Pencarian

Sepotong Hati Yang Baru 1

Sepotong Hati Yang Baru Karya Tere Liye Bagian 1


?"TERE LIYE Sepotong Hati yang Baru DAFTAR ISI 1. Hiks, Kupikir Itu Sungguhan
2. Kisah Cinta Sie-Sie 3. Percayakah Kau Padaku 4. Buat Apa Disesali 5. Itje Noerbaja & Kang Djalil
6. Kalau Semua Wanita Jelek
7. Mimpi Mimpi Sampek Engtay 8. Sepotong Hati yang Baru
1. HIKS, KUPIKIR ITU SUNGGUHAN
Awal dari semua kerumitan masalah ini adalah suatu malam, saat Puteri begitu semangatnya bercerita kalau dia baru saja bertemu dengan Rio, di salah-satu tempat makan tenda tepi jalan paling ramai dekat kampus kami.
Kenapa lama sekali, Put" Sari, teman satu kontrakan bertanya, kami sedang mengerjakan tugas desain interior di ruang tengah, bersama tiga teman cewek satu jurusan lainnya, sibuk melototin laptop.
Putri hanya tersenyum simpul.
Bukannya lu bilang mau makan di rumah" Nggak jadi dibungkus ikan gorengnya" Aku ikut bertanya, menoleh, Aduh, gue kira tadi bakalan bisa ngambil bungkusan lu, Put. Laper, nih.
Ngambil" Perasaan selama ini yang ada ngerampok, maksa minta. Sari menyikutku, tertawa.
Aku nyengir. Putri masih tersenyum simpul, loncat duduk di sofa, menyalakan televisi.
Eh, sejak kapan lu suka nonton, Put" Bukannya lu jam segini lebih suka di kamar, internetan" Sari bertanya lagi. Sebenarnya kami sudah mulai bosan mengerjakan tugas sejak tadi sore, Sari sedang melemaskan badan, ikut naik ke atas sofa, membiarkan yang lain di karpet menyelesaikan gambar desain, bercakap-cakap dengan Puteri bisa jadi intermezzo yang baik.
Gue lapar, nih. Sudah nggak tahan. Aku ikut berdiri, Ada yang mau mie rebus"
Semua teman-teman di karpet mengacungkan jari semangat. Siapa pula menolak ditawari mie rebus gratis. Aku nyengir, sedikit menyesal telah menawarkan diri, tahu semua bakal mau, mending nggak usah bilang. Menggaruk kepala yang tidak gatal, kadang berbuat baik itu memang perlu niat, bukan basa-basi doang.
Eh, kenapa lu sekarang senyum-senyum sendiri, Put" Sari tidak ikut mengacungkan tangan, masih sibuk menyelidiki Puteri, menatap Sari di sebelahnya, kepo, ingin tahu urusan orang lain, Memangnya acara di tipi lucu" Cuma siaran berita doang" Sari melihat sekilas layar televisi.
Puteri malah semakin tersenyum simpul.
Ada apa sih, Put" Sari penasaran.
Rahasia. Puteri tertawa.
Ayolah, Sari sebal mengangkat bantal di depan Puteri, agar berhenti menonton televisi, pindah memperhatikan dia.
Puteri nyengir, menatap Sari lamat-lamat, lantas sengaja sekali berbisik, Rio.
Pelan saja Puteri mengatakan kalimat itu, berbisik malah, sengaja agar yang mendengar hanya Sari, tapi itu cukup untuk menghentikan langkah kakiku yang persis sudah di bawah bingkai pintu menuju dapur kontrakan. Dan juga tentu saja, tiga teman satu jurusan lain yang masih sibuk dengan tugas di karpet ruang tengah.
What?"" Rio"
Lupakan mie rebus, bergegas balik kanan.
*** Bah, kalau mendengarkan baik-baik cerita Puteri, aku pikir nggak ada yang spesial. Apanya yang spesial" Puteri pergi ke warung tenda, mau bungkus makan malam menu ikan goreng, tapi saat dia berdiri di depan abang pemilik warung yang sibuk mencatat pesanan, sambil meneriaki juru masaknya, sudut mata Puteri menangkap ada Rio yang ikut melangkah masuk.
Eh, ada Puteri. Malam, Put. Rio tersenyum.
Aduh, semua orang di kampus juga tahu siapa Rio, gebetan satu kampus. High class jomblo. Disenyumin seperti itu bahkan membuat Puteri seperti sesak.
Suka makan di sini juga, Put"
Puteri mengangguk-angguk seperti orang-orangan sawah.
Makan bareng yuk, itu teman-teman satu kostanku juga mau makan. Rio menunjuk beberapa teman kampus lain yang mengambil posisi kursi masing-masing.
Jadinya dua puluh ribu, Neng. Abang pemilik warung yang menerima bungkusan dari bagian masak berseru.
Nggak jadi dibawa pulang, Bang. Makan di sini saja. Puteri berbisik.
Rio sedang menoleh, mengkoordinir pesanan temannya.
Lah" Bukannya Neng minta dibungkus tadi"
Ssshhh& . Puteri melotot, aduh, Abang jangan pura-pura bego, tahu. Ini kesempatan emas.
Rio sudah kembali memperhatikan Puteri.
Terserah, Neng-lah. Woi, makan di sini ternyata, tolong taruh di piring. Abang warung mana paham, tetap berteriak, menyuruh salah-satu anak buahnya.
Eh, Put" Tadi kamu sebenarnya mau bungkus bawa pulang, ya" Rio bertanya.
Nggak kok. Nggak. Abangnya saja yang salah. Puteri buru-buru menggeleng, Aku memang mau makan di sini.
Si Neng tega deh. Padahal Neng sendiri yang barusan batalin dibungkus, jadi makan di sini saja. Abang warung masuk dalam percakapan lagi, protes.
Di tengah asap dan aroma ikan goreng, kesibukan orang makan, dan lalu lalang pengamen, mana paham Abang warung kalau sejak tadi Puteri sudah melotot-lotot menyuruhnya tutup mulut. Maka jadilah Puteri makan malam bareng Rio. Bareng" Enak saja, yang tepat itu adalah Puteri makan malam bareng enam teman kampus lainnya. Dan itu biasa saja. Apanya yang spesial" Istimewa" Please deh, Rio itu memang gentle, dia ramah ke semua orang, baik hati, di samping eh, tentu saja tinggi, tampan dan pintar, plus jago main basket.
Nana, katanya mau bikinin mie instan" Salah-satu teman mengerjakan tugas desain interior nyeletuk, sesaat setelah cerita versi sesat Puteri selesai.
Kami ngobrol banyak loh, Sari. Di atas sofa, Puteri masih sibuk bercerita, yang lain masih sibuk memperhatikan.
Oh ya" Sari nyengir.
Itu makan malam yang menyenangkan.
Aku yang berdiri di belakang kerumunan, menepuk jidat. Aduh, paling juga Puteri cuma melongo melihat teman-teman Rio ngobrol. Apanya yang menyenangkan"
Nana, laper, nih" Mie rebusnya buruan"
Sebentar, sih. Aku masih ingin mendengarkan cerita Puteri, memastikan beberapa hal.
Ayo, Na. Kamu kan paling pintar masak.
Aku mengomel dalam hati, satu untuk cerita Puteri, satu lagi untuk request mie rebus dari teman-teman. Sudahlah, balik kanan, kembali ke dapur kontrakan.
Rio bahkan nanya, aku punya akun facebook atau nggak" Sari masih berceloteh, terdengar.
Oh ya" Yang enak seperti biasa ya, Na. Teman mengerjakan tugas berseru, mengacungkan jempol
Aku tidak menjawab. *** Tugas desain interior itu sudah kelar sekitar jam sembilan malam. Teman-teman sudah pamit pulang, menyisakan aku, Sari dan Puteri penghuni kontrakan. Kami bertiga teman sejak SMA, sekarang sama-sama kuliah di satu kampus meski berbeda jurusan. Aku dan Sari di jurusan desain, Puteri jurusan Manajemen, dan Rio, eh, kenapa aku harus menyebut-nyebut nama Rio lagi" Baiklah, Rio di jurusan teknik.
Karena teman dekat, daripada nge-kost masing-masing, kami bertiga memutuskan ngontrak rumah tiga kamar, biar lega. Aku yang punya ide ngontrak. Agar ada ruang tamu, ruang ngumpul, dan yang pasti ada dapur. Dapur" Iya, karena aku suka masak. Saking sukanya, sudah enam bulan terakhir, aku iseng bikin bisnis kue-kue basah dan kering. Di dapur ada oven, peralatan bikin kue, lengkap. Tidak besar-besar amat, hanya menerima pesanan teman-teman dekat. Mendesain sambil diselingi bikin kue itu seru. Nah, Sari dan Puteri tentu saja tidak keberatan, malah senang, setidaknya bisa gratis ngemil kue kalau aku lagi bikin.
Sari! Nana! Ada yang berseru kencang, persis saat aku melemparkan badan di atas kasur, mau tidur.
Sari! Nana! Puteri pasti akan terus berteriak memanggil dari kamarnya kalau kami tidak ke sana.
Ada apa, sih" Sari masuk lebih dulu, mendekat ke Puteri yang sedang duduk menghadap laptopnya.
Statusku di-like. Wajah Puteri terlihat memerah bahagia, andaikata bisa dilustrasikan seperti komik-komik remaja, malah ada kembang warna-warni, pelangi segala di atas kepalanya. Tuing, tuing.
Di like siapa" Sari ingin tahu, menyeruak melihat layar laptop.
Rio. Aduh, aku lagi-lagi menepuk jidat. Ternyata kami dipanggil teriak-teriak hanya karena urusan facebook.
Tadi dia request nge-add aku, lantas aku add. Aku kan tadi pasang status, makan malam yang menyenangkan, thx , terus dia like. Puteri sumringah sekali menjelaskan sesuatu yang sebenarnya tidak perlu dijelaskan.
Lihat, kan" Puteri menunjuk timeline facebooknya.
Aku balik kanan, menghela nafas, itu biasa saja kali. Rio jelas-jelas baru terkoneksi dengan Puteri, basa-basi nge-like statusnya Puteri. Tidak ada hubungannya dengan makan malam yang menyenangkan barusan.
*** Maka, suasana rumah kontrakan kami segera berubah drastis seminggu terakhir. Puteri sibuk atas pertemanan barunya di dunia maya dengan Rio. Maksudnya, sibuk memanggil-manggil kami, memberitahu jika ada yang spesial menurutnya. Karena Puteri itu level ke-GR-annya tingkat nasional, maka itu berarti apa saja berarti spesial baginya.
Puteri pasang status, Tadi ketemu orang keren di kampus , di like Rio, wajah Puteri persis seperti orang habis menang quiz berhadiah pulau. Status milik Puteri tentang, Aku suka film Batman yang baru , dikomen Rio, Aku juga suka loh, Put . Puteri langsung berbunga-bunga, bahkan bunga sungguhan di depan rumah kontrakan kami kalah meriah. Atau status Puteri tentang: Terima kasih sudah bayarin angkot tadi , dikomen Rio, Sama-sama, Put. Lain kali kamu yang bayarin. Puteri semangat sekali bercerita panjang lebar, sampai berbusa-busa.
Demi pertemanan sejak SMA, aku mau mendengarnya, walaupun kesal. Karena kalau dipikirpikir dengan akal sehat, sebenarnya apa yang spesial" Ketemu orang keren di kampus" Boleh jadi Rio mikir itu orang lain yang dimaksud Puteri, seharian di kampus, ada berapa ratus coba orang yang kita temui. Sama-sama suka film Batman yang baru, siapa yang tidak" Itu bukan berarti ada kesamaan spesial diantara Puteri dan Rio. Dibayarin ongkos angkot" Aduh, jelasjelas Puteri lupa bawa dompet, kebetulan satu angkota dengan Rio, masa Rio tega membiarkan Puteri terpaksa jadi kernet angkot selama satu jam sebagai ganti ongkos yang tidak mampu dibayarnya"
Tetapi tidak bagi Puteri yang sejak kami masuk kampus itu, sudah ngebet kelas berat dengan Rio. Pertemanan dunia maya ini terasa sungguhan benar olehnya, padahal di dunia nyata"
Apanya yang dekat" Mereka paling cuma ngobrol satu dua kalimat, tidak ada bedanya dengan yang lain.
Nggak semua kali. Aku memotong cerita Puteri.
Puteri yang sedang semangat cerita soal status-status facebook Rio yang ditujukan untuk ehem pertanda hubungan mereka menoleh padaku. Sari juga ikut menoleh.
Nggap semua apanya" Puteri bertanya.
Ya nggak semua status Rio itu tentang kalian. Kemarin saja Rio update status proyek jembatan tugas mata kuliah sipilnya, mana ada hubungannya dengan kalian" Kecuali Puteri jadi inspirasi jembatannya, Aku mengangkat bahu.
Kok kamu tahu status yang itu, Na" Puteri bertanya lagi.
Tahu saja. Aku masih malas menanggapi.
Bukannya kamu belum tersambung pertemanan dengan Rio" Puteri menyelidik.
Memang nggak. Nah, kok kamu tahu" Wah, ternyata ya, Nana yang alim, yang bilang nggak suka dekat-dekat sama cowok, memeriksa timeline Rio" Ayo ngaku" Puteri melotot.
Sari yang duduk di tengah tertawa, melihat muka Puteri dan melihat muka merahku.
Siapa yang memeriksa timeline Rio" Aku cuma memastikan kalau cerita Puteri itu benar atau nggak, hanya itu kok. Aku membantah.
Ayo ngaku saja, Na. Puteri nyengir, tidak percaya, Kamu naksir Rio juga kan" Pantas saja setiap kali aku bercerita wajahnya berubah, tidak terima. Ih, Nana cemburu, ya" Sayangnya, kamu tuh bukan type Rio, Na.
Aduh, aku menggaruk kepala yang tidak gatal, siapa yang naksir" Aku cuma memastikan, biar Puteri tidak terlalu GR atas komen dan like Rio di facebooknya, hanya itu. Siapa pula yang cemburu" Anak ini semakin error GR-nya.
Sari semakin terpingkal, menonton kami yang bertengkar.
Lima belas menit, Sari menyuruh kami berhenti. Sudah malam, Puteri sengaja masih saja menyelidik, aku terus membantah. Kami masuk kamar masing-masing tanpa kesimpulan, sebal malah.
Enak saja Puteri bilang aku bukan type-nya Rio. Kalau saja aku tidak memiliki prinsip tidak mau dekat-dekat dengan teman cowok kecuali memang mau serius, sudah sejak dulu mudah saja membuat Rio naksir padaku. Kalau saja aku tidak memiliki prinsip lebih baik menyibukkan diri, terus belajar, kecuali memang sudah serius, justeru Puteri itulah yang tidak masuk sainganku.
Aku menggerutu sebal menatap langit-langit kamar.
*** Seminggu berlalu, tetap begitu-begitu saja kelakuan Puteri.
Sariiii, siniii. Ada yang baru!! Puteri persis seperti pembawa acara berita televisi yang sedang live liputan aksi, berseru antusias.
Aku dan Sari yang sedang duduk, belajar di ruang tengah bersama Puteri yang asyik main internetan di sofa, menoleh.
Ada apa" Sari bertanya.
Rio, Sar, Rio! Sari mendesis riang.
Ada apa dengan Rio" Rio bilang selamat ulang tahun.
Lantas" Aku yang bertanya, sedikit tidak sopan.
Ya tidak ada lantas-lantasnya. Aduh, padahal aku kan ulang tahunnya baru besok loh. Ini juga belum jam dua belas malam, loh, Puteri cengengesan riang, Rio orang pertama yang bilang. Dia pasti sengaja .
Biasa saja kali. Aku kembali ke buku tebal tentang desain, Paling juga karena setting waktu facebook Rio pakai negara Amerika Serikat, jadi waktunya lebih cepat dibanding kita, notifikasi ada teman yang ulang tahun muncul lebih cepat, dia tidak sengaja kecepatan bilang, bukan sengaja ingin jadi orang yang pertama bilang.
Dasar pencemburu. Puteri melempar gulungan tissue ke arahku, tidak terima atas analisisku yang sebenarnya amat masuk akal itu.
Sari tertawa, segera ber-hsss sudah-sudah jangan bertengkar.
Benar, kan" Itu memang tidak spesial, kan" Aku menatap protes kepada Sari, bagaimana mungkin Sari selalu membesarkan hati Puteri" Jelas-jelas itu hanya facebook" Di dunia nyata, aku yakin bahkan Rio tidak akan bilang kalimat itu langsung di kampus.
Kamu naksir Rio kan, Na" Ayolah, ngaku saja. Puteri nyengir, balas berseru tidak sopan.
Bukan itu poinnya. Aku mengelak.
Ayo ngaku saja, Na Puteri memonyongkan bibirnya, Kasihan Nana, gebetannya ternyata naksir aku.
Siapa yang naksir kamu, Put" Rio" Aduh, jangan GR deh. Aku balas memonyongkan bibir.
Itu buktinya! Komen wall di facebook. Selamat ulang tahun, Put. Semoga Puteri selalu cantik dan baik hati seperti seorang Puteri Puteri mana mau kalah.
Sari lupa kalau dia harusnya melerai, sekarang malah tertawa lebar melihat kami saling berseru.
Aku berdiri kesal, membawa buku tebal tentang desain. Baiklah, malam ini mending aku menyelesaikan pesanan kue dari teman-teman. Masak di dapur. Daripada belajar di ruang tengah mendengarkan celoteh Puteri yang semakin galau se-semesta. Coba bayangkan, sejak kapan Puteri suka basket dan sepakbola" Gara-gara Rio pasang status soal itu, dia buru-buru ikut pasang status suka klub bola favorit Rio. Sejak kapan Puteri suka band rock" Gara-gara Rio pasang foto anggota band cadas itu, Puteri bergegas mendeklarasikan dia paling suka dengan band itu. Menunggu-nunggu Rio like atau komen statusnya, lantas semangat bercerita. Apanya yang spesial" Bahkan kalau Rio nulis status dia suka ngupil atau kentut sembarangan, maka Puteri akan menjadi orang pertama yang ikut-ikutan nulis status ngaku suka ngupil dan kentut sembarangan juga, lantas semalaman menunggu kapan Rio akan mengunjungi profilenya.
Aku justeru sedang berbuat baik pada Puteri, mencoba menasehati, mengingatkan, sudah berapa kali coba dia galau semalaman gara-gara nungguin like atau komen Rio" Ucapan selamat ulang tahun itu biasa, Rio selalu bilang kalimat itu di wall teman-temannya yang tersambung, dan selalu rajin yang pertama. Aku sering periksa kok, aku tahu sekali.
Idih, Nana marah. Puteri berseru di atas sofa, Kalau marah, berarti benar, dong, Nana juga naksir Rio"
Sari nyengir menatap punggungku hilang di balik pintu dapur. Tidak berkomentar, masih dengan sisa tawanya melihat aku dan Puteri bertengkar barusan.
Puh, aku tidak akan menghabiskan waktu mendengar lantas bertengkar soal pertemanan akrab mereka di facebook. Apa tadi Puteri bilang" Kasihan Nana, gebetannya naksir aku. Omong kosong. Baik, aku akui saja, aku juga suka dengan Rio, siapa sih yang tidak suka" Dia ideal dalam banyak hal. Aku juga suka memeriksa timeline-nya, meski tidak berani nge-add. Karena aku tidak akan menanggapi cowok manapun kalau hanya untuk teman dekat, kecuali teman hidup, serius. Baiklah, bikin kue selalu berhasil mengusir sebalku selama ini.
*** Rumah kontrakanku yang selama ini selalu damai dan tenteram jadi berantakan gara-gara dunia maya Puteri. Aku sebenarnya memutuskan berhenti menanggapi apapun update Puteri tentang dunia itu meski Sari tidak, Sari malah seperti mendapat bahan hiburan baru, menggoda Puteri. Sialnya, yang namanya tinggal satu atap, kami tetap bertemu satu sama lain, berpapasan menuju kamar mandi, duduk di depan televisi, dan sebagainya. Kami tidak bertengkar serius sih, namanya juga sahabat baik, tapi perang dingin ini menjengkelkan. Apalagi kalau Puteri sambil berpapasan, sengaja ber-cie-cie, meledek, bilang masih cemburu nih ye, atau ehem, katanya alim, nggak mau pacaran, kenapa sekarang malah naksir cowok" Aku rasa-rasanya mau menjitak jidat lebar dan lucu milik Puteri.
Beruntung, belakangan Sari lebih banyak lurus menengahi bukan tertawa melihat muka masam kami satu sama lain. Seperti malam ini, Sari mengajak aku dan Puteri makan bareng. Sari yang akan mentraktir, dompetnya lagi tebal, barusan dapat kiriman dari Nyokap.
Janji ya, tidak ada pembahasan tentang Rio, facebook dan sebagainya. Sari mendaftar peraturan.
Aku dan Puteri, demi makan malam gratis di salah satu kedai fast food dekat kampus mengangguk kompak.
Bahkan tidak boleh saling sindir, menyindir. Sari melotot, memastikan.
Siap, bos. Aku dan Puteri menjawab kompak.
Sayangnya, jika aku dan Puteri sepakat untuk tidak membahas soal itu, yang bersangkutan, Rio, justeru kebetulan sedang makan bersama teman-temannya di sana.
Aduh, aku mengeluh dalam hati, bakal runyamlah makan malam bersama kami. Pihat, baru juga melihat sekilas, Puteri sudah mesem-mesem terlihat riang, menyikut Sari, maksudnya, kita bergabung ke meja mereka saja. Aku mendengus, nggak usah, jangan genit. Puteri melotot, cuek bebek.
Hei, kalian mau makan di sini juga, ya" Rio yang melihat kami saling sikut masuk kedai fast food, justeru melambaikan tangan, berdiri, lantas menyapa, Gabung, yuk. Rio seperti biasa selalu keren dan ramah, memberikan tawaran. Mata Puteri langsung menyala seratus watt. Aku menghembuskan nafas, puh, dasar centil.
Tapi setidaknya, saat aku mencemaskan harus menyaksikan Puteri yang terus pecicilan, ternyata ketidaksengajaan ini memiliki manfaat tersendiri. Apa yang aku bilang selama ini benar, kan" Lihat tuh, di dunia maya saja Puteri merasa dia dan Rio dekat satu sama lain, lantas berseru-seru antusias di kontrakan kami. Di dunia nyata" Kebalikannya, 180 derajat. Tidak sekalipun mereka saling bicara meski satu meja. Rio lebih banyak ngobrol bareng temannya, sekali-dua mengajak Sari bicara kebetulan mereka sama-sama pengurus organisasi kemahasiswaan. Puteri" Hanya kebanyakan senyum manis, sampai kering tuh gigi.
Dan puncaknya, taraaa, persis makanan pesanan kami tandas masuk ke dalam perut, Rio tibatiba justeru mengajakku bicara, Eh, Nana kan, ya"
Aku yang barusaja duduk, habis mencuci tangan dari wastafel, mengangguk. Ada apa"
Eh, maaf, walaupun sering ketemu kita jarang bicara, ya. Rio nyengir.
Aku mengangkat bahu. Tidak masalah.
Nana punya akun facebook nggak sih"
Aku mengangguk. Bagi dong namanya. Nanti aku add.
Senyum manis lima senti Puteri yang duduk di sebeahku langsung padam.
*** Sari terpingkal melihat wajah masam milik Puteri sepanjang perjalanan pulang naik angkot.
Terus terang saja, aku senang sekali diajak bicara oleh Rio barusan. Bahkan hatiku seperti hendak meletus saat Rio bertanya akun facebook. Sesaat, aku paham kenapa dulu Puteri senang dan bertingkah aneh banget berteman dengan Rio di facebook.
Tuh, sudah di add, Sar. Aku nyeletuk, memperlihatkan layar telepon genggam, kami bertiga duduk berderet, Kira-kira aku approve nggak sih" Pura-pura bertanya bloon.
Di sebelah Sari, Puteri melotot, tapi tidak bicara.
Sari tertawa, mengangguk, Di approve dong, Na.
Tuh, ada komen Rio, Sar. Tiga puluh detik berlalu, aku lagi-lagi memperlihatkan layar telepon genggam, sepertinya Rio yang pulang ke kostan, sedang online juga di perjalanan.
Dia komen apa" Wah, ternyata bisnis kue-kue Nana sudah besar, ya. Padahal aku baru tahu tadi siang. Aku sengaja membaca komen Rio seperti sedang berdeklamasi puisi. Facebook-ku memang tidak seperti profile kebanyakan, aku tidak memakai nama asli, foto asli, facebook-ku hanya tempat jualan kue.
Sari tertawa. Puteri semakin melotot, tetap tidak bicara.
Kayaknya ada yang profile facebooknya nggak sempat dilihat sama gebetannya lagi, nih. Sejak tadi gebetannya komen mulu di profileku sih. Aku nyengir.
Sari berusaha menahan tawa. Kasihan melihat tampang Puteri yang seperti hendak menangis. Aku santai-santai saja, makanya, siapa suruh dia GR" Terbukti, kan" Saat kebenaran itu datang, maka bagai embun yang terkena cahaya matahari, debu disiram air, musnah sudah semua harapan-harapan palsu itu. Menyisakan kesedihan. Salah siapa" Mau menyalahkanku" Salah Rio"
Ya ampun, dia barusaja pasang status baru, Sar. Kali ini aku benar-benar tidak berniat membuat hiperbolik seruanku. Kali ini aku benar-benar deg-degan, berseru sedikit di luar kendali.
Memangnya status apa" Kepala Sari mendekat, berusaha melihat layar telepon genggam.
Wanita yang bisa membuat kue adalah wanita yang cantik dan baik hatinya. Karena kue yang enak, selalu dihasilkan dari proses ketelatenan, kesabaran dan penuh perasaan. Itu kata Mama.
Bahkan Puteri yang sejak tadi berusaha menahan jengkel, karena digoda terus sepanjang jalan ikut terdiam, menelan ludah. Astaga" Itu status yang menarik sekali, bukan" Aku dan Rio baru saja saling komen soal makan malam barusan, dan bisnis kue-kue-ku yang baru dia tahu tadi siang dan sekarang lewat facebook, tiba-tiba Rio menulis status seperti itu. Wajahku memerah entah oleh perasaan apa. Rio"
*** Seminggu berlalu lagi. Rasa-rasanya aku mulai kasihan dengan Puteri. Dia jadi lebih pendiam sekarang. Dia tidak sesebal atau hendak menangis waktu di angkot, tapi dia tetap menghindar bicara apapun soal facebook. Itulah kenapa aku dulu menasehatinya agar tidak GR. Rio itu memang ramah ke semua orang. Dia memang rajin me-like, komen di profile orang lain, tanpa maksud apapun. Lepas dari kejadian di kedai fast food, sebenarnya Rio tetap rajin me-like dan komen di profile Puteri, tidak berubah, hanya karena Puteri saja yang sekarang punya sudut pandang baru jadi tidak antusias lagi. Malah semakin jarang update sesuatu.
Nah, kalau kalau like dan komen Rio di profileku" Eh, aku berusaha untuk tidak GR, kok. Meskipun ya, aku senang. Siapa sih tidak senang diperhatikan Rio" Tapi aku tidak GR, itu sungguhan memang demikian. Bukan cuma sekali Rio update status soal masak, memuji-mujiku yang pintar masak, peduli sekali dengan hal-hal kecil di timeline facebookku, sampai setiap postingan jenis kue baru, dia ikut berkomentar detail, bergurau, melucu.
Termasuk malam ini, ketika Rio menulis di wallku, Nana, kalau besok aku mau membicarakan hal penting, kamu punya waktu nggak"
Aku gemetar menulis komen, Iya, bisa, besok nggak ada jadwal kuliah. Memangnya mau ngomongin apaan"
Ditunggu satu jam tetap belum direply Rio. Aku sudah galau se-semesta galaksi. Harap-harap cemas menunggu balasan Rio jadi paham bagaimana dulu Puteri yang semalaman susah tidur hanya demi reply wall nggak jelas. Sedangkan wall dari Rio untukku ini jelas-jelas amat jelas, bagaimana aku nggak galau.
Maaf baru reply, tadi main basket bareng teman. Ada deh, rahasia, biar surprise. Nanti Mama sama Papa juga ikut, kok.
Ya ampun" Rio" Aku semaput di dalam kamar.
Ini sungguhan" Serius" Meski memiliki prinsip tidak mau memiliki teman cowok dekat kecuali memang serius, aku belum siap bertemu orang tua Rio. Aduh, aku masih dua tahun lagi kuliah meskipun Rio sudah tinggal ujian sidang skripsi. Aku berkali-kali bingung menulis reply komen Rio, dihapus lagi. Ditulis lagi, dihapus lagi. Bahkan aku nyaris menelepon orang tuaku di kota lain. Hendak berkonsultasi.
Rio serius" *** Selamat ya, Na. Puteri berkata pelan.
Besok pagi-pagi, kami berdua berpapasan di depan kamar mandi. Puteri hendak mandi, aku sudah selesai.
Selamat apanya, Put"
Facebook. Puteri berkata lirih, menunduk.
Aku mengangguk, paham. Tentu saja Puteri melihat wall-ku, dia seminggu terakhir pasti terus memonitor wall-ku dan wall Rio. Hal yang dulu kulakukan saat Puteri merasa Rio naksir dengannya.
Aku ikut senang, kok. Puteri menatapku lamat-lamat, Nana jauh lebih baik buat Rio dibanding aku.
Aku tersenyum. Puteri adalah teman sejak SMA, aku dekat dengannya lebih dari enam tahun, jadi aku hafal tatapan matanya, dia sungguh-sungguh mengatakan itu. Aku memeluk Puteri, berbisik, terimakasih ya, Put. Kami berdamai. Puteri sudah bisa menerima kalau selama ini dia hanya GR doang.
Sudah pukul delapan, aku harus bergegas. Rio bilang dia menunggu di mulut gang jam delapan lewat tiga puluh. Kami akan langsung menuju rumahnya, menumpang taksi. Ini benar-benar gila sebenarnya, aku bahkan sejak semalam pusing memikirkan harus mengenakan pakaian apa. Cemas dengan percakapan yang akan terjadi. Rio akan memperkenalkanku dengan orang tuanya. Ya Tuhan, aku ngos-ngosan bahkan sekadar membayangkannya.
Rio sudah menunggu saat aku tiba di mulut gang, dia tersenyum, aku menelan ludah, melihat penampilannya, alangkah rapinya. Sejak kapan Rio memakai kemeja dan ikat pinggang" Kami naik taksi, yang langsung membelah jalanan.
Aku grogi, Rio. Aku berkata pelan.
Rio tertawa, Santai saja, Na. Orang tuaku nggak akan menggigit. Mereka menyenangkan malah.
Aku tersenyum simpul, tetap gugup, meremas jari.
Aku nggak malu-maluin, kan"
Kamu cantik, Na. Apanya yang malu-maluin.
Wajahku bersemu merah. Rileks saja ya, Na. Rio menatapku, mengangguk.
Aku ikut mengangguk patah-patah.
*** Rumah orang tua Rio tidak jauh dari kampus, di sisi lain kota kami. Rio nge-kost hanya agar bisa fleksibel ke kampus. Rumah itu luas, halamannya luas, beberapa mobil box terparkir rapi, beberapa karyawan dengan celemek rapi, terlihat membawa nampan-nampan kue terbungkus plastik. Juga kotak-kotak kue. Aroma kue lezat mengambang di udara. Rio mengajakku melintasi halaman, menuju pintu depan.
Aku tiba-tiba merasa ada yang keliru sekali.
Hiks, apa yang pernah kubilang pada Puteri" Makanya, siapa suruh GR" Saat kebenaran itu datang, maka bagai embun yang terkena cahaya matahari, debu disiram air, musnah sudah semua harapan-harapan palsu itu. Menyisakan kesedihan. Salah siapa" Mau menyalahkan orang lain"
Hiks, ternyata kita senasib, Put.
Urusan GR ini memang kadang gila, Put. Kita benar-benar tidak bisa lagi berpikir waras dan rasional, tertutupi oleh ilusi dan mimpi. Menterjemahkan semua kejadian berdasarkan yang mau kita dengar atau lihat saja. Padahal nyatanya" Tidak sama sekali.
Aku sedikit gemetar bersalaman dengan Mama dan Papa Rio, mereka sudah menunggu di ruang tamu. Amat ramah dan menyenangkan. Meski mulai merasa ada yang keliru, tetap saja separuh hatiku mencoba bertahan berharap hal itu yang akan dibicarakan. Dan saat apa sebenarnya yang hendak dibicarakan oleh mereka tersampaikan, aku hanya tepekur menatap keramik di bawah kakiku. Menelan ludah, lantas menarik nafas panjang sekali.
Hiks, kita senabis, Put. Benar-benar bagai debu disiram air, musnah habis semua imajinasi versiku.
Orang tua Rio adalah pemilik jaringan kue terkenal di kota kami. Mama Rio jago sekali bikin kue, dan pembicaraan ini adalah tawaran padaku untuk ikut mengembangkan bisnisku lebih serius.
Aku menyeka pelipis yang tidak berkeringat. Menghela nafas panjang. Akulah yang berprasangka aneh-aneh, menduga aneh-aneh. Rio lurus saja selama ini. Dia memuji gadis yang pintar masak kue itu cantik dan baik hati, karena Ibunya memang bilang demikian. Dia tertarik sekali semua detail isi timeline facebookku, karena dia memang tahu persis, bukan karena dia cowok sok-tahu atau baru mencari tahu untuk menarik perhatianku.
Aku perlahan menyandarkan badan ke sofa.
Nana mengingatkanku waktu masih muda dulu, loh. Mama Rio menatapku, tersenyum, Mandiri, pintar, dan tentu saja pintar bikin kue. Ssttt, Papa-nya Rio naksir aku gara-gara kue loh. Papa Rio di sebelah tertawa. Rio ikut tertawa.
Aku hanya tersenyum tanggung.
Tidak kali ini, jauh-jauhlah sana GR.
*** 2. Kisah Cinta Sie Sie Adalah Han, kuli kasar di pabrik tahu. Istrinya ibu rumah tangga yang repot mengurus anak-anak sekaligus repot bekerja sebagai babu separuh hari di rumah orang kaya. Keluarga Han tinggal di pinggiran Singkawang, daerah kumuh, tidak sedap dilihat, tidak enak dicium. Jauh lebih baik gang sempit tepian Kapuas milik kita.
Dari tujuh anak mereka, adalah Sie Sie anak tertua, gadis remaja usia enam belas. Mekar menjadi kembang daerah kumuh itu, rambutnya panjang, tinggi semampai, berkulit putih, berlesung pipit dan amboi manis sekali senyumnya. Kalau kau bertemu dengan Sie di oplet, tidak akan menyangka dia amoy dari keluarga miskin, atau gadis remaja yang setiap hari harus bekerja keras, mengurus enam adik sejak shubuh buta sampai larut malam saat adiknya yang masih bayi jatuh tertidur.
Kalau saja Sie ditakdirkan lahir di keluarga berada, lemari di rumah mereka pasti penuh dengan piala-piala, gadis itu pintar, rajin dan tidak suka mengeluh. Sejak kecil sudah terbiasa membantu orang-tuanya. Lihatlah, dia bisa ditemukan di rumah sedang menggendong adiknya yang paling kecil, sekaligus menyuapi dua adiknya yang lain, meneriaki adiknya yang cukup besar agar berhenti bertengkar, sambil menjahit pakaian dengan singer tua berkarat. Sayangnya Sie tidak sekolah, tidak berpendidikan. Satusatunya keahlian dia adalah membuat baju pesanan yang dipelajarinya sendiri, itupun untuk membantu beban orang-tuanya.
Keluarga mereka mampu bertahan hidup dari hari ke hari, bulan ke bulan, tahun ke tahun hingga cobaan besar itu datang, ketika Ibu Sie Sie jatuh sakit. Apalagi yang diharapkan dari pemukiman kumuh, air bersih terbatas, ventilasi rumah buruk, lantai lembab" Semua mengundang banyak penyakit, Ibu Sie kena paru-paru basah, penumonia. Kondisinya memburuk, parah karena tidak segera mendapat pengobatan yang baik.
Sejak Ibu mereka sakit, separuh penghasilan keluarga hilang, sialnya harus ditambah dengan pengeluaran baru, uang untuk membeli berbagai obat yang tidak kunjung menyembuhkan. Semua beban itu jatuh pada Sie Sie, selain mengurus enam adikadiknya, dia juga harus merawat Ibunya, ditambah pula harus bekerja hingga larut malam menyelesaikan pesanan baju yang bayarannya tidak seberapa. Tidak terbayangkan, gadis usia enam belas memikul beban fisik dan pikiran sebanyak itu. Dan situasi semakin rumit saat Bapak mereka dipecat dari pabrik tahu, ketahuan mencuri brankas uang tidak tahan dengan kesulitan yang ada, Bapak mereka mengambil jalan pintas.
Pak Tua berhenti sejenak, meneguk teh aroma melati di atas meja.
Andi menatap gelas teh tidak sabaran.
Di tengah situasi kacau-balau, Han mereka masuk bui, sakit istrinya tambah parah, harus segera dibawa ke rumah sakit, Sie Sie mendengar kabar ada pemuda Taiwan yang datang ke Singkawang mencari istri. Sie tentu sering mendengar percakapan, bisik-bisik tetangga tentang nikah foto . Dua orang teman dekatnya, setahun silam juga dipaksa orang-tua mereka menikah dengan lelaki dari Hongkong. Sie Sie sendiri yang menyaksikan dua temannya itu menangis hingga kering air-mata, Sie Sie sendiri yang memeluk, menghibur, melakukan apa saja untuk dua temannya yang tidak punya kekuatan menolak. Sie benci dengan pernikahan itu, sebenci dia dengan kemiskinan dan kebodohan yang menjerat mereka.
Sayangnya, kebencian yang besar terkadang tidak cukup untuk melawan sesuatu. Malam itu, Ibu Sie jatuh pingsan, tubuh membiru, dengus nafas mulai habis. Bapak mereka yang masih di penjara tidak membantu. Sie Sie sendirian, dengan menumpang oplet, susah payah membawa Ibunya ke rumah sakit, pihak rumah sakit menolak Ibunya tanpa jaminan pembayaran. Sie terjepit. Di tengah situasi darurat itu, di tengah kalut pikiran, tidak ada tetangga, kerabat atau sahabat yang membantu, Sie Sie memutuskan mengambil pilihan yang tidak pernah dia pikirkan sebelumnya, pilihan yang amat dia benci, dia bersedia menjadi istri belian.
Berangkatlah Sie Sie ke hotel itu, tempat pemuda dari Taiwan mencari istri. Sudah ada lima amoy pendaftar di lorong hotel, berbisik-bisik. Pemuda Taiwan itu ditemani salahsatu karyawan hotel melakukan seleksi sepertinya karyawan hotel itu sudah terbiasa dengan proses mencari amoy. Ke sanalah Sie Sie pergi, mendaftar menjadi calon istri belian.
Pak Tua berhenti sejenak, memainkan sumpit, menghela nafas.
Aku dan Andi ikut menghela nafas. Sementara malam semakin larut, restoran tempat kami menghabiskan choi pan tinggal berisi satu-dua pengunjung. Pelayan restoran terlihat asyik mengobrol dengan bahasa China.
Nama pemuda Taiwan itu adalah Wong Lan, anak semata wayang dari keluarga kaya. Keluarga mereka punya pabrik tekstil, hidup makmur, berkecukupan. Sejak usia Wong Lan menginjak kepala tiga, Bapak Ibunya sudah sibuk mengingatkan agar dia segera menikah, mencari gadis pilihan, membina keluarga sendiri. Sayangnya, sejak usia tiga belas, kelakuan Wong Lan jauh bumi jauh langit dari harapan orang tuanya. Dia malas sekolah, lebih suka keluyuran, merokok, minuman keras, berjudi, berteman dengan orang-orang salah. Tabiatnya buruk, suka berteriak, dan kadang memukul pembantu di rumah. Bapak Ibunya berharap, kalau Wong Lan akhirnya menikah, maka perangainya akan sedikit berubah. Maka tidak terhitung anak gadis kenalan, kolega bisnis, tetangga yang diajak ke rumah, berkenalan dengan Wong Lan, sia-sia, anak semata wayang mereka lebih suka hidup bebas.
Saat usia Wong Lan tiga puluh lima, orang tuanya meninggal dalam kecelakaan pesawat terbang di atas Laut China Selatan. Dari jasad yang tidak pernah ditemukan, orang tua Wong Lan mewariskan pabrik tekstil dan semua harta benda pada anak semata wayang mereka. Dan karena besar sekali harapan serta keyakinan Ibunya bahwa Wong Lan akan berubah setelah punya istri dan anak, maka surat warisan yang dipegang pengacara keluarga mensyaratkan dia harus telah menikah untuk memperoleh semua harta-benda. Isi wasiat itulah yang membuat kapiran semua masalah, Wong Lan cerdas, tidak hilang akal, dia tahu tentang amoy Singkawang, maka berangkatlah dia mencari istri yang bisa dibeli, yang tidak banyak tingkah.
Wong Lan tidak jelek, apalagi buncit. Dia tampan, kacik sedikit dibanding ketampanan kau, Andi. Pak Tua bergurau, tertawa, Tetapi perangainya buruk. Apalagi dari awal, niat pernikahan itu sudah tak lurus. Dia mencari istri sekadar memenuhi syarat agar harta warisan jatuh padanya. Pemuda itulah yang ditemui Sie Sie di kamar hotel. Karyawan penginapan yang menemani wawancara berbisik kalau yang satu ini sepertinya memang masih gadis, bukan amoy tipuan seperti yang sebelumnya. Berbisik ini, berbisik itu.
Dalam pertemuan lima belas menit itu, Sie hanya sekali menatap wajah Wong Lan, dan sekujur tubuhnya berontak, dia hampir muntah menahan rasa benci atas apa yang telah dilakukannya. Hanya karena bayangan wajah Ibunya yang sekarat, membuat Sie bertahan. Sie mendengar syarat-syarat yang disampaikan oleh pemuda Taiwan itu, yang sepertinya berkenan melihat Sie.
Wawancara itu ditutup dengan angka nominal harga pernikahan itu. Sie hanya menunduk, mencegah orang melihat dia menangis, mencengkeram pahanya agar tidak gemetar, dia mengangguk, sepakat. Sekian ratus ribu di bayar saat pernikahan dilangsungkan, sekian puluh ribu akan dibayar setiap bulan untuk keluarga Sie selama setahun ke depan. Kalau semua sudah beres, apakah pembayaran bisa dilakukan sekarang" Sie dengan suara bergetar bertanya. Karyawan hotel yang membantu Wong Lan tertawa, bilang, mana ada pembayaran sebelum menikah. Sie menahan tangis bilang dia butuh uang segera, berharap kalau memang memungkinkan, pernikahan dilangsungkan hari itu juga. Astaga, Sie yang dulu benci sekali dua temannya dipaksa menikah, hari itu, siang itu, justeru yang meminta pernikahan dilaksanakan segera.
Kalian tahu, Borno, Andi, Pak Tua menghela nafas panjang, ikut tertunduk dalamdalam, menekuri meja makan restoran, Dalam hidup ini, kita masih beruntung, karena kita selalu punya banyak pilihan. Apapun masalah kita, tetap saja banyak pilihan solusi yang tersedia. Sie Sie tidak punya. Dia sungguh tidak punya pilihan. Bapaknya di penjara, Ibunya sekarat, adik-adiknya butuh makan, pernikahan ini akan memberikan jalan keluar. Jaman itu, uang ratusan ribu terbilang besar, dan pembayaran bulanan yang dijanjikan pemuda Taiwan nilainya tiga kali lipat dari penghasilan keluarga mereka selama ini.
Pikirannya buntu, bagi Sie, itu lebih terhormat dibanding mengemis, meminta-minta atau menjual diri seperti gadis-gadis lain. Lagi-pula, tidak ada hukum yang melarang membeli istri, bukan" Itu sah, anggap saja pembayaran mahar. Sie berlari sepanjang halaman hotel dengan air-mata berlinang. Dia ingin berteriak, tapi kerongkongannya kelu, dia ingin marah, pada siapa" Pada Tuhan" Keputusan itu dia ambil sendiri, tidak ada yang bisa disalahkan. Semua pilihannya sendiri, apapun resiko dan harganya.
Surat wasiat Ibu Wong Lan mensyaratkan pernikahan resmi, maka surat-menyurat harus diurus, itu kabar baik bagi Sie, karena banyak amoy lain yang tidak jelas status hukumnya. Wong Lan ingin segera membawa istri pulang ke Taiwan, Sie Sie ingin segera punya uang, tujuan yang cocok, karyawan hotel segera berangkat mengurus dokumen. Menjelang malam karyawan hotel itu datang ke rumah sakit, mengabarkan semua beres, semua siap. Pernikahan bisa dilaksanakan kapan saja, tinggal membubuhkan tanda-tangan.
Dan tibalah waktunya Sie bilang kepada Ibunya tentang keputusan gila yang telah dia buat. Kalian bayangkan, ruangan gawat darurat, pukul sepuluh malam, hanya ada Sie dan Ibunya yang terbaring lemah di ranjang. Suster jaga menunggu di sudut ruangan, dokter sudah pulang. Sie gemetar, mengabarkan pada Ibunya, perihal dia akan menjadi isteri belian, dibawa orang asing pergi ke negeri seberang lautan.
Sie janji, Ma. Sie janji semua akan baik-baik saja.
Remaja enam belas tahun itu memeluk ibunya, menahan menangis. Kau tidak boleh melakukannya, Nak.
Sie janji, Ma. Gadis itu berbisik terisak.
Kau sungguh tidak boleh melakukannya, Nak. Ibunya terbatuk pelan, ikut menangis. Keputusan Sie sudah bulat, Ma. Semua sudah diatur, semua sudah selesai, Sie sudah jadi istri orang. Sie Sie menyeka bibir Ibunya, Biarlah, Ma. Tidak mengapa. Dengan begini& dengan begini Ma bisa sembuh, kita punya uang untuk makan, adik-adik bahkan bisa sekolah.
Tidak boleh, Nak. Tidak boleh. Ya Tuhan, semua ini salah kami. Kenapa Sie yang harus menanggung semua beban" Ibunya tersengal.
Sie Sie memeluk erat Ibunya, Sie janji, Ma. Pernikahan ini akan bahagia. Sie akan mencintai dia apa adanya. Sie janji Ma, dia juga akan mencintai Sie apa-adanya.
Aku dan Andi tercenung, bersitatap satu sama lain.
Tentu saja Pak Tua tidak meng-adegankan kejadian itu dalam ceritanya, tidak bilang seperti apa dialognya, tapi kami bisa membayangkan betapa menyakitkan kejadian itu. Mengingatkanku pada keputusan almarhum Bapak mendonorkan jantungnya dulu, ketika aku mengamuk di lorong rumah-sakit. Itu sama menyakitkan, bedanya aku menolak pengorbanan Bapak, Sie Sie justeru memilih mengorbankan dirinya. Andi, Borno, itulah janji suci yang diucapkan seorang amoy yang masih berusia enam belas tahun. Dia berjanji, akan mencintai apa-adanya suaminya yang datang dari antah berantah. Dan dia juga berjanji, akan membuat suaminya mencintainya apa-adanya. Sie Sie berjanji akan memaksa perasaan itu tumbuh mekar di pernikahan mereka. Pak Tua menengadahkan kepala, menatap langit-langit restoran, Ah, cinta, selalu saja misterius. Bisa apa seorang gadis tanggung enam belas tahun di negeri orang" Menikah dengan seseorang yang bertabiat buruk dan sejak awal sudah benci pernikahan itu. Bisa apa dia"
*** Dan waktu berjalan cepat.
Wong Lan membawa Sie Sie ke Taiwan esok paginya, lebih cepat lebih baik. Kepergian yang menyedihkan, karena tidak seperti pengantin baru yang dilepas dengan perasaan suka-cita, doa-doa dan pengharapan, tidak ada satu pun kerabat yang mengantar Sie ke terminal bus menuju Pontianak, kemudian menumpang pesawat ke Jakarta, transit di Singapura lantas Taiwan.
Sie Sie bahkan tidak sempat pamit pada Bapaknya, menyedihkan.
Dia sudah berdiri di depan pintu ruang bezuk, kakinya gemetar, matanya basah, dan saat sipir penjara berteriak memanggil, Siapa yang bernama Sie Sie" Bapak Han sudah menunggu di dalam. Sie justeru sedang membujuk mati-matian agar dirinya berdiri tegar, Siapa yang bernama Sie Sie" Waktu bezuk hanya setengah jam" Petugas berteriak, kepalanya melongok. Sie menggigit bibir sampai terasa asin, dia ingin bertemu Bapaknya sebelum pergi jauh, ingin mengabarkan keputusan itu, meminta doa restu. Woi, mana yang namanya Sie Sie" Aku tidak akan menunggu seharian di sini, ada banyak urusan lebih penting. Petugas mendengus marah. Sie sudah menangis, dia berlarian sepanjang lorong, kakinya berkhianat, menyuruh menyingkir sejauh mungkin. Kalian tahu, dari ketinggian langit, tidak macam penumpang yang pertama kali naik pesawat terbang, antusias melihat cakrawala luas, awan-awan putih, Sie hanya menatap kosong batas pulau Kalimantan. Entah di mana Singkawang, di mana Pontianak, di mana kotanya, yang terlihat hanya kontras warna biru gelap dan biru muda yang semakin memudar. Dia sudah ribuan kilometer meninggalkan tanah kelahiran. Sie Sie menyeka ujung mata, dia berjanji, ini untuk terakhir kalinya dia menangis, tidak, dia tidak akan lagi menangis apapun yang terjadi. Dia berjanji sungguh-sungguh, menyeka ingus. Sementara suaminya, Wong Lan, sejak pesawat lepas landas mendengkur tidak peduli di kursi sebelah.
Pak Tua diam sebentar, menghela nafas.
Aku dan Andi ikut menghela nafas.
Mereka tidak banyak bicara sepanjang perjalanan, juga tidak banyak bicara saat tiba di rumah keluarga Wong. Tidak ada acara menyambut menantu, tidak ada kerabat, tetangga bahkan pembantu yang tahu mereka datang. Peduli Wong Lan hanya satu, mengundang pengacara sesegera mungkin, memperlihatkan Sie Sie, surat menyurat dan bukti dokumen pernikahan sah. Syarat telah dipenuhi, harta warisan keluarga resmi menjadi milik Wong Lan. Senang bukan kepalang pemuda Taiwan itu, hingga tidak peduli mau apa, hendak apa, dan siapa Sie Sie baginya. Cuma pada pengacara itu Wong Lan mengaku Sie istrinya, sedangkan pada tamu yang berkunjung, teman yang datang, Wong santai bilang kalau Sie adalah pembantu impor dari Indonesia, Gajinya murah, cukup diberi makan tiga kali sehari. Sudah senang dia. Kau mau kucarikan satu" Bergaya Wong Lan menunjuk-nunjuk jidat Sie Sie.
Tidak ada di keluarga itu yang menghargai Sie, termasuk pembantu sekalipun. Sopir, tukang kebun, tukang pel, di belakang sibuk memonyongkan bibir tanda tidak suka, Istri belian, wanita murahan, statusnya lebih rendah dibanding kita. Membiarkan gadis usia enam belas itu berjuang sendiri melakukan penyesuaian. Negeri baru, iklim baru, musim panas, musim dingin, musim semi, mana ada salju di Singkawang" Aksen dan kosakata mandarin yang berbeda, racikan bumbu masakan yang berbeda, cara berpakaian yang berbeda, semuanya berbeda.
Dua tahun berlalu, dengan pengalaman mengasuh enam adiknya selama ini, setidaknya Sie cukup tangguh. Wong Lan juga belum menyakiti Sie secara fisik, orang-orang di rumah meski tidak respek, tidak berani menunjukkan rasa benci secara terbuka. Dua tahun itu, Sie menyibukkan diri, belajar menjadi istri yang baik, melakukan apa saja yang bisa dia kerjakan, melayani suami sebaik mungkin, menyiapkan baju, memasangkan dasi, menyemir sepatu, berlarian membawa tas kerja, menyiapkan makanan, merapikan tempat tidur. Memasang wajah riang, tidak peduli meski Wong Lan melempar piring, mencaci masakannya, tidak peduli walau Wong Lan merenggut dasi yang dipasangkan, menginjak tangannya saat melepas sepatu. Sie sudah berjanji pada Ibu, dia akan mencintai suaminya apa-adanya.
Nah, bicara tentang Ibu, persis di penghujung tahun kedua, sepucuk telegram terkirim dari Singkawang, isinya pendek: Tadi malam kma senin kma tanggal dua satu bulan lima kma pukul delapan ttk tiga puluh kma Ibu meninggal di RSU ttk tidak perlu dicemaskan kma Ibu akan segera dikebumikan esok pagi kma peluk sayang dari adik adikmu ttk hbs.
Kelu bibir Sie Sie membaca telegram itu. Uang memang berhasil memperpanjang usia, tapi takdir tidak pernah terkalahkan. Sie ingin pulang ke Singkawang, setidaknya melihat pusara merah Ibunya. Sie rindu adik-adiknya. Sie juga rindu memeluk Bapaknya. Apalah yang bisa dia lakukan" Di rumah besar itu, sepeser uang pun dia tidak pegang, paspor, surat-menyurat terkunci rapat di lemari besi Wong Lan. Apakah dia akan menunjukkan telegram itu pada suaminya" Wong Lan tidak pernah peduli urusan Sie, ekspresi wajahnya selalu sama, menyingkir, urus saja diri kau sendiri.
Situasi memburuk saat pernikahan memasuki tahun ketiga, bukan karena memang di tahun-tahun itu rasa bosan, masalah, salah-paham lazim muncul bagi kebanyakan pasangan, tapi karena pabrik tekstil kecil Wong Lan terkena imbas krisis harga minyak tahun 80-an, ekonomi Taiwan mengalami kemunduran. Dan situasi diperburuk dengan kenyataan Wong Lan tidak becus mengurus pabriknya. Dia lebih suka keluyuran dibanding mengawasi pekerja, lebih suka berkumpul dengan teman-temannya dibanding kolega bisnis, lebih suka bersenang-senang dibanding memikirkan strategi dagang yang baik. Aliran uang mulai tersendat, hutang menumpuk, tabiat Wong Lan yang suka marah-marah dan memukul kambuh. Siapa lagi yang bisa dicaci dan dipukul seenak perutnya" Sie Sie.
Usia gadis itu dua puluh ketika masa-masa siksaan fisik datang. Pagi ditampar, siang dijambak, malam ditendang. Dan situasi terus memburuk dari hari ke hari. Temanteman dekat Wong Lan pergi, tak ada uang, tak ada kesenangan, semua menjauh darinya. Pekerja pabrik macam kartu remi dirobohkan, satu persatu berhenti, termasuk orang-orang kepercayaan orang tua Wong Lan dulu, pembantu di rumah, hanya soal waktu minta berhenti, tidak tahan dengan marah-marah sepanjang hari. Hanya tersisa Sie Sie sebagai sansak, pelampiasan seluruh tabiat buruk suaminya sendiri. Siangmalam Sie tersiksa lahir-batin, macam di terowongan gelap tanpa titik terang. Bangun pagi hanya untuk menjemput hari menyedihkan berikutnya. Sementara pabrik tekstil Wong Lan mati segan hidup tak mau, mereka bertahan hidup dari sisa harta benda.
Dua tahun masa kelam, datang kabar besar, Sie Sie hamil. Dia mengandung buah cinta, kalau memang ada cinta di pernikahan itu. Seharusnya itu kabar baik. Jauh langit jauh bumi, Wong Lan malah menuduh Sie dihamili orang lain, memukuli istrinya yang sedang hamil muda. Itu situasi darurat, tidak mungkin Sie membiarkan kandungannya dalam bahaya, dia akhirnya memutuskan mengungsi, ditampung oleh keluarga konsulat Indonesia. Kasus itu menarik perhatian polisi lokal Taiwan, penyidikan dilakukan, Wong Lan ditahan. Hampir enam bulan dia masuk penjara, lihatlah, tidak seharipun Sie alpa mengunjunginya, membawakan rantang makanan kesukaan, memasang wajah riang bertanya apa kabar. Dan apa balasan Wong Lan" Acuh tak acuh, menatap benci Sie Sie, mengutuknya sebagai penyebab bala bagi seluruh keluarga, membuat pabrik bangkrut, Dasar wanita pembawa sial. Tidak sehari pun dengusan seperti itu alpa diterima Sie.
Wong Lan tidak peduli perut istrinya semakin membesar, tidak peduli wajah berseriseri istrinya, yang tetap sungguh-sungguh melayani dan berusaha membatalkan seluruh proses pengadilan.
Usia bayi mereka satu bulan saat Wong Lan dibebaskan. Setidaknya, dengan kehadiran bayi di rumah, walau mulutnya tetap kotor, Wong Lan berpikir dua kali untuk memukuli Sie. Anak pertama mereka laki-laki, tampan macam Bapaknya, rambutnya lurus hitam legam seperti Ibunya. Wong Lan tidak peduli, sama tidak pedulinya meski nama anak itu mewarisi namanya. Dia jarang ada di rumah, selalu pergi, dan saat pulang, mulutnya bau alkohol, pakaiannya kusut, rambutnya berantakan, dan selalu berteriak-teriak. Wong Lan tidak memenuhi kebutuhan Sie dan bayi mereka, dia sendiri saja menjual hampir seluruh harta benda yang ada. Kebiasaan judinya datang tak tertahankan, satu persatu perabotan digadaikan. Tinggallah Sie yang harus menanggung keperluan, susu si kecil, kebutuhan rumah tangga. Kabar baik, dia pernah melakukannya di Singkawang, waktu usianya enam belas, tidak masalah dia melakukannya sekali lagi di Taiwan. Sie menerima pesanan jahitan, membuat poster, berkeliling dari pintu ke pintu sambil menggendong si kecil, menawarkan jasa membuat baju.


Sepotong Hati Yang Baru Karya Tere Liye di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dua tahun bertahan hidup, Sie hamil lagi, bayi kedua. Percuma, Wong Lan tetap tidak peduli, hatinya tidak tersentuh, dia asyik dengan dunianya sendiri, terakhir terbetik kabar dia menjual seluruh bangunan dan tanah pabrik. Uang itu sebenarnya cukup banyak, tapi hanya habis dalam hitungan minggu. Habis di meja judi, penginapan, tempat hura-hura. Wong Lan merasa dunianya kembali, teman-teman seperti laron datang merubung, dia lupa, saat uangnya habis, dia kembali sendirian di meja-meja minum, sepi di tengah keramaian pub.
Enam tahun berlalu, bayi ketiga dan keempat lahir, kembar. Lucunya tak terkira, amat menggemaskan. Sia-sia, Wong Lan tetap tidak peduli, mengunjungi Sie di rumah sakit pun tidak. Dia baru saja menggadaikan rumah besar, harta terakhir warisan orangtuanya. Bersenang-senang dengan tumpukan uang yang dengan cepat menipis. Tinggallah Sie repot mengurus empat anaknya, berusaha mencari tempat berteduh sementara. Untuk kedua kalinya Sie Sie ditampung keluarga konsulat. Salah-satu staf konsulat menasehati Sie agar menghentikan pernikahan itu, minta cerai. Semua dokumen bisa disiapkan, paspor pengganti, paspor untuk anak-anaknya. Sie menolak mentah-mentah, menggeleng tegas, dia sambil menahan air-mata tumpah bilang tentang janji hebat itu. Dia akan mencintai suaminya apa-adanya, dan dia akan memaksa perasaan yang sama muncul di hati suaminya. Itu gila! Itu benar-benar kalimat paling gila tentang cinta yang pernah kudengar. Pak Tua menggelenggelengkan kepala, mengusap uban.
Aku dan Andi ikut mengusap kepala.
Siapa Wong Lan sekarang" Tidak lebih seorang laki-laki berusia empat puluhan, tidak punya pekerjaan, pemabuk, penjudi dan ratusan tabiat buruk lainnya. Kalau dulu Sie bertahan, masuk akal, dia membutuhkan wesel bulanan ke Singkawang agar adikadiknya bisa makan, bisa sekolah. Sekarang, bahkan untuk membeli popok si kembar, itu hasil keringat Sie Sie sendiri. Aku tidak bisa mempercayai Sie yang menahan tangis, tersendat, kedat, bilang, Aku mencintai suamiku sejak pertama kali naik bus menuju Pontianak. Dan aku akan terus mencintai dia hingga mati. Lantas menciumi bayi kembarnya, mati-matian menahan tangis karena dulu dia pernah bersumpah tidak akan menangis lagi.
Tiga bulan menumpang di konsulat, Sie Sie mengontrak rumah kecil. Setelah bertahuntahun berusaha, keahliannya menjahit pelan-pelan dikenal banyak orang. Bisnisnya mulai berkembang. Boleh jadi itu rezeki dari bayi-bayinya. Boleh jadi itu buah keteguhan hati Sie Sie. Boleh jadi, tidak ada yang tahu. Bertahun-tahun berlalu, hingga anak-anaknya mulai sekolah, bisnis Sie Sie tumbuh besar, belasan mesin jahit berdatangan, pekerja tumbuh jadi puluhan.
Di mana Wong Lan" Tidak ada yang tahu. Dia menghilang lepas menjual rumah besar milik keluarganya, gelap beritanya, sosoknya raib ketika si kembar lahir, meninggalkan begitu saja istri dan empat anaknya. Lantas apa yang dilakukan Sie atas kepergian suaminya" Setelah seharian sibuk mengurus anak-anak dan bisnis jahit menjahit, setelah si kembar tidur lelap, Sie mulai melahap semua berita di koran, menandai iklan mencari orang, bertanya kesana kemari, mengunjungi kantor polisi, mengunjungi pubpub, tempat hura-hura, Sie menghabiskan malam untuk mencari suaminya. Dia lakukan itu tanpa alpa semalam selama enam tahun. Bayangkan, enam tahun. Tidak putus pengharapan. Tidak mundur selangkah pun.
Saat anak pertama mereka berusia dua belas, kabar baik itu datang, salah-satu karyawan yang disuruh mencari Wong Lan, akhirnya melaporkan suaminya ditemukan terlunta-lunta di Hongkong. Usia suaminya lima puluh, lelaki tua yang hidup sendirian, sakit-sakitan, tanpa teman, terlupakan dari dunia. Kabar itu membuat hati Sie bungah, dia tidak sabaran, memutuskan berangkat malam itu juga ke Hongkong, menjemput suaminya, menjemput bapak dari anak-anaknya. Tapi saat dia menuju bandara, melesat kabar duka dari Singkawang, telepon dari salah-satu adiknya, bilang Bapak Sie Sie meninggal dunia.
Lama nian Sie menahan kerinduan pulang. Tahun-tahun terakhir, dengan keleluasaan yang dia miliki, kesempatan itu bisa dilakukan kapan saja, tapi dia tidak akan melakukannya tanpa ditemani Wong Lan. Dia ingin pulang, menziarahi makam Ibu, bilang kalau janjinya sudah dipenuhi. Malam itu, kabar kematian Bapaknya membuat kerinduan datang tak tertahankan. Adik-adiknya di Singkawang bilang, jika Sie bersedia pulang, jasad Bapak akan menunggu dia. Separuh hatinya ingin pulang ke Indonesia, memenuhi kewajiban terakhir mengantar Bapak ke pemakaman. Tapi suaminya menunggu di Hongkong, dirawat di salah-satu rumah sakit. Urusan ini muda ditebak, lima belas menit menatap layar jadwal keberangkatan pesawat di bandara, Sie memilih menjemput suaminya. Itulah keluarganya sekarang, itulah keluarganya sejak dia memutuskan dibeli suaminya lima belas tahun lalu.
Tubuh Wong Lan kurus kering saat dibawa kembali ke Taiwan, kebiasaan buruk menggerogoti fisiknya. Dan bukan itu masalah terbesarnya, melainkan anak tertua Sie menolak mentah-mentah memanggil Bapak pada Wong Lan, usianya dua belas, sudah lebih dari tahu cerita penderitaan Ibunya selama ini. Dia berteriak marah, mengusir Wong Lan dari kamar perawatan di rumah. Itu bagian menyakitkan kesekian yang harus dialami Sie, dia memeluk anaknya, meminta dengan sangat, sambil menangis, agar si sulung mau memanggil Wong Lan, Bapak . Si sulung mengibaskan tangan Ibunya, berlari. Hanya si kembar yang bersedia menemani Ibunya merawat Wong Lan.
Berbulan-bulan Sie merawat suaminya dengan tulus. Proses rehabilitasi kecanduan. Lelah mengurus bisnisnya, capai mengurus tingkah anaknya, sering dia ditemukan jatuh tertidur di ranjang tempat suaminya berbaring lemah. Rambut Sie yang dulu hitam legam mulai beruban. Wajahnya yang dulu periang, mata sipit bersinar-sinar, tinggal gurat muka penuh ketabahan dan sorot mata tulus. Tubuhnya yang dulu ramping, tinggi semampai, sekarang bungkuk, kaki pincang sisa pukulan-pukulan kasar suaminya. Janji itu luar biasa, janji itu macam mercu suar di pinggiran kota Taiwan, dia sungguh akan mencintai suaminya apa-adanya. Maka bulan-bulan perawatan itu menjadi simbol paling agung rasa cinta Sie. Tidak ada kebencian, tidak ada penyesalan. Astaga, seandainya kita bisa melihat wajah Sie saat merawat suaminya. Janji itu sungguh luarbiasa. Pak Tua menyeka ujung mata, sedikit terharu.
Andi malah kedat hidung. Aku menyikut Andi pelan, kau tidak akan menangis, kan"
Andi melotot, enak saja. Kalian tahu, Andi, Borno" Apakah kau bisa memaksa perasaan cinta" Sie bisa melakukannya. Dia bisa membuat suaminya mencintai dia apa-adanya, bahkan walau sebelumnya Wong Lan amat membencinya. Di malam kesekian masa-masa rehabilitasi, ketika Wong Lan terjaga, saat dia menatap wajah lelah istrinya yang jatuh tertidur di pinggir ranjang, perasaan itu mulai tumbuh kecambahnya. Lihatlah, wanita yang selama ini dia sakiti, tega dia beli lantas dibawa pergi jauh dari rumahnya, wanita yang dia renggut dari masa remajanya yang indah, begitu tulus merawat dirinya enam bulan terakhir. Wong Lan tergugu, menyentuh bekas carut luka di kening istrinya, luka itu bekas lemparan asbak darinya.
Tangan Wong Lan gemetar menyentuh rambut beruban Sie, lihatlah, wajah teduh ini, wajah penuh kasih-sayang istrinya. Ini tetap wajah yang sama meski dulu dia lempar, dia injak, wajah yang sama meski dulu dia kutuk wanita pembawa sial. Wong Lan menangis dalam diam, terisak dalam senyap. Alangkah bodoh dirinya selama ini. Bodoh sekali. Disangka teman-temannya akan selalu ada, itu dusta. Disangka semua kesenangan itu abadi, itu tipu. Semua tidak hakiki. Adalah cinta Sie yang sejati, cinta wanita yang dia sia-siakan, wanita yang dia aniaya bertahun-tahun. Malam-malam rehabilitasi itu menjadi saksi saat cinta Wong Lan tumbuh mekar, cinta seorang pemuda Taiwan yang terlambat lima belas tahun. Benar-benar terlambat. Tapi tak mengapa, itu tetap berakhir bahagia, tidak mengurangi nilainya.
Pak Tua terdiam lama. Menghela nafas panjang, menatap jalanan depan restoran yang lengang. Pelayan sudah bersiap merapikan meja-meja. Tidak ada lagi pengunjung selain kami.
Itulah cinta sederhana amoy Singkawang. Cerita hebat yang tidak diketahui sopir soktahu tadi siang. Tidak semua amoy yang pergi ke Taiwan bersama seseorang yang baru dikenalnya sehari dua hari bernasib buruk. Hidup adalah perjuangan, bukan" Kebahagiaan harus direngkuh dengan banyak pengorbanan. Sie Sie telah membuktikan janjinya.
Andi benar-benar menyeka mata, tidak peduli aku meliriknya.
Pak Tua tersenyum, Kalian pasti bertanya, lantas apa hubunganku atas kisah ini" Aku ada di konsulat Taiwan itu saat Sie mengungsi. Akulah yang berseru, gila! Menilai kalimat Sie berlebihan dan tidak masuk akal. Ah, itu masa-masa saat orang-tua ini melakukan perjalanan ke mana-mana, melihat banyak hal, belajar banyak hal. Lantas kenapa kita malam ini ada di Singkawang" Karena besok, Sie dan Wong Lam akan menikahkan salah-satu si kembar di kota ini. Aku turut diundang. Si kembar berjodoh dengan amoy Singkawang saat berkunjung ke sini beberapa tahun lalu. Tentu, pernikahan itu bukan pernikahan foto . Mereka jatuh cinta pada pandangan pertama saat bertemu di Pekong Surga-Neraka. Nah, besok juga adalah pertama kali Sie Sie pulang ke Singkawang. Besok, dia akan bilang ke pusara Ibunya, janji itu telah dipenuhi, dia bisa memaksa perasaan itu tumbuh di hatinya dan di hati suaminya. Janji hebat seorang gadis yang baru berusia enam belas tahun. Ah, bisa apa dia" Dia bisa membuktikannya.
*** 3. PERCAYAKAH KAU PADAKU Buat apa cinta jika kau tidak percaya padaku, buat apa sayang jika kau terus berprasangka yang bukan-bukan.
Cindanita, maafkan Ayahmu, semua ini harus berakhir menyakitkan. Menatap pusaramu, Nak, meskipun kejadian itu sudah lima belas tahun lalu tertinggal, rasarasanya baru kemarin terjadi. Hari ini, kau seharusnya sudah seperti gadis remaja kebanyakan, pasti cantik dengan rambut panjang hitam legam, mata hitam bundar, pipi memerah berlesung, dan hidungmu, persis seperti ibumu, mancung seperti hadiah terbaik Tuhan untuk anak yang manis dan penurut.
Maafkan Ayahmu, Nak, semua janji masa depan itu tidak terwujud, hancur berkepingkeping dibawa kepergian Ibumu. Maafkan Ayahmu, Cindanita. Seusiamu sekarang, enam belas, kau pasti belum paham, bahwa pondasi terbesar perasaan cinta, selain komitmen adalah kepercayaan. Tanpa sebuah kepercayaan yang utuh, maka dia hanya ibarat malam tanpa lampu, kau tersuruk tanpa arah. Ibarat kapal tanpa kompas, kau tersesat semakin dalam di lautan perasaan. Atau jangan-jangan kau sudah paham, Nak" Aku menyeka ujung mata, mendongak. Kabut mengambang di pekuburan kota, membuat pohon kamboja terlihat seperti bayang-bayang syahdu, berpadu dengan pusara-pusara tinggi. Matahari hampir tenggelam di kaki langit, menyisakan semburat merah, suasana ini sama benar dengan waktu kau dikebumikan, Cindanita. Juga sama benar saat Ibumu pergi.
Lihatlah, Ayah pulang, Nak, menjengukmu sesuai janji setelah setahun lagi berlalu. Aku tersenyum, mengusap lembut pusara berlumut di hadapanku. Sebenarnya, tidak pernah mudah mengunjungi kembali kota ini, bukan karena jaraknya amat jauh dengan tempatku menetap sekarang, Nak, tapi dengan kembali itu sama saja seperti melihat seluruh kenangan itu diputar di pelupuk mata, tanpa kurang satu adegan manapun. Walaupun hanya mampir sebentar, hanya sesore, sekelebat berjalan di jalanan kota yang tidak ada lagi warga yang masih mengingat Ayahmu, semua kenangan itu masih terpahat jelas. Aku seperti masih bisa mendengar tangismu, ingin menyusu pada Ibumu. Aku seperti masih bisa melihat tubuhmu yang membiru. Maafkan Ayahmu, Nak, Ayah sudah berjanji tidak akan pernah menangis, tapi untuk kesekian kalinya menangis di depan pusaramu.
Aku bukan menangis sedih, Cindanita. Enam belas tahun berlalu, aku sudah bisa menangis lega. Ayah baik-baik saja, terima kasih sudah bertanya.
Baik, kita bicarakan hal lain saja. tidak akan kita habiskan waktu seberharga ini hanya untuk mengenang semua yang sudah tertinggal di belakang, bukan" Kau mau mendengar sebuah cerita, Nak" Seperti tahun lalu, Ayah membawa sebuah cerita baru. Kapal Ayah singgah di daratan India, dan beberapa penduduk setempat berbaik hati menceritakan sebuah cerita hebat. Maukah kau mendengarnya"
Aku tersenyum lembut, mengelus perlahan legam panjang milik Cindanita, gadis kesayanganku.
*** Siapa yang tidak mengenal Rama"
Pangeran gagah dari kerajaan Kosala" Dia tampan tak terkira, dia pintar tiada dua, dan jangan tanya soal kepribadiannya, Rama adalah pemuda tiada tandingan. Semua orang akan terpesona hanya dengan menatap wajahnya.
Lantas siapa yang tidak mengenal Shinta" Gadis rupawan, puteri kerajaan Wideha" Dia cantik tak terperi, dia pintar tiada tanding, dan jangan tanya soal budi pekertinya, Shinta adalah gadis yang tumbuh dalam asuhan luhur. Semua orang bahkan terpesona hanya dengan mendengar bisik-bisik bagaimana jelita rupanya.
Mereka berdua seperti ditakdirkan menjadi pasangan abadi, Rama-Shinta, dan sudah abadilah cerita mereka.
Kau tahu, Nak, bagaimana mereka berdua berjodoh satu sama lain" Tidak, tentu saja tidak seperti pasangan kebanyakan. Ah, kalau sama dengan orang banyak, apa istimewanya" Pemuda gagah itu, Rama, sedang dalam misi berbahaya, menumpas para raksasa di hutan rimba saat terbetik kabar, Raja Wideha mengadakan sayembara. Gadisnya yang rupawan sudah cukup usia, bagai bunga mekar, sudah saatnya menikah dengan salah-satu pangeran terbaik di seluruh India. Maka demi kabar besar itu, berduyun-duyunlah semua kerajaan mengirimkan pangeran mereka.
Kau harus ikut serta, Kakanda. Laksmana, adik Rama yang setia menemani mereka berpetualang menumpas raksasa membujuk.
Astaga, kau ingin kakakmu ini mendapatkan jodoh melalui sebuah sayembara" Itu jelas bukan awal kisah cinta sejati, tidak akan ada Resi yang pernah menulisnya. Rama menggeleng.
Setidaknya Kakanda bersedia melihat dulu puteri itu, menurut kabar, wangi kulitnya semerbak hingga ratusan meter. Matanya mampu meruntuhkan dinding kesombongan. Dan hatinya, bahkan bisa menaklukkan senjata paling hebat di dunia. Laksmana mengedipkan mata, tidak habis akal membujuk, Setelah dilihat, nanti baru Kakanda putuskan sendiri apakah akan menulis kisah cinta sejati dari sebuah sayembara atau bukan"
Rama menatap adiknya, tidak percaya, bagaimana mungkin di tengah mengejar-ngejar raksasa pengganggu penduduk, mereka membicarakan soal sayembara bodoh itu. Ayolah, apa salahnya dicoba, bukan" Laksmana tertawa.
Baiklah, seperti apa omong kosong kecantikan gadis itu, Rama mendengus, memasang busur dan anak panah di punggung, lupakan sebentar misi petualangan mereka, berputar haluan, berangkat menuju ibukota Wideha.
Cindanita anakku, jika kau hendak bertanya apakah cinta pada pandangan pertama itu, maka kau bisa bertanya pada pasangan Rama dan Shinta.
Ketika seluruh pangeran sudah berkumpul di balai agung ibukota Wideha, Rama yang tiba terlambat justeru salah memasuki ruangan. Sebuah kesalahan yang memantik nyala perasaan berpijar-pijar. Bagaimana mungkin" Dia sungguh tidak terpesona oleh betapa cantiknya Shinta, kabar itu bukan dusta, tapi dia terpesona saat melihat gadis itu sedang membantu dayang-dayang yang tidak sengaja menumpahkan nampan berisi buah-buahan.
Tidak usah dipikirkan. Tidak usah dicemaskan. Merdu suara gadis itu menenangkan dayang-dayang, membungkuk membantu mengambil buah yang berserakan, sama sekali tidak keberatan membuat kainnya berdebu.
Maafkan kami, Puteri. Dayang-dayang semakin serba salah, bagaimana mungkin Shinta yang hari ini akan mengadakan sayembara mencari suami, justeru berhenti sejenak membantu mereka.
Rama yang tertegun menatap gadis yang riang membantu dayang-dayangnya, mencengkeram lengan Laksmana di sampingnya tanpa sengaja.
Siapakah gadis itu" Rama berbisik.
Shinta lebih dulu menoleh. Dayang-dayang berseru pelan, kaget ada laki-laki memasuki bangunan khusus perempuan.
Maaf, sungguh maafkan kami. Rama mengangkat tangannya, bergegas menyadari kekeliruan, Kami sedikitpun tidak bermaksud buruk, kami tidak sengaja, kami salah masuk ruangan.
Shinta menatap sejenak wajah pemuda di hadapannya, memeriksa wajah serba salah, serba tanggung, dan ketahuan baru saja begitu terpesona melihat dirinya, ah, pemuda ini pastilah pengembara, Shinta tersenyum manis, pemuda gagah ini pastilah salah-satu petualang yang telah mengelilingi dunia. Seperti banyak pengunjung lainnya, ikut hadir meramaikan ibukota menonton sayembara besar.
Ah, andaikata dia bukan puteri seorang Raja, yang harus memperoleh jodoh melalui sebuah sayembara, akan menyenangkan bisa berpetualang melihat dunia luas.
Itulah pertemuan pertama mereka. Percakapan pendek yang kaku, patah-patah, malumalu tapi mengesankan. Shinta tidak menduga kalau pemuda dengan pakaian ksatria biasa tapi dengan tutur kata menawan bagai seorang pangeran memang seorang pangeran terhormat. Sungguh sebuah kejutan menarik saat dia tahu pemuda itu mengikuti sayembara.
Kau tahu Cindanita, sayembara itu mudah sekaligus rumit. Mudah, karena semua peserta tidak diminta berlomba memanah, mengejar atau membunuh rakasasa, mereka juga tidak diminta saling mengalahkan, tidak ada pertandingan fisik. Mereka hanya diminta menarik busur, pusaka kerajaan Wideha. Nah itulah rumitnya. Busur itu sungguh bukan busur biasa, itu busur milik Dewa Siwa yang dihadiahkan ke bumi, jangankan menarik talinya, bahkan mengangkat busur itu saja tidak banyak yang mampu.
Kau benar, Nak, aku tertawa, mengelus rambut hitam Cindanitaku yang tidak sabaran menunggu kelanjutan cerita, tentu saja Rama yang memenangkan sayembara itu.
Tapi jangan lupakan pertanyaan pentingnya, jika seluruh pangeran tidak mampu menarik tali busur itu, kenapa Rama yang mampu" Ayah tidak tahu kekuatan apa yang sesungguhnya membuat pemuda itu mampu menarik tali busur itu, Rama adalah ksatria hebat, dia dikenal mampu menaklukkan banyak raksasa di jaman itu, tapi itu tetaplah busur hadiah Dewa Siwa, senjata paling menggetarkan di seluruh daratan India. Satu anak panahnya terhujam ke bumi, maka konon dunia akan merekah bagai sebutir jeruk yang terbelah. Entah kekuatan apa, boleh jadi karena kekuatan cinta. Lihatlah, di sebelah kursi singgasana, Shinta tersipu malu, ikut bersorak senang saat melihat Rama berhasil menarik tali busur. Mereka berjodoh, sayembara telah berakhir, pernikahan antara Rama dan Shinta segera dilangsungkan.
Lepas pernikahan, pasangan muda itu kembali ke Ayodya, ibukota kerajaan Kosala, bukan main, senang alang kepalang Raja Kosala melihat anaknya telah memperistri seorang bidadari. Raja Kosala yang uzur, bahkan hendak mengangkat Rama menjadi raja, apalagi yang kurang" Masa depan kerajaan akan gemilang di tangan putra sulungnya tersebut.
Tetapi ada yang tidak senang dengan rencana tersebut. Ibu tiri Rama, istri muda Raja Kosala, merasa anaknya, Barata, lebih berhak menjadi raja. Nasib malang menimpa pasangan muda tersebut, melalui sebuah intrik yang licik, Rama dan Shinta justeru terusir dari Ayodya, ibukota Kosala, dibuang ke hutan rimba selama empat belas tahun. Barata, adik tirinya menjadi raja, dan Raja Kosala yang menyesali situasi meninggal dalam kesedihan panjang.
Apa yang dilakukan Shinta atas semua penderitaan itu, Cindanita" Dia tidak pergi, dia justeru menabahkan hati, meneguhkan cinta, berangkat menemani Rama terbuang dari segala kehormatannya. Bagi Shinta, semua urusan sederhana, kemanapun Rama pergi, dia akan terus mengabdi, itulah bukti cintanya yang tiada tara. Maka terusirlah Rama dan Shinta, dengan ditemani Laksmana yang sejak kecil selalu menemani kakaknya.
Empat belas tahun bukan waktu yang sebentar, tinggal di dalam hutan juga bukan masalah yang mudah bagi pasangan itu. Mereka diuji oleh berbagai godaan, diuji oleh berbagai rintangan. Tidak terhitung begitu banyak raksasa hutan yang selama ini diburu Rama hendak membalaskan sakit hati. Dan puncaknya saat Rahwana, Raja Alengka, berniat menculik Shinta yang jelita.
Kau tahu siapa Rahwana, Nak" Dia adalah raja para raksasa. Kesaktiannya tiada tara. Tidak ada penduduk bumi yang bisa mengalahkan Rahwana. Bahkan rasa raksasa itu pernah meneror kerajaan langit, membuat para Dewa harus bersatu memaksanya mundur kembali ke bumi. Tidak ada yang bisa menghentikan kesewang-wenangan Rahwana.
Hari naas itu, Shinta melihat seekor anak kijang, begitu lucu, lincah loncat kesana kemari. Aduh, menggemaskan sekali. Shinta meminta Rama mengejar anak kijang itu. Rama yang enggan, akhirnya mengalah, memutuskan mengejar kijang itu, meninggalkan Shinta pada Laksmana, adiknya. Tentu saja kijang itu bukan kijang biasa, melainkan raksasa, anak buah Rahwana yang sedang menyamar. Setelah dikejar kesana-kemari, masuk ke dalam hutan yang lebih lebat, Rama berhasil memanahnya, dan kijang itu berubah wujud, berseru meminta tolong, menirukan suara Rama.
Demi mendengar teriakan itu, Shinta panik. Dia cemas suaminya terluka, meminta Laksmana menyusul. Situasi berubah menjadi rumit. Laksmana yang ragu-ragu, khawatir itu semua jebakan dari musuh mereka, memutuskan membuat lingkaran di tanah yang melindungi Shinta sepanjang berada di dalamnya, dia bergegas menyusul Rama, meninggalkan Shinta yang berlindung dalam lingkaran. Tetapi Rahwana tidak kalah akal, dia menyamar menjadi seorang pertapa tua, berjalan terbungkuk, pura-pura kehausan. Rahwana tidak bisa masuk ke dalam lingkaran, tapi dia bisa membujuk Shinta yang amat perasa terhadap kesedihan dan penderitaan orang lain melangkah keluar mengulurkan kendi air minum.
Sekejap. Saat tangan Shinta keluar dari lingkaran, Rahwana berubah wujud, menyambar tangan Shinta, membawanya terbang pergi ke kerajaan Alengka yang berada di seberang lautan daratan India. Rahwana tertawa jumawa, wajah buruk rupanya terbahak puas, rencana besarnya berhasil, lihatlah, dia berhasil menculik Shinta.
Rama dan Laksmana yang kembali dari mengejar kijang amat pilu saat tahu istrinya telah diculik Rahwana. Perhiasan istrinya terjatuh di lingkaran perlindungan, dan seekor burung garuda, Jatayu, yang kebetulan melihat penculikan tersebut, dan berusaha menggagalkan, memberitahu mereka, tubuh Jatayu terluka parah, Rahwana jelas-jelas bukan tandingannya.
Maka dimulailah cerita mahsyur itu, Cindanita.
Petualangan Rama menyelamatkan kekasih hatinya, istri tercinta. Rama tahu persis, tidak mudah merebut kembali Shinta dari Rahwana, kerajaan raksasa itu ribuan kilometer di seberang lautan, dan di sarang raksasa, sama saja bunuh diri dengan menyerbu seadanya. Rama memutuskan meminta bantuan bangsa Wanara, alias manusia kera. Melalui sebuah perjanjian saling membantu, ribuan pasukan manusia kera dipimpin oleh panglimanya yang mahsyur itu, Hanoman, berangkat ke medan perang. Juga ribuan ksatria dari kerajaan-kerajaan lain yang terketuk hatinya melawan Rahwana.
Tapi masalah pertama langsung menghadang rombongan itu, bagaimana menyeberangi lautan" Tidak semua anggota pasukan manusia kera bisa terbang" Bagaimana mereka bisa melewati lautan ribuan kilometer, sementara entah apa nasib Shinta di kerajaan Alengka sekarang. Berhari-hari Rama meminta bantuan Baruna, dewa yang mengurus samudera. Baruna menolaknya, menolak terlibat dalam pertempuran. Rama habis kesabaran, di penghujung hari ketiga, Rama mengangkat busur Dewa Siwa, berdiri penuh rasa marah, menghadap lautan yang menghambat mereka. Anak panah ditarik, dan Rama berseru lantang, Jika kau tidak mau membantuku, wahai Baruna, akan aku keringkan seluruh lautan ini dengan anak panahku.
Menggetarkan sekali melihat ancaman Rama. Itu bukan senjata biasa, itu pusaka paling sakti milik dunia. Baruna gemetar berpikir, pilihannya terbatas, binasa seluruh lautan, atau membantu penyerbuan Rama. Maka Baruna menawarkan membangun sebuah jembatan, lebih lambat, tapi itu lebih masuk akal. Rama, Laksmana dan Hanoman menyetujuinya, Segera, semua pekerja dikerahkan, siang malam, termasuk penduduk lautan, dan dalam waktu singkat, jembatan dahsyat itu terwujud, membentang panjang atas nama cinta.
Dengan jembatan yang kokoh, pasukan manusia kera bagai gelombang air bah menyerbu kerajaan Alengka, dan pertempuran besar tidak dapat dihindarkan lagi. Ribuan prajurit raksasa bertahan, membela setiap jengkal istana. Duel dahsyat antara Rama dan Rahwana menjadi legenda. Dua-duanya sama digdaya, bertempur di langitlangit kerajaan Alengka. Dentum merah, kuning, biru, membuat terang langit malam. Kelbatan cahaya jingga, kuning, hijau memedihkan mata. Panah sakti milik Rama akhirnya menghujam dada Rahwana, dan raja raksasa paling sakti itu tumbang ke bumi. Rahwana, raja raksasa yang pernah membuat rusuh kerajaan langit, akhirnya dikalahkan.
Shinta berhasil direbut kembali.
*** Perkuburan kota semakin remang. Satu dua kunang-kunang mulai terbang bersiap menghiasi malam. Matahari sebentar lagi beristirahat di kaki langit. Aku menghela nafas panjang, masih menyentuh pusara berlumut Cindanita.
Seru sekali ceritanya, bukan, Nak"
Aku tersenyum, mengangguk melihat anggukan Cindanita.
Kau tahu, Nak, Ayah dan Ibumu juga bertemu melalui sebuah kejadian yang spesial. Waktu itu, kapal Ayahmu membuang sauh di pelabuhan kota kelahiran Ibumu. Para kelasi yang berminggu-minggu di lautan berseru riang, segera turun, melemaskan badan, mengunjungi keramaian kota.
Aku dan beberapa kelasi lain, pergi menuju sebuah rumah makan. Kami tidak tahu kalau di rumah makan itu sedang dilangsungkan pernikahan, jadi terlihat aneh sekali saat kami yang berseragam kelasi memasuki rumah makan. Kepalang tanggung, kami mengaku kerabat jauh yang diundang, membaur dengan undangan pesta lainnya. Pesta pernikahan itu meriah, semua terlihat bahagia menikmati acara, kecuali satu orang, mempelai wanitanya. Itu pernikahan yang dipaksakan, gadis itu terpaksa menikah dengan laki-laki berusia empat puluh tahun lebih tua, kakek-kakek tua.
Kau bisa menebaknya, Nak, celaka urusan, mempelai wanita justeru meminta kami menolongnya kabur di tengah keramaian. Kami pilihan yang tepat, kami warga asing, dan kami kelasi kapal, bisa segera pergi meninggalkan kota yang dibencinya. Semua orang waras pasti menolak mentah-mentah permintaan itu, bahkan jika mempelai perempuan mengancam bunuh diri jika tidak ditolong, itu tetap tidak masuk akal. Tapi, Nak, bukankah orang yang jatuh cinta pada pandangan pertama termasuk definisi orang gila" Ayah menyetujuinya, membuat kelasi lain berseru tidak percaya. Ayah membawa kabur mempelai perempuan ke atas kapal, maka pecahlah keributan di rumah makan, hanya hitungan jam kabar buruk segera menjalar ke seluruh kota, siapa yang telah menculik mempelai perempuan" Merusak pesta pernikahan"
Meskipun apa yang Ayah lakukan adalah hal gila, awak kapal adalah saudara sehidup semati, tidak terbilang berapa kali bersama-sama menerjang badai membawa muatan, tidak terbilang berapa kali dihadang perompak, bersama-sama melawan. Mereka membantu Ayah, kapal segera melepas sauh, pergi jauh dari kota itu.
Kau tertawa Cindanita" Kenapa"
Ahiya, kau benar, kisah Ayah mirip dengan aksi heroik Rama menyelamatkan Shinta. Kakek-kakek tua itu seperti Rahwana. Aku ikut tertawa, mengusap rambut hitam legam Cindanita.
Lantas aku membawa mempelai wanita itu ke kota ini, kota kelahiranmu. Menurunkannya di pelabuhan. Dia masih sempat membawa uang, bekal berpergian. Dia dengan cepat beradaptasi, bekerja menjadi penjaga toko cokelat. Dan kami, jika sebuah kejadian sepele saja bisa membuat orang jatuh cinta, apalagai kejadian itu, kami jatuh cinta. Aku melanjutkan perjalanan menjadi kelasi kapal, mengelilingi dunia mengirim barang-barang muatan.
Tiga bulan sekali singgah di kota ini, menjenguk mempelai perempuan itu. Di kali keempat aku singgah, kami melangsungkan pernikahan. Itu sungguh pesta pernikahan yang hebat, semua undangan berbahagia, dan yang pasti, kedua mempelai bahagia, tidak akan ada yang berusaha pergi. Mempelai perempuan itu adalah Ibumu, Nak.
Kami membeli rumah kecil di dekat toko cokelat itu. Ibumu riang terus bekerja, dan aku kembali menjadi pelaut, yang beberapa bulan baru kembali singgah. Dua tahun berlalu, semua berjalan lancar, seperti tidak akan ada masalah, kami bahagia dengan cara tersebut. Bertemu dua minggu, untuk berpisah tiga bulan. Berpisah tiga bulan, untuk bertemu dua minggu. Ayah mempercayai Ibumu, dan Ibumu mempercayai Ayah. Tidak ada yang perlu dicemaskan.
Mata bulat hitam Cindanita berkerjap-kerjap menatapku. Aku tersenyum, menyentuh pipinya yang berlesung.
Sayangnya, Nak, cerita baru saja dimulai. Sama halnya dengan kisah hebat dari India itu, kisah abadi Rama dan Shinta. Bukan, sungguh bukan petualangan Rama merebut Shinta dari Rahwana yang menjadi cerita utamanya, seperti yang disangkakan orang-orang, seperti yang lebih suka didengar orang banyak. Cerita pentingnya justeru baru dimulai persis saat pasangan abadi itu kembali ke Ayodya. Sama seperti Ayah dan Ibumu, cerita pentingnya baru dimulai ketika Ibumu mengandung.
Tentang kepercayaan. Tentang salah-satu pondasi dasar sebuah cinta. Kau mau mendengar kelanjutan cerita Rama dan Shinta, Nak" Tidak sabar" Aku tersenyum, masih lembut mengelus pipi Cindanitaku.
**** Aku tidak bisa mempercayainya begitu saja, Laksmana. Rama menghembuskan nafas panjang, berdiri menatap langit, tangannya bersidekap resah, sejak tadi siang dia terus berpikir.
Bagaimana mungkin kau tidak mempercayainya, Kakanda" Laksmana berseru putus asa, Empat belas tahun Shinta setia menemani di hutan rimba. Empat belas tahun hidup penuh penderitaan demi mengabdi pada suaminya. Ditambah berbulan-bulan di tahan oleh Rahwana, berbulan-bulan menanggung penderitaan di sarang raksasa. Bagaimana mungkin kau tidak mempercayai Shinta"
Berbulan-bulan. Rama mendesah, Karena berbulan-bulan itulah, Laksmana. Siapa yang tahu apa yang telah terjadi di Alengka" Siapa yang bisa memastikannya"
Tidak. Laksmana menggeleng kencang-kencang, seperti berusaha mengusir kalimat Rama barusan jauh-jauh, Aku tidak percaya kalimat itu keluar dari mulutmu, Kakanda.
Ruangan singgasana hening sejenak
Inilah masalah baru pasangan Rama dan Shinta.
Jutaan rakyat Kosala bersorak senang saat Rama membawa pulang Shinta ke ibukota Ayodya. Kembalinya Rama juga mengakhiri hukuman empat belas tahun terbuang. Tahta raja Kosala dikembalikan oleh adiknya, Barata. Kabar tumbangnya Rahwana, raja raksasa penyebab semua masalah daratan India membuat rakyat berpesta, dan lebih besar lagi pesta itu karena yang mengalahkan Rahwana adalah raja baru mereka, Rama. Tapi kesenangan itu hanya sebentar, entah siapa yang memulai, bisik-bisik kotor merasuki penduduk kerajaan Kosala. Kabar burung menyebar begitu cepat. Di sudutsudut istana, di pasar-pasar kumuh, di kampung-kampung. Apalagi kalau bukan kabar burung: Shinta sudah tidak suci lagi. Berbulan-bulan ditawan Rahwana, siapa yang bisa memastikan Shinta tetap mampu menjaga diri" Rahwana adalah raksasa licik yang sakti, dia bisa menipu siapa saja, bukan"
Bisik-bisik kotor itu bagai jelaga hitam ditumpahkan di langit-langit Ayodya, membuat kelam sejauh mata memandang, dan hanya tinggal waktu saja, bisik-bisik itu tiba di telinga Rama. Rakyatnya meragukan kesucian Shinta.
Omong kosong, Kakanda. Laksmana berseru, Omong kosong semua ini. Aku bersumpah, Shinta tidak akan pernah berkhianat. Kakanda seharusnya tidak mendengarkan bisik-bisik di luar sana. Di mana mereka saat Kakanda dan Shinta terusir empat belas tahun di hutan rimba" Di mana mereka saat Kakanda memimpin ribuan pasukan Wanara" Tidak ada satu pun rakyat Kosala yang peduli" Kenapa sekarang mereka peduli sekali dengan sesuatu yang bukan urusa mereka"
Ruangan singgasana semakin tegang. Hanya mereka berdua yang ada di sana. Rama mengajak adiknya membicarakan masalah pelik tersebut.
Tetapi mereka rakyatku, Laksmana. Aku tidak bisa menjadi Raja mereka yang baik jika mereka tidak mempercayai Ratunya. Rama menatap kosong ke depan, resah.
Karena Kakanda Raja dan mereka rakyat, maka Kakanda bisa memerintahkan untuk menghentikan seluruh omong kosong. Laksmana menjawab gemas, dia mulai kehabisan cara membujuk Rama.
Rama menggeleng, urusan ini tidak sesederhana yang dipikirkan oleh Laksmana. Apakah Shinta tetap suci" Berbulan-bulan dia ditahan di taman Asoka yang indah, di dalam istana kerajaan Alengka, dijaga belasan raksasa buruk rupa. Apakah Shinta bisa menjaga kehormatan dirinya"
Keputusan besar itu diambil Rama, dia memerintahkan agar ujian kesucian digelar untuk Shinta. Melewati api yang berkobar tinggi. Jika Shinta selamat melaluinya, maka tidak akan ada keraguan lagi.
Apakah Kakanda masih mencintai Shinta" Laksmana bertanya lirih, keputusan telah diambil, tidak banyak yang bisa dilakukannya.
Aku mencintainya, Laksmana. Bagaimana mungkin kau bertanya hal itu"
Laksmana tertunduk, Maka Kakanda telah melakukan kesalahan besar. Kepercayaan adalah pondasi penting sebuah cinta, Kakanda telah kehilangan pondasi itu. Besok lusa, hal ini akan terulang kembali. Besok lusa, tanpa pondasi tersebut, Kakanda hanya akan menjadi olok-olok seluruh penduduk Ayodya.
Rama terdiam, menelan ludah, menatap adiknya tidak mengerti. Ruangan singgsana lengang.
Bukan, sungguh bukan karena ingin mendengarkan penduduk Ayodya ujian kesucian ini dilakukan. Laksmana masih tertunduk, Ujian ini dilakukan hanya untuk menutup resah di hati Kakanda. Besok, Shinta akan berhasil melewati kobaran api itu, tapi Kakanda, tidak akan pernah berhasil memadamkan keresahan itu.
Laksmana membungkuk, ijin pamit, melangkah pelan menuju pintu ruangan, punggungnya hilang di antara helaan nafas Rama.
Ujian kesucian itu dilakukan di halaman istana, ditonton ribuan penduduk Ayodya. Apakah Shinta menolak ujian tersebut" Merasa ujian itu melecehkan harga dirinya" Shinta bahkan tidak terpikirkan hal buruk sedikitpun. Dia tidak merasa suaminya meragukan dirinya, ujian ini hanya untuk membuktikan kepada rakyat banyak.
Jangankan melewati kobaran api suci, diminta Rama melakukan hal yang lebih sulit dibanding itu dia bersedia.
Pagi itu, di tengah mendung langit kota Ayodya, api berkobar, menjilat-jilat terasa begitu panas bahkan dari jarak belasan meter. Penduduk yang sejak malam buta berduyun-duyun datang hendak menonton, terdiam menatap kobaran api, menunggu prosesi ujian dimulai.
Shinta melangkah keluar dari Istana. Mengenakan pakaian berwarna putih dan selendang putih. Wajahnya terlihat jelita tanpa riasan sedikit pun, rambutnya terurai panjang, dan halaman luas istana seketika diterpa semerbak wangi yang belum pernah dicium banyak orang.
Resi-resi istana memulai prosesi. Sebuah kidung dinyanyikan. Puja-puji untuk seorang puteri yang akan membuktikan diri.
Dusta takkan bercampur dengan jujur Hina takkan bercampur dengan mulia Oh, minyak takkan pernah menyatu dengan air
Kebaikan takkan bercampur dengan keburukan Kesetiaan takkan bercampur dengan pengkhianatan Oh, Dewi Shinta takkan pernah menyatu dengan gadis hina
Habis lagu itu membungkus khidmat, Shinta melangkah mantap menuju kobaran api yang menyala tinggi. Penduduk berseru jerih, beberapa pingsan tidak tahan menonton saat tubuh Shinta ditelan api tersebut. Resi-resi berseru lirih. Rama memejamkan mata, tidak mampu melihat istrinya menuju kobaran api suci
Laksmana benar. Satu menit berlalu, Shinta melangkah anggun keluar dari kobaran api, lihatlah, bahkan api tidak kuasa membakar seujung kuku pakaian yang dikenakan Shinta. Penduduk terperangah, sejenak bersorak gembira. Shinta berhasil melewati ujian itu. Gegap gempita memenuhi lapangan istana, Rama menghela nafas lega, ikut berseru riang.
Tetapi cerita jauh dari selesai.
*** Kalimat lain Laksmana juga benar, adik Rama yang tidak tahan dengan situasi istana, dan akhirnya memutuskan pergi menjadi pertapa itu selalu bijak menilai sesuatu, Shinta berhasil melalui ujian api suci, tapi itu tidak pernah memadamkan resah di hati orang-orang yang tidak mau percaya.
Hanya berbilang bulan sejak prosesi api suci, bisik-bisik kembali melanda seluruh Ayodya. Kabar burung berhembus bersama angin musim kemarau. Dan bagai api yang membakar rerumputan kering, cepat sekali menjalar, menghanguskan apa saja. Orangorang berbisik bahwa prosesi api suci itu bohong, mereka ditipu mentah-mentah. Shinta menggunakan ilmu sihir yang diperolehnya dari kerajaan Alengka untuk melewati api suci. Siapa tidak mengenal Rahwana, begitu bertimbun kesaktiannya, apa susahnya sebelum dia berhasil dikalahkan Rama, Rahwana mengajarkan satu-dua trik kepada Shinta untuk mengatasi hal ini.
Hanya berbilang bulan pasangan Rama dan Shinta kembali hidup rukun, saat gelombang kedua kabar kotor itu melanda seluruh Ayodya. Cepat dan merusak sekali akibatnya. Suasana istana Ayodya kembali tegang.
Kau tidak akan melakukannya, Paduka Rama. Hanoman, manusia kera, bangsa Rawana, kali ini yang bijak menasehati.
Tapi bagaimana aku akan menghadapi rakyatku, Pamanda. Dari kota hingga desa, di setiap sudut, pelosok, mereka berbisik tentang hal itu. Bagaimana aku meletakkan wajah seorang Raja yang berwibawa jika mereka tidak percaya dengan Ratunya" Siapa yang bisa bersaksi Shinta tidak sedang menipu kita semua" Siapa"
Hanoman menepuk tiang ruangan singgasana, menatap Rama tidak percaya, Astaga, Paduka Rama, sungguh tidak ada yang terjadi di taman Asoka. Bukankah kau sendiri yang menyuruhku berbulan-bulan mengintai kerajaan Alengka selama pembuatan jembatan itu, memastikan apakah Shinta baik-baik saja. Istrimu adalah perempuan terhormat, dia tidak akan berkhianat walau di pikiran sekalipun. Akulah saksinya. Rama menggeleng.
Paduka Rama tidak percaya padaku"
Aku tidak bisa lagi percaya pada siapapun dalam situasi ini, Pamanda. Rama menjawab pelan, tapi cukup sudah mengunci percakapan.
Ruangan singgasana lengang. Senja merah membungkus langit Ayodya, urusan itu ternyata masih berbuntut panjang.
Keputusan kedua diambil. Dan kali ini lebih mengenaskan dari sekadar melewati api suci. Orang ramai berbisik, apapun ujiannya, Shinta yang telah menguasai sihir gelap pasti mampu melewatinya. Lantas dia harus diuji dengan apa" Mudah, usir saja dia dari Ayodya.
Kau telah kehilangan akal sehat, Paduka Rama. Hanoman berseru, kepalanya menggeleng-geleng, ekornya mengibas-ngibas, sungguh dia ingin mengusir kalimat yang baru saja dia dengar dari mulut Rama, Kau, kau tidak akan melakukannya, bukan" Itu, itu berlebihan.
Justeru sebaliknya, entah pasal apa yang menggelayut di kepala Rama, entah alasan apa yang membuat Rama begitu gelap mata, keputusan Rama sudah bulat. Duhai, kemanakah cinta mereka selama ini" Empat belas tahun Shinta menemani Rama terusir dari Ayodya, membuktikan pengabdiannya. Berbulan-bulan Shinta tidak sekalipun lalai membisikkan nama Rama di penjara taman Asoka, berharap suami tercintanya tiba, merebutnya kembali.
Shinta diusir dari Ayodya. Keputusan itu dibacakan sendiri oleh Rama, di hadapan rakyat banyak yang gegap gempita menyambutnya. Lihat, Rajanya sungguh bijaksana, bahkan istrinya sendiri, jika diragukan kesucian, akan terbuang dari istana. Lihat, ini sungguh mengharukan.
Hanoman tertunduk dalam, terpekur menatap lantai.
Apakah kau masih mencintai Shinta, Paduka Rama" Bertanya pelan.
Tentu saja, Pamanda. Tentu saja. Rama menjawab dengan intonasi tersinggung, Aku mencintainya. Tapi rakyat Ayodya membutuhkan bukti bahwa Shinta akan mampu melewati masa pembuangannya.
Hanoman menggeleng sedih, Bukan rakyat Ayodya. Bukan mereka, tapi Padukalah yang membutuhkan itu semua untuk memadamkan api kecurigaan dalam hati. Camkan ini, Paduka, esok lusa, Shinta akan berhasil melalui masa terbuangnya, tapi Paduka tidak akan pernah mampu melewati resah itu.
Hanoman melangkah perlahan, meninggalkan gegap gempita halaman Istana. Punggungnya hilang dibalik ribuan rakyat yang mengelu-elukan keputusan rajanya.
Bagaimana Shinta mendengar perintah pengusiran itu dibacakan sendiri oleh suaminya" Shinta mengangguk, kali ini dia memang tidak kuasa menahan kesedihan hati, matanya berkaca-kaca, tapi dia mengangguk patuh. Shinta tidak sedih karena keputusan itu, dia sedikitpun tidak pernah meragukan cinta Rama. Shinta sedih karena dia tidak kunjung mampu meyakinkan rakyat Ayodya, Shinta sedih harus berpisah dengan suami tercinta.
Jangan cemaskan aku, Kakanda. Shinta berbisik lemah, Aku akan baik-baik saja. Masa pembuangan ini tidak akan lama, apalah arti sepuluh tahun demi membuktikan cinta kita akan abadi. Jangan cemaskan aku, Kakanda. Sedikit pun jangan terbetik perasaan itu.
Senja itu, saat gelap mulai menghampiri ibukota Ayodya, prosesi pengusiran Shinta dimulai. Tidak ada yang boleh menemaninya, tidak ada yang boleh membantunya.
Rakyat bersorak sorai memenuhi halaman istana, berduyun-duyun puas ingin menonton.
Resi-resi istana membacakan kidung kesedihan. Shinta melangkah menuruni anak tangga, mengenakan pakaian putih, selendang putih, semerbak wangi menyergap hidung-hidung. Tidak, oh Ibu, aku tidak akan menangis. Anakmu tidak akan menangis, wahai Dewi Laksmi. Shinta meremas jemarinya, menatap sekitar yang mendadak terdiam. Hanya sepuluh tahun terusir dari Ayodya, terpisah dari suaminya, aku akan kuat melewati ujian ini, oh Ibu Dewi Laksmi. Demi cintaku kepada suamiku.
Dusta takkan bercampur dengan jujur Hina takkan bercampur dengan mulia Oh, minyak takkan pernah menyatu dengan air
Kebaikan takkan bercampur dengan keburukan Kesetiaan takkan bercampur dengan pengkhianatan Oh, Dewi Shinta takkan pernah menyatu dengan gadis hina
Kidung kesedihan resi-resi istana mengambang di langit-langit halaman. Kaki Shinta menyentuh tanah yang berdebu. Senja itu, disaksikan ribuan rakyat, disaksikan Rama yang berdiri memejamkan mata di kursi singgasana, sendirian Shinta dilepas meninggalkan istana, meninggalkan gerbang ibukota Ayodya, menuju barisan rapat pohon-pohon di hutan rimba. Menjalani ujian sepuluh tahun terbuang. Tanpa seorang pun sempat tahu, bahkan Rama, bahwa Shinta sedang mengandung anak mereka.
Gelap, hutan gelap menyambut langkah kaki Shinta. Lolongan binatang buas terdengar di kejauhan. Dengung suara serangga, desis binatang melata, menyeruak malam kelam. Udara terasa lembab. Gelap, berkali-kali kaki Shinta tersangkut tunggul dan akar, jatuh berdebam. Pakaiannya bergelimang lumpur hutan, tubuhnya kotor, padahal dia baru beberapa jam saja menjalani hukuman tersebut.
Kemana dia harus pergi sekarang"
Gentar Shinta menatap sekitar. Satu dua larik cahaya hanyalah datang dari mata binatang hutan, menyala terang di tengah gelap. Entah itu binatang berbahaya atau tidak. Ratusan nyamuk membungkus kepala, juga binatang kecil yang melata di tanah, tubuhnya menjadi sasaran empuk.
Aku akan baik-baik saja. Aku akan kuat. Berkali-kali Shinta mendesiskan mantra itu, kalimat sama yang dulu dia ucapkan saat menemani Rama terusir empat belas tahun, juga saat di taman Asoka. Aku akan baik-baik saja. Aku akan kuat. Shinta menyeka mata. Dia sudah berhenti menangis sejak tadi, dia menyeka mata karena sedang memastikan mahkluk apa yang terlihat mengerikan telah menghadangnya di depan.
Itu seekor beruang raksasa.
Mengaum merobek malam. Shinta berseru pias, bergegas balik kanan, terseok-seok berusaha melarikan diri. Beruang itu mengejarnya, membuat rebah jimpa semak belukar, pohon-pohon kecil patah. Shinta semakin panik, bajunya robek di sana sini tersangkut ranting. Tidak, dia tidak akan berakhir malam ini, masa ujiannya masih panjang, dia harus bisa menyelamatkan diri.
Beruang itu semakin dekat, dengus nafasnya terdengar menakutkan, air liurnya terpercik kemana-mana, dan jarinya dengan kuku-kuku yang tajam mencakar kesana kemari, buas mengejar tubuh ringkih Shinta yang justeru kembali tersungkur, kakinya tersangkut akar lagi, dan kali ini Shinta tidak bisa berdiri lagi, nafasnya tersengal hampir habis, Shinta terdesak sudah, menoleh, menatap jerih beruang raksasa yang siap menerkam, merobek-robek tubuhnya.
Persis sepersekian detik kuku-kuku itu menyentuh wajahnya, dari balik pepohonan yang gelap, melesat belasan panah. Cepat sekali kejadian itu, dan sebelum Shinta sempat membuka matanya yang terpejam ketakutan, bersiap menjemput ajal, beruang raksasa itu telah tumbang.
Adalah Resi Walmiki yang menyelamatkannya. Seorang Resi paling arif dan bijak di jaman itu. Resi inilah yang kelak menuliskan syair kisah-kisah Ramayana. Malam itu, bersama belasan murid padepokannya, mereka sedang melintas pulang dari perjalanan jauh, tidak sengaja berpapasan kejadian mengerikan, seorang perempuan siap diterkam seekor beruang.
Tubuh terkulai Shinta dibawa ke padepokan Resi Walmiki. Itu sebuah perkampungan tertutup, jauh di dalam hutan rimba. Ada belasan rumah dari kayu yang berdiri di dekat air terjun besar. Sawah subur mengitari perkampungan, lembah hijau yang indah. Sungai mengalir indah dipenuhi ikan-ikan. Resi Walmiki adalah pertapa yang memiliki kemampuan melihat watak seseorang hanya dengan melihat wajahnya, maka demi melihat wajah penuh kesedihan Shinta, yang barut oleh luka, malam itu dengan bijak dia memutuskan menampungnya tanpa bertanya panjang lebar. Ada banyak keluarga yang tinggal di padepokan itu, anak-anak remaja, pria dewasa, mereka berseru senang melihat kedatangan penduduk baru.
Tidak ada penghuni padepokan yang tahu siapa sebenarnya Shinta, kecuali Resi Walmiki. Mereka adalah murid-murid sederhana yang belajar tentang kebijaksanaan hidup, bercocok tanam, dan sedikit kemampuan memanah untuk bertahan dari binatang buas. Dengan segera Shinta berusaha menyesuaikan diri di perkampungan itu. Apakah nasib Shinta lebih baik" Aku tidak tahu, Cindanita, boleh jadi diterkam oleh beruang akan lebih baik baginya. Lihatlah, meski sekarang dia aman secara fisik tinggal di perkampungan itu, tapi hatinya terus terluka. Setiap pagi Shinta hanya duduk termenung menatap air terjun menimpa bebatuan menyanyikan lagu kerinduan. Shinta sedang mengingat wajah suaminya, wajah pengembara yang salah masuk bangunan saat hari sayembara. Wajah yang begitu riang saat berhasil menarik busur Dewa Siwa. Apakah nasib Shinta lebih baik" Aku tidak tahu, Cindanita. Malam-malam Shinta sering menatap langit penuh bintang. Duhai, bertanya dalam hati sedang apakah suaminya saat ini" Apakah Rama mulai merindukan dirinya" Seperti dia yang setiap hela nafas menyebut nama suaminya" Aku akan baik-baik saja, Kakanda. Aku akan mampu melewati masa-masa pengusiran ini, Shinta berbisik, lantas berharap angin lembah membawa kalimatnya tiba di ibukota Ayodya, ribuan kilometer jauhnya.
Hari demi hari berlalu, bahagia atau tidak, siklus waktu tetap berputar. Perut Shinta semakin membesar, penduduk padepokan itu diliputi kegembiraan mendengar kabar penghuni baru mereka akan segera melahirkan. Seorang ibu setengah baya membantu Shinta melahirkan, dua orang anak kembar, laki-laki, tampan seperti Ayahnya yang sama sekali tidak tahu anaknya lahir nun jauh di tengah hutan rimba. Shinta memberi nama kedua anak kembarnya: Lawa dan Kusa. Dia dengan air mata berlinang menciumi dua bayi yang lahir di tanah pembuangan itu. Berbisik, semua akan baik-baik saja, Ibumu dan kalian berdua akan kuat, Nak.
Hari demi hari berlalu lagi, bahagia atau tidak, siklus waktu terus berputar. Meski masih sering mendesahkan kerinduan sambil menatap air terjun, dengan hadirnya si kembar, suasana hati Shinta jauh lebih baik. Dia punya kesibukan. Dan tanpa terasa, bagai sebutir batu jatuh, waktu berlalu amat cepat, dua anak kembar itu tumbuh sehat. Mereka menjadi anak-anak yang cerdas, tidak pernah Resi Walmiki memiliki murid sepintar mereka berdua, menguasai syair-syair panjang kebijaksanaan orang dewasa. Lawa dan Kusa juga tumbuh menjadi ksatria yang baik. Sekecil itu, mereka adalah pemanah terbaik di padepokan, melihat bakat hebat itu, Resi Walmiki menghadiahkan busur panah kembar dari Dewa Brahma. Itu bukan senjata mematikan dibanding busur Dewa Siwa milik Ayah mereka, tapi panah itu menyimpan rahasia tersendiri.
Misteri Hantu Berkabung 2 Dewa Arak 73 Pembantai Dari Mongol Pendekar Bodoh 20
^