Pencarian

Misteri Di Balik Abu 4

Misteri Di Balik Abu Karya V Lestari Bagian 4


tarik seksnya terasa luar biasa. Setidaknya bagi Daud yang memiliki naluri
lelaki normal. Dengan dada membusung, pinggang kecil, dan pinggul besar,
bagaikan bentuk gitar, Esther sudah mampu menarik mata pria. Kulit wajahnya
halus dengan mata tajam yang suka memandang lama, seakan mengajak berbicara atau
mengandung makna yang bisa ditafsirkan macam-macam. Suaranya serak-serak dalam,
rambutnya panjang tergerai dengan keriting kecil. Gerak-geriknya agresif dengan
gaya seenaknya. Demikian pula cara bicaranya yang bisa memerahkan muka lawan
bicaranya tanpa dia sendiri merasa risi.
Itulah kesan Daud setelah berbicara beberapa saat lamanya dengan Esther. Pada
awal kedatang-. annya dia menyatakan maksudnya untuk minta sedikit informasi
mengenai Deden Sofyan setelah mengenalkan diri sebagai hakim yang pernah
(".mengadili perkara Haryati, tanpa menjelaskan bahwa sekarang dia sudah
pensiun. Selanjutnya dia hanya mengatakan bahwa tujuannya adalah untuk
kepentingan arsip dan dia perlu lebih memahami fisik dan pribadi Deden Sofyan.
Dengan senang dia melihat bahwa Esther menelan semua katakatanya tanpa merasa
perlu bertanya ini-itu. Bahkan sering kali tanpa diminta dia pun bercerita
panjang-lebar mengenai hubungan intimnya dengan Deden. Tak ada perasaan malu
atau segan. "Soalnya, seluruh dunia sudah tahu kok," dia
memberi alasan tanpa ditanya.
"Haryati juga tahu?"
"Ya." "Apakah dia marah kepada Anda?"
Esther tertawa dengan suaranya yang besar. Untuk sesaat Daud berpikir dia tengah
berhadapan dengan seorang laki-laki. Atau wadam.
"Kalaupun marah dia tak menyatakannya pada saya. Saya tak pernah berbincangbincang dengannya secara langsung melainkan lewat telepon kalau perlu
menyampaikan pesan suaminya. Saat itu pembicaraan biasa-biasa saja. Dia tak
pernah menyinggung. Tapi saya yakin dia tahu. Dia tak pernah ke kantor. Dan saya
tak pernah ke rumahnya. Buat apa?"
"Jadi kalian berdua tak pernah bertemu muka?"
"Oh, pernah. Beberapa kali hal itu terjadi. Misalnya dalam acara resepsi, atau
pameran ini-itu. Tapi dia bersikap cuek saja pada saya. Ada kesan meremehkan.
Barangkali juga menghina, begitu.
oh saya tidak peduli. Saya tidak perlu peduli. Yang penting buat saya adalah
sikap suaminya. Bukan istrinya. Bos saya kan suaminya."
"Habis dari mana Anda tahu bahwa dia tahu?"
"Dari caranya memandang saya. Tak ada sikap respek. Matanya pun menyatakan hal
itu." "Anda tidak punya perkiraan kenapa dia tidak marah-marah kepada Anda" Biasanya
kaum istri Suka melabrak kekasih suami mereka."
"Oh, tentu saya punya perkiraan. Dia pasrah karena merasa aman."
"Kenapa begitu?" tanya Daud heran.
"Dia tahu, saya bukan mengincar suaminya untuk direbut seperti kebanyakan
perempuan lain. Saya berhubungan dengan Deden semata-mata karena dua hal.
Pertama, karena dia bos saya hingga penting bagi saya untuk bertahan dengan
nyaman di kantor. Kedua, untuk kesenangan saya pribadi. Saya suka dia dan dia
suka saya. Itu saja. Tetapi saya tidak berminat untuk menjadi istrinya. Saya
tahu betul, lelaki seperti Deden Sofyan itu bukan tipe suami yang setia. Wah,
saya bisa punya nasib sama seperti istrinya."
"Apa kesan pribadi Anda mengenai Deden Sofyan?"
"Dia lelaki hebat."
"Hebat dalam segi apa?"
"Di sini." Esther menunjuk kepalanya.
"Dan di sini." Dia menunjuk selangkangannya hingga Daud jadi tersipu. Melihat
sikap Daud, Esther malah menertawakan.
-Paling akhir barulah Daud menyatakan tujuan kedatangannya yang sebenarnya. Dia
berharap Esther tidak bertanya macam-macam walaupun sudah menyiapkan jawaban
terhadap kemungkinan pertanyaan tertentu.
"Saya mau bertanya perihal ukuran tangannya, Bu Esther," katanya.
"Tangannya?" Esther terheran-heran. Daud membuka tasnya lalu mengeluarkan
gulungan sehelai kertas folio. Di situ tergambar sebuah telapak tangan dalam
ukuran sebenarnya, sesuai dengan ukuran tulang yang telah diambil Benyamin.
Gambar itu diperolehnya dari Benyamin yang meminta rekannya untuk menggambarkan.
Dengan tambahan daging, otot dan jaringan-jaringan, potongan tulang itu menjadi
potongan tangan. Sesungguhnya gambar itu cuma rekaan berdasarkan perkiraan bahwa
pemiliknya, atau Deden Sofyan, punya berat tubuh yang seimbang, jadi tidak gemuk
hingga tidak memiliki lapisan lemak yang berlebihan. Daud menyodorkan gambar itu
kepada Esther. "Apakah tangan Deden kira-kira sebesar ini?" tanyanya. Esther menatap kritis.
Lalu dia tertawa. "Kok kecil, ya?" katanya sambil meletakkan tangannya sendiri di atas gambar itu.
"Gedean juga tangan saya!" dia berseru.
"Jadi tidak cocok?" tanya Daud penuh harap, menanti suatu kepastian.
"Entahlah. Namanya juga gambar, ya. Mungkin yang menggambar kurang tahu."
R)Daud menggerutu dalam hati. Tentu saja yang menggambar kurang tahu karena
memang tidak tahu! Karena tidak tahu itulah dia datang untuk menanyakan.
Tampaknya Esther kurang cerdas. Suatu kondisi yang bisa menguntungkannya.
"Apa saya boleh menggunting gambar ini, Pak?" tanya Esther kemudian.
"Bolch." "Tunggu sebentar. Saya ambil gunting dulu." Setelah gambar itu tergunting rapi,
Esther menimang-nimangnya sejenak. Dia tersenyum-senyum sambil menatap Daud.
Yang ditatap merasa bingung, tak mengerti apa yang akan dilakukan Esther. Betapa
terkejutnya ketika Esther meletakkan guntingan gambar tangan itu di atas salah
satu payudaranya. Daud tambah tersipu ketika Esther berseru,
"Lihat, Pak! Tangan ini tidak bisa menutupi dada saya. Tangan Deden bisa!"
Dengan cara itulah Esther Wijaya memberikan jawaban yang cukup bagus dan tepat.
Daud puas lalu buru-buru pamitan sebelum terjadi hal-hal yang mengejutkan
lainnya. Kemudian barulah dia bisa tertawa setelah menceritakan pengalamannya
itu kepada Benyamin. Mungkin rasa gelinya timbul karena reaksi yang diberikan
Benyamin lewat percakapan telepon.
"Waduh! Kalau begitu berapa sih ukurannya?" serunya spontan. Tetapi sesudah itu
percakapan berlangsung serius.
"Sebaiknya Haryati diberi tahu, Pak Daud."
"Ya. Saya kira juga begitu. Tapi saya perlu memikirkan pendekatannya.
(')"Cepatlah, Pak. Dia harus tahu."
Lalu Daud memikirkan rencana untuk melakukan suatu kunjungan ke rumah Arya
Kusuma. Dia merasa pesimis bisa menemukan Haryati di halaman rumah pada saat
melewati rumah itu sesuai dengan janji dan kesepakatan mereka sebelumnya. Tiap
sore pada jam-jam yang sudah disepakati dia lewat di sana, bahkan berhenti
sebentar tak jauh dari situ, tetapi dia tak melihat Haryati. Mungkin karena pada
saat itu tuan dan nyonya rumahnya sedang duduk-duduk di teras atau kebetulan
Haryati sedang sibuk melaksanakan tugas. Bagi seorang pembantu rumah tangga jam
kerja memang tak berlaku.
Tetapi dia tak bisa menemukan suatu alasan bagi kunjungannya ke sana. Dia dan
Arya Kusuma. tidak saling mengenal dan satu sama lain tidak punya kepentingan
apa-apa. Kalau terlalu mengada-ada malah bisa menimbulkan kecurigaan. Setelah
pusing berpikir tiba-tiba muncul ide. Bukankah dia bisa menggunakan jasa
Lesmana" Daud tidak perlu memanggil Lesmana, karena anak muda itu datang sendiri
kepadanya untuk menagih janjinya bercerita mengenai Haryati.
"Saya akan menceritakan semua, tapi sesudahnya saya mau minta tolong. Sudah saya
pikirkan, cuma kau yang bisa melakukan tugas itu."
"Oh, saya mau, Pak! Senang sekali kalau saya bisa menolong," sahut Lesmana
girang tanpa merasa perlu bertanya dulu pertolongan macam apa yang dibutuhkan
Daud. R)Tanpa buang waktu lagi Daud menceritakan semuanya, termasuk penyelidikannya
mengenai potongan tangan yang disimpan Haryati.
"Wuuuaaah..," desah Lesmana takjub.
"Melinda tak ingin saya beri tahu dulu, karena dia punya hubungan emosional.
Saya khawatir dia akan bertindak emosional juga. Padahal kita belum mendapatkan
apa-apa. Semuanya baru dugaan belaka. Apalagi kesimpulan yang disampaikan
Suminta. Haryati saja sukar mempercayai dugaan buruk perihal Deden, apalagi
Melinda. Sedang duga-an buruk perihal Arya Kusuma bisa membangkitkan kemarahan Melinda. Padahal masih
dugaan belaka." "Dia pun akan emosi kalau tahu kita menyembunyikan hal-hal itu darinya."
"Biar sajalah. Yang penting kita mendapatkan hasil yang baik. Dia akan sadar
bahwa kita terpaksa melakukan hal itu dengan pertimbangan yang matang.
"Jadi memang penting untuk tidak memberi tahu dulu identitas Bu Yati atau
Haryati kepada Linda. Dia tentu akan bertanya-tanya kenapa ibunya berada di sana
dan lebih dari itu dia pun akan penasaran kenapa ibunya bekerja sebagai pembantu
rumah tangga. Asal-usul Haryati sebagai bekas napi tak boleh diketahui orang
rumah itu, lebih-lebih Arya Kusuma. Bayangkan kalau Arya tahu bahwa pembantunya
itu adalah istri dari orang yang kemungkinan telah ditipunya secara kejam."
Lesmana mengangguk. Dia cukup paham betapa
seriusnya situasi semacam itu. Semangatnya meningkat. Dia merasa bahagia sekali
karena mendapat kepercayaan Daud.
"Dari dulu saya mengagumi Bu Haryati. Apalagi sekarang," dia mengakui.
"Ya. Linda menyinggung tentang jasamu yang begitu rajin menasihatinya. Dia
seharusnya senang bisa memilikimu. Haryati pernah menceritakan bahwa Linda putus
dengan pacar pertamanya karena tragedi itu. Si pacar meninggalkannya karena tak
mau punya ibu mertua seorang pembunuh. Haryati mengkhawatirkan, jangan-jangan
Linda sulit mendapatkan pacar karena soal itu. Jadi dia membutuhkan seseorang
sepertimu yang bisa terlibat secara positif seperti ini."
"Tetapi saya bukan pacar Linda, Pak. Saya cuma seorang sahabat."
"Oh ya?" Daud keheranan. Sepertinya anak muda itu dengan dirinya punya
persamaan, yaitu sebagai sahabat dari seseorang yang punya arti khusus bagi
masing-masing "Jadi Linda tidak punya arti bagimu seperti yang kuduga?" tanyanya keCCWa.
"Bukan begitu, Pak. Saya mencintainya. Tapi dia tidak atau belum mau menerima
saya. Dia takut saya akan meninggalkannya karena asal-usulnya itu."
"Tapi kau toh tetap bertahan mendampinginya. Itu tentu karena kau merasa
optimis. Ah, jangan khawatir, Les. Setelah ternyata bahwa Haryati tak bersalah,
pasti dia akan menerimamu dengan tangan terbuka. Perempuan sangat menghargai
keuletan lelaki, Les. Sekalinya dia mencintaimu maka dia akan benar-benar setia
karena dia sadar bahwa cintamu itu memang berharga. Bukan gombal." Lesmana
tersenyum hingga Daud malu sendiri.
"Wah, saya kok menguliahi kamu, Les. Maksud saya cuma ingin kau tetap optimis."
"Saya mengerti, Pak. Terima kasih. Bapak benar kok. Tetapi sebenarnya ada satu
hal penting lain yang membuat saya bertahan di samping Linda. Bukan cuma cinta.
Hal itu tidak akan saya beri tahukan pada Linda. Ya, sebaiknya dia tidak tahu."
"Apa saya boleh tahu" Saya janji tidak akan menyampaikannya kepada Linda."
"Oh, boleh, Pak. Cuma Bapak yang tahu. Itu adalah obsesi saya akan Bu Haryati."
"Obsesi?" tanya Daud heran.
"Ya. Sebelum saya tertarik pada Linda saya sudah mengikuti kasus ibunya dengan
cermat. Saya tertarik, simpati dan empati kepadanya. Aneh juga, ya. Padahal Bu
Haryati itu tidak saya kenal. Tetapi kasusnya menarik sekali buat saya. Rasanya
saya menemukan sesuatu yang luar biasa dalam kasus itu. Entahlah. Cuma feeling
saja, Pak. Kenapa Bu Yati harus susah payah membakar mayat suaminya kalau
kemudian dia toh mengakui semuanya" Bunuh saja tanpa susah-susah seperti itu
lalu menyerahkan diri kepada polisi. Kan sama saja" Saya jadi kepingin ketemu
dan melihat orangnya. Seperti apa sih orangnya" Sayang sayatak bisa mengikuti
jalannya sidang. Saya harus bekerja."
"Jadi kau menaruh perhatian kepada Linda karena kasus ibunya?"
"Oh, tidak, Pak. Ketika saya berkenalan dan kemudian tertarik pada Linda saya
tidak tahu bahwa ibunya adalah Haryati yang itu. Belakangan setelah dia mengakui
dan berharap saya pergi seperti bekas pacarnya, saya malah tak mau pergi.
Apalagi setelah belakangan Linda menyatakan dendamnya kepada ibunya dan tak
pernah mau menjenguk ibunya di penjara, saya bertekad untuk membuatnya mengubah
sikapnya itu. Simpati dan empati saya kepada Haryati semakin bertambah." Daud
merasa takjub mendengar cerita itu.
"Luar biasa," katanya sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Ternyata kau berhasil dengan baik. Sepatutnya kau bangga, Les."
"Jangan katakan hal itu pada Linda, Pak."
"Kan saya sudah janji."
"Apa pun dorongannya, saya tetap mencintai Linda, Pak. Dia memang berharga untuk
diperjuangkan. Padahal saya sempat pesimis. Apalagi ketika pada akhirnya saya
bisa memberanikan diri menjenguk Bu Haryati di penjara, ternyata dia sudah bebas
dan saya kehilangan jejak."
"Ternyata kau bisa bertemu dengan Haryati lebih dulu daripada Linda."
"Sayang waktu itu saya tidak tahu siapa sebenarnya Bu Yati itu. Bahkan saya
sempat menawarkan pekerjaan di rumah saya padanya. Apa
gerangan yang terpikir olehnya akan sikap saya itu?"
"Dia bilang kau adalah anak muda yang baik dan punya kepekaan. Dia senang
melihatmu bersama Linda. Dipikirnya kau adalah pacar Linda." Lesmana tersenyum
senang. "Jadi apa tugas yang harus saya lakukan, Pak?"
"Kau sudah mengenal keluarga Arya. Tidak janggal lagi kalau kau datang ke sana.
Jadi kau bisa jadi kurir untuk menyampaikan pesanku pada Haryati."
"Baik, Pak. Saya bisa melaksanakannya hari ini juga," kata Lesmana dengan
bersemangat. "Wah, tak perlu hari ini, Les. Pikirkan alasannya dulu baik-baik. Barangkali kau
perlu mengajak Linda. Bukankah dia lebih diterima oleh Arya daripada kau" Saat
Linda asyik berbincang-bincang dengan Arya, kau bisa melakukan tugasmu tanpa
menarik perhatian." Lesmana berpikir sebentar.
"Itu ide yang menarik, Pak. Tapi saya harus mencari alasan yang masuk akal untuk
mengajak Linda ke sana. Soalnya Linda tahu betul bahwa saya tidak suka pada Arya
Kusuma." Daud berpikir juga.
"Bagaimana kalau kauceritakan pada Linda tentang dugaan Suminta perihal Arya"
Bahwa ada kemungkinan Arya menipu harta ayah dan ibunya lewat judi" Saya yakin
cerita itu akan membangkitkan semangatnya untuk mulai menyelidiki Arya. Kau
dapat mengajaknya tanpa susah-susah dan tanpa kepura-puraan."
"Betul sekali! Bapak pintar, ya!" seru Lesmana girang.
Daud tersenyum. Kegembiraan Lesmana mampak lugu. Tetapi sikap seperti itu justru
menampakkan kejujurannya.
"Ini rahasia kita berdua, Les."
"Ya, Pak." Sementara Daud membuatkan surat untuk Haryati, Lesmana mulai berangan-angan.
Belum pernah dia merasa dirinya begitu melambung seperti saat itu.
Seperti yang sudah diperkirakan, urusan dengan Melinda berjalan mulus. Tapi dia
sempat menyesalkan, "Kenapa kau ke rumah Pak Daud tak mengajakku, Les" Aku kan ingin ikut dengar
ceritanya. Siapa tahu ceritamu tak lengkap."
"Lengkap kok, Lin. Sebenarnya aku lewat rumahnya pun tak sengaja. Iseng saja.
Tahu-tahu dia ada di depan rumahnya. Ngobrolnya pun nggak lama," Lesmana memberi
alasan. Melinda percaya. Dia lebih terpukau oleh cerita Lesmana perihal Arya Kusuma.
"Aku kenal sama Oom Suminta. Rupanya diam-diam dia punya banyak dugaan. Nggak
sangka, ya" Kalau memang betul begitu, durjana betul Oom Arya itu," katanya
gemaS. "Kau tampaknya percaya, Lin."
"Ya. Aku percaya. Bahkan aku punya dugaanlain. Jangan-jangan pembunuh ayahku
adalah Oom Arya." "Oh ya?" Lesmana terkejut. Bahkan Daud tak pernah menyampaikan dugaan seperti
itu. Tuduhan itu tentunya tidak sembarangan.
"Lantas siapa lagi kalau sudah jelas bukan ibuku" Yang punya motivasi cuma dia.
Dia yang mendapat keuntungan dari kematian ayahku. Dialah yang memiliki sebagian
besar harta keluargaku sekarang. Ya, katanya sih membeli. Yang pasti cuma rumah
saja yang benar-benar dia beli. Mustahil Oom Suminta sembarang sangka kalau tak
punya alasan." Lesmana menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia tidak suka pada Arya
Kusuma tapi rasanya sulit baginya untuk membayangkan lelaki itu sebagai seorang
pembunuh sadis. Wajahnya yang tampan dengan sikap simpatik dan tatapan penuh
atensi kepada orang yang diajaknya bicara sepertinya mustahil menyimpan
kekejaman. Hal yang terasa mustahil itu hanya mungkin terjadi kalau Arya
merupakan seseorang yang munafik, penipu ulung dan pembohong besar.
"Aku heran kau bisa begitu cepat percaya, Lin. Kupikir kau sangat bersimpati
pada Arya." "Ah, aku lebih percaya pada ibuku daripada dia. Dia lebih cocok sebagai pembunuh
daripada ibuku," kata Melinda penuh keyakinan. Lesmana merasa heran. Apakah
ucapan Melinda itu lebih terkesan sebagai keinginan atau benar-benar merupakan


Misteri Di Balik Abu Karya V Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keyakinan" Tetapi mana pun yangbenar, dia merasa senang, karena kali ini Melinda
berubah pikiran sama sekali terhadap Arya Kusuma.
"Tetapi kau harus berpura-pura manis kepadanya, Lin. Apa kau bisa?"
"Oh, tentu saja bisa. Demi ibuku, apa saja akan kulakukan." Dengan kesepakatan
itu sore-sore mereka berkunjung ke rumah Arya Kusuma. Tuan dan nyonya rumah
menyambut mereka dengan hangat. - Terutama Arya, nampak girang sekali.
"Kami lewat di sini tadi, Oom. Entah kenapa rumah ini selalu punya daya tarik
buat saya. Eh, jadi mampir," Melinda beralasan.
"Ah, lain kali jangan cuma kebetulan lewat saja, dong. Sengajalah mampir. Kami
senang sekali. Ya kan, Mam?" tanya Arya pada istrinya.
"Ya, tentu saja," sahut Astuti tersenyum manis. Senyum Astuti mengingatkan
Melinda akan pesan Arya sebelumnya. Astuti tidak tahu perihal asal-usul rumah
itu. Jadi dia tidak boleh menjadikan rumah itu sebagai topik pembicaraan. Tapi
kehadiran Astuti terasa lebih menyenangkan daripada dia harus menghadapi Arya
sendirian. "Pantasnya Linda punya nostalgia yang menyenangkan perihal rumah ini," kata
Astuti. "Ya, memang begitu, Tante. Masa kecil saya di sini." Melinda melihat Arya
mengedipkan mata kepadanya. Tentu dia mengerti isyarat itu.
"Oom Arya kenalan baik almarhum Papa.Pekerjaan saya sekarang pun saya peroleh
berkat bantuan Oom Arya," kata Melinda.
"Oh, begitu. Bagaimana pekerjaannya, apa menyenangkan?" Maka pembicaraan
berlangsung seputar suasana pekerjaan di kantor Melinda dan masalah bisnis pada
umumnya. Lesmana ikut serta sesekali tapi lebih banyak jadi pendengar. Dia hanya
menunggu kesempatan yang baik. Minuman disuguhkan oleh Surti. Haryati tidak
kelihatan. "Nanti makan malam di sini saja," Astuti mengundang.
"Saya punya koki yang pintar masak." Lesmana segera memahami di mana Haryati
berada. Dia tentu sedang sibuk di dapur. Kalau saja Haryati tahu, siapa yang
sedang berkunjung saat itu dan kalau saja Melinda tahu siapa koki yang dikatakan
pintar memasak itu. Ya, yang tahu cuma dia seorang, pikir Lesmana dengan
perasaan tegang. "Terima kasih, Tante. Apa kami tidak merepotkan?" Melinda berbasa-basi.
"Jangan ngomong begitu, Lin. Masa iya sih merepotkan?" kata Arya dengan
senyumnya yang amat ramah. Lesmana merasa sebal. Tapi sekarang dia yakin,
Melinda kini seperasaan dengannya. Dia memuji kepintaran Melinda berpura-pura.
Sekarang Melinda tampak lebih hormat kepada Arya dibanding
sebelumnya. Dia pun tak segan lagi bercerita banyak. Jelas Arya merasa senang
oleh sikap Melinda. Dia tentu menyayangkan kenapa Melinda tidak datang sendiri
di saat dia sedang sendirian, pikir Lesmana geli. Begitu saat makan malam tiba,
barulah Haryati mengetahui siapa kedua tamu yang diundang makan itu. Dia merasa
senang tapi berusaha menyembunyikan perasaannya ketika menyadari bahwa Melinda
memperhatikannya dengan cara yang berbeda dibanding perjumpaan pertama. Sedang
Lesmana bisa mengamati dengan lebih leluasa karena tak ada yang memperhatikan
dirinya. Dia merasa terharu menyaksikan cara kedua orang itu saling memandang.
Setelah acara makan usai, Arya mengajak tamutamunya duduk-duduk di teras. Baru
saja mereka duduk, Lesmana pamitan untuk pergi ke belakang. Di ruang makan
Haryati dan Ani sedang membereskan meja makan.
"Masakannya enak sekali, Bu," puji Lesmana kepada Haryati. Haryati terkejut, tak
menyangka dirinya disapa.
"Oh, terima kasih," sahutnya canggung. Lalu dia heran melihat Lesmana
mengedipkan mata beberapa kali. Suatu isyarat yang tak dipahaminya. Ani tidak
memperhatikan tapi dia tidak berani bertanya-tanya.
"Boleh saya minta air putih, Bu?" tanya Lesmana.
"Oh, boleh. Nanti saya ambilkan," Haryati bergegas ke dapur. Di belakangnya
Lesmana mengikuti. Semula Haryati mau menyuruhnya menunggu saja. Tak perlu ikutikut ke dapur. Tapi kemudian dia teringat akan isyarat mata tadi. Langkahnya
dipercepat, demikian pula Lesmana. Melihat kedua orang itu beriring-iringan, Ani
tidak merasa heran. Dia malah senang dan berlambat-lambat menumpuk piring kotor
karena bisa menggunakan kesempatan itu untuk memasukkan makanan ke dalam
mulutnya. Selama kedua orang itu masih berada di dapur dia akan tetap berada di
situ, di samping meja yang masih dipenuhi makanan. Mumpung Usman dan Surti belum
muncul. Sesungguhnya makanan yang tak habis termakan itu merupakan jatah makan
para pembantu, yang tentunya cukup enak karena sama dengan yang dimakan majikan.
Tetapi dengan mencomoti lebih dulu itu Ani mendapat lebih banyak dan memilih
yang terenak. Bagaimanapun dia telah memberi keleluasaan bergerak bagi Haryati
dan Lesmana. Setibanya di dapur dengan cepat Lesmana mengeluarkan lipatan kertas
yang dititipkan Daud kepadanya. Ketika Haryati menyodorkan gelas berisi air
putih dia pun balas menyodorkan kertas itu.
"Ini dari Pak Daud Galih, Bu. Saya kurirnya," katanya pelan, dan menyadari
keheranan Haryati cepat-cepat dia menyambung,
"Saya tahu siapa Ibu. Ibunya Linda, kan" Bacalah cepat-cepat, Bu. Saya perlu
jawaban Ibu sekarang." Haryati menyadari pentingnya waktu. Dia membaca dengan
cepat. Suratnya memang singkat. Cuma permintaan bertemu untuk suatu pembicaraan
penting. Dia berpikir sebentar.
"Dua hari lagi saya ke rumah Daud. Tapi tak bisa lama."
"Baik. Ada pesan lagi, Bu?"
"Ada. Katakan, saya minta obat penenang pada Dokter Benyamin. Supaya bisa tidur.
Nggak apaapa, kok." "Ya, Bu." "Harap disediakan sebelum saya ke sana. Jadi saya bisa ambil."
"Ya, Bu." "Anda namanya siapa" Teman Linda?"
"Ya, saya teman Linda. Nama saya Lesmana. Panggil saja Les, Bu."
"Apakah Linda tahu, Les?"
"Belum, Bu. Nantilah bicarakan dengan Pak Daud, Bu. Linda memang sangat ingin
ketemu Ibu." "Oh ya?" Mata Haryati berkaca-kaca.
"Ah, sebaiknya bersabar dulullah. Jangan beri tahu dulu, ya Les?"
"Ya, Bu. Jangan lupa kertas itu dimusnahkan."
"Tentu. Terima kasih, Les."
Lesmana mereguk air putih yang gelasnya dari tadi cuma dipegangi saja. Lalu dia
berkata keraskeras, "Terima kasih, Bu!" Sambil berkata begitu dia menyalami Haryati. Dan tatapannya
berbinar. Sikapnya itu mengherankan Haryati dan membuatnya terpesona. Anak muda
itu memandangnya seolah dia seorang idola!
Dalam perjalanan pulang, Melinda menggerutu,
"Usaha kita ini gagal total, Les!?"Gagal?" Lesmana terkejut. Tentu saja dia sen
diri merasa usahanya sukses.
"Ya Aku tak bisa mendapatkan apa-apa dari Oom Arya. Istrinya mepet terus.
Bukankah aku harus menepati janjiku untuk tidak menyinggung soal rumah itu di
depan istrinya" Masa laluku. kasus orangtuaku, semuanya berhubungan dengan soal
itu! Aku sampai bingung mencari bahan percakapan. Ngalor-ngidul tak keruan.
Tambahan lagi kau lama betul di belakang. Apakah kau bab. Les?"
"Apa itu bab.?"
"Buang air besar! Ha ha hal Nggak sopan betul kamu."
"Ah, siapa bilang begitu" Nggak kok. Aku ke dapur minta air putih sama Bu Yati.
Lalu ngomong-ngomong sedikit."
"Oh ya" Kok inggak ngajak-ngajak sih" Aku juga kepingin mengajaknya bicara. Dia
membuatku teringat pada seseorang." Lesmana buru-buru mengalihkan percakapan.
Dia takut kelepasan bicara.
"OBAT penenang?" tanya Daud heran campur waswas, setelah mendengar laporan
lengkap dari Lesnana. "Ya. Katanya sih cuma untuk tidur saja. Dia tak bisa tidur. Atau sulit tidur"
Tak jelas juga. Nanti sajalah Bapak tanyakan kalau dia ke sini."
"Betul juga. Bagaimana kelihatannya dia, Les" Apakah dia sehat, segar, dan
bersemangat?" "Ya, kelihatannya begitu, Pak. Yang jelas dia senang sekali menerima surat dari
Bapak. Dia sudah tahu bahwa Linda ingin bertemu dengannya. Saya pikir, informasi
itu bisa menyenangkannya sebelum dia ketemu Bapak. Mungkin malam harinya dia
bisa tidur lebih nyaman."
"Betul. Pikiranmu itu bagus sekali. Terima kasih atas bantuanmu, Les."
"Tak usah berterima kasih, Pak. Saya sungguh senang bisa membantu. Yang itu tak
seberapa. Kalau ada tugas lain, saya mau, Pak." Daud tersenyum.
"Nantilah kalau ada, kau akan
kuhubungi. Sementara ini belum. Saya perlu menghubungi Dokter Benyamin dulu.
Haryati memerlukan obat."
"Mudah-mudahan Bu Yati cepat keluar dari rumah itu, Pak," Lesmana menyatakan
harapannya. "Saya juga. Nanti saya akan membicarakan soal itu dengannya. Tetapi saya tak
bisa memaksanya, Les. Kadang-kadang dia keras kepala."
"Seperti anaknya." Daud tertawa, tapi Lesmana tersipu.
"Ah, jangan beri tahu Linda, Pak."
"Tentu saja tidak. Saya pikir, ucapanmu itu ada - benarnya kok."
"Linda sudah tak sabaran ingin bertemu dengan ibunya. Saya sering takut
kelepasan bicara." "Bagaimana reaksinya ketika mendengar ceritamu tentang Arya berdasarkan dugaan
Suminta?" "Wah, hebat, Pak. Dia langsung menjadi benci dan percaya sekali akan dugaan itu.
Bahkan dia bilang, pasti Arya-lah pembunuh ayahnya."
"Wah," cuma itu komentar Daud.
"Tapi biarpun dia bilang benci dan marah kepada Arya, ternyata dia cukup pintar
berpura-pura, Pak. Sayang sekali Bapak tak melihatnya saat berbincang-bincang.
Sikapnya manis sekali."
"Kan ada istrinya."
"Oh, bukan dalam artian merayu, Pak. Dia bersikap hormat dan kagum. Seakan Arya
Kusuma itu juru selamatnya. Tentu saja Arya girang sekali. Kentara dari sikapnya
yang melambung. Tetapi istrinya kelihatan tak begitu tertarik kepada kami. Dia
tampak bosan. Rupanya mereka berdua tak
punya anak. Arya dulu pernah mengatakan bahwa Linda seperti anaknya yang
meninggal dan kalau masih hidup tentulah seusia dengan Linda. Saya kira anak
yang dimaksud itu tentulah dari istri pertama, sedang Astuti istri kedua."
"Ya. Memang begitu yang kudengar dari Haryati."
Lesmana mengangguk. "Jadi kami berdua memang bisa membantu, ya Pak?"
"Ya, tentu saja. Rupanya Linda pintar berpurapura," gumam Daud. Bisakah itu
diartikan bahwa Deden Sofyan telah mewariskan kepintarannya kepada putrinya"
Haryati menepati janjinya. Dia datang dengan sikap terburu-buru.
"Aku cuma diberi waktu setengah hari. Kata majikanku, menagih utang tak perlu
sampai seharian." "Majikan pelit," gerutu Daud.
"Tapi tak apalah. Bagaimana kabarmu selama ini, Yat" Aku sudah ingin sekali
mendengar ceritamu, dan aku pun ingin bercerita."
"Jadi Linda datang sendiri kepadamu."
"Benar. Tapi pada mulanya dia datang pada Gunadi, sengaja mencarimu, lalu Gunadi
menunjuk padaku. Bukankah itu sesuai dengan harapan kita bersama, bahwa
hendaknya dia yang lebih dulu mencarimu dan bukan sebaliknya" Karena itu
tidakkah sebaiknya kalian bertemu?" Di luar dugaan Daud, Haryati
menggelengkankepala. "Aku memang rindu ingin memeluknya. Tapi berilah waktu barang sedikit lagi."
"Apa sih yang kaucari di rumah Arya" Sudah ada petunjuk?" Haryati ragu-ragu
sebentar. "Sebenarnya. ah, aku belum yakin juga. Pada suatu saat aku pernah punya ide,
tapi rasanya ide itu terlalu muluk."
"Katakan saja. Semakin lama kau di sana semakin tak aman buatmu. Bagaimana kalau
kau ketahuan menyelidik" Bisa saja dia mencari alasan yang dibuat-buat, misalnya
menuduhmu mencuri. Jadi aku mau usul."
"Berilah aku waktu barang sedikit lagi. Pasti tak lama. Aku juga sudah capek
kerja di sana." Daud memandang iba.
"Jangan capek-capek, Yat. Kau harus bisa menjaga kondisi Ingat, jangan terlalu
berlebihan." "Percayalah, Daud. Aku tidak berlebihan. Masih wajar kok. Majikanku cukup baik.
Si Arya juga cukup baik sekarang. Mungkin karena aku berhasil mendamaikannya
dengan istrinya." "Kalau kau memang tidak berlebihan, buat apa kau minta obat penenang?" sergah
Daud. "Oh itu. Apa sudah kausediakan?"
"Memang sudah. Tapi aku perlu tahu dulu, kenapa kau sampai memerlukan obat
penenang. Ya, justru sekarang. Padahal dulu."
"Dulu dan sekarang kan lain, Daud," potong Haryati dengan tersenyum.
"Sekarang aku memerlukannya. Dulu tidak." Daud menggeleng-gelengkan kepala.
"Aku tidak mengerti Dulu kau stres dan memerlukan ketenangan, tapi kau menolak obat
penenang. Sekarang kau tidak stres, bukan?"
"Memang tidak."
"Nah, kenapa justru perlu obat penenang" Yang begitu tidak masuk akal, bukan?"
"Yang penting aku memerlukannya bukan karena stres. Lihat, apa wajah dan sikapku
menunjukkan aku stres" Sudah kukatakan pada Lesmana, aku perlu untuk tidur saja.
Hanya kalau perlu. Soalnya kalau aku kurang tidur kerjaku jadi tak beres dan aku
ngantuk terus seharian. Padahal tidur siang tak boleh."
"Kenapa tiba-tiba kau tak bisa tidur" Biasanya kan tak ada masalah." Haryati
tertawa. "Kau kayak menginterogasi saja, Daud. Apa kau tak percaya padaku" Ah, itu tentu
menandakan kau memperhatikan dirikui. Terima kasih. Tapi percayalah. Aku tidak
apa-apa. Justru sekarang, pada saat aku menunggu kesempatan untuk memperbaiki
hubungan dengan Linda, aku punya motivasi untuk menjaga diriku sebaik-baiknya."
Ucapan itu meredakan kekhawatiran Daud. Dia mengambil obat yang diberikan
Benyamin. Haryati cepat menyimpan obat itu ke dalam tasnya, seakan takut nanti
diminta kembali. "Ingat-ingatlah, Yat. Jangan dimakan kalau tidak perlu sekali. Dan makannya
cukup satu. Kau akan tidur nyenyak seperti beruang."
"Ya. Aku akan ingat itu. Katakan, apakah Benyamin merasa heran juga seperti
dirimu?" "Ya. Dia juga bertanya-tanya. Tapi dia tidak risau karena katanya kau sedang
bergairah dan bersemangat tinggi."
"Dan punya motivasi untuk terus hidup," sambung Haryati sambil tersenyum.
"Baiklah. Aku percaya," keluh Daud. Dia sebenarnya berharap Haryati mau
bercerita perihal potongan tulang tangan itu. Andaikata Haryati berbuat demikian
tentu dia dapat menceritakan hasil diskusi dan penelitiannya bersama Benyamin.
Paling-paling dia harus menanggung kejengkelan, atau kemarahan, karena lancang
membuka lemari orang. Tetapi dia yakin kemarahan Haryati akan sirna kalau tahu
apa saja hasil penyelidikannya mengenai potongan tangan itu. Ya, kalau saja
begitu. Tetapi sampai saat itu Haryati tidak juga bercerita. Atau belum"
"Sekarang, cerita apa yang kaubawa, Yat?" tanyanya berharap.
"Ceritaku belum banyak, Daud. Tetapi aku terus mengamati dan mengawasi Arya
Kusuma sampai kemudian dia mengadu pada istrinya bahwa dia selalu merasa ada
yang mengawasinya tapi tidak bisa melihat orangnya. Tak kusangka dia merasa
takut karenanya sampai-sampai mengajak istrinya pindah rumah." Haryati tertawa
geli. "Ah, senang juga rasanya bisa membuatnya seperti itu."
"Lama-lama kau bisa ketahuan, Yat Sudahlah. Apa yang bisa kauperoleh dengan
mengawasinya terus-terusan?"
"Ada sesuatu.?"Ada apa?"
"Ah, sudahlah. Itu bagian dari ide gila yang muncul tiba-tiba."
"Ide apa?" "Aku tak mau cerita dulu. Kan tadi sudah kubilang, aku perlu waktu sebentar
lagi." "Jadi tak ada cerita lain?"
"Tak ada." Daud merasa kecewa. Dia berpikir, kalau sebentar Haryati masuk ke kamarnya untuk
menjenguk benda itu, maka dia akan memergoki lalu melihatnya. Haryati tak bisa
mengingkari lagi. Dari sana diskusi mengenai benda itu bisa dimulai. Tetapi dia
tak ingin cara yang seperti itu. Dia ingin Haryati sendiri bersikap terbuka.
"Oh ya, aku ingin minta tolong, Daud. Itulah sebabnya aku pun memerlukan datang
ke sini." "Katakan saja."
"Tapi." "Ayolah. Kau tak perlu ragu-ragu padaku. Tanpa kepercayaan mana mungkin kita
bisa bekerja sama dengan baik," Daud menganjurkan. Harapannya kembali lagi.
"Kau kelihatan jengkel."


Misteri Di Balik Abu Karya V Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ah, masa iya" Nggak kok." Daud membantah. Dia segera menyadari betapa pekanya
perasaan Haryati. Dia harus lebih pintar berpura-pura. Seperti Deden"
"Soalnya apa yang mau kukemukakan ini mungkin akan terasa janggal bagimu. Bahkan
bisa jadi menggelikan. Atau gila. Atau. ah, sudahlah. Pendeknya apa pun anggapan
orang lain, bagiku wajar-wajar saja. Orang lain kan tak tahu."
"Ah, kau ragu-ragu. Aku kan bukan orang lain, Yat. Apa kau memang menganggapku
begitu?" Daud benar-benar optimis sekarang. Masalahnya bukan cuma soal waktu,
tapi lebih-lebih keperCayaan.
"Baiklah. Aku percaya padamu, Daud. Kau memang bukan orang lain." Lalu di bawah
tatapan Daud yang terheranheran, Haryati mengeluarkan dari dalam tasnya . sebuah
kantong plastik bening berisi gelas dan tutupnya, terikat erat dengan karet
gelang. "Apa itu?" tanyanya takjub walaupun cukup tahu benda itu. Masalahnya adalah
melesetnya perkiraannya. Dikiranya Haryati akan mengajaknya ke kamar untuk
memperlihatkan potongan tangan itu.
"Ini adalah benda kenangan yang kusimpan sebelum aku dipenjara, Daud. Dulu gelas
ini selalu dipakai Deden. Aku. aku ingin tahu apakah bekas-bekasnya masih ada
pada gelas ini aku ingin terus menyimpannya." Daud terbengong-bengong. Dia
benar-benar tak habis pikir, Sulit benar menyembunyikan perasaan sebenarnya. Dia
juga ingin sekali melampiaskan kemarahannya. Apakah Haryati memang sakit atau
cuma berlebihan saja" Ya, terlalu berlebihan! Sungguh menyebalkan. Dia ingin
sekali menggoyang-goyang tubuh Haryati sambil berteriak,
"Sadarlah! Deden Sofyan itu bangsat!" Haryati memperhatikan Daud dengan
wajahmurung. "Nah, betul, kan" Sekarang kau memandangku sepertinya aku sudah sinting. Padahal
aku cuma memperlihatkan benda yang biasa-biasa saja. Bagaimana kalau." dia tak
meneruskan ucapannya. Daud terkejut. Dia memang tak pintar berpurapura, pikirnya
menyesali diri. Siapa tahu itu merupakan cara Haryati mengujinya" Selangkah demi
selangkah. Dari gelas ke potongan tangan hangus. Tentu itu cuma strategi belaka.
Betapa bodohnya untuk membiarkan diri terbaca dengan sebegitu gampangnya. Cepatcepat dia berkata,
"Maafkan aku, Yat. Kau salah paham. Aku sama sekali tidak menganggapmu sinting.
Kau terlalu peka. Jangan begitu. Aku. aku cuma iri pada Deden. Itu saja, kok."
Haryati nampak lega. "Kalau begitu, aku juga mesti minta maaf, Daud. Memang susah ya, memahami isi
hati orang. Jadi kau mau menolongku, bukan"
"Tentu saja. Tapi tadi kau mau ngomong apa, Yat" Ngomongmu disetop begitu saja
padahal belum selesai. Jangan bikin orang penasaran. Kalau ngomong harus
selesai." "Yang mana?" "Kau bilang, kau cuma memperlihatkan benda yang biasa-biasa saja. Bagaimana
kalau." Nah, kalau apa?"
"Oh, itu. Maksudku, bagaimana kalau yang aneh-aneh?"
"Aneh kayak apa?""Ah, kayak apa ya?" Haryati berpikir.
"Ayolah, jangan main-main, Yat. Kau harus percaya padaku."
"Itu kan cuma perumpamaan. Yang aneh itu banyak. Tapi sesuatu yang aneh di
matamu bisa saja tidak aneh di mataku. Demikian pula sebaliknya. Semata-mata
tergantung dari mana kita memandang." Daud sadar, Haryati tidak akan bercerita
perihal potongan tangan itu. Percuma saja dia mendesak dan memancing. Salahsalah malah dia yang terjebak mengakui kelancangannya.
"Baiklah. Lantas gelas ini mau diapakan?" tanyanya serius tanpa nada
menyepelekan. "Bukankah kau punya teman di Kepolisian" Tolonglah periksakan apakah pada gelas
ini masih terdapat sidik jari Deden. Aku sudah menyimpannya amat lama. Aku ingin
tahu apakah tidak hilang." Sebenarnya Daud menganggap permintaan itu sangat
tidak masuk akal. Tetapi kali ini dia tidak berani memperlihatkan perasaannya.
"Selama waktu itu apakah gelas itu sempat keluar dari kantongnya?" tanyanya.
"Tentu saja tidak. Masa gelas bisa keluar sendiri?"
"Di mana kau menyimpannya?"
"Di dalam tanah. Itu tempat yang paling aman, bukan?" Segera terpikir oleh Daud,
jangan-jangan masih ada benda lain lagi yang dikubur oleh Haryati
disamping potongan tulang dan gelas itu. Apakah itu sebabnya Haryati tetap
bertahan di rumah Arya" Selama benda-benda yang dikuburnya belum berhasil
diangkatnya semua, maka dia akan tetap bertahan. Tetapi ketika dia melihat
tatapan Haryati cepat-cepat dia berkata dengan sikap tetap serius,
"Ah, kalau begitu sih pasti masih ada, Yat. Tak perlu diperiksa lagi."
"Aku tidak membutuhkan keyakinan seperti itu."
"Baiklah. Aku akan melaksanakan permintaan- mu."
"Secepatnya, Daud. Ini penting sekali artinya buat aku. Penting untuk ketenangan
pikiranku." "Oke. Secepatnya. Lantas siapa yang nanti memberi tahu hasilnya" Kau sendiri
pulang ke sini, aku ke sana, atau.?" Haryati berpikir sebentar.
"Bagaimana kalau minta tolong sama Lesmana" Menyampaikan surat saja tentu tidak
merepotkan. Aku pun bisa melihat Linda lagi."
"Seharusnya kau bertemu dia secara terangterangan, Yat."
"Sssst. Aku tak mau bicara hal itu lagi. Aku juga sudah tidak sabar. Tapi
waktuku tinggal sedikit. Aku harus pergi, Daud. Tolonglah aku, ya?"
"Ya. Percayalah padaku." Haryati pergi dengan sama tergopoh-gopohnya seperti
saat datangnya. Berlawanan dengan perkiraTan Daud, Haryati tidak punya waktu
sama sekali untuk masuk ke kamarnya, apalagi menjenguk potongan tulang yang
disembunyikannya. "Dari mana?" tanya Arya Kusuma ketika Haryati baru saja melangkahi ambang pintu.
Haryati terkejut, tak menyangka bahwa tuan rumahnya berada di rumah pada saat
seperti itu. Hari masih cukup pagi, belum saatnya makan siang. Lebih dari itu
dia menangkap adanya nada berbeda dalam pertanyaan Arya. Itu bukan sekadar
pertanyaan biasa. Sepertinya ada kecurigaan. Dia menjadi cemas tapi sadar tak
boleh memperlihatkan kecemasannya itu.
"Oh, Tuan sudah pulang?" sapanya hormat dengan anggukan kepala yang dalam.
"Dari mana?" ulang Arya dengan nada lebih galak.
"Saya sudah minta izin sama Nyonya, Tuan," sahut Haryati dengan kepala menunduk.
Dengan demikian dia juga sekalian menyembunyikan ekspresi wajahnya. Dia perlu
berpikir sambil menenangkan diri.
"Dari mana?" "Dari rumah majikan lama saya, Tuan. Saya habis mengambil gaji saya yang dulu
belum dibayar." "Oh, begitu. Di mana rumah majikan lamamu itu?"
"Jalan Kamboja, Tuan."
"Apa tak ada nomornya?"
"Ada, Tuan. Nomor lima belas."
"Baiklah. Pergi ke sana. Kau pasti belum masak."Haryati bergegas ke dapur.
Perasaannya tidak enak. Dia bersyukur tadi tidak lama-lama di rumah Daud. Kenapa
Arya tiba-tiba menaruh perhatian seperti itu kepadanya" Mencurigai"
Esoknya Arya memanggil Haryati tanpa setahu Astuti.
"Kemarin kau bilang majikan lamamu tinggal di Jalan Kamboja nomor lima belas.
Jalan Kamboja yang mana itu" Kau tidak mengatakannya secara lengkap. Ada jalan
Kamboja Putih, Merah, dan Kuning. Yang mana" Kalau kau jujur
- tentu kau bilang yang lengkap," katanya dengan
tatapan selidik. Pikiran Haryati bekerja dengan cepat. Kalau dia mengatakannya,
pasti Arya akan mengecek ke rumah Daud. Mungkin saja Daud bisa berbohong dengan
baik untuknya. Tetapi Arya tidak akan berhenti sampai di situ saja. Siapa tahu
dia akan terus menyelidiki siapa gerangan Daud Galih itu. Mustahil orang seperti
Arya tak akan berhasil menemukan. Sekarang, kewibawaan dan pengaruh kedua orang
itu jelas berbeda. Arya lebih unggul dibanding Daud. Sekarang Daud bukan apaapa. Sulit mengharapkan bantuan dari teman dan relasinya kalau sampai terjadi
masalah. Dia tidak boleh melibatkan Daud. Dia harus mengatasinya sendirian.
Segera wajahnya menampakkan kesedihan. Matanya dikucek-kucek.
"Maafkan saya, Tuan. Saya memang telah berbohong. Sebenarnya saya. saya pergi
jalan-jalan saja. Saya. saya suka jalan-jalan. Banyak toko yang bagus-bagus. Saya senang
naik-turun tanggayang bisa jalan sendiri itu," Haryati nyerocos dengan lancar.
Dia bersenang hati karena merasa berhasil memerankan orang lugu. Arya tertawa
terbahak-bahak. "Dasar orang dungu!" gerutunya.
"Kalau kau terlalu sering naik turun tangga jalan itu, nanti kau bisa tujuh
keliling, tahu" Kau akan kelenger. Bangun-bangun kau berada di dunia lain. Ha ha
ha! Ha ha ha!" Haryati merasa sakit hati. Tetapi dia bersyukur, Arya tidak
menanyainya lebih banyak lagi. Lebih
baik dianggap sebagai orang dungu dan sinting .
daripada dicurigai. Tetapi kelegaannya cuma sebentar. Sejak saat itu dia merasa
dirinya lebih banyak diamat-amati dan diawasi oleh Arya. Posisinya sudah
terbalik. Seperti awal keberadaannya di rumah itu dia berupaya menghindar dari
tatapan mata Arya. Tetapi dia merasa mata Arya ada di mana-mana. Dia merasa
diteror. Malam harinya dia mimpi buruk. Arya masuk ke kamarnya dan akan memotong
lehernya dengan pedang panjang. Pas Arya mengayunkan pedang dia terbangun dengan
tubuh basah oleh keringat dingin. Dia melompat dan menggoyangkan tempat tidur,
tapi seperti biasa Ani tak terbangun. Pada saat termangumangu itu dia teringat
akan obat tidurnya. Ah, dia tidak akan menggunakannya sekarang.
Dari kantornya, Arya menelepon Melinda di
kantornya juga. "Halo, Lin, apa saya mengganggu pekerjaanmu?"
Misteri Di Balik Abu - Novel Indonesia Online
Misteri Di Balik Abu Karya V Lestari
pdf by http://cerita-silat.mywapblog.com
"Oh, Oom Arya, tentu saja tidak. Ada apa, Oon?"
"Sebenarnya perlu sekali tidak. Saya cuma mau bertanya karena tiba-tiba saja
teringat." "Teringat apa, Oom?"
"Ibumu. Sudahkah dia menghubungimu?" Di sebelah sana, Melinda menahan napasnya.
Dia mengingatkan dirinya pada cerita Lesmana tentang Arya. Dia harus berhatihati menjawab. Atau dia bisa memanfaatkan saat ini untuk memperoleh informasi.
"Belum, Oom. Apakah Oom sudah menemukan?"
"Wah, belum, Lin. Tadinya tak terpikir ke sana. Tempo hari kita tak sempat
membicarakan hal itu karena ada istriku. Apakah kau ingin saya mencarinya
untukmu?" Melinda berpikir sebentar.
"Entahlah, Oom. Saya tidak tahu. Saya takut dia marah sama saya hingga tak mau
menghubungi. Habis saya tak pernah menjenguknya. Kalau tak ada masalah masa dia
mau ketemu sama saya."
"Kau sendiri, bagaimana perasaanmu terhadapnya?"
"Saya menyesal. Mestinya saya tidak boleh begitu kepadanya. Anaknya kan cuma
saya seorang, Oom." "Ya, betul juga. Tapi itu kan bukan semata-mata salahmu. Ibumu harus menanggung
akibatnya." Melinda merasa muak. Dia juga sedih. Sesaat dia bergulat dengan
perasaannya itu. "Halo, Lin" Kok diam saja."
"Oh, saya merasa sedih, Oom."
"Maafkan saya, Lin. Saya tak bermaksud membuatmu sedih."
"Ah, nggak apa-apa, Oom. Tapi saya ingin tanya, apakah Oom bisa mengenali Mama
kalau sekarang ketemu?"
"Rasanya sih tidak. Bukankah saya pernah mengatakan bahwa saya belum pernah
melihat ibumu dulu?"
"Lucu juga, ya Oom. Oom kenal baik sama . Papa, tapi belum pernah ketemu Mama."
"Ya, memang lucu. Saya tak pernah datang ke rumahmu. Sama kamu juga nggak kenal,
bukan" Habis saya lebih banyak bertemu ayahmu di Amerika." Tiba-tiba Melinda tak
sanggup lagi meneruskan pertanyaan-pertanyaannya. Dia terlampau sedih oleh
kenangan. "Lin" Saya pikir akan pergi ke penjara di mana ibumu pernah ditahan untuk
bertanya-tanya. Masa di sana tak ada yang tahu sama sekali ke mana dan dengan
siapa ibumu pergi. Tentunya ada seseorang yang suka datang dan kemudian
menjemput ibumu saat pulang." Melinda terkejut. Dia teringat akan Daud Galih.
Sebaiknya Arya tidak tahu perihal peranan Daud. Sejauh mana sebenarnya perbuatan
Arya kepada orangtuanya" Bila Arya berhasil menemukan ibunya, apakah yang akan
dilakukannya" Benarkah kebaikan dan perhatian Arya kepadanya semata
mata disebabkan karena dia putri seorang teman baik" Tetapi kalau ayahnya memang
teman baik Arya, mustahil diselingkuhi" Apakah kebaikan dan perhatian itu
disebabkan karena perasaan bersalah"
"Lin" Bagaimana?"
"Jangan, Oom!" "Lho, kenapa?" "Saya. ti. tidak mau masa lalu dikorek-korek kembali. Sudahlah, Oom. Biarkan
saja. Mung. mungkin Mama lebih suka begitu. Oh. sa. saya - jadi sedih," kata
Melinda dengan suara pilu. Wajah Arya nampak sendu untuk sesaat. Kemudian
menjadi biasa kembali ketika dia berkata,
"Baiklah. Bila itu yang kaukehendaki, Lin. Maaf saya membuatmu sedih."
"Tidak apa-apa, Oom. Saya justru berterima kasih atas perhatian Oom."
Pembicaraan berakhir. Melinda masih memikirkan apakah dia tidak sampai salah
bicara. Ada juga rasa penyesalan karena dia tak bisa berbuat lebih daripada cuma
berhati-hati. Jangan salah omong, begitu pesan Lesmana kepadanya. Pesan itu
ditanggapinya dengan serius sesuai dengan sikapnya kepada Lesmana sekarang. Dia
respek dan tidak menyepelekan lagi seperti dulu. Suatu perubahan yang ternyata
menyenangkan dirinya sendiri juga. Di tempatnya, Arya juga berpikir. Tetapi
tidak seperti Melinda dia mengalami keraguan dalam memutuskan. Dia tahu benar
apa yang harus dilakukannya. Senyumnya penuh percaya diri.
R)mata disebabkan karena dia putri seorang teman baik" Tetapi kalau ayahnya
memang teman baik Arya, mustahil diselingkuhi" Apakah kebaikan dan perhatian itu
disebabkan karena perasaan bersalah"
"Lin" Bagaimana?"
"Jangan, Oom!" "Lho, kenapa?" "Saya. ti. tidak mau masa lalu dikorek-korek kembali. Sudahlah, Oom. Biarkan
saja. Mung. mungkin Mama lebih suka begitu. Oh. sa. saya - jadi sedih," kata
Melinda dengan suara pilu. Wajah Arya nampak sendu untuk sesaat. Kemudian
menjadi biasa kembali ketika dia berkata,
"Baiklah. Bila itu yang kaukehendaki, Lin. Maaf saya membuatmu sedih."
"Tidak apa-apa, Oom. Saya justru berterima kasih atas perhatian Oom."
Pembicaraan berakhir. Melinda masih memikirkan apakah dia tidak sampai salah
bicara. Ada juga rasa penyesalan karena dia tak bisa berbuat lebih daripada cuma
berhati-hati. Jangan salah omong, begitu pesan Lesmana kepadanya. Pesan itu
ditanggapinya dengan serius sesuai dengan sikapnya kepada Lesmana sekarang. Dia
respek dan tidak menyepelekan lagi seperti dulu. Suatu perubahan yang ternyata
menyenangkan dirinya sendiri juga. Di tempatnya, Arya juga berpikir. Tetapi
tidak seperti Melinda dia mengalami keraguan dalam memutuskan. Dia tahu benar
apa yang harus dilakukannya. Senyumnya penuh percaya diri.
R)Beberapa hari kemudian Arya memanggil Haryati kembali.
"Aku sudah tahu siapa dirimu, Bi Yati. Atau Haryati," katanya sinis. Haryati
terkejut. Kali ini dia tidak berpura-pura. Dia benar-benar kaget. Bagaimana
mungkin Arya bisa mengetahui" Apakah dia segampang itu untuk dilacak" Tetapi
sudah tentu dia tak bisa menanyakannya kepada Arya sekarang. Dia cuma bisa
ter- . mangu dengan wajah pucat. Dalam hati dia merintih sedih. Apakah Daud
tidak melaksanakan permintaannya" Ke mana Lesmana"
"Perlu kujelaskan apa yang kuketahui itu, Bi?" Haryati menggelengkan kepala. Dia
merasa kalah. "Karena itu kuminta kau pergi dari rumah ini." Akhirnya Haryati menemukan
suaranya kembali. "Kenapa, Tuan" Saya kan tidak berbuat kesalahan," katanya memelas.
"Kesalahanmu ya itu tadi. Kau sudah berbohong kepada istriku. Dia belum
kuberitahu karena aku ingin bicara dulu denganmu."
"Tapi itu masa lalu, Tuan. Saya. saya ingin jadi orang baik-baik. Saya kerja
baik. Saya." "Sudahlah. Tak usah mencari alasan lagi, Bi. Dan kau tak perlu mencari
perlindungan pada istriku. Kalau dia tahu dia tentu akan sependapat denganku.
Dia akan takut sama kamu. Aku juga takut. Bagaimana kalau kau mengulangi
perbuatanmu dulu?" Haryati membuka mulutnya untuk membantah tapi tak jadi. Dia
sadar, itu tak ada gunanya. Dia
|pun tak mau menatap wajah Arya untuk mempelajari apa yang terkandung di balik
ekspresinya. Dia menunduk saja, memandang lantai, menatap kakinya. Lalu dia
terkejut ketika menyadari, bahwa di betis kirinya ada bekas luka yang masih
nampak jelas walaupun sudah berpuluh tahun lamanya menempel di situ. Bekas luka
itu didapatnya ketika ia terjatuh dari sepeda saat berumur sepuluh tahun. Bekas
luka itu nampak unik karena berbentuk bulatan bertanduk. Sudah lama dia tak
mempedulikan bekas luka itu, bahkan sudah melupakannya. Panjang gaun yang
dikenakannya juga lebih sering menutupi. Tetapi tidak selalu. Sekarang dia
terkejut bukan karena melihatnya lagi, tapi karena tibatiba mengingatkannya
kepada Deden. Dulu di saat mesranya berpacaran dengan Deden, sering kali Deden
membuat lelucon tentang bekas luka itu.


Misteri Di Balik Abu Karya V Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hei, apa kau sudah budek, Bi?" tegur Arya ketika melihat perempuan di depannya
mematung saja. Haryati menggeleng lemah. Tetapi di dalam dirinya sedang
berlangsung suatu pemikiran.
"Lantas kenapa diam saja?" tanya Arya penasaran.
"Saya. saya bingung, Tuan."
"Begini saja. Aku akan membantumu. Sebenarnya kerjamu memang baik. Tetapi latar
belakangmu tetap tak bisa kuterima. Bagaimana kalau kau kucarikan kerja di
tempat lain" Kau mau?" Haryati mengangkat mukanya. Sekilas dia bertatapan dengan
Arya. Lalu dia cepat-cepat berpaling. Dia tak tahan. Tatapan Arya membuat
tengkuknya dingin. Tapi bukan itu yang membuatnya tak tahan. Walaupun cuma
sekilas dia bisa menangkap sesuatu di mata Arya. Cemoohan yang menghina. Dia
khawatir kalau-kalau saking tak tahan dia akan meledakkan segala yang terpendam.
"Bagaimana" Kau mau apa tidak?" tanya Arya tak sabar.
"Saya mau. Tapi. Tuan tidak usah repot-repot. Saya akan cari pekerjaan lain
sendiri saja." "Ala, dibantu malah tidak mau."
"Saya mau, Tuan. Cuma saya malu."
"Nggak usah malu. Kenapa sih?"
"Baik, Tuan. Terima kasih. Kapan saya pindiah?"
"Besok." Haryati terkejut lagi. Dia sadar, Arya sudah mempersiapkan hal itu
sebelumnya. "Kok cepat sekali, Tuan. Habis saya mesti bilang apa sama Nyonya?"
"Bilang saja kau mau pulang kampung. Itu yang paling gampang, kan" Tapi ingat,
jangan sekalikali bilang sama Nyonya tentang pembicaraan kita ini. Kalau kau
bilang-bilang nanti aku juga tak mau membantu lagi. Sebaliknya aku pun berjanji
tidak akan membongkar rahasiamu pada majikan
barumu." Haryati mengangguk.
"Terima kasih, Tuan."
"Oh ya, Bi. Jangan bilang sekarang sama Nyonya. Besok saja. Begitu mau berangkat
baru bilang, ya?""Ya, Tuan," sahut Haryati dengan patuh. Susah payah dia
membendung kesedihannya. Di depan Arya dia merasa harga diri dan martabatnya
benarbenar jatuh dan terinjak-injak. Sungguh ajaib bagaimana dia bisa mengatasi
gejolak itu dengan baik. Jadi ini malam terakhirnya di rumah ini. Dia tak bisa lagi menunggu Lesmana
untuk memperoleh kepastian. Sebenarnya dia ragu-ragu juga apakah Lesmana memang
akan datang untuk menyampaikan pesan Daud. Seriuskah Daud saat menerima
permintaan tolongnya mengenai gelas itu" Janganjangan Daud menyepelekan atau
menunda-nunda entah sampai kapan. Ya, salahnya sendiri memang. Harusnya dia
berterus terang saja. Tetapi bila dia melakukan hal itu, sudah pasti Daud akan
mengambil alih keputusan dengan caranya sendiri. Dia tidak menghendaki hal itu.
Dia ingin menuntaskan misteri itu dengan caranya sendiri. Oh, oh, bergetar
seluruh tubuhnya mengenang hal-hal yang akan dilakukannya nanti. Baru
membayangkan saja dia serasa terbakar oleh sensasi, apalagi kalau sudah benarbenar terlaksana
SORE itu, Lesmana datang ke rumah Daud sesuai . dengan perjanjian lewat telepon
sebelumnya. "Ada pesan yang mau kusampaikan untuk Haryati, Les," begitu permintaan Daud.
Lesmana datang sendirian. Dia belum tahu apakah Melinda boleh diikutsertakan
dalam misi itu. "Sebenarnya tidak enak juga cara diam-diam begini, ya Pak," katanya.
"Padahal masalah ini menyangkut dirinya. Dia yang paling berkepentingan."
"Justru karena itulah emosinya paling peka dibanding kita berdua. Bukankah kita
berusaha melakukan yang terbaik untuknya, Les?"
"Benar juga, Pak. Cuma tidak enaknya itu. Mudah-mudahan saja dia bisa memaklumi
nanti." "Pasti bisa." "Mana pesannya itu, Pak" Kapan harus saya sampaikan?"
"Secepatnya." "Apa sekarang" Tapi kalau sekarang saya tak punya janji dengan Linda. Bila saya
ajak diasecara mendadak pasti dia akan curiga. Atau Bapak punya ide lain?"
"Besok sajalah kalau begitu," kata Daud setelah berpikir.
"Tapi kalau saya pergi sendiri pasti sekarang juga bisa, Pak. Cuma alasannya
apa, ya" Ah, saya tak punya alasan. Lagipula pada saat begini Arya - pasti ada
di rumahnya. Mending kalau dia tak ada. Saya bisa lebih gampang mencari alasan
di depan istrinya," Lesmana menimbang-nimbang.
"Sudahlah. Besok juga bisa."
"Tidak mendesak, Pak" Tadi katanya secepatnya."
"Ya, itu memang pesan Haryati. Tapi menilik permintaannya tampaknya tidak
mendesak. Sepertinya dia cuma sekadar ingin tahu saja. Sikapnya tidak jelas.
Saya jadi bingung dibuatnya."
"Apa sih pesannya, Pak" Saya boleh lihat?" Lesmana melirik kertas yang tengah
ditulisi Daud. "Baca sajalah." Lesmana membaca keras-keras,
"Sidik jari Deden Sofyan masih ada. Jelas sekali! Wah, apa maksudnya itu, Pak?"
Daud menceritakan kelakuan Haryati.
"Permintaan aneh. Untung ada hasil penelitian Benyamin yang yakin potongan
tangan itu bukan milik Deden, hingga teman saya di Kepolisian jadi serius
menanggapi." Lesmana menggeleng-gelengkan kepalanya juga. Dia pun sama-sama tak
habis pikir. "Bu Yati memang unik," katanya.
"Tapi saya tetap yakin, Rdia punya alasan untuk itu, Pak Seperti halnya potongan
tangan itu. Kalau tak disimpan Bu Yati, mana mungkin bisa timbul kecurigaan
tentang identitas mayat gosong itu. Bagaimana tanggapan Laboratorium Kriminal
tentang laporan yang dibuat Dokter Benyamin itu, Pak?"
"Saya belum memperolehnya. Mereka bilang, untuk mendapatkan kepastian kuburan
Deden harus digali dulu untuk diperiksa mayatnya, ch, tulang-tulangnya."
"Rumit sekali," keluh Lesmana. Tatapannya tertuju lagi pada kertas yang berisi
pesan Daud. Keingintahuannya muncul.
"Boleh saya lihat gelas itu, Pak?"
"Tentu saja boleh." Segera setelah melihat gelas dalam kantong plastik itu,
Lesmana berseru, "Itukah gelas yang biasa dipakai Deden sekitar tujuh tahun yang lalu?"
"Ya. Begitulah kata Haryati."
"Ha! Gelas seperti itu, persis sama, juga dipakai di rumah Arya. Saya tahu
karena tempo hari diajak makan malam bersama." Keduanya saling berpandangan.
Perasaan mereka sama-sama tegang.
"Jadi?" tanya Daud.
"Saya yakin itu gelas yang ada di rumah Arya. Jadi gelas itu gelas di masa kini,
dipakai oleh Arya. Bukan gelas dari masa lalu yang dipakai oleh Deden."
"Tetapi pada gelas itu terdapat sidik jari Deden. Jelas sekali, seperti baru
saja dipakai." R)"Jadi." Keduanya berbarengan mengucapkan satu kata itu. Perasaan mereka tidak
lagi tegang melainkan gempar.
"Bukankah itu mustahil, Pak" Tapi sidik jari adalah fakta yang tak bisa
dibantah, bukan" Hanya ada satu sidik jari bagi setiap orang."
"Tidak mustahil, Les. Sama sekali tidak mustahil. Di zaman sekarang ini wajah
bisa diubah. Tetapi sidik jari seperti katamu akan tetap sama. Satu bagi setiap
orang. Jadi itulah yang diperoleh Haryati selama berada di sana. Dia mempunyai
kecurigaan-kecurigaan yang membutuhkan pembuktian. Tapi aku tak mengerti, kenapa
dia tak membicarakannya secara terbuka" Dia menyembunyikannya, main teka-teki
dan berbohong." "Dia tentu punya alasan sendiri, Pak. Tapi penemuan ini bukan main-main, Pak.
Linda harus tahu. Dia harus diberitahu sekarang juga. Ayahnya masih hidup.
Ibunya tak bersalah. Tak patut kita menyembunyikan fakta itu darinya, walaupun
cuma sebentar saja."
"Ya. Saya sependapat. Telepon saja. Panggil dia ke sini."
"Panggil, Pak?"
"Ya. Dia bisa ke sini sendiri, kan" Itu lebih menghemat waktu. Kita bisa
memanfaatkannya untuk bicara lebih banyak." Lesmana berlari ke pesawat telepon.
"Lin" Kau bisa ke rumah Pak Daud sendiri, kan" Pakai taksi saja. Cepat, ya!"
Sambil menunggu kedatangan Melinda, Daud
menelepon teman baiknya di Kepolisian dan tentu saja juga Benyamin di ruang
prakteknya. Itu memang sesuai dengan perjanjian mereka sebelumnya, bahwa begitu
ada kabar baik, Benyamin harus dikabari di mana pun dia berada. Benyamin sudah
banyak membantu dan merasa terseret secara emosional dalam kasus itu. Ketika
Melinda datang Lesmana menjadi sibuk. Daud menyerahkan tugas memberi penjelasan
kepadanya karena dia sendiri sibuk telepon ke sana sini. Setelah selesai baru
dia ikut bergabung. Wajah Melinda nampak pucat. Sepertinya dia berada di ambang
shock. "Jadi Mama adalah Bi Yati itu" Aduh. kok Mama jadi seperti itu, ya" Kasihan
sekali. Jadi pembantu lagi. Tapi... oh ya, dia pembantu bohong-bohongan, bukan"
Ah, pantas dia memandangku seperti itu. Mestinya aku bisa menduga. Kok nggak
kepikir, ya" Pantas rasanya aku pernah melihat, tapi di mana" Kau jahat, ya Les.
Kenapa tak bilang-bilang dari permulaan" Kan aku juga bisa simpan rahasia. Aku
juga bisa berpura-pura. Apakah aku sebodoh itu?" dia menggerutu setelah jadi
lebih tenang. Tetapi cerita bagi Melinda belum berakhir. Masih ada cerita
perihal Arya Kusuma. "Kami pikir, dia adalah ayahmu, Lin," kata Lesmana dengan keprihatinan mendalam.
Perlu waktu bagi Melinda untuk menyimak cerita itu. Tiba-tiba wajahnya yang
semula pucat jadi memerah. Semakin merah. Matanya membesar. Otot-otot di
lehernya bertonjolan. Dia nampak
beringas. "Jadi Papalah si pembunuh dan dia menjebak Mama. Papa. bagaimana mungkin orang
yang kusayangi bisa seperti itu" Masihkah ada sayangku padanya" Masihkah ada
respek" Oh, Mama. Ma. maafkan aku!" Lesmana memeluknya. Tapi Melinda menggoyang
tubuhnya dengan keras. "Les! Pak Daud! Ayo kita ke sana sekarang! Mama masih di sana, bukan" Kita harus
menyelamatkannya dari cengkeraman Arya. Ya. Oom Arya! Itulah panggilanku
kepadanya. Tetap begitu. Dia bukan ayahku. Ayahku sudah mati seperti yang telah
direncanakannya dulu. Mati! Mati! Juga segala perasaanku kepadanya. Aku benci
dia! Bencil Hei, kok pada bengong" Ayolah kita pergi!" Melinda berlari menuju
pintu. Lesmana sadar dari pesonanya lalu berlari mengejar Melinda. Dia
memeluknya keras-keras. Mula-mula Melinda berontak untuk melepaskan diri hingga
Lesmana kewalahan menahannya. Daud bersiap-siap untuk membantu memegangi. Tetapi
sebelum Daud sempat menyentuh, Melinda sudah lunglai lebih dulu. Gadis itu
menangis mengguguk. "Duh, orangtuaku!" ratapnya. Tanpa disadarinya dia telah mengulang perilaku masa
lalu ketika pertama kali mendengar musibah yang menewaskan
"ayahnya". Yang berbeda kini cuma orang yang memeluknya. Dari balik punggung
Melinda, Lesmana bertatapan dengan Daud. Daud menganggukkan kepala. Mereka harus
bersabar menanti saat di mana Melinda berhasil mengatasi gejolak emosinya.
Tatapan Daud juga mengingatkan Lesmana bahwa ledakan emosi memang bisa
menghasilkan tindakan tak terkendali. Lesmana menyadari hal itu sekarang. Bagi
Melinda, beban batinnya menjadi berlipat ganda dibanding dulu. Dulu ibunya jadi
"pembunuh", sekarang ayahnya. Suasana sepi mempercepat pulihnya rasa hati
Melinda. Kesadaran bahwa mereka harus melakukan sesuatu, lebih cepat lebih baik,
juga memaksanya menenangkan pikiran. Dia tak boleh kalah oleh emosi. Sikap
rasional harus yang utama. Kebencian pun tak boleh jadi alasan bagi tindakannya.
Dia harus terus mengingat-ingat hal itu. Dengan suasana hati seperti itu dia
kembali mengajak kedua rekannya duduk untuk membicarakan masalah itu. Sikapnya
yang demikian berubah sempat mencengangkan Daud dan Lesmana. Rasanya bagaikan
melihat seorang Melinda yang baru, yang muncul setelah memenangkan pertarungan
melawan Melinda yang satunya lagi.
"Beberapa hari yang lalu Oom Arya nelepon saya di kantor, Pak," Melinda memulai.
"Dia menawarkan bantuan untuk mencari Mama setelah sebelumnya bertanya apakah
saya telah bertemu Mama atau belum. Katanya dia akan menyelidiki ke penjara.
Masa di sana tak ada yang tahu ke mana dan dengan siapa Mama pergi" Kemudian
saya jadi takut, bagaimana kalau dia berhasil menemukan Mama. Apa betul untuk
membantu saya atau dia punya niat sendiri" Maka saya cepat-cepat melarangnya
dengan alasan tak mau mengorek
uka lama. Saya katakan, mungkin Mama masih marah sama saya hingga tak mau ketemu
saya. Wah, siapa sangka ternyata selama itu Mama berada di depan hidungnya."
"Apakah dia tidak mengenali istrinya sendiri?" tanya Lesmana takjub.
"Haryati sulit dikenali lagi sekarang. Kalau memang gampang dikenali mustahil
Linda tidak segera mengenalinya pada perjumpaan pertama. Saya sendiri juga
mengalami kesulitan seperti itu," kata Daud.
"Saya memang tidak mengenalinya, tapi saya selalu merasa seperti pernah
melihatnya, Pak. Yang pasti Oom Arya itu sudah bukan Papa lagi. Berbeda sama
sekali. Dulu Papa berkumis, tulang pipinya tak begitu tinggi dan rahangnya pun
tak persegi seperti sekarang. Saya tak mungkin mengenalinya lagi. Operasi
plastik, Pak Daud?" "Tentu saja. Bukankah dia sering ke Amerika" Di sana adalah tempat ideal untuk
membongkar dan mereparasi wajah. Baik Deden Sofyan maupun Arya Kusuma sering ke
Amerika. Katanya mereka bertemu di sana, berjudi bersama lalu berteman baik.
Ternyata mereka itu satu orang. Cerdik sekali. Pantas Suminta mengatakan tak
pernah bertemu dengan Arya Kusuma. Pembicaraan hanya berlangsung lewat telepon.
Saya yakin dia memiliki identitas palsu. Hal itu pun dikatakan oleh teman polisi
saya." "Lantas mayat siapakah yang gosong terbakar itu, Pak?" tanya Melinda dengan
ngeri. "Alangkah kejamnya, Papa sengaja membunuh seseorang supaya dia bisa melaksanakan
tipuannya. Teganya dia membiarkan Mama dihukum penjara sedemikian lamanya.
Dendam apa yang dimilikinya terhadap Mama" Rasanya Mama tak jahat kepadanya.
Justru dia yang sering menyiksa Mama. Apakah dia tak punya hati nurani, Pak?"
"Mungkin, Lin. Dia terlalu pintar. Suatu kelebihan yang sering kali membuat
orang lupa diri. Dan tentang mayat itu, kita memang belum tahu. Tapi Arya pasti
tahu. Ya, ibumu terlalu mencintai Deden, hingga potongan tangan hangus yang
ditemukannya tetap saja disimpannya sampai sekarang padahal potongan tangan itu
bukan milik Deden. Cintanya membutakan rasionya, hingga tangan itu tetap
diyakininya sebagai milik Deden walaupun ukurannya tak sesuai." Melinda
terkejut. "Tangan" Tangan apa, Pak?" Daud segera menceritakan semuanya.
"Kau mau melihatnya, Lin" Barangkali bisa membantu menghilangkan mimpi burukmu
selama ini." Melinda menggelengkan kepala.
"Tidak, Pak. Saya tidak terganggu lagi sekarang. Bukan berarti saya tidak pernah
memimpikannya lagi. Tapi itu cuma sekadar mimpi, tanpa kesan buruk lagi. Ya, itu
terjadi setelah saya bertemu dengan Bapak. Aduh, saya teringat Mama lagi.
Bagaimana kalau Oom Arya berhasil tahu bahwa Mama ada di depan matanya" Mustahil
lama kelamaan dia tak mengenali Mama kalau sepanjang hari hidup seatap?"
Daud berpikir lalu menggelengkan kepala.
"Saya kira dia sulit mengenali ibumu. Kalaupun dia merasa mengenali tapi dia
tidak tahu pasti, kan" Taruhlah dia pergi ke penjara, di sana pun tidak tahu ke
mana ibumu pergi dan dengan siapa. Setiap kali saya ke sana saya tak pernah
memberitahu identitas saya. Apalagi saya pun menyamarkan wajah saya."
"Tetapi dia bisa saja meminta gambaran seperti apa rupa Mama sekarang, Pak."
Daud terkejut. "Ah ya, benar juga. Cacat di pipinya itu. Tapi saya ragu apakah dia benar-benar
pergi ke penjara untuk menanyakan hal itu secara khusus. Bukankah dia sudah jadi
orang terhormat dan terpandang sekarang" Dia pun harus hati-hati menjaga
identitas barunya supaya tak sampai memancing kecurigaan orang. Pendeknya dia
harus ekstra hati-hati."
"Kalau begitu, Bu Haryati aman di sana, Pak," Lesmana menyimpulkan.
"Oom Arya tak akan membuat gara-gara karena itu bisa berarti bumerang untuknya,
kecuali." "Kecuali apa, Les?" tanya Melinda penasaran.
"Kecuali dia merasa terancam."
"Ah, aku jadi resah," keluh Melinda.
"Kalau begitu kita tak boleh ambil risiko. Segera keluarkan Mama dari sana. Dan
menangkap Oom Arya!"
"Kita tak boleh mengambil tindakan sendiri. Menangkap dan melakukan penyidikan
itu bukan tugas kita. Tadi teman Bapak pun berpesan begitu.
R)Katanya, jangan main hakim sendiri karena kau sekarang mantan hakim." Ucapan
itu lucu tapi tak membangkitkan rasa geli.
"Jadi kita sekarang harus bagaimana, Pak" Masa diam saja."
"Teman Bapak mau ke sini begitu urusannya selesai. Kita tunggu dia saja. Dia
polisi. Jadi berhak."
"Kita memang tidak akan main hakim sendiri, Pak. Tapi bagaimana kalau Mama yang
main hakim sendiri" Ingat, dia sudah punya kecurigaan terhadap Oom Arya. Karena
itulah dia mencuri gelas Oom Arya untuk diperiksa sidik jarinya. Tapi dia
membohongi Bapak tentunya bukan tanpa maksud. Itu berarti dia mau main hakim


Misteri Di Balik Abu Karya V Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sendiri!" kata Melinda dengan perasaan gempar. Ketiganya tertegun sejenak. Lalu
Daud menggelengkan kepala.
"Tenanglah, Lin. Ibumu tidak akan melakukan apa-apa sementara waktu ini. Dia
belum menerima hasil pemeriksaan gelas ini, bukan" Lesmana belum sempat pergi ke
sana untuk menyampaikannya. Jadi tenanglah. Dia belum tahu." Kata-kata itu
berhasil menenangkan perasaan Melinda.
"Tapi bagaimana kau bisa segera menyimpulkan bahwa ibumu bermaksud main hakim
sendiri" Belum pasti juga, kan?" tanya Lesmana.
"Aku tahu, karena aku mengalaminya sendiri juga. Cinta yang berlebihan bisa
berubah menjadi kebencian alang-kepalang bila kekecewaan sulit ditanggung. Sedang bagi Mama itu,
bukan sekadar kekecewaan melainkan sakit hati teramat dalam."
Mereka kembali tertegun merenungi kata-kata itu. Menunggu membuat mereka tak
lagi tegang seperti semula. Sebagian sudah tersalur lewat dialog.
"Pantas Oom Arya bisa latah persis seperti Papa. Bukan saya saja yang kaget,
tapi juga Bi Yati, eh, Mama. Pastilah sukar dipastikan, wajah siapa di antara
kami yang lebih pucat dibanding yang lain," kenang Melinda.
"Kami berhadapan ketika itu. Ah, saya ingat sekarang. Dia memandang saya dengan.
ah, dengan kerinduan di matanya. Pasti dia ingin sekali memeluk saya. Mestinya
kami berpelukan. Tetapi di sana juga ada Oom Arya, orang yang seharusnya adalah
ayahku dan suami Mama. Bayangkan, keluarga saya sebenarnya utuh. Berkumpul
semua. Tak ada yang kurang. Tak ada yang hilang. Tapi orang yang semestinya jadi
ayah dan suami itu mencerai-beraikan kami. Berantakan. Yang satu tak mengenal
yang lain. Demi harta dia tega berbuat begitu."
"Ibumu sering mengatakan, bahwa harta telah mengubah ayahmu. Tapi saya tidak
percaya kesimpulan seperti itu. Harta cuma godaan. Sama seperti kesenangan
duniawi lainnya. Tapi semua itu tak bisa mengubah seseorang begitu saja. Apalagi
kalau sampai membuatnya jadi pembunuh dan penipu. Jadi kita tak bisa menyalahkan
harta atau godaan apa pun lainnya sebagai faktor penyebab, melainkan orangnya."
"Maksud Bapak, karakternyalah yang jadi penyebab?"
"Ya." "Aduh, mudah-mudahan dia tidak menurunkannya pada saya!" seru Melinda.
"Pasti tidak," Lesmana meyakinkannya.
"Sungguh kau percaya begitu, Les?"
"Ya. Kau bukan cuma punya ayah, tapi juga punya ibu, bukan" Kau merupakan hasil
paduan dua orang, bukan satu orang saja." Melinda merasa tak begitu yakin. Apa
yang akan dilakukan ibunya seandainya punya kesempatan untuk membalas dendam"
Dia cuma bisa berharap dan berdoa. Hendaknya bukan cuma bibit-bibit busuk yang
menciptakan dirinya. Lesmana merangkulnya.
"Jangan merisaukan dirimu sendiri dengan hal-hal yang belum pasti," bisiknya.
Terasa sangat menyejukkan. Ah, dia merasa berutang kepada Lesmana.
"Ya. Lesmana benar, Lin. Sebaiknya kau bukan cuma percaya pada ibumu, tapi juga
kepada dirimu sendiri. Yang menentukan karaktermu itu dirimu sendiri, bukan
orangtuamu. Kalau ayahmu ternyata memang seorang penjahat, kau tidak dengan
sendirinya akan mengikuti jejaknya, bukan" Kau punya pendirian sendiri dan
kepribadian sendiri. Kemarahan dan kebencian yang kaurasakan sekarang ini
merupakan ujud ketidaksukaanmu pada tindak kejahatan. Sesungguhnya saya bisa
mengatakan hal ini karena pengalaman hidup. Bukan cuma semata-mata ngomong untuk
memberimu hiburan." "Ya, Pak." Melinda mengangguk dengan respek.
"Sambil menunggu, maukah Bapak bercerita perihal Mama" Kalau nanti ketemu saya
sudah punya bekal. Saya tidak lagi merasa asing. Tujuh tahun itu lama sekali.
Apalagi saya mengisinya dengan dendam dan kebencian."
Daud merasa terharu. Dia tidak keberatan bercerita, baik tentang masa lalunya
bersama Haryati, maupun tentang masa yang baru saja lewat. Ceritanya mendetail,
hampir tak ada yang terlewatkan. Dia melakukan hal itu bukan cuma karena
simpatinya kepada Melinda tapi karena dia juga merasa senang. Dia bisa mengingat
lagi segala sesuatu tentang Haryati.
"Dia orang yang luar biasa. Ketahanan dan kekuatan mentalnya hebat. Di luar
lemah lembut, tapi di dalam keras. Orang lain tentu Sulit mengatasi situasi
seperti itu. Dia mencengangkan karena sering kali penuh kejutan. Sampai-sampai
saya khawatir jangan-jangan dia sakit karena tekanan yang terlampau berat.
Menyimpan potongan tangan yang sudah gosong dan tinggal tulang-tulang tentulah
tidak wajar di mata kita. Dan kemudian dia membawa gelas itu yang katanya barang
galian. Wah, begitu gampangnya saya terkecoh. Kalau Lesmana tidak ikut
melihatnya tentulah saya akan tetap mengira bahwa gelas itu milik Deden di masa
lalu." "Bukan begitu, Pak. Masalahnya Bapak percaya pada Bu Yati," Lesmana menyanggah.
"Sebenarnya saya sempat khawatir juga, bagaimana kalau gelas itu memang benarbenar milik Deden di
masa lalu. Siapa tahu Arya masih punya simpanan gelas-gelas dari masa lalunya."
Melinda menggelengkan kepala.
"Ah, itu tidak mungkin. Dulu kami tidak punya gelas seperti itu. Saya ingat
betul. Ah, cerita Bapak benar-benar mengesankan. Saya terharu. Kagum. Bangga.
Dan menyesal juga. Penyesalan yang sangat menyakitkan. Tapi sebenarnya melegakan
juga. Saya masih punya kesempatan untuk memperbaiki kesalahan saya. Toh masih
ada saja kecemasan. Bagaimana kalau kesempatan itu hilang, Pak" Padahal saya
belum sempat bertemu dengan Mama. Ah, bertemu sih sudah, tapi itu kan lain. Saya
belum ngomong, belum memeluknya, belum. ah. belum apa-apa."
"Segera, Lin. Segera semua keinginanmu itu akan terlaksana," Lesmana memberi
semangat. "Tapi kok lama, ya. Kok lama, Pak?"
"Sabarlah." Bagi semua orang, menunggu itu memang lama biarpun dalam hitungan
detik saja. XIV - ARYA KUSUMA memelototi televisi dengan mata
berat. Baru jam delapan lewat. Belum terlalu malam. Dan pada saat itu baru saja
dimulai acara film seri kesayangannya. Seharusnya dia dalam keadaan segar
seperti biasanya. Tetapi kali ini kantuk datang terlampau dini. Astuti baru saja
masuk kamar untuk tidur lebih dulu. Dia memang biasa tidur siang-siang walaupun
tak sampai sesiang itu. Biasanya dia menemani Arya menonton film kesukaannya itu
lebih dulu. Tetapi kali ini dia tak tahan. Dari belakang rumah pun tak lagi
kedengaran suara-suara. Biasanya para pembantu sudah tak punya pekerjaan lagi
setelah makan malam selesai. Mereka bebas menggunakan waktu untuk tidur atau
nonton televisi yang khusus disediakan untuk mereka. Biasanya mereka pun asyik
nonton pada saat seperti itu. Apalagi Usman paling suka nonton film seri, apa
pun film itu. Dan pada saat itu celoteh mereka mesti kedengaran sesekali, entah
itu berupa komentar ataupun seruan-seruan ngeri.
Tetapi sekarang sepi. Tak jelas apakah semuanya pergi tidur ataukah mereka
nonton diam-diam. Bagi Arya hal itu memang tak penting. Dia menikmati
kesendiriannya. Asal saja tidak mengantuk. Kantuk itu mengganggu sekali. Lebihlebih pada saat orang memerlukan kesegaran, termasuk untuk menonton film. Arya
merasakan hal itu sekarang. Dia jengkel dan juga penasaran. Biasanya, film yang
menarik apalagi menegangkan bisa menghalau kantuk. Rupanya kali ini tidak
demikian. Mungkin saat ini dia terlampau lelah. Bukan di segi fisik, tapi
pikiran. Dia memikirkan Haryati. Perempuan itu terus-terusan menguasai
pikirannya. Di tengah serunya film. Di tengah gangguan kantuk. Bahkan sesekali
sempat muncul dalam mimpi yang mengejutkan. Dia tertidur lalu tersentak bangun
lagi. Mimpi-mimpi yang singkat. Tetapi dia bertahan di sofanya dan berusaha
memelototi televisinya. Filmnya jadi sulit diikuti dan dimengerti, tapi dia tak
mau mematikan dan pergi tidur menyusul istrinya. Sepertinya dengan berbuat
demikian berarti dia kalah dan menyerah. Dia tak mau kalah dan menyerah. Tetapi
lama-kelamaan dia kalah juga walaupun tetap tak mau menyerah. Film belum lagi
berakhir tapi dia sudah lunglai di sofa. Benar-benar lelap tanpa sempat
merapikan posisi tubuhnya supaya lebih nyaman. Sebelah kakinya menapak lantai,
sebelah lagi terjuntai. Kepalanya menempel di sandaran sofa. Posisi yang aneh.
Ketika akhirnya Arya membuka mata dia
.merasa dunia menjadi lain. Kepalanya pusing, pandangannya berputar-putar. Dan
seluruh tubuhnya kaku. Sulit betul digerakkan. Tak bisa bergerak. Apakah dia
menjadi lumpuh dengan tiba-tiba" Lalu dia mendengar suara.
"Dedeeeen. Dedeeen..," panggilan itu berirama. Lembut dan halus bagaikan suara
bidadari. Arya menoleh dengan cepat. Dia serasa di awang-awang. Kiranya memang
benar dia berada di dunia lain. Seorang wanita duduk di seberangnya, memandang
kepadanya. Dia tak segera mengenali karena pandangannya yang berputar-putar itu.
Matanya pun masih digelayuti kantuk.
"Si. si. apa?" desahnya susah. Dia mencoba bangun tapi tak bisa. Jangankan
bangun, bergerak saja tak bisa. Kaki-tangannya tak mau menuruti perintah. |
Perempuan di sana bergegas mendekat. Persis di depannya. Mula-mula berdiri tegak
hingga Arya harus menengadah. Lalu dia berjongkok hingga pandang mata mereka
bertemu dalam satu garis.
"Deden?" bisiknya. Lalu mengulangi lagi dengan irama sama seperti panggilannya
yang pertama, "Dedecen.?" Barulah Arya merasa shock. Kejutan menyengat sekujur tubuhnya.
Perempuan itu adalah Haryati! Kejutan itu membuat Arya lebih sadar. Tatapannya
lebih stabil, tak berputar-putar lagi. Spontan muncul naluri membela dan
melindungi diri. Dengan sekuat tenaga dia melompat. Tapi lagi-lagi tak ada
gerakan. Aneh rasanya. Tawa mengejek Haryati membuatnya berang. Lalu dia sadar.
Sepenuhnya sadar. Dia memang tak mungkin bisa bergerak. Kaki dan tangannya
terikat erat dengan tali plastik. Posisinya sendiri terduduk di lantai dengan
bersandar pada sofa. Kesadaran yang membuatnya cemas. Lebih-lebih setelah dia
menatap Haryati yang duduk tenang-tenang di depannya, juga di lantai. Apa
gerangan yang akan dilakukan perempuan itu"
"Kau mau apa?" tanyanya parau. Lehernya kering sekali.
"Kita ngomong-ngomong dulu, ya Den?" kata Haryati dengan nada yang manis dan
lembut. "Den" Aku Arya Kusuma. Kau babu kurang ajar!" Haryati tertawa sinis.
"Ya. Sekarang kau Arya Kusuma. Tapi dulu Deden Sofyan, bukan" Sudahlah, jangan
berpura-pura lagi. Kedokmu sudah terungkap. Aku Haryati, istrimu. Ya, masih
istrimu, bukan" Lihatlah baik-baik. Seperti inilah diriku sekarang. Kau memang
sudah tahu. Karena itulah kau menyuruhku pergi. Tapi kau tak mau membiarkan aku
pergi bebas sendiri. Maksudmu tentu supaya bisa terus memantau kegiatanku,
bukan?" "Aku bisa berteriak minta tolong. Seisi rumah akan bangun. Dan kau masuk penjara
kembali," ancam Arya.
"Berteriaklah!" dorong Haryati sambil tertawa.
"Tolooong. Tooo.!" suara Arya hilang di tengah jalan. Dia benar-benar merasa
lehernya sakit. Kering kerontang seperti keripik. Jangankan bisa bersuara keras,
keluar suara pun terasa sakit.
RI"Nah, tak bisa, kan" Sudahlah, diam-diam saja. Percuma kau berteriak. Mereka
toh tak akan mendengar. Semuanya tidur lelap seperti beruang. Ha ha hal Kau
memang bangun lebih dulu karena sudah kuatur begitu. Kepingin tahu kenapa"
Cendol sedap tadi itu sudah kumasukkan obat tidur. Yang kaumakan lebih sedikit
dibanding yang lain. . Jadi tak usah mengharapkan bantuan mereka. Di rumah ini
cuma ada kita berdua. Dan jangan berharap suaramu bisa terdengar tetangga.
Kulihat rumah ini sudah kaurenovasi hingga dinding-dindingnya kedap suara. Kau
tentu tak mau mengulangi peristiwa masa lalu ketika teriakan-teriakanku
kedengaran oleh para tetangga. Ah, senjata makan tuan, bukan?"
"Aku. tak. mengerti," kata Arya pelan. Haryati mencibir.
"Tak mengerti" Masih mau berpura-pura, ya" Pada saat kau mengatakan padaku bahwa
kau sudah tahu siapa aku dan menyebut namaku, Haryati, aku segera tahu dan yakin
bahwa kau adalah Deden. Sebelumnya aku memang sudah punya dugaan tapi belum
pasti. Kalau kau orang lain, bukan Deden, kau tak akan bersikap seemosional itu
kepadaku. Tapi masalahnya dari mana kau tahu bahwa aku Haryati yang kaukenal"
Secara tak sengaja aku melihat bekas luka di betisku. Aku yakin kau pasti
melihatnya juga karena selama beberapa hari aku sadar kau terus mengamal-amati
diriku seperti burung elang mengincar mangsanya. Bekas luka itu pasti kauingat
dengan baik. Yang mengejutkan aku adalah kekejamanmu. Setega itu kau padaku.
Sudah kaujebak aku dan membiarkan aku menanggung hukuman begitu lama, masih pula
kau tega mengusirku dari sini dengan cara yang begitu menghina. Hatiku sakit
sekali. Untunglah aku sudah belajar mengatasinya sedikit demi sedikit selama
beberapa hari terakhir ini. Aku tidak terlalu shock jadinya." Arya diam
termangu. Dia nampak angkuh. Haryati memperhatikannya sejenak, lalu mencruskan,
"Pertama-tama kau bersikap latah persis Deden ketika aku menjatuhkan panci
secara tak sengaja. Kau bukan kesurupan roh Deden karena di sini memang tak ada
roh Deden, tapi kau memang Deden! Setelah aku mengamat-amati dirimu dengan lebih
saksama aku menjadi kacau. Rasanya aku melihat Deden di mana-mana di rumah ini.
Sikapnya, gayanya, gerak-geriknya. Ternyata memang bukan halusinasi tapi karena
yang kulihat itu orang beneran. Deden. Wajah boleh berubah, tapi lain-lainnya
tidak. Jangan lupa, aku seorang istri yang sudah hafal betul akan seluk-beluk
suami. Kalaupun kau sekarang menyangkal dan terus berpura-pura, masih ada satu
cara yang paling ampuh untuk membuktikan bahwa kau adalah Deden. Bagiku bukti
tak perlu lagi, tapi bagi hukum sangat perlu. Bukti itu adalah sidik jarimu!"
Baru sekarang Arya nampak terkejut. Dia menjadi gelisah. Beberapa kali dia
menggesek-gesekkan ikatan di kaki dan tangannya tanpa hasil. Sikapnya itu tak
luput dari pengamatan Haryati yang kembali menertawakan.
"Percuma, Den. Ikatanku kuat sekali. Usahamu itu cuma membuat sakit saja,"
katanya. "Kau. mmma. mau apa, sih?" tanya Arya dengan susah. Kalau saja dia diberi minum.
Tetapi dia tak mau minta.
"Siapa orang yang kaubunuh itu" Orang yang kaubakar sampai gosong itu?" Arya
mengatupkan mulutnya erat-erat. Dan menutup matanya juga. Tetapi setelah
beberapa saat berlalu tanpa suara dia menjadi cemas. Apalagi setelah dia mencium
sesuatu yang baunya tajam menusuk hidung. Bensin! Matanya terbuka lebarlebar
dengan kengerian. Mulutnya mengeluarkan pekikan lemah. Dia melihat Haryati
meletakkan dua ember berisi cairan di dekatnya. Sebuah gayung bertangkai
terletak di dalam salah satu ember.
"Ya, ini adalah bensin yang kusedot dari dalam mobilmu. Bahan ini tentulah lebih
ampuh daya bakarnya dibanding minyak tanah. Dulu aku tidak tahu-menahu tentang
jerigen berisi minyak tanah yang katanya kupersiapkan untuk membakar tubuhmu.
Tapi sekarang aku mempersiapkan ini. Baru sekarang aku melakukan yang dulu tidak
kulakukan. Mestinya aku tidak dihukum lagi karena dulu sudah. Iya, kan" Ibarat
membayar di muka untuk suatu barang yang baru kuterima bertahuntahun kemudian.
Sama saja." Arya mengerti sekarang. Teror dan horor mencengkeram jantungnya.
Keringat dingin bercucuran.
"Am... puuuun, Yat. Am... puuuun..," rintihnya.
Haryati berdiri dengan tatapan garang
"Jadi, kau minta diampuni?"
"Ya," sahut Arya sambil mengangguk-angguk. Satu-satunya gerakan yang bisa
dilakukannya dengan lancar.
"Baik. Tapi katakan dulu siapa yang kaubunuh itu!" Arya tak segera bicara.
Sebenarnya dia tengah berusaha untuk berpikir jernih.
"Mi. num du. lu," dia memohon. Penampilannya sangat memelas. Dia berharap bisa
mengulur waktu. Dengan minum suaranya dapat kembali normal. Banyak yang bisa
dilakukannya bila dia bisa lancar bersuara. Bisa menjerit. Berteriak. Setitik
kesempatan dalam kesempitan. Dia juga berharap Haryati dapat diluluhkan dengan
cara itu. Seperti dulu. Tetapi dia melupakan bahwa wajahnya bukan lagi Deden
Sofyan. Wajahnya adalah wajah orang lain di mata Haryati. Wajah yang tak bisa
lagi membangkitkan kenangan lama. Juga cinta, kalau memang masih ada. Dalam
keadaan harap-harap cemas itulah dia terkejut setengah mati ketika merasakan
guyuran cairan yang membasahi muka dan kepalanya. BenSin!
"Nih, minumlah!" seru Haryati sambil tertawa. Masih tak puas dia menambahi lagi
dengan guyuran berikut. Di dada, perut, kaki. Sekujur tubuh Arya basah kuyup.
"Ha ha ha! Bagaimana rasanya, Den?" tanya Haryati tanpa belas kasihan. Arya tak
tahan lagi. Dia menangis terguguk. Dia terkencingkencing dan terkentut-kentut.
R)Lalu Haryati mengambil korek api dan memperlihatkan dengan sikap demonstratif
kepada Arya. "Satu pentul menyala akan membuatmu jadi api unggun!" serunya.
"Ja. ngaaaan!" desah Arya.
"Katakan siapa yang kaubunuh!" Haryati memerintah.
"Ya. Ya. Yani!" dengan susah Arya mengucapkan kata itu.
Haryati berjingkrak sambil meraung. Saat berikut dia memukuli kepala dan muka
Arya dengan kedua tangannya bergantian sampai tangannya terasa sakit. Lalu dia berhenti
dengan mendadak dan menjatuhkan diri di lantai. Dia menangis sedih sekali.
Sementara Arya lunglai, merintih-rintih kesakitan. Kepalanya terkulai ke bawah
dengan dagu menyetuh dada.
"Bangsat kau! Setan!" maki Haryati dengan dada serasa mau meledak. Rentetan
makian terus meluncur dari mulutnya. Segala kata yang pernah didengarnya dari
penjara dan tak pernah diimpikan akan ditirunya, sekarang ikut keluar juga dari
mulutnya. Setelah kehabisan kata-kata dia berdiri pelan-pelan. Tatapannya
mengandung kebencian. Pada saat itu Arya menegakkan kepalanya dengan
tatapan ngeri dan perih. Dia yakin ajalnya sudah


Misteri Di Balik Abu Karya V Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendekati akhir. Telepon di rumah Daud berdering.
"Itu teman saya yang polisi. Dia mau ke sinisekarang juga dan minta kita diam di
tempat," kata Daud setelah berbicara lewat telepon.
"Teman Bapak itu siapa sih namanya" Dari tadi yang disebut Bapak cuma teman yang
polisi atau teman di Kepolisian," gurau Melinda, sekalian meredakan ketegangan.
Daud tersenyum. "Oh ya" Saya bilang begitu terus" Mungkin kebiasaan dari dulu. Lebih aman tak
menyebut nama." "Jadi kami tak boleh tahu namanya?" tanya Lesmana.
"Oh, apa belum saya sebut?" Daud balas bertanya seperti orang pikun.
"Tentu saja boleh tahu. Namanya Pak Anjar. Pangkatnya kapten lho. Tak lama lagi
pasti akan naik." Telepon berdering lagi.
"Mudah-mudahan itu bukan Pak Anjar yang mengabarkan tak jadi datang," kata
Melinda. "Pasti bukan," Lesmana optimis. Daud mengangkat telepon.
"Oh, Yati?" serunya kaget. Dan serentak dengan seruannya itu tiga tubuh samasama meregang tegang. Tatapan Melinda dan Lesmana hampir tak berkedip tertuju
pada bibir Daud dan mencoba memahami apa yang diutarakan Haryati di sebelah sana
lewat kata-kata yang diucapkan Daud.
"Kau apa?" teriak Daud.
"Dengar, Yat. Dengar baik-baik. Apa kau dalam keadaan tenang" Pikiranmu jernih"
Mari kita bicara dulu, ya?" Melinda dan Lesmana saling berpandangan. Tapi pada
saat itu terdengar ketukan pintu yang
R)keras. Lesmana melompat dan berlari ke luar. Dia tak ingin kehilangan momen
berharga. Dalam waktu singkat dia sudah kembali diiringi oleh Anjar dan Benyamin
yang datang bersamaan. Mereka mengerumuni Daud yang masih berbicara.
"Jangan bertindak sembarangan, Yat. Aku mohon jangan. Ya, hasil penyelidikan
pada gelas yang kauberikan itu sudah kudapat. Sidik jarinya milik Deden. Jadi
Arya memang Deden. Ya, bagus sekali upayamu itu. Kau hebat. Tapi kau tidak boleh
melakukan hal itu. Jangan, Yat. Ini bukan masalah barang yang dibayar duluan.
Memang dulu kau dihukum untuk perbuatan yang tidak kaulakukan. Tapi bukan
berarti sekarang kau boleh melakukannya karena hukumannya toh sudah kau- |
jalani. Biar kita bicara dulu, Yat. Supaya pikiranmu lebih tenang. Dalam keadaan
tenang keputusan bisa lain. Tak ada yang perlu disesali kemudian. Kau bicaralah,
Yat. Keluarkan semua unek-unekmu. Nanti aku ke sana kalau kau sudah tenang.
Ayolah cerita padaku. Bagaimana kau bisa melakukan hal ini?" Daud memberi tanda
dengan tangannya pada orang-orang di sekitarnya. Dia minta kertas untuk
ditulisi. Lesmana memberikannya. Tanpa melepaskan telepon dan mulut terus
menggumamkan katakata, dia menulis,
"Pergilah kalian secepatnya ke rumah Arya. Haryati sedang kalut. Arya dalam
bahaya. Saya mencoba mengulur waktu." Tanpa menunda lagi keempat orang
menghambur ke luar meninggalkan Daud sendirian. Padahal
R)Daud bermaksud meminta Melinda untuk membantunya berbicara dengan Haryati.
Bila Melinda ikut bicara pastilah waktu bisa terulur lebih panjang. Sayang
sekali, Melinda rupanya tidak sabar ingin bertemu muka.
"Yat" Kau masih di situ" Kau dengar aku, kan?"
"Tentu saja kudengar. Telingaku di sini." I
"Bagaimana" Sudah tenang?" |
"Oh, tentu." "Jadi kau akan membatalkan niat itu?"
"Ah, aku tak bilang begitu. Dia kejam, Daud. Pantas mendapat pembalasan dengan
cara yang sama. Kau tahu siapa yang dibunuhnya dan dibakarnya sampai gosong" Dia
adikku, Haryani!" jerit Haryati.
Daud tertegun. Dia terkejut tapi segera menyadari gawatnya situasi. Sebenarnya
yang dicemaskannya bukanlah nasib Arya, tetapi Haryati. Jangan sampai Haryati
menjadi pembunuh benarbenar sekarang. Seseorang yang dihukum untuk pembunuhan
yang tidak dilakukannya tentulah berbeda dengan seseorang yang lepas bebas dari
hukuman bahkan juga dari tuduhan walaupun dia pembunuh keji. Logika Haryati
bahwa semestinya dia tidak kena hukuman kalau sekarang membunuh Deden karena
dulu dia toh sudah menjalani hukuman itu sepertinya bisa dibenarkan bila dilihat
dari satu sudut saja. Tapi pandangan mengenai hal itu tidaklah bisa demikian
sederhana. Tak seperti bayar duluan untuk perbuatan yang dilakukan
R)kemudian. Nyawa manusia bukanlah barang biarpun pemiliknya penjahat keji.
"Aku kaget sekali, Yat. Kaget sekali," katanya cepat-cepat.
"Sesaat aku terkenang pada Yani. Aku sedih dan menyesal, Yat."
"Nah, sedih dan menyesal saja tidak cukup, Daud."
"Yat, sudahlah. Serahkan dia pada polisi. Hukum akan mengadilinya."
"Hukum juga mengadili diriku dulu. Hukum yang sama, Daud?"
"Yat, ingatlah akan Linda. Dia merindukanmu. Aku sudah menceritakan segala
sesuatu tentang dirimu. Jangan rusakkan kepercayaannya."
"Kepercayaan" Dia sudah telanjur percaya bahwa aku seorang pembunuh. Jadi
biarlah kepercayaannya itu kujadikan kenyataan sekarang. Supaya dia tidak
menyesal." "Hei, jangan bilang begitu, Yat. Kau salah besar. Setiap orang melakukan
kesalahan. Linda juga. Dia kan manusia seperti kita. Kalau kau sayang padanya."
"Jangan ngomong soal sayang Itu tak ada hubungannya."
"Ada, Yat! Tentu ada!" Daud hampir berteriak. Dia merasa capek oleh ketegangan.
"Sudahlah. Omong kosong saja."
"Yat! Yaaaaat!" seru Daud. Tetapi bunyi tut-tultut menyambutnya. Hubungan sudah
diputuskan oleh Haryati. Daud terduduk dengan lemas. Keputusasaan menguasai
dirinya. Dia membayangkan
Misteri Di Balik Abu - Novel Indonesia Online
Misteri Di Balik Abu Karya V Lestari
pdf by http://cerita-silat.mywapblog.com
api berkobar membakar tubuh Arya Kusuma sementara di sampingnya Haryati berdiri
menonton sambil tertawa. Ah, tidak. Dia tidak bisa membayangkan Haryati seperti
itu. Haryati yang dikenalnya tak mungkin bisa berbuat sekeji itu apa pun
motifnya. Tetapi ada yang terlupakan. Haryati bisa saja berbuat begitu kalau dia
gila! Dengan satu teriakan Daud melompat dari duduknya lalu berlari ke luar. Dia
mau menyusul rekan-rekannya.
Empat orang yang menyerbu masuk rumah Arya Kusuma tampaknya lengkap bila ditilik
dari status masing-masing. Yang satu polisi dan punya wewenang untuk
"penyerbuan" itu, satu psikiater, dan yang dua lagi anak serta calon menantu
Haryati. Semua punya arti penting bagi Haryati.
Mereka terheran-heran ketika menjumpai Haryati duduk sendirian di kursi ruang
depan. Pintu terbuka lebar hingga mereka tidak mengalami kesulitan untuk masuk.
"Mamaaa. Mamaaa...!" jerit Melinda sambil berlari menubruk Haryati. Mereka
berpelukan erat, bertangisan, berciuman. Dunia milik mereka. Tak
ada siapa-siapa di sekitar mereka. Apa pun yang bergerak di sekitar dan suara
apa pun yang terdengar tak menarik perhatian mereka. Waktu adalah milik mereka
yang harus dimanfaatkan dan dinik
mati semaksimal mungkin. Tak boleh ada yang
hilang atau terbuang. Ketiga orang yang lain terus menyerbu ke ruang
dalam. Di sana mereka sama-sama bernapas lega ketika melihat sosok yang
dicemaskan tengah menggeliat-geliat dalam keadaan mengenaskan. Pakaian Arya
lusuh, basah, dan bau bensin. Wajahnya berdarah. Rambutnya lengket menjijikkan.
Mulutnya mengeluarkan rintihan-rintihan. Tetapi yang penting dia masih hidup.
Mereka membukai ikatan kaki dan tangan Arya.
"Mi. num," rintih Arya.
Lesmana berlari ke dapur untuk mengambil air. Arya meminumnya dengan rakus.
Setelah minum dia merasa lebih segar. Cuma sekujur tubuhnya terasa sakit. Hidung
dan bibirnya tak begitu terasa perih bila dibandingkan dengan bagian tubuhnya
yang lain. "Apakah dia sudah kabur?" tanyanya lancar kepada Lesmana.
"Dia siapa, Oom?"
"Yati." "Masih di depan."
"Dia harus ditangkap. Dia hampir membakar saya. Ah, Bapak polisi?" tanyanya
kepada Anjar. "Saya mau menuntutnya, Pak."
"Saya kira dia yang lebih dulu menuntut Anda, Pak. Tuduhannya bukan main-main.
Dan dia punya bukti lengkap."
Arya terdiam. Daud masuk ruangan lalu mengenalkan dirinya kepada Arya.
"Saya dulu ikut mengadili istri Anda. Pak Arya. Atau sebaiknya saya panggil Pak
Deden" Tentunya Anda tidak tahu bagaimana jalannya sidang karena Anda tidak bisa
menghadirinya. Kira-kira pada saat itu Anda tengah berada di Amerika. Sibuk
membongkar wajah Anda, bukan" Ketika itu Anda menang mutlak. Tapi sekarang
Haryati berhasil mengalahkan Anda. Dia bangkit dari kekelaman nasibnya. Dan saya
adalah orang yang paling bahagia hari ini. Bukan cuma karena Haryati berhasil
mengalahkan Anda, tapi lebihlebih karena keberhasilannya mengalahkan dirinya sendiri. Tadi saya begitu cemas karena menyangka Anda sudah gosong. Tapi bukan
Anda yang saya cemaskan. Sungguh, saya tak peduli apakah Anda sudah gosong atau
jadi abu. Barangkali nanti di neraka, ya. Tapi saya mencemaskan Haryati."
"Ah, kau benar-benar mencemaskan aku, Daud?" Teguran Haryati memotong
pembicaraan Daud. Dia sudah berada di ruang itu berangkulan dengan Melinda yang
seolah lekat tak mau pisah. Perkataan Haryati itu tidak bernada pertanyaan tapi
lebih sebagai penegasan. Karena itu Daud cuma tersenyum penuh makna. Ketika dia
mengulurkan tangan, keduanya mendekat. Mereka berangkulan bertiga di bawah
tatapan iri dan geram dari Arya. Tapi ketika tatapan Melinda tertuju lurus
padanya dia cepat-cepat memalingkan mata. Lalu menunggu dengan tegang datangnya
cercaan berikut. Tetapi tak ada. Melinda tak mengatakan apa-apa. Dia cuma
memandang sebentar lalu berpaling seakan tak peduli. Bahkan dia mengajak ibunya
bersama Daud pindah ke ruang depan. Sementara Arya disilakan mandi dengan
penjagaan oleh Lesmana, Anjar memanggil anak buahnya. Untuk selanjutnya Arya
Kusuma berada di bawah pengawasan polisi. Dia memang tak memberi sanggahan apaapa lagi karena menyadari posisinya. Kenyamanan hidupnya sudah berakhir.
Haryati, Melinda, dan Lesmana kembali ke rumah Daud.
"Boleh aku bertanya sesuatu, Yat?" tanya Daud.
"Boleh." "Tapi... aku takut kalau-kalau waktunya tak sesuai. Atau besok-besok saja kalau
kondisimu lebih baik?" Daud ragu-ragu.
"Kondisiku sekarang cukup baik kok. Tanya saja."
"Pada saat kau meneleponku, sungguhkah kau berniat membakarnya?"
"Tidak begitu."
"Tidak begitu?"
"Kalau aku memang sungguh-sungguh aku takkan meneleponmu. Kulakukan saja baru
kemudian menelepon. Aku sudah tahu kau pasti akan mencegahku. Tapi dorongan itu
sungguh kuat sekali ketika dia baru saja mengakui bahwa orang yang telah
dibunuhnya itu adalah Haryani. Luar biasa. Padahal gampang sekali. Tinggal
menyalakan korek api. Satu batang saja sudah cukup. Tapi aku melampiaskannya
dengan memukulinya. Sudah cukup untuk mengerem."
"Tapi kau menakuti aku, Yat. Kukira kau benarbenar berniat. Mestinya kau tidak
perlu berkata begitu." Haryati tersenyum.
"Sori, Daud. Aku cuma
ingin dengar pendapatmu. Aku lelah sekali. Mau semaput rasanya. Suaramu
melunakkan dan menenteramkan hatiku."
"Padahal aku di sini pun rasanya mau semaput. Tapi biarlah. Semua sudah
berakhir." Haryati tertawa. Di sampingnya Melinda mengelusnya.
"Mama hebat. Luar biasa. Saya bangga, | Ma."
"Mama juga bangga atas sikapmu tadi. Kau berhasil mengendalikan emosimu dengan
baik sekali." "Ya. Kupikir kau akan menerjang dan menghajarnya," Lesmana menyambung.
"Keinginan itu bukannya tak ada. Tapi kemudian kupikir hal itu tak ada gunanya.
Mungkin emosiku sudah larut oleh kebahagiaan ketemu Mama dalam keadaan selamat."
Lalu terdengar ketukan pintu.
"Aduh, siapa pula yang datang malam-malam begini," keluh Daud. Ternyata si tamu
adalah Benyamin. "Apakah saya boleh ikut bergabung?" tanyanya berharap. Daud baru menyadari, dia
telah melupakan Benyamin.
"Oh, tentu saja, Dok! Tentu saja. Ayolah, silakan masuk." Mereka yang berada di
dalam menyambut Benyamin dengan hangat. Termasuk Haryati.
"Terima kasih untuk obat penenangnya, Dok," katanya. . Benyamin tertawa.
"Ya, ya. Berkat jasa saya, bukan?" guraunya.
"Ya, Dok. Berkat jasa Anda."Setelah berbincang-bincang, Melinda mengingatkan,
"Banyak yang harus diberi tahu, Ma. Misalnya Kek Gun. Apakah sebaiknya besok
saja atau sekarang juga" Mereka akan senang sekali kalau diberi tahu secepat
mungkin." "Oh, tentu saja," sahut Haryati.
"Sebaiknya sekarang." Melinda menuju pesawat telepon. Daud menyerukan di
belakangnya, "Jangan lupa sama Oom Suminta, Lin. Nomornya ada di situ." Lalu Daud teringat.
Masih ada hal lain yang belum dibicarakan." Mengenai potongan tulang tangan itu,
Yat, aku mau minta maaf."
"Ah, kau tentu menemukannya," tebak Haryati.
"Kau mengacak-acak tanpa izin."
"Maaf." "Tidak perlu. Kupikir, seorang penyelidik seperti dirimu memang harus begitu.
Besok tangan itu akan kuserahkan pada yang berwenang untuk dikuburkan bersama
bagian tubuh yang lain. Ah, Yani yang malang."
"Padahal selama ini kita mengira dia berada di Amerika bersama suaminya. Senangsenang. Binal dan liar. Tidak tahunya." Daud menambahkan.
"Setelah tujuh tahun baru kita menemukannya.
"Itukah sebabnya dia meninggalkan tangannya untuk kuambil" Dia tenang saja
selama ini karena tahu suatu saat tangannya itu bisa jadi petunjuk."
"Ah," Daud tak suka berkomentar mengenai hal itu. Dia mengemukakan hal lain.
"Rupanya surat yang katanya dikirim oleh Yani itu surat palsu.
Arya yang mengirim dari Amerika. Maksudnya tentu supaya kita tidak merasa heran
kenapa Yani menghilang. Cuma yang masih belum jelas adalah kapan dia membunuh
dan bagaimana dia membawanya ke rumahmu saat itu tanpa kauketahui." Melinda
segera kembali. "Wah, mereka semua bersorak kegirangan," lapornya.
"Kakek dan Nek Gun. Juga Oom Suminta. Tapi habis bersorak ada. yang menangis.
Mungkin Nek Gun. Katanya, kita harus menyembahyangkan Tante Yani. Iya, kan Ma?"
"Ya. Tentu saja." Telepon berdering. Daud yang mengangkat. Setelah cukup lama
berbicara dia kembali. "Pertanyaanku tadi sekarang terjawab. Menurut Pak Anjar, yang nelepon barusan,
Arya sudah mengakui semua perbuatannya. Memang tak ada jalan lain baginya.
Menurut ceritanya, sore terakhir itu dia pergi dari rumah untuk berkencan dengan
Yani. Pada saat itulah dia membunuhnya, sebagai awal rencananya. Mayat Yani
dimasukkannya ke dalam mobil lalu dibawanya pulang. Selanjutnya dia memancingmu
bertengkar agar kedengaran oleh tetangga. Lalu dia membiusmu hingga lelap di
sofa. Selanjutnya dia melakukan hal-hal yang sudah kita reka sebelumnya. Jadi
dia memang bermaksud" mengarahkan tuduhan kepadamu, Yat. Sebelum melakukan hal
itu dia sudah menyiapkan paspo, dan identitas lain yang tentu saja palsu atas
nama Arya Kusuma. Ketika kabur dia mencukur bersih kumisnya. Deden berkumis.
Arya Kusuma tidak,Dua hal itu saja bisa menghasilkan perbedaan yang cukup besar.
Apalagi bila ditambah dengan perubahan sana-sini di wajah. Maka jadilah dia
orang baru." Mereka mendengarkan cerita Daud dengan takjub.
"Kenapa dia kembali tinggal di situ, Pak?" tanya Melinda tak habis pikir.
"Entahlah, yang paling tahu cuma dia sendiri. Tapi saya pikir, dia membeli rumah
itu pertamatama karena ingin menolongmu dari kesulitan keuangan. Bagaimanapun
kau adalah anaknya dan dia menyayangimu. Itu pun jadi sebab kenapa dia terus
memberi perhatian padamu. Dan kenapa dia justru tinggal di situ mungkin karena
dia mencintai rumah itu dan juga karena punya saraf baja." Melinda terdiam. Dia
tidak mau tersentuh oleh cerita tentang kasih sayang.
"Toh dia takut juga ketika merasa ada yang mengawasinya terus-menerus. Kalau
tidak masa dia mengajak Astuti pindah," Haryati tertawa.
"Lantas apa motivasinya cuma harta?" tanya Benyamin.
"Menurut pengakuannya kepada Pak Anjar, dia juga dendam kepada orangtuamu, Yat."
"Dendam?" Haryati terkejut.
"Ah, tak kusangka sebegitu dendamnya sampai tega berbuat seperti itu. Harus
kuakui dulu saat kami masih berpacaran orangtuaku tidak menyukainya. Beberapa
kali orangtuaku memperlakukannya secara kurang pantas. Tapi belakangan mereka
berbalik jadi sayang. Jadi tak seharusnya dia mendendam."
R)"Dia pandai berpura-pura," kata Daud. Akhirnya Benyamin tak tahan lebih lama
lagi. Dia sudah mengantuk. Sebelum pamit dia berkata pada Haryati,
"Maukah Anda berbincang-bincang dengan saya nanti, Bu?"
"Berbincang-bincang" Ah, tentu saja mau, Dok."
"Sebagai teman. Bukan sebagai pasien."
"Ya. Sebagai teman. Senang sekali, Dok. Terima kasih banyak." Setelah Benyamin
pergi yang tinggal adalah pasangan orang tua dan Orang muda.
"Mama ikut saya, yuk" ajak Melinda.


Misteri Di Balik Abu Karya V Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Saya mau pulang." Haryati bertukar pandang dengan Daud. Lalu dia menggelengkan
kepala. "Mama mau di sini saja, Lin. Sejak awal Mama tinggal di sini. Besok kita masih
punya hari yang panjang. Malam ini cuma permulaan." Melinda tampak kecewa.
Sebelum sempat protes tangannya ditarik Lesmana.
"Baiklah, Ma. Sampai besok, ya. Mari, Pak Daud. Terima kasih banyak. Selamat
malam. Daaag." Mereka berpelukan dan saling mencium pipi. Setelah berada di
mobil, Melinda menggerutu,
"Seharusnya Mama ikut denganku. Masa tinggal serumah dengan lelaki yang bukan
apa-apanya?" "Lelaki itu adalah Pak Daud, Lin. Bukan sembarang lelaki."
"Tapi tetap bukan apa-apanya. Suami bukan. Pacar juga bukan. Yah, cuma pacar
masa lalu yang putusnya juga sudah masa lalu.?"Hei, kau iri sama Pak Daud, ya
Lin" Mamamu tampak bahagia bersamanya. Tidakkah kaulihat cara mereka
berpandangan tadi" Aku yakin ada apa-apanya."
"Ah, matamu tajam, Les. Apa iya Mama sama Pak Daud" Rasanya tak terbayangkan."
"Jangan membayangkannya secara fisik. Untuk orang-orang yang sudah matang
seperti mereka, soal fisik tak lagi jadi perhitungan. Mereka tak memerlukan
itu." "Kau memang pintar, Les."
"Sebenarnya aku juga iri sama Bu Yati, Lin. Perhatianmu cuma kepadanya. Aku jadi
khawatir tersisih dan terlupakan."
"Ah, masa begitu. Nggak sama dong. Dia ibuku, dan kau lelaki satu-satunya
bagiku. Sedang Indra adalah masa lalu yang tak lagi mengganggu."
"Oh ya?" "Ya." "Buktikan." "Berhenti dulu. Parkir sebentar." Mereka berciuman. Singkat tapi mesra. Lalu
kendaraan berjalan lagi. Sementara itu di rumah Daud, kedua insan masih saja
duduk di sofa sambil berbincang-bincang dengan asyik. Banyak sekali bahan
percakapan. Sayang bila ditinggal tidur. Takut kalau besok tak teringat lagi
bila ditunda. Tetapi lamakelamaan mereka capek juga padahal bahan perbincangan
tak habis-habis. Untuk pergi tidur ke kamar masing-masing terasa segan berpisah.
Tapi |"Hei, kau iri sama Pak Daud, ya Lin" Mamamu tampak bahagia bersamanya. Tidakkah
kaulihat cara mereka berpandangan tadi" Aku yakin ada apa-apanya."
"Ah, matamu tajam, Les. Apa iya Mama sama Pak Daud" Rasanya tak terbayangkan."
"Jangan membayangkannya secara fisik. Untuk Orang-orang yang sudah matang
seperti mereka, soal fisik tak lagi jadi perhitungan. Mereka tak memerlukan
itu." "Kau memang pintar, Les."
"Sebenarnya aku juga iri sama Bu Yati, Lin. Perhatianmu cuma kepadanya. Aku jadi
khawatir tersisih dan terlupakan."
"Ah, masa begitu. Nggak sama dong. Dia ibuku, dan kau lelaki satu-satunya
bagiku. Sedang Indra adalah masa lalu yang tak lagi mengganggu."
"Oh ya?" "Ya." "Buktikan." "Berhenti dulu. Parkir sebentar." Mereka berciuman. Singkat tapi mesra. Lalu
kendaraan berjalan lagi. Sementara itu di rumah Daud, kedua insan masih saja
duduk di sofa sambil berbincang-bincang dengan asyik. Banyak sekali bahan
percakapan. Sayang bila ditinggal tidur. Takut kalau besok tak teringat lagi
bila ditunda. Tetapi lamakelamaan mereka capek juga padahal bahan perbincangan
tak habis-habis. Untuk pergi tidur ke kamar masing-masing terasa segan berpisah.
Tapi tidur sama-sama tak bisa diterima moral masingmasing.
"Kau bahagia dengan kebersamaan kita, Yat?"
"Ya. Kau?" "Ya, tentu saja. Kan aku yang tanya duluan. Bagaimana kalau besok kita bicarakan
rencana kebersamaan kita itu?"
"Setuju. Besok."
Akhirnya mereka tertidur di sofa. Kepala Daud
bersandar ke belakang sedang kepala Haryati beristirahat dengan nyaman di pundak
Daud. Barangkali besok keduanya akan bangun dengan badan dan leher pegal-pegal.
Tetapi soal seperti itu tak
terpikirkan sebelumnya. Bagi mereka, itu merupakan cara untuk mengekspresikan
kemesraan. TAMAT Created Ebooke by Syauqy_arryahoo.co.id
http://hana-oki.blogspot.com
Edit Teks SAIFUL BAHRI Misteri Di Teater Kecil 3 Raja Petir 15 Api Di Suraloka Pendekar Lembah Naga 30
^