Pencarian

Asleep Or Dead 14

Asleep Or Dead Karya Bunbun Bagian 14


Gua tersenyum kepadanya, lalu mengangguk. "Aku janji, aku janji pasti balik lagi ke sini Mba. Pasti", jawab Gua yakin.
... Sekitar pukul tujuh malam Gua mengendarai mobil sendirian, sedangkan koper Gua taruh di jok samping kemudi. Gua belum mengarahkan si Black ke tol, melainkan ke sebuah gedung Bank swasta. Sesampainya di sini, Gua turun dan mengeluarkan koper, lalu Rekti menyambut Gua bersama rekannya yang sudah menunggu di parkiran mobil ini.
Lama amat Boss.. Eh.. Lu ngapain bawa koper Za " , tanya Rekti seraya berjalan mendekati Gua. Gua mau ke luar negeri malam ini .
Ooh, jadinya malam ini Lu ke Singapore sama Vera, Za " Kok ambil penerbangan malem Lu " , tanya Rekti lagi.
Ya, biar santai aja sih dan gak ribet sampe di sananya Ti.. , Eh ini yang temen Lu yang mau beli itu " , Gua mengalihkan pembicaraan. Oh iya kenalin ini temen Gua Za yang mau beli mobil Lu... .
Ya, Gua memang sudah janjian dengan Rekti dari dua hari yang lalu kalau malam ini temannya akan membeli mobil Gua, Celica, si Black. Setelah dia test-drive, dan merasa cocok serta semuanya normal, teman Rekti pun mentransfer sejumlah uang ke rekening Gua dari tiga bank yang berbeda.
Setelah Gua cek semua dana masuk dan jumlahnya sesuai kesepakatan, Gua serahkan kunci berikut surat-surat kendaraan kepada temannya itu. Rekti jelas Gua beri dana terimakasih, tapi entahlah, dia benar-benar menolak, sekalipun Gua bilang apakah nominalnya terlalu kecil, tapi dia tetap tidak mau menerima.
Yaudah Za, gitu ya.. Makasih nih, mudah-mudahan mobilnya awet di temen Gua , Rekti menjabat tangan Gua.
Aamiin.. By the way, Gua lah yang bilang makasih buat Lu, asli makasih banyak da bantuin Gua malam ini ya Ti , ucap Gua.
Rekti mengangguk. Eh.. Bentar-bentar, Lu mau langsung ke bandara kan " , tanyanya lagi. Iya, Gua mau langsung ke bandara ini , jawab Gua.
Lu naik apa ke bandara " Si Vera mana " .
Gua tersenyum lalu membalikkan badan lalu berjalan meninggalkan Rekti kearah luar parkiran. Wooiii.. Zaaa.. Lu mau kemana " , teriaknya.
Gua menengok kepada Rekti ketika sebuah sedan berhenti tepat di samping Gua. Gua pergi dulu Ti, thanks ya.. , teriak Gua seraya membuka bagasi mobil lalu memasukkan koper ke dalamnya. Zaa.. Itu Veraa ?"" , Rekti menunjuk mobil.
Gua tersenyum kepada Rekti sebelum membuka pintu samping kemudi. Bukan , Gua menjawab dengan suara sangat pelan dan membuat Rekti tidak bisa mendengar jawaban Gua. Lalu Gua buka pintu mobil dan masuk ke dalam. Tidak lama mobil pun kembali berjalan dan meninggalkan gedung Bank swasta itu bersama Rekti yang penuh tanda tanya dalam benaknya.
Itu di tas kecil depan kamu tuh semuanya di situ Za , ucap seorang wanita yang sedang mengemudikan mobil.
Gua mengambil sebuah tas kecil yang ia tunjuk tadi, lalu membukanya. Tiket, boarding pass, dan JR pass ya... Oke sip semua, eh.. uang yen " Buat apa " , tanya Gua seraya mengangkat segepok uang Yen yang cukup banyak.
Emang kamu di sana bisa belanja pakai rupiah apa " , tanyanya balik.
Iya enggak bisa, tapi maksudnya biar aku sendiri aja yang tuker di sana . Udah sih terima aja, tinggal pakai aja kok Za.. .
Minta nomor rekening kamu ya, sekalian alamat email sama nomor hp kamu , ucap Gua sambil memasukkan uang yen tersebut ke dalam tas kecil lagi.
Buat apa " Pake nomor rekening segala, terus nomor telpon " Kan kamu udah ada, memang hp kamu hilang "
Sebentar lagi aku bakal gak ada hp kok, hehehe... , jawab Gua.
Lalu dengan fikiran yang kebingungan dan masih harus fokus ke jalan tol, wanita di samping Gua ini menyebutkan nomor hp, nomor rekening dan alamat emailnya, Gua catat semuanya di buku notes yang berukuran kecil. Lalu kembali memasukkan notes tersebut ke dalam saku jaket bagian dalam. Kamu yakin Za soal tinggal di jepang " , Dia mulai menanyakan hal yang sama sedari tiga hari lalu. Bukan tinggal, cuma liburan aja, sementara kok.. By the way gak bosen nanyanya itu lagi itu lagi " . Iya iya iya... Terus gimana soal Vera " .
Ya gak gimana-gimana, gitu aja hahaha... , jawab Gua seraya tertawa menatap wajahnya. Wanita yang sedang mengemudikan mobilnya itu hanya bisa menggelengkan kepala lalu berdeham.
Sekitar pukul setengah sepuluh malam kami berdua sampai di parkiran bandara Soetta. Lalu kami berjalan ke terminal keberangkatan internasional. Sebelum masuk ke dalam terminal 2E, Gua mengajak dirinya untuk makan malam, yang memang sudah terlalu malam. Kami makan di restoran cepat saji. Selesai menghabiskan makanan, hp Gua berdering, lalu mengambilnya dari saku celana dan melihat layar hp, baru kemudian Gua menekan tombol answer.
Quote:Percakapan via line :
Gua : Hallo.. Nona Ukhti : Hallo assalamualaikum.. Eza! Kamu dimana "!! Terdengar jelas suara Nona Ukhti panik diujung sana...
Gua : Kenapa " Nona Ukhti : Eza, yang bener Za, kamu lagi dimana sekarang "
Gua : Bandara Nona Ukhti : Kamu ngapain di bandara malam-malam gini Za " Kita baru berangkat besok pagi Za, kamu mau ngapain "
Gua : Maafin aku Ve.. Maaf.
Nona Ukhti : Kamu mau kemana Za.. Hiks.. Hiks.. Hiks.. Gua : Maaf Ve, jaga diri kamu baik-baik ya Ve.. Maafin aku.
Nona Ukhti : Za, bilang sama aku, kamu mau pergi kemana " Halo Za " Eza kamu mau kemana " Halo " Rezaa.. Haloo.. Rezaaaa...!!
Tuut.. Tuut.. Tuuuuuuutttt... Gua mematikan hp.
Gua langsung menonaktifkan hp, membuka casingnya dan mengeluarkan kartu telpon dan mematahkannya. Sementara wanita yang berada di depan Gua sedang menerima panggilan masuk.
Aku, aku lagi di apartemen Mba... Beneran, iya... Kenapa " Aku enggak tau apa-apa Mba... Emang Eza kenapa " Loch " Terus gimana "... Yaudah iya iya kalau nanti aku dapet kabarnya nanti aku kabarin Mba Laras ya.. Iya Mba iya.. , tidak lama kemudian panggilan diakhiri. Wanita ini langsung menggelengkan kepala sambil menatap Gua tajam. Keterlaluan kamu bohongin Mba Laras, aku sampai ikut-ikutan lagi iish.. , sungutnya kesal. Hehehe.. sekali-sekali, maaf ya.. Heehehe.. , Gua terkekeh pelan.
Terus sekarang gimana " .
Ya gak gimana-gimana, seperti yang aku bilang tiga hari lalu, kamu jangan bilang ke siapapun soal kepergian aku ini.. Maaf ya, aku cuma bisa minta bantuan kamu soalnya.. , Gua pegang punggung tangannya yang berada di atas meja makan ini.
Ck.. Yaudah.. Tapi sekarang ceritain kamu mau tinggal sama siapa di sana " . Dia memundurkan tubuhnya lalu bersandar pada besi bangku dan melipat kedua tangannya.
Sebelumnya, Mba Laras menelpon Vera, untuk menanyakan apakah Gua dan Vera sudah di bandara soetta atau belum, karena Mba Laras menelponi Gua tapi tidak Gua angkat, setelah Mba Laras mengetahui ternyata keberangkatan Gua dan Vera esok pagi, sontak Mba Laras dan Vera samasama kaget, karena Gua malah pergi malam ini terlebih dahulu. Mba Laras akhirnya menanyakan kepada adiknya lewat telpon. Dan Vera... Menelpon Gua.
Gua tersenyum kepadanya, lalu membakar sebatang rokok, Gua hisap dalam-dalam dan menghembuskan asapnya ke atas.
Aku akan tinggal di rumah Paman ku di prefektur Hokkaido, di kota Hakodate.. , lalu Gua meneguk soft drink dan kembali bercerita. Saat Vera datang ke rumah Nenek seminggu lalu, dia ngajak aku ke singapore, untuk tinggal disana sama Papahnya juga... , lanjut Gua.
Iya kalo itu aku udah tau, kan kamu udah cerita , kemudian dia mengambil fried fries dan mencoleknya ke mangkuk sambal dan memakannya.
Iya, seharusnya aku pergi sama dia besok pagi ke Singapore, tapi lima hari yang lalu aku gak sengaja nemu kertas, secarik kertas di lemari kamar... .
Kertas " . Kertas itu berisi alamat email sepupu ku, namanya Kimiko, dia anak Paman ku... Dan malam harinya aku email dia, nanyain kabar, gak lama ternyata dia balas email aku, jadilah kita cahtt di messenger.. Dari obrolan di chatt itu, aku tiba-tiba pingin pergi ke Jepang, dan ya aku bilang cuma ingin liburan kesana aja.. Dan sekarang, seperti yang kamu udah ketahui sendiri, aku kontak kamu besoknya untuk beliin aku tiket ke Narita, dan beliin JR Pass... , terang Gua kepadanya.
Paspor kamu " . Dewa yang urus, kebetulan dia punya kerabat yang kerja di kantor imigrasi, makanya bisa selesai cepat, aku juga cuma bilang liburan ke dia, dan sama seperti ke kamu, aku tekankan kalau jangan sampai ada yang tau soal kepergian aku ini... Makanya mungkin tadi Rekti juga gak tau pas aku jual mobil ke temannya, berarti Dewa gak cerita apapun ke yang lain .
Za, kamu serius cuma liburan " Terus ngapain kamu sampai jual mobil segala " Tabungan kamu kan masih banyak, atau kamu bisa minta ke aku , kali ini dirinya mencondongkan tubuh ke meja dan melipat tangannya di atas meja.
Enggak, aku enggak tau sebenarnya berapa lama akan tinggal sama Paman ku. Terus soal mobil, aku rasa gak akan ada yang pakai lagi di sini, dan uang tabungan ku semuanya aku simpan di Mba Laras, semuanya... Makanya aku jual mobil untuk biaya hidup di Jepang.. .
Kamu tuh Za, benar-benar nekat... Oh ya, terus kamu gak ngabarin Luna " Dia juga khawatir karena ditelpon Mba Laras juga katanya .
Enggak, aku gak ngabarin Luna, Sherlin ataupun Mba Siska, cuma kamu yang tau hal yang sebenarnya .
Gua lirik jam tangan pada pergelangan tangan kiri, satu jam lagi pesawat Gua akan take-off, kemudian Gua ajak wanita ini pergi masuk ke dalam bandara lagi, Gua menuju atm center dan mentransfer sejumlah uang ke nomor rekeningnya, untuk mengganti uang yen yang ia berikan dan pembelian tiket pesawat serta JR Pass. Gua berikan struk transfer kepadanya.
Makasih banyak atas bantuannya ya, ini aku udah transfer uang ganti biaya yang kamu talangin untuk aku , ucap Gua seraya menyerahkan bukti transfer.
Kamu apaan sih Za! Enggak usah diganti ih! Udah aku transfer balik aja, aku masih ada uang dan gak perlu kamu ganti.. , Dia berjalan melewati Gua menuju atm center, sebelum semakin jauh Gua memegang tangan kanannya dari belakang.
Gua balikkan tubuhnya pelan dan langsung mendekatkan tubuh. Cupp.. Cup.. Gua kecup bibirnya dua kali.
Gua menatap matanya lekat-lekat, wajahnya merona merah, dia tersipu malu. Za.. Eeuu.. Mmm.. , dia menggigit bibir bawahnya, matanya sayu menatap Gua.
Gua tersenyum tipis lalu memiringkan wajah, dan kali ini Gua memagut bibirnya, menelusupkan lidah ke dalam rongga mulutnya yang langsung ia balas. Hanya sebentar, Gua langsung memundurkan wajah lagi dan menyeuka bibirnya yang basah dengan ibu jari.
Aku janji, kamu yang akan aku hubungi lewat email.. Maafin aku ya udah libatin kamu untuk berbohong ke semuanya. Karena aku percaya sama kamu, tolong sampai nanti aku kabarin kamu, jangan pernah bilang soal kepergian aku ke Jepang, ke siapapun.. Aku minta maaf sekali lagi dan terimakasih banyak untuk semuanya , ucap Gua, lalu dia, Tante Gua, Kinanti. Memeluk Gua erat.
Gua balas pelukannya dan mengusap rambutnya. Tidak lama Gua melepaskan pelukannya.
Janji kamu bakal kabarin aku ya Za, janji kamu akan baik-baik aja di sana.. , ucapnya sambil menyeuka airmata yang turun membasahi pipinya yang putih mulus itu.
Gua tersenyum dan mengacak poninya. Pasti Kak.. Pasti aku kabarin kamu dan aku jaga diri di sana.. Makasih sekali lagi. Aku berangkat dulu ya, baik-baik juga di sini. Salam untuk Veronica, Pak Boy dan Lisa di kampus .
Kinan mengangguk lalu memeluk Gua lagi sebentar, lalu Gua kecup keningnya dan pamit untuk masuk ke dalam. Gua melangkahkan kaki semakin jauh, lalu sebelum Gua check-in, Gua membalikkan tubuh dan menatap Kinanti yang masih berdiri di tempat kami tadi berpisah, dia melambaikan tangan kepada Gua.
Aku janji... Aku janji akan pulang lagi ke sini.. , ucap Gua sedikit berteriak.
Kinanti tersenyum lalu memberikan kecupan jauh dan meniupnya kepada Gua. Gua tertawa pelan dan membalas kecupan jauhnya.
Thank you for everything Sist.. Thanks
PART 79 "Jadi alasan kamu yang sebenarnya pergi dari Indonesia untuk melupakan sakit karena 'ditinggalkan' orang-orang yang kamu sayangi ?", tanya Kimiko setelah Gua selesai menceritakan kenapa Gua mengunjunginya.
"Direnggut, bukan ditinggalkan...", jawab Gua memberi penekanan,
"Bagaimanapun aku gak akan pernah bisa ngelupain semuanya. Aku ngerasa Tuhan udah gak adil memberikan semua ujian ini", lanjut Gua lirih seraya menggelengakn kepala dan tertunduk.
"Agatha-san... Kamu masih bisa tersenyumkan " Menurut aku, itu sudah lebih dari cukup untuk menunjukkan bahwa kamu mampu melewati semuanya..", Kimiko mengusap punggung tangan Gua lalu tersenyum.
"Kimiko, apa yang kamu lihat dari mata kamu bukanlah perasaan aku yang sebenarnya... Aku terlihat kuat dari luar, tapi nyatanya.. Aku rapuh di dalam sini..", jawab Gua sambil menepuk dada ini.
Kimiko beringsut mendekati Gua, lalu satu tangannya memegang pundak Gua, kemudian tersenyum. "Percaya dengan kebaikan Tuhan Agatha-san.. Yakinlah dengan kebaikan Tuhan yang kamu yakini..", ucapnya.
Gua menaikkan ujung bibir, lalu menggelengkan kepala cepat. "I don't believe in God... He takes my precious one, he takes my lovely daughter, he takes my mother and my father.. He takes everythings from me.. He takes all i love.. So, i don't trust him anymore...", Gua menitikan airmata dan pundak Gua pun bergetar.
Kimiko membenarkan posisi duduknya, kini dia duduk lurus menghadap Gua. "Kalau kamu tidak percaya dengan apa yang kamu yakini sekarang, aku hanya bisa memberikan saran ke kamu, 'Berdamailah dengan masa lalu, berdamailah dengan hati dan fikiran negatif kamu, bukan berarti mengalah.. Aku yakin kamu faham maksud ku Agatha-san'..", Kimiko tersenyum lebar hingga kedua matanya menyipit lalu tangan kanannya mengusap dada Gua.
i0F0"0B0"0L0h0F0T0V0D0~0W0_0, Kimiko-san.
*** Maret 2009 Gua berjongkok sambil menyandarkan punggung ke tembok dibelakang, nafas Gua terengah-engah, butiran keringat yang sudah membasahi kening ini akhirnya menetes dan jatuh ke jalanan ketika tertahan oleh alis Gua. Satu demi satu tetesan keringat membasahi jalanan, Gua menatap kebawah, kepada tiap jejak tetesan keringat yang berada disana.
Kemudian Gua membalikan telapak tangan, menatapnya bergantian kanan dan kiri. Tubuh Gua bergerak naik turun perlahan karena jantung Gua masih berdegup cukup kencang, dan sekarang semakin kacau fikiran dalam otak ini akibat warna merah pekat yang melumuri kedua tangan Gua sendiri. Gua terduduk, dan menyandarkan kepala ke tembok lalu menengadah sambil memejamkan mata, mengatur nafas perlahan, menghirup udara malam di gang yang sempit ini. Kriiitt... Suara pintu di depan kanan Gua terbuka.
Secepat kilat kedua tangan Gua kembali meraih double kodachi yang tergeletak di hadapan Gua lalu berdiri dan menunggu seseorang yang keluar dari pintu tersebut.
Seorang lelaki terhuyung seraya memegangi perutnya, lelaki itu yang bertemu dengan Gua sejam yang lalu di dalam Pub, dan Gua 'memberikan salam' dari Paman Hiroshi untuknya lewat double kodachi ini.
Dia berjalan perlahan keluar dari pintu itu, lalu sedetik kemudian, Bruk... terjatuh, wajahnya menyamping di atas tanah dan kedua matanya menatap Gua tanpa berkedip.
Gua menelan ludah, kedua tangan yang masih memegang double kodachi Gua posisikan kedepan, memasang kuda-kuda agar bisa merespon dengan cepat jika terjadi serangan secara tiba-tiba.
Sebuah derap langkah kaki yang cukup cepat terdengar dari tempat Gua berdiri, lalu tidak lama seorang lelaki berumur dua puluh lima tahun keluar dari pintu itu sambil melompati lelaki yang masih telengkup di depan Gua.
"Agatha-kun! Ayo lariii... Lariii..", teriak lelaki yang tadi melompat sambil menarik tangan Gua ketika dirinya sudah melintas di samping kanan Gua.
Sebelum Gua membalikkan tubuh, sekilas Gua melirik ke arah lelaki yang masih telengkup, tatapan matanya kosong, dan dari balik tubuhnya, warna merah gelap mengalir membasahi jalanan disekitar tubuhnya.
Gua berlari mengikuti lelaki yang menarik tangan Gua tadi, dia satu meter berada di depan, kami berdua meninggalkan lokasi belakang sebuah Pub. Semakin jauh kami berlari ternyata semakin banyak orang-orang yang ikut berlari di belakang kami, dan sayangnya ini bukanlah olahraga di malam hari, melainkan Gua dan lelaki yang berlari di depan Gua itu adalah incaran orang-orang di belakang sana.
Jika Gua tidak mempunyai stamina yang cukup kuat, nyawa taruhannya, ya ini semua bukan mainmain, walaupun organisasi mengatakan bahwa inilah 'permainan' mereka. HoliSyit!!!
Setelah beratus meter kami berlari, kami berdua akhirnya sampai di sebuah gedung yang belum selesai dibangun, gedung yang tampak tidak terawat dengan banyaknya tong berkarat dan juga letak basement ini yang belum jadi. Gua dan teman lelaki tadi terengah-engah, mengatur nafas dan melihat kebelakang. Entah ada berapa orang yang masih berlari mengejar kami berdua, kalau Gua perkirakan mungkin ada sekitar dua puluh orang banyaknya, walaupun Gua tidak yakin jumlah pastinya. Dan lebih dari itu, setiap lelaki itu memegang senjata. Yang tajam, yang tumpul hingga rantai besi, sekalipun tidak ada yang memegang senpi, tapi tetap saja ini semua mempertaruhkan nyawa. Dua orang melawan dua puluh orang, perbandingan gila dalam sebuah pertarungan, ah lebih tepat disebut dengan sebuah pembantaiaan.
Kedua puluh (anggap saja jumlahnya sebanyak itu) lelaki itu sudah terlihat menuruni tangga basement. Kemudian sebuah pintu dibelakang kami terbuka, pintu besi yang memiliki keamanan kunci dengan menggunakan kode angka.
"Wah selamat juga rupanya kalian berdua", ucap seorang pria paruh baya yang melangkah keluar dari balik pintu itu,
"Ooh.. Rupanya kalian membawa calon korban ke sini, bagus bagus", lelaki ini melirik kearah depan sana, kepada kedua puluh orang yang sudah semakin dekat,
"Oke mulai dari sini, biar saya yang selesaikan... Tamada, ajak masuk Agatha-kun ke dalam", perintahnya kepada lelaki yang berlari bersama Gua tadi.
"Terima kasih Tuan Arashi..",
"Ayo Agatha-kun kita masuk", ajak Tamada seraya menarik bahu Gua.
Kami berdua melewati segerombolan orang-orang yang berjalan keluar dari dalam. Banyak, banyak sekali orang yang keluar dengan sajam di tangan mereka masing-masing, dan sebelum pintu tertutup, Gua menengok lagi, melihat sekilas pertempuran atau sama saja dengan sebuah tawuran, yang baru dimulai di luar sana.
Gua membuka jas hitam yang Gua kenakan, lalu menggulung lengan kemeja hingga sebatas siku. Kemudian Gua mencuci tangan di wastafel dalam toilet, mencoba membersihkan sisa noda merah pekat yang mulai mengering pada kedua tangan Gua. Selesai mencuci tangan dengan cukup lama, Gua keluar dari toilet dan duduk di atas sofa berwarna coklat.
Gedung tua yang tidak terpakai ini ternyata adalah sebuah markas, markas bagi satu kelompok organisasi. Tidak pernah terfikirkan di benak Gua bahwa apa yang biasanya hanya bisa Gua lihat dan khayalkan pada sebuah film gangster, sekarang malah Gua alami sendiri.
Di lantai basement ini terdapat sebuah pintu besi yang baru saja Gua masuki bersama Tamada beberapa menit yang lalu, tentunya dengan akses yang tidak biasa. Dan dari pintu itulah apa yang nampak dari luar gedung yang kumuh ini tidak mencerminkan fasilitas yang sebenarnya. Di tempat Gua berada sekarang, lebih terlihat seperti sebuah tempat hiburan malam. Ada musiknya, bukan genre techno, melainkan hanya sebuah musik klasik, musik instrumental, belum lagi cahaya ruangan di dalam sini berwarna biru yang bercampur putih, miriplah dengan sebuah tempat ajeb-ajeb di Jakarta. Lalu ada beberapa meja untuk 'tamu' dengan sofa yang mahal dan mewah. Kemudian lengkap dengan lounge Bar beserta rak minuman berikut para bartendernya, dan ehm... Pramusajinya semua wanita, ya wanita asli dari negara matahari terbit ini, yang mana pakaian kerja mereka teramat sangat super duper wow icik iwir seksi abis bis bis bissss... Ngiler-ngiler Lu semua kalo liat langsung Gais. Jojo tegak berdiri terus disuguhi pemandangan yang biasanya cuma bisa Gua tonton dari laptop atau hp format mp4. Lah ini malah asli depan mata Gua, bukan depan mata dan terhalang layar laptop atau hp, bisa disentuh secara fisik, bukan secara virtual. Sempit we calana aing euy.... Btw, Gak usah komen nanyain kayak film Jav apa Za, Gua jawab langsung, custom ala-ala bunny girls. Sekali lagi, ndak perlu komenin paragraf ini!!!
Lantai dua lebih diperuntukkan untuk tamu kehormatan atau orang yang memiliki jabatan ti nggi di organisasi ini, tidak semua orang bisa diizinkan naik ke lantai dua, walaupun kita yang berada di lantai satu masih bisa melihat mereka-mereka yang berada di lantai dua sana. Gua ambil kesimpulan bahwa di lantai dua khusus tempat untuk membahas 'pekerjaan' organisasi yang hanya melibatkan orangorang penting di sini. Bukan untuk orang seperti Gua yang hanya selevel kadal
Kembali Gua duduk di sofa, tepat di sebelah Tamada yang sudah menghabiskan sepuluh gelas minuman beralkohol.
"Oii Agatha-kun! Ayo mari minum, kamu perlu bersantai sejenak agar tidak trauma dengan tugas kita tadi, hahahahaha.. Ayo ayo mari minum Agatha-kun!", kelakarnya seraya menepuk bahu Gua dengan cukup keras.
Gua dan Tamada beserta beberapa 'kawan' di meja nomor dua puluh satu ini kembali menikmati malam dengan 'little party' setelah selesai melaksanakan 'tugas' dari organisasi.
Februari Gua datang ke negara ini untuk melepaskan juga melupakan kepahitan serta rasa sakit karena merasa terenggut, Gua ingin memulai semuanya di sini. Melupakan segala duka, bukan melupakan kenangan manis ketika masih bersama Echa dan Jingga. Dan sekarang sudah bulan Maret, satu bulan berlalu dengan segala kejutan-kejutan yang Gua alami bersama Paman Hiroshi. Ya, hari kedua di negara ini Gua sudah harus menyaksikan dirinya ternyata adalah salah satu 'devil' berwujud manusia. Setelah Gua dan Paman Hiroshi melewati malam penuh kekejaman di kota Otaru, semakin ke sini Gua semakin di doktrin agar Gua mengikuti jejaknya. And this is me, I'm here... With all fvckin trouble... Gatdemit!!!
Gua hanya meminum sedikit sake dan berdiri dari duduk kemudian berjalan ke tempat lain, Gua memilih berdiri di dekat toilet dan menghisap lintingan sendirian.
Perlahan namun pasti, hati kecil Gua mengingatkan bahwa apa yang Gua jalani di sini bukanlah keinginan dan harapan yang Gua cari. Mau berapa nyawa lagi yang harus melayang. Gua masih berdiri dan melamunkan hal-hal yang sudah Gua alami satu bulan terakhir di sini. Malam ini sudah malam ke delapan untuk Gua 'membasuh tangan dari warna merah pekat' setelah seorang lelaki dalam daftar organisasi diberikan kepada Gua dan Tamada. Dan ya seperti awal cerita di atas, begitulah 'permainan' yang tidak perlu Gua jelaskan secara detail, karena ini semua merupakan sebuah kriminalitas.
Gua menggelengkan kepala pelan lalu mengusap-usap wajah untuk 'sekedar' membohongi diri bahwa semua ini hanya mimpi buruk. Karena hampir setiap malam kehidupan baru Gua hanya begini, berpesta, dan mengkonsumsi barang terlarang.
Gua mematikan lintingan dan membuangnya ke tong sampah, baru saja Gua berbalik badan dan hendak berjalan, seorang wanita yang cukup memiliki tinggi di atas rata-rata orang asia sudah berdiri di hadapan Gua.
"Hai Agatha-san.. Kamu tidak apa-apa kan tadi ?", tanyanya ramah sambil tersenyum dengan mata yang semakin menyipit karena memang sudah sipit.
Gua menggelengkan kepala pelan kepadanya. "Tidak apa-apa Rin.. Ah ehm.. Aku pergi dulu ya, rasanya kepala aku sedikit pusing dan badan juga lelah...", Gua berjalan melewati Rin.
"Hei.. Let me help you Agatha-san", Rin tersenyum ketika Gua menengok lagi kepadanya. Lalu dia meneguk white wine pada gelas wine yang memang dia pegang sedari tadi.
... Gua terbangun ketika Gua rasakan ada sesuatu yang menggelitik perut ini. Gua mengucek mata dengan kedua jari tangan lalu membuka mata perlahan, Gua melirik kebawah. "Rin " What are you doing ?", tanya Gua.
Rin melirikan matanya kepada Gua, tapi lidahnya masih asyik menari di atas perut Gua itu, lalu dia tersenyum nakal, nakal sekali. Lalu semakin turun kebawah dan voila... IYKWIM.
Btw, expert si Rin ini, padahal ehm, First-nya Gua yang ambil uhuk. Belajar dengan baik dan menangkap pelajaran dengan cepat rupanya kamu Rin.
Rin, adalah seorang wanita yang Gua kenal baru satu minggu yang lalu. Semenjak Gua sering dibawa ke tempat organisasi oleh Paman Hiroshi, dan awalnya Gua dikenalkan oleh Tamada kepada Rin. Tamada sendiri adalah seorang lelaki yang sudah lama berkecimpung di dalam organisasi ini, dan Rin adalah, ehm.. He's Lil' Sister, eighteen year olds Gais... Like a bluetooth find 'a new device'... Hmmm, oke stop, nanti yang punya Trit ngamuk lagi gara-gara kelakuan ngawur kalian.. Eh Gua.
Dan bangun pagi juga terkadang siang bersama Rin di samping Gua sudah sering kami lakukan, di atas ranjang yang sama, sama-sama tidak mengenakan pakaian, sama-sama lelah semalaman, sama-sama nikmat, sama-sama hanya terbalut selimut putih untuk menutupi tubuh dari dinginnya pendingin ruangan kamarnya ini, kami berpacu lagi dalam melodi, melodi rintihan ikeh kimochi... Yep, i mean morning s3x.
"Hah.. Hah.. Huufttt.. Agatha-san, can you bring some water for me, please", ucap Rin seraya menyeuka keringat di keningnya.
"Wait a second..", Gua bangkit dari atas tubuhnya setelah melepaskan Jotha.
"Aaah... Aww.. Hahaha.. Don't do that again Agatha-san!", Rin meringis karena tetiba saja Jotha Gua lepaskan dari JeRin nya, lalu dia terkekeh pelan.
Gua kembali dengan segelas air mineral dan duduk di sisi ranjang, tepat di sampingnya yang sedang terduduk dengan menyandarkan punggungnya ke dinding kamar.
"Thank you Agatha-san..", ucap Rin setelah meminum setengah gelas air mineral tersebut.
Gua tersenyum lalu menerima gelas itu dan Gua taruh di atas meja dekat kasur. Gua menatapnya dan mengecup keningnya.
"Agatha-san... I Lov.. Emmhh..".
Gua memotong ucapannya dengan memagut bibirnya. "Muaahh.. Cupp..", Rin memundurkan wajahnya dan tersipu malu.
Kedua tangannya masih berada di atas bahu ini, lalu dilingkarkan ke belakang tengkuk Gua, kini wajahnya menengadah sedikit dan mendekati wajah Gua. Kening kami menempel, sangat dekat jarak wajah kami, hingga bisa Gua rasakan deru nafasnya yang lembut. Kedua mata kami sama-sama terpejam, lalu Gua dengar kalimat-kalimat yang keluar dari mulutnya. Awalnya Gua nyaris terkekeh atas apa yang ia katakan, tapi Gua tidak jadi tertawa, karena sedetik kemudian Gua bisa merasakan tubuhnya sedikit bergetar dan suaranya berubah menjadi isak tangis.
Maaf Rin, aku enggak bisa menyambut perasaan kamu, sekalipun waktu itu kamu merelakan semuanya dan memilih untuk tinggal bersama ku di manapun aku tinggal. Aku rasa kamu gak akan bahagia Rin... Aku sudah ceritakan alasan apa yang saat itu masih menjadi pikiran ku, ada banyak hal, dan salah satunya adalah almh. Ny. Hikari, almh. Ibunda ku. Memang jahat, aku menyamakan semua wanita jepang dengan menganggap mereka berprilaku sama seperti almh. Ibunda ku, dan rasa takut itu terlalu besar, ya terlalu besar bagi ku (saat itu) untuk menjalin hubungan serius lebih dari sekedar kekasih dengan seorang wanita jepang. Bahkan jika kita sampai menikah dan memiliki anak kelak. Kebodohan dan pola fikir yang pendek serta pengalaman buruk membuat Aku berfikir kalau kamu akan sama memperlakukan anak kita seperti perlakuan Ny. Hikari kepada ku dulu. Dan dilain hal, aku belum menemukan sosok wanita seperti mendiang istri ku, maaf Rin. I've been an asshole and fucking moron when you told me your feelings... So sorry and goodbye Rin...
April 2009 Gua menarik koper dengan tangan kiri lalu berjalan ke salah satu restoran di dalam bandara ini. Setelah memesan menu makanan yang (sedikit Gua rasa) cocok dengan lidah Gua, kini Gua menghubungkan jaringan internet handphone ke wifi di restoran ini. Gua membuka menu email dari handphone yang dua puluh jam lalu Gua beli di Tokyo lewat bantuan Aoki-san, kekasih Kimiko.
Tidak lama kemudian menu pesanan Gua datang dan langsung Gua santap setelah tersaji di hadapan Gua. Sambil menyantap makanan, ibu jari tangan kiri Gua asyik men-scroll layar handphone, membuka beberapa email dan membaca isinya. Selesai menyantap makanan, Gua memesan satu cup black coffee, kemudian Gua meneguknya sedikit dan mulai merentangkan kedua tangan kuatkuat. Rasanya Gua mengalami jetlag. Pusing dan sedikit bingung. Untuk apa Gua berada di sini, fikir Gua. Lalu sebuah notif email masuk ke handphone dan kembali Gua membacanya. Kali ini Gua tidak langsung membalas email tersebut, tapi menahan gondok, kesal dan emosi. Gua menggelengkan kepala.
Isi email tersebut mengatakan bahwa, 'Selamat liburan di sana'. Kali ini Gua membalas email tersebut dan meminta penjelasannya. Selesai Gua kirim, kembali Gua menunggu balasan email tadi. Gua membakar rokok kedua ketika notif satu email masuk itu berbunyi. Gua baca perlahan isi tentang penjelasannya, kurang ajar emang punya sepupu isengnya keterlaluan.
Gila, untuk apa Gua duduk di dalam pesawat selama dua belas jam, belum di tambah transit di bandara internasional Abu Dhabi tadi selama dua jam lamanya, lalu kembali duduk manis di dalam pesawat lagi sekitar kurang lebih enam jam hingga sampai di negara ini. Dan untuk semuanya, sepertinya Gua tidak masalah mengutuk kelakuan Kimiko yang absurd itu. Tlaak.. Gua melempar handphone pelan keatas meja makan. Gatdemit you, Kimiko!!!
Gua menghela nafas dengan pelan lalu memejamkan mata sejenak seraya mengurut-urutkan kening dengan dua jari tangan kanan ini. Gila memang, jauh-jauh pergi, jetlag, pusing, cuaca yang tidak bersahabat, atau mungkin musimnya yang memang belum pernah Gua rasakan.. Dan itu semua bayaran dari kepintaran Kimiko mengolah kata-katanya sehingga terlahir sebuah propaganda baru...
Gua membenarkan waktu pada jam tangan setelah tersadar ketika tidak sengaja melihat jam restoran di atas sana. Lalu Gua membayar makanan dan segera pergi keluar resto. Gua pergi ke money changer untuk menukarkan uang ke mata uang negara ini. Beres menukar uang, Gua membeli satu handphone baru yang satu paket dengan kartu telekomunikasinya. Barulah Gua keluar dari bandara internasional ini.
Gua mengusap-usap kedua telapak tangan dan meniup-niupkannya, suhu udara yang berbeda lagi dan lagi harus Gua rasakan, bodohnya Gua lupa membeli sebuah leather gloves. Sekarang Gua berjalan menuju sebuah mobil sedan yang sedang terparkir di depan sana dan membuka pintu penumpang di bagian depan setelah sang supir membantu Gua memasukkan koper ke dalam bagasi mobil. Setelah memasang seatbelt, dan duduk dengan nyaman, supir di sebelah kiri Gua pun kembali membuka percakapan...
"Woher kommen Sie ?"
Gua menengok ke kiri dan mengerenyitkan kening. "Can you speak english Sir ?". "Ah sure.. Pardon me Sir, hahaha... Where do you from Sir ?".
Gua memutar bola mata keatas lalu tersenyum kecut. "I'm from Indonesia". Dia mengangguk cepat. "Ah Bali, paradise island eh ?".
"Yeah, Bali is an island and province of Indonesia. Mmm.. Sir, can you take me to the hotel around here...", jawab Gua lalu memejamkan mata setelah si supir mengangguk seraya tersenyum. Mobil pun perlahan meninggalkan Flughafen D"sseldorf.
PART 80 April 2009 Ini sudah hari ketiga Gua meringkuk di dalam kamar hotel dengan berbalut selimut putih yang cukup tebal. Kepala Gua masih terasa berat, tenggorokan terasa sakit jika menelan makanan, hidung Gua mampet, dan tubuh pun rasanya lemas. Ya ternyata Gua tumbang juga, sepertinya flu dan demam ini disebabkan karena kondisi tubuh Gua yang belum bisa menyesuaikan perubahan cuaca dari musim dingin ke musim semi di salah satu negara belahan eropa.
Gua menyandarkan punggung ke bahu kasur sambil menonton acara televisi yang Gua tidak paham bahasanya. Gua mengurut kening dengan kedua jari ketika kepala Gua kembali terasa pusing, masih mencoba merelaksasikan kepala ini, handphone Gua berdering tanda panggilan masuk. Gua raih handphone yang berada di meja kecil samping kasur dan melihat layarnya, ada sebuah panggilan masuk dari kode area Indonesia.
Quote:Percakapan via line : Gua : Hallo...
+628xx : Hallo Ezaaaa... Kamu sakit "!
Terdengar suara seorang wanita yang khawatir dari nada suaranya...
Gua : Iya.. Demam aja sama pilek nih... Uhuk... Uhuk... Batuk juga sih... Gua berbicara dengan nada suara yg berat...
+628xx : Udah ke dokter belum Za "
Gua : Belum, Uhukk.. Uhuk.. mana aku tau di sini klinik dokter umum dimana.. Uhuk.. Tapi gak apa lah, mungkin besok juga sembuh, uhuk...
+628xx : Kamu tuh ngapain coba ke situ, bukannya langsung pulang ke Indonesia ih, tuh masih batuk juga
Gua : Iya kalo besok sehat, nanti juga pulang.. Uhuk.. Ehmm.. Uhuk..
+628xx : Za, sekarang kamu telpon ke resepsionis hotel aja, tanyain klinik dokter yang deket dari hotel kamu sekarang dimana, atau bisa sekalian pesen taxi minta anter ke klinik, jangan di entar-entar lagi Za...
Gua : Iya iya Kak, makasih ya, aku baru kepikiran nanya ke resepsionis... Uhuk... Oke langsung aku tanyain abis ini kok.. Uhuk.. Uhuk..
+628xx : Iya, kalo gitu kabarin ya, sms aja atau email ke aku. Semoga cepet sembuh ya Za, Mba Laras dan Nenek nanyain kamu terus...
Gua : Iya Kak, Uhuk.. Eh mereka jadinya udah tau aku di Jerman sekarang "
+628xx : Enggak, mereka taunya kamu masih di Jepang, kan kata kamu jangan bilang.. Ya aku cuma cerita kalo kamu lagi di tempat.. Euu.. Siapa nama sepupu kamu "
Gua : Kimiko.. +628xx : Iya Kimiko.. Aku cuma cerita ke mereka kalo kamu masih tinggal di Jepang. Oh ya Za, mmm.. Aku ngasih email kamu ke Mba Laras, kasihan Za dia khawatir sama kamu, dua bulan lebih kamu gak ada kabar... Maaf ya, aku gak bisa bohongin mereka lagi
Gua tersenyum mendengar ucapan Kinanti.
Gua : Ya udah enggak apa Kak, maaf ya udah libatin kamu. Makasih udah bantu selama ini
+628xx : Iya Za, kamu cepet pulang ya, soalnya kalo kelamaan kamu di Jerman, kayaknya Mba Laras bakal pergi ke Jepang.. Dia kan taunya kamu masih di sana, mau nyusulin kamu Gua : Nanti aku cek email, dia pasti udah kirim mail ke aku.. Secepatnya aku pulang kok Kak.
Gua mematikan telpon setelah Kinan pamit hendak pergi mengantar Ibunya ke pusat perbelanjaan. Gua cek jam di layar hp, sekarang pukul sepuluh pagi GMT+2, berarti di Jakarta sudah pukul tiga sore.
Kemudian Gua buka menu email dan benar saja sudah ada notif mail baru dari Larasati_84. Gua buka email tersebut lalu membaca isinya. Jelaslah isi mailnya tidak jauh dari pertanyaan soal kabar Gua dan sebagainya, tidak butuh waktu lama untuk mengirim balasan dan sekalian memberitahukan bahwa Gua sedang berada di D"sseldorf kepada Mba Laras. Ya, Gua rasa sudah cukup untuk menyembunyikan keberadaan serta kabar Gua saat ini kepada keluarga, tidak lupa Gua juga memberikan nomor kontak telpon saat ini pada balasan mailnya.
Sekitar pukul dua belas siang waktu setempat Gua menelpon bagian resepsionis hotel dari telpon kamar hotel ini, Gua meminta dipesankan taxi yang langsung menuju klinik dokter terdekat. Beres menelpon bagian resepsionis, Gua menuju kamar mandi untuk sekedar membasuh wajah dan berganti pakaian. Setelah itu barulah Gua turun ke lantai satu dari lantai tiga dimana kamar hotel Gua terletak.
Gua mengenakan pakaian yang cukup menghangatkan tubuh, bagian atas Gua memakai kaos putih yang dibalut sweater abu serta overcoat berwarna khaki, kemudian bagian bawah, Gua memakai celana denim dan sepatu boots dengan warna senada hitam. Gua masuk ke dalam lift dan menyandarkan tubuh ke dinding lift sambil melipat kedua tangan di depan dada lalu memejamkan mata sejenak.
Gua merasakan kalau tubuh ini masih sedikit demam dengan kepala yang pusing. Tidak lama lift sampai di lobby hotel dan pintu terbuka...
Ting... Pintu lift terbuka.
Gua membuka mata dan melihat seorang wanita.. Ah... Dia.. Dia wanita yang rasanya lebih layak disebut bidadari. Ya, Gua rasa tidak berlebihan karena wanita yang sedang berdiri di luar itu memang sangat cantik.
Gua tersadar ketika dirinya melangkah masuk ke dalam lift. Seketika itu Gua buru-buru melangkah keluar lift. Wanita itu menunduk ketika kami saling melintas.
Sebelum pintu lift tertutup dan membawanya naik, Gua menghentikan langkah kaki dan membalikan badan, melihatnya sekali lagi yang sedang tertunduk sambil memainkan handphone pada tangan kanannya, hingga pintu lift tertutup rapat dan layar di atasnya menunjukkan arah naik ke lantai lima.
Gua kembali berjalan menuju resepsionis di lobby hotel dengan fikiran yang dipenuhi oleh sosok wanita tadi. Dia, sepertinya Gua pernah melihatnya, ya sepertinya Gua pernah melihat wajahnya yang tidak asing itu, mungkin bisa dibilang cukup familiar bagi Gua, tapi entah dimana Gua pernah bertemu atau hanya sekedar melihatnya. Wanita yang mengenakan trench coat berwarna abu dengan sepatu boots yang panjangnya hingga sebetis itu benar-benar memiliki paras yang cantik karena ditunjang dengan postur tubuhnya yang tinggi semampai. Wajahnya putih dengan make up tipis, serta mahkotanya berwarna hitam kecokelatan yang dibiarkan tergerai hingga sepunggung. Entah kenapa perasaan Gua mengatakan kalau suatu saat nanti kami pasti bertemu lagi di lain waktu. Dan Gua tidak menampik perasaan aneh tersebut, malah sebaliknya, Gua berharap... Ya entah kenapa Gua malah berharap dipertemukan lagi dengannya.
... Selesai mengecek kondisi kesehatan dari medical center dusseldorf di jalan luise rhaine street dan membawa satu kantung plastik kecil yang berisi obat, Gua memesan taxi lewat bantuan resepsionis medical center ini. Di dalam perjalanan Gua hanya bisa terdiam dan memberikan senyuman ketika si supir taxi itu mengoceh dengan bahasa yang tidak Gua pahami, dia berbicara dengan bahasa Jerman, sekalipun Gua memintanya untuk berbicara dengan bahasa inggris tapi rasanya sia-sia, karena Gua yakin dia tidak bisa berbahasa inggris, alhasil Gua hanya tersenyum dan mengangguk saja menanggapi obrolannya itu, hingga sampai di depan hotel tempat Gua menginap.
Sekarang Gua sedang menunggu makanan datang setelah sebelumnya memesan menu di restoran hotel ini. Gua duduk dibagian tengah resto. Rasanya Gua tidak perlu mengkonsumsi obat yang diberikan itu, mungkin karena selama dua hari ini Gua tidak menggerakan tubuh dan hanya meringkuk di dalam kamar hotel malah membuat kondisi Gua semakin buruk. Karena sekarang, setelah Gua pergi jalan, Gua bisa merasa lebih baikkan, pusing di kepala sudah hilang, tinggal hidung yang agak mampet serta batuk yang masih mengganggu kondisi Gua, badan Gua lumayan membaik, tidak terasa ngilu atau nyeri lagi. Dan pada akhirnya, kondisi yang membaik ini Gua simpulkan akibat Gua menggerakan badan dan menghirup udara dari luar. Bukan obat yang menyembuhkan.
Gua menyantap satu porsi tenderloin steak dengan level kematangan rare, agar tekstur dagingnya masih cukup juicy dan lembut. Kemudian Gua meminum segelas red wine sebagai pasangan serasi sang main course tersebut. Selesai menghabiskan makanan, Gua mengelap bibir dengan tissue lalu mengeluarkan handphone dan melihat sebuah panggilan masuk dari nomor dengan kode area kota Gua.
Quote:Percakapan via line :
Gua : Hallo.. +62xx : Hallo Eza " Gua : Iya ini Eza... Ini siapa ya "
+62xx : Aku Luna Za.. Eh kok suara kamu gitu " Kamu sakit "
Gua : Oh hai Lun.. Mm iya.. Aku lagi kurang enak badan aja. Kamu tau nomor hp ku dari siapa "
+62xx : Kamu sakit apa Za " Aku tadi ditelpon Mba Laras, katanya kamu lagi di Jerman bukan di Jepang
Gua : Aku cuma kena flu Lun, gak apa-apa kok. Oh dari Mba Laras... Iya Luna, aku lagi di Jerman. Ini baru hari ketiga aku di sini. Kamu apa kabar "
+62xx : Aku sehat kok, kamu kena flu " Mungkin karena faktor cuaca jadi kondisi kamu sakit gitu... Tapi sekarang gimana keadaan kamu " Udah kedokter juga "
Gua : Udah kok, ini baru balik ke hotel abis cek ke dokter tadi. Sekarang lagi di restoran, baru selesai makan. Kondisi aku lumayan enakan sih..
+62xx : Syukur kalo gitu. Mmm.. Za.. Gua : Ya "
+62xx : Kamu kemana aja selama ini " Kenapa kamu sampai pergi ke luar negeri sendirian " kamu tau aku dan keluarga kamu khawatir banget sama keadaan kamu...
Jelas sekali Gua mendengar nada suara Luna yang sangat khawatir.
Gua : Maaf Lun, aku cuma pingin rehat dari semuanya... Kamu paham maksud aku kan " Aku minta maaf gak cerita selama ini ke kamu dan Mba Laras
+62xx : Iya kita semua tau kamu butuh nenangin fikiran, tapi bukan berarti pergi gitu aja, kami semua takut kalo terjadi sesuatu yang buruk sama kamu Za.. Dan kamu tau... Vera nyariin kamu dan sedih kamu tinggal pergi gitu aja
Degh... Vera " Ah Nona Ukhti, kamu apa kabar..." Gua : Ehm.. Vera " Kamu komunikasi sama dia "
+62xx : Iya, aku, Mba Laras, Kinanti, Sherlin dan Vera sering ketemu di rumah kamu, kita semua khawatir sama kamu... Ini udah hampir tiga bulan kamu pergi dan gak ada kabar Za. Bukan aku mengenyampingkan kesedihan Mba Laras dan Nenek, tapi diantara kami semua yang jelas banget down karena kepergian kamu itu Vera. Dia satu bulan dua kali pulang dari Singapore hanya untuk datang ke rumah kamu, ketemu Mba Laras dan Nenek, nanyain kabar kamu, padahal dia sering telponan sama Mba Laras. Tapi dia tetep ngeluangin waktunya untuk ketemu keluarga kamu dan kita semua yang ada di sini
Gua tidak bisa berkata apa-apa soal apa yang diucapkan Luna tentang Vera. Tapi di dalam hati Gua malah kurang ajar, kalimat dendam jelas terdengar di dalam fikiran ini... 'Hai Ve, gimana rasanya ditinggal pergi jauh.."'
+62xx : Halo Za, kamu masih disitu " Haloo..." Gua : Eh iya iya.. Sorry.. Kenapa Lun "
+62xx : Kenapa kamu sampai ke Jerman dari Jepang Za " Bukannya kamu di Jepang tinggal sama saudara kamu "
Gua menghela nafas pelan, lalu menyandarkan punggung ke bahu kursi resto ini.
Gua : Kayaknya aku gak bisa cerita di telpon Lun... Panjang ceritanya dan kamu bisa minta tolong Kinan ceritain kenapa aku ke Jepang dulu sebelum ke Jerman ini. Lagian tagihan telpon rumah kamu gak takut jebol apa "
+62xx : Enggak usah mikirin itu Eza.. Kamu cerita aja, aku emang pingin denger cerita kamu Gua : Okey kalo gitu. Tapi aku ceritain kenapa aku bisa sampai di Jerman aja ya sekarang
+62xx : Loch kok " Emang kenapa dengan di Jepang "
Gua : Makanya aku ceritain garis besarnya aja kenapa aku sampai berada di negara Jerman sekarang. Karena kalo soal di Jepang kamu bisa langsung tanya dan ngobrol sama Kinanti, dia udah tau kok gimana aku dari awal pergi ke Jepang sampai akhirnya ke sini.
Ya, sekarang Gua menceritakan kepada Luna ditelpon alasan apa yang membuat Gua pergi dari Jepang ke Jerman.
Bulan maret lalu, saat Gua masih berada di Jepang dan melakukan hal-hal buruk bersama kelompok Paman Hiroshi hingga membuat Gua tidak kuat dengan segala kegiatan tersebut. Gua lebih memilih pergi meninggalkan negara Jepang. Tentu saja Gua meminta bantuan kepada Kimiko dan Aoki, dan mereka berdua mau membantu Gua untuk pergi ke luar negeri. Kenapa tidak kembali ke Indonesia langsung " Menurut Kimiko, bukan perkara mudah kabur ke kawasan Asia. Jadi Aoki, kekasih Kimiko, membantu Gua untuk mendapatkan paspor lagi dengan tujuan berlibur ke kawasan benua biru. Saat itu, Gua tidak perduli akan singgah di negara mana, yang terpenting Gua bisa pergi. Dan ternyata, ketika baru sampai di bandara internasional D"sseldorf, Jerman, Gua mendapatkan email dari Kimiko. Awalnya dia hanya menanyakan apakah Gua sudah sampai di Dusseldorf sampai akhirnya dia bercerita bahwa Gua dicari oleh Ayahnya, Paman Hiroshi. Kimiko memberitahukan kalau Gua dicari Papahnya karena tidak sopan telah pergi tanpa pamit. Jujur saja, Gua sempat takut hingga menanyakan kembali lewat balasan email ke Kimiko apakah Gua akan di datangi ke D"sseldorf oleh Papahnya itu. Tapi apa jawabannya " Dia hanya mengatakan jangan lupa oleh-oleh dari Jerman jika berniat kembali ke Jepang, karena Papahnya hanya tertawa ketika Kimiko bercerita tentang ketakutan yang Gua alami itu. Ternyata Paman Hiroshi tidak marah sama sekali kepada Gua, dia mengerti kalau dunia hitam yang ia jalani tidak mungkin bisa membuat Gua bahagia. Kimiko hanya menyampaikan kalau ingin datang lagi ke Hakodate, mereka akan menyambut Gua dengan tangan terbuka dan tidak akan pernah melibatkan Gua lagi kedalam dunia hitam itu. So, se simpel itukah " Ya, karena Kimiko yang menjamin keselamatan Gua jika ingin mengunjungi mereka.
Dan karena alasan itulah Gua sampai kesal dan gondok setengah mati kepada Kimiko. Sekarang Gua berada di negara Jerman, bukan untuk berlibur, karena hari pertama saja Gua langsung jatuh sakit hingga tiga hari.
Quote:Percakapan via line : +62xx : Kamu ikut organisasi itu Za "
Gua : Terpaksa Lun, gimana lagi... Enggak ada pilihan lain, ya akhirnya aku pergi karena udah gak kuat juga di Hakodate, dan sekarang terdampar di D"sseldorf
+62xx : Ya udah, mungkin ini udah jalannya untuk aku ketemu kamu Za... Gua : Eh " Maksud kamu "
+62 : Kamu masih lama kan di sana " Paspor kamu masih panjang untuk stay di D"sseldorf " Gua : Iya, kenapa Lun " Jangan bilang kamu mau kesini
+62xx : Ya mungkin ini takdir, aku memang berencana ke D"sseldorf. Aku niatnya mau nemuin Mamah sama adik ku di situ. Dan sekarang ternyata kamu juga ada di situ
Gua : Mamah sama adik kamu lagi di Jerman "
+62xx : Iya, adik ku lagi kuliah di sana Za, Mamah udah empat hari ngunjungin dia disitu, dan aku selama ini belum cerita ke kamu kalo Papah ku dari D"sseldorf. Dan karena tadi Mba Laras cerita ke aku kamu lagi disana, jadi aku fikir memang ini udah takdirnya aku harus nemuin kamu sekalian, awalnya gak ada kefikiran sama sekali kalau aku ke D"sseldorf akan bertemu kamu... Aneh ya " Tapi mungkin ini cara Tuhan untuk nemuin kita Za.
Dari percakapan di telpon dengan Luna, Gua malah berfikir, apakah Tuhan ingin menunjukkan bahwa Dia masih ada untuk Gua " Untuk mahluknya yang pernah menggugatnya " Bukan perkara kebetulan sampai Luna ingin datang ke sini walaupun awalnya dia tidak tau kalau Gua pun sedang berada di kota kelahiran Papahnya, dan peran Kimiko sampai mengajukan kota ini untuk Gua singgahi sebagai 'tempat pelarian' selanjutnya memang sudah suratan takdir. Sepertinya semua ini memang bukan kebetulan semata.
Malam harinya kondisi tubuh Gua sudah berangsur membaik, flu dan demam sudah tidak lagi Gua rasakan. Setelah tadi sore memberikan alamat hotel tempat Gua menginap kepada Luna, dia berjanji akan berangkat esok hari.
... Keesokan harinya, Sekitar pukul sembilan malam GMT+2 Gua berada di restoran hotel, menikmati secangkir black coffee dan membakar sebatang rokok, setengah jam kemudian seorang wanita berdi ri tepat di samping Gua yang masih duduk di kursi kayu ini.
"Hai..", sapanya.
Gua menengok ke kiri dan mendongakkan kepala. "Luna " Hai..", Gua berdiri dari duduk dan langsung dipeluk oleh Luna.
"Kamu udah sehat kan Za ?", tanyanya masih memeluk Gua.
"Ya, udah mendingan.. Duduk Lun", Gua melepaskan pelukannya, kemudian Luna duduk tepat di kursi samping Kanan.
Luna menaruh koper di sisi bawah meja sebelahnya. Lalu tangan kanannya memegang tangam kiri Gua. Dia menatap Gua dengan mata yang sudah berkaca-kaca.
"Kamu kenapa pergi-pergi gini sih Za.. Aku... Aku.. Hiks.. Hiks..", airmatanya tidak terbendung lagi, mengalir membasahi pipinya.
Gua langsung menarik lembut tengkuknya dan menyandarkan kepalanya ke dada ini, membelai punggungnya dengan lembut.
"Maaf ya Lun.. Aku pergi gak bilang ke kamu dan yang lainnya kecuali Kinanti", Gua berucap pelan sambil tetap menenangkan Luna yang masih menangis. "Lun, makasih kamu udah perduli sama aku dan keluarga aku selama ini, maaf udah bikin kamu khawatir, maafin aku ya".
Luna memundurkan tubuhnya sedikit, dia mengusap airmata dengan tissue yang tersedia di atas meja restoran." Kamu jangan pergi lagi ya Za, kami semua takut kamu kenapa-kenapa..", ucapnya setelah mengelap airmata yang membasahi pipinya itu.
"Aku gak akan pergi lagi Lun, dari sini.. Aku kembali pulang ke rumah..", Gua menatap wajahnya sambil tersenyum dan memegangi pipi kirinya dengan tangan kanan.
"Janji kamu gak akan pergi jauh lagi ?".
Gua mengangguk dan tetap tersenyum. "Janji gak akan ninggalin aku Za ?".
Gua terkekeh pelan mendengar pertanyaannya itu, Luna memukul dada Gua pelan sambil ikut tertawa. Lalu Gua kembali menarik lembut tengkuknya dan mengecup keningnya sesaat. "Aku janji Luna.. Gak akan ninggalin kamu".
Luna tersenyum lebar dan langsung memeluk Gua. "Makasih.. Aku akan berusaha untuk selalu ada didekat kamu Za, aku.. Aku sayang sama kamu", ucapnya dalam pelukan Gua.
Kami berdua makan di restoran ini, sambil menyantap makanan, Gua mendengarkan cerita Luna tentang keseharian keluarga Gua di rumah selama Gua pergi, ya walaupun Gua sudah sering mendengar kabar dari Kinanti via email, tapi Luna yang lebih tau dan sering bertemu Mba Laras dan Nenek. Sampai akhirnya Gua menanyakan soal keluarganya di sini.
"Lun, keluarga kamu udah dikabarin ?".
"Belum.. Besok aja sekalian aku kenalin kamu ke Mamah dan Adik aku, kita yang kesana nanti, deket kok paling lama setengah jam dari sini naik taxi, kamu mau kan ?".
Gua mengangguk dan tersenyum. Tidak lama kemudian kami selesai makan, dan setelah Gua membayar makanan, Gua mengajak Luna untuk naik ke lantai tiga, dimana kamar Gua berada, Gua membawakan kopernya, Luna mengaitkan tangan kirinya ke tangan kanan Gua. Baru saja pintu lift terbuka, seorang wanita langsung keluar dari dalam dan berlari hingga menabrak Gua dengan Luna. "Hei!", teriak Gua ketika sudah tertabrak dan handphone pada genggaman Gua terjatuh ke lantai.
Wanita itu masih terus berlari hingga beberapa pegawai hotel pun melihat kearahnya, Gua mengejar untuk meminta pertanggungjawabannya karena handphone Gua sampai terpisah dengan batrainya. Ketika Gua sudah berhasil mengejarnya sampai di lobby hotel, Gua langsung memegang pundak kanannya dari belakang.
Tangan kanan Gua yang memegang pundak kanannya dari belakang ditarik dengan tangan kirinya, otomatis tubuh Gua ikut tertarik dan entahlah, model gerakan seperti apa yang ia peragakan hingga sedetik kemudian tangan kanan Gua di kunci, lalu kaki kanannya menjegal kaki Gua, lalu kemudian dia langsung membanting Gua kedepan.
Brukkk.. Gua mengaduh karena punggung Gua lumayan sakit, ditambah tangan kanan Gua masih dia pelintir. "Aarghh..", Gua meringis ketika ibu jarinya menekan punggung tangan kanan Gua dengan kuat. "Hei hei", Gua dengar suara Luna menghampiri kami.
Kemudian beberapa pegawai hotel datang menghampiri juga.
Gua bangun setelah Luna membantu Gua berdiri. Luna memegangi tangan kanan Gua dan dia menatap ke depan, kepada wanita yang membuat masalah itu.
"Kak Luna "!", ucap wanita tersebut seraya terkejut melihat Luna. "Helen "!!".
Gua memegangi punggung tangan kanan yang masih terasa nyeri akibat kuncian tadi, padahal bantingannya lumayan kencang, tapi nyeri di punggung masih kalah sakitnya dengan nyeri di tangan ini, gila nih wanita kurus-kurus kok punya tenaga sekuat itu. Lalu Gua menengok kepada Luna yang masih terkejut melihat wanita di depan kami berdua.
"Kamu ngapain di sini ?", tanya Luna.
Dan kami berdua baru menyadari bahwa wanita ini sepertinya habis menangis, terlihat jelas dari matanya yang memerah dan sedikit sembab.
"Aku.. Ah.. Aku perlu cerita sama kamu Kak", jawabnya lalu sedetik kemudian memeluk Luna.
Gua hanya terbengong melihat mereka berdua hingga tersadar ketika pegawai hotel menanyakan ada permasalahan apa diantara kami, karena pasti kejadian tadi membuat gaduh suasana lobby ini. Akhirnya setelah Gua menjelaskan bahwa hanya sebuah kesalahpahaman saja, mereka pun mengerti dan meminta Gua untuk menyelesaikan masalahnya dengan wanita tadi, eh tapi malah Gua yang kena peringatan dari pegawai hotel jika kembali membuat gaduh.
Sekarang kami bertiga duduk di kursi bar hotel ini. Luna duduk bersebelahan dengan wanita itu, sedangkan Gua duduk dihadapan Luna, terpisah oleh meja bar. Tiga gelas cocktail sudah tersedia di atas meja setelah Luna memesan minuman sebelumnya. Dan sekarang, Gua hanya mendengarkan mereka berdua mengobrol...
"Sekarang kamu cerita sama Kakak, kenapa kamu bisa ada di sini " Habis nangis juga kan " Ada apa Ay ?", Luna membelai rambut wanita di sampingnya itu, menyibakkan helaian rambut yang menutupi wajahnya.
Ay " Helen " Namanya siapa sih ini wanita sebenarnya... Fikir Gua.


Asleep Or Dead Karya Bunbun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku mau nemuin Andrew, dia lagi kesini mau ketemu aku...", jawabnya sambil mengambil gelas cocktail, kemudian langsung meminumnya setengah gelas.
Busyet, drunken kayaknya nih cewek... Lagi galau pasti...
"Dia kemarin datang dari Berlin, dan bilang udah ada di hotel ini, terus kemarin siang aku kesini, semuanya biasa aja gak ada yang aneh... Aku pergi jalan sama dia sampai pulangnya diantar ke apartemen", lanjutnya setelah meminum cocktail.
"Terus sekarang kamu ketemu Andrew lagi " Mana dia ?", tanya Luna lagi.
Gua dan Luna menunggu jawabannya, dia hanya diam sambil memejamkan mata, terlihat jelas bahunya sedikit naik turun lalu nafasnya memburu dan...
Braakkk!!! Tangan kanannya terkepal menggebrak meja bar dihadapan kami.
"Dia selingkuh! Aku benci sama Andrew! Dia tidur sama pelacur Kak! Aku liat sendiri tadi di kamarnya!!! Hiih! Harusnya gak cuma aku patahin jarinya!!!", ucapnya penuh emosi.
Gua melotot mendengar ucapannya barusan, ditambah Gua melihat beberapa pengunjung bar ini melirik kearah kami, karena bunyi gerakan tangannya yang menghantam meja tadi. Hingga Luna kembali menenangkannya. Tapi tunggu... Dia bilang apa barusan " Matahin jari " WTF! Seriously " Mamvus amat itu cowok yang namanya Andrew
Oke, jadi dari apa yang Gua dengar, ternyata wanita ini datang ke hotel. Di lantai lima lah Andrew, pacarnya menginap di salah satu kamar. Andrew datang ke D"sseldorf kemarin sendirian. Mereka berdua sudah berhubungan sebagai sepasang kekasih sejak satu tahun terakhir, walaupun kuliah di negara yang sama, tapi mereka berbeda universitas. Helen kuliah di kota ini, D"sseldorf, sedangkan Andrew kuliah di Berlin. Dan sudah menjadi kebiasaan mereka saling mengunjungi satu sama lain jika ada waktu luang, dan kali ini Andrew lah yang mengunjunginya. Tapi hari ini, pacarnya itu bilang akan check out dadakan karena orangtuanya datang ke apartemennya di Berlin. Niat pacarnya itu ingin mengantar Andrew ke Berlin. Kemudian setelah si wanita ini sampai di lobby hotel, dia mendapatkan sms dari Andrew, kalo dirinya telah pulang ke Berlin, tapi sepertinya si wanita ini memiliki insting yang kuat, dia menanyakan ke front office tamu yang bernama Andrew apakah sudah chekout atau belum, dan ternyata setelah di cek, Andrew belum checkout. So, seperti yang ia ceritakan, dia mendapati Andrew sedang tidur bersama wanita lain di dalam kamar hotel itu beberapa menit yang lalu. Dan apesnyaaa... kenapa juga harus handphone dan badan Gua yang kena imbasnya... Kan ngehe!
Luna menghela nafas perlahan lalu mengusap bahu wanita di sampingnya. "Kakak udah bilang, Andrew itu bukan laki-laki yang baik untuk kamu Ay.. Kebukti kan sekarang ?".
"Aku gak nyangka aja dia berani selingkuh di sini Kak. Coba Kakak fikir, dia berani selingkuh di saat ngunjungin aku, gimana kelakuannya di Berlin " Di sana dia lebih bebas karena gak ada Aku.. Entah sudah berapa perempuan yang dia tidurin mungkin! Aku benci sama Andrew! Benciii!!!".
brak brak brak "Hey hey... Sabar.. Jangan mukulin meja terus dong! Malu diliat orang lain tuh..", Gua menahan tangannya yang tidak mau berhenti memukuli meja bar ini.
Dia menatap Gua tajam lalu mengerenyitkan keningnya. "Kamu siapa " Lagian lepasin tangan aku! Jangan cari kesempatan ya!!", tangannya dilepas dari genggaman tangan Gua dengan kasar.
Hellooooo... Gua daritadi disini kaleee, Gua yang Lo banting tadi! Enak aja seenak udel Lo bilang Gua siapa
"Ssstt. Udah udah Ay, bener kata Eza, tuh pada liatin kamu, malu ah.. Sabar sabar sayang...", ucap Luna sambil membelai kepalanya,
"Oh ya kenalin ini Eza",
"Dan ini Helen Za, adik Aku", lanjut Luna melirik kepada Gua.
Gua menatap wajah Helen lekat-lekat, ada hal yang mengusik fikiran Gua. Wajahnya familiar, Gua pernah melihatnya, dimana ya... Hmmm.. Owww.. Voila.. Dia ini.. Dia ini wanita yang kemarin siang berpas-pasan dengan Gua ketika Gua keluar dari lift, ya ya ya Gua yakin dan ingat sekarang. Dia si bidadari dengan rambut hitam kecokelatan.. Benerkan perasaan Gua, bakal ketemu lagi sama dia. Dan diluar dugaan, hanya selang sehari kini dia sudah berada dihadapan Gua lagi. "Eza..", Gua mengulurkan tangan kepadanya.
Helen menatap wajah Gua lekat-lekat lalu sedikit memiringkan kepalanya ke kiri. "Sebentar... Aku kayaknya pernah liat kamu.. Hmm... Mmm.. Dimana ya..", dia mengetuk-ngetuk jarinya ke dagunya sendiri seraya mengingat-ingat.
Anjir, ini tangan Gua dibuntungin aja apa gimana, sambut dulu kek jabatan tangan Gua, mau gak mau Gua tarik lagi nih tangan, tengsin Jir diliatin Luna pula.
"Kemarin, waktu kita pas-pasan di lift..", Gua mencoba mengingatkannya.
"Mmm.. Bukan bukan.. Aku pernah liat kamu tapi kayaknya udah lama banget.. Kayaknya kita pernah kenal gitu..", ucapnya sambil kembali mengambil gelas cocktail.
Gua melirik kepada Luna yang mengangkat bahunya sambil menaikkan alisnya. Ya sepertinya Luna dan Gua juga tidak mengerti dan tidak ingat apakah Gua dan adiknya ini pernah bertemu sebelumnya. "Nama kamu siapa tadi ?", tanya Helen lagi setelah meminum habis cocktail miliknya. "Eza".
"Smp kamu di smp negeri xxx bukan ?". "Hm " Iya... Kamu tau smp aku ?".
Helen menaruh kedua tangannya di atas meja dan melipatnya, dia mencondongkan tubuhnya kedepan dan tersenyum lebar.
"Masih suka dengan nasi kuning gak ?". Oh My Goodness...
"Kamu... Kamu Helen adik kelas ku di smp ya " Lulusan 2004 ?", Gua cukup terkejut setelah mengingat dirinya.
"Iyaaa.. Hihihihi... Apa kabaar Kak ?", Helen mengulurkan tangannya dan lalu Gua sambut menjabat tangannya itu.
"Sakit", Gua menjawab dengan tersenyum lebar. "Sakit " Maksudnya kamu lagi sakit ?", tanyanya kebingungan.
"Udah sembuh sih hari ini, kemarin kena flu tiga hari, eh sekarang sakit badan gara-gara kena banting sama cewek, tuh di lobby sono nooh...", tangan Gua menunjuk kearah lobby.
Plak.. Tangan Gua dipukul pelan oleh Helen.
"Hahahaha... Maaf maaf.. Maaf yaa.. Hihihi..", Helen tergelak sambil menutupi mulutnya, "Aku fikir yang narik bahu aku itu Andrew, lagian aku reflek Kak, maaf ya.. Masih sakit enggak ?", tanyanya lagi sambil memegang punggung tangan kanan Gua.
"EHM!!!". Gua dan Helen melirik kearah Luna yang sedang menatap tajam ke arah tangan kami yang saling bertumpuk di atas meja.
"Eh.. Hehehe.. Maaf maaf..", Helen menarik tangannya dan terkekeh pelan sambil menggoda Kakaknya itu.
"Udah nanti lagi reuninya... Sekarang kamu mau ikut nginap di sini atau gimana Ay ?", tanya Luna.
"Mmm.. Udah kemaleman sih, tapi aku enggak mau nginap di sini, nanti yang ada aku beneran matahin leher Andrew, ish ngeselin itu cowok!".
Gua menggelengkan kepala pelan lalu terkekeh bersama Luna melihat tingkah adiknya itu.
Akhirnya pukul setengah dua belas malam Gua kembali ke kamar sendirian, ya karena Luna memilih ikut menemani Helen pulang ke apartmennya.
... Gua sudah rapih, hari ini Gua mengenakan kemeja berwarna putih serta jas hitam dan dibalut lagi dengan overcoat yang warnanya senada dengan warna jas Gua. Lalu celana denim serta sepatu boots hitam pun sudah membalut tubuh bagian bawah. Gua berkaca pada cermin kamar hotel ini, dan rupanya rambut Gua sudah mulai panjang hingga menyentuh pundak. Ah berantakan banget ini ada sedikit jenggot di dagu, lalu Gua segera merapihkan bagian dagu itu hingga bersih dari bulu halus tadi. Selesai rapih-rapih, Gua keluar kamar dan menuju lobby, sesampainya di sana Gua sudah melihat seorang wanita yang sedak duduk di sofa lobby, Gua cukup terpana dengan sosoknya.
Dia mengenakan trench coat berwarna hitam dan sweater hitam dibaliknya, lalu celana denim berwarna biru muda serta long boots yang memiliki heels terlihat pas dengan kakinya yang jenjang. Dan semua itu perfect ketika Gua tersenyum melihat wajahnya. Rambutnya di kuncir kebelakang dan menyisakan helaian rambut yang terjuntai sedikit di sisi wajahnya, lengkap sudah kini kecantikan dan ke-eleganan nya karena kacamata hitam yang dia pakai sungguh berkelas.
I think I'm falling in love with her...
"Hey, udah daritadi ya ?", tanya Gua ketika sudah berdiri di depannya.
"Enggak kok, baru lima menit paling, udah siapkan " Berangkat sekarang ya", ajaknya seraya berdiri lalu menggandeng tangan kiri Gua.
Luna mengendarai mobil milik Helen, sedangkan Gua duduk di sampingnya. Hari ini kami akan pergi ke sebuah gedung olahraga, mungkin semacam GOR kalau di Indonesia. Di dalam perjalanan Gua banyak mendengarkan cerita tentang keluarganya...
Pertama tentang orangtuanya, yang ternyata kedua orangtua mereka itu sudah bercerai sejak Luna lulus sma, berarti saat itu Helen baru kelas tiga smp, karena jarak umur antara mereka berdua adalah empat tahun. Setelah perceraian itu, Luna ikut dengan Papahnya, sedangkan Helen ikut Mamahnya. Dan yang tidak Gua sangka rumah Luna yang dekat dengan Gua itu ternyata masih satu komplek juga dengan rumah Helen dan Mamahnya. Setelah perceraian, Papahnya dan Luna pindah rumah tapi hanya berbeda blok, pantas saja saat Gua dan Echa pertama kali melihat rumah kami kok rasanya pernah main ke komplek perumahan mewah itu. Dan memang setelah Gua ingat-ingat kembali saat smp dulu, Gua pernah mengantar Helen pulang ke rumahnya.
Hal lainnya adalah selama ini Gua memang tidak pernah sekalipun masuk ke dalam rumah Luna walaupun hanya sekedar bertamu, ditambah rumah Luna yang sekarang sudah pisah dengan Helen dan Ibunya, jadi wajar kalau Gua tidak tau kalau Luna ternyata adalah Kakaknya Helen, apalagi baru sekarang Luna bercerita perihal urusan pribadi keluarganya seperti ini.
Selanjutnya adalah Helen sudah mulai kuliah di negara ini dari tahun 2007, ketika dia baru lulus sma dirinya langsung diterima di universitas Heinrich Heine D"sseldorf dengan mengambil jurusan administrasi bisnis. Dari ceritanya itu, Gua paham dan mengerti kenapa Luna jarang sekali menceritakan soal keluarganya selama ini, selain itu Gua malah menaruh respect kepadanya. Bagaimana tidak, orangtuanya terpisah, bagaimanapun hal tersebut sedikit banyak mempengaruhi sisi psikologisnya, atau apa mungkin karena hal tersebut juga dirinya memilih fakultas psikologi, entahlah. Dan selama ini dia masih mau menyemangati Gua untuk tetap bisa berada di koridor yang benar setelah masa-masa kelam yang Gua lalui beberapa bulan kebelakang.
Gua jatuh hati kepadanya, Gua tidak membohongi diri ini, Gua mengakui. Tapi bukan berarti secepat itu Gua pun melupakan Echa dan Jingga, bukan seperti itu. Ini masalah yang berbeda, Gua terpuruk dan hancur ketika orang yang Gua sayangi pergi ke dimensi lain, sedangkan setelah itu Gua tidak bisa lagi kembali ke jalan yang benar, maka... Jika keyakinan Gua saja sudah runtuh kepada Sang Pencipta, mungkin Luna lah jawabannya, agar Gua bisa kembali kepada jalan yang diridhoi lagi oleh- NYA. Semoga...
... Sekitar pukul setengah dua belas siang waktu setempat Gua dan Luna sudah duduk di kursi penonton dalam sebuah gedung olahraga dan Gua diperkenalkan kepada Papah dan Mamahnya yang sudah lebih dulu berada di sini. Wajah Mamahnya tidak banyak berubah dari terakhir kali kami bertemu enam tahun lalu, ya saat Gua mengantar Helen pulang sekolah bersama si Bandot. Yang kedua barulah ini pertama kalinya Gua bertemu Mr. Oliver, Papahnya Luna dan Helen. Pria paruh baya ini memiliki postur yang sangat tinggi, mungkin hampir dua meter, karena saat itu Gua memiliki tinggi 183 centi, sedangkan Mr. Oliver masih jauh lebih tinggi dari Gua.
Bersyukur kedua orangtua Luna menyambut Gua dengan baik, tidak banyak yang bisa kami obrolkan sekarang, karena saat ini perhatiaan kami tertuju ke arah lapangan di bawah sana, lapangan basket yang sepertinya dialih fungsikan dengan beberapa matras untuk beladiri.
"Lun, Helen taekwondo juga sama kayak kamu ?", tanya Gua kepada Luna yang duduk di sisi kanan.
Luna menengok dan tersenyum. "Bukan, ini pertandingan Aikido Za, Helen sama kayak Papah, dia milih beladiri Aikido daripada taekwondo kayak aku, atau karate yang jadi keahlian beladiri Mamah...". DEGH!!!
Satu keluarga Bray... Satu keluargaaaaa... Etdah.. Karate emaknya, Aikido Papah dan adiknya, sedangkan Kakaknya Taekwondo... Hellooo Eza, do you want to be Ours Punching Bag ?"" Fakdat!
"Keluarga kamu semuanya suka beladiri Lun.. Keren ya..", Gua gagal fokus karena meratapi nasib yang salah-salah bisa jadi samsak idup.
"Olahraga kan penting Za, apalagi kalo olahraganya beladiri, jadi bisa sekalian melindungi diri sendiri, dan Papah tuh memang keras soal beladiri, maksudnya biar kami, anak-anaknya bisa jaga diri di luar, kan anak Papah perempuan semua...".
Gua mengangguk pelan sambil membulatkan bibir. Mau jawab apa, ya gitu aja cukup deh.
"Ini pertandingan antar kampus " Atau gimana ?", Gua mulai memperhatikan beberapa peserta yang sudah mulai memasuki arena pertandingan.
"Bukan, ini pertandingan kenaikan tingkat sekaligus antar cabang Aikido di Jerman Za... Oh ya aku lupa bilang, tahun depan Helen terpilih jadi wakil peserta Aikido dari Indonesia yang ikut kejuaraan internasional loch.. Hebat ya dia.. Aku aja cuma bisa ikut tingkat nasional.. Hihihi..". WatDeFak "!
Oke fix Eza jadi anak baik-baik aja setelah ini
Tidak banyak yang bisa Gua ceritakan saat menonton seorang bidadari cantik di atas arena sana membanting lawan-lawannya dan sukses menyapu bersih setiap pertandingan tanpa terbanting sekalipun. Pokoknya berserk abis itu wanita.
Singkat cerita Gua dan keluarga Luna kini sudah berada di kediaman Papahnya, masih di daerah D"sseldorf tidak jauh dari kampus Helen. Kami semua makan malam di rumahnya ini. Gua terkesima dan tersenyum bisa melihat sebuah keluarga yang sudah 'tidak utuh' lagi tapi masih memiliki silaturahmi yang baik, bayangkan saja kedua orangtuanya sudah bercerai tapi ketika mereka sedang mengikuti suatu acara untuk anaknya, mereka mengesampingkan status mereka berdua. Dan apa yang Gua lihat di ruang makan ini adalah suatu kehangatan sebuah keluarga yang utuh. Really love it. "Kak Eza sampai kapan di sini ?", tanya Helen yang duduk di depan Gua di samping Mamahnya.
Gua menaruh gelas minum setelah meneguk isinya. "Mmm.. Mungkin lusa pulang ke Indonesia", jawab Gua sambil tersenyum.
"Loch " Kok lusa Za " Aku baru sampai kemarin masa kamu udah mau pulang lagi " Nanti aja minggu depan bareng aku ya", timpal Luna yang duduk di samping Gua.
Gua menggaruk pelipis yang tidak gatal lalu tersenyum kikuk kepada Luna. "Aku udah tiga bulan Lun pergi dan gak bertemu keluarga, gak mungkin aku gak kangen sama Mba Laras, Nenek dan... Ehm.. 'rumah' Echa juga Jingga", jawab Gua sedikit pelan ketika mengatakan kalimat terakhir. "Iya sih.. Mmm.. Tapi.. Gak bisa diundur lagi beberapa hari Za ?", tanya Luna lagi.
Jujur aja sebenarnya Gua mau lebih lama tinggal di D"sseldorf. Tapi masalah lainnya adalah billing sewa kamar hotel Gua udah menyentuh harga motor seken
"Gimana kalau kamu tinggal di sini selama Luna berlibur", ucap Papahnya Luna kali ini.
Gua menengok kepada Luna yang langsung dibalasnya dengan tersenyum dan menganggukkan kepala.
"Tapi, saya sungkan Om, biar nanti saya tinggal di hotel saja untuk beberapa hari kedepan, tapi kalau sampai seminggu rasanya gak mungkin...".
"Sudah tidak perlu sungkan, daripada kamu menghabiskan uang untuk membayar hotel mewah yang kamu tempati sekarang, lebih baik kamu ikut Luna melihat keindahan kota ini dan tinggal sementara di sini. Saya senang jika ada tamu yang menginap di rumah ini, karena sudah lama saya sendiri tidak datang ke sini...", jawab Papahnya lagi.
Gua akhirnya mengiyakan tawaran tersebut walaupun sebenarnya malu banget. Baru kenal udah merepotkan.
Pukul setengah sembilan malam Gua dan Luna kembali pulang ke hotel, rencananya Gua akan checkout esok hari. Gua membuka pintu kamar dan mengajak Luna masuk dan mempersilahkannya duduk. Kemudian Gua membuka overcoat serta jas hitam dan menggantungnya ke dalam lemari pakaian.
Luna duduk di kursi dekat jendela dan matanya bisa Gua rasakan sedang memperhatikan Gua dari samping.
"Kenapa ?", Gua menengok kepadanya.
Luna menggelengkan kepala pelan lalu tersenyum. "Enggak apa-apa, kamu banyak berubah kayaknya selama tiga bulan terakhir ini... Kurusan dan rambut kamu sampai dibiarkan panjang gitu".
Gua membuka kancing kemeja dari atas dan berjalan mendekati Luna, lalu berdiri tepat dihadapannya. "Ya, gak ada yang ngurus sekarang Lun, dan kamu tau sendiri kenapa aku sampai begini kan...".
"Semuanya udah terjadi Za, semoga setelah ini kamu bisa pulang ke rumah dengan hati yang lebih damai dan tentram ya Za".
"Semoga Lun, semoga..", jawab Gua lalu membalikkan badan seraya melepas kemeja hingga tubuh bagian atas Gua tidak lagi terbalut pakaian apapun.
Gua berjalan kearah lemari lagi tapi sedetik kemudian langkah kaki Gua terhenti ketika suara teriakan yang tercekat cukup terdengar dari arah belakang.
"Woow..! What the...?".
Gua menengok kebelakang, kepada Luna yang sudah berdiri dari bangku dan menutupi mulutnya dengan kedua tangannya.
"Eza..", Luna berjalan menghampiri Gua,
"Coba balik lagi badan kamu", kedua tangan Luna memegang sisi lengan Gua dan kembali tubuh Gua membelakanginya,
"Yaaa ampuuun... Kamu di tatto ?", ucapnya terkejut dan Gua rasakan jemarinya menelusuri punggung Gua.
"Eh " Ah.. Hehehe.. Iya, aku sendiri lupa hahaha..", jawab Gua sambil menggaruk kepala bagian belakang.
"Pasti waktu di Jepang ya " Gambar naganya bagus Za, tapi Apa gak sakit Za sampai full body gini ?".
"Sakit Lun, sampai netesin airmata aku nahan tusukan jarumnya, apalagi gak sebentar prosesnya, hampir lima jam tatto ini baru selesai, itupun belum sampai coloring...".
Luna membalikan tubuh Gua hingga kami saling bertatapan. "Za, jangan menyakiti diri sendiri lagi ya.. Udah cukup semua rasa sakit yang nampak dan juga yang tidak nampak dari kamu".
Gua tersenyum mendengar ucapannya lalu entahlah... Siapa yang memulai, bibir kami sudah saling memagut dan Gua sudah merasakan kedua tangannya memeluk tengkuk Gua erat. Lambat laun kami bergerak menuju atas kasur dan...
Bruuk.. Tubuh Gua berada diatasnya.
"Mmm.. Za..", ucap Luna melepas pagutan bibirnya yang sudah basah. "Hm ?", Gua menaikkan alis.
PART 82 Gua sedang memperhatikan seorang wanita yang berdiri di dekat tv, di sana dia sedang menuangkan air panas kedalam cangkir yang sudah berisi serbuk kopi serta campuran gula. Kemudian dia membalikan tubuhnya lalu tersenyum kepada Gua yang masih duduk di atas kasur. "Mau minum dimana Za ?".
"Balkon aja...".
Secangkir kopi hitam itu ia bawa keluar kamar, ke arah balkon, lalu tidak lama Luna kembali masuk ke dalam kamar.
"Sini deh..", ucap Gua sambil menepuk kasur. "Hm " Kenapa ?", Luna berdiri tepat di samping Gua.
Gua menarik tangannya lembut hingga dia terjatuh kedalam pelukkan Gua. Tubuhnya berbalik, punggungnya bersandar pada dada Gua, dan kepalanya tepat berada di samping wajah Gua. Aroma shampoo dari rambutnya itu langsung menelusup ke hidung Gua, wangi yang memabukkan, i like i t. Gua belai rambutnya ke sisi wajahnya lalu mengecup ubun-ubunya, setelah itu, Gua mengaitkan tangan kanan ke depan lehernya dan menempelkan wajah ini ke wajahnya.
Gua menikmati momen ini, entah kenapa rasanya Luna bisa membuat Gua tenang ketika berada di sisinya seperti ini. Mata Gua terpejam ketika tangan kanannya membelai pipi kanan ini. Gua membuka mata ketika wajahnyanya menengok. Dia tersenyum lalu mengecup bibir Gua sesaat. "Za.. I love you..", ucapnya setelah mengecup bibir Gua.
Gua tersenyum lebar lalu memiringkan wajah ke kiri dan mendekati bibirnya. Satu, dua, tiga menit cukup rasanya warming up dan kami berdua pun menyudahi aktifitas ini karena terindikasi offside...
Kini kami berdua pergi ke restoran untuk menyantap breakfast, alhasil kopi yang sebelumnya Luna buatkan hanya Gua minum setengah gelas. Selesai menyantap breakfast, Gua dan Luna menuju lobby dan menyerahkan key-card ke bagian resepsionis untuk segera check out. Beres melakukan proses check out dan membayar tagihan sisa kamar selama menginap di hotel ini, Gua mengikuti Luna menuju parkiran mobil dan kami berdua pun bergegas pergi ke rumah Papahnya di bagian lain kota D"sseldorf ini.
Sekitar lima belas menit kami berkendara, Luna mengarahkan mobil ke jalur kiri dan berbelok kearah Aldtstadt. Luna mengatakan ingin mengajak Gua untuk melihat keindahan tempat-tempat wisata yang dimiliki oleh D"sseldorf, dan salah satunya adalah kota tua ini. Kami berdua tiba di sini pukul satu siang. Aldtstadt, kota tua khas Eropa dengan alun-alun kota dimana jalanannya terbuat dari bebatuan jaman dahulu. Kami berdua turun dari mobil setelah Luna memarkirkan kendaraan, lalu Luna mulai menggandeng tangan kanan Gua sehingga kami berjalan berdampingan.
Gua terpana dengan alun-alun kota ini, banyak obyek patung-patung yang berada di sini, apalagi ketika kami sampai di tengah alun-alun, dimana terletak sebuah patung yang menunjukkan seseorang sedang menunggangi kuda. Luna menerangkan kepada Gua bahwa patung tersebut adalah patung seroang bangsawan penguasa sebagian daerah kerajaan romawi, bangsawan itu bernama Jan Wellem atau John William. Selain patung tersebut masih ada beberapa patung di sekitar sini dan tentunya ada keterangan yang tertulis di depan setiap patung itu dengan bahasa Jerman. Kemudian kami berdua kembali mengitari alun-alun, sampai akhirnya Gua melihat salah satu patung lainnya yang berada di sini. Seperti monumen yang terbuat dari perunggu, obyek tersebut cukup menyita perhatiaan Gua, lalu sejenak Gua mengamati patung tersebut, dalam bentuknya, tergambar jelas tentang kesedihan dalam peperangan, patung ini di buat sangat detil sehingga terlihat emosi takut dan kemarahan yang terpancar, judul patungnya 'Battle of Worringen', dibuat tahun 1988 untuk memperingati tujuh ratus tahun kota D"sseldorf, dan nama senimannya adalah Bert Gerresheim.
Altstad D"sseldorf ini kata Luna terkenal dengan sebutan the longest bar in the world. Karena di sekitar alun-alun cukup banyak bar yang berderetan, surga bagi para pemabuk lah. Dan mungkin bulan ini masih musim semi di tambah waktu pun masih terlalu 'pagi' bagi para wisatawan untuk menikmati minuman penghangat tubuh, jadi suasananya cukup sepi. Biasanya di daerah ini banyak sekali turis asing dan orang lokal setempat yang beramai-ramai meminum bir pada saat October Fest, tapi jelas berbeda dengan sekarang, Altstad siang ini nampak sepi. Tidak nampak gerombolan turis yang berfoto-foto.
Tidak lama kemudian, Luna mengajak Gua untuk kembali menyambangi tempat lain di sekitar sini. Sekarang kami berdua berjalan kaki sekitar satu kilometer untuk menuju Konigsallee. Ketika kami berjalan dan sudah mulai memasuki daerah Konigsallee. Ada perasaan yang sedikit mengingatkan Gua akan satu hal soal wanita, tentunya bukan soal pemandangan kanal atau taman yang tertata rapih serta patung-patung yang indah, melainkan banyaknya deretan toko butik terkenal dunia. Yap, jiwa shopping Luna sepertinya sudah tak terbendung lagi, sepinya jalanan dan pengunjung pada deretan butik di samping kami tidak menyurutkan niatnya untuk menarik lengan Gua agar mengikutinya masuk ke dalam salah satu butik.
Luna yang Gua fikir awalnya akan 'menggila' karena banyaknya deretan barang-barang branded di depan kami itu ternyata tidak terlalu over-reactive seperti wanita-wanita pada umumnya. Dia ternyata hanya membeli dua buah barang, satu tas dan sepasang sepatu. Tapi... Gua menelan ludah ketika melirik ke arah bill yang disodorkan oleh pramuniaga toko kepada Luna setelah Luna membayar belanjaannya menggunakan credit card. Tercetak di sana sekian ribu euro, yang Gua hitung-hitung mungkin terbeli satu motor tipe bebek jika di rupiahkan. Muke gile cuma tas sama sepasang sepatu buat nginjek kotoran doang harganya ngajakin ribut
Hanya setengah jam kurang kami berada di dalam toko tersebut, lalu Luna menawarkan kepada Gua apakah Gua ingin membeli barang juga atau tidak, sebenarnya Gua tidak ingin belanja, tapi ucapan Luna malah membuat Gua berfikir ulang...
"Atau mungkin kamu mau beli untuk Mba Laras dan Nenek.. Gimana ?", ucap Luna sambil menengok kepada Gua.
Gua berfikir sejenak, iya juga ya, Gua habis 'kabur-kaburan' ke luar negeri, pulangnya masa gak bawa oleh-oleh untuk keluarga.
"Mm.. Iya juga Lun, ya udah menurut kamu bagus yang mana buat Mba Laras dan Nenek ?", Gua meminta Luna yang memilihkan model seperti apa untuk oleh-oleh keluarga Gua nanti.
Singkat cerita Luna sudah mengambil dua buah tas wanita dan membawanya ke kasir. Tapi kemudian dia kembali berjalan ke arah deretan tas yang di pajang tadi, lalu memilah sebentar dan mengambil satu tas berwarna biru muda. Total dia mengambil tiga tas, barulah setelah itu Gua pun membayar tiga buah tas tersebut walaupun sempat Luna ngotot untuk membayarkan, tapi Gua juga bersikeras ingin membayarnya sendiri, Luna mengalah ketika Gua bilang ini barang dari Gua untuk keluarga, jadi harus Gua sendiri yang membayarnya.
"Lun, ini tas terkahir tadi buat siapa ?", tanya Gua ketika menunggu proses pembayaran di kasir. "Vera, Za..", jawab Luna sambil tersenyum.
Selesai shopping dadakan bersama Luna, Gua kembali di ajak jalan-jalan lagi meninggalkan Konigsallee. Kali ini Luna mengajak Gua ke The Classic Remise D"sseldorf, pusat mobil vintage. Setelah sekitar lima belas menit kami berkendara, akhirnya kami memasuki tempat unjuk mobil-mobil bersejarah dan cukup langka yang pernah dibuat. Dibilang museum juga bukan, karena menurut Luna, Classic Remise seperti galeri pameran lukisan, dimana setiap mobil masih ada yang memilikinya, bukan hanya milik negara atau perusahaan tertentu. Kemudian bangunannya pun bekas sebuah gudang untuk lokomotif. Ada bengkel, bengkel dan dealer untuk mobil klasik, toko untuk suku cadang, pakaian, model mobil, asesoris dan restoran di bangunan bersejarah ini. Ternyata tidak semua mobil yang di pamerkan di tempat ini model klasik, banyak juga mobi l-mobil mewah bertipe sport yang terbaru. Gua antusias ketika melirik kepada deretan mobil-mobil eropa yang memukau itu, berbeda dengan mobil yang kebanyakan dijual di market. Tentu saja Gua ingin memiliki salah satu dari mobil yang terpajang di tempat ini, tapi ya Gua sadar diri, harganya tidak mungkin sama dengan harga mobil Gua terdahulu, si Black.
Singkat cerita Gua dan Luna akhirnya pulang ke rumah Papahnya di dekat universitas Heinrich Heine D"sseldorf, tidak jauh dari Classic Remise, hanya kurang dari sepuluh menit kami berkendara, kami pun sampai di kediaman Papahnya itu.
Waktu sudah menunjukkan pukul delapan ketika Gua selesai mandi dan duduk di halaman belakang rumah Papahnya. Di sini masih terang walaupun sudah jam delapan malam, belum gelap sama sekali. Gua membakar sebatang rokok untuk menikmati suasana malam ini, ditambah dengan secangkir teh manis hangat yang sudah dibuatkan sebelumnya membuat kenikmatan bersantai kali ini benar-benar terasa menenangkan hati Gua. Apalagi semuanya kian sempurna ketika seorang wanita duduk diatas pangkuan Gua....
"Suka suasana di sini Za ?", tanya Luna sambil menumpukkan tangannya diatas tangan Gua yang sedang melingkar ke perutnya.
"Suka... Apalagi ada kamu..", Gua menciumi punggungnya yang tertutupi kemeja serta rambut panjangnya.
Luna menyerongkan badannya, sehingga kini dia duduk di atas paha Gua dengan posisi menyamping.
"Gombal ih..", ucapnya sambil mencubit ujung hidung Gua.
Gua mendongakkan kepala menatap matanya lekat-lekat. "Makasih untuk semuanya Lun..", kemudian Gua memajukan wajah hingga mengecup pipi kanannya.
Tangan kirinya melingkar ke belakang tengkuk Gua, yang sedetik kemudian bibir kami pun saling bersentuhan, dan lama kelamaan menjadi sebuah pagutan... french kiss. Cukup lama kami melakukan aktifitas tersebut hingga kami berdua tidak menyadari telah ada seseorang yang berdiri tidak jauh dari tempat kami duduk.
"Ehm.. Ehm...".
"Eh " Ay..", Luna memundurkan wajahnya lalu menengok kepada Helen yang telah berdiri di ambang pintu halaman belakang.
Gua membuang muka ke kiri, bagaimanapun juga malu rasanya ketahuan sedang berciuman oleh 'calon adik ipar'. Tapi ini si Luna bukannya bangun dari pangkuan Gua malah cuek aja dia duduk dengan tangan yang masih melingkar kebelakang tengkuk ini.
"Aku cariin taunya lagi mesra di sini.. Huuu..", Helen berjalan menghampiri kami.
"Ada apa Ay ?", Luna akhirnya turun dari paha Gua, "Kakak kira kamu ikut Mamah ke luar tadi".
"Enggak ah, males kemana-mana", Helen duduk di kursi samping Gua yang dibatasi oleh meja kayu, "Kakak gak jalan-jalan sama Kak Eza ?".
"Udah tadi siang ke kota tua Altstad, terus ke Konigsallee dan terkahir ke Cla...", ucapan Luna terpotong.
"Kakak ke Konigsallee "!!", Helen terkejut sambil membelalakan matanya,
"Iiiihh kok gak bilang sih Kak! Aku juga mau ke sana...", wajahnya sedikit cemberut kepada Kakaknya itu.
"Enggak di rencanain sayang.. Lagian cuma sebentar gak lama..", jawab Luna sambil berjalan ke arah samping adiknya.
"Iya tapi Kakak pasti belanja deh, iya kan ?". Luna terkekeh pelan sambil mengangguk. "Tuh kan.. Mana aku liat Kakak beli apa ?". "Ada di kamar, nanti kalau mau tidur aja liatnya".
"Enggak enggak, aku mau liat sekarang, pasti beli tas kan " Ayo ah aku liat dulu", Helen pun menarik tangan Luna untuk masuk ke dalam rumah dan meminta Kakaknya itu menunjukkan barang belanjaan yang tadi siang ia beli bersama Gua.
Mereka berdua sudah masuk ke dalam, sedangkan Gua hanya bisa mendengar sayup-sayup suara Helen yang sepertinya ingin pergi ke Konigsallee esok hari. Gua membakar sebatang rokok lalu menatap langit yang mulai menampakkan gelap karena sekarang waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam lewat.
Fikiran Gua secara tidak sengaja membangkitkan memori akan seorang wanita yang sudah pergi jauh ke dimensi lain bersama darah dagingnya, keturunan kami berdua.
Entah kenapa tiba-tiba Gua rindu akan sosok almh. Istri Gua dan juga anak kami, Kencana Jingga.
Sejujurnya, selama Gua pergi meninggalkan rumah dan mulai menjalani hidup di Jepang hingga sekarang berada di Jerman, sebenarnya perasaan rindu itu Gua tahan dan Gua tutupi rapat-rapat, agar Gua bisa melupakan sakitnya, bukan kepada Istri dan anak Gua. Tapi Gua sadar, sekuat apapun Gua menutupi rasa sakit itu, kenangan pahit itu adalah ujungnya. Gua mengawali dengan mengingat kenangan manis bersama Echa dan Jingga, kadang tersenyum, kadang tertawa pelan dan merasa senang ketika beberapa momen kebersamaan Gua dengan mereka berada pada waktu yang indah dan bahagia. Namun pada ujung kenangan tersebut semuanya berubah, setiap detail kenangan manis nan indah itu berputar, sudah pasti titik akhirnya adalah kenangan pahit nan menyakitkan Gua lagi. Gua tidak bisa berhenti atau sekedar mem-pause kenangan itu di saat yang baik, selalu saja Gua tidak bisa menahan ujungnya, sang maut yang sudah menjadi sebuah titik ujung kenangan itu menunggu Gua dengan senyumannya yang sangat menakutkan. And I'm losing what i don't deserve... What i don't deserve.
Gua tersadar kembali ketika ada seorang wanita duduk di samping Gua.
"Eh, malam Tante..", Gua salah tingkah karena Mamahnya Luna juga Helen itu sepertinya sudah cukup lama duduk di situ.
"Malam Za..", balasnya seraya tersenyum,
"Maaf ya Tante ganggu kamu kayaknya", lanjut beliau.
"Ah enggak Tante, ganggu apa Tan, Eza lagi ngerokok sama bengong aja tadi hahaha...", Gua mematikan batang rokok yang sudah hampir habis ini ke asbak di atas meja teras.
"Bengong kenapa " Ada yang lagi kamu fikirkan " Mm, Maaf bukan maksud Saya untuk ikut campur jika itu privasi kamu Za".
Gua tersenyum lalu menggeleng pelan. "Enggak kok Tante, Eza enggak mikirin apa-apa, cuma mungkin baru ngerasa kangen rumah aja...", jawab Gua sambil kembali menatap langit malam yang bertabur bintang di atas sana.
"Pulang ke rumah adalah pilihan paling tepat atas semua kejadian yang sudah menimpa kamu Za..", suara beliau terdengar lembut dan penuh rasa kepedulian, ya Gua bisa merasakan hal tersebut dari ucapannya itu.
"Mmm.. Maaf Tan, memangnya Tante tau apa yang sudah Eza.....", Gua menghentikan omongan.
"Oh maaf, ya betul... Saya sudah mengetahui semua pengalaman sangat menakjubkan yang kamu alami dalam satu tahun terakhir ini... Maaf ya Za, hanya saja Saya benar-benar takjub mendengar itu semua dari Luna", beliau tersenyum.
"Oh, enggak apa-apa Tante, ya saya lupa, Tante dan keluarga pasti sudah mendengar semuanya dari Luna", Gua menyandarkan punggung ke belakang,
"Tapi, kenapa Tante bilang itu semua menakjubkan ?", tanya Gua.
"Tidak banyak manusia yang diberi ujian seindah kamu Reza, and it's so amazing right " I know you understand what I mean young man..",
"Hidup ini begitu rumit dan sulit jika kita selalu membandingkannya dengan kehidupan orang lain di luar sana, jadi berhentilah mempertanyakan 'kenapa dan mengapa'... ",
"Cobalah untuk menerima semuanya dengan hati yang lapang, karena hidup itu bagai Yin dan Yang, selalu bertolak belakang, namun penerapannya dalam hidup harus seimbang Za, seperti hidup kamu, tidak akan kamu selalu berada dalam kesedihan, suatu hari kamu akan tau kenapa Tuhan memberikan kesedihan tersebut dan saat itulah kamu telah berada satu langkah di jalan yang penuh kebahagiaan..".
Gua tertegun sebentar, mencerna setiap ucapan beliau lalu menutup mata sejenak, kalimat-kalimat yang beliau ucapkan rasanya sama saja dengan kalimat yang diucapkan oleh Mba Laras, Vera, Kinan, Kimiko dan yang lainnya. Intinya selalu ada kebahagiaan setelah kesedihan, badai pasti berlalu hah ".
"Kamu muslim kan ?", Gua menengok kepada beliau sambil menaikkan kedua alis. "Maksud Saya, kamu pemeluk agama islam..", lanjutnya.
Gua terkekeh pelan lalu menggaruk pelipis. "Mmm.. Entahlah Tan, Eza sendiri tidak bisa menilai apakah masih pantas disebut seorang muslim sedangkan kenyataannya...".
"Ssstt.. Bukan itu inti pertanyaannya Za",
"Saya harap kamu masih percaya akan adanya Tuhan... Terlepas apapun agama mu..".
Gua malah semakin menggelengkan kepala mendengarnya, karena rasanya beberapa bulan lalu Gua sudah melupakan keberadaan-NYA dalam hati ini.
"Atau kamu mungkin akan seperti Helen...". "Hm " Helen " Kenapa dengan Helen ?".
"Oh tidak apa-apa, hanya saja dari dulu dia tidak mengikuti keyakinan Saya atau Papahnya...".
Gua semakin bingung atas ucapan beliau. "Maksudnya Tante dan Om berbeda keyakinan ?", tanya Gua hati-hati.
"Iya, dari awal kami menikah.. Tante penganut Taoisme karena Saya lahir dan menghabiskan masa kecil di Taipei, kedua orangtua Saya yang juga Kakek dan Nenek Luna serta Helen sebelumnya tinggal di China, mereka lahir di Beijing...", beliau menjelaskan dengan nada yang sangat lembut, "Sekitar tahun delapan puluh tiga Saya bertemu untuk pertama kalinya dengan Papahnya anak-anak, di D"sseldorf ini, waktu itu Saya sedang berlibur bersama seorang kawan dan tidak sengaja bertemu Oliver.. Tidak lama kami memutuskan untuk menikah walaupun dengan keyakinan yang berbeda..", Gua mendengarkan dengan seksama cerita beliau,
"Oliver beragama katolik, begitupun dengan Luna...".
Gua mengangguk dan mengerti maksud cerita beliau, sampai akhirnya satu pertanyaan Gua benarbenar membuat Gua kebingungan dan tidak mengerti akan jawaban terakhirnya. "Dan Helen ikut Tante " Menganut Taoisme juga ?".
"Bukan, dia memilih menjadi Agnostik..".
* * * Quote:Mohon dipahami bahwa part kali ini Gua tidak berniat sama sekali untuk mengangkat tema SARA atau hal diskriminatif tentang suatu faham ataupun kepercayaan seseorang. Gua hanya menceritakan apa yang sudah terjadi sesuai pengalaman yang Gua alami. Bukan untuk memperdebatkan keyakinan seseorang. Tolong disikapi dengan Bijak... Terimakasih.
PART 83 Gua terbangun di siang hari dengan rasa pusing yang cukup terasa hingga membuat Gua harus mengurut-ngurutkan kening ini. Perlahan mata Gua mulai terbuka, kemudian Gua bangun dan terududuk di atas kasur lalu bersandar.
Setelah mata Gua dapat menyesuaikan pandangan terhadap cahaya ruangan kamar, dan rasa pusing serta kantuk yang berangsur hilang, kini mata Gua memandang ke sebuah sosok wanita yang sedang tersenyum. Sosok yang cantik dengan wajahnya yang teduh walaupun nampak sedikit mimik wajah yang menahan sakit, namun Gua tau saat itu dia bahagia.
Gua masih memandanginya, lalu entah perasaan Gua mengatakan seolah-olah dia berkata pelan kepada Gua, 'welcome home sayang'. Gua tersenyum tipis lalu tertunduk dan menggelengkan kepala pelan. Gua menyeuka air pada sudut mata ini, barulah kemudian Gua bangun dan berjalan kearahnya. Gua berdiri tepat di depannya.
'Hai sayang, aku pulang...'
Lalu Gua memandingi sosok gadis kecil disebelahnya, dan tersenyum kembali, Gua membelai wajahnya sambil berjinjit sedikit.
'Hai Nak, Ayah di sini sekarang...'
Gua kembali mundur satu langkah lalu memasukkan kedua tangan ke saku celana tidur, menatap kearah dua orang wanita yang sangat Gua rindukan selama ini, dua orang wanita yang tidak nyata, dua orang wanita yang sosoknya hanya tergambar dalam sebuah bingkai foto.
Gua keluar kamar dan menuruni tangga lalu berjalan melewati ruang makan kemudian sampai di halaman belakang.
"Loch udah bangun Za ?".
Gua menengok kearah sumber suara di belakang. "Eh iya Mba..", Gua tersenyum tipis kepadanya. "Kamu mau mandi dulu atau langsung makan siang ?".
"Aku mau renang kayaknya Mba, udah lama gak renang...".
"Tapi kamu belum makan, baru bangun dari semalamkan.." Mba buatkan roti ya " Sama susu cokelat, gimana ?".
"Mmm.. Minumnya kopi aja Mba, udah lama aku gak minum kopi item buatan lokal".
Mba Laras tersenyum lalu pergi ke dapur untuk membuatkan makanan tadi. Gua kembali berjalan ke halaman belakang dan membuka kaos putih lalu menaruhnya di kursi kayu kolam renang (adjustable sunbed), kemudian Gua membilas tubuh dari shower di sisi kolam, setelah seluruh tubuh Gua basah, barulah Gua menceburkan diri ke dalam air pada bagian kolam yang hanya memililki kedalaman dua meter. Gua menyelam lalu berenang ke bagian kolam yang kedalamannya hanya satu meter, kemudian kembali berbalik hingga tiga kali dan akhirnya berhenti ketika sudah sampai dibagian yang hanya setengah meter kedalamannya.
Gua duduk di sisi kolam, dengan sebagian kaki berada di dalam air. Gua membasuh wajah dan menyibakkan rambut yang sudah gondrong kebelakang, lalu Gua menengok ke kanan, dimana 'rumah' istri dan anak Gua berada. Atap peneduh terbuka, sehingga matahari siang yang cukup terik menyinari dua gundukkan tanah itu. Semuanya nampak sama dan tetap terjaga kebersihannya, apalagi sudah hampir setengah tahun sejak kepergian Gua, bunga mawar serta pohon kamboja yang masih kecil mulai nampak tumbuh dengan bagusnya.
Gua tersadar dan menengok ke kiri ketika suara Mba Laras terdengar cukup lembut menyapa pendengaran ini.
"Seminggu sekali Mba sama Bibi gantian merapihkan makam Echa dan Jingga..", ucapnya seraya menaruh sepiring roti keju sosis dan secangkir kopi hitam di atas meja dekat kolam.
"Makasih Mba...", jawab Gua pelan sambil memperhatikan riak air yang timbul karena gerakan kaki Gua.
"Sini Za, dimakan dulu tuh rotinya...", ajak Mba Laras.
Gua bangun dan berjalan ke arah meja kolam dan duduk tepat di samping Mba Laras, Gua menyantap roti buatannya sedikit lalu menenguk kopi yang sudah Gua rindukan sejak beberapa bulan lalu. Ah kopi hitam buatan lokal ini memang paling pas dengan lidah Gua dibandingkan dengan kopi mahal lainnya di luar sana.
"Biii...", teriak Gua menengok kearah pintu halaman belakang. "Kenapa Za " Kamu mau minta apa ?", tanya Mba Laras. "Rokok Mba.. Hehehe..".
Mba Laras tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. Lalu tidak lama kemudian Bibi (art) datang menghampiri kami, Gua pun memintanya untuk mengambilkan sebungkus rokok di kamar Gua, di lantai dua. Sambil menunggu Bibi kembali dengan sebungkus rokok, Mba Laras mulai meminta Gua menceritakan segala pengalaman yang sudah Gua dapatkan selama pergi dari rumah tiga bulan lalu.
Gua menceritakan semuanya dari awal ketika tidak sengaja menemukan kertas yang berisi alamat email Kimiko, lalu setelah itu Gua pun memilih pergi ke Hokkaido dan selama kurang lebih dua bulan setengah tinggal bersama keluarga almh. Nyokap. Setiap kejadian dari mulai masuk organisasi dengan segala macam kegiatan buruknya pun Gua ceritakan, sampai Mba Laras akhirnya tau cerita kenapa Gua sampai mentatto seluruh punggung badan ini. Lalu barulah Gua menceritakan keberadaan Gua akhir-akhir ini, di D"sseldorf yang tidak lama Gua ditemani oleh Luna serta keluarganya di sana, sampai akhirnya kemarin malam Gua sampai di rumah ini.
"Luna kenapa gak ikut pulang bareng kamu ?", tanya Mba Laras sambil mengambil kue kering dan memakannya.
"Dia masih kangen sama Papahnya.. Dia di sini tinggal sama Papahnya kan Mba, cuma sebulan terakhir Papahnya lagi ada urusan di Jerman...", jawab Gua.
"Oh iya sih, dia cerita sebelum berangkat ke Jerman kalau pingin ketemu orangtuanya dan juga adiknya... Mba juga baru tau kalau Luna punya adik perempuan loch.. Kamu tau ?".
"Baru tau aku juga kemarin pas di Jerman, namanya Helen. Adiknya itu tinggal sama Mamahnya di Blok situ Mba... Orangtua mereka cerai, Luna ikut Papahnya sedangkan Helen ikut Mamahnya", ucap Gua menjelaskan.
"Hmmm... Kasihan juga ya, eh tapi berarti mereka masih satu komplek di perumahan ini dong Za ?".
"Iya Mba, lucu ya bisa gitu... Cuma beda blok aja hahaha...", jawab Gua lalu menghisap rokok yang sebelumnya diberikan oleh Bibi dan Gua bakar.
"Tapi untung ya masih bisa jaga silaturahmi walaupun sudah cerai, bersyukur jadi anak-anaknya gak susah ketemu orangtua mereka".
Gua hanya mengangguk mengiyakan ucapan Mba Laras itu. Lalu tidak lama Nenek datang dan ikut bergabung mengobrol bersama kami berdua. Memang dari semalam pada saat Gua pulang belum bertemu Nenek, karena beliau tidak tidur di rumah ini. Dan tadi baru di jemput oleh supir yang baru Gua tau Mba Laras memperkerjakan seorang supir di rumah ini sejak satu bulan lalu. Setelah temu kangen dan Gua meminta maaf kepada Nenek, barulah Gua pamit untuk membilas tubuh di kamar mandi dan berganti pakaian. Ah ya, Nenek sempat kecewa karena tubuh Gua sudah dihiasi sebuah karya seni rajam tubuh itu.
Kami bertiga makan siang di rumah, masakan Bibi ternyata cukup menuntaskan kerinduan Gua akan masakan rumah. Selama tiga bulan Gua memakan makanan khas jepang dan juga eropa, dan sekarang kembali Gua bisa menikmati teri balado dan nasi uduk khas lokal, gak ada duanya deh. Delicious...
... ... ... Mei 2009 Dua minggu sudah Gua kembali tinggal di rumah sendiri, rumah milik almh. Echa lebih tepatnya. Dan selama dua minggu itu Gua sudah cukup senang dengan kabar bisnis Gua yang dijalankan selama ini oleh Mba Laras, dan saat ini tabungan Gua pun di kembalikan oleh Mba Laras berikut hasil keuntungan bisnis kuliner serta keuntungan dua tempat barbershop yang dipegang oleh Unang serta Icol. Everything is undercontrol...
Hari ini Gua baru pulang dari kampus bersama Kinan, bukan pulang kuliah, melainkan Gua hanya bertemu dosen dan juga bagian administrasi untuk mengecek status mahasiswa Gua yang masih dalam masa cuti. Hmmm... Gua terlambat, karena teman sekelas Gua seperti Lisa, Mat Lo, Iyon dan yang lainnya tahun ini akan lulus dan di wisuda bulan november nanti. Sedangkan Kinan yang mengambil jenjang D4 masih kuliah sampai tahun depan. Sepertinya tahun depan Gua baru bisa lulus, itupun pasti sudah bukan dengan teman-teman lama, melainkan bersama angakatan dibawah Gua.
Malam harinya Gua pergi bersama Luna untuk makan malam, oh ya, Luna sudah pulang satu minggu lalu bersama Papahnya atau tiga hari setelah Gua pulang duluan ke Indonesia. Beres memarkirkan mobil milik Luna, kami berdua masuk kedalam restoran steak di daerah kota kami. Kami duduk di bagian luar restoran agar Gua bisa bebas merokok. Luna memesan dua buah steak dan red wine kemudian sambil menunggu pesanan datang, kami pun membicarakan hal-hal ringan, dari mulai wisudanya yang sebentar lagi akan dilaksanakan di sebuah hotel di Jakarta dan hal yang lebih privasi soal adiknya.
"Ya apa yang kamu dengar dari Mamah memang begitu adanya, Helen seorang agnostik Za... Tapi kami semua tidak mempermasalahkan hal tersebut, karena di keluarga ku keyakinan adalah hak pribadi masing-masing, dan Papah kebetulan penganut paham liberalisme...", terang Luna sambil memegang tangan kanan Gua.
"Ooh.. Bersyukur lah berarti kalian semua ya, satu kelaurga memiliki berbagai macam keyakinan masing-masing tapi tidak menjadikan hal tersebut sebagai permasalahan keluarga..".
Luna mengangguk tersenyum kepada Gua lalu dia memainkan jemari tangan ini. "Za... Helen itu memilih menjadi Agnostik pada saat menginjak sma, saat Papah dan Mamah cerai... Tapi perceraian orangtua kami bukan karena perbedaan keyakinan, melainkan pendapat... Pendapat akan hal lain yang belum bisa aku ceritakan ke kamu", Luna masih memainkan jemari ini lalu menatap Gua sambil memiringkan sedikit wajahnya. "Kamu gak marah kan ?", tanyanya kali ini sambil mencolek hidung Gua.
"Ah kok malah aku " Ya enggaklah Luna, kamu gak cerita sekalipun aku gak akan marah.. Itu hak dan urusan pribadi keluarga kamu kan...", jawab Gua lalu tersenyum kepadanya.
Tidak lama pesanan kami datang dan kami berdua mulai menyantap makanan yang sudah dihidangkan ini.
"Za.. Kamu gak berniat beli mobil baru ?", tanya Luna disela-sela makan malam ini.
"Mmm.. Enggak kayaknya, aku mau pakai mobil Echa aja.. Masih bagus dan selalu dirawat sama Mba Laras selama ini...", jawab Gua sambil mengunyah daging steak yang kurang empuk.
"Ooh iya ya, Echa masih ada mobil...", kemudian Luan menaruh pisau dan garpu makannya setelah menghabiskan makanan. "Za, kamu niat nerusin kuliah kamu kan ?".
"Iya Lun, aku mau lanjutin kuliah ku, sehabis masa cuti ini beres aku pasti masuk kuliah lagi kok...", jawab Gua lagi.
Luna tersenyum seraya mengangkat ibu jari tangan kanannya kepada Gua.
Kami berdua sampai di rumah sekitar pukul setengah sepuluh malam, Gua turun di depan rumah kemudian Luna kembali melanjutkan perjalanan untuk menuju rumahnya yang tidak jauh dari rumah Gua.
Gua masuk ke dalam rumah dan tidak langsung naik ke lantai dua. Gua melewati ruang makan dan dapur kemudian berjalan lagi ke arah dua gundukan tanah di halaman belakang. Gua duduk diantara kedua gundukan tanah itu. Sudah hampir tiga bulan sejak Gua terakhir berada di dekat 'kedua' nya, sebelum Gua pergi, dan sekarang Gua kembali lagi di sini. Untuk menyapa mereka berdua tepat dihadapan Gua. Dan kali ini sepertinya Gua harus bisa benar-benar ikhlas merelakan mereka berdua. Gua memejamkan mata sejenak, mencoba merasakan kehadiran Echa dan Jingga. Entah kenapa kali ini Gua tidak bisa berbicara di dalam hati untuk mereka berdua selain kalimat bahwa Gua sudah pulang ke rumah. Ada perasaan yang sulit untuk diungkapkan, aneh dan berbeda, tidak seperti sebelumnya, saat Gua baru kehilangan mereka berdua.
Gua menghela nafas pelan lalu berdiri dan menggelengkan kepala seraya menjambak rambut ini dengan tangan kanan.
Kenapa sulit sekali untuk ikhlas Cha...
*** Suatu sore Gua sedang duduk di ruang tamu sambil menonton acara televisi ketika suara deru mesin mobil yang berhenti tepat di halaman rumah terdengar semakin pelan. Gua berdiri dan berjalan kearah pintu rumah, lalu sedetik kemudian tertegun karena melihat sosok seorang wanita yang sudah sampai di ambang pintu menatap Gua dengan cukup terkejut.
"As.. Assalamualaikum Za..", ucapnya sedikit terbata.
Api Di Bukit Menoreh 21 Pendekar Bodoh 12 Munculnya Sang Pewaris Memanah Burung Rajawali 26
^