Api Di Bukit Menoreh 29
12 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 29
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia menyadari, bahwa ia sendiri tentu masih belum dapat turun ke medan di keesokan harinya. Kekuatannya tentu masih belum pulih, meskipun daya tahannya sudah dapat mengatasi rasa sakitnya.
Malam itu, ketika Ki Patih Mandaraka kemudian meninggalkan Agung Sedayu yang berada disebuah ruang khusus didalam lingkungan perkemahan pasukan Mataram, Swandaru telah mengunjunginya.
Sambil mengangguk-angguk Swandaru berdesis " Sokurlah, jika keadaanmu menjadi semakin baik, kakang, -
- Yang Maha Agung masih melindungi aku. " desis Agung Sedayu.
- Untunglah bahwa lawanmu bukan seorang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi, sehingga meskipun kau terluka, tetapi kau masih mampu bertahan dan bahkan mengatasinya. -
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Sementara itu Swandaru-pun berkata " Ternyata yang kau katakan itu benar, kakang. Sayap gelar perang dapat menentukan akhir dari pertempuran. Sementara kemenangan di sayap gelar dapat ditentukan pula oleh kelebihan bagian atau kelompok-kelompok tertentu dalam sayap gelar itu. "
- Agung Sedayu masih saja mengangguk-angguk.
Dalam pada itu, maka Swandarupun telah menceriterakan kemenangan-kemenangannya melawan Senapati Pati dan kemudian melawan Ki Ajar Terepan.
- Jika saja aku mendapat waktu lebih banyak, aku tentu sudah membunuh keduanya. Ki Ajar Terepan adalah seorang hamba istana yang dipercaya untuk merawat pusaka-pusaka Kangjeng Adipati Pati. Ia adalah seorang yang ilmunya sangat tinggi. Ia memiliki pusaka yang sangat dipercayanya, yang setiap goresan ujung rambut sekalipun, akan dapat membunuh lawannya karena racun yang sangat tajam. "
- Untunglah bahwa kau tidak tersentuh ujung tombak itu " desis Agung Sedayu.
- Jika kau memiliki kemauan berlatih serta niat dan ketekunan yang tinggi, kaupun tentu dapat melakukannya. Kau tidak akan selalu dilukai oleh lawan-lawanmu Menurut pengetahuanku, hampir setiap kali kakang turun dimedan pertempuran, maka kakang selalu terluka. Kadang-kadang tidak terlalu parah. Tetapi kadang-kadang parah sekali. ~
Agung Sedayu memandang wajah Swandaru sekilas. Tetapi wajah itu nampaknya wajar sekali. Swandaru memang merasa berhak untuk mengatakan hal itu kepadanya.
Swandaru ternyata masih berkata selanjurnya " Kakang. Berapa kali aku menganjurkan kakang untuk lebih banyak berada didalam sanggar. Meskipun kakang seorang Lurah prajurit, tetapi kakang harus menyisihkan waktu bagi kepentingan kakang sendiri. Mungkin justru karena kakang telah mendapat kedudukan, maka kakang menjadi semakin malas untuk berlatih, sehingga dengan demikian maka ilmu yang kakang miliki tidak akan berkembang. Sudah tentu bukan itu yang dimaksud guru yang telah mewariskan kitabnya kepada kita. -
- Aku mengerti Swandaru"jawab Agung Sedayu " setelah perang ini selesai, maka aku akan mempergunakan waktuku sebaik-baiknya. Mudah-mudahan aku masih mampu mengembangkan ilmuku. "
- Kenapa tidak. " Tidak ada batas umur seseorang untuk mengembangkan pengetahuannya " jawab Swandaru.
Agung Sedayu mengangguk-angguk pula, sementara Agung Sedayu berkata " Kita akan saling berdoa, mudah-mudahan kita selamat keluar dari pertempuran ini. "
- Bukankah dalam keadaan seperti ini kakang tidak akan turun lagi ke medan " " bertanya Swandaru.
Agung Sedayu termangu mangu sejenak. Baru kemudian ia berkata " Agaknya memang tidak. Ki Patih tidak akan mengijinkan jika aku turun lagi ke pertempuran meskipun bukan sebagai seorang Senapati pengapit. Entah dua atau tiga hari lagi, jika keadaanku menjadi semakin baik.
- Bagaimana keadaan lawan kakang " " bertanya Swandaru.
- Aku tidak mengetahuinya " jawab Agung Sedayu.
- Jika Ki Patih Mandaraka menunjuk aku menggantikan kedudukanmu, maka aku akan bersedia melakukannya. " berkata Swandaru.
Agung-Sedayu menjadi berdebar-debar. Jika benar Swandaru itu ditempatkan disisi Panembahan Senapati maka kedudukan itu tentu akan sangat membahayakan adik seperguruannya. Betapapun tinggi ilmu Swandaru, namun Agung Sedayu mengetahui, bahwa tataran kemampuan ilmu Swandaru agak terbatas pada ilmu cambuknya saja, tanpa melihat ke kedalaman ilmunya.
Tetapi Agung Sedayu tidak mengatakannya. Ia takut Swandaru menjadi salah paham. Apalagi Swandaru sudah terlanjut menganggap kemampuannya jauh lebih tinggi dari kemampuan Agung Sedayu Sendiri.
Setiap kali Agung Sedayu memang merasa bersalah. Ia tidak berani berterus-terang mengatakan kepada adik seperguruannya ia tentang tataran kemampuannya dalam perbandingan dengan kemapuan adik seperguruannya itu, sehingga kesalah-pahaman itu justru menjadi semakin berlarut-larut.
Dalam pada itu, maka Swandarupun telah minta diri untuk kembali ke kesatuannya, pengawal Kademangan Sangkal Putung Mataram, baik secara pribadi maupun kemampuan dalam gelar perang.
Sikap Swandaru memang menggelisahkan Agung Sedayu. Sebagai seorang saudara tua, ia berkewajiban mengatakan kebenaran kepada adiknya tentang tataran kemampuannya. Tetapi ternyata Agung Sedayu tidak mampu melakukannya.
Dalam pada itu, maka perkemahan pasukan Mataram itupun semakin lama menjadi semakin sepi. Para prajurit memanfaatkan waktu sebaik-baiknya untuk beristirahat. Mereka akan bersiap didini hari untuk segera menyusun gelar perang. Tidak banyak perubahan terjadi dalam susunan kekuatan. Baik Para Senapati maupun kesatuan-kesatuan yang ada didalamnya.
Untuk menggantikan Agung Sedayu, Panembahan Senapati memang tidak menunjuk seorang Pangeran. Tetapi Panembahan Senapati telah menunjuk Ki Tumenggung Yudapamungkas didampingi dua orang Senapati pilihan.
Dalam pada itu, Swandaru di kemahnya memang menunggu. Mungkin ia akan bermimpi ditimpa rembulan bulat disaat purnama. Betapapun kecilnya ia memang berpengharapan untuk dipanggil oleh Ki Patih Mandaraka atau oleh Panembahan Senapati sendiri untuk me-
nerima perintah, agar ia menggantikan kedudukan Agung Sedayu menjadi Senapati pengapit.
Tetapi perintah itu ternyata tidak pernah diturunkan.
Menjelang pagi, maka para prajurit Mataram itupun sudah bersiap. Mereka sudah berada dikesatuan mereka masing-masing yang setiap saat akan segera memasuki gelar sebagaimana direncanakan.
Namun ketika segala-galanya sudah disiapkan untuk segera mendapat isyarat untuk memasuki gelar, ternyata Panembahan Senapati mendapat laporan dari para pengawas, bahwa mereka tidak melihat gerak pasukan Pati menyusun gelar perang.
" Menurut pengamatan kami, maka pasukan Pati tidak akan keluar dari dinding perkemahan mereka yang mereka buat dari batang kelapa yang cukup tinggi.
" Kenapa kau menganggap begitu " " bertanya Ki Patih Mandaraka yang mengerutkan dahinya.
" Kami melihat pasukan Pati mempersiapkan benteng mereka semakin mapan dan kuat Mereka telah membuat beberapa panggung di belakang dinding perkemahan. Dari panggung itu para prajurit Pati akan menghambat gerak maju pasukan Mataram. Mereka telah mempersiapkan busur dan anak panah, lembing dan senjata-senjata yang lain. Mereka telah mempersiapkan busur-busur yang ukurannya lebih besar dari busur kebanyakan. -
Ki Patih mengangguk-angguk. Tetapi agaknya Panembahan Senapati ingin membuktikannya kebenaran laporan itu. Karena itu. Maka Panembahan Senapati telah mengirimkan petugas-petugas sandi yang khusus pula.
Sebenarnyalah laporan yang diterima kemudian adalah sama seperti laporan sebelumnya. Bahwa pasukan Pati nampaknya tidak akan bergerak keluar dari dinding yang mengelilingi perkemahannya. Karena itu, mereka telah mempersiapkan pertahanan yang sangat kuat.
Panembahan Senapati memang menjadi bimbang. Apakah-ia akan menyerang perkemahan itu atau tidak.
Namun Ki Patih Mandarakapun kemudian berkata " Sebaiknya kita beristirahat hari ini ngger. Kita belum siap untuk menyerang pertahanan Pati yang kuat itu. Karena itu, kita memaksa diri menyerang benteng pertahanan Pati itu, ngger, maka korban akan terlalu banyak yang jatuh.
Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Katanya " Baiklah. Kita beristirahat hari ini. "
Keputusan itu memang menimbulkan perbedaan pendapat Tetapi para prajurit dan pengawal, tetap patuh kepada perintah Panembahan Senapati.
Seorang Senapati yang tidak dapat mengerti kenapa serangan harus ditunda berdesis kepada kawannya"Justru kita mendapat kesempatan yang paling baik untuk menghancurkan Pati di perkemahannya.
- Untuk menyerang sebuah perkemahan, apalagi yang telah sempat membangun benteng seperti pasukan Pati itu memang diperlukan kekuatan yang sangat besar. Mungkin kita dapat memecahkan pertahanan mereka dan memasuki dinding perkemahan untuk mengusir mereka. Tetapi yang dicemaskan oleh Panembahan Senapati adalah jumlah korban yang tidak terkendali. -
- Jadi jatuh korban, bukan hanya dari pihak kita. Tetapi prajurit Patipun akan memberikan korban yang banyak sekali. "
- Itulah yang tidak diinginkan oleh Panembahan Senapati. Apakah itu prajurit Mataram atau prajurit Pati, tetapi setiap nyawa harus mendapat perhatian. -
- Jika demikian, kenapa kita harus berperang " Kenapa kita tidak mengiakan saja semua kehendak Kangjeng Adipati Pati. Jika demikian, maka tidak akan ada korban yang jatuh " berkata Senapati itu. " Bagi seorang prajurit, berperang adalah pekerjaan seorang laki-laki, sebagaimana seorang perempuan harus melahirkan anak-anaknya. "
- Tetapi Panembahan Senapati juga memikirkan, apakah jumlah korban yang jatuh itu tidak dapat ditawar lagi " Meskipun kita seorang prajurit yang memang dipersiapkan untuk perang, tetapi bagi Panembahan Senapati, adalah lebih baik jika kita dapat memenangkan perang dengan korban yang sesedikit-sedikitnya. "
Senapati itu tidak menjawab lagi. Tetapi wajahnya nampak gelap. Ia benar-benar merasa kecewa, bahwa pasukan yang sudah siap itu tidak jadi bergerak.
Panembahan Senapati mengerti, bahwa ada di antara prajuritnya dan bahkan Senapati yang merasa kecewa atas keputusannya. Karena itu, maka Panembahan Senapati itupun melengkapi perintahnya dengan perintah berikutnya " Setiap Senapati harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Besok, pasukan Mataram akan menyerang. Jika pasukan Pati tidak keluar dari dinding perkemahannya, maka pasukan Mataram akan menyerang perkemahan itu. Karena itu, Setiap Senapati harus menempatkan diri sesuai dengan kemungkinan yang dapat terjadi. "
Perintah itu dapat mengurangi kekecewaan didada para prajurit dan Senapati yang ingin segera menyelesaikan pertempuran dengan mendesak Pati mundur sampai ke sebelah Utara pegunungan Ken-deng.
Meskipun pada hari itu, pasukan Mataram tidak turun ke medan, namun pengawasan dan perlindungan terhadap perkemahan dilakukan dengan bersungguh-sungguh. Mataram menyadari, jika mereka lengah, maka pasukannya akan dihancurkan oleh pasukan Pati.
Sementara hari itu pasukan Mataram tidak turun ke medan, maka para Senapati telah mendapat perintah dan petunjuk-petunjuk khusus apa yang harus mereka lakukan jika mereka menyerang pertahanan Pati dibelakang benteng batang kelapa mereka dan kokoh.
Para prajurit yang berperisai harus mengambil peranan. Para petugas sandi telah melaporkan, bahwa Pati telah bersiap untuk menahan arus serangan dengan anak panah dan lembing. Bahkan secara khusus, sekelompok prjurit telah mempersiapkan busur yang lebih besar dari ukuran busur kebanyakan.
Agung Sedayu yang terluka bagian dalam tubuhnya, merasa kecewa bahwa ia tidak mendapat kesempatan untuk ikut bertempur menyerang benteng pertahanan di perkemahan pasukan Pati. Ki Patih Mandaraka yang secara khusus menemuinya, menasehatkan bahwa sebaiknya Agung Sedayu berusaha memperbaiki keadaannya. Menyembuhkan luka dalam yang dideritanya.
Dalam pada itu lewat tengah hari, Panembahan Senapati telah memanggil para Panglima, para Senapati dan para pemimpin pasukan pengawal yang ada didalam barisan yang besar itu. Panembahan Senapati telah memberikan perintah-perintah langsung kepada mereka, seandainya besok pasukan Pati tidak turun ke medan dalam gelar perang.
" Bahwa pasukan Pati tidak turun dalam gelar perang, itu sudah merupakan isyarat bahwa kekuatan Pati telah terguncang. Mereka memperhitungkan kemungkinan yang lebih baik jika mereka bertahan didalam dinding perkemahannya. Dengan demikian mereka mempunyai peluang lebih banyak untuk membunuh para prajurit Mataram yang datang menyerang dinding pertahanan mereka. " berkata Panembahan Senapati.
Dengan jelas Panembahan Senapati membayangkan kemungkinan-kemungkinan buruk yang dapat terjadi disaat para prajurit Mataram berusaha memecahkan pintu gerbang atau memanjat dinding batang kelapa itu.
" Kita harus mempersiapkan tangga bambu sebanyak-banyaknya. Disekitar tempat ini terdapat banyak sekali rumpun bambu. Kita akan membuat tangga bambu itu meskipun mungkin kita tidak akan pernah mempergunakan karena kita akan bertempur dalam gelar perang seperti yang pernah terjadi. "
Panembahan Senapatipun telah membagi pasukannya menjadi tiga bagian yang akan menyerang pertahanan Pati dari tiga jurusan seandainya tidak terjadi perang gelar. Tetapi sekelompok pasukan khusus justru akan menyerang perkemahan Pati itu dari arah belakang. Mereka akan menyerang dengan diam-diam. "
Demikianlah, maka para prajurit Matarampun telah sibuk dengan segala macam persiapan perang.
Namun para prajurit Mataram masih berusaha untuk tidak menampakkan persiapan itu dengan semata-mata. Hal-hal yang masih mungkin disembunyikan, masih juga disembunyikan.
Tetapi ternyata para petugas sandi dari Pati memiliki ketajaman penglihatan, mereka melihat bagaimana orang-orang Mataram membuat puluhan tangga bambu.
Ketika Kangjeng Adipati Pragola mendapat laporan itu, maka ia-pun segera memanggil para Panglima dan Senapati untuk mempelajari kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi.
Kangjeng Adipati Pragola ingin mendengar pendapat para Panglima dan Senapati, tentang parsiapan Panembahan Senapati yang agaknya akan menyerang perkemahan.
- Apakah Panembahan Senapati dengan kekuatan yang seimbang akan menyerang perkemahan yang dikelilingi dengan dinding batang kelapa ini " " desis seorang Panglima.
- Nampaknya memang begitu " jawab Kangjeng Adipati " seperti aku katakan kemarin. Panembahan Senapati adalah orang yang keras hati dan terlalu percaya akan kemampuan sendiri. "
- Jika demikian, lebih baik kita menunggu didalam dinding perkemahan ini. ~ berkata seorang Senapati.
Yang lain nampaknya sependapat. Bahkan Ki Naga Sisik Salaka yang nafasnya masih terasa sesak itu berkata " Kangjeng, aku juga sependapat, bahwa kita akan bertahan didalam dinding perkemahan ini. Tetapi kita harus mempersiapkan segala sesuatunya dengan sebaik-baiknya. Bukan saja senjata dan ketrampilan berperang, tetapi kita harus mempunyai tekad untuk menang. "
- Ya. Itu memang penting, guru " jawab Kangjeng Adipati Pragola.
- Nah, jika demikian, para Panglima dan para Senapati, jangan sekedar main-main lagi. Kita harus dapat menghancurkan pasukan Mataram yang besar itu. Jika pasukan Mataram, mundur dari arena pertempuran, maka kita harus dengan cepat mempersiapkan diri untuk di keesokan harinya menyerang perkemahan Mataram. Jangan ada tenggang waktu sehingga Mataram sempat menyusun kekuatannya kembali. " berkata Ki Naga Sisik Salaka pula.
Kangjeng Adipatipun meneruskan " Nah, kalian dengar. Dengan demikian, maka kalian harus bersiap-siap. Bukan saja mempertahankan perkemahan itu, tetapi sekaligus setiap kesatuan harus bersiap untuk keluar dari benteng dalam gelar yang mapan, tetapi juga siap memukul pasukan Mataram di perkemahannya. Kita memiliki kelebihan dari pasukan Mataram, bahwa kita sempat membuat dinding dari batang kelapa, sementara Mataram tidak. -
Dengan demikian maka Kangjeng Adipati Pragolapun telah memerintahkan untuk mempersiapkan pertahanan sebaik-baiknya.
- Apa yang sudah kita siapkan sampai hari ini, kita tingkatkan lagi. Sediakan anak panah sebanyak dapat disediakan. Demikian pula lembing. Sediakan galah untuk mendorong tangga-tangga bambu demikian orang-orang Mataram memanjat. Jika orang pertama hampir mencapai bibir dinding perkemahan, maka tangga itu didorong dengan galah sampai roboh. Dalam keadaan yang tidak seimbang bagi para prajurit yang terjatuh itu, maka mereka akan menjadi sasaran anak panah dan lembing para prajurit yang lain.
Demikianlah, maka persiapan di perkemahan Patipun ditingkatkan. Jika sebelumnya mereka bersiap-siap menghadapi kemungkinan serangan para prajurit Mataram, maka kemudian yang memang telah mempersiapkan perlengkapan untuk menyerang perkemahan.
Apa yang dilakukan oleh para prajurit Pati itupun tidak luput dari perhatian para petugas sandi dari Mataram. Para petugas sandi itupun melihat peningkatan persiapan yang dilakukan oleh para prajurit Pati.
Demikianlah, Maka persiapan-persiapan merekapun sudah mengarah pada satu kepastian. Para prajurit Pati akan bertahan dibela kang dinding perkemahannya, sementara pasukan Mataram akan menyerang perkemahan itu.
Agung Sedayu yang mendengar rencana yang pasti tentang serangan ke perkemahan prajurit Pati itu telah mencoba menghubungi Ki Patih Mandaraka, untuk minta ijin, apakah dirinya diperkenankan untuk ikut pergi ke perkemahan para prajurit Pati.
Seorang prajurit yang mendapat perintah untuk menghadap Ki Patih itu tidak mendapat jawaban. Tetapi Ki Patih berkata " Biarlah aku datang menemuinya. "
Sebelum menemui Agung Sedayu, Ki Patih telah singgah menghadap Panembahan Senapati. Namun Panembahan Senapati ternyata tidak mengijinkannya.
" Ia harus mengakui kenyataan tentang dirinya " berkata Panembahan Senapati " aku yakin bahwa Ki Gede Candra Bumi juga tidak akan ikut dalam pertempuran mempertahankan benteng mereka. "
Ketika jawaban Panembahan Senapati itu disampaikan kepada Agung Sedayu, maka Agung Sedayu hanya dapat menarik nafas panjang. Tetapi ia sama sekali tidak berani menentang perintah itu.
Namun kepada Ki Patih Agung Sedayu itu berkata " Aku ingin melihat, bagaimana pasukan Pati itu pecah dan lari meninggalkan perkemahan mereka. -
- Doakan saja hal itu akan terjadi, Agung Sedayu " desis Ki Patih Mandaraka.
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya ~ Baiklah Ki Patih. Aku akan berdoa. Mudah-mudahan Panembahan Senapati berhasil. "
Ki Patih Mandaraka mengangguk kecil. Sambil menepuk pundak Agung Sedayu, Ki Patih berkata " Kau memerlukan waktu dua tiga hari untuk beristirahat penuh, Agung Sedayu. "
- Ya, Ki Patih " Agung Sedayu mengangguk dalam-dalam.
Dalam pada itu, maka kedua belah pihakpun telah benar-benar mempersiapkan diri. Ketika malam turun, maka Kangjeng Adipati Pragola dari Pati telah memerlukan melihat sendiri persiapan-persiapan yang dilakukan oleh para prajurit Pati. Busur dan beronggok-onggok anak panah dan lembing. Bahkan beberapa orang telah membuat alat pelontar batu dari bambu apus yang baru ditebang dari rumpun-rumpun bambu sehingga masih lentur. Kemudian galah bambu yang dapat untuk mendorong tangga-tangga bambu orang-orang Mataram yang akan disandarkan pada dinding perkemahan yang terbuat dari batang-batang kelapa utuh yang ditanam berjajar rapat dan diikat dengan tali-tali ijuk dan tutus bambu.
Sementara itu, di perkemahan orang-orang Mataram, Panembahan Senapati telah menyampaikan pesan-pesan terakhir bagi para pasukan yang terdiri dari para prajurit dan bukan prajurit. Sedangkan yang bukan prajuritpun terbagi atas mereka yang memiliki kemampuan
setingkat dengan prajurit dan tidak.
" Untuk menyerang benteng pertahanan satu pasukan yang kuat,
kita benar-benar harus mempunyai perhitungan yang cermat. " berkata Panembahan Senapati.
Setelah Panembahan Senapati merasa cukup memberikan pesan-pesan dan perintah-perintah, maka para prajurit Mataram itupun segera diperintahkan untuk beristirahat.
- Besok kita akan memeras tanaga dan kemampuan kita. "
Malam itu, Swandaru memerlukan lagi menemui Agung Sedayu sebentar. Karena Swandaru mengetahui bahwa Agung Sedayu tidak akan turun kemedan esok, maka Swandaru tidak banyak memberikan pesan-pesan. Bahkan iapun berkata " Bersukurlah bahwa kau tidak akan ikut turun keneraka besok. Aku membayangkan, bahwa perang yang akan terjadi esok, adalah perang habis-habisan. Mataram akan berusaha dengan segenap kemampuannya untuk merebut benteng orang-orang Pati dan mengusirnya sampai kesebelah Utara Pegunungan Kendeng, sementara orang-orang Pati akan mempertahankan benteng itu habis-habisan. "
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya kemudian " Berhati-hatilah kau adi Swandaru. Betapapun tinggi ilmu seseorang, namun ia tentu masih memiliki kelemahan-kelemahan. "
Swandaru tersenyum. Katanya " Baik kakang. Aku akan berhati-hati Tetapi bekal seseorang untuk turun kemedan perang akan ikut menentukan, apakah ia akan berhasil atau tidak. "
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya " Ya. Tetapi kesadaran diri untuk berhati-hati tetap penting. Kepercayaan diri yang berlebih-lebihan kadang-kadang sering merugikan diri sendiri, karena orang itu akan salah menilai medan. -
Swandaru bahkan tertawa. Katanya " Ya, ya. Aku mengerti. Tetapi apakah menurut kakang, aku terlalu percaya kepada diriku sendiri, bahkan agak berlebihan " "
- Bukankah setiap orang mungkin sekali dihinggapi perasaan yang demikian pada suatu saat " " sahut Agung Sedayu.
Swandaru mengangguk-angguk. Katanya " Ya. Seseorang kadang-kadang memang tidak dapat mengukur kemampuan diri. Tetapi aku tidak pernah lepas dari kendali kesadaranku, sehingga aku mampu menilai lawan-lawanku dan lingkungan pertempuran disekeli
lingku dan baik. " - Sokurlah " Agung Sedayu mengangguk-angguk. " Mudah-mudahan kau dan seluruh kekuatan Mataram akan berhasil. "
- Mudah-mudahan serangan ke benteng orang-orang Pati itu mampu memecahkan pertahanan mereka besok. Dengan demikian, kami tidak usah mengulanginya lagi besok. Dengan demikian, kami tidak usah mengulanginya lagi besok lusa. " berkata Swandaru.
Demikianlah, maka Swandaru pun segera minta diri untuk beristirahat. Namun ketika ia berbaring diantara para pengawal Kademangan Sangkal Pulung, maka ia teringat lagi pesan Agung Sedayu, agar seseorang tidak terlalu percaya kepada diri sendiri sehingga akan salah menilai medan.
- Apakah kakang Agung Sedayu menganggap penilaianku atas kemampuanku itu berlebihan " " bertanya Swandaru didalam hatinya.
Swandaru justru merasa kecewa, bahwa ia tidak pernah berada disatu lingkaran medan pertempuran dengan kakak seperguruannya itu. Jika saja mereka berada didalam satu lingkaran medan, maka ia akan dapat memperlihatkan kepada kakak seperguruannya itu kenyataan tentang ilmunya yang tinggi.
- Seharusnya kakang Agung Sedayu sempat melihat sendiri, apa yang dapat aku lakukan di medan pertempuran. " berkata Swandaru didalam hatinya.
Sementara itu, Agung Sedayu yang dianggap masih belum sembuh benar dari luka-luka didalam dirinya itu, duduk menyilangkan kakinya disudut pembaringannya. Ia minta kepada dua orang pemimpin kelompok yang melaksanakan tugasnya selama ia tidak dapat turun kemedan untuk menjaga agar ia tidak terganggu.
- Aku akan mencoba obat yang telah aku racik berdasarkan catatan-catatan guru di kitabnya. Obat itu termasuk obat yang keras. Usahakan agar aku tidak terganggu. Namun jika keadaanku menjadi buruk karena obat itu, kau harus berusaha untuk memasukkan obat yang lain kedalam mulutku hingga tertelan " berkata Agung Sedayu sambil memberikan dua butir obat kepada mereka.
Kedua orang itu saling berpandangan sejenak. Mereka masih belum memahami benar-benar pesan Agung Sedayu itu.
Agaknya Agung Sedayu mengerti keragu-raguan dihati keduanya. Karena itu, maka iapun segera menjelaskan " Aku akan menelan obat yang terhitung keras itu. Jika saat obat itu bekerja didalam tubuhku menimbulkan akibat buruk padaku, sehingga aku menjadi pingsan, maka kalian harus berusaha membuka mulutku dan memasukkan kedua butir obat itu sehingga tertelan. Jika kalian mengalami kesulitan, kalian dapat menuangkan cairan sedikit demi sedikit, sehingga obat itu akan hanyut lewat tenggorokanku dan meredam kekuatan obat yang lebih dahulu kutelan. Tetapi jika kalian terlambat atau tidak berhasil memasukkan obat itu kedalam tenggorokanku, maka akibat buruk itu akan menjadi semakin buruk bagiku. "
- Tetapi, kami tidak terbiasa melalukannya " desis yang seorang diantara kedua prajurit itu.
" Kau akan dapat melakukannya. Hanya jika keadaanku menjadi sangat buruk sehingga aku menjadi pingsan. Jika tidak, kalian tidak usah berusaha memasukkan obat itu kedalam tenggorokanku. "
Keduanya masih tetap ragu-ragu. Tetapi Agung Sedayu berkata pula " Lakukan. Jangan bimbang. Kalian harus yakin bahwa kalian dapat melakukannya. Sementara itu, kalian harus menjaga, agar aku tidak terganggu oleh siapapun selama aku mencoba mengobati diriku sendiri dengan cara itu. Aku tidak menerima tamu siapapun juga, bahkan Panembahan Senapati sekalipun dan Ki Patih Mandaraka. Hanya jika mereka yang datang, kau harus dapat memberikan penjelasan sehingga mereka dapat mengerti. "
Kedua orang itu mengangguk-angguk, betapapun mereka merasa beban tugas itu terasa sangat berat bagi mereka berdua.
Meskipun demikian, mereka berdua bertekad untuk dapat melaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Demikianlah, maka Agung Sedayupun telah menelan ramuan obat-obatan yang disebutnya mempunyai kekuatan yang keras. Dengan beberapa teguk air masak yang sudah didinginkan, maka obat yang berupa serbuk lembut berwarna kecoklat-coklatan itu didorong masuk lewat tenggorokannya.
Kedua orang prajurit yang menungguinya itu menjadi tegang. Mereka melihat Agung Sedayu itupun kemudian duduk dengan me-nyilanggkan kaki dan tangannya disudut pembaringannya sambil me-
mejamkan matanya. Sementara salah seorang dari keduanya memegang sebuah bumbung kecil yang berisi dua butir obat untuk menawarkan obat yang telah ditelan oleh Agung Sedayu itu apabila keadaannya menjadi sangat buruk.
Untuk beberapa saat keduanya menunggu dengan jantung yang berdebar-debar.
Ketika kedua prajurit itu melihat Agung Sedayu bergetar, bahkan seolah-olah menggigil kedinginan, maka seorang diantara keduanya berbisik " Keadaannya memburuk. ~
- Tetapi belum sampai pada batas yang dikehendaki, " jawab yang lain.
Dengan saksama keduanya mengikuti perkembangan keadaan Agung Sedayu. Beberapa saat Agung Sedayu memang seakan-akan menggigil. Namun kemudian tubuh itu mulai berkeringat. Di kening, di leher dan bahkan di wajah Agung Sedayu keringatnya mengembun semakin banyak. Kemudian mengalir dan menetes jatuh.
Tetapi Agung Sedayu masih tetap duduk menyilangkan kaki dan tangannya. Wajahnya menunduk dengan mata yang masih juga terpejam. Kerut di dahinya nampak menjadi semakin dalam.
- Ia menjadi kesakitan " desis salah seorang prajurit yang melihat perubahan wajah Agung Sedayu.
- Bukan kesakitan. Tetapi ia menahan gejolak didalam dirinya saat obat itu bekerja " sahut yang lain.
Tetapi yang seorang menjadi sangat cemas melihat keadaan Agung Sedayu. Dibawah cahaya lampu minyak dilihatnya wajah Agung Sedayu menjadi pucat. Bibirnya terkatub rapat-rapat
- Keadaannya memburuk sekarang " desis yang seorang.
- Tetapi ia tidak pingsan " sahut yang lain.
Keadaan Agung Sedayu nampaknya memang menjadi semakin sulit. Nafasnya menjadi sesak sementara keringatnya mengalir semakin deras.
- Apakah kita menunggu Ki Lurah pingsan " bertanya yang seorang.
Kawannya memang mulai menjadi ragu-ragu. Tetapi dalam
pesannya Agung Sedayu menyebut, jika ia pingsan, maka obat itu harus diusahakan dapat melewat kerongkongannya.
Sejenak kedua orang prajurit itu menjadi ragu-ragu. Ketegangan telah mencengkam mereka, sehingga untuk sesaat keduanya justru diam mematung.
Keadaan Agung Sedayu memang semakin memburuk, sehingga kedua orang prajurit itu tidak mau mengalami kelambatan. Seorang di-antara mereka berdesis " Sekarang. Tidak ada waktu lagi. -
Yang lain termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun telah meraih mangkuk berisi air dingin.
" Bagaimana kita memasukkan obat ini " Apakah kita angkat wajah Ki Lurah, atau kita membaringkannya " -
Keduanya tidak segera dapat mengambil keputusan. Mereka melihat wajah Agung Sedayu yang menunduk dengan mata yang terpejam. Sekali-sekali wajah itu terangkat saat Agung Sedayu berusaha mengatasi pernafasannya yang terasa semakin jauh dan dalam.
Kedua orang prajurit itu menjadi semakin gelisah. Untunglah, bahwa tidak ada orang lain yang datang mencari Agung Sedayu, sehingga mereka tidak menjadi bertambah bingung.
Ketika mereka kemudian mendengar desah perlahan-lahan, maka mereka tidak menunggu lebih lama lagi. Keduanya segera bergeser mendekat. Seorang diantara mereka berkata " Kita baringkan saja Ki Lurah itu dipembaringannya. Dengan demikian, kita akan menjadi lebih mudah untuk memasukkan kedua butir obat penawar itu kedalam kerongkangannya. "
Kawannya mengangguk. Tetapi ketika mereka bersiap untuk membaringkan Agung Sedayu dipembaringannya, tiba-tiba mereka melihat perubahan para Ki Lurah itu. Agung Sedayu telah menarik nafas dalam-dalam. Kemudian melepaskannya sehingga seolah-olah dadanya menjadi kosong sama sekali. Namun kemudian diulanginya dan diulanginya.
Kedua orang prajurit itu tertegun sejenak. Mereka melihat tarikan nafas Agung Sedayu menjadi semakin teratur. Kepalanya menunduk sementara matanya masih terpejam. Namun Agung Sedayu tidak lagi tersengal-sengal.
Beberapa saat, justru Agung Sedayu telah menegakkan dadanya. Meskipun matanya masih terpejam, tetapi kepalanya tidak lagi menunduk. Sementara itu, Agung Sedayu itu telah mampu mengatasi kesulitan pernafasannya. Perlahan-lahan Agung Sedayu telah mulai mengatur pernafasannya dengan baik. Bahkan kemudian Agung Sedayu telah berhasil menguasai gejolak getar didalam dirinya. Obat yang keras, yang diminumnya, telah bekerja didalam dirinya, menyusuri urat-urat darahnya sampai ke ujung-ujungnya yang terkecil. Menyusup kedalam setiap serat daging dan tulang sung-sumnya, otot-otot serta syarafnya.
Kedua prajurit yang tegang itupun menarik nafas dalam-dalam. Mereka melihat keadaan Agung Sedayu yang menjadi semakin baik meskipun tubuhnya masih basah oleh keringat.
Tetapi bukan hanya Agung Sedayu sajalah yang basah oleh keringat. Tetapi pakaian kedua orang prajuritnya itupun seakan-akan baru saja di pungut dari rendaman air dan langsung mereka kenakan ditabuh mereka.
Kedua orang prajurit itu terkejut ketika mereka mendengar suara kentongan di sudut-sudut perkemahan. Ternyata mereka telah berada di tengah malam.
Agung Sedayu justru mulai membuka matanya. Diurainya tangannya, kemudian direntangkannya. Bahkan kemudian Agung Sedayu itupun telah bangkit.
Dengan memusatkan nalar budinya, Agung Sedayu telah menelan obat yang diramunya sesuai dengan rincian yang tertulis didalam kitab yang ditinggalkan oleh gurunya. Obat yang keras, yang belum pernah dicobanya sebelumnya.
Ternyata bahwa obat itu mempunyai manfaat yang sangat besar bagi tubuhnya yang terluka didalam. Dengan obat yang keras itu, Agung Sedayu telah menemukan kembali tenaga dan kemampuannya seutuhnya. Luka di bagian dalam tubuhnya itu telah sembuh sama sekali.
Namun dengan demikian, Agung Sedayupun mengetahui, bahwa obat itu adalah obat yang berbahaya, yang tidak dapat diberikan kepada setiap orang. Hanya orang-orang yang memiliki daya tahan tubuh yang tinggi sajalah yang dapat mempergunakan untuk mempercepat kesembuhan. Jika seseorang tidak mempunyai daya tahan cukup tinggi, maka obat itu justru akan merusakkan jaringan-jaringan tubuhnya, sehingga akibatnya akan menjadi sebaliknya dari satu usaha penyembuhan.
Kedua prajurit yang berdiri termangu-mangu itu melihat, keadaan Agung Sedayu yang menjadi segar dan tegar.
- Ki Lurah " desis seorang dari kedua orang prajurit itu. Agung Sedayu tersenyum. Katanya " Aku berhasil mengobati
luka-luka didalam tubuhku. "
- Sokurlah " prajurit itu mengangguk-angguk " kami berdua hampir saja kehilangan akal. Ketika kami melihat keadaan Ki Lurah, maka kami berdua telah memutuskan untuk memberikan obat penawar itu. "
- Aku sekarang sudah menjadi baik seperti sediakala. -
- Apakah Ki Lurah besok akan turun ke medan " " bertanya pemimpin kelompoknya itu.
- Apa tugas kalian besok " " bertanya Agung Sedayu.
- Pasukan Khusus yang berada di Tanah Perdikan Menoreh telah mendapat tugas untuk memasuki dinding perkemahan dengan diam-diam.
- Kalian tidak termasuk dalam kesatuan yang akan menyerang perkemahan dari arah yang terbuka " " bertanya Agung Sedayu.
- Ya " jawab pemimpin kelompok itu.
- Satu tugas yang sulit, justru serangan di siang hari " berkata Agung Sedayu.
- Tetapi perhatian para prajurit Pati yang ada diperkemahan itu akan terikat pada serangan terbuka dari tiga arah. "
- Beristirahatlah. Aku akan menghadap Ki Patih Mandaraka" berkata Agung Sedayu kemudian.
Pemimpin kelompok itupun telah menyerahkan kembali-obat pe-nawar yang hampir saja disisipkan kedalam mulut Agung Sedayu, yang justru akan dapat menawarkan obat yang disebutnya sangat keras itu.
Ki Patih Mandaraka yang sudah mulai berbaring dipembaringan-nya, memerlukan untuk menemui Agung Sedayu. Ketika ia mendengar prajurit yang berjaga-jaga di barak perkemahannya memberitahukan bahwa Ki Patih sedang beristirahat, maka Ki Patih itu justru keluar untuk mempersilahkan Agung Sedayu masuk ke dalam barak kecilnya.
- Adakah yang penting kau beritahukan kepada Ki Lurah ?"bertanya Ki Patih.
- Ampun Ki Patih " sahut Agung Sedayu " aku ingin mohon, agar aku diperkenanan untuk bersama-sama dengan prajurit-prajurit dari Pasukan Khusus di Tanah Perdikan Menoreh, berada di medan esok. -
Ki Patih mengerutkan dahinya sambil berdesis " Aku melihat perubahan pada dirimu. Apakah kau berhasil mengatasi luka-luka dalammu " "
- Yang Maha Agung telah menolongku " jawab Agung Sedayu " Aku telah mencoba minum obat ramuan sesuai dengan petunjuk Kiai Gringsing. Obat yang belum pernah aku coba meskipun oleh diriku sendiri. Aku menyiapkan obat itu meskipun aku agak ragu mempergunakannya. Namun akhirnya aku coba juga meskipun mengandung bahaya. "
Ki Patih Mandaraka menarik nafas dalam-dalam. Katanya -Kalau telah melakukan satu langkah yang sangat berbahaya bagi dirimu sendiri. "
- Aku sudah minta dua orang prajurit untuk bersiap-siap memberikan obat penawarnya jika keadaanku memburuk " berkata Agung Sedayu kemudian.
Seharusnya kau lakukan dihadapan orang-orang tua seperti aku. Dalam keadaan yang sangat gawat, aku dapat membantumu. Tetapi sokurlah, bahwa segala sesuatunya telah berlangsung dengan baik. Dan nampaknya obat itu berpengaruh baik atasmu. -
- Ya, Ki Patih. Aku merasa segala sesuatunya telah pulih kembali. -
- Bangkitlah " berkata Ki Mandaraka kemudian " berdirilah. -Agung Sedayu mengerti, bahwa Ki Patih ingin mengetahui, apakah ia benar-benar sudah sembuh. Karena itu, maka Agung Sedayu itupun segera bangkit berdiri.
- Rentangkan tanganmu. "
Seperti yang diperintahkan oleh Ki Patih, Agung Sedayupun telah merentangkan tangannya.
Dengan ujung-ujung jarinya Ki Patih meraba bahu, punggung, dada dan lambung Agung Sedayu. Kemudian pergelangan tangan dan pergelangan kakinya.
Ki Patih menarik nafas dalam-dalam. Katanya " Obat yang kau pergunakan adalah obat yang sangat kuat. Jika saja bukan kau yang minum obat itu, maka akibatnya akan lain. -
Agung Sedayupun kemudian telah duduk kembali. Sambil mengangguk dalam-dalam ia berkata ~ Aku mohon Ki Patih. Besok aku dapat berada diantara prajurit-prajuritku yang mendapat tugas yang sangat berat itu. -
Ki Patih menarik nafas dalam-dalam. Katanya " Sebenarnya memang sudah tidak ada alasan lagi untuk mencegahmu. "
- Jika demikian, apakah berarti bahwa aku besok dapat ikut serta
" - Ki Patihpun kemudian tersenyum sambil mengangguk kecil " Baiklah. Semua perintah telah diberikan kepada dua orang pemimpin kelompokmu yang akan memimpin prajurit-prajurit sandi itu. Tetapi masih ada satu perintah rahasia yang belum aku sampaikan kepada kedua orang pemimpin kelompokmu itu. "
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia menjadi ragu-ragu untuk bertanya, apakah ia boleh mendengar perintah rahasia itu. "
Ki Patihpun kemudian memandang Agung Sedayu dengan seksama. Namun kemudian katanya " Ki Lurah. Karena kau sendiri akan berada di dalam Pasukan Khususmu itu, maka kau boleh mendengar perintah rahasia itu. "
Agung Sedayu memang menjadi tegang. Sementara Ki Patih Mandaraka berkata selanjurnya hampir berbisik " Besok, aku bersama lima orang perwira dari Pasukan Khusus pengawalku akan berada diantara para prajurit dari Pasukan Khususmu. -
Wajah Agung Sedayu menegang sejenak. Ternyata Ki Patih
Mandaraka sendiri akan memimpin Pasukan Khusus yang akan memasuki perkemahan pasukan Pati itu dengan diam-diam dari arah belakang setelah pasukan Mataram yang besar menyerang dari tiga arah.
Sementara itu Ki Patih Mandarakapun berkata pula " Bersamamu Agung Sedayu, aku kira kekuatan pasukan kecil itu akan semakin bertambah. Besok pagi-pagi aku akan memberitahukan kehadiranmu diantara Pasukan Khusus itu kepada angger Panembahan Senapati. Aku akan memberitahukan bahwa kau telah pulih kembali sehingga kau akan dapat melakukan tugasmu dengan baik. -
- Terima kasih Ki Patih, dengan demikian maka aku tidak akan terpisah dari prajurit-prajuritku justru dalam tugas yang berat ini. "
Ki Patih tersenyum. Ia tahu bahwa Agung Sedayu adalah seorang pemimpin yang bertanggung-jawab, sehingga ia akan merasa tenang berada diantara prajurit-prajuritnya apapun yang terjadi atas dirinya sendiri.
Namun Ki Patih masih juga berpesan " Tetapi biarlah perintah rahasia itu tetap menjadi rahasia sampai esok pagi. "
Agung Sedayu mengangguk kecil. Katanya " Aku mengerti Ki Patih. -
- Baiklah, jika demikian beristirahatlah disisa malam ini. Kau memang perlu beristirahat setelah kau berjuang melawan obat yang telah kau minum itu. " berkata Ki Patih.
Agung Sedayupun kemudian telah mohon diri, kembali ke baraknya. Kepada kedua pemimpin kelompoknya ia berkata " Besok aku akan pergi bersama kalian. "
Kedua orang pemimpin kelompok itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian wajah mereka menjadi cerah. Dengan nada tinggi seorang diantara mereka bertanya"Jadi besok Ki Lurah akan menyertai kami memasuki perkemahan itu " "
- Ya. Aku akan berada diantara kalian. " Agung Sedayu berhenti sejenak, lalu katanya " beristirahatlah. Kau seharusnya sudah beristirahat ~
- Sulit untuk dapat tidur Ki Lurah. Tetapi sekarang, kami akan tidur nyenyak. "
Demikianlah, disisa malam yang tinggal sedikit itu. kedua orang pemimpin kelompok prajurit dari Pasukan Khusus itupun telah memanfaatkannya untuk beristirahat. Demikianlah pula Ki Lurah Agung Sedayu dan bahkan juga Ki Patih Mandaraka.
Menjelang fajar, maka pasukan Mataram itu sudah bersiap. Pasukan Mataram telah mempersiapkan diri untuk menghadapi lawan, baik dalam perang gelar, maupun untuk menyerang perkemahan yang dilindungi oleh dinding pohon kelapa yang berdiri berjajar rapat sebagai benteng yang kokoh.
Sesuai dengan perintah Panembahan Senapati, maka pasukan induk akan menyerang benteng pasukan Pati itu dari depan. Sementara kedua sayapnya akan menyerang dari arah sebelah kiri dan kanan.
Namun dalam pada itu secara khusus, pasukan kecd yang terdiri dari kelompok-kelompok prajurit dari Pasukan Khusus yang berada di Tanah Perdikan Menoreh telah mendapat tugas sendiri. Sebelum fajar pasukan itu harus sudah mendekati benteng dari arah belakang. Pasukan itu mendapat tugas untuk memasuki benteng dengan diam-diam. Tugas mereka yang utama adalah mendukung beban tugas Ki Patih Mandaraka untuk mencari jalan, membuka pintu bagi pasukan mata-ram jika mereka tidak dapat memasuki benteng itu dengan tangga-tangga bambu atau memecah pintu gerbang.
Perintah bahwa yang akan memimpin Pasukan Khusus itu adalah Ki Patih Mandaraka sendiri, baru diberikan saat pasukan itu berangkat. Jika perintah itu sempat bocor sampai ketelinga petugas sandi Pati karena berbagai sebab, termasuk pengkhianatan, maka Ki Patih akan menjadi sasaran dan bahkan mungkin akan dijebak oleh orang-orang Pati.
Para prajurit dari Pasukan Khusus itu memang terkejut Tetapi hati merekapun telah mekar. Mereka benar-benar merasa mengemban kepercayaan yang sangat tinggi, bahwa mereka akan melakukan satu tugas yang berat dan dipimpin langsung oleh Ki Patih Mandaraka ber-sama lima orang perwira pengawalnya. Mereka menjadi semakin tegar ketika mereka mengetahui bahwa Ki Lurah Agung Sedayu akan berada diantara mereka.
Sebagaimana tugas yang khusus, maka Pasukan Khusus itu telah berangkat mendahului induk pasukannya. Mereka menyusup melalui jalan melingkar mendekati perkemahan pasukan Pati. Dalam kegelapan menjelang fajar, mereka merangkak mendekati dinding perkemahan dari arah belakang.
Para prajurit Pati memang cukup berhati-hati. Pertahanan mereka menghadap kesegala arah, termasuk kearah belakang perkemahan mereka, sehingga dengan demikian, maka Pasukan Khusus yang dipimpin langsung oleh Ki Patih itu harus menjadi sangat berhati-hati, agar mereka tidak segera dilihat oleh para pengawas disisi belakang benteng yang melindungi perkemahan orang-orang Pati.
Bersamaan dengan itu. maka pasukan Mataram dalam gelar perang telah bergerak pula meninggalkan perkemahan.
Ternyata bahwa Pati benar-benar tidak keluar dari perkemahan untuk menyongsong pasukan Mataram dengan gelar perang. Tetapi mereka telah bersiap menunggu di panggungan dibelakang dinding perkemahan mereka.
Sebelum matahari terbit, pasukan Mataram sudah berada beberapa puluh patok didepan benteng pasukan Pad. Panembahan Senapati telah memberikan isyarat kepada pasukannya untuk berhenti.
Seperti yang telah diperintahkan, pasukan Mataram akan bergerak setelah Panembahan Senapati membunyikan pertanda.
Dihadapan benteng yang mengelilingi perkemahan, Panembahan Senapati telah memerintahkan untuk menunjukkan segala macam tanda kebesaran Mataram. Panji-panji, rontek, umbul-umbul, kelebet dan tunggul-tunggul. Kemudian setelah segala sesuatunya siap untuk bergerak, Panembahan Senapati telah memerintahkan untuk membunyikan bende Kiai Bicak. Bende pusaka Mataram yang jarang sekali di keluarkan dari Bangsal Pusaka.
Suaranya telah menggetarkan udara dialas perkemahan pasukan Pati, Menghentak bagaikan udara diatas perkemahan pasukan Pati, Menghentak bagaikan mengetuk setiap dada para prajurit yang ada di perkemahan. Sementara itu, para prajurit Mataram yang mendengar suara bende Kiai Bicak, telah bersorak gemuruh seakan-akan menggu-cang dan akan meruntuhkan langit.
Para prajurit Pati telah melihat kedatangan pasukan Mataram. Beberapa orang petugas sandi serta pengawas telah melaporkan, bahwa Mataram dengan kekuatan penuh telah datang menyerang perkemahan sebagaimana telah mereka perhitungkan berdasarkan atas laporan-laporan para petugas sandi serta atas dasar perhitungan orang-orang Pati atas sifat dan watak Panembahan Senapati.
Tetapi suara bende Kiai Bicak serta gemuruh sorak prajurit Mataram benar-benar telah menghentak-hentak jantung para prajurit Pati.
Kangjeng Adipati Pragola yang juga mendengar suara bende serta sorak para prajurit Mataram, ternyata juga menjadi berdebar-debar. Bukan karena gentar menghadapi lawan, tetapi suara bende dan sorak gemuruh itu akan mempunyai pengaruh jiwani terhadap prajurit-prajuritnya.
Karena itu, maka Kangjeng Adipatipun segera meneriakkan perintah agar semua prajurit Pati bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Ketika kemudian pasukan Mataram itu bergerak, maka para prajurit Pati itu melihat dengan jelas, bahwa prajurit Mataram telah terbagi menjadi tiga. Kedua sayap gelar pasukan Mataram itu telah melepaskan diri dari pasukan induknya. Keduanya melingkari medan yang mereka hadapi untuk mendekati barak itu dari arah samping.
Para prajurit Patipun segera menyesuaikan diri. Sebagian para prajurit telah menebar memperkuat pertahanan disisi sisi benteng yang mereka bangun mengelilingi perkemahan mereka.
Prajurit Mataram bergerak dengan suara dan gemuruh. Bende Kiai Bicak telah bergabung lagi, semakin keras dalam irama yang semakin cepat. Sementara itu, sambil bergerak maju, para prajurit Mataram masih saja bersorak-sorak mengguntur.
Sementara itu, para prajurit Pati yang diatas panggung yang memanjang telah bersiap dengan busur-busur mereka. Anak panahpun telah terpasang dan siap untuk meluncur kearah para prajurit Mataram yang bergerak maju.
Sementara itu, para prajurit Mataram terutama yang berada di lapisan terdepan, telah mempersiapkan perisai-perisan mereka. Para prajurit berperisai itu tidak saja harus melindungi dirinya sendiri, te-
tapi sejauh dapat mereka lakukan, maka mereka harus berusaha untuk melindungi para prajurit yang lain.
Demikianlah, sejenak kemudian, maka Kangjeng Adipati Pragola telah menjatuhkan perintah untuk melepaskan anak panah serta lembing demikian prajurit Mataram mendekati dinding pertahanan pasukan Pati.
Perintah yang diberikan oleh Kangjeng Adipati itu telah disambung oleh setiap Senapati dan pemimpin kelompok prajurit Pati yang ada di panggung dibelakang dinding yang membentengi perkemahan mereka.
Sejenak kemudian, maka anak panahpun meluncur seperti hujan yang dituangkan dari langit
Gerak maju pasukan Mataram memang terhambat Tetapi para prajurit yang berperisai segera menempatkan diri. Dengan tangkas mereka menepis anak panah yang meluncur semakin deras. Bahkan kemudian disusul oleh lontaran-lontaran lembing bambu berujung be-dor besi yang tajam.
Namun dalam pada itu, para prajurit Mataram tidak sekedar membiarkan diri mereka menjadi sasaran serangan anak panah dan lembing. Namun prajurit Matarampun telah mempersiapkan kelompok-kelompok yang bersenjata busur dan anak panah. Dibawah perlindungan perisai kawan-kawannya, maka kelompok prajurit yang bersenjata anak panah itu segera membalas serangan-serangan yang meluncur dari atas dinding batang pohon kelapa itu.
Dengan demikian, maka anak panahpun meluncur dari dua arah. Semakin lama semakin deras.
Beberapa saat kemudian, maka korbanpun mulai jatuh dari kedua belah pihak. Para prajurit Pati yang berada di belakang dinding tidak lagi dapat menyerang dengan leluasa. Tetapi merekapun harus memperhitungkan serangan balasan dari para prajurit Mataram. Jika para prajurit Pati itu terlalu asyik dengan lontaran-lontaran anak panah mereka, maka mereka akan dapat disengat oleh ujung anak panah prajurit Mataram.
Dalam pada itu, maka prajurit Mataram itupun bergerak semakin dekat Prajurit berperisai dipating depan menuntun gerak maju pasukan Mataram dilindungi oleh lontaran-lontaran anak panah. Sementara itu, kelompok-kelompok prajurit telah mempersiapkan tangan yang akan dapat dipergunakan untuk memanjat dinding perkemahan.
Ternyata bahwa para prajurit Pati yang berada diatas dinding memang benar-benar harus memperhitungkan serangan balik para prajurit Mataram dengan anak panah mereka. Ternyata serangan-serangan itu tidak kalah berbahayanya dari serangan-serangan para prajurit Pati atas para prajurit Mataram. Para prajurit Mataram tidak saja sekedar melontarkan anak panah. Tetapi ada diantara mereka adalah prajurit-prajurit yang mempunyai kemampuan bidik yang tinggi. Karena itu, maka setiap anak panah yang meluncur dari busur mereka akan mencari sasaran diantara prajurit lawan.
Dalam pada itu, maka para prajurit yang membawa tanggapun telah bersiap sepenuhnya. Mereka akan bergerak dengan cepat dibawah perlindungan para prajurit berperisai, sementara para prajurit yang bersenjata panah akan menghambat serangan-serangan yang dilontarkan dari atas dinding perkemahan.
Dalam pada itu, mataharipun memanjat semakin tinggi. Pertempuran antara prajurit Mataram dan Pati itupun menjadi semakin sengit Anak panah meluncur dari dua arah menyambar-nyambar.
Tetapi Panembahan Senapati masih belum memerintahkan para prajurit untuk memanjat dinding benteng perkemahan orang-orang Pati.
Sementara itu, Panembahan Senapati telah memerintahkan para prajuritnya untuk mencari dimanakah pintu gerbang utama benteng padepokan itu. Ciri-ciri gerbang utama benteng perkemahan itu agaknya sudah dihilangkan. Dengan demikian, maka benteng perkemahan prajurit Pati itu seakan-akan tidak berpintu gerbang lagi. Bahkan para prajurit yang menyerang dari lambung juga tidak melihat pintu gerbang samping atau bahkan pintu butulan.
Karena itu, maka tangga-tangga bambu itu menjadi semakin penting. Jalan memasuki benteng itu terutama adalah tangga-tangga bambu itu.
Karena itu, maka Panembahan Senapati berusaha untuk mencapai jarak yang terpendek sebelum memerintahkan para prajurit yang
membawa tangga bambu itu berlari menyandarkan tangga-tangga itu untuk memanjat.
Namun dalam pada itu, di arah belakang perkemahan prajurit Pati, Ki Patih Mandaraka, lima orang perwira pengawalnya bersama para prajurit dari Pasukan Khusus yang dipimpin langsung oleh Ki Lurah Agung Sedayu, telah bersiap. Sementara itu perhatian para prajurit Pati tertuju arah sisi-sisi yang mendapat serangan langsung. Meskipun diarah belakang perkemahan itu juga ditempatkan beberapa orang pengawas, tetapi mereka menjadi lengah. Mereka tidak sempat melihat para prajurit Mataram dari Pasukan Khusus itu menebar dibela-kang gerumbul-gerumbul perdu sejak sebelum matahari terbit Sejak induk pasukan Mataram belum menyerang perkemahan itu.
Dengan sabar Ki Patih Mandaraka menunggu kesempatan. Betapapun para prajurit itu gelisah, namun mereka sudah terbiasa patuh kepada setiap perintah, sehingga karena itu, maka sebelum ada perintah apapun, mereka tetap berada ditempai mereka bersembunyi, meskipun jantung mereka bergejolak.
Ketika pertempuran menjadi semakin sengit, lontaran anak panah meluncur dari kedua arah, sementara para prajurit Pati bersiap-siap menghadapi kemungkinan orang-orang Mataram memasang tangga-tangga bambu, maka perhatian terhadap bagian belakang benteng perkemahan prajurit Pati itu menjadi semakin lengah.
Dalam keadaan yang demikian, maka Ki Patih Mandaraka telah memberikan isyarat kepada kelima orang perwira pengawalnya serta Agung Sedayu, untuk segera mempersiapkan diri.
Sementara itu, Panembahan Senapati yang memimpin serangan di bagian depan dan lambung benteng perkemahan telah mencapai jarak di perhitungan. Karena itu, maka Panembahan Senapati itupun segera memberikan aba-aba, agar para prajurit yang membawa tangga dengan cepat mendekati benteng dan berusaha untuk memanjat tangga-tangga bambu itu.
Aba-aba itu disambut dengan sorak gemuruh. Sekali lagi Kiai Bicak ditabuh bertalu-talu. Suaranya bergema seakan-akan berputar-putar diatas perkemahan para prajurit Pati. Sementara itu para prajurit Mataram masih bersorak-sorak bagaikan mengguncang langit
Dalam pada itu, para prajurit Mataram yang bersenjata busur dan panah berusaha melindungi serangan itu dengan lontaran anak panah yang tidak terhitung lagi jumlahnya.
Dalam keadaan yang demikian, maka semua perhatian tertuju kepada serangan itu. Tangga-tanggapun mulai dipasang. Para prajurit Mataram mencoba untuk memanjat tangga-tangga bambu itu untuk meloncati dinding perkemahan.
Tetapi hal itu tidak mudah dilakukan. Beberapa buah tangga memang sempat didorong jatuh bersama beberapa orang yang sudah terlanjur memanjat. Sedangkan yang lain, harus berjuang untuk melawan prajurit Pati yang siap menunggu dengan ujung tombaknya diatas dinding.
12 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ki Patih Mandaraka menunggu kesempatan itu. Para prajurit dari Pasukan Khsusus itu rasa-rasanya sudah tidak sabar lagi. Tetapi mereka tidak berani mendahului perintah Ki Patih yang memimpin langsung pasukan kecil itu.
Ketika pertempuran di bagian depan dan lambung perkemahan menjadi semakin riuh, maka Ki Patihpun segera memberikan perintah agar para prajurit dari Pasukan Khusus itu berusaha untuk memasuki benteng dengan caranya.
Sesaat kemudian, para prajurit dari Pasukan Khusus itupun segera bergerak. Mereka tidak bersorak-sorak seperti para prajurit yang berada di induk pasukan. Dengan cepat mereka mencapai dinding. Dengan cepat pula mereka melontarkan jangkar-jangkar besi yang menggapai bibir benteng yang terdiri dari potongan batang-batang pohon kelapa yang utuh itu.
Tali-tali dibuat dari serat-serat kayu yang terikat pada jangkar-jangkar yang menyangkut disela-sela dinding batang kelapa itupun kemudian menjadi alat prajurit dari Pasukan Khusus itu untuk memanjat.
Beberapa orang prajurit terpilih dari Pasukan Khusus itupun dengan cepat memanjat tali-tali yang berjuntai itu. Demikian cepatnya sehingga para petugas yang mengawasi bagian belakang perkemahan prajurit Pati yang perhatiannya memang sedang terikat pada pertempuran yang terjadi di bagian lain, suara bende dan sorak yang gemuruh, terlambat menyadari apa yang sedang terjadi di bagian belakang benteng perkemahan itu.
Namun, demikian mereka sadar akan kelengahan mereka maka dengan cepat merekapun bertindak.
Beberapa orang dengan cepat berusaha untuk mencegah para prajurit Mataram yang memanjat naik itu.
Tetapi satu dua orang diantara mereka telah mencapai bibir benteng perkemahan itu dan melewatinya, sehingga mereka kemudian telah berdiri dipanggungan yang memanjang dibelakang dinding perkemahan itu.
Dengan demikian, maka prajurit yang telah berada di panggung yang membujur hampir sepanjang dinding perkemahan itu, diantara panggung-panggung khusus untuk mengawasi keadaan, telah berusaha untuk melindungi kawan-kawan mereka yang sedang memanjat tali.
Orang yang pertama kali melewati bibir benteng perkemahan itu adalah Agung Sedayu sendiri.
Dengan cambuknya Agung Sedayu telah bertempur melawan para prajurit Pati yang bertugas di bagian belakang benteng perkemahan mereka, sementara kawan-kawannya memanjat naik.
Namun dalam pada itu, para prajurit dari Pasukan Khusus yang lainpun hampir bersamaan pula telah meloncati benteng perkemahan itu pula.
Demikianlah, maka pertempuran telah terjadi. Semakin lama prajurit Mataram yang berhasil naik kebelakang benteng itupun menjadi semakin banyak pula. Bahkan sebagian dari mereka telah meloncat turun dari panggung yang membujur panjang itu.
Ternyata para prajurit yang bertugas di bagian belakang itu tidak segera mampu membendung arus para prajurit dari Pasukan Khusus yang semakin lama menjadi semakin banyak itu.
Pemimpin kelompok prajurit Pati yang bertugas di bagian belakang benteng perkemahan itu menyadari, bahwa mereka tidak akan mampu malawan prajurit Mataram yang memasuki benteng mereka. Karena itu, maka iapun segera memerintahkan dua orang penghubung untuk memberitahukan keadaan yang mencemaskan di bagian belakang benteng perkemahan itu.
- Apakah kita tidak membunyikan isyarat saja ?"bertanya salah seorang penghubung itu.
- Jangan. Isyarat itu akan mempengaruhi seluruh medan. Jika kau cepat dan bantuan itu datang dengan cepat pula, maka prajurit Mataram akan segera dapat kita batasi geraknya dan bahkan kemudian kita musnahkan. Kau dapat menyebut berapa kelompok prajurit yang kita butuhkan. "
Kedua penghubung itu tidak bertanya lagi. Dengan cepat mereka berlari memeberikan laporan kepada seorang Senapati Pati yang sedang sibuk di bawah panggungan memanjang di sepanjang dinding batang pohon kelapa itu.
Senapati itu terkejut Namun Kemudian tapun cepat mengambil langkah. Diperintahkan seorang Senapati bawahannya untuk membawa beberapa kelompok prajurit ke bagian belakang perkemahan itu.
- Disini kekuatan kita cukup untuk menahan arus serangan prajurit Mataram " berkata Senapati itu. Lalu katanya pula " Nanti aku memberikan laporan kepada Kangjeng Adipati. "
Demikianlah beberapa kelompok prajurit telah bergeser. Dengan cepat mereka berlari-lari ke bagian belakang perkemahan itu.
Agung Sedayu yang memimpin Pasukan Khususnya menyadari pula, bahwa tugas mereka akan menjadi semakin berat. Tetapi hampir semua prajuritnya telah berada di dalam lingkungan perkemahan.
Dalam pada itu, Ki Patih Mandaraka dan lima orang perwira pengawalnya telah berada di dalam benteng pula. Tetapi mereka tidak melibatkan diri dalam pertempuran yang terjadi Justru dalam hiruk-pikuk pertempuran, mereka telah berusaha menyusup untuk menemukan pintu butulan benteng pertahanan para prajurit Pati yang rapat itu.
Ternyata Kangjeng Adipati memang telah memerintahkan untuk mengganti semua pintu dengan dinding batang pohon kelapa sebagaimana dinding yang mengelilingi perkemahan itu.
- Namun kita harus menemukan bagian yang paling lemah dari dinding perkemahan ini " berkata Ki Patin Mandaraka.
Tetapi memang tidak mudah untuk menemukan bagian yang paling lemah pada dinding perkemahan itu.
Dalam pada itu, maka pertempuran di dalam benteng itupun terjadi semakin lama semakin sengit Agung Sedayu bertempur dengan garangnya. Setiap sentuhan ujung cambuknya, telah melemparkan lawannya dengan luka yang menganga.
Sementara itu, para prajuritnyapun bertempur dengan tanpa mengenal gentar. Meskipun jumlah mereka tidak begitu banyak, tetapi kehadiran mereka telah mengacaukan pertahanan lawannya.
Senapati yang memimpin kelompok-kelompok prajurit yang datang membantu para prajurit yang bertugas di dinding belakang benteng perkemahan itupun segera berusaha untuk mendekati Agung Sedayu untuk menahannya. Namun, demikian melihat tempuran antara Senapati pengapit ketika dua gelar perang bertempur, terkejut. Orang itu adalah Senapati pengapit yang bertempur, terkejut. Orang itu adalah Senapati pengapit yang bertempur disebelah Panembahan Senapati. Orang itulah yang telah melukai Ki Gede Candra Bumi.
Senapati itu menjadi berdebar-debar. Ia sadar, bahwa ia tidak akan mampu mengimbanginya.
Karena itu, maka Senapati itu telah memanggil lima orang prajurit pilihan didalam pasukannya. Mereka bersama-sama harus mengurung dan membatasi gerak Agung Sedayu.
- Sulit bagi kalian untuk dapat mengalahkannya. Tetapi yang kalian lakukan adalah mengurungnya. Orang itu tidak boleh berkeliaran. Ia sangat berbahaya. "
Lima orang prajurit pilihan itupun segera menjalankan perintah itu. Namun mereka tidak tahu, siapakah orang itu sebenarnya.
Tetapi kelima orang itu tidak banyak berarti bagi Agung Sedayu yang bertempur dengan garangnya. Apalagi Agung Sedayu yang sedang mengemban tugas yang berat Ia harus memancing kekuatan di-sisi belakang itu untuk memberi kesempatan Ki Patih Mandaraka menemukan pintu gerbang sampai atau pintu butulan sekalipun.
Ternyata Agung Sedayu dan Pasukan Khususnya berhasil menarik perhatian terbesar dari para prajurit Pati yang ada di bagian belakang benteng perkemahan itu. Mereka seakan-akan memang tidak mempunyai kesempatan untuk memperhatikan, apa yang dilakukan oleh Ki Pati Mandaraka, sementara Ki Patih sendiri memang seorang yang sulit dicari duanya.
Dalam kekalutan perang, Ki Patih akhirnya menemukan bagian yang paling lemah diantara dinding batang pohon kelapa itu. Ki Patih yakin, bahwa bagian yang lemah itu adalah bekas pintu gerbang bu-tulan yang dengan tergesa-gesa diganti dengan batang pohon kelapa yang utuh. Namun batang pohon kelapa itu tidak cukup dalam tertanam sebagaimana batang-batang yang lain.
Dengan cepat Ki Patih Mandaraka mendekati bagian yang dianggapnya lemah itu. Dengan pusakanya yang sangat tajam, Ki Patih Mandaraka telah menyentuh tali-tali pengikat batang-batang kelapa itu. Setiap sentuhan tidak perlu ulanginy a, sehingga dalam waktu yang pendek, maka beberapa batang pohon kelapa itu sudah tidak terikat lagi oleh tali-tali ijuk serta palang kayu yang dipasang dibagian dalam dinding itu.
Tetapi ketika para perwira pengawalnya ingin merobohkan batang kelapa yang sudah tidak terikat lagi itu, Ki Patih Mandaraka mencegahnya.
- Aku minta dua diantara kalian keluar dari benteng ini dan menghubungi Senapati yang memimpin sayap kiri dari pasukan Mataram. Kalian harus dapat menunjukkan bagian yang sudah tidak terikat lagi dengan batang-batang kelapa disebelah-menyebelahnya. Jika kalian sudah siap diluar, maka aku akan memutuskan tali pengikat pada itu akan terlepas sama sekali. Kalian dapat menariknya dari luar. Dengan mudah kalian akan dapat melakukannya dari luar dinding. Dengan demikian, maka pasukan di sayap kiri yang sudah siap akan dengan mudah memasuki lingkungan ini. -
Dengan demikian maka dua orang diantara para perwira itu telah menyelinap dan meloncat keluar, sementara Ki Patih dan ketiga perwira pengawalnya yang masih ada telah melibatkan diri dalam pertempuran.
Sebagaimana Agung Sedayu, maka Ki Patih Mandaraka telah mengejutkan para prajurit Pati. Kelompok demi kelompok telah didera sehingga pecah dan kehilangan setiap kesempatan untuk mengurung mereka.
Dua orang penghubung telah menyampaikan kehadiran orang-orang berilmu tinggi itu kepada Kangjeng Adipati sendiri, sehingga karena itu, maka Kangjeng Adipati telah menunjuk Ki Naga Sisik Salaka untuk mengatasi keadaan di bagian belakang benteng perkemahan itu.
- Bawa tiga atau empat orang berilmu " berkata Kangjeng Adipati.
Ki Naga Sisik Salaka telah membawa beberapa orang berilmu tinggi bersamanya. Dua orang Tumenggung, dan tiga orang yang semula bukan prajurit Pati. Mereka adalah pemimpin-pemimpin padepokan dan perguruan yang dianggap akan dapat membantu dan memperkuat kemampuan pasukan Pati.
Dalam pada itu, maka dua orang perwira pengawal Ki Patih yang keluar dari benteng, berlari-lari menuju kesayap kiri pasukan Mataram untuk melaporkan bahwa mereka akan mendapat kesempatan untuk membuka dinding perkemahan.
Laporan itu ditanggapi dengan sungguh-sungguh. Sementara itu usaha untuk memanjat dinding dengan tangga bambu masih belum berhasil.
Karena itu, maka Senapati itu telah menggeser pasukannya menyusuri dinding perkemahan. Sementara itu, ia telah mengirimkan dua orang penghubung untuk memberikan laporan kepada Panembahan Senapati.
Pasukan Pati memang melihat perubahan sikap sayap kiri pasukan Mataram. Mereka melihat sayap kiri itu bergeser semakin jauh ke arah lambung. Namun karena Ki Patih Mandaraka melarang yang sudah terlepas ikatannya dari yang lain sementara batang-batang pohon kelapa yang dipasang tergesa-gesa itu tidak cukup dalam tertanam di tanah maka para prajurit Pati masih belum menghubungkan gerak pasukan Mataram itu dengan pintu butulan. Para prajurit Pati hanya mengira bahwa pasukan Mataram itu sekedar menebar untuk mencari kesempatan memasang tangga-tangga bambunya di tempat-tempat yang memungkinkan.
Karena itu, maka para prajurit Pati itupun telah bergeser dipang-gungan yang panjang dibelakang dinding perkemahan.
Namun, dengan pasukan Mataram itu semakin dekat dengan pintu gerbang butulan itu, merekapun menjadi semakin memusatkan perhatian mereka pada pintu butulan itu. Sementara dua orang perwira pengawal Ki Patih Mandaraka akan mengenali batang-batang pohon kelapa yang tidak lagi mempunyai ikatan yang kuat dengan batang-batang yang lain.
Ki Patih Mandaraka yang mengetahui bahwa prajurit Mataram telah berada di tempat yang memungkinkan untuk dengan cepat menyelesaikan rencananya, karena para prajurit itu masih saja bersorak-sorak gemuruh, telah memanfaatkan kesempatan yang ada. Iapun telah membawa ketiga orang perwira pengawalnya untuk memotong tali-tali yang tersisa.
Sejenak kemudian, maka prajurit Mataram atas petunjuk kedua orang perwira pengawal Ki Patih Mandaraka itu telah dengan serta merta bergerak ke arah batang-batang yang telah terlepas dari ikatannya itu.
Dengan jangkar serupa yang dipergunakan oleh para prajurit dari pasukan khusus, maka para prajurit mataram itu mengait ujung-ujung batang kelapa itu, dibawah perlindungan para prajurit yang bersenjata panah.
Prajurit Pati terlambat untuk kedua kalinya menyadari apa yang terjadi. Sejenak kemudian, maka beberapa batang pohon kelapa yang dipasang dengan tergesa-gesa menggantikan pintu butulan yang dilepas itu, telah ditarik oleh beberapa orang prajurit.
Usaha para prajurit Pati untuk mencegah mereka dengan serangan anak panah dan lembing tidak berhasil. Selain mereka bergerak dengan cepat, serta perlindungan dari para prajurit yang bersenjata panah, maka para prajurit yang berperisaipun berusaha untuk menghalau anak panah yang meluncur dari belakang dinding perkemahan itu.
Demikianlah, maka sejenak kemudian, maka beberapa batang pohon kelapa itupun telah roboh, sehingga dengan demikian, maka benteng perkemahan yang terdiri dari potongan batang pohon kelapa yang ditanam rapat dan cukup tinggi itu telah menganga. Bahkan panggung yang panjang itupun telah berguncang pula, sehingga beberapa orang prajurit yang kebetulan berada tepat pada batang-batang kelapa yang roboh itupun telah berjatuhan pula.
Dengan cepat, pasukan Mataram telah memanfaatkan kesempatan itu. Para prajurit yang berada disayap kiri itupun dengan cepat berusaha memasuki benteng perkemahan.
Prajurit Pati yang melihat hal itupun berusaha untuk dengan cepat membendungnya, namun para prajurit Mataram dari Pasukan Khusus yang sudah berada didalam benteng itupun telah berusaha menahan mereka.
Pertempuran menjadi semakin seru. Gelombang demi gelombang pasukan Matarampun memasuki benteng yang telah berhasil dikoyak itu. Sehingga dengan demikian, maka pertahanan pasukan Pati-pun menjadi kalut
Perang brubuh tidak dapat dihindarkan lagi. Pasukan dari kedua belah pihak telah bertempur didalam arena yang berbaur. Karena itu, maka kemampuan mereka secara pribadi menjadi sangat menentukan, apakah seseorang akan dapat dengan selamat keluar dari pergulatan yang sengit itu.
Dalam kekalutan itu, maka prajurit Pati tidak lagi mampu bertahan sepenuhnya diatas panggungan yang memanjang melekat pada dinding perkemahan. Mereka tidak lagi dapat memusatkan perhatian mereka kepada para prajurit yang masih berada di luar benteng mereka, karena di belakang mereka pertempuran berkobar dengan sengitnya. Para prajurit Mataram yang sudah berhasil memasuki benteng perkemahan itu menjalar kemana-mana. Mereka berada di segala sudut sehingga pertempuran itupun seakan-akan telah terjadi disetiap jengkal tanah didalam perkemahan itu.
Kangjeng Adipati Pati menjadi sangat marah. Tetapi ia menyadari kenyataan yang dihadapinya.
Jika dalam kekalutan itu ia harus bertempur sekali lagi melawan Panembahan Senapati, maka ia akan mengalami kesulitan. Kangjeng Adipati Pati harus mengakui, bahwa ilmunya ternyata tidak lebih tinggi dari ilmu yang dimiliki oleh Panembahan Senapati. Bahkan dalam kesempatan yang lebih panjang, maka ia tentu akan mengalami kesulitan untuk mengimbanginya. Sementara itu, Kangjeng Adipati juga tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa diantara para prajurit Mataram terdapat orang-orang berilmu tinggi.
Sementara itu. perhatian para prajurit Pati yang terpecah telah memungkinkan beberapa orang prajurit Mataram yang berada di sayap sebelah kanan untuk memasang tangga-tangga bambu mereka,
sehingga beberapa orang telah memanjat dan menembus pertahanan pasukan Pati yang terasa menjadi semakin lemah.
Dengan demikian, maka benteng perkemahan prajurit Pati telah pecah. Pasukan Mataram lewat beberapa sisi dengan berbagai macam cara telah berhasil memasuki yang terhitung kuat itu.
Kangjeng Adipati Pragola dari Pati melihat kenyataan itu. Ia tidak dapat lagi bertahan lebih lama. Gelombang demi gelombang prajurit Mataram disayap kanan hampir seluruhnya memasuki benteng.
Sementara itu, induk pasukan Matarampun telah mulai memanjat tangga-tangga yang sudah dipersiapkan.
Dengan demikian, maka Kangjeng Adipati Pragola talah memberikan isyarat kepada para Senapati. Dua orang penghubung telah mendapat perintah dari Kangjeng Adipati Pragola untuk melepaskan panah sendaren ke udara.
Sejenak kemudian, kedua panah sendaren itu meraung diudara. Satu kearah Utara dan Satu lagi ke arah Selatan.
Perintah itu tidak segera dimengerti oleh prajurit Mataram. Tetapi perintah itu bagi prajurit Pati adalah perintah yang sangat pait Semula para Senapati Pati tidak merasa perlu dengan isyarat itu. Tetapi orang-orang yang terhitung tua telah menganjurkan, agar isyarat itu tetap merupakan bagian dari beberapa jenis isyarat sandi bagi pasukan Pati.
Dalam pada itu, beberapa orang prajurit Pati yang tanggap akan isyarat itu, segera bergerak mendekati benteng perkemahan mereka. Kemudian dengan cepat mereka bergerak. Kapak-kapak kecil dita-ngan merekapun segera memotong tali-tali mengikat beberapa potong batang pohon kelapa yang ditanam sebagai dinding perkemahan prajurit Pati.
Beberapa saat kemudian, maka dua buah pintu rahasia telah terbuka.
Kemudian sekali lagi terdengar isyarat panah sendaren memekik diudara, seperti sebelumnya, satu kearah Utara, satu lagi ke arah Selatan. Namun kemudian disusul pula dua anak panah dengan arah yang sama.
Bagi para prajurit Pati, perintah sandi itu jelas. Karena itu, sejenak kemudian, terjadi gejolak yang keras didalam lingkungan benteng perkemahan itu. Beberapa saat para prajurit Mataram tidak tahu pasti, apa yang terjadi Namun kemudian merekapun menjadi jelas, bahwa
prajurit Pati sedang berusaha untuk bergerak keluar dari dinding perkemahan itu.
Prajurit Mataram memang berniat untuk mencegahnya. Tetapi prajurit Pati yang masih cukup besar jumlahnya itu memang sulit untuk dibendung. Mereka telah mempersempit medan sebatas pintu rahasia yang telah mereka buka.
Jika prajurit Mataram masih saja mengalir bergelombang bergerak memasuki benteng dengan segala cara, maka prajurit Pati justru mengalir keluar benteng lewat dua pintu rahasia yang terbuka lebar.
Memang terjadi pertempuran diluar benteng yang ditinggalkan oleh prajurit Pati itu. Tetapi para prajurit Pati memiliki ketangkasan yang cukup tinggi, sehingga akhirnya mereka berhasil lepas dari hambatan para prajurit Mataram yang berusaha menahan dan mengejar mereka.
Sementara itu, Ki Padh Madaraka juga telah memerintahkan agar para prajurit Mataram tidak mengejar mereka. Tetapi Ki Patih Madaraka telah memerintahkan Agung Sedayu dan sekelompok Pasukan Khususnya untuk mengikuti gerak pasukan Pati.
- Jangan mendekati pasukan yang terhitung kuat itu. Amati saja mereka, apakah mereka benar-benar akan mundur sampai kesebelah Utara pegunungan Kendeng.
Agung Sedayu sadar, bahwa perintah itu adalah perintah yang berat. Perintah yang tidak cukup dijalani hanya sehari dua hari. Tetapi sekelompok Pasukan Khususnya akan menjalankan tugas itu untuk beberapa hari, hingga mereka yakin bahwa pasukan Pati benar-benar telah berada diarah belakang Pegunungan Kendeng.
Tetapi Agung Sedayu tidak mengikuti tugas itu. Tanpa bekal apapun, Agung Sedayu siap berangkat meninggalkan benteng itu pula, mengikuti gerak pasukan Pati dari jarak yang cukup jauh, sehingga mereka tidak akan terjebak atau disergap oleh pasukan Pati yang kuat itu.
- Pergilah. Aku akan memberikan laporan kepada Panembahan Senapati tentang kelompok Pasukan Khususmu yang kau pimpin sendiri itu. "
- Baik, Ki Patih, Aku mohon restu. " Ki Patih menepuk bahu Agung Sedayu. Katanya " Aku percaya kepadamu. -
Dengan demikian, maka Agung Sedayu telah membawa sekelompok prajurit dari pasukan Khusus yang terpilih untuk mengikuti gerak prajurit Pati itu. Tetapi Agung Sedayu memang telah mengambil jarak yang cukup untuk menghindari kemungkinan buruk terjadi atas pasukan kecilnya.
Agung Sedayu tidak langsung mengikuti gerak lawannya pada jarak penglihatannya. Tetapi Agung Sedayu merasa cukup untuk mengikuti jejak pasukan Pati yang masih terhitung besar itu, meskipun sudah jauh surut dari pasukannya ketika berangkat
Sebagaimana diperhitungkan oleh Agung Sedayu bahwa Pati tentu mempunyai landasan yang sudah dipersiapkan untuk mengumpulkan prajurit-prajurit yang tercerai berai.
Agung Sedayu telah menempatkan pasukannya ditempat yang agak jauh. Ia sendiri bersama dua orang pengawalnya merayap mendekat untuk mengamati gerak pasukan Pati yang terdesak perkemahannya itu.
*** Buku 298 bagian I AGUNG SEDAYU tidak dapat segera melihat dengan jelas, apa yang terjadi dengan pasukan Pati. Namun menurut pendapat Agung Sedayu, bahwa induk pasukan Pati dibawah pimpinan langsung Kangjeng Adipati Pati telah berada di sebuah padukuhan yang cukup besar tetapi kosong. Para penghuninya yang sejak semula telah mengungsi, masih belum kembali ke padukuhan mereka.
"Apakah Kangjeng Adipati Pati benar-benar terlepas dari tangan prajurit Mataram ?" bertanya seorang prajurit yang menyertai Agung Sedayu.
"Agaknya demikian. Ketika kita berangkat dari benteng perke mahan, Kangjeng Adipati tidak dijumpai diantara mereka yang tertawan. Tetapi melihat besarnya pasukan yang berhasil meloloskan diri, maka Kangjeng Adipati tentu ada diantara mereka."
Prajurit itu mengangguk-angguk. Namun ia tidak bertanya lagi. Beberapa puluh patok di hadapan mereka, kelompok demi kelompok pasukan pati berdatangan. Di padukuhan itu agaknya mereka ingin menyusun kekuatan mereka kembali.
Malam yang turun-pun menjadi semakin dalam. Agung Sedayu masih tetap berada di tempatnya untuk melihat apa yang terjadi dengan para prajurit Pati itu.
Dari kejauhan Agung Sedayu melihat cahaya api yang menerangi dedaunan yang mencuat melampaui tingginya dinding padukuhan itu. Dengan demikian maka Agung Sedayu dapat menduga bahwa para prajurit Pati itu telah memasang oncor-oncor di beberapa tempat di padukuhan itu.
"Perapian," tiba-tiba saja Agung Sedayu berdesis.
"Mungkin sekali," jawab prajuritnya, "pasukan itu tentu letih dan lapar."
Agung Sedayu menarik nafas panjang. Pasukan kecilnya juga letih dan lapar. Tetapi Agung Sedayu telah memerintahkan beberapa orang dari para prajuritnya untuk mengusahakan pangan bagi pasukan kecil itu.
Dalam pada itu Agung Sedayu telah membawa dua orang prjurit yang telah dipilihnya dari antara prajurit dari Pasukan Khusus itu untuk mendekati perkemahan para prajurit Pati.
Dengan sangat berhati-hati mereka merayap mendekat. Mereka menyadari sepenuhnya, bahwa para prajurit Pati itu tentu juga meletakkan beberapa orang pengawas diluar padukuhan itu.
Namun Agung Sedayu dan kedua orang prajuritnya itu berhasil mendekati dinding padukuhan. Bahkan kemudian bertiga telah meloncat masuk dengan sangat berhati-hati.
Ternyata seperti yang mereka duga, maka para prajurit Pati itu memang telah menyalakan beberapa buah oncor di belakang gerbang padukuhan dan di beberapa regol halaman rumah. Namun yang menarik perhatian Agung Sedayu dan kedua orang prajuritnya adalah, bahwa para prajurit Pati itu telah membuat sebuah dapur yang cukup besar untuk menyediakan makan bagi prajurit-prajurit yang lapar itu.
"Ternyata padukuhan ini memang disiapkan untuk menampung pasukan Pati jika mereka bergerak mundur," desis Agung Sedayu.
"Agaknya pasukan Pati mundur lewat jalur yang mereka lewati ketika mereka berangkat ke Prambanan," desis seorang prajuritnya, "ternyata di padukuhan ini telah tersedia bahan pangan bagi mereka."
"Ada dua kemungkinan," sahut Agung Sedayu, "padukuhan ini memang merupakan lumbung persediaan bahan makanan bagi pasukan Pati."
"Tetapi padukuhan ini bukan Ngaru-aru. Bukankah Ngaru-aru sudah dihancurkan?"
"Menurut yang aku dengar, lumbung pangan di Ngaru-aru memang sudah dihancurkan. Tetapi justru karena itu, maka Pati telah mempersiapkan lumbung yang lain yang semula hanya merupakan tempat pemberhentian arus bahan pangan itu," berkata Agung Sedayu pula.
"Nampaknya Pati memang tidak yakin bahwa mereka akan berhasil menembus sampai ke Mataram. Ternyata mereka telah mempersiapkan landasan pertahanan jika mereka terpaksa mundur."
Tetapi Agung Sedayu menggeleng, "Bukan karena ketidakyakinan itu. Sudah aku katakan, padukuhan ini dapat saja merupakan lumbung bahan pangan darurat setelah Ngaru-aru dihancurkan dengan persediaan pangan seadanya. Tetapi seandainya tempat ini merupakan landasan pertahanan kedua-pun agaknya memang wajar sekali. Setiap persiapan bagi perang yang besar, tentu disiapkan pula landasan pertahanan kedua. Bahkan ketiga sebagai landasan untuk memukul mundur lawan yang mungkin mengejarnya. Setidak-tidaknya untuk mengurangi keadaaan yang lebih parah lagi bagi pasukan yang bergerak mundur."
Kedua orang prajurit Agung Sedayu itu mengangguk. Tetapi mereka tidak bertanya lagi. Mereka masih melihat kelompok-kelompok prajurit Pati yang datang dalam keadaan letih. Ada diantara kelompok-kelompok itu yang membawa kawan-kawan mereka yang luka dan bahkan parah.
Agung Sedayu memperhatikan pasukan yang semakin banyak berkumpul itu dengan saksama. Namun dengan demikian Agung Sedayu mengetahui, bahwa pasukan Pati memang dalam keadaan parah. Jika Kangjeng Adipati tidak segera memeintahkan pasukannya menarik diri dari benteng perkemahan itu, maka keadaaannya tentu akan menjadi semakin buruk. Bahkan mungkin buruk pula bagi Kangjeng Adipati sendiri.
Namun agaknya para prajurit Pati tidak terlalu lama berada di tempat itu. Setelah beristirahat, makan dan minum secukupnya, maka terdengar isyarat yang memanggil semua pemimpin kesatuan untuk berkumpul.
Meski-pun Agung Sedayu tidak dapat menyaksikan dan mendengarkan pembicaraan itu, tetapi Agung Sedayu dapat menduga, bahwa para pemimpin Pati itu sedang membicarakan langkah-langkah yang akan diambil.
Sebenarnyalah, Kangjeng Adpati Pati sendiri telah memimpin pertempuran itu. Selain mendengarkan laporan para pemimpin kesatuan didalam pasukan Pati yang besar itu, Kangjeng Adipati juga memberikan perintah-perintah kepada mereka.
Dari para Senapati, Kangjeng Adipati Pragola mendengar bahwa keadaan pasukannya memang parah. Sebagian dari para prajurit masih belum sampai ke tempat itu. Mungkin mereka kehilangan arah, tersesat atau bahkan tertangkap oleh pasukan Mataram.
Tetapi Kangjeng Adipati tidak dapat menunggu lebih lama lagi. Untuk menjaga segala kemungkinan, maka pasukannya harus segera meninggalkan tempat itu sebelum dini hari.
"Kita tidak tahu apakah pasukan Mataram itu memburu kita atau tidak. Dalam keadaan seperti ini, sulit bagi kita untuk bertahan," berkata Kangjeng Adipati Pragola.
Dengan demikian, maka Kangjeng Adipati Pragola memang harus menarik pasukannya ke sebelah Utara Pegunungan Kendeng.
Demikianlah, Agung Sedayu menyaksikan pasukan yang masih terhitung besar, tetapi dalam luka itu, bergerak lagi menuju ke Utara.
Agung Sedayu menyaksikan iring-iringan pasukan yang letih itu bergerak perlahan-lahan di dini hari. Sementara itu, dengan cepat pula para petugas yang menyiapkan makan dan minum mereka mengemasi alat-alat yang ada. Namun alat-alat itu segera disimpan didalam sebuah rumah yang terhitung besar. Mereka tidak lagi menghiraukan sisa bahan pangan yang masih ada.
Tidak seorang-pun tinggal di padukuhan itu. Jika agaknya sebelumnya ada sekelompok petugas yang ada di padukuhan itu, maka mereka telah hanyut pula dalam iring-iringan pasukan yang menarik diri itu.
Sepeninggal prajurit Pati itu, Agung Sedayu sempat melihat-lihat keadaan di padukuhan itu. Masih ada sisa bahan makanan di padukuhan itu. Masih tertinggal alat-alat dapur dan perlengkapan lainnya. Bahkan masih ada setumpuk senjata di sebuah rumah yang juga terhitung besar.
Agaknya setelah Ngaru-aru, maka padukuhan ini menjadi landasan dan penyimpanan persediaan bahan pangan.
Namun Agung Sedayu harus segera menyembunyikan diri ketika kemudian datang lagi sekelompok kecil prajurit Pati. Orang-orang yang dengan lemah memasuki padukuhan itu. Namun mereka menjadi kecewa bahwa mereka sudah tidak menemukan kawan-kawan mereka lagi.
Dari bekas-bekas yang mereka lihat serta beberapa oncor yang masih menyala, mereka mengetahui, bahwa kawan-kawan mereka telah meninggalkan tempat itu beberapa saat sebelumnya.
Namun mereka menjadi sedikit terhibur ketika mereka masih menemukan beberapa bakul nasi hangat. Meski-pun mereka tidak menemukan lauk-pauk lagi, tetapi mereka masih mendapatkan sekuah sayur yang masih hangat.
Orang-orang yang letih dan lapar itu-pun telah makan dengan lahapnya. Mereka tidak lagi memikirkan kemungkinan buruk yang dapat terjadi. Mereka tidak lagi memperhitungkan kemungkinan hadirnya prajurit Mataram di tempat itu.
"Kekuatan mereka kecil," desis prajurit pengawal Agung Sedayu, "pasukan kita dapat menghancurkan mereka."
Tetapi Agung Sedayu menggeleng. Katanya, "Biarlah mereka tetap hidup. Jika kita menghancurkan mereka, akibat yang timbul tidak akan banyak pengaruhnya, sementara itu kita telah menebas harapan yang telah tumbuh di hati mereka."
Kedua pengawal Agung Sedayu itu-pun terdiam. Mereka sebenarnya sudah menduga, bahwa mereka akan mendengar jawaban seperti itu dari mulut Agung Sedayu.
Kelompok kecil itu tidak terlalu lama berada di padukuhan itu. Sejenak kemudian, mereka-pun telah berangkat pula meninggalkan nasi yang masih cukup banyak.
Demikianlah, maka Agung Sedayu-pun telah membawa kedua orang prajurit pengawalnya kembali ke pasukan kecilnya. Ternyata tiga orang diantara mereka telah berhasil mendapatkan seonggok beras dari padukuhan yang sepi di sebelah.
Nampaknya jalur yang cukup luas telah dikosongkan ketika pasukan Pati mulai bergerak ke tempat yang lebih aman.
Menjelang fajar, Agung Sedayu telah membawa pasukannya untuk bergerak pula. Mereka harus yakin, bahwa pasukan Pati yang mengundurkan diri itu benar-benar menarik pasukannya sampai ke sebelah Utara Pegunungan Kendeng.
Jarak antara pasukan kecil yang dipimpin Agung Sedayu itu dengan pasukan Pati memang agak jauh. Tetapi mereka tidak pernah kehilangan jejak. Agung Sedayu tahu pasti sampai dimana pasukan Pati itu bergerak. Agung Sedayu sendiri dengan kedua orang prajurit terpilihnya selalu berusaha mengamati langsung pasukan Pati itu.
Ketika di malam hari pasukan Pati itu berhenti sejenak untuk beristirahat, di tempat-tempat yang memang berada di jalur gerak pasukannya, Agung Sedayu selalu berusaha untuk mendekat.
Demikianlah, Agung Sedayu baru akan menghentikan pengamatannya jika pasukan Pati itu telah benar-benar berada di sebelah Utara Pegunungan Kendeng. Kepada pasukan kecilnya Agung Sedayu memerintahkan untuk beristirahat satu hari untuk meyakinkan, bahwa pasukan Pati itu benar-benar bergerak terus ke Utara.
Sementara itu Agung Sedayu mengijinkan prajurit-prajuritnya untuk berburu ke dalam hutan terdekat, sementara Agung Sedayu sendiri mengamati gerak pasukan Pati sehingga benar-benar hilang di Utara Pegunungan, memasuki lemah yang luas, menyusuri jalan yang berkelok seperti ular yang merambat diantara hijaunya pepohonan.
Baru kemudian Agung Sedayu berniat untuk membawa pasukan kecilnya itu kembali ke Prambanan. Jarak yang cukup panjang, sehingga perjalanan sekelompok prajurit dari Pasukan Khusus itu merupakan perjalanan yang berat, karena mereka tidak membawa bekal sama sekali.
Agung Sedayu dan kedua orang prajurit pengawalnya yang baru kembali dari pengamatannya atas prajurit Pati yang bergerak ke Utara terkejut ketika ia melihat dua orang yang tidak dikenalnya berada didalam pasukan kecilnya.
"Inilah Ki Lurah Agung Sedayu. Pemimpin kelompok ini," berkata seorang prajurit yang diserahi pimpinan jika Agung Sedayu dan kedua orang pengawalnya memisahkan diri.
Kedua orang itu bangkit dan dengan hormatnya mengangguk kepada Agung Sedayu.
"Maaf, ngger," berkata orang itu. Seorang tua yang berjanggut pendek keputih-putihan, "aku datang tanpa mohon ijin lebih dahulu."
"Siapakah Ki Sanak berdua ?" bertanya Agung Sedayu.
"Kami penghuni padepokan Tlaga Kuning, ngger," jawab orang berjanggut pendek itu, "orang memanggilku Kiai Tambak Gede."
"Apakah maksud Kiai datang ke tempat ini ?" bertanya Agung Sedayu.
"Ki Lurah," berkata orang itu, "kami ingin sekali mempersilahkan sekelompok pasukan kecil ini untuk singgah di padepokan kami. Kami ingin sekali mempersilahkan para prajurit yang gagah berani ini untuk sekedar beristirahat barang satu malam. Kami ingin memberikan satu penghormatan atas keberhasilan para prajurit ini melaksanakan tugas."
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Kiai Tambak Gede. Kami mengucapkan banyak terima kasih atas perhatian Kiai terhadap pasukan kami. Tetapi Kiai jangan menilai bahwa kami sudah berhasil melaksanakan tugas kami."
"Kenapa belum berhasil " Bukankah kalian bertugas mengikuti pasukan Pati yang mengundurkan diri sampai ke sebelah Utara Pegunungan Kendeng " Sekarang, pasukan Pati itu sudah berada di sebelah Utara Pegunungan Kendeng. Nah, bukankah dengan demikian berarti bahwa tugas kalian sudah berhasil ?"
"Kami tidak bertugas mengikuti pasukan Pati itu Kiai," jawab Agung Sedayu.
Orang itu mengerutkan dahinya. Katanya, "Jadi apakah tugas kalian ?"
"Kami bertugas untuk menemukan seseorang di jalur perjalanan pasukan Pati. Tetapi kami gagal, kelompok-kelompok prajurit Pati yang terlambat yang telah kami sergap dan kami hancurkan, tidak terdapat orang yang harus kami temukan. Mungkin orang itu justru sudah berada di induk pasukan bersama Kangjeng Adipati Pragola."
"Jika demikian, bukankah itu bukan kesalahan Ki Lurah ?" bertanya Kiai Tambak Gede.
"Memang bukan salahku, Kiai. Tetapi tugasku telah gagal. Karena itu, tidak pantas aku menerima undangan Kiai Tambak Gede."
"Jangan berpikir terlalu jauh, ngger. Sekarang, sisihkan segala macam persoalan. Aku mengundang angger dan prajurit-prajurit angger untuk singgah di padepokanku."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian, ia-pun menjawab, "Aku mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Tetapi aku mohon maaf Kiai, bahwa aku tidak dapat memenuhi undangan Kiai. Bahkan kami mohon diri untuk kembali, menyerahkan diri untuk mendapatkan hukuman atas kegagalan kami."
Para prajurit dari Pasukan Khusus itu termangu mangu. Mereka tidak tahu apa yang dikatakan oleh Agung Sedayu. Tetapi mereka tanggap, bahwa Agung Sedayu agaknya berkeberatan untuk singgah di padepokan Kiai Tambak Gede.
Namun Kiai Tambak Gede itu-pun berkata, "Ki Lurah, jangan terlalu tertekan karena tugas-tugas Ki Lurah. Apa-pun yang terjadi, biarlah terjadi. Namun aku mohon, Ki Lurah sempat melupakan beban itu barang satu malam saja."
Tetapi Agung Sedayu menjawab, "Sekali lagi aku mohon maaf. Kiai. Tetapi aku ingin datang pada satu kesempatan yang lain."
Orang berjanggut putih itu mengerutkan dahinya. Dari sorot matanya terpancar kekecewaan hatinya yang mendalam.
Namun Agung Sedayu tidak dapat mengubah keputusannya untuk segera meninggalkan tempat itu.
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Kalanya dengan nada rendah, "Apaboleh buat. Jika angger tidak bersedia singgah, maka apa yang telah kami lakukan tidak berarti sama sekali."
"Apa yang telah Kiai lakukan ?" bertanya Agung Sedayu.
"Anak-anak, maksudku para cantrik, telah memotong tidak hanya seekor kambing. Tetapi beberapa ekor. Aku tidak tahu, untuk apa daging sebanyak itu."
Agung Sedayu tersenyum. Katanya, "Bukankah para cantrik di padepokan Kiai akan dapat menyelesaikannya ?"
"Tetapi yang membuat kami kecewa adalah bahwa pasukan Mataram ini tidak sempat singgah di padepokan kami. Adalah satu kebanggaan bagi kami, bahwa padepokan kami pernah menjadi tempat pasukan Mataram singgah."
"Sekali lagi aku minta maaf Kiai dan sekali lagi aku mengucapkan terima kasih," sahut Agung Sedayu.
Beberapa orang prajurit yang mendengar pembicaraan itu sebenarnya memang menjadi kecewa. Jika mereka sempat singgah, maka mereka akan mendapat kesempatan beristirahat dengan tenang sambil menikmati hidangan yang tentu lebih baik dari daging rusa yang mereka panggang diatas perapian di padukuhan yang kosong.
Tetapi tidak seorang-pun yang berani mengatakannya.
Demikianlah, maka Kiai Tambak Gede dan seorang pengiringnya itu-pun kemudian telah minta diri. Ia masih saja menyatakan kekecewaannya bahwa Ki Lurah Agung Sedayu tidak bersedia singgah barang sebentar di padepokan Kiai Tambak Gede.
Demikian Kiai Tambak Gede meninggalkan mereka, Agung Sedayu segera memerintahkan pasukan kecilnya bersiap untuk kembali ke Prambanan.
"Kita berangkat sekarang juga," berkata Agung Sedayu. Namun kemudian ia masih juga sempat bertanya, "Bagaimana mungkin kedua orang itu dapat menemukan kalian ?"
"Kami tidak tahu, Ki Lurah. Yang kami ketahui tiba-tiba saja keduanya telah menemui kami disini untuk menyatakan keinginannya agar kami bersedia singgah."
Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil. Katanya, "Aku tidak senang bahwa ada orang yang tiba-tiba saja ada diantara kita."
Para prajuritnya dapat mengerti sikap Ki Lurah Agung Sedayu, sementara Agung Sedayu-pun berkata, "Orang yang menyebut dirinya Kiai Tambak Gede itu tahu benar apa yang sedang kita lakukan. Tentu bukan secara kebetulan atau sekedar dugaan. Tetapi orang itu tentu sudah mengamati gerak-gerak kita sebelumnya."
Prajurit yang diserahi memimpin pasukan kecil itu jika Agung Sedayu sedang mendekati gerak pasukan Pati dengan nada berat berkata, "Ya. Seharusnya kami menghindari pengamatan orang lain. Tetapi kami ternyata tidak menghindarkan diri dari pengamatan Kiai Tambak Gede."
"Sudahlah," berkata Agung Sedayu, "kita berangkat sekarang. Secepatnya."
Dengan cepat para prajurit dari Pasukan Khusus itu-pun segera bersiap. Mereka memang tidak membawa perlengkapan lain kecuali senjata mereka masing-masing.
Beberapa saat kemudian, pasukan kecil itu mulai bergerak kembali ke Prambanan. Namun kecurigaan Agung Sedayu membuat pasukan itu menjadi sangat berhati-hati.
Sementara itu, malam yang turun-pun menjadi semakin dalam. Udara yang dingin menyapu bulak-bulak panjang yang membentang di hadapan mereka.
Tetapi Agung Sedayu yang berjalan di paling depan telah memberi isyarat kepada pasukan kecilnya itu untuk berhenti.
"Berhati-hatilah," desis Agung Sedayu.
"Ada apa Ki Lurah ?" bertanya seorang prajurit.
Agung Sedayu tidak segera menjawab. Ia mulai mengetrapkan ilmunya Sapta Pandulu untuk dapat melihat lebih jauh dan lebih tajam meski-pun di gelapnya malam.
"Aku melihat bayangan yang bergerak di balik gerumbul-gerumbul perdu di belakang simpang ampat itu."
Prajuritnya mengerutkan dahinya. Beberapa orang mencoba untuk mempertajam penglihatan mereka. Meski-pun mata mereka cukup terlatih, tetapi mereka tidak segera dapat melihat sesuatu selain gelapnya malam.
Sementara itu Agung Sedayu-pun berkata, "Kita akan berjalan terus. Tetapi berhati-hatilah. Aku merasakan bahwa kita ada dalam bayangan niat buruk sekelompok orang. Mungkin mereka akan menyergap dengan tiba-tiba dari sebelah menyebelah jalan. Bersiaplah dengan senjata kalian."
Para prajurit dari Pasukan Khusus itu-pun segera mempersiapkan diri. Mereka harus memperhatikan hijaunya tanaman di sawah sebelah-menyebelah jalan yang tumbuh dengan suburnya meski-pun untuk beberapa lama tidak sempal dipelihara oleh pemiliknya yang pergi mengungsi dari daerah jalur rawan yang mungkin dilewati pasukan dari Pati.
Baru kemudian, para prajurit dari Pasukan Khusus itu meyakini bahwa mereka benar-benar dalam bahaya. Mereka mulai melihat gerak-gerak yang mencurigakan di sebelah menyebelah jalan yang mereka lewati.
Dengan demikian, maka para prajurit itu telah mempersiapkan senjata mereka. Senjata yang akan menjadi sangat berbahaya di tangan prajurit dari pasukan Khusus yang telah ditempa dalam satu lingkungan yang khusus pula.
Ketika Agung Sedayu yang berjalan di paling depan mendekati sebatang pohon gayam yang besar yang tumbuh di dekat simpang ampat itu, ia berhenti sambil mengangkat tangannya, memberikan isyarat kepada pasukannya untuk berhenti.
Para prajurit dari pasukan Khusus itu-pun berhenti. Namun mereka tetap berhati-hati. Dengan senjata di tangan mereka memperhatikan setiap gerakan di belakang tanaman yang tumbuh di kotak-kotak sawah di sebelah menyebelah jalan.
Tiga orang muncul dari kegelapan di bawah bayangan pohon gayam yang besar dan berdaun lebat itu.
Agung Sedayu sama sekali tidak terkejut ketika ia melihat Kiai Tambak Gede dan dua orang pengiringnya melangkah mendekatinya sambil berkata, "Selamat malam Ki Lurah Agung Sedayu."
Para prajurit dari pasukan Khusus itulah yang merasa heran. Tetapi tidak terlalu lama. Mereka mulai dapat mengerti, apa yang sebenarnya mereka hadapi.
"Untunglah, bahwa Ki Lurah mempunyai panggraita yang tajam," berkata salah seorang prajurit kepada kawannya.
"Ya. Jika tidak, kita akan terjebak. Lebih parah lagi jika daging kambing yang disuguhkan kepada kita itu beracun. Maka mereka tidak usah dengan susah payah bertempur dan membantai kita didalam jebakan mereka karena kita akan mati dengan sendirinya karena racun itu."
Kawannya mengangguk-angguk. Sementara para prajurit yang lain-pun bersukur pula didalam hati atas ketajaman panggraita Ki Lurah Agung Sedayu.
Agung Sedayu berdiri tegak diapit oleh dua orang prajurit kepercayaannya. Dengan nada dalam ia menjawab, "Selamat malam Ki Tambak Gede."
"Kita bertemu lagi Ki Lurah."
"Begitu cepat kita bertemu lagi," jawab Agung Sedayu.
"Ki Lurah, aku masih ingin mengulangi undanganku."
"Apakah aku masih harus menjawab lagi. Ki Tambak Gede ?" Agung Sedayu justru bertanya.
"Jangan begitu kasar, ngger. Sebaiknya kau paksa dirimu untuk mendengarkan kata-kataku."
"Ki Tambak Gede," berkata Agung Sedayu, "sudahlah. Sebaiknya Ki Tambak Gede dapat mengerti tugas yang aku emban. Aku harus segera kembali dan memberikan laporan atas kegagalanku. Jika aku akan mendapat hukuman, biarlah hukuman itu cepat aku jalani. Jika aku mendapatkan pengampunan, biarlah aku segera berlega hati."
"Ki Lurah," berkata Ki Tambak Gede, "jika kau tetap menolak sudah tentu aku merasa tersinggung. Bukan saja aku pribadi, tetapi seluruh warga perguruan Tlaga Kuning akan merasa tersinggung. Perguruan kami adalah perguruan yang besar dan dihormati. Tetapi kau ngger, hanya seorang Lurah Prajurit, berani menolak undanganku."
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Sudahlah Ki Tambak Gede. Jangan berbelit-belit. Katakan apa sebenarnya maksudmu. Aku sudah muak dengan kepura-puraanmu itu."
Wajah Ki Tambak Gede menjadi tegang. Namun kemudian tiba-tiba saja ia tertawa. Wajahnya yang mulai berkeriput itu segera berubah. Yang nampak di sorot matanya bukan lagi ungkapan hatinya yang kecewa, tetapi di matanya membayang kebencian yang mendalam.
Dengan kasar Ki Tambak Gede itu-pun berkata, "Baiklah, Ki Lurah. Aku akan berterus terang. Aku adalah seorang pemimpin perguruan yang telah bersumpah untuk mengabdi kepada Kangjeng Adipati Pati. Tetapi aku terlambat sampai ke Pati. Ketika pasukan Pati mulai bergerak, aku tidak ada di perguruan. Meski-pun aku sudah tahu bahwa pasukan Pati akan menyerang Mataram, tetapi aku kira tidak secepat yang dilakukan oleh Kangjeng Adipati Pragola."
"Kenapa kau tidak menyusul ke Prambanan ?" bertanya Agung Sedayu.
"Aku memang berniat untuk menyusul. Tetapi prajurit Mataram yang berada di Jati Anom bergerak seperti burung alap-alap. Sementara aku bergerak dengan para cantrik yang jumlahnya tidak terlalu banyak. Kami menemukan Ngaru-aru sudah dihancurkan. Aku bertemu dengan sekelompok prajurit Pati yang terkoyak-koyak oleh sekelompok prajurit Mataram. Yang tersisa melarikan diri tanpa tujuan. Bahkan tidak tahu lagi, apa yang akan dilakukan. Mereka tidak mempunyai keberanian lagi untuk mencari dan bergabung dengan induk pasukannya, karena mereka ngeri bertemu dengan sekelompok prajurit Mataram yang bagaikan terbang menyambar-nyambar dan bahkan seakan-akan berada di segala tempat."
"Karena itu, maka Ki Tambak Gede, mengurungkan niatnya untuk menyusul sampai ke Prambanan ?"
"Aku merasa bahwa pasukan yang kecil tidak akan berpengaruh sama sekali."
"Lalu sekarang, apa yang akan kau lakukan ?" bertanya Agung Sedayu.
"Aku tahu bahwa pasukanmu juga hanya kecil. Aku kagum akan keberanianmu bergerak dengan pasukan yang kecil ini," jawab Ki Tambak Gede, "tetapi sayang, bahwa justru karena itu, maka pasukanmu telah menggelitik aku untuk menghancurkan pasukan kecilmu. Aku ingin menghancurkan kekosongan para prajurit Mataram. Aku akan membunuh kalian semua kecuali satu atau dua orang, agar mereka dapat menceritakan, bahwa kesombongan para prajurit Mataram sudah dihancurkan oleh sebuah perguruan. Nama perguruan kami yang sebenarnya bukan Tlaga Kuning. Dan namaku bukan Tambak Gede."
Orang itu-pun berkata selanjutnya. "Tetapi kau tidak perlu mengetahui nama perguruanku dan namaku yang sebenarnya, karena itu sama sekali tidak perlu bagimu."
Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil. Sementara orang berjanggut pendek yang sudah memutih itu berkata, "Tetapi sebelum aku membunuhmu, aku ingin mengatakan kekagumanku terhadap ketajaman perasaanmu. Ternyata kau tidak begitu saja menerima undanganku. Dan itu membuat kami semakin bernafsu untuk membunuh kalian semuanya, selain satu atau dua orang seperti aku katakan."
"Baiklah, Ki Sanak. Kami adalah prajurit. Kematian memang sudah membayang sejak kami menyatakan diri untuk menjadi seorang prajurit yang baik. Karena itu, kau tidak usah menakut-nakuti kami dengan kematian."
"Kau memang anak iblis," geram orang semula mengaku bernama Kiai Tambak Gede itu, "melihat umurmu, maka kau masih belum pantas bertempur menghadapi aku. Tetapi karena kau pemimpin tertinggi yang ada, maka kau memang harus menghadapi aku. Nasibmu yang buruk telah membawamu ke tanganku."
Agung Sedayu tidak menjawab lagi. Tetapi ia sadar, bahwa yang dihadapinya adalah seorang yang menginjak hari-hari tuanya dengan kematangan ilmu yang tinggi. Karena itu, maka Agung Sedayu harus berhati-hati.
Sejenak kemudian, maka Agung Sedayu itu melihat orang itu memberikan isyarat. Ia telah mengangkat tangannya dan bahkan bersiut nyaring.
Para prajurit dari Pasukan Khusus itu-pun segera bersiap. Dari belakang gerumbul dan tanaman di sawah yang kurang terpelihara itu, muncul sosok-sosok yang menggetarkan jantung. Para prajurit Mataram itu sudah ditempa dengan keras lahir dan batinnya. Namun terasa dada mereka berdegup semakin keras melihat orang-orang berpakaian gelap yang bermunculan, seakan-akan mencuat dari kegelapan.
Sekali lagi terdengar isyarat dari orang berjanggut pendek yang sudah memutih itu.
Dan sekali lagi jantung para prajurit itu tergetar. Mereka melihat semua orang yang muncul dari persembunyiannya itu mengambil sepotong kain berwarna kuning dan dikalungkannya di leher mereka.
"Apa artinya itu," desis seorang prajurit.
"Entahlah. Tetapi mereka datang dari padepokan Tlaga Kuning sebagaimana dikatakan oleh orang tua itu."
"Bukan," sahut yang pertama, "bukankah sudah dikatakan bahwa mereka bukan murid-murid perguruan yang bernama Tlaga Kuning ?"
"Orang itu sedang mengigau. Apa saja yang dikatakan, tetapi kita akan menghancurkan mereka."
Prajurit yang pertama mengangguk-angguk. Katanya, "Ya Kita akan menghancurkan mereka sampai orang yang terakhir."
"Atau mereka menghancurkan kita sampai orang yang terakhir pula."
" Tidak. Ada satu atau dua orang yang akan disisakan. Nah, mudah-mudahan orang itu aku."
Kawannya tiba-tiba saja tertawa, sehingga semua orang berpaling kepadanya.
"Ada apa ?" bertanya seorang yang lain.
"Maaf. Orang-orang yang muncul dari kegelapan itu nampaknya lucu sekali," jawab prajurit itu.
Orang tua berjanggut putih itu menggeram. Ternyata prajurit Mataram tidak merasa ngeri melihat orang-orangnya yang berdiri tegak mematung di kotak-kotak sawah sebelah menyebelah jalan.
Dengan lantang orang itu berkata, "Kami mempunyai tiga lapis kekuatan. Yang kalian hadapi adalah pasukan Elang Emas. Tataran berikutnya adalah Elang Perak dan lapisan yang baru tersusun terdiri dari para cantrik yang baru tumbuh adalah pasukan Elang Tembaga. Karena kami akan menghancurkan sekelompok prajurit Mataram, maka aku siapkan Putut dan Cantrik yang termasuk tataran kemampuan tertinggi."
"Ki Sanak. Kenapa tidak semua cantrikmu kau kerahkan " Bukankah pertempuran dengan prajurit Mataram akan menjadi pengalaman yang sangat baik bagi pasukan Elang Perak dan Elang Tembagamu itu ?" bertanya Agung Sedayu.
Orang itu menggeram. Katanya, "Kau benar-benar orang yang sombong, Ki Lurah. Tetapi kau akan menyesal."
"Tidak. Apa-pun yang terjadi kami tidak akan menyesal. Bagi kami, jika kami harus kau bantai sampai habis, maka kami akan mati sambil tersenyum daripada mati sambil menangis. Kesombongan kadang-kadang memberikan kebanggaan bagi kami."
"Setan alas," bentak orang itu hampir berteriak. Lalu ia-pun berteriak pula, "Bunuh semua orang kecuali dua orang yang menyerah dan mohon ampun. Siapa yang lebih dahulu menyerah dan mohon ampun, maka merekalah yang akan tetap hidup."
Agung Sedayu-pun kemudian telah memberikan isyarat pula kepada prajurit-prajuritnya untuk memasuki sebuah pertempuran yang keras.
Demikianlah, maka orang-orang yang disebut pasukan Elang Emas itu mulai bergerak. Mereka semuanya bersenjata sebuah tongkat baja yang tidak terlalu panjang.
Sejenak kemudian, maka orang-orang dari pasukan Elang Emas itu sudah meloncati parit di pinggir jalan dengan sigapnya.
Tetapi prajurit Mataram dari Pasukan Khusus yang dipimpin oleh Agung Sedayu itu telah mempersiapkan senjata mereka pula. Sebagian besar prajurit dari Pasukan Khusus itu bersenjata pedang. Sedangkan sebagian kecil bersenjata tombak pendek. Tetapi sebagai kelengkapan dari Pasukan Khusus, maka mereka juga bersenjata pisau belati panjang yang mereka pergunakan dalam keadaan yang khusus.
Tetapi bukan hanya itu. Sebenarnyalah dalam tugas yang berat itu, para prajurit dari Pasukan Khusus itu dilengkapi pula dengan pisau-pisau belati kecil yang merupakan senjata lontar yang sangat berbahaya.
Sejenak kemudian kedua kekuatan itu sudah saling berbenturan. Orang-orang yang disebut pasukan Elang Emas itu bergerak dengan cepat. Dalam waktu yang singkat, maka mereka seluruhnya telah terlibat dalam pertempuran yang dengan cepat pula meningkat.
Orang berjanggut pendek yang sudah keputih-putihan itu tertawa. Katanya, "Ki Lurah. Kau lihat bahwa orang-orangku lebih tangkas, lebih kuat lebih terlatih dan lebih banyak. Apa yang kau andalkan " Kau sendiri tentu tidak akan mampu berbuat apa-apa di hadapanku. Jangankan seorang Lurah prajurit. Seorang Tumenggung pilihan-pun tidak akan dapat menandingi kemampuanku. Menurut perhitunganku, hanya ada lima orang yang dapat mengalahkan aku di seluruh wilayah kekuatan Mataram dan Pati. Mereka adalah Panembahan Senapati, Ki Juru Mertani, Kangjeng Adipati Pragola, Ki Naga Sisik Salaka dan Ki Gede Candra Bumi. Aku meragukan kemampuan orang-orang lain yang pernah disebut namanya di Mataram dan Pati. Aku tidak gentar mendengar nama Pangeran Mangkubumi, Pangeran Singasari, atau Adipati Pajang atau Adipati mana-pun juga. Juga nama-nama besar para Senapati Pati dan bahkan orang-orang yang disebut berilmu tinggi yang ada di sekitar Kangjeng Adipati Pragola. Mereka tidak lebih dari penjilat-penjilat yang tidak mempunyai kemampuan apa-pun juga. Nah, sekarang kau hanya seorang Lurah Prajurit. Pertimbangkan pendapatku. Bagaimana jika kau adalah orang pertama yang menyerah. Kau akan mendapat pengampunan dan aku persilahkan kau pulang memberikan laporan kepada Panembahan Senapati, bahwa prajurit-prajuritmu telah habis dibantai oleh pasukan Elang Emas dari perguruan yang setia kepada Kangjeng Adipati Pati."
12 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Panji Sakti 11 Mencari Seikat Seruni Karya Leila S. Chudori Pelangi Lembah Kambang 1
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia menyadari, bahwa ia sendiri tentu masih belum dapat turun ke medan di keesokan harinya. Kekuatannya tentu masih belum pulih, meskipun daya tahannya sudah dapat mengatasi rasa sakitnya.
Malam itu, ketika Ki Patih Mandaraka kemudian meninggalkan Agung Sedayu yang berada disebuah ruang khusus didalam lingkungan perkemahan pasukan Mataram, Swandaru telah mengunjunginya.
Sambil mengangguk-angguk Swandaru berdesis " Sokurlah, jika keadaanmu menjadi semakin baik, kakang, -
- Yang Maha Agung masih melindungi aku. " desis Agung Sedayu.
- Untunglah bahwa lawanmu bukan seorang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi, sehingga meskipun kau terluka, tetapi kau masih mampu bertahan dan bahkan mengatasinya. -
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Sementara itu Swandaru-pun berkata " Ternyata yang kau katakan itu benar, kakang. Sayap gelar perang dapat menentukan akhir dari pertempuran. Sementara kemenangan di sayap gelar dapat ditentukan pula oleh kelebihan bagian atau kelompok-kelompok tertentu dalam sayap gelar itu. "
- Agung Sedayu masih saja mengangguk-angguk.
Dalam pada itu, maka Swandarupun telah menceriterakan kemenangan-kemenangannya melawan Senapati Pati dan kemudian melawan Ki Ajar Terepan.
- Jika saja aku mendapat waktu lebih banyak, aku tentu sudah membunuh keduanya. Ki Ajar Terepan adalah seorang hamba istana yang dipercaya untuk merawat pusaka-pusaka Kangjeng Adipati Pati. Ia adalah seorang yang ilmunya sangat tinggi. Ia memiliki pusaka yang sangat dipercayanya, yang setiap goresan ujung rambut sekalipun, akan dapat membunuh lawannya karena racun yang sangat tajam. "
- Untunglah bahwa kau tidak tersentuh ujung tombak itu " desis Agung Sedayu.
- Jika kau memiliki kemauan berlatih serta niat dan ketekunan yang tinggi, kaupun tentu dapat melakukannya. Kau tidak akan selalu dilukai oleh lawan-lawanmu Menurut pengetahuanku, hampir setiap kali kakang turun dimedan pertempuran, maka kakang selalu terluka. Kadang-kadang tidak terlalu parah. Tetapi kadang-kadang parah sekali. ~
Agung Sedayu memandang wajah Swandaru sekilas. Tetapi wajah itu nampaknya wajar sekali. Swandaru memang merasa berhak untuk mengatakan hal itu kepadanya.
Swandaru ternyata masih berkata selanjurnya " Kakang. Berapa kali aku menganjurkan kakang untuk lebih banyak berada didalam sanggar. Meskipun kakang seorang Lurah prajurit, tetapi kakang harus menyisihkan waktu bagi kepentingan kakang sendiri. Mungkin justru karena kakang telah mendapat kedudukan, maka kakang menjadi semakin malas untuk berlatih, sehingga dengan demikian maka ilmu yang kakang miliki tidak akan berkembang. Sudah tentu bukan itu yang dimaksud guru yang telah mewariskan kitabnya kepada kita. -
- Aku mengerti Swandaru"jawab Agung Sedayu " setelah perang ini selesai, maka aku akan mempergunakan waktuku sebaik-baiknya. Mudah-mudahan aku masih mampu mengembangkan ilmuku. "
- Kenapa tidak. " Tidak ada batas umur seseorang untuk mengembangkan pengetahuannya " jawab Swandaru.
Agung Sedayu mengangguk-angguk pula, sementara Agung Sedayu berkata " Kita akan saling berdoa, mudah-mudahan kita selamat keluar dari pertempuran ini. "
- Bukankah dalam keadaan seperti ini kakang tidak akan turun lagi ke medan " " bertanya Swandaru.
Agung Sedayu termangu mangu sejenak. Baru kemudian ia berkata " Agaknya memang tidak. Ki Patih tidak akan mengijinkan jika aku turun lagi ke pertempuran meskipun bukan sebagai seorang Senapati pengapit. Entah dua atau tiga hari lagi, jika keadaanku menjadi semakin baik.
- Bagaimana keadaan lawan kakang " " bertanya Swandaru.
- Aku tidak mengetahuinya " jawab Agung Sedayu.
- Jika Ki Patih Mandaraka menunjuk aku menggantikan kedudukanmu, maka aku akan bersedia melakukannya. " berkata Swandaru.
Agung-Sedayu menjadi berdebar-debar. Jika benar Swandaru itu ditempatkan disisi Panembahan Senapati maka kedudukan itu tentu akan sangat membahayakan adik seperguruannya. Betapapun tinggi ilmu Swandaru, namun Agung Sedayu mengetahui, bahwa tataran kemampuan ilmu Swandaru agak terbatas pada ilmu cambuknya saja, tanpa melihat ke kedalaman ilmunya.
Tetapi Agung Sedayu tidak mengatakannya. Ia takut Swandaru menjadi salah paham. Apalagi Swandaru sudah terlanjut menganggap kemampuannya jauh lebih tinggi dari kemampuan Agung Sedayu Sendiri.
Setiap kali Agung Sedayu memang merasa bersalah. Ia tidak berani berterus-terang mengatakan kepada adik seperguruannya ia tentang tataran kemampuannya dalam perbandingan dengan kemapuan adik seperguruannya itu, sehingga kesalah-pahaman itu justru menjadi semakin berlarut-larut.
Dalam pada itu, maka Swandarupun telah minta diri untuk kembali ke kesatuannya, pengawal Kademangan Sangkal Putung Mataram, baik secara pribadi maupun kemampuan dalam gelar perang.
Sikap Swandaru memang menggelisahkan Agung Sedayu. Sebagai seorang saudara tua, ia berkewajiban mengatakan kebenaran kepada adiknya tentang tataran kemampuannya. Tetapi ternyata Agung Sedayu tidak mampu melakukannya.
Dalam pada itu, maka perkemahan pasukan Mataram itupun semakin lama menjadi semakin sepi. Para prajurit memanfaatkan waktu sebaik-baiknya untuk beristirahat. Mereka akan bersiap didini hari untuk segera menyusun gelar perang. Tidak banyak perubahan terjadi dalam susunan kekuatan. Baik Para Senapati maupun kesatuan-kesatuan yang ada didalamnya.
Untuk menggantikan Agung Sedayu, Panembahan Senapati memang tidak menunjuk seorang Pangeran. Tetapi Panembahan Senapati telah menunjuk Ki Tumenggung Yudapamungkas didampingi dua orang Senapati pilihan.
Dalam pada itu, Swandaru di kemahnya memang menunggu. Mungkin ia akan bermimpi ditimpa rembulan bulat disaat purnama. Betapapun kecilnya ia memang berpengharapan untuk dipanggil oleh Ki Patih Mandaraka atau oleh Panembahan Senapati sendiri untuk me-
nerima perintah, agar ia menggantikan kedudukan Agung Sedayu menjadi Senapati pengapit.
Tetapi perintah itu ternyata tidak pernah diturunkan.
Menjelang pagi, maka para prajurit Mataram itupun sudah bersiap. Mereka sudah berada dikesatuan mereka masing-masing yang setiap saat akan segera memasuki gelar sebagaimana direncanakan.
Namun ketika segala-galanya sudah disiapkan untuk segera mendapat isyarat untuk memasuki gelar, ternyata Panembahan Senapati mendapat laporan dari para pengawas, bahwa mereka tidak melihat gerak pasukan Pati menyusun gelar perang.
" Menurut pengamatan kami, maka pasukan Pati tidak akan keluar dari dinding perkemahan mereka yang mereka buat dari batang kelapa yang cukup tinggi.
" Kenapa kau menganggap begitu " " bertanya Ki Patih Mandaraka yang mengerutkan dahinya.
" Kami melihat pasukan Pati mempersiapkan benteng mereka semakin mapan dan kuat Mereka telah membuat beberapa panggung di belakang dinding perkemahan. Dari panggung itu para prajurit Pati akan menghambat gerak maju pasukan Mataram. Mereka telah mempersiapkan busur dan anak panah, lembing dan senjata-senjata yang lain. Mereka telah mempersiapkan busur-busur yang ukurannya lebih besar dari busur kebanyakan. -
Ki Patih mengangguk-angguk. Tetapi agaknya Panembahan Senapati ingin membuktikannya kebenaran laporan itu. Karena itu. Maka Panembahan Senapati telah mengirimkan petugas-petugas sandi yang khusus pula.
Sebenarnyalah laporan yang diterima kemudian adalah sama seperti laporan sebelumnya. Bahwa pasukan Pati nampaknya tidak akan bergerak keluar dari dinding yang mengelilingi perkemahannya. Karena itu, mereka telah mempersiapkan pertahanan yang sangat kuat.
Panembahan Senapati memang menjadi bimbang. Apakah-ia akan menyerang perkemahan itu atau tidak.
Namun Ki Patih Mandarakapun kemudian berkata " Sebaiknya kita beristirahat hari ini ngger. Kita belum siap untuk menyerang pertahanan Pati yang kuat itu. Karena itu, kita memaksa diri menyerang benteng pertahanan Pati itu, ngger, maka korban akan terlalu banyak yang jatuh.
Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Katanya " Baiklah. Kita beristirahat hari ini. "
Keputusan itu memang menimbulkan perbedaan pendapat Tetapi para prajurit dan pengawal, tetap patuh kepada perintah Panembahan Senapati.
Seorang Senapati yang tidak dapat mengerti kenapa serangan harus ditunda berdesis kepada kawannya"Justru kita mendapat kesempatan yang paling baik untuk menghancurkan Pati di perkemahannya.
- Untuk menyerang sebuah perkemahan, apalagi yang telah sempat membangun benteng seperti pasukan Pati itu memang diperlukan kekuatan yang sangat besar. Mungkin kita dapat memecahkan pertahanan mereka dan memasuki dinding perkemahan untuk mengusir mereka. Tetapi yang dicemaskan oleh Panembahan Senapati adalah jumlah korban yang tidak terkendali. -
- Jadi jatuh korban, bukan hanya dari pihak kita. Tetapi prajurit Patipun akan memberikan korban yang banyak sekali. "
- Itulah yang tidak diinginkan oleh Panembahan Senapati. Apakah itu prajurit Mataram atau prajurit Pati, tetapi setiap nyawa harus mendapat perhatian. -
- Jika demikian, kenapa kita harus berperang " Kenapa kita tidak mengiakan saja semua kehendak Kangjeng Adipati Pati. Jika demikian, maka tidak akan ada korban yang jatuh " berkata Senapati itu. " Bagi seorang prajurit, berperang adalah pekerjaan seorang laki-laki, sebagaimana seorang perempuan harus melahirkan anak-anaknya. "
- Tetapi Panembahan Senapati juga memikirkan, apakah jumlah korban yang jatuh itu tidak dapat ditawar lagi " Meskipun kita seorang prajurit yang memang dipersiapkan untuk perang, tetapi bagi Panembahan Senapati, adalah lebih baik jika kita dapat memenangkan perang dengan korban yang sesedikit-sedikitnya. "
Senapati itu tidak menjawab lagi. Tetapi wajahnya nampak gelap. Ia benar-benar merasa kecewa, bahwa pasukan yang sudah siap itu tidak jadi bergerak.
Panembahan Senapati mengerti, bahwa ada di antara prajuritnya dan bahkan Senapati yang merasa kecewa atas keputusannya. Karena itu, maka Panembahan Senapati itupun melengkapi perintahnya dengan perintah berikutnya " Setiap Senapati harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Besok, pasukan Mataram akan menyerang. Jika pasukan Pati tidak keluar dari dinding perkemahannya, maka pasukan Mataram akan menyerang perkemahan itu. Karena itu, Setiap Senapati harus menempatkan diri sesuai dengan kemungkinan yang dapat terjadi. "
Perintah itu dapat mengurangi kekecewaan didada para prajurit dan Senapati yang ingin segera menyelesaikan pertempuran dengan mendesak Pati mundur sampai ke sebelah Utara pegunungan Ken-deng.
Meskipun pada hari itu, pasukan Mataram tidak turun ke medan, namun pengawasan dan perlindungan terhadap perkemahan dilakukan dengan bersungguh-sungguh. Mataram menyadari, jika mereka lengah, maka pasukannya akan dihancurkan oleh pasukan Pati.
Sementara hari itu pasukan Mataram tidak turun ke medan, maka para Senapati telah mendapat perintah dan petunjuk-petunjuk khusus apa yang harus mereka lakukan jika mereka menyerang pertahanan Pati dibelakang benteng batang kelapa mereka dan kokoh.
Para prajurit yang berperisai harus mengambil peranan. Para petugas sandi telah melaporkan, bahwa Pati telah bersiap untuk menahan arus serangan dengan anak panah dan lembing. Bahkan secara khusus, sekelompok prjurit telah mempersiapkan busur yang lebih besar dari ukuran busur kebanyakan.
Agung Sedayu yang terluka bagian dalam tubuhnya, merasa kecewa bahwa ia tidak mendapat kesempatan untuk ikut bertempur menyerang benteng pertahanan di perkemahan pasukan Pati. Ki Patih Mandaraka yang secara khusus menemuinya, menasehatkan bahwa sebaiknya Agung Sedayu berusaha memperbaiki keadaannya. Menyembuhkan luka dalam yang dideritanya.
Dalam pada itu lewat tengah hari, Panembahan Senapati telah memanggil para Panglima, para Senapati dan para pemimpin pasukan pengawal yang ada didalam barisan yang besar itu. Panembahan Senapati telah memberikan perintah-perintah langsung kepada mereka, seandainya besok pasukan Pati tidak turun ke medan dalam gelar perang.
" Bahwa pasukan Pati tidak turun dalam gelar perang, itu sudah merupakan isyarat bahwa kekuatan Pati telah terguncang. Mereka memperhitungkan kemungkinan yang lebih baik jika mereka bertahan didalam dinding perkemahannya. Dengan demikian mereka mempunyai peluang lebih banyak untuk membunuh para prajurit Mataram yang datang menyerang dinding pertahanan mereka. " berkata Panembahan Senapati.
Dengan jelas Panembahan Senapati membayangkan kemungkinan-kemungkinan buruk yang dapat terjadi disaat para prajurit Mataram berusaha memecahkan pintu gerbang atau memanjat dinding batang kelapa itu.
" Kita harus mempersiapkan tangga bambu sebanyak-banyaknya. Disekitar tempat ini terdapat banyak sekali rumpun bambu. Kita akan membuat tangga bambu itu meskipun mungkin kita tidak akan pernah mempergunakan karena kita akan bertempur dalam gelar perang seperti yang pernah terjadi. "
Panembahan Senapatipun telah membagi pasukannya menjadi tiga bagian yang akan menyerang pertahanan Pati dari tiga jurusan seandainya tidak terjadi perang gelar. Tetapi sekelompok pasukan khusus justru akan menyerang perkemahan Pati itu dari arah belakang. Mereka akan menyerang dengan diam-diam. "
Demikianlah, maka para prajurit Matarampun telah sibuk dengan segala macam persiapan perang.
Namun para prajurit Mataram masih berusaha untuk tidak menampakkan persiapan itu dengan semata-mata. Hal-hal yang masih mungkin disembunyikan, masih juga disembunyikan.
Tetapi ternyata para petugas sandi dari Pati memiliki ketajaman penglihatan, mereka melihat bagaimana orang-orang Mataram membuat puluhan tangga bambu.
Ketika Kangjeng Adipati Pragola mendapat laporan itu, maka ia-pun segera memanggil para Panglima dan Senapati untuk mempelajari kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi.
Kangjeng Adipati Pragola ingin mendengar pendapat para Panglima dan Senapati, tentang parsiapan Panembahan Senapati yang agaknya akan menyerang perkemahan.
- Apakah Panembahan Senapati dengan kekuatan yang seimbang akan menyerang perkemahan yang dikelilingi dengan dinding batang kelapa ini " " desis seorang Panglima.
- Nampaknya memang begitu " jawab Kangjeng Adipati " seperti aku katakan kemarin. Panembahan Senapati adalah orang yang keras hati dan terlalu percaya akan kemampuan sendiri. "
- Jika demikian, lebih baik kita menunggu didalam dinding perkemahan ini. ~ berkata seorang Senapati.
Yang lain nampaknya sependapat. Bahkan Ki Naga Sisik Salaka yang nafasnya masih terasa sesak itu berkata " Kangjeng, aku juga sependapat, bahwa kita akan bertahan didalam dinding perkemahan ini. Tetapi kita harus mempersiapkan segala sesuatunya dengan sebaik-baiknya. Bukan saja senjata dan ketrampilan berperang, tetapi kita harus mempunyai tekad untuk menang. "
- Ya. Itu memang penting, guru " jawab Kangjeng Adipati Pragola.
- Nah, jika demikian, para Panglima dan para Senapati, jangan sekedar main-main lagi. Kita harus dapat menghancurkan pasukan Mataram yang besar itu. Jika pasukan Mataram, mundur dari arena pertempuran, maka kita harus dengan cepat mempersiapkan diri untuk di keesokan harinya menyerang perkemahan Mataram. Jangan ada tenggang waktu sehingga Mataram sempat menyusun kekuatannya kembali. " berkata Ki Naga Sisik Salaka pula.
Kangjeng Adipatipun meneruskan " Nah, kalian dengar. Dengan demikian, maka kalian harus bersiap-siap. Bukan saja mempertahankan perkemahan itu, tetapi sekaligus setiap kesatuan harus bersiap untuk keluar dari benteng dalam gelar yang mapan, tetapi juga siap memukul pasukan Mataram di perkemahannya. Kita memiliki kelebihan dari pasukan Mataram, bahwa kita sempat membuat dinding dari batang kelapa, sementara Mataram tidak. -
Dengan demikian maka Kangjeng Adipati Pragolapun telah memerintahkan untuk mempersiapkan pertahanan sebaik-baiknya.
- Apa yang sudah kita siapkan sampai hari ini, kita tingkatkan lagi. Sediakan anak panah sebanyak dapat disediakan. Demikian pula lembing. Sediakan galah untuk mendorong tangga-tangga bambu demikian orang-orang Mataram memanjat. Jika orang pertama hampir mencapai bibir dinding perkemahan, maka tangga itu didorong dengan galah sampai roboh. Dalam keadaan yang tidak seimbang bagi para prajurit yang terjatuh itu, maka mereka akan menjadi sasaran anak panah dan lembing para prajurit yang lain.
Demikianlah, maka persiapan di perkemahan Patipun ditingkatkan. Jika sebelumnya mereka bersiap-siap menghadapi kemungkinan serangan para prajurit Mataram, maka kemudian yang memang telah mempersiapkan perlengkapan untuk menyerang perkemahan.
Apa yang dilakukan oleh para prajurit Pati itupun tidak luput dari perhatian para petugas sandi dari Mataram. Para petugas sandi itupun melihat peningkatan persiapan yang dilakukan oleh para prajurit Pati.
Demikianlah, Maka persiapan-persiapan merekapun sudah mengarah pada satu kepastian. Para prajurit Pati akan bertahan dibela kang dinding perkemahannya, sementara pasukan Mataram akan menyerang perkemahan itu.
Agung Sedayu yang mendengar rencana yang pasti tentang serangan ke perkemahan prajurit Pati itu telah mencoba menghubungi Ki Patih Mandaraka, untuk minta ijin, apakah dirinya diperkenankan untuk ikut pergi ke perkemahan para prajurit Pati.
Seorang prajurit yang mendapat perintah untuk menghadap Ki Patih itu tidak mendapat jawaban. Tetapi Ki Patih berkata " Biarlah aku datang menemuinya. "
Sebelum menemui Agung Sedayu, Ki Patih telah singgah menghadap Panembahan Senapati. Namun Panembahan Senapati ternyata tidak mengijinkannya.
" Ia harus mengakui kenyataan tentang dirinya " berkata Panembahan Senapati " aku yakin bahwa Ki Gede Candra Bumi juga tidak akan ikut dalam pertempuran mempertahankan benteng mereka. "
Ketika jawaban Panembahan Senapati itu disampaikan kepada Agung Sedayu, maka Agung Sedayu hanya dapat menarik nafas panjang. Tetapi ia sama sekali tidak berani menentang perintah itu.
Namun kepada Ki Patih Agung Sedayu itu berkata " Aku ingin melihat, bagaimana pasukan Pati itu pecah dan lari meninggalkan perkemahan mereka. -
- Doakan saja hal itu akan terjadi, Agung Sedayu " desis Ki Patih Mandaraka.
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya ~ Baiklah Ki Patih. Aku akan berdoa. Mudah-mudahan Panembahan Senapati berhasil. "
Ki Patih Mandaraka mengangguk kecil. Sambil menepuk pundak Agung Sedayu, Ki Patih berkata " Kau memerlukan waktu dua tiga hari untuk beristirahat penuh, Agung Sedayu. "
- Ya, Ki Patih " Agung Sedayu mengangguk dalam-dalam.
Dalam pada itu, maka kedua belah pihakpun telah benar-benar mempersiapkan diri. Ketika malam turun, maka Kangjeng Adipati Pragola dari Pati telah memerlukan melihat sendiri persiapan-persiapan yang dilakukan oleh para prajurit Pati. Busur dan beronggok-onggok anak panah dan lembing. Bahkan beberapa orang telah membuat alat pelontar batu dari bambu apus yang baru ditebang dari rumpun-rumpun bambu sehingga masih lentur. Kemudian galah bambu yang dapat untuk mendorong tangga-tangga bambu orang-orang Mataram yang akan disandarkan pada dinding perkemahan yang terbuat dari batang-batang kelapa utuh yang ditanam berjajar rapat dan diikat dengan tali-tali ijuk dan tutus bambu.
Sementara itu, di perkemahan orang-orang Mataram, Panembahan Senapati telah menyampaikan pesan-pesan terakhir bagi para pasukan yang terdiri dari para prajurit dan bukan prajurit. Sedangkan yang bukan prajuritpun terbagi atas mereka yang memiliki kemampuan
setingkat dengan prajurit dan tidak.
" Untuk menyerang benteng pertahanan satu pasukan yang kuat,
kita benar-benar harus mempunyai perhitungan yang cermat. " berkata Panembahan Senapati.
Setelah Panembahan Senapati merasa cukup memberikan pesan-pesan dan perintah-perintah, maka para prajurit Mataram itupun segera diperintahkan untuk beristirahat.
- Besok kita akan memeras tanaga dan kemampuan kita. "
Malam itu, Swandaru memerlukan lagi menemui Agung Sedayu sebentar. Karena Swandaru mengetahui bahwa Agung Sedayu tidak akan turun kemedan esok, maka Swandaru tidak banyak memberikan pesan-pesan. Bahkan iapun berkata " Bersukurlah bahwa kau tidak akan ikut turun keneraka besok. Aku membayangkan, bahwa perang yang akan terjadi esok, adalah perang habis-habisan. Mataram akan berusaha dengan segenap kemampuannya untuk merebut benteng orang-orang Pati dan mengusirnya sampai kesebelah Utara Pegunungan Kendeng, sementara orang-orang Pati akan mempertahankan benteng itu habis-habisan. "
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya kemudian " Berhati-hatilah kau adi Swandaru. Betapapun tinggi ilmu seseorang, namun ia tentu masih memiliki kelemahan-kelemahan. "
Swandaru tersenyum. Katanya " Baik kakang. Aku akan berhati-hati Tetapi bekal seseorang untuk turun kemedan perang akan ikut menentukan, apakah ia akan berhasil atau tidak. "
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya " Ya. Tetapi kesadaran diri untuk berhati-hati tetap penting. Kepercayaan diri yang berlebih-lebihan kadang-kadang sering merugikan diri sendiri, karena orang itu akan salah menilai medan. -
Swandaru bahkan tertawa. Katanya " Ya, ya. Aku mengerti. Tetapi apakah menurut kakang, aku terlalu percaya kepada diriku sendiri, bahkan agak berlebihan " "
- Bukankah setiap orang mungkin sekali dihinggapi perasaan yang demikian pada suatu saat " " sahut Agung Sedayu.
Swandaru mengangguk-angguk. Katanya " Ya. Seseorang kadang-kadang memang tidak dapat mengukur kemampuan diri. Tetapi aku tidak pernah lepas dari kendali kesadaranku, sehingga aku mampu menilai lawan-lawanku dan lingkungan pertempuran disekeli
lingku dan baik. " - Sokurlah " Agung Sedayu mengangguk-angguk. " Mudah-mudahan kau dan seluruh kekuatan Mataram akan berhasil. "
- Mudah-mudahan serangan ke benteng orang-orang Pati itu mampu memecahkan pertahanan mereka besok. Dengan demikian, kami tidak usah mengulanginya lagi besok. Dengan demikian, kami tidak usah mengulanginya lagi besok lusa. " berkata Swandaru.
Demikianlah, maka Swandaru pun segera minta diri untuk beristirahat. Namun ketika ia berbaring diantara para pengawal Kademangan Sangkal Pulung, maka ia teringat lagi pesan Agung Sedayu, agar seseorang tidak terlalu percaya kepada diri sendiri sehingga akan salah menilai medan.
- Apakah kakang Agung Sedayu menganggap penilaianku atas kemampuanku itu berlebihan " " bertanya Swandaru didalam hatinya.
Swandaru justru merasa kecewa, bahwa ia tidak pernah berada disatu lingkaran medan pertempuran dengan kakak seperguruannya itu. Jika saja mereka berada didalam satu lingkaran medan, maka ia akan dapat memperlihatkan kepada kakak seperguruannya itu kenyataan tentang ilmunya yang tinggi.
- Seharusnya kakang Agung Sedayu sempat melihat sendiri, apa yang dapat aku lakukan di medan pertempuran. " berkata Swandaru didalam hatinya.
Sementara itu, Agung Sedayu yang dianggap masih belum sembuh benar dari luka-luka didalam dirinya itu, duduk menyilangkan kakinya disudut pembaringannya. Ia minta kepada dua orang pemimpin kelompok yang melaksanakan tugasnya selama ia tidak dapat turun kemedan untuk menjaga agar ia tidak terganggu.
- Aku akan mencoba obat yang telah aku racik berdasarkan catatan-catatan guru di kitabnya. Obat itu termasuk obat yang keras. Usahakan agar aku tidak terganggu. Namun jika keadaanku menjadi buruk karena obat itu, kau harus berusaha untuk memasukkan obat yang lain kedalam mulutku hingga tertelan " berkata Agung Sedayu sambil memberikan dua butir obat kepada mereka.
Kedua orang itu saling berpandangan sejenak. Mereka masih belum memahami benar-benar pesan Agung Sedayu itu.
Agaknya Agung Sedayu mengerti keragu-raguan dihati keduanya. Karena itu, maka iapun segera menjelaskan " Aku akan menelan obat yang terhitung keras itu. Jika saat obat itu bekerja didalam tubuhku menimbulkan akibat buruk padaku, sehingga aku menjadi pingsan, maka kalian harus berusaha membuka mulutku dan memasukkan kedua butir obat itu sehingga tertelan. Jika kalian mengalami kesulitan, kalian dapat menuangkan cairan sedikit demi sedikit, sehingga obat itu akan hanyut lewat tenggorokanku dan meredam kekuatan obat yang lebih dahulu kutelan. Tetapi jika kalian terlambat atau tidak berhasil memasukkan obat itu kedalam tenggorokanku, maka akibat buruk itu akan menjadi semakin buruk bagiku. "
- Tetapi, kami tidak terbiasa melalukannya " desis yang seorang diantara kedua prajurit itu.
" Kau akan dapat melakukannya. Hanya jika keadaanku menjadi sangat buruk sehingga aku menjadi pingsan. Jika tidak, kalian tidak usah berusaha memasukkan obat itu kedalam tenggorokanku. "
Keduanya masih tetap ragu-ragu. Tetapi Agung Sedayu berkata pula " Lakukan. Jangan bimbang. Kalian harus yakin bahwa kalian dapat melakukannya. Sementara itu, kalian harus menjaga, agar aku tidak terganggu oleh siapapun selama aku mencoba mengobati diriku sendiri dengan cara itu. Aku tidak menerima tamu siapapun juga, bahkan Panembahan Senapati sekalipun dan Ki Patih Mandaraka. Hanya jika mereka yang datang, kau harus dapat memberikan penjelasan sehingga mereka dapat mengerti. "
Kedua orang itu mengangguk-angguk, betapapun mereka merasa beban tugas itu terasa sangat berat bagi mereka berdua.
Meskipun demikian, mereka berdua bertekad untuk dapat melaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Demikianlah, maka Agung Sedayupun telah menelan ramuan obat-obatan yang disebutnya mempunyai kekuatan yang keras. Dengan beberapa teguk air masak yang sudah didinginkan, maka obat yang berupa serbuk lembut berwarna kecoklat-coklatan itu didorong masuk lewat tenggorokannya.
Kedua orang prajurit yang menungguinya itu menjadi tegang. Mereka melihat Agung Sedayu itupun kemudian duduk dengan me-nyilanggkan kaki dan tangannya disudut pembaringannya sambil me-
mejamkan matanya. Sementara salah seorang dari keduanya memegang sebuah bumbung kecil yang berisi dua butir obat untuk menawarkan obat yang telah ditelan oleh Agung Sedayu itu apabila keadaannya menjadi sangat buruk.
Untuk beberapa saat keduanya menunggu dengan jantung yang berdebar-debar.
Ketika kedua prajurit itu melihat Agung Sedayu bergetar, bahkan seolah-olah menggigil kedinginan, maka seorang diantara keduanya berbisik " Keadaannya memburuk. ~
- Tetapi belum sampai pada batas yang dikehendaki, " jawab yang lain.
Dengan saksama keduanya mengikuti perkembangan keadaan Agung Sedayu. Beberapa saat Agung Sedayu memang seakan-akan menggigil. Namun kemudian tubuh itu mulai berkeringat. Di kening, di leher dan bahkan di wajah Agung Sedayu keringatnya mengembun semakin banyak. Kemudian mengalir dan menetes jatuh.
Tetapi Agung Sedayu masih tetap duduk menyilangkan kaki dan tangannya. Wajahnya menunduk dengan mata yang masih juga terpejam. Kerut di dahinya nampak menjadi semakin dalam.
- Ia menjadi kesakitan " desis salah seorang prajurit yang melihat perubahan wajah Agung Sedayu.
- Bukan kesakitan. Tetapi ia menahan gejolak didalam dirinya saat obat itu bekerja " sahut yang lain.
Tetapi yang seorang menjadi sangat cemas melihat keadaan Agung Sedayu. Dibawah cahaya lampu minyak dilihatnya wajah Agung Sedayu menjadi pucat. Bibirnya terkatub rapat-rapat
- Keadaannya memburuk sekarang " desis yang seorang.
- Tetapi ia tidak pingsan " sahut yang lain.
Keadaan Agung Sedayu nampaknya memang menjadi semakin sulit. Nafasnya menjadi sesak sementara keringatnya mengalir semakin deras.
- Apakah kita menunggu Ki Lurah pingsan " bertanya yang seorang.
Kawannya memang mulai menjadi ragu-ragu. Tetapi dalam
pesannya Agung Sedayu menyebut, jika ia pingsan, maka obat itu harus diusahakan dapat melewat kerongkongannya.
Sejenak kedua orang prajurit itu menjadi ragu-ragu. Ketegangan telah mencengkam mereka, sehingga untuk sesaat keduanya justru diam mematung.
Keadaan Agung Sedayu memang semakin memburuk, sehingga kedua orang prajurit itu tidak mau mengalami kelambatan. Seorang di-antara mereka berdesis " Sekarang. Tidak ada waktu lagi. -
Yang lain termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun telah meraih mangkuk berisi air dingin.
" Bagaimana kita memasukkan obat ini " Apakah kita angkat wajah Ki Lurah, atau kita membaringkannya " -
Keduanya tidak segera dapat mengambil keputusan. Mereka melihat wajah Agung Sedayu yang menunduk dengan mata yang terpejam. Sekali-sekali wajah itu terangkat saat Agung Sedayu berusaha mengatasi pernafasannya yang terasa semakin jauh dan dalam.
Kedua orang prajurit itu menjadi semakin gelisah. Untunglah, bahwa tidak ada orang lain yang datang mencari Agung Sedayu, sehingga mereka tidak menjadi bertambah bingung.
Ketika mereka kemudian mendengar desah perlahan-lahan, maka mereka tidak menunggu lebih lama lagi. Keduanya segera bergeser mendekat. Seorang diantara mereka berkata " Kita baringkan saja Ki Lurah itu dipembaringannya. Dengan demikian, kita akan menjadi lebih mudah untuk memasukkan kedua butir obat penawar itu kedalam kerongkangannya. "
Kawannya mengangguk. Tetapi ketika mereka bersiap untuk membaringkan Agung Sedayu dipembaringannya, tiba-tiba mereka melihat perubahan para Ki Lurah itu. Agung Sedayu telah menarik nafas dalam-dalam. Kemudian melepaskannya sehingga seolah-olah dadanya menjadi kosong sama sekali. Namun kemudian diulanginya dan diulanginya.
Kedua orang prajurit itu tertegun sejenak. Mereka melihat tarikan nafas Agung Sedayu menjadi semakin teratur. Kepalanya menunduk sementara matanya masih terpejam. Namun Agung Sedayu tidak lagi tersengal-sengal.
Beberapa saat, justru Agung Sedayu telah menegakkan dadanya. Meskipun matanya masih terpejam, tetapi kepalanya tidak lagi menunduk. Sementara itu, Agung Sedayu itu telah mampu mengatasi kesulitan pernafasannya. Perlahan-lahan Agung Sedayu telah mulai mengatur pernafasannya dengan baik. Bahkan kemudian Agung Sedayu telah berhasil menguasai gejolak getar didalam dirinya. Obat yang keras, yang diminumnya, telah bekerja didalam dirinya, menyusuri urat-urat darahnya sampai ke ujung-ujungnya yang terkecil. Menyusup kedalam setiap serat daging dan tulang sung-sumnya, otot-otot serta syarafnya.
Kedua prajurit yang tegang itupun menarik nafas dalam-dalam. Mereka melihat keadaan Agung Sedayu yang menjadi semakin baik meskipun tubuhnya masih basah oleh keringat.
Tetapi bukan hanya Agung Sedayu sajalah yang basah oleh keringat. Tetapi pakaian kedua orang prajuritnya itupun seakan-akan baru saja di pungut dari rendaman air dan langsung mereka kenakan ditabuh mereka.
Kedua orang prajurit itu terkejut ketika mereka mendengar suara kentongan di sudut-sudut perkemahan. Ternyata mereka telah berada di tengah malam.
Agung Sedayu justru mulai membuka matanya. Diurainya tangannya, kemudian direntangkannya. Bahkan kemudian Agung Sedayu itupun telah bangkit.
Dengan memusatkan nalar budinya, Agung Sedayu telah menelan obat yang diramunya sesuai dengan rincian yang tertulis didalam kitab yang ditinggalkan oleh gurunya. Obat yang keras, yang belum pernah dicobanya sebelumnya.
Ternyata bahwa obat itu mempunyai manfaat yang sangat besar bagi tubuhnya yang terluka didalam. Dengan obat yang keras itu, Agung Sedayu telah menemukan kembali tenaga dan kemampuannya seutuhnya. Luka di bagian dalam tubuhnya itu telah sembuh sama sekali.
Namun dengan demikian, Agung Sedayupun mengetahui, bahwa obat itu adalah obat yang berbahaya, yang tidak dapat diberikan kepada setiap orang. Hanya orang-orang yang memiliki daya tahan tubuh yang tinggi sajalah yang dapat mempergunakan untuk mempercepat kesembuhan. Jika seseorang tidak mempunyai daya tahan cukup tinggi, maka obat itu justru akan merusakkan jaringan-jaringan tubuhnya, sehingga akibatnya akan menjadi sebaliknya dari satu usaha penyembuhan.
Kedua prajurit yang berdiri termangu-mangu itu melihat, keadaan Agung Sedayu yang menjadi segar dan tegar.
- Ki Lurah " desis seorang dari kedua orang prajurit itu. Agung Sedayu tersenyum. Katanya " Aku berhasil mengobati
luka-luka didalam tubuhku. "
- Sokurlah " prajurit itu mengangguk-angguk " kami berdua hampir saja kehilangan akal. Ketika kami melihat keadaan Ki Lurah, maka kami berdua telah memutuskan untuk memberikan obat penawar itu. "
- Aku sekarang sudah menjadi baik seperti sediakala. -
- Apakah Ki Lurah besok akan turun ke medan " " bertanya pemimpin kelompoknya itu.
- Apa tugas kalian besok " " bertanya Agung Sedayu.
- Pasukan Khusus yang berada di Tanah Perdikan Menoreh telah mendapat tugas untuk memasuki dinding perkemahan dengan diam-diam.
- Kalian tidak termasuk dalam kesatuan yang akan menyerang perkemahan dari arah yang terbuka " " bertanya Agung Sedayu.
- Ya " jawab pemimpin kelompok itu.
- Satu tugas yang sulit, justru serangan di siang hari " berkata Agung Sedayu.
- Tetapi perhatian para prajurit Pati yang ada diperkemahan itu akan terikat pada serangan terbuka dari tiga arah. "
- Beristirahatlah. Aku akan menghadap Ki Patih Mandaraka" berkata Agung Sedayu kemudian.
Pemimpin kelompok itupun telah menyerahkan kembali-obat pe-nawar yang hampir saja disisipkan kedalam mulut Agung Sedayu, yang justru akan dapat menawarkan obat yang disebutnya sangat keras itu.
Ki Patih Mandaraka yang sudah mulai berbaring dipembaringan-nya, memerlukan untuk menemui Agung Sedayu. Ketika ia mendengar prajurit yang berjaga-jaga di barak perkemahannya memberitahukan bahwa Ki Patih sedang beristirahat, maka Ki Patih itu justru keluar untuk mempersilahkan Agung Sedayu masuk ke dalam barak kecilnya.
- Adakah yang penting kau beritahukan kepada Ki Lurah ?"bertanya Ki Patih.
- Ampun Ki Patih " sahut Agung Sedayu " aku ingin mohon, agar aku diperkenanan untuk bersama-sama dengan prajurit-prajurit dari Pasukan Khusus di Tanah Perdikan Menoreh, berada di medan esok. -
Ki Patih mengerutkan dahinya sambil berdesis " Aku melihat perubahan pada dirimu. Apakah kau berhasil mengatasi luka-luka dalammu " "
- Yang Maha Agung telah menolongku " jawab Agung Sedayu " Aku telah mencoba minum obat ramuan sesuai dengan petunjuk Kiai Gringsing. Obat yang belum pernah aku coba meskipun oleh diriku sendiri. Aku menyiapkan obat itu meskipun aku agak ragu mempergunakannya. Namun akhirnya aku coba juga meskipun mengandung bahaya. "
Ki Patih Mandaraka menarik nafas dalam-dalam. Katanya -Kalau telah melakukan satu langkah yang sangat berbahaya bagi dirimu sendiri. "
- Aku sudah minta dua orang prajurit untuk bersiap-siap memberikan obat penawarnya jika keadaanku memburuk " berkata Agung Sedayu kemudian.
Seharusnya kau lakukan dihadapan orang-orang tua seperti aku. Dalam keadaan yang sangat gawat, aku dapat membantumu. Tetapi sokurlah, bahwa segala sesuatunya telah berlangsung dengan baik. Dan nampaknya obat itu berpengaruh baik atasmu. -
- Ya, Ki Patih. Aku merasa segala sesuatunya telah pulih kembali. -
- Bangkitlah " berkata Ki Mandaraka kemudian " berdirilah. -Agung Sedayu mengerti, bahwa Ki Patih ingin mengetahui, apakah ia benar-benar sudah sembuh. Karena itu, maka Agung Sedayu itupun segera bangkit berdiri.
- Rentangkan tanganmu. "
Seperti yang diperintahkan oleh Ki Patih, Agung Sedayupun telah merentangkan tangannya.
Dengan ujung-ujung jarinya Ki Patih meraba bahu, punggung, dada dan lambung Agung Sedayu. Kemudian pergelangan tangan dan pergelangan kakinya.
Ki Patih menarik nafas dalam-dalam. Katanya " Obat yang kau pergunakan adalah obat yang sangat kuat. Jika saja bukan kau yang minum obat itu, maka akibatnya akan lain. -
Agung Sedayupun kemudian telah duduk kembali. Sambil mengangguk dalam-dalam ia berkata ~ Aku mohon Ki Patih. Besok aku dapat berada diantara prajurit-prajuritku yang mendapat tugas yang sangat berat itu. -
Ki Patih menarik nafas dalam-dalam. Katanya " Sebenarnya memang sudah tidak ada alasan lagi untuk mencegahmu. "
- Jika demikian, apakah berarti bahwa aku besok dapat ikut serta
" - Ki Patihpun kemudian tersenyum sambil mengangguk kecil " Baiklah. Semua perintah telah diberikan kepada dua orang pemimpin kelompokmu yang akan memimpin prajurit-prajurit sandi itu. Tetapi masih ada satu perintah rahasia yang belum aku sampaikan kepada kedua orang pemimpin kelompokmu itu. "
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia menjadi ragu-ragu untuk bertanya, apakah ia boleh mendengar perintah rahasia itu. "
Ki Patihpun kemudian memandang Agung Sedayu dengan seksama. Namun kemudian katanya " Ki Lurah. Karena kau sendiri akan berada di dalam Pasukan Khususmu itu, maka kau boleh mendengar perintah rahasia itu. "
Agung Sedayu memang menjadi tegang. Sementara Ki Patih Mandaraka berkata selanjurnya hampir berbisik " Besok, aku bersama lima orang perwira dari Pasukan Khusus pengawalku akan berada diantara para prajurit dari Pasukan Khususmu. -
Wajah Agung Sedayu menegang sejenak. Ternyata Ki Patih
Mandaraka sendiri akan memimpin Pasukan Khusus yang akan memasuki perkemahan pasukan Pati itu dengan diam-diam dari arah belakang setelah pasukan Mataram yang besar menyerang dari tiga arah.
Sementara itu Ki Patih Mandarakapun berkata pula " Bersamamu Agung Sedayu, aku kira kekuatan pasukan kecil itu akan semakin bertambah. Besok pagi-pagi aku akan memberitahukan kehadiranmu diantara Pasukan Khusus itu kepada angger Panembahan Senapati. Aku akan memberitahukan bahwa kau telah pulih kembali sehingga kau akan dapat melakukan tugasmu dengan baik. -
- Terima kasih Ki Patih, dengan demikian maka aku tidak akan terpisah dari prajurit-prajuritku justru dalam tugas yang berat ini. "
Ki Patih tersenyum. Ia tahu bahwa Agung Sedayu adalah seorang pemimpin yang bertanggung-jawab, sehingga ia akan merasa tenang berada diantara prajurit-prajuritnya apapun yang terjadi atas dirinya sendiri.
Namun Ki Patih masih juga berpesan " Tetapi biarlah perintah rahasia itu tetap menjadi rahasia sampai esok pagi. "
Agung Sedayu mengangguk kecil. Katanya " Aku mengerti Ki Patih. -
- Baiklah, jika demikian beristirahatlah disisa malam ini. Kau memang perlu beristirahat setelah kau berjuang melawan obat yang telah kau minum itu. " berkata Ki Patih.
Agung Sedayupun kemudian telah mohon diri, kembali ke baraknya. Kepada kedua pemimpin kelompoknya ia berkata " Besok aku akan pergi bersama kalian. "
Kedua orang pemimpin kelompok itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian wajah mereka menjadi cerah. Dengan nada tinggi seorang diantara mereka bertanya"Jadi besok Ki Lurah akan menyertai kami memasuki perkemahan itu " "
- Ya. Aku akan berada diantara kalian. " Agung Sedayu berhenti sejenak, lalu katanya " beristirahatlah. Kau seharusnya sudah beristirahat ~
- Sulit untuk dapat tidur Ki Lurah. Tetapi sekarang, kami akan tidur nyenyak. "
Demikianlah, disisa malam yang tinggal sedikit itu. kedua orang pemimpin kelompok prajurit dari Pasukan Khusus itupun telah memanfaatkannya untuk beristirahat. Demikianlah pula Ki Lurah Agung Sedayu dan bahkan juga Ki Patih Mandaraka.
Menjelang fajar, maka pasukan Mataram itu sudah bersiap. Pasukan Mataram telah mempersiapkan diri untuk menghadapi lawan, baik dalam perang gelar, maupun untuk menyerang perkemahan yang dilindungi oleh dinding pohon kelapa yang berdiri berjajar rapat sebagai benteng yang kokoh.
Sesuai dengan perintah Panembahan Senapati, maka pasukan induk akan menyerang benteng pasukan Pati itu dari depan. Sementara kedua sayapnya akan menyerang dari arah sebelah kiri dan kanan.
Namun dalam pada itu secara khusus, pasukan kecd yang terdiri dari kelompok-kelompok prajurit dari Pasukan Khusus yang berada di Tanah Perdikan Menoreh telah mendapat tugas sendiri. Sebelum fajar pasukan itu harus sudah mendekati benteng dari arah belakang. Pasukan itu mendapat tugas untuk memasuki benteng dengan diam-diam. Tugas mereka yang utama adalah mendukung beban tugas Ki Patih Mandaraka untuk mencari jalan, membuka pintu bagi pasukan mata-ram jika mereka tidak dapat memasuki benteng itu dengan tangga-tangga bambu atau memecah pintu gerbang.
Perintah bahwa yang akan memimpin Pasukan Khusus itu adalah Ki Patih Mandaraka sendiri, baru diberikan saat pasukan itu berangkat. Jika perintah itu sempat bocor sampai ketelinga petugas sandi Pati karena berbagai sebab, termasuk pengkhianatan, maka Ki Patih akan menjadi sasaran dan bahkan mungkin akan dijebak oleh orang-orang Pati.
Para prajurit dari Pasukan Khusus itu memang terkejut Tetapi hati merekapun telah mekar. Mereka benar-benar merasa mengemban kepercayaan yang sangat tinggi, bahwa mereka akan melakukan satu tugas yang berat dan dipimpin langsung oleh Ki Patih Mandaraka ber-sama lima orang perwira pengawalnya. Mereka menjadi semakin tegar ketika mereka mengetahui bahwa Ki Lurah Agung Sedayu akan berada diantara mereka.
Sebagaimana tugas yang khusus, maka Pasukan Khusus itu telah berangkat mendahului induk pasukannya. Mereka menyusup melalui jalan melingkar mendekati perkemahan pasukan Pati. Dalam kegelapan menjelang fajar, mereka merangkak mendekati dinding perkemahan dari arah belakang.
Para prajurit Pati memang cukup berhati-hati. Pertahanan mereka menghadap kesegala arah, termasuk kearah belakang perkemahan mereka, sehingga dengan demikian, maka Pasukan Khusus yang dipimpin langsung oleh Ki Patih itu harus menjadi sangat berhati-hati, agar mereka tidak segera dilihat oleh para pengawas disisi belakang benteng yang melindungi perkemahan orang-orang Pati.
Bersamaan dengan itu. maka pasukan Mataram dalam gelar perang telah bergerak pula meninggalkan perkemahan.
Ternyata bahwa Pati benar-benar tidak keluar dari perkemahan untuk menyongsong pasukan Mataram dengan gelar perang. Tetapi mereka telah bersiap menunggu di panggungan dibelakang dinding perkemahan mereka.
Sebelum matahari terbit, pasukan Mataram sudah berada beberapa puluh patok didepan benteng pasukan Pad. Panembahan Senapati telah memberikan isyarat kepada pasukannya untuk berhenti.
Seperti yang telah diperintahkan, pasukan Mataram akan bergerak setelah Panembahan Senapati membunyikan pertanda.
Dihadapan benteng yang mengelilingi perkemahan, Panembahan Senapati telah memerintahkan untuk menunjukkan segala macam tanda kebesaran Mataram. Panji-panji, rontek, umbul-umbul, kelebet dan tunggul-tunggul. Kemudian setelah segala sesuatunya siap untuk bergerak, Panembahan Senapati telah memerintahkan untuk membunyikan bende Kiai Bicak. Bende pusaka Mataram yang jarang sekali di keluarkan dari Bangsal Pusaka.
Suaranya telah menggetarkan udara dialas perkemahan pasukan Pati, Menghentak bagaikan udara diatas perkemahan pasukan Pati, Menghentak bagaikan mengetuk setiap dada para prajurit yang ada di perkemahan. Sementara itu, para prajurit Mataram yang mendengar suara bende Kiai Bicak, telah bersorak gemuruh seakan-akan menggu-cang dan akan meruntuhkan langit.
Para prajurit Pati telah melihat kedatangan pasukan Mataram. Beberapa orang petugas sandi serta pengawas telah melaporkan, bahwa Mataram dengan kekuatan penuh telah datang menyerang perkemahan sebagaimana telah mereka perhitungkan berdasarkan atas laporan-laporan para petugas sandi serta atas dasar perhitungan orang-orang Pati atas sifat dan watak Panembahan Senapati.
Tetapi suara bende Kiai Bicak serta gemuruh sorak prajurit Mataram benar-benar telah menghentak-hentak jantung para prajurit Pati.
Kangjeng Adipati Pragola yang juga mendengar suara bende serta sorak para prajurit Mataram, ternyata juga menjadi berdebar-debar. Bukan karena gentar menghadapi lawan, tetapi suara bende dan sorak gemuruh itu akan mempunyai pengaruh jiwani terhadap prajurit-prajuritnya.
Karena itu, maka Kangjeng Adipatipun segera meneriakkan perintah agar semua prajurit Pati bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Ketika kemudian pasukan Mataram itu bergerak, maka para prajurit Pati itu melihat dengan jelas, bahwa prajurit Mataram telah terbagi menjadi tiga. Kedua sayap gelar pasukan Mataram itu telah melepaskan diri dari pasukan induknya. Keduanya melingkari medan yang mereka hadapi untuk mendekati barak itu dari arah samping.
Para prajurit Patipun segera menyesuaikan diri. Sebagian para prajurit telah menebar memperkuat pertahanan disisi sisi benteng yang mereka bangun mengelilingi perkemahan mereka.
Prajurit Mataram bergerak dengan suara dan gemuruh. Bende Kiai Bicak telah bergabung lagi, semakin keras dalam irama yang semakin cepat. Sementara itu, sambil bergerak maju, para prajurit Mataram masih saja bersorak-sorak mengguntur.
Sementara itu, para prajurit Pati yang diatas panggung yang memanjang telah bersiap dengan busur-busur mereka. Anak panahpun telah terpasang dan siap untuk meluncur kearah para prajurit Mataram yang bergerak maju.
Sementara itu, para prajurit Mataram terutama yang berada di lapisan terdepan, telah mempersiapkan perisai-perisan mereka. Para prajurit berperisai itu tidak saja harus melindungi dirinya sendiri, te-
tapi sejauh dapat mereka lakukan, maka mereka harus berusaha untuk melindungi para prajurit yang lain.
Demikianlah, sejenak kemudian, maka Kangjeng Adipati Pragola telah menjatuhkan perintah untuk melepaskan anak panah serta lembing demikian prajurit Mataram mendekati dinding pertahanan pasukan Pati.
Perintah yang diberikan oleh Kangjeng Adipati itu telah disambung oleh setiap Senapati dan pemimpin kelompok prajurit Pati yang ada di panggung dibelakang dinding yang membentengi perkemahan mereka.
Sejenak kemudian, maka anak panahpun meluncur seperti hujan yang dituangkan dari langit
Gerak maju pasukan Mataram memang terhambat Tetapi para prajurit yang berperisai segera menempatkan diri. Dengan tangkas mereka menepis anak panah yang meluncur semakin deras. Bahkan kemudian disusul oleh lontaran-lontaran lembing bambu berujung be-dor besi yang tajam.
Namun dalam pada itu, para prajurit Mataram tidak sekedar membiarkan diri mereka menjadi sasaran serangan anak panah dan lembing. Namun prajurit Matarampun telah mempersiapkan kelompok-kelompok yang bersenjata busur dan anak panah. Dibawah perlindungan perisai kawan-kawannya, maka kelompok prajurit yang bersenjata anak panah itu segera membalas serangan-serangan yang meluncur dari atas dinding batang pohon kelapa itu.
Dengan demikian, maka anak panahpun meluncur dari dua arah. Semakin lama semakin deras.
Beberapa saat kemudian, maka korbanpun mulai jatuh dari kedua belah pihak. Para prajurit Pati yang berada di belakang dinding tidak lagi dapat menyerang dengan leluasa. Tetapi merekapun harus memperhitungkan serangan balasan dari para prajurit Mataram. Jika para prajurit Pati itu terlalu asyik dengan lontaran-lontaran anak panah mereka, maka mereka akan dapat disengat oleh ujung anak panah prajurit Mataram.
Dalam pada itu, maka prajurit Mataram itupun bergerak semakin dekat Prajurit berperisai dipating depan menuntun gerak maju pasukan Mataram dilindungi oleh lontaran-lontaran anak panah. Sementara itu, kelompok-kelompok prajurit telah mempersiapkan tangan yang akan dapat dipergunakan untuk memanjat dinding perkemahan.
Ternyata bahwa para prajurit Pati yang berada diatas dinding memang benar-benar harus memperhitungkan serangan balik para prajurit Mataram dengan anak panah mereka. Ternyata serangan-serangan itu tidak kalah berbahayanya dari serangan-serangan para prajurit Pati atas para prajurit Mataram. Para prajurit Mataram tidak saja sekedar melontarkan anak panah. Tetapi ada diantara mereka adalah prajurit-prajurit yang mempunyai kemampuan bidik yang tinggi. Karena itu, maka setiap anak panah yang meluncur dari busur mereka akan mencari sasaran diantara prajurit lawan.
Dalam pada itu, maka para prajurit yang membawa tanggapun telah bersiap sepenuhnya. Mereka akan bergerak dengan cepat dibawah perlindungan para prajurit berperisai, sementara para prajurit yang bersenjata panah akan menghambat serangan-serangan yang dilontarkan dari atas dinding perkemahan.
Dalam pada itu, mataharipun memanjat semakin tinggi. Pertempuran antara prajurit Mataram dan Pati itupun menjadi semakin sengit Anak panah meluncur dari dua arah menyambar-nyambar.
Tetapi Panembahan Senapati masih belum memerintahkan para prajurit untuk memanjat dinding benteng perkemahan orang-orang Pati.
Sementara itu, Panembahan Senapati telah memerintahkan para prajuritnya untuk mencari dimanakah pintu gerbang utama benteng padepokan itu. Ciri-ciri gerbang utama benteng perkemahan itu agaknya sudah dihilangkan. Dengan demikian, maka benteng perkemahan prajurit Pati itu seakan-akan tidak berpintu gerbang lagi. Bahkan para prajurit yang menyerang dari lambung juga tidak melihat pintu gerbang samping atau bahkan pintu butulan.
Karena itu, maka tangga-tangga bambu itu menjadi semakin penting. Jalan memasuki benteng itu terutama adalah tangga-tangga bambu itu.
Karena itu, maka Panembahan Senapati berusaha untuk mencapai jarak yang terpendek sebelum memerintahkan para prajurit yang
membawa tangga bambu itu berlari menyandarkan tangga-tangga itu untuk memanjat.
Namun dalam pada itu, di arah belakang perkemahan prajurit Pati, Ki Patih Mandaraka, lima orang perwira pengawalnya bersama para prajurit dari Pasukan Khusus yang dipimpin langsung oleh Ki Lurah Agung Sedayu, telah bersiap. Sementara itu perhatian para prajurit Pati tertuju arah sisi-sisi yang mendapat serangan langsung. Meskipun diarah belakang perkemahan itu juga ditempatkan beberapa orang pengawas, tetapi mereka menjadi lengah. Mereka tidak sempat melihat para prajurit Mataram dari Pasukan Khusus itu menebar dibela-kang gerumbul-gerumbul perdu sejak sebelum matahari terbit Sejak induk pasukan Mataram belum menyerang perkemahan itu.
Dengan sabar Ki Patih Mandaraka menunggu kesempatan. Betapapun para prajurit itu gelisah, namun mereka sudah terbiasa patuh kepada setiap perintah, sehingga karena itu, maka sebelum ada perintah apapun, mereka tetap berada ditempai mereka bersembunyi, meskipun jantung mereka bergejolak.
Ketika pertempuran menjadi semakin sengit, lontaran anak panah meluncur dari kedua arah, sementara para prajurit Pati bersiap-siap menghadapi kemungkinan orang-orang Mataram memasang tangga-tangga bambu, maka perhatian terhadap bagian belakang benteng perkemahan prajurit Pati itu menjadi semakin lengah.
Dalam keadaan yang demikian, maka Ki Patih Mandaraka telah memberikan isyarat kepada kelima orang perwira pengawalnya serta Agung Sedayu, untuk segera mempersiapkan diri.
Sementara itu, Panembahan Senapati yang memimpin serangan di bagian depan dan lambung benteng perkemahan telah mencapai jarak di perhitungan. Karena itu, maka Panembahan Senapati itupun segera memberikan aba-aba, agar para prajurit yang membawa tangga dengan cepat mendekati benteng dan berusaha untuk memanjat tangga-tangga bambu itu.
Aba-aba itu disambut dengan sorak gemuruh. Sekali lagi Kiai Bicak ditabuh bertalu-talu. Suaranya bergema seakan-akan berputar-putar diatas perkemahan para prajurit Pati. Sementara itu para prajurit Mataram masih bersorak-sorak bagaikan mengguncang langit
Dalam pada itu, para prajurit Mataram yang bersenjata busur dan panah berusaha melindungi serangan itu dengan lontaran anak panah yang tidak terhitung lagi jumlahnya.
Dalam keadaan yang demikian, maka semua perhatian tertuju kepada serangan itu. Tangga-tanggapun mulai dipasang. Para prajurit Mataram mencoba untuk memanjat tangga-tangga bambu itu untuk meloncati dinding perkemahan.
Tetapi hal itu tidak mudah dilakukan. Beberapa buah tangga memang sempat didorong jatuh bersama beberapa orang yang sudah terlanjur memanjat. Sedangkan yang lain, harus berjuang untuk melawan prajurit Pati yang siap menunggu dengan ujung tombaknya diatas dinding.
12 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ki Patih Mandaraka menunggu kesempatan itu. Para prajurit dari Pasukan Khsusus itu rasa-rasanya sudah tidak sabar lagi. Tetapi mereka tidak berani mendahului perintah Ki Patih yang memimpin langsung pasukan kecil itu.
Ketika pertempuran di bagian depan dan lambung perkemahan menjadi semakin riuh, maka Ki Patihpun segera memberikan perintah agar para prajurit dari Pasukan Khusus itu berusaha untuk memasuki benteng dengan caranya.
Sesaat kemudian, para prajurit dari Pasukan Khusus itupun segera bergerak. Mereka tidak bersorak-sorak seperti para prajurit yang berada di induk pasukan. Dengan cepat mereka mencapai dinding. Dengan cepat pula mereka melontarkan jangkar-jangkar besi yang menggapai bibir benteng yang terdiri dari potongan batang-batang pohon kelapa yang utuh itu.
Tali-tali dibuat dari serat-serat kayu yang terikat pada jangkar-jangkar yang menyangkut disela-sela dinding batang kelapa itupun kemudian menjadi alat prajurit dari Pasukan Khusus itu untuk memanjat.
Beberapa orang prajurit terpilih dari Pasukan Khusus itupun dengan cepat memanjat tali-tali yang berjuntai itu. Demikian cepatnya sehingga para petugas yang mengawasi bagian belakang perkemahan prajurit Pati yang perhatiannya memang sedang terikat pada pertempuran yang terjadi di bagian lain, suara bende dan sorak yang gemuruh, terlambat menyadari apa yang sedang terjadi di bagian belakang benteng perkemahan itu.
Namun, demikian mereka sadar akan kelengahan mereka maka dengan cepat merekapun bertindak.
Beberapa orang dengan cepat berusaha untuk mencegah para prajurit Mataram yang memanjat naik itu.
Tetapi satu dua orang diantara mereka telah mencapai bibir benteng perkemahan itu dan melewatinya, sehingga mereka kemudian telah berdiri dipanggungan yang memanjang dibelakang dinding perkemahan itu.
Dengan demikian, maka prajurit yang telah berada di panggung yang membujur hampir sepanjang dinding perkemahan itu, diantara panggung-panggung khusus untuk mengawasi keadaan, telah berusaha untuk melindungi kawan-kawan mereka yang sedang memanjat tali.
Orang yang pertama kali melewati bibir benteng perkemahan itu adalah Agung Sedayu sendiri.
Dengan cambuknya Agung Sedayu telah bertempur melawan para prajurit Pati yang bertugas di bagian belakang benteng perkemahan mereka, sementara kawan-kawannya memanjat naik.
Namun dalam pada itu, para prajurit dari Pasukan Khusus yang lainpun hampir bersamaan pula telah meloncati benteng perkemahan itu pula.
Demikianlah, maka pertempuran telah terjadi. Semakin lama prajurit Mataram yang berhasil naik kebelakang benteng itupun menjadi semakin banyak pula. Bahkan sebagian dari mereka telah meloncat turun dari panggung yang membujur panjang itu.
Ternyata para prajurit yang bertugas di bagian belakang itu tidak segera mampu membendung arus para prajurit dari Pasukan Khusus yang semakin lama menjadi semakin banyak itu.
Pemimpin kelompok prajurit Pati yang bertugas di bagian belakang benteng perkemahan itu menyadari, bahwa mereka tidak akan mampu malawan prajurit Mataram yang memasuki benteng mereka. Karena itu, maka iapun segera memerintahkan dua orang penghubung untuk memberitahukan keadaan yang mencemaskan di bagian belakang benteng perkemahan itu.
- Apakah kita tidak membunyikan isyarat saja ?"bertanya salah seorang penghubung itu.
- Jangan. Isyarat itu akan mempengaruhi seluruh medan. Jika kau cepat dan bantuan itu datang dengan cepat pula, maka prajurit Mataram akan segera dapat kita batasi geraknya dan bahkan kemudian kita musnahkan. Kau dapat menyebut berapa kelompok prajurit yang kita butuhkan. "
Kedua penghubung itu tidak bertanya lagi. Dengan cepat mereka berlari memeberikan laporan kepada seorang Senapati Pati yang sedang sibuk di bawah panggungan memanjang di sepanjang dinding batang pohon kelapa itu.
Senapati itu terkejut Namun Kemudian tapun cepat mengambil langkah. Diperintahkan seorang Senapati bawahannya untuk membawa beberapa kelompok prajurit ke bagian belakang perkemahan itu.
- Disini kekuatan kita cukup untuk menahan arus serangan prajurit Mataram " berkata Senapati itu. Lalu katanya pula " Nanti aku memberikan laporan kepada Kangjeng Adipati. "
Demikianlah beberapa kelompok prajurit telah bergeser. Dengan cepat mereka berlari-lari ke bagian belakang perkemahan itu.
Agung Sedayu yang memimpin Pasukan Khususnya menyadari pula, bahwa tugas mereka akan menjadi semakin berat. Tetapi hampir semua prajuritnya telah berada di dalam lingkungan perkemahan.
Dalam pada itu, Ki Patih Mandaraka dan lima orang perwira pengawalnya telah berada di dalam benteng pula. Tetapi mereka tidak melibatkan diri dalam pertempuran yang terjadi Justru dalam hiruk-pikuk pertempuran, mereka telah berusaha menyusup untuk menemukan pintu butulan benteng pertahanan para prajurit Pati yang rapat itu.
Ternyata Kangjeng Adipati memang telah memerintahkan untuk mengganti semua pintu dengan dinding batang pohon kelapa sebagaimana dinding yang mengelilingi perkemahan itu.
- Namun kita harus menemukan bagian yang paling lemah dari dinding perkemahan ini " berkata Ki Patin Mandaraka.
Tetapi memang tidak mudah untuk menemukan bagian yang paling lemah pada dinding perkemahan itu.
Dalam pada itu, maka pertempuran di dalam benteng itupun terjadi semakin lama semakin sengit Agung Sedayu bertempur dengan garangnya. Setiap sentuhan ujung cambuknya, telah melemparkan lawannya dengan luka yang menganga.
Sementara itu, para prajuritnyapun bertempur dengan tanpa mengenal gentar. Meskipun jumlah mereka tidak begitu banyak, tetapi kehadiran mereka telah mengacaukan pertahanan lawannya.
Senapati yang memimpin kelompok-kelompok prajurit yang datang membantu para prajurit yang bertugas di dinding belakang benteng perkemahan itupun segera berusaha untuk mendekati Agung Sedayu untuk menahannya. Namun, demikian melihat tempuran antara Senapati pengapit ketika dua gelar perang bertempur, terkejut. Orang itu adalah Senapati pengapit yang bertempur, terkejut. Orang itu adalah Senapati pengapit yang bertempur disebelah Panembahan Senapati. Orang itulah yang telah melukai Ki Gede Candra Bumi.
Senapati itu menjadi berdebar-debar. Ia sadar, bahwa ia tidak akan mampu mengimbanginya.
Karena itu, maka Senapati itu telah memanggil lima orang prajurit pilihan didalam pasukannya. Mereka bersama-sama harus mengurung dan membatasi gerak Agung Sedayu.
- Sulit bagi kalian untuk dapat mengalahkannya. Tetapi yang kalian lakukan adalah mengurungnya. Orang itu tidak boleh berkeliaran. Ia sangat berbahaya. "
Lima orang prajurit pilihan itupun segera menjalankan perintah itu. Namun mereka tidak tahu, siapakah orang itu sebenarnya.
Tetapi kelima orang itu tidak banyak berarti bagi Agung Sedayu yang bertempur dengan garangnya. Apalagi Agung Sedayu yang sedang mengemban tugas yang berat Ia harus memancing kekuatan di-sisi belakang itu untuk memberi kesempatan Ki Patih Mandaraka menemukan pintu gerbang sampai atau pintu butulan sekalipun.
Ternyata Agung Sedayu dan Pasukan Khususnya berhasil menarik perhatian terbesar dari para prajurit Pati yang ada di bagian belakang benteng perkemahan itu. Mereka seakan-akan memang tidak mempunyai kesempatan untuk memperhatikan, apa yang dilakukan oleh Ki Pati Mandaraka, sementara Ki Patih sendiri memang seorang yang sulit dicari duanya.
Dalam kekalutan perang, Ki Patih akhirnya menemukan bagian yang paling lemah diantara dinding batang pohon kelapa itu. Ki Patih yakin, bahwa bagian yang lemah itu adalah bekas pintu gerbang bu-tulan yang dengan tergesa-gesa diganti dengan batang pohon kelapa yang utuh. Namun batang pohon kelapa itu tidak cukup dalam tertanam sebagaimana batang-batang yang lain.
Dengan cepat Ki Patih Mandaraka mendekati bagian yang dianggapnya lemah itu. Dengan pusakanya yang sangat tajam, Ki Patih Mandaraka telah menyentuh tali-tali pengikat batang-batang kelapa itu. Setiap sentuhan tidak perlu ulanginy a, sehingga dalam waktu yang pendek, maka beberapa batang pohon kelapa itu sudah tidak terikat lagi oleh tali-tali ijuk serta palang kayu yang dipasang dibagian dalam dinding itu.
Tetapi ketika para perwira pengawalnya ingin merobohkan batang kelapa yang sudah tidak terikat lagi itu, Ki Patih Mandaraka mencegahnya.
- Aku minta dua diantara kalian keluar dari benteng ini dan menghubungi Senapati yang memimpin sayap kiri dari pasukan Mataram. Kalian harus dapat menunjukkan bagian yang sudah tidak terikat lagi dengan batang-batang kelapa disebelah-menyebelahnya. Jika kalian sudah siap diluar, maka aku akan memutuskan tali pengikat pada itu akan terlepas sama sekali. Kalian dapat menariknya dari luar. Dengan mudah kalian akan dapat melakukannya dari luar dinding. Dengan demikian, maka pasukan di sayap kiri yang sudah siap akan dengan mudah memasuki lingkungan ini. -
Dengan demikian maka dua orang diantara para perwira itu telah menyelinap dan meloncat keluar, sementara Ki Patih dan ketiga perwira pengawalnya yang masih ada telah melibatkan diri dalam pertempuran.
Sebagaimana Agung Sedayu, maka Ki Patih Mandaraka telah mengejutkan para prajurit Pati. Kelompok demi kelompok telah didera sehingga pecah dan kehilangan setiap kesempatan untuk mengurung mereka.
Dua orang penghubung telah menyampaikan kehadiran orang-orang berilmu tinggi itu kepada Kangjeng Adipati sendiri, sehingga karena itu, maka Kangjeng Adipati telah menunjuk Ki Naga Sisik Salaka untuk mengatasi keadaan di bagian belakang benteng perkemahan itu.
- Bawa tiga atau empat orang berilmu " berkata Kangjeng Adipati.
Ki Naga Sisik Salaka telah membawa beberapa orang berilmu tinggi bersamanya. Dua orang Tumenggung, dan tiga orang yang semula bukan prajurit Pati. Mereka adalah pemimpin-pemimpin padepokan dan perguruan yang dianggap akan dapat membantu dan memperkuat kemampuan pasukan Pati.
Dalam pada itu, maka dua orang perwira pengawal Ki Patih yang keluar dari benteng, berlari-lari menuju kesayap kiri pasukan Mataram untuk melaporkan bahwa mereka akan mendapat kesempatan untuk membuka dinding perkemahan.
Laporan itu ditanggapi dengan sungguh-sungguh. Sementara itu usaha untuk memanjat dinding dengan tangga bambu masih belum berhasil.
Karena itu, maka Senapati itu telah menggeser pasukannya menyusuri dinding perkemahan. Sementara itu, ia telah mengirimkan dua orang penghubung untuk memberikan laporan kepada Panembahan Senapati.
Pasukan Pati memang melihat perubahan sikap sayap kiri pasukan Mataram. Mereka melihat sayap kiri itu bergeser semakin jauh ke arah lambung. Namun karena Ki Patih Mandaraka melarang yang sudah terlepas ikatannya dari yang lain sementara batang-batang pohon kelapa yang dipasang tergesa-gesa itu tidak cukup dalam tertanam di tanah maka para prajurit Pati masih belum menghubungkan gerak pasukan Mataram itu dengan pintu butulan. Para prajurit Pati hanya mengira bahwa pasukan Mataram itu sekedar menebar untuk mencari kesempatan memasang tangga-tangga bambunya di tempat-tempat yang memungkinkan.
Karena itu, maka para prajurit Pati itupun telah bergeser dipang-gungan yang panjang dibelakang dinding perkemahan.
Namun, dengan pasukan Mataram itu semakin dekat dengan pintu gerbang butulan itu, merekapun menjadi semakin memusatkan perhatian mereka pada pintu butulan itu. Sementara dua orang perwira pengawal Ki Patih Mandaraka akan mengenali batang-batang pohon kelapa yang tidak lagi mempunyai ikatan yang kuat dengan batang-batang yang lain.
Ki Patih Mandaraka yang mengetahui bahwa prajurit Mataram telah berada di tempat yang memungkinkan untuk dengan cepat menyelesaikan rencananya, karena para prajurit itu masih saja bersorak-sorak gemuruh, telah memanfaatkan kesempatan yang ada. Iapun telah membawa ketiga orang perwira pengawalnya untuk memotong tali-tali yang tersisa.
Sejenak kemudian, maka prajurit Mataram atas petunjuk kedua orang perwira pengawal Ki Patih Mandaraka itu telah dengan serta merta bergerak ke arah batang-batang yang telah terlepas dari ikatannya itu.
Dengan jangkar serupa yang dipergunakan oleh para prajurit dari pasukan khusus, maka para prajurit mataram itu mengait ujung-ujung batang kelapa itu, dibawah perlindungan para prajurit yang bersenjata panah.
Prajurit Pati terlambat untuk kedua kalinya menyadari apa yang terjadi. Sejenak kemudian, maka beberapa batang pohon kelapa yang dipasang dengan tergesa-gesa menggantikan pintu butulan yang dilepas itu, telah ditarik oleh beberapa orang prajurit.
Usaha para prajurit Pati untuk mencegah mereka dengan serangan anak panah dan lembing tidak berhasil. Selain mereka bergerak dengan cepat, serta perlindungan dari para prajurit yang bersenjata panah, maka para prajurit yang berperisaipun berusaha untuk menghalau anak panah yang meluncur dari belakang dinding perkemahan itu.
Demikianlah, maka sejenak kemudian, maka beberapa batang pohon kelapa itupun telah roboh, sehingga dengan demikian, maka benteng perkemahan yang terdiri dari potongan batang pohon kelapa yang ditanam rapat dan cukup tinggi itu telah menganga. Bahkan panggung yang panjang itupun telah berguncang pula, sehingga beberapa orang prajurit yang kebetulan berada tepat pada batang-batang kelapa yang roboh itupun telah berjatuhan pula.
Dengan cepat, pasukan Mataram telah memanfaatkan kesempatan itu. Para prajurit yang berada disayap kiri itupun dengan cepat berusaha memasuki benteng perkemahan.
Prajurit Pati yang melihat hal itupun berusaha untuk dengan cepat membendungnya, namun para prajurit Mataram dari Pasukan Khusus yang sudah berada didalam benteng itupun telah berusaha menahan mereka.
Pertempuran menjadi semakin seru. Gelombang demi gelombang pasukan Matarampun memasuki benteng yang telah berhasil dikoyak itu. Sehingga dengan demikian, maka pertahanan pasukan Pati-pun menjadi kalut
Perang brubuh tidak dapat dihindarkan lagi. Pasukan dari kedua belah pihak telah bertempur didalam arena yang berbaur. Karena itu, maka kemampuan mereka secara pribadi menjadi sangat menentukan, apakah seseorang akan dapat dengan selamat keluar dari pergulatan yang sengit itu.
Dalam kekalutan itu, maka prajurit Pati tidak lagi mampu bertahan sepenuhnya diatas panggungan yang memanjang melekat pada dinding perkemahan. Mereka tidak lagi dapat memusatkan perhatian mereka kepada para prajurit yang masih berada di luar benteng mereka, karena di belakang mereka pertempuran berkobar dengan sengitnya. Para prajurit Mataram yang sudah berhasil memasuki benteng perkemahan itu menjalar kemana-mana. Mereka berada di segala sudut sehingga pertempuran itupun seakan-akan telah terjadi disetiap jengkal tanah didalam perkemahan itu.
Kangjeng Adipati Pati menjadi sangat marah. Tetapi ia menyadari kenyataan yang dihadapinya.
Jika dalam kekalutan itu ia harus bertempur sekali lagi melawan Panembahan Senapati, maka ia akan mengalami kesulitan. Kangjeng Adipati Pati harus mengakui, bahwa ilmunya ternyata tidak lebih tinggi dari ilmu yang dimiliki oleh Panembahan Senapati. Bahkan dalam kesempatan yang lebih panjang, maka ia tentu akan mengalami kesulitan untuk mengimbanginya. Sementara itu, Kangjeng Adipati juga tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa diantara para prajurit Mataram terdapat orang-orang berilmu tinggi.
Sementara itu. perhatian para prajurit Pati yang terpecah telah memungkinkan beberapa orang prajurit Mataram yang berada di sayap sebelah kanan untuk memasang tangga-tangga bambu mereka,
sehingga beberapa orang telah memanjat dan menembus pertahanan pasukan Pati yang terasa menjadi semakin lemah.
Dengan demikian, maka benteng perkemahan prajurit Pati telah pecah. Pasukan Mataram lewat beberapa sisi dengan berbagai macam cara telah berhasil memasuki yang terhitung kuat itu.
Kangjeng Adipati Pragola dari Pati melihat kenyataan itu. Ia tidak dapat lagi bertahan lebih lama. Gelombang demi gelombang prajurit Mataram disayap kanan hampir seluruhnya memasuki benteng.
Sementara itu, induk pasukan Matarampun telah mulai memanjat tangga-tangga yang sudah dipersiapkan.
Dengan demikian, maka Kangjeng Adipati Pragola talah memberikan isyarat kepada para Senapati. Dua orang penghubung telah mendapat perintah dari Kangjeng Adipati Pragola untuk melepaskan panah sendaren ke udara.
Sejenak kemudian, kedua panah sendaren itu meraung diudara. Satu kearah Utara dan Satu lagi ke arah Selatan.
Perintah itu tidak segera dimengerti oleh prajurit Mataram. Tetapi perintah itu bagi prajurit Pati adalah perintah yang sangat pait Semula para Senapati Pati tidak merasa perlu dengan isyarat itu. Tetapi orang-orang yang terhitung tua telah menganjurkan, agar isyarat itu tetap merupakan bagian dari beberapa jenis isyarat sandi bagi pasukan Pati.
Dalam pada itu, beberapa orang prajurit Pati yang tanggap akan isyarat itu, segera bergerak mendekati benteng perkemahan mereka. Kemudian dengan cepat mereka bergerak. Kapak-kapak kecil dita-ngan merekapun segera memotong tali-tali mengikat beberapa potong batang pohon kelapa yang ditanam sebagai dinding perkemahan prajurit Pati.
Beberapa saat kemudian, maka dua buah pintu rahasia telah terbuka.
Kemudian sekali lagi terdengar isyarat panah sendaren memekik diudara, seperti sebelumnya, satu kearah Utara, satu lagi ke arah Selatan. Namun kemudian disusul pula dua anak panah dengan arah yang sama.
Bagi para prajurit Pati, perintah sandi itu jelas. Karena itu, sejenak kemudian, terjadi gejolak yang keras didalam lingkungan benteng perkemahan itu. Beberapa saat para prajurit Mataram tidak tahu pasti, apa yang terjadi Namun kemudian merekapun menjadi jelas, bahwa
prajurit Pati sedang berusaha untuk bergerak keluar dari dinding perkemahan itu.
Prajurit Mataram memang berniat untuk mencegahnya. Tetapi prajurit Pati yang masih cukup besar jumlahnya itu memang sulit untuk dibendung. Mereka telah mempersempit medan sebatas pintu rahasia yang telah mereka buka.
Jika prajurit Mataram masih saja mengalir bergelombang bergerak memasuki benteng dengan segala cara, maka prajurit Pati justru mengalir keluar benteng lewat dua pintu rahasia yang terbuka lebar.
Memang terjadi pertempuran diluar benteng yang ditinggalkan oleh prajurit Pati itu. Tetapi para prajurit Pati memiliki ketangkasan yang cukup tinggi, sehingga akhirnya mereka berhasil lepas dari hambatan para prajurit Mataram yang berusaha menahan dan mengejar mereka.
Sementara itu, Ki Padh Madaraka juga telah memerintahkan agar para prajurit Mataram tidak mengejar mereka. Tetapi Ki Patih Madaraka telah memerintahkan Agung Sedayu dan sekelompok Pasukan Khususnya untuk mengikuti gerak pasukan Pati.
- Jangan mendekati pasukan yang terhitung kuat itu. Amati saja mereka, apakah mereka benar-benar akan mundur sampai kesebelah Utara pegunungan Kendeng.
Agung Sedayu sadar, bahwa perintah itu adalah perintah yang berat. Perintah yang tidak cukup dijalani hanya sehari dua hari. Tetapi sekelompok Pasukan Khususnya akan menjalankan tugas itu untuk beberapa hari, hingga mereka yakin bahwa pasukan Pati benar-benar telah berada diarah belakang Pegunungan Kendeng.
Tetapi Agung Sedayu tidak mengikuti tugas itu. Tanpa bekal apapun, Agung Sedayu siap berangkat meninggalkan benteng itu pula, mengikuti gerak pasukan Pati dari jarak yang cukup jauh, sehingga mereka tidak akan terjebak atau disergap oleh pasukan Pati yang kuat itu.
- Pergilah. Aku akan memberikan laporan kepada Panembahan Senapati tentang kelompok Pasukan Khususmu yang kau pimpin sendiri itu. "
- Baik, Ki Patih, Aku mohon restu. " Ki Patih menepuk bahu Agung Sedayu. Katanya " Aku percaya kepadamu. -
Dengan demikian, maka Agung Sedayu telah membawa sekelompok prajurit dari pasukan Khusus yang terpilih untuk mengikuti gerak prajurit Pati itu. Tetapi Agung Sedayu memang telah mengambil jarak yang cukup untuk menghindari kemungkinan buruk terjadi atas pasukan kecilnya.
Agung Sedayu tidak langsung mengikuti gerak lawannya pada jarak penglihatannya. Tetapi Agung Sedayu merasa cukup untuk mengikuti jejak pasukan Pati yang masih terhitung besar itu, meskipun sudah jauh surut dari pasukannya ketika berangkat
Sebagaimana diperhitungkan oleh Agung Sedayu bahwa Pati tentu mempunyai landasan yang sudah dipersiapkan untuk mengumpulkan prajurit-prajurit yang tercerai berai.
Agung Sedayu telah menempatkan pasukannya ditempat yang agak jauh. Ia sendiri bersama dua orang pengawalnya merayap mendekat untuk mengamati gerak pasukan Pati yang terdesak perkemahannya itu.
*** Buku 298 bagian I AGUNG SEDAYU tidak dapat segera melihat dengan jelas, apa yang terjadi dengan pasukan Pati. Namun menurut pendapat Agung Sedayu, bahwa induk pasukan Pati dibawah pimpinan langsung Kangjeng Adipati Pati telah berada di sebuah padukuhan yang cukup besar tetapi kosong. Para penghuninya yang sejak semula telah mengungsi, masih belum kembali ke padukuhan mereka.
"Apakah Kangjeng Adipati Pati benar-benar terlepas dari tangan prajurit Mataram ?" bertanya seorang prajurit yang menyertai Agung Sedayu.
"Agaknya demikian. Ketika kita berangkat dari benteng perke mahan, Kangjeng Adipati tidak dijumpai diantara mereka yang tertawan. Tetapi melihat besarnya pasukan yang berhasil meloloskan diri, maka Kangjeng Adipati tentu ada diantara mereka."
Prajurit itu mengangguk-angguk. Namun ia tidak bertanya lagi. Beberapa puluh patok di hadapan mereka, kelompok demi kelompok pasukan pati berdatangan. Di padukuhan itu agaknya mereka ingin menyusun kekuatan mereka kembali.
Malam yang turun-pun menjadi semakin dalam. Agung Sedayu masih tetap berada di tempatnya untuk melihat apa yang terjadi dengan para prajurit Pati itu.
Dari kejauhan Agung Sedayu melihat cahaya api yang menerangi dedaunan yang mencuat melampaui tingginya dinding padukuhan itu. Dengan demikian maka Agung Sedayu dapat menduga bahwa para prajurit Pati itu telah memasang oncor-oncor di beberapa tempat di padukuhan itu.
"Perapian," tiba-tiba saja Agung Sedayu berdesis.
"Mungkin sekali," jawab prajuritnya, "pasukan itu tentu letih dan lapar."
Agung Sedayu menarik nafas panjang. Pasukan kecilnya juga letih dan lapar. Tetapi Agung Sedayu telah memerintahkan beberapa orang dari para prajuritnya untuk mengusahakan pangan bagi pasukan kecil itu.
Dalam pada itu Agung Sedayu telah membawa dua orang prjurit yang telah dipilihnya dari antara prajurit dari Pasukan Khusus itu untuk mendekati perkemahan para prajurit Pati.
Dengan sangat berhati-hati mereka merayap mendekat. Mereka menyadari sepenuhnya, bahwa para prajurit Pati itu tentu juga meletakkan beberapa orang pengawas diluar padukuhan itu.
Namun Agung Sedayu dan kedua orang prajuritnya itu berhasil mendekati dinding padukuhan. Bahkan kemudian bertiga telah meloncat masuk dengan sangat berhati-hati.
Ternyata seperti yang mereka duga, maka para prajurit Pati itu memang telah menyalakan beberapa buah oncor di belakang gerbang padukuhan dan di beberapa regol halaman rumah. Namun yang menarik perhatian Agung Sedayu dan kedua orang prajuritnya adalah, bahwa para prajurit Pati itu telah membuat sebuah dapur yang cukup besar untuk menyediakan makan bagi prajurit-prajurit yang lapar itu.
"Ternyata padukuhan ini memang disiapkan untuk menampung pasukan Pati jika mereka bergerak mundur," desis Agung Sedayu.
"Agaknya pasukan Pati mundur lewat jalur yang mereka lewati ketika mereka berangkat ke Prambanan," desis seorang prajuritnya, "ternyata di padukuhan ini telah tersedia bahan pangan bagi mereka."
"Ada dua kemungkinan," sahut Agung Sedayu, "padukuhan ini memang merupakan lumbung persediaan bahan makanan bagi pasukan Pati."
"Tetapi padukuhan ini bukan Ngaru-aru. Bukankah Ngaru-aru sudah dihancurkan?"
"Menurut yang aku dengar, lumbung pangan di Ngaru-aru memang sudah dihancurkan. Tetapi justru karena itu, maka Pati telah mempersiapkan lumbung yang lain yang semula hanya merupakan tempat pemberhentian arus bahan pangan itu," berkata Agung Sedayu pula.
"Nampaknya Pati memang tidak yakin bahwa mereka akan berhasil menembus sampai ke Mataram. Ternyata mereka telah mempersiapkan landasan pertahanan jika mereka terpaksa mundur."
Tetapi Agung Sedayu menggeleng, "Bukan karena ketidakyakinan itu. Sudah aku katakan, padukuhan ini dapat saja merupakan lumbung bahan pangan darurat setelah Ngaru-aru dihancurkan dengan persediaan pangan seadanya. Tetapi seandainya tempat ini merupakan landasan pertahanan kedua-pun agaknya memang wajar sekali. Setiap persiapan bagi perang yang besar, tentu disiapkan pula landasan pertahanan kedua. Bahkan ketiga sebagai landasan untuk memukul mundur lawan yang mungkin mengejarnya. Setidak-tidaknya untuk mengurangi keadaaan yang lebih parah lagi bagi pasukan yang bergerak mundur."
Kedua orang prajurit Agung Sedayu itu mengangguk. Tetapi mereka tidak bertanya lagi. Mereka masih melihat kelompok-kelompok prajurit Pati yang datang dalam keadaan letih. Ada diantara kelompok-kelompok itu yang membawa kawan-kawan mereka yang luka dan bahkan parah.
Agung Sedayu memperhatikan pasukan yang semakin banyak berkumpul itu dengan saksama. Namun dengan demikian Agung Sedayu mengetahui, bahwa pasukan Pati memang dalam keadaan parah. Jika Kangjeng Adipati tidak segera memeintahkan pasukannya menarik diri dari benteng perkemahan itu, maka keadaaannya tentu akan menjadi semakin buruk. Bahkan mungkin buruk pula bagi Kangjeng Adipati sendiri.
Namun agaknya para prajurit Pati tidak terlalu lama berada di tempat itu. Setelah beristirahat, makan dan minum secukupnya, maka terdengar isyarat yang memanggil semua pemimpin kesatuan untuk berkumpul.
Meski-pun Agung Sedayu tidak dapat menyaksikan dan mendengarkan pembicaraan itu, tetapi Agung Sedayu dapat menduga, bahwa para pemimpin Pati itu sedang membicarakan langkah-langkah yang akan diambil.
Sebenarnyalah, Kangjeng Adpati Pati sendiri telah memimpin pertempuran itu. Selain mendengarkan laporan para pemimpin kesatuan didalam pasukan Pati yang besar itu, Kangjeng Adipati juga memberikan perintah-perintah kepada mereka.
Dari para Senapati, Kangjeng Adipati Pragola mendengar bahwa keadaan pasukannya memang parah. Sebagian dari para prajurit masih belum sampai ke tempat itu. Mungkin mereka kehilangan arah, tersesat atau bahkan tertangkap oleh pasukan Mataram.
Tetapi Kangjeng Adipati tidak dapat menunggu lebih lama lagi. Untuk menjaga segala kemungkinan, maka pasukannya harus segera meninggalkan tempat itu sebelum dini hari.
"Kita tidak tahu apakah pasukan Mataram itu memburu kita atau tidak. Dalam keadaan seperti ini, sulit bagi kita untuk bertahan," berkata Kangjeng Adipati Pragola.
Dengan demikian, maka Kangjeng Adipati Pragola memang harus menarik pasukannya ke sebelah Utara Pegunungan Kendeng.
Demikianlah, Agung Sedayu menyaksikan pasukan yang masih terhitung besar, tetapi dalam luka itu, bergerak lagi menuju ke Utara.
Agung Sedayu menyaksikan iring-iringan pasukan yang letih itu bergerak perlahan-lahan di dini hari. Sementara itu, dengan cepat pula para petugas yang menyiapkan makan dan minum mereka mengemasi alat-alat yang ada. Namun alat-alat itu segera disimpan didalam sebuah rumah yang terhitung besar. Mereka tidak lagi menghiraukan sisa bahan pangan yang masih ada.
Tidak seorang-pun tinggal di padukuhan itu. Jika agaknya sebelumnya ada sekelompok petugas yang ada di padukuhan itu, maka mereka telah hanyut pula dalam iring-iringan pasukan yang menarik diri itu.
Sepeninggal prajurit Pati itu, Agung Sedayu sempat melihat-lihat keadaan di padukuhan itu. Masih ada sisa bahan makanan di padukuhan itu. Masih tertinggal alat-alat dapur dan perlengkapan lainnya. Bahkan masih ada setumpuk senjata di sebuah rumah yang juga terhitung besar.
Agaknya setelah Ngaru-aru, maka padukuhan ini menjadi landasan dan penyimpanan persediaan bahan pangan.
Namun Agung Sedayu harus segera menyembunyikan diri ketika kemudian datang lagi sekelompok kecil prajurit Pati. Orang-orang yang dengan lemah memasuki padukuhan itu. Namun mereka menjadi kecewa bahwa mereka sudah tidak menemukan kawan-kawan mereka lagi.
Dari bekas-bekas yang mereka lihat serta beberapa oncor yang masih menyala, mereka mengetahui, bahwa kawan-kawan mereka telah meninggalkan tempat itu beberapa saat sebelumnya.
Namun mereka menjadi sedikit terhibur ketika mereka masih menemukan beberapa bakul nasi hangat. Meski-pun mereka tidak menemukan lauk-pauk lagi, tetapi mereka masih mendapatkan sekuah sayur yang masih hangat.
Orang-orang yang letih dan lapar itu-pun telah makan dengan lahapnya. Mereka tidak lagi memikirkan kemungkinan buruk yang dapat terjadi. Mereka tidak lagi memperhitungkan kemungkinan hadirnya prajurit Mataram di tempat itu.
"Kekuatan mereka kecil," desis prajurit pengawal Agung Sedayu, "pasukan kita dapat menghancurkan mereka."
Tetapi Agung Sedayu menggeleng. Katanya, "Biarlah mereka tetap hidup. Jika kita menghancurkan mereka, akibat yang timbul tidak akan banyak pengaruhnya, sementara itu kita telah menebas harapan yang telah tumbuh di hati mereka."
Kedua pengawal Agung Sedayu itu-pun terdiam. Mereka sebenarnya sudah menduga, bahwa mereka akan mendengar jawaban seperti itu dari mulut Agung Sedayu.
Kelompok kecil itu tidak terlalu lama berada di padukuhan itu. Sejenak kemudian, mereka-pun telah berangkat pula meninggalkan nasi yang masih cukup banyak.
Demikianlah, maka Agung Sedayu-pun telah membawa kedua orang prajurit pengawalnya kembali ke pasukan kecilnya. Ternyata tiga orang diantara mereka telah berhasil mendapatkan seonggok beras dari padukuhan yang sepi di sebelah.
Nampaknya jalur yang cukup luas telah dikosongkan ketika pasukan Pati mulai bergerak ke tempat yang lebih aman.
Menjelang fajar, Agung Sedayu telah membawa pasukannya untuk bergerak pula. Mereka harus yakin, bahwa pasukan Pati yang mengundurkan diri itu benar-benar menarik pasukannya sampai ke sebelah Utara Pegunungan Kendeng.
Jarak antara pasukan kecil yang dipimpin Agung Sedayu itu dengan pasukan Pati memang agak jauh. Tetapi mereka tidak pernah kehilangan jejak. Agung Sedayu tahu pasti sampai dimana pasukan Pati itu bergerak. Agung Sedayu sendiri dengan kedua orang prajurit terpilihnya selalu berusaha mengamati langsung pasukan Pati itu.
Ketika di malam hari pasukan Pati itu berhenti sejenak untuk beristirahat, di tempat-tempat yang memang berada di jalur gerak pasukannya, Agung Sedayu selalu berusaha untuk mendekat.
Demikianlah, Agung Sedayu baru akan menghentikan pengamatannya jika pasukan Pati itu telah benar-benar berada di sebelah Utara Pegunungan Kendeng. Kepada pasukan kecilnya Agung Sedayu memerintahkan untuk beristirahat satu hari untuk meyakinkan, bahwa pasukan Pati itu benar-benar bergerak terus ke Utara.
Sementara itu Agung Sedayu mengijinkan prajurit-prajuritnya untuk berburu ke dalam hutan terdekat, sementara Agung Sedayu sendiri mengamati gerak pasukan Pati sehingga benar-benar hilang di Utara Pegunungan, memasuki lemah yang luas, menyusuri jalan yang berkelok seperti ular yang merambat diantara hijaunya pepohonan.
Baru kemudian Agung Sedayu berniat untuk membawa pasukan kecilnya itu kembali ke Prambanan. Jarak yang cukup panjang, sehingga perjalanan sekelompok prajurit dari Pasukan Khusus itu merupakan perjalanan yang berat, karena mereka tidak membawa bekal sama sekali.
Agung Sedayu dan kedua orang prajurit pengawalnya yang baru kembali dari pengamatannya atas prajurit Pati yang bergerak ke Utara terkejut ketika ia melihat dua orang yang tidak dikenalnya berada didalam pasukan kecilnya.
"Inilah Ki Lurah Agung Sedayu. Pemimpin kelompok ini," berkata seorang prajurit yang diserahi pimpinan jika Agung Sedayu dan kedua orang pengawalnya memisahkan diri.
Kedua orang itu bangkit dan dengan hormatnya mengangguk kepada Agung Sedayu.
"Maaf, ngger," berkata orang itu. Seorang tua yang berjanggut pendek keputih-putihan, "aku datang tanpa mohon ijin lebih dahulu."
"Siapakah Ki Sanak berdua ?" bertanya Agung Sedayu.
"Kami penghuni padepokan Tlaga Kuning, ngger," jawab orang berjanggut pendek itu, "orang memanggilku Kiai Tambak Gede."
"Apakah maksud Kiai datang ke tempat ini ?" bertanya Agung Sedayu.
"Ki Lurah," berkata orang itu, "kami ingin sekali mempersilahkan sekelompok pasukan kecil ini untuk singgah di padepokan kami. Kami ingin sekali mempersilahkan para prajurit yang gagah berani ini untuk sekedar beristirahat barang satu malam. Kami ingin memberikan satu penghormatan atas keberhasilan para prajurit ini melaksanakan tugas."
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Kiai Tambak Gede. Kami mengucapkan banyak terima kasih atas perhatian Kiai terhadap pasukan kami. Tetapi Kiai jangan menilai bahwa kami sudah berhasil melaksanakan tugas kami."
"Kenapa belum berhasil " Bukankah kalian bertugas mengikuti pasukan Pati yang mengundurkan diri sampai ke sebelah Utara Pegunungan Kendeng " Sekarang, pasukan Pati itu sudah berada di sebelah Utara Pegunungan Kendeng. Nah, bukankah dengan demikian berarti bahwa tugas kalian sudah berhasil ?"
"Kami tidak bertugas mengikuti pasukan Pati itu Kiai," jawab Agung Sedayu.
Orang itu mengerutkan dahinya. Katanya, "Jadi apakah tugas kalian ?"
"Kami bertugas untuk menemukan seseorang di jalur perjalanan pasukan Pati. Tetapi kami gagal, kelompok-kelompok prajurit Pati yang terlambat yang telah kami sergap dan kami hancurkan, tidak terdapat orang yang harus kami temukan. Mungkin orang itu justru sudah berada di induk pasukan bersama Kangjeng Adipati Pragola."
"Jika demikian, bukankah itu bukan kesalahan Ki Lurah ?" bertanya Kiai Tambak Gede.
"Memang bukan salahku, Kiai. Tetapi tugasku telah gagal. Karena itu, tidak pantas aku menerima undangan Kiai Tambak Gede."
"Jangan berpikir terlalu jauh, ngger. Sekarang, sisihkan segala macam persoalan. Aku mengundang angger dan prajurit-prajurit angger untuk singgah di padepokanku."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian, ia-pun menjawab, "Aku mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Tetapi aku mohon maaf Kiai, bahwa aku tidak dapat memenuhi undangan Kiai. Bahkan kami mohon diri untuk kembali, menyerahkan diri untuk mendapatkan hukuman atas kegagalan kami."
Para prajurit dari Pasukan Khusus itu termangu mangu. Mereka tidak tahu apa yang dikatakan oleh Agung Sedayu. Tetapi mereka tanggap, bahwa Agung Sedayu agaknya berkeberatan untuk singgah di padepokan Kiai Tambak Gede.
Namun Kiai Tambak Gede itu-pun berkata, "Ki Lurah, jangan terlalu tertekan karena tugas-tugas Ki Lurah. Apa-pun yang terjadi, biarlah terjadi. Namun aku mohon, Ki Lurah sempat melupakan beban itu barang satu malam saja."
Tetapi Agung Sedayu menjawab, "Sekali lagi aku mohon maaf. Kiai. Tetapi aku ingin datang pada satu kesempatan yang lain."
Orang berjanggut putih itu mengerutkan dahinya. Dari sorot matanya terpancar kekecewaan hatinya yang mendalam.
Namun Agung Sedayu tidak dapat mengubah keputusannya untuk segera meninggalkan tempat itu.
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Kalanya dengan nada rendah, "Apaboleh buat. Jika angger tidak bersedia singgah, maka apa yang telah kami lakukan tidak berarti sama sekali."
"Apa yang telah Kiai lakukan ?" bertanya Agung Sedayu.
"Anak-anak, maksudku para cantrik, telah memotong tidak hanya seekor kambing. Tetapi beberapa ekor. Aku tidak tahu, untuk apa daging sebanyak itu."
Agung Sedayu tersenyum. Katanya, "Bukankah para cantrik di padepokan Kiai akan dapat menyelesaikannya ?"
"Tetapi yang membuat kami kecewa adalah bahwa pasukan Mataram ini tidak sempat singgah di padepokan kami. Adalah satu kebanggaan bagi kami, bahwa padepokan kami pernah menjadi tempat pasukan Mataram singgah."
"Sekali lagi aku minta maaf Kiai dan sekali lagi aku mengucapkan terima kasih," sahut Agung Sedayu.
Beberapa orang prajurit yang mendengar pembicaraan itu sebenarnya memang menjadi kecewa. Jika mereka sempat singgah, maka mereka akan mendapat kesempatan beristirahat dengan tenang sambil menikmati hidangan yang tentu lebih baik dari daging rusa yang mereka panggang diatas perapian di padukuhan yang kosong.
Tetapi tidak seorang-pun yang berani mengatakannya.
Demikianlah, maka Kiai Tambak Gede dan seorang pengiringnya itu-pun kemudian telah minta diri. Ia masih saja menyatakan kekecewaannya bahwa Ki Lurah Agung Sedayu tidak bersedia singgah barang sebentar di padepokan Kiai Tambak Gede.
Demikian Kiai Tambak Gede meninggalkan mereka, Agung Sedayu segera memerintahkan pasukan kecilnya bersiap untuk kembali ke Prambanan.
"Kita berangkat sekarang juga," berkata Agung Sedayu. Namun kemudian ia masih juga sempat bertanya, "Bagaimana mungkin kedua orang itu dapat menemukan kalian ?"
"Kami tidak tahu, Ki Lurah. Yang kami ketahui tiba-tiba saja keduanya telah menemui kami disini untuk menyatakan keinginannya agar kami bersedia singgah."
Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil. Katanya, "Aku tidak senang bahwa ada orang yang tiba-tiba saja ada diantara kita."
Para prajuritnya dapat mengerti sikap Ki Lurah Agung Sedayu, sementara Agung Sedayu-pun berkata, "Orang yang menyebut dirinya Kiai Tambak Gede itu tahu benar apa yang sedang kita lakukan. Tentu bukan secara kebetulan atau sekedar dugaan. Tetapi orang itu tentu sudah mengamati gerak-gerak kita sebelumnya."
Prajurit yang diserahi memimpin pasukan kecil itu jika Agung Sedayu sedang mendekati gerak pasukan Pati dengan nada berat berkata, "Ya. Seharusnya kami menghindari pengamatan orang lain. Tetapi kami ternyata tidak menghindarkan diri dari pengamatan Kiai Tambak Gede."
"Sudahlah," berkata Agung Sedayu, "kita berangkat sekarang. Secepatnya."
Dengan cepat para prajurit dari Pasukan Khusus itu-pun segera bersiap. Mereka memang tidak membawa perlengkapan lain kecuali senjata mereka masing-masing.
Beberapa saat kemudian, pasukan kecil itu mulai bergerak kembali ke Prambanan. Namun kecurigaan Agung Sedayu membuat pasukan itu menjadi sangat berhati-hati.
Sementara itu, malam yang turun-pun menjadi semakin dalam. Udara yang dingin menyapu bulak-bulak panjang yang membentang di hadapan mereka.
Tetapi Agung Sedayu yang berjalan di paling depan telah memberi isyarat kepada pasukan kecilnya itu untuk berhenti.
"Berhati-hatilah," desis Agung Sedayu.
"Ada apa Ki Lurah ?" bertanya seorang prajurit.
Agung Sedayu tidak segera menjawab. Ia mulai mengetrapkan ilmunya Sapta Pandulu untuk dapat melihat lebih jauh dan lebih tajam meski-pun di gelapnya malam.
"Aku melihat bayangan yang bergerak di balik gerumbul-gerumbul perdu di belakang simpang ampat itu."
Prajuritnya mengerutkan dahinya. Beberapa orang mencoba untuk mempertajam penglihatan mereka. Meski-pun mata mereka cukup terlatih, tetapi mereka tidak segera dapat melihat sesuatu selain gelapnya malam.
Sementara itu Agung Sedayu-pun berkata, "Kita akan berjalan terus. Tetapi berhati-hatilah. Aku merasakan bahwa kita ada dalam bayangan niat buruk sekelompok orang. Mungkin mereka akan menyergap dengan tiba-tiba dari sebelah menyebelah jalan. Bersiaplah dengan senjata kalian."
Para prajurit dari Pasukan Khusus itu-pun segera mempersiapkan diri. Mereka harus memperhatikan hijaunya tanaman di sawah sebelah-menyebelah jalan yang tumbuh dengan suburnya meski-pun untuk beberapa lama tidak sempal dipelihara oleh pemiliknya yang pergi mengungsi dari daerah jalur rawan yang mungkin dilewati pasukan dari Pati.
Baru kemudian, para prajurit dari Pasukan Khusus itu meyakini bahwa mereka benar-benar dalam bahaya. Mereka mulai melihat gerak-gerak yang mencurigakan di sebelah menyebelah jalan yang mereka lewati.
Dengan demikian, maka para prajurit itu telah mempersiapkan senjata mereka. Senjata yang akan menjadi sangat berbahaya di tangan prajurit dari pasukan Khusus yang telah ditempa dalam satu lingkungan yang khusus pula.
Ketika Agung Sedayu yang berjalan di paling depan mendekati sebatang pohon gayam yang besar yang tumbuh di dekat simpang ampat itu, ia berhenti sambil mengangkat tangannya, memberikan isyarat kepada pasukannya untuk berhenti.
Para prajurit dari pasukan Khusus itu-pun berhenti. Namun mereka tetap berhati-hati. Dengan senjata di tangan mereka memperhatikan setiap gerakan di belakang tanaman yang tumbuh di kotak-kotak sawah di sebelah menyebelah jalan.
Tiga orang muncul dari kegelapan di bawah bayangan pohon gayam yang besar dan berdaun lebat itu.
Agung Sedayu sama sekali tidak terkejut ketika ia melihat Kiai Tambak Gede dan dua orang pengiringnya melangkah mendekatinya sambil berkata, "Selamat malam Ki Lurah Agung Sedayu."
Para prajurit dari pasukan Khusus itulah yang merasa heran. Tetapi tidak terlalu lama. Mereka mulai dapat mengerti, apa yang sebenarnya mereka hadapi.
"Untunglah, bahwa Ki Lurah mempunyai panggraita yang tajam," berkata salah seorang prajurit kepada kawannya.
"Ya. Jika tidak, kita akan terjebak. Lebih parah lagi jika daging kambing yang disuguhkan kepada kita itu beracun. Maka mereka tidak usah dengan susah payah bertempur dan membantai kita didalam jebakan mereka karena kita akan mati dengan sendirinya karena racun itu."
Kawannya mengangguk-angguk. Sementara para prajurit yang lain-pun bersukur pula didalam hati atas ketajaman panggraita Ki Lurah Agung Sedayu.
Agung Sedayu berdiri tegak diapit oleh dua orang prajurit kepercayaannya. Dengan nada dalam ia menjawab, "Selamat malam Ki Tambak Gede."
"Kita bertemu lagi Ki Lurah."
"Begitu cepat kita bertemu lagi," jawab Agung Sedayu.
"Ki Lurah, aku masih ingin mengulangi undanganku."
"Apakah aku masih harus menjawab lagi. Ki Tambak Gede ?" Agung Sedayu justru bertanya.
"Jangan begitu kasar, ngger. Sebaiknya kau paksa dirimu untuk mendengarkan kata-kataku."
"Ki Tambak Gede," berkata Agung Sedayu, "sudahlah. Sebaiknya Ki Tambak Gede dapat mengerti tugas yang aku emban. Aku harus segera kembali dan memberikan laporan atas kegagalanku. Jika aku akan mendapat hukuman, biarlah hukuman itu cepat aku jalani. Jika aku mendapatkan pengampunan, biarlah aku segera berlega hati."
"Ki Lurah," berkata Ki Tambak Gede, "jika kau tetap menolak sudah tentu aku merasa tersinggung. Bukan saja aku pribadi, tetapi seluruh warga perguruan Tlaga Kuning akan merasa tersinggung. Perguruan kami adalah perguruan yang besar dan dihormati. Tetapi kau ngger, hanya seorang Lurah Prajurit, berani menolak undanganku."
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Sudahlah Ki Tambak Gede. Jangan berbelit-belit. Katakan apa sebenarnya maksudmu. Aku sudah muak dengan kepura-puraanmu itu."
Wajah Ki Tambak Gede menjadi tegang. Namun kemudian tiba-tiba saja ia tertawa. Wajahnya yang mulai berkeriput itu segera berubah. Yang nampak di sorot matanya bukan lagi ungkapan hatinya yang kecewa, tetapi di matanya membayang kebencian yang mendalam.
Dengan kasar Ki Tambak Gede itu-pun berkata, "Baiklah, Ki Lurah. Aku akan berterus terang. Aku adalah seorang pemimpin perguruan yang telah bersumpah untuk mengabdi kepada Kangjeng Adipati Pati. Tetapi aku terlambat sampai ke Pati. Ketika pasukan Pati mulai bergerak, aku tidak ada di perguruan. Meski-pun aku sudah tahu bahwa pasukan Pati akan menyerang Mataram, tetapi aku kira tidak secepat yang dilakukan oleh Kangjeng Adipati Pragola."
"Kenapa kau tidak menyusul ke Prambanan ?" bertanya Agung Sedayu.
"Aku memang berniat untuk menyusul. Tetapi prajurit Mataram yang berada di Jati Anom bergerak seperti burung alap-alap. Sementara aku bergerak dengan para cantrik yang jumlahnya tidak terlalu banyak. Kami menemukan Ngaru-aru sudah dihancurkan. Aku bertemu dengan sekelompok prajurit Pati yang terkoyak-koyak oleh sekelompok prajurit Mataram. Yang tersisa melarikan diri tanpa tujuan. Bahkan tidak tahu lagi, apa yang akan dilakukan. Mereka tidak mempunyai keberanian lagi untuk mencari dan bergabung dengan induk pasukannya, karena mereka ngeri bertemu dengan sekelompok prajurit Mataram yang bagaikan terbang menyambar-nyambar dan bahkan seakan-akan berada di segala tempat."
"Karena itu, maka Ki Tambak Gede, mengurungkan niatnya untuk menyusul sampai ke Prambanan ?"
"Aku merasa bahwa pasukan yang kecil tidak akan berpengaruh sama sekali."
"Lalu sekarang, apa yang akan kau lakukan ?" bertanya Agung Sedayu.
"Aku tahu bahwa pasukanmu juga hanya kecil. Aku kagum akan keberanianmu bergerak dengan pasukan yang kecil ini," jawab Ki Tambak Gede, "tetapi sayang, bahwa justru karena itu, maka pasukanmu telah menggelitik aku untuk menghancurkan pasukan kecilmu. Aku ingin menghancurkan kekosongan para prajurit Mataram. Aku akan membunuh kalian semua kecuali satu atau dua orang, agar mereka dapat menceritakan, bahwa kesombongan para prajurit Mataram sudah dihancurkan oleh sebuah perguruan. Nama perguruan kami yang sebenarnya bukan Tlaga Kuning. Dan namaku bukan Tambak Gede."
Orang itu-pun berkata selanjutnya. "Tetapi kau tidak perlu mengetahui nama perguruanku dan namaku yang sebenarnya, karena itu sama sekali tidak perlu bagimu."
Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil. Sementara orang berjanggut pendek yang sudah memutih itu berkata, "Tetapi sebelum aku membunuhmu, aku ingin mengatakan kekagumanku terhadap ketajaman perasaanmu. Ternyata kau tidak begitu saja menerima undanganku. Dan itu membuat kami semakin bernafsu untuk membunuh kalian semuanya, selain satu atau dua orang seperti aku katakan."
"Baiklah, Ki Sanak. Kami adalah prajurit. Kematian memang sudah membayang sejak kami menyatakan diri untuk menjadi seorang prajurit yang baik. Karena itu, kau tidak usah menakut-nakuti kami dengan kematian."
"Kau memang anak iblis," geram orang semula mengaku bernama Kiai Tambak Gede itu, "melihat umurmu, maka kau masih belum pantas bertempur menghadapi aku. Tetapi karena kau pemimpin tertinggi yang ada, maka kau memang harus menghadapi aku. Nasibmu yang buruk telah membawamu ke tanganku."
Agung Sedayu tidak menjawab lagi. Tetapi ia sadar, bahwa yang dihadapinya adalah seorang yang menginjak hari-hari tuanya dengan kematangan ilmu yang tinggi. Karena itu, maka Agung Sedayu harus berhati-hati.
Sejenak kemudian, maka Agung Sedayu itu melihat orang itu memberikan isyarat. Ia telah mengangkat tangannya dan bahkan bersiut nyaring.
Para prajurit dari Pasukan Khusus itu-pun segera bersiap. Dari belakang gerumbul dan tanaman di sawah yang kurang terpelihara itu, muncul sosok-sosok yang menggetarkan jantung. Para prajurit Mataram itu sudah ditempa dengan keras lahir dan batinnya. Namun terasa dada mereka berdegup semakin keras melihat orang-orang berpakaian gelap yang bermunculan, seakan-akan mencuat dari kegelapan.
Sekali lagi terdengar isyarat dari orang berjanggut pendek yang sudah memutih itu.
Dan sekali lagi jantung para prajurit itu tergetar. Mereka melihat semua orang yang muncul dari persembunyiannya itu mengambil sepotong kain berwarna kuning dan dikalungkannya di leher mereka.
"Apa artinya itu," desis seorang prajurit.
"Entahlah. Tetapi mereka datang dari padepokan Tlaga Kuning sebagaimana dikatakan oleh orang tua itu."
"Bukan," sahut yang pertama, "bukankah sudah dikatakan bahwa mereka bukan murid-murid perguruan yang bernama Tlaga Kuning ?"
"Orang itu sedang mengigau. Apa saja yang dikatakan, tetapi kita akan menghancurkan mereka."
Prajurit yang pertama mengangguk-angguk. Katanya, "Ya Kita akan menghancurkan mereka sampai orang yang terakhir."
"Atau mereka menghancurkan kita sampai orang yang terakhir pula."
" Tidak. Ada satu atau dua orang yang akan disisakan. Nah, mudah-mudahan orang itu aku."
Kawannya tiba-tiba saja tertawa, sehingga semua orang berpaling kepadanya.
"Ada apa ?" bertanya seorang yang lain.
"Maaf. Orang-orang yang muncul dari kegelapan itu nampaknya lucu sekali," jawab prajurit itu.
Orang tua berjanggut putih itu menggeram. Ternyata prajurit Mataram tidak merasa ngeri melihat orang-orangnya yang berdiri tegak mematung di kotak-kotak sawah sebelah menyebelah jalan.
Dengan lantang orang itu berkata, "Kami mempunyai tiga lapis kekuatan. Yang kalian hadapi adalah pasukan Elang Emas. Tataran berikutnya adalah Elang Perak dan lapisan yang baru tersusun terdiri dari para cantrik yang baru tumbuh adalah pasukan Elang Tembaga. Karena kami akan menghancurkan sekelompok prajurit Mataram, maka aku siapkan Putut dan Cantrik yang termasuk tataran kemampuan tertinggi."
"Ki Sanak. Kenapa tidak semua cantrikmu kau kerahkan " Bukankah pertempuran dengan prajurit Mataram akan menjadi pengalaman yang sangat baik bagi pasukan Elang Perak dan Elang Tembagamu itu ?" bertanya Agung Sedayu.
Orang itu menggeram. Katanya, "Kau benar-benar orang yang sombong, Ki Lurah. Tetapi kau akan menyesal."
"Tidak. Apa-pun yang terjadi kami tidak akan menyesal. Bagi kami, jika kami harus kau bantai sampai habis, maka kami akan mati sambil tersenyum daripada mati sambil menangis. Kesombongan kadang-kadang memberikan kebanggaan bagi kami."
"Setan alas," bentak orang itu hampir berteriak. Lalu ia-pun berteriak pula, "Bunuh semua orang kecuali dua orang yang menyerah dan mohon ampun. Siapa yang lebih dahulu menyerah dan mohon ampun, maka merekalah yang akan tetap hidup."
Agung Sedayu-pun kemudian telah memberikan isyarat pula kepada prajurit-prajuritnya untuk memasuki sebuah pertempuran yang keras.
Demikianlah, maka orang-orang yang disebut pasukan Elang Emas itu mulai bergerak. Mereka semuanya bersenjata sebuah tongkat baja yang tidak terlalu panjang.
Sejenak kemudian, maka orang-orang dari pasukan Elang Emas itu sudah meloncati parit di pinggir jalan dengan sigapnya.
Tetapi prajurit Mataram dari Pasukan Khusus yang dipimpin oleh Agung Sedayu itu telah mempersiapkan senjata mereka pula. Sebagian besar prajurit dari Pasukan Khusus itu bersenjata pedang. Sedangkan sebagian kecil bersenjata tombak pendek. Tetapi sebagai kelengkapan dari Pasukan Khusus, maka mereka juga bersenjata pisau belati panjang yang mereka pergunakan dalam keadaan yang khusus.
Tetapi bukan hanya itu. Sebenarnyalah dalam tugas yang berat itu, para prajurit dari Pasukan Khusus itu dilengkapi pula dengan pisau-pisau belati kecil yang merupakan senjata lontar yang sangat berbahaya.
Sejenak kemudian kedua kekuatan itu sudah saling berbenturan. Orang-orang yang disebut pasukan Elang Emas itu bergerak dengan cepat. Dalam waktu yang singkat, maka mereka seluruhnya telah terlibat dalam pertempuran yang dengan cepat pula meningkat.
Orang berjanggut pendek yang sudah keputih-putihan itu tertawa. Katanya, "Ki Lurah. Kau lihat bahwa orang-orangku lebih tangkas, lebih kuat lebih terlatih dan lebih banyak. Apa yang kau andalkan " Kau sendiri tentu tidak akan mampu berbuat apa-apa di hadapanku. Jangankan seorang Lurah prajurit. Seorang Tumenggung pilihan-pun tidak akan dapat menandingi kemampuanku. Menurut perhitunganku, hanya ada lima orang yang dapat mengalahkan aku di seluruh wilayah kekuatan Mataram dan Pati. Mereka adalah Panembahan Senapati, Ki Juru Mertani, Kangjeng Adipati Pragola, Ki Naga Sisik Salaka dan Ki Gede Candra Bumi. Aku meragukan kemampuan orang-orang lain yang pernah disebut namanya di Mataram dan Pati. Aku tidak gentar mendengar nama Pangeran Mangkubumi, Pangeran Singasari, atau Adipati Pajang atau Adipati mana-pun juga. Juga nama-nama besar para Senapati Pati dan bahkan orang-orang yang disebut berilmu tinggi yang ada di sekitar Kangjeng Adipati Pragola. Mereka tidak lebih dari penjilat-penjilat yang tidak mempunyai kemampuan apa-pun juga. Nah, sekarang kau hanya seorang Lurah Prajurit. Pertimbangkan pendapatku. Bagaimana jika kau adalah orang pertama yang menyerah. Kau akan mendapat pengampunan dan aku persilahkan kau pulang memberikan laporan kepada Panembahan Senapati, bahwa prajurit-prajuritmu telah habis dibantai oleh pasukan Elang Emas dari perguruan yang setia kepada Kangjeng Adipati Pati."
12 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Panji Sakti 11 Mencari Seikat Seruni Karya Leila S. Chudori Pelangi Lembah Kambang 1