Pencarian

Asleep Or Dead 10

Asleep Or Dead Karya Bunbun Bagian 10


Brugh.. Wah empuk banget ini kasur, boleh juga nih buat di rumah, pikir Gua iseng. Lalu Gua menyalakan Tv, sementara istri Gua ke kamar mandi untuk ganti pakaian. Gua masih asyik memindahkan saluran Tv yang ternyata acara luar negeri semua. Tidak lama kemudian Echa membuka kamar mandi sedikit lalu melongokkan kepalanya.
"Sayang". "Ya ?". "Maaf, Lampu kamarnya tolong dimatiin dulu dong", pintanya. Gua sedikit heran. "Loch emang kenapa ?", tanya Gua. "Udah jangan banyak tanya, tolong dimatiin dulu lampunya".
"Iya iyaa..", Gua pun bangun dari kasur dan berjalan ke salah satu dinding kamar untuk mematikan lampu. "Udah tuh, terus mau ngapain ?", tanya Gua lagi masih berdiri di dekat saklar lampu. "Tolong nyalain lampu tidurnya ya, hehehe..", jawabnya.
Gua kembali ke kasur dan menyandarkan punggung ke sandaran kasur di belakang tubuh Gua, kemudian barulah Gua menyalakan lampu tidur yang berada di samping, di atas meja kecil. Ceklek.. pintu kamar mandi terbuka lagi, istri Gua keluar dan berjalan kearah sisi kasur sebrang Gua. "Ngapain pake acara minta matiin lampu kamar Cha ?", tanya Gua yang menengok kepadanya. "Malu tau pakai baju tidur di depan kamuuu..", jawabnya malu-malu.
Lalu istri Gua naik keatas kasur dan menarik bed covers untuk menutupi sebagian tubuh kami. "Malu-malu sih, sama suami sendiri ini", goda Gua setelah tubuhnya merapat ke tubuh Gua.
"Hihihi.. Kan belum pernah pakai baju tidur gini di depan kamuuu..", jawabnya sambil melingkarkan tangannya ke tangan Gua.
"Dulu waktu kecil, malah sering liat kamu pake kaos dalem doang ama cangcut kan, hehehe...", ledek Gua.
"Ya beda dong.. Sekarang emang kita masih anak-anak apa..?".
"Sama aja, kan aku udah jadi suami kamu, bebas lah liat istri sendiri dalam keadaan apapun", jawab Gua sambil menyeringai dan menaikkan kedua alis.
"Iiih.. Dasar.. Huuu..", balasnya seraya mencolek hidung Gua.
Gua terkekeh melihat wajahnya yang merona karena malu-malu. Lalu Gua kecup keningnya. "I love you", ucap Gua.
Echa tersenyum dalam redupnya cahaya lampu di kamar ini. "I love you too sayang", balasnya.
Gua memegang dagunya dengan ibu jari dan jari telunjuk, lalu mengangkatnya sedikit agar wajahnya mendongak keatas.
Cupp.. Gua kecup bibirnya lalu tersenyum.
Kemudian tangan kirinya melingkar ke belakang tengkuk Gua dan menariknya kearah wajahnya. .
. . . . . . *** Tiga hari kemudian, Gua dan Echa sudah kembali masuk kuliah, tentunya ke kampus kami masingmasing. Aktifitas Gua setelah menikah tidak banyak berubah, kecuali adanya sosok istri yang menjadi pelengkap keseharian Gua, lainnya tetap berjalan normal. Gua saat ini tinggal bersama Echa di rumah Nenek, awalnya sih Papahnya Echa ingin kami berdua tinggal di rumah mereka, tapi kan Gua juga tidak mungkin meninggalkan Nenek sendirian di rumah, apalagi semenjak dari awal Gua kuliah, Gua hanya satu minggu dua kali pulang ke rumah Nenek.
Jadi menurut Gua dengan adanya Echa yang sudah menjadi cucu menantu Nenek saat i ni, Echa bisa lebih dulu pulang ke rumah dan menemani Nenek. Karena sekalipun Gua sekarang pulang-pergi dan tidak kost lagi, sudah pasti Gua pulang sehabis maghrib, paling cepat setengah enam sore, berbeda dengan istri Gua yang jadwal kuliahnya paling lama pukul satu siang, dan pukul empat sore biasanya istri Gua sudah berada di rumah.
Pandangan banyak orang mungkin melihat rumah tangga kami dipaksakan, karena melihat kami yang masih kuliah semester awal dan umur yang belum genap dua puluh tahun sudah meni kah. Bahkan tidak sedikit Gua mendengar kabar yang mengatakan Echa sudah hamil duluan karena Gua. Tapi kami berdua tidak mau ambil pusing soal masalah itu, toh kami yang menjalani ini semua.
Ada lagi yang menanyakan, bisa bertanggungjawab atau tidak Gua kepada istri Gua, maksudnya, bagaimana Gua menghidupi istri Gua karena status Gua yang masih mahasiswa. Intinya nafkah kan " Pertama, bukan bermaksud sombong atau apapun, tapi ini sebagai contoh saja, bisnis atau sebut saja tanah yang diberikan oleh alm. Ayahanda kepada Gua masih ada, dan kontrak tanahnya masih berjalan sampai satu tahun setengah kedepan, lalu uang sewanya pun masih mengendap di rekening pribadi Gua tanpa sepeserpun pernah Gua pakai. Dan kalau mau di jelaskan lagi, itu bukan uang warisan, kecuali tanahnya. Dan sebenarnya menurut Gua pribadi, tanah tersebut juga bukan warisan dari alm. Ayahanda, beda lah antara pemberian secara langsung dengan warisan yang jelas ada suratnya, yang biasanya dititipkan kepada pengacara. Kedua, setelah Gua menikahi Echa, om dan tante Gua memberikan saran agar Gua menggunakan uang tabungan tersebut untuk membuka bisnis baru, ya sebagai pemasukkan dan juga nafkah keluarga. Saat itu Gua menginvestasikan uang tabungan beberapa rupiah ke sebuah bisnis kuliner, jajanan lebih tepatnya, yang sistemnya franchise. Tau kan " Nah makanannya apa, ada deh ya, kalian juga tau pasti saat tahun 2007 franchise apa yang sedang booming. Gua merekrut dua pegawai sekaligus saat itu, yang orangnya masih tetangga rumah juga, untuk dua franchise tentunya. Terkadang di hari minggu, Gua dan Echa suka ikut jualan dan melayani pembeli. Dari situlah Gua bisa menafkahi istri Gua, sekalipun uang yang Gua hasilkan masih tergolong sedikit tapi cukuplah untuk makan kami berdua selama sebulan.
Ada hal lain sih, dan ini pandangan Gua karena pernah melihat suatu hadis yang Gua baca. Ketika kalian menikahi seorang wanita, dan ternyata kalian belum memiliki pekerjaan, itu bukanlah suatu halangan, dan bukan pula suatu keharusan memiliki pekerjaan terlebih dahulu baru menikah. Gua rasa soal yang satu ini harus benar-benar dipahami. Inti dari hadis tersebut yang Gua tangkap adalah, selama kalian masih memiliki orangtua dan belum memiliki pekerjaan pada saat sudah berumah tangga, tidak ada larangannya kalian bernaung kepada mereka (orangtua), meminta bantuan. Tapi ingat, bukan berarti kalian hanya terus menerus meminta kepada orangtua, tetap harus mencari pekerjaan, sampai benar-benar mendapatkan penghasilan sendiri dan lepas dari bantuan orangtua. Dah kebanyakan ceramah tar Gua jadi ustad lagi...
Beralih ke beberapa hari setelah Gua melaksanakan acara resepsi dan menjalani rutinitas perkuliahan. Semenjak Gua menikah dengan Echa, alhamdulilah dirinya sudah tidak cemburu lagi dengan tante Gua. Ya kalau kalian baca MyPI tau lah alasannya apa kan, hehehe.. Cemburu Gais. Dan ini bukan berarti Echa membenci Kinan, salah besar kalau kalian beranggapan begitu. ...
Bulan september sudah tiba, perkuliahan Gua yang sempat terbengkalai karena kejadian saat Nona Ukhti hilang dan cuti satu bulan untuk acara pernikahan tidak banyak memberikan dampak buruk pada nilai mata kuliah apapun di kampus. So far I'm on the right track (again).
Kehadiran Echa sebagai istri dalam kehidupan Gua yang baru benar-benar memberikan energi positif kepada Gua, jujur saja, Gua tidak lagi berani menggoda perempuan lain, di kampus maupun saat berpergian sendiri. Entah apa karena merasa sudah memiliki hubungan yang sudah sah atau memang alam bawah sadar Gua yang mengingatkan bahwa sekarang Gua sudah memiliki pendamping hidup yang halal atau ada faktor lain, yang jelas tanpa Gua sadari, saat Gua melirik perempuan lain, seketika itu juga sosok Echa langsung hadir di dalam benak Gua.
Ada hal-hal yang sulit untuk diungkapkan oleh kata-kata, layaknya perasaan yang benar-benar murni keluar dari dalam jiwa kita untuk seseorang yang kita sayangi. Dan kemurnian perasaan tersebut tidaklah mungkin salah. Jauh dari dalam hati kita, ternyata kita sudah meyakini bahwasannya dia lah yang terbaik diantara banyaknya pilihan.
... September 2007, suatu hari di bulan tersebut Gua bersama istri sedang mengepak pakaian di kamar Gua, rumah Nenek. Kami berencana untuk berlibur ke singapore esok hari. Tiket, paspor dan kelengkapan administrasi sudah beres, tinggal pakaian saja yang masih kami siapkan. Rencananya, kami berdua akan berlibur selama dua malam tiga hari di negara tersebut. Tentunya kami berdua mengorbankan kuliah kami selama satu hari, tapi gak apa lah ya bolos sekali-sekali.
Selesai mengepak barang yang diperlukan, kini Gua mengajak istri tercinta dan Nenek ke salah satu restoran di ibu kota, sekitar pukul delapan malam kami sudah sampai di sana. Tidak lama kemudian kami memesan makanan dan langsung mulai menyantapnya ketika pesanan kami sudah datang. "Alhamdulilah kenyang", ucap Gua sambil menyandarkan punggung ke bahu kursi. "Ini minumnya sayang", Echa menyodorkan segelas es teh manis kepada Gua. "Makasih sayang..", jawab Gua setelah menerima gelas tersebut lalu meminum es teh tersebut. "Nenek mau nambah lagi ?", tanya istri Gua kepada Nenek.
Nenek Gua tersenyum sambil menggelengkan kepalanya kepada istri Gua itu. "Makasih Cha, Nenek sudah kenyang".
"Kalo gitu, Echa ambilkan minum aja ya Nek", ucap istri Gua lagi seraya berdiri dari duduknya, membawa gelas minum Nenek, dan berjalan kearah counter refill minuman.
"Istri mu baik kan " Tidak salah toh kami menyarankan kamu menikahinya Za..", Nenek tersenyum kepada Gua lalu melirik kepada Echa yang masih mengisi gelas Nenek dengan minuman dingin. Gua mengangguk kepada Nenek. "Iya Nek, alhamdulilah..", jawab Gua.
"Jaga keutuhan rumah tangga kalian ya Za, yang namanya berumah tangga pasti ada saja pasang surutnya. Tapi itu semua sebagai ujian dan cobaan dalam membina rumah tangga, dan kamu sebagai kepala keluarga harus bisa membawa keluarga mu ke jalan yang baik.. Mulailah bersikap lebih dewasa dan menahan emosi mu mulai sekarang ya", Nenek memberikan wejangan kepada Gua dengan tetap tersenyum dan nada yang halus.
"Iya, insha Alloh Eza ingat kata-kata Nenek, dan semoga Eza bisa menjadi kepala keluarga yang baik, bertanggungjawab dan amanah", jawab Gua.
"Aamiiin..", balas Nenek.
Tidak lama kemudian Echa kembali dengan segelas minuman dingin yang sudah terisi penuh untuk Nenek, dan duduk kembali di samping Gua.
"Mas..", panggil Echa kepada pelayan resto.
"Iya Mba, mau pesan lagi ?", tanya si pelayan ketika sudah berdiri di samping istri Gua.
"Oh enggak, saya cuma mau minta tolong makanan yang ini di bungkus ya Mas", jawab istri Gua sambil mengangkat sebuah piring yang masih berisi makanan favoritnya itu.
"Oh oke Mba..",
"Sebentar saya bawa dulu ya Mba", jawab pelayan kali ini sambil menerima piring berisi makanan itu dan berlalu kearah dapur.
"Itu yang kamu bungkus nama makanannya apa Cha ?", tanya Nenek penasaran. "Tempura Nek...".
... ... ... Singapore, september 2007.
Sepuluh hari sebelum menjelang puasa ramadhan di tahun 1428 Hijriyah, Gua bersama istri sedang menikmati liburan, hari itu adalah hari pertama Gua dan Echa berada di negara singapura, untuk hari pertama ini kami berjalan-jalan ke beberapa tempat yang menjadi icon negara tersebut, dari mulai esplanade, patung merlion dan furlethon.
Tidak lupa kami berdua melakukan sesi foto di depan esplanade, menuju merlion park melewati esplanade Bridge. Dan seperti kebanyakan turis lainnya, rasanya tidak afdol kalau tidak mengabadikan momen ini di depan patung merlion dengan background esplanade diseberang kanal dan furlethon hotel, juga gedung yang menjulang tinggi di sisi lain.
Setelah puas di merlion park, kami menyeberang kanal di samping furlethon hotel, melewati quay atau jalan setapak dipinggir kanal sampai dengan raffles landing site, yang katanya di klaim sebagai tempat pertama kali raflles menginjakan kaki di singapura. Menjelang sore hari, kami berdua makan di sebuah resto, kami memesan nasi hainan serta bebek panggang sebagai lauknya. Selesai makan dan sedikit jalan-jalan, kami berdua kembali ke hotel untuk beristirahat. Keesokan harinya kami kembali jalan-jalan, untuk hari kedua ini, sepertinya Gua yang menemani sang istri, karena dia ingin membeli ehm, tas. Siang hari Gua menemani Echa ke beberapa pusat perbelanjaan untuk memburu tas yang ia inginkan, tidak banyak tempat yang kami sambangi di siang itu karena Gua hanya menemani Echa menuntaskan hasrat belanjanya.
Barulah ketika malam hari kami bertolak ke wahana baru di sentosa island yang berlokasi di siloso beach, di depan beach station. Sebelumnya wahana ini berlokasi di magic fontain. Kami berdua antri cukup lama. Quite manifique, opera dengan kecanggihan 3-D berlayar air mancur. Setelah pertunjukan kami kembali pulang ke hotel, lelah rasanya.
Di hari terakhir, Gua dan Echa berjalan-jalan ke little India, sekedar melihat-lihat orang keling di sana, sambil makan siang di restoran india, makan curry dan roti prata di dunloop street. Lalu setelah itu kami berdua mengunjungi china town, untuk membeli souvenir kecil-kecil dan kaos sebelum pulang ke tanah air.
Saat masih berjalan-jalan di china town, Gua dan Echa masih asyik melihat barang-barang yang dijajakan oleh para penjual souvenir. Lalu Gua iseng untuk mengabadikan lagi momen liburan kami ini menggunakan kamera pocket. Gua asyik meng-capture kegiatan istri Gua dari berbagai sudut, yang tentunya istri Gua tidak menyadari. Setelah itu masih sambil berjalan ke tempat lainnya, Gua mengcapture suasana china town, tidak begitu ramai memang, karena saat itu bukanlah hari liburan. Gua masih menyapukan kamera ke berbagai spot sampai akhirnya, ketika Gua tidak sengaja membidik sebuah toko atau gerai, Gua melihat seorang wanita dalam bidikkan kamera pocket yang Gua genggam ini.
Jari tangan Gua secara tidak disengaja menekan tombol capture. Cklik.. foto ter-capture.
Gua langsung menurunkan kamera dan menatap tidak percaya ke objek di depan sana. Objek yang baru saja Gua abadikan dalam kamera pocket yang Gua genggam. Objek itu masih berada di depan toko tersebut, dia seorang diri, mungkin sedang bernegosiasi dengan si penjual.
Lalu tidak lama, ia pergi meninggalkan toko itu setelah menerima sebuah kantung berwarna cokelat dari penjual dan memeluknya di depan dadanya. Dia mulai berjalan menjauh kearah lainnya. Gua masih terpaku, berdiri terdiam melihatnya yang perlahan semakin jauh dari pandangan Gua. Sampai akhirnya sebuah senggolan dari seorang bule yang tidak sengaja berjalan dari arah belakang Gua mengenai lengan kanan ini.
"Oh.. Sorry sir..", ucap si bule.
Gua menengok kearahnya. "Oh ya, no problem..", balas Gua.
Lalu Gua tidak memperdulikan lagi si bule yang kembali berjalan, Gua kembali menengok kepada wanita yang tadi Gua foto, tapi sosoknya sudah tidak ada dari pandangan Gua. Pada akhirnya Gua berlari, ya Gua berlari mengejar sosok wanita yang menjadi objek foto Gua.
Cukup jauh jarak antara tempat Gua berdiri hingga ke toko dimana ia tadi Gua foto. Gua masih berlari untuk mengikuti arahnya berjalan. Lalu ketika Gua sudah berada di jalan lainnya, Gua melihatnya, melihat dia yang baru saja menaiki sebuah bus dari shelter yang berjarak kurang lebih lima belas meter dari tempat Gua berada.
Dia memasuki bus itu, lalu ketika Gua baru saja sampai di shelter, pintu bus tertutup. Gua menatapnya.. Ya Gua menatap dia yang baru saja masuk dan berada di dalam bus.
Entah ini hanya kebetulan semata atau hal lainnya yang tidak dapat Gua mengerti saat itu. Mungkin Tuhan masih memberikan keempatan untuk Gua melihatnya lagi, sekalipun kami belum sempat untuk bertemu dan berbicara seperti dulu. Tidak dapat dipercaya rasanya, seperti sebuah adegan film, tapi apa yang Gua alami dan rasakan benar-benar terjadi, nyata adanya.
Dia membalikkan badan dan tidak sengaja menatap keluar dari dalam bus, hanya sekian detik, ya hanya sekian detik saja mata kami saling bertemu. Wajahnya yang selama ini selalu Gua tatap dari jarak dekat, kini hanya bisa Gua lihat dari luar. Dimana Gua masih berdiri terpaku melihatnya yang terkejut seraya menempelkan kedua tangannya di balik jendela bus itu. Dan... Seiring bus yang kian cepat berjalan meninggalkan shelter ini, sosoknya kembali pergi, pergi dan menghilang lagi dari hadapan Gua.
"Zaaa...", "Hey.. Haduh.. Kamu ngapain " Aku panggilin gak nengok.. Hey..", ucap istri Gua yang sudah berada di samping dengan nafas yang sedikit terengah-engah.
Gua masih terpaku menatap bus itu yang kian menjauh. "Za.. Sayang... Kamu liatin apa sih ?".
"Vera...", jawab Gua tanpa menoleh kepada Echa.
PART 55 Hanya sekilas pandangan kami saling bertemu tanpa bisa saling menyapa. Setelah beberapa bulan kebelakang, dan kini, hari ini Gua kembali melihatnya, Seorang wanita yang pernah Gua cintai. Tapi sepertinya sang waktu belum memberikan kami kesempataan untuk saling berbicara, saling bertemu secara sengaja dan membicarakan hal-hal yang belum sempat kami selesaikan. "Seriously Za.. Vera ?", tanya istri Gua tidak percaya dengan cerita Gua.
Gua menatap jalan di samping kiri dari dalam cafe, lalu kembali mengingat kejadian tadi. "Iya, aku yakin itu Vera..", jawab Gua tanpa menoleh kepada istri Gua yang duduk dihadapan Gua itu.
"Apa dia juga lagi liburan " atau tinggal di sini jangan-jangan..", terka istri Gua sambil menatap ke luar jendela.
Gua menggelengkan kepala pelan lalu memejamkan mata sesaat. "I don't know Cha, tapi kesempataan tadi harusnya bisa buat aku nemuin dia.. Mmm.. Maksud aku, maaf..", lanjut Gua kali ini menatap wajah Echa.
"Sssttt.. Enggak apa-apa Za, aku ngerti kok.. Ada hal yang memang belum sempat kalian selesaikan toh ?", jawab istri Gua sambil menaruh tangannya di atas tangan Gua dan tersenyum.
Gua bersyukur memiliki istri seperti Echa, wanita yang paling memahami dan mengerti Gua saat ini. Dan Gua pun harus lebih bisa menjaga perasaan Gua lagi. Karena andaikan tadi Echa tidak berada di samping Gua saat melihat kepergian Vera di dalam bus, mungkin saja Gua mengejarnya, entah bagaimanapun caranya. Ketika tadi Gua masih terpaku menatap bus yang semakin jauh, Gua tersadar kalau Gua tidak bisa memaksakan diri ini untuk mengejar Vera, karena sekarang Gua sudah memiliki pendamping hidup. Hati Gua memang menginginkan mengejar dan bertemu lagi dengan Vera, tapi bersyukurlah Gua, logika dalam otak ini mengingatkan bahwasannya Gua tidak bisa sembarangan mengejar wanita lain.
"Seenggaknya kita tau informasi rute bus tadi Za, lain waktu kita bisa cari Vera lagi.. Sabar ya sayang", ucap istri Gua lagi seraya tersenyum kepada Gua.
... Hari ini kami harus pulang lagi ke Indonesia, karena memang sudah jadwalnya kami hanya berlibur di singapura hanya tiga hari dua malam. Saat kami berdua meninggalkan cafe itu, Echa sempat mengajak Gua untuk kembali ke toko dimana Vera membeli kebutuhannya, Echa menanyakan sosok wanita yang beberapa menit lalu datang ke toko tersebut, tentunya dengan memberikan ciri -ciri sosok Vera yang Gua lihat. Wanita yang mengenakan busana muslim dengan hijab yang berwarna biru muda, senada dengan busananya. Dan beruntunglah kami, si pemilik toko tersebut ingat dengan Vera. Ternyata Vera memang cukup sering membeli kebutuhannya di toko tersebut, dan kunjungan dia ke toko itu adalah kunjungan keempat kalinya dalam enam minggu terakhir ini.
Walaupun kami berdua belum mengetahui alamat dimana Vera tinggal, setidaknya Gua dan Echa sudah menyimpulkan bahwa Vera sepertinya memang menetap di negara Singapura. Mungkin di lain hari, ya mungkin.. Gua bisa menemuinya lagi. Semoga saja...
... ... ... Setelah kepulangan Gua dan Echa dari Singapura, Gua tidak lagi bertemu dengan Vera. Tapi Gua sempat menanyakan kepada Gusmen, sekaligus memberitahukan kepada sepupunya itu kalau Vera berada di Singapura, tapi sekali lagi, entah dia benar tidak mengetahui atau hanya menutupi, Gusmen tidak tau sama sekali perihal Vera yang berada di Singapura. Gua pun akhirnya memilih kembali membiarkan semuanya berjalan apa adanya lagi. Mungkin memang sudah harus seperti ini jalannya. Untuk Gua dan Vera.
Puasa ramadhan tahun 1428 H telah memasuki hari kedua ketika Gua dan Echa sudah kembali menjalani rutinitas perkuliahan kami. Saat itu Gua sedang mengikuti pelajaran mata kuliah bahasa mandarin di dalam kelas.
Tidak ada yang menarik pada perkuliahan Gua saat ini untuk diceritakan. Selesai menjalani perkuliahan, sekitar pukul dua siang Gua sudah pulang, tapi hari ini Gua sedang ingin bertemu Kinan. Gua berada di apartemen tante Gua itu dan menceritakan liburan Gua selama di Singapura, dan ujungnya jelaslah Gua lebih menceritakan pertemuan tidak sengaja dengan Vera di sana. "Vera tinggal di singapur Za ?", tanyanya sedikit terkejut.
"Kayaknya sih gitu Kak, tapi gak tau juga..", jawab Gua sambil merebahkan tubuh di sofa. "Jadi kalian cuma saling liat aja " Gak sempat ngobrol ?".
Gua menggelengkan kepala pelan sambil menatap langit-langit apartmennya ini. "Enggak Kak, enggak sempat..".
Lalu Kinan duduk di samping Gua. "Za.. Kamu gak ngarepin Vera lagi kan ?", tanya Kinan dengan nada suara yang pelan.
Gua melirik kepadanya, lalu menegapkan tubuh untuk duduk dengan tegap, tangan kanan Gua menopang dagu dan mata Gua terpejam. "Aku cuma berharap ada penjelasan soal kepergiannya tanpa pamit waktu itu..", jawab Gua dengan nada suara yang tak kalah pelan. Gua mendengar Kinan menghela nafasnya dengan perlahan. "Yakin cuma itu ?".
Gua membuka mata, lalu menyerongkan tubuh kearah Kinan, menatapnya dengan ekspresi wajah yang datar.
"Kenapa nanya gitu Kak ?".
"Jangan bohong Za, hati kamu belum sepenuhnya lupain dia", "Dan.. Perasaan cinta kamu ke dia gimana " Heum ?".
"Huuuftt...", "Entahlah... Aku bingung dan gak yakin".
Tepp... tangan kanan Kinan menepuk paha kiri Gua. "Inget Echa Za.. Dia udah jadi pasangan yang sah untuk kamu sekarang", ucap tante Gua itu, lalu dia bangkit dari duduk dan berjalan ke arah dapur.
Gua memikirkan kata-kata Kinan barusan, tersadar akan status hubungan Gua dengan Echa saat ini. Benar apa yang dikatakan tante Gua itu, Gua tidak boleh sembarangan mengejar Vera dengan perasaan yang masih ada di dalam hati untuk dia.
"Za, kamu udah ngabarin Echa ada disini sekarang ?", tanya Kinan sambil mengeluarkan bahan masakan dari kulkas.
"Oh.. Udah kok, pulang kuliah tadi aku sms dia dulu dan gak apa-apa katanya", jawab Gua sambil memperhatikan Kinan yang mulai mencuci sayuran di wastafel.
"Oh syukur kalo gitu..",
"Inget selalu ngabarin istri kamu Za kalo pergi kemana-kemana", lanjutnya yang masih mencuci sayuran dan membelakangi Gua.
"Iya Kak..". Tidak lama kemudian hp Gua berdering, sebuah nada panggilan masuk dari kontak yang Gua beri nama 'My Wife'.
Quote:Percakapan via line :
Gua : Assalamualaikum Cha.
Echa : Walaikumsalam Za, kamu masih di apartemen Kinan ". Gua : Iya, aku masih di apartemennya, kenapa Cha ".
Echa : Enggak apa-apa, ini aku mau kabarin kalo bentar lagi aku selesai kelasnya, kamu mau aku jemput kesitu atau gimana ".
Gua : Oh, gak usah Cha, kita janjian di stasiun depok aja ya, kasian kamu kalo jemput kesini, jauh. Echa : Yakin " Gak apa-apa kok kalo aku kesitu, sekalian ngabuburit nanti, gimana ".
Gua berpikir sejenak, menimang-nimang, apakah membiarkannya berkendara dari kampus ke sini atau Gua yang pulang naik kereta dan janjian di stasiun.
Echa : Za " Udah aku kesitu aja ya, enggak apa-apa kok.. Ya sayang ".
Gua : Mmm.. Yaudah kalo kamu maunya gitu, hati-hati di jalan ya sayang. Echa : Okey, aku berangkat sebentar lagi ya.. Assalamualaikum sayang. Gua : Iya, walaikumsalam sayang.
Gua menaruh hp diatas meja setelah selesai menerima telpon, lalu membuka jas kampus dan menaruhnya di sisi kasur, kemudian Gua berdiri seraya membuka kancing lengan kemeja dan menggulungnya hingga sesiku.
"Echa mau kesini ?", tanya Kinan kali ini sambil memotong ayam.
"Iya Kak, biar sekalian ngabuburit katanya", jawab Gua sambil menggulung lengan kemeja satunya lagi.
"Yaudah kalo gitu buka puasa disini aja, kita makan bareng-bareng", ucapnya memberi saran.
"Boleh juga tuh..",
"Yaudah aku shalat dzuhur dulu ya Kak, abis itu aku bantuin kamu masak".
"Yee.. Kirain udah shalat kamu, dasar. Yaudah sana cepetan shalat, udah mau abis tuh waktunya, bentar lagi adzan ashar".
Gua pun bergegas ke kamar mandi untuk mengambil wudhu. "Hehehe... Iya iya, lupa tadi di kampus..", jawab Gua sambil memutar keran air.
Singkat cerita setelah melaksanakan ibadah empat raka'at, Gua kembali ke dapur, sekarang Gua sedang memasak sayur dan beberapa menu makanan untuk buka puasa nanti bersama tante dan istri Gua.
Setengah jam kemudian, kami berdua sudah selesai memasak, lalu kami melaksanakan ibadah shalat ashar di tempat terpisah. Beres melakukan ibadah lagi. Gua duduk di ruang depan, menonton Tv, sedangkan Kinan memilih berisitirahat di kamarnya.
Sekitar pukul empat lebih, Echa sudah datang, Gua membukakan pintu untuknya dan mempersilahkannya masuk.
"Sepi sih Za, Kinan kemana ?", tanya istri Gua seraya mencium tangan Gua lalu menaruh tasnya di sofa dan duduk.
"Kinan lagi istirahat dikamarnya, tidur kayaknya sih", jawab Gua yang ikut duduk di samping Echa.
"Ooh.. Tadinya aku mau ajak kalian jalan-jalan sambil nunggu buka puasa", "Oh ya, kita buka puasa diluar aja ya, ajak Kinan sekalian".
Gua merangkulkan tangan kiri ke bahu istri Gua itu. "Aku sama Kinan udah masak tadi, kita makan disini aja ya, masakannya enak kok.. Kinan sih tadi yang ajak, mau kan ?".
"Oh ya " Boleh-boleh, kita belum pernah makan bertiga juga kan..", jawab Echa sambil tersenyum. "Iya, makanya.. Oh ya, kamu mau istirahat dulu ?", tanya Gua.
"Nanti aja, aku mau shalat ashar dulu Za".
Kemudian Gua menunjukkan letak kamar mandi untuk Echa mengambil wudhu, setelah itu Echa mengambil mukena yang memang sering dia bawa saat berpergian dari dalam tasnya, lalu melaksanakan ibadah di kamar depan.
Selesai istri Gua melaksanakan ibadah, Echa duduk bersama Gua di sofa, kami berdua menonton Tv yang tidak lama kemudian Kinan keluar dari dalam kamar. Wajahnya terlihat sekali baru bangun tidur yang membuat Gua terkekeh pelan.
"Hai Nan..", sapa Echa sambil berdiri.
"Eh Echa, udah dari tadi ?", tanya Kinan sambil menyambut cipika-cipiki Echa. "Iya, maaf ya jadi ganggu istirahatnya", jawab Echa setelah melepaskan pelukkannya.
"Ah enggak kok, sebentar ya, aku ke kamar mandi dulu", jawab Kinan lalu berlalu menuju kamar mandi.
Gua dan Echa menawarkan Kinan untuk ikut jalan-jalan keluar, sekedar menunggu waktu berbuka puasa, tapi sepertinya Kinan memang sedang tidak ingin kemana-kemana, jadilah Gua dan istri pergi berdua.
Kami berdua tidak menggunakan kendaraan ketika jalan-jalan, hanya berjalan di sekitaran apartemen Kinan, ternyata cukup banyak yang sudah berjualan makanan pembuka puasa di pinggir jalan ini. Echa membeli es buah serta kolak sebagai menu awal buka puasa untuk kami bertiga. Setelah itu kami hanya duduk santai menikmati sore hari di taman yang terletak di dalam bagian bawah apartmen itu. Sekitar pukul setengah enam sore, Gua dan Echa kembali naik ke lantai atas, menuju kamar Kinanti.
Sesampinya di kamar Kinanti, Echa dan tante Gua itu menyiapkan hidangan untuk berbuka puasa. Gua kembali duduk di sofa sambil menunggu mereka mempersiapkan makanan. Tidak lama setelah itu, adzan maghrib berkumandang dari salah satu stasiun Tv yang menyala.
Singkat cerita, kami bertiga berbuka puasa bersama di apartemen ini. Selesai menyantap menu pembuka yang manis-manis dan menghabiskan masakan yang dibuat oleh tante Gua itu, Echa membantu Kinan mencuci piring kotor di dapur apartemennya. Pukul tujuh malam kami berdua pamit pulang kepada Kinan dan tidak lupa mengucapkan terimakasih.
... ... ... Skip.. Sudah tiga minggu bulan ramadhan tahun 2007 ini Gua lalui dengan kehidupan Gua yang baru, berumah tangga. Sejauh itu pula kehidupan Gua bersama istri terbilang masih hangat dan belum ada pertengkaran diantara kami, bukannya berharap seperti itu, tapi yang namanya suami istri kan terkadang ada saja yang diperdebatkan, wajarlah, hampir sama juga biasanya sama yang masih pacaran. Cuma bedanya kan hal yang diperdebatkan lebih serius dalam rumah tangga.
Hari minggu menjelang satu minggu sebelum lebaran, kami sudah memasuki libur kuliah, bahkan istri Gua sudah libur terlebih dahulu satu minggu sebelumya. Memang jadwal perkuliahan kami berbeda sih, dan perkuliahan Gua itu tidak seperti fakultas lain pada umumnya. Gua seolah-seolah kuliah dengan jadwal seperti anak SMA, terjadwal rapih dari pagi hingga menjelang sore hari. Tidak ada mata kuliah yang rentang waktunya berjarak beberapa jam seperti fakultas lain. Semuanya padat layaknya anak SMA pokoknya.
Saat itu sore hari, Gua sedang mencuci si Black di halaman rumah Nenek, sedangkan Echa dan Nenek pergi ke supermarket berdua menggunakan mobil Echa. Masih asyik dengan aktifitas mencuci mobil, sebuah sedan memasuki halaman rumah dan berhenti tepat di depan teras kamar Gua. Lalu Gua menghentikan sejenak kegiatan mencuci mobil ini, dan menunggu siapa gerangan yang datang bertamu.
"Sore Za", ucap seorang wanita yang turun dari pintu kemudi sambil tersenyum.
Gua cukup terkejut melihatnya. Sudah lama, bahkan cukup lama rasanya kami tidak bertemu. Sudah satu tahun rasanya terakhir kali kami bertemu, dan saat itu di rumah ini. Ya Gua tidak lupa, pertemuan terakhir kami di rumah ini pada malam hari.
"Eh.. Hai juga", jawab Gua masih terkejut akan kehadirannya. "Kaget banget kayaknya Za, hihihi..", ucapnya seraya tertawa pelan.
"Eeuu.. Ya iya sih.. Hahah..", ucap Gua salah tingkah,
"Wajarlah, kita terakhir ketemu setahun yang lalu, sekarang kamu tiba-tiba datang kesini, kemana aja ?", tanya Gua.
"Oh jadi aku gak boleh nih main kesini ?", tanyanya dengan nada bercanda.
"Hahaha.. Bukan, maksud aku.. Kamu tuh selalu datang tiba-tiba gini dari dulu, sebelumnya gak ada kabar, eh tiap tahun nongol sekali hahaha..", jawab Gua.
"Iya sih ya.. Hahaha.. Maaf ya Za, aku sibuk kuliah juga, lagian kita kan emang gak ada kontak masing-masing, susah mau hubungin kamu, ini aja aku lagi libur kuliah baru pulang ke rumah, sekalian mampir kesini, inget kamu sama Nenek", jawabnya.
"Iya juga, eh makasih masih inget sama Nenek", jawab Gua,
"Eh duduk dulu deh, di teras aja ya gak apa-apa kan.. Aku sebentar lagi beres nyuci mobil nih", lanjut Gua.
"Ah santai aja Za",
"Nenek kamu kemana ?", tanyanya.
"Oh Nenek lagi pergi sama istri ku ke supermarket, beli bahan masakan untuk buka puasa", jawab Gua.
"Istri " Istri kamu ?", teman lama Gua ini terkejut mendengar jawaban Gua itu.
"Oh iya, kamu belum tau ya, hahaha.. Maaf maaf, aku bukannya gak mau undang kamu, aku gak ada kontak kamu dan enggak tau rumah mu, jadi bingung mau kasih undangan kemana", jawab Gua.
"Hmmm.. Iya enggak apa-apa sih, cuma kok kamu udah nikah Za, emang... Mmm.. Maaf ya, ada apa sampai kamu nikah muda ?".
Gua akhirnya menghentikan aktifitas mencuci mobil, lalu Gua mencuci tangan dan mengajaknya duduk di sofa teras depan kamar.
"Mau minum apa " Kamu enggak puasa kan ?", tawar Gua.
"Eh gak usah, enggak perlu nyediain minum Za, aku udah makan juga sebelum kesini kok", jawabnya sungkan.
"Ah enggak apa-apa, gak perlu gak enak gitu, cuek aja lah, sebentar ya aku bikinin sirup aja". "Za, gak perlu, udah sini aja.. Cerita sama aku..".
Gua tersenyum kepadanya, lalu Gua duduk di sofa sebrangnya. Dan Gua pun mulai bercerita kepada teman lama Gua ini. Gua hanya menceritakan garis besar ketika Gua ditinggalkan Vera beberapa bulan lalu, tapi tidak menceritakan kejadian yang dialami Vera. Gua menceritakan terpuruknya Gua karena ditinggal pergi oleh Vera saat itu dan membuat Gua stres lalu Echa lah yang selama ini menemani Gua hingga akhirnya kami menikah.
"Segitu hancurnya kamu ditinggal perempuan ?", tanyanya heran setelah mendengar cerita Gua.
"Mmm.. Bukan sekedar ditinggal sih, tapi ada satu kejadian yang.. Maaf aku gak bisa ceritain sama kamu, tapi intinya ya begitu.. Aku memang hancur ketika dia pergi tanpa pamit dan akhirnya aku memilih Echa untuk menjadi istri aku", jawab Gua.
"Echa ya.. Mmm.. Yang waktu itu aku ketemu sama dia di rumah ini kan " Sehabis lebaran tahun kemarin kalau gak salah ya..".
Gua mengangguk sambil tersenyum kepadanya. "Iya.. Yang waktu itu ketemu kamu sekali di ruang tamu", jawab Gua membenarkan.
"Tapi rasanya berat banget ya Za disaat kamu nikahin Echa, Ayah kamu juga meninggal di waktu yang bersamaan..", ucapnya lagi.
"Ya, gitulah.. Mungkin udah takdirnya harus seperti itu...".
"Hmmm.. Ya aku cuma bisa mendo'a kan yang terbaik untuk kamu dan keluarga kamu sekarang". "Iya, makasih ya..".
"Oh iya Za, kamu sekarang kerja atau gimana ?", tanyanya lagi.
"Enggak, aku masih kuliah kok, istri ku juga masih kuliah.. Tapi ya aku ada usaha kecil-kecilan sih, beli franchise gitu, lumayan untuk kebutuhan aku sama istri, hahaha".
"Oh syukur deh kalo gitu, tetap semangat ya Za, kuliahnya jangan sampai terbengkalai", ucapnya memberi semangat.
Gua tersenyum dan mengangguk mendengar ucapannya itu.
Tidak lama kemudian, mobil istri Gua datang. Lalu Gua meminjam kunci mobil teman Gua itu agar mobil istri Gua bisa masuk dulu ke halaman parkir rumah. Setelah Echa memundurkan mobil dan Gua mengeluarkan mobil teman Gua, barulah Echa memarkirkan mobilnya di samping si Black, dan Gua memarkirkan mobil teman Gua di depan teras lagi.
"Ada siapa Za ?", tanya istri Gua ketika sudah turun dari mobilnya.
"Teman lama..", jawab Gua sambil tersenyum dan membantu membawakan plastik belanjaan dari tangannya.
"Siapa teman kamu Za ?", tanya Nenek kali ini. "Luna..", jawab Gua.
PART 56 Ketika adzan maghrib berkumandang, Gua, Echa dan Nenek sudah duduk di kursi ruang makan, masakkan yang Nenek dan istri Gua masak sudah tersaji di atas meja makan di depan kami. Segelas teh manis hangat disodorkan kepada Gua oleh Echa, lalu dia duduk di kursi samping Gua.
Setelah membaca do'a buka puasa, kami pun membatalkan ibadah saum hari ini dengan meneguk air mineral.
"Alhamdulilah.. Kamu mau aku ambilkan kolak pisang ?", tanya Echa setelah meminum air mineral.
"Makasih Cha, tapi nanti aja, lagi gak pengen aku.. Ini aja dulu", jawab Gua seraya mengangkat gelas berisi teh manis hangat lalu meminumnya.
Kemudian Echa dan Nenek menyantap kolak mereka masing-masing, sedangkan Gua hendak beranjak ke depan untuk merokok. Gua membawa segeles teh manis tadi ke depan teras, dan menikmati sebatang rokok yang baru saja Gua bakar. Lalu Gua duduk diatas sofa depan kamar, menikmati suasana sore hari yang diiringi dengan suara adzan maghrib dari masjid yang jaraknya tidak begitu jauh dari rumah Nenek.
Gua baru menghabiskan rokok setengah batang ketika istri Gua keluar dari pintu kamar sambil membawa semangkuk kolak miliknya tadi. Lalu dia duduk tepat di samping Gua. "Maghrib kok malah di luar Za", ucapnya.
"Lagi ngerokok dulu Cha, hehehe...", jawab Gua seraya menghembuskan asap rokok ke sisi lain.
"Buka puasa langsung ngerokok kamu tuh, hmm..", Echa menatap kepada Gua sambil menyendok kolak pisang dari mangkuk yang ia genggam.
"Hehehe, maklum ya, aku kan perokok, abis buka males langsung makan, suka mules perut.. Jadi teh manis sama rokok juga cukup".
"Yaudah masuk yuk, di dalem aja ngerokoknya, yuk..", ajaknya seraya bangun dari duduk.
Akhirnya Gua pun menuruti istri Gua, kami berdua masuk ke dalam kamar, lalu Echa mengunci pintu kamar dari dalam, Gua duduk di tepian kasur setelah mengambil asbak dari meja belajar. Kemudian Echa duduk di sisi kasur lainnya setelah dia menaruh mangkuk kolak yang belum ia habiskan. "Sayang, aku mau nanya boleh ?", ucapnya kali ini sambil menggeser duduknya mendekati Gua.
Gua tersenyum kepada Echa. "Boleh lah, mau nanya apa ?", tanya Gua balik.
Echa memainkan ujung kaos yang ia kenakan sambil menundukkan kepala sedikit. "Kamu.. Sama Luna kenal dimana ?", tanyanya kali ini seraya menoleh kepada Gua dengan tatapan sedikit sayu.
Gua kembali tersenyum dan mematikan rokok yang memang hampir habis ke asbak di atas lantai kamar, lalu Gua meneguk cukup banyak teh manis hangat dan kembali menaruhnya.
"Aku kenal sama dia waktu jemput Mba Yu di sekolahnya dulu", ucap Gua mulai bercerita sambil menyerongkan tubuh kearah istri Gua itu.
"Mm.. Maksud kamu, Mba Yu dan Luna itu satu sekolah ?".
Luna, ketika tadi sore dirinya bertamu, kami berdua mengobrol di ruang teras depan kamar Gua, tentunya bersama Echa dan Nenek Gua. Hanya obrolan santai dan saling menanyakan kabar yang kami obrolkan tadi. Sempat Echa dan Nenek mengajak Luna untuk makan bersama dengan kami ketika akan berbuka puasa, tapi Luna mungkin sungkan dan memilih untuk pulang, Gua sempat bertukar nomor hp kali ini dengan Luna, yang tentunya sudah mendapatkan izin dari istri Gua. Oh ya, Nenek dan Echa tau kalau Luna ini non-muslim.
Gua mengangguk cepat. "Iya, mereka teman sekolah dulu.. Tapi..", Gua menahan ucapan Gua sambil memalingkan muka sedikit dari tatapan istri Gua itu.
"Tapi kenapa Za ?".
Akhirnya Gua pun menceritakan bagaimana Gua mengenal Luna dari awal dan bagaimana hubungan kami yang selama ini jarang berkomunikasi hingga sekarang. Setelah apa yang Gua lalui selama ini, Gua tidak pernah menutupi cerita apapun yang istri Gua ingin ketahui. Sedetail-detailnya, seburuk apapun cerita tersebut pasti Gua katakan kepada istri Gua ini, sekalipun ia merasa cemburu, marah atau bahkan terkejut dengan segala prilaku Gua yang belum ia ketahui, Gua tetap menceritakannya, karena kejujuran adalah hal yang utama dalam membina rumah tangga. Echa akhirnya mengetahui siapa Luna bagi Mba Yu, yang bisa dibilang sebagai musuh, memang hubungan Mba Yu tidak baik dengan Luna selama ini, apalagi sampai kejadian ketika Gua dan Luna berciuman di kamar ini dan diketahui oleh Mba Yu. Semakin buruk saja hubungan keduanya, dan imbasnya, putuslah hubungan Gua dengan Mba Yu saat itu.
Istri Gua terkejut ketika dia akhirnya mengetahui alasan yang sebenarnya Gua putus dengan Mba Yu di masa lalu, istri Gua menggelengkan kepalanya sambil menatap Gua tajam.
"Emmmang yaaaa... Kamu itu resee!! Hiiihh!".
Kyuuuuttt... asli Gua gak bohong, kalau istri Gua udah ngeluarin 'Jubir' nya, alias 'jurus cubitan melintir' nya, ampun ampunan Gua Gais.. Sakiiitt pake banget plus perih sareung peurues bray!!
"Aaaww.. aw aw awww.. Ampun sayang, ampuuun, sakit sakit sakit sakiiitt, udaahh..", ringis Gua menahan sakit karena lengan kiri Gua itu kena jubir nya tadi.
"Mau nakal lagi sama Luna "! Iya "!!", cecarnya tanpa sedikitpun mengendurkan cubitannya itu.
"Enggaaak.. Sumpah enggak lagi lagi.. Aku gak nakal sama Luna, Luni, Lusi siapa lah pokoknya.. Enggak asli.. Adudududuuuh.. Sakiittt..".
"Awas kalo macem-macem sama Luna!", ancamnya dengan wajah yang menakutkan, matanya melotot coy.
"Iya enggak Cha.. Enggak sumpah deh.. Aduuh.. Sakit ini", jawab Gua sambil mengelus-ngelus lengan yang ia cubit tadi.
Istri Gua berdiri dari duduknya lalu berkecak pinggang sambil menatap Gua tajam yang masih duduk dibawah.
"Awas ya kamu! Kalo berani main perempuan lain! Aku sumpahin jojo gak bisa bangun seumur idup!", ultimatumnya kali ini serasa petir yang menggelegar di siang bolong...
Modyaaarrr, baru ini wanita yang ngancemnya nyumpahin pusaka Gua sampe gak bisa bangun kalau Gua macem-macem. Mana istri sendiri pula yang ngomong. Gak nyangka Gua, galak dan sadis juga dia. Varah benerrrr
"Iya beneran gak akan nakal lagi", ringis Gua sambil menahan perih dengan nada suara sangat pelaaaan sekaliii.
"Yaudah ayo ambil wudhu, shalat maghrib berjama'ah", ucapnya lalu dia masuk ke kamar mandi di dalam kamar Gua untuk mengambil wudhu.
... Selesai melaksanakan ibadah maghrib berjama'ah dengan istri dan Nenek Gua, kami menyantap makanan di ruang makan bersama-sama, selesai itu, Gua kembali merokok di sofa teras depan kamar yang tentunya sudah mengenakan baju koko serta kopiah. Sekedar menunggu waktu shalat isya dan juga shalat tarawih di masjid nanti.
Istri Gua keluar kamar dan menutup pintunya, serta menguncinya dari luar. Lalu dia duduk di samping Gua. Istri Gua ini terlihat cantik alami karena sudah mengenakan mukena dan sajadah yang ia genggam di depan dadanya.
"Za, berangkat sekarang ke masjid yuk..", ajaknya.
"Sebentar lagi Cha, lagian masih lama mulainya", jawab Gua sambil melirik jam pada pergelangan tangan kiri.
"Hmm..", "Oh iya, sahur mau aku masakin apa " Soalnya pasti kamu gak akan mau makan menu yang sama", ucapnya seraya merapihkan mukenanya.
Ah dia sudah hafal kebiasaan Gua sekarang, Gua memang kurang suka menyantap makanan yang sama dalam satu hari. Kecuali lagi bokek sih.
"Aku udah lama gak makan mie, kamu bikinin mie instan aja ya, yang goreng tapi, pakai telur jangan lupa sama cabai diiris", jawab Gua.
"Kok cuma mie " Nanti gak ada gizi ama tenaganya loch". "Enggak apa-apa, aku lagi pingin makan mie soalnya...".
"Yaudah deh.. Tapi ditambah sama nugget ya, aku beli nugget tadi", lanjutnya.
Gua mengangguk mengiyakan ucapannya itu. Lalu tidak lama kemudian kami berdua pergi ke masjid setelah sebelumnya Nenek keluar dari pintu utama rumah dan mengajak kami berangkat.
Gua melaksanakan shalat isya dan tarawih di masjid bersama Unang dan Icol yang duduk di samping kanan-kiri Gua di dalam masjid saat itu.
"Coy, gimana liburan kemaren di singaparna ?", tanya Icol ketika tarawih masih dalam sesi ceramah. "Singaparna.. Singapura coy, malu-maluin aja Lu ah", balas Gua.
"Hehehe sama aja lah..".
"Ya gitu aja Col, asyik sih.. Ngomong-ngomong sorry yak gak kebagian oleh-oleh", jawab Gua lagi. "Parah Lu, Gua doang ama Robbi yang gak kebagian, heuh!", ucapnya sok-sok kesal.
"Hehehe.. Diabisin ama anak-anak laen coy, sorry sorry dah.. Nanti gantinya Gua traktir Lu aja makan roti bakar tar malem di simpangan sono, mau kagak ?".
"Weh, mau banget, asli nih ya.. Jangan kabur Lu".
"Asli lah, kapan Gua bokis sih.. Jam sepuluhan aja yak", ucap Gua lagi.
"Okey deh, si Unang ajak noh jangan lupa", ucap Icol sambil melirik kepada Unang yang berada di sisi kiri Gua.
"Nang tar malem kita makan roti bakar yak, jam sepuluh", ajak Gua kepada Unang.
"Hehehe.. Sip sip.. Tapi Lu minta izin dulu ama bini sono, tar gak boleh keluar malem lagi, repot urusannya", jawab Unang mengingatkan.
"Okey, insha Alloh ngasih izin dia ma", jawab Gua lagi.
Setelah itu kami semua yang berada di masjid melakasanakan shalat tarawih. ...
Sekitar pukul sembilan malam kurang, Gua sudah berada di rumah lagi. Gua bersama istri Gua sekarang ada di kamar. Gua merebahkan tubuh diatas kasur sambil menonton Tv. Sedangkan istri Gua sedang berganti pakaian tidur di kamar mandi dalam kamar ini. Tidak lama kemudian Echa keluar dari kamar mandi.
"Cha, sini deh", ucap Gua sambil memintanya mendekati Gua.
"Iya..", jawabnya sambil menaruh mukena ke dalam lemari lalu berjalan kearah kasur, "Kenapa Za ?"..
"Sini duduk disini dulu, aku mau ngomong", ucap Gua lagi sambil menepuk-nepuk kasur di samping Gua.
Lalu Echa duduk di samping Gua, diatas kasur, Gua pun merubah posisi dari tiduran jadi duduk dan menyandarkan punggung ke dinding kamar di belakang Gua.
"Ada apa Za ?", tanyanya lagi.
"Aku nanti jam sepuluh mau keluar sama Unang dan Icol", jawab Gua. "Loch malem banget, mau kemana ?", tanyanya heran.
"Aku mau makan roti bakar di simpangan sana itu", jawab Gua lagi, "Boleh enggak ?".
Echa menatap wajah Gua, wajahnya pura-pura berfikir. "Hmmm... Aku ikuuuttt..", ucapnya sambil menyeringai lebar lalu tertawa.
"Hahaha... Dasar, yaudah iya.. Kirain kamu gak mau ikut", ucap Gua sambil mengacak-acak rambut depannya.
"Huuu... Udah lama tau gak makan pisang bakar di situ..", jawabnya sambil memanyunkan bibirnya.
Lalu Gua menarik pinggangnya dan mengecup keningnya. "Duh, manjanya istrikuuu..", rajuk Gua sambil mendekapnya.
Echa hanya tertawa pelan lalu menyandarkan kepalanya ke dada Gua. Tangannya melingkar ke pinggang ini.
"Cha". "Heum ?". "Mau atuh".
"Iiishh.. Dingin tau mandi sebelum saur..", jawabnya sambil memeletkan lidah. jir 'pengen' Gua bulan puasa iki..
...

Asleep Or Dead Karya Bunbun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pukul sepuluh malam, Gua, Echa, Icol dan Unang sudah berada di warung tenda roti bakar dekat komplek rumah kami. Saat itu, Gua dan istri menggunakan motor, si RR, sedangkan Unang dan Icol naik motor milik Unang.
Kami memesan tiga roti bakar untuk kami masing-masing dan satu pisang bakar untuk istri Gua. Sambil menyantap makanan, kami mengobrol banyak hal, dari mulai perkuliahan Gua dan Echa, sampai akhirnya menanyakan status kedua sahabat Gua itu yang ternyata masih jomblo.
"Za, Lu gak mau nyoba bisnis laen " Distro gitu Za, lagi bagus keknya Za sekarang", ucap Unang sambil mengunyah roti bakarnya.
"Hmm.. Kurang menurut Gua Nang",
"Terlalu banyak.. Eh iya.. Gua malah kepikiran buka usaha barber shop nih", jawab Gua tiba-tiba kepikiran membuka usaha baru.
"Wah, itu dia yang oke keknya Za", timpal Icol.
"Hm, boleh juga sih Za, tapi mau tipe barber shop yang gimana " Standar " Apa modern ngikutin gaya jaman sekarang ?", tanya Unang.
"Dua-duanya, fleksibel lah, kudu bisa ngikutin perkembangan zaman, yang jelas potongan standar juga pasti da bisa tuh kapster..", jawab Gua.
"Iya juga ya, boleh tuh sayang ide kamu", ucap istri Gua mengamini niatan Gua itu.
"Cariin lahan Nang, sewa aja dulu kalo bisa, jangan mahal-mahal hehe, baru kalo udah itu cari kapster nya, ya dua orang juga cukuplah", timpal Gua lagi.
"Siap bos, tar gw cariin lokasi yang oke ama harganya yang pas di budget Lu, oh ya kalo pegawai ehm... Nih sebelah Gua jago Za, lupa ente, hehehe", jawab Unang sambil menyenggol lengan Icol dengan sikutnya.
"Oh iya ya.. Si Lau kan jago motong rambut Col.. Gimana sob " Mau ?", tanya Gua kepada Icol. "Bisaa diatuuurr.. Asal bayarannya cocok ma beresss.. Hehehe", jawab Icol sambil tertawa. "Hahaha.. Jangan mahal-mahal lah, baru mau usaha ini Col, hehehe..".
"Hehehe tenang Za, bisa diomongin belakangan itu ma, santai aja, yang penting cari tempat dulu", jawab Icol.
"Oke sip deh", balas Gua lalu kami pun kembali menghabiskan makanan kami masing-masing. Singkat cerita kami pulang ketika malam sudah semakin larut, waktu itu Gua dan Echa sampai di rumah Nenek pukul sebelas malam. Setelah bersih-bersih, kami berdua pun tidur untuk mengistirahatkan tubuh hingga nanti bangun lagi untuk sahur.
Istri Gua membangunkan Gua ketika jam sudah menunjukkan pukul tiga pagi. Gua pun bangun dan menuju kamar mandi untuk cuci muka setelah mengumpulkan kesadaran 100%. Beres mencuci muka, Gua berjalan kearah ruang makan, disini ternyata sudah ada Nenek yang sedang menyantap makanannya sambil menonton Tv.
Gua duduk di sebrang beliau. "Sahur Za..", ucap Nenek.
"Iya Nek, nunggu mie nya mateng dulu tuh, lagi dimasakin Echa".
"Kok malah makan mie, gak makan nasi sama sayur tuh ?", tanya Nenek sambil melihat ke menu sahur di atas meja makan.
"Lagi kepingin makan mie, udah lama gak makan mie heheh...".
Tidak lama kemudian istri Gua duduk di kursi samping kanan Gua, dia menaruh mie goreng instan dengan dua potong nugget dan memberikannya kepada Gua. Sedangkan Echa memakan masakan yang ia masak dengan Nenek tadi sore.
Kami makan dengan khidmat dan khusyuk. Ya gini lah, Echa dan Nenek kan sama, sama-sama tidak pernah bicara saat sedang makan, kecuali ada obrolan yang penting dan mendesak. Singkat cerita kami semua sudah menghabiskan makanan kami masing-masing, Echa mencuci piring kotor, sedangkan Nenek membereskan makanan yang masih ada dan menaruhnya ke lemari makan.
Gua kembali ke luar kamar, tapi Gua tidak duduk di sofa teras, melainkan Gua berdiri di antara jalan masuk halaman dengan teras ini. Baru saja Gua membakar sebatang rokok dan menghembuskannya, dua orang wanita lewat, dan berjalan di depan rumah dari arah luar komplek ke dalam. "Mba Siska... Meli...", panggil Gua sedikit berteriak.
Mereka berdua menengok kearah Gua lalu berhenti di tengah jalan depan rumah. "Hai Za, lagi apa ?", tanya Mba Siska.
"Abis sahur aku Mba, ini lagi ngerokok", jawab Gua sambil mengacungkan rokok yang berada diselipan jemari tangan.
"Ngerokok mulu kamu.. Echa mana Za " ", tanyanya lagi.
"Ada Mba di dalem, lagi cuci piring", "Eh pada darimana ?".
"Abis beli makanan untuk sahur Za, Ibu lagi gak masak", jawab Mba Siska, "Yaudah aku pulang dulu ya Za, ditungguin Ibu soalnya..",
"Salam untuk istri kamu ya", ucapnya sebelum kembali melangkah. "Mari Mas Eza", ucap Meli juga.
"Oh iya iya, nanti di salamin.. Hati-hati Mba.. Mel..", jawab Gua.
Mba Siska hanya mengangguk sambil tersenyum manis sekali. Lalu pergi lagi bersama adiknya. "Ngobrol sama siapa sayang ?", tanya Echa dari balik tubuh Gua.
Gua menengok kebelakang dan melihat istri Gua baru keluar dari kamar dan menaruh secangkir kopi hitam di atas meja teras.
"Oh itu tadi Mba Siska sama Meli adiknya abis lewat depan rumah", jawab Gua sambil berjalan kearahnya.
"Heum ?", "Darimana mereka pagi-pagi gelap gini " Jalan lagi, gak takut ya ?", tanya Echa lagi sambil duduk kali ini.
Gua duduk di sampingnya. "Iya jalan dari depan katanya, beli makanan untuk sahur, Ibunya gak masak", jawab Gua lalu menghisap rokok.
"Oh, eh emang jam segini ada yang jual apa aja di depan Za ?".
"Fuuuhhh...", "Kalo bulan puasa gini, tukang nasi goreng, martabak telur, sama chinese food buka sampe imsak Cha..", jawab Gua lagi.
"Oooh... Biasanya enggak ya " Kalo bukan bulan puasa..".
Gua mengangguk pelan sambil tersenyum. "Oh iya, Mba Siska titip salam untuk kamu katanya", ucap Gua.
"Walaikumsalam..", jawab Echa sambil tersenyum.
PART 57 Menjelang hari raya idul fitri tahun 2007 masehi di bulan oktober, Nenek Gua sudah berangkat ke Bandung setelah dijemput oleh Om Gua lima hari sebelum lebaran. Gua sendiri untuk pertama kalinya merasakan mudik bersama keluarga Echa. Saat itu kami berdua berangkat bersama Papah dan Mamahnya Echa, alias mertua Gua ke Solo dua hari menjelang lebaran.
Pertama kalinya Gua menginjakkan kaki di jawa tengah ini, sebuah suasana yang baru dengan banyaknya sawah serta udara yang asri membuat Gua cukup merasa nyaman berada di kota tersebut. Nanti malam adalah malam takbiran, Gua sedang duduk santai di teras rumah Eyang putri istri Gua dari Papahnya. Bentuk rumahnya unik dan bagus, model rumah joglo.
Istri Gua sedang pergi ke pasar bersama beberapa saudaranya, Gua lebih memilih bersantai di rumah ketimbang pergi jalan-jalan, lagian masih cukup banyak waktu sampai setelah lebaran kami berada di kota ini untuk mengunjungi beberapa tempat wisata.
Papah mertua Gua duduk di samping Gua, di kursi kayu. "Gimana Za di sini suasananya ?", tanya beliau.
"Suasananya enak Pah, adem di sini", jawab Gua sambil menoleh kepada beliau.
"Ya memang masih asri di kampung ini",
"Beda dengan di kota yang mulai panas dan banyak toko modern",
"Dulu, Papah sering mandi di kolam, di depan situ, tepat di bawah pohon jambu itu", ucapnya seraya menunjuk sebidang tanah yang kini sudah tidak ada kolamnya.
"Oh dulu di situ ada kolam Pah.. Kenapa sekarang ditimbun ?", tanya Gua.
Papah mertua Gua tersenyum tipis sambil tetap memandangi tanah kosong yang sempat ada kolam disana.
"Sekitar umur delapan tahun, Papah kehilangan adik Papah, dia meninggal karena tenggelam di kolam itu",
"Waktu itu, dia masih berusia tujuh tahun, dan Papah sedang sekolah, dia tenggelam karena lepas dari pengawasan keluarga", jawab beliau.
Gua cukup terkejut mendengar alasan kolam itu ditimbun. Salah nanya ini sih. Jadi ngerasa gak enak hati Gua karena harus mengungkit kenangan pahit masa kecilnya dulu.
"Ehm.. Maaf Pah, Eza baru tau..", ucap Gua dengan nada pelan.
Papah mertua Gua itu menengok kepada Gua sambil tersenyum. "Za, kamu jagain Elsa ya, usahakan buat dia bahagia.. Apa yang selama ini dia impikan salah satunya sudah terwujud, menikah dengan lelaki yang sudah menjadi sahabatnya sejak kecil", ucap Papah mertua Gua tiba-tiba.
Entah kenapa topiknya malah beralih ke hubungan Gua dan anaknya. Tapi dari ucapannya itu Gua cukup mengerti dan paham, putri semata wayangnya itu adalah satu-satunya orang yang sangat ia sayangi dan cintai, tentunya selain istri beliau.
"Insha Alloh Pah, Eza buat dia bahagia semampu Eza", jawab Gua seraya tersenyum kepada beliau.
"Ya baguslah kalau begitu",
"Ada satu hal lagi Za, tunggu sebentar ya", ucap beliau seraya bangun dari duduknya dan masuk ke dalam rumah.
Hanya sebentar beliau sudah kembali lagi, tapi kali ini dengan sebuah map yang berada di dalam tas plastik bening, lalu Papah mertua Gua kembali duduk dan membuka tas serta mengeluarkan map tersebut.
"Ini coba kamu baca dulu", ucapnya seraya memberikan map tersebut.
Gua menerima map tersebut lalu membukanya. Gua melihat sebuah dokumen yang menunjukkan sebuah sertifikat sebidang tanah, alamat dan lokasinya berada di kota kami. Gua membaca dengan seksama sertifikat tersebut.
"Ehm, ini maksudnya gimana ya Pah ?", tanya Gua selesai membaca sertifikat tersebut. "Itu, sertifikat tanah untuk kamu dan Elsa, kamu bisa bangun rumah di atas tanah tersebut", jawabnya.
Gua cukup terkejut mendengar jawaban beliau. "Mm.. Makasih sebelumnya Pah, tapi rasanya kami berdua belum membutuhkan..", ucapan Gua dipotong oleh Papah mertua.
"Sudah, itu kan atas nama Elsa, memang sudah Papah persiapkan untuk dia sejak lama, kalian gunakan untuk membangun rumah nanti",
"Soal kapan mulai membangun rumah tidak jadi soal, yang penting sudah ada lahannya dulu", ucap beliau seraya tersenyum kepada Gua.
Gua masih tidak percaya dengan apa yang beliau berikan kepada Gua dan istri Gua, entah istri Gua mengetahui hal ini atau tidak, karena selama ini Echa belum sekalipun membicarakan soal tanah tersebut.
"Sebelumnya Eza ucapkan terimakasih banyak Pah, ya mudah-mudahan Eza ada rejeki untuk membangun rumahnya nanti", jawab Gua sambil memikirkan beberapa hal tentang masa depan Gua dan Echa kelak.
Gua bersyukur atas apa yang Gua dan istri Gua terima saat ini, pemberian yang tidak pernah terlintas sedikitpun di benak Gua, apa yang sudah Tuhan berikan sekarang merupakan salah satu kejutan kebahagaiaan luar biasa. Dan rasanya dengan apa yang baru saja Gua terima ini sedikit membebani Gua, bukan Gua menolak atau apa, tapi inikan amanat yang tidak mudah, harus Gua jaga sebaikbaiknya dan membutuhkan usaha yang kuat dengan bekerja secepatnya agar rumah yang akan dibangun bisa cepat terwujud. Sudah barang tentu mertua Gua itu pasti menanyakan hal ini di kemudian hari.
Sekitar pukul lima sore, istri Gua dan saudaranya sudah pulang. Ya dasarnya wanita, tidak jauh dari belanja baju, yang awalnya ke pasar hanya untuk sekedar membeli bahan makanan malah belanja yang lain, dan bahan masakan untuk berbuka malah beli masakan matang. Cewek tuh ya.. Hadeuh...
Waktu berbuka puasa telah tiba, Gua dengan keluarga istri Gua makan bersama di dalam rumah, dan karena banyaknya keluarga yang berkumpul, kami semua makan dengan duduk di bawah beralaskan karpet.
"Sayang mau cobain ini " Enak loch", tawarnya yang duduk di samping Gua. "Gulai ?".
"ya mirip, tapi kalo disini namanya tengkleng Za.. Cobain deh".
Gua mencicipi tengkleng yang di sodorkan kepada Gua, dan... "Ini mana dagingnya Cha " Tulang doang gini sih", protes Gua.
"Hehehe.. Emang gitu sayang, dagingnya sedikit, banyaknya jeroan sama tulang". "Lah kok malah tulang doang sih, aneh-aneh aja".
"Tapi enakkan ?".
"Lumayan daripada lu manyun".
"Yee dasar.. Udah abisin Za".
"Ogah ah, suruh ngabisin tulang.. Eh.. Pantes ya kamu gak makan ini masakan, jeroan doang sih.. Bisaan yang kek gini dikasih ke suaminya".
"hahaha.. Iyalah, mana aku mau makan jeroan Za, kolesterol hihihi..".
Gitu tuh istri Gua, makanan beresiko penyakit kolesterol dan yang cukup berbahaya bagi kesehatan malah dikasih ke suami.
Malam hari setelah berbuka puasa, Gua dan istri jalan-jalan menggunakan motor matic milik saudaranya. Mengitari kota Solo. Menikmati malam hari di kota yang baru Gua singgahi selama ini. Suasananya membuat Gua cukup betah, apalagi masyarakatnya yang memang ramah-ramah, cuma satu sih faktor kendala bagi Gua. Bahasa, yap Gua sama sekali tidak menguasai bahasa jawa. Sekalipun sahabat-sahabat Gua di rumah Nenek rata-rata berasal dari jawa tengah dan jawa timur, tapi mereka jarang menggunakan bahasa daerah mereka. Apalagi Gua yang memang terlahir di jawa barat, benar-benar tidak menguasai bahasa daerah lain selain bahasa sunda. Itupun bahasa sunda yang kasar bukan yang halus.
Banyak cah ayu rupanya di kota ini, gadis-gadis muda belia yang memiliki paras ayu nan manis, asli bumi pertiwi, lumayan memanjakan mata Gua, tapi kan Gua sekarang sedang jalan bareng provost nih, tidak bisa tebar pesona lah Gua, jurus dan pesona Gua harus Gua simpan rapat-rapat kalau tidak mau membangunkan macan betina yang sedang duduk manis di jok belakang. "Ini kita mau kemana nih Cha ?", tanya Gua sedikit berteriak karena sedang mengendarai motor.
"Muter-muter aja Za, jalan-jalan hehehe... Nanti kalau ketemu tempat yang menurut kamu asyik buat nongkrong, berhenti ajaa.." jawabnya dari belakang.
Gua pun mengarahkan motor sesuka hati, mengikuti jalan raya dan berbelok kesana-kesini, entah tujuan mana yang akan Gua singgahi. Beberapa pengendara lainnya mulai memadati jalan raya yang tergolong sempit alhasil terjadi sedikit kemacetan, padat merayap lah, maklum malam takbiran juga sih.
Semaki jauh Gua mengendarai motor bersama istri, semakn ramai pula warga yang jalan malam seperti kami, sampai akhirnya Gua hentikan motor di pinggir jalan ketika Echa menepuk bahu Gua dari belakang.
"Kenapa Cha ?", tanya Gua sambil menengok sedikit ke belakang.
Istri Gua turun dari motor dan melepaskan helmnya. "Beli kembang disitu dulu ya Za", ucapnya.
Echa sedang tawar-menawar dengan penjual bunga, bunga sedap malam dan juga berbagai campuran bunga di kantung plastik. Setelah membeli beberapa bunga yang cukup banyak. Kami berdua kembali naik motor dan menuju satu tempat yang cukup ramai kata istri Gua. Lumayan jauh kami berdua berkendara, hingga sampai di jalan wirengan. Lalu Gua memarkirkan motor di area yang telah disediakan.
"Ini pasar malem ?", tanya Gua sambil berjalan dan memeluk bahu istri Gua yang berada di sisi kanan.
"Ini namanya Alkid Za..", jawabnya. "Alkid ?".
"Alun-alun kidul", jawab Echa. "Oh singkatan, hahaha..".
"Tuh banyak yang dagang makanan, kamu mau beli apa ?", ucapnya sambil menawari Gua jajanan yang dijajakan banyak pedagang di sekitar kami.
Gua memandangi sekitar, lalu sepertinya Gua tertarik dengan bakso bakar yang dijajakan. Btw, kebanyakan penjual bakso bakar yang berjualan di sini, ada sih yang jual jagung bakar, nasi liwet, wedang ronde dan sebagainya. Tapi yang menarik perhatiaan Gua saat ini adalah bakso bakar tadi. Entah mungkin karena saking banyaknya yang berjualan makanan tersebut membuat Gua ingin mencobanya.
Setelah membeli bakso bakar, Gua pun mencicipi makanan tersebut sambil kembali jalan-jalan di Alkid bersama istri Gua, rasa bakso bakarnya pedas manis, maksud Gua saat itu Gua memilih rasa tersebut dari banyaknya pilihan rasa yang ditawarkan.
"Itu di sana, di sebrang ada keraton", ucap Echa ketika kami masih berjalan, sambil menunjuk jauh kearah depan kami.
"Keraton Solo ?", tanya Gua sambil mengunyah bakso bakar. "Iya, Keraton Surakarta Hadiningrat namanya".
"Kamu sering kesini ya ?".
"Setahun sekali Za, kalo libur sekolah waktu SMP sama SMA aja, ya kayak sekarang gini, banyak yang berubah sih.. Beda sama dulu".
"Sekarang bedanya apa Cha ?".
"Bedanya " Perkembangan zaman ?", ucapnya mencoba mejawab maksud pertanyaan Gua tentang perbedaan kota kelahiran Papahnya ini.
Gua terkekeh pelan lalu berhenti berjalan yang diikuti oleh istri Gua juga, lalu Gua berdiri menghadap ke istri Gua, menatap matanya lekat-lekat sambil tersenyum.
"Bedanya sekarang kamu di sini sama aku, suami kamu".
Istri Gua tersenyum lebar lalu memeluk Gua dengan erat. Tidak peduli dengan keadaan sekitar yang cukup ramai, dan beberapa pasang mata dari penikmat malam di alkid seperti kami ini memandangi kami sambil melintas. Gua tertawa pelan ketika dari beberapa orang itu tersenyum geli, mungkin pikir mereka Gua dan Echa adalah sepasang muda-mudi yang baru pacaran. Ah biarlah, tapi kami memiliki hubungan yang lebih dari sekedar apa yang mereka fikirkan.
... Pagi hari Gua bersama Papah mertua dan keluarga istri sudah berada di masjid, untuk melaksanakan shalat ied. Setelah melaksanakan shalat ied, Gua duduk mendengarkan khutbah di shaf kedua dari depan, bersama Papah mertua Gua di samping kanan. Setelah selesai, lalu kami saling mengucapkan selamat hari raya dan tidak lupa saling memaafkan di hari yang fitri ini.
Beres dari masjid, Gua pulang ke rumah Eyang putri istri Gua dengan berjalan kaki bersama keluarganya, jaraknya tidak begitu jauh. Sesampainya di rumah, kembali kami semua saling memaafkan, sungkem kepada Eyang putri dan saudara lainnya.
Gua duduk di kursi kayu teras depan, tidak lama istri Gua keluar dari dalam rumah dan bersimpuh di dekat kaki Gua, dia tersenyum lalu mencium tangan Gua. Lalu meyandarkan kepalanya ke paha ini seraya memohon maaf. Gua mengelus lembut kepalanya yang terbalut hijab berwarna putih, senada dengan warna pakaiaan yang ia kenakan di hari ini. Kemudian Gua angkat tangannya agar dia bangun lalu Gua memeluknya.
"Mohon maaf juga ya sayang kalo selama ini aku punya salah sama kamu", ucap Gua sambil mendekapnya dan berbisik tepat di samping telinganya yang tertutup hijab.
"Iya.. Aku maafin kamu kalo ada salah, aku juga minta maaf ya sayang, semoga aku bisa jadi istri yang solehah dan bisa menjaga rumah tangga kita, mengurus kamu dan anak kita kelak", jawabnya yang menyandarkan dagu ke bahu Gua.
"Aamiin, sama-sama Cha, semoga aku juga bisa jadi kepala keluarga yang amanah dan bisa bahagiain kamu", balas Gua lagi seraya mengusap punggungnya.
Setelah itu Echa melepaskan pelukkannya dan menyeuka airmatanya yang sudah membasahi pipinya dengan tissu.
Gua tersenyum dan tanpa terasa mata Gua pun mulai bekaca-kaca. Sebelum airmata ini tertumpah, Gua buru-buru mengganti topik. "Cha.. Kopi atuh, heheehee..".
Istri Gua tersenyum sambil tetap mengusap airmatanya lalu bergegas ke dalam rumah lagi untuk membuatkan Gua secangkir kopi.
Setelah menikmati secangkir kopi yang disandingkan dengan menghisap racun, Gua diajak makan khas menu lebaran, selesai makan bersama, kami semua pergi menggunakan mobil ke sebuah pemakaman yang terletak cukup jauh dari kediaman Eyang putri Echa. Sesampainya di sana seperti kebanyakan orang, kami melakukan ziarah kubur sambil menaburkan bunga ke makam alm. Kakek nya Echa.
Selesai dari makam, Gua menelpon Om Gua untuk mengucapkan mohon maaf lahir bathin kepadanya, lalu kepada Nenek dan Tante Gua juga. Kemudian telpon Gua berikan kepada istri Gua yang juga ingin memohon maaf kepada keluarga Gua lewat telpon. Lalu siang hari kami sekeluarga pergi ke salah satu tempat wisata yang berada di kota ini.
Banyak sebenarnya tempat yang kami kunjungi, hingga malam hari kami baru kembali pulang ke rumah. Sekitar pukul delapan malam setelah Gua melaksanakan shalat isya berjama'ah bersama keluarga istri Gua, sekarang Gua dan istri sedang duduk bersebelahan di atas kasur, di salah satu kamar yang disediakan untuk kami berdua. Gua sedang menatap layar kamera dslr milik Echa, dengan perlahan ia menekan tombol next untuk melihat setiap foto yang tadi siang kami abadikan.
"Yang ini bagus ya..", ucap istri Gua mengomentari salah satu foto kami berdua yang berlatar sebuah keraton.
"Iya, ini yang dimana ya tadi Cha ?".
"Ini waktu tadi di keraton hadiningrat, deket alkid semalam".
"Ooh iya iya.. Kalo siang beda banget ya ama malem".
"Kalo malem banyak banget yang ke alkid sama yang jualan kayak kemarin, makanya tadi siang kamu fikir lapangan biasa ya hihihi..".
"Iya.. Eh rencananya kapan kita pulang Cha ?", tanya Gua mengalihkan topik. Echa menoleh kepada Gua sambil tersenyum. "Kenapa " Gak betah ya di sini ?", tanyanya lembut.
"Oh bukan hahaha.. Aku betah kok, suka suasana di sini, cuma aku kangen Nenek aja", jawab Gua jujur.
"Nenek kan pulang dari Bandung tiga hari setelah lebaran Za". "Iya sih.. Hahaha.. Yaudah jangan dipikirin", jawab Gua. "Oh, atau kita mau susul ke Bandung ?", tanyanya lagi.
"Eh jangan, enggak usah, cape lagian Cha.. Jauh dari sini", "Udah gak usah dipikirin, tenang aja, aku nikmatin liburan di sini kok". Echa mengecup pipi kiri Gua lalu tersenyum.
... Sekarang sudah hari kelima Gua berada di Solo sejak sampai dua hari sebelum lebaran kemarin. Cukup banyak tempat yang Gua dan Echa singgahi, ke beberapa tempat wisata dan mencoba kuliner di kota ini dari kemarin hari. Dan hari ini rasanya Gua cukup beristirahat saja tanpa pergi kemana - kemana lagi. Tapi istri Gua dan Mamah mertua Gua pergi ke pusat penjualan oleh-oleh dari pagi hari, karena esok hari kami akan pulang lagi ke jawa barat.
Gua hanya duduk santai saja di teras depan rumah ketika istri Gua dan Mamahnya juga saudaranya yang mengantar mereka kembali lagi, Gua cukup terkejut melihat banyaknya belanjaan yang mereka beli, oleh-oleh sebanyak itu sepertinya diperuntukkan untuk relasi Papah mertua Gua. Singkat cerita keesokan harinya kami sudah kembali pulang ke rumah. Home sweet home...
Gua langsung memeluk Nenek dan meminta maaf kepada beliau ketika Gua dan istri baru sampai di rumah, lalu istri Gua pun melakukan hal yang sama. Selesai bercengkrama dengan Nenek, Gua dan Echa masuk ke dalam kamar Gua, rasanya lelah badan ini walaupun hanya duduk di dalam mobil selama perjalanan. Gua bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan tubuh dan langsung rebahan di kasur setelah berganti pakaiaan.
"Mau aku buatin kopi Za ?", tanya istri Gua ketika baru saja keluar dari kamar mandi di dalam kamar ini.
"Enggak deh Cha makasih, nanti aja... Eh kamu laper gak ?", tanya Gua sambil memiringkan tubuh di atas kasur.
"Laper sih, tapi emang ada makanan ya " Kan Nenek juga baru datang tadi pagi katanya".
"Iya kayaknya Nenek gak masak apa-apa.. Kita beli di luar aja ya Cha, makan bareng sama Nenek di rumah".
"Okey, aku ganti baju dulu ya", ucapnya sambil membuka lemari pakaian.
Selesai mengganti baju, istri Gua lalu mengajak Gua keluar untuk membeli makanan. Kami berdua menggunakan mobil untuk mencari makanan, sesampainya di warung tenda yang menjual pecel ayam dan lele, kami memesan tiga porsi berikut nasinya. Sambil menunggu pesanan jadi, Gua keluar dari warung tenda dan menunggu berdiri di depan mobil sambil menyalakan rokok. Sedangkan istri Gua duduk di dalam warung tenda tersebut.
Masih asyik menghisap rokok, sebuah mobil berhenti dan parkir tepat di samping mobil Gua, lalu seorang wanita turun dari pintu kemudi bersama seorang wanita lainnya dari pintu samping. Ketika salah satu dari mereka sudah masuk ke dalam warung tenda, dan yang satunya masih berada di depan Gua hendak masuk ke dalam, Gua memanggilnya.
"Luna...", ucap Gua sedikit meninggikan suara agar terdengar olehnya.
Luna menengok ke samping kiri, dimana Gua berdiri tepat di depan mobil. "Hai.. Eza.. Lagi apa ?", tanyanya ketika sudah melihat Gua lalu dia berjalan menghampiri.
"Lagi beli makan, sama Echa juga", jawab Gua sambil tersenyum. "Oh, aku juga lagi pingin pecel, eh istri kamu mana ?". "Ada di dalem lagi nungguin pesanan".
"Oh, gak makan di sini ?".
"Enggak Lun, dibungkus aja, buat Nenek sekalian..", "Oh ya, kamu sama siapa tadi ?", tanya Gua. "Oh perempuan yang tadi, itu adik aku..", jawabnya.
* * * Hey soul sister I don't wanna miss a single thing you do... Tonight.
PART 58 "Nah itu istri ku", ucap Gua sambil melirik kearah belakang Luna, dimana Echa baru saja keluar dari warung tenda dengan plastik makanan yang dia genggam di tangan kanannya. "Hai Cha..", sapa Luna kepada Echa yang kini berdiri di sampingnya. "Eh Luna, mau beli makan juga ?", tanya Echa.
"Iya Cha, kalian kapan pulang dari Solo ?", tanya Luna lagi seraya merapihkan helaian rambut karena tertiup angin malam.
"Kita baru sampai tadi Lun, habis maghrib..", jawab Echa seraya tersenyum. "Sama siapa Lun " Sendirian ?", tanya istri Gua sambil melirik ke-kanan-kiri, seolah-olah mencari teman Luna.
"Oh aku sama adik ku Cha, dia udah ke dalem duluan tadi, Eza manggil aku, jadi ngobrol dulu deh", "Oh iya sampai lupa aku, mohon maaf lahir bathin ya.. Selamat idul fitri juga", ucap Luna sambil menjabat tangan istri Gua lalu mereka bercipika-cipiki.
"Sama-sama ya Lun, mohon maaf lahir bathin juga", balas Echa.
"Eh iya ampe lupa hahaha.. Mohon maaf lahir bahtin juga Lun", ucap Gua lalu menyalami Luna. "Sama-sama ya Eza", balasnya sambil tersenyum.
"Enggak cipika-cipiki nih ?", goda Gua sambil melirik ke istri Gua dengan tatapan jahil. Echa melotot sambil mengacungkan kepalan tangannya kearah Gua. "Hahah.. Eza jadi genit sih ?", ucap Luna sambil melirik kepada Echa.
"Iiih dia ma dari dulu juga genit, kamu aja gak tau.. Eh.. Kamu pernah digodain sama Eza gak ?", tanya Echa sambil menatap Gua tajam lalu menoleh kepada Luna.
Luna tersenyum lebar melihat ekspresi istri Gua itu, lalu.. Hanya sekilas.. Ya hanya sekilas dia melirik kepada Gua sambil tersenyum tipis sekali. "Enggak kok Cha, Eza gak pernah godai n aku, takut mungkin..", jawabnya dengan nada bersahabat kepada istri Gua.
Gua mengerti tatapan sekilas, ah bukan.. Lirikan, ya lirikan mata Luna tadi, sesaat sebelum dia menoleh kepada Echa. Ya Lun, kamu yang godain aku waktu itu...
"Yaudah, kita duluan ya Lun, salam untuk adik kamu", ucap Echa seraya tersenyum kepada Luna, lalu mendekati Gua dan memberikan gesture 'ayo pulang'.
"Oh iya, hati-hati di jalan, makasih salamnya, nanti aku sampaikan", "Salam untuk Nenek ya Za".
... Di dalam mobil, Gua kembali mengemudi dan Echa duduk tepat di samping Gua. "Za..".
"Ya sayang ?". "Kamu kenal sama adiknya Luna ?", tanya Echa seraya menoleh kepada Gua.
"Enggak Cha, aku belum pernah ketemu saudaranya, atau keluarganya.. Rumahnya aja aku gak tau dimana", jawab Gua sambil memfokuskan pandangan ke jalan raya di depan karena butiran air hujan mulai turun dengan derasnya.
"Ooh.. Eh iya, kenapa tadi Luna jawab kamu gak berani godain dia Za " Karena Mba Yu ?". "Ooh.. Ya salah satunya itu, alasan lainnya karena Luna jago beladiri".
"Oh ya " Beladiri apa ?", tanya Echa semakin antusias dari nada bicaranya yang Gua tangkap.
"Taekwondo, sama dengan Mba Yu.. Cuma Luna lebih superior mungkin, karena dia sempat menyabet juara satu waktu di sekolahnya dulu, sedangkan Mba Yu juara tiga", jawab Gua sambil tersenyum kecut.
Mengingat kejadian dimana dua wanita yang jago beladiri saling bertarung. Oh My God, Mba Yu pingsan seketika dengan satu tendangan memutar yang Luna berikan, gila memang itu wanita satu.
... ... ... Masih di bulan Oktober dan hari ini kami berdua sedang berada di rumah Mba Yu, silaturahmi dan lebaran dengan keluarganya.
"Gimana de, udah isi belum ?", tanya Mba Yu yang duduk di samping Echa. Sedangkan Gua duduk bersebelahan dengan Papahnya Mba Yu. "Belum kayaknya Mba, do'a kan aja ya Mba, hehehe..", jawab istri Gua.
"Ya semoga kamu diberi momongan secepatnya, biar kebahagiaan kalian bertambah ya Cha.. Za..", ucap Papahnya Mba Yu sambil menepuk paha kanan Gua.
"Aamiin", jawab Gua dan istri bersamaan,
"Makasih Pah do'a nya, cuma gak tau nih, Echa mau fokus ke kuliah dulu atau gimana.. Kasian juga kalo sampe kuliahnya cuti karena hamil dan melahirkan nanti", ucap Gua kepada beliau.
"Ya aku sih enggak masalah, gimana dikasihnya aja sama Alloh, kalo memang udah waktunya diberikan kepercayaan untuk dititipkan anak oleh-Nya, ya aku bersyukur alhamdulilah, kalo belum yaaa.. Sabar dulu. Kuliah kan gampang Za, maksudnya gak terlalu aku pusingin, karena kebahagiaan keluarga yang paling utama sekarang buat aku", jawab Echa.
Wah wah wah... Istri Gua yang satu ini memang mengedepankan keluarga, gak nyangka aja dia bisa ngomong seperti itu. Sekarang bukan lagi kuliah yang ia utamakan, tapi keluarga kecil kami. Meleleh hati abang dek.. Eh Teh..
Kami semua tersenyum mendengar ucapan wanita yang sudah menjadi istri Gua itu. Bahagia rasanya mendengar jawabannya tadi. I'm yours lah sayang.
Sepulang dari bersilaturahim dengan Mba Yu dan keluarganya, Gua dan Echa pergi ke rumah mertua. Ke rumah istri Gua. Sekedar berkunjung dan main aja. Sesampainya di sana, Gua langsung meminta kopi hitam kepada istri Gua, karena sedari pagi Gua belum ngopi. Gua duduk bersantai ria di gazebo halaman belakang rumahnya setelah tadi mengobrol dengan Papah dan Mamah mertua. Sambil menunggu istri Gua membuatkan secangkir kopi, Gua mengeluarkan hp, sekedar mengecek sms yang masuk, dan ternyata memang ada sebuah sms yang belum Gua buka. Quote:Isi sms :
+65xxx : Mohon maaf lahir bathin Eza, semoga kamu dan istri kamu diberikan kebahagiaan sepanjang usia, jaga selalu istri kamu ya Za, berusaha jadi lelaki yang setia dan bertanggungjawab untuk keluarga kamu. Maaf aku telat mengucapkan selamat atas pernikahan kamu dan Echa. Selamat menempuh hidup baru. Salam untuk istri kamu.
Gua mengerenyitkan kening, membaca sms tersebut berulang-ulang dan menerka siapa gerangan yang mengirimkan pesan tersebut. Lalu ketika Gua cek lagi nomor hpnya, ternyata nomor tersebut bukanlah kode area lokal, melainkan internasional.
Gua masih melihat ke layar hp ketika istri Gua menyadarkan Gua yang sudah duduk di samping dengan secangkir kopi pada tangan kanannya.
"Hey, serius amat sayang, lagi sms an sama siapa ?", tanya istri Gua. Gua menoleh kepada Echa lalu tanpa basa-basi menunjukkan sms tadi kepadanya. "Hm " Siapa ini ?", tanya Echa.
Gua mengangkat bahu sambil menggelengkan kepala cepat. "Gak tau, nomornya juga bukan nomor lokal Cha..", jawab Gua.
"Ah.. Jangan-jangan.. Itu Vera, Za ?", ucap istri Gua setelah menaruh secangkir kopi ke atas meja. "Eh " Masa sih ?".
"Yaudah coba kamu telpon dulu".
Wah iya, bener juga kata istri Gua, kenapa gak Gua coba nelpon aja. Tidak lama kemudian Gua langsung menekan tombol call setelah meng-klik nomor si pengirim pesan tersebut. Tapi suara operator diujung sana langsung mengatakan bahwa nomor yang anda tuju tidak dapat dihubungi, yang tentunya berbahasa inggris.
"Yaaah.. Gak aktif Cha nomornya", ucap Gua sambil menurunkan hp dari telinga.
"Hmm.. Yaudah kamu save aja nomornya, siapa tau nanti nomornya aktif lagi, positi ve thinking sayang... Oke ?", Echa memberikan semangat kepada Gua sambil tersenyum.
Ya, istri Gua memang paling mengerti dengan persoalan yang satu ini. Terimakasih banyak sayang. I love you...
Ketika sore menjelang, Gua dan Echa pergi lagi, kali ini kami berdua ke rumah Kinan, yang sama saja dengan rumah keluarga Mba Laras, Ibu baru Gua. Sampai disana seperti biasa, kami berdua langsung saling bersalaman sambil saling memaafkan. Gua bercerita kepada Mba Laras dan Kinan bahwa Gua dan istri baru pulang beberapa hari lalu dari Solo. Ternyata Mba Laras dan Kinan juga baru pulang kemarin sore dari jawa timur, lebaran bersama keluarga besar katanya di sana. Ada sedikit obrolan yang menurut Gua agak pribadi antara kami ketika itu, mungkin lebih tepatnya antara anak dan ibu.
"Mba, maaf nih.. Mmm.. Aku sebagai perwakilan keluarga Ayah, cuma mau menyampaikan aja, kalo aku, Nenek dan Om gak keberatan kalo Mba mau memulai membuka hati lagi.. Untuk lelaki lain Mba, toh Mba juga masih muda kan, masih panjang jalan yang harus Mba tempuh, terutama untuk berkeluarga lagi", ucap Gua kepada Mba Laras.
Mba Laras tersenyum kepada Gua sambil membenarkan posisi duduknya.
"Iya Za, Mba paham kok, cuma untuk saat ini, Mba belum mau memikirkan untuk mulai berumah tangga lagi, mungkin nanti, suatu saat nanti pasti Mba akan memulainya lagi. Dan kamu tenang aja ya, kamu dan keluarga kamu akan selalu menjadi keluarga Mba selamanya, sampai kapanpun. Mba mencintai almarhum sepenuh hati Mba, dan sampai sekarang pun begitu, Mba belum mau untuk secepat ini membuka hati Mba untuk orang lain.", jawabnya menjelaskan dengan nada yang sangat lembut.
Ya kami semua yang mendengar penjelasan dari ibu baru Gua itu tersenyum dan mengerti akan apa isi pikirannya. Lagi pula dengan atau tanpa Gua mengatakan hal di atas pun pasti suatu saat Mba Laras memiliki pendamping hidupnya yang baru. Dan atas pertanyaan kalian apakah Mba Laras sempat mengandung anak dari Alm. Ayahanda Gua, jawabannya tidak. Ya, Mba Laras belum hamil sampai kepulangan Ayahanda.
Selesai bersilaturahmi dengan Mba Laras dan Kinanti, Gua dan istri pulang ke rumah Nenek. Setelah melaksanakan shalat ashar berjama'ah dengan Echa, Gua mengajaknya mengobrol di teras depan kamar. Sambil mengeluarkan sebuah map yang berisi selembar sertifikat pemberian Papah mertua di malam takbiran yang lalu, Gua duduk dan membakar sebatang rokok.
"Itu apa sayang ?".
"Ini sertifikat Cha, waktu di Solo kemarin, Papah ngasih ini ke aku, coba deh kamu baca sampai habis", jawab Gua lalu menyodorkan map tersebut.
Istri Gua membuka map dan membaca isi sertifikat itu dengan teliti. Gua menunggunya selesai membaca sambil menghembuskan rokok kearah lain.
"Za, ini kok atas nama aku ya ?", tanyanya bingung.
"Laah.. Kirain kamu udah tau, lagian aku aja baru tau pas di Solo, waktu Papah kamu ngasih itu", jawab Gua tak kalah bingung karena ternyata istri Gua pun baru mengetahui hal ini.
"Hmmm.. Ya Alhamdulilah Za, Papah mau kasih kita rezeki.. Nanti biar aku temuin Papah deh, sekalian ngucapin makasih", jawabnya.
... ... ... Seiring pergantian hari, minggu pun berganti, dan bulan pun ikut berganti.
Saat ini sudah masuk bulan november, hampir di penghujung tahun 2007. Perkuliahan Gua dan Echa sudah mulai kembali setelah melewati masa liburan kemarin. Dan ya disinilah kami sekarang, menjalani hari-hari sebagai mahasiswa dan mahasiswi di kampus kami masing-masing.
Ketika itu siang menjelang sore, Gua baru saja mengendarai mobil dari pelataran kampus untuk menuju kampus istri Gua, menjemputnya di sana. Kebetulan perkuliahan Gua hari ini hanya sampai jam satu siang.
Gua mengendarai si Black dengan kecepatan sedang menuju tol. Setelah beberapa hampir tiga puluh menit akhirnya Gua keluar tol dan mengarahkan mobil ke jalan kampus istri Gua. Masih dalam perjalanan hp Gua berdering dan Gua mengangkat telpon tersebut menggunakan headset.
Quote:Percakapan via line : Gua : Assalamualaikum Cha..
Echa : Walaikumsalam sayang.. Kamu udah dimana "
Gua : Aku bentar lagi sampe nih, kenapa Cha "
Echa : Ooh pantes sms aku gak kebaca, lagi bawa mobil ya. Mmm.. Gini Za, aku sekarang lagi di Mall xxx, kamu langsung kesini aja ya, maaf bukan aku gak izin ke kamu, tadi aku udah sms dua kali tapi kamu gak balas. Aku lagi anter teman kelas kesini.
Gua : Oh gitu, gak apa-apa, yaudah aku kesitu sekarang, nanti mau janjian dimananya Cha ". Echa : Di bento aja ya, aku tunggu di dalem aja, mau aku sekalian pesenin makanan ".
Gua : Boleh Cha, aku mau beef yakiniku ya sama orange juice. Echa : Okey, sip.. Hati-hati bawa mobilnya ya sayang.
Singkat cerita Gua sudah sampai di mall yang Echa sebutkan tadi, lalu Gua bergegas ke lantai dua, dimana Echa menunggu di dalam resto bento bersama teman kampusnya.
Sesampainya di dalam, Gua memandangi pengunjung yang berada di sini, mencari keberadaan istri Gua. Setelah melihatnya yang sedang duduk berhadapan dengan teman kampusnya itu, Gua pun mengahmpiri mereka berdua.
"Hai..", sapa Gua sambil menarik bangku di samping istri Gua.
"Eh udah sampe..", jawab Echa lalu mengulurkan tangannya dan mencium tangan kanan Gua.
"Iya, tadi emang udah deket dari sini", "Kok belum mulai makan ?".
"Nungguin kamu dulu", jawab Echa sambil tersenyum,
"Oh iya, kamu udah kenal kan sama Resti " Dia temen kampus ku, acara nikahan kita juga datang", ucap istri Gua sambil melirik kepada temannya yang duduk di sebrangnya.
"Oh iya inget, apa kabar Res ?", sapa Gua melirik juga kepada Resti. "Hai, alhamdulilah baik Za.. Baru pulang dari kampus juga ya ?", tanyanya balik.
Gua mengangguk sambil menaikkan alis. "Iya hehehe.. Yaudah ayo kita makan, laper juga nih hahaha", jawab Gua seraya membuka sumpit dari kertas pembungkus.
Seperti biasa, Gua dan Echa jarang berbicara ketika makan, paling kami hanya menanggapi sekedarnya ketika Resti mengajak ngobrol dan bertanya hal ringan soal kehidupan berumah tangga. Selesai menghabiskan makanan, dan sedikit mengobrol lagi dengan Resti, ia pamit pulang karena kekasihnya sudah datang menjemput di depan mall.
Gua dan Echa pun meninggalkan resto bento ini tidak lama setelah Resti pamit. Kemudian Echa mengajak Gua untuk masuk ke pusat perbelanjaan yang menyediakan kebutuhan pokok, ya memang sudah waktunya belanja bulanan juga sih. Gua mendorong trolley dan mengekor di belakang istri Gua yang dengan telaten mengambil beberapa bumbu dapur serta kebutuhan pokok lainnya dari rak yang berjejer di kanan-kiri kami.
"Za, stok mie instan abis ya di dapur Nenek ?", tanya Echa sambil melihat-lihat ke rak yang berisi berbagai mie instan.
"Iya Cha, tinggal dua bungkus kayaknya", jawab Gua sambil memperhatikan istri Gua yang cantik sekali hari ini.
"Mau beli satu kardus aja " Atau gimana ?", tanyanya kali ini sambil menoleh kepada Gua.
"Mmm.. Jangan deh, kebanyakan kayaknya, lima bungkus mie goreng sama mie rasa soto aja", jawab Gua.
Akhirnya Echa mengambil lima bungkus mie instan rasa mie goreng dan lima bungkus mie instan rasa soto.
Kembali kami mengitari rak-rak lainnya. Dan ketika Gua sedang berada di rak bagian kopi, sedangkan Echa ada di lorong lainnya, Gua melihat seseorang yang tampak tidak asing, seorang wanita yang sepertinya Gua kenali cukup baik.
Wanita itu melintas seraya mendorong trolley. Gua menaruh kembali se-pack kopi pada genggaman tangan Gua lalu berjalan pelan mencari wanita yang melintas tadi. Dengan jantung yang berdegup kencang, langkah kaki Gua terhenti beberapa meter dari wanita tersebut, dirinya sedang memilah camilan yang tersusun rapih di depannya, membelakangi Gua.
Gua menatapnya, memperhatikannya tanpa berkedip, jantung Gua benar-benar berdegup kencang, suara-suara yang berada di sekitar Gua seperti hilang entah kemana. Tangan Gua sedikit bergetar. Wanita itu.. Tidak berubah dari penampilannya, gaya berpakaiaannya, gerak tubuhnya, dan hanya tingginya mungkin yang sedikit bertambah.
Gua ragu, antara yakin dan tidak yakin, apakah dia benar wanita yang Gua kenal selama ini atau bukan, karena dia masih membelakangi Gua. Masih teringat jelas dalam fikiran Gua ketika secara tidak sengaja Gua melihatnya di negara lain beberapa bulan lalu. Dan sekarang " Dia berdiri tepat beberapa meter di hadapan Gua.
Dengan segenap keyakinan dan perasaan yang sudah berkecamuk dalam hati ini, Gua langkahkan kaki untuk lebih mendekatinya. Setelah jarak kami hanya tinggal tiga meter, dia membalikkan tubuh. Dan saat itulah untuk waktu yang selama ini Gua tunggu, mata kami kembali bertemu. "Vera..", ucap Gua.
PART 59 Entah sudah berapa lama Gua dan Echa menunggu dalam diam. Sebuah sedotan yang berada di dalam gelas berisi es jeruk sedang diputar-putar searah jarum jam.
"Tolong jelasin, selama ini kamu kemana ?", tanya Gua dengan nada selembut mungkin.
Matanya melirik kepada Gua, menatap kedepan, lalu tangan yang memainkan sedotan itu kini sudah berada diatas meja. "Gak ada yang perlu dijelasin Za..", jawabnya.
Gua mengerenyitkan kening lalu menoleh kepada istri Gua yang berada di samping kanan. Ekspresi wajah Echa sama dengan Gua, bingung dan heran mendengar ucapan dari seorang wanita yang duduk di hadapan kami itu.
"Mmm.. Ve.. Kalo kamu mau ngobrol berdua dengan Eza, biar aku pergi dulu, silahkan kalian selesaiakan apa yang..".
"Gak perlu", potong Vera kepada istri Gua seraya bangkit dari duduknya. "Loch " Ve ?", ucap Gua terkejut dengan sikapnya.
Lalu tanpa pamit dan melihat Gua, Vera berjalan meninggalkan kami berdua. Gua hanya bisa menatap ke gelas minuman yang sama sekali belum Gua minum, tangan Gua lemas dan mata Gua terpejam. Entah kapan tepatnya, yang jelas tanpa Gua sadari ternyata Echa ikut pergi dari meja makan resto ini.
Gua tersadar ketika hp pada saku celana ini bergetar sesaat. Lalu Gua keluarkan hp dan membuka isi pesannya.
Quote:Isi sms : Echa : Kamu tunggu di situ ya, biar aku yg coba ngomong sm Vera.
Gua tersenyum membaca isi pesan tersebut, lalu memejamkan mata sejenak sambil mengucapkan syukur. Bersyukur kepada Tuhan bahwa Gua diberikan seorang pendamping hidup yang benar-benar mengerti kondisi Gua selama ini. Terimakasih ya Alloh, terimakasih, dan terimakasih Cha.. You are my everything...
Gua meneguk minuman yang sudah daritadi belum Gua minum sedikitpun, setengah gelas langsung Gua habiskan dan kemudian pergi menuju kasir. Selesai membayar pesanan, Gua keluar resto dan berjalan kearah lift lalu menuju parkiran mobil. Sesampainya di parkiran, Gua berjalan dan bersandar di depan kap mobil Gua, membakar sebatang rokok lalu mengeluarkan hp dan mengetik sms untuk istri Gua, mengabarkan kalau Gua kini menunggu di parkiran.
Dua puluh menit sudah Gua menunggu Echa tapi dirinya belum juga datang, sms pun belum dibalas. Akhirnya Gua mencoba menelpon, tapi hingga beberapa nada sambung, tak kunjung ada jawaban dari ujung sana. Gua kembali menunggu hingga menghabiskan tiga batang rokok dan akhirnya hp Gua pun berdering nada panggilan masuk.
Quote:Percakapan via line : Gua : Hallo Assalamualaikum Cha.
Echa : Walaikumsalam, Za, Kamu masih di parkiran ".


Asleep Or Dead Karya Bunbun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Gua : Iya Cha, gimana " Kamu dimana ". Echa : Aku lagi jalan ke parkiran, sebentar ya sayang. Gua : Yaudah okey Cha.
Tidak lama kemudian istri Gua datang dan mengajak pulang. Kami berdua masuk ke dalam mobil, setelah menyalakan mesin, mobil pun beranjak meninggalkan area parkiran mall ini dan Gua arahkan ke jalan raya menuju rumah Nenek.
... Pukul setengah delapan malam, setelah shalat isya berjama'ah bersama istri, kini kami berdua sedang duduk di sofa teras depan kamar, secangkir kopi hitam dan sebatang rokok yang sudah Gua bakar telah siap menemani cerita yang akan Gua dengar dari istri tercinta di depan Gua.
Gemuruh petir serta suara hujan yang cukup deras di luar sana membuat istri Gua harus mengambi l selimut untuk membalut tubuhnya agar hawa dingin tidak begitu terasa menusuk kulitnya. Sambil menghembuskan asap rokok keatas, Gua mulai mendengarkan Echa bercerita tentang obrolannya dengan Vera tadi sore.
"Jadi.. Dia gak kasih alasan apapun soal kepergiaannya waktu itu", ucap istri Gua sambil menatap secangkir gelas berisi teh manis hangat yang dia dekap pada kedua tangannya. "Maksudnya " Gak kasih penjelasan gimana Cha ?", tanya Gua heran.
"Dia gak mau cerita ke aku Za",
"Tapi dia kasih nomor hpnya, udah aku save", jawab Echa sambil menatap Gua. "Sebentar, kok bisa sih Cha " Kenapa dia gak mau cerita sama kamu ?".
"Yang bisa aku tangkep, kayaknya Vera pingin ngomong sama kamu berdua, tanpa ada aku", "Sekalipun tadi aku udah kasih kesempatan buat kalian berdua ngobrol tapi kayaknya dia sungkan, karena ada aku Za".
"Mmm.. Aku..". "Za, aku gak masalah, jangan takut aku gak akan kasih izin untuk kamu ketemu dia, yang penting kamu bilang kapan kamu mau ketemu sama Vera", ucap Echa memotong ucapan Gua lalu meneguk teh manis.
"Makasih sayang, makasih atas pengertian kamu..", jawab Gua lalu mematikan rokok ke asbak. "Oh ya, secepatnya kamu hubungin Vera ya, karena.. Dia gak lama di sini". "Gak lama " Maksudnya ?".
"Dia bakal pulang lagi ke singapur, dia ngelanjutin kuliah di sana ternyata Za", jawab istri Gua.
Gua menerawang, memikirkan hal-hal apa yang akan Gua utarakan ke Nona Ukhti selain menanyakan alasannya pergi saat itu. Di lain sisi, Gua juga masih memikirkan perasaan istri Gua, sekalipun ucapannya tadi tidak keberatan jika Gua menemui Vera, tapi Gua juga yakin, pasti ada rasa kekhawatiran dalam hati istri Gua itu, ya bagaimanapun nama Vera masih ada disudut hati Gua yang terdalam. Entah kenapa karena hal itu Gua jadi ragu, ragu untuk menemui Vera.
... ... ... Dua hari kemudian Gua sudah menelpon Vera, dan akan menemuinya di rumah Ibundanya. Tentu saja Gua memberitahukan hal ini kepada Echa, Gua memaksa istri Gua untuk ikut, tapi dirinya bersikeras menolak ajakan Gua itu. Dan dengan hati yang sedikit bimbang Gua pun mau tidak mau berangkat sendirian menuju rumah Ibundanya yang terletak di daerah sentul.
Pukul tujuh malam Gua sudah berada di sebuah komplek perumahan yang terbilang elit, di depan rumah yang bercat putih gading Gua memarkirkan mobil, lalu mengambil sekantung plastik berisi buah-buahan dari jok samping. Ah Gua lupa membawa payung, sedikit berlari untuk menghindari hujan yang turun cukup deras Gua memasuki rumah tersebut, melewati pagar rumah dan carport lalu sampailah di teras rumah tersebut. Pintu rumahnya terbuka lebar, Gua mengucapkan salam dan dijawab oleh suara seorang remaja laki-laki dari dalam rumah.
"Ya " Cari siapa ya Mas ?", tanya remaja laki-laki tersebut ketika sudah berdiri di ambang pintu.
"Saya Reza", ucap Gua sambil menyodorkan tangan lalu disambutnya,
"Maaf, apakah Vera nya ada di rumah " Saya sudah janjian untuk bertemu di sini sebelumnya", jawab Gua lagi setelah kami melepaskan jabat tangan.
"Oh temannya Mba Vera, tunggu sebentar ya Mas, biar saya panggilkan dulu..", "Silahkan duduk dulu Mas", ucapnya lagi.
"Terimakasih". Lalu Gua duduk di kursi depan teras ini selagi anak lelaki tadi kembali masuk ke dalam rumah.
Tidak lama kemudian, seorang wanita paruh baya keluar dari dalam rumah ke teras ini, Gua menengok ke kiri dimana beliau berdiri, lalu Gua bangun dari duduk dan mencium tangan beliau. "Eza.. Apa kabar Nak ?", tanya Ibunda Vera.
"Alhamdulilah baik Tante..", jawab Gua setelah mencium tangan beliau, "Tante apa kabar ?", tanya Gua balik.
"Alhamdulilah saya juga baik, katanya kamu baru menikah ya ?", tanya beliau lagi.
"Iya Tante.. Baru bulan agustus kemarin",
"Mmm.. Maaf saya bukannya tidak mau mengundang tapi.. Saya gak tau kalo rumah Tante di sini".
"Ah iya gak apa-apa Za, maaf juga Tante gak datang, ehm.. Maklum Za, kamu ngerti keadaannya waktu itu kan " Vera tidak cerita apapun sama tante soal keadaan kamu selama ini", jawab beliau.
Gua menganggukkan kepala sambil tersenyum tipis. "Iya Tan... Saya ngerti", jawab Gua lagi seraya mengingat hubungan antara Gua dengan keluarga Nona Ukhti.
"Sebentar ya, Vera nya lagi ganti baju dulu".
Kemudian Gua diajak masuk ke dalam ruang tamu oleh Ibundanya dan Gua memberikan bingkisan yang Gua bawa tadi. Setelah itu Gua duduk di sofa yang tidak lama kemudian seorang wanita dengan pakaiaan gamis berwarna putih dengan hijab keluar dari bagian dalam rumah. Gua kembali bangun dari duduk, menatapnya dengan rasa sedikit tidak percaya, ya tidak percaya kalau wanita yang selama ini Gua cari kini berada lagi di hadapan Gua. Sekalipun tiga hari lalu kami sempat bertemu, tapi rasanya kali ini berbeda.
"Saya ke dalam dulu ya Nak Eza, silahkan ngobrol dengan Vera", ucap Ibundanya menyadarkan lamunan Gua.
"Oh Ii.. Iiya Tante.. Makasih.. Makasih", jawab Gua tergugup.
Lalu ibundanya pergi ke bagian dalam rumah lagi, sedangkan Vera kembali berjalan kearah Gua. Lalu dia menaruh nampan di atas meja ruang tamu dan memindahkan secangkir kopi hitam ke atas meja berikut kue yang berada di atas piring kecil.
Gua masih berdiri menatap Vera, tanpa sedikitpun bisa berbicara. Seolah-olah apa yang kami lalui beberapa waktu lalu tidak pernah terjadi, karena apa yang Gua rasakan saat ini terlalu nyata, terlalu sama saat kami berdua masih dekat sebelum kejadian yang memilukan menimpa dirinya, dan semuanya terasa sempurna ketika tiba-tiba Vera memegang tangan kanan Gua lalu mengangkatnya perlahan dan mencium punggung tangan ini. Ya, dia tidak berubah, selalu menunjukkan sosok wanita yang.. Ah gatdemit!!!
"Assalamualaikum Za", sapanya ketika sudah mencium tangan Gua dan melepaskannya. Gua tersadar dari lamunan bayangan masa lalu saat bersamanya.
"Oh.. Wa.. Walaikumsalam Ve.. Eh.. Emmm.. Iya.. Ah aku kenapa grogi gini, sorry sorry", ucap Gua salah tingkah lalu mengusap wajah dengan cepat.
Gua melihat Vera tersenyum melihat tingkah Gua yang aneh ini. "Duduk dulu Za", ucapnya sambil menurunkan tubuh dan duduk di sofa sebelah kiri Gua.
"Oh iya Ve, makasih", jawab Gua sambil duduk kembali di sofa yang hanya cukup untuk satu orang. "Apa kabar ?".
"Alhamdulilah aku baik Ve, kamu sendiri gimana kabarnya ?", tanya Gua balik.
Vera tersenyum, dia hanya tersenyum kepada Gua tanpa menjawab pertanyaan Gua itu. "Diminum dulu Za kopinya", ucapnya.
"Eh iya iya, makasih Ve", lalu Gua mengangkat secangkir kopi dan meneguknya sedikit, "Mmm.. Ve, kamu selama ini kemana aja ?", tanya Gua memulai obrolan setelah meneguk sedikit kopi tadi.
"Aku ada Za, selama ini aku sama Papah di Singapore", jawabnya.
"Ooh.. Mmmhh.. Ve, kamu..", "Udah sehat " Mmm.. Maksud ku..".
"Alhamdulilah udah Za, aku udah sehat dan normal", potongnya sambil tersenyum dengan nada suara yang yakin.
"Eh.. Eeuu.. Ah iya iya, alhamdulilah kalo gitu hehe.. Maaf ya Ve..", ucap Gua tidak enak.
"Kenapa Za " Gak perlu minta maaf dan ngerasa canggung gitu, aku tau keadaan aku gak normal kan waktu itu", ucapnya lagi dengan tetap tersenyum kepada Gua.
"Eh.. Bukan, maksud aku bukan kesitu, Euu.. Gimana ya.. Eeuu..".
"Hey, gak apa-apa. Udah lupain aja ya, gak perlu bahas soal itu lagi. Lagian..", "Kamu kesini mau minta penjelasan dari aku kan ?".
Gua tersadar, ya Gua tidak perlu lagi mengungkit kejadian yang sangat buruk saat menimpa dirinya beberapa bulan lalu. Dan kini Gua hanya perlu mendengar alasannya, ya alasan kenapa dia lebih memilih pergi meninggalkan Gua.
"Maaf aku lebih memilih untuk menghindar dari kamu Za", mulainya dengan nada suara yang terdengar sendu.
"Kenapa Ve ?". "Saat itu, aku ngerasa dunia aku udah hancur, aku gak pantas untuk kamu, bahkan untuk laki -laki manapun di dunia ini",
"Dan aku sempat beberapa kali mencoba untuk..", "Bunuh diri".
Gua tercekat mendengar ucapannya, bukan penjelasan awal tapi kalimat terakhirnya. Tapi Gua buruburu menguasai diri lagi, menetralisir segala gejolak emosi yang ada. Karena Gua sadar, sekarang d ia berada di depan Gua, duduk manis dengan keadaan yang sangat baik. Ya, Gua tau saat itu pasti sangat berat untuknya. Namun sekaranglah yang terpenting, Vera sudah sehat seperti sediakala dan melanjutkan kehidupannya dengan baik.
"Ve, semua yang kamu lalui memang berat, gak mudah bagi siapapun jika berada di posisi kamu saat itu",
"Jadi aku ngerti kenapa kamu sampai.. Sampai nyaris mau bunuh diri", timpal Gua mencoba memahami keadaannya yang rapuh saat itu.
Vera tersenyum lalu mengangkat cangkir gelas teh miliknya, lalu meneguknya sedikit.
"Ve, kamu langsung berangkat ke singapore " Maksud ku setelah dua hari aku.. Aku bilang mau nikahin kamu".
Vera menggelengkan kepalanya perlahan. "Enggak Za, aku masih di sini, di rumah Mamah ini", jawabnya,
"Aku pindah ke sini, dan tinggal di sini sebelum akhirnya aku memilih melanjutkan studi di singapur, dan di sana aku tinggal sama Papah", lanjutnya.
Tepat, memang Gua tidak yakin saat dia pergi waktu itu dia langsung ke singapore, logikanya belum tentu dia bisa mendapatkan paspor secepat kilat, jadi ternyata perkiraan Gua selama ini tidak begitu jauh melenceng, benar dia tinggal di sini bersama keluarga Ibundanya dan Papah tirinya. Sayangnya Gua baru tau alamat rumah ini.
"Papah kamu kerja di sana " Singapore maksud aku".
Vera mengangguk. "Iya, dan aku lagi libur kuliah sekarang.. Minggu depan aku udah mulai masuk kuliah lagi Za", jawabnya.
"Mm.. Ve.. Kenapa kamu pergi ?".
"Alasan aku masih sama Za, aku ngerasa gak pantas untuk kamu".
"Ve.. Kenapa kamu mikir gitu " Kamu tau seberapa besar rasa sayang aku untuk kamu, rasa cinta aku untuk kamu, apa kamu ragu dan gak percaya waktu aku bilang mau nikahin kamu ?". "Bukan gitu Za, aku malu, malu sama keadaan aku, dan aku gak mau keluarga kamu punya menantu seper..".
"Hey, kamu tau Ve, dua hari setelah itu aku datang sama keluarga untuk ngelamar kamu, dan Papah kamu juga tau akan hal itu, aku nelpon Papah kamu sehari sebelum datang lagi ke rumah kamu, dan beliau setuju Ve.. Keluarga aku juga gak masalahin kondisi kamu.. Tapi.. Tapi kenapa kamu memilih pergi ?", ucap Gua kali ini dengan sedikit emosi mengingat niatan Gua ketika itu. "Maafin aku Za.. Aku gak bisa..".
"Jadi hanya itu alasan kamu untuk aku " Hanya karena ngerasa gak pantas ?". "Kamu gak tau perasaan aku Za! Kamu gak ngerti! Beban dan mental aku yang udah hancur!".
"Gak ngerti kamu bilang " Selama ini aku ada untuk kamu, nunggu kamu sampai kamu benar-benar berada dalam kondisi terbaik, dan kamu bilang aku gak ngerti " Apa lagi yang harus aku buktiin Ve "!".
Pada akhirnya Vera hanya bisa menangis, dia berdiri lalu hendak pergi ke dalam rumah, Gua berdiri dan buru-buru menahan tangannya, lalu Gua menariknya pelan hingga membalikkan tubuhnya kehadapan Gua kemudian langsung memeluknya. Gua mendekapnya cukup erat, Vera menangis dalam pelukkan Gua, lalu Gua mengusap-usap punggungnya dan menyandarkan wajah ini ke atas kepalanya yang terbalut hijab itu. Airmata Gua mulai mengalir pelan dari sudut mata membasahi pipi Gua hingga turun ke dagu ini. Hati Gua bergetar, perasaan yang selama ini Gua pendam menyeruak dan mengisi setiap sudut di dalam hati, perasaan dan fikiran Gua hanya tertuju untuk seorang wanita yang sedang Gua peluk. Kesadaran Gua sebagai seorang suami dari wanita lain tiba-tiba hilang saat itu. Mungkinkah ini adalah salah satu dosa yang Gua buat kepada Echa, mungkin.. Mungkin saja karena perasaan untuk wanita lain masih Gua pendam dan kini kembali lagi. Maaf Cha...
Beberapa menit kemudian, Vera melepaskan pelukkan Gua, dia mengusap airmatanya dan mendongakkan kepala untuk menatap wajah Gua. Lalu kedua tangannya memegang kedua sisi wajah ini, kedua ibu jarinya lembut mengusap airmata yang membasahi pipi Gua.
"Za, biarkan semuanya seperti ini, lepasin dan relaiin aku, seperti aku yang sudah relaiin kamu bersama Echa", ucapnya seraya tersenyum, senyum getir yang terukir menghiasi wajahnya.
Gua menggelengkan kepala pelan. "Gak semudah itu aku bisa lupain kamu Ve, gak semudah itu", jawab Gua dengan suara yang bergetar.
"Kamu gak bisa seperti ini terus, aku tau Echa yang terbaik untuk kamu, aku tau dia yang selalu ada untuk kamu ketika aku pergi, dan sekarang.. Jadilah suami yang bertanggungjawab dan mencintai istri kamu sepenuh hati Za", lanjutnya.
Jantung Gua berdegup kencang menatap wajahnya, kedua tangan Gua memegangi kedua pergelangan tangannya yang telapak tangannya itu masih memegangi wajah ini. Entah kenapa dan bagaimana, seolah-olah ada dorongan yang menuntun Gua untuk mendekati wajahnya. Semakin lama, wajah Gua mendekati wajahnya hingga jarak bibir kami semakin dekat, lalu Gua memejamkan mata, melupakan nama seorang wanita yang sedang menunggu suaminya dengan perasaan cemas di tempat lain.
* * * Quote:I hate to turn up out of the blue uninvited But I couldn't stay away, I couldn't fight it.
I had hoped you'd see my face and that you'd be reminded That for me it isn't over.
...yes, it's not over yet...
PART 60 Gua mengemudikan mobil dengan kecepatan pelan, mungkin sangat pelan untuk ukuran mobil yang bertipe sport ini, hanya Gua pacu 60km/jam saja. Derai hujan yang membasahi jalan raya semakin membuat hati Gua kelu. Apa yang Gua lakukan dengan Vera hampir menghancurkan rumah tangga Gua dan Echa, andai saja Vera tidak menghindar dan menampar pipi kiri Gua, mungkin Gua akan kembali benar-benar mengejarnya.
Gua menurunkan sedikit kaca mobil lalu membakar sebatang rokok ketika lampu lalu lintas menyala merah di depan sana. Gua menopang dagu dengan menyandarkan tangan kanan ke pintu di samping kanan, pikiran Gua kalut, bingung, apakah Gua sekarang harus benar-benar melepaskan Vera. Logika Gua berkata lepaskan dan tinggalkan, sedangkan hati Gua berkata masih mencintainya...
Pikiran Gua membangkitkan kenangan bersamanya, kenangan saat pertama kali Gua melihatnya di sekolah, berkenalan dengannya, menggodanya, lalu mengabaikannya. Beberapa waktu Gua mengacuhkannya, menolak perasaannya untuk Gua, hingga kami dekat kembali ketika sudah lulus sekolah. Segala apa yang telah ia berikan untuk Gua belum juga membuat kami bisa bersatu ketika itu, ditambah ketika Papahnya masih belum merestui hubungan kami. Tapi, ketika semuanya sudah terasa indah untuk kami berdua, ketika semuanya sudah bisa Gua dapatkan, cinta diantara kami yang tinggal menyatu dan berharap bisa menjalani semua ini bersama-sama harus kandas, tepat dimana Gua akan melamarnya, menikahinya. Semua pupus dan Vera pun memilih pergi.
Suling Naga 17 Pendekar Bayangan Sukma 17 Warisan Berdarah Petualangan Dipuri Rajawali 4
^