Pencarian

Sepotong Hati Yang Baru 2

Sepotong Hati Yang Baru Karya Tere Liye Bagian 2


Apakah keadaan Shinta membaik seiring anaknya tumbuh membanggakan, Cindanita" Sebaliknya, Shinta kembali termenung, menyendiri saat masa sepuluh tahun pengusiran itu hampir berakhir. Dia mulai sibuk memikirkan, apakah suaminya masih ingat istrinya yang terusir di hutan rimba" Apakah suaminya masih merindukannya" Shinta menyeka ujung mata, dia tidak akan menangis, sungguh aku tidak akan menangis, oh Ibu, itu janjinya dulu.
Tetapi saat masa pengusiran itu benar-benar habis, lihatlah, suaminya Rama ternyata tidak kunjung menjemputnya. Duhai, amat menyedihkan melihat Shinta berdiri termangu sepanjang hari, menatap pintu gerbang padepokan, berharap rombongan pasukan dari ibukota Ayodya datang menjemput. Satu derap suara langkah kaki kuda milik penghuni perkampungan pun sudah membuat Shinta terlonjak, apakah itu"
Apakah itu" Satu suara desir orang datang sudah membuat Shinta berseru tertahan, apakah itu" Apakah itu Rama yang menjemputnya.
Malang sekali nasib Shinta, jangankan rombongan yang akan menjemput, datang menyibak pepohonan rapat yang mengelilingi perkampungan, kabar baik secuil pun tidak datang dari ibukota Ayodya. Tidak ada.
Tidurlah, anakku. Resi Walmiki berkata takjim, Ini sudah lewat tengah malam, tidak baik sendirian di anak tangga.
Shinta menggeleng kuat-kuat. Tidak, dia akan berdiri di sini hingga suaminya tiba. Dia tidak mau sedang tertidur saat Rama datang menjemputnya. Sama persis saat di taman Asoka dulu, dia tidak mau sedetikpun lalai mengingat Rama. Dia harus terjaga, lantas tersenyum riang menyambut suaminya.
Tidak akan ada jemputan malam ini, anakku. Resi Walmiki mendesah pelan, menghela nafas panjang penuh kesedihan, Suamimu tidak akan datang menjemput.
Tidak. Itu sungguh tidak benar. Shinta menjerit dalam hati. Menolak untuk percaya. Mereka sepasang kekasih abadi, dia akan selalu mencintai suaminya, dan Rama akan selalu mencintainya. Resi Walmiki berdusta.
Resi Walmiki menghela nafas panjang lagi. Menatap langit yang dipenuhi bintang gemintang. Baiklah, dia mengalah, membiarkan Shinta terus menunggu di anak tangga, menatap kegelapan gerbang perkampungan. Rama tidak akan pernah menjemput istrinya, Resi Walmiki tahu hal itu, karena beberapa bulan lalu, dia sendiri yang diamdiam datang ke istana Ayodya, menyamar seperti resi kebanyakan, menatap wajah Rama. Hanya butuh sekejap saling bersitatap, dia segera tahu, Paduka Raja yang gagah perkasa itu, amat ringkih hatinya. Paduka Raja yang berhasil mengalahkan Rahwana, raja raksasa, itu, amat lapuk hatinya. Apakah Rama masih mencintai Shinta" Tentu saja. Cinta itu sama besarnya sejak mereka pertama kali bertemu dulu. Tetapi cinta tanpa disertai kepercayaan, maka ibarat meja kehilangan tiga dari empat kaki-kakinya, runtuh menyakitkan.
Sepuluh tahun berlalu, Rama tidak pernah kunjung berhasil memadamkan api kecurigaan, prasangka buruk pada istrinya sendiri, dan itu semakin rusak oleh mudahnya dia percaya bisik-bisik kotor orang di sekitarnya. Apakah Rama tahu ini hari penghabisan masa pembuangan Shinta" Dia bahkan setiap saat menghitung hari, tidak sabaran. Apakah Rama masih rindu kepada istrinya" Dia bahkan setiap saat menyebut nama istrinya. Tetapi resah, curiga, menghapus itu semua. Sia-sia Shinta menunggu suaminya datang, bagai menunggu nasi tanak menjadi matang tanpa api di bawah periuknya.
Satu hari berlalu. Satu minggu. Satu bulan, bahkan sekarang satu tahun lebih, Shinta mulai menatap putus asa gerbang perkampungan. Tubuhnya kurus kering, dia menolak makan. Wajahnya pucat, dan rambutnya mulai rontok oleh kesedihan. Kecantikan itu masih bersisa banyak, tapi pengharapan yang tak kunjung berujung menghabisi banyak hal.
Penghuni padepokan juga ikut sedih menyaksikan Shinta yang terus menunggu. Dua anak kembarnya yang setahun terakhir terus bertanya-tanya kenapa, ada apa gerangan Ibunya terlihat sedih berkepanjangan, juga ikut sedih. Dan kapiran urusan, persis usia mereka menginjak dua belas tahun, Lawa dan Kusa menemukan catatan milik Resi Walmiki, syair tentang Rama dan Shinta, kisah awal Ramayana.
Dua anak kembar itu tahu.
Dua anak kembar itu tahu, Cindanita. Aduh, kapiran urusan. Kau tahu rahasia besar yang paling mengerikan dari pusaka busur Dewa Brahma milik si kembar: kebencian. Busur itu akan berlipat-lipat menjadi lebih hebat saat dipegang oleh orang yang memiliki alasan kebencian yang sah, berhak, dan direstui terbalaskan. Apalagi yang tidak mereka miliki sekarang selain kebencian yang menggunung" Mereka tahu, Ibu mereka dibuang sepuluh tahun oleh Ayahnya sendiri hanya karena prasangka. Tidak cukupkah semua pengorbanan Ibunya selama ini" Tidak cukupkah ujian api suci yang bahkan bisa membakar seorang dewa pendusta" Sekarang, saat masa pembuangan itu telah berlalu, tidak tergerakkah hati Ayahnya datang menjemput"
Lawa dan Kusa menggenggam tangan satu sama lain. Lawa dan Kusa sambil menyeka air mata, bersumpah membalas perlakuan Ayahnya terhadap Ibu mereka. Dua anak itu, baru dua belas tahun, tapi mereka mewarisi darah ksatria terbaik jaman itu, darah Ayah yang amat mereka benci. Dan mereka memiliki busur Dewa Brahma, yang walaupun diciptakan oleh dewa penjaga ketertiban, berubah seratus delapan puluh derajat merusaknya saat digunakan dengan kebencian.
Hari itu juga, bagai puting beliung Lawa dan Kusa berangkat meninggalkan padepokan tanpa diketahui oleh siapapun. Mereka menyerbu satu demi satu kota kerajaan Kosala. Mereka menghukum semuanya, menghancur leburkan kerajaan Kosala bagai dua anak yang sedang meremas sedikit demi sedikit sebuah kue besar. Benteng pertahanan kerajaan Kosala berjatuhan, keributan besar terdengar hingga ibukota Ayodya. Dua anak kembar itu mengamuk. Tidak ada yang menyangka kerusakan sebesar itu bisa dilakukan oleh mereka.
Demi mendengar terbetik kabar peperangan besar di perbatasan kerajaan, tanpa tahu siapa si kembar itu, Rama memutuskan mengirim pasukan besar dipimpin Hanoman. Sia-sia, Lawa dan Kusa bukan tandingan Hanoman. Mereka berdua melepas satu anak panah yang seketika terpecah belah menjadi jutaan anak panah, bagai hujan deras turun dari langit menerpa pasukan Hanoman, tidak terbayangkan, panglima perang bangsa Rawana dikalahkan begitu muda oleh dua anak berusia dua belas tahun.
Rama berseru marah. Itu sungguh kabar paling gila yang didengarnya. Dia memerintahkan seluruh pasukan kerajaan Kosala berkumpul di ibukota Ayodya, bersiap menerima serbuan dua anak kembar itu.
Kecamuk besar kerajaan Kosala akhirnya tiba di padepokan yang tertutup dari kabar luar. Shinta yang bahkan tidak menyadari dua anaknya pergi, masih berkutat dengan kesedihan menunggu suaminya, berseru panik saat Resi Walmiki membawa kabar buruk itu. Oh Ibu, anakku, anak-anakku Lawa dan Kusa, apa yang telah mereka lakukan" Kerusakan apa yang telah mereka perbuat" Seberapa besar kebencian itu"
Shinta menaiki seekor kuda, ditemani oleh Resi Walmiki, mereka pergi menyusul ke ibukota, mereka harus mencegah pertempuran besar kedua sepanjang sejarah daratan India sejak duel melawan Rahwana itu terjadi. Shinta menggebah kudanya agar bergerak lebih kencang, dia tidak boleh datang terlambat.
Sementara di halaman istana, ratusan ribuan prajurit Ayodya berbaris menunggu perintah. Raja mereka yang gagah perkasa, Rama, berdiri di singgasana, busur Dewa Siwa terpasang di punggung. Ketakutan mencekam seluruh Ayodya. Penduduk gemetar, kabar tentang kehebatan dua anak itu membuat cemas, meskipun itu tidak mengurungkan mereka pergi ke halaman istana, berduyun-duyun hendak menonton pertempuran tabiat lama orang-orang Ayodya, ingin tahu urusan apapun.
Matahari tiba di puncaknya saat Lawa dan Kusa memasuki gerbang kota Ayodya. Nafas prajurit dan rakyat jelata tertahan. Lawa dan Kusa melangkah menyibak pasukan, debu mengepul dari bawah kaki mereka. Busur hadiah Dewa Brahma terpentang kencangkencang dengan anak panah mengacung ke depan. Aura mengerikan keluar dari wajah mereka.
Bagaimana mungkin" Dua anak kembar ini" Masih kecil sekali, bahkan seperti anakanak yang bermain di sekitar rumah. Siapa mereka sesungguhnya"
Dan yang membuat helaan nafas prajurit dan penduduk Ayodya semakin tertahan, Dua anak kembar itu datang sambil menyanyikan lagu itu, lagu prosesi ujian milik Ibunya:
Dusta takkan bercampur dengan jujur Hina takkan bercampur dengan mulia Oh, minyak takkan pernah menyatu dengan air
Kebaikan takkan bercampur dengan keburukan Kesetiaan takkan bercampur dengan pengkhianatan Oh, Dewi Shinta takkan pernah menyatu dengan gadis hina Duhai, siapakah dua anak kembar ini" Apa yang mereka inginkan" Dendam kesumat apa yang hendak mereka balaskan ke seluruh Ayodya" Rakyat bersitatap satu sama lain, perasaan takut tetap dikalahkan oleh tabiat bisik-bisik ingin tahu mereka. Rama berdiri dari singgasananya. Menyiapkan busur dan anak panah miliknya. Pertempuran besar ini tidak bisa dielakkan, musuh tidak memberikan kesempatan negosiasi, dua anak kecil di halaman istana justeru datang dengan senjata teracung sempurna.
Pertempuran besar itu hanya soal waktu terjadi.
Ketegangan menyelimuti kota Ayodya.
Hentikan!! Suara teriakan perempuan terdengar dari gerbang kota. Hentikan! Aku mohon. Shinta berseru tersengal, kudanya menerobos rakyat yang menonton. Wajah-wajah tertoleh. Siapa lagi yang datang" Bukankah itu"
Bisik-bisik menjalar bagai api memakan rumput kering.
Shinta" Kaukah itu" Rama balas berseru demi melihat perempuan yang loncat turun dari kuda di halaman istana, lantas berusaha memeluk Lawa dan Kusa.
Demi melihatnya, Rama bergegas menurunkan busur, berlari menuruni anak tangga. Shinta, kaukah itu" Jantung Rama berdetak kencang oleh perasaan bahagia. Dia sungguh rindu pada istrinya.
Lepaskan kami Ibu! Sementara di halaman istana, Lawa dan Kusa berteriak, menghindari pelukan Ibunya.
Jangan, Nak. Sungguh jangan. Shinta berseru serak, masih berusaha memeluk anakanaknya.
Lepaskan kami Ibu! Dia Ayah kalian, Nak. Tidak! Lawa membentak, meski bentakan itu diarahkan ke depan, ke arah Rama yang sedang menuruni anak tangga, berusaha mendekat.
Dia bukan Ayah kami. Kusa tidak kalah membentak galak, menunjuk Rama, Dia bukan siapa-siapa kami.
Jangan, Nak. Demi Ibumu, hentikan semuanya. Shinta menangis, memohon, suaranya semakin serak, masih berusaha memeluk anak-anaknya yang terus membentangkan busur.
Kami akan membalaskan sakit hati Ibu. Kami akan menghukum seluruh Ayodya. Shinta, Shinta istriku. Rama sudah dekat dengan Shinta yang akhirnya berhasil memeluk anak-anaknya.
Langkah Rama tertahan, menatap tidak mengerti, Siapa mereka istriku" Siapa dua anak kecil ini" Kenapa kau malah memeluknya"
Shinta menangis, mendongak, menatap wajah orang yang dia cintai selama ini, wajah suaminya. Shinta tergugu. Duhai, jika situasinya berbeda, sudah sejak tadi dia loncat memeluk Rama, kerinduan itu sungguh tidak tertahan.
Siapa mereka, Shinta" Rama bertanya lagi, dia juga sama, jikalau situasinya berbeda, sudah sejak tadi juga dia akan memeluk Shinta, kerinduan pada istrinya sungguh tidak tertahan dua belas tahun terakhir.
Dia anak-anakmu, Paduka Raja. Resi Walmiki yang menjawab, loncat dari kudanya yang baru tiba.
Anak-anakku" Rama berseru tertahan.
Dan lebih tidak tertahan lagi seruan rakyat Ayodya. Berbisik-bisik bagai dengung lebah memenuhi langit-langit halaman istana. Dua kembar perusak ini anak Rama yang gagah perkasa" Apakah tidak salah dengar mereka" Dua anak kembar mengerikan ini anak Rama yang hebat"
Mereka sungguh anak-anakku, Shinta" Rama bertanya, memastikan, menatap Shinta yang masih berlinang air mata memeluk Lawa dan Kusa.
Shinta mengangguk lemah. Tidak mungkin. Rakyat Ayodya berbisik-bisik. Bagaimana mungkin raja mereka memiliki anak kalau istrinya yang ternoda itu dibuang belasan tahun ke dalam hutan rimba. Bagaimana dia hamil" Tidak masuk akal. Itu pastilah dusta. Siapa yang tahu istri raja tetap setia selama di pembuangan"
Duhai, urusan ini, kalimat Laksmana, adik Rama, belasan tahun lalu itu selalu benar. Shinta akan berhasil memadamkan api suci, tapi Rama tidak akan pernah berhasil memadamkan resah di hatinya. Kalimat Hanoman dulu juga benar, Shinta akan berhasil melalui masa-masa pembuangannya, tapi Rama tidak akan pernah berhasil melalui resah hatinya.
Hanya sejenak saja buncah kebahagiaan di hati Rama melihat istrinya kembali. Sejenak kemudian, prasangka, kecurigaan itu mengambil alih sisanya. Rama menggeleng, tidak mungkin, tidak mungkin, mereka bukan anakku. Rakyat Ayodya bersorak, itu benar, tidak mungkin Raja yang gagah perkasa memiliki dua anak perusak.
Shinta tertunduk, nafasnya tersengal, dia menangis tersedu. Oh Ibu, lihatlah, setelah begitu banyak pengorbanan yang dia lakukan, setelah begitu besar harapan yang dia bangun, siang ini, disaksikan ribuan orang, suaminya menolak percaya atas anggukan pelannya tadi.
Apalah artinya cinta jika tanpa sebuah kepercayaan"
Semua ini tidak akan pernah berakhir. Semua ini hanya mengulur-ngulur waktu, dan dia terjebak atas harapan kosong. Sia-sia saja dia berharap Rama akan kembali mencintainya seperti dulu. Tidak ada lagi cinta itu.
Sebelum semua orang menyadarinya, Shinta menciumi dua anak kembarnya untuk terakhir kali, berlinang air mata, lantas melepas pelukan, kemudian berlari menjauh dari Rama, dari kerumunan orang-orang, sambil berseru-seru,
Oh Ibu, oh ibu pertiwi, dengarkan anakmu. Dengarkan anakmu. Shinta memanggil keadilan.
Resi Walmiki yang bijak menelan ludah. Dia tahu sekali apa yang akan dilakukan Shinta. Itulah ujian terbesar yang bisa dilakukan manusia. Itulah bukti paling maksimal.
Kejadian itu, kejadian siang itu dibekukan oleh syair yang akan dikenang ratusan tahun kemudian.
Oh Ibu, belahlah tanahmu, belahlah perutmu. Shinta berlari, kakinya tertekuk sudah, tapi dia tak peduli, Shinta tersungkur, kakinya tak kuat lagi.
Sungguh dia masih cinta, tapi buat apa"
Bukankah cinta tak pernah dibungkus ketidakpercayaan.
Rama yang menyadari apa yang hendak dilakukan Shinta loncat panik. Rama terbang dengan segala pesonanya.
Shinta tersungkur, tangannya mencabik-cabik tanah, debu mengepul beterbangan, mulutnya lirih nian membaca mantera, Rama sudah amat dekat, dia tak kuasa lari lagi.
Oh Ibu, bukalah pintumu, buktikanlah ke seluruh semesta, jika anakmu ini memang ternoda, maka tolaklah diriku yang hina, lemparkan aku kembali ke langit tanpa nyawa. Tapi jika aku memang suci, terimalah anakmu kembali, aku mohon. Aku sungguh tidak kuat lagi.
Jangan lakukan, Rama berlutut di depan Shinta, sekejap, akhirnya dia paham, melihat Shinta yang siap melakukan pengorbanan itu, Jangan lakukan, Shinta, demi aku.
Tetapi kesadaran itu sudah amat terlambat, Shinta bersiap melakukan prosesi pembuktian paling tinggi.
Ibu, bukalah pintumu& . Shinta memukul tanah seperti orang gila.
Dengarkan aku, Shinta." Rama yang berlutut berusaha menggapai tubuh istrinya.
Ibu pertiwi, aku mohon.& Shinta merangkak menjauh.
Maafkan aku. Maafkan aku yang tidak mempercayaimu.
Ibu, aku mohon. Aku tidak tahan lagi.
Kembalilah padaku, Shinta. Demi anak-anak kita. Tangan Rama berusaha menggapai rambut beruban Shinta yang sekarang kotor oleh debu.
Sejengkal lagi tangan itu berhasil menahan Shinta. Bumi lebih dulu merekah. Sempurna sudah, terbelah dua. Shinta berurai air-mata, tak berpikir panjang langsung melompat.
Rama terkesiap, tangannya menggapai kosong. Hendak mengejar, terlambat, rekahan menganga itu kembali merapat dalam sekejap. Berdebum membuat kepulan tinggi. Hening. Hening.
*** Juga hening pemakaman kota ini. Malam sudah turun sejak tadi, lampu-lampu taman pemakaman menyala, meski tidak kuasa menerangi hingga pusara Cindanita.
Satu-dua kunang-kunang terbang di hadapanku.
Aku tersenyum sambil mengelus rambut hitam legam Cindanita, yang tidak sabaran, menunggu kelanjutan cerita. Akan Ayah selesaikan ceritanya, Nak. Aku mengangguk.
Kau tahu, Nak, hari itu, siang itu, Rama berdiri gagah, menarik busur pusakanya, hadiah Dewa Siwa. Sejuta guntur menggelegar, langit kelam, "Wahai ibu pertiwi, keluarkan Shintaku, atau kululuh lantakkan tubuhmu."
Alam mencicit. Busur itu menyebar aroma kedahsyatan tiada tara. Bukankah pernah Ayah bilang, Nak, busur itu bisa membelah bumi bagai tangan orang dewasa merekahkan sebutir jeruk matang. Hari itu, Rama menarik busur pusakanya. Bersiap menukar kesedihan, penyesalannya dengan binasanya seluruh dunia.
Sayangnya, Rama tidak pernah tahu, sebagaimana busur Dewa Brahma yang menyimpan rahasia, busur Dewa Siwa juga menyimpan rahasia. Kecil saja, busur itu sejatinya milik Shinta, dan hanya bisa ditarik oleh orang yang diinginkan Shinta. Itulah kenapa dulu Rama memenangkan sayembara itu. Karena Shinta mencintainya, dan menginginkannya menjadi suaminya. Dengan busur itulah Rama mampu mengalahkan Rahwana, membuat kerajaan Kosala disegani seluruh daratan India, karena Shinta menginginkannya.
Shinta telah ditelan bumi. Tidak ada lagi yang merestui busur itu, tarikan Rama atas busur mengendur, dan dengan wajah bingung tidak mengerti, bahkan sekarang busur itu sama sekali tidak bisa diangkat olehnya, jatuh berdebam di tanah, membuat debu berterbangan. Rama ikut jatuh terduduk, mengais-ngais tempat rekahan yang baru saja menelan tubuh istrinya. Rama berseru-seru, memanggil, memohon. Dia sungguh menyesal. Dia sungguh ingin minta maaf. Tetapi semua sudah terlambat.
Kejadian siang itu akan dikenang banyak orang.
Beberapa minggu kemudian, Rama meninggalkan tahta Ayodya, dia memutuskan menyusul adiknya Laksmana menjadi pertapa. Lawa dan Kusa yang menyaksikan kalau Ibunya tetap mencintai Rama hingga detik terakhir, berhasil dibujuk Resi Walmiki kembali ke padepokan. Mereka tetap membenci Ayahnya, tapi mereka menghentikan berbuat kerusakan. Besok lusa, mereka menjadi ksatria tiada tanding. Sementara rakyat Ayodya" Mereka tetap sibuk dengan tabiat buruk bisik-bisik kotor itu.
Itulah kisah legendaris Rama dan Shinta, Cindanita. Maafkan Ayah, Nak, kisah ini ternyata tidak berakhir bahagia.
Cindanita menatapku, berkerjap-kerjap. Aku mengangguk, ya, kau benar Cindanita, kisah ini mirip dengan cerita Ayah dan Ibumu. Setelah dua tahun menikah, Ibumu mengandung. Itu kau, Cindanita, membuat kebahagiaan kami berlipat-lipat.
Tapi sayangnya, bisik-bisik itu mulai terjadi. Banyak tetangga yang datang menjenguk Ibumu, bertanya satu-dua hal, mengetahui Ayahmu yang bekerja sebagai pelaut, lantas entah dari mana prasangka kotor itu mulai bekerja. Bukankah pelaut jenis pekerjaan yang mudah tergoda" Tiga bulan berlayar entah ke kota mana, pelabuhan mana, bukankah" Bukankah"
Ayah tidak tahu sejak kapan Ibumu termakan bisik-bisik itu. Ayah merasa semua baikbaik saja, bahkan saat menemani kau lahir Cindanita, Ayah merasa menjadi orang paling berbahagia sedunia. Tidak dengan Ibumu, ternyata dia berbulan-bulan menahan diri untuk bertanya apakah aku masih setia dengannya, apakah aku tidak berselingkuh di kota lain. Dan bisul itu pecah saat semua kerepotan datang mengurus kau, Cindanita. Ayah yang harus kembali ke kapal, menerima hujaman pertanyaan itu.
Apa yang harus Ayah jawab" Jelaskan" Bahkan Ayah sungguh bingung dengan prasangka itu" Bukankah kita baik-baik saja selama ini" Ibumu sebaliknya justeru berteriak histeris, bilang tidak percaya. Situasi berubah dengan cepat memburuk, pernikahan kami seperti kapal memasuki badai.
Tiga bulan kemudian, saat Ayah kembali lagi ke kota, Ibumu bahkan menolak bicara. Prasangka itu semakin tebal, cinta kami dikalahan oleh ketidakpercayaan. Tiga bulan lagi berlalu, semua tiba pada puncaknya, malam itu Ibumu marah besar, dan dia pergi begitu saja dari rumah. Ayah panik, Nak, kau menangis kencang di kamar. Situasi berubah jadi menyedihkan, aku tidak becus mengurus bayi, dan kau jatuh sakit, satu minggu berlalu, meski dibantu dokter dan perawat, sakitmu terus memburuk, tubuhmu membiru.
Dua minggu berlalu, saat Ibumu kembali, dia hanya bisa meratap di pekuburan ini. Dia kembali saat pemakamanmu, Cindanita. Penyesalan, kebencian, entahlah, menyatu dari sorot matanya, kami tidak bicara sepatah pun malam itu, dan aku tahu, kali ini, Ibumu akan pergi tidak akan pernah kembali.
Bagaimana mungkin semua kisah bahagia itu berakhir menyedihkan" Aku tidak pernah tahu jawabannya, Nak. Yang Ayah yakini, cinta yang besar, tanpa disertai komitmen dan kepercayaan, maka dia hanya akan menelan diri sendiri.
Satu kunang-kunang terbang di atas pusara Cindanita.
Sudah larut malam, Nak. Kelasi kapalku sudah menunggu di pelabuhan, kami harus melanjutkan perjalanan. Sampai bertemu tahun depan. Ayah janji, Ayah akan menceritakan kisah hebat dari tempat-tempat lain yang Ayah kunjungi. Aku mencium lembut kening Cindanita.
Selamat tidur, Nak. *** 4. Buat Apa Disesali Kisah ini sudah tertinggal dua puluh tahun lebih, maka ibarat seseorang yang ketinggalan kereta, bukan cuma kilau lampu dan getar rel yg telah hilang di tikungan sana, bahkan gerbongnya sj sudah karatan dan dipensiunkan, lokomotifnya mungkin masih beroperasi, tapi sudah tersengal karena tua. Cerita ini sudah menguap dua puluh tahun lebih, maka ibarat embun menggelayut malas di dedaunan, jangan-jangan rerumputan itu sudah menjadi hutan, tidak tersisa lagi kenangannya. Tapi tak mengapa, boleh jadi cerita ini bermanfaat. Toh, kalian biasanya suka dgn kisah cinta klasik seperti ini. Yang walaupun saking klasiknya, berkali-kali terjadi di sekitar kita.
Kisah ini dari mbak kita, panggil saja namanya Hesty, 48 tahun, tinggal di Menteng, salah satu kawasan elit di Jakarta--klasik kan. Dia 8 tahun terakhir, selalu menangis dalam diam saat mendengar lagu "Selamat Jalan"-Rita Effendy, apalagi ketika malam tiba, Jakarta dikepung rinai gerimis, berdiri di teras, menatap kilat cahaya lampu, semua kenangan itu kembali. Apa coba salah itu lagu" Apa coba dosa Rite Effendy, sampai lagunya dijadikan 'lagu nasional' kesedihan dari Mbak Hesty, tidak panjang kata lagi, baiklah, berikut kisahnya.
Hesty dan Tigor lahir di hari yg sama, tahun 1960, masa-masa Soekarno dan bangsa ini ribut tentang jargon nasakom. Mereka lahir nyaris di waktu yg juga hampir bersamaan; bedanya, Hesty dilahirkan di RS Cipto dibantu dokter-dokter yg hebat, sementara Tigor dilahirkan di kampung dibantu dukun beranak sekitaran Cikini.
Mereka juga tinggal satu rumah, satu atap. Bedanya, Hesty tinggal di lantai dua dengan kamar besar, bertirai sutera, berlantai parquet jati. Sedangkan Tigor tinggal di sudut paling pojok rumah itu di kamar sempit, sekamar dengan Emak dan Bapaknya. Mereka tumbuh bersama, bersisian, dan berbagi banyak hal yg sama. Bedanya Hesty adalah anak ke-5 dari 5 bersaudara keluarga pejabat pemerintah pemilik rumah besar dibilangan Menteng tersebut; sementara Tigor anak pertama dan satu-satunya dari Bibi (tukang cuci) dan Mamang (tukan kebun) rumah tersebut.
Klasik sekali, bukan"
Sejak kecil mereka dekat. Tidak ada yg tahu kenapa mereka begitu kompak, begitu melengkapi dan boleh jadi terlihat cocok satu sama lain. Di mana ada Tigor, maka Hesty, gadis kecil dgn rambut ikal, mata hitam bundar, dan wajah menggemaskan itu selalu ada. Dan sebaliknya, di mana ada Hesty, maka Tigor, bocah kecil dgn rambut berantakan, kulit rada-rada hitam, dan wajah selalu tertawa itu selalu ada. Namanya juga anak-anak. Belum ada yg keberatan dgn fakta kedekatan mereka. Papa Hesty memang sering marah-marah setiap kali tahu cerita kalau Hesty lagi-lagi bandel mandi di sungai ciliwung bersama Tigor--jaman itu aliran air Ciliwung masih sedikit manusiawi. Atau ketahuan main layang-layang jauh sekali di lapangan banteng. Berjalan kaki pulang sekolah (padahal ada jemputan). Melempari pohon mangga di perempatan Senen. Tapi saat itu, tentu saja Papa Hesty hanya marah atas kenakalan Tigor dan Hesty. Mereka masih anak-anak.
Bibi dan Mamang setiap malam mengingatkan Tigor soal "nona muda" jangan diajak main yg aneh-aneh. Tigor selalu menurut, mengangguk. Tapi mau bagaimana" Nona muda Hesty sendiri yang justru sambil nyengir berteriak di luar kamar sempit itu. "Tigoorrr! Main yuk!" mengajak Tigor bersepeda sepanjang hari, lantas melakukan halhal seru di kampung-kampung Jakarta--blusukan. Sepanjang sejarah kanak-kanak mereka, hanya dua kali Papa Tigor benar-benar marah soal kebersamaan mereka; pertama ketika Hesty dan Tigor pulang kemalaman bersepeda (sebenarnya mereka sering kemalaman); tapi kali ini beda, itu persis tanggal 30 september saat umur mereka 6 tahun. Hesty imut-nya cuma menyahut seruan ayah-nya dgn: "Pa, aman2 saja kok, Hesty tadi malah lihat banyak tank, ya kan Tigor?" Papa semakin marah, "Aduh, kita nggak kenapa-napa kok, Pa. Tentara itu mau perang ya, Pa?" Hesty dihukum tidak boleh keluar selama tiga hari. Sedangkan di kamar sempit, Tigor dihukum Bibi (ibu Tigor) tidur di kursi luar selama seminggu, bersama nyamuk, kena tampias hujan. Itu hukuman yang boleh jadi masuk akal, karena Jakarta sedang genting-gentingnya karena pemberontakan PKI, mereka berdua malah asyik beranjangsana.
Kali kedua, dan ini juga fatal sekali; saat Hesty dan Tigor mencuri-curi peralatan kamera Papa-nya. Lantas menggunakannya utk foto-foto. Itu barang langka tahun 60-an; hadiah istimewa dr duta besar Inggris. Kamera itu rusak. Maka malam itu Hesty dijewer Papanya. Tigor" Ditampar Mamang (bapaknya), "Kau membuat nona muda menangis, hah. Kau pikir kau bisa seenak perut masuk-masuk ke kamar Tuan?". Belum lagi hukuman tambahan, bukan sekadar tidur di kursi, Bibi kali ini menyuruh Tigor berdiri di halaman rumah hingga shubuh. Malam itu hujan turun deras. Hesty menangis, mengintip dari teras lantai dua, menatap Tigor yg menggigil kedinginan di halaman bersimbah hujan. Hesty sejak tadi sungguh hendak menyerahkan payung; Papa-nya mendelik marah, mengunci pintu kamar. Menyisakan isak gadis kecil berambut ikal itu. Itu semua idenya, bukan salah Tigor.
Lepas beberapa hari (tujuh hari) dari insiden kamera tersebut, Papa Hesty mendapat tugas menjadi pimpinan di Surabaya. Berangkatlah seluruh keluarga itu ke sana. Rumah besar di Menteng hanya menyisakan tiga orang: Bibi, Mamang dan Tigor. Sisa-sisa kemarahan soal kamera itu jelas masih ada; jadi Tigor hanya bisa takut-takut melambaikan tangan saat mobil pergi mengantar keluarga itu ke Stasiun Kota. Tapi bukan Tigor dan Hesty namanya jika mereka mengalah begitu saja. Tigor bergegas dgn sepedanya menuju Stasiun Manggarai, sengaja menunggui kereta itu lewat di sana. Dia kali dia tertipu, salah. Kereta ke-3 dia benar; kepala Hesty melongok dari jendela gerbong, melambai2kan tangan. Meski tdk janjian (mereka saja bahkan dilarang bicara satu sama lain selama seminggu terakhir), tentu saja Hesty tahu, mereka sering bersepeda ke sini; lantas pura-pura melambaikan tangan ke kereta-kereta yg lewat, tertawa-tawasoal di sana ada Hesty yg pergi entah kemana.. kali ini benar2 terjadi; dan kedekatan itu membuat Hesty yakin Tigor akan berdiri di sana. Hesty yakin sekali. Maka setengah mengharukan setengah lucu melihat mereka dada-dada-an.. Kepala Hesty keluar dari jendela gerbong, Tigor berlarian melambai. Kereta terus melaju. Kali ini Papa Hesty tdk tahu hendak bilang apa lagi, mukanya cuma menggelembung merah.
Dan waktu berlalu dgn cepat...
Seperti cepatnya pembangunan yg merubah wajah kota Jakarta... Ali Sadikin menyulap jalanan Thamrin, kampung raksasa itu berubah jd metropolitan. Lantas apa kabar Hesty-Tigor" Duhai, apalah artinya Jakarta-Surabaya" jarak tidak mampu menaklukkan kedekatan. Mereka menemukan cara baru utk terus berhubungan. Surat-menyurat.... Menurut cerita Hesty, selama 14 tahun Papa-nya bertugas di Surabaya, dia mengirimkan 251 surat buat Tigor. Dan menerima 234 surat balasan. Kenapa balasan Tigor lbh sedikit" Aduh, urusan ini menyebalkan sekali memang.. di awal2, surat balasan Tigor terlanjur kena black-list Papa Hesty. Langsung dibakar di perapian rumah saat tiba. Hingga Hesty tahu soal itu, dan meminta Tigor mengirimkan surat ke alamat temannya. Beres! Masalah itu teratasi... Isi surat2 itu sebenarnya tidaklah berbeda satu sama lain, hanya tentang: apa saja yang kamu lakukan seminggu terakhir, bercerita seru hal-hal konyol yg dilakukan, ide-ide konyol jika mereka bertemu lagi, dan selalu ditutup dgn kalimat: "tidak seru nggak ada Hesty di sini" (atau "tidak seru nggak ada Tigor di sini", kalau Hesty yg menulis suratnya).
Empat belas tahun berlalu, hingga akhirnya hari yg terjanjikan itu tiba... Kesabaran selalu menaklukkan apapun.
Papa Hesty mendapatkan penempatan baru di Jakarta. Kalian tahu sebagai apa" Menteri. Mereka tidak kembali ke Menteng, keluarga besar Hesty tinggal di kebayoran lama, Papa-nya sudah berumur 60tahun. Hesty sudah dua tahun kuliah di Surabaya, saat pindah ke Jakarta, ia juga pindah kuliah ke UI Salemba. Apa kabar Tigor" Dia tetap tinggal di rumah Menteng, yg sejak dulu disewakan ke ekspatriat, keluarga bule-blue yang bekerja di Jakarta. Sedangkan Bibi dan Mamang juga tetap tinggal di sana, jd pembantu keluarga yang menyewa rumah.
Tapi belasan tahun berlalu, meski tetap tinggal di kamar sempit pojokan rumah, tentu saja Tigor sekarang adalah seorang pemuda. Meski wajahnya rata-rata saja tidak ganteng-ganteng amat (hanya menang di ekspresi muka yg selalu gembira, wajah yang selalu tersenyum menawan), Tigor tumbuh jd pemuda yg pintar. Dia kuliah juga di tahun ke-2 di UI Salemba. Tubuhnya cukup tinggi, cukup atletis, cukup hitam, meski sama sekali tdk cukup biasa utk ukuran jaman itu, anak pembantu kuliah di jurusan paling prestisius, kampus terkenal di Indonesia. Maka duhai, saat mereka bertemu pertama kali di Salemba, momen itu selalu indah utk dikenang. *kalau cerita ini bisa panjang, saya bahkan bisa menceritakan detail pakaian yg mereka gunakan. Tapi kita tdk akan berlama2 di bagian ini.
Papa Hesty sibuk. Itu tahun-tahun pembangunan nasional dimulai, jargon repelita ngetop sekali. Mama-nya juga, sibuk di darma wanita, aktivitas sosial. Kakak-kakak perempuannya bahkan sudah ada yg menikah dan tinggal di rumah lain, di luar negeri. Tapi sesibuk apapun keluarga itu, mereka segera tahu: kenyataan Hesty dan Tigor yang kembali bersama-sama lagi, dekat sekali di kampus, sering saling menelepon; Itu kabar yang membuat tidak nyaman, risih dan menurut versi Papa Hesty, malu-maluin. Tapi apa mau dikata skrg" Mau mengunci Hesty di kamar" Menyuruh Tigor berdiri di halaman rumah" Mereka sudah dewasa; bahkan di tahun ke-4 kuliah, Tigor menjadi ketua Dewan Mahasiswa (yang salah satu kerjaannya, memprotes pemerintah Soeharto lewat demo-demo di jalanan; tahun 82-an demo2 masih jarang, jadi wajah Tigor yang masuk koran terlihat begitu jelas). Kebencian itu semakin tebal saja.
Usia 26, lulus dr kuliah, diterima bekerja di salah-satu perusahaan swasta yang baik, Tigor akhirnya setelah bertapa seminggu, memikirkannya matang-matang, akhirnya memberanikan diri melamar Hesty. Waktu itu, Papa Hesty diujung2 karir menteri-nya. Diterima" tentu saja jauh asap dari api. Ditolak mentah-mentah. Dihina malah. "Kau tidak menjadi layak hanya karena sarjana, punya pekerjaan bagus, atau terkenal sekali sering menulis di koran-koran. Keluarga kita tetap berbeda jauh." Papa Hesty menjawa dingin. Maka meledaklah masalah tersebut. Hesty menangis. Membenci Papa-nya. Bersumpah akan kabur dr rumah. Tigor pulang dengan wajah sendu. Kali ini Bibi dan Mamang yg semakin sepuh hanya bilang: "Nak, tahu dirilah siapa keluarga kita."
Enam bulan berlalu. Setelah begitu banyak keributan, seruan marah, situasi mulai mereda. Hesty yg sejatinya sayaaang sekali dgn Papa-nya, memutuskan untuk bersabar, mulai menyusun rencana panjang: membujuk Papa-nya tidak bosan-bosan hingga berhasil. Memberikan sejuta argumen. Mengajak Mama-nya ikut bersekutu. Kakak2nya yang tinggal di luar kota dan luar negeri. Setahun berlalu, semua seperti terlihat akan berhasil.. Papa Hesty sudah pensiun, sudah sering sakit malah, semoga saja keraskepalanya berkurang.. Kali ini Tigor menabalkan tekad, kembali melamar Hesty.. duhai, urusan ini menyedihkan sekali, Papa Hesty menemui Tigor pun tidak, dia hanya dingin bilang ke Hesty: "Jika kau sayang Papa, maka kau akan mendengarkan Papa... Papa tidak setuju kau menikah dengannya, jadi skrg terserah kau!"
Tembok itu tebal sekali. Dan jahitan luka lama itu terbuka kembali. Lebih lebar dan lebih dalam. Hesty malam itu sepertinya benar2 akan pergi dr rumah.. apalagi Tigor dgn wajah bersungguh2, meminta "janji itu" dipenuhi.. janji saat mereka sering bersepeda dulu: "aku akan ikut kemana kau pergi..." Tapi tidak, Hesty tidak bisa meninggalkan Papa-nya yg sakit2an. "Bersabarlah, Tigor... aku mohon.." Hesty meneguhkan hati; dia akan kembali membujuk Papa-nya. Bersabarlah, dia tidak akan menyerah. Mereka sudah berjanji bahkan sejak kecil, sejak mereka juga belum tahu apa itu perasaan cinta. Ah, apa lagi yg bisa dilakukan Tigor selain menunggu" Tidak mungkin dia membiarkan Hesty menyakiti Papa-nya.
Tapi urusan mereka benar2 berjalan di luar rencana enam bulan kemudian. Bukan karena Tigor kebetulan mendapatkan kesempatan dinas belajar, kursus singkat di London tahun 1987 selama 4 bulan. Jarak tdk pernah berhasil memisahkan mereka.. Tapi karena saat Tigor kembali dari kursus itu, empat bulan kontak dengan Hesty terhenti, dia justeru menemukan amplop tebal berisi setumpuk foto2 dan selembar surat di meja kerjanya. Itu foto2 pernikahan Hesty di Bandung. Dan isi selembar surat itu pendek saja: "Maafkan aku, Tigor.. aku sudah menikah..."
Seperti gila, Tigor berangkat menuju rumah besar keluarga Hesty. Muka riang itu terlihat pucat dan marah sekali.. Ingin rasanya dia langsung berteriak2 marah.. Bukankah mereka sudah berjanji akan sabar satu sama lain" Apa maksud pernikahan gila tersebut" Bagaimana mungkin" Empat bulan dia pergi ke London, Hesty menikah" Tapi seruan tertahan Tigor tidak keluar, ekspresi kemarahan itu justeru terhenti, karena persis ketika Tigor tiba, rumah Hesty dipenuhi oleh siluet hitam dan kesedihan. Papa Hesty semalam meninggal, old soldier itu telah pergi selama-lamanya. Rumah itu dipenuhi pelayat (yang otomatis adalah pejabat2 pemerintah); siapa yg peduli dgn Tigor jika di rumah itu sedang ada penguasa no.1 di Indonesia"
Pemuda malang yg merangsek masuk.. menatap nanar, mencari potongan hatinya: Hesty.. lihatlah, gadis cantik berambut ikal itu sedang menangis sesenggukan di hadapan Papa-nya yg terbaring beku.. Di sebelahnya duduk "seseorang". Melihat pemandangan itu, Tigor gelap-mata. Kepalanya sempit sekali utk berpikir, ada sejuta kabut kesedihan yang membuatnya tidak bisa berpikir rasional dan bersabar.. apalagi saat Hesty mengangkat wajahnya, dan mereka bersitatap satu sama lain; Hesty menggelengkan kepalanya.. menangis.. Tigor tertunduk, kalah.
Siang itu juga Tigor mengambil keputusan super-ekstrem. Dia berpamitan kepada Bibi dan Mamang. Dia akan pergi. Jauh. Ribuan mil, dan semoga semua kesedihan hatinya bisa hilang sejengkal.
Delapan belas tahun berlalu.. Tigor sempurna hilang ditelan gempita dunia.. meninggalkan jendela kaca yg semakin kusam.. rumput halaman yg meninggi dan menjadi belukar.. langit2 rumah yg dipenuhi bintik hitam tampias air... dan di atas itu semua, Tigor sempurna sudah meninggalkan Hesty..
Kalian tahu lagu "Selamat Jalan", Rita Effendy"
"Berpisah denganmu/telah membuatku semakin mengerti/
betapa indah saat bersama/yg masih selalu kukenang/
Setelah kejadian malam itu, menurut Hesty, dia berkali-kali datang ke rumah Menteng; bertanya di mana Tigor" bertanya di mana gerangan sepotong hatinya. Tapi Bibi dan Mamang menggeleng tidak tahu.. Hesty menangis, Hesty memaksa ingin tahu... Tapi siapa yg tahu dan akan memberi jawab" Bibi dan Mamang tidak tahu, hanya menerima surat secara berkala tanpa perangko yang tidak ada alamat pengirim, hanya menyisakan Hesty yg frustasi, Hesty yg bingung, tidak mengerti kenapa Tigor pergi begitu saja... Meninggalkan hari-hari yg sepi... Hari-hari yang menyesakkan.. hingga merubah rasa cinta itu menjadi kebencian karena setelah dia berkorban banyak hal, membujuk Papanya tak lelah bertahun2, Tigor-lah yg justru pergi tanpa berita..
Dan tahun2 berlalu lambat.. cat2 rumah semakin kusam.. kehidupan terus mengalir.. pohon palem yg mereka tanam berdua dulu waktu kecil bahkan sudah mati tua dimakan rayap... saat Mama-nya meninggal tahun 1995, Hesty yg sudah 35 tahun memutuskan pindah ke Menteng. Dia merenovasi rumah besar itu.. Ada banyak yg dirubah, kecuali kamar di lantai dua, tempat dia sering menghabiskan malam menatap lampu kota jakarta.. ditemani beratus2 lembar foto.. Tigor sejak merusak kamera papa Hesty, suka sekali dgn kamera; itu koleksi foto-foto mereka berdua waktu kuliah, dan tahun2 setelah itu. Menatap foto-foto itu setidaknya membuat Hesty bisa tersenyum, menghela nafas bahagia.
Apa yang sebenarnya telah terjadi" Tentu saja Hesty tinggal sendiri di rumah besar itu... Pernikahan itu tdk pernah ada.. Tigor keliru besar saat melihat foto-foto dan selembar surat itu... Foto-foto tersebut adalah konspirasi terakhir Papa Hesty yang terlalu membenci hubungan mereka. Benar, ada pernikahan tersebut, tapi itu kakak Hesty; dalam beberapa kesempatan, Hesty tentu saja berfoto dgn mempelai cowok bersama yang lain. Karena 5 bersaudara perempuan itu sengaja mengenakan pakaian yg tdk berbeda dgn pengantin, maka dengan memilih foto dengan pose tertentu, seolah2 Hesty-lah yg menikah. Surat itu" ah, urusan ini menyakitkan sekali. Satu2nya yg mempunyai tulisan tangan mirip sekali dgn Hesty adalah Mama. Tidak kuasa menolak permintaan suami-nya yg semakin sepuh, sakit-sakitan, Mama sambil menangis bersedia menulis sepotong kalimat itu.
Dan semua menjadi rumit, saat Tigor datang dengan kemarahan ke rumah di kebayoran baru di hari kematian papa Hesty; lelaki yg duduk di sebelah Hesty adalah kakak iparnya. Dan jelas, di sebelah kakak iparnya tersebut ada kakak perempuan Hesty yg menjadi istrinya. Gelengan kepala Hesty tersebut juga maksudnya: "Jangan sekarang.. nanti saja kita bicarakan soal kita..." Tapi apa hendak mau dikata" Kejam nian kesalahan ini buat mereka.. Tigor yang baru pulang dari London, penuh bahagia berharap bertemu Hesty, benar-benar salah sangka.. Dan semakin kacau karena dia justeru memutuskan pergi.. menyiram rumput cinta yg tumbuh subur di hati dengan minyak tanah.. membakar habis hingga ke akar2nya..
Fakta ini baru diketahui Hesty enam tahun silam; tahun 2006; Saat Bibi meninggal, saat menemukan setumpuk foto2 pernikahan dan selembar surat itu di kamar sempit tersebut.. Hesty akhirnya mengerti kenapa Tigor raib dari kehidupannya... Hesty akhirnya tahu kenapa dia harus menghabiskan malam selama belasan tahun hanya duduk di teras lantai dua kamarnya.. menatap ke halaman saat hujan deras.. seperti bisa melihat Tigor kecil yg menggigil kehujanan karena dihukum.
"Berpisah denganmu/telah membuatku semakin mengerti/
betapa indah saat bersama/yg masih selalu kukenang/
selamat jalan kekasih/kaulah cinta dalam hidupku/
aku kehilanganmu/untuk selama-lamanya..."
Lagu2 baru bermunculan, artis2 baru datang silih-berganti.. tp bagi Hesty, lagu "Selamat jalan" dari Rita Effendy tersebut tetap menjadi lagu favoritnya.. Bagi Hesty, inilah lagunya...
*** Sy beberapa tahun silam menyempatkan diri menemui mbak Hesty menyusul ceritanya di email yg super panjang lebar. Demikian beberapa point tambahan atas korespondensi tersebut:
Saya: "Apakah mbak Hesty akhirnya bertemu dgn Tigor?"
Hesty: "Ya. Persis enam bulan setelah Bibi meninggal, Tigor datang. Kabar meninggalnya Bibi tiba di tempat tinggalnya, entah bagaimana caranya kabar itu didengarnya.. Dia selama ini ternyata tinggal di London." *mbak Hesty tertawa pelan, sambil menyeka matanya yg berkaca2, "Tigor datang ke rumah di Menteng. Bersama istri dan dua anaknya. Istrinya bule, anak2 yg lucu. Satu berumur 9 tahun, satu masih 3 tahun. Aku puluhan tahun, setiap hari tidak pernah berhenti berharap menunggu saatsaat bertemu dengannya.. Tapi pertemuan itu kaku sekali, terasa ganjil... Hingga kami bertemu, dia tdk pernah tahu kalau aku tdk pernah menikah."
Saya: "Apakah mbak Hesty menyesali apa yg telah terjadi?"
Hesty: *mbak Hesty tertawa pelan, menggeleng.. "dua puluh lima tahun sy menghabiskan masa2 yg indah bersama Tigor" Masa kanak-kanak, kuliah, surat-surat itu. Dua puluh lima tahun, seperempat abad, apa yg harus sy sesalkan" skrg umur sy lewat lima puluh, dua puluh tahun lg hidup dgn mengenang masa lalu itu sj sudah cukup menyenangkan, bukan."
Saya ikut tertawa. itu point yg bagus: "Apakah mbak Hesty membenci Papa?"
A: *mbak Hesty terdiam lamaaa, hingga akhirnya menjawab: "Sy lbh membenci diri sendiri karena terlalu takut utk pergi bersama Tigor... Papa membesarkan kami keras sekali.. Penuh disiplin. Menanamkan pemahaman apapun yg kami lakukan akan mengundang sebab-akibat hidup.. seharusnya saat itu sy memahami, jangan2 Papa keras soal Tigor, agar sy benar2 yakin apakah Tigor adalah pilihan terbaik buat saya.. bukan sebaliknya, menghalangi kami seperti yg selama ini sy pahami.. jangan2 Papa keras soal Tigor, hanya utk melihat seberapa yakin saya atas keputusan yg sy lakukan... tp mau dikata apa" itu sudah terjadi... 20 tahun silam..."
Aku menghentikan pertanyaan...
Cukup. setengah jam sisa pertemuan itu dihabiskan dgn mbak Hesty memperlihatkan koleksi foto2 jadul mereka berdua... terakhir dia mengeluarkan foto paling pamungkas.. tersenyum lebar (meski matanya berkaca2 lagi); itu foto Hesty saat kamera Papa Hesty rusak.. di sebelah pohon palem yg baru setinggi mereka. Rambut ikal.. wajah menggemaskan, berebut mengacungkan dua tangan ke depan, tertawa.. "hanya utk selembar foto ini, Tigor semalaman kehujanan di halaman... aku yg memaksanya memoto dgn kamera Papa.. dan Tigor, kau tahu, Tigor akan melakukan apapun demi aku."
Aku menelan ludah; menatap lamat2 wajah cantik yg menua itu... yeah.. 20 tahun lagi hidup dgn mengenang masa lalu itu dr sisi yg positif lebih dari menyenangkan. ***
5. Itje Noerbaja & Kang Djalil
Itje! Soeara nyonya (mevrouw) Rose terdengar dari dalam roemah. Nampak dari gelagat, nyonya sedang marah besar.
Itje!!! Demi soeara matjam meriam meletoep doea kali itoe, Itje yang sedang asyik ngoepil sambil mengelap jendela katja kamar depan langsoeng poetjat pasi, bergegas menghentikan gerakan tanganja, menyampirkan kain lap di bahoe, berlari-lari kecil masoek.
Itje! Nyonya Rose seketika melotot, tidak pakai toenggoe-toenggoe Itje pasang posisi mendengarkan, Kamoe urang mahu kertja atau tidak, hah" Kamoe urang betjus kerdja atau tidak, hah" Lihat! Kamoe tahoe apa itoe, Itje"
Itje gemetar mendekat, melihat ke arah teloendjeok nyonya, Iya, Nya.
Itu apa" Eh, itoe boekannya medja makan, Nya" Itje ragoe-ragoe, malah bertanya balik, polos. Dasar koewe baboe kurang adjar, tidak poenja sopan santoen, anak ketjil saja tahoe itoe medja makan. Nyonya persis kakinya seperti habis ditimpa batu coelekan tiga kilo, wadjahnya merah padam menahan kesal, Kamoe lihat di atas medjanya, Itje. Kotor, hah. Mata kamoe ditaroeh di mana" Kenapa tidak segera dibersihkan"
Tadi soedah Itje bersihkan, Nya. Soenggoeh Itje menelan ludah, tidak mengerti kenapa meja itu kotor lagi.
Verdomme, Itje, Nyonya melotot, Djangan banjak tjakap, tjepat kamoe lap bersihbersih. Nanti malam, Meneer Van Houten poelang, semoea haroes terlihat bersih dan rapi.
Meneer poelang, Nya" Soenggoeh" Wajah bulat Itje langsung sumringah, hendak berseroe senang demikian, tapi dia beoroe-boeroe menoetoep moeloetnya sebeloem kalimat itoe keloear, bergegas mengelap medja.
Saya haroes ke roemah Mevrouw Elizabeth siang ini. Kamoe pastikan semoe soedah beres sebelum poekoel empat sore, paham"
Paham, Nya. Dan kamoe urang poenya teman baboe di dapoer, pastikan masakan kesoekaan Meneer siap sebelum peokoel enam nanti malam, paham"
Nggih, Nya. Bambang!! Nyonya soedah meneriaki baboe lain, toekang kendali kereta koeda, Nyonya melangkah anggoen ke loear roemah, meninggalkan Itje yang menganggoekanggoek seperti orang-orangan sawah.
Bambang! Suara nyonya terdengar melengking, Dasar inlander pemalas, kemana poela katjung satoe itu. Soedah dari tadi pagi disoeroeh bersiap, djangan-djangan malah tidoeran di kadang koeda.
Itje soedah tidak terlalu mendengarkan omelan nyonya. Dia soedah asyik ber-hem-hem bersenandoeng lagoe, sambil mengelap medja makan agar terlihat kinjtlong. Ini kabar hebat punja, goemam Itje dalam hati, riang. Kalau Meneer poelang malam ini, berarti Kang Djalil joega ikoet poelang. Kang Djalil oh Kang Djalil. Itoe Kang Djalil siapa lagi kalau boekan tjenteng nomor satoe Meneer Van Houten. Kemana Meneer pergi, tidak akan pernah tanpa Kang Djalil.
Kang Djalil tambatan hati Itje.
*** Itje adalah gadis moeda, mekar dioesianja yang baroe enam belas tahoen, dia menjadi baboe di roemah Meneer Van Houten sejak oesia tiga belas. Iboenya adalah katjoeng lama keloearga itoe, belasan tahoen mengabdi, hingga tiga tahoen laloe, terdjadi penyerboean ke roemah besar itoe. Iboenya ikoet serta mendjadi korban. Menoeroet tjerita punja versi tjenteng rumah yang selamat, adalah rombongan maling bersendjata yang menyatroni malam-malam. Menoeroet tjerita serdadoe Belanda yang ikoet memeriksa, adalah inlander pemberontak yang menyerboe.
Itje terlaloe kecil oentoek mengerti, lebih banyak takoetnja, yang dia tahoe, selain beberapa keloearga dekat Meneer ikoet mendjadi korban, joega tewas beberapa baboe termasoek iboenya. Sedih betoel Itje melihat Iboenya meninggal. Tidak henti dia menangis menyeka pipi.
Selepas kejadian itoe, Nyonya Rose, istri Meneer, memasang pengoemoeman mencari baboe baroe, dan entah karena kasihan, atau memang boetoeh, Itje yang selama ini tinggal bersama bapaknya di roemah boeroeh perkeboenan teh milik Meneer Van Houten, akhirnja disoeroeh bantoe-bantoe di rumah Meneer.
Begitoe djoega Meneer Van Houten, sedjak kedjadian mengenaskan itoe, memoetoeskan oentoek merekroet lebih banyak tjenteng. Salah-satoenya adalah Djalil, pendekar moeda dari Kramat Djati. Oesia Djalil baroe doea poeloeh saat direkroet, tapi karena kesaktian silatnya tinggi, itoe Djalil lantas dipanggil Kang oleh belasan centeng lainnya, termasuk oleh Meneer Van Houten yang kemudian mengangkatnya sebagai pengawal nomor satoe. Lancar betoel karir Djalil di roemah besar itu, mendjadi orang kepercayaan Meneer.
Meski masih moeda, repoetasi Djalil loear biasa. Menoeroet bisik-bisik baboe dan tjenteng lainnya, Djalil bersedia memboenoeh siapa sadja asal dibajar segepok oeang kompeni, atau bersedia menjaga apapun asal disoempal dengan itoe kantong emas.
Djangan tjoba-tjoba mengadjaknja bitjara, salah kata, alamat golok besar ditjaboet dari pinggangnja. Kalau berpapasan dengannja, jangan mengangkat wajah bersitatap, tersinggoeng sedikit itoe pendekar moeda, alamat poekoelan silat dikirim, dan bersiaplah setidaknya pergi ke Mak Oeroet tiga hari oentoek mengoeroet patah toelang. Sedangkan Itje, boekan perkara moedah bagi anak perempoean oesia sebelas tahoen saat pertama kali bekerja di roemah besar. Tidak sekali doea Itje mengoendang masalah dan amoek besar Nyonya Rose. Beroentoeng Itje gadis yang radjin bekerja, serta poenja riwajat soal iboenya yang tewas itoe, djadi walaupoen sering terlaloe polos, menyebalkan, Nyonya Rose tidak sampai hati tega memecatnja.
Hari pertama kerja, persis saat Nyonya Rose mengoendang nederlander, ondernemer, toean tanah dan baroen Eropah lainnja, mengadakan itoe djamoean makan malam untuk orang-orang penting, sekaligus peringatan berkaboeng ituoe kedjadian soeram beberapa minggoe laloe. Dasar Itje masih gadis ingoesan, saat diteriaki, disoeroeh baboe senior lainnya menghidangkan soep bening ke meja makan, Itje polos tanpa tanya membawa nampan mangkok kobokan.
Mevrouw Rose, ini soep bening apa, ya" Salah-satu isteri toean tanah berdecap-decap mencicipi itu air di dalam mangkok, wadjah itu nyonya terlihat bingoeng.
Rechts, ini rasanya eh, eh, menarik sekali Mevrouw Rose. Nyonya nederlander lainnja tidak maoe ketinggalan berseroe dari seberang meja. Sebenarnja nyonya nederlander, isteri dari seorang kapiten ini hendak bilang rasanja tidak beda dengan air sadja, tapi karena dia soengkan dibilang kampoengan, djarang bergaoel ikoet makan malam gaya kerajaan, maka poera-poera ikoet memasang wadjah antoesias.
Nyonya Rose yang asyik ngobrol dengan tamoe di sebelah menoleh ke seberang, melihat tamoe-tamoenja lainnja sedang menyendok mangkok soep bening , melirik nampan Itje, baroe sadar kalau itoe baboenya telah menghidangkan air kobokan sebagai appertizer. Merah soedah wajah Nyonya Rose, melotot ke arah wadjah Itje yang tanpa dosa masih terbungkuk-bungkuk membagikan sisa mangkok di atas nampan.
Wetenswaardig, ini soep bening menarik sekali. Di seberang lain, isteri toean tanah lainnya lebih doeloe berkomentar, Mevrouw Rose pastilah punja resep spesial ini aseli dari Itali" Atau Paris"
Boekan Itali atau Paris Mevrouw Elizabeth, ini pastilah resep spesial dari Monaco.
Wadjah menggelemboeng Nyonya Rose, yang serba salah, setengah marah bercampur setengah malu, segera terlipat, demi mendengar arah itoe percakapan, dia pura-pura anggun mengangkat tangannja, menganggoek gaja khas bangaswan nederlander, Ah, itoe hanja resep sederhana milik keloearga. Tidak spesial.
Oh my God, beroentoenglah Itje, di doenia ini, terkadang gengsi serta ikoet-ikoetan mengalahkan kampoengan, dan djelas sekali gengsi nyonya-nyonya nederlander, toean tanah dan baroen Eropah itu terlalu tinggi walau oentoek mengakoei kalaoe di mangkok itoe hanya air putih biasa. Djamoean makan malam itoe berdjalan lancar-lancar sadja, batal djadi peristiwa memaloekan. Nyonya Rose poenja wadjah tetap bisa joemawa.
Tapi sejenak saja Itje selamat, lepas kereta koeda pergi dari halaman, membawa tamoetamoe poelang ke roemah masing-masing, Nyonya Rose matjam radio roesak mengomel panjang lebar di dapoer. Berteriak-teriak, menoenjoek-noenjoek djidat Itje. Bilang, dasar inlander bodoh, baboe doesoen, di depan baboe-baboe lain yang lebih senior, dan beberapa tjenteng yang kebetoelan ikoet menoempang makan. Itje menoendoek menahan tangis, kasihan sekali melihat Itje, gadis beroesia tiga belas tahoen dimarahi nyonya nederlander. Dia soenggoeh tidak tahoe kalau itu mangkok air kobokan. Bagi gadis kampoeng boeroeh perkeboenan teh, mangkok air kobokan itoe amat bagoes, Itje pikir itu pastilah soep bening.
Tidak coekoep kena omel Nyonya Rose, lepas Nyonya kembali ke roeang depan, hendak masoek kamar istirahat, giliran baboe lain siboek mentertawakan Itje kecil.
Saat itoelah cinta mereka bersemi, pembaca yang boediman. Ketika Djalil tiba-tiba memoekoel meja, lantas berseroe marah pada itu semua baboe dan tjenteng anak boeahnja, Apa jang kalian tertawakan, hah" Apa jang kalian tertawakan" Djalil djaoeh dari berwadjah tampan, di wadjahnya joesteroe ada doea goerat bekas loeka besar, wadjahnya kalau tak patoet disebut seram, terlihat amat kasar. Badannya kekar, tangannya koeat, soearanya serak tegas, terdiam soedah seisi dapur itoe, menoleh ke arah Djalil.
Kalian senang mentertawakan bangsa sendiri, hah" Djalil berdiri, mukanya masam, Dia dimarah-marahi bangsa lain, direndahkah hanja karena salah membawa mangkok soep, dianggap baboe bodoh, tidak poeas, sekarang giliran kalian mentertawakannja" Baboe-baboe dan tjenteng menelan loedah.
Dasar bangsa tidak tahoe maloe. Boekannya membela bangsa sendiri, malah dihina. Djalil melangkah mendekati Itje.
Tjenteng nomor satoe itoe meraih poendak Itje ketjil, menepoek-nepoek, lantas berbisik, Djangan dipikirkan, Itje. Kamoe lebih berharga dibanding semoea baboe di sini, bahkan sebenarnja, bagikoe, kamoe lebih berharga dibanding nyonya-nyonya koempeni yang kamoe lajani tadi.
Itoelah cinta, pembaca jang boediman, malam itu, Itje ketjil bisa melihat hati Djalil yang sesoenggoehnya. Hati jang lemboet dan tampan. Dia menghapoes bisik-bisik di dapoer atau kamar baboe jang bilang, pemuda seram ini adalah tjenteng paling menakoetkan seloeroeh Batavia.
Itje ketjil menyeka air mata di pipi, menganggoek, menatap Djalil yang melangkah di bingkai pintoe dapoer, meneriaki anak boeahnya agar bergegas pergi.
Sedjak saat itu Itje dan Djalil dekat satoe sama lain. Tiga tahoen berlaloe, repoetasi Kang Djalil sebagai itoe tjenteng paling hebat di Batavia semakin tinggi, kemanapoen Meneer pergi, entah itoe mengoeroes keboen teh, menemoei pedjabat VOC, ataoe hingga mengawal Meneer naik kapal pergi ke Malaka, Kang Djalil ikoet serta. Sementara di roemah, itoe Itje ketjil perlahan tapi pasti toembeoh mendjadi gadis molek meskipoen tetap seorang baboe.
Adalah hal paling menjenangkan bagi Itje, setiap kali Meneer Van Houten poelang ke roemah. Itoe berarti dia bisa bersoea dengan tambatan hatinja. Awalnja Itje tjemas hanja bertepoek sebelah tangan itoe perasaan, tapi Kang Djalil joega soekakan dengan Itje. Gadis polos jang radjin bekerdja. Gadis polos jang punja banjak keinginan, rentjanarentjana. Setidaknja, di roemah itoe, hanja Itje jang tidak teroes siboek setiap saat memboengkoek-boengkoek.
Kamoe soeka" Kang Djalil ragoe-ragoe bertanja.
Itje menganggoek kentjang-kentjang.
Soenggoeh" Kang Djalil memastikan, wadjah Kang Djalil masih terlipat. Itje tertawa menganggoek, mengenakan tjintjin emas itoe di djemari manis, Ini bagoes sekali.
Demi melihat tawa manis Itje, Kang Djalil ikoet tertawa lepas. Adoeh, tjinta memang loear biasa, bahkan bagi tjenteng galak sekalipoen. Lihatlah, pendekar dari Kramat Djati itoe terlihat matjam remadja yang harap tjemas hadiah boeat tambatan hatinja tidak disoeka. Itoe kedjadian doea tahoen laloe, saat Kang Djalil baroe poelang mengawal Meneer Van Houte ke Djohor, membawa kapal penoeh moeatan rempah-rempah. Terpesona melihat toko-toko madju di sana, Kang Djalil membelikan Itje sepotong tjintjin emas.
Kamoe soeka" Kang Djalil bertanja ragoe-ragoe.
Itje menganggoek perlahan, tangannja perlahan menjentuh tjermin katja moengil.
Soenggoeh" Itje tersenyoem manis, Bagi Itje, Kang Djalil poelang dengan selamat soedah lebih dari hadiah hebat. Itje soenggoeh tidak mengharapkan boeah tangan apapoen kecoeli keselamatan Kang Djalil.
Wadjah boeroek Kang Djalil merekah oleh senyoem, meski sekedjap dia meringis menahan rasa sakit. Bagaimana tidak sakit kalau sekoejoer toeboeh tjenteng nomor satoe itu penoeh loeka dan lebam biroe. Itoe kedjadian setahoen laloe, kereta koeda Meneer Van Houten dihadang begal dalam perdjalanan menudju Bandoeng. Lima banding satoe, mati-matian tjenteng Meneer berhasil memoekoel moendoer itoe maling. Seminggoe lebih Itje merawat Kang Djalil, dan perasaan tjinta antara baboe dan tjenteng itu semakin besar.
Itje!!! Soeara Njonja Rose terdengar dari roeang makan.
Eh" Lamoenan Itje di dapoer langsoeng boejar seketika, Itje menoleh, menelan loedah. Dia sedang asyik melamoen ngoepil, menoenggoe tambatan hatinja moentjoel sambil menjiapkan makan malam.
Itje!! Tanpa menoenggoe tiga kali meletoep itoe meriam, Itje soedah lari-lari ketjil ke ruang makan.
Itje! Nyonya Rose seketika melotot, tidak pakai toenggoe-toenggoe Itje pasang posisi mendengarkan, Kamoe urang mahu kertja atau tidak, hah" Kamoe urang betjus kerdja atau tidak, hah" Lihat! Kamoe tahoe apa itoe, Itje"
Tjukup, tidak oesah kamoe djawab itoe medja makan, Itje. Anak ketjil poen tahoe. Nyonya Rose mengangkat tangannja, sebeloem Itje menjawab bodoh, Mana tjokelat panas Meneer, hah" Kenapa tidak kamoe bawa segera"
Eh, Itje menelan ludah, Kata Meneer Pan Houten
Van, Itje, Van. Soesah sekali itoe moeloet inlander kamoe bilang hoeroef V, hah"
Nyonya Rose memotong. Eh, iya, kata Meneer Pan Houten, Sayangnya tetap saja Itje tidak bisa menyeboet huruf V dengan betjus, Coekoep wedang hangat, Nya.
Ganti, Itje. Ganti weedangnja dengan tjokelat. Nyonya Rose melotot.
Tapi, tapi Meneer bilang wedang, Nja.
Bawa masoek weedangnja, Itje.
Wedang, Nja, boekan weedang. Seperti menyebut enak, Nja, bukan eenak. Itje menyeringai, Nyonya soesah sekali bilang bilang huruf e, ya"
Verdommee, Itje, dasar baboe tidak tahoe sopan santoen. Kamoe berani-beraninja menghina moeloet orang Eropah, hah" Nyonya Rose memoekoel medja, dia hampir sadja melempar piring kalau tidak itoe Meneer Van Houten masoek ruang makan.
Geduld, my darling, Suara empoek Meneer Van Houten menahan gerakan tangan Nyonya Rose, tersenyoem, Djangan terlaloe kasar dengan Itje, Rose.
Nyonya Rose melotot pada soeaminja.
Lagipoela dia betoel. Akoe jang tadi memintanja mengganti tjokelat panas dengan wedang panas. Meneer menarik koersi, doedoek di seberang Nyonya, menoleh ke arah baboenja, Nah, Itje, semoea menoe makan malam soedah tersadji dengan sempoerna, silahkan kembali ke dapoer.
Itje, tidak perlu disoeroeh doea kali, soedah ngacir kembali ke dapoer. Selamat, selamat, Itje mengeloes-eloes dada. Meroetoek kenapa tadi dia keletapasan memperbaiki kalimat wedang Nyonya.
Kabar bagoesnja, kemarahan Nyonya dengan tjepat padam saat soeminja berjterita hasil perdjalanannya menemoei pedjabat tinggi VOC doea hari terakhir.
Governoer Djenderal VOC, Jan Pieterszoon Coen, dan istrinja akan menghadiri djamoean makan malam kita. Meneer Van Houten membentangkan tangannja, senang bilang kabar itoe.
Excellent, my darling, excellent, Apalagi Nyonya Rose, dia berseroe lebih kentjang, terdengar hingga ke dapoer.
Ini mengembalikan kehormatan dan kepertjayaan seloeroeh orang penting di Batavia pada keloearga Van Houten setelah kedjadian memaloekan tiga tahoen laloe, Rose. Ini lebih dari excellent. Governoer djenderal bilang dia tidak trauma, dia pertjaya keamanan djamoean makan malam itoe akan lebih baik. Mata Meneer Van Houten berkedoet-kedoet sebelah karena itoe senangnja.
Tentoe saja my darling, kita akan boeat djamoean malam paling spesial jang pernah ada di Batavia sepanjang sedjarah. Mevrouw Elizabeth bilang, itoe koki nomor wahid di Malaka bisa datang. Kita akan menghidangkan masakan-masakan terbaik keradjaan Eropah. Itoe akan mendjadi pengalaman paling spesial bagi governoer djenderal. Ahya, kita akan mengoendang semoea pedjabat VOC, bangsawan, nederlander, toean tanah, dan baroen-baroen, ahya, kita& .
Soeara riang Nyonya Rose teroes terdengar hingga ke dapoer, tempat sekarang itoe baboe Itje sedang joega menatap sumringah bingkai pintu, dimana tambatan hatinja telah tiba.
Selamat malam, Itje. Kang Djalil melangkah masoek. Nampaknja sehat wal afiat tidak koerang satoe apapoen. Hanja terlambat, karena setiba tadi sore poekoel empat, langsoeng disoeroeh Meneer memeriksa perkoeboenan the, baru sekarang, malam hari akhirnja bisa bertemoe Itje.
Itje mendjawab riang, sedikit mandja.
Adoeh, pembatja jang boediman, soedah sedjak tadi siang, Itje tak sabar ingin bertemoe. Tentoe boekan karena menoenggoe ole-ole Kang Djalil, tapi karena rindoe soedah tidak tertahan.
Eh" Itje menelan ludah. Sedjenak menatap wadjah lelaki gagah itoe, kenapa Kang Djalil tidak tersenjum seperti biasanja"
Kita tidak bisa bertemoe di sini, Itje. Kang Djalil berbisik, menunjuk tiga baboe lain jang sedang siboek mengerdjakan sesoeatoe di dapoer.
Kita bertemoe di halaman belakang sadja. Kang Djalil sudah melangkah ke arah pintoe dapoer.
Itje menelan ludah. Sedikit bingoeng, tapi bergegas menyoesoel langkah Kang Djalil.
*** Apakah Kang Djalil hendak membitjarakan masa depan hoeboengan mereka" Apakah Kang Djalil hendak datang ke roemah boeroeh perkoeboenan teh, menemoei Bapak" Melamar Itje"
Itoe rentjana semakin matang, Itje. Kang Djalil berkata perlahan, memboeka pertjakapan setelah mereka berdua di balik pohon beringin besar halaman belakang roemah Meneer. Tidak ada siapa-siapa di sana, ketjoeali njamoek dan koenang-koenang. Itje menghela nafas. Tentoe sadja, Kang Djalil tidak sedang membitjarakan oeroesan perasaan mereka sekarang.
Semoea orang jang terlibat soedah siap sedia. Kapanpoen djamoean makan malam itu berlangsoeng, semoea pihak soedah siap. Apakah kamoe soedah siap, Itje" Kang Djalil menatap tambatan hatinja, wadjah dengan doea paroet loeka itu terlihat serioes. Hening sedjenak di bawah pohon beringin.
Apakah, apakah tidak bisa dibatalkan, Kang" Itje ragoe-ragoe, akhirnja bersoeara, menelan loedah.
Dengarkan akoe, Itje. Kang Djalil berkata lebih tegas, Kamoe haroes jakin. Tidak boleh setengah-setengah.
Kasihan Meneer dan Mevrouw, Kang. Itje berkata lirih.
Astaga, Itje, kasihan apanja, hah" Kang Djalil menatap tidak pertjaya, Mereka bangsa pendjadjah, kamoe hanja djadi baboe di roemah itoe. Akoe hanja tjenteng bajaran, dan jang lain, seloeroeh bangsa ini lebih rendah di mata mereka. Djangan pernah mengasihani mereka.
Itje tertoendoek, djemari tangannya meremas satoe sama lain, tjemas.
Dengarkan akoe, Itje. Kang Djalil berbisik lebih keras, Djangan kamoe bilang soedah loepa itoe peristiwa tiga tahoen laloe, Itje. Djangan sekali-kali kamoe loepa itoe peristiwa.
Tentoe sadja Itje sekarang berbeda dengan Itje tiga tahoen laloe. Bekerdja mendjadi baboe di roemah Meneer Van Houten, meskipoen banjak jang toetoep moeloet tidak maoe bertjerita, tjepat atau lambat memboeatnja tahoe detail kedjadian tiga tahoen laloe waktoe ibunja meninggal. Apalagi Kang Djalil, tanpa diketahoei siapapoen adalah saksi mata itoe kedjadian.
*** Meneer Van Houten adalah ketoeroenan salah satoe bangsawan penting di Amsterdam sana. Orang toeanya masih kerabat dekat Ratu Belanda. Saat kompeni tiba di Noesantara, keloearga mereka jang membantoe perongkosan perang, diberikan konsesi tanah loeas oentoek perkeboenan. Karena orang toeanya soedah terlaloe toea tinggal di itoe negeri antah berantah, anak soeloeng mereka jang mengoeroes itoe tanah dan kekajaan lainnja, jadilah Meneer Van Houten jang menikahi Mevrouw Rose menetap di Batavia.
Karena mereka masih kerabat Ratu, loemrah sekali hidoep dengan gaja kebangsawanan. Tiga tahoen laloe, Meneer Van Houten jang merajakan sepoeloeh tahoen tinggal di Batavia, mengoendang orang-orang penting Eropa di djamoean makan malam keloearga, termasoek hadir J.P Coen, governoer djenderal VOC jang mahsyoer kedjam itoe pada para inlander
Tanpa diketahoei Meneer Van Houten, rentjana djamoean itoe soedah diintjar oleh pemberontak jang bosan didjadjah. Doea belas pendekar sisa-sisa pasoekan Fatahillah hendak membalas kekedjaman J.P. Coen jang memboemihangoeskan Jayakarta. Mereka berkongsi oentoek menjerboe diam-diam itoe djamoean makan malam penting, mencoelik J.P. Coen, oentoek ditoekar dengan syarat kompeni haroes moendoer dari Batavia.
Lantas apa peran ibunja Itje" Besar sekali. Tanpa orang ketahoei, termasoek oleh Mevrouw Rose, ibu Itje adalah baboe roemah jang memasoekkan doea belas pendekar itoe di malam djamoean. Ibu Itje jang memboeka pintoe belakang roemah, menjembunjikan pemberontak di salah satoe kamar baboe lainnja, lantas memberitahu kode kalau semoea orang penting telah hadir di djamoean makan malam.
Awalnja penyerboean itoe berdjalan lantjar, melebihi lantjarnya penyerboean Koeda Troja di kisah lama. Doea belas pendekar memakai kedok hitam, dengan gampang meloempoehkan serdadoe dan tjenteng di halaman, merangsek masoek ke roeang makan. Seloeroeh oendangan mendjerit ketakoetan, Mevrouw-mevrouw jang berdandan tjantik-tjantik jdadi koesoet masai ramboetnya. Sementara Meneer-meneer terlambat menarik pistol oentoek melawan.
Pemimpin pemberontak dengan golok besar di tangan mendekati J.P. Coen, tapi sajang governoer djenderal itoe tentoe sadja bekas kapiten nederlander jang terlatih. J.P. Coen menjambar Ibu Itje jang joega berdiri tegang di roeang makan, melajani mengantarkan makanan dan minoeman.
Berhenti! J.P. Coen berteriak galak, Atau koetembak kepala baboe hingga petjah. Pemimpin pemberontak terkesiap. Langkah kakinja terhenti, itoe golok besar ditangannja menggantoeng. Tjelaka, dalam sitoeasi genting seperti itoe, hitoengan detik bisa amat penting. Beberapa serdadoe dan Meneer Belanda bergegas menjambar pistol mereka jang tadi dipaksa dijatoehkan. Pemimpin pemberontak terlambat menjadarinja, sitoeasi telah berbalik.


Sepotong Hati Yang Baru Karya Tere Liye di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

J.P. Coen sambil menjeret Ibu Itje, bergegas ke loear roemah, dikawal oleh serdadoe Belanda jang mengatjoengkan pistol. Loncat ke atas kereta, lantas menggebah koeda agar berlari kentjang. Dor! Tidak loepa, governoer djenderal jang kedjam itu menembak Ibu Itje, melemparnya djatoeh ke bawah.
Doea belas pemberontak tidak mampoe berboeat apa-apa. Kedjadian itoe di loear doegaan mereka, terdjadi tjepat sekali. Dan sebeloem mereka sempat mengedjar, serdadoe Belanda dan Meneer lainja jang tersisa di roemah Meneer Van Houten sudah menembaki mereka. Pertempoeran djarak pendek terdjadi. Itoe pemberontak kalah djumlah. Sebelas pemberontak mati di tempat, kedok di wadjah mereka dilepas, besok toeboehnja digantoeng di halaman markas kompeni. Satoe orang pemberontak berhasil kaboer, itoelah Djalil, saksi mata dari pihak inlander.
Rentjana mereka gagal total. J.P. Coen lolos, dan semakin kedjam, balas liwat aksi politioneel, oentoek memberantas para pemberontak dan maling-maling rendahan. Djalil jang tersisa, beroesaha melanjoetkan misi itoe, tahoe posisinja semakin lemah, dia meroebah taktik, joesteroe mendaftar mendjadi tjenteng Meneer Van Houten.
Dengarkan akoe, Itje. Kang Djalil berbisik keras, memboeat lamoenan Itje boejar.
Itje menjeka oejoeng mata, dia selaloe menahan tangis setiap mengenang kedjadian itu. Ibu kamoe mati demi tanah air kita, Itje. Ibu kamoe mati terhormat demi kemerdekaan bangsa kita. Djangan pernah mengasihani pendjadjah itu. Kamoe dengar"
Itje menganggoek. Kamoe tjinta padakoe, Itje" Kang Djalil bertanja soenggoeh-soenggoeh.
Itje menganggoek lagi. Nah, akoe joega tjinta pada kamoe. Bahkan besarnja tjintakoe pada kamoe lebih besar lagi. Kang Djalil berbisik lebih lemboet, Tapi tjinta kita, boekanlah apa-apa dibanding tjinta atas kemerdekaan bangsa kita. Tjinta sutji kita, boekanlah apa-apa dibanding tjinta kita atas tanah air ini. Akoe, kamoe, akan mengorbankan apapoen demi itoe. Itje menganggoek lagi.
Kang Djalil tersenyoem, menepoek-nepoek bahoe Itje, Iboe kamoe pasti bangga melihat kamoe, Itje. Dan bagikoe, meski hanja baboe, kamoe djauh lebih berharga dibanding gadis paling tjantik, paling pintar nederlander.
Itje mengangkat wadjahnya, menyeka oejoeng matanja sekali lagi, tersenyoem manis. Doea pekan sedjak ituoe kabar berita djamoean makan malam tiba, roemah Meneer Van Houten siboek boekan kepalang. Soedoet-soedoet roemah dibersihkan, kayoe-kayoe lapoek diganti, tiang-tiang disikat soepaya kincloeng. Djangan tanja tegel-tegel, soedah mengkilat, koecing lewatpoen bisa sambil bertjermin. Dan djangan tanja, soeara berdentum matjam meriam meletup Nyonya Rose lebih sering terdengar di langit-langit roemah, dan siapa lagi jang paling sering diteriaki, kalau boekan Itje.
Itoe pot boenga tidak enak dipandang mata. Ganti! Satu tangan Nyonya menoenjoek, satu tangan lagi di dagoe, berpikir apalagi jang koerang pas.
Itje menganggoek, tersengal-sengal masoek kembali lima menit kemoedian menjeretnjeret pot lain.
Nyonya menggeleng, Tetap tidak enak dipandang mata, Itje. Terlaloe mentjolok, norak, kampoengan. Ganti.
Itje menganggoek, menjeret pot itu keloear, memilih pot lain, masoek kembali soesah pajah.
Nyonya menggeleng, Itoe boenga dibentji Mevrouw Coen, Itje! Kamoe tidak tahoe apa" Ganti!
Itje menganggoek, mana poela dia tahoe kalau Mevrouw Coen bentji boenga melati, di kampoengnja boenga ini malah djadi hiasan konde, Itje menggeroetoe dalam hati, kembali tersengal menjeret pot.
Nyonya menggeleng kesal, Ganti, Itje, boekan jang itoe, kamoe orang tjari jang lebih bagoes. Jang itu warna koeningnya terlaloe soeram. Ini makan malam dan pesta dansa, boekan pemakaman.
Adalah sebelas kali lebih Nyonya Rose berseroe, Ganti! Ganti! dan Ganti! memboeat Itje matjam setrikaan besi diisi arang panas, bolak-balik di atas pakaian Meneer jang sedang disetrika, hingga akhirnja pot kedoea belas, Nyonya Rose berseroe, Excellence! Excellence! Wadjah Nyonya Rose terlihat senang, Nah, itoe pot boenga soedah pas betoel dengan loekisan di atasnja.
Itje menjeka peloeh di dahi, bergoemam bingoeng dalam hati, oentoek kesekian kalinja tidak pertjaya dengan apa jang baroe sadja dia alami. Itje tidak pernah paham, di doenia ini kadang gengsi dan norak itoe djaraknya hanja satoe mili. Fashion dan kampoengan itu bedanja hanja sedjari. Sebenarnja tadi, soedah habis itoe pot boenga di depan, tidak ada jang tjotjok, poesing haroes mentjari kemana lagi, Nyonya Rose tetap tidak poeas, diteriaki teroes agar bergegas, Itje akhirnja mengambil pot pertama jang disoeroeh ganti.
Bagaimana moengkin Nyonya Rose tidak tahoe kalau itu pot boenga jang pertama tadi" Itje menjeka lagi keningnja, ini persis seperti lawakan keliling kampoeng itoe. Nyonya Rose soedah berkeliling senang, mengomeli baboe lainnja.
Loepakan sadja, Itje menggeroetoe dalam hati, ini soedah poekoel lima sore, saatnja dia bergegas kembali ke kamar, sebentar lagi djadwal makan malam Meneer Van Houten, ada banjak pekerdjaan, dan jang lebih penting, sebentar lagi Kang Djalil akan menemoeinya di dapoer. Itje tersipoe sendiri membajangkannya, mentjium oejoeng badjunya, hoeek, senjumnja hilang, Itje boeroe-boeroe melangkah pergi, bekerdja seharian memboeatnya loepa bau ketiaknja soedah tidak ketoeloengan, saatnja mandi. Dia haroes terlihat tjantik dan wangi di depan Kang Djalil, boekan"
*** Malam ini, tinggal doea hari lagi itoe djamoean makan malam. Bisa dibilang kerdja keras Nyonya Rose patoet diatjoengi djempol meskipoen jang bekerdja keras tentoe sadja baboe-baboe dan katjoeng rendahan.
Lihatlah, bahkan halaman belakang roemah dipenoehi oleh lampoe-lampoe teplok, memboeat indah soeasana. Joega halaman depan, pagar roemah, semoeanja meriah, terang. Apalagi di roeang makan, roeangan paling loeas, Nyonya Rose bahkan memasang lampoe petromaks besar model terkini, itoe lampoe dibawa langsoeng dari Malaka, lagi trend berat di sana, konon digoenakan gedoeng-gedoeng pertoenjoekan dan tempat bangsawan berdansa.
Sementara Nyonya Rose makan malam bersama Meneer Van Houten, senang membayangkan djamoean hebat doea hari lagi, membitjarakan tentang gaun dansa jang akan dipakainja, setelan netjes mahal Meneer jang baru datang dari London. Sementara itoe, Itje joega sedang bertemoe dengan Kang Djalil di balik pohon beringin, membitjarakan hal penting, mendjaoeh dari baboe lain.
Kamoe djaga baik-baik botol itoe, Itje. Itoe botol berisi racoen mematikan, soesah sekali didapat. Kang Djalil berbisik.
Itje gemetar menangkoepkan djemari, menggenggam botol, menganggoek. Ketjil sekali botol ini, tapi membajangkan akibatnja, besar sekali kengerian jang muntjul di wadjah Itje.
Ini pertemoean kita terakhir kali sebelum loesa malam djamoean itoe diadakan. Kamoe ingat apa jang haroes dilakoekan" Kang Djalil menatap Itje penoeh penghargaan. Itje mengganggoek, keningnja berpeloeh, padahal oedara malam terasa dingin. Hening sedjenak di balik pohon beringin.
Akoe takoet, Kang. Itje berbisik.
Tidak ada jang perloe ditakoetkan, Itje. Semoea akan berdjalan sesoeai rentjana. Hanja tiga hari dari sekarang, di pagi harinya, serdadoe kompeni baroe menjadari kalau seloeroeh petingginja telah mati binasa. Governoer djenderalnya kita tahan. Persis di hari keempat, sisa-sisa pasukan pemberontak akan menjerbu Batavia, mereboet benteng-benteng kompeni, membangoen kembali kedjayaan Jayakarta. Di hari kelima, bangsa kita telah bebas dari pendjadjah, bebas dari penghinaan mereka. Di hari ke enam, akoe akan mendatangi bapakmoe, melamarmoe, Itje. Dan di hari ke toejoeh dari sekarang, kita akan menikah, mendjadi soeami, isteri jang berbahagia. Kang Djalil tersenyum menjakinkan.
Itje menghela nafas pelan, berusaha ikoet tersenjum, itoe soenggoeh rentjana indah. Tapi, tapi akoe tetap takoet, Kang.
Djangan takoet, Itje. Djangan biarkan ketakoetan datang menjergap hati. Kang Djalil berbisik tegas.
Hening lagi sedjenak di balik pohon beringin.
Kamoe haroes tahoe, kamoe gadis jang pemberani Itje, kamoe soenggoeh gadis jang pemberani. Apa mereka bilang, Kang Djalil, tjenteng paling berani di Batavia, Kang Djalil, tjenteng paling djago, tidak takoet mati. Mereka soenggoeh keliroe, sesoenggoehnya, Itje, kamoe oranglah soember keberaniankoe. Kamoe oranglah jang memberikanku semangat oentoek meneroeskan rentjana ini. Djadi djangan takoet, Itje, demi akoe, Kang Djalilmoe.
Gadis beroesia enam belas tahoen itu mengangkat kepalanja, menjeka pipinja jang basah oleh air mata. Beloem pernah dia disanjoeng begitoe tinggi. Apalah artinja dia, hanja baboe rendahan, tapi malam ini, tambatan hatinja, tjenteng kasar paling ditakoeti di seloeroeh Batavia, telah memoedjanja begitoe tinggi. Mendjanjikan banjak hal. Aku, aku takoet kehilangan Kang Djalil. Itje berseroe lirih.
Kang Djalil tersenyoem lemboet, menepoek-nepoek bahoe Itje, Akoe akan baik-baik sadja, Itje. Kita akan baik-baik sadja. Kalaupoen hal boeroek itoe terdjadi, maka itoelah harga sebuah perdjoeangan. Tjinta soetji kita haroes toendoek pada itoe tjinta jang lebih besar. Demi kemerdekaan bangsa ini, demi kebebasan tanah air kita. Akoe, kamoe orang, kita semoea haroes bersedia mengorbankan djiwa raga oentoek itoe. Demi anak tjutju kita. Demi hidoep masa depan jang lebih baik. Tjinta sutji kita tidak ada apaapanya dibanding itoe semoea. Kamoe paham, Itje"
Itje menganggoek, setetes air matanja jatoeh. Itje mentjintai Kang Djalil.
Kang Djalil joega mentjintai, Itje.
Malam itu, wahai pembatja jang boediman, empat puluh delapan djam sebeloem aksi paling heroik jang pernah ada di tanah Batavia. Malam itu, empat puluh delapan djam sebelum pengorbanan gadis moeda bernama Itje Noerbaja. Sedjarah memang loepoet mentjatatnja, tidak ada jang tahoe, tapi tjerita ini akan membekukannya. Tidak ada jang mentjolok doea hari berlaloe, selain itoe koki nomor wahid akhirnja tiba. Laki-laki parlente nan netjes dari Paris, oesianja baroe tiga poeloehan, perloe empat kereta koeda hanja oentoek membawa peralatan memasaknja sadja, beloem lagi pakaian dan keperloean dia sendiri. Tapi itoe boekan masalah, Nyonya Rose berseroeseroe joemawa, menjiapkan apapoen keboetoehan. Sehari sebeloem djamoean, bahkan djadilah itoe dapoer disoelap sedemikian roepa sesoeai itoe selera koki nomor wahid. Doea hari terakhir, Itje lebih banjak diam, tidak menanggapi itoe omelan Nyonya Rose jang aneh-aneh, lebih banjak bekerdja tanpa bersenandoeng ataupoen mengoepil. Sebenarnja Itje ingin lebih sering bertemoe Kang Djalil, tambatan hatinja, tapi Kang Djalil siboek, lebih sering mengurus keperluan Meneer Van Houten di luar dan boleh jadi joega mengoeroes rentjana penyerboean itoe, tidak patoet dia orang menganggoe Kang Djalil-nja. Nampaknja betoel, itoe pertemoean saat Kang Djalil menjerahkan botol ratjun menjadi pertemoean terakhir mereka.
Botol ratjun itoelah jang memboeat Itje lebih banjak diam. Di kamar baboenja jang sempit, tidak coema sekali Itje menatap botol itoe, gemetar tangannja mengeloes, menghela nafas pandjang. Apakah dia tega meratjuni Meneer dan Nyonya Rose" Itje boeroe-boeroe mengoesir pikiran itoe. Kang Djalil pasti tidak soeka dia berpikir matjam-matjam. Di luar kamar terdengar suara koetjing menjenggol tempat sampah, Itje bergegas menjambar itoe botol ratjun, menggenggamnya erat-erat, memasoekannja ke dalam saku, nafasnja tersengal, takoet sekali ketahoean oleh tjenteng atau serdadoe lain jang bisa memboeat rentjana Kang Djalil berantakan.
Saat bekerdja, botol ratjun itoe selaloe dibawanja, dia takoet ada baboe lain jang tidak sengadja menemoekan itoe botol di kamarnja. Berkali-kali memegang sakoe, memastikan itoe botol tidak jatoeh atau tertinggal. Berkali-kali poela itoe Itje menghela nafas, beroesaha menenangkan diri. Djadi mana sempat dia nyeletoek atau mendjawab polos omelan Nyonya Rose.
Apalah daja, Itje tetaplah gadis baroe beroesia enam belas tahoen, satoe-satoenya jang memboeat dia tabah melewati doea hari terakhir, apalagi kalau boekan tjinta sutjinya pada Kang Djalil. Demi itoe semoea dia rela mengorbankan diri.
*** Pembatja jang boediman, siap tidak siap, mau tidak mau, misteri waktoe selaloe begitoe, akhirnja djamoean makan malam itoe tiba. Malam itoe, diantara hari-hari tahoen 1622, roemah besar Meneer Van Houten terlihat bertjahaya.
Kalau ada jang sedang berdiri di atas mercu suar pelaboehan Soenda Kelapa atau menara benteng kompeni, pastilah dia bisa melihat tjahaya gemerlap dari roemah jang terletak di selatan Batavia itoe.
Sedjak poekoel lima, satoe persatoe tamoe oendangan hadir menoempang kereta koeda. Ketepak, ketepok ladam menimpa djalanan terdengar ramai berirama, moesim kemarau, debu berterbangan. Setiap ada kereta koeda memasoeki halaman, gesit itoe para katjoeng depan menjamboet, terboengkoek-boengkoek memboekakan pintoe, dan nederlander, toean tanah, atau baron eropah penoeh gaja, berpakaian netjes nan mahal, toeroen dari kereta, menepoek-nepoek setelan dari deboe. Sementara katjoeng soedah membawa itoe kereta koeda parkir rapi.
Djamoean makan malam masih doea djam lagi, para Mevrouw jang datang lebih awal dengan anggoen diadjak berkeliling roemah oleh Nyonya Rose, jang dengan senang hati menjombongkan koleksi loekisan, permadani, pot-pot antik, dan barang hiasan mahal miliknja. Sementara Meneer Van Houten mengadjak Meneer-Meneer bertjakap-tjakap ringan di beranda sambil berdiri, tertawa sopan khas bangsawan saat ada jang melontarkan leloecon.
Poekoel enam lewat tiga poeloeh, hampir semoea tamoe penting telah hadir. Beberapa kapiten nederlander ikoet hadir, dan poeloehan serdadoe lainnja memenoehi halaman roemah. Sementara di dalam, Nyonya Rose sedang asjik mendjelaskan siapa jang memasak menoe malam ini, koki nomor wahid dari Paris.
Ah, syukurlah Mevrouw Rose, Salah-satu istri toean tanah berseroe memotong terlihat sekali dia sirik dan tidak soeka dengan kemegahan atjara djamoean makan malam ini, Setidaknja kalau begitoe, soep beningnja akan jaoeh lebih lezat dibanding soep bening resep keloearga Mevrouw Rose tiga tahoen laloe.
Nyonya Rose poera-poera tertawa anggoen menanggapi sindiran itoe, mengangkat tangannja pada posisi sempoerna, Tentoe sadja Mevrouw Chaterine, tentoe sadja. Hanja lidah orang-orang terhormat sadjalah jang bisa merasakan spesialnja itoe soep, apalagi djika lidah aseli ketoeroenan darah bangsawan. Oh well, maksoedkoe, lidah kita semoea.
Nyonya-nyonya lain demi sopan santoen terhadap toean roemah ikoet tertawa. Padahal djelas-djelas Nyonya Rose sedang menjindir Mevrouw Chaterine, wanita eropa biasa jang mendapatkan gelar kebangsawanan karena pernikahan. Di doenia ini, entah itoe di kalangan ningrat atau orang awam, entah itoe di tempat-tempat megah nan mahal atau gang betjek nan bau, oeroesan sombong menjombong dan saling merendahkan sama bentoeknja, hanja beda kelasnja.
Poekoel toedjoeh koerang lima, terdengar soeara terompet dari loear. Nyonya Rose langsoeng berseroe riang, gerakan tangannja jang sedang menjdelaskan salah-satu koleksi tembikarnya terhenti, tamoe paling penting telah tiba. Joega Meneer Van Houten, dia menganggoek takjim, minta idjin keloear menjamboet langsoeng tamoe jang paling akhir tiba.
Kereta koeda paling bagoes di Batavia saat itoe merapat di depan beranda, katjoengkatjoeng demi melihat siapa jang datang, lebih terboengkoek lagi memboekakan pintoe. Dan ditimpa cahaja lampoe, toeroenlah itoe governoer djenderal kompeni, wadjahnya terlihat gagah, koemisnja melintang, badannja tinggi besar, dengan pakaian governornja jang khas itoe, tidak loepa satoe pistol di pinggang, dan satoe pedang pandjang dalam sangkoer di sisi lainnja.
Welkom, Meneer Coen. Meneer Van Houten berseroe menjamboet. Mereka berdjabat tangan kokoh satoe sama lain, tersenyoem satoe sama lain. Goede avond, Mevrouw Rose. J.P. Coen pindah menjapa.
Dit is een grote eer, Meneer Coen. Nyonya Rose seperti soesah bernafas karena perasaan senang.
Seseonggoehnja, saja jang merasa terhomat, Mevrouw Rose. J.P. Coen, tentoe sadja, walaupoen dia doeloe sebenarnja adalah serdadoe karir, terkenal kedjam dan dingin, lebih dari pandai berlakoe sebagai lajaknya bangsawan.
Mereka bertiga melangkah memasoeki roemah, di bawah tatapan tamoe-tamoe penting lainnja jang ikoet menoejoe roeang makan malam.
Saja doea minggoe laloe baroe tiba dari Amsterdam, Mevrouw Rose. Oh ya"
Ada salam ketjil dari Ratoe Isabella. Soenggoeh"
Dinjatakan di depan tamoe terhormat lain, kabar itu hampir sadja memboeat Nyonya Rose loncat matjam anak ketjil.
Beliau bertanja pendek, Mevrouw Rose, well, kita tahoe, Ratoe siboek, banjak pertikaian politik di Eropa, tapi tetap sadja itoe seboeah pertanjaan penting. Akoe djawab, itoe keloearga Van Houten tidak bisa lebih makmoer lagi dari sekarang di Batavia. Mereka djangan-djangan bahkan lebih kaja dibanding VOC. J.P. Coen tertawa ketjil, menjandjoeng.
Wadjah Nyonya Rose soedah terbelalak senang.
Tepat djam berdentang toedjoeh kali, saat governor J.P. Coen memasoeki roeangan makan malam, djamoean besar itoe serentak dimoelai. Kemeriahan pesta segera mendjalar. Piring-piring makanan mulai bergerak, menoe-menoe istimewa hasil ratjikan itoe koki nomor wahid mulai dihidangkan.
Tawa para tamoe terhormat memenoehi langit-langit, bersama denting sendok garpoe, soeara mengoenjah, minoeman dituangkan, tepok tangan, leloetjon, soeara tawa lagi, satu doea tidak tahan sampai memoekoel medja.
Meriah sekali itoe pesta. Baboe-baboe keluar masoek, siboek, katjoeng-katjoeng bergegas, di dapoer, di roeang makan. Para serdadoe jang berdjaga-djaga di loear joega ikoet berpesta, moengkin mereka pikir, sedikit maboek tidak mengapa, tidak ketinggalan para tjenteng bajaran, ikoet serta berpesta, itoe malam penoeh gembira, tidak perloe mentjemaskan apapoen, termasoek inlander pemberontak jang tahoentahoen terakhir semakin sepi.
Satoe djam hampir berlaloe, tiba saatnja menoe penoetoep. Nyonya Rose jang sedjak tadi teroes memastikan makan malam berdjalan lancar memberikan kode kepada baboe di dekatnja. Baboe itoe memberikan kode ke dapoer. Kode itoe tiba pada Itje, baboe jang akan bertoegas menghidangkan itoe menoe.
Itje menjeka keningnja jang berpeluh.
Itje mengelap telapak tangannja jang basah ke tjelemek. Ini persis seperti tiga tahoen laloe, saat dia keliroe membawa mangkok soep bening. Bedanja, dia sekarang goegoep boekan karena itoe. Itje menghela nafas, beroesaha menegoehkan hati, meskipeon sedjak tadi dia tidak koenjoeng mampoe. Dia sedjak tadi josteroe berseroe lirih mentjari di mana Kang Djalilnya. Apakah Kang Djalil sekarang sedang bersiap" Memakai kedok hitam bersama pendekar lainnja" Di manakah Kang Djalil"
Nyonya Rose melotot, kenapa beloem keluar joega itoe menoe penoetoepnja, hah" Lihat, tamoe-tamoe moelai kehabisan makanan di atas medja, pertjakapan moelai terlaloe basi. Baboe jang dipelototi bergegas memberi kode berantai ke dapoer. Itje menganggoek, menggigit bibir, baiklah. Dia mengangkat itoe nampan berisi gelas minoeman menoe penoetoep.
Well, akhirnja penoeteop makan malam kita tiba. Nyonya Rose berdiri, menjambut Itje jang melangkah masoek, Meneer dan Mevrouw, ini anggoer terbaik pilihan koki, langsung dibawa dengan wadah tersegel dari Malaka.
Tamoe oendangan berseroe antoesias.
Kamoe urang mahu kertja atau tidak, hah" Nyonya Rose berbisik galak kepada Itje jang lewat di depan koersinja membagikan gelas-gelas berisi anggoer. Itje menelan loedah, tertoendoek.
Bergegas sana. Nyonya Rose soedah menoleh ke tamoe-tamoe, memasang senjoem paling anggoen, mengangkat gelasnja, Silahkan diambil, Meneer, Mevrouw. Itje hampir menjelesaikan membagikan seloeroeh gelas.
Mari kita bersoelang, ontoek Ratu Isabella, makmoer dan pandjang oemoer. Nyonya Rose mengangkat gelasnja.
Meneer Van Houten joega mengangkat gelasnja, Oentoek pemerintahan Hindia Belanda, semoga selaloe makmoer.
J.P. Coen tertawa, ikoet mengangkat gelasnya pendek sadja, Oentoek toean roemah, semoga joega makmoer dan pandjang oemoer.
Tamoe-tamoe bersulang. Itje membeku di dekat medja besar. Hanja soal detik sadja sekarang. Hanja soal waktoe sadja. Ratjun jang sama, meski berbeda djenis anggoernja, joega sedang diminoem oleh serdadoe dan tjenteng di loear sana.
Itje mendesah, gentar menatap sekitar, Kang Djalil, di mana Akang sekarang"
*** Satoe menit tiga poeloeh detik sedjak minoeman beratjun itoe memasoeki peroet, satoe tamoe djamoean makan malam moelai bertoembangan.
Atjara jang sedjak tadi dipenoehi dengan tawa dan seroean kegembiraan dengan tjepat beroebah mendjadi katjau balau. Awalnja hanja bingoeng kenapa teman sebelah koersi mendadak terjekat memegangi leher dan peroet, berseroe-seroe minta tolong, kemoedian toeboehnja semapoet, djatuh dari koersi. Beloem sempat membantoe itoe rekan sedjawat, tiba-tiba kerongkongan sendiri ikoet panas membara, peroet seperti diadoek-adoek, gemetar, berseroe panik, tidak mengerti apa jang terdjadi, dan sebeloem menjadarinya, soedah ikoet melingsoet djatuh ke lantai.
Maka petjah soedah teriakan-teriakan panik di mana-mana, itoe Mevrouw-mevrouw jang berdandan rapi, koesoet masai ramboetnja, jatoeh bergelimpangan. Meneer- Meneer, hendak mentjaboet pistol atau pedang, terkulai lebih dahoeloe, itoe sendjata berkelontangan.
Itje membekoe menjaksikan semoea kedjadian.
Dan beloem habis tamoe oendangan terkaget-kaget dengan itoe kedjadian, pintoe roeangan makan malam berdebam terboeka, dua belas orang memakai kedok hitam lontjat masoek sambil menghoenoes golok besar.
Semoea diam di tempat! Pemimpin orang berkedok, membentak, hanja matanja jang terlihat. Teman-temannja segera mengepoeng roeangan.
Itje meremas djemarinja, akhirnja, itoe Kang Djalil. Dia amat mengenal sorot mata tambatan hatinja.
Beberapa serdadoe pengawal J.P. Coen jang tidak ikoet bersoelang menjtaboet pistol, bedil-bedil terangkat, joega beberapa tjenteng pengawal toean tanah atau baroen jang ikoet serta ke dalam roeang djamoean.
Djangan matjam-matjam. Pemimpin orang berkedok membentak lagi, lebih kentjang, goloknja mengantjam boekan main-main, Semoea diam di tempat! Toeroenkan sendjata kalian.
Verdomme, Itoe soeara Meneer Van Houten jang memotong, dengan kaki gemetar, bertopang bibir medja, Meneer menatap rombongan berkedok, Kalian tidak pernah puasnja meroesak atjara ini. Apa tidak tjukup tiga tahoen laloe, hah" Meneer beroesaha mentjaboet pistolnja.
Pemimpin orang berkedok tertawa sinis, Tidak akan pernah tjukup hingga tanah air kami merdeka.
Inlander pemberontak! Kalian akan menjesal. Kalian Kalimat Meneer Van Houten tidak selesai, toeboehnya lebih doeloe toembang karena ratjun sebeloem mampoe menarik pelatoek, menyoesoel itoe istrinja jang soedah lebih doeloe tersoengkoer djatuh.
Itje mendjerit ngeri. Maoe bagaimanapoen, tiga tahoen dia tinggal di roemah Meneer dan Nyonya Rose. Hendak lontjat membantoe Meneer, tapi gerakan tangannja terhenti, seseorang lebih tjepat telah menangkap tangannja, menelikoengnja, dan sedetik lepas, montjong pistol soedah ada di pelipisnja.
Letakkan sendjata kalian! Atau akoe petjahkan kepala baboe inlander ini. J.P. Coen telah sempoerna memasang toeboeh Itje sebagai tameng sekaligoes tawanan. Soeasana tegang semakin memoentjak.
Tawa pemimpin orang berkedok terpoetoes. Sorot matanja yang tadjam beroebah redoep. Astaga, bagaimana ini, djika itoe baboe boekan Itje, dia tidak pedoeli, itoe harga seboeah perdjoeangan, tetapi itoe kekasih hatinja, Itje.
Letakkan sendjata kalian, hah! J.P. Coen menekankan montjong pistol lebih keras ke pelipis Itje.
Pemimpin orang berkedok berhitoeng dengan sitoeasi. Rekan-rekannja menoenggoe. Tidak. Itje tersengal, satoe tangannja dipelintir di belakang memang memboeatnja soesah bergerak, tapi Itje bisa menatap sorot mata Kang Djalil. Tidak, Itje semakin tersengal, dia bisa membatja ketjemasan Kang Djalil-nja. Itje mentjintai Kang Djalil lebih dari siapapoen sedjak Iboenya tewas tiga tahoen laloe, Itje akan melakoekan apa sadja demi rentjana Kang Djalil, Itje tidak akan mendjadi penghambat rentjana Kang Djalil, dia bersedia mati demi Kang Djalil.
Letakkan sendjata kalian! J.P.Coen tidak sabaran.
Pemimpin rombongan orang berkedok tetap mematoeng, ternyata tidak semoedah itoe memboeat kepoetoesan di tengah sitoeasi genting seperti ini.
Tapi tidak bagi Itje. Kepoetoesannja soedah boelat, sebeloem semoea orang menjadarinja, itoe gadis beroesia enam belas poenja satoe tangan lainnja jang bebas tjepat sekali soedah menjambar pisaoe makan di atas medja, lantas sepersekian detik berikutnja, soedah menoesoekkannja ke peroet J.P. Coen.
Sajangnja, Itje loepa dia sedang disandera oleh siapa, gerakan tangan J.P. Coen lebih tjepat, pistol itu meletup, tidak mengenai kepala Itje memang, tapi menembus dadanja, dan itoe lebih dari tjoekoep. Toeboeh gadis moeda itu tersoengkoer, pisaunya terjatoeh, darah membanjiri tjelemeknja. Pemimpin orang berkedok kontan berteriak parau, beroesaha menggapai toeboeh Itje.
Sitoeasi berbalik arah tjepat sekali.
J.P. Coen soedah melempaskan empat tembakan beroentoen ke arah pemberontak berkedok, disoesoel tembakan-tembakan lainnja, dan dari loear entah asalnja dari mana, masoek satoe pasoekan kompeni jang masih sehat walafiat. Orang-orang berkedok jang tadi oenggoel, sekarang joesteroe terkepoeng.
Verdomme! J.P. Coen menendang kasar pemimpin orang berkedok jang tersungkur terkena tembakan di peroet dalam pertempuran singkat djarak pendek baroesan, Kalian orang-orang priboemi pikir kompeni terlaloe bodoh oentoek di tipoe, hah" Kalian pikir kalian soedah pintar" Kalau bangsa kalian pintar, tidak akan pernah bisa dijajah siapapoen ratoesan tahoen.
J.P. Coen menyaroengkan pistol di pinggang, menatap hina pemimpin orang berkedok jang merangkak beroesaha menggapai toeboeh Itje, Koewe orang haroes tahoe, sedjak kedjadian tiga tahoen laloe, akoe bersoempah tidak pernah benar-benar meminoem anggoer di djamoean manapoen. Joega serdadoe pengawal, mereka tidak diidjinkan menjentoeh minoeman itoe lagi.
Doea belas orang berkedok soedah berhasil diloempoehkan. Golok besar mereka tergeletak di lantai.
Boenoeh mereka semoea. J.P. Coen meneriaki kapitennja, Besok pagi-pagi, gantoeng toeboeh mereka di depan markas kompeni, biar ditonton ramai inlander pemberontak lainnja.
Kang Djalil soedah berhasil menjentuh djemari tangan Itje.
Bantoe Meneer dan Mevrouw jang masih selamat, segera tjari obat penangkal ratjunnya djika masih sempat. Dan siapkan atjara pengoeboeran boeat Meneer Van Houten, Njonja Rose, dan jang lainnja, mereka berhak memperoleh penghormatan jang lajak. Oemoemkan VOC berkaboeng selama seminggoe. J.P. Coen meneriaki kapitennja jang lain lagi, sambil melangkah meninggalkan roeangan jang rebah jimpah. Siapkan kereta koedakoe. Poenggoeng J.P. Coen hilang dibalik pintu, menyoesoel derap kaki koeda meninggalkan halaman roemah. Sedjarah mentjatat, itoe oentoek kesekian kalinja governor kompeni lolos dari oesaha pemboenoehan. Maafkan Itje, Kang. Itje jang sekarat berbisik pelan.
Pemimpin orang berkedok tersengal.
Itje mentjintai Kang Djalil. Selaloe. Itje menatap sorot mata jang terbungkus kedok hitam di depannja.
*** 6. Kalau Semua Wanita Jelek
Alkisah, dulu ada anak perempuan bertubuh gendut, saking gendutnya, sering dijadikan bahan olok-olok oleh temannya. Dagunya besar, lehernya tidak kelihatan, betis, paha dan lengannya jumbo, menurut olokan temannya yang paling jahat, si gendut ini kalau digelindingkan di jalan raya, pasti jauh sekali menggelinding baru berhenti. Atau kalau pertandingan basket, bolanya tiba-tiba kempes, si gendut ini bisa jadi ganti bola. Jahat memang.
Kabar baiknya, dengan segala keterbatasan, si gendut diberkahi dengan kecerdasan dan kebaikan hati. Jadi dia tidak terlalu ambil hati dengan olok-olok temannya. Lebih banyak tersenyum dan menggeleng saja, tidak membalas. Jika dia merasa olokan itu berlebihan, tidak bisa menahan diri, dia selalu pandai menjawab dengan tepat. Tidak terbayangkan betapa besar sisi kebaikan yang dimilikinya. Sayangnya, di dunia nyata, orang-orang tetap saja bertingkah menyebalkan pada orang baik.
Pada suatu hari, si gendut menumpang angkutan umum, nah, sialnya, di dalam angkutan itu ternyata sudah ada tiga teman sekolahnya yang suka mengolok. Tidak menunggu menit, tiga anak perempuan ini yang memang bertubuh ramping dan kurus berbisik-bisik dengan suara sengaja dikeraskan. Tertawa satu sama lain penuh arti. Menatap si gendut merendahkan.
Si gendut hanya diam, memilih memperhatikan jalanan.
Eh, tahu nggak sih lu, Karena sebal dicuekin, yang paling jahat di antara tiga anak ramping itu menyikut lengan si gendut, mencari perhatian sekaligus mencari masalah. Si gendut menoleh. Masih diam.
Ini angkot sempit banget tahu, gara-gara sejak lu naik. Lihat nih sesak. Si anak ramping jahat memonyongkan bibir, Harusnya ya, ongkos naik angkot itu disesuaikan dengan berat badan. Jadi orang-orang kayak lu, kenanya dobel. Rugi tahu sopirnya. Si gendut menelan ludah, hatinya sebal sekali, sementara semua penumpang memperhatikan mereka. Dia berusaha tidak menanggapi, tapi tiga teman sekolahnya ini sengaja benar memancing.
Nggak dobel kali, say. Teman si ramping jahat menahan tawa.
Nggak dobel" Si jahat pura-pura bloon.
Nggak, tapi lima kali lipat.
Mereka bertiga tertawa. Si gendut menghela nafas, tersenyum, Sebenarnya ya, tapi saya minta maaf harus bilang ini. Kalau ongkos naik angkot disesuaikan dengan berat badan penumpangnya, maka orang-orang yang kurus kering kayak kalianlah yang rugi. Tidak ada sopir angkot yang mau menaikkan kalian, karena bayarnya terlalu murah, berisik pula.
Langit-langit angkot lengang. Tawa tiga cewek ramping jahat itu tersumpal. Sedetik kemudian, penumpang lain dan sopir angkot bertepuk tangan. Keren. Membuat tiga cewek jahat itu terpaksa menahan malu buru-buru turun.
*** Vin tertawa lebar saat selesai menceritakan kembali anekdot lama itu, Ayolah, Jo, lucu sekali bukan"
Jo hanya mengaduk milkshake di hadapannya. Bibirnya tidak menyungging bahkan sesenti senyum. Bagi Jo anekdot itu sama sekali tidak lucu. Lagipula dia sudah sering mendengarnya.
Demi melihat Jo yang tetap memasang wajah masam, tawa Vin terhenti, digantikan helaan nafas, Nggak asyik loh, Jo, kalau sepanjang malam kamu cuma diam, memasang wajah kesal seperti ini.
Dua jam lalu, Vin sebenarnya sedang asyik bekerja, lembur malam-malam menyelesaikan laporan bulanan kantor, ketika Jo meneleponnya mengajak makan malam. Mereka berdua teman dekat, karib sejak sekolah menengah atas dulu. Bagaimana tidak karib" Menurut definisi kecantikan versi industri kosmetik saat ini, Vin yang jerawatan, rambut keriting jingkrak, wajah tirus, ditambah berkulit gelap pula, memang cocok punya teman Jo, yang mirip sudah dengan deskripsi cerita anak gendut tadi.
Mereka berdua dipertemukan sejak masa orientasi sekolah, diolok-olok kakak kelas, dijemur berdua, lantas berteman baik hingga detik ini, melewati tiga tahun SMA, empat tahun kuliah, dan enam tahun bekerja. Vin adalah staf administrasi perusahaan kosmetik, Jo adalah petugas tiketing sebuah biro perjalanan. Setidaknya, meski masamasa sekolah mereka terasa kejam , mereka bisa melewatinya dengan baik.
Ayolah, Jo, dunia tidak berakhir hanya gara-gara seorang customer biro perjalanan menghinamu, bukan" Vin kembali membesarkan hati, melirik jam di pergelangan tangan, ini sudah dua jam mereka duduk di sebuah kafe dekat kantor Jo.
Iya, dunia memang tidak berakhir. Jo menjawab sarkas, Gunung-gunung seharusnya sudah meletus dari tadi, atau lautan sudah terbelah kalau memang kiamat. Dan kita tidak bisa lagi duduk santai menikmati minuman. Kita sudah berteriak-teriak histeris seperti di film. Arrgghh& Arghhh& .
Vin menatap ekspresi dingin Jo, menelan ludah, setengah antara tertawa, setengah hendak mengeluarkan suara puh, menggaruk rambut keriting jingkrak di kepalanya, aduh, kenapa urusan ini jadi panjang sekali. Walaupun teman karib, Vin keberatan duduk tiada berguna seperti ini, tadi dia sudah menolak ajakan Jo, dia sibuk. Tapi demi mendengar suara Jo yang nelangsa, memohon, baiklah, laporan bulanan yang super penting ini ditunda, urusan bos yang marah-marah nanti saja. Kode darurat. Dia memilih menemani teman terbaiknya.
Gadis Penyelamat Bumi 1 Pendekar Naga Putih 24 Macan Tutul Lembah Daru Pusaka Bernyawa 1
^