Pencarian

Negeri Di Ujung Tanduk 4

Negeri Di Ujung Tanduk Karya Tere Liye Bagian 4


Petugas dapur memukul pintu sel, mendorong nampan sarapan. Aku malas-malasan menerimanya. Hanya nasi goreng dengan telur dadar. Tidak ada irisan timun atau tomat sebagai penghias piring. Minumannya segelas teh hangat. Aku tidak berselera makan, bukan karena menunya. Tujuh tahun tinggal di sekolah berasrama, aku terbiasa makan makanan seperti ini. Aku tidak berselera karena sedang menunggu Rudi. Apakah dia selalu lamban seperti dalam duel di klub petarung yang kami lakukan" Hingga aku bisa memukulnya KO"
Aku malas mengangkat piring, mencoba mengisi waktu membosankan dengan sarapan. Hei, selembar kertas kecil jatuh dari bawah piring. Ini kertas apa" Tidak akan ada yang jail meletakkannya di sana, bukan" Aku memungutnya. Itu ternyata pesan untukku, pendek, berisi satu kalimat, Jangan makan apa pun. Aku meremas kertas kecil itu, menoleh ke seluruh sel, tahanan lain sedang sibuk menghabiskan jatah sarapan masing-masing, Kau tidak makan, Thomas" Maryam bertanya pelan, suaranya terdengar hati-hati.
Tidak. Aku tidak lapar. Kau" Aku tahu, Maryam juga memperoleh kertas itu.
Tidak, Maryam menjawab pendek.
Aku paham. Inilah yang direncanakan Rudi. Dia bintang terang dalam kesatuan reserse kepolisian. Perwira menengah dengan latar belakang pendidikan baik, lulusan terbaik akademi, dan segenap prestasi yang dimilikinya. Andai saja Rudi tidak sering bertentangan pendapat dengan atasannya, boleh jadi dia akan menjadi jenderal polisi termuda dalam sejarah. Lihatlah, dia dengan liciknya merencanakan ini semua.
Lima belas menit berlalu, lama setelah troli dibawa kembali ke dapur penjara, seperti kartu domino yang disusun lantas roboh berantai, tahanan di penjara itu mulai tumbang satu per satu karena sakit perut. Kekacauan terjadi. Semua penghuni penjara menggedor-gedor pintu sel, berseru-seru panik, bilang hendak ke belakang. Wabah muntaber menyergap seluruh tahanan. Seluruh petugas penjara menjadi sibuk. Ada sekitar dua puluh tahanan yang dititipkan di penjara itu, menunggu proses pengadilan. Semuanya jatuh sakit.
Sarapan tadi pagi telah terkontaminasi bakteri penyebab muntaber. Itu kesimpulan dokter dan tenaga medis penjara. Karena situasi ini darurat, berbahaya, seluruh tahanan terpaksa dibawa ke rumah sakit umum terdekat. Aku tahu apa yang harus dilakukan, juga Maryam. Meskipun sama sekali tidak menyentuh menu sarapan, kami diam-diam membuangnya. Kami adalah lalang membawa tahanan menuju rumah sakit. Instalasi gawat darurat dengan segera dipenuhi penderita keracunan makanan.
Ada banyak petugas yang dikerahkan mengawasi proses evakuasi tersebut, tapi dengan seluruh kekacauan yang terjadi, sedikit bantuan dari Rudi, aku dan Maryam tetap bisa menyelinap dari instalasi gawat darurat dengan berpura-pura hendak ke toilet pengunjung rumah sakit karena semua toilet penuh. Aku dan Maryam menaiki salah satu ambulans yang telah terparkir menunggu kami. Rudi sudah menunggu di balik kemudi dan langsung menekan pedal gas saat aku dan Maryam mengempaskan punggung di kursi, meninggalkan seluruh keributan pagi hari.
Bagaimana sakit perut kalian" Sudah sembuh" Rudi tertawa. Terima kasih banyak, Rud, aku menjawab pendek. Tentu saja, kau sekali lagi berutang besar padaku, Thomas, Rudi berujar santai. Mobil ambulans yang kami tumpangi sudah jauh meninggalkan rumah sakit.
Iya, kautagihkan saja besok lusa dalam tagihan bulananku. Aku akan membayarnya lunas, aku menjawab selintas lalu. Aku sedang memikirkan bagaimana bisa berangkat ke Denpasar segera. Waktuku tinggal satu jam dari jadwal pembukaan konvensi.
Kau tidak akan memperkenalkanku dengan rekan pelarianmu, Thomas" Gadis wartawan itu" Rudi menoleh, mengedipkan mata. Meskipun aku berani bertaruh, kalian berdua juga baru saling kenal beberapa hari terakhir.
Baik. Aku mengangkat bahu, menoleh ke Maryam. Aku baru berkenalan dengannya sehari lalu, namanya Maryam, wartawan review mingguan politik. Nah, aku perkenalkan kau deambulans kita pagi ini adalah Rudi. Satu level lagi, dia akan memiliki bintang di bahu. Seorang perwira menengah. Dia... dia polisi" Maryam refleks berseru kaget. Iya, Rudi polisi. Bahkan dia komandan kompleks pelatihan tempat kita ditahan tadi malam. Tapi kau tenang saja, dia terbiasa mengkhianati kesatuannya.
Bahkan Rudi ikut tertawa dengan ujung kalimatku. Aku menoleh pada Rudi. Nah, aku rasa sudah cukup sesi perkenalannya, Rud. Atau kau butuh sesi ice breaking juga" Saatnya segera menuju bandara, aku harus mencari akal agar bisa menaiki pesawat menuju Denpasar. Aku tidak mau kau mengantarku ke Denpasar dengan ambulans ini. Akan terlambat sekali.
Kau selalu saja terburu-buru, Kawan, Rudi tertawa, masih berkata santai, hingga tidak sempat memperhatikan mobil ini sedang menuju bandara.
Aku menoleh keluar. Bandara apanya" Kami tidak sedang di atas jalan bebas hambatan, satu-satunya akses tercepat menuju ke bandara.
Bandara yang satunya, Thomas. Aku punya cara terbaik mengirimmu ke sana. Tidak perlu pakai penyamaran, dijadikan tahanan yang hendak dipindahkan, escort, seperti setahun lalu. Aku punya ide cerdas yang lebih baik.
Apa yang kaurencanakan, Rud" Aku belum mengerti. Meski sekarang aku paham, ambulans sedang menuju bandara yang kemarin dipakai mendarat pesawat jet pribadi milik Lee yang telah kembali ke Hong Kong. Hei, Rudi tidak akan menyewakan pesawat untukku, bukan" Itu tidak masuk akal.
cules. Rudi menoleh. Mobil ambulans sudah melintasi gerbang bandara.
Aku tetap tidak mengerti.
Kau akan menumpang pesawat militer, Kawan, Rudi berbaik hati menjelaskan. Setiap minggu, setidaknya ada tiga kali penerbangan militer berjadwal ke pangkalan udara di timur, seperti Makassar atau Manado. Pesawat itu membawa logistik dan barang keperluan militer lainnya. Kau akan naik pesawat Hercules. Mereka akan transit di Denpasar. Kalau kau tidak terlalu lama urusan di sana, kau bisa menumpang balik ke Jakarta siang harinya.
Aku dini hari tadi sudah menghubungi kawan lama sewaktu masih di akademi, tapi dia di akademi angkatan udara, sekarang menjadi pilot senior pesawat yang akan terbang hari ini. Kau dan Maryam tinggal naik ke kabin, duduk bersama tumpukan karung dan kardus, lantas simsalabim, tiba di Denpasar. Tidak akan ada polisi yang berani memeriksa pesawat Hercules itu. Dan hei, sebagai bonusnya, itu akan menjadi pengalaman terbang yang menarik. Aku berani jamin, tidak semua orang pernah menumpang Hercules. Rudi menyeringai, mobil ambulans sudah merapat di lobi bandara.
Nah, Kawan, aku tidak akan berani menyimpulkan ini pertemuan terakhir kita dalam masalah seriusmu kali ini. Hati-hati, telinga mereka ada di mana-mana. Saranku, segera setelah urusanmu di konvensi partai selesai, kembali berlari bersembunyi, berikan jarak yang lebar untuk para pengejarmu. Terus bermain petak umpet dengan baik. Dan kau, Maryam, aku tidak tahu apakah kau sedang beruntung atau tidak, menghabiskan waktu jangan seperti Thomas. Boleh jadi kau sedang sial, karena aku cemas masih banyak kejutan di pelarian kalian. Berhati-hatilah.
Aku menjabat tangan Rudi, meloncat turun. Maryam menyusul, bilang terima kasih.
Hei, sebentar, Thom. Rudi ikut turun dari mobil ambulans. Aku menoleh.
Rudi melepas jam di pergelangan tangannya, menyerahkan kepadaku. Aku tahu kau selalu tergesa-gesa dalam setiap urusan, terus melirik pukul berapa. Mendengus cemas, melirik lagi jam. Aku memberimu kado kecil, Thomas, jam tangan milikku. Karena kau tidak punya, dirampas pasukan khusus Hong Kong SAR, mungkin jam milikku berguna untuk melihat jam berapa sekarang. Silakan.
Aku menatap Rudi bingung. Ayo, untukmu, Thomas.
Baiklah. Aku menerima jam tangan itu. Rudi benar, aku boleh jadi butuh jam. Aku dan Maryam melangkah melintasi lobi keberangkatan. Rudi kembali masuk ke mobil. Dua detik, ambulans itu segera meninggalkan lobi bandara, tetap dengan suara sirene meraung, membuat menyingkir mobil-mobil lain.
P 10.30, Denpasar. Setiba di bandara transit, aku mengucapkan terima kasih dan basa-basi satu-dua kalimat kepada pilot pesawat Hercules, teman lama Rudi. Aku dan Maryam menumpang taksi menuju hotel tempat konvensi berlangsung. Rudi sekali lagi benar. Itu pengalaman yang menarik, menumpang pesawat Hercules. Kami naik lewat pintu belakang. Selama dua jam kami duduk di kursi panjang berhadapan bersama tumpukan perlengkapan dan barang logistik militer. Kami juga turun dari pintu belakang. Aku merasa seperti tentara yang dikirim ke medan perang saat menjejakkan kaki di landasan pacu. Ini selingan menarik dari semua kejadian satu hari terakhir.
Aku tiba tepat waktu. Bukan dalam artian tepat menit atau jamnya. Konvensi partai itu telah dibuka satu setengah jam lalu. Aku jelas terlambat. Aku tiba tepat waktu dalam artian momen-
Episode 2 Faksi Konvensi Partai telah kongres lima tahunan memilih ketua umum partai langsung berjalan alot, menjurus rusuh.
Tidak bisa dicegah. Diskusi pertama yang segera panas adalah apakah klien politikku berhak mengikuti konvensi atau tidak. Dua faksi segera terbentuk, menjadi dua kutub ekstrem. Kelompok pertama mendukung JD terus mengikuti konvensi, tidak peduli dengan kasus hukum yang membelitnya. Kelompok kedua jelas-jelas meminta klien politikku didiskualifikasi atas nama moralitas partai. Dua kutub yang segera saling berhadapan, plenary hall tempat konvensi berlangsung berubah menjadi pasar malam, ramai orang berseru, berteriak, bersitegang, membuat pimpinan sidang tidak ada artinya lagi. Susah payah mengendalikan jalannya pleno.
Aku kira kau tidak akan hadir, Thomas. Johan, salah satu pimpinan muda internal partai, politikus dengan reputasi baik, juga orang kepercayaan klien politikku, bagian dari tim kampanye kami, menyambutku di lobi hotel. Wajahnya tegang. Aku pasti hadir, Johan. Apa pun yang terjadi.
Johan menghela napas. Ada setidaknya tiga orang anggota tim inti kita yang entah apa kabarnya, sejak tadi malam tidak bisa dihubungi, Thomas. Aku mengkhawatirkan hal yang sama. Aku berkali-kali menghubungi nomor telepon genggammu, tidak ada nada panggil.
Aku menoleh, menatap Johan. Telepon genggamku rusak. Dan semoga tiga rekan lain baik-baik saja.
Iya, semoga mereka baik-baik saja. Terlepas dari masalah itu, dengan tidak hadirnya kandidat presiden kita, kehadiranmu bih tenang sekarang. Kau pasti punya strategi terbaik menghadapi ini.
Kau sudah berhasil menghubungi beliau" Aku mengabaikan kalimat terakhir Johan, bertanya hal lain. Johan merangkap sekretaris klien politikku. Dia anggota tim yang paling sering bicara dengan klien politikku.
Johan menggeleng. Belum ada yang bisa menghubungi beliau, Thomas, bahkan tim pengacara yang telah kita siapkan beberapa jam setelah beliau ditangkap, hingga pagi ini, belum memperoleh kepastian kapan bisa menemui beliau di tahanan. Mereka sepertinya sengaja mensterilkan kontak, setidaknya beberapa hari ke depan hingga konvensi selesai.
Bagaimana situasi konvensi" aku bertanya lagi, sambil berjalan melintasi lobi hotel, mendaftar semua isu. Maryam melangkah di belakang kami, mengikuti.
Buruk, Thomas. Hampir seluruh petinggi partai meminta JD didiskualifikasi.
Itu bisa ditebak. Tapi bagaimana dengan pemilik suara" Ketua cabang, pimpinan dari daerah-daerah"
Sejauh ini mereka masih bersama kita. Entah berapa jam ke depan. Dengan kemungkinan diskualifikasi, lobi pihak kandidat lain gencar dilakukan sejak tadi malam, berusaha menarik dukungan baru. Johan melangkah mengikuti.
Itu berarti kita masih punya kesempatan, Johan. Aku harus bicara dengan mereka. Kaukumpulkan semua pendukung. Juga kumpulkan tim kita yang tersisa. Kita harus melakukan pertemuan terbatas, melakukan konsolidasi, mengembalikan seluruh Belum bisa sekarang, Thomas. Semua anggota partai masih berada di plenary hall. Kau tidak bisa masuk ke sana. Hanya pemilik suara yang mengenakan identitas partai yang boleh masuk. Johan menunjuk kartu name tag yang dikalungkan di lehernya. Tapi sepertinya, jika melihat situasi yang semakin panas, pimpinan sidang pleno akan segera mengambil reses untuk memberikan waktu pihak-pihak melakukan negosiasi, jalan tengah. Mungkin setengah jam lagi.
Baik. Aku mengangguk. Kami sudah tiba di depan pintu besar ruangan konvensi, di depan meja-meja panjang pendaftaran. Aku tidak masuk ke dalam. Beberapa petugas konvensi terlihat berkerumun. Keributan dari dalam terdengar jelas dari sini. Kalau begitu, sambil menunggu setengah jam ke depan, aku membutuhkan tempat untuk berganti pakaian, Johan. Kau bisa meminjamkanku jas atau apalah yang lebih layak" Juga menyediakan pakaian untuk Maryam. Dia juga butuh tempat beristirahat sejenak, sarapan. Kami sudah lebih dari 24 jam tidak mandi, sejak dari Hong Kong.
Johan mengangguk. Dia bisa mengaturnya segera. ***
Johan membawa kami menuju sebuah kamar di lantai tujuh bangunan hotel tempat konvensi berlangsung. Ini kamar yang seharusnya digunakan beliau, Thomas. Johan menjelaskan. Kami sudah membawa seluruh keperluan beliau dua hari lalu, termasuk keperluan istri beliau yang berencana ikut hadir. Kau bisa meminjam pakaian beliau, ukuran kalian berdua sepertinya di lemari istri beliau. Beberapa pakaian dalamnya baru, disiapkan untuk keperluan konvensi.
Beberapa staf teknis tim kampanye terlihat sedang bekerja di kamar suite itu, mengangguk kepadaku. Wajah mereka mendung, sedih oleh kabar penangkapan kemarin siang. Aku balas mengangguk.
Aku mandi dengan cepat. Salah satu staf menyerahkan beberapa pilihan kemeja dan celana panjang. Aku memilih salah satunya. Dia membawa lagi pilihan jas. Aku mencomot salah satunya. Maryam masih di kamar mandi berbeda. Kamar suite itu memiliki tiga kamar mandi terpisah, dengan kamar-kamar pribadi.
Johan masih menunggu di ruang tamu, menyalakan televisi. Liputan eksklusif dari arena konvensi partai. Layar televisi sedang menampilkan seseorang yang sedang diwawancarai langsung dengan latar konvensi yang kacau.
Bagaimana mungkin seorang tersangka menjadi kandidat konvensi" Itu tidak masuk akal! Dia salah satu petinggi partai, ring pertama lingkaran kekuasaan partai, wakil ketua, menjawab bersemangat, wajahnya memerah. Siapa pun itu harus didiskualifikasi.
Tapi Anda tidak bisa mengabaikan mayoritas ketua cabang, pimpinan provinsi, para pemilik suara yang menghendaki JD tetap diikutsertakan dalam konvensi calon presiden" Kita juga tidak bisa mengabaikan, hampir seluruh media nasional pagi ini kompak mengangkat editorial, menyatakan keprihatinan atas kasus penangkapan mendadak, tidak ada angin, tidak ada asap, atas mantan gubernur ibu kota paling sukses dalam sejarah" polemik ini jadi lucu. Petinggi partai itu tertawa, menanggapi pertanyaan reporter televisi. Kenapa orang-orang juga tidak berpikir... hei, kita tidak bisa mengabaikan fakta JD telah ditahan resmi oleh kepolisian" Dia menjadi tersangka korupsi. Kenapa semua orang seperti mengabaikan fakta itu" Sama sekali tidak menghormati penegak hukum"
Tapi penangkapan ini masih proses awal. Boleh jadi proses pengadilan membebaskan JD. Semua sangkaan dan tuntutan tidak terbukti"
Nah, semakin lucu jadinya. Bukankah selama ini, jika ada anggota DPR semacam kami ini, atau pejabat pemerintah yang ditahan, semua orang berteriak agar dia diberhentikan segera dari jabatan, dicabut seluruh haknya" Bahkan sebelum proses pengadilan dijalankan" Kenapa kalau kami yang dalam posisi itu, semua orang ribut memaksa, tapi jika JD yang dalam posisi itu, orang-orang justru membela" Catat baik-baik, partai politik kami dengan terang-terangan mendukung pemberantasan korupsi di negeri ini sejak lama. Tidak peduli siapa pun kadernya, termasuk jika dia kandidat presiden. Sekali terindikasi korupsi, dia tidak layak lagi, harus didiskualifikasi, dicopot semua haknya dalam partai.
Aku menatap layar televisi sambil mengenakan sepatu. Hampir seluruh petinggi partai menyetujui ide dia, Johan berkata pelan, menunjuk layar kaca, berdiri di sebelahku. Termasuk ketua partai dan kelompoknya. Menurut catatan kami, ada lima orang petinggi partai yang bersuara amat keras, sejak tadi malam terus-menerus tampil di media massa, memberikan pernyataan serupa. Salah satunya dia yang baru saja kita saksi-Aku mengangguk. Itu strategi perang, lazim sekali. Mereka sengaja membombardir penonton televisi, pembaca surat kabar dengan opini mereka. Tetapi amunisi kami juga sedang bekerja. Lihatlah, layar televisi sekarang pindah dari arena konvensi ke studio siaran langsung. Faisal, seorang pengamat politik ternama, ditemani Sambas, seorang redaktur senior penting, menjadi tamu dalam siaran live tersebut.
Bagaimana komentar kalian mengenai hiruk-pikuknya media massa hari ini yang menulis tentang kemungkinan adanya mafia hukum di negeri ini" Astaga, ini istilah yang mengerikan sekali Bung Sambas. Mafia hukum" Pembawa acara meraih salah satu koran, membaca headline koran tempat Sambas bekerja. Berbagai laporan menyebutkan mereka ada di mana-mana, bekerja diam-diam di bawah permukaan, menyelesaikan permasalahan hukum siapa pun. Apa pun kesulitan hukum kalian, tinggal menghubungi mereka, bayar sesuai harga, maka semua bisa diselesaikan. Pembawa acara mengangkat kepalanya dari berita koran, menatap Sambas, bertanya dengan intonasi bersemangat, Apakah liputan ini tidak terlalu berlebihan, Bung Sambas" Tidak ada fakta yang memadai tentang hal itu selama ini"
Sambas mengangkat bahunya. Ada banyak jenis fakta, Tina. Salah satunya adalah fakta kita semua tahu tentang sesuatu, merasakannya, tapi kita tidak bisa melihatnya. Siapa yang pernah melihat oksigen" Kita tahu, kita merasakannya, tapi kita tidak pernah melihatnya, bukan" Maka sama dengan mafia hukum tersebut. Kami kira, laporan ini akan memberikan manfaat bagi orang banyak. Tidak ada yang berlebihan.
Pendapat Anda, Bung Faisal" Pembawa acara beralih ke bin- Aku tidak bisa lebih setuju lagi dengan liputan koran tersebut. Faisal seperti biasa menjawab penuh gaya. Dia memang seorang komentator politik terbaik.
Apakah makhluk ini, maksud saya mafia hukum ini, turut terlibat dalam kemungkinan intrik politik atas penangkapan mendadak dan sangat mengejutkan kandidat presiden kemarin sore, Bung Faisal"
Saya melihatnya demikian. Kemungkinannya besar, ya. Aku tersenyum lebar. Nah, dalam perang opini seperti ini, kami memiliki rudal yang jauh lebih baik dibanding mereka. Di luar sana, ada banyak orang yang berhak memberikan pendapat, bebas menyampaikan komentar. Ini negara merdeka.
Johan mengangkat telepon genggamnya. Dia bicara sebentar. Maryam sudah selesai berganti pakaian, bergabung di ruang tamu dua menit lalu.
Masa reses baru saja diambil pimpinan sidang, Thomas. Johan menepuk bahuku. Seluruh anggota tim kita, dan ribuan pemilik suara akan berkumpul di ruangan besar lain dekat plenary hall. Kau bisa turun segera.
Aku mengangguk mantap, meletakkan sisir rambut di atas meja, memandang cermin untuk terakhir kalinya.
Setelah bertahun-tahun menjadi pembicara dalam banyak seminar besar, konferensi internasional, sekarang tiba saatnya aku menggunakan seluruh kemampuan bicaraku dalam situasi genting ini. Keahlian yang kulatih sejak menyaksikan rumah keluarga besar kami terbakar menyisakan puing-puing menyala. Sejak Papa-Mama menjadi korban konspirasi besar yang jahat dan kejam.
mengalahkan mereka" Balas mereka dengan konspirasi juga" Mudah. Gunakan cara sama yang mereka miliki, tapi gandakan berkali-kali lipat amunisinya.
*** Ruangan besar itu penuh sesak.
Dipenuhi lebih dari separuh anggota konvensi. Wajah-wajah sedih, marah, jengkel bercampur menjadi satu. Ditemani Johan, aku melangkah menuju tengah ruangan, yang telah diletakkan sebuah podium tinggi dengan pengeras suara. Semua orang menoleh saat kami masuk. Seketika seruan-seruan semangat terdengar di langit-langit ruangan, meneriakkan nama JD berkali-kali. Beberapa dari mereka merangsek, berusaha menyalamiku. Kau datang, Thomas. Kau ternyata datang. Aku tersenyum. Tentu saja aku datang. Satu-dua berusaha memelukku, berseru histeris. Kami tercerai-berai, Thomas. Semua kehilangan pegangan. Kau bicaralah. Serukan apa pun yang harus diserukan, satukan lagi kami semua. Aku mengangguk, tentu saja itu akan kulakukan.
Aku menaiki podium tinggi bersama Johan. Tidak ada kursi di ruangan besar itu, tidak sempat disiapkan, tidak ada yang sempat berpikir harus melakukan pertemuan darurat ini, semua orang berdiri, mengelilingi podium, menatapku. Teriakan-teriakan berhenti, bahkan satu potong kalimat pun lenyap dari ruangan besar saat Johan mengangkat tangan, meminta perhatian. Johan kemudian berbisik, menyerahkan semua urusan kepadaku.
lantas mengambil posisi di depan speaker, melihat ke seluruh ruangan. Ribuan anggota partai itu ada di sini, bersiap mendengarkanku. Aku sudah tiga kali bicara di hadapan mereka. Bedanya, kali ini tidak ada klien politikku yang berdiri di belakang, tersenyum takzim kebapakan, mendukung. Aku harus melakukannya sendirian, mengembalikan semua semangat yang tersisa.
Hadirin! aku berkata mantap meski suaraku bergetar oleh emosi mendalam.
Diam sejenak, menatap sekeliling lagi, memberikan momen menunggu.
Hadirin! Bertahun-tahun lamanya aku memiliki pertanyaan besar yang hingga hari ini tidak pernah kutemukan jawabannya.
Bertahun-tahun aku menghabiskan waktu di bangku sekolah, membuka buku-buku politik, membaca jurnal akademis tentang demokrasi, menemui guru besar, politikus senior, menemui orang-orang bijak, tapi jawaban atas pertanyaan itu tidak pernah kunjung kutemukan. Tidak ada satu pun yang berhasil memuaskan hasrat ingin tahuku. Apa pertanyaan besar itu" Yang harus kutanggung selama ini" Pendek saja: Siapa sebenarnya yang memiliki sebuah partai politik"
Tidak. Jangan memotong kalimatku dengan jawaban, hadirin sekalian. Tidak perlu, jangan sekarang. Aku menatap sekitar, menghentikan gumam refleks yang hendak diserukan orangorang di sekitarku.
Siapa yang sebenarnya memiliki sebuah partai politik" Karena lihatlah, bukankah ada banyak partai politik di negeri ini yang tidak ubahnya seperti kerajaan. Pucuk pimpinannya adalah mewariskan posisi itu ke anak-anaknya" Lantas orang-orang di sekitarnya adalah keluarga dekat, kerabat, sanak famili, yang bisa merangsek ke posisi penting tanpa harus susah payah meniti karier politik. Apa kata ratu, semua anggota harus dengar. Apa kata ratu, semua anggota harus tunduk. Omong kosong semua kongres, musyawarah, rapat, dan sebagainya. Omong kosong. Titah ratu adalah segalanya, di atas suara seluruh anggota partai. Ini membingungkan. Apakah partai itu sebuah kerajaan" Bukan lembaga paling demokratis di alam demokrasi"
Siapa yang sebenarnya memiliki sebuah partai politik" Karena lihatlah, bukankah ada banyak partai politik di negeri ini yang tidak ubahnya seperti perusahaan. Manajemen eksekutifnya adalah presiden direktur. Dia memenangi kompetisi pemilihan ketua partai dengan investasi, menyumpal seluruh pemilik suara, lantas seperti sudah membeli saham mayoritas, seluruh partai kemudian menjadi milik pribadinya. Apa kata presiden direktur, semua anggota harus taat. Dia bisa memecat siapa pun yang berseberangan pendapat. Dia bisa melakukan apa pun. Di mana letak demokrasinya jika partai politik sendiri tidak lebih dari perusahaan swasta" Dijadikan alat kepentingan bisnis, bahkan alat pertikaian, memperebutkan hal lain yang tidak ada hubungannya dengan partai, seperti menjadikan partai sebagai alat memperebutkan kompetisi sepak bola.
Siapa yang sebenarnya memiliki sebuah partai politik, hadirin sekalian" Siapa" Bukankah banyak partai yang dikuasai elitenya saja. Apa kata elite, semua harus ikut. Jika elite pimpinan partai bilang A, semua anggota harus bilang A. Jika menolak, ditendang dari kepengurusan, disingkirkan. Saya sungguh siapa yang bekerja paling besar untuk kemajuan partai" Apakah mereka" Ratu" Presiden direktur" Elite partai"
Omong kosong. Yang bekerja paling giat, yang berpeluh memasang spanduk, poster, baliho, membagikan selebaran, berjemur panas-panasan berkumpul di lapangan, kehujanan, siapa" Kita semua, kader paling rendah dan nista di mata mereka. Lihatlah, mereka justru berada di gedung yang mewah, duduk di bawah tenda, menikmati kudapan lezat, mana peduli kalau kita susah payah menjaga agar spanduk partai tidak dilepas orang lain. Mana tahu kalau kita berkali-kali memperbaiki posisi baliho yang dirusak orang lain.
Bukankah kita semua, kader paling hina, yang bekerja keras siang-malam untuk partai" Kita sumbangkan uang untuk partai. Kita urunan untuk menyewa bus agar bisa menghadiri rapat terbuka. Kita mengeluarkan uang yang kita miliki demi perjuangan. Lantas siapa yang menikmatinya, hah" Siapa yang tertawa" Siapa"
Aku menatap sekitar dengan tatapan menantang . Maka sekarang hadirin sekalian, saya akan bertanya, dan silakan kalian jawab kali ini. Bila perlu teriakkan sekencang mungkin. Agar aku paham, agar aku mengerti, dan akhirnya memperoleh jawaban yang melegakan hati atas pertanyaan besar yang tak kunjung kuperoleh jawabannya. Hadirin! Siapa yang memiliki partai politik ini"
Kami! Ribuan suara berteriak menjawab pertanyaanku. Siapa yang memiliki partai ini" Aku bertanya sekali lagi, balas berteriak.
Siapaaa" Aku meraung sekencang mungkin, memanggil seluruh energi mereka.
Kamiii!!! Langit-langit ruangan besar itu laksana hendak runtuh. Itu jawaban yang menggetarkan. Itu pesan mematikan. Amunisi tidak terbilang. Para petinggi partai itu, yang sepakat hendak mendiskualifikasi, bahkan jika dia berdiri di parkiran hotel, akan mendengar jawaban serempak ribuan kader pemilik suara. Bertanya-tanya apa yang sedang terjadi, tidak menyadari sebuah kekuatan besar sedang melakukan konsolidasi.
Maka hadirin sekalian, rapatkan barisan kalian. Mari kita bersumpah satu sama lain untuk tetap setia. Setahun lalu, kita berhasil memaksakan konvensi partai diadakan. Tidak boleh lagi calon presiden hanya ditentukan mereka, elite politik. Setahun lalu kita berhasil membuat ini nyata, satu-satunya partai dengan proses pemilihan kandidat presiden melalui konvensi yang melibatkan anggota partai. Saat semua ini sudah dekat sekali, tidak peduli dengan intrik politik yang mereka lakukan, fitnah kejam atas calon presiden kita, tidak peduli itu semua, kita akan terus maju. Tidak ada yang boleh mendiskualifikasi calon presiden kita. Tidak ada yang boleh membatalkannya. Penangkapan itu dusta, intrik politik untuk membunuh karakter. Kita semua pemilik partai ini, kitalah pemilik suaranya, maka kita sendiri yang akan menentukan nasib partai ini, bukan mereka.
Aku menyapu wajah seluruh peserta pertemuan. Beberapa orang terlihat menyeka pipi, terharu. Pegang tangan rekan-rekan di sebelah kita, hadirin sekalian, pegang.
Mereka berpegangan, membentuk rantai raksasa yang mengelilingi podium.
nya karena sebuah fitnah keji. Kita akan melawan siapa pun yang bersekongkol menggagalkan cita-cita, mimpi-mimpi itu. Kembalilah ke ruangan konvensi partai dengan satu suara, maka mereka akan takluk bertekuk lutut di hadapan pemilik sejati partai ini. Terima kasih telah memberikan jawaban itu padaku. Terima kasih.
Aku turun dari podium. Johan menyeka ujung matanya yang berkaca-kaca, memelukku. Kau pahlawan, Thomas. Sepuluh tahun lagi, saat giliranmu tiba, kami semua akan berdiri tegak di belakangmu, diminta ataupun tidak.
Aku mengabaikan kalimat terakhir Johan, tersenyum, menepuk bahu Johan.
Tidak ada lagi yang bisa kulakukan di arena konvensi tersebut. Cukup. Aku tidak bisa berkeliaran lebih lama dan mengundang perhatian pihak lawan.
Aku membutuhkan nama lima orang petinggi partai yang paling keras suaranya meminta JD didiskualifikasi, Johan. Aku melangkah cepat menuju pintu ruangan, meninggalkan ribuan anggota partai yang masih berpegangan tangan.
Akan kuberikan. Johan menjejeri langkahku.
Aku juga membutuhkan telepon genggam. Kau bisa meminjamiku"
Johan menatapku. Astaga" Kau tidak membawa telepon genggam, Thomas"
Aku bahkan tidak memiliki sepeser uang, Johan. Sopir taksi dari bandara masih di parkiran luar. Aku memintanya menunggu.
Empat jam lalu aku dan Maryam masih di dalam sel penjara, Johan. Mencari cara agar bisa tiba di sini. Nah, sekarang lebih mudah membayangkan kalau aku memang tidak memiliki uang sepeser pun, bukan"
Johan menghela napas. Baik, akan kuminta staf lain menyiapkan apa yang kauperlukan. Sekarang kau akan ke mana, Thomas"
Kembali ke Jakarta. Arena pertempuran bagiku ada di sana.
S OPIR taksi itu masih setia menunggu di parkiran. Dia se-
dang membaca koran saat aku dan Maryam kembali menaiki mobil. Aku menyebut tujuan berikutnya. Dia mengangguk. Taksi meluncur meninggalkan parkiran bangunan hotel.
Aku belum pernah menyaksikan hal seperti tadi, Thomas, Maryam berkata, membuka percakapan. Aku sedang menyalakan telepon genggam yang diberikan staf konvensi. Itu telepon baru, meski murah meriah hei, jelas bukan tabiat kami membagikan telepon mahal sebagai suap dengan alasan alat koordinasi bagi anggota partai. Itu telepon yang dibelikan staf di sekitar lokasi konvensi. Ada banyak counter pedagang resmi untuk memenuhi keperluan ribuan orang di sana, terutama aksesori partai.
Kau belum pernah menyaksikan rapat partai, Maryam" Bagaimana mungkin" aku bertanya, pura-pura tidak mengerti apa maksud kalimatnya.
Episode 22 Pola Awal dan Nama-Nama
Dia jelas wartawan politik, meliput kongres atau munas biasa saja. Aku belum pernah menyaksikan seseorang bicara begitu mengesankan di hadapan ribuan orang. Begitu mengendalikan. Beruntung kau bukan ketua sekte agama sesat, Thomas, klan bunuh diri misalnya. Kau bisa membuat orang bunuh diri massal dengan cara bicara seperti itu.
Itu bukan pujian, Maryam. Kau malah mengolokku. Aku tertawa, sambil menekan tombol telepon. Ada banyak orang yang harus kuhubungi sekarang.
Maryam memperhatikanku yang mengangkat telepon ke telinga.
Belum genap satu kali nada panggil, suara Kadek terdengar di seberang sana.
Kau baik-baik saja, Kadek" aku langsung bertanya. Baik, Pak Thom. Tiang baik-baik saja. Kadek yang mengenali suaraku menjawab riang.
Opa" Lebih dari baik, Pak Thom. Kadek tertawa. Dia bahkan ingin mencoba naik kapal nelayan penduduk setempat sore ini, Pak Thom.
Astaga" Kau harus mencegah orang tua itu, Kadek, aku berseru pelan, setengah tidak percaya mendengarnya. Dia pikir itu waduk Jatiluhur yang tenang di halaman belakang rumah peristirahatan. Itu pantai utara. Ombaknya sedang tinggi bulan-bulan ini. Tidak ada kapal nelayan berukuran besar di sekitar sekolah berasrama. Aku tahu persis, kapal nelayan hanya untuk menangkap kepiting atau rajungan.
Opa bilang dia ingin bernostalgia, Pak Thom. heroik mengungsi berminggu-minggu yang dia lakukan dengan kapal nelayan bocor itu. Itu enam puluh tahun lalu, dan jelas dia lakukan saat usianya masih enam belas, bukan tujuh puluh lima.
Baik, Pak Thom. Aku akan bilang kalau Pak Thom tidak setuju.
Biarkan aku bicara dengannya, Kadek.
Eh, Opa sedang memainkan klarinet di ruangan besar, Pak Thom, ditonton murid-murid. Aku kira itu termasuk aktivitas yang tidak bisa disela oleh telepon.
Aku terdiam sejenak, berpikir, lalu tertawa. Baiklah. Sepertinya orang tua itu baru berhenti bermain musik setelah berjamjam kemudian. Menganggap ruangan makan menjadi tempat pertunjukan teater Shanghai, dan murid-murid menjadi penontonnya. Setidaknya dia baik-baik saja. Sampaikan aku telah meneleponnya.
Percakapan ditutup setelah beberapa kalimat lagi. Aku tidak menceritakan kepada Kadek kejadian ditangkap tadi malam, tidak perlu menambah beban pikiran Opa mendengar cerita tersebut. Sekolah itu tersembunyi. Mereka aman di sana.
Mobil taksi terus menuju bandara, melewati beberapa rombongan turis yang berjalan kaki di jalanan kota. Ini long weekend, turis lokal sama banyaknya dengan turis asing, memadati pulau Bali. Maryam memilih melihat keluar jendela, memperhatikan sekitar. Sekarang sudah pukul dua belas. Aku melirik jam hadiah Rudi di pergelangan tangan. Tiga puluh menit lagi pesawat Hercules milik angkatan udara kembali transit di Denpasar, dan kami bisa menumpang lagi ke Jakarta.
Dua kali nada panggil, suara khas itu menyapa, Halo, selamat siang"
Ini aku, Meg. Kau ke mana saja, Thom" Maggie seketika berseru. Sejak tadi subuh aku mencoba menghubungi, tidak ada nomor teleponmu yang aktif. Semua mati.
Menilik suara cempreng Maggie, aku tidak perlu bertanya apakah dia baik-baik saja. Maggie sehat walafiat dan situasinya terkendali.
Kau ada di mana sekarang" Aku memilih pertanyaan lain. Di mana lagi, Thom" Di ruangan kerja Kris sejak tadi subuh. Aku hanya sempat pulang ke rumah sebentar tengah malam tadi, beristirahat tiga jam. Sejak tadi aku terus-menerus memelototi ribuan lembar kertas. Mataku sampai merah berair. Kau tidak punya masalah dengan pasukan tadi malam" Tidak. Mereka pergi cepat bahkan sebelum memeriksa ruangan. Sepertinya bergegas kembali turun, mengejar sesuatu. Mereka tidak mengejarmu, bukan"
Mereka mengejarku, Meg. Aku sempat masuk penjara. Ya Tuhan! Maggie berseru.
Tapi tidak lama. Semua sudah normal. Nah, apakah Kris sudah ada kemajuan" Aku segera bicara pada pokok masalah, berhenti basa-basi.
Justru itu aku berusaha meneleponmu sejak tadi subuh. Kau sudah membuka e-mail, Thom" Kris sudah memberikan progres awal. Dia sudah memberikan daftar awal yang kausuruh kerjakan, lengkap dengan informasi lainnya. Kau bisa membuka dokumen itu dengan kata sandi biasa yang digunakan. pon genggam beberapa menit lalu. Aku mengangkat bahu. Baiklah, akan kuperiksa e-mailnya, semoga telepon genggam ini lebih dari memadai untuk membuka jaringan internet. Ada lagi update"
Tidak ada. Hanya ucapan terima kasih dari wartawan dan pengamat politik itu. Mereka menyukai hadiah yang kauberikan. Kau sedang di mana, Thom"
Masih di Denpasar, dalam perjalanan kembali ke Jakarta. Kau masih bersama gadis wartawan itu" Jalan-jalan di Bali" Maggie menyelidik. Alangkah romantisnya, Thomas. Aku saja yang bertahun-tahun kausuruh kerja keras tidak pernah diberi tiket gratis liburan di Bali.
Aku tertawa. Kau berhenti protes, Meg. Tadi malam, aku juga bersama-sama Maryam masuk penjara, di dua sel bersisian. Romantis sekali, bukan"
Dengusan Maggie terhenti. Diam.
Nah, aku punya tugas tambahan untukmu, Meg. Aku membutuhkan informasi klien politik kita, JD. Sejak ditangkap kemarin sore, dia ditahan di mana. Apakah dia baik-baik saja. Kau juga cari tahu soal istri dan anak-anaknya. Mereka pasti mengungsi ke tempat yang lebih tenang, jauh dari sorotan media. Cari informasi mereka tinggal di mana. Apakah ada penjagaan dari pihak kepolisian. Apakah mereka baik-baik saja. Kirimkan pesan kepadaku kalau ada beritanya.
Kau bosnya, Thom. Maggie dengan cepat meraih bolpoin dan kertas.
Aku menutup telepon setelah beberapa percakapan lagi, menyandarkan punggung di kursi, dan membuka jaringan internet besar, dan koneksi internetnya cukup cepat. Aku memasukkan nama dan kata sandi e-mail, membuka laporan awal dari Kris yang di-forward-kan Maggie.
E-mail dari Kris ada di antara ratusan e-mail lain yang belum sempat kubuka sejak konferensi di Hong Kong. Aku mengunduh berkas yang dikirim Kris. Dia melampirkan 15 halaman dokumen dengan proteksi kata sandi aku membiasakan sejak lama seluruh dokumen perusahaan dikirim dengan kata sandi. Laporan Kris ini relatif pendek, tapi cukup membuatku berseru pelan, bahkan saat membaca halaman pertamanya.
Ada apa, Thom" Maryam menoleh. Mobil taksi yang kami tumpangi sudah memasuki gerbang bandara. Pengemudinya memperlambat laju kendaraan. Bandara padat oleh pengunjung yang baru tiba atau kembali pulang dari liburan.
Ini gila! Aku menggeleng, mengusap rambut.
Aku sudah menduga laporan awal itu akan menyebut namanama penting, dengan pola kasus hukum yang pernah melibatkan mereka. Tapi aku tidak menyangka laporan itu akan menulis hampir seluruh nama-nama penting, pejabat tinggi negeri ini.
Meskipun dari analisis jutaan data, bekerja berjam-jam dengan komputer, mencari pola, Kris membuat laporan itu mudah dibaca. Dia meringkas semuanya dalam sebuah laporan grafis, sistematis, dan sederhana. Ada lima hierarki yang dibentuk Kris, mulai dari level paling tinggi jaringan tersebut dalam laporan Kris menggunakan istilah ring pertama alias paling penting. Berisi sekitar dua puluh kotak, separuh kotak itu sudah berisi nama, separuh lain masih kosong. Membaca halaman pertama kepolisian yang muncul tadi malam di konferensi pers ada di kotak-kotak ring pertama. Juga nama lima petinggi partai yang paling kencang suaranya meminta klien politikku didiskualifikasi. Kris membuat garis-garis konektor atas kotak-kotak itu, yang menjelaskan kelompok dan subkelompok. Semua ditulis dengan detail hingga ring lima , yang berisi lebih banyak nama meskipun dengan posisi lebih rendah, seperti pejabat pemerintahan di daerah, birokrat kelas bawah, bintara polisi, jaksa muda, hakim junior, dan pengusaha tidak terkenal lainnya.
Hanya lima halaman yang berisi nama, sepuluh halaman terakhir hanya lampiran, berisi daftar lengkap kasus yang pernah melibatkan kata kunci yang kuberikan tadi malam kepada Kris, Liem . Aku menghela napas dua kali saat memeriksa satu per satu lampiran tersebut. Helaan napas pertama untuk pola yang terlihat. Helaan napas kedua, karena menyadari betapa banyaknya kasus hukum Om Liem selama ini. Nyaris di setiap kasus yang melibatkan Om Liem, beberapa nama di ring pertama muncul, mulai dari penyidik, pihak kejaksaan, dan hakim. Nama itu muncul sejak dua puluh tahun lalu, sejak mereka masih di posisi lebih rendah.
Aku bergumam setengah tidak percaya membacanya. Mereka jangan-jangan sengaja membentuk satuan khusus untuk menangani kasus Om Liem dan itu pasti tidak murah harganya. Mataku berhenti di kasus nomor 22, halaman 9 lampiran yang disertakan Kris, tertulis Proyek Pembangunan Pusat Olahraga Nasional. Perusahaan properti Om Liem yang menjadi pemenang tender proyek tersebut. Dari analisis atas tiga ribu lebih artikel, berita di media massa dan data lain terkait kasus ini, yang didapatkan Maggie, nyaris semua nama di ring pertama muncul, bukan hanya aparat penegak hukum, tapi juga namanama lain. Mataku membesar, membaca nama lima petinggi partai politik itu. Mereka muncul sebagai anggota DPR, anggota komisi yang terkait, dan badan anggaran yang menyetujui proyek itu.
Aku mengepalkan tinju. Ada apa, Thomas" Maryam bertanya lagi.
Aku mendengus. Lihatlah, mereka bergaya sekali muncul di televisi sejak semalam, bicara tentang antikorupsi, berwajah manis tanpa dosa, merasa paling suci, padahal mereka sendiri adalah pelaku sekaligus bagian dari jaringan tidak terlihat mafia hukum.
Kau masih ingat kasus Proyek Pembangunan Pusat Olahraga Nasional yang sempat ramai lima tahun lalu, Maryam" Aku menoleh ke sebelah.
Tentu saja. Semua orang tahu itu. Hanya beberapa orang yang dipenjarakan atas kasus besar itu, sisanya gelap, seperti sudah selesai. Aku pikir beberapa orang yang dipenjara itu hanya dikorbankan untuk melindungi belasan nama lain
Tepat sekali, Maryam, aku mengangguk, karena terlalu besar dan rapatnya konspirasi yang ada dalam proyek itu. Kau ingat beberapa anggota DPR yang tetap lolos tidak pernah diperiksa" Padahal berkali-kali disebut banyak pihak, termasuk oleh rekannya yang lain saat proses pengadilan, yang telah dihukum, bahwa nama-nama itu juga diduga menerima uang suap"
Ya, KPK hingga hari ini tidak memiliki bukti yang cukup tahu. Sebenarnya ada apa, Thomas" Kau terlihat amat bersemangat"
Kita akan memberikan pukulan balasan, Maryam. Lebih mematikan dibanding yang telah mereka lakukan. Nah, kau bilang kau akan melakukan apa yang kuminta, bukan"
Maryam mengangguk, meski belum mengerti arah percakapan.
Bisakah kau menghubungi siapa saja, agar aku bisa melakukan audiensi diam-diam dengan lima pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi hari ini juga" Aku ingin mereka berlima hadir. Aku akan memberikan mereka bukti yang selama ini mereka butuhkan untuk membuka kembali kasus lama itu. Kesaksian seseorang yang tidak bisa dibantah lagi. Bukti-bukti yang akan menjerat banyak orang. Laporan yang dikirim Kris bisa menjadi peta bagi kasus ini. Sekali kasus ini dibuka, maka seperti api membakar semak belukar kering, dia akan merambat jauh ke mana-mana.
Maryam berpikir sejenak. Itu tidak mudah, Thom. Ini hari libur, apalagi kau meminta kelima pimpinan komisi sekaligus hadir. Tetapi, baiklah, akan kukerjakan sebaik mungkin setiba di Jakarta, mengontak beberapa orang.
Terima kasih, Maryam. Itu akan sangat membantu. Aku sekali lagi mengepalkan tinju.
Lima petinggi partai itu, yang sejak semalam mengotot memaksakan diskualifikasi atas klien politikku dari konvensi adalah orang pertama yang harus segera disingkirkan, agar proses konvensi di Denpasar bisa berlangsung lebih mulus. Mereka sudah yang bisa menusuk dari belakang di momen sepenting ini. Sementara nama-nama lain di daftar ini bisa diurus kemudian.
Taksi akhirnya tiba di lobi keberangkatan bandara. Aku membayar ongkos dan tip kepada pengemudinya uang pinjaman dari Johan.
Saatnya kembali ke Jakarta, menumpang pesawat Hercules yang sudah parkir gagah di sebelah pesawat komersial lainnya, menunggu kami.
U NTUK sebuah ruang tunggu di bangunan penjara, ruangan
itu terbilang mewah. Sofa lembut yang pasti mahal harganya, meja berukiran terbuat dari kayu jati, pendingin udara bekerja maksimal, kulkas besar berisi minuman dingin, buah, dan apa saja yang dibutuhkan. Lantai ruangan dari keramik impor, dinding-dinding dicat halus, dengan lukisan dan hiasan berkelas lainnya. Ini lebih mirip ruang tamu perusahaan multinasional dibanding ruang tunggu sebuah penjara. Televisi besar diletakkan di atas meja satunya, dilengkapi sound system bermerek, serta peranti hiburan canggih.
Aku sedang menatap layar televisi, yang kembali disela breaking news. Sementara Maryam di sebelahku sejak meminjam telepon genggamku mulai dari turun dari pesawat Hercules, menuju parkiran, menaiki mobil yang dikirimkan Maggie, perjalanan menuju penjara ini, dan di ruang tunggu ini, terus sibuk
Episode 23 Panggilan Om terlihat membujuk dan memaksa. Dia sepertinya menggunakan seluruh kenalan profesi wartawannya untuk memperoleh akses ke pimpinan KPK, meminta jadwal pertemuan hari ini juga. Dan sebelum itu terjadi, aku sedang mengurus syarat mutlak agar pertemuan itu berjalan sesuai rencanaku. Itulah kenapa aku membelokkan arah mobil yang kukemudikan dari bandara, memilih segera menuju bangunan penjara ini, untuk menemui seseorang. Seseorang yang masih dijemput dari selnya yang aku yakini selnya juga semewah ruangan ini.
Salah seorang pembawa acara yang sejak tadi pagi siaran terlihat semangat menyampaikan kabar terbaru dari arena konvensi partai, live dari Denpasar.
Pemirsa, seperti yang diduga banyak pengamat, pleno konvensi partai besar yang sedang berlangsung kembali menemui jalan buntu. Pimpinan sidang memutuskan untuk kembali reses selama 30 menit, hingga pukul 14.30. Itu berarti sejak konvensi dibuka tadi pagi sudah terjadi empat kali masa reses. Perdebatan masih berkutat antara dua kutub ekstrem, apakah JD berhak mengikuti konvensi atau sebaliknya didiskualifikasi menyusul penangkapan yang amat mengejutkan kemarin sore atas tuduhan korupsi megaproyek tunnel raksasa ibu kota.
Meskipun hampir semua pimpinan partai menolak JD menjadi salah satu kandidat calon presiden, lobi tingkat tinggi telah dilakukan, negosiasi telah dijalankan, tapi sepertinya pemilik suara dari daerah-daerah bersatu penuh dengan pendapat sebaliknya. Kami bisa memastikan, pertemuan tadi pagi di salah satu ruangan besar di hotel yang sama tempat konvensi berlangsung telah menjadi pemicu bersatunya ribuan anggota partai temuan tersebut, konsolidasi yang dilakukan di ruangan tersebut telah memberikan perlawanan efektif atas keinginan elite partai. Tidak ada pengamat politik, narasumber kami, yang berani menyimpulkan apakah keputusan segera diambil terkait deadlock ini, boleh jadi akan terus berlarut-larut beberapa jam ke depan, menunggu terjadinya sesuatu yang bisa membelokkan arah konvensi....
Aku meraih remote, mematikan televisi. Maryam juga menutup percakapannya lewat telepon genggam. Dari luar terdengar lantang langkah sepatu mendekat.
Pintu ruang tunggu penjara dibuka. Dua petugas masuk terlebih dulu, menyusul orang yang harus kutemui segera. Dia hanya mengenakan kaus warna putih, celana pendek cokelat, dan sandal jepit. Aku berdiri, menatapnya yang melangkah pelan masuk ruangan. Dia mendongak, melihatku.
Tommi" Orang itu berkata dengan suara serak, sungguh tidak percaya melihatku ada di ruangan itu. Hanya ada lima orang yang memanggilku Tommi di dunia ini. Dua orang sudah meninggal, Papa-Mama. Tersisa tiga orang yang masih hidup, Opa, Tante, dan tentu saja satu orang lagi adalah Om Liem.
Kau, kau membesukku, Tommi" Om Liem merekahkan senyum, melangkah semakin dekat, menjulurkan tangan.
Aku mengangguk. Tidak merasa perlu balas mengulurkan tangan. Hanya menatap datar. Lantas duduk kembali.
Demi Dewa Bumi, Tommi. Aku senang sekali melihatmu berdiri menyambutku. Om Liem menatapku dengan mata berkaca-kaca. Tidak apa, tidak masalah kalau kau tetap tidak mau Dua petugas yang mengawal Om Liem beranjak ke luar ruangan, menutup pintu, menunggu di luar, membiarkan kami bertiga di dalam.
Apa kabar Opa, Tommi" Apakah dia baik-baik saja" Buruk. Dia sedang bersembunyi, aku menjawab lugas. Seluruh kepolisian Hong Kong mencarinya, termasuk mencariku. Astaga! Kau tidak sedang bergurau"
Aku tidak punya waktu banyak untuk bergurau apalagi basabasi denganmu, bahkan sepanjang sisa umurku. Aku menatap wajah Om Liem. Dia sepertinya sehat tentu saja sel penjara yang dibuat sedemikian rupa tidak akan mengambil kesehatannya, juga tidak akan mengambil aktivitas bisnisnya. Sel penjara sekadar formalitas.
Aku membutuhkan pertolongan. Aku langsung ke topik percakapan.
Om Liem balas menatapku, lantas tertawa pelan. Kau bilang tidak punya waktu untuk bergurau, Tommi. Tapi kau sendiri sedang bergurau, Nak. Kau tidak pernah meminta pertolongan dari pamanmu ini, bukan" Tidak akan pernah.
Kalau begitu anggap saja Opa yang membutuhkan pertolongan, aku berkata serius. Opa dan aku dituduh menyelundupkan seratus kilogram heroin dan satu karung besar berisi senjata, granat, serta bahan peledak. Hukuman mati menunggu Opa di Hong Kong dan daratan China tanah kelahirannya.
Om Liem terdiam sejenak, tawanya tersumpal. Apa yang sebenarnya sedang terjadi, Tommi" Dan pertolongan seperti apa yang kaubutuhkan"
Aku menghela napas sejenak, lantas menceritakan dengan cemembenci Om Liem sejak kecil, tapi aku selalu bisa memercayainya. Aku bisa membagi banyak informasi penting dan rahasia kepadanya toh sebenarnya dia jelas lebih menguasai beberapa informasi tersebut.
Aku memintamu memberikan kesaksian kepada KPK soal Proyek Pembangunan Pusat Olahraga Nasional yang digarap salah satu perusahaan properti milikmu beberapa tahun lalu. Lima orang anggota DPR yang disebut dalam kasus tersebut pasti terlibat, kau pasti menyimpan buktinya. Aku memintamu mengkhianati jaringan mafia hukum itu, aku berkata tegas, menutup semua cerita dengan request tersebut.
Wajah Om Liem seketika terlihat suram.
Semua kejadian ini ada kaitannya. Kejadian di Hong Kong, kejadian di Jakarta. Aku tahu mereka memiliki jaringan besar, kekuasaan besar. Termasuk dalam kasus pengadilanmu. Berapa tahun jaksa menuntutmu atas kejahatan Bank Semesta tahun lalu" Hanya delapan tahun, padahal undang-undang menuliskan dua puluh tahun. Lantas berapa keputusan hakim" Hanya empat tahun, palu diketuk. Setahun di dalam penjara yang bagai kamar di rumah sendiri, berapa remisi yang telah kauperoleh" Dua belas bulan. Hebat sekali, semua korting hukuman yang mereka berikan.
Aku tahu mereka bisa mendesain banyak hal dengan mudah. Aku tahu semua fasilitas yang mereka berikan kepada pengusaha, siapa saja yang membutuhkan bantuan yang mau membayar mahal. Tapi cukup. Sudah saatnya kau berhenti dari ketergantungan kepada mereka. Cukup. Sekarang waktunya meninggalkan bantuan dari mereka. Atau tidak ada lagi kehor-Om Liem menatap jendela ruang tunggu lamat-lamat. Kau tidak tahu seberapa kuat mereka, Tommi. Kau tidak pernah tahu. Bahkan kau tidak tahu nama-nama mereka.
Aku mendengus. Aku tahu, hanya soal waktu aku akan mengetahui semua nama yang ada dalam mafia tersebut. Dari level paling atas hingga orang suruhan paling rendah. Kau mau kubacakan separuh dari nama-nama itu" Agar sekalian bisa dikonfirmasi benar atau tidak daftar yang kumiliki"
Om Liem menelan ludah, menggeleng perlahan. Lantas kalaupun kau tahu, dengan apa kau akan melawan mereka" Puluhan pengusaha besar memilih bekerja sama dengan mereka, menghindari membuat masalah, agar bisnis mereka aman dari gangguan. Dengan apa kau melawannya, Tommi"
Dengan cara-cara mereka, aku menjawab datar. Dengan kelicikan, keculasan, pengkhianatan, dan semua cara yang biasa mereka lakukan. Aku mempelajari cara mereka bertahun-tahun. Om Liem menghela napas, menatapku.
Tidakkah kau akan berkata cukup, Liem" Kami berdua bersitatap tajam. Cukup. Tidakkah kau akhirnya berani berdiri sendiri, melepas belalai mereka" Apa yang telah mereka berikan kepadamu, semua bantuan itu nyatanya semu, kosong. Lihatlah, setahun lalu, dua anggota mafia mereka bahkan tega membuat Bank Semesta runtuh, dan harus diambil alih pemerintah. Kau kehilangan semuanya.
Mereka seolah meringankan beban, tersenyum manis membantu masalah hukum, tapi sejatinya mereka sedang menyiapkan jebakan, perangkap, dan ketergantungan. Kau memberikan kepercayaan kepada mereka, tapi mereka tidak sedikit pun meng-Menembaki kita" Dua orang dari mereka yang selama ini kaupercayai, dan dua bedebah itu sudah menerima balasannya, mati diracun oleh pengkhianatan teman sendiri di atas kapal pesiar Pasifik.
Kau pasti menyimpan seluruh bukti, dokumen, dan rekaman. Aku tahu cara kerjamu, semua kehati-hatian itu. Sekarang saatnya menggunakan seluruh kartu truf yang disimpan, melemparnya ke meja pertaruhan. Jika kau tidak bisa melakukannya demi cita-cita, mimpi-mimpi, karena sepertinya hal itu sudah lenyap sejak lama dari hati, kau bisa melakukannya demi Opa, menyelamatkannya dari tuduhan serius di Hong Kong. Aku belum tahu hubungan semua ini dengan kejadian di Hong Kong, tapi sekali simpul dibuka, semua jalan keluar akan terbuka dengan sendirinya.
Aku diam sejenak, membiarkan Om Liem berpikir. Kau tidak bisa melawan mereka sendirian, Tommi. Iya, aku tidak bisa melawan mereka sendirian. Untuk itulah klien politikku harus menang di konvensi partai, menjadi kandidat paling serius pemilihan presiden tahun depan. Dia akan menjadi sekutu hebat penegakan hukum, dan arah angin bisa berubah. Iya, aku tidak bisa melawan mereka sendirian. Kau bisa membantuku melawan mereka. Dengan kesaksian tak ternilai, dengan bukti-bukti yang kausimpan, separuh anggota mafia hukum bisa diseret ke pengadilan. Sebelum semua terlambat, sebelum seluruh negeri ini berubah dari negeri para bedebah menjadi negeri di ujung tanduk.
Om Liem menunduk, menatap ukiran meja jati di hadapan kami.
Aku mendengus kesal. Aku sungguh tidak mengerti atas pertanyaan itu. Bukan karena kenapa Om Liem tiba-tiba mengeluarkan pertanyaan tidak relevan atas percakapan ini, tapi karena pertanyaan itu amat ganjil. Om Liem bertanya tentang Tante, istrinya, kepadaku" Bukankah dia lebih tahu soal Tante dibanding siapa pun, hah"
Kau tahu, Nak. Sejak aku kembali dipenjara, tantemu tidak pernah lagi mau bicara padaku. Dia tidak bersedia menghubungiku, apalagi mau membesuk. Om Liem mendongak. Matanya kembali berkaca-kaca.
Hampir semua keluarga kita membenciku. Aku tahu itu. Kau, kau jelas amat membenci orang tua ini. Opa, meski Opa tidak pernah bilang, aku tahu sejak lama dia kecewa padaku. Aku tidak pernah bisa seperti Edward, papamu, yang selalu menjadi favorit Opa. Dan Tante, Om Liem tersendat, sejak puluhan tahun tantemu membenciku. Dia mungkin tetap berada di sisiku, mendukung, terlihat baik-baik saja, semua orang menilai kami pasangan yang baik, tapi dia sejak lama sekali telah membenciku. Sejak papa-mamamu dibakar orang-orang itu, membuatmu menjadi yatim-piatu, Tommi. Om Liem menyeka ujung matanya.
Aku menatap Om Liem lamat-lamat. Kalau saja situasinya lebih baik, menatap wajah Om Liem amat menyedihkan. Dia pernah bertengger di posisi pertama orang terkaya di negeri ini, sebelum konspirasi jahat berkali-kali menghabisinya. Sekarang, pada usia yang tidak lagi muda, keluarganya menjauh karena kecewa. Sementara kolega, rekan bisnis yang selama ini seolah kat" Tidak ada lagi potongan kue yang bisa diperebutkan. Habis manis sepah dibuang.
Aku baru paham kenapa setahun terakhir Tante Liem tidak pernah menyebut nama Om Liem di hadapanku. Bukan karena Tante tahu aku benci mendengar nama itu, tapi karena Tante memang tidak tahu lagi kabar Om Liem.
Tante baik-baik saja. Seminggu lalu aku berkunjung, dia membuatkan puding yang lezat seperti biasa. Dia sehat, wajahnya segar, dia sibuk mengurus kebun. Dia bahkan sempat menceritakan masa muda kalian, pertemuan pertama kalian dulu. Aku memutuskan berbohong aku tidak berdusta soal berkunjung dan pudingnya, tapi aku berdusta sisanya, tapi setidaknya itu membuat Om Liem lebih baik, tidak merasa sendirian. Sungguh" Om Liem memastikan.
Aku mengangguk. Iya, Tante baik-baik saja.
Syukurlah, Tommi. Itu kabar yang baik. Om Liem tersenyum.
Aku menatap Om Liem lamat-lamat. Kau tahu, masih belum terlambat untuk memperbaiki semuanya. Masih ada kesempatan tersisa. Hari ini, aku akan menemui lima komisioner KPK. Mereka satu-satunya penegak hukum yang relatif masih bersih dan punya kekuatan. Kesediaanmu memberikan saksi, memberikan bukti akan menjadi senjata bagi mereka. Pertama-tama, aku harus mengurus lima orang anggota DPR itu, menghentikan seluruh intrik mereka di konvensi partai. Sisa nama dua puluh orang lain akan kita urus kemudian. Apakah kau bersedia membantu"
Entahlah, Tommi. Entahlah. Om Liem sudah tiba di pintu Kau harus melakukannya. Tidak ada lagi saksi hidup yang berani melakukannya selain kau. Dengan puluhan kasus, semua koneksi itu, semua pola kasus-kasus itu, kau memiliki harta karun amunisi untuk meruntuhkan mafia hukum itu.
Om Liem mengusap wajahnya. Itu akan membahayakan keluarga kita.
Kau benar, itu akan membahayakan siapa pun. Tapi catat baik-baik, tanpa itu pun, keluarga kita sudah dalam bahaya sejak lama. Sejak kau memutuskan meminta pertolongan mereka dan mereka membalasnya dengan pengkhianatan.
Om Liem tertunduk lagi, lebih dalam.
Aku menghela napas. Baiklah, aku akan meletakkan kartu truf paling pamungkas dalam percakapan ini. Lakukanlah, berdiri tegak melawan mereka. Berikan kesaksian dan semua bukti yang kausimpan, maka aku berjanji, aku akan memanggilmu dengan sebutan itu. Aku akan memanggilmu dengan sebutan yang kaurindukan sejak Papa-Mama terbakar. Aku akan memanggilmu dengan panggilan Om Liem .
Om Liem mengangkat kepalanya.
Aku tahu, aku pasti memenangkan percakapan ini.
P UKUL 16.30, satu jam meninggalkan penjara Om Liem.
Aku tidak pernah menyangka kejadian sebenarnya seperti itu, Thomas.
Maryam memecah lengang. Kami sudah kembali di atas mobil. Aku memegang kemudi, meluncur cepat, menuju tujuan baru. Sepanjang sisa pertemuan, Om Liem hanya mengangguk, tapi itu lebih dari cukup. Aku bisa meninggalkan bangunan penjara itu dengan lega. Satu kunci penting dalam seluruh cerita ini sudah kupegang. Kesaksian Om Liem senilai separuh dari nama-nama ring pertama mafia hukum itu.
Itu hanya masa lalu, Maryam. Tertinggal di belakang, aku berkata pelan, menatap ke depan. Matahari mulai lembut menyiram jalanan kota, menerobos kaca depan, menyiram wajah. Jalanan ramai lancar.
Dua orang itu, petinggi kepolisian dan kejaksaan itu, hilang
Episode 24 Serangan Balik
mereka sendiri yang berkhianat, dan kapal pesiar itu menuju wilayah lautan tak bertuan hingga hari ini. Maryam mengangguk-angguk, merangkaikan penjelasan. Setahun lalu semua media massa hanya heboh, sibuk dengan dugaan mereka hilang, tanpa penjelasan yang memadai. Kabar dua pejabat itu raib mengalahkan kabar bailout Bank Semesta. Tetapi tidak ada yang membayangkan kejadian sebenarnya akan semengenaskan itu.
Mereka berhak mendapatkan balasannya, aku masih menjawab datar.
Iya, mereka berhak dihukum dengan cara apa pun. Kau sendirian yang merekayasa semuanya" Membalas musuh-musuh keluargamu, menyingkirkan semua rintangan, bahkan membuat pemerintah menyelamatkan Bank Semesta, yang kemudian menjadi polemik bertahun-tahun.
Aku mengangkat bahu. Aku tidak pernah bekerja sendirian, Maryam. Tidak ada seorang pun yang bisa membuat rekayasa besar tanpa bantuan pihak lain. Kalian, rekan wartawan, membantu banyak setahun lalu.
Maryam tertawa kecil. Kami hanya jadi alat propagandamu, Thomas. Bukan sebuah bantuan. Tetapi aku pikir, kami tidak keberatan melakukannya.
Aku memutar kemudi, mobil berbelok, masuk ke jalan lebih besar. Aku sejak tadi siang hendak menemui Kris di ruangan kerjanya. Aku tahu itu berisiko. Gedung kantorku boleh jadi masih diawasi, tapi ada lubang besar yang tidak terjelaskan dalam laporan awal yang dibuatnya, dari pola awal yang ditemukannya. Aku tidak bisa membicarakannya lewat telepon, bertemu langsung akan lebih mudah. Laporan awal Kris tidak hierarki dengan nama-nama, padahal dalam kejahatan multilevel, desain raksasa di balik semuanya selalu lebih penting.
Seberapa besar kau membenci pamanmu, Thomas" Maryam bertanya.
Aku tidak membencinya, Maryam.
Kau bahkan sepanjang pertemuan tidak memanggil namanya, Thomas" Kau menyebut nama langsung dan seruan kasar lain, apalagi memanggilnya dengan sebutan Om . Kau tidak bersedia bersalaman. Bagaimana mungkin kau tidak membencinya" Kau boleh jadi amat membencinya, Thomas.
Aku mengangkat bahu, memperhatikan jalanan di depan. Aku tidak tahu jawaban pastinya. Setahun lalu aku memutuskan menyelamatkan Om Liem dari kesulitan besar Bank Semesta, bahkan menyelamatkan nyawanya dua kali. Jika aku benar-benar membencinya, aku akan memilih tidak peduli, membiarkan Om Liem sendirian. Entahlah. Boleh jadi aku lebih membenci diri sendiri dibandingkan membencinya. Membenci mengapa selama ini aku tidak bisa melakukan apa pun untuk membuat situasi berubah jadi lebih baik, termasuk misalnya membuat perangai Om Liem berubah. Bagaimana mungkin aku bicara tentang moralitas" Tentang kebaikan" Jika di keluarga sendiri ada seorang penjahat besar yang bertahun-tahun tidak pernah berubah" Aku kehilangan relevansi atas kalimatku sendiri.
Apakah semua orang yang terlibat dalam kebakaran pada masa lalu itu telah berhasil kaubalas, Thomas" Maryam memecah lengang lagi.
Aku kali ini diam, tidak menjawab. Aku tidak akan menyebut yang dekat sekali dengan keluarga kami saat aku masih kecil, pengkhianat besar keluarga kami.
Apakah semua kejadian ini juga ada hubungannya, Thomas" Aku tetap diam. Maryam hendak bertanya lagi. Suara dering telepon genggam lebih dulu menghentikan pertanyaan dan rasa penasaran Maryam. Dia meraih telepon genggam, mengangkatnya. Itu telepon untuknya. Bicara sebentar, intonasi suara Maryam terdengar riang, dia bahkan berseru saking senangnya.
Mereka bisa menemui kita sekarang, Thomas. Lima pimpinan KPK. Pukul 17.00, di gedung mereka. Maryam melirik jam di layar telepon. Wajah riangnya berubah cemas. Itu berarti setengah jam lagi. Apakah cukup waktunya untuk tiba di sana Thomas" Mereka bilang harus on time, tidak boleh terlambat. Mengumpulkan lima komisioner bukan pekerjaan mudah, mereka supersibuk bahkan saat long weekend.
Aku menyeringai. Jangankan setengah jam, Maryam. Kau bilang lima belas menit, itu lebih dari cukup untuk tiba, berpegangan, kita akan mengebut.
Belum habis kalimatku, belum sempat Maryam meraih pegangan, aku sudah menekan pedal gas. Mobil melesat, menyalip tiga angkutan umum sekaligus yang sedang merapat menaikkan penumpang semau mereka. Urusan menemui Kris bicara tentang lubang besar atau missing link di laporan awal bisa ditunda dulu. Pertemuan ini jauh lebih penting.
*** Aku tiba di lobi gedung KPK pukul 16.45, lima belas menit lebih awal. Setelah memarkir mobil di parkiran, aku lantas melangkah menuju meja tamu. Ada banyak prosedur yang dilewati, Maryam yang mengurusnya karena jelas kami tidak membawa kartu identitas, semua disita satuan khusus antiteroris Hong Kong. Kami hanya memiliki selembar surat perjalanan sementara sebagai warga negara Malaysia.
Lift mendesing halus, naik. Berhenti di lantai sebelas. Salah satu petugas mengantar kami hingga ke ruang tunggu, mempersilakan kami duduk. Layar televisi besar yang ada di ruang tunggu menyiarkan berita dari arena konvensi partai. Pembawa acara yang sejak tadi pagi terus bertugas masih melaporkan situasi deadlock, tidak ada kemajuan berarti. Aku bergumam pelan. Mereka telah bertahan dengan baik. Sekarang bagianku menggerakkan bidak, membuat perubahan situasi.
Masih kurang dari lima menit dari jadwal pertemuan, salah satu sekretaris komisioner menjemput kami. Bilang, lima pimpinan sudah siap, menunggu kami. Aku mengangguk, berdiri. Maryam melangkah di belakangku.
Kami ternyata tidak bertemu di ruangan khusus. Kami bertemu di ruangan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi. Empat komisioner lainnya bergabung ke ruangan itu.
Selamat sore, Thomas. Salah satu pimpinan menyalamiku, tersenyum hangat.
Aku balas mengulurkan tangan.
Aku kenal anak muda ini. Salah satu pimpinan lain beranjak mendekat, tertawa.
Kau mengenalnya" Di mana" Ketua Komisi bertanya.
berantasan korupsi awal tahun ini. Di Singapura, bukan" Ah iya, benar, di Singapura. Dia menjadi pembicara awal. Itu sedikit mengejutkan. Aku tidak tahu ada orang Indonesia yang hadir dalam acara itu menjadi pembicara pembuka. Aku sempat mengikuti sesinya sebelum menjadi pembicara di sesi kedua. Kalian tahu apa yang terjadi saat kesempatan tanya-jawab dibuka" Salah satu pimpinan itu bercerita sambil tertawa lagi. Kalian tidak akan bisa membayangkannya.
Saat sesi tanya-jawab itu, salah satu peserta dari negara lain, kalau tidak salah dari Kuba, berseru protes, Omong kosong kita bisa memberantas korupsi dalam semalam, Tuan Thomas. Tidak ada orang yang bisa melakukannya. Bahkan orang paling berkuasa sekalipun seperti Hitler, Mussolini, dan sebagainya.
Dan kau, Thomas, aku ingat sekali, kau hanya santai mengangkat bahu menjawab pernyataan itu. Kau hanya bilang, Tentu saja mungkin. Mudah sekali melakukannya. Kita legalkan saja korupsi. Minta Presiden atau kepala negara mengeluarkan dekrit malam ini, bahwa mulai besok, saat cahaya matahari menyentuh bumi, korupsi menjadi legal, boleh dilakukan di seluruh negeri. Selesai sudah, korupsi telah diberantas tuntas dalam semalam. Bukan begitu jawabanmu, Thomas"
Aku tertawa, mengangguk. Itu benar. Aku tidak tahu kalau salah satu pimpinan KPK menjadi pembicara sesi kedua. Aku sudah bergegas pergi meninggalkan tempat acara.
Tapi kau pasti sedang bergurau dengan jawaban itu, Thomas, karena jika itu yang akhirnya dilakukan pemimpin negara mana pun, termasuk presiden negara ini, kami berlima tidak berguna lagi, hanya jadi harimau ompong, hilang giginya, lenyap cakar-Aku belum pernah bertemu dengan satu pun komisioner ini, tapi menilik pembukaan perkenalan kami, aku segera tahu, mereka orang-orang yang sederhana, ramah, bersahabat, tetapi tegas, disiplin, dan memiliki prinsip-prinsip. Mereka memiliki kehormatan petarung dan petarung sejatilah pekerjaan mereka. Tidak terlihat keretakan di antara mereka seperti kabar burung itu. Mereka berlima akrab, kompak, dan saling mengisi percakapan. Ruangan Ketua Komisi itu menjadi saksinya, ruangan yang sederhana, hanya berisi perabotan dan peralatan kantor simpel tapi fungsional.
Nah, Thomas, apa yang hendak kaubicarakan" Tiga pemimpin redaksi tepercaya meminta kami menemuimu dan Maryam. Mereka bilang kau memiliki informasi penting. Kami menganggap itu sungguh serius, Thomas. Jadi kami berlima menghentikan pekerjaan lain, bahkan saat libur panjang seperti ini, memutuskan menemuimu. Jadi, apa yang hendak kausampaikan"
Aku diam sejenak, tersenyum, menatap mereka yang duduk sembarang. Dua duduk di sofa, tiga lain menyeret kursi dari ruangan sebelah. Seberapa cepat KPK bisa menangkap tersangka jika semua alat bukti dan saksi cukup"
Seberapa cepat" Ketua Komisi tersenyum. Kami datang secepat puting beliung, Thomas. Tidak peduli di mana tempat tersangkanya, apa yang sedang mereka kerjakan, dan siapa mereka. Tangkap segera. Tetapi dengan syarat semua telah memenuhi syarat, prosedur, dan standar lembaga ini. Kami tidak bisa ceroboh, kami harus berhati-hati. Kami memiliki rekor tidak pernah keliru, Thomas. Apa jadinya jika kami gagal menunbanyak pihak yang senang dengan fakta itu, mulai menyerang kami, menyudutkan.
Aku mengangguk. Itu masuk akal.
Kau sepertinya membawa sebuah peluru yang kami perlukan selama ini, Thomas"
Tidak, aku menggeleng, aku tidak hanya membawa sebuah peluru, aku membawa seluruh amunisi yang dibutuhkan komisi ini untuk menangkap puluhan orang. Kalian bisa mulai dari lima orang lebih dulu, dari Proyek Pembangunan Pusat Olahraga Nasional yang berlarut-larut sejak lima tahun lalu. Aku akan memberikan saksi paling penting yang bersedia membongkarnya. Kalian bisa menangkap lima anggota DPR yang dulu menjadi anggota komisi terkait dan petinggi badan anggaran yang menyetujui proyek tersebut. Itu akan menjadi awal rentetan kasus yang menarik.


Negeri Di Ujung Tanduk Karya Tere Liye di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pertemuan itu tidak berlangsung lama. Singkat, padat, dan efektif. Om Liem siap memberikan kesaksian. Dari brankas rahasia, Om Liem bersedia memberikan seluruh kaset berisi rekaman, dokumen, dan bukti-bukti yang diperlukan. Mereka sejak lama membutuhkan kesaksian seperti ini. Mereka juga pernah membujuk Om Liem setahun lalu, sebagai pemilik perusahaan kontraktor pemenang tender proyek tersebut, tapi sia-sia, Om Liem lebih tertarik tawaran dari mafia hukum. Demi mendengar kabar yang kusampaikan, salah satu komisioner bergegas mengangkat telepon, menghubungi beberapa pihak, meminta agar Om Liem diamankan dari sel penjaranya saat ini. Om Liem harus dilindungi, dipindahkan segera, malam ini juga. Dia saksi kunci.
masih berada di ruangan itu, masih menjelaskan banyak hal. Pukul 18.00, pertemuan usai, Ketua Komisi berdiri, mengantarkan aku dan Maryam ke pintu lift.
Jam berapa kau biasanya makan malam, Thomas" Dia menepuk bahuku. Kami sedang menunggu pintu lift terbuka.
Aku menatapnya tidak mengerti, menjawab pendek, Pukul 19.30.
Nah, pastikan kau menyalakan televisi saat makan malam nanti. Secepat itulah kami menangkap tersangka di lembaga ini, pasukan kami di Denpasar sudah bergerak beberapa menit lalu. Ketua Komisi tertawa, mempersilakan aku masuk ke dalam lift yang pintunya telah terbuka.
I TU salah satu pertemuan dengan hasil mengagumkan. Bah-
kan wajah Maryam terlihat puas. Boleh jadi dia sedang membayangkan wajah lima orang petinggi partai itu saat tiba-tiba didatangi pasukan KPK, diborgol, lantas digelandang masuk ke dalam mobil tahanan.
Aku mengemudikan mobil keluar dari parkiran gedung KPK. Maggie baru saja mengirimkan pesan pendek penting melalui telepon genggam, yang membuatku kembali batal menuju kantor untuk menemui Kris. Ini juga lebih penting untuk diurus segera. Tidak ada pengaruhnya atas seluruh kasus, tapi aku harus menemui mereka untuk alasan emosional dan personal.
Mobil yang kukemudikan sekali lagi meluncur meninggalkan kota Jakarta. Matahari sudah tumbang di kaki langit, menyisakan jingga yang sebentar lagi juga hilang, berganti gelap malam.
Episode 25 Keluarga yang Menyenangkan
selatan, tempat banyak penduduk Jakarta menghabiskan akhir pekan seperti ini.
Bagaimana dengan laporan edisi khusus review mingguan itu, Maryam" kali ini aku yang memecah lengang, bertanya pada Maryam, teringat sesuatu. Jalanan tol sepi. Aku bisa memacu kecepatan maksimal.
Lupakan saja, Thom. Maryam tertawa.
Lupakan" Bukankah kalian sudah mengundurkan deadline terbit" Dan hei, kau bahkan menyusulku hingga Makau demi edisi khusus itu, bukan" Aku masih ingat sekali wajah kesalmu saat aku bilang tidak sekarang wawancaranya. Aku ikut tertawa.
Maryam mengangkat bahu, menatap ke depan. Cahaya lampu mobil lain berkerlip. Kiri-kanan mulai gelap. Lantas bagaimana aku bisa menulis laporan tersebut dengan semua kejadian ini, Thomas" Jadi aku hanya bilang ke pemimpin redaksi persis seperti yang kau bilang, agar kami meletakkan saja wajah klien politikmu besar-besar di cover depan, menulis headline c alon presiden republik , tidak perlu lagi menunggu hasil konvensi. Kau tahu apa jawaban mereka" Pemimpin redaksi meneriakiku lewat telepon, marah-marah, bilang aku telah menyia-nyiakan tiket pesawat dan semua ongkos perjalanan.
Kau sepertinya akan dipecat, Maryam. Aku bergurau. Boleh jadi, Maryam menjawab tidak peduli. Tidak masalah. Aku punya bahan tulisan lebih dari cukup untuk menulis buku, atau novel sekalipun setelah semua kasus ini selesai entah berakhir dengan baik atau buruk. Kau harus bersedia menjadi narasumberku, Thomas. Kau membawa semua masalah dalam hidupku 24 jam terakhir.
Tiga puluh menit berlalu. Jalanan relatif lengang. Mobil yang kukemudikan dengan kecepatan tinggi melintas keluar pintu tol, berbelok ke kiri, menuju alamat yang dikirimkan Maggie. Sekarang jalanan ramai. Banyak orang menghabiskan malam kedua long weekend dengan makan di luar, menonton, belanja di pusat perbelanjaan, atau hanya cuci mata. Laju mobil yang kukemudikan berkurang signifikan.
Lima belas menit berlalu lagi, mobil akhirnya tiba di sebuah kompleks. Tidak besar, tidak mewah, tapi cukup memadai, setidaknya terlihat asri. Aku melintas semakin pelan, melihat nomor setiap rumah. Tiba di rumah paling ujung, dengan halaman sedikit lebih luas. Itu sesuai dengan alamat yang diberikan Maggie. Tidak terlihat keramaian mencolok di sana. Hanya sebuah mobil yang parkir di depan garasi. Sepertinya penghuni rumah berhasil menyingkir dari segala hiruk pikuk politik yang terjadi sehari terakhir. Tidak ada wartawan atau petugas polisi yang berjaga-jaga di sekitar. Aku menghentikan mobil di depan pagar rumah, beranjak turun. Maryam menyusul dari belakang. Aku menekan bel, menunggu beberapa detik.
Pintu depan rumah terbuka separuh. Salah seorang remaja, berusia lima belas tahun, melongokkan kepala, melihatku, bergegas keluar dari pintu, berlari kecil mendekat.
Selamat malam, Putri, aku menyapanya.
Malam, Om Thomas, dia membalas salam, menyelidik, raguragu hendak membuka kunci gerbang pagar. Om nggak datang sendirian" Dia menunjuk Maryam.
Aku menoleh. Tidak. Tapi kau tidak usah cemas padanya. Dia teman.
hati. Nama remaja itu Putri, kelas satu SMA, anak pertama klien politikku yang ditangkap kemarin sore. Dia akhirnya gesit membuka kunci, mendorong gerbang pagar.
Ada siapa di rumah" Hanya kami bertiga. Aku, Mama, dan Lita, Om. Dua nama itu muncul dari bingkai pintu saat aku melangkah masuk.
Syukurlah, kau ternyata baik-baik saja, Thomas. Istri klien politikku, yang dipanggil Mama oleh Putri, menatapku penuh rasa syukur.
Aku baik-baik saja, Bu. Aku mengangguk, mengulurkan tangan.
Iya, kau selalu baik-baik saja, Thomas. Dia menyambut tanganku dengan kedua belah tangannya, memegangnya erat-erat, menatapku dengan mata berkaca-kaca. Johan meneleponku, menceritakan kejadian tadi pagi di Denpasar. Kau telah membela suamiku. Kau orang yang paling bisa kami percaya sekarang, Thomas.
Aku tersenyum, mengangguk lagi.
Mama, Om dan temannya nggak disuruh masuk dulu, ya" Di luar dingin, kan" Lita si bungsu dari dua bersaudara, dua belas tahun, kelas satu SMP mengingatkan ibunya.
Oh, maaf. Kalian berdua silakan masuk. Istri klien politikku itu mengangguk. Kami sedang menyiapkan makan malam, Thomas. Kau dan rekanmu bergabung sekalian, ya. Lita bantu Kak Putri menyiapkan meja makan. Tanpa perlu disuruh dua kali oleh ibunya, dua remaja itu mengangguk, masuk lebih dulu ke dalam.
Maryam. Oh iya, wanita yang cantik ini siapa namanya" Aku belum pernah melihat Thomas bepergian dengan seorang gadis. Dia selalu sendirian.
Maryam tersenyum sopan, memperkenalkan diri. Siapa saja yang tahu kalian pindah ke sini" aku bertanya setelah lima menit berada di dalam rumah. Aku menyimak dua remaja anak klien politikku yang gesit membantu ibunya menyiapkan meja makan, mengambil piring, gelas, sendok, dan garpu. Mereka menuangkan air dari galon ke teko, mengambil semangka dari kulkas, dan mengupas kulitnya. Sementara ibu mereka mengangkat panci berisi masakan malam ini dari kompor.
Johan dan beberapa keluarga dekat. Sekarang termasuk kau, Thomas. Ah, kami selama ini tidak pernah perlu menjelaskan apa pun, di mana pun, kau dengan sendirinya tahu dengan cepat. Bahkan sekarang tahu kami berada di mana.
Kata Papa, Om Thomas kan memang agen rahasia paling hebat, Ma. Kayak yang di film-film itu, tapi lebih kerenan Om Thomas, Lita, si bungsu menyeletuk, tertawa.
Aku ikut tertawa. Kau jangan berisik dong. Jangan memotong percakapan orang dewasa, tau! Putri, kakaknya berbisik, Lihat, potongan semangkamu jadi aneh begini.
Biarin. Lita memajukan bibir ke arah kakaknya. Ini rumah milik orangtuaku, Thomas. Tidak terpakai. Jadi saat papa mereka ditangkap kemarin sore, beliau menyuruh kami menjauh dari semua keramaian sementara waktu. Aku tidak punya banyak pilihan. Aku tidak bisa merepotkan keluarga kau tidak perlu membantu menyiapkan makan malam, biarkan anak-anak saja yang melakukannya, istri klien politikku itu berseru kepada Maryam yang hendak membantu meletakkan potongan buah di tengah meja makan.
Maryam tersenyum, hanya sedikit ini.
Mereka sejak kecil terbiasa dengan pekerjaan rumah, Maryam. Papa mereka mendidik mereka seperti dia dulu di sekolah berasrama itu.
Bagaimana dengan sekolah mereka" Aku teringat sesuatu, menunjuk dua remaja itu.
Libur, Om. Ini kan long weekend. Palingan Minggu besok juga semua masalah sudah beres. Ya kan, Ma" Senin Lita bisa kembali ke Jakarta, sekolah lagi.
Mama mereka tersenyum, mengangguk, sambil menuangkan sayur capcai ke mangkuk besar. Aku tahu, itu sejenis senyuman dan anggukan bohong dari ibu mereka. Sengaja dikeluarkan agar anak-anak yakin semua baik-baik saja.
Kau tidak perlu mencemaskan kami, Thomas. Anak-anak sejak kecil sudah terbiasa dengan situasi seperti ini. Nah, makan malamnya sudah siap. Ayo, Maryam, Thomas, kalian harus bergegas mengambil piring, atau Lita akan menghabiskan semua makanan bahkan sebelum yang lain memegang sendok. Ah, Mama, aku kan nggak segitunya kalau makan. Kata siapa" Dasar karung! Putri menyela senang, tertawa. Lita sekarang makannya banyak sekali, Om. Perutnya memang sudah kayak karung.
Aku ikut tertawa, melangkah mendekati meja makan, dan menarik kursi. Maryam duduk di sebelahku. Selalu menyenangditangkap polisi persis di depan mata mereka kemarin sore. Saat itu mereka berlari mengejar papa mereka dan berteriak menahan tangis. Namun, adegan mengharukan di layar televisi kemarin sore itu tidak lagi tersisa. Malam ini, dua remaja klien politikku terlihat tenang, polos, suka bergurau seperti kebanyakan remaja lainnya. Aku tiba-tiba teringat sesuatu, meletakkan sendok dan garpu, menghentikan makan sejenak, berdiri. Ini pukul 19.30, waktu yang dijanjikan.
Om mencari apa" Lita bertanya dengan mulut penuh nasi. Remote televisi. Aku memeriksa sekitar.
Ada di atas galon air, Putri yang menjawab. Aku mengambil remote, menyalakan televisi.
Eh, Om, kan nggak boleh menyalakan televisi kalau lagi makan malam. Apalagi bicara tentang pekerjaan, Lita berseru, mengingatkan peraturan, mulutnya sudah kosong.
Tidak apa, Lita. Kita buat pengecualian malam ini, spesial untuk Om Thomas. Ibu mereka mengangguk, demi melihatku yang tidak sabaran ingin menonton sesuatu.
Oke, Ma. Lita mengangguk.
Memangnya Om mau menonton apa" Putri bertanya. Aku tidak menjawab, menunjuk layar televisi di ruang makan yang sedang menyiarkan secara langsung breaking news. Hiruk pikuk dari arena konvensi partai.
Seruan-seruan dan teriakan-teriakan terdengar nyaring. Di layar kaca terlihat belasan anggota pasukan berseragam komando, bersenjata otomatis, yang dikirim KPK, menggiring paksa lima orang keluar dari plenary hall menuju mobil tahanan yang sudah menunggu di lobi hotel. Mereka bergerak taktis, menyu- Pemirsa, ini benar-benar mengejutkan, pembawa acara siaran langsung itu berseru dengan suara nyaris berteriak untuk mengalahkan bising di sekitarnya, dan suaranya terdengar serak karena sepanjang hari terus siaran. Setelah kemarin kita menyaksikan calon kandidat paling kuat konvensi ditangkap pihak kepolisian, dijadikan tersangka kasus korupsi megaproyek tunnel raksasa Jakarta, malam ini, dari arena konvensi, kita menyaksikan lima anggota DPR, petinggi partai, ditangkap sekaligus oleh KPK. Mereka ditangkap serempak.
Informasi terbatas yang kami peroleh mereka ditangkap atas tuduhan korupsi Proyek Pembangunan Pusat Olahraga Nasional lima tahun silam, yang hingga hari ini terus diliputi misteri. Seperti yang kita ketahui, nama-nama mereka disebut ramai saat proses pengadilan beberapa anggota DPR beberapa tahun lalu, tapi selalu lolos dari jeratan hukum. Juru bicara KPK hanya menjawab pendek saat dikonfirmasi, bahwa konferensi pers akan diadakan besok terkait kasus ini. Mereka memiliki bukti dan kesaksian baru untuk membuka kembali kasus lama itu.
Penangkapan ini jelas akan membawa perubahan besar dalam arena konvensi, mengingat sejak dibuka tadi pagi deadlock terjadi terus-menerus antara dua kubu yang berbeda pendapat. Antara pihak yang meminta kandidat JD didiskualifikasi, yang berasal dari elite partai, dan pihak yang ingin kandidat JD tetap diikutsertakan. Lima petinggi partai yang ditangkap KPK adalah yang paling lantang bersuara....
Aku mematikan televisi. Yaaa, kenapa dimatikan, Om" Lita protes. Lagi seru-serunya.
cocok ditonton anak-anak seusia kalian. Aku mengarang alasan. Sebenarnya kumatikan karena sudah cukup. Lima komisioner itu telah membuktikan omongan mereka. Bergerak laksana puting beliung menangkap tersangka di mana pun berada.
Yaaa, aku kan pengin tahu kabar Papa, Om. Sudah sejak kemarin kami nggak tahu, Mama juga nggak cerita, kami nggak boleh nonton televisi. Kami pengin tahu....
Putri menyikut lengan adiknya, menyuruh diam. Lita bergegas menutup mulut dengan jari tangan, melirik ibunya. Dia kelepasan.
Aku menatap istri klien politikku yang duduk di seberang meja. Dia menghela napas, wajah sabar keibuan itu terlihat suram. Sejak setahun lalu aku mengenal keluarga ini. Mereka keluarga yang sederhana, tidak ada yang spesial, tidak ada yang menunjukkan bahwa mereka keluarga mantan gubernur ibu kota, atau sekarang, kandidat presiden. Jika ada yang spesial, itu adalah anak remaja mereka, yang salah satunya sekarang mengangkat kepala, lantas berkata pelan, Aku minta maaf, Ma.
Aku tersenyum, melangkah ke arah kedua remaja itu. Kalian mau tahu kabar papa kalian, bukan" Aku mengacak-acak rambut Lita. Papa kalian baik-baik saja. Dia memang sendirian saat ini di sel penjara sana, tapi itu bukan masalah besar. Papa kalian tahu kalian selalu memikirkannya. Kalian tahu, masalah terbesar bagi orang dewasa di luar sana" Dia ramai di tengah orang banyak, tapi sejatinya tidak ada satu pun yang benar-benar memikirkannya. Papa kalian sebaliknya, begitu banyak orang yang memikirkannya saat ini, bahkan bersedia melakukan apa pun untuk membantu. Termasuk kalian yang bisa membantunya de-Aku tidak tahu apakah kalimatku ini dipahami kedua remaja itu. Aku tidak pernah bicara pada anak-anak, remaja. Mungkin bicara di hadapan ribuan anggota partai lebih mudah karena aku paham apa saja yang menjadi prioritas, kepentingan dan keberpihakan mereka, seperti rumus Pitagoras, mudah dipahami. Tetapi aku tidak memiliki pengalaman memahami dunia anakanak dan remaja. Rumus dunia polos mereka berbeda.
Papa kalian baik-baik saja, Lita, Putri. Aku meyakinkan sekali lagi, menatap mereka berdua. Tidak ada yang perlu dicemaskan. Orang-orang jahat yang sengaja mencelakai, memfitnah papa kalian, akan menerima balasannya. Serahkan pada Om Thomas, well, maksud Om, serahkan pada agen rahasia sekeren Om. Nah, sekarang kita bisa melanjutkan makan malam. Perut Om lapar, bahkan saking laparnya, kayaknya Lita tidak akan bisa mengalahkan banyaknya makanan yang Om habiskan malam ini.
Lita hendak tertawa protes. Putri ikut menyengir, melirikku. Makan malam itu dilanjutkan tanpa gangguan. Aku pikir, dengan segala kejadian menyesakkan yang dihadapi keluarga ini, mereka terlihat kompak dan baik-baik saja. Selepas makan malam, dua remaja itu membantu ibu mereka mencuci piring, bahkan jauh lebih terampil dibanding Maryam yang hampir menjatuhkan gelas Maryam melotot sebal melihatku hendak tertawa.
Kami tidak bisa lama-lama, Bu. Aku menatap istri klien politikku. Semua piring telah bersih. Meja makan telah rapi. Dua remaja itu bahkan sudah duduk di ruang keluarga, membaca.
Banyak pekerjaan yang harus Om lakukan. Aku menggeleng. Oh. Lita mengangguk-angguk.
Dasar sok paham. Putri menyikut adiknya. Memang paham kok. Lita melotot.
Aku berjanji akan melakukan apa pun untuk memperbaiki situasi. Aku menjabat tangan istri klien politikku.
Ya, kau selalu menepati janji, Thomas. Istri klien politikku menggenggam tanganku, menatap penuh penghargaan.
Maryam ikut bersalaman. Kami melangkah melintasi ruang keluarga.
Om, tunggu sebentar! Putri tiba-tiba berseru. Aku menoleh. Gadis remaja usia lima belas itu menarik selembar kertas dari buku yang dibacanya, berdiri, beranjak mendekatiku, menyerahkan kertas itu.
Untuk, Om. Itu puisi yang kutulis. Si sulung malu-malu. Kau menulis puisi" Aku menatapnya, tertarik. Si sulung mengangguk. Tapi jangan ditertawakan kalau jelek, Om.
Dibaca, Om, yang kencang. Lita ikut berdiri, berseru, ingin tahu.
Nggak boleh dibaca sekarang! Putri langsung memotong kalimat adiknya, wajahnya memerah. Om baca kalau sudah di mobil.
Ayo dibaca saja, Om. Lita masih mengganggu kakaknya. Aku mengacak rambut Lita, melipat kertas yang diserahkan Putri, memasukkannya ke saku. Kami berpamitan, melangkah keluar pintu depan.
Pekerjaanku masih jauh dari selesai.
L ima belas menit berlalu. Pukul 21.15.
Mobil yang kukemudikan jauh meninggalkan kompleks perumahan, melesat di jalan bebas hambatan. Tujuan berikutnya adalah gedung kantorku, setelah sejak tadi dua kali tertunda. Aku harus bicara dengan Kris.
Mereka pasti merindukan papa mereka. Maryam memecah lengang.
Aku tertawa, menyalip dua truk sekaligus. Tidak ada yang perlu dicemaskan. Anak-anak itu luar biasa, Maryam. Papa mereka mendidik dengan cara terbaik.
Apa pun itu, mereka masih remaja, Thom. Maryam menggeleng.
Tidak. Mereka tumbuh lebih cepat dibanding usia mereka. Kau ingin membaca puisi yang ditulis Putri" Itu mungkin bisa menjelaskan banyak hal.
Episode 26 Missing Link aku mengambil lipatan kertas dari saku, menyerahkannya pada Maryam. Aku belum membaca puisi itu, baru membaca judulnya sekilas, tapi aku tahu isinya akan seperti apa.
Maryam menerima kertas itu, membaca perlahan agar aku bisa ikut mendengarnya.
Nasihat Papa tentang Om Thomas
Kata Papa, bahkan bila terbakar hangus seluruh keluarga kita, jangan pernah berhenti peduli.
Walaupun terfitnah kejam keluarga kita, hingga rasanya sakit menembus relung hati,
jangan pernah berhenti berbuat baik.
Anak-anakku, jadilah orang-orang yang berdiri gagah di depan,
membela kebenaran dan keadilan.
Jadilah orang-orang yang berdiri perkasa di depan, membantu orang-orang lemah dan dilemahkan. Atau jika tidak, berdirilah di belakang orang-orang yang melakukannya,
dukung mereka sekuat tenaga.
Maka, seluruh kesedihan akan diangkat dari hati, seluruh beban akan terasa ringan.
Karena akan tiba masanya orang-orang terbaik datang, yang bahu-membahu menolong dalam kebaikan. Akan tiba masanya orang-orang dengan kehormatan hadir, Percayalah.
Dan jangan pernah berhenti percaya,
meski tidak ada lagi di depan, belakang, kiri-kananmu yang tetap percaya.
Maryam terdiam di ujung puisi. Langit-langit mobil lengang, menyisakan derum mesin. Maryam menelan ludah, menatap kertas di hadapannya lamat-lamat.
Ini menakjubkan, Thomas. Aku mengangkat bahu. Bukankah sudah kubilang" Pemahaman yang mereka miliki, dua gadis remaja itu, dengan usia yang masih dini sekali, bahkan lebih baik dibanding jutaan orang di luar sana.
Kau benar, Thomas, tidak ada yang perlu dicemaskan dari mereka.
*** Aku tiba di ruangan kerja Kris pukul sepuluh malam.
Ruangan itu dipenuhi berkas yang berserakan, bekas kemasan makanan fast food, kotak minuman, semua terlihat berantakan. Ada enam layar komputer besar di dalam ruangan, dan salah satunya, yang berukuran 40 inci lebih, diletakkan di dinding, persis di hadapan Kris yang sibuk memperhatikan ratusan entri data yang berkedip-kedip di layar, disertai garis-garis terhubung satu sama lain seperti sarang laba-laba.
Selamat malam, Thomas. Maggie yang pertama kali menyapa. Dia bangkit dari duduknya di lantai, di antara tumpukan Malam, Meg. Aku mengangguk.
Kau berganti pakaian di mana" Maggie menyelidik, melirik ke belakang. Dan dia juga berganti pakaian di mana" Kaubelikan dia baju baru mahal dari butik desainer"
Aku menyeringai menatap Maggie. Kau juga telah berganti pakaian, Meg. Percaya atau tidak, ini baju pinjaman. Kalau kau juga mau, besok aku cari pinjaman lain untukmu, mau" Maggie tidak memperpanjang komentarnya.
Selamat malam, Thomas. Kris menoleh, tetap duduk di kursinya. Lima staf Kris sibuk di depan layar komputer masingmasing, menatapku, aku mengangguk, melambaikan tangan, tidak usah berdiri, silakan teruskan pekerjaan masing-masing.
Ruangan ini seperti kapal pecah, Kris. Kalian jangan-jangan juga tidur di sini tadi malam" Aku melangkah mendekati Kris, mendongak, melihat sebuah peta raksasa di layar komputer besar yang memiliki logika program paling canggih. Titik-titik pada peta itu sedang berusaha dihubungkan satu sama lain. Kris menyisir rambut panjangnya yang juga berantakan. Ada kemajuan lagi"
Kami bahkan hampir selesai, Thom. Kris mengangguk, menjentikkan jarinya, memanggil salah satu stafnya untuk mengambil print out laporan dari printer.
Kris menyerahkan lima lembar laporan tersebut kepadaku. Semua nama sudah lengkap, dari ring pertama hingga kelima. Tadi pagi semua data dari Maggie sudah dimasukkan, data jenis ketiga, data internal. Maggie juga memperoleh tambahan beberapa data jenis ini dari pihak lain. Sudah dimasukkan semua ke dalam program. Membantu validasi daftar nama yang Aku memeriksa laporan tersebut. Kotak yang masih kosong di laporan awal Kris tadi pagi sudah terisi, satu lembar untuk setiap level hierarki pola yang terbentuk.
Aku bisa pastikan pola itu nyaris 99 persen benar. Jadi data yang kaupegang, nama-nama, bisa diandalkan. Hanya saja itu sekadar daftar, Thomas. Tidak bisa menjadi alat bukti. Semua keterkaitan kasus dua puluh tahun terakhir yang kami temukan hanya peta, sebagai petunjuk ke mana harus memulai penyelidikan, bukan barang bukti apalagi kesaksian yang bisa menghukum mereka.
Tidak masalah, Kris. Setidaknya kau membuat investasiku membeli superkomputer ini tidak sia-sia. Aku mengangguk, memeriksa seluruh nama tersebut, mengangkat lima lembar kertas itu, menoleh ke arah Maryam. Lihatlah! Kita memiliki daftar lengkap mafia hukum yang katanya tidak kasatmata dan kebal itu. Dan soal bukti serta kesaksian, hei, kita punya amunisi untuk mulai merontokkannya satu per satu. Lima kotak dari daftar ini sudah bisa dicoret malam ini.
Tapi kami belum selesai, Thom. Kami hampir selesai, Kris memotong, menggeleng.
Kris mengambil salah satu kertas yang berserakan di meja, menjentikkan jarinya lagi, meminta bolpoin dari stafnya yang masih berdiri di dekat kami. Mengusap rambut panjangnya yang mengganggu ujung mata.
Kau pasti melihat ada lubang dalam pola ini, bukan" Kris menoleh kepadaku, meletakkan kertas yang dipegangnya di atas meja.
Aku mengangguk, karena itulah aku memutuskan ke ruangan dak terjelaskan sejak laporan awal yang kauberikan lewat e-mail. Aku tidak melihat desain besar di balik semua nama-nama ini.
Right! Tepat sekali, Thom. Missing link. Kris membungkuk menghadap meja, dengan cepat membuat lima lingkaran kecil di atas kertas, memberi nomor setiap lingkaran.
Aku menoleh ke arah Maggie. Hei, apakah Kris akan menggambar abstrak lagi" Apakah dia selalu merasa perlu menggunakan grafik, pola, saat menjelaskan sesuatu"
Nah, kau lihat, Thom. Kris menunjuk ke atas kertas, membuatku terpaksa melihat lingkaran-lingkaran yang dibuatnya. Kami jelas menemukan sesuatu dari lima hierarki jaringan ini. Ada subpola yang menarik. Satu orang dari ring pertama, mengontrol empat hingga delapan orang ring kedua, dan seterusnya, satu orang dari ring kedua, mengontrol empat hingga delapan orang ring ketiga. Seperti sebuah pola multilevel.
Mereka membentuk spesifikasi khusus untuk setiap penguasa di ring pertama. Ada nama-nama yang selalu ditemukan untuk menangani setiap kriminal dasar, seperti kasus pembunuhan, penganiayaan, dan sejenisnya. Ada nama-nama yang selalu muncul saat kasus tender atau proses pengadaan barang dan jasa pemerintah. Ada juga nama-nama yang selalu muncul setiap melibatkan kasus hukum perusahaan besar, entah itu konflik bisnis, akuisisi, hingga persaingan bisnis biasa.
Kris menggambar garis-garis di atas kertas, menghubungkan lima lingkaran satu sama lain, memberikan angka-angka lagi. Selain subpola spesifikasi kasus, mereka juga membentuk subpola area, kawasan. Bukan hanya area secara geografis, juga secara lembaga, entitas. Setiap rantai komando di ring pertama mana, organisasi massa mana, dan sebagainya. Semuanya rapi dan terstruktur. Sehingga tidak ada nama-nama yang muncul lintas subpola.
Nah, yang menjadi missing link adalah, dari dua puluh empat nama di ring pertama, siapakah yang mengontrol mereka" Mengendalikan berbagai subpola tersebut" Apakah mereka sejenis triumvirat" Dua puluh empat orang berdiri setara di rantai paling atas" Berbagi kekuasaan dalam jaringan tersebut" Aku berani memastikan jawabannya tidak. Ada yang mengontrol mereka semua. Ada seseorang yang amat kuat mengendalikan ring pertama. Kali ini Kris membuat lingkaran raksasa di kertas, membuat lingkaran kecil dan garis-garis masuk di dalamnya. Kemudian menggambar tanda tanya besar.
Kau lihat, Thom. Kris meletakkan bolpoin, melompat ke belakang, duduk di atas kursinya, mendongak menatap layar besar. Aku ikut mendongak.
Kris menekan tombol keyboard di hadapannya, kursor mengarah ke salah satu konektor kecil berbentuk kotak dari ribuan bahkan mungkin puluhan ribu konektor di jaring laba-laba, peta raksasa di layar besar. Saat konektor itu ditekan oleh Kris, sebuah jendela kecil berisi potongan berita dari koran beberapa tahun lalu muncul di layar bagian dari jutaan data yang telah dimasukkan Kris dan timnya.
Kau baca, Thom. Kami harus berkonsultasi terlebih dahulu dengan atasan. Demikian petinggi kepolisian tersebut menutup konferensi pers. Kris memberikan highlight atas kutipan wartawan. Aku menemukan lebih dari lima ribu kalimat serupa di data kita. Dan itu dikatakan oleh nama-nama yang ada di ring pertanya-jawab televisi, talk show, bahkan dalam data laporan internal mereka sendiri. Mereka akan berkonsultasi, bertanya, berdiskusi, berkoordinasi dengan atasannya. Siapa atasan mereka" Aku memeriksa nama-nama atasan mereka langsung di dunia nyata, mudah saja menemukan nama mereka, tapi hasilnya kosong, hampir tidak ada nama-nama atasan mereka yang masuk dalam pola, alias tidak terlibat.
Jenderal bintang tiga itu misalnya, dalam ratusan potongan berita, berkali-kali bilang akan berkoordinasi dengan atasannya, tapi nama Kapolri, orang nomor satu di kepolisian, tidak ada dalam pola kita. Kalau dia memang berkoordinasi dengan Kapolri, nama Kapolri pasti masuk dalam pola, terlibat. Kenyataannya, memang ada banyak data yang menyebut Kapolri, tapi tidak membentuk pola. Jadi dia berkoordinasi dengan siapa" Siapa yang mereka sebut atasan itu" Apakah itu hanya basa-basi saat ditanya oleh wartawan, saat dikejar oleh pembawa acara" Atau mereka terbiasa menjawab demikian" Tidak ada maksud apa pun. Rasa-rasanya tidak. Karena terlalu banyak kemiripan satu sama lain. Kris berdiri lagi, melompat ke sebelah meja, meraih bolpoinnya.
Ring pertama jelas dikendalikan oleh seseorang. Siapa" Itulah lubang besar dari pola ini. Aku tidak menemukan desain besar di belakangnya. Siapa yang membangun jaringan mafia ini dua puluh tahun lalu" Orang yang mengontrol jenderal di kepolisian, jaksa, hakim, pejabat pemerintah, anggota DPR, wartawan, petugas imigrasi, hingga pengusaha besar" Kris sekali lagi membuat lingkaran besar, membuat tanda tanya di atas kertas, meletakkan bolpoin, lantas memberikan kertas itu kepadaku.
Lengang sejenak, menyisakan desing belasan server komputer dan pendingin ruangan yang berbunyi halus.
Kau sudah memasukkan seluruh kata kunci yang kuberikan" Kris mengangguk. Maggie sudah memberikan puluhan kata kunci. Nihil. Kita sudah menggunakan seluruh kata kunci tersisa, bahkan nama presiden dan mantan presiden. Hei, siapa tahu dia bos mafianya, bukan"
Aku mengusap rambut, menggeleng. Kris belum memasukkan semua kata kunci.
Kau punya hipotesis, Thom" Dugaan"
Aku masih menatap kertas Kris lamat-lamat. Tentu saja aku punya dugaan. Bahkan sejatinya, saat aku memutuskan membuka unit baru konsultan politik, bergabung dengan klien politikku yang maju di konvensi partai, dengan visi terang benderang: menegakkan hukum di negeri ini, aku telah memiliki dugaan kuat. Masa lalu itu belum selesai. Masa lalu itu akan terus menghantui sebelum pelaku utama, otak dari pembakaran rumah Opa, yang membuat Papa-Mama mati terbakar berhasil dikalahkan.
Kau coba kata kunci lain, Kris. Aku menurunkan kertas. Ya" Kris menunggu. Dia sejak tadi sudah duduk kembali di kursinya.
Shinpei, aku berkata dengan suara bergetar menahan emosi. Aku akhirnya menyebut nama itu untuk pertama kalinya setelah setahun berlalu. Aku menyebut nama bedebah paling jahat itu untuk pertama kalinya dalam cerita ini.
Kris menatapku bingung. Dia jelas tidak mengenali nama itu. Masukkan saja, aku menyuruhnya.
bol enter. Seluruh konektor di jaring laba-laba terlihat berkedip, peta raksasa tersebut mulai memproses kata kunci baru yang dimasukkan. Warna garis-garis jaring laba-laba yang awalnya putih mulai berubah menjadi merah muda dari tepi-tepinya, kemudian terus menyebar ke tengah. Berubah lagi menjadi merah tua, terus menyebar ke tengah.
Aku mendongak, ikut menatap layar komputer. Tiga menit menunggu. Saat seluruh peta telah berubah menjadi merah tua, komputer mengeluarkan suara beep pelan, dan sebuah kotak muncul di tengah-tengah layar: Data tidak ditemukan. Jaring laba-laba kembali berubah berwarna putih. Tidak mungkin. Aku menggeleng. Itu tidak mungkin. Dari jutaan data yang dimasukkan Kris, pasti ada nama itu. Shinpei adalah pengusaha besar dua puluh tahun lalu. Dia pemilik banyak kapal, gedung, konsesi bisnis. Namanya ada di setiap tempat. Dan semua petinggi, penegak hukum, pejabat, pasti mengenalnya. Bagaimana mungkin namanya tidak ditemukan"
Tidak ada, Thom. Komputerku tidak mungkin keliru. Kris menggeleng.
Kau coba lagi, aku menyuruh.
Baik. Kris kembali mengetikkan nama itu, mengulang prosesnya. Jaring laba-laba kembali mulai berubah warna, semua konektor berkedip-kedip. Sebelas server di ruangan itu bekerja keras, mengikuti perintah pemrograman yang telah dimasukkan oleh Kris sebelumnya.
Tiga menit berlalu, semua jaring laba-laba menjadi merah tua, suara beep pelan kembali terdengar, dan sebuah kotak muncul: Impossible. Aku menepuk meja di sebelahku, menyuruh Kris menyingkir.
Pendekar Tanpa Tanding 4 Pendekar Mata Keranjang 33 Mustika Naga Hitam Harpa Iblis Jari Sakti 2
^