Pencarian

Tujuh Bunga Pandawa 2

The Expendables Of Kurusetra Tujuh Bunga Pandawa Karya Ony Dwi Raharjo Bagian 2


Sementara masih di dalam lingkaran itu, terlihat seekor harimau yang berukuran lebih kecil, telah tergolek tak berdaya, dengan nafas satu satu, dan tubuhnya telah penuh dengan luka luka senjata tajam. Dan laki-laki itu, dengan muka pucat pasinya dan tubuhnya yang gemetar, di tangan kanannya masih memegang erat sebuah sabit. Sabit yang biasa digunakan oleh warga pedesaan untuk mencari rumput, atau membersihkan semak belukar dan untuk merawat tanaman di ladang. Sabit itu pun penuh dengan darah. Rupanya, harimau yang telah tewas itu adalah anak dari harimau yang paling besar. Ini terlihat dari beberapa kali harimau paling besar itu mendekati tubuh harimau yang telah tewas, dan kemudian menjulurkan lidahnya ke muka, seolah dia ingin sekali membangunkannya, dan berkata, Ayah telah datang Nak& .
Bima cukup takjub juga. Seorang laki-laki desa, hanya dengan sabit sederhana di tangannya, mampu melumpuhkan seekor harimau yang besarnya hampir sama dengan tubuhnya. Timbul niatnya kemudian untuk mengetahui sejauh mana kehebatan laki-laki itu. Maka Bima pun masih belum menampakkan dirinya. Dia ingin melihat apa yang terjadi selanjutnya.
Harimau yang paling besar, yang sedang berhadapan satu satu dengan laki-laki penuh darah itu perlahan lahan maju mendekatinya. Dengan auman sangat begitu keras, dia berusaha memperlihatkan keperkasaannya. Namun rupanya auman keras itu juga sebagai tandan untuk harimau-harimau lainnya. Maka begitu auman itu berhenti, seperti sepakat, puluhan harimau-harimau yang berdiri di tepi lingkaran itu, satu demi satu meloncat turun ke bawah lingkaran, dan siap menyergap laki-laki tak berdaya itu beramai-ramai.
Bima mengangkat wajahnya. Sungguh, kali ini, dia tak mungkin hanya melihat lakilaki itu menjadi santapan puluhan harimau beramai-ramai. Namun niat itu diurungkannya. Dia semakin tertarik untuk mengetahui seberapa lama laki-laki itu mampu bertahan. Terlihat laki-laki itu mampu bangkit berdiri, dan dengan sabit di tangan, dia telah mulai dengan kuda kuda sederhananya, dan menatap lawan utamanya, harimau yang paling besar.
Dengan auman yang keras penuh tenaga, harimau besar itu menarik diri sedikit kebelakang, dan membiarkan harimau harimau lainnya mulai menyerang. Beberapa harimau langsung maju menyerang, berusaha memburu santapan mereka beramairamai.
Dalam sekejap, laki-laki itu sama sekali tak kelihatan tubuhnya, terhalang oleh harimau harimau yang lapar. Namun kemudian yang terjadi, satu persatu harimau itu mengaum kesakitan dan mundur selangkah, dengan tubuh tergores dan darah mengucur dari luka sabetan sabit. Tapi harimau harimau itu tak ingin melepaskan buruannya, maka begitu dia mundur selangkah, langsung berisap untuk menyerang lagi, demikian berulang ulang.
Laki-laki itu, betapa perkasa dan tangguhnya, namun dia hanyalah sendiri, sedangkan harimau itu begitu satu terluka dan mundur selangkah, telah muncul serangan dari harimau lainnya dengan bertubi tubi. Laki-laki itu semakin lama semakin terkuras tenaganya. Dia terjatuh lemah sambil mengacungkan sabitnya, memberikan perlawanan dengan sisa sisa tenaganya.
Saat laki-laki itu telah benar benar tak berdaya, dan harimau harimau itu telah mencium darah segar buruannya, mereka semakin beringas dan buas. Dengan saling mengaum, mereka berusaha merobek robek tubuh mangsanya.
Namun sayang sekali. Saat harimau itu telah merangsek dengan sukaria, tiba tiba punggung mereka serasa ditimpa oleh batu sebesar gunung, hingga masing-masing harimau itu terjatuh dengan punggung yang hampir patah. Mereka mengaum kesakitan, dan seolah menyumpahi laki-laki yang kini berdiri tegak menghadapi mereka, dan berdiri tepat di samping laki-laki desa yang tak berdaya.
Satu persatu harimau yang masih tersisa, segera menyerang balik ke arahnya, namun sial bagi mereka. Serangan mereka bagai membentur besi baja, dan bahkan mendapatkan pukulan di muka dan punggung mereka, dan mereka pun terjatuh lumpuh tak berdaya.
Harimau yang paling besar, menyaksikan anak buahnya yang kini tak berdaya hanya oleh satu orang, semakin memperlihatkan ketidaksukaannya. Apalagi buruan yang telah hampir dia dapatkan, kini lepas, dan tak tersentuh oleh mereka.
Harimau itu segera maju selangkah, mendekati laki-laki perkasa yang berdiri tegak. Mata mereka beradu.
Harimau itu mengaum dan segera menyerang laki-laki penolong itu. Kuku kuku cakarnya dia keluarkan, sambil menyerang lawannya dengan sekuat tenaga. Lakilaki itu terkejut melihat kekuatan dari musuhnya. Dia terdorong beberapa langkah ke belakang, dan dengan kibasan tangan kanannya, harimau itu terlempar menimpa dinding dan jatuh ke tanah.
Gedebuk!!!! suara tubuh harimau terbanting ke tanah, getarannya bagai sebuah batu gunung yang runtuh. Harimau itu segera bangkit dan kembali menerang, namun dengan kibasan tangan pula, dia terlempar sekali lagi dan jatuh menyentuh tanah. Harimau itu semakin marah dan beringas. Beberapa saat harimau itu berjalan hilir mudik sambil mengamati lawannya. Seolah dia ingin tahu siapakah laki-laki dihadapannya ini, yang juga mempunyai kuku yang hampir sama panjangnya dengan cakar mereka.
Sementara laki-laki penolong itu mempunyai sedikit waktu untuk melihat yang ditolongnya.
Bagaimana Ki Sanak" Masihkah mampu bertahan" tanyanya. Laki-laki yang telah terkapar tak berdaya itu, mengangguk lemah.
Baik& .. tunggulah sebentar lagi. Aku akan menyelesaikan semuanya& . Katanya kemudian, sambil bersiap menghadapi harimau terbesar itu, lawan terakhirnya.
Begitu dia menoleh kearah harimau itu, rupanya serangan telah datang. Terlambat! Harimau itu telah sampai ke tubuhnya, tiada pilihan lain untuk memeluk erat tubuh binatang buas itu, dan mengikuti kemana arah dorongannya. Maka jatuhlah mereka berguling guling. Harimau itu semakin gila, dengan cakar dan taringnya, dia berusaha menyerang sejadi-jadinya, dan segera ingin melalap mangsanya.
Namun laki-laki itu bukanlah seorang desa yang hanya mampu menyabit rumput. Dalam pergumulan itu, dia dapati ruang gerak yang cukup untuk menohok lawannya. Maka dengan kekuatan penuh, kepalan tangan laki-laki itu menohok dada harimau itu dengan sekuat tenaga. Harimau itu menerang kesakitan dan berusaha melepaskan cengkeramannya. Namun sial baginya. Tangan kiri laki-laki itu begitu kuat merangkul lehernya, maka begitu diperoleh jarak yang cukup, kepalan tangan kanan laki-laki segera mendarat di kepalanya, bertubi tubi.
Darah mengalir, harimau itu terkulai lemas tak berdaya, dengan luka parah di kepalanya. Laki-laki itu bangkit dengan nafas terengah engah dan tubuh yang penuh luka gores. Darah mulai mengalir. Namun dia mampu berdiri tegak, dan kemudian dia memeriksa seluruh tubuhnya.
Hmmm& . Hanya luka kecil& . Katanya kepada dirinya sendiri. Dia segera mendekati laki-laki desa yang tak berdaya.
Ki Sanak, semua telah usai& .. mari ku antar kau pulang& .. kata laki-laki penolong. Laki-laki itu hanya mampu mengulurkan tangan. Maka dengan sertamerta, diraihnya tangan itu, dan segera diangkat dengan kedua tangannya.
Dimana rumahmu Ki Sanak dia bertanya. Laki-laki lemah itu hanya mampu menunjukkan jari tangannya. Rupanya, dia belum benar benar sadar. Tubuhnya masih gemetar ketakutan.
Sssii& ssiiapakah Ki Sanak, dewa penolongku ini& laki-laki itu bertanya lemah.
Namaku Bima& .. jawab laki-laki penolong itu. Laki-laki lemah itu diam. Dia sama sekali belum pernah mengenal nama itu. Bima kemudian membawa laki-laki itu menuju arah yang ditunjukkan. Arah kemana rumah yang akan dituju. Rupanya arah yang dituju, sama dengan arah perjalanan Bima sampai ke tempat itu. Hanya di beberapa tikungan, berbeda dengan jalan semula, dan rupanya terdapat jalan lain yang lebih mudah.
Hari telah semakin malam, matahari mulai condong ke arah barat. Satu orang lakilaki, terlihat membawa tubuh seseorang dengan kedua tangannya, berjalan menyusuri hutan, mencari jalan turun ke desa terdekat. Binatang binatang buas yang keluar, melihat mereka berdua, terlihat sangat malas dan kembali masuk ke sarangnya. Mungkin mereka tahu, bahwa orang inilah yang telah melumpuhkan raja mereka.
Hari telah gelap. Dua orang itu berjalan menyusuri jalan setapak, turun dari hutan yang telah dilewatinya. Tak lama kemudian mereka telah tiba di jalan yang agak lebar, dan jauh di bawah sana, terlihat kerlap-kerlip lampu pada sebuah rumah di pinggir jalan. Laki-laki yang dalam dukungan Bima itu, menunjuk ke rumah itu. Bima segera melangkah menuju rumah yang ditunjuknya.
Setelah tiba di depan rumah, Bima terkejut. Dia berhenti sebentar sebelum memasuki halaman. Dia mengenal rumah itu. Rumah yang pernah disinggahinya walau sebentar. Terlihat bayangan lampu dari minyak damar bergoyang-goyang di dalam ruang. Dan terdengar beberapa orang bercakap-cakap, tidak terlalu keras namun cukup untuk dapat di dengar bahwa di dalam rumah itu terdapat beberapa orang yang sedang bercakap-cakap. Bima memandang wajah laki-laki yang di dukungnya. Laki-laki itu mengangguk lemah. Maka Bima dengan mantap melangkah ke dekat pintu.
Ayah& .. kata laki-laki yang di dukungnya itu setelah berada di depan pintu. Suara percakapan di dalam rumah mendadak berhenti.
Ayah& & Bukalah Ayah& .. Aku, Bambang Rawan& . Kata laki-laki itu lagi. Bima yang mendukung laki-laki itu tetap diam. Baru tahu dia sekarang bahwa laki-laki itu bernama Bambang Rawan. Dia sama sekali lupa untuk bertanya, dia lebih memikirkan keselamatan laki-laki itu, maka dia bergegas membawanya menuju desa terdekat, rumah terdekat, yang ternyata rumah yang pernah Bima singgahi.
Mendengar sebuah nama disebut, sontak terdengar langkah kaki yang berjalan tergesa-gesa menuju pintu.
Oh, kaukah itu Nak& . Suara laki-laki tua dari dalam rumah, mendekati pintu. Daun pintu berderit, dan kemudian terbuka. Seorang tua berdiri di depan pintu dengan penuh keheranan. Dia terpana akan apa yang dilihatnya. Siapa yang berdiri di hadapannya, dan siapa yang terbaring dalam dukungan laki-laki yang berdiri itu.
Segera pintu rumah itu di bukanya lebar lebar, agar lebih leluasa mereka masuk ke rumah. Bima, melangkah masuk dan terkejut pula, melihat Arjuna telah berada di tempat itu, sedang duduk berdekatan dengan Nakula dan Sadewa. Sedangkan Puntadewa, duduk di sebelah Arjuna. Tak terlihat Dewi Drupadi di tempat itu, namun dia melihat bayangan seorang wanita di bilik belakang.
Orang tua empunya rumah itu segera menggelar tikar pandan, dan mempersilakan Bima untuk membaringkan Bambang Rawan di atasnya. Dengan sigap orang tua itu memeriksa satu persatu luka yang ada di tubuh Bambang Rawan. Dan tak lama kemudian, dengan sigap pula, dia segera bangkit dan berjalan menuju belakang rumah.
Angger Kangka, bantulah Paman& & . Kata orang tua itu bergetar, ada semacam kekhawatiran di matanya.
Baik Paman. Kata Puntadewa, yang dipanggilnya Kangka, segera beranjak dan mengikuti orang tua itu.
Sena, beristirahatlah. Arjuna, berikan kakakmu minuman dan bersihkanlah tubuhnya& katanya Puntadewa kepada Arjuna. Nakula dan Sadewa yang tak tahu apa yang terjadi, hanya mampu berpandang-pandangan. Mereka sama sekali tak ingin bertanya dalam keadaan seperti ini. Biarlah nanti mereka akan bertanya kepada kakak kakaknya.
Tak berapa lama berselang, orang tua itu telah masuk kembali bersama Puntadewa, dengan beberapa daun dan batang pohon yang diambilnya dari halaman belakang. Puntadewa kini tahu apa yang akan dilakukan oleh orang tua yang dikenalnya dengan nama Janadi itu. Maka dengan tanpa disuruh, dia kembali ke belakang, dan mengambil perangkat dari batu yang dia lihat sebelumnya sebagai tempat untuk membuat ramuan obat.
Diajeng, kemarilah& . Bantulah Paman Janadi& . Panggil Puntadewa kepada Drupadi. Drupadi segera keluar dari biliknya dan dengan cekatan membawa perangkat dari batu itu bersama Puntadewa. Mereka berdua segera mendekati Janadi yang duduk di sebelah Bambang Rawan yang terbaring. Dengan cekatan segera dia letakkan beberapa daun dan batang pohon yang masih hijau diatas batu, dan dengan cekatan pula, Dewi Drupadi segera menumbuknya halus.
Janadi segera melepas kain yang mengikat tubuh Bambang Rawan, dan membersihkan lukanya dengan air. Kemudian diambilnya tumbukan daun daun itu dan ditempelkan di tempat tempat yang sakit. Janadi sangat cekatan. Puntadewa sampai tak dapat berkata kata melihatnya. Demikian juga dengan Arjuna, Drupadi, Kembar, dan Bima.
Setelah dirasa cukup, segera dia menghampiri Bima. Dengan hati hati dia memeriksa seluruh luka yang ada di tubuh Bima.
Maaf ya Ngger& . Kata Janadi sambil mengamati luka luka Bima.
Silakan Paman jawab Bima pendek. Sama seperti Bambang Rawan, Janadi segera menempelkan ramuan yang dibuatnya itu ke luka luka Bima.
Berbaringlah Ngger& .. kata Janadi kepada Bima. Bima sebagai seorang tamu, dan keluarganya juga berada di tempat itu, menurut perkataan tuan rumah. Segera di berbaring di dekat Bambang Rawan.
Drupadi kemudian datang sambil membawakan minuman hangat untuk Bima dan Bambang Rawan, minuman yang berisi ramuan obat oleh tangan Janadi. Segera mereka berdua diminta untuk meminumnya. Keributan segera berakhir, mereka berdua telah tenang, dan Drupadi telah membersihkan semuanya. Paman& . Berkata Puntadewa.
Iya Ngger& . Jawab Janadi.
Siapakah anak muda ini Paman" Terlihat paman sangat dekat dengannya, dan memperhatikan serta mengobati lukanya satu persatu& . Kata Puntadewa. Bambang Rawan terlihat tersenyum mendengar pertanyaan itu.
Oh, maafkan Paman Ngger, Paman sampai lupa untuk mengenalkan anak muda ini kepada Angger sekalian& . Katanya.
Maklum Ngger, Paman sudah tua. Anak muda ini, bernama Bambang Rawan, anak Paman satu satunya& . Jawab Janadi. Puntadewa dan semua yang berada di tempat itu mengangguk anggukkan kepalanya.
Rawan, ceritakanlah mengapa engkau mendapatkan luka seperti ini, dan dari mana engkau bertemu dengan laki-laki gagah itu.. kata Janadi. Bambang Rawan berusaha untuk bangun dari tidurnya. Dengan dibantu Janadi dan Puntadewa, Bambang Rawan dengan susah berhasil bangun dan bersandar di dinding rumah.
Bambang Rawan menceritakan semua kejadian yang dialaminya. Dari peristiwa terperosoknya dia ke sarang harimau, pergulatannya untuk mempertahankan diri, hingga kedatangan seorang penolong yang kini berada di sampingnya, dan mengenalkan sang penolong itu kepada ayahnya, Janadi.
Janadi ternganga dan tak dapat berkata kata. Perasannya campur aduk, antara terharu dan senang. Dan akhirnya dia bisa tertawa dengan riang, tawa yang penuh dengan tangis keharuan. Dipeluknya tubuh anaknya itu erat erat. Janadi riang gembira, hingga air matanya mengalir deras di kedua pipinya. Beribu ribu ucapan terimakasih terucap dari bibirnya kepada sang penolong, apalagi setelah dia tahu bahwa sang penolong adalah Raden Bima, seseorang yang hanya bagaikan dongeng bagi dirinya, karena sama sekali dia belum pernah melihat, bahkan bertemu dengannya.
Inikah" Inikah Raden Bima yang aku ceritakan padamu" bertanya Janadi dengan berapi api sambil menoleh ke arah Puntadewa. Puntadewa mengangguk lemah.
Benarkah" Benarkah" Janadi bangkit dari duduknya dan segera mendekati Bima. Dan tanpa berpikir panjang, dia guncang guncangkan tubuh Bima dengan sekuat tenaga. Janadi ingin semuanya ini bukanlah mimpi. Dia ingin semua ini adalah kenyataan.
Benarkah Ngger" Benarkah kau Raden Bima, putra Prabu Pandudewanata" Janadi bertanya dengan penuh harap. Bima melemparkan pandangannya kearah Puntadewa, dan Puntadewa pun mengangguk.
Benar Paman& & Akulah Bima, putra Prabu Pandu Dewanata. Jawab Bima. Dan tiba tiba, pecahlah tangis Janadi. Orang tua itu kini menangis meraung raung, tangis bahagia dan haru yang memuncak, dan bercampur aduk menjadi satu. Semua yang ada di tempat itu hanya mampu saling pandang. Bahkan Nakula dan Sadewa menahan geli melihat orang tua itu menangis bagai anak kecil kehilangan mainan. Tangis bahagia dan terharu karena anak laki-lakinya telah kembali kepadanya dengan selamat, dan bertemu langsung dengan Bima, pahlawan yang diimpikannya.
Janadi hampir saja menjatuhkan dirinya untuk sujud menyembah Bima, bila hal itu tak dicegah oleh Bima.
Sudahlah Paman& & sudahlah& . Semua telah kembali dengan selamat& .. kata Bima sambil memegang pundak Janadi untuk mencegahnya menyembah.
Janadi masih menangis. Tangis yang penuh kebahagiaan. Semua yang ada di ruangan itu hanya mampu tertunduk. Janadi kemudian memandangi semua orang yang ada di ruangan itu. Dia berusaha merangkai rangkaikan kejadiannya.
Dan tiba tiba, dia jatuhkan tubuhnya di atas tanah, dan menyembah Puntadewa yang duduk di tempatnya semula. Janadi semakin menangis sejadi-jadinya, hingga terguncang guncang tubuhnya karena isak tangisnya. Hal itu kemudian diikuti oleh anaknya. Bambang Rawan yang menyembah Puntadewa.
Paman Resi& & Sudahlah Paman& . Tak perlu bersikap demikian& .. kata Puntadewa.
Mendengar kata kata resi , semakin keraslah tangis Janadi. Dengan susah payah Puntadewa dan Arjuna membangunkan Janadi dari sujudnya. Setelah beberapa lama, setelah puas Janadi menangis dan menguasai dirinya, dia bangun dan duduk ditempatnya semual. Sambil menghapus air matanya.
Sungguh sebuah kehormatan yang tak terkira bagi Hamba, Raden Puntadewa sekeluarga sudi datang dan bahkan menginap di rumah hamba ini Raden& & & . Katanya masih dengan air mata yang bercucuran. Drupadi, sebagai wanita yang halus perasaannya, ikut pula merasakan apa yang dirasakan Janadi. Perasaan haru yang luar biasa.
Paman Resi, justru kami yang harus berterimakasih pada Paman, telah sudi menyediakan tempat bagi kami untuk berteduh& kata Puntadewa.
Dan tetaplah Paman memanggil nama kami seperti sebelumnya. Aku adalah Kangka, dan Arjuna adalah Kandhi, Bimasena adalah Abilawa, Nakula adalah Darmaganti, Sadewa adalah Tantripala, dan Drupadi adalah Salindri. Kata Puntadewa yang sebelumnya telah diceritakan tentang nama Abilawa bagi Bima.
Mengapa Angger berbuat demikian" tanya Resi Janadi keheranan.
Maafkan kami Paman, Paman tadi telah bercerita tentang peristiwa di Istana Astinapura, dan inilah pengembaraan kami setelah peristiwa itu Paman. Kami harap, Paman dapat berlaku bijaksana untuk tetap menyimpan jati diri kami serapat rapatnya. Cukuplah pembicaraan ini hanya untuk di ketahui olah semua orang yang ada di sini. Jika pengembaraan kami ini tercium oleh pihak Istana, kami harus mengulanginya dari awal Paman& kata Puntadewa sambil melemparkan pandangannya ke Resi Janadi dan Bambang Rawan. Keduanya mengangguk dan menyembah hormat.
Baiklah Angger, kami berjanji untuk tetap menyimpan rahasia ini. Kami akan membantu Angger sekalian dengan segenap jiwa raga kami. Dan bahkan, bila Pandawa membutuhkan tumbal untuk meraih kejayaan, kami, Resi Janadi dan Bambang Rawan, akan dengan senang hati menyerahkan diri kami kepada Angger sekalian.. kata Resi Janadi sambil menyembah hormat, diikuti oleh Bambang Rawan yang membungkuk hormat semampunya.
Terimakasih Paman Resi, dan kau Bambang Rawan& & . Kata Puntadewa dan diikuti oleh adik adiknya serta Drupadi.
Sekarang istirahatlah Ngger, istirahatlah sepuas hati Angger sekalian, dan anggaplah ini rumah kalian. Tinggallah di sini semau Angger sekalian. Kami terbuka dan menerima Angger sekalian sebagi pewaris tahta yang sah atas Negeri Astinapura. Kata Resi Janadi mempersilakan semuanya untuk beristirahat.
Terimakasih Paman Resi& jawab mereka hampir bersamaan. Lampu damar yang bergoyang goyang tertiup angin malam yang menerobos masuk ke ruang, semakin lama malam semakin redup. Pandawa Lima, Drupadi, Resi Janadi dan Bambang Rawan, mensyukuri semua yang telah terjadi pada hari ini, sebagai bekal yang sangat berguna bagi mereka di hari esok. Senyum kebahagiaan tersungging di bibir mereka.
Antareja, Ksatria Yang Terlupakan
Seorang pemuda duduk termenung, tak bergerak sama sekali. Dia duduk mematung, di atas sebuah batu hitam, di dalam kegelapan, dan menghadap seberkas cahaya yang masuk ke ruangan. Cahaya matahari yang mampu menembus relung relung dinding yang dibuatnya selama bertahun tahun.
Seorang wanita datang menghampirinya dari arah belakang. Wanita itu kemudian duduk di sebelahnya, dan kemudian memeluk pemuda itu erat erat. Pemuda itu sama sekali tak bergeming. Dia biarkan tubuhnya dipeluk wanita itu seluruhnya.
Anakku& & ratap wanita itu. Sementara pemuda itu masih terdiam pada posisi semula. Wanita itu semakin memeluknya, dan kini, butiran butiran air mata telah menetes di pipinya, dan membasahi punggung pemuda itu.
Sudahlah Ibunda& .. jawab laki-laki itu berusaha menenangkannya, sambil mengusap usap tangan ibunya itu.
Apakah niatmu telah bulat, tak dapat ditahan lagi" tanya ibunya di sela sela isak tangisnya. Pemuda itu masih terdiam. Dia tahu ibunya telah mengetahui tekadnya, dan apa yang akan dilakukannya.
Ibunda& .. kata pemuda itu. Ibunya mendongakkan wajahnya. Pemuda itu segera mengusap kedua pipi ibunya penuh rasa sayang.
Bukankah apa yang aku inginkan adalah sebuah kewajaran" Kini aku telah dewasa Ibu& . Katanya kemudian. Ibunya pun mengangguk angguk. Dia tahu benar bahwa apa yang diinginkan pemuda itu sangatlah wajar. Namun hati seorang ibu yang merawatnya sejak dia dilahirkan, sama sekali belum rela melepasnya. Itulah kenapa dia menangisi kepergian anaknya itu.
Ibunda, bukankah Kakek juga telah mengijinkan pula" tanya pemuda itu. Ibunya hanya mengangguk pelan. Namun sekali lagi, hati seorang ibu sungguh tak bisa ditawar. Pecahlah tangisnya, dan mengalirlah air matanya.
Sudahlah Nduk& .. terdengar suara parau laki-laki dari belakang. Langkah kakinya sangat jelas berjalan satu satu mendekati ibu dan anak itu. Dan laki-laki itu pun kemudian duduk bersila di batu hitam itu, dan ibu serta anak itu membalikkan badannya dan duduk menghadapnya.
Kakek& . Sapa pemuda itu.
Ayah& & . Wanita itu mempersilakan laki-laki bersuara parau itu duduk.
Nagagini anakku, dan kau Antareja cucuku& .. kata laki-laki itu setelah nyaman duduknya. Dia adalah Hyang Antaboga, Dewa Penguasa Dasar Bumi, mertua dari Bratasena, ayah dari Dewi Nagagini, serta Kakek dari Antareja.
Antareja kini telah dewasa, dia berhak tahu dan mengenal ayahnya, serta mendarma baktikan hidupnya, tak hanya untuk kita, namun juga ayahnya. Sejak lahir dia tak pernah bertemu, apalagi mengenal ayahnya. Biarlah dia mencari ayahnya& . Bujuk Antaboga pada Nagagini.
Nagagini semakin tersedu sedu. Dimatanya, Antareja masihlah seorang anak kecil yang patut untuk dijaga kemanapun dia pergi. Teringat jelas di pelupuk matanya, anak laki-laki itu bermain main dengan kakeknya di samudra yang luas, dimana terdapat binatang binatang buas yang mengancam keselamatannya. Namun anak laki-laki itu seolah justru mendapatkan mainan, sehingga binatang binatang buas itu bagai teman teman bermainnya.
Ayah, bagaimanakah bila dia di dunia luar sana sendirian" Tak punya teman apalagi saudara. Dan yang dicarinya adalah ayah yang sama sekali belum pernah mengenalnya. Apakah nanti dia tahu kalau Antareja adalah anaknya" Dan bagaimanakah bila dia menolaknya" Apa yang akan terjadi dengan Antareja Ayah?"" Nagagini berapi api, menuruti kata hati.
Antareja yang mendengar semuanya itu, diam seribu bahasa. Baginya, kata kata ibunya itu hanyalah kata kata ketakutan dan kekhawatiran yang berlebihan. Sedangkan Sang Hyang Antaboga justru tertawa terpingkal-pingkal. Dia geli melihat anak perempuannya itu berusaha mati matian untuk mencegah Antareja pergi mencari ayahnya.
Hahahaha& .. Nagagini& & kata Antaboga sambil mengusap usap kepala Nagagini gemas.
Tak lihatkah kau akan Antareja, anak laki-lakimu itu kini telah tumbuh sebagai pemuda yang gagah perkasa. Wajahnya juga tampan, tak kalah dengan pemuda pemuda di daratan sana. Dan lupakah kau bila Antareja hampir setiap hari telah mengecap ilmu dan pengetahuanku, ilmu dan pengetahuan dari Kerajaan Sapapratala ini" Kenapa engkau masih ragu, Anakku& & ." Lanjutnya. Nagagini diam termenung. Memang, anak laki-lakinya itu telah tumbuh menjadi pemuda yang gagah perkasa, dan telah menuruni sebagian besar ilmu dari Kakeknya. Namun sekali lagi, hati seorang ibu tak dapat dipungkiri.
Adakah jaminan baginya nanti untuk dapat bertemu dengan ayahnya dalam keadaan selamat, serta ayahnya mau mengakuinya ayah" tanya Nagagini agak melunak.
Tentu saja& . Jawab Antaboga mantap. Antareja tersenyum bangga dengan jawaban Kakeknya itu.
Bagaimana ayah bisa memastikan hal itu" tanya Nagagini lagi. Pelan tapi pasti, Antaboga membenarkan letak duduknya, dan tangan kanannya mengambil sesuatu dari balik kainnya.
Inilah jaminan itu& jawabnya sambil memperlihatkan sebuah benda pada Nagagini dan Antareja. Anatreja semakin bangga akan Kakeknya. Dia menjadi sangat percaya diri melihat benda itu. Sebuah benda ciri khas dari kerajaan Saptapretala, dan hanya Antabogalah satu satunya yang memiliki benda itu. Senjata Napakawaca.
Bawalah Napakawaca ini Ngger Antareja. Jika engkau bertemu dengan ayahmu, tunjukkanlah benda ini& katanya sambil menyerahkan senjata itu pada Antareja.
Melihat ayahnya memberikan senjata itu, tergugah pula hati Nagagini untuk memberinya bekal bagi Antareja, sekaligus tanda cinta kasih yang ingin dia kirimkan pada suaminya, ayah dari Antareja, Raden Bratasena. Maka, diambillah cincin yang melingkar di jari manisnya, dan diberikan kepada Antareja.
Bawalah Cincin Mustikabumi ini pula Antareja& .. tunjukkanlah pada ayahmu& . Kata Nagagini tanpa dapat menyembunyikan rasa harunya.
Terimakasih Kakek, Ibu& & . Aku akan jaga benda benda ini dengan segenap jiwa ragaku, dan akan aku tunjukkan pada ayah bila kelak bertemu& kata Antareja menyembah hormat pada keduanya.
Nah Antareja, berjalanlah menuju Kerajaan Amarta, dan carilah Kasatrian Jodipati. Disanalah ayahmu berada, Bratasena, ya Werkudara, ya Bimasena. Kata Antaboga member petunjuk.
Antareja, kini semakin bulat tekadnya, untuk mencari ayahnya. Setelah menyembah hormat, dia berjalan pelan menuju sebuah tempat dimana sinar matahari dapat dengan leluasa masuk menerangi ruangan.
Kakek, Ibu, aku berangkat& . Katanya sambil membungkukkan badan, berpamitan. Dan dalam sekejap, tubuh Antareja telah melenting, terbang ke atas menuju daratan.
Hati hati Ngger& & . Kata Antaboga. Sementara Nagagini masih juga belum mampu menghentikan air matanya yang mengalir membasahi kedua pipinya.
Tak berapa lama, Antareja telah menjejakkan kakinya di daratan. Sinar mentari yang terang benderang dan dengan leluasa menyinari daratan, membuatnya silau barang sejenak. Dia berdiri dan melihat ke kiri dan ke kanan, ke arah mana sebaiknya dia berjalan. Akhirnya dia berjalan mengikuti kata hatinya. Dia yakin, hatinya takkan pernah salah.
Setelah cukup lama dia berjalan, sampailah dia di sebuah sungai yang sangat luas. Melihat dari airnya yang tenang dan kehijauan, sungai itu tentunya sangatlah dalam. Dia berjalan menyusuri sungai, menuju ke hulu. Sepanjang jalan, di memperhatikan setiap kecipak air sungai yang mengingatkannya pada kampung halamannya.
Di aliran sungai yang tenang itu, tiba tiba dia melihat sebuah benda mengapung di tengah sungai. Semakin lama semakin jelas benda itu. Yah, sebuah perahu. Namun dia heran, perahu itu berjalan tanpa ada seorang pun di atasnya.
Antareja berusaha mencari tahu isi dari perahu itu. Di tunggunya perahu itu hingga mendekat. Lambat tapi pasti, sebuah perahu kayu sederhana itu, berjalan tepat di depannya. Dan betapa terkejutnya dia. Di atas perahu itu, terdapat tubuh seorang wanita yang sedang berbaring. Sebuah keanehan di mata Antareja. Dia masih mengamati perahu dan tubuh wanita yang terbaring itu. Antareja belum mendekat, dia hanya berjalan disamping perahu itu yang hanyut terbawa arus air, untuk melihat apakah yang akan terjadi nanti. Dia berharap bahwa wanita yang terbaring itu akan bangun, sehingga dia bisa bertanya, kearah mana Kerajaan Amarta.
Namun hatinya kecewa. Setelah sekian lama mengikuti perahu itu, tubuh wanita itu belum juga terbangun. Dia semakin penasaran. Maka, dengan tekad bulat, dia akan mendekati perahu itu. Segera tubuhnya menyelam dalam air, dan berenang menuju perahu itu. Dengan sigap dia naik ke atas perahu dan mengamati tubuh wanita itu.
Sekali lagi Antareja terperanjat. Tubuh wanita itu telah terluka dan darah mengalir dari luka itu. Wanita itu telah mati. Antareja semakin bingung. Dia tak tahu apa yang telah terjadi, demikian juga dia sama sekali tak mengenal wanita itu. Satu satunya jalan adalah, dia haru menghidupkan wanita itu. Namun dia bingung, dengan apa dia harus menghidupkan wanita itu.
Tiba tiba dia teringat akan senjata yang diberikan kakeknya, senjata yang kini telah melebur ke dalam tubuhnya, dengan lidah sebagai ujungnya. Dengan hati berdebar debar, dia berusaha menggunakan senjata itu. Maka dengan sangat hati hati, tubuh wanita itu kemudian dijilatnya.
Sungguh diluar dugaannya. Setelah beberapa kali wanita itu dijilatnya, perlahan namun pasti, luka luka yang ada di tubuh itu mengering dan tertutup kulit seperti semula. Tubuhnya yang dingin, perlahan lahan mulai hangat. Kedua matanya yang terpejam, perlahan lahan terbuka, dan nafasnya kembali teratur. Kedua tangan wanita itu kemudian bergerak dan berusaha menopang tubuhnya untuk bangkit dan duduk.
Wanita itu heran melihat seorang laki-laki yang duduk di hadapannya, memandanginya tanpa berkedip. Antareja memang tak sanggup bahkan hanya untuk berkedip menyaksikan kehebatan senjata Napakawaca yang baru saja digunakannya untuk menghidupkan wanita itu.
Terimakasih Kakek& . Kata Antareja. Wanita itu semakin bertambah bingung melihat pemuda itu memanggilnya kakek .
Apa maksudmu anak muda" tanya wanita itu penuh heran.
Hm& .. bukan. Maksudku, aku berterimakasih pada kakekku yang telah memberiku Napakawaca ini, yang ternyata bisa untuk menghidupkan panjenengan & kata Antareja malu.
Oh& & siapakah kakekmu itu Anak Muda" wanita itu bertanya penuh selidik. Wanita itu sejak tadi menatap tajam pada Antareja. Dia berusaha mengenali anak muda yang menyelamatkannya itu. Dari beberapa bagian bentuk tubuhnya, wanita itu telah menduga duga sapakah anak muda itu.
Sang Hyang Antaboga& . Jawab Antareja tenang. Oh, Eyang Antaboga?"" wanita itu hampir berteriak.
Benar& jawab Antareja pendek. Lalu tiba tiba wanita itu menjatuhkan dirinya, dan memeluk erat erat tubuh Antareja. Antareja semakin bingung dibuatnya. Dia sama sekali tak mengenal wanita itu, namun wanita itu kini telah memeluknya erat erat.
Tentu engkau adalah putra dari Kangmas Bratasena. Siapakah namamu" tanya wanita itu penuh kegirangan. Antareja semakin bingung. Bagaimana dia tahu.
Namun belum juga rasa terkejut dan herannya hilang, tiba tiba dia dikejutkan lagi oleh sebuah bayangan yang datang dari depannya, melayang dengan sangat cepat dengan mengepalkan tangannya. Secepat kilat, tubuh wanita itu dilepaskannya dan didudukkan di tempat semual. Namun terlambat bagi Antareja. Kepalan tangan itu telah mendarat di dagunya. Tubuh Antareja terpental dan terjatuh di atas sungai.
Antareja segera bangkit dan muncul di permukaan air. Namun begitu dia muncul, bayangan itu segera datang dan memukulnya lagi, dan Antareja sekali lagi terpental beberapa depa dan terjatuh lagi. Seperti itu terjadi berulang ulang. Antareja yang kemudian menyadari keadaannya, segera menyelam di dalam air. Air sungai yang bening, membuatnya dapat melihat apa yang terjadi di atas sana. Dia melihat seorang pemuda yang hampir sama dengannya, sedang terbang hilir mudik mencari keberadaan Antareja dengan sikap siap tanding.
Tahulah kiranya Antareja siapakah lawannya itu. Lawannya mempunyai kelebihan terbang di angkasa, namun tak mampu menyelam seperti dirinya. Antareja tersenyum dalam hati.
Akan ku balas kau& . Bisiknya. Maka kemudian dia menyelam berkeliling, mengelilingi perahu itu, dengan air yang dia buat bergelombang besar, sehingga lawannya akan terpancing untuk mendekat. Dan benar, lawannya itu kemudian terbang merendah, berusaha melindungi perahu yang diduduki wanita diatasnya. Setelah lawannya itu terbang sangat rendah, dengan kekuatan penuh Antareja melentingkan tubuhnya dan dengan sekuat tenaga menarik lawannya untuk masuk ke dalam sungai.
Maka yang terjadi kemudian adalah, air sungai yang sebelumnya tenang kini berubah menjadi medan tempur yang sangat dahsyat. Terkadang air itu berputar putar sedemikian kencangnya, dan kadang kadang muncul bayangan dua tubuh manusia yang saling serang dipermukaannya, membuat air itu bergelora bagai sedang terjadi pertempuran antara dua ikan raksasa yang berebut mangsa.
Kadang dua orang itu sama sama melenting ke angkasa dan saling kejar dan pukul, namun sekejap kemudian dua orang itu saling kejar menuju dasar sungai. Masingmasing sama kuat sehingga pertempuran itu menjadi semakin dahsyat.
Wanita yang ada di atas perahu itu, hanya mampu menjerit jerit ketakutan, karena perahunya yang oleng bagai terombang-ambing ombak raksasa, yang didalamnya terdapat ular yang siap memangsanya. Beberapa kali dia berteriak berusaha menghentikan pertempuran itu, namun dua orang itu sama sekali tak mendengar teriakannya. Masing-masing berusaha untuk melumpuhkan lawannya secepatnya.
Saat dua orang itu melesat ke angkasa dan saling serang, wanita itu berteriak sekencang kencangnya untuk menghentikan pertarungan.
Gatotkaca& .. hentikan!!!! Dia adalah kakakmu!!!!! teriak wanita itu. Gatotkaca yang mendengar namanya disebut, memalingkan wajahnya kearah suara itu. Namun tepat saat wajahnya berpaling, sebuah kepalan tangan begitu deras mendarat di dagunya. Gatotkaca terlempar kebelakang dan tubuh berguling guling di angkasa.
Mendengar kata kata kakak , Gatotkaca menghentikan serangannya. Dia masih berdiri di angkasa dengan gagahnya. Dia berpikir keras, siapakah orang yang disebutnya sebagai kakak .
Demikian juga dengan Antareja. Setelah kepalan tangannya mendarat di dagu Gatotkaca, dia menghentikan serangannya dan berdiri diam. Dia berpikir keras, siapakah yang disebut kakak , dan siapakah Gatotkaca. Keduanya menjadi diam seperti patung. Menunggu wanita itu meneruskan kata katanya.
Turunlah kalian ke daratan! Hentikan pertempuran dan dengarkan kata kataku! kata wanita itu masih dengan berteriak teriak. Antareja dan Gatotkaca bagai kerbau dicocok hidung. Keduanya diam dan segera menuju ke daratan di sebelah sungai itu. Dan wanita itu, kemudian mengayuh perahunya menuju ke tepian.
Sementara Antareja dan Gatotkaca masih saling beradu pandang dengan tatapan mata tajam. Bagaimanapun, mereka tak ingin lengah. Masing-masing tetap siaga untuk menjaga berbagai kemungkinan dari lawannya.
Wanita itu kemudian buru-buru untuk mencapai ke tepian, dan menjejakkan kakinya di daratan. Gatotkaca yang melihat wanita itu kini berdiri dan berjalan ke arahnya, heran bukan kepalang. Bagaimana bisa, wanita itu yang telah mati, kini menjadi hidup dan utuh tanpa kekurangan apapun. Sedangkan Antareja, heran melihat wanita itu berjalan dengan tanpa malu malu, segera menghampiri lawannya, yang dipanggilnya dengan nama Gatotkaca.
Kalian berdua, mendekatlah! perintah wanita itu yang kini telah duduk dibawah pohon yang rindang. Namun Gatotkaca dan Antareja masih diam ditempatnya, mereka masih beradu pandang.
Gatotkaca, kemarilah& . Kata wanita itu sekali lagi. Gatotkaca tak dapat menolak.
Baik Bibi& .. jawabnya sambil berjalan mendekat, namun masih dengan tatapan mata kearah Antareja.
Antareja menahan geli melihat tingkah Gatotkaca. Namun hal itu disembunyikannya.
Dan kau anak muda, kemarilah. Mendekatlah dengan Bibi dan Adikmu& katanya kepada Antareja. Antareja semakin kebingungan. Siapakah mereka sebenarnya"
Dengan berjalan perlahan-lahan, Antareja mendekati mereka berdua. Gatotkaca, turunkan tanganmu& . Perintah wanita itu. Gatotkaca menurutinya. Melihat sikap itu, Antareja juga menurunkan tangannya dan berjalan semakin mendekat.
Anak muda, duduklah. Ceritakanlah siapakah dirimu, dan dari mana asalmu, serta hendak kemana tujuanmu.. kata wanita itu setelah semuanya mendekat. Antareja segera menceritakan dengan singkat apa yang perlu diketahui oleh wanita itu. Wanita itu kini tersenyum lebar dan lega setelah Antareja selesai bercerita.
Gatotkaca, ini adalah kakakmu, putra dari Kangmas Bratasena, ayahmu, dengan Dewi Nagagini. Dan kau Antareja, ini adalah Gatotkaca, adikmu, putra dari Kangmas Bratasena dengan Dewi Arimbi. Jadi, kalian berdua adalah kakak adik. Kata wanita itu saling memperkenalkan mereka berdua.
Oh, maafkan aku Kangmas Antareja& . Kata Gatotkaca sambil menjabat erat tangan Antareja.
Hahahaha& . Tak mengapa Dimas, pertemuan yang tak terlupakan& . Jawab Antareja sambil menepuk-nepuk punggung Gatotkaca.
Dhimas& siapa beliau ini" bisik Antareja pada Gatotkaca.
Hahahahahaha& & Beliau adalah Dewi Subadra, isteri dari Paman Arjuna, adik dari ayah Bratasena.. jawab Gatotkaca sambil tertawa.
Oh, sembah bakti dariku Bibi Subadra& . Kata Antareja menyembah hormat. Terimakasih Antareja, engkau telah menyelamatkan aku& .. jawab Subadra.
Lantas Bibi, kenapa Bibi ada di perahu itu, dan kenapa pula Dhimas Gatotkaca berada di tempat ini pula" tanya Antareja.
Subadra memandang ke arah Gatotkaca. Dia minta pertimbangan tentang apakah harus diceritakan. Gatotkaca mengangguk pelan.
Subadra pun kemudian bercerita tentang dirinya yang terus menerus di ganggu oleh Burisrawa, putra Prabu Salya yang tetap menginginkannya untuk diperistri, walaupun dia telah dikalahkan oleh Arjuna. Hampir dalam setiap kesempatan, Burisrawa mencari cari celah untuk mendapatkan Subadra. Bahkan dengan segala cara.
Perbuatan Burisrawa itu sama sekali tak dapat dihentikan, baik dengan cara halus maupun kasar. Saat Burisrawa mendapat kesempatan itu, dia nekat untuk mengambil paksa Subadra. Disitulah tragedi terjadi. Dengan tak sengaja, senjata yang terselip di punggung Burisrawa, lolos dari warangkanya dan menusuk Subadra hingga meninggal.
Burisrawa yang mengetahui itu, bingung bukan kepalang. Lalu di letakkan tubuh Subadra dan lari menyelamatkan diri, sebelum diketahui oleh para putra Amarta. Namun sayang, semua peristiwa itu tak luput dari pengawasan Sri Batara Kresna. Maka kemudian, dipanggillah Gatotkaca, untuk menaruh Subadra di perahu dan melarungnya. Dan tugas Gatotkaca kemudian adalah memastikan tubuh Subadra selamat hingga sampai hilir.
Antareja termangu mangu mendengarkan cerita itu.
Lantas, dimanakah Sri Batara Kresna sekarang" tanya Antareja kemudian.
Aku disini Antareja& .. terdengar suara ramah seseorang. Mereka bertiga terkesima, dan menoleh kearah datangnya suara itu. Seorang laki-laki, berkulit hitam, dengan senyum yang selalu menghiasi bibirnya, dengan senjata cakra dan bunga wijayakusuma di masing-masing tangannya, telah berdiri dengan anggun di atas perahu yang tertambat di tepian. Serta merta ketiganya menyembah hormat kepadanya.
Selamat datang Uwak Prabu Kresna& . Kata mereka hampir bersamaan. Kresna segera turun dari perahu dan berjalan menghampiri mereka bertiga. Subadra, selamat datang kembali& . Sapanya masih dengan tersenyum ramah. Terimakasih Kangmas Prabu& jawab Subadra.
Gatotkaca, bagaimana pukulan pukulan dari kakakmu Antareja" Kresna bertanya sambil tertawa renyah pada Gatotkaca.
Sungguh luar biasa Uwak Prabu. Seperti gada wesi kuning milik ayah& jawab Gatotkaca sambil tertawa pula.
Dan kau Antareja, bagaimana sambutan adikmu di atas sungai tadi" Cukup mengejutkan bukan" tanya Kresna sambil menepuk-nepuk punggung Antareja.
Hahaha& Uwak Prabu& & sambutan yang tak mungkin terlupakan Uwak& terimakasih& . Jawabnya sambil membungkuk hormat.
Nah, Gatotkaca, antarkan Bibimu pulang, biarlah Antareja menemaniku barang sejenak disini. Tentu dia sangat lelah setelah perjalanan jauh, dan kemudian kau sambut dengan kepalan kepalan tanganmu itu& & perintah Kresna pada Gatotkaca.
Dan segeralah kembali kemari& perintah Kresna lagi.
Baik Uwa, Bibi, mari, naiklah di punggungku& . Kata Gatotkaca sambil tersenyum kecut oleh candaan Prabu Kresna. Subadra segera membungkuk pamit dan naik ke punggung Gatotkaca. Dan sekejap kemudian tubuh Gatotkaca telah terbang secepat kilat menembus awan, membawa Subadra kembali ke Madukara.
Sepeninggal Gatotkaca dan Subadra, kini tinggal Antareja dan Prabu Kresna. Mereka kemudian berjalan menuju hilir, di tepian sungai. Antareja, yang baru kali ini muncul di daratan, dan dengan mengejutkan dipertemukan dengan adiknya, tak henti-hentinya bertanya tentang ini dan itu pada Prabu Kresna.
Ada semacam dorongan kuat untuk bercerita dan mengatakan apapun juga kepada Kresna, walaupun baru pertama kali bertemu. Seolah dia berhadapan tidak dengan manusia biasa, namun seolah sedang berbicara dengan dewa. Ada sinar memancar terang dari wajah Sri Kresna, sinar putih kebiru-biruan yang selama ini Antareja kenal sebagai sinar milik Batara Wisnu.
Antareja, hendak kemana tujuanmu setelah ini" bertanya Sri Kresna.
Menurut Kakek Antaboga, aku disuruhnya untuk pergi ke kasatrian Jodipati, untuk bertemu dengan ayah Bratasena& . Jawab Antareja.
Bagus. Kedatanganmu tentu telah dinanti nanti Antareja. Jawab Sri Kresna sambil tersenyum. Ada sesuatu yang dia sembunyikan tentunya. Antareja melihat itu dari sudut matanya.
Maksud Uwa Prabu" bertanya Antareja.
Ahaaa& & & .. Gatotkaca telah datang& . Sri Kresna setengah berteriak, melihat seberkas sinar melaju cepat dari angkasa menuju ke arahnya. Dan sekejap kemudian, tubuh Gatotkaca telah berdiri di samping mereka berdua.
Gatotkaca, apa yang terjadi selanjutnya" tanya Sri Kresna. Gatotkaca paham akan maksud pertanyaan itu.
Burisrawa melarikan diri Uwak Prabu& . Jawabnya. Apakah kau akan diam saja" tanya Kresna kemudian. Tentu saja tidak. Jawab Gatotkaca.
Bagus. Ajaklah Kakakmu Antareja serta, setelah selesai, antarkan Antareja ke Kasatrian Jodipati& perintahnya.
Antareja, bantulah Adikmu& . Kata Kresna kemudian. Baik Uwak Prabu& . Jawab Antareja.
Baik Uwak. Mari Kangmas& .. kata Gatotkaca.
Tak usah repot Dimas. Biarlah Dimas menempuh jalan udara, aku akan menempuh jalur samudra. Nanti kita akan bertemu disana. Jawab Antareja.
Mohon pamit Uwak Prabu& .. kata mereka berdua hampir bersamaan, dan tanpa menunggu jawaban, mereka berdua segera berangkat, Gatotkaca melentingkan tubuhnya dan terbang ke angkasa, sedangkan Antareja menceburkan dirinya dan selanjutnya berenang tak kalah cepatnya dengan Gatotkaca.
Hati hati kalian berdua& . Jawab Sri Kresna. Dia menggeleng gelengkan kepalanya.
Anak muda, selalu tergesa-gesa, dan emosi yang selalu diturutinya. Beruntung kalian memiliki kesaktian yang luar biasa.
Sri Kresna segera menjejakkan kakinya di atas tanah, dan segera terbang ke utara, menuju kasatrian Jodipati yang sedang heran oleh huru-hara yang dibuat oleh raja ular, Nagabagendo. Dai berharap kedatangan Antareja dapat mengatasi semua masalah yang ditimbulkan Bagabagendo, sesuai dengan wisik yang dia terima bahwa yang dapat mengalahkan Nagabagendo adalah ksatria yang berkulit sisik seperti ular. Dan itulah ciri fisik yang dimiliki oleh Antareja.
Tak sulit bagi Gatotkaca untuk melacak kemana perginya Burisrawa. Dengan pandangan mata setajam elang, dia dengan mudah menemukan keberadaan Burisrawa. Antareja, dengan melihat bayangan tubuh Gatotkaca dari dalam air, juga dengan mudah menemukan arah yang dituju.
Gatotkaca sengaja menggiring Burisrawa yang dalam pelarian di sebuah hutan, menuju ke tanah yang agak lapang. Dan setelah mendapatkan tempat itu, segera dia menukik dan langsung menghajar Burisrawa dari angkasa. Burisrawa yang bertubuh besar, jatuh berguling guling membentur tanah. Gatotkaca semakin merangsek dengan ganasnya. Burisrawa berusaha bangkit dan balik menyerang. Terjadilah peperangan yang dahsyat. Suara jejak jejak kakinya, memudahkan Antareja segera menemukan tempat pertempuran.
Hai Putra Bima, janganlah kau ikut campur urusanku. Ini masalah rasa, masalah hati. Jika Bibi mu itu mencintaiku, mengapa engkau berusaha mencegahnya" Hahahahhaha& . Suara Burisrawa menggelegar.
Hahahaha& . Berkacalah Burisrawa& & . Tak mungkin Bibi ku jatuh cinta padamu!!! tukas Gatotkaca.
Burisrawa menengok kiri dan kanan. Sulit baginya untuk mampu menandingi kesaktian Gatotkaca. Satu satunya jalan adalah, dia harus melarikan diri secepat mungkin. Namun sayang sekali, saat dia berusaha mengangkat satu kakinya dan beranjak melarikan diri, tiba tiba kedua kakinya bagai tersedot ke dalam tanah, hingga selutut.
Dia merasakan kedua kakinya ditarik kebawah oleh sebuah kekuatan yang besar, hingga tubuhnya terbenam dan tak mampu bergerak. Kesempatan itu dimanfaatkan oleh Gatotkaca untuk menghajar sejadi-jadinya.
Terimaksih Kakang Antareja, engkau telah memudahkan pekerjaanku& katanya sambil menghujani kepalan kepalan tangannya ke muka Burisrawa.
Gila!!!!! Burisrawa berteriak. Rupanya kalian berdua bersekongkol. Umpatnya saat Antareja dengan tiba tiba muncul dari dalam tanah dan berdiri di samping Gatotkaca dengan tersenyum.
Marilah Kakang, kita hajar manusia tak tahu diri ini! kata gatotkaca sambil melangkah maju.
Hahaha& . Silakan Dimas& .. aku menunggu saja disini. Jika dia ingin lari, biar aku benamkan lagi tubuhnya& jawab Antareja tak bergeming.
Rupanya Gatotkaca ingin benar benar memberi pelajaran pada Burisrawa, hingga pukulan pukulannya membuat Burisrawa sampai terpental dan tercabut dari dalam tanah. Dengan muka memerah dan penuh darah, Burisrawa berhasil melarikan diri. Gatotkaca ingin mengejarnya, namun tangannya dipegang kuat kuat oleh Antareja.
Sudahlah Dimas, itu semua sudah cukup menjadi pelajaran baginya& kata Antareja menenangkan Gatotkaca.
Baiklah Kangmas. Mudah-mudahan bisa menjadi pelajaran baginya agar tak bertindak kurang ajar pada sesama& jawab Gatotkaca.
Sekarang, ikutlah aku ke Jodipati Kangmas. Bukankah itu tujuanmu berikutnya" tanya Gatotkaca tak perlu menanti jawaban.
Mari Dimas& .. Kali ini Kangmas harus berjalan bersamaku. Naiklah ke punggungku& . Kata Gatotkaca. Dan melesatlah tubuh Gatotkaca ke angkasa, dengan Antareja duduk di punggungnya. Gatotkaca terbang memutar dan selanjutnya melesat ke arah timur, ke arah Kasatrian Jodipati berada.
Di Kasatrian Jodipati, sedang terjadi kesibukan yang amat sangat. Kesibukan bukan karena kemeriahan untuk memperingati sesuatu ataupun berpesta pora, akan tetapi kesibukan yang dilakukan oleh bala tentara Jodipati. Masing-masing terlihat berlalu lalang, dengan senjata di tangan, saling berteriak satu sama lain untuk segera berkumpul di halaman depan Kasatrian.
Bratasena,terlihat berjalan hilir mudik di depan Kasatrian, menunggu bala tentara segera berkumpul dan memberikan perintah. Saat belum semua pasukan berkumpul di hadapannya, tiba tiba meluncurlah dari angkasa, dua orang yang langsung turun di hadapan Bratasena. Bratasena mengerenyitkan dahinya, dia heran akan kehadiran anak laki-lakinya beserta satu orang lagi pemuda yang sama sekali belum pernah dilihatnya, apalagi dikenalnya.
Gatot, siapakah yang kau bawa ini" Apakah kau tak mengetahui bahwa Amarta sedang disibukkan oleh ulah Nagabagendo yang membuat huru-hara disana sini, dan hingga sekarang tak seorang pun mampu menghentikannya. Mengapa engkau justru membawa seorang tamu kemari" tanya Bratasena dengan wajah resah.
Ampun Ayah, pemuda yang datang bersamaku ini mengaku bernama Antareja, dari Kerajaan Saptapratala. Menurut pengakuannya, dia datang kemari untuk menemuimu, Ayah& . Jawab Gatotkaca sambil menundukkan wajahnya. Dia tahu ayahnya tidak begitu berkenan akan kedatangannya bersama Antareja, namun itu semua dia lakukan karena perintah Sri Kresna.
Bukankah engkau tahu keadaan baru genting sekarang ini Gatot& . Siapa yang memerintahmu" tanya Bratasena.
Uwak Prabu Kresna, Ayah& .. jawab Gatotkaca. Bratasena terdiam. Dia tercenung, dan berpikir. Prabu Kresna pasti telah melihat sesuatu pada pemuda itu.
Baik, siapakah kau anak muda, dan dari mana asalmu, serta apa tujuanmu datang kemari" tanya Bratasena pada Antareja. Dan Antareja pun dengan sikap hormat, memperkenalkan dirinya, pertemuannya dengan Gaotokaca, Subadra, dan Prabu Kresna, hingga mereka berdua tiba di tempat ini, Kasatrian Jodipati.
Semua orang bisa mengaku keturunan dari Pandawa. Apa bukti bahwa kau adalah keturunan dari Sang Hyang Antboga, dan putra dari Nagagini, sekaligus adalah anakku" tanya Bratasena kemudian.
Antareja kemudian memperlihatkan Napakawaca pemberian kakeknya, serta Cincin Mustikabumi pemberian ibunya. Bratasena mengerenyitkan dahinya. Dia sangat mengenal kedua senjata itu, apalagi Cincin Mustikabumi. Terlintas dibenaknya akan Nagagini, istrinya itu yang ditinggalkannya saat masih mengandung anaknya. Dan hingga kini, dia sama sekali belum pernah bertemu dengan anaknya itu, yang sekarang berdiri menghadap di depannya.
Baiklah Antareja, kau telah berhasil membuktikan bahwa kau adalah anakku. Namun pengakuanku atasmu, tidaklah semudah itu.. kata Bratasena.
Maksud Ayah" tanya Antareja. Apa yang harus aku lakukan Ayah" tanyanya kemudian.
Bratasena, yang sebelum kedatangan mereka berdua, telah didatangi oleh Prabu Kresna yang mewartakan tentang Antareja sebagai anaknya, yang mempunyai ciriciri khusus sebagai seorang ksatria yang mampu mengalahkan Nagabagendo, menuruti nasehat Prabu Kresna untuk menyuruh Antareja bertempur dan membunuh Nagabagendo sebagai bukti sembah buktinya pada ayah dan sesepuh sesepuh Pandawa lainnya.
Kerajaan Amarta sedang dilanda huru-hara oleh seorang yang sakti madraguna, dan hingga kini tak ada yang mampu mengalahkannya, termasuk para sesepuhmu. Nah, berangkatlah hari ini juga, hentikan ulah Nagabagendo, dan bunuhlah dia. Sebagi tanda sembah baktimu pada ayahmu& kata Bratasena.
Baik Ayah& jawab Antareja sambil berdiri tegak, siap untuk maju bertempur. Gatot, damping Antareja, dan ringkuslah Nagabagendo! perintah Bratasena.
Baik Ayah& . Jawab Gatotkaca. Dan mereka berdua mohon pamit untuk maju ke arena peperangan.
Pusat kota Amarta kini telah luluh lantak oleh ulah Raja Nagabagendo. Dengan tertawa terbahak bahak, dia menghancur apa saja yang ada didekatnya. Dia berulah bagaikan raja di negeri sendiri, tak seorang pun yang berani mendekat. Prajurit prajurit Amarta telah lari tunggang langgang, demikian juga dengan para ksatria yang telah mundur karena luka yang ditimbulkannya.
Itulah Kangmas, Raja Nagabagendo& kata Gatotkaca sambil menunjuk ke arah Nagabagendo.
Baik Dimas, tunggullah disini& jawab Antareja sambil melentingkan tubuhnya dan berhadapan langsung dengan Nagabagendo.
Hahaha& siapakah kau anak muda" Apakah kau telah bosan dengan hidupmu" tanya Nagabagendo.
Nagabagendo, hentikanlah dan menyerahlah! kata Antareja lantang. Nagabagendo mengamati tubuh lawannya itu. Mirip dengan tubuhnya yang sama sama bersisik seperti ular.
Hahahahahahaha& .. sebutlah para sesepuhmu anak muda!!!! tukas Nagabagendo.
Sekali lagi, hentikan dan menyerahlah, atau harus aku paksa kau untuk bertekuk lutut dan menyembah para Pandawa!!! jawab Antareja lantang.
Bertobatlah kau anak muda& !!! teriak Nagabagendo sambil meloncat dan menyerang Antareja. Antareja yang telah siap dengan segala kemungkinan, segera menarik tubuhnya ke belakang dan dengan gerakan sederhana, dia tarik kakinya kesamping, hingga serangan Nagabagendo menemui udara hampa, hingga tubuhnya terhuyung huyung oleh kekuatannya sendiri, dan jatuh terjerembab.
Kuang ajar!!! umpatnya. Nagabagendoa bangkit dan kini dengan serangan yang ,lebih dahsyat. Dia ingin sekali melumatkan lawannya dengan secepat cepatnya, maka segera dia menggunakan ilmu dari nenek moyangnya. Tubuhnya kini meliuk liuk seperti ular, bahkan kadang timbul dan tenggelam di permukaan tanah. Antareja yang melihat perubahan serangan itu, tak mau menjadi bulan bulanan lawannya. Dia segera menggunakan aji Napakawaja dari kakeknya, dan kini dia pun berubah seperti ular, sama dengan Nagabagendo.
Maka yang terjadi kemudian adalah, seperti dua ekor ular yang sama beringas, saling lilit dan saling terkam, bergulung gulung kesana kemari, dan mengeluarkan desis desis beracun yang mematikan. Masing-masing berusaha saling pagut dan saling melilitkan tubuhnya ke lawan. Berguling guling hingga membuat gulungan gulungan asap yang mengepul memenuhi kota.
Namun Antareja adalah cucu dari Sang Hyang Antaboga, dewa penguasa dasar bumi. Lambat laun tubuh Nagabagendo merasa kepayahan oleh lilitan Antareja yang menggunakan ajian Napakawaca yang semakin lama semakin mematikan. Nagabagendo yang semakin tak berdaya, berusaha memagut-magut dengan sisa sisa tenaganya.
Dengan kekuatan tertingginya, Antareja menjulurkan lidahnya dan langsung mengenai bagian kepala Nagabagendo. Tiba tiba Nagabagendo menjerit. Berteriak kesakitan dan dengan umpatan umpatan yang kasar pada Antareja. Namun Antareja sama sekali tak melepaskan lilitannya. Lidah yang telah terjulur dan disertai ajian Upas Onto pemberian kakeknya, mampu membuat tubuh Nagabagendo bagai rontok seluruh tulang belulangnya, dan kulit bersisiknya perlahan lahan memerah bagai terbakar api. Nagabagendo lumpuh, tak berdaya, dengan tubuh terbakar, dan mati.
Antareja bangkit dan meloloskan seluruh ilmunya kembali, hingga kini menjelma menjadi manusia seperti semula. Dia ambil tubuh Nagabagendo yang tak bernyawa, dan kemudian dia panggul, dibawanya menuju tempat Gatotkaca menunggunya. Luar biasa Kangmas& . Sanjung Gatotkaca.
Ah Dimas, tentu masih tak sedahsyat kepalan tanganmu& jawab Antareja sambil tertawa kecil.
Hahahaha& Kangmas bisa saja& seloroh Gatotkaca sambil menepuk punggung Antareja.
Mari Dimas, kita menghadap Ayah Bratasena di Jodipati.. kata Antareja kemudian.
Mari Kangmas& & .. jawab Gatotkaca. Keduanya kini terbang secepat kilat menuju Kasatrian Jodipati, untuk menyerahkan tubuh Nagabagendo sebagai bukti kemenangan, dan sebagai tanda sembah bakti anak terhadap orang tua dan sesepuhnya, dan demi kejayaan Kerajaan Amarta.
Bratasena menerima keduanya dengan senyum lebar di bibirnya. Demikian juga dengan Prabu Kresna yang telah berdiri di samping Bratasena.
Bagus Antareja, Gatotkaca& . Kalian berhasil kata Prabu Kresna.
Bukan kami Uwak Prabu, akan tetapi Kangmas Antareja& jawab Gatotkaca. Dan Amarta pun kembali ke kehidupan semula, lepas dari ulah Nagabagendo.
Bratasena pun menerima dan mengakui Antareja sebagai anaknya dengan bangga dan senyum di bibirnya. Kini tibalah Antareja untuk pamit dan kembali ke Kerajaan Saptapratala.
Ayah, dan Uwak Prabu serta Dimas Gatotkaca, telah terkabul permintaanku untuk bertemu dengan Ayah Bratasena, dan sebuah kehormatan berjumpa dengan Uwak Prabu, serta sebuah kebahagiaan bertemu denganmu Dimas, kini aku mohon ijin pada Ayah, Uwak Prabu serta kau Dimas Gatotkaca, aku hendak kembali ke Saptapratala. Kakek dan ibuku tentu telah rindu padaku& kata Antareja suatu pagi di beranda Kasatrian Jodipati.
Baiklah Antareja, jika itu keinginanmu. Sampaikan sembah baktiku pada Kakekmu, Sang Hyang Antboga, dan sampaikan salam rinduku pada ibumu, Nagagini. Kata Bratasena.
Sendiko dhawuh Ayah& . Jawab Antareja.
Hati hati Kangmas, jika suatu saat kau membutuhkan aku, cukup kau sebut namaku dan kau tatap langit. Aku akan segera datang menemuimu& . Kata Gatotkaca.
Terimakasih Dimas. Jawab Antareja.
Antareja anakku& . Kata Prabu Kresna. Sampaikan salamku pada Eyang Antaboga dan Dewi Nagagini. Suatu saat menjelang Baratayuda, aku akan datang menemuimu. Sumbangsihmu untuk Pandawa, sangat kami perlukan.. katanya kemudian.
Sebuah kehormatan bagiku Uwak, untuk dapat membantu para sesepuh dalam kancah Baratayuda& jawab Antareja.
Dengan disaksikan seluruh punggawa, Antareja pergi meninggalkan Jodipati, untuk kembali pulang ke kampung halamannya, dan meneruskan pengabdiannya untuk kerajaan dan rakyat Saptapratala yang membesarkannya, dan menjadi raja di Kerajaan Jangkarbumi.
Waktu berlalu, tak terasa saat yang menentukan antara Pandawa dan Kurawa semakin dekat. Antareja termenung di pesanggrahannya di Jangkarbumi. Dia memikirkan akan arti mimpinya yang datang di hampir setiap tidurnya. Sebuah mimpi yang tak pernah terjawab. Bila mimpi itu disampaikan pada ibunya, Dewi Nagagini tak mampu menjawab, akan tetapi hanya air mata yang berlinang tak henti hentinya. Namun jika mimpi itu disampaikan pada Kakeknya, Antareja dengan riang gembira mendengarkannya dan tersenyum gembira.
Tiba tiba di ruangan itu, tercium aroma wangi bunga teratai. Bunga yang berbentuk bundar bergerigi itu, juga adalah lambang dari senjata cakra, milik Sri Kresna.
Selamat datang Uwak Prabu& .. kata Antareja mengucap salam kepada aroma yang tercium itu. Dan tiba tiba di depannya telah berdiri seorang laki-laki yang telah sangat dia kenal, Prabu Kresna.
Salam sejahtera Anakku Antareja& & & & jawab Sri Kresna.
Sebuah kehormatan bagiku dan bagi Kerajaan Jangkarbumi Uwak& . Kata Antareja.
Terimakasih Antareja. Jawab Sri Kresna.
Maafkan aku Uwak, kedatangan Uwak kemari, tiada hujan dan angin, adakah sebuah perintah untukku Uwak" tanya Antareja.
Antareja, kedatanganku kemari adalah ingin menanyakan sesuatu padamu. Jawab Sri Kresna.
Silakan Uwak& . Jawabnya.
Baratayuda tak dapat dicegah. Dan waktunya kian mendesak. Apa yang akan kau lakukan Anakku" tanya Sri Kresna langsung ke inti pembicaraan.
Tentu saja aku ingin menjadi salah satu senopati bagi Pandawa, Uwak& . Jawab Antareja tegas.
Bagus Antareja! jawab Sri Kresna lebih tegas lagi. Berarti Pandawa akan mengalami kekalahan! lanjutnya.


The Expendables Of Kurusetra Tujuh Bunga Pandawa Karya Ony Dwi Raharjo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Maksud Uwak?"" Antareja keheranan.
Aku katakana sebuah rahasia Antareja. Dalam kitab Jitabsara, tertulis bahwa lawanmu dalam Baratayuda adalah Kakang Prabu Baladewa. Aku tak sampai hati melihat kalian berdua bertanding menyabung nyawa. Kata Sri Kresna. Lantas " tanya Antareja.
Maka aku tumpahkan tinta di bagian itu, sehingga kalian tak perlu lagi bertempur, namun dengan syarat& . Kata Sri Kresna terhenti.
Apakah syarat itu Uwak" tanya Antareja kemudian.
Untuk kemenangan Pandawa, engkau harus merelakan hidupmu, sama seperi yang akan dilakukan oleh saudara saudaramu, Antasena dan Wisanggeni& jawabnya.
Antareja terdiam. Dia berpikir dan berusaha memahami kata demi kata yang keluar dari mulut Sri Kresna.
Adik adikku turut serta Uwak" tanya Antareja berusaha meyakinkan dirinya.
Tentu saja Antareja. Mereka bersedia merelakan hidupnya demi kejayaan Pandawa.. jawab sri Krena tegas.
Baiklah Uwak. Aku bersedia, menjadi tumbal bagi kejayaan Pandawa, seperti yang dilakukan Dimas Antasena dan Dimas Wisanggeni. Jawab Antareja mantap.
Bagus Antareja. Kini bersiap siaplah. Ikutlah bersamaku menemui mereka. Kata sri Kresna.
Antareja segera menyiapkan segala sesuatunya. Tak lupa, dia pun mohon doa restu pada Kakek dan Ibunya, ditemani oleh Sri Kresna. Hanya untaian ari mata Dewi Nagagini yang mengiringi kepergian mereka, dan sebuah doa tulus untuknya dari kakeknya, Sang Hyang Antaboga.
Bambang Irawan, Sang Gambiranom Sang Perkasa
Seorang pemuda yang tampan, dari sebuah pertapaan di atas gunung bernama Yasarata, turun gunung dan berjalan dengan anggun melintasi sawah dan ladang yang terbentang di kiri dan kanan jalan. Di sepanjang jalan, tak henti hentinya dia tersenyum ramah menyapa tiap petani yang sibuk mengerjakan sawah dan ladangnya.
Pakaiannya yang sederhana, sama sekali tak membuat dirinya rendah diri ataupun malu, justru itu semua menjadi kebanggaannya. Tingkah lakunya yang ramah dan sopan, membuat gadis gadis desa terpesona olehnya, dan para orang tua berebutan untuk memilikinya sebagai menantunya.
Gadis gadis desa yang turut membantu orang tuanya bekerja di sawah, memberikan senyum manisnya saat menyapa pemuda itu, dengan harapan pemuda itu akan tersenyum pula dan menyebut namanya. Dan bila hal itu terjadi, dengan senyum manis dan sebuah sapaan ramah, gadis gadis desa itu seketika bagai terbang melayang menuju awang awang dan tak ingin kembali ke dunia kenyataan. Dia ingin namanya dipanggil lagi, lagi dan lagi.
Walau hanya satu kata yang keluar dari bibir tipis pemuda itu, serasa seolah samudera madu yang menenggelamkan dirinya. Bahkan para gadis desa itu pun dengan rela berpanas panas di ladang hanya untuk sekedar menyaksikannya berjalan dan disebut namanya.
Gadis gadis desa yang berbalutkan pakaian yang sederhana dan apa adanya, kadang membuat sawah dan ladang yang terhampar luas, kini bagai memiliki beberapa mahkota yang indah dipandang mata, dengan segala ke-apa adaannya.
Pemuda itu masih berjalan dan tetap menyapa ramah setiap orang yang bertemu dengannya. Bahkan kadang tak segan segan, dia duduk dan beristirahat bersama mereka, duduk di pematang sawah ataupun di gubuk gubuk mereka, dan menikmati hidangan seperti yang para petani nikmati setiap hari, tanpa rasa risih. Mereka semua dia anggap sebagai saudara, yang layak untuk diperlakukan dengan sebaik-baiknya.
Hendak kemana Nakmas, pagi pagi seperti ini telah turun dari pertapaan. Apakah nanti tidak menjadikan Eyang Kanwa marah" Tanya seorang aki aki yang duduk berhadapan dengannya di sebuah gubuk miliknya. Gubug di pinggir ladangnya itu memang sangatlah nikmat. Tempatnya yang lebih tinggi dibandingkan yang lain, membuat tempat itu lebih sejuk dan angin menerpa dengan lembut. Pandangan yang luas yang dapat melihat dataran dibawahnya, dengan padi yang menguning serta sebatang sungai yang membelah lembah.
Iyak Nakmas, tumben pagi ini Nakmas telah turun gunung& sambung Nini nini, istri dari aki aki yang duduk didepannya.
Ah, Aki dan Nini, bukankah aku telah terbiasa seperti ini" jawab pemuda itu ramah.
Oya" jawab Aki dan Nini hampir bersamaan.
Hampir setiap hari Ki& jawabnya kemudian. Hampir setiap hari aku berjalan mengelilingi pegunungan ini. Aku ingin mengetahui keadaan saudara saudaraku di sekitar pertapaan. Mungkin baru kali ini aku dapat beristirahat dan bercengkerama dengan Aki dan Nini. Lanjutnya.
Tapi kali ini, Nakmas pergi dengan membawa bekal, tak seperti biasanya& tanya Aki.
Benar Ki, kali ini aku akan pergi meninggalkan pertapaan. Jawabnya pendek.
Loh, ada apa Nakmas" Apakah Bapa Panembahan tengah murka pada kami karena Nakmas sering bergaul dengan para petani" tanya Aki itu.
Oh& bukan itu Ki.. tenanglah. Justru aku pergi meninggalkan pertapaan, atas perintah Eyang dan Ibu.. jawabnya. Aki dan Nini itu pun manggut-manggut, walau tak tahu maksud semua itu.
Berarti, Nakmas akan pergi jauh dan untuk beberapa lama" tanyanya kemudian.
Begitulah Ki& & & jawabnya. Aki dan Nini itu, walaupun dia bukan sanak kadang, namun merasa sedih juga akan ditinggalkan oleh pemuda yang dia kenal dengan keramahannya itu.
Lantas , hendak kemanakah tujuan Nakmas" tanyanya penasaran. Entahlah Ki& & . Jawab pemuda itu.
Lho lho lho& & Nakmas itu gimana to" Mau bepergian kok tak tahu mau kemana& seloroh Nini. Pemuda itu hanya mampu tersenyum. Dia masih ragu apakah harus mengatakannya atau tidak.
Sementara terlihat dari gubuk itu, seorang gadis berjalan di atas pematang sawah, menuju gubuk itu. Gadis itu membawa sebuah bakul yang diikatnya dengan sebuah kain di punggungnya. Gadis itu terlihat sangat gembira dan berjalan menebar senyum sambil menikmati hamparan tanaman di sekitarnya. Namun setelah gadis itu melihat di gubug yang ditujunya, tiba tiba langkahnya terhenti, wajahnya tertunduk, pipinya memerah, dan lenyaplah senandung senandung riang dari bibirnya.
Senandung riang itu kini berubah menjadi seuntai rasa malu, jengah, bingung, namun bercampur rasa senang tak kepalang. Hatinya ingin sekali berteriak untuk memberitahukan pada dunia betapa senangnya dia saat itu, namun sebagian dari hatinya mencegahnya.
Dia senang sekali melihat pemuda itu ada dan duduk di gubugnya bersama ayah dan ibunya. Sebuah pemandangan yang sangat dia nanti nantikan. Namun sebagian dari hatinya mencegahnya, karena dia juga mengukur dirinya sendiri, siapakah dia. Seorang gadis desa yang sama sekali tiada pengalaman dalam hidupnya kecuali memasak dan bertanam. Hatinya bagai terpagut pagut.
Titisari, kemarilah& kami telah haus menunggumu& . Teriak Aki itu, yang ternyata ayah dari gadis itu.
Dia anakku Nakmas, anak semata wayang& . Katanya. Pemuda itu mengangguk, dan memandang Titisari serta melempar senyum untuk menyapanya. Titisari melihat pemuda itu tersenyum kepadanya dari sudut matanya, bagai pingsanlah dirinya. Langkah terhenti lagi. Hatinya berdebar debar.
Duh& kenapa aku ini& .. keluhnya dalam hati. Jarak semakin dekat, dan semakin dekat pula dengan mereka bertiga. Hatinya mengeluh akan keadaan dirinya. Satu sisi, dia ingin sekali berlari sekencang kencang dan tiba di tempat itu dan dapat duduk berdekatan dengan pemuda itu, namun sisi lain, sebagai gadis desa, apalagi di hadapan ayah dan ibunya, tentu tak pantas sikap seperti itu. Akhirnya dengan hati penuh gejolak, gadis itu berjalan pelan seperti tak terjadi apa apa pada dirinya.
Setelah tiba di gubuk, dengan cekatan pemuda itu turun dari duduknya dan kemudian membantu Titisari menurunkan bakul dari punggungnya. Titisari semakin bingung dan gugup, bahkan kain yang mengikat bakulnya itu pun, yang seharusnya dengan mudah dia lepaskan, kali ini tersangkut entah di bagian tubuh mana, dan hal ini membuatnya semakin sulit melepas lilitan kain itu, dan ini membuat pemuda itu harus membantu melepaskannya.
Tanpa sengaja, tangan tersentuh tangan, dan tubuh gadis tiba tiba telah jatuh terpeleset pematang sawah yang licin, dan terjebak di dada pemuda itu. Tiba tiba dia dapati kedua tangannya telah memeluk erat tubuh pemuda itu, demikian juga dengan pemuda itu, kedua tangannya telah menyangga tubuh gadis itu agar tak jatuh ke sawah. Suasana begitu gaduh waktu itu. Wajahnya menjadi semakin merah. Gadis itu tak tahu harus berbuat apa. Antara sedih, malu, dan tentu saja, suka. Ingin rasanya ia menjatuhkan dirinya lagi, dan tangan pemuda yang perkasa itu tentu akan menangkap tubuhnya bulat bulat, tubuh yang jatuh dengan penuh kepasrahan.
Lho& lho& .lho& kenapa to Nduk kamu itu.. kata Nini yang melihat kegugupan Titisari dan berusaha meraih bakul yang hampir tumpah.
Ah& . Tak apa apa Ibu& . Jawabnya penuh malu sambil melepaskan tangannya dari tubuh pemuda itu.
Hahahaha.. ayo, tuangkan air minum itu untuk tamu tamu kita Nduk& perintah Aki. Dan Titisari serta ibunya kemudian sibuk menuang air dan menyiapkan bekal yang dibawa Titisari dari rumah. Mereka berempat kemudian menikmati minuman dan makanan dengan lahap. Hanya Titisari yang masih terlihat malas menyuapkan makanan ke mulutnya. Dia masih belum bisa menghilangkan rasa malunya, walau dalam hatinya dia sangatlah riang.
Nah Nakmas, bagaimana makanan kami para petani" Beda dengan makanan Nakmas tentunya.. kata Aki setelah mereka puas dengan menikmati makanan khas orang desa.
Ah, Aki, justru makanan seperti ini sangatlah nikmat. Apalagi makan bersama dengan Aki, Nini, dan Titisari, sangatlah nikmat Ki& jawab pemuda itu sambil melirik ke arah Titisari . Nini pun tersenyum, dan Titisari yang mendengar namanya disebut disertai lirikan matanya, semakin menunduk dan memerah pipinya.
Nakmas, jika diperkenankan, kemanakah Nakmas akan pergi" tanya Aki lagi. Pemuda itu menarik nafas panjang sebelum mengatakan sesuatu.
Aki, Eyang telah memerintahku untuk pergi meninggalkan pertapaan, dengan menjadi orang lain, agar jati diriku tidak diketahui. Dan aku harus membuat sebuah keributan, agar semakin jelas keberadaanku disana. Menurut Aki, bagaimana" Aku sama sekali tak menemukan jawaban atas perintah itu dari Eyang.
Ehm& .. begitu ya. Baiklah. Jika itu adalah perintah dari Bapa Begawan, tentu beliau telah mengetahui apa yang sebaiknya Nakmas lakukan. Semua pasti akan menemui jalannya kelak. Aki sangat percaya akan ke waskita an Bapa Begawan. Nah, agar berbeda dan tak terlacak oleh siapa pun, diperlukan nama yang umum bagi orang desa, nah bagaimana kalau Aki yang memberimu nama, agar semua orang tak mengetahui dirimu" tanya Aki.
Oh, senang sekali Aki. Silakan. Pilihlah nama yang pantas untukku Ki& .. Jawabnya.
Aki itu, walaupun orang desa namun pengalaman telah mengajarkan kehidupan dan sebuah rasa. Dari sudut matanya, Aki mengamati sejak kedatangan Titisari, pandangan mata pemuda itu tak pernah berpaling darinya, bahkan berkedip pun tidak. Dan sikap Titisari yang tiba tiba berubah dan bahkan tak mampu menguasai dirinya, adalah sebuah tautan tautan yang semakin jelas di matanya. Maka, untuk memelihara rasa itu tetap ada, dia memberikan kesempatan itu.
Nduk, Titisari ,menurutmu, siapakah nama yang pantas bagi anak muda ini" tanya Aki pada Titisari tiba tiba.
Titisari tergagap. Dia memandangi Ibunya meminta pertimbangan. Namun ibunya hanya tersenyum kecil menggodanya. Ibunya paham akan maksud dari ayahnya itu. Dia menjadi semakin bingung. Lidahnya kelu, tak mampu berkata apapun. Dia harus memberi nama pada seorang pemuda yang telah memukul-mukul hatinya, dan membuatnya senang bukan kepalang walau ditahannya sekuatnya di dalam dada.
Emmmm& .. em& & & & . Titisari belum mampu berkata apapun. Kedua tangannya yang mungil, kini terlihat meremas remas ujung kainnya. Aki semakin geli melihatnya. Hampir saja tawanya meledak, namun ditahannya kuat kuat.
Kenapa Nduk& & . Kok malah ammmmm& emmm& ammmm& . Emmmm& .?"" tanya menggodanya Aki.
Ah Ayah& & & teriak Titisari manja sambil mencubit ayahnya keras keras.
Haduh Biyuuuuunngg Nduuuuuuuukkkkk& .. Nini& . Tolonglah Akii& . Cubitan anak gadismu ini bagai kalajengking tingkat tujuh!!! teriak Aki itu keras. Nini itu juga justru tertawa terpingkal melihat suami dan anak gadisnya bercanda dan saling menggoda. Sementara pemuda itu juga ikut tertawa tergelak gelak.
Ayolah Nduk, bukankah kau juga pandai mengarang-ngarang cerita dan menciptakan nama nama" kata ayahnya setelah semuanya tenang. Ingat ingatlah kisah Ramayana yang kau baca hampir setiap malam& . Lanjut ayahnya.
Emmmmm& & & . Gambiranom& .. katanya setelah dia pandangi wajah pemuda itu lama lama.
Gambiranom?"?" ayahnya menirukan nama itu sambil memandang kearah Titisari dengan heran.
Emmmm& . Iya Ayah& . Jawab Titisari sambil melemparkan pandangannya ke pemuda di depannya itu. Dia ingin melihat tanggapan langsung dari pemuda tersebut.
Apakah arti nama itu Nduk" Tanya ayahnya menggoda.
Ah& ayah& & . Titisari mencubit ayahnya lagi karena gemas sejak tadi digodanya di hadapan pemuda itu.
Tapi, Kangmas suka kan" Tanya Titisari dengan tak sadar menyebut pemuda itu dengan kata kata kangmas .
Eh& & namun buru buru gadis itu menutup mulutnya dengan kedua bibirnya dengan penuh malu. Kedua pipinya semakin memancarkan rona kemerahan. Dia tak percaya akan kata apa yang baru saja keluar dari mulutnya. Ada dorongan yang sangat kuat dihatinya, hingga diluar kesadarannya dia menyebut kata kata itu.
Ayah dan ibunya kembali tertawa geli melihat tingkah laku anaknya itu. Demikian juga dengan pemuda itu. Dia tertawa melihat perubahan sikap Titisari.
Hehehe& kenapa kau menutup mulutmu Nduk& ." Goda ayahnya. Titisari semakin malu, dan sekali lagi, cubitan bagai kalajengking itu mendarat di tangan ayahnya.
Bagaimana Nakmsa" Setujukah dengan nama pemberian putriku ini" Tanya Aki kepada pemuda itu.
Hmmmm& .. nama yang indah Ki& . Kata pemuda itu dengan tersenyum lebar. Titisari menjadi semakin tersipu. Jika saja tiada orang lain di tempat itu, tentu saja dia akan melonjak lonjak kegirangan, berteriak sekeras kerasnya, dan dia peluk tubuh pemuda itu seerat eratnya, dan dia ciumi bibirnya sepuas puasnya. Seperti itulah rasa itu di dalam dadanya.
Eh, Aki, Nini, bagaimana" Aku sangat suka nama itu& kata pemuda itu. Nama yang bagus Nakmas& . kata Aki dan Nini hampir bersamaan. Baiklah, mulai saat ini, panggil aku Gambiranom.. katanya kemudian.
Bagus Nakmas. Bukankah begitu Titisari" Aki itu masih menggoda putrinya. Putrinya itu hanya tersenyum kecil, senyum bangga pada dirinya dan pada pemuda di hadapannya itu.
Baiklah Aki, Nini dan Titisari, hari telah semakin siang. Rasanya aku harus pamit meneruskan perjalanan. Aku mohon pamit Ki& . Kata Gambiranom setelah puas mereka bercengkerama.
Baiklah Nakmas, kami hanya bisa berdoa demi keselamatan dan dapat tercapainya apa yang Nakmas cita citakan. Hati hati Nakmas& jawab Aki.
Nini, aku mohon pamit& katanya. Hati hati Nakmas.. jawab Nini.
Titisari, terimakasih banyak. Nama pemberianmu begitu indah& katanya. Titisari hanya diam dan menunduk. Dari sudut matanya dia berusaha mencuri pandang ke arah mata Gambiranom. Rupanya demikian juga dengan Gambiranom. Mata bertemu mata, Titisari hampir menjadi gila dibuatnya.
Aku berangkat Titisari& & & . Katanya lirih.
Hati hati Kangmas& .. jawab Titisari lirih. Terlalu lirih untuk Aki dan Nini, namun sangatlah jelas bagi Gambiranom. Kali ini, Titisari tak malu malu lagi menyebut pemuda itu dengan kata kangmas . Dorongan hatinya begitu kuat, apalagi untuk melepas kepergiannya. Hatinya meronta, dan ingin sekali mencegah kepergiannya, namun apa daya. Semuanya masih terlalu dini untuk diungkapkannya.
Dengan langkah mantap disaksikan oleh Titisari, gadis desa yang telah mulai mengetuk-ngetuk pintu hatinya, Gambiranom pergi meninggalkan kampung halamannya. Langkah menuju ke arah selatan mendaki bukit dan menyusuri lembah.
Dia menyusuri desa desa terpencil di lereng lereng gunung, dan setiap mata yang menatapnya, takjub dengan ketampanan dan keramahannya. Walaupun sama sekali belum pernah bertemu, namun dia selalu melempar senyum ke siapa yang ditemuinya. Bahkan dia tak sungkan sungkan untuk menginap dan bermalam di banjar desa yang dilewatinya.
Setelah beberapa hari perjalanan, sampailah dia di sebuah kota praja. Kota yang tidak begitu besar, namun cukup padat dan meriah. Penduduknya terlihat rapi dan kesejahteraannya cukup baik. Di pusat kota, perhatiannya terpecah oleh suara riuh dan denting suara senjata beradu. Dia berhenti dan bertanya pada salah seorang penduduk yang kebetulan lewat.
Dari orang itulah dia tahu bahwa dia kini berada di pusat Kerajaan Nrancang Kencana. Dan suara riuh serta denting senjata itu adalah prajurit kerajaan sedang berlatih peperangan, yang langsung dipimpin oleh panglima, sekaligus raja Nrancang Kencana, Raja Jayasantika. Sebuah kerajaan sekutu dari Kerajaan Amarta, yang di pimpin oleh Jayasantika, yang terkenal sangat setia dengan Amarta.
Jayasantika, yang karena kesetiaan dan jasa jasanya pada Amarta, menjadi tangan kanan dari Bratasena dalam medan laga. Di samping dia memiliki tubuh yang besar, tegap dan gagah, juga kesaktiannya yang dapat diandalkan, seringkali berhasil menepis gangguan gangguan kedaulatan Amarta.
Hmmm& .. aku telah sampai& . Bisiknya dalam hati. Lalu dengan sigapnya dia meloncat dan mengintip dari cela celah pagar istana. Dari situ terlihat tanah lapang yang cukup luas, dengan ratusan prajurit yang sedang beradu senjata. Di beberapa sudut, terlihat prajurit dengan seragam yang berbeda, yang memberikan aba aba. Mereka adalah pasukan khusus dari kerajaan itu. Sedangkan di ujung belakang tanah lapang itu, terlihat seorang yang berdiri tegap, dengan kedua tangan bersilang di dada, dan mengamati setiap gerakan dari para prajurit.
Tak puas dengan melihatnya dari kejauhan, Gambiranom segera mengambil langkah dan mencari celah agar bisa segera mendekati orang yang bersilang dada itu. Melihat dari pakaian serta tingkah lakunya, orang itu tentulah orang yang sangat istimewa di kerajaan ini. Hampir setiap kata yang keluar dari mulutnya, semua prajurit mematuhinya. Gambiranom yakin, dialah sang raja, yang kata orang tadi bernama Jayasantika.
Setelah cukup dekat jarak dengan orang itu, semakin yakinlah dia bahwa orang itulah Raja Kerajaan Nrancang Kencana, Raja Jayasantika. Timbul keinginannya untuk mencoba kemampuannya. Dari tempatnya menyelinap, Gambiranom menambil beberapa kerikil, dan kemudian dilemparkannya ke arah para prajurit satu persatu. Dan sungguh luar biasa. Satu persatu prajurit itu roboh, tanpa diketahui sebabnya oleh teman temannya. Belum juga berhenti rasa herannya, di sebelah sana telah roboh pula satu prajurit. Demikian seterusnya.
Suasana menjadi semakin riuh rendah. Bukan karena dentingan-dentingan senjata tajam, namun oleh teriak teriak kegelisahan dan kepenasaranan. Masing-masing prajurit segera mengambil langkah mengamankan dirinya, dan berlari menepi, merayap di pinggir pagar istana. Sementara prajurit yang berseragam khusus, satu persatu meloncat dan dengan gerakan yang sangat cepat, berlari menelusuri setiap celah kemungkinan adanya pengacau. Sementara itu, Sang Raja masih saja tak bergeming. Dia sangat percaya diri akan kemampuannya. Dengan berteriak teriak lantang, dia memerintah pasukan-pasukan khusus untuk bergerak cepat.
Kekecewaan terlihat di muka para prajurit khusus. Setelah sekian lama mencari, namun tak membuahkan hasil. Mereka semua datang kembali menghadap Jayasantika. Jayasantika mukanya memerah oleh amarah. Satu persatu prajurit khusus itu diperintahnya lagi untuk mencarinya hingga ketemu.
Apa saja yang kalian lakukan" Mencari anak yang bermain main dengan batu saja kalian tak becus!!! katanya lantang.
Ampun Sinuwun, batu batu kerikil itu sangat cepat dan tak dapat dilihat dengan mata. Kami hanya mampu menemukan beberapa kerikil itu Sinuwun.. jawab salah satu dari mereka.
Jayasantika segera mengambil kerikil kerikil yang diserahkan kepadanya. Dari manakah kerikil kerikil ini berasal" Tanya jayasantika.
Melihat dari wujudnya, kerikil kerikil itu berasal dari dalam alun alun ini Sinuwun. Tidak jauh dari tempat ini. jawab seorang prajurit.
Gila!!! Berarti orang itu berada di alun alun ini, dan menyaksikan kalian semua. Mengapa kalian tak menyadari itu" Jangankan menyadari, kalian melihat pun tidak. Benar begitu?"?" Jayasantika semakin meluap luap amarahnya.
Semua prajurit terdiam. Mereka sama sekali tak berani memberikan jawaban, karena memang mereka sama sekali belum berhasil menemukan orang yang mengacaukan latihan perang mereka.
Mengapa kalian semua diam?"" Cari dia hingga ketemu. Cepat atau lambat! Tak seorang pun boleh kembali menghadap sebelum menemukan cecunguk itu!!!! perintah Jayasantika dengan lantang. Dia terlihat sangat kecewa dengan pekerjaan para prajuritnya. Dan mereka pun satu persatu pergi meninggalkan Jayasantika.
Saat semua prajurit istimewa itu pergi meninggalkan dirinya, dan belum begitu jauh jaraknya, tiba tiba terdengar suara lantang memanggil namanya. Suara itu berputar putar memenuhi seluruh alun alun, hingga dia kesulitan untuk menemukan dari mana suara itu berasal.
Hahahahahaha& & Jayasantika& & .. terdengar suara lantang memanggil dirinya, namun sama sekali tak terlihat dari masa suara itu berasal. Semua prajurit yang ada disitu diam seperti patung, dan memutar-mutar kepalanya mencari sumber suara itu.
Tunjukkan dirimu Hai Keparat!!! teriaknya, dia bagai berteriak teriak dengan hantu, yang tak kelihatan wujudnya.
Tiba tiba meluncur di hadapan Jayasantika, sebuah bayangan seseorang yang cepat dan berdiri di depan Jayasantika. Dengan tertawa tawa kecil, seseorang itu berhadapan dengan sikap angkuh pada Jayasantika. Dan seluruh pasukan, kini pandangannya tertuju pada mereka berdua. Raja mereka yang gagah perkasa, berhadapan dengan seorang pemuda yang berukuran sedang. Terlihat dari gerakgerik tubuhnya, pemuda itu tentu berwajah tampan.
Hei, siapakah kau" tanya Jayasantika lantang dengan mata merah. Aku Gambiranom! kata seseorang itu dengan sombongnya.
Apa maksud mu datang ke tempat ini" Tanpa sopan dan santun! Sudah bosan melihat matahari"! Jayasantika semakin marah melihat kelakuan Gambiranom.
Sadarlah kau Jayasantika!!!! Kau adalah raja besar, di negerimu sendiri. Semua orang takluk padamu. Mengapa kau masih juga mau menjadi pembantu dan gedibal yang suruh kesana kemari oleh orang orang Amarta"
Apa katamu?"?"" Jayasantika semakin kalap.
Hahahaha& Bodoh kau Jayasantika!!!! Apakah kau lebih merasa lebih rendah Puntadewa yang pendiam itu" Ataukah dengan Bima yang tubuhnya tambun" Atau dengan Arjuna yang pandai menaklukkan wanita" Atau dengan Nakula dan Sadewa yang katanya titisan para dewa" Ataku dengan Kresna yang hitam legam?"" Ha?"" Gambiranom semakin membuatnya marah.
Keparat Kau! Berani kau mengatakan demikian terhadap Prabu Kresna dan Pandawa" Sebutlah nama leluhurmu bocah!!!! Jayasantika siap menyerang.
Tunggu dulu Jayasantika, jangan terburu nafsu. Apakah yang ku katakan tadi salah" Gambiranom semakin memancing amarahnya.
Keparat Kau bocah!!!! Aku lumatkan tulang belulangmu sekarang juga!!! Jayasantika maju selangkah.
Sabar Jayasantika, tak baik bertempur dalam keadaan marah marah. Mari kita buat perjanjian. Kata Gambiranom.
Benar benar gila kau. Perjanjian apa, katakana!!!! Jayasantika masih berteriak teriak. Harga dirinya tersinggung oleh ulah Gambiranom. Apalagi di hadapan semua prajurit prajuritnya.
Jika kau menang, ambillah seluruh gunung di wilayah Yasarata, jadikanlah milikmu. Tapi, jika kau kau yang kalah, akan aku bawa seluruh pasukanmu untuk menyerang Amarta. Setuju" tantang Gambiranom. Jayasantika berpikir sejenak. Namun harga diri yang terinjak injak, lebih mengedepan daripada nalarnya, apalagi kepercayaan dirinya akan kemampuan dan kesaktiannya, sangatlah besar. Maka dengan lantang diapun menjawab.
Baik! Aku terima perjanjian ini. Dan siap-siaplah kau pulang dengan remuknya tulang tulang di sekujur tubuhmu! Jayasantika mulai menyerang. Serangannya ganas dan beringas. Setiap gerakan gerakan dan serangan yang dilancarkannya, kini telah disertai dengan segenap aliran tenaga dalamnya. Pukulan-pukulan yang tidak mengenai sasaran, menimbulkan tamparan tamparan angin yang cukup kencang di muka Gambiranom.
Gambiranom terkejut. Dalam hati dia takjub akan kemampuan Jayasantika. Gerakannya lincah, walau tubuhnya besar, dan setiap gerakan yang dilakukan, selalu disertai dengan gerakan gerakan menutup serangan balik yang sangat rapi.
Hmmm& .. wajar bila Paman Puntadewa percaya padanya. Sungguh luar biasa& bisiknya dalam hati sambil terus menerus menghindar serangan dari Jayasantika. Semakin lama semakin dahsyat. Seolah Jayasantika mempunyai tujuh kekuatan yang saling mendukung, sehingga kekuatan serangannya sama sekali tak menurun. Gambiranom mulai mengeluh dalam hati. Jika dia hanya menghindar dan menghindar, besar kemungkinan adanya kelengahan, dan akan terkena serangan Jayasantika.
Maka Gambiranom mulai menyerang. Sedikit demi sedikit serangan Jayasantika mulai ditepisnya dan melancarkan serangan balik. Para prajurit yang menyaksikan pertempuran itu menjadi ternganga. Mereka telah berulang kali menyaksikan rajanya bertempur, namun tidak seperti yang terjadi saat ini. Pertempuran saat ini terlihat lebih sengit dari pertempuran pertempuran sebelumnya. Kekuatan dan kecepatan keduanya melebihi kemampuan tangkap mata mereka, sehingga yang terlihat dimata mereka adalah dua buah bayangan yang saling berkelebat, saling serang satu sama lain. Tanah tanah yang terpijak, mengepulkan debu yang bergulung-gulung bagai muntahan gunung berapi.
Semakin lama, pertempuran itu semakin sulit diikuti oleh mata. Dan betapa hebatnya Jayasantika, namun lawannya adalah seorang ksatria yang lahir dan dibesarkan oleh oleh Resi Kanwa. Tentu kemampuannya berada di atas Jayasantika. Maka lambat laun mulai terlihat siapa yang lebih kuat. Jayasantika semakin kepayahan meladeni serangan serangan Gambiranom.
Namun Gambiranom sama sekali tak berniat untuk melukainya. Maka yang dilakukan berikutnya adalah, dengan beberapa sentuhan jarinya ke tempat tempat yang tepat, Jayasantika dapat dilumpuhkan. Jayasantika tak mampu bergerak, walaupun dia masih sadar dan dapat berbicara seperti semula. Asap yang bergulung gulung telah sirna, dan kini terlihat jelas, bahwa Jayasantika telah terduduk lemas tak berdaya. Para prajurit yang menyaksikannya, terperangah, dan tanpa perintah, semuanya berlari dan mengangkat senjata menyerang Gambiranom bersama sama.
Namun pada saat senjata mereka hampir menyentuh tubuh Gambiranom, terdengar suara lantang Jayasantika.
Hentikan!!! teriaknya. Para prajurit berhenti dan bahkan ada yang surut mundur ke belakang. Mereka heran bukan kepalang terhadap perintah rajanya itu.
Hai para prajuritku semua. Aku adalah ksatria, yang tak akan lari dari perkataanku. Aku telah berjanjian pada Gambiranom, bila aku dapat dikalahkan, maka kalian semua menjadi prajuritnya. Atas nama ksatria, aku perintahkan kalian untuk tunduk dibawah perintahnya! teriaknya lagi.
Kemudian tanpa diperintah untuk kedua kalinya, semua prajurit membungkukkan badan dan tunduk di bawah perintah Gambiranom. Dan saat itu juga, Gambiranom memerintahkan seluruh prajurit untuk membuat barisan pasukan, dan segera berangkat menuju Amarta. Jayasantika yang telah tak berdaya, tak ditinggalkannya. Di memerintahkan beberapa prajurit untuk membuat tandu dan membawanya ke Amarta.
Segera setelah itu, terlihatlah pasukan dari Kerajaan Nrancang Kencana yang mengular melewati lembah dan pegunungan, dengan senjata lengkap menuju Kerajaan Amarta. Dengan gegap gempita mereka menuju medan laga, atas perintah panglima dan raja baru mereka, Gambiranom, untuk satu tujuan, menaklukkan Amarta.
Kerajaan Amarta, yang mengetahui kedatangan pasukan dari Nrancang Kencana, sama sekali tak menduga bila kedatangan mereka adalah untuk berperang, karena Nrancang Kencana adalah salah satu kerajaan sekutu yang dikenal sangat setia. Apalagi di depan pasukan, terlihat Raja Jayasantika yang terlihat baik baik saja walaupun kedatangannya duduk diatas tandu.
Kegaduhan timbul saat pasukan memasuki kota Amarta dengan tata gelar pasukan tempur, dan segera menghancurkan apa saja yang ada di dekatnya. Para petinggi Amarta menjadi kalang kabut tanpa persiapan. Mereka segera memerintahkan semua pasukan yang ada.
Namun terlambat. Gambiranom telah merangsek menuju istana. Semua punggawa yang ada segera ditantangnya satu persatu, dan dapat dirobohkan dengan mudah. Hal ini semakin membuat geram para petinggi Amarta, terutama Bratasena dan Arjuna. Mereka segera memanggil putra putra mereka untuk maju bertempur menghadapi Gambiranom.
Maka dalam waktu tak berselang lama, datanglah ksatria yang berkumis tebal dan melayang dari udara, langsung berhadapan dengan Gambiranom. Pertempuran sengit tak terelakkan. Sebelum panas pertempuran, telah hadir pula ksatria yang hampir seukuran dengan Gambiranom, merangek di medan laga dan membantu ksatria berkumis tebal itu. Maka, Gambiranom pun terlibat pertempuran segitiga.
Namun rupanya pertempuran itu benar benar seimbang. Dan dari gerakan gerakannya, satu sama lain merasa tak asing dengan gerakan itu. Timbul kepenasaran ksatria berkumis tebal itu akan lawannya. Sambil melancarkan serangannya, dia berusaha mengetahui siapakah lawannya itu.
Adi Abimanyu, tahukah kau siapa lawan kita ini" bertanya ksatria berkumis tebal.
Entahlah Kakang Gatotkaca& jawab ksatria yang dipanggil dengan Abimanyu itu sambil sibuk menyerang dan mengelak. Sementara Gambiranom yang mendengarkan pembicaraan mereka, hanya tersenyum saja.
Ki sanak, katakanlah siapa kau dan apa tujuanmu tiba tiba menyerang Amarta!!! teriak Gatotkaca. Namun Gambiranom diam seribu bahasa, sambil meningkatkan serangannya. Arjuna yang mengamati pertempuran itu dari jarak dekat, semakin tertarik akan tingkah laki Gambiranom.
Gambiranom semakin meningkatkan serangan, hingga Gatotkaca dan Abimanyu terdesak ke belakang. Semakin lama semakin terdesak. Maka dengan mengangguk tanda sepakat, Abimanyu dan Gatotkaca mundur surut beberapa langkah, untuk menggunakan ilmu pamungkas mereka agar melumpuhkan Gambiranom.
Gambiranom pun mundur beberapa langkah dan bersiap menggunakan ilmu pamungkasnya, namun tidak untuk menyerang, melainkan hanya untuk bertahan. Hal ini semakin membuat heran Abimanyu dan Gatotkaca. Maka, sebelum mereka menyerang, sekali lagi Gatotkaca berteriak.
Ki Sanak, katakana siapakah namamu, dari mana asalmu, dan siapakah leluhurmu, agar kami tak menyesal telah meleburkanmu!!!
Namaku Gambiranom. Dari Pertapaan Yasarata, Putra dari Dewi Ulupi!!! Gambiranom berteriak tak kalah lantangnya. Abimanyu dan Gatotkaca berpandangan, masing-masing minta pertimbangan apa yang harus dilakukan selanjutnya.
Namun yang terhenyak bukan kepalang adalah Arjuna, yang dari dekat dapat mendengar dengan jelas apa yang dikatakan Gambiranom. Dengan isyarat tangan, Arjuna memerintahkan Gatotkaca dan Abimanyu untuk menahan serangannya, dan dengan sigap dia meloncat ke tengah medan pertempuran, berdiri di antara Gatotkaca, Abimanyu, dan Gambiranom.
Gatotkaca, Abimanyu, hentikan!!! perintahnya.
Sendiko dhawuh Paman Arjuna& . Jawab mereka bersamaan. Gambiranom, yang mengetahui orang itu bernama Arjuna, mendadak hatinya luluh.
Itulah ayahku, seperti yang diceritakan oleh Eyang dan Ibu Ulupi& bisiknya dalam hati.
Katakan sekali lagi siapa dirimu anak muda! kata Arjuna.
Namaku Gambiranom. Dari Pertapaan Yasarata, Putra dari Dewi Ulupi!!! Gambiranom mengatakannya sekali lagi.
Dewi Ulupi tak mempunyai putra selain Bambang Irawan& jawab Arjuna.
Apakah yang berdiri dihadapanku ini adalah Sang Arjuna, ksatria ketiga dari Amarta, suami dari Dewi Ulupi dari Pertapaan Yasarata" tanya Gambiranom.
Akulah orangnya& .. jawab Arjuna mantap. Begitu mulut Arjuna terkatup selesai berkata kata, Gambiranom menjatuhkan dirinya, dan berdiri diatas lutunya, dengan sikap membungkuk dan menyembah hormat, seraya berkata,
Ampuni aku Ayah& .. akulah Bambang Irawan, Cucu dari Eyang Kanwa, putra dari Dewi Ulupi& . Katanya. Gatotkaca dan Abimanyu yang melihat pemandangan itu, semakin heran dan bertanya tanya. Namun semua itu mereka simpan dalam hati, dan dengan pelan pelan, mereka melepaskan ilmunya yang telah merambat ke seluruh tubuhnya.
Oh, kaukah itu Bambang Irawan Putra Dewi Ulupi" tanya Arjuna melangkah mendekat.
Benar Ayah& . Jawab Bambang Irawan sambil menyembah. Mengapa engkau berbuat demikian Irawan" Arjuna.
Ini semua atas perintah Eyang Kanwa, Ayah, agar kehadiranku dapat merebut perhatianmu. Bukankah Ayah tak pernah mengunjungi Ibu Ulupi dan Eyang Kanwa" jawab Bambang Irawan.
Benar Irawan& .. maafkan aku& .. jawab Arjuna sambil meraih pundak Bambang Irawan, dan kemudian merangkulnya dan dibawanya masuk ke Istana Kerajaan Amarta.
Jayasantika, yang telah disembuhkan dan kemudian mengetahui siapakah Gambiranom, hanya geleng geleng kepala dihadapan Pandawa, serta para putra, Abimanyu, Gatotkaca dan Bambang Irawan.
Oalah Ngger& & .. jadi ini to perintah Bapa Kanwa. Begitu bodohnya aku tak dapat mengenalimu Ngger. Maafkan Paman ya Ngger& . Kata Jayasantika yang disambut gelak tawa seluruh penghuni istana.
Semua peristiwa di masa silam itu, sangat jelas di ingatan Bambang Irawan, hingga perjalanannya menuju Rimba Kurusetra, telah diikuti oleh seorang raksasa yang sejak dia menjejakkan kakinya memasuki hutan, telah mengikutinya. Seorang raksasa yang sedang dalam perjalanan, tiba tiba tertarik oleh polah tingkah Bambang Irawan. Dia mencari tempat yang agak luas untuk mencegatnya.
Dan di sebuah tanah yang agak lapang di bibir hutan itu, tiba tiba dia menjauhkan dirinya di atas tanah dan berdiri menghalangi jalan Bambang Irawan dengan sikap yang sama sekali tak bersahabat. Bambang Irawan yang melihat seorang raksasa menghalangi jalannya, berhenti sebentar dan mengamati dari ujung rambut hingga ujung kakinya.
Hahahaha& . Mau pergi kemana kau Bocah Bagus" tanya raksasa itu dengan tertawa terbahak-bahak memperlihatkan kedua taringnya.
Jangan halangi jalanku kau Buto& ..! jawab Irawan.
Hutan ini adalah wilayahku. Siapa saja yang melewati hutan ini, harus ijin kepadaku! jawab raksasa itu pongah.
Siapakah kau" tanya Irawan.
Hahahahahaha& . Jika kau pernah mendengar seorang raja raksasa bernama Kalasrenggi, itulah aku! jawab raksasa itu. Dan siapakah namamu Bocah Bagus" tanya Kalasrenggi.
Apa pedulimu akan namaku" Aku hanya melintasi hutan ini sama sekali tak mengganggumu. Jawab Irawan mulai tak bersahabat. Lagi pula, aku sama sekali belum pernah mendengar namamu. Jangan jangan kau hanyalah hantu di hutan ini yang sedang kelaparan mencari mangsa. Lanjutnya.
Hahahahahaha.. berani juga kau Bocah Bagus& & . Jika kau tak mau menyebut siapa namamu, akan kemana tujuanmu pergi" tanya Kalasrenggi kemudian.
Aku akan pergi ke Rimba Kurusetra! Hai Kalasrenggi, minggirlah, jangan halangi jalanku! perintah Irawan. Kalasrenggi yang mendengar kata Kurusetra disebut oleh Bambang Irawan, terdiam dan berpikir keras. Otaknya sibuk menduga duga, siapakah orang ini. Apabila dari pihak raksasa dan Kurawa, tentu tidak akan mengetahuinya. Namun dia sama sekali belum pernah bertemu dengan Irawan. Bahkan dari ciri-ciri tubuhnya, Kalasrenggi mempunyai keyakinan bahwa Irawan adalah Arjuna, orang yang selama ini dia cari cari, untuk menuntut balas akan kematian ayah, Jatagimbal.
Kurusetra?" Kalasrenggi menggaruk garuk kepalanya yang penuh dengan rambutnya yang gimbal.
Mengapa engkau heran Kalasrenggi" Bukankah seluruh ksatria dan para prajurit telah bersiap siap kesana" Dan engkau masih juga mendekam di hutan ini. Tentu kau hanyalah buto pengecut yang hanya berani menakut-nakuti wanita dan anak kecil! kata Irawan sengit.
Gila kau Bocah Bagus, berani beraninya kau berkata seperti itu. Untuk pertama dan terakhir kalinya, sebutlah namamu dan moyangmu!!!! teriak Kalasrenggi dengan sikap siap menyerangnya.
Aku Irawan, putra dari Arjuna! kata Irawan tegas dan bersiap pula.
Hahahahahaha& akhirnya ketemu juga disini!!! kata Kalasrenggi kegirangan. Dia sangat senang bisa bertemu dengan keturunan Arjuna. Jika Arjuna tak dapat ditemuinya, bolehlah dia menuntut balas melalui keturunannya.
Ketahuilah Irawan putra Arjuna. Aku bersumpah demi bumi dan langit, tak kan enak makanku dan takkan nyenyak tidurku, sebelum aku berhasil membunuh Arjuna!!! teriaknya.
Hei buto tengik, apa salah dan dosa ayahku" kata Bambang Irawan berang.
Oh kau bocah& & & kau takkan mungkin paham, karena kau tak pernah merasakan bagaimana rasanya diejek dan terhina!!!!! katanya lantang.
Ayahmu, adalah orang tertampan yang memanfaatkan ketampanannya untuk kesengsaraan orang lain! Termasuk ayahku, Jatagimbal. Kata Kalasrenggi. Irawan mengerenyitkan dahinya. Dia tak paham akan kata kata Kalasrenggi.
Ayah dan ibukku, telah tewas karena malu, dan karena ulah ayahmu, Arjunaaaaaaa!!!!! Kalasrenggi semakin berteriak teriak memuntahkan amarahnya. Irawan semakin heran dengan tingkah Kalasrenggi.
Kalasrenggi ingat dengan jelas cerita dari pengasuhnya, Ki Lurah Togog tentang ayah dan ibunya. Dimana ayah dan ibunya, Jatagimbal dan Jatagini yang masih mempunyai hubungan darah yang sangat dekat.
Pada saat itu, Jatagimbal telah menjadi raja di Kerajaan Wedhimalela. Kerajaan kecil yang sejahtera dibawah pimpinan Jatagimbal. Namun sayang, sebagi seorang raja yang berhasil, belum lengkap rasa keberhasilan itu, karena Jatagimbal masih saja hidup membujang, dan belum satu pun wanita yang mau menjadi permaisurinya.
Hal ini juga dikarenakan sikap dan kemauan dari Jatagimbal sendiri bahwa dia ingin sekali menyunting Wara Subadra sebagai istri, sekaligus permaisurinya. Padahal saat itu, Wara Subadra telah menjadi istri dari Raden Arjuna.
Di tempat lain, Jatagini, saudara kandung dari Jatagimbal, hidupnya tak lebih baik dari kakaknya. Jatagini telah menjadi perawan tua, dan satu satunya orang yang ingin dijadikan suami olehnya, adalah Raden Arjuna.
Dalam waktu yang hampir bersamaan, tanpa diketahui dari mana asal dan sebab musababnya, Jatagimbal berketatapan untuk bertapa di sebuah hutan, yang kebetulan hutan tersebut juga digunakan Jatagini untuk bertapa, memohon petunjuk dari para dewa agar keinginannya dapat terkabul.
Rupanya pertapaan mereka berhasil menjadi perhatian dewa. Atas petunjuk dewa, Jatagimbal dapat beristrikan Dewi Wara Subadra, bila merubah wujudnya sebagai Arjuna pindha warni dahulu. Demikian juga yang terjadi di bagian lain dari hutan yang lain pula. Jatagini menerima petunjuk dewa agar maksudnya tercapai, dia harus merubah dirinya menjadi Dewi Wara Subadra, pindha warni juga.
Keduanyapun kemudian berangkat. Jatagimbal berangkat menuju Kasatrian Madukara, untuk mensulih warna dari Arjuna, dan berhasil. Sementara di Taman Keputrian Dwarawati, Jatagini berhasil menyelinap dan segera mengambil sulih warna menjadi Dewi Wara Subadra. Lantas mereka berdua kembali ke hutan, ke tempat masing-masing mereka bertapa.
Setelah lelah berjalan, sampailah Jatagimbal di mulut hutan yang berpohon lebat, berjalan menuju tempat bertapanya. Namun di tengah jalan, dengan tanpa sengaja, dia melihat seorang wanita, dengan berjalan sendiri di tengah hutan itu. Wanita itu segera didekatinya.
Dan, matanya terbelalak, nafasnya memburu, hatinya berdebar debar kencang. Wanita yang dilihatnya itu, tak lain dan tak bukan adalah wanita yang selama ini dicarinya, Dewi Wara Subadra. Jatagimbal, yang telah berhasil merubah menjadi Raden Arjuna, dengan percaya diri mendekati wanita itu. Dan wanita itu, yang sebenarnya adalah Jatagini yang telah merubah wujudnya sebagai Dewi Wara Subadra, melihat kehadiran Raden Arjuna yang menemui dirinya di tengah hutan sendirian, dengan serta-merta berlari dan menjatuhkan dirinya di pelukan Raden Arjuna yang sebenarnya adalah Jatagimbal.
Mereka berdua, bagai sumur yang kering kerontang, dan bagai sebuah hutan yang meranggas, sama sama membutuhkan curahan air hujan selebat lebatnya. Walau wujud mereka adalah seorang Dewi Wara Subadra dan seorang Ksatria Raden Arjuna, namun pada saat seperti itu, sifat sifat asli mereka sebagai raksasa, muncul dengan sendirinya, dan mereka berdua sama sama tak menyadarinya. Masingmasing terbuai oleh hasrat dan nafsu yang tiada tara, yang tertahan sekian lama.
Dewi Wara Subadra yang telah jatuh dipelukan Raden Arjuna yang berdada bidang, bagai kehilangan akal sehatnya. Demikian juga dengan Raden Arjuna , yang menemukan seorang wanita yang diidamkannya, kini telah pasrah di dalam pelukannya. Raden Arjuna menciumi Wara Subadra sepuas puasnya, dan Wara Subadra membalasnya dengan seganas ganasnya.
Tubuh dan tangan mereka berdua yang bersentuhan keseluruh tubuhnya, membuat Wara Subadra semakin gila, hingga tak memperhatikan kain yang menutupi bagian dadanya, kini telah terkoyak koyak ikatannya, terlepas tak karuan.
Raden Arjuna yang menyaksikan kedua buah yang menggantung itu keluar dari keranjangnya, semakin gila dan meremas remasnya dengan penuh nafsu. Wanita di dekapannya itu menggelinjang, gelinjang tak karuan, hingga terlepaslah seluruh kain yang menutupi tubuhnya.
Kini, dihadapan Jatagimbal yang telah terasuki nafsu bagai binatang, berdiri seorang wanita yang telah memikat hatinya, dalam keadaan tanpa busana dan dengan wajah penuh kepasrahan yang menantang, menatap matanya untung mengundangnya segera. Jatagimbal bagai kerbau dicocok hidungnya, menuruti seluruh perintah wanita itu yang hanya cukup menunjuk dengan jari jari manisnya.
Sesaat kemudian, terjadilah pergumulan di atas rerumputan liar hutan itu. Bukan pergumpalan sebuah pertempuran, akan tetapi pergumulan dua nafsu antara lakilaki dan perempuan yang sama sama memuncak, dengan tanpa seorang pun yang melihatnya, mereka dapat melakukan segalanya, sepuas puasnya.
Dengus dengus nafas yang memburu, teriakan teriakan yang tertahan, membuat hutan yang biasanya lengang dan hanya terdengar suara burung dan binatang hutan, kini terdengar sibuk oleh suara suara dua orang laki-laki dan perempuan yang kadang menjerit, berteriak, nafas yang tertahan, dan kadang oleh tawa tawa kecil yang menggoda.
Hutan itu, telah menjadi saksi sebuah peristiwa, bertemunya dua buah benih yang bersatu padu, dan atas kuasa dewa, yang kemudian akan membentuk seorang bayi mungil dalam perut sang wanita, Dewi Wara Subadra .
Begitu keras pergumulan yang terjadi, hingga keduanya melepaskan apa saja, dan semua yang telah tertahan selama ini. Dan bersamaan dengan memuncaknya air mani Raden Arjuna menusuk ke rahim Wara Subadra terlepas pulalah segala macam pindha warni yang mereka ciptakan, dan masing-masing berubah ke wujud asalnya, Wara Subadra sebagai Jatgini, dan Raden Arjuna sebagai Jatagimbal.
Tersadar akan keadaannya, yang ternyata Jatagimbal telah bersenggama dengan adiknya sendiri, Jatagini, Jatagimbal merasa dipermalukan. Maka saat itu pun dia bersumpah untuk membunuh Arjuna. Jatagini, yang telah terlanjur mengandung benih dari Jatagimbal, segera mengambil pakaiannya dan segera berlari menuju Wedhimalela.
Sementara Jatagimbal segera bangkit, tidak untuk menyusul adiknya yang pulang ke Wedhimalela, namun dia pergi menuju jalannya semula, ke Kasatrian Madukara, untuk menuntut balas pada Arjuna.
Jatagimbal berjalan dengan penuh nafsu. Dia berjalan sangat cepat menuju Madukara. Kedatangannya telah membuat onar dan meluluh lantakkan Kota Madukara. Beberapa prajurit yang berjaga, takkan mampu menandingi kehebatan Jatagimbal yang sedang memuncak kemarahannya. Langkahnya tak terbendung, hingga ke alun alun kota.
Arjuna yang mendengar berita itu dari prajurit prajuritnya, bangkit dari Kasatrian dan segera berlari di alun alun kota Madukara, untuk menemui Jatagimbal. Arjuna dengan sabar menemuinya dan menjelaskan duduk permasalahan, dan membuktikan bahwa sebenarnya dirinya tak bersalah, dan sama sekali tak perlu bertanggung jawab atas apa yang telah menimpa Jatagimbal.
Namun mata telah gelap. Pikiran telah buntu, dan rasa malu telah melumuri seluruh tubuhnya. Bagaimanapun, Arjuna harus mati ditangannya. Di alun alun kota Madukara itu, pertempuran perang tanding sama sekali tak terhindarkan.
Jatagimbal yang mengamuk bagai banteng terluka, sedangkan Arjuna menandinginya masih dengan biasa biasa. Arjuna mengeluh dalam hati, mengapa dia harus terlibat persoalan yang sama sekali tak diketahuinya. Jatagimbal semakin membabi buta. Kata kata Arjuna yang tetap berusaha menenangkannya, sama sekali tak didengarnya.
Akhirnya tiada pilihan lain. Jatagimbal yang semakin gila dan menghunus pedangnya, memutar-mutarnya ke segala arah dengan harapan dapat segera memenggal leher Arjuna, sudah tak dapat diterimanya lagi. Maka, dengan sangat menyesal, Arjuna mundur beberapa langkah kebelakang, dengan dengan cepat, dia raih gendewanya, dan dalam sekejap busur panahnya telah terentang ke arah Jatagimbal yang memburunya penuh nafsu amarah.
Clappppp!!!! anak panah melesat bagai kilat. Dan bersamaan z dengan itu, Jatagimbal terhenti, dan memegangi dadanya yang telah tertancap anak panah dari Arjuna. Jatagimbal limbung dan terhuyung huyung. Dia masih juga berusaha mendekati tempat Arjuna berdiri. Begitu besar nafsu Jatagimbal untuk membunuh Arjuna, hingga satu langkah lagi dari tempat Arjuna berdiri, Jatagimbal terjatuh dengan panah di dadanya, dan tewas.
Jatagini, yang telah pulang ke Kerajaan Wedhimalela, mendengar berita kematian kakaknya itu, memilih untuk diam, dan menjaga putra mereka berdua yang kini masih dikandungnya. Dia merawatnya dengan penuh kasih dan sayang. Tiada lagi keluarga yang dapat meneruskan keturunannya, kecuali bayi yang sedang dikandungnya.
Tak berapa lama kemudian, bayi yang dikandungnya itu lahir. Bayi laki-laki itu mewarisi sifat kedua orang tuanya. Dan bayi laki-laki itulah yang kini telah berdiri dihadapan Bambang Irawan, untuk menuntut balas atas kematian ayahnya, Kalasrenggi, putra dari Jatagimbal dan Jatagini.
Irawan, demi Arjuna, akan aku bunuh kau! Ini semua aku persembahkan untuk Ayah Jatagimbal! teriak Kalasrenggi sambil meloncat dan berusaha menerkam tubuh Irawan. Irawan sama sekali tak mengerti maksud kata kata Kalasrenggi yang menyebut nama ayahnya dan menyebut satu nama lagi yang sangat asing baginya. Tapi dia tidak berpikiran tentang itu. Dia hanya berpikir untuk segera menyingkirkan Kalasrenggi, dan segera menyusul saudara-saudaranya ke Rimba Kurusetra.
Keduanya sama sama dilanda emosi, sehingga terjadilah perang tanding antara Bambang Irawan dan Kalasrenggi. Bambang Irawan yang terburu waktu untuk segera menyusul saudaranya di Kurusetra, segera menggunakan seluruh kemampuannya. Demikian juga dengan Kalasrenggi. Dendam kesumat yang telah memuncak hingga ke ubun-ubun, membuatnya bertempur dengan beringas. Tiada lagi tata perkelahian yang enak dipandang mata, akan tetapi hanyalah perkelahian yang membabi buta. Masing-masing saling terkena pukulan dan serangan dan jatuh berguling guling, namun dalam sekejap telah berdiri tegak dan meloncat menyerang lawannya kembali.
Kalasrenggi yang bertubuh besar dan bertaring tajam, rupanya mampu memanfaatkan kelebihannya itu. Sial bagi Irawan yang terlambat mengelak. Tubuhnya berhasil ditangkapnya, dan tanpa membuang waktu, segera digigitnya lehernya. Irawan sama sekali terlambat untuk mencegahnya, maka darah pun mengucur deras dari lehernya. Dengan sisa sisa kekuatannya, dia cabut keris pemberian Kakeknya, dan dengan sisa sisa kekuatannya, dia hunjamkan keris itu ke lambung Kalasrenggi sekuat kuatnya, dan kemudian merobek robek dadanya.
Kalasrenggi yang tak menduga, tak sempat untuk menghindar. Kedua tangannya terlalu sibuk menahan tubuh Irawan, sehingga pertahanan dirinya sama sekali terbuka. Maka menjeritlah dia sekeras kerasnya. Namun semuanya terlambat. Lambung lelah menganga, dan dadanya telah robek robek oleh keris Bambang Irawan.
Tubuh raksasa itu jatuh membentur tanah sekeras kerasnya. Darah mengalir deras dari dadanya. Demikian juga dengan Irawan. Dengan sisa sisa tenaganya dia berusaha merangkak menjauhi Kalasrenggi yang telah tak berdaya, mati. Irawan, yang semakin kehabisan darah, berusaha untuk duduk bersandarkan pohon yang terdekat dengannya. Dia mengeluh dalam hati. Seandainya saja dia sedikit waspada. Namun semuanya telah terjadi.
Rupanya peperangan yang membabi buta itu telah menarik perhatian dua orang yang kebetulan sedang melewati hutan tersebut. Namun kedatangan mereka berdua terlambat. Melihat tubuh raksasa yang terkapar penuh darah, mereka berdua memicingkan kedua matanya, dan segera mencari siapakah lawannya.
Namun begitu mereka melihat tubuh seorang pemuda yang berlumuran darah bersandar di pohon, mata mereka terbelalak.
Adi Irawan& & & & .!!!! Teriak salah seorang yang lebih muda, sambil meloncat dan berlari menghampiri tubuh Irawan yang telah dingin tak bernyawa.
Oh Anakku Bambang Irawan& & desis seorang yang lebih tua disamping orang yang lebih muda yang sedang berjongkok menyempurnakan tubuh Irawan. Uwak Prabu Kresna& . Apa yang terjadi& .. tanya yang lebih muda.
Entahlah Antareja. Namun, mungkin inilah yang dimaksud dengan tulisan di Jitabsara. Adikmu telah mendahuluimu& jawab Prabu Kresna sambil jatuh terduduk dan menutup mukanya dengan kedua telapak tangannya. Terlihat kesedihan yang sangat padanya. Bahkan terlihat badannya terguncang guncang menahan isak tangisnya. Antareja segera menyempurnakan tubuh Irawan, dan segera menggendongnya.
Uwak Prabu& .. sapanya sambil berdiri dihadapan Prabu Kresna dengan tubuh Irawan di kedua tangannya.
Bagus Antareja, mari bawa Irawan menemui kedua adikmu di Rimba Kurusetra& . Jawab Prabu Kresna sambil berdiri.
Tak cukup banyak waktu bagi kita Antareja. Terbangunlah bersamaku.. kata Kresna.
Baik Uwak& . Jawab Antareja singkat. Keduanya kemudian terbang membawa tubuh Bambang Irawan, dan melesat ke arah utara, melewati pegunungan, menuju Rimba Kurusetra.
Antasena, Kemunculan Yang Singkat
Kerajaan Astinapura, sebuah kerajaan terbesar yang dipimpin oleh seorang raja bernama Duryudana, keturunan dari Destarata, kakak dari Pandudewanata, ayah dari Puntadewa, adalah sebuah kerajaan yang menjadi panutan dari kerajaan kerajaan kecil yang telah ditaklukkannya. Didampingi penasehat yang sangat cerdik dan licik, Patih Sengkuni, membuat kerajaan itu, entah benar atau salah, entah baik atau buruk, berhasil menaklukkan kerajaan kerajaan kecil lainnya, dan menjadikannya mereka sekutu, untuk menghadapi perang besar yang akan terjadi, Baratayuda.
Siang itu, di istana Kerajaan Astinapura, terlihat hiruk-pikuk kesibukan tiap punggawa yang ada. Para putra Kurawa, yang juga adik adik dari Duryudana, terlihat berkumpul di istana, dengan Duryudana yang duduk di singgasana, dan Mahapatih Sengkuni yang duduk di sebelahnya. Namun suasana di istana itu, sama sekali berbeda dengan istana istana yang lain dalam mengadakan sebuah pertemuan.
Pertemuan di Istana Astinapura itu, tak layaknya sebuah acara kumpul kumpul bermain dan makan bersama di sebuah hutan atau kebun. Masing-masing tak menduduki tempat yang telah disediakan, namun bertingkah sesuai kehendak hati mereka. Ada yang duduk di kursi sambil minum minum, ada yang duduk di meja sambil tertawa tawa dengan saudara lainnya, ada pula yang berdiri, berjalan jalan, bermain senjata dan sebagainya.
Duryudana yang melihat perilaku adik adiknya itu hanya geleng geleng kepala. Telah habis suara, telah kering tenggorokan, dan telah pekat kerongkongan dalam memperingatkan mereka. Namun suaranya bagaikan sebuah suara angin yang telah memang seharusnya seperti itu. Sama sekali tak satu pun dari mereka yang mengindahkan.
Padahal pada saat itu, mereka sedang kedatangan seorang tamu. Tamu dari Kerajaan Girisamodra, yang bergelar Raja Gangga Trimuka. Raja yang sakti mandraguna, dari sebuah kerajaan kecil di ujung utara, dekat dengan samudra.
Raja Gangga Trimuka. Datang bersama pasukan khususnya yang jumlahnya tak lebih dari 10 orang. Dia datang untuk memenuhi undangan dari Patih Sengkuni, atas utusan dari Raja Duryudana. Dia datang hanya membawa sedikit bala tentara, karena dia yakin akan kemampuannya, dan dia datang bukanlah sebagai raja yang telah ditaklukkan, akan tetapi merupakan raja yang diundang untuk bersekutu dengan Astinapura.
Gangga Trimuka, sebagaimana kehidupannya sebagai raja di dekat samudra, perilaku serta bahasanya pun, berbeda dengan raja raja yang lain. Dia lebih mirip dengan perilaku serta sifat sifat yang dimiliki oleh keluarga Kurawa. Maka dari itulah, Duryudana mengutus Sengkuni untuk mengundangnya datang, untuk bersekutu menumpas Pandawa.
Namun, tak mudah untuk meyakinkan raja yang satu ini. Disamping dia adalah seorang raja, Gangga Trimuka sangat yakin akan kesaktiannya. Maka, tawar menawar yang terjadi diantara merekapun sangat sulit. Namun, bukan Patih Sengkuni bila tak mampu memperdaya lawan bicaranya, apalagi Sengkuni telah mengetahui kelemahan dari Gangga Trimuka.
Paman Sengkuni, akhirnya tamu kita telah datang memenuhi undangan kita. Hahahaha& . Kata Duryudana di singgasana.
Benar Anak Prabu, tamu kita yang gagah perkasa ini telah rela jauh jauh datang kesini. Pasti dia menyimpan pamrih juga kepada kita. Tak mungkin seorang raja, apalagi dari pantai utara sana, mau jauh jauh datang kesini. Ya to" jawab Patih Sengkuni.
Durmagati, kamu ngapain saja kok malah jalan jalan sambil minum minuman" Ini tamu kita kok tidak kamu layani" teriak Sengkuni pada Durmogati, adik Duryudana yang paling dekat dengannya. Drumogati, walau selalu tampil seenaknya, dan mempunyai kekurangan yaitu dalam berbicara, selalu tidak jelas suaranya karena cedal. Namun Durmogati ini adalah adik yang paling taat, baik pada Duryudana maupun pada Sengkuni. Wajar kiranya bila dia hampir selalu berada di dekat mereka.
Iya Moooooooooaaaaaaaannnnn, Pamooooooooooaaaaannnnn& . Ini juga lagi dicali tempat minumnya dimana. Apa ya tamu kita suluh minum pakai embel& & jawabnya seenaknya.
Bocah edaannnn!!! gerutu Sengkuni.
Sabal to Maaaaaaaannnn& & & .. jawab Durmogati sambil berjalan lalu lalang kebingungan mencari tempat minum yang pantas di hidangkan pada tamu tamunya.
Mbok ya kamu itu jalannya yang sopan, jalan jongkok atau gimana, di depan tamu gitu kok jalan seenaknya& . Gerutu Sengkuni lagi.
Lha wong nyali(nyari) balang kok sambil jongkok to Man, yo nggak bakalan ketemu to& Durmogati masih saja bisa berkilah.
Haaaahh& terserah kamu Duuurrr& & & .. Sengkuni menyerah.
Hahahahahaha& .. ketemu Maaaaann& & .. kata Durmogati sambil menunjukkan dua tempat minum dari emas di kedua tangannya. Dengan cekatan Durmogati menyiapkan minum untuk tamu agung itu, dan segera menghidangkannya. Sudah tersedia Mann, silakan diminum& . Durmogati laporan pada Sengkuni. Bagus& & nya, kamu jangan pergi pergi, duduk sini dekat aku!!! jawab Sengkuni.
Lha ngapain to Man kok halus dekat dekat Paman" tanya Durmogati polos. Nanti kamu aku kasih Wara Subadra& jawab Sengkuni seenaknya.
JIahahahahahaha& . Benel to Man" Selius to ini" Jiahahahahaha& . Durmogati berjingkrak jingkrak kegirangan.
Sudah, sini duduk!!! perintah Sengkuni.
Baik Maaaaaan& .. jawab Durmogati bagai kerbau dicocok hidung. Memang, hampir semua orang di Astinapura mengetahui bahwa Durmogati tergila gila pada Wara Subadra, istri Sang Arjuna. Walaupun bagai kodok merindukan bulan, namun semua orang sama sekali tak berani membunuh mimpinya itu.
Nha, silakan di minum semuanya& . Kata Sengkuni menyilakan tamunya untuk menikmati hidangan yang disediakan. Setelah semuanya puas dan dahaga telah sirna, segera pembicaraan yang serius di antara mereka terjadi, antara Duryudana, Sengkuni, dan tamu yang telah mereka undang itu.
Hehehehehe& & . Apakah kau takut dengan mereka to" pertanyaan itu seolah mengejek dan meragukan keberanian seorang raja. Raja, betapapun kecil wilayah yang dimilikinya, namun dia adalah raja, pemimpin dari seluruh rakyatnya, yang menguasai semua wilayahnya, dan dia berkuasa penuh atas semua yang menjadi bawahannya.
Buat apa aku takut" Apa yang aku takutkan" jawab raja itu.
Oalah Gangga Trimuka& & . Jika engkau nggak takut, mana mungkin kerajaanmu hanya seluas daun jati" Mana pernah kau berperang untuk meluaskan wilayahmu" Ya to " Ya to" laki-laki tua berhidung mancung bagai burung betet itu semakin mengejeknya.
Yo jangan ngomong gitu to Seng& . Jawab raja yang bernama Gangga Trimuka, raja dari Kerajaan Girisamodra itu.
Welha& malah kurang ajar kau memanggilku dengan kata seng & .!!! Laki-laki tua itu berdiri dari duduknya.
Lha terus aku harus manggil kamu gimana to Patih Sengkuni" tanya Gangga Trimuka. Laki-laki tua bernama Sengkuni itu mengelus elus janggutnya sambil berpikir. hmm& . Bener juga ya& . Katanya dalam hati.
Pokoknya begini, Ko, Trimuko, jika kau berhasil membunuh para Pandawa, ambillah wilayah Tribuwana menjadi milikmu, beserta isinya, dan seluruh wanita wanita yang ada di dalamnya, terutama Dewi Kuntulwinari mu itu. Bukankah kau rela berbuat apa saja demi mendapatkannya" tanya Sengkuni.
Hehehehehehe& .. Raja Gangga Trimuka tertawa terkekeh kekeh. Raja Gangga Trimuka, walaupun terkenal sakti mandraguna, namun dia menjadi sangat lemah bila dihadapkan pada seorang wanita, yang bertubuh padat berisi, apalagi dengan rambutnya yang panjang. Dia akan rela melakukan apa saja demi mendapatkannya.
Duryudana, hanya manggut-manggut menahan tawa, melihat kelakuan pamannya dan Gangga Trimuka, tamunya yang sengaja di undang untuk bersekutu dengannya, demi menumpaskan Pandawa.
Beneran to ini tanya Gangga Trimuka menoleh kearah Sengkuni dan Duryudana bergantian.
Tentu saja benar to& buat apa aku panggil kau jauh jauh kesini. Sepakat to" tanya Sengkuni.
Baik. Sepakat. Kapan aku bisa memulainya" tanya Gangga Trimuka. Tahun depan! jawab Sengkuni seenaknya.
Loh& . Loh& .?"?"" Gangga Trimuka bingung mendengar jawaban itu.
Tentu saja sekarang!!! Berangkatlah!!! Apa yang kau perlukan" Pasukan, makanan, minuman, perempuan& ..mpff& ..!!! Sengkuni menutup mulutnya dengan kedua tangannya.
Hahahahahaha& & Gangga Trimuka tertawa terbahak bahak.
Bawalah semua yang kau perlukan, ambil di gudang senjata Astina. Durmogati, antarkan raja kampret ini menuju gudang senjata. Penuhi permintaannya!!! perintah Sengkuni bagai panglima perang.
Se.. sendiko dhawuh Maaannn& & .. jawab Durmogati, sambil berdiri dan berjalan mendahului Gangga Trimuka.
Malam itu, terjadi kesibukan yang sangat luar biasa di alun alun Astinapura. Prajurit prajurit berkumpul, senjata senjata lengkap telah disiapkan. Pasukan berbaris dengan sangat rapi, di bawah perintah langsung Raja Gangga Trimuka. Sementara berbaris di depan masing-masing pasukan, para putra Kurawa memegang perintah dan berdiri sebagai pimpinan pasukan. Setelah persiapan selesai, mereka semua berjalan di dalam gelap, menuju batas wilayah Amarta, beristirahat menghabiskan malam, menunggu esok pagi untuk segera berangkat menggempur Amarta. Mereka sengaja mendekat pada waktu malam, karena pagi hari mereka akan langsung menyerang. Saat penduduk Amarta masih dalam dingin dan rasa kantuknya, tentu lebih mudah mengalahkannya.


The Expendables Of Kurusetra Tujuh Bunga Pandawa Karya Ony Dwi Raharjo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Naga Sakti Sungai Kuning 4 Joko Sableng 16 Bidadari Cadar Putih Cula Naga Pendekar Sakti 17
^