Pencarian

Misteri Di Balik Abu 3

Misteri Di Balik Abu Karya V Lestari Bagian 3


Kesan yang diperolehnya sekarang terasa lain dibanding tadi, saat dia baru
menemukannya dari dalam tanah. Tadi dia sangat gembira karena berhasil
menemukannya dalam keadaan utuh. Sekarang kesannya berbeda. Dia merasa ngenes,
sedih, dan juga bingung. Patutkah dia menyimpannya terus"
"Yati! Yaaat! Tuan pulang tuh!" seru Surti.
"Ya, ya! Aku keluar!" Haryati bergegas menyimpan kembali benda itu dan cepatcepat menukar pakaiannya. Kalau majikan pulang para pembantu tak boleh berada di
kamar, melainkan harus stand by kalau-kalau ada perintah. Cuma malam hari saat
tidur baru para pembantu boleh memasuki kamar masing-masing. Sebelum suara sang
Tuan terdengar di dalam rumah, Haryati sudah berada di dalam ruang kerjanya,
yaitu dapur. Dia bermaksud mempersiapkan makan malam, tapi bingung. Tadi siang
kedua majikannya tidak makan di rumah. Sang Nyonya pergi sejak pagi, sedang sang
Tuan tidak pulang untuk makan siang seperti yang biasa dilakukannya. Mungkin
sebaiknya dia menghangatkan saja makanan yang tak termakan tadi. Sayang. Surti
muncul di dapur. "Yat! Kamu dipanggil Tuan di kamar buku," katanya. Haryati terkejut. Kamar buku
adalah istilah mereka untuk ruang perpustakaan. Tapi bukan tempat itu yang
mengejutkannya, melainkan panggilan Arya. Mestinya ada sesuatu yang mau
disampaikannya dan tidak ingin terdengar oleh kedua pembantu yang lain. Apakah
dia akan dipecat dan diusir saat itu juga, mumpung sang Nyonya belum pulang"
"Ada apa, Sur?"
"Nggak tahu. Dia nggak bilang," kata Surti dengan wajah sendu. Dia juga khawatir
kalau Haryati dipecat. Bila itu terjadi maka dia akan bekerja ekstra padahal
gajinya tetap. Dia sudah merasa cocok dengan Haryati. Apalagi perempuan seperti
Haryati tidak mungkin bisa dicemburui. Ketika berjalan menuju ruang perpustakaan
dengan perasaan tegang karena tak tahu apa yang menantinya di sana, tiba-tiba
Haryati teringat akan potongan tangan yang barusan saja berhasil diperolehnya.
Bukankah niatnya sudah terlaksana" Jadi tak ada alasan baginya untuk merasa
cemas. Biar saja dia dipecat dan diusir. Dengan senang hati dia akan pergi,
kembali kepada Daud. Langkahnya jadi lebih cepat dan bersemangat. Pintu ruang
perpustakaan tertutup. Haryati mengetuk pintu.
"Ya, masuk!" Pelan-pelan Haryati membuka pintu. Arya sedang duduk dengan posisi
tubuh menyamping dari pintu, tapi dia tidak menoleh.
"Tuan panggil saya?" Haryati menyapa.
"Ya. Duduk!" perintah Arya dengan tangan menunjuk arah sampingnya. Bukan
depannya. Dia pun tidak menoleh untuk menatap orang yang diajaknya bicara.
Sesaat Haryati merasa geli. Tapi kemudian timbul perasaan terenyuh. Sang Tuan
benar-benar membencinya atau merasa ngeri melihat wajahnya. Pikiran ini pun
membuatnya penasaran. Dia sudah sering kali bertatapan dengan orang-orang lain.
Banyak orang. Tapi mereka tidak sampai berlaku seperti sang Tuan ini. Wajahnya
toh tidak sejelek monster. Haryati tak berani duduk di kursi. Dia takut dibentak
atau disindir. Maka dia berjongkok saja di samping kursi. Tetapi Arya pun
membiarkan dan berbuat seakan tidak menyadari hal itu karena dia memang tidak
memandang pada Haryati. "Begini, Bi. Kamu tentunya sudah cukup tahu bahwa keributan yang terjadi di
rumah ini adalah gara-gara kamu. Nyonya jadi memusuhiku karena
membela kamu." "Ya, Tuan." "Karena itu kamu harus bertanggung jawab untuk membantu supaya keadaan ini tidak
berlangsung terlalu lama."
"Membantu apa, Tuan?" tanya Haryati heran. Ucapan Arya itu sungguh di luar
dugaannya. "Kupikir, kamu tentunya punya pesona terhadap Nyonya hingga dia bisa membelamu
begitu rupa. Aku tidak mengerti Yah, sudahlah. Apa yang sudah terjadi
terjadilah," suara Arya melembut. Haryati diam menunggu. Karena Arya tak
memandang kepadanya, dia punya kesempatan untuk
memperhatikan sekeliling ruangan. Segalanya sudah begitu berbeda dibanding dulu.
Tak ada bekas-bekasnya lagi. Diamnya Haryati membuat Arya menoleh. Cuma sebentar
tatapannya tertuju pada Haryati lalu dia cepat-cepat berpaling.
"Bagaimana, Bi" Kamu mau membantu?" tanyanya.
"Mau, Tuan. Tapi. membantu apa?"
"Cobalah kamu ngomong sama Nyonya. Ngomong apa kek supaya dia mau baikan lagi
sama saya." "Oh," Haryati tertegun. Dia pun bingung.
"Kalau kamu bisa, nanti kuberi persen. Sekarang kuberi uang muka. Nih." Arya
menyodorkan selembar uang sepuluh ribu rupiah. Dia menyodorkannya tanpa menatap
muka Haryati. Walaupun ragu-ragu Haryati menerima uang itu.
"Terima kasih, Tuan," katanya.
"Saya akan berusaha."
"Ya, berusahalah. Tapi kalau kamu tidak berhasil, sebaiknya kamu tidak di sini
lagi. Mengerti?" suara Arya menjadi lebih keras dan tegas.
"Mengerti, Tuan." Ketika keluar dan menutup pintu di belakangnya pelan-pelan,
Haryati masih terheran-heran. Keangkuhan Arya memang menjengkelkannya,
lebihlebih sikapnya yang tak mau memandang kepadanya. Tetapi permintaan Arya
menyentuh perasaannya yang lain. Rupanya Arya mencintai istrinya dan tak ingin
kehilangan. Pernahkah Deden berbuat seperti itu kepadanya dulu?"Dia ngomong
apa?" bisik Surti. "Aku mesti baik-baik. Kalau tidak, nanti diusir," Haryati berbohong. Memang Arya
tidak memintanya untuk merahasiakan, tapi dia tahu betul sebaiknya dia berbuat
begitu. "Syukurlah," kata Surti lega.
"Jangan menjatuhkan panci lagi kalau Tuan ada di rumah."
Dalam suatu kesempatan, Haryati mendekati Astuti.
"Maaf, Nya. Boleh saya bicara?" sapa Haryati. Dia berjongkok di depan Astuti
yang tengah melamun "Bicara?" Astuti terkejut.
"Aduh, saya mengagetkan Nyonya. Maaf."
"Sudahlah. Duduk di situ dong, Bi. Masa jongkok sih?" Astuti menunjuk kursi di
depannya. Haryati duduk dengan sikap canggung. Suatu kesengajaan agar dia tampak
lugu. Dan dia memang menikmati perannya.
"Saya merasa bersalah, Nya. Gara-gara saya."
"Aduh, soal itu lagi. Saya sudah bosan."
"Maaf, Nya. Tapi saya merasa tidak enak. Nyonya sudah begitu baik sama saya.
Tapi saya kok membalasnya begini."
"Lho, itu kan bukan salahmu, Bi. Kamu tidak usah merasa bersalah. Sudahlah. Tak
usah dibicarakan lagi."
"Saya sudah berpikir lama, Nya. Kalau kehadiran saya di sini membuat suasana
jadi tidak enak barangkali lebih baik saya pergi saja."
"Pergi" Memangnya kamu mau ke mana?" Mata Astuti yang indah itu membelalak.
"Saya bisa kerja lagi di tempat yang lama, Nya. Biarin tidak dibayar juga.
Soalnya majikan lama saya itu bokek tapi baik."
"Ah, jangan pergi, Bi. Kalau Bibi pergi, kan saya jadi repot. Terus terang orang
seperti Bibi ini susah didapatnya. Pintar masak, rajin."
"Tapi muka saya jelek, Nya. Mungkin itu sebabnya Tuan tidak suka."
"Memangnya Bibi mau jadi bintang film sampai perlu cantik segala?" Astuti
tertawa. "Pendeknya jangan pergi, ya Bi. Apakah Bibi mau dinaikkan gajinya?"
"Itu tidak perlu, Nya. Saya setuju tidak pergi, asal."
"Asal apa" Ayo bilang!"
"Asal Nyonya akur lagi sama Tuan."
"Ha?" Mata Astuti kembali membelalak. Dia menatap Haryati serasa tidak percaya.
Lalu dia berkata pelan, "Bibi kira itu gampang" Bagaimana kalau saya mau, tapi dia tidak?"
"Tuan mau kok, Nya."
"Ha" Kok Bibi sok tahu sih."
"Ilya, saya tahu, Nya. Tuan sendiri yang ngomong sama saya."
"Ngomong apa dia" Ayo cerita, Bi!" kata Astuti bernafsu. Haryati tidak ragu
untuk menceritakan semua udanya. Tapi dia menambahkan,
"Tapi Nyonya jangan bilang-bilang bahwa saya yang cerita. Entar Tuan marah besar
sama saya." Wajah Astuti segera berseri.
"Aduh, terima kasih, ya Bi!" serunya dengan mata berkaca-kaca. Nampaknya dia
dilanda emosi keharuan. Untuk sesaat Haryati mengira dia akan memeluknya.
Ternyata tidak. Astuti duduk kembali setelah sempat melompat dari duduknya.
Mungkin dia keburu sadar bahwa dirinya seorang majikan yang kurang pantas
memeluk pembantunya, pikir Haryati.
"Rupanya Bibi berhati emas. Jelek di luar tapi bagus di dalam," kata Astuti
tanpa maksud menyinggung. Tetapi Haryati sempat merasa ngenes. Masalah itu pun
terselesaikan. Dan Arya mencpati janjinya dengan memberi tambahan persen |
kepada Haryati sebanyak lima belas ribu rupiah. Haryati senang menerimanya.
Sesungguhnya dia tak punya uang sama sekali. Dan kemajuan lain yang diperolehnya
adalah dia telah diterima sepenuhnya oleh Arya di rumah itu. Suatu kemajuan yang
sesungguhnya bukanlah dambaannya. Dia hanya ingin berbuat baik kepada Astuti.
Tanpa bantuan Astuti, mungkin dia tak bisa bekerja di situ dan selanjutnya dia
pun takkan berhasil memperoleh kembali potongan tangan itu. Tiga hari kemudian
baru dia menyampaikan permohonan liburnya kepada Astuti.
"Saya mau nagih, Nya. Tempo hari majikan lama saya sudah janji mau membayar gaji
saya. Surti juga melihatnya."
"Wah, berapa lama liburnya, Bi" Cuma mau minta gaji kok pakai libursih?" Astuti
agak keberatan. "Cuma sehari, Nya. Pergi pagi pulang sore. Barangkali saya mesti nunggu dulu.
Maklum orangnya suka pergi lama."
"Oh, begitu," Astuti mengangguk setuju.
"Tapi kalau dia membujukmu supaya pindah kerja di situ lagi, jangan mau lho."
"Nggak dong, Nya."
Dengan gembira Haryati memasukkan potongan tangan yang sudah rapi terbungkus
saputangan lalu dilapis lagi dengan kertas koran ke dalam tasnya. Cuma itu satusatunya benda yang dibawanya. Benda itu akan aman di rumah Daud ketimbang
dibiarkannya di situ. Daud menyambutnya dengan gembira ketika dia datang.
"Aku sudah menunggu-nunggu kedatanganmu, Yat. Kok lama sekali?" katanya.
"Wah, ceritanya panjang, Daud. Sebentar. Aku taruh tas dulu." Haryati bergegas
ke kamarnya dengan tujuan menyimpan tasnya. Setelah memasukkannya ke dalam
lemari baru dia keluar untuk menemui Daud. Segera mereka terlibat dalam
pembicaraan yang mengasyikkan.
"Hari ini aku takkan ke mana-mana, Yat. Aku ingin menghabiskan waktuku
bersamamu. Berapa hari kau libur?"
"Satu hari saja, Daud. Sebentar sore aku mau
kembali." "Cuma satu hari?" teriak Daud kecewa.
"Kok sebentar amat sih, Yat" Mana cukup!" Haryati tertegun. Sikap Daud
membuatnya tersentuh. Tampaknya Daud merindukan kedatangannya. Apakah Daud
merindukan dirinya atau semata-mata cuma ingin mendengar ceritanya" Dia merasa
bagai orang bodoh dengan pikiran seperti itu.
"Apakah tak cukup, Daud" Aku tidak tahu. Coba dengarkan dulu ceritaku." Dengan
cepat Haryati menceritakan pertemuannya dengan Melinda dan peristiwa latahnya
Arya yang mirip dengan kebiasaan Deden, lalu berlanjut dengan kemarahan Arya dan
pertengkaran dengan istrinya, disusul oleh permohonan Arya agar dia mau
mendamaikannya dengan istrinya. Sebuah cerita yang cepat, tanpa Daud mendapat
kesempatan untuk menyela. Daud cuma bisa terpesona mendengarkan.
"Nah, aku perlu waktu untuk mendamaikan mereka dulu, Daud. Sesudah itu aku akan
mencari alasan untuk berhenti. Pokoknya bersabarlah. Kalau aku berhenti aku tak
akan pergi-pergi lagi. Aku akan tetap bersamamu melanjutkan penyelidikan. Di
sana tak ada gunanya lagi buatku. Tak ada apa-apa yang bisa kuperoleh. Semua
sudah berubah." "Jangan berhenti, Yat!" seru Daud dengan tibatiba. Haryati terkejut.
"Lho, kenapa begitu, Daud?" tanyanya bingung. Sekarang giliran Daud untuk
menceritakan hasilperbincangannya dengan Suminta.
"Nah, Arya Kusuma itu mencurigakan, Yat. Sebaiknya kau jangan berhenti dulu.
Selidikilah dia. Tampaknya cuma dia yang punya kunci mengenai kasus Deden."
Haryati termangu menerima kejutan itu. Tapi dengan cepat semangatnya pulih,
malah dia serasa terbakar oleh dorongan untuk melakukan sesuatu. Tak jelas apa
yang mau dilakukannya. Pendeknya dia harus berbuat sesuatu.
"Wah, aku mau, Daud. Aku mau!" serunya.
"Dengan senang hati aku mau menyelidiki si Arya Kusuma itu. Yah, aku memang
heran kenapa dia bisa begitu persis menirukan kelatahan Deden. Percayakah kau
akan kesurupan?" Daud menggelengkan kepala.
"Sebaiknya kita jangan dipengaruhi soal-soal seperti itu, Yat. Kita berpijak
pada yang rasional sajalah. Nanti bisa kacau penalaran kita," katanya tegas.
"Baiklah. Kita tak usah membicarakan hal itu. Dan tentang pembicaraan Suminta
itu, susah bagiku untuk menilainya sekarang. Dulu dan sekarang jelas berbeda
situasinya. Ketika dia datang padaku dulu untuk menyampaikan dugaannya itu, aku
memang tidak percaya padanya. Dan sekarang" Entahlah. Rasanya kok kejam amat,
ya, kalau memang benar Deden seperti itu. Tapi kupikir, masa lalu biarlah
berlalu. Tak usah diungkit lagi. Dia sudah mati. Dia sudah menerima hukumannya.
Yang penting buat kita adalah mencari siapa pembunuhnya. Itulah tujuan kita, ya
kan?" "Ya," sahut Daud walaupun sebenarnya dia ti
Misteri Di Balik Abu - Novel Indonesia Online
Misteri Di Balik Abu Karya V Lestari
pdf by http://cerita-silat.mywapblog.com
dak puas dengan reaksi yang diperlihatkan Haryati. Tampaknya Haryati tidak
terlalu terpukul oleh dugaan Suminta perihal Deden. Mungkin Haryati tetap tidak
percaya, dari dulu sampai sekarang. Mungkin hal itu disebabkan oleh cinta. Tibatiba saja Daud merasa iri dan sekaligus geram kepada Deden. Orang seperti itu
sungguh tidak pantas menerima cinta yang demikian besar. Bagi seseorang seperti
Deden, cinta yang begitu besar cuma dilihat sebagai suatu keuntungan. Atau
peluang bagus untuk dimanfaatkan. Lalu Daud bercerita tentang pertemuannya
dengan keluarga Gunadi. "Mereka kangen padamu, Yat. Dan ingin sekali bertemu denganmu. Mereka juga
tampak menyesal sekali karena tidak pernah memberi perhatian kepadamu."
"Ah, apakah itu bukan cuma basa-basi?"
"Mereka serius, Yat. Kau masih sakit hati" Sudahlah, Yat. Kekejaman Deden bisa
kaulupakan. Kauanggap dia masa lalu yang harus dibiarkan berlalu. Tapi mereka
sayang padamu. Dan mereka masih ada, menunggumu dengan penyesalan. Sedang
Deden." "Deden tak ada lagi untuk membela diri. Yang tersisa untuknya hanyalah dugaandugaan."
"Ah, Yat," keluh Daud.
"Kenapa kau, Daud?" tanya Haryati heran.
"Tidak apa-apa. Aku tidak tahu harus bagaimana menilai perasaanmu terhadap
Deden. Kau begitu keras kepala. Begitu kukuh. Apakah aku harus mengagumi atau
merasa gemas?" Daud berhasil juga mengeluarkan unek-uneknya. Rasanya memang
lega. Tapi cuma sesaat. Sesudahnya dia jadi risi sendiri. Sepertinya tidak pada
tempatnya dia berkata seperti itu. Tidak cocok dengan situasi dan kondisi.
Haryati termangu-mangu. "Maafkan aku, Yat. Anggap saja omonganku itu tak ada, ya?" kata Daud penuh
sesal. Dia merasa telah merusak suasana yang semula begitu penuh semangat oleh
kejutan-kejutan dengan perasaan pribadinya. Haryati tersenyum penuh maaf.
"Ya. Barangkali aku memang perempuan bodoh yang naif, yang gampang dibohongi,
yang. yang. oh, entahlah yang apa lagi. Kadang-kadang aku memang merasa seperti
itu. Tapi tolonglah, Daud. Jangan buat aku membencinya."
"Kau harus menghadapi kenyataan, bukan?" Haryati memalingkan muka.
"Aku tahu. Ah, sudahlah. Jangan bicara soal itu lagi, ya?"
"Baiklah. Bagaimana dengan Bapak dan Ibu Gunadi" Oom dan tantemu" Kebetulan hari
ini kau di sini. Bagaimana kalau kuajak kau ke sana?"
"Tidak." "Kau tidak mau bertemu dengan mereka lagi?"
"Aku mau, Daud. Aku juga ingin bertemu dengan Melinda. Tapi tidak sekarang.
Nantilah kalau sudah jelas siapa sebenarnya pembunuh Deden. Pada saat itu aku
bisa bertemu dengan mereka dalam suasana yang lain, karena saat itu aku bisa
jadi orang yang punya harga diri."
"Mereka percaya akan ketidaksalahanmu. Sedang Melinda juga bisa kuyakinkan kalau
nanti dia kutemui." "Ah, mereka sebenarnya tidak percaya padaku, tapi padamu!"
Daud tertegun. Jadi Haryati juga memahami hal itu.
"Baiklah. Tapi nanti kita akan memberikan fakta dan buktinya kepada mereka.
Kepada semua orang!" katanya kemudian.
"Ya!" Haryati kembali bersemangat.
Lalu mereka membicarakan banyak hal mengenai pengalaman masing-masing. Haryati
menceritakan semuanya kecuali mengenai potongan tangan itu. Dia menganggapnya
sebagai rahasia yang sifatnya paling pribadi. Tapi bukan itu saja. Dia juga
khawatir kalau-kalau Daud tidak menyetujui tindakannya menyimpan benda itu. Daud


Misteri Di Balik Abu Karya V Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akan merampasnya lalu menyerahkannya kepada polisi. Ya, Daud pasti akan berbuat
begitu. Padahal roh Deden sendiri tidak pernah memintanya, baik dalam mimpi
maupun dalam kesadaran. Kalau memang diminta pasti akan diberikannya dengan
senang hati untuk kemudian dikuburkan bersama bagian jasadnya yang lain. Ya,
asal roh Deden sendiri yang meminta. Tetapi Daud tentu tidak percaya akan hal
seperti itu. Daud cuma mempercayai halhal yang rasional dan masuk akal saja.
"Jadi kau di rumah Arya tidak merasa berat, Yat" Tadi aku terlalu bersemangat
memintamu untuk jangan berhenti dulu. Seharusnya aku menanyakannya."
"Wah, aku sama sekali tidak keberatan. Posisiku sudah bagus dan strategis di
sana. Mulai sekarang aku akan memasang mata dan telinga terhadap tuanku Arya
Kusuma. Padahal di hari-hari yang lalu aku justru selalu menghindar darinya. Dia
membenciku karena aku punya wajah seperti ini."
"Bangsat!" maki Daud geram.
"Tidak apa-apa, Daud. Lama-lama aku jadi terbiasa kok. Bahkan Melinda juga tidak
mengenaliku. Mula-mulasih sedih juga. Tapi kemudian aku sadar. Aku memang sudah
berubah banyak. Hanya saja kadang-kadang aku suka berpikir, tidakkah dia akan
merasa malu dan ngeri punya ibu seperti ini?"
"Jangan sentimentil begitu, Yat. Linda kan bukan anak kecil lagi. Kau terlalu
mengada-ada." "Ya. Mudah-mudahan saja memang begitu. Oh ya, tampaknya dia sudah punya pacar.
Ada seorang anak muda bersamanya ketika dia berkunjung ke rumah Arya."
"Apa maksudnya berkunjung ke situ?"
"Aku pikir, dia tentu cukup mengenal Arya karena orang itu membeli rumah
darinya. Dan dia ke sana karena ingin melihat-lihat."
"Melihat-lihat" Apa yang mau dilihatnya?"
"Kalau aku tidak salah memahami, tampaknya Linda mau menghapus kenangan buruk
dengan melihat rumah itu kembali."
"Jadi dia juga punya problem?"
"Tampaknya begitu."
"Kalian harus bertemu agar dapat menyelesaikan masalah.?"Sudah kukatakan, nanti
saja bila kita sudah berhasil membongkar misteri ini."
"Kapan itu terjadi, Yat" Bagaimana kalau tak terlaksana dalam waktu singkat" Aku
yakin, dalam diri kalian berdua tersimpan kerinduan untuk bertemu."
"Ya. Nanti saja," Haryati berkeras. Daud mengangguk. Haryati memang keras hati.
"Masih ingat Dokter Benyamin Sander, Yat" Dia menyampaikan simpatinya padamu."
Haryati terkejut. "Dokter Benyamin Sander" Dari mana kau tahu?" tanyanya selidik. Daud
menceritakan bagian percakapannya dengan Nyonya Gunadi.
"Aku ke sana karena mengkhawatirkan kesehatanmu, Yat. Tapi dia tidak
menceritakan hal-hal yang seharusnya dia rahasiakan."
"Rupanya kau ingin tahu tentang diriku."
"Bukan begitu, Yat. Aku sungguh mengkhawatirkan kesehatanmu. Aku pikir, bila
sebelum peristiwa itu kau pergi ke dokter, bagaimana pula sesudah kau mengalami
trauma itu" Bebanmu terlalu berat. Aku bertanya pada dokter itu bagaimana
kesimpulannya tentang kondisimu. Dia memang tidak bisa menyimpulkan secara pasti
karena belum ketemu denganmu. Maukah kau kapankapan konsultasi dengannya" Dia
ingin ketemu denganmu bukan sebagai pasien melainkan sebagai teman."
"Ah, teman?" Haryati tertawa mengejek.
"Apa iya, sih" Dia pasti cuma melihatku sebagai objek yang menarik untuk
dipelajari. Jangan percaya,Daud. Baginya, aku cuma objek. Dan traumaku cuma
kasus. Ya, kasus yang istimewa. Pasti unik buat dia." Daud tertegun. Dia tidak
menyangka bahwa reaksi Haryati akan seperti itu.
"Kelihatannya kau tidak suka padanya, Yat. Itukah sebabnya kau tidak melanjutkan
terapimu" Katanya dia masih memintamu datang tapi kau tak mau datang lagi."
"Buat apa" Dia cuma memintaku bicara dan bicara. Dia mau mengorekku habishabisan, menclanjangiku tanpa selembar benang pun yang tertinggal. Sedang dia
lebih suka diam, bertanya iniitu, berkomentar ini-itu. Lalu pada akhirnya dia
memberi obat penenang. Tentu saja dia memintaku datang lagi dan lagi, karena
pasien adalah sumber duit untuknya. Kalau bisa tentunya dia ingin menjadikan aku
sebagai pasien abadinya." Daud menggeleng-gelengkan kepalanya dengan perasaan
takjub. Dirasanya penilaian Haryati itu terlampau kejam.
"Jadi kau tidak merasakan manfaatnya berobat ke psikiater, Yat?" Haryati
menggelengkan kepala dengan yakin.
"Tidak. Aku tidak bisa mengatakan bahwa aku berobat padanya. Aku cuma
konsultasi. Cuma menjajaki. Setelah ternyata tak ada manfaatnya aku sudahi.
Bahkan obat-obat yang diberikannya pun tak kumakan, Daud. Aku tak memerlukan
obat penenang." Daud merasa kagum. Dalam keadaan menang
gung beban batin begitu berat Haryati menyatakan
tak memerlukan obat penenang. Tidakkah itu menunjukkan suatu kekuatan"
"Lantas apa yang mendorongmu pergi ke psikiater, Yat?" dia ingin tahu. Haryati
tidak ragu-ragu untuk menjawab.
"Aku memerlukan tempat berpijak, Daud. Aku merasa labil. Goyah. Aku perlu
pegangan." "Untuk menentukan hidupmu?"
"Ya." "Tapi kau tidak menemukannya di tempat Dokter Benyamin?"
"Ya." "Dokter Benyamin berkata, bukanlah tugas psikiater untuk menentukan jalan hidup
pasiennya melainkan untuk membimbingnya agar bisa menemukannya sendiri. Mungkin
kau tidak sabaran. Kau ingin cepat. Jadi, kau ke sana bukan sematamata untuk
mencari ketenangan batin."
"Oh, itukah yang dikatakannya padamu" Tapi bukan obat penenang jalan keluarnya,
kan?" "Kupikir, untuk sementara itu bisa meringankan tekanan. Ah, tentu ada alasannya
dia memberikan itu. Kenapa tidak kautanyakan kepadanya" Kau
debat saja. Ajak diskusi."
"Wah, aku tak mau begitu. Akan buang waktu saja. Mungkin juga aku memang kurang
sabar. Aku ingin cepat. Pada saat itu aku merasa." Haryati tidak meneruskan.
"Kau merasa apa?" tanya Daud penasaran.
"Sudahlah. Itu masa lalu. Aku tak pernah merasakannya lagi sekarang."
RD"Katakanlah padaku, Yat. Kau merasa apa?" desak Daud.
Haryati mengangkat bahunya.
"Baiklah. Ketika itu aku merasa terdesak."
"Oleh apa?" "Oleh keinginan bunuh diri!"
Daud terkejut. Barusan saja dia mengagumi Haryati sebagai orang yang kuat. Dan
kalau dia melihat Haryati yang sekarang, begitu bersemangat dan enerjik, sulit
untuknya mempercayai pengakuan itu. Tapi itu tentu saja masa lalu.
"Apakah kauceritakan pada Dokter Benyamin perihal dorongan itu?"
"Tidak." "Lho, kenapa" Bukankah justru karena hal itu kau pergi kepadanya?" Daud tidak
mengerti. Dia baru menyadari sekarang betapa seseorang bisa sebegitu
misteriusnya, padahal dia merasa sudah mengenalnya dengan baik.
"Mungkin karena aku tak ingin mengungkapkan kelemahanku. Aku malu mengatakannya.
Bukankah dia seorang ahli" Aku harap dia bisa memperkirakan adanya dorongan itu
lewat caraku bertutur, tanpa aku harus memastikannya sendiri. Tak ubahnya kalau
kita malu berkata terus terang bahwa kita lapar, maka yang kita katakan adalah,
"Ini sudah jam makan. Kau paham, Daud?"
"Ya. Apakah dia menanyakan tentang kemung
kinan adanya dorongan itu?"
"Tidak." "Aku pikir, tentu saja dia tidak menanyakan,
R)Yat. Dia takut kalau-kalau pertanyaan itu justru memberi dorongan. Tapi boleh
aku bertanya, apakah di saat-saat akhir kau pergi kepadanya, dorongan itu masih
ada?" "Tidak." "Kalau begitu, memang ada manfaatnya, bukan?"
"Entahlah. Aku tidak begitu yakin."
"Kau tidak yakin?"
"Ya. Mungkin juga dia punya andil sebagai seorang pendengar yang baik. Tapi
kalaupun ada, pasti tidak banyak. Semuanya tergantung padaku sendiri, bukan"
Belakangan aku berhasil beradaptasi dengan situasi." Daud mengangguk. Ucapan itu
merupakan pembenaran dari kesimpulan Benyamin.
"Jadi dorongan itu memang tak pernah kembali lagi, Yat?"
"Memang tak ada. Tapi ketika di penjara muncul dalam bentuk lain. Inisiatif
untuk mengakhiri hidup dengan tangan sendiri tak ada. Yang kulakukan adalah
meminjam tangan orang lain. Aku mengusik seorang napi yang sudah terkenal
jahatnya. Nah, inilah hasilnya." Haryati menunjukkan pipinya.
"Tapi cuma begini saja. Aku tetap hidup sampai sekarang."
"Dan sekarang?" tanya Daud waswas. Haryati tertawa.
"Jangan khawatir. Sekarang semangat hidupku tinggi sekali."
"Yat, berjanjilah padaku, kalau pada suatu waktu nanti kau didera perasaan
seperti itu lagi jangan simpan sendiri. Bicaralah denganku. Kau mau, Yat?"
Haryati memandang heran sebentar. Pada mulanya dia mau mengatakan, bahwa dia
sangat yakin tidak akan punya perasaan seperti itu lagi. Di samping itu dia pun
dilanda keharuan yang amat sangat. Tiba-tiba dia ingin sekali menangis. Begitu
saja air matanya berhamburan.
"Kenapa, Yat" Apakah aku salah bicara?" tanya Daud cemas. Dia pun menyesal.
Bukankah perkataannya itu bisa disalahartikan" Tetapi kecemasannya segera
lenyap. Haryati memeluknya erat-erat hingga untuk sesaat dia merasa sesak napas.
"Terima kasih, Daud! Aku janji! Aku mau!" seru Haryati. Setelah menghabiskan
waktu untuk berbincangbincang, tibalah saatnya untuk berpisah. Daud akan
mengantarkan Haryati dengan cara sama seperti dulu.
"Setiap sore aku akan lewat di sana, Yat. Sekitar jam enam begitu. Kalau kau
mendapat sesuatu usahakanlah berada di halaman. Nanti aku parkir agak jauh dan
kau mencari kesempatan keluar. Aku akan menunggu."
"Jangan jam enam. Jam tujuh sajalah."
"Baik. Dan sementara jangan katakan bahwa bekas majikanmu sudah membayar lunas
gajimu. Bilang saja kau baru dibayar separuh, supaya kau mendapat alasan lagi
lain kali." Haryati tertawa. Dia senang sekali. Tapi sebelum mereka melangkah
keluar tiba-tiba dia teringat akan benda berharganya. Begitu saja muncul
kebimbangan apakah tidak sebaiknya dia membawanya serta saja" Bila dia
membawanya dia akan dekat dan benda itu aman. Tentu di rumah Daud lebih aman
lagi tapi jauh darinya. Dan adakah kemungkinan Daud akan menemukannya" Tibatiba
dia jadi cemas mengingat kemungkinan itu.
"Tunggu sebentar, Daud!" katanya, lalu berlari kembali menuju kamarnya.
"Ada yang ketinggalan, Yat?" tanya Daud. Tapi Haryati tidak menjawab. Mungkin
juga tidak mendengar. Haryati mengeluarkan kunci dari tasnya untuk membuka pintu
kamarnya. Rasanya kurang enak juga karena harus mengunci kamarnya mengingat itu
rumah Daud dan sepertinya dia kurang percaya kepada Daud. Tapi Daud sendiri yang
menganjurkan hal itu. Sesudah pintu terbuka masih ada kunci lagi yang harus
digunakan, yaitu kunci lemari. Mestinya segi pengamannya sudah cukup. Tetapi dia
masih merasa berat hati. Dibukanya lagi pembungkus benda itu lalu diamatamatinya benda itu dengan perasaan mengawang. Diulurkannya tangannya untuk
menyentuh dan membelai pelan, takut kalau-kalau retak dan patah. Pada saat itu
dia teringat akan cerita Daud perihal dugaan Suminta mengenai Deden. Benarkah
itu" Bagaimana jika benar" Dan kalau benar patutkah dia berbuat seperti ini"
Haryati demikian larut dalam perasaannya yang mendalam hingga dia tidak
menyadari kehadiran Daud di muka pintu kamar yang terbuka.
"Yat" Yat?" panggil Daud pelan.
"Ada apa?" Haryati terkejut. Spontan tangannya bergerak dengan cepat menyembunyikan benda
yang tengah dipegangnya dan badannya berpindah agar dapat lebih menutupi. Lalu
dia berusaha keras agar dapat bersuara sewajar mungkin.
"Sebentar, Daud. Ada yang mau kubereskan dulu. Tunggu, ya?"
"Jadi kau tidak apa-apa" Aku takut kau sakit."
"Tidak. Aku tidak apa-apa. Sebentar, ya?"
"Baiklah. Aku tunggu di luar." Daud bergegas pergi. Dia merasa Haryati tidak
menyukai kehadirannya di situ. Sepanjang jalan menuju rumah Arya, Daud sama
sekali tidak menyinggung masalah tadi hingga Haryati merasa lega. Semula dia
sangat cemas karena mengira Daud telah melihat apa yang disembunyikannya. Hampir
saja dia memutuskan untuk membawa lagi benda itu bersamanya. Tapi pada saat
terakhir dia memilih untuk meninggalkannya di dalam lemarinya yang terkunci.
"Ingat-ingatlah, Yat. Jangan terlalu lancang dan berani dalam usahamu
menyelidiki Arya Kusuma. Yang wajar saja. Kalau sampai tertangkap tangan,
ruginya jauh lebih besar daripada untungnya," Daud mengingatkan.
"Aku akan selalu ingat," Haryati memastikan.
"Dan jangan memaksa diri bekerja terlalu keras."
"Ya. Terima kasih, Daud," kata Haryati dengan senyum bahagia. Senyum itu masih
melekat di bibirnya ketika dia turun dari mobil Daud dan berjalan menujurumah
Arya. Dia tidak tahu bahwa di belakangnya Daud memperhatikannya dengan wajah
prihatin. Bahkan sampai Haryati lenyap dari pandangan matanya dia masih diam di
situ. MALAM itu juga, dengan gelisah Daud mondarmandir di depan kamar Haryati. Dia
terus memikirkan tingkah Haryati yang sempat dipergokinya saat berada di
kamarnya tadi sore. Apa gerangan yang tengah dilakukan Haryati waktu itu"
Sebelum memanggil sempat memperhatikan beberapa saat lamanya. Haryati sepertinya
tengah memperhatikan sesuatu di dalam lemari. Matanya nampak sendu dan wajahnya
penuh konsentrasi. Intens sekali sampai tak menyadari suasana sekitar. Sayang
Daud tak bisa melihat apa yang tengah diperhatikan Haryati. Apakah Haryati cuma
memandang kosong saja" Kalau memang begitu apa yang mengganggu pikirannya"
Sekarang Daud dihantui oleh keingintahuan tentang hal itu. Tadi dia tak sampai
hati bertanya sendiri kepada Haryati. Naluri dan perasaannya mengatakan, Haryati
tidak menyukai hal itu. Kekagetan Haryati saat dipergoki sudah menandakan
kebenaran dugaannya. Tangannya memegang serenceng kunci. Tidak
202sukar baginya untuk membuka pintu kamar Haryati, demikian pula lemarinya. Dia
memiliki kunci duplikatnya. Dan dia sendirian di rumah itu. Dia bebas berbuat
apa saja. Tetapi dia bimbang. Masalahnya bukan soal kepantasan. Dia toh bisa
melihat diam-diam tanpa meninggalkan bekas hingga Haryati tidak akan pernah
tahu. Tapi sesungguhnya dia merasa ngeri akan apa yang ditemuinya nanti. Bila
memang ada sesuatu yang dilihat Haryati, mungkin foto atau benda kesayangan,
maka dia akan berlega hati karena yang demikian itu tentunya wajar saja. Tapi
bila tak ada apa-apa yang pantas ditatap dengan cara seperti yang dilakukan
Haryati itu, misalnya bila isi lemari itu cuma benda-benda biasa seperti pakaian
dan sebagainya, maka pastilah itu tidak wajar. Pasti ada yang tidak beres dengan
Haryati. Dan itu menakutkannya. Entah sudah berapa hitungan langkahnya. Dia
melangkah, berhenti depan pintu, lalu melangkah lagi. Kemudian berhenti lagi.
Jalan lagi. Dan seterusnya. Sementara itu pikirannya pun terus bekerja,
menimbang-nimbang sambil mencari kemantapan. Apa yang akan dilakukannya bila
kenyataan yang dilihatnya nanti merupakan kemungkinan pertama, dan apa yang akan
dilakukannya pada kemungkinan kedua" Akhirnya dia memutuskan. Dia membuka pintu
dan terus ke lemari. Setelah pintu lemari terkuak lebar, cuping hidungnya
bergerak-gerak dan keningnya berkerut dalam. Bau tak enak menyambar
hidungnya. Dia sampai perlu mundur dan memalingkan muka agar dapat menghirup
udara yang lebih bersih. Lalu dia maju kembali dan menatap isi lemari dengan
menutup hidungnya. Apakah Haryati sebegitu joroknya" Tetapi lemari itu tak
banyak isinya. Pakaian Haryati cuma sedikit. Lalu ada beberapa majalah dan buku
kepunyaannya yang dipinjam Haryati untuk dibaca menjelang tidur. Tak ada barang
berharga, seperti kotak perhiasan misalnya. Pemandangan itu membuat perasaan
Daud terenyuh. Dulu, lemari Haryati pasti tak seperti ini. Kemudian tatapannya
tertuju pada sebuah bungkusan kertas koran. Dia yakin bau itu berasal dari sana.
Tangannya terulur dan dengan cepat tapi hati-hati dia membuka bungkusan. Mulamula kertas koran lalu saputangan. Dia memang harus hati-hati supaya kalau nanti
dia membungkusnya lagi maka lipatannya harus sama persis seperti sebelumnya.
Siapa tahu Haryati orang yang cermat dan penuh selidik. Lalu benda itu tampak.
Sepotong tangan, ah, tulang telapak tangan dengan jari-jari melengkung berwarna
hitam hangus. Daud berteriak kaget sambil melompat mundur, tapi keseimbangannya
terganggu. Dia jatuh terjengkang. Beberapa saat lamanya dia duduk saja di
lantai, tak bisa dan tak ingin segera bangkit. Jantungnya berdebar keras. Ototototnya lemas. Dan dia terus saja menatap bagai kena pesona. Daud membutuhkan
waktu untuk kembali ke realitas. Masih di tempatnya di lantai dengan
tatapan tak beralih pikirannya menjadi jernih kembali. Apa yang dialaminya ini
bukan peristiwa horor. Benda itu tidak begitu saja ada di dalam lemari Haryati.
Benda itu berada di sana karena memang dibawa ke sana. Dan yang membawanya sudah
jelas adalah Haryati. Jadi itulah yang tadi dipandanginya bagaikan benda
kesayangan yang akan ditinggalkan. Satu dari dua kemungkinan yang tadi
dipikirkannya sebelum memasuki kamar ini telah menjadi kenyataan. Sesungguhnya
Haryati tidak menatap kosong. Ada benda nyata yang dipandanginya. Jadi
seharusnya dia tidak perlu risau mengikuti jalan pikirannya tadi. Tetapi benda
nyata yang diperkirakannya bukanlah yang seperti ini. Bahkan tak ada dalam
khayalannya yang paling gila sekalipun. Lantas, gilakah Haryati" Pikiran itu
sungguh menakutkan. Daud berusaha menenangkan dirinya dulu, agar tak sampai
dikuasai pikiran-pikiran buruk. Jangan berpikir tentang kemungkinan-kemungkinan.
Faktafakta sajalah. Pertama, milik siapa potongan tangan itu" Pasti milik Deden


Misteri Di Balik Abu Karya V Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sofyan. Dia masih ingat jenazah Deden yang hangus mengerikan itu dan dikabarkan
kehilangan salah satu tangannya sebatas pergelangan tangan. Dia memang tidak
melihatnya sendiri melainkan membaca dari laporan Labkrim. Konon jenazah Deden
sudah demikian mengerut dan kehilangan identitasnya hingga yang tertinggal
hanyalah kerangka hitam. Tetapi informasi kerangka masih utuh kecuali salah satu
tangannya. Ini menimbulkan pertanyaan kedua,
yaitu kenapa tangan itu lepas bila bagian lainnya masih utuh saling melekat"
Jawaban yang rasional tak sukar diperoleh, meskipun masih berupa kemungkinan.
Yaitu, bahan bakar yang dituang di bagian itu berlebihan banyaknya sementara di
bawahnya ada bahan yang mudah terbakar misalnya kayu tempat tidur. Maka wajarlah
kalau bagian yang terbakar lebih lama menjadi lebih rapuh dibanding bagian yang
lain, kemudian lepas. Atau bisa juga dia tertimpa benda lain yang sedang
terbakar, misalnya langit-langit atau balok di atasnya. Lantas pertanyaan
ketiga, kenapa benda itu berada di dalam lemari Haryati" Jelas Haryati
sendirilah yang mengambilnya dulu dan menyimpannya sebelum di penjara. Hanya ada
satu tempat penyimpanan yang boleh dikata aman bagi Haryati, yaitu rumahnya
sendiri dulu atau rumah Arya Kusuma. Aha, jadi itukah alasannya kenapa Haryati
begitu keras hati mau bekerja sebagai pembantu rumah tangga di rumah Arya"
Tujuan Haryati adalah mengambil benda ini lalu menyimpannya di sini. Pantas dia
menyebut perihal berhenti kerja. Tentu karena misinya sudah tercapai. Masih ada
pertanyaan lain yang tak bisa dijawabnya sendiri. Yaitu, kenapa Haryati
menyimpan benda yang tidak sepatutnya dia simpan" Pertanyaan itu saja membuat
bulu romanya berdiri. Dia tidak ingin mencari jawaban dengan memikirkannya
sendiri. Dia takut memikirkannya. Akhirnya Daud berdiri dan dengan teramat segan
mendekat ke lemari untuk merapikan kembali
pembungkus benda itu. Dia harus hati-hati dan cermat agar persis seperti semula.
Tangannya gemelar. Oh, betapa bencinya dia melakukan hal itu. Dia hati-hati
sekali agar tidak sampai bersinggungan dengan benda itu. Dan sesudah mengunci
kembali lemari dan pintu kamar dia cepat-cepat mencuci tangannya bersih-bersih.
Setelah berpikir sebentar dia melihat ke jam dinding. Sudah jam sembilan lewat.
Mestinya belum terlalu malam untuk menelepon Dokter Benyamin Sander. Dan dia
berharap tidak akan mengganggu. Dia masih ingat bagaimana serius dan antusiasnya
Benyamin saat menawarkan bantuan. Kalau tidak, tentunya Benyamin tidak akan
memberikan nomor telepon pribadi. Tanggapan Benyamin ternyata jauh melebihi
harapannya. "Bagaimana kalau kita bicarakan sekarang juga, Pak Daud?"
"Sekarang" Apa tidak terlalu malam buat Anda, Dok?"
"Wah, jam sembilan belum terlalu malam buat saya, Pak. Kebetulan sekarang saya
sedang segar. Malah jadi tambah segar mendengar cerita Anda. Saya yakin nanti
malam akan sukar tidur bila saya tidak bisa bertemu Anda sekarang juga.
Kebetulan istri dan anak-anak saya sedang berlibur di kampung halaman. Tak akan
ada yang merasa terganggu. Bagaimana baiknya, Pak" Saya ke rumah Anda atau Anda
ke rumah saya?" Daud tercengang oleh antusiasme Benyamin.
R)Dia jadi teringat pada ucapan Haryati, bahwa kesediaan Benyamin membantu itu
tentulah disebabkan karena kasusnya yang unik. Sedikit-banyak anggapan itu punya
kebenaran. Tapi kalau memang benar, patutkah hal itu dianggap sebagai sesuatu
yang negatif" Seorang ahli selalu mendapat rangsangan bila menemukan sesuatu
yang menarik mengenai bidangnya. Benyamin tak bisa disalahkan. Bagaimanapun, dia
dan tentu saja juga Haryati bisa mendapat manfaat dari antusiasme Benyamin.
"Biar saya yang ke rumah Anda saja, Dok."
"Bisakah Anda membawa serta barang itu, Pak Daud?"
"Barang, Dok" Barang apa?"
"Tentu saja potongan tangan itu." Daud mengerutkan keningnya.
"Perlukah itu, Dok" Saya bisa menggambarkannya kok."
"Saya ingin melihatnya, Pak. Apakah Anda keberatan membawanya" Kalau begitu,
biar saya saja yang ke rumah Anda. Dengan demikian barang itu tidak akan
mengganggu Anda dalam perjalanan." Daud tak tahu apakah Benyamin bergurau atau
tidak, tapi dia tidak merasa tergelitik untuk tertawa. Tentu saja barang itu tak
akan mengganggu secara fisik, tapi secara mental. Sebelum Daud sempat menjawab,
Benyamin berkata lagi dengan nada tak sabar,
"Baiklah. Saya ke rumah Anda saja. Di mana alamatnya, Pak?" Daud menyebutkan
alamatnya. Dan begitu dia selesai menyebutkan, telepon ditutup oleh Benyamin.
Jelas Benyamin tak mau membiarkannya bicara lebih banyak lagi. Daud bisa
membayangkan ketidaksabarannya dan bagaimana Benyamin berlari ke mobilnya untuk
segera membawanya terbang. Mau tak mau dia jadi berpikir, di mana sebenarnya
daya tarik bagi Benyamin. Kasus Haryati ataukah benda itu" Tetapi dia terpaksa
mengakui kebenaran pendapat Benyamin, bahwa memang lebih baik bila kasus itu
dibicarakan secepat mungkin demi ketenangan pikiran mereka berdua walaupun
rangsangannya berbeda. Baginya dan bagi Benyamin, kasus itu tak sama artinya.
Setengah jam kemudian Benyamin sudah tiba di rumah Daud.
"Cepat sekali." Daud geleng-geleng kepala. | Benyamin cuma tersenyum tanpa
komentar. "Mari kita segera membicarakannya sambil melihat benda itu," katanya.
"Begini, Dok. Saya tidak mau mengangkat dan mengeluarkan benda itu dari tempat
di mana dia berada. Bukan apa-apa. Tetapi saya khawatir merusaknya. Dan kalau
kondisinya acak-acakan, Haryati pasti akan mencurigai saya. Dia akan marah
sekali karena saya telah mengusik barang yang baginya bersifat pribadi sekali.
Itu akan merusak hubungan kami. Anda tentu mengerti, Dok. Jadi saya harap Anda
pun tidak melakukan hal itu."
"Ya, ya. Tentu saja saya mengerti. Saya kan sudah mengatakan bahwa saya cuma
ingin melihatnya." R)"Kalau begitu, mari kita lihat di kamar Haryati saja. Dan
barang itu tetap di dalam lemari," kata Daud tegas. Tiba-tiba dia jadi
mengkhawatirkan antusiasme Benyamin yang dirasanya berlebihan. Benyamin
tersenyum menenangkan. "Baik, Pak. Anda memang patut merasa khawatir. Saya terlalu bersemangat, bukan"
Tapi saya perlu menegaskan bahwa saya ingin melihat benda itu dengan kacamata
seorang dokter. Bukan untuk mencari sensasi." Daud tak begitu mempercayai katakata itu. Tapi dia tak menjawab, karena mereka sudah berada di dalam kamar
Haryati. Lalu dia membuka lemari dan menatap sebentar bungkusan itu sebelum
membukanya dengan hati-hati. Kembali dia merasakan keseganan yang sama. Dan dia
menggerutu dalam hati. Bukan seperti inilah yang diharapkannya dari Benyamin.
Benyamin mendekat lalu mendorong Daud ke pinggirnya supaya dapat melihat dengan
jelas. Dia mendekatkan mukanya tapi tidak mengulurkan tangan untuk memegang.
"Ada senter, Pak" Saya perlu senter untuk melihatnya lebih jelas," kata serius.
"Sebentar, Dok. Nanti saya ambil." Tapi Daud ragu-ragu sebentar. Kalau dia
pergi, apakah Benyamin tidak akan mengutik-utik benda itu"
"Jangan khawatir, Pak. Saya tidak akan menyentuhnya," kata Benyamin seakan
memahami. Dengan tersipu Daud cepat-cepat pergi. Yang dikhawatirkannya bukanlah
nasib benda itu, tapi reaksi Haryati nanti kalau sampai terjadi sesuatu yang tidak diharapkan. Daud
merasa tak sabar saat menyaksikan tingkah Benyamin yang mengamat-amati potongan
tulang itu dengan teramat cermat. Dia pun jadi tak habis pikir ketika Benyamin
membandingkan benda itu dengan tangannya sendiri sambil melengkungkan jarijarinya. Bukankah yang seharusnya jadi fokus perhatian adalah perilaku Haryati"
"Tangannya kecil," kata Benyamin kemudian.
"Oh ya" Apakah itu penting, Dok?" tanya Daud kesal.
"Berapakah tinggi badan Deden Sofyan, Pak?" tanya Benyamin tanpa mempedulikan
kesinisan Daud. "Wah, saya tidak tahu, Dok. Saya belum pernah melihat Deden Sofyan. Apakah itu
penting juga, Dok?" "Saya pikir, hal itu bisa ditanyakan pada orang yang mengenalnya. Tidakkah Anda
bisa melakukannya sekarang, Pak" Cobalah telepon siapa saja yang kira-kira
tahu." "Sekarang?" "Ya. Sebaiknya sekarang." Ketegasan itu kedengarannya seperti perintah, hingga
Daud merasa tambah jengkel. Sesaat terpikir untuk mengatakan, bahwa dia tak
kenal siapa pun yang bisa ditanyai tentang soal itu. Tetapi kemudian terpikir
lagi, bahwa Benyamin tentunya punya alasan dan sebentar lagi akan memberitahu
kepadanya. Dia jadi ingin tahu dan karenanya tidak membantah lagi.
"Oh ya, Pak Daud!" seru Benyamin menghentikan langkah Daud.
"Tolong ambilkan tali sekalian. Tali apa saja. Tali rami, tali plastik, atau
benang. Lalu gunting, kertas, pensil, dan meteran. Atau penggaris juga boleh."
Daud mengiyakan saja walaupun mengeluh dalam hati. Seharusnya Benyamin
memberikan alasan dari segala perintahnya itu. Tetapi kemudian ketika dia
memperhatikan tingkah Benyamin dia menjadi asyik. Benyamin mengukur potongan
tangan itu, mulai dari lingkar pergelangan tangan, lebar telapak tangan, panjang
jari-jari, dan lingkar jari-jari dengan menggunakan tali rami lalu tali itu
dilihat ukurannya memakai penggaris. Selanjutnya dicatat. Semua itu memunculkan
sesuatu dalam pikirannya. Dan hal itu mendorongnya untuk bergegas ke pesawat
telepon sementara Benyamin meneruskan pekerjaannya yang memerlukan kecermatan.
Daud menelepon Gunadi sambil berharap Gunadi belum tidur. Ternyata memang belum.
Daud langsung menanyakan tanpa basa-basi lebih dulu, berapa kira-kira tinggi
badan Deden. "Tingginya?" "Ya, Pak. Saya lebih suka bertanya pada Bapak daripada kepada Haryati. Di sini
ada dokter yang menanyakan. Saya juga tidak tahu maksudnya."
"Tunggu sebentar. Tinggi saya seratus tujuh puluh. Si Deden jelas lebih tinggi
dari saya. Dia memang tinggi dan atletis. Pendeknya bodinya bagus."
"Jadi tingginya di atas seratus tujuh puluh, ya Pak. Apa kira-kira seratus tujuh
puluh lima atau seratus delapan puluh?"
"Kira-kira seratus delapan puluh."
"Dan beratnya, Pak?" tanya Daud walaupun BeIyamin tidak menanyakan hal itu.
Siapa tahu nanti Benyamin menyuruhnya lagi untuk menanyakan karena tadi terlupa.
"Wah, saya tidak tahu persis, Pak," sahut Gunadi.
"Tapi melihat posturnya yang ideal, kayaknya sih beratnya seimbang."
"Baiklah. Terima kasih, ya Pak. Selamat malam!" Cepat-cepat telepon ditutupnya
sebelum Gunadi keburu bertanya lebih banyak lagi. Lalu dia bergegas kembali
kepada Benyamin. Tetapi dokter itu sudah selesai dengan pekerjaannya mengukur.
Dia asyik menekuni catatannya.
"Tingginya kira-kira seratus delapan puluh. Dan beratnya seimbang," kata Daud
sebelum ditanya. "Wow! Bodi yang bagus," puji Benyamin.
"Apakah tangannya terlalu kecil dibanding tubuhnya, Dok?" tanya Daud.
"Entahlah. Saya mau konsultasikan dulu dengan rekan dokter yang lain."
"Tapi memang itu tujuan Anda memeriksa, bukan?" desak Daud.
"Ya." "Kira-kira saya tahu apa yang ada dalam pikiran Anda, Dok." Benyamin tersenyum.
"Kalau begitu tahu samatahu dulullah. Jangan kita bicarakan sekarang sebelum
lengkap fakta-faktanya. Sekarang lebih baik barang itu dirapikan dulu, Pak."
Dengan cepat Daud membungkusnya kembali, mengamatinya sejenak kalau-kalau ada
yang kurang beres, lalu mengunci lemarinya. Sesudah itu dia mengajak Benyamin ke
ruang duduk. "Waktu di telepon tadi, Anda kan belum tahu seperti apa potongan tangan itu,
tapi kok Anda begitu bersemangat" Saya jadi heran."
"Ya. Saya memang belum tahu dan saya tidak punya perkiraan apa-apa. Saya
bersemangat karena kasusnya menarik sekali."
"Anda ngotot betul ingin melihat tangan itu. Kenapa, Dok?"
"Ah, patutkah itu diherankan, Pak" Kalau Anda di tempat saya, pasti akan sama
juga. Iya, kan" Untuk menilai sesuatu sesempurna mungkin saya harus melihatnya.
Pasti takkan lengkap bila saya Cuma mendengarkan Anda menggambarkannya. Lagi
pula bagaimana Anda mau memberi gambarannya lewat telepon" Paling-paling Anda
bilang, itu sepotong tangan yang hangus dengan jari-jari melengkung."
"Ya, ya. Anda menilainya dari sudut yang lain," potong Daud.
"Tapi semangat Anda yang luar biasa itu benar-benar terasa oleh saya. Padahal
saya tidak melihat gerak-gerik Anda. Saya membayangkan Anda ngebut ke sini.
Padahal tak perlu sekarang. Malam-malam begini." Benyamin tersenyum.
"Wah, kalau begitu kita
R)sama-sama merasakan sesuatu yang tidak kita lihat dari diri masing-masing.
Sesungguhnya saya merasa khawatir kalau-kalau Anda berubah pikiran bila saya
tidak sekarang juga datang ke sini. Saya menangkap rasa keberatan Anda ketika
saya mengatakan ingin melihat tangan itu. Lebih-lebih keika saya menganjurkan
Anda membawanya. Maaf, Pak. Saya bisa membayangkan wajah Anda ketika itu. Pasti
Anda menganggap saya keterlaluan." Daud tertawa. Baru sekarang dia merasa
tergelitik. Sesuatu yang sama sekali tidak terbayangkan di saat-saat sebelumnya.
Setelah puas tertawa dia teringat.
"Tapi Anda belum memberi tahu apa dorongan semangat Anda yang luar biasa itu.
Saya rasa bukan sekadar kasus yang menarik."
"Begini, Pak Daud. Pertama-tama memang kasusnya menarik. Sejak awal kedatangan
Anda dengan cerita mengenai Haryati saya sudah mengaguminya sebagai orang luar
biasa. Lalu muncul cerita mengenai tangan itu. Wah, saya bagai orang kepanasan.
Tapi sesungguhnya saya bukan sekadar ingin melihat benda itu semata-mata sebagai
benda yang punya asal-usul unik, melainkan dalam hubungannya dengan Haryati.
Saya ingin mencoba menempatkan diri saya dalam posisi Haryati saat dia
memandangi benda itu. Pantasnya dia berulang kali melakukannya sebelum itu.
Kebetulan saja saat itu kedapatan oleh Anda."
"Memang itu yang ingin saya tanyakan pada Anda, Dok. Melihat kesibukan Anda tadi
saya pikir Anda cuma tertarik pada benda itu. Saya
ingin tahu perihal Haryati. Bagaimana pendapat Anda tentang dia" Saya benarbenar shock waktu menemukannya. Bagaimana mungkin Haryati bisa menyimpannya.
Apakah dia. dia.?" Daud tak meneruskan ucapannya karena ngeri sendiri.
"Maksud Anda, dia gila, begitu?" sambung Benyamin sambil menggelengkan kepala.
"Saya kira tidak. Tetapi dia punya kecenderungan yang berlebihan dengan
melakukan hal itu. Di mata Anda dan orang lain, benda itu membangkitkan
kengerian, tapi di matanya tidak. Tentu saja persepsinya berbeda. Dia punya
keterikatan batin dengan Deden Sofyan. Sedang Anda dan orang lain tidak punya."
"Apakah itu berarti dia masih mencintai Deden, Dok" Cinta yang buta, fanatik,
dan juga masochistik?" tanya Daud penasaran. Dia juga sekalian melampiaskan rasa
jengkelnya. Bagaimana mungkin Haryati bisa melakukan hal itu pada orang yang
telah menyiksanya" Andaikata Deden itu suami yang setia dan melimpahinya dengan
kasih sayang, pasti dia takkan heran.
"Saya kira, kalau Haryati tidak cinta pada Deden dia sudah meninggalkannya sejak
dulu-dulu. Tapi cinta macam apa atau jenis apa saya tidak tahu. Jangan lupa, Pak
Daud. Deden tidak selalu menyiksanya. Tetapi ada saat-saat di mana Deden
juga memberinya cinta. Nah, pada saat seperti
itulah cinta yang direguk Haryati terasa manis dan membahagiakan. Jauh lebih
manis dan membahagiakan daripada kalau dia merasakannya sepanjang gwaktu. Adanya
perempuan-perempuan lain juga begitu. Memang dia marah tapi kemudian muncul
pikiran yang menghibur sekaligus menenteramkan. Berapa banyak pun perempuan yang
digauli Deden, hanya dialah yang memilikinya." Daud termangu sebentar lalu
berkata pelan, "Tapi Deden sudah mati. Buat apa dia menyimpannya" Saya khawatir cinta yang
berlebihan membuatnya jadi sakit, Dok. Ah, saya jadi ingin sekali mengajaknya
berkonsultasi pada Anda. Tadi saya pun menyinggung nama Anda dan menyarankan
agar kapan-kapan berkunjung pada Anda sebagai teman, bukan sebagai pasien
seperti kata Anda tempo hari."
"Lantas" Dia mau?"
"Tidak, Dok." "Sayang sekali. Tapi saya yakin, potongan tangan itu bisa mempertemukan kami."
"Anda yakin, Dok?"
"Sembilan puluh persen yakin!" Daud memandang cemas.
"Saya harap pertemuan itu dapat berlangsung dalam suasana yang menyenangkan,
Dok. Bukan sebaliknya." Kecemasan Daud menulari Benyamin. Tapi cuma sebentar dia
terbawa perasaan lalu berkata optimis,
"Ya. Saya harap juga begitu. Selama ini Haryati sudah membuktikan ketabahannya.
Dia kelihatan rapuh di luar tapi nyatanya kuat di dalam."
"Kekuatan itu ada batasnya, Dok."
"Ya, memang begitu. Kita harap yang terbaik saja untuknya."
Setelah kegemparan mengenai potongan tangan itu mereda, barulah Daud
menceritakan percakapannya dengan Haryati sepanjang hari itu.
"Saya baru mengerti sekarang kenapa dia begitu terdorong untuk bekerja sebagai
pembantu rumah tangga di rumah Arya Kusuma. Bukan untuk mengingat masa lalu tapi
untuk mengambil benda itu, yang entah disembunyikannya di mana," kata Daud
diakhir ceritanya. "Dan dia pulang sebentar ke sini khusus untuk menyimpan benda itu. Rupanya dia
yakin inilah tempat teraman baginya."
"Saya pikir, sebenarnya dia tak terlalu yakin. Kalau memang yakin, mengapa dia
kembali lagi ke kamar pada saat siap akan berangkat" Katanya ada yang
ketinggalan. Mungkin tadinya mau dibawa tapi tak jadi."
"Dia berat hati untuk meninggalkannya, Pak."
"Saya berharap dia akan bercerita terus terang mengenai benda itu nanti. Saya
tak ingin lebih dulu bertanya."
"Ya, sebaiknya tidak," Benyamin setuju.
"Bagaimana pendapat Anda tentang niat bunuh dirinya dulu itu, Dok?"


Misteri Di Balik Abu Karya V Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Saya sependapat dengan kesimpulan Anda. Sedikit-banyak kedatangannya pada saya
ada juga manfaatnya. Dengan bercerita saja dia sudah bisa melegakan perasaannya.
Ingat. Pada saat itu dia tak punya siapa-siapa yang bisa diajaknya bicara. Maka
dia datang kepada saya. Setelah merasa sudah cukup dia berhenti berkunjung. Ya,
tentu sajadia sendirilah yang menentukan. Dia punya keangkuhan untuk tidak
tergantung. Itu juga diperjelas oleh penolakannya terhadap obat penenang
walaupun dia menerima resep yang kuberikan. Mungkin dia sebenarnya kurang yakin
juga akan kekuatannya hingga tak segera menolak saat kuberikan."
"Saya khawatir akan kemungkinan timbulnya kembali dorongan bunuh diri itu, Dok."
Benyamin menggelengkan kepala.
"Tidak. Bukankah dia sedang bersemangat tinggi sekarang" Sebaiknya Anda jangan
terlalu mengkhawatirkan hal itu. Anda seorang sahabat sejati. Dulu dia tidak
punya orang seperti Anda. Sekarang punya." Daud tersipu. Dia tak bisa segera
menyahut. "Ya. Saya mengagumi perhatian Anda kepadanya. Anda menolongnya dengan penuh
dedikasi." "Ah, saya cuma seorang yang kurang kerjaan, Dok. Daripada menganggur, kenapa
tidak menolong seorang teman" Dengan demikian mungkin hidup saya jadi lebih
bermakna." "Anda lebih dari seorang teman."
"Mungkin juga begitu, Dok. Dulu ketika masih sama-sama jadi mahasiswa kami
pernah menjalin hubungan yang mesra. Tapi kemudian putus. Tanpa dendam dan sakit
hati. Kami berpisah baik-baik tanpa meninggalkan luka. Saya tahu karena dia
sendiri yang mengatakan hal itu. Mungkin karena itu maka pertemuan sekarang ini
bisa menjadi akrab. Dulu perpisahan kami terjadi bukan karena pengkhianatan atau
perbuatan selingkuh."
"Saya kira, sebabnya bukan cuma itu, Pak Daud."
"Apa maksud Anda, Dok?"
"Ah, maaf ya, Pak Daud. Bukan maksud saya mengusik masalah pribadi Anda. Anggap
saja ucapan saya tadi itu tak ada."
"Saya mengerti apa yang Anda maksud. Tetapi Anda salah bila mengira bahwa apa
yang saya lakukan untuk haryati sekarang ini adalah karena munculnya kembali
bara masa lalu. Yang dulu itu Sudah lewat." Benyamin mengangguk.
"Ya, tentu saja. Tapi Andalah yang salah perkiraan. Bukan itu yang saya maksud.
Maaf ya, Pak, apakah Anda merasa bersalah terhadap Haryati karena Anda termasuk
salah seorang hakim yang menghukumnya" Dan karena itu maka sekarang Anda
membantunya tanpa pamrih?" Daud termangu. Sesaat mukanya merona merah. Dia
memang telah salah mengartikan perkataan Benyamin. Apakah itu disebabkan karena
sesungguhnya dia peka akan hal itu" Kemudian dia sadar akan tatapan Benyamin.
Cepat-cepat dia berkata, "Rasa bersalah" Terus terang saja memang iya, Dok. Sejak awal saya melihatnya di
persidangan saya punya perasaan bahwa dia tidak bersalah. Tetapi perasaan saja
sudah tentu tidak cukup untuk menghakimi seseorang. Saya menilainya juga dari
Haryati sebagai pribadi yang pernah saya kenal sebelumnya. Seseorang yang begitu
lembut mana mungkin bisa membunuh orang dengan teramat kejamnya. Meskipun dia
mengakui semuanya, tetap terasa kurang pas. Ada yang mengganjal di
R)hati. Sejak vonis dijatuhkan saya tidak bisa merasa tenang. Setahun setelah
dia dipenjara saya menanyakan hal ihwalnya pada petugas di sana. Untuk itu saya
terpaksa menyamar dengan memakai kumis palsu. Saya terkejut ketika mendapat
kabar tentang musibah yang menimpanya di sana hingga mukanya menjadi cacat.
Sejak saat itulah saya datang secara teratur dan menitipkan Haryati kepada
petugas. Ya, membaik-baiki begitu. Di manamana orang harus berbaik-baik kalau
mau diberi perhatian, bukan" Dengan berbuat demikian beban perasaan saya menjadi
lebih ringan. Saya tahu perkembangan Haryati di sana. Dan saya menjemputnya saat
pulang. Sedikit demi sedikit perasaan bersalah itu hilang. Saya menyadari, bahwa
saya tak bisa mencegah segala yang telah terjadi. Saya cuma bisa bertindak atas
apa-apa yang telah saya perbuat itu. Tapi sekarang saya membantunya bukan karena
dorongan rasa bersalah. Saya amat penasaran, Dok. Saya ingin keadilan
ditegakkan. Dan saya juga ingin Haryati berbahagia dengan kepuasan yang dia
peroleh bila pembunuh sebenarnya berhasil ditemukan. Apa yang sudah hilang
darinya memang tak mungkin bisa dicarikan gantinya. Mana mungkin ada ganti rugi
yang memadai?" Benyamin mengangguk. "Saya kira sekarang perasaan bersalah itu sudah tak ada lagi."
"Ya. Saya kira juga begitu. Enak rasanya bisa membicarakan hal itu. Tambah plong
rasanya. Terima kasih, Dok."
Benyamin tersenyum. "Sekarang perhatian kita sebaiknya difokuskan pada potongan tangan itu, Pak.
Saya pikir, beruntung sekali Anda berhasil mendapatkannya. Benar-benar good
luck," katanya sambil menggosok-gosokkan kedua belah tangannya. Daud tertawa
melihat tingkah Benyamin.
"Mudah-mudahan saja benda itu memang membawa keberuntungan, ch, maksud saya bisa
membantu kita. Padahal tadi saya merasa ngeri. Tak terpikir apa-apa kecuali
merasa ngeri belaka."
"Tentu saja. Anda melihatnya semata-mata dari sudut itu."
"Apakah Haryati juga melihatnya semata-mata dari sudut tertentu juga, Dok?"
"Ya. Bila sudah begitu biasanya orang tak sampai tertarik perhatiannya pada halhal lain. Pikirannya tidak ke sana. Hal-hal yang kurang cocok pun tak disadari
walaupun terlihat." "Misalnya ukuran tangan itu, Dok" Mestinya sebagai seorang istri, Haryati cukup
tahu tentang hal itu. Tapi saya kira, mungkin dia menganggap penciutan itu wajar
karena tangan itu mengerut dan kering."
"Kulit dan daging memang begitu, tapi tulang kan tidak, Pak. Ya, Haryati tentu
tidak sampai berpikir ke situ. Dia terpengaruh oleh perasaannya."
"Sebaiknya kita mencari fakta yang lebih banyak lagi perihal itu, Pak Daud.
Bisakah Anda memusatkan perhatian lebih banyak ke soal itu?"
R)"Tentu saja, Dok. Dan Anda juga tentunya."
"Ya, saya akan minta pendapat dan pertimbangan dari rekan ahli. Lalu saya akan
mengabari Anda secepatnya."
"Terima kasih, Dok."
"Wah, saya benar-benar tak sabar lagi menanti hasilnya," kata Benyamin sambil
berjalan menuju mobilnya. Wajahnya cerah dan sangat bersemangat. Dia
meninggalkan Daud dalam kondisi yang kurang-lebih sama. Malam ini akan menjadi
lebih panjang dibanding malam sebelumnya. Dia akan memikirkan dan merenungkannya
dengan lebih saksama untuk menentukan kerjanya besok. Kemungkinan dia akan sulit
tidur atau tidurnya kurang nyaman karena sarat dengan pemikiran. Tetapi dia
memang patut berterima kasih kepada Benyamin. Berkat pertemuan itu dia menjadi
lebih lega dan lebih bersemangat.
R)MENGIKUTI anjuran dan nasihat Lesmana, Melinda memutuskan untuk mengunjungi
suami-istri Gunadi Sudah begitu lama dia tak ke sana. Pendeknya dia sudah
kehilangan kontak dengan kerabatnya, seolah dia anak sebatang kara. Sejak
tragedi kematian ayahnya dia memang sengaja menghindar dari siapa pun yang
mengenal dirinya. Ada rasa segan dan malu menentang tatapan orangorang. Bukankah
dia anak seorang pembunuh" Sekarang ada rasa bersalah. Mestinya tak semua orang
menatapnya seperti itu. Tetapi dia memandang mereka semua sama karena tak ingin
disakiti. Dengan menghindar dari semuanya berarti tak ada risiko. Dia pun ingin
membuktikan kepada semua orang bahwa dia sanggup hidup sendiri. Tetapi risikonya
adalah dia jadi sendirian! Jadi, seharusnyalah dia merasa beruntung karena ada
orang yang tebal muka seperti Lesmana. Ternyata sendirian di tengah-tengah orang
ramai pun tidak menyenangkan. Karena itu sekarang dia bertekad untuk mulai
mengubah sikapnya kepada lingkung
Misteri Di Balik Abu - Novel Indonesia Online
Misteri Di Balik Abu Karya V Lestari
pdf by http://cerita-silat.mywapblog.com
an sekitarnya. Beberapa kali dia merasa kesulitan. Kesinisan dan kejudesan serta
rasa minder sepertinya sudah mendarah daging. Sepertinya sudah menjadi watak
yang menyatu dengan kepribadiannya.
"Aku adalah orang yang tidak menyenangkan untuk diajak bergaul," dia mengakui
kepada Lesmana dalam perjalanan menuju rumah Gunadi.
"Ah, jangan bilang begitu. Kita kan tidak sempurna. Kau juga tidak begitu
menyukai aku, bukan?" Melinda menoleh dengan terkejut.
"Hei, kenapa bilang begitu, Les?" tanyanya cemas. Lesmana tertawa.
"Nah, kau juga berkata sama. Jangan bilang begitu. Sudahlah. Kita harus menerima
diri kita seperti apa adanya."
"Kau tak mengerti. Aku ingin berubah, Les. Kalau kita tahu ada yang tidak baik
masa kita biarkan. Aku bukan bicara masalah kekurangan yang tak mungkin bisa
diperbaiki. Yang kumaksud adalah sifatku yang jelek-jelek itu. Kau sudah tahu
tentunya." "Oh, itu. Ya, aku sudah tahu, Lin."
"Kau sudah tahu?"
"Ya. Aku merasakan hal itu. Banyak sekali perubahanmu. Misalnya kau tidak judes
lagi padaku dan mau diajak diskusi tanpa komentar sinis. Dan contoh lain adalah
sekarang ini. Kalau tak ada perubahan mana mungkin kau mau kuajak menjenguk
kerabatmu." Melinda menarik napas dalam-dalam lalu mengeluarkannya lagi dengan
kelegaan. "Syukurlah. Kau sudah terkesan. Tapi aku sering kesulitan untuk memperbaiki
semuanya." "Jangan, Lin. Jangan semuanya. Yang wajar saja. Kalau kau berusaha terlalu keras
nanti kau malah jadi berlebihan. Aneh rasanya. Nanti aku tak mengenaimu lagi.
Aku sungguh menghargai usahamu itu. Kau hebat." Melinda tertawa lega.
"Terima kasih, Les. Tapi aku masih penasaran terhadap ucapanmu tadi."
"Yang mana?" "Wah, tak ingat, ya" Itu lho, kau bilang bahwa aku juga tidak menyukaimu. Dari
mana kauperoleh kesimpulan semacam itu?" Lesmana tak menjawab. Dia cuma
tersenyum. "Jangan licik. Masa tak mau terus terang?" desak Melinda.
"Dulu memang begitu, kan" Sekarang kayaknya tidak lagi."
"Kalau yang dulu tak usah disebut-sebut lagi, dong. Kalau mau bilang juga mesti
pakai istilah masa lampau."
"Bahasa kita kan bukan bahasa Inggris."
"Memang bukan. Tapi kau bisa pakai keterangan waktu. Di depan kalimatmu itu kau
mesti pakai kata dulu."
"Oh ya, Bu Guru. Maafkan saya." Keduanya tertawa. Riang sekali. Baru kemudian
Melinda teringat akan tujuan perjalanan mereka lalu termenung serius.
"Bagaimana kalau ibuku sesungguhnya ada di
sana" Cuma merekalah keluarga Mama yang paling dekat."
"Justru itu yang paling baik. Pertemuan kalian bisa terjadi lebih cepat."
"Apa tidak terlalu cepat, Les?" Melinda raguragu.
"Ada yang kaucemaskan?"
"Ya." "Masalah sama lagi?"
"Ya." "Sudahlah. Kita hadapi saja. Itu yang paling baik daripada cuma dipikirkan dan
diangankan." "Ya. Itu memang paling baik."
"Jadi kita jalan terus, kan?"
"Ya. Aku akan menghadapi semuanya. Apa T yang akan terjadi. Cuma aku masih saja
memikirkan bagaimana sepatutnya sikapku kepadanya. Apa aku harus berpura-pura
atau bersikap spontan."
"Tak usah dipikirkan. Lihat saja nanti."
"Kau akan jadi penonton, Les?"
"Sebaiknya bagaimana" Apa aku di luar saja?"
"Ah, jangan. Aku mau kau menemaniku."
"Tapi untuk itu kau harus memperkenalkan aku dulu kepadanya."
"Sebagai apa?" "Kira-kira apa menurutmu?"
"Seorang sahabat" Bisa begitu, Les?"
"Oh, bisa. Sahabat itu kan lebih bernilai daripada teman."
"Apa ada yang lebih bernilai lagi daripada itu, Les?"
"Tentu saja ada. Tapi itu sudah cukup kok."
"Kau puas?" "Ya. Tapi terus terang saja, aku pun sedikit gugup. Coba ceritakan sedikit
mengenai suami-istri Gunadi itu. Apa mereka seperti kakek dan nenekmu?"
Permintaan itu meredakan sedikit ketegangan Melinda. Dia bercerita sedikit
tentang masa kecilnya. Tak banyak kesannya perihal kedua orang yang akan
dikunjunginya. "Mereka cukup baik dan ramah. Buktinya sejak aku kecil mereka memaksaku
memanggil mereka Kakek dan Nenek, tak ubahnya panggilan cucu-cucu mereka
sendiri. Ya, aku dianggapnya cucu sendiri. Tetapi kakek dan nenekku yang asli
tampaknya kurang begitu suka kalau aku lebih akrab dengan mereka. Keinginan yang
wajar tentu saja. Aku adalah cucu tunggal kakek dan nenekku sendiri. Mungkin
itulah yang membuat hubungan kami tambah renggang. Lagi pula mereka sudah
disibukkan dengan cucu mereka sendiri. Dan belakangan setelah kakek dan nenekku
meninggal tampaknya mereka juga mengulurkan tangan, tapi aku sibuk dengan
bermacammacam kegiatanku sendiri. Sepertinya seorang anak itu sudah cukup punya
orangtua. Tak perlu lagi dengan kakek-nenek." Tahu-tahu mereka sudah tiba di
muka rumah Gunadi. "Mudah-mudahan mereka belum pindah," Mclinda berharap. Baru saja mereka
menapakkan kaki di muka pintu pagar terdengar teriakan dari dalam rumah yang kemudian disusul oleh
munculnya seorang perempuan tua yang menghambur ke halaman sambil berseru,
"Paaa! Paaa! Ada si Linda! Cepetan!" Setelah membuka pintu pagar dan berhadapan
dengan Melinda, Nyonya Gunadi tertegun sebentar. Dia memandang ragu-ragu kalaukalau sangkaannya keliru. Cepat-cepat Melinda mengulurkan tangan dan berkata
lirih, "Nek! Apa kabar?" Mereka berpelukan sebentar karena Nyonya Gunadi segera menarik
Melinda masuk. "Aduh, Lin! Ke mana saja kamu" Cepat masuk! Masuk! Ada berita penting buatmu!"
katanya dengan nada suara yang tegang. Melinda melirik kepada Lesmana.
"Ini teman saya, Nek." Tetapi Nyonya Gunadi cuma menyentuh tangan Lesmana
sebentar saja. Sedang tatapannya cuma tertuju kepada Melinda seorang dan
tangannya yang satu lagi tak melepaskan pegangannya ke tangan Melinda seakan
takut gadis itu akan lenyap. Melinda membiarkan saja dirinya ditarik masuk.
Lesmana mengikuti di belakang. Gunadi menyambut mereka sebelum mereka masuk
rumah. Sama seperti istrinya dia bersikap gembira tapi tegang. Dirinya seperti
mengandung sesuatu yang mendesak untuk dimuntahkan.
"Lin! Lin! Aku sudah menyuruh orang untuk mencarimu. Belum ketemu sudah datang
sendiri. Mimpi apa aku" Atau kamu sudah tahu bahwa aku mencarimu?" dia bertanya
tanpa menghiraukan sapaan Melinda dan Lesmana. Pelukannya pada Melinda cuma
berlangsung sedetik. Sekadar menyentuh. Sepertinya tak ada waktu untuk berbasabasi.
"Saya tidak tahu, Kek," sahut Melinda.
"Jadi kamu ke sini untuk..?"
"Saya mau bertanya tentang Mama."
"Jadi kamu sudah tahu?"
"Apakah Mama ada di sini, Kek?" tanya Melinda dengan pandangan tertuju ke arah
dalam rumah kalau-kalau muncul orang yang dicarinya tanpa terlihat.
"Dia tak ada di sini tapi aku punya berita menarik sekali, Lin," kata Gunadi
dengan sikap lebih tenang.
"Ayolah kita duduk dulu," ajak Nyonya Gunadi. Baru sekarang dia lebih
memperhatikan Lesmana. "Ini temannya Linda, Pa," katanya kepada suaminya. Gunadi menyambut Lesmana
dengan hangat. "Jadi kamu belum kawin, Lin?" tanyanya.
"Belum, Kek," sahut Melinda tersipu.
"Kalau saya kawin masa Kakek nggak diberi tahu."
"Habis kamu tak pernah datang. Sepertinya hilang begitu saja. Tak ada kabar
ceritanya. Pindah ke mana. Kerja di mana. Apa baik-baik saja. Sama orang tua kok
begitu," Gunadi setengah memarahi.
"Maaf, Kek. Saya. eh, saya." Melinda menjadi gugup karena malu.
"Sudahlah," Nyonya Gunadi menengahi.
"Yang sudah lewat, ya lewat sajalah. Tak usah diungkit
(')lagi. Mungkin Linda punya alasan sendiri. Yang penting adalah urusan sekarang
ini. Ayolah, Pa. Ceritakan."
"Cerita tentang Mama, Kek?" tanya Melinda WaSWAS.
"Ya. Tapi sebelum bercerita, kau ke sini tentu karena tahu bahwa ibumu sudah
bebas. Apa kau berkunjung ke penjara?" tanya Gunadi ingin tahu. Melinda
menggelengkan kepala dengan malu.
"Saya. saya tahu dari teman saya ini, Kek. Lesmana yang mendapat informasi,"
jawab Melinda sejujurnya.
"Lho?" Gunadi memandang Lesmana dengan heran. Lesmana merasa harus memberi
penjelasan karena dua pasang mata memandang padanya.
"Saya bersimpati kepada Bu Haryati. Dulu saya selalu mengikuti kasus


Misteri Di Balik Abu Karya V Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

persidangannya," katanya.
"Jadi bukan Linda yang menyuruhmu?"
"Oh, bukan, Pak."
"Ayolah, Pa. Ceritakan saja," kata Nyonya Gunadi tak sabar.
"Ya, Ma. Sabarlah sebentar. Sebelum bercerita aku harus tahu dulu beberapa hal
tentang Linda. Soalnya. ah ya, sudahlah. Sebenarnya kita sama, Lin. Kita tak
pernah memberi perhatian kepada ibumu selama dia di penjara. Kasihan sekali.
Padahal." "Ayolah, Pa. Ceritakan!" desak Nyonya Gunadi. Setelah menghela napas, Gunadi
mulai bercerita dengan awal kedatangan Daud Galih. Sesekaliistrinya menyela bila
ceritanya melompat. Akhirnya begitu cerita Gunadi selesai, mereka berdua
terkejut melihat Melinda. Gadis itu kelihatan pucat sekali. Matanya menatap
kosong Belum sempat kekhawatiran terucap, Melinda sudah jatuh dalam pelukan
Lesmana. Dia pingsan. Beberapa saat lamanya suasana menjadi hiruk pikuk oleh
usaha menyadarkan Melinda kembali. Dan setelah berhasil suasana tetap gaduh oleh
tangisan Melinda yang kemudian diikuti oleh Nyonya Gunadi. Keduanya berpelukan
sambil tersedu sedan. Sementara kedua lelaki menahan tangis dengan mengejapngejapkan mata dan memalingkan muka. Rasanya akan memalukan kalau mereka ikutikutan menangis.
"Aduh, Mama," rintih Melinda.
"Kasihan betul. Anak macam apa saya ini?"
"Sudahlah, Lin. Kau tidak tahu," hibur Lesmana.
"Tapi aku kejam sekali, Les. Kejam! Dan kau benar. Ah, kau benar. Kenapa justru
kau yang benar, bukan aku" Mestinya kaulah anaknya, bukan aku!"
"Tidak perlu menyesali diri, Lin. Yang penting adalah masa sekarang ini. Kami
berdua juga menyesal sekali," hibur Nyonya Gunadi.
"Tapi saya kan anaknya, Nek. Anaknya cuma saya seorang. Saya mesti minta maaf
kepadanya." Melinda susah payah menahan tangisnya yang mau meledak lagi. Sungguh
dia tak ingin menangis karena sadar hal itu menghambat. Tetapi dia tak bisa
tidak melakukannya. Bagi Lesmana, tangisan Melinda itu tentu saja menyedihkan. Tapi bukan cuma itu,
baginya juga berharga sekali. Sesungguhnya Melinda masih punya hati dan rasa
sayang. Dia bukanlah perempuan dingin tanpa perasaan karena dibutakan oleh
dendam dan penyesalan. Sekarang mereka berdua seperasaan mengenai Haryati.
"Apakah saya bisa menghubungi Pak Daud itu, Kek?" tanya Melinda kemudian.
"Dia tentu sangat ingin bertemu saya. Demikian pula saya. Pasti dia akan
memberitahu di mana Mama sekarang berada."
"Begini, Lin. Dua hari yang lalu aku meneleponnya untuk menanyakan perkembangan
usahanya. Katanya sih ada kemajuan yang bagus. Sayang tak dijelaskannya apa
kemajuan itu. Nantilah kalau sudah jelas karena sekarang cuma persangkaan dan
teori saja. Tapi ada satu hal yang disampaikannya padaku. Ibumu tidak ingin
bertemu denganmu sebelum dia menemukan pembunuh sebenarnya." Melinda terkejut.
Demikian pula Lesmana. Mereka sama-sama tertegun dengan membelalakkan mata.
"Kenapa begitu, Kek" Apakah Mama tidak ingin ketemu saya cepat-cepat" Bagaimana
kalau pembunuh itu lama ketemunya?" tanya Melinda penasaran.
"Dia ingin memperoleh kembali wibawanya dan harga dirinya di depanmu, Lin."
Melinda memekik sedih. "Oh, itu tentu karena tuduhan saya dulu kepadanya. Saya mengumbar
amarah saya kepadanya. Apa yang saya katakan ketika itu sungguh kejam. Dia tentu
sakit hati pada saya. Tidak bisa! Saya harus bertemu dia secepatnya. Mana
mungkin saya bisa menunggu setelah saya tahu tentangnya" Berikanlah alamat Pak
Daud itu, Kek!" Gunadi menoleh pada istrinya dan mengangguk. Nyonya Gunadi
bangkit dan berjalan masuk ke dalam. Ketika keluar lagi dia menyerahkan kartu
nama Daud kepada Melinda.
"Sebaiknya kautelepon dulu saja, Lin. Dia memang ingin sekali bertemu denganmu.
Sebelum ketemu ibumu paling baik kau menemui dia lebih dulu."
"Jadi Mama tinggal bersamanya?"
"Katanya sih tidak."
"Lantas di mana?"
"Katanya sih sama temannya. Tapi dia tidak mau bilang siapa dan di mana. Rupanya
ibumu memang sudah bertekad tak ingin ditemui oleh siapa pun kecuali orang yang
ingin ditemuinya sendiri." Melinda menyusut matanya.
"Jadi sebaiknya saya telepon dulu, ya Kek?"
"Ya. Sanalah telepon." Mereka diam, sama-sama menaruh perhatian pada Melinda
yang masih menunggu. "Ah, tak diangkat-angkat kok," keluh Melinda. Lalu meletakkan pesawat telepon.
"Mungkin dia belum pulang. Masih sore sih. Biasanya aku meneleponnya malam hari.
Terakhirdia melepon ke sini malam-malam hanya untuk menanyakan berapa tinggi
badan ayahmu." "Tinggi badan Papa?" tanya Melinda heran.
"Apa hubungannya, Kek?"
"Entahlah. Mau kutanyakan dia sudah tutup. Kedengarannya buru-buru sekali.
Perasaanku mengatakan dia tengah menyelidiki sesuatu. Suaranya kedengaran
tegang. Besoknya aku telepon lagi, tapi seperti tadi itu, tak ada yang
mengangkat. Berarti dia pergi. Kalau sudah terlalu malam aku nggak berani.
Kasihan. Takut dia sudah tidur. Pulang capek masih diganggu lagi."
"Saya heran, kok dia begitu baik, ya Pak?" Lesmana menyatakan keheranannya.
"Katanya dia sahabat Haryati. Mungkin dia juga punya perasaan bersalah karena
dia termasuk hakim yang menghukum Haryati."
"Toh dia percaya akan cerita Bu Haryati tentang ketidak salahannya," sambung
Lesmana. "Ya. Dia percaya karena menemukan beberapa fakta yang tadinya tidak dikemukakan
dalam sidang. Kau tentu masih ingat bagaimana ibumu mengaku dengan lancarnya
tanpa sanggahan apaapa."
"Kenapa Mama begitu, Kek" Kenapa?"
"Entahlah. Yang tahu tentu cuma ibumu. Kata Pak Daud, ibumu seperti orang
linglung ketika itu. Ibumu mengalami semacam black out, begitu. Ada saat
tertentu yang tak bisa diingatnya, yaitu antara dia tiduran di sofa sampai
terbangun di halaman dengan tangan memegangi jerigen bekas minyak
a -tanah. Tapi dia sangat yakin sebelumnya tidak makan obat penenang."
"Di rumah memang tidak memakai minyak tanah sebagai bahan bakar. Tapi ketika itu
Mama dituduh merencanakan perbuatan itu sebelumnya. Jadi dianggap Mama sudah
menyediakan jerigen berisi minyak tanah."
"Dan ia pun mengiyakan tuduhan itu."
"Ya. Mama tak pernah bilang 'tidak untuk setiap tuduhan," kata Melinda dengan
sedih. "Pak Daud-lah yang menjemput Haryati sekeluarnya dari penjara. Kasihan, dia
sendirian betul waktu itu. Kalau tak ada Pak Daud, dia pasti jalan sendiri.
Entah mau ke mana," kata Nyonya Gunadi dengan sendu. Melinda menyusut lagi
matanya. Dia benar-benar anak yang berdosa. Dan alangkah malangnya ibunya.
"Kalau pembunuh itu berhasil ditemukan, dia mesti dicincang!" serunya marah.
Matanya basah tapi menyala-nyala. Sikapnya itu sempat membuat Lesmana merasa
ngeri. Apakah dendam Meinda atas kematian ayah yang dicintainya memerlukan objek
penyaluran yang lain" Sekarang objek itu jelas bukan ibunya lagi.
"Sudahlah, Lin. Yang penting sekarang ibumu selamat. Dia masih punya teman yang
melindungi," hibur Lesmana.
"Ya. Tapi seharusnya ia bersamaku, bukan" Akulah anaknya. Oh, aku merasa
berdosa, Les. Alangkah sedih dan sakit hatinya Mama. Sudah menanggung hukuman
untuk perbuatan yang tidak
(')dilakukannya, dia pun ditinggalkan oleh anaknya. Aku tak pernah
mengunjunginya, menyalahkan dan menyesalinya terus-terusan. Sampai dia keluar
dari penjara pun aku tidak tahu. Padahal semestinya aku yang menjemputnya.
Bahkan aku pun takut kalau-kalau ketumpangan Mama. Ya, anak macam apa aku ini"
Aku cuma memikirkan diri sendiri, ketenanganku sendiri. Aku cuma tak ingin
diganggu oleh mimpi burukku, tangan melengkung yang kering hitam itu!" Melinda
nyerocos dengan emosional. Suami-istri Gunadi memandang kaget.
"Tangan yang apa?" tanya Nyonya Gunadi dengan wajah bingung tapi ngeri. Melinda
merasa kelepasan bicara. Dia menyesal. Masalah itu tak ingin diceritakannya
kepada orang lain. Cukuplah Lesmana seorang saja yang tahu. Tetapi sekarang
nampaknya sudah telanjur. Dia tidak sampai hati membiarkan kedua orang tua itu
terbengong-bengong. Lalu dia melihat tatapan Lesmana kepadanya dan memahami
tatapan itu. Lesmana menawarkan diri untuk menceritakan masalah mimpi buruknya
itu. Dia mengangguk menyetujui.
"Begini, Bapak dan Ibu," kata Lesmana.
"Dulu Linda pernah melihat jenazah ayahnya yang terbakar hangus itu. Dia tahu
betul perihal lenyapnya sepotong tangan jenazah itu. Kemudian dia jadi sering
diganggu oleh mimpi buruk."
"Oh, begitu. Apa sampai sekarang masih, Lin?" tanya Nyonya Gunadi iba.
"Paling akhir terjadi kira-kira seminggu yang
R)lalu. Tetapi saya sudah bisa menerimanya dengan lebih tabah. Rasa ngerinya tak
sebesar dulu lagi. Saya sudah bertekad untuk belajar beradaptasi dengan mimpi
buruk. Nampaknya bisa." Lesmana memandang kagum. Cerita Melinda seperti itu baru
didengarnya sekarang "Ya, pasti bisa, Lin," dukungnya.
"Bayangkan saja tangan itu dari sudut pandang seorang dokter." Melinda
tersenyum. Dulu ucapan seperti itu pasti akan disanggahnya dengan komentar
sinis. Mana mungkin bisa dilaksanakan" Biar dokter pun, kalau punya hubungan
emosional, pasti akan kesulitan. Sekarang dia bukan cuma tersenyum, karena
menganggapnya sebagai humor belaka, tapi dia juga membenarkannya.
"Aku akan berusaha terus," katanya.
"Tapi aku baru dengar soal tangan itu, Lin," kata Gunadi.
"Pak Daud pun tidak menyinggung soal itu."
"Mungkin dia tidak menganggap soal itu perlu, Pa," komentar istrinya.
"Dia tahu tapi tidak bilang karena tak ada hubungannya."
"Mungkin juga. Tapi sebaiknya nanti kita beri tahu saja. Siapa tahu dia belum
tahu. Segala informasi, sekecil apa pun, sebaiknya dia tahu. Biar di mata kita
tidak penting, tapi di matanya kan belum tentu."
"Kalau begitu, kabari saja nanti. Sekalian kita beri tahu soal Linda. Ah, dia
tentu senang sekali. Walaupun Haryati mengatakan tak ingin ketemu Linda dulu,
tapi bila kepadanya diceritakan tentang
(')keinginan Linda, pasti dia akan senang," kata Nyonya Gunadi dengan gembira.
Melinda berwajah cerah sekarang.
"Saya sudah tidak sabar ingin ketemu dengan Pak Daud itu, Nck."
"Bawa saja kartu itu. Nomor telepon dan alamatnya sudah kucatat di buku," kata
Gunadi. "Bagaimana kalau saya pergi sekarang ke rumahnya, Kek" Biarpun dia belum pulang,
akan saya tunggu. Pasti dia akan pulang, bukan?" tanya Melinda.
"Ah, masa begitu" Kamu kan perempuan. Sendirian menunggu di depan rumah orang
tak pantas dilihat tuh," Gunadi tak setuju.
"Saya yang menemani, Pak," Lesmana buruburu berkata. Gunadi menggelengkan
kepala. "Ah, itu tetap tidak pantas. Seharusnya kamu telepon dulu. Biarpun perasaanmu
begitu menggebu, tapi kau tetap harus memperhitungkan situasi dan kondisi
pihaknya." "Baiklah kalau begitu, Kek. Saya harus bersabar. Bagaimana kalau sekarang saya
telepon lagi" Siapa tahu dia sudah pulang."
"Ya. Teleponlah sana." Tetapi keadaan masih sama seperti tadi. Telepon Daud tak
menyahut. "Dia tentu sibuk sekali. Orang sibuk berarti punya garapan. Sesuatu untuk
diselidiki," kata Gunadi antusias.
"Ya. Saya pikir, Pak Daud itu baik sekali. Apakah dia tidak sibuk dengan
pekerjaannya sendiri?" Melinda tak habis pikir.
"Justru itu. Dia sudah pensiun. Dan menganggur pasti tak menyenangkan untuknya,"
sahut Gunadi. "Tapi sekadar mengisi waktu dengan kerja penuh dedikasi kan lain, Kek."
"Jadi menurutmu bantuannya itu mengherankan?"
"Saya pikir, mestinya dia punya hubungan khusus dengan Mama."
"Kan tadi sudah kubilang, dia bekas hakim yang memvonis ibumu."
"Ah, masa cuma itu. Saya tak percaya ada hakim yang sebegitu mulianya. Apalagi
yang memvonis Mama kan bukan dia sendiri saja. Bukan salahnya."
"Jangan menyangka yang bukan-bukan, Lin. Ibumu sekarang tidak seperti dulu
lagi." Melinda terkejut.
"Apa maksud Kakek?" tanyanya WaSWaS.
"Pa." Nyonya Gunadi mengingatkan suaminya.
"Tapi Linda harus tahu, Ma. Dengan demikian dia bisa bersiap diri sejak
sekarang. Kalau ketemu tidak kaget jadinya," kata Gunadi pelan. Tetapi Melinda
bisa mendengar kata-katanya.
"Kenapa Mama, Kek" Ayo dong, katakan. Saya berhak untuk tahu, Nek. Biarkan Kakek
menceritakan," desak Melinda. Tak urung jantungnya berdebar lebih kencang.
Apakah ibunya cacat"
"Menurut Pak Daud, fisik ibumu sehat-sehat saja. Tapi wajahnya." Gunadi diam
karena bingung bagaimana harus menggambarkan. Dia tidak melihatnya sendiri. Dia
harus mengingat-ingat cerita Daud.
"Kenapa wajahnya, Kek?" Melinda tak sabar. Keraguan Gunadi membuatnya semakin
cemas. "Aku cuma menirukan cerita Pak Daud. Jangan sampai melebih-lebihkan. Jangan
lupa, Lin. Aku kan tidak melihatnya sendiri. Jangan cemas berlebihan. Begini.
Katanya, pipi ibumu entah yang kanan atau yang kiri, aku lupa, ada cacatnya
bekas disilet sesama napi." Melinda memekik, lalu menutup muka dengan kedua
tangannya. Seharusnya dia bisa menduga bahwa hal-hal seperti itu bisa saja
terjadi dalam sebuah tempat mengerikan seperti penjara. Kejadian mengerikan di
tempat mengerikan. Itu cocok. Kehadiran ibunya di situlah yang tidak cocok.
Pelukan Nyonya Gunadi membuatnya sadar. Perlukah dia menangis lagi" Penyesalan
tak ada gunanya. Rasa bersalah pun menghambat langkah. Dia sudah menentukan
sikap. Yang belum dilakukannya adalah melangkah.
"Saya ingin membantu Pak Daud," dia bertekad.
"Kita semua akan membantunya," kata Gunadi.
"Tapi saya tak mau cuma diam menunggu kabar darinya, Kek. Saya ingin aktif
juga." "Aktif bagaimana?" tanya Gunadi dan istrinya hampir berbarengan.
"Ya. Ikut jalan, begitu. Tanya sana-sini. Lihat sana-sini." Gunadi menggelengkan
kepalanya. "Jangan-jangan caramu itu cuma menghambat penyelidikan Pak Daud. Kaukira
gampang" Pak Daud kan lain. Dia mantan hakim, punya banyak relasi di
Kepolisian." "Ya. Siapa tahu, Kek. Barangkali Pak Daud butuh orang seperti saya. Orang
seperti saya kan tak ada di Kepolisian," kata Melinda dengan senyum. Lesmana
memperhatikan dengan senang. Rupanya Melinda sudah berhasil mengatasi
kegalauannya dengan cepat. Mungkin itu berkat cara berpikirnya yang terbiasa
positif. "Ah, jangan. Sebaiknya jangan ikut campur, Lin," Gunadi tetap melarang.
"Jangan sok-sokan. Ibumu pun pasti tidak setuju kalau dia tahu. Lebih baik kamu
menunggu kabar dari Pak Daud. Serahkan saja semuanya kepadanya. Jangan bandel.
Ikutilah nasihat orang tua." Diam-diam Lesmana menjawil lengan Melinda sebagai
isyarat. Melinda memahami maknanya.
"Baiklah, Kek," katanya kemudian dengan wajah menampakkan kepasrahan.
"Saya tinggal berharap dapat bertemu dengan Mama secepatnya."
"Kita semua sangat ingin ketemu Haryati," kata Nyonya Gunadi.
"Oh ya, aku ingin mengingatkan satu hal, Lin," Gunadi berpesan.
"Tentang prasangkamu itu tadi. Jangan menyangka yang bukan-bukan perihal Pak
Daud. Mentang-mentang dia tulus mau membantu. Aku perlu mengingatkan kalau-kalau
kau kelepasan ngomong yang nggak enak begitu. Nanti dia
('')tersinggung. Aku pikir, orang muda sekarang memang suka begitu, ya. Kalau
ngomong suka seenaknya. Ceplas-ceplos saja."
"Nggak, Kek. Janji."
"Pak Daud tidak muda lagi. Demikian pula ibumu. Apalagi dengan kondisi ibumu
sekarang. Jadi jangan membayangkan yang bukan-bukan tentang mereka. Hubungan
khusus seperti yang kausinggung tadi pasti bukan soal yang seperti itu."
"Ya, Kek," sahut Melinda dengan patuh. Kemudian selama sejam berikutnya mereka
mengisi waktu dengan mengobrol tentang diri masing-masing, mengisi kerinduan
akan saat-saat yang hilang. Tetapi obrolan itu sesekali diseling dengan
keprihatinan mengenai nasib Haryati. Melinda pun menelepon lagi ke rumah Daud.
Saat itu sudah jam tujuh malam. Masih juga tak ada yang mengangkat. Lalu Gunadi
mengajak mereka makan bersama.
"Sayang tak bilang-bilang dulu sebelumnya. Jadi makanannya tak istimewa," Nyonya
Gunadi menyayangkan. Tetapi bagi Melinda masakannya terasa istimewa karena
mengingatkan dia akan masa lalu. Menyenangkan tapi sekaligus juga menyedihkan.
Sesudah itu kembali Melinda menelepon Daud tetapi keadaan masih sama seperti
tadi. "Pak Daud tinggal sendirian rupanya," komentarnya.
"Memang begitu," Gunadi membenarkan.
"Dia seorang duda. Anak-anaknya tidak tinggal bersamanya. Pembantunya tidak


Misteri Di Balik Abu Karya V Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menginap." R)"Mungkin sekarang dia tengah makan di luar," kesimpulan Lesmana.
"Ya. Mungkin begitu," kata Gunadi.
"Dia kan perlu makan juga." Akhirnya Melinda dan Lesmana pamitan dengan dibekali
berbagai pesan dan nasihat dari Gunadi suami istri. Mereka pun diminta berjanji
untuk tetap melakukan kontak.
"Kau sudah terlalu lama berlaku sebagai si anak hilang," kata Gunadi. Melinda
tentu saja cuma bisa mengiyakan. Walaupun dimarahi habis-habisan pun dia merasa
sudah sepatutnya menerima.
"Kau benar-benar sudah berubah," puji Lesmana saat mereka sudah berada dalam
mobil. "Oh ya" Tadi aku berbuat sewajarnya saja. Tidak ada usaha apa-apa. Aku menyesal
sekali, Les. Aku shock mendengar berita tentang Mama."
"Ya. Aku juga. Ibumu benar-benar orang yang luar biasa. Aku semakin ingin
bertemu dengannya. Rasanya jadi obsesi, Lin. Tetapi tabahlah. Jangan menyesali
diri terus-terusan. Kau sudah tahu itu tak ada gunanya. Yang penting langkah di
depan. Bukankah tadi kaubilang ingin membantu Pak Daud?"
"Ya. Aku memang ingin sekali. Aku ingin membantu Mama. Kalau bisa tentunya. Tapi
keinginan yang pertama sekali adalah bertemu dengan Mama."
"Apakah keinginan itu tambah menggebu setelah ibumu ternyata tak bersalah?"
"Ya. Tentu saja. Kukira itu wajar, bukan?"
"Tentu. Sama seperti diriku."
"Hei, jangan ambil jalan itu, Les!"
"Lho, kan mau pulang."
"Nggak. Aku mau ke rumah Pak Daud. Aku ingat alamatnya. Jalan Kamboja Putih
nomor lima belas. Kau tahu di mana itu, Les" Kalau aku tak salah sih dekat Semar
Plaza tuh." "Kau benar, Lin. Tapi serius nih, mau ke sana" Ini sudah jam delapan lho."
"Kau segan mengantarkan, Les" Biar aku naik taksi saja."
"Wah, jangan ngambek dong. Masa segan sih. Kan aku juga sangat ingin bertemu
dengan Pak Daud. Oke, kita ke sana!" Lesmana memutar mobilnya.
"Arahnya berlawanan, nih. Tapi tak apa. Biar jauh pun tetap kita tempuh. Kita
memang bukan anak kecil lagi yang takut kemalaman. Tapi kadang-kadang terpikir
juga, apa kita tidak mengganggu Pak Daud malammalam begini?"
"Pasti tidak. Bukankah dia sudah cukup lama mencariku" Pasti dia akan senang
sekali bila orang yang dicari-carinya itu datang sendiri kepadanya. Dalam
keadaan seperti itu mana dia peduli perihal etiket" Biar tengah malam atau
dibangunkan dari tidur pun dia akan senang."
"Ya, ya. Kau benar, Lin. Tapi kau menyalahi janjimu pada Pak Gunadi." Melinda
tertawa. "Yang penting dia tidak tahu. Kau tidak akan memberitahu, kan?"
"Tentu saja tidak. Sebenarnya aku sendiri tadi
mau menyarankan, tapi takut kalau-kalau kau mau jadi anak baik, anak yang patuh
pada orang tua." Melinda mencubitnya. Mereka tertawa. Tapi dengan cepat Melinda
berhenti tertawa. Wajahnya jadi serius. Tidak patut rasanya tertawa bila ibunya
sedang menderita. Ah, Mama, kapan kita bisa ketemu" Lesmana melirik dan tak
ingin mengganggu. Sambil memandang ke jalan pikirannya mencoba membentuk sosok
seorang perempuan tua dari generasi antara Melinda dan Gunadi. Lebih tua dari
yang satu tapi lebih muda dari yang lainnya. Seperti apa kira-kira" Apakah
seperti Melinda dalam usia tua" Ah, dia cacat! Bayangannya menjadi kabur.
Seperti apa kira-kira rupa seseorang yang cacat di pipinya" Spontan dia teringat
pada Bu Yati yang bekerja di rumah Arya Kusuma. Perempuan itu juga tua dan juga
punya cacat di pipinya. Apa kira-kira seperti itu" Setengah jam kemudian mereka
sudah menemukan rumah yang dituju. Cukup singkat padahal rasanya berjam-jam.
"Ya. Benar yang ini. Nomornya lima belas." Melinda meyakini.
"Wah, mobilnya ada. Pasti orangnya juga ada," katanya girang. Tetapi Lesmana
tertegun memelototi mobil di halaman. Dia masih ingat mobil yang sempat
dikuntitnya ketika keluar dari rumah Arya Kusuma. Mobil yang ditumpangi Bu Yati
saat perempuan itu usai melamar kerja sebagai pembantu pada Nyonya Astuti. Bukan
cuma rupa mobil itu yang diingatnya, tapi lebih-lebih nomornya yang terdiri
dari tiga angka dan amat gampang diingat. Nomor tak bisa salah dibanding sekadar
rupa dan merek. Dadanya menjadi gemuruh oleh pemikiran yang muncul tiba-tiba.
"Kamu kenapa, Les" Kok jadi kayak patung?" tanya Melinda heran.
"Oh. Nggak apa-apa. Aku sedang memperhatikan rumah itu. Sudah tidur atau belum,
ya?" "Kalau kita tidak turun dan mengetuk pintunya, tak mungkin kita peroleh
jawabannya," kata Mclinda tak sabar. Lesmana cepat-cepat mengikuti langkah
Melinda yang gesit menuju pintu. Sekitar lima menit mereka menunggu setelah
mengetuk pintu beberapa kali. Seorang lelaki setengah tua muncul dengan wajah
lusuh ditimpa sinar lampu. Nampaknya capek dan mengantuk. Dia mengenakan celana
pendek bermotif garis-garis dan kaos oblong putih. Keningnya dikerutkan dan
matanya memperhatikan seakan kurang awas. Pertanda dia mencoba mengenalisiapa
tamunya tapi tak bisa ingat.
"Selamat malam, Pak!" Sapa Lesmana.
"Apakah ini rumah Pak Daud Galih?"
"Oh, betul. Saya sendiri Daud Galih. Anda dari mana, ya?"
"Maaf, ya Pak. Kami mengganggu malam-malam begini," Melinda yang bicara sekarang
"Saya Melinda, anak Bu Haryati. Kata Kakek Gun." Daud mengeluarkan seruan
panjang, memutus ucapan Melinda. Dia berubah dalam sekejap. Wajahnya menjadi
segar dan langkahnya setengah
berlari menuju pintu pagar yang dibukanya cepatcepat.
"Wah, Melinda. Wah, wah," ucapnya girang.
"Ayolah, mari masuk. Masuk." Di dalam Melinda mengenalkan Lesmana.
"Ini teman saya, Pak. Lesmana." Daud mengangguk. Dia ingat cerita Haryati. Tentu
anak muda ini pacar Melinda. Bagus sekali kalau sang pacar ini ikut serta.
Dengan demikian tak lagi ada rahasia mengenai kasus keluarga Melinda baginya.
Dalam hal seperti itu keterbukaan adalah yang terbaik. Ketika Melinda berbicara
tentang keinginannya bertemu dengan ibunya, Daud menggunakan kesempatan itu
untuk memperhatikan dengan lebih cermat. Jadi inilah Melinda yang kerap kali
dibicarakan Haryati itu. Anak inilah yang selalu menimbulkan rasa penasaran dan
gemasnya. Anak yang keterlaluan. Tapi kejengkelan itu terkikis sedikit demi
sedikit lalu sirna setelah Melinda berbicara lebih banyak dan semakin banyak.
Dia diam sabar mendengarkan. Dan asyik memperhatikan. Gadis yang menarik dan
tangkas serta mandiri. Sama sekali tak mirip dengan Haryati di masa mudanya,
kecuali di segi fisik yang kemiripannya hanya sekitar tiga puluh persen. Mungkin
ayahnya yang dominan. "Tadi saya menelepon dari rumah Kakek Gun tiga empat kali, Pak. Tapi selalu tak
diangkat. Saya pikir, Bapak belum pulang. Jadi saya memberanikan diri untuk
datang sendiri. Siapa tahu.
R')Sebenarnya Kek Gun melarang saya datang Nanti mengganggu, katanya. Ah, maaf
ya, Pak," katanya dengan perasaan lebih enak karena telah menumpahkan perasaan
dan penyesalannya. Sosok di depannya ini bisa dianggap sebagai pengganti ibunya.
Atau lebih cocok sebagai bapak" Begitu saja sambil berbicara dia merasa rindu
pada ayahnya. Tetapi dia cukup menyadari bahwa Daud sama sekali tidak mirip
dengan ayahnya. Tentu bukan masalah penampilan, melainkan sesuatu yang lain.
Sesuatu yang hanya bisa ditampilkan oleh lelaki dewasa. Kesan kebapakan. Daud
tersenyum malu. "Sebenarnya sejak jam enam sore tadi saya ada di rumah. Saya capek sekali. Tidur
saya begitu lelap sampai tak mendengar bunyi telepon."
"Wah, maaf sekali lagi, Pak. Kalau begitu kami benar-benar mengganggu," kata
Lesmana. "Oh, tidak. Sama sekali tidak mengganggu. Justru saya sudah kenyang tidur. Kalau
belum, pasti tadi saya tidak mendengar ketukan pintu. Telepon saja tidak dengar,
apalagi ketukan pintu. Pendeknya saya senang sekali atas kedatangan Anda berdua.
Benar-benar suatu kejutan. Pasti ibu Anda akan senang sekali."
"Tak usah ber-'Anda kepada kami, Pak. Panggil saya Linda saja. Dan itu Les,"
kata Melinda sambil menunjuk Lesmana yang tersenyum-senyum.
"Dialah yang rajin menasihati saya. Kalau bukan karena dia saya tetap keras
kepala, Pak." "Baiklah. Kalian kuanggap seperti anak sendirisaja, ya" Lebih enak begitu
memang. Aduh, mimpi apa saya ini." Daud menggeleng-gelengkan kepala. Sungguh ini
malam yang istimewa. Dia ingat kepada Haryati. Alangkah senangnya Haryati kalau
tahu juga. Rasanya tak sabar ingin segera memberi tahu.
"Di mana Mama sekarang, Pak?" tanya Melinda. Daud tertegun sebentar. Dia belum
siap. Tentu dia tak bisa memberi tahu sekarang. Saat dia sedang mempertimbangkan
jawaban, Lesmana membantunya.
"Barangkali Bapak belum bisa mengatakan sekarang, Lin. Ingat perkataan Kek Gun
tadi. Ibumu memerlukan waktu. Bukankah begitu, Pak?" | Daud mengangguk dengan
perasaan iba. "Bersabarlah, Lin. Saya akan bicara dulu dengan ibumu. Jadi sekarang saya belum
bisa mengatakan dulu di mana ibumu berada. Pendeknya dia baik-baik saja."
Melinda mengangguk dengan lesu.
"Sampaikan penyesalan saya yang mendalam, Pak. Saya sayang padanya. Benar-benar
sayang." "Ya. Nanti saya sampaikan. Dia akan senang sekali mendengarnya."
"Sebenarnya dia tidak usah mencari bukti dan fakta dulu untuk bisa bertemu
dengan saya, Pak. Bagaimana kalau. kalau lama" Saya tidak sabar lagi. Saya
percaya padanya, Pak. Saya percaya dia tidak melakukannya. Kalau saja dulu dia
mengatakan hal itu, saya pun akan percaya. Seharusnya dia menyangkal dan
membantah segala tuduhan.Coba dia berbuat begitu, saya akan mendukungnya
walaupun secara moril." Melinda menggigit bibirnya untuk menahan tangis. Dia tak
ingin membuang waktu dengan menangis. Tidak sekarang.
"Sudahlah, Lin. Masa lalu itu sudah lewat. Ibumu sudah memaklumi kok. Dia sadar
betapa sayangnya kau pada ayahmu."
"Benarkah dia memaklumi, Pak" Tapi tentunya dia merasa sakit sekali. Saya tidak
tahu bagaimana caranya bisa menebus kesalahan saya yang begitu banyak."
"Hal itu tidak usah dipikirkan sekarang, Lin. Kalau kau sudah berkumpul kembali
dengan ibumu, niat itu bisa terwujud dengan sendirinya. Tapi sungguh, dia sudah
memaklumi. Kami sering berbincang-bincang."
"Saya pun sudah bisa memaklumi, kenapa sikap Papa kepada Mama dan kepada saya
bisa begitu berbeda. Ya, memang berbeda. Tidak mungkin sama. Seorang istri bisa
dilihat sebagai orang lain, tapi anak adalah darah daging. Rasa sayang pada
teman hidup bisa hilang, tapi pada anak tak bisa karena ikatan yang khusus itu.
Dulu saya tak punya pemahaman seperti itu, hingga saya tak percaya kalau Papa
bisa berbuat kejam pada Mama. Dan saya juga egois karena saya menyalahkan Mama
untuk penderitaan saya. Padahal Mama jauh lebih menderita," tutur Melinda dengan
sedih. Daud mengangguk. "Saya akan menyampaikan perkataanmu itu kepadanya. Dia benar-benar akansenang,
Lin. Sudah tentu dia tak bisa membayangkan seperti apa dirimu sekarang ini. Yang
dikenangnya hanya dirimu tujuh tahun yang lalu. Padahal sekarang sudah jauh
lebih dewasa." Melinda menggigit bibirnya lagi. Susah sekali perjuangan
mengatasi kesedihan itu. "Apakah dia banyak sekali berubah, Pak" Kata Kek Gun, Mama sangat berubah. Dia.
dia cacat, ya Pak?" "Ya. Sedikit di mukanya." Daud menunjuk pipinya dan membuat garis memanjang
dengan jarinya. "Itu bekas luka sayatan dengan silet. Tapi . secara keseluruhan kondisi fisiknya
baik." Melinda menelan ludahnya.
"Kek Gun juga bilang begitu. Kasihan Mama. Eh Les," dia menoleh kepada Lesmana.
"Kau ingat perempuan yang bekerja di rumah Oom Arya" Bukankah dia punya cacat di
pipi" Tiba-tiba saja aku jadi ingat dia."
"Ya," sahut Lesmana. Lalu dia mengerling pada Daud. Saat itu dia menangkap
kejutan di wajah Daud. Sesuatu yang jelas punya makna. Daud pun memandang
kepadanya tetapi dengan cepat berpaling. Saat bertautan pandang itu Lesmana
mendapatkan bahwa Daud tidak berusaha menyembunyikan ekspresinya. Segera dia
paham. Tentunya Daud tidak tahu bahwa dia pernah melihat mobilnya ditumpangi
perempuan yang disebut Melinda tadi. Daud mengenal perempuan itu. Yang itu Bu
Yati dan satunya lagi Bu Haryati. Keduanya punya cacat di pipi. Dan keduanya
punya hubungan dengan Daud. Memang ada dua atau sesungguhnya cuma satu"Tetapi
Melinda tidak memahami apa yang tengah dipikirkan Lesmana maupun Daud. Dia masih
mengenang pengalamannya di rumah Arya tempo hari.
"Aku ingat bagaimana dia telah mengejutkan Oom Arya begitu rupa sampai Oom Arya
jadi latah. Persis Papa. Aku sangat kaget, tapi perempuan itu rupanya tak kalah
kagetnya. Mukanya pucat sekali, seperti kehabisan darah. Kasihan betul."
Daud tidak memberi komentar.
"Mudah-mudahan saja dia masih bekerja di sana," kata Lesmana.
"Ya," sahut Melinda. Lalu dia sadar telah menyimpang dari pokok pembicaraan.
Daud diam saja. Cepat dia berkata,
"Jadi cuma itulah yang mau saya ceritakan, Pak Daud. Tentunya hubungan Bapak
dengan Mama cukup akrab hingga Bapak mau membantunya."
"Ya, kami memang akrab. Tapi keakraban itu ada pasang-surutnya. Mula-mula semasa
masih jadi mahasiswa kami sudah akrab. Sangat akrab. Lalu berpisah, masingmasing menempuh hidup sendirisendiri. Tahu-tahu ketemu lagi di pengadilan.
Menyedihkan sekali. Dan sekarang kami akrab kembali karena punya tujuan sama.
Saya ingin keadilan ditegakkan dan Haryati ingin menemukan pembunuh suaminya
sekalian membersihkan namanya."
"Boleh saya membantu, Pak" Saya juga ingin sekali menemukan pembunuh Papa. Orang
itu bukan cuma membunuh Papa, tapi juga menimpakan kesalahan kepada Mama.
Kekejiannya berlipat |ganda. Bapak tinggal menyuruh saya. Apa saja akan saya lakukan." Daud berpikir
sejenak. Dia tidak tega untuk mengatakan tidak. Melinda punya keinginan yang
wajar. "Kalau begitu, nanti saya pikirkan dulu, Lin. Saya akan menghubungimu kalau ada
tugas yang cocok buatmu. Bagaimana?" Melinda tersenyum senang.
"Betul ya, Pak" Dan jangan lupa kabari secepatnya kalau Bapak sudah ketemu dan
membicarakan masalah saya dengannya. Ah, saya merasa lebih lega sekarang." Dia
berpaling kepada Lesmana.
"Les! Aku yakin mimpi burukku perihal tangan itu takkan terulang lagi," katanya
dengan optimis. Daud terkejut.
"Tangan apa, Lin?" tanyanya tanpa bisa menyembunyikan rasa kagetnya. Melinda
bertukar pandang dengan Lesmana yang kemudian mengangguk sebagai pertanda agar
Melinda bercerita tanpa ragu-ragu. Maka Melinda bercerita dengan lancar mengenai
mimpi-mimpi buruknya. Bukan cuma sekadar mimpi tapi, juga efeknya. Hal-hal yang
mempengaruhi perasaannya terhadap ibunya. Daud merasa dingin di tengkuknya.
Tangan yang tengah diceritakan itu sekarang berada di rumahnya. Dan tangan itu
sekarang memang jadi topik yang menggemparkan antara dia dan Benyamin. Bisa jadi
titik terang, begitu kata Benyamin. Yang jelas kasus Benyamin dengan potongan
tangan itu berhasil menggugah perhatian temannya di Kepolisian, padahal pada
mulanya dia bersikap R)acuh tak acuh saja, seolah Daud cuma mengadaada. Tetapi dia tak bisa
menceritakan hal itu kepada Melinda. Mungkin nanti bisa. Jelas tidak sekarang.
Maka dia mengangguk-angguk saja penuh pengertian.
"Ya. Saya yakin mimpi itu tidak akan mengganggumu lagi sekarang. Biarlah mimpi
itu datang karena sekarang kau sudah punya ketabahan dan pemahaman. Perasaan dan
kondisi pikiranmu tak sama lagi dengan dulu. Tapi yang paling penting dan
menentukan adalah keyakinanmu itu." Melinda tambah lega.
"Terima kasih banyak, ya Pak. Sekarang sudah saatnya pulang. Sayang sekali. Saya
masih ingin sekali mengobrol dengan Bapak."
"Ya. Masih banyak waktu lain, Lin. Pintu rumah saya selalu terbuka. Tapi paling
baik memang kalau kau menelepon dulu. Biar kedatanganmu tak sia-sia." Saat kedua
orang itu berbicara, diam-diam Lesmana meletakkan kunci mobil yang semula
dipeganginya di lantai bawah kursi yang didudukinya. Tak ada yang melihat.
Mereka berdiri dan bersalaman.
"Jangan beritahu Kek Gun bahwa malam ini saya datang ke sini, Pak," Melinda
berpesan. "Kalau dia tahu saya bisa dimarahi Nanti dia pikir saya tidak menghargai
nasihatnya. Padahal saya tidak bermaksud demikian."
"Saya mengerti. Nanti saya akan pura-pura kaget kalau dia menelepon.
Sesungguhnya saya senang kalian datang sekarang. Kejutan yang menyenangkan." Daud melepas kedua
tamunya sampai pintu pagar.
"Selamat malam, Pak. Terima kasih, ya," Melinda dan Lesmana sama-sama berkata.
Daud menyahuti, tetap berdiri di pintu memandangi keduanya mendekat ke mobil
yang diparkir beberapa meter saja dari situ.
"Aduh, kuncinya ketinggalan!" seru Lesmana.
"Aku ambil dulu. Kau tunggu saja di sini, Lin." Lesmana bersyukur karena Melinda
mematuhi anjurannya. Dia berdiri bersandar ke mobil dengan pandangan ke arah
lain. Pikirannya masih tertuju ke hal-hal yang barusan dibicarakan.
"Wah, ada apa?" tanya Daud heran melihat Lesmana kembali.
"Kunci saya ketinggalan di dalam, Pak."
"Ayo," Daud mengajak masuk.


Misteri Di Balik Abu Karya V Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Linda kok tidak ikut?"
"Dia lebih suka menunggu di sana." Setelah masuk ke dalam rumah Lesmana segera
menuju kursi yang tadi didudukinya, lalu berjongkok untuk mengambil kuncinya.
"Lho?" Daud terheran-heran.
"Saya sengaja, Pak. Saya mau bicara sebentar tanpa didengar Linda. Begini.
Apakah Bu Yati yang sekarang bekerja di rumah Oom Arya adalah Bu Haryati, ibunya
Linda?" tanya Lesmana cepat. Daud tertegun sejenak lalu menjawab pelan,
"Ya. Tapi Linda tidak tahu, kan?"
"Tidak. Karena itulah saya sengaja kembali sendiri."
"Bagus. Jangan beri tahu dulu."
"Mereka sebenarnya sudah bertemu ketika."
"Ya, ya. Saya sudah tahu. Ibunya yang menceritakan. Saya tidak mau memberi tahu
karena ibunya berpesan demikian. Saya sendiri kerap menasihatinya agar tidak
perlu menunggu lama untuk bertemu dengan Linda, tapi orangnya keras kepala."
"Tapi kenapa Bu Haryati harus bekerja sebagai pembantu rumah tangga, Pak"
Bukankah dia masih punya keluarga dan anak yang bisa menanggungnya?" tanya
Lesmana penasaran. "Ya. Saya tahu kau pasti akan bertanya begitu. Sebenarnya dia bukan semata-mata
mau dan perlu bekerja, tapi punya maksud tertentu yang tidak boleh diketahui
orang lain. Saya harus memberi tahu padamu supaya kau bisa membantu menjaga
kerahasiaannya." "Oh!" Mata Lesmana jadi berbinar. Antusias sekali. Dia segera teringat akan
antipatinya pada Arya Kusuma. Kalau begitu, bukankah sekarang terbukti bahwa
kecurigaannya dulu memang beralasan" Bu Yati itu bukan sembarang pembantu rumah
tanggal "Tapi bagaimana kau bisa tahu tentang hal itu?" Daud balas bertanya. Lesmana
bercerita dengan singkat. Daud tertawa sesudahnya.
"Wah, kayak di film saja," komentarnya.|
"Apa saya boleh tahu maksud Bu Haryati itu apa, Pak?" tanya Lesmana ingin tahu.
"Boleh saja. Tapi jangan sekarang. Ceritanya panjang. Nanti Linda bisa kesal
menunggu. Dia akan menyusul kemari lho."
"Jadi saya boleh tahu" Besok-besok, ya Pak?" Lesmana seperti anak kecil
kegirangan. "Ya." "Siapa tahu saya bisa ikut membantu, Pak," kata Lesmana sebelum berlalu. Daud
mengiringinya dengan tawa. Dia menyukai anak muda itu. Dan dia masih ingat
ucapan Melinda tadi. Lesmana telah berjasa dan jelas ingin terlibat.
Ketika sendirian lagi, Daud menghela napas. Ternyata menjadi detektif itu tidak
gampang. Yang jelas dia pun tak bisa bekerja sendiri. Ke manamana dia minta
bantuan. Baru saja dia berhasil mendapat alamat Esther Wijaya, mantan sekretaris
Deden Sofyan. Alamat itu diperolehnya dari Suminta yang juga memperolehnya dari
orang lain. Besok dia akan memulai perburuannya terhadap Esther, karena kabarnya
alamat yang baru diperolehnya itu belum pasti merupakan tempat tinggal terakhir
Esther. Ada beberapa hal yang ingin ditanyakannya pada Esther. Sebagai orang
yang pernah punya hubungan dekat dan intim dengan Deden Sofyan, mestinya Esther
punya kenangan khusus. HARYAT tidak menyesal telah meninggalkan potongan tangannya di rumah Daud.
Sekarang dia tak sendirian lagi di kamarnya. Ada pembantu baru, Ani yang baru
berusia belasan tahun. Tak mungkin ada tempat rahasia yang bisa dipakainya untuk
menyimpan benda seperti itu. Ani suka mengacak-acak barang yang jelas bukan
miliknya. Padahal lemari butut di kamar itu tak ada kuncinya. Harus dipakai
berdua pula. Tetapi pekerjaannya menjadi lebih ringan. Ani bisa membantunya di
dapur, terutama mencuci perabotan kotor yang tak kunjung habis. Dengan demikian
dia bisa memiliki waktu luang lebih banyak. Waktu yang bisa digunakannya untuk
mengamat-amati Arya Kusuma secara lebih cermat. Sekarang sikap Arya kepada
Haryati lebih ramah. Dia sudah menerimanya dengan tangan terbuka. Hal itu juga
membantu usaha Haryati. Dia tak perlu menghindar lagi seperti sebelumnya. Setiap
saat bila Arya berada di rumah, dia melebarkan mata dan menajamkan telinga.
Gerak-gerik Arya dan pembicaraannya dengan istrinya, atau pembicaraannya saat menelepon.
Pendeknya apa saja seputar diri Arya. Tetapi lama-kelamaan dia menjadi bingung
sendiri. Apa gerangan yang bisa diperolehnya sebagai petunjuk dengan cara itu"
Apa yang dikerjakannya itu cuma membuat dia jadi hafal dengan segala tingkah dan
gaya Arya. Sampai-sampai ke cara berjalan, gaya bicara, mengedipkan mata,
kebiasaan mengetuk-ngetuk meja dengan irama tertentu, dan segala kebiasaan Arya
lainnya sudah diingatnya dengan sempurna. Kalau dia disuruh menirukan pasti akan
dilakukannya dengan lancar. Tetapi tentu saja bukan soal itu yang dibutuhkan.
Dia memerlukan bukti kongkret. Fakta nyata. Misalnya sesuatu di atas kertas. Ya,
biasanya kertas menyimpan banyak bukti. Tetapi benda semacam itu tentunya
tersimpan dengan baik di dalam lemari terkunci. Dan bisa dipastikan itu berada
di dalam kamar kerja Arya yang juga terkunci. Tak ada yang boleh sembarangan
keluar-masuk kamar itu kecuali Astuti. Masuk saja tak bisa apalagi mengacakacak. Di mana mengacak dan apa yang mau diacak pun dia tak tahu. Kemudian muncul
kebingungan lain. Belakangan dia jadi sering teringat kepada Deden. Di mana-mana
dia serasa melihat Deden dan mendengar suaranya. Apakah dia mengalami
halusinasi" Apakah hal itu disebabkan karena rumah ini mengandung sesuatu"
Tetapi dia tidak percaya hal-hal seperti itu. Kenapa justru di saat-saat pertama
Misteri Di Balik Abu - Novel Indonesia Online
Misteri Di Balik Abu Karya V Lestari
pdf by http://cerita-silat.mywapblog.com
ketika dia mengharapkan hal itu, walaupun tak percaya, malah tak terasa apa-apa"
Di awal kedatangannya rumah itu biasa-biasa saja. Tidak ada kenangan yang datang
menyengatnya. Justru sekarang malah datang kenangan perihal Deden yang ingin
dilupakannya. Justru kenangan yang tidak diharapkannya. Bukankah dia
mengharapkan sesuatu . yang lain" Kemudian dia mendengar pembicaraan antara Arya
dan istrinya yang berlangsung di teras di saat - keduanya tengah berangin-angin
di malam hari. Arya berbicara pelan, tapi masih terdengar oleh Haryati.
"Aku tidak mengerti, Mam. Belakangan ini aku merasa seolah ada yang mengawasi
dan mengamat-amati terus. Sepertinya ada mata di manamana. Dan mata itu
memandangiku terus tak henti-henti." Astuti tertawa.
"Ah, yang bener, Pap" Di dalam atau di luar rumah?"
"Eh, aku serius, lho."
"Apa kita perlu pakai satpam saja, Pap?"
"Bukan begitu maksudku. Bukan soal keamanan. Tapi perasaan tak enak itu. Coba
saja bayangkan. Kalau kau diawasi orang kan nggak enak." Astuti malah tertawa
lagi. "Mestinya dilihat dulu dia mengawasi itu mau apa. Kalau misalnya dia mengagumi
kecantikanku aku sih senang-senang saja."
"Ah, kau nggak ngerti. Perasaanku tak enak, tahu?"
"Lantas siapa orang yang mengawasimu terus- | terusan itu?"
"Entahlah. Aku tidak tahu."
"Lho, kok gitu sih, Pap" Kau tidak tahu" Jadi kau tidak melihat orangnya?"
"Ya." "Ah, kau membuatku takut. Kenapa sih sebenarnya, Pap" Aku tidak pernah merasakan
apa-apa. . Dari dulu juga tidak merasa apa-apa. Kau juga begitu, kan?"
"Itu sih dulu. Tapi sekarang."
"Sekarang kenapa" Ngomongnya yang jelas dong, Pap." |
"Aku sebenarnya tidak mau ngomong. Aku takut nanti kau ikut-ikutan merasakan.
Aku tidak mau membuatmu cemas. Tapi aku tidak tahan."
"Jadi gimana" Apa kau punya penyelesaian?"
"Bagaimana kalau kita pindah rumah saja, Man?"
"Pindah rumah" Wuah, aku nggak mau. Aku senang di sini. Dari dulu aku senang
Nggak ah." "Nanti kucarikan yang lebih bagus daripada rumah ini."
"Ogah ah. Biar rumahnya bagus tapi suasananya | belum tentu."
"Kau tak ikut prihatin dengan perasaanku rupa
dikejar perasaan yang sama" Nggak habis-habisnya dong Kukira penyelesaiannya
bukan terletak pada nya." "Bagaimana kalau di rumah baru nanti kau juga rumahnya, melainkan pada dirimu
sendiri." "Maksudmu?" "Kita ke psikiater saja, Pap."
"Jadi kauanggap aku sinting?" seru Arya. Suaranya yang tiba-tiba meninggi itu
mengejutkan Haryati hingga dia terlompat. Hampir saja dia lari pergi. Tetapi
keinginannya yang kuat untuk tahu lebih banyak membuat dia membatalkan niatnya.
"Bukan begitu, Pap. Siapa tahu kau punya masalah. Orang ke psikiater kan bukan
selalu berarti sinting. Masa kau nggak tahu sih?" Suasana menjadi sepi. Haryati
merasa tak enak. Bagaimana kalau tiba-tiba kedua orang itu masuk ke dalam"
Cepat-cepat dia pergi. Sambil melangkah dia tersenyum. Kalau saja Arya tahu
siapa orang yang memberinya masalah seperti itu. Tetapi dia menyadari, Arya
memiliki perasaan yang peka. Dia harus lebih hati-hati. Kemudian terpikir untuk
menghentikan saja pengawasannya. Buat apa dia membuang waktu untuk suatu
kegiatan yang tak ada hasilnya" Apa yang dilakukannya cuma menghasilkan rekaman
yang sempurna dari sosok Arya Kusuma. Padahal orang itu tidak disukainya. Tetapi
malam harinya dia terlompat hingga ranjang susun yang ditempatinya bergoyang
keras. Namun Ani yang menempati bagian atas tidak terbangun sedikit pun. Dia
terus saja tidur dengan lelapnya. Haryati duduk di ranjang dengan kaki menjuntai
ke bawah. Dia perlu menenangkan jantungnya dulu. Ada sesuatu hal yang terasa
paling mustahil tapi muncul di benaknya. Suatu hal yang mula
mula muncul sebagai ketidakwajaran. Sama sekali tidak rasional. Reinkarnasi!
Tetapi dia tidak mau meyakini hal itu lebih dulu. Bagaimana gempar perasaannya
pun, dia masih punya kesadaran untuk tetap berpikir di jalur yang rasional.
Barangkali Daud bisa membantu. Lalu dia memikirkan sebuah ide. Sepanjang malam
dia tidak tidur untuk memikirkan dan mematangkan idenya.
Daud terpana ketika berhadapan muka dengan Esther Wijaya. Menurut penilaian
pribadinya, sebenarnya perempuan itu tidak bisa disebut cantik. Tetapi daya
Geger Dunia Persilatan 3 Belalang Kupu Kupu Karya Boy Hijaunya Lembah Hijaunya 11
^