Pencarian

For Better Or Worse 3

For Better Or Worse Karya Christina Juzwar Bagian 3


Turun, dong, Mami ... ngapain di dalam mobil aja" Kangen Mami, nihhh .... Suara manja Emilia menghangatkan hatiku.
Aku mengangguk. Inilah keluarga dan kehidupan yang aku pilih. Percuma ada penyesalan. Aku hanya harus menjalaninya dengan hati yang besar dan lapang.[]
t . c ku menguap lebar-lebar tiada henti sampai membuat mataku berair terus.
Beginilah kalau kurang tidur. Emilia tiba-tiba membangunkanku pada pukul 4.00 pagi dan mengajakku bermain. Ampun! Dia, kan, sudah bukan bayi lagi yang biasa bangun setiap subuh" Aku meminta Emilia untuk tidur lagi. Namun, Emilia tetap ngotot ingin bermain di ruang depan. Dengan terpaksa aku menemaninya daripada dia membuat keributan yang membuat Papi dan kakaknya terbangun.
Rasanya otak dan nyawaku yang belum sepenuhnya berkumpul ikut bertanya-tanya bagaimana bisa Emilia bangun jam segini" Lalu, aku teringat laporan Mbak Nani bahwa Emilia memang tertidur lebih cepat karena tidak tidur siang. Pantas saja.
Hoamm! Pantas saja jam segini sudah segar! Aku menguap untuk kali kesekian ratus hingga karena tidak kuat dengan godaan ingin menutup mata, aku pun pergi ke pantry kantor yang nyaman untuk membuat teh manis hangat. Menyeruput teh manis hangat mungkin bisa membuat mataku terus melek. Kalau tidak berhasil, aku melirik ke teko di coffee maker. Kopi di dalam teko itu berwarna hitam pekat. Rasanya aku harus meminum itu
t . c juga, desahku dalam hati.
Setelah selesai membuat teh, aku iseng mengambil majalah dan duduk di sofa. Toh, jam kantor belum dimulai. Perlahan teh manis yang nikmat itu menghangatkan badanku dan kantukku menghilang. Aku membolak-balik majalah dan sesekali membacanya.
Ngantuk" Aku mengangkat kepalaku. Vincent sedang tersenyum. Banget, sahutku. Emili bangun pagi buta dan ngajak main.
Vincent tertawa. Dia duduk tepat di seberangku setelah menuangkan secangkir kopi.
Kayaknya kita beneran jodoh, nih, celetuk Vincent. Mataku langsung mendelik. Jodoh kepalamu! gerutuku dalam hati. Lalu, aku ngedumel, Apaan, sih" Udahlah, Vin, pagi-pagi jangan ngomong aneh-aneh, ah ....
Coba, dong, lihat pakaian kita.
Spontan aku melihat baju yang dikenakan oleh Vincent. Aku melongo. Pantas saja Vincent berkata seperti itu karena baju yang kami kenakan benar-benar serupa warnanya. Celana panjang garis-garis dan kemeja merah. Mataku melebar ketika melihatnya.
Ini pasti konspirasi, celetukku asal. Vincent malah tertawa terbahak-bahak. Atau, kamu sudah belajar ilmu membaca orang di Eropa sana.
Konspirasi apa" Orang dibilang jodoh, sahutnya lagi. Aku mendengus, tetapi aku tidak mau bicara. Bisa-bisa salah bicara.
Teh manis hangat membuatku jadi lebih segar. Pekerjaan di kantor hari ini tidak begitu banyak. Aku jadi lebih punya banyak waktu untuk santai dan browsing internet. Sesekali juga mengecek rumah untuk sekadar mengingatkan Mbak Nani soal makanan di rumah.
t . c Bapak ada, Mbak" tanyaku ketika menelepon ke rumah.
Nggak ada, Bu. Sejak antar anak-anak belum pulang. Napasku terasa berat. Jika memikirkan Martin, aku langsung pening. Lalu, aku berterima kasih kepada Mbak Nani sebelum menutup telepon.
July" Aku mengangkat kepalaku dari layar komputer. Ya" Aku mau makan siang dulu.
Mataku melirik ke jam tanganku. Eh, iya, ternyata sudah pukul 12.00 siang. Iya. Oke.
Ayo, makan bareng. Kamu nggak makan keluar" tanyaku. Tanganku sendiri sibuk membereskan meja.
Nggak, di kantin aja. Yuk!
Kami, bersama sebagian besar pegawai yang ada di gedung ini, mengantre di depan lift untuk turun. Begitu lift di lantai kami terbuka, ternyata isi di dalam lift cukup penuh. Untung aku dan Vincent bisa muat.
Vincent berdiri tepat di belakangku. Begitu lift yang membawa kami sampai di lantai dasar, orang-orang berdesakan untuk keluar dari dalam lift. Aku terkejut mendapatkan punggungku disentuh seseorang. Aku ingin menoleh, tetapi tidak bisa karena saking ramai dan berjubelnya suasana yang sedikit ruwet.
Lalu, aku mendengar suara di belakangku. Jalan aja, Jul. Aku ada di belakang kamu.
Tubuhku seperti membeku. Ternyata, Vincent-lah yang memegang punggungku. Seketika bulu kudukku merinding ketika aku merasakan tangan itu masih berada di punggungku agar kami tidak berjalan terlalu berjauhan.
t . c Vincent baru melepaskan tangannya setelah kami terbebas dari kepungan orang-orang dalam lift.
Kami pun sampai di dalam kantin yang sudah ramai. Kami mengelilingi kantin hingga akhirnya mendapatkan tempat duduk.
Mau makan apa" Tanganku yang bertumpu di meja disentuh oleh Vincent. Aku tidak sempat menarik tanganku karena berlangsung begitu cepat. Lagi-lagi sentuhan tangan Vincent membuat bulu kudukku merinding.
Aku mulai merasakan kejanggalan. Aku sadar bahwa kami sudah saling kenal cukup lama. Namun, kedekatanku ini terasa ganjil.
Sejak bertemu dan bekerja bersamanya, tidak pernah sekali pun Vincent menyentuhku, dengan cara apa pun, sampai hari ini.
Aku yang beli aja. Kamu tunggu aja di sini supaya mejanya nggak direbut orang. Kamu mau apa"
Tolong belikan aku nasi padang, ya. Ayam bakar dan perkedel. Kuahnya yang banyak.
Oke. Aku menatap punggungnya yang tegap dan bahunya yang lebar. Benakku masih menyimpan rasa sentuhan tangan Vincent di tangan maupun punggungku. Bahasa tubuh memang tidak bisa berbohong. Hatiku mulai memberi peringatan bahwa Vincent punya maksud lain. Tentunya di luar urusan pekerjaan.
Aku menggigit bibirku, resah. Seketika aku jadi bimbang ketika menyadari hal ini. Apa yang harus aku lakukan" Haruskah aku membicarakan hal ini dengan Vincent"
Aku melihatnya berjalan ke arahku dengan membawa makanan yang kami pesan. Dia duduk di depanku sambil tersenyum lebar.
Yuk, makan dulu. Vincent sudah siap melahap makanannya berupa gado-gado dengan dua kerupuk udang
t . c bertumpuk di atasnya. Kami pun makan di tengah keriuhan kantin. Perutku lapar berat dan dengan cepat aku menghabiskan nasi padang yang aku pesan. Aku begitu menikmatinya sampai tak menyadari Vincent sedang memperhatikanku.
Kamu lahap banget, Vincent nyeletuk. Aku melirik Vincent. Lapar, tahu.
Vincent memperhatikanku dengan saksama. Sekarang umur kamu berapa, ya"
Sebelah alisku otomatis terangkat. Is he really asking my age" Ini adalah pertanyaan paling aneh yang pernah aku dengar keluar dari mulutnya. Ngapain, sih, nanya umur segala" Penting banget, ya"
Vincent tertawa mendengarku yang menyahut dengan sinis. Kok, jadi sensitif"
Aku tersenyum kecut. Bukannya sensitif. Tapi, seharusnya kamu ingat. Kita, kan, seumur" Nah, sekarang aku curiga kenapa kamu tiba-tiba bertanya soal umur. Nggak, kagum aja.
Aku hampir tersedak ayam yang sedang aku kunyah. Kemudian, aku tertawa dan menyahut, Kagum" Nggak salah" Dari sisi mananya"
I mean, look at you, Jul. Kamu masih saja cantik di usia segini. Orang nggak bakal percaya umur kamu 35 tahun dan sudah punya dua anak. Kamu nggak berubah sedikit pun sejak dulu.
Wajahku memerah, lalu berdeham. Thank you, Vin. Aku anggap itu sebagai pujian.
Aku mengatakan yang sebenarnya, loh.
Kami saling menatap dan aku yakin sebentar lagi suasana akan semakin canggung. Untung saja kebersamaan kami ini diinterupsi oleh seseorang yang tidak aku kenal. Perempuan itu menyapa Vincent dengan hangat. Vincent
t . c berdiri dan mereka berbincang sebentar. Diam-diam aku melirik ke arah mereka. Menurutku, perempuan itu begitu serasi dengan Vincent. Dia tinggi, dengan midi dress yang membuat lekuk tubuhnya jadi terlihat aduhai dan tentu saja cantik.
Belum lagi bibirnya yang seksi, lalu sepatunya yang buagus banget dengan hak yang tinggi runcing dan berwarna emas. Pasti sepatu itu harganya mahal. Agak aneh melihat seseorang menggunakan sepatu berwarna emas pada siang hari bolong begini, tetapi buatnya pantas-pantas saja.
Tak lama kemudian, mereka berpisah dan sama-sama melambaikan tangan.
Nggak dideketin" Aku menggoda Vincent begitu dia duduk kembali.
Ha" Apa" Oh, Myra" Jarinya menunjuk. Buat apa dideketin" tanya Vincent sok polos. Aku gemas sampai ingin menggaruknya.
Kalian serasi, kok. Kenapa nggak" aku bertanya balik. Vincent malah tertawa. Nggak, ah.
Ha" Nggak" Kenapa" Cantik, loooh ....
I know. Myra itu idola gedung ini. Kantornya, kan, sebelahan dengan CrazyMove. Tapi, aku nggak tertarik. Dia terlalu tinggi.
Badannya" Makan siang sudah usai. Vincent mengajakku kembali ke kantor.
Bukan itu maksudku. Vincent melanjutkan percakapan kami yang sempat terpotong. Standarnya terlalu tinggi. Rasanya nggak bakal sanggup biayain kebutuhan senangsenangnya dia. Lagian, aku lebih suka yang sederhana, cantik natural ... seperti kamu.
Aku menelan ludah. Tuh, kan, omongan Vincent kembali menjurus. Pita suaraku seperti dirantai hingga tak mampu
t . c berkata-kata. Aku memilih untuk bersikap bijaksana, yaitu diam. Aku sedikit lega ketika sinyal-sinyal aneh yang sempat ditunjukkan oleh Vincent tidak terlihat lagi. Namun, semua tindakan dan ucapannya masih begitu lekat di ingatanku hingga aku pulang.
Hari ini sungguh menggila.
Telepon di meja kerjaku berdering tanpa henti. Dengan menekan perasaanku yang tidak keruan sejak tadi pagi aku menjawab satu per satu telepon untuk Vincent. Ada yang penting, ada juga yang tidak.
Beberapa telepon yang masuk malah berasal dari perempuan yang tidak jelas identitasnya dan ngotot ingin berbicara dengan Vincet. Tabiat mereka yang tidak ada sopan santunnya sama sekali lama-kelamaan membuatku naik darah. Menjelang siang, rasanya tensi darahku sudah tinggi.
Aku mengintip ke dalam, ingin tahu apa yang sedang dilakukan oleh Vincent. Aku melihat dia sedang menerima telepon. Terkadang dia terlihat begitu serius, terkadang tertawa hingga terbahak-bahak.
Ketika aku mengintip untuk kali kedua, terlihat Vincent sedang serius menatap iPad-nya. Keningnya berkerut dan sibuk mengetik sesuatu atau terkadang bersandar di kursinya yang besar dan tampak termenung sambil menatap jendela.
BUZZ! Suara dari komputer di meja menarik perhatianku. Aku mendekatkan wajahku ke layar LCD itu. Messenger-ku yang berbunyi. Ternyata dari Vincent.
Vincent_Rajaya: Manyun aja. Sialan! Ternyata, dia sedang memperhatikanku juga. Aku
t . c menegakkan punggungku. Baru saja aku menaruh jari-jariku di keyboard untuk membalasnya, Vincent sudah mengirim lagi.
Vincent_Rajaya: Nggak apa-apa, sih, manyun. Tapi, teleponnya, kan, kasihan
digalakin sama kamu. Entar ngambek J.
Spontan aku menoleh ke dalam melalui jendela di belakangku dengan tatapan tajam. Eh, dia malah tertawa. Kurang asem! Aku membalasnya.
July_Bernadeth: Biarin! Biar pada nggak ada yang nelepon.
Vincent_Rajaya: Jangan, dong ... entar klien pada nggak bisa nelepon,
pemasukan kita berkurang jadinya. July_Bernadeth: Buat apa sekarang ada email" Handphone" Kamu, kan, nggak tinggal di zaman Flinstone.
Aku mendengar suara tawa yang terdengar keras dari dalam. Sekali lagi aku menoleh ke dalam ruangan Vincent sambil melotot, yang sukses membuat Vincent merapatkan bibirnya. Lalu, dia pura-pura menatap layar iPad-nya dengan sok serius.
Vincent_Rajaya: July ... July ... kamu lucu banget, sih.
July_Bernadeth: Baru tahu, ya" Vincent_Rajaya: Not really, I ve known you for life. Aku jadi kangen masamasa dulu .... Kangen celetukan kamu seperti itu.
t . c Tatapanku ke layar komputer membeku. Kepala pening dan perut mulas yang melebur menjadi satu langsung menyerangku. Tiba-tiba aku ingin memuntahkan makan siangku tadi.
Vincent_Rajaya: Something wrong" Kamu bete banget hari ini.
Aku menghela napas panjang. Tentu saja Vincent menyadarinya. Apa, sih, yang akan terlewatkan oleh dirinya" Vincent_Rajaya: Kamu bisa cerita sama aku, Jul. Ayo, masuk. Daripada aku gangguin kamu terus. Kamu nggak mau, kan, ngelihat bos kamu ini main Angry Bird melulu" Mendingan dicurhatin aja.
Mau tak mau aku tersenyum meskipun kecut. Seperti ada magnet yang menarik diriku, aku pun masuk. Vincent mengajakku duduk di sofa.
Jadi" Aku menghela napas. Nggak ada apa-apa. Vincent kebingungan. Keningnya berkerut. Kamu yakin" Aku, sih, nggak yakin.
Aku meliriknya, lalu berpikir sejenak sebelum akhirnya berkata, Hanya masalah keluarga, Vin.
Soal Martin" Deg! Bagaimana dia bisa tahu, sih" Aku menatapnya sekilas. Sepertinya, Vincent sudah membaca pikiranku dan dengan cepat menyebut pokok permasalahannya.
Aku bungkam. Apakah aku perlu memberi tahu dia" Aku sangsi. Kok, kayaknya tidak pantas, ya, bercerita soal masalah pribadi, terutama dengan mantan pacar sendiri" Aku pun kembali menghela napas.
t . c Tuh, kan, menghela napas lagi. Aku membela diri. Nggak, kok.
Yes you did, Jul, ujar Vincent dengan suara yang sabar. Ada mungkin sepuluh kali. Aku hitungin.
Kurang kerjaan amat, sih, ngitungin, celetukku. Vincent tidak membalas celetukanku. Aku siap mendengarkan kamu.
Begitu mataku dan matanya saling beradu, tanpa bisa aku cegah, tiba-tiba saja air mataku sudah mengambang. Entah bagaimana caranya Vincent selalu bisa memancingku. Begitu bibirku terbuka, mengalirlah cerita kepadanya apa yang membuatku hari ini datang ke kantor dalam kondisi hati dan perasaan yang amburadul.
Semua karena tadi malam. Pertengkaranku dengan Martin. Masalahnya"
Bagiku, masalahnya cukup berat dan menguras emosi karena menyangkut anak-anak. Martin sudah melakukan perbuatan yang tidak bertanggung jawab dan membuatku jadi cukup murka.
Kemarin siang, secara mendadak Martin mengatakan bahwa dirinya tidak bisa menjemput anak-anak. Dia memberitahuku hanya lewat SMS. Tentu saja aku jadi kelimpungan dan panik.
Bagaimana ini" Siapa yang akan menjemput Ernest dan Emilia di sekolah"
Lalu, aku teringat Paula. Aku segera meneleponnya. Paula bersedia dan berjanji akan menjemput Emilia dan Ernest. Aku cukup lega menyadari anak-anak sudah berada di tangan yang tepat. Namun, itu tidak mengurangi kemarahanku terhadap Martin.
t . c Sepulang kerja, tanpa menunggu lama, aku segera menegur Martin. Aku bahkan belum berganti baju dan makan malam. Saking kesalnya, pertanyaan yang terlontar terdengar sangat ketus. Kamu ke mana tadi siang" Aku, kan, sudah bilang aku pergi, Jul.
Tapi, bukan begini caranya, Tin. Dadakan sekali. Kalau tidak ada yang bisa jemput mereka, bagaimana" Untung aja Paula masih bisa jemput.
Martin tetap ngotot. Aku juga perginya dadakan. Ke mana" Kamu, kan, bisa pergi setelah menjemput mereka. Emangnya lebih penting mana, sih" Anak-anak kamu atau acara kamu itu" Aku terus mencecarnya.
Ini urusan bisnis. Temanku ada yang mengajak joinan bisnis.
Aku mengernyit. This is new. Aku baru mendengarnya langsung dari Martin. Bisnis apa"
Untuk membuka toko komputer dan caf" yang berisi game online.
Komputer" Game online" Aku mengerti hubungannya dengan Martin karena dia memang seorang gadget freak dan hobi mengotak-atik komputer. Dia sungguh mengerti semua persoalan yang ada di komputer. Namun, memulai bisnis" Lagi pula, uang dari mana" Tidak mungkin memulai bisnis tanpa modal, kan"
Siapa teman kamu itu"
Kamu nggak kenal, Jul, ujar Martin dengan mata terus menatap layar laptop.
Aku jadi tersinggung dengan sikapnya yang sangat meremehkan itu.
Tapi, kamu, kan, perlu modal.
Aku tahu itu. Modal akan dikeluarkan oleh aku dan temanku.
Uang dari mana" t . c Aku punya sedikit simpanan. Nggak usah khawatir. Dari pesangon kamu" Kamu yakin akan berjalan dengan baik" Teman kamu bisa dipercaya"
Martin memundurkan tubuhnya hingga bersandar di kursi. Dia menghela napas keras karena terganggu dengan pertanyaan yang bertubi-tubi dariku. Yang kenal, kan, aku, Jul. Bukan kamu. Kamu, kok, kayaknya nggak percaya sama aku, sih"
Hatiku tertohok lagi. Bukannya begitu. Aku hanya ingin memastikannya.
Martin mengangkat tangannya, menyuruhku diam. I can handle this. Oke"
Aku benci jika sampai bersitegang seperti ini. Namun, sikapnya membuat emosiku semakin memuncak. Aku merasa seperti sudah tidak dianggap sebagai seorang istri.
Kok, kamu ngomongnya seperti kamu tinggal sendiri aja, sih" Kalau kamu lupa, aku bisa ingetin lagi. Kamu punya keluarga, punya istri. Kamu bisa berbagi atau bisa mendiskusikan semuanya dengan aku.
Aku nggak perlu cerita ke kamu karena aku bisa mengatasinya, July. Kamu nggak akan mengerti tentang bisnis ini, proyek ini.
Try me. Martin menggeleng. Nggak usah, buang-buang waktu aja.
Aku meradang. Ucapannya yang barusan itu semakin merendahkanku.
Coba saja. Karena apa yang kamu gunakan adalah uang yang seharusnya untuk anak-anak, sahutku tajam. Perasaanku mengatakan bahwa dia menggunakan sebagian uang pesangon yang diterimanya.
Martin malah mengibaskan tangannya. Kalau iya, memang kenapa" Sudahlah. Jangan ganggu aku dulu. Aku
t . c lagi sibuk. Kamu urus saja kerjaan kamu dan anak-anak. Aku tersentak.
Jika semua kata yang keluar dari mulut bisa berubah menjadi belati, Martin sudah menusukku berkali-kali. Sakit sekali.
Aku memilih meninggalkannya dengan dada yang sesak. Aku memilih untuk mengalah karena jika tidak, perselisihan ini tidak akan ada habisnya.
Aku menumpahkan kekesalan dengan menangis di bawah pancuran air dingin. Ya, aku memang butuh air dingin untuk mendinginkan hatiku yang panas. Kalau bisa dihitung, entah sudah berapa banyak air mata yang aku keluarkan karena pertengkaran yang tiada habisnya ini.
Selesai bercerita kepada Vincent, pipiku sudah penuh air mata. Aku hendak mengambil tisu untuk menghapusnya, tetapi Vincent sudah mendahului dengan menyodorkannya kepadaku.
Begitulah ceritanya. Maaf, ya, kalau aku jadi aneh hari ini. Aku tahu semestinya tidak mencampuradukkan kerjaan dan masalah pribadi, kataku dengan suara yang serak dan bindeng. Wajahku pasti sudah kacau-balau sekarang ini. Namun, aku sedikit lega sudah menumpahkan isi hati kepada seseorang. Aku meremas tisu di dalam genggaman tanganku.
Ketika menatap Vincent, aku kembali teringat dengan peristiwa kemarin. Ucapan Martin yang kasar ternyata masih menghantuiku. Perlahan air mataku keluar kembali. Sebelum aku sempat menghapusnya dengan tisu yang kumal, Vincent sudah terlebih dahulu mengulurkan jarinya untuk menghapusnya. Sentuhan jarinya yang lembut begitu terasa di kulit wajahku. Aku tertegun hingga tidak bisa berkutik ketika Vincent melakukannya.
t . c Jul, air mata ini tidak pantas keluar ....
Mataku mengerjap berulang-ulang. Air mataku bukannya berhenti, malah keluar lagi. Semakin banyak. Aku menangis tersedu-sedu. Rupanya masih banyak tekanan dan gejolak di dalam hatiku hingga tak terbendung lagi. Aku tidak kuasa menolaknya ketika Vincent memelukku.
Aku baru melepaskan pelukannya ketika tangisku berhenti dan sepenuhnya tersadar. Aku tersentak dan menjauhkan diri dari Vincent. Aku meraup tisu yang banyak dan mengusapkannya ke wajahku.
Lalu, aku melihat kemeja Vincent pada bagian bahunya yang sudah basah karena air mataku. Wajahku memerah. Buru-buru aku membersihkannya dengan tisu.
Ya, ampun, baju kamu .... Maaf, ya, Vin .... Dengan sigap Vincent menangkap tanganku yang berada di bahunya dan menggenggamnya erat. Tatapan matanya begitu dalam dan hangat yang membuatku ingin menyelaminya. Wajah Vincent yang semakin mendekat seolah menarik wajahku juga. Aku menahan napas ketika ....
Ya Tuhan! Apa yang sedang dia lakukan" Apa yang aku pikirkan" Ini tidak benar ..., ini benar-benar salah! Aku segera menutup mataku dan menarik wajahku menjauh darinya.
Sori, Vin .... Aku ... aku .... Aku cepat berdiri dengan gerak canggung. Dengan sedikit panik aku lekas berlalu darinya. Namun, Vincent berhasil menangkap tanganku. July ....
Aku menggeleng sambil menarik tanganku. Pegangan tangan Vincent sangat erat, mustahil bagiku untuk melepaskan diri. Tunggu.
Badanku berputar hingga kami saling berhadapan satu sama lain. Aku tidak berani menatap wajahnya. Jemari Vincent dengan penuh kelembutan menyentuh daguku. Kamu tidak berhak mendapatkan semua ini. Masalah ini,
t . c kesusahan ini .... Kamu berhak bahagia ....
Aku menelan ludah. Napasku terasa sesak. Dengan sisasisa kewarasan yang masih aku miliki, perlahan aku mundur. Aku berikan seulas senyum kepadanya. Terima kasih, ya, sudah mendengarkan.
Aku mundur beberapa langkah sebelum berputar dan bergegas pergi ke toilet kantor yang sepi. Aku masuk ke dalam bilik dan duduk terdiam di sana. Aku merenungkan kejadian barusan. Aku menutupi wajahku dengan kedua tangan. Aku sungguh tidak percaya apa yang barusan terjadi.
Kami nyaris saja berciuman. BERCIUMAN. Aku menarik napas berulang-ulang dan bersyukur bahwa aku tidak melakukannya.
Setelah hatiku tenang, aku segera mencuci wajahku, lalu keluar dari toilet serta kembali ke mejaku. Pintu ruangan Vincent tertutup rapat. Aku mengintip melalui jendela. Dia masih ada di dalam, duduk terdiam menatap kosong iPad-nya yang tergeletak di meja.
Aku tidak bisa berhenti memikirkan Vincent. Tidak hanya tatapannya yang semakin mengintimidasi, tetapi juga katakatanya. Tak ketinggalan perlakuannya yang begitu lembut kepadaku. Vincent terus menelusup ke dalam hatiku, perlahan, tetapi pasti pada saat aku sedang membutuhkan seseorang yang bisa menenteramkan hatiku dan membuatku tenang.
Namun, mengapa orang itu harus Vincent"[]
t . c antor sudah sepi. Udara di dalam CrazyMove perlahan mulai menghangat karena pendingin ruangan sudah dimatikan beberapa waktu yang lalu. Aku berjalan ke pintu ruangan Vincent tanpa bersuara. Aku mengintip sebentar di pintu ruangannya yang sedikit terbuka. Dia sedang berbicara dengan seseorang melalui ponselnya sambil berdiri menghadap ke jendela. Satu tangannya berada di saku celananya. Raut wajahnya serius.
Meskipun kejadian tempo hari antara aku dan Vincent sempat membuat pikiranku kacau, aku tidak membiarkannya menguasai hatiku. Aku menganggapnya sudah lewat. Mungkin kami hanya terlalu larut dalam emosi sesaat yang sesungguhnya tak patut untuk dipikirkan.
Setelah kejadian itu, Vincent pun bersikap biasa, seolah tidak pernah terjadi apa-apa di antara kami.
Aku kembali menarik napas satu kali sebelum .... Tok! Tok! Tok!
Vincent mengangkat wajahnya dari iPad yang sedang dipelototinya dengan serius. Dia baru saja menutup ponselnya. Senyumnya merekah begitu melihatku berdiri di depan pintu.
t . c Sibuk" tanyaku singkat.
Sebagai jawabannya, dia memutar iPad-nya serta menatapku penuh arti. Aku tersenyum kecil serta menggelengkan kepala. Ternyata, di sana bukannya tertera chart kerjaan atau setidaknya kotak masuk surel, melainkan game Angry Bird.
Aku sudah mau pulang. Kamu masih butuh sesuatu" Vincent berpikir sejenak, kemudian menggeleng. Nggak. Sebentar lagi aku juga akan pulang. Hari ini sudah cukup melelahkan. Sudah jam tujuh. Sori, ya, bikin kamu lembur hari ini.
Pulang" Bukannya kamu ke gym hari ini" Apa sudah terlalu capek" Aku sedikit menyindir Vincent yang memang tergila-gila dengan olahraga. Hampir tiap hari dia berolahraga ke gym langganannya.
Vincent menyandarkan punggungnya ke kursi dengan tangan di belakang kepala. Tadinya, sih, pengin bolos, tapi karena sudah diingatkan .... Dia mengangkat bahunya. Ya, sudah.
Aku memutar bola mataku. Oh, ya, a quick reminder. Besok ada meeting dengan klien, lalu mau cek syuting iklan juga. Terus, jangan lupa kamu juga ditunggu sama Jay di rumahnya setelah jam satu siang.
Vincent nyengir. Thanks for reminding me. Nanti malam aku pasti akan mimpi indah mengenai kesibukan besok.
Aku tertawa mendengar perkataannya yang agak sarkastis. Oke, sampai besok, ya.
Hati-hati, Jul. Aku berjalan di basement tempatku memarkir mobil. Aku juga melihat mobil Vincent terparkir tak jauh dari mobilku. Hari ini dia membawa mobil sendiri karena sopir yang biasa mengantarnya sedang cuti. Aku mengambil kunci dari dalam
t . c tas dan membuka pintu mobil. Begitu aku mulai menyalakan mesinnya, mobil tidak menyala. Berulang-ulang aku menyalakannya, mobil tetap tidak mau merespons. Mesin mobil hanya berbunyi sebentar, lalu mati.
Ck! Aku jadi kesal. Kebangetan banget, sih, mobil ini! Benar-benar memilih waktu yang salah untuk mogok. Aku mencobanya lagi. Masih sama saja. Hu! Aku memukul setir mobil untuk melampiaskan kekesalanku.
Aku menelepon Martin untuk meminta bantuan. Tidak diangkat. Aku tambah kesal. Jangan-jangan dia tidak ada di rumah. Aku kembali meneleponnya. Tetap tidak diangkat.
Aku menelepon ke rumah. Mbak Nani yang mengangkatnya.
Bapak tidak ada, Bu, jawab Mbak Nani. Hatiku mencelos. Ke mana, Mbak" Tadi bilangnya hanya pergi.
Perasaanku sungguh tidak enak. Pikiranku mulai bermain-main berbagai kemungkinan yang dilakukan oleh Martin.
Anak-anak sudah makan, Mbak"
Sudah, Bu. Emili malah sudah ngantuk. Tapi, Ernest nungguin Ibu, katanya ada pe-er-nya yang nggak bisa dikerjain sendiri.
Sosok Ernest sekelebat hadir di benakku. Hatiku seperti ditusuk-tusuk. Aku menarik napas panjang agar air mata yang sudah mengambang tidak mengalir. Kamu harus tegar, Jul .... Harus kuat buat anak-anak, aku mengingatkan diriku sendiri.
Buru-buru aku berkata kepada Mbak Nani, Tolong panggilin Ernest, ya, Mbak.
Baik, Bu. Suara perpindahan telepon dan bisikan Mbak Nani terdengar samar. Tak lama terdengar suara Ernest
t . c menyapaku, Halo, Mami"
Hai, Kak. Aku membuat suaraku seceria mungkin meskipun hatiku semrawut.
Mami ada di mana" Baru mau pulang dari kantor, Kak. Maaf, ya, Mami lembur hari ini.
Nggak apa-apa, kok, Mam. Suara Ernest yang datar semakin membuat hatiku teriris.
Mami janji begitu pulang Mami bantuin Kakak ngerjain pe-er, ya.
Oke, Mami. Tanganku lemas hingga ponselku terjatuh di pangkuan. Aku terus mencoba sambil berharap mobil ini akan menyala sehingga bisa ngebut pulang demi mengerjakan pe-er bersama Ernest.
Aku menyerah. Bisa saja, sih, meninggalkan mobilku menginap di sini, kemudian pulang dengan taksi. Namun, aku ragu. Dengan gusar dan kesal aku meninggalkan mobilku dan berjalan kembali ke kantor.
Tepat ketika hampir sampai di depan lift, pintunya malah terbuka dan keluarlah Vincent. Dia cukup terkejut melihatku masih berada di kantor.
July" Kok, belum pulang" Ada yang ketinggalan" Aku benar-benar lega melihatnya. Mobilku nggak mau menyala. Bisa tolong diperiksain nggak, Vin"
Sini biar aku lihat. Vincent mengikuti langkahku yang berbalik kembali menuju mobilku. Aku memberikan kunci mobil kepadanya. Kali ini giliran Vincent yang mencoba peruntungan menyalakan mobilku. Hasilnya sama saja. Dia pun keluar dari dalam. Tangannya meraih ke bagian bawah bangku. Sekali tarikan, terbukalah kap mesin mobil.
Kamu sudah lama nggak bawa mobil ini ke bengkel,
t . c ya" Aku jadi malu. Aku memang kurang perhatian dengan mobil, terutama mobilku sendiri.
Sepertinya, aki-nya habis. Harus beli aki baru. Jam segini sudah nggak ada bengkel yang buka.
Aku lemas ketika mengetahui kondisi yang sebenarnya. Sepertinya, aku memang terpaksa harus pulang menggunakan taksi.
Tidak masalah, kan, mobilku menginap di sini" Tentu saja tidak. Parkir saja di sini. Aman, kok. Vincent mengunci mobil, kemudian menyerahkan kuncinya kepadaku. Aku menaruhnya ke dalam tas dan berkata, Ya, sudah, aku pulang saja. Sampai ketemu besok, ya, Vin.
Dengan cepat Vincent mencegat langkah kakiku. Loh, kamu mau ke mana"
Pulang. Naik taksi, sahutku datar. Vincent tertawa. Ngapain" Aku antar saja. Aku mengatupkan mulutku penuh keraguan. Pulang bareng Vincent" Aku menatapnya. Sepertinya, dia serius.
Tapi, kan, arah rumah kita berlawanan, Vin. Aku mencoba menolaknya secara halus.
Nggak masalah. Daripada kamu harus pulang sendirian naik taksi. Bakal susah dapatnya karena hujan. Taksi pasti pada penuh.
Itu bukan masalah, kok. Masalah buatku, July. Ayo, aku antar.
Aku masih bimbang. Namun, tawarannya cukup masuk akal. Sekarang sedang hujan dan semua orang akan berlomba mencari taksi. Daripada aku harus menunggu taksi yang tidak jelas akan ada atau tidak, aku pun akhirnya setuju. Vincent berjalan mendahuluiku sehingga aku pun mengikutinya.
t . c Entah mengapa di dalam mobil aku jadi resah dan terbaca jelas oleh Vincent.
Are you okay, Jul" Aku mengangkat bahuku. Nggak apa-apa, kok. Memangnya kenapa"
Tadi kamu sempat menolak karena kejadian di antara kita tempo hari"
Kepalaku menoleh ke Vincent. Dugaanku salah. Vincent masih mengingatnya dan sekarang hendak membahasnya. Begitu mata kami bertemu, dengan cepat aku membuang muka dengan wajah memanas.
Iya, kan" Vincent bertanya lagi. Nggak juga.
Kamu menyesali kejadian kemarin"
Lidahku kelu, tetapi aku harus segera meluruskannya agar tidak terjadi salah paham di antara kami berdua. Kejadian tempo hari itu ... sebuah kesalahan.
Begitu menurutmu" Suara Vincent terdengar begitu tenang. Sesaat aku mengira dia akan tersinggung dan marah, tetapi ternyata tidak.
Aku menoleh dengan tercengang. Tentu saja. Di antara kita itu ... tidak boleh terjadi.
Aku tidak menyesal. Debaran di dadaku semakin keras. Mataku melihat keluar jendela.
Jangan, Vin. Jangan memulai hal yang tidak pantas. Aku benci lihat kamu sedih, July. Aku nggak tega lihat kamu diperlakukan seenaknya oleh ... dia.
Aku bisa menangkap nada penuh kemarahan, sedih, kecewa yang bercampur aduk pada kata-kata Vincent.
Nggak usah kasihan, Vin. Aku rasa ... aku akan baikbaik saja.
Kamu terlalu ... berharga untuk diperlakukan seperti
t . c ini. Suara Vincent sedikit meninggi. Wajahnya ikut mengeras. Tangannya menggenggam setir mobil sangat erat. Baru kali ini aku melihatnya begitu emosi.
Aku menghela napas, lalu menjelaskan perlahan kepada Vincent. Ini masalahku, Vin.
Kamu bisa memilih, Jul. Aku tahu. Kalaupun begitu, kita jadi bisa menghindar jika ada masalah"
Vincent terdiam dan tidak menyahut lagi. Kami terus terdiam hingga mobil Vincent berhenti di depan rumahku. Aku ada satu permintaan.


For Better Or Worse Karya Christina Juzwar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Vincent melirikku. Permintaan apa" Aku ingin kamu mendukungku sebagai teman. Sekali lagi Vincent membisu, sebagai jawaban bahwa dia tidak setuju dengan permintaanku itu. Meskipun aku sempat menikmati perhatian yang dicurahkannya kepadaku, aku harus tegas. Kepada diriku dan kepada dirinya. Masalah rumah tanggaku sudah cukup rumit. Aku tidak ingin menambahkannya berkali-kali lipat.
Kami berdua keluar dari mobil. Aku sempat melarangnya untuk turun, Thanks, ya. Aku bisa sendiri.
Vincent menolak. Nggak apa-apa. Aku tunggu. Aku mengorek-ngorek tasku mencari kunci rumah. Aku tidak menemukannya. Duh! Ke mana, sih" Perasaan tadi aku bawa, deh. Lalu, aku menepuk jidatku ketika baru menyadari bahwa aku sudah meninggalkannya di laci mobil. Dengan terpaksa aku menekan bel rumah.
Pulanglah, Vin. Aku memaksanya pulang karena melihat Vincent yang masih bersandar di depan pintu mobilnya.
Aku tunggu sampai kamu masuk, sahut Vincent. Terdengar suara pintu terbuka. Begitu pintu gerbang terbuka, aliran darah di seluruh tubuhku langsung berhenti.
t . c Aku bisa merasakan wajahku memucat dengan cepat. Martin-lah yang keluar untuk membukakan pintu.[]
t . c ai. Apa kabar, Tin" Vincent menyapa Martin dengan keramahan yang semu sambil menyodorkan tangannya. Mata Martin menyipit. Rahangnya mengeras. Meskipun begitu, dia tetap menyambut uluran tangan Vincent untuk bersalaman. Suasana kaku dan rikuh sangat terasa. Baik, apa kabar"
Sangat baik. Lalu, Vincent pun berpamitan. Aku langsung pulang. Soal mobil, jangan khawatir. Di gedung kantor ada mekanik. Dia bisa membetulkannya besok. Sampai ketemu besok, Jul.
Thanks, Vin. Kepulanganku yang diantar oleh Vincent menimbulkan permasalahan baru, terutama ketika Martin yang menyambutku pulang. Begitu kami sudah berada di dalam rumah, dia langsung menyerangku.
Kenapa kamu bisa pulang bersama dia"
Mobilku rusak. Aku sudah telepon kamu. Sama sekali nggak diangkat. Vincent jadi bersedia mengantarkan aku.
Jadi, selama ini kamu kerja dengan Vincent" tanya Martin sambil mengikutiku berjalan. Suaranya yang meninggi membuatku memilih untuk tidak menjawabnya. Aku
t . c mengintip ke kamar anak-anak. Ternyata, Ernest sudah tertidur dengan buku pe-er di tangannya. Aku semakin merasa bersalah. Perlahan aku mengambil buku itu dari dekapannya serta mengecup kening keduanya. Begitu aku keluar dari kamar anak-anak, Martin kembali mencecarku. July" Jawab aku. Kamu sekarang kerja sama Vincent" Aku mengusap keningku. Rasa lelah mengikat seluruh sendiku. Yap, dia bosku.
Kenapa kamu nggak bilang" Suara Martin penuh tuduhan.
Nggak ada bedanya, kan, Tin" Aku butuh kerjaan ini. Kebetulan hanya kantornya yang punya posisi untukku. Ini juga kebetulan. Tidak ada rencana. Lagi pula, kamu juga nggak peduli, kan, dengan pekerjaanku" Kamu nggak pernah mau mendengar atau bertanya. Kamu udah nggak peduli denganku!
BRAK!!! Aku terlonjak. Terkejut setengah mati. Kemarahan Martin pecah membuatnya spontan memukul meja dengan sekuat tenaga. Tapi, mantan pacar kamu, Jul" Aku tahu sejarah kamu dengannya! Kamu gila, ya, bersedia bekerja dengannya"
Tapi, aku dan dia nggak ada apa-apa! Masalah dia antar aku pulang, aku sudah nelepon kamu! Kamu nggak mengangkatnya sama sekali! Jadi, aku telepon ke rumah. Coba tebak" Kamu malah nggak ada! Aku jadi ikut berteriak memuntahkan kemarahanku.
Menyadari bahwa suaraku begitu keras, aku langsung menutup mulut dengan tangan kiriku. Aku lekas menguasai diri karena takut suaraku maupun suara Martin membangunkan anak-anak. Namun, Martin tidak menyadari dan tetap berteriak.
Itu bukan alasan! Dia malah berkelit. Kemudian, Martin mengucapkan sesuatu yang mengejutkan. Aku minta
t . c kamu keluar dari kerjaan kamu, Jul.
Sontak wajahku memucat. Bahkan, aku sampai tidak bisa merasakan bibirku. Tapi ..., bagaimana dengan kita" Keluarga kita" Kita butuh gaji yang aku terima dari pekerjaan ini, Martin! desisku.
Wajah Martin memerah. Dia menggeleng dan kembali berseru, Tidak dengan cara seperti ini, July! Apa pun bisa terjadi antara kamu dan dia. Bagaimanapun, kamu punya masa lalu dengan dia! Siapa, sih, yang jamin kamu nggak ada main sama dia"
Aku tertawa histeris. Kenapa kamu peduli" Bukannya kamu sudah nggak peduli lagi dengan aku" Dengan kita" Kenapa sekarang tiba-tiba kamu jadi peduli hanya karena aku bekerja dengan Vincent" Air mataku keluar dengan deras. Aku menaruh kedua tanganku di kepala dengan perasaan kalut. Lalu, aku menutup mukaku. Di sana aku menumpahkan tangisanku. Aku menangis tersedu-sedu.
Martin menggelengkan kepala dan tertawa sinis. Terlalu banyak alasan. Jadi, kamu memang mau mempertaruhkan keluarga kita" Atau, kamu mau coba mengkhianatiku"
Aku tersentak. Ucapan pedas dan tuduhan tanpa bukti dari Martin sungguh melukai hatiku. Kamu salah!
Nggak mungkin! Aku tahu banget maksud kamu!" seru Martin.
Aku menggeleng dengan air mata yang terus mengalir deras. Kamu salah! Aku hanya ingin yang terbaik untuk kita. UNTUK KITA, MARTIN! AKU TIDAK AKAN PERNAH MENGKHIANATI KELUARGA KITA! Kamulah yang sudah menelantarkan keluarga ini! BOHONG! BERENGSEK!
BUK! Martin menonjok salah satu dinding kamar. Dia bergegas keluar dari kamar dan BRAK! Pintu kamar sukses dibanting hingga seluruh rumah terasa bergetar. Aku menumpahkan tangisku di tempat tidur.
t . c Ya Tuhan, kapan masalah ini akan berakhir" Sampai kapan aku bisa menanggung beban ini"
Sehabis menangis semalaman, rasanya aku tertidur. Aku sendiri tidak begitu ingat bahwa aku jatuh tertidur. Tiba-tiba saja aku terbangun pada pukul 5.30 pagi, seperti hari-hari biasanya. Ketika aku menengok ke samping, Martin tidak ada. Seprainya masih rapi. Seperti tidak pernah ditiduri. Apakah ini berarti Martin tidak pulang"
Aku mengucek mataku yang terasa bengkak hingga hampir tidak bisa terbuka. Kemudian, aku keluar kamar. Mbak Nani sedang menyiapkan sarapan dan bekal untuk anak-anak.
Lalu, aku menuju kamar anak-anak. Begitu membuka pintu, aku melihat mereka masih tertidur. Aku memutuskan untuk membiarkan mereka tidur untuk beberapa saat. Aku berpesan kepada Mbak Nani untuk membangunkan anakanak sepuluh menit lagi. Lalu, aku teringat sesuatu dan menanyakannya kepada Mbak Nani. Mbak, lihat Bapak"
Tadi waktu saya bangun, Bapak lagi tidur di sofa, Bu. Sekarang, sih, udah pergi.
Kapan" Nggak lama sebelum Ibu bangun.
Aku mengangguk lemah. Setelah itu, aku pergi mandi. Aku menatap cermin yang terpasang di kamar mandi dan menghela napas dengan sangat berat begitu melihat wajahku yang sudah tidak berbentuk saking bengkaknya. Gila, berapa lama aku menangis semalam sampai mataku jadi begini" Aku bahkan sampai susah berkedip! Aku segera mengguyur kepala dan mencuci wajahku.
Pagi yang sunyi dan gelap sekarang sudah mulai ramai. Pintu kamarku terbuka tepat ketika aku sedang berbaring di tempat tidur untuk mengompres mataku. Emilia langsung
t . c menyerbuku. Dia loncat-loncat di ranjang sebelum akhirnya merebahkan tubuhnya dan memelukku.
Mami lagi apa" Mami nggak pergi kerja, ya" Lagi ngompres mata, Sayang. Nanti Mami yang antar Emili.
Tapi, Mami nggak kerja, kan" Temenin Emili, dehhh .... Emilia merajuk.
Aku tersenyum. Lihat nanti, ya.
Emilia memperhatikanku sejenak, lantas dia mengambil kompres dari mataku. Aku mau coba, kemudian menempelkannya di matanya yang mungil. Aku tertawa melihatnya karena tingkah lakunya persis meniru apa yang aku lakukan sebelumnya dengan kompres tersebut.
Tepat pukul 6.00 pagi aku menyuruhnya mandi. Emilia merengek malas sampai aku harus setengah menyeretnya ke kamar mandi. Mbak Nani yang menemaninya mandi, sedangkan aku mencari Ernest. Dia sedang bersiap-siap di dalam kamar dalam keadaan sudah mandi dan sudah rapi. Sudah siap, Kak"
Ernest mengangguk pelan, gerakan kepalanya samar. Kepalanya sedang menunduk. Dia menatap kaus kaki yang sedang dia pakai seolah kaus kakinya yang bergambar Ben Ten itu begitu memikat. Aku mendekati Ernest, lalu duduk di sebelahnya. Ernest tetap diam dan menunduk. Aku mengusap kepalanya.
Kak" Kakak marah, ya"
Ernest tetap bungkam. Aku meraih tangannya dan menggenggamnya. Maafin Mami, ya.
Sekali lagi, Ernest tidak menyahut. Dia tetap menutup rapat mulutnya. Aku mengerti. Diamnya Ernest bukan hanya kemarahan, melainkan lebih dalam dari itu, yaitu kekecewaan yang teramat sangat.
Kakak berhak marah, kok, sama Mami. Mami udah
t . c nggak nepati janji. Ernest mengangkat kepalanya. Matanya berkaca-kaca. Aku sudah nungguin Mami sampai malam! Sampai ngantuk! Tapi, Mami malah milih ribut sama Papi.
Aku terperenyak. Jadi, Ernest mendengarnya" Aku menutup mataku dan berharap bisa menghilang ditelan lantai tempatku berdiri. Ya Tuhan, orangtua macam apa aku dan Martin" Aku coba kilas balik. Tidak heran, Ernest pasti akan mendengar pertengkaran kami semalam. Suara kami begitu keras, saling berteriak satu sama lain begitu lantang. Belum lagi Martin yang membanting pintu dan menonjok tembok serta memukul meja sehingga menimbulkan kebisingan Mami dan Papi lagi ... ada masalah, Kak.
Ernest diam mendengarkan. Dia memainkan ujung lipatan celana pendeknya.
Mami janji akan mengganti hari kemarin yang nggak Mami tepati. Boleh, ya"
Ernest tetap tidak mau bersuara lagi. Dia malah melengos, meninggalkanku di kamar sendirian. Di luar aku mendengar suara Mbak Nani yang sudah siap bersama Emilia.
Taksi berwarna biru yang kami tumpangi menuju sekolah Ernest dan Emilia melaju mulus. Begitu sampai, aku meminta taksi untuk menunggu sebentar, sedangkan aku mengantarkan keduanya ke dalam sekolah.
Nanti Mami jemput aku, ya ..., suara kenes Emilia mengingatkanku. Aku mengangguk dan mengecup puncak kepalanya, sedangkan Ernest memilih untuk menghindariku. Dia masih ngambek berat. Sudah sewajarnya karena aku sudah mengecewakannya. Aku hanya bisa pasrah menatapnya pergi menjauh.
Setelah mengantar anak-anak, taksi mengarah menuju
t . c kantorku. Aku memutuskan untuk tetap datang ke kantor. Begitu datang, aku mengintip ke celah pintu yang terbuka sedikit. Vincent sudah berada di ruangannya, sedang menyeruput kopi paginya. Aku duduk diam-diam di kursiku dan termenung di sana.
Aku mengecek ponselku sekilas. Tidak ada panggilan maupun SMS yang masuk. Aku menghela napas. Sekali lagi aku memeriksa wajahku untuk memastikan bahwa bengkak yang menghiasinya sejak semalam tidak begitu terlihat. Aku sudah menyamarkannya dengan merias wajahku lebih tebal daripada biasanya. Aku berharap itu bisa mengurangi kesan wajah yang sembap dan kuyu. Namun, semakin melihatnya, aku merasa bengkaknya semakin terlihat. Apakah ini hanya ilusiku atau fakta yang sebenarnya" Karena frustrasi, akhirnya aku enggan untuk menatap cermin lagi dan membiarkannya saja.
Sebenarnya, niatku datang ke kantor hari ini bukan untuk bekerja, melainkan untuk mengambil mobilku. Aku hanya bekerja sebentar, membereskan beberapa dokumen yang kemarin belum selesai, dan tepat pukul 11.00 siang, aku memberanikan diri masuk ke ruangan Vincent yang memang tidak keluar dari dalam sedari pagi. Sepertinya, dia sedang sibuk karena sedari pagi berkutat dengan komputer serta tumpukan dokumen.
Vin, boleh bicara" Vincent hanya mengangkat kepalanya sebentar dari tumpukan dokumen keuangan yang aku siapkan di mejanya sejak kemarin malam. Boleh. Ada apa, Jul"
Aku mau minta izin. Vincent menegakkan punggungnya. Dia menatapku lekat dengan kening yang berkerut. Izin" Kamu sakit" Iya ... aku agak nggak enak badan. Kamu nggak apa-apa"
Aku mengangguk pelan. Namun, mataku yang bengkak
t . c tidak bisa aku sembunyikan dan Vincent sadar itu. Matanya menyipit penuh kecurigaan. Aku menunduk karena segan menatapnya.
Jadi, boleh aku izin"
Dia mendekatiku sehingga refleks aku mundur satu langkah. Reaksiku yang spontan itu membuat matanya menyipit dan bibirnya terkatup rapat. Ada jurang begitu lebar di antara kami berdua. Hubungan kami yang biasanya hangat kali ini seakan-akan ada gunung es yang menghalanginya. Mobilku bagaimana" Aku mengalihkan pembicaraan. Aku sudah beli aki. Sekarang tinggal kita panggilkan mekanik. Aku minta kunci mobilmu.
Aku memberikan kunci mobil kepada Vincent. Dengan sigap dia menelepon seseorang. Kemudian, kami berdua bersama-sama ke basement. Di sana sudah menunggu seorang mekanik yang berasal dari building management. Setelah aki diganti, mobilku normal kembali.
Sudah selesai, ujar Vincent.
Aku mengangguk. Thanks, ya. Nanti aku ganti uang pembelian akinya.
Aku segera membuka pintu mobil, tetapi Vincent tidak membiarkannya. Dia mengadangku dengan cara menahan pintu mobil. Mata Vincent tertancap kepadaku. Begitu dalam dan muram, sekaligus gejolak yang sangat aku kenal. Tatapan mata Vincent begitu menusuk hatiku. Aku jadi jengah, membuatku terus menghindarinya.
Kamu nggak disakiti sama dia, kan" tanya Vincent dengan tegas.
Tawaku terdengar hambar. Tentu aja nggak. Konyol sekali pertanyaan kamu.
Berbeda denganku, yang berusaha menyembunyikan apa pun yang aku rasakan, Vincent menampakkan raut wajah yang serius dan tegang. Aku tahu, Jul. Aku kenal kamu! Wajahmu bengkak. Jangan kamu kira aku bodoh sampai
t . c tidak peduli dengan apa yang terjadi kepadamu ....
Aku mengangkat tanganku serta menatap Vincent dengan memelas. Aku benar-benar tidak ingin membahas masalah ini. Please, Vin .... Aku hanya ingin ... pulang. Maaf, ya. Aku benar-benar nggak enak badan.
Vincent berkacak pinggang dan menggelengkan kepala dengan frustrasi. Dia pun pasrah dan akhirnya membiarkan aku pulang.[]
t . c esudah aku menjemput anak-anak, aku memilih untuk tidak berada di rumah. Aku segera melarikan diri ke rumah Paula. Somehow, I really miss yoga. Aku datang ke rumah Paula tepat waktu. Paula baru saja pulang menjemput Yohana.
Paula terkejut melihat kedatanganku yang mendadak. Namun, dia hanya terperangah sesaat, kemudian bisa menguasai dirinya dan menyambutku dengan pelukan superhangat. Mataku mulai berkaca-kaca.
Lo datang pada saat yang tepat, kata Paula dengan sedikit misterius.
Maksudnya" Paula mengajakku ke dalam. Ternyata, di dalam sudah ada Gita dan Mala. Mereka sama terkejutnya dengan Paula. Keduanya segera menghampiriku dan memelukku. Kejutan yang menyenangkan.
Oke, enough with the group hugs. Nanti July nggak bisa napas, seru Gita yang lebay dan membuat kami tertawa. Aku menatap mereka satu per satu. Aku tidak bisa melukiskan betapa aku merindukan mereka semua. Cukup lama kami tidak berkumpul seperti ini.
t . c Biasanya acara berkumpul untuk kami berempat selalu direncanakan, tetapi akhirnya aku pun sadar bahwa tidak pernah ada kata kebetulan. Tuhan pasti sudah merencanakan pertemuan ini untukku agar aku tidak perlu sendiri.
Apa yang membuat lo kemari, Darl" tanya Gita dengan hangat dan lembut.
Aku melirik Paula dengan penuh arti. Gue kangen yoga.
Bolos, dong, Jul" Mala ikutan bertanya tanpa basa-basi. Paula menyikut sahabatku yang bongsor itu.
Izin sakit, jawabku singkat dengan senyum terkulum. Itu kata lain dari bolos, Darling. Gita bersungut-sungut. Kami tertawa. Tapi, nggak apa-apaaa .... Bolos itu memang perlu sekali-kali. Gita segera meluruskan ucapannya sendiri. Untuk apa" Mala bertanya dengan polos.
Untuk penyegaran. Refreshing!
Sok, deh, lo. Paula terkikik mendengar ucapan Gita yang bijaksana.
Gita menepuk pahaku. Kita sehati, ya. Kami kemari juga mau ikutan yoga, loh. Private class sama guru Paula.
Aku menatap ketiganya bergantian. Tatapanku berlabuh di Paula. Beneran" Kok, tumben banget ... pas banget waktunya.
Paula mengangguk sambil nyengir lebar. We are such a soulmate, bukan" Pokoknya, hari ini hari yang bagus, deh. July datang dan gue berhasil menyeret Ibu Mala dan Gita untuk datang kemari dan ikutan yoga.
Gita tertawa terbahak-bahak, sedangkan Mala tersipu malu. Ah, kedatanganku memang sangat tepat.
Ayo, kita mulai! seru Paula. Kami pun bersiap-siap. Paula memulai kelas yoganya dengan pesertanya kami bertiga. Aku berhasil mengikutinya sampai selesai dan yang membuat cukup takjub, aku bisa menikmatinya.
t . c Kami sempat berkumpul sebentar sesudah kelas yoga berakhir. Gita terkapar di lantai, sedangkan Mala meneguk air putihnya hingga habis karena kehausan. Keringat mengucur deras di wajahnya.
Aduh ... parah banget, deh, Pol. Sakit badan gue, nih! Paula tertawa mengejek. Baru segitu aja udah parah" Gimana lo disuruh lari lima kilometer, ya"
Gita berguling dan mengerang. Lima kilo" Satu kilo aja gue udah semaput!
Enakan ngerokok, ya, Git" goda Mala, yang dengan cepat dipelototi oleh Paula. Gita jadi mendesah. Gue jadi pengin ngerokok, nih.
Gita!!! Paula spontan berteriak. Gita hanya mengibaskan tangannya sambil lalu. Iya-iya ... gue tahu! Nggak, deh, nggak ngerokok.
Kami bercakap ngalor-ngidul, kebanyakan bertanya mengenai kondisi diriku dan keluargaku. Aku menjawab seperlunya saja karena aku sedang tidak mood untuk bercerita. Gita dan Mala juga bercerita keseharian mereka yang sudah jarang aku dengar.
Hingga menjelang sore, akhirnya Gita dan Mala pamit bersama untuk pulang. Begitu aku dan Paula tinggal berdua, Paula mendekatiku. Lo lagi sakit, Jul"
Aku menggeleng dan mencoba untuk berkelakar. Maksudnya, sakit hati"
Paula tidak tertawa dengan gurauanku. Ada apa" Aku mencoba untuk tertawa, tetapi yang keluar malah tawa yang sangat getir. Hanya hidup, Pol. Cobaan hidup. Ceritalah, Jul, kalau itu bisa bikin lo lega.
Aku menggelengkan kepala dan daguku terangkat. Namun, air mata yang sedari tadi aku tahan tetap berdesakan keluar dari pelupuk mataku. Paula mengusap punggungku yang membuat semuanya keluar dengan deras.
t . c Cerita dan air mata. Aku mencurahkan segalanya kepada Paula hingga aku tersedu-sedu. Ucapanku tidak begitu lancar saking tersendat-sendat oleh air mata yang tidak mau kalah keluar.
Ekspresi Paula terus berganti-ganti ketika mendengar ceritaku. Terkadang diam, kaget, prihatin, dan sedih. Namun, dia tetap sabar mendengarkanku.
Gue ... bingung Pol .... Nggak ngerti harus gimana .... Ssstt .... Paula berusaha menenangkanku sambil menyerahkan sekotak tisu. Dia masih diam dan tidak bergerak satu senti pun dari sisiku. Aku mengusap peluh dan air mata yang bercampur aduk.
Panas, ya" Aku mengangguk. Paula beranjak dari sisiku untuk mengambil remote AC. Setelah menyalakannya, dia kembali lagi duduk.
Pol" Hmmm" Ngomong, dong .... Paula tersenyum. Di satu sisi, gue ngerti banget perasaan Martin .... Tapi, apa yang dirasakan Vincent ke lo mungkin juga nggak bisa ditahan sama dia. Sementara itu, gue mengerti posisi lo. You are just stuck in the middle. Kayak mobil lo yang lagi membelah Jakarta, lalu samping kiri, kanan, depan, belakang lo semuanya bus. Lo bisa ke mana" Nowhere. Satu hal yang pasti supaya lo bisa lolos dari bus-bus itu, lo harus klakson, either bus kanan-kiri atau depan lo yang harus ngalah dan membiarkan lo lewat. Atau, lo yang mengalah dan menunggu.
What s the point, Pol" tanyaku dengan putus asa. The point is ..., Paula menarik napas sejenak, Harus ada yang mengalah. Vincent harus mengerti posisi lo, lo harus bisa tegas, dan Martin ... dia harus mengerti bahwa istrinya sebenarnya mencari uang, bukan untuk macam-
t . c macam. Tapi, siapa yang mau dan bersedia untuk mengerti dan mengalah" Itu yang gue nggak tahu, deh. Yang jelas menurut gue, mengalah, kan, nggak berarti kalah. Dengan mengalah kadang kita justru jadi pemenang.
Hati kecilku mengatakan bahwa penjelasan Paula barusan seperti menyindir diriku, seolah dia memintaku untuk cepat memutuskan atau mengalah.
Jul ..., semua akan indah pada waktunya. Asal lo nggak berhenti dan diam di tempat. You have to do something. Apa"
Paula mengangkat bahunya, lalu dia mengucir rambutnya serta membersihkan keringat dari lehernya. Apa saja.
Meskipun masalah gue akan bertambah kacau" Gitu maksud lo"
Paula mengusap bahuku pelan dan lembut. Lalu, dia juga meremasnya seolah ingin mengalirkan kekuatan kepada diriku. Kalau itu yang harus lo lewati dulu, ya, lo harus hadapi. Toh, lo nggak bisa terbang dan melompat melewati jurang yang menganga, kan" Lo harus lewat jembatan atau kalau nggak ada, lo harus bangun jembatan itu. Aku mengerang. Omongan lo bikin gue pusing. Daripada lo dengerin celotehannya Gita" Capek, tahu. Kuping lo langsung jadi budek aja rasanya, ucap Paula dengan senyum jail mengembang. Mau tak mau aku tertawa. Tawaku dengan cepat menular kepada Paula. Sesi curhatanku kali ini ditutup dengan tawa yang melegakan.
Thanks, Pol, bisikku saat memeluknya, lalu berpamitan untuk pulang.
Setelah dua hari tidak ke kantor, akhirnya aku kembali masuk. Aku rasa dua hari cukup bagiku untuk merenungkan apa yang harus aku lakukan ke depannya. Untukku, masa depanku, dan tentu saja keluargaku.
t . c Setibanya di kantor, aku tidak ingin menunggu lama untuk bisa bertemu dengan Vincent. Aku segera pergi ke ruangannya.
Saat aku hendak mengetuk pintu, hampir saja kami bertubrukan. Tepat saat aku melangkah masuk, Vincent beranjak keluar.
July! serunya terkejut. Senyum canggungku menyapanya. Selamat pagi. Vincent tidak mengindahkan sapaanku yang kaku. Kamu dari mana saja" seru Vincent tertahan. Aku khawatir sekali, July. Kamu tidak membalas panggilan teleponku, SMS-ku!
Aku menunduk. Aku memang sengaja melakukannya. Vincent tak hentinya menghubungiku selama dua hari kemarin. Aku memilih untuk tidak mengangkatnya karena saat itu aku benar-benar membutuhkan ruang dan waktu untuk berpikir.
Aku ingin bicara. Vincent mempersilakan aku untuk masuk, juga menyuruhku untuk duduk di sofa. Kami duduk dalam diam sebelum akhirnya aku memulai percakapan ini. Aku rasa ... aku salah mengambil pekerjaan ini. Ini ..., aku menunjuk diriku dan dirinya, ... sangat salah.
Wajah Vincent berkerut. Maksud kamu"
Aku menghela napas. Kemarin Martin marah besar .... Dia tidak suka aku bekerja dengan kamu, mengingat masa lalu kita. Aku terdiam sesaat untuk menelan ludah juga berpikir. Keadaan di rumah jadi kacau .... Kami bertengkar hebat ....
Dengan kedua tangan terkatup serta ditopangkannya di dagu, Vincent tak melepaskan tatapannya dari wajahku. Kemudian, dia berdiri dari kursinya dengan gusar.
Kamu harus bilang ke aku bahwa dia nyakitin kamu, July. Aku nggak akan biarkan orang lain, meskipun suami
t . c kamu sendiri, menyakiti kamu! Suaranya yang mengandung sejuta kemarahan melengking tinggi.
Aku memberanikan diri untuk melihat langsung ke manik matanya. He never touch me in a wrong way, Vin. Trust me. Kami hanya sedang ... berusaha melalui masa-masa susah .... Kami sedang berjuang, Vin ....
Vincent berjalan mendekatiku dan langsung meraih tanganku. Dia menggenggamnya dengan bersungguhsungguh. Tapi, dia sudah menyakiti hati kamu. Iya, kan, Jul"
Aku menatap tanganku yang berada di dalam genggaman Vincent. Kenangan masa lalu tiba-tiba lewat begitu saja di benakku. Vincent memang baik. Sangat baik.
Apakah perlu aku bicara dengan dia" sahutnya tajam. Aku mengangkat kepalaku. Lalu, aku menggeleng tegas sambil menarik tanganku dari genggamannya.
Aku hargai semua kebaikan kamu. Tapi ..., ini masalahku. Aku tidak patut menyeretmu ke dalamnya. Lagi pula, dia adalah suamiku dan aku menghargainya.
Vincent ikutan menggelengkan kepalanya. Dia sepertinya tidak setuju dengan ucapanku. Vincent kembali mengambil tanganku. Aku mencoba untuk menariknya, tetapi dengan tegas Vincent menahannya dengan menggenggamnya erat. Aku pun pasrah.
Kamu tahu, kan, Jul. Kamu selalu ada di hatiku. Kamu akan ... selalu jadi orang yang istimewa, yang selalu mengisi hatiku .... Aku hanya ingin kamu selalu bahagia.
Dengan lembut aku menarik lagi tanganku. Jangan, Vin. Seharusnya, kamu mengisinya dengan orang yang bisa kamu cintai dan mencintai kamu sama besarnya. Aku ... tidak bisa .... You know what I mean.
Vincent terdiam. Jelas sekali dari wajahnya bahwa dia terluka. Vincent sepertinya sedang meredakan emosinya. Dia berjalan menjauh dariku dan berdiri di depan jendela.
t . c Matanya mencoba menyatu dengan birunya langit.
Sementara itu, aku hanya bisa memperhatikannya. Aku memandangi sosoknya yang membelakangiku. Aku memaksa masa lalu kembali menyergap pikiranku. Teringat ketika dahulu betapa emosinya Vincent ketika aku memutuskan untuk berpisah dengannya.
Akan tetapi, kali ini dia sudah berbeda, tentu saja. Waktu sudah berlalu cukup lama untuk bisa mengasah kedewasaan seseorang. Aku melihat buktinya pada diri Vincent. Aku tahu banyak yang ingin dia katakan, tetapi dia tidak sembarangan menumpahkannya.
Vincent memutar tubuhnya. Dengan enggan dia pun mengangguk.
Oke. Aku mengerti. Aku berharap kamu mengerti.
Vincent menatapku dengan lembut sambil tersenyum sedih. Aku memang yang satu-satunya yang harus mengerti kamu, kan"
Hatiku bergolak. Aku menelan ludah dengan serbasalah. Vin ....
Vincent mengangkat bahunya. It s okay. Ini salahku, Jul. Aku seharusnya tidak boleh terlalu ... berharap. Masalahmu juga sangat rumit. Aku akan sangat keterlaluan jika sampai ikut campur dan malah membuat semuanya jadi runyam.
Seperti apa pun kondisi rumah tanggaku, aku tidak mau mengkhianati keluargaku, Vin. Aku sayang mereka. Inilah kehidupan yang harus aku jalani, bukannya aku hindari.
Kepala Vincent mengangguk. Seketika raut wajahnya melembut. Sekarang bagaimana" Sekarang semua keputusan ada di tanganmu. Aku serahkan ke kamu.
Aku menghela napas. Aku jadi teringat Martin yang semalam baru saja pulang ke rumah setelah entah pergi ke mana selama dua hari. Dengan nada dingin dia masih tetap memintaku keluar dari pekerjaanku. Aku ingat nasihat Paula
t . c bahwa mengalah bukan berarti kalah dan aku menghormati permintaan Martin.
Aku ... ingin resign. [] t . c o, it s official. Aku, July Bernadeth, setelah sempat merasakan kembali hiruk pikuk kerja kantoran selama dua bulan, dengan segudang masalah yang melingkupinya, akhirnya harus kembali menjadi ibu rumah tangga.
Selain karena permintaan Martin, sebenarnya keputusan ini datang dari kesadaran diriku sendiri. Aku ingin mempertahankan keutuhan rumah tanggaku serta meminimkan risiko adanya masalah yang semakin menjalarjalar. Kehadiran Vincent memang menawarkan kenyamanan di tengah badai yang sedang menghantam ini. Hanya saja, aku sadar jika aku sampai terlena dan lupa diri akan kedekatan kami, hidupku dan keluargaku akan hancur lebur.
Faktor lainnya adalah anak-anak. Sedikit banyak aku melihat mereka berubah. Nilai Ernest yang turun dan Emilia yang semakin bertingkah. Akhir-akhir ini, dia makin sering tantrum atau menangis meraung-raung sampai mogok makan segala. Aku tidak sanggup melihat semua itu terjadi kepada mereka, sedangkan Martin tidak bisa diandalkan lagi. Hmmm, mungkin bukan tidak sanggup, tetapi lebih karena tidak tega. Aku terus-menerus didera perasaan bersalah hingga sampai pada satu titik hati kecilku berkata, I m a bad
t . c mom. Sedih sekali ketika aku sampai harus melabeli diriku seperti itu.
Aku tidak tahu apakah keputusanku ini adalah yang terbaik karena sampai aku mengundurkan diri dari kantor, Martin belum juga mendapatkan pekerjaan.
Aku mencoba untuk tidak menyalahkan siapa pun. Namun, aku tidak bisa menghindarinya untuk terus mempertanyakan diriku apakah aku patut untuk menyesal akan keputusanku untuk keluar dari pekerjaanku. Buntutnya, aku malah menyalahkan semuanya. PHK, Martin, Vincent, dan banyak lainnya.
Lambat laun aku sadar, menyalahkan semua orang tidak akan membuat masalahku jadi membaik. Perkataan Paula mungkin benar. Aku harus melewati ini semua agar bisa meraih kebahagiaan yang sudah tersedia di ujung jalan yang sedang aku lalui ini.
Aku tahu aku bukanlah manusia sempurna. Melihat Martin yang terus-menerus berada di rumah tanpa melakukan apaapa, mau tak mau membuatku stres. Dia hanya sibuk berkutat di depan laptop dan menulikan telinganya ketika anak-anak sedang bertengkar, atau yang lebih parahnya, dia suka menghilang begitu saja hingga subuh.
Stres yang aku rasakan ini lama-kelamaan menumpuk dan membuahkan kemarahan yang siap meledak kapan saja. Hanya tinggal menunggu hitungan waktu.
Sialnya, anak-anak dalam situasi yang sedang nakalnakalnya, termasuk Ernest yang biasanya anteng. Aku tidak tahu kenakalan yang dia lakukan itu memang murni keinginannya atau terpancing oleh ulah Emilia yang membuat rusuh satu rumah.
Pada Minggu pagi, begitu bangun, aku menemukan Emilia sudah membuat ulah. Bak monyet lincah yang kegirangan
t . c kedapatan pisang, tak henti-hentinya dia berlari, melompat, naik ke kursi, kemudian memainkan remote televisi dengan menggantinya ratusan kali. Dia juga menyalakan volumenya hingga suara bising terdengar memenuhi rumah.
Mammm!! Emili berisik, nih! Ernest protes. Saking dongkolnya, dia melempar mobil-mobilannya dan menutup kuping dengan kedua tangannya.
Aku mendekati Emilia. Emili! Kasih Mami remote-nya. Ayo, sini!
Dia malah melempar remote yang dipegangnya ke sofa dan lekas menghilang ke dalam. Aku mengambil remote tersebut dan mematikan televisi. Hu ... ke mana anak itu sekarang" Samar aku mendengar suaranya. Aku mengikuti sumber suara itu, hanya untuk memastikan dia tidak berbuat yang aneh-aneh. Namun, ... loh, kok, di dapur berisik banget" Jangan-jangan ....
Benar saja. Aku sudah menemukannya. Kali ini giliran Mbak Nani yang sedang memasak terkena getahnya. Emilia duduk di dekat Mbak Nani sedang memukul-mukul panci, seolah dirinya sedang bermain drum.
Untung Mbak Nani panjang sabar menghadapi Emilia. Dia hanya tersenyum dan geleng-geleng kepala sambil tetap memasak. Namun, aku yang melihatnya menjadi tidak sabar karena kepalaku terasa sakit mendengar kegaduhan ini.
Emili! Jangan ganggu Mbak Nani! Aku berteriak kepadanya dari depan pintu. Emilia ogah mendengarkanku. Dia terus memukul panci tersebut. Terpaksa aku harus menariknya berdiri dan keluar dari dapur. Dia tertawa-tawa, kemudian duduk di sofa.
Untuk sesaat suasana menjadi tenang, aman, dan terkendali. Ernest asyik dengan mobilnya, sedangkan Emilia menikmati tayangan Shaun the Sheep di salah satu stasiun TV lokal.
Aku jadi punya waktu untuk membereskan kamar anak-
t . c anak. Namun, kemudian aku mendengar Ernest memanggilku, Mamiii!!! Emili nihhh ... bandelll! Ya, ampun! Apa lagi yang Emilia lakukan kali ini" Aku jadi emosi sendiri. Ketenangan di rumah ini umurnya, kok, sangat pendek.
Sebuah kursi sudah teronggok di depan kabinet dan Emilia sudah menggenggam sekotak wafer yang sengaja aku sembunyikan di atas sana. Aku menggelengkan kepala. Bagaimana dia bisa tahu aku menyimpannya di sana, sih" Lagian ... aku menatap Emilia dan kursi itu bergantian ... kok, dia bisa sampai"
Emili! Dia menoleh dan meringis. Aku mendekatinya dan menegurnya dengan keras. Nggak boleh makan wafer, Em. Sebentar lagi mau makan siang.
Tapi, aku mauuuu .... Emilia merengek. Aku segera mengambilnya. Sudah cukup dan jangan naik-naik lagi seperti itu. Minum dulu.
Emilia menurut, sambil cemberut tentunya. Dia berlari ke kamar dan melanjutkan aksinya. Sekarang dia melompatlompat di ranjang. Rasanya aku kehabisan napas hanya dengan melihatnya melompat, seolah ada per di bawah kakinya.
Ernest menyudahi bermain mobil-mobilan. Ketika dia melihat Emilia asyik melompat-lompat, dia cukup terpancing, lantas mengikuti jejak adiknya dengan melompat-lompat di ranjang.
Melihat kakaknya melakukan hal yang sama, sambil menjerit kegirangan, Emilia pun turun dan pindah ke ranjang Ernest untuk melompat di sana. Keduanya tertawa-tawa dengan gembira. Aku sempat melihat ke dalam kamar. Untuk sementara waktu sepertinya tidak akan ada masalah. Jadi, aku meninggalkan mereka bermain di dalam kamar. Sejauh mereka akur dan tidak ada yang menangis, aku bisa
t . c tenang. Aku sedang menyiapkan makan siang, menggantikan Mbak Nani yang aku suruh membereskan cucian karena cuaca di luar mulai gelap. Gerimis perlahan turun. Aku juga menyuruhnya untuk menyetrikanya langsung agar cepat beres.
Baru saja aku mematikan kompor setelah mencicipi makanan yang dibuat oleh Mbak Nani, aku mendengar jeritan yang sangat kencang dari dalam kamar. Suara Emilia. Aku pun bergegas menuju kamar. Suara Emilia sekarang berganti dengan tangisan pilu.
Begitu masuk, aku mendapatkan Emilia terduduk di bawah dengan air mata yang terburai, sedangkan Ernest berdiri terpaku di atas ranjang menatap Emilia.
HUAA!!! MAMIIII!!! Tangis Emilia semakin keras begitu melihatku datang.
Emili" Kamu kenapa" Kakak" Bergantian aku bertanya kepada Emilia dan Ernest. Bukannya menyahut, Emilia malah menangis terus. Ernest tetap bungkam. Aku mendekati Emilia yang sedari tadi memegangi pergelangan tangannya. Memerah. Sepertinya, memar. Begitu aku memegangnya, sontak Emilia memekik kesakitan. Sepertinya, tangannya keseleo.
Kenapa bisa begini" Emili jatuh"
Dengan berlinangan air mata Emilia menunjuk ke Ernest. Didorong sama Kakakkkk .... Huaaa ....
Aku menoleh ke arah Ernest. Benar, Kak" tanyaku tajam.
Ernest masih mengatupkan mulutnya, kemudian berkata, Emili dorong-dorong aku juga, Mam!
HUAAA!!! Aku memijat kepalaku yang berdenyut-denyut. Aku menghela napas berulang-ulang, tetapi kekesalan yang menumpuk di hatiku tidak juga pergi. Yang ada, aku semakin
t . c mendongkol ketika Ernest tidak mau mengakui kesalahannya.
Mami tanya, Kakak dorong Emili" Aku bertanya kembali dengan suara yang meninggi.
Ernest cemberut. Habisnya dia duluan yang nggak bisa diam. Aku sampai kena tembok! serunya.
Tapi, Kakak dorong Emili sampai jatuh! Lihat tangannya sampai keseleo. Aku berkata dengan suara yang melengking. Kesabaranku mulai menipis.
Salahnya sendiri. Habis, aku kesal, Mami! Emili mainnya kasar! Ernest menyahut dengan lantang. Aku bertambah emosi melihat Ernest yang melawanku.
Ernest! Mami hanya ingin dengar kamu mengakui kesalahan bahwa kamu dorong Emili. Kenapa kamu malah bicara soal Emili" Aku berseru marah.
Pokoknya, bukan salahku, Mami! Emili yang mulai duluan!
Ernest .... Kesabaranku turun dua tingkat.
Ernest tidak mau berhenti. Dia tetap berkelit dan tak henti menyalahkan Emilia. Ini, kan, ranjangku. Emili sudah ganggu ....
ERNEST! DIAM! JANGAN MEMBANTAH! Serta-merta Ernest terdiam. Mulutnya langsung terkatup rapat meskipun dadanya sedikit tersengal karena napasnya naik-turun. Dia terkejut mendengar suaraku yang keras. Emilia juga terdiam, sama terkejutnya dengan Ernest hingga hanya menyisakan isak perlahan. Baik Ernest maupun Emilia tidak menyangka bahwa aku bisa berteriak sekeras itu.
Sejujurnya, aku pun kaget. Aku memejamkan mata dan menunduk untuk menenangkan diriku, kemudian mengusap wajahku sambil berkata dengan perlahan, Mami nggak mau dengar alasan lagi. Sekarang kamu dihukum. Ayo, duduk di depan. Tidak ada buku dan mainan untuk hari ini. Diam di sana sampai Mami suruh kamu masuk.
t . c Ernest tidak bergerak. Dia seperti ingin membantah. Namun, akhirnya dia memutuskan untuk tetap diam dan patuh. Ernest turun dari tempat tidur dan berjalan ke teras rumah. Dia cemberut sepanjang waktu. Setelah berhasil menenangkan Ernest, aku beralih ke Emilia yang napasnya masih tersendat-sendat oleh sisa tangis.
Aku menggendongnya dan memanggil Mbak Nani dahulu. Setelah meninggalkan Emilia dengan Mbak Nani, aku menelepon Mbak Yun, tukang pijat urut langganan kami. Untung saja hari ini Mbak Yun sedang kosong. Jadi, dia bisa segera datang ke rumah.
Setelah 15 menit berada di luar, aku menyuruh Ernest untuk masuk dan aku mengajaknya berbicara.
Maafin Ernest, ya, Mam. Ernest berkata perlahan dengan sorot mata penuh penyesalan dan kesedihan. Di pipinya ada sisa air mata. Mungkin tadi ketika duduk sendiri di depan, dia menangis. Aku jadi terenyuh. Bagaimanapun, aku paling tidak tega jika melihatnya sampai menangis begini. Aku duduk dan menariknya mendekat agar bisa berbicara dari hati ke hati dengannya.
Kakak nggak boleh begitu lagi, ya. Mendorong itu nggak baik. Apalagi dari atas tempat tidur. Masih untung Emili hanya keseleo. Kalau tangannya patah, bagaimana" Janji, ya, kalau main yang baik-baik" Nggak hanya sama Emili, tapi juga sama yang lain. Kalau main, nggak boleh kasar. Ernest menganggukkan kepalanya.
Ernest harusnya jadi kakak yang baik. Kalau adiknya nakal, dibilangin, bukannya malah membalas.
Oke, Mami. Kami berpelukan. Tanganku menghapus sisa air mata di pipinya. Sana masuk ke kamar. Nanti kalau makan siang sudah siap, Mami panggil, ya.
Tepat ketika Ernest masuk kamar, Mbak Yun datang. Jerit tangis Emilia terdengar lagi ketika dia mulai diurut. Kali
t . c ini tangisan Emilia mampu memancing Martin untuk keluar dari tempat persembunyiannya, yaitu kamar.


For Better Or Worse Karya Christina Juzwar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Emili kenapa" tanyanya.
Lagi diurut. Kenapa" Jatuh" Aku mengangguk. Tadi waktu main sama Ernest. Martin tidak berkata apa-apa lagi. Hidungku mengendus wangi parfum yang sangat kukenal ketika Martin melewatiku. Artinya, dia hendak pergi.
Mau ke mana" Ada meeting. Meeting" Meeting apa"
Soal proyek bisnisku. Tadi temanku minta bertemu. Aku pergi dulu.
Pulang jam berapa" Dia sibuk mengumpulkan barang-barangnya. Ponsel, tas laptop, dan kunci mobil, lalu membawanya ke mobil serta menjawabku sambil lalu, Nggak tahu. Mungkin malam.
Mataku mengantar kepergiannya. Sikap dingin Martin dan kepergiannya yang begitu saja membuatku merasa sangat nelangsa. Kemesraan di antara kami sudah direnggut paksa. Dia tidak pernah menciumku atau memelukku lagi dan jurang pemisah di antara kami berdua semakin lebar.
Ke mana perginya pernikahan kami yang hangat" Sampai kapan aku harus bertahan dalam situasi seperti ini" Apakah ini akan berlangsung ... untuk selamanya" Rasanya pertanyaan-pertanyaan yang selalu hinggap di hatiku tidak akan pernah bisa terjawab.
Tangisan Emilia kembali menyadarkanku. Aku berjalan masuk. Mbak Yun sudah selesai mengurut Emilia. Mbak Nani sedang menggendongnya supaya dia tenang. Setelah Mbak Yun pulang, kami semua makan siang dalam keheningan yang menyesakkan. Aku tidak terlalu berselera.
t . c Sepertinya, Ernest juga tak berselara karena tidak menghabiskan makanannya. Mungkin pengaruh dari kemarahanku sebelumnya. Kemarahanku memang meninggalkan shock untuk kami semua. Termasuk diriku.
Ketika anak-anak tidur siang, aku mengurung diriku sendiri di kamar. Aku mematikan lampu serta membiarkan diriku sendirian di kegelapan, merenungi kejadian barusan ketika kemarahanku meledak.
Aku tidak percaya bahwa aku tidak bisa menahan marah. Emosiku berantakan dan anak-anak kena getahnya. Ini adalah kali pertama aku marah besar seperti tadi. Tidak heran kami semua jadi terkejut. Jauh di lubuk hatiku, aku sangat merasa bersalah. Seharusnya, aku bisa menahan diri. Seharusnya, aku menjadi panutan anak-anak. Ternyata, malah sebaliknya.
Aku memeluk guling, berharap yang aku peluk adalah Martin yang berbisik kepadaku bahwa everything is gonna be okay . Namun, aku menyadari bahwa hal tersebut tidak akan pernah terjadi. Aku hanya bisa berbisik kepada diriku sendiri dan Tuhan.
Sekali lagi, aku menangis dalam kesendirian.
Sepulang sekolah, di antara kerumunan orangtua serta murid, aku sibuk melongok ke sana kemari. Mataku jelalatan mencari sosok anak kecil dengan tas berwarna hijau mentereng. Namun, aku tidak menemukan Ernest di kerumunan anak-anak yang berebut pulang, sedangkan Emilia sudah berdiri di dekatku. Ernest ke mana, ya"
Dari kejauhan aku melihat wali kelas Ernest, Ibu Fenny, yang berjalan mendekatiku. Oh-oh. Perasaanku jadi tidak enak. It can t be good. Apakah ada masalah"
Ibu July. Ibu Fenny menyapaku dengan senyum singkat. Saya mau bicara sebentar, Bu. Bisa"
t . c Aku mengangguk ragu seraya bertanya, Apakah Ernest ada masalah"
Ibu Fenny malah mengajakku masuk. Aku mengikutinya dan begitu kami sudah berada di depan kelas, dia mempersilakanku masuk, Masuk dulu, Bu.
Aku masuk ke dalam kelas. Di sana aku melihat Ernest yang duduk sendirian di bangku paling depan. Ernest terlihat bete dan murung. Dia cemberut terus. Aku jadi gelisah. Apa yang sudah dilakukan Ernest sampai dia dihukum seperti ini, ya"
Ibu Fenny memulai pembicaraannya. Tangannya ditopangkan di meja. Ada yang ingin saya sampaikan. Sejujurnya, belum pernah Ernest berkelakuan seperti ini.
Aku mengangguk setuju dengan ucapan Ibu Fenny. Kali ini adalah kali pertama aku dipanggil oleh wali kelas karena kenakalan Ernest di sekolah. Kali pertama, aku mengejanya dalam hati. Saat ini, rumah tangga kami sedang bermasalah. Aku yakin sedikit banyak masalah di rumah pasti ada sangkut pautnya.
Apa yang dilakukan oleh Ernest, Bu" Aku memutuskan untuk berbicara langsung ke pokok permasalahan. Tidak ada gunanya basa-basi. Ibu Fenny melirik Ernest sejenak, yang membuatku ikutan meliriknya. Ernest masih tetap menunduk.
Hari ini Ernest sudah merobek buku temannya dan memukul temannya karena diejek tidak mengerjakan pe-er.
Apa" Ernest bisa berbuat seperti itu" Dengan cepat kepalaku menoleh kembali kepada sosok Ernest yang terlihat seperti meringkuk di kursi tersebut. Perlahan aku menelan ludah dengan hati yang pedih.
Kenyataan bahwa Ernest sudah berbuat tidak baik di kelas memang membuatku marah, tetapi ketika aku mendengar kenyataan bahwa Ernest tidak mengerjakan peer-nya .... Bagaimana bisa" Maksudku, bagaimana bisa terlewatkan begitu saja olehku"
t . c Temannya juga terluka. Tidak parah. Hanya tergores. Saya hanya mau tahu kenapa Ernest bisa seperti itu. Apakah di rumah dia sedang bermasalah"
Aku mengangguk. Suasana hati Ernest memang sedang kurang baik akhir-akhir ini, Bu. Aku berterus terang. Mungkin ada yang mengganggunya"
Aku menelan ludah. Lalu, aku berkata dengan suara rendah agar Ernest tidak mendengarnya. Papanya kena PHK sehingga berpengaruh dengan rumah. Saya juga sempat kerja, tapi anak-anak jadi nggak keurus sehingga saya memutuskan untuk berhenti lagi.
Ibu Fenny mengangguk penuh pengertian. Sudah lama" Sudah hampir enam bulan.
Saya memang melihat Ernest sedikit berubah dalam periode waktu enam bulan itu. Saya hafal sekali karena setahu saya Ernest anak yang baik dan pintar. Dia tidak pernah berbuat macam-macam di kelas. Kemudian, dia mulai berubah sedikit demi sedikit. Pertama, hanya melamun. Lalu, dia enggan untuk bermain dengan teman-temannya. Akhirakhir ini, malah dia sering ngasal mengerjakan tugas di sekolah.
Hatiku terasa ngilu mendengar penuturan Ibu Fenny. Saya tahu.
Saya hanya menyarankan membuat situasi senyaman mungkin untuk Ernest. Dia tidak perlu merasakan apa yang orangtuanya rasakan. Saya juga berusaha untuk membimbingnya dan mengajaknya berbicara. Untuk Ernest, kali ini hanya peringatan dan tentu saja ada hukumannya. Akan saya perhatikan, Bu.
Sepanjang perjalanan pulang ke rumah, Emilia tertidur di kursi belakang. Sementara Ernest, duduk di sampingku dan diam seribu bahasa. Kepalanya terus menatap keluar jendela
t . c mobil. Aku tahu Ernest tidak akan bicara dengan sendirinya. Jadi, aku yang bertanya kepadanya.
Ada yang mau Kakak ceritain" Aku melirik sebentar ke arah Ernest. Dia tidak menyahut dan tidak menoleh sama sekali.
Kenapa Kakak jahat dan gangguin teman Kakak" Karena dia ngeganggu banget. Ernest buka suara. Tapi, kenapa harus sampai memukul"
Ernest tidak menjawab. Rumah kami sudah terlihat dari kejauhan. Aku menghentikan mobil di depan pagar, lalu memutar badanku dan menghadap kepadanya.
Ernest harus cerita sama Mami kenapa Ernest sampai berbuat begitu. Aku berbicara perlahan.
Aku nggak mau cerita, sahut Ernest dingin. Aku menghela napas. Aku memutuskan untuk membiarkannya saja dahulu sampai kemarahannya surut. Tak lama setelah menekan klakson mobil, Mbak Nani pun keluar untuk membuka pintu. Begitu mobil sudah terparkir di garasi, Ernest langsung berderap masuk ke dalam rumah dan duduk diam di sofa. Emilia masih belum terbangun sehingga aku harus menggendongnya ke dalam, serta menaruhnya di ranjangnya yang tertutup seprai berwarnai pink dengan gambar Disney Princess.
Ketika keluar dari kamar, aku melihat Ernest masih duduk di sofa dan bersandar sangat rendah hingga posisinya hampir seperti tidur. Dia belum juga menanggalkan sepatu dan baju sekolahnya.
Aku memutuskan untuk berbicara lagi dengan Ernest. Aku duduk di sebelahnya dan hati-hati bertanya kepadanya, Kak. Kakak tahu, kan, apa yang Kakak lakukan itu salah"
Ernest bungkam. Namun, aku melihat gerakan kepalanya, sebuah anggukan kepala yang pelan sekali.
Mami tahu pasti nyebelin kalau ada yang gangguin kita.
t . c Tapi, kita mesti sabar. Teman Kakak itu hanya iseng. Kita nggak boleh pakai kekerasan, dong.
Ernest menunduk. Jemarinya memainkan dasi sekolahnya.
Terus, kenapa Kakak nggak ngerjain pe-er" Tatapanku tidak lepas dari anak lelakiku ini. Titik keringat memenuhi kening dan hidungnya. Aku mengambil tisu dan mencoba untuk mengelapnya, tetapi Ernest malah melengos menghindariku.
Malas. Keningku berkerut. Suaraku berubah tegas ketika mendengarnya menyebutkan kata malas. Kok, begitu" Selama ini Mami nggak pernah dengar Kakak ngomong malas. Pe-er-nya susah"
Ernest mengangkat bahunya malas. Lumayan. Kenapa nggak minta tolong Mami atau Papi" Dengan cepat Ernest menoleh ke arahku. Matanya berkaca-kaca. Dia berseru, Aku nggak bisa!
Kenapa nggak bisa" Ernest berdiri dengan cepat, sedangkan kedua tangannya mengepal kuat. Sekarang air matanya sudah berlinang di pipinya. Karena Mami dan Papi udah nggak sempat bantuin Ernest! Mami sama Papi nggak pernah sempat nemenin Ernest kalau Ernest lagi butuh! Ernest meninggalkanku dan berlari ke kamar.
Aku termangu. Perkataan Ernest cukup mengguncangku dan kata-katanya terngiang tiada henti. Kata-kata itu pasti tak akan terlupakan seumur hidupku.
Tengah malam aku terbangun karena mendengar suara di depan pintu kamar. Aku yakin itu Martin. Dia baru saja pulang. Begitu aku keluar, sinar terang memenuhi ruang keluarga yang gelap gulita. Ngapain Martin nyalain televisi
t . c tengah malam begini" Aku berjalan mendekati sofa. Ternyata, bukan Martin yang duduk di sana, melainkan Ernest.
Kak" Kok, bangun" Ngapain" Aku menegurnya. Nggak bisa tidur. Ernest mendongakkan kepala dan terlihatlah wajahnya yang sedikit mengantuk.
Kenapa nggak ke kamar Mami" Kan, bisa Mami temenin.
Memangnya Mami lagi sendirian" Papi belum pulang" Sekarang, kok, Papi sering pulang malam-malam, ya"
Aku duduk di sebelahnya, kemudian mengusap rambutnya yang berantakan sehabis bangun tidur. Kok, Kakak tahu"
Tangan Ernest menggenggam remote televisi. Kalau malam, aku suka kebangun. Sering lihat Papi baru aja pulang.
Aku tak yakin apa yang harus kukatakan menanggapi Ernest.
Sekarang Kakak tidur bareng Mami, yuk. Temenin Mami. Aku beranjak berdiri, tetapi Ernest malah terdiam. Manik hitamnya menatapku dengan tatapan yang sayu dan menyiratkan rasa bersalah. Mami ....
Ya" Kenapa, Kak" Aku duduk kembali.
Matanya mengerjap. Mami udah nggak marah lagi sama aku"
Soal apa" Soal tadi ... di sekolah ..., ujarnya menggantung. Ah, aku jadi mengerti. Sejak tadi siang, kami memang tak banyak berbicara. Aku hanya mengatakan bahwa dirinya dihukum, dan harus mengerjakan pe-er dan belajar sepanjang malam. Tidak ada mainan, buku cerita, nonton TV, games di laptop, ataupun main sepeda.
Tanganku menggenggam tangan kecilnya erat dan aku
t . c mengecupnya. Mami, kan, nggak marah terus-terusan. Buat Mami, yang penting Kakak ngerti bahwa Kakak salah. Tapi, tadi aku juga teriak ke Mami ....
Mataku jadi berkaca-kaca. Mami nggak marah. Mami ngerti.
Maafin Ernest, ya, Mami. Pokoknya, Mami mesti tahu kalau aku ... nggak nakal ....
Aku jadi kepingin mewek mendengarnya. Aku tertawa kecil dan menghapus setitik air mata yang sudah berkumpul di ujung mata. Mami maafin Kakak, kok. Tapiii ..., Kakak juga harus janji nggak akan mengulanginya lagi. Ya"
Ernest mengangguk. Kami tersenyum satu sama lain dan berpelukan. Kami berpelukan cukup lama dengan menikmati tontonan film action di salah satu televisi lokal.
Nggak ada film kartun, ya, Mam"
Aku mengusap kepala Ernest. Nggak ada-lah, Kak. Ini, kan, sudah tengah malam.
Memang tidak banyak yang bisa ditonton lagi sejak akhirnya kondisi keuangan kami berantakan. Aku terpaksa menghentikan berlangganan program TV kabel yang banyak program untuk anak-anak.
Nonton film DVD aja, yuk"
Melihat tontonan di televisi tidak menarik untuknya, Ernest mengangguk setuju. Kami baru mulai menontonnya ketika tak lama terdengar suara mobil masuk ke dalam rumah.
Papi pulang! bisik Ernest.
Ernest hendak berdiri, tetapi aku menahannya. Kakak tunggu di sini aja.
Aku agak khawatir dengan reaksi Martin melihat kami masih belum tidur tengah malam seperti ini. Perkiraanku tidak meleset. Martin terkejut melihat kami berdua masih bangun.
t . c Kalian lagi ngapain" Kenapa nggak tidur" tanyanya ketus.
Aku dan Ernest terdiam. Suasana hatinya jelas sekali sangat buruk. Wajahnya kusut. Matanya juga memerah dan tatapan matanya sangat dingin.
Aku nungguin Papi, sahut Ernest.
Besok kamu sekolah. Sana tidur, tukas Martin dingin dan ketus. Sekilas aku mencium bau rokok bercampur parfum yang menyengat. Martin melirikku tajam.
Kenapa kamu biarkan dia bangun, Jul" Ini, kan, sudah tengah malam. Dia melempar pertanyaan kepadaku dengan sangat gusar.
Dia mau nungguin kamu. Sekalian karena nggak bisa tidur juga.
Martin mendengus. Jangan biasain seperti itu. Martin kembali berkata dengan ketus.
Nggak dibiasain. Ini kebetulan aja ....
Martin membanting dompet dan kunci mobilnya ke meja hingga menimbulkan suara gaduh. Bisa nggak, sih, sekali aja kamu nggak bantah aku, Jul?"" Kenapa setiap aku ngomong selalu dibantah sama kamu?""
Suara Martin yang menggelegar marah membuat aku dan Ernest mengatupkan mulut rapat saking terperanjatnya. Rasa takut menyelusup ke dalam hati Ernest. Tangannya menggenggam jemariku dengan sangat erat, sedangkan dadaku berdebar. Debarannya terlalu keras hingga terasa sakit.
Wajar saja Ernest sampai takut karena kami sudah tidak mengenali siapa laki-laki yang ada di hadapan kami ini. Dia benar-benar berubah 180 derajat.
Aku segera menarik tangan Ernest ke dalam kamar untuk tidur. Dia tidak perlu melihat ini. Namun, wajah pucat Ernest menandakan bahwa dia tahu ada yang tidak beres dengan papinya.
t . c Mami tidur sama Ernest aja di sini. Masuk aja, pintanya sedikit memohon.
Aku mengecup puncak kepalanya. Nanti Mami kemari lagi, ya.
Perlahan aku menutup pintu kamar. Martin duduk di depan televisi yang masih menyala. Tatapan matanya kosong. Aku segera tahu bahwa dirinya sedang ada masalah. Tin"
Dia sedikit tersentak mendengar namanya dipanggil. Dia mengibaskan tangannya. Jangan ganggu aku dulu!
Aku segera berdiri di depannya. Aku tidak peduli akan membuatnya marah. Aku tanya baik-baik, Martin.
Martin segera berdiri. Dia melempar remote televisi ke sembarangan tempat. Jangan nambah masalah, Jul! Sudah cukup hari ini ..., ucapan Martin setengah menggantung. Dia tampak gusar.
Kenapa dengan hari ini" Kamu nggak usah tahu.
Aku ini istrimu, Martin! Bagaimana mungkin aku nggak bisa ....
Diam, Jul! DIAM!!! sekonyong-konyong Martin berteriak. Dia menaruh kedua tangannya di kepala. Dia tampak sangat kalut. Emosinya bergejolak keluar dari dalam hatinya.
Ssst! Anak-anak lagi tidur! Jangan teriak-teriak! tegurku tajam.
Martin tertawa hambar. Kamu masih mikirin mereka" Bagaimana denganku" Aku lagi banting tulang untuk kalian! Kamu jangan nambah beban masalahku lagi dengan kerewelan kamu ini!!!
Aku menganga. Rewel" Aku rewel karena aku peduli sama kamu! Sampai sekarang aku nggak lihat proyek kamu itu! Mana hasilnya" Mana buktinya"
t . c Martin mendengus. Nggak ada gunanya ngomong sama kamu, Jul. Martin pergi ke kamar tidur.
Martin! Aku memanggilnya, tetapi dia tidak memedulikannya. Pintu pun dibanting olehnya. Tiba-tiba saja tubuhku menggigil. Tanganku bersidekap untuk memeluk diriku sendiri. Aku ingin berteriak sekencang-kencangnya hingga ada suara kecil yang memanggilku hingga aku mengurungkan niatku.
Mami .... Aku menoleh. Ernest sudah berdiri di depan pintu. Sementara itu, air matanya sudah mengalir di pipinya. Kenapa Papi marah-marah ke Mami" Mami nggak salah, kan" Papi, kok, jahat sama Mami"
Seketika aku jadi malu, sedih, dan kecewa karena Ernest harus melihat pertengkaran kedua orangtuanya. Dia menangis tersedu-sedu. Aku juga tidak bisa menahan air mataku. Aku mendekatinya dan kami menangis bersama sambil berpelukan.
Maafin Mami, ya, Kak .... []
t . c elajaran hari ini: jangan belanja di supermarket saat hati sedang kalut.
Ini terjadi kepadaku hari ini. Aku jadi tidak bisa memusatkan perhatianku. Tanganku hanya bergerak otomatis mengambil apa saja yang aku lihat atau terlintas di benakku.
Begitu sampai di kasir, aku hanya bisa melongo melihat hasil belanjaanku. Semua isinya camilan anak-anak. Apa kabar minyak goreng, kecap, gula, dan bahan-bahan penting lain yang seharusnya aku beli karena persediaan di rumah sudah kritis"
Aku meneliti lagi kereta belanjaanku. Perasaan aku juga mengambil jeruk dan apel, tapi, kok, tidak ada"
Setelah selesai membayar, aku baru teringat akan daftar belanjaan yang sudah aku tulis jauh-jauh hari. Aku membawanya dan merasa teramat bodoh karena melupakannya. Padahal, aku yang menulisnya sendiri sebelum pergi kemari. Dengan kesal, kertas yang cukup besar dan semestinya bisa terlihat dengan jelas itu aku remas, lalu aku buang ke tong sampah. Hatiku juga rasanya seperti diremas-remas.
t . c Arloji di pergelangan tanganku masih menunjukkan waktu yang cukup lama sebelum menjemput anak-anak. Aku harus melakukan sesuatu untuk membunuh waktu yang tersisa meskipun aku sedang tidak enak badan.
Pulang" Semestinya aku pulang dan beristirahat. Namun, aku rasa pulang bukan pilihan terbaik. Rumah hanya membuatku sedih dan kecewa.
Martin-lah yang membuatku merasa begitu. Sudah begitu, sejak semalam, setelah pertengkaran kami yang tak berkesudahan itu, aku merasa tidak enak badan. Benar saja, pagi hari tadi, badanku rasanya seperti melayang. Aku merasa mual dan pusing. Aku pun meminta Martin untuk mengantar anak-anak ke sekolah. Martin menolak mentahmentah dengan alasan hendak pergi. Dia tidak bohong. Dia memang hendak pergi keluar karena sudah mengenakan pakaian yang rapi.
Tolong, Tin. Aku lagi sakit dan rasanya nggak bakalan sanggup.
Kamu pasti kuat Jul, kan, dekat, sahutnya cuek dengan wajah yang lecek.
Kalau kuat, aku nggak akan minta tolong kamu, sungutku dengan jengkel.
Martin sepertinya sudah tidak peduli lagi. Dia tetap tidak bersedia mengantar mereka. Perpaduan sakit dan kecewa membuat kemarahanku jadi memuncak.
Kamu mau ke mana lagi, sih" Kan, aku nggak tiap hari minta tolong kamu! Ini juga terpaksa, Tin!
Pokoknya, aku ada urusan. Kamu nggak perlu tahu. Ada yang harus aku bereskan.
Aku langsung meradang. Urusan apa?"" Aku sendiri belum pernah lihat proyek kamu itu! Kelakuan kamu ini bikin aku curiga! Apa, sih, yang kamu sembunyikan dari aku" Jangan-jangan proyek ini memang nggak ada, kan?"" Martin menatapku tajam. Wajahnya dengan cepat
t . c bersemburat merah. Dia tersinggung. Keributan itu terjadi pada pukul 6.00 pagi. Memang bukan waktu yang tepat untuk memulai pertengkaran, tetapi nasi sudah jadi bubur. Kami sudah telanjur tercebur dalam lingkaran setan ini. Kamu nuduh aku bohong, ha"
Karena kelakuanmu sudah seperti orang sedang menyembunyikan sesuatu ... dan ....
Dengan cepat Martin memotong perkataanku, Berengsek! Bisa nggak, sih, kamu berhenti ganggu aku?"" Aku pusing, tahu!
Martin pergi dengan cepat. Aku mendapat dua bonus setelah bentakannya: bonus membanting dua pintu, yaitu pintu kamar, juga pintu depan. Napasku tersengal-sengal menahan sakit, kemarahan, dan air mata. Tidak, aku tidak akan menangis sekarang. Tidak di depan anak-anak yang sebentar lagi harus kuantar ke sekolah.
Akan tetapi, keringat dingin sudah keluar mengaliri tubuhku. Kepalaku berputar dan aku tidak sanggup berdiri. Aku merebahkan diri sejenak di ranjang. Kepalaku mendongak. Aku mengerjap beberapa kali agar air mataku tidak perlu turun. Kepalaku sakit dan tengkukku berat, seperti sedang menggendong satu karung beras.
Karena anak-anak harus tetap bersekolah, aku pun harus tetap mengantarkan mereka. Aku sempat berpikir untuk meminta bantuan Paula. Namun, terlalu bergantung kepada teman-temanku juga tidak akan menyelesaikan masalah. Aku hanya akan menjadi sungkan nanti. Setiba di sekolah anakanak, aku merasa sedikit lega. Setidaknya, aku bisa menenangkan diri tanpa gangguan sementara waktu.
Setelah pulang dari supermarket, aku memutuskan untuk pergi ke kedai kopi yang letaknya sedikit jauh dari sekolah anak-anak. Aku butuh minuman hangat. Kalau perlu, panas.
t . c Aku melirik jam tanganku, juga ke sekeliling kedai kopi yang lumayan besar dan bersekat-sekat pilar kayu. Masih agak sepi. Barista yang ada di balik bar dengan dua mesin kopi dan display case yang berisi kue-kue dan roti menyapaku. Sementara itu, harum kopi dan cokelat menguar di dalam kedai tersebut. Aku langsung memesan teh panas. Setelah duduk, aku menenggak obat yang aku bawa dari rumah.
Teh dan sofa tunggal yang empuk cukup membuatku relaks. Aku memejamkan mata sejenak serta mendengarkan lagu yang mengalun lembut dari musik instrumental yang terpasang di kedai kopi itu. Aku juga memesan sandwich tuna-telur. Perutku lapar. Tadi aku tidak sempat sarapan saking repotnya menyiapkan anak-anak sekolah.
Duduk selama satu jam membuatku sedikit lebih baik meskipun tidak sepenuhnya. Masih ada yang mengganjal di hati. Aku lantas memijat tengkukku yang masih terasa sakit. Sepertinya, aku harus meminta tolong Mbak Nani untuk mengerok diriku begitu sampai di rumah.
Aku pergi ke toilet sebelum pergi dari kedai kopi dan ke sekolah anak-anak. Aku melihat pantulan diriku di cermin dan geleng-geleng kepala melihat penampilanku sendiri. Aku mencuci wajahku dan mengepang ulang rambutku dengan lebih rapi.
Aku keluar dari toilet. Aku sempat memesan teh hangat lagi untuk take away. Aku menunggu barista yang sedang menuangkan minumanku ke dalam paper cup.
Silakan, Bu. Barista berkacamata itu menyerahkan paper cup berukuran sedang yang berisi pesananku. Terima kasih.
Aku berjalan ke pintu depan. Tawa dan gerakan pasangan di sebelah kiri dan agak terpojok serta tertutup pilar kayu di kedai kopi itu tertangkap ujung mata serta menarik perhatianku. Spontan aku menoleh.
t . c Mendadak langkah kakiku terhenti. Rasa dingin menjalar dari kakiku dengan cepat, sedangkan dari atas kepalaku rasa panas juga ikut turun hingga ke hatiku. Ketika kedua rasa itu bertemu di tengah, yaitu hatiku, rasa sesak tiba-tiba mendesak-desak.
Aku mengenali salah seorang dari pasangan tersebut. Dia adalah Martin. Suamiku sendiri.
Dan, mereka begitu ... mesra. Bahkan, mereka duduk begitu dekat hingga tidak ada celah di antara mereka. Tawa mereka begitu lebar. Sosok perempuan di samping Martin terlihat manja dan sesekali menaruh tangannya di lengan atau kaki Martin.
Teh panas yang ada di genggamanku tidak lagi kurasakan. Setelah sekian detik membeku di tempat, akhirnya otakku berhasil memerintahkan kakiku untuk kembali bergerak. Dengan langkah kaku bak robot aku berjalan menuju mobil. Namun, aku menghentikan langkahku. Aku mengitari kedai kopi yang memang berbentuk rumahan dengan halaman luas. Mataku yang panas dan dadaku yang berdegup kencang tanpa henti itu mulai mencari apa yang ingin aku yakini dan buktikan. Aku hanya ingin memastikan bahwa diriku tidak salah lihat.
Aku tidak salah lihat. Kali ini kakiku gemetar hingga hampir tak bisa menopang beban tubuhku lagi. Cepat-cepat aku memutar haluan dan mencari mobilku. Aku sempat hampir menabrak seorang pengunjung yang baru saja datang karena pikiranku terpencar-pencar.
Begitu menemukan mobilku, aku sempat bengong untuk beberapa saat. Teh panas yang sedari tadi aku pegang tidak aku minum. Kemudian, aku keluar lagi dan memilih membuangnya di bak sampah yang tak jauh dari mobil.
Aku mengendarai mobilku menuju sekolah anak-anak dengan pikiran setengah kosong. Beruntung aku bisa sampai
t . c dengan selamat dengan kekalutan dan kehampaan ini. Dengan suara anak-anak yang sudah berada di dalam mobil sambil berceloteh gembira, kesadaranku lebih terjaga dibandingkan sebelumnya.
Aku menyuruh anak-anak untuk masuk dan makan, lalu baru mandi. Mereka sungguh kooperatif siang ini. Aku tidak ikut makan dan memilih menenangkan diri di kamar. Aku harus mencari jalan keluar. Kemudian, aku mengambil tas yang cukup besar dan mengisinya dengan bajuku. Setelah selesai, aku juga membereskan barang milik anak-anak.
Mami, kita mau ke mana" tanya Ernest ketika melihatku sedang membereskan barang-barang miliknya. Kakak sudah mandi"
Ernest mengangguk. Dia masih kebingungan melihatku memasukkan barang-barangnya ke dalam tas. Dia menatapku dan tasnya bergantian.
Bagus. Kita mau menginap di rumah Tante Jeni. Sekarang" Mau ngapain, Mami"
Aduh, aku harus cari alasan apa" Mengatakan yang sebenarnya" Aku sendiri tak ingin percaya dengan kenyataan yang aku lihat barusan, apalagi sampai mengatakannya kepada Ernest.
Aku memutar otakku yang masih berdenyut.
Kakak mau lihat ikan dan burung, kan" Daripada nunggu minggu depan, kita pergi sekarang aja.
Hantu Wanita Berambut Putih 1 Cahaya Cinta Karya Cherry Aslan The Devil In Black Jeans 5
^