mau ke mana, Mbak" Mbak Nani menggeleng. Nggak, Bu.
Aku mengangguk. Mbak Nani beranjak dari sisiku untuk menaruh tas Ernest dan Emilia serta membantu mereka berganti baju. Aku bertanya-tanya dalam hati ke mana Martin pergi. Aku mengecek ponselku, siapa tahu dia sudah mengirimkan SMS. Nihil. Tidak ada pesan maupun telepon yang masuk.
Aku memutuskan untuk meneleponnya. Tidak diangkat.
t . c Aku mengulanginya hingga lima kali. Tetap tidak diangkat. Saat aku hendak mengirimkannya SMS, dia pulang, ditandai dengan deru mesin mobil, pagar yang dibuka, dan suara alarm pengunci mobil. Terakhir, pintu mobil yang ditutup dengan cukup keras.
Martin masuk ke dalam dengan wajah kusut. Dia menaruh kunci mobil dan ponselnya dengan kasar. Dari mana, Hon"
Pertanyaanku tidak digubrisnya. Martin enggan bersuara. Dia melewatiku begitu saja dan langsung masuk ke kamar sambil membanting pintu. Dia menganggapku seolah tak terlihat. Dengan kebingungan, juga rasa penasaran, aku menyusulnya ke dalam kamar. Kamu kenapa, sih"
Martin menggelengkan kepalanya. Lalu, dia menatapku sambil berkacak pinggang. Sinar matanya dingin sekali. Kenapa kamu nggak bilang kalau kamu ngelamar kerjaan, Jul" Martin berkata dengan suara yang ketus.
Aku tersentak mendengarnya. Bagaimana dia bisa tahu" Seperti sudah membaca pikiranku, Martin kembali berkata, kali ini berteriak dengan wajah yang memerah, Aku tadi nerima telepon. Panggilan wawancara untuk kamu. Kamu, Jul" Sekarang kamu mau kerja" Kamu tega! Jadi, kamu sembunyi-sembunyi selama ini"
Wajahku pucat. Belum pernah aku melihatnya marah seperti ini. Martin jarang marah. Paling sebatas hanya kesal, tetapi tidak pernah bertahan lama. Namun, sesaat kemudian aku sadar bahwa ucapan Martin itu sedikit tidak masuk akal. Tega" Kok, tega" Bukannya itu bagus"
Martin tertawa sinis dan terdengar begitu meremehkan. Bagus kalau kamu bohongi aku" Untuk apa kamu sampai cari kerjaan"
Aku tersentak mendengar tuduhannya. Aku tidak pernah bermaksud untuk membohonginya. Lalu, yang lebih membuatku termangu adalah pertanyaannya yang terakhir.
t . c Untuk apa aku mencari kerjaan"
Aku cari kerja untuk kita, jawabku kaku. Sementara itu, tanganku mengepal untuk menahan hatiku yang sekarang seperti sedang diobok-obok oleh kata-kata Martin.
Aku bilang aku bisa, Jul! Akulah yang akan cari kerjaan! Tugas kamu jaga anak-anak! Nada suara Martin naik beberapa oktaf. Aku mengencangkan rahangku. Pikiran Martin sudah mulai ngaco.
Jadi, yang aku tangkap adalah aku harus menunggu saja ketika keluarga kami butuh pemasukan, sementara tidak ada progres berarti dari usaha yang dilakukannya. Begitu" Jadi, aku tidak boleh melakukan apa-apa untuk menyelamatkan keluargaku" Aku harus tetap terpuruk dan menunggu hingga terbenam baru bergerak"
Aku menggelengkan kepalaku. Itu gila. Pemikiran Martin yang konyol itu sama saja dengan bunuh diri.
Tapi, kamu, kan, belum mendapatkan pekerjaan, Martin. Setiap kata yang aku ucapkan penuh penekanan. Panggilan sayang di antara kami sudah menguap karena terbawa oleh emosi yang melanda diri masing-masing. Ini sudah lewat dari dua bulan. Kita nggak mungkin menunggu terlalu lama. Aku nggak keberatan, kok, harus bekerja.
Aku yang keberatan! Suaranya menggelegar dan dia melangkah maju dengan penuh emosi hingga membuatku sampai melompat ke belakang. Kamunya aja yang nggak sabar. Kamu tahu, kan, sudah berapa banyak wawancara yang aku datangi" Banyak, Jul! Aku berusaha! Kamu harus sabar!
Aku sabar. Aku cukup sabar, Tin. Tapi, kita nggak bisa diam aja. Aku nggak bisa diam aja. Coba kamu lihat, apa yang kamu lakukan sekarang, ha" Kamu sudah berhenti mencari pekerjaan. Sudah cukup lama kamu nggak kirim lamaran. Yang kamu kerjakan sekarang hanya nonton, santai, main game, tidur, itu saja. Oh, ya, kamu sekarang juga sering
t . c pergi nggak jelas sampai pagi! Itu yang kamu bilang mencari pekerjaan?""
Martin tetap ngotot. Ngirim lowongan kerjaan itu nggak bisa sembarangan. Kamu kira aku sembarangan melempar CV-ku ke semua perusahaan" Mau jual murah, begitu"
Aku menghela napas. Jemariku memijat keningku yang berdenyut-denyut. Aku sungguh tidak percaya masih ada pembicaraan dan larangan yang tidak masuk akal begini, mengingat apa yang aku lakukan ini murni untuk kepentingan keluarga, tidak ada yang lain!
Martin, kita harus melakukan sesuatu. Jika kita berdua yang berusaha untuk mencari pekerjaan, peluangnya pasti akan lebih besar. Kita harus siaga.
Kalau kamu bekerja, siapa yang menjaga anak-anak" Yang pasti aku nggak mau!
Mataku membelalak. Sedetik kemudian seperti ada yang merembes dari dalam hatiku. Aku tahu yang keluar adalah darah. Aku seperti ditusuk. Sakit sekali. Aku benar-benar merasa tersinggung.
Kamu keterlaluan! Mereka anak-anak kamu, Tin! Aku berteriak. Tepat setelah aku berhenti berteriak, Ernest masuk. Kami jadi salah tingkah. Belum lagi tatapan Ernest yang penuh tanda tanya dan ... sedih. Matanya menatap kami satu per satu. Ya Tuhan, jangan-jangan dia mendengar semua pertengkaran kami tadi.
Ada apa, Sayang" Aku berkata sepelan mungkin dan mencoba bersikap normal meskipun sulit mengingat emosiku baru saja pecah. Aku menarik napas satu per satu untuk mereda gejolak yang sempat bersemayam di dada. Ernest menggeleng setelah sebelumnya tak lepas memandangku dan Martin bergantian. Namun, sesaat kemudian Ernest malah melempar pertanyaan yang rasanya seperti ada bogem menonjok ulu hatiku.
Mami dan Papi kenapa teriak-teriak" Mami Papi
t . c berantem, ya" Kenapa mesti berantem, sih"
Martin melengos. Dia memilih keluar dari kamar, dan seperti biasa, lari dari masalah. Sementara itu, aku menarik tangan Ernest dan mengajaknya ke dalam kamar. Kakak ada pe-er"
Ernest menggeleng. Dia masih menatapku dengan penuh tanya. Aku jadi sedikit goyah. Manik hitam yang kecil dan polos itu menatapku begitu dalam dan sendu. Penyesalan menghantamku dan mataku jadi berkaca-kaca. Aku menghindari beradu pandang dengannya karena takut air mataku akan tumpah.
Yuk, Mami temenin di kamar, aku mengajaknya. Kami masuk sambil berjingkat-jingkat karena Emilia masih tertidur dengan nyenyak. Dia begitu pulas sampai tak terasa bajunya tersingkap dan perutnya terlihat. Aku membetulkannya. AC kamar cukup dingin. Aku pun mengambil selimut agar Emilia merasa lebih hangat. Kemudian, aku dan Ernest duduk di ranjangnya. Aku menawarkannya untuk membaca buku cerita bersama, tetapi dia menggeleng.
Mami tadi berantem sama Papi"
Aku menghela napas dan mengusap rambutnya yang tebal. Mami tadi lagi ngobrol aja, kok, sama Papi.
Kok, ngobrolnya teriak-teriak begitu" Ngobrol, kan, mestinya ngomong baik-baik. Kalau teriak, itu berantem.
Aku tersenyum masam. Mami sama Papi lagi tukar pikiran. Kadang, kan, nggak sejalan. Papi punya pikiran sendiri, Mami juga. Itu wajar, kok.
Soal apa" Aku terdiam. Bagaimana harus menjelaskannya kepada Ernest" Dia tidak akan mengerti. Namun, aku harus mencoba menjelaskannya dengan tidak terang-terangan. Soal agar keluarga kita bisa hidup lebih enak.
t . c Memangnya sekarang hidup kita lagi nggak enak, ya" Duh, beribu pertanyaan terus terlontar dari mulutnya yang mungil dan otaknya yang pintar. Aku tersenyum dan membelai punggungnya.
Enak, kok. Cuma kita, kan, nggak harus berhenti berusaha kalau sudah enak.
Ernest terdiam. Sepertinya, dia berusaha menyerapi katakataku yang mungkin cukup berat untuk dia tangkap. Lantas, aku menerangkannya dengan penjelasan yang lebih ringan. Sama, kan, kayak Kakak kalau udah dapat nilai sembilan, terus berhenti begitu aja" Nggak usah belajar lagi"


For Better Or Worse Karya Christina Juzwar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Senyum di wajah Ernest mengembang. Nggak, dong, Mam. Pasti terus belajar supaya nilainya tetap sembilan. Kalau bisa, sampai sepuluh.
Aku tersenyum. Campuran bangga dan haru karena akhirnya Ernest mengerti apa yang aku maksud. Jadi, sekarang Kakak mau ngapain" aku berbisik. Mau tidur.
Tumben, Kak, tidur jam segini.
Ernest mengucek matanya. Ngantuk. Tapi, aku mau dipeluk dulu, ya, Mi.
Aku tertawa kecil. Kami pun rebahan di tempat tidurnya serta berpelukan erat. Sesekali kami berdua cekikikan secara sembunyi-sembunyi, malah kadang tak bersuara karena takut membangunkan Emilia. Terkadang kami juga bernyanyi kecil, tetap dengan suara yang berbisik atau bersahutan mengucapkan I love you hingga kami berdua jatuh terlelap.
Sejenak, kecupan dan bisikan sayang yang diucapkan Ernest barusan membuatku melupakan sikap Martin dan pertengkaran kami. Ah, aku tidak yakin masalah keluarga kami bisa cepat selesai kalau begini caranya.[]
t . c ku duduk dengan gelisah. Bokongku seperti ditusuk-tusuk dengan ribuan jarum.
Kepercayaan diriku terpecah belah, bahkan sejak langkah pertamaku memasuki gedung ini. Salah satu perusahaan memanggilku untuk seleksi berikutnya. Gedung perusahaan ini berwarna biru, menjulang dengan bentuk oval. Luar-dalam terlihat mewah. Kantornya sendiri terletak di Lantai 15, rapi, bersih, dan terlihat begitu artistik. Aku pun semakin menciut.
Oke, aku tidak boleh panik. Aku sempat berpikir untuk angkat kaki dari sini dan melupakan bahwa mereka pernah memanggilku. Apalagi, dua pelamar lainnya sudah masuk terlebih dahulu dan rasanya mereka begitu lama berada di dalam. Apa saja yang mereka lakukan" Pertanyaan apa sajakah yang akan mereka cecarkan kepada para pelamar, terutama pelamar seperti aku" Duh, bayanginnya aja membuatku mulas.
Am I doing the right thing" Keraguan terus membayangiku. Batin dan pikiranku mulai berselisih pendapat. Yang satu menyuruhku pulang, sedangkan yang satunya lagi memintaku untuk tetap tinggal.
Akan tetapi, terlambat. Ketika hati dan pikiranku sedang berembuk mencari jalan tengah, resepsionis sudah
t . c memanggilku untuk masuk. Aku menjadi orang terakhir pada sesi wawancara hari ini. Lobi dengan sofa keras dan kaku berwarna cerah itu sudah sepi ketika aku beranjak mengikuti Si Resepsionis masuk. Dia membawaku masuk ke dalam ruangan yang berukuran sedang.
Seorang perempuan dengan senyum yang sedikit kaku menyambutku. Rambutnya pendek, sama kakunya dengan senyumnya itu. Aku menilainya dengan cepat. Sepertinya, dia tidak akan begitu ramah. Aku jadi pasrah.
Perempuan itu memperkenalkan diri sebagai Dewanti dan dia dari bagian HRD. Namun, rupanya penilaianku salah. Ketika kami sudah terlibat obrolan yang cukup panjang, dia jauh berbeda dari kaku. Dia ramah dan suka tertawa. Pembicaraan kami mengalir lancar. Aku yang tadinya sempat senewen, perlahan menjadi santai. Setidaknya, kesan pertama tidak selalu benar, kan"
Setelah wawancara berjalan setengah jam, Dewanti membawaku ke luar untuk bertemu dengan seseorang yang akan menjadi pimpinanku kelak jika aku diterima. Dewanti masuk terlebih dahulu. Kemudian, aku menyusul dan .... July"
Aku melongo. Maksudku, benar-benar melongo. Mulutku membulat dan mataku melebar. Aku terkejut melihat sosok yang duduk hanya beberapa meter di hadapanku. Ha" Vincent"
Aku mengedipkan mataku berulang-ulang. Bahkan, ketika Vincent berdiri untuk menyambutku, aku masih saja tidak percaya. Dia menyodorkan tangan dengan senyum yang begitu lebar. Reaksi Vincent juga tak kalah kagetnya, tetapi dia tampak lebih bersemangat. Apa kabar, Jul"
Aku membalas jabatan tangannya dengan kikuk. Aku hanya mampu tersenyum tanpa bisa berkata apa-apa. Lalu, Vincent beralih ke Dewanti dan berkata, Thanks, Dew. Dewanti mengangguk tanpa bersuara. Sambutan Vincent
t . c yang begitu ramah dan langsung mengenaliku begitu aku masuk tampak membuatnya bingung dan bertanya-tanya. Terlihat jelas di raut wajahnya. Aku tidak menyalahkan dia. Kalau aku jadi Dewanti, reaksiku mungkin juga akan begitu.
Ketika di dalam ruangan tersebut hanya tinggal kami berdua, suasana kikuk yang tadinya menyelimuti perlahan mencair. Kami sama-sama tertawa dan menggelengkan kepala. Nggak disangka, ya" ujar Vincent.
Banget. Akhirnya, aku bisa bersuara juga.
Vincent menunjuk kursi yang berada di depan meja kerjanya. Silakan duduk, Jul.
Aku patuh. Sesaat kami sama-sama speachless lagi. Kami bertatapan, lalu kembali tertawa. Gila! Ini kebetulan atau apa, sih" Kok, bisa bertemu di tempat ini"
Apa kabar" Suara Vincent melembut. Dia meneliti setiap jengkal wajahku begitu dalam. Hunjaman mata Vincent yang tajam tidak berubah sejak dulu. Masih saja berusaha merobek-robek hatiku, membuatku berdebar-debar dan salah tingkah.
Aku mengangkat bahuku. Seperti yang kamu lihat. Sudah berapa lama, ya ..., Vincent terdiam, ... sejak terakhir kita bertemu"
Cukup lama. Kita terakhir bertemu sewaktu kamu sedang bersama anak kamu ... siapa namanya"
Ernest. Vincent menjentikkan jarinya. Betul. Ernest. Masih kecil, kan"
Aku tertawa. Iya, kira-kira lima tahun yang lalu. Sekarang dia udah kelas tiga SD.
Vincent bersiul singkat serta menggelengkan kepala takjub. Lama banget. Sekarang sudah sepasang, kan" Aku mengulum senyum. Kamu nggak berhenti ngikutin
t . c gosip, ya" Vincent tertawa sedikit malu. Yaaa ... nggak ada salahnya, dong, kalau update.
Itu namanya kepo. Ah, nggak. Banyak aja yang cerita sama aku. Hmmm, sedikit aneh. Kedengarannya dia seperti berkelit. Namun, aku tidak mengatakan apa-apa.
Senang ketemu kamu lagi, Jul. Kamu sehat dan masih cantik kayak dulu.
Wajahku langsung memerah. Setahuku, dulu dia jarang berkata seperti ini. Sepanjang aku mengenalnya, Vincent adalah orang yang serius. Ah, seiring perjalanan hidup, dengan apa yang terjadi dan ditemui setiap saat dan setiap waktu, terkadang orang memang bisa berubah. Martin, kan ... juga berubah.
Kamu jadi tambah pintar ngegombalnya. Aku merespons ucapannya dengan santai meskipun jantungku berdegup kencang.
Bukannya membalas perkataanku, alih-alih dia menatapku dengan saksama. Duh ... kenapa, sih, dia masih menatapku seperti itu" Aku semakin grogi, bahkan aku sampai lupa tujuanku kemari. Bagaimanapun, aku tidak bisa mencegah pikiranku yang bernostalgia dengan sendirinya ... tentang masa lalu kami berdua.
Jadi ..., suara Vincent membawaku kembali ke masa kini, Apa yang membawa kamu kemari, Jul"
Aku berdeham karena langsung teringat tujuanku ke kantor ini. Seperti yang kamu tahu, aku kemari untuk interview. Aku lagi cari pekerjaan.
Vincent memajukan tubuhnya hingga kedua siku bertumpu pada meja. Kedua telapak tangannya juga terkatup layaknya orang berdoa. Ruangan sangat tenang dan aku bisa mendengar suara degup jantungku yang sangat keras.
t . c Kenapa" Aku tertawa. Aku akan menambahkan nilai satu poin untuk pertanyaannya yang konyol. Kok, nanya kenapa" Ya, karena butuh, dong.
Rupanya Vincent tidak menganggap pertanyaannya itu konyol karena ternyata dia tidak ikut tertawa. Meskipun sudah berlalu begitu lama, tetap saja Vincent masih mengenalku begitu dalam. Dia bisa merasakan adanya masalah.
Kamu nggak akan cari kerjaan kalau tidak ada apa-apa, July. Kenapa sekarang" Kenapa nggak dari dulu"
Bosan aja di rumah. Aku terus mengelak. Anak-anak, kan, sudah besar.
Jul, ngomong aja yang jujur.
Aku menghela napas, memberanikan diri memandang langsung ke matanya. Martin kena PHK. Aku harus membantunya.
Itu dia. Aku sudah mengatakannya. Yang sebenarbenarnya. Kepada mantan pacarku, yang notabene adalah bos dari perusahaan ini. Sekarang bergantung dirinya bagaimana menerka-nerka kondisi keluarga kami.
Raut wajahnya berubah prihatin. I m so sorry to hear that, Jul.
Aku mengangguk. Thanks, Vin. Sudah lama"
Tiga bulan. Dia tidak cari-cari lagi"
Aku terdiam. Aku tidak suka mendengar pertanyaan Vincent tersebut. Apa maksudnya dengan tidak mencarinya" Mengapa dia langsung menghakimi Martin seperti itu"
Dia bukannya tidak mencari. Dia mencari setiap hari. Hanya saja ... agak susah. Kami belum beruntung, jawabku sedikit defensif. Bagaimanapun, Martin adalah suamiku. Aku
t . c tidak suka kalau ada orang yang menilainya begitu saja tanpa memahami kondisi yang ada.
Wajah Vincent sesaat memerah. Dia berdeham salah tingkah, seperti menyadari kekeliruannya. Sori, maksudku ....
Aku menggeleng dan mengangkat tangan. Aku tidak ingin memperpanjang masalah hanya karena kata-kata tidak jelas yang memungkinkan untuk salah paham. Nggak masalah, Vin.
Jadi, sekarang kamu mau cari kerjaan"
Aku, kan, nggak mungkin diam saja dan meratapi musibah ini.
Vincent mengangguk. Ketika dia sedang berpikir, aku mengambil kesempatan untuk menatap setiap jengkal wajahnya. Rambutnya masih tetap pendek dengan potongan yang rapi. Wajahnya bersih, bentuknya yang persegi membuat rahangnya semakin menonjol. Lalu, matanya ... ah, mata itu.
Matanya berwarna cokelat bening. Tatapannya yang dalam dan tajam mampu membuat kaum Hawa meleleh. Vincent yang dulu aku kenal jarang berbicara. Sedikit pendiam. Juga serius. Buat beberapa orang, Vincent adalah sosok yang misterius. Namun, itu bukannya membuat para perempuan kesal, melainkan justru semakin penasaran.
Vincent berdeham serta menepuk tangannya, membuatku terlonjak kaget. Oke, Jul. Aku akan coba bantu kamu, ya. Karena konteksnya ini seputar pekerjaan, aku akan bertanya soal kegiatan kamu dan tentunya pekerjaan yang kamu lamar. Semua pekerjaan ini akan berkaitan denganku karena posisi yang kamu lamar adalah untuk menjadi sekretaris. Aku mengangguk.
Maka, dimulailah wawancaraku dengan calon atasan, sekaligus mantan pacar.
It s so ... awkward. t . c Sudah lebih dari satu minggu aku menunggu. Tidak ada kabar dari perusahaan yang memanggilku itu. Bahkan, dari Vincent secara pribadi pun tak ada. Setitik kekecewaan menyelimuti hatiku. Padahal, aku sudah berharap cukup banyak, terutama ketika Vincent, yang sudah mengenalku sejak lama, juga bekerja di perusahaan tersebut. Tambahan lagi, dia juga sudah tahu masalah yang sedang menimpa keluargaku. Aku berharap dia punya sedikit empati. Aku pun hanya bisa pasrah.
Ternyata, aku belajar bahwa kepasrahan itu membuahkan hasil. Pada minggu kedua, ketika aku sedang berada di supermarket bersama Emilia, ponselku tiba-tiba saja berdering. Aku menatap layarnya dan tidak mengenali nomornya.
Halo" July" Aku mengernyit. Suara laki-laki menyapaku dengan akrab. Siapa, ya"
Ya, ini siapa" Laki -laki itu tertawa. Kamu nggak kenal suaraku lagi, ya" Aku Vincent.
Troli supermarket yang sedang kudorong berhenti mendadak. Dengan gugup aku menyapanya, Hai .... Ganggu, ya"
Emilia berusaha meraih ponselku. Spontan aku mundur agar tak teraih olehnya. Siapa, sih, Mami" Aku mau ngobrol, donggg .... Papi, ya" Aku mauuu .... Sini, sini ....
Aku menggelengkan kepala dan berbisik kepadanya, Nanti, ya, Em. Bukan Papi. Ini temannya Mami. Vincent menyahut, Anak kamu, Jul" Lucu amat. Iya ..., dia mau ambil handphone-ku. Ada apa, ya, Vin"
t . c Aku mau kasih tahu kamu ... bahwa kamu diterima. Ha"
Vincent tertawa. Kok, ha " Kamu lagi ngomong sama calon bos kamu, loh!
Aku tertawa malu. Sori. Aku hanya ... kaget ..., rasanya nggak percaya .... But thanks banget, Vin. Tapi .... Hmmm" Ada yang membuat kamu ragu"
Maksudku ..., hmmm ... apa kamu nggak risi karena kita pernah ... kamu tahu ....
Aku mendengar Vincent tertawa. Risi kenapa" Hubungan kita, kan, sudah lama banget berlalu, Jul .... Nggak usah sungkan dan risi, ah. Tapi, gini, kalau kamu menolak karena masa lalu kita dan merasa nggak nyaman, I m totally fine with it. Aku nggak akan mempermasalahkannya. It s your decision.
Vincent benar. Kalau aku mau menuruti kata hatiku yang paling dalam, hubungan kerja ini pasti bakalan janggal mengingat cerita masa lalu kami berdua. Namun, aku tidak bisa memutuskan berdasarkan perasaan belaka. Aku butuh pekerjaan ini. Ini kesempatan yang langka dan hadir tepat pada saat aku sedang membutuhkannya. Aku cukup yakin kesempatan ini tidak akan datang untuk kali kedua. Oke.
Sorry" Vincent tidak mendengar ucapanku yang sangat pelan, nyaris berbisik.
Oke. Aku mengulanginya lebih mantap meskipun sejujurnya keraguan masih membayangi diriku. Aku berusaha menguatkan hati dan mengenyahkan keraguan itu. Great! Kapan kamu bisa masuk"
Bulan depan" Yap, aku juga berpikiran sama. Selanjutnya, kamu akan dihubungi oleh Dewanti, ya.
Vin" t . c Yes" Terima kasih, ya. Ini sangat berarti ... untukku dan keluargaku.
My pleasure. Aku yakin kamu bisa, Jul. So, see you next month.
Setelah pembicaraan dengan Vincent berakhir, aku masih termangu karena belum percaya sepenuhnya. Aku akan mulai bekerja lagi setelah sembilan tahun cuti untuk menjadi ibu rumah tangga dan bulan depan aku akan mulai bekerja bersama ... Vincent"
Vincent" Apakah aku sanggup melakukan pekerjaan ini" Aku menggigit bibirku sambil mendorong troli. Ketika perasaan ragu mulai menyelimutiku lagi dan mempertanyakan kemampuanku, aku merasakan tanganku disentuh lembut.
Aku menoleh. Bulu mata lentik yang menaungi mata bulat itu sedang mengerjap penasaran. Mami, kok, bengong"
Aku meringis malu karena ditegur olehnya. Aku segera mendaratkan kecupan di kening dan bibirnya.
Pertanyaan superpolos kembali terlontar dari bibir mungilnya, Ada apa, sih, Mi" Kok, cium aku" Gemas.
Emilia tertawa terkikik-kikik begitu aku mulai menciumi wajahnya bertubi-tubi. Sekejap, kepercayaan diriku mulai terisi kembali. Troli yang sedang aku dorong mulai terasa ringan. Pikiranku yang tadi sempat terpecah sudah mulai terkumpul lagi. Aku mulai mencari barang-barang yang hendak aku beli di supermarket sambil asyik mendengarkan celotehan Emilia.
Aku kembali kuat dan itu semua karena Emilia.
t . c Setelah mendapatkan kepastian bahwa aku menerima pekerjaan itu, Martin langsung kuberi tahu. Hanya ada satu pertanyaan yang keluar dari mulutnya, Kapan mulainya" Bulan depan.
That s it. Pertanyaannya hanya sesingkat itu. Dia bahkan tidak menyelamatiku atau mendukungku. Setelah itu, Martin langsung pergi sambil membisu. Sikapnya membuat dadaku begitu bergejolak. Kami sudah seperti orang asing yang hidup dalam satu atap rumah. Sepertinya, dia sudah tidak peduli lagi denganku maupun keluarga ini.
Aku sedih dan kecewa, tetapi aku pun tidak punya waktu untuk memikirkan sikap Martin. Banyak rencana yang harus kukerjakan. Pertama-tama, aku menelepon Paula.
Hai, Jul! sapa Paula dengan riang begitu telepon sudah tersambung. Duh, mendengar suaranya membuat air mataku dengan cepat merebak. Aku sangat merindukan saat-saat berkumpul dengan para sahabatku. Aku kangen kebawelan Gita, tawa Ibu Mala, sampai tatapan hangat Paula. Hai, Pol. Apa kabar"
Eh, buset, deh. Baru ketemu beberapa hari yang lalu udah apa kabar aja" Ada cerita apa nih, Darl"
Aku menelan ludah. Pada saat seperti ini aku ingin sekali bercerita panjang lebar. Aku ingin mencurahkan semuanya. Aku ingin menangis di pelukannya. Aku ingin ada yang menepuk bahuku dan mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Nggak apa-apa. Aku memaksakan diri tertawa dengan perasaan nelangsa. Mataku mulai berkaca-kaca. Aku pun menarik napas untuk mengumpulkan semangatku agar tidak kendur. Gue juga nggak tahu kenapa gue ngomong begitu sama lo.
Lo malah bikin gue tambah bingung, nih ..., seru Paula dengan nada penuh tanya. Ada apa, Jul"
Gue ... hmmm ... punya kabar baik dan buruk buat lo.
t . c Kabar" Paula bertambah bingung. Cepetan, deh, gue penasaran, ujar Paula dengan tidak sabar.
Kabar baiknya .... Bulan depan gue akan mulai bekerja.
Aku menunggu dan mendapatkan reaksi Paula lebih terkesan berhati-hati. Wow, that s great, Darl ....
Gue maunya, sih, mendapatkan reaksi yang lebih bagus ..., kataku berterus terang. Paula jadi tertawa. Jadi, gue mesti gimana" Teriak-teriak, lompat-lompat girang begitu" You are not a first job hunters, Jul ....
Setidaknya, gue ngerasa begitu, kok.
Suara Paula berubah agak berat dan serius. I know, Darl .... Gue senang, kok, akhirnya lo dapat pekerjaan, setidaknya keluarga lo akan ada masukan sampai ... Martin mendapatkan pekerjaan. Lalu, Paula menghela napas. Tapi ..., gue juga cukup tahu, lo terpaksa melakukan ini. I feel sorry for you, Jul ....
Senyum pedih muncul di wajahku. Paula merasa kasihan. Sebelumnya, aku adalah ibu rumah tangga dan sangat menikmatinya, lalu dengan terpaksa harus mencari pekerjaan juga. Aku sendiri tahu betul, ini bukan kondisi yang menyenangkan. Apalagi, aku juga harus melihat Martin, suamiku yang terpuruk akibat kehilangan pekerjaannya. Aku mengerti banyak yang harus aku korbankan. Bahkan, mungkin saja hidupku.
Jangan, Pol ... don t be sorry. Gue ... gue nggak terpaksa, kok. Gue memang harus melakukan ini. Demi gue, anak-anak gue, dan Martin.
Paula berkata dengan sedikit bersalah. Lo, kan, tahu maksud gue ....
Aku memotongnya, Gue ngerti, kok, Pol. Makanya, gue nggak mau merasa seperti itu. Gue harus tegar. Gue mau tegar menghadapinya. Gue butuh dukungan lo. Gue mau lo semangatin gue.
t . c Lo tahu gue akan selalu ngedukung lo, kan, Jul" Gue tahu, kok. Thanks, ya, Pol.
Jadi, kabar buruknya"
Aku menghela napas. Gue harus menyudahi kelas yoga gue. Gue rasa gue nggak akan punya waktu yang cukup.
Paula berkata dengan lembut, Itu bukan kabar buruk, kok, Darl. Anggap aja lo lagi ambil cuti.
Kami sama-sama tertawa. Paula berkata lagi, Kapan pun lo mau balik, gue akan selalu menyambut lo. Dan, ingat ini, ya ..., kalau lo butuh bantuan gue soal Emili dan Ernest, just call me. Membantu lo dan keluarga lo nggak pernah memberatkan gue. Lo harus tahu itu.
Kata-kata Paula membuatku teringat. Ah, itu juga yang harus gue bicarakan. Terkadang gue akan minta bantuan lo kalau sampai Emili dan Ernest nggak ada yang jemput. Mudah-mudahan, sih, nggak setiap hari ....
Juuul, jangan khawatir! Anytime, just call me. Aku sungguh terharu. I will, Pol.
Setelah selesai berbicara dengan Paula, ada seorang lagi yang harus aku ajak bicara.
Mbak Nani. Mbak Nani keluar dari dapur dan mendekatiku. Ada apa, Bu"
Aku menatap sosok setengah baya yang sudah setia menemaniku. Mbak Nani ikut denganku sejak Ernest bayi setelah sebelumnya dia pernah membantu di rumah Kak Jeni. Mengapa Mbak Nani bisa bertahan lama" Mungkin karena pada dasarnya kami cocok. Mbak Nani sudah berkeluarga, dengan dua anak yang sudah dewasa, bahkan menikah. Dia juga tidak punya kampung karena sudah lama tinggal di Jakarta.
Itu juga yang menjadi alasan aku bersikeras mempertahankan Mbak Nani meskipun kondisi keuangan
t . c kami sedang kocar-kacir. Bahkan, ketika aku sedang mempertimbangkan pemotongan anggaran, Mbak Nani tidak pernah ada dalam daftar anggaran yang dipangkas. Rupanya keputusanku beberapa saat yang lalu sangat tepat. Sekarang aku sudah bekerja. Kalau sampai Mbak Nani tidak ada, siapa yang akan menjaga anak-anakku"
Mbak, bulan depan saya akan mulai kerja kantoran. Jadi, saya akan pergi pagi dan pulang malam.
Mbak Nani tersenyum. Terpancar kelegaan di wajahnya. Dia memang sudah tahu apa yang menimpa keluarga di sini. Oh, syukurlah, Bu.
Aku tersenyum. Gini, Mbak .... Saya minta tolong sama Mbak Nani untuk bantu-bantu lihatin anak-anak. Saya, kan, selalu begitu juga, Bu.
Iya, saya tahu. Tetapi, mungkin akan lebih berat karena saya tidak ada di sini. Bisa sampai malam hari.
Mbak Nani mengangguk. Nggak apa-apa, kok, Bu. Emili dan Ernest anak yang baik. Mereka nggak pernah ngerepotin.
Papinya anak-anak akan ada juga di rumah. Tapi ..., mungkin nggak selalu, ujarku dengan nada agak pesimis.
Mbak Nani kembali mengangguk mahfum. Iya, Bu. Jangan khawatir.
Soal gaji, akan saya naikkan karena pekerjaan Mbak Nani akan jadi lebih berat. Tapi, mungkin nggak bisa banyak dulu.
Kalau soal itu, terserah Ibu saja. Saya terima saja, kok, Bu.
Terima kasih, ya, Mbak. Satu per satu masalah telah diselesaikan dengan mudah dan aku benar-benar bersyukur memiliki orang-orang baik dalam hidupku. Ternyata, aku masih cukup beruntung. I m not alone.[]
t . c ernahkah kamu berada dalam situasi saat kamu ingin sekali melarikan diri tanpa menoleh ke belakang sama sekali" Aku pernah.
Bukan hanya itu, aku ingin berlari sambil berteriak sekencang mungkin. Kalau perlu, tidak usah kembali lagi. Namun, itu, kan, konyol namanya. Konyol, kekanakan, dan tidak bertanggung jawab. Bagaimana aku bisa meninggalkan mereka, kedua wajah malaikat itu serta suami yang sedang terpuruk itu" Tidak bisa. Mereka membutuhkan aku.
Cobaan untuk kali kesekian ini dimulai kembali pada hari pertama aku masuk ke kantor. Emilia tak enak badan sejak semalam dan semalaman itu pula dia rewel. Dia menangis tanpa henti.
Huaaa!!! MAMIII!!! Aku mendesah. Kepalaku pening mendengar jeritan yang berlomba dengan tangisannya. Kurangnya tidur semakin menambah kepenatan. Mataku ikut berkunang-kunang. Bahkan, Ernest yang biasanya juga diam tiba-tiba ikutan rewel. Dia ikutan marah-marah dan ngedumel tak jelas. Mungkin dia juga merasa terganggu mendengar Emilia yang rewel.
t . c Sementara itu, Martin tidak berkata dan berbuat apa-apa. Mulutnya seperti terjahit rapat. Begitu juga telinganya yang tersumpal tanpa celah. Dia tidak peduli dengan keadaan sekitarnya, keadaan keluarganya sendiri.
Aku kelimpungan. Padahal, waktu sudah menunjukkan pukul 6.00 pagi. Ernest siap mandi dan berangkat, dan hari itu adalah hari pertama aku bekerja. Aku bersyukur masih ada setitik kesadaran dalam diri Martin yang berkenan mengantarkan Ernest ke sekolah.
Akan tetapi, bagaimana dengan Emilia"
Kamu bisa antar Emili ke dokter" tanyaku kepada Martin.
Tatapan malas menghunjam mataku. Deg! Hatiku rasanya seperti ditusuk oleh tatapan itu. Rasanya aku sudah bisa menebak apa yang akan dia katakan lewat tatapan matanya itu.
Kenapa nggak tunggu kamu pulang aja, sih" Meskipun sudah menduganya, jawabannya tetap menusukku. Bibirku terkatup rapat. Aku ingin menangis saat itu juga. Aku benar-benar tidak habis pikir, memangnya dia tidak lihat, aku tidak tidur semalaman hanya untuk menunggui Emilia" Hatiku menangis. Ke manakah hati nuraninya" Apakah Martin sudah tidak memilikinya lagi"
Aku tahu bahwa marah pada saat genting seperti ini tidak bijak dan dengan cepat aku menyadarinya. Aku masih punya akal sehat dibandingkan dengan Martin, atau siapa pun lakilaki itu karena rasanya aku sudah tidak mengenalnya lagi.
Martin pun pergi mengantarkan Ernest ke sekolah, meninggalkan aku yang hampir putus asa berusaha menenangkan Emilia. Aku segera memanggil Mbak Nani, memintanya menggendong Emilia agar tangisnya mereda.
Agak panas, Bu. Wajah Mbak Nani tidak kalah khawatirnya. Lalu, dia mengajak Emilia keluar untuk mengalihkan perhatian dari rasa sakitnya.
t . c Aduh ... gimana ini" Aku mulai panik. Berkali-kali aku melihat ke jam dinding dengan waktu yang terus berjalan. Apalagi aku harus mulai bekerja, hari pertama pula! Damn! Aku terus memutar otak.
Pantulan diriku di kaca menunjukkan keruwetan pagi ini. Aku sudah berpakaian rapi, dengan kemeja berwarna cokelat dan pencil skirt berwarna hitam. Namun, rambutku kusut masai karena belum sempat sisiran, sedangkan wajahku ... duh! lebih kacau lagi. Pucat, dan bersimbah keringat.
Aku menarik napas panjang agar bisa lebih tenang. Aku sedang memikirkan bagaimana caranya agar aku bisa mengantar Emilia ke dokter, juga tetap masuk kantor.
Aku menelan ludah ketika perasaan cemas mulai bergelayut. Sepertinya, aku harus mengorbankan harga diriku ... dan mungkin juga calon pekerjaanku. Tidak ada cara lain. Dengan cepat aku mengambil ponsel serta menghubungi seseorang yang aku harap hatinya sebesar samudra untuk bisa mengerti kondisiku ini. Ponselku sudah menempel di telinga. Aku mondar-mandir dengan gelisah sambil sesekali memperhatikan Emilia yang masih tersedu di depan rumah. Baru beberapa deringan, suara itu sudah menyapaku. Halo" Jul"
Aku langsung nyerocos. Hai. Aku tahu bahwa hari ini adalah hari pertama aku akan bekerja dan seharusnya aku tidak boleh terlambat apalagi minta tolong kamu, tapi ..., aku menarik napas sebentar untuk mengisi paru-paru yang kosong saking terburu-burunya berbicara, ... Emili sakit sejak semalam. Badannya panas dan ... kami tidak bisa tidur semalaman. Aku harus mengantarnya ke dokter saat ini juga. Aku minta maaf, Vin. Kamu boleh potong gajiku .... July, July .... Calm down ..., Vincent menenangkanku. Aku nggak tahu pasti akan datang jam berapa ... yang jelas akan terlambat ... atau bahkan mungkin bisa nggak hadir ke kantor ..., aku terus nyerocos. Ucapanku sekacau
t . c perasaanku saat ini. It s okay, July. Emili akan dibawa ke mana" Ke dokter anak di Rumah Sakit Mitra Sejahtera. Gini, dengerin aku, ya. Aku mau kamu membawa Emili dulu ke dokter. Oke, Jul"
Aku mengangguk meskipun aku tahu Vincent tak akan bisa melihatnya.
You have to think about Emili first. Pergilah. Kalau kamu sempat ke kantor, datanglah. Kalau nggak, kamu bisa datang besok, ujar Vincent lagi.
Terima kasih, ya, Vin. Aku .... That s really okay. Sampai ketemu.
Sekali lagi aku mengucapkan terima kasih. Aku menutup telepon dengan cepat karena aku takut Vincent akan mendengarku menangis.
Aku segera meminta Mbak Nani menyiapkan barangbarang Emilia.
Emilia sendiri sudah lebih tenang dan tampak sedikit mengantuk. Bisa jadi karena kurang tidur. Aku segera memacu mobilku menuju rumah sakit.
Sesampainya di sana, ternyata ramai sekali. Aku menyampirkan ransel Emilia di punggung, juga menggendong Emilia. Tadi dia tertidur di mobil dan sekarang masih sedikit mengantuk.
Aku baru kembali ke rumah pukul 11.00 siang. Aku bersyukur sakit yang diderita oleh Emilia juga tidak parah. Dia hanya terkena radang tenggorokan. Karena itu, aku segera menitipkannya kepada Mbak Nani dengan meninggalkan banyak pesan. Martin sendiri tidak kelihatan batang hidungnya di rumah. Ternyata, dia pergi untuk menjemput Ernest.
Setelah memastikan semuanya beres, juga petunjuk untuk
t . c Mbak Nani bagaimana cara memberikan obat kepada Emilia, aku bergegas pergi ke kantorku. Jalanan siang yang padat membuatku tiba di kantor pada pukul 12.00 siang, tepat pada jam makan siang.
Aku berlari-lari kecil masuk ke dalam gedung. Aku cukup berhati-hati karena memang belum terbiasa menggunakan sepatu high heels kembali.
July! Auch! Aku mengerem mendadak dan hampir saja keseleo ketika tahu-tahu ada seseorang yang memanggilku. Ampun, deh! Sepatu ini benar-benar menyulitkanku. Sepertinya, aku harus lebih banyak berlatih menggunakan sepatu berhak tujuh senti ini kalau tidak mau kakiku terkilir atau yang lebih parah, terjatuh di depan banyak orang.
Kepalaku menoleh ke sana kemari untuk mencari sosok yang memanggilku. Aku tahu suaranya, tetapi aku belum melihat wujudnya. Tiba-tiba ada suara langkah sepatu yang mendekatiku.
July, sudah ke dokter"
Aku menoleh ke belakang. There he is. Aku pun mengangguk cepat. Aku segera membenahi rambutku serta mengatur napasku yang tersengal-sengal.
Sori, ya, baru datang jam segini. Aku benar-benar .... Vincent tertawa. Jul, jangan minta maaf melulu, ah. Aku ngerti, kok. Sekarang ayo, ikut aku.
Dengan patuh aku mengangguk. Aku mengikuti langkahnya. Namun, beberapa saat kemudian, aku malah bingung. Ternyata, Vincent bukannya berjalan ke dalam gedung, melainkan keluar gedung.
Vin, kita mau ke mana, ya"
Sebuah mobil sport berbodi bongsor berhenti tepat di depannya. Dengan santai Vincent membuka pintu belakangnya, lalu menoleh ke arahku. Jul, kok, bengong" Ayo, masuk!
t . c Oh, ya, ya .... Dengan tergagap aku masuk ke mobil. Kesejukan segera menyergapku begitu sampai di dalam mobil.
Vincent menyusul di belakangku. Dia lalu menyuruh sopirnya untuk pergi ke sebuah restoran yang namanya terdengar asing di telingaku.
Kita mau makan siang"
Iya. Memangnya kamu nggak mau makan" Aku jadi tersipu. Betul juga. Sekarang, kan, sudah jam makan siang. Ngapain juga aku berada di kantor ketika jam makan siang, terlebih lagi atasanku sendiri tidak berada di kantor juga" Lagi pula, tadi pagi aku tak sempat sarapan.
Emili baik-baik saja" Apa kata dokternya" tanya Vincent.
Hanya radang tenggorokan. Syukurlah. Kamu sendiri"
Aku mengangkat bahu. Aku" Aku nggak apa-apa, yang sakit, kan, Emili.
Vincent tertawa mendengar jawabanku. Iya, maksudku, apa kamu baik-baik saja" Kamu tampak lelah.
Ya, sedikit. Semalaman aku nggak tidur menjaga Emili, jawabku sambil menghela napas. Tapi, nggak apa-apa, sambungku cepat. Ini nggak akan menjadi alasan buatku untuk tidak mulai bekerja hari ini. Jangan khawatir. I m okay.
Vincent mengangguk maklum. Santai aja, Jul. Kalau kamu mau kerja sama aku, kamu harus santai, jangan tegang. Aku bukan model bos yang suka menggigit, kok.
Aku jadi tertawa. Itu aku baru menyadarinya. Ternyata, aku sangat beruntung mendapatkan bos sebaik Vincent.
Soal Emili, aku ngerti banget kerepotan kamu. It s not easy to be a working mommy. Itu yang harus aku hargai. Terutama dari kamu, lanjut Vincent lagi.
t . c Aku mengangguk lega. Jadi ..., Vincent membuka percakapan lagi setelah ada jeda di antara kami untuk beberapa saat, Emili sering sakit"
Daya tahan tubuhnya memang lebih lemah dibandingin Ernest. Tapi, untungnya sampai sekarang belum pernah terkena sakit yang berat. Aduh, jangan sampai, deh. Amitamit.
Namanya juga anak kecil. Pasti lebih rentan. Kok, kamu tahu" Memangnya sudah punya anak, ya" godaku, sekaligus ingin mencari tahu.
Vincent tertawa. Nggak, belum. Tapi, aku punya keponakan.
Aku teringat akan kakak perempuan Vincent satusatunya. Dari Kak Geti"
Vincent mengangguk. Wow, kamu masih ingat! Aku agak bersungut-sungut. Ya, jelaslah masih ingat. Aku belum pikun, Vin. Sewaktu pacaran dengan Vincent, aku cukup dekat dengan Kak Geti. Orangnya manis, lembut, dan dewasa.
Percakapan kami terhenti karena mobil yang membawa kami sudah sampai di sebuah restoran. Restorannya sendiri cukup ramai. Sebelum kami duduk, aku meminta waktu untuk ke kamar mandi.
Aku melihat pantulan bayanganku. Ya, ampun, penampakanku bukan seperti seseorang yang berniat kerja. Wajahku kuyu, berminyak, sedangkan rambutku seperti habis diserang badai. Bagaimana Vincent tidak mengatakan apaapa soal penampilanku" Bagaimana aku tidak menyadarinya begitu bertemu dengan Vincent" Untung saja Vincent tidak lari atau berubah pikiran melihat penampilanku yang kacaubalau. Berantakan banget. Aku sendiri sampai malu melihatnya.
Aku lekas membuka ikatan rambutku dan mulai
t . c menyisirnya. Aku juga membersihkan wajahku dengan air dan memulai riasan dari awal lagi sampai aku cukup puas dengan penampilanku. Bedak tipis, pewarna pipi agar terlihat lebih segar, dan lipstik. Aku mengepang rambutku dan membentuk cepol sederhana.
Setelah keluar dari kamar mandi, ternyata Vincent sudah memesankan makanan untuk kami berdua. Kami mulai makan sambil mengobrol dengan santai.
Tak terasa waktu makan siang telah selesai dan kami harus kembali ke kantor.
Vincent memperkenalkan aku kepada seluruh staf di kantor, lalu membawaku ke depan ruangannya.
Ini meja kamu. Kalau ada yang tidak kamu mengerti, just ask me. I don t mind.
Tak lama telepon di mejaku berbunyi. Dengan sigap Vincent mengangkatnya karena kebetulan dia sedang berdiri di dekat telepon itu. Dia berbicara dengan singkat sebelum menutupnya. Tadi Wita, resepsionis. Tamuku sudah datang. Kamu bisa jemput mereka di depan"
Aku mengangguk. Oke, pekerjaanku sudah dimulai. Aku mengantarkan tamu Vincent masuk ke ruangannya. Hingga tamunya pulang dua jam kemudian, tidak ada keadaan darurat yang membuatku harus memanggil Vincent untuk bantuan atau kebingungan pada hari pertama kerja. Aku banyak bertanya juga kepada Wita maupun Dewanti. Mereka cukup ramah dan kooperatif. Perlahan kekhawatiranku hilang. Aku merasa cukup diterima di lingkungan kerja yang benar-benar baru ini. Kepercayaan diriku pun kembali.
Rasanya aku tidak salah mengambil keputusan.
t . c Aku baru tiba di rumah pukul 7.00 malam. Sebenarnya, jam kerja di kantorku berakhir pukul 5.00 sore, tetapi tadi Vincent sempat memanggilku untuk berbicara seputar pekerjaan setelah jam kantor.
Setibanya di rumah, yang kali pertama aku ingin lihat adalah Emilia.
Bu, mau langsung makan" tanya Mbak Nani begitu melihatku masuk. Aku menggeleng sambil meneguk air putih dingin.
Anak-anak ke mana" Tadi, sih, di kamar sama papinya, Bu. Sudah lama selesai makannya"
Satu jam yang lalu, Bu. Emili juga sudah minum obat. Aku melangkah menuju kamar anak-anak. Perlahan aku membuka pintu. Tidak ada Martin di sana. Emilia ternyata sudah tidur dengan begitu lelap.
Hai, Mam! sapa Ernest yang sedang asyik bermain lego.
Aku menempelkan telunjuk di bibir. Aku mendekati Emilia dan memeriksa suhu tubuhnya. Aku menghela napas lega karena suhu tubuhnya sudah normal kembali. Lalu, aku memanggil Ernest keluar. Ernest meninggalkan legonya dan berlari mendekatiku.
Mami baru pulang" Aku mengangguk. Kakak udah bikin pe-er" Ernest mengangguk. Udah. Sendiri, loh, Mam, ucapnya bangga. Tapi, enakan bareng Mami, sambungnya kemudian.
Nggak sama Papi" Tadi kata Mbak Nani, Papi ada di kamar.
Ernest menggeleng. Cuma nemenin Emili sebentar, habis itu pergi.
Aku tersenyum masam dan mengecup puncak kepalanya.
t . c Nanti biar Mami periksa, ya, pe-er-nya. Sekarang aja, ya. Aku belum ngantuk, kok. Oke, ambil dulu pe-er-nya. Mami sambil makan, ya. Malam ini aku multitasking. Aku memeriksa pe-er-nya Ernest sambil makan malam. Hmmm ... untung saja tidak banyak yang perlu dibenahi. Ernest memang semakin pintar dan mandiri.
Papi ke mana, Kak" tanyaku begitu selesai memeriksa pe-er-nya serta menghabiskan makan malamku. Nggak tahu. Kayaknya di kamar.
Aku mengorek keterangan dari Ernest lebih dalam. Papi tadi makan bareng Kakak dan Emili"


For Better Or Worse Karya Christina Juzwar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ernest mengangguk. Emili gimana hari ini"
Seperti biasalah, Mam. Sempet nangis nyariin Mami. Tapi, cuma siang.
Hatiku terasa ngilu mendengarnya. Terus, tadi siang Papi ngapain"
Pergi. Keningku berkerut. Buatku sudah cukup tahu apa yang dilakukan Martin hari ini. Ernest menyelamatkanku karena aku tidak mau tahu lagi.
Mami bisa nebakin aku, nggak" Aku ada tes besok. Tes apa, Kak"
Bahasa Inggris. Bisa, dong. Yuk!
Hariku benar-benar baru berakhir ketika Ernest sudah terlelap. Ketika masuk ke kamar, aku melihat Martin sudah tertidur dengan majalah yang berada di tangannya. Perlahan aku mengambilnya, lalu pergi mandi.
Hari ini memang sungguh melelahkan. Bahkan, kucuran air hangat dari pancuran di kamar mandi tidak bisa menghilangkan rasa lelah yang menggerogoti tubuhku.
t . c Selesai mandi, aku merebahkan diri di tempat tidur dengan kelegaan yang luar biasa. Tubuhku rasanya remuk seperti habis diinjak ratusan gajah. Begitu mataku terpejam, dalam sekejap, aku langsung terlelap.[]
t . c orning, Jul! Aku menoleh dan mendapatkan Vincent sedang berjalan mendekat. Aku menelan ludah. Dia terlihat begitu ... tampan. Aku sudah menikah dan, sumpah demi Tuhan, perasaanku terhadapnya sudah terkubur jauh di bawah tanah. Namun, aku tidak memungkiri kalau pesona yang dipancarkan olehnya masih begitu kuat. Siapa pun perempuan yang melihatnya pasti akan membeku beberapa detik, tak peduli tua atau muda, masih single atau sudah menikah, pokoknya semuanya.
Lihat saja. Siapa, sih, yang tidak mau menatapnya" He s handsome, well-dressed, ramah, dan ... wangi. He, kok, bengong"
Aku gelagapan mendengar Vincent menegurku. Aku hanya bisa nyengir.
Mata Vincent menyipit jenaka. Too much" tanyanya sembari mengangkat tangannya. Aku menangkap maksud pertanyaannya. Sepertinya, dia sudah bisa menebak mengapa dia mendapatkan aku bengong sambil memandanginya. Pertanyaannya tersebut membuatku tersipu. No. Not at all. You look great.
t . c Vincent pun tertawa. Dengan langkah ringan dia pun masuk ke ruangannya dan menyuruhku turut serta. Masuk sini, Jul.
Aku pun menyusulnya ke dalam ruangannya yang sangat nyaman. Vincent menata ruangan ini dengan baik. Ada sofa yang saking nyamannya kamu bisa tertidur hanya dengan duduk di sana, kulkas kecil, sampai televisi LED berukuran 42 inci yang bertengger di dinding.
Catatan untukku, sebagai seorang owner atau business director dari advertising agency Crazymove ini, Vincent sangat rajin dan selalu hadir di kantor tepat waktu dan tak pernah absen satu kali pun. Anak buahnya sampai kalah rajin. Namun, menurutku itu bagus karena dia memberi contoh yang baik kepada para karyawannya.
Setelah satu minggu bekerja dengan Vincent, aku sudah mulai hafal kebiasaannya. Pada pagi hari dia akan mulai minum kopi, yang dia ambil sendiri di pantry, bermain dengan iPad-nya, lalu menyalakan televisi dan menonton acak setiap stasiun televisi untuk melihat iklan yang ditayangkan. Setelah puas, dia baru benar-benar mulai bekerja.
Jul, hari ini kita akan keluar seharian.
Aku melongo. Tanganku yang sedang memegang bolpoin membeku begitu saja.
Kita" Maksudnya kamu"
Vincent meneguk kopinya hingga habis. Lalu, dia mengelap mulutnya dengan tisu. Nope, maksudku, kita. Kita berdua. Aku mau kamu temani aku meeting di luar. Kenapa"
Aku tahu itu pertanyaan bodoh, tetapi aku tetap ingin tahu. Bukankah sekretaris itu adalah pengganti atasan pada saat atasan tidak berada di dalam kantor" Kalau begitu, mengapa sekarang harus ikut-ikutan bosnya meeting juga" Nggak kenapa-kenapa. Kamu temani aku. Aku lagi
t . c malas sendirian. Bosan. Mulutku hanya bisa membulat. Lalu, dia menyuruhku untuk cepat beres beres. Dalam waktu setengah jam, kami berdua sudah siap di depan lobi menunggu mobil Vincent yang sebentar lagi datang menjemput.
Ternyata, hari ini kita lagi sehati, ya.
Aku mengerutkan kening. Vincent sedang menatapku dari ujung kepala hingga ujung kaki. Spontan, aku pun melakukan hal yang sama. Kemudian, aku baru mengerti. Aku pun tersenyum.
Aku dan Vincent mengenakan pakaian dengan warna yang senada. Dia mengenakan kemeja biru lengan panjang, dasi hitam, serta celana bahan berwarna hitam. Sementara aku, mengenakan pencil skirt berwarna hitam, kemeja katun biru berlengan pendek dengan pita berwarna hitam di lehernya.
Aku menggelengkan kepala. Sungguh menggelikan. Ini hanya kebetulan biasa, kok, dan sering terjadi kepada siapa pun, tidak hanya kami berdua.
Aku yakin beberapa hari ke depan kita pasti akan mengalami hal seperti ini lagi, ujar Vincent dengan yakin. Mataku terbelalak karena terkejut. Untuk menutupinya, aku tertawa. Ya, ampun, pede amat!
Nggak percaya" Nanti, deh, kita buktikan. Vincent menambahkan masih dengan kepercayaan diri setinggi langit. Senyum misterius tersungging di bibirnya.
Pada pukul 3.00 sore kami dalam perjalanan kembali menuju kantor. Total ada tiga meeting yang kami lakukan sepanjang hari ini. Sebenarnya, Vincent-lah yang meeting, aku hanya sebagai ... hiasan. Penggembira karena aku benar-benar tidak melakukan apa-apa. Sebenarnya bagiku, acara menemaninya meeting seperti ini benar-benar membuang
t . c waktu, tetapi tak apalah. Asal jangan keseringan saja. Bisabisa aku tidak bekerja sama sekali.
Di tengah perjalanan pulang ke kantor, aku menjalin percakapan dengan bertanya kepada Vincent, Sejak kapan kamu mendirikan CrazyMove"
Lima tahun yang lalu. Mulutku membulat. Wow, lima tahun, tetapi sudah sebesar ini" Berarti dia baru berumur 30 tahun saat memiliki usaha sendiri" Aku benar-benar salut dan kagum. Apalagi ketika aku melihat daftar kliennya yang ternyata banyak berasal dari perusahaan-perusahaan besar.
Vincent mulai bercerita bagaimana awal mula dia mendirikan agensi ini. Buat Vincent, tidak mudah. Dia sampai harus jatuh bangun dulu sebelum akhirnya bisa terbang. Untung saja dedikasinya sangat tinggi dan tekadnya begitu kuat untuk menjalankan CrazyMove.
Kamu pakai penanam modal atau ....
Vincent menggeleng. Tidak ada. Kami memang memulainya kecil-kecilan. Tapi, siapa yang sangka, ya, akan jadi sebesar ini dalam waktu singkat" Aku sendiri nggak pernah menyangkanya. Begitu juga Jay.
Jay" Jay sahabat kamu"
Vincent mengangguk. Ini agensi milik aku dan Jay. Kami yang mendirikannya, Jul.
Mataku membulat. Aku ingat Jay yang selalu ada bersama-sama denganku dan Vincent ketika kami berpacaran. Jay, yang gantengnya sebelas-dua belas dengan Vincent. Jay, yang selalu dikejar-kejar oleh perempuan di kampus dari berbagai jurusan dan tingkat.
Aku tidak bohong, mereka memang sama-sama tampan. Namun, entah bagaimana mereka bisa lengket satu sama lain karena siapa pun yang melihat dan mengenal mereka segera tahu bahwa Jay dan Vincent adalah orang yang sama, tetapi berbeda. Seperti buku yang isinya sama, tetapi sampulnya
t . c berbeda. Vincent serius dan tidak banyak bicara. Sedangkan Jay, lebih misterius, cuek, dan pendiam. Tidak jauh beda, kan" Yang membedakan mereka adalah penampilan. Vincent knows how to dress well, rapi dan keren, serta rambut yang selalu dipotong pendek.
Berbeda dengan Jay yang selalu membiarkan rambutnya gondrong, begitu juga dengan jambang dan jenggot. Dia suka berpakaian seenak udelnya. Selama aku mengenal mereka, meskipun sama-sama pendiam, ketika keduanya bertemu, mereka langsung ramai dan berbincang seru. Mungkin itu yang dinamakan sahabat erat.
Jay apa kabar, Vin" Kok, aku bisa lupa sama dia, ya .... Vincent langsung menggodaku. Nanti aku bilangin, loh .... Wah, kamu akan menghancurkan hatinya, Jul.
Kalau begitu, ya, jangan kasih tahu ke Jay bahwa aku melupakan dia. Aku memberinya solusi sembari tertawa. Jay sudah nikah"
Vincent menggeleng. Kami masih tergabung dalam klub jomlo. Nggak ada yang mau sama kami, sih, karena kami memang nggak pernah ada waktu untuk pacaran, sahut Vincent sambil memberi cengiran yang lebar. Mau tak mau aku tertawa lebar mendengar istilah pacaran yang rasanya sedikit janggal untuk seumuran kami ini.
Sekarang ada di mana" Kok, aku nggak pernah lihat dia di kantor"
Masalahnya, Jul, dia itu sudah seperti penunggu kantor. Datang seenak jidatnya, pulang pun kayak tuyul. Tiba-tiba sudah di rumah, tiba-tiba sudah nangkring manis di ruangannya. Kalau ada perlu yang urgent banget, waduhhh ... bisa kelimpungan satu kantor mencari dia. Jari Vincent menunjuk ke sebelah ruangannya, yang ternyata adalah ruangan milik Jay.
Aku jadi geli mendengar ceritanya. Dia nggak punya
t . c sekretaris" Vincent tertawa terbahak-bahak mendengar pertanyaanku. Jul, Jul .... Kamu kayak nggak kenal Jay aja.
Vincent benar. Aku akhirnya mengerti. Mana bisa Jay punya sekretaris" Yang ada sekretarisnya bisa stres nangisnangis nyariin bos yang keberadaannya suka tidak jelas juntrungannya. Dia juga bakal terus diteror oleh semua orang untuk mencari di manakah Jay berada jika ada deadline atau kerjaan urgent yang memerlukan tanda tangan atau kewenangannya.
Dia memang ... seniman sejati, celetukku. Kamu ingat, nggak, dulu waktu kita pacaran" Telingaku langsung terpasang radar peka. Dengan sedikit waspada aku mengangguk.
Aku pernah berkata ... bahwa suatu hari aku akan punya perusahaan sendiri ....
Tentu saja aku ingat. Vincent mengucapkannya pada awal kuliah. Kalau tidak salah, saat itu semester satu dan aku sudah berpacaran dengannya. Sedari dulu, cita-cita Vincent memang tinggi dan dia selalu bersemangat untuk meraihnya.
Vincent melanjutkan, Aku dan Jay sudah punya cita-cita. Jay yang kreatif akan menghasilkan ide-ide segar, sedangkan aku bagian yang mengembangkan bisnisnya .... Aku mengangguk. Aku ingat ....
Tapi, sebenarnya aku punya rencana .... Aku ingin kamu bergabung dengan kami. Dulu ... sebelum kita berpisah ....
Aku tertegun. Saking tidak bisa berbicara satu kata pun, aku hanya bisa menelan ludah. Tubuhku menegang.
Tapi ..., kenyataannya, kan, berbeda. Kita nggak bakal tahu hidup kita ke depannya seperti apa. Mungkin jalan kita nggak bersama .... Ucapan Vincent terdengar lirih hingga
t . c hampir seperti berbisik. Aku tidak sanggup menyahut ungkapan perasaannya itu sehingga aku pun memilih untuk menunduk atau melihat ke jendela. Kami sama-sama membisu hingga tiba kembali di kantor.
Kamu boleh langsung pulang, kok, Jul, kata Vincent begitu dia turun dari mobil.
Kamu yakin" Tentu saja. Sekarang sudah sore. Aku juga nggak ada keperluan lagi, nggak ada agenda keluar-keluar lagi.
Yang sekretaris aku atau kamu, sih" Kayaknya, kamu nggak butuh sekretaris, deh. Habis, kamu hafal semua jadwal kamu sendiri, selorohku.
Vincent tertawa sembari membuka dasinya serta menggulung lengan kemejanya.
Ini kebetulan aja ingat. Dia menunjuk keningnya sendiri.
Aku tertawa. Ya, udah. Bye, Vin. Take care, Jul.
Kami berjalan ke arah yang berlawanan. Sebelum mengendarai mobil, aku menyempatkan diri menelepon ke rumah untuk memastikan keadaan di sana baik-baik saja.
Martin yang mengangkat telepon. Suaranya terdengar sangat jengkel sehingga dia menyahutiku dengan ketus. Kamu sudah mau pulang"
Tinggal jalan. Aku sudah di mobil.
Cepat pulang, Jul. Emili nakalnya minta ampun. Dia mengacak-acak semua pakaian kita, lalu remote televisi juga dicemplungin ke bak mandi. Diomeli malah menangis nggak keruan. Dibujuk sama Mbak Nani malah ngambek. Ernest juga terus-terusan minta dibantuin kerjain tugas. Aku nggak bisa membelah badanku jadi dua. Terlalu kacau!
Aku menghela napas. Mendengar laporan Martin mengenai kondisi rumah, sepertinya kepulanganku tidak akan
t . c disambut dengan kedamaian. Pekerjaan di rumah sudah menunggu.
Oke. Aku segera pulang. Cepat, Jul.
Aku mematikan ponsel dengan perasaan tak keruan. Aku melemparkannya ke tasku yang tergeletak di kursi samping. Dengan berat aku memutar kunci mobil dan perlahan mobilku pun menggelinding di jalan raya. Aku sempat menatap bayangan diriku sendiri ketika melihat ke spion mobil yang terletak di tengah. Wajahku masih full make-up, tetapi sudah bercampur dengan keringat dan minyak. Aku merasa masih belum terbiasa. Aku terbiasa mengenali wajahku yang polos bersih dari make-up.
Sewaktu lampu lalu lintas menyala merah, aku segera merogoh laci mobil untuk mengambil tisu basah. Aku mengusapkannya ke wajahku hingga seluruh make-up luluh dan wajahku sementara jadi bersih, tidak lengket, dan bebas minyak. Rasanya terasa lebih enteng dan segar. Baru saja aku hendak menaruh tisu basah ke dalam tas, ponselku berbunyi. Sebuah SMS masuk.
Jul, are you home yet" Vincent yang mengirim SMS. Aku tersenyum dan membalasnya.
Not yet, Bos. Masih stuck di jalan. Kenapa" Butuh bantuan soal kerjaan"
Vincent membalasnya dengan cepat.
Nooo ... jam kerja, kan, sudah lewat. Cuma mau mastiin kamu sampai dengan selamat.
Aku terpana. Untuk memastikan bahwa tulisan yang aku baca benar, aku mengulanginya. Memang benar. Cuma mau
t . c memastikan" Kok, terdengar seperti mencari-cari alasan, ya" Aku pun segera membalasnya.
Don t worry. This car will protect me. Hehe ....
Ponselku berbunyi untuk kali kesekian. Aku melihat SMS balasan dari Vincent lagi.
Khawatir boleh, dong .... What can I do without you" Aku, kan, butuh kamu .... Sekali lagi aku tertegun oleh SMS yang dikirimkan oleh Vincent. Apa, ya, maksudnya" Hatiku sempat berdesir. Apakah ... dia mencoba mengungkit masa lalu kami berdua" Namun, bisikan di hati tersebut hanya sesaat karena aku lalu mengingatkan diriku untuk tidak berasumsi terlalu jauh. Mungkin saja tulisan SMS-nya itu hanya wujud keramahannya. Lagi pula, jelas dia membutuhkanku. Aku, kan, sekretarisnya. Aku pun membalasnya dengan kalimat yang netral.
See you tomorrow, Vin. Tidak ada balasan dari Vincent. SMS-SMS darinya membuat ingatanku memutar balik kenangan kami. Faktanya, kebersamaanku dengan Vincent memang bukan hal yang mudah untuk dilupakan. Setidaknya, untuk diriku.
Aku pacaran dengan Vincent sejak awal kuliah hingga lulus dan bekerja. Jadi, aku cukup lama bersamanya, terutama mengenalnya. Tujuh tahun kami menjalin hubungan. Perkenalan kami terjadi di kampus. Waktu itu kami masih sama-sama mahasiswa cupu. Masih melekat erat di ingatanku saat melihat Vincent untuk kali pertama. Botak, tetapi tak mengurangi ketampanannya. Dia juga pendiam dan
t . c begitu serius. Berbeda dari yang lain.
Entah kebetulan atau memang sudah waktunya dipertemukan, kami selalu bertemu muka meskipun jurusan kami berbeda. Vincent jurusan Arsitektur, sedangkan aku mengambil jurusan Ekonomi.
Hingga suatu ketika, aku masuk ke kantin kampus yang sudah sangat penuh. Pembeli berjubel sudah seperti pasar malam. Aku yang sudah membeli makanan kebingungan mencari tempat duduk. Sampai aku mendengar suara yang menyapaku.
Duduk di sini saja. Masih kosong.
Aku menoleh. Seorang cowok botak dengan senyum menawan sedang mendongak ke arahku. Aku melihat meja yang dia tempati. Total ada empat bangku di sekelilingnya. Dia hanya sendirian. Aku sedikit ragu. Dia membaca keraguanku.
Nggak apa-apa. Aku sendirian. Duduk aja daripada makan berdiri.
Dia benar. Aku pun duduk. Kami berbasa-basi. Jurusan apa"
Ekonomi. Kamu" Arsitektur.
Aku bingung. Kok, bisa nyasar ke kantin ini" Kantin yang aku maksud ini memang kantin yang terletak di Fakultas Ekonomi.
Lagi nungguin teman aku. Mana"
Nggak tahu. Nyasar kali. Tapi, nggak apa-apa, kan, udah ada kamu.
Setelah itu, semuanya mengalir. Dia benar-benar menarik. Dari fisik maupun kepribadiannya. Aku, yang saat itu memang jomlo, langsung jatuh hati. Aku tidak bertepuk sebelah tangan. Vincent juga jatuh cinta. Akhirnya, aku pun
t . c jadian dengannya. Perjalanan cintaku dan Vincent sebenarnya lumayan lempeng. Kami tidak pernah punya masalah yang berarti. Aku bahagia. Begitu juga dia. Selama tujuh tahun bersama, tidak pernah sekali pun kami berpisah. Dia ingin mewujudkan mimpinya, yaitu punya usaha advertising sendiri. Aku tahu dia sedang berjuang dari bawah untuk mewujudkan impiannya.
Untuk menggapainya, Vincent hidup sederhana dan dia gigih. Aku pun memutuskan untuk mendukungnya. Namun, dua tahun telah berlalu dan tidak ada kemajuan. Dia bekerja mencari ilmu di beberapa perusahaan. Dia jadi seperti kutu loncat. Tanpa posisi yang bagus dan tanpa kejelasan yang berarti.
Memasuki tahun ketujuh hubungan kami, tidak ada perubahan dari Vincent. Baik secara finansial maupun arah hubungan kami. Aku tidak bisa terus-terusan seperti ini karena aku punya mimpi untuk menikah. Akhirnya, aku pun memberanikan diri. Aku memutuskan hubungan dengannya. Bukan hal yang mudah karena hatiku masih menyimpan rasa untuknya.
Vincent juga sempat emosi begitu aku memutuskannya. Dia tidak terima. Namun, aku coba memberinya pengertian. Sebesar apa pun sayangku kepadanya, aku tetap harus memikirkan diriku sendiri. Sampai kapan aku harus mengerti dirinya dan menunggunya hingga dia mapan" Aku sudah berumur 25 tahun dan terkatung-katung dengan tujuh tahun pacaran.
Dengan berat hati, kami pun berpisah. Setelah berpisah dengan Vincent, barulah aku bertemu dengan Martin yang lebih tua lima tahun dariku. Perkenalanku dengan Martin juga dengan cara dicomblangin. Satu tahun kemudian, kami pun menikah.
Setelah pernikahanku, aku tidak terlalu sering lagi
t . c bertemu dengan Vincent. Seingatku hanya dua kali. Saat itu aku sudah memiliki Ernest. Sisanya, aku hanya mendengar bahwa Vincent sudah punya usaha sendiri, tetapi aku tidak bertanya secara detail.
Lalu, sampailah aku di detik ini, bekerja padanya. Perjalanan pulang biasanya cukup tersendat, tetapi kali ini penuh lamunan akan Vincent sehingga semua terasa singkat. Aku sempat berpikir sejenak sebelum keluar dari mobil. Dunia ini memang sungguh aneh. Kita seperti diputar-putar. Seperti sebuah keharusan bahwa ada kalanya hidup kita berada di atas, juga bisa berada di bawah. Begitu juga sebaliknya. Aku pun sempat berandai-andai, bagaimana jika aku tidak putus dengan Vincent" Apa yang akan terjadi" Apakah hidupku akan makmur, bahagia, tidak pusing memikirkan pekerjaan, sekaligus rumah dan masalah rumah tanggaku"
Mamiii!!! Aku sedikit terlonjak mendengar suara yang begitu dekat di pintu mobil. Ternyata, Emilia menyusulku keluar. Aku tersenyum begitu melihatnya menempelkan wajahnya di kaca mobil dengan ekspresi yang menggemaskan. Aku ikutan menempelkan wajah hingga kami hanya dibatasi kaca.
Pukulan Naga Sakti 10 Sherlock Holmes - Petualangan Penyewa Dorset Street Pedang Pusaka Buntung 5
^