Pencarian

Negeri Di Ujung Tanduk 2

Negeri Di Ujung Tanduk Karya Tere Liye Bagian 2


Mereka siap menumpahkan seluruh amunisi tersisa untuk menggagalkan kemenangan klien politik kami. Berusaha memutar arah pencalonan di detik-detik terakhir konvensi. Besok Sabtu, konvensi dibuka selama tiga hari. Senin malam nama calon presiden resmi diumumkan. Ini pukulan pertama mereka. Singkirkan konsultan politiknya, otak dari seluruh strategi kampanye konvensi. Kita ditahan di gedung ini, di lantai 15, bukan karena Thomas, pemilik kapal pesiar mewah, tertangkap basah membawa serbuk heroin dan senjata. Tapi karena seorang Thomas bekerja sebagai konsultan politik dari kandidat terbaik presiden pemilihan tahun depan.
Siapa mereka" Maryam bertanya pelan.
nya presiden yang jujur. Bukan di internal partai itu saja, tapi juga datang dari partai-partai lain, atau orang-orang yang tidak terlibat politik tapi memiliki kepentingan bisnis, konsesi, dan sebagainya. Bahkan termasuk penegak hukum, pejabat korup, organisasi massa, atau siapa pun orang-orang yang merasa terganggu kehidupan nyamannya dengan konstelasi politik era baru. Yang aku tahu pasti, mereka memiliki sumber daya dan akses tidak terbatas, termasuk akses ke satuan khusus antiteror Hong Kong.
Maryam mengeluh, menyibak anak rambut di dahi. Ini semua gila, Thomas. Tidak masuk akal.
Kau benar. Ini memang gila. Tidak masuk akal. Baru satu jam lalu kau mencicipi kepiting lezat masakan Kadek, bukan" Di atas kapal pesiar terbaik, ditemani Opa, orang dengan karakter istimewa. Seolah dunia begitu indah, lantas simsalabim! Sekarang kau ditahan di tempat yang tidak dikenal, tangan diborgol, tanpa pembela, tanpa tahu apa salahmu, dan terancam hukuman penjara seumur hidup. Aku memegang erat-erat lengan Maryam. Tapi kau harus memercayaiku, Maryam. Memercayai Kadek, memercayai Opa. Bisa" Kau bisa percaya"
Maryam menyeka ujung matanya, menatapku lama, lantas mengangguk perlahan.
Nah, itu baru semangat! Aku menepuk bahunya. Sekarang hentikan teriak-teriak, panik, dan sebagainya. Tenang saja, aku punya rencana, Maryam. Kita harus secepat mungkin meninggalkan tempat ini. Menerobos keluar.
Bahkan Kadek yang sejak tadi hanya menunduk, mendengarkan percakapan, mengangkat kepalanya, menoleh. Kita tidak Kenapa tidak, Kadek" aku menjawab lugas. Kau bisa mengurus satu atau dua dari mereka, sisanya biar aku yang mengurus.
Kadek menggeleng. Kita tidak bisa menerobos lima belas lantai, Pak Thom. Mereka sudah mengizinkan tembak di tempat kalau kita kabur.
Serahkan itu padaku, Kadek. Aku mengepalkan tangan. Aku hanya membutuhkan satu panggilan telepon, maka kita akan bisa meninggalkan tempat ini.
Kadek mengusap wajahnya. Bagaimana caranya" Lengang sejenak.
Kau hanya butuh satu panggilan telepon, Tommi" Opa yang berkata pelan, memecah suara desing pendingin udara. Aku menoleh ke arah Opa, mengangguk.
Opa tertawa pelan. Kalau hanya itu, mudah, biar orang tua ini yang mengurusnya.
C rane disusun dari pipa-pipa dan lempeng besi, yang disatu-
kan sedemikian rupa hingga menjadi sebuah tower tinggi yang selalu ada di setiap lokasi proyek bangunan. Bentuknya seperti huruf T raksasa. Tiang tinggi menjulang, lantas di tiga perempat atasnya, persis di leher crane, terpasang belalai melintang lurus, kiri-kanan. Salah satu ujung belalai yang lebih pendek berfungsi sebagai penyeimbang dengan bantalan pemberat, satunya lagi yang lebih panjang adalah belalai sebenarnya. Warna crane mencolok, merah, biru, atau oranye, atau warna-warna terang lainnya. Crane berfungsi mengangkat material bangunan dari bawah ke lantai atas proyek pembangunan, mengirim lempengan baja, sak-sak semen, hingga untuk keperluan tertentu, bisa dipasangkan bola baja, berfungsi sebagai belalai penghancur gedung tua.
Sebuah crane raksasa tingginya bisa puluhan meter, dengan ruang operator di atasnya, dan seorang petugas mengendalikan
Episode 9 Permintaan Tidak Bisa Ditolak ngan teknologi paling mutakhir bahkan bisa digerakkan otomatis oleh remote control, memiliki gerakan fleksibel ke segala arah.
Dalam situasi genting, sekecil apa pun informasi yang dimiliki berharga.
Dan informasi yang kumiliki saat ini adalah hanya pemandangan dari jendela kecil ruangan kami ditahan, lantai 15, tanpa tahu di gedung mana dari ratusan gedung pencakar langit Hong Kong. Pemandangan di depan jendela kecil ini hanya sebuah gedung tua yang akan diruntuhkan pagi ini mengacu percakapan pasukan khusus saat hendak merapat ke dalam gedung, dan mereka terpaksa berputar dua blok. Gedung kusam setinggi 30 lantai, tanpa dinding lagi, tinggal tiang-tiang, dengan sebuah crane raksasa berwarna oranye persis berdiri di hadapannya.
Aku bisa membaca dengan jelas tulisan-tulisan huruf pinyin (Cina) di crane itu. Nama perusahaan pemilik proyek properti, beserta nomor seri lokasi crane. Waktuku terbatas, pilihanku untuk kabur amat sempit. Dengan kesempatan menjelaskan sama sekali nihil, hanya orang dengan posisi tidak bisa menolak permintaanlah yang bersedia membantu. Siapa pula yang akan mengambil keputusan gila, bersedia membantu meloloskan empat orang tahanan dari gedung pasukan khusus antiteror Hong Kong SAR" Harga apa yang harus kubayar untuk pertolongan seperti itu"
Aku mengepalkan tangan mantap. Aku punya harganya. Aku hanya membutuhkan satu panggilan telepon untuk menghubungi sang malaikat penolong. Sisanya biarkan mengalir seperti menonton film aksi.
pernah peduli dengan teriakan Maryam, seruan protes Kadek, atau argumen paling masuk akal dariku. Mereka disiplin menjaga pintu. Tetapi sedisiplin apa pun itu, mereka tidak akan bisa mengabaikan situasi darurat. Mereka pasti diajari menangani situasi emergency, dan jelas itu panggilan kemanusiaan yang sering kali membuat level kewaspadaan seseorang berkurang.
Opa mengurus dengan baik soal kesempatan menelepon tersebut. Setelah memastikan semua siap, Opa mulai terbatuk-batuk panjang, berseru kesakitan dengan suara serak, lantas purapura jatuh pingsan di atas meja.
Aku memukul pintu ruangan, berteriak panik, menjelaskan situasi.
Pintu ruangan akhirnya dibuka, tiga petugas berseragam taktis masuk sambil menodongkan laras senjata. Aku segera menunjuk Opa yang terkulai di atas meja, berseru setengah marah, setengah amat cemas, Kalian seharusnya membawa obat-obatan di kapal pesiar.
Tiga petugas itu saling tatap bingung.
Tidak ada waktu. Kalian harus menelepon dokter, petugas medis, siapalah. Ini darurat! aku berseru, berusaha memengaruhi kendali keputusan di kepala mereka bertiga.
Salah seorang dari mereka memeriksa tubuh Opa, meletakkan senjata otomatis di atas meja. Kadek melirikku. Aku menggeleng. Belum sekarang, aku membutuhkan panggilan telepon terlebih dulu sebelum melumpuhkan mereka. Opa lebih dari pandai kalau sekadar berpura-pura sekarat. Wajah tuanya hanya perlu sedikit bumbu mengerang kesakitan. Itu lebih dari cukup. Petugas itu bangkit, berbicara cepat dengan dua rekannya dalam ada unit medis di bangunan tersebut. Long weekend, banyak petugas yang pergi liburan.
Astaga! aku memotong percakapan mereka, berseru dalam bahasa Kanton, Dia segera membutuhkan pertolongan, kalian harus segera memanggil dokter mana pun. Bukankah ini kantor polisi" Instansi pemerintah" Bagaimana mungkin tidak ada bagian medis yang siaga"
Itu pertanyaan retoris. Gelengan mereka menjelaskan banyak hal. Salah satu dari mereka beranjak menuju lorong, ke arah meja kecil yang di atasnya ada telepon. Hendak melaporkan situasi ke atasan mereka, orang berpakaian sipil sebelumnya.
Tidak. Tidak! aku berseru, menahan gerakan mereka. Ini fase paling genting dari seluruh skenarioku. Aku harus mendapatkan kesempatan telepon itu. Jika mereka berkonsultasi lebih dulu ke atasan mereka, semua rencana gagal total. Kalian keliru. Orang pertama yang harus kalian telepon adalah dokter. Kalian akan terlambat jika harus bertanya dulu. Beberapa menit akan fatal sekali. Aku menunjuk Opa yang secara dramatis sekarang terjatuh dari kursinya, tergeletak di lantai. Bahkan Kadek yang tahu itu pura-pura, berseru panik sungguhan, berusaha membantunya. Maryam ikut duduk jongkok membantu.
Aku mengenal dokter dari rumah sakit pemerintah Hong Kong. Dia pernah merawat orang tua itu. Izinkan aku menghubunginya agar segera tahu apa yang harus dilakukan sebelum dokter kalian tiba! aku berseru, memasang wajah panik sebisa mungkin.
Tiga petugas itu saling tatap.
Astaga! Hanya telepon konsultasi sebentar ke doker, apa sa-Tiga petugas itu terdiam sejenak. Salah seorang dari mereka akhirnya mengangguk. Aku bergegas melangkah keluar dari pintu ruangan, menuju meja kecil tempat telepon. Sebelum mereka berubah pikiran, sebelum mereka menyadari sesuatu, dengan tangan masih terborgol, aku sudah menekan tombol telepon yang kuterima tadi malam. Nomor telepon itu pendek dan mudah dihafal, dan yang paling penting, tersambung langsung ke seseorang. Lee!
Dialah orang yang tidak bisa menolak permintaanku. Juara bertahan klub petarung Makau yang kuhadapi tadi malam. Aku berhasil mengalahkannya, dan dia berutang sebuah janji memenuhi permintaan apa pun dariku. Keluarganya pemilik kerajaan bisnis properti di Hong Kong. Crane di seberang bangunan tempat kami ditahan adalah milik perusahaannya. Dengan menggunakan bahasa Portugis karena tiga petugas ini pasti paham jika percakapan kulakukan dengan bahasa Inggris atau Kanton aku menjelaskan situasi dengan cepat, menyebutkan nomor register crane, yang sekaligus otomatis menjelaskan lokasi kami.
Esta " uma chamada de emerg"ncia, Lee. Eu n"o posso explicar mais em pormenor, eles assistiram com o fuzil na m"o. Eu chamo a promessa de um lutador! aku berseru dengan intonasi suara bergetar. Aku memanggil janji seorang petarung sejati, yang rela menebus nyawanya demi memenuhi sebuah janji. Hening sejenak, terdengar helaan napas Lee.
Vou ench"-lo, Thomas. A promessa de um lutador. Suara Lee terdengar dalam dan bertenaga. Adalah kehormatan baginya Cukup. Aku meletakkan gagang telepon. Kalimat Lee lebih dari cukup.
Dua petugas segera menodongkan laras senjata, dengan kasar menyuruhku kembali ke ruangan. Aku mengangguk, tidak masalah. Pertolongan besar akan segera tiba. Aku tidak tahu kekuatan apa yang digunakan lawan politik klienku saat ini. Aku belum punya ide sama sekali. Akses dan koneksi level apa yang mereka miliki hingga bisa menyuruh pasukan antiteror Hong Kong menyergap kapal pesiar, lengkap bersama barang bukti dan tuduhan serius. Tapi mereka akan segera tahu, aku bukanlah sekadar konsultan politik kemarin sore yang bisa ditakut-takuti. Mereka telah memilih lawan tangguh.
Lima menit kemudian, Opa masih pura-pura sekarat di lantai. Dua petugas masih berjaga dengan waspada, satu petugas yang lain bergabung setelah menelepon atasannya, melaporkan situasi. Maryam masih membungkuk di sebelahku, ikut memeriksa Opa. Kadek melirik moncong senjata, memperhitungkan segala sesuatu. Aku berbisik pelan, tunggu waktunya, tidak akan lama.
Saat terdengar derap langkah kaki di lorong, 18 meter dari ruangan, petugas lain datang, mungkin bersama dokter, saat itulah bola baja yang disangkutkan di crane raksasa, dari proyek properti seberang jalan menghantam dinding lantai tempatku ditahan.
Berdentum keras! Membuat lantai bergetar kencang seperti gempa. Potongan batu bata, bongkahan semen mental ke segala arah, juga pecahan kaca, tirai. Aku refleks menarik tubuh Maryam yang menjerit kaget, menghindar. Kadek juga sigap memasang badannya, menutupi tubuh Opa agar tidak terkena pemain sandiwara. Tiga petugas yang memegang senjata berseru, menoleh ke arah dinding yang somplak, membuat lubang besar.
Itu waktu yang amat berharga. Detik yang tidak ternilai. Demi melihat tiga petugas lengah, Kadek berdiri cepat. Tangannya bergerak gesit. Dia memukul leher salah satu petugas, jatuh. Aku loncat, mengurus dua petugas lain. Tinjuku menghantam dagu salah satu dari mereka. Dan segera menyusul menghantam pelipis yang satunya lagi. Petugas ketiga terjatuh sambil tidak sengaja menarik pelatuk senjata otomatis, membuat peluru mengukir langit-langit ruangan. Suara rentetan senapan otomatis yang memekakkan telinga bercampur dengan kepulan debu baru berhenti saat dia sudah tergeletak pingsan.
Bantu Opa berdiri, Kadek! aku berseru di antara debu dan serakan reruntuhan dinding yang robek lebar oleh bola baja. Bergegas, Kadek! Waktu kita sempit.
Kadek mengangguk, menarik tubuh Opa.
Belalai crane sekali lagi kembali ke lantai tempatku ditahan, kali ini bergerak pelan maju, bukan pukulan menghantam dinding, tapi menjulurkan belalainya lurus langsung masuk ke dalam ruangan yang sudah berlubang. Seperti tangan raksasa yang menghampiri.
Bangun, Maryam. Segera naik ke atas ujung crane. Aku menarik Maryam yang masih bersimpuh, terbatuk oleh kepulan debu.
Maryam terlihat ragu-ragu. Aku sudah menariknya paksa, menyeret tangan Maryam. Dari ujung lorong terdengar seruanseruan. Sepertinya penghuni bangunan ini telah menyadari apa yang sedang terjadi. Itu bukan gempa, atau gedung roboh, sedipegang kokoh oleh Kadek. Maryam dengan wajah pucat berusaha naik, dua kali tergelincir, aku mendorongnya, menyuruhnya memeluk salah satu pipa baja.
Aku kembali ke lantai ruangan, meraih dua senjata otomatis yang tergeletak. Lantas meloncat ke atas ujung crane, menyampirkan satu senjata di punggung, memegang yang lain. Tanpa berpikir dua kali, aku menarik pelatuk senjata otomatis itu, memuntahkan puluhan peluru ke dalam lorong, tempat muncul setengah lusin orang dengan seragam taktis, beberapa petugas medis, dan Detektif Liu yang memimpin mereka.
Tidak ada waktu untuk berpikir, aku memutuskan menembak sebelum mereka menembaki kami. Melihat kami berempat sudah naik, belalai crane bergerak mundur. Kami keluar dari ruangan tersebut, langsung disambut gerimis yang membungkus kota Hong Kong. Maryam menjerit melihat jalanan di bawah kami. Tinggi kami tidak kurang empat puluh meter. Dengan hanya berpegangan pipa-pipa crane, jalanan di bawah terlihat mengerikan.
Berhenti melihat ke bawah, Maryam! aku berseru, masih melepas rentetan tembakan, menahan gerakan pengejar kami di lorong.
Gadis wartawan itu malah semakin panik, menjerit, dan kakinya tergelincir. Tubuh Maryam meluncur ke bawah, beruntung Kadek menyambar tangannya sebelum dia jatuh bebas.
Bertahanlah, Maryam! aku berseru, melemparkan senjata otomatis yang telah habis pelurunya ke bawah, bergerak di antara pipa-pipa belalai crane, berusaha membantu Maryam. Para pengejar kami sudah berdiri di lubang dinding yang mengaantara butir gerimis air hujan, sekeliling kami dipenuhi desing peluru sekarang, berlarik-larik, menghantam crane.
Aku memaki dalam hati. Teriakan panik Maryam yang bergelantungan, berpegangan tangan pada Kadek jelas tidak membantu banyak dalam situasi ini, justru membuat semua semakin rumit. Aku membentaknya, Berhenti berteriak, Maryam, mulailah berpegangan erat-erat.
Maryam hendak menangis. Wajahnya pucat pasi. Kabar baiknya, belalai crane bergerak semakin jauh, berputar sembilan puluh derajat dari posisi gedung di seberangnya. Sudut posisi kami tidak bisa lagi dijangkau peluru dari seberang. Crane terus bergerak ke kanan, menjulurkan kami ke salah satu lantai gedung tua yang akan dihancurkan. Ujung crane masuk ke lantai yang dindingnya sudah dikelupas, persis saat Maryam tidak kuat lagi berpegangan. Tubuh Maryam jatuh ke lantai setinggi satu meter. Dia mengaduh, tapi tidak terluka serius. Belalai crane turun ke lantai. Kadek meloncat kemudian membantu Opa turun. Aku ikut meloncat turun. Entah siapa pun yang telah mengemudikan crane di ruangan operatornya, aku tidak bisa melihatnya dari jarak belalai lima puluh meter. Belalai crane itu bergerak mundur saat memastikan kami sudah turun semua. Kembali ke posisinya semula.
Opa baik-baik saja" Aku memeriksa Opa. Opa mengangguk. Dia bisa berdiri sendiri. Kau bisa jalan, Maryam"
Gadis itu amat berantakan. Rambutnya penuh debu, kusut masai, pakaiannya apalagi, kotor dan basah oleh hujan gerimis. Dia mengangguk. Tangannya sedikit gemetar, berusaha berdiri Cepat, Kadek. Bantu Opa. Aku akan membantu Maryam. Kita harus bergerak segera. Kita jauh dari aman. Mereka pasti segera mengirim unit pemburu. Aku segera menyambar tangan Maryam. Tidak ada waktu untuk beristirahat sejenak. Kisah ini baru saja dimulai.
R ANGKAIAN lift di gedung tua itu sudah dicopot bebera-
pa minggu lalu, bagian persiapan penghancuran gedung. Kami harus berlarian melewati anak tangga, yang juga dinding-dindingnya sudah terkelupas. Aku bergumam tidak sabaran, memaksa Maryam agar bergerak lebih cepat. Kadek sudah menggendong Opa sejak lantai delapan belas. Setidaknya tubuh tua Opa tidak terlalu berat bagi tubuh tinggi besar Kadek. Mereka bergerak lebih cepat dibanding aku dan Maryam. Kami harus bergegas. Tidak lebih dari lima menit, satu pasukan penuh sudah keluar mengejar dari lobi gedung di seberang, tempat kami ditahan.
Aku mengeluh, teringat sesuatu, berusaha berpikir cepat. Ada masalah baru sekarang. Kalaupun kami tiba lebih dulu di bawah dibanding mereka keluar dari gedung seberang, di tengah belantara gedung tinggi kota Hong Kong, dan jalanan sibuknya, aku
Episode O Kembali ke Jakarta Menyetop sembarang mobil" Merampasnya" Aku menelan ludah. Kami sudah di lantai tiga. Kadek dan Opa sudah tiba di lantai dua.
Aku meloncat di anak tangga terakhir, membuat Maryam hampir terjatuh. Aku tiba di lantai dasar gedung tua yang akan dirobohkan, kosong, tidak ada yang tersisa di gedung itu, hanya pagar tinggi dari seng berwarna oranye yang sempurna menutupi wilayah proyek properti, agar tidak sembarang orang bisa masuk. Saat aku menyapu setiap jengkal pagar, berusaha mencari pintu keluar dari dinding-dinding oranye itu, meluncur dengan kecepatan tinggi mobil SUV berwarna hitam. Suara rodanya direm mendecit panjang. Mobil berhenti persis di depan kami. Pintu dibuka dan aku tercengang.
Masuk, Thomas. Segera! Lee" Aku menelan ludah.
Hei, kau tidak akan berdiri di sini menunggu mereka datang, bukan" Dan asal kau tahu, ada yang harus lebih dicemaskan dibanding pasukan khusus itu. Tiga ratus dinamit yang siap meledak. Lee meneriakiku dari belakang setir.
Baik. Aku menyimpan dulu pertanyaan kenapa Lee tiba-tiba muncul di sini, mengangguk, meski tidak paham benar dengan ujung kalimat Lee. Aku bergegas menyuruh Maryam naik lebih dulu, membantunya. Kadek tanpa disuruh sudah membantu Opa naik dari pintu satunya. Belum genap aku menutup pintu depan, belum rapi posisi dudukku, Lee sudah menekan pedal gas, membuatku terbanting ke kursi, mengaduh karena kaget. Mobil SUV mahal itu bagai peluru ditembakkan melesat menuju pagar seng oranye yang salah satu sisinya sekarang dibuka Ayolah.... Rahang Lee mengeras. Dia menekan pedal gas lebih dalam, mobil menggerung kencang, semakin cepat.
Aku menoleh. Kenapa Lee terlihat cemas sekali" Apa yang dia khawatirkan"
Terlambat satu detik saja, kita semua terkubur dalam tumpukan material gedung tua setinggi empat puluh lantai, Thomas, Lee menjawab ekspresi wajahku, tetap konsentrasi penuh memacu mobilnya melintasi gerbang dinding.
Dua detik berlalu, mobil melompat melewati dinding oranye. Tangan Lee mengacung keluar dari jendela mobil, entah memberikan kode apa. Beberapa staf proyek properti itu dengan seragam lapangan terlihat balas melambaikan tangan di sisi-sisi lebih jauh, seperti bersembunyi dari sesuatu. Bersembunyi" Sebelum aku tahu jawabannya kenapa mereka bersembunyi, persis ketika mobil baru berjarak lima belas meter dari gedung tua, suara berdentum kencang terdengar memekakkan telinga. Aku dan Kadek menoleh kaget. Apakah ada roket yang ditembakkan" Atau pasukan khusus itu menembak kami dengan pelontar granat" Maryam menutup wajahnya yang pucat dengan telapak tangan. Opa menghela napas pelan, terlihat mengurut dadanya karena terkejut.
Saking kerasnya dentuman itu, tanah yang dilewati mobil bergetar. Mobil sedikit oleng. Lee berusaha mati-matian membanting setir agar mobil tidak terbalik.
Menyusul dentuman kencang itu, terdengar rentetan dentuman lain, banyak jumlahnya, ratusan, lebih kecil. Semua lantai gedung tua itu terlihat meledak dalam irama tertentu, mengepulkan asap hitam. Lantas satu detik kemudian, seluruh gedung tua ngeluarkan suara lebih kencang, debu mengepul tinggi, bongkahan material beterbangan, mengejar mobil yang terus bergerak meninggalkan lokasi proyek.
Aku baru mengerti semua maksud kalimat Lee barusan. Kalian tahu, kalian baru saja melewati tiga ratus dinamit yang dipasang di setiap tiang gedung itu, Kawan. Kita baru saja selamat dari reruntuhan seberat lima ribu ton lebih. Lee tertawa. Mobil yang dikendarainya keluar dari kepulan asap, langsung masuk ke jalanan kota Hong Kong. Meluncur deras, menyalip banyak mobil.
Aku mengusap wajah yang kebas karena kaget. Menoleh ke belakang, ke lokasi gedung tua tinggi yang baru saja diruntuhkan tim proyek properti. Debu masih membubung tinggi, disiram hujan gerimis dan semburan hidran dari para petugas lapangan. Tidak ada lagi bangunan besar 40 lantai, hanya tumpukan material yang tersisa.
Tenang saja, Thomas. Kau tidak perlu sering-sering menoleh ke belakang. Pasukan khusus itu tidak bisa mengejar. Demi alasan keselamatan proses penghancuran gedung, selama satu jam ke depan, semua jalanan di sekitar gedung tua itu ditutup dinas taman kota Hong Kong radius lima ratus meter. Zona amannya diperluas setelah tadi pagi hanya dua blok. Pasukan khusus tidak bisa keluar dari gedungnya dengan kendaraan, kecuali mereka mengejar dengan jalan kaki, berlari, Lee berkata lebih rileks, masih tertawa.
Lee terlihat amat terampil mengendarai mobilnya, sambil bicara menjelaskan, menyelinap di antara mobil-mobil lain dengan kecepatan tinggi.
detik pun dari jadwal dinamit diledakkan insinyur proyek, tapi kalian beruntung memilih hari ini untuk kabur dari sana, persis pada hari meruntuhkan gedung tua. Ini peristiwa langka. Ada ratusan wartawan yang memotret dari kejauhan, merekam, dan mengabadikan. Juga petinggi kota Hong Kong SAR. Itu gedung kantor administrasi lama, akan diganti dengan gedung yang lebih tinggi dan megah. Nah, semoga tidak ada yang melihat mobil ini menyelinap keluar-masuk pada detik-detik penting tadi, atau kami harus mengarang alasan seperti bola baja crane itu. Aku mengangguk, masih belum bisa berkomentar apa pun. Soal bola baja crane yang tiba-tiba menghantam gedung pemerintah di seberangnya, kami bisa mengarang banyak alasan. Itu mudah. Seperti kendali otomatisnya rusak karena pengaruh persiapan penghancuran gedung, atau ada kesalahpahaman karyawan proyek, terjadi kecelakaan serius. Kami bisa memperbaikinya dengan cepat, bila perlu membayar ganti rugi. Kebetulan saja kalian ada di lantai itu, memanfaatkan kejadian tersebut untuk kabur.
Lee menatapku dari spion di atas kepalanya, tersenyum bersahabat.
Terima kasih, Lee, aku berkata pelan.
Hei, ini belum selesai, Thomas. Percayalah, kau masih akan berutang banyak hal padaku. Lee mengangkat bahu, tertawa. Nah, sekarang pertanyaannya adalah mau ke mana kalian sekarang" Segera kembali ke Jakarta" Atau rencana lain" Menuju kota lain" Mungkin yang tidak memiliki perjanjian ekstradisi dengan Hong Kong misalnya"
Pertanyaan simpel dari Lee membuatku menoleh ke Opa dan ***
Aku tidak akan melarikan diri dari kasus ini.
Percuma. Semua identitas, paspor, dan dokumen kami dipegang oleh detektif satuan antiteroris Hong Kong itu. Hanya butuh paling lama 48 jam, notifikasi tentang pelarian kami akan segera menyebar ke seluruh jaringan interpol dunia dan kami berempat resmi menjadi buronan internasional. Tetapi aku belum bisa menghadapi kejaran agen interpol. Ada hal lain yang harus kuselesaikan, dan boleh jadi itu justru bisa memberikan penjelasan atas kasus ini.
Tenang saja. Aku bisa mengurus perjalanan kalian ke Jakarta. Stafku sedang bekerja di bandara, menyiapkan pesawat dan dokumen perjalanan. Kami terbiasa dengan perjalanan mendadak seperti ini. Nah, yang harus kaucemaskan, kau benar-benar dalam masalah besar, Thomas. Lee menghela napas prihatin. Mobil yang dia kendarai melaju di terowongan bawah laut kota Hong Kong, menuju bandara.
Kami sudah sepuluh menit meninggalkan lokasi penghancuran gedung tua itu. Maryam sudah bisa duduk dengan baik, menghela napas lebih baik. Kadek menyerahkan tisu basah, agar Maryam bisa menyeka wajahnya yang kotor oleh debu. Opa baik-baik saja, terlihat duduk tenang, boleh jadi Opa yang paling tidak memikirkan apa pun sejak muda, Opa selalu percaya dengan jalan hidupnya, membiarkan saja mengalir mengikuti alur sungai.
Kau tahu, tidak semua orang bisa memperoleh seratus kilogram bubuk heroin, Thomas, juga sekarung senapan, granat, dan kau punya uang banyak, tidak mudah membeli seratus kilogram heroin. Membawanya ke mana-mana lebih sulit lagi. Itu tidak sama dengan membawa satu kuintal gandum. Kau jelas sedang berurusan dengan mafia, Thomas. Atau orang-orang yang memiliki hubungan dekat dengan dunia hitam tersebut. Lee menyebut kemungkinan itu.
Aku menyisir rambut dengan jemari. Itu penjelasan yang masuk akal. Lee benar meskipun itu semua gila untuk dipercayai. Siapa pula yang begitu membenciku hingga melakukan hal tersebut"
Hei, belakangan ini kau tidak membuat masalah dengan salah satu pemilik perusahaan besar di Hong Kong atau Makau, bukan" Misalnya dengan menyakiti anak gadisnya" Membuatnya patah hati" Lee bertanya, mencoba bergurau.
Aku tidak tertawa juga Maryam, Kadek, dan Opa. Aku menggeleng.
Atau sebagai konsultan keuangan ternama, kau keliru fatal memberikan nasihat bisnis" Membuat mereka rugi jutaan dolar di bursa saham" Gagal transaksi hedging atau valas" Lee menyebut kemungkinan lain.
Perusahaan konsultanku yang terbaik, Lee. Hingga hari ini tidak ada klien kami yang rugi karena nasihat keuangan yang buruk, aku menjawab pelan.
Oh, aku lupa itu. Tentu saja demikian, Kawan. Lee tertawa. Tapi kau juga tidak bisa mengabaikan kemungkinan ada pengusaha yang dirugikan karena perusahaan lain, yang menjadi klienmu untung besar atas nasihat brilian yang kauberikan, bukan" Mereka marah, memutuskan menyerang konsultan keuangannya. letakkan seratus kilogram heroin sebagai balasan. Itu membuat masalah lebih rumit, bahkan bagi mereka sendiri.
Masuk akal. Lee mengangguk, tangannya gesit membanting setir. Sekarang kami melaju di jalan lebar dan lengang, seperti jalan tol, meninggalkan terowongan bawah laut.
Atau mungkin ada petarung yang sakit hati karena kaukalahkan"
Aku tahu, sejak tadi Lee berusaha menurunkan tensi ketegangan di dalam mobil dengan sebuah percakapan.
Aku baru mengenalnya 12 jam terakhir, tapi sebuah pertarungan yang jujur dan terhormat akan membuat kita mengenal orang lain dengan cepat secara lengkap. Aku seperti sudah mengenalnya bertahun-tahun dan bisa memahami tabiatnya. Aku paham apa yang sedang dilakukan Lee. Dia memang sama sekali tidak mengenal Maryam, tapi gadis wartawan itu berangsur membaik kondisinya. Mendengar percakapan kami membantunya pulih. Semua baik-baik saja sejauh ini, juga kondisi Opa dan Kadek.
Kalau begitu, kau salah satu orang yang bisa dicurigai, Lee. Aku mengalahkanmu tadi malam, aku bergumam pelan.
Lee tertawa lagi. Hei, kau hanya memenangi satu pertarungan, Thomas. Itu tidak bisa disimpulkan kau telah mengalahkanku. Hanya satu pertarungan, Kawan.
Aku kali ini ikut tertawa, mengangguk setuju. ***
Lima menit lagi berlalu cepat.
Kong. Seperti yang dijelaskan Lee sebelumnya, dia akan membantuku kembali ke Jakarta.
Kalian akan menumpang jet pribadi, Thomas. Dokumen perjalanan sedang diurus stafku, segera menyusul ke bandara.
Aku mengangguk. Kami sudah turun dari mobil SUV hitam yang parkir langsung di hanggar, berhenti persis di depan anak tangga pesawat jet yang parkir rapi. Pilot dan pramugari sudah menunggu. Terima kasih banyak, Lee. Aku mengalahkanmu tadi malam, tapi pagi ini kau justru banyak memberikan bantuan.
Lee mengangguk. Terlepas dari janji seorang petarung, seb uah kehormatan bisa membantumu, Thomas. Aku sejak tadi pagi berada di lokasi proyek penghancuran gedung tua itu, langs ung berangkat dari Makau setelah pertarungan. Aku sedang mengawasi insinyur melakukan persiapan akhir, bersiap meledakkan dinamit saat kau meneleponku. Jadi semua hal bisa dilakukan dengan mudah, termasuk mengurus crane dengan bola baja itu.
Terima kasih banyak, Lee. Kali ini Opa yang bilang kalimat itu.
Entah kenapa Lee justru menjabat tangan Opa lebih lama, dengan kedua belah tangannya. Dia menatap Opa penuh penghargaan. Lantas dia berkata dengan bahasa Kanton yang paling halus dan sopan, Opa Chan, sungguh kamilah yang berutang terima kasih, bukan Opa Chan. Ada salam dari kakekku, Chai Ten dari Ghuangzhou. Opa mungkin tidak mengenalku, juga tidak mengenal sebagian besar keluarga kami, tapi kami semua mengenal Opa dari cerita Kakek Chai. Sejak seminggu lalu aku tahu wajah Opa Chan, dan tadi malam, bertemu Thomas di Opa terdiam. Mata sipitnya membesar, mendongak menatap Lee yang masih lembut memegang tangannya. Kau bilang apa tadi" Chai Ten dari Guangzhou"
Lee tersenyum, mengangguk.
Astaga" Demi Dewa Bumi! Chai Ten" Kau... kau cucu Chai Ten"
Lee mengangguk sekali lagi, lalu bertanya sopan, Boleh aku memeluk Opa Chan"
Opa yang lebih dulu memeluknya. Erat sekali.
Aku terpana, tidak mengerti apa yang sedang terjadi di hadapanku. Kadek melirikku, bertanya. Mana aku tahu" Aku mengangkat bahu. Maryam hanya menonton, diam.
Aku berjanji, Opa, demi semua kebaikan yang pernah Opa berikan kepada keluarga besar kami, aku akan membantu Thomas, apa pun yang dia butuhkan. Kami akan mengirim banyak orang, mencari informasi apa yang sebenarnya sedang terjadi di Hong Kong. Aku berjanji, tidak ada, bahkan satu orang pun, yang bisa menyakiti keluarga Opa Chan di Hong Kong, Makau, dan Cina daratan. Tidak peduli kalaupun mereka kelompok mafia besar, Lee berkata pelan.
Opa mengangguk. Senyumnya mengembang. Itu salah satu senyum bahagia Opa yang pernah kulihat. Salam kembali untuk Chai Ten. Kalau saja situasinya lebih baik, aku akan mengunjunginya di Guangzhou. Astaga! Aku tidak pernah menduga dia masih hidup" Memiliki begitu banyak kebaikan dari kehidupan ini. Memiliki cucu yang gagah. Kapal bocor. Kapal bocor itu ternyata mewariskan begitu banyak kebijaksanaan hidup. Lee mengangguk.
nya menaiki pesawat jet pribadi tersebut. Staf Lee sudah tiba. Dia menyerahkan empat surat perjalanan pengganti paspor sementara, dengan menggunakan kewarganegaraan negara lain.
Lee berseru dari bawah, Kau berutang pertarungan ulang denganku, Thomas!
Aku tertawa. Kapan saja kau siap.
Lee mengepalkan tangannya, ikut tertawa. Pintu pesawat ditutup.
Pramugari mempersilakan kami duduk. Pilot mulai menggerakkan pesawat, moncongnya perlahan keluar dari hanggar, menuju landasan pacu. Dengan dokumen perjalanan sementara dan memotong begitu banyak jalur imigrasi yang entah bagaimana Lee bisa melakukannya pesawat itu segera melesat ke langit, meninggalkan Hong Kong, tanpa masalah sedikit pun. Aku kembali ke Jakarta.
P ESAWAT jet pribadi itu mendaki ketinggian dengan kece-
patan penuh, melewati gumpalan awan lembut. Hamparan hutan beton kota Hong Kong tertinggal di belakang. Dalam hitungan menit, lampu sabuk pengaman telah dipadamkan. Aku berseru memanggil salah satu pramugari. Coffee or tea, Sir" Pramugari tersenyum.
Aku menggeleng, bukan minuman yang kubutuhkan sekarang. Aku bertanya pendek apakah mereka punya jalur telepon keluar ada banyak orang yang harus kuhubungi segera. Pramugari mengangguk, mengambil sesuatu di belakang pesawat. Saat kembali, dia menyerahkan kotak karton berisi telepon genggam baru.
Anda bebas menggunakannya, Tuan. Pesawat ini sudah dilengkapi dengan sistem navigasi canggih yang memungkinkan telepon genggam aman digunakan.
Episode 2 Siapa Orang yang Pantas Dibela"
menggunakan telepon pesawat. Aku menatap sekilas jam di layar telepon genggam, sudah pukul sebelas siang, lalu menekan nomor tujuan. Nada tunggu lama, tidak diangkat. Sekali lagi mencoba, nada tunggu lama, tetap tidak diangkat. Ayolah, diangkat, aku bergumam. Untuk ketiga kalinya memaksakan mencoba, tetap menunggu lama. Aku mendesah cemas, mulai menduga hal buruk telah terjadi, ketika akhirnya telepon itu tersambung. Halo, Bapak Presiden, aku menyapa lebih cepat. Thomas" Suara di seberang memastikan.
Telepon itu tidak cepat diangkat karena dia ragu-ragu. Sepanjang pagi dia menerima telepon yang berisi nada ancaman. Maaf kau harus menunggu lama, Thomas. Tetapi ini situasi menyebalkan. Aku sampai memutuskan untuk mengabaikan telepon yang tidak kukenali. Kupikir panggilanmu ini salah satunya, karena bahkan aku tidak mengenali kode negaranya. Ini bukan kode negara Hong Kong. Kau ada di mana, Thomas"
Aku menelepon dari atas pesawat, Bapak Presiden. Kode negara tidak relevan lagi dengan posisi panggilan. Aku sudah berangkat menuju Jakarta. Tiga jam lagi tiba.
Syukurlah, Thomas. Semakin cepat kau kembali, semakin baik. Salah satu anggota tim siang ini akan melaporkan berbagai telepon gangguan dan ancaman itu ke pihak kepolisian. Ini sudah berlebihan, Thomas. Kita harus mengambil langkah.... Jangan, Bapak Presiden, aku segera memotong. Itu jelas langkah yang sia-sia. Dalam situasi serba tidak jelas, kabut mengambang di sekitar menutupi pemandangan, membuat siapa lawan, siapa teman tidak jelas benar, maka terlalu terbuka mahan, membuat lawan tahu harus mengambil langkah berikutnya.
Aku menceritakan dengan cepat kejadian di Hong Kong. Semuanya, kecuali bagian Lee yang membantu menyelamatkanku. Klien politikku tidak perlu tahu soal itu ada banyak hal personal di dalamnya. Cukup dengan bilang kami berhasil meloloskan diri dari tahanan polisi Hong Kong. Kami baik-baik saja, sekarang menuju Jakarta.
Menurut hematku, kita harus mencari informasi sebelum melakukan sesuatu, Bapak Presiden. Aku sedang menyusun banyak rencana. Jangan melakukan hal gegabah. Melaporkan telepon berisi ancaman tidak akan membuat situasi menjadi lebih baik. Itu hanya telepon. Tidak ada yang tahu apakah polisi akan menindaklanjuti serius laporan tersebut. Media jelas akan senang mengunyah kabar itu. Tapi di atas segalanya aku mencemaskan hal yang lebih besar dari sekadar ancaman melalui telepon, Bapak Presiden. Aku menelan ludah, diam sejenak. Apa yang kaucemaskan, Thomas"
Aku mencemaskan manuver raksasa ini melibatkan banyak pihak, Bapak Presiden, bahkan termasuk orang-orang penting di kepolisian.
Lengang sejenak. Selama ini, selama menjadi konsultan politikku, hampir seluruh hipotesis yang kauberikan benar, Thomas. Klien politikku bicara setelah terdengar helaan napas panjang. Maka akan benar pula yang satu ini. Baik, sementara waktu aku akan membiarkan teror telepon tersebut.
Itu keputusan yang bijak, Bapak Presiden. Aku mengangguk.
Dengan segala kejadian di Hong Kong, mungkin lebih baik kau menghindar dari sorotan banyak pihak. Bersembunyi sementara waktu. Bukankah mereka akan segera mengirim penyidik ke Jakarta" Mengejar tahanan mereka yang kabur"
Bersembunyi" Itu tidak ada dalam kamusku. Aku hendak berseru, menjawab saran klien politikku, tapi segera mengubah intonasi suara. Aku menghormatinya.
Tidak, Bapak Presiden. Aku tidak akan bersembunyi, aku menjawab tegas, menggeleng. Aku justru akan tampil di arena. Tidak ada yang perlu dicemaskan. Notifikasi interpol butuh waktu. Mereka harus mengolah lokasi kejadian, melakukan pemeriksaan forensik atas alat bukti, mengonfirmasi banyak hal sebelum merilis foto buronan, setidaknya 48 jam. Itu berarti hingga Minggu siang. Itu pun jika kepolisian Hong Kong merasa perlu meminta bantuan. Jika jebakan tadi pagi dilakukan terbatas, dan penugasan pasukan khusus antiteror di luar prosedur resmi, aku yakin mereka memilih mengurus kasus ini diam-diam.
Kau harus bersembunyi, Thomas. Kau salah satu sasaran tembak. Bagaimana mungkin kau justru menunjukkan diri ke mana-mana" Seperti menantang balik"
Itulah poin paling pentingnya, Bapak Presiden. Selama dua hari ke depan, hingga konvensi berakhir, apa pun ending semua skenario, harus ada yang mengirimkan pesan bahwa kita tidak takut. Biarkan aku yang melakukannya. Biarkan perhatian mereka tertuju padaku.
Astaga, Thomas, kau membahayakan diri sendiri. Kau justru melangkah dengan sukarela ke sekumpulan buaya ganas. Kau dengar aku, Thomas, aku tidak mencemaskan diriku. Itu sudah terjadi sejak aku memilih jalan politik belasan tahun lalu. Kau berbeda, Thomas. Kau anak muda cemerlang yang bisa menjadi apa saja, memilih masa depan apa pun yang kauinginkan tanpa perlu membahayakan diri sendiri. Cukup. Tidak ada diskusi soal ini, Thomas.
Maka aku akan memilih bertarung menghadapi mereka, Bapak Presiden.
Terdengar seruan jengkel dari seberang telepon, Kau jangan bertindak gila, Thomas. Aku tidak akan mempertaruhkan nyawa rekan kerjaku, konsultan politikku, orang yang paling kupercaya hanya demi memenangkan konvensi partai, bahkan demi kursi presiden sekalipun. Omong kosong semua janji-janji kehidupan yang lebih baik yang kita dengungkan dalam banyak kampanye jika aku harus membahayakan orang di sekitarku.
Aku segera memotong kalimatnya, Maka adalah omong kosong juga semua janji-janji kehidupan yang lebih baik yang Anda ceramahkan di mana-mana jika kita tidak memenangi konvensi partai, mengambil alih kursi kekuasaan negeri ini. Itu jelas lebih dari omong kosong. Tergeletak di kertas sekadar tulisan. Mengambang di udara hanya ucapan.
Aku tidak datang secara sukarela menawarkan diri membantu Anda dalam kompetisi konvensi partai hanya karena aku sependapat dan mendukung semua omong kosong itu. Aku datang, karena ingin meletakkan semua omong kosong itu di tangan seseorang yang bisa menjadikannya nyata. Anda akan memenangi konvensi partai, dan tahun depan, seluruh rakyat akan menyaksikan Anda memenangi pemilihan presiden. Semua orang yang mendukung Anda bersedia melakukan apa pun. Cu-Bersembunyi" Menghindar mencari aman" Itu bukan tabiatku. Aku petarung. Aku akan menghadapi semua masalah dengan gagah berani, siapa pun mereka.
Aku tidak menyadari kalau aku berseru-seru menjawab kalimat klien politikku, membuat Opa yang berusaha tidur memperbaiki posisi duduknya, menoleh. Juga Kadek yang berusaha membaca koleksi majalah milik pesawat, menjulurkan kepala ke depan. Hanya Maryam yang tidak bereaksi banyak, diam mendengarkan. Dua pramugari yang bertugas tidak memperhatikan mungkin mereka sudah terbiasa dengan orang berteriak saat menelepon dari pesawatnya, toh mereka juga tidak paham bahasa yang kugunakan.
Lengang sejenak di telepon genggam, menyisakan derum halus mesin pesawat.
Kau, kau jangan berlebihan, Thomas. Ini hanya sebuah konvensi. Bukan pertempuran hidup-mati, klien politikku berkata pelan, suaranya bahkan terdengar serak, Atau entahlah, memang sebuah pertempuran.
Aku diam, mendengarkan. Inilah yang selalu kukhawatirkan. Orang-orang terbaik, orang-orang terdekatku, dan itu adalah kau Thomas, memutuskan mengangkat senjata, berperang demi seseorang yang boleh jadi tidak layak didukung. Seseorang yang bahkan tidak berhak dibela. Ya Tuhan, ini kadang terlalu berat bahkan untuk dipikirkan. Harapan. Mimpi-mimpi. Cita-cita. Semua niat mulia itu, semua keinginan baik itu. Aku boleh jadi orang pertama yang akan mengotori itu semua, Thomas. Dengan tanganku sendiri. Aku boleh jadi tidak pernah layak untuk dibela. Suara di sebe-Aku diam, menelan ludah, menatap keluar jendela pesawat. Gumpalan awan putih terlihat sejauh mata memandang.
Apakah ada di dunia ini seorang politikus dengan hati mulia dan niat lurus" Apakah masih ada seorang Gandhi" Seorang Nelson Mandela" Yang berteriak tentang moralitas di depan banyak orang, lantas semua orang berdiri rapat di belakangnya, rela mati mendukung semua prinsip itu terwujud" Apakah masih ada"
Maka jawabannya: selalu ada. Aku mengenal klien politik paling pentingku ini setahun lalu setelah kejadian besar tersebut. Kapal pesiarku, Pasifik, hilang. Om Liem masuk penjara. Jaksa menuntutnya dua puluh tahun penjara. Hakim menghukumnya empat tahun. Petinggi kepolisian dan kejaksaan itu tewas diracun teman sekongkolnya. Ram, pengkhianat dalam keluarga kami, menerima balasannya. Banyak orang jahat yang menerima balasan langsung di dunia ini, tapi lebih banyak lagi yang tidak, bahkan bebas berpesta di atas penderitaan orang lain. Sebaliknya, banyak orang baik yang justru tersingkirkan dari dunia ini.
Aku bertemu dengannya dalam penerbangan ke London. Dia diundang salah satu lembaga donor internasional yang mengurus kampanye civil society. Dia dinobatkan sebagai gubernur terbaik seluruh dunia. Lima tahun memimpin, begitu banyak kebijakan yang mendukung rakyat kecil, memajukan pendidikan, memberikan perlindungan kesehatan, dan menyejahterakan masyarakat banyak. Sepanjang penerbangan delapan jam Jakarta-London, aku duduk di sebelahnya. Kami berkenalan. Dia tersenyum ramah, tidak keberatan berbicara banyak hal, dan aku baru menyadari kalau dia selalu menggunakan uang pribadi saat melakukan Tidak ada rakyat kecil yang diuntungkan atas perjalanan ini, Thomas. Apalah arti sebuah piala, piagam. Aku hanya menghormati orang yang mengundang, kebetulan sudah lebih dari setahun tidak mengambil jatah libur Sabtu-Minggu, mungkin sekali-sekali bolehlah bepergian. Jadi ini tidak pantas memakai anggaran perjalanan dinas. Dia menjelaskan dengan suara bersahabat, tatapan sederhana. Seolah tidak ada sedikit pun istimewanya fakta tersebut.
Aku terdiam lama. Itu salah satu momen spesial dalam hidupku.
Pertemuan yang mengesankan, dengan seseorang yang menakjubkan.
Apakah semua politikus itu jahat" Menjual omong kosong seperti yang aku bicarakan dalam konferensi kemarin siang di Hong Kong" Terus terang aku tidak tahu pasti jawabannya. Boleh jadi, motivasi terbesarku mendirikan unit baru di perusahaan konsultanku justru untuk membuktikan sebaliknya. Apa kata Om Liem dulu tentangku, Aku keliru. Kau ternyata selama ini sebenarnya sedang membenci dirimu sendiri, Thomas. Kau tidak pernah membenci orang tua ini. Kau tidak membenci sistem dunia yang rusak. Kau tidak membenci orang-orang jahat yang membakar orangtuamu. Ya, kau justru sedang membenci diri sendiri. Semua yang ada di kepalamu berubah jadi paradoks. Semua yang kauucapkan, yang kautunjukkan adalah keterbalikan sempurna dari hatimu. Seorang anak muda yang pintar, kaya, memiliki akses besar, dikelilingi orang-orang terbaik, penuh dengan kesedihan hidup, ternyata setiap hari berusaha melawan dirinya sendiri. Dia membenci dirinya sendiri. Kenapa" Karena hal. Hanya bisa menonton, menangis meraup abu orangtuanya, tidak bisa melakukan apa pun. Lantas saat sudah tumbuh dewasa, justru tertawa tidak peduli di atas kehidupan yang semakin rusak, juga tidak bisa melakukan apa pun. Bukankah demikian, Thomas" Om Liem boleh jadi benar. Terlalu banyak paradoks dalam hidupku.
Perjalanan delapan jam Jakarta-London itu menjadi momen penting dalam hidupku setelah kasus penyelamatan Bank Semesta. Percakapan itu memberikan inspirasi. Aku memilih membelokkan kehidupanku, terlibat di dunia politik.
Kau tahu, Thomas, masalah terbesar bangsa kita adalah: penegakan hukum. Hanya itu. Sesederhana itu. Beliau berbaik hati menjelaskan prinsip yang diyakininya, di ketinggian 40.000 kaki, di atas hamparan awan putih. Kita tidak hanya bicara soal hukum dalam artian sempit, seperti menangkap orang-orang jahat. Melainkan hukum secara luas, yang mengunci sistem agar berjalan lebih baik, membuat semua orang merasa nyaman dan aman. Jika hukum benar-benar ditegakkan di muka bumi negeri ini, banyak masalah bisa selesai dengan sendirinya.
Korupsi misalnya, ketika hukum ditegakkan tanpa tawarmenawar, pelaku korupsi dengan sendirinya akan tumbang berjatuhan. Pisau hukum menebas mereka dengan hukuman berat dan serius. Penegak hukum juga akan mengejar hingga ke akarakarnya, tidak peduli siapa pun yang mencuri uang rakyat. Pembuktian terbalik dipakai, orang-orang yang tidak bisa membuktikan dari mana semua kekayaannya berasal akan dihukum.
Saat masyarakat menerima pesan yang kuat bahwa pemerintah tidak main-main dalam menegakkan hukum, hingga level liar di kantor kelurahan, pungli di Kantor Urusan Agama saat kau hendak mengurus pernikahan, polisi lalu lintas di perempatan jalan, bahkan tukang parkir ilegal, pemalak, apa pun yang menyakiti rakyat. Mereka akan gentar, takut, karena mereka tahu, pemerintah akan memburu mereka demi penegakan hukum.
Penegakan hukum yang sungguh-sungguh ini juga akan menyentuh banyak sisi yang kita abaikan selama ini. Tidak akan ada perusahaan atau orang-orang kaya berani mengemplang pajak, karena mereka tahu pemerintah akan merampas kekayaan mereka. Tidak akan ada sekolah, guru-guru yang berani memeras murid dengan dalih karya wisata, uang seragam, buku wajib, LKS, karena mata penegak hukum terarah ke semua bidang. Tidak akan ada penjarahan hutan, illegal logging, apalagi konsesi tambang yang main-main dengan konservasi alam, karena pemerintah akan mengambil tindakan serius sekali atas pelanggaran hukum tersebut.
Kaubayangkan apa yang akan terjadi, Thomas, jika hukum ditegakkan kokoh di negeri ini. Menjulang tinggi tanpa tawarmenawar, tanpa pandang bulu, tanpa tunggu nanti, besok, esok lusa. Tegak demi kebenaran dan keadilan, berapa pun harganya. Maka seluruh sistem yang ada di negeri ini dengan sendirinya akan sembuh. Ajaib membayangkannya, apalagi jika kita bisa menyaksikannya langsung. Penegakan hukum adalah obat paling mujarab mendidik masyarakat yang rusak, apatis, dan tidak peduli lagi. Kau bisa membayangkannya, bukan"
Aku benar-benar terdiam. Itu juga menjadi topik percakapan dalam pertemuan kedua kami, di ruangan kerjanya yang kecil Tidak ada yang menarik di ruangan itu. Sesuatu yang mahal, sesuatu yang dipajang tidak ada, padahal beliau gubernur ibu kota. Kami membicarakan tentang situasi politik terkini. Aku bertanya tentang cita-cita dan mimpi. Dia menjawabnya dengan begitu mengesankan. Begitu sederhana, begitu terang prinsip yang dimilikinya, hingga aku seolah bisa menyentuhnya dengan tangan.
Nah, sebagai walikota, atau kemudian sebagai gubernur, aku tidak memiliki kekuatan melakukan itu, Thomas. Tugas dan kewajiban kepala daerah terbatas.
Lantas siapa yang memiliki kekuatan itu" Presiden negeri ini. Beliaulah pemilik komando tertinggi dalam jihad mulia menegakkan hukum. Mengacu pada konstitusi, presidenlah pendekar paling sakti, paling berkuasa, dan paling menentukan ke arah mana hukum akan dijalankan. Ribuan polisi korup, presiden berwenang penuh mengurusnya. Mengganti seluruh pucuk pimpinan kepolisian itu mudah, sepanjang ada niat dan berani. Ribuan hakim berkhianat atas amanah yang diberikan, juga mudah, mereka ada di bawah rantai komando presiden. Pun termasuk kejaksaan, jaksa-jaksa yang bermain-main dengan hukum. Pun birokrat, hingga kepala desa yang curang, mengurus KTP harus membayar, apa pun itu. Presiden bisa memimpin perang besar-besaran terhadap orang-orang yang bukan saja melanggar hukum tapi sedang menghina hukum negeri ini.
Maka akan berbeda saat aku menjadi wali kota atau gubernur, yang lebih fokus terhadap kesejahteraan rakyat, pendidikan, dan kesehatan mereka. Membuat mereka nyaman, tidak mengalami kemacetan, tidak menderita kebanjiran, bisa mendapatkan Sebagai presiden, prioritas itu berubah. Penegakan hukum, demi Tuhan, penegakan hukum adalah kunci semua masalah. Kita harus menyadari hal ini. Kita sebenarnya sedang berperang melawan kezaliman yang dilakukan kita sendiri dan orang-orang di sekitar kita yang mengambil keuntungan karena memiliki pengetahuan, kekuasaan, atau sumber daya. Jika kita memilih tidak peduli, lebih sibuk dengan urusan masing-masing, nasib negeri ini persis seperti sekeranjang telur di ujung tanduk, hanya soal waktu akan pecah berantakan. Ini negeri di ujung tanduk, Thomas.
Aku mencerna seluruh kalimatnya.
Aku bahkan ingat kalimat-kalimatnya. Itu sungguh omong kosong paling meyakinkan yang pernah kudengar. Itu komoditas politik yang paling menarik untuk dibungkus, dikemas, lantas dijual kepada pemilih. Itu isu moralitas terbaik yang bisa diangkat di negeri ini. Penegakan hukum. Menatap wajahnya yang tulus saat bicara, bahkan berkaca-kaca ketika tiba di kalimat yang penuh semangat, terharu dan antusias menjelaskannya karena begitu kuat menggigit cita-cita itu. Aku memutuskan akan berada di belakangnya, menjadi orang pertama yang akan menjadikan semua itu nyata. Aku menawarkan bantuan politik sebagai konsultan strategi. Dia tertawa riang, menerimanya dengan senang hati. Kami segera membentuk tim. Beliau tidak mengambil kesempatan periode kedua sebagai gubernur ibu kota agar bisa fokus menjalankan kampanye besar itu.
Percakapan itu lengang beberapa detik. Masih tidak ada suara di seberang telepon. Aku juga terdiam, menghela napas pelan. Hanya derum pesawat jet yang terdengar.
sembunyi. Aku tidak bisa melakukan saran itu. Aku memiliki banyak rencana. Aku akan memilih tampil setiba di Jakarta. Mengirim pesan kita tidak takut, dan jika sedikit beruntung, mengirim serangan balik, agar mereka paham kita akan memenangi kampanye besar ini. Risikonya boleh jadi besar, tapi itu harga yang sepadan.
Baiklah, Thomas. Baik. Suara klien politikku kembali terdengar. Dia berusaha berkata dengan intonasi terkendali setelah sebelumnya tersendat. Aku selalu percaya padamu. Tidak sepantasnya aku menganggapmu tidak bisa menjaga diri sendiri. Hatihati, Nak. Lakukan apa yang hendak kaulakukan. Kau benar, kita akan memenangi konvensi partai itu. Aku akan berdiri gagah menghadapi semua kejadian, apa pun manuver yang terjadi di sekitar. Apa pun harga yang harus kita bayar. Kau telah membuatku lebih berani, Nak.
Percakapan itu berakhir setelah dua-tiga kalimat lagi. Aku menutup telepon, perlahan menyandarkan punggung ke sofa pesawat yang empuk, mengembuskan napas. Siapa orang yang pantas dibela dengan nyawa sekalipun" Aku tidak tahu jawabannya. Karena sesungguhnya, dalam semua rangkaian kejadian yang baru saja dimulai puncak ketegangannya ini, aku memegang agenda tersembunyi sejak setahun lalu. Masih ada beberapa orang lagi yang harus kutelepon. Orang pertama berikutnya yang paling penting adalah: Maggie, staf khususku yang selalu menawan hati. Aku harus segera mengaktifkan komando tempur.
K AU pasti akan mengganggu libur panjangku, Thomas.
Itu reaksi pertama Maggie saat tahu aku meneleponnya. Suaranya bersungut-sungut.
Memangnya kau sekarang sedang berlibur di mana, Meg" Di salah satu pantai di Bali" Di pusat mode Paris" Atau mal terbesar Singapura, paling dekat dari Jakarta"
Eh, Maggie diam sebentar, mungkin sedang menyengir lebar di seberang telepon sana, aku di rumah sih. Tapi itu tetap liburan, Thomas. Bahkan boleh jadi lebih berharga dibanding ke pantai, pusat perbelanjaan atau Hong Kong dan Makau sekalipun seperti yang sedang kaulakukan. Aku di rumah dan bisa menghabiskan waktu bersama keluarga.
Aku tertawa lagi. Memangnya kau punya keluarga di rumah, Meg" Bukankah orangtuamu ada di kota lain" Kau sendirian tinggal di Jakarta, bukan"
Episode 2 Riset Adalah Segalanya Maggie terdengar ketus. Setidaknya aku bisa liburan dengan tidur sepanjang hari selama long weekend. Itu juga tetap terhitung liburan yang menyenangkan. Gratis.
Tidak lagi, Meg, aku mulai berkata serius, tidak ada lagi liburan. Aku minta maaf harus bilang itu. Situasinya berubah darurat. Aku sekarang persis berada di pesawat menuju Jakarta, meneleponmu di atas ketinggian 35.000 kaki, melaju dengan kecepatan 800 km/jam. Aku membutuhkanmu segera ada di kantor, Meg. Kau harus membantuku melakukan banyak hal. Dalam kondisi ini, hanya kau orang yang paling kupercaya, dan jelas, hanya kau orang yang paling efektif mengerjakan permintaanku.
Maggie hendak mengomel protes, tapi mendengar nada suaraku dia berubah pikiran, hanya menjawab pendek, Kau bosnya, Thom.
Nah, itu baru Maggie yang kukenal. Segera berangkat ke kantor. Setiba di sana, gunakan semua akses yang dimiliki perusahaan untuk mencari informasi. Aku membutuhkan semua kasus hukum yang melibatkan partai besar yang akan melakukan konvensi besok. Kumpulkan semuanya, bahkan meskipun itu termasuk kecelakaan motor salah satu anak pengurus partai, atau kasus pencurian sandal jepit yang melibatkan tetangga pengurus partai. Apa pun kata kunci yang merujuk ke partai tersebut, walaupun hanya satu nama, satu kata, apalagi satu kalimat, kumpulkan. Mulai kumpulkan dari data dua puluh tahun lalu, hingga hari ini, apa pun sumber datanya, entah itu dari media massa, koran, televisi, radio, materi konferensi, seminar, celetukan di jejaring sosial, status, twit, tulisan di blog, semuanya Hubungi bagian teknologi informasi perusahaan kita, minta Kris dan stafnya membantu, termasuk mengolah semua data. Aku yakin Kris segera paham apa yang harus mereka kerjakan. Suruh mereka masuk kantor hari ini. Semua orang harus lembur. Bilang aku yang menyuruh. Abaikan dulu sementara waktu pekerjaan analisis data pemilihan umum yang sedang mereka kerjakan, fokus ke tugas baru ini. Mereka punya teknologinya untuk mencari pola semua berita, informasi, liputan, artikel, atau apa pun yang berhasil kaukumpulkan. Kau punya wewenang penuh meminta bantuan siapa pun di perusahaan. Kau paham, Meg"
Iya, Maggie menjawab pendek. Stafku yang paling gesit itu pasti telah meraih kertas dan pulpen beberapa detik lalu, mencatat cepat semua kalimatku dengan huruf steno.
Nah, kabar buruknya, waktu kita terbatas, Meg. Aku berharap semua informasi yang kaukumpulkan sudah bisa mulai dianalisis sore ini, dan hipotesis awal sudah bisa kudengar besok pagi, sebelum pembukaan konvensi. Aku diam sejenak, mengusap wajah. Kita seharusnya melakukan ini sejak dulu, agar tahu persis lawan yang kita hadapi. Aku terlalu menganggap remeh mereka. Riset seperti ini bisa membantu menunjukkan lingkaran-lingkaran kekuasaan yang dimiliki lawan klien politik kita. Membuat kita seperti melihat sebuah akuarium jernih, melihat dengan jelas kerumunan ikan di dalamnya, arah mereka bergerak, berkelompok. Tapi terlambat lebih baik daripada tidak sama sekali.
Dua pramugari pesawat jet pribadi itu mendorong troli di lorong, menawarkan makan siang. Mereka membawa menu yang makanku berkurang drastis. Dengan telepon genggam di telinga, aku hanya menunjuk sepotong roti dan botol air mineral. Pramugari mengangguk, membantu menyiapkan meja lipat di kursiku. Hanya Kadek yang meminta porsi makanan lengkap.
Pekerjaan kedua, kauhubungi segera wartawan dan redaktur media massa besar. Bilang kita punya press release penting tentang pembukaan konvensi partai besok. Kumpulkan mereka di salah satu restoran atau kafe tiga jam lagi, pukul 15.00. Aku akan segera tiba di Jakarta dua jam lagi, langsung bergabung ke tempatmu mengumpulkan mereka.
Kau perlu berapa orang, Thom"
Mana aku tahu, Meg, aku berseru. Sebanyak mungkin, berapa pun yang berhasil kauundang, sepuluh, dua puluh. Kausesuaikan kapasitas ruang dengan jumlah mereka agar nyaman. Mereka pasti tertarik dengan kabar update konvensi partai. Jika itu tidak cukup, tambahkan sweetener. Bilang aku akan menjelaskan sebuah dugaan persekongkolan besar. Ah iya, kauundang juga beberapa pengamat politik yang aktif muncul di televisi, koran, internet, dan narasumber lainnya.
Baik, Thom. Maggie terus mencatat. Dari nada suaranya, sepertinya dia sekarang malah berjalan cepat sambil mendengarkan telepon. Ada lagi"
Sementara dua pekerjaan itu. Aku menghela napas perlahan. Pastikan kau baik-baik saja, Meg. Minta security gedung berjaga-jaga atas segala kemungkinan. Minta mereka mengawasi dan melaporkan ke atas jika ada sesuatu. Jika ada yang mencurigakan, kautinggalkan segera kantor. Bawa semua dokumen dan alat kerja. Kau bisa berpindah ke kantor darurat, ruangan kerja Kris Ini sebenarnya seberapa serius, Thomas" Intonasi suara Maggie berubah.
Ini sama seriusnya seperti tahun lalu, Meg. Kau bisa ditembaki, dikejar, atau ditangkap. Tapi tenang, kabar baiknya, kau sudah berpengalaman, bukan" Pengalaman selalu lebih penting dibanding level pendidikan dan nilai akademis. Aku tertawa kecil, mencoba bergurau.
Tidak lucu, Thom. Aku seharusnya meminta kenaikan gaji dua kali lipat untuk semua ini. Tidak ada dalam job desc-ku tertulis bekerja lembur saat long weekend, Maggie menjawab datar gurauanku. Dari speaker telepon terdengar samar suara pintu ditutup, sepertinya dia naik ke kendaraan, dia bicara selintas dengan seseorang.
Itu mudah. Akan kunaikkan gajimu, termasuk bonus perjalanan liburan. Dua tiket ke Madrid, misalnya. Setidaknya kau tidak harus berpura-pura liburan, nyatanya sedang tiduran sepanjang hari di kamar.
Maggie mendengus, kali ini tidak menjawab.
Nah, setengah jam lagi semoga kau sudah di kantor, Meg. Kita membutuhkan seluruh waktu yang ada. Dua jam lagi saat tiba di Jakarta, aku harap kau sudah mengirimkan lokasi pertemuan itu.
Aku bahkan sudah di atas taksi beberapa detik lalu, Thom. Itu benar, Maggie selalu bisa kuandalkan. Dia sama gesitnya, berpikir beberapa langkah ke depan sepertiku. Enam tahun menjadi staf merangkap sekretaris, Maggie berkembang dengan baik. Dia bisa melakukan banyak hal secara simultan, termasuk seperti barusan: dia menerima telepon dengan head speaker, syal, memasang sepatu, lantas berjalan cepat ke luar rumah, melambaikan tangan ke taksi yang melintas, naik taksi, berseru ke sopir tujuan perjalanan, menutup percakapan dengan kalimat meyakinkan.
Aku meletakkan telepon genggam di atas meja. Kembali menyandarkan punggung ke kursi pesawat. Melirik jam di layar telepon, tengah hari persis, pukul 12.00. Itu berarti tidak lebih dari 48 jam lagi waktuku tersisa. Sesuai rencana, besok pagi rapat partai itu resmi dibuka dengan agenda tunggal, konvensi calon presiden. Sehari kemudian, minggu siang, pimpinan partai besar itu, melalui beberapa jaringan televisi, live dari arena konvensi, akan mengumumkan kandidat presiden hasil konvensi. Aku mengembuskan napas untuk kesekian kali. Terlepas dari deadline konvensi tersebut, jika notifikasi interpol segera dikirim luas ke seluruh kepolisian dunia, waktuku bahkan kurang dari 48 jam.
Kau sepertinya sibuk sekali, Tommi" Opa yang duduk di sebelahku berkata pelan. Mata sipitnya menatap takzim. Opa tidak tidur" Beristirahat" aku balik bertanya. Bagaimana aku bisa tidur, Tommi" Kau terus menelepon di sebelahku, berseru-seru. Opa tertawa sambil mengangkat tangan. Orang tua ini telah tidur lebih lama dibanding banyak orang. Kau tahu, usiaku tujuh puluh lima tahun. Jika dalam sehari, sepertiga waktuku dihabiskan untuk tidur, itu berarti aku telah tidur selama dua puluh lima tahun sepanjang umurku. Nah, usia kau baru tiga puluh empat tahun, bukan, itu berarti hanya lebih tua sedikit dibanding waktu yang aku habiskan untuk tidur.
beda dalam menyikapi topik percakapan. Ya, itu masuk akal. Tapi setidaknya Opa bisa istirahat sejenak. Kita masih dua jam lagi sebelum mendarat di Jakarta. Kita tidak tahu apakah bisa tidur dalam beberapa jam atau beberapa hari ke depan setelah kejadian tadi pagi.
Kau selalu melupakan bagian itu dalam ceritaku, Tommi. Opa menggeleng, menjawab takzim. Aku pernah terjaga selama tiga hari tiga malam di kapal nelayan yang bocor itu, tujuh puluh dua jam, dan orang tua ini baik-baik saja. Meninggalkan tanah kelahiran karena perang saudara dan wabah penyakit. Hanya membawa pakaian di badan, menumpang kapal nelayan, berlayar meninggalkan daratan Cina, mengungsi ke mana arah angin laut membawa. Tiga hari tiga malam....
Opa mengenal kakek Lee dalam perjalanan itu" aku memotong cerita lama Opa.
Aku senang dengan ide yang baru saja kutemukan. Aku tidak akan menghabiskan waktu di atas pesawat mendengar kisah heroik pengungsian Opa enam puluh tahun silam. Bukan karena itu tidak penting atau tidak menarik, tapi ayolah, aku bahkan hafal kalimat-kalimatnya. Jadi sebelum Opa semakin semangat bercerita, hingga pesawat ini mendarat, sebaiknya segera dibelokkan, dan Lee mungkin lebih bermanfaat sebagai topik percakapan.
Kau jangan memotong kalimatku, Tommi. Suara Opa terdengar sedikit sebal. Aku justru hendak menceritakan kakek Lee dalam kisah ini.
Tapi bisa langsung loncat saja ke bagian itu, Opa" Tanpa prolog.
Opa menatapku kesal. Aku lebih suka Tommi yang masih ceritaku, duduk rapi. Berbeda dengan Tommi sekarang, dia selalu tidak sabaran dan tidak sopan menghindar.
Kadek yang duduk di belakangku bahkan terbatuk kecil mendengar kalimat jengkel Opa sepertinya Kadek menahan tawa. Aku menoleh, mengacungkan kepal tinju ke belakang kursi.
Ya, kau benar. Aku bertemu dengan Chai Ten, kakek Lee di atas kapal nelayan bocor itu. Waktu itu usianya sama denganku, enam belas tahun. Kami sama-sama kurus, kurang gizi, berpakaian kumal, dekil, terlihat kusam, cocok sekali dengan penampilan pengungsi. Aku dan Chai Ten berasal dari wilayah daratan Cina yang sama, Guangzhou. Namun, kami baru saling men genal setelah di atas kapal.
Setelah berminggu-minggu di atas kapal, kami dekat satu sama lain. Berbagi cerita, berbagi makanan, berbagi apa pun, termasuk berbagi tugas yang disuruh oleh pemilik kapal. Itu perjalanan hidup-mati, melintasi ribuan mil, melewati badai. Tanpa teman karib yang saling menjaga, kau tidak akan bertahan lama. Opa mendongak, menatap langit-langit pesawat jet, diam sejenak.
Lee tadi pagi bilang kalau keluarganya yang seharusnya berterima kasih kepada Opa" Apa yang sebenarnya terjadi di atas kapal itu" Aku memotong lagi cerita Opa, tidak sabaran menunggu.
Opa menatapku semakin jengkel. Baik, Tommi. Dengan menyela dan bertanya lagi, kau benar-benar membuat cerita ini kehilangan sisi drama kemanusiaannya. Tidak bisakah kau menunggu sebentar, memberikan orang tua ini momen mengenang kejadian itu, lantas menceritakannya kembali dengan kalimat Lepas dari kawasan Laut Cina Selatan, Chai Ten jatuh sakit. Sebenarnya itu tidak spesial, separuh lebih pengungsi di kapal nelayan itu jatuh sakit, dan hampir semuanya tidak bertahan. Itu perjalanan berat, dilakukan tanpa persiapan, tanpa dokter atau tabib yang menyertai, tidak ada obat-obatan. Para pengungsi mulai berjatuhan sakit. Dan tanpa perawatan yang memadai, anak-anak kecil yang lebih dulu meninggal, disusul kemudian orang tua yang fisiknya lemah. Pemilik kapal melemparkan mayat-mayat ke lautan, tidak sempat memberikan penghormatan yang layak. Menunggu kapal merapat ke daratan, mayat itu telanjur busuk, bisa menyebarkan wabah penyakit yang lebih serius, membahayakan seluruh isi kapal.
Di minggu kedua perjalanan, Chai Ten sakit parah. Tubuhnya yang kurus dan makanan yang terbatas membuat sakitnya semakin serius. Dia demam, menggigil, dan muntah. Semua penyakit seperti serempak datang. Kasihan sekali melihatnya meringkuk di sudut palka, di bawah atap kapal yang tempias saat hujan deras. Dia menggigil kedinginan. Wajahnya pucat pasi, bibirnya biru, perutnya terkuras oleh muntah. Tidak ada yang peduli, tidak ada yang mau memberikan pertolongan, karena semua orang sibuk dengan masalahnya sendiri.
Opa diam sejenak, kembali mendongak menatap langit-langit pesawat, menghela napas. Kali ini aku memutuskan tidak memotong ceritanya, menunggu.
Orang tua ini tidak melakukan apa pun, Tommi. Hanya menunaikan kewajiban sebagai seorang teman. Kau tidak mungkin membiarkan teman senasib menderita sendirian. Maka aku merawat Chai Ten. Mencarikan selimut dari karung goni tebal yang berikan air tawar yang susah payah didapat dari hujan turun. Membuat ramuan obat semampuku dari sisa-sisa logistik pemilik kapal nelayan. Menemaninya siang dan malam, menghiburnya, memberikan semangat kami berdua akan melalui hari-hari sulit tersebut, tiba di negeri yang lebih baik.
Seminggu lamanya Chai Ten menderita oleh sakitnya, malam menggigil, siang meringkuk kesakitan, dan ajaib, dia bertahan. Dia satu-satunya penumpang sakit yang selamat. Beberapa hari setelah kondisinya membaik, kapal nelayan tiba di bandar besar, Singapura. Chai Ten turun di sana, memutuskan mencari peruntungan di bandar itu. Aku memilih terus mengikuti perjalanan kapal nelayan hingga tiba di Surabaya.
Kami berpisah. Dia menangis memelukku, bilang tidak akan pernah melupakan kejadian di kapal nelayan. Ah, kejadian enam puluh tahun itu masih segar sekali di ingatan orang tua ini, Tommi. Wajah Chai Ten, tubuhnya yang kurus, senyumnya yang mengembang. Kami semua senasib, orang-orang yang berusaha mencari kehidupan lebih baik. Aku bahkan masih ingat semua awak kapal. Keluarga-keluarga pengungsi, wajah-wajah mereka, nama-nama mereka. Tetapi semua sudah tercerai berai, tidak ada kabar. Setiba di tanah baru, kami harus bekerja keras, mencoba bertahan hidup, mana sempat mengingat yang lain. Juga Chai Ten, aku tidak pernah mendengar kabarnya hingga tadi pagi, saat Lee memberitahu. Ini sungguh rahasia langit. Aku tidak tahu Chai Ten telah menjadi orang berkecukupan, memiliki keluarga, memiliki cucu seperti Lee, begitu diberkahi bumi. Kapal nelayan bocor itu ternyata memberikan nasihat hidup yang banyak sekali. Opa menghela napas panjang. Wajah tuanya terlihat Aku mengangguk, memberikan Opa waktu mengenang semua kejadian.
Kau tadi malam mengalahkan Lee di hobi aneh kalian itu, hah" Bertinju" Opa menoleh, bertanya, beberapa detik setelah lengang.
Aku mengangkat bahu, begitulah. Aku mengalahkannya. Sepertinya, kalau menilik sikap Lee tadi pagi, kau tidak pernah memenangi pertarungan itu, Thomas, Opa menatapku, berkata santai.
Hei, Opa bilang apa" Enak saja. Aku mengalahkannya dalam pertandingan lima ronde. Dia menyerah di ronde kelima, meminta inspektur menghentikan pertandingan. Dia tidak bisa meneruskan pertandingan karena berkali-kali telak menerima pukulan tinjuku.
Jelas sekali, bukan" Opa mengedipkan mata. Jelas apanya" aku bertanya balik pada Opa. Dia mengalah, Tommi. Opa tertawa kecil. Aku melotot. Enak saja, aku jelas-jelas mengalahkannya. Lee pasti tahu kau cucuku. Sebelum kau tiba di Makau, bertarung dengannya, dia pasti telah mencari tahu siapa orang yang akan dihadapinya, apa pekerjaannya, keluarganya, semuanya. Sama seperti yang sering kaulakukan di kantor. Apa kalian menyebutnya" Ah iya, riset. Riset adalah segalanya, bukan" Nah, boleh jadi amat mengejutkan bagi Lee ketika memeriksa riwayat keluarga, dia mengetahui kalau calon lawannya yang bernama Thomas itu adalah cucu sahabat dekat kakeknya.
Tentu saja Lee tahu tentangku, meski tidak pernah bertemu. Chai Ten menganggap kejadian di kapal nelayan itu kenangan nya, cucu-cucunya mendengar cerita tersebut. Lee berkenalan dengan namaku bahkan sejak masih kecil. Lewat kebetulan pertarungan tadi malam, dia segera mengenal banyak nama lain, termasuk Edward papamu. Juga Liem, pamanmu yang dipenjara.
Apakah kau memenangi pertarungan semalam" Menurut orang tua ini, Lee mengalah padamu, Tommi, demi masa lalu itu. Opa terkekeh.
Aku mendengus kesal, Opa jelas sedang mengolokku. Anak muda yang tidak bisa mendengarkan cerita masa lalu leluhurnya, seperti kau ini Tommi, tidak sabaran, suka memotong kalimat, maka tidak akan pernah menang bertarung dengan anak muda lain yang begitu menghargai masa lalu orang tuanya, seperti Lee, cucu Chai Ten itu. Opa bersedekap takzim, memberikan kesimpulan.
Aku memutuskan tidak berkomentar lagi.
A KU selalu terkesan dengan pekerjaan Maggie. Impresif.
Termasuk yang satu ini. Setengah jam sebelum pesawat mendarat, Maggie meneleponku, memberitahukan dia sudah mengundang sebanyak mungkin wartawan dan redaktur media massa, juga pengamat politik. Maggie tidak mengundang mereka berkumpul di restoran atau kafe bilangan pusat kota Jakarta. Meeting point yang dipilih Maggie adalah ruang tunggu bandara tempat pesawat mendarat.
Pesawat jet pribadi milik Lee tidak mendarat di Soekarno- Hatta, melainkan di bandara satunya yang sering digunakan pejabat atau tamu negara bepergian. Dengan surat perjalanan sementara pengganti paspor (aku baru menyadari kalau Lee memberikan kewarganegaraan Malaysia) kami lancar melewati petugas imigrasi. Petugasnya menyapa dengan, Selamat datang,
Episode 3 Mafia Hukum bih detail, hendak tertawa. Setidaknya itu masuk akal, daripada kami berempat didaulat menjadi warga negara Afrika Barat.
Beberapa wartawan menyambutku di lobi kedatangan. Salah seorang yang kukenali mengulurkan tangan, Najwa. Semoga ini memang penting, Thom. Aku bahkan membatalkan menghadiri konferensi pers salah seorang menteri.
Aku mengangguk. Ini lebih penting daripada itu. Sejak kapan kau punya pesawat jet pribadi, Thomas" Suara berat khas itu menegurku, Sambas, redaktur senior koran nasional. Dia tertawa, mengajakku bersalaman.
Aku ikut tertawa. Itu bukan milikku, Kawan. Bukan main, Thomas. Baru tadi pagi aku membaca berita tentang konferensi politik itu di portal surak kabar online dunia Herald Tribune. Mereka memuji partisipasi beberapa pembicara dalam mengembangkan isu pendidikan demokrasi, salah satunya memujimu. Sekarang kau sudah di Jakarta. Itu suara Faisal, salah seorang pengamat politik yang rajin memberikan pendapat di acara televisi, sekaligus penulis kolom tetap berbagai media.
Tahun berikutnya aku menyarankan panitia agar mengundangmu, Faisal. Mereka akan mendengarkan pembicara dengan pengetahuan dan pengalaman politik lebih luas, yang lebih baik dan lebih pantas dipuji dibanding aku. Aku menjabat tangannya erat-erat, berterima kasih atas kehadirannya.
Kau jangan bergurau, Thomas.
Aku tidak bergurau. Aku bahkan telah merekomendasikanmu hadir di sesi diskusi terbatas bulan depan, aku berkata sungguhsungguh sambil menatap sekelilingku.
Maggie mengerjakan tugasnya dengan baik. Ada sekitar dua internet. Juga hadir empat pengamat politik dengan reputasi baik. Lebih dari itu tempat yang dipilih Maggie. Dia memesan ruang tunggu bandara yang sering digunakan pejabat atau tamu kenegaraan sebelum naik pesawat. Itu ruangan yang representatif, apalagi dengan melakukan pertemuan segera setelah turun dari pesawat jet pribadi. Momen itu sudah sedemikian rupa menjadi penting dengan sendirinya.
Aku mempersilakan para undangan masuk ke ruangan, mengambil posisi duduk di sofa. Gadget canggih dengan fasilitas perekam suara dinyalakan, notes dan pulpen tergenggam, wajahwajah serius menatapku. Opa dan Kadek kuminta menunggu di ruangan tunggu lebih kecil. Maryam ikut dalam pertemuan.
Nah, Thomas, berita apa yang hendak kausampaikan" Sambas langsung bertanya ke pokok masalah. Wajahnya antusias seperti biasa. Kau tidak akan bilang kalau klien politikmu, kandidat paling serius konvensi partai besar, calon presiden paling populer, tiba-tiba mengundurkan diri, bukan" Sambas tertawa, mencoba bergurau.
Undangan lain ikut tertawa.
Aku menggeleng perlahan, demi sopan santun ikut tertawa. Aku sedang mengambil tempo bicara, menyusun kalimat pembuka.
Sebenarnya aku tidak tahu persis apa yang harus kubicarakan. Ini semua masih hipotesis, dugaan. Jika aku tidak hati-hati menyampaikannya, pendapatku tinggal ocehan level warung kopi. Tidak berharga, tidak penting. Bahkan bisa berimplikasi serius, tuduhan tanpa bukti. Apa sebenarnya yang ingin kukatakan" Ada ancaman serius terhadap klien politikku" Ada manuver licik ngan atau headline koran kuning, koran sampah yang menarik pembaca dengan judul bombastis, tapi tanpa bukti memadai, fondasi berpikir yang kokoh, dan argumen yang tidak terbantahkan. Itu bukan konsumsi berita media yang memiliki reputasi.
Kau tidak akan membuat kami terus menunggu penasaran setengah mati kan, Thomas" Najwa, wartawan dari televisi berita yang memiliki program talkshow sendiri menyela, tidak sabaran menungguku mulai bicara. Lihat, juru kameraku sudah kering bibirnya, menunggu kau bicara. Sebentar lagi dia akan meletakkan kamera di atas meja.
Ruangan itu ramai lagi oleh tawa.
Aku ikut tertawa, mengangguk, baiklah. Ini pembicaraan penting, maka sudah saatnya aku menggunakan seluruh kemampuan memengaruhi orang. Tapi sebelum aku membuka mulut, Maryam tiba-tiba menyentuh lenganku, berbisik.
Kau tidak bergurau" aku bertanya, memastikan, membuat peserta pertemuan menatap bingung, penasaran, apa yang sebenarnya sedang terjadi" Maryam menunjukkan layar telepon genggam, memperlihatkan sebuah pesan singkat berisi dua potong kalimat yang baru saja dia terima.
Remote" Demi membaca dua kali SMS itu, aku segera berdiri. Di mana remote televisi"
Ada apa, Thomas" Sambas bertanya.
Nyalakan segera televisi. Aku menunjuk televisi besar yang ada di ruangan tunggu tersebut, berusaha memeriksa meja, mencari remote televisi.
Salah satu wartawan menemukan remote lebih dulu. Dia bergegas menyalakan televisi. Sekejap layar LED menyala, tidak jadian tersebut. Adegan mencengangkan itu segera terlihat. Aku menatap layar dengan tatapan kosong. Segenap emosi itu menyergap kepalaku. Isi SMS itu pendek saja: Sekarang di televisi. Siaran langsung penangkapan JD, kandidat presiden konvensi partai besar.


Negeri Di Ujung Tanduk Karya Tere Liye di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ruang tunggu itu ikut lengang seketika, menyisakan karutmarut gambar bergoyang di televisi, seruan-seruan, dan suara anchor. Pembawa acara melaporkan dengan semangat, bahkan tidak peduli kalau kalimatnya berantakan, patah-patah. Klien politikku tampak diborgol tangannya. Teriakan anak-anaknya yang masih remaja berlarian hendak memeluk. Belasan polisi dengan seragam taktis, belasan polisi lain dengan seragam biasa yang berusaha membubarkan kerumunan, menahan gerakan orang-orang yang semakin ramai berkumpul di rumah klien politikku tersebut.
Aku menggigit bibir. Astaga! Klien politikku ditangkap" Apa tuduhan mereka" Ini jebakan seperti yang terjadi di Hong Kong tadi pagi. Aku mengusap rambut. Ini sebuah pertempuran. Ini bukan lagi intrik politik biasa. Serangan mereka datang laksana roket, ditembakkan berkali-kali untuk meruntuhkan pertahanan lawan.
Pemirsa, dari lokasi penangkapan, kami mengabarkan bahwa pihak kepolisian menyatakan efektif hari ini JD dijadikan tersangka korupsi megaproyek tunnel raksasa selama menjadi gubernur ibu kota. Seperti yang kita ketahui, nilai proyek yang digagas beberapa tahun lalu itu dilaporkan 16 triliun, dan saat selesai pembangunnya setahun lalu membengkak menjadi 24 triliun karena perubahan spesifikasi terowongan raksasa dan conference nanti malam pukul sembilan, memberikan keterangan lengkap atas penangkapan yang amat mengejutkan ini.
Dengan penangkapan ini, JD dipastikan batal menghadiri pembukaan konvensi partai besar besok pagi di Denpasar, dan kami belum bisa memastikan apakah JD tetap menjadi kandidat calon presiden atau beliau terpaksa didiskualifikasi karena kasus ini. Beberapa pengurus partai berwarna lembayung itu belum bisa memberikan konfirmasi, masih menunggu pertemuan terbatas antar pemimpin partai untuk membahas hal ini, dan boleh jadi baru bisa diputuskan saat pembukaan konvensi besok pagi.
Mantan gubernur ibu kota yang masa tugasnya berakhir setahun lalu, dan memutuskan tidak ikut pemilihan gubernur untuk periode kedua kalinya meskipun fakta survei 90 persen lebih penduduk Jakarta akan memilihnya kembali, adalah kandidat paling serius konvensi partai tersebut. JD adalah salah satu pejabat pemerintahan paling populer, dikenal dekat dengan rakyat kecil. JD telah membentuk tim solid setahun lalu untuk mengejar target lebih tinggi, tampuk kekuasaan di negeri ini, pemilihan presiden tahun depan. Dengan kasus ini, belum ada pihak yang bisa....
Aku tidak mendengarkan lagi kalimat pembawa acara siaran langsung tersebut. Aku melihat potongan gambar klien politikku dengan tangan terborgol dinaikkan paksa ke atas mobil tahanan. Laras senjata yang teracung, kerumunan massa semakin banyak, teriakan-teriakan protes, dan marah. Satu-dua pendukung berani merangsek mendekat yang segera dilumpuhkan polisi. Sebelum situasi menjadi tidak terkendali, mobil tahanan itu telah meninggalkan lokasi dengan sirene meraung kencang. Menyisakan begi-Beberapa wartawan perempuan di ruang tunggu bandara menutup wajahnya dengan telapak tangan, berseru tidak percaya. Yang lainnya memegang kepala, bergumam, ini sungguh mengagetkan. Tidak ada angin, tidak ada kabar, bagaimana mungkin" Maryam menggigit bibir, menoleh padaku. Aku menggeleng, aku sungguh tidak tahu akan begini jadinya.
Apakah ini yang hendak kausampaikan, Thomas" Sambas, redaktur senior koran terbesar nasional menepuk bahuku pelan, suaranya amat prihatin, memecah lengang di ruang tunggu. ***
Lima menit setelah siaran langsung breaking news itu.
Akulah yang memulai menyebut istilah itu. Istilah yang bertahun-tahun ke depan marak dipakai wartawan, pengamat politik, komentator hukum, hingga orang awam. Istilah yang kemudian populer digunakan mulai dari percakapan ringan di kedai kopi, hingga debat hangat di ruangan mewah berpendingin wakil rakyat. Belasan wartawan dan pengamat politik yang diundang Maggie sempurna menatapku ingin tahu. Salah satu wartawan sengaja mematikan televisi, agar pertemuan berjalan lebih tenang. Aku menjadi pusat perhatian tunggal.
Ruangan tunggu bandara yang pernah digunakan puluhan tamu negara, termasuk Presiden Amerika Serikat sebelum naik pesawat itu, lengang. Kesibukan pesawat di landas pacu dan tempat parkir tidak terdengar, terhalang dinding kaca yang kedap suara.
Aku balas menatap wajah-wajah di sekelilingku, menggeleng.
Sebenarnya aku tidak menduga akan seperti ini jadinya. Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi. Suaraku tercekat. Aku benar-benar tidak menduganya, baru dua jam lalu aku bicara dengan klien politik kami. Mendiskusikan tentang perkembangan situasi, kabar terbaru soal konvensi.
Apakah beliau tahu akan ditangkap" Maksud saya apakah dalam percakapan Anda dua jam lalu beliau bercerita kemungkinan itu" Insting seorang politisi berpengalaman" Salah satu wartawan dari media online mengangkat tangannya, memotong, bertanya.
Aku diam sejenak, menggeleng lagi, Kalau soal ditangkap" Sama sekali tidak. Astaga, siapa pula yang akan berpikir klien politik kami akan ditangkap" Ditangkap satu hari menjelang konvensi partai. Itu pemikiran paling gila, tebersit pun tidak kemungkinannya.
Kita semua tahu, tidak ada satu pun penyidik di kepolisian yang pernah mengonfirmasi sedang menyelidiki kasus tersebut. Tidak ada kabar beritanya. Apa mereka bilang" Korupsi megaproyek tunnel raksasa ibu kota" Omong kosong. Ayolah, apa kalian pernah mendengar selentingan ada tindak korupsi di proyek itu selama ini" Nihil. Proyek itu dibiayai dana swasta dan dianggap salah satu proyek paling efektif mengurangi banjir di ibu kota sejak pembangunan kanal oleh VOC seabad silam.
Kau benar. Ini mengejutkan, tapi kita sama-sama tidak tahu, Thomas. Boleh jadi polisi memiliki penjelasan lain" Bukti-bukti atau sesuatu yang memang tidak mereka buka hingga hari ini" Mungkin ada sesuatu yang menjadi petunjuk" Kau adalah orang terdekat JD setahun terakhir. Sambas mencoba membuka ke- Kami tidak tahu, Sambas. Bahkan bisa kupastikan beliau juga sama sekali tidak tahu. Dua jam lalu, saat bicara lewat telepon denganku, klien politik kami mencemaskan ada eskalasi besar-besaran dalam konvensi partai besok. Entah siapa yang melakukannya, apa tujuannya. Beliau meyakini ada yang sedang menggelar operasi kilat, melakukan manuver politik tingkat tinggi, penuh intrik dan rekayasa.
Aku sebenarnya mengundang kalian datang untuk membicarakan kemungkinan itu, kalian memiliki kuping yang lebih peka, memiliki banyak narasumber yang tidak diketahui masyarakat luas, kalian fleksibel dan netral bergaul dengan banyak pihak. Aku mengundang kalian untuk berdiskusi kemungkinan serius tersebut. Nah, kejadian barusan membuat diskusi ini menjadi semakin relevan. Frankly speaking, meski masih dalam level hipotesis, aku meyakini penangkapan klien politik kami ada hubungannya dengan konvensi partai yang dibuka besok pagi. Itu jelas, terang benderang.
Itu harus dibuktikan, Thomas, Sambas berkata pelan. Pembaca atau orang banyak akan tertarik dengan hipotesis yang kausampaikan, teori konspirasi selalu menjadi favorit, tapi media tidak memuat berita berdasarkan pendapat seorang konsultan politik yang kliennya ditangkap.
Lantas apa pendapatmu, Sambas" Ini murni kriminal" Semata-mata kasus korupsi biasa" Klien politikku memang benar telah melakukan tindak korupsi" Hei, bertahun-tahun dia menjabat sebagai wali kota, kemudian gubernur, tidak sepeser pun dia mengambil gajinya. Kalian tahu persis soal itu. Kalian tahu gaya hidupnya selama menjadi gubernur. Setiap hari kalian mekabar" Tebersit kecurigaan" Gunakan akal sehat. Kita segera tahu penangkapan ini serangan politik yang menggunakan alat hukum, melibatkan penegak hukum. Aku menatap Sambas, bertanya balik.
Sambas terdiam, mengangguk. Iya, aku jelas tidak memercayai penangkapan ini.
Nah, siapa di sini yang percaya klien politikku melakukan korupsi" Aku menyapu seluruh ruang tunggu. Sebagian besar mengangkat bahu, menggeleng.
Baik, Thomas. Andaikata benar apa yang kausampaikan, lantas siapa yang menyusun serangan politik ini" Kau tidak bisa menuduh semua pihak, melempar dugaan ke kompetitor konvensi partai tersebut. Ada tiga calon lain dalam konvensi itu, Thomas.
Aku tidak bilang tiga calon lain yang melakukannya, Sambas. Aku menggeleng tegas. Jika klien politik kami ditangkap sehari sebelum konvensi, tujuannya simpel, gagalkan dia mengikuti konvensi besok. Mereka tidak peduli siapa yang akan menang, Sambas, sepanjang bukan klien politik kami. Jadi bisa siapa saja yang melakukan ini. Bahkan bisa pihak tertentu yang sama sekali tidak terlibat dalam partai besar itu, tidak terlibat dalam pemerintahan, cukup dengan memiliki kepentingan, merasa terganggu dengan kemungkinan kemenangan klien politik kami.
Aku diam sejenak, sekali lagi balas menyapu wajah-wajah wartawan lain yang menunggu kalimatku berikutnya. Lantas siapa yang melakukannya" Setidaknya ada tiga fakta penting yang layak dipikirkan. Pertama, kita tidak bisa dengan mudahnya menangkap seseorang dengan tuduhan seserius tersebut, apalagi nangkapan disiarkan live, jelas sekali diperlukan banyak pihak untuk melancarkan operasi ini. Kedua, siapa pun yang mengambil risiko melakukan penangkapan ini, dia merasa yakin sekali telah menguasai banyak pihak. Penangkapan ini segera menjadi perhatian orang banyak, menjadi berita paling menarik bahkan mengalahkan berita tentang konvensi partai itu sendiri.
Ketiga, sekaligus fakta paling penting, kita semua tahu, bahwa prinsip mendasar seluruh kampanye politik klien kami adalah penegakan hukum. Dia berjanji akan menegakkan hukum di negeri ini. Dia bersumpah akan memberantas hingga ke akarakarnya parasit hukum di negeri ini, orang-orang yang mempermainkan bahkan mengolok-olok hukum itu sendiri. Itu ide besar yang disukai banyak orang, sekaligus dibenci banyak pihak.
Dari ketiga fakta itu, siapa yang melakukan serangan politik ini" Membunuh karakter klien kami" Jawabannya adalah kejadian ini jelas melibatkan konspirasi besar dari banyak pihak, orang-orang yang terganggu jika klien kami menjadi presiden. Aku akan menyebutnya dengan istilah mafia hukum. Ya, mafia adalah padanan kata terbaik untuk menjelaskan banyak hal. Merekalah yang melakukannya. Mereka bergerak dalam jaringan rahasia. Anggotanya petinggi banyak institusi, mulai dari penegak hukum itu sendiri, birokrat, legislatif, pengusaha, siapa pun yang merasa berkepentingan dengan hukum di negeri ini. Politik hanya salah satu alat mereka. Hukum adalah bisnis besar mereka. Kita tidak pernah tahu siapa saja anggota mafia ini, anggota persekongkolan raksasa yang ada di negeri ini. Klien politik kami jelas bukan korban pertama, dan juga bukan korban terakhir jika tidak ada yang berani menghentikan jaringan ini.
sesuai harga, biarkan mereka yang membereskannya. Kalian memiliki masalah dengan pesaing bisnis, hubungi mafia ini, serahkan upeti, biarkan mereka yang menyelesaikannya. Mereka bergerak diam-diam, tidak terlihat oleh siapa pun, bahkan oleh wartawan seperti kalian. Bahkan yang lebih mengerikan lagi, boleh jadi ada teman profesi kalian yang menjadi anggota mafia ini. Boleh jadi teman duduk di sebelah kita sekarang adalah anggota mafia ini.
Aku diam sejenak, menatap isi ruangan satu per satu yang refleks ikut melirik sebelahnya.
Aku baru saja membuat sebuah teori konspirasi yang serius. Tetapi aku tidak punya pilihan lain menjelaskannya. Mafia hukum. Dalam pertemuan itulah pertama kali istilah itu disebutkan. Besok lusa, para wartawan menggunakan istilah itu untuk merujuk situasi tersebut. Lantas secara berantai semua orang memakai istilah tersebut.
Kita tahu masalah ini, bukan" Tahu persis. Ada jaringan atau mekanisme atau sistem tidak terlihat yang bekerja menggerogoti hukum. Mulai dari level paling rendah, seperti jika kita punya masalah sepele, kecelakaan mobil atau kasus pemukulan misalnya, anggota mafia ini hadir diam-diam menawarkan solusi praktis, hingga level paling tinggi, misalnya ditangkapnya klien politik kami. Mereka memiliki hierarki dan rantai komando dalam organisasi yang tidak terlihat. Sama seperti mafia dalam kejahatan obat-obatan terlarang di dunia hitam. Ada pucuk-pucuk pimpinan dalam mafia hukum ini, dan mereka boleh jadi orang-orang paling penting di negara ini, orang-orang yang sering muncul di media massa, tersenyum, berwajah manis, me- Sekali lagi, kami tidak bisa memuat berita hanya berdasarkan hipotesis, Thomas, meskipun harus kukatakan ini sesuatu yang menarik, Sambas berkata pelan, menggeleng.
Hei, aku memang tidak meminta kalian memuatnya, Kawan. Aku tertawa kecil, berusaha menurunkan tensi pertemuan. Aku mengundang kalian untuk berdiskusi, menyampaikan kecemasan klien politik kami dua jam lalu lewat telepon, dan tidak perlu menunggu lama, kecemasan itu terbukti dengan ditangkapnya klien politik kami atas kasus hukum yang tidak masuk akal. Saya paham, kalian memiliki standar jurnalistik, menulis berdasarkan fakta.
Tidak selalu. Seseorang mengeluarkan pendapat setelah hanya aku dan Sambas yang bicara sejak tadi, membuat yang lain menoleh.
Adalah Maryam yang bicara, dia memperbaiki rambutnya. Kami tidak hanya menulis berita sesuai fakta yang ada. Secara prinsip demikian, tapi kenyataannya, kami selalu bisa memasukkan opini di dalam berita tersebut.
Maryam diam sejenak, memperbaiki posisi berdirinya. Thomas sudah memberikan opininya. Kita telah mendengarnya. Pendapatnya jelas tidak relevan karena dia berkepentingan, tapi boleh jadi memiliki kebenaran. Aku juga berhak memiliki opini, dan aku memilih memercayai Thomas. Terlalu naif jika penangkapan ini tidak ada kaitannya dengan konvensi partai. Kita semua bebas-bebas saja memiliki pendapat yang berbeda.
Aku tersenyum menatap Maryam sepertinya dia mulai pulih dari kejadian tadi pagi di Hong Kong. Gadis wartawan itu berkata dengan suara mantap.
ini aku akan berpikir dua kali memasukkannya dalam berita. Kita tidak bisa mengabaikan opini tersebut. Kita tidak bisa mengesampingkan pendapat Thomas, wartawan lain menimpali Maryam.
Pertemuan itu masih berlangsung satu jam kemudian. Berkembang menjadi sebuah diskusi hangat dan serius.
Dalam strategi komunikasi, kita tidak bisa memaksakan ide kepada orang lain karena malah jadi kontraproduktif, orang lain menolak mentah-mentah, melawan ide kita meskipun awalnya dia bersikap netral. Pertemuan itu jelas tidak memaksa siapa pun untuk sependapat dengan ideku. Wartawan dan pengamat politik yang diundang Maggie adalah orang-orang merdeka yang cerdas. Tetapi kita selalu bisa menggiring orang lain untuk sependapat. Kita selalu bisa menanamkan bibit-bibit ide tersebut, lantas membiarkannya tumbuh berkembang dengan sendirinya, membuat tempat bersemainya ide itu justru merasa memilikinya, kemudian dengan sukarela menyebarkannya kepada orang lain. ***
Pukul 16.00 aku meninggalkan ruang tunggu bandara.
Maggie yang selalu berpikir dua langkah ke depan telah mengirimkan salah satu mobil inventaris kantor ke parkiran bandara, sebuah Jeep dobel gardan dengan barang keperluan Opa. Menarik, dari beberapa mobil kantor, Maggie memilih mobil Jeep ini.
Wartawan dan pengamat politik membubarkan diri. Aku dan Maryam menuju ke ruangan sebelah. Aku harus segera melakuyang lebih aman. Mereka harus bersembunyi sebelum semua jelas, dengan penjagaan Kadek. Aku tidak bisa membawa mereka terus-terusan.
Aku ikut denganmu, Thomas, Maryam punya pendapat lain, berkata sungguh-sungguh.
Kau akan ikut dengan Kadek dan Opa, Maryam. Aku menggeleng. Ini berbahaya. Kau ingat apa yang dikatakan Opa di kapal beberapa menit sebelum kau mewawancaraiku tadi pagi. Aku ini seperti magnet, mengundang masalah bagi orang-orang dekatku. Dikejar, ditembaki, dipenjara, semua hal buruk itu.
Maryam menggeleng. Aku tidak peduli lagi, Thomas.... Hampir dua tahun aku menjadi wartawan politik, semangat mengejar berita, berlari ke sana, bergegas kemari. Sibuk dengan deadline terbit. Berlomba-lomba menjadi wartawan pertama yang menuliskan berita penting. Lantas apa" Hanya membuatku lupa niat awal kenapa aku memutuskan jadi wartawan.
Kau benar, Thomas. Kejadian di Hong Kong adalah salah satu rangkaian dari semuanya. Sejak lama seharusnya aku berhenti menjadi pemburu berita, tapi menjadi bagian orang-orang yang membuat berita. Memberikan kabar baik bagi semua orang. Harapan. Mengirim semangat di meja makan di pagi hari, menyebar pesan kebaikan di ruangan kerja di pagi hari, saat mereka sarapan sambil membaca koran, review, majalah, atau menyaksikan televisi. Bukan justru membuat situasi semakin buruk. Menjadi mesin, hanya alat para pembuat berita.
Aku akan ikut denganmu, Thomas. Aku tahu diri, aku hanya wartawan bodoh, tapi aku bisa berguna banyak. Aku memiliki cukup koneksi dan kenalan. Beri aku perintah, aku akan mestafmu. Aku tidak mau hanya bersembunyi di sebuah tempat, menunggu semua selesai dan berharap baik-baik saja, Maryam menatapku, berkata serius.
Aku diam sejenak, menggeleng.
Ini hidupku, Thomas. Aku jelas menjadi bagian dari empat orang tersangka yang melarikan diri dari kepolisian Hong Kong. Jadi aku berhak untuk memutuskan apa yang harus kulakukan, mencari penjelasan. Kalau kau tidak mau mengajakku, aku akan melakukannya sendirian. Tekad Maryam sudah bulat.
Kau tidak akan bisa membuatnya berubah pikiran, Tommi. Opa menepuk lenganku dari belakang. Kita bangsa laki-laki, dalam kasus ini, tidak bisa membuat wanita berubah pikiran. Hanya bisa mengangguk dan bilang iya.
Aku melotot, bagaimana mungkin Opa masih bisa bergurau" Ini berbahaya. Di luar sana ada orang yang sedang bersekongkol, entah apa lagi intrik yang akan mereka kirimkan, dan jelas mengajak Maryam bersisian bersamaku akan membahayakan Maryam sendiri.
Ini berbahaya, Maryam. Aku mencemaskan.... Kau tidak perlu mencemaskanku, Thomas. Maryam memotong kalimatku, mengangguk mantap. Aku sudah cukup besar untuk mengerti risikonya. Aku berjanji, aku tidak akan mudah panik lagi, tidak akan berteriak-teriak, bahkan kalau harus terpaksa bergelantungan di belalai crane, ditembaki. Aku akan tenang, berpikir cepat, belajar dari apa yang kaulakukan. Kejadian di Hong Kong adalah pengalaman berharga, dan hei, kau tidak berpikir aku wanita yang mudah trauma, kan" Kapok" Menyesatu-satunya ketakutan bagiku adalah memiliki rasa takut itu sendiri. Kau tidak perlu mencemaskanku, Thomas.
Tentu saja, Maryam. Lagi-lagi Opa yang menyela. Tidak ada yang perlu dicemaskan dari seorang gadis berpendidikan, cekatan, dan berani sepertimu. Aku terus terang justru mencemaskan Tommi. Semakin lama dia bersamamu, aku mencemaskan dia yang tiba-tiba jadi berubah, jadi berharap banyak misalnya. Opa tertawa pelan.
Aku menyikut Opa, menyuruhnya diam. Tidak bisakah Opa berhenti bergurau dalam situasi seperti ini. Aku tahu sekali maksud Opa. Setahun lalu, Opa juga berkali-kali menggodaku dengan wartawan lain. Baiklah, sebelum Opa semakin menyebalkan, Maryam benar, setidaknya dia bisa membantuku banyak, dan jelas aku membutuhkan banyak bantuan dalam kasus ini. Baik. Kau ikut denganku, Maryam.
Maryam tersenyum lebar. Wajahnya terlihat bersemangat. Apa yang harus kulakukan sekarang" Kau bisa menyuruhku, Thomas"
Banyak. Tapi pekerjaan mendesak pertama kita sore ini adalah mengantar Opa dan Kadek ke tempat yang lebih aman sesegera mungkin. Kita tidak pernah tahu, kapan jaringan interpol akan tiba di Jakarta, mengejar empat buronan mereka yang lari dari Hong Kong.
Siap, Bos. Maryam mengangguk mantap.
S atu seperempat jam berlalu, pukul 17.15.
Mobil inventaris kantor itu istilah Maggie yang kukemudikan keluar dari gerbang jalan tol luar kota. Ini libur panjang. Perjalanan bisa dilakukan dengan cepat tanpa terhalang macet. Matahari mulai tumbang di kaki langit, menyisakan merah di atas kepala. Kadek yang duduk di sebelahku menatap jalanan. Aku membanting setir lagi, keluar dari jalan aspal mulus, masuk ke jalanan yang hanya dilapisi aspal tipis, berkerikil. Hamparan sawah terlihat, perkampungan penduduk, kebun pisang, sayuran terhampar di kiri-kanan. Aku tahu, sejak meninggalkan Jakarta satu jam lalu, Kadek hendak bertanya ke mana tujuanku membawa Opa, tapi dia memutuskan diam. Terus siaga menemaniku mengemudi, seolah di belakang kami ada serombongan mobil interpol sedang mengejar.
Aku tidak punya banyak pilihan tempat bersembunyi Opa.
Episode 4 Bangunan Tua properti lain milik Opa atau milikku di Jakarta. Tempat itu tidak aman, mereka dengan cepat akan tahu. Juga tidak mungkin membawa Opa ke rumah peristirahatan di Waduk Jatiluhur. Itu benteng yang kokoh. Aku bisa kabur lewat waduk jika terdesak, juga lewat jalan rahasia, tapi itu tetap bukan pilihan bijak. Terlalu masuk akal, terlalu cepat ditemukan. Andai saja kapal pesiarku tertambat di pelabuhan Sunda Kelapa, alih-alih tertahan di dermaga Hong Kong, itu bisa jadi solusi yang baik. Kadek bisa membawa Opa terus bergerak di lautan, membuat siapa pun yang hendak mengejar kesulitan mengetahui posisinya.
Aku memutuskan membawa Opa ke tempat yang tidak pernah dipikirkan orang, sebuah bangunan tua penuh sejarah milikku. Tempat aku menghabiskan waktu tujuh tahun masa anakanak dan remaja, sebelum akhirnya berangkat melihat dunia.
Maryam tertidur sejak separuh perjalanan. Gadis wartawan itu kelelahan, meskipun dia seperti Kadek berusaha terjaga. Laju konstan mobil, gerung halus mesin, pendingin udara, bisa membuat orang jatuh tertidur. Juga Opa, dia memutuskan beristirahat, entah bisa tidur atau tidak. Satu jam lalu, aku mengambil tol luar kota menuju arah barat. Jalan tol lengang. Mobil yang kukemudikan bisa melaju kencang. Ini mobil dobel gardan dengan tenaga besar. Jalanan aspal yang mulus bukan tantangan berarti baginya. Aku bisa menyalip empat mobil sekaligus hanya dalam hitungan detik.
Aku membanting lagi setir, meninggalkan jalanan berlapis aspal tipis, sekarang masuk ke jalanan yang lebih buruk. Tidak ada lagi lapisan aspal, atau kerikil dan pasir, hanya tanah. Sisa hujan entah kapan, menilik dari licak lumpur, sepertinya baru rat. Inilah tantangan berarti bagi mobil Jeep besar yang kukemudikan. Maggie dengan baik sekali telah memilih mobil ini di antara mobil operasional kantor lainnya.
Mobil terbanting kiri-kanan. Kakiku bergerak cepat bergantian menekan pedal gas, rem, dan kopling. Mataku konsentrasi ke depan. Mobil meliuk kiri-kanan menghindari kubangan lumpur. Matahari senja semakin matang. Cahaya lembutnya membasuh hamparan sawah yang semakin luas, menerobos jendela kaca mobil, membuat pemandangan sekitar terlihat mengesankan.
Lima belas menit kemudian, mobil melintasi sebuah perkampungan. Jalanan sedikit membaik, setidaknya tidak banyak lubangnya. Perkampungan itu kecil saja, hanya berbilang tiga puluh-empat puluh rumah semipermanen dengan atap genteng. Perkampungan terakhir sebelum tiba di tujuan kami.
Pendekar Laknat 9 Pendekar Mata Keranjang 14 Dayang Naga Puspa Api Di Bukit Menoreh 29
^