Pencarian

Misteri Wintersbride 1

Misteri Wintersbride Karya Sara Seale Bagian 1


BAB I SETELAH selesai makan malam, Adam Chantry berjalan-jalan menelusuri serambi muka
hotel. Dalam hati ia memaki-maki,
"Huh! Kalau saja perundingan di rumah sakit tadi tidak terlambat, tentu aku
tidak perlu menginap di hotel malam ini!" Kemudian pikirannya melayang ke
Wintersbride - tempat tinggalnya - dan pada puterinya - Fay yang masih kecil.
Mungkin saat ini Fay sudah tidur. Atau mungkin ia sudah pulas terbuai mimpimimpi
indah. Atau mungkin pula ia sedang bertengkar dengan Simmy - pengasuhnya. Atau
mungkin dengan akalnya yang cerdik ia berusaha menghindari pengawasan ketat
pengasuhnya. "Ah, untunglah ada Simmy," kata Adam dalam hati. Hatinya terasa pilu. Ditariknya
napas dalamdalam, untuk menghilangkan kepiluan hatinya. "Memang benar apa yang
dikatakan kawan-kawanku," pikir Adam. "Seharusnya sekarang ini aku menikah lagi
- mencari pengganti Melisande." Terbayang di pelupuk matanya wajah Grace - gadis
yang amat dicintai almarhumah Melisande, istrinya. Sampai detik ini Grace masih
menanti dengan sabar - menantikan keputusannya untuk menggantikan Melisande yang
telah meninggal dunia. Adam mengernyitkan dahi. Ia sadar, bahwa ia tidak mungkin menikah lagi selama
masih teringat pada Melisande - istrinya yang sangat dicintainya.
"Tidak mungkin! Tidak mungkin aku menikah dengan Gracel .Grace dan Melisande.
ah, mengapa keduanya mirip sekali"!"
Ketika benaknya masih memikirkan istrinya, Adam melihat Mighty Mesmero. Yang
menurut kata orang adalah seorang ahli hipnotis yang paling pandai di seluruh
daratan Eropa. "Mesmero dan Tojo adalah orang-orang yang sangat unik di dalam dunia
pertunjukan," teriak seorang laki-laki berpakaian sweater ungu. Laki-laki itu
berdiri di atas sebuah podium kecil. "Sebentar lagi saya akan memperkenalkan
seorang anak lakilaki pada Anda. Anak ini ditemukan di sebuah padang rumput di
Asia oleh seorang ahli musik, yang selalu melatihnya dengan tertib. Anak ini
buta dan tuli. Semua gerakannya sepenuhnya di bawah kekuasaan Mighty Mesmero
yang unik. Tojo! Ayo keluar!"
Adam mencibirkan bibirnya. Ia pernah menyaksikan pertunjukkan hipnotis semacam
itu. Anak laki-laki yang dipanggil pun muncul. Dengan kaki gemetaria menaiki
tangga podium. Anak itu mengenakan setelan celana ketat model timur kuno. Selain
itu ia juga memakai jubah yang dihiasi manikmanik yang berkilauan. Tetapi anak
itu tidak mengenakan ikat kepala sebagaimana biasanya. Sebagai gantinya ia
mengenakan ikat kepala yang dihias tengkorak kepala, sehingga menimbulkan kesan
seperti seorang badut yang sedang bersedih hati. Adam baru saja hendak
meninggalkan tempat pertunjukan itu, ketika tiba-tiba ia menemukan sesuatu yang
aneh pada wajah anak itu. Matanya yang ahli mengamat-amati wajah anak itu.
Tidak salah lihatkah matanya" Benarkah kejadian yang dilihatnya. Anak laki-laki
itu berdiri dengan mata membelalak dan tak berkedip-kedip - pandangannya hampa.
Adam tertarik untuk melihat pertunjukan itu lebih lanjut. Ia membayar lima
pence, lalu bergabung dengan orang banyak di dalam tenda.
Di belakang layar seseorang mulai memutar lagu. Terdengar alunan musik daerah
timur dari sebuah piringan hitam tua. Dan kemudian layar disentakkan ke pinggir.
Anak laki-laki itu kini duduk di atas sebuah kursi yang bersandaran belakang
tinggi. Kursi itu diletakkan di atas mimbar yang menghadap lurus ke muka.
Mesmero yang mengenakan jubah berjalan perlahan-lahan menuju ke mimbar. Jubahnya
tampak tergerai-gerai ditiup angin. Mesmero merentangkan kedua tangannya sambil
membaca mantera. "Saya akan membuat anak ini tak sadarkan diri. Semua yang kuperintahkan akan
dipatuhinya," kata Mesmero. Suaranya terdengar nyaring tapi merdu. "Tojo - lihat
padaku," Anak laki-laki itu perlahan-lahan membalikkan kepalanya. "Lihat
mataku . menyerah ... menyerahlah ..."
Anak laki-laki itu bergumam, hampir tak terdengar. Beberapa lama kemudian baru
terdengar suaranya menjawab,
"Aku tidak dapat ." Terdengar seseorang tertawa mengikik di antara orang-orang
yang asyik menonton pertunjukan.
"Huh! Bisu tuli" Bohong .." bisik orang yang tertawa itu, hampir tak terdengar.
"Tojo!" panggil Mesmero dengan suara menggeledek. "Kau harus patuh padaku!"
"Aku . aku... aku tidak dapat." jawab anak laki-laki yang dipanggil Tojo dengan
terbata-bata. Kemudian ia merosot dari kursi.
Sejenak tampak Mesmero kebingungan. Kemudian ia menghadap ke arah penonton
dengan wajah sungguh-sungguh dan berkata,
"Tenang! Tenang! Tojo sedang kerasukan!"
"Sebaiknya Anda menghentikan pertunjukan yang tak masuk akal ini! Anak itu
sedang sakit!" kata Adam dengan tenang. Kemudian menyeruak di antara orang
banyak menuju ke mimbar. Laki-laki yang berpakaian sweater ungu muncul dengan
tibatiba. Ia berusaha menenangkan penonton yang tampak mulai ribut.
"Siapa kau"!"tanya Mesmero dengan marah. Tetapi wajahnya tampak ketakutan. "Aku
seorang dokter," jawab Adam. Lalu membungkuk memeriksa anak laki-laki yang tadi
dipanggil Tojo. Kini tahulah Adam apa yang telah membingungkannya. Rupanya sejak
tadi, sebelum naik ke podium, anak laki-laki itu memang sudah hampir pingsan.
Adam mengangkat anak laki-laki itu. Kemudian direbahkannya di tanah.
Dilepaskannya jubah yang dipakai anak laki-laki itu. Lalu diperiksanya
jantungnya. Adam memandang Mesmero, si ahli hipnotis dengan pandangan mengejek,
sambil mengangkat alisnya. "Kau memang penipu besar, Mesmero," kata Adam.
"Mengapa mengatakan dia anak laki-laki" Bukankah ia seorang gadis" Bukankah
pertunjukanmu lebih menarik bila dilakukan oleh seoranggadis daripada seorang
anak laki-laki?" Mesmero tampak salah tingkah. 'Habis bagaimana" Aku terkenal di
mana-mana di dalam dunia pertunjukan sebagai Mighty Mes
mero dan Tojo. Aku tidak dapat membatalkan pertunjukanku karena anak laki-laki
yang biasa kuhipnotis tiba-tiba saja menghilang. Aku sama sekali tidak mengenal
gadis ini, Dokter. Dia yang datang padaku dan minta pekerjaan. Pertunjukanku
akan dimulai satu setengah jam lagi, tetapi Tojo tidak juga muncul. Kebetulan
aku menemukan gadis ini. Kulihat badannya kecil amat kurus. Maka kupikir kalau
ia menyaru jadi anak laki-laki juga tidak akan ketahuan ..." Gadis itu membuka
matanya. Matanya berwarma abu-abu. Bulu matanya tumbuh lebat. Mata itu tampak
terlalu besar untuk wajah yang kurus tetapi lembut seperti itu. "Oh, siapakah
kau"' tanya gadis itu. "Aku - dokter-" jawab Adam. "Tadi kau pingsan." Gadis itu
melepaskan ikat kepalanya, yang dihiasi dengan tengkorak kepala sambil menarik
napas lega. Rambutnya yang pirang tampak keemasemasan. Rambut itu dipotong
pendek dan bergelombang. Persis seperti potongan rambut anakanak. "Maafkan aku,
Tuan Mesmero. Aku telah merusak pertunjukan Tuan," kata si gadis. "Seandainya
tadi waktu aku minta makan Tuan berikan makanan, tentu tidak akan begini
jadinya." "Tetapi waktunya tidak ada lagi!" bentak Mesmero. "Kau harus latihan lagi. Ini,
pakai bajumu. Masih ada waktu satu setengah jam lagi. Jangan memikirkan makanan
melulu!" "Apakah Tuan tidak pernah kelaparan"' tanya si gadis dengan lembut.
Adam memandang wajah gadis itu dengan tajam. "Kapan terakhir kali kau makan?"
tanya MesInderO. "Kalau tak salah - dua hari yang lalu," jawab si gadis.
"Mengapa tadi tidak kaukatakan padaku" Aku kan tidak tahu-menahu tentang
dirimu!" bantah Mesmero. "Ini upahmu! Pergi sana beli makanan. Sudah cukup,
bukan?" "Tetapi tadi Tuan bilang, aku boleh ikut Tuan sampai Tuan pindah ke
tempat lain." "Tidak bisa! Tidak bisa! Di sini tidak ada ruangan kosong!"
Ketenangan yang tadi tercermin di wajah gadis itu tiba-tiba saja sirna. Ia
tampak cemberut. Tingkahnya persis seperti anak kecil yang sedang ngambek.
"Tetapi aku tidak tahu, ke mana aku harus pergi," keluh si gadis. Maka tanpa
dapat ditahan lagi, mengalirlah butir-butir air mata dari kelopak matanya. Adam
cepat-cepat berkata, "Kalau begitu lebih baik kau ikut aku ke hotel
saja. Di sana pasti ada tempat untukmu."
"Tetapi aku tidak mengenalmu," sahut si gadis dengan tingkah yang dibuat-buat.
Adam tersenyum sinis. "Apa bedanya" Kau juga tidak mengenal Mesmero! Tetapi kau
mau bermalam bersamanya!" Adam bicara tanpa tedeng aling-aling, membuat si gadis
menjadi malu dan merah padam wajahnya. 'Tentu saja ada bedanya," ujar si gadis.
"Aku kan bisnis dengan Mesmero." "Sudahlah, pokoknya tidak usah mempersoalkan
bisnis di tempat seperti ini. Apalagi pada jam-jam sebegini. Anggap saja aku ini
makanan. Ayo cepat jalan!" "Ya, sudah ikut dia saja," bujuk Mesmero. Ia menyuruh
gadisitu meninggalkan kemah dan cepat-cepat menukar pakaian. Adam mencari taksi,
sementara si gadis bertukar pakaian. Karena pikirnya, keadaan si gadis tidak
memungkinkan ia mampu jalan kaki sampai ke hotel. Adam melemparkan pandangan
menyelidik ketika melihat si gadis jalan melintasi rerumputan sambil membawa
sebuah koper kecil. Kelihatannya ia lelah sekali.
"Bagaimana keadaanmu sekarang"' tanya Adam. "Lemas," jawab si gadis sambil
memberikan kopernya kepada Adam. "Himm, sebentar lagi tentu kau sudah kuat
kembali. Ayo jalan!" Tak lama kemudian, taksi berhenti di muka hotel. "Oh ya,
siapa namamu?" tanya Adam, sebelum mereka masuk. "Miranda," jawab si gadis.
"Lengkapnya, Miranda Clare." Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Karena
itu kebanyakan penghuni hotel sudah tidur. "Tolong siapkan kamar untuk Nona ini.
Dia pasien saya," kata Adam pada petugas penerima tamu hotel. "Baik, Tuan
Chantry," jawab petugas itu dengan penuh arti. "Oh ya, apakah masih ada
makanan?" "Coba nanti saya lihat dulu, Tuan," sahut petugas itu. "Untuk satu
orang saja - di atas?" "Ya, untuk satu orang - di ruang makan." Adam mengajak
gadis itu ke sebuah ruangan kecil, khusus untuk merokok. Ruangan itu agak
terpisah. Tampak sisa-sisa api masih menyala di pendiangan. Miranda mendekam di
dekat pendiangan itu. Direntangkannya tangannya yang kurus dan kedinginan itu di
dekat api, supaya hangat. "Petugas penerima tamu tadi mengira kau hendak berbuat
sesuatu yang tidak baik padaku," kataMiranda dengan nakal. "Apakah benar
perkiraannya itu?" "Astaga!" seru Adam dengan jengkel. "Kau terlalu muda
untukku. Kau ini pantas jadi putriku, tahu"!" "Memangnya umurmu berapa?" tanya
Miranda dengan serius. "Tiga puluh delapan." "O, o, o, masih terlalu muda untuk
jadi ayahku," kata Miranda sambil tersenyum kecil. "Umurku
sembilan belas! "Kalau begitu seharusnya kau tahu, lebih baik ikut denganku daripada dengan
seorang bajingan seperti Mighty Mesmero!" Nada bicara Adam terdengar agak kasar
sewaktu mengucapkan kata-kata itu "Tidak mungkin kau tidak tahu apa yang
diinginkannya, bukan?" "Ya, tetapi kalau sudah kelaparan - apalagi tidak punya
uang sepeser pun di saku, orang tidak akan berpikir sampai sejauh itu, bukan"
Dan kau pun tidak termasuk orang yang memerlukan teman tidur?" "Orang-orang
seperti aku ini tidak butuh teman tidur!" "Kalau tak salah dengar, tadi
kaubilang kau seorang dokter" Petugas penerima tamu hotel tadi memanggilmu tuan
dokter." "Aku seorang ahli bedah, bukan dokter umum. Apakah kaupikir aku sengaja
membawamu ke mari karena mempunyai maksud tertentu?" "Mana kutahu. Seperti yang
kukatakan tadi, kalau sedang lapar dan tidak punya tempat tinggal, orang tidak
akan memikirkan bahaya yang mengancam dirinya!" "Kalau begitu kau bersedia hmm, mencumbuku - hanya supaya dapat tempat tidur, hanya supaya dapat mengisi
perutmu yang kosong"Wajah Miranda berubah menjadi pucat pasi mendengar kata-kata
Adam. Sebelum Adam sempat
berkata lebih lanjut, Miranda sudah menangis tersedu-sedu.
'Sudahlah, sudahlah jangan menangis," kata Adam, menghibur. Suaranya berubah
menjadi amat lembut. "Aku tidak bermaksud menyinggung perasaanmu. Diamlah, coba
ceritakan padaku bagaimana kau sampai mendapat kesulitan seperti ini.
Sambil terisak-isak, Miranda menceritakan nasib yang telah menimpanya. Tetapi
apa yang diceritakannya seakan-akan tidak ada hubungan satu sama lain.
Dikatakannya, dulu ia tinggal di Perancis bersama dengan ayahnya. Ayahnya
seorang seniman. Ia tidak punya ibu. Tetapi dalam ceritanya ia menyebut-nyebut
seseorang yang bernama Pierre. Ayahnya meninggal secara mendadak setahun yang
lalu. "Itukah sebabnya kau datang ke Inggris?" tanya Adam, memotong pembicaraan
Miranda. "Ya. Menurut Pierre, ibuku mempunyai saudara di Inggris ini. Tetapi ketika aku
datang kemari, mereka sudah lama pindah. Tak seorang pun tahu ke mana mereka
pindah. Aku pun tak tahu ke mana harus mencari mereka. Pierre mengirimkan uang
padaku. Tetapi jumlahnya sedikit sekali, tidak cukup untuk pulang ke Perancis.
Hal ini membuat kecewa calon istrinya. Sebab waktu kami masih kecil aku adalah
pacar Pierre. Tetapi akhirnya waktu ia menikah dengan Marguriete, ia mengatakan
bahwa mereka akan mengajakku tinggal bersama mereka dan mencarikan suami untukku
dengan adat Perancis."
At."Tetapi kau kan bukan orang Perancis, Miranda?" tanya Adam dengan acuh tak
acuh. "Kau mau saja dikawinkan secara adat Perancis?" 'Habis harus bagaimana?"
ujar Miranda. "Yang penting bagiku, aku mendapat tempat berlindung. Aku tidak
butuh hal-hal yang romantis." "Kau tidak boleh beranggapan begitu. Kau kan masih
muda." Miranda berhenti menangis. Ia menatap Adam dengan pandangan penuh kasih
sayang. Adam menjadi kikuk dipandang seperti itu. "Selama ini aku rela bekerja
apa saja untuk mempertahankan hidupku," ujar Miranda. "Aku lebih mementingkan
tempat berlindung dari segalanya. Seandainya ada orang yang mencintaiku
dengantulus - kurasa tidak sukar bagiku untuk balas mencintainya. Apalagi jika
ia termasuk orang yang patut dicintai." Alis mata Adam terangkat ke atas
mendengar kata-kata Miranda. Tetapi ia hanya berkata, "Pandangan hidupmu aneh
sekali. Ah, makanannya sudah datang, Miranda. Ayo makan!" Sambil makan, Miranda
menceritakan bagaimana cara ia hidup selama ini. Dikatakannya, bahwa ia tidak
mempunyai kecakapan apa-apa. Ia tidak punya sahabat yang dapat menolongnya. Ia
masih muda, tetapi sebaliknya juga sudah tua. Ia terlalu banyak bicara. Tetapi
kadang-kadang juga jadi terlalu pendiam. Selain itu, ia pun belum berpengalaman.
Waktu ia berjumpa dengan Mighty Mesmero, ia sedang kelaparan sekali. Tetapi di
sakunya tak ada sepeser uang pun. Dan waktu itu pun ia tidak tahu harus berteduh
di mana, sedangkan hari sudah hampir malam. Miranda menjilati sisa-sisa makanan
di piringnya. Kemudian bersandar di kursi sambil menarik napas.
"Himm, belum pernah aku makan makanan seenak hari ini," kata Miranda sambil
mengatupkan matanya. Adam melihat bayang-bayang bulu mata Miranda yang kebirubiruan dan bayangan perasaan puas di balik kelopak matanya.
"Ayo bangun, Miranda. Nanti kau tertidur di sini," kata Adam sambil bangun dari
kursinya. "Ayo kita lihat kamarmu, besok baru kita pikirkan apa yang harus kita
lakukan." Malam itu Adam sendiri tidak dapat tidur dengan nyenyak. Ia menyesali tindakan
yang telah diambilnya semalam. Mengapa ia harus terlibat dalam kesulitan orang
lain" Mengapa ia terlibat dalam soal peri kemanusiaan" Kini ia tidak dapat pergi
ke Devonshire. Ia tidak mungkin meninggalkan Miranda begitu saja. Tidak mungkin
ia meninggalkannya di kota yang masih asing baginya sendirian. Apalagi di saat
ia tidak punya tempat berteduh!
Adam turun hendak sarapan pagi. Hatinya resah tak menentu. Tetapi kemudian ia
merasa lega melihat Miranda tidak ikut sarapan pagi bersamanya.
Pagi itu ia mendapat surat dari Grace. Adam bingung kalau mengingat tingkah
Grace. Mengapa ia selalu mengirimkannya surat, ke mana pun ia pergi" Dan katakata di dalam suratnya itu seakanakan mengatakan bahwa ia sudah menjadi milik
Grace" Dan Adam menjadi lebih terkejut, ketika mengetahui bahwa bukan hanya Grace dan
ibunya saja yang menginginkan ia menikah dengan Grace. Tetapi teman-temannya
juga banyak yang mengharapkan hal itu. Adam memasukkan surat itu ke dalam saku
bajunya. Dengan jengkel dalam hati ia berkata, bahwa ia tidak akan memberi
kesempatan pada Grace untuk mendekatinya. Ia tidak akan mungkin menikah dengan
Grace!Adam tidak yakin, bahwa Grace benar-benar mencintainya. Sebab umur Grace
saja sudah tiga puluh tahun. Grace cuma tidak ingin dikatakan orang perawan tua.
Ia cuma ingin asal kawin saja dan menginginkan kedudukannya. Ia akan bangga bila
dipanggil orang istri dokter.
Dengan langkah cepat dan marah-marah, Adam meninggalkan ruangan makan. Lalu ia
naik ke atas, hendak menemui Miranda.
Dilihatnya Miranda tengah duduk di ranjangnya. Sebaki sarapan pagi berada di
pangkuannya. Tampaknya ia sudah lebih sehat dari kemarin, kata Adam dalam hati.
Tetapi Miranda masih terlalu kurus.
"Selamat pagi," sapa Miranda dengan mulut penuh makanan. "Kau tidak keberatan
bukan, aku makan di ranjang seperti lagak orang kaya" Habis kalau aku bersamamu
di bawah, aku takut merusakkan nama baikmu. Bukankah begitu?"
Adam mengernyitkan dahi. "Apa hubungannya nama baikku dengan sarapan pagi bersamamu?"
"Ya, tentu saja orang akan heran melihat kau sarapan pagi dengan seorang gadis
asing. Tentu mereka akan menduga yang bukan-bukan."
"Himm," gumam Adam. "Kau perlu istirahat, istirahat yang banyak sebelum bekerja.
Aku akan menitipkanmu di sebuah panti asuhan selama satu atau dua minggu. Atau
kau mau ikut aku?" "Ke rumahmu?" tanya Miranda, terkejut. Ia memandang Adam dengan mata membelalak
keheranan. "Ya, habis ke mana" Di sana kau bisa mendapat
udara segar dan bisa cepat sembuh. Dan kau pun dapat menemani Fay - puteriku bermainmain."Wajah Miranda kelihatan berseri-seri. "Oh, kau sudah beristri!
Boleh saja, siapa tahuistrimu butuh seorang pengasuh anak - atau teman main
anakmu atau apa saja." 'Istriku sudah meninggal dunia," kata Adam, singkat.
Miranda tidak enak. "Oh, maaf. Kalau begitu, di sana aku hanya tinggal denganmu
dan puterimu yang masih kecil saja?" Adam tersenyum. "Ah, tidak. Di sana kan ada
Simmy, pengasuh Fay. Dialah yang mengurus segala kebutuhan Fay. Tetapi-'Adam
berjalan mondar-mandir di ruangan itu, tangannya dimasukkannya ke dalam saku
celananya. Miranda memperhatikan tingkah Adam. Pandangannya terhadap pribadi


Misteri Wintersbride Karya Sara Seale di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Adam berubah. Ia tampak lebih tua, pagi ini. Dan mungkin terlalu tua untuk orang
yang baru berumur tiga puluh delapan tahun. Apalagi dengan rambutnya yang sudah
agak beruban. Tentu semua pasiennya menyenanginya, pikir Miranda. Dan tentunya
mereka selalu menuruti nasehat yang diberikannya, walaupun dengan cara yang agak
kasar. Ya, tentu banyak wanita yang menyukainya. Sebab ia termasuk pria yang
mempunyai daya tarik yang kuat. "Sekarang kau jadi bingung, bukan"' tanya Adam.
Ia berhenti di ujung ranjang. "Aku tidak mengerti, mengapa seakan-akan aku butuh
bimbinganmu," sahut Miranda. "Padahal kita berjumpa secara kebetulan saja."
"Tetapi perjumpaan yang secara kebetulan kadang-kadang mempunyai makna
tertentu," ujar Adam, perlahan. Tangannya memegang surat dari Grace. "Miranda,
apakah kau sungguh-sungguh ketika malam tadi kaukatakan bahwa bagimu tempat
berlindung lebih penting daripada kebebasan, daripada - ehm ... percintaan?""Ya,
tentu saja!" sahut Miranda. Kelihatannya ia terkejut mendengar pertanyaan Adam
yang demikian. "Tetapi bagiku, hal itu hanya bisa didapat di dalam perkawinan
yang diinginkan oleh kedua belah pihak."
"Perkawinan yang diinginkan oleh kedua belah
pihak," ulang Adam. "Aku tidak tahu, apakah aku menilai perkawinan seperti itu."
"Benarkah begitu?" Untuk pertama kalinya sejak mereka bertemu, Miranda merasa
lidahnya keluluntuk berkata-kata. Mereka saling bertatapan. Adam menatap wajah
Miranda yang keheranan. "Maksudmu ... maksudmu ... kau tidak serius, bukan?"
"Anehnya, aku malah serius," sahut Adam sambil berjalan menghampiri ranjang
Miranda. Disingkirkannya baki makanan yang tadi dipangku Miranda. Lalu ia duduk
di tepi ranjang. "Pokoknya begini saja," kata Adam dengan lagak seperti seorang dosen yang sedang
memberikan mata kuliah, "kita bicara secara terang-terangan. Kau membutuhkan
sebuah rumah dan orang yang mampu menyediakan segala kebutuhan hidupmu. Aku
memerlukan seorang nyonya rumah untuk mengurus rumahku dan seorang kawan untuk
puteriku. Dan aku juga butuh-terutama sekarang ini - seorang istri yang dapat
kuajak terjun di masyarakat."
"Lho, bukankah banyak wanita yang bersedia menikah denganmu?" tanya Miranda
dengan tenang. Adam tersenyum. Ia menyukai keterus-terangan Miranda.
"Ya, memang banyak. Tetapi mereka tidak bersungguh-sungguh. Aku ingin menikah
lagi karena mengingat akan masa depan Fay."
"Tetapi aku tidak dapat menjanjikan," ujar Miranda dengan tenang, "aku dapat
menjadi ibu yang baik untuk seorang anak yang tidak kukenal sama sekali."
"Fay tidak membutuhkan seorang ibu. Ia hanya butuh teman bermain yang hampir
sebaya dengannya. Ia sekarang berumur dua belas tahun. Nah, sekarang kau sudah
tahu siapa dan bagaimana keadaan keluargaku. Pokoknya, aku termasuk orang
beruang dan kalau kau memang bersedia kawin denganku, kau tentu tak akan
menyesal. Sebab aku orang yang murah hati."
"Tetapi mungkin, tidak mudah hidup bersamamu," kata Miranda dengan lembut.
Alis mata Adam terangkat.
"Mengapa kaukatakan begitu" Kau kan dapat menarik banyak keuntungan bila mau
menjadi istriku" Aku selalu sibuk dengan pekerjaanku. Kadangkadang kalau terlalu
banyak pekerjaan, aku tidak pulang ke rumah. Tetapi aku punya flat khusus untuk
keperluan perundingan atau segala sesuatu yang bersangkutan dengan pekerjaanku.
Mungkin hanya satu kesulitan yang akan kautemui, kau akan merasa agak kesepian.
Sebab rumahku agak terpisah dari rumah-rumah lainnya."
"Menurut hematku, siapa pun tidak akan senang bila hidupnya selalu diatur
walaupun ia hidup dengan bergelimang emas permata!"
"Ya, memang betul," jawab Adam dengan acuh tak acuh. "Lalu bagaimana maumu?"
Miranda bersandar di bantal. Ia memandang langit-langit kamar.
"Apakah kau yakin, aku ini betul-betul cocok untuk jadi istrimu?" tanya Miranda.
"Sifatku lain daripada yang lain. Aku tidak keberatan hidup seperti anjing pun,
untuk memenuhi perintahmu."Untuk pertama kalinya Adam tertawa. "Aih, kau memang
jujur!" "Dan kau kelihatan tampan selagi tertawa," ujar Miranda. Ia merentangkan
tangannya minta dipeluk. "Tentu aku akan menyukaimu." Adam jadi teringat katakata Miranda kemarin malam. Bahwa tidak sukar baginya untuk mencintai seseorang
bila orang itu memang mencintainya dengan tulus. Adam mendekatkan dirinya dengan
Miranda dengan agak kikuk. "Ya, mudah-mudahan," kata Adam agak kasar. "Aku pun
tentu akan menyukaimu. Tetapi jangan kau salah sangka, Miranda. Kau harus selalu
ingat, semua ini benar-benar bisnis." Miranda menarik kembali tangannya. Ia
menatap wajah Adam dalam-dalam. "Ya, tentu saja aku tahu. Kau kan sudah
menerangkan segalanya padaku."
"Kau harus memikirkan hal ini masak-masak. Aku akan naik kereta yang pukul satu.
Karena itu kuharap kau segera memberikan kepastian secepatnya."
"Tidak ada lagi yang perlukupikirkan masak-masak," sahut Miranda. 'Sekarang juga
kau dapat memperoleh jawaban yang kauinginkan dariku."
"Maksudmu - kau menolak tawaranku?" tanya Adam. Sekilas tampak Adam kecewa.
"Ohoho, tentu saja tidak," sahut Miranda, lalu menarik napas. "Aku benar-benar
tidak punya pilihan lain. Sebab kesempatan sebaik ini jarang sekali kudapat. Ya,
aku bersedia menikah denganmu. Sekarang bagaimana aku harus memanggilmu?"
"Panggil saja, Adam." "Adam ..." Miranda mengulangi kata-kata Adam dengan
perlahan. "Tuhan Allah berfirman: "Tidak
baik, kalau manusia itu hidup seorang diri saja. Aku
akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan
dengan dia . Hari-hari berikutnya, Adam sibuk sekali dengan pekerjaannya. Ia tidak punya
waktu banyak untuk memikirkan perkawinannya yang semakin mendekat. Pekerjaan
bertumpuk-tumpuk sudah menantinya, sewaktu ia kembali. Setiap jam tercatat
perjanjian baru untuk dua minggu yang akan datang.
Manakala ia membayangkan Miranda, hatinya gembira dan juga kagum padanya. Sebab
pada usia sembilan belas tahun saja ia sudah mampu menenlukan masa depannya.
Adam sama sekali tak merasa keanehan dalam situasinya yang sekarang ini. Ia
yakin, keputusan yang telah diambilnya adalah benar. Ia sudah memutuskan akan
menikah, berarti ia akan segera melaksanakan apa yang telah diputuskannya.
Mungkin lebih cepat ia melaksanakan hal itu, akan lebih baik.
Mereka akan melangsungkan perkawinan mereka dua minggu lagi disebuah catatan
sipil di London. Sementara itu Adam merencanakan akan menitipkan Miranda di
sebuah rumah petirahan temannya, Miss Evan. Miss Evan-lah nanti yang akan
mengurus pakaian pengantin wanitanya. Dan Adam pun merencanakan hendak membuka
rekening untuk Miranda. Sebelum hari perkawinannya tiba, Adam melewatkan waktu liburnya di rumah - di
Wintersbridge. Selama liburan itu makin bulatlah tekadnya untuk menikah dengan
Miranda. Sebab dilihatnya Fay - puterinya - tampak sangat bandel sekali dan amat
manja. Dan makin jelas pula dilihatnya perkembangan puterinya yang sangat cepat,
yang menyebabkan ia cepat menjadi dewasa sebelum waktunya. Dan ini mungkin
disebabkan olehlingkungan hidupnya di Wintersbride yang teraSing. Sementara itu
dirasakannya sikap Grace yang bermuka-muka. Ia pura-pura baik dengan Fay untuk
mengambil hatinya. Grace ingin membaiki Fay, sebagai batu loncatan untuk
mendapatkan ayahnya. Adam memperhatikan Grace, sewaktu ia berada di taman bunga
mawarnya. Diamatinya Grace yang menyentuh mawar-mawar yang sedang bermekaran.
Tingkahnya seakan-akan menyatakan bahwa dialah yang menjadi pemilik taman mawar
itu. Adam membanding-bandingkan Grace dengan Miranda, dan kemudian ia tersenyum
sendiri. Ya, Miranda masih kekanak-kanakan. Ia belum dewasa betul dan tidak
mungkin dapat mengingatkan dia akan Melisande. Melisande selalu ramah, luwes,
dan cantik. Dialah ratu rumah tangganya. Pokok dari segala kehidupan di
Wintersbride. Adam tidak menceritakan kepada siapa-siapa tentang keinginannya untuk menikah
lagi. Tetapi malam itu, ketika ia harus pergi ke Maybury lagi, ia singgah
sebentar di Wintersbride untuk mengambil barang-barang keperluannya. Ketika itu
Fay sudah tidur. Simmy menanyakannya, apakah malam itu ia akan kembali ke rumah
sepulangnya dari Maybury. Adam menjawab pertanyaan Simmy dengan sambil lalu,
"Tidak, aku tidak pulang malam ini. Aku akan langsung berangkat ke London malam
ini. Aku hendak menikah." "Menikah"!" Sejenak tampak Simmy terkejut mendengar
jawaban Adam. Mukanya yang panjang lagi pucat itu benar-benar tampak seperti
topeng. "Apakah kau tidak ingin mengucapkan selamat padaku, Simmy?" "Oh, oh,
maaf, Tuan Adam," jawab Simmy, cepat-cepat. "Tuan membuat saya terkejut.
Mudahmudahan Tuan - Tuan bahagia. Bagaimana dengan Fay - apakah Tuan sudah
memberitahukannya?" 'Belum. Tolong kauberitahukan dia besok. Lebih baik kau yang
mengatakan hal ini padanya." Simmy tersenyum. "Tuan tidak usah khawatir.
Serahkan segalanya pada saya. Tuan jarang di rumah, tampaknya Fay memang
menyukai Nona Grace." Adam memandang ke arah Simmy. . "Aku bukan hendak menikah
dengan Grace," kata Adam dengan singkat.
"Bukan dengan Nona Grace" Tetapi bukankahbukankah -" Simmy kelihatannya
kebingungan. "Memang orang-orang banyak mengharapkan aku menikah dengannya.
Tetapi mereka tidak tahu siapa sebenarnya Grace itu," ujar Adam. "Siapa pun yang
tinggal di sini, tidak mengenal calon istriku. Mungkin hal itu lebih baik." Adam
mengangkat kopernya dan bersiap-siap hendak berangkat. "Kalau begitu, Tuan tidak
akan cepat-cepat kembali?" tanya Simmy. "Mungkin. Bukankah aku harus menikmati
masa bulan madu, Simmy" Tetapi tentu tidak akan lama, sebab aku sedang banyak
pekerjaan. Aku akan segera kembali. Nanti kalau aku akan kembali, kau akan
kutelegram. Oh ya, beritahukan Nyonya Yeo supaya membersihkan kamar yang di
sebelah selatan." "Baik, Tuan. Apakah - apakah semua isi kamarnya tidak
dipindahkan lebih dulu?"
Dulu kamar di sebelah selatan itu adalah kamar Melisande. Tak seorang pun
menempati kamar itu sejak kematian Melisande. Tetapi semua buku, barang-barang
mahal, alat-alat menyulam, toilet miliknya masih ada di kamar itu, tidak
dipindahkan. .Sejenak Adam menyipitkan matanya. Ia menatap wajah Simmy dalam-dalam, mencoba
menerka apa yang ada di dalam benak pengasuh putrinya ini. Apa yang sedang
dibayangkannya tentang calon istriku" "Mengapa begitu?" tanya Adam kemudian. "Apakah ia tidak berhak menempati kamar yang berdampingan dengan kamarku?"
Seandainya Adam tidak sibuk memikirkan urusannya, tentu ia akan merasakan
perbedaan dalam diri Miranda. Kini keadaannya semakin baik, berkat perawatan
Nona Evan. Dan baru sekaranglah Miranda memikirkan apa yang telah dilakukannya.
Sambil berbaring di atas tempat tidurnya yang sempit dan berkasur keras itu,
Miranda mengingatingat kata-kata Pierre. Lebih penting tempat untuk berlindung,
kata Pierre. Memang benar apa yang dikatakannya. Lebih baik menikah untuk
memperoleh kesenangan, walaupun dengan orang yang belum dikenal. Daripada harus
berjuang mempertahankan hidup yang kadang-kadang sangat mengerikan, yang tidak
pernah dikenalnya. Akhirnya keragu-raguan yang melanda hati Miranda pun hilang.
Ia pergi ke bank, tempat Adam menyimpan uangnya. Miranda takut sekali,
kalaukalau pegawai bank itu menolak cek yang akan diuangkannya. Tetapi ternyata
pegawai bank itu dengan ramah melayaninya. Sama sekali ia tak tampak curiga
ataupun tidak percaya. Kemudian ia pergi ke sebuah toko pakaian di Jalan Bruton.
Toko itu sangat terkenal dengan pakaian-pakaian mahal. Di situ ia dilayani
langsung oleh kepala pelayan toko. Nona Evan makin curiga dengan Miranda.
Apalagi ketika pakaian pengantin Miranda dikirim ke tempat petirahan itu.
"Astaga!" seru Nona Evan, terkejut ketika melihat harga pakaian pengantin itu.
Ia menatap Mi.randa dalam-dalam. Seakan-akan ada keanehan dalam diri Miranda.
Dulu waktu ia datang ke petirahan itu, bajunya boleh dikatakan lusuh dan kotor
sekali. Ia hanya membawa sebuah koper kecil. Tetapi kini tiba-tiba saja ia mampu
berbelanja di daerah pertokoan orang-orang kaya. Ia mampu berbelanja di Jalan
Bruton. "Kau mau menikah?" tanya Nona Evan. Masih belum hilang juga
keheranannya. "Ya," jawab Miranda. 'Calon suamiku yang membelikanku pakaian
pengantin ini." "Hebat, hebat," gumam Nona Evan, "memang nasib seseorang itu
tidak dapat diduga-duga. Kadang-kadang ada orang yang mendadak mendapat untung
besar. Apakah calon suamimu akan menjemputmu di sini?" 'Entahlah," sahut
Miranda. Ya, Miranda tak tahu, apakah Adam akan menjemputnya. Sebab sampai saat
itu ia belum juga mengiriminya surat. Atau mungkin Adam menunggunya di depan
kantor catatan sipil" Yang lebih membingungkan lagi, ia belum punya cincin
kawin. Dan Adam pun tidak tahu ukuran jarinya! Miranda pergi ke toko perhiasan,
sehari sebelum hari perkawinannya. Hatinya sedih sekali hari itu. Sebab rasanya
asing dan sedikit rikuh bila harus membeli cincin kawin sendirian.
"Mau yang terbuat dari emas atau platina, Nona?" tanya pelayan toko dengan acuh
tak acuh. "Wah, yang mana ya. Biasanya orang memakai apa?" tanya Miranda,
kebingungan. "Itu tergantung selera, Nona," jawab si pelayan toko. Kelihatannya
ia bingung. "Kalau sekarang ini, banyak yang lebih menyukai platina. Apakah
cincin pertunangan Nona juga dari platina?" "Cincin pertunangan: Oh, eh. eh ...
saya tidak pakai cincin pertunangan."Pelayan itu mencibirkan bibirnya. Lalu ia
mengeluarkan sebuah baki berisi berbagai model cincin terbuat dari platina.
Kemudian ia berkata, "Cobalah cincin ini untuk mengetahui ukuran jari Nona."
Dengan tergesa-gesa, Miranda mencoba cincin itu satu per satu. Sampai akhirnya
ia menemukan sebuah cincin yang cocok.
"Yang ini saja," kata Miranda pada si pelayantoko.
Miranda membayar harga cincin itu cepat-cepat. Kemudian ia meninggalkan toko
itu. Hatinya terasa lega. Dalam hati ia berkata, tentunya pelayan itu kini yakin
bahwa ia membeli cincin kawin itu bukan dengan maksud benar-benar hendak
menikah. Miranda masuk ke sebuah rumah makan kecil. Ia duduk di salah sebuah bangku.
Terbayanglah di matanya, bahwa esok pagi, pada jam sekian ini, ia sudah menjadi
seorang nyonya. Ya, ia akan menikah dengan seorang laki-laki yang masih asing
baginya. Dan kemudian ia akan pergi ke rumah suaminya. Ia akan pulang ke rumah
yang tidak diketahui di mana letaknya. Bahkan nama daerahnya pun tidak
diketahuinya! Keesokan harinya, Miranda bangun pagi-pagi sekali. Dengan cekatan ia mengemasi
barang-barangnya. Ia hanya membawa barang-barang yang benar-benar diperlukannya
saja. Tetapi ternyata baju yang akan dibawanya masih banyak saja.
Biasanya orang yang hendak menikah di catatan sipil, pada musim panas seperti
ini, memakai baju apa ya" Pikir Miranda dalam hati. Ia bingung sekali.
Dipandanginya semua pakaian barunya. Ah, ia bingung, bingung sekali. Pakaian
manakah yang akan dipakainya"Akhirnya Miranda memilih pakaian terbuat dari kain
linen yang berpotongan sederhana. Modelnya seperti model anak-anak. Berkerah
bundar, warnanya biru laut. Miranda tak sadar, bahwa dengan berpakaian seperti
itu ia tampak benar-benar seperti anak sekolah. Karena bingung memilih pakaian
mana yang akan dipakai, akhirnya Miranda jadi terlambat tiba di kantor catatan
sipil. Adam sudah menunggunya di halaman kantor itu. Sebentar-sebentar ia
melihat jam tangannya. Ia takut kalau-kalau Miranda hanya mempermainkannya.
Tetapi kemudian pikiran-pikiran itu lenyap ketika ia melihat Miranda berlarilari di jalan sambil menenteng kopernya. Sejenak Adam memandangnya dengan sinis.
Tampaknya ia sudah tidak sabar lagi. Ah, Miranda memang benar-benar masih anakanak! Kata Adam dalam hati. Seharusnya ia mengangkatnya menjadi anak angkat,
bukan menjadikannya sebagai istrinya! "Kokterlambat sekali?" tanya Adam dengan
nada kesal. Caranya bertanya sama seperti ia bertanya pada seorang suster yang
terlambat. "Oh, ma-maaf," jawab Miranda, tergagap-gagap. "Sukar sekali mendapat
taksi." "Ayo masuk! Kita sudah terlambat dua puluh menit. Kau sudah bawa
cincinnya?" Dengan gugup Miranda merogoh dompetnya. Adam melihat tangannya
gemetar ketika ia menyerahkan cincin itu. Lalu ia menatap wajah Miranda dalamdalam. Seakan-akan hendak menjenguk isi hati Miranda. "Kau sungguh-sungguh mau
jadi istriku?" tanya Adam. "Ya, aku bersungguh-sungguh. Tak ada lagi yang
memperhatikanku sejak ayahku meninggal. Karena itu aku tidak mengharap apaapa."Miranda merasakan tangan Adam yang lembut di bahunya.
"Tak usah takut," kata Adam. "Seperempat jam yang akan kita lalui ini tidak akan
berarti apa-apa. Anggap saja kau sekarang hendak menandatangani sebuah kontrakkontrak kerja, supaya kau dapat hidup lebih baik. Begitu juga hal ini bagiku.
Kau tahu yang kumaksud, bukan?"
"Ya," jawab Miranda.
Kelihatannya upacara perkawinan itu tidak seperti upacara perkawinan sungguhan.
Petugas catatan sipil dengan senyumnya yang profesionil, dua orang saksi, bahkan
kata-kata yang diucapkan Miranda tidak tulus. Tidak benar-benar keluar dari hati
kecilnya. Dalam sekejap saja, cincin kawin itu sudah melingkar di jari manis
Miranda. Petugas catatan sipil itu tampak heran, ketika melihat pengantin lakilaki tidak mencium pipi pengantin wanita. Tetapi ia tidak mengatakan apa-apa.
Hanya alis matanya saja terangkat ke atas, menunjukkan keheranan hatinya. Pada
menit berikutnya mereka tampak sudah ada dijalan kembali. Adam berdiri di tepi
jalan. Tangannya dilambai-lambaikan, memanggil sebuah taksi.
"Petugas catatan sipil tadi memakai gigi palsu ya" tanya Miranda ketika mereka
sudah duduk di dalam taksi. "Aku sudah ngeri giginya copot saja!"
"Ah, mana mungkin. Gigi itu kan tidak dipakai terus-terusan," sahut Adam. Hanya
itu percakapan mereka selama dalam perjalanan menuju ke stasiun.
Rasanya perjalanan itu lama sekali, dan tak sampai-sampai ke tempat tujuan. Adam
membaca koran. Sedangkan Miranda duduk di hadapannya. Selama berjam-jam di
kereta api itu ia terus memandang ke luar jendela."Apakah - apakah putrimu tidak
keberatan menerimaku?" tanya Miranda pada akhirnya, memecah kebisuan. "Entahlah.
Aku menyuruh pengasuhnya menceritakan hal ini padanya," sahut Adam. "Oh."
Miranda melirik Adam. Apakah Adam berbuat demikian takut kalau-kalau putrinya
menolak punya mama baru?"Berapa usianya waktuistrimu meninggal?" "Lima tahun."
"Apakah ia ingat wajah mamanya?" "Mungkin tidak. Karena sebelum meninggal,
istriku jatuh sakit beberapa waktu lamanya. Dan anakku dititipkan di tempat
lain." Adam menatap wajah Miranda. Pandangannya seakan mengatakan
ketidakinginannya ditanyai demikian oleh Miranda. Dua belas tahun, kata Miranda
dalam hati. Diperhatikannya tangan Adam yang kekar, tangan seorang ahli bedah,
ketika tangan itu membalik halaman koran yang dibacanya. Tujuh tahun dibuangnya
dengan sia-sia. Tujuh tahun dilewatinya hanya untuk menangisi seorang wanita!


Misteri Wintersbride Karya Sara Seale di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tetapi garis-garis di wajahnya lebih menunjukkan kepahitan hidup daripada
kesedihan. Mereka dijemput oleh seorang sopir ketika tiba di Stasiun Plymouth.
Sepanjang perjalanan ke luar kota itu Adam terus membisu. Ia hanya memandangi
kabut tebal yang menyelimuti daerah Dartmoor. Miranda pun memandang ke luar
jendela kaca mobil yang ditumpanginya. Sesekali ia melihat daerah sunyi yang
sedang dilaluinya. Kesunyian itu seakan tak pernah terpecahkan. Seperti juga
kegelapan malam yang jatuh di kakilangit malam itu. "Ada orang yang tinggal di
daerah ini?" tanya Miranda pada Adam. Adam tersenyum mendengarpertanyaan itu. Ia
dapat merasakan keheranan dalam pertanyaan Miranda. "Tentu saja ada. Di sebelah
sana itu daerah peternakan dan perkampungan. Dan di sebelah sana lagi daerah
Wintersbride," jawab Adam. "Wintersbride?" Miranda mengulangi perkataan Adam.
Kata itu serasa asing bagi telinganya. "Ya, di sanalah rumahmu nanti!" "Oh!"
Miranda menatap Adam dari balik bulu matanya yang tebal. Lalu ia
menggesertubuhnya ke sudut mobil. Kabut turun tebal sekali sewaktu mereka tiba
di Wintersbride. Miranda terkesan ketika melihat halaman rumput yang terpelihara
rapi dan serambirumah yang begitu bersih. Rumah itu sangat besar. Dibangun dari
batu-batu yang khusus didatangkan dari daerah barat. Kelihatannya rumah itu
kokoh sekali. Apalagi ditambah dengan model jendela kuno. Yang tak memungkinkan
sinar lampu dari dalam rumah tembus ke luar, karena tertutup daun jendela.
'Selamat datang di Wintersbride," kata Adam, ketika mobil yang mereka tumpangi
tiba di halaman rumah. Nada suaranya terdengar agak sengit. Miranda menggigil.
Adam membantunya turun dari mobil. Tetapi hal itu dilakukan Adam dengan setengah
hati, karena itu gerakannya kelihatan agak kaku. Adam menatap Miranda sejenak
dengan keheranan. "Kau tidak menyukai rumah ini?" tanya Adam dengan gaya sopan
sekali. "Bukan begitu. Kelihatannya - kelihatannya rumah ini penuh rahasia,"
sahut Miranda. "Kuharap kau bukan termasuk orang yang suka berkhayal, Miranda,"
jawab Adam dengan singkat. Tiba-tiba pintu dibuka dari dalam. Cahaya lampu dari
dalam menerobos ke luar rumah, melenyapkan 'bayangan seram yang tadi menghantui
benak Miranda. Miranda mengikuti Adam menaiki tangga. Ia terkejut sekali ketika tiba-tiba Adam
menyapa seorang wanita berbadan kurus tetapi jangkung. Rupanya wanita itulah
tadi yang membukakan mereka pintu.
"Halo, Simmy! Semua tepat seperti yang telah direncanakan, bukan" Bagaimana apakah semuanya beres?"
"Beres, Tuan. Sebentar lagi Fay tentu turun. Sebenarnya sudah waktunya ia tidur,
karena hari sudah malam sekali. Tetapi demi menyambut kedatangan Tuan bersama
Nyonya, kami membuat perkecualian."
"Miranda, kenalkan ini Simmy, pengasuh putriku. Dan dia pula yang mengurus
segala urusan rumah tangga. Simmy, kenalkan ini - istriku." Sejenak Simmy
menatap wajah Miranda dalamdalam. Diamatinya bentuk tubuh Miranda yang belum
lagi dewasa, wajahnya yang kekanak-kanakan dan jujur. Rambutnya yang halus dan
ikal dengan potongan seperti rambut anak-anak. Pandangannya yang tadi jengkel
kini berubah. Ia tampak jadi segan sekali. "Halo, Simmy!" sapa Miranda sambil
menjabat tangan Simmy. "Maaf." sahut Simmy. Ia menyambut tangan Miranda setelah
sejenak terpaku keheranan memandangi wajah Miranda. "Tidak kami duga, ternyata
Nyonya jauh lebih muda dari perkiraan kami. Selamat datang di Wintersbride,
Nyonya. Saya senang sekali Nyonya mau tinggal di sini." Sentuhan tangan Simmy
terasa dingin. Apakah dia tidak senang melihatku" Ataukah memang ia terkejut
melihat keadaanku" pikir Miranda. Miranda merasakan pandangan Adam yang
keheranan ketika memperhatikan mereka. Ia tampak mengerutkan alis matanya.
Tetapi kemudian ia membalikkan badan, berjalan ke ujungtangga. Lalu ia berteriak
nyaring sekali, 'Fay! Fay! Cepat turun!"
Terdengar langkah kaki menuruni tangga. Miranda baru sadar, ternyata ada
seseorang yang mendengarkan percakapan mereka sejak tadi. Perlahan-lahan sesosok
tubuh muncul di ujung tangga. Sinar lampu menerangi wajah seorang anak
perempuan. Wajah anak itu cantik, cantik sekali. Miranda menahan napas.
"Ayo turun!" perintah Adam pada anak perempuan itu. "Seharusnya sejak tadi kau
sudah turun bersama Simmy untuk menyambut ibu barumu!" Anak perempuan itu
perlahan-lahan menuruni anak tangga. Ketika sampai pada anak tangga paling
bawah, ia berhenti. Matanya yang hitam dan cerdik itu menatap Miranda dalamdalam. Miranda yang berdiri di tengah-tengah ruangan balas menatap wajah anak
itu dengan sedih. "Kau - kau - ibu tiriku!" seru Fay, nyaring. Lalu tertawa
terbahak-bahak. "Fay!" tegur Simmy. Tetapi Fay malah membalikkan badan, lalu
lari menaiki tangga kembali. Gelak tawanya yang mengejek menggema di seluruh
ruangan. Suara tawa itu baru lenyap setelah mendengar suara pintu dibanting.
Suasana menjadi suny1. Miranda bersiap-siap hendak tidur. Kamartidurnya yang
terasa masih asing baginya itu, tampak luas sekali. Apalagi ketika ia memandang
seluruh ruangan itu melalui cermin. Miranda menjadi takut. Semuanya sarafnya
terasa tegang ketika mendengar gelak tawa Fay yang kedengaran aneh sekali.
Miranda merasakan adanya semacam permusuhan
di antara Simmy, Fay, dan Adam saat itu. Fay kabur ke loteng, Simmy tampak tidak
senang dengan kelakuan Fay. Tetapi ia seakan biasa menghadapi sikap Fay yang
demikian itu. Sama sekali tidak tampak terkejut. Sedangkan Adam dengan wajah
dingin dan pandangan tegang mengarahkan pandangannya pada Miranda yang berdiri
terpaku, tak bergerak. "Fay memang anak yang terlalu cepat dewasa," kata Adam
sejenak kemudian. "Mungkin pikirnya kau dan dia hampir sebaya. Simmy akan
mengantarkanmu ke kamar tidurmu."
Miranda tidak tahu apa yang terkandung dalam benak Simmy. Apakah ia tidak heran
melihat Adam tidak mengantarkan sendiri istrinya kekamartidurnya" tanyanya dalam
hati. Tetapi Miranda tidak mengatakan apa yang terpikir dalam hatinya. Ia
nengikuti Simmy menaiki tangga. Anak tangga itu tampak mengkilat dan bersih
sekali. Miranda mendengarkan keterangan yang disampaikan Simmy mengenai sesuatu
tentang rumah itu. Ia mendengarkan dengan penuh perhatian, walaupun ia tahu
bahwa Simmy menerangkan semuanya itu dengan setengah hati.
Seorang pelayan tampak sedang membongkar barang di kamar tidur. Simmy berkata
padanya, "I- ini Nancy. Dialah yang menyediakan segala keperluan Fay. Dan
tentunya mulai sekarangia pula yang akan menyediakan segala keperluan Nyonya.
Nyonya cukup membunyikan bel bilamana membutuhkannya. Nancy, jalankan tugasmu
dengan baik. Aku yakin Nyonya akan merasa puas dengan pelayananmu."
Pelayan yang dipanggil Nancy menatap Miranda. Dalam pandangannya terkandung
keingintahuan yang disembunyikan. Matanya tajam. Tetapi kelihatannya ramah.
Miranda senyum padanya. Nancy balik tersenyum sebelum meninggalkan ruangan itu.
Miranda berjalan menghampiri meja rias di kamar tidur itu. Matanya terpaku pada
sebuah sikat yang dihias dengan huruf-huruf Sikat itu tampak berkilat-kilat
terkena sinar lampu. "Oh!" seru Miranda, "indah sekali!" Miranda tak mengira,
Adam telah mempersiapkan kedatangannya. "Dan ini kamar mandi untuk Nyonya," kata
Simmy. "Ini pintu menuju ke kamar Tuan ..." Setelah Simmy pergi, Miranda
mengamat-amati pintu yang tadi dikatakan menuju ke kamar suaminya. Sebuah kunci
tergantung di situ. Tetapi pintunya tidak terkunci. "Oh, jadi kamar ini dulu
bekas kamar istrinya,"
gumam Miranda. BAB DUA TAKlama kemudian, terdengar pintu diketuk. "Di bawah banyak buku kalau kau
hendak membaca," kata Adam pada Miranda. "Tetapi lebih baik kau tidur saja.
Karena badanmu tentu lelah sekali setelah menempuh perjalanan jauh. Di samping
itu kau pun belum sehat benar." Lalu Adam mengucapkan selamat malam pada
Miranda. "Baik," jawab Miranda. "Kau biasanya sarapan pagi pukul berapa?"
"Mungkin aku sudah berangkat selagi kau enakenak tidur," jawab Adam. "Tetapi aku
akan memerintahkan mereka menyiapkan sarapan pagimu." "Oh ." Hanya itu jawaban
Miranda. Matanya memandangi cincin kawin yang melingkar di jarinya. Cincin itu
dibalik-baliknya. "Kau mau pergi jauh?"
Adam mengernyitkan alisnya. "Tidak, hanya ke Plymouth. Malam manti aku sudah
kembali." "Aku kan tidak tahu," ujar Miranda. Adam meraba dagunya dengan gerakan
agak kasat. "Kau pikir, aku memang bodohya, Miranda?" tanya Adam. "Kau sama
sekali tidak tahu-menahu tentang aku - pandangan hidupku, keinginan-keinginanku, bahkan jam kerjaku pun
kau tak tahu!" "Ya, tapi kau harus ingat, kita kan baru bertemu dua kali!" sahut
Miranda, tidak mau kalah. Sejenak Adam mencoba untuk menerka apa yang ada dalam
benak Miranda. Ia merasakan keanehan dalam diri Miranda. Sesaat sikapnya seperti
anakanak. Tetapi di saat lain, sikapnya berubah lagi. Ia seperti hendak memiliki
Adam seutuhnya. "Kau masih muda," kata Adam, gelisah. "Seharusnya aku tidak
mengikatmu dalam perkawinan." Miranda mengatupkan matanya. "Bukan waktunya lagi
untuk memikirkan hal itu," ujar Miranda. "Ya ... selamat tidur, Miranda. Mungkin
besok Simmy atau Fay yang akan mengantarmu berjalanjalan, memeriksa keadaan di
sekitar sini. Kalau kau butuh apa-apa, mintalah pada Simmy. Simmy yang
mengetahui seluk beluk rumah ini, sebab ia sudah bekerja di sini selama sepuluh
tahun. Mungkin Noma Latham pun sekali-sekali akan berkunjung ke mari. Kalau
ingin tahu keadaan sekitar sini, tanyalah padanya." "Apakah dia tidak menjadi
penghalang?" tanya Miranda, dengan sungguh-sungguh. "Penghalang?" "Ya, kaubilang
kaubutuh seorang istri - untuk menjaga nama baikmu dalam masyarakat." "Dia bukan
penghalang," kata Adam sambil mengerutkan dahi, tanda tak mengerti apa yang
dimaksud Miranda. "Grace Latham adalah sahabat mendiang istriku. Dialah satusatunya tetangga yang dekat dengan keluargaku!" "Oh, begitu .." Adam baru
tersadar, ia bicara terlalu pedas ter hadap Miranda. Disentuhnya bahu Miranda de
ngan lembut. "Sudahlah, lebih baik kau tidur. Bunyikan bel bila kau memerlukan
sesuatu. Selamat tidur, Miranda."
"Selamat malam," sahut Miranda. Miranda duduk termenung setelah Adam
meninggalkannya. Dipandanginya wajahnya di cermin sambil mendengarkan kicau
burung hantu. Beginikah malam pengantinnya" Ah, betapa menyedihkan! Dan terlebih
lagi, penghuni rumah itu tidak menginginkan kedatangannya! Wintersbride... suatu
nama yang aneh lagi menakutkan kedengarannya. Mungkinkah nama itu mengandung
arti kesedihan bagi penghuninya" Mungkinkah rumah ini tidak menghendaki dirinya"
Tetapi dulu, dalam kamar tidur yang nama ini, Melisande -istri pertama Adam selalu menanti Adam. Dan Adam pun sangat mencintainya.
Setelah lewat tengah malam barulah Miranda dapat tidur. Karena itu keesokan
harinya ia terlambat bangun. Suara rintik hujan menyentakkannya dari kepulasan
tidurnya. Nancy sudah meletakkan Kebaki sarapan pagi di sisi ranjangnya. Dan ia
pun sudah menarik tirai kamarnya.
"Selamat pagi, Nancy. Hujan lagi?" Miranda menyapa Nancy.
"Ya, Nyonya," jawab Nancy dengan riang. Matanya memandangi bantal-bantal yang
masih teratur rapi di sisi Miranda.
Miranda menjadi malu. "Tolong ambilkan bajuku, Nancy," pinta Miranda.
Miranda memperhatikan baki sarapan paginya. Ia tidak tahu berapa orang pembantu
rumah tangka dalam rumah itu. Seharusnya Simmy sudah mengajaknya ke dapur dan
memperkenalkannya pada seluruh pembantu rumah tangga. Pastilahpembantu rumah
tangganya banyak sekali, sebab rumah ini besar sekali. Pikir Miranda. Dan aku
harus membuktikan pada Adam, bahwa aku mampu mengurus semua urusan rumah tangga.
Setelah selesai sarapan pagi, Miranda minta diantarkan ke ruang belajar Fay.
Miranda keheranan ketika memasuki ruangan itu. Mengapa Adam memilih ruangan yang
begini kecil" Sedangkan sebenarnya banyak sekali ruangan yang lebih luas dalam
rumah itu. Jendela ruangan belajar itu diberi jeruji besi, sehingga kelihatannya
seperti dalam penjara saja. Kursi-kursi dan meja yang terdapat dalam ruangan itu
modelnya besar dan panjang. Sehingga mengingatkan kita akan kursi meja yang ada
dalam kantor-kantor ataupun dalam ruangan minum di bar-bar. "Selamat pagi,
Nyonya. Ada yang Nyonya perlukan?" tanya Simmy dengan gaya yang sangat sopan
sekali. "Sejak tadi aku mencari-carimu," sahut Miranda sambil tersenyum manis.
"Apakah kau - atau mungkin Fay - bersedia mengantarku jalan-jalan, melihat
sekitar rumah. Maksudku, aku ingin mengenal rumah ini lebih banyak."
"Tentu saja saya bersedia, Nyonya. Tetapi tidak sekarang. Nanti siang, setelah
Fay tidur," jawab Simmy. "Tetapi ... bukankah sekarang kita dapat juga pergi
kau, aku dan Fay?" tanya Miranda, menurutkan kata hatinya. "Pagi ini tidak
begitu cerah. Tentunya setelah lelah berjalan-jalan aku dapat minum kopi bersama
Fay. Atau melakukan sesuatu yang dapat menyenangkan hatinya."
"Simmy bilang, hal itu hanya membuang-buang waktu saja," kata Fay tiba-tiba.
Suaranya yang jernih terdengar nyaring sekali.
"Jangan kurang ajar, Fay!" tegur Simmy dengan halus. Tetapi kelihatannya ia
tidak senang, Simmy berbalik ke arah Miranda sambil melemparkan pandangan penuh
kasih sayang. "Maafkan, Nyonya. Saya tidak ingin dikatakan melalaikan tugas. Fay harus belajar
sesuai dengan jadwal belajarnya. Kalau Nyonya memang ingin beristirahat, Nyonya
dapat duduk menikmati kehangatan pendiangan di ruang tamu. Kalau berjalanjalan
tentu waktunya tidak cukup. Sebab biasanya kami makan siang pukul satu."
Miranda merasa ditegur oleh Simmy. Ia melihat keriangan di mata Fay ketika
melihat Simmy berani menolaknya.
"Oh, maaf," ujar Miranda. "Bagaimana kalau seperempat jam lagi aku membantu
bekerja di dapur?" "Bekerja di dapur?" Simmy mengernyitkan dahi, menunjukkan ketidaksenangannya
mendengar permintaan Miranda. "Tapi saya rasa, belum waktunya bekerja di
dapur ..." "Mengapa tidak" Bukankah semua orang bekerja di dapur pada pagi hari?" tanya
Miranda dengan lembut. "Bukankah pada jam-jam sekian orang orang sibuk memasak
di dapur?" 'Masak" Oh, Nyonya tidak perlu turun tangan sendiri. Kami punya tukang masak
khusus. Namanya Nyonya Yeo. Ia sudah bertahun-tahun bekerja disini. Maaf,
Nyonya... dulu pun, sewaktu ibu Fay belum meninggal, semua urusan masak
diserahkan padanya."
"Oh, begitu," ujar Miranda. Ia merasa tidak enak hati.
"Kalau Nyonya ingin berkenalan dengan Nyonya Yeo, saya akan menyuruhnya menemui
Nyonya di ruang tamu," kata Simmy. Tetapi Miranda seakan tidak mengacuhkan usul
Simmy. Ia malah berjalan ke arah pintu."Ah, tidak usah kaupanggil," sahut
Miranda. Lalu meninggalkan Simmy.
Nyonya ... dulu pun ... kata-kata Simmy itu serasa terus mengiang di telinga
Miranda. Hatinya menjadi tidak tenang kalau mengingat kata-kata itu. Ya, ia
merasa seakan-akan tidak berarti apaapa bila dibandingkan dengan Melisande,
mendiang istri Adam. Secara tidak langsung, mereka itu tidak ingin mengakuinya
sebagai istri Adam! Tidak, tidak! Ia tidak menginginkan sikap mereka demikian
terhadapnya! Miranda berjalan memeriksa ruangan di tingkat bawah sendirian. Ternyata ruangan
ditingkat itu tidak sebanyak yang diduganya semula. Tetapi anehnya, hiasan di
tiap ruangan itu hampir sama semua. Ruang makan yang gelap. Ruang perpustakaan
yang sempit dengan buku-buku yang tersusun rapi. Ruang belajar Adam. Bahkan
ruang tamu yang tidak begitu luas, yang dilengkapi dengan pendiangan pun, diberi
kain hiasan dinding. Hanya sayangnya, warna kain hiasan-hiasan dinding itu
tampak sudah agak memudar. Selain itu, di dalam ruangan-ruangan itu dilengkapi
dengan perabot kuno yang sangat bagus lagi antik.
Kini tinggal satu ruangan yang belum dilihat oleh Miranda. Ia membuka pintu
ruangan itu. Sejenak ia tertegun di ambang pintu ketika melihat ruangan itu. Ia
merasakan suatu kesan lain ketika memasuki ruangan. Jelas, ruangan yang
dimasukinya sekarang ini adalah ruangan untuk melukis. Tetapi kelihatannya
ruangan itu sudah lama tidak digunakan. Karena semua perabot rumah tangga yang
ada dalam ruangan itu ditutup dengan sebuah permadani indah buatan negeri
Belanda. Miranda mengangkat permadani itu, hendak melihat perabot apa saja yang
terdapat dalam ruangan itu. Ternyata perabot itu adalah perabot-perabot yang
mahal. Ruangan itu diatur dengan rapi sekali. Sehingga terasa menyenangkan dan tenang
sekali. Tentulah yang mengatur ruangan ini seseorang yang berjiwa seni. Pikir
Miranda. Tiba-tiba mata Miranda terpaku pada sebuah potret. Potret itu
tergantung di atas pendiangan, di sudut ruangan.
Miranda berjalan menghampiri potret itu. Ternyata potret Melisande, mendiang
istri Adam! Wajahnya tampak cantik sekali Oh, inikah potret Melisande" Tanya
Miranda dalam hati. Ya, tidak salah lagi! Matanya yang hitam, memantulkan
kecerdikan dan kemanjaan. Sama seperti mata Fay! Bentuk mulutnya bagus dan
menggairahkan. Bentuk dahinya yang agak tinggi menambah keanggunannya. Secercah
senyum manis menghiasi bibirnya. Potret itu menampilkan tipe seorang wanita yang
berkepribadian kuat dan percaya akan diri sendiri. Kecantikannya seakan tiada
bercacat cela. Tak salah lagi, inilah Melisande - istri Adam yang telah
meninggal dunia. Miranda menatap potret itu beberapa lama. Terlintas dalam benaknya, ia tidak
berarti apa-apa bagi Adam. Hatinya terasa pedih. Ia merasa seperti telah berbuat
salah di rumah suaminya sendiri. Miranda terkejut sekali ketika tiba-tiba
terdengar suara orang menegurnya dari ambang pintu.
"Apa yang sedang kaulakukan di sini"!"
Miranda berbalik. Matanya menatap tajam wanita yang lebih tua darinya, yang
berdiri di hadapannya. Wanita itu berbadan tinggi, tegak di hadapannya, tidak
bergerak. Tangannya menggenggam seikat bunga segar.
"Siapa kau?" tanya Miranda.
"Aku - Grace Latham," sahut wanita yang tampaknya lebih tua dari Miranda itu.
"Dan - kau siapa?"Miranda tersenyum.
"Aku Nyonya Adam yang baru," sahut Miranda.
Grace Latham pura-pura tak terkejut mendengar perkataan Miranda. Ia berusaha
menyembunyikan keterkejutannya. Tetapi sinar kejengkelan tetapterpancar dari
matanya yang tampak indah.


Misteri Wintersbride Karya Sara Seale di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Oh, maaf ..." kata Grace, cepat-cepat. "Tadi kukira pelayan yang masuk. Sebab
kulihat pintunya terbuka lebar-lebar. Aku biasa masuk ke ruangan ini. Karena itu
aku selalu khawatir kalau orang lain yang masuk. Aku sahabat karib Adam."
Miranda menatap tajam pada Grace. Inikah rintangan yang akan dihadapinya"Tanya
Miranda dalam hati. Cara-nya mengatakan, aku sahabat karib Adam', seakan sengaja
hendak menonjolkan dirinya. "Apa kabar, Nona Latham," sapa Miranda dengan lagak
sesopan mungkin. "Adam sudah mengatakan padaku, bahwa kau akan datang kemari."
"Oh, panggil saja Grace," kata Grace sambil tertawa kecil. "Dan kau - siapakah
namamu?" "Miranda." "Miranda ... hmm, Miranda, aku datang untuk mengucapkan
selamat pada kalian berdua. Berita itu datangnya tiba-tiba sekali, sehingga aku
tidak sempat menyiapkan sesuatu yang lebih indah lagi. Aku hanya membawa bunga
ini sebagai tanda ucapan selamat." "Terima kasih." Miranda menerima bunga itu.
Dipeganginya bunga itu. Kelihatannya ia jadi kikuk sekali. "Masuk ke ruangan
lain, yo" Kalau tak salah di sebelah sana ada pendiangan," kata Miranda.
"Ya. Tetapi kita harus membersihkan debu-debu yang menempel dulu," sahut Grace
dengan lembut."Ah, biarkan saja. Bukankah seluruh ruangan ini hendak dibersihkan
sebelum dipakai?" Grace mengikuti Miranda berjalan ke ruang lain.
"Apakah kau berniat memakai ruangan melukis ini?" tanya Grace dengan agak malumalu.
Miranda meletakkan bunga itu dengan sembarangan saja di atas meja.
"Ya. Bukankah ruangan ini yang terbagus di antara ruangan-ruangan lain?"
"Dialah yang merencanakan semua ini," kata Grace sambil menarik napas. "Istri
pertama Adam. Ia memang orang yang menyukai keindahan. Ruangan ini tidak pernah
dipakai sejak ia meninggal dunia."
"Selama tujuh tahun tidak pernah digunakan?" tanya Miranda, tidak percaya.
"Mustahil Aku tidak percaya seorang pria begitu sayang pada ruang melukisnya,"
kata Miranda dengan nada riang. Tetapi Grace menjawabnya dengan lemah lembut.
"Maaf, kalau perkataanku menyinggung perasaanmu. Mungkin kau tidak akan
mengerti. Adam merasa kehilangan sekali sewaktu istrinya meninggal. Ia sangat
mencintai istrinya. Karena itu apa saja yang dapat mengingatkan dia akan
istrinya, amat disayangnya. Wajar bukan tindakannya itu?"
"Kalau memang dia berpikir begitu, tentu rumah ini juga akan mengingatkan dia
akan mendiang istrinya," bantah Miranda sambil memikirkan ruangan di sebelah
selatan. Ruangan itu kini ditempati olehnya. "Mengapa waktu itu ia tidak menjual
saja rumahnya?" "Kau harus ingat, masih ada Fay - putrinya."
"Ah, itu kan tidak berarti apa-apa baginya. Waktu itu dia kan baru berumur lima
tahun. Ia belum lagi dapat mengingat peristiwa itu."l
"Kau tidak tahu, Fay ini lain daripada anak-anak biasa. Ia kuat dan berotak
cerdik. Karena itulah Adam ingin dia besar dan tumbuh di sini. Apakah Adam belum
menceritakan semua ini padamu?" "Kami belum punya waktu untuk
berbincangbincang," sahut Miranda. Ia tidak lagi dapat menguasai perasaannya.
"Kami baru berjumpa dua kali." Alis mata Grace yang dibentuk rapi tampak
terangkat ke atas, menunjukkan keheranan. "Astagal Apa maksud kata-katamu itu"
Benarkah begitu?" "Mengapa aku harus berbohong" Pertama kali aku berjumpa
dengannya, dua minggu yang lalu. Dan kemarin aku menikah dengannya." "Dimana kau
bertemu dengannya?" tanya Grace. Nada suaranya terdengar dingin. Ia tidak lagi
dapat menyembunyikan kemarahan yang sejak tadi ditahan-tahannya. Wajahnya kini
menjadi merah padam. Miranda sama sekali tidak takut menghadapi sikap Grace yang
sudah memuncak marahnya. Andaikata Adam menikahinya karena memang hendak
melepaskan dirinya dari cengkeraman Grace, ia tidak perlu takut! Ia tidak akan
membiarkan dirinya direndahkan oleh Grace!
"Aku bertemu di pantai," jawab Miranda. Suaranya terdengar mantap sekali.
"Adam!" tanya Grace, seakan tidak percaya pada pendengarannya. "Jadi maksudmu kau yang mengajaknya ke sana?" Miranda termenung sejenak. "Ya, boleh juga
dibilang Megitu. Tetapi sebenarnya, dialah yang mengajakku -jelaslah, ia
menemukanku di balik tenda Mighty Mesmero - si ahli hipnotis. Nah, sudah cukup
jelas, bukan" Apakah kau akan ikut makan siang di sini, Grace?" M"Oh, tidak ...
tidak, terima kasih," sahut Grace dengan agak gugup. "Aku hendak makan siang di
rumahku saja. Tolong beritahukan Adam, aku sudah datang ke mari. Aku - ibuku,
nanti malam mengundang kalian makan malam di rumahku. Sebagai ucapan selamat
dari kami atas pernikahanmu dan Adam."
"Ah, terima kasih. Nanti pasti kukatakan pada Adam," sahut Miranda dengan sopan.
Ia mengantar Grace sampai ke pintu.
Miranda memperhatikan mobil yang ditumpangi Grace. Mobil itu melaju, menembus
rintik-rintik hujan. Miranda merasakan sesuatu yang tidak enak. Ya, seharusnya
ia tidak mengatakan semua itu pada Grace. Sehingga Grace menjadi amat terkejut
sekali. Miranda khawatir, kalau ia menceritakan hal ini pada Adam, Adam jadi
marah. Tetapi apa boleh buat" Semuanya sudah terjadi. Sikapnya tadi memang
seperti anak-anak dan sembrono sekali. Seharusnya ia bertindak lebih bijaksana.
Tetapi sebaliknya, ada sesuatu dalam diri Grace Latham yang mendorongnya untuk
melakukan semua ini. Setelah selesai makan siang, Miranda menyuruh Simmy membongkar dan membersihkan
ruang untuk melukis. Dikatakannya, bahwa ia hendak memakai ruangan itu. Simmy
tampak sangat terkejut ketika mendengar perintah itu.
Ternyata Simmy tidak melaksanakan perintahnya dengan baik. Ketika beberapa lama
kemudian Miranda pergi ke ruang untuk melukis itu untuk menyusun rencana,
dilihatnya ruangan itu sudah terkunci. Dan seseorang telah menyimpan kunci itu.
Malam harinya, setelah Adam pulang, Miranda berniat untuk menceritakan semua
yang terjadi padanya. Tetapi ternyata niatnya itu tidak dapat terpenuhi. Sebab
kelihatannya Adam sedang sibuk dengan urusannya. Andaikata ia paksakan
untukmenceritakan hal itu, mungkin Adam akan menganggapnya terlalu campur tangan
dalam urusan rumah tangga. Sebab mereka belum lama berkenalan.
Ya, mereka belum lama berkenalan. Ia tidak tahu watak dan jiwa Adam. Miranda
menggeserkan badannya perlahan-lahan. Tiba-tiba Adam yang sedang membaca koran,
menoleh ke arahnya. "Ada apa, Miranda" Kau kelihatannya kok gelisah sekali," kata Adam.
"Ah, tidak. Teruskanlah baca koran. Biasanya pria tidak ingin diganggu kalau
sedang asyik membaca koran," jawab Miranda dengan berani.
Adan tersenyum. Lalu diletakkannya koran yang sedang dibacanya itu di atas meja.
"Memang benar," jawab Adam. "Biasanya pria tidak suka diganggu kalau sedang
asyik membaca koran. Tetapi kali ini aku lebih tertarik mendengarkan kesanmu
tentang Wintersbride."
"Ah, cuma hujan seharian tidak berhenti-henti," kata Miranda, mengalihkan pokok
pembicaraan. Sebab ia tidak ingin menceritakan kejadian tadi pagi. Ia tidak
ingin menceritakan sikap Simmy padanya. Karena ia menganggap tidak ada untungnya
bila ia menceritakan hal itu pada Adam. "Tadilaku hanya berjalan-jalan memeriksa
keadaan rumah. Dan ... oh ya, Grace Latham juga datang ke mari."
Tampak Adam mengernyitkan dahi.
"Oh ya! Apa maksudmu menceritakan asal mula pertemuan kita padanya, Miranda?"
"Siapa yang memberitahukanmu?" tanya Miranda. Kelihatannya Miranda bertanya
begitu bukan karena jengkel atau marah. Tetapi ia hanya ingin tahu siapa yang
menceritakan hal itu pada Adam
saja."Grace sendiri yang memberitahukanku, ketika aku sedang bekerja di ruangan
konsultasi. Ia bicara padaku melalui telepon."
"Oh . "Ia meneleponku untuk memberitahukanku tenlang hal itu bukan karena punya maksud
tertentu. Tetapi ia minta agar aku memperingatkan kau supaya tidak lagi
menceritakan pada yang lain. Baik pada kawan-kawanku ataupun pada para pelayan.
Dan kupikir, apa yang dikatakannya itu memang ada baiknya. Cukup Grace saja yang
tahu bukan, Miranda" Semua ini hanya mengingatkanku akan." Adam tidak
melanjutkan perkataannya.
Seakan ia baru tersadar, sikapnya selama ini pada Miranda acuh tak acuh.
Seharusnya ia tidak bertindak sembarangan saja. Seharusnya ia tidak
memperkenalkan Miranda pada pelayan dengan cara yang sambil lalu saja. Adam
teringat waktu ia memperkenalkan Miranda pada Nancy yang sebelumnya telah
dilihat Miranda. Dengan Bessie, yang tugasnya membersihkan ruangan tamu. Dengan
Nyonya Yeo, yang ketika itu meminta maaf sebab tukang kebun dan gadis yang
sering membantunya tidak ikut menghadap. Pada waktu diperkenalkan itu, para
pelayan seakan tahu benar, bahwa Miranda sama sekali belum siap menjadi seorang
ibu rumah tangga. "Seharusnya sejak tadi saya sudah menghadap, Nyonya," kata
Nyonya Yeo. "Tidak sampai harus dipanggil baru menghadap, seperti orang yang
tidak tahu kewajiban." "Ya, ampun! Keluh Miranda dalam hati. Ia tersinggung!
Pastilah semalam Adam menegur Nyonya Yeo. "Tadi pagi aku memang ingin bertemu
denganmu, Nyonya Yeo," kata Miranda. "Tetapi Simmy bilang, kau sedang sibuk di
dapur.?"Seharusnya Nona Simmy memberitahukan saya," sahut Nyonya Yeo. "Karena ia
tahu, tidak pantas Nyonya menemui saya di dapur. Saya menghaturkan selamat
menempuh hidup baru dan semoga bahagia untuk Nyonya dan juga untuk Tuan."
"Terima kasih," jawab Miranda. Kemudian ia melanjutkan dengan nada lebih tegas,
"besok, sesudah sarapan pagi, datanglah menghadapku. Aku ingin merencanakan
beberapa macam masakan dan menyelesaikan beberapa hal."
'Masakan, Nyonya?" Wajah Nyonya Yeo tampak marah sekali. "Dulu, sewaktu Nyonya
masih hidupmaaf, Tuan - semua soal masakan selalu diserahkan sepenuhnya pada
saya. Nyonya tidak pernah mencela semua masakan saya. Dan segala urusan rumah
tangga berjalan dengan lancar. Bukankah begitu, Tuan?"
"Kalau sekarang isteriku memang ingin masak sendiri, turutilah kehendaknya.
Kuharap kau mau membantunya, Nyonya Yeo," kata Adam dengan riang. "Nah, sudah
cukup sekian. Selamat malam."
"Baik, Tuan. Selamat malam, Nyonya - Tuan." Suara Nyonya Yeo terdengar hambar.
Ia tidak menoleh pada Miranda lagi sewaktu meninggalkan ruangan itu.
"Terima kasih, Adam. Kau telah menolongku," kata Miranda setelah pintu ditutup
kembali oleh Nyonya Yeo. Hanya mereka berdua dalam ruangan itu. "Nyonya Yeo
mudah tersinggung, ya?"
"Mungkin. Habis sikapku harus bagaimana" Bagaimanapun aku kan harus mendukung
engkau," sahut Adam dengan agak kasar. "Lain kali kuharap kau jangan mencampuri
pekerjaan Nyonya Yeo. Karena ia paling tidak benangkalau semua pekerjaannya
dicampuri. Ia merasa kebebasannya dibatasi.?"Tetapi - tidakkah kau senang bila
aku ikut mengatur semua urusan rumah tangga?" tanya Miranda. "Kalau kau memang
senang mengurus soal runah tangga, tentu saja aku ataupun Nyonya Yeotidak akan
melarangmu," kata Adam dengan lembut. "Maksudku, kalau kau memang tidak mau
pusing soal rumah tangga, kau jangan memaksa dirimu. Sebab semua itu sudah ada
yang mengurus." "Kalau begitu, apa yang kauharapkan dariku?" tinya Miranda. Ia
ingin agar Adam merasa bahwa sebenarnya ia berguna dan dapat menyenangi
hatitiwa. "Ya, biasa saja. Ibarat dua orang yang tinggal di bawah satu atap. Kau
harus dapat bersikap sabar. jangan selalu menurutkan kemauanmu saja. Ya,
katakanlah, rasa persahabatan. Apakah kau keberatan bila aku memintamu bersikap
demikian, Miranda?" "Tidak," jawab Miranda dengan hati sedih. 'Cuma mungkin agak
susah bagiku untuk bersikap demikian."
Keesokan harinya, hujan tidak turun lagi. Tetapi menjelang malam hari turun
kabut tebal. Adam memelepon Miranda, memberitahukan bahwa ia akan menginap di
Plymouth malam itu. Karena itulah Miranda makan malam sendirian di ruang makan
yang dingin itu. Ia malu untuk minta pada Simmy menemaninya makan. Setelah
selesai bersantap, Miranda naik ke loteng. Ia hendak melihat apakah Fay sudah
tidur atau belum. Dilihatnya seberkas siiar tampak di bawah pintu. Miranda
mengetuk pintu lalu masuk.
Tampak Fay sedang duduk di tempat tidur sambil membaca sebuah buku novel. Buku
itu diletakkan di atas pangkuannya. Ketika melihat Mirandamasuk ke kamarnya,
cepat-cepat Fay memasukkan buku itu ke bawah bantal. "Halo" sapa Miranda.
"Kukira kau sudah tidur." "Simmy yang menyuruhmu datang ke mari untuk mematamatai aku, ya?" tanya Fay.
"Tidak. Mengapa harus demikian" Malam ini aku sendirian. Aku ingin ada teman
ngobrol. Karena itu aku datang ke mari," sahut Miranda. Ia duduk di tepi
ranjang. Kemudian dikeluarkannya buku yang tadi disembunyikan Fay di bawah
bantal. "Astagal Dari mana kaudapat buku semacam ini" Sejak aku datang ke
Inggris, tak pernah sekali pun aku melihat buku seperti ini!"
"Kau hendak mengadukan padanya?" "Apa untungnya bila aku mengadukanmu" Apa yang
kaubaca toh bukan urusanku. Kau tidak akan terpengaruh pada isi buku itu,
bukan?" "Bagaimana aku tahu aku tidak akan terpengaruh" Apakah kau telah membaca
buku ini?" "Belum. Tetapi biasanya buku-buku seperti itu isinya hampir sama pria kaya, wanita yang silau akan kekayaannya, dan akhirnya si pria dengan lihai
sekali menyelesaikan persoalan itu." "Itukah sebabnya kau mau menikah dengan
ayahku?" tanya Fay. "Karena ayahku kaya dan kau silau akan kekayaannya?" Miranda
tertawa geli. "Kau ini aneh-aneh saja. Mengapa kau mengira begitu," ujar
Miranda, sambil menutup buku. Lalu ia mengembalikan buku itu ke bawah bantal.
"Adam memang manusia kejam," kata Fay, memberi komentar.
Miranda terkejut mendengar perkataan Fay. "Mengapa ia menyebutnya Adam saja"
Mengapai Ia tidak memanggil ayah?" tanya Miranda dalam hati."Omong kosong!"
bantah Miranda. "Mengapa kaukatakan ayahmu demikian?"
"Benar, benar aku tidak omong kosong! Ia menang kejam," kata Fay dengan sikap
yang pasti sekali. "Kalau kau sudah agak lama tinggal di sini, tentu kau akan
tahu segalanya. Kau tidak menyukai rumah ini, bukan?"
"Entahlah. Aku baru dua hari tinggal di sini. Lagipula udara di daerah ini tidak
begitu nyaman," jawab Miranda, mengelakkan pertanyaan Fay.
"Ya, memang betul apa yang kaukatakan. Udara li sini memang tidak nyaman. Tetapi
- mengapa kau tidak pergi saja?"
"Mengapa kau tidak menyukai kehadiranku disini" tanya Miranda, agak jengkel.
Karena Adam tidakcocok untukmu," sahut Fay. Sikapnya terpengaruh oleh pelaku
dalam buku novel yang dibacanya. Miranda menatap wajah Fay dalam-dalam. Wajah
yang tidak dikenalnya tetapi cantik. Secantik wajah wanita yang potretnya
tergantung di knar untuk melukis. Tiba-tiba Miranda merasa kasihan pada Fay.
Memang wajar, orang-orang yang hidup terpisah dari orang banyak seperti yang
dialami oleh Fay, tentu takut kalau ayahnya direbut orang. Ia takut kehilangan
kasih sayang ayahnya. "Kau tentunya sangat menyayangi ayahmu, bukan?" tanya
Miranda dengan lemah lembut. Muka Miranda terasa tertampar ketika mendengar
jawaban Fay yang sangat tenang,
Tidak, aku tidak sayang pada ayahku. Aku malah membencinya. Dan sebaliknya, ia
pun memlenci aku." "Oh, Fay! Memang ayahmu tidak punya waktu banyak untuk terus-menerus bersamamu.
Tetapi itu bukan berarti ia tidak menyayangimu. Bukan berarti ia membencimu.
Setiap waktu ia selalu me mikirkanmu." "Benarkah?" tanya Fay. Senyumnya sinis.
Senyumnya sama sekali tidak kelihatan kekanak. kanakan, seperti yang biasa
terlihat pada anak. anak sebaya Fay. Miranda merasakan punggungnya gemetar. Ia
mencari akal untuk mengalihkan pokok pembicara an. Diperhatikannya tempat tidur
kecil yang di letakkan dekat ranjang Fay. "Kalau tidur, kau masih ditemani, Fay"
tanya Miranda. "Iya." sahut Fay dengan acuh tak acuh. 'Simmy yang selalu
menemaniku. Aku takutkalau tidur sen dirian. Sebab kadang-kadang aku suka
bermimpi buruk." "Oh, begitu. Tetapi menurut hematku, rumah ini memang tidak
begitu nyaman udaranya. Dan la terlalu jauh dari tetangga. Aku melihat di
sebelah selatan ada sebuah ruangan. Mungkin dulu dipakai untuk tempat belajar.
Ruangan itu besar, sinar matahari dapat masuk dan dilengkapi dengan lemarilemari dan gambar-gambar binatang. Apak ruangan itu dulu ditempatimu, Fay?"
"Ya," jawab Fay perlahan, hampir tak terdengar "Tetapi sekarang aku tidak
diperbolehkan masuk sana!" 'Kenapa tidak boleh" Bukankah ruangan itu lebih enak
daripada ruangan belajarmu yang sekarang. Selain itu, kau bersebelahan dengan
kamar ayahmu." "Itulah sebabnya aku tidak lagi menempati ruangan itu. Adam tidak
mau aku dekat dekat dengannya." "Fay, Sayang. Aku yakin, bukan itu sebabnya
jawab Miranda. Tiba-tiba Fay menangis tersedu sedu."Memang itulah sebabnya!
Itulah sebabnya! Kalau tidak percaya, tanyakan pada Simmy - ia tahu bagaimana
kejadian yang sebenarnya!"
"Tanya apa?" Terdengar suara Simmy yang dingin diambang pintu. "Ada apa
sebenarnya, Fay" Mengapa kelihatannya kau marah sekali" Seharusnya sejak sejam
yang lalu kau sudah tidur. kau ingin dapat mimpi buruk, ya" Tindakan Nyonya kali
ini benar-benar tidak pantas. Saya harap lain kali, kalau Nyonya ingin
mengucapkan selamattidur pada Fay, Nyonya ucapkan sebelum Fay masuk kamar
tidurnya! Apa yang kauinginkan ibumu tanyakan padaku, Fay?"
Mata Fay yang tadi tampak cerah, tiba-tiba meredup. Tampak ia cemberut.
"Tidak ada," jawab Fay, sambil melemparkan pandangan tajam ke arah Miranda.
"Tetapi tadi aku mendengar apa yang kaukatakan," kata Simmy sambil melucu.
"Mungkin Nyonya dapat mengatakannya pada saya?"
"Tidak ada apa-apa," jawab Miranda dengan tenang. Ia melihat Simmy merapatkan
bibirnya, tanda jengkel. "Kalau begitu, lebih baik sekarang Nyonya tinggalkan kamar ini," kata Simmy.
"Sebab sekarang sudah waktunya Fay harus tidur."
Miranda mulai tidak menyukai sikap Simmy. Ia tidak yakin, bahwa orang seperti
Simmy adalah orang yang cocok untuk mengasuh anak yang agak bandel dan penuh
daya khayal seperti Fay. Kedisiplinan Simmy memang boleh diakui. Tetapi apakah
hatinya juga jujur dan sebaik kedisiplinannya" Miranda merasa Simmy termasuk
Orang yang penuh rahasia. Orang yang misterius! Banyak sekali hal-hal yang penuh
rahasia di Wintersbride ini, pikir Miranda.
Miranda melihat kejam dinding yang tergantung di dekat mantel. Baru pukul
setengah sepuluh. Sudah waktunya ia tidur. Miranda pergi ke kamar tidurnya. Ia
tersenyum ketika melihat sikat berukiran indah yang terletak di atas meja
riasnya. Aneh dan sukar ditebak orang itu, pikir Miranda sewaktu membayangkan
sikap Adam. Kalau sedang berhadapan dengannya, sikap Adam tampak acuh tak acuh.


Misteri Wintersbride Karya Sara Seale di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tetapi anehnya, ia masih ingat untuk memberikan hadiah perkawinan yang begitu
bagus. Miranda membaca nama yang tertera di balik kaca kecil itu. M C. Baru kini
ia teringat, bahwa ia belum mengucapkan terima ka sih pada Adam. "Pagi ini aku
tidak jadi jalan-jalan," kata Miranda kepada Nancy, sewaktu Nancy membawakan sa
rapan paginya. "Tolong beritahu Nyonya Yeo, aku ingin bertemu dengannya nanti
pukul sepuluh." Nancy tertawa mengikik. "Tentu ia akan kebingungan lagi," kata
Nancy kegirangan. "Rupanya pagi ini ia sedang bernasib sial. Sebab ia sebenarnya
tidak ingin dipanggil me nemui Nyonya lagi." Ternyata nasib Nyonya Yeo tidak
sesial yang di katakan Nancy. Miranda sudah menunggunya, ketika ia menemui
Miranda. Lalu mereka bersama sama merencanakan menu untuk hari itu. "Nyonya Yeo,
kunci kamar melukis tidak ada," kata Miranda setelah mereka selesai merencanaka
masakan untuk hari itu. "Carilah kunci itu secepatnya. Perlu Nyonya ketahui,
dalam hal ini Simmy tidak punya wewenang sama sekali untuk mengunci kamar itu!"
"Baik, Nyonya," jawab Nyonya Yeo. Miranda mencibirkan bibirnya setelah Nyonya
Yeo meninggalkannya. Dalam hati ia berkata, ia akan menundukkan siapa saja yang
hendak merampas kekuasaan di Wintersbride. Ia tidak akan pernah mau mengalah
pada Nyonya Yeo yang selalu pura-pura patuh pada perintahnya. Padahal sebenarnya
di balik kepatuhannya itu, ia menyembunyikan kejengkelannya terhadap Miranda.
Keseragaman di tingkat bawah membuat Mirandia menjadi cemas. Ia sibuk mengangkat
dan memindahkan perabot rumah tangga yang ada dalam ruangan itu. Sampai jam
makan siang tiba, pekerjaannya belum juga selesai. Ketika ia sedang menggeser
kursi yang terbuat dari kayu eik, ia melihat Fay dan Simmy turun menemuinya di
ruangan itu. "Apakah Tuan setuju keadaan ruangan ini diubah?" tanya Simmy, ketika melihat
semua barang yang ada di dalam ruangan itu sudah berubah.
"Apa alasannya ia harus marah atau tidak setuju bila aku mengubah ruangan ini,
Simmy?" Miranda balas bertanya.
"Ah, tidak apa-apa, Nyonya." Simmy berusaha menenggang hatinya. "Cuma kalau
dulu, sewaktu ibu Fay masih hidup, tak pernah mengubah dan memindahkan perabotperabot. Lagipula, bukankah biasanya kaum pria senang segala sesuatu yang
biasa?" Wajah Miranda berubah menjadi merah padam. Sikap Simmy yang demikian itu benarbenar lancang padanya. Ia jadi marah sekali.
"Kebiasaan itu ada baiknya, dan ada pula buruknya," jawab Miranda dengan
singkat. Simmy mengernyitkan alis ketika mendengar jawaban Miranda. Sebab
bagaimanapun ia harus mengakui kebenaran kata-katanya.
"Ya, betul juga," komentar Simmy. "Oh ya, makan siang sudah siap, Nyonya!" Simmy
mengalihkan pokok pembicaraan.Miranda menikmati makan siangnya tanpa mencuci
tangan lebih dulu. Ia tahu, tangannya kotor, celemeknya kusut tidak karuan. Dan
kotor penuh debu. Ia tidak mengira sama sekali kalau Simmy berani menyuruhnya
mencuci tangan dan merapikan baju dulu Miranda jadi marah sekali. Ia merasa
susah payahnya bekerja sepagi itu sama sekali tidak mendapat penghargaan dari
mereka. Dan kini ia berpikir, mungkinkah Adam juga akan jengkel bila melihat
ruangannya yang terawat rapi itu sudah berubah keadaannya.
Miranda mencoba mencari pokok pembicaraan yang mungkin dapat menarik perhatian
Fay. Tetapi Fay selalu membelokkan tujuan percakapannya. Ia selalu membiarkan
Simmy yang menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Miranda. Simmy memang
kelihatan dengan ramah menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, tetapi kebanyakan ia
berdiam diri selama mereka makan.
"Fay, maukah kau mengajakku jalan-jalan pada jam istirahatmu?" tanya Miranda
pada Fay ketika mereka hendak meninggalkan ruang makan.
"Sendirian"' tanya Fay. Ia tampak agak terkejut. Miranda tertawa mendengar
pertanyaannya. "Ya, tentu saja sendiri. Memangnya kau takut kalau-kalau aku memakanmu" Aku kan
tidak makan orang," sahut Miranda.
"Maksud Fay, ia hendak mengatakan bahwa ia tidak pernah keluar halaman tanpa
saya," sahut Simmy, perlahan.
"Ia masih juga tidak diperbolehkan keluar halaman"' tanya Miranda dengan
keheranan. "Apakah kau takut kalau dia tersesat" Fay kan sudah cukup umur!"
"Aku tersesat" Mana mungkin! Aku dibesarkan di daerah ini!" sahut Fay sambil
mengejek. "Tidakada tempat di daerah Wintersbride ini yang tidak uku tahu.
Bukankah begitu, Simmy?"
Kelihatannya kegembiraan yang ditunjukkan Fay sama sekali tidak sebanding dengan
sikapnya yang umat diam selama mereka makan. Miranda makin gembira, ia merasa
apa yang direncanakannya makin mendekati sasaran.
"Kalau begitu, nanti sore ajak aku melihat-lihat. Sudah dua hari kita terkurung
di rumah saja. Kita kan tidak bisa terus-menerus terkurung hanya karena hari
hujan. Di samping itu, aku memang ingin melihat daerah sekitar ini lebih dekat."
"Bolehkah aku pergi" Boleh, Simmy?" Fay berbalik ke arah Simmy. Tampaknya ia
kegirangan. Wajahnya yang cantik tampak menjadi cerah kembali. Mata Simmy yang
tajam menatap wajah Fay beberapa lama. Kulit mukanya yang pucat tampak melekat
kuat, menutupi tulang pipinya. "Boleh," jawab Simmy, perlahan. "Aku tidak
keberatan kau berjalan-jalan. Tetapi ingat, jangan jalan di tengah. Saya
serahkan sepenuhnya Fay pada Nyonya. Tetapi jangan sampai berjalan terlalu
jauh." Kata-kata itu terdengar agak mengancam. Sejam kemudian, Fay mengetuk
kamar Miranda. Miranda yang sedang duduk di muka meja riasnya membalikkan badan.
Ia merentangkan tangannya, menyuruh Fay masuk. "Ayo masuk, Anak manis," kata
Miranda. "Tunggu sebentar ya, aku menyisir rambut dulu." Fay memperhatikan
Miranda membuka laci tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Tetapi kemudian ketika
ia melihat Miranda mengeluarkan sisir sikat yang diukir dan hendak menyisir
dengan sisir sikat itu, ia bertanya dengan marah, "Mengapa kau memakai sisir
sikat itu?"Miranda melihat wajah Fay yang cemberut melalui kaca. "Lho, memangnya
aku tidak boleh menyisir rambutku dengan sisir sikat ini?" tanya Miranda.
"Apakah kau tidak punya sisir sikat sendiri?" tanya Fay lagi. Miranda sengaja
menyisir rambutnya dengan sisir sikat itu. Ia ingin melihat bagaimana akibat
dari tindakannya itu. "Ini kan sisir sikat milikku. Lihat, semua barang yang ada
di sini serasi sekali. Sisir sikat ini, cermin dan kotak perhiasan itu. Bendabenda itu sudah lama menanti kedatanganku. Bagaimana kalau kaulihat, bagus
bukan?" "Bukan, itu bukan milikmu. Benda-benda itu sama sekali bukan milikmu!"
teriak Fay. "Benda itu milik ibuku. Lihatlah di balik cermin kecil itu, ada
singkatan M C. Itu singkatan nama ibuku. Nyonya Yeo bilang, benda itu adalah
hadiah perkawinan dari ayahku. Kau tidak berhak untuk memakai benda benda itu!"
lalu Fay neungis. Miranda merasa terpukul perasaannya. Ia duduk sambil
memperhatikan yang terukir indah pada cermin. "Siapa nama ibumu?" tanya Miranda
denga lembut. "Melisande." Miranda meletakkan sisir sikat itu dengan perasaan
benci. Lalu ia menatap Fay yang sedang menangis. "Jangan menangis lagi, Fay,"
kata Mirand menghibur. "Aku tidak akan memakai benda-benda itu lagi. Kurasa,
kamar ini dulunya tentu juga kamar ibumu. Mungkin benda-benda ini lupa di
simpan. Nah, bagaimana kalau sekarang kita ber jalan-jalan?" Tetapi Fay
menjauhkan dirinya."Aku benci kau ... aku tidak ingin jalan-jalan bersamamu..."
jerit Fay, lalu lari meninggalkan kamar Miranda. Dibantingnya pintu kamar itu
kuat-kuat. Miranda tidak mengejar Fay. Tindakan Fay sama sekali dianggap wajar
oleh Miranda. Tetapi ia menyesali Adam. Ia menyesali kelalaian Adam. Mungkinkah
Adam tidak punya perasaan sama sekali, tanya Miranda dalam hati dengan sedih.
Mengapa ia tidak menjelaskan padanya, bahwa benda-benda itu bukan diberikan
untuknya. Mengapa tidak dikatakannya bahwa benda itu milik seseorang yang kamar
tidurnya kini ditempati olehnya" Mengapa tidak diterangkannya bahwa tempat tidur
yang ditidurinya sekarang ini adalah milik Melisande" Mengapa hadiah yang
sedemikian bagus dibiarkannya dipakai orang lain" Sedangkan hadiah itu
sebenarnya diberikan untuk orang yang dicintainya. Miranda memandang bayangan
wajahnya yang terpantul di cermin. Ia terkejut sekali ketika melihat butir-butir
air mata menitik di pipinya. "Mengapa aku harus menangis" Mengapa aku harus
bersedih?" tanya Miranda pada dirinya dengan hati jengkel. "Aku toh tidak cinta
padanya!" Kenyataannya Miranda memang sedih. Ia memang ceroboh. Mengapa ia tidak
memikirkan masak-masak dulu sebelum terlibat dalam perkawinan yang aneh itu"
Tetapi Miranda harus mengakui, bahwa sejak semula ia sudah tertarik pada Adam.
Dan ia berpikir bahwa nanti tentu Adam pun akan tertarik padanya. Dan mungkin
pula lebih dari rasa tertarik padanya. Hari sudah senja ketika Miranda keluar
dari kamarnya. Ia berniat melihat-lihat kembali ruangan untuk melukis dan
potret-potret Melisande. Tetapi ketika ia tiba diruangan itu, ternyata kunci
ruanganitu belum diketemukan juga. Ruangan itu masih terkunci. Dan perabotperabot rumah tangga yang tadi dipindahkannya ke ruangan lain, kini sudah
dikembalikan ke tempatnya semula. Miranda berdiri di tengah-tengah ruangan.
Hatinya marah bukan main. Tiba-tiba Adam masuk. Miranda tidak dapat lagi menahan
marahnya. 'Adam, aku tidak tahan lagi!"jerit Miranda sambil menggerakkan
tangannya kesana kemari 'Apakah aku sama sekali tidak berarti apa-apa di sini"
Apakah, apakah aku - aku hanya seperti seekor kucing yang tersesat" Yang
diselamatkan olehmu, diberi makan dan kemudian dibiarkan begitu saja?" ya,
ampun!" ujar Adam sambil menatap Miranda dengan keheranan. "Mengapa kau
menyambutku dengan cara seaneh ini"!"
"Apakah - apakah aku sama sekali tidak punya hak apa-apa di rumah ini, Adam?"
tanya Miranda. "Tentu saja tidak, bila tingkahmu seperti Fay!" jawab Adam dengan
pedas. Sebelum Adam melanjutkan perkataannya, pintu terbuka, dan Bessie masuk
dengan membawa sebuah baki. Kemudian Adam berkata lagi, "Aku hendak mandi dulu.
Aku akan menemanimu minum teh setelah selesai mandi." Miranda mondar-mandir di
ruangan tamu. Ia memperhatikan Bessie yang sibuk menyediakan teh dan kue-kue di
atas meja. "Simmy dan Fay tidak ikut minum teh"' tanya Adam sewaktu masuk ke
ruang tamu itu. "Nona Simmy mohon maaf, Tuan," jawab Bessie. "Nona Fay sedang
kurang enak badan. Karena itu Nona Simmy pikir, lebih baik tinggal di ruang be.
lajar saja." "Oh, begitu," kata Adam. Sekilasia memandang Miranda. Setelah
Bessie keluar dari ruangan itu, Adam melanjutkan, "Apakah ini karena ulahmu,
Miranda. Atau kalian bertengkar?" Miranda menuang air teh ke dalam cangkir teh.
Kemarahannya sudah mereda. Ia tahu benar, Adam pasti tidak senang bila mendengar
mereka bertengkar. Ia tidak suka keributan terjadi didalam rumahnya. "Aku memang
mengecewakan hati Fay," kata Miranda. "Tetapi semua itu gara-gara kau. Semua ini
karena salahmu!' "Mengapa begitu" Mengapa aku yang kausalahkan?" "Kau tidak
mengatakan apa-apa padaku tentang sisir sikat yang ada di dalam kamar tidurku!"
sahut Miranda. 'Sisir sikat?" Adam mengernyitkan dahi, tidak mengerti maksud
Miranda. "Sisir sikat yang ada di dalam kamar tidurku - yang diletakkan di meja
rias. Singkatan nama yang tertera pada sisir sikat itu adalah singkatan namaku.
Aku tidak tahu bahwa sisir itu sebenarnya milik mendiang isterimu!" Miranda
Siluman Hitam 1 Pendekar Slebor 09 Manusia Dari Pusat Bumi Hikmah Pedang Hijau 4
^