Pencarian

The Truth About Forever 3

The Truth About Forever Karya Orizuka Bagian 3


"Lan, sampe sekarang, dia yang membuat aku tetep hidup. Gak ada siapa pun yang bisa menghentikan aku," ujar Yogas tegas. "Karena dia, aku kena penyakit sialan ini. Kamu ngerti, kan?"
Wulan menatap khawatir Yogas yang tampak emosi. "Gas, janji sam aku, jangan ngelakuin halhal bodoh. Janji, Gas."
"Lan, kalo soal yang satu ini, aku gak bisa ngejanjiin apa pun," balas Yogas keras kepala. "Thanks karena udah mikirin aku."
Wulan terisak lagi, memikirkan Yogas yang sudah berada jauh di luar jangkauannya. Eno memang sudah memperingatkannya, tetapi dia tidak menyangka Yogas akan jadi seperti ini. Benar-benar bukan Yogas yang dulu pernah dikenalnya.
"Lan," kata Yogas kemudian. "Jangan pernah mikirin aku lagi. Kamu juga harus nerusin hidup kamu. Kamu udah punya cowok, kan?"
Wulan menyeka air matanya sambil melirik Yogas marah.
Yogas nyengir. "Yah, masa sih, kamu jomblo terus selama enam tahun."
"Hatiku sakit banget lho denger kamu ngomong begitu," tukas Wulan membuat cengiran Yogas lenyap. "Denger kamu bisa naya-naya begitu sama aku seolah kamu udah bener-bener mgelupain aku, hati aku sakit banget."
Yogas terdiam. "Sori," katanya kemudian.
Wulan mengamati Yogas yang sudah kemblai menatap lurus. "Gas," kata Wulan. "Kamu... suka cewek itu, ya?"
Yogas menoleh pada Wulan yang tampak serius, lalu segera mengalihkan pandangannya. Tak lama kemudian, Yogas mengangguk. Wulan menghela napas.
"Udah aku kira," kata Wulan. "Apa dia... udah tahu?"
Yogas mengangguk lagi. "Dari awal dia udah tahu dan dia bisa terima," kata Yogas membuat Wulan mengangguk-angguk.
"Aku kagum sama dia," ujar Wulan, matanya menerawang. "Aku dulu... bodoh, ya?" "Lan," tegur Yogas membuat Wulan tersenyum pahit.
"Gas, aku bener-bener minta maaf," kata Wulan lagi. "Aku tahu ini mungkin udah sangat terlambat, tapi kapan pun kamu ngebutuhin aku, aku gak akan lari lagi."
Yogas menatap wulan lama, lalu tersenyum tulus. "Thanks." Mereka kemudian menghabiskan petang itu dalam diam.
*** Kana melangkahkan kakinya menuju tangga, berharap kalau Yogas tidak ada. Mata Kana sudah bengkak karena terlalu banyak menangis di kost Lian tadi, dan Yogas adalah makhluk terakhir yang mau dilihatnya.
Ketika Kana muncul dari tangga, Yogas baru kembali dari kamar mandi dengan handuk tersampir di bahunya. Kana menatap Yogas marah, lalu berderap menuju kamarnya. Yogas menatap Kana yang tampak enggan menatapnya balik.
"Jadi, itu yang namanya Joe, ya?" sindir Kana sebelum masuk kamar, tak tahan untuk bertanya. Yogas malah bersandar di dinding sambil memandang Kana malas. "Namanya Wulan." Jawaban Yogas membuat Kana melotot. Kana mengambil sepatu dan melempar Yogas dengan sepatu itu. Yogas bahkan tidak mengelak dan membiarkan dadanya terpukul. Air mata Kana sekarang sudah jatuh lagi.
"Kamu kejam! Aku bahkan gak mau tahu namanya!" sahut Kana emosi. Yogas hanya menatapnya datar.
Sementara Kana berusaha untuk menenangkan diri, Yogas mengambil sepatu yang tadi dilempar Kana dan meletakkannya kembali ke rak sepatu. Dia lalu menghela napas, berusaha menatap ke arah lain selain Kana yang masih menatapnya marah.
"Kenapa sih, kamu bohong terus?" tanya Kana lagi, hampir menjerit. "Kenapa kamu harus sekejam ini sama aku" Kenapa, Gas?"
"Sori," kata Yogas membuat alis mata Kana terangkat tinggi. "Gue gak bermaksud nyakitin..."
"Gak bermaksud?" teriak Kana tak percaya. "Gak bermaksud kamu bilang" Kamu make segala cara buat ngejauhin aku dari kamu!"
Yogas terdiam, sementara Kana sudah memukul-mukul dadanya sambil terisak.
"Kenapa kamu harus bilang kamu gay?" Kenapa kamu seneng banget nyakitin aku?"" seru Kana lagi. "Kalo kemau memang segitu gak sukanya sama aku, kenapa gak bilang terus terang?""
"Gue gak suka sama lo!" sahut Yogas membuat Kana terdiam danberhenti memukulinya. Yogas menatap Kana serius. "Lo mau gue bilang itu, kan" Gue bilang sekarang, gue gak suka sama lo. Gue udah kasih peringatan ke lo dari awal, kan" Tapi, lo tetep mau tahu urusan gue. Gue gak tahu lagi gimana caranya supaya lo ngejauh dari gue, dan terus terang aja gue gak tega ngomong langsung kalo gue gak suka sama cewek desa kayak lo!"
Yogas tersengal setelah mengatakan semua itu pada Kana. Kana hanya menatap Yogas tanpa berkedip, membuat air matanya mengalir semakin deras.
"Gas," ujar Kana kemudian. "Kamu bisa lebih kejam lagi dari ini?" Yogas terdiam menatap Kana yang sudah gemetar hebat.
"Sori, Kan. Tapi, Wulan adalah satu-satunya cewek buat gue. Dari dulu sampe sekarang, cuma dia yang ada di hati gue. Gak akan ada yang bisa ngegantiin dia," kata Yogas mmembuat kana tersenyum miris.
"Gas... Bisa kamu sekalian bunuh aku?" kata Kana getir. "Kenapa Gas... Kenapa kamu dateng ke sini" Kenapa?" Kenapa aku bisa kenal sama kamu?""
Kana berderap menuju kamarnya, bergerak masuk dan membanting pintunya. Yogas menatapnya tanpa bisa berbuat banyak. Misi berhasil. Sekarang yang harus Yogas lakukan adalah pergi secepatnya dari kost ini.
The Truth Revealed Kana memandang kosong dinding di depannya. Bekas-bekas air mata yang sudah mengering tampak di pipinya. Lagi-lagi Kana tidak tidur semalaman, menyesali kebodohannya karena sudah sekian lama dipermainkan oleh Yogas.
Tidak masalah kalau Yogas mengatakan tidak menyukai Kana sejak awal. Tetapi, Yogas mengatakan hal-hal kejam yang sudah menyakiti hati Kana. Bahkan, Kana tidak tahu apakah bisa memaafkan Yogas setelah ini.
Terdengar suara pintu ditutup dari arah kamar Yogas. Kana mellirik jam yang ada di meja komputer. Delapan lebih lima belas. Yogas pasti akan berangkat untuk mencari Joe, orang yang katanya sedang dicarinya entah karena apa. Kana pikir Yogas pasti berbohong lagi. Yogas selalu berbohong padanya, seorang gadis desa yang lugu dan mangsa empuk untuk dipermainkan. Kana sudah tidak mau tahu lagi. Kana sudah tidak mau peduli lagi.
*** Yogas menatap Eno yang sudah tergeletak di depannya dengan mulutpenuh darah. Yogas baru saja memberinya serangan fajar, setelah apa yang dilakukannya kemarin. Yogas sama sekali tidak pernah menyangka Eno akan berbuat segoblok itu dengan memberitahu Wulan tempat tinggalnya.
Yogas berjongkok dan mencengkeram kaus Eno. Eno membalas tatapan marah Yogas tanpa ekspresi.
"Bangun lo," kata Yogas geram. "Apa yang membuat lo berpikir kalo lo berhak ngaih tahu dimana gue ke Wulan?"
"Dia mau minta maaf sama lo," kata Eno susah payah. "Dia nyesel udah ninggalin lo."
"Gue udah bilang kan, gue gak mau berurusan lagi sama dia! Lo bebal atau dungu sih, No" Udah bagus dia ngejauhin gue!" sahut Yogas kalap. "Kenapa lo ngasih tahu dia?"
"Karena dia ngancem mau bunuh diri!" sahut Eno membuat Yogas terdiam. "Ya, dia semenyesal itu, Gas. Dia bener-bener nyesal udah ninggalin lo!"
"Lo tempe bangets ih, No! Gak mungkin dia mau bunuh diri gitu aja!" sahut Yogas lagi. "Eno mendorong Yogas sampai Yogas terbanting. Eno terduduk dan menatap Yogas sengit.
"Menurut gue Gas, lo yang tempe! Yang lo tahu cuma ngehindari dari semua masalah!" Eno menyeka darah yang sudah mengalir ke dagunya. "Kalo lo gak mau Wulan balik, seenggaknya lo bisa maafin dia supaya dia bisa nerusin hidupnya, kan?"
Yogas terdiam, lalu menyandarkan dirinya ke tembok.
"Gue udah ngelakuin itu. Gue udah maafin dia," kata Yogas pelan. "Gue udah gak ada masalah sama dia, tapi yang jadi masalah sekarang adalah cewek itu."
Eno menatapa Yogas, selah tak pernah meikirkan kemungkinan itu.
"Cewek itu ngeliat Wulan, dan semua alibi gue ajadi hancur" Yogas melirik Eno tajam. "Semua karena lo."
"Terus... dia gimana?" tanya Eno hati-hati.
"Yah, intinya, sekarang dia benci sama gue. Mungkin dia gak mau liat gue lagi. Dan karena itu, gue harus cepat-cepat pindah kost," kata Yogas.
"Sori, Gas," ujar Eno menyesal.
"Gak perlu minta maaf," tandas Yogas. "Sori, gue udah mukul lo. Tapi, lo emang pantas dapat pukulan itu, karena lo gak ngomong lagi sama gue."
Eno mengelus pipinya yang tadi ditonjok Yogas, lalu menatap Yogas yang tampak melamun. "Lo... gak apa-apa, Gas?" tanya Eno cemas.
"Gue cuma udah ngerasa keterlaluan ama dia, No," Yogas mendesah sambil menjambak rambutnya sendiri. "Semua omongan gue kemaren kayaknya keterlaluan. Kalo dia nampar gue atau gimana, gue bisa terima. Tapi..."
"Tapi...?" Eno ingin tahu.
"Tapi, dia cuma bilang, bisa kamu sekalian bunuh aku" Dan bagi gue itu lebih dari sekedar tamparan," ujar Yogas, matanya menerawang. "Baru kali ini gue nyesel kenal sama seseorang, selain Joe."
Eno tahu dengan pasti maksud kata-kata Yogas. Yogas pasti sedang berharap tidak pernah mengenal cewek itu sehingga tidak akan berpisah dengannya.
*** Kana memutuskan untuk keluar dari kamar karena Yogas pasti sudah tidak ada di kamarnya. Kana membuka pintu dan terperanjat saat mendapati Wulan di depan pintu kamar Yogas, bermaksud mengetuk pintu. Wulan menoleh, lalu tersenyum pada Kana yang tidak sempat membalasnya karena terlalu terkejut.
"Halo," sapa Wulan ramah. Kana membalasnya dengan anggukan. "Yogas ada?" "Gak tahu ya,", dengan suara yang bukan miliknya. "Coba diketok aja."
Kana berjalan melewati Wulan untuk ke kamar mandi. Wulan memperhatikan Kana sampai dia menghilang di balik pintu kamar mandi.
Tak berapa lama, Kana keluar dan terlonjak kaget karena Wulan sudah ada di depan pintu kamar mandi. Wulan tersenyum lagi pada Kana.
"Kana, kan" Kita ngobrol sebentar, yuk?" ajak Wulan membuat Kana menganga. Namun, akhirnya dia mengikuti Wulan naik ke lantai tiga.
Kana menatap punggung Wulan yang bahkan terlihat sempurna. Kana tidak heran kalau Yogas meti-matian menolaknya karena Kana sama sekali berbeda dengan Wulan. Wulan tipe gadis kota yang anggun dan menarik, bukannya gadis desa banya banyak omong dan bodoh sepertinya.
"Kenalkan, aku Wulan," Wulan membuka pembicaraan. Dia mengulurkan tangannya, yang disambut bingung oleh Kana. "Aku rasa kamu udah tahu siapa aku dari Yogas."
"Yah, kurang lebih," balas Kana kaku. Dia tidak mau mengatakan kalau Wulan adalah satusatunya cewek di hati Yogas.
"Kamu. suka sama Yogas?" tanya Wulan membuat kana bengong lagi. Kana tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Dia tertunduk, merasa malu sudah berpikiran untuk menyukai Yogas yang sudah punya pacar secantik Wulan
"Aku..." Kana kehilangan kata-kata.
"Aku tahu kok," ujar Wulan sambil tersenyum. "Hh... Yogas sebenarnya beruntung ya punya orang-orang yang suka ama dia."
Selama beberapa saat, Wulan dan Kana sama-sama terdiam. Kana sedang menerka-nerka apa Wulan marah karena kana menyukai pacarnya, tetapi wajah Wulan tidak menunjukkan demikian. "Kana, kamu tahu, kenapa Yogas bisa punya penyakit ini?" tanya Wulan kemudian.
"Aku gak tahu lagi mana alasan yang bener," jawab Kana getir. "Yogas sdudah terlalu banyak berbohong sama aku. Aku gak tahu lagi."
Wulan menatap Kana yang tampak menahan tangis.
"Kayaknya Yogas masih ngerahasiain soal ini sama kamu ya," kata Wulan membuat kana menatapnya. "Mungkin dia berbohong untuk melindungi kamu."
"Melindungi" Dia nyakitin aku terus!" sanggah Kana dengan suara serak. Sejenak dia menyesal karena sudah berteriak. "Maaf!"
Wulan tersenyum menatap gadis ringkih di depannya yang sudah membuat Yogas jatuh cinta. "Kan, kamu tahu seseorang bernama Joe?" tnaya Wulan lagi membuat kana mendengus.
"Ya, tokoh rekaannya Yogas," ujar Kana skeptis.
"Buka rekaan, dia memang benar ada." Jawaban Wulan membuat Kana menatapnya tak percaya. "Joe itu dulu sahabatnya Yogas."
Wulan mengambil napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan sementara Kana tak melepas pandangannya.
"Enam tahun yang lalu, aku, Yogas, Joe, dan satu orang lagi bernama Eno, sahabatan. Kami sekelas dari kelas satu sampe tiga. Kami udah gak terpisahkan, ke mana-mana selalu bareng." Wulan memulai ceritanya. "Kami semua punya cita-cita, kecuali Joe. Dia ini pengacau. Selalu aja bikin keributan dan sama sekali gak punya visi buat masa depan."
"Joe paling akrab sama Yogas, karena mereka berdua udah kenal dari SD. Dengan Yogas, Joe gak pernah macem-macem. Mereka udh kayak kakak-adik. Kamu tahu cita-cita Yogas?" tanya Wulan membuat Kana menggeleng. "Sutradara. Yogas pengen banget jadi sutradara, sampai rela menghabiskan tabungannya untuk bveli kaset dan bikin film kecil-kecilan yang pemainnya kamikami ini."
"Suatu hari, entah kenapa, Joe jadi agak berubah. Dia jadi cenderung pemarah, bahkan ke Yogas sekalipun. Kadang, dia marahin Yogas kalo Yogas terlalu banyak bergaul sama anak-anak ekskul film. Dan, akhirnya, peristiwa itu terjadi," kata Wulan. Dia berhenti sejenak, lalu menarik napas.
"Yogas diajak Joe ketemu sama temen-temennya yang preman sekolah kami. Mereka adalah murid-murid drop out sekolah kami. Entah gimana Joe bida berteman dengan mereka. Saat itu mereka sedang berada di bawah pengaruh alkohol dan obata-obatan," kata Wulan, suaranya sudah serak. "Mereka nyuruh Joe untuk nyuntik Yogas dengan suntikan bekas pakai." Mata Kana melebar, tak percaya dengan cerita Wulan. Air mata Wulan sendiri sudah mengalir.
"Joe yang takut sama mereka ngelakuin yang mereka minta. Setelah itu, Yogas gak cerita lagi. Dia takut sama Joe dan selalu ngehindar kalo ketemu di sekolah. Waktu itu, aku sama Eno gak tahu apa-apa," lanjut Wulan. "Suatu saat, Joe dipuindah sekolah sam orangtuanya karena ketahuan ngobat. Yogas jadi ceria lagi, dia bikin filn lagi. Tapi, beberapa bulab kemudian, dia kena kecelakaan yang cukup parah, yang menbuat dia harus masuk rumah sakit. Dari sana, baru ketahuan kalo ada HIV di darah Yogas."
"Saat itu yang tahu cuma orang tuanya dan aku. Aku kebetulan ada di rumah sakit saat dokter ngasih vonis itu. Waktu itu, aku masih anak-anak, aku maih terlalu ngeri dengan kata-kata HIV. Setelah tahu Yogas punya virus itu, aku langsung menjauh," kata Wulan sambil terisak. "Bukan cuma aku, tapi kedua orangtuanya juga menjauh. Mereka seperti aku, malu dan takut karena penyakit itu. Eno yang gak tahu apa-apa memang gak menjauh, tapi Yogas yang malah ngejauhin dia."
Wulan menatap Kana yang juga sudah terisak. Kana sama sekali tidak tahu kejadian sebenarnya seperti ini. Kana sama sekali tidak tahu bahwa penderitaan Yogas jauh lebih besar dari yang dibayangkannya.
"Kana, kamu jangan membenci Yogas karena berusaha ngejauhin kamu," kata Wulan lagi. "Dia cuma gak ingin kamu kena imbasnya juga. Dia balik sikap dia yang kasar itu, dia sebenarnya takut, Kan."
Kana menangis lebih keras. Dadanya sampai sakit. Wulan mengelus-elus punggungnya.
"Kana, aku kagum sama kamu," katanya. "Aku pengecut ini gak pantas untuk ada di samping Yogas. Dia saat semua orang ngejauhin Yogas, kamu ada untuk doa. Aku benar-benar malu sama kamu, Kan."
"Hah" Maksud kamu?" Kana bertanya di sela-sela isakannya, bingung karena kata-kata Wulan. Bukankah Wulan adalah kekasih Yogas"
"Aku yakin, sekarang cuma kamu yang bisa jadi kekuatan buat Yogas. Cuma kamu yang bisa menghentikan Yogas," kata Wulan.
"Menghentikannya dari apa?" tanya Kana lagi.
"Kan," kata Wulan dengan tatapan serou. "Jkamu tahu alasan Yogas datang ke sini" Kamu tahu alasan Yogas mau ketemu sama hJoe lagi?"
Kana menggeleng, tetapi rasanya dia bisa menebak jawabannya.
"Dia mau ngebunuh Joe, Kan." Ucapan Wulan membuat Kana menekap mulutnya sendiri. "Dia udah gak peduli lagi tentang apa yang akan terjadi setelah itu. Dia mau ngebunuh Joe karena udah merusak hidupnya."
Kana tak bisa berkata-kata. Tangan dan kakinya dingin mendengar kata-kata Wulan. Kana langusng teringat pada sebilah belati yang pernah dia temukan di dalam ransel Yogas. Ternyata, untuk itu dia membawa belati itu. Untuk membunuh Joe.
"Kenapa?" tanya Kana dengan suara tercekat.
"Dia ngerasa udah gak ada gunanya lagi dia hidup," jawab Wulan lemah. "Aku udah gak punya hak apa pun lagi untuk menahan dia, Kan, karena dulu aku udah ninggalin dia. Sekarang, cuma kamu yang bisa."
Kana menatap Wulan tak percaya. Yogas kemarin bilang hanya Wulan cewek satu-satunya di hatinya, tetapi kalau Wulan saja tidak bisa enahan Yogas, bagaimana Kana bisa melakukannya.
"Lan, dia gak suka sama aku. Dia benci sama aku. Gimana aku bisa nahan dia?" tanya Kana membuat Wulan tersennyum.
"Dia bilang begitu ya?" kata Wulan. "Ini tips buat kamu, Kan. Mulai sekarang, apa pun yang dia bilang, maknai sebaliknya. Kamu tahu sendiri, Kan, Yogas tukang bohong?" Jadi, mulai sekarang, jangan anggap serius kata-katanya."
"Dia... bohong lagi?"" tanya Kana dengan suara serak, dan akhirnya menangis lagi, tetapi lebih karena bahagia. Ini artinya Yogas kemarin sudah berbohong sdaat mengatakan bahwa Wulan adalah cewek satu-satunya, juga saat dia mengatakan kalau dia membenci Kana.
"Kana," kata Wulan lagi. "Aku percayain Yogas sama kmu, ya" Karena kalo sama kamu, aku bisa ngerelain Yogas."
Kana menatap Wulan lagi. Wulan tersenyum sedih.
"Aku gak pernah cukup baik buat dia, Kan. Aku pergi ketakutan waktu dia ngebutuhin aku, dan baru sadar bertahun-tahun kemudian. Aku baru cukup kuat untuk nenerima kenyataan setelah bertahun-tahun kemudian. Aku bener-bener gak sebanding sama kamu," ujar Wulan lagi sambil menatap Kana dalam-dalam. "Kana, aku mohon, tolong jangan jauhin Yogas apa pun yang terjadi. Satu-satunya kesempatan Yogas buat bahagia adalah kamu."
Kana memandang langit yang berwsarna biru cerah. Wajah Yogas segera terbayang di benaknya sementara Wulan terus berbicara.
"Kamu tahu kenapa Yohgas selama ini membohongi kamu" Itu karena Yogas gak ingin kamu mencintainya, karena kalau sampai itu terjadi, dia harus siap kehilangan kamu lagi suatu saat nanti. Kamu ngerti kan, Kan" Dia cuma takut kehilangan kamu."
Kana langusng terisak lagi. Pikiran Kana jadi benar-benar kacau setelah mendengar kebenaran dari mulut Wulan. Selama ini, Yogas selalu membohongi Kana supaya Kana selalu menjauhinya. Yogas bahkan melakukan apa pun supaya Kana membencinya. Ternyata, alasannya adalah karena dia takut akan kehilangan Kana."
"Kana, kamu bisa kan menjawab kekhawatirannya itu?" tanya Wulan, tetapi Kana tak bisa menjawabnya.
Kana tidak harus menjawab dan Wulan pun pasti sudah tahu jawabannya. Wulan menghela napas lega. Kalau ada satu orang yang bisa mengembalikan Yogas seperti dulu, gadis inilah orangnnya.
*** Yogas memasang sebuah kaset di handycam-nya. Saat itu, Yogas sedang sendirian di kamar Eno karena dia sedang bekerja. Yogas memperhatikan orang-orang yang ada di layar handycam-nya.
Film yang sedang ditontonnya adalah sebuah film pendek yang dibuat Yogas di Anyer tahun 2000 lalu. Film yang tadinya akan dimasukkan ke lomba film indie. Film yang dibuat dengan segenap hati dan dibintangi oleh orang-orang yang paling didayanginya.
Yogas menatap Eno, Joe, Wulan, ayah, dan ibunya d layar handycam-nya. Baru kali ini, Yogas memberanikan diri untuk menoonton lagi film ini dari awal sampai akhir. Sebelumnya, Yogas bermaksud untuk melupakannnya karena menonton film ini membuatnya teringat lagi pada orang+orang yang sudah menjauhinya karena penyakit yang dideritanya.
Wajah joe, si pemeran utama, tiba-tiba muncul sendirian di layar. Yogas menatap sosok kurus berwajah kutu itu, dan tanpa terasa tangannya sudah terkepal. Dia adalah orang yang membuat semua kehidupanyya hancur berantakan. Ingatan Yogas tiba-tiba terlempar ke masa silam, enam tahun yang lalu.
*** "Gas, pulang sekolah kita ke belakang kantin dulu ya," kata joe sambil mnghampiri Yogas yang sedang berkutat dengan handycaminya.
"Ngapain?" tanya Yogas tanpa menoleh.
"Gue mau ketemu sama temen lama gue, dia mau kasihg gue sesuatu," kata Joe lagi sambil mengamati video yang sedang ditonton Yogas. "Ya ampun. Another documentary?"
Yogas hanya mengendikkan bahu, matanya masih tertancap ke video dukemneter yang baru diseledaikannya.
"Apa yang mau dia kasih" Another blue film?" sindir Yogas membuat Joe terkekeh.
"Bukan. Ini sesuatu yang lebih daripada itu," Joe mencondongkan dirinya pada Yogas. "Lo harus coba juga."
Yogas menatap Joe tanpa ekspresi. Dia tahu kalau itu menyangkut Joe, pasti semuanya berhubungan dengan cewek.
"Oke. Asala jangan lama-lama, karena gue harus transfer ini video. Gue ngejer deadline nih," Yogas akhirnnya menyanggupi.
"Siap, Bos. Dasar maniak film," cela Joe sambil terkekeh. "Calon sutradar," ralat Yogas, dan Joe tergelak lebih hebat.
"Serius Joe, siapa sih yang lo tunggu?" tanya Yogas setelah menunggu selama satu jam di belakang kantin sekolah yang sepi.
"Temen lama gue," jawab Joe, sekarang tampak gelisah. Yogas memperhatikannya bingung.
Tak lama kemudian, beberapa orang bertubuh besar dan bertato di sana-sini muncul. Sejenak Yogas merasa mereka tidak mungkin teman lama yang dimaksud Joe, tapi saat kawanan itu mendekati Joe, mendadak Yogas merasa takut. Yogas tidak tahu sejak kapaan Joe bergaul dengan orang-orang seperti itu.
"Oi, Joe! Apa kabar lo?" sahut salah seorang dari nereka yang di wajahnya terhias codet. Yogas bisa membaui alkohol dari jarak tiga meter.
"Baik. Mana barangnya?" kata Joe cepat.
"Sabar dong man," laki-laki codet melirik Yogas yang mundur teratur. "Wah, siapa nih" Temen lo" Calon pelanggan baru?"
"Bukan," Joe menahan laki"aki itu yang sekarang sedang berjalan sempoyongan ke arah Yogas. "Dia cuma temen gue."
"Temen ya?" laki-laki itu terkekh, lalu menarik Joe ke pinggiran, dan membisikinya sesuatu. Yogas tak bisa mendengar mereka.
Tak lama kemudian, kawanan itu mendekati Yogas. Bau alkohol menguar hebat dari tubuh mereka. Joe menatap Yogas takut-takut, dan itulah, Yogas tahu kalau sesuatu yang buruk akan terjadi. Yogas baru akan kabur saat beberapa tangan menahannya. Yogas langusng meronta sekuat tenaga, tapi kawanan itu jauh lebih besar darinya.
"LEPASIN GUE!!" sahut Yogas sekuat tenaga sambil berusaha melepaskan diri dari cengkeraman dua orang besar yang ada di samoingnya. Namun, cengkeraman mereka malah bertambah kuat.
"DIEM LO!!" Seseorang bernapas busuk di depan Yogas balas menyahut. Seseorang yang berdagu kasar menonjoknya dengan sekuat tenaga dan membuat pelipisnya berdarah.
"MAU APA LO!!" sahut Yogas lagi. Dia melirik Joe, sahabatnya yang ada tepat di belakang lelaki yang tadi memukulnya. Ekspresi aneh, sama sekali tak dapat Yogas tebak. "Joe, apa maksud lo, hah?"
"Gas, gak sakit kok,"Joe berkata sambil membawa sebuah subtikan ke arah Yogas. Mata Yogas membesar. "Cuma sekali doang, gak bikin ketagihan kok."
"Joe! Lo apa-apaan! Buang!" seru Yogas, tapi Joe seperti tidak punya pilihan. Laki-laki di codet di belakangnya tampak sedang mengancamnya.
Kawanan itu terkekh saat Joe menghampiri Yogas yang sudah tak bisa berkutik lagi. Joe membuka tutup suntikan itu, lalu salah seorang dari kawanan itu memberikan lengan kiri Yogas yang sudah menegang karena kerasnya perlawanan Yogas.
"Sori, Gas," kata Joe, lalu dengan mata menatap lurus mata Yogas, Joe menusukkan suntikan itu ke lengannya.
Yogas sudah tak merasakan sakit. Dia hanya melihat mata sahabatnya dengan tatapan marah, bertanya-tanya apa yang menbuatnya melakukan itu.
*** Yogas mencengkeram lengan kirinya kuat. Sudah sekian kama jenangan itu menjadi mimpi buruk Yogas. Kejadian itu sudah berlalu sekitar enam tahun, tetapi rasa panas yang menjalar di lengan Yogas masih terasa sampai sekarang. Yogas juga tidak bisa melupakan tatapan aneh Joe saat dia menyuntikkan obat terlarang itu ke lengan Yogas.
Bukan, bukan obat terlaragnya yang membuat Yogas hancur. Obat tu emang berpengaruh sedikit , tetapi Yogas berhasil melaluinya. Suntikan itulah yang membuat seluruh kehidupannya hancur. Suntikan yang berasal entah dari mana dan membawa virus yang akan menjadi penyebab kematiannya.
Yogas menghantamkan kepalnya ke lantai, rahangnya mengeras. Bagaimanapun, dia harus menemukan Joe untuk balas dendam. Karena kejadian itu, Yogas sudah tidak punya tujuan hidup lagi.
Kejadian itu juga yang membawanya pada seorang Kana, dan memaksanya untuk berpisah lagi dengannya. Yogas mengambik sebuh kaset di antara beberapa kaset yang tergeletak, lalu memasangakannya dia handycam-nya.
Air mata Yogas langsung menetes begitu melihat Kana dengan latar belakang Pantai Parangtritis. Yogas sama sekali tidak bermaksud menangis, tetapi air mata itu kelluar dengan sendirinya. Otak Yogas memang telah memerintahkannya untuk melupakan Kana, tapi ternyata hatinya tidak bisa.
Yogas sekarang tahu kalau air mata dan kesedihan tak ada hubungannya dengan otak. Sekuat apa pun Yogas berusaha menahannya, air matanya tetap jatuh.
*** Yogas menatap kost tua di depannya ragu. Hari ini, Yogas bermaksud untuk pulang da mengambil bebrapa baju. Dia tidak akan tinnggal dia kost ini sampai dia menemukan kot baru. Yogas tak ingin berurusan dengan Kana lagi.
Mengingat nama itu lagi membuat Yogas pening. Semalaman, kepala Yogas sudah dipenuhi olehnya sampai dia merasa sudah mau gila. Yogas memijat lehernya dan berjalan masuk. Ono tampak sedang mengelap motornya.
"Gas, baru pulang, tho?" tanya Ono. Yogas hanya memblas tersenyum, langkahnya terhenti. "Mas, ng... Kana.. ada gak ya?" tanyanya membiat Ono mengernyit.
"Gak adan nemenin ibu kost ke rumah mertuanya di Klaten. Ngopo, Gas?"
"Ooh, gak apa-apa," kelit Yogas cepat dan segera bergerak menuju tangga. Yogas menghela napa lega. Ternyata Kana tidak ada di kost. Dengan begini dia bisabebas tinggal di sini tanpa harus bertemu dengannya untuk beberapa hari. Ketika mencapai anak tanggaterakhir, Yogas terpaku melihat sosok yang berdiri di hadapannya.
"Tapi, kalo cewek cantik yang kemaren ada, Gas!" seru Ono dari bawah. Sedikit terlambat memang, karena Yogas sudah terlebih dulu melihat Wulan. Wulan pun sudah melihat Yogas.
Wulan tersenyum pada Yogas, yang dibals derngan seidikit ogah-ogahan. Yogas tak tahu apa yang masih Wulan lakukan di sini.
Yogas menghampiri Wulan. "Ada apa, Lan?"$
"Aku mau pulang, Gas," jawab Wulan pelan. Yogas mengangguk. "Tapi, aku mau mau ngobrol sebentar lagi ama kamu."
Yogas menatap Wulan dan menimbvang-nimbang, lalu mengangguk lagi.
"Ayo ke atas," ajak Yogas sambil melangkah duluan ke lantai tiga sementara Wulan mengikutinya. Setelah sampai, Yogas langusng bersandar di pembatas pagar. Wulan menataponya lekat-lekat. Yogas meliriknya. "Apa kamu masih mau minta maaf lagi?"
Wulan segera tersenyum lemah. "Gas, kemarin aku udah ngobrol sama Kana," katanya membuat Yogas melebar.
"Apa?" kata Yogas dingin. Wulan tahu Yogas pasti sangat marah.
"Aku udah cerita tentang alasan kamu dapet penyakit itu. Aku udah cerita semuanya sama dia. Maaf kalo aku ngelakuin ini tanpa permisi sama kamu, tapi aku rasa, dia berhk untuk tahu." Ucapan Wulan membuat Yogas membuang pandangannya. "Gas, dia tulus sama perasaannya, dan aku tahu persis gimana perasaan kamu."
Yogas mendengus skeptis. "Oya" Kamu tahu ya?"
"Iya. Kamu takut. Iya kan, Gas?"K ujar Wulan membuat Yogas terdiam. "Kamu cuma takut kehilangan dian seperti dulu kamu kehilangan semua orang yang kamu syangin. Iya, kan?" Yogas tidak menjawab. Dia menatap bangunan-bangunan dia depannya tanpa ekspresi.
"Gas, aku tahu aku gak berhak ngomong ini, tapi kamu berhak bahagia sama Kana, Gas. Aku tahu, dulu aku begitu bodoh udah ninggalin kamu, dan sekarang kamu gak mau terima aku lagi. Tapi, Gas, Kana adalah orang yang tepat buat kamu, dan aku mendukung kamu sama Kana!" sahut Wulan sambil menarik lengan Yigas.
"Lan," tegur Yogas dingin membuat Wulan berhenti nenarik Yogas. Yogas menoleh dan menatap Wulan tajam. "Cukup sampe di sini campur tangan kamu. Aku berterima kasih kamu udah sejauh ini mikirin aku, tapi gak ada kebahagiaan lain buatku selain bals dendam sama Joe." "Tapi, Gas..."
"Lan," desak Yogas lagi. "Tolong jangan paksa aku. Aku gak mau ngebentak kamu."
Wulan terdiam sementara Yogas membuang pandangannya lagi. Air mata Wulan mulai jatuh. Cewek itumerasa tak berdaya menghadapi Yogas yang sudah tak tergapai seperti ini. Wulan juga kesal pada dirinya sendiri karena sekali lagi telah gagal menghadapi Yogas. Dia hanya bisa menggigit bibirnya agar tidak terisak.
Yogas menoleh dan menatap Wulan lama. Gadis ini dulu pernah dicintainya sepenuh hati. Gadis ini juga yang sudah meninggalkannya dan kembali lagi untuknya, bahkan mendukungnya untuk bahagia bersama orang lain. Yogas tidak bisa berterima kasih lagi padanya.
"Lan," kata Yogas membuat Wulan sedikit mengangkat wajahnya. Yogas mengambil jeda sejenak, berusaha mengendalikan emosinya. "Kamu... harus bahagia, ya?"
Wulan menatap Yogas, lalu menangis hebat sampai terduduk di lantai yang dingin. Tidak pernah hati Wulan merasa sesakit ini seumur hidupnya. Perkataan Yogas tadi seakan menyiratkan bahwa Wulan tak akan pernah melihat Yogas lagi. Dulu, Wulan tak pernah memikirkan dia akan bahagian bersam orang lain selain Yogas, tetapi saat Yogas mengatakannya sekarang, Wulan tahu, kalau dia sudah membuat kesalahan yang paling besar dalam hidupnya. Wulan tak akan bisa lebih bahagia dari saat-saat bersama Yogas dulu.
Yogas membiarkan Wulan menangis untuk beberapa saat. Yogas harus bisa merelakannya. Yogas harus bisa merelakan semua yang dia miliki, termasuk apa yang disayanginya sekarang.
There's Still Tomorrow Yogas baru saja berkeliaran di kampus tekhnik UGM. Setelah berbagai kejadian kemarin, Yogas kembali bernapsu untuk menemukan Joe. Joa-lah yang bertanggung jawab atas semua penderitaan yang dialami Yogas selama ini.
Namun, lagi-lagi Yogas pulang tanpa membawa hasil. Dia menaiki tangga sambil mematikan iPod-nya, tanpa melihat Kana yang menatapnya terkejut dari depan kamarnya. Yogas baru sadar saat melihat sepasang kaki di depannya. Yogas mendongak, lalu menatap Kana kaget.
"Lo bukannya..." Yogas mendadak terdiam. Dia tidak akan membuka percakapan apa pun lagi dengan Kana. Dulu, semua adalah kesalahannya. Dia sudah membiarkan dirinya terlibat begitu jauh dengan Kana. Sekarang, Yogas memastikan hal itu tidak terjadi lagi. Yogas menelan katakatanya dan melangkahkan kakinya menuju kamarnya.
"Gas, tunggu!" sahut Kana sambil menghalanginya. Yogas menatap cewek itun dan mendadak Yogas sadar kalau dia sudah terlalu lama tidak melihat mata Kana yang bulat itu. Yogas segera mengalihkan pandangannya.
"Apa?" tanya Yogas berusaha supaya kedengaran tidak peduli.
"Apa" Apa?" tanya Kana tak percaya. "Bukannya 'Ap"'! Kamu harusnya minta maaf sama aku!" Yogas kembali menatap Kana. "Hah?"
"Kamu harusnya minta maaf setelah semua yang kamu lakuin selama ini! Dasar pembohong," ujar Kana, tetapi tidak tampak marah. Yogas yakin Wulan pasti sudah mengatakan yang tidaktidak padanya.
Kana sekarang melipat kedua tangannya di depan dada, dan menatap Yogas seolah menunggu permintaan maafnya. Yogas menghela napas. Pola ini terulang lagi, tetapi Yogas tidak akan kalah.
"Denger ya, apa pun yang Wulan bilang sama lo..."
"Aku lebih percaya sama Wulan," tandas Kana membuat Yogas terdiam. "Kamu selalu bohonh, jadi aku sudah gak percaya lagi sama kamu."
"Lo... bisa gak sih, lo biarin gue sendiri?" sahut Yogas geram.
"Apa" Kamu ngomong sesuatu yang kejanm lagi?" tantang Kana, tidak tampak takut. Ygas menatapnya tajam, lalu memukul pintu di depannya, tepat di samping wajah Kana. Kana balas menatap Yogas berani.
"Apa Wulan bilang kalo gue sebenarnya takut kehilangan lo?" tanya Yogas. "Karena kalo iya, lo kegeeran banget. Sama sekali gak pernha terbesit di pikiran gue..."
"Aku sudah gak peduli lagi sama semua kebohongan kamu," potong Kana membuat Yogas melotot. "Mau kamu bilang aku cewek desa, aku bukan tipe kamu, kamu gak suka aku, kamu benci aku, aku gak peduli."
Yogas menatap Kana bingung.
"Gas, aku sudah denger semuanya dari Wulan, dan sekarang aku tahu kenapa kamu punya penyakit ini," ujar Kana lembut. "Aku sekarang tahu kalo bukan salah kamu bisa dapet penyakit itu. Sebenernya, alasan apa pun gak penting, karena aku gak akan ngejauhin kamu karena kamu punya penyakit itu."
"Berhenti ngomong sesuatu yang mais-manis," sambar Yogas geram. "Lo dulu sempet ragu, kan?"
"Memang benar aku sempet ragu, tapi aku nyesel. Harusnya aku gak pernah ragu. Waktu itu aku akui, aku takut. Tapi, setelah itu, aku benci aku yang penakut kayak gitu. Waktu itu, aku pikir, kalo aku takut, aku gak akan pantes buat kamu," kata Kana lagi. Yogas masih menatapnya tanpa berkedip. "Tapi, Gas, sekarang aku gak akan pernah takut lagi. Aku tahu kayak apa mungkin kamu berubah beberapa tahun lagi, tapi Gas, aku gak pernah punya perasaan sekuat ini sama siapa pun. Kamu berubah jadi apa juga gak mungkin bikin aku mundur."
"Lo gak akan pernah tahu apa yang bakal terjadi di masa depan," ujar Yogas gemetar. Kana tersenyum.
"Kamu juga gak tahu, kan?" Ucapan Kana membuat mata Yogas melebar. "Jadi, kenapa kita gak ambil risiko itu?"
Yogas ingin sekali merengkuh gadis di depannya ini. Setitik air matanya mulai menetes. Kana menyeka air mata itu dengan jemarinya dan memegang lembut pipinya. Yogas bahkan tidak menghindar.
"Gue cuma punya waktu lima tahun," gumam Yogas membuat Kana tersenyum lagi.
"Jadi, ato kita gunakan waktu itu sebaik-baiknya," jawab Kana membuat setitik lagi air mata jatuh dari mata Yogas. "Kalo kamu tahu kamu cuma punya waktu lima tahun, ayo kita buat kenangan sebanyak-banyaknya dalam waktu itu."
"Lo... lo rela ngorbanin lima tahun hidup lo buat gue?" tanya Yogas lagi.
"Aku gak mau bilang aku rela ngorbanin lima tahun hidupku untuk kamu," ujar Kana. "Karena aku gak mau cuma lima tahun bareng kamu. Aku mau selamanya bareng kamu." Yogas menatap Kana dalam-dalam, mencari kebenaran dalam matanya.
"Kan... Boleh gue percaya omongan lo sekarang?" tanya Yogas membuat air mata Kana mulai menetes. Kana mengangguk, lalu membelai pipi Yogas yang sudah basah karena air mata.
Sebelum Yogas sempat berkata-kata lagi, Kana memeluk Yogas. Awalnya, Yogas hanya membatu, menyangka dirinya sedang berada di alam mimpi. Namun, harum rambut Kana menyadarkannya, bahwa saat ini dia benar-benar hidup di dunia nyata. Yogas mengangkat tangannya ragu, lalu menyentuh punggung Kana yang terasa hangat. Semuanya terasa begit nyata.
Yogas mempererat pelukannya pada Kana dan membenamkan wajahnya lebih dalam ke bahu gadis itui. Yogas tidak ingat kapan dia merasa sebahagia ini sebelumnya. Kali ini, dia tidak akan melepas Kana lagi. Tidak akan pernah lagi.
*** Yogas membuka matanya dan seberkas cahaya menelusup melewati jendela. Yogas mengerjapngerjap, dan setelah semua nyawanya terkumpul, dia berusaha mengingat kejadian semalam.
Semalam, dia bermimpi telah memluk Kana. Dia bermimpi bahwa Kana berkata akan selalu bersamanya. Yogas mengangkat tangannya dan mentap tangan itu. Tangan yang sudah menyerah pada seorang gadis bernama Kana.
Mendadak Yogas sadar, kalau kejadian semalam bukanlah mimpi. Harum Kana ada di manamana di kamar ini. Semalam, setelah Yogas memeluk Kana, emosinya begitu meledak-ledak sampai dia tidak ingin melepaskan Kana. Yogas memeluk Kana sampai Kana jatuh tertidur.
Yogas terbangun dengan tersentak, lalu melihat ke sekelilingnya. Kana sudah tidak ada. Yogas segera bangkit dan membuka pintu kamarnya. Dia berdiri di depan pintu kamar Kana dan menatapnnya ragu.
Yogas menjambak-jambak rambutnya sendiri. Harusnya semalam dia bisa lebih menahan diri. Harusnya dia bisa melepaskan Kana dan membiarkan Kana tidur di kamarnya sendiri. Yogas benar-benar takut Kana sudah menganggapnya yang tidak-tidak. Kana pasti sangat terkejut saat melihat Yogas di sampingnya saat bangun sehingga langsung kabur dan tidak mau melihat Yogas lagi.
Yogas masih saja menjambak rambutnya frustasi saat mendengar suara pintu terbuka di tingkap atas. Yogas menatap pintu itu penasaran. Mungkin saja Kana ada di atas.
Yogas segera naik ke lantai tiga dan Kana ada di sana, sedang bersandar pada pagar pembatas, menatap bangunan-bangunan di depannya. Yogas menghela napas lega karena setidaknya Kana masih ada di kost ini. Tahu-tahu Kana menoleh, dan melempar senyum pada Yogas yang segera salah tingkah. Yogas lalu menghampiri Kana ragu-ragu.
"Ng..." gumam Yogas tak jelas. "Sori, semalem gue... Sori."
"Gak apa-apa," Kana tersenyum semakin lebar. "Semalem aku kebangun, terus kamu sudah ketiduran. Jadi, aku selimutin kamu terus pindah ke kamar."
Yogas mengangguk-angguk, benar-benar lega karena Kana tidak berpikiran aneh-aneh tentangnya. Yogas ikut bersandar di sebelah Kana. Sebenarnya, Yogas masih ingin memluk Kana, tapi keinginannya itu ditahannya.
"Kok diem?" tanya Kana membuat Yogas menoleh. Kana tertawa kecil. "Gas, aku belum pernah denger dari kamu lho, kalo kmau suka sama aku..."
Yogas menatap Kana tak percaya, lalu membuang muka. Telinganya yang berubah merah membuat Kana terbahak.
"Gak usah bilang juga udah tahu, kan," ucap Yogas keki. Kana sendiri berhenti tertawa, lalu ikut menatap pemandangan di depannya.
"Sampe saat ini, aku masih belum percaya kalo kamu akhirnnya mau percaya sama aku," kata Kana membuat Yogas menatapnya. "Aku seneng banget sampe rasanya pengen nangis."
Kana tidak bisa mengatakan kalau semalam saat dia terbangun dan mendapati Yogas ada di sampingnya, dia menangis lagi. Kana benar-benar senang Yogas sudah mempercayainya.
Kana menggigit bibirnya, menahan dirinya untuk tidak menangis lagi. Yogas menepuk kepalanya dan mengacak rambutnya.
"Harusnya gue yang ngomong begitu," ujar Yogas membuat Kana benar-benarmenangis. "Hus. Jangan nagis terus ah. Dasar cengeng."
"Biarin cengeng juga!" sahut Kjana sambil terisak. Yogas tersennyum simpul.
Kana masih terisak sampai akhirnya Yogas berbaring di lantai dengan kedua tangan terlipat di belakang kepalanya. Kana menyeka air matanya, lalu ikut duduk di sampingnya. Sejenak mereka menikmati angin yang berembus sepoi.
Kana melirik Yogas yang sudah terpejam. Kana memeluk lututnya dan mengamati profil Yogas yang tampak menawan ditimpa sinar matahari.
"Ng... Gas?" tanya Kana pelan.
"Hm?" "Ng... Aku boleh tanya sesuatu gak?"
Yogas membuka matanya menatap sekumpukan awan yang berarak. Dia tahu, cepat atau lambat Kana pasti akan bertanya sial masa lalunya.
"Boleh aja," kata Yogas akhirnya.
"Hm... Apa bener cita-cita kamu jadi sutradara?" tanya Kana hati-hati. "Kata Wulan, dulu pas SMA kamu pengen jadi sutradara."
"Benar," jawab Yogas setelah beberapa saat. Dia duduk dan mengorek saku celananya dan mengeluarkan rokok. Kana dengan segera merampas rokok itu dan membuangnya. Yogas menatapnya sebentar, lalu menghela npas. "Tapi, sekarang udah gak ada gunanya lagi kan ngomongin itu?"
Kana menatap Yogas bingun. "Kenapa?"
Yogas balas menatapnya. "Kenapa" Ya udah jelas kan" Mana bisa gue jadi sutradara."
"Kenapa gak bisa?" tanya Kana lagi membuat Yogas sekarang bena-benar memusatkan perhatian padanya.
"Denger ya," ujar Yogas setengah geli. "Orang kayak gue ini udah gak punya masa depan. Gak mungkin gue bisa jadi sutradara."
Mata Kana membulat saat Yogas mengatakan itu.
"Gas, aku pikir kamu gak akan menyerah begitu aja." Ucapan Kana membuat Yogas mendengus.
"Emangnya gue pernag ngomong begitu?" katanya, dan Kana sadar kalau Yogas memanbg tidak pernah mengatakannya.
"Gas, kamu jangan nyerah dong. Kamu pasti bisa jadi apa pun yang kamu mau kalo kamu gak nyerah!" ujar Kana. Yogas nenatapnya kesal.
"Jangan kasih gue ceramah lagi deh," sergahnya membuat Kana terkejut. Yogas menghela napas. "Gue memang berterima kasih lo udah nerima keadaan gue, tapi bukan berarti lo bisa nyeramahin gue."
Kana menatap Yogas tak percaya. Yogas menolak untuk menatapnya balik.
"Gas, aku tahu kamu memang sakit. Tapi, apa sekarang kamu lumpuh" Apa sekarang kmau cacat" Gak, kan?" seru Kana membuat yTogas kaget. "Bahkan orang cacat pun gak berhenti bermimpi! Kamu bisa jadi apa pun yang kamu mau!"
"Kalo sekarang gue berusaha pun belum tentu ntar gue bia jadi sutradara!" sahut Yogas balik.
"Tapi, itu lebih baik daripada kamu gak ngelakuin apa pun!" sahut Kana lagi. "Seenggaknya kamu udah berusdaha, itu yang penting!"
Yogas terdiam mendengar kata-kata Kana. Kana menghela napas.
"Gas, orang tyang udah tahu bakal mati dan diam menerima nasib itu orang yang paling menyedihkan," lanjut Kana. "Semua orang tahu mereka mungkin saja bisa mati besok, tapi gak ada yang cuma diam nunggu kematiannya."
"Tapi, gak semua orang tahu kapan tepatnya mereka mati, gak kayak gue," kata Yogas miris. "Gue cuma diprediksi bisa hidup lima tahun lagi, dan setiap inget itu, gue hilang semangat."
"Kalo benar kamu cuma hidup lima tahun lagi, berarti kmau harus bisa menghargai setiap harinya," ucap Kana. "Bahkan setiap detiknya. Karena cuma tinggal lima tahun, makanya jangan biarkan sedetik pun berjalan begitu aja."


The Truth About Forever Karya Orizuka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Yogas hanya terdiam menatap Kana.
"Gas," kata Kana lagi sambil tersenyum pada Yogas. "Kamu kamu yakin, aku yakin pasti bisa. Aku yakin suatu saat kamu bisa jadi sutradara. Kamu cuma harus berusaha, jangan pernah menyerah sama keadaan kamu. Itu aja."
Yogas berhenti menatap Kana dan kini menatap awan. Sudah begitu lama Yogas tidak memikirkan cita-citanya. Yogas menganggap cita-cita itu bagian dari masa lalu yang tak akan pernah diungkitnya lagi. Namun, sekarang, seorang gadis bernama Kana telah membuatnya kembali mengiginkan cita-cita itu. Kana mngakan hal yang tadinya dia rastanya tidak mungkin mnjadi mungkin.
Dulu, Yogas menyerh untuk masuk sekolah perfilman karena terlalu takut. Takut kalau ada yang mengetahui penyakitnya dan menjauhinya. Takut kalau sebelum sempat memulai dia sudah akan mati. Sekarang, setelah mendengarkan Kana, Yogas mulai menyadari kalau hidupnya yang tinggal sedikit ini tidak boleh disia-siakna.
Kana melirik Yogas yang tampak berpikir keras. Kana benar-benar menginginkan Yogas untuk kembali bersemangat dan melupakan dendamnya pada Joe. Kana tidak ingin melihat Yogas lebih menderita lagi.
"Gas," ujar Kana pelan. "Tolong janji satu hal sama aku." Yogas mentap Kana. Kana menggigit bibirnya ragu.
"Lupain soal... Joe," kata Kana pelan membuat Yogas mengangkat alis tinggi-tinggi. Detik berikutnya, dia mendengus.
"Lo suruh gue ngelupain bajingan itu?" tanya Yogas, toba-tiba kembali menjadi Yogas yang dingin. "Lo bercanda, kan?"
"Gas, kalo kamu masih nyari dia, kamu gak aka bisa nerusin cita-cita kamu! Kamu ngerti kana apa akibatnya kalo kamu ngebunuh dia" Kamu bakalan ngehabisin hidup kamu di penjara!" seru Kana. "Kamu mau seperti itu.
Tangan yogas terkepal keras, bahkan sampau bergetar. Yogas bukannya tidak pernah memikirkan kemungkinan itu. Memang dulu Yogas tidak peduli kalau dia sampai dipenjara atau mati sekalipun, karena tidak ada yang peduli padannya. Namun, sekarang berbeda. Sekarang, ada yang peduli padanya. Seorang gadis dengan wajah khawatir yang sedang duduk di sebelahnya.
"Gas, aku sudah janji mau nemenin kamu, kan" Terus apa gunanya kalo kamu ada di penjara?" kata Kana lagi. Dia memgang kedua pipi Yogas dan memandangnya dalam-dalam. "Gas, aku mohon."
Yogas balas memandang Kana. Yogas benar-benar tak tahu harus berbuat apa. Memang benar dia sekarang gak mau kehilangan Kana, tetapi dia juga tidak bisa melupakan dendam enam tahunnya begitu saja. Karena Joe, seluruh kehidupannya hancur berantakan.
Yogas bangkit tiba-tiba, membuat Kana terkejut. Yogas turun tanpa mengucapkan sepatah kata pun lagi padanya. Kana terduduk pasrah menatap punggung Yogas yang segera menghiang di balik pintu.
Kana merasa Yogas benar-benar sudah tak tersentuh lagi.
*** Selama setengah jam, Yogas duduk diam di atas kasur kapuk kamarnya. Yogas melirik seprai itu. Seprai berwarna pink dengan gambar Barbie. Yogas menghela napas, lalu meraoh handycam di sebelahnya.
Dari semua hal, Yogas tidak pernah bisa melepaskan handycam ini. Handycam yang diberikan ayahnya saat dia berumur sepuluh tahun. Handycam yang tidak akan pernah digantinya dengan apa pun.
Yogas menyetel sebuah kaset saat ulang tahunnya yang kesebelas. Tampak figur ayah dan ibunya yang bahagia. Handycam itu kemudian dipegang oleh orang lain, dan figur Yogas kecil tampak di sana. Dia meniup lilin, sementara ayah dan ibunya memeluknya erat. Wajah mereka semua tampak bahagia.
Tangan Yogas bergetar menatap pemandangan itu. Mellihatnya membuat semua kenangan terputar balik di otaknya. Saat-saat mereka mengetahui penyakit Yogas. Saat ayahnya memutuskan pergi dari rumah karena malu. Saat ibunya menangis tak henti-hentinya.
Kalau saja Tuhan mengizinkan Yogas untuk membuat satu permohonan, Yogas ingin kemblai ke saat-saat di mana semuanya masih baik-baik saja, seperti ulang tahunnya yang kesebelas ini.
Yogas mengelus handycam itu pelan. Handycam yang sudah belasan tahun menemaninya. Handycam yang merekam semua perjalanan hidupnya. Handycam yang menjadi awal dari citacitanya.
Yogas menjambak rambutnya. Dia tidak tahu harus nagaimnana. Tahu-tahu pinsel di sebelahnya bergetar. Yogas meraih ponsel itu heran. Seinganya, dia tidak memberi nomor barunya kepada siapa pun kecuali Eno.
Mata Yogas nelebar saat mengenali angka yang muncul di layar ponselnya. Itu nomor rumahnya. Tangan Yogas tiba-tiba terasa dingin. Yogas menekan tombol hijau dan mendekatkan ponsel itu pada telinganya.
"Hal" Yogas?" Terdengar suara perempuan dari seberang.
Yogas bergeming saat mendengar suara ibunya. Sudah begitu klama dia tidak mendengar suara itu, samapai-sampai Yogas merindukannya.
"Yogas! Ini Yogas, kan?" tanya ibunya lagi. Tenggorokkan Yogas terasa kering. "Kenapa?" kata Yogas dengan suara serak.
"Yogas!" seru ibunya. "Untung nomernya benar! Kamu ada di mana sekarang" Masih di Yogya?"
Mendadak, Yogas sadar kalau Wulan pasti sudah melaporkan segalanya pada ibunya. Dan, Wulan mendapatkan nomor ini dari Eno. Yogas mengatur napasnya.
"Kenapa?" tanya Yogas lagi.
"Yogas, ayo pulang," bujuk ibunya, terdengar mau menangis. "Ayo pulang, Gas. Kami nunggu di rumah."
Yogas tertawa dalam hati. Kami" Kami siapa maksudnya"
Yogas masih terdiam. Sebenarnya, dia hanya ingin mendengar suara ibunya. Yogas juga takut kakau dia bicara, dia akan menangis dan ingin cepat pulang.
"Yogas, kamu marah sama Mama, ya?" tanya ibunya kemudian. "Kamu marah sama Mama, kan" Gas, maafin Mama. Maafin Mama, Gas."
Yogas hampir-hampiur tidak bisa menahan emosinya. Yogs tidk menyangka ibunya akan meminta maaf.
"Maafin Mama karena Mama bukan ibu yang baik," kata ibunya tersedu. "Maafin Mana karena Mama gak merawat kamu dengan baik. Pulang, Gas. Izinkan Mama merawat kamu sekali lagi."
Yogas tetap mendengarkan tanpa bisa berkata apa pun. Rhang Yogas sudah mengeras, menahan segala keinginannya untuk menangis.
"Mama gak akan nangis lagi, Gas. Mama akan tegar. Mama akan lebih percaya diri. Mama gak akan peduli lagi apa kata tetangga. Yogas pulang, ya?" bujuk ibunya lagi. "Gas, kalo kamu pulang, ada seseorang yang nunggu kamu."
Yogas mengernyit heran. Siapa yang menunggunya." Wulan-kah"
"Gas?" Tahu-tahu terdengar suara berat dari seberang, membuat jantung Yogas serasa berhenti berdetak.
Yogas tak bisa mempercayai pendengarannya. Mungkin Yogas sudah salah dengar. Mungkin Yogas barusan berkhayal.
"Yogas" Nak" Ini Papa," kata suara itu lagi membuat Yogas benar-benar hilang kendali dadanya sesak karena mendengar suara itu untuk yang pertana kalinya dalam beberapa tahun terakhir. Ayahnya terdiam sebentar di ujung sana.
"Yogas" Papa tahu kamu pasti sangat marah sama Papa. Tapi, beri Papa kesempatan sekali lagi, Gas. Beri Papa kesempatan sekali lagi," kata ayahnya nembuat tangis Yogas tak tertahan lagi. Ayahnya juga sudah terisak.
"Pa..." gumam Yogas di tengah isakannya.
"Yoas, maafkan Papa ya" Papa benar-benar bodoh sudah meninggalkan kamu dan mamamu. Enam tahun Papa nenginteropeksi diri, dan ternyata memang Papa yang salah. Kamu tidak bersalah. Papa yang sudah salah karena pergi. Seharusnya, Papa tetap nmendukung kamu. Mamafkan Papa yang pengecut ini, Gas," kata ayanya lagi membuat tangisan Yogas semakin keras.
"Gas, kamu pulang ya, Nak" Ayo, kita coba sekali lagi," kata ayahnya lagi. "Kali ini, Papa gak akan lari lagi. Kita ulangi dari awal. Kamu, Papa, dan Mama."
Yogas tak bisa menjawab. Dia sudah menangis sejadi-jadinya. Seumur hidupnya, dia tidak pernah sebahagia ini. Dia sangat bahagia sampai dadanya seperti mau mneledak.
Terdengar ketukan di pintu, tetapi Yogaas tak bisa mendengarnya. Kana muncul di pintu dan terkejut menatap Yogas yang sedang menangis. Kana segera menghambur ke arah Yogas.
"Gas" Kamu kenapa?" tanya Kana panik. "Kamu sakit" Apanya yang sakit?"
Yogas tidak menjawab. Kana bingung menatap Yogas yang terisak hebat, lalu menatap ponsel yang sedang dipegangnya. Kana mengambil ponsel itu, yang ternyata masih tersambung. Ragu, Kana mndekatkan telinganya pada ponsel.
"Yogas" Nak" Kamu masih di sana?" sahut sebuah suara wanita. Kana terbelalak, yakin itu suara ibu Yogas. Kana tak berani menjawab. "Yogas, setelah kamu tenang, kami telepon lagi, ya. Cepat pulang ya Gas, kami menunggu."
Setelah itu sambungan terputus. Kana tersenyum, sudah mengerti arti dari tangisan Yogas. Ternyata, keluarga Yogas mengharapkan Yogas untuk pulang. Yogas sekarang sudah tidak sendirian lagi.
Kana mengulurkan tangan untuk mengusap air mata Yogas, lalu memeluknya yang masih menangis. Kana benar-benar bahagian karwna akhirnya Yogas sudah kembali mendapatkan kehidupannya.
Kana menitikkan air mata. Kana tahu seharusnya dia tidak sedih, tetapi dengan begini Yogas akan lebih cepat menghilang dari pandangannya. Yogas akan kembali pada keluarganya, tetapi Kana harus bisa mendukungnya.
Karena Kana sudah berjanji akan menjadi kuat untuk Yogas.
From now on what will happen to us"
Yogas mengamati segumpal awan putih yang berarak lambat di langit yang biru. Semalaman Yogas berpikir akan melakukan apa. Dia sangat ingin pulang untuk menemui ayah dan ibunya, tetapi dia juga tidak ingin meninggalkan Kana.
"Oii," kata Kana sambil menepuk bahu Yogas. Yogas menoleh dan mendapati Kana sedang membawa dua gelas cokelat hangat sambil nyengir lebar. Kana menyodorkan salah satunya pada Yogas. "Lagi mikirin apa sih" Serius amat."
Yogas menatap heran Kana yang menghirup cokelatnya. Kana sepertinya biasa-biasa aja, padahal dia tahu tentang ayah Yogas yang sudah kembali.
Merasa diperhatikan, Kana menoleh.
"Kenapa" Kok gak diminum?" tanya Kana lagi membuat Yogas tersadar dan meminum cokelatnya yang kemanisan. Yogas memilih untuk tidak berkomentar.
Kana meregangkan kedua tangannya sampai isi gelasnya mau tumpah. Dia melakukan senamsenam kecil dengan menggerakkan kepalanya ke kiri dan kanan, membuat Yogas jadi teringat pertemuan mereka yang pertama. Saat itu, Kana juga melakukan senam seperti ini.
"Aaah.... sudah lama gak senam," kata Kana ringan sambil menghirup udara pagi. Yogas memperhatikannya, berharap bisa melihat pemandangan itu selamanya. Kana sendiri sudah menatap awan dengan mata menerawang. "Dari sini... kira-kira apa yang bakal terjadi sama kita, ya?"
Yogas menatap mata Kana lama.
"Kana," kata Yogas membuat Kana menoleh. "Kalo lo minta gue tinggal, gue bakal tinggal."
"Hah" Kamu gila, ya" Gak mungkin!" seru Kana kaget. "Kamu harus pulang! Ayah dan Ibu kamu nunggu kamu!"
Yogas terdiam menatap cokelatnya yang tinggal setengah. Kana memandangnya, lalu tersenyum.
"Gas, kamu harus tahu. Kalo kamu bahagia, aku juga ikutan bahagia. Kamu harus pulang, dan kamu harus ngelanjutin cita-cita kamu," kata Kana lagi.
"Terus lo gimana?" tanya Yogas.
"Aku" Aku juga akan berusaha di sini. Aku bakal berusaha mencapai cita-citaku. Aku bakal lulus kuliah, berhasil jadi penulis best seller," kata kana mantap. "Kita pasti bisa, Gas. Ayo kita sama-sama berusaha."
Yogas menghela napas. Sangat berat rasanya membicarakan ini dengan Kana. Yogas sebenarnya ingin mengajak Kana bersamanya, tetapi Kana memiliki cita-cita sendiri, dan Yogas tidak bisa menghentikannya. Yogas juga harus mendukungnya seperti Kana mendukungnya.
"Kan," kata Yogas membuat Kana menoleh. "Soal janji lo itu... lupain aja. Lo jangan khawatir lagi soal gue. Kalo nanti lo nemu orang yang lebih baik..."
Yogas berhenti bicara begitu melihat ekspresi Kana. Kana seperti sudah siap untuk menamparnya atau apa.
"Sori," kata Yogas cepat-cepat. Dia menatap Kana dalam-dalam. "Gue pasti balik." Kana balas menatap Yogas lekat, lalu mengangguk. "Aku tungu," ujar Kana sambil tersenyum.
Yogas ikut tersenyum, lalu mengacak rambut Kana yang lembut. Yogas meminum habis cokelatnya, lalu menatap pemandangan atap-atap rumah di depannya. Dia pasti akan sangat kehilangan tempat ini.
*** Yogas sudah memutuskan untuk pulang besok. Sekarang, dia sedang membereskan barangbarangnya. Tiba-tiba, matanya tertumbuk pada sebuah benda di dalam ranselmya. Yogas mengeluarkannya, lalu menatapnya nanar. Ssebuah belati yang dibelinya di sebuah pasar malam saat dia sedang emosi.
Yogas menarik napas lalu memasukkan kembali belati itu ke ranselnya. Seberapa pun dendam yang disimpannya, dia harus bisa menahannya karena sekarang sudah banyak orang yang peduli padanya. Yogas tidak ingin menghabiskan hidupnya di penjara.
Setelah selesai mengepak barang, Yogas bermaksud untu pergi ke kost Eno karena dia belum sempat bercerita padanya. Yogas melangkah keluar dari kamar dan mendapati Kana sedang lewat dengan membawa setumpuk baju yang baru diangkatnya dari jemuran. "Eh" Mau ke mana?" tanya Kana dari balik tumpukan baju.
"Ke kost Eno," jawab Yogas. Tahu-tahu sebuah bra jatuh dari tumpukan itu, dan kana tampak tak sadar. Yogas tersenyun simpul, lalu mengambilnya dan menyangkutkannya pada kepala Kana. Kana melongo sementara Yogas buru-buru kabur.
"Heeeh! Dasar cabuuul!" seru Kana, tetapi Yogas sudah melesat keluar kost. Kana menghela napas, lalu nyengir sendiri. Untuk kali ini tidak apa-apa.
*** Yogas berjalan ke kost Eno dengan langkah ringan sambil mendengarkan musik dari headphone besarnya. Hari ini, tampaknya hujan mau turun, dilihat dari sekumpulan awan hitam yang menggantung di langit. Yogas mempercepat langkahnya ke kost Eno. Di tengah jalan, mendadak musik di telinganya terhenti.
Yogas berhenti berjalan, lalu mengecek iPod-nya. Ternyata, semalam d tidak mengisi baterainya. Yogas menghela napas, lalu melepaskan headphone dari telinganya dan membiarkannya terpasang di leher.
Saat Yogas baru akan kembali berjalan, dua orang cowok lewat sambil mengobrol.
"Gue kemaren maen ke kost-nya," kata cowok yang memakai kaus merah. "Gila, dia tajir mampus! Punya segala macam gadget!"
"Lah, bukannya memang bokapnya si Joe pejabat ya?" sahut temannya, membuat langkah Yogas tiba-tiba terhenti.
Yogas berbalik dan menatap kedua cowok itu. Tubuhnya gemetar dan terasa dingin. Yogas tahu ini mungkin saja bukan Joe yan dimaksudnya, tetapi tetap saja Yogas memiliki firasat.
Yogas segera berlari menuju kedua cowok tadi dan menghadangnya. Kedua cowok itu menatap Yogas heran.
"Eh, tunggu. Tadi kalian ngomongin Joe?" tanya Yogas membuat kedua cowo tadi mengangguk. "Joe ini... anak Jakarta?"
"Iya. Lo siapa ya?" tanya cowok yang berbaju merah, tetapi Yogas tak mendengar. "Joe ini... anak SMA 218" Angkatan 2002?" tanya Yogas lagi, jantungnya berdetak tak keruan.
Kedua cowk tadi saling pandang, lalu sama-sama mengangguk. Yogas segera bergerak buas ke arah cowok yang berbaju merah dan mencengkeram lehernya.
"Eh, lo kenapa, Man?" seru cowok itu, terkejut.
"Di mana kost-nya?" seru Yogas kalap. "DI MANA KOST-NYA?"
Teman cowok iru segera maju, berusaha melerai, tetapi kekuatan Yogas jauh melebihi mereka berdua.
"Apa urusan lo sih?" sahut cowok itu, membuat Yogas memperkuat cengkeramannya.
"Lo gak usah mau tahu! Kasih tahu gue di mana kost-nya!" sahut Yogas lagi.
"Di daerah Babarsari!" jerit cowok itu membuat Yogas mengumpat. Dia sama sekali tidak tahu daerah itu.
"Kampusnya?" seru Yogas lagi sambil mengguncang-guncang tubuh cowok itu. "Kampusnya di mana?"
"UPN!" seru cowok itu. "UPN jurusan tekhnik Kimia!"
Yogas segera melepas cowok itu yang segera terbanting ke tanah. Temannya segera menghampirinya.
"Lo kenapa sih" Gila ya?" sahut temannya pada Yogas, tetapi Yogas tak peduli.
Tangan Yogas sudah terkepal keras di samping pahanya. Ternyata Yogas memang tidak bisa melepaskan Joe.
Yogas segera berlari. Kepalanya sudah panas dan dia sudah tidak bisa berpikir lagi.
*** Kana sedang menyapu lantai gang depan kamarnya ketika Yogas tahu-tahu muncul dari tangga dan berlari kalap menuju kamarnya.
"Gas" Kenapa?" tanya Kana, tetapi Yogas tidak menjawab dan melewatinya begitu saja. Yogas buru-buru membuka pintu kamarnya, lalu masuk. Kana segera mengintip dari luar.
Yogas tampak mengobrak-abrik ransel yang telah dipaknya dengan tak sabar. Kana menatapnya takut.
"Gas?" tanya Kana lagi dan Yogas telah mendapatkan apa yang dicarinya, belati tajam yang dibungkus dengan sarut kuluit hitam. Kana mengenali barang itu, lalu terpekik. "Yogas! Kamu mau apa sama itu?"
Yogas tak mendengarkan. Dia menyelipkan belati itu ke pinggangnya, lalu berdiri, bermaksud pergi lagi. Kana menghadangnya di pintu dan menatapnya khawatir.
"Gas! Kamu sudah janji, kan" Kamu mau pulang, kan" Gas!" seru Kana, tapi Yogas hanya menatapnya dingin tanpa menjawab. "Gas! Jangan lakuin ini Gas, aku mohon..."
Yogas tak peduli dan berderap pergi. Kana merasa seluruh tubuhnya lemas. Yogas pasti sudah menemukan Joe, dan sekarang dia bermaksud untuk membunuhnya.
Kana merasa tak berdaya. Sekarang, Kana hanya bisa berdoa Yogas mengingat janjinya.
*** Yogas turun dari bus dan menatap bangunan besar di depannya. UPN. Tempat Joe berkuliah. Yogas segera melangkahkan kakinya ke dalam. Dia harus bisa menemukan Joe.
Yogas tidak tahu apa yang akan dia perbuat dengan Joe nanti, tetapi ada satu yang harus ditanyakannya. Yogas tidak akan melepaskan Joe sebelum mendapatkan jawabannya.
Yogas bertanya pada beberapa orang letak kampus tekhnik Kimia, dan sekarang dia sudah berada tepat di depannya. Yogas menatap kampus itu. Ternyata selama ini Joe ada di sini. Sebuah keberuntungan Yogas bertemu dengan orang-orang tadi. Atau Tuhan pasti mengingkannya bertemu dengan Joe.
Yogas menunggu beberapa jam sampai dia menemukan sesosok cowok yang sedang berjalan sambil sibuk dengan ponselnya. Yogas merasa semua darahnya naik ke kepala saat melihat sosok itu. Sosok yang terlihat sehat dan baik-baik saja. Sosok yang sudah menghancurkan seluruh kehidupannya.
Yogas menghampiri Joe dan berhenti di depannya. Joe yang masih sibuk dengan ponselnya tidak sadar dan menabraknya.
"Ah, sori," kata joe sekenanya sambil terus berjalan.
"Lo kelihatannya sehat-sehat aja," ujar Yogas membuat langkah Joe terhenti. Joe berbalik pelanpelan, lalu melongo menatap Yogas.
"Yo...gas?" gumam Joe, tak percaya. "Yah, Yogas," tandas Yogas dingin. "Kaget?"
Joe masih menatap Yogas tak percaya. "Lo...ngapain di sini?"
"Nyari lo," jawab Yogas membuat Joe mengangguk-angguk pelan walaupun masih bingung. "Udah lama banget ya," kata Joe kemudian. "Apa kabar lo, Gas?"
Yogas terdiam, tak tahu harus menjawab apa. Joe yang tampak tenangseperti ini semakin membuatnya emosi. Joe emang tidak tahu apa-apa soal penyakitnya, karena sebelum dia sempat tahu, dia sudah keburu pindah sekolah.
"Kabar gue?" kata Yogas. "Gak pernah seseneng ini ketemu lo." joe mengangguk-angguk lagi sambil tersenyum kaku. Sudah begitu lama semenjak mereka berpisah. Joe benar-benar kaget bisa melihat Yogas di sini, dan mencarinya. "Bisa kita ngomong sebentar?" tanya Yogas.
"Ooh, oke," kata Joe. "Di belakang kampus aja."
Joe kemudian berjalan duluan, sementara Yogas mengikutinya dari belakang. Yogas sebisa mungkin menahan emosinya. Mereka kemudian sampai di belakang kampus yang sepi. "Gas, dulu gue..."
Yogas keburu sudah meninju pelipis Joe sebelum joe sempat menrusdkan kata-katanya. Jie sekarang sudah terkapar di tanah. Yogas menatap Joe bengis.
"Bangun lo," Yogas menarik kemeja Joe dan mengangkatnya. Yogas menatap Joe dari atas sampai ke bawah. "Wah wah... kayaknya lo baik-baik aja ya?"
"Gas, gue..." Yogas meninju perut Joe sehingga Joe jatuh ke tanah. Joe terbatuk kesakitan.
"Gue pikir lo bakalan kurus kering, menyedihkan, gak ada bentuk karena segala narkoba yang lo pake, tapi ternyata lo sehat-sehat aja ya," kata Yogas sinis.
"Gas... Udah berhenti, gas," ujar joe sambil terbatuk. "Enam tahun yang lalu, gue dipindahin sekolah sama Bokap gue, dan semenjak itu gue gak pernah make lagi."
Yogas terdiam menatap orang yang pernah jadi orang yang penting dalam hidupnya itu.
"Joe... Lo gak pernah berusaha nyari gue" Lo gak mau tahu keadaan gue?" tanya Yogas lagi membuat Joe menatapnya.
"Gue terlalu malu buat nelepon lo, Gas. Gue takut lo marah," kata joe membuat Yogas tertawa keras.
"Marah ya.... Apa menurut lo gue gak punya hak buat marah" Lo udah ngehancurin hidup gue!" sahut Yogas sengit.
"Sori, gas," sesal Joe, tetapi Yogas tak mau mendengar. Dia mengeluarkan belatinya, membuat mata Joe melebar. "Gas, lo mau apa?"
"Ngeliat lo sehat, seneng, punya kehidupan yang baik, bikin gue tambah muak," kata Yogas sambil mendekati Joe. Joe mundur teratur, matanya menatap ngeri belati di tangan Yogas. "Menurut lo gue mau apa?"
"Gas, gue minta maaf, Gas," kata Joe takut. "Apa lo sedendam itu sama gue?" Yogas tertawa lagi, lalu menatap joe tajam. "Apa gue segitu dendam" Menurut lo?" katanya sambil membuka sarung belatinya. "Kenapa Joe" Kenapa lo ngelakuin ini sama gue?"
"Gas dulu gue iri sama lo, karena lo punya semua yang gak gue punya. Lo punya keluarga yang hangat, lo punya cita-cita, dan lo punya Wulan," ujar Joe gugup. "Waktu itu gue cuma khilaf, Gas! Lo gak kecanduan kan" Kalo cuma sekali pasti gak kecanduan!"
Yogas menatap joe bengis. Jadi, itu jawabannya. Joe iri padanya, karena itu dia menyuntiknya. Dan, hanya karena masalah keirian bodoh itu, Yogas mendapatkan kesialan ini.
"Ooh, ya, gue gak kecanduan, tapi lebih buruk dari itu," kata Yogas membuat joe bingung. "Hidup gue hancur lebur, Joe. Semua yang kata lo gue punya itu hilang gara-gara lo."
Joe bergerak mundur sampai terbentur ke dinding karna Yogas terus mendekatinya deengan belati terhunus di tangannya.
"Gas, jangan lakuin inin, Gas. Gue tahu lo gak mau ngebunuh gue," cicit Joe.
"Ooh ya" Kenapa gue gak mau ngebunuh lo" Lo yang bikin gue ancur," Yogas terus mendekati Joe. "Enam tahun gue nyari lo, dan sekarang lo udah ada di depan gue, kenapa gue gak mau ngebunuh lo" Biar gue mati gak sendirian."
"Maksud lo apa Gas?" tanya Joe heran.
"Lo bener-bener mau tahu, Joe?" tanya Yogas. "Lo bener-bener mau tahu" Yah, karena ini udah menjelang akhir hidup lo, gue bakal kasih tahu supaya lo gak mati oenasaran. Karena lo udah nyuntik gue pke jarum sialan itu, gue kana HIV. Puas lo?"
Mata joe melebar setelah mendengar kata-kata Joe. Mulutnya menganglebar.
"Karena gue kena HIV, gue bakal kena AIDS, semua kebahagiaan yang tadi lo bilang lenyap. Nyokap gue, bokap gue, Wulan, semuanya pergi. Cita-cita" Musnah. Enam tahun gue hidup dalam pengasingan, sementara lo seneng-seneng. Jadi apa yang..."
Yogas berhenti bicara karena Joe tiba-tiba merosot hingga terduduk di tanah. Jahnya tampak pucat.
"Kenapa lo" Ngerasa bersalah"' tanya Yogas sinis. "Yah, udah semestinya. Jadi, lo gak marah kan kalo gue...."
"Gas... Lo serius?" tanya Joe, tampak kacau.
"Apa yang bikin lo berpikir kalo gue bercanda?" seru Yogas emosi.
Joe menjambak rambutnya, tampak tidak percaya. Yogas hanya menatapnya dnegan mata menyipit. Joe pasti merasa bersalah karena selama ini tidak tahu. Nendadak hujan turun rintik, tetapi Yogas tidak peduli. Sudah sangat terlambat bagi Joe untuk menyesal.
"Nah, gue gak mau berlama-lama lagi. Gue harusnyelesain ini," kata Yogas. "Gue jijik liat lo bahagia, jadi lo harus..."
"Gas," kata joe gugup sambil menatap Yogas. Di antara rintik hujan yang membasahi wajah Joe, Yogas bisa melihat dengan jelas air mata yang mengalir di wajahnya. "Suntikan itu... punya gue."
Petir meyambar setelah perkataan Joe. Yogas rasanya salah mendengar. "Apa?" kata Yogas, sementara joe sudah kembali menjambak-jambak rambutnya lagi. "Suntikan itu punya gue," ulang Joe miris. "Sebelum gue suntik lo, gue pake."
Mendadak tubuh Yogas terasa kaku. Yogas menatap nanar sosook di depannya. Yogas tak mempercayai pendengarannya, tetapi seluruh tubuh Joe sudah bergetar. Bukannya karena dinginnya hujan, tetapi karena baru menyadari sesuatu yang mengerikan.
Yogas mendengus geli. Dia terbahak untuk menyembunyikan air mata yang keluar tanpa bisa dtahan.
"AAAAHHHH!!" sahut Yogas emosi sambil menendang batu yang ada di sampingnya, lalu bergerak buas ke arah joe yang sudah pasrah. "Kenapa Joe?" Kenapa?""
Joe tampak tidak bernyawa, masih syok mendengar pernyataan yang baru diterimanya. Yogas meninju tembok di sebelahnya dengan sekuat tenaga.
Yogas benar-benar tidak menyangka persahabatannya akan berakhir dengan cara seperti ini.
*** Rasanya sudah berjam-jam Kana duduk di depan kamar Yogas sambil terus berdoa. Di luar, hujan turun semakin deras. Kana memeluk lututnya karena merasa dingin. Kana benar-benar khawatir pada Yogas tang belum juga pulang.
Mungkinkah Yogas benar-benar membunuh Joe"
Kana segera menggeleng, tidak mau memikirkan kemungkinan itu. Namun, melihat Yogas yang tadi seperti kehilangan kendali, Kana tidak tahu.
Mendadak Yogas muncul dari tangga, membuat Kana segera berdiri. Yogas terseok ke arahnya, tampak badah kuyup. Kana segera menghampirinya.
"Gas" Gas, kamu gak..." Kana tidak meneruskan perkataannya, karena belati yang dipegang Yogas terjatuh ke lantai. Yogas juga ikut terjatuh. Kana cepat-cepat menangkapnya.
Kana melirik belati yang ada di sebelahnya, takut melihat darah, tetapi belati itu bersih. Kana menatap Yogas yang tampak pucat.
"Gas..." "Kan, gue ketemu Joe," kata Yogas dengan pandangan kosong.
"Terus... kamu gak..." Kana tidak bisa meneruskan pertanyaannya, terlalu takut hal itu benarbenar terjadi. Yogas tiba-tiba mendengus, dan air mata mengalir dari matanya. Kana menatapnya khawatir. "Gas?"
"Suntikan itu... punya dia, Kan," ujar Yogas miris, membuat Kana berpikir. Detik berikutnya, Kana menekap mulutnya sendiri, tak percaya.
"Itu berarti... dia?" kata Kana takut. Yogas mengangguk pelan.
"Dia yang nularin virus ini," kata Yogas membuat Kana menahan napasnya. "Dia mengidap penyakit yang sama, dan dia baru sadat setelah tadi gue bilang."
"Ya ampun," gumam Kana. Air mata Yogas masih mengalir.
"Selama perjalanan ke sini gue berpikir. Apa salah kami" Kenapa kami harus mengalami ini" Kenapa?" Yogas berkata pelan. "Memang bener gue pengin vanget ngebunuh dia, tapi gue sama sekali gak pernah berharap dia punya penyakit yang sama kayak gue. Kenapa kami bisa jadi kayak sekarang ini" Kenapa?"
Kana mengusap lembut pipi Yogas untuk menghapus air matanya.
"Dulu gue deket banget ama dia, Kan. Kami tertawa bareng, nangis bareng, semuanya gue bakal lakuin untuk dia. Dia udah kayak kakak sendiri bagi gue. Tapi, kenapa?" isak yogas lagi. "Cuma karena satu kesalahan kecil, hidup kami langsung hancur. Kenapa dia harus berurusan dengan narkoba sialan itu?"
Kana ikut menagis menatap Yogas yang terlihat begitu menderita. Kana tidak tahu bagaimana rasanya kehilangan sahabat, tetapi rasanya Kana bisa ikut merasakan kepedihan hati Yogas.
"Tapi gue pikir-pikir lagi, Kan, mungkin ini kesalahan gue. Mungkin gue gak pernah jadi sahabat yang baik buat dia. Gue tahu dia selalu kesepuan karena di rumahnya semua orang sibuk, tapi gue gak pernah peduliin dia. Semenjak gue kenal filn gue sering nolak ajakan maen dia. Gue jadi jarang ada buat dia," Yogas mulai menjambaki rambvutnya. "Mungkin ini salah gue juga dia jadi bergaul dengan orang-orang gak jelas."
"Gas, jangan nyalahin diri sendiri," Kana menahan tangan Yogas yang mau menjambak rambut lagi. "Kalo pun ada kesalahan kamu, semuanya udah terjadi Gas. Sekarang yang bisa kamu lakuin adalah nerusin hidup kamu, dan berharap Joe juga melakukan hal yang sama."
Yogas menatap Kana nanar. "Kan, menurut lo gue jahat" Gue menimpakan semua kesalahan pada Joe tanpa berpikir kesalahan gue, apa menurut lo gue jahat?" tanya Yogas membuat Kana terdiam. Kana lantas menggeleng.
"Gas, semua orang pernah berbuat kesalahan. Kamu harusnya bersyukur kamu gak mengulangi kesalahan itu," Kana menjawab sambil menatap belati yang tergeletak di samping mereka. "Walaupun berat, kamu dan Joe sama-sama menerima akibat dari kesalahan itu. Gas, mungkin kamu sedikit lebih beruntung daripada Joe. Kamu punya keluarga, teman kayak Eno dan Wulan, dan kamu punya aku. Kita semua pasti bisa melalui ini, Gas."
Yogas menatap Kana lama, dan mulai menangis lagi. Kana merengkuhnya tanpa memperdulikan bajunya yang sudah ikut basah. Kana membiarkan Yogas menangis dia pelukannya untuk beberapa saat.
Tangan Kana terkepal keras. Karena benda haram seperti narkoba, hidup dua orang anak cowok sudah hancur. Mengapa benda-benda seperti itu harus ada di dunia" Mengapa orang-orang tidak bisa lebih menyanyangi sehingga tidak ada orang yang putus asa dan terjerumus ke dalam dunia hitam seperti ini"
Begitu bayak pertanyaan berkelebat di dalam benak Kana, tetapi Kana tidak tahu siapa yang menjawabnya.
Will We Meet Again" Semalaman, Yogas dan kana tidak bisa tidur. Malam itu adalah malam terakhir Yogas ada di kost ini. Kana dan Yogas sama-sama duduk bersandar di dinding pembatas kamar mereka, merenung di kamar masing-masing.
Pagi ini, Yogas sudah siap untuk berangkat ke stasiun sementara Kana masih ada di kamarnya. Dia bercemin dan mendapati wajah muramnya. Kana menghela napasd, mencoba untuk tersenyum. Kana tidak boelh terlihat sedih. Kana harus terlihat kuat.
Setelah yakin dengan senyumnya, Kana keluar kamar dan mendapati Yogas sedang memakai sepatu. Seketika Kana ingin menangis, tetapi ditahannya.
Yogas menoleh dan sekali melihat Kan, dia tahu Kana juga tidak tidur sepertinya. Kana nyengir melihat Yogas.
"Keretanya pukul 8 ya?" tanya Kana. Yogas mengangguk. Setelah selesai mengikat tali sepatunya, dia berdiri.
"Masih ada waktu," ujar Yogas setelah melirik jam tangannya. "Ke atas yuk?"
Kana mengangguk, lalu mengikuti Yogas naik ke atas. Melihat punggung Yogas, Kana merasa hatinya seperti tertusuk-tusuk. Seolah Yogas akan pergi dan tidak akan kembali lagi.
"Kan," kata Yogas sambil berbalik. Dari ekspresi Yogas yang tampak serius, Kana tahu akan ada pembicaraan yang tidak menyenangkan. "Lo tahu kan, gue bakal balik lagi." Kana mengangguk pelan. Yogas menghela napas, lalu bersandar pada pagar.
"Semalem gue berpikir... ternyata gue menyedihkan," kata Yogas. "Gak ada saru pun dari gue yang bisa dibanggain. Gue sama sekali gak berguna."
"Itu gak bener," sanggah Kana. Yogas menggeleng.
"Gue emang gak berguna, Kan. Dan, gue yang kayak sekarang ini gak bakal punya kepercayaan diri untuk ada di samping lo," kata Yogas lagi. Yogas menatap Kana dalam-dalam. "Kan, gue bakal ngeraih cita-cita gue."
Kana mengerjapkan matanya tak percaya.
"Kalo geu udah jadi sutradara, dan lo udah jadi penulis best seller, ayo kita ketemu lagi," kata Yogas lagi, dan setitik air mata jatuh ke pipi Kana. Kana mengusap air mata itu, lalu tersenyum.
"Kalo gitu, kita janji, ya" Kalo kita udah sama-sama ngeraih cita-cita kita, kita ketemu lagi," ujar Kana sambil mengancungkan jari kelingkingnya. Yogas mengaitkan jari kelingkingnya pada jari Kana. Yogas tersenyum dan meregangkan tubuhnya.
"Uaah... Gue pasti kangen sama tempat ini," kata Yogas, lalu mengernyit saat melihat sebuah taksi berhenti di depan kost-nya.
"Ah, taksi pesenan Bulik," kata Kana. "Katanya dia yang bayarin buat nganterin kamu ke stasiun."
"Hah" Kenapa pake pesen taksi segala sih?" tanya Yogas bingung. "Tanya Bulik dong," kata Kana. "Ng... Aku anter ke stasiun ya?"
Yogas menatap Kana, dan mengacak rambutnya. "Gak usah. Gue gak mau liat tampang jelek lo pas nangis," kata Yogas menbuat Kana cemberut.
"Siapa juga yang bakal nangis?" balasnya membuat Yogas tertawa lepas. Kana sendiri terdiam sambil memainkan jarinya. "Gas... Ntar jangan lupain aku ya."
"Jangan bego lo," Yogas menjentik dahi Kana. Yogas melepas headphone dari lehernya, memakaikannya pada Kana lalu menyerahkan iPod-nya. Kana menerimanya dengan tampang bingung. "Nih, pegang. Ntar gue ambil lagi, jadi jangan dirusakin."
Kana menatap iPod di tangannya. "Beneran gak apa-apa, Gas" Bukannya ini penting?"
"Iya ini penting, ini suara hati geu," kata Yogas sambil tersenyum. "Makanya gue pinjemin. Ntar harus didengerin."
Kana mengangguk. Tak berapa lama, ibu kost memanggul dari bawah. Yogas dan Kana segera turun. Ternayat di bawahn semua orang sudah menunggu. Yogas menatap ibu kost beserta suami dan anaknya, Ono, dan Agus yang sudah nyengir padanya.
"Kita denger kalo hari ini kamu mau pindah," kata Ono. "Ko cepet banget tho, Gas" Aku bellum sempet ajak kamu muter-muter Yogya lho."
"Lain kali aja kalo aku ke sini lagi, Mas," kata Yogas.
"Kamu bakal ke sini lagi, Gas?" tanya Agus. Yogas mengangguk mantap.
"Lain kali kalo ke sini lagi, kamu harus makan bareng kamu, atau gak kamu gak boleh mauk," ancam Bapak kost membuat Yogas tersenyum.
"Terima kasih, Pak," kata Yogas.
"Wah, baru kali ini lho kita liat Yogas senyum," goda ibu kost yang dibenarkan oleh semua orang. Yogas melirik Kana yang sudah nyengir.
"Ya sudah, itu taksinya udah nunggu kana ikut nagnter gak?" tanya ibu kost.
"Gak Bulik, gak dibolehin sama Yogas," adu Kana sementara Yogas nyengir kaku pada ibu kost yang bingung.
"Bu, terima kasih untuk taksinya, harusnya ibu gak usah repot-repot," kata Yogas.
"Gak apa-apa, Gas. Lagian uang kost kamu kan masih nyisa," canda ibu kost yang membuat semua orang tertawa. Yogas lalu memasukkan tasnya ke bagasi taksi.
"Semuanya, terima kasih karena udah menerima saya dengan baik," kata Yogas, lalu mengerling melirik Kana. "Saya pasti akan ke sini lagi."
Semua orang mengangguk sambil tersenyum. Yogas masuk ke taksi dan membuka jendelanya. Yogas menatap Kana yang sudah tidak tersenyum. Berat rasanya bagi Yogas untuk meninggalkan gadis itu.
"Awas ya, jangan sampe bukunya gak terbit-terbit," ancam Yogas membuat Kana semakin menyun.
"Kamu juga, jangan sampe filmnya gak jadi-jadi," balas Kana membuat Yogas terkekeh. Yogas terdiam sebentar.
"Kan, jaga diri lo ya," kata Yogas kemudian.
"Kamu juga. Jaga kesehatan ya. Minum obat yang teratur," ujar Kana. Yogas mengangguk.
Yogas menatap Kana sebentar, lalu menghela napas. Sudah saatnya bagi Yogas untuk pergi. Yogas menatap ke sopir, memberi sinyal untuk berangkat.
"Dadaah!" seru Mela, anak ibu kost, membuat semua orang serentak melambai pada yogas. Yogas balas melambai singkat, lalu menatap Kana yang memaksakan senyum padanya.
Taksi sudah bergerak perlahab, tetapi Yogas belum menutup jendelanya. Kana menatap taksi yang bergerak menjauh, lalu tanpa disadarinya, Kana sudah berlari mengejar taksi itu. Yogas melihatnya melalui spion, dan dia langsung melongok dari jendela.
"Yogaaas!" seru Kana sambil terus berlari. "Kita pasti ketemu lagi, kan?"
"Pasti!!" sahut Yogas, membuat Kana berhenti berlari. Kana melambai-lambai sambil tersenyum dengan air mata berlinang sementara taksi yang ditumpangi Yogas berbelok.
Yogas mengempaskan punggungnya ke jok. Yogas tidak tahu apa yang diperbuatnya ini benar, tetapi Yogas percaya Kana akan bertahan.
"Pacar ya, Mas?" tanya supir taksi menyadarkan Yogas. Yogas menatapnya bingung sebentar, lalu mengangguk.
Supir taksi itu ikut mengangguk-angguk.
"Pacaran jarak jauh ya, Mas?" tanyanya lagi, dan Yogas mengangguk lagi. "Tenang saja Mas. Sekarang kan pulsa murah tuh. Telpon-telponan aka."
Yogas hanya tersenyum simpuk tanpa menjawab. Yogas tak akan menelepon Kana, karena kalau dia melakukannya, Yogas akan melupakan semuanya dan bkembali pada Kana. Yogas akan menahan diri sampai dia benar-benar mencapai cita-citanya. Dengan begini, dia akan lebih bersemangat dan lebih cepat untuk bertemu dengan Kana.
Yogas berharap Kana akan melakukan hal yang sama dengannya. Namun, yang lebih Yogas inginkan adalah, Kana mendengarkan iPod-nya.
The Promise "Uaaah..." Kana mergangkan tubuhnya yang terasa pennat. Seharian ini, dia sudah mengerjakan naskah baru. Sekarang, dia sedang beristirahat di lantai tiga.
Kana berbaring di lantai semen, lalu menatap langit yang biru. Melihat ini dia jadi teringat Yogasn, cowok yang setahun lalu datang ke kost ini dan menjadi cinta pertamanya.
Kana menghela napas, lalu memakai headphone besar dan menyetel iPod yang dipinjamkan Yogas sethun lau sebelum dia pulang ke Jakarta. Sudah setahun ini juga Kana mendengarkan musik-musik yang ada di iPod itu. Kana jadi tahu musik kesukaan Yogas, dan Kana juga ikut menyukainya.
"Gas... kamu lagi apa?" gumam Kana sambil menatap awan yang berarak.
Selama setahun ini Yogas sama sekali tidk memberi kabar, tetapi Kana percaya padanya. Kana yakin Yogas sedang berkonsentrasi pada cita-citanya. Dari Wulan, Kana tahu kalo Yogas sedang berkuliah di sekolah perfilman dan Kana sangat senang mendengarnya.
Kana juga tidak mau kalah. Sekitar sebulan lalu, sebuah penerbit menghubinginya dan mengatakan bukunya akan diterbitkan.
"Sebentar lagi ketemu ya..." gumam Kana lagi sambil tersenyum. "Gas, kamu juga terus berusaha ya."
Kana baru akan menutup matanya ketika terfengar tantenya memanggil dari bawah. Kana segera turun, lalu menatap tantenya yang sedang memgang sebuah paket terbungkus kertas cokelat. "Kan, ini ada paket buat kamu," kata tantenya sambil menyerahkan paket itu pada Kana.
Kana menerima paket itu lalu membukanya dengan bingung. dia menarik salah satu buku dari dalamnya, lalu terbelalak saat membaca judulnya.


The Truth About Forever Karya Orizuka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Buliiik!" seru Kana membuat tantenya kaget. "Bulik, ini buku Kana! Buku Kana udah jadi!" "Hah" Yang bener, Kan?" seru tantenya, ikut kaget.
"Beneran!" sahut Kana girang. Teriakannya membuat Ono dan Agus keluar dari kamarnya masing-masing.
"Ono opo tho, Kan?" tanya Ono bingung.
"Mass! Buku Kana udah jadi!" Kana berseru sambil menyerahkan satu buku untuk Ono dan satu lagi untuk Agus. "Semuanya dapet!!"
"Waaah! Keren, Kan!" Agus ikut bersemangat. "Selamet ya!"
Kana mengangguk senang. Dengan begini, dia sudah bisa bertemu dengan Yogas. "Gas, buruan dooong!!" sahut Kana lagi, membuat semua orang celingak-celinguk. "Hah" Mana Yogas?" tanya Ono bingung, sementara Kana hanya nyengir.
Kana menatap buku di tangannya. Kana benar-benar tidak percaya cita-citanya akan tercapai. Kana tidak percaya karyanya sudah diterbitkan.
Neighbor from Mars. Itu judul bukunya.
*** "Liaaaan!! Bukuku udah jadi lho!!"
Kali ini Kana berteriak di telepon, membuat sahabatnya ngamuk.
"Apaan sih teriak-teriak, budek nih!" Lian balas menyahut, tetapi selanjutnya terdiam. "EHH?" Buku kamu udah terbit?""
Sambil nyengir gila-gilaan, Kana berguling ke tempat tidur. "Iyaaa! Ntar aku kirimin deh!" sahut Kana lagi. Saat ini, Lian memnag sudah tinggal di Surabaya.
"Wah, keren, Kan! Bukunya... jadi soal Yogas?" tanya Lian hati-hati. "Iya!" sahut Kana ceria. "Keren banget deh! Pooknya, kamu harus baca!"
Lian tertawa kecil, lalu terdiam lagi. "Kamu apa kabar, Kan" Kuliah beres" Jangan cuma nulis buku aja dong..."
"Ih, gaya banget yang sudah kerja," kata Kana membuat Lian terkekeh. "Bentar lagi juga aku lulus.l
"Bener ya, ntar pas wisuda aku dateng deh," kata Lian, lalu kembali terdengar khawatir. "Hm, Kan, kamu beneran gak apa-apa?"
"Gak apa-apa kok. Aku malah seneng, berarti sebentar lagi aku bisa ketemu sama Yogas!" kata Kana.
"Ooh gitu ya. Kalo gitu, ntar kalo kalian ketemu salamin dari aku ya," ujar Lian lagi.
"Iya, ntar aku salamin. Ya udah deh kalo gitu, Li, yang semangat ya!" kata Kana. "Dan doain aku bisa tidur ntar malem!"
"Hu... Dasar! Pasti grogi-grogi gak jelas gitu deh. Ya udah, dadah! Ditunggu bukunya!"
Lian memutuskan sambungan telepinnya. Kana menghela napas, lalu menatap langit-langit kamarnya. Lian sudah pasti menjadi orang pertama yang ingin diberitahunya soal bukunya. Namun, sebenarnya ada orang paling ingin diberitahu Kana, cuma Kana tidak tahu caranya.
*** Seharian ini, Kana sudah beberapa kali menatap bukunya. Kana masih belum percaya kalau dia sudah menerbitkan sebuah buku. Dan karena buku ini, Kana jadi semangat untuk membuat yang lain lagi.
Sekarang, Kana sedang berada di depan komputer, serius dengan naskah terbarunya. Kalau dulu dia menulis tentang Yogas di novel pertamanya, sekarang dia ingin menulis sesuatu yang benarbenar berasal dari khayalannya.
Selama mengetik, dia rak henti-hentinya nyengir. Kana memikirkan tentang pertemuannya dengan Yogas yang tinggal selangkah lagi. Setelah Yogas berhasil membuat fil, mereka pasti akan bertemu.
Kana mengulurkan tangan untuk mengambil gelas, tetapi gelas itu malah tersengool dan melayang ke lantai.
"Aah!!" Kana berusaha menyelamatkan gelas itu, tapi tak berhasil. Gelasnya pecah berkepingkeping ke lantai, sisa kopinya pun berceceran. Kana bermaksud memberekan pecahannya, tetapi jarinya terkena pecahan itu sampai berdarah. Kana segera mengisap darah yang keluar.
Mendadak Kana teringat kejadian saat dulu jari Yogas juga pernah berdarah. Mengingatnya membuat Kana juga teringat saat Yogas baru datang sampai akhirnya pergi lagi. Kana sedang tersenyum-asenyum sendiri ketika ponselnya berbunyi.
Kana meraih ponselnya dan mengernyit angka di layarnya. Kana merasa tidak mengenalinya, tetapi dia mengangkatnya juga.
"Halo?" "Halo?" Terdengar suara seorang wanita dari seberang, dan Kana seperti merasa pernag mendengarnya di siatu tempat. "Ini Kana?"
"Iya benar. Ini siapa ya?" tanya Kana.
"Ini ibunya Yogas," kata suara itu lagi membuat Kana terkesiap. "Ah, Tante. Eh, maaf Bu," kata Kana serba salah.
"Panggil Tante juga gak apa-apa kok, Kan," kata ibunya Yogas lembut.
"Ooh iya, Tan," jawab Kana lagi, masih gugup. Detik selanjutnya Kana bingung kenapa ibu Yogas meneleponnya.
"tante dapet nomornya Kana dari ponselnya yttogas," kata ibunya lagi. "Tante mengganggu ya?" "Ah, gak kok, Tan," jawab Kana cepat.
"Kana... selama ini Yogas selalu membicarakan kamu. Tante baru sempat berterima kasih sekarang, maaf ya," ujar ibu Yogas lagi. "Terima kasih karena sudah mau merawat Yogas selama di sana. Terima kasih karena mau mendengarkan Yogas dan memberi harapan buat Yogas." "Ah, gak, Tan," sanggah Kana.
"Yogas kembali sekolah juga berkat Kana, tante gak tahu harus bagaimana lagi berterima kasih sama Kana."
Kana terdiam, tak tahu harus menjawab apa. Kana bahagia Yogas menceritakannya pada ibunya. "Kana... Yogas punya janji sama Kana, ya?" tanya ibunya Yogas.
"Ng...iya, Tan," jawab Kana bingung.
"Kana, Tante menelepon untuk menyampaikan pesan Yogas," kata ibu Yogs membuat jantung Kana tiba-tiba berdetak berkali-kali lipat cepatnya. "Katanya.. maaf karena udah ingkar janji."
"Maksud Tante?" tanya Kana terbata. Ibunya Yogas terdiam sesaat, terdengar seperti menarik napas.
"Kana, kamu harus tahu, selama setahun ini Yogas sudah berusaha sebisa mungkin," kata ibu Yogas lagi. "Yogas melakukan semuanya demi ketemu Kana. Tapi, Yogas gak bisa memenuhi janjinya. Yogas minta maaf."
"Tante, apa maksud Tante dia gagal bkin film?" tanya Kana cepat. "Kalo memang dia gagal, gak apa-apa, Tan! Aku masih mau ketemu sama dia!"
Ibunya Yogas terdiam sebenatar, lalu Kana bisa mendengar isakannya. Kana tahu ini bukan pertanda baik, tetapi Kana tidak mau mempercayainya.
"Kana, Yogas... baru saja... meninggal," kata ibu Yogas membuat jantung Kana seperti berhenti berdetak. Tubuh Kana terasa lemas. Kana tidak bisa merasakan apa pun dari organ tubuhnya. Kana menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia pasti tadi sakah dengar. Yogas tidak mungkin sudah meninggal.
"Tante, tadi aku salah denger, kan, ya?" tanya Kana. "Tan, aku salah denger, kan?"
"Kana, tante minta maaf. Tapi, sampai saat terakhir Yogas selalu minta maaf dan menyebut nama Kana," ibunya Yogas sudah terisak. Kana sendiri bergeming. Air matanya sudah jatuh. "Kenapa?" gumam Kana lirih.
"Kana, semnejak bertemu Kana, semangat hidupnya kembali. Dia rajin minum obat, dia rutin periksa ke dokter, semuanya dia lakukan supaya bisa tetap hidup," cerita Yogas. "Tapi, takdir berkata lain, Kan. Dia meninggal karena kecelakaan."
"Kecelakaan?" gumam Kana lagi.
"Dia baru pulang dari pemutaran film-nya," kata ibunya Yogas lagi. "Dia ketabrak mobil waktu mau nyelametin anak-anak yang jatuh di jalan, Kan."
Kana tak bisa berkata-kata lagi. Air matanya sudah mengair deras. Kana merasa dadanya sesak sehingga tak sanggup untuk bicara.
"Kan, mungkin permintaan terakhirnya adalah ketemu sama kamu," kata ibunya Yogas. "Jadi, besok kami akan menunggu kamu sebelum memakamkan dia."
Kana sudah terisak hebat. Dia tidak bisa mendengar kata-kata Ibu Yogas yang selanjutnya. Ponselnya sudah tergeletak begitu saja di pangkuannya. Kana mengambil iPod dari Yogas dan memeluknya.
Malam itu, Kana menangis sejadi-jadinya. Air matanya seakan tak pernah bisa berhenti mengalir.
*** Kana tidak banyak bicara selama perjalanan ke Jakarta. Berkali-kali, tantenya meliriknnya cemas. Pagi itu, Kana beserta tante dan pamannya berangkat ke Jakarta dengan mobil untuk melayat. Tantenya sangat kaget saat semalam Kana tiba-tiba menghampirinya dambil menangis dan mengatakan Yogas telah tiada.
Sepanjang perjalanan, Kana hanya menatap keluar jendela sambil mendengarkan musik dari iPod milik Yogas. Sesekali, kana menangis, tetapi baik tantenya maupun pamannya tak mencoba menghiburnya. Nereka tahu Kana tak akan bisa dihibur dengan cara apa pun.
Mereka akhirnya sampai di depan rumah Yogas yang sudah dipasangi bendera berwarna kuninng. Kana turun dari mobil dan seketika kakinya lemas. Dia tidak akan sanggup melihat Yogas. Pamannya memapahnya masuk ke pekarangan, dan di sana sudah ada Eno dan Wulan.
"Kana," Wulan segera menghambur ka arah Kana dan memeluknya. Tangis Wulan pecah, tetapi Kana tidak menangis. "Kana, kamu harus kuat ya?"
Kana mengangguk, lalu pamannya membawanya masuk. Di dalam sana, sudah ada beberapa orang dengan pakaian hitam yang menegelilingi sosok kaku di tengah ruangan. Kana mendekati sosok itu dengan langkah terseok.
Yogas tampak begitu pucat dengn kapas menutupi hodungnya. Kana terduduk di sampingnya dan menatapnya. Ayah dan Ibu Yogas menatap Kana sedih.
"Gas," kata Kana pelan. "Akhirnya.. kita ketemu ya?"
Tangis ibu Yogas mendadak pecah. Wulan juga sudah menangis di pintu. Eno memeluknya.
"Akhirnya kita sama-sama berhasil ya?" kata Kana lagi, lalu menunjukkan bukunya. "Nih, bukuku udah terbit. Isinya tentang kamu lho."
Air mata Kana sudah jatuh.
"Gas, kok diem aja sih?" ujar kana lagi. "Kok kamu pucet banget" Ini apaan lagi, ada kapas di hidung. Jelek banget tahu."
Kana bermaksud melepas kapas di hidung Yogas, tetapi tanpa sengaja dia menyentuh wajah Yogas yang sedingin es. Kana segera terisak, sadae kalau Yogas tidak akan pernah bisa menjawabnya lagi.
"Gas, kamu gak ingkar janji kok," kata Kana lagi. "Kita udah ketemu, kan" Kita udah sama-sama berhasil mencapa cita-cita kita, kan" Aku bangga sama kamu, Gas!"
Ibu Yogas terisak lebih kuat.
"Gas, suatu sAat kita pasti ketemu lagi," ujar Kana masih terisak. "Suatu saat, kita pastu ketemu lagi. Sampai saat itu tiba, kamu tunggu ya."
Kana membelai pipi Yogas yang dingin, lalu tenggelam dalam tangis. Kana tidak bisa kkuat seperti janjinya.
*** Pemakaman Yogas sudah berakhir. Kana sempat pingsan saat jasad Yogas masuk ke liang kubur. Sekarang, Kana tidak bisa bernajak dari makamnya. Sudah satu jam Kana terduduk di depan makam Yogas. Eno menghampirinya dari belakang.
"Kana?" tanya Eno, membuat Kana menoleh dengan mata sembap. "Aku Eno, temen Yogas."
Kana mengangguk. Eno mengeluarkan sebuah piala dari gelas dan menyodorkannya pada Kana. Kana menerimanya dengan bingung.
"Piala penghargaan untuk Yogas," kata Eno. "Kemarin dia menang lomba film indie." Kana menatap Eno tak percaya, lalu emnatap piala di tangannya.
"Yogas benar-benar berusaha untuk bikin film itu," kata Eno lagi. "Ini kopiannya, dia bikin khusus buat kamu."
Kana menerima sebuah CD yang disodorkan Eno, air matanya jatuh lagi. Eno menatap Kana.
"Kana, terima kasih banyak karena udah menyelmatkan Yogas." Kata Eno. "Karena kamu, Yogas bisa meninggal dengan baik."
"Tapi, aku gak sempat ketemu sama dia," ujar Kana lirih.
"Walaupun kalian gak sempat ketemu, kamu pasti tahu apa yang mau dia omongin, kan?" tanya Eno membuat Kana menatapnya. "Kamu pasti tahu."
Kana tidak tahu. Dia tidak tahu apa yang akan dikatakan Yogas seandainya mereka bertemy. Kana menatap makam Yogas.
"Apa yang mau kamu omongin?" tanya Kana lirih. "Aku sama sekali gak tahu, Gas."
Eno menatap Kana lama, lalu melirik ponsel yang ada di tangannya. Pada layar ponsel itu, terdapat SMS terakhir dari Yogas yang menyuruh Eno untuk menjaga Kana. Eno menatap Kana lagi, yang sudah kembali terdfuduk di samping makam Yogas.
"Kurang ajar lo, Gas," gumam Eno lirih. "Nyuruh gue ngejaga orang yang gak akan bis angelupain lo selmanya.
Kana tidak mendengar Eno. Kana sibuk dengan pikirannya sendiri, memikirkan kata-kata apa yang akan Yogas ucapkan padanya.
*** Sudah tiga bulan sejak kematian Yogas dan Kana sudah bisa mneruskan hidupnya. Novelnya menjadi best seller dalam waktu itu. Fil Yogas juga sudah diangkat ke layar lebar berkat bantuan dari temen-temen kampusnya.
Film itu bercerita tentang kehidupan seorang penderita AiDS yang berjuang untuk meneruskan hidupnya, seperti perjalanan hidup tYogas sendiri. Dan, novel milik Kana menceritakan seorang Yogas dari sudut pandangnya.
Sekarang Kana sudah menjadi aktivis yang membantu penderita AIDS. Kana ingin membuat pperubahan. Kana ingin menunjukkan bahwa penderita AIDS tidak untuk dijauhi, karena mereka juga manusia yang butuh perhatian orang lain. Kana membantu memberikan penyuluhan dan pengertian bahwa AIDS tidak menular lewat bersentuhan seperti yang banyak dipikirkan orang.
Kana baru saja selesaii memberi penyuluhan di puskesmas di daerah Parangtritis, dan sekarang sedang berjalan-jalan di pantai. Melihat pantai ini, dia jadi teringat saat dia dan Yogas datang ke pantai ini. Saat itu Yogas mengatakan untuk tidak jatuh cinta padanya, dan Kana belum mengertti keadaan Yogas.
Kana duduk sambil menikmati angin yang berembus. SAat itu sudah sore, dan matahari sebentar lagi terbenam. Kana memasang headphone dan menyetel iPod pemberian Yogas. Kana selalu menikmati musik yang mengalun dari sana. Ini adalah musik yang selalu didengarkan Yogas, dan Yogas juga sudah memintanya untuk mendengarkannya. Katanya, musik-musik ini adalah suara hatinya.
Kana memutuskan untuk berbaring, dan pada sAat itulah musik di telinganya berhenti. Kana kembali duduk sambil memperhatikan layar iPod-nya. Baterainya masih penuh. Ternyata, Kana tidak sengaja menekan sesautu yang membuatnya keluar dari menu musik dan masuk ke mode voice memo. Bingung karena tidak pernah mengutak-atiknya.kana sembarangan menekan tombol. Tahu-tahu dari headphone terdengar suara gemeresak.
Ehem, tes-tes Kana terkejut setengah mati saat mendengar suara Yogas dari sana. Kana menekan headphonenya lebih keras ke telinganya, takut salah dengar. Kana lalu mendengarkan baik-baik.
Kana" Ini gue. Kana menekap mulutnya. Ini memang benar-benar suara Yogas. Jantung Kana lngsung berdetak tak keruan. Sudah terlalu lama Kana tidak mendengar suara itu.
Hm, gue gak tahu kapan lo bakal ngedengerin rekaman ini. Mungkin tepat setelah gue kasih iPod gue.
Atau baru tau sekarang ini, saat lo udah sedikit lebih canggih dan baru sadar kalo ada rekaman ini selain lagu.
Maaf bercanda Maaf lagi karena udah nyakitin lo selama ini. Maaf karena gue gak pernah ngedengerin lo.
Maaf karena gue gak pernah bisa membalas setiap kebaikan lo. Maaf karena gue terlalu pengecut untuk ngomong semua ini secara langsung.
Gue takut kalo gue ngomong langusng, lo bakal nangis, dan gue gak pengen liat lo nangis lagi Atau, gue yang bakal nangis dan gak mau ninggalin lo.
Atau malah, kita sama-sama nangis, dan alo udaj gitu, gak akan ada yang berubah.
Kana, Gue yang sekarang ini terlalu memalukan buat lo Gue yang sekarang ini cuma bisa nyusahin lo
Gue mau lo kenal dengan Yogas yang semangat dan punya cita-cita.
Gue bakal balik kayak Yogas yang dulu, dan dengan keadaan itu gue mau kita ketemu lagi.
Kana, Terima kasih udah menyelamatkan gue. Terima kasih karena udah mau nemenin gue. Terima kasih karena udah menerima gue.
Nah, sekarang udah nangis, kan" Hapus tuh air mata, jelek banget tahu.
Bohong deng. Lo cewek tercantik yang pernah gue kenal, dan lo adalah keajaiban hidup gue. Walaupun kita ketemu dengan cara yang sulit, gue seneng bisa ketemu sama lo. Dan, walaupun gue agak sedikit malu, gue bisa bilang ini.
Gue sayang sama lo. Dan gue gak akan maafin lo kalo buku lo gak terbit-terbit.
Kana, sekali lagi terima kasih.
Gue akan ngusahain gak mati dulu sebelum ketemu lo lagi. Tapi, kalo Tuhan berkehendak lain, maafin gue karena udah ninggalin lo.
I'll see you soon. Kana sudah menangis sejadi-jadinya. PerasAan Kana campur aduk. Senang akhirnya bisa mendengar apa yang mau dikatakan Yogas, dan menyesal karena tidak menyadarinya lebih awal. Ternyata, ini yang dimaksudkan Yogas sebagau suara hatinya.
Kama menangis sampai dfadanya sesak, sampai kepalanya sakit. Sepertinya air nayanya terus keluar walaupun Kana coba menghentikannya. Selama sejam dia terisak, dampai tiba-tiba dia merasakan sebuah tangan memeluknya dari belakang. Kana menggigit bibirnya, lalu perlahan memejamkan matanya. Kana bisa merasakan tubuh hangat Yogas sedang memeluknya. Air mata Kana jatuh lagi.
"Kana, hidup untuk bagian gue juga ya."
Sayup-sayup Kana mendengar bisikan suara Yogas. bukan melalui headphone, tetapi melauli udara yang berembus di sekitar telinganya.
Kana kemudian membuka mata, dan menyaksikan matahari yang terbenam. Kana mengambil bukunya yang ada di sebelahnya dan membuka halama pertamanya. Di sana terdapat tulisan.
Buku ini aku persembahkan untuk Yogas, orang yang memberi awal kehidupanku yang sesungguhnya.
Orang yang memtingkan orang lain daripada dirinya sendiri. Orang yang tersesat dan akhirnya menemukan jalannya kembali. Yogas, sekian tahun aku bertanya-tanya, untuk apa aku dilahirkan" Dan, sekarang aku tahu jawabnnya.
Untuk bertemu denganmu. Untuk membuat perubahan. Dan, untuk hidup bersama perubahan itu. Sekalipun aku gak pernah menyesal pernah bertemu denganmu.
Yogas, terima kasih atas kepercayaanmu. Buku ini adalah tanda terima kasih atas kepercayaanmu itu.
PS. Setelah pulang ke Mars, jangan lupa untuk kembali ke bumi, karena kamu masih punya janji dengan makhluk bumi ini.
Kana membalik halaman demi halaman bukunya itu dan seketika memorinya terpanggil. Dari saat awal ketika Yogas datang dan mengaku datang dari Mars, saat mereka pergi ke pantai ini, saat mereka mengalami hal-hal sulit bersama, sampai akhirnya mereka berjanji untuk bertemu lagi.
Kana sampai pada halaman terakhir. Halaman saat sang alien harus kembali ke Mars. Kana menutuo bukunya, lalu tersenyum menatap lautan yang sudah berwarna oranye karena pantulan matahari.
Pasti, suatu saat Kana akan bertemu Yogas lagi. Pasti.
-END- Sumber: https://www.facebook.com/pages/Kumpulan-cerbungcerpen-dan-novelremaja/398889196838615"fref=photo
Dendam Si Manusia Palasik 1 Siluman Ular Putih 06 Lembah Kodok Perak Hijaunya Lembah Hijaunya 30
^