Pencarian

Misteri Wintersbride 2

Misteri Wintersbride Karya Sara Seale Bagian 2


bicara dengan tenang sekali. Ia sama sekali tidak menunjukkan sikap bahwa ia
hendak dianggap sebagai nyonya rumah yang berkuasa penuh. Matanya menatap wajah
Adam dalam-dalam. "Oh, aku mengerti sekarang," sahut Adam. "Ya, aku memang tolol
sekali. Apakah Fay marah-marah karena melihatmu memakai sisir sikat itu?" "Ya!
Tetapi sikapnya itu wajar, bukan?" "Ah, tidak juga. Ia tidak ingat benar
bagaimana rupa ibunya." Tiba-tiba Adam baru tersadar, tentulah Miranda mengira
ia membeli alat-alat untuk berhias itu untuknya. Adam jadi mengernyitkan dahi
lagi. "Maafkan aku, Miranda," ujar Adam. "Sama sekali tak terpikir olehku, bahwa
keadaan akan menjadi genting seperti ini. Dan aku pun tidak mengira, akan tumbuh
perasaan sentimentil dalam perjanjian bisnis kita.?"Ya, aku pun tidak mengira,"
sahut Miranda. "Tetapi sudahlah, tidak usah diributkan lagi. Semua ini memang
salahku." Apa maksudmu berkata demikian" Adam hendak menanyakan begitu, tetapi
tidak jadi. Sebaliknya ia bertanya mengapa Miranda kelihatan kesal sewaktu ia
pulang. Maka Miranda menceritakan tentang perabot yang dipindahkannya dan
tentang kunci ruang untuk melukis yang hilang. "Aku tidak tahu ruangan itu
dikunci," kata Adam. "Memang tak seorang pun yang masuk ke ruangan itu, kecuali
aku bila hendak membersihkan ruangan itu." "Apakah kau keberatan bila aku
menggunakan kamar itu"tanya Miranda pada Adam tanpa tedeng aling-aling lagi.
Adam terdiam sejenak. "Tidak," sahut Adam, kemudian. "Aku tidak keberatan."
"Kalau begitu, tolong kauberitahukan Simmy atau Nyonya Yeo mengenai hal ini.
Mereka tak mengacuhkan kata-kataku." Tampaknya Adam tidak mau ikut campurtangan
dalam hal ini. "Kau harus dapat menyelesaikan hal itu sendiri," kata Adam. "Aku
tidak mau tahu, bagaimana caramu mengatur semua ruangan. Selama kau tidak
mengganggu ruangan belajarku. Tetapi, Miranda - kalau saja kau mau mematuhi
kata-kataku, tentu kau tidak akan membuat kesal Nyonya Yeo." "Aku tidak
bermaksud membuat kesal siapa pun," tukas Miranda. Ia merasa tidak senang
ditegur Adam, padahal ia tidak merasa berbuat kesalahan. "Nyonya Yeo yang selalu
tidak mau mematuhi kata-kataku. Dan Simmy selalu membesar
besarkan soal yang sepele."
"Apa misalnya?" "Apa saja yang ada sangkut pautnya dengan Fay. Ia melarangku
berjalan-jalan dengan Fay. Bahkan ia tidak mengijinkan aku mengajak Fay
berkelilingkeliling melihat keadaan daerah ini." "Oh, begitu," ujar Adam, tanpa
berat sebelah. Ia menatap wajah Miranda dalam-dalam, kemudian melanjutkan,
"Seringkali memang nada Simmy bicara agak galak. Bahkan mungkin tidak
menyenangkan hatimu, Miranda. Tapi kau harus selalu ingat, ia tahu apa yang ia
lakukan. Kuharap, kau mau mengingat-ingat kataku itu di lain saat." Adam bangkit
sambil merentangkan tangannya. "Kau mau ke kamar Fay dulu untuk mengucapkan
selamat malam" tanya Miranda. "Ah, tidak," sahut Adam dengan tenang. "Akultidak
pernah melakukan hal demikian." Tampak Miranda terkejut mendengar jawaban
Adam itu. "Tetapi semua anak senang kalau hendak tidur disalami orang tuanya,"
ujar Miranda. "Ah, masa" Tetapi mungkin Fay ini berbeda dengan anak-anak lain,"
komentar Adam, lalu meninggalkan ruangan itu. Miranda menarik napas. Ia tidak
mengerti sikap Adam terhadap puterinya. Kadang-kadang ia tampak tidak menyukai
Fay. Tepat seperti apa yang pernah dikatakan Fay padanya.
Udara di bulan Juni itu buruk sekali. Langit mendung, hujan dan salju turun
berganti-ganti. Miranda merasakan banyak sekali waktu luangnya. Tetapi ia tidak
lagi mencoba untuk membantu menyelesaikan urusan-urusan rumah tangga. Dan
bahkan, ia tidak pernah lagi memeriksa ataupun masuk ke ruang untuk melukis.
Walaupun kini kunci ruangan itu sudah ditemukan kembali. Pada minggu pertama,
hampir setiap pagi Miranda bertanyatanya tentang segala hal pada Nyonya Yeo.
Tetapi setiap kali ia merasa jengkel, sebab Nyonya Yeo selalu menjawab dengan
ungkapan yang sama, "Mendiang nyonya kami dulu lebih senang. Atau kalau tidak ia
menjawab, "Mendiang nyonya kami tidak setuju bila." Dan usaha Miranda untuk
dapat lebih akrab dengan Fay pun kelihatannya tidak berhasil. Grace Latham
mengundang Miranda dan Adam untuk makan malam di rumahnya pada akhir bulan Juni
itu. Miranda bingung memikirkan baju apa yang pantas dipakainya untuk menghadiri
jamuan makan itu. Sebab baru kali ini akan keluar bersama Adam. Ia takut kalaukalau teman-teman Adam tidak menyukainya. Miranda sedang memilih-milih baju,
ketika ia mendengar langkah kaki Adam. Miranda memanggil Adam masuk ke kamarnya
untuk membantunya memilih pakaian. "Ada apa?" tanya Adam. Suaranya terdengar
ngak terkejut mendengar panggilan Miranda. "Masuklah," sahut Miranda. "Aku lagi
kebingungan nih." "Ya, bukalah pintunya." "Tidak dikunci," ujar Miranda. Adam
membuka pintu, lalu masuk. "Kau percaya padaku?" tanya Adam sambil tersenyum
mengejek. "Percaya apa?" tanya Miranda sambil melongokkan kepalanya ke dalam
lemari. Kemudian Miranda melihat ke arah Adam yang sedang memperhatikan pintu di
antara kamar mereka yang terbuka. Wajah Miranda memerah karena malu.
"Masuklah," pinta Miranda agak tersendatsendat. "Kali ini aku benar-benar
bingung. Tidak apa-apa, masuklah. Pintu itu tidak pernah kukunci."
"Himmm," Adam menggumam sambil memperhatikan Miranda yang berdiri dengan hanya
memakai pakaian dalam saja. Sehingga bentuk tubuh Miranda terlihat dengan jelas.
Adam melangkah masuk perlahan-lahan. Dipeluknya pinggul Miranda yang kurus.
Miranda berdiri tanpa bergerak. Ingin sekali saat itu ia menjatuhkan dirinya ke
dalam pelukan Adam. Miranda menatap wajah Adam. Dirasakannya setiap garis-garis
wajah itu tidak asing lagi baginya. Dan tiba-tiba saja keinginan untuk
bermesraan dengan Adam menjalari hatinya.
Tetapi mata Adam yang tadi memandangnya dengan mesra berubah menjadi biasa
kembali. Dan ia hanya berkata,
"Badanmu terlalu kurus." "Ya," jawab Miranda. Lalu ia melepaskan diri dari
pelukan Adam. "Ehm ... katanya kau sedang bingung. Apa yang kaubingungkan?"
tanya Adam. Kembali Miranda melongok ke dalam lemari pakaiannya. Ia mengeluarkan
beberapa pakaian yang sudah dipilihnya. Kemudian diletakkan di dekat Adam. "Baju
apa yang harus kupakai" Tolong pilihkan." "Yang warna putih saja," jawab Adam
tanpa ragu-ragu. "Yang putih itu sangat cocok untuk gadis seusiamu." Grace
Latham tinggal bersama ibunya di sebuah peternakan di daerah Shaptavy. Miranda
memasuki ruangan melukis keluarga Latham yang berlangit-langit rendah. Ruangan
itu penuh dengan kain-kain berwarna cerah dan barang-barang pecah belah yang
kesemuanya terbuat dari porselen Dresden. Miranda merasakan ruangan itu lebih
enak daripada ruangan melukis yang ada di Wintersbride. Lagipula di ruangan itu
tampaknya penuhorang. Ia merasa agak malu-malu ketika berdiri di sisi Adam, dan
diperkenalkan dengan tamu-tamu yang lain. Malam berlalu dengan cepatnya.
Berkali-kali Adam melirik Miranda. Hatinya merasa senang dan ngak sedikit
terkejut melihat sikap Miranda. Sama sekali ia tidak mengira, Miranda dapat
ngobrol dengan Stokes dengan asyiknya. Padahal ia termasuk wanita yang berotak
bodoh dan selalu menganggap rendah wanita. Selain itu ia pun dapat bergaul
dengan akrab dengan si Benyon tual Wanitawanita yang lain pun kini merasa kagum
pada Miranda. Mereka memuji sikap isteri Adam yang baru dengan tak hentihentinya.
Melihat Miranda seperti ini, Adam harus mengakui bahwa Miranda memang benarbenar menarik dan luar biasa sekali. Tak dapat ia disamakan dengan wanita-wanita
biasa. Dan tentunya tak seorang pun dari tamu-tamu yang datang itu akan percaya
akan asal mula dari perkawinan mereka. Mereka tentu saja tidak akan mengira,
bahwa perkawinan mereka didasarkan atas sebuah kontrak. Ya, mereka hanya kawin
kontrak! Adam berbalik dan bicara dengan Grace.
"Terima kasih, Grace," ujar Adam. "Kau banyak membantuku, sehingga Miranda dapat
bergaul dengan para tamu sebagaimana mestinya." Grace hanya tersenyum.
"Semua ini kulakukan demi kau, Adam," ujar Grace. "Miranda masih terlalu muda.
Sedangkan untuk dapat menjadi isteri seorang pria yang punya kedudukan adalah
tidak mudah. Apalagi bagi wanita yang tidak punya pengalaman sama sekali."
"Tampaknya Miranda tidak menemui kesulitan lagi," kata Adam, dengan agak acuh
tak acuh. "Dan kau telah banyak membantuku, Grace."
.Grace tersenyum lagi. Tetapi matanya tidak seriang tadi. "Benarkah begitu" Yah,
semua ini kulakukan demi kebahagiaanmu, Adam. Kau pun tahu, bahwa aku selalu
berdoa agar kau bahagia." "Ya, aku tahu," jawab Adam. Ia merasa kagum, karena
ternyata Grace mampu menekan perasaannya. Miranda sedang bercakap-cakap dengan
Dr. Tregelis. Dokter itu mengatakan pada Miranda, bahwa ia berpraktek di daerah
sekitar itu. Semua orang yang tinggal di daerah itu pernah berobat dengannya.
Begitu pula halnya dengan keluarga Adam. Bila ada di antara mereka yang sakit,
dialah yang mengobatinya. Dan ia sudah menjadi dokter keluarga Adam sejak
sepuluh tahun yang lalu, ketika pertama kali Adam membeli rumahnya Wintersbride. "Oh," seru Miranda, terkejut. "Kalau begitu, Wintersbride itu
bukan rumah warisan dari orang tua?" "Ya, tentu saja bukan," sahut Dokter
Tregelis. "Waktu Adam membeli rumah itu, keadaannya jelek sekali. Tak terurus
dan kotor. Pemilik rumah itu menjualnya pada Adam, lalu pindah ketempat lain.
Tetapi beberapa perabot rumah tangga yang ditinggalkan sudah diganti." Aneh,
pikir Miranda. Mengapa Melisande, wanita secantik itu, menyukai rumah itu"
"Tak seorang pun ingat sudah berapa lama mereka tinggal di Wintersbride," kata
Dokter Tregelis. "Rasanya baru saja kemarin, keluarga Chantry pindah di
Wintersbride. Dan kecantikan isteri Adam Melisande - bagaikan mawar harum yang
menghiasi rumah itu. Banyak orang yang sering mengintip dari balik jendela hanya
untuk melihat kecantikannya, bila ia sedang berada di kebunnya."Sejenak matanya
memandang jauh ke depan. Kosong dan kelihatan agak sedih. Tetapi kemudian ia
melanjutkan, "Tetapi semua itu sudah berlalu. Yang ada sekarang cuma tinggal
ceritanya saja. Mungkin waktu itu kau masih kecil sekali." "Aku baru berumur
sembilan tahun," kata Miranda. "Apakah kau yang merawat Melisande waktu dia
sakit?" tanya Miranda lebih lanjut. Karema ia ingin tahu lebih banyak lagi.
"Ya," jawab Dokter Tregelis sambil menatap tajam wajah Miranda. "Kasihan,
menyedihkan sekali nasib yang menimpanya. Tetapi tak seorang pun dapat
disalahkan dalam hal ini. Nona Simmy lak henti-hentinya menyesali dirinya.
Tetapi sebenarnya semua ini bukan karena kesalahannya." "Kalau tidak salah,
waktu Melisande sakit, Fay dititipkan di tempat lain. Apakah ia tidak menyertai
Fay?" "Oh, tidak. Waktu itu Fay diasuh oleh Nanny. Dulu Nona Simmy adalah suster
perawat Melisande. Ia menjadi pengasuh Fay setelah Melisande meninggal dunia.
Adam tentunya telah menceritakan semua ini padamu, bukan?" tanya Dokter
Tregelis. "Semua itu sudah berlalu," sahut Miranda, mengalihkan pokok
pembicaraan. 'Mungkin Adam berpendapat bahwa perkawinannya yang pertama tidak
ada sangkut-pautnya dengan perkawinannya yang sekarang." Miranda mulai tidak
menyukai sikap Dokter Tregelis yang mulai menyelidik. Dan ia lebih tidak semang
lagi ketika dokter itu berkata, "Maaf, aku bicara terlalu banyak. Karena
berkenalan denganmu, timbul lagi semua kenangan lana. Dan memang, Melisande
Chantry seorang waniia yang paling cantik yang pernah kulihat."Miranda senang
sekali ketika Grace memanggi dokter itu. Ia merasa terhindar darinya, setelah
Grace mengatakan bahwa ibunya hendak bicara dengannya. Kemudian Grace duduk di
sebelahny menggantikan tempat duduk Dokter Tregelis .Miranda merasa berterima
kasih pada Grace, karena itu untuk menyenangkan hatinya ia memuja anting-anting
Grace yang memang tampak bagus sekali. Anting-anting itu terbuat dari batu nila
dan serasi sekali dengan kulitnya yang putih. "Anting-anting ini peninggalan
bibi ibuku," sahut Grace, agak bangga. "Mungkin kau tidak per nah memakai
perhiasan ya, Miranda" Aku tidak pernah melihat kau memakai cincin pertunangan
mu. Apa yang diberikan Adam padamu?" Miranda duduk sambil memutar-mutar cincin
kawinnya diseputar jarinya. Ia mencoba mencari jawaban yang tepat untuk menjawab
pertanyaan Grace. Grace mengulangi pertanyaannya untuk yang kedua kalinya,
sehingga mengundang perhatian dua orang wanita yang tadi sedang asyik
mengobrol . Kini mereka jadi tertarik untuk ikut membicara kan soal perhiasan. "Himm,
aku ... aku..." Miranda mulai merasa gugup. Kemudian terdengar suara Adam :
belakangnya dengan nada tegas,
"Cincin itu sedang diperbaiki oleh tukangnya. sebab salah sebuah matanya
hilang." "Aih, sayang sekali," kata salah seorang wanita "Cincinnya seperti apa sih maksudku, terbuat dari apa?" "Mutiara," sahut Adam dengan cepat. Tetapi mungkin
modelnya agak kuno, Nyonya Stokes."
"Ya, tetapi cantik sekali," ujar Miranda, mulag dapat menguasai perasaannya.
"Cincin itu batunya besar di tengah dan di sekelilingnya dihias dengan berlian
kecil-kecil." "Aduh, bagus sekali. Tentunya harganya juga mahal ya." seru Nyonya Stokes,
kagum. Miranda merasakan pandangan Adam yang sinis padanya.
"Ya," jawab Adam dengan acuh tak acuh. "Bukankah begitu, Miranda?"
Kemudian Adam minta diri. Miranda merasa lega hati ketika sudah duduk di samping
Adam di dalam mobil. Miranda benar-benar merasa senang sekali malam itu. Hanya
satu atau dua kali ia kelihatan gugup karena mendapat pertanyaan yang tidak
diduganya semula. "Adakah - adakah tingkahku yang tidak benar tadi" tanya
Miranda, agak formil pada Adam. Ekspresi wajahnya persis ketika tadi ia sedang
gugup. "Ah, tidak," sahut Adam sambil tersenyum. "Sebaliknya tingkah lakumu
sangat baik sekali. Semua orang yang hadir memujimu. Mereka bilang kau menarik
dan luwes." "Dan kau sendiri bagaimana, Adam?" tanya Miranda dengan berani. "Kau
tidak memujiku. Kau tidak merasakan keluwesanku?"
"Ah, siapa bilang," sahut Adam dengan nada agak menggoda. Adam melihat Miranda
menarik napas. Lalu ia menggenggam tangan Miranda. "Aku merasa, kau luwes dan
menarik sekali, Sayang," kata Adam dengan lembut. "Kau ingin aku mengatakan aku bangga denganmu?" "Ya, tentu saja kalau kau bersedia mengatakannya," sahut
Miranda. Ia menggeserkan badannya lebih dekat dengan Adam. "Terima kasih, kau
taditelah menolongku ketika sedang membicarakan soal cincin. Ketika itu aku
tidak tahu apa yang harus kukatakan. Sedangkan semua pandangan ditujukan
kepadaku." . "Makanya lain kali kau harus panjang akal," ujar Adam dengan acuh
tak acuh, seperti biasa. "Kauharus dapat membumbui cerita, Miranda. Sehingga
ceritamu dapat menarik perhatian. Tadi kaubilang, cincinmu batunya besar di
tengah dan di sekelilingnya dihias dengan berlian kecil-kecil. Ah. sungguh
pandai kau, Miranda. Cartier saja mungkin tidak punya cincin seperti itu."
"Cartier" Oh, Adam! Jangan kau menganggap sungguh-sungguh kata-kataku tadi. Toh
orang jug tidak akan tahu kalau aku tidak punya cincin." "Tentu saja kau harus
punya cincin! Seharusnya kau mengingatkan aku, sebab hal itu termasuk dalam
perjanjian kita. Besok aku akan memberitahukan Cartier." Miranda membisu. Ia tak
tahu, apakah saat itu ia jengkel atau senang atau kedua-duanya. Dan tiba tiba
saja Adam meletakkan tangannya di atas pangkuannya. "Aku bukan tidak memikirkan
atau kikir seperti yang kaukira," ujar Adam, tak diduga-duga. "Se benarnya aku
masih punya simpanan emas per mata. Tetapi setelah peristiwa meja rias itu - aku
ragu-ragu untuk menawarkannya padamu." Emas permata, perhiasan milik Melisande.
Te tapi Miranda tidak pernah mengenalnya. Kalau bukan dia yang memakai
perhiasannya, tentu suatu waktu juga dipakai oleh orang lain. Kecuali kalau
perhiasan itu memang masih baru.
"Terima kasih, Adam," ujar Miranda denga lembut. "Kalau boleh aku bertanya,
mengapa aku harus memakai perhiasan. Aku tidak mau dikatakan lancang karena
memakai barang orang lain tanpa ijin."
"Kau memang anak baik, Miranda," puji Adam. Sejenak ia menatap wajah Miranda
dalam-dalam. Diperhatikannya rambutnya yang berwarna pirang, berombak, dekat
sekali dengan bahunya. Ingin sekali ia berkata lebih banyak lagi, tetapi
sayangmereka sudah sampai di pintu gerbang Wintersbride. Sebulan kemudian, Adam
mengatakan bahwa ia akan mengadakan jamuan makan di rumahnya.
"Kau tidak usah repot-repot, Miranda. Serahkanlah segalanya pada Nyonya Yeo.
Karena ia panlai sekali dalam hal masak-memasak."
Adam memberikan daftar tamu-tamu yang akan diundang kepada Miranda. Miranda
menanyakan pada Adam, kata-kata apa yang akan ditulis di dalam undangan itu,
Adam menjawab dengan nada jengkel,
"Telepon saja Grace! Dia kan lebih mengerti halhal demikian!"
"Baiklah," jawab Miranda dengan sengit. Kembali Miranda menyadari, bahwa
sebenarnya Grace Iatham memang lebih cocok untuk menjadi isteri Adam, kalau
dibandingkan dengan dirinya. Dan mungkin juga, Grace sangat mengharap dapat
menindi isteri Adam. Mungkinkah Adam tidak menyadari bahwa Grace sangat
mencintainya. Ataukah ia termasuk pria yang hanya mampu memberikan cintanya
kepada seorang wanita saja" Dan tidak mungkin lagi berhubungan mesra dengan
wanita lain. Bagaimanapun juga Adam telah memilih Mirandia Clare sebagai isterinya. Dan Grace
Latham yang ditolak cintanya, harus puas diberi kesempatan untuk mengatur pesta
oleh Adam. Grace yang mengatur segala-galanya. Ia yang mengatur meja, hiasan ruanganruangan dan sebagainya. Semua diserahkan pada Grace. Grace menyuruh tukang kebun
memetik buah-buahan dan bunga. Kemudian ia menyuruh Miranda memanggil Nyonya Yeo
untuk membicarakan soal makanan yang akan dihidangkan. Nyonya Yeo datang
menghadap dengan wajah yang agak kurang senang.
"Pesta makan malam di sini?" tanya Nyonya Yeo, agak terkejut. "Tak pernah, sejak
mendiang Nyonya mengadakan pesta makan malam setahun sebelum kematiannya, di
tempat ini diadakan pesta. Tentunya Nyonya Grace ingat akan hal itu, bukan"
Ingat akan kejadian malam itu!" "Ya, Nyonya Yeo - aku ingat," sahut Grace,
sambil melontarkan pandangan tajam pada Nyonya Yeo. "Pesta ini bukan dimaksudkan
untuk bersenang-senang, Nyonya Yeo. Tetapi hanya untuk membalas pesta yang
pernah diadakan untuk mereka. Aku yakin, Nyonya Yeo mau membantu agar pesta ini
sukses." "Tentu saja, Nona - kalau Nona memang mengharapkan begitu," sahut
Nyonya Yeo tanpa mempedulikan Miranda yang berdiri di hadapannya. "Kuharap kau
tidak mengambil hati akan sikap Nyonya Yeo tadi, Miranda," kata Grace, minta
maaf setelah Nyonya Yeo pergi. "Ia memang agak sukar diatur. Tetapi ia sangat
mencintai Melisande. Sikap yang ditunjukkannya hanya untuk menyatakan
ketidaksenangannya atas perubahan yang terjadi di rumah ini. Aku akan minta Adam
untuk menasehatinya. Ingat, Miranda, Adam tentunya akan memilih anggur. Aku akan
berdiri di sini dan selalu siap membantumu bila kau mendapat kesulitan . Besok


Misteri Wintersbride Karya Sara Seale di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pagi aku akan menghias pot-pot bunga dan memeriksa segalanya, supaya beres dan
rapi." Miranda merasa perasaannya tidak menentu. Ia menatap wajah Grace dalamdalam. Sehingga membuat Grace merasa agak tidak enak dan berusaha menghindarkan
pandangan matanya. "Khusus untuk kali ini, aku akan membuka ruangan melukis," katanya.
Sebenarnya pesta yang diadakan itu bukanlah pesta besar. Mereka hanya mengundang
dua belas orang tamu. Miranda senang melihat kesibukansibukan di rumah dalam
rangka persiapan pesta. Ia senang melihat Bessie yang biasa tak pernah lupakan
kewajibannya, kini sebentar-sebentar lupa akan apa yang harus dikerjakannya
karena terlalu banyaknya pekerjaan. Bahkan Miranda tidak merasa terganggu ketika
melihat Grace mengatur bunga-bunga sambil memberikan perintah pada Nyonya Yeo.
Ia tenang-tenang saja duduk menyaksikan orang-orang yang sibuk bekerja bersama
Fay. hari itu tampak Fay juga gembira. Sebab tidak biasanya rumahnya seramai
itu. Sikapnya ramah tamah sekali pada Miranda. "Mudah-mudahan aku tidak cepat
mengantuk," ujar Fay. Sikapnya wajar, seperti kebanyakan gadisgadis sebayanya.
Membuat Miranda makin bersemangat untuk ngobrol dengannya.
"Mungkin Simmy tak akan mengijinkanmu tidur malam-malam. Tetapi begini saja,"
bisik Miranda. "Bila kau tidak tahan mengantuk, kau sembunyi di balik deretan
kursi-kursi itu. Kemudian kalau semua pria sudah bergabung dengan para wanita,
aku akan membawakanmu segelas kecil anggur. Lalu kita minum sama-sama. Bagaimana
- kau setuju?" Mata Fay kelihatan cerah karena kegirangan. "Kau betul mau,
Miranda?" Tepat ketika itu Grace masuk sambil membawa seikat bunga lupin dan
delphinium. "Aku akan menghias ruangan melukis, Miranda," kata Grace. "Fay,
lebih baik kau diam di ruang belajar saja, supaya tidak mengganggu orang yang
sedang bekerja." "Tidak mau, ah!" tukas Fay. "Aku ingin duduk di sini dan
ngobrol dengan Miranda." "Tapi aku butuh pertolongan Miranda," kata Grace dengan
lembut. "Pergilah bermain-main dengan Simmy. Di sini kau kan tidak punya
pekerjaan, bukan?"kata dengan lembut,
"Pergilah - nanti kupanggil kau. Jangan lupa janji kita!"
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Fay meninggalkan ruangan itu. Dan tanpa
disangka-sangka ia mencium pipi Miranda, lalu lari menaiki tangga.
"Aku senang sekali melihatnya," komentar Grace sambil berjalan ke ruangan
melukis, "kau dan Fay dapat bergaul dengan akrab. Tentu Adam gembira kalau
melihat hal ini." "Ciuman itu bukan pertanda ia sayang padaku," sahut Miranda sambil sinis. "Ia
hanya hendak menunjukkan ketidaksenangan hatinya padamu."
"Tidak mungkin!" tukas Grace. Kelihatannya ia jengkel mendengar Miranda berkata
begitu. "Kadang-kadang aku khawatir malah kau yang tidak dapat bergaul dengan
Fay. Kau malah yang tidak disenangi Fay. Karena masih terlalu muda. Kau anak
belasan tahun. Kau tahu, seorang anak itu memerlukan kasih sayang."
Miranda menarik napas dalam-dalam. Untuk apa aku membantah dia, toh tidak ada
gunanya, pikir Miranda. Ia sadar bahwa ia tidak mungkin dapat bergaul akrab
dengan Grace Latham. "Biarlah aku yang membukakan pintu," ujar Miranda dengan lemah lembut. "Nah,
lihatlah keadaannya sekarang. Menyenangkan, bukan?"
Sejenak Grace terpaku di ambang pintu. Ia berdiri sambil memperhatikan keadaan
ruangan melukis itu. Dipandanginya ruangan itu dengan wajah sedih.
"Ya," sahut Grace dengan suara lirih. "Ketika Melisande sakit - ia dirawat di
ruangan ini." "Dia tidak dapat naik ke atas?" tanya Miranda, bingung. "Ranjangnya juga ditaruh
diruangan ini?" "Tidak. Dia dapat naik ke atas," sahut Grace. Matanya menatap potret mendiang
Melisande. "Hanya ia lebih suka tinggal di ruangan ini, bersama dengan barangbarang seninya. Adam pun beberapa waktu lamanya menemaninya di sini."
Tiba-tiba perasaan senang karena melihat ruangnin yang telah diaturnya demikian
indah lenyap. Miranda tidak lagi merasakan keindahan ruangan itu. Bagi Grace,
tempat ini merupakan tempat suci, tempat keramat yang patut dihormati. Dan
bagaimana anggapan Adam akan ruangan ini"
Miranda bangun pagi-pagi sekali. Ia berniat untuk berendam di dalam bak mandinya
agak lama, supaya dapat membayangkan bagaimana keadaan pesta makan malam yang
baru pertama kali akan dihadirinya.
Hatinya bingung memikirkan pakaian apa yang akan dikenakannya nanti. Ingin
sekali ia melihat Pierre di sisinya saat itu, supaya ia dapat menyaksikannya
berpakaian indah dan mengenakan perhiasan yang gemerlapan. Ingin sekali ia
merasakan keriangan Pierre, supaya hatinya yang sedang bersedih dapat terhibur.
Miranda telah menyurati Pierre dan menceritakan padanya, bahwa ia hendak
menikah. Tetapi sampai sekarang ia belum juga menerima balasan surat dari
Pierre. Pierre belum juga memberi kabar bagaimana tanggapannya dengan maksudnya
itu. Keadaan rumah tenang, tidak ada perselisihan maupun pertengkaran. Kelakuan Fay
sangat menyenangkan sekali hari itu. Dan Simmy, walaupun ia menolak untuk makan
malam bersama di bawah, nerasa senang karena masih ditawari untuk makan bersamasama. Bahkan Nyonya Yeo menerima ucapan selamat Miranda dengan hati bangga, untu
masakannya yang sangat lezat. Hari itu Adam pulang lebih cepat dari biasanya Ia
memberikan sebentuk cincin yang baru dibeli nya tadi pagi di toko perhiasan
terkenal - Cartier. Adam tersenyum manis ketika melihat Miranda menjulurkan jari
manisnya dan menyuruhnya memasang cincin itu di jarinya. "Aku tidak tahu, berapa
banyak wanita yang mengatakan padaku, bahwa mereka menerima cincin kawin mereka
dua bulan sebelum mereka menerima perhiasan lainnya," ujar Adam sambil memasang
cincin itu di jari manis Miranda.
Model cincin kawin itu sesuai dengan model yang dikatakan Miranda. Sebentuk batu
persegi dengan dikelilingi berlian-berlian kecil.
"Dua bulan sudah siap?"
"Ya. Memangnya sekarang sudah berapa lama?"
Tampaknya Adam kelihatan lebih gembira, lebih muda. Kelihatannya ia menganggap
malam itu malam yang istimewa baginya.
Miranda memilih pakaian berwarna hitam, yang dibuat oleh perancang mode Dubonnet
yang : mahal harganya. "Adam," panggil Miranda. "Coba ke mari seben tar. Tolong kaitkan bajuku."
Miranda diam, sementara Adam mengaitkan kai tan baju yang terakhir. Mungkin Adam
sudah sering kali melayani mendiang Melisande dalam hal ini Sebab kelihatannya
ia tidak canggung-canggung .
"Nah, coba kulihat!" seru Adam sambil me mutar badan Miranda ke hadapannya.
'Cantik se kali! Hampir aku tak mengenali wajahmu!" "Oh, aku tak pernah memakai
pakaian seindah ini."Adam memperhatikan Miranda yang berputarputar memamerkan
bajunya, menantikan pujian darinya. Tak pernah terbayang dalam benaknya, waktu
pertama kali menawarkan Miranda untuk jadi isterinya, ia akan seakrab begini
dengan Miranda. Dan inilah untuk pertama kalinya, sejak isterinya meninggal, ia
ingin memeluk wanita. Ya, tibatiba saja ia ingin sekali merangkul Miranda ke
dalam pelukan mesranya. "Kau menyukai baju ini bukan, Adam?" "Ya, kau cantik sekali!" puji Adam sambil
mematap wajah Miranda. "Oh, terima kasih!" sahut Miranda dengan riang. "Sudah
pukul berapa sekarang" Aku berjanji akan memperlihatkan pakaianku pada Fay."
Adam melihat ke jam tangannya. "Dua puluh menit lagi mereka baru akan datang,"
jawab Adam. "Oh, ya! Aku punya sesuatu untukmu!" Miranda masih berdiri di muka
cermin, menikmati keindahan bajunya, ketika Adam kembali ke kamarnya. Ia berdiri
di belakang Miranda. 'Maukah kau memakai ini?" tanya Adam sambil mengalungkan
seuntai kalung mutiara di leher Miranda. Miranda terperanjat ketika melihat
pantulan kenilau mutiara itu pada cermin. Tangan Adam menyentuh bahunya yang
terbuka. Hangat terasa sentuhannya. Matanya menatap penuh kemesraan. "Aih,
cantik sekali," gumam Miranda. "Apakah - apakah kalung ini kaukeluarkan dari
kotak perhiasanmu?" "Ya, tetapi kalung ini belum pernah dipakai siapa-siapa.
Kecuali oleh ibuku. Kuingin kau yang memakai kalung ini." "Oh . " Untuk pertama
kalinya Miranda melihat bibir Adam melembut. Miranda berbalik sambil menghela
napas perlahan. Tiba-tiba, tanpa iasadari, ia berjingkat dan mencium Adam. Adam
tampak terkejut. Tetapi ia tidak mengatakan apa-apa. Kemudian terdengar Miranda
berkata dengan napas agak berat,
"Maafkan aku. Aku berbuat itu cuma untuk menyatakan terima kasihku untuk
pemberianmu ini. Tak ada maksud apa-apa terhadapmu, Adam. Aku - biasanya kalau
aku senang pada siapa saja, aku selalu menciumnya."
"Kuharap - jangan semua orang kauperlakukan demikian," ujar Adam dengan tegas.
Lalu ia membungkukkan badan, mencium bibir Miranda dengan mesra.
Miranda melepaskan dirinya dari pelukan Adam. Ia tidak ingin perasaan yang
menggebu-gebu, yang saat itu melanda hatinya, terus menguasai dirinya. Kebetulan
saat itu sudah tiba saatnya ia harus ke kamar Fay, untuk memenuhijanjinya.
Miranda berlari-lari di sepanjang lorong menuju kamar Fay.
Pada malam perjamuan itu, Miranda menyambut tamu pertamanya dengan ramah, tanpa
rasagugup sama sekali. Malam itu, suasana di Wintersbride tidak lagi menyeramkan
seperti biasanya. Seakan khusus untuk malam itu, kemisteriusan yang selama ini
menyelubungi rumah itu lenyap dengan tiba-tiba. Dan ketenangannya yang biasa
terasa begitu menghimpit, kini lenyap, berganti dengan tawa riang para tamu. Dan
manakala pandangan para tamu terpaku pada potret mendiang Melisande, tidak lagi
terasa keharuan. Ya mereka memandang. sejenak potret itu hanya sekedar memenuhi
sopansantun saja. Malangnya, hanya Adam yang merasakan perubahan sikap tamunya
itu. Adam terpekur memandang meja makan itu. Ia mencoba untuk mengingat-ingat,
berapa banyak tamu yang dulu pernah datang pada jamuan makanmalam yang
diadakannya. Siapa saja di antara tamu-tamu itu, pada sembilan tahun yang lalu,
hadir dalam jamuan makan bersama mendiang Melisande. Arthur Benyon - itu sudah
pasti, Grace Latlam, Dokter Tregelis, dan entah siapa lagi. Miranda mengajak
tamu-tamu wanita ke ruangan melukis. Ketika ia lewat di dekat tangga, ia melihat
sesosok bayangan tubuh kecil sedang mengintip di balik pegangan tangga. Tak
salah lagi, tentulah itu bayangan tubuh Fay, pikir Miranda. Sementara itu para
tamu asyik mengobrol dalam kelompok-kelompok. Nyonya Stokes memandangi potret
mendiang Melisande. "Inikah isteri Adam yang pertama?" tanyanya pada Grace,
dengan setengah berbisik. "Cantik sekali! Berbeda sekali dengan isterinya yang
sekarang ya" Heran sekali, mengapa ia mau menikah dengan gadis sekecil itu.
Kudengar, bahwa " Grace mengernyitkan dahi, memperingatkan Nyonya Stokes, karena
Miranda berjalan menghampiri mereka. Dengan gaya yang agak genit, yang tidak
sesuai dengan umurnya, Nyonya Stokes mulai bicara lagi, "Betapa semaraknya
jamuan makan yang Anda adakan, Nyonya Adam. Dan Nyonya pandai sekali mengatur
bunga - indah sekali tampaknya!"
"Oh, Grace yang mengatur bunga itu, bukan saya," sahut Miranda. "Dan dia pula
yang mengatur segala urusan jamuan ini. Grace memang, seperti yang Anda katakan,
sangat pandai." Grace tersenyum, lalu berlalu. Nyonya Stokes membelalakkan matanya.
"Benarkah begitu" Kok aneh sekali" Bukankah Anda ini sebagai nyonya rumahnya"
Anda tahu, kami selalu berpikir - ehm, tapi sebaliknya tidak saya bicarakan."
"Ya, ada apa?" tanya Miranda dengan sopan. Tetapi Nyonya Stokes hanya tertawa
sambil menyibakkan rambutnya. "Ah, tidak. Saya tidak ingin mencampuri urusan
rumah tangga orang lain. Pokoknya semuanya berjalan dengan baik, bukan" Oh, Anda
sudah memakai cincin sekarang! Boleh saya lihat" Astagal Tentu harganya mahal
sekalil Betapa beruntungnya wanita seperti Anda ini, Nyonya Adam. Anda tahu,
sudah bertahun-tahun para wanita mengejar suami Anda dan memimpikan akan menjadi
isterinya." Miranda merasa lega sekali, ketika tiba saatnya berkumpul dengan
tamu pria lagi. Dan ketika mereka mulai mengobrol lagi, Miranda meninggalkan
ruangan itu. Ia pergi ke ruang makan. Adam dan Arthur Benyon masih asyik
berdebat soal kemanjuran cara pengobatan yang baru ditemukan Parkinson. Arthur
Benyon menghentikan perdebatan mereka sambil berkata, "Oh ya, Adam. Kami kagum
sekali pada isterimu. Lihatlah, ia sudah datang menyuruh kita bergabung dengan
tamu wanita. Tentunya mereka sudah tidak sabar menunggu kita."
"Oh, saya tidak bermaksud begitu," sahut Miranda sambil tertawa. Ia menuang
minuman ke dalam sebuah gelas kecil. "Maaf, saya ada janji karena itu tidak
dapat menemani Anda."
Miranda membawa gelas minumannya ke ruang depan.
"Fay," panggil Miranda dengan lembut. "Ayo cepat turun, Anak manis. Ini
anggurnya sudah kubawa!"
Fay lari menuruni anak tangga.
"Kukira kau tidak akan muncul," sahut Fay. "Eh, Miranda, model pakaian tamu-tamu
itu kok lucu sih. Kelihatannya kurang rapi ya?"
"Oh, mereka menyimpan pakaian mereka yang lebih bagus untuk kesempatan yang
lebih penting," sahut Miranda. "Nah, aku akan meneguk miinuman ini sedikit,
sebagai tanda ucapan selamat padamu. Setelah itu kauteguk sedikit, sebagai tanda
ucapan selamat untukku." Miranda mengangkat gelas minuman. "Selamat untuk nona
ChanIry yang cantik, yang tidak dapat menemani tamutamunya karena takut
mengecewakan hati mereka!"
Miranda meneguk minuman itu sedikit, kemudian memberikan gelas minumannya itu
kepada Fay. Dengan bangga Fay mengangkat gelas minuman itu. Ia baru saja hendak
meneguk minuman itu, ketika tiba-tiba terdengar suara Adam menegur mereka dengan
galak sekali. Sehingga keduanya terlompat karena sangat terkejut.
"Fay, apa yang kaulakukan"!" "Minum anggur bersama Miranda," jawab Fay dengan
sikap yang agak sombong. Adam merebut gelas minuman itu dari tangan Fay dengan kasar. Sehingga isinya
terpecik, mengotori pakaian Miranda.
"Berani benar kau mengajarkan ia minum"!" seru Adam sambil membalikkan badannya
ke arah Miranda. "Tetapi - Adam," tukas Miranda dengan kebingungan. "Anggur itu toh tidak akan
mencelakakannya. Di Perancis, semua anak sudah diajar minum anggur kalau hendak
mengucapkan selamat. Minum anggur itu sebagai tanda penghormatan."
"Kitakan tidak tinggal di Perancis!" jawab Adam dengan acuh tak acuh. "Kalau kau
mengajarkan hal-hal yang tidak baik selagi tidak ada Simmy, lebih baik kau tidak
usah dekat-dekat dengan Fay. Lebih baik kau menjauhkan diri darinya!"Mata
Miranda tampak berkaca-kaca. Ia tidak mampu lagi untuk berkata-kata. Satusatunya yang dapat dilakukannya hanyalah terpaku memandangi wajah Adam yang
pucat pasi karena menahan kemarahannya. Miranda merasakan :
suraman kembali menyelubungi rumah itu lagi. Fay ketakutan sekali. Ia cepatcepat kabur ke loteng. Miranda menundukkan kepalanya, supaya tidak kelihatan ia
menangis. Arthur Benyon yang berdiri di belakang Adam berkata, "Sebaiknya
kaukemukakan apa yang kauingin kan padanya, Adam. Jangan kaumarahi ia seperti
itu. Ingat, ia itu isterimu." Tetapi sebelum Adam sempat berkata lebih lanjut,
Miranda sudah lari ke atas loteng, meninggalkan mereka.
BAB EMPAT MIRANDA menghela napas dalam-dalam. Ia
tidak lagi menangis. Dihapusnya butir-butir ir mata di kelopak matanya. Kemudian
ia pergi ke ruangan melukis, berkumpul kembali dengan tamutamunya. Ketika ia
turun dan berpapasan dengan salah seorang tamunya, ia berkata,
"Pakaian saya terpercik minuman, karena itu harus saya cuci dan keringkan cepatcepat." Sebenarnya, tak seorang pun tahu ataupun memperhatikan kepergian
Miranda. Sikap Adam tampaknya sudah biasa kembali. Sama sekali tak ada tanda-tanda
kemarahan di wajahnya. Tampaknya ia lebih menaruh perhatian pada Nyonya
Tregelis, yang tak banyak bicara. Sikapnya seakan mengatakan bahwa dulu pernah
punya hubungan akrab. Hubungan antara seorang pria dengan seorang wanita.
"Anda tidak boleh bersikap begitu pada suami Anda," ujar Arthur Benyon pada
Miranda. "Nanti orang akan mengira, Adam memukuli Anda, atau berbuat sesuatu
yang menyakitkan hati Anda."
Miranda berpaling ke arah Arthur Benyon sambil tertawa kecil, untuk menutupi
perasaannya. "Anda ini lucu sekali," sahut Miranda. 'Masakan Adam akan berbuat begitu pada
saya" Tidak mungkin, bukan?"Sejenak Arthur Benyon menatap Miranda tanpa berkata-
kata. Alisnya tampak berkerut. Kemudian ia berkata, | "Kau tahu, kadang-kadang
tingkah manusia itu aneh-aneh kalau sedang marah. Karena perasaan mereka
tertekan, atau kadang-kadang mereka sudah lama dikejar rasa takut." "Maksud
Anda?" tanya Miranda. Apakah ia hendak menceritakan sifat-sifat Adam yang buruk"
tanya Miranda dalam hati. Tetapi ternyata Arthur Benyon tidak mengatakan apaapa. "Apakah Adam tidak pernah cerita tentang perkawinannya yang dulu?" tanya
Arthur Benyon. "Tidak. Tetapi itu tidak aneh," sahut Miranda dengan lembut.
"Menurut cerita Grace Latham, Adam sangat mencintai mendiang isterinya. Karena
itu saya yakin, ia tidak mungkin dapat melupakannya." "Nonsens! Saya bukan ingin
mengolok-olok Anda. Tetapi terus terang, saya tidak pernah percaya bahwa cinta
itu benar-benar ada! Seorang pria dapat saja berkali-kali jatuh cinta. Begitu
juga halnya dengan wanita. Semua itu tergantung pada situasi dan kondisi. Saya
rasa, bagi wanita seumur Anda ini, hal seperti itu adalah hal yang paling
membosankan dan lagi tidak romantis." "Ah, tidak juga," sahut Miranda dengan
serius. "Hal-hal seperti itu tidak dapat dirumuskan. Sebab saya sendiri termasuk
orang yang tidak romantis." "Anda - tidak romantis?" "Oh, bukan begitu maksud
saya. Saya ini termasuk orang yang berpikiran praktis. Di Perancis, soal kawin
adalah soal yang harus didahulukan dari hal-hal lainnya. Baru kemudian
memikirkan kasih sayang, cinta dan cita-cita kita. Dengan begitu tidak akan
timbul kesulitan-kesulitan." "Benarkah?" tanya Arthur Benyon, menegaskan. "Dan
apakah - apakah Anda mengatakan ini semua pada Adam?" "Ya, tentu saja. Sejak
pertama kali Adam mengajak saya kawin, saya sudah menceritakan semua ini
padanya." "Astaga!" seru Arthur Benyon. Miranda menjadi gelisah sewaktu melihat
ekspresi wajahnya. Ia baru sadar, ia sudah bicara terlalu banyak! "Maafkan,
mungkin saya terlalu banyak bicara, sehingga melantur ke mana-mana," kata
Miranda. "Saya harap Anda tidak memasukkan kata-kata saya tadi ke dalam hati."
Arthur Benyon tampak termenung sejenak sambil menggosok-gosok hidungnya yang


Misteri Wintersbride Karya Sara Seale di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak gatal. "Ah, tidak. Justru sebaliknya saya menganggap Anda ini wanita muda
yang benar-benar hebat dan mengagumkan. Anda cocok sekali menjadi isteri Adam."
Miranda menjawab dengan suara perlahan, "Tetapi Adam tidak menganggap saya
begitu. Anda sendiri melihat bagaimana sikapnya terhadap saya waktu di tangga tadi seakan ingin sekali ia menelan saya bulat-bulat!" Arthur Benyon tahu apa yang
dipikirkan Adam waktu di tangga tadi. Bukan Miranda yang terbayang dalam benak
Adam waktu itu. Tetapi mendiang Melisande. Ia teringat peristiwa perjamuan makan
malam sembilan tahun yang lalu. Dan kebetulan Fay berdiri di tangga, sehingga
menambah menghidupkan kenangan Adam akan peristiwa itu. Saat itu - sembilan
tahun yang lalu - ketika sedang diadakan perjamuan makan malam, Fay berdiri di
dekat lilin. Sementara itu mendiang Melisande yang tampak sangat cantik lagi
anggun, dengan gembira meminumkan anggur ke mulut Fay. "Ya, sekarang lebih baik
Anda memilih satu di antara kedua hal ini," ujar Arthur Benyon dengantegas,
"Anda minta penjelasan pada Adam. Atau sama sekali Anda lupakan peristiwa ini.
Walaupun pada akhirnya, Anda harus melupakan kedua-duanya. Saya yakin, kejadian
yang tak berarti ini tidak akan mempengaruhi Anda." Ternyata tidak mudah bagi
Miranda untuk minta penjelasan pada Adam. Ketika semua tamu sudah pulang, Adam
menyuruhnya cepat-cepat tidur, dengan alasan ia kelihatan sudah letih dan
mengantuk sekali. Dan ketika ia mencoba untuk mencaricari kata-kata yang tepat
untuk menanyakan kejadian yang sebenarnya, Adam mencium pipinya dengan lembut.
Sehingga ia tidak sampai hati untuk bertanya-tanya lagi. "Pestamu benar-benar
sukses besar, Miranda terima kasih. Maafkan tindakanku yang agak kasar padamu
tadi. Seharusnya aku tidak bicara sekasar itu padamu." "Mengapa kau kelihatannya
marah sekali padaku?" tanya Miranda, memberanikan diri. "Percayalah, aku tidak
marah padamu - atau mungkin aku memang marah" Adam kelihatan agak gelisah.
"Sebenarnya tidak ada alasan bagiku untuk marah padamu." "Lalu, tidak dapatkah
kau menjelaskan segalanya padaku?" tanya Miranda. "Semua ini tidak ada sangkutpautnya denganmu, Miranda. Itu cuma peristiwa yang sudah lalu. Lupakanlah
kekasaranku tadi, Miranda. Kalaupun ada sangkut-pautnya denganmu, kau tetap tak
dapat disalahkan. Aku selalu menghormati dan mengagumimu." Kata-kata itu
kedengarannya lucu dan tidak berarti apa-apa bagi Miranda. Sebab ia tidak meng
inginkan penghormatan ataupun dikagumi oleh Adam. Kata-kata seperti itu sudah
tidak menarik lagi baginya. Miranda merasakan hari-hari di bulan Juli itu cepat sekali berlalu. Dan
kebanyakan hari-hari itu dilewatinya sendirian. Kadang-kadang ia berpikir, bahwa
Adam dengan sengaja menghindarkan diri darinya. Ia selalu sibuk dan kelihatan
wajahnya teyang terus-menerus. Ia selalu bekerja melewati batas waktu jam
bekerja. Dan ia tidak pernah mau menuruti saran Arthur Benyon supaya mengambil
cuti dan beristirahat. Adam tahu, bila ia berlibur bersama Miranda dan pergi jalan-jalan ke luar
negeri, bergaul lebih akrab dengannya, menginap di hotel-hotel yang banyak
orang, hanya akan membawa mala petaka saja. Semakin hari semakin nyata, seperti
juga mingguminggu yang lewat, bahwa Fay tidak lagi mengacuhkannya. Apakah ia
berhak - sebaliknya Adam berpikir menghapus semua peraturan yang sudah dengan
susah payah dinyatakannya, hanya supaya ia baik kembali" Dan mungkinkah ia masih
tetap sebagai seorang pria yang normal, walaupun pendirian-pendiriannya yang
dulu masih tetap dipegang teguh olehnya"
Saat itu, Adam tidak mampu keluar dari masalah-masalah yang menghimpitnya.
Karena setara rohaniah, ia sudah lemah sekali. Tetapi ia berpendirian, bahwa
suatu ketika nanti, ia harus lepas dari semua masalah itu.
Kini Adam mulai agak tidak enak juga, karena harus terus-menerus membiarkan
Miranda tinggal sendirian. Tetapi ia agak terhibur melihat Fay tidak lagi
menunjukkan sikap yang sangat bermusuhan, sejak malam perjamuan makan malam itu.
bahkan sebaliknya sikapnya berubah menjadi baik sekali. Melihat hal ini, Adam
memperingatkan Miranda, "Jangan bergaul terlalu dekat dengan Fay, Miranda. Sifatnya sering berubah-ubah.
Ia tidak dapat dipercaya.?"Tidak dapat dipercaya"!" ujar Miranda, mengulangi
perkataan Adam. "Kamu ini kok aneh sekali, Adam. Masakan anakmu sendiri
kaukatakan tidak dapat dipercaya!"
"Ya, mungkin kedengarannya aneh," sahut Adam. "Tetapi kau harus ingat, aku lebih
mengenal jiwa Fay. Karena aku lebih lama bergaul dengannya, sedangkan kau baru.
Aku tidak ingin nanti ia melukai hatimu, Miranda. Karena kutahu, kau sangat baik
sekali. Mungkin kau pikir, aku ini terlalu keras dan tidak sayang pada Fay.
Bukankah begitu pikirimu?"
Miranda tersenyum manis. Ia mengerti apa yang dimaksud Adam.
"Ah, tidak. Cuma kupikir, mungkin kau ini tidak benar-benar mengerti jiwanya."
"Siapa bilang" Justru aku mengenal baik bagai mana jiwanya yang sebenarnya,"
tukas Adam. Sejenak kekerasan membayang di wajahnya. Tetapi kemudian melembut
lagi ketika Miranda memalingkan kepalanya. "Sayangilah dia dengan sepenuh hati
kalau kau memang mampu, Miranda. Mungkin itulah sebenarnya yang sangat
dibutuhkannya." Pada awal bulan Agustus itu, cuaca sudah berubah menjadi panas kembali. Matahari
tampak selalu bersinar di langit biru. Air Sungai Scaw yang biasanya mengalir di
bawah jembatan tua, kini hampir kering kerontang.
Miranda senang sekali berjalan-jalan di pinggi sungai itu. Ia mencari selederi
air yang banyak tumbuh di kubangan-kubangan sungai. Selederi air itu dicuci
untuk dimakannya dengan biskuit. Tetapi ia baru berani menikmati makanan
kegemarannya itu bila tidak ada Adam di rumah. Atau kadang-kadang, dengan
mencuri-curi - bila Adam sedang pergi.ia tidak makan siang sebagaimana biasanya.
Sebaliknya ia hanya makan selederi air dan biskuit saja di ruang tamu. Nyonya
Yeo tidak senang melihat kelakuan Miranda yang demikian ini. "Tuan sudah
berpesan pada saya, supaya saya selalu menyediakan makan siang sebagaimana biasa
walaupun Tuan tidak ada di rumah," ujar Nyonya Yeo dengan nada tegas. "Lagipula
tidak pantas bila pelayan harus melayani Nyonya makan tidak di ruang makan.
Bessie sering mengeluh mengenai hal ini." "Lalu apakah saya harus duduk selama
berjamjam di ruang makan dengan hati kesal?" tanya Miranda dengan nada bergurau.
"Saya tidak suka Melihat Bessie melayani saya dan menyodorkan makanan-makanan
yang sebenarnya tidak saya suka." "Maafkan kami, kalau kami memang membuat
Nyonya kesal. Tetapi semasa hidup mendiang - " Nyonya Yeo bersikeras. Tetapi
Miranda menyela, "Jangan sebut-sebut hal itu! Jangan sebut-sebut lagi hal yang sudah lewat! Kalau
tidak aku menjerit!"
Nyonya Yeo yang merasa tersinggung, cepattepat meninggalkan ruangan itu tanpa
mengucaplan sepatah kata pun. Miranda jadi menyesali dirinya, karena telah
bertindak agak kasar pada Nyonya Yeo. Tetapi saat itu badannya tidak begitu
sehat. Sejak ia bangun tidur, tadi pagi, ia merasakan punggungnya pegal-pegal
dan kepalanya terasa berat sekali. Mungkin ia terserang flu. Simmy pun sedang
tidak enak badan. Ia mengatakan kepalanya pusing dan mengatakan, bahwa ia hendak
tidur sOre-SOre. "Fay boleh bermain-main di kebun setelah bangun tidur," kata Simmy. "Nyonya
tidak keberatan menjaganya, bukan?"Sebenarnya Miranda tidak ingin menjagai Fay,
terus-menerus, maka akhirnya ia menyetujuijuga
Miranda mengajak Fay minum teh di kebun. Ketika mereka sedang asyik makan roti
dengan selai, tiba-tiba saja seekor lebah menyengat Fay. "Apa yang akan kita
lakukan sekarang, Miranda?" tanya Fay, setelah luka bekas sengatan lebah
diobati. "Oh, apakah kau tidak dapat bermain-main sendiri, Fay" Kepalaku sakit
sekali," sahut Miranda sambil memijit-mijit kepalanya. "Huh, alasan saja seperti
si Simmy!" gerutu Fay
tetapi karena tidak ingin mendengar Simmy mengeluh.
"Semua orang dewasa selalu mengatakan bahwa kepala mereka pusing kalau mereka
sedang malas mengerjakan sesuatu!" "Tapi, kepalaku benar-benar pusing - oh. apa
| yang kauinginkan, Fay?" "Aku inginjalan-jalan ke sana, dan mencari buah |
strawberi." Maka keduanya berjalan di sepanjang tepi sungai mencari buah
strawberi. Ternyata mereka tidak menemukan sebuah strawberi pun. Ketika mereka
berjalan kembali ke rumah, Miranda menemukan seekor anak burung gereja yang
tergeletak di jalan. Miranda merasa iba, lalu dipungutnya anak burung itu.
Matanya kelihatan masih berseri-seri. Tetapi sayang, ia tidak mampu untuk
terbang, walaupun ia mengepak-ngepakkan sayapnya. Burung itu tergolek di tangan
Miranda tanpa meronta-ronta. "Apa yang kautemukan, Miranda?" tanya Fay dengan
riang. Ia berlari-lari menghampiri Miranda. "Apa sih, Miranda?" "Anak burung.
Lihatlah, ia hampir mati karena kehausan. Ayo cepat kita bawa pulang. Siapa tahu
masih bisa diselamatkan."'Sini aku yang bawa," ujar Fay. Dengan hati-hati
Miranda meletakkan burung itu di tangan Fay. Sejenak Fay memandangi anak burung
itu. Wajahnya yang cantik tampak penuh kelembutan. Tetapi tiba-tiba saja ia
melemparkan anak burung yang sudah tidak berdaya itu ke tanah. Perubahan sikap
Fay begitu mendadak dan begitu mengejutkan. Sehingga tanpa sadar Miranda
menampar muka Fay. "Mengapa kautampar aku"!" tanya Fay dengan marah sekali. Fay
mulai menangis. "Aku tidak ingin kau memelihara burung itu," kata Fay sambil
terisak-isak. "Burung itu milikmu, bukan milikku. Tentunya nanti kau akan lebih
menyayanginya daripadaku." "Ya, tentu saja!" sahut Miranda. "Siapa yang mau
menyayangi gadis yang kejam seperti kau" Siapa"!" Miranda memungut anak burung
itu. Tetapi ternyata sudah mati. Dengan perlahan-lahan Miranda meletakkan burung
yang sudah mati itu di atas tanah kembali. "Ya, anak burung itu memang sudah
mati sekarang. Tetapi kaulah yang membunuhnya!" ujar Miranda, sambil menatap
tajam wajah Fay. Fay jadi ketakutan. "Jangan adukan hal ini kepada Simmy,
Miranda," mohon Fay. "Sungguh, aku tidak bermaksud membunuhnya!" "Benarkah
begitu?" desak Miranda. "Ya, sungguh!" sahut Fay. "Kau tadi menamparku. Simmy
tidak pernah sekali pun menamparku!" "Ah, sayang sekali," sahut Miranda dengan
acuh tak acuh. "Sudahlah, cepat masuk ke rumah. Aku hendak diam di depan rumah
dulu.?"Apakah sekarang kau juga membenciku - seperti Adam membenciku, Miranda?"
"Adam tidak pernah membencimu. Dan aku pun tidak ingin membencimu. Seharusnya
tadi aku memang tidak boleh menamparmu, Fay. Kau tidaksakit hati padaku, bukan"
Nah, masuklah ke rumah Sudah waktunya kau tidur."
Fay berhenti menangis. Ia menatap wajah Miranda dengan ragu-ragu. Kemudian tanpa
membantah lagi, ia berjalan menuju ke pintu gerbang, lalu ma suk ke rumah.
Miranda duduk termenung di dekat maya burung gereja yang tadi dicampakkan Fay.
Hatinya merasa sedih dan tak karuan. Kepalanya terasa ber denyut-denyut, sakit
sekali. Hari sudah semakin gelap. Miranda masih duduk di muka pintu gerbang
ketika Adam pulang. 'Sedang apa kau di sini, Miranda?" tanya Adam, kebingungan. "Mengapa kau duduk
di sini sendirian?" Adam menatap wajah Miranda dalam-dalam. "Astagal Badanmu
panas sekali!" Secara otomatis Adam memegang nadi Miranda. Miranda mulai
menangis. "Ayo masuk!" Dengan penuh kasih sayang, Adam menuntun Miranda masuk.
Ia mengajak Miranda ke kamar bacanya. Disuruhnya Miranda duduk di kursi
berlapiskan kulit, yang biasa didudukinya. Kemudian ia membuka laci, tempat ia
menyimpan termometernya. "Mengapa ia membunuh burung itu?" tanya Miranda.
Adam yang tadi sedang memperhatikan jarum termometer yang bergerak-gerak,
mengalihkan perhatian pada Miranda.
"Siapa yang membunuh burung" tanyanya. "Fay. Burung itu hampir mati karena
kehausan. Aku berniat membawanya pulang, supaya ia tidak mati. Tetapi Fay
mencampakkan burung itu ke tanah sampai mati!" Adam meletakkan termometernya di
atas meja. lalu ia duduk di atas pegangan kursi yang diduduki Miranda.
"Seharusnya kau tidak berkeliaran di luar selagi badanmu panas begini," ujar
Adam dengan tenang. lalu ia merangkul Miranda. "Kau terkejut melihat sikap Fay"
Iya" Itulah sebabnya, aku selalu memperingatkanmu supaya tidak bergaul terlalu
akrab dengan Fay. Dan aku tidak pernah mengijinkannya memelihara binatang.
Beberapa tahun yang lalu, Fay pernah memelihara seekor anak kucing. Tetapi
kemudian dengan terpaksa kucing itu dibuang oleh Simmy karena sesuatu hal. Pada
waktu itu aku sedang tidak ada di rumah." "Mengapa anak kucing itu harus
dibuang?"tanya Miranda, tidak mengerti. "Cemburu - salah pengertian," sahut
Adam. "A- pakah Fay mengira kau hendak memelihara anak burung itu?" "Entahlah.
Fay cuma bilang, bahwa ia tidak ingin aku membawa burung itu ke rumah. Karena ia
takut aku lebih menyayangi burung itu daripada dirinya." "Nah, sekarang kau kan
sudah tahu sendiri, Miranda. Kau sudah berkali-kali kuperingatkan, jangan
bergaul terlalu akrab dengan Fay, jangan," ujar Adam. "Tetapi kau malahan
menganggapku terlalu keras terhadap Fay, aku dianggap tidak sayang pada Fay. Kau
tahu, jiwa Fay itu memang agak terganggu. Tetapi ia tidak menyadari akan hal
ini. Arthur bilang, bahwa hal ini tidak akan membawa akibat apa-apa. Cuma harus
tetap berhatihati." "Arthur Benyon mengatakan begitu?" tanya Miranda."Lalu mengapa kau tidak menceritakan hal ini padaku sebelumnya" Kalau kauceritakan,
tentu aku dapat lebih mengerti."
"Apakah kau hmm, ya - seharusnya sebelum
kita menikah, aku sudah menceritakan keadaan Fay kepadamu. Tetapi aku tidak
ingin kau ber anggapan bahwa Fay anak yang tidak normal. Dia sebenarnya normal,
seperti juga anak yang lain Cuma sekarang ini, pikirannya agak kurang tenang.
Itulah sebabnya aku menyerahkannya pada Simm Usaha apapun yang kulakukan untuk
membina hubungan dengannya, hasilnya selalu hanya mengecewakan hatinya saja."
Miranda merasakan kekhawatiran dalam nada bicara Adam. Maka Miranda berkata
dengan lembut. "Menurut hematku, kau selalu berusaha untuk mencintainya. Apakah ia sering
menyakiti hatimu, Adan?"
"Ya," jawab Adam dengan lirih. "Aku ingin hidup seperti orang lain. Aku juga
ingin merasakan kebahagiaan seperti juga manusia lain. Tetapi apa yang kudapat"
Untunglah ada Grace. Dia banyak menolongku. Tetapi Fay - ia memerlukan waktu
panjang untuk menyesuaikan dirinya dengan keadaan yang sekarang ini."
Saat itu Adam bukan lagi Adam yang terkenal sebagai dokter ahli yang selalu
bersikap acuh tak acuh. Yang saat itu hendak mengobati sakit Miran da. Tetapi ia
adalah seorang pria biasa. Pria ya telah merebut hati Miranda, tanpa disadariny
Pria yang memerlukan kasih sayang dan perhatian. Pria yang membutuhkan hiburan,
seperti juga Miranda. Dan tidaklah aneh bila Adam kelihatanberusaha merebut
cinta Miranda dan merindukan untuk merangkulnya dalam pelukannya. "Maafkan aku,"
ujar Miranda, 'maafkan bila aku hanya menambah penderitaanmu saja. Aku tidak
ingin kau kecewa. Memang hidup ini terasa sepi bila tidak ada orang yang
mencintai atau dicintai kita." Selama seminggu itu Miranda terbaring di tempat
tidur. Karena sakitnya belum sembuh. Suatu sore Simmy mengajak Fay ke kamar
Miranda. Fay hanya berdiri di ambang pintu kamar, tidak berani masuk. Matanya
yang bulat lagi indah itu menatap Miranda tanpa berkedip-kedip. "Ke marilah,
duduk di ranjangku, Fay," panggil Miranda. Fay melangkah maju. Tetapi sampai di
tengah ruangan ia berhenti. Ia berdiri terpaku di tengah ruangan itu. "Mengapa
kau kelihatan ragu-ragu" Biasa bukan, orang yang sakit itu dijenguk?" ujar
Miranda sambil tersenyum. Kemudian terdengar suara Simany yang hambar, "Bukankah
kau ke mari hendak minta maaf, Fay. Kau sudah lupa pesanku tadi?" "Maafkan aku,
Miranda. Aku telah mengecewakan hatimu sehingga kau jatuh sakit. Dan aku minta
maaf juga untuk kematian burung gereja itu," kata Fay. Kata-katanya diucapkan
dengan lancar, tanpa tersendat-sendat. Miranda menoleh ke arah Simmy. Sejenak
kelihatan Simmy ragu-ragu dan tidak. ingin meninggalkan kamar itu. Miranda
menduga, pastilah Simmy sedang mencari akal untuk menolak permintaannya. Dan
benar saja, pada menit berikutnya Simmy berkata, "Tuan sudah berpesan pada saya,
bahwa saya harus menjaga Fay supaya ia tidak lagi membuat Nyonya kecewa. Karena
hal itu dapat menggoncangkan jiwa Nyonya.?"Oh, ya?" sahut Miranda. 'Apa
alasannya Fay harus berbuat begitu" Tidak kulihat tanda-tanda bahwa Fay
bermaksud mengecewakan hatiku." Suara Miranda terdengar lembut tetapi tegas.
"Jangan khawatir, Simmy. Tinggalkanlah Fay di sini. Nanti kalau kami sudah
selesai bicara, aku akan menyuruhnya segera kembali ke kamarnya."
"Baiklah," sahut Simmy dengan berat hati. Sebelum meninggalkan kamar itu Simmy
sempat melemparkan pandangan tajam ke arah Fay sambil berkata,
"Ingatlah akan apa yang kupesan tadi!"
"Simmy berpesan apa, Fay?" tanya Miranda dengan acuh tak acuh, setelah Simmy
meninggalkan mereka berdua di kamar itu.
"Dia bilang, bahwa Adam akan mengirimku ke suatu tempat yang disebut asrama bila
aku mengecewakan hatimu lagi, Miranda," jawab Fay dengan wajah cemberut. "Di
asrama itu banyak anak-anak nakal dan jahat - seperti penjara di Princetown."
Hati Miranda tersentuh mendengar kata-kata Fay. Miranda tahu, Fay hanya
mengarang-ngarang cerita saja. Tetapi kalau ditilik lebih mendalam, pernyataan
Fay itu mengandung kebenaran. Kebenaran yang menggelisahkan. Sebelum Miranda
berkata, Fay sudah menyela,
"Benarkah aku yang menyebabkan kau jatuh sakit, Miranda" Apakah aku yang
bertanggungjawab bila kau sampai meninggal dunia?" "Ah, tidak! Siapa yang
mengatakan begitu" tanya Miranda. "Aku cuma sakit panas. Aku tidak akan
meninggalkan dunia, Sayang." Fay menangis terisak-isak. Miranda merentangkan
tangannya sambil berkata dengan lembut, "Ke marilah, Fay yang manis." Fay lari
menghampiri Miranda, lalu ia menangis tersedu-sedu di tepi ranjang. Miranda
memeluk Fay. Ia sadar, bahwa Fay benar-benar sedang gelisah dan takut.
"Sudahlah, jangan menangis," bujuk Miranda, ketika tangis Fay mulai mereda.
"Katakanlah yang sebenarnya padaku - betulkah Simmy mengatakan bahwa ayahmu akan
mengirimmu ke asrama itu?"
"Ya," jawab Fay.
"Apakah Adam pernah mengatakan hal itu padamu?"
"Ti - tidak pernah," jawab Fay dengan ragu-ragu. "Tapi tentunya ia sudah
mengatakan hal itu kepada Simmy, bukan?"


Misteri Wintersbride Karya Sara Seale di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ah, tidak! Adam tidak pernah mengusulkan hal demikian. Asrama seperti itu hanya
untuk orangorang yang melakukan perbuatan kriminil. Bukan untuk gadis manis yang
kadang-kadang nakal dan berbohong. Bahkan, Adam merencanakan akan
menyekolahkanmu disekolah yang baik, dimana anakanak sekolahnya ramah tamah dan
mau berteman. Dan kau dapat bersenang-senang dengan semua kawanmu."
"Tetapi Simmy bilang, aku ini anak yang kejam karena sudah membunuh burung."
"Bukan kejam - tetapi kurang baik. Tetapi aku tahu, kau tidak bermaksud membunuh
burung itu." "Tidak, tidak, aku tidak bermaksud membunuhnya," seru Fay. Sinar matanya
memancarkan ketakutan. "Dan aku pun tidak bermaksud jahat pada anak kucing itu.
Tetapi Simmy bilang aku memang jahat."
"Anak kucing?" "Ya, anak kucing yang kudapat dari Nanny. Simmy membuang anak kucing itu."
Kini Miranda ingat. "Apa yang kaulakukan terhadap anak kucing itu," tanya Miranda dengan hatihati."Tidak ada. Aku sangat menyukai anak kucing itu. Aku menamainya Nanny,
sebab Nanny-lah yang memberikan anak kucing itu padaku. Suatu hari, aku
memakaikan topi bonekaku yang panjang dan baju pada kucing itu. Lalu Simmy
mengatakan aku anak yang kejam. Ia membuang anak kucing kesayanganku ketika Adam
belum pulang. Kemudian ia menghukum aku." "Oh, begitu," ujar Miranda, perlahan.
Dan bersamaan dengan itu terdengar suara pintu diketuk. Tanpa menunggu jawaban
dari Miranda, Simmy masuk ke kamar itu. "Sudah kukatakan, aku akan menyuruh Fay
kembali ke kamarnya sebentar lagi, Simmy!" bentak Miranda. "Maaf, Nyonya. Tetapi
Nyonya harus beristirahat. Ayo Fay!" Fay turun dari ranjang Miranda tanpa
membantah. Lalu ia berbalik dan mencium kening Miranda sebelum meninggalkan
kamar itu. Malam harinya, Adam menjenguk Miranda. Ia heran ketika merasakan dahi
Miranda agak panas tetapi matanya berseri-seri. "Kau terlalu gembira," ujar
Adam. "Seharusnya aku menyuruh Simmy mengajak Fay jauh-jauh darimu, sampai
kesehatanmu pulih." "Oh, jangan, jangan, Adam," jawab Miranda dengan cepat
sambil memegangi tangan Adam. "A- ku justru ingin membicarakan soal itu
denganmu, Adam. Kurasa Simmy-lah yang menjadi penyebab kerusuhan ini. Dialah
yang menjadi perintang hubungan kau dengan Fay. Ia mengatakan hal-hal yang tidak
benar!" "Tidak mungkin!" tukas Adam. Lalu ia duduk di tepi ranjang. "Simmy telah
mengatakan semuanya padaku. Dia bilang, Fay mengecewakan hatimu lagi. Ia
membuatmu jengkel.?"Miranda melemparkan bantalnya, karena marah. 'Fay tidak
membuatku jengkel!" teriaknya. "Tetapi Simmy mengatakan padanya, bahwa kau akan
mengirimnya ke sebuah asrama tempat anak-anak nakal. Benarkah itu, Adam" Tidak
aneh bukan kalau ia tidak mencintaimu?" "Sayangku," ujar Adam, agak gelisah,
"kau harus tahu, Fay cuma mengada-ada saja. Aku tahu benar, Simmy tidak pernah
mengatakan hal yang demikian. Mungkin saja Fay berbuat begitu, bukan?" "Kali ini
Fay tidak mengada-ada." bantah Miranda, bersikeras. "Dia gadis cilik yang
normal, Adam. Seperti juga gadis-gadis lain yang ketakutan kalau diceritakan
sesuatu yang menyeramkan. Dan tentang anak kucing itu - aku tidak tahu apa yang
diceritakan Simny tentang hal itu. Tetapi menurutku, apa yang diceritakannya
tidak benar! Semua anak selalu ingin merias binatang kesayangannya. Tidak aneh
bila Fay juga ingin memakaikan baju pada kucingnya. Dan hal itu bukan berarti ia
seorang anak yang kejan!"
"Begitukah yang dikatakan Fay padamu?"
"Ya. Dan aku yakin, apa yang dikatakannya itu benar. Kalau waktu itu kau tidak
berada di rumah, bagaimana kau tahu apa yang dikatakan Simmy benar"
"Miranda, Miranda - apa gunanya berbohong padaku?"
'Entahlah. Yang kutahu, ia selalu berusaha menjauhkan kau dari Fay. Ia selalu
menakut-nakuti Fay. Ia berusaha menanamkan dalam diri Fay, bahwa kau merupakan
momok yang menakutkan baginya, bahwa kau jahat dan lain sebagainya. Dan ia takut
kalau-kalau aku mengetahui akal jahatnya itu. Ia tidak pernah membiarkan aku
ngobroldengan Fay lama-lama. Itu sudah merupakan bukti, bahwa ia bermaksud
jahat." Adam memeriksa nadi Miranda lagi. "Astagal" seru Adam. "Kalau keadaanmu
begini lagi, lebih baik kau tidak ngobrol dengan Fay. Lebih baik kau jauh-jauh
darinya. Aku tidak akan memperkenankan Fay menjengukmu, sampai kesehatanmu pulih
benar." "Oh, jangan, Adam. Mengapa kau harus bersikap begitu?" tanya Miranda.
"Ya, bolehlah kau ngobrol dengannya. Asal, jangan sampai kesehatanmu terganggu
seperti ini. Mau, kan?" Hari itu Miranda baru saja bangun tidur. Dilihatnya di
atas baki sarapan paginya tergeletak sebuah bungkusan besar. Miranda membuka
bungkusan itu. Ternyata isinya adalah sebotol besar minyak wangi. Nancy yang
kebetulan ada di kamar itu ketika melihat Miranda mengeluarkan botol itu berseru
kagum. "Aih, indahnya!" Lalu dengan hati-hati diusapnya botol minyak wangi itu.
"Harum sekali baunya, Nyonya. Tentu harganya sangat mahal, ya" Ini minyak wangi
pemberian Tuan, Nyonya?" "Ya," jawab Miranda. Dielusnya kartu yang dicantumkan
pada botol itu. Pagi itu Miranda tidak bernafsu untuk memakan sarapan paginya.
Dibiarkannya sarapan paginya menjadi dingin. Rasanya tak puas-puasnya hatinya
memandangi botol minyak wangi itu. Tak pernah selama hidupnya, ada orang yang
memberikannya minyak wangi. Apalagi minyak wangi semahal itu! Sejak ia menikah
dengan Adam, memang Adam banyak sekali membelikan barang-barang mahal dan bagus
untuknya. Tetapi baru kali itulah Miranda merasakan, betapa mahalnya barang yang
diberikan kepadanya. "Hmm, salah satu cara untuk menarik perhatian pria pada kita adalah dengan
mengharumkan badan!" ujar Miranda. Lalu dengan serampangan ia menyemproti
badannya dengan minyak wangi itu. Di belakang daun telinga, pada lekukan
tenggorokannya, di antara lekukan siku, dan di antara lekukan buah dadanya.
"Lihatlah, sekarang aku sewangi nyonya-nyonya besar!" seru Miranda sambil
melemparkan dirinya ke atas ranjang. Direntangkannya tangannya dengan hati puas.
Miranda menyambut kedatangan Adam malam harinya dengan riang. Ia berjingkat,
menyuruh Adam mencium dahinya. "Cantikkah aku sekarang, Adam" tanya Miranda
sambil tertawa. "Aku mengoleskan minyak wangi itu di belakang daun telinga, di
dahi dan - oh, pokoknya di seluruh tubuhku yang dapat kuolesi minyak wangi.
Bagaimana, Adam - badanku jadi wangi ya sekarang?" "Ya, wanginya sampai tercium
dari kamar para pembantu di belakang," sahut Adam sambil mengusap rambut Miranda
yang berombak. "Terlalu banyak aku memakai minyak wanginya?" tanya Miranda,
ingin tahu. "Rasanya, minyak wangi itu harumnya sampai menyerap ke kepala. Aku
tidak pernah punya minyak wangi seperti ini selama hidupku, Adam!" "Minyak wangi
itu tidak hanya menyerap ke kepalamu, tetapi juga ke kepala orang lain," sahut
Adam, menggoda Miranda. Dan tiba-tiba saja ia mencium rambut Miranda yang
berombak itu dengan lembut. "Aku senang sekali melihat kau suka minyak wangi
itu, Miranda. Aku sudah takut, aku ini jadi suami yang tidak pernah
memperhatikan kesenangan istriku. Aku takut dikatakan aku ini suami yang
menelantarkan istrinya.?"Oh, tidak!" tukas Miranda, terkejut. "Kau telah
memberikanku cincin, kalung mutiara, satu set meja rias baru dan pakaian-pakaian
mahal untukku. Bagaimana mungkin kukatakan kau tidak pernah memperhatikan aku?"
Dengan lembut Adam mengusap wajah Miranda dengan jari-jarinya. "Kau memang
menyenangkan sekali, Miranda. Kau tidak pernah rewel bila kuberikan apa-apa. Aku
akan lebih sering lagi memberikanmu barangbarang," ujar Adam dengan lembut. Lalu
ia terbayang pada almarhumah Melisande yang menganggap barang-barang pemberian
Adam memang sudah sewajarnya. Bagi Miranda, malam itu adalah malam yang istimewa
sekali baginya. Untuk pertama kalinya Adam tidak begitu memusingkan
pekerjaannya. Dan kelihatan ia begitu ingin membahagiakan hati Miranda. Ah,
betapa tampannya Adam ini bila hatinya sedang riang, pikir Miranda. Miranda
menatap wajah Adam yang duduk berhadapan dengannya di meja makan itu dengan
penuh kasih sayang. Betapa indahnya rambutnya tatkala terkena sinar lilin.
Seperti salju yang mengkilat manakala tertimpa sinar matahari, pikir Miranda.
"Apakah rambutmu beruban sejak masih muda, Adam?" tanya Miranda. Ia ingin tahu
segala hal yang sekecil-kecilnya tentang Adam, yang belum pernah diceritakan
Adam kepadanya. I "Ya, masih muda juga," sahut Adam sambil tersenyum. "Semua
keluargaku beruban - keturunan. Kau tidak suka melihat rambutku yang beruban,
Miranda?" "Ah, tidak - bukan begitu maksudku," ujar Miranda. "Rambutmu yang
demikian itu, cocok dengan profesimu. Aku ingin sekali mendengar cerita semasa
kau masih kanak-kanak, Adam. Di mana kau tinggal - berapa kakak laki-laki dan
berapa kakak perempuanmu. Pokoknya, aku ingin mendengar semuanya." Adam melirik
Miranda dengan wajah agak masam. Sudah menikah tiga bulan baru menanyakan halhal yang sepele seperti itu! Adam menceritakan sedikit tentang masa
kanakkanaknya, yang dilewatkannya di Cumberland. Selain itu diceritakannya juga
tentang keluarganya. Ayahnya seorang dokter umum. Ia orang yang senang bekerja
keras. Ia sangat mencintai pekerjaannya, sampai tidak mengingat akan
kesehatannya sendiri. Akibatnya ia meninggal karena itu. Padahal sebenarnya ia
tidak perlu bekerja seberatiba, sebab ibunya berasal dari keluarga kaya. Adam
tidak punya adik ataupun kakak, ia anak tunggal. Setelah menyelesaikan
pelajarannya, Adam meneruskan pelajarannya untuk menjadi seorang ahli. Kariernya
makin menanjak setelah ibunya meninggal dunia. Ia tidak perlu bekerja membanting
tulang untuk mengejar kedudukan dan karier. Sebab ibunya banyak meninggalkan
harta warisan untuknya. "Aku termasuk orang yang bernasib mujur," kata Adam pada
Miranda sambil tersenyum pahit. "Ketika umurku menjelang dua puluh enam tahun,
aku mulai merintis jalan menuju profesiku. Aku punya istri, punya seorang anak
dan bergaul dengan lingkungan atas. Karena itu kau harus ingat, kau harus selalu
hemat dan cermat demi masa depanmu." "Dan kau sendiri bagaimana - apakah kau
selalu hidup hemat?" tanya Miranda. Hatinya agak takut mengajukan pertanyaan
demikian, sebab takut kalau-kalau menyinggung perasaan Adam. Adam menjawab
pertanyaan Miranda itu dengan tenang, walaupun kepahitan masih terbayang di
wajahnya. "Seandainya aku tidak dapat mencari uang sendiri, tentu aku tidak mungkin dapat
menikah pada umur dua puluh enam. Dan tentunya pula segala sesuatunya akan
berbeda sekali. Tidak mungkin aku dapat hidup mewah dan senang seperti sekarang
ini." Miranda menelusupkan tangannya ke dalam genggaman Adam.
"Kau tidak usah bekerja ya malam ini," mohon Miranda dengan manja. "Kau sudah
lelah sekali. Kau di sini saja bersamaku, sampai tiba waktu untuk tidur. Atau
kau mau jalan-jalan di taman?"
Adam menatap Miranda. Ia kelihatan terkejut. Perasaannya tersentuh. Baru pertama
kali inilah Miranda hendak menghiburnya.
"Aku takut, aku hanya mengecewakan hatimu saja malam ini," sahut Adam.
"Tidak, kenapa kaukatakan demikian" Aku ingin menikmati malam ini bersamamu.
Malam ini adalah malam istimewa bagiku. Malam ini berbeda dari malam-malam yang
lalu. Dan kau pun berbeda."
"Aku" Betulkah begitu?" tanya Adam. "Dan kau. Miranda - kau mulai cerdik
sekarang!' 'Cerdik"! Ah, siapa bilang! Gadis yang cerdik selalu dapat memperoleh apa saja
yang diinginkannya," ujar Miranda. "Bagaimana caranya supaya aku dapat selalu
bersamamu dan disayang olehmu, Adam" Dengan rayuan" Dengan air mata" Tetapi kau
tidak suka bila melihat aku menangis. Dan aku pun tidak berani merayumu. Ciumlah
aku sekali lagi, Adam. Mungkin sekarang harum minyak wanginya sudah hilang."
Miranda menjulurkan kepalanya. Adam menyambut, lalu menciumnya dengan gerakan
agak Canggung. "Kau mulai merayuku, Miranda" tanya Adam.Miranda mendongakkan kepalanya,
memandang wajah Adam. "Ya," jawab Miranda dengan pasti. Adam mengernyitkan dahi.
"Bahaya, Miranda. Hal itu berbahaya untuk keadaan kita yang seperti ini," ujar
Adam, lirih. "Aku manusia biasa - terdiri dari darah dan daging. Ingatlah, kita
bersama-sama hanya berdasarkan perjanjian saja." "Perjanjian itu kau sendiri
yang membuat," kata Miranda, sambil mengatupkan matanya. Bulu matanya yang lebat
jadi tampak jelas sekali, menambah kecantikannya. "Dan juga atas persetujuanmu,
Miranda. Bukankah kita telah mengadakan tawar-menawar" sahut Adam. "Miranda,
kalau kau terus-menerus memperlakukan aku seperti ini, aku takut kau harus
memanggung risiko yang sangat berat akhirnya. Dan kau sendiri tidak suka akan
hal ini, bukan?" Miranda merangkul Adam. Tetapi ia tidak mau menatap mata Adam.
"Bagaimana aku dapat mengatakan, bahwa aku suka atau tidak suka bila aku belum
mencobanya?" Adam memegang dagu Miranda, memaksa Miranda supaya menatap
wajahnya. Miranda melihat mata Adam meredup, suram, walaupun sesungging senyuman
masih mengembang di bibirnya. Dan tiba-tiba saja matanya bersinar cerah,
bergairah. "Kalau kupikir-" ujar Adam. Tiba-tiba telepon berdering tak putusputusnya, sehingga Adam tidak melanjutkan kata-katanya. Sejenak Miranda
merasakan, malam indahnya telah berakhir. "Telepon panggilan dari rumah sakit,
Tuan," kata Nancy, memberitahukan Adam. "Tuan diminta segera datang."
"Diselamatkan oleh telepon, Miranda!" seru Adam sambil tersenyum menggoda. "Kau
nyerempet-nyerempet bahaya, Miranda sayang! Jangan ulangi lagi lain kali ya!"
Adam cepat-cepat meninggalkan ruangan itu, sebelum Miranda berkata lebih lanjut.
BAB LIMA KEESOKAN paginya Miranda bangun dengan rasa yang tidak karuan. Ia merasakan
seakan ada sesuatu dalam dirinya yang hilang. Malam tadi merupakan malam yang
paling istimewa laginya. Bahkan terlalu manis untuk dikenang! Dapatkah saat-saat
seperti itu terulang kembali" Apakah ia masih punya keberanian untuk mengulangi
perbuatannya lagi" Masih tahankah ia merayu Adam, sedangkan ia tahu dengan pasti
bahwa Adam tidak menginginkan dirinya" Ah, berbagai macam pertanyaan menghantui
pikirannya. Ia tidak tahu di mana ia dapat menemukan jawaban untuk pertanyaanpertanyaan itu. Ia cuma ingatakan kata-kata Arthur Benyon yang pernah diucapkan
kepadanya, "Suamimu itu seorang pria yang sudah lama kesepian. Ia membutuhkan teman untuk
menghibur hatinya, tempat ia mencurahkan isi hatinya."
Adam. Miranda jadi teringat waktu Adam tersenyum dan menyebutnya anak yang aneh,
sewaktu ia mengutip beberapa kalimat dalam Kitab Suci. Dan ia juga ingat,
bagaimana ia mengucapkan kalimat-kalimat itu,
'Tuhan bersabda, tidak baik seorang manusia itu hidup sendirian. Karena itu aku
akan menjadikan penolongnya, yang sepadan dengan dia."
Miranda merentangkan lengannya yang kurus di atas kepala. Tuhan telah
menciptakannya. Dan Tuhan pun telah menciptakan Malisande dengan segala
kesempurnaannya. Walaupun ia tidak sebanding bila dibandingkan dengan Melisande,
ia tahu, bahwa ia juga dapat memenuhi kebutuhan manusia. Artinya, masih ada pria
yang juga membutuhkannya. Mengapa waktu dulu, Hawa yang menawarkan buah apel
kepada Adam" Dan bukankah Adam yang menawarkan buah apel kepada Hawa" Mengapa
tidak wanita yang berkuasa - seperti yang pernah dikatakan Pierre kepadanya"
Pagi itu berlalu dengan cepat, seperti pagi-pagi yang lalu. Miranda pergi ke
kebun, lalu memilih beberapa kuntum bunga mawar yang indah untuk diletakkan di
kamar baca Adam. Waktu itu Miranda baru saja hendak turun ke bawah lagi, ketika
terdengar telepon di kamar baca Adam berdering. Miranda berpikir, bahwa
jarakantara tempat ia berdiri ke kamar baca Adam lebih jauh, daripada jarak
tempat itu dengan kamar tidur Adam. Karena itu ia memutuskan untuk mengangkat
pesawat telepon itu dari kamar tidur saja. Sebab pesawat telepon di kamar baca
itu paralel dengan pesawat telepon di kamar tidur. Ternyata ketika Miranda
mengangkat gagang telepon, pesawat telepon sudah diangkat. Di telepon itu
terdengar suara Simmy. "Kalau tidak salah, Nyonya sedang keluar, Tuan." Suara
itu terdengar sangat tenang. Mirandia merasakan nada kecewa dalam suara Adam.
"Oh ya" Sudahlah kalau begitu. Aku hanya ingin memberitahukannya, bahwa nanti
malam aku tidak dapat pulang. Katakan padanya, bahwa besok pagi aku akan
meneleponnya." "Adam tunggu! Aku di sini!" sahut Miranda cepat-cepat. Tetapi
Adam sudah keburu memutuskan pembicaraan di telepon itu. Yang terdengar cuma
suara "klik" gagang telepon diletakkan di kamar baca. Perasaan kecewa yang amat
sangat dan berbagai macam perasaan yang tidak karuan berkecamuk dalam hati
Miranda. Sehingga tanpa terasa air matanya menitik turun. Miranda segera berlari
menuruni anak tangga. Ketika itu tepat Simmy sedang keluar dari kamar baca Adam.
Dan sebelum Simmy sempat mengucapkan apa-apa kepadanya, ia sudah berteriak
dengan marah, "Mengapa kaukatakan aku keluar"! Kaukan melihat aku membawa pot
bunga itu ke atas dua puluh menit yang lalu"!" Simmy memandang wajah Miranda.
Matanya yang sayu kelihatan tidak berperasaan sama sekali.
"Saya rasa, saya tadi tidak melihat Nyonya," jawab Simmy. "Lagipula tidak ada
pesan penting dari Tuan. Tuan cuma hendak memberitahukan bahwa nanti malam ia
tidak dapat pulang."
"Bukan itu yang kumaksudkan!" teriak Miranda dengan sengit. Ia ingat, sudah
beberapa kali Simmy menerima telepon Adam untuknya, tetapi tak pernah ia
menyampaikan pesan Adam padanya. "A- ku ingin bicara sendiri dengan suamil Dan
kau tahu pasti, bahwa aku ada di loteng!" Senyum sinis mengembang di bibir Simmy
yang tipis. "Nyonya, apa untungnya saya melarang Nyonya bicara dengan suami
Nyonya" "Mana kutahu!" sahut Miranda, agak ragu-ragu. "Tetapi hal seperti ini
sudah terjadi berkali-kali. Karena itu lain kali, bila ada telepon dari Adam,
sebaiknya kau mencariku dulu!" Miranda melihat bibir Simmy yang biasanya pucat
itu memerah. Itulah untuk pertama kalinya,sejak Miranda mengenal Simmy, melihat
Simmy marah. "Saya bukan pembantu rumah tangga, Nyonya!" seru Simmy. "Almarhumah
Nyonya saya sewaktu masih hidup tidak pernah bicara sekasar itu
pada saya "Ya, mungkin saja tidak," sahut Miranda. Tibatiba saja timbul suatu
akal dalam benak Miranda. "Tetapi kau tidak pernah membayangkan, bahwa kau
memperlakukannya seperti anak kecil yang masih ingusan!" Ekspresi wajah Simmy
kelihatan ganjil sekali ketika mendengar kata-kata Miranda. "Seperti anak kecil
yang masih ingusan..." gumam Simmy, seakan ia berkata pada dirinya sendiri. "Ya.
memang begitulah keadaannya. seperti anak kecil yang selalu bergantung pada
seseorang." Simmy mendongakkan kepala, menatap mata Miranda dalam-dalam.
"Tetapi, Nyonya - ia tidak bergantung pada suaminya. Ia bergantung pada saya.
Sayalah yang mengatur segalanya untuknya," ujar Simmy, dengan nada sedikit
bangga. Lalu cepat-cepat ia naik ke atas loteng. Miranda tegak terpaku,
memandang Simmy. Rumah itu terasa sunyi sekali. Miranda melihat Simmy yang


Misteri Wintersbride Karya Sara Seale di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berbadan kurus, dan tidak menarik itu membelok di kelokan tangga tanpa menoleh
ke arahnya lagi. Tiba-tiba saja Miranda mendapat kesan aneh akan diri Simmy. Ya,
Simmy sama seperti Wintersbride - dingin, penuh rahasia, dan sikapnya selalu
bermusuhan. Dan Miranda merasakan dirinya, dan Fay yang berada di kamar
belajarnya seakan seperti tawanannya! "Simmy!" panggil Miranda sambil berlari ke
ujung anak tangga. "Aku ingin mengajak Fay jalanjalan - cuma aku dan Fay saja.
Tolong kauberitahukan dia supaya segera bersiap-siap!"
Sejenak Simmy membisu. Miranda tahu, tentunya Simmy hendak menolak
permintaannya. Tetapi kemudian ia mendengar suara Simmy menjawab,
"Baik, Nyonya." Suaranya terdengar kaku dan ditahan-tahan. Kemudian ia
meneruskan menaiki anak tangga.
Hari itu mereka berjalan-jalan dengan riang. Untuk pertama kalinya Miranda
melihat Fay begitu berseri-seri. Ia tidak lagi kelihatan muram dan selalu ingin
menyembunyikan dirinya sehingga harus memerlukan perhatian khusus. Bila berada
jauh di luar rumah dan pengasuhnya, Fay kelihatan biasa. Tingkahnya sama seperti
kebanyakan gadis-gadis sebayanya, riang dan penuh tawaria. Ia bermain air dengan
gembira dan bermain kejar-kejaran dengan Miranda. Kelihatan sekali ia seperti
gadis yang baru menemukan teman, setelah lama hidup sendirian.
"Kau mau masuk sekolah, Fay?" tanya Miranda, sepintas lalu ketika mereka
beristirahat di bawah pohon pakis yang rindang.
"Ya, tentu saja aku mau!" sahut Fay dengan tak terduga-duga. "Tetapi Simmy
bilang, Adam tidak mengijinkan aku masuk sekolah. Aku sering dibelikan buku
tentang anak-anak sekolah. Di mana mereka dapat dengan riang pesta sampai jauh
malam dan mendapat tanda penghargaan dari sekolah. Kelihatannya kehidupan mereka
menggembirakan sekali." Rasanya aneh sekali mendengar Fay, yang sering
menyembunyikan buku-buku roman di bawah bantal, mengatakan hal seperti itu.
Karena kadang-kadang sifatnya sudah seperti orang dewasa. "Simmy bilang, apa
yang diceritakan di dalam buku-buku itu tidak benar. Ia bilang itu cuma khayalan
belaka. Karena itu ia tidak lagi mengijinkan aku membaca buku-buku semacam
itu.?"Ah, cerita itu benar-benar terjadi kok," sela Miranda. "Apa yang dikatakan
buku itu benar, persis seperti apa yang pernah diceritakan Nancy padamu.
Bagaimana kalau kita sama-sama pergi ke Plymouth untuk membeli buku-buku cerita
seperti itu lagi" Kau mau, Fay?" "Ah, percuma saja," ujar Fay sambil menggelitik
hidung Miranda dengan sebatang rumput. "Lagipula, aku tidak yakin aku akan
senang masuk sekolah. Pernah sekali aku dan Simmy pergi ke Princetown dengan
diantar oleh Bidder. Simmy menunjukkan gedung penjara kepadaku. Ia bilang,
keadaan sekolah sama seperti keadaan di penjara itu." 'Simmy bilang begitu
padamu"!" tanya Miranda, terkejut. "Tidak, Fay. Itu tidak benar! Seharusnya kau
menanyakan hal-hal semacam ini kepada ayahmu." "Adam tidak menyukaiku," ujar
Fay. Kali ini ia bicara agak ragu-ragu, tidak yakin seperti biasanya. "Simmy
bilang, Adam tidak dapat lagi mengubah sikapnya padaku. Sebab setiap kali ia
melihat wajahku, ia teringat pada ibuku."
"Dengarlah, Fay," kata Miranda. "Memang benar, wajahmu mirip sekali dengan
ibumu. Tetapi tidak benar kalau dikatakan Adam tidak menyukaimu. Malahan Adam
berpikir, kaulah yang tidak menyukainya, Fay." Miranda berhenti sejenak.
Kemudian ia melanjutkan, "Menurutku, mungkin sikapmu terhadapnya tidak ramah.
Kau selalu menunjukkan sikap bermusuhan padanya."
"Tetapi kita kan tidak bisa bersikap tidak baik pada orang dewasa," kata Fay
dengan nada pasti. "Kau dapat saja bersikap tidak baik kepada siapa saja, Fay- bahkan tanpa
kausadari hal itu," sahut Miranda. "Ingatkah kau, waktu pertama kali aku datang
ke mari, sikapmu pun tidak baik padaku. Tetapi aku tetap ingin berkawan
denganmu." :"Kau kan belum dewasa benar," kata Fay, perlahan. "Tetapi aku juga tidak
tahulah. Simmy bilang, Adam membawamu ke mari untuk menggantikan tempatibuku.
Dan ia juga bilang, Adam akan lebih mencintaimu daripadaku." "Tapi," tukas
Miranda dengan lembut, 'kalau kau sendiri tidak ingin dicintai ayahmu, mengapa
kau harus memusingkan hal itu?" Fay kelihatan bingung. "Entahlah," ujarnya pada
akhirnya. "Aku hanya ingat apa-apa yang dikatakan Simmy kepadaku."
"Nah, sekarang aku tahu," ujar Miranda, "apa sebabnya sikapmu demikian pada
Adam. Dengar, Fay. Jangan kau percaya begitu saja apa yang djatakan baik oleh
Simmy kepadamu." "Maksudmu - Simmy bohong padaku?"
"Bukan, bukan begitu. Cuma mungkin ia salah mengerti. Nanti kalau ada sesuatu
yang tidak kaumengerti, kau boleh tanyakan padaku. Aku selalu bersedia
menjelaskan mana yang benar padamu."
"Baiklah, Miranda. Maafkan aku, selama ini aku menunjukkan sikap yang bermusuhan
denganmu. Aku benar-benar sayang padamu sekarang, apa pun yang dikatakan Simmy
padaku tentang dirimu." Miranda mencium Fay dengan lembut. Ia merasakan bibir
Fay yang hangat, menyambut ciumannya dengan senang hati. "Pokoknya yang penting,
kaulakukan apa saja yang kaupikir baik," kata Miranda. "Nah, sekarang marilah
kita memetik bunga, lalu pulang untuk minum teh. Aku tidak mau sampai disalahkan
karena membuatmu tidak istirahat siang." "Mengapa Simmy tidak mengijinkanmu
pergi ke OShap Tor, Fay?" tanya Miranda, ingin tahu ketika mereka berhenti
sejenak karena melihat rombongan kuda poni yang sedang melintasi bukit.
"Entahlah," jawab Fay. "Dulu pernah sekali Nancy mengajakku ketempatitu. Simmy
marah sekali ketika mengetahui hal itu. Padahal tempat itu enak sekali untuk
tempat main sembunyi-sembu
nyian, Miranda. Kalau kita berteriak, dinding-dinding di tempat itu menggema,
mengulang teriakan kita." "Ya, nanti kita pergi kesana dan bermain sembunyisembunyian, ya!" ujar Miranda.
Keesokan paginya Adam menelepon Miranda . "Maafkan aku, Miranda - semalam aku
tidak dapat pulang," kata Adam. Miranda mendapat kesan, bahwa Adam pun merasa
kecewa semalam. Karena tiba-tiba saja kemesraan yang mereka nikmati harus
terputus oleh telepon. "Tetapi sebagai gantinya, nanti malam aku akan pulang
lebih cepat." "Baiklah," sahut Miranda, perlahan., Miranda -" panggil Adam dengan mesra.
"Ya?" 'Maukah - maukah merayakannya lagi nanti malam?"
Miranda menggenggam gagang telepon itu eraterat, seakan takut sekali gagang
telepon itu lepas dari tangannya. Dan tiba-tiba saja Miranda menjawab dengan
nada serius dan agak malu-malu,
"Ya, aku mau." "Kalau begitu, kenakan pakaianmu yang terindah, Sayangku," ujar Adam. Kemudian
ia meletakkan gagang telepon.
Miranda berdiri dengan tangan masih memegang gagang telepon.
Sayangku. Adam memanggilnya sayangku". Adam tidak pernah memanggilnya seperti
itu. aneh sekali! Tiba-tiba saja Adam bersikap mesra padanya. Tiba-tiba saja
mereka jadi begitu akrab!"Sebelum Miranda meletakkan gagang telepon itu, ia
mendengar suara klik gagang telepon diletakkan. Apakah ada orang yang mencuri
dengar pembicaraannya di telepon" Mungkinkah Simmy yang berbuat demikian"
Miranda merasa gembira sekali hari itu. Belum pernah ia, sejak tinggal di rumah
itu, segembira hari itu. Adam bilang ia hendak merayakan lagi - ia hendak
mengadakan pesta kecil untuknya! Makasibuklah Miranda mengatur segalanya untuk
menyambut saat yang amat istimewa itu baginya. Ia mengatur bunga, menyiapkan
makan malam ala Sevres. Memilih beberapa anggur yang cocok untuk pesta kecil
itu. "Ada tamu akan datang, Nyonya?" tanya Nyonya Yeo ketika melihat Miranda sibuk
menyiapkan meja makan. Ia kelihatan terkejut.
"Ah, tidak. Cuma menunggu Tuan," jawab Miranda dengan tersipu-sipu. Tanpa
disangka-sangka, tiba-tiba saja Nyonya Yeo tersenyum!
"Ah, senang sekali bila melihat wanita sibuk bekerja untuk menyenangkan hati
suaminya," ujar Nyonya Yeo. Ia menatap wajah Miranda dengan lembut. Belum pernah
ia bersikap seperti itu pada Miranda sebelumnya.
"Nyonya Yeo-" panggil Miranda, memberanikan diri setelah melihat sikap ramah
Nyonya Yeo padanya. "Sebenarnya aku pun dapat masak. Keberatankah kau bila malam
ini aku mempersiapkan makan malam ala Perancis ini sendiri" Aku tidak akan, aku
janji, membuat ruangan dapur menjadi berantakan."
Dengan menahan napas Miranda menanti penolakan Nyonya Yeo. Ternyata Nyonya Yeo
tidak menolak permintaannya. Ia malah berkata dengan tulus ikhlas sambil
tersenyum ramah,"Ah, tentu saja saya tidak keberatan, Nyonya. Tentu saja Nyonya
tidak seperti-ehm, lebih baik saya tidak menyebutkan namanya - keluar-masuk
dapur saya dengan seenaknya saja. Mengambil ini dan itu, kemudian dibawa ke
kamar belajar tanpa ijin dan tanpa ditanyakan dulu apakah barang itu akan
dipakai atau tidak. Saya sama sekali tidak keberatan bila Nyonya ingin mencoba
kepandaian Nyonya dalam hal masak-memasak sekali waktu."
"Terima kasih, Nyonya Yeo," sahut Miranda, merasa heran melihat sikap Nyonya Yeo
yang begitu ramah padanya.
Mungkinkah Simmy dan Nyonya Yeo sudah ditegur oleh Adam, sehingga sekarang
mereka jadi begitu patuh padanya" Untuk pertama kalinya, Miranda merasakan
seluruh pembantu rumah tangga itu tidak begitu patuh lagi pada Simmy. Dan ia
juga merasa heran melihat sikap Nyonya Yeo yang begitu ramah padanya, padahal
dulu selalu menentangnya.
"Tidak pernah Miranda melewati senja hari di Wintersbride begitu gembira,
seperti senja itu. Ruangan dapur itu dirasakannya berbeda sekali dengan ruanganruangan lain di rumah itu. Dirasakannya dapur yang sangat besar itu begitu
cerah, begitu dekat dengan dirinya. Miranda sibuk memilih bumbu-bumbu masak dan
alat-alat dapur yang akan dipakainya. Ia teringat akan masa lampaunya, sewaktu
ia sering memasak untuk ayahnya dan Pierre. Mereka selalu memuji hasil
masakannya yang lezat. Fay turun ke dapur, dan ikut membantu Miranda bekerja. Miranda mengenakan
celemek masak, begitu juga Fay. Tak lama kemudian terdengar bunyi kerontangkerontang alat-alat masak yang diiringi oleh tawa riang Miranda dan Fay. Rintikrintik hujan yang turun di musim panas itu menambah hangat suasana itu. Setelah
selesai masak, Miranda cepat-cepat mandi. Kemudian ia memilih pakaian yang akan
dikenakannya nanti. Lama sekali ia bingung memikirkan pakaian apa yang akan
dipakainya. Tetapi pada akhirnya ia memilih pakaian yang terbuat dari kain sifon
Bukit Pemakan Manusia 6 Dewa Arak 18 Kelelawar Beracun Neraka Asmara 1
^